Anda di halaman 1dari 75

MAKNA DAN FUNGSI MATCHA DALAM UPACARA CHANOYU

CHANOYU NO SHIKI NI OKERU MATCHA NO KINOU TO IMI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana
dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

HOTDEVI STYFANI SIMAMORA

140708022

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang

senantiasa menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna

memperoleh gelar Sarjana Sastra di Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini

adalah “MAKNA DAN FUNGSI MATCHA DALAM UPACARA CHANOYU”.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak

menerima bantuan baik moril, materi, dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu

pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan

dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D, selaku Ketua Program

Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Pembimbing, yang selalu

memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan

serta memberikan arahan perbaikan demi penyempurnaan skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu dosen pengajar Fakultas Ilmu Budaya, khususnya dosen-

dosen Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu pengetahuan umum

tentang sastra, budaya, dan bahasa Jepang, serta kepada staf pegawai

Sastra Jepang.

5. Dosen Penguji Seminar Proposal dan Penguji Ujian Skripsi, yang telah

menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6. Terutama dan yang paling utama kepada yang terkasih dan teristimewa

orangtua penulis, Ayahanda John Piter Simamora dan Ibunda Friska

Silalahi yang selalu memberikan perhatian, nasihat, maupun materil dan

selalu mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan

dapat menyelesaikan skripsi ini. Semua yang Ayahanda dan Ibunda

berikan untuk penulis tidak dapat penulis balas sampai kapan pun. Dan

juga kepada adik ku tersayang Della Fatresya Simamora yang senantiasa

memberikan semangat kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studinya. Dan seluruh keluarga besar penulis yang telah

memberikan dukungan dalam segala hal sampai berakhirnya studi ini.

7. Saudara penulis dalam Kristus teman-teman Pelayanan Gereja Ketulusan

Hati Indonesia Jemaat “Filipi” terkhusus kepada Bapak dan Ibu Gembala

Sidang yang telah mendoakan dan mendukung penulis hingga dapat

menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Elvi Sensei yang telah memberikan saran, semangat dan

mendukung proses penyusunan skripsi ini.

9. Teman-temanku secara khusus Eka, Gratia, Rokana, Adhi Harry, Karin,

yang telah menjadi teman yang sempurna bagi penulis, juga untuk

kebersamaan yang telah terjalin harapannya untuk seterusnya semoga

impian kita tercapai pada waktu yang tepat.

10. Seluruh rekan-rekan seperjuangan Sastra Jepang 2014, terkhusus

Bimbingan Eman Sensei Squad dan kepada Mawarni, Kiyu, Asyifa,

Renata, Ewis yang telah mengingatkan dan memberikan semangat

penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11. Kepada senior-senior penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terkhusus kepada kak Iis, kak Cici, kak Maya, bang Agung, bang Mitra

yang telah memberikan semangat dan mengarahkan penulis dalam

penulisan skripsi ini.

12. Serta kepada adik-adik junior Sastra Jepang, terkhusus kepada Yaser,

serta seluruh member chanoyu Bunkasai Usu 2018

13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan doa serta bantuan dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat

kekurangan dan kesalahan baik dalam analisis maupun tata bahasanya. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak demi perbaikan skripsi ini agar menjadi skripsi yang lebih sempurna lagi

kedepannya. Akhir kata penulis berharap skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi

penulis sendiri dan bagi pembelajaran Bahasa dan Sastra Jepang. Semoga Tuhan

selalu memberkati kita dimanapun kita berada.

Medan, 24 Agustus 2018

Penulis

Hotdevi Styfani Simamora

NIM. 140708022

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ......................................................... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori........................................... 8

1.4.1 Tinjauan Pustaka ................................................................ 8

1.4.2 Kerangka Teori .................................................................. 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 12

1.5.1 Tujuan Penelitian ............................................................... 12

1.5.2 Manfaat Penelitian ............................................................. 12

1.6 Metode Penelitian .......................................................................... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MENGENAI MATCHA DALAM

UPACARA CHANOYU .............................................................. 15

2.1 Pengertian Matcha dan Chanoyu ................................................... 15

2.1.1 Pengertian Matcha ............................................................. 15

2.1.2 Pengertian Chanoyu ........................................................... 17

2.2 Sejarah Matcha dan Chanoyu di Jepang........................................ 19

2.2.1 Sejarah Matcha di Jepang .................................................. 19

2.2.2 Sejarah Chanoyu di Jepang ................................................ 23

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3 Penggunaan Matcha dalam Upacara Chanoyu .............................. 29

2.4 Aliran Upacara Minum Teh di Jepang .......................................... 34

2.5 Pelanggaran dalam Upacara Chanoyu ........................................... 37

BAB III MAKNA DAN FUNGSI MATCHA DALAM UPACARA

CHANOYU................................................................................... 38

3.1 Makna Matcha dalam Upacara Chanoyu ....................................... 38

3.1.1 Makna Bahasa Hormat yang Digunakan .............................. 38

3.1.2 Makna Simbolik Air ............................................................. 40

3.1.3 Makna Warna Simbolik dan Makna Warna Psikologis........ 42

3.1.4 Makna Berdasarkan Gerakan Mengaduk ............................. 43

3.1.5 Makna Mangkuk Teh (Chawan) yang Digunakan ............... 46

3.2 Fungsi Matcha dalam Upacara Chanoyu........................................ 48

3.2.1 Fungsi Matcha Dilihat Dari Penggunaan Air ....................... 48

3.2.2 Fungsi Warna Hijau Matcha ................................................. 50

3.2.3 Fungsi Gerakan Mengaduk ................................................... 52

3.2.4 Fungsi Mangkuk Teh (Chawan) yang Digunakan ............... 55

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 59

4.1 Kesimpulan ..................................................................................... 59

4.2 Saran ............................................................................................... 60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu

buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) diartikan

sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya adalah

suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok

orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya).

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2-3) menerangkan

kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara

hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga menjelaskan bahwa

kebudayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan dalam arti

sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan

seni. Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas ialah segala

sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi

kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan

budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau bersifat semiotik.

Jepang merupakan negara maju yang memiliki budaya yang tumbuh dan

berkembang di masyarakatnya. Budaya Jepang telah menyerap unsur-unsur

budaya asing dan menciptakannya kembali menjadi budaya Jepang itu sendiri.

Dengan melihat hal tersebut, maka tidak heran jikalau bangsa Jepang terkenal

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sebagai bangsa “peniru”. Namun demikian, sebagian besar dari hasil tiruan

mereka jauh lebih bagus dan berkualitas sehingga menjadi bagian dari mereka.

Kebudayaan Jepang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Penyerapan yang

dilakukan oleh Jepang dapat dilihat dalam banyak hal, terutama dalam hal

kebudayaan dan agama. Salah satu budaya dari hasil tiruan mereka yang hingga

kini masih dipegang teguh oleh masyarakat Jepang adalah upacara minum teh,

chanoyu.

Chanoyu ditulis dengan kanji茶の湯 dimana Cha berasal dari kanji cha

茶 yang artinya teh, No の sebagai partikel penghubung, dan Yu berasal dari kanji

yu湯 yang artinya air hangat atau air panas. Sehingga dapat disimpulkan Chanoyu

secara harafiah adalah air panas untuk teh. Masyarakat Jepang lebih mengenal

dengan chado (茶道) yang memiliki arti secara harafiah yaitu the way of tea,

sebuah jalan mendapatkan kedamaian dari semangkuk teh. Upacara minum teh

telah menjadi semacam “ritus” dikalangan masyarakat Jepang dan Cina. Bahkan

hingga kini upacara chanoyu di masyarakat Jepang merupakan suatu hal yang

sakral. Upacara chanoyu di Jepang terkenal dengan teknik dan tata caranya yang

rumit dan khas serta mengandung makna.

Pada zaman Dinasti Song di Cina dalam melakukan upacara minum teh,

teh yang digunakan dihaluskan ke mangkuk dan disajikan dengan cara diseduh

dengan air panas kemudian dikocok dengan bambu sampai buih muncul di

permukaan teh. Pada zaman Dinasti Song, proses mempersiapkan minuman teh

digunakan sebagai sarana untuk menenangkan pikiran. Penyajian teh dalam

upacara chanoyu yang dilakukan saat ini merupakan gabungan seni menyeduh teh

yang mengikuti penyajian teh dalam upacara minum teh di Cina pada zaman

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dinasti Song dengan menambahkan ajaran zen di dalamnya. Sehingga zen

merupakan pengaruh utama dalam pengembangan upacara chanoyu di Jepang.

Teh merupakan jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi manusia

di dunia. Salah satu jenis teh yang ada adalah teh hijau. Pada zaman Heian (794-

1185), terdapat tulisan-tulisan yang menunjukkan bahwa teh hijau bubuk

dibudidayakan dan dikonsumsi dalam skala kecil oleh para biksu Buddha sebagai

bagian dari praktik keagamaan mereka, dan bahwa keluarga kekaisaran dan

anggota bangsawan juga minum teh. Musō Soseki (1275-1351), menyatakan

bahwa teh dan zen adalah satu.

(http:en.wikipedia.org/wiki/History_of_tea_in_Japan).

Dalam upacara chanoyu hanya menggunakan salah satu dari beberapa

jenis teh yang ada. Di Jepang, terdapat bermacam-macam jenis teh hijau, yaitu

sencha, matcha, gyokuro, gunpowder, hojicha, dan genmaicha. (Somantri,

2014:87). Tetapi ketika melaksanakan upacara chanoyu tidak sembarangan jenis

teh yang digunakan. Jenis teh yang digunakan dalam upacara chanoyu ini adalah

matcha. Matcha ditulis dengan kanji抹茶 dimana Mat berasal dari kanji matsu 抹

yang artinya menggosok, Cha berasal dari kanji cha茶 yang artinya teh. Sehingga

secara harafiah Matcha adalah teh bubuk. Matcha merupakan teh hijau bubuk

yang berkualitas tinggi, diproses dengan cara disteam, dikeringkan, dan digiling

menjadi teh hijau yang berbentuk bubuk.

Matcha merupakan salah satu bahan yang harus ada ketika melaksanakan

upacara chanoyu. Di Jepang terdapat matcha ceremonial grade dan matcha

kitchen grade. Matcha ceremonial grade berwarna hijau, berkualitas tinggi, dan

digunakan sebagai teh yang wajib ada ketika melaksanakan upacara chanoyu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sedangkan matcha kitchen grade berwarna tidak terlalu hijau, berkualitas

medium, dan digunakan untuk perasa minuman, pudding, es krim, kue tradisional

Jepang, dan sebagainya. (https://food.detik.com/cooking-event/d-3495009/ini-

bedanya-matcha-asli-jepang-dengan-buatan-negara-lain)

Pada abad ke-9, Eisai dan Dogen menyebarkan ajaran agama Buddha Zen

di Jepang sambil memperkenalkan budaya pembuatan matcha. Teh dan ajaran zen

menjadi popular sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual Buddha dari

Cina. Dari situlah, matcha mulai dikenal oleh masyarakat Jepang dan mulai

menjadi kebudayaan Jepang. Teh bubuk perlahan-lahan terlupakan di Cina, tetapi

di Jepang matcha terus menjadi barang penting di kuil-kuil zen.

Di dalam matcha ditandai adanya konteks, dan koteks yang mengandung

makna. Dimana konteks mencakup ideologi dan kebudayaan Jepang yang

berhubungan erat dengan Buddha Zen. Sedangkan koteks mencakup air, warna

hijau matcha, gerakan saat mengaduk matcha, dan mangkuk teh atau chawan

yang digunakan.

Di Jepang, matcha juga sangat dihargai karena mempunyai kekuatan

untuk melenyapkan rasa letih, menggirangkan jiwa, memperkokoh kemauan, dan

meneguhkan kekuatan mata. Biksu zen banyak menggunakan matcha untuk

menyebarkan ajaran zen melalui upacara chanoyu, untuk menentang rasa

mengantuk sehingga menjadi rileks pada waktu mereka bermeditasi beberapa jam

lamanya, dan menjadi obat untuk menjaga kesehatan para biksu (Nio Joe Lan

dalam Yulianti G., 2010:8). Dewasa ini matcha masih digunakan dalam upacra

chanoyu karena memiliki banyak manfaat untuk kesehatan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Selain itu matcha juga berfungsi untuk mempertahankan budaya Jepang

melalui upacara chanoyu yang dilakukan sebagai sarana pembelajaran tata krama

dan sopan santun yang ditandai melalui sikap tunduk yang dilakukan oleh penyaji

teh terhadap penikmat teh yang bermakna saling menghormati antara penyaji teh

dengan penikmat teh.

Berdasarkan uraian di atas, matcha tersebut ternyata memiliki makna dan

fungsi dalam upacara chanoyu yang dilakukan oleh penyaji teh dengan penikmat

teh. Dengan demikian penulis tertarik membahas tentang matcha dalam skripsi

ini, sehingga penulis memilih judul skripsi yaitu: “Makna dan Fungsi Matcha (teh

Hijau Bubuk) Dalam Upacara Chanoyu.

1.2 Rumusan Masalah

Jepang memiliki banyak kebudayaan, seperti upacara-upacara keagamaan

maupun upacara-upacara tradisional. Upacara chanoyu adalah salah satunya, yang

merupakan kebudayaan yang berasal dari Cina. Upacara chanoyu adalah ritual

tradisional Jepang dalam menyajikan teh untuk penikmat teh yang dilakukan

secara khusus. Kebudayaan Jepang banyak mendapat pengaruh dari ajaran agama

Buddha aliran zen.

