Aqidah Akhlak Kel 5
Aqidah Akhlak Kel 5
IJTIHAD
Oleh Kelompok 5 :
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah tuhan yang menguasai seluruh alam raya ini, dan yang
senantiasa mengawasi makhluk-Nya serta mengkaruniakan kepada setiap makhluk yang
dikehendaki-Nya. Shalawat beserta salam semoga tercurah kepada suri tauladan kita,
Rasulullah SAW serta umat beliau hingga akhir zaman.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.3. Tujuan..........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
3.1. Kesimpulan..................................................................................................................5
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Situasi dan kondisi umat Islam sekarang ini sangatlah berbeda dengan kondisi pada zaman
nabi, sahabat, maupun pada masa Imam madzhab terdahulu. Eropa yang dahulu mulai mengenal
peradaban dan alam pikiran orang-orang Yunani berkat jasa para ilmuwan Arab/Islam itu sekarang ini
dalam banyak hal justru lebih maju dari pada Islam sendiri, termasuk pranata sosial dan
politiknya. Bahkan dalam bidang hukum, sebagian besar dari negara-negara baru yang mulai
bermuncul didunia Islam sejak akhir perang dunia kedua, termasuk Republik Indonesia, mengikuti
Barat, baik hukum konstitusi, hukum perdata dan pidana. Satu-satunya yang masih mengikuti ajaran
Islam adalah hukum keluarga: perkawinan/ perceraian, pembagian warisan, dan perwakafan. Itu pun
dengan berbagai modifikasinya.
Para mujtahid enggan meng-istinbath hukum secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah melalui
beberapa metode ijtihad yang telah dipakai para imam pendahulu mereka. Mereka lebih suka mencari
pada produk-produk ijtihad para Mujtahid sebelumnya, meskipun hasil ijtihad tersebut sudah tidak
sesuai dengan situasi dan kondisi zaman sekarang ini dalam pemecahan masalah . Sikap mereka yang
demikian ini, mempertipis rasa toleransi antara sesama pengikut madzhab fiqih, sehingga seringkali
timbul persaingan dan permusuhan sebagai akibat dari fanatisme madzhab yang berlebihan.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, kami memilih beberapa rumusan
masalah diantaranya :
Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
Bagaimana kedudukan ijtihad dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadist?
Apa saja metode ijtihad?
1.3. Tujuan
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas tadi, maka kami dapat
memberitahukan tujuan makalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui pengertian ijtihad
Memberikan penjelasan kedudukan ijtihad dalam pandangan islam
Menjelaskan metode-metode yang digunakan dalam ijtihad
iv
BAB II
PEMBAHASAN
1.1. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, Ijtihad berasal dari kata ‘Jahada Yajhadu-Jahd’ (Bahasa arab). Menurut
Bahasa artinya mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan. Menurut istilah Ijtihad
merupakan sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja
yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu pekara yang tidak dibahas dalam Al-
Qur’an maupun hadits dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
I. Mengutip dari buku Islamologi:Ijtihad yang ditulis oleh Maulana Muhammad Ali, Ijtihad
secara teknis diterapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan kemampuan akalnya berusaha
keras untuk menentukan pendapat di lapangan hukum mengenai hal yang pelik-pelik dan
meragukan.
II. Dikutip dari buku Ushul Fiqh oleh Satria Effendi M.Zein (2017:233) Ijtihad merupakan
bersungguh-sungguh dalam memanfaatkan tenaga, baik pikiran maupun fisik.
III. Menurut AL-Syaukani dalam kitabnya irsyad al-fukuhul, Ijtihad adalah mengerahkan
kemampuan dalam memperoleh hukum syar’I yang bersifat amali melalui cara istinbath.
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil hakikat dari ijtihad sebagai berikut:
Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menggunakan nalar, logika dan
akalnya dalam memahami perintah-perintah Allah SWT sebagaimana yang tercantum dalam Al-
Qur’an yang berbunyi :
Yang artinya : "Sesungguhnya di dalamnya ada tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS Az Zumar
42)
v
1.2. Lapangan Ijtihad
Para ahli ushul fiqh sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak
terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Al-Qur’an dan hadist yang masuk kategori zhanni
Al-dalalat. Karena itu, Pendapat yang menyatakan bahwa ijtihad adalah mencari hukum suatu kasus
yang sudah terdapat dalam nash qath’I tidak dapat begitu saja diterima oleh mereka.
Sehubungan dengan ijtihad terhadap teks AlQur’an dan Hadist yang penunjukkannya bersifat
Zhanni, dikalangan ahli ushul fiqih dikenal adanya metode ta’wil. Ta’wil dalam arti umum dikenal
pula oleh para teolog dan filosof muslim. Melalui ta’wil itulah mereka yang disebut terakhir ini
mengembangkan pemikiran dan pendapat nya. Meskipun konsep ta’wil dikalangan ahli ushul fiqih
tidak seliberal teolog dan filosof, tetapi ternyata metode ini cukup berarti dalam menyelesaikan
masalah-masalah fiqih. Bahkan abu zahrah menyatakan bahwa ta’wil termasuk aspek-aspek istinbath
yang piawai dalam menangani masalah hukum.
Kedudukan ijtihad dapat dikatakan sejajar dengan hukum islam lainnya, yakni Al-Qur’an dan
Sunnah. Karena itu, sangat penting bagi kaum muslimin untuk memahami ijtihad sebagai tambahan
pengetahuan tentang islam.
Kedudukan ijtihad dalam sumber hukum islam memang tidak dapat dikesampingkan. Karena
ijtihad membantu para ulama dan umat muslim dizaman sekarang untuk memutuskan hukum pada
suatu perkara yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa
kedudukan ijtihad setara dengan hukum islam lainnya.
Landasan diperbolehkan ijtihad adalah dalil dari Al-Qur‟an dan hadis, baik melalui pernyataan yang
jelas maupun berdasarkan isyarat, di antaranya yaitu :
Firman Allah swt. dalam surat an-Nisa‟ ayat 105 yang berbunyi yaitu:
ۙ ِاَّنٓا َاْنَز ْلَنٓا ِاَلْيَك اْلِكٰت َب ِباْلَح ِّق ِلَتْح ُك َم َبْيَن الَّناِس ِبَم ٓا َاٰر ىَك ُهّٰللاۗ َو اَل َتُك ْن ِّلْلَخ ۤا ِٕىِنْيَن َخ ِص ْيًم ا
Artinya : “ Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu,
dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
berkhianat” (Q.S An Nisa: 105)
vi
Sunnah.
Di antaranya yaitu hadist Mu‟az ibn Jabal ketika diutus ke Yaman. Yang artinya: “Dari Mu‟az
ibn Jabal ra bahwa Nabi saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: Bagaimana kamu jika
dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: Saya berhukum dengan kitab Allah. Nabi berkata: Jika
tidak terdapat dalam kitab Allah? ia berkata: Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah. Nabi berkata:
Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw? ia berkata: Saya akan berijtihad dan tidak berlebih
(dalam ijtihad). Maka Rasul Saw memukul ke dada Mu‟az dan berkata: Segala puji bagi Allah yang
telah sepakat dengan utusannya (Mu‟az) dengan apa yang diridhai Rasulullah saw.” 16 Hadis ini
menunjukkan bahkan, berijtihad berlaku apabila sebuah persoalan tidak didapatkan sumbernya dari
Al-Qur‟an atau hadis. Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun hasilnya.
Dalam pembahasan ini yang dengan metode Ijtihad adalah prosedur dari kajian hukum untuk
melahirkan pemikiran-pemikiran fiqih baik dengan cara menganalisis kebahasaan maupun analisis
nalar. Untuk itu dalam hal ini kami akan membahas 3 metode ijtihad, yaitu sebagai berikut :
a. Ijtihad Bayani
Dalam hal ini seorang mujtahid berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan
sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya sampai kepada kita.
Ijtihad Ta’lili yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh suatu hukum
yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dzanni dan tidak ada pula ijma’.
Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan
wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut
ijtihad bi al ra’yi.
c. Ijtihad Istishlahi
Ijtihad Istishlahi yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum
hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.
vii
Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang
kulliyah, tak ada padanya suatu nash tertentu, tak ada pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan
dengan qiyas dan istihsan.
BAB III
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
viii