Baca Tafsir Lukisan Copy Bruegel Karya Affandi (Skripsi)
Baca Tafsir Lukisan Copy Bruegel Karya Affandi (Skripsi)
KARYA AFFANDI
SKRIPSI
Oleh:
YUSUF ROHIMAWANTO
NIM. 07149118
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana S-1
Program Studi Seni Rupa Murni
Jurusan Seni Rupa Murni
Oleh:
Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118
LAPORAN SKRIPSI
Disusun oleh:
Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118
Menyetujui
Pembimbing Ketua Jurusan Seni Rupa Murni
Albertus Rusputranto PA., S.Sn., M.Hum Moch. Sofwan Zarkasi, S.Sn., M.Sn.
NIP. 197905082008121003 NIP. 197311072006041002
ii
PENGESAHAN
Skripsi berjudul
disusun oleh
Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118
Dewan Penguji:
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang bernama Yusuf
dengan judul: Baca Tafsir Lukisan Copy Bruegel Karya Affandi ini belum pernah
Karya tugas akhir skripsi ini merupakan hasil penelitian yang didukung
dalam karya tugas akhir skripsi ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah
sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagimana diacu secara tertulis dalam daftar
pustaka. Maka dari itu, saya bertanggung jawab atas keaslian karya tugas akhir
skripsi ini.
Yusuf Rohimawanto
NIM. 07149118
iv
MOTTO
سورة ال ب قرة
Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
v
ABSTRAK
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan yang Maha Pemurah dan Penolong,
berbagai pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan karya tugas akhir skripsi
berjudul Baca Tafsir Lukisan Copy Bruegel Karya Affandi, sehingga dapat selesai
tepat waktu. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana S-1 pada Program Studi Seni Rupa Murni, Jurusan Seni Rupa Murni,
Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
seluruh tenaga dan kesabarannya dalam membimbing mahasiswa yang ndableg ini
tanpa ada rasa kapok ataupun bosan. Sehingga banyak sekali pelajaran yang dapat
Terima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Sri Rochana Widyastutieningrum, S.Kar.,
M.Hum, selaku Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Dra. Hj. Sunarmi,
M.Hum, selaku Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain, dan Mochammad Sofwan
Zarkasi, S.Sn., M.Sn, selaku Ketua Program Studi Seni Rupa Murni.
semua dosen pengajar Program Studi Seni Rupa Murni, Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta. Terima kasih kepada Pak Nurate (Drs. I Gusti Nengah Nurata), seorang
seniman inspiratif yang telah banyak memberi pelajaran dan membantu memperluas
vii
cakrawala pengetahuan tentang dunia seni lukis. Terima kasih kepada Pak Kolis
(Drs. Henri Cholis, M.Sn), sebagai pembimbing akademik selama masa perkuliahan,
Pak Effy, Pak Kirno, Pak Toni, Bu Nunuk, Pak Santoso, Pak Didik, Pak Wisnu, dan
semua dosen yang tidak sempat disebutkan, semoga ilmu yang kalian berikan dapat
Terima kasih banyak kepada Anita Wijiastuti yang telah bersedia membaca
semua teman mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, terutama kawan dan
sahabat yang senasib seperjuangan, seangkatan, kosong tujuh is the best. Nisa, Treya,
Finda, Rio, yang sudah lebih dulu melangkah dan pergi meninggalkan bangku
kampus karena sudah mendapat tanda tangan pengesahan dari para penguji ahli.
Rindi, Eko, Putut, Malik, Aris, Diaz, Renda, Seto, Menjenk, yang masih berjalan
thimik-thimik, pelan tapi pasti dalam menyusul mereka-mereka yang telah diwisuda.
Sarif, Dinar, Wanto, Bayu, yang tak sempat sampai finish dalam studinya, entah
karena alasan apa hanya mereka dan Tuhan yang tahu, dan terima kasih kepada
semua teman yang tidak sempat disebutkan. Berteman dengan kalian semua
Kepada kedua orang tua tercinta (Suwoyo dan Suhartini), yang berada nan
jauh di sana, anakmu tidak akan pernah menjadi seperti sekarang ini tanpa dukungan
moril maupun materiil yang disertai iringan do‟a mujarab kalian berdua. Mas Mail
sekeluarga, Dek Lia, Dek Ali, Dek Nita, yang turut serta ngecrohi dengan tujuan
supaya dalam penyusunan karya tugas akhir skripsi ini lekas kelar dan dapat sesegera
viii
Terima kasih teruntuk istri dan putriku (Siti Murdiyati dan Yulia Fitriana
Yusuf), dengan predikat solehahnya selalu manut pada suami yang telah menduakan
mereka dengan deadline. Waktu yang seharusnya menjadi milik mereka berdua
ternyata diberikan kepada barang elektronik (laptop) yang hampir setiap hari
dipandang dan dibelai seolah tidak peduli dengan keluhan mereka berdua, maaf.
Tentunya masih banyak lagi ucapan terima kasih tertuju kepada semua pihak yang
langkah penting bagi proses belajar kita semua. Penulis sadar betul dalam
penyusunan karya tugas akhir skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Tidak ada
manusia yang sempurna di dunia, namun perlu diingat bahwa manusia adalah
mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Maka, dengan segala kerendahan hati
penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif agar kelak skripsi yang senada
Semoga karya tugas akhir skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
Penulis
Yusuf Rohimawanto
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................... iv
MOTTO ................................................................................................................ v
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 6
F. Landasan Teori ............................................................................... 10
G. Metodologi Penelitian .................................................................... 16
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 19
BAB II LUKISAN COPY BRUEGEL KARYA REPRODUKSI ..................... 21
A. Proses Kreatif Affandi .................................................................... 21
B. Affandi dan Rakyat Jelata............................................................... 30
C. The Cripples / The Beggar; Karya Pieter Bruegel .......................... 34
D. Copy Bruegel (1962); Sebuah Karya Reproduksi .......................... 36
BAB III ANALISIS SEMIOTIK LUKISAN COPY BRUEGEL ....................... 42
A. Lukisan Copy Bruegel sebuah Sistem Tanda ................................. 42
B. Lukisan Copy Bruegel sebagai sebuah Pesan ................................. 46
C. Makna Lukisan Copy Bruegel ........................................................ 53
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 58
A. Kesimpulan ..................................................................................... 58
B. Saran ............................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 61
LAMPIRAN
GLOSARIUM
x
DAFTAR GAMBAR
BAB I
Gambar 1. Perbedaan Langue dan Parole............................................................ 11
Gambar 2. Poros Sintagmatik dan Paradigmatik ................................................. 14
Gambar 3. Konsep Konotasi dan Denotasi .......................................................... 15
BAB II
Gambar 1. Ibuku (1936) ....................................................................................... 24
Gambar 2. Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi (1944)................................... 25
Gambar 3. Menggendong Cucu Pertama (1953).................................................. 26
Gambar 4. Belajar Anatomi (1947) ...................................................................... 27
Gambar 5. Potret Diri (1944) ............................................................................... 28
Gambar 6. The Cripples / The Beggars (1568) .................................................... 35
Gambar 7. Copy Bruegel (1962) .......................................................................... 38
BAB III
Gambar 1. Potongan goresan warna tajam lukisan Copy Bruegel ....................... 47
Gambar 2. Potongan goresan warna ringan lukisan Copy Bruegel ...................... 48
Gambar 3. Potongan goresan warna kusam dan kotor Copy Bruegel .................. 49
Gambar 4. Potongan goresan garis yang saling bertautan Copy Bruegel ............ 50
Gambar 5. Potongan lukisan Copy Bruegel dan The Beggars ............................. 55
xi
BAB I
PENDAHULUAN
yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran 2 . Sehingga karya seni merupakan
perbuatan, buatan atau ciptaan yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa.
meniru atau copy paste karya seni orang lain tanpa menyertakan nama dari
seniman aslinya. Hal ini telah diatur pemerintah dalam Undang-Undang Hak
memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya
ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah pihak lain yang
diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan
plagiat, masing-masing bertindak untuk diri sendiri, untuk kelompok atau untuk
1
Dendy Sugono, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia, 2008, hlm. 645.
2
Ibid., hlm. 1316.
2
dan atas naman suatu badan3. Karya yang termasuk dalam undang-undang di atas
sketsa, patung atau hasil karya dan atau karya ilmiah sejenis yang tidak termasuk
Seperti sudah dipahami publik bahwa karya seni palsu adalah karya yang
bukan dibuat oleh seniman yang namanya tertera (tandatangan) dalam karya
tersebut. Seperti halnya dalam karya seni lukis yang bersifat meniru persis sebuah
lukisan, atau meniru gaya seni lukis karya seorang pelukis. Pekerjaan meniru
meniru tetap terkategori sebagai “lukisan asli”, meski dengan ide tidak orisinal5.
siswa didorong untuk mencari karakter dirinya sendiri lewat karya yang
3
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Pasal 1 Ayat 1 dan 2, hlm. 2.
4
Ibid., Pasal 2 Ayat 3, hlm. 4.
5
Agus Dermawan T., Bukit-bukit Perhatian, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2004, hlm. 110.
6
Ibid., hlm. 111.
3
terkenal Indonesia yang telah menghasilkan ribuan karya, Affandi, juga pernah
seorang pelukis Eropa yang bernama Pieter Bruegel the Elder (Brueghel).
