Pendidikan Pesantren
Pendidikan Pesantren
PENDIDIKAN DI PESANTREN
OLEH
SYAHRUL HAMDANI PANE
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISDIKNAS
INSTITUT AGAMA ISLAM
DAAR AL ULUUM
KISARAN
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita
kesehatan dan kesempatan dalam rangka menyelesaikan kewajiban kami sebagai
mahasiswa, yakni dalam bentuk tugas yang diberikan oleh bapak dosen dalam rangka
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kami.
Yang kedua shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada baginda Nabi besar
Muhammad SAW, sahabat beserta keluarganya karena dengan perjuangan beliau kita
bisa berkumpul di tempat yang mulia ini.
Dengan membuat tugas kami ini, diharapkan mampu untuk lebih menguasai
materi yang kami sajikan berdasarkan informasi dari berbagai sumber. Kami menyadari
bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik dari penyusunan,
bahasan, maupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam
bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Karenanya
banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan
kajian.
serta simbol – simbol yang dipergunakannya tidak akan pernah ditemukan di Lembaga Islam
mananapun didunia, sebuah lembaga pendidikan yang sama sekali berbeda dari pakem
induknya, yang denganya proses islamisasi jawa, tidak meneteskan darah dalam upaya
penyebaran ajaran agama, sebuah revolusi agama tanpa ada sama sekali korban nyawa,
agama yang pada awalnya ditolak mentah – mentah dipulau jawa ini, dengan ketelitian dan
penelitian mendalam oleh tokoh – tokoh islam pada masa awal penyebaran ajaran islam di
Pondok Pesatren merupakan Pusat Transformasi Ajaran Islam tertua di Indonesia dengan
sistem lingkungan pendidikan yang integral, menurut Agus Sunyoto ada dua hal yang
dilakukan sekaligus oleh Pondok Pesatren Sebagai Lembaga Pendidikan; (1) Proses
1[1] Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Suluk Abdul Jalil Edisi ke 4, tokoh sentral yang telah meneliti
bagaimana supaya Islam bisa diterima oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama
hindu – bhuda adalah syekh Lemah Abang atau yang lebih dikenal dengan Syekh Siti Jenar yang
mempunyai nama kecil San Ali, atau Abdul Jalil (santri generasi pertama Padepokan Giri Amparan Jati)
yang dalam kaca mata kita dianggap bid’ah ajarannya, beliaulah yang menelorkan adanya sebuah konsep
Pendidikan Pondok Pesatren, , merupaka orang yang telah meneliti bagaimana supaya Islam bisa diterima
oleh penduduk tanah jawa yang semula merupak pusat agama hindu – bhuda
4
Pendidikan; dengan Pendidikan Pondok Pesatren melakukan Pembentukan karakter dan,
dipergunakan Akademi Militer dengan dicirikan pada adanya sebuah bangunan beranda
yang disitu ada seseorang dapat mengambil pengalaman secara integral, menurutnya ada
(1) Pola Kepemimpinan pondok pesatren yang mandiri tidak pernah terkooptasi oleh
negara,
(2) Kita – kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad dan,
(3) Sistem nilai (Volue System) yang digunakan adalah bagian dari masyarakat
merupakan pola pendidikan integral antara yang religius dengan Pendidikan sosial
perkembangan sangat pesat tidak hanya pada khazanah kitab kuning juga sudah
merambah pada pendidikan umum, inilah yang membawa banyak pakar, baik lokal
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini adalah karena
“modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi dalam pesantren menjadi
2[2] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat
Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda
3[3] Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, Said Aqiel Siradj et al. Cet. Bandung : Pustaka Hidayah, 1999.
Hal. 13-14
5
daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan manhaj yang terkesan apa adanya,
hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik yang serba sederhana. Walau di tengah suasana
yang demikian, yang menjadi magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat,
negara dan umat manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah
membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu ini,
baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa kini pun peran itu
Dengan demikian Pendidikan Pondok Pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus
kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara, lebih dari itu, dalam sejumlah aspek tertentu,
pesantren juga harus dipahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena
peran sejarah yang dimainkanya.4[4] maka tidak heran kalau kemudian Abdurrahman
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut;
4[4] Ibid Pengantar Penyunting Buku Pondok Pesantren Masa Depan, Hal 7.
5[5] Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS ,2001, hal 10
6
BAB II
PEMBAHASAN
Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga
pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van
Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal
Indonesia. Jika Steenbrink—yang mengutip dari Soegarda Poerbakawatja—memandang
pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari
Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.
Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa
pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk.
Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren
seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain
itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran
agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di
atas kemudian diambil oleh Islam.
Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India dan
pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh negara
bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya terletak pada
beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapatkan
gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya meminta
sumbangan ke luar lingkungan pesantren.
7
Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-usul
pesantren berasal dari India. Sementara itu Bruinessen berpendapat bahwa pesantren yang
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal dari
Arab. Alasannya tentang posisi Arab—khususnya Mekah dan Madinah—sebagai pusat
orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren.
Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul
pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai
berikut:
"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari
di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia.
Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia (meskipun
syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran perhatian utama
dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar
pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di
Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang
Indonesia sendiri)."
Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang
menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan
pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika
madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan
lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut
masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon
ulama termasuk yang berasal dari Indonesia. Mengingat kiai-kiai besar hampir semua
menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di
tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air
dalam bentuk pesantren.
Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari
India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa yang
digunakan di pesantren, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab tidak
dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan
digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti. Kata "santri" yang digunakan
8
untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti
seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk
mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di
pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan kiai untuk laki-laki dan
nyai untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai dan
nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.
Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan oleh banyak kalangan sehingga
terjadi banyak penafsiran tentang istilah – istilah tersebut disebabkan memang istilah yang
Menurut Manfred Ziemek, kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti
ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat
penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata
pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap
sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga
kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut
Clifford Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan
hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang
6[6] Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online). (http://www.scribd.
com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)
9
Sedangkan menurut Agus Sunyoto lebih rinci menjelaskan bahwa istilah Pondok
Pesatren pertama kali dikenalkan oleh murid Padepokan Giri Amparan Jati generasi ke
empat yaitu Raden Sahid (Syaikh Malaya, atau Sunan Kalijaga) pada saat musyawarah
pergantian kepemimpinan ketika Pendiri Padepokan Giri Amparan Jati Syaikh datuk Kahfi
mangkat. Istilah Pondok Pesatren berasal dari kata Pondok yang diambil dari kata Funduq
yang berarti Penginapan, sedangkan kata santri diambil dari bahasa sansekerta Syastri yang
berarti orang yang mempelajari kitab suci. Kemudian kedua kata tersebut dipadukan
menjadi Pondok Pesatren yang bermakna “Tempat tinggal para murid yang mempelajari
kitab suci”7[7]
Dari semua pemaparan para ahli dapat kita simpulkan bahwa Pondok Pesantren merupakan
pusat pendidikan keislaman yang para muridnya di-asrama-kan dalam rangka memahami
ajaran agama islam yang militan pada masa yang akan datang dengan melestarikan ajaran –
ajaran islam semasa nabi Muhammad SAW. serta dalam rangka mencetak manusia – manusia
pesantren itu mulai diperkenalkan masih ada banyak silang pendapat tentangnya sehingga
kita sulit untuk menentukan Pondok Pesantren mana yang pertama kali didirikan, Menurut
Abdurrahman Wahid, kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi
terhadap pola kehidupan tertentu, dan dengan demikian berdirinya pesantren itu sendiri
juga menjadi salah satu bagian dari tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu
7[7] Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar Buku 3 Cet. 4
Yokyakarta : LKiS Hal 103
10
panjang...8[8] menurut Wahjoetomo, model pesantren di pulau jawa mulai berdiri dan
berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Menurutnya pondok pesantren yang
pertama kali ada adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim
Menurut Dr. Suryadi Siregar DEA, ada dua pendapat mengenai asal usul Pesantren
pertama ia menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tarekat.
Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi.
Pendapat ini berdasarkan fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih
banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok
organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin
tarekat yang disebut Kiai itu mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama
empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat
dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan Kiai. Untuk
keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-
tempat khusus yang terdapat di kiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan
tarekat, para pengikut itu juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan
agama Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini kemudian
dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga pengajian ini tumbuh dan
berkembang menjadi lembaga Pesantren. Kedua pesantren yang kita kenal sekarang ini pada
mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh orang-
9[9] Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm 70
11
orang Hindu di Nusantara.10[10] Pendapat kedua ini senada dengan apa yang disampaikan
oleh Agus Sunyoto dalam sebuah Work Shope Kaum Muda Nahdhatul Ulama yang
Dengan sangat rinci Agus Sunyoto menjelaskan tentang latar belakang proses
munculnya Pendidikan Pondok Pesantren, bahwa keberadaan Pondok Pesatren tidak lepas
dari pengaruh masuknya ajaran agama Islam ke Indonesia dan merupak anti tesis dari
penolakan – penolakan penduduk lokal jawa terhadap ajaran Islam_yang semula merupakan
Menurutnya orang – orang Islam masuk ke Indonesia sekitar tahun 670 M. pada masa
kholifah Ali Bin Abi Tholib, orang – orang Islam ini berasal dari Negri Yaman yang sama sekali
tidak mendapat sambutan dari penduduk lokal karena pengaruh asumsi bahasa_karna
kebiasaan para bangsawan arab memakai gelar Yamani, sedangka kata Yamani dalam
Bahasa Jawa Kuno adalah tempatnya dewa yama pencabut nyawa yang ada di neraka jadi
Yamani adalah Neraka. Pada abad 9 M. Juga ada perpindahan suku – suku di negri persia
menuju kenegri jawa, yang juga tidak ada sambutan dari penduduk lokal, kemudian 1386 M.
Ini dapat dilihat dari penjelasan Marcopolo ketika singgah dipelabuhan Perlak pada abad 12
M ia menjelaskan bahwa waktu itu penduduk kota perlak ada tiga kelompok Pribumi
penyembah berhala, penduduk Cina Muslim dan Arab Muslim, dan juga bisa dilihat dari
10[10] Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus STMIK Bandung tanggal,
12 Desember 1996 (On line). (http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses
tanggal 14 Juli 2010)
11[11] Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar Barat
Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum Muda NU. Kediri 25-27
September
12
catatan H. Ma’huan salah seorang juru tulis Laksama Cheng Ho yang masuk ke Aceh pada
tahun 1405 M. Ia menyebutkan ada tiga kelopok penduduk, sama seperti pernyataan
dalam catatan perjalannya dituliskan bahwa peduduk disekitar pelabuhan tuban mayoritas
Baru pada tahun 1440 M. Raden Rahmat (Sunan Ampel) pindah dari Negeri campa
menuju jawa, waktu itu penduduk lokal sama sekali belum mau menerima Ajaran Islam.
Kemudian Raden Rahmat pindah ke ngampel delta mendirikan padepokan untuk dijadikan
pusat belajar agama islam, wilayah ini kemudian dikenal dengan sebutan Padepokan Ampel
Delta. 13[13]
Menurut Slamet Muljana (2005:48) yang dikutip dari Serat Kanda dalam Pararaton,
terbitan Dr. J. Brandes, Raden Sayid Rahmat14[14] (Sunan Ampel) datang dari Campa
menuju Jawa untuk menemui saudara ibunya Putri Dwarawati, istri dari Angkawijaya (Raja
Majapahit), Raden Sayid Rahmad diterima baik oleh Prabu Angkawijaya yang kemudian
Setelah Sunan Ngampel baru kemudian Datuk Saleh dan Datuk Kahfi datang dari daratan cina
menuju tanah jawa, kemudian menetap di Cerebon mendiami daerah Giri Amparan Jati
mendirikan sebuah padepokan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan padepokan Giri
Amparan Jati pada saat itu penduduk lokal jawa mayoritas masih menganut agama Hindu-
Budha, dan anggapan bahwa agama Islam adalah agamanya para pembesar kerajaan, karna
12[12] Ibid
13[13] Ibid
14[14] Dalam Preambule Prasaran, berita dari Klenteng Sam Po Kong di semarang nama lain dari Sunan
Ngampel atau Sayid Rahmatullah adalah Bong Swi Hoo
13
disinyalir waktu itu para pembesar kerajaan telah memeluk agama Islam.15[15] Dalam
perkembangannya Padepokan Giri Amparan Jati berkembang pesat menjadi ratusan murid
Berangkat dari penolakan inilah kemudian para wali mulai berfikir, bagaimana agar ajaran
islam ini bisa diterima seluruh penduduk jawa, lalu dilakukan penelitian tentang bagaimana
cara supaya ajaran islam bisa diterima tanpa harus ada darah yang mengalir dalam proses
islamisasi yang akan dilakukan nanti_menurut Agus Sunyoto orang yang banyak meneliti
tentang kultur masyarakat jawa waktu itu adalah syekh Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar).
Nama Pondok Pesantren sebenarnya di cetuskan dalam sebuah musyawarah dewan guru
yang dibentuk ketika syaikh Datuk Kahfi (Sunan giri 1) mangkat, dewan guru tersebut adalah
Syaikh Abdul Jalil, Syaikh Ibrahim Akbar, K Gedeng Pasambangan, Ki Gedeng Babatan, Ki
Gedeng Surantaka, Haji Musa bin Hasanuddin, Syaikh Jurugem bin Hasanuddin,
Abdurrahman Rumi, Abdurrahim Rumi, Syarif Hidayatulla, Raden Sahid, dan Raden Qosim.
Hidayatullah sebagai ketua dewan guru atau pengasuh dari padepokan giri amparan jati. Dan
dalam sidang yang sama kemudian Syarif Hidatullah mengusulkan agar nama padepokan di
rubah menjadi pondok yang kemudian atas usul raden sahid nama pondok di tambah dengan
pesantren untuk membedakan padepokan tempat orang hindu belajar agamanya dengan
Terlepas benar dan tidaknya semua pemaparan yang ada di atas, pembaharuan yang
dilakukan oleh para penyiar islam pada masa itu dapat dilihat dari berbagai budaya yang
teraplikasi dalam ajaran Islam jawa pada hari ini, tidak terdapat dalam ajaran Islam yang ada
15[15] Bisa dilihat di bukunya Agus Sunyoto, Suluk Sang Pembaharu;Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti
Jenar Buku 3. Cet Ke IV Yogyakarta: LkiS, 2004.
14
dimanapun, hal ini dapat dilihat bagaimana sebuah transformasi budaya Islam terhadap
budaya Hindu-Budha telah terjadi dalam sebuah pembaharuan budaya, apa yang dilakukan
oleh para penyiar Islam masa itu suatu langkah yang sangat tepat karna menurut Cillford
Geertz yang dikutip dari Ward Goodenough; kebudayaan ditempatkan dalam pikiran–
pikiran dan hati manusia, jadi suatu kebudayaan masyarakat terdiri dari apa saja yang harus
diketahui dan dipercayai seseorang supaya dapat berjalan dengan suatu cara yang dapat
yang dilakukan oleh para wali waktu itu perkembangan sangat cepat, karna memang apa
yang silakukan oleh para da’i islam waktu itu memang masuk dalah roh budaya penduduk
lokal.
berstatus sebagai pesantren seharusnya ada lima elemen yang pokok, yaitu pondok, masjid,
1. Kyai; adalah elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Ia merupakan
penggagas atau pendiri, oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya,
pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai Rata-rata pesantren yang
berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik
dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan
pesantren.19[19]. Dhofier berpendapat “Para kyai dengan kelebihan
pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat
memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka
17[17] Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture: Selected
Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992. hal 13.
18[18] Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. P18. 1982
19[19] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005, hlm 28
15
dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang
awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam
bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan
surban”20[20]. Menurut Agus Sunyoto, sebutan kyai merupakan gelar
kebangsawanan umat hindu yang di adopsi oleh umat islam, kyai adalah orang yang
disegani, orang yang faham dan mendalam tentang ilmu agamanya.
2. Pondok; adalah tempat mukim para santri yang belajar tengtang teks-teks
keagamaan, sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para santri tinggal
bersama, belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal
dengan sebutan “kyai”. Tempat mukim para santri ini berada dalam lingkungan
komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal, tempat mukim para santri ini
merupakan ciri khas tradisi pesantren jawa yang membedakannya dengan system
pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah
islam di Negara-negara lain. Amin Haedari, berpendapat Ada tiga alasan utama
kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran
seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menarik santri-santri
dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam
waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan
menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua pesantren berada di desa-
desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat
menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus
bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para
santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan
menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi.
Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat
menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri
tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh
16
imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan
keluarga kyai.21[21]
3. Masjid; merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan
dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama
dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-
kitab klasik. Kedudukan masjid merupakan pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren, manivestasi universalisme dari system pendidikan tradisional. Dengan
kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al
Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar
dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan
islam. Dimanapun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi
tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-
lembaga pesantren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar
murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat
untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang
lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain.
Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-
pertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil
atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah
pesantren.22[22]
4. Santri; orang yang belajar kitab teks – tek keagamaan, Menurut pengertian yang
dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai
bilaman memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk
mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting
21[21] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta,
2005, hlm 32
17
dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren,
terdapat dua kelompok santri:
a. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap
dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tingGal di
pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu kelompgk tersendiri yang
memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-
hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da tentang
kitab-kitab dasar $an menengah.
b. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya
sendiri. Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat
d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar
jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak
santri kalong dari pada santri mukim.23[23]
c. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia
pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren
ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini
akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang di
jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau ulama’ di
jawayang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan
memperluas penguasaan ilmuagamanya dengan cara me.gembara dari pesantren
ke pesantren (berkelana). Nah, setelah pesantren mengadopsi system pendidikan
modern seperti sekolah atau madrasah, tradisi kelana ini mulai di
tinggalkan.24[24]
24[24] HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS, Jakarta,
2005, hlm 37
18
merupakan satu-satunya methode yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di
Indonesia. Pada umumnya, para santri dating dari jauh dari kampung halaman
dengan tujuan inginmemperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih,
Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya
mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali
makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut. Ada beberapa tipe pondok
pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-
Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar
ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun
kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat
tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan kitab-
kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan
kelompok yaitu, 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih;
4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain seperti tarikh
dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks
yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan
tasawuf.25[25] Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi
dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata
bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam
yang lain.26[26]
disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing – masing
dan mencatat jika perlu. Dilakukan setelah sembahyang fardhu. Di jawa barat metode ini
19
b. Sorogan yakni suatu metode dimana santri menghadap kiai seorang demi seorang
dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian
yang paling rumit dari keseluruhan metode Pendidikan Islam Tradisional sebab sistem
ini menuntut kesabaran kerjinan, ketaatan, dan disiplin pribadi santri/ kendatipun
demikian, metode ini dianggap paling intensif karna dilakukan seorang demi seorang
c. Hafalan yakni suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat terntentu dari
D. Tipologi Pesantren
Seiring dengan laju perkembangan masyarakat, maka pendidikan pesantren baik
tempat, bentuk hingga substansinya telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi
sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang, akan tetapi pesantren dapat
Yacub yang dikutip oleh Khozin (2006:101) mengatakan bahwasanya ada beberapa
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu dengan metode
(madrasi), memberikan ilmu umum dan ilmu agama, serta juga memberikan pendidikan
keterampilan.
27[27] Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
20
3. Pesantren Kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif
singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik
beratkan pada keterampilan ibdah dan kepemimpinan. Sedangkan santrinya terdiri dari
siswa sekolah yang dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat.
vocasional atau kejuruan, sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja,
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan
berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren
Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang,
dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti
madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah
(sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang
21
meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur
adalah contohnya.
4. Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar
dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua
150)28[28]
E. Sejarah Madrasah
Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam pendidikan. Madrasah di Indonesia merupakan hasil perkembangan
modern pendidikan pesantren yang secara historis,eksis jauh sebelum Belanda
menjajah Indonesia . Lembaga pendidikan Islam yang pertama ada adalah pesantren.
Pada awal abad ke-20, madrasah-madrasah dengan sistem berkelas (klasikal) mulai
muncul di Indonesia. Menurut penelitian Mahmud Yunus, pendidikan Islam pertama kali
memiliki kelas dan memakai bangku, meja, dan papan tulis adalah Madrasah
Adabiyah (Adabiyah School) di Padang.
Madrasah Adabiyah adalah madrasah pertama di Minangkabau, bahkan di Indonesia,
didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Madrasah ini hidup sampai
tahun 1914, kemudian diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915, yang merupakan
HIS pertama di Minangkabau yang memasukkan pelajaran agama Islam dalam
pengajarannya. (baca Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, t.th.)
Muculnya sekolah-sekolah Islam yang menerapkan sistem pendidikan modern juga tak
terlepas dari banyaknya alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang telah menyelesaikan
pendidikannya di sana. Mereka adalah hasil dari sistem pendidikan yang telah
direformasi oleh Muhammad Abduh.
28[28] Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam Indonesia skripsi untuk
memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam di STAIN Jember (on line).
(http://baim32.multiply.com/journal/item/36/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli
2010)
22
Setibanya di Indonesia, mereka mengelolah dan mengajar di sekolah-sekolah agama
serta memasukkan mata pelajaran umum. Lembaga pendidikan yang demikian
dinamai Madrasah Guru Islam atau Sekolah Menengah Islam (SMI).
Di antara madrasah yang juga termasuk awal adalah Al-Jami’ah Islamiyah, di Sungayang
Batusangkar, didirikan oleh Mahmud Yunus pada 20 Maret 1931; Normal Islam (Kuliah
Mu’allim Islamiah), didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang
pada tanggal 1 April 931 dan dipimpin oleh Mahmud Yunus, dengan demikian Mahmud
Yunus memimpin dua madrasah tingkat menengah dan tinggi.
Madrasah dapat disejajarkan standar kelulusannya dengan sekolah umum setelah
terbitnya Surat Keputusan Bersama 3 (tiga ) Menteri ( Menag,Mendikbud dan
Mendagri) pada Tahun 1975 yang menetapkan bahwa lulusan madrasah dianggap
setara dengan lulusan sekolah umum yang lebih tinggi, dan siswa madrasah boleh
pindah ke sekolah umum yang sama jenjangnya . demikian sebaliknya.
Dari 332 Madrasah tersebut menurut sejarah madrasah yang paling pertama berdiri (
tua) adalah Madrasah Ibtidaiyah Berakit, Madrasah ini berdiri pada tangal 1 Januari
1951 dengan nama SRP (Sekolah Rakyat Partikelir). Pada tahun 1958 SRP berubah
menjadi SRI ( Sekolah Rakyat Islam ) pada tahun 1959 Sekolah Rakyat (SR) yang ada di
Berakit bergabung dengan Yayasan Madrasah Wajib Belajar (YMWB) di Tanjungpinang
yang diketuai oleh Bapak M.YAHYA. Pada Tahun 1967 Wajib Belajar (MWB) berubah
nama menjadi MIS ( Madrasah Ibtidaiyah Swasta ).
Pada tanggal 8 Mei Tahun 1968 secara resmi Madrasah Ibtidaiyah Negeri Berakit
menjadi Madrasah Ibtidaiyah Percobaan Negeri (MIPN) melalui Dinas Inspeksi
Pendidikan Agama Kabupaten Kepulauan Riau dengan SK Menteri Agama No 50 tahun
1968, berubah menjadi MIN ( Madrasah Ibtidaiyah Negeri ) Berakit dibawah asuhan
Departemen Agama Provinsi Riau yang berkedudukan di Pekanbaru, sejak itu MIN
Berakit menjadi satu-satunya MIN di Kabupaten Kepulauan Riau Provinsi Riau karena
23
setelah tahun 1968 sampai dengan tahun 1990 Departemen Agama tidak ada lagi
penegerian Madrasah Ibtidaiyah di seluruh Indonesia.
Setelah ditingkatkan statusnya menjadi MIN ( Madrasah Ibtidaiyah Negeri) yang berdiri
sendiri yang dituangkan dalam SK Menteri Agama Rebublik Indonesia, sampai dengan
saat ini seperti yang diharapkan para pendiri MI Berakit terdahulu. Sesuai dengan
perkembangan dengan dikeluarkan Surat Keputusan dari Kepala Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau tentang “Kode Jabatan Dilingkungan
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau” maka menetapkan Kode
Jabatan pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten/Kota, dan Kantor Urusan
Agama Kecamatan serta Madrasah Negeri. Dan sejak Tanggal 14 April 2016 Madrasah
Ibtidaiyah Negeri Berakit berganti menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Bintan, sesuai
dengan PMA Nomor 208 tahun 2015.
24
Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) pendidikannya ditujukan
untuk membangun landasan bagi perkembangan peserta didik agar menjadi manusia
beriman bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa , berahlak mulia, sehat , berilmu, cakap
dan kritis, kreatif dan inovatif. Untuk mencapai tujuan tersebut pendidikan MI dan MTs
diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan , peningkatan akses bagi daerah yang
belum terjangkau layanan pendidikan dasar, dan peningkatan profesionalisme
pelayanan dan kemandirian pengelolaan
Sebagai salah satu jenis pendidikan menengah umum, Madrasah Aliyah (MA)
berfungsi menyiapkan peserta didik untuk memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap,
rasa keindahan dan harmoni yang diperlukan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi
atau untuk hidup di masyarakat sejalan dengan pencapaian pendidikan nasional. Guna
mencapai tujuan tersebut arah pembangunan MA lima tahun mendatang difokuskan
pada upaya peningkatan mutu program, peningkatan akses untuk masyarakat marginal
dan terpencill, dan peningkatan mutu pelayanan akademik.
Untuk mencapai arah pembangunan dengan kekhasan Islam maka fokus kinerja kunci,
sasaran pembangunan madrasah sampai dengan tahun 2014 diperlukan strategi yang
efektif untuk mencapai sasaran yang dimaksud. Pilihan strategi yang dirumuskan untuk
mencapai sasaran fokus utama tersebut di atas adalah dengan melakukan standarisasi
pendidikan, peningkatan kualifikasi dan peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan
kependidikan serta pengembangan program unggulan. Untuk itu perlu ditingkatkan
peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendanai pendidikan islam dengan tetap
mempertahankan partisipasi masyarakat pada seluruh program dan kegiatan.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Latar belakang pondok keberadaan Pendidikan Pondok Pesatren tidak lepas dari
mentranformasikan budaya islam kedalm buday hindu waktu itu, yang klimaksnya
2. Pondok pesatren merupak pusat menimba ilmu Agama Islam dengan berpegang pada
ajaran anbi Muhammad SAW dengan merujuk pada kitab-kitab klasik (kitab kuning),
dengan system asrama yang integral antara Kyai, Santri, dan Masjid sebagai pusat
pembelajaran.
3. Secara garis besar tipologi pondok pesatren dibedakan menjadi 2 tipe yaitu; pertama
Pondok Pesantren yang mempertahan kemurnian identitas aslinya atau yang dikenal
dengan Salafi Kedua Pondok Pesatren yang mulai mengadopsi hal – hal baru dalam
26
pendidikan (pendidikan umum) kedalam kurikulum Pondok Pesatren dan System
Pendidikannya atau yang dikenal dengan kholafi walaupun pada tingkat kholafi
Daftar Pustaka
1. Agus Sunyoto, 2005.: Sejarah Pendidikan Pesatren dan bagaimana Pesatren Dihabisi Nalar
Barat Disajikan dalam Work Shop Pondok Pesatren Global. Diselenggarakan Oleh Kaum
Muda
2. Said Aqiel Siradj, Prolog Pondok Pesatren Masa Depan, et al. Cet.I Bandung Pustaka
Hidayah, 1999.
3. Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi : Esai -Esai Pesantren. Yogyakarta : LKiS
,2001,
4. Sujari, Pendidikan Pondok Pesantren Tradisonal Dalam Persepktif Pendidikan Islam
Indonesia skripsi untuk memenuhi sarat memperoleh gelas gelar sarjana Pendidikan Islam
di STAIN Jember (on line). (http://baim32.multiply.com /journal/item/36
/PENDIDIKAN_PONDOK_ PESANTREN_ TRADISONAL diakses 14 Juli 2010)
5. Nizar. H. Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasullah sampai Indonesia Ed. 1 Cet, 2. Jakarta : Kencana
6. HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD PRESS,
Jakarta, 2005.
7. Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan.terjemahan dari buku The Interpretation of Culture:
Selected Essays. Yogyakarta: Kanisius. 1992.
27
8. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai LP3ES
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Yogyakarta 1982
9. Dr. Suryadi Siregar DEA, Pesantren sebagai sekolah tinggi di seminarkan di Kampus
STMIK Bandung tanggal, 12 Desember 1996 (On line).
(http://personal.fmipa.itb.ac.id/suryadi/files/2008/0 /pontrenmodelpt.pdf. diakses
tanggal 14 Juli 2010)
10. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
11. Sunyoto, Agus. 2004. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar
Buku 3 Cet. 4 Yokyakarta : LkiS
12. Ali Farhan,Pendidikan Pesantren dan Proses Pembentukan Nilai (Online).
(http://www.scribd. com/doc/24468955/Pendidikan-Pesantren-Dan-Proses-
Pembentukan-Nilai diakses 28 Juni 2010)
28