Anda di halaman 1dari 5

ARTI SEBUAH KELUARGA

Narator : Tuhan takkan pernah membiarkan kita sendirian, Ia kan selalu memberikan kita
kawan dikala suka dan duka, ya mereka adalah keluarga. Dalam drama ini kami akan
menceritakan tentang arti sebuah keluarga.
*di rumah
Ayah : “bu, anak2 udah siap berangkat sekolah belum”
Ibu : “oh iyah sebentar saya panggilkan anak2 ya pa, anak2 ayoo berangkat sudah siang”
Eza : “ayah aku udah ganteng belum nih ?”
Icha : “ibuuu aku ga bisa pake dasinya *dasi SD berantakan”
Ibu : “ya ampuun sini-sini ibu bantu”
Ayah : “nah sudah siap kan ayo berangkat”
Ibu : “ya sudah klo gitu ibu jga mau masak di dapur, sekalian bangunin ade”
*ayah, dan anak2 berangkat, sementara sang ibu pergi ke dapur (belakang panggung)
--suasana di sekolah Eza--
Eza : “eh coy gw ikutan gabung dong
Fajar : “eh sini ayo kita maen bareng”
Andi : “ayoo masbro sini”
*ketika sedang asyik bermain muncul seorang siswa laki-laki culun (pake kacamata, celanan
jojon, bawa buku pelajaran) menabrak mereka
*bruk
Ucup : “mmm ma ma maaf “
Eza : “eh lo yang bener dong kalo jalan”
Fajar : “eh lo mata udah 4 tetep aja ga ngeliat”
Andi : “mau gw lempar bola lo ? jawab woy ! (mendorong siswa cupu sampai jatuh)”
Ucup : “mma ma maaf saya ga sengaja”
Fajar : “ma ma maaf kata lo ? kalo bilang maaf masalah selesai ga bakalan ada yang
namanya penjara, pengacara, polisi sama yang lainnya wooyy”
*muncul 3 siswi*
Uthari : “eh kamu gapapa ?”
Ucup : “ga ga gapaaa” *omongan terputus*
Eza : “hhmm dia gapapa ko, tadi dia jatuh kesandung, makanya kita nolongin, yoi ga coy
?
Fajar+Andi: yoi masbroo” *Fajar dan Andi membangunkan siswa cupu*
Ester : “ah bohong kalian, kita liat ko kalian dorong dia”
Fajar : “ah masa sih ? ngga ko ngga”
Fanya : “temen-temen, kalian itu ga boleh kaya gitu. Ingat firman Tuhan di matius 19:19
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dririmu sendiri”.
Maka dari itu kita harus mengasihi teman kita”
Ester+utari: “That’s right fanya”
Ester : “dan ingat juga firman Tuhan pada Galatia 6:7b “karena apa yang di tabur orang, itu
juga yang akan dituainya”. Jadi kalau kalian saat ini berbuat jahat pada orang, maka tidak
menutup kemungkinan suatu saat nanti kalian dijahati orang”
Andi : “aah macam pendeta saja kau bicara”
Uthari : “Lho kita kan hanya mengingatkan kalian, ingat teman-teman Amsal 18 : 24 “Ada
teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada
seorang saudara”. Maka pandai-pandailah kita memilih teman, jangan sampai kita salah pilih
teman”
F+A+E : “oohh terus kita harus nortor sambil bilang wow gitu ? haha *meledek nortor sambil
bilang wow*
E+E+U: “it’s not good”
Ucup : “sudah teman-teman saya tidak apa-apa ko”
Fajar : “tuh kan gapapa, dia udah biasa ko, kalian aja yang rempong kaya ema-ema”
Eza : “hhmm uthari mamamu boru silaen ya ?”
Uthari : “lho ko tau ?”
Eza : “soalnya tak ada yg lain silaen dirimu dihatiku”
Uthari : “Hah ? Cius ? Miapa ?”
Eza : “Cius, Mie Gomak deh (muka kesel) eh dan kamu pasti boru sagala ya ?”
Uthari : “iyah bener, ko tau ? “
Eza : “soalnya sagala hidupku hampa kalau tanpamu”
Uthari : “aah kamu bisa aja” (sen
ggol eza, karna terlalu keras eza terjatuh)
---tengtengteng bunyi bel---
Ester : “eh udah bel tuh masuk duluan yu”
Eza : “kita juga mau masuk kelas ko, ayo bareng”
*Uthari dan Eza meninggalkan panggung*