Eisai, seorang biksu zen yang memperkenalkan budaya pembuatan teh

hijau bubuk, matcha sambil menyebarkan ajaran zen di Jepang. Teh dan ajaran

zen menjadi popular sebagai unsur utama dalam penerangan spiritual Buddha dari

Cina. Matcha menjadi bagian dari praktik keagamaan zen dan merupakan barang

penting di kuil-kuil zen. Musō Soseki (1275-1351), menyatakan bahwa teh dan

zen adalah satu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pengaruh aliran zen dalam budaya Jepang menjadi menarik bahwa

masyarakat Jepang tetap menerapkan budaya Jepang, seperti tata krama dalam

kehidupan sehari-hari walaupun berada diluar Jepang. Dapat dilihat melalui

upacara chanoyu yang tetap mempertahankan penggunaan matcha ketika

melaksanakan upacara chanoyu. Hal tersebut dikarenakan matcha memiliki

makna dan fungsi.

Makna matcha yang terkandung dalam upacara chanoyu ditandai adanya

teks, konteks, dan koteks. Konteks mencakup ideologi dan kebudayaan Jepang

yang berhubungan erat dengan Buddha Zen. Koteks mencakup air, warna hijau

matcha, gerakan mengaduk matcha, dan mangkuk teh atau chawan yang

digunakan.

Dewasa ini, matcha masih digunakan sebagai salah satu jenis teh yang

wajib ada dalam upacara chanoyu. Dikarenakan memiliki banyak manfaat untuk

kesehatan dan pembelajaran tata krama Jepang. Biksu zen menjelaskan bahwa

dengan meminum matcha tidak hanya menyegarkan pikiran tetapi juga

mempunyai khasiat kesehatan yang dapat memperpanjang umur.

Secara garis besar, matcha dapat dikatakan sebagai simbol dari tiga aspek

cara berpikir dan cara hidup orang Jepang, yaitu relaksasi, keramah-tamahan, dan

penghiburan. Dewasa ini budaya penggunaan matcha dalam upacara chanoyu

masih tetap berkembang di Jepang.

Berdasarkan hal tersebut di atas, permasalahan penelitian ini mencoba

menjawab masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana makna matcha dalam upacara chanoyu?

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Bagaimana fungsi matcha dalam upacara chanoyu?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas sebelumnya, maka

penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan.

Hal ini dilakukan agar masalah tidak menjadi terlalu luas sehingga penulis dapat

lebih terfokus dan terarah agar tidak menyulitkan pembaca dalam memahami

pokok permasalahan yang akan dibahas.

Dalam sebuah penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah, agar

pembahasan tidak melebar dan bermakna ambigu sehingga menyulitkan pembaca

dalam memahami pokok permasalahan yang akan dibahas. Untuk memberikan

kemudahan kepada penulis dalam menganalisa pokok permasalahan, penulis

membatasi pembahasannya mengenai makna matcha dalam upacara chanoyu dan

fungsi matcha dalam upacara chanoyu. Agar pembahasan ini memiliki tingkat

akurasi analisa dan data yang lengkap, maka pada Bab II akan dijelaskan

mengenai pengertian matcha dan chanoyu, sejarah matcha dan upacara chanoyu

di Jepang, penggunaan matcha dalam upacara chanoyu, aliran-aliran upacara

minum teh di Jepang, dan pelanggaran dalam upacara minum teh. Pada Bab III

akan dijelaskan mengenai makna matcha dalam upacara chanoyu, dan fungsi

matcha dalam upacara chanoyu.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1.4.1 Tinjauan Pustaka

Menurut Edward Burnett Tylor (1871:1), budaya atau kebudayaan adalah

keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan,

kepercayaan, kesenian, moral, dan hukum adat istiadat, dan kemampuan yang lain

serta kebiasaan yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Reischauer (1998), pengenalan teh hijau yang berbentuk serbuk

ke Jepang diperkenalkan dan dibawa oleh Myōan Eisai, pendiri buddhisme zen di

Jepang. Pengetahuannya didapatkan pada perjalanannya ke Cina. Eisai merupakan

orang pertama yang menulis tentang penggunaan teh untuk keagamaan dari pada

untuk tujuan kesehatan. Memperkenalkan budaya pembuatan teh dari teh

berbentuk bubuk di Jepang.

Penelitian yang berkaitan dengan upacara chanoyu telah dilakukan

sebelumnya diantaranya skripsi oleh Anna Desy Yulianti G. pada tahun 2010,

Departemen Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

dengan judul Skripsi “Analisis Adaptasi Upacara Minum Teh (Chanoyu) di

Indonesia”. Dalam skripsi tersebut lebih menekankan sejarah perkembangan teh

ke Jepang sampai menjadi budaya Jepang dan adaptasi budaya upacara minum teh

(chanoyu) di Indonesia yang menggunakan pendekatan historis. Sedangkan dalam

penelitian penulis hanya menganalisis teh yang digunakan dalam upacara chanoyu

yaitu matcha yang menggunakan pendekatan semiotik kultural dan fungsional.

Selain itu, perbedaan juga terlihat pada objek penelitian, pada skripsi Yulianti

objek penelitian yang digunakan adalah upacara chanoyu, sedangkan objek

penelitian penulis menggunakan matcha walaupun ada keterkaitan antara matcha

dengan upacara chanoyu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam meneliti pembahasan ini penulis juga menggunakan buku sebagai

acuan. Buku-buku tersebut adalah Japanese Tea Culture: The Omotesenke

Tradition yang disusun oleh Morgan Pitelka dan diterbitkan oleh Fushin‟an

Foundation pada tahun 2002. Buku ini digunakan penulis untuk menjelaskan

tentang sejarah upacara chanoyu, dan sejarah teh di Jepang. Kemudian buku lain

yang dijadikan acuan adalah buku yang berjudul The Tea Ceremony Sen‟ō

Tanaka yang disusun oleh Edwin O. Reischauer dan diterbitkan oleh Kodansha

Internasional pada tahun 1998, dan buku yang berjudul The History in Cup of Tea

yang disusun oleh Ratna Somantri dan diterbitkan oleh Transmedia pada tahun

2014. Selain mengumpulkan dan memanfaatkan buku-buku penulis juga berusaha

mencari data-data dari situs internet.

1.4.2 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun suatu

kerangka teori untuk memberikan landasan teoritis bagi penulis dalam

menyelesaikan masalah dalam proses penelitian. Kerangka teori disusun sebagai

landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah

yang akan diteliti (Nawawi, 2001:40). Dalam penelitian suatu kebudayaan

masyarakat diperlukan suatu atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek

dan tujuan dari penelitian ini.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan semiotik kultural

dan fungsional untuk meneliti tentang makna dan fungsi matcha dalam upacara

chanoyu. Di dalam pendekatan ini kita dapat melakukan penguraian data-data

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


yang diperoleh secara kronologis. Untuk melihat makna matcha dalam upacara

chanoyu penulis melakukan pendekatan dengan teori semiotik.

Menurut Hoed (2007:3) dalam sastra.um.ac.id/wp.../01/055-Ery-Iswary-

UnHas-Analisis-Semiotik-Kultural-.-.-..pdf , semiotik adalah ilmu yang mengkaji

tanda dalam kehidupan manusia, yang mana tanda-tanda tersebut haruslah

dimaknakan. Sedangkan menurut Sobur (2001:101) dalam

sastra.um.ac.id/wp.../01/055-Ery-Iswary-UnHas-Analisis-Semiotik-Kultural-.-.-

..pdf, semiotik kultural adalah kajian semiotik yang khusus menelaah sistem tanda

yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Konsep tanda yang

dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah tritologi tanda Peirce yaitu ikon,

indeks, dan simbol. Ikon merupakan tanda yang dapat menggambarkan ciri utama

sesuatu, yang menyerupai apa yang dipresentasikannya (konsep persamaan).

Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiatif akibat terjadinya hubungan ciri

acuan yang sifatnya tetap (hubungan kausal). Adapun simbol adalah sesuatu yang

digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan

(konvensi). (sastra.um.ac.id/wp.../01/055-Ery-Iswary-UnHas-Analisis-Semiotik-

Kultural-.-.-..pdf).

Hoed (2007:22) menyatakan bahwa dalam melihat kebudayaan sebagai

signifying order dapat dibedakan empat faktor yang perlu diperhatikan dan

berkaitan satu sama lain, yaitu:

1. Jenis tanda (ikon, indeks, simbol)

2. Jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan tubuh)

3. Jenis teks (percakapan, lirik lagu, pantun)

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologi, sosial

kultural, historis).

Jadi pada dasarnya, analisis semiotik kultural menganalisis atau meneliti

suatu tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu melalui tritologi

tanda Peirce yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dalam hal ini untuk melihat

kebudayaan Jepang dalam upacara chanoyu memaknai matcha sebagai signifying

order, yang mana terdapat adanya tanda (simbol yang dijadikan makna melalui air

yang digunakan, warna hijau matcha), sistem tanda (bahasa formal yang

digunakan, gerakan tubuh selama upacara chanoyu), konteks (ideologi maupun

kebudayaan Jepang yang berlandaskan nilai-nilai ajaran zen).

Untuk melihat fungsi matcha dalam upacara chanoyu, penulis melakukan

pendekatan fungsional. Menurut Malinowski, pandangan fungsionalisme terhadap

kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi

kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan

dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan

yang bersangkutan. Fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk

memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari

kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat.

(http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/43079).

Berdasarkan pendekatan fungsional di atas, penulis akan menjelaskan

bahwa melalui kebudayaan upacara chanoyu dapat mempertahankan setiap pola

kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat Jepang dimana setiap

kepercayaan dan sikap yang tumbuh dan berkembang merupakan bagian dari

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kebudayaan dalam suatu masyarakat Jepang tersebut dapat memenuhi beberapa

fungsi mendasar dalam kebudayaan upacara chanoyu. Dimana pola kelakukan

yang telah berkembang di masyarakat Jepang yaitu ditandai adanya sikap sopan

santun, tata krama, kesederhanaan, saling menghormati, kesederhanaan,

kedisiplinan, yang tercermin melalui upacara chanoyu dapat tetap dipertahankan

sehingga menjadi simbol identitas ideologi dan kebudayaan Jepang yang

dipengaruhi oleh aliran zen.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah

dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dan manfaat penelitian ini, sebagai

berikut:

1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan makna matcha dalam upacara chanoyu.

2. Untuk mendeskripsikan fungsi matcha dalam upacara chanoyu.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, hasilnya diharapkan memberi manfaat

bagi pihak-pihak tertentu, antara lain:

1. Bagi peneliti sendiri diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan tentang matcha.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Bagi para pembaca, khususnya para pembelajar bahasa Jepang

diharapkan dapat menambah informasi tentang makna dan fungsi matcha

dalam upacara chanoyu.

3. Bagi para pembaca, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber ide dan

tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti matcha

lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian memiliki fungsi yang signifikan dalam mencari

informasi/data yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah yang

bertujuan memberikan solusi atas masalah tersebut, sebagaimana pendapat

Sugiyono (2013:2), metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan

untuk mendapatkan data dengan tujuan an kegunaan tertentu.

Untuk itu dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode

deskriptif dan metode transkriptif. Menurut Sugiyono (2013:29), metode

deskriptif adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau

memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melaui data atau sampel yang

telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat

kesimpulan yang berlaku untuk umum. Menurut Retno dalam Yulianti (2010:11),

metode transkriptif adalah metode yang dilakukan dengan cara menerjemahkan

bahan yang berbahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.

Selain itu, metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini untuk

pengumpulan data menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library

Research). Menurut Nasution (1996:14), metode kepustakaan atau Library

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan

dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya

menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini.

Data dihimpun dari penelaahan terhadap berbagai literature, buku,

majalah, artikel, serta skripsi yang berhubungan dengan masalah penelitian, dan

memanfaatkan berbagai informasi dari situs-situs internet yang membahas tentang

upacara chanoyu, matcha, dan zen Jepang untuk melengkapi data-data dalam

penelitian ini. Selanjutnya, penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas yang

tersedia di Perpustakaan Konsulat Jendral Jepang di Medan, Perpustakaan dan

Kearsipan Kota Medan, dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

GAMBARAN UMUM MENGENAI MATCHA DALAM

UPACARA CHANOYU

2.1 Pengertian Matcha dan Chanoyu

2.1.1 Pengertian Matcha

Menurut buku Green Tea Matcha and More yang ditulis oleh Kate

Gilbert Udall, teh hijau adalah teh yang terbuat dari daun tanaman teh (Camellia

Sinensis). Teh hijau berasal dari Cina dan Jepang, teh hijau juga merupakan

minuman popular di daratan Cina, Taiwan, Hongkong, Jepang, Timur Tengah,

Asia Tenggara, dan semakin dikenal juga di negara Barat yang dulunya merupan

peminum teh hitam.

Teh hijau telah menjadi bahan baku ekstrak yang digunakan dalam

berbagai minuman, makanan kesehatan, suplemen makanan, dan produk

kecantikan. Dianggap sebagi teh yang berkualitas tinggi, karena dipetik dari

tanaman teh pilihan dan juga cara pengolahannya.

