SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh
Dian Anggraini
140722001
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh
Dian Anggraini
140722001
Pembimbing I Pembimbing II
Medan
Syukur tak terhingga ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya yang berjudul
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan
penulis yang masih terbatas. Tetapi, berkat bantuan beberapa pihak, maka penulis berhasil
Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Hamzon Stumorang, M.S., Ph.D. Selaku Ketua Program Studi Sastra
Pembimbing I.
3. Bapak Amin Sihombing, S.S Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
4. Para staf pengajar Program Ekstensi Sastra Jepang Hamzon sensei, Yuddi sensei,
Eman sensei, Amin sensei, Nandi sensei, Adriana sensei, Puji sensei, Hani sensei
Zulnaidi Sensei yang telah memberikan pengajaran bahasa dan sastra Jepang
selama masa perkuliahan. Dan juga kepada Bapak Joko Santoso, S.Kom selaku
5. Untuk keluarga yang tersayang : Suami dan anak-anak yang tidak pernah berhenti
6. Untuk rekan-rekan Program Ekstensi Sastra Jepang 2014, Asma, Rika, Elsa dan
Abdul yang telah menemani selama tiga semester dalam setiap perkuliahan dan
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini, sehingga
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga kertas karya ini dapat
Dian Anggraini
NIM : 140722001
PENDAHULUAN
budayanya. Warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang masyarakat Jepang
sampai sekarang tetap dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Jepang. Ini merupakan
suatu hal yang wajar dikarenakan kebudayaan yang telah ada telah mendahului lahirnya
suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bentuk konkret dari budaya. Misalnya di Jepang terdapat kebudayaan ikebana yang
Terdapat tujuh buah unsur universal dalam kebudayaan di dunia, yaitu : (1) bahasa,
(2) sistem teknologi, (3) mata pencaharian atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu unsur kebudayaan
adalah kesenian. Yang termasuk dalam kesenian adalah didalamnya seni musik, seni tari,
seni pahat/ukir, seni lukis, seni rupa dan lain-lain. Karya seni rupa dapat berwujud sebagai
Jepang. Biasanya noren berbentuk kain yang memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari
bawah hingga ke atas. Noren juga digantung di pintu masuk toko, rumah makan dan
tempat pemandian umum (onsen dan sentō). Noren yang dipasang pada tempat makan atau
toko-toko umumnya bertuliskan nama dan simbol toko atau tempat makan tersebut.
Selain itu terdapat juga noren yang bertuliskan nama bangunan (yagō) yang
biasanya digantung di pintu masuk rumah penduduk di wilayah dengan penduduk yang
sebagian besar memiliki nama keluarga yang sama. Pada mulanya noren dipasang sebagai
tirai penangkal udara dingin, angin dan debu. Namun belakangan noren juga digunakan
Jepang seperti yang dijelaskan diatas membuat penulis tertarik untuk membahas mengenai
lingkup permasalahan agar pembahasan dalam penelitian tidak terlalu luas dan
penulisan nantinya.
Dalam penelitian ini, ruang lingkup yang akan dibahas difokuskan pada interpretasi
makna yang terkandung pada noren. Untuk mendukung penelitian ini penulis akan
Kebudayaan universal adalah unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh
dunia, baik yang kecil, yang bersahaja, terisolasi maupun yang besar dan kompleks
Menurut Suryohadiprojo (1982 : 192), kebudayaan adalah hasil dari budi-daya dan
hasil dari pemikiran manusia. Menurut C.K Luckhon dalam Koentjaraningrat (1976:203-
204), unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan di dunia ada tujuh buah unsur,
yaitu : (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) mata pencaharian atau ekonomi, (4) organisasi
Jepang. Biasanya noren berbentuk kain yang memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari
bawah hingga ke atas. Biasanya noren juga digantung di pintu masuk toko, rumah makan
dan tempat pemandian umum (onsen dan sentō). Noren yang dipasang pada toko atau
rumah makan biasanya bertuliskan nama toko atau rumah makan tersebut. Noren
merupakan salah satu karya seni rupa yang ada di Jepang, dengan kata lain, sebagai karya
seni noren juga merupakan salah satu kebudayaan yang ada di Jepang.
nakagawa, nakagawa, kakou, kokoro no naka, jibunka, nado” yang mempunyai makna
subjek/objek yang dekat, tertutup, apa yang ada di dalam hati, rumah sendiri, dan lain-lain.
Sedangkan soto「外」 mempunyai arti “gai, soto, hoka, hazusu, seitou dehanai mono, aru
han’i ni iranai tokoro, gaikoku no ryaku, hahakata no miuchi” yang berarti luar, lain,
menjauhkan, bukan orang tradisional, tempat yang tidak boleh dimasuki, negeri asing,
Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak
dari alam abstrak ke alam yang konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai
1976:11).
yang terdapat di dalamnya. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang makna dan fungsi
(https://www.fleapedia.com) adalah
暖簾とは、飲食店の店先や、住宅の部屋の入口などにかけ、建物の内と外、
部屋の内と外を仕切ったような気分にさせる短い布。
Noren to wa, inshoku-ten no misesaki ya, jūtaku no heya no iriguchi nado ni kake,
tatemono no uchi to soto, heya no uchi to soto o shikitta yōna kibun ni sa seru
mijikai nuno.
‘Noren adalah kain pendek yang membuat kita merasakan terpisah antara luar dan
dalam sebuah ruangan, bangunan dan terpasang di pintu masuk ruangan tempat
tinggal, depan toko, warung makan dan sebagainya.’
Untuk memahami makna dari noren dalam masyarakat Jepang, maka digunakan
pendekatan semiotik atau teori semiotika. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala
Makna semiotik menurut Pierce (dalam Zoest 1991: 1), yaitu ia mengatakan tanda-
tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna
Selain itu, penulis juga menggunakan teori interaksi simbolik yang bercikal bakal
dari faham fenomenologi, berusaha memahami tentang suatu “gejala” erat hubungannya
(2008) mengatakan Teori interaksi simbolik berpandangan bahwa seseorang berbuat dan
bertindak bersama dengan orang lain, berdasarkan konsep makna yang berlaku pada
masyarakatnya; makna itu adalah produk sosial yang terjadi pada saat interaksi; aktor
sosial yang terkait dengan situasi orang lain melalui proses interpretasi atau tergantung
menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu
dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah
karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-
konsep uchi dan soto dalam masyarakat Jepang. Uchi dan soto secara kasar diterjemahkan
sebagai bagian dalam dan bagian luar secara berturut-turut, dan mungkin dipelajari
pertama kali oleh seorang anak dalam asosiasi dengan bagian dalam dan bagian luar dari
Selain itu, penulis juga akan menyinggung tentang sejarah munculnya noren
sehingga dalam penelitian ini penulis juga akan menggunakan pendekatan historis.
Menurut Ratna (2004 : 66), pendekatan historis melihat konsekuensi karya sastra sebagai
sarana untuk memahami aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas dimana karya seni
pembuatannya hingga makin banyaknya pilihan warna, bentuk dan gambar. Dan
Beberapa pendapat dari teori di atas, seperti pendekatan semiotik simbolik serta
konsep uchi dan soto akan digunakan oleh penulis untuk menginterpretasikan bentuk,
tanda-tanda dan simbol-simbol yang ada dalam noren. Pendekatan interaksi simbolik
digunakan penulis untuk menjelaskan segala hal yang saling berhubungan dengan
pembentukan makna dari suatu benda, lambang dan sebagainya. Pendekatan melalui
konsep uchi dan soto akan membantu dalam memahami makna filosofis dari noren.
Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pihak-
mahasiswa Sastra Jepang tentang kebudayaan Noren dan fungsi Noren dalam
masyarakat Jepang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut
gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok
literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang
Dengan kata lain, metode kepustakaan adalah pangumpulan data dengan cara
membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan materi yang akan dibahas. Data
yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan
serta saran.
artikel-artikel yang dimuat di majalah maupun internet, koleksi buku di perpustakaan pusat
Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan
di Jepang. Noren biasanya memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari bawah hingga ke
atas. Noren biasanya digantung di pintu masuk toko, rumah makan dan tempat pemandian
umum. Noren yang dipasang pada toko atau rumah makan biasanya bertuliskan nama toko
Jika dilihat dari huruf kanjinya noren「暖簾」berasal dari dua huruf, yaitu no (暖)
yang berasal dari kanji atatakai, dan yang berarti ‘hangat.’kemudian ren ( 簾 ) yang
merupakan kanji sudare yang berarti tirai bambu (Nelson, 2011:72). Sehingga dapat
dikatakan menurut huruf kanjinya noren merupakan tirai bambu yang berfungsi untuk
menghangatkan. Secara umum dapat kita pahami bahwa tirai berfungsi menghalangi terik
sinar matahari masuk ke dalam rumah di musim panas dan di musim dingin juga dapat
menghalangi udara dingin masuk ke dalam rumah. Sehingga noren dalam hal ini
merupakan satu benda yang dipasang sebagai tirai penghangat, penangkal udara dingin,
angin dan debu agar tidak masuk dalam ruangan dalam ruangan.
①店ののき先や出入り口にたらしてある店名を書いた布。 ②店の格式。店の信
用。
暖簾とは、飲食店の店先や、住宅の部屋の入口などにかけ、建物の内と外、
部屋の内と外を仕切ったような気分にさせる短い布。
Noren to wa, inshoku-ten no misesaki ya, jūtaku no heya no iriguchi nado ni kake,
tatemono no uchi to soto, heya no uchi to soto o shikitta yōna kibun ni sa seru
mijikai nuno.
‘Noren adalah kain pendek yang membuat kita merasakan terpisah antara luar dan
dalam sebuah ruangan, bangunan dan terpasang di pintu masuk ruangan tempat
tinggal, depan toko, warung makan dan sebagainya.’
暖簾(のれん)とは、店先あるいは部屋の境界に日よけや目隠しなどの
ために吊り下げる 布 のことである。商店の入り口などに営業中を示すた
め掲げられ、屋号・商号や 家紋などが染め抜かれていることも多い。
‘Noren adalah kain yang digantungkan untuk penghalang dan penahan sinar
matahari sebagai pembatas ruangan atau depan toko. Diletakkan untuk
menujukkan tempat tersebut masih buka di pintu masuk pertohohan. Kebanyakan
diletakkan tanda berupa lambang keluarga, nama dagangan dan sebagainya.’
Dari berbagai pengertian noren di atas dapat disimpulkan bahwa noren adalah kain
yang diletakkan di depan pintu sebuah bangunan seperti rumah, toko, perusahaan dan
sebagainya sebagai penghalang sinar matahari dan pembatas antara bagian dalam dan luar
suatu bangunan.
Sejarah noren sudah dimulai sejak era sebelum masehi. Ribuan tahun yang lalu,
pada zaman dahulu di Era Jomon, nenek moyang Jepang menjalin tirai dasar dari bahan
alami berupa rumput panjang, alang-alang, dan daun besar untuk menciptakan sebuah
penghalang antara unsur-unsur luar dan ruang hidup mereka dan kuil-kuil. hambatan tirai-
seperti ini berkembang selama berabad-abad. Lalu dimulai pada Era Heian, mumcul
menyerupai apa yang kita kenal sebagai zaman modern tirai Noren Jepang. Kain yang
digunakan sebagai perlindungan dari matahari, angin, debu panas, dingin dan menjadi
bentuk pengiklanan. Seperti tirai ditampilkan di pintu toko dengan logo, atau puncak,
menandakan isi ruang tertutup dan sering mewakili status sosial dari pemiliknya. (Gambar
2.1)
Jepang karakter huruf "暖" dibaca sebagai "dan" atau "atatakai". Tapi hanya dalam "暖簾
Dengan cara baca seperti ini, dahulu kata ‘noren’ dipinjam dari kata ‘nanren’ dan
‘nafuren’ yang merupakan bunyi dasar, kemudian dikatakan dengan cara menurun menjadi
noren. (Tani Minekura " sejarah iklan luar Jepang " Iwasaki Art Co, Ltd)
Saat ini noren yang sering muncul adalah yang berasal dari masyarakat periode
akhir Heian. dalam ‘Shin Kiyama engi emaki’ yang dibuat pada periode Honobe (1135-
1140), tergambar rumah masyarakat kota yang terpasang benda persis sama dengan noren
dengan tiga gantungan seperti sekarang (Gambar. 2.2). Kemudian Pada ‘toshi-chuu gyouji
emaki’ yang dibuat pada era bougen, seorang samurai yang menaiki kuda berjalan melalui
jalan besar, pada pintu masuk rumah yang menghadap kejalan terpasang tiga gantungan
yang dibuat di era jisho (1177-81), pada gambar di pintu depan rumah masyarakat tampak
menunjukkan bahwa noren telah digunakan sebagai salah satu perlengkapan rumah
masyarakat, menunjukkan kepopuleran dan dapat dikatakan sebagai hal yang seniman
tunjukkan sebagai bagian dari gambaran dunia. Dengan demikian menjadi hal yang
sebelumnya telah digambarkan, pada jaman nara dan dilihat lebih jauh sebagai hal yang
Berbeda dengan gaya arsitektur barat, tidak terdapat batas penutup antar kamar,
pada pembatas pada Negara Jepang bervariasi. Ada yang disebut dengan Kabeshiro, tobari
(kanopi), sudare (screen bambu) dan lain sebagainya terdapat dalam ‘manyoushuu’ dan
‘koujiki’ yang merupakan teks tertua di Jepang. Termasuk juga hal yang popular dilihat
sebagai benda yang disebut kichou atau screen yang digunakan para golongan elit di
Jepang.
Pada musim panas, noren menahan sinar matahari yang menyengat dan sebaliknya
menahan hembuasan debu dan angin pada musim dingin. Lalu bahan yang dipasang pada
pintu yang berguna mengahalangi cahaya dan juga pandangan orang untuk melihat ke
dalam pada mulanya terbuat dari tikar jerami. Karena itu noren dalam bahasa zaman
dahulu disebut ‘taremushi’. Lalu pada kata taremushiro (jerami yang terjulur kebawah)
terdapat iterpretasi yang sesuai dalam kojien (sebuah kamus bahasa Jepang) bahwa ‘tare
merupakan kain tenun dari tenunan rami yang disatukan dengan tanaman khas Jepang.
