Anda di halaman 1dari 64

KEBUDAYAAN NOREN DALAM MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI DE NO ‘NOREN’ BUNKA

SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh

Dian Anggraini

140722001

PRO G RA M STUDI EK STEN SI SAST RA JEP A NG


FAK ULT AS I LM U BUD AY A
UNI VE R SI TAS S UM ATE R A UT AR A
2 0 1 7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KEBUDAYAAN NOREN DALAM MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI DE NO ‘NOREN’ BUNKA

SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh

Dian Anggraini
140722001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamzon Situmorang., M.S., Ph.D Drs. Amin Sihombing


NIP : 19580704 198912 1 001 NIP : 19620727 198703 005

PRO G RA M STUDI EK STEN SI SAST RA JEP A NG


FAK ULT AS I LM U BUD AY A
UNI VE R SI TAS S UM ATE R A UT AR A
2 0 1 6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Disetujui Oleh :

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Medan, Mei 2017


Program Studi Sastra Jepang
Ketua,

Prof. Hamzon Situmorang., M.S., Ph.D


NIP : 19580704 198912 1 001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Syukur tak terhingga ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya yang berjudul

“KEBUDAYAAN NOREN DALAM MASYARAKAT JEPANG” ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan

penulis yang masih terbatas. Tetapi, berkat bantuan beberapa pihak, maka penulis berhasil

menyelesaikan skripsi ini.

Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

memberi dukungan, terutama kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Stumorang, M.S., Ph.D. Selaku Ketua Program Studi Sastra

Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Pembimbing I.

3. Bapak Amin Sihombing, S.S Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga penulis

dapat menyelesaikan kertas karya ini.

4. Para staf pengajar Program Ekstensi Sastra Jepang Hamzon sensei, Yuddi sensei,

Eman sensei, Amin sensei, Nandi sensei, Adriana sensei, Puji sensei, Hani sensei

Zulnaidi Sensei yang telah memberikan pengajaran bahasa dan sastra Jepang

selama masa perkuliahan. Dan juga kepada Bapak Joko Santoso, S.Kom selaku

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pegawai staf administrasi jurusan Sastra Jepang yang telah banyak membantu

kelancaran administrasi penulis.

5. Untuk keluarga yang tersayang : Suami dan anak-anak yang tidak pernah berhenti

mendukung dan mendoakan penulis dalam upaya menuntut ilmu.

6. Untuk rekan-rekan Program Ekstensi Sastra Jepang 2014, Asma, Rika, Elsa dan

Abdul yang telah menemani selama tiga semester dalam setiap perkuliahan dan

memberikan banyak inspirasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini, sehingga

kritik dan saran sangat diharapkan oleh penulis.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga kertas karya ini dapat

berguna bagi kita di kemudian hari.

Medan, Mei 2017

Dian Anggraini
NIM : 140722001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ......................................................................... 2
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori .......................................................... 3
1.5 Tujuan dan Manfaat....................................................................................... 6
1.6 Metode Penelitian .......................................................................................... 7

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG NOREN ..................................................... 8


2.1 Pengertian noren. .........................................................................................8
2.2 Sejarah dan perkembangan noren. ............................................................... 9
2.3 Jenis-jenis dan Bahan noren. ...................................................................... 13
2.4 Makna Uchi dan Soto dalam Pemikiran Masyarakat Jepang ..................... 17

BAB III. MAKNA DAN FUNGSI NOREN ................................................................. 24


3.1 Makna Jenis, Bentuk dan Warna. ............................................................... 24
3.2 Fungsi Noren dalam Masyarakat................................................................ 26

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 38


4.1 Kesimpulan ............................................................................................... 38
4.2 Saran.......................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 41


LAMPIRAN .................................................................................................................. 43
ABSTRAKSI .................................................................................................................. 55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Jepang adalah sebuah masyarakat yang sangat memegang teguh

budayanya. Warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang masyarakat Jepang

sampai sekarang tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Jepang. Ini merupakan

suatu hal yang wajar dikarenakan kebudayaan yang telah ada telah mendahului lahirnya

suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang

bersangkutan (Soekanto, 2006:160). Nilai-nilai budaya yang dipraktikkan dalam

kehidupan sehari-hari akan membentuk kebudayaan. Karena itu kebudayaan merupakan

bentuk konkret dari budaya. Misalnya di Jepang terdapat kebudayaan ikebana yang

didalamnya terkandung budaya malu masyarakat Jepang.

Terdapat tujuh buah unsur universal dalam kebudayaan di dunia, yaitu : (1) bahasa,

(2) sistem teknologi, (3) mata pencaharian atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem

pengetahuan, (6) religi, (7) kesenian. (Koentjaraningrat, 1976:203-204)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu unsur kebudayaan

adalah kesenian. Yang termasuk dalam kesenian adalah didalamnya seni musik, seni tari,

seni pahat/ukir, seni lukis, seni rupa dan lain-lain. Karya seni rupa dapat berwujud sebagai

barang-barang, peralatan ataupun hiasan yang sering digunakan sehari-hari dalam

kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah noren.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan di

Jepang. Biasanya noren berbentuk kain yang memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari

bawah hingga ke atas. Noren juga digantung di pintu masuk toko, rumah makan dan

tempat pemandian umum (onsen dan sentō). Noren yang dipasang pada tempat makan atau

toko-toko umumnya bertuliskan nama dan simbol toko atau tempat makan tersebut.

Selain itu terdapat juga noren yang bertuliskan nama bangunan (yagō) yang

biasanya digantung di pintu masuk rumah penduduk di wilayah dengan penduduk yang

sebagian besar memiliki nama keluarga yang sama. Pada mulanya noren dipasang sebagai

tirai penangkal udara dingin, angin dan debu. Namun belakangan noren juga digunakan

sebagai hiasan yang mengandung nilai seni dan sejarah.

Keberagaman jenis-jenis, fungsi dan makna yang terkandung dalam noren di

Jepang seperti yang dijelaskan diatas membuat penulis tertarik untuk membahas mengenai

ragam jenis, fungsi dan makna Noren.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diungkapkan di atas, permasalahan

yang penulis rumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Makna noren dalam masyarakat Jepang?

2. Bagaimanakah fungsi noren dalam masyarakat Jepang?

1.3 Ruang lingkup Pembahasan

Dalam pembahasannya penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang

lingkup permasalahan agar pembahasan dalam penelitian tidak terlalu luas dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berkembang jauh, sehingga masalah yang akan dibahas dapat lebih terarah dalam

penulisan nantinya.

Dalam penelitian ini, ruang lingkup yang akan dibahas difokuskan pada interpretasi

makna yang terkandung pada noren. Untuk mendukung penelitian ini penulis akan

menjelaskan juga mengenai :

1. Pengertian dan sejarah perkembangan noren secara umum.

2. Tulisan-tulisan, warna dan simbol yang terdapat pada noren.

4. Pandangan masyarakat Jepang tentang makna dan fungsi noren.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Dalam menganalisa suatu kebudayaan masyarakat tertentu, sebaiknya kita

mengetahui terlebih dahulu unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universal).

Kebudayaan universal adalah unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh

dunia, baik yang kecil, yang bersahaja, terisolasi maupun yang besar dan kompleks

dengan suatu jaringan hubungan yang luas.

Menurut Suryohadiprojo (1982 : 192), kebudayaan adalah hasil dari budi-daya dan

hasil dari pemikiran manusia. Menurut C.K Luckhon dalam Koentjaraningrat (1976:203-

204), unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan di dunia ada tujuh buah unsur,

yaitu : (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) mata pencaharian atau ekonomi, (4) organisasi

sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, (7) kesenian.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Noren adalah tirai kain yang dipasang pada pintu masuk ruangan atau bangunan di

Jepang. Biasanya noren berbentuk kain yang memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari

bawah hingga ke atas. Biasanya noren juga digantung di pintu masuk toko, rumah makan

dan tempat pemandian umum (onsen dan sentō). Noren yang dipasang pada toko atau

rumah makan biasanya bertuliskan nama toko atau rumah makan tersebut. Noren

merupakan salah satu karya seni rupa yang ada di Jepang, dengan kata lain, sebagai karya

seni noren juga merupakan salah satu kebudayaan yang ada di Jepang.

Menurut Kokugo Jiten, (1993: 144). Uchi 「 内 」 mempunyai arti “mono no

nakagawa, nakagawa, kakou, kokoro no naka, jibunka, nado” yang mempunyai makna

subjek/objek yang dekat, tertutup, apa yang ada di dalam hati, rumah sendiri, dan lain-lain.

Sedangkan soto「外」 mempunyai arti “gai, soto, hoka, hazusu, seitou dehanai mono, aru

han’i ni iranai tokoro, gaikoku no ryaku, hahakata no miuchi” yang berarti luar, lain,

menjauhkan, bukan orang tradisional, tempat yang tidak boleh dimasuki, negeri asing,

keluarga dari sisi ibu.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak

dari alam abstrak ke alam yang konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai

kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang terbilang

banyaknya dalam kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan (Koentjaraningrat,

1976:11).

Setiap penelitian memerlukan landasan teori dalam mengungkapkan kebenaran

yang terdapat di dalamnya. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang makna dan fungsi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


noren dalam masyarakat Jepang. Pengertian noren dalam kokugojiten online

(https://www.fleapedia.com) adalah

暖簾とは、飲食店の店先や、住宅の部屋の入口などにかけ、建物の内と外、
部屋の内と外を仕切ったような気分にさせる短い布。

Noren to wa, inshoku-ten no misesaki ya, jūtaku no heya no iriguchi nado ni kake,
tatemono no uchi to soto, heya no uchi to soto o shikitta yōna kibun ni sa seru
mijikai nuno.

‘Noren adalah kain pendek yang membuat kita merasakan terpisah antara luar dan
dalam sebuah ruangan, bangunan dan terpasang di pintu masuk ruangan tempat
tinggal, depan toko, warung makan dan sebagainya.’

Untuk memahami makna dari noren dalam masyarakat Jepang, maka digunakan

pendekatan semiotik atau teori semiotika. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala

yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,

pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Makna semiotik menurut Pierce (dalam Zoest 1991: 1), yaitu ia mengatakan tanda-

tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna

pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.

Selain itu, penulis juga menggunakan teori interaksi simbolik yang bercikal bakal

dari faham fenomenologi, berusaha memahami tentang suatu “gejala” erat hubungannya

dengan situasi, kepercayaan, motif pemikiran yang melatarbelakangi. Jhonson Pardosi

(2008) mengatakan Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa seseorang berbuat dan

bertindak bersama dengan orang lain, berdasarkan konsep makna yang berlaku pada

masyarakatnya; makna itu adalah produk sosial yang terjadi pada saat interaksi; aktor

sosial yang terkait dengan situasi orang lain melalui proses interpretasi atau tergantung

kepada orang yang menafsirkannya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Interaksi simbolik menurut Effendy (1989: 352) adalah suatu faham yang

menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu

dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah

karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-

masing yang terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan.

Dalam memahami makna dari noren, penulis juga menggunakan pendekatan

konsep uchi dan soto dalam masyarakat Jepang. Uchi dan soto secara kasar diterjemahkan

sebagai bagian dalam dan bagian luar secara berturut-turut, dan mungkin dipelajari

pertama kali oleh seorang anak dalam asosiasi dengan bagian dalam dan bagian luar dari

rumah tempat tempat tinggalnya (Joy Henry, 1987:43).

Selain itu, penulis juga akan menyinggung tentang sejarah munculnya noren

sehingga dalam penelitian ini penulis juga akan menggunakan pendekatan historis.

Menurut Ratna (2004 : 66), pendekatan historis melihat konsekuensi karya sastra sebagai

sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas dimana karya seni

adalah gambaran kehidupan masyarakat di zamannya. Dalam perjalanan historisnya, noren

mengalami perkembangan dan mengalami banyak perubahan mulai dari cara

pembuatannya hingga makin banyaknya pilihan warna, bentuk dan gambar. Dan

perubahan-perubahan tersebut tidak lepas dari kondisi masyarakat pendukungnya.

Beberapa pendapat dari teori di atas, seperti pendekatan semiotik simbolik serta

konsep uchi dan soto akan digunakan oleh penulis untuk menginterpretasikan bentuk,

tanda-tanda dan simbol-simbol yang ada dalam noren. Pendekatan interaksi simbolik

digunakan penulis untuk menjelaskan segala hal yang saling berhubungan dengan

pembentukan makna dari suatu benda, lambang dan sebagainya. Pendekatan melalui

konsep uchi dan soto akan membantu dalam memahami makna filosofis dari noren.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kemudian digunakan juga pendekatan historis untuk menjelaskan tentang sejarah noren,

lalu penulis juga akan memaparkan fungsi dari Noren tersebut.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan antara lain::

3. Untuk mengetahui Makna noren dalam masyarakat Jepang.

4. Untuk mengetahui fungsi noren dalam masyarakat Jepang.

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pihak-

pihak tertentu, yaitu :

1. Bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan mengenai sejarah dan

perkembangan noren serta makna yang terkandung didalamnya.

2. Memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan khususnya

mahasiswa Sastra Jepang tentang kebudayaan Noren dan fungsi Noren dalam

masyarakat Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut

Koentjaraningrat (1976 : 30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan

gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok

tertentu dalam memecahkan masalah penelitian, mengumpulkan, menyusun,

mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterpretasikan data.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kemudian Untuk dapat mendeskripsikan suatu masalah dengan tepat dan akurat

serta penelitian yang berkesinambungan berkesinambungan maka sebagai pendukung

digunakan metode kepustakaan (library research). Metode kepustakaan adalah metode

pengumpulan data dengan mengadakan studi peneleahan terhadap buku-buku, literatur-

literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang

dipecahkan (Nazir, 2003:111)

Dengan kata lain, metode kepustakaan adalah pangumpulan data dengan cara

membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas. Data

yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan

serta saran.

Dalam metode ini, penulis memanfaatkan sumber-sumber yang didapatkan dari

artikel-artikel yang dimuat di majalah maupun internet, koleksi buku di perpustakaan pusat

USU, perpustakaan Konsulat Jenderal Jepang di Medan serta jurnal-jurnal yang

memabahas tentang topik yang berkenaan dengan penelitian ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NOREN

2.1 Pengertian Noren.

Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan

di Jepang. Noren biasanya memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari bawah hingga ke

atas. Noren biasanya digantung di pintu masuk toko, rumah makan dan tempat pemandian

umum. Noren yang dipasang pada toko atau rumah makan biasanya bertuliskan nama toko

atau rumah makan tersebut (https://id.wikipedia.org/wiki/Noren).

Jika dilihat dari huruf kanjinya noren「暖簾」berasal dari dua huruf, yaitu no (暖)

yang berasal dari kanji atatakai, dan yang berarti ‘hangat.’kemudian ren ( 簾 ) yang

merupakan kanji sudare yang berarti tirai bambu (Nelson, 2011:72). Sehingga dapat

dikatakan menurut huruf kanjinya noren merupakan tirai bambu yang berfungsi untuk

menghangatkan. Secara umum dapat kita pahami bahwa tirai berfungsi menghalangi terik

sinar matahari masuk ke dalam rumah di musim panas dan di musim dingin juga dapat

menghalangi udara dingin masuk ke dalam rumah. Sehingga noren dalam hal ini

merupakan satu benda yang dipasang sebagai tirai penghangat, penangkal udara dingin,

angin dan debu agar tidak masuk dalam ruangan dalam ruangan.

Di dalam kokugo jiten ( 久松, 807:1984) terdapat dua makna, yaitu :

①店ののき先や出入り口にたらしてある店名を書いた布。 ②店の格式。店の信
用。

1. Mise no nokisaki ya deiriguchi ni tarashite aru misena wo kaita nuno. 2. Mise no


kakushiki. Mise no shinyou.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


‘1. kain yang tertulis nama toko dan terdapat di pintu keluar dan masuk di depan
sebuah toko. 2. Status sosial suatu toko. Kepercayaan pada sebuah toko.’

Di dalam kokugojiten online (https://www.fleapedia.com) disebutkan pengertian

noren sebagai berikut :

暖簾とは、飲食店の店先や、住宅の部屋の入口などにかけ、建物の内と外、
部屋の内と外を仕切ったような気分にさせる短い布。

Noren to wa, inshoku-ten no misesaki ya, jūtaku no heya no iriguchi nado ni kake,
tatemono no uchi to soto, heya no uchi to soto o shikitta yōna kibun ni sa seru
mijikai nuno.

‘Noren adalah kain pendek yang membuat kita merasakan terpisah antara luar dan
dalam sebuah ruangan, bangunan dan terpasang di pintu masuk ruangan tempat
tinggal, depan toko, warung makan dan sebagainya.’

Kemudian di dalam https://ja.wikipedia.org dijelaskan sebagai berikut :

暖簾(のれん)とは、店先あるいは部屋の境界に日よけや目隠しなどの
ために吊り下げる 布 のことである。商店の入り口などに営業中を示すた
め掲げられ、屋号・商号や 家紋などが染め抜かれていることも多い。

Noren to wa, misesaki aruiwa heya no kyoukai ni hiyoke ya mekakushi nado no


tame ni tsuri sageru nuno no kotodearu. Shouten no iriguchi nado ni eigyouchuu
o shimesu tame kakage rare, yagou shougou ya kamon nado ga somenuka rete iru
koto mo ooi.

‘Noren adalah kain yang digantungkan untuk penghalang dan penahan sinar
matahari sebagai pembatas ruangan atau depan toko. Diletakkan untuk
menujukkan tempat tersebut masih buka di pintu masuk pertohohan. Kebanyakan
diletakkan tanda berupa lambang keluarga, nama dagangan dan sebagainya.’

Dari berbagai pengertian noren di atas dapat disimpulkan bahwa noren adalah kain

yang diletakkan di depan pintu sebuah bangunan seperti rumah, toko, perusahaan dan

sebagainya sebagai penghalang sinar matahari dan pembatas antara bagian dalam dan luar

suatu bangunan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.2 Sejarah dan Perkembangan Noren.

Sejarah noren sudah dimulai sejak era sebelum masehi. Ribuan tahun yang lalu,

pada zaman dahulu di Era Jomon, nenek moyang Jepang menjalin tirai dasar dari bahan

alami berupa rumput panjang, alang-alang, dan daun besar untuk menciptakan sebuah

penghalang antara unsur-unsur luar dan ruang hidup mereka dan kuil-kuil. hambatan tirai-

seperti ini berkembang selama berabad-abad. Lalu dimulai pada Era Heian, mumcul

menyerupai apa yang kita kenal sebagai zaman modern tirai Noren Jepang. Kain yang

digunakan sebagai perlindungan dari matahari, angin, debu panas, dingin dan menjadi

bentuk pengiklanan. Seperti tirai ditampilkan di pintu toko dengan logo, atau puncak,

menandakan isi ruang tertutup dan sering mewakili status sosial dari pemiliknya. (Gambar

2.1)

Kata noren dibentuk dalam (http://www.japanesestyle.com/Traditional-Japanese-

Noren-Past-and-Present-s/893.htm) berasal dari karakter huruf 「暖」 dan「簾」. Di

Jepang karakter huruf "暖" dibaca sebagai "dan" atau "atatakai". Tapi hanya dalam "暖簾

" dibaca "Nouren" atau "noren".

Dengan cara baca seperti ini, dahulu kata ‘noren’ dipinjam dari kata ‘nanren’ dan

‘nafuren’ yang merupakan bunyi dasar, kemudian dikatakan dengan cara menurun menjadi

noren. (Tani Minekura " sejarah iklan luar Jepang " Iwasaki Art Co, Ltd)

Saat ini noren yang sering muncul adalah yang berasal dari masyarakat periode

akhir Heian. dalam ‘Shin Kiyama engi emaki’ yang dibuat pada periode Honobe (1135-

1140), tergambar rumah masyarakat kota yang terpasang benda persis sama dengan noren

dengan tiga gantungan seperti sekarang (Gambar. 2.2). Kemudian Pada ‘toshi-chuu gyouji

emaki’ yang dibuat pada era bougen, seorang samurai yang menaiki kuda berjalan melalui

jalan besar, pada pintu masuk rumah yang menghadap kejalan terpasang tiga gantungan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


noren panjang dan noren pendek. Lalu, pada gambar yang diberinam ‘kokawaderaengi e’

yang dibuat di era jisho (1177-81), pada gambar di pintu depan rumah masyarakat tampak

terpasang pada pintu lorong kain celup berwarna nila.

Terpasangnya noren pada rumah-rumah masyarakat dalam gambar-gambar tersebut

menunjukkan bahwa noren telah digunakan sebagai salah satu perlengkapan rumah

masyarakat, menunjukkan kepopuleran dan dapat dikatakan sebagai hal yang seniman

tunjukkan sebagai bagian dari gambaran dunia. Dengan demikian menjadi hal yang

sebelumnya telah digambarkan, pada jaman nara dan dilihat lebih jauh sebagai hal yang

telah dipirkirkan juga pada awa periode Heian.

Berbeda dengan gaya arsitektur barat, tidak terdapat batas penutup antar kamar,

pada pembatas pada Negara Jepang bervariasi. Ada yang disebut dengan Kabeshiro, tobari

(kanopi), sudare (screen bambu) dan lain sebagainya terdapat dalam ‘manyoushuu’ dan

‘koujiki’ yang merupakan teks tertua di Jepang. Termasuk juga hal yang popular dilihat

sebagai benda yang disebut kichou atau screen yang digunakan para golongan elit di

Jepang.

Pada musim panas, noren menahan sinar matahari yang menyengat dan sebaliknya

menahan hembuasan debu dan angin pada musim dingin. Lalu bahan yang dipasang pada

pintu yang berguna mengahalangi cahaya dan juga pandangan orang untuk melihat ke

dalam pada mulanya terbuat dari tikar jerami. Karena itu noren dalam bahasa zaman

dahulu disebut ‘taremushi’. Lalu pada kata taremushiro (jerami yang terjulur kebawah)

terdapat iterpretasi yang sesuai dalam kojien (sebuah kamus bahasa Jepang) bahwa ‘tare

mushi’ = noren rami.

Mushi yang dimaksud menunjukkan makna mushi 「 帔 」 , pada dasarnya

merupakan kain tenun dari tenunan rami yang disatukan dengan tanaman khas Jepang.

Mengupas kulit rami dan mengambil serat dengan merebusnya. Kata kerja merebus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai aktifitas berubah menjadi kata benda. Lalu terdapat juga rumor yang menduga

bahwa taremushi merupakan shingkatan dari 帔の垂たれ 布 (mushi no tare nuno) sebagai

pengganti 垂筵 (shide/kain kertas shinto). (Minekura tani, 2008 )

Memasuki zaman kamakura, mulai terdapat lambang pada toko-toko. Ini menjadi

dasar permulaan munculnya noren dan pada periode Muromachi dimulailah noren

berlambang yang khas Jepang. Bahkan di Turpan sebuah kota kecil di Xicheng terdapat

Atsushisumeragi, yaitu merupakan kain tipis Shirayu pada pintu yang tergantung penuh ke

bawah, meskipun sekarang sering digunakan, namun itu bukanlah noren berlambang kain

yang berfungsi untuk menahan debu dan sinar matahari. (Gambar 2.3) Peletakkan lambang

pada noren diperlukan bahan yang mudah melekat. Saat itu kain kapas sebagai tempelan

lambang relatif mudah didapat sehingga noren berlambang mudah dibuat. (Nobuhiko,

2:1993)

Dalam fungsi menahan sinar matahari dan debu memungkinkan jika terjadi

perubahan jenis kain pada bahan, sehingga seterusnya menyebabkan lahirnya macam-

macam perubahan baru. Warna jadi bebas dan beragam, kemudian huruf dan bentuk pola

dapat bermacam-macam. Ini merupakan inisiatif dari ketetapan lambang toko, seperti

diperlukannya tanda untuk pedagang yang menunjukkan apa yang dapat dibeli oleh orang-

orang di tempat tersebut (Nobuhiko, 2:1993).

Meningkatnya jumlah masyarakat yang dapat membaca di seluruh Jepang pada

abad ke-18, gambar pada noren mulai digantikan dengan huruf, yaitu kanji dan kana.

Noren tradisional Jepang hari ini adalah persegi panjang kain atau kain rami panel dengan

dikelilingi sebuah celah di tengah. celah memberikan bagian yang mudah melalui sebuah

lubang sambil mempertahankan perlindungan dari unsur-unsur, rasa privasi, dan sumber

cahaya disaring. Terlihat paling sering pada etalase dan bisnis di Jepang, Noren

menunjukkan jenis produk yang dijual dan jika tirai masih tergantung menjelaskan makna

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


bahwa toko masih buka dan beroprasi. Ada juga Noren Tradisional Jepang yang dipasang

dengan menggunakan tongkat tirai dengan ring pengait. Menggunakan tiang bambu tipis,

atau batang kayu panjang. Umumnya dijahit dengan loop atau hem berongga besar sebagai

tempat untuk dikaitkan ke batang kayu.

Hingga kini banyak orang di luar Jepang yang mungkin sangat akrab dengan tirai

Jepang yang tergantung di dapur dan kamar mandi pintu restoran sushi favorit mereka, hal

ini bertujuan membatasi ruangan koki dan tempat makan, hal ini akan memberikan kesan

nyaman dan bahagia bagi koki dan pengunjung.

2.3 Jenis-Jenis dan Bahan Noren.

Jenis noren dapat terbagi menurut dua hal yaitu, Sunpō 「寸法」dan zaishitsu

「材質」(dimensi dan material). Standar dimensi berukuran kujirajaku no sanjaku (鯨尺

の三尺) yaitu berkisar 113 cm. Kemudian lebar horizontal pada noren banyak berupa

bentuk 3 belahan kain. Sebenarnya bentuk belahan kain ini dapat disesuaikan untuk

membentuk keseimbangan pada pintu bangunan. Lalu dapat dipilih hal yang berkaitan

dengan pertanda baik berupa jumlah jumlah-jumlah angka ganjil seperti 5, 7 kain. satu

kain panjangnya 34 cm. Bagian atas dijahit dari 1 ke 3 bagian atau 5 bagian. Bagian bawah

dijulurkan dan dalam bentuk lain ada juga diletakkan bentuk galang yang disebut Jōtan ni

chichi 「上端に乳」 dan juga terdapat pintu melewati tiang bambu. (Gambar 2.4)

2.3.1 Noren Menurut Dimensinya 「寸法」

Menurut dimensinya noren terbagi menjadi beberapa tiga macam, yaitu naganoren,

hannoren dan mizuhinoren.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


a. Naganoren (長暖簾)

Naganoren adalah noren berukuran panjang dengan ukuran berkisar 160 cm. Pada

awalnya merupakan noren yang digunakan untuk membatasi satu ruangan ke ruangan lain.

Biasanya digunakan di pemandian umum dan toko makanan seperti udon, soba, ramen,

okonomiyaki, yakiniku, izakaya dan sebagainya. Akan tetapi pada dasarnya noren apapun

jenisnya memiliki berfungsi sama. Yaitu melindungi bagian dalam dari cahaya matahari.

Namun melihat ukurannya tentu masing-masing jenis noren akan memiliki peran yang

berbeda dalam suatu kondisi. Dalam hal ini karena ukurannya yang panjang, naganoren

lebih berperan seperti kerai yang melindungi bagian dalam secara sepenuhnya dari paparan

sinar matahari. (Gambar 2.5)

b. Hanhoren (半暖簾)

Hanhoren (半暖簾) adalah noren berukuran pendek. Panjangnya berkisar 56 cm.

Noren ini sering digunakan sebagai ukuran untuk noren standart yang dipasang di

pemandian air panas (onsen), pemandian umum atau toko kain dan sebagainya. Selain itu

hannoren juga banyak digunakan di tempat-tempat yang umum seperti restoran, toko soba,

toko sushi dan sebagainya. Latar berlakang warna dan gambar dari jenis noren ini

dimaksudkan untuk memperliatkan pada orang-orang kondisi dan keadaan di dalam toko.

Misalnya dituliskan nama toko dan gambaran mengenai apa saja yang dijual di toko

tersebut. (Gambar 2.6)

c. Mizuhikinoren (水引暖簾)

Dilihat dari hurufnya mizuhiki 「水引」Noren pendek dan lebar yang juga banyak

terdapat di pintu toko-toko. Noren ini lebih digunakan sebagai dekorasi dan hiasan yang

mudah dipasang pada bagunan-bangunan. Karena itu tidak menjadi masalah jika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


digunakan di dalam atau di luar ruangan. Mizuhikinoren sebagai hiasan dekorasi

memberikan sentuhan kesan menarik pada sebuah toko. (Gambar 2.7)

2.3.2 Berdasarkan Materialnya 「材質」

Berdasarnya materialnya noren terbagi menjadi tiga macam, yaitu enoren,

nawanoren dan tamanoren / kannoren.

a. Enoren 「絵暖簾」

Ernoren adalah noren panjang (naganoren) yang berwarna dan berpola gambar

indah seperti huruf dan lambang keluarga. Ketika kebudayaan literasi masih sangat rendah

di Jepang, maka banyak jejak gambar-gambar seperti pohon tachibana (pohon sejenis

jeruk) dan daun bambu yang terdapat pada noren. Penggunaan enoren mulanya digunakan

di daerah Kyoto dan Kanzawa. Enoren dibuat dengan munggunakan teknik pewarnaan

kain yang disebut dengan yuzen dan bingata.

Yuzen adalah teknik pewarnaan dengan cara menggambar menggunakan kuas

untuk menghasilkan motif yang biasanya berbentuk bunga-bunga. Sementara bingata

adalah teknik pencelupan warna kain khas okinawa yang berwarna cerah dengan berbagai

motif dan biasanya menggambarkan subjek alam, seperti ikan, air dan bunga.

(Gambar 2.8)

b. Nawanoren 「縄暖簾」

Mulanya kita berfikir bahwa noren terbuat dari kain. Namun bahan dari rami

dahulu digunakan sebagai noren dikarenakn mampu lebih cepat meneteskan air ketika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


noren terkena air hujan. Noren yang terbuat dari rami inilah yang disebu dengan

nawanoren.

Saat ini nawanoren sering digunakan pada izakaya (kedai minum). Penggunaan

nawanoren pada penanggalan Tempo「天保」(berkisar 1830~44 M)dengan tujuan

menghilangkan lalat pada izakaya (kedai minum). (Gambar 2.9)

c. Tamanoren/ kannoren 「珠暖簾・管暖簾」

Tamanoren atau kannoren adalah noren yang terbuat dari kayu dan bola mutiara

yang dikaitkan oleh tali dengan melubangi bagian tengahnya. Menggambarkan gabungan

dari berbagai bola permata dari berbagai ukuran. (Gambar 2.10)

d. Takenoren 「竹暖簾」

Takenoren adalah noren yang jarang dijumpai saat. Seperti namanya noren ini

terbuat dari bambu yang dipotong-potong memanjang dan disusun membentuk tirai lalu

digantungkan di bawah atap. (Gambar 2.11)

2.3.3 Noren berdasarkan warna 「色彩」

Selain terbagi dalam dimensi dan materialnya, Nobuhiko (2:1993) dari hasil

pengamatannya menyimpulkan beberapa hal mengenai warna noren (shikisai 色 彩 ).

Antara lain sebagai berikut.

a. Biru Tua /Nila 「紺・藍色」

Warna ini digunakan sejalan dengan adanya ketertarikan masyarakat Jepang pada

warna merk rokok buatan Jepang peace. Salah satu produk rokok peace yang populer

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


adalah peace blue (ピースブルー), yaitu produk rokok dengan bungkus berwarna latar

biru Tua.

Selain itu apabila warna biru dikombinasi degan tulisan atau lambang berwarna

putih, maka akan menciptakan kontras warna yang baik sehingga membuat nyaman untuk

dipandang. Warna biru tua ( 紺色 koniro) juga tidak disukai serangga sehingga banyak

digunakan di toko-toko. (Gambar 2.12)

b. Warna hanada 「縹色」

Warna ini juga ditulis dengan huruf kanji 花田色 yang dekat pada makna biru

muda yang cerah. Warna biru muda cerah yang dimaksud adalah warna bunga tsuyukusa

(露草) dengan nama latin Commelina communis. Jenis bunga yang tumbuh di Asia juga

dikenal dengan nama dayflowers. Warna ini sering digunakan pada mizuhikinoren yang

terdapat pada kedai teh. (Gambar 2.13)

c. Putih 「白地」

Dahulu Noren warna putih sering digunakan pada toko kue dan toko obat. Akan

tetapi ketika musim dingin digunakan warna biru untuk menggantikannya agar tidak sama

dengan warna salju. Pada mulanya warna putih digunakan oleh tokoh kue karena warna

putih identik dengan warna gula yang memberi rasa manis pada kue. Sementara pada toko

obat digunakan untuk menggambarkan kebersihan dan kesehatan. Namun sekarang noren

warna putih sudah jarang terlihat digunakan. (Gambar 2.14)

d. Warnah coklat 「茶色」

Warna cokelat dahulu khusus digunakan pada toko yang menjual rokok. Namun

sekarang juga digunakan pada toko asinan dan ryoutei (restoran khas Jepang). (Gambar

2.15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


e. Hijau 「緑色」

Noren warna hijau digunakan pada tokoh yang menjual daun teh atau barang-

barang perkakas lain yang digunakan sehari-hari. (Gambar 2.16)

2.4 Konsep Makna Uchi dan Soto dalam Pemikiran Masyarakat Jepang

Menurut Kokugo Jiten, (1993: 144). Uchi 「 内 」 mempunyai arti “mono no

nakagawa, nakagawa, kakou, kokoro no naka, jibunka, nado” yang mempunyai makna

subjek/objek yang dekat, tertutup, apa yang ada di dalam hati, rumah sendiri, dan lain-lain.

Sedangkan soto「外」 mempunyai arti “gai, soto, hoka, hazusu, seitou dehanai mono, aru

han’i ni iranai tokoro, gaikoku no ryaku, hahakata no miuchi” yang berarti luar, lain,

menjauhkan, bukan orang tradisional, tempat yang tidak boleh dimasuki, negeri asing,

keluarga dari sisi ibu. Beberapa istilah yang juga dapat dikatakan merupakan makna dari

uchi-soto diantaranya adalah „kami‟, „kita‟ yang tinggal da lam rumah yang sama. Soto

antara lain „mereka‟, tamu, tetangga atau yang bukan serumah dengan kita, (Bachnik, dkk,

1994: 63-64).

Inoue (1979:71-72) menjelaskan konsep uchi dan soto secara umum sebagai

berikut:

準拠集団としての「世間」を区別する規準は、「ウチ」と「ソト」の観念である。
私たちはふつう、生活空間をウチとソトにわけてとらえている。自分がぞくして
いる範囲がウチであり、それ以外が、ソトである。

Junkyo shūdan to shite no `seken' o kubetsu suru kijun wa,`uchi' to `Soto' no kan'nendearu.
Watashitachi wa futsū, seikatsu kūkan o uchitosoto ni wakete toraete iru. Jibun ga
zokushite iru han'i ga uchideari, soreigai ga, Sotodearu.

‘Standar cara dalam membedakan masyarakat atau dunia sebagai kelompok dasar adalah
konsep uchi dan soto. Kita biasanya memilah unsur-unsur kehidupan menjadi uchi dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


soto. Ruang lingkup di mana terdapat diri kita adalah uchi, dan ruang lingkup di luar itu
disebut soto.’

Dalam website Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Uchi-soto, 11-04-2017),

dikatakan bahwa uchi dan soto adalah istilah dalam bahasa Jepang yang menunjukkan

perbedaan kelompok dalam (orang yang mempunyai hubungan dekat/uchi) dan kelompok

luar (orang yang mempunyai hubungan tidak dekat/soto).

Kedua konsep ini tercermin dalam perilaku sehari-hari masyarakat Jepang. Contoh

yang dapat diambil adalah dalam hal mandi. Dalam keluarga Jepang, urutan mandi adalah

dari yang usianya paling tua sampai yang paling muda. Akan tetapi jika ada tamu yang

menginap, sebagai bentuk penghargaan dan kesopanan, maka tamu tersebut akan

dipersilakan untuk mandi terlebih dahulu. Konsep uchi dan soto ini tidak hanya dapat

dilihat dalam sikap atau tindak tanduk masyarakat Jepang sehari-hari, akan tetapi juga

dalam penggunaan bahasa Jepang. Jika berbicara dengan orang yang kurang mempunyai

hubungan dekat (soto no hito), maka orang Jepang akan meninggikan/menghormati orang

tersebut dengan cara menggunakan bahasa formal dan sopan. Hirabayashi dan

Hama ( dalam Sharnetta, 2015:7) menjelaskan penggunaan bahasa Jepang yang

terkait dengan konsep uchi dan soto sebagai berikut:

「内」の人間(家族、自分の会社の人、自分の属するグループの人など)が、
「外」の人間(親しくない人、他人、他会社の人、他グループの人など)と話し
合ったり、その人たちを話題にするとき、自分を含む「内」の人間に対しては謙
譲語、「外」の人間に対しては尊敬語を使う。

Uchi' no ningen (kazoku, jibun no kaisha no hito, jibun no zokusuru gurūpu no hito nado)
ga,`-gai' no ningen (shitashikunai hito, tanin, ta kaisha no hito, ta gurūpu no hito nado) to

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hanashiattari, sono hito-tachi o wadai ni suru toki, jibun o fukumu `uchi' no ningen ni
taishite wa kensetsu,`-gai' no ningen ni taishite wa sonkei-go o tsukau.

‘Ketika berbicara dengan orang dalam (keluarga, orang di perusahaan yang sama, orang-
orang dalam kelompok yang dekat dengan kita) dan orang luar (orang yang tidak dekat,
orang lain, orang dariperusahaan lain, orang-orang yang berasal dari kelompok luar),
untuk menjadikan orang-orang tersebut menjadi pokok pembicaraan, kita harus
menggunakan kenjougo (bahasa perendahan) ketika membicarakan orang dalam, dan
sonkeigo (bahasa hormat) ketika membicarakan orang luar. Pemakaian bahasa
formal/sopan umunya tidak digunakan dalam lingkup orang yang mempunyai hubungan
dekat/orang dalam (uchi no hito).’

Dalam berinteraksi masyarakat Jepang memiliki beberapa pasangan konsep yang

membedakan antara penampilan resmi yang steril dan realitas yang tersembunyi

(Mayarakat Jepang Kontemporer:30). Konsep uchi dan soto dalam penjelasan ini

membedakan cara berbahasa antara orang luar dan orang dalam.

李御寧 I O Ryon (1985) seorang penulis berkebangsaan Korea dalam buku 「縮み

志向の日本人」, menjelaskan tentang konsep uchi soto sebagai berikut:

内と外の二つの世界...ここから日本特有の「内」と「外」の観念が作られる
のです。「内」とは縮みの空間で、自分がよくわかる具象的な世界。経馬験し、
肌身に感じられる小さな世界なのです。それに対して「外」は拡がりの世界で、
抽象的な広い空間です。だから、日本人はなにを見ても、すぐ内と外にわけて考
え、行動する傾向があります。

Uchi to soto no futatsu no sekai... Koko kara nihontokuyū no `uchi' to `soto' no kan'nen ga
tsukura reru nodesu. `Uchi' to wa chidjimi no kūkan de, jibun ga yoku wakaru gushō-
tekina sekai. He-ba tameshi, hadami ni kanji rareru chīsana sekaina nodesu.
Sorenitaishite `soto' wa hirogari no sekai de, chūshōtekina hiroi kūkandesu. Dakara,
nihonjin wa nani o mite mo, sugu-nai to soto ni wakete kangae, kōdō suru keikō ga
arimasu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


‘Dua dunia uchi dan soto...dari sini dibuatlah ide atau konsep pemikiran tentang uchi dan
soto. Yang dimaksud dengan uchi yaitu ruangan sendiri, yang merupakan dunia yang
konkrit, yang dapat langsung dimengerti olehorang dari lingkungannya sendiri. Disinilah
dunia kecil tempat pengalaman, tubuh, dan perasaan dicurahkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan soto yaitu dunia luas, dan merupakan ruang abstrak yang luas. Oleh
karena itu setiap melihat dunia, orang Jepang langsung teringat tentang uchi dan soto, dan
cenderung bertindak atas dasar tersebut.’

Joy Henry (1987:43) dalam Understanding Japanese Society, mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan uchi soto adalah sebagai berikut:

Uchi and soto translate roughly as ‘inside’ and ‘ outside’ respectively, and they are
probably first learned by a child in associati on with the inside and outside of the house in
which it lives. They, or parallel words,¹ are also applied to members of one’s house as
opposed to members of outside world, and to members of a person’s wider groups, such as
the community, school or place of work, as opposed to other people outside those groups.

‘Uchi dan soto secara kasar diterjemahkan sebagai bagian dalam dan bagian luar secara
berturut-turut, dan mungkin dipelajari pertama kali oleh seorang anak dalam asosiasi
dengan bagian dalam dan bagian luar dari rumah tempat tempat tinggalnya. Uchi dan soto,
atau kata yang sama artinya, juga digunakan untuk anggota-anggota dari rumah seseorang
sebagai lawan untuk anggota-anggota dari dunia luar, dan juga untuk anggota-anggota dari
kelompok seseorang yang lebih luas, seperti lingkungan, sekolah atau tempat kerja,
sebagai lawan dari orang lain diluar kelompok-kelompok itu.’

Menurut Seiichi Makino dalam M. Bachnik dkk. (1994: 45), setiap kebudayaan

yang berkembang dalam masyarakat memiliki suatu bentuk berupa penjelasan keruangan,

hal ini menghubungkan antara kebudayaan suatu masyarakat dengan penggunaan ruang

sebagai sarana untuk mengembangkannya. Secara umum, Konsep keruangan ini dapat

ditemukan pada konsep uchi-soto dalam kebudayaan Jepang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dari berbagai ulasan mengenai pengertian dan konsep uchi dan soto dari para pakar

di atas bahwa masyarakat Jepang dalam berinteraksi membagi dua kelompok yaitu:

lingkungan dalam (uchi) dan lingkungan luar (soto). Fenomena tersebut juga dapat

tercermin pada pintu masuk rumah (genkan) dan pemakaian noren pada bangunan seperti

toko dan tempat makan di Jepang. Noren merupakan pembatas antara kelompok luar dan

dalam. Bahwa ketika seseorang masuk ke dalam bangunan dan melewati noren artinya

orang tersebut yang sebelumnya berada dalam kelompok masyarakat luas (soto) telah

menjadi bagian dari kelompok dalam (uchi). Sehingga hal ini menunjukkan kesiapan

seseorang untuk berinteraksi dan mengakrabkan diri pada orang lain.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

MAKNA DAN FUNGSI NOREN

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai makna dari jenis, bentuk dan warna dari

noren serta fungsi noren dalam masyarakat Jepang. hal-hal tersebut akan dideskripsikan

berdasarkan sumber yang didapatkan dari literatur-literatur buku dan media berita cetak

dan elektronik yang berhubungan noren. Dalam mendeskripsikan makna dari jenis, warna

dan bentuk noren digunakan pendekatan semiotik dan pendekatan makna uchi dan soto.

Kemudian untuk mendeskripsikan fungsi noren digunakan pendekatan fenomenologi dan

historis yang berhubungan dengan noren dalam masyarakat Jepang.

3.1 Makna Jenis, Bentuk dan Warna


Pada bab II telah dijelaskan mengenai jenis dan bahan noren. Di dalamnya dapat

dipahami bahwa noren terdiri dari beberapa jenis dilihat dari bentuk dan warnanya. Karena

itu pada bagian ini akan dijelaskan makna berdasarkan jenis, bentuk dan warna dari noren.

3.1.1 Makna dari Bentuk Noren


Bentuk Noren terdiri dari naganoren, hannoren dan mizuhinoren. Naga noren lebih

bermakna umum yaitu sebagai alat untuk melindungi bagian dalam dari cahaya matahari.

Dengan kata lain dengan bentuknya yang panjang, naganoren menunjukkan peran seperti

halnya kerai yang melindungi bagian dalam secara sepenuhnya dari paparan sinar matahari.

Kemudia bentuk hannoren dimaksudkan untuk memperliatkan pada orang-orang

kondisi dan keadaan di dalam toko. Misalnya dituliskan nama toko dan gambaran

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengenai apa saja yang dijual di toko tersebut. Dengan kata lain penggunaan hannoren

bermakna penunjuk keadaan dalam sebuah toko atau bangunan.

mizuhiki 「水引」Noren pendek dan lebar yang juga banyak terdapat di pintu

toko-toko. Dilihat dari makna kanjinya 「水」mizu bermakna air dan 「引」 hiki

bermakna menarik, sehingga secara harfiah mizuhiki noren bermakna penarik air. Dalam

salah satu fungsinya noren memang digunakan untuk menahan percikan air hujan masuk

ke dalam rumah sehingga pemaknaan ini sesuai dengan fungsinya. Noren bentuk ini

sekarang lebih digunakan sebagai dekorasi dan hiasan yang mudah dipasang pada

bagunan-bangunan. Dapat digunakan di dalam atau di luar ruangan. Mizuhikinoren sebagai

hiasan dekorasi memberikan sentuhan kesan menarik pada sebuah toko atau bangunan.

3.1.2 Makna dari Simbol dan Warna Noren


Desain tradisional noren terdiri dari warna biru dan putih. Warna ini digunakan

karena menunjukkan kesan kesucian dan kebersihan, sehingga banyak dipakai pada

bangunan-bangunan seperti restoran dan toko.

Saat ini, noren memiliki elemen desain yang berbeda yang digabungkan ke

dalamnya dan dihadirkan dalam berbagai ukuran, warna, pola, dan material. Beberapa

memiliki ikon budaya Jepang seperti geisha, kuil, dan bunga sakura. Beberapa memiliki

tema yang berhubungan dengan ajaran Zen seperti ensō 「円相」.

Enso adalah gambar lingkaran yang digambar tangan dalam satu atau dua sapuan

kuas tanpa hambatan untuk mengekspresikan keadaan saat pikiran bebas dan membiarkan

tubuh secara alami membentuknya. Ensō melambangkan pencerahan mutlak, kekuatan,

keanggunan, alam semesta, dan kekosongan. Suatu yang lahir dari estetika Jepang dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kesan kesederhanaan. Ringkasnya dalam istilah Buddhisme Zen Ensō berarti pencerahan.

(Gambar 3.1)

Noren juga bergambarkan lambang-lambang keluarga atau disebut kamon. Kamon

pada noren menunjukkan bahwa suatu toko, rumah dan suatu bangunan adalah milik dari

salah satu kelompok keluarga di Jepang. (Gambar 3.2)

Desain khas lain untuk noren adalah lukisan tinta halus dengan makna

menunjukkan dan menggambarkan alam seperti bunga, bentuk air, dan gunung. (Gambar )

Bila digunakan sebagai bentuk iklan, noren hanya akan menunjukkan nama atau logo toko

atau restoran. (Gambar 3.3)

Pada onsen (pemandian umum) biasanya terdapat gambar tulisan huruf 「ゆ」atau

「湯」atau gambar seekor ikan corak biru dan merah. Warna biru menandakan pintu

masuk untuk laki-laki dan wanita merah untuk perempuan. (Gambar 3.4)

3.2 Fungsi Noren dalam Masyarakat


Noren dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya tentu memiliki fungsi dalam

kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Fungsi tersebut dapat dilihat dari fenomena

yang tampak sehari-hari di masyarakat Jepang dengan memandang juga perjalanan sejarah

penggunaan noren di Jepang dari zaman dahulu hingga sekarang. Dengan melihat aspek

ini maka fungsi noren pada masyarakat Jepang antara lain sebagai berikut.

3.2.1 Mencegah Debu, Cahaya Matahari dan Air Hujan Masuk

Pada dasarnya noren sama seperti hal nya tirai di dalam kehidupan masyarakat,

yaitu merupakan benda yang berfungsi untuk menahan debu dan sinar matahari masuk ke

dalam sebuah bangunan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kita semua mengetahui bahwa Jepang adalah negara dengan empat musim,

sehingga pada musim panas noren berfungsi menghalangi sinar matahari yang artinya

memberikan keteduhan di dalam rumah. Kemudian pada musim dingin noren akan

berfungsi menghalangi angin musim dingin sehingga memberi kehangatan di dalam rumah.

3.2.2 Sebagai Dekorasi atau Hiasan

Prinsip-prinsip Zen diterapkan pada setiap aspek kehidupan di Jepang, termasuk

juga di dalamnya dekorasi rumah. Dekorasi Jepang lebih cenderung pada minimalisme,

dan lebih mengandalkan atmosfir daripada furnitur. Pintu geser, lentera kertas beras,

tatami, layar shoji, dan futon semuanya membangkitkan kesederhanaan yang bisa dilihat

dari dekorasi ala Jepang. Perabot sederhana, skema warna netral dan bahan alami

digunakan. Semua hal berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang tenang, harmonis,

dan menenangkan yang bebas dari kekacauan.

Di Jepang, sebagian besar benda memiliki fungsi tapi bisa juga digunakan sebagai

hiasan. Di antaranya adalah noren. Noren yang secara tradisional digunakan untuk toko

namun juga berfungsi serbaguna sehingga dalam perjalanan waktu penggunaannya telah

berevolusi. Sekarang ini noren juga digunakan di rumah-rumah Jepang modern. Beberapa

bentuk penggunaan noren di rumah sebagai dekorasi yaitu, berperan sebagai salah satu

benda yang berfungsi membagi ruang tamu yang besar menjadi beberapa bagian yang

lebih kecil, berfungsi sebagai dekorasi pintu dan dinding, berfungsi sebagai tirai untuk

jendela serta berfungsi juga untuk menyembunyikan rak dan lemari. (Gambar 3.5)

3.2.3 Sebagai Penanda Aktivitas di Dalam Ruangan

Toko-toko zaman sekarang, biasanya menempelkan tanda ‘open’/‘close’ untuk

menandakan toko tersebut sedang buka atau tidak. Akan tetapi, secara tradisional, noren

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


merupakan benda yang digunakan sebagai penanda hal tersebut. Jika noren terpasang di

depan toko, artinya toko sedang buka, dan sebaliknya, jika noren tidak terpasang, artinya

toko tersebut sedang tutup. Hingga sekarang, masih banyak warung-warung makanan yang

menggunakan metode ini. (Gambar 3.6 )

Selain di warung, noren juga digunakan di pemandian umum atau di rumah,

digunakan sekedar sebagai pembatas ruangan seperti dapur yang juga mungkin sering kita

jumpai di rumah-rumah Indonesia. Jadi, kurang lebih noren memiliki arti harafiah “tirai

pembatas”. Hanya saja, di Jepang kata ‘noren’ lebih akrab dikenal sebagai “tirai toko”,

meski istilah noren sendiri bisa dipakai untuk tirai-tirai pembatas lainnya.

Selain itu, noren juga punya makna lain, yaitu menunjukkan harga atau reputasi

sebuah brand/toko. Dahulu, semakin kotor noren sebuah restoran, dianggap semakin baik

pula reputasinya. Kurang lebih, noren yang kotor itu setara dengan usaha dagang yang

laris manis. Jadi, tergantung konteks, kata noren juga dapat mengacu kepada reputasi

sebuah toko. (Gambar 3.7)

3.2.4 Sebagai Penunjuk Lambang Keluarga

Mon atau kamon, yang secara harafiah berarti "lambang keluarga," adalah logo-

logo yang orang Jepang biasa gunakan untuk menunjukkan garis dan status suatu keluarga.

Terdapat lebih dari 5.116 mon, dikategorikan ke dalam 241 macam.

Kamon berasal dari kanji家 (ka) yang berarti keluarga dan kanji紋(mon) yang

berarti simbol atau lambang (Japan an Illustrated Encyclopedia). Stuart Terashita yang

merupakan seorang Japanese American Genealogy menerangkan bahwa sudah ada sekitar

12.000 kamon yang digunakan di Jepang. Lambang-lambang tersebut sudah ada yang

digunakan sejak zaman Heian (794-1185) (www.goecities.com).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sebagai sebuah simbol sederhana yang mewakili sebuah keluarga, kamon telah

banyak menghiasi gua-gua, pakaian dan peralatan. Bagaimanapun juga, secara luas telah

dipercaya bahwa asal asul Kamon yang sebenarnya berawal dari periode Zaman Heian*)

(tahun 794-1185). (Heian sendiri secara harafiah berarti perdamaian dan keamanan)

Beberapa pelayan dari golongan bangsawan mulai meletakkan "lambang keluarga" mereka

pada karoseri gerobak sapi mereka untuk membedakannya dari pelayan keluarga-keluarga

lainnya.

Setelah periode Heian yang relatif berlangsung damai, prajurit daerah yang dulu

biasanya bekerja dibawah kekuasaan golongan bangsawan untuk memungut pajak dari

para petani, melibatkan diri dalam politik di Ibukota Kyoto. Mereka membangun sendiri

kekuatan politik, mengawali prajurit masa pertengahan.

Pembentukan prajurit pemerintahan sendiri di Kamakura menandai awal berdirinya

periode Kamakura (1185-1336). Lalu kamon menjadi simbol penting pada pakaian baja

dan bendera guna membedakan musuh dan kawan.

Selama periode peralihan Muromachi (1336-1573) antara periode prajurit dan era

Shogun yang bertahan lama, pakaian upacara adat Reifuku menjadi populer di mana

mengenakan lambang kecil keluarga di belakang mantel dan di bawah leher, menjadi hal

yang cukup penting.

Suatu waktu ketika Jepang dipersatukan oleh pemerintahan Tokugawa Shogun

yang telah berjalan selama lebih dari 200 tahun dan sering disebut zaman Edo (1603-1867)

tanpa ada perang maupun intervensi pihak luar. Para artis dan penghibur, yang dianggap

sebagai orang "trend" pada masa itu, mulai menggunakan hiasan mon pada kimono mereka,

dan konsepnya kemudian menyebar luas ke khalayak umum.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Hampir sama dengan simbol yang ada di Eropa, simbol keluarga yang ada di

Jepang atau kamon telah muncul pada sekitar abad ke dua belas. Tetapi terdapat perbedaan

dalam hal corak dan penggunaan simbol . Dalam hal corak, di Eropa sering menggunakan

binatang predator seperti singa, burung elang dan sebagainya. Ini berguna sebagai lambang

yang digunakan oleh kaum bangsawan untuk menunjukan kekuatannya. Sedangkan di

Jepang, dalam pemilihan corak lebih mengutamakan keindahan dan arti-arti dari simbol

yang dipilih. Corak seperti binatang predator tidak digunakan/ dipilih sebagai simbol

keluarga di Jepang. Corak yang biasa digunakan di Jepang yaitu binatang-binatang kecil

seperti kelinci, kura-kura, burung, dan jenis serangga. Selain corak binatang, juga

digunakan. corak tanaman seperti bunga kiku, sakura, ginko, pohon pinus, bambu dan lain-

lain. Dari semua corak bunga yang ada, corak bunga krisanlah yang paling banyak dipakai,

karena bunga tersebut dianggap sebagai tanaman obat dan juga sebagai jimat untuk

melawan setan. Karena sangat terkenal banyak orang yang menggunakan bunga krisan

sebagai lambang keluarganya. Tetapi sejak pemerintahan Meiji selain kaisar corak bunga

krisan khususnya bunga krisan yang berbunga enam belas lembar, orang biasa tidak boleh

menggunakan lambang tersebut. Dalam hal tertentu ada dua orang yang menggunakan

lambang tersebut adalah Masashige Kusunoki pada abad ke empat belas dan Saigo

Takamori pada abad ke sembilan belas (http://members.aol.com/galaxysdg/crest.htm).

Perbedaan lain dapat kita lihat pada penggunaan simbol keluarga, di Eropa hanya orang-

orang tertentu seperti keluarga kerajaan dan para bangsawan yang memiliki simbol

keluarga. Dan juga simbol keluarga itu hanya digunakan pada jaket militer atau pakaian

kebesaran kerajaan beserta alat-alat/barang-barang milik kerajaan. Sedangkan di Jepang,

pada mulanya memang hanya dimiliki oleh keluarga kaisar saja tetapi lama kelamaan

simbol keluarga juga dapat dimiliki oleh orang-orang biasa. Penggunaannya pun tidak

terbatas pada perlengkapan militer saja. Penggunaan kamon dapat kita lihat di berbagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tempat maupun benda-benda seperti kereta, kuil, pedang, hiasan gedung atau rumah,

lampion, lambang perusahaan, perhiasan, pakaian dan lain-lain.

Dalam pemilihan simbol untuk keluarganya mereka sangat memperhatikan

hubungan simbol yang mereka pilih dengan pekerjaannya, posisi mereka, dan latar

belakang keturunannya. Lambang-lambang atau simbol alam dan binatang tertentu yang

mereka pilih itu diperlihatkan pada acara spesial seperti perkawinan, kematian, perayaan

festival kebudayaan dan lain-lain untuk memperlihatkan rasa hormat, cinta, dan bangga

terhadap leluhurnya.

Contoh penggunaan Kamon dapat dilihat padapakaian yang disebut montsuki.

Montsuki adalah kimono formal yang bercorak kamon. Kita dapat melihat montsuki pada

saat upacara pernikahan, kematian, dan acara-acara penting lainnya. Pada saat acara formal

maupun semi formal mereka memakai montsuki-nya untuk mengetahui dengan jelas

darimana asal usul keturunan keluarga tersebut dan juga untuk mengetahui apakah mereka

orang dalam (uchi) atau orang luar (soto). Selain itu dengan memakai montsuki-nya

mereka juga dapat menunjukan rasa bangga mereka terhadap garis keturunannya dan

sebagai bentuk penghormatan dan cinta mereka terhadap leluhurnya.

Selain montsuki, kamon juga banyak terdapat pada noren. kamon pada noren sama

seperti halnya montsuki menunjukan rasa bangga mereka terhadap garis keturunannya dan

sebagai bentuk penghormatan dan cinta mereka terhadap leluhurnya. Namun jika montsuki

dipakai dalam acara-acara tertentu saja, kamon pada noren digunakan untuk menandakan

bahawa suatu bangunan atau tempat dikelola atau dimiliki oleh keluarga tertentu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.2.5 Sebagai Media Iklan dalam Bisnis

Noren telah menjadi bagian integral dari bisnis yang biasa menunjukkan sebuah

kebiasaan lama (furui). Penggunaan noren yang khas dari aspek bisnis menunjukkan

bahwa sebuah toko memiliki reputasi yang baik, sementara toko yang tidak terdapat noren

atau hanya menggunakan noren yang biasa akan memberi kesan sebuah toko tidak

beroprasi dengan cukup baik.

Sebagaian besar toko-toko di Jepang, khususnya pada kawasan pertokoaan

tradisional, noren selalu dipasang menjadi hiasan wajib. Di setiap noren tertulis atau

tergambarkan apa yang dijual pada sebuah toko dan brand dari sebuah toko. Tampilan

noren dengan tulisan dan gambar-gambarnya tentu memancing ketertarikan orang-orang

yang melihatnya untuk berkunjung masuk atau hanya sekedar melihat dan mengintip dari

luar. Tulisan berupa slogan-slogan serta gambar-gambar pada noren menunjukkan kualitas

dari barang yang sedang dijual.

Dengan demikian jelas terlihat bahwa noren selain dalam fungsinya sebagai

dekorasi dan pembatas namun juga sebagai media untuk mengiklankan produk yang di jual

di sebuah toko.

3.2.4 Sebagai Pembatas Antara Dunia Luar dan Dalam

Dalam pembahasa noren sebagai pembatas, penjelasannya perlu didasarkan pada

dua hal, yaitu noren sebagai kekkai 「結界」serta konsep uchi dan soto. Kekkai「結界」

adalah istilah agama buddha yang biasa digunakan untuk merujuk pada bidang kekuatan

spiritual atau magis yang protektif. Selain itu istilah ini juga pada dasarnya digunakan pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kuil untuk membatasi areal tempat yang dianggap suci dan tempat uang dianggap tidak

suci.

Umumnya pada bangunan kuil budha zen terdapat pilar batu yang ada di sisi pintu

masuk, gerbang utama terdapat ukiran huruf seperti yang melarang membawa bawang

putih dan anggur memasuki gerbang utama dan sebagainya. Ini adalalah salah satu contoh

bentuk yang khas dari kekkai.

Elemen penting kekkai dalam kuil adalah pagar dengan smibol tertentu.

Dikarenakan ada juga gununng dan karang-karang yang menjadi objek penyembahan,

maka pada kuil shito hal ini kadang tidak terlalu diperlukan. Hal yang mesti dimiliki

adalah `kaki' 「 垣 」 yang berarti pagar atau pembatas 「 限 る 」 . Kekkai ada yang

berbentuk seperti pagar setinggi setengah meter . Dapat dibuat dari bambu, batu kecil,

kayu, atapun tali. Salah satu jenis kekkai adalah 関守石(sekimori ishi) atau batu sebesar

genggaman tangan yang diikat dengan tali hitam. Sebagai pemisah, kekkai mudah untuk

dilewati sehingga mungkin dianggap tidak efektif. Sekimori ishi sering kali digunakan di

halaman chashitsu sebagai penanda agar jalan yang diberi penanda ini tidak dilewati.

Selain itu ditambahkan juga dekorasi-dekorasi yang dipasang untuk memisahkan antara

bagian luar dan dalam yang suci. Salah satunya dengan noren. (Gambar 3.8)

Noren sebagai kekkai biasa digunakan sebagai pemisah bagian ruangan satu dengan

yang lain terutama pemisah dengan ruangan pembukuan atau ruang tempat menghitung

uang khususnya di rumah-rumah pedagang. Juga digunakan di kuil sebagai pemisah area

pemujaan umum dengan area kuil di bagian dalam.

Noren berfungsi untuk menciptakan ruang di belakang selain fungsi dijelaskan

sebelumnya. Dan itu telah digunakan di banyak tempat pada Shindenzukuri, noren yang

terus digunakan tanpa mengubah terlalu banyak gaya sejak tahun 800 masehi,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menunjukkan bahwa ada hubungan yang mendalam antara dekorasi dengan makna dalam

pengunaannya sebagai pembatas (kekkai).

Dilihat dari sudut pandang konsep uchi dan soto, noren memiliki suatu hubungan

erat yang tidak terlepaskan dari fungsi keduanya terhadap perkembangan psikologi

masyarakat Jepang, baik dalam diri mereka sebagai seorang individu pribadi, dalam

berkeluarga maupun bermasyarakat.

Noren merupakan salah satu dari komponen rumah tradisional yang jika dilihat

secara umum hanya merupakan tirai kain pembatas untuk dekorasi. Namun jika dianalisa

dari sudut pandang tori uchi-soto, peran dari noren memiliki arti dalam, bahkan lebih dari

fungsinya secara umum.

Menurut Seiichi Makino, setiap kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat

memiliki suatu bentuk berupa penjelasan keruangan, hal ini menghubungkan antara

kebudayaan suatu masyarakat dengan penggunaan ruang sebagai sarana untuk

mengembangkannya. Secara umum, Konsep keruangan ini dapat ditemukan pada konsep

uchi-soto dalam kebudayaan Jepang.

Uchi-soto merupakan konsep menggunaan struktur keruangan yang dapat

diterapkan baik secara fisik yang dapat berupa bentuk bangunan atau arsitektur yang

berada dalam konteks ruang yang nyata, maupun secara psikologi sosial. Sebagai contoh,

peranan uchi-soto dilihat dari sudut pandang sosial dalam bertutur kata dapat dilihat dari

cara bertutur kata yakni dengan adanya pemisahan antara Keigo (敬語), Futsuugo (普通

語) dan Tamego (タメ 語) serta bagaimana seorang individu maupun suatu kelompok

mampu mengambil sikap pada lawan (aite/相手). Dengan kata lain, uchi-soto merupakan

pemisahan antara bagian dalam (uchi) dan luar (soto) pada kebudayaan Jepang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam kuliahnya pada ADFL Summer Seminar East di universitas Maryland,

Seiichi Makino (1994) mengemukakan bahwa pandangan masyarakat Barat terhadap

konsep uchi-soto sangatlah bervariasi. Beberapa beranggapan bahwa pembatasan antara

dunia luar (Soto) dan dalam (Uchi) dimulai dari lingkungan diluar kulit kita dan beberapa

dari yang lain beranggapan bahwa dunia dalam adalah tempat tinggal dan lingkungan

sekitar dari tempat tinggal adalah dunia luar.

Dia juga berpendapat bahwa secara umum, pandangan masyarakat Jepang terhadap

konsep uchi dan soto lebih sempit dibandingkan Barat, hal ini disebabkan adanya suatu

pengertian bahwa arti dari uchi sendiri adalah rumah, atau tempat tinggal dari suatu

individu.

Rata-rata dari masyarakat Jepang berpendapat bahwa uchi merupakan suatu pola

keruangan yang memungkinkan hubungan yang lebih bersahabat, santai dan lebihintim

dalam berinteraksi. Jika konsep uchi merupakan tempat tinggal yang hanya dapat

ditemukan satu diseluruh dunia dan didasarkan pada pandangan masyarakat Jepang, maka

dapat disimpulkan bahwa konsep dari uchi-soto merupakan bentuk pengembangan

kebudayaan masyarakat Jepang.

Desain dari arsitektur rumah Jepang, terutama pada rumah tradisional Jepang,

merefleksikan pentingnya konsep uchi-soto dalam pembentukan Psikologi masyarakat

Jepang. Contoh dari konsep uchi-soto ini juga merupakan dasar yang menjadi faktor

pembentuk tatabahasa dalam bahasa Jepang yang digunakan dalam interaksi masyarakat

Jepang sehari-hari, yang memiliki tingkatan dalam penggunaannya.

Pada struktur arstitektur dalam tata ruang rumah dan bangunan Jepang, tanpa harus

terpaku oleh ukuran (luas) bangunan, biasanya dikelilingi oleh tembok yang memiliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tinggi kira-kira 12 meter yang terbuat dari bata maupun pembatas tradisional (yang terbuat

dari bambu atau kayu).

Pada rumah ini, terdapat pula gerbang masuk yang memungkinkan kita untuk

masuk kedalam suatu tempat yang berada tepat di depan bangunan rumah. Pada bangunan

lain seperti pertokoan terdapat noren sebagai pembatas. Begitu memasuki gerbang atau

melewati noren, hal yang pertama kali akan kita rasakan adalah suasana Uchi. Hal ini

dapat dirasakan karena kita merasa sudah Masuk kedalam bagian rumah tanpa dihalangi

atau dibatasi oleh pagar rumah atau noren pada toko. Namun bagian mengenai batasan

antara uchi-soto masih tetap bias jika hanya berhenti di tempat ini.

Secara fisik, batasan bagian uchi-soto dalam tataruang bangunan Jepang

disimbolkan pada bagian dimana noren dipasang. Namun pada noren, batasan antara uchi

dan soto masih terkesan bias. Untuk masuk kedalam uchi yang sesungguhnya, Diperlukan

waktu untuk dapat masuk kedalam ruang lingkup uchi dalam suatu keluarga (pada suatu

rumah).

Perlu diperhatikan bahwa pemikiran masyarakat Jepang terhadap konsep Uchi-

Soto (yang bukan mengacu pada pegerian secara fisik) merupakan suatu hal yang dinamis,

karena dapat berubah sesuai dengan keadaan (Soto dapat menjadi uchi dan sebaliknya).

Walaupun secara nyata, uchi dapat diartikan sebagai Bagian dalam, namun sesungguhnya

tidak selalu demikian.

Ruang lingkup dalam pengertian uchi bagi masyarakat Jepang, tidak Hanya

mengacu pada bangunan semata, namun lebih ditekankan pada peranan dari bangunan atau

media yang dapat membuat suatu perasaan santai dan intim, yang sering dapat ditemukan

pada hubungan sedarah (satukeluarga/satu garis keturunan).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sehingga dapat kita disimpulkan bahwa keadaan uchi ini, lebih mengacu pada

bentuk empati secara psikologis, yang memungkinkan seseorang mampu merasakan suatu

bentuk kesamaan dalam diri mereka.

Dari penggunaan noren dapat terlihat gambaran konsep uchi dan soto. Seperti yang

kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jepang juga terdapat sistem kekerabatan yang kita

kenal dengan sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat lagi lingkungan yang akan membedakan

seseorang dari masing-masing kelompok kekerabatannya. Noren sebagai pembatas yang

menandakan bahawa apabila seseorang telah melewatinya maka ia telah diperbolehkan

masuk pada lingkungan dalam (uchi) yang termasuk di dalamnya aturan dan sambutan

akan didapati seperti hal nya anggota keluarga baru.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan

di Jepang. Noren biasanya memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari bawah hingga ke

atas. Noren biasanya digantung di pintu masuk toko, rumah makan, tempat pemandian

umum dan bangunan lainnya.

Noren sudah dimulai sejak era sebelum masehi. Ribuan tahun yang lalu, pada zaman

dahulu di Era Jomon, nenek moyang Jepang menggunakan benda berbentuk jalinan tirai

dasar dari bahan alami berupa rumput panjang, alang-alang, dan daun besar untuk

menciptakan sebuah penghalang antara unsur-unsur luar dan ruang hidup mereka dan kuil-

kuil. hambatan tirai-seperti ini berkembang selama berabad-abad. Lalu dimulai pada Era

Heian, mumcul menyerupai apa yang kita kenal sebagai zaman modern tirai Noren Jepang.

Kain yang digunakan sebagai perlindungan dari matahari, angin, debu panas, dingin dan

menjadi bentuk pengiklanan. Seperti tirai ditampilkan di pintu toko dengan logo, atau

puncak, menandakan isi ruang tertutup dan sering mewakili status sosial dari pemiliknya.

Jenis noren dapat terbagi menurut dua hal yaitu, Sunpō 「寸法」dan zaishitsu

「材質」(dimensi dan material). Standar dimensi berukuran kujirajaku no sanjaku (鯨尺

の三尺) yaitu berkisar 113 cm. Menurut dimensinya noren terbagi menjadi beberapa tiga

macam, yaitu naganoren, hannoren dan mizuhinoren. Berdasarnya materialnya noren

terbagi menjadi tiga macam, yaitu enoren, nawanoren dan tamanoren / kannoren.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Makna dari Simbol dan Warna Noren berhubungan dengan hal religious seperti

berhubungan dengan ajaran Zen seperti ensō 「 円 相 」 , lambang-lambang keluarga

(kamon), menggambarkan alam seperti bunga, bentuk air, dan gunung. Noren juga

sebagai media menunjukkan nama atau logo toko atau restoran.

Fungsi noren dalam masyarakat antara lain untuk mencegah debu, cahaya matahari

dan air hujan masuk, sebagai dekorasi atau hiasan, sebagai penanda aktivitas di dalam

ruangan serta sebagai penunjuk lambang keluarga, sebagai media iklan dalam bisnis.

Selain itu dari penggunaan noren dapat terlihat gambaran konsep uchi dan soto.

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jepang juga terdapat sistem

kekerabatan yang kita kenal dengan sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat lingkungan yang

akan membedakan seseorang dari masing-masing kelompok kekerabatannya. Noren

sebagai pembatas yang menandakan bahwa apabila melewati noren, hal yang pertama kali

akan kita rasakan adalah suasana Uchi. Hal ini dapat dirasakan karena kita merasa sudah

masuk kedalam bagian rumah dihalangi atau dibatasi oleh pagar rumah atau noren pada

toko.

4.2 Saran

Jepang selain sebagai negara yang modern dan maju juga merupakan negara

dengan kebudayaannya yang khas. Hal ini menjadikan setiap orang selalu tertarik untuk

membahas dan menelitinya. Kebudayaan yang terbentuk di Jepang tentu dilandasi dengan

nilai filosofi dari budaya yang dibentuk dalam perjalanan sejarah yan panjang. Karena

setiap kebudayaan masyarakat Jepang dalam berbagai bidang dan aspek seperti pakaian,

kerajinan tangan, kesenian, bentuk arsitektur dan sebagainya dapat dikaji lebih dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sehingga ditemukan dasar ideologis dan filosofi dari asal mula dan fenomena kebudayaan

tersebut.

Kajian mengenai noren dalam masyarakat Jepang ini diharapkan menjadi salah

satu sumber bacaan yang memancing ketertarikan pembaca untuk lebih dalam menggali

hal-hal yang berhubungan dengan noren, ataupun kebudayaan-kebudayaan masyarakat

Jepang lainnya baik kebudayaan tradisional maupun kebuadayan populer yang sering

dilihat sehari-hari.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Bachnik, Jane M, Charles J.Quinn Jr. Situated Meaning: Inside and Outside in Japanese

Self, Society and Language. New Jersey: Princeton University Press.