Teh hijau yang berasal dari Cina dan Jepang berbeda dalam proses

pengolahannya, teh hijau yang berasal dari Jepang yang diolah dengan cara

steam oleh karena itu warna hijau teh dapat dipertahankan, sedangkan teh hijau

yang berasal dari Cina diolah dengan cara roast dan memilki warna yang agak

hitam. Tidak seperti teh lainnya, teh hijau (matcha) ini tidak difermentasi atau

teroksidasi.

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Matcha ditulis dengan kanji 抹茶 dimana Mat berasal dari kanji matsu

抹 yang artinya menggosok, Cha berasal dari kanji cha 茶 yang artinya teh.

Secara harafiah Matcha adalah teh bubuk.

Matcha merupakan teh hijau bubuk yang berkualitas tinggi, diproses

dengan cara di-steam, dikeringkan dan digiling menjadi teh hijau yang berbentuk

bubuk. Secara keseluruhan bagian dari daun teh hiaju tersebut ikut terproses

dengan cara digiling kemudian menjadi bubuk teh hijau. Oleh karena itu,

kualitas teh hijau matcha lebih tinggi dan juga mengandung lebih banyak nutrisi

dibandingkan dengan teh hijau jenis lainnya.

Tanaman daun teh hijau yang digunakan untuk pembuatan matcha

tumbuh di tempat teuh untuk menghindari sinar matahari langsung yang akan

memperlambat pertumbuhan pada tanaman teh dan menyebabkan produksi

asam amino tertentu, membuat rasa teh menjadi manis. Selain itu matcha, juga

mengandung vitamin A dan serat, merupakan komponen yang tidak bisa

diekstrak dengan air dan memiliki warna hijau terang. Sedangkan tanaman teh

hijau lainnya tumbuh dnegan sinar matahari langsung dan berwarna hijau tua.

Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2003 menunjukkan bahwa

konsentrasi EGCG singkatan dari Epigallocatechin gallate (catechin yang paling

kuat dalam teh hijau) di dalam matcha terkandung hingga 137 kali lebih kuat

dari pada konsentrasi EGCG dalam teh hijau lainnya.

(https://library.binus.ac.id/eColls/e/Thesisdoc/Bab2/2013-2-02064-

DS%20Bab2002.pdf).

Teh hijau matcha mengandung antioksidan 10 kali lebih tinggi dari teh

hijau lainnya, pada basis per gram matcha mengandung antioksidan yang sangat

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tinggi bila dibandingkan dengan buah-buahan dan sayuran alami. USDA

mengembangkan sebuah standar untuk mengukur kadar antioksidan. USDA dan

Tufts University menggunakan metode tes ini untuk menilai potensi antioksidan

dari makanan dan minuman. Semakin tinggi angkanya, semakin tinggi manfaat

antioksidan bagi tubuh. Dengan standar ini matcha mnegalahkan semua

kompetisi di 1.284 ORAC (singkatan dari Oxygen Radical Absorption Capacity)

unit. Matcha jelas lebih menonjol sebagai satu-satunya superfood terbaik yang

juga menang dengan konsentrasi asam amino, vitamin, mineral dan serat yang

tinggi. (http://www.teausa.com/14655/tea-fact-sheet).

Matcha juga merupakan teh terkenal yang digunakan dalam upacara

minum teh Jepang. Upacara minum teh dikenal dengan the way of tea, atau

chanoyu merupakan cara tradisional untuk penyajian matcha, teh hijau bubuk

Jepang. (https://library.binus.ac.id/eColls/e/Thesisdoc/Bab2/2013-2-02064-

DS%20Bab2002.pdf).

2.1.2 Pengertian Chanoyu

Chanoyu ditulis dengan kanji茶の湯 dimana Cha berasal dari kanji cha

茶 yang artinya teh, No の sebagai partikel penghubung, dan Yu berasal dari

kanji yu湯 yang artinya air hangat atau air panas. Sehingga dapat disimpulkan

chanoyu secara harafiah adalah air panas untuk teh.

Chanoyu mempunyai nama lain chado (茶道) yang berarti the way of tea,

sebuah jalan mendapatkan kedamaian dalam semangkuk teh. Menurut

Widyanisa (2012:1), upacara chanoyu merupakan perwujudan dari nilai-nilai

pemahaman yang diperoleh seseorang dari pendalaman serta disiplin

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menghidangkan teh dengan menikmatinya sebagai kepuasan batin dan

meupakan dasar gaya hidup. Chanoyu merupakan upacara minum teh tradisional

Jepang yang menerapkan peraturan dan etiket dalam praktiknya. Namun

kemudian berkembang lebih luas menjadi upacara minum teh dalam tradisi

Jepang. Menurut Somantri (2014:87), chanoyu adalah upacara minum teh

Jepang yang menjadi sebuah ritual yang umum dilakukan dikalangan bangsawan

dan samurai di Jepang.

Chanoyu, pada zaman dulu hanya diperuntukkan bagi kalangan istana

dan samurai di Jepang karena teh masih dianggap sebagai barang mewah dan

hanya dikonsumsi sebagai minuman kesehatan untuk kalangan atas. Namun saat

ini, upacara chanoyu diadakan untuk seremonial seperti memperingati hari

kemerdekaan negara Jepang atau menyambut tamu kehormatan.

Chanoyu merupakan sebuah contoh yang paling terkenal dari kebiasaan

mengkonsumsi teh di Jepang. Kebiasaan mengkonsumsi teh yang berupa

chanoyu hingga saat ini masih menjadi tradisi, meskipun telah berkembang pula

kebiasan minum teh yang lebih modern dalam masyarakat Jepang. Istilah

chanoyu mulai digunakan pada abad ke-16 untuk menggambarkan kegiatan tuan

rumah yang menyajikan teh kepada para tamunya dalam sebuah pertemuan teh.

Chanoyu disempurnakan oleh Sen no Rikyū pada masa periode Azuchi

Momoyama (1573-1603). (https://prezi.com/tdqjzkelhm8p/upacara-minum-teh-

atau-chanoyu)

Dalam melaksanakan upacara chanoyu tidak sembarangan jenis teh yang

digunakan. Jenis teh yang digunakan dalam upacara chanoyu ini adalah teh hijau

bubuk yang tidak difermentasi atau yang dikenal dengan matcha. (Somantri,

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2014:87). Para tamu yang diundang untuk upacara chanoyu akan diberikan teh

barley panggang pada saat kedatangan mereka. Mereka kemudian akan disambut

oleh penyaji teh, saling memberi hormat. Para tamu diundang untuk mencuci

tangan dan membilas mulut mereka. Selanjutnya, mereka melepaskan sepatu dan

memasuki ruangan teh melewati pintu kecil. Upacara chanoyu berlangsung

beberapa jam, dan ritual yang diikuti diatur oleh kebudayaan dan kesopanan.

Kimono, merupakan pakaian tradisional yang biasanya dipakai pada upacara

chanoyu ini.

Upacara chanoyu, merupakan sebuah ritual yang dilakukan oleh orang

Jepang, dengan banyaknya simbol-simbol yang bermakna. Hubungan orang-

orang yang masuk ke dalam ruangan upacara minum teh merupakan sebuah

simbol yang memiliki makna, yang menggambarkan bahwa tidak adanya

pembeda status antara sesama manusia, sehingga tidak akan adanya rasa angkuh

dalam diri manusia itu sendiri. (Widyanisa, 2012:5)

2.2 Sejarah Matcha dan Chanoyu di Jepang

2.2.1 Sejarah Matcha di Jepang

Sebagai minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air,

teh memiliki sejarah panjang dan rumit yang mencakup banyak budaya selama

ribuan tahun. Matcha telah berevolusi melaui perjalanan menarik yang pertama

kali dimulai di Cina, dan dilanjutkan melalui penyebaran buddhisme zen ke

Jepang sebelum kemudian diasimilisasi sebagai pusat upacara minum teh

Jepang. Sekarang matcha telah mencapai popularitas global menjadi salah satu

hidangan paling unik dan sangat berharga pada abad ke-21.

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam masa pertumbuhannya, matcha pada kenyataannya sangat berbeda

dengan apa yang kita ketahui sekarang. Kejayaan teh di Cina dimulai pada

zaman Dinasti Tang (618-907) dimana teh menjadi fashionable dan merupakan

minuman bergengsi dikalangan istana. Sehingga pada zaman Dinasti Tang ini,

buku pertama tentang teh ditulis oleh Lu Yu yang kemudian dianggap sebagai

Dewa Teh, berjudul Cha Cing (The Classic of Tea). Secara garis besar

menyampaikan asal mula, sejarah, produksi, peraturan atau tata cara pembuatan

teh yang benar seperti suhu dan pemakaian daun teh yang benar, hingga tea

tasting. (Somantri, 2014:7-8). Dan juga menunjukkan bahwa teh sudah menjadi

elemen kunci kebudayaan Cina. (Pitelka, 2002:4 )

Pada zaman Dinasti Tang di Cina, hanya mempersiapkan matcha dengan

memanggang dan melumatkan daun teh kemudian menyeduh dalam air panas

sebelum menambahkan sedikit garam. Pada zaman Kamakura dalam sejarah

Jepang bertepatan dengan zaman Dinasti Song (960-1268) di Cina yang

merupakan sebuah zaman yang dicirikan oleh tingkat budaya yang tinggi baik

dalam seni rupa dan seni terapan. Pendekatan sistematis baru untuk mempelajari

filsafat dan agama menarik sejumlah pendeta dan sarjana Jepang untuk

melakukan perjalanan ke Cina. Salah satu biksu yang berangkat ke Cina pada

akhir abad tahun 1187, adalah Myōan Eisai, pendiri buddhisme zen di Jepang.

Dinasti Song Cina melihat perkembangan matcha yang dipersiapkan dari

daun kering, lalu diseduh dengan air panas dalam mangkuk besar. Proses ini

segera menjadi bagian penting dari ritual harian biksu buddha zen ketika

menyadari manfaat meditasi dari matcha, yang memberi mereka energi

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


berkelanjutan dan tingkat ketajaman mental yang belum pernah mereka alami

sebelumnya. (https://www.matchaeologist.com/blogs/guides/history-of-matcha)

Teh pertama kali dibawa ke Jepang sekitar awal abad ke-9 dalam Periode

Heian (794-1191), namun tidak terlihat populer. Ketika Eisai dan Dogen

menyebarkan ajaran buddha zen di Jepang sambil memperkenalkan budaya

pembuatan matcha. Teh dan ajaran zen menjadi popular sebagai unsur utama

dalam penerangan spiritual Buddha dari Cina. Dari situlah, matcha mulai

dikenal oleh masyarakat Jepang dan mulai menjadi kebudayaan Jepang. Teh

bubuk perlahan-lahan terlupakan di Cina, tetapi di Jepang matcha terus menjadi

barang penting di kuil-kuil zen.

Pada akhir abad ke-12, biksu zen, Myōan Eisai pergi ke Cina dan

mengenalkan kembali ritual persiapan dan konsumsi teh bubuk ini ke Jepang.

(Pitelka, 2002:4). Eisai menanam bibit teh yang dibawanya ke Hizen, kemudian

memindahkannya ke Hakata, Kyushu dimana kuil pertama sekte Rinzainya

dibangun. Eisai juga merupakan orang pertama yang menumbuhkan teh hanya

untuk keperluan pengobatan. Pada saat inilah teh menjadi terkait dengan

peraturan-peraturan zen dan kata sarei yang berarti etiket pembuatan teh sering

diterapkan dalam hubungan religius. (Reischauer, 1998:28). Sebelum Eisai,

orang-orang telah menambahkan daun teh ke dalam air panas. Namun, Eisai

mulai mengajarkan mereka cara menggiling daun menjadi bubuk halus dan

mencampurnya dengan air panas.

Teh bubuk pertama juga disebutkan dalam sebuah buku Cai Xiang,

seorang kaligrafer terkenal Cina pada masa Dinasti Song, bernama Jeng Tsung

(1023-1064). Buku yang disebut Ch’a Lu, ditulis pada tahun 1053, mengacu

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pada pembuatan teh bubuk, pelopor teh hijau yang dimasukkan ke dalam

upacara minum teh di Jepang. Kaisar pada zaman Dinasti Song, Hui Tsung,

merujuk pada kocokan bambu yang digunakan untuk mengocok teh setelah air

yang dituliskan ke dalam bukunya berjudul Ta Kuan Ch’a Lun atau A General

View of Tea. Mereka merupaka dua pendatang dari Cina yang membentuk dasar

upacara minum teh seperti yang kita kenal di Jepang saat ini. (Reischauer,

1998:29)

Pada awal bulan Januari 1121, Eisai menulis karya tulis pertama tentang

teh di Jepang berjudul Kissa Youjyouki atau Tea Drinking is Good for teh

Health, yang menggambarkan matcha sebagai obat berharga, ramauan abadi,

dan memiliki khasiat secara medis sehingga mendorong Jepang untuk

mengambil kebiasaan minum teh bubuk yang bermanfaat bagi kesehatan

(Pitelka, 2002:4).

Pada abad ke-14, teh menyebar dari biara ke samurai, dan juga kehidupan

orang awam, berakar pada budaya kehidupan sehari-hari sebagai minuman

rekreasi. Tidak lama kemudian, teh sangat popular di kalangan pejuang dan

masyarakat aristokrat sebagai „seni bermain‟. (Reischauer, 1998).

Selama periode Muromachi (1336-1573), ketika Jepang diperintahkan

oleh Klan Shogun Ashikaga, seistem kepercayaan teh yang berdasarkan estetika

pun mulai muncul. Sistem kepercayaan ini didasarkan pada tata cara ritual

pembuatan teh di Cina, dengan menggunakan peralatan khusus dan alat lainnya.

Secara bertahap, cara penyajian minuman menjadi ritual tetap oleh beberapa tea

master sebagai bagian dari praktek zen. Orang pertama yang mempraktekkan

adalah biarawan pada abad ke-15, Murata Shuko (1422-1502) yang

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dipercayakan sebagai pendiri dari upacara minum teh Jepang, chanoyu.

(https://library.binus.ac.id/eColls/e/Thesisdoc/Bab2/2013-2-02064-

DS%20Bab2002.pdf).

2.2.2 Sejarah Chanoyu di Jepang

Pada awal abad ke-12, mulai muncul budaya minum teh yang serius.

Dikatakan bahwa biksu Eisai, yang pergi ke Cina untuk belajar buddhisme zen

dan merupakan orang pertama yang membawa bibit tanaman teh ke Jepang.

Eisai menyebarkan kebiasaan orang Cina menikmati teh ke Jepang. Awalnya,

teh biasanya diminum di kaisho. Samurai dipandang baru oleh agama zen dan

minuman teh sebagai budaya warisan yang mengkomunikasikan semangat Cina.

Permainan tebak-tebakan daerah asal air yang diminum berkembang di

zaman Muromachi. Permainan tebak-tebakan air minum disebut Tōsui dan

menjadi popular sebagai judi yang disebut Tōcha. Pada Tōcha, permainan

berkembang menjadi tebak-tebakan nama merek teh yang diminum.

Pada masa itu, perangkat minum teh dari Dinasti Tang dinilai dengan

harga tinggi. Kolektor perlu mengeluarkan banyak uang untuk bisa

mengumpulkan perangkat minuman teh dari Cina. Acara minum teh menjadi

popular dikalangan daimyo yang mengadakan upacara minum teh secara mewah

menggunakan perangkat minum teh dari Cina. Acara minum teh seperti ini

dikenal sebagai karamono suki dan ditentang oleh nenek moyang ahli minum teh

Jepang bernama Murata Jukō. Menurut Jukō, minuman keras dan perjudian

harus dilarang dari acara minum teh. Acara minum teh juga harus merupakan

sarana pertukaran pengalaman spiritual antara pihak penyaji teh dengan pihak

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


penikmat teh. Acara minum teh yang diperkenalkan Jukō merupakan asal-usul

upacara minum teh aliran Wabicha.

Wabicha dikembangkan oleh seorang pedagang sukses dari kota Sakai

bernama Takeno Shōō dan disempurnakan oleh murid (deshi) yang bernama Sen

no Rikyū di zaman Azuchi Momoyama. Wabicha ala Rikyū menjadi popular

dikalangan saurai dan melahirkan murid-murid terkenal seperti Gamō Ujisato,

Hosokawa Tadaoki, Makimura Hyōbu, Seta Kamon, Furuta Shigeteru,

Shigeyama Kenmotsu, Takayama Ukon, Rikyū Shichitetsu. Selain itu, dari aliran

wabicha berkembang menjadi aliran-aliran yang baru yang dipimpin oleh

daimyō yang piawai dalam upacara minum teh, seperti Kobori Masakazu,

Katagiri Sekijū dan Oda Uraku. sampai saat ini masih ada sebutan Bukesadō

untuk upacra minum teh gaya kalangan samurai dan daimyōcha untuk upacara

minum teh gaya daimyō.

Sampai di awal zaman Edo, ahli upacara teh sebagian besar terdiri dari

kalangan terbatas seperti daimyō dan pedagang yang sangat kaya. Memasuki

pertengahan zaman Edo, penduduk kota yang sudah sukses secara ekonomi dan

membentuk kalangan menengah atas secara beramai-ramai menjadi peminat

upacara minum teh. (http://zonasejarah.wordpress.com/). Kalangan penduduk

kota yang berminat mempelajari upacara minum teh disambut dengan tangan

terbuka oleh aliran Sansenke (tiga aliran Senke: Omotesenke, Urasenke, dan

Mushanokōjisenke) dan pecahan aliran Senke.

Kepopularan upacara minum teh menyebabkan jumlah murid menjadi

semakin banyak sehingga perlu diatur dengan suatu sistem. Iemoto seido adalah

peraturan yang lahir dari kebutuhan mengatur hierarki antara guru dan murid

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dalam seni tradisional Jepang. Joshinsai (guru generasi ke-7 aliran Omotesenke)

dan Yūgensai (guru generasi ke-8 aliran Urasenke) dan murid senior Joshinsai

yang bernama Kawakami Fuhaku (Edosenke generasi pertama) kemudian

memperkenalkan metode baru belajar upacara minum teh yang disebut

Shichijishiki. Upacara minum teh dapat dipelajari oleh banyak murid secara

bersama-sama dengan metode Shichijishiki.

Berbagai aliran upacara minum teh berusaha menarik minat semua orang

untuk belajar upacara minum teh, sehingga upacara minum teh makin populer di

seluruh Jepang. Upacara minum teh yang semakin populer di kalangan rakyat

juga berdampak buruk terhadap upacara minum teh yang mulai dilakukan tidak

secara serius seperti sedang bermain-main.

Sebagai guru upacara minum teh berusaha mencegah kemunduran dalam

upacara minum teh dengan menekankan pentingnya nilai-nilai spiritual dalam

upacara minum teh. Pada waktu itu, kuil Daitokuji yang merupakan kuil sekte

Rinzai berperan penting dalam memperkenalkan nilai spiritual upacara minum

teh sekaligus melahirkan prinsip Wakeiseijaku yang berasal dari upacara minum

teh aliran Rikyū.

Di akhir Keshogunan Tokugawa, Ii Naosuke menyempurnakan prinsip

ichigo ichie (satu kehidupan satu kesempatan). Pada masa ini, upacara minum

teh yang sekarang dikenal sebagai sadō berhasil disempurnakan dengan

penambahan prosedur sistematis yang riil seperti otemae (teknik persiapan,

penyeduhan, penyajian teh) dan masing-masing aliran menetapkan gaya serta

dasar filosofi yang bersifat abstrak.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_minum_teh_Jepang).

25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pertengahan abad ke-15, budaya teh berkembang dalam bentuk wabicha

yang merupakan gaya upacara minum teh yang menekankan spritualitas dan

berdasarkan buddhisme zen. Ini merupakan awal lahirnya konsep-konsep

estetika wabi dan sabi. Peminum teh mulai menggunakan benda-benda seni

yang diimpor dari Cina (karamono) untuk menghias ruang shoin yang ditandai

dengan dekoratif ruangan kecil dalam suatu kamar, rak bertingkat, pintu

penghias, dan tikar tatami. Orang-orang berkumpul di tempat ini untuk minum

dan memberi identitas rasa teh yang berbeda. Perjamuan teh dan pertemuan teh

ini berkembang diantara pejuang dan bangsawan selama abad ke-15. (Pitelka,

2002:4)

Selama periode Muromachi (1336-1573), ketika Jepang diperintah oleh

Klan Shogun Ashikaga, sistem kepercayaan teh yang berdasarkan estetika pun

mulai muncul. Sistem kepercayaan ini didasarkan pada tata cara ritual

pembuatan teh di Cina, dengan menggunakan peralatan khusus dan alat lainnya.

Secara bertahap, cara penyajian minuman menjadi ritual tetap oleh beberapa tea

master sebagai bagian dari praktek zen.

Pada akhir abad ke-15 kebiasaan untuk menghidangkan teh dipelajari

dengan seksama oleh biksu Murata Shuko, seorang pengikut biksu zen, yang

telah mengetahui banyak tentang tata krama minum teh sebagaimana dilakukan

dalam istana para shogun. Murata Shuko (1422-1502), merupakan orang yang

dipercayakan sebagai pendiri dari upacara minum teh Jepang, chanoyu.

Berlainan dengan kebiasaan pada masa itu yang selalu menggunakan ruangan

besar dan peralatan porselen Cina yang mewah, ia lebih senang menghidangkan

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


teh dalam ruangan kecil dengan produksi lokal dalam jumlah yang terbatas dan

ruangan kecil. Hal tersebut merefleksikan keserderhanaan.

Kemudian Takeno Joo, seorang pedagang, mengembangkan konsep

wabicha (tata cara menikmati teh) yang merefleksikan kesederhanaan atau

kerendahan hati. Para guru teh pengikut “chado” telah mengembangkan suatu

nilai estetika yang telah meresapi kebudayaan Jepang. Sen no Rikyū (1522-

1591) mempelajari tata cara upacara teh dengan Takeno Joo, tetapi Sen no Rikyū

banyak mendapat pengaruh dari ajaran zen, sehingga dia banyak memodifikasi

tata cara upacara teh yang diajarkan oleh Takeno Jōō, salah satunya yang paling

terkenal adalah „merangkak‟ diatas tatami (sejenis tikar yang digunakan sebagai

lantai di ruangan gaya tradisional Jepang) saat memasuki ruangan minum teh

yang mencerminkan tidak ada perbedaan tingkatan atau kelas. (Widyanisa,

2012:11)

Sejak akhir abad ke-15 sampai abad ke-16, bagaimana pun ada jenis teh

yang bertentangan yang tidak menggunakan barang-barang impor yang mewah

atau konsumsi teh yang menyenangkan di pesta-pesta yang semarak.

Perkembangan baru ini adalah teh wabi, dimana keramik buatan dalam negeri,

seperti Shigaraki dan Bizen digunakan dan tujuannya sebagai disiplin mental.

(Pitelka, 2002:5)

Pada pertengahan akhir abad ke-17, upacara minum teh mulai menyebar

ke masyarakat umum. Pada saat inilah sistem iemoto didirikan, dimana satu

keluarga melaksanakan tradisi dari generasi ke generasi berikutnya. Ini juga

diciptakannya istilah sado (the way of tea).

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Selain itu, Sen no Rikyū menyimpulkan prinsip-prinsip dasar chado

dengan empat aksara „Wa Kei Sei Jaku‟ (keserasian, rasa hormat, kemurnian dan

ketenangan) adalah prinsip yang dipegang teguh para praktisi chanoyu yang juga

dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Akhir abad ke-19, upacara minum teh mulai digunakan sebagai sarana

untuk mengajarkan tata krama kepada para wanita muda, orang yang kaya, dan

keluarga politik mulai mengumpulkan peralatan upacara minum teh,

meningkatkan nilai budaya dari upacara minum teh sebagai hiburan dan hobi.

Konsep upacara minum teh sebagai pelatihan etiket untuk wanita muda menjadi

populer setelah Perang Dunia II.

Menurut Somantri (2014:87), chanoyu dilatarbelakangi oleh tradisi

minum teh di Cina pada zaman Dinasti Song. Pada zaman Dinasti Song di Cina

dalam melakukan upacara minum teh, teh yang digunakan dihaluskan ke

mangkuk dan disajikan dengan cara diseduh dengan air panas kemudian dikocok

dengan bambu sampai buih muncul di permukaan teh.

Pada zaman Dinasti Song, proses mempersiapkan minuman teh

digunakan sebagai sarana untuk menenangkan pikiran. Penyajian teh dalam

upacara chanoyu yang dilakukan saat ini merupakan gabungan seni menyeduh

teh yang mengikuti penyajian teh dalam upacara minum teh di Cina pada zaman

Dinasti Song dengan menambahkan ajaran zen di dalamnya. Sehingga zen

merupakan pengaruh utama dalam pengembangan chanoyu atau upacara minum

teh di Jepang.

Menurut Somantri, upacara chanoyu populer di tahun 1400-an Masehi.

Teh yang digunakan adalah matcha yang terkenal berkualitas tinggi. Hingga saat

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ini, matcha tergolong teh mahal di Jepang karena kualitasnya yang tinggi

(http://travel.kompas.com/read/2018/02/04/120700027/apa-itu-matcha)

Sen no Rikyū, seorang master teh untuk Oda Nobunaga dan juga seorang

samurai penguasa Jepang yang sangat menggemari teh. Sen no Rikyū

menyempurnakan seni minum teh Jepang dan menjadi cikal-bakal aliran upacara

minum teh di Jepang yang ada sampai sekarang. (Somantri, 2014:87)

Tata cara minum teh gaya Sen no Rikyū inilah yang menjadi paling

banyak diikuti oleh pecinta teh, sehingga didirikannya Sekolah Teh Urasenke.

Empat puluh tahun belakangan ini Sen Genshitsu, ayah sekaligus gurunya telah

mulai berkeliling dunia untuk memperkenalkan chanoyu ke berbagai belahan

dunia. Dia percaya ketika orang berkumpul untuk berbagi semangkuk teh,

kedamaian akan tercipta. (Widyanisa, 2012:12)

2.3 Penggunaan Matcha dalam Upacara Chanoyu

Jepang merupakan negara yang dikenal dengan berbagai macam budaya

tradisional yang tetap terpelihara hingga saat ini. Budaya tersebut diminati tidak

hanya oleh orang Jepang sendiri, tetapi juga oleh orang-orang asing. Salah satu

budaya tradisional di Jepang yang sangat diminati oleh orang di dunia adalah

upacara minum teh atau chanoyu yang menggunakan teh hijau bubuk (matcha)

yang berkualitas tinggi. Produksi teh maupun tradisi minum teh dimulai sejak

zaman Heian.