Narator: “Ternyata kepanjangan dari SMP bukan lagi Sekolah Menengah Pertama,
melainkan Saatnya Mulai Pacaran. Ya begitulah kenyataannya, lalu bagaimana dengan
siswa Sekolah Dasar ?”

Guru : “Pagi anak-anak”


Murid : “Pagi pak guru”
Icha : “pak, ko kita duduknya di bawah sih, itu penonton aja duduk di kursi ?”
Guru : “Iyah gapapa ya, kalo kita duduknya di kursi nanti ga bisa bedain mana pemain dan
Penonton”
Murid : “Ooh gitu ya pak”
Guru : “nah sekarang kita mulai belajarnya ya. Kemarin ada PR membuat puisi kan ? nah
sekarang Risa kamu ke depan, baca puisimu”
Risa : “baik pak. Baca sekarang pak ?”
Guru : “iyah”
Risa : “eehh penonton, denger ya aku mau baca puisi. TERMENUNG” (baca judul dengan
keras kemudian diam dan tunduk)
Guru : “Loh loh, mana puisinya ?”
Risa : “Judulnya kan termenung pak, nah tadi itu puisinya, aku termenung”
Guru : “sudah sudah kamu duduk sana, Adit sekarang bagianmu”
Adit : “baik pak, eh penonton ? aahh ga keras suaranya, eh penonton ? (menyapa
penonton) denger ya aku juga mau baca puisi nih. SUARA HATI (baca judul dengan keras,
kemudian diam)
Guru : “Adit, mana suaranya ?”
Adit : “Lah kan suara hati pak, jadi baca puisinya dalam hati.”
Guru : “ya ampun, sudah-sudah duduk, sekarang bagianmu Icha, jangan seperti mereka
tadi ya”
Icha : “tenang pak, ehm siap-siap ya. AKU TAK MAMPU BICARA (baca judul dengan
keras, kemudian seolah berpuisi namun tanpa suara)”
Guru : “icha, mana suaranya ? keluarkan suaramu”
Icha : “pak, kan judulnya aku tak mampu bicara, jadinya ya ga ada suaranya”
Guru : “sudah sudah sekarang duduk lagi. Puisi kalian tak ada yang sesuai harapan
bapak, sekarang kalian jawab pertanyaan bapak. Kapan R.A. Kartini wafat ?”
Adit : “Laah ga tau kami pak, soalnya pa’pendeta belum pernah wartakan berita duka itu
di gereja pak. Iya kan teman-teman ?”
Icha+Risa: iyah bener pak.
---tengtengteng bunyi bel---
Murid : “bel pulaaannngg”
Guru : “ya sudah kalian boleh pulang, perbaiki Puisi kalian ya.”
Murid : “Siaap pak”
Guru : (menyusul keluar panggung)

*suasana di rumah*
Ibu dan Echa membersihkan rumah, kemudian Ayah muncul.
Ibu : “Lho ayah ko sudah pulang ?”
Ayah : “stress saya bu, perusahaan kita hampir bangkrut, hutang di bank belum dibayar,
karyawan minta naik gaji, sekolah anak lah, belum lagi pengobatan echa yang biayanya
besar tapi tetap saja dia ga sembuh-sembuh (nada marah)”
Echa : “Ayah, ayah ko jadi marah sama ade, ade salah apa yah ? (bicara selayaknya anak
cacat yang tak mampu bicara sempurna)”
Ayah : “Diam kamu, dasar anak ga berguna, dasar anak caa” (perkataan terputus oleh ibu)
Ibu : “Ayah, ayah ga boleh ngomong gitu” (nada sentak)
Ayah : “aah sudahlah kalian semua sama saja, lebih baik saya pergi”
Echa : “Ayah, ayah jangan pergi”
Ibu : (memeluk Echa) “nak, ayahmu sedang banyak masalah, jangan dengarkan
perkataannya ya”
Echa : “Ibu, aku ingin sendiri, tinggalkan aku” (nada menangis)
*ibu pergi meninggalkan panggung*
Echa : (merenung, berdoa, sambil diiringi lagu Ayah – seventeen)
Bapa, mengapa aku berbeda ? Mengapa aku tak sempurna ? Apa aku tak pantas jadi
sama seperti mereka ? Apa aku tak layak menjadi sempurna ?
Tuhan, telah banyak biaya yang ayah keluarkan untuk pengobatanku, namun mengapa aku
tak kunjung sembuh ? Kini ayah marah padaku, ia mencaciku, hancur hatiku Bapa ketika
ayah berkata itu. Percuma aku hidup Tuhan, jika aku hanya menyulitkan mereka. Aku
sayang mereka Tuhan, andai mereka tahu sulitnya menjadi aku, malunya menjadi aku
Ayah, engkau pahlawanku, ibu kau bidadariku, walau aku tak dapat sampaikan itu
padamu. Ku harap kalian juga menyayangiku

*Eza dan Icha mendengarkan di belakang, dan bersembunyi ketika Echa pergi
meninggalkan panggung*
(Echa bangun dan meninggalkan panggung, kemudian Eza dan Icha masuk panggung)
Icha : “ka, echa kenapa ya ?”
Eza : “kaka juga ga tau cha”
Ibu : “ada apa nak ?”
Eza : “tadi echa menangis bu, memang apa yang terjadi ?”
Ibu : “ceritanya begini (seolah bercerita)”
*kemudian ayah muncul*
Ayah : “hey ngapain kalian ? minggir minggir” (nada mabuk)
Eza : “Ayah, ayah ko mabuk begitu ?
Ayah : “Mabuk ? siapa yang mabuk hah ? (nada mabuk)”
Icha : “Ayah, ayah kenapa sih ? udah tua mabuk terus, inget sama kesehatan !” (nada
tinggi)
Ayah : “Diam kalian, kesehatan kesehatan memang kamu dokter ? so tau kesehatan kamu
!” (nada marah)
Eza : “Ayah, kita ini keluarga, seharusnya kalo ayah ada masalah ayah cerita sama kita,
bukan malah mabuk kaya gini” (nada tinggi)
Ibu : “Ayah, kalo ayahnya saja sudah begini gimana anak-anak nanti ? ayah seharusnya
berikan contoh yang baik untuk anak-anak !” (nada marah)
Ayah : “Diam kamu *plak (menampar ibu) jangan mengatur saya kamu. Anak sama ibu
sama saja, lebih baik saya pergi !” (kemudian ayah meninggalkan panggung)
Icha : “Ayah, ayah jangan pergi”
Eza : “Ibu, ibu gapapa ?”
Ibu : “Ibu tidak apa-apa nak”
Icha : “Ibuuu” *memeluk ibu*
*berdiam beberapa menit, kemudian bunyi suara telepon*
Echa : “Ibu, ada telepon” *mengantarkan telepon kepada ibu*
Ibu : “Halo selamat siang”
Telepon: “Selamat siang benar ini dengan kediaman Bapak. Yohanes ?”
Ibu : “Iyah benar, saya istrinya, ada apa bu ?”
Telepon: “Kami dari pihak kepolisian ingin menyampaikan, suami ibu, baru saja mengalami
kecelakaan besar karena ia mengendarai mobil dalam keadaan mabuk, mungkin ibu dan
keluarga bias langsung datang ke rumah sakit umum Jakarta untuk melihat langsung
keadaan bapak dikarenakan keadaannya sangat kritis.”
Ibu : “Apa ?” (nada kaget) *telepon genggam terjatuh*
Echa : “Ibu, kenapa bu ?”
Ibu : “Ayah kalian kecelakaan nak, dan sekarang keadaannya kritis”
Eza : “Ayah kecelakaan ?” (nada syok)
Icha : “Ayaahhh, aaayyyyaaahhh”
Ibu : “Ayo nak, kita bergegas ke rumah sakit”
*semua pemain meninggalkan panggung*
Narator: Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita, terkadang
banyak hal yang tak kita duga terjadi dalam kehidupan kita, namun ingatlah rencana indah
telah Tuhan siapkan bagi kita.
---suasana di rumah sakit---
*ibu dan anak-anak bersedih sejenak, kemudian datang teman-teman Eza dan Icha, serta
Ibu Guru
Guru : “selamat siang bu”
Ibu : “lho bapak, selamat siang pak”
Guru : “kami sudah mendengar tentang suami ibu, dan saya beserta anak-anak sengaja
datang kemari untuk menjenguk dan mendoakan kesembuhan bapak bu.”
Eza : “terima kasih bu, terimakasih teman-teman, kalian sudah repot-repot datang
kemari”
Fajar : “aah ngga ko masbro kita ga kerepotan”
Guru : “ya sudah kalo begitu kita doa bersama untuk kesembuhan ayah teman kita,
berdoa dimulai”
*seluruh pemain berdoa di panggung sambil diiringi lagu mujizat nyata*
Guru : “berdoa selesai”
Icha : “Terima kasih ibu dan teman-teman, semoga ayah bisa sembuh, semoga ayah bisa
merayakan natal bareng kita”
Risa : “tenang cha, ayah kamu pasti sembuh ko”
Uthari : “iyah, Tuhan ga akan kasi pencobaan yang melebihi kekuatan umatnya”
Ucup : “mujizat Tuhan itu nyata, yang penting kita yakin dan percaya.”
Guru : “benar kata teman-teman kalian nak, Tuhan Yesus pasti selalu bersama kita, Ia
pasti sembuhkan
penyakit ayah kalian. Kalo begitu kita permisi pulang ya bu.”
Ibu : “sekali lagi terima kasih pak.”
*Bapak guru dan teman-teman meninggalkan panggung, kemudian di susul oleh ibu dan
anak-anak*
Narator: Tuhan tak akan pernah memberikan pencobaan melebihi kekuatan kita. Keluarga
menjadi penguat kita di dunia ini. Ketika kita suka maupun duka, keluargalah yang selalu
setia mendampingi kita.

*musik natal, pemain masuk panggung (kecuali ibu, ayah dan echa)
Narator: Perayaan Natalpun telah tiba, semua siswa hadir dalam perayaan natal, namun
Eza dan Icha masih bersedih karena keadaan ayah mereka
Andi : “coy, bokap lu gimana kabarnya ?”
Eza : “Kemarin udah baikan, tapi kayanya ayah masih belum bisa datang”
Guru : “tenang aja, ayah kalian pasti datang ko, itu mereka”
*ayah, ibu dan echa masuk panggung (ayah memakain perban di kepala dan tangan)
Eza+Icha : aayyaaahh (menghampiri ayah)
Icha : “ayah sudah sembuh ?”
Ayah : “iya nak, berkat mujizat Tuhan dan berkat doa kalian semua. Maafkan ayah ya”
Eza : “maafin kita juga ya yah”
Guru : “nah, sekarang saatnya kita bersenang-senang anak-anak”
Semua : “yaaa selamat natal semua”
*semua pemain meninggalkan panggung sementara, dan bersiap untuk masuk panggung
kembali

Narator: Pemirsa, cerita ini hanyalah fiktif belaka, mohon maaf apabila ada kesamaan nama,
tokoh karakter ataupun peristiwa. Kami Pemuda Remaja SMPK Fajar Sion akan
menampilkan sebuah lagu special untuk Papa dan Mama kita. Papa, mama, ini semua
special untuk kalian.

*semua pemain naik panggung sambil membawa bunga mawar*


Pujian Bersama : Medley lagu Ayah – Seventeen dan Lagu Kenny – Cinta untuk mama
*saat menyanyikan lagu cinta untuk mama, semua pemain turun panggung dan
menyerahkan bunga
mawar untuk mama dan papa masing-masing, kemudian kembali ke panggung*

Anda mungkin juga menyukai