PDF False Idol Bab64-67
PDF False Idol Bab64-67
Egalita
***
***
***
***
***
***
Di dalam mobil tahanan, aku mengamati
wajah sembab Egalita, merasa bersalah karena
telah menjadi sebab tangisannya tanpa mampu
melakukan apapun mengingat tanganku yang
kini diborgol, juga polisi yang duduk bersama
kami. Tanpa suara, ia memalingkan wajahnya
ke arahku, tatapannya menuduh. Semua ini
memang kesalahanku sendiri. Karena hilang
kendali, aku telah memaksa kami berdua tiba
di titik ini.
Anehnya, setelah puas melampiaskan rasa
takut dan kegilaanku pada adik tiriku,
perlahan-lahan otakku kembali normal.
Telepon Yanis yang memberitahukan kalau
polisi akan datang menjemput kuterima
dengan tenang. Rasio dan akal sehatku telah
kembali. Di kamar tadi aku memeluknya erat
dengan sedikit waktu kami yang tersisa,
menyempatkan diri mandi dan
mengembalikan semua benda-benda Ega agar
dia bisa mengurus dirinya sendiri seandainya
aku harus menginap di tahanan.
Apapun yang harus kutanggung nanti aku
berharap agar aku tidak akan ditahan terlalu
lama. Bukan karena ide tentang menghabiskan
malam di hotel prodeo menggangguku, tetapi
lebih karena aku tak ingin membuat Ega dan
adik-adikku yang lain khawatir.
Mataku beralih turun, mengamati kaki
Ega yang terbungkus sneakers. Tiba-tiba
dikuasai oleh keinginan aneh untuk
melepasnya dan melihat kaki telanjang Ega,
menciuminya... aku memalingkan muka,
berusaha melupakan keberadaan gadis itu di
dalam ruang sempit ini. Tak ingin melihat rasa
kasihan di matanya, menyaksikanku berubah
menjadi pesakitan hanya dalam kurun waktu
semalam.
Aku mesti menghabiskan malam itu tidur
di lantai beralaskan tikar kotor karena tak
bersedia memberikan keterangan sampai
didampingi pengacara. Mataku nyalang
menatap langit-langit, meringkuk
membelakangi dinding. Di dalam sel itu aku
hanya sendirian, tetapi di sel sebelahnya
terdapat satu orang lelaki yang tertidur pulas.
Pikiranku mengembara dan mengulang
rentetan peristiwa yang terjadi hari ini,
bertanya-tanya bagian mana yang bisa kuubah
agar tidak berakhir sama seperti sekarang. Ah,
mungkin alih-alih turun tanpa
membangunkannya tidur siang, seharusnya
aku bercinta sepuasnya dengan Ega dan tak
membiarkannya lepas dari pengawasanku.
Lihat saja, meleng sedikit dan begini
akibatnya.
Hanya saja, kalau diminta untuk
mengurungkan perkelahianku dengan Galih,
aku tak yakin bisa melakukannya, bahkan jika
konsekuensinya sama. Mengingat kejadian di
bar itu membuat darahku mendidih lagi. Aku
akan mengulanginya ratusan kali jika perlu,
kalaupun hanya demi mengirimkan pesan
subliminal ke benak adikku bahwa perbuatan
seperti itu tidak akan pernah bisa kutolerir.
Lebih baik Ega berpikir panjang kalau ia ingin
mengulanginya lagi.
Aku tak menyadari seberapa besar
implikasi perbuatanku itu hingga pengacara
yang disewa papa untuk mendampingiku
datang keesokan harinya. Dari pembicaraan
singkat kami, aku mempelajari kalau lama
hukuman untuk penyerangan mendadak
seperti ini paling banyak setahun enam bulan
menurut undang-undang. Ia menjabarkan
padaku beberapa pilihan, tetapi mengingat
banyaknya saksi mata malam itu, juga
rekaman CCTV tidak ada gunanya mengelak
kalau memang akulah yang memulai
perkelahian itu sementara Galih bahkan tak
mencoba membela diri dan jelas-jelas korban
dalam kasus ini.
Ia menyarankan agar dilakukan
pendekatan kekeluargaan dengan korban
sembari berharap mereka tidak akan menuntut
lebih lanjut dan bisa diberi uang damai.
Namun belakangan kami mendapati kalau
bukan hanya Galih, pihak hotel juga
mengajukan tuntutan karena perusakan dan
pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi
di premis bangunan milik mereka.
Setelah selesai dilakukan pengambilan
keterangan selama beberapa hari dengan
berbagai saksi, pengacaraku akhirnya
mendapatkan izin untuk membayarkan uang
jaminan dengan jumlah yang tidak sedikit
seperti perintah papa. Papa marah besar, tapi
bahkan kejadian ini tak cukup untuk
membuatnya memprioritaskanku di atas entah
bisnis apa yang sekarang sedang diurusinya di
luar negeri. Kabar yang kudengar, orang tua
Galih tidak bersedia menerima permintaan
maaf dari pengacara yang mewakili keluarga
kami. Aku tidak menyalahkan mereka.
Pengacara yang meminta maaf sambil
menawarkan uang ganti rugi? Kedengarannya
lebih mirip usaha untuk menyuap ketimbang
tulus meminta maaf. Di hari kelima setelah
penangkapan, akhirnya aku menghirup udara
bebas, meski hanya untuk sementara waktu.
Lagi-lagi satu demi satu kejutan
menantiku di rumah. Surat pengeluaranku dari
kampus yang telah ditanda-tangani oleh Dekan
telah menanti. Sepertinya orang tua Galih
tidak menunggu lama-lama untuk melaporkan
perbuatanku ke kampus dan menuntut mereka
mengambil tindakan tegas. Terlepas dari
berbagai prestasi yang telah kuraih sebelum
ini di kampus, mereka tak segan
memasukkanku ke daftar drop out. Aku tak
menyalahkan tindakan orang tua Galih,
mereka pantas mendapatkan keadilan. Diam-
diam aku justru merasa iri pada perhatian yang
tumpah ruah ketika si brengsek itu ditimpa
kemalangan. Ah... Di sini Theodore Rahardian
berada, memiliki masalah besar di hadapanku,
tapi aku justru sibuk merasa iri.
Prioritas, Theo.
Ternyata itu bukan satu-satunya kabar
buruk yang kuterima hari itu. Malamnya Yanis
dan Mutia datang ke rumah dan mengabarkan
kalau proyek kami mangkrak karena investor
kami mundur. Lebih lanjut, mereka meminta
ganti kerugian sebanyak 50% dari total uang
yang mereka gelontorkan sebagai bagian dari
klausul perjanjian yang telah kami sepakati.
Putus asa, Yanis memberitahuku kalau mereka
kini tengah dalam upaya menjual ide dan
program jadi aplikasi itu ke perusahaan yang
bersedia mengakuisisinya. Setidaknya uang itu
bisa dipakai untuk membayarkan hutang-
hutang kami.
Abel, Dina dan Egalita yang duduk
melingkar di lantai karpet terlihat sibuk
dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi
aku tahu kalau mereka juga sedang
mendengarkan percakapan kami diam-diam.
Aku mengamati Yanis dan Mutia, tak
mempercayai keberuntunganku karena
memiliki teman dengan kesetiaan tak
tergoyahkan seperti mereka. Ketika mereka
bisa saja pergi menjauh mendapatiku seperti
ini, mereka justru tinggal dan berusaha
mengatasi keadaan semampu mereka. Loyal
sampai akhir. Dan kesetiaan itu bukan hanya
mereka tunjukkan padaku, tapi juga pada
Galih.
“Theo... Kenapa sih kamu tega?” tanya
Mutia ketika tak sanggup lagi menahan rasa
penasaran dan sakit hatinya.
Aku hanya menatapnya kosong,
mengangkat bahu. “Sudah kukasih tahu kalau
Ega dan Dina off limit,” jawabku datar tanpa
emosi.
“Masa hanya gara-gara itu...” suara Mutia
terdengar lirih.
“Gimana keadaannya?” tanyaku
memotong, mengalihkan pembicaraan.
“Lumayan membaik. Hidungnya patah,
tiga giginya tanggal, perdarahan dalam di
daerah perut.” Yanis menjabarkan cepat.
Mengernyit mendengarnya, mau tak mau
aku merasa bersalah.
“Kalau semua sudah selesai... kamu mau
ketemu Galih?”
“Nggak akan pernah,” jawabku tegas.
Galih telah memaksa melewati garis pembatas
yang telah kutetapkan. “Untukku, dia nggak
pernah ada.”
Sambil mengatakannya, aku berusaha
menahan diri untuk tidak memalingkan muka,
menatap mata hitam keabuan milik Egalita
Manar. Tanpa harus kukatakan, kami berdua
tahu bahwa dia adalah pemicu seluruh rentetan
peristiwa itu.
***