Mengupas kulit rami dan mengambil serat dengan merebusnya. Kata kerja merebus
bahwa taremushi merupakan shingkatan dari 帔の垂たれ 布 (mushi no tare nuno) sebagai
Memasuki zaman kamakura, mulai terdapat lambang pada toko-toko. Ini menjadi
dasar permulaan munculnya noren dan pada periode Muromachi dimulailah noren
berlambang yang khas Jepang. Bahkan di Turpan sebuah kota kecil di Xicheng terdapat
Atsushisumeragi, yaitu merupakan kain tipis Shirayu pada pintu yang tergantung penuh ke
bawah, meskipun sekarang sering digunakan, namun itu bukanlah noren berlambang kain
yang berfungsi untuk menahan debu dan sinar matahari. (Gambar 2.3) Peletakkan lambang
pada noren diperlukan bahan yang mudah melekat. Saat itu kain kapas sebagai tempelan
lambang relatif mudah didapat sehingga noren berlambang mudah dibuat. (Nobuhiko,
2:1993)
Dalam fungsi menahan sinar matahari dan debu memungkinkan jika terjadi
perubahan jenis kain pada bahan, sehingga seterusnya menyebabkan lahirnya macam-
macam perubahan baru. Warna jadi bebas dan beragam, kemudian huruf dan bentuk pola
dapat bermacam-macam. Ini merupakan inisiatif dari ketetapan lambang toko, seperti
diperlukannya tanda untuk pedagang yang menunjukkan apa yang dapat dibeli oleh orang-
abad ke-18, gambar pada noren mulai digantikan dengan huruf, yaitu kanji dan kana.
Noren tradisional Jepang hari ini adalah persegi panjang kain atau kain rami panel dengan
dikelilingi sebuah celah di tengah. celah memberikan bagian yang mudah melalui sebuah
lubang sambil mempertahankan perlindungan dari unsur-unsur, rasa privasi, dan sumber
cahaya disaring. Terlihat paling sering pada etalase dan bisnis di Jepang, Noren
menunjukkan jenis produk yang dijual dan jika tirai masih tergantung menjelaskan makna
dengan menggunakan tongkat tirai dengan ring pengait. Menggunakan tiang bambu tipis,
atau batang kayu panjang. Umumnya dijahit dengan loop atau hem berongga besar sebagai
Hingga kini banyak orang di luar Jepang yang mungkin sangat akrab dengan tirai
Jepang yang tergantung di dapur dan kamar mandi pintu restoran sushi favorit mereka, hal
ini bertujuan membatasi ruangan koki dan tempat makan, hal ini akan memberikan kesan
Jenis noren dapat terbagi menurut dua hal yaitu, Sunpō 「寸法」dan zaishitsu
の三尺) yaitu berkisar 113 cm. Kemudian lebar horizontal pada noren banyak berupa
bentuk 3 belahan kain. Sebenarnya bentuk belahan kain ini dapat disesuaikan untuk
membentuk keseimbangan pada pintu bangunan. Lalu dapat dipilih hal yang berkaitan
dengan pertanda baik berupa jumlah jumlah-jumlah angka ganjil seperti 5, 7 kain. satu
kain panjangnya 34 cm. Bagian atas dijahit dari 1 ke 3 bagian atau 5 bagian. Bagian bawah
dijulurkan dan dalam bentuk lain ada juga diletakkan bentuk galang yang disebut Jōtan ni
chichi 「上端に乳」 dan juga terdapat pintu melewati tiang bambu. (Gambar 2.4)
Menurut dimensinya noren terbagi menjadi beberapa tiga macam, yaitu naganoren,
Naganoren adalah noren berukuran panjang dengan ukuran berkisar 160 cm. Pada
awalnya merupakan noren yang digunakan untuk membatasi satu ruangan ke ruangan lain.
Biasanya digunakan di pemandian umum dan toko makanan seperti udon, soba, ramen,
okonomiyaki, yakiniku, izakaya dan sebagainya. Akan tetapi pada dasarnya noren apapun
jenisnya memiliki berfungsi sama. Yaitu melindungi bagian dalam dari cahaya matahari.
Namun melihat ukurannya tentu masing-masing jenis noren akan memiliki peran yang
berbeda dalam suatu kondisi. Dalam hal ini karena ukurannya yang panjang, naganoren
lebih berperan seperti kerai yang melindungi bagian dalam secara sepenuhnya dari paparan
b. Hanhoren (半暖簾)
Noren ini sering digunakan sebagai ukuran untuk noren standart yang dipasang di
pemandian air panas (onsen), pemandian umum atau toko kain dan sebagainya. Selain itu
hannoren juga banyak digunakan di tempat-tempat yang umum seperti restoran, toko soba,
toko sushi dan sebagainya. Latar berlakang warna dan gambar dari jenis noren ini
dimaksudkan untuk memperliatkan pada orang-orang kondisi dan keadaan di dalam toko.
Misalnya dituliskan nama toko dan gambaran mengenai apa saja yang dijual di toko
c. Mizuhikinoren (水引暖簾)
Dilihat dari hurufnya mizuhiki 「水引」Noren pendek dan lebar yang juga banyak
terdapat di pintu toko-toko. Noren ini lebih digunakan sebagai dekorasi dan hiasan yang
mudah dipasang pada bagunan-bangunan. Karena itu tidak menjadi masalah jika
a. Enoren 「絵暖簾」
Ernoren adalah noren panjang (naganoren) yang berwarna dan berpola gambar
indah seperti huruf dan lambang keluarga. Ketika kebudayaan literasi masih sangat rendah
di Jepang, maka banyak jejak gambar-gambar seperti pohon tachibana (pohon sejenis
jeruk) dan daun bambu yang terdapat pada noren. Penggunaan enoren mulanya digunakan
di daerah Kyoto dan Kanzawa. Enoren dibuat dengan munggunakan teknik pewarnaan
adalah teknik pencelupan warna kain khas okinawa yang berwarna cerah dengan berbagai
motif dan biasanya menggambarkan subjek alam, seperti ikan, air dan bunga.
(Gambar 2.8)
b. Nawanoren 「縄暖簾」
Mulanya kita berfikir bahwa noren terbuat dari kain. Namun bahan dari rami
dahulu digunakan sebagai noren dikarenakn mampu lebih cepat meneteskan air ketika
nawanoren.
Saat ini nawanoren sering digunakan pada izakaya (kedai minum). Penggunaan
Tamanoren atau kannoren adalah noren yang terbuat dari kayu dan bola mutiara
yang dikaitkan oleh tali dengan melubangi bagian tengahnya. Menggambarkan gabungan
d. Takenoren 「竹暖簾」
Takenoren adalah noren yang jarang dijumpai saat. Seperti namanya noren ini
terbuat dari bambu yang dipotong-potong memanjang dan disusun membentuk tirai lalu
Selain terbagi dalam dimensi dan materialnya, Nobuhiko (2:1993) dari hasil
Warna ini digunakan sejalan dengan adanya ketertarikan masyarakat Jepang pada
warna merk rokok buatan Jepang peace. Salah satu produk rokok peace yang populer
biru Tua.
Selain itu apabila warna biru dikombinasi degan tulisan atau lambang berwarna
putih, maka akan menciptakan kontras warna yang baik sehingga membuat nyaman untuk
dipandang. Warna biru tua ( 紺色 koniro) juga tidak disukai serangga sehingga banyak
Warna ini juga ditulis dengan huruf kanji 花田色 yang dekat pada makna biru
muda yang cerah. Warna biru muda cerah yang dimaksud adalah warna bunga tsuyukusa
(露草) dengan nama latin Commelina communis. Jenis bunga yang tumbuh di Asia juga
dikenal dengan nama dayflowers. Warna ini sering digunakan pada mizuhikinoren yang
c. Putih 「白地」
Dahulu Noren warna putih sering digunakan pada toko kue dan toko obat. Akan
tetapi ketika musim dingin digunakan warna biru untuk menggantikannya agar tidak sama
dengan warna salju. Pada mulanya warna putih digunakan oleh tokoh kue karena warna
putih identik dengan warna gula yang memberi rasa manis pada kue. Sementara pada toko
obat digunakan untuk menggambarkan kebersihan dan kesehatan. Namun sekarang noren
Warna cokelat dahulu khusus digunakan pada toko yang menjual rokok. Namun
sekarang juga digunakan pada toko asinan dan ryoutei (restoran khas Jepang). (Gambar
2.15)
Noren warna hijau digunakan pada tokoh yang menjual daun teh atau barang-
2.4 Konsep Makna Uchi dan Soto dalam Pemikiran Masyarakat Jepang
nakagawa, nakagawa, kakou, kokoro no naka, jibunka, nado” yang mempunyai makna
subjek/objek yang dekat, tertutup, apa yang ada di dalam hati, rumah sendiri, dan lain-lain.
Sedangkan soto「外」 mempunyai arti “gai, soto, hoka, hazusu, seitou dehanai mono, aru
han’i ni iranai tokoro, gaikoku no ryaku, hahakata no miuchi” yang berarti luar, lain,
menjauhkan, bukan orang tradisional, tempat yang tidak boleh dimasuki, negeri asing,
keluarga dari sisi ibu. Beberapa istilah yang juga dapat dikatakan merupakan makna dari
uchi-soto diantaranya adalah „kami‟, „kita‟ yang tinggal da lam rumah yang sama. Soto
antara lain „mereka‟, tamu, tetangga atau yang bukan serumah dengan kita, (Bachnik, dkk,
1994: 63-64).
Inoue (1979:71-72) menjelaskan konsep uchi dan soto secara umum sebagai
berikut:
準拠集団としての「世間」を区別する規準は、「ウチ」と「ソト」の観念である。
私たちはふつう、生活空間をウチとソトにわけてとらえている。自分がぞくして
いる範囲がウチであり、それ以外が、ソトである。
Junkyo shūdan to shite no `seken' o kubetsu suru kijun wa,`uchi' to `Soto' no kan'nendearu.
Watashitachi wa futsū, seikatsu kūkan o uchitosoto ni wakete toraete iru. Jibun ga
zokushite iru han'i ga uchideari, soreigai ga, Sotodearu.
‘Standar cara dalam membedakan masyarakat atau dunia sebagai kelompok dasar adalah
konsep uchi dan soto. Kita biasanya memilah unsur-unsur kehidupan menjadi uchi dan
dikatakan bahwa uchi dan soto adalah istilah dalam bahasa Jepang yang menunjukkan
perbedaan kelompok dalam (orang yang mempunyai hubungan dekat/uchi) dan kelompok
Kedua konsep ini tercermin dalam perilaku sehari-hari masyarakat Jepang. Contoh
yang dapat diambil adalah dalam hal mandi. Dalam keluarga Jepang, urutan mandi adalah
dari yang usianya paling tua sampai yang paling muda. Akan tetapi jika ada tamu yang
menginap, sebagai bentuk penghargaan dan kesopanan, maka tamu tersebut akan
dipersilakan untuk mandi terlebih dahulu. Konsep uchi dan soto ini tidak hanya dapat
dilihat dalam sikap atau tindak tanduk masyarakat Jepang sehari-hari, akan tetapi juga
dalam penggunaan bahasa Jepang. Jika berbicara dengan orang yang kurang mempunyai
hubungan dekat (soto no hito), maka orang Jepang akan meninggikan/menghormati orang
tersebut dengan cara menggunakan bahasa formal dan sopan. Hirabayashi dan
「内」の人間(家族、自分の会社の人、自分の属するグループの人など)が、
「外」の人間(親しくない人、他人、他会社の人、他グループの人など)と話し
合ったり、その人たちを話題にするとき、自分を含む「内」の人間に対しては謙
譲語、「外」の人間に対しては尊敬語を使う。
Uchi' no ningen (kazoku, jibun no kaisha no hito, jibun no zokusuru gurūpu no hito nado)
ga,`-gai' no ningen (shitashikunai hito, tanin, ta kaisha no hito, ta gurūpu no hito nado) to
‘Ketika berbicara dengan orang dalam (keluarga, orang di perusahaan yang sama, orang-
orang dalam kelompok yang dekat dengan kita) dan orang luar (orang yang tidak dekat,
orang lain, orang dariperusahaan lain, orang-orang yang berasal dari kelompok luar),
untuk menjadikan orang-orang tersebut menjadi pokok pembicaraan, kita harus
menggunakan kenjougo (bahasa perendahan) ketika membicarakan orang dalam, dan
sonkeigo (bahasa hormat) ketika membicarakan orang luar. Pemakaian bahasa
formal/sopan umunya tidak digunakan dalam lingkup orang yang mempunyai hubungan
dekat/orang dalam (uchi no hito).’
membedakan antara penampilan resmi yang steril dan realitas yang tersembunyi
(Mayarakat Jepang Kontemporer:30). Konsep uchi dan soto dalam penjelasan ini
李御寧 I O Ryon (1985) seorang penulis berkebangsaan Korea dalam buku 「縮み
内と外の二つの世界...ここから日本特有の「内」と「外」の観念が作られる
のです。「内」とは縮みの空間で、自分がよくわかる具象的な世界。経馬験し、
肌身に感じられる小さな世界なのです。それに対して「外」は拡がりの世界で、
抽象的な広い空間です。だから、日本人はなにを見ても、すぐ内と外にわけて考
え、行動する傾向があります。
Uchi to soto no futatsu no sekai... Koko kara nihontokuyū no `uchi' to `soto' no kan'nen ga
tsukura reru nodesu. `Uchi' to wa chidjimi no kūkan de, jibun ga yoku wakaru gushō-
tekina sekai. He-ba tameshi, hadami ni kanji rareru chīsana sekaina nodesu.
Sorenitaishite `soto' wa hirogari no sekai de, chūshōtekina hiroi kūkandesu. Dakara,
nihonjin wa nani o mite mo, sugu-nai to soto ni wakete kangae, kōdō suru keikō ga
arimasu.
Uchi and soto translate roughly as ‘inside’ and ‘ outside’ respectively, and they are
probably first learned by a child in associati on with the inside and outside of the house in
which it lives. They, or parallel words,¹ are also applied to members of one’s house as
opposed to members of outside world, and to members of a person’s wider groups, such as
the community, school or place of work, as opposed to other people outside those groups.
‘Uchi dan soto secara kasar diterjemahkan sebagai bagian dalam dan bagian luar secara
berturut-turut, dan mungkin dipelajari pertama kali oleh seorang anak dalam asosiasi
dengan bagian dalam dan bagian luar dari rumah tempat tempat tinggalnya. Uchi dan soto,
atau kata yang sama artinya, juga digunakan untuk anggota-anggota dari rumah seseorang
sebagai lawan untuk anggota-anggota dari dunia luar, dan juga untuk anggota-anggota dari
kelompok seseorang yang lebih luas, seperti lingkungan, sekolah atau tempat kerja,
sebagai lawan dari orang lain diluar kelompok-kelompok itu.’
Menurut Seiichi Makino dalam M. Bachnik dkk. (1994: 45), setiap kebudayaan
yang berkembang dalam masyarakat memiliki suatu bentuk berupa penjelasan keruangan,
hal ini menghubungkan antara kebudayaan suatu masyarakat dengan penggunaan ruang
sebagai sarana untuk mengembangkannya. Secara umum, Konsep keruangan ini dapat
di atas bahwa masyarakat Jepang dalam berinteraksi membagi dua kelompok yaitu:
lingkungan dalam (uchi) dan lingkungan luar (soto). Fenomena tersebut juga dapat
tercermin pada pintu masuk rumah (genkan) dan pemakaian noren pada bangunan seperti
toko dan tempat makan di Jepang. Noren merupakan pembatas antara kelompok luar dan
dalam. Bahwa ketika seseorang masuk ke dalam bangunan dan melewati noren artinya
orang tersebut yang sebelumnya berada dalam kelompok masyarakat luas (soto) telah
menjadi bagian dari kelompok dalam (uchi). Sehingga hal ini menunjukkan kesiapan
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai makna dari jenis, bentuk dan warna dari
noren serta fungsi noren dalam masyarakat Jepang. hal-hal tersebut akan dideskripsikan
berdasarkan sumber yang didapatkan dari literatur-literatur buku dan media berita cetak
dan elektronik yang berhubungan noren. Dalam mendeskripsikan makna dari jenis, warna
dan bentuk noren digunakan pendekatan semiotik dan pendekatan makna uchi dan soto.
dipahami bahwa noren terdiri dari beberapa jenis dilihat dari bentuk dan warnanya. Karena
itu pada bagian ini akan dijelaskan makna berdasarkan jenis, bentuk dan warna dari noren.
bermakna umum yaitu sebagai alat untuk melindungi bagian dalam dari cahaya matahari.
Dengan kata lain dengan bentuknya yang panjang, naganoren menunjukkan peran seperti
halnya kerai yang melindungi bagian dalam secara sepenuhnya dari paparan sinar matahari.
kondisi dan keadaan di dalam toko. Misalnya dituliskan nama toko dan gambaran
mizuhiki 「水引」Noren pendek dan lebar yang juga banyak terdapat di pintu
toko-toko. Dilihat dari makna kanjinya 「水」mizu bermakna air dan 「引」 hiki
bermakna menarik, sehingga secara harfiah mizuhiki noren bermakna penarik air. Dalam
salah satu fungsinya noren memang digunakan untuk menahan percikan air hujan masuk
ke dalam rumah sehingga pemaknaan ini sesuai dengan fungsinya. Noren bentuk ini
sekarang lebih digunakan sebagai dekorasi dan hiasan yang mudah dipasang pada
hiasan dekorasi memberikan sentuhan kesan menarik pada sebuah toko atau bangunan.
karena menunjukkan kesan kesucian dan kebersihan, sehingga banyak dipakai pada
Saat ini, noren memiliki elemen desain yang berbeda yang digabungkan ke
dalamnya dan dihadirkan dalam berbagai ukuran, warna, pola, dan material. Beberapa
memiliki ikon budaya Jepang seperti geisha, kuil, dan bunga sakura. Beberapa memiliki
Enso adalah gambar lingkaran yang digambar tangan dalam satu atau dua sapuan
kuas tanpa hambatan untuk mengekspresikan keadaan saat pikiran bebas dan membiarkan
keanggunan, alam semesta, dan kekosongan. Suatu yang lahir dari estetika Jepang dengan
(Gambar 3.1)
pada noren menunjukkan bahwa suatu toko, rumah dan suatu bangunan adalah milik dari
Desain khas lain untuk noren adalah lukisan tinta halus dengan makna
menunjukkan dan menggambarkan alam seperti bunga, bentuk air, dan gunung. (Gambar )
Bila digunakan sebagai bentuk iklan, noren hanya akan menunjukkan nama atau logo toko
Pada onsen (pemandian umum) biasanya terdapat gambar tulisan huruf 「ゆ」atau
「湯」atau gambar seekor ikan corak biru dan merah. Warna biru menandakan pintu
masuk untuk laki-laki dan wanita merah untuk perempuan. (Gambar 3.4)
kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Fungsi tersebut dapat dilihat dari fenomena
yang tampak sehari-hari di masyarakat Jepang dengan memandang juga perjalanan sejarah
penggunaan noren di Jepang dari zaman dahulu hingga sekarang. Dengan melihat aspek
ini maka fungsi noren pada masyarakat Jepang antara lain sebagai berikut.
Pada dasarnya noren sama seperti hal nya tirai di dalam kehidupan masyarakat,
yaitu merupakan benda yang berfungsi untuk menahan debu dan sinar matahari masuk ke
sehingga pada musim panas noren berfungsi menghalangi sinar matahari yang artinya
memberikan keteduhan di dalam rumah. Kemudian pada musim dingin noren akan
berfungsi menghalangi angin musim dingin sehingga memberi kehangatan di dalam rumah.
juga di dalamnya dekorasi rumah. Dekorasi Jepang lebih cenderung pada minimalisme,
dan lebih mengandalkan atmosfir daripada furnitur. Pintu geser, lentera kertas beras,
tatami, layar shoji, dan futon semuanya membangkitkan kesederhanaan yang bisa dilihat
dari dekorasi ala Jepang. Perabot sederhana, skema warna netral dan bahan alami
digunakan. Semua hal berfungsi untuk menciptakan lingkungan yang tenang, harmonis,
Di Jepang, sebagian besar benda memiliki fungsi tapi bisa juga digunakan sebagai
hiasan. Di antaranya adalah noren. Noren yang secara tradisional digunakan untuk toko
namun juga berfungsi serbaguna sehingga dalam perjalanan waktu penggunaannya telah
berevolusi. Sekarang ini noren juga digunakan di rumah-rumah Jepang modern. Beberapa
bentuk penggunaan noren di rumah sebagai dekorasi yaitu, berperan sebagai salah satu
benda yang berfungsi membagi ruang tamu yang besar menjadi beberapa bagian yang
lebih kecil, berfungsi sebagai dekorasi pintu dan dinding, berfungsi sebagai tirai untuk
jendela serta berfungsi juga untuk menyembunyikan rak dan lemari. (Gambar 3.5)
menandakan toko tersebut sedang buka atau tidak. Akan tetapi, secara tradisional, noren
depan toko, artinya toko sedang buka, dan sebaliknya, jika noren tidak terpasang, artinya
toko tersebut sedang tutup. Hingga sekarang, masih banyak warung-warung makanan yang
digunakan sekedar sebagai pembatas ruangan seperti dapur yang juga mungkin sering kita
jumpai di rumah-rumah Indonesia. Jadi, kurang lebih noren memiliki arti harafiah “tirai
pembatas”. Hanya saja, di Jepang kata ‘noren’ lebih akrab dikenal sebagai “tirai toko”,
meski istilah noren sendiri bisa dipakai untuk tirai-tirai pembatas lainnya.
Selain itu, noren juga punya makna lain, yaitu menunjukkan harga atau reputasi
sebuah brand/toko. Dahulu, semakin kotor noren sebuah restoran, dianggap semakin baik
pula reputasinya. Kurang lebih, noren yang kotor itu setara dengan usaha dagang yang
laris manis. Jadi, tergantung konteks, kata noren juga dapat mengacu kepada reputasi
Mon atau kamon, yang secara harafiah berarti "lambang keluarga," adalah logo-
logo yang orang Jepang biasa gunakan untuk menunjukkan garis dan status suatu keluarga.
Kamon berasal dari kanji家 (ka) yang berarti keluarga dan kanji紋(mon) yang
berarti simbol atau lambang (Japan an Illustrated Encyclopedia). Stuart Terashita yang
merupakan seorang Japanese American Genealogy menerangkan bahwa sudah ada sekitar
12.000 kamon yang digunakan di Jepang. Lambang-lambang tersebut sudah ada yang
banyak menghiasi gua-gua, pakaian dan peralatan. Bagaimanapun juga, secara luas telah
dipercaya bahwa asal asul Kamon yang sebenarnya berawal dari periode Zaman Heian*)
(tahun 794-1185). (Heian sendiri secara harafiah berarti perdamaian dan keamanan)
Beberapa pelayan dari golongan bangsawan mulai meletakkan "lambang keluarga" mereka
pada karoseri gerobak sapi mereka untuk membedakannya dari pelayan keluarga-keluarga
lainnya.
Setelah periode Heian yang relatif berlangsung damai, prajurit daerah yang dulu
biasanya bekerja dibawah kekuasaan golongan bangsawan untuk memungut pajak dari
para petani, melibatkan diri dalam politik di Ibukota Kyoto. Mereka membangun sendiri
periode Kamakura (1185-1336). Lalu kamon menjadi simbol penting pada pakaian baja
Selama periode peralihan Muromachi (1336-1573) antara periode prajurit dan era
Shogun yang bertahan lama, pakaian upacara adat Reifuku menjadi populer di mana
mengenakan lambang kecil keluarga di belakang mantel dan di bawah leher, menjadi hal
yang telah berjalan selama lebih dari 200 tahun dan sering disebut zaman Edo (1603-1867)
tanpa ada perang maupun intervensi pihak luar. Para artis dan penghibur, yang dianggap
sebagai orang "trend" pada masa itu, mulai menggunakan hiasan mon pada kimono mereka,
Jepang atau kamon telah muncul pada sekitar abad ke dua belas. Tetapi terdapat perbedaan
dalam hal corak dan penggunaan simbol . Dalam hal corak, di Eropa sering menggunakan
binatang predator seperti singa, burung elang dan sebagainya. Ini berguna sebagai lambang
Jepang, dalam pemilihan corak lebih mengutamakan keindahan dan arti-arti dari simbol
yang dipilih. Corak seperti binatang predator tidak digunakan/ dipilih sebagai simbol
keluarga di Jepang. Corak yang biasa digunakan di Jepang yaitu binatang-binatang kecil
seperti kelinci, kura-kura, burung, dan jenis serangga. Selain corak binatang, juga
digunakan. corak tanaman seperti bunga kiku, sakura, ginko, pohon pinus, bambu dan lain-
lain. Dari semua corak bunga yang ada, corak bunga krisanlah yang paling banyak dipakai,
karena bunga tersebut dianggap sebagai tanaman obat dan juga sebagai jimat untuk
melawan setan. Karena sangat terkenal banyak orang yang menggunakan bunga krisan
sebagai lambang keluarganya. Tetapi sejak pemerintahan Meiji selain kaisar corak bunga
krisan khususnya bunga krisan yang berbunga enam belas lembar, orang biasa tidak boleh
menggunakan lambang tersebut. Dalam hal tertentu ada dua orang yang menggunakan
lambang tersebut adalah Masashige Kusunoki pada abad ke empat belas dan Saigo
Perbedaan lain dapat kita lihat pada penggunaan simbol keluarga, di Eropa hanya orang-
orang tertentu seperti keluarga kerajaan dan para bangsawan yang memiliki simbol
keluarga. Dan juga simbol keluarga itu hanya digunakan pada jaket militer atau pakaian
pada mulanya memang hanya dimiliki oleh keluarga kaisar saja tetapi lama kelamaan
simbol keluarga juga dapat dimiliki oleh orang-orang biasa. Penggunaannya pun tidak
terbatas pada perlengkapan militer saja. Penggunaan kamon dapat kita lihat di berbagai
hubungan simbol yang mereka pilih dengan pekerjaannya, posisi mereka, dan latar
belakang keturunannya. Lambang-lambang atau simbol alam dan binatang tertentu yang
mereka pilih itu diperlihatkan pada acara spesial seperti perkawinan, kematian, perayaan
festival kebudayaan dan lain-lain untuk memperlihatkan rasa hormat, cinta, dan bangga
terhadap leluhurnya.
Montsuki adalah kimono formal yang bercorak kamon. Kita dapat melihat montsuki pada
saat upacara pernikahan, kematian, dan acara-acara penting lainnya. Pada saat acara formal
maupun semi formal mereka memakai montsuki-nya untuk mengetahui dengan jelas
darimana asal usul keturunan keluarga tersebut dan juga untuk mengetahui apakah mereka
orang dalam (uchi) atau orang luar (soto). Selain itu dengan memakai montsuki-nya
mereka juga dapat menunjukan rasa bangga mereka terhadap garis keturunannya dan
Selain montsuki, kamon juga banyak terdapat pada noren. kamon pada noren sama
seperti halnya montsuki menunjukan rasa bangga mereka terhadap garis keturunannya dan
sebagai bentuk penghormatan dan cinta mereka terhadap leluhurnya. Namun jika montsuki
dipakai dalam acara-acara tertentu saja, kamon pada noren digunakan untuk menandakan
bahawa suatu bangunan atau tempat dikelola atau dimiliki oleh keluarga tertentu.
Noren telah menjadi bagian integral dari bisnis yang biasa menunjukkan sebuah
kebiasaan lama (furui). Penggunaan noren yang khas dari aspek bisnis menunjukkan
bahwa sebuah toko memiliki reputasi yang baik, sementara toko yang tidak terdapat noren
atau hanya menggunakan noren yang biasa akan memberi kesan sebuah toko tidak
tradisional, noren selalu dipasang menjadi hiasan wajib. Di setiap noren tertulis atau
tergambarkan apa yang dijual pada sebuah toko dan brand dari sebuah toko. Tampilan
yang melihatnya untuk berkunjung masuk atau hanya sekedar melihat dan mengintip dari
luar. Tulisan berupa slogan-slogan serta gambar-gambar pada noren menunjukkan kualitas
Dengan demikian jelas terlihat bahwa noren selain dalam fungsinya sebagai
dekorasi dan pembatas namun juga sebagai media untuk mengiklankan produk yang di jual
di sebuah toko.
dua hal, yaitu noren sebagai kekkai 「結界」serta konsep uchi dan soto. Kekkai「結界」
adalah istilah agama buddha yang biasa digunakan untuk merujuk pada bidang kekuatan
spiritual atau magis yang protektif. Selain itu istilah ini juga pada dasarnya digunakan pada
suci.
Umumnya pada bangunan kuil budha zen terdapat pilar batu yang ada di sisi pintu
masuk, gerbang utama terdapat ukiran huruf seperti yang melarang membawa bawang
putih dan anggur memasuki gerbang utama dan sebagainya. Ini adalalah salah satu contoh
Elemen penting kekkai dalam kuil adalah pagar dengan smibol tertentu.
Dikarenakan ada juga gununng dan karang-karang yang menjadi objek penyembahan,
maka pada kuil shito hal ini kadang tidak terlalu diperlukan. Hal yang mesti dimiliki
adalah `kaki' 「 垣 」 yang berarti pagar atau pembatas 「 限 る 」 . Kekkai ada yang
berbentuk seperti pagar setinggi setengah meter . Dapat dibuat dari bambu, batu kecil,
kayu, atapun tali. Salah satu jenis kekkai adalah 関守石(sekimori ishi) atau batu sebesar
genggaman tangan yang diikat dengan tali hitam. Sebagai pemisah, kekkai mudah untuk
dilewati sehingga mungkin dianggap tidak efektif. Sekimori ishi sering kali digunakan di
halaman chashitsu sebagai penanda agar jalan yang diberi penanda ini tidak dilewati.
Selain itu ditambahkan juga dekorasi-dekorasi yang dipasang untuk memisahkan antara
bagian luar dan dalam yang suci. Salah satunya dengan noren. (Gambar 3.8)
Noren sebagai kekkai biasa digunakan sebagai pemisah bagian ruangan satu dengan
yang lain terutama pemisah dengan ruangan pembukuan atau ruang tempat menghitung
uang khususnya di rumah-rumah pedagang. Juga digunakan di kuil sebagai pemisah area
sebelumnya. Dan itu telah digunakan di banyak tempat pada Shindenzukuri, noren yang
terus digunakan tanpa mengubah terlalu banyak gaya sejak tahun 800 masehi,
Dilihat dari sudut pandang konsep uchi dan soto, noren memiliki suatu hubungan
erat yang tidak terlepaskan dari fungsi keduanya terhadap perkembangan psikologi
masyarakat Jepang, baik dalam diri mereka sebagai seorang individu pribadi, dalam
Noren merupakan salah satu dari komponen rumah tradisional yang jika dilihat
secara umum hanya merupakan tirai kain pembatas untuk dekorasi. Namun jika dianalisa
dari sudut pandang tori uchi-soto, peran dari noren memiliki arti dalam, bahkan lebih dari
memiliki suatu bentuk berupa penjelasan keruangan, hal ini menghubungkan antara
mengembangkannya. Secara umum, Konsep keruangan ini dapat ditemukan pada konsep
diterapkan baik secara fisik yang dapat berupa bentuk bangunan atau arsitektur yang
berada dalam konteks ruang yang nyata, maupun secara psikologi sosial. Sebagai contoh,
peranan uchi-soto dilihat dari sudut pandang sosial dalam bertutur kata dapat dilihat dari
cara bertutur kata yakni dengan adanya pemisahan antara Keigo (敬語), Futsuugo (普通
語) dan Tamego (タメ 語) serta bagaimana seorang individu maupun suatu kelompok
mampu mengambil sikap pada lawan (aite/相手). Dengan kata lain, uchi-soto merupakan
pemisahan antara bagian dalam (uchi) dan luar (soto) pada kebudayaan Jepang.
dunia luar (Soto) dan dalam (Uchi) dimulai dari lingkungan diluar kulit kita dan beberapa
dari yang lain beranggapan bahwa dunia dalam adalah tempat tinggal dan lingkungan
Dia juga berpendapat bahwa secara umum, pandangan masyarakat Jepang terhadap
konsep uchi dan soto lebih sempit dibandingkan Barat, hal ini disebabkan adanya suatu
pengertian bahwa arti dari uchi sendiri adalah rumah, atau tempat tinggal dari suatu
individu.
Rata-rata dari masyarakat Jepang berpendapat bahwa uchi merupakan suatu pola
keruangan yang memungkinkan hubungan yang lebih bersahabat, santai dan lebihintim
dalam berinteraksi. Jika konsep uchi merupakan tempat tinggal yang hanya dapat
ditemukan satu diseluruh dunia dan didasarkan pada pandangan masyarakat Jepang, maka
Desain dari arsitektur rumah Jepang, terutama pada rumah tradisional Jepang,
Jepang. Contoh dari konsep uchi-soto ini juga merupakan dasar yang menjadi faktor
pembentuk tatabahasa dalam bahasa Jepang yang digunakan dalam interaksi masyarakat
Pada struktur arstitektur dalam tata ruang rumah dan bangunan Jepang, tanpa harus
terpaku oleh ukuran (luas) bangunan, biasanya dikelilingi oleh tembok yang memiliki
Pada rumah ini, terdapat pula gerbang masuk yang memungkinkan kita untuk
masuk kedalam suatu tempat yang berada tepat di depan bangunan rumah. Pada bangunan
lain seperti pertokoan terdapat noren sebagai pembatas. Begitu memasuki gerbang atau
melewati noren, hal yang pertama kali akan kita rasakan adalah suasana Uchi. Hal ini
dapat dirasakan karena kita merasa sudah Masuk kedalam bagian rumah tanpa dihalangi
atau dibatasi oleh pagar rumah atau noren pada toko. Namun bagian mengenai batasan
antara uchi-soto masih tetap bias jika hanya berhenti di tempat ini.
disimbolkan pada bagian dimana noren dipasang. Namun pada noren, batasan antara uchi
dan soto masih terkesan bias. Untuk masuk kedalam uchi yang sesungguhnya, Diperlukan
waktu untuk dapat masuk kedalam ruang lingkup uchi dalam suatu keluarga (pada suatu
rumah).
Soto (yang bukan mengacu pada pegerian secara fisik) merupakan suatu hal yang dinamis,
karena dapat berubah sesuai dengan keadaan (Soto dapat menjadi uchi dan sebaliknya).
Walaupun secara nyata, uchi dapat diartikan sebagai Bagian dalam, namun sesungguhnya
Ruang lingkup dalam pengertian uchi bagi masyarakat Jepang, tidak Hanya
mengacu pada bangunan semata, namun lebih ditekankan pada peranan dari bangunan atau
media yang dapat membuat suatu perasaan santai dan intim, yang sering dapat ditemukan
bentuk empati secara psikologis, yang memungkinkan seseorang mampu merasakan suatu
Dari penggunaan noren dapat terlihat gambaran konsep uchi dan soto. Seperti yang
kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jepang juga terdapat sistem kekerabatan yang kita
kenal dengan sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat lagi lingkungan yang akan membedakan
masuk pada lingkungan dalam (uchi) yang termasuk di dalamnya aturan dan sambutan
4.1 Kesimpulan
Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan
di Jepang. Noren biasanya memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari bawah hingga ke
atas. Noren biasanya digantung di pintu masuk toko, rumah makan, tempat pemandian
Noren sudah dimulai sejak era sebelum masehi. Ribuan tahun yang lalu, pada zaman
dahulu di Era Jomon, nenek moyang Jepang menggunakan benda berbentuk jalinan tirai
dasar dari bahan alami berupa rumput panjang, alang-alang, dan daun besar untuk
menciptakan sebuah penghalang antara unsur-unsur luar dan ruang hidup mereka dan kuil-
kuil. hambatan tirai-seperti ini berkembang selama berabad-abad. Lalu dimulai pada Era
Heian, mumcul menyerupai apa yang kita kenal sebagai zaman modern tirai Noren Jepang.
Kain yang digunakan sebagai perlindungan dari matahari, angin, debu panas, dingin dan
menjadi bentuk pengiklanan. Seperti tirai ditampilkan di pintu toko dengan logo, atau
puncak, menandakan isi ruang tertutup dan sering mewakili status sosial dari pemiliknya.
Jenis noren dapat terbagi menurut dua hal yaitu, Sunpō 「寸法」dan zaishitsu
の三尺) yaitu berkisar 113 cm. Menurut dimensinya noren terbagi menjadi beberapa tiga
terbagi menjadi tiga macam, yaitu enoren, nawanoren dan tamanoren / kannoren.
(kamon), menggambarkan alam seperti bunga, bentuk air, dan gunung. Noren juga
Fungsi noren dalam masyarakat antara lain untuk mencegah debu, cahaya matahari
dan air hujan masuk, sebagai dekorasi atau hiasan, sebagai penanda aktivitas di dalam
ruangan serta sebagai penunjuk lambang keluarga, sebagai media iklan dalam bisnis.
Selain itu dari penggunaan noren dapat terlihat gambaran konsep uchi dan soto.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jepang juga terdapat sistem
kekerabatan yang kita kenal dengan sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat lingkungan yang
sebagai pembatas yang menandakan bahwa apabila melewati noren, hal yang pertama kali
akan kita rasakan adalah suasana Uchi. Hal ini dapat dirasakan karena kita merasa sudah
masuk kedalam bagian rumah dihalangi atau dibatasi oleh pagar rumah atau noren pada
toko.
4.2 Saran
Jepang selain sebagai negara yang modern dan maju juga merupakan negara
dengan kebudayaannya yang khas. Hal ini menjadikan setiap orang selalu tertarik untuk
membahas dan menelitinya. Kebudayaan yang terbentuk di Jepang tentu dilandasi dengan
nilai filosofi dari budaya yang dibentuk dalam perjalanan sejarah yan panjang. Karena
setiap kebudayaan masyarakat Jepang dalam berbagai bidang dan aspek seperti pakaian,
kerajinan tangan, kesenian, bentuk arsitektur dan sebagainya dapat dikaji lebih dalam
tersebut.
Kajian mengenai noren dalam masyarakat Jepang ini diharapkan menjadi salah
satu sumber bacaan yang memancing ketertarikan pembaca untuk lebih dalam menggali
Jepang lainnya baik kebudayaan tradisional maupun kebuadayan populer yang sering
dilihat sehari-hari.
Bachnik, Jane M, Charles J.Quinn Jr. Situated Meaning: Inside and Outside in Japanese
Efendy, Omomg Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bnadung : PT. Madar Maju.
Morioka, Kenji. dkk (Eds). 1993. Shuueisha Kokugo Jiten Dai 3 Ban. Tokyo: Shuueisha.
Pardosi, Jhonson. 2008.dalam Logat Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Volume IV No. 2
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Sharnetta Florenzia Godjali. 2015. Penggunaan Pronomina Persona Omae Pada Komik
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sujiman, Panuti, & Aart van Zoest (Ed.). 1991Serba-serbi Semiotika, Gramedia, Jakarta.
北 端 信 彦 。 『 暖 簾 』 そ の 意 と 匠 . http://www.osaka-
geidai.ac.jp/geidai/laboratory/kiyou/pdf/kiyou17/kiyou17_11.pdf
____________. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
http://www.japanesestyle.com/put-traditional-noren-behind-curtains-s/868.htm
https://www.fleapedia.com
Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian. Yang termasuk dalam kesenian
adalah didalamnya seni musik, seni tari, seni pahat/ukir, seni lukis, seni rupa dan lain-lain.
Karya seni rupa dapat berwujud sebagai barang-barang, peralatan ataupun hiasan yang
sering digunakan sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah noren.
karena itu dalam penelitian ini akan dibahas mengenai makna noren dalam masyarakat
Noren adalah tirai kain yang dipasang di pintu masuk ruangan atau bangunan
di Jepang. Noren biasanya memiliki satu atau lebih belahan vertikal dari bawah hingga ke
atas. Noren biasanya digantung di pintu masuk toko, rumah makan, tempat pemandian
Sejarah Noren sudah dimulai sejak era sebelum masehi. Ribuan tahun yang lalu,
pada Era Jomon, nenek moyang Jepang menggunakan benda berbentuk jalinan tirai dasar
dari bahan alami berupa rumput panjang, alang-alang, dan daun besar untuk menciptakan
sebuah penghalang antara unsur-unsur luar dan ruang hidup mereka dan kuil-kuil.
hambatan tirai-seperti ini berkembang selama berabad-abad. Lalu dimulai pada Era Heian,
mumcul menyerupai apa yang kita kenal sebagai zaman modern tirai Noren Jepang. Kain
yang digunakan sebagai perlindungan dari matahari, angin, debu panas, dingin dan
menjadi bentuk pengiklanan. Seperti tirai ditampilkan di pintu toko dengan logo,
menandakan isi ruang tertutup dan sering mewakili status sosial dari pemiliknya.
の三尺) yaitu berkisar 113 cm. Menurut dimensinya noren terbagi menjadi beberapa tiga
terbagi menjadi tiga macam, yaitu enoren, nawanoren dan tamanoren / kannoren.
Makna dari Simbol dan Warna Noren berhubungan dengan hal religious seperti
(kamon), menggambarkan alam seperti bunga, bentuk air, dan gunung. Noren juga
Fungsi noren dalam masyarakat antara lain untuk mencegah debu, cahaya matahari
dan air hujan masuk, sebagai dekorasi atau hiasan, sebagai penanda aktivitas di dalam
ruangan serta sebagai penunjuk lambang keluarga, sebagai media iklan dalam bisnis.
Selain itu dari penggunaan noren dapat terlihat gambaran konsep uchi dan soto.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jepang juga terdapat sistem
kekerabatan yang kita kenal dengan sistem Ie. Dalam sistem Ie terdapat lingkungan yang
sebagai pembatas yang menandakan bahawa apabila melewati noren, hal yang pertama
kali akan kita rasakan adalah suasana Uchi. Hal ini dapat dirasakan karena kita merasa
sudah masuk kedalam bagian rumah dihalangi atau dibatasi oleh pagar rumah atau noren
pada toko.
日本における暖簾文化
文化の中ではその一つが美術である。美術に含まれるのは音楽、踊り、彫刻、絵
なでである。美術は品物や道具や飾りなどのようなものに実現できる。その一つは暖簾と
いうものである。それで本稿では日本社会での暖簾というものの意味や機能について記
述する。
暖簾とは日本の建物に、とくに出入り口に飾っている布カーテンである。通常の暖
簾には下から上にかけて一つ以上の部分を分ける。温泉、レストラン、商店の入り口など
に吊り下げる。
暖簾歴史は紀元前に始まる。千円前の縄文時代に、昔の日本人は長い草、葦、
そ大きな葉などの天然素材を使い、外の要素と生活空間や寺院の間の障壁を作成した。
そのような障壁は何世紀にもわたって進化した。そして平安時代をはじめ、今の知ってい
る暖簾の形を存在してきた。ほこり、熱、寒さ、日光、風からの保護するもの、それに広告
としてである。商店の入口にかけて開いているか閉じているかの記号や家紋などでり、所
有者の社会的地位を表す。
暖簾の種類は二つにわける。寸法と材質にする。標準寸法は鯨尺の三尺,すなわ
ち 113cm のものをいう。これが暖簾の定尺で,それより長いものを「長暖簾, 短かいものを
「半暖簾」,最も短かく,その代り店の間口いっぱいの巾の広いものを「水引き暖簾」という。
記号と色の暖簾は花、水、山のような自然を表し、善の円相、家紋のように宗教的
な意味も持つ。暖簾も店舗やレストランの名やロゴを示すメディアとしてである。
社会での暖簾は、飾り、商店の営業中かないかの記号、広告メディア、家紋を表
し、ほこりや日光や雨水を防ぎ、室に入らないようになる機能がある。
または暖簾を使いかたをみると、内と外のコンセプトを現す。日本社会では「家」と
いう親族システムを私たちは知っている。「家」では外と内の環境の違いはそれぞれある。
結界の暖簾としては、暖簾を渡し入るときに内の雰囲気を感じる。暖簾は内と外の環境の
障壁を表記する。