Efendy, Omomg Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bnadung : PT. Madar Maju.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta : Medpress Esquire

Indonesia, Edisi September 2009

Henry, Joy (1987). Understanding Japanese Society. London: Croom Helm.

Koentjaningrat. 1976. Metode- Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia

____________. 1976. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.

Morioka, Kenji. dkk (Eds). 1993. Shuueisha Kokugo Jiten Dai 3 Ban. Tokyo: Shuueisha.

Pardosi, Jhonson. 2008.dalam Logat Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume IV No. 2

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar

Sharnetta Florenzia Godjali. 2015. Penggunaan Pronomina Persona Omae Pada Komik

Onepiece Volume 17 Karya Eichiro Oda Pada Konsep Uchi-Soto. Semarang :

Jurnal Universitas Dian Nuswantoro

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.). 1991Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Suryohadiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam Perjoangan

Hidup. Jakarta : Penerbit UI Press & Pustaka Bradjaguna.

李御寧(イー・オリョン). 1982. 「縮み」志向の日本人. 学生社

北 端 信 彦 。 『 暖 簾 』 そ の 意 と 匠 . http://www.osaka-

geidai.ac.jp/geidai/laboratory/kiyou/pdf/kiyou17/kiyou17_11.pdf

____________. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional.

http: // www.wikipedia.org/wiki/Noren// ( diakses pada 20 Maret 2017)

http://en.wikipedia.org/wiki/Uchi-soto ( diakses pada 11-04-2017)

_________Noren, Dai Nihon Hyakka Jiten. 1980. Encyclopedia

_________Noren, Japan Illustrated Encyclopedia, Kodansha

_________Noren, Nihon Dai Jiten, Kodansha

http://www.japanesestyle.com/put-traditional-noren-behind-curtains-s/868.htm

https://www.fleapedia.com

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


LAMPIRAN

Gambar 2.1. Noren pada toko-toko dan bangunan di Jepang


Sumber :http://blogimg.goo.ne.jp/user_image/1e/91/ca6f738f21969a076a681a2f816efd44.
jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2.2. Shin Kiyama engi emaki
Sumber : 北 端 信 彦。『暖簾』その意と匠

Gambar 2.3. Atsushisumeragi dari kain tipis Shirayu

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber : https://www.picclickimg.com/d/l400/pict/272568512394_/JAPANESE-Noren-
Curtain-Slowly-Slow-life-Navy-Made.jpg

Gambar 2.4. Jōtan ni chichi 「上端に乳」


Sumber : http://www7b.biglobe.ne.jp/~nolenya/edo-noren.gif

Gambar 2.5. contoh naganoren


Sumber :http://kimono.no-iroha.com/images/kimono_2/IMG_4219ningyo.jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2.6. contoh hannoren Japanese traditional cake shop in Shimizu Ku (Shizuoka
City)
Sumber :http://blog-imgs-41.fc2.com/f/e/n/fendermania/2009062311552103e.jpg

Gambar 2.7. contoh mizuhikinoren


Sumber :http://kakishibuzome.com/news/wp-content/uploads/2008/09/image3751.jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2.8. contoh enoren
Sumber : 北 端 信 彦。『暖簾』その意と匠

Gambar 2.9 contoh nawanoren

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber :http://www.tuziwa.jp/inawa/inawa11.jpg

Gambar 2.10. Tamanoren/ kannoren 「珠暖簾・管暖簾」


Sumber :http://the-noren.com/noren/tama_noren1.jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2.11 Takenoren 「竹暖簾」
Sumber :http://www.tsujimura-
hisanobu.com/images/pageimg/works/product/others/takenoren_karan_koron/img_02.jpg

Gambar 2.12 noren warna Biru Tua /Nila 「紺・藍色」


Sumber :https://thumbnail.image.rakuten.co.jp/@0_mall/yusai/cabinet/hikisome/konnai-
a1.jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2.13 Warna hanada 「縹色」

Gambar 2.14 Putih 「白地」


Sumber : 北 端 信 彦。『暖簾』その意と匠

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 2.15 Warnah coklat 「茶色」Calligraphy at a cake shop in Kyoto
Sumber : http://voyapon.com/noren/

Gambar 2.16 Hijau 「緑色」


Sumber: https://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/0a/8f/83/61/caption.jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 3.1. Lambang ensō 「円相」.
Sumber :https://images-na.ssl-images-amazon.com/images/I/41wO9NZ8WPL._SY450_.jpg

Gambar 3.2 Kamon pada Noren

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 3.3. Noren menggambarkan alam

Gambar 3.4. Noren pada Onsen


Sumber : http://spa.s5.xrea.com/hokkaido2/73diary/P8280387.jpg

Gambar 3.5. Noren Sebagai Dekorasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 3.6. Noren menjadi penanda buka-tutup-nya tempat makan

Gambar 3.7. Noren berisi iklan toko At a big izakaya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 3.8. Noren sebagai kekkai
Sumber : 北 端 信 彦。『暖簾』その意と匠

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

KEBUDAYAAN NOREN DALAM MASYARAKAT JEPANG

Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian. Yang termasuk dalam kesenian

adalah didalamnya seni musik, seni tari, seni pahat/ukir, seni lukis, seni rupa dan lain-lain.

Karya seni rupa dapat berwujud sebagai barang-barang, peralatan ataupun hiasan yang

sering digunakan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah noren.

karena itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai makna noren dalam masyarakat

Jepang dan fungsi noren dalam masyarakat Jepang.

Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan

di Jepang. Noren biasanya memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari bawah hingga ke

atas. Noren biasanya digantung di pintu masuk toko, rumah makan, tempat pemandian

umum dan bangunan lainnya.

Sejarah Noren sudah dimulai sejak era sebelum masehi. Ribuan tahun yang lalu,

pada Era Jomon, nenek moyang Jepang menggunakan benda berbentuk jalinan tirai dasar

dari bahan alami berupa rumput panjang, alang-alang, dan daun besar untuk menciptakan

sebuah penghalang antara unsur-unsur luar dan ruang hidup mereka dan kuil-kuil.

hambatan tirai-seperti ini berkembang selama berabad-abad. Lalu dimulai pada Era Heian,

mumcul menyerupai apa yang kita kenal sebagai zaman modern tirai Noren Jepang. Kain

yang digunakan sebagai perlindungan dari matahari, angin, debu panas, dingin dan

menjadi bentuk pengiklanan. Seperti tirai ditampilkan di pintu toko dengan logo,

menandakan isi ruang tertutup dan sering mewakili status sosial dari pemiliknya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Jenis noren dapat terbagi menurut dua hal yaitu, Sunpō 「寸法」dan zaishitsu

「材質」(dimensi dan material). Standar dimensi berukuran kujirajaku no sanjaku (鯨尺

の三尺) yaitu berkisar 113 cm. Menurut dimensinya noren terbagi menjadi beberapa tiga

macam, yaitu naganoren, hannoren dan mizuhinoren. Berdasarnya materialnya noren

terbagi menjadi tiga macam, yaitu enoren, nawanoren dan tamanoren / kannoren.

Makna dari Simbol dan Warna Noren berhubungan dengan hal religious seperti

berhubungan dengan ajaran Zen seperti ensō 「 円 相 」 , lambang-lambang keluarga

(kamon), menggambarkan alam seperti bunga, bentuk air, dan gunung. Noren juga

sebagai media menunjukkan nama atau logo toko atau restoran.

Fungsi noren dalam masyarakat antara lain untuk mencegah debu, cahaya matahari

dan air hujan masuk, sebagai dekorasi atau hiasan, sebagai penanda aktivitas di dalam

ruangan serta sebagai penunjuk lambang keluarga, sebagai media iklan dalam bisnis.

Selain itu dari penggunaan noren dapat terlihat gambaran konsep uchi dan soto.

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jepang juga terdapat sistem

kekerabatan yang kita kenal dengan sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat lingkungan yang

akan membedakan seseorang dari masing-masing kelompok kekerabatannya. Noren

sebagai pembatas yang menandakan bahawa apabila melewati noren, hal yang pertama

kali akan kita rasakan adalah suasana Uchi. Hal ini dapat dirasakan karena kita merasa

sudah masuk kedalam bagian rumah dihalangi atau dibatasi oleh pagar rumah atau noren

pada toko.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


要旨

日本における暖簾文化

文化の中ではその一つが美術である。美術に含まれるのは音楽、踊り、彫刻、絵
なでである。美術は品物や道具や飾りなどのようなものに実現できる。その一つは暖簾と
いうものである。それで本稿では日本社会での暖簾というものの意味や機能について記
述する。

暖簾とは日本の建物に、とくに出入り口に飾っている布カーテンである。通常の暖
簾には下から上にかけて一つ以上の部分を分ける。温泉、レストラン、商店の入り口など
に吊り下げる。

暖簾歴史は紀元前に始まる。千円前の縄文時代に、昔の日本人は長い草、葦、
そ大きな葉などの天然素材を使い、外の要素と生活空間や寺院の間の障壁を作成した。
そのような障壁は何世紀にもわたって進化した。そして平安時代をはじめ、今の知ってい
る暖簾の形を存在してきた。ほこり、熱、寒さ、日光、風からの保護するもの、それに広告
としてである。商店の入口にかけて開いているか閉じているかの記号や家紋などでり、所
有者の社会的地位を表す。

暖簾の種類は二つにわける。寸法と材質にする。標準寸法は鯨尺の三尺,すなわ
ち 113cm のものをいう。これが暖簾の定尺で,それより長いものを「長暖簾, 短かいものを
「半暖簾」,最も短かく,その代り店の間口いっぱいの巾の広いものを「水引き暖簾」という。

記号と色の暖簾は花、水、山のような自然を表し、善の円相、家紋のように宗教的
な意味も持つ。暖簾も店舗やレストランの名やロゴを示すメディアとしてである。

社会での暖簾は、飾り、商店の営業中かないかの記号、広告メディア、家紋を表
し、ほこりや日光や雨水を防ぎ、室に入らないようになる機能がある。

または暖簾を使いかたをみると、内と外のコンセプトを現す。日本社会では「家」と
いう親族システムを私たちは知っている。「家」では外と内の環境の違いはそれぞれある。
結界の暖簾としては、暖簾を渡し入るときに内の雰囲気を感じる。暖簾は内と外の環境の
障壁を表記する。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai