Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Secara historis Saudi Arabia dikenal sebagai salah satu negara muslim
terbesar dan dikenal pula sebagai tempat awal mula Islam masuk.Ia juga
merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama
karena di negara tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat
ibadah haji kaum Muslim seluruh dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa
dilepaskan dari wilayah Arab Saudi.Karena itu perkembangan hukum Islam di
Saudi Arabia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri.Membicarakan
hukum Islam samalah artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah
agama. Sebagaimana yang dikatakan Joseph Schacht bahwa tidak mungkin
mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. 1 Ini menunjukan bahwa
hukum sebagai institusi agama memiliki kedudukan yang sangat signifikan.
Pemerintah Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab
yakni pada tahun 1750 M, ketika Muhammad bin Sa’ud bersama dengan
Muhammad bin Abdul Wahhab2 bekerja sama untuk memurnikan agama Islam
yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al Sa’ud atau Abdul Aziz Ibnu
Su’ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz yang dulu dikuasai oleh Syarif
Husain dengan Najd.Pada tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari
penguasa Al-Rashid, kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah nejed antara tahun
1913-1926. Pada tanggal 8 Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah

1
2

1
Saudi Arabia merupakan Negara yang menggunakan sistem pemerintahan
berbentuk kerajaan.kepala negaranya adalah seorang raja yang dipilih oleh dan
dari keluarga besar Saudi.3Bahkan Undang-Undang Asas yang digunakan sejak
tahun 1992 menyatakan bahwa Arab Saudi merupakan satu kerajaan yang
diperintah oleh anak-anak dan cucu cicit Raja Abdul Aziz al Saud, dan Alqur’an
merupakan perlembagaan negara itu, yang diperintah mengikuti undang-undang
Islam (Syari’ah). Pengangkatan Raja tidak didasarkan pada pemilihan rakyat,
karena itu pembentukan partai dan pemilihan umum dilarang.Sementara itu,
Hukum yang digunakan adalah hukum syariat Islam dengan berdasarkan pada
pengamalan ajaran Islam yang juga didasari oleh pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’it tabi’in terhadap Al-Quran dan Hadits.
Selain menggunakan sistem hukum syariat, hukum yang dilaksanakan
pemerintah Saudi juga menerapkan peraturan-peraturan serta membangun
lembaga-lembaga menangani kasus-kasus yang tidak dicakup oleh syariat. Ini
dirancang supaya sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan melengkapinya,
bukan malah menggantinya. Hasilnya adalah sebuah system hukum ganda, yang
keseluruhannya berdasarkan syariat dan bersifat otonomi yang tidak terlepas dari
syariat.Kemudian Negara Saudi Arabia juga dikenal sebagai Negara yang
menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar konstitusinya dengan Madzhab
Hambali sebagai madzhab Negara. Hal-hal di atas berimplikasi pada penerapan
hukum publik maupun hukum privat di Negara tersebut khususnya hukum
keluarga.
Permasalahan dalam hukum keluarga biasanya tidak lepas dari masalah
Pembatasan umur perkawinan, Kedudukan wali nikah, Pencatatan nikah dll. Dari
permasalahan hukum keluarga di atas, masing-masing negara mempunyai
pandangan yang berbeda dalam menetapkan hukumnya. Kondisi adat istiadat
serta dominasi mazhab dan ideologi tertentu seringkali menjadi latar belakang

2
untuk menentukan suatu peraturan hukum. Berkenaan dengan permasalahan di
atas, makalah ini akan membahas mengenai hukum keluarga di Saudi Arabia
berikut sistem hukum yang diterapkan di sana.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam makalah ini
penulis akan membahas seputar hukum keluarga di Saudi Arabia dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah terbentuknyaKerajaan Saudi Arabia?
2. Bagaimana Propile Hukum Saudi Arabia?
3. Apa saja materi hukum keluarga di Saudi Arabia?

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SAUDI ARABIA


Saudi Arabia4 sebelumnya dikenal menjadi dua bagian, yakni daerah Hijaz
yang meliputi Pesisir Barat semenanjung Arab yang di dalamnya terdapat kota-
kota diantaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah serta daerah gurun sampai
pesisir timur semenanjung Arabia yang umumnya dihuni oleh suku-suku lokal
Arab (Badui) dan kabilah-kabilah Arab lainnya.
Pada dasarnya, berdirinya kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari peran
dua tokoh utama yaitu Muhammad ibn al-Alwahhab dan Muhammad ibn Su’ud.
Kedua tokoh inilah yang menjadi pondasi berdirinya kerajaan Arab saudi. Seperti
kerajaan-kerajaan lain sebelumnya, kerajaan Arab Saudi pun mengalami pasang-
surut antara masa-masa kejayaan dan kehancuran.
Sejarah modern Saudi Arabia dimulai dari kebangkitan gerakan
Muwahhidun pada pertengahan abad ke-18. Gerakan Muwahhidun5 adalah
sebuah gerakan yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam
seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Gerakan ini didirikan oleh
Muhammad Ibn Abd al-Wahhab dari Najd yang wafat pada tahun 1792. Pada
mulanya Muhammad ibn Abd al-Wahhab memulai dakwahnya di Uyaynah
dengan cara lemah lembut. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia mendapat
tantangan dari masyarakat dan akhirnya dia pindah ke Dira’iah. Tantangan ini
muncul karena ternyata kemudian ia keras dalam melaksanakan dakwahnya yang
telah mengusik keyakinan yang selama ini telah melekat dalam kehidupan umat
Islam.
Keadaan di Dira’iah pada waktu itu tidak menentu. Masyarakat hidup
bersuku-suku dan antara satu suku dengan suku lainnya hidup saling

4
5

4
bermusuhan. Pembunuhan, perampasan, dan perampokan antar suku merupakan
hal biasa, dalam kondisi yang seperti ini, kehadiran Muhammad ibn al-Wahhab
disambut oleh Muhammad ibn Sa’ud, penguasa Dira’iah pada saat itu. Keduanya
berhasil menjalin satu ikatan perjanjian dan sepakat akan mempertahankan
agama yang benar, memerangi bid’ah, serta menyiarkan dakwahnya ke suluruh
Jazirah Arab, dengan lisan terhadap yang menerima dan dengan pedang terhadap
yang menolak.6 Ibn Saud berjanji akan melindungi Muhammad ibn Abd al-
Wahhab dari serangan musuh, sementara Muhammad ibn Abd al-Wahhab akan
membantu Ibn Saud dalam mengembangkan kekuasaannya. Persekutuan antara
visi spiritual dengan ambisi kekuasaan tersebut menghasilkan gerakan religi –
politis yang gemilang dengan merebut dan menguasai Arab tengah dan Teluk
persia pada akhir abad ke-18.7
Pada tahun 1802 mereka menyerang Karbela dan menghancurkan kuburan
Husein yang merupakan kiblat golongan syi’ah. Tahun 1803 mereka menduduki
Mekkah dan pada tahun berikutnya mereka memasuki Madinah. Pada tahun 1805
mereka melanjutkan penyerangannya ke Syiria dan Irak, dan meluaskan
wilayahnya mulai dari Palmyra sampai ke Oman.8
Keberhasilan mereka ini menimbulkan kekhawatiran pemerintah Turki
Usmani di Istanbul. Sehingga pada tahun 1813 atas instruksi Sultan Mahmud II
memerintahkan Muhammad Ali, Gubernur Mesir saat itu, untuk mematahkan
gerakan Wahabi. Dengan mengirim satu ekspedisi dibawah pimpinan panglima
Tusun, Putra Muhammad Ali, namun ekspedisi ini dapat dipatahkan oleh
Wahabi. Beberapa tahun kemudian diberangakatkan ekspedisi kedua, dan
Muhammad Ali sendiri turut di dalamnya. Dengan dibantu putranya, Ibrahim
Pasya, ia berhasil memukul mundur kaum Wahabi. Makkah dan Madinah mereka

6
7
8

5
rebut kembali.9Peristiwa ini menandai runtuhnya kekuatan keluarga Sa’ud
periode pertama.
Dinasti Sa’ud yang kedua dimulai sejak Turki ibn ‘Abdillah berkuasa di
Riyadh pada tahun 1824.10 Akan tetapi kekuasaan mereka hanya meliputi Jazirah
Arab. Tahun 1834 M Turlki terbunuh dan digantikan oleh Faisal. Setelah Faisal
meninggal, suasana di Jazirah Arab menjadi kacau, para kepala suku Arab
mengambil alih kepemimpinan di daerah-daerah, dan keluarga Faisal terpaksa
mengungsi ke Kuwait. Dengan demikian, kekuasaan Dinasti Ibn Sa’ud berakhir
untuk yang kedua kalinya di Jazirah Arab.11
Periode ketiga merupakan periode kebangkitan kembali kerajaan Ibn Sa’ud
dengan bangunnya Abd Aziz ibn Abd Rahman al-Faisal al-Sa’ud dari
pengungsiannya (1880-1993 M). dan pada tahun 1901 berhasil mengembalikan
kejayaan kerajaan para pendahulunya dengan mengusai Riyad yang merupakan
ibu kota bersejarah kerajaan. Pada tahun 1921 ia menjatuhkan dinasti Rasyid, dan
tahun 1924 ia berhasil menguasai Mekkah, sedangkan Madinah dan Jeddah
ditaklukkannya pada akhir tahun 1925. Dengan demikian, seluruh Hijaz kembali
ke tangan Dinasti Sa’ud, dan sesudah itu mereka mengubah bentuk negaranya
menjadi Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sa’udiyah), dan
rajanya yang pertama adalah Abd Aziz. 12 Sampai saat ini Saudi Arabia tetap
berbentuk kerajaan, dan paham Wahabi juga tetap kuat di sana.

2.2 PROPIL HUKUM SAUDI ARABIA


Setelah Raja Abd Aziz menyatukan seluruh wilayah yang luas ke dalam
sebuah negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Saudi
Arabia. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351
H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru bagi sejarah kerajaan Saudi Arabia.

9
10
11
12

6
Bentuk pemerintahan KerajaanSaudi Arabia yaitu kerajaan berkostitusi dengan
kepala Negara Raja dan kepala pemerintahan perdana menteri. Negara Arab
Saudi beribu kota Riyadh. Raja memegang fungsi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Raja juga mempunyai hak istimewa untuk membentuk dan
membubarkan dewan menteri. Calon anggota dewan menteri harus bersumpah
setia kepada raja sebelum diangkat. Kendati dewan menteri sebenarnya
bertanggung jawab atas masalah pemerintahan, Badan ini juga menjadi badan
legislatif. Dengan demikian Saudi Arabia menggunakan sistim pemirintahan
Monarki. Kabinet bersama raja merupakan kekuasaan eksekutif dan regulatif
dalam negara.
Tahir Mahmood mengkategorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang
menerapkan hukum Islam secara tradisional, dimana hukum Islam tidak beranjak
menjadi sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh karena tidak adanya
peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, bukan
berarti Saudi Arabia anti kepada Undang-Undang yang bersifat tertulis. Dengan
demikian, memperjelas persoalan ini berikut penulis mengurai sedikit tentang
sejarah hukum Saudi Arabia.

2.2.1 Sejarah Hukum


Sebagaimana yang telah diuaraikan pada pembahasan sebelumnya,
bahwa hukum yang berlaku di Saudi Arabia adalah hukum yang berdasarkan
Syariat Islam dalam segala sendi kehidupan. Dengan mazhab Hambali
sebagai mazhab resmi.Pada dasarnya sejarah hukum Islam itu lahir tidak
terlepas dari agama Islam itu sendiri, yaitu sejak masa kenabian Muhammad
Saw. Dan wujud hukum Islam itu bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi
serta praktek atau sunnah Nabi sendiri.
Berkenaan dengan pemberlakuan hukum keluarga di dunia Islam,
menurut Tahir Mahmood13 bahwa Negara-negara Islam yang berpenduduk
13

7
muslim dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar, salah satunya adalah
Negara Saudi Arabia. Negara tersebut termasuk dalam Negara-negara yang
mengikuti atau memberlakukan hukum keluarga Islam secara tradisional,
dimana hukum keluarga Islam klasik tradisional diberlakukan menurut
mazhab yang bervariasi sebagai warisan yang bersifat turun-temurun, tidak
pernah berubah dan tidak pernah pula terkodifikasi hingga masa sekarang
ini. Di Saudi Arabia konstitusinya memerintahkan supaya semua legislasi
harus merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, dalam penerapan hukum
termasuk hukum keluarga di dalamnya. System hukum legal tradisionalnya
merujuk pada aliran mazhab Hanbali.
2.2.2 Status Konstitusional
Saudi Arabia tidak memiliki konstitusi formal. Kebanyakan dasar-
dasar konstitusional kerajaan terhimpun dalam Nizham Majlis al-Wuzara’
(Undang-undang Dewan Menteri). Undang-undang Dewan menteri ini telah
direvisi beberapa kali untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Raja Faisal dari tahun 1959 sampai 1960 berusaha serius untuk menciptakan
sebuah konstitusi baru Saudi Arabia, tetapi belum berhasil. Dalam masa
pemerintahannya (1964-1975), Faisal banyak melakukan perubahan, antara
lain mendirikan Kementerian Kehakiman (wizarah al-‘Adl) pada tahun 1970
sebagai induk kekuasaan yudikatif.
Dalam masa pemerintahan Raja Khalid ibn Abd al-Aziz (1975-
1982) pengganti Faisal juga ada upaya untuk membuat sebuah konstitusi
baru. Melalui berbagai musyawarah, Raja Fahd ibn Abd al-Aziz (1982-
2005) melanjutkan upaya pembaharuan konstitusi. Pada tanggal 27
sya’ban 1412 H, fahd menerbitkan Al-Marsum al-Malaki (titah Raja) No.
A/90 tentang basic Law of Government yang terdiri dari sembilan Bab
dan 83 pasal. Kedelapan bab tersebut adalah mengenai (1) Prinsip-prinsip
umum (2) sistem Pemerintahan, (3) Nilai-nilai masyarakat Saudi, (4)

8
Prinsip-prinsip ekonomi, (5) Hak dan Kewajiban, (6) Kekuasaan Negara,
(7) Urusan Keuangan, (8) Lembaga Audit, dan (9) Penutup.
Basic Low of Government tak ubahnya sebuah konstitusi. Pada
pasal 1 Bab I menyatakatan:
“Kerajaan Saudi Arabia adalah sebuah Negara Islam berdaulat.
Agamanya Islam. Konstitusinya adalah kitab Allah, al-Qur’an al-
Karim dan sunnah Nabi Muuhammad SAW, bahasa Arab adalah
bahasa kerajaan. Kota Riyad menjadi ibu kota negara”.14

Dengan demikian hirarki perundang-undang Arab Saudi jika


didasarkan pada teori murni Hans Kelsen, maka hukum yang
tertinggi adalah Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sedangkan
Hukum Dasar dan Undang-undang adalah peringkat kedua dan
ketiga.Dekrit Raja merupakan peringkat kempat. Ketiga jenis
pertauran perundang-undangan tersebut harus sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Alqur’an dan Sunnah
Rasulullah.
Perumusan hukum dasar, undang-undang dan dekrit Raja
karena didasarkan pada Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah, maka
semua aturan tersebut dikenal dengan hukum syari’ah. Berdasarkan
peringkat hierarki terebut, maka sumber penggalian hukum Arab
Saudi adalah 1) Wahyu (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah), dan 2)
ijtihad.

2.2.3 Sistem peradilan


Sebelum berdirinya kerajaan Saudi Arabia, di wilayah ini terdapat
tiga jenis peradilan. Pertama di wilayah Hijaz yang mempunyai sistem

14

9
yang lebih baik dibanding dengan wilayah-wilayah lain. 15 Kedua di
wilayah Najed (sekitar Riyad) mengikuti sistem tradisional turun temurun
berdasarkan tradisi yang berlaku. Sistem ini tidak pernah mengalami
pembaharuan. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh Hakim dan Amir
(raja atau keturunan yang menjadi penguasa) untuk kepentingan pihak-
pihak yang bersengketa. Ketiga, di luar dua wilayah di atas, penyelesaian
sengketa dilakukan berdasarkan kebiasaan di kabilah-kabilah tertentu
yang lebih bersifat arbritase (tahkim).16
Setelah kerajaan Saudi Arabia berdiri, ketiga sistem di atas dihapus
berdasarkan titah Raja(al-Marsum al-Malaki) tanggal 4 Shafar
1346H/1927 M. maka semua peradilan dirombak menjadi satu sistem.
Pada masa awal berdirinya kerajaan Saudi Arabia, mula-mula
peradilan berhubungan lansung dengan raja.17 Rajalah yang mensupervisi
peradilan dan putusan-putusan penting diserahkan kepadanya. Tetapi
kemudian ia mendelegasikan kewenangan ini secara bertahap kepada
hakim-hakim khusus serta membentuk badan-badan yang dibutuhkan
dibawah supervisi Raja. Pengaturan peradilan menjadi semakin rapih,
khususnya ketika raja Faisal mendirikan Kementerian Kehakiman pada
tahun 1962 dan mengangkat Menteri Kehakiman pada tahun 1970.
Di Saudi Arabia, terdapat sebuah badan yang berwenang membuat
segala peraturan demi ketertiban masyarakat. Beberapa peraturan tertentu
dibuat dengan Dekrit Raja yang bertindak tidak saja sebagai pelaksana
Eksekutif tetapi sekaligus juga pembuat Undang-undang. Seperti yang
terlihat pada pasal 24 titah raja menyatakan bahwaPeradilan di Saudi
Arabia terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu Peradilan Segera (al-mahakim
al-musta’jilah), Peradilan Syar’iyah (al-mahakim asy-syar’iyyah) dan

15
16
17

10
Badan Pengawas Peradilan (Hay’ah al-Muraqabah al-Qadha’iyyah).18
Sesuai dengan peraturan baru ini, maka dibentuk tiga peradilan di Jeddah,
Makkah dan Madinah. Sedangkan kota-kota yang lain mempunyai sistem
tersendiri yang juga diatur dengan peraturan tersendiri.
Peradilan segera (al-mamhakim al-mus’jilah) mempunyai
kewenangan dalam bidang perdata dan pidana. Kewenangan pidana
menyangkut kejahatan yang menimbulkan luka, qishash, pelanggaran
ta’zir tertentu dan hudud. Kewenangan perdata menyangkut masalah
keuangan yang tidak lebih dari 300 riyal dan putusannya tidak bisa
dibanding kecuali putusan yang menyalahi nushush (teks agama) dan
ijma (konsensus ahli hukum Islam).
Sedangkan pengadilan syar’iah menangani selain wewenang
peradilan segera dalam berbagai bidang sesuai kompetensinya. Putusan
diberikan berdasarkan ijma’. Sementara perkara pidana berat seperti
hukum potong tangan dan hukuman mati mengharuskan sidang pleno
peradilan.
Sedangkan Badan Pengawas Peradilan (Hay’ah al-Muraqabah al-
Qadha’iyyah) berpusat di Makkah dinamakan juga sebagai Peradilan
syari’at Agung (al-Mahkamah asy-Syar’iyyah al-Qubra) dan terdiri dari
tiga hakim. Ini merupakan peradilan banding untuk peradilan yang ada di
bawahnya dan sekaligus mengendalikan administrasi dan pengawasan
peradilan. Selain itu, Peradilan Syari’at Agung juga menerbitkan fatwa-
fatwa yang dimintakan kepadanya, mengawasi pendidikan dan kurikulum
pendidikan serta supervisi terhadap lembaga-lembaga Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar.19
2.3 MATERI HUKUM KELUARGA SAUDI ARABIA

18
19

11
Dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang Qodhi mengepalai
badan Pengadilan. Kekuasaan seorang Qadhi hanya terbatas pada persoalan
hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh Syariah. Kalau kasusnya
menyangkut pada peraturan yang diundangkan dengan dekrit Raja, maka yang
berhak mengadili bukan Qadhi, melainkan Gubernur atau kepala daerah
setempat.20
Di Negara-negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law,
sebagaimana telah disinggung di muka, maka hukum perkawinannya didasarkan
pada kitab-kitab fiqh mazhab yang dianutnya. Dalam hal ini Saudi Arabia hukum
perkawinannya sesuai dengan mazhab Hambali, yaitu pelaksanaan pernikahan
serta hal-hal lain yang terkait dengannya seperti halnya talak dan Rujuk pada
umumnya ditangani oleh para Ulama atau institusi keagamaan setempat yang
dianggap berwenang dalam menangani masalah keagamaan umat Islam.

2.3.1 Perwalian Pernikahan


Mengenai perwalian dalam pernikahan, kalau merujuk kepada
Mazhab Hambali, maka Wali dalam mazhab Hambali hukumnya wajib,
bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali. Seorang
perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya
ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan
untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak.
Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang
akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya
harus dipisahkan.21
2.3.2 Usia Pernikahan
Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi
masalah ini. Karena di Negara ini tidak di tetapkannya Undang-Undang
mengenai batasan minimal usia pernikahan, yang diterapkan hanyaah
20
21

12
hukum fikih yang sebenarnya yaitu seseorang dapat menikah kapanpun
asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam madzhab yang dianutnya,
dimana mayoritas mereka bermazhab Imam Hambali.
2.3.3 Poligami
Begitu pula dengan masalah poigami, Saudi Arabia tidak memiliki
hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Tidak ada batasan atapun
tata cara yang khusus mengenai prosedur yang harusnya dilakukan bagi
para suami yang ingin berpoligami. Poligami diperbolehkan untuk pria
tetapi terbatas pada empat istri pada satu waktu.
2.3.4 Perceraian
Pria memiliki hak unilateral untuk menceraikan istri mereka tanpa
perlu dasar hukum. Perceraian adalah efektif dengan segera. Istri bercerai
dapat mengklaim dukungan keuangan untuk jangka waktu empat bulan
dan sepuluh hari sesudahnya. Seorang wanita hanya dapat memperoleh
perceraian dengan persetujuan dari suaminya atau secara hukum jika
suaminya telah merugikan dirinya. Dalam praktek, sangat sulit bagi
seorang wanita Saudi untuk mendapatkan perceraian pengadilan.
2.3.5 Hak asuh anak dan perwalian
Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus
perceraian. Meskipun begitu, hakim dapat mempertimbangkan kebugaran
orang tua dalam pemberian perwalian, apabila seorang ayah yang
ditunjuk untuk menjadi orang tua yang mendapatkan perwalian anak
sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek dan nenek dari pihak
ayah adalah yang diserahi tanggung jawab atas anak tersebut.

2.3.6 Perjanjian Perkawinan


Dalam Islam, seorang wanita diperbolehkan untuk mengajukan
syarat atau perjanjian pernikahannnya selama tidak melanggar ajaran
Islam. Dia kemudian berhak atas suatu "perceraian bersyarat" jika salah

13
satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. Hasil dari
perceraian tersebut dianggap final dan seorang suami tidak boleh kembali
kepada istrinya selama tiga bulan masa 'iddah. Selama waktu ini pasangan
dapat merevisi keputusan mereka dan dapat menghidupkan kembali
perkawinan mereka jika mereka telah menyelesaikan perbedaan atau
perselisihan diantara mereka.
Semua Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam perkawinan
adalah sah, dan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berarti
membatalkan kesepakatan. Syekh Abdullah al-Manii, anggota Dewan
Ulama Senior Saudi, mengatakan bahwa seorang wanita sah menceraikan
suaminya setelah sang suami melanggar syarat dalam perjanjian
perkawinan mereka yang salah satu poinnya adalah bahwa suaminya itu
tidak akan menikah dengan wanita lain selama mereka masih bersama.
2.3.7 Kewarisan
Secara umum, hukum kewarisan Islam pada dasarnya tetap berlaku
dihampir atau bahkan diseluruh dunia Islam.Baik dunia Islam yang
mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-undang, maupun
yang belum mengatur hukum kewarisannya dalam bentuk undang-
undang. Negara Islam atau negara berpenduduk Muslim yang telah
mengundangkan hukum kewarisan, ada yang menggabungkan hukum
kewarisannya dengan undang-undang perkawinan dan ada pula yang
memisahkannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan tersendiri.
Saudi Arabia termasuk ke dalam Negara yang tidak menjadikan
hukum kewarisannya ke dalam undang-undang akan tetapi mereka
mengatasi masalah waris mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.22
Mengenai warisan bagi agama non Muslim, dikalangan Saudi
Arabia tidak memperbolehkan penganut agama lain untuk saling

22

14
mewarisi. Dengan demikian seorang yahudi tidak bisa mewarisi orang
nasrani, dan begitu pula sebaliknya.
3.1 Analisis Penerapan Hukum Keluarga Saudi Arabia atas kasus Nikah di bawah
umur
Penggunaan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai hukum yang dipakai untuk
mengatur hukum keluarga oleh Saudi Arabia menyebabkan para hakim, ulama
dan mufti harus lebih banyak mengeluarkan ijtihadnya dikarenakan umumnya
sumber hukum yang mereka miliki. Tidak jarang para ulama tersebut mengalami
perbedaan pendapat mengenai masalah yang sama.
Baik Al-Qur’an maupun as-Sunnah secara konkrit tidak menentukan batas
usia bagi pihak yangakan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya diberikan
berdasarkan kualitasyang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat
an-Nisa’ ayat 6:
Terjemahnya;
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,
kemudianjika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara
harta), makaserahkanlah kepada mereka harta-hartanya”.23

Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam ayat di
atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi
suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa berjalan sempurna, jika
dia belum mampu mengurus harta kekayaan.
Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undang-
undang sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban
atasperbuatannya dan mempunyai kebebasan menentukan hidupnya setelah
cukupumur (baligh). Baligh berarti sampai atau jelas. Yakni anak-anak yang
sudahsampai pada usia tertentu yang menjadi jelas baginya segala
urusan/persoalanyang dihadapi. Pikirannya telah mampu

23

15
mempertimbangkan/memperjelas manayang baik dan mana yang buruk. 24
Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang. Tanda-tanda mulai
kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan apabila telah
mengeluarkan darah haid bagi orang perempuan.
Ukasyah Athibi dalam bukunya Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya,
menyatakan bahwa seseorang dianggap sudah pantas untuk menikah apabila dia
telah mampu memenuhi syarat-syarat berikut: 1) Kematangan Jasmani 2),
kematangan finansial/keuangan 3), Kematangan Perasaan 4).25
Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam
tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek fisik. Hal ini dapat dilihat dari
pembebanan hukum bagi seseorang (mukallaf). Dalam Ilmu Fiqh, tanda-tanda
baligh atau dewasa ada tiga, yaitu:
1. Menurut ulama’ Hanafiyah genap usia lima belas tahun bagi laki-laki
dan perempuan.
2. Mimpi keluar sperma (mani) bagi laki-laki.
3. Haid (menstruasi) bagi perempuan bila sudah berusia sembilan
tahun.26
Dengan demikian, usia pernikahan bagi seorang wanita menjadi penting
artinya bagi kemaslahatan wanita itu sendiri.Diskursus tentang pernikahan dini
sebenarnya bukan hal baru untuk diperbincangkan.Bagi orang-orang yang hidup pada
awal abad 20 atau sebelumnya, pernikahan dini adalah sesuatu yang biasa dilakukan,
bukan sesuatu yang dinilai tabu dan tidak penting untuk dimunculkan ke permukaan.
Seiring berkembangnya zaman, image yang berkembang di masyarakat justru
sebaliknya. Arus globlalisasi yang melesat sangat cepat banyak merubah paradigma
berpikir masyarakat secara luas. Pernikahan di usia yang sangat belia dianggap sebagai
sesuatu yang tabu, karena dipandang sebagai banyak membawa efek negatif khususnya

24

25
26

16
bagi pihak perempuan. Sekalipun demikian fenomena pernikahan dini masih banyak
dijumpai.
Demikian juga halnya di Saudi Arabia, bahwa isu pernikahan di bawah umur
menjadi perhatian khusus Mohamed al-Isa, Menteri Kehakiman Saudi Arabia,
hingga mengatakan keharusan pemerintah untuk membuat regulasi tentang
perkawinan di bawah umur setelah melihat fenomenaseorang pria berusia 47 tahun
menikahi seorang anak perempuan berusia 8 tahun.
Kasus ini sempat ramai di pengadilan Saudi, bahkan sampai ke tingkat
pengadilan banding. Namun hakim yang menangani perkara, hakim Syaikh
Habib al-Habib, lagi-lagi menolak membatalkan pernikahan tersebut, meski
mempelai perempuan masih di bawah umur. Dengan alasan, begitu seorang anak
perempuan sudah mengalami pubertas (menstruasi) dia bisa memutuskan sendiri
apakah akan melanjutkan pernikahan atau akan mengurus proses perceraian.
Lebih dari itu, Syaikh Abdul Aziz Al-Syaikh, Mufti Saudi Arabia, mengatakan
bahwa menikahkan anak perempuan yang masih berusia 15 tahun atau kurang
tidak melanggar syariah Islam, bahkan menurutnya syariah Islam memberikan
keadilan bagi kaum perempuan.27
Terjadinya pernikahan dini tidak terlepas dari tradisi dan pandangan
masyarakat terhadap pernikahan dan keluarga. Paling tidak terdapat dua alasan
utama terjadinya pernikahan dini, pertama, pernikahan dini sebagai strategi untuk
bertahan secara ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu factor utama yang menjadi
tiang pondasi munculnya pernikahan dini. Pernikahan dini meningkat ketika tingkat
kemiskinan juga meningkat. Penyebab kedua adalah untuk melindungi anak
gadisnya. Pernikahan adalah salah satu cara untuk memastikan anak perempuan
mereka terlindungi sebagai sitri, melahirkan anak yang sah dimata hukum dan akan
lebih aman jika memiliki suami yang dapat menjaga mereka secara teratur.
Seorang Praktisi hukum di Saudi, Abdul Rahman Al-Lahem
mengungkapkan, kasus-kasus pernikahan di bawah umur anak-anak perempuan

27

17
Saudi dengan lelaki yang jauh lebih tua, biasanya terjadi karena pertimbangan
masalah finansial.28
Kalau implikasi di atas yang terjadi, maka perlu dilihat kemungkinan lain yang
berkaitan erat dengan tren di atas. Bahwa keberadaan regulasi tentang usia
perkawinanmenjadi sebuah hal yang menarik.Karena masalah pernikahan anak
merupakan masalah yang sangat serius dan bahkan menjadi sorotanKomunitas
internasional.
Hal dan sisi yang menarik adalah bahwa bagaimana pengaruhnya terhadap
pendidikan, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan
reproduksi, anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologi anak. Dalam konteks seperti
ini, posisi dan nasib wanita sebagai korban pernikahan dini dapat lebih memprihatinkan
dan tragis lagi. Oleh sebab itu, aplikasi hukum keluarga pada masyarakat Saudi
Arabia, banyak menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena
dianggap melanggar nilai-nilai sosial oleh sebagian masyarakat dunia.
Terakhir, realitas atas kasus pernikahan dibawah umur yang terjadi di
Saudi Arabia dapat dijadikan pembanding dalam kajian hukum Keluarga Islam,
bahwa ketiadaan regulasi atas undang-undang pernikahan melahirkan
diskriminasi bagi kaum perempuan secara sosial. Hanya saja seperti yang terlihat
dalam makalah ini, regulasi tentang usia perkawinan di Saudi Arabia berjalan
lamban mengingat perubahan tersebut menyentuh persoalan-persoalan kultural,
yang menurut sejumlah ilmuan sosial, sulit untuk berubah.

BAB III
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan pada makalah ini, maka dapat disimpulkan
bahwa:

28

18
1. Terbentuknya kerajaan Saudi Arabia, tidak terlepas dari peran dua
tokoh utama yaitu Muhammad ibn Abd Wahhab dan Muhammad ibn
Sa’ud, dari persekutuan antara visi spiritual dengan ambisi kekuasaan
telah melahirkan gerakan religi politis yang menghasilkan kesuksesan
gemilang dalam bentuk kekuasaan atas hijaz secara keseluruhan dan
dengan demikian merubah bentuk negara menjadi kerajaan Arab Saudi
(al-Mamlakah al-Arabiayah al-Sa’udiyah) pada akhir tahun 1925.
Dengan raja pertama adalah Abd Aziz.
2. Saudi Arabia adalah salah satu negara di timur tengah dalam bentuk
kerajaan. Dan termasuk dalam negara-negara yang mengikuti dan
memberlakukan hukum keluarga Islam secara tradisional, dimana
hukum keluarga Islam klasik tradisional diberlakukan menurut Mazhab
yang bervariasi sebagai warisan yang bersifat turun temurun, tidak
pernah berubah dan tidak pernah terkodifikasi hingga sekarang. Dalam
hal ini Saudi Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan mazhab
Hambali.
3. Beberapa masalah yang berkaitan dengan hukum keluarga yang ada di
Saudi Arabia adalah: perwalian pernikahan, usia pernikahan, poligami,
perceraian, hak asuh anak dan perwalian serta perjanjian perkawinan.
4. Isu pernikahan di bawah umur yang terjadi di Saudi Arabia,banyak
menghadapi masalah-masalah yang perlu diperhatikan karena dianggap
melanggar nilai-nilai sosial oleh sebagian masyarakat dunia. Oleh
karena itu, regulasi tentang usia perkawinan menjadi sangat penting
demi kemaslahatan perempuan itu sendiri menyangkut pengaruhnya
terhadap pendidikan, kekerasan terhadap rumah tangga, dampak
terhadap kesehatan reproduksi dan kesehatan psikologi anak.
Terakhir, realitas atas kasus pernikahan dibawah umur yang terjadi di
Saudi Arabia dapat dijadikan pembanding dalam kajian hukum
Keluarga Islam, bahwa ketiadaan regulasi atas undang-undang

19
pernikahan melahirkan diskriminasi bagi kaum perempuan secara
sosial. Hanya saja regulasi tentang usia perkawinan di Saudi Arabia
berjalan lamban mengingat perubahan tersebut menyentuh persoalan-
persoalan kultural, yang menurut sejumlah ilmuan sosial, sulit untuk
berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.A. Mukti Aliran-aliran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Djambatan,
1995

20
Azizy, A.Qodri Hukum Nasional, Eklektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum,
Jakarta: Teraju, 2004
Athibi,Ukasyah,Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya, Jakarta: Gema Insani, 1998,
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegero, 2006
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jakarta, Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997
Al-Hadhrami, Salim Bin Smeer Safinatun Najah, terj. Abdul Kadir Aljufri, Surabaya:
Mutiara Ilmu Desember 1994
Gibb,H.A.R Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990
John L. Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1990
Mahmood,.Tahir Familiy Law Reform in The Muslim World. Bombay: The Indian
Law Institute New Delhi. 1972
Mujieb, M. Abdul, et.al., Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Qudamah,.Ibn Al-Kafi Fiqh Ahmad Ibn Hambal Kitab Nikah. (Maktabah Syamilah
Vol 2) Juz 3.
Rusli,,Dr.H. Ris’an Pembaharu Pemikiran Modern dalam Islam Jakarta: Rajawali
Pers, 2014
Sjadzali,Munawir, Islam dan Tata Negara (ajaran, sejarah dan pemikiran), Jakarta;
UI Press 1993
Suma, Muhammad Amin Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005
Suma,Muhammad Amin Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT.
Grapindo Persada, 2005
az-Zuhaili, Muhammad at-Tanzhim al-Qadha’I fi al-Fiqh al-Islami Damaskus: Dar
al-Fikr, 2002
(http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InsectionID=5703.
http://www.perisai.net/agama/saudi_bakal_larang_pernikahan_dibawah_umur/
kirim#axzz2BALJ5L7I,

21

Anda mungkin juga menyukai