Anda di halaman 1dari 42

BUDAYA MALUDALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NI OKURE HAJI NO BUNKA

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH

RIKKY FERNANDO SARAGIH

140708076

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BUDAYA MALU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI NI OKURE HAJI NO BUNKA

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat
Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Disetujui Oleh:

Pembimbing

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunia-

Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “BUDAYA

MALU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT JEPANG”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik

dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara

terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi

kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S. , selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS., Ph.D. , selaku Ketua Program

Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Zulnaidi, S.S, M. Hum. selaku Dosen Pembimbing, yang telah

meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing serta

memberikan arahan dan dorongan kepada penulis, sehingga skripsi ini

dapat diselesaikan dengan baik

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Program Studi Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan ilmu dan pendidikan

kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Orang tua tercinta, Ayahanda Pestamen Saragih dan Ibunda Duma Ida

Simanjuntak yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama

masa pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Skripsi ini penulis persembahkan sebagai tanda terimakasih atas

segenap cinta, kasih sayang dan dukungan yang selalu kalian berikan

sampai hari ini.

6. Rekan-rekan seperjuangan, angkatan 2014 Program Studi Sastra Jepang

dan seluruh anggota IMAS-USU , terima kasih atas motivasi dan

sarannya kepada penulis.

7. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan

skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan,

baik dari isi maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan

kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis

sangat mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang

membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, 22 Januari 2019

Penulis,

Rikky Fernando Saragih

NIM: 140708076

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................1

1.2 Perumusan Masalah.............................................................6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan................................................7

1.4 Tinjauan pustaka dan Kerangka Teori.................................7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian............................................9

1.6 Metode Penelitian..............................................................10

BAB II GAMBARAN UMUM BUDAYA MALU MASYARAKAT

JEPANG

2.1 Konsep Malu Dalam Masyarakat Jepan.............................12

2.1.1. Kouchi atau Malu Umum.......................................13

2.1.2. Shichi atau Malu Khusus........................................14

2.2. Fungsi Budaya Malu Di Jepang.......................................14

2.3.1. Fungsi Aktif...........................................................15

2.3.2. Fungsi Pasif............................................................17

BAB III FUNGSI SOSIAL BUDAYA MALU MASYARAKAT

JEPANG

3.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga………..………........19

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.2. Kouchi dan Shichi dalam Masyarakat………….……….21

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan......................................................................25

4.2 Saran................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jepang (bahasa Jepang : Nippon/Nihon, nama resmi :

Nipponkoku/Nihonkoku) adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur.

Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur laut Jepang,dan

bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia. Jepang merupakan

negara yang dijuluki Negara Matahari Terbit dan Negeri Sakura. Dikatakan

demikian karena di Jepang mayoritas penduduknya beragama Shinto yang

menyembah matahari sehingga disebut Negara Matahari Terbit. Sedangkan

julukan Negeri Sakura karena banyaknya bunga sakura yang tumbuh di Jepang.

Kebudayaan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi

kehidupan bermasyarakat.Kebudayaan suatu negara dipengaruhi oleh karakteristik

geografis negara tersebut serta mempunyai pengaruh timbal-balik dengan

karakteristik rakyatnya.

Pengertian kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu

kebudayaan dalam arti luas dan kebudayaan dalam arti sempit (Ienaga Saburo

dalam Situmorang, 2006:2-3). Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara

hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata) dan tidak bersifat alamiah.

Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah keseluruhan hal yang terdiri dari

tradisi, ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni.Oleh karena itu, Ienaga

mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat

konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya.Sedangkan

1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kebudayaan dalam arti sempit adalah budaya yang berisikan sesuatu yang bersifat

semiotik.

Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat dalam Takari, dkk (2008:5)

adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam

rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan

belajar.Sebuah budaya berkaitan erat dengan masyarakat karena budaya itu sendiri

lahir dari masyarakat.Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddayah,

yaitu bentuk jamak dari kata buddhiyang berarti budi atau akal. Dengan

demikian,kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal.

Oleh karena itu, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan.Budaya merupakan

sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak.Sedangkan kebudayaan

adalah sesuatu yang konkret.

Maka dari itu, dapat kita lihat bahwa contoh budaya Jepang adalah budaya

balas budi (giri), budaya senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, budaya antri

dan sebagainya.Sedangkan contoh kebudayaan Jepang adalah chanoyu, ikebana,

origami, dan sebagainya (Situmorang, 2006:2).

Menurut Linthon Budaya adalah : Keseluruhan dari pengetahuan, sikap

dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh

anggota suatu masyarakat tertentu. Orang jepang mampu melestarikan

kebudayaannya sendiri dan Jepang merupakan negara yang terkenal dengan

berbagai budayanya termasuk budaya malu.

Budaya malu merupakan salah satu bagian daripada budaya timur.

Terbukti bahwa budaya malu diwariskan secara turun temurun mulai dari nenek

moyang kita hingga sekarang. Namun, realita yang dihadapi bangsa Indonesia

2
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
utamanya pada generasi muda sangatlah memalukan karena mereka mengikuti

budaya dari bangsa barat. Padahal untuk menjadikan suatu negara maju dan

berbudi pekerti yang baik adalah mananamkan sifat malu pada pribadi seseorang.

Bangsa Indonesia seharusnya malu pada Negara-negara yang memiliki

kepribadian dan tingkah laku yang baik seperti bangsa Jepang.

Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi

masyarakat Jepang. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian

masyarakat pada umumnya. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang

dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya, masyarakat Jepang mendasarkan

tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan

menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk

menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang,

standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu.

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung mengarah

keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Sifat mengarah ke luar inilah yang

dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gamenteki. Dan sifat gamenteki

(mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu.