Pada zaman Dinasti Tang (618-907 M) di Cina, teh mencapai puncak

kejayaan dimana teh menjadi fashionable dan merupakan minuman bergengsi

dikalangan istana (Soemantri, 2014:7). Pada zaman Dinasti Tang ini juga, hanya

mempersiapkan matcha dengan cara memanggang dan melumatkan daun teh

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


kemudian menyeduh dalam air panas sebelum menambahkan sedikit garam.

Dinasti Cina melihat perkembangan matcha sedang dipersiapkan dari daun kering

kukus, lalu dilecut dengan air panas dalam mangkuk besar. Proses ini segera

menjadi bagian penting dari ritual harian para biksu zen saat mereka menyadari

manfaat medical matcha, yang memberi mereka energi berkelanjutan dan tingkat

ketajaman mental yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Pada zaman Dinasti Song (960-1268 M) di Cina dalam melakukan

upacara minum teh, teh yang digunakan dihaluskan ke dalam mangkuk dan

disajikan dengan cara diseduh dengan air panas kemudian dikocok dengan bambu

sampai buih muncul di permukaan teh. Pada zaman Dinasti Song proses

mempersiapkan minuman teh digunakan sebagai sarana untuk menenangkan

pikiran. Ritual persiapan dan konsumsi teh bubuk ini akhirnya dibawa ke Jepang

pada tahun 1191 oleh seorang biksu zen Jepang yang berpengaruh, bernama

Myōan Eisai. (http://matcha-o.com/matcha/)

Samurai belajar seni menyeduh matcha dari biksu Buddha Zen pada abad

ke-13. Mereka belajar bahwa dengan meminum matcha dapat memulihkan

samurai secara fisik, mempersiapkan samurai secara mental untuk pertempuran,

dan meningkatkan fokus sebelum berlatih meditasi. Berlandaskan pada kode etik

yang ketat, samurai mengembangkan filosofi wabi yang menjelaskan cara

membuat dan mengkonsumsi matcha. Selama berabad-abad, filosofi ini

melahirkan upacara minum teh yang kita kenal sekarang. Hal ini merupakan suatu

penghormatan pada cara hidup orang bangsawan sehingga para samurai

menyajikan matcha dengan penuh penghormatan.

(https://japanobjects.com/features/matcha-tea)

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Istilah chanoyu mulai digunakan pada abad ke-16 untuk menggambarkan

kegiatan penyaji teh yang menyajikan teh kepada para penikmat teh dalam sebuah

pertemuan teh. Sebelum istilah chanoyu digunakan, pada zaman Kamakura (112-

1279 M), masyarakat Jepang telah mengenal kebiasaan mengkonsumsi teh yang

menggunakan teh bubuk (matcha) yang diadaptasi dari kebiasaan mengkonsumsi

matcha pada zaman Dinasti Song di Cina.

Kebiasaan tersebut tidak lepas dari peranan Myōan Eisai, seorang biksu

sekaligus pendiri ajaran zen, yang telah membawa kebiasaan pembuatan teh

bubuk dari Cina ke Jepang dan menyebarkan ide-idenya dan menyebar ke

kalangan masyarakat kelas atas pada zaman Muromachi (1338-1573 M) di

Jepang. Kebiasaan tersebut kemudian disempurnakan oleh Sen no Rikyū yang

menjadikannya sebuah upacara minum teh bernama chanoyu pada masa periode

Azuchi Momoyama (https://prezi.com/tdqjzkelhm8p/upacara-minum-teh-atau-

chanoyu). Chanoyu sendiri, kalau diartikan secara harfiah artinya adalah air panas

untuk teh.

Teh pertama kali diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 melalui ajaran

buddha dari Cina. Teh mulai berkembang pada zaman Kamakura (1185-1333)

yang diperkenalkan oleh Eisai (1141-1215). Menurut tradisi Bodhidharma, yang

meninggalkan India untuk memperkenalkan Buddhisme Zen di Cina pada tahun

520, menganjurkan agar teh dipergunakan untuk menambah kesiapan selama

meditasi. Mereka minum teh selain untuk meditasi dan sebagai obat, juga sebagai

alat untuk menyebarkan ajaran zen dan meletakkan dasar spiritual dalam chanoyu,

sehingga dalam segala aktifitas dalam chanoyu memiliki kaitan erat dengan

konsep zen. (thesis.binus.ac.id/doc/Bab5/2008-2-00325-JP%20Bab%205.pdf)

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Chanoyu merupakan upacara minum teh tradisional Jepang yang

menerapkan peraturan dan etiket dalam praktiknya. Upacara minum teh

dilengkapi dengan peralatan khusus yang digunakan untuk menyiapkan dan

menyajikan tehnya. Tipe peralatan yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan

tipe upacara yang dilakukan. Pada upacara minum teh formal yang

diselanggarakan di hiroma, perlengkapan yang digunakan adalah perlengkapan

yang sempurna. Contohnya, menggunakan mangkuk teh yang bentuknya

sempurna lengkap dengan dudukannya, mangkuk teh seperti ini disebut tenmoku,

yang mengungkapkan betapa pentingnya sang tamu atau tujuan acaranya.

Upacara minum teh semi-formal menggunakan mangkuk teh yang

simetris seperti hagi, atau mangkuk jenis gaya Korea sedangkan pada upacara

minum teh informal, yang biasanya diadakan dalam pondok atau rumah teh yang

bernuansa pedesaan, menggunakan mangkuk yang lebih sederhana, bentuknya

alami apa adanya, namun tetap memberikan keindahan. Dalam upacara yang

seperti ini benar-benar mencerminkan keindahan wabicha yang sangat

mementingkan arti kesederhanaan.

Wabi berasal kata dari wabishii yang artinya sunyi, sepi (kesepian). Sabi

berasal kata dari sabishii yang artinya kesepian. Sabi secara harfiahnya berarti

karat. Sebagai nilai estetika, wabi merupakan keindahan dalam ruang, sedangkan

sabi merupakan keindahan dalam waktu (Kojien dalam Widyanisa, 2012:12).

Keindahan yang terkandung dalam wabi dan sabi tidak menuntut kesempurnaan,

melainkan indah itu ada.

Jepang merupakan negara yang dikenal sangat menghargai alam.

Menurut Brahmatyo dalam Cuciati (2013:26), masyarakat Jepang merupakan

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


masyarakat yang selalu menghargai leluhur, termasuk leluhur alam. Wicaksono

dalam Cuciati (2013:26), menyatakan bahwa bangsa Jepang memandang alam

seperti halnya manusia. Mereka hidup, mempunyai perasaan, serta bahasa.

Menurut Widyanisa (2013:6), hubungan masyarakat Jepang terhadap

alam erat kaitannya dengan adanya suatu paham naturalisme. Naturalisme, yaitu

suatu pandangan bahwa semuanya terpulang pada alam dan semuanya diserahkan

kepada alam. Pandangan naturalisme dalam kesustraan, berujuan untuk

mngemukakan sesuatu apa adanya, tidak menuntut sesuatu yang ideal dan tidak

meremehkan atau menyepelekan sesuatu. Orang Jepang menghargai sesuatu yang

bersifat alami. Nakamura dalam Widyanisa (2013:6) berpendapat bahwa

kecintaan orang Jepang terhadap alam juga digambarkan melalui karya-karya

sastra mereka. Selain itu juga, seperti upacara chanoyu yang di dalamnya

mewakili alam sekitar mereka. Oleh karena itu dalam upacara chanoyu

menggunakan peralatan yang sederhana menyerupai alam.

Sen no Rikyū menggunakan chawan atau mangkuk sederhana tidak

berwarna, tanpa kilau emas, atau hiasan lainnya. Walaupun pada masa itu banyak

kalangan bangsawan lebih memilih peralatan teh klasik dari Cina. Sen no Rikyū

juga memotong bambu sendiri yang membuatnya menjadi chasaku, yaitu sendok

teh bubuk dari bambu. Sen no Rikyū lebih menyukai dan menghargai barang yang

terbentuk dari bahan apa adanya, bagi Sen no Rikyū itulah yang membuatnya

puas. Dalam pandangan zen sesuatu yang sederhana dan atau tidak sempurna yang

terbentuk secara alami dan apa adanya dinilai sebagai sesuatu yang indah.

Keindahan yang alami mencerminkan nilai-nilai spiritual di dalamnya.

(Widyanisa, 2012:13)

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dalam chanoyu, teh dibuat dengan mencampurkan teh bubuk dengan air

panas di dalam chawan (mangkuk teh). Teh diaduk dengan menggunakan

semacam pengocok yang terbuat dari bambu yang disebut chasen hingga berbusa

lalu diminum. Semua kegiatan tersebut memiliki cita rasa seni tingkat tinggi

(https://his-travel.co.id/blog/article/detail/Chanoyu). Dalam upacara chanoyu,

jenis teh yang digunakan biasanya adalah matcha. Matcha atau teh bubuk dibuat

dari daun teh hijau kualitas terbaik (gyokuro) yang dikeringkan dan digiling

sehingga menjadi bubuk halus. Matcha dikenal memiliki aroma yang harum dan

berwarna hijau terang.

2.4 Aliran Upacara Chanoyu di Jepang

1. Sasenke, merupakan aliran yang dimulai oleh Sen no Shōan yang

merupakan anak yang dibawa oleh istri muda Sen no Rikyū dan

diteruskan oleh garis keturunan keluarganya hingga sekarang. Sansenke

merupakan garis keturunan terpisah dari keluarga Sakaisenke.

Aliran Sasenke terdiri dari:

a. Omotsenke (nama chashitsu: Fushin-an)

b. Urasenke (nama chashitsu: Konnichi-an), merupakan jenis upacara

minum teh yang sangat popular. Biasanya tamu duduk bersimpuh di

atas tatami kemudian diberikannya kue oleh tuan rumah untuk

dimakan oleh tamu. Upacara minum teh tidak akan dimulai sebelum

tamu menghabiskan kue yang dihidangkan tersebut.

c. Mushanokōjisenke (nama chashitsu: Kankyū-an)

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Sakaisenke – Keluarga utama Senke. Sen no Dōan (putra sah Sen no

Rikyū) merupakan penerus keluarga Senke, tetapi garis keturunannya

terputus.

3. Sōtanryū – Aliran yang dilahirkan Sensōtan (anak Sen no Shōan) dan

murid-muridnya. Sōtanryū juga masih merupakan garis keturunan

Sotanshitennō.

4. Anraku Anryū

5. Ueda Sōkoryū (pendiri: Ueda Shigeyasu)

6. Urakuryū (pendiri: Oda Uraku)

7. Edo Senkeryū

8. Enshūryū (pendiri: Kobori Masakazu)

9. Oriberyū

10. Sakairyū

11. Sekishūryū (pendiri: Katagiri Sekishū)

12. Sekishūryū Ikeiha

13. Sekishūryū Ōguchiha

14. Sekishūryū Shimizuha

15. Sekishūryū Nomuraha

16. Sōhenryū

17. Sōwaryū (pendiri: Kanamori Shigechika)

18. Dainippon Sadōgakkai

19. Chinshinryū

20. Fusairyū

21. Hayamiryū

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22. Hisadaryū

23. Higokoryū - Aliran berkembang di wilayah han Kumamoto dan terdiri

dari:

a. Furuichiryū

b. Koboriryū

c. Kayanoryū

24. Nararyū

25. Nambōryū

26. Fujibayashiryū

27. Fuhakuryū (pendiri: Kawakami Fuhaku)

28. Fumairyū

29. Hosokawasansairyū (pendiri: Hosokawa Tadaoki)

30. Horinouchiryū

31. Matsuoryū

32. Mitaniryū

33. Miyabiryū

34. Yabunouchiryū

35. Rikyūryū

36. Kogetsuenshūryū

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5 Pelanggaran Dalam Upacara Minum Teh

Menurut Wiyanisa (2012) dalam upacara minum teh diajarkan disiplin

kepada tiap penyaji teh, tetapi dalam pelaksaan upacara chanoyu ditemukan

pelanggaran yang dilakukan penyaji teh setiap melakukan upacara chanoyu.

Pelanggaran tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada peralatan upacara

chanoyu, selain itu mengganggu kehikmatan dalam prosesi upacara chanoyu.

Peralatan teh di dalam ruangan teh tersebut merupakan perwakilan dari

alam yang diberikan Kamisama. Penyaji teh yang melakukan pelanggaran

menunjukkan bahwa ia tidak melakukan persiapan upacara chanoyu dengan

sebaik mungkin. Hal ini dikarenakan dalam melakukan upacara minum teh

bagaikan esok hari akan mati, sehingga harus melakukan dengan sebaik mungkin.

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

MAKNA DAN FUNGSI MATCHA DALAM

UPACARA CHANOYU

3.1 Makna Matcha dalam Upacara Chanoyu

3.1.1 Makna Bahasa Hormat yang Digunakan

Menurut Widyanisa (2012:15), bahasa dapat menunjukkan adanya

perbedaan hubungan interpersonal dan hubungan horizontal dan vertikal sesuai

dengan apa yang ada dalam buku Chie Nakane. Bahasa hormat (敬語 / けいご)

menjadi salah satu karakteristik bahasa Jepang.

Menurut Terada (1984:238), keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan

rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga. Menurut Nomura

(1992:54), keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang

menaikkan derajat pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan.

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-hormat-

%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

Pada dasarnya keigo dipakai untuk mengungkapkan rasa hormat maupun

untuk menaikkan derajat lawan bicara atau orang ketiga. Jadi yang

dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan

termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga.

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-hormat-

%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Nomura Masaaki dan Koike Seiji dalam Nihongo Jiten (1992:54)

membagi keigo menjadi sonkeigo, kenjougo dan teineigo. Lalu Hirai Masao

dalam Shin-kokugo Handobukku (1982:131-132) membagi keigo menjadi

teineigo, sonkeigo, dan kensongo. Begitu juga Ogawa Yoshio (1989:228) dalam

Nihongo Kyouiku Jiten membagi keigo menjadi sonkeigo, kenjougo dan

teineigo. (https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-

hormat-%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

Sebelum meminum matcha ditandai dengan penggunaan bahasa hormat

(敬語 / けいご) jenis kenjougo (謙譲語 / けんじょうご). Ada yang menyebut

kenjougo (謙譲語 / けんじょうご) dengan kensongo (謙遜語 / けんそんご).

Hirai Masao (1985 : 132) menyebut kensongo sebagai cara bertutur kata yang

menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri

sendiri. Oishi Shotaro (1985 : 27) mengartikan kensongo sebagai keigo yang

menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang

dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-

benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya.

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-hormat-

%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

Bahasa hormat (kenjougo/ kensongo) ditandai dengan penggunaan

kalimat „otemae chodan itashimasu’, yang mana kata itashimasu termasuk ke

dalam perubahan kata kerja bentuk kenjougo/ kensongo.

Perubahan kata kerja itashimasu

いたします します

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


keterangan:

いたします : (kata kerja bentuk kenjougo/ kensongo)

します : (kata kerja bentuk masu)

Sehingga ditandai adanya penggunaan bahasa hormat (kenjougo/

kensongo) yang digunakan saat penikmat teh menerima matcha dari penyaji teh

yaitu bahasa yang digunakan memiliki makna untuk menyatakan rasa hormat

terhadap penyaji teh karena telah menyajikan teh terhadap penikmat teh dengan

penuh rasa hormat disertai dengan gerakan menunduk.

3.1.2 Makna Simbolik Air

Negara Jepang dikenal sebagai bangsa yang sangat menghargai alam.

Masyarakat Jepang memiliki suatu kebudayaan yang mendasar dalam

memandang alam sebagai segala sesuatu yang hidup dan humanis.

Menurut Brahmatyo dalam Cuciati (2013:26), masyarakat Jepang adalah

masyarakat yang selalu menghargai leluhur, termasuk leluhur alam. Bagi

mereka, semua makhluk memiliki jiwa yang patut dikenang semua tidak

terkecuali, baik itu yang hidup, seperti manusia dan hewan; yang hidup dan tidak

bergerak, seperti tumbuhan. Maupun yang tidak hidup dan tidak bergerak yang

berhubungan dengan unsur alam, seperti air (mizu/ 水), emas (kane/ 金), tanah

(tsuchi/ 土), gunung (yama/ 山), dan minyak (abura/ 油) semuanya memiliki

jiwa dan makna. Salah satu unsur alam yang digunakan untuk pembuatan

matcha adalah air.

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Menurut Cuciati (2013:70-71), air disimbolkan sebagai „perihal‟

(masalah) dimana untuk membersihkan sesuatu yang kotor digunakan air yang

mengalir, sehingga semua pengalaman maupun masalah yang ada di masa lalu

biar dilupakan dan memulai hidup yang baru dengan tenang.

Pengalaman masa lalu merupakan karakter tetap yang menjadi sumber

realita masa sekarang. Keberadaannya terus ditafsir kembali berdasarkan apa

yang ingin dicapai di masa depan (Turner dalam Widyanisa, 2012:5).

Pengetahuan manusia membentuk hubungan antara masa lalu, saat ini dan masa

depan. Pengalaman dan pemaknaan terjadi pada saat ini, dengan bertumpu pada

masa lalu yang merupakan memori, dan masa depan dihubungkan oleh potensi

dan harapan menciptakan tujuan yang ingin dicapai. Karena itu, pengalaman saat

ini dan masa lalu secara bersama-sama dihubungkan dalam kesatuan makna.

(Widyanisa, 2012:5)

Air bermakna sebagai sumber kehidupan. Air digunakan untuk

menyucikan benda dan dunia sebelum memasuki kawasan yang sakral.

(https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Jepang). Sesuai dengan konsep lima

elemen dalam agama Buddha bahwa setiap elemen memiliki lambang dan warna

pada masing-masing unsurnya. Lima elemen tersebut yaitu kayu, tanah, api,

besi, dan air. yang diwakili dengan warna hijau, hitam, merah kuning, coklat,

dan putih. (studylibid.com/doc/680551/ajaran-zen-dalam-shoujin-ryouri-fitri-

ramadhani---dewi)

Sehingga penggunaan air panas yang mengalir dari hishaku (centong air)

ke dalam chawan (mangkuk teh) memiliki makna membersihkan atau

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menyucikan sesuatu yang kotor menjadi sakral yang diibaratkan seperti masalah

yang ada di masa lalu dilupakan dan memulai hidup yang baru dengan tenang.

3.1.3 Makna Warna Simbolik dan Makna Warna Psikologis

Matcha memiliki warna hijau terang. Menurut Surajaya dalam Rastati

(2008:19), warna adalah komunikasi non-verbal yang memiliki makna. Pada

zaman dahulu bangsa Jepang pun menggunakan warna sebagai salah satu

komunikasi non-verbal. Hal ini terlihat dari sistem tingka jabatan pada zaman

Asuka (552-710) yang disusun oleh Pangeran Shotoku Taishi yang disebut

Sistem Tingkat Jabatan Dua Belas (Kani Junikai/ 冠位十二階).

Sistem ini menggunakan warna sebagai penanda jabatan atau kedudukan

seseorang dalam pemerintahan. Warna tersebut digunakan pada topi yang

memiliki warna yang berbeda sesuai tingkat jabatan. Urutan kedudukan dari

yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah warna ungu, biru, merah,

kuning, putih, dan hitam.

Menurut Rastati (2008:20), makna warna dapat dikelompokkan menjadi

dua, yaitu makna warna simbolik dan makna warna psikologis. Bagi masyarakat

Jepang, hijau (midori/ 緑) adalah warna yang melambangkan kesopanan. Dahulu

bangsa Jepang kerap menggunakan huruf kanji aoi (青い) yang berarti biru dari

pada midori (緑) yang berarti hijau untuk mengungkapkan warna hijau, sebab

mereka tidak membedakan warna hijau dan biru. Dengan kata lain, kedua waran

tersebut dianggap sama.

Tidak adanya perbedaan antara warna hijau dan biru terlihat dalam

Manyoushu, kumpulan puisi kuno Jepang, yang didalamnya hampir tidak

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menggunakan kata midori (hijau), namun lebih sering menggunakan kata aoi

(biru). Namun, pengaruh bahasa Inggris yang masuk ke Jepang membuat

masyarakat Jepang mulai membedakan warna biru dan hijau sebab dalam bahasa

Inggris kedua warna tersebut jelas berbeda. Untuk membedakan hijau dan biru,

orang Jepang menggunakan kata midori untuk hijau yang agak kekuningan.

Menurut Bear dalam Rastati (2002:20), makna simbolis warna hijau

adalah dedaunan dan hutan karena warna ini banyak terdapat di alam. Makna

psikologis warna hijau adalah pertumbuhan, pembaharuan, keseimbangan,

harmoni, dan lingkungan. Selain itu menurut Wulan dalam Rastati (2002:21),

warna yang menenangkan ini juga memiliki makna psikologis keindahan alam,

kesegaran, keabadian, kesucian, dan kehidupan baru. Sehingga makna warna

hijau yang ditandai oleh warna hijau alami matcha memiliki makna secara

simbolis maupun makna secara psikologis. Warna hijau alami matcha

merupakan warna yang menyimbolkan ketenangan sehingga setelah

mengkonsumsi matcha terdapat adanya rasa ketenangan batin dan rileksasi.

Secara psikologis, warna hijau yang terkandung dalam matcha memiliki makna

kesegaran, keabadian, kesucian, dan kehidupan baru.

3.1.4 Makna Berdasarkan Gerakan Mengaduk

Matcha disiapkan dengan cara diaduk, bukan direndam, atau dicelup.

Alat yang digunakan untuk mengaduk matcha bukan menggunakan sendok

melainkan menggunakan pengaduk khusus terbuat dari bambu, memiliki bentuk

yang ramping dan halus diujungnya bernama, chasen. Ketika mengaduk matcha

menggunakan teknik ataupun gerakan khusus.

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pada saat mengaduk matcha gunakan pergelangan tangan (bukan siku

atau lengan) dengan pola melingkar yang lembut untuk melonggarkan bubuk

yang menempel di bagian bawah atau sisi mangkuk teh, chawan. Ubah

kecepatan tinggi dan buat gerakan mengaduk dari atas ke bawah sehingga

menjadi berbentuk huruf W sampai berbusa. (https://id.todoinfor.com/how-to-

properly-whisk-matcha-tea-powder-24336). Jalankan chasen di sekeliling

mangkuk seperti menulis hiragana の „no‟ untuk menghilangkan gumpalan di

permukaan teh. Lalu dengan lembut tekan chasen ke bagian bawah chawan

untuk memecah semua gumpalan yang tersembunyi.

(https://youtu.be/hfnvhae2kLo).

Setiap gerakan memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Gerakan

mengaduk dari atas ke bawah sehingga menjadi berbentuk huruf W mengandung

makna sistem stratifikasi masyarakat Jepang.

(https://eribolot.weebly.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-jepang.html).

Warisan budaya leluhur Jepang yang mengutamakan hidup kedamaian dengan

alam mengajarkan generasi Jepang dewasa ini untuk senantiasa memelihara

alam dalam keseimbangan. Ajaran ini lahir dari rasa keinginan hidup tenang

dengan keselarasan alam dan manusia yang saling berinteraksi.

Pada awal kebudayaan zaman Yayoi, interaksi dengan alam diwujudkan

dengan pemeliharaan dan penyeimbangan segala mahluk hidup. Dalam proses

interaksi antara manusia, diwujudkan dengan penegakan nilai-nilai moral untuk

saling memahami satu sama lainnya. Kemudian setelah masuknya agama

Buddha sekitar abad ke-6, hubungan antar manusia tidak sekedar mengacu pada

alam saja, tetapi juga kesinambungan antara manusia dengan manusianya.

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Lalu dalam perkembangan berikutnya sistem stratifikasi semakin jelas,

terutama setelah masuknya sistem pemerintahan Bakufu (pemerintahan yang

dijalankan dari tenda, pada saat itu sistem komando dipegang oleh seorang

jendral daiitai shogun yang berada di medan perang). Pemerintahan ini

berlangsung sejak zaman Kamakura (1185-1336). Pada zaman ini golongan

sosial bangsa Jepang dibagi dalam empat golongan yang dikenal sebagai

shinoukoshou, yaitu:

1. Shi berasal dari kata bushi (golongan militer).

2. Nou berasal dari kata noumin (golongan petani).

3. Kou berasal dari kata kouin (golongan pegawai).

4. Shou berasal dari kata shounin (pedagang).

Kouin dan shounin walaupun dianggap sebagai golongan yang berkasta

rendah, namun pada masa pemerintahan setelah zaman Meiji (1868) menjadi

golongan yang paling berpengaruh karena sangat berperan dalam kemajuan

perdagangan dan kemampuan bangsa Jepang.

Menurut Chie Nakane dalam bukunya masyarakat Jepang, hubungan

antar-manusia di Jepang umumnya menganut asas hubungan vertikal. Struktur

masyarakat Jepang yang menggunakan hubungan atas-bawah ini sangat

mempengaruhi sikap, tindakan, kebiasaan dan etos kerja bangsa Jepang.

Hubungan tersebut digambarkan melalui hubungan:

1. Oyabun - kobun (bapak dan anak).

2. Senpai - kohai (senior dan junior).

3. dll

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sehingga makna gerakan mengaduk matcha ditandai adanya gerakan

mengaduk matcha berbentuk huruf W memiliki adanya makna sistem

stratifikasi masyarakat Jepang dimana hubungan antar manusia tidak sekedar

mengacu pada alam saja, tetapi juga kesinambungan antara manusia dengan

manusianya. Hubungan antar-manusia di Jepang umumnya menganut asas

hubungan vertikal.

Menurut Widyanisa (2013:7), hubungan vertikal merupakan hubungan

yang masih berdasarkan senioritas atau pun usia lebih tua. Hal ini dibuktikan

adanya senpai (senior), kohai (junior), dan douryou (teman). Adanya senioritas

dalam hubungan ini, maka ada penambahan sebutan berdasarkan senioritas

maupun usia. Sebutan tersebut, antara lain, -San, -Kun, dan hanya nama saja.

Kohai terhadap senpai akan menambahkan –San saat berbicara. Senpai

terhadap kohai saat memanggil akan ditambahkan –Kun, sedangkan untuk

teman tidak perlu menambahkan apa-apa. Sehingga melalui gerakan mengaduk

matcha memiliki makna hubungan stratifikasi masyarakat Jepang secara

vertikal yang mencerminkan adanya sikap saling menghormati antara penyaji

teh terhadap penikmat teh.

3.1.5 Makna Mangkuk Teh (Chawan) yang Digunakan

Ketika melaksanakan upacara chanoyu menggunakan peralatan-peralatan

yang dirancang secara khusus. Salah satu peralatan yang digunakan dalam

upacara chanoyu ini adalah mangkuk teh. Penggunaan mangkuk teh ini pun

tidak sembarangan karena memiliki makna yang terkandung. Mangkuk teh yang

bentuknya sempurna lengkap dengan dudukannya, mangkuk teh seperti ini

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


disebut tenmoku, yang mengungkapkan makna bahwa betapa pentingnya sang

penikmat teh dalam upacara chanoyu serta tujuan upacara chanoyu itu sendiri.

Upacara minum teh semi-formal menggunakan mangkuk teh yang

simetris seperti hagi, atau mangkuk teh bergaya Korea, sedangkan pada upacara

minum teh informal, yang biasanya diadakan dalam pondok atau rumah teh yang

bernuansa pedesaan, menggunakan mangkuk yang lebih sederhana, bentuknya

alami apa adanya, namun tetap memberikan makna keindahan.

Dalam upacara yang seperti ini benar-benar mencerminkan makna

keindahan wabicha yang sangat mementingkan arti kesederhanaan. Wabi berasal

dari kata wabishii yang artinya sunyi, sepi (kesepian). Sabi berasal dari kata

sabishii yang artinya kesepian. Sabi secara harfiahnya berarti karat. Sebagai nilai

estetika, wabi merupakan keindahan dalam ruang, sedangkan sabi merupakan

keindahan dalam waktu (Kojien dalam Widyanisa, 2012:12). Keindahan yang

terkandung dalam wabi dan sabi tidak menuntut kesempurnaan, melainkan indah

itu ada. Oleh karena itu dalam upacara minum teh menggunakan peralatan yang

sederhana menyerupai alam.

Sen no Rikyū menggunakan chawan atau mangkuk sederhana yang tidak

berwarna, tanpa kilau emas, atau hiasan lainnya. Walaupun pada masa itu

banyak kalangan bangsawan lebih memilih peralatan teh klasik dari Cina. Dalam

pandangan zen sesuatu yang sederhana dan atau tidak sempurna yang terbentuk

secara alami dan apa adanya dinilai sebagai sesuatu yang indah. Keindahan yang

alami mencerminkan nilai-nilai spiritual didalamnya. Sehingga penggunaan

chawan sebagai tempat meracik matcha memiliki makna kesederhaan dan

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memiliki nilai-nilai keindahan yang alami yang mencerminkan nilai-nilai

spritual zen.

3.2 Fungsi Matcha dalam Upacara Chanoyu

3.2.1 Fungsi Matcha Dilihat Dari Penggunaan Air

Secara umum ketika meracik sebuah teh membutukan air untuk dapat

melarutkan teh yang digunakan. Air merupakan salah satu bahan yang sangat

penting dalam suatu kehidupan. Dalam upacara chanoyu juga menggunakan air

sebagai bahan penting selain matcha yang harus ada selama proses upacara

chanoyu ini berlangsung. Air yang digunakan air panas yang bersuhu 80°C -

90°C. (https://youtube.be/hfnvhae2kLo). Suhu yang digunakan harus tepat. Jika

terlalu panas akan memengaruhi rasa dari teh atau jika suhu air terlalu rendah

akan memunculkan busa yang tidak diinginkan ketika diaduk. (https://matcha-

jp.com/id/899)

Campuran matcha dan air bukan merupakan larutan, melainkan suspensi

dikarenakan matcha tidak dapat larut di dalam air dengan baik. Sehingga air

yang digunakan dalam upacara chanoyu ini memiliki fungsi untuk dapat

melarutkan matcha untuk sementara waktu. Sebelum nantinya akan dikocok

dengan pengaduk khusus untuk menghasilkan bentuk matcha yang sempurna

dan tidak terdapat adanya buih di permukaan teh.

Menurut Brahmatyo dalam Cuciati (2013:26), bahwa masyarakat Jepang

merupakan masyarakat yang menghargai leluhur dan semua makhluk hidup

seperti manusia, hewan, tumbuhan, bahkan alam. Matcha tergolong ke dalam

jenis tumbuhan yang sangat dihargai masyarakat Jepang hingga dewasa ini. Air

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


juga merupakan pelambangan salah satu elemen yang termasuk dalam konsep

agama Buddha. (studylibid.com/doc/680551/ajaran-zen-dalam-shoujin-ryouri-

fitri-ramadhani---dewi).

Gambar 3.2.2 – Air yang mengalir dari hishaku (centong air) ke dalam chawan.

Sumber: (https://food.detik.com/info-kuliner/d-2741864/chawan-dan-chasen-

pasangan-alat-untuk-meracik-matcha-dalam-chanoyu/6/)

Air juga memiliki warna putih yang bermakna membersihkan atau

menyucikan sesuatu yang kotor menjadi sakral. Berdasarkan gambar 3.2.2

diatas, penggunaan air yang mengalir dari hishaku (centong air) ke dalam

chawan yang dikaitkan dengan pemaknaan air dalam matcha berfungsi sebagai

ketenangan. Sehingga keterkaitan air dalam penggunaan matcha ini memiliki

fungsi untuk mempertahankan tradisi ataupun kebudayaan Jepang dalam hal

untuk bersikap tenang menghadapi sesuatu masalah. Sehingga membentuk

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


karakter masyarakat Jepang dalam menghadapi sesuatu masalah menjadi lebih

tenang dan tidak terburu-buru dalam mengambil suatu keputusan.

3.2.2 Fungsi Warna Hijau Matcha

Matcha termasuk dalam kategori tumbuhan green tea (Camellia

sinensis). Secara umum, matcha memiliki warna hijau alami.

Gambar 3.2.3 – Bubuk matcha yang memiliki warna hijau alami.

Sumber: (https://grosirpowder.com/matcha-murni)

Warna hijau merupakan bagian warna penting yang kerap tidak kita

sadari. Warna hijau sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Warna hijau

juga berfungsi memberi rasa damai dan mengurangi stress.

(http://mifsaicoinfo.blogspot.com/2016/03/warna-hijau-manfaat-dan-

istimewanya.html).

Warna natural merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi pada

konsep zen. Zen merupakan salah satu aliran dalam agama Buddha Mahayana

yang secara harafiah berarti meditasi atau konsentrasi. (Shojun, 1978:95).

Warna-warna natural menurut ajaran zen yaitu putih, abu-abu, hijau, krem, dan

krem merah muda. Sehingga warna hijau berhubungan erat dengan zen sebab

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


warna-warna natural dianggap memiliki kekuatan untuk merangsang relaksasi

dan ketenangan. (http://lifestyle.bisnis.com/read/20170810/220/678206/rumah-

dengan-konsep-zen-begini-caranya).

Warna hijau matcha juga diadaptasi dari warna hijau roji (taman teh

Jepang) yang berwarna hijau dimana roji, taman dengan jalan kecil yang

menghubungkan machiai (tempat untuk para penikmat teh menunggu penyaji

teh sebelum mengikui chanoyu) dengan rumah teh, menandakan langkah awal

meditasi atau proses penenangan jiwa. Roji berfungsi sebagai tempat transisi

emosial peserta chanoyu karena dengan melewati roji diharapkan dapat

mengubah suasana hati seseorang yang sebelumnya berada di dunia luar yang

penuh aktifitas menuju ke dunia yang penuh ketenangan, suasana sejuk dan

mendukung untuk kemudian menikmati jalannya chanoyu.

(thesis.binus.ac.id/asli/Bab2/2007-3-00267-JP%20bab%202.pdf)

Sehingga warna hijau matcha yang berhubungan erat dengan warna

natural zen yang dianggap memiliki kekuatan yang berfungsi untuk merangsang

relaksasi dan ketenangan. Sehingga penggunaan matcha pada zaman Dinasti

Song digunakan sebagai sarana yang berfungsi untuk menenangkan pikiran.

Selain itu, biksu zen menjelaskan bahwa dengan mengkonsumsi matcha tidak

hanya menyegarkan pikiran, tetapi juga mempunyai khasiat kesehatan yang

dapat memperpanjang umur.

Seperti halnya air yang berfungsi untuk membentuk karakter Jepang

bersikap tenang menghapi masalah, sehingga penggunaan matcha melalui

upacara chanoyu ditandai dengan warna hijau matcha memiliki fungsi yang

sama yaitu untuk membentuk karakter masyarakat Jepang menjadi lebih tenang,

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tidak arogan, tidak mudah stress. Dan sampai sekarang masyarakat Jepang tetap

mempertahankan sikap tenang yang tercermin melalui tata cara penyajian

matcha yang terkandung dalam upacara chanoyu ini.

3.2.3 Fungsi Gerakan Mengaduk

Sebuah naskah sejarah karya Huizong dari Dinasti Song (1107) yang

berjudul Treatise on Tea memuat fungsi „pengaduk‟ dalam menyiapkan teh:

“Bagian bawah cangkir harus dalam dan lebar. Bagian bawah yang

dalam memudahkan bubuk teh tersuspensi di dalam cairan dan membentuk busa

di permukaannya. Bagian bawah yang lebar memudahkan ‘pengaduk’ bergerak

melingkar tanpa hambatan.”

„Pengaduk‟ yang dimaksud pada naskah tersebut mempunyai fungsi yang

sama dengan chasen Jepang. Namun, berbeda dengan bentuk chasen yang kita

ketahui sekarang, „pengaduk‟ Cina terdiri dari potongan-potongan tipis bambu

yang diikat bersama di salah satu ujungnya. Sekarang budaya minum teh bubuk

di Cina sudah hilang. Sementara di Jepang, dikarenakan peran matcha pada

upacara chanoyu, budaya tersebut tetap bertahan.

Matcha disiapkan dengan cara diaduk, bukan direndam atau dicelup.

Matcha tidak dapat larut di dalam air. Campuran air dan matcha bukan

merupakan larutan, melainkan suspensi. Agar terbentuk suspensi yang homogen,

penyaji teh menggunakan chasen untuk mencegah terbentuknya gumpalan-

gumpalan kecil di permukaan teh.

Menurut Widyanisa (2012), penyaji teh menuangkan air panas ke dalam

chawan kira-kira 50 ml untuk membuat semangkuk teh hijau. Penyaji teh akan

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menganduk teh dengan menggunakan chasen, hingga tehnya larut dan ditambah

lagi dengan air panas, diaduk lagi sampai permukaannya berbusa halus.

Gambar 3.2.4a – Gerakan mengaduk matcha sampai permukaannya

berbusa halus.

Sumber: (http://halojepang.blogspot.com/2011/11/sadou-upacara-

minum-teh.html)

Semangkuk teh akan jadi dengan baik atau tidak baiknya tergantung dari

hati penyaji teh saat membuat teh tersebut. Hati yang tenang, percaya akan

kemampuannya, dan tidak memikirkan dunia luar dari ruangan teh akan

menghasilkan teh yang baik dengan dipenuhi busa halus dan tidak meninggalkan

bubuk teh setelah diminum, melainkan akan meninggalkan busa.

Teh yang tidak baik, seperti teh yang tidak dipenuhi busa dan akan

meninggalkan bubuk teh setelah diminum. Hal tersebut dikarenakan hati penyaji

teh yang tidak tenang, masih banyak hal yang membebani pikirannya saat

membuat teh. Pikiran yang tenang akan mempengaruhi gerakan mengaduk.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Penyaji teh akan cepat lelah saat mengaduk apabila hatinya tidak tenang. Teh

yang dipenuhi dengan busa akan menghasilkan rasa yang tidak pahit.

Gambar 3.2.4b – Mengaduk matcha.

Sumber: (http://halojepang.blogspot.com/2011/11/sadou-upacara-

minum-teh.html)

Terdapat adanya pengaruh antara suasana hati penyaji dan gerakan

mengaduk yang dilakukan. Sehingga gerakan mengaduk yang dilakukan penyaji

teh memiliki fungsi terhadap warna, rasa, busa, dan bentuk akhir matcha yang

dihasilkan. Melalui gerakan mengaduk matcha ditandai adanya gerakan dari atas

ke bawah sehingga menjadi berbentuk huruf W berlandaskan makna gerakan

yang mengandung sistem stratifikasi sosial masyarakat Jepang (hubungan atas-

bawah) bahwa gerakan mengaduk tersebut memiliki fungsi saling menghormati

hubungan atas-bawah (hubungan vertikal), seperti hubungan senpai-kohai

(senior dan junior). Dimana hubungan senioritas bagi masyarakat Jepang

merupakan sesuatu yang harus dipertahankan demi menjaga dan memelihara

kepatuhan, penghormatan, dan disiplin kerja.

(https://eribolot.weebly.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-jepang.html)

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sehingga melalui gerakan mengaduk matcha dalam upacara chanoyu

dijadikan sebagai cara untu melestarikan, memelihara dan mempertahankan

kebudayaan dan etika yang telah berkembang di masyarakat Jepang yaitu saling

menghormati antara bawahan dengan atasan, saling mengormati dengan orang

yang baru dikenal, pembelajaran tata krama, sopan santun .

3.2.4 Fungsi Mangkuk Teh (Chawan) yang Digunakan

Upacara chanoyu dilengkapi dengan peralatan khusus yang digunakan

untuk menyiapkan dan menyajikan tehnya. Tipe peralatan yang digunakan

berbeda-beda sesuai dengan tipe upacara yang dilakukan. Pada upacara minum

teh formal yang diselanggarakan di hiroma, perlengkapan yang digunakan

adalah perlengkapan yang sempurna. Setiap peralatan yang digunakan dalam

upacara chanoyu memiliki fungsi,. salah satunya peralatan yang digunakan

mangkuk teh, chawan. Saat melakukan upacara chanoyu menggunakan

mangkuk teh sebagai tempat meracik matcha. Pengaruh bentuk chawan dan

bahan pembuatan chawan itu sendiri pun dapat mempengaruhi rasa matcha dan

juga proses pembuatan matcha. Sehingga selain sebagai tempat meracik matcha,

chawan memberi pengaruh terhadap rasa matcha yang akan diminum.

Dalam upacara chanoyu menggunakan peralatan yang sederhana

menyerupai alam. Sen no Rikyū (1522-1591), menggunakan chawan atau

mangkuk sederhana tidak berwarna, tanpa kilau emas, atau hiasan lainnya.

Walaupun pada masa itu banyak kalangan bangsawan lebih memilih peralatan

klasik dari Cina. Sen no Rikyū lebih menyukai dan menghargai barang yang

terbentuk apa adanya, bagi Sen no Rikyū itulah yang membuatnya puas. Dalam

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pandangan zen sesuatu yang sederhana dan tidak sempurna yang terbentuk

secara alami dan apa adanya dinilai sebagai sesuatu yang indah. Keindahan yang

alami mencerminkan nilai-nilai spiritual di dalamnya.

Setelah penyaji teh mengaduk matcha dengan menggunakan chasen

hingga berbusa, chawan diputar ke dalam sebanyak 2 kali untuk mencari sisi

terbaik untuk diperlihatkan kepada penikmat teh lalu memberikan chawan

kepada penikmat teh. Saat menerima chawan, penikmat teh harus

mengangkatnya dengan ketinggian sejajar mata lalu diturunkan sejajar dada.

Sebelum meminum matcha, penikmat teh memutar chawan ke dalam sebanyak 3

kali, lalu diminum maksimal 3 tegukan, setelah itu bersihkan bibir dan bibir

chawan. Setelah itu, diputar keluar sebanyak 2 kali, lalu chawan dikembalikan

kepada penyaji teh.

Gerakan memutar chawan yang didalamnya terdapat matcha yang sudah

diaduk dengan chasen hingga berbusa dilakukan pada chawan yang memiliki

motif atau gambar maupun chawan yang tidak memiliki motif atau gambar.

Gambar 3.2.5a – Gerakan memutar chawan yang bergambar atau bermotif.

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sumber: (http://www.putrinyanormal.com/2015/03/discovering-chanoyu-

pengenalan-budaya.html)

Berdasarkan gambar 3.2.5a di atas, ditandai melalui chawan bermotif

atau bergambar yang didalamnya terdapat matcha yang sudah diaduk

menggunakan chasen hingga berbusa, lalu chawan diputar untuk mencari sisi

terbaik motif atau gambar untuk diperlihatkan kepada penikmat teh dan

sebaliknya untuk menyatakan etika dan sikap saling menghormati antara penyaji

teh terhadap penikmat teh.

Gambar 3.2.5b - Gerakan memutar chawan yang tidak bergambar

atau bermotif.

Sumber: (http://artikel77.blogspot.com/2011/06/cerita-tentang-

tradisi-sado-di-jepang.html)

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Berdasarkan gambar 3.2.5b di atas, ditandai melalui chawan yang tidak

memiliki gambar ataupun motif yang didalamnya terdapat matcha yang sudah

diaduk menggunakan chasen hingga berbusa untuk menyatakan keindahan yang

alami, sesuatu yang sederhana yang apa adanya, maupun yang tidak sempurna

yang terbentuk secara alami, mencerminkan nilai spiritual zen di dalamnya yang

berhubungan erat dengan kebudayaan Jepang.

Sehingga gerakan memutar chawan yang bermotif ataupun tidak

bermotif yang didalamnya terdapat matcha yang sudah diaduk dengan chasen

hingga berbusa menunjukkan adanya pembelajaran etika, tata krama, saling

menghormati terutama terhadap tamu ataupun orang asing yang baru dikenal.

Selain itu juga, mencerminkan nilai spiritual zen yang mengajarkan

kesederhanaan, tidak adanya kemewahan dalam hidup. Sehingga masyarakat

Jepang yang sering melakukan upacara chanoyu untuk menikmati matcha akan

menerapkan kesederhanaan dalam hidupnya.

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Makna matcha ditandai adanya teks dimana penggunaan bahasa hormat

(kenjougo/ kensongo) tercermnin dalam upacara chanoyu pada saat

penikmat teh menerima matcha dari penyaji teh yaitu bahasa yang

digunakan memiliki makna untuk menyatakan rasa hormat terhadap

penyaji teh karena telah menyajikan teh terhadap penikmat teh dengan

penuh rasa hormat disertai dengan gerakan menunduk.

2. Makna matcha ditandai adanya koteks penggunaan air panas yang

mengalir dari hishaku (centong air) ke dalam chawan (mangkuk teh)

memiliki makna membersihkan atau menyucikan sesuatu yang kotor

menjadi sakral yang diibaratkan seperti masalah yang ada di masa lalu

dilupakan dan memulai hidup yang baru dengan tenang.

3. Makna matcha ditandai koteks warna hijau matcha memiliki makna warna

hijau secara simbolik dan makna warna hijau secara psikologis. Warna

hijau secara simbolik yang ditandai oleh warna hijau alami matcha

memiliki makna yang menyimbolkan ketenangan sehingga setelah

mengkonsumsi matcha terdapat adanya rasa ketenangan batin dan

rileksasi. Secara psikologis, warna hijau yang terkandung dalam matcha

memiliki makna kesegaran, keabadian, kesucian, dan kehidupan baru.

Sedangkan makna matcha ditandai melalui koteks gerakan mengaduk

matcha memiliki makna hubungan stratifikasi masyarakat Jepang secara

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vertikal yang mencerminkan adanya sikap saling menghormati antara

penyaji teh terhadap penikmat teh, antara atasan dengan bawahan, senpai

dengan kohai, dan sebagainya. Dan makna ditandai koteks chawan yang

digunakan memiliki makna kesederhanaan dan memiliki nilai-nilai

keindahan yang alami yang mencerminkan nilai-nilai spiritual zen.

4. Fungsi matcha dalam upacara chanoyu mewakili nilai-nilai ideologi

Jepang yang ditandai melalui adanya koteks, penggunaan air, warna hijau

matcha, gerakan mengaduk maupun chawan yang digunakan untuk

menyatakan budaya Jepang yang mengandung nilai-nilai spiritual zen yang

mengajarkan tata krama, dan etika sehingga membentuk karakter

masyarakat Jepang yang sopan santun, menghargai tamu ataupun orang

asing, lebih tenang dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan,

sarana mencapai relaksasi dan ketenangan; kesederhanaan, tidak adanya

kemewahan dalam hidup, dan tidak adanya perbedaan status sosial di

masyarakat.

4.2 Saran

1. Sebaiknya penggunaan matcha dalam upacara chanoyu dapat diterapkan di

berbagai dunia dan diikuti oleh siapapun yang ingin belajar mengenai

kebudayaan Jepang. Dikarenakan setiap gerakan-gerakan yang terdapat

dalam upacara chanoyu yang tercermin melalui penggunaan matcha

memiliki fungsi membentuk karakter masyarakat untuk hidup dalam

kesederhanaan; memiliki etika, sopan santun, tata krama; tidak adanya

kemewahan dalam hidup; tidak arogan; tidak terburu-buru dalam

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mengambil keputusan; bersikap lebih tenang; dan tidak adanya perbedaan

status sosial. Oleh karena itu, orang yang sering melakukan upacara

chanoyu akan menerapkan kesederhanaan dalam kehidupannya. Bahkan

orang Jepang mengatakan bahwa jika menekuni budaya upacara chanoyu

akan menemukan titik terang dimana semua kegiatan yang dilakukan akan

selalu sempurna karena ketelitian yang ada di upacara chanoyu ini.

2. Sebaiknya pengkonsumsian matcha dapat dilakukan di berbagai dunia

dikarenanakan matcha yang memiliki berbagai manfaat untuk kesehatan

tubuh, selain itu dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan relaksasi

bagi orang-orang yang membutuhkan ketenangan dan mengurangi tingkat

stress yang berlebih dan berkelanjutan.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

Cuciati, Tri. 2013. Skripsi. Analisis Makna Simbol Unsur Alam Dalam Kanyooku

Bahasa Jepang. Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang. Fakultas

Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang.

Hoed. 2007. dalam (sastra.um.ac.id/wp.../01/055-Ery-Iswary-UnHas-Analisis-

Semiotik-Kultural-.-.-..pdf)

Masao, Hirai. 1985 dalam

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-

hormat-%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah

Mada University Press.

Pitelka, Morgan. 2002. Japanese Tea Culture: The Omotesenke Tradition. Japan:

Fushin‟an Foundation.

Rastati, Ranny. 2008. Skripsi. Analisis Penggunaan Warna. Fakultas Ilmu

Budaya. Universitas Indonesia.

Reischauer, Edwin O. 1998. The Tea Ceremony Sen’ō Tanaka. New York:

Kodansha Internasional.

Shigeo, Hinata. 2000. dalam

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-

hormat-%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

Shotaro, Oishi. 1985. dalam

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-

hormat-%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan. Medan: USU Press.

Sobur. 2001. dalam (sastra.um.ac.id/wp.../01/055-Ery-Iswary-UnHas-Analisis-

Semiotik-Kultural-.-.-..pdf)

Somantri, Ratna. 2014. The Story in A Cup of Tea. Jakarta: Transmedia Pustaka.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.CV.

Tylor, Edward B. 1871. Primitive Culture. New York : Brentano's.

Yoshio, Ogawa. 1989. dalam

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-

hormat-%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/)

Yulianti G, Anna Desy. 2010. Skripsi. Analisis Adaptasi Upacara Minum Teh

(Chanoyu) di Indonesia. Departemen Sastra Jepang. Fakultas Ilmu

Budaya. Universitas Sumatera Utara.

Widyanisa, Ria Shaumi. 2012. Skripsi. Memahami Kebudayaan Jepang Melalui

Chado (Upacara Minum Teh). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Universitas Indonesia.

Terada, Takeno. 1984. dalam

(https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-

hormat-%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/

https://en.wikipedia.org/wiki/History_of_tea_in_Japan

https://eribolot.weebly.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-jepang.html

https://food.detik.com/cooking-event/d-3495009/ini-bedanya-matcha-asli-jepang-

dengan-matcha-buatan-negara-lain

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


https://his-travel.co.id/blog/article/detail/Chanoyu

https://id.todoinfor.com/how-to-properly-whisk-matcha-tea-powder-24336

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

https://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Jepang

https://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_minum_teh_Jepang

https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2013-2-02064-

DS%20Bab2002.pdf

http://lifestyle.bisnis.com/read/20170810/220/678206/rumah-dengan-konsep-zen-

begini-caranya

https://japanobjects.com/features/matcha-tea

https://matcha-jp.com/id/899

http://matcha-o.com/matcha/

https:// matchaeologist.com/blogs/guides/history-of-matcha

https://medievalwhisk.wordpress.com/2017/06/11/chasen-pengocok-bambu-pada-

upacara-minum-teh-jepang/

http://mifsaicoinfo.blogspot.com/2016/03/warna-hijau-manfaat-dan-

istimewanya.html

https://prezi.com/tdqjzkelhm8p/upacara-minum-teh-atau-chanoyu

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/43079

https://shiritoriofficial.wordpress.com/2015/08/20/ragam-bahasa-hormat-

%E6%95%AC%E8%AA%9E-lengkap/

http://travel.kompas.com/read/2018/02/04/120700027/apa-itu-matcha

http://www.teausa.com/14655/tea-fact-sheet

https://youtu.be/hfnvhae2kLo

64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


http://zonasejarah.wordpress.com/

sastra.um.ac.id/wp.../01/055-Ery-Iswary-UnHas-Analisis-Semiotik-Kultural-.-.-

..pdf

studylibid.com/doc/680551/ajaran-zen-dalam-shoujin-ryouri-fitri-ramadhani---

dewi

thesis.binus.ac.id/asli/Bab2/2007-3-00267-JP%20bab%202.pdf

Gambar

Gambar 3.2.2 (https://food.detik.com/info-kuliner/d-2741864/chawan-dan-

chasen-pasangan-alat-untuk-meracik-matcha-dalam-

chanoyu/6/)

Gambar 3.2.3 (https://grosirpowder.com/matcha-murni)

Gambar 3.2.4a (http://halojepang.blogspot.com/2011/11/sadou-upacara-

minum-teh.html)

Gambar 3.2.4b (http://halojepang.blogspot.com/2011/11/sadou-upacara-

minum-teh.html)

Gambar 3.2.5a (http://www.putrinyanormal.com/2015/03/discovering-chanoyu-

pengenalan-budaya.html)

Gambar 3.2.5b (http://artikel77.blogspot.com/2011/06/cerita-tentang-tradisi-

sado-di-jepang.html)

65

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai