Anda di halaman 1dari 94

BACA TAFSIR LUKISAN COPY BRUEGEL

KARYA AFFANDI

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


Mencapai derajat Sarjana S-1
Program Studi Seni Rupa Murni
Jurusan Seni Rupa Murni

Oleh:

YUSUF ROHIMAWANTO
NIM. 07149118

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2014
KARYA TUGAS AKHIR

BACA TAFSIR LUKISAN COPY BRUEGEL


KARYA AFFANDI

SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana S-1
Program Studi Seni Rupa Murni
Jurusan Seni Rupa Murni

Oleh:

Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN


INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2014
PERSETUJUAN

LAPORAN SKRIPSI

BACA TAFSIR LUKISAN COPY BRUEGEL


KARYA AFFANDI

Disusun oleh:

Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118

Telah disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir untuk diujikan


Surakarta ……., …………………, 2014

Menyetujui
Pembimbing Ketua Jurusan Seni Rupa Murni

Albertus Rusputranto PA., S.Sn., M.Hum Moch. Sofwan Zarkasi, S.Sn., M.Sn.
NIP. 197905082008121003 NIP. 197311072006041002

ii
PENGESAHAN

Skripsi berjudul

BACA TAFSIR LUKISAN COPY BRUEGEL


KARYA AFFANDI

disusun oleh
Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118

Telah dipertahankan di hadapan dewan penguji skripsi


Institut Seni Indonesia Surakarta
Pada tanggal ……. ………………… 2014
dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji:

Ketua Penguji : Moch. Sofwan Zarkasi, S.Sn., M.Sn ( .............................. )

Sekretaris : Drs. Effy Indratmo, M.Sn ( .............................. )

Penguji : Nunuk Nur Shokhiyah, S.Ag., M.Si ( .............................. )

Pembimbing : Albertus Rusputranto P.A., S.Sn., M.Hum ( .............................. )

Surakarta, ……. ………………… 2014


Institut Seni Indonesia Surakarta
Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain

Dra. Hj. Sunarmi, M.Hum


NIP. 196703051998032001

iii
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang bernama Yusuf

Rohimawanto (NIM. 07149118), menyatakan bahwa karya tugas akhir skripsi

dengan judul: Baca Tafsir Lukisan Copy Bruegel Karya Affandi ini belum pernah

diajukan untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi manapun.

Karya tugas akhir skripsi ini merupakan hasil penelitian yang didukung

berbagai referensi. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di

dalam karya tugas akhir skripsi ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah

sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagimana diacu secara tertulis dalam daftar

pustaka. Maka dari itu, saya bertanggung jawab atas keaslian karya tugas akhir

skripsi ini.

Surakarta, ……. ………………… 2014

Yang membuat pernyataan

Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118

iv
MOTTO

‫ب سم هللا ال رحمن ال رح يم‬

          

‫سورة ال ب قرة‬

Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan

peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. 2: 201)

v
ABSTRAK

Affandi adalah tokoh penting dalam perkembangan seni lukis modern


Indonesia. Sebagai maestro ekspresionisme, Affandi tidak pernah berhenti berkarya
hingga tercipta ribuan lukisan. Salah satu karyanya adalah lukisan Copy Bruegel
(1962), diciptakan dengan cara meng-copy atau mereproduksi karya dari seniman
lain asal Belgia (Pieter Bruegel).
Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Barthesian. Roland Barthes
mengembangkan konsep semiotika Saussurean dari linguistik menjadi ekstra
linguistik. Lukisan Copy Bruegel dilihat menggunakan kacamata semiotika
Barthesian merupakan sistem tanda. Sebagai sebuah sistem tanda, maka ditemukan
langue dan parole, penanda dan petanda, sintagmatik dan paradigmatik, dan kedua
sistem penandaannya.
Semua unsur visual seperti goresan dan warna pada lukisan Copy Bruegel
adalah sistem tanda yang memiliki pesan dan nilai. Pesan pada lukisan ini ditemukan
dengan cara merefleksikan. Setelah melalui determinasi ganda; penandaan dan nilai,
kemudian terungkaplah makna yang ada pada lukisan tersebut. Pesan dan makna
adalah dua relata yang tidak dapat dipisahkan; pesan adalah penanda dan makna
adalah petanda. Makna yang dapat ditangkap pada lukisan Copy Bruegel adalah
sebuah cerminan rasa kemanusiaan dengan berpihak pada rakyat jelata. Visualitas
lukisan Copy Bruegel merupakan metafora kehidupan kaum jelata: difabel,
pengemis. Pada lukisan ini, estetika dikembalikan pada bentuknya yang murni.
Estetika tidak pertama-tama berbicara tentang keindahan tetapi sensasi, nilai-nilai
rasa, termasuk di dalamnya nilai-nilai rasa yang sama sekali tidak indah. Metafora
yang tidak hanya sebuah tiruan artistik tetapi juga metonimia dari kejelataan itu
sendiri. Keindahan terbangun oleh lebih dari sekadar indah (termasuk apa saja yang
dianggap tidak indah). Estetika yang mendasarkan pada nilai-nilai rasa: sensasi
bukan serta merta indah. Lukisan Copy Bruegel adalah karya seni yang berpihak
pada rakyat jelata. Seni yang berlandaskan jiwa kerakyatan. Seni kerakyatan.

Kata kunci: Affandi, Copy Bruegel, Semiotika, Roland Barthes

vi
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan yang Maha Pemurah dan Penolong,

karena dengan segala kemurahanNya, telah menolong hambaNya dengan lantaran

berbagai pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan karya tugas akhir skripsi

berjudul Baca Tafsir Lukisan Copy Bruegel Karya Affandi, sehingga dapat selesai

tepat waktu. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Sarjana S-1 pada Program Studi Seni Rupa Murni, Jurusan Seni Rupa Murni,

Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Pertama-tama dan terutama, penulis sangat berterimakasih kepada Pak Titus

(Albertus Rusputranto Ponco Anggoro, S.Sn., M.Hum), yang telah mengerahkan

seluruh tenaga dan kesabarannya dalam membimbing mahasiswa yang ndableg ini

tanpa ada rasa kapok ataupun bosan. Sehingga banyak sekali pelajaran yang dapat

dipetik selama proses pembimbingan, yang tidak hanya sekedar menyelesaikan

tulisan sebagai sebuah tugas akhir.

Terima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Sri Rochana Widyastutieningrum, S.Kar.,

M.Hum, selaku Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dra. Hj. Sunarmi,

M.Hum, selaku Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, dan Mochammad Sofwan

Zarkasi, S.Sn., M.Sn, selaku Ketua Program Studi Seni Rupa Murni.

Selanjutnya, terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis tujukan kepada

semua dosen pengajar Program Studi Seni Rupa Murni, Institut Seni Indonesia (ISI)

Surakarta. Terima kasih kepada Pak Nurate (Drs. I Gusti Nengah Nurata), seorang

seniman inspiratif yang telah banyak memberi pelajaran dan membantu memperluas

vii
cakrawala pengetahuan tentang dunia seni lukis. Terima kasih kepada Pak Kolis

(Drs. Henri Cholis, M.Sn), sebagai pembimbing akademik selama masa perkuliahan,

Pak Effy, Pak Kirno, Pak Toni, Bu Nunuk, Pak Santoso, Pak Didik, Pak Wisnu, dan

semua dosen yang tidak sempat disebutkan, semoga ilmu yang kalian berikan dapat

bermanfaat di dunia dan akhirat, amin.

Terima kasih banyak kepada Anita Wijiastuti yang telah bersedia membaca

tulisan sebelum dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Terima kasih kepada

semua teman mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, terutama kawan dan

sahabat yang senasib seperjuangan, seangkatan, kosong tujuh is the best. Nisa, Treya,

Finda, Rio, yang sudah lebih dulu melangkah dan pergi meninggalkan bangku

kampus karena sudah mendapat tanda tangan pengesahan dari para penguji ahli.

Rindi, Eko, Putut, Malik, Aris, Diaz, Renda, Seto, Menjenk, yang masih berjalan

thimik-thimik, pelan tapi pasti dalam menyusul mereka-mereka yang telah diwisuda.

Sarif, Dinar, Wanto, Bayu, yang tak sempat sampai finish dalam studinya, entah

karena alasan apa hanya mereka dan Tuhan yang tahu, dan terima kasih kepada

semua teman yang tidak sempat disebutkan. Berteman dengan kalian semua

merupakan sebuah kenangan terindah yang tidak akan pernah terlupakan.

Kepada kedua orang tua tercinta (Suwoyo dan Suhartini), yang berada nan

jauh di sana, anakmu tidak akan pernah menjadi seperti sekarang ini tanpa dukungan

moril maupun materiil yang disertai iringan do‟a mujarab kalian berdua. Mas Mail

sekeluarga, Dek Lia, Dek Ali, Dek Nita, yang turut serta ngecrohi dengan tujuan

supaya dalam penyusunan karya tugas akhir skripsi ini lekas kelar dan dapat sesegera

mungkin memakai blangkon kehormatan (wisuda).

viii
Terima kasih teruntuk istri dan putriku (Siti Murdiyati dan Yulia Fitriana

Yusuf), dengan predikat solehahnya selalu manut pada suami yang telah menduakan

mereka dengan deadline. Waktu yang seharusnya menjadi milik mereka berdua

ternyata diberikan kepada barang elektronik (laptop) yang hampir setiap hari

dipandang dan dibelai seolah tidak peduli dengan keluhan mereka berdua, maaf.

Tentunya masih banyak lagi ucapan terima kasih tertuju kepada semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulisan skripsi ini merupakan sebuah latihan penelitian, tentunya masih

banyak kekurangan, namun setidaknya berbagai kekurangan dapat menjadi sebuah

langkah penting bagi proses belajar kita semua. Penulis sadar betul dalam

penyusunan karya tugas akhir skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Tidak ada

manusia yang sempurna di dunia, namun perlu diingat bahwa manusia adalah

mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Maka, dengan segala kerendahan hati

penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif agar kelak skripsi yang senada

dapat selangkah lebih baik dan bergeser mendekati kesempurnaan.

Semoga karya tugas akhir skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan

dan peningkatan mutu kesenirupaan, serta dapat memberikan sumbangsih positif

bagi kita semua dalam khazanah ilmu pengetahuan.

Surakarta, 07 Juli 2014

Penulis

Yusuf Rohimawanto

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................... iv
MOTTO ................................................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 6
F. Landasan Teori ............................................................................... 10
G. Metodologi Penelitian .................................................................... 16
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 19
BAB II LUKISAN COPY BRUEGEL KARYA REPRODUKSI ..................... 21
A. Proses Kreatif Affandi .................................................................... 21
B. Affandi dan Rakyat Jelata............................................................... 30
C. The Cripples / The Beggar; Karya Pieter Bruegel .......................... 34
D. Copy Bruegel (1962); Sebuah Karya Reproduksi .......................... 36
BAB III ANALISIS SEMIOTIK LUKISAN COPY BRUEGEL ....................... 42
A. Lukisan Copy Bruegel sebuah Sistem Tanda ................................. 42
B. Lukisan Copy Bruegel sebagai sebuah Pesan ................................. 46
C. Makna Lukisan Copy Bruegel ........................................................ 53
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 58
A. Kesimpulan ..................................................................................... 58
B. Saran ............................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 61
LAMPIRAN
GLOSARIUM

x
DAFTAR GAMBAR

BAB I
Gambar 1. Perbedaan Langue dan Parole............................................................ 11
Gambar 2. Poros Sintagmatik dan Paradigmatik ................................................. 14
Gambar 3. Konsep Konotasi dan Denotasi .......................................................... 15
BAB II
Gambar 1. Ibuku (1936) ....................................................................................... 24
Gambar 2. Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi (1944)................................... 25
Gambar 3. Menggendong Cucu Pertama (1953).................................................. 26
Gambar 4. Belajar Anatomi (1947) ...................................................................... 27
Gambar 5. Potret Diri (1944) ............................................................................... 28
Gambar 6. The Cripples / The Beggars (1568) .................................................... 35
Gambar 7. Copy Bruegel (1962) .......................................................................... 38
BAB III
Gambar 1. Potongan goresan warna tajam lukisan Copy Bruegel ....................... 47
Gambar 2. Potongan goresan warna ringan lukisan Copy Bruegel ...................... 48
Gambar 3. Potongan goresan warna kusam dan kotor Copy Bruegel .................. 49
Gambar 4. Potongan goresan garis yang saling bertautan Copy Bruegel ............ 50
Gambar 5. Potongan lukisan Copy Bruegel dan The Beggars ............................. 55

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya merupakan (hasil) perbuatan; buatan; ciptaan terutama hasil

karangan 1 . Sedangkan seni merupakan karya yang diciptakan dengan keahlian

yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran 2 . Sehingga karya seni merupakan

perbuatan, buatan atau ciptaan yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa.

Penciptaan karya seni yang berkarakter dan memiliki kekhasan juga

membutuhkan inspirasi yang tidak bisa muncul secara tiba-tiba dan

membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Tidak dibenarkan ketika seseorang

meniru atau copy paste karya seni orang lain tanpa menyertakan nama dari

seniman aslinya. Hal ini telah diatur pemerintah dalam Undang-Undang Hak

Cipta dan Undang-Undang Plagiarisme.

Plagiat merupakan perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam

memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya

ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang

diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan

memadai. Plagiator adalah orang perseorangan atau kelompok orang pelaku

plagiat, masing-masing bertindak untuk diri sendiri, untuk kelompok atau untuk

1
Dendy Sugono, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia, 2008, hlm. 645.
2
Ibid., hlm. 1316.
2

dan atas naman suatu badan3. Karya yang termasuk dalam undang-undang di atas

bisa berupa: komposisi musik, perangkat lunak komputer, fotografi, lukisan,

sketsa, patung atau hasil karya dan atau karya ilmiah sejenis yang tidak termasuk

di atas4. Berdasarkan pasal-pasal tersebut seseorang bisa saja menjadi “plagiator”

asalkan mencantumkan nama dari seniman aslinya.

Seperti sudah dipahami publik bahwa karya seni palsu adalah karya yang

bukan dibuat oleh seniman yang namanya tertera (tandatangan) dalam karya

tersebut. Seperti halnya dalam karya seni lukis yang bersifat meniru persis sebuah

lukisan, atau meniru gaya seni lukis karya seorang pelukis. Pekerjaan meniru

dengan konsep mereproduksi sebuah lukisan dengan tandatangan pelukis yang

meniru tetap terkategori sebagai “lukisan asli”, meski dengan ide tidak orisinal5.

Sekolah seni rupa di Eropa dan Amerika, kegiatan mereproduksi lukisan

merupakan pelatihan untuk memperoleh keterampilan. Para siswa diminta meniru

karya-karya masterpiece dari berbagai museum. Bermodalkan keterampilan,

siswa didorong untuk mencari karakter dirinya sendiri lewat karya yang

bermuatan personal, berciri pribadi. Ahli reproduksi atau repainter memerlukan

keterampilan khusus untuk merestorasi lukisan. Sementara ahli reproduksi yang

mentalnya miring, acapkali menyelinap ke dunia yang beraroma kriminal:

pemalsu lukisan. “Profesi” yang kini dihujat sebagai begundal6.

3
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Pasal 1 Ayat 1 dan 2, hlm. 2.
4
Ibid., Pasal 2 Ayat 3, hlm. 4.
5
Agus Dermawan T., Bukit-bukit Perhatian, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2004, hlm. 110.
6
Ibid., hlm. 111.
3

Berkaitan dengan tiru-meniru (copy) karya, seorang maestro seni lukis

terkenal Indonesia yang telah menghasilkan ribuan karya, Affandi, juga pernah

melakukannya. Affandi pernah meng-copy, mereproduksi, sebuah karya lukis

seorang pelukis Eropa yang bernama Pieter Bruegel the Elder (Brueghel).

Bruegel merupakan seniman lukis bergaya naturalistik yang seringkali

mengangkat kejadian-kejadian yang dekat dengan kehidupan petani sebagai

objek lukisannya. Bruegel mendapat julukan Peasant Bruegel7.

Lukisan karya Bruegel yang direproduksi Affandi ini berjudul The

Cripples / The Beggars, dilukis pada tahun 1568. Lukisan ini menggambarkan

sekumpulan difabel (tidak mempunyai kaki) yang bergantung dengan bantuan

tongkat untuk berjalan tetapi menikmati hidup dengan bahagia seperti halnya

orang-orang di sekitarnya. Apa yang membuat Affandi “melukiskan kembali”

karya Bruegel ini? Banyak pelukis lain yang bagus karya-karyanya, tetapi

mengapa Affandi justru memproduksi, meng-copy, karya Bruegel. Mengapa

bukan lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci, atau karya-karya Vincent van

Gogh, seniman Belanda yang sama-sama menggunakan gaya ekspresionisme?

“Beberapa orang bilang lukisan saya mirip sedikit dengan lukisan van
Gogh. Hal ini bisa saja benar. Menurut saya hal ini karena baik van Gogh
maupun saya sama-sama seorang ekspresionis. Kami sama berlayar
menggunakan biduk ekspresionisme,” kata Affandi.8

Lukisan reproduksi karya Affandi yang berjudul Copy Bruegel memiliki

daya tarik tersendiri. Ciri khas yang terdapat pada lukisan reproduksi The

7
Google Translate: Petani Bruegel.
8
Imam Wahjoe L., Profil Maestro Indonesia Volume I, Jakarta: PT. Indonesia Raya
Audivisi, 2003, hlm. 65.
4

Cripples / The Beggars karya Affandi yang diberi judul Copy Bruegel adalah

bentuk visual yang sama namun teknik penggarapan yang berbeda sehingga

sangat mungkin akan memunculkan nilai estetik dan makna yang berbeda pula.

Bruegel menggunakan teknik dan gayanya sendiri begitu juga dengan Affandi.

Affandi melukis Copy Bruegel dengan menggunakan gaya ekspresionis yang

menjadi ciri khasnya. Copy Bruegel ini merupakan salah satu karya Affandi yang

berbeda dengan karya-karyanya yang lain.

Menilik latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, ada beberapa

alasan yang menarik penulis. Pertama, Affandi mereproduksi karya Bruegel dan

memvisualisasikannya dalam bentuk dan gaya yang berbeda. Kedua, hasil

reproduksi yang “berbeda” tersebut tentu memunculkan makna dan nilai estetik

yang berbeda. Inilah yang mendorong penulis untuk mengarahkan penelitian ini

pada bagaimana melakukan baca tafsir lukisan Copy Bruegel karya Affandi.

B. Rumusan Masalah

Untuk mengerucutkan penelitian yang berjudul Baca Tafsir Lukisan Copy

Bruegel Karya Affandi ini, penulis menyusun tiga poin pertanyaan sebagai

rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana latar belakang ketertarikan Affandi mereproduksi lukisan The

Cripples / The Beggars karya Pieter Bruegel?

2. Apa perbedaan antara lukisan The Cripples / The Beggars karya Pieter

Bruegel dan Copy Bruegel karya Affandi?

3. Makna apa yang terkandung dalam lukisan Copy Bruegel karya Affandi?
5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian karya ilmiah yang berjudul Baca Tafsir Lukisan Copy

Bruegel Karya Affandi adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan latar belakang ketertarikan Affandi mereproduksi lukisan The

Cripples / The Beggars karya Pieter Bruegel.

2. Menjelaskan perbedaan antara lukisan The Cripples / The Beggars karya

Pieter Bruegel dan Copy Bruegel karya Affandi.

3. Mengidentifikasi dan menafsirkan makna yang terkandung di dalam karya

lukis Affandi yang berjudul Copy Bruegel.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian bagi penulis adalah mendapatkan penjelasan secara

rinci tentang latar belakang Affandi mereproduksi karya Pieter Bruegel yang

berjudul The Cripples / The Beggars. Dilihat dari sudut pandang keilmuan,

penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep dan teknik pengkajian seni

rupa dan memberikan kontribusi berupa peningkatan pemahaman, penghayatan

bentuk, dan pendalaman makna karya yang dikaji.

Manfaat penelitian bagi lembaga dan mahasiswa Jurusan / Program Studi

Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI)

Surakarta adalah untuk dipergunakan sebagai sumbangan dan dokumentasi seni

serta menambah wawasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada bidang

seni, khususnya seni lukis. Lembaga memiliki referensi tentang alasan Affandi

menggunakan karya Pieter Bruegel sebagai karya yang di-copy (reproduksi),


6

serta referensi tentang nilai estetik dan makna yang terkandung dalam karya lukis

Affandi yang berjudul Copy Bruegel.

Manfaat lain dari hasil penelitian ini, bagi masyarakat khususnya para

pembaca, secara umum dapat meningkatkan apresiasi bagi khalayak yang

berminat dalam memperkaya khasanah penulisan seni lukis modern Indonesia,

khususnya pemahaman terhadap seni lukis karya Affandi.

E. Tinjauan Pustaka

Ada banyak penelitian yang sudah meneliti Affandi. Berbagai tulisan

hasil penelitian tersebut sangat membantu dalam mencari informasi tentang

Affandi dan atau yang berkaitan dengan karya-karya lukisnya.

Ajib Rosidi, dalam bukunya yang berjudul 100 Tahun Affandi, mengulas

banyak hal tentang perjuangan seniman Affandi. Buku ini menjelaskan tentang

aliran-aliran yang pernah dilalui oleh Affandi sebagai pelukis, salah satunya

adalah naturalisme. Gaya naturalis dalam lukisan Affandi berkembang menjadi

impresionis dan akhirnya menjadi realis. Affandi masih merasa tidak cocok

dengan gaya lukisan tersebut. Dia mengikuti dorongan hatinya yang hendak

menemukan pengucapan seni yang otentik. Dalam hal ini, Affandi banyak

bercermin kepada lukisan-lukisan Eropa9. Dalam kesempatan inilah dia mengenal

lukisan-lukisan Van Gogh dan para pelukis modern lainnya baik lukisan asli

maupun reproduksi.

9
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, Bandung: Nuansa Cendekia, 2008, hlm. 27.
7

Ada banyak orang yang mengatakan bahwa aliran Affandi dipengaruhi

oleh Van Gogh, tetapi dalam buku yang ditulis Popo Iskandar, berjudul Affandi:

Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme, bersamaan dengan 70 tahun usia

Affandi, menunjukkan bahwa walaupun sepintas ada persamaan antara kedua

pelukis ekspresionis itu, namun titik keberangkatan keduanya sama sekali

berlainan 10 . Affandi melukis dengan cara memelocotkan cat langsung dari

tubenya kemudian menggunakan tangan kiri untuk menyapu cat di atas kanvas

dan yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Van Gogh. Setelah merasa

cocok dengan gayanya ini, Affandi tidak pernah merubah gaya ini. Keduanya

merupakan antipoda11 yang satu dari yang lain.

Popo Iskandar dalam buku Affandi: Suatu Jalan Baru dalam

Ekspresionisme memaparkan perjalanan Affandi dalam berkarya; membahas

tentang kehidupan Affandi yang berkaitan dengan karya-karyanya yang dikenal

ekspresif. Affandi dikenal sebagai seorang ekspresionis, seperti yang dikatakan

Herbert Read kepada Affandi pada saat mengadakan pameran di beberapa negara

Eropa, “Affandi, a New Way of Expresionism”12. Tulisan ini menginformasikan

proses penciptaan karya ekspresionis Affandi yang karya-karyanya banyak

menampilkan tema kerakyatan (dan yang selalu berkaitan dengan kehidupan

alam lingkungannya).

Lebih khusus R. Triyanto dalam tesisnya yang berjudul Matahari dalam

Lukisan Karya Affandi: Sebuah Kajian Semiotika, meneliti karya-karya Affandi

10
Popo Iskandar, Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionis, Jakarta: Akademi Jakarta,
1977, hlm. 40.
11
Antipoda adalah kebalikan atau lawan dari sebuah ide, benda, atau tempat.
12
Popo Iskandar, Op.Cit., hlm. 38.
8

yang merepresentasikan matahari sebagai objek gambar (bukan matahari sebagai

bagian dari tanda tangan Affandi). Penelitian ini juga menelusuri makna visual

dan unsur-unsur ide melalui kajian semiotika. Titik tekan pada tesis pengkajian

seni dengan analisis semiotika di sini adalah mengungkap makna objek matahari

pada lukisan-lukisan Affandi yang diteliti berdasarkan trikotomi (ikon, indeks,

simbol) Charles Sanders Peirce dan konotasi tanda yang dikembangkan oleh

Roland Barthes.

Tonny Purnomo dalam penelitiannya yang berjudul Lukisan Potret Diri

Affandi (Sebuah Tinjauan Kritik) menjelaskan tentang maksud dan tujuan

Affandi melukis potret dirinya. Dalam penelitian ini diuraikan berbagai alasan

yang mendorong Affandi menciptakan karya potret dirinya hingga berulang-

ulang. Menurut Affandi, semua lukisannya adalah potret diri, baik itu lukisan

yang menampilkan gelandangan, perahu, babi jantan, jago mati, barong, ibunya,

anaknya dan dirinya sendiri, semua itu merupakan pencerminan dirinya dalam

tiap-tiap kejadian atau peristiwa13. Lukisan potret diri tidak hanya pengungkapan

ekspresi wajah dan perwatakan si pelukis pada saat itu, tetapi bisa juga

merupakan serentetan cerita panjang yang berkenaan dengan peristiwa dalam

kehidupan, juga merupakan penampilan pandangan dan sikap dalam menghadapi

dan menanggapi realita sosial lingkungannya. Lukisan potret diri Affandi saling

berkaitan antara potret dirinya dengan sikap dan pandangan hidupnya. Pernyataan

Affandi bahwa semua lukisannya adalah lukisan potret diri tentu saja merupakan

pendapat pribadinya, karena bagi Affandi dalam melukis yang terpenting adalah

13
Tonny Purnomo, Lukisan Potret Diri Affandi (Sebuah Tinjauan Kritik), Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, 1984, hlm. 3 – 4.
9

berekspresi untuk mengungkapkan nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi dalam

penelitian yang dilakukan Tonny Purnomo ini yang dimaksud lukisan potret diri

adalah lukisan yang menampilkan figur / wajah pelukisnya, dengan menekankan

segi kejiwaan.

Berbeda dengan Nur Kholis dalam karya skripsinya yang berjudul Karya

Seni Lukis Affandi yang Bertema Landscape Tahun 1970-1986. Dalam tulisan ini

Nur Kholis menjelaskan beberapa karya Affandi yang bertema landscape. Dalam

penelitian ini lebih ditekankan kepada penjelasan tentang visualisasi karya

Affandi yang bertema landscape. Karya Affandi yang bertema landscape muncul

karena dorongan batin untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan

dipikirkanya terkait dengan sebuah keadaan, permasalahan yang berhubungan

dengan objek landscape yang dilukisnya.

Tinjauan ini memaparkan sedikit dari lebih banyak lagi tulisan hasil

penelitian tentang Affandi dan karya-karyanya. Affandi adalah sebuah fenomena

seni rupa Indonesia yang sangat penting dan berharga, yang menjadi magnet bagi

banyak orang untuk mengetahui dan memahaminya. Tidak heran kalau sudah

banyak penelitian dilakukan, baik ketika Affandi masih hidup maupun setelah

maestro ini meninggal dunia. Namun, di antara banyak orang yang sudah

meneliti Affandi dan karya-karyanya, lukisan Copy Bruegel luput dari perhatian.

Padahal lukisan ini mempunyai sejarah dan makna yang tidak kalah penting

untuk diungkap dan diinformasikan kepada masyarakat luas. Karena itulah

penulis merasa perlu untuk menelitinya dalam proyek penulisan skripsi ini.
10

F. Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan semiotika Barthesian sebagai landasan teori

untuk menemukan makna pada lukisan Copy Bruegel karya Affandi. Lukisan

Copy Bruegel didudukkan sebagai sistem tanda. Barthes, dalam bukunya Elemen-

elemen Semiologi, memaparkan empat konsep utama semiotika (semiotika

struktural)14 yang tersusun secara dikotomis dalam empat klasifikasi biner, yaitu;

bahasa (langue) – tuturan (parole), petanda (signified) – penanda (signifier),

sintagmatik – paradigmatik (system), konotasi – denotasi.

1. Bahasa (langue) dan Tuturan (parole),

Bahasa (langue) adalah sistem kode yang diketahui oleh khalayak

umum pemakai bahasa yang sudah disepakati bersama pada masyarakat yang

memakai bahasa tersebut. Langue merupakan abstraksi dan artikulasi bahasa

pada tingkat sosial budaya yang bersifat kolektif. Pemahaman dalam bahasa

singkatnya, langue merupakan sistem yang mengacu pada bahasa tertentu

yang ada di pemikiran manusia. Sebagai institusi sosial, langue bukan sama

sekali sebuah tindakan dan tidak bisa pula dirancang atau diciptakan atau

diubah secara pribadi, karena pada hakikatnya langue merupakan kontrak

kolektif yang sungguh-sungguh harus dipatuhi bila kita ingin

berkomunikasi 15 . Singkat kata langue adalah „bahasa‟ dalam wujudnya

sebagai suatu sistem.

14
Roland Barthes mengembangkan konsep “semiotika” Saussurean dari linguistik menjadi
ekstra linguistik.
15
Barthes, Roland, Elemen-elemen Semiologi, (Terjemah: Kahfie Nazaruddin), Yogyakarta:
Jalasutra, 2012, hlm. 2.
11

Sedangkan tuturan (parole) adalah kebalikan dari bahasa (langue)

yang merupakan institusi sekaligus sistem, yakni ekspresi bahasa pada

tingkatan individu. Parole tersusun dari tanda-tanda yang identik dan

senantiasa berulang. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang

memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk

mengungkapkan pikiran manusia, karena merupakan aktivitas kombinatif

maka parole terkait dengan penggunakan individu dan bukan semata-mata

bentuk kreasi 16 . Singkatnya, parole merupakan penggunaan aktual bahasa

sebagai tingkatan individu-individul.

BAHASA (langue) TUTURAN (parole)


Sosial Individu
Pasif Aktif
Abstrak Konkrit

Gambar 1. Perbedaan Langue dan Parole

Bahasa (langue) dan tuturan (parole) hanya dapat dipahami secara

utuh bila diletakkan pada proses dialektis di mana keduanya saling

berhubungan dan dihubungkan; tidak ada langue tanpa parole dan tidak ada

parole di luar langue. Maka dalam hal ini, bahasa dan tuturan berada dalam

tautan yang seutuhnya timbal balik.

2. Petanda (signified) dan Penanda (signifier)

Konsep petanda dan penanda ini dapat dilihat bahwa makna muncul

ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi „yang ditandai‟ (signified) dan

„yang menandai‟ (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk

16
Ibid., hlm. 3 – 4.
12

penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda adalah

„bunyi yang bermakna‟ atau „coretan yang bermakna‟. Penanda merupakan

suatu relatum yang definisinya tidak bisa dipisahkan dari definisi petanda.

Satu-satunya perbedaan adalah bahwa penanda merupakan

penghubung/mediator yang membutuhkan materi. Namun di satu sisi, materi

tersebut tidak cukup bagi penanda dan di sisi lain, penanda dapat juga

dipancarkan oleh materi tertentu, yakni kata. 17 Jadi, penanda adalah aspek

material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dengan apa yang

ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau

konsep.

Petanda (signified) merupakan suatu „konsep‟ dari sebuah „benda‟,

bukan representasi mental ataupun benda empiris melainkan yang dapat

diungkapkan; petanda bukan aktivitas kesadaran maupun benda nyata, tetapi

ia dapat didefinisikan hanya lewat proses penandaan atau dengan cara yang

sifatnya kuasi-tautologis: petanda ialah „sesuatu‟ yang dimaksudkan oleh

orang yang menggunakan tanda tertentu. Dalam linguistik, hakikat petanda

mendorong diskusi yang terpusat pada persoalan seberapa jauh petanda

merupakan bagian dari realitas; meski demikian, semua sepakat bahwa

petanda bukan benda, melainkan representasi mental dari benda. 18 Walaupun

penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah, namun keduanya

hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta

17
Ibid., hlm. 42.
18
Ibid., hlm. 36 – 37.
13

dasar dari bahasa. Artinya, kedua hal dari tanda itu tidak dapat dipisahkan,

jika pemisahan berlaku maka hanya akan menghancurkan „kata‟ tersebut.

3. Sintagmatik dan Paradigmatik

Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep

sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti

sistem budaya, makanan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra

yang kesemuanya itu dipandang sebagai bahasa yang memiliki sistem relasi

dan oposisi.

Sintagmatik atau hubungan aktual menunjuk hubungan suatu benda

dengan tanda-tanda lainnya, baik yang mendahului atau mengikutinya.

Sintagma mempresentasikan diri dalam bentuk „rangkaian‟ (rentetan

tuturan)19. Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk mengimajinasikan ke

depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini

meliputi kesadaran logis, kausalitas atau sebab-akibat. 20 Sintagma adalah

kombinasi tanda-tanda, yang didukung oleh aspek ruang yang bersifat linear

dan tidak dapat diputar-balik (merupakan mata rantai ucapan): dua elemen

tidak dapat diucapkan bersamaan dan masing-masing mendapatkan nilai dari

oposisi yang mendahului dan mengikuti; pada mata rantai tuturan, aktivitas

analitik yang berlaku bagi sintagma ialah proses menguraikan 21. Sintagmatik

merupakan cara pemilihan dan pengombinasian tanda-tanda berdasarkan

19
Ibid., hlm. 62.
20
Sunardi, ST., Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002, hlm. 70.
21
Barthes, Roland, Op.Cit., hlm. 55.
14

aturan atau kode tertentu, sehingga dapat menghasilkan ekspresi yang

bermakna.

Hubungan virtual (paradigmatic, system), yaitu hubungan eksternal

suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara

paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Hubungan

paradigmatik ibarat hubungan saudara, juga bisa disebut hubungan virtual

atau in absentia karena hubungannya benar-benar ada namun „saudara-

saudara‟ yang dihubungkan tidak ada di tempat. 22 Paradigmatik bahasa

merupakan hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam tataran tertentu

dengan unsur-unsur lain di luar tataran itu yang dapat dipertukarkan.

Pemahaman di atas muncul dengan istilah “axis” (poros) yang artinya

hubungan. Penjelasan ini dapat dilihat pada gambar:

Sintagmatik a b c dst.
a‟ b‟ c‟
a” b” c”
Paradigmatik
23
Gambar 2. Poros Sintagmatik dan Paradigmatik

Dapat dikatakan bahwa poros sintagmatik merupakan poros

horizontal, sedangkan poros paradigmatik merupakan poros vertikal.

4. Konotasi dan Denotasi

Pada konotasi, aspek ekspresi jauh lebih besar dibanding dengan

muatan pengertian yang terdapat pada denotasi. Sebagai sebuah sistem,

22
Sunardi, ST, Op.Cit., hlm. 63 – 64.
23
Barthes, Roland, Op.Cit., 66.
15

konotasi terdiri atas penanda, petanda, dan proses yang menyatukan penanda

pada petanda (penandaan); tiga unsur itulah yang pertama-tama harus

ditemukan dalam setiap sistem. 24 Konotasi adalah sistem semiotik tingkat

kedua yang dibangun di atas sistem semiotik tingkat pertama (denotasi)

dengan menggunakan makna (meaning atau signification) sistem tingkat

pertama menjadi expression (atau signifier). Konotasi merupakan tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di

dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak

pasti.

DENOTASI KONOTASI
Bahaya, berhenti, aliran kiri, berani, darah,
MERAH Warna primer
api, wanita, keindahan, kekerasan, aksen
Hewan Koruptor, perampok kelas atas, pencuri
TIKUS
Pengerat uang negara, penjahat rakyat

Gambar 3. Konsep Konotasi dan Denotasi

Denotasi merupakan makna nyata dari tanda, tingkat pertandaan yang

menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan

makna eksplisit, langsung, dan pasti, makna sebenarnya hadir dan mudah

dikenali. Dengan demikian untuk bahasa yang bersifat keilmuan eksakta

ataupun informasi, lebih tepat jika menggunakan pemahaman denotatif.

Sedangkan untuk pengungkapan kebahasaan yang bersifat ekspresi, seperti

novel, puisi, esai, ataupun syair, penggunaannya cenderung lebih bersifat

konotatif.

24
Ibid., hlm. 93.
16

Berlandaskan empat konsep utama pada elemen-elemen semiotika yang

sudah dipaparkan di atas, lukisan Copy Bruegel diinterpretasikan (baca tafsir).

Praktik baca tafsir inilah yang kemudian diketemukan makna. Makna, dalam

teori semiotika, terbangun dari sistem penandaan dan nilai. Sebagai sistem nilai,

tanda dapat dipertukarkan dengan ide dan dibandingkan dengan tanda lain. Jadi,

nilai dalam bahasa menunjuk pada kemungkinan bahasa (tanda) untuk ditukarkan

dan untuk dibandingkan dengan tanda lainnya. 25 Dikotomi makna dan nilai ini

sejajar dengan dikotomi antara langue dan parole.

Makna pada lukisan Copy Bruegel dapat ditemukan dengan cara

mengartikulasikannya. Artikulasi adalah cara untuk menemukan makna.

Kebanyakan orang sering menggunakan istilah „makna‟ (meaning) dan „pesan‟

secara bergantian. Dilihat dari sudut semantik, istilah „pesan‟ tidak sama dengan

„makna‟ karena pesan bisa memiliki lebih dari satu makna dan beberapa pesan

bisa memiliki satu makna. Dalam semiotika, pesan adalah penanda dan

maknanya adalah petanda.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian kualitatif ini menggunakan metode Analisis Semiotika.

1. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer pada penelitian ini adalah; lukisan yang

berjudul Copy Bruegel karya Affandi yang diciptakan pada tahun 1962

25
Sunardi, ST., Op.Cit., hlm. 91.
17

dengan media cat minyak pada kanvas berukuran 97 x 129 cm. Lukisan

tersebut sekarang (2014) berada di Museum Affandi di Yogyakarta.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder penelitian ini adalah beberapa lukisan karya

Affandi yang berada di Museum Affandi, di antaranya yang berjudul;

1) Ibuku, (1936)

2) Pengemis (Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi), (1944)

3) Belajar Anatomi, (1950)

4) Menggendong Cucu Pertama, (1953)

5) Potret Diri, (1944)

Selain beberapa lukisan karya Affandi di atas, juga menggunakan

lukisan Pieter Bruegel yang berjudul The Cripples / The Beggars yang

diciptakan pada tahun 1568. Sumber data sekunder berikutnya adalah

Dedi Sutama (orang yang sangat dekat dengan Affandi semasa beliau

masih hidup) dan Paula Maya Dewi, selaku guide26 yang sudah banyak

mengerti tentang seni lukis Affandi, sebagai narasumber guna

mendapatkan informasi seputar sejarah lukisan Copy Bruegel karya

Affandi.

c. Sumber Data Pustaka

Selain menggunakan sumber data primer dan sumber data

sekunder juga dilakukan riset kepustakaan yang berkaitan dengan

26
Guide: Pemandu Wisata (seseorang yang dibayar ataupun yang disewa untuk menemani
wisatawan untuk memberikan petunjuk jalan, peta, dan memberikan informasi mengenai suatu jalan /
seputar pariwisata).
18

semiotika, estetika, biografi pemikiran dan proses kreatif Affandi serta

Pieter Bruegel.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi

(merekam dan atau mengambil gambar) lukisan Copy Bruegel sebagai

sumber data utama dalam penelitian ini. Pengambilan gambar dilakukan

langsung pada beberapa lukisan karya Affandi yang sekarang dipajang di

galeri Museum Affandi yang beralamatkan Jl. Laksda Adisucipto 167,

Yogyakarta 55281, bukan mengutip atau menggunakan hasil pengambilan

gambar orang lain. Selanjutnya melakukan wawancara dengan narasumber

terkait. Wawancara dilakukan dengan teknik tidak terstruktur dan tidak terlalu

formal untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

3. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

metode analisis semiotik. Analisis semiotika ini digunakan untuk menemukan

makna yang terkandung dalam lukisan Copy Bruegel. Makna, dalam

semiotika terbentuk dari nilai (value) dan proses penandaan (signification)27.

Lukisan Copy Bruegel, sebagai sistem tanda, bermakna karena ada proses

penandaan dan memiliki nilai. Sistem tanda dalam proses penandaan

(semiosis) dilakukan Barthes dengan pemberian makna yang lebih pada

tingkatan kedua. Sistem penandaan tingkat pertama menjadi penanda bagi

sistem penandaan tingkat kedua. Sistem penandaan tingkat pertama disebut


27
Barthes, Roland, Op.Cit., hlm. 50 – 52.
19

denotasi dan sistem penandaan tingkat kedua disebut konotasi. Makna

mencapai kepenuhan hanya setelah melewati determinasi ganda ini:

penandaan dan nilai28.

Makna pada lukisan karya Affandi ini, dalam analisis semiotika, dapat

ditemukan dengan cara mengartikulasikannya. Artikulasi sebagai aspek dari

makna menunjukkan bahwa makna dari objek yang kita teliti tidak

diungkapkan (expressed) oleh objek itu melainkan kita artikulasikan 29 .

Artikulasi adalah cara untuk menemukan makna dengan tindakan

menggunting lalu menyatukannya kembali sembari menguraikannya secara

simultan; makna, dengan demikian, merupakan keteraturan dengan

ketidakteraturan (chaos) di sisi sebelahnya, tetapi keteraturan itu sebenarnya

merupakan buah dari proses pemotongan dan pembagian30.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian yang berjudul Membaca Tafsir Lukisan Copy

Bruegel Karya Affandi ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab satu pendahuluan, berisi latar belakang masalah dalam penelitian,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori

dan metode penelitian.

28
Ibid., hlm. 52.
29
Sunardi, ST., Op.Cit., hlm. 92.
30
Barthes, Roland, Op.Cit., hlm. 53.
20

Bab dua berisi tentang perjalanan kreatif Affandi dan latar belakang

ketertarikan dalam mereproduksi karya, hingga terciptanya karya Affandi yang

berjudul Copy Bruegel.

Bab tiga berisi analisis semiotik lukisan Affandi yang berjudul Copy

Bruegel.

Bab empat merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari semua hasil

penelitian dan saran.


BAB II

LUKISAN COPY BRUEGEL

KARYA REPRODUKSI AFFANDI

Bab dua berisi tentang perjalanan proses kreatif Affandi dalam berkarya

hingga terciptanya lukisan Copy Bruegel. Sebagai pelukis, Affandi merupakan tipe

seniman yang tidak mudah puas. Dalam beberapa periode, Affandi mengalami masa

transisi dari gaya melukis yang satu menuju ke gaya melukis yang lainnya hingga

Affandi menemukan gaya atau aliran yang benar-benar mewakili kehidupannya yang

dianggapnya cocok dengan jiwa kesenimanan dan keseniannya.

Selain Vincent van Gogh, Pieter Bruegel adalah seniman yang dihormati

Affandi. Karya Bruegel, The Cripples / The Beggars, pernah sangat menginspirasi

Affandi. Itulah yang menyebabkan Affandi mereproduksi karya tersebut; melukisnya

kembali dengan teknik dan gayanya yang khas: Copy Bruegel.

A. Proses Kreatif Affandi

Perjuangan panjang ditempuh Affandi terus-menerus, dan seluruh

hidupnya tercurah untuk dunia seni lukis. Selama hidupnya Affandi termasuk

pelukis yang produktif, yang telah menciptakan ribuan karya. Namun dari lebih

dua ribuan karya, kini diperkirakan hanya sekitar dua ratusan karya tersisa 31 ,

yang terdiri dari patung, sketsa, drawing dan termasuk lukisan yang digantung di

31
Wawancara dengan Dedi Sutama dan Paula Maya Dewi, (guide Museum Affandi),
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
22

dinding museum yang berbentuk daun pisang itu 32 . Lukisan-lukisan karya

Affandi tidak hanya sekedar mengekspresikan objek yang ada di alam, tetapi

lebih jauh dari itu sampai pada taraf mencari makna. Aktivitas seninya

didominasi oleh emosi atau gelombang kalbu, garis-garisnya lebih liar, kadang-

kadang bentuknya diabaikan, sehingga kesan ruang hilang menjadi dwi matra,

namun struktur bentuk masih dapat dikenali.33

Perjalanan Affandi di dunia seni lukis modern Indonesia dapat dilihat

dalam beberapa tahapan/periode. Pada tahap pertama, yakni tahap pencarian, ia

mendalami teknik melukis fotografis dengan cara mempelajari dengan seksama

lukisan-lukisan reproduksi dari buku majalah seni, katalog pameran dan hasil

reproduksi para masterpiece. Pada tahap awal ini Affandi memperhatikan motif

sebagaimana mata melihat wujud fisiknya, dan belum banyak mengungkapkan

faktor kejiwaan. Pada tahap selanjutnya Affandi lebih menekankan prinsip yang

lebih mendalam, yaitu kecintaannya pada objek alam yang baginya merupakan

sebuah manifestasi kehidupan di sekelilingnya. 34 Kualitas teknik artistik yang

meningkat telah menggeser nilai dan pengalaman estetis yang diungkapkan

dalam bahasa kesenirupaan yang semakin jauh dengan munculnya dominasi garis

32
Imam Wahjoe L., Profil Maestro Indonesia Vol. 1, Jakarta: PT. Indonesia Raya Audivisi,
2003, hlm. 67. “Pada suatu ketika Pak Affandi itu kehujanan di suatu tempat. Kalau di kampung-
kampung atau di sawah orang kehujanan itu kan memotong pelepah daun pisang untuk menutupi
kepala. Kemudian Pak Affandi berkata demikian, „Kalau suatu saat saya mampu dan punya uang ingin
membuat suatu rumah ataupun museum itu berbentuk daun pisang‟,” kata Juki Affandi, pengelola
Museum Affandi.
33
Ibid., hlm. 64.
34
Ensiklopedi Jakarta, Budaya & Warisan Sejarah, Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta,
Affandi, http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/708/Affandi, Diakses: 9 April 20 4, 06:42
PM.
23

dan pewarnaan yang non representatif. Para pengamat seni berpendapat bahwa

pada saat inilah terlihat adanya perubahan gaya dari impresionis35 ke ekspresif36.

Sejarah perkembangan seni lukis Indonesia mencatat beberapa nama

seniman atau pelukis papan atas, di antaranya Affandi. Seorang tokoh penting

yang seolah-olah tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan mengenai

perkembangan seni lukis modern di Indonesia. Keistimewaannya dalam berkarya

seni menyebabkan Affandi banyak mendapatkan penghargaan dan dianugerahi

berbagai julukan. Misalnya saja sebutan sebagai seorang pelukis Ekspresionisme

Baru Indonesia. Ada pula yang menyebutkan Grand Maestro. Herbert Read

(sejarawan dan kritikus seni ternama berkebangsaan Inggris), mengatakan bahwa

„Affandi adalah Jalan Baru dalam Ekspresionisme‟ (Affandi, a New Way of

Ekspresionism). Tentu saja dengan reputasi internasional.37

Sebagai seorang pelukis, Affandi merupakan tipe seniman yang tidak

mudah puas. Pada awal perjalanannya dalam berkarya tidak banyak yang

mengetahui bahwa Affandi merupakan pelukis naturalisme. Gaya naturalis 38

Affandi sangatlah tinggi, seperti terlihat pada beberapa lukisan yang

35
Dendy Sugono, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia, 2008, hlm. 549. Impresionis: pengikut aliran impresionisme.
Impresionisme: aliran seni (lukis, sastra, musik), yang lebih mengutamakan pemberian kesan atau
pengaruh kepada perasaan terhadap realita atau keadaan yang sebenarnya.
36
Ibid., hlm. 380. Ekspresif: mampu menggambarkan gagasan, perasaan hati.
Ekspresionisme: aliran seni yang bermaksud melukiskan perasaan dan pengindraan batin yang timbul
dari pengalaman-pengalaman di luar dan yang diterima tidak saja oleh pancaindra melainkan juga
oleh jiwa seseorang (lebih mementingkan soal-soal kejiwaan terhadap penggambaran kejadian-
kejadian yang nyata).
37
Popo Iskandar, Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme, Jakarta: Akademi
Jakarta, 1977, hlm. 9.
38
Dendy Sugono, et al., Loc.Cit., hlm. 998. Naturalis: orang yang menganut paham
naturalisme. Naturalisme: aliran dalam seni yang menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya; karya
seni rupa yang memiliki sifat kebenaran fisik dari alam. Naturalistis: bersifat naturalis atau
sebagaimana adanya.
24

diciptakannya pada periode naturalisme, yang dianggapnya sebagai tonggak

kematangannya dalam seni lukis. Di antaranya lukisan yang berjudul Ibuku

(Gambar 1) 39 , gaya naturalis Affandi masih terus mengalami perkembangan;

menjadi lebih impresif dan kemudian menjadi realistis40.

Gambar 1. Lukisan karya Affandi, Ibuku (1941)


(Foto: Sari Julia, koleksi Galeri Nasional Indonesia, http://archive.ivaa-
online.org/artworks/detail/42, Diunduh: 01 Mei 2014, 07:19 PM)

39
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, Bandung: Nuansa Cendekia, 2008, hlm. 29 – 30.
40
Dendy Sugono, et al., Loc.Cit., hlm. 1179. Realistis: bersifat nyata (real); wajar. Realisme:
aliran kesenian yang berusaha melukiskan (menceritakan sesuatu sebagaimana keadaan sebenarnya).
Realis: orang yang dalam tindakan, cara berpikir dan sebagainya selalu berpegang atau berdasar pada
kenyataan (penganut paham realisme).
25

Gambar 2. Lukisan karya Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi (1944)
(Foto: Yusuf Rohimawanto, 04 April 2014)

Selama kurang lebih lima tahun Affandi pernah melukis dengan gaya

realis atas saran dari Syafei Sumardja (orang yang pertama kali membeli lukisan

Affandi41). Sumardja menyarankan supaya Affandi melukis sama persis dengan

objek yang dilukisnya (realistik). Affandi mencoba dan hasilnya ditunjukkan ke

hadapan Syafei Sumardja. “Kamu (Affandi) sudah bisa melukis seperti apa yang

kamu lihat, persis. Tetapi untuk selanjutnya terserah kamu, mau melukis realis

atau lebih suka ekspresif terserah.” Kata Affandi menirukan ucapan Syafei

41
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi: Perkenalan Buat Anak-anak, Bandung: Nuansa, 2008, hlm.
21 – 22. “Bukan karena lukisan itu lebih baik dari yang lain maka saya beli. Lukisan itu saya beli
karena di dalamnya saya melihat masa depan. Teruslah melukis. Jangan berhenti dan jangan berputus
asa.” Kata S. Sumardja kepada Affandi yang menanyakan tentang lukisannya yang dibeli.
26

Sumardja. Namun ternyata, Affandi tidak begitu suka dengan gaya realis dan

mengganggap ekspresionisme-lah yang cocok dengan jiwanya.42

Gambar 3. Lukisan karya Affandi, Menggendong Cucu Pertama (1953)


(Foto: Yusuf Rohimawanto, 04 April 2014)

Kemampuan Affandi dalam melukis dengan gaya impresionis sangat

mengagumkan, di antaranya seperti yang dapat dilihat pada karyanya (yang

monumental dan merupakan karya lukis terbaik Affandi), lukisan yang berjudul

Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi (Gambar 2), yang melukiskan seorang

pengemis yang setiap hari datang meminta-minta ke rumahnya, dan lukisan

42
Tonny Purnomo, Op.Cit, hlm. 75.
27

karyanya yang berjudul Belajar Anatomi (Gambar 4)43. Sekitar tahun 1950-an

Affandi mengawali gaya ekspresionisnya. Menggendong Cucu Pertama (Gambar

3) adalah lukisan yang menandai gaya baru Affandi: „plototan tube‟, teknik yang

tidak sengaja ditemukannya44.

Gambar 4. Lukisan karya Affandi, Belajar Anatomi (1947)


(Repro: Yusuf Rohimawanto, 02 Mei 2014)

Setelah merasa cocok dengan teknik dan gaya barunya ini

(ekspresionistik) Affandi merasa telah menemukan dirinya sendiri. Gaya ini

43
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 30 dan 37.
44
Imam Wahjoe L., Op.Cit., hlm. 64.
28

sebenarnya bersumber dari kebiasaannya waktu dia masih suka melukis dengan

cat air, seperti pada lukisannya yang berjudul Potret Diri (Gambar 5)45.

Gambar 5. Lukisan karya Affandi, Potret Diri (1944)


(Foto: Yusuf Rohimawanto, 04 April 2014)

Konsistensinya pada humanisme merupakan titik tolak penciptaan dan

perjuangan Affandi dalam melukis. Affandi melakukan berbagai eksperimen

untuk berekspresi dan mencurahkan emosinya. Indikasi ini terlihat dari

visualisasi beberapa karyanya yang terdiri dari berbagai teknik. Affandi

merupakan salah seorang pelukis ekspresionis yang biasa berhadapan langsung

45
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 29.
29

dengan objek yang dilukisnya, hal ini dimaksudkan supaya terjadi dialog

intensional antara seniman dengan objek yang dilukisnya46.

Affandi merupakan seniman yang „anti studio‟ karena keinginannya untuk

menangkap objek yang akan dilukisnya langsung dari alam dan warna-warna asli

dari sinar matahari. Affandi pernah berkata bahwa ia tidak dapat melukis tanpa

mengenal akrab objek yang akan dilukisnya. Tidak semua objek nyata mampu

merangsang Affandi, untuk itulah diperlukannya waktu untuk berkelana,

mengamati, mempelajari hingga menjadi akrab dengannya, hal ini tentunya

memakan waktu yang tidak sebentar. Sementara untuk memindahkan objek ke

dalam kanvas, bagi Affandi bukanlah perkara yang sulit, hanya memerlukan

waktu yang relatif singkat.

“Saya tidak dapat melukis tanpa mempelajari objeknya terlebih dahulu.


Hal ini tentunya memakan waktu. Sementara untuk melukis adalah sangat
mudah. Hanya butuh waktu satu jam. Tapi mempelajari dan mengobservasi
objek perlu waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Segera setelah
saya merasa mengenal subjek barulah saya melukis,” kata Affandi.47

Affandi hanya mempercayakan ketajaman mata dan intuisinya dalam

melukis, membimbingnya sampai lukisan yang dikerjakan rampung saat itu juga.

Affandi selalu melukis sekali jadi. Ia sadar bahwa dalam lukisannya terdapat

kelemahan-kelemanan, namun ia tidak pernah merevisi atau menyempurnakan

lukisan yang dianggapnya sudah selesai. Affandi sering mengatakan bahwa dia

merasa tidak pantas disebut sebagai pelukis apalagi sebagai seniman, Affandi

hanya menganggap dirinya sebagai “tukang gambar” yang “menggambar”

46
Tonny Purnomo, Op.Cit., hlm. 17.
47
Imam Wahjoe L., Op.Cit., hlm. 64.
30

dengan menggunakan mata dan dorongan intuisinya. Ia merasa hanya seorang

otodidak yang benar-benar tidak pernah belajar teknik melukis dan tidak tahu

seluk-beluk seni lukis.48 Tujuan „gambar‟ bagi Affandi ialah mengungkap objek

yang dianggap penting, yang sejalan dengan emosi, selera pribadi, pengalaman

serta sikap hidupnya. Dengan cara pandang yang orisinal, Affandi tidak meniru

persis seperti yang disajikan alam kepadanya, namun cenderung menyaringnya

secara intuitif untuk kepentingan ungkapnya.49 Affandi menghadirkan garis-garis

tegas dan kuat dengan goresan yang berani dan sekaligus sederhana.

Mencerminkan kepribadiannya. Terdapat pula garis ringan bahkan kadang

hampir tidak kelihatan dan menghilang, namun semua tetap dengan tepat

memenuhi fungsi ekspresi sebagai seorang ekspresionisme.

B. Affandi dan Rakyat Jelata

Prinsip hidup dan pandangan berkesenian serta empatinya terhadap

perjuangan dan penderitaan rakyat merupakan obsesi daya kreasi dalam berkarya

yang menyebabkan Affandi sering melukis dengan suasana yang akrab dengan

penderitaan. Salah satu penggerak daya kreasi penciptaan artistiknya adalah

penolakannya terhadap penggambaran yang terbatas pada realitas. Keinginannya

adalah mengungkapkan problem yang ada di balik ciptaan – subject matter50 –

48
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 32.
49
Imam Wahjoe L., Op.Cit., 64 – 67.
50
Ocvirk, Otto G., et al., Art Fundamentals: Theory and Practice, USA: Wm.C. Brown
Company, 1962, hlm. 10 – 11. Tema (subject matter) merupakan komponen yang sangat penting
dalam penciptaan karya seni, sebab hampir dapat dipastikan bahwa setiap karya seni selalu ada tema
di dalamnya. Dalam karya seni, tema adalah sesuatu yang ingin disampaikan kepada penghayat.
Seniman dalam mengamati obyek itu di tangkap melalui penghayatannya secara intuitif, sesuatu yang
hakiki itulah yang nantinya dijadikan sebuah tema dalam karya.
31

(kerakyatan) sambil memberikan penekanan. Objek yang sering dijadikan subject

matter Affandi dalam melukis di antaranya adalah pengemis atau peminta-minta,

gelandangan yang kurus kering dengan pakaian yang compang-camping dan

kumal, atau wajahnya sendiri pada lukisan potret diri (yang tampak tidak pernah

tersenyum, selalu kelihatan cemberut, marah, menyeringai). 51 Semuanya itu

dimaksudkan untuk menampilkan penderitaan.

Banyak seniman dalam berkarya seni, entah itu seni rupa, seni musik atau

apa pun bentuk keseniannya, sering menampilkan tema yang berpihak pada

rakyat atau kehidupan rakyat jelata (yang erat kaitannya dengan masalah

pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan). Affandi adalah salah seorang di

antaranya.

Di Belanda ada seniman yang mempunyai kecenderungan yang sama

dengan Affandi, berpihak pada kehidupan rakyat jelata. Salah satunya adalah

Vincent van Gogh. Affandi, menurut Popo Iskandar dalam bukunya Affandi:

Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme, mempunyai banyak kemiripan dengan

Van Gogh. Melukis bukan hanya berurusan dengan pengolahan unsur seni,

melainkan lebih pada pengungkapan penghayatan dan perlambangan tentang

makna hidup, dan ini merupakan bagian dari filosofinya dalam berkarya 52 .

Karya-karya Vincent van Gogh banyak mengungkap masalah penderitaan dirinya

dan penderitaan rakyat kecil di sekelilingnya.

51
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi: Perkenalan Buat Anak-anak, Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya, 1976, hlm. 44.
52
Zulkifli, Analisis Karya Affandi dan Van Gogh, (Jurnal Seni Rupa), Medan: Universitas
Negeri Medan, 2005, hlm. 145.
32

“Sebagaimana halnya dengan pelukis-pelukis Amsterdam umumnya.


Vincent van Gogh gemar melukis manusia. Terutama manusia-manusia yang
tergolong miskin: wanita pekerja, kaum buruh dan petani … di Den Haag
Vincent membuat gambar-gambar gubuk rakyat miskin dengan warna
kelabunya. Di desa Nuenen ia lukis penghidupan melarat keluarga petenun
dan buruh tani”.53

Affandi adalah penggemar Vincent van Gogh. Pada awal pergerakan seni

rupa modern memang banyak pelukis-pelukis Indonesia yang merujuk pada

perkembangan seni rupa barat lewat buku-buku dan reproduksi lukisan barat.54

Affandi dan Van Gogh hidup di belahan dunia yang berbeda dalam kurun waktu

yang tidak sama. Tidak seperti pelukis-pelukis kebanyakan, yang dikenal bisa

hidup senang dengan lukisannya, kedua pelukis ini menjalani kehidupan yang

berat dalam merintis dunia seni lukisnya. Pengalaman pahit getir kehidupan yang

mereka rasakan justru membawa konsekuensi pada sikap kesenimanan dan karya

yang dihasilkannya.

Kedua seniman ini banyak menggarap objek alam lingkungan dan

manusia. Objek ini merupakan gambaran yang biasa kita lihat sehari-hari, tidak

seperti objek dari pelukis-pelukis istana atau pelukis elite yang cenderung

menceritakan raja dan orang kaya (kelompok borjuis) dengan usaha

mempercantik bentuk55. Sama halnya dengan Affandi, Vincent van Gogh juga

merupakan seniman humanis yang dekat dengan kehidupan orang biasa.

Kekuatan ekspresinya dalam melukis merupakan refleksi dari ketajamannya

53
Aminuddin, S.B., Serba-serbi Negeri Belanda: Majalah nomor Istimewa, Jakarta:
Publikasi Bagian Pers dan Kebudayaan Kedutaan Besar Kerajaan Negeri Belanda, 1990, hlm. 11,
dalam Tonny Purnomo, Lukisan Potret Diri Affandi (Sebuah Tinjauan Kritik), Surakarta: Universitas
Sebelas Maret, 1984, hlm. 30.
54
Zulkifli, Loc.Cit., hlm. 142.
55
Ibid., hlm. 150.
33

melihat masalah kemanusiaan dan lingkungan. Secara umum, karya-karya

keduanya banyak membawa misi kehidupan dan kemanusiaan yang mengandung

nilai-nilai universal. Perjuangan hidup dan drama penderitaan keduanya telah

membawa mereka melukis dengan kedalaman perasaan dan ketajaman intuisi.

Selain Vincent van Gogh ada seorang tokoh lagi yang sangat

menginspirasi Affandi. Dia adalah Pieter Bruegel, seniman yang mengungkap

nilai-nilai kemanusiaan melewati karya seni lukis yang diciptakannya. 56 Pieter

Bruegel pada pertengahan abad 16, sekitar tahun 1560-an, adalah seorang

seniman yang karya-karyanya juga selalu cenderung mengarah pada kehidupan

rakyat kecil, kehidupan petani, pengemis, dan para veteran yang menjadi korban

dari keganasan perang pada waktu itu57.

Pieter Bruegel dikenal oleh masyarakat dengan julukan Peasant Bruegel

(Petani Bruegel). Bruegel lahir pada 9 September 1525, di sebuah kota dekat

Breda di perbatasan Belanda – Belgia, dan meninggal dunia, pada 5 Sepetember


58
1569, di Brussels (Belgia) . Bruegel merupakan pelukis Netherlandish

Renaissance Belanda, pada abad Renaisans, yang paling signifikan dan menarik

di Eropa Utara. Pada zaman itu, Bruegel dikenal karena lukisan-lukisan

landscape59 dan lukisan yang menceritakan tentang kegiatan para petani dengan

56
Wawancara dengan Dedi Sutama dan Paula Maya Dewi, (guide Museum Affandi),
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
57
Bruegel, Pieter the Elder, http://www.pieter-bruegel-the-elder.org/biography.html,
Diakses: 13 April 2014, 06:04 AM.
58
Stechow, Wolfgang, Pieter Bruegel the Elder (about 1525-1569), New York: Harry N.
Abrams, Inc., in association with Pocket Books, Inc., 1954, hlm. 6.
59
Bruegel, Pieter the Elder, Loc.Cit., Maksud landscape di sini adalah lukisan pemandangan
yang menjadi dasar dalam melukisnya dikemudian hari. … which resulted in a number of exquisite
drawings of mountain landscapes. These sketches, which form the basis for many of his later
paintings, ...
34

penggambaran adegan-adegannya yang menarik, berdasarkan ide-ide luar biasa

yang berkaitan dengan kehidupan rakyat jelata.60

Lukisan-lukisan karya Bruegel kebanyakan mengekspresikan kepekaan

Bruegel terhadap kehidupan sekitarnya. Bruegel banyak mengangkat tema-tema

sosial dalam karya-karya lukisnya. The Cripples / The Beggars (1568) adalah

salah satu karya dari ratusan karyanya yang menggambarkan tentang kehidupan

rakyat jelata pada masa itu.61

C. The Cripples / The Beggar; Karya Pieter Bruegel

Salah satu karya yang pernah diciptakan oleh Bruegel dengan cara kontak

emosional (dialog intensional) adalah lukisan berjudul The Cripples / The

Beggars berukuran 7 × 8¼ inchi atau 18 × 21.5 cm62 (Gambar 6). Lukisan yang

diciptakan oleh pelukisnya dengan menggunakan gaya naturalis ini

menggambarkan sekumpulan orang difabel; para veteran perang yang pada sisa

akhir hidupnya terpaksa harus bergantung pada alat bantu jalan dalam

menjalankan aktivitas sehari-hari. Mereka mencari nafkah dengan kekuatan yang

tersisa, sebisa dan semampunya, namun dapat menikmati hidup dengan bahagia

layaknya orang-orang di sekitarnya. Karya ini (The Beggars), adalah satu-satunya

karya lukisan Bruegel yang berada di museum Louvre, Paris.63

60
Ibid., Pieter the Elder Bruegel (c. 1525-1569) was a Netherlandish painter and designer
for engravings. His works provide a profound and elemental insight into man and his relationship to
the world of nature.
61
Stechow, Wolfgang, Op.Cit., hlm. 46.
62
Ibid.
63
Ibid., Group of cripples and beggars held a great fascination for Bruegel, whose forthright
rendering of their grotesque misery fore shadows Callot and Rembrant. It is hard for us to imagine
35

Gambar 6. Lukisan karya Pieter Bruegel, The Beggars (1568)


(Foto: Mark Harden, http://www.ibiblio.org/wm/paint/auth/bruegel/, Diunduh: 08 April 2014,
03:16 PM)

The Cripples / The Beggars adalah lukisan karya Bruegel yang sangat

dikagumi oleh Affandi. Makna dan nilai-nilai kemanusiaan dapat ditemukan dan

tersimpan dalam karya tersebut. Affandi sangat mengagumi Bruegel. 64 Bagi

Affandi, Bruegel adalah guru sekaligus seniman yang menginspirasinya dalam

melukis. Keduanya merupakan dua seniman besar yang mempunyai pemikiran

yang sama tentang tema kerakyatan dalam seni namun hidup di zaman yang

berbeda.65

the impression which such pictures must have made on his not too priggish contemporaries: probably
the same kind of strange mixture of amusement and spine-tingling as children may experience before
sights of this kind.
64
Wawancara dengan Dedi Sutama, (guide Museum Affandi), Yogyakarta: 28 Maret 2014.
65
Galeri Lukisan Indonesia, Affandi (1907 – 1990), http://galeri-lukisan-
indonesia.blogspot.com/2013/03/affandi-19071990.html, Diakses: 19 April 2014, 02:47 PM. ... He felt
a kinship with the Impressionists, with Goya and with Edvard Munch, and the earlier Masters,
36

Affandi bertemu dengan lukisan The Cripples / The Beggars ketika tahun

1962, pada saat bertandang ke beberapa negara di Eropa. Affandi menyaksikan

secara langsung berbagai karya seni rupa, termasuk lukisan, yang ada di negara-

negara tersebut. Dari sekian banyak lukisan yang diapresiasinya, Affandi tertarik

dengan lukisan karya Bruegel ini. Ketika melihat lukisan The Cripples / The

Beggars Affandi merasa kalau mereka berdua (Affandi dan Bruegel) mempunyai

kesamaan ideologi berkesenian (humanisme) dan kesamaan dalam hal mencipta

lukisan.66 Keduanya melukiskan kehidupan manusia dan kemanusiaan, terutama

dari lapisan masyarakat terbawah, yang tertindas, melarat, dan yang tidak begitu

beruntung dalam kehidupan.

D. Copy Bruegel (1962); Sebuah Karya Reproduksi

Ketertarikan Affandi pada lukisan The Cripples / The Beggars

merangsangnya untuk menciptakan lukisan dengan objek yang sama. Karena

Affandi tidak tahu seluk-beluk lukisan ini, maka pada saat melukis ia merasa

harus berada di depan objek yang dilukisnya. Bukan karena hendak “meniru”

objek itu semirip mungkin, melainkan terutama hendak memelihara emosinya,

karena bagi Affandi melukis adalah menumpahkan emosi tentang objeknya pada

kanvas 67 . Ketika emosi Affandi sedang meluap-luap bak kafilah yang sedang

kehausan dan ingin segera minum dengan minuman pilihannya namun tak

kunjung dijumpai, Affandi yang ingin segera mencurahkan emosinya ke dalam

Brueghel, Hieronymus Bosch and Botticelli. Traces of their influence started to show in his paintings
...
66
Wawancara dengan Dedi Sutama, Loc.Cit., 28 Maret 2014.
67
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 33 – 34.
37

kanvas ternyata tidak dapat menjumpai objek yang hendak dilukisnya (orang-

orang difabel, para veteran, seperti yang direpresentasikan pada lukisan The

Beggars karya Bruegel). Sebelum emosi yang ada pada diri Affandi hilang, maka

ia mendapat alternatif lain yakni melukis dengan cara meng-copy (mereproduksi)

karya Bruegel yang pada waktu itu berada di studio milik Bruegel di Belgia,
68
Eropa. Karya hasil reproduksi ciptaannya ini diberinya judul dengan

menyematkan nama seniman pencipta karya lukis yang ia salin (Bruegel): Copy

Bruegel (lihat Gambar 7). Affandi tidak meniru persis visual lukisan The

Cripples / The Beggars seperti halnya para seniman repainter. Repainter adalah

istilah yang diberikan kepada orang yang ahli mereproduksi lukisan.

Reproduksi lukisan berbeda dengan pemalsuan lukisan. Pemalsu lukisan

meniru semua yang terkandung dalam lukisan, di antaranya objek lukisan pada

tema yang disukai pelukis, komposisi warna, goresan-goresan kuas, tebal atau

tipisnya cat, media yang dipakai, ukuran kanvas dan masih banyak lagi.

Reproduksi adalah hasil ulang; pengembangbiakan. Reproduksi merupakan

pengulangan, penerusan, konservasi atau mempertahankan tradisi dan budaya

dalam berseni, dan atau untuk pengembangannya menjadi seni modern 69.

Indonesia adalah gudang para pemalsu lukisan. Alasan para pemalsu

memilih nama-nama pelukis terkenal dapat diduga karena persoalan harga dan

pasar. Karya para pelukis terkenal seperti Affandi dan lain-lain memang

68
Wawancara dengan Dedi Sutama, Loc.Cit., 4 April 2014. (Kemungkinan besar pada saat
Affandi meng-copy / mereproduksi lukisan The Cripples / The Beggars, Affandi tidak berada di studio
milik Bruegel (Belgia), melainkan sedang berada di Paris, karena sejak tahun 1568 sampai sekarang,
lukisan The Cripples / The Beggars berada di museum Louvre, Paris).
69
Dendy Sugono, et al., Loc.Cit., hlm. 1200.
38

marketable, dengan mencatat pencapaian nilai tinggi dalam kalkulasi duit. 70

Pemalsuan lukisan tidak hanya terjadi di Indonesia, Eropa dan Amerika

mempunyai trick dan metodologi yang jauh lebih piawai dalam hal memalsukan

lukisan.71

Gambar 7. Lukisan karya Affandi, Copy Bruegel (1962)


(Foto: usuf Rohimawanto, 29 Maret 2014)

Lukisan tiruan tidak seluruhnya bisa dibilang sebagai bentuk pemalsuan

ilegal. Dalam konteks tertentu peniruan yang dilakukan oleh pelukisnya adalah

sebagai bentuk exercise alias sarana untuk belajar dan latihan. Peniruan dalam

konteks seni postmodern juga menjadi legal, diakui, dan sah, misalnya konsep

70
Agus Dermawan T., Bukit-bukit Perhatian, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004,
hlm. 109 – 110. Nama para pelukis terkenal (marketable) dalam buku ini antara lain: Hendra
Gunawan, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Trubus, Arie Smit, Lee Manfong, Affandi, Anton
Kustiawijaya, Popo Iskandar, Jeihan, Kartono Yudhokusumo, Widajat, Djoko Pekik, Srihadi
Soedarsono, dan beberapa pelukis asing: W.G. Hofker, Rudolf Bonnet, Le Mayeur, Auke Sonnega,
Roland Strasser.
71
Ibid., hlm. 104 – 107.
39

apropriasi 72 atau seni parodi. Tentu saja selama si perupa juga secara jujur

menerangkan namanya dalam lukisan yang ditirunya.73

Pekerjaan meniru dengan konsep mereproduksi sebenarnya adalah

pekerjaan yang memerlukan keterampilan khusus. Di sekolah-sekolah seni rupa

di Eropa dan Amerika kegiatan melukis/menggambar ulang (reproduksi) menjadi

salah satu metode belajar bagi para siswa pada zaman itu. Dari metode ini siswa

memperoleh keterampilan yang dapat dijadikan modal dalam mencari jati dirinya

lewat karya yang bermuatan personal, berciri pribadi.74

Affandi mempunyai cara tersendiri dalam mereproduksi lukisan karya

Bruegel. Affandi menyalin (reproduksi) dengan menggunakan teknik dan gaya

yang berbeda dengan lukisan (The Cripples / The Beggars) yang dirujuknya.

Affandi menggunakan gaya yang sudah menjadi ciri khasnya: ekspresionisme.

Lukisan karya Affandi hasil reproduksi ini (Copy Bruegel) tentu pada akhirnya

mempunyai makna yang berbeda dengan lukisan aslinya.

Lukisan Copy Bruegel (Gambar 7) karya Affandi ini merupakan satu-

satunya lukisan yang ia kerjakan di luar negeri (Belgia) yang sampai sekarang

masih tersimpan sebagai salah satu koleksi Museum Affandi di Yogyakarta.

Lukisan ini merupakan satu-satunya lukisan Affandi yang diciptakan dengan cara
72
Rifky Effendy, Spektrum Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia,
http://www.galerisemarang.com/exdetails.php?ex=38, Diakses: 12 Mei 2014, 03:41 PM. Istilah
apropriasi sering merujuk pada penggunaan elemen-elemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni.
Mengapropriasi berarti meminjam elemen-elemen suatu karya untuk menciptakan karya baru. Hanya
saja yang ditiru atau dipinjam adalah karya orang lain. Apropriasi dianggap memiliki muatan yang
lebih kompleks dari sekedar meniru dan mewakili konsep sang seniman. Keabsahan apropriasi pun
banyak diperdebatkan dengan mengaitkannya dengan pembajakan, pencederaan karya cipta dan
orisinalitas berkarya, serta lain sebagainya.
73
Mikke Susanto, Bagongan, http://mikkesusanto.jogjanews.com/bagonganologi.html,
Diakses: 09 Mei 2014, 10:41 AM.
74
Agus Dermawan T., Op.Cit., 110 – 111.
40

meng-copy (mereproduksi) karya seniman lain namun dengan teknik dan gaya

Affandi yang khas.75

Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas, dapat digarisbawahi

bahwa alasan Affandi mereproduksi lukisan The Cripples / The Beggars karya

Pieter Bruegel seniman asal Belgia ini dikarenakan pada saat melukis, Affandi

tidak menemukan objek yang sama dengan objek yang dilukis oleh Bruegel. Pada

saat itu, Affandi sudah kebelet ingin melukis. Alternatif yang diambil Affandi

sebelum emosinya yang meluap-luap menghilang adalah dengan meng-copy /

mereproduksi lukisan The Cripples / The Beggars. Ritual penciptaan karya copy-

an ini dilakukan di studio milik Bruegel (Belgia). Affandi menandatangani karya

ciptaannya dari hasil menyalin (copy / reproduksi) tersebut dengan menggunakan

nama seniman pencipta lukisan The Cripples / The Beggars (Pieter Bruegel).

Berkaitan dengan copy – paste karya seni lukis, Affandi tidak melakukan

perbuatan yang dianggap ilegal seperti yang telah disebutkan di muka, dalam

peraturan menteri pendidikan nomor 17 tahun 2010 tentang undang-undang

plagiarisme. Pekerjaan meng-copy dengan konsep reproduksi dengan identitas

(tandatangan) si peniru tetap masuk dalam kategori “asli” seperti yang telah

Affandi lakukan. Bentuk visual karya hasil reproduksi Affandi (Copy Bruegel)

dan karya yang menjadi rujukan (The Cripples / The Beggars) sangat berbeda.

Affandi menggunakan gaya yang menjadi ciri khasnya yang mudah dikenali di

dalam dunia kesenilukisan dunia yakni ekspresionisme. Seni ekspresionistis lebih

menekankan intensitas (kekuatan) pengalaman yang ada pada karya seni tersebut.
75
Dedi Sutama dan Paula Maya Dewi, Wawancara dengan Guide Museum Affandi,
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
41

Secara visual ciri khas yang mudah dikenali dari lukisan Affandi adalah

bentuk garis-garis kusut, dengan plototan-plototan warna. Affandi tidak lagi

mementingkan teknik dalam melukis. Pertimbangan-pertimbangan rasionya

tersembunyi dalam spontanitasnya yang ekspresif. Objek alam atau manusia yang

sudah diamatinya, dengan cepat ditumpahkan ke dalam kanvasnya. Penemuannya

menunjukkan perkembangan teknis cara melukis yang diperoleh secara tidak

disengaja, namun memberi jalan sebagai jawaban bagi diri Affandi atas dorongan

emosi artistik yang harus segera dicurahkannya pada bidang kanvas ketika

melukis. Goresan demi goresan langsung dari tube mengalir bak anak sungai,

selembar kanvas putih bersih seolah diacak-acak dengan warna yang saling jalin

selama perjalanan penuangan imajinasinya. Affandi menempuh cara melukis

yang amat efektif, karena karyanya harus diselesaikan secepatnya, dalam satu

atau dua jam, dan caranya ini merupakan keunggulan yang sulit tertandingi.
BAB III

ANALISIS SEMIOTIK LUKISAN COPY BRUEGEL

KARYA AFFANDI

A. Lukisan Copy Bruegel sebuah Sistem Tanda

Lukisan Copy Bruegel karya Affandi dilihat dari kacamata semiotika

struktural Barthesian merupakan sebuah sistem tanda. Sebagai sistem tanda maka

pada lukisan tersebut dapat ditemukan langue dan parole, penanda (signifier) dan

petanda (signified), sintagmatik dan paradigmatik, dan kedua sistem

penandaannya (denotasi dan konotasi).

Sebuah benda yang terbuat dari sebentang kain kanvas, yang di atasnya

berisi beberapa elemen visual rupa seperti goresan atau sapuan garis dan warna

ini disepakati sebagai sebuah lukisan. Kesepakatan memberi nama „lukisan‟ ini

adalah kontrak kolektif yang terjadi pada masyarakat. Karena masyarakat

menyebutnya sebagai lukisan, maka benda tersebut tidak bisa tidak (harus)

disebut lukisan. Meskipun sebenarnya semua orang bisa menyebutnya dengan

nama apa saja, bebas. Sebagai sebuah tanda sebenarnya benda ini arbiter; lukisan

tidak disebut sebagai lukisan karena berpotensi bernama lukisan, dikarenakan ada

model di kepala kita dan kesepakatan bersama untuk menyebutnya lukisan,

bukan yang lain. Inilah ketidaksemena-menaannya. Bebas tapi tidak semena-


43

mena. Demikianlah mengapa lukisan Copy Bruegel karya Affandi harus kita

sebut lukisan. Kebudayaan (langue) kita mendudukkannya sebagai lukisan.

Lukisan Copy Bruegel karya Affandi ini digolongkan sebagai lukisan

ekspresionis. Atau, tidak jarang orang menganggapnya sebagai abstrak.

Demikian umumnya orang menamai gaya lukisan Affandi. Lukisan, ekspresionis

(-me), abstrak, Affandi, merupakan bagian dari kode-kode estetika. Maka

seruwet apa pun objek yang dilukiskan Affandi pada kanvas bakal dilihat sebagai

sebuah karya seni, lukisan. Apalagi Affandi, pelukis ternama satu ini begitu

prominen. Pelukis beken yang terkenal tidak hanya di kalangan kesenian tetapi

juga masyarakat luas. Kalau masyarakat luas saja bisa menerima kode ini

bagaimana mungkin tidak para praktisi seni yang memang hidup dalam kode-

kode estetika.

Kode estetika inilah yang kemudian menjangkar, membuat kita bebas

tetapi tidak bisa semena-mena; lukisan tidak bisa dilihat sebagai bukan lukisan.

Kode-kode estetika ini juga yang membuat Affandi tidak bisa beranjak lebih

jauh; Affandi boleh bereksperimentasi dengan berbagai teknik melukis, dengan

berbagai gaya, berinovasi kreatif, tetapi dia tidak bisa lebih jauh dari langue

sebuah lukisan. Tanpa inovasi kreatif dari seorang Affandi, belum tentu dunia

seni rupa modern Indonesia mengenal bentuk ekspresionisme yang khas ala

Affandi. Tidak ada langue tanpa parole, tidak ada parole di luar langue.

Visualisasi lukisan Copy Bruegel adalah bentuk inovasi kreatif Affandi.

Tuturan (parole) Affandi secara visual (ekstralinguistik). Proses pematangan

teknik melukis, berbagai keterpengaruhannya terhadap gaya seniman yang lain


44

dan modifikasi tekniknya menentukan gaya lukisannya yang khas. Teknik plotot,

langsung dengan tangan (hampir tanpa alat lukis), dan gaya pelukisannya

merupakan tantangan bagi ekspresionisme.

Pada lukisan Copy Bruegel, unsur-unsur visual tidak digunakan untuk

secara langsung merepresentasikan objek-objek tertentu. Copy Bruegel bisa

dikatakan sebagai lukisan dan terlihat sebagai lukisan karena lukisan tersebut

dibangun oleh kombinasi beberapa warna cat yang diplototkan sedemikian rupa

pada kanvas. Tanda-tanda yang memenuhi syarat sebagai lukisan yang dapat

diapresiasi: ada warna, goresan, komposisi garis yang membentuk wujud yang

sudah didistorsi. Kombinasi antara warna, garis, bentuk, dalam bidang kanvas

tersebut merupakan kombinasi tanda-tanda (dalam kode-kode estetik) yang

didukung oleh aspek ruang (bentang kanvas).

Kombinasi tanda-tanda yang didukung oleh aspek ruang ini dalam

semiotika disebut sintagmatik. Semua kombinasi tersebut hadir (in presentia),

dituturkan (dilukiskan: parole) dan oposisional. Dari kombinasi inilah apresian

bisa menangkap pesan dari benda yang disebut lukisan ini.

Selain dalam bentuk kombinasi tanda-tanda (yang didukung aspek ruang),

pesan yang memancar dari lukisan Copy Bruegel dapat dibaca lewat praktik

asosiasi. Apresian dapat menginterpretasikan lukisan yang dilihatnya karena dia

mengasosiasikan tanda-tanda yang terkombinasi di atas bentang kanvas tersebut.

Kemudian merefleksikan pengalaman dan pengetahuan untuk membangun pesan

dari lukisan yang diapresasinya. Refleksi ini tidak hadir (in absentia) secara

wantah pada kanvas, sebab letaknya pada ranah langue. Inilah yang disebut
45

paradigmatik atau sistem. Paradigmatik inilah yang membuat penulis bisa

merefleksikan pesan yang terkandung dalam lukisan karya Affandi tersebut.

Lukisan Copy Bruegel terbentuk dari tanda-tanda yakni goresan yang

tidak beraturan dari cat yang diplototkan langsung pada kanvas. Goresan

langsung yang tumpah pada kanvas tersebut kemudian membentuk sebuah garis

yang spontan dan menghasilkan pemandangan yang terkesan kumuh karena

kondisinya yang terlihat tidak rapi atau terkesan semrawut. Semrawut berasosiasi

dengan ketidakteraturan. Tidak teratur juga dapat diasosiasikan dengan kotor atau

kumuh.

Saat mengamati dan memperhatikan objek pada lukisan Copy Bruegel

yang terlihat tidak teratur, penulis mengasosiasikannya dengan sekumpulan

manusia yang kumuh. Goresan-goresan abstrak yang mengalir seolah

menggambarkan penderitaan dan betapa rentannya sekumpulan manusia kumuh

tersebut. Pewarnaan yang tajam mengasosiasikan kerasnya kehidupan, ditambah

warna-warna kotor yang membuat suasana semakin muram. Corak dan warna

yang kuat membuat lukisan menjadi dinamis dan semakin menekankan suasana

kemuraman dan penderitaan.

Kombinasi tanda-tanda pada bidang kanvas lukisan Copy Bruegel ini

merupakan wilayah ekspresi dari pesan atau isi (content) yang hendak

disampaikan. Penanda dari petanda yang hendak disampaikan. Komposisi yang

merupakan kombinasi dari goresan-goresan garis yang saling bertautan hingga

membentuk sebuah gambar yang terlihat distorsi, warna yang diplototkan

langsung dari tabung cat dan diolah langsung pada bidang kanvas yang terlihat
46

begitu kotor, plototan dan pengkombinasiannya yang sedemikian rupa ini berelasi

dengan petanda yakni seni yang berpihak pada rakyat jelata (seni

kerakyatan). Sistem penandaan ini merupakan sistem penandaan tingkat ke dua,

konotasi. Sistem penandaan tingkat kedua ini terbentuk dari signifikasi ranah

ekspresi, yang merupakan sistem penandaan tingkat pertama (denotasi), yang

berelasi dengan isi (petanda).

B. Lukisan Copy Bruegel sebagai sebuah Pesan

Sebagai sebuah lukisan, Copy Bruegel tentunya banyak mengandung

pesan dibalik goresan-goresan ekspresionistiknya. Pesan-pesan tersebut memiliki

nilai dan makna. Ketika melihat satu lukisan dengan berbagai macam warna,

penulis membayangkan banyak sekali kisah yang dapat diungkap di sana.

Lukisan Copy Bruegel terdiri dari banyak tanda. Unsur-unsur visual yang

melekat di kanvas lukisan Affandi ini adalah tanda, sebuah sistem tanda. Unsur-

unsur terpenting dalam karya dua dimensional adalah garis dan warna76. Begitu

juga yang terdapat pada lukisan Copy Bruegel, di dalamnya kebanyakan adalah

kombinasi garis dan warna. Objek yang didistorsi dan hampir tidak beraturan

bentuknya memenuhi bidang kanvas. Tidak ada gelap terang, yang ada hanya

komposisi garis dan warna. Warna-warna tajam (Gambar 1), warna ringan

(Gambar 2), warna kusam dan kotor (Gambar 3), serta warna-warna yang lain.

Warna dapat memberikan pengaruh pada perangai, perasaan maupun kejiwaan.

Warna pada lukisan Copy Bruegel ini cenderung buram, kusam, dan kotor.

76
Nooryan Bahari, Kritik Seni: Wacana Apresiasi dan Kreasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008, hlm. 99 – 101.
47

Seperti pada pembahasan yang telah lalu, warna yang ada pada lukisan

Copy Bruegel adalah warna-warna mentah yang diolah tanpa alat lukis:

menggunakan jari yang disapukan langsung pada bidang kanvas. Pasti ada

sebentuk pesan yang ingin disampaikan oleh lukisan tersebut kepada para

pengamat ataupun penikmatnya.

Gambar 1. Potongan goresan warna tajam pada lukisan Copy Bruegel


(Edited: usuf Rohimawanto, 9 Juli 2014)

Penggunaan warna pada dasarnya memiliki beberapa fungsi, salah

satunya adalah fungsi warna sebagai perwakilan seniman 77 . Affandi banyak

menggunakan warna-warna kusam dalam mencurahkan emosinya pada saat

melukis. Penggunaan warna dalam fungsi lain yakni fungsi perjanjian

(heraldis)78. Merah adalah berani. Warna cerah seperti merah dan orange pada

lukisan Copy Bruegel menggambarkan keberanian. Berani menghadapi hidup

dalam ketidaksempurnaan. Merah selain menandakan sebuah keberanian juga


77
Herman Pratomo, Fungsi Warna, http://pengantar-warna.blogspot.com/2008/09/ fungsi-
warna-beberapa.html, Diakses: 11 Juli 2014, 01:03 PM.
78
Ibid.
48

menandakan suasana hangat. Yakni ikatan batin yang timbul dari keakraban

mereka, para difabel.

Gambar 2. Potongan goresan warna ringan pada lukisan Copy Bruegel


(Edited: Yusuf Rohimawanto, 9 Juli 2014)

Lukisan Copy Bruegel tidak hanya terdapat warna-warna cerah,

melainkan terdapat juga warna kusam seperti hitam dan coklat yang saling silang

menggambarkan suasana yang muram yang jauh dari kesan kemewahan. Warna

yang tidak beraturan disebabkan goresan yang spontan terkesan tidak teratur dan

tidak seragam antara yang satu dengan lainnya menggambarkan pakaian yang

compang camping. Pakaian yang sering digunakan pengemis dan gelandangan.

Pakaian “dinas” para difabel pada saat mencari nafkah.

Goresan-goresannya pun sudah tidak beraturan, mengimbangi, mengikuti

irama warna yang diolah langsung pada bidang kain putih tersebut. Garis

merupakan unsur seni rupa yang paling penting dan selalu dapat diamati secara
49

visual pada setiap lukisan. Garis dalam lukisan Copy Bruegel tercipta dari

goresan-goresan yang sederhana nan spontan. Spontanitas inilah yang membuat

lukisan tersebut menjadi lebih terlihat hidup. Tersimpan banyak pesan di antara

garis yang saling bertabrakan, bertautan.

Gambar 3. Potongan goresan warna kusam dan kotor pada lukisan Copy Bruegel
(Edited: usuf Rohimawanto, 9 Juli 2014)

Garis mengandung arti lebih dari sekedar goresan, karena garis dengan

iramanya dapat menimbulkan kesan simbolik pada pengamatnya. Setiap garis

menimbulkan kesan psikologis dan persepsi tersendiri. Garis mewakili perasaan

seseorang karena sifat spontanitasnya. Setiap kali menarik garis ketika

menorehkan tanda tangan, apakah kebanyakan orang memikirkan bagaimana cara

menariknya sebelumnya? Tentu tidak bukan? Begitulah garis mewakili perasaan

kita, ia tidak direka-reka, ia keluar begitu saja karena kebiasaan kita; dan sebuah

momentum terekam di sana.


50

Seorang Affandi mengekspresikan pengalamannya yang paling esensial

dan dapat menuangkan ide-ide ke dalam bidang kanvas melalui sebuah goresan

yang secara batiniah mempengaruhi watak, prinsip hidup, dan pandangan

berkeseniannya yakni menyatu dengan orang-orang yang tidak suka bermewah-

mewah yang menjadikannya sumber ilham.79

Gambar 4. Potongan goresan garis yang saling bertautan pada lukisan Copy Bruegel
(Edited: Yusuf Rohimawanto, 9 Juli 2014)

Ekspresi mendalam dapat diamati pada lukisan Copy Bruegel. Affandi

sepertinya telah meluapkan empatinya yang mendalam (terhadap objek lukisan

The Cripples / The Beggars) pada kanvas dengan spontan. Luapan energi yang

kuat dan rekaman keharuan batinnya, dapat dibaca, diinterpretasi, dari goresan-

goresan garis dan warna yang ditampilkan. Warna coklat hitam yang membangun

sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan sebagai latar

79
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1979, hlm. 44.
51

belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi

keseluruhan. Affandi rupanya adalah penghayat yang mudah terharu, sekaligus

petualang hidup yang penuh vitalitas. Lewat sosok dalam lukisan tersebut,

kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu

dapat terbaca.

Lukisan Copy Bruegel karya Affandi ini merupakan tumpahan emosi

yang bercerita tentang sekumpulan orang difabel seperti halnya karya yang

menjadi rujukannya, lukisan The Cripples / The Beggars karya Pieter Bruegel.

Kedua lukisan ini menggambarkan para veteran perang yang pada sisa akhir

hidupnya terpaksa harus bergantung pada alat bantu jalan dalam menjalankan

aktivitas sehari-hari. Mereka mencari nafkah dengan kekuatan yang tersisa,

sebisa dan semampunya, namun dapat menikmati hidup dengan bahagia layaknya

orang-orang di sekitarnya. Namun, kedua seniman ini agaknya mempunyai

perbedaan sudut pandang, selera artistik, dalam mencurahkan perasaan dan

emosinya pada saat mencipta karya. Perbedaan tersebut terlihat pada kedua

lukisan mereka, lukisan reproduksi dan lukisan asli.

Affandi dan Bruegel. Sama-sama berkesenian dengan menggandeng

tangan masyarakat kalangan bawah sebagai objek dalam karya-karya mereka.

Namun dalam kenyataanya, kedua lukisan yang sama-sama menggambarkan

sekumpulan orang difabel tersebut ternyata tidak sama sensasinya. Ketika melihat

lukisan karya Bruegel, apresian terlebih dahulu mendapat sajian sebuah karya

lukis yang indah. Bruegel dalam karyanya The Cripples / The Beggars

menghadirkan kesedihan-kesedihan para pengemis dalam bentuk yang artistik,


52

bentuk yang indah, dengan warna-warna yang bersih. Lain halnya dengan

Affandi, satu-satunya lukisan hasil reproduksinya yang berjudul Copy Bruegel

tersebut tidak dihadirkan sama persis seperti lukisan aslinya, dari segi teknik

maupun segi penjiwaan.

Ketika melihat lukisan Copy Bruegel, yang terlihat pertama adalah

kesemerawutan. Affandi mehadirkan kesedihan-kesedihan para pengemis dalam

bentuk yang sama sekali jauh dari kesan keindahan. Seolah menyayat hati para

pengamat lukisannya. Pertimbangannya tidak lagi semata bersifat fisik lahiriah.

Affandi lebih banyak bermain dalam dunia batin dan idealisnya. Kekaguman

terhadap keindahan alam dan perhatian terhadap hukum-hukum perspektif,

proporsi dan anatomi sudah ditinggalkannya. Affandi lebih mementingkan ide

dan makna daripada kesesuaian karya dengan kenyataan alam atau manusia

sebagai objek yang dilukisnya.

Pengisahan ini tidak disajikan sama persis dengan yang dilihatnya, namun

menyaringnya dengan mempercayakan intuisi yang membimbingnya

mengerjakan lukisan sampai selesai. Pada lukisan ini terungkap objek penting

yang sejalan dengan emosi, selera pribadi dan pengalaman Affandi. Mengungkap

kisah dalam goresan garis-garis kusut. Mengungkap emosi dalam kanvas yang

menghadirkan garis-garis tegas dan kuat; goresan yang berani dan sederhana.

Goresan-goresan lain yang ringan dan kadang menghilang menggambarkan

ketidaksempurnaan dan emosi yang mulai meluruh mendekati titik lemah pelukis.

Goresan-goresan dari plototan cat seperti ini menggambarkan suasana yang akrab

dengan penderitaan.
53

Lukisan Copy Bruegel bercerita tentang penderitaan para veteran perang

yang difabel. Tidak memiliki kaki untuk berjalan layaknya orang-orang yang

lain, namun kehidupan menuntut mereka menjalani aktifitas sehari-hari seperti

orang-orang lain di sekitar mereka. Sama seperti lukisan The Cripples / The

Beggars. Hanya saja bedanya, visualitas lukisan Copy Bruegel ini justru lebih

kuat menghadirkan sensasi objek yang dikisahkannya.

Bruegel memang terkenal sebagai pelukis yang sering merepresentasikan

kehidupan rakyat jelata dalam karya-karyanya tetapi dia tidak bisa melepaskan

diri dari selera artistik (estetika borjuis) yang mengungkungnya. Lukisan-lukisan

karya Bruegel tetap sebuah karya seni yang indah meskipun bermaksud

merepresentasikan penderitaan. Demikian juga pada lukisan The Cripples / The

Beggars. Dalam lukisan ini pertama-tama yang hadir adalah keindahan, bukan

penderitaan. Objek apa saja yang “tidak indah” harus “diindahkan” dalam bahasa

artistik terlebih dahulu. Sementara lukisan Copy Bruegel, dalam visualitasnya,

langsung menghadirkan sensasi penderitaan, kejelataan, kesuraman dan

“kebahagiaan” objek yang digambarkannya.

C. Makna Lukisan Copy Bruegel

Setelah lukisan Copy Bruegel diinterpretasikan (baca tafsir), ditemukan

pesan dan makna pada lukisan ini. Pesan tidak sama dengan makna. Pesan dan

makna adalah dua relata yang tidak terpisahkan, seperti dua sisi pada sekeping

uang logam: pesan adalah penanda dan makna adalah petanda. Makna dan nilai

ini sejajar dengan dikotomi langue dan parole. Makna mencapai kepenuhannya
54

setelah melewati determinasi ganda ini; penandaan dan nilai. Makna pada

Lukisan Copy Bruegel terbentuk dari sistem penandaan dan nilainya.

Nilai merupakan hal-hal yang menjadi latar belakang atau „latar‟

keberadaan sebuah lukisan. Nilai berhubungan erat dengan konsep (sebagai

lawan dari parole); sistem penandaan. Nilai berasal dari relasi timbal balik antara

satuan-satuan bahasa. Jika sama maka diperbandingkan, dan jika bebeda

dipertukaran; inilah nilai.80

Visualitas lukisan Copy Bruegel merupakan metafora kehidupan kaum

jelata: miskin, terpinggirkan dan difabel. Goresan tidak beraturan yang tumpang

tindih merupakan simbol ketumpangtindihan kesengsaraan mereka. Warna-warna

kusam adalah warna-warni kehidupan mereka. Kekuatan metafor inilah yang

menjadikan visual, tanda-tanda yang terkombinasikan, pada lukisan tersebut

bernilai. Lukisan ini terlihat begitu semrawut, menghadirkan kejelataan dengan

kekumuhan visualnya. Lukisan Copy Bruegel diciptakan untuk tidak terlihat

indah. Meskipun akhirnya kode-kode estetik “memaksanya” menjadi sebuah

produk karya seni yang artisitik; hadir dalam lukisan ekpsresionisme yang

artistik.

Lukisan Copy Bruegel merupakan tiruan dari lukisan aslinya The Cripples

/ The Beggars. Seperti yang telah disebutkan, lukisan karya Bruegel

menghadirkan kejelataan, difabel, pengemis, dengan visualitas yang benar-benar

terlihat artistik dan indah. Lukisan The Cripples / The Beggars berbicara tentang

penderitaan melalui bentuk-bentuk visual yang, pertama-tama, tidak

80
Barthes, Roland, Elemen-elemen Semiologi, Yogyakarta: Jalasutra, 2012, hlm. 50 – 52.
55

mengesankan penderitaan, melainkan keindahan. Visualitas pengemis yang

menghadapi kepahitan hidup sehari-hari (dengan tetap menjaga kegembiraan!)

dalam lukisan romantisme yang indah.

Gambar 5. Potongan lukisan Copy Bruegel (kiri) dan The Beggars (kanan)
(Edited: Yusuf Rohimawanto, 14 Juli 2014)

Berbeda dengan lukisan Copy Bruegel karya Affandi. Lukisan Copy

Bruegel berbicara tentang penderitaan dalam visualitasnya yang suram.

Kegembiraan yang pahit dalam ketidakberuntungan hidup. Affandi

menghadirkan sensasi yang lebih dalam dan gelap dalam karyanya kali ini.

Sensasi penderitaan. Gaya ekspresionisnya yang sama sekali “tidak indah” ini

berupaya mengajak apresiannya untuk mengedepankan empati, sensasi (rasa),

mereka atas penderitaan objek yang dimunculkan sebelum akhirnya

mengartikulasikannya sebagai sebuah kombinasi tanda yang artistik.


56

Metafora-metafora yang hadir dalam lukisan Copy Bruegel, karya

reproduksi, ini lebih menohok dari lukisan aslinya, The Cripples / The Beggars.

Pada lukisan Copy Bruegel estetika dikembalikan pada bentuknya yang murni:

sensasi. Estetika tidak pertama-tama berbicara tentang keindahan tetapi sensasi,

nilai-nilai rasa, termasuk di dalamnya nilai-nilai rasa yang sama sekali tidak

indah.81

Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisannya memunculkan energi

yang meluap, lukisan Copy Bruegel juga merekam penghayatan keharuan dunia

batin. Penggambaran kerentaan pada sulur-sulur garis yang mengalir: ekspresi

penderitaan kaum jelata. Di balik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat

menyeruak lewat goresan-goresannya yang dinamis. Vitalitas hidup kaum jelata

yang selalu bisa menemukan kebahagiaan dalam pahitnya kehidupan. Sejalan

dengan estetika lukisan Copy Bruegel yang terbangun bahkan oleh apa saja yang

dalam pandangan umum dianggap tidak indah; estetika hadir dalam visualitasnya

yang sama sekali tidak estetik82.

Lukisan Copy Bruegel adalah salah satu dari banyak karya lukis Affandi

yang mencerminkan rasa kemanusiaan, yang mengusung tema kerakyatan,

bercerita tentang rakyat yang tertindas, dan juga mewakili penderitaan-

penderitaan rakyat jelata. Kesenian Affandi ini adalah seni kerakyatan.

Keberpihakan Affandi terhadap kejelataan pada lukisan Copy Bruegel tidak

81
Lono Lastoro Simatupang, G.R., Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni- Budaya,
Yogyakarta: Jalasutra, 2013, hlm. 101 – 104.
82
Albertus Rusputranto PA., Retorika Visual pada Praktik Representasi Hantu Sebagai
Simbol Identitas Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta, Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma, 2013, hlm. 134 – 135.
57

hanya pada latarbelakang atau tema terciptanya lukisan, namun juga sekaligus

dalam visualitas karyanya. Metafora yang tidak hanya sebuah tiruan artistik tetapi

juga metonimia dari kejelataan itu sendiri. Jelata itu kotor, seperti pada lukisan

Copy Bruegel yang terkesan kotor. Jelata itu kumuh, seperti pada lukisan Copy

Bruegel yang begitu kumuh. Jelata itu miskin, seperti goresan-goresan tidak

beraturan pada lukisan Copy Bruegel yang mencerminkan kemiskinan. Namun

jelata juga memancarkan kebahagiaan di antara getir kehidupannya, pancaran

vitalitas hidup, sebagaimana lukisan Copy Bruegel yang keindahannya terbangun

oleh lebih dari sekadar indah (termasuk apa saja yang dianggap tidak indah).

Estetika yang mendasarkan nilai-nilainya pada nilai-nilai rasa (sensasi) bukan

serta merta indah. Lukisan Copy Bruegel adalah karya seni yang berpihak pada

rakya jelata. Seni yang berlandaskan jiwa kerakyatan. Seni kerakyatan.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Affandi adalah bapak ekspresionisme Indonesia. Seniman yang tidak

hanya terkenal di tanah air tetapi juga dunia. Karya-karyanya melegenda di

pergaulan kesenian internasional. Meski dunia internasional menyebut Affandi

terpayungi dalam genre ekspresionisme, sang begawan lukis ini menyatakan

tidak mengenal aliran seperti itu dalam karyanya. Affandi tidak mempedulikan

sebutan-sebutan yang nangkring pada nama atau karya-karyanya. Karena yang ia

tahu hanyalah berkarya, melukis, dengan langkah-langkah yang lebih

mengutamakan kebebasan dalam berekspresi, yang dilandasi jiwa kerakyatan.

Affandi tertarik dengan tema kehidupan masyarakat kalangan bawah.

Sebagai seniman besar, Affandi ternyata pernah meng-copy dengan

konsep mereproduksi lukisan hasil karya seniman Belgia yang bernama Pieter

Bruegel, seniman naturalistik yang dekat dengan tema kehidupan rakyat jelata

dalam karya-karya lukisnya. Namun, dalam karya reproduksinya tersebut Affandi

tidak meniru persis seperti lukisan aslinya (The Cripples / The Beggars). Affandi

menggunakan gaya yang menjadi ciri khasnya, ekspresionisme, dan

menggunakan nama seniman pencipta lukisan aslinya sebagai judul karya

reproduksinya: Copy Bruegel.


59

Visual lukisan Copy Bruegel merupakan sebuah sistem tanda. Unsur-

unsur visual yang terdapat pada lukisan Copy Bruegel (goresan, garis, bidang

kanvas, ruang, warna, tekstur, bentuk, dan lain sebagainya) ini adalah sistem

tanda. Sebagai tanda, lukisan ini memiliki pesan, nilai dan makna.

Affandi dengan gaya lukisannya yang khas mampu menghadirkan

metafora yang lebih kuat dibanding lukisan aslinya, The Cripples / The Beggars.

Lukisan The Cripples / The Beggars merepresentasikan orang-orang difabel,

pengemis, kejelataan dengan visualitas yang artistik dan indah. Sedangkan

lukisan Copy Bruegel karya hasil reproduksi ini menghadirkan pemandangan

yang sama sekali tidak indah; goresan semrawut, garis yang ruwet, warna kusam

dan kotor serta distorsi bentuk. Meskipun lukisan tersebut tidak pertama-tama

mengutamakan keindahan, lukisan ekspresionisme tetap adalah sebuah karya seni

yang berada dalam kode-kode estetika. Lukisan Copy Bruegel akhirnya adalah

sebuah karya seni yang estetis, yang indah. Keindahan yang dibangun oleh

bahkan yang sama sekali dianggap tidak indah.

Metafora-metafora yang dihadirkan pada lukisan Copy Bruegel

menunjukkan bahwa estetika lukisan karya Affandi tersebut telah

mengembalikan estetika pada nilai-nilai rasa (sensasi). Bukan hanya sekadar

indah. Lukisan Copy Bruegel mencerminkan rasa kemanusiaan dengan

keberpihakan yang kental kejelataan. Lukisan Copy Bruegel ini tidak hanya

berbicara tentang kejelataan tetapi juga hadir sebagai kejelataan.


60

B. Saran

Skripsi ini merupakan sebuah latihan penelitian. Sebagai sebuah latihan,

dengan keterbatasan kemampuan penulis yang newbie (pemula), tentunya hasil

penelitian ini masih jauh dari sempurna.

Sejauh ini, penelitian yang penulis lakukan adalah melakukan baca tafsir

lukisan Copy Bruegel dengan menggunakan pisau bedah semiotika Barthesian.

Penulis menyadari bahwa tulisan hasil penelitian ini masih banyak kekurangan.

Masih banyak yang dapat diteliti. Tetapi karena dengan berbagai keterbatasan

maka penulisan ini hanya sampai pada titik: mengetahui makna dan nilai estetik

yang terkandung dalam lukisan Copy Bruegel karya Affandi. Metafora-metafora

visual dalam lukisan Copy Bruegel sebenarnya masih perlu diteliti lebih dalam

lagi. Metafora adalah nyawa dari lukisan ini. Kekuatan metafora menentukan

bobot lukisan. Tanpa metafora yang kuat karya lukis ini hanya akan tampak

seperti selembar kertas putih yang terkena noda tinta saja, tidak bernyawa.

Beranjak dari kekurangsempurnaan hasil penelitian yang sudah penulis

lakukan dan pentingnya dilakukan penelitian lebih lanjut, maka penulis

menyarankan untuk dilakukan lagi penelitian lebih mendalam, terutama pada

kekuatan metafor visual lukisan Copy Bruegel. Akhir kata, semoga penelitian ini

dapat berguna bagi pembaca dan penelitan-penelitian selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Dermawan T. Bukit-bukit Perhatian, dari Seniman Politik, Lukisan Palsu


sampai Kosmologi Seni Bung Karno. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004.
Ajip Rosidi. 100 Tahun Affandi. Bandung: NUANSA, Cetakan 1, April 2008.
______. Pelukis Affandi: Perkenalan buat Anak-anak. Bandung: NUANSA, Cetakan
1, April 2008.
______. Pelukis Affandi: Perkenalan buat Anak-anak. Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya, 1976.
______, Zainal, Sudarmaji. Affandi 70 Tahun. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta,
Cetakan 1, 1976.
Albertus Rusputranto PA. “Retorika Visual pada Praktik Representasi Hantu Sebagai
Simbol Identitas Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta” (Tesis),
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2013.
Barthes, Roland. Elemen-elemen Semiologi. (Terjemah: Kahfie Nazaruddin),
Yogyakarta: Jalasutra, Cetakan 1, September 2012.
Dendy Sugono, Endang Supriatin, Dede Supriadi, Delia Saparini dan Rini Maryani.
Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional Indonesia, 2008.
Imam Wahjoe L. Profil Maestro Indonesia Volume 1. Jakarta: PT. Indonesia Raya
Audivisi, Cetakan 1, 2003.
Lono Lastoro Simatupang G.R. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni –
Budaya, Yogyakarta: Jalasutra, 2013.
Nooryan Bahari. Kritik Seni, Wacana Apresiasi dan Kreasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Nur Kholis. “Karya Seni Lukis Affandi yang Bertema Landscape Tahun 970- 986”
(Skripsi), Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta, 2012.
Popo Iskandar. Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme. Jakarta: Akademi
Jakarta, Cetakan 1, 1977.
Stechow, Wolfgang. Pieter Bruegel the Elder (about: 1525 – 1569). New York:
Harry N. Abrams, Inc., in association with Pocket Book, Inc., 1954.
Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, 2002.
Tonny Purnomo. “Lukisan Potret Diri Affandi (Sebuah Tinjauan Kritik)” (Skripsi),
Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1984.
Triyanto, R. “Matahari dalam Lukisan Karya Affandi: Sebuah Kajian Semiotika”
(Tesis), Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Agustus 2005.

62
SUMBER LAIN

Affandi. Art and Life Never Part Company. Yogyakarta: Museum Affandi, 1978.
Dedi Sutama (40 tahun). Wawancara dengan Guide Museum Affandi. Yogyakarta: 4
April 2014.
Helfy Dirix. Kliping: Affandi and Family Pameran Lukisan. Yogyakarta: Dirix Art
Gallery, 1996.
Helfy Dirix. Kliping: Saat-saat Terakhir Almarhum Affandi. Yogyakarta: Dirix Art
Gallery, 1998.
Ocvirk, Otto G. Art Fundamentals: Theory and Practice, USA: Wm.C. Brown
Company, 1962.
Paula Maya Dewi (23 tahun). Wawancara dengan Guide Museum Affandi.
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Ray Rizal. Affandi: Hari Sudah Tinggi, Akhir Kata Sang Maestro. Jakarta: Metropos,
1990.
Zulkifli. Analisis Karya Affandi dan Van Gogh, (Jurnal Seni Rupa). Medan:
Universitas Negeri Medan, 2005.

63
SUMBER INTERNET

Bruegel, Pieter the Elder. http://www.pieter-bruegel-the-elder.org/biography.


Diakses: 13 April 2014, 06:04 AM.
Ensiklopedi, Budaya & Warisan Sejarah, Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta,
Affandi, http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/708/Affandi.
Diakses: 9 April 20 4, 06:42 PM
Fahrudin Nasrulloh. On Rendezvous: Affandi dan Chairil Anwar. http://sastra-
indonesia.com/2008/12/on-rendezvous-affandi-dan-chairil-anwar/. Diakses:
19 April 2014, 05:51 PM.
Galeri Lukisan Indonesia, Affandi (1907-1990), http://galeri-lukisan-
indonesia.blogspot.com/2013/03/affandi-19071990.html. Diakses: 19 April
2014, 02:47 AM.
Herman Pratomo, http://pengantar-warna.blogspot.com/2008/09/fungsi-warna-
beberapa.html, Diakses: 11 Juli 2014, 01:03 PM.
Kompas Online. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/04/24/0064.html.
Diakses: 19 April 2014.
Mark Harden, http://www.ibiblio.org/wm/paint/auth/bruegel/, Diunduh: 08
April 2014, 03:16 PM
Mikke Susanto. Bagong. http://mikkesusanto.jogjanews.com/bagonganologi.html.
Diakses: 09 Mei 2014, 10:41 AM.
Nasbahry Couto, http://nasbahrygalleryedu.blogspot.com/2011/10/aspek-produksi-
peragaan-dan-penampilan.html, Diakses: 20 Juli 2014, 10:18 AM.
Rifky Effendy, Spektrum Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di
Indonesia, http://www.galerisemarang.com/exdetails.php?ex=38. Diakses: 12
Mei 2014, 03:41 PM.
Sari Julia. http://archive.ivaa-online.org/artworks/detail/42. Diunduh: 01 Mei 2014,
07:19 PM.
The Beggars, Painting. http://www.ibiblio.org/wm/paint/auth/bruegel/beggars.jpg.
Diunduh: 8 April 2014.
Translate, Google. http://translate.google.com/#auto/id/. Diakses: 2014.

64
LAMPIRAN
AFFANDI KOESOEMA (1907 – 1990)83

Gambar 1. Lukisan karya Basuki Abdullah, Affandi's Portrait (1987)


(Sumber: http://www.affandi.org/collection/friends, Diunduh, 06 Juli 20 4, 09:15:49 PM)

Affandi Koesoema yang lebih akrab disapa Affandi, merupakan anak ketiga

dari tujuh bersaudara, lahir pada tahun 1907 di Cirebon, Jawa Barat. Mengenyam

pendidikan formal di Holands Inlandsche School (setingkat Sekolah Dasar, pada

jaman Hindia Belanda) di Indramayu, pendidikan menengah pertama di Meer

83
Penulis menyusun biografi Affandi dengan referensi dari berbagai sumber seperti buku,
majalah, kliping dan sumber internet yang validitas dan reliabilitas datanya tidak diragukan.

1
Uitgebreit Lagere Onderwijs (MULO), dan terakhir di Algemene Middelbare School

(AMS) Jakarta. Pada waktu duduk di AMS-B (setingkat pendidikan menengah atas)

inilah minat Affandi melukis tumbuh dengan kuat, dan ketika tiba saat harus

melanjutkan ke jenjang selanjutnya (THS 84), ternyata Affandi lebih memilih jalan

menjadi pelukis. Affandi belajar melukis sejak 1934 secara otodidak. Ia menikah

dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor pada 1933, dan dikaruniai seorang putri yang

sekarang mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi. Atas izin

dari Maryati istri yang pertama, Affandi menikah lagi dengan Rubiyem dan

dikaruniai tiga orang anak, yakni Rukmini Affandi, Agung Affandi, dan Juki Affandi

(sekarang menjabat sebagai kepala pengelola Museum Affandi85).

Sebelum menekuni bidang seni lukis secara serius, Affandi pernah bekerja

sebagai guru menggambar dan tukang sobek karcis gedung bioskop di Bandung.

Selain itu, karena Affandi memang sudah mempunyai skill menggambar yang

lumayan baik, ia pun pernah menjadi seorang pembuat gambar reklame pada

bioskop. Namun dari semua pekerjaannya itu, Affandi lebih tertarik pada bidang seni

lukis dan ingin menjadi seorang pelukis profesional.

Sekitar tahun 1935-an, Affandi bergabung dan sekaligus menjadi pemimpin

kelompok Pelukis Lima Bandung. Kelompok yang terdiri atas lima pelukis Bandung

ini merupakan sebuah kelompok belajar yang semua anggota kelompok saling

membantu dan bekerja sama. Mereka adalah Hendra Gunawan, Sudarso, Barli,

84
THS (Technische Hooge School) adalah salah satu perguruan tinggi di Bandung yang
sekarang menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung).
85
Museum Affandi: didirikan pada tahun 1973 di atas tanah tempat tinggal Affandi di tepi
Kali (sungai) Gajah Wong, Yogyakarta. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad
Hasan. Sejarah mencatat, Museum Affandi pernah dikunjungi oleh pejabat tinggi negara seperti Ir.
Soekarno, H.M. Soeharto, dan para petinggi negara lainnya.

2
Wahdi, dan Affandi. Kelompok ini berperan cukup penting dan memberikan andil

cukup besar terhadap perkembangan seni rupa modern di Indonesia.

Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya pada 1943, di Gedung

Poetra Djakarta, yang pada waktu itu masih dikuasai oleh tentara Jepang. Setelah

teks proklamasi dikumandangkan, banyak pelukis yang ambil bagian dalam hiruk

pikuk semangat kemerdekaan, termasuk Affandi. Dia aktif membuat poster-poster

perjuangan untuk membangkitkan semangat juang bangsa mempertahankan

kemerdekaan.

Berbagai penghargaan dan hadiah dari dalam maupun luar negeri bagaikan

membanjiri perjalanan hidup seniman yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada

dunia seni lukis ini. Pada 1974, Affandi mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari

University of Singapore. Tahun 1977, mendapat piagam International Peace Award

(Hadiah Perdamaian) dari Yayasan Dag Hammarskjöld dengan gelar Grand Maestro.

Selain itu, komite pusat The Central Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San

Marzano, Florence, Italia, mengangkatnya sebagai anggota The Human Rights

Academy (Akademi Hak Asasi Manusia).86

Pun dari dalam negeri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterima,

di antaranya anugerah seni dan medali emas dari Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan pada tahun 1969, dan diangkat menjadi anggota kehormatan untuk

seumur hidup pada Akademi Jakarta. Pada tahun 1978, menerima penghargaan

„Bintang Jasa Utama‟ dan sejak 986 Affandi diangkat menjadi Anggota Dewan

86
Affandi, Art and Life Never Part Company, Yogyakarta: Museum Affandi, 1978, hlm. 9.

3
Penyantun Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. 87 Seorang Chairil Anwar

(pujangga besar88) pun mempersembahkan dua potong sajak khusus untuk Affandi

sebagai tanda persahabatan, dengan judul Kepada Pelukis Affandi dan Betinanya

Affandi (1946) 89 . Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel)

Indonesia mengabadikan wajah Affandi dengan menerbitkan perangko baru seri

tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi), gambar yang

digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-potrait Affandi tahun 1974, saat

Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum yang sekaligus

kediamannya, Yogyakarta90.

Pada 23 Mei 1990 dunia kehilangan seorang maestro di bidang seni lukis.

Affandi berpulang menghadap sang pencipta. Affandi telah tiada. Meskipun telah

tiada, karya-karyanya masih dapat dinikmati di Museum Affandi.

“Aku ingin melukis. Jiwaku masih tetap mau melukis. Tapi kenapa tubuhku
tak bertenaga? Mengapa aku dibiarkan terbaring tak berdaya?”. Itulah kata-kata
terakhir Sang Maestro. Selamat jalan Affandi. Selamat jalan pilar budaya
bangsa.91

Affandi dimakamkan di kompleks Museum Affandi, seperti permintaannya

semasa hidup bahwa ia ingin selalu dikelilingi oleh keluarga dan karya-karyanya.

87
Ibid.
88
... Surat pendek bertuliskan: “Affandi, kapan kau akan memulai membuat lukisan seorang
Pujangga Besar”, di bawah surat itu tertoreh tandatangan Chairil Anwar, penyair puisi modern
terkemuka di Indonesia.
89
Fahrudin Nasrulloh, http://sastra-indonesia.com/2008/12/on-rendezvous-affandi-dan-
chairil-anwar/, (On Rendezvous: Affandi dan Chairil Anwar, Jawa Post, 20 Mei 2007), Diakses: 19
April 2014, 04:28 PM.
90
Kompas Online, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/04/24/0064.html, Kompas,
Kamis, 24 April 1997, Diakses: 19 April 2014, 04:04 PM.
91
Ray Rizal, Affandi: Hari Sudah Tinggi, Akhir Kata Sang Maestro, Jakarta: Metropos,
1990.

4
KARYA AFFANDI92

Berikut beberapa karya-karya terpenting Affandi versi kliping Affandi and

Family Pameran Lukisan yang disusun oleh Helfy Dirix cucu tertua dari anak

pertama Affandi, Kartika Affandi dari pernikahannya dengan istri yang pertama

yakni Maryati.

1. Ibuku (1940). Lukisan potret cat minyak bergaya naturalis yang kini dikoleksi

Direktorat Kesenian Jakarta RI. Banyak yang menganggapnya sebagai salah satu

lukian potret terbaik Indonesia.

2. Potret Diri (1940). Sosok Affandi seluruh badan dengan teknik pewarnaan yang

tampak masih mencari-cari. Namun, dari sini tujuan melukisnya ditetapkan.

3. Potret Diri (1943). Cat minyak, warna coklat kemerahan dengan sapuan kuasnya

menandakan Affandi mulai gelisah. Lukisan ini sekarang tersimpan di Museum

Affandi, Yogyakarta.

4. Pengemis (1944). Lukisan cat air ini benar-benar memukau. Falsafah hidup

manusia –datang, tinggal, dan pergi– diselipkannya secara mengesankan.

Pengaruh lelehan cat air pada lukisan ini menjadi pijakan pencapain estetis

lukisan-lukisan penting berikutnya.

5. Gerilya (1948). Lukisan cat minyak ukuran 102 × 82 cm. Kini menjadi koleksi

Jusuf Ronodipuro. Sebagaimana Sudjojono dan Dullah, Affandi juga tergerak

melukis suasana perang kemerdekaan.

92
Helfy Dirix, Kliping Affandi and Family Pameran Lukisan, Yogyakarta: Dirix Art Gallery,
1996.

5
6. Chairil Anwar (1949). Cat minyak 94 × 77 cm. Lukisan ini membuktikan betapa

eratnya hubungan Affandi dengan penyair besar kemenakan perdana menteri

Syahrir itu. Lukisan ini dikerjakannya beberapa saat setelah dia mendengar

Chairil Anwar meninggal.

7. Cucu Pertama Lahir (1953). Lewat pilihan warna coklat kehitaman, keoptimisan

sekaligus penderitaan masa depan terwakili dengan baik. Ajip Rosidi

menganggap lukisan ini salah satu masterpiece-nya. Lukisan ini sekarang

tersimpan di Museum Affandi, Yogyakarta.

8. Menara Eifel (1953). Pada tahun 1953, Affandi mencapai puncak kreatifnya.

Perjalanan keliling dunianya cukup banyak menghasilkan karya dan lukisan ini

menjadi salah satu tonggaknya.

9. Adu Ayam di Bali (1955). Almarhum pelukis Nashar berkomentar, pada lukisan

ini tergambar kekuatan sekaligus kelemahan Affandi. Fisi serta komposisinya,

kata Nashar, seperti dia serahkan kepada ilham. “Affandi seperti seorang

pencerita yang mulai kehabisan ide,”

10. Ibuku Sedang Marah (1960). Affandi menganggap lukisan inilah yang paling pas

untuk menggambarkan karakter dan sosok ibunya. Spontanitas garisnya yang

kasar justru menjadi daya tariknya.

6
PIETER BRUEGEL (1525 – 1569)93

Gambar 2. Drawing Bruegel, The Painter and the Connoisseur (1965)


(Repro: Yusuf Rohimawanto, 14 Juli 2014)

Pieter the Elder Bruegel was a Netherlandish painter and designer for

engravings. His works provide a profound and elemental insight into man and his

relationship to the world of nature.

Pieter Bruegel lived at a time when northern art was strongly influenced by

Italian mannerism, but despite the requisite journey to Italy for purposes of study, he

was astonishingly independent of the dominant artistic interests of his day. Instead,

he deliberately revived the late Gothic style of Hieronymus Bosch as the point of

departure for his own highly complex and original art.


93
Pieter Bruegel the Elder, The Complete Works, http://www.pieter-bruegel-the-
elder.org/biography.html, Diakses: 14 Juli 2014, 08:51 AM.

7
From the fact that Bruegel entered the Antwerp painters' guild in 1551, we

may infer that he was born between 1525 and 1530. His master, according to Van

Mander, was the Antwerp painter Pieter Coecke van Aelst, whose daughter Bruegel

married in 1563. Between 1552 and 1553 Bruegel went to Italy, probably by way of

France. He visited Rome, where he met the miniaturist Giulio Clovio, whose will of

1578 lists three paintings by Bruegel. These works, which apparently were

landscapes, have not survived.

About 1555 Bruegel returned to Antwerp by way of the Alps, which resulted

in a number of exquisite drawings of mountain landscapes. These sketches, which

form the basis for many of his later paintings, are not records of actual places but

"composites" made in order to investigate the organic life of forms in nature.

The most authoritative book in English on Bruegel is Fritz Grossmann,

Bruegel: The Paintings (1955). It contains an exhaustive account of the artist's life

and works as well as a thoughtful interpretation of the meaning of the paintings. A

brilliant, though controversial, essay on Bruegel's art and its relation to the thought

of the period is in Charles de Tolnay, The Drawings of Pieter Bruegel, the Elder,

with a Critical Catalogue (1935; trans. 1952). For information on the engraved

works see H. Arthur Klein, ed., Graphic Works of Pieter Bruegel the Elder (1963).

Useful general surveys are Robert L. Delevoy, Bruegel: Historical and Critical Study

(1954; trans. 1959), and the excellent essay in Charles D. Cuttler, Northern

Painting: From Pucelle to Bruegel (1968).

8
MUSEUM AFFANDI

Gambar 3. Pintu gerbang utama


(Foto: usuf Rohimawanto, 28 Maret 2014)

Gambar 4. Papan nama waktu kunjungan


(Foto: usuf Rohimawanto, 28 Maret 2014)

9
Gambar 5. Museum Affandi tampak samping depan
(Foto: usuf Rohimawanto, 28 Maret 2014)

Gambar 6. Atap berbentuk daun pisang


(Foto: usuf Rohimawanto, 28 Maret 2014)

10
Gambar 7. Koleksi lukisan Galeri 1
(Foto: Jamal Mubarok, Nopember 2013)

Gambar 8. Perpustakaan Museum Affandi


(Foto: usuf Rohimawanto, 28 Maret 2014)

11
Gambar 9. Berfoto di Museum Affandi tampak depan
(Foto: Siti Murdiyati, 4 April 2014)

Gambar 10. Berfoto di depan Museum Affandi


(Foto: usuf Rohimawanto, 4 April 2014)

12
GLOSARIUM

Antipoda: kebalikan atau lawan dari sebuah ide, benda, tempat; orang-orang yang
saling bertentangan atau berlawanan pendirian.
Apropriasi: penyetaraan; peminjaman elemen-elemen dalam suatu kreasi karya seni;
aprosiasi selalu mengandung gejala kemiripan atau keserupaan suatu imaji
terhadap imaji lainnya.
Asosiasi: tautan diingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau
pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindra.
Bak: bagaikan; seperti; menyatakan perbandingan.
Begawan: julukan untuk orang yang ahli dibidang tertentu.
Beken: terkenal; masyhur.
Borjuis: kelas masyarakat golongan menengah ke atas; lawan dari jelata.
Deadline: time limit; batas waktu; waktu di mana sesuatu perkerjaan harus dilakukan
atau selesai.
Determinasi: ketentuan; memastikan; kepastian.
Difabel: diffable; differenly able; cacat; sikap positif yang menekankan pada
perbedaan kemampuan dan bukan pada keterbatasan, ketidakmampuan atau
kecacatan baik fisik maupun mental.
Distorsi: penyimpangan; perubahan bentuk.
Exercise: pelatihan.
Grand maestro: seniman besar; orang yang ahli dalam bidan seni.
Guide: pemandu; penunjuk jalan; pemandu wisata, orang yang dibayar ataupun yang
disewa untuk menemani wisatawan untuk memberikan petunjuk jalan, peta,
dan memberikan informasi mengenai suatu jalan.
Humanis: penganut humanisme; kemanusiaan; orang yang memperjuangkan
terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas
kemanusiaan.
Kebelet: tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan; ingin sekali.
Manut: penurut; patuh.
Marketable: berharga; nilai jual yang tinggi.
Masterpiece: mahakarya; karya besar.
Menjangkar: berhenti; tidak dapat kemana-mana.
Nan: yang.
Nangkring: berada; berada pada; beradai di tempat yang lebih tinggi.
Ndableg: dari bahasa jawa, menganggap seperti tidak ada apa-apa; tidak terlalu
perasa atau mungkin karena sudah sering mengalami; masa bodoh; keras
kepala.
Netherlandish: Netherlandish Renaissance; mengacu pada perkembangan pesat
lukisan yang terjadi di Belanda selama abad ke-15 dan ke-16.
Newbie: pemula; pendatang baru.
Ngecrohi: dari bahasa jawa, kritikan dengan nada pedas namun bercanda; hampir
sama dengan bully tapi lebih cenderung bercanda dengan tujuan positif.
Otodidak: autodidak; mempelajari sendiri.
Parodi: seni parodi, karya dengan menirukan gaya atau kata dari pencipta lain
dengan maksud mencari efek kejenakaan.
Plagiator: pelaku plagiat; orang yang mengambil karya orang lain dan diakui
sebagai karyanya; penjiplak; mengklaim menjadi miliknya.
Plototan tube: menekan wadah yang berisi cat; cara yang biasa dilakukan Affandi
pada saat melukis dengan gaya ekspresionisme.
Prominen: terkemuka; menonjol.
Relata: atau relatum berdiri dalam hubungan; relevan; memberikan penjelasan
tentang.
Reliabilitas: hal yang dapat dipercaya; dapat diandalkan; konsisten.
Repainter: istilah untuk orang yang ahli mereproduksi lukisan.
Semantik: pembelajaran tentang makna; biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain:
sintaksis; pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana,
pragmatika; penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.
Seruwet: dari bahasa jawa, kata dasar ruwet, kusut; kalut; rumit; sangat tidak teratur;
semrawut.
Subject matter: tema; komponen yang sangat penting dalam penciptaan karya seni,
sesuatu yang ingin disampaikan kepada penghayat.
Thimik-thimik: dari bahasa jawa; berjalan pelan namun terarah; berjalan dengan
sadar untuk mencapai tujuan.
Validitas: ketepatan; kesahihan; kecermatan; derajat kebenaran.
Veteran: orang yang pernah memiliki pengalaman dibidang militer ataupun
penegakan hukum.
Visualitas: citra (image), baik dua dimensi (dwimatra) maupun tiga dimensional
(trimatra) yang dapat diidentifikasi melalui indera optik kita (mata). Citra
visual dua dimensional bisa berupa lukisan, poster, fotografi, cover buku,
gambar di badan bus dan sebagainya. Sementara citra tiga dimensional bisa
berupa relief, patung, bahkan objek benda sehari-hari sekalipun.
Vitalitas: bergairah; semangat; antusiasme; daya hidup.
BIODATA PENULIS

Nama lengkap : Yusuf Rohimawanto


Nama panggilan : Yusuf/Ucup
Tempat/tgl lahir : Muara Burnai, 04 Oktober 1984
Alamat : Muara Burnai, Lempuing Jaya, OKI
Sum – Sel. 30657.
Alamat domisili : Perum Puncak Solo, RT/RW
Jawa Tengah. 57126.
Email : cahisisolo@yahoo.com

Riwayat Pendidikan:
 TK/TPA :
 SD/MI :
 SMP/MTs :
 SMA/MA :
 Perguruan Tinggi :

Riwayat Pameran:
 2007 :
 2008 :
 2009 :
 2010 :
 2011 :
 2012 :

Anda mungkin juga menyukai