Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PENDIDIKAN DI PESANTREN

OLEH
SYAHRUL HAMDANI PANE

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS
INSTITUT AGAMA ISLAM
DAAR AL ULUUM
KISARAN
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita
kesehatan dan kesempatan dalam rangka menyelesaikan kewajiban kami sebagai
mahasiswa, yakni dalam bentuk tugas yang diberikan oleh bapak dosen dalam rangka
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kami.
Yang kedua shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad SAW, sahabat beserta keluarganya karena dengan perjuangan beliau kita
bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.
Dengan membuat tugas kami ini, diharapkan mampu untuk lebih menguasai
materi yang kami sajikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari penyusunan,
bahasan, maupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam
bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Aek Songsongan, Desember 2023


Penulis,

SYAHRUL HAMDANI PANE

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ......................................................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................................................... 4

I. A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................................................... 4

II. B. Rumusan Masalah .................................................................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................................................... 7

III. A. Definisi Pondok Pesantren ................................................................................................................. 7

IV. B. Latar Belakang Pendidikan Pondok Pesantren ............................................................... 10

V. C. Elemen – Elemen Pesatren .......................................................................................................... 15

VI. D. Tipologi Pesantren ........................................................................................................................... 20

VII. E. Sejarah Madrasah................................................................................................................................. 22

BAB III PENUTUP ......................................................................................................................................................... 26

VIII. A. Kesimpulan ........................................................................................................................................... 26

Daftar Pustaka ................................................................................................................................................................ 27

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia adalah Pondok

Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia.

Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Karenanya

banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan

kajian.

Pendidikan Pondok Pesatren merupakan Lembaga Pendidikan Islam yang keunikannya

serta simbol – simbol yang dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga Islam

mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda dari pakem

induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah dalam upaya

penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban nyawa,

agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini, dengan ketelitian dan

penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam pada masa awal penyebaran ajaran islam di

Indonesia telah mengantarkan pada keberhasilan penyebaran islam di bumi jawa.1[1]

Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan

sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal yang

dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai Lembaga Pendidikan; (1) Proses

1[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah meneliti
bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama
hindu – bhuda adalah syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh Siti Jenar yang
mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi pertama Padepokan Giri Amparan Jati)
yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah ajarannya, beliaulah yang menelorkan adanya sebuah konsep
Pendidikan Pondok Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti bagaimana supaya Islam bisa diterima
oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda

4
Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan Pembentukan karakter dan,

(2) Proses Pengajaran; dengan Proses Pengajaran Pondok Pesatren melakukan

pengembangan nalar.2[2] Abdurrahman Wahid menyamakannya dengan sistem yang

dipergunakan Akademi Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda

yang disitu ada seseorang dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya ada

tiga elemen yang mampu membentuk Pondok Pesatren;

(1) Pola Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak pernah terkooptasi oleh

negara,

(2) Kita – kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan,

(3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat

luas_Inilah yang menurut Abdurrahman Wahid kemudian disebut ciri Pondok

Pesatren sebagai Sub Kultur.3[3]_ Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren

merupakan pola pendidikan integral antara yang religius dengan Pendidikan sosial

yang merupakan pusat pengembangan ilmu yang bernafaskan islam dengan

spesifikasi untuk mempertahankan ajaran al-sunnah dengan mengembangkan kajian

keilmuan melalui khazanah kitab kuning_yang belakangan mengalami

perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab kuning juga sudah

merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak pakar, baik lokal

maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian

Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena

“modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi

2[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat
Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda

3[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet. Bandung : Pustaka Hidayah, 1999.
Hal. 13-14

5
daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya,

hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana

yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat,

negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah

membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini,

baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu

masih tetap dirasakan.

Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus

kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek tertentu,

pesantren juga harus dipahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena

peran sejarah yang dimainkanya.4[4] maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman

Wahid menyebutnya sebagai Sub Kultur disebabkan kemampuan untuk melakukan

transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya.5[5]

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut;

(1) Apa yang melatarbelakangi munculnya Pendidikan Pondok Pesatren?

(2) Elemen –elemen yang membentuk Pondok Pesatren?

(3) dan, macam – macam tipologi Pondok Pesantren?

4[4] Ibid Pengantar Penyunting Buku Pondok Pesantren Masa Depan, Hal 7.

5[5] Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001, hal 10

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pondok Pesantren

Jauh sebelum masa kemerdekaan, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren)


telah menjadi sistem pendidikan nusantara. Hampir di seluruh peloksok nusantara,
khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang
lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh,
Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa. Namun demikian, secara historis awal
kemunculan dan asal-usul pesantren masih menyisakan kontroversi di kalangan para ahli
sejarah.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga
pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van
Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal
Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip dari Soegarda Poerbakawatja—memandang
pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari
Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.

Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa
pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk.
Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren
seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain
itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di
atas kemudian diambil oleh Islam.

Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India dan
pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh negara
bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya terletak pada
beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapatkan
gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya meminta
sumbangan ke luar lingkungan pesantren.

7
Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-usul
pesantren berasal dari India. Sementara itu Bruinessen berpendapat bahwa pesantren yang
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal dari
Arab. Alasannya tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan Madinah—sebagai pusat
orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren.
Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul
pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai
berikut:

"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari
di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia.
Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia (meskipun
syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran perhatian utama
dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar
pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di
Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang
Indonesia sendiri)."

Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang
menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan
pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika
madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan
lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut
masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon
ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua
menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di
tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air
dalam bentuk pesantren.

Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari
India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa yang
digunakan di pesantren, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab tidak
dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan
digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang digunakan

8
untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti
seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk
mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di
pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki-laki dan
nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai dan
nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.

Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan oleh banyak kalangan sehingga

terjadi banyak penafsiran tentang istilah – istilah tersebut disebabkan memang istilah yang

dipakai ini tidak akan pernah ditemukan pada pakem induknya.

Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti

ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat

penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata

pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti

menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap

sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga

kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut

Clifford Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan

hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang

pandai membaca dan menulis.6[6]

6[6] Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd.
com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)

9
Sedangkan menurut Agus Sunyoto lebih rinci menjelaskan bahwa istilah Pondok

Pesatren pertama kali dikenalkan oleh murid Padepokan Giri Amparan Jati generasi ke

empat yaitu Raden Sahid (Syaikh Malaya, atau Sunan Kalijaga) pada saat musyawarah

pergantian kepemimpinan ketika Pendiri Padepokan Giri Amparan Jati Syaikh datuk Kahfi

mangkat. Istilah Pondok Pesatren berasal dari kata Pondok yang diambil dari kata Funduq

yang berarti Penginapan, sedangkan kata santri diambil dari bahasa sansekerta Syastri yang

berarti orang yang mempelajari kitab suci. Kemudian kedua kata tersebut dipadukan

menjadi Pondok Pesatren yang bermakna “Tempat tinggal para murid yang mempelajari

kitab suci”7[7]

Dari semua pemaparan para ahli dapat kita simpulkan bahwa Pondok Pesantren merupakan

pusat pendidikan keislaman yang para muridnya di-asrama-kan dalam rangka memahami

kitab suci yang diharapkan menghasilkan generasi penerus keberlangsungan penyebaran

ajaran agama islam yang militan pada masa yang akan datang dengan melestarikan ajaran –

ajaran islam semasa nabi Muhammad SAW. serta dalam rangka mencetak manusia – manusia

yang taat terhadapa agama.

B. Latar Belakang Pendidikan Pondok Pesantren


Tidak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan tepatnya istilah pondok

pesantren itu mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga

kita sulit untuk menentukan Pondok Pesantren mana yang pertama kali didirikan, Menurut

Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi

terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri

juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu

7[7] Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3 Cet. 4
Yokyakarta : LKiS Hal 103

10
panjang...8[8] menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan

berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang

pertama kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim

atau Syekh Maulana Maghribi.9[9]

Menurut Dr. Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren

pertama ia menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat.

Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi.

Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih

banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok

organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin

tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama

empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat

dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk

keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-

tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan

tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan

agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian

dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan

berkembang menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini pada

mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-

8[8] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi;Esai-esai Pesastren, hlm 12.

9[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70

11
orang Hindu di Nusantara.10[10] Pendapat kedua ini senada dengan apa yang disampaikan

oleh Agus Sunyoto dalam sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama yang

diselenggarakan di Kediri pada tanggal 25 September 2005 (Sejarah Pendidikan Pesantren

dan bagaimana Nalar Barat menghabisi Dunia Pesantren).

Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses

munculnya Pendidikan Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas

dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan merupak anti tesis dari

penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap ajaran Islam_yang semula merupakan

pusat keagamaan Hindu-Bhuda,

Menurutnya orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa

kholifah Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama sekali

tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi bahasa_karna

kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka kata Yamani dalam

Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa yang ada di neraka jadi

Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada perpindahan suku – suku di negri persia

menuju kenegri jawa, yang juga tidak ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386 M.

terjadi imigrasi besaran – besaran penduduk muslim Cina ke selatan 11[11]

Ini dapat dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad 12

M ia menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi

penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa dilihat dari

10[10] Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung tanggal,
12 Desember 1996 (On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses
tanggal 14 Juli 2010)

11[11] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat
Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU. Kediri 25-27
September

12
catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang masuk ke Aceh pada

tahun 1405 M. Ia menyebutkan ada tiga kelopok penduduk, sama seperti pernyataan

marcopolo dan ia menyebutkan Laksamana Cheng Ho pernah berlabuh dipelabuhan tuban

dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas

Cina Muslim, 12[12]

Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa

menuju jawa, waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam.

Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel delta mendirikan padepokan untuk dijadikan

pusat belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan Ampel

Delta. 13[13]

Menurut Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam Pararaton,

terbitan Dr. J. Brandes, Raden Sayid Rahmat14[14] (Sunan Ampel) datang dari Campa

menuju Jawa untuk menemui saudara ibunya Putri Dwarawati, istri dari Angkawijaya (Raja

Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu Angkawijaya yang kemudian

diizinkan menetap di Daerah Ngampel.

Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan cina

menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri Amparan Jati

mendirikan sebuah padepokan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan padepokan Giri

Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas masih menganut agama Hindu-

Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan, karna

12[12] Ibid

13[13] Ibid

14[14] Dalam Preambule Prasaran, berita dari Klenteng Sam Po Kong di semarang nama lain dari Sunan
Ngampel atau Sayid Rahmatullah adalah Bong Swi Hoo

13
disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam.15[15] Dalam

perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi ratusan murid

yang berasal dari daerah dermayu, tegal, semarang, dan demak.

Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran

islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian tentang bagaimana

cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus ada darah yang mengalir dalam proses

islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus Sunyoto orang yang banyak meneliti

tentang kultur masyarakat jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).

Nama Pondok Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru

yang dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut adalah

Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng Babatan, Ki

Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin Hasanuddin,

Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan Raden Qosim.

kemudian forum musyawarah ini mempercayakan atau mengangkat Raden Syarif

Hidayatullah sebagai ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan jati. Dan

dalam sidang yang sama kemudian Syarif Hidatullah mengusulkan agar nama padepokan di

rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid nama pondok di tambah dengan

pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang hindu belajar agamanya dengan

orang islam yang mencari ilmu.16[16]

Terlepas benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang

dilakukan oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang

teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran Islam yang ada

15[15] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti
Jenar Buku 3. Cet Ke IV Yogyakarta: LkiS, 2004.

16[16] Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu, Ibid hal. 213

14
dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi budaya Islam terhadap

budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan budaya, apa yang dilakukan

oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford

Geertz yang dikutip dari Ward Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–

pikiran dan hati manusia, jadi suatu kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus

diketahui dan dipercayai seseorang supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat

diterima oleh anggota-anggotanya.17[17] Tidak heran kalau kemudian proses islamisasi

yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna memang apa

yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang masuk dalah roh budaya penduduk

lokal.

C. Elemen – Elemen Pesatren


Zamakhsyari Dhofier, dalam karyanya ‘Tradisi Pesantren’ menentukan bahwa untuk

berstatus sebagai pesantren seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu pondok, masjid,

santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik dan seorang kiai18[18]

1. Kyai; adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Ia merupakan
penggagas atau pendiri, oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya,
pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai Rata-rata pesantren yang
berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik
dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan
pesantren.19[19]. Dhofier berpendapat “Para kyai dengan kelebihan
pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat
memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka

17[17] Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected
Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992. hal 13.

18[18] Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. P18. 1982

19[19] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 28

15
dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang
awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam
bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan
surban”20[20]. Menurut Agus Sunyoto, sebutan kyai merupakan gelar
kebangsawanan umat hindu yang di adopsi oleh umat islam, kyai adalah orang yang
disegani, orang yang faham dan mendalam tentang ilmu agamanya.
2. Pondok; adalah tempat mukim para santri yang belajar tengtang teks-teks
keagamaan, sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para santri tinggal
bersama, belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal
dengan sebutan “kyai”. Tempat mukim para santri ini berada dalam lingkungan
komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal, tempat mukim para santri ini
merupakan ciri khas tradisi pesantren jawa yang membedakannya dengan system
pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah
islam di Negara-negara lain. Amin Haedari, berpendapat Ada tiga alasan utama
kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran
seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menarik santri-santri
dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam
waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan
menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua pesantren berada di desa-
desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus
bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para
santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi.
Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat
menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri
tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh

20[20] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 56

16
imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan
keluarga kyai.21[21]

3. Masjid; merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-
kitab klasik. Kedudukan masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren, manivestasi universalisme dari system pendidikan tradisional. Dengan
kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al
Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar
dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi
tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-
lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar
murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat
untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang
lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain.
Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-
pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil
atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah
pesantren.22[22]
4. Santri; orang yang belajar kitab teks – tek keagamaan, Menurut pengertian yang
dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai
bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk
mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting

21[21] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta,
2005, hlm 32

22[22] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 49

17
dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren,
terdapat dua kelompok santri:

a. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap
dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tingGal di
pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu kelompgk tersendiri yang
memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-
hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da tentang
kitab-kitab dasar $an menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya
sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat
d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar
jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak
santri kalong dari pada santri mukim.23[23]
c. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia
pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren
ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini
akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang di
jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau ulama’ di
jawayang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan
memperluas penguasaan ilmuagamanya dengan cara me.gembara dari pesantren
ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren mengadopsi system pendidikan
modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi kelana ini mulai di
tinggalkan.24[24]

5. Pengajaran Kitab Kuning; berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan


kitab-kitab klasik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran
kitab kuning berbahasa Arab tanpa harakat atau sering disebut kitab gundul

23[23] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, LP3ES, Yogyakarta, 1982, hlm 52

24[24] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta,
2005, hlm 37

18
merupakan satu-satunya methode yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di
Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman
dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih,
Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya
mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali
makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok
pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-
Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar
ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun
kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat
tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan kitab-
kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan
kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih;
4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain seperti tarikh
dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks
yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan
tasawuf.25[25] Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi
dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata
bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam
yang lain.26[26]

Sedangkan Metode Pengajaran dilakukan dengan sistematis mulai dari pengenalan


teori sampai pada tingkat praksis (teknis melaksanakannya), Metode Pengajaran Pondok
Pesantren terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Wetonan, yakni suatu metode kuliah dimana santri mengikuti pelajaran dengan duduk

disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing

dan mencatat jika perlu. Dilakukan setelah sembahyang fardhu. Di jawa barat metode ini

dikenal dengan Bandongan, sedangkan di Sumatra di kenal dengan sebutan Halaqah

25[25] HM. Amin Haedari, dkk, Op Cit hlm 39

26[26] HM. Amin Haedari, dkk, Ibid hlm 41

19
b. Sorogan yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang

dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian

yang paling rumit dari keseluruhan metode Pendidikan Islam Tradisional sebab sistem

ini menuntut kesabaran kerjinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri/ kendatipun

demikian, metode ini dianggap paling intensif karna dilakukan seorang demi seorang

dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung.

c. Hafalan yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat terntentu dari

kitab yang dipelajarinya27[27]

D. Tipologi Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik

tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi

sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat

mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Menurut

Yacub yang dikutip oleh Khozin (2006:101) mengatakan bahwasanya ada beberapa

pembagian pondok pesantren dan tipologinya yaitu :

1. Pesantren Salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan

kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun

sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode

sorogan dan weton.

2. Pesantren Khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal

(madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan

keterampilan.

27[27] Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana

20
3. Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif

singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik

beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari

siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.

4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan

vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja,

dengan program yang terintegrasi. Sedangkan santrinya mayoritas berasal dari

kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.

Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu

1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami

ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan

dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab

berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.

Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren

Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang,

Jawa tengah dan lain-lain.

2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun

dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti

kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang

dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.

3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk

madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah

(sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang

sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan

21
meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur

adalah contohnya.

4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar

disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama

dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua

santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya. (2002:149-

150)28[28]

E. Sejarah Madrasah
Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam pendidikan. Madrasah di Indonesia merupakan hasil perkembangan
modern pendidikan pesantren yang secara historis,eksis jauh sebelum Belanda
menjajah Indonesia . Lembaga pendidikan Islam yang pertama ada adalah pesantren.

Pada awal abad ke-20, madrasah-madrasah dengan sistem berkelas (klasikal) mulai
muncul di Indonesia. Menurut penelitian Mahmud Yunus, pendidikan Islam pertama kali
memiliki kelas dan memakai bangku, meja, dan papan tulis adalah Madrasah
Adabiyah (Adabiyah School) di Padang.
Madrasah Adabiyah adalah madrasah pertama di Minangkabau, bahkan di Indonesia,
didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini hidup sampai
tahun 1914, kemudian diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915, yang merupakan
HIS pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran agama Islam dalam
pengajarannya. (baca Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, t.th.)
Muculnya sekolah-sekolah Islam yang menerapkan sistem pendidikan modern juga tak
terlepas dari banyaknya alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang telah menyelesaikan
pendidikannya di sana. Mereka adalah hasil dari sistem pendidikan yang telah
direformasi oleh Muhammad Abduh.

28[28] Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi untuk
memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line).
(http://baim32.multiply.com/journal/item/36/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli
2010)

22
Setibanya di Indonesia, mereka mengelolah dan mengajar di sekolah-sekolah agama
serta memasukkan mata pelajaran umum. Lembaga pendidikan yang demikian
dinamai Madrasah Guru Islam atau Sekolah Menengah Islam (SMI).
Di antara madrasah yang juga termasuk awal adalah Al-Jami’ah Islamiyah, di Sungayang
Batusangkar, didirikan oleh Mahmud Yunus pada 20 Maret 1931; Normal Islam (Kuliah
Mu’allim Islamiah), didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang
pada tanggal 1 April 931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus, dengan demikian Mahmud
Yunus memimpin dua madrasah tingkat menengah dan tinggi.
Madrasah dapat disejajarkan standar kelulusannya dengan sekolah umum setelah
terbitnya Surat Keputusan Bersama 3 (tiga ) Menteri ( Menag,Mendikbud dan
Mendagri) pada Tahun 1975 yang menetapkan bahwa lulusan madrasah dianggap
setara dengan lulusan sekolah umum yang lebih tinggi, dan siswa madrasah boleh
pindah ke sekolah umum yang sama jenjangnya . demikian sebaliknya.

Adapun Madrasah di Provinsi Kepri sampai dengan Tahun Pelajaran 2016 –


2017 sesuai tingkatanya dari RA,MI,MTS dan MA sebanyak 332 lembaga yang tersebar
di 7 (tujuh) Kab/Kota yaitu Kota Tanjungpinang, Kab Bintan, Kota Batam, Kab. Karimun,
Kab. Lingga, Kab. Natuna dan Kab. Kepulauan Anambas.

Dari 332 Madrasah tersebut menurut sejarah madrasah yang paling pertama berdiri (
tua) adalah Madrasah Ibtidaiyah Berakit, Madrasah ini berdiri pada tangal 1 Januari
1951 dengan nama SRP (Sekolah Rakyat Partikelir). Pada tahun 1958 SRP berubah
menjadi SRI ( Sekolah Rakyat Islam ) pada tahun 1959 Sekolah Rakyat (SR) yang ada di
Berakit bergabung dengan Yayasan Madrasah Wajib Belajar (YMWB) di Tanjungpinang
yang diketuai oleh Bapak M.YAHYA. Pada Tahun 1967 Wajib Belajar (MWB) berubah
nama menjadi MIS ( Madrasah Ibtidaiyah Swasta ).
Pada tanggal 8 Mei Tahun 1968 secara resmi Madrasah Ibtidaiyah Negeri Berakit
menjadi Madrasah Ibtidaiyah Percobaan Negeri (MIPN) melalui Dinas Inspeksi
Pendidikan Agama Kabupaten Kepulauan Riau dengan SK Menteri Agama No 50 tahun
1968, berubah menjadi MIN ( Madrasah Ibtidaiyah Negeri ) Berakit dibawah asuhan
Departemen Agama Provinsi Riau yang berkedudukan di Pekanbaru, sejak itu MIN
Berakit menjadi satu-satunya MIN di Kabupaten Kepulauan Riau Provinsi Riau karena

23
setelah tahun 1968 sampai dengan tahun 1990 Departemen Agama tidak ada lagi
penegerian Madrasah Ibtidaiyah di seluruh Indonesia.

Setelah ditingkatkan statusnya menjadi MIN ( Madrasah Ibtidaiyah Negeri) yang berdiri
sendiri yang dituangkan dalam SK Menteri Agama Rebublik Indonesia, sampai dengan
saat ini seperti yang diharapkan para pendiri MI Berakit terdahulu. Sesuai dengan
perkembangan dengan dikeluarkan Surat Keputusan dari Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau tentang “Kode Jabatan Dilingkungan
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau” maka menetapkan Kode
Jabatan pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten/Kota, dan Kantor Urusan
Agama Kecamatan serta Madrasah Negeri. Dan sejak Tanggal 14 April 2016 Madrasah
Ibtidaiyah Negeri Berakit berganti menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Bintan, sesuai
dengan PMA Nomor 208 tahun 2015.

Eksistensi Madrasah sebagaimana telah dikenal luas adalah sekolah yang


diselenggarakan dengan kekhasan Islam dibawah yurisdiksi pembinaan Kementerian
Agama RI, yang mencakup pendidikan Raudlatul Athfal (RA) pada jenjang pendidikan
anak usia dini, Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada jenjang
pendidikan dasar serta Madrasah Aliyah/Kejuruan (MA/MAK) pada jenjang pendidikan
menengah. Berdasarkan peta kompetensi kekhasan pendidikan tersebut, maka dapat
dirumuskan tentang tujuan, arah dan sasaran pembangunan madrasah. Arah umum
pembangunan pendidikan madrasah adalah menjadikan madrasah agar mampu
menghasilkan lulusan yang islami, unggul dalam ilmu pengetahuan, bersikap mandiri
dan berwawasan kebangsaan. Dengan proses penyelenggaraan yang bertumpu pada
prinsip good governance dan pemberdayaan masyarakat agar sanggup menyediakan
layanan pendidikan bagi anak usia madrasah.
Sebagai jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan pada Raudlatul athfal ditujukan
untuk membina, menumbuhkan dan mengembangkan seluruh potensinya secara
optimal sehingga terbentuk prilaku kompetensi dasar sesuai dengan tahap
perkembangannya sehingga memiliki kesiapan memasuki pendidikan selanjutnya.
Sehingga arah pembangunan pendidikan RA lima tahun mendatang difokuskan kepada
upaya peningkatan mutu pendidikan , peningkatan akses untuk daerah marginal dan
profesionalisme layananan.

24
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pendidikannya ditujukan
untuk membangun landasan bagi perkembangan peserta didik agar menjadi manusia
beriman bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa , berahlak mulia, sehat , berilmu, cakap
dan kritis, kreatif dan inovatif. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan MI dan MTs
diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan , peningkatan akses bagi daerah yang
belum terjangkau layanan pendidikan dasar, dan peningkatan profesionalisme
pelayanan dan kemandirian pengelolaan

Sebagai salah satu jenis pendidikan menengah umum, Madrasah Aliyah (MA)
berfungsi menyiapkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap,
rasa keindahan dan harmoni yang diperlukan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi
atau untuk hidup di masyarakat sejalan dengan pencapaian pendidikan nasional. Guna
mencapai tujuan tersebut arah pembangunan MA lima tahun mendatang difokuskan
pada upaya peningkatan mutu program, peningkatan akses untuk masyarakat marginal
dan terpencill, dan peningkatan mutu pelayanan akademik.

Untuk mencapai arah pembangunan dengan kekhasan Islam maka fokus kinerja kunci,
sasaran pembangunan madrasah sampai dengan tahun 2014 diperlukan strategi yang
efektif untuk mencapai sasaran yang dimaksud. Pilihan strategi yang dirumuskan untuk
mencapai sasaran fokus utama tersebut di atas adalah dengan melakukan standarisasi
pendidikan, peningkatan kualifikasi dan peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan
kependidikan serta pengembangan program unggulan. Untuk itu perlu ditingkatkan
peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendanai pendidikan islam dengan tetap
mempertahankan partisipasi masyarakat pada seluruh program dan kegiatan.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Latar belakang pondok keberadaan Pendidikan Pondok Pesatren tidak lepas dari

proses masuknya islam ke Indonesia yang mengalami beberapa penolakan dari

penduduk lokal yang kemudian dilakukan penelitian dengan hasil

mentranformasikan budaya islam kedalm buday hindu waktu itu, yang klimaksnya

dari Padepokan di rubah menjadi Pondok Pesantren.

2. Pondok pesatren merupak pusat menimba ilmu Agama Islam dengan berpegang pada

ajaran anbi Muhammad SAW dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab kuning),

dengan system asrama yang integral antara Kyai, Santri, dan Masjid sebagai pusat

pembelajaran.

3. Secara garis besar tipologi pondok pesatren dibedakan menjadi 2 tipe yaitu; pertama

Pondok Pesantren yang mempertahan kemurnian identitas aslinya atau yang dikenal

dengan Salafi Kedua Pondok Pesatren yang mulai mengadopsi hal – hal baru dalam

26
pendidikan (pendidikan umum) kedalam kurikulum Pondok Pesatren dan System

Pendidikannya atau yang dikenal dengan kholafi walaupun pada tingkat kholafi

masih banyak kategori model Pendidikan Pondok Pesantren.

Daftar Pustaka
1. Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar
Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum
Muda
2. Said Aqiel Siradj, Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, et al. Cet.I Bandung Pustaka
Hidayah, 1999.
3. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS
,2001,
4. Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam
Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam
di STAIN Jember (on line). (http://baim32.multiply.com /journal/item/36
/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)
5. Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
6. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005.
7. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture:
Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992.

27
8. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta 1982
9. Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus
STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996 (On line).
(http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses
tanggal 14 Juli 2010)
10. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
11. Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar
Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LkiS
12. Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online).
(http://www.scribd. com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-
Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)

28

Anda mungkin juga menyukai