Cripples / The Beggars, dilukis pada tahun 1568. Lukisan ini menggambarkan
tongkat untuk berjalan tetapi menikmati hidup dengan bahagia seperti halnya
karya Bruegel ini? Banyak pelukis lain yang bagus karya-karyanya, tetapi
bukan lukisan Monalisa, karya Leonardo da Vinci, atau karya-karya Vincent van
“Beberapa orang bilang lukisan saya mirip sedikit dengan lukisan van
Gogh. Hal ini bisa saja benar. Menurut saya hal ini karena baik van Gogh
maupun saya sama-sama seorang ekspresionis. Kami sama berlayar
menggunakan biduk ekspresionisme,” kata Affandi.8
daya tarik tersendiri. Ciri khas yang terdapat pada lukisan reproduksi The
7
Google Translate: Petani Bruegel.
8
Imam Wahjoe L., Profil Maestro Indonesia Volume I, Jakarta: PT. Indonesia Raya
Audivisi, 2003, hlm. 65.
4
Cripples / The Beggars karya Affandi yang diberi judul Copy Bruegel adalah
bentuk visual yang sama namun teknik penggarapan yang berbeda sehingga
sangat mungkin akan memunculkan nilai estetik dan makna yang berbeda pula.
Bruegel menggunakan teknik dan gayanya sendiri begitu juga dengan Affandi.
menjadi ciri khasnya. Copy Bruegel ini merupakan salah satu karya Affandi yang
Menilik latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, ada beberapa
alasan yang menarik penulis. Pertama, Affandi mereproduksi karya Bruegel dan
reproduksi yang “berbeda” tersebut tentu memunculkan makna dan nilai estetik
yang berbeda. Inilah yang mendorong penulis untuk mengarahkan penelitian ini
pada bagaimana melakukan baca tafsir lukisan Copy Bruegel karya Affandi.
B. Rumusan Masalah
Bruegel Karya Affandi ini, penulis menyusun tiga poin pertanyaan sebagai
2. Apa perbedaan antara lukisan The Cripples / The Beggars karya Pieter
3. Makna apa yang terkandung dalam lukisan Copy Bruegel karya Affandi?
5
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian karya ilmiah yang berjudul Baca Tafsir Lukisan Copy
D. Manfaat Penelitian
rinci tentang latar belakang Affandi mereproduksi karya Pieter Bruegel yang
berjudul The Cripples / The Beggars. Dilihat dari sudut pandang keilmuan,
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya konsep dan teknik pengkajian seni
Seni Rupa Murni, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI)
seni, khususnya seni lukis. Lembaga memiliki referensi tentang alasan Affandi
serta referensi tentang nilai estetik dan makna yang terkandung dalam karya lukis
Manfaat lain dari hasil penelitian ini, bagi masyarakat khususnya para
E. Tinjauan Pustaka
Ajib Rosidi, dalam bukunya yang berjudul 100 Tahun Affandi, mengulas
banyak hal tentang perjuangan seniman Affandi. Buku ini menjelaskan tentang
aliran-aliran yang pernah dilalui oleh Affandi sebagai pelukis, salah satunya
impresionis dan akhirnya menjadi realis. Affandi masih merasa tidak cocok
dengan gaya lukisan tersebut. Dia mengikuti dorongan hatinya yang hendak
menemukan pengucapan seni yang otentik. Dalam hal ini, Affandi banyak
lukisan-lukisan Van Gogh dan para pelukis modern lainnya baik lukisan asli
maupun reproduksi.
9
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, Bandung: Nuansa Cendekia, 2008, hlm. 27.
7
oleh Van Gogh, tetapi dalam buku yang ditulis Popo Iskandar, berjudul Affandi:
tubenya kemudian menggunakan tangan kiri untuk menyapu cat di atas kanvas
dan yang demikian itu tidak pernah dilakukan oleh Van Gogh. Setelah merasa
cocok dengan gayanya ini, Affandi tidak pernah merubah gaya ini. Keduanya
Herbert Read kepada Affandi pada saat mengadakan pameran di beberapa negara
alam lingkungannya).
10
Popo Iskandar, Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionis, Jakarta: Akademi Jakarta,
1977, hlm. 40.
11
Antipoda adalah kebalikan atau lawan dari sebuah ide, benda, atau tempat.
12
Popo Iskandar, Op.Cit., hlm. 38.
8
bagian dari tanda tangan Affandi). Penelitian ini juga menelusuri makna visual
dan unsur-unsur ide melalui kajian semiotika. Titik tekan pada tesis pengkajian
seni dengan analisis semiotika di sini adalah mengungkap makna objek matahari
simbol) Charles Sanders Peirce dan konotasi tanda yang dikembangkan oleh
Roland Barthes.
Affandi melukis potret dirinya. Dalam penelitian ini diuraikan berbagai alasan
ulang. Menurut Affandi, semua lukisannya adalah potret diri, baik itu lukisan
yang menampilkan gelandangan, perahu, babi jantan, jago mati, barong, ibunya,
anaknya dan dirinya sendiri, semua itu merupakan pencerminan dirinya dalam
tiap-tiap kejadian atau peristiwa13. Lukisan potret diri tidak hanya pengungkapan
ekspresi wajah dan perwatakan si pelukis pada saat itu, tetapi bisa juga
dan menanggapi realita sosial lingkungannya. Lukisan potret diri Affandi saling
berkaitan antara potret dirinya dengan sikap dan pandangan hidupnya. Pernyataan
Affandi bahwa semua lukisannya adalah lukisan potret diri tentu saja merupakan
pendapat pribadinya, karena bagi Affandi dalam melukis yang terpenting adalah
13
Tonny Purnomo, Lukisan Potret Diri Affandi (Sebuah Tinjauan Kritik), Surakarta:
Universitas Sebelas Maret, 1984, hlm. 3 – 4.
9
penelitian yang dilakukan Tonny Purnomo ini yang dimaksud lukisan potret diri
segi kejiwaan.
Berbeda dengan Nur Kholis dalam karya skripsinya yang berjudul Karya
Seni Lukis Affandi yang Bertema Landscape Tahun 1970-1986. Dalam tulisan ini
Nur Kholis menjelaskan beberapa karya Affandi yang bertema landscape. Dalam
Affandi yang bertema landscape. Karya Affandi yang bertema landscape muncul
Tinjauan ini memaparkan sedikit dari lebih banyak lagi tulisan hasil
seni rupa Indonesia yang sangat penting dan berharga, yang menjadi magnet bagi
banyak orang untuk mengetahui dan memahaminya. Tidak heran kalau sudah
banyak penelitian dilakukan, baik ketika Affandi masih hidup maupun setelah
maestro ini meninggal dunia. Namun, di antara banyak orang yang sudah
meneliti Affandi dan karya-karyanya, lukisan Copy Bruegel luput dari perhatian.
Padahal lukisan ini mempunyai sejarah dan makna yang tidak kalah penting
penulis merasa perlu untuk menelitinya dalam proyek penulisan skripsi ini.
10
F. Landasan Teori
untuk menemukan makna pada lukisan Copy Bruegel karya Affandi. Lukisan
Copy Bruegel didudukkan sebagai sistem tanda. Barthes, dalam bukunya Elemen-
struktural)14 yang tersusun secara dikotomis dalam empat klasifikasi biner, yaitu;
umum pemakai bahasa yang sudah disepakati bersama pada masyarakat yang
pada tingkat sosial budaya yang bersifat kolektif. Pemahaman dalam bahasa
yang ada di pemikiran manusia. Sebagai institusi sosial, langue bukan sama
sekali sebuah tindakan dan tidak bisa pula dirancang atau diciptakan atau
14
Roland Barthes mengembangkan konsep “semiotika” Saussurean dari linguistik menjadi
ekstra linguistik.
15
Barthes, Roland, Elemen-elemen Semiologi, (Terjemah: Kahfie Nazaruddin), Yogyakarta:
Jalasutra, 2012, hlm. 2.
11
berhubungan dan dihubungkan; tidak ada langue tanpa parole dan tidak ada
parole di luar langue. Maka dalam hal ini, bahasa dan tuturan berada dalam
Konsep petanda dan penanda ini dapat dilihat bahwa makna muncul
ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi „yang ditandai‟ (signified) dan
16
Ibid., hlm. 3 – 4.
12
penanda dengan sebuah ide atau petanda. Dengan kata lain, penanda adalah
suatu relatum yang definisinya tidak bisa dipisahkan dari definisi petanda.
tersebut tidak cukup bagi penanda dan di sisi lain, penanda dapat juga
dipancarkan oleh materi tertentu, yakni kata. 17 Jadi, penanda adalah aspek
material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dengan apa yang
ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau
konsep.
ia dapat didefinisikan hanya lewat proses penandaan atau dengan cara yang
penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah, namun keduanya
hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta
17
Ibid., hlm. 42.
18
Ibid., hlm. 36 – 37.
13
dasar dari bahasa. Artinya, kedua hal dari tanda itu tidak dapat dipisahkan,
sistem budaya, makanan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra
yang kesemuanya itu dipandang sebagai bahasa yang memiliki sistem relasi
dan oposisi.
depan atau memprediksi apa yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini
kombinasi tanda-tanda, yang didukung oleh aspek ruang yang bersifat linear
dan tidak dapat diputar-balik (merupakan mata rantai ucapan): dua elemen
oposisi yang mendahului dan mengikuti; pada mata rantai tuturan, aktivitas
analitik yang berlaku bagi sintagma ialah proses menguraikan 21. Sintagmatik
19
Ibid., hlm. 62.
20
Sunardi, ST., Semiotika Negativa, Yogyakarta: Kanal, 2002, hlm. 70.
21
Barthes, Roland, Op.Cit., hlm. 55.
14
bermakna.
suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara
Sintagmatik a b c dst.
a‟ b‟ c‟
a” b” c”
Paradigmatik
23
Gambar 2. Poros Sintagmatik dan Paradigmatik
22
Sunardi, ST, Op.Cit., hlm. 63 – 64.
23
Barthes, Roland, Op.Cit., 66.
15
konotasi terdiri atas penanda, petanda, dan proses yang menyatukan penanda
dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak
pasti.
DENOTASI KONOTASI
Bahaya, berhenti, aliran kiri, berani, darah,
MERAH Warna primer
api, wanita, keindahan, kekerasan, aksen
Hewan Koruptor, perampok kelas atas, pencuri
TIKUS
Pengerat uang negara, penjahat rakyat
makna eksplisit, langsung, dan pasti, makna sebenarnya hadir dan mudah
konotatif.
24
Ibid., hlm. 93.
16
Praktik baca tafsir inilah yang kemudian diketemukan makna. Makna, dalam
teori semiotika, terbangun dari sistem penandaan dan nilai. Sebagai sistem nilai,
tanda dapat dipertukarkan dengan ide dan dibandingkan dengan tanda lain. Jadi,
nilai dalam bahasa menunjuk pada kemungkinan bahasa (tanda) untuk ditukarkan
dan untuk dibandingkan dengan tanda lainnya. 25 Dikotomi makna dan nilai ini
secara bergantian. Dilihat dari sudut semantik, istilah „pesan‟ tidak sama dengan
„makna‟ karena pesan bisa memiliki lebih dari satu makna dan beberapa pesan
bisa memiliki satu makna. Dalam semiotika, pesan adalah penanda dan
G. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
berjudul Copy Bruegel karya Affandi yang diciptakan pada tahun 1962
25
Sunardi, ST., Op.Cit., hlm. 91.
17
dengan media cat minyak pada kanvas berukuran 97 x 129 cm. Lukisan
1) Ibuku, (1936)
lukisan Pieter Bruegel yang berjudul The Cripples / The Beggars yang
Dedi Sutama (orang yang sangat dekat dengan Affandi semasa beliau
masih hidup) dan Paula Maya Dewi, selaku guide26 yang sudah banyak
Affandi.
26
Guide: Pemandu Wisata (seseorang yang dibayar ataupun yang disewa untuk menemani
wisatawan untuk memberikan petunjuk jalan, peta, dan memberikan informasi mengenai suatu jalan /
seputar pariwisata).
18
Pieter Bruegel.
terkait. Wawancara dilakukan dengan teknik tidak terstruktur dan tidak terlalu
Lukisan Copy Bruegel, sebagai sistem tanda, bermakna karena ada proses
Makna pada lukisan karya Affandi ini, dalam analisis semiotika, dapat
makna menunjukkan bahwa makna dari objek yang kita teliti tidak
H. Sistematika Penulisan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori
28
Ibid., hlm. 52.
29
Sunardi, ST., Op.Cit., hlm. 92.
30
Barthes, Roland, Op.Cit., hlm. 53.
20
Bab dua berisi tentang perjalanan kreatif Affandi dan latar belakang
Bab tiga berisi analisis semiotik lukisan Affandi yang berjudul Copy
Bruegel.
Bab empat merupakan penutup yang memuat kesimpulan dari semua hasil
Bab dua berisi tentang perjalanan proses kreatif Affandi dalam berkarya
hingga terciptanya lukisan Copy Bruegel. Sebagai pelukis, Affandi merupakan tipe
seniman yang tidak mudah puas. Dalam beberapa periode, Affandi mengalami masa
transisi dari gaya melukis yang satu menuju ke gaya melukis yang lainnya hingga
Affandi menemukan gaya atau aliran yang benar-benar mewakili kehidupannya yang
Selain Vincent van Gogh, Pieter Bruegel adalah seniman yang dihormati
Affandi. Karya Bruegel, The Cripples / The Beggars, pernah sangat menginspirasi
hidupnya tercurah untuk dunia seni lukis. Selama hidupnya Affandi termasuk
pelukis yang produktif, yang telah menciptakan ribuan karya. Namun dari lebih
dua ribuan karya, kini diperkirakan hanya sekitar dua ratusan karya tersisa 31 ,
yang terdiri dari patung, sketsa, drawing dan termasuk lukisan yang digantung di
31
Wawancara dengan Dedi Sutama dan Paula Maya Dewi, (guide Museum Affandi),
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
22
Affandi tidak hanya sekedar mengekspresikan objek yang ada di alam, tetapi
lebih jauh dari itu sampai pada taraf mencari makna. Aktivitas seninya
didominasi oleh emosi atau gelombang kalbu, garis-garisnya lebih liar, kadang-
kadang bentuknya diabaikan, sehingga kesan ruang hilang menjadi dwi matra,
lukisan-lukisan reproduksi dari buku majalah seni, katalog pameran dan hasil
reproduksi para masterpiece. Pada tahap awal ini Affandi memperhatikan motif
faktor kejiwaan. Pada tahap selanjutnya Affandi lebih menekankan prinsip yang
lebih mendalam, yaitu kecintaannya pada objek alam yang baginya merupakan
dalam bahasa kesenirupaan yang semakin jauh dengan munculnya dominasi garis
32
Imam Wahjoe L., Profil Maestro Indonesia Vol. 1, Jakarta: PT. Indonesia Raya Audivisi,
2003, hlm. 67. “Pada suatu ketika Pak Affandi itu kehujanan di suatu tempat. Kalau di kampung-
kampung atau di sawah orang kehujanan itu kan memotong pelepah daun pisang untuk menutupi
kepala. Kemudian Pak Affandi berkata demikian, „Kalau suatu saat saya mampu dan punya uang ingin
membuat suatu rumah ataupun museum itu berbentuk daun pisang‟,” kata Juki Affandi, pengelola
Museum Affandi.
33
Ibid., hlm. 64.
34
Ensiklopedi Jakarta, Budaya & Warisan Sejarah, Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta,
Affandi, http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/708/Affandi, Diakses: 9 April 20 4, 06:42
PM.
23
dan pewarnaan yang non representatif. Para pengamat seni berpendapat bahwa
pada saat inilah terlihat adanya perubahan gaya dari impresionis35 ke ekspresif36.
seniman atau pelukis papan atas, di antaranya Affandi. Seorang tokoh penting
Baru Indonesia. Ada pula yang menyebutkan Grand Maestro. Herbert Read
mudah puas. Pada awal perjalanannya dalam berkarya tidak banyak yang
35
Dendy Sugono, et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia, 2008, hlm. 549. Impresionis: pengikut aliran impresionisme.
Impresionisme: aliran seni (lukis, sastra, musik), yang lebih mengutamakan pemberian kesan atau
pengaruh kepada perasaan terhadap realita atau keadaan yang sebenarnya.
36
Ibid., hlm. 380. Ekspresif: mampu menggambarkan gagasan, perasaan hati.
Ekspresionisme: aliran seni yang bermaksud melukiskan perasaan dan pengindraan batin yang timbul
dari pengalaman-pengalaman di luar dan yang diterima tidak saja oleh pancaindra melainkan juga
oleh jiwa seseorang (lebih mementingkan soal-soal kejiwaan terhadap penggambaran kejadian-
kejadian yang nyata).
37
Popo Iskandar, Affandi: Suatu Jalan Baru dalam Ekspresionisme, Jakarta: Akademi
Jakarta, 1977, hlm. 9.
38
Dendy Sugono, et al., Loc.Cit., hlm. 998. Naturalis: orang yang menganut paham
naturalisme. Naturalisme: aliran dalam seni yang menggambarkan sesuatu sebagaimana adanya; karya
seni rupa yang memiliki sifat kebenaran fisik dari alam. Naturalistis: bersifat naturalis atau
sebagaimana adanya.
24
39
Ajip Rosidi, 100 Tahun Affandi, Bandung: Nuansa Cendekia, 2008, hlm. 29 – 30.
40
Dendy Sugono, et al., Loc.Cit., hlm. 1179. Realistis: bersifat nyata (real); wajar. Realisme:
aliran kesenian yang berusaha melukiskan (menceritakan sesuatu sebagaimana keadaan sebenarnya).
Realis: orang yang dalam tindakan, cara berpikir dan sebagainya selalu berpegang atau berdasar pada
kenyataan (penganut paham realisme).
25
Gambar 2. Lukisan karya Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi (1944)
(Foto: Yusuf Rohimawanto, 04 April 2014)
Selama kurang lebih lima tahun Affandi pernah melukis dengan gaya
realis atas saran dari Syafei Sumardja (orang yang pertama kali membeli lukisan
hadapan Syafei Sumardja. “Kamu (Affandi) sudah bisa melukis seperti apa yang
kamu lihat, persis. Tetapi untuk selanjutnya terserah kamu, mau melukis realis
atau lebih suka ekspresif terserah.” Kata Affandi menirukan ucapan Syafei
41
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi: Perkenalan Buat Anak-anak, Bandung: Nuansa, 2008, hlm.
21 – 22. “Bukan karena lukisan itu lebih baik dari yang lain maka saya beli. Lukisan itu saya beli
karena di dalamnya saya melihat masa depan. Teruslah melukis. Jangan berhenti dan jangan berputus
asa.” Kata S. Sumardja kepada Affandi yang menanyakan tentang lukisannya yang dibeli.
26
Sumardja. Namun ternyata, Affandi tidak begitu suka dengan gaya realis dan
monumental dan merupakan karya lukis terbaik Affandi), lukisan yang berjudul
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi (Gambar 2), yang melukiskan seorang
42
Tonny Purnomo, Op.Cit, hlm. 75.
27
karyanya yang berjudul Belajar Anatomi (Gambar 4)43. Sekitar tahun 1950-an
3) adalah lukisan yang menandai gaya baru Affandi: „plototan tube‟, teknik yang
43
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 30 dan 37.
44
Imam Wahjoe L., Op.Cit., hlm. 64.
28
sebenarnya bersumber dari kebiasaannya waktu dia masih suka melukis dengan
cat air, seperti pada lukisannya yang berjudul Potret Diri (Gambar 5)45.
45
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 29.
29
dengan objek yang dilukisnya, hal ini dimaksudkan supaya terjadi dialog
menangkap objek yang akan dilukisnya langsung dari alam dan warna-warna asli
dari sinar matahari. Affandi pernah berkata bahwa ia tidak dapat melukis tanpa
mengenal akrab objek yang akan dilukisnya. Tidak semua objek nyata mampu
dalam kanvas, bagi Affandi bukanlah perkara yang sulit, hanya memerlukan
melukis, membimbingnya sampai lukisan yang dikerjakan rampung saat itu juga.
Affandi selalu melukis sekali jadi. Ia sadar bahwa dalam lukisannya terdapat
lukisan yang dianggapnya sudah selesai. Affandi sering mengatakan bahwa dia
merasa tidak pantas disebut sebagai pelukis apalagi sebagai seniman, Affandi
46
Tonny Purnomo, Op.Cit., hlm. 17.
47
Imam Wahjoe L., Op.Cit., hlm. 64.
30
otodidak yang benar-benar tidak pernah belajar teknik melukis dan tidak tahu
seluk-beluk seni lukis.48 Tujuan „gambar‟ bagi Affandi ialah mengungkap objek
yang dianggap penting, yang sejalan dengan emosi, selera pribadi, pengalaman
serta sikap hidupnya. Dengan cara pandang yang orisinal, Affandi tidak meniru
tegas dan kuat dengan goresan yang berani dan sekaligus sederhana.
hampir tidak kelihatan dan menghilang, namun semua tetap dengan tepat
perjuangan dan penderitaan rakyat merupakan obsesi daya kreasi dalam berkarya
yang menyebabkan Affandi sering melukis dengan suasana yang akrab dengan
48
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 32.
49
Imam Wahjoe L., Op.Cit., 64 – 67.
50
Ocvirk, Otto G., et al., Art Fundamentals: Theory and Practice, USA: Wm.C. Brown
Company, 1962, hlm. 10 – 11. Tema (subject matter) merupakan komponen yang sangat penting
dalam penciptaan karya seni, sebab hampir dapat dipastikan bahwa setiap karya seni selalu ada tema
di dalamnya. Dalam karya seni, tema adalah sesuatu yang ingin disampaikan kepada penghayat.
Seniman dalam mengamati obyek itu di tangkap melalui penghayatannya secara intuitif, sesuatu yang
hakiki itulah yang nantinya dijadikan sebuah tema dalam karya.
31
kumal, atau wajahnya sendiri pada lukisan potret diri (yang tampak tidak pernah
Banyak seniman dalam berkarya seni, entah itu seni rupa, seni musik atau
apa pun bentuk keseniannya, sering menampilkan tema yang berpihak pada
rakyat atau kehidupan rakyat jelata (yang erat kaitannya dengan masalah
antaranya.
dengan Affandi, berpihak pada kehidupan rakyat jelata. Salah satunya adalah
Vincent van Gogh. Affandi, menurut Popo Iskandar dalam bukunya Affandi:
Van Gogh. Melukis bukan hanya berurusan dengan pengolahan unsur seni,
makna hidup, dan ini merupakan bagian dari filosofinya dalam berkarya 52 .
51
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi: Perkenalan Buat Anak-anak, Jakarta: PT. Dunia Pustaka
Jaya, 1976, hlm. 44.
52
Zulkifli, Analisis Karya Affandi dan Van Gogh, (Jurnal Seni Rupa), Medan: Universitas
Negeri Medan, 2005, hlm. 145.
32
Affandi adalah penggemar Vincent van Gogh. Pada awal pergerakan seni
perkembangan seni rupa barat lewat buku-buku dan reproduksi lukisan barat.54
Affandi dan Van Gogh hidup di belahan dunia yang berbeda dalam kurun waktu
yang tidak sama. Tidak seperti pelukis-pelukis kebanyakan, yang dikenal bisa
hidup senang dengan lukisannya, kedua pelukis ini menjalani kehidupan yang
berat dalam merintis dunia seni lukisnya. Pengalaman pahit getir kehidupan yang
mereka rasakan justru membawa konsekuensi pada sikap kesenimanan dan karya
yang dihasilkannya.
manusia. Objek ini merupakan gambaran yang biasa kita lihat sehari-hari, tidak
seperti objek dari pelukis-pelukis istana atau pelukis elite yang cenderung
mempercantik bentuk55. Sama halnya dengan Affandi, Vincent van Gogh juga
53
Aminuddin, S.B., Serba-serbi Negeri Belanda: Majalah nomor Istimewa, Jakarta:
Publikasi Bagian Pers dan Kebudayaan Kedutaan Besar Kerajaan Negeri Belanda, 1990, hlm. 11,
dalam Tonny Purnomo, Lukisan Potret Diri Affandi (Sebuah Tinjauan Kritik), Surakarta: Universitas
Sebelas Maret, 1984, hlm. 30.
54
Zulkifli, Loc.Cit., hlm. 142.
55
Ibid., hlm. 150.
33
Selain Vincent van Gogh ada seorang tokoh lagi yang sangat
Bruegel pada pertengahan abad 16, sekitar tahun 1560-an, adalah seorang
rakyat kecil, kehidupan petani, pengemis, dan para veteran yang menjadi korban
(Petani Bruegel). Bruegel lahir pada 9 September 1525, di sebuah kota dekat
Renaissance Belanda, pada abad Renaisans, yang paling signifikan dan menarik
landscape59 dan lukisan yang menceritakan tentang kegiatan para petani dengan
56
Wawancara dengan Dedi Sutama dan Paula Maya Dewi, (guide Museum Affandi),
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
57
Bruegel, Pieter the Elder, http://www.pieter-bruegel-the-elder.org/biography.html,
Diakses: 13 April 2014, 06:04 AM.
58
Stechow, Wolfgang, Pieter Bruegel the Elder (about 1525-1569), New York: Harry N.
Abrams, Inc., in association with Pocket Books, Inc., 1954, hlm. 6.
59
Bruegel, Pieter the Elder, Loc.Cit., Maksud landscape di sini adalah lukisan pemandangan
yang menjadi dasar dalam melukisnya dikemudian hari. … which resulted in a number of exquisite
drawings of mountain landscapes. These sketches, which form the basis for many of his later
paintings, ...
34
sosial dalam karya-karya lukisnya. The Cripples / The Beggars (1568) adalah
salah satu karya dari ratusan karyanya yang menggambarkan tentang kehidupan
Salah satu karya yang pernah diciptakan oleh Bruegel dengan cara kontak
Beggars berukuran 7 × 8¼ inchi atau 18 × 21.5 cm62 (Gambar 6). Lukisan yang
menggambarkan sekumpulan orang difabel; para veteran perang yang pada sisa
akhir hidupnya terpaksa harus bergantung pada alat bantu jalan dalam
tersisa, sebisa dan semampunya, namun dapat menikmati hidup dengan bahagia
60
Ibid., Pieter the Elder Bruegel (c. 1525-1569) was a Netherlandish painter and designer
for engravings. His works provide a profound and elemental insight into man and his relationship to
the world of nature.
61
Stechow, Wolfgang, Op.Cit., hlm. 46.
62
Ibid.
63
Ibid., Group of cripples and beggars held a great fascination for Bruegel, whose forthright
rendering of their grotesque misery fore shadows Callot and Rembrant. It is hard for us to imagine
35
The Cripples / The Beggars adalah lukisan karya Bruegel yang sangat
dikagumi oleh Affandi. Makna dan nilai-nilai kemanusiaan dapat ditemukan dan
yang sama tentang tema kerakyatan dalam seni namun hidup di zaman yang
berbeda.65
the impression which such pictures must have made on his not too priggish contemporaries: probably
the same kind of strange mixture of amusement and spine-tingling as children may experience before
sights of this kind.
64
Wawancara dengan Dedi Sutama, (guide Museum Affandi), Yogyakarta: 28 Maret 2014.
65
Galeri Lukisan Indonesia, Affandi (1907 – 1990), http://galeri-lukisan-
indonesia.blogspot.com/2013/03/affandi-19071990.html, Diakses: 19 April 2014, 02:47 PM. ... He felt
a kinship with the Impressionists, with Goya and with Edvard Munch, and the earlier Masters,
36
Affandi bertemu dengan lukisan The Cripples / The Beggars ketika tahun
secara langsung berbagai karya seni rupa, termasuk lukisan, yang ada di negara-
negara tersebut. Dari sekian banyak lukisan yang diapresiasinya, Affandi tertarik
dengan lukisan karya Bruegel ini. Ketika melihat lukisan The Cripples / The
Beggars Affandi merasa kalau mereka berdua (Affandi dan Bruegel) mempunyai
dari lapisan masyarakat terbawah, yang tertindas, melarat, dan yang tidak begitu
Affandi tidak tahu seluk-beluk lukisan ini, maka pada saat melukis ia merasa
harus berada di depan objek yang dilukisnya. Bukan karena hendak “meniru”
karena bagi Affandi melukis adalah menumpahkan emosi tentang objeknya pada
kanvas 67 . Ketika emosi Affandi sedang meluap-luap bak kafilah yang sedang
kehausan dan ingin segera minum dengan minuman pilihannya namun tak
Brueghel, Hieronymus Bosch and Botticelli. Traces of their influence started to show in his paintings
...
66
Wawancara dengan Dedi Sutama, Loc.Cit., 28 Maret 2014.
67
Ajip Rosidi, Op.Cit., hlm. 33 – 34.
37
kanvas ternyata tidak dapat menjumpai objek yang hendak dilukisnya (orang-
orang difabel, para veteran, seperti yang direpresentasikan pada lukisan The
Beggars karya Bruegel). Sebelum emosi yang ada pada diri Affandi hilang, maka
karya Bruegel yang pada waktu itu berada di studio milik Bruegel di Belgia,
68
Eropa. Karya hasil reproduksi ciptaannya ini diberinya judul dengan
menyematkan nama seniman pencipta karya lukis yang ia salin (Bruegel): Copy
Bruegel (lihat Gambar 7). Affandi tidak meniru persis visual lukisan The
Cripples / The Beggars seperti halnya para seniman repainter. Repainter adalah
meniru semua yang terkandung dalam lukisan, di antaranya objek lukisan pada
tema yang disukai pelukis, komposisi warna, goresan-goresan kuas, tebal atau
tipisnya cat, media yang dipakai, ukuran kanvas dan masih banyak lagi.
dalam berseni, dan atau untuk pengembangannya menjadi seni modern 69.
memilih nama-nama pelukis terkenal dapat diduga karena persoalan harga dan
pasar. Karya para pelukis terkenal seperti Affandi dan lain-lain memang
68
Wawancara dengan Dedi Sutama, Loc.Cit., 4 April 2014. (Kemungkinan besar pada saat
Affandi meng-copy / mereproduksi lukisan The Cripples / The Beggars, Affandi tidak berada di studio
milik Bruegel (Belgia), melainkan sedang berada di Paris, karena sejak tahun 1568 sampai sekarang,
lukisan The Cripples / The Beggars berada di museum Louvre, Paris).
69
Dendy Sugono, et al., Loc.Cit., hlm. 1200.
38
mempunyai trick dan metodologi yang jauh lebih piawai dalam hal memalsukan
lukisan.71
ilegal. Dalam konteks tertentu peniruan yang dilakukan oleh pelukisnya adalah
sebagai bentuk exercise alias sarana untuk belajar dan latihan. Peniruan dalam
konteks seni postmodern juga menjadi legal, diakui, dan sah, misalnya konsep
70
Agus Dermawan T., Bukit-bukit Perhatian, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004,
hlm. 109 – 110. Nama para pelukis terkenal (marketable) dalam buku ini antara lain: Hendra
Gunawan, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Trubus, Arie Smit, Lee Manfong, Affandi, Anton
Kustiawijaya, Popo Iskandar, Jeihan, Kartono Yudhokusumo, Widajat, Djoko Pekik, Srihadi
Soedarsono, dan beberapa pelukis asing: W.G. Hofker, Rudolf Bonnet, Le Mayeur, Auke Sonnega,
Roland Strasser.
71
Ibid., hlm. 104 – 107.
39
apropriasi 72 atau seni parodi. Tentu saja selama si perupa juga secara jujur
salah satu metode belajar bagi para siswa pada zaman itu. Dari metode ini siswa
memperoleh keterampilan yang dapat dijadikan modal dalam mencari jati dirinya
yang berbeda dengan lukisan (The Cripples / The Beggars) yang dirujuknya.
Lukisan karya Affandi hasil reproduksi ini (Copy Bruegel) tentu pada akhirnya
satunya lukisan yang ia kerjakan di luar negeri (Belgia) yang sampai sekarang
Lukisan ini merupakan satu-satunya lukisan Affandi yang diciptakan dengan cara
72
Rifky Effendy, Spektrum Praktek Apropriasi Dalam Seni Rupa Kontemporer di Indonesia,
http://www.galerisemarang.com/exdetails.php?ex=38, Diakses: 12 Mei 2014, 03:41 PM. Istilah
apropriasi sering merujuk pada penggunaan elemen-elemen pinjaman dalam suatu kreasi karya seni.
Mengapropriasi berarti meminjam elemen-elemen suatu karya untuk menciptakan karya baru. Hanya
saja yang ditiru atau dipinjam adalah karya orang lain. Apropriasi dianggap memiliki muatan yang
lebih kompleks dari sekedar meniru dan mewakili konsep sang seniman. Keabsahan apropriasi pun
banyak diperdebatkan dengan mengaitkannya dengan pembajakan, pencederaan karya cipta dan
orisinalitas berkarya, serta lain sebagainya.
73
Mikke Susanto, Bagongan, http://mikkesusanto.jogjanews.com/bagonganologi.html,
Diakses: 09 Mei 2014, 10:41 AM.
74
Agus Dermawan T., Op.Cit., 110 – 111.
40
meng-copy (mereproduksi) karya seniman lain namun dengan teknik dan gaya
bahwa alasan Affandi mereproduksi lukisan The Cripples / The Beggars karya
Pieter Bruegel seniman asal Belgia ini dikarenakan pada saat melukis, Affandi
tidak menemukan objek yang sama dengan objek yang dilukis oleh Bruegel. Pada
saat itu, Affandi sudah kebelet ingin melukis. Alternatif yang diambil Affandi
mereproduksi lukisan The Cripples / The Beggars. Ritual penciptaan karya copy-
nama seniman pencipta lukisan The Cripples / The Beggars (Pieter Bruegel).
Berkaitan dengan copy – paste karya seni lukis, Affandi tidak melakukan
perbuatan yang dianggap ilegal seperti yang telah disebutkan di muka, dalam
(tandatangan) si peniru tetap masuk dalam kategori “asli” seperti yang telah
Affandi lakukan. Bentuk visual karya hasil reproduksi Affandi (Copy Bruegel)
dan karya yang menjadi rujukan (The Cripples / The Beggars) sangat berbeda.
Affandi menggunakan gaya yang menjadi ciri khasnya yang mudah dikenali di
menekankan intensitas (kekuatan) pengalaman yang ada pada karya seni tersebut.
75
Dedi Sutama dan Paula Maya Dewi, Wawancara dengan Guide Museum Affandi,
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
41
Secara visual ciri khas yang mudah dikenali dari lukisan Affandi adalah
tersembunyi dalam spontanitasnya yang ekspresif. Objek alam atau manusia yang
disengaja, namun memberi jalan sebagai jawaban bagi diri Affandi atas dorongan
emosi artistik yang harus segera dicurahkannya pada bidang kanvas ketika
melukis. Goresan demi goresan langsung dari tube mengalir bak anak sungai,
selembar kanvas putih bersih seolah diacak-acak dengan warna yang saling jalin
yang amat efektif, karena karyanya harus diselesaikan secepatnya, dalam satu
atau dua jam, dan caranya ini merupakan keunggulan yang sulit tertandingi.
BAB III
KARYA AFFANDI
struktural Barthesian merupakan sebuah sistem tanda. Sebagai sistem tanda maka
pada lukisan tersebut dapat ditemukan langue dan parole, penanda (signifier) dan
Sebuah benda yang terbuat dari sebentang kain kanvas, yang di atasnya
berisi beberapa elemen visual rupa seperti goresan atau sapuan garis dan warna
ini disepakati sebagai sebuah lukisan. Kesepakatan memberi nama „lukisan‟ ini
menyebutnya sebagai lukisan, maka benda tersebut tidak bisa tidak (harus)
nama apa saja, bebas. Sebagai sebuah tanda sebenarnya benda ini arbiter; lukisan
tidak disebut sebagai lukisan karena berpotensi bernama lukisan, dikarenakan ada
mena. Demikianlah mengapa lukisan Copy Bruegel karya Affandi harus kita
seruwet apa pun objek yang dilukiskan Affandi pada kanvas bakal dilihat sebagai
sebuah karya seni, lukisan. Apalagi Affandi, pelukis ternama satu ini begitu
prominen. Pelukis beken yang terkenal tidak hanya di kalangan kesenian tetapi
juga masyarakat luas. Kalau masyarakat luas saja bisa menerima kode ini
bagaimana mungkin tidak para praktisi seni yang memang hidup dalam kode-
kode estetika.
tetapi tidak bisa semena-mena; lukisan tidak bisa dilihat sebagai bukan lukisan.
Kode-kode estetika ini juga yang membuat Affandi tidak bisa beranjak lebih
berbagai gaya, berinovasi kreatif, tetapi dia tidak bisa lebih jauh dari langue
sebuah lukisan. Tanpa inovasi kreatif dari seorang Affandi, belum tentu dunia
seni rupa modern Indonesia mengenal bentuk ekspresionisme yang khas ala
Affandi. Tidak ada langue tanpa parole, tidak ada parole di luar langue.
dan modifikasi tekniknya menentukan gaya lukisannya yang khas. Teknik plotot,
langsung dengan tangan (hampir tanpa alat lukis), dan gaya pelukisannya
dikatakan sebagai lukisan dan terlihat sebagai lukisan karena lukisan tersebut
dibangun oleh kombinasi beberapa warna cat yang diplototkan sedemikian rupa
pada kanvas. Tanda-tanda yang memenuhi syarat sebagai lukisan yang dapat
diapresiasi: ada warna, goresan, komposisi garis yang membentuk wujud yang
sudah didistorsi. Kombinasi antara warna, garis, bentuk, dalam bidang kanvas
pesan yang memancar dari lukisan Copy Bruegel dapat dibaca lewat praktik
dari lukisan yang diapresasinya. Refleksi ini tidak hadir (in absentia) secara
wantah pada kanvas, sebab letaknya pada ranah langue. Inilah yang disebut
45
tidak beraturan dari cat yang diplototkan langsung pada kanvas. Goresan
langsung yang tumpah pada kanvas tersebut kemudian membentuk sebuah garis
kondisinya yang terlihat tidak rapi atau terkesan semrawut. Semrawut berasosiasi
dengan ketidakteraturan. Tidak teratur juga dapat diasosiasikan dengan kotor atau
kumuh.
warna-warna kotor yang membuat suasana semakin muram. Corak dan warna
yang kuat membuat lukisan menjadi dinamis dan semakin menekankan suasana
merupakan wilayah ekspresi dari pesan atau isi (content) yang hendak
langsung dari tabung cat dan diolah langsung pada bidang kanvas yang terlihat
46
begitu kotor, plototan dan pengkombinasiannya yang sedemikian rupa ini berelasi
dengan petanda yakni seni yang berpihak pada rakyat jelata (seni
konotasi. Sistem penandaan tingkat kedua ini terbentuk dari signifikasi ranah
nilai dan makna. Ketika melihat satu lukisan dengan berbagai macam warna,
Lukisan Copy Bruegel terdiri dari banyak tanda. Unsur-unsur visual yang
melekat di kanvas lukisan Affandi ini adalah tanda, sebuah sistem tanda. Unsur-
unsur terpenting dalam karya dua dimensional adalah garis dan warna76. Begitu
juga yang terdapat pada lukisan Copy Bruegel, di dalamnya kebanyakan adalah
kombinasi garis dan warna. Objek yang didistorsi dan hampir tidak beraturan
bentuknya memenuhi bidang kanvas. Tidak ada gelap terang, yang ada hanya
komposisi garis dan warna. Warna-warna tajam (Gambar 1), warna ringan
(Gambar 2), warna kusam dan kotor (Gambar 3), serta warna-warna yang lain.
Warna pada lukisan Copy Bruegel ini cenderung buram, kusam, dan kotor.
76
Nooryan Bahari, Kritik Seni: Wacana Apresiasi dan Kreasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008, hlm. 99 – 101.
47
Seperti pada pembahasan yang telah lalu, warna yang ada pada lukisan
Copy Bruegel adalah warna-warna mentah yang diolah tanpa alat lukis:
menggunakan jari yang disapukan langsung pada bidang kanvas. Pasti ada
sebentuk pesan yang ingin disampaikan oleh lukisan tersebut kepada para
(heraldis)78. Merah adalah berani. Warna cerah seperti merah dan orange pada
menandakan suasana hangat. Yakni ikatan batin yang timbul dari keakraban
melainkan terdapat juga warna kusam seperti hitam dan coklat yang saling silang
menggambarkan suasana yang muram yang jauh dari kesan kemewahan. Warna
yang tidak beraturan disebabkan goresan yang spontan terkesan tidak teratur dan
tidak seragam antara yang satu dengan lainnya menggambarkan pakaian yang
irama warna yang diolah langsung pada bidang kain putih tersebut. Garis
merupakan unsur seni rupa yang paling penting dan selalu dapat diamati secara
49
visual pada setiap lukisan. Garis dalam lukisan Copy Bruegel tercipta dari
lukisan tersebut menjadi lebih terlihat hidup. Tersimpan banyak pesan di antara
Gambar 3. Potongan goresan warna kusam dan kotor pada lukisan Copy Bruegel
(Edited: usuf Rohimawanto, 9 Juli 2014)
Garis mengandung arti lebih dari sekedar goresan, karena garis dengan
kita, ia tidak direka-reka, ia keluar begitu saja karena kebiasaan kita; dan sebuah
dan dapat menuangkan ide-ide ke dalam bidang kanvas melalui sebuah goresan
Gambar 4. Potongan goresan garis yang saling bertautan pada lukisan Copy Bruegel
(Edited: Yusuf Rohimawanto, 9 Juli 2014)
The Cripples / The Beggars) pada kanvas dengan spontan. Luapan energi yang
kuat dan rekaman keharuan batinnya, dapat dibaca, diinterpretasi, dari goresan-
goresan garis dan warna yang ditampilkan. Warna coklat hitam yang membangun
79
Ajip Rosidi, Pelukis Affandi, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1979, hlm. 44.
51
petualang hidup yang penuh vitalitas. Lewat sosok dalam lukisan tersebut,
kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu
dapat terbaca.
yang bercerita tentang sekumpulan orang difabel seperti halnya karya yang
menjadi rujukannya, lukisan The Cripples / The Beggars karya Pieter Bruegel.
Kedua lukisan ini menggambarkan para veteran perang yang pada sisa akhir
hidupnya terpaksa harus bergantung pada alat bantu jalan dalam menjalankan
sebisa dan semampunya, namun dapat menikmati hidup dengan bahagia layaknya
emosinya pada saat mencipta karya. Perbedaan tersebut terlihat pada kedua
sekumpulan orang difabel tersebut ternyata tidak sama sensasinya. Ketika melihat
lukisan karya Bruegel, apresian terlebih dahulu mendapat sajian sebuah karya
lukis yang indah. Bruegel dalam karyanya The Cripples / The Beggars
bentuk yang indah, dengan warna-warna yang bersih. Lain halnya dengan
tersebut tidak dihadirkan sama persis seperti lukisan aslinya, dari segi teknik
bentuk yang sama sekali jauh dari kesan keindahan. Seolah menyayat hati para
Affandi lebih banyak bermain dalam dunia batin dan idealisnya. Kekaguman
dan makna daripada kesesuaian karya dengan kenyataan alam atau manusia
Pengisahan ini tidak disajikan sama persis dengan yang dilihatnya, namun
mengerjakan lukisan sampai selesai. Pada lukisan ini terungkap objek penting
yang sejalan dengan emosi, selera pribadi dan pengalaman Affandi. Mengungkap
kisah dalam goresan garis-garis kusut. Mengungkap emosi dalam kanvas yang
menghadirkan garis-garis tegas dan kuat; goresan yang berani dan sederhana.
ketidaksempurnaan dan emosi yang mulai meluruh mendekati titik lemah pelukis.
Goresan-goresan dari plototan cat seperti ini menggambarkan suasana yang akrab
dengan penderitaan.
53
yang difabel. Tidak memiliki kaki untuk berjalan layaknya orang-orang yang
orang-orang lain di sekitar mereka. Sama seperti lukisan The Cripples / The
Beggars. Hanya saja bedanya, visualitas lukisan Copy Bruegel ini justru lebih
kehidupan rakyat jelata dalam karya-karyanya tetapi dia tidak bisa melepaskan
karya Bruegel tetap sebuah karya seni yang indah meskipun bermaksud
Beggars. Dalam lukisan ini pertama-tama yang hadir adalah keindahan, bukan
penderitaan. Objek apa saja yang “tidak indah” harus “diindahkan” dalam bahasa
pesan dan makna pada lukisan ini. Pesan tidak sama dengan makna. Pesan dan
makna adalah dua relata yang tidak terpisahkan, seperti dua sisi pada sekeping
uang logam: pesan adalah penanda dan makna adalah petanda. Makna dan nilai
ini sejajar dengan dikotomi langue dan parole. Makna mencapai kepenuhannya
54
setelah melewati determinasi ganda ini; penandaan dan nilai. Makna pada
lawan dari parole); sistem penandaan. Nilai berasal dari relasi timbal balik antara
jelata: miskin, terpinggirkan dan difabel. Goresan tidak beraturan yang tumpang
produk karya seni yang artisitik; hadir dalam lukisan ekpsresionisme yang
artistik.
Lukisan Copy Bruegel merupakan tiruan dari lukisan aslinya The Cripples
terlihat artistik dan indah. Lukisan The Cripples / The Beggars berbicara tentang
80
Barthes, Roland, Elemen-elemen Semiologi, Yogyakarta: Jalasutra, 2012, hlm. 50 – 52.
55
Gambar 5. Potongan lukisan Copy Bruegel (kiri) dan The Beggars (kanan)
(Edited: Yusuf Rohimawanto, 14 Juli 2014)
menghadirkan sensasi yang lebih dalam dan gelap dalam karyanya kali ini.
Sensasi penderitaan. Gaya ekspresionisnya yang sama sekali “tidak indah” ini
reproduksi, ini lebih menohok dari lukisan aslinya, The Cripples / The Beggars.
Pada lukisan Copy Bruegel estetika dikembalikan pada bentuknya yang murni:
nilai-nilai rasa, termasuk di dalamnya nilai-nilai rasa yang sama sekali tidak
indah.81
yang meluap, lukisan Copy Bruegel juga merekam penghayatan keharuan dunia
penderitaan kaum jelata. Di balik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat
dengan estetika lukisan Copy Bruegel yang terbangun bahkan oleh apa saja yang
dalam pandangan umum dianggap tidak indah; estetika hadir dalam visualitasnya
Lukisan Copy Bruegel adalah salah satu dari banyak karya lukis Affandi
81
Lono Lastoro Simatupang, G.R., Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni- Budaya,
Yogyakarta: Jalasutra, 2013, hlm. 101 – 104.
82
Albertus Rusputranto PA., Retorika Visual pada Praktik Representasi Hantu Sebagai
Simbol Identitas Komunitas Musik Underground di Kota Surakarta, Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma, 2013, hlm. 134 – 135.
57
hanya pada latarbelakang atau tema terciptanya lukisan, namun juga sekaligus
dalam visualitas karyanya. Metafora yang tidak hanya sebuah tiruan artistik tetapi
juga metonimia dari kejelataan itu sendiri. Jelata itu kotor, seperti pada lukisan
Copy Bruegel yang terkesan kotor. Jelata itu kumuh, seperti pada lukisan Copy
Bruegel yang begitu kumuh. Jelata itu miskin, seperti goresan-goresan tidak
oleh lebih dari sekadar indah (termasuk apa saja yang dianggap tidak indah).
serta merta indah. Lukisan Copy Bruegel adalah karya seni yang berpihak pada
PENUTUP
A. Kesimpulan
tidak mengenal aliran seperti itu dalam karyanya. Affandi tidak mempedulikan
konsep mereproduksi lukisan hasil karya seniman Belgia yang bernama Pieter
Bruegel, seniman naturalistik yang dekat dengan tema kehidupan rakyat jelata
tidak meniru persis seperti lukisan aslinya (The Cripples / The Beggars). Affandi
unsur visual yang terdapat pada lukisan Copy Bruegel (goresan, garis, bidang
kanvas, ruang, warna, tekstur, bentuk, dan lain sebagainya) ini adalah sistem
tanda. Sebagai tanda, lukisan ini memiliki pesan, nilai dan makna.
metafora yang lebih kuat dibanding lukisan aslinya, The Cripples / The Beggars.
yang sama sekali tidak indah; goresan semrawut, garis yang ruwet, warna kusam
dan kotor serta distorsi bentuk. Meskipun lukisan tersebut tidak pertama-tama
yang berada dalam kode-kode estetika. Lukisan Copy Bruegel akhirnya adalah
sebuah karya seni yang estetis, yang indah. Keindahan yang dibangun oleh
keberpihakan yang kental kejelataan. Lukisan Copy Bruegel ini tidak hanya
B. Saran
Sejauh ini, penelitian yang penulis lakukan adalah melakukan baca tafsir
Penulis menyadari bahwa tulisan hasil penelitian ini masih banyak kekurangan.
Masih banyak yang dapat diteliti. Tetapi karena dengan berbagai keterbatasan
maka penulisan ini hanya sampai pada titik: mengetahui makna dan nilai estetik
visual dalam lukisan Copy Bruegel sebenarnya masih perlu diteliti lebih dalam
lagi. Metafora adalah nyawa dari lukisan ini. Kekuatan metafora menentukan
bobot lukisan. Tanpa metafora yang kuat karya lukis ini hanya akan tampak
seperti selembar kertas putih yang terkena noda tinta saja, tidak bernyawa.
kekuatan metafor visual lukisan Copy Bruegel. Akhir kata, semoga penelitian ini
62
SUMBER LAIN
Affandi. Art and Life Never Part Company. Yogyakarta: Museum Affandi, 1978.
Dedi Sutama (40 tahun). Wawancara dengan Guide Museum Affandi. Yogyakarta: 4
April 2014.
Helfy Dirix. Kliping: Affandi and Family Pameran Lukisan. Yogyakarta: Dirix Art
Gallery, 1996.
Helfy Dirix. Kliping: Saat-saat Terakhir Almarhum Affandi. Yogyakarta: Dirix Art
Gallery, 1998.
Ocvirk, Otto G. Art Fundamentals: Theory and Practice, USA: Wm.C. Brown
Company, 1962.
Paula Maya Dewi (23 tahun). Wawancara dengan Guide Museum Affandi.
Yogyakarta: 28 Maret 2014.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Ray Rizal. Affandi: Hari Sudah Tinggi, Akhir Kata Sang Maestro. Jakarta: Metropos,
1990.
Zulkifli. Analisis Karya Affandi dan Van Gogh, (Jurnal Seni Rupa). Medan:
Universitas Negeri Medan, 2005.
63
SUMBER INTERNET
64
LAMPIRAN
AFFANDI KOESOEMA (1907 – 1990)83
Affandi Koesoema yang lebih akrab disapa Affandi, merupakan anak ketiga
dari tujuh bersaudara, lahir pada tahun 1907 di Cirebon, Jawa Barat. Mengenyam
83
Penulis menyusun biografi Affandi dengan referensi dari berbagai sumber seperti buku,
majalah, kliping dan sumber internet yang validitas dan reliabilitas datanya tidak diragukan.
1
Uitgebreit Lagere Onderwijs (MULO), dan terakhir di Algemene Middelbare School
(AMS) Jakarta. Pada waktu duduk di AMS-B (setingkat pendidikan menengah atas)
inilah minat Affandi melukis tumbuh dengan kuat, dan ketika tiba saat harus
melanjutkan ke jenjang selanjutnya (THS 84), ternyata Affandi lebih memilih jalan
menjadi pelukis. Affandi belajar melukis sejak 1934 secara otodidak. Ia menikah
dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor pada 1933, dan dikaruniai seorang putri yang
sekarang mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi. Atas izin
dari Maryati istri yang pertama, Affandi menikah lagi dengan Rubiyem dan
dikaruniai tiga orang anak, yakni Rukmini Affandi, Agung Affandi, dan Juki Affandi
Sebelum menekuni bidang seni lukis secara serius, Affandi pernah bekerja
sebagai guru menggambar dan tukang sobek karcis gedung bioskop di Bandung.
Selain itu, karena Affandi memang sudah mempunyai skill menggambar yang
lumayan baik, ia pun pernah menjadi seorang pembuat gambar reklame pada
bioskop. Namun dari semua pekerjaannya itu, Affandi lebih tertarik pada bidang seni
kelompok Pelukis Lima Bandung. Kelompok yang terdiri atas lima pelukis Bandung
ini merupakan sebuah kelompok belajar yang semua anggota kelompok saling
membantu dan bekerja sama. Mereka adalah Hendra Gunawan, Sudarso, Barli,
84
THS (Technische Hooge School) adalah salah satu perguruan tinggi di Bandung yang
sekarang menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung).
85
Museum Affandi: didirikan pada tahun 1973 di atas tanah tempat tinggal Affandi di tepi
Kali (sungai) Gajah Wong, Yogyakarta. Diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad
Hasan. Sejarah mencatat, Museum Affandi pernah dikunjungi oleh pejabat tinggi negara seperti Ir.
Soekarno, H.M. Soeharto, dan para petinggi negara lainnya.
2
Wahdi, dan Affandi. Kelompok ini berperan cukup penting dan memberikan andil
Poetra Djakarta, yang pada waktu itu masih dikuasai oleh tentara Jepang. Setelah
teks proklamasi dikumandangkan, banyak pelukis yang ambil bagian dalam hiruk
kemerdekaan.
Berbagai penghargaan dan hadiah dari dalam maupun luar negeri bagaikan
membanjiri perjalanan hidup seniman yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada
dunia seni lukis ini. Pada 1974, Affandi mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari
(Hadiah Perdamaian) dari Yayasan Dag Hammarskjöld dengan gelar Grand Maestro.
Selain itu, komite pusat The Central Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San
Pun dari dalam negeri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterima,
di antaranya anugerah seni dan medali emas dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1969, dan diangkat menjadi anggota kehormatan untuk
seumur hidup pada Akademi Jakarta. Pada tahun 1978, menerima penghargaan
„Bintang Jasa Utama‟ dan sejak 986 Affandi diangkat menjadi Anggota Dewan
86
Affandi, Art and Life Never Part Company, Yogyakarta: Museum Affandi, 1978, hlm. 9.
3
Penyantun Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. 87 Seorang Chairil Anwar
(pujangga besar88) pun mempersembahkan dua potong sajak khusus untuk Affandi
sebagai tanda persahabatan, dengan judul Kepada Pelukis Affandi dan Betinanya
tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi), gambar yang
digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-potrait Affandi tahun 1974, saat
Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum yang sekaligus
kediamannya, Yogyakarta90.
Pada 23 Mei 1990 dunia kehilangan seorang maestro di bidang seni lukis.
Affandi berpulang menghadap sang pencipta. Affandi telah tiada. Meskipun telah
“Aku ingin melukis. Jiwaku masih tetap mau melukis. Tapi kenapa tubuhku
tak bertenaga? Mengapa aku dibiarkan terbaring tak berdaya?”. Itulah kata-kata
terakhir Sang Maestro. Selamat jalan Affandi. Selamat jalan pilar budaya
bangsa.91
semasa hidup bahwa ia ingin selalu dikelilingi oleh keluarga dan karya-karyanya.
87
Ibid.
88
... Surat pendek bertuliskan: “Affandi, kapan kau akan memulai membuat lukisan seorang
Pujangga Besar”, di bawah surat itu tertoreh tandatangan Chairil Anwar, penyair puisi modern
terkemuka di Indonesia.
89
Fahrudin Nasrulloh, http://sastra-indonesia.com/2008/12/on-rendezvous-affandi-dan-
chairil-anwar/, (On Rendezvous: Affandi dan Chairil Anwar, Jawa Post, 20 Mei 2007), Diakses: 19
April 2014, 04:28 PM.
90
Kompas Online, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/04/24/0064.html, Kompas,
Kamis, 24 April 1997, Diakses: 19 April 2014, 04:04 PM.
91
Ray Rizal, Affandi: Hari Sudah Tinggi, Akhir Kata Sang Maestro, Jakarta: Metropos,
1990.
4
KARYA AFFANDI92
Family Pameran Lukisan yang disusun oleh Helfy Dirix cucu tertua dari anak
pertama Affandi, Kartika Affandi dari pernikahannya dengan istri yang pertama
yakni Maryati.
1. Ibuku (1940). Lukisan potret cat minyak bergaya naturalis yang kini dikoleksi
Direktorat Kesenian Jakarta RI. Banyak yang menganggapnya sebagai salah satu
2. Potret Diri (1940). Sosok Affandi seluruh badan dengan teknik pewarnaan yang
3. Potret Diri (1943). Cat minyak, warna coklat kemerahan dengan sapuan kuasnya
Affandi, Yogyakarta.
4. Pengemis (1944). Lukisan cat air ini benar-benar memukau. Falsafah hidup
Pengaruh lelehan cat air pada lukisan ini menjadi pijakan pencapain estetis
5. Gerilya (1948). Lukisan cat minyak ukuran 102 × 82 cm. Kini menjadi koleksi
92
Helfy Dirix, Kliping Affandi and Family Pameran Lukisan, Yogyakarta: Dirix Art Gallery,
1996.
5
6. Chairil Anwar (1949). Cat minyak 94 × 77 cm. Lukisan ini membuktikan betapa
Syahrir itu. Lukisan ini dikerjakannya beberapa saat setelah dia mendengar
7. Cucu Pertama Lahir (1953). Lewat pilihan warna coklat kehitaman, keoptimisan
8. Menara Eifel (1953). Pada tahun 1953, Affandi mencapai puncak kreatifnya.
Perjalanan keliling dunianya cukup banyak menghasilkan karya dan lukisan ini
9. Adu Ayam di Bali (1955). Almarhum pelukis Nashar berkomentar, pada lukisan
kata Nashar, seperti dia serahkan kepada ilham. “Affandi seperti seorang
10. Ibuku Sedang Marah (1960). Affandi menganggap lukisan inilah yang paling pas
6
PIETER BRUEGEL (1525 – 1569)93
Pieter the Elder Bruegel was a Netherlandish painter and designer for
engravings. His works provide a profound and elemental insight into man and his
Pieter Bruegel lived at a time when northern art was strongly influenced by
Italian mannerism, but despite the requisite journey to Italy for purposes of study, he
was astonishingly independent of the dominant artistic interests of his day. Instead,
he deliberately revived the late Gothic style of Hieronymus Bosch as the point of
7
From the fact that Bruegel entered the Antwerp painters' guild in 1551, we
may infer that he was born between 1525 and 1530. His master, according to Van
Mander, was the Antwerp painter Pieter Coecke van Aelst, whose daughter Bruegel
married in 1563. Between 1552 and 1553 Bruegel went to Italy, probably by way of
France. He visited Rome, where he met the miniaturist Giulio Clovio, whose will of
1578 lists three paintings by Bruegel. These works, which apparently were
About 1555 Bruegel returned to Antwerp by way of the Alps, which resulted
form the basis for many of his later paintings, are not records of actual places but
Bruegel: The Paintings (1955). It contains an exhaustive account of the artist's life
brilliant, though controversial, essay on Bruegel's art and its relation to the thought
of the period is in Charles de Tolnay, The Drawings of Pieter Bruegel, the Elder,
with a Critical Catalogue (1935; trans. 1952). For information on the engraved
works see H. Arthur Klein, ed., Graphic Works of Pieter Bruegel the Elder (1963).
Useful general surveys are Robert L. Delevoy, Bruegel: Historical and Critical Study
(1954; trans. 1959), and the excellent essay in Charles D. Cuttler, Northern
8
MUSEUM AFFANDI
9
Gambar 5. Museum Affandi tampak samping depan
(Foto: usuf Rohimawanto, 28 Maret 2014)
10
Gambar 7. Koleksi lukisan Galeri 1
(Foto: Jamal Mubarok, Nopember 2013)
11
Gambar 9. Berfoto di Museum Affandi tampak depan
(Foto: Siti Murdiyati, 4 April 2014)
12
GLOSARIUM
Antipoda: kebalikan atau lawan dari sebuah ide, benda, tempat; orang-orang yang
saling bertentangan atau berlawanan pendirian.
Apropriasi: penyetaraan; peminjaman elemen-elemen dalam suatu kreasi karya seni;
aprosiasi selalu mengandung gejala kemiripan atau keserupaan suatu imaji
terhadap imaji lainnya.
Asosiasi: tautan diingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau
pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan pancaindra.
Bak: bagaikan; seperti; menyatakan perbandingan.
Begawan: julukan untuk orang yang ahli dibidang tertentu.
Beken: terkenal; masyhur.
Borjuis: kelas masyarakat golongan menengah ke atas; lawan dari jelata.
Deadline: time limit; batas waktu; waktu di mana sesuatu perkerjaan harus dilakukan
atau selesai.
Determinasi: ketentuan; memastikan; kepastian.
Difabel: diffable; differenly able; cacat; sikap positif yang menekankan pada
perbedaan kemampuan dan bukan pada keterbatasan, ketidakmampuan atau
kecacatan baik fisik maupun mental.
Distorsi: penyimpangan; perubahan bentuk.
Exercise: pelatihan.
Grand maestro: seniman besar; orang yang ahli dalam bidan seni.
Guide: pemandu; penunjuk jalan; pemandu wisata, orang yang dibayar ataupun yang
disewa untuk menemani wisatawan untuk memberikan petunjuk jalan, peta,
dan memberikan informasi mengenai suatu jalan.
Humanis: penganut humanisme; kemanusiaan; orang yang memperjuangkan
terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas-asas
kemanusiaan.
Kebelet: tidak tertahankan lagi untuk melaksanakan keinginan; ingin sekali.
Manut: penurut; patuh.
Marketable: berharga; nilai jual yang tinggi.
Masterpiece: mahakarya; karya besar.
Menjangkar: berhenti; tidak dapat kemana-mana.
Nan: yang.
Nangkring: berada; berada pada; beradai di tempat yang lebih tinggi.
Ndableg: dari bahasa jawa, menganggap seperti tidak ada apa-apa; tidak terlalu
perasa atau mungkin karena sudah sering mengalami; masa bodoh; keras
kepala.
Netherlandish: Netherlandish Renaissance; mengacu pada perkembangan pesat
lukisan yang terjadi di Belanda selama abad ke-15 dan ke-16.
Newbie: pemula; pendatang baru.
Ngecrohi: dari bahasa jawa, kritikan dengan nada pedas namun bercanda; hampir
sama dengan bully tapi lebih cenderung bercanda dengan tujuan positif.
Otodidak: autodidak; mempelajari sendiri.
Parodi: seni parodi, karya dengan menirukan gaya atau kata dari pencipta lain
dengan maksud mencari efek kejenakaan.
Plagiator: pelaku plagiat; orang yang mengambil karya orang lain dan diakui
sebagai karyanya; penjiplak; mengklaim menjadi miliknya.
Plototan tube: menekan wadah yang berisi cat; cara yang biasa dilakukan Affandi
pada saat melukis dengan gaya ekspresionisme.
Prominen: terkemuka; menonjol.
Relata: atau relatum berdiri dalam hubungan; relevan; memberikan penjelasan
tentang.
Reliabilitas: hal yang dapat dipercaya; dapat diandalkan; konsisten.
Repainter: istilah untuk orang yang ahli mereproduksi lukisan.
Semantik: pembelajaran tentang makna; biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain:
sintaksis; pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana,
pragmatika; penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu.
Seruwet: dari bahasa jawa, kata dasar ruwet, kusut; kalut; rumit; sangat tidak teratur;
semrawut.
Subject matter: tema; komponen yang sangat penting dalam penciptaan karya seni,
sesuatu yang ingin disampaikan kepada penghayat.
Thimik-thimik: dari bahasa jawa; berjalan pelan namun terarah; berjalan dengan
sadar untuk mencapai tujuan.
Validitas: ketepatan; kesahihan; kecermatan; derajat kebenaran.
Veteran: orang yang pernah memiliki pengalaman dibidang militer ataupun
penegakan hukum.
Visualitas: citra (image), baik dua dimensi (dwimatra) maupun tiga dimensional
(trimatra) yang dapat diidentifikasi melalui indera optik kita (mata). Citra
visual dua dimensional bisa berupa lukisan, poster, fotografi, cover buku,
gambar di badan bus dan sebagainya. Sementara citra tiga dimensional bisa
berupa relief, patung, bahkan objek benda sehari-hari sekalipun.
Vitalitas: bergairah; semangat; antusiasme; daya hidup.
BIODATA PENULIS
Riwayat Pendidikan:
TK/TPA :
SD/MI :
SMP/MTs :
SMA/MA :
Perguruan Tinggi :
Riwayat Pameran:
2007 :
2008 :
2009 :
2010 :
2011 :
2012 :