Dalam beraktivitas orang Jepang memfokuskan kepada penghindaran rasa

malu. Budaya malu yang ada di dalam masyarakat Jepang merupakan

ketidakmampuan membalaskan budi baik orang lain, sehingga mereka harus

membalaskan budi orang lain. Dengan adanya pemikiran rasa malu tersebut,

orang Jepang lebih susah menerima dari pada memberi. Orang yang menerima

akan mengatakan ‘arigatai’, yang kjemudian di sebut dengan ‘arigatou’, yang arti

harafiahnya adalah sesuatu yang sulit. Artinya seseorang yang telah menerima

3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sesuatu dari orang lain harus memikirkan balasnya, dan inilah yang disebut sulit

tersebut. Oleh karena itu, nmasyarakat Jepang lebih mengutamakan penilaian dari

masyarakat dari pada rasa takut khususnya kepada Tuhan atau Dewa yang mereka

percayai.

Dalam buku berjudul The Chrysanthemum and The Sword karangan Ruth

Benedict, dikatakan bahwa masyarakat Jepang dikenal dengan budaya malunya.

Budaya malu adalah budaya yang merupakan pola pikir masyarakat Jepang yang

meletakkan rasa malu sebagai sanksi utama. Dalam masyarakat dengan budaya

malu seperti ini, seseorang tidak akan merasa lega meskipun ia sudah mengakui

kesalahannya. Rasa malu adalah reaksi terhadap kritik yang dikatakan oleh orang

lain. Kegagalan untuk mengikuti norma-norma berperilaku dan melaksanakan

kewajiban adalah aib (memalukan). Keutamaan rasa malu didalam kehidupan

orang Jepang berarti bahwa setiap orang mengutamakan penilaian orang lain atas

tindakan-tindakannya

Ruth Benedict (1989:338) menyatakan bahwa, malu muncul dikarenakan

ketidak mampuan membalas budi dari orang lain, atau disebut on, yang terdiri dari

giridan gimu. Atau juga dengan adanya penilaian pihak lain yang cenderung

negatif, seperti sindiran, kritikan atau cemoohan. Benedict juga menambahkan

bahwa, malu yang dimiliki masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena

keberadaan Tuhan atau takut karena dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang

muncul dengan adanya keberadaan pihak lain.

Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang

menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat

orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat

4
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu

pengakuan atau penebusan.

Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur

pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan

shichi (malu khusus).

Malu bagi masyarakat jepang juga memiliki fungsinya tersendiri dalam

kehidupan sehari-hari, yaitu fungsi aktif dan fungsi pasif. Fungsi malu

yangbersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan mendorong

seseoranguntuk melakukan tindakan sesuai perannya dan menjalankannya dengan

idealsebagaimana seperti yang diharapkan oleh masyarakat di sekitarnya.

Fungsi malu yang bersifat pasif yaitu sebagai penahan tindakanseseorang

dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan. Sifat menonjolkan diriyang

berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi sumber perhatiandan

menimbulkan kesan negatif bagi orang lain.

Pada masyarakat Jepang budaya malu sangat berperan penting dalam

pembentukan jati diri sejak usia dini. Budaya malu ada beberapa bentuk dalam

kehidupan masyarakat jepang antara lain adalah dalam kehidupan sehari hari

bermasyarakat, dalam pekerjaan, dalam berpolitik dan maupun dalam bersosial.

Atas dasar hal itu penulis tertarik untuk membahas budaya malu di jepang dengan

skripsi yang berjudul “ BUDAYA MALU DALAM KEHIDUPAN

MASYARAKAT JEPANG”.

5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.2. Perumusan Masalah

Dalam mengindentifikasi suatu masalah, kita harus jelas melihat masalah

tersebut. Dimana kita harus melihat bagaimana dan apa yang akan menjadi

permasalahannya. Seperti dalam penelitian ini, penulis membahas budaya malu

dalam kehidupan masyarakat jepang.

Budaya malu sangan fenomenal di Jepang yang telah di terapkan sejak

dini. Budaya malu yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Jepang. Bahkan

beberapa teori mengatakan bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat

yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya standar untuk menentukan

baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu

Hal itu dapat berpengaruh besar membentuk karakter mereka dilingkungan

dimana mereka bekerja. Dengan karakter tersebut dapat berpengaruh besar

terhadap pola hidup masyarakat jepang.

Berdasarkan uraian di latar belakang masalah pada penelitian ini, penulis

memberikan cakupan permasalahan pada :

1. Bagaimana bentuk budaya malu di Jepang?

2. Apa fungsi sosial budaya malu di Jepang?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan

Budaya malu di Jepang dewasa ini masih sangat populer di kalangan

masyarakat Jepang, dari hal-hal yang kecil sampai ke hal yang besar. Rasa malu

saat mempunyai kesalahan, malu untuk berbuat curang, dan lain-lain. Budaya

malu telah diajarkan dari dini di sekolah dan di dalam keluarga.

6
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dari permasalahan yang telah dikemukakan di atas sebelumnya, maka

penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan.

Hal ini dilakukan agar masalah tidak menjadi terlalu luas sehingga penulis dapat

lebih terfokus dan terarah dalam pembahasan terhadap masalah. Dalam penulisan

skripsi ini penulis membatasi permasalahan tentang bentuk dan fungsi sosial

budaya malu di Jepang.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.4.1. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka amat diperlukan untuk mengukur keakuratan sebuah

penjelasan terhadap permasalahan yang ada. Tinjauan Pustaka ini berasal dari

beberapa ahli. Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang digunakan oleh penulis.

Koentjaraningrat (1987) mendefenisikan kebudayaan sebagai seluruh total

pikiran, karya, dan hasil manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan hanya

bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Taylor (dalam Ibrahim,

2003) mendefenisikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang termasuk

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain

yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.

Ruth Benedict dalam bukunya “The Crysanthemum and The Sword”

(Bunga Seruni dan Pedang Samurai) mengatakan bahwa malu merupakan suatu

reaksi psikologis yang timbul karena adanya kritik dari orang lain, atau timbul

pada saat ditertawakan orang lain. Orang Jepang akan merasa malu jika dikritik

atau ditertawakan orang lain. Akan tetapi, konsep tersebut belum dapat

menampilkan seluruh segi dari konsep malu, khususnya konsep malu yang ada di

7
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam diri orang Jepang. Ternyata bukan hanya kritikan dan tertawaan orang lain

yang dapat membuat orang Jepang merasa malu. Konsep yang lebih dapat

mengungkapkan pemikiran malu dalam diri orang Jepang adalah ketika seseorang

mendapat perhatian yang sifatnya khusus dari orang lain.

1.4.2. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaningrat dalam Siarait (2008: 100 berfungsi

sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstarak ke alam

konkret, suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi

pembahsan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam

kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.

Menurut Ruth Benedict (1989:232), Masyarakat Jepang memiliki dua

konsep malu yang menjadi tolak ukur pada setiap tindakan yang mereka

lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan shichi (malu khusus).

Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan

sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum,

fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu

yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif.

Penulis menggunakan pendekatan fenomologis. Dalam pandangan

fenomologis ada usaha untuk memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya

terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Mereka berusaha untuk

masuk kedalam dunia konseptual para subjek sehingga mereka mengerti apa

dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar

peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomolog percaya bahwa pada

8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
makhluk hidup terdapat berbagai cara untuk menginterprestasikan pengalaman

melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah

yang membentuk kenyataan (Moleong, 2002: 9).

1.5. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diadakan dengan tujuan utama untuk mewujudkan

pemahaman yang mendalam mengenai budaya malu bagi masyarakat jepang.

1.5.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini:

1. Untuk mengetahui bentuk budaya malu di Jepang.

2. Untuk mengetahui fungsi sosial budaya malu di Jepang.

1.5.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Bagi peneliti sendiri diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan budaya malu di Jepang.

2. Bagi para pembaca, khususnya para pembelajar bahasa Jepang

diharapkan dapat menambah informasi fungsi sosial budaya malu di

Jepang.

3. Bagi para pembaca, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber ide dan

tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti lebih

lanjut tentang bentuk dan fungsi sosial budaya malu di Jepang.

9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.6. Metode Penelitian

Secara etimologis, metode berasal dari kata ‘met’ dan ‘hodes’ yang berarti

melalui. Sedangkan istilah metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh

untuk mencapai suatu tujuan. Sehingga 2 hal penting yang terdapat dalam sebuah

metode adalah : cara melakukan sesuatu dan rencana dalam pelaksanaan.

MenurutDrs. Agum M. Hardjana, metode adalah cara yang sudah dipikirkan

masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah tertentu guna

mencapai tujuan yang hendak dicapai (http://carapedia.com/).

Metode penelitian merupakan salah satu hal yang sangat diperlukan dalam

melakukan penelitian, yaitu untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan

disampaikan penulis kepada pembaca. Metode penelitian pada dasarnya

merupakan cara alamiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan

tertentu. Untuk itu, dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan metode

deskriptif.

Metode deskriptif adalah suatu metode yang dipakai untuk memecahkan

suatu masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,

mengkaji dan menginterpretasikan data. Metode deskriptif termasuk dalam

cakupan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2005:6), penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan

lain-lain, dan dengan deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Menurut Koentjaraningrat dalam Exe Citra (2006:12), penelitian yang

bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai

10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data

yang diperoleh akan dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan sekaligus dikaji dan

kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan

informasi yang ada.

Penulis juga menggunakan metode studi kepustakaan.Studi kepustakaan

merupakan studi aktivitas yang sangat penting dalam sebuah penelitian.Beberapa

aspek yang yang perlu dicari dan diteliti meliputi masalah, teori, konsep dan

penarikan kesimpulan. Dengan kata lain, studi kepustakaan adalah pengumpulan

data dengan cara membaca buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian.

Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisa untuk dapat sitarik

kesimpulan (Nasution, 1996:14).

Di samping itu, penulis juga memperoleh data-data dari beberapa situs di

internet berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Seluruh data-data yang

didapat baik dari proses studi kepustakaan maupun data internet, akan dianalisa

dan kemudian diinterpretasikan untuk mendapatkan hasil berupa kesimpulan.

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang bergabung dengan

masalah penelitian. Survey Book dilakukan diberbagai perpustakaan, seperti:

Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, Perpustakaan USU, Perpustakaan

daerah Sumatera Utara, dan beberapa perpustakaan lainnya.

11
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB II

GAMBARAN UMUM BUDAYA MALU MASYARAKAT JEPANG

2.1. Konsep Budaya Malu dalam Masyarakat Jepang

Menurut Ruth Benedict (1989:232), di dalam studi-studi antropologis

mengenai berbagai kebudayaan, suatu masyarakat yang menganut norma-norma

moralitas yang absolut dan mengandalkan dikembangkannya suatu nurani oleh

para penganutnya adalah suatu kebudayaan rasa bersalah. Tetapi orang di dalam

masyarakat yang demikian juga menderita karena rasa malu kalau ia menuduh

dirinya sendiri dengan kekakuan-kekakuan yang sama sekali bukan dosa. Ia

bisa merasa menyesal hanya karena tidak berbusana layak untuk suatu

kesempatan, atau karena salah berbicara.

Dalam masyarakat dimana rasa malu merupakan sanksi utama, orang

menyesali tindakan-tindakan yang oleh umum dianggap seharusanya membuat

orang merasa bersalah. Penyesalan ini bisa mendalam sekali dan tidak dapat

diperingan, seperti halnya rasa bersalah dapat diperingan dengan suatu

pengakuan atau penebusan.

Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur

pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan

shichi (malu khusus). Berikut ini penulis akan mengemukakan konsep malu

kouchi dan konsep malu shichi.

12
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.1. Kouchi atau Malu Umum

Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh

bagi masyarakat Jepang. Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian

masyarakat pada umumnya. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang

dikendalikan oleh budaya malu. Yang artinya, masyarakat Jepang mendasarkan

tindakan mereka pada suatu ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan

menimbulkan malu atau tidak. Jika iya, maka mereka akan berusaha untuk

menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jepang,

standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu. Hal ini

disebut dengan malu umum atau kouchi.

Kouchi muncul pada saat situasi dimana seseorang merasa malu saat

mendapatkan perhatian khusus berupa sindiran, teguran atau ejekan dari orang

lain. Kouchi sering terjadi pada lingkungan masyarakat luas seperti pada saat di

tempat tempat umum.

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa orang Jepang cenderung

mengarah keluar (masyarakat), bukan ke dalam dirinya. Malu terhadap orang

lain dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah gaimenteki. Dan sifat

gaimenteki (mengarah keluar) ini merupakan suatu ciri dari budaya malu pada

masyarakat Jepang.

Ruth Benedict (1989:233) juga menyebutkan bahwa kebudayaan yang

benar-benar berdasarkan rasa malu, mengandalkan sanksi ekstern untuk tingkah

laku yang baik, dan tidak seperti pada kebudayaan yang benar-benar

berdasarkan rasa bersalah, yang mengandalkan keyakinan intern tentang dosa.

13
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.1.2. Shichi atau Malu Khusus

Shichi atau malu khusus muncul dari dalam diri sendiri seseorang.

Namun, muncul atau tidaknya shichi pada diri seseorang tergantung pada

bagaimana ia menempatkan keberadaannya.

Munculnya shichi atau malu khusus dalam diri seseorang diakibatkan

oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang di sebut

naimenteki. Berikut ini merupakan faktor yang menyebabkan munculnya rasa

malu terhadap diri sendiri adalah sikap membandingkan diri sendiri dengan

orang lain. Hal ini ditunjukan dengan contoh seseorang membandingkan diri

dengan orang lain di tingkah lakunya sehari hari. Seseorang akan merasa malu

jikalau dirinya mempunyai sikap timbal balik dari dirinya sendiri dalam hal

kebaikan. Maka dari situ dia membandingkan diri terhadap orang lain yang

menimbulkan malu akan diri sendiri itu terjadi.

Di dalam membandingkan diri tersebut terdapat dua golongan standar

yang selalu digunakan orang Jepang yaitu superior dan inferior. Superior

merupakan makna yang menyatakan lebih baik daripada orang lain, sedangkan

inferior ialah makna kurang atau lebih rendah dibandingkan orang lain.

Sakuta dalam Raphaela Dwianto (1991:22) berpendapat bahwa selain

berlaku secara umum di masyarakat luas, membandingkan diri juga berlaku

secara khusus dan bersifat pribadi. Akan tetapi, standar superior dan inferior

yang menjadi dasar timbulnya malu ini tidak selalu merupakan standar yang

berlaku di dalam kelompok di mana seseorang menjadi anggotanya. Ada pula

standar yang lebih luas (misalnya kelas, etnis). Kemudian bila standar ini

14
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
berbeda dari standar kelompok, maka standar kelompok didasari sebagai suatu

standar diri pribadi.

2.2. Fungsi Budaya Malu Di Jepang

Budaya malu sangat berperan penting dalam kehidupan masyarakat

jepang. Dilihat dari kehidupan di keluarga, tetangga maupun kehidupan sosial.

Budaya malu telah diajarkan sejak dini di dalam keluarga masyarakat jepang.

Maka dari hal tersebut jepang merupakan negara yang sangat disiplin.

Malu bagi bangsa Jepang memiliki fungsi yang sangat penting dan

sangat mempengaruhi karakteristik masyarakatnya sendiri. Secara umum,

fungsi malu di dalam mayarakat Jepang terbagi menjadi 2 yaitu fungsi malu

yang bersifat aktif dan fungsi malu yang bersifat pasif.

2.2.1. Fungsi Aktif

Fungsi malu berhubungan erat dengan status dan peran. Fungsi aktif

yang dimaksud di sini adalah fungsi malu yang dapat mendorong seorang

individu untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan status dan peran nya di

dalam masyarakat sekitarnya. Sebagai mana pendapat yang dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto (1990:264) bahwa di dalam setiap kalangan masyarakat,

setiap anggotanya memiliki status dan peran masing-masing. Pembagian status

dan peran ini sangat perlu untuk mempertahankan tatanan masyarakat, dan

menghindarkan kemungkinan timbulnya kekacauan dalam masyarakat.

Dilihat dari defenisi nya, status dan peran hampir memiliki pengertian

yang sama. Yaitu posisi atau kedudukan seseorang di mata masyarakat. Namun

15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
jika kita mengamatinya lebih dalam, status dan peran memiliki pengertian

spesifik yang berbeda. Status merupakan kedudukan seorang individu di dalam

masyarakatnya. Contohnya, status sebagai walikota, status sebagai bupati,

status sebagai guru dan sebagainya. Sedangkan peran merupakan pola tindakan

seorang individu dalam berinteraksi dan lebih tepatnya membantu masyarakat

di sekitarnya. Sebagai contohnya dapat kita lihat seorang polisi. Seorang polisi

pada hakekatnya merupakan seseorang yang berperan besar dalam menolong

dan melindungi masyarakat. Seorang polisi diharapkan dapat menolong

masyarakat dalam memberantas kejahatan, menertibkan lalu lintas dan

sebagainya sesuai dengan statusnya sebagai seorang polisi. Hal ini dikuatkan

oleh pendapat Soerjono Soekanto (1985:37) bahwa status adalah posisi

seseorang di dalam suatu sistem sosial masyarakat, sedangkan peran adalah

pola perilaku yang berhubungan dengan dengan status orang tersebut.

Bagi masyarakat Jepang, peran lebih dipentingkan daripada status,

meskipun status tetap memiliki nilai tersendiri. Setiap individu di Jepang selalu

dituntut untuk bertingkahlaku sesuai dengan perannya. Hal ini mengakibatkan

orang Jepang menjadi sangat peka terhadap penilaian masyarakatnya. Mereka

akan selalu bertindak sesuai dengan peran yang dituntut oleh masyarakatnya.

Seseorang yang tidak menjalankan perannya sesuai dengan tuntutan

masyarakat, akan dikritik bahkan ditolak oleh masyarakatnya. Kritikan dan

penolakan oleh masyarakat seperti ini akan menimbulkan gejala malu dalam

dirinya, karena telah gagal menjalankan perannya sebagaimana yang telah

dituntut oleh masyarakatnya.

16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dengan demikian, malu menjadi semacam motivasi bagi seseorang

untuk sedapat mungkin bertindak memenuhi perannya sesuai dengan tuntutan

masyarakat di sekitarnya. Sehingga, orang tersebut akan berusaha bertindak

sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan masyarakat terhadap dirinya dengan

mewujudkannya ke dalam perannya di lingkungan bermasyarakat untuk

menghindari kritikan dan penolakan seperti yang telah disebutkan diatas. Maka,

fungsi malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan

mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan

menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh

masyarakat di sekitarnya.

2.2.2. Fungsi Pasif

Di dalam kehidupan bermasyarakat, seorang individu biasanya memiliki

sifat menonjolkan diri untuk menunjukkan keberadaan serta perannya kepada

orang-orang di sekitarnya. Orang tersebut biasanya akan berusaha menonjolkan

kemampuan intelektualnya yang berguna bagi masyarakat di sekitarnya,

sehingga masyarakat akan sadar dengan eksistensi orang tersebut. Misalnya,

seorang guru akan selalu bersikap ramah dan berusaha berbicara secara formal

kepada orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang-orang disekitarnya tersebut

akan sangat menghormati dan menjadikannya sebagai peran yang patut untuk

dipanuti.

Seorang individu juga akan menghindari kritikan dari orang lain yang

akan menimbulkan gejala malu dengan sifat menonjolkan diri tersebut. Ia akan

17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
menunjukkan kepada orang lain bahwa ia sedang berusaha atau telah mencapai

suatu prestasi tertentu, untuk memenuhi perannya ditengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi, sifat menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang

individu menjadi sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang

lain. Perhatian orang lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Begitu juga

dengan orang lain yang melihatnya. Orang yang melihat tersebut akan

menghindari perbuatan serupa karena khawatir akan mendapat malu dan

akhirnya akan menahan tindakan-tindakan yang bersifat terlalu menonjolkan

diri.

Oleh karena itu, dari sini dapat kita lihat bahwa malu juga memiliki

fungsi pasif yaitu sebagai penahan tindakan seseorang dalam menonjolkan

dirinya secara berlebihan (Keiichi Sakuta dalam Raphaela Dwianto, 1991:55).

Fungsi malu seperti ini yang merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang

yang selalu berusaha menahan diri dan rendah diri.

18
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB III

ANALISIS BENTUK DAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA MALU PADA

MASYARAKAT JEPANG

3.1. Kouchi dan Shichi dalam Keluarga

Didalam ikatan keluarga jepang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Di setiap

anggota keluarga jepang ini saling menjaga dan menjalankan peran yang

sesuai sebagai mana yang telah ditetapkan di dalam keluarga itu sendiri.

Budaya malu anggota keluarga jepang sangat berperan penting di dalam

membangun keluarga yang harmonis. Seperti hubungan antara ayah terhadap

ibu, ayah dan anak, ibu terhadap anak dan sebaliknya antara ibu terhadap

ayah, anak terhadap ayah dan juga antara anak terhadap ibu.

Hubungan antara ayah terhadap ibu di dalam malu shichi dapat

ditunjukkan dengan beberapa kasus yang sering terjadi didalam keluarga

jepang. Seperti seorang ayah akan merasa malu apabila ayah tersebut tidak

dapat menjalani perannya sebagai kepala keluarga yang baik. Kepala keluarga

tidak dapat memberi nafkah yang cukup kepada anggota keluarganya sendiri.

Begitu juga hubungan ibu terhadap ayah yang di dalam budaya malu

shichi ditunjukan oleh adanya rasa malu seorang ibu yang tidak dapat

melayani anggota keluarganya dengan baik. Seperti seorang ibu yang tidak

dapat memasak makanan untuk ayah dan anggota keluarga lainnya. Seoarang

ibu juga akan merasa malu apabila tidak dapat melakukan pekerjaan rumah

dengan baik. Seorang ibu juga akan merasa malu apabila tidak dapat mendidik

anak- anaknya melakukan hal-hal baik. Ibu juga sering membandingkan

19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
suaminya sendiri terhadap orang lain jikalau si ayah sering melakukan hal

yang tidak baik seperti mabuk, pulang larut malam, mudah marah dan

sebagainya.

Hubungan seorang ayah juga sangat berperan penting dalam

perkembangan anak. Seorang ayah juga sangat merasa malu apabila tidak

mampu memenuhi kebutuhan anak. Begitu juga sebalikknya anak juga sering

merasa malu terhadap ayah dan ibunya. Seorang anak akan merasa sangat

malu apabila seorang ayah tidak dapat menjadi pedoman di dalam keluarga

tersebut. Anak sering membandingkan orang tuanya sendiri terhadap orang

tua dari teman temannya. Mereka merasa malu apabila orang tua temannya

lebih baik dari pada orang tuanya sendiri.

Disinilah budaya malu shichi ini bermanfaat bagi kehidupan keluarga

orang jepang. Akibatat dari pada rasa malu yang terjadi maka mereka selalu

menahan diri agar tidak melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan rasa

malu dan juga berusaha untuk menjalankan perannya masing masing secara

baik.

Budaya malu khouchi juga berperan di dalam ikatan anggota keluarga

antara ayah, ibi dan anak. Budaya malu khouchi timbul jikalau orang lain

sering memberi perhatian khusus berupa teguran teguran terhadap anggota

keluarga itu sendiri. Hal ini terjadi apabila seorang anggota keluarga

melakukan suatu kesalahan yang sampai membuat malu di dalam keluarga.

Pada saat tersebut anggota keluarga yang lain juga akan memberikan teguran

terhadap anggota keluarga yang mempunyai keslahan tersebut. Akibat rasa

20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
malu yang didapat dari orang lain dan ditambah dari anggota keluarga sendiri

tersebut makan ada rasa malu dan tidak akan mengulang hal yang salah lagi.

Budaya malu berfungsi dalam pembentukan karakteristik keluarga

Jepang dalam dilihat dari beberapa contoh kasus diatas. Budaya malu di dalam

keluarga Jepang berfungsi bersifat aktif karena fungsi bersifat aktif ini

menjadi dasar motivasi dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan

sesuai dengan perannya dan menjalankannya dengan ideal sebagai mana

diharapkan setiap anggota keluarganya.

3.2. Kouchi dan shichi pada masyarakat jepang

a. Malu membuang sampah sembarangan

Membuang sampah di Jepang bisa digolongkan dalam kategori yang

relatif sulit, karena membuang sampah sembarangan di Jepang termasuk dalam

kejahatan terhadap lingkungan, sehingga apabila hal ini dilanggar, maka akan

terkena hukuman berupa denda, bahkan sampai dipenjara. Maka pemerintah

jepang membuat suatu peraturan tentang membuang sampah di Jepang.

Pemerintah Jepang menetapkan jadwal pembuangan sampah dalam setiap

minggunya. misalnya di beberapa tempat di Jepang, sampah rumah tangga

dibuang tiga kali dalam seminggu (yaitu Selasa, Kamis, dan Sabtu). Pada hari

Senin adalah waktu untuk membuang sampah-sampah kertas, hari Rabu adalah

waktu untuk membuang sampah botol-botol plastic, kaleng,dan botol-botol kaca

dikelompokkan secara terpisah kedalam jenisnya masing-masing.

21
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sementara untuk hari Jumat minggu ke-2 dan mingguke-4 setiap bulannya

merupakan saat untuk membuang alat-alat rumah tangga khusus. Lalu pada hari

Minggu, tidak ada jadwal pembuangan sampah apapun. Jadwal pembuangan

sampah di Jepang, ditulis didaerah pembuangan sampah sementara setiap harinya

diangkut oleh truk sampah antar jam 8 sampai jam 9 pagi.

Lewat kebiasaan ini, tak heran jika di Jepang terlihat bersih dan bebas

sampah, yang membawa jepang menjadi negara bebas sampah. Prestasi ini di

dapatkan jepang tidak terlepas dari budaya malu masyarakat jepang atas

membuang sampah di sembarang tempat. Pendidikan sejak dini terus diterapkan

untuk peduli dan tanggap terhadap sampah yang ada dilingkungan mereka.

Apabila salah seorang tertangkap basah membuang sampah sembarangan

maka tidak dapat dihindari dari teguran orang lain sampai hingga berujung di

penjara. Hal ini membuat fungsi malu secara pasif yang dimana malu secara pasif

ini terjadi disaat seorang mendapat teguran dari orang lain secara langsung.

b. malu tidak antri di tempat umum

Sikap disipilin sudah diajarkan sejak dini di Jepang. Di Sekolah Dasar,

siswa di Jepang tidak akan menerima ujian hingga mereka kelas 4. Di tiga tingkat

pertama, mereka akan diajarkan tentang pendidikan moral. Mereka akan dididik

untuk menjadi pribadi jujur dan disiplin.

Antrian adalah salah satu nilai yang ditanamkan di Sekolah Dasar.

Menurut pengajar di Jepang, dari antrian akan dapat banyak pelajaran yang

22
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
didapat yang nantinya akan mempengaruhi ke nilai-nilai positif lainnya dalam

kehidupan sehari-hari.

Jika ingin berada dalam antrian terdepan. Mereka harus bangun lebih awal,

dan berangkat lebih cepat. Hal ini juga jadi salah satu alasan kenapa orang Jepang

tepat waktu.

Saat berada di dalam antrian, pelajaran yang didapat adalah untuk sabar.

Menunggu memang salah satu hal yang paling tidak enak, namun mereka sudah

dibiasakan untuk bersabar. Orang Jepang biasanya akan membaca ketika

mengantri.

Melalui antrian mereka juga diajarkan untuk menghormati hak orang lain.

Orang yang berada di depan mereka dalam antrian berarti mereka datang lebih

awal. Menerobos antrian sama saja mengambil hak mereka yang sudah datang

lebih cepat.

Selain sudah diajarkan untuk disiplin sejak dini, orang Jepang memiliki

budaya malu yang sangat tinggi. Bagi mereka, menyelak atau menerobos antrian

adalah salah satu hal yang memalukan. Tak perduli masih anak-anak atau

sudah berumur, mereka akan tetap disipilin dalam hal mengantri.

Orang Jepang juga percaya dengan tertib ketika mengantri akan membuat

proses antrian menjadi lebih cepat. Hal ini menurut saya yang tidak disadari oleh

orang-orang yang suka menerobos antrian di Indonesia.

Jika banyak yang menerobos sehingga menimbulkan kekacauan, proses

antrian justru akan semakin lama. Orang Jepang sangat tidak suka membuang

waktu dengan cuma-cuma.

23
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Tertib dan disipilin dalam antrian terlihat memang sepele. Namun tanpa

disadari, budaya antri yang tertib, jadi salah satu faktor yang mendukung Jepang

menjadi negara yang maju.

c. malu melanggar lampu lalu lintas saat berkendara

Peraturan lalu lintas di Jepang hamper tidak ada bedanya dengan negara

negara lainnya. Namun yang mebuat jepang jarang mengalami kemacetan lalu

lintas adalah sifat disiplin dan antri mereka. Di Jepang sangat menghargai

pengguna jalan yang lain baik pengendara kendaraan sampai ke pejalan kaki.

Setiap rambu dijalanan selalu di patuhi oleh pengguna jalan. Karena di Jepang

pengguna jalan mempunyai jalur masing masing hingga pejalan kaki sangat

merasa nyaman jika berada dijalanan.

Di Jepang hampir tidak pernah menemui orang yang melanggar lalu lintas,

sebab mereka akan sangat merasa malu jikalau mereka sampai menerobos lampu

jalan yang mengakibatkan kemacetan sampai akan mengakibatkan kecelakaan.

Di Jepang juga pengguna ankutan umum terbesar di dunia hingga di

jepang sangat jarang terjadi kemacetan di jalan.

24
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1.Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,

terdapat tiga hal yang dapat penulis simpulkan pada bab ini yang berkaitan dengan

permasalahan yang dibahas pada skripsi yang berjudul “Budaya Malu Dalam

Kehidupan Masyarakat Jepang”.

1. Bentuk malu dalam masyarakat Jepang adalah kouchi dan shichi. Pada

tulisan ini khochi lebih banyak dibandingkan dengan shichi, karena

khouchi adalah malu yang berkaitan dengan orang lain. Malu shichi lebih

berperan penting didalam keluarga sedangkan khouchi berperan di dalam

masyarakat Jepang

2. Fungsi malu khochi dalam masyarakat Jepang adalah bersifat pasif yaitu

sebagai penahan tindakan seseorang melakuan kesalahan yang akan

menyebabkan perhatian khusus dari orang lain dan sebagai tolak ukur

perbandingan dirisendiri terhadap orang lain. Sedangkan, fungsi malu

shichi adalah bersifat aktif yaitu sebagai tindakan menahan diri tidak

melakukan kesalahan yang akan membuat rasa malu.

25
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.2.Saran

Melalui analisa yang telah dilakukan tentang budaya malu

masyarakatJepang, maka ada beberapa sisi positif yang dapat kita ambil

manfaatnya. Olehkarena itu, penulis ingin menyampaikan beberapa saran sebagai

berikut :

1. Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca paham akan

budayamalu masyarakat Jepang yang menjadi tolak ukur mereka

untuk bertindakdalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan

dapat diambil sisi positifnya untuk kita jadikan acuan dalam

kehidupan sehari-hari.

2. Keminiman data-data penjelasan dari istilah-istilah asing

diharapkansemakin diperbanyak, sehingga tercapainya pemahaman

yang sempurnamengenai budaya malu bangsa Jepang.

3. Sesuai dengan modernisasi dewasa ini, dengan tersebarnya agama

keseluruh penjuru dunia hendaknya masyarakat Jepang semakin

bijaksanadan dapat menghindari hal-hal negatif seperti bunuh diri

yang diakibatkankebiasaan malu yang berlebihan.

4. Hendaknya modernisasi tidak membawa dampak negatif dalam

budayamalu yang dimiliki oleh bangsa Jepang, namun sebalik nya

membawadampak positif dan bisa menjadi panutan bagi masyarakat

dunia

26
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA

Benedict, Ruth. 1989. Pedang Samurai dan Bunga Seruni (The Chrysantheum and

The Sword), Alih Bahasa, Pramudji. Jakarta: Sinar Harapan.

Dwianto, Raphaela. 1991. Struktur Malu dan Fungsinya dalam Diri Orang

Jepang. Jakarta: Universitas Indonesia.

Fukutake, Tadashi. 1988. “Masyarakat Jepang Dewasa Ini”, (Japanese Society

Today), Alih Bahasa, Haryono. Jakarta: PT. Gramedia.

Ginting, Paham. 2006. Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian. Medan: USU Press.

Hindra, Eka & Koichi Kimura. 2007. Momoye Mereka Memanggilku. Jakarta:

Esensi.

Ichiro, Hori. 1968. Folk Religion in Japan. The University of Chicago Press.

Juliantoro, Dadang & A. Budi Hartono. 1997. Derita Paksa Perempuan.

Yogyakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama dengan LBH Yogyakarta,

Yayasan Lapera Indonesia dan The Ford Foundation.

Lebra, Takie Sugiyama. 1976. Japanese Patterns of Behavior. Honolulu:

University of Hawaii Press.

Magnis, Frans & Suseno. 1995. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.

Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Remaja Rosda Karya.

Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sangidu. 2007. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat.

Yogyakarta: Seksi Penerbitan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu

BudayaUGM.

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan. Medan: USU Press.

Soekanto, Soerjono. 1985. Memperkenalkan Sosiologi. Rev. ed. Jakarta: CV.

Rajawali.

http://kulosehati.blogspot.com/2017/02/budaya-membuang-sampah-di-

jepang.html

http://thedailyjapan.com/kenapa-orang-jepang-sangat-tertib-ketika-mengantri/2/

www.hipwee.com/hiburan/inilah-alasan-kenapa-orang-jepang-malas-menikah-di-

usia-muda-sementara-kita-suka-terburu-buru/

http://bushidojepang.blogspot.com/2016/05/tradisi-harakiri-budaya-malu-orang-

jepang.html

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak terlihat dan bersifat abstrak.

Beberapa contoh budaya Jepang adalah budaya balas budi (giri), budaya

senioritas (nenkoujoretsu), budaya malu, dan sebagainya. Oleh karena itu,

penulis didalam skripsi ini akan menganalisis tentang budaya malu masyarakat

Jepang.

Budaya malu merupakan salah satu budaya yang sangat berpengaruh bagi

masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang mendasarkan tindakan mereka pada suatu

ukuran, yaitu apakah tindakan mereka akan menimbulkan malu atau tidak. Jika

iya, maka mereka akan berusaha untuk menghindari tindakan tersebut. Hal ini

menunjukkan bahwa bagi orang Jepang, standar untuk menilai baik atau buruknya

suatu tindakan adalah malu.

Masyarakat Jepang memiliki dua konsep malu yang menjadi tolak ukur

pada setiap tindakan yang mereka lakukan, yaitu kouchi (malu umum) dan

shichi (malu khusus). Kouchi muncul pada saat situasi dimana seseorang

merasa malu saat mendapatkan perhatian khusus berupa sindiran, teguran atau

ejekan dari orang lain. Kouchi sering terjadi pada lingkungan masyarakat luas

seperti pada saat di tempat tempat umum. sedangkan shichi merupakan rasa

malu yang hadir dari dalam diri sendiri yang di akibatkan oleh pembandingan

diri sendiri terhadap orang lain.

Budaya malu juga memiliki dua fungsi yaitu fungsi aktif dan pasif. Fungsi

malu yang bersifat aktif adalah fungsi malu yang menjadi motivasi dan

mendorong seseorang untuk melakukan tindakan sesuai perannya dan

menjalankannya dengan ideal sebagaimana seperti yang diharapkan oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


masyarakat di sekitarnya. Fungsi malu yang bersifat pasif yaitu sebagai penahan

tindakan seseorang dalam menonjolkan dirinya secara berlebihan. Sifat

menonjolkan diri yang berlebihan akan menyebabkan seorang individu menjadi

sumber perhatian dan menimbulkan kesan negatif bagi orang lain. Perhatian orang

lain seperti ini akan menimbulkan rasa malu. Dan fungsi malu seperti ini yang

merupakan pembentuk karakteristik bangsa Jepang yang selalu berusaha menahan

diri dan rendah diri.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


要旨

文化は抽象 的なことであり、見ることができなく、記号論のもので

ある。日本の文化の例は例えば、「義理」の文化や「年功上列」の文化や「

恥」文化などである。その文化の例の中で、筆者は日本社会における「恥文

化」について分析している。

恥の文化は日本社会にとって非常に影 響を与える文化の一つである

。日本社会は因果に基づいて、態度をとることが多い。それは恥ずかしさを

引き起こすかどうかについてである。もし、その態度は恥ずかしさを引き起

こせば、同社会はその態度を避けることにする。これに基づいて、同社会に

とっては、恥はある態度が良いか悪いかのことについて 標 準 になった。

また、鑑定する相手は神様の存在ではないが、社会及び自分であ恥は他人に

恩返しすることができないからである。それは、「義理」恥は他人に恩返しす

ることができないからである。それは、「義理」いる。あるいは、他人から消

極 的な鑑定である。例えば、皮肉とか批判いる。あるいは、他人から消極

的な鑑定である。例えば、皮肉とか批判とか軽蔑である。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


仏教及び神道によると、生活で価値が一番高いのは、恥である。それ

にしたがって、全ての人間の活動は恥を中 心に守られている。また、恥を

守っている人は高潔な人であると定義されている。更に、光栄な人であると

考 えられる。

基本的に日本人は他人に笑われたり、批判されたりする場合は、恥ず

かしく感じる。でも、上記に説明された恥の概念は全ての恥の概念をまだ表

示していない。特に、日本人の自分における恥の概念である。だが、実は、

日本人を恥ずかしく感じさせる原因は他人から笑いや批判だけであるとは限

らない。日本人の自分における恥の文化をもっと表示することが他人かでき

る概念は誰かがら特別 な注 目を受けるときである。

それは他人から積極的な鑑定である。例えば、称賛及びお世辞である

。つまり、恥の文化は恩返しすることだけではなく、他人から批判とか皮肉

とか軽蔑とは限らない。だが、称賛及びお世辞のような注 目も誰かの自分

の中に恥ずかしさを持っているかどうかのことに 影響 を与える。それは自

分自身に基づいた恥ずかしさ(内面的)あるいは他人からの鑑定に基づいた

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


恥ずかしさ( 外面的) である。このような恥の文化は特別な恥(志知)と

言われる。

誰かの自分における特別な恥あるいは志知の 現 れたのはその人の自

分における要因である。志知の 現 れた二つの要因は「思考の食い違い」及

び「優劣基準」である。恥の文化も、二つの機能、すなわち積極的な機能と

受動的な機能を持っている。積極的な恥辱の機能はモチベーションになり、

誰かが彼の役割で行動することを奨励し、周りの社会の希望の通りに理想と

してそれを実行する。

積極的な恥辱の機能は「従軍慰安婦」の被害者への謝罪と補償の形 で

日本の人々の責任から見ることができ、国際社会に日本人による文化を実現

したものである。

日本政府は国際社会が期待するように彼らが過去にした悪い事修正す

るために責任を実施した。彼らはいくつかの基本的な事柄り 政策法 を 設

定 した 。 す な わ ち 、 強制的 な 性行為 の 事実 と第二次世界大戦

中、それによる損失を説明し、 了 承 し、また、謝罪と従軍慰安婦の被害

者に対する補償の形で社会貢献活動を行い、3.8億円、正式に 1997年3月25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


日にジャカルタで署名された覚え書き(MOU)に記載されたに相当する補償

金の形で道徳的および物質的支援である。

受動的な恥辱の機能は誰かが過剰に彼を提供する障壁作用としてであ

る。個人が社会の中でその役割を果たすために、特定の偉業を達成するため

の方法で、恥の 症 状 を引き起こす他者からの批判を避けるために、頭角

を 現 す。しかし、過度の控えめな性質は個人が懸念材料になり、他人にネ

ガティブな印象と、羞恥心を生じさせる。このような恥辱の機能はいつも自

分を助けようと自尊心が低い日本人の性格のフレーマーの特性である。

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai