Anda di halaman 1dari 74

Bab 64

Egalita

‘Bantuan krusial dari Ega’ yang disebut


Theo itu rupanya tidak terlalu krusial karena
nyatanya 99% pekerjaannya telah selesai dan
kini aku tahu pasti kalau ia mesti bolak-balik
menjemputku hanya karena ingin ada aku di
dekatnya yang siap sedia menerima ‘jatah’
pemberian kakak. Seperti sekarang, setibanya
kami di kamar hotel yang disewakan untuk
timnya, kakak tak membuang waktu dan
membimbingku masuk ke kamar yang sudah
ditempatinya sejak seminggu terakhir. Bahkan
ketika kami berpapasan dengan Kak Mutia,
Yanis dan Galih, ia tak banyak berbasa-basi
dan langsung menggiringku naik.
Tujuannya jelas hanya satu: Theo tidak
tahan ingin mengerjaiku lagi di atas kasur.
Seperti kebiasaannya selama ini, nafsunya
sulit untuk dijinakkan ketika kami bertemu
setelah berpisah beberapa minggu. Setidaknya
perlu belasan ronde sebelum ia terpuaskan.
Aku sedikit was-was karena teman-teman
kakak tadi memandangi kami aneh, mungkin
bertanya-tanya mengapa aku ada di sini.
Segera setelah kamar pintu hotel kami
tertutup, Theo mendorongku masuk tak sabar,
menjatuhkan tasku serampangan ke lantai.
Kakak meraih pantatku, meremasnya kasar. Ia
menggendongku sambil tak hentinya
menjulurkan lidah, mencari setiap titik di
dalam mulut, leher, pundak dan dadaku hingga
tak luput dari jelajahnya. Rasa-rasanya tubuh
ini seperti sansak yang menjadi sasaran
berahinya dan digerak-gerakkan seperti
boneka ventriloquist sesuai kemauan Theo.
Pantat telanjangku terpapar dingin ketika
menyentuh permukaan kaca meja rias. Theo
meletakkan tubuhku di atas meja, sembari
meraup lembaran kertas-kertas dan pulpen,
mendorongnya tak sabar hingga berjatuhan ke
lantai. Bibirku dipagutnya sembari tangannya
melucuti satu persatu pakaian yang
kukenakan. Wajah dan lidahnya bergerak-
gerak ke segala arah, membuatku hanyut dan
tak sadar ketika atasan dan bra yang
kukenakan akhirnya melonggar. Celana
jeansku melorot hingga ke pergelangan kaki
berikut celana dalam, menyisakan area
privatku yang tak lagi ditutupi oleh sehelai
benangpun.
Kakak merasa tak perlu menyiapkanku
terlebih dulu. Kejantanannya yang mengeras
tegak, tersarung rapat ke dalam tubuhku.
Kepedihan yang mesti kutahan-tahan seperti
semalam akhirnya terulang lagi. Masih
terbayang, perlakuannya yang merendahkan.
Kali ini pun rasanya tak jauh berbeda. Kakak
membuka kedua pahaku lebar hingga
selangkangan kami menyepak jadi satu setiap
kali ia bergerak maju. Ia mencium bibirku
penuh gairah, tapi hati kecilku meneriakkan
lagi kata-kata kasar yang diucapkannya
semalam padaku. Menimbang bahwa kakak
kini hanya memerlakukanku seperti alat yang
dipakai untuk memuaskannya. Seperti boneka
seks yang kapanpun bisa dikembangkan dan
dipakai hingga kempis.
“Jepit Ga,” desis Theo memintaku
mengetatkan mulut kemaluanku di
sekelilingnya. “Oh, fuck. Ya, kayak gitu,
bener. Nggh, enak parah...” racaunya sambil
susah payah membobol masuk meskipun aku
berusaha menahan miliknya agar diam di
tempat. Ia terlihat senang melihatku
kepayahan karena tak kuasa menghentikan
desakan, gerakannya yang makin brutal. Tawa
terkekeh keluar dari bibirnya, tapi ekspresi
memelasku tak cukup... tak pernah cukup
untuk menghentikan kakak mengambil yang
dimauinya. “Paling enak. Meki paling enak di
seluruh dunia,” ujarnya geli.
Jari kakak menyentuh kelembutanku,
memanipulasinya hingga akupun turut
menikmati perbuatan kami. Suara meja
membentur dinding terdengar makin keras,
seiring dengan bertambahnya tempo gerakan
kakak.
Ketukan di pintu terdengar keras,
membuatku seketika waspada. Hilang sudah
lapisan demi lapisan kenikmatan yang
terbangun dan sebentar lagi sampai puncak,
digantikan oleh kengerian karena takut
tertangkap basah. Sisi rasionalku
mengingatkan kalau pintunya terkunci, tentu
orang di luar tak akan bisa masuk ke dalam.
“Yo... Theo, cepet keluar bentar aku mau
bicara.” Suara Galih terdengar dari balik pintu.
Sisi penanda bahayaku yang lain
memberikan alarm: kalau suara dari luar saja
terdengar begitu jelas, bagaimana dengan
suara dari dalam?
Tak senang karena kegiatan kami
terganggu, juga perhatianku yang teralih
darinya, Theo memicingkan mata menatapku
curiga. Semua itu tak menghentikan kerja
tubuh bagian bawahnya. Ia meraih kedua sisi
pinggangku dari bawah paha yang
mengangkang lebar, memasukkan
kejantanannya berulang kali hingga jauh ke
dalam. Tak kuasa menahan erangan demi
erangan yang nyaris keluar dari bibirku, aku
menggigit punggung tangan, membekap
mulutku sendiri.
“K-kak... ad—uhh... ada oorang,”
rengekku memintanya berhenti. Kegilaan
Theo akhir-akhir ini seperti tidak memiliki
kontrol lagi. Mendengar suara sahabatnya di
muka pintu, bukannya Theo berhenti, kakak
tiriku itu justru makin menjadi. Giginya kini
bersarang di ceruk leherku. Sedu sedan
napasnya terdengar seperti deru kereta cepat.
“Trus... kenapa?” bisiknya terengah.
“Yo,” panggil Galih lagi sambil mengetuk
pintu kamar kami.
“Kalau ada orang, memangnya kenapa?”
ejek Theo. Ia melepaskan ereksinya keluar,
terlihat licin dan basah oleh cairan milikku
yang membuatku merasa mesum. Bibir dan
pikiranku boleh jadi mencerca perbuatan Theo
itu, tapi bukti basahnya membuat Theo
tersenyum pongah karena merasa berhasil
menguasaiku dengan nafsu yang sama
besarnya dengan milik kakak. “Kalau aku
belum selesai, ya nggak akan berhenti,”
ujarnya kalem.
Kakak membalik tubuhku hingga
membungkuk, perutku menempel ke
permukaan meja yang terasa dingin. Pantatku
menungging di hadapannya, mengundang
Theo untuk melanjutkan perbuatannya lagi.
Tanpa membuang waktu, Theo menusukku
lagi sambil menarik rambutku ke belakang
lewat genggaman kuat.
“Theo,” panggil Galih, masih belum
menyerah.
“Bentar Lih,” balas Theo sembari
membungkuk, meraih daguku agar melihat ke
arah cermin di depan kami. Memalukan sekali,
mesti melihat ekspresi mesum tak berdaya
milikku seperti ini. Aku ingin melengos tapi
Theo menahan wajahku agar tetap melihat ke
depan. Kami berdua bertatapan lewat cermin,
ekspresi Theo kian menggelap ketika
gerakannya makin cepat demi menuntaskan
hajatnya terhadapku. “Ngggh...” Theo
menggeram keras, pinggangnya menandak
masuk hingga jauh ke dalam ketika akhirnya
mengejang di dalam tubuhku.
Sesaat wajah kakak terlihat seperti
kesakitan. Matanya terbuka lalu menutup lagi,
ia menunduk, menciumi rambutku.
“Aku cinta padamu,” bisik Theo.
Ditepuknya pipiku pelan sebelum lagi-lagi
Theo meringis ketika mencabut miliknya
keluar.
Aku buru-buru berlari meraih pakaianku
yang bertebaran di lantai, masuk ke dalam
kamar mandi dan mengunci pintunya.
Beberapa lama tak ada suara di luar sampai
kudengar suara pintu kamar terbuka. Perlahan-
lahan tanpa suara, aku berusaha memakai
kembali helai demi helai pakaianku yang telah
dilucuti oleh Theodore.
“Ada apa?” tanya Theo.
“Lama amat Njir, bukainnya. Ada rapat
mendadak, bro. Kamu udah ditungguin dari
tadi pagi.”
“Oke, oke. Bawa laptop?”
“Bawa aja, buat jaga-jaga. Siapa tahu
lama...” Sejenak hening, lantas Galih
melanjutkan lagi, “Eh, si Ega mana?”
“Di kamar mandi... Ga?” panggil Theo.
Terperanjat karena namaku tiba-tiba
dipanggil, pasrah aku menjawab. “... apa?”
“Lagi apa di dalam?”
Humornya terasa tipis, tapi aku bisa
merasakan kalau kini Theo tengah membodoh-
bodohiku. Tentu saja ia tahu sedang apa aku di
dalam: bersembunyi dari dirinya dan Galih.
Tapi kakak sudah hilang rasa malu dan masih
menanyakan.
“Pipis sama m-mau mandi dulu. Hai Kak
Galih,” aku menyapa dari balik pintu kamar
mandi.
“Woi Ga,” jawab Galih. “Kamu boleh
ikut rapatnya kalau mau?” tawar Galih.
“Makasih kak. Aku pass dulu aja ya,
pengen istirahat bentar.” Bukan hanya
menyetir sepanjang malam hingga sampai ke
motel, Theo juga tidak mengizinkanku tidur
hingga larut malam. Dini harinya, ia
membangunkanku lagi hanya untuk memulai
segala sesuatunya dari awal. Saat ini, tidak ada
yang lebih kuinginkan dari sekedar berbaring
dan mencoba tidur. “Kalian duluan aja.”
“Oke. Tapi kalau kamu bosan, susul aja
ya.”
“Siap kak,” jawabku buru-buru dari dalam
kamar mandi. Keran air kunyalakan deras,
meredam suara-suara dari dalam maupun luar.
“Kalian nanti sekamar?” kudengar Galih
bertanya. Percakapan berikutnya tak bisa
kudengar dengan jelas, sampai akhirnya pintu
kamar hotel terbuka lalu menutup lagi. Hati-
hati aku mematikan keran air, mendapati
suasana di luar terasa senyap.
Aku membasuh muka, merasakan basah
peninggalan kakak di antara kedua pahaku
perlahan mengalir menuruni pahaku. Kata-
kata kasarnya kembali terngiang di telingaku.
Tak mengizinkan hal itu memengaruhiku lebih
dari ini, aku mulai berusaha menyibukkan diri.
Terkadang ketika aku sendirian seperti ini
justru suara-suara jahat dan merendahkan di
kepalaku terdengar makin keras.
Noda putih itu kulap hingga bersih
memakai tisu, lalu aku memberanikan diri
keluar kamar mandi menuju ke kamar. Sepi,
tidak ada siapapun. Menarik napas lega, aku
mulai membenahi barang-barang di dalam
tasku, menatanya keluar. Setelah beberapa
lama barulah aku menyadari kalau dompet dan
ponselku masih ada pada Theo. Sejak
semalam, ia seperti terobsesi ingin
menyembunyikan benda-benda itu dariku.
Dasar orang gila. Memangnya aku bisa pergi
ke mana?
Tak tahu lagi harus melakukan apa, TV di
dalam kamar kunyalakan. Aku duduk di ujung
tempat tidur, menatapnya kosong. Kunci
magnet yang tiba-tiba berbunyi dan pintu
kamar mendadak terbuka membuatku
terperanjat. Alis Theo langsung naik begitu
ditemuinya aku duduk sendirian di depan
televisi. Pintu dibelakangnya tertutup rapat.
“Belum jadi mandi?” tanyanya.
“Belum. Habis berberes... T-Theo ngapain
balik lagi?”
“Kasihan siapa tahu kamu mau jajan.
Lupa mau ngasih ini.” Theo berdiri tepat di
hadapanku. Wajahku dibenamkannya ke muka
ritsleting celana jeans yang ia pakai. Theo
meraih dompetnya keluar, mengeluarkan
beberapa lembar merah ratusan ribu dan
menjatuhkannya begitu saja ke pangkuanku.
Ketika aku mendongak, kudapati Theo
tersenyum manis ke arahku. Jarinya memulas
bibirku lembut hingga ke pipi, seolah
mengusap noda tak kelihatan. Tatapan
matanya memujaku, kalau saja kakak tak
melakukan apa yang ia lakukan semalam,
mungkin aku bisa percaya kalau ia sungguh-
sungguh menyayangiku. Sebab, bagaimana
mungkin ia bisa mempermalukan orang lain
sekaligus menyayanginya?
“Kamu nggak apa-apa?” Ketika ia
melihatku menatap ke arahnya bingung, Theo
menambahkan. “Kamu kan tadi belum sempat
keluar...” ujarnya malu-malu. Siapa sangka
pipinya kini terlihat sedikit pias karena gagal
memuaskanku. Itulah Theo dan dualismenya
yang aneh. Begitu percaya diri mengenai
hampir semua hal, tapi bisa merasa tak aman
hanya karena hal remeh seperti ini. Kalau ia
ingin aku menghibur egonya dengan berbagai
pujian, maka sebaiknya kakak tiriku itu bisa
terus bermimpi. Sebab lebih baik aku mati saja
daripada harus sukarela memuji
kepandaiannya memuaskanku di tempat tidur.
“Mm... mau aku terusin sekarang?” tanya
Theo sambil melirik ke arah jam tangan di
pergelangannya.
“Eeh,” aku terkesiap mendengar
perubahan rencananya yang mendadak.
“Nggak usah. Kakak pergi aja, udah ditunggu
kan?”
“Tapi kamu gimana? Aku nggak suka
ninggalin kamu gantung kayak gini.”
“Nggak nggantung kok... bener.” Aku
menggeleng kuat-kuat, buru-buru memulas
senyum paling manis yang bisa kuberikan
untuknya, meskipun sama sekali jauh dari isi
hatiku kini. “Nanti lagi aja ya,” tambahku
menjanjikan, berusaha meredam gejolak
hasratnya yang bisa meledak kapan saja. Bisa-
bisa bukan hanya Galih, tapi juga Yanis dan
Mutia yang menggedor pintu kami nanti kalau
aku membiarkan Theo mendapat maunya.
Theo berdecak, bibirnya cemberut.
Dibelainya rambutku lembut lalu ogah-ogahan
Theo menjauh. “Jangan nakal ya selagi aku
nggak ada...” ujarnya lembut. Aku
mengangguk. “Kamu nggak mau kakak marah
kan?” tanyanya. Kali ini aku menggelengkan
kepalaku.
Aku bertanya-tanya mengapa bahkan di
saat seperti inipun, ketika sudah jelas aku ada
di bawah kuasanya, Theo merasa harus
menutup dengan sebuah ancaman?
Sepeninggalnya, hanya ada aku dan
beberapa lembar uang yang berjatuhan ke
lantai. Kalau sebelum ini aku belum yakin,
maka kini tak ada kata-kata lain yang cocok
untuk mendefinisikan situasiku. Pecun,
pelacur, binal, murahan...
Menyedihkan.

***

Aku meninggalkan catatan di dalam


kamar memberitahu Theo kalau aku akan
menghabiskan waktu membaca buku di area
kolam renang yang indah di hotel kami.
Sayang sekali aku tidak membawa pakaian
renang, karena itu aku sudah cukup puas
berbaring di atas kursi malas, menghabiskan
berjam-jam hanya dengan membaca,
mengamati bocah-bocah bermain air di kolam
dangkal sambil memesan bergelas-gelas jus
buah segar.
Di saat-saat seperti ini, sesungguhnya aku
sama sekali tak mengerti mengapa Theo butuh
untuk membawaku bersamanya, karena tugas
yang biasa kulakukan sudah dikover dengan
baik oleh Kak Mutia. Selain itu sebagian besar
pekerjaannya telah beres dan mereka kini
tengah melakukan simulasi di hadapan para
investor yang semakin hari semakin sulit
dipuaskan keinginannya.
Olahraga intens yang kulakukan bersama
Theo semalam, juga perjalanan jauh itu
membuatku kurang tidur dan kelelahan. Angin
sepoi-sepoi dan hawanya yang sejuk
membimbing rasa kantuk itu hingga aku jatuh
tertidur. Entah berapa lama. Ketika mataku
terbuka lagi, aku melihat wajah Theo
membayang, menutupi sinar matahari yang
kini condong ke barat dan mengenaiku.
“Hei...” bisiknya. Aku tak bisa melihat
dengan jelas ekspresinya, tapi otakku yang
masih tertutupi oleh kantuk hanya bisa
mengingat lembut suara kakak dan kasih
sayangnya ketika kami baru saja bertemu dan
aku menjadi adiknya. Segala sesuatu jauh
lebih sederhana dan murni kala itu.
Mendadak diliputi rasa rindu yang
meluap-luap, aku tersenyum ke arah Theo,
senyum paling hangat dan tulus yang tak
pernah kuberikan lagi padanya sejak hari
ketika ia merenggut kegadisanku.
“Kalau mau tidur di kamar aja. Jangan di
sini. Nanti masuk angin.”
Sesaat kemudian, tubuhku terasa seperti
mengapung. Aroma cedar dan musk maskulin
pria yang terasa familiar memenuhi
penciumanku. Tubuhku didekap seperti bayi,
direngkuh erat dan dibawanya melayang-
layang tinggi. Rasanya seperti deja vu.
Ketika aku membuka mata lagi, aku
berada di atas tempat tidur hotelku lagi. Kali
ini sendirian. Semburat kemerahan matahari
dari sela-sela tirai jendela menandakan bahwa
hari telah menjelang senja. Sebuah catatan
dengan tulisan cakar ayam khas Theo
tertempel di bantal kosong yang ada di
sebelahku. Bunyinya:

dandan yang cantik, malam ini akan ada


perayaan di bar hotel. ketemu di sana ya.
love you, theo.

Setelah beberapa lama barulah aku


menyadari kalau Theo yang menggendongku
kembali ke kamar hotel. Entah bagaimana
kuatnya kakak tiriku itu, sanggup mengangkat
tubuhku naik ke kamar tanpa
membangunkanku. Atau mungkin memang
hari ini aku terlalu lelah dan sudah menjadi
kebiasaanku tidur seperti orang mati, sama
sekali tak terusik oleh hal-hal yang ada di
sekitar, apalagi ketika aku kelelahan seperti
hari ini.
Menguap lebar, aku menuruti saran Theo,
beranjak ke kamar mandi untuk menyiapkan
diri. Dama sekali tidak ada firasat akan
kekacauan yang bakal terjadi beberapa jam
setelahnya hanya gara-gara sebuah ciuman.
Bab 65
Egalita

Suasana bar di hotel malam itu terasa


sedikit lebih sesak dari umumnya tempat
hiburan serupa di waktu-waktu yang lain.
Mungkin karena akhir pekan, banyak tamu
hotel yang memilih menghabiskan waktu
menikmati live music sambil nongkrong dan
minum. Ketika aku sampai ke bawah, belum
kujumpai batang hidung Theo ataupun teman-
teman dekatnya. Tapi aku melihat beberapa
tim yang dibawahi oleh Theo telah
mendahului duduk di salah satu meja-meja
kotak di sudut yang telah dipesan sebelumnya
oleh mereka untuk perayaan.
Malam itu aku mengenakan blus berwarna
peach berlengan pendek yang senada dengan
warna lipstik yang kupakai, juga jeans Armani
yang dihadiahkan oleh Theo membungkus
ketat pantat dan kakiku. Rambut yang biasa
kuikat atau gerai, hari ini terlihat mengembang
indah setelah kucuci dan kukeringkan. Make
up yang kupakai membuat wajahku terlihat
lebih menarik dari kebiasaanku yang
serampangan soal penampilan.
Sepertinya pesan Theo cukup merasuk ke
dalam kepala, karena aku menghabiskan lebih
banyak waktu untuk bersiap-siap malam itu.
Karena mendapati meja mereka penuh
dan tak ingin duduk sendirian, aku beralih
menuju ke arah kursi-kursi kosong di depan
bartender, seorang wanita berambut cepak
yang langsung menanyakan pesananku dan
menyiapkannya.
Theo tak suka aku minum-minum tanpa
dirinya, dan karena takut dimarahi aku
memilih memesan minuman rasa mint tanpa
alkohol. Tanpa ponsel atau apapun yang bisa
mengalihkan perhatianku, mataku menjelajah
ke sekeliling, mengamati tamu-tamu yang
datang sambil menikmati lagu-lagu yang
dinyanyikan secara live oleh grup band di atas
panggung.
“Wuih, wuih, siapa ini akhirnya muncul
dari persembunyian...” goda suara familiar
milik Galih.
Aku menoleh ke arahnya, tersenyum
mendapati sahabat kakakku itu mengambil
tempat duduk di sampingku, mengutarakan
pesanannya kepada bartender lalu
memusatkan perhatiannya kembali padaku.
“Lagi apa ngelamun sendirian.”
“Nungguin kalian,” jawabku cepat sambil
menyesap minuman.
“Dibilangin suruh nyusul...” ujar Galih.
“Apa kabarmu, udah lama kita nggak
ketemu.”
“Baik kak. Kakak sendiri bagaimana?”
“Lumayan lah. Ini sambil ngurusin
skripsi. Kamu sekolahnya gimana?”
Lancar berbohong, aku menjawab, “Baik
kak. Semuanya lancar.”
“Habis ini mau lanjut kuliah ke mana?
Tunggu bentar... coba aku tebak. Ilmu sosial-
politik kan? Ini kamu gitu loh...”
Merasa tertohok karena kata-katanya,
lagi-lagi simpul di ulu hatiku mengetat. Kami
memang belum sempat membicarakannya lagi
dengan detail, tapi Theo telah sering
menunjukkan tanda-tanda kalau ia tak mau
aku meneruskan kuliah. Ia ingin aku ikut
dengannya, merintis usaha ini, meskipun
kenyataannya seperti sekarang: tenagaku pun
bahkan tak dibutuhkannya. Apa yang
kulakukan bisa digantikan oleh siapapun. Aku
tak memiliki keahlian khusus yang bisa
membuatku lebih maju ketimbang yang lain.
Aku bukan Theo yang memang sejak lahir
brilian jenius, untuk bisa mencapai level
keahlian tertentu aku mesti berlatih, berlatih
dan terus berlatih. Seperti debat, mungkin ada
sedikit bakat, tapi aku yakin setelah lama tak
berlatih seperti sekarang, kemampuanku telah
banyak berkarat, tak lagi mumpuni seperti
dulu.
Lagipula, bisnis aplikasi ini adalah mimpi
Theo. Seindah apapun mimpi milik orang lain,
tetap lebih membahagiakan jika bisa
mewujudkan mimpi sendiri...
Theo seolah mendadak tuli jika aku mulai
memberikannya alasan-alasan seperti ini.
Pendiriannya sekeras batu, tak ada yang bisa
kukatakan yang mampu untuk mengubah
kemauannya. Karena itu perkataan Galih
terasa seperti pil pahit yang mesti kutelan.
Ilmu sosial dan politik katanya... Masih
mending jika Theo mengizinkanku ikut kursus
ketrampilan.
Kalau seandainya aku memaksakan diri,
aku takut Theo akan meledak dan melakukan
hal di luar rasional. Pontang-panting aku
berupaya agar perbuatan mesum kami tidak
sampai ketahuan oleh orang lain. Tapi kakak
seperti hidup di garis batas, seolah-olah tak
peduli dengan konsekuensi apapun. Asalkan
aku menuruti kemauannya, ia akan bersedia
menyenangkan hati semua orang dengan
berlaku normal dan wajar... Tapi selalu saja
ada kegilaan yang tersirat di balik tatapan
matanya padaku, membuat bulu kudukku
berdiri ketika diam-diam ia melihat ke arahku
di saat kamis edang berkumpul dengan yang
lain. Seolah kapan saja, kedamaian semu ini
akan buyar karena kakak akan menekan
pemicunya.
Tapi mendengar kata-kata Galih, aku
serasa diingatkan oleh fakta sebenarnya yang
tak terganggu oleh distorsi pemikiranku
sendiri... Theo adalah orang dewasa dalam
hubungan kami. Sosok yang seharusnya
bertanggung jawab dan bisa bersikap rasional.
Ia seharusnya bisa jadi pengayom untukku dan
bukannya membiarkanku mengatasi semua
sendirian. Tidak seharusnya ia
mempermainkan masa depanku hanya untuk
memuaskan kegilaan dan obsesinya.
Tidak seharusnya ia memperlakukanku
seperti lubang hangat yang bisa dimasuki
kapanpun, di manapun sesuka kakak tiriku itu.
Seolah-olah aku ini pelacur cilik miliknya...
“Ga?” tanya Galih lagi.
“Eh... Belum tahu kak.”
Galih mengamatiku beberapa lama.
Wajahnya mengingatkanku pada aktor yang
sering main di sinetron anak muda, terlihat
ganteng dengan garus tulang wajah yang
tegas. Tatapanku tanpa sadar mendarat ke arah
bibirnya yang terlihat sedikit basah karena
minuman yang disesapnya. Warna isi gelasnya
kemerahan, membekas di bibirnya. “Hm...
nggak apa-apa sih. Masih ada banyak waktu
sebelum kelulusan kan?”
Aku mengangguk. Hanya ada waktu
sampai kelulusan untuk berusaha meyakinkan
kakak mengubah pikirannya. Tapi lagi-lagi
suara hati kecilku berusaha memaksakan
sedikit sisa kewarasan: tidak seharusnya aku
memohon meminta ia mengubah pendiriannya
seperti ini karena sejak awal kemauannya itu
sama sekali tak masuk akal. Sejak awal segala
sesuatu tentang Theo selalu terasa
menyesakkan.
“Iya, masih ada waktu...”
“Ga, kan sebentar lagi kamu mau lulus...”
mulai Galih sambil terus mengamatiku sambil
telunjuknya membelai pinggiran gelas kristal
di atas meja bar. “Berapa umur kamu
sekarang?” tanyanya.
“Aku? Delapan belas,” jawabku pendek.
“Sebentar lagi lulus SMA, trus kuliah...
aku jadi penasaran Ga...” Senyum Galih
terlihat malu-malu, matanya menatapku penuh
harap. “Kamu udah punya pacar belum Ga?”
Eh? Ini sama sekali di luar dugaan.
Otomatis aku menjawab. “Belum.”
“Oh ya? Masak sih... Udah cantik,
pinter... Masak belum punya cowok?”
“Belum,” jawabku sambil menggelengkan
kepala kuat-kuat. Meskipun secara teknis, aku
punya seseorang yang selalu mengajak
berhubungan seks, tapi apakah lantas hal itu
menjadikan Theo kekasihku? Hal itu perlu
diperdebatkan. Mungkin lebih akurat kalau
aku disebut sebagai budaknya ketimbang
pacar.
“Wah kebetulan, aku juga belum punya
pacar.” Galih tertawa kecil. Wajah tampannya
terlihat memerah karena malu. “Ah sial, di
otakku tadi kenapa terdengar smooth, setelah
diucapkan kok jadi lame kayak gini?”
makinya sambil terus tertawa.
Setelah berhasil menguasai diri, Galih
melihat ke arahku lama, menggigit bibirnya
sendiri seolah tengah menimbang sesuatu. Ini
jelas wajah seseorang yang hendak mengakui
perasaannya pada orang yang ia sukai, batinku
was-was. Percakapan Galih dan Theo yang
tanpa sengaja kucuri dengar di malam tahun
baru bertahun-tahun lalu kembali terngiang.
Siapa sangka ternyata sahabat kakak ini masih
memendam perasaan padaku?
Panik, aku menyibukkan diri, bersiap
hendak beranjak bangkit dari bangku yang
kududuki, tapi tangan Galih menahan
lenganku. “Aku suka kamu Ega... Sudah sejak
lama. Aku suka segala tingkah lucumu,
otakmu yang brilian, watakmu yang baik...
Hell, bahkan namamu saja aku suka. Egalita
Manar... Nama tercantik yang pernah aku
dengar.”
“Ngg...” aku tak bisa mengatakan apapun,
suaraku serasa tersumbat. Belum pernah ada
laki-laki yang menyatakan suka padaku seperti
ini. Theo meniduriku sebelum mengatakan
suka, membuatku sering mengacaukan antara
rasa suka dan nafsu. Theo berkata kalau ia
mencintaiku, tapi bukankah cinta itu
melindungi dan menjaga?
“Maaf ya, sebenarnya aku ingin nunggu
kamu sampai lulus, baru resmi ngajak kamu
jalan keluar setelah ngomong langsung sama
Theo. Bilang suka sama kamu dengan cara
yang lebih romantis dari ngakuin ini di dalam
cafe. Tapi ngeliat kamu malam ini, cantik
banget... aku jadi takut keduluan. Siapa tahu
ada selonong boy datang dan nyatain suka ke
kamu, trus aku gigit jari...”
Mataku terbelalak mendengar pengakuan
Galih. Pipiku memanas, tetapi Galih tetap
mengamatiku sambil tersenyum simpul.
Tangannya yang menyentuh kulitku terasa
hangat.
“Gimana Ga... menurut kamu? Kira-kira
aku ada kesempatan nggak?” Galih meraih
tanganku naik, mencium telapaknya. “Aku
janji akan buat kamu happy terus. Kamu
nggak akan menyesal.”
Menelan ludah, aku tak tahu harus berkata
apa padanya. Menolak? Suasana di antara
kami berdua setelah ini akan terasa rikuh...
Aku harus berhati-hati agar Theo tidak
mengetahui ini, sebab kalau tidak aku akan
dijadikan bulan-bulanannya. Kakak memang
tak pernah menyakitiku secara fisik, tapi entah
kegilaan apa lagi yang bisa terlintas di
benaknya kalau ia sampai mengetahui soal ini.
“Aku...”
Memangnya kenapa? Bukankah dia yang
bilang sendiri kalau kamu itu pecun?
Pelacur? Dia memperlakukanmu seperti itu,
membuatmu merasa tak berharga... Apa
salahnya kalau kamu beri orang ini
kesempatan? Bukankah dia bilang akan
membuatmu bahagia? Theo memang kadang
bisa membuatmu bahagia, tapi air mata yang
ditumpahkannya juga tak sedikit.
“Aku janji Ga... Aku serius. Selama ini,
aku nungguin sampai kamu siap. Sampai
kakakmu ikhlas. Makanya aku nggak deketin
kamu. Tapi sekarang kamu sudah delapan
belas, sudah dewasa. Udah bisa nentuin
sendiri apa yang kamu mau...” Galih
mengusap punggung tanganku lembut.
“Pertanyaannya... kamu mau sama aku,
nggak?”
Kelebat pilihan memenuhi otakku,
menimbang tawaran Galih. Namun di saat-saat
terakhir, kewarasanku mengambil alih. Galih
bukanlah senjata yang bisa kupakai seenaknya
untuk membalas perlakuan Theo. Apa yang
kurasakan pada sahabat kakak tiriku ini adalah
sesuatu yang netral dan sama sekali tak ada
hubungannya dengan rasa suka apalagi cinta.
Ia memang tampan, dan mungkin pada
kesempatan yang lain, rasa suka itu bisa
tumbuh dengan wajar. Wanita mana yang tak
akan tersanjung mendapati dirinya disukai
oleh laki-laki cerdas, ganteng seperti dirinya?
Tapi... aku tahu bahwa dengan kondisiku
yang sekarang, tak ada kapasitas untuk
menyukai orang lain. Aku bahkan tak bisa
menyukai diriku sendiri... Segala komplikasi
dengan Theo adalah resep untuk bencana
kalau aku memaksakan diri dengan Galih.
“Maaf kak... tapi aku—”
Belum sempat aku selesai bicara, bibir
Galih telah menempel ke bibirku. Refleks
mataku terpejam, hanya beberapa detik saja,
sebelum aku menyadari sepenuhnya kalau
sentuhan ini tidak pantas dan bisa disalah-
artikan olehnya. Aku berniat bergerak mundur
menjauh, tetapi wajah Galih seolah ditarik
terbang menjauhi wajahku. Ketika aku
membuka mata, sebuah tinju melayang dan
didaratkan tepat di wajahnya.
Aku terkesiap, diam di tempat duduk, tak
mampu bergerak. Dunia serasa membeku
sebelum teriakan demi teriakan mulai
terdengar di sekelilingku. Otakku berusaha
memproses kejadian yang berlangsung cepat
di hadapan kami semua. Sosok tinggi besar
menghajar Galih habis-habisan, wajahnya
dijotos berulang kali, kepalanya dibenturkan
ke lantai dan meja. Galih berusaha melawan,
tapi serangan pertama yang ditujukan padanya
membuat lelaki itu limbung dan kelemahan itu
dimanfaatkan habis-habisan oleh
penyerangnya. Masih belum puas, ia
menendangi tubuh lunglai Galih, menginjak
perutnya sampai lelaki itu mengaduh
kesakitan. Darah berceceran, mengucur dari
luka di mulut Galih yang terbatuk-batuk
menyemburkan cairan berbau anyir. Giginya
kini berwarna merah pekat, meringis menahan
sakit.
“Bangsat! Sudah kubilang kan jangan
dekati dia lagi? Jangan sentuh dia? Jangan
main-main dengannya? Ada jutaan wanita di
luar sana, kenapa kamu malah dekati dia? Aku
sudah bilang kan anjing?” rentetan kata-kata
kasar itu menyertai segala serangannya.
Tendangan terakhirnya didaratkan ke wajah
Galih sebelum seseorang berusaha menahan
tubuhnya dari belakang.
“Theo, ya ampun... Kamu kenapa?” ujar
Yanis yang ditemani oleh seorang lagi
menahan masing-masing tangan kiri dan
kanan Theo erat.
Mataku terbelalak ketika menyadari
bahwa orang yang melakukan tindak
kekerasan tak manusiawi itu kakak tiriku.
Wajahnya beringas kesetanan, putih pucat
sementara matanya terlihat merah kalap.
Genggaman tangannya terkepal, otot-otot di
leher dan pelipisnya terlihat jelas seolah kapan
saja bisa meledak.
“Theo udah Theo, itu Galih, Yo... sadar!
Investor kita ada di sini semua, ngeliatin kamu
kayak gini! Sadar!”
“Bangsat tak tahu diri, sudah kubilang aku
nggak akan pernah mengampunimu soal ini!
Jangan pernah tunjukkan mukamu lagi di
depanku.” Theo meludahi tubuh Galih kasar,
tiba-tiba merangsek maju lagi ingin
menyerang hanya untuk ditahan kuat-kuat.
Beberapa orang mengangkat Galih dan
membawanya ke pinggir. “You are fired,
asshole!”
Sementara semua itu berlangsung tepat di
hadapanku, aku hanya bisa bengong di tempat
duduk. Mataku terpaku pada noda darah di
lantai, sepenuhnya awas mendengar bunyi
musik yang terhenti di tengah-tengah.
Suasananya mendadak senyap. Meskipun aku
memerintahkan tubuhku untuk bergerak, tapi
tetap tidak bisa.
Beberapa bodyguard bertubuh besar
datang, tapi Theo telah mengibaskan pegangan
Yanis. Ia menarik lenganku agar turun dari
bangku bar, genggamannya terasa erat seperti
borgol besi.
“Ikut aku,” katanya pendek.
Mataku terlihat panik, buru-buru terarah
pada Yanis, juga Mutia yang masih
mengamatiku ngeri dan wajah-wajah familiar
lain. Menelan ludah, aku mengangguk dan
beringsut turun. Tak sempat membetulkan
kelim blusku yang tersingkap, Theo keburu
menarikku berlalu dari tempat itu.

***

“Ah, kak sakit, pelan sedikit...” pintaku


putus asa ketika Theo menyetubuhiku seolah
kesetanan, sesampainya kami di dalam kamar.
Kakiku dibukanya lebar, lemas mengangkang
ke samping kiri dan kanan demi memberikan
jalan untuk Theo merangsek keluar masuk.
Wajahnya terbenam di sela-sela leherku,
geramannya terdengar seperti hewan di alam
liar. Buas dan beringas, membuatku ketakutan.
Bukannya memelan, gerakan Theo makin
menandak cepat. Tubuhku ini seolah peta yang
telah ia ketahui seluruh detail dan jalan
pintasnya. Ereksinya mendesak ahli, keras,
menghajar titik nikmat di dalam tubuhku
berulang kali. Meskipun sesekali terasa perih,
kekuatan dan tubuh jantannya mampu
membuatku terkulai lemas ketika Theo
membuatku keluar untuk yang kedua kalinya.
Kata-kataku yang minta agar ia memberikan
jeda sejenak tak digubrisnya. Theo terus
melibasku tanpa ampun, membuatku turut
hilang dalam berahi yang dirasakannya
untukku. Seolah-olah ia tak peduli aku sudah
keluar atau tidak, karena tujuannya hanya satu:
mendominasiku dan menjadikanku miliknya.
Sprei kusut di bawah tubuhku terjalin di
antara sela-sela jari, menjadi saksi ketika
akhirnya Theo mencapai puncak kenikmatan.
Raungannya memekakkan telinga ketika
tubuhnya menghentak masuk berkali-kali
hingga seluruh miliknya dikosongkan ke
dalam tubuhku.
Napas Theo menderu, jantungnya
berdetak cepat. Seluruh berat tubuhnya
ditimpakan ke atas tubuhku, membuatku
merasa sesak.
Tiba-tiba ia bergerak bangkit, menatap
wajahku dari dekat. Matanya gelap, seolah
laki-laki di hadapanku kini bukan Theo dan
sesuatu telah merasukinya. Bibirnya yang
melintang terlihat melengkung tak suka,
matanya menyipit mengamati bibirku.
Ciuman Theo setelahnya hanya bisa
kudefinisikan sebagai sebuah upaya bagi
kakak tiriku untuk mengklaim sesuatu yang
dicuri darinya. Lidahnya menyusuri setiap
jengkal bibir dan mulutku. Tanpa suara
menghakimiku atas perbuatan nakal yang
kulakukan dengan sahabatnya.
Mantan sahabat...
Persahabatan Galih dan Theo, aku
menyadari, tidak akan pernah sama lagi
setelah malam ini. Dan semua itu gara-gara
aku.

***

Polisi menjemput Theo ke kamar kami


sekitar sejam setelah ia menuntaskan hajatnya
berkali-kali padaku. Kakak telah selesai
mandi, memakai kaus bersih dan celana jeans.
Aku juga telah mengenakan pakaian bersih
dan rapi, mengikuti kakak di mobil tahanan
yang membawanya pergi ke rumah tahanan.
Ketika masih berdua di dalam kamar sebelum
berangkat bersama polisi, kakak memberikan
padaku ponsel dan dompet, memeluk dan
mencium puncak kepalaku. “Nggak apa,
semua akan baik-baik saja...” bisiknya
menenangkanku yang menangis karena
mendengar kalau pihak hotel telah
menghubungi polisi yang akan datang untuk
mengamankan kakak dan meminta keterangan.
Di ruang tunggu kantor kepolisian, aku
duduk sendiri menghadap ke arah halaman
yang gelap. Yanis baru saja tiba dan selesai
menghubungi pengacara, juga menjenguk
kakak. Sementara Mutia ada di rumah sakit
menunggui Galih yang kondisinya kini stabil.
Aku ingin menangis, tapi sejak kami
meninggalkan hotel, air mata itu tak kunjung
bisa turun. Rasanya kebas. Seluruh tubuhku
kebas, hatiku pun. Otakku tak mampu lagi
memproses semua ini. Tiba-tiba hasrat untuk
meraih silet dan melukai paha atau tanganku
sendiri menyeruak ke permukaan. Ingin
merasakan sakit, apa saja asal bukan ketidak-
pedulian yang menggangguku seperti
sekarang.
Menyerah kalah, aku mengangkat telepon
dan menekan nomor Abel.
“Gimana, Ga. Ada kabar lagi soal Kak
Theo?” tanyanya khawatir. Abel dan Om
Henri adalah satu-satunya dari keluarga kami
yang telah diberi kabar soal Theo masuk
penjara.
“Nggak... Aku cuman pengen nanya,
Bel... Boleh aku minta nama terapis yang
kamu rekomendasikan dulu?” tanyaku
menggunakan sisa-sisa kewarasan yang
kumiliki. “Sepertinya aku akan minta janji
ketemu...”
Bab 66
Theo

Mala petaka adalah kata-kata yang tepat


untuk mendeskripsikan rentetan peristiwa
malam itu. Siapa sangka, murid teladan abadi,
kakak panutan, kebanggaan orang tua itu
menjadi pesakitan dan mesti dijebloskan ke
dalam penjara?
Sebenarnya di awal hari suasana hatiku
cukup membaik karena sejak kemarin malam,
kebutuhan jasmani dan rohaniku telah
terpuaskan oleh keberadaan adik tiriku yang
manis. Entah berapa lama kami bergulat di
atas tempat tidur motel tua yang lantas
dilanjutkan di hotel bintang lima. Tak peduli
di manapun kami berada, baik itu ranjang
reyot atau kasur busa empuk nan mewah, Ega
dan aku seperti pusaran angin puyuh yang
meluluh-lantakkan satu sama lain. Gundah
yang kurasakan karena berada jauh dari Ega,
juga proyekku yang tidak kunjung mencapai
titik temu, perlahan luruh memudar,
digantikan oleh kepuasan demi kepuasan yang
hanya bisa kurasakan ketika mengonsumsi pil
ternikmat berlabel Egalita Manar. Tidak ada
yang bisa menandingi ketinggian yang bisa
kucapai ketika tubuh kami menyatu.
Mendengarnya menjerit nikmat setelah
berkali-kali terpuaskan malam itu membuatku
ketagihan. Sesungguhnya, tidak ada
sejengkalpun bagian diri Egalita yang tidak
seksi untukku. Setiap incinya selalu
menggairahkan dan membuatku bernafsu.
Setelah semalaman kulampiaskan hajatku
pada tubuh mungil Ega, mengutarakan pikiran
kejiku padanya, sebersit penyesalan sempat
membayang. Melihatnya menangis
sesenggukan membuatku jatuh kasihan.
Instingku tentu ingin merengkuh, memeluk
dan melindunginya, tapi tentu kami berdua
tahu kalau ini hipokrit sebab akulah setan yang
membuatnya sedih, membuatnya menangis...
Aku tahu tidak sepantasnya adikku
mendapatkan perlakuan seperti ini, ketika
seharusnya ia kujadikan ratu. Ya, Egalita
Manar adalah satu-satunya perempuan yang
pantas menempati singgasana, penguasa di
dalam hati dan pikiranku. Siang dan malam,
hanya dia yang konstan untukku. Bahkan
terhadap Dina dan Abel sekalipun jika boleh
jujur, aku tak merasakan ketergantungan yang
sama. Tapi mengapa, terhadap dia yang paling
kubutuhkan, aku justru terus-terusan
menyakitinya?
Mengotori wajah Ega, merendahkannya
sedemikian rupa hanyalah mekanisme
pertahanan diriku untuk membuatnya patuh.
Tujuannya hanya satu: aku ingin
memanipulasinya agar tetap berada di bawah
kendaliku. Aku tak suka melihatnya menangis,
tapi jika harus disuruh memilih antara
kehilangan dirinya atau memilikinya meski
dengan paksaan, maka sudah jelas pilihan
mana yang akan kuambil.
Bekas tamparan Ega di pipiku tak terasa
sakit, hanya mengagetkanku karena adik
kecilku yang manis dan penurut itu berani
menunjukkan taringnya. Tapi kalau dipikir-
pikir, ini pertama kalinya aku melihat Ega
lepas kendali. Wajahnya yang cantik terlihat
gusar dan dipenuhi oleh amarah, walaupun
hanya sesaat. Sebelum ini, adik tiriku itu
selalu mampu bersikap dewasa. Bahkan ketika
aku mendesaknya hingga terpojok, Egalita
selalu berhasil menguasai diri, tak pernah
mengeluarkan reaksi berlebihan. Kadangkala
aku mendapati diriku sendiri bertanya-tanya,
apakah minimnya reaksi adik tiriku ini
disebabkan karena ia tidak memiliki perasaan
apa-apa padaku. Semua perlakuan bejatku
padanya, baik itu gila atau jahat, diterimanya
tanpa protes berarti, ketika reaksi yang normal
mungkin bertolak-belakang. Apakah ini berarti
ia tidak menyukaiku seperti aku
menyukainya? Apakah ini berarti ia tidak
membutuhkanku sebesar aku
membutuhkannya?
Sedikit demi sedikit, aku mencoba-coba
permainan kecil sepihak berjudul: memancing
reaksi Ega. Kadang aku menghukumnya
sedikit lebih kejam dari seharusnya,
mengekangnya lebih kuat dari yang
kurencanakan sebelumnya... Semua itu demi
mendapatkan setidaknya sedikit saja... sedikit
saja tanda kalau perasaanku untuk Egalita
Manar tidak bertepuk sebelah tangan. Sedikit
saja reaksi Ega sangat berarti untukku. Reaksi
yang diberikannya di atas tempat tidur
memang tak pernah mengecewakan, tapi Theo
yang tamak ini juga haus akan afeksi yang
diberikannya dengan antusiasme tanpa
paksaan.
Kalaupun perasaanku berbalas hanya
seujung kuku, aku yakin kami berdua akan
hidup berbahagia. Aku cukup percaya diri
kalau perasaanku yang tulus ini lambat laun
akan mampu melunakkan hatinya. Pada
akhirnya nanti, ia akan menyadari bahwa di
dunia ini, tidak akan ada laki-laki yang
mendambanya, memuja dan mencintainya
sebesar Theodore Rahardian mencintai Egalita
Manar.
Tamparannya di pipiku memang tak
terasa sakit, tapi percikan emosi di matanya
yang meluap walau hanya sebentar itu
membuatku bertanya-tanya, sebesar apa dasar
gunung es yang selama ini disembunyikannya
dariku? Dari semua orang? Di permukaan, Ega
terlihat dewasa dan penuh kontrol diri, tak
pernah merajuk atau mengamuk, tapi mengapa
aku justru ingin melihatnya lepas bebas...
memberikan padaku sisi diri Egalita Manar
yang tak pernah ditunjukkannya pada orang
lain?
Ah memikirkan adik tiriku memang
menjadi pengalaman penuh paradoks. Di satu
sisi aku menginginkan kepatuhannya, tapi di
sisi lain aku juga ingin menjadi budak
cintanya, ada hanya untuk menikmati setiap
esensi Egalita. Baik itu hasrat, cinta kasih,
maupun amarah... Bukankah batas antara cinta
dan benci itu tipis? Kalau memang ia tak bisa
mencintaiku, tak menjadi masalah seandainya
dia membenciku. Apapun akan kuterima, asal
bukan acuh.
Yah, dilihat dari segi positifnya,
setidaknya setelah maraton seks seperti
semalam hingga pagi ini, otakku kembali
jernih dan siap menghadapi hiu-hiu investor
yang membuatku kesal belakangan. Aku orang
yang cukup realistis, tapi salahkah aku jika
ada sedikit sisa-sisa idealisme yang
kuwujudkan melalui produk yang kubangun
dengan tanganku sendiri?
Lagi-lagi pengalaman ini mengingatkanku
bahwa dunia ini, meski tidak semua (lihat saja
Egalita), berputar mengelilingi benda bernama
uang. Uang uang uang. Papa gila kerja karena
uang dan kekuasaan. Akibatnya sekarang,
ketika keadaan sudah tidak memungkinkannya
untuk seleluasa dulu mencari uang, ia
melampiaskannya dengan berjudi sebagai
upaya putus asa untuk mendapatkan uang
secara gampang. Bukannya untung, ia justru
berhutang banyak pada rentenir... Keluarga
besar kami yang selama ini menempel seperti
lintah tak mau lepas, merongrong dengan
segala kebutuhan dan unek-unek mereka.
Kalau ada kelebihan milik papa, yaitu sifatnya
yang royal dan tidak pernah pelit soal uang.
Selain itu, dia juga merasa memiliki tanggung
jawab yang besar pada adik-adiknya karena
menjadi anak laki-laki tertua dari 9
bersaudara. Namun kelebihan ini justru
dimanfaatkan oleh orang-orang di sekitarnya
dan papa terlalu buta untuk melihat itu semua.
Karena itu, aku harus sukses. Proyek ini
harus sukses, kalau bisa secepatnya... Agar
aku bisa segera mandiri, menyelamatkan
Egalita, Dina, Abel, dan keluarga kami dari
kehancuran. Hanya tinggal menunggu waktu
saja, sampai gaya hidup kami tak mampu lagi
ditunjang oleh model gali lubang tutup lubang
yang belakangan diterapkan oleh papa. Rumah
kartu yang telah dibangun tinggi ini bisa
runtuh dalam sekejap.
Ah memikirkan ini semua membuatku
mual. Kepalaku terasa pening. Ketika berada
jauh darinya dan dalam waktu cukup lama,
kadang aku mesti menenggak satu atau dua
butir adderall agar bisa fokus di siang hari.
Obat tidur juga kembali kukonsumsi, meski
hanya agar aku bisa cepat beristirahat di
malam hari yang sering membuatku kalut.
Tapi ketika aku dan Ega berada dekat seperti
ini, kehadirannya sudah cukup untuk
membuatku jauh lebih tenang. Setelah puas
memilikinya sepanjang malam dan siang
harinya, rasa-rasanya aku siap menghadapi
realita menyebalkan demi menunaikan
rencana besarku yang lain.
Setelah perundingan alot, juga perbaikan
kontinyu yang mereka paksakan, akhirnya
investor dan timku mencapai titik temu. Kami
sudah siap launch.
Fucking finally.
Senyum Mutia, Yanis dan Galih
mengembang ketika kami sudah sampai di
akhir deal. Produk yang telah kami godog
selama berbulan-bulan itu akhirnya sampai ke
garis finish dan siap untuk diluncurkan.
Rasanya membanggakan, melihat wajah
teman-teman sekaligus tim yang
mempercayaiku untuk menjadi pimpinan
mereka, mengarahkan wacana dan strategi
produk aplikasi kami itu terlihat puas dan
senang karena kami telah berhasil meyakinkan
semua pihak.
Ah, senangnya. Naluri pertamaku tentu
ingin mencari Egalita dan membagi kabar baik
ini dengannya. Karena itu tak sanggup
menunggu lebih lama lagi, aku berlari kembali
ke kamar kami, merasa kesal pada diri sendiri
karena ingat kalau ponsel adikku ada
denganku.
Suasana senyap ketika pintunya terbuka
membuatku untuk sesaat dikuasai oleh
kepanikan irasional. Sesungguhnya ini adalah
sesuatu yang rutin aku rasakan tiap kali
Egalita tak ada di tempat yang telah
kutetapkan sebelumnya. Kamar tidur hotel itu
kosong, aku melongok ke bilik penyimpanan
pakaian juga kamar mandi, Ega tak kelihatan
di manapun. Detak jantungku meningkat tanpa
bisa kucegah. Mengedarkan pandanganku
sesaat, aku menemukan secarik kertas yang
diletakkannya di atas tempat tidur.

Theo, Ega ke dekat kolam renang ya,


mau baca buku.

Lega tak kunjung datang, aku merasa


harus memastikan adik tiriku benar-benar ada
di tempat yang ia sebutkan. Rasa takut
membayangi tiap langkah kakiku menuju ke
area kolam, seolah ada ekspektasi alam bawah
sadar kalau-kalau Egalita akan mencurangiku
dan kabur. Kala itu aku tak memahami kalau
inilah yang dinamakan firasat. Atau justru
sebaliknya, pikiran buruk yang termanifestasi
menjadi sebuah kenyataan. Yang manapun,
tak ada yang bisa membuatku siap untuk
menghadapi kejadian demi kejadian yang
terjadi setelah ini. Semua jatuh berguguran
seperti rentetan menara kartu domino yang
runtuh karena satu jentikan jari tanpa bisa
kucegah. Tapi itu adalah cerita untuk lain hari.
Kuedarkan pandangan ke segala penjuru
kolam, hanya untuk mendapati gadisku tengah
terbaring seperti Putri Salju di atas salah satu
kursi malas. Ketika aku berjalan mendekat,
terlihat olehku matanya yang kini terpejam.
Kantung hitam membayang di bawah
kelopaknya yang tertutup membuatku merasa
bersalah. Semua karena aku yang egois ingin
terus menuntaskan segala kebutuhanku
semalam suntuk. Sebuah buku psikologi
populer dipeluknya di dada. Sinar matahari
yang kian condong mengenai wajahnya
berulang kali karena tertutup dedaunan yang
digoyang oleh angin. Damai, seolah tak ada
beban pikiran sama sekali...
Pada saat itu aku yang hanya manusia
fana ini hanya bisa terpekur memandangi
keindahan yang tergeletak begitu saja di
hadapanku. Menyaksikan Egalita Manar, aku
menyerap setiap detilnya seperti musafir di
padang gersang yang menemukan oasis.
Kecantikan dan kelembutannya seolah
membutakan mataku. Adik tiriku yang terlihat
lebih cantik dari model paling terkenal
sekalipun di mataku, lebih menggairahkan dari
gadis seksi manapun... Satu-satunya manusia
di dunia ini yang bisa membuatku merasa
hidup, kuat dan berbahagia lebih dari
siapapun.
Aah...
Aku memperhatikan sedikit demi sedikit
tubuhku menyesuaikan diri. Detak jantungku
melambat, merasa tenang karena bisa
melihatnya dari dekat. Dadaku terasa sesak
oleh keinginan membuncah untuk
memeluknya erat, seperti yang selalu
kurasakan padanya selama ini. Kadang aku
berpikir, betapa luar biasanya jika aku bisa
menelan adik tiriku itu hidup-hidup seperti
boa pemangsa, bahkan jika hanya untuk
memastikan kami menjadi satu selamanya.
Pikiran yang aneh. Pada akhirnya aku harus
menyadari bahwa perasaan yang kusimpan
untuk Ega sudah terlalu jauh, terlalu dalam.
Ega kini telah menjadi bagian integral yang
menopangku agar bisa berfungsi, bertahan
hidup. Dia adalah matahariku, sumber
inspirasiku. Aku banyak bergantung padanya,
menjadikannya penopang agar aku bisa tetap
berdiri dan menjalani kewajibanku. Tanpa
harus dilebih-lebihkan, aku tahu pasti bahwa
tanpa keberadaannya di sisiku, aku akan mati.
Sesederhana itu.
Cinta... aku cinta padamu Ega. Aku ingin
mengabarkan padamu berita baik ini... bahwa
sebentar lagi aku akan menjadi orang yang
tidak lagi bisa dipandang remeh dan dapat
kamu banggakan. Kamu boleh bergantung
padaku dan bersama-sama, kita akan jadi
kuat.
Entah berapa lama aku berdiri
memandanginya seperti patung, ketika aku
menoleh, beberapa laki-laki yang duduk di
pinggir kolam melirikku dengan pandangan
sama-sama tahu, seolah ingin berbagi rahasia
denganku. Bajingan memang. Egalita bahkan
tak mengenakan pakaian sugestif, tapi banyak
laki-laki yang kini berkerumun di dekatnya
selagi adik tiriku itu terbaring pulas. Aku tak
suka melihatnya menjadi sasaran pandangan
mesum laki-laki atau mendapati diriku
ditempatkan di level yang sama dengan
mereka.
Tanpa pikir panjang aku meraih dan
menggendong tubuh Egalita tanpa kesulitan
berarti, meninggalkan area kolam renang itu
tanpa sedikitpun melirik ke arah orang-orang
yang menatap aneh ke arah kami.

***

Di dalam kamar, tak ada pengganggu,


reaksi normal tubuhku tentu ingin
menggumuli Ega lagi. Tapi melihat wajahnya
yang kelelahan dan bahkan tak terbangun
sepenuhnya setelah kugendong sepanjang
jalan menuju kamar, mau tak mau aku jatuh
kasihan. Tak pernah bosan aku
memandanginya seperti ini, seperti yang
kulakukan diam-diam selama ini... Mengamati
wajah adikku setelah ia tertidur, terus mencari
tahu tanpa hasil bagian mana dari wajahnya,
sifatnya, sikapnya yang membuatku tergila-
gila. Semua... Segala hal tentang Egalita
membuatku terpikat. Bahkan dengkuran halus
yang keluar dari bibirnya seperti sekarang,
sanggup membuatku terpesona. Aneh
memang, tapi mungkin sudah saatnya aku
berhenti menanyakan hal yang tak akan
pernah bisa kudapatkan jawabannya. Kalau
sudah begitu, nikmati sajalah...
Karena tak ingin mengganggunya, aku
mandi air dingin lalu berganti pakaian dan
meninggalkan pesan agar Egalita bergabung
dengan kami malam ini. Aku sudah tak sabar
ingin membagikan kabar bahagia ini padanya.
Malam ini kami akan berpesta. Aku akan
memberitahu Ega, bahwa semua ini mungkin
karena dirinya. Lalu aku akan
memberitahunya betapa aku mencintai adikku
dan menginginkannya bahagia. Suasana hatiku
sangat baik, kalau Ega memintaku
mengizinkannya kuliah di bidang
kesukaannya, mungkin malam ini akan kuberi
izin. Aku tahu ia tidak lagi membahas ini
karena ingin membuatku tenang. Aku juga
tahu kalau sejatinya ia masih belum menyerah.
Mungkin malam ini aku bisa memberitahunya
kalau ia boleh berkuliah asalkan di kota yang
sama dan mengambil jurusan yang akan
berujung pada profesi yang bisa membuatnya
bahagia. Kalau mau ia bisa bekerja jadi
apapun, meskipun tentu aku lebih senang jika
Ega ikut andil di proyekku nanti. Apapun itu,
aku akan mendukung setiap langkahnya untuk
bisa terus sukses.
Ya, aku akan menunjukkan pada adik
tiriku itu kalau Theo bukanlah monster jahat
yang tak bisa diajak kompromi. Asalkan Ega
menunjukkan padaku kalau ia bisa kupercaya,
maka aku akan membukakan kesempatan itu
padanya. Apapun akan kuberikan demi
melihatnya gembira.
Kukecup bibirnya lembut sambil
menguatkan diri sendiri untuk
meninggalkannya di dalam kamar.
Memberinya beberapa jam untuk beristirahat
tentu tak akan membunuhku. Lagipula kami
memiliki sepanjang malam ini untuk saling
melampiaskan nafsu.
Sayangnya aku sama sekali tak menduga
kalau yang terjadi ternyata lain dari yang
kuharapkan.
Mula-mula segala sesuatunya berjalan
lancar. Kami meneruskan sisa rapat, aku
mendengarkan setengah hati simulasi
perhitungan finansial yang disampaikan oleh
Yanis. Urusan keuangan seperti itu tak pernah
menarik minatku. Berikan aku masalah yang
mesti diselesaikan seputar produk atau teknis
maka aku tak akan segan mengutak-atiknya
tuntas hingga ke akar-akarnya. Beberapa kali
aku menguap, Mutia harus menyikut perutku
kencang. Ia selalu mengkhawatirkan imej
kami di depan penyandang dana.
“Bentar aku ambil minum dulu,” ujarku
undur diri, bangkit mencari alasan untuk
menyegarkan mata dan pikiran kembali. Di
area buffet aku bertemu dengan Galih yang
baru saja kembali dari toilet. Ia berhenti dan
mengikutiku untuk mengambil cemilan untuk
dirinya sendiri.
“Untung udah kelar, Bro,” ujar Galih
memulai pembicaraan.
“Hm,” sahutku pendek, sambil bertanya
tanpa suara pada Galih.
“Kopi,” jawabnya. “Tar malem kamu
turun nggak?” tanya Galih.
“Hm,” jawabku pendek. Tersenyum, aku
memasukkan dua blok gula cokelat ke cangkir
milik Galih, tahu kalau sahabatku itu tidak
pernah doyan meminum kopi pahit. Aku
menyeduh tehku sendiri sambil mengaduk
cangkir milik Galih dan menuangkan krim
seperti kesukaannya selama ini.
“’Hm’ kamu mau turun atau ‘hm’ kamu
nggak mau turun?” tanyanya.
“Turun,” jawabku lagi.
“Si Ega diajak dong,” ujarnya sambil
mengamatiku. “Kasihan amat, diajak jauh-
jauh ke sini cuman buat dianggurin.”
Egalita memang jauh-jauh kuajak ke
tempat ini, tapi jelas bukan untuk
‘menganggur’ seperti dugaannya. Tapi bukan
urusan Galih untuk tahu setiap detail kegiatan
kami. Biarkan hanya Egalita dan aku yang
tahu seperti apa panasnya permainan kami
setiap kali menghabiskan malam berduaan
saja. Mengingat itu aku tersenyum sendiri.
“Malah cengengesan. Kasihan tuh
adikmu. Diajak turun yah?”
Nada suara Galih sebenarnya terdengar
biasa saja, pun ekspresinya. Tetapi ia
mengutarakannya sampai dua kali, dan aku tak
senang ada perhatian berlebih ditujukan
kepada Ega. Dia adalah milikku. Tanggung-
jawabku. Bukan urusan Galih atau laki-laki
lain yang manapun.
“Ya,” sahutku tanpa komitmen. Mungkin
nanti ketika aku kembali ke atas menjemput
Ega, kami justru akan sibuk ‘bergulat’ dan
lupa turun ke bar lagi hingga esok. Suasana
hatiku membaik lagi begitu aku teringat pada
wajah tidurnya yang seperti malaikat,
membuatku menahan diri untuk tidak
mengeluarkan seloroh kasar pada Galih yang
mungkin tak memiliki maksud apapun, selain
ingin melibatkan Ega pada kegiatan kami.
Sahabatku sejak SMA itu mengamatiku
lalu mengangguk puas. Seutas senyuman tipis
muncul di wajahnya, membuatku merasa was-
was tanpa sebab.

***

Investor kami hobi sekali berbicara. Ia


menahanku, Yanis, Mutia dan beberapa orang
tim kami di ruang rapat hotel, menceramahi
kami dengan katebelece yang sebenarnya
perwujudan dari ego khas orang berduit yang
selalu ingin didengar. Mutia mencubit
punggungku, tahu kalau aku tinggal seujung
jari lagi dari menyela dan menghentikan
pembicaraan tanpa manfaat itu. Galih
beruntung karena telah meloloskan diri sejak
tadi, beralasan ingin mandi sebelum turun lagi
ke bar hotel.
Susah payah aku mempertahankan raut
wajahku agar terlihat tertarik. Biasanya aku
memiliki lebih banyak kesabaran dari ini, tapi
entah mengapa, aku ingin cepat-cepat
menyudahi pertemuan ini.
“Ah permisi,” ujarku ketika sudah tidak
tahan. “Saya naik dulu, mau jemput Ega.”
Ia mengamatiku tak suka, mungkin
merasa tersinggung karena aku tidak
memberikan tepuk tangan heboh
mendengarkan pidato kisah hidupnya. Yeah,
yeah... generasi ketiga , pewaris dari kerajaan
bisnis milik orang tua dari orang tuanya.
Dengan kata lain, orang yang bisa
menginvestasikan uang sesuka hati mereka
karena privilege. Sama sekali tak membuatku
terkesan.
Bergegas naik, aku terpaksa turun
kembali dengan tangan kosong karena Egalita
tak ada di dalam kamar. Kondisi kasur yang
sedikit berantakan dengan pakaiannya yang
tersebar membuatku mengambil kesimpulan
kalau adik tiriku itu telah turun ke bar. Aku
kembali turun dengan harapan tak
membiarkan Ega menunggu lama.
Dentum musik live terdengar begitu aku
memasuki lorong bertirai gelap. Lampu
temaram dan asap rokok menyambutku begitu
aku tiba di area tengah bar. Kursi-kursi telah
dipenuhi oleh orang-orang, sebagian para
tamu dan sebagian lainnya tim kami yang
menempati meja-meja di sudut. Aku
mengamati mereka satu persatu dan tak
mendapati satupun sosok familiar yang tak
pernah gagal membuat jantungku berdebar.
Tapi tidak lama, karena seperti yang sudah-
sudah, hanya perlu beberapa detik sampai aku
bisa menemukan Egalitaku di tengah
kerumunan. Kehadirannya seolah memberikan
petunjuk suar, di manapun Egalita berada aku
pasti selalu berhasil menemukannya. Ia duduk
di kursi tinggi, membelakangiku. Tubuhnya
condong bersandar ke meja bartender. Dari
belakang, sosoknya terlihat ramping, memakai
blus warna peach yang aku sukai. Rambutnya
digerai turun, sedikit berombak. Tak sabar
ingin menyapanya, aku bergegas mendekat.
Aku ingin memanggil namanya, tapi
mengurungkan niat karena ingin
mengejutkannya, mungkin aku juga bisa
mencuri ciuman di pipinya tanpa
menimbulkan pertanyaan di mata orang-orang
yang melihat kami. Ciuman pipi antara kakak-
adik tentunya hal yang biasa kan?
Mataku jatuh ke arah laki-laki yang duduk
di depan Ega. Galih rupanya telah sampai di
bar lebih dulu dan sekarang sedang duduk
berdua-duaan dengan adik tiriku. Wajah
mereka yang semula terpisah, kini mendekat
cepat dan sedetik kemudian bibir mereka
saling menempel. Bibir Galih menempel di
bibir Ega. Wajah mereka begitu dekat, mereka
kini tengah berciuman.
Berciuman...
Bibir si bangsat itu menempel di bibir
gadisku.
Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi, tak
bisa melihat apa-apa lagi.
Dalam pandanganku kini hanya putih
yang bisa kulihat...
Putih dan panas.
Aku mengamuk.
Bab 67
Theo

Tak peduli bahwa ini sahabatku yang


telah ada bersamaku dalam suka maupun duka
selama hampir satu dekade. Tak peduli bahwa
ini Galih, orang yang ada di sampingku ketika
suatu kali mama relaps dan tak ada siapapun
di rumah yang bisa membantuku
mengatasinya. Tak peduli bahwa ini Galih,
orang yang sudah kuanggap seperti saudara,
yang mempercayai ide-ide gilaku, yang
memiliki selera humor yang mampu
membuatku tertawa bahkan di saat terkelam
sekalipun.
Tak peduli ini Galih, atau siapapun juga.
Keparat ini telah berani-berani
menyentuhkan bibirnya ke bibir Egalitaku,
milikku. Ia telah berani melanggar aturan yang
telah kutetapkan padanya bertahun-tahun lalu
agar tidak menyentuh kepunyaanku. Otaknya
tentu terisi oleh pikiran-pikiran bejat
seandainya ia bisa masuk ke balik celana
dalam yang dipakai oleh Ega.
Tidak ada keraguan sedikitpun ketika aku
merangsek maju untuk menghajarnya. Yang
ada di hadapanku kini hanyalah manusia
laknat yang berani-berani mengambil
kepunyaanku. Aku memukulinya seolah Galih
hanyalah seonggok karung beras yang menjadi
sasaran tinju dan tendanganku. Sumpah
serapah mengalir keluar. Pada saat itu aku tak
peduli implikasinya, tak peduli akibat bawaan
dari kecerobohanku. Pada saat itu hanya ada
amarah yang memutihkan pikiranku dan hanya
ada satu cara untuk membebaskan diri
darinya: orang di hadapanku itu harus enyah.
Tangan-tangan memborgol sisi kiri dan
kananku seperti tentakel erat. Aku ingin
mendobrak maju dan meninju wajahnya
hingga lebih banyak lagi giginya yang rampal.
Suara tercekik milik Egalita menyadarkanku.
Meskipun lirih, ironisnya sumber kegilaanku
itu juga menjadi pintu kesadaranku. Mataku
melirik ke samping, lega mendapati Egalita
masih ada di tempatnya duduk. Wajahnya
pucat pasi, tapi ia baik-baik saja.
Kemarahan soal Ega selalu bermuara pada
hasratku untuk memilikinya. Setelah
melihatnya hampir dicuri di depan mata dan
kepalaku, tubuh dan jiwaku kini dikuasai oleh
keinginan untuk menyatukan diri kami dalam
cara yang paling primal. Mengklaim milikku
dengan cara yang paling kutahu.
Karena itu aku meninggalkan buruanku
begitu saja dan beralih menyeret adikku
meninggalkan tempat itu. Tatapan orang-
orang, suara Yanis sama sekali tak mampu
menggangguku. Hanya jari-jari familiar,
genggaman tangan yang kini terjalin dengan
tubuhku sendiri yang menjadi sumber
kewarasan. Tapi hanya tinggal menunggu
waktu sampai aku mengamuk lagi kalau tidak
bisa segera menyetubuhinya, memastikan
kalau Egalita Manar tak kurang suatu apa,
memastikan kalau dia masih milkku dan aku
miliknya.
Di dalam kamar, tanpa berkata sepatah
katapun aku merangseknya masuk, tak
memedulikan sedikitpun wajahnya yang masih
terlihat shock ataupun keraguan yang ia
tunjukkan ketika melihat buku jari dan tinjuku
yang berdarah. Kucium bibirnya, ingin
membersihkan jejak tak terlihat yang
ditinggalkan oleh orang-orang selain diriku.
Bibir yang selalu membayangi malam-malam
ketika kami berjauhan... Membuatku selalu
rindu ingin berdekatan dan melihatnya dari
dekat, bahkan hanya sekedar untuk melihat
Egalita berbicara, atau jika aku mau, melihat
warna pinknya mengilat, melingkari sekeliling
ereksiku yang mengeras. Ibu jariku mengusap
giginya, menyibak bibir Egalita, mati-matian
meyakinkan kepalaku sendiri yang kini
dipenuhi oleh pikiran-pikiran aneh, kalau ia
adalah milikku. Egalita kepunyaannya
Theodore. Sebuah ciuman dipaksakan tak
akan mengubah kenyataan itu.
Ya kan?
Cepat aku memutar tubuh adik tiriku
hingga berbaring telungkup di atas tempat
tidur. Kakinya masih menggantung di pinggir,
celana jeans berikut dalamannya telah kutarik
turun. Menyerah pada panggilan alam, aku
menyatukan tubuh kami dan mulai bergerak.

***
Di dalam mobil tahanan, aku mengamati
wajah sembab Egalita, merasa bersalah karena
telah menjadi sebab tangisannya tanpa mampu
melakukan apapun mengingat tanganku yang
kini diborgol, juga polisi yang duduk bersama
kami. Tanpa suara, ia memalingkan wajahnya
ke arahku, tatapannya menuduh. Semua ini
memang kesalahanku sendiri. Karena hilang
kendali, aku telah memaksa kami berdua tiba
di titik ini.
Anehnya, setelah puas melampiaskan rasa
takut dan kegilaanku pada adik tiriku,
perlahan-lahan otakku kembali normal.
Telepon Yanis yang memberitahukan kalau
polisi akan datang menjemput kuterima
dengan tenang. Rasio dan akal sehatku telah
kembali. Di kamar tadi aku memeluknya erat
dengan sedikit waktu kami yang tersisa,
menyempatkan diri mandi dan
mengembalikan semua benda-benda Ega agar
dia bisa mengurus dirinya sendiri seandainya
aku harus menginap di tahanan.
Apapun yang harus kutanggung nanti aku
berharap agar aku tidak akan ditahan terlalu
lama. Bukan karena ide tentang menghabiskan
malam di hotel prodeo menggangguku, tetapi
lebih karena aku tak ingin membuat Ega dan
adik-adikku yang lain khawatir.
Mataku beralih turun, mengamati kaki
Ega yang terbungkus sneakers. Tiba-tiba
dikuasai oleh keinginan aneh untuk
melepasnya dan melihat kaki telanjang Ega,
menciuminya... aku memalingkan muka,
berusaha melupakan keberadaan gadis itu di
dalam ruang sempit ini. Tak ingin melihat rasa
kasihan di matanya, menyaksikanku berubah
menjadi pesakitan hanya dalam kurun waktu
semalam.
Aku mesti menghabiskan malam itu tidur
di lantai beralaskan tikar kotor karena tak
bersedia memberikan keterangan sampai
didampingi pengacara. Mataku nyalang
menatap langit-langit, meringkuk
membelakangi dinding. Di dalam sel itu aku
hanya sendirian, tetapi di sel sebelahnya
terdapat satu orang lelaki yang tertidur pulas.
Pikiranku mengembara dan mengulang
rentetan peristiwa yang terjadi hari ini,
bertanya-tanya bagian mana yang bisa kuubah
agar tidak berakhir sama seperti sekarang. Ah,
mungkin alih-alih turun tanpa
membangunkannya tidur siang, seharusnya
aku bercinta sepuasnya dengan Ega dan tak
membiarkannya lepas dari pengawasanku.
Lihat saja, meleng sedikit dan begini
akibatnya.
Hanya saja, kalau diminta untuk
mengurungkan perkelahianku dengan Galih,
aku tak yakin bisa melakukannya, bahkan jika
konsekuensinya sama. Mengingat kejadian di
bar itu membuat darahku mendidih lagi. Aku
akan mengulanginya ratusan kali jika perlu,
kalaupun hanya demi mengirimkan pesan
subliminal ke benak adikku bahwa perbuatan
seperti itu tidak akan pernah bisa kutolerir.
Lebih baik Ega berpikir panjang kalau ia ingin
mengulanginya lagi.
Aku tak menyadari seberapa besar
implikasi perbuatanku itu hingga pengacara
yang disewa papa untuk mendampingiku
datang keesokan harinya. Dari pembicaraan
singkat kami, aku mempelajari kalau lama
hukuman untuk penyerangan mendadak
seperti ini paling banyak setahun enam bulan
menurut undang-undang. Ia menjabarkan
padaku beberapa pilihan, tetapi mengingat
banyaknya saksi mata malam itu, juga
rekaman CCTV tidak ada gunanya mengelak
kalau memang akulah yang memulai
perkelahian itu sementara Galih bahkan tak
mencoba membela diri dan jelas-jelas korban
dalam kasus ini.
Ia menyarankan agar dilakukan
pendekatan kekeluargaan dengan korban
sembari berharap mereka tidak akan menuntut
lebih lanjut dan bisa diberi uang damai.
Namun belakangan kami mendapati kalau
bukan hanya Galih, pihak hotel juga
mengajukan tuntutan karena perusakan dan
pengalaman tidak menyenangkan yang terjadi
di premis bangunan milik mereka.
Setelah selesai dilakukan pengambilan
keterangan selama beberapa hari dengan
berbagai saksi, pengacaraku akhirnya
mendapatkan izin untuk membayarkan uang
jaminan dengan jumlah yang tidak sedikit
seperti perintah papa. Papa marah besar, tapi
bahkan kejadian ini tak cukup untuk
membuatnya memprioritaskanku di atas entah
bisnis apa yang sekarang sedang diurusinya di
luar negeri. Kabar yang kudengar, orang tua
Galih tidak bersedia menerima permintaan
maaf dari pengacara yang mewakili keluarga
kami. Aku tidak menyalahkan mereka.
Pengacara yang meminta maaf sambil
menawarkan uang ganti rugi? Kedengarannya
lebih mirip usaha untuk menyuap ketimbang
tulus meminta maaf. Di hari kelima setelah
penangkapan, akhirnya aku menghirup udara
bebas, meski hanya untuk sementara waktu.
Lagi-lagi satu demi satu kejutan
menantiku di rumah. Surat pengeluaranku dari
kampus yang telah ditanda-tangani oleh Dekan
telah menanti. Sepertinya orang tua Galih
tidak menunggu lama-lama untuk melaporkan
perbuatanku ke kampus dan menuntut mereka
mengambil tindakan tegas. Terlepas dari
berbagai prestasi yang telah kuraih sebelum
ini di kampus, mereka tak segan
memasukkanku ke daftar drop out. Aku tak
menyalahkan tindakan orang tua Galih,
mereka pantas mendapatkan keadilan. Diam-
diam aku justru merasa iri pada perhatian yang
tumpah ruah ketika si brengsek itu ditimpa
kemalangan. Ah... Di sini Theodore Rahardian
berada, memiliki masalah besar di hadapanku,
tapi aku justru sibuk merasa iri.
Prioritas, Theo.
Ternyata itu bukan satu-satunya kabar
buruk yang kuterima hari itu. Malamnya Yanis
dan Mutia datang ke rumah dan mengabarkan
kalau proyek kami mangkrak karena investor
kami mundur. Lebih lanjut, mereka meminta
ganti kerugian sebanyak 50% dari total uang
yang mereka gelontorkan sebagai bagian dari
klausul perjanjian yang telah kami sepakati.
Putus asa, Yanis memberitahuku kalau mereka
kini tengah dalam upaya menjual ide dan
program jadi aplikasi itu ke perusahaan yang
bersedia mengakuisisinya. Setidaknya uang itu
bisa dipakai untuk membayarkan hutang-
hutang kami.
Abel, Dina dan Egalita yang duduk
melingkar di lantai karpet terlihat sibuk
dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi
aku tahu kalau mereka juga sedang
mendengarkan percakapan kami diam-diam.
Aku mengamati Yanis dan Mutia, tak
mempercayai keberuntunganku karena
memiliki teman dengan kesetiaan tak
tergoyahkan seperti mereka. Ketika mereka
bisa saja pergi menjauh mendapatiku seperti
ini, mereka justru tinggal dan berusaha
mengatasi keadaan semampu mereka. Loyal
sampai akhir. Dan kesetiaan itu bukan hanya
mereka tunjukkan padaku, tapi juga pada
Galih.
“Theo... Kenapa sih kamu tega?” tanya
Mutia ketika tak sanggup lagi menahan rasa
penasaran dan sakit hatinya.
Aku hanya menatapnya kosong,
mengangkat bahu. “Sudah kukasih tahu kalau
Ega dan Dina off limit,” jawabku datar tanpa
emosi.
“Masa hanya gara-gara itu...” suara Mutia
terdengar lirih.
“Gimana keadaannya?” tanyaku
memotong, mengalihkan pembicaraan.
“Lumayan membaik. Hidungnya patah,
tiga giginya tanggal, perdarahan dalam di
daerah perut.” Yanis menjabarkan cepat.
Mengernyit mendengarnya, mau tak mau
aku merasa bersalah.
“Kalau semua sudah selesai... kamu mau
ketemu Galih?”
“Nggak akan pernah,” jawabku tegas.
Galih telah memaksa melewati garis pembatas
yang telah kutetapkan. “Untukku, dia nggak
pernah ada.”
Sambil mengatakannya, aku berusaha
menahan diri untuk tidak memalingkan muka,
menatap mata hitam keabuan milik Egalita
Manar. Tanpa harus kukatakan, kami berdua
tahu bahwa dia adalah pemicu seluruh rentetan
peristiwa itu.

***

Aku mengerti rasa rindu dan khawatir


yang dirasakan oleh Dina, tapi polah adikku
itu membuatku kesal. Sepanjang hari ia
mengekorku ke mana-mana, tidak mau lepas.
Malam tiba dan dia masih menempel padaku
di kamar tidur. Aku kangen padanya, tapi
malam ini aku juga ingin membagi rasa
kangenku itu pada Egalita yang sejak tadi
hanya memandang sedih ke arahku, menjaga
jarak, membuatku resah karena melihatnya
begitu cantik seolah tak tersentuh oleh segala
kegilaan yang terjadi di sekeliling kami.
Susah payah aku berhasil mengusir halus
Dina keluar, aku menutup pintu kamar.
Mengamati pemandangan familiar ini, aku
teringat beberapa malam tidur di atas tikar
dingin tanpa bantal dan hanya berselimutkan
sarung tipis bekas milik tahanan sebelumnya.
Lucu rasanya betapa hal-hal sederhana terlihat
begitu membahagiakan ketika kita menyadari
artinya kehilangan.
Rebah membaringkan diri, aku sabar
menunggu hingga hampir satu jam untuk
memastikan penghuni rumah kami beranjak
tidur ke kamar mereka masing-masing.
Tertidur selama beberapa detik, tiba-tiba aku
terjaga lagi dan bersiap ingin menjalankan
rencanaku menyusup ke kamar adik tiriku
tersayang dan mencari tahu apakah ia
merindukanku sebesar aku merindukannya.
Tapi belum sempat aku bangkit, suara ketukan
halus terdengar di pintu. Ketika bangkit
membukanya, aku kaget mendapati Egalita
Manar berdiri di muka pintu. Tanpa pikir
panjang aku menariknya masuk. Ini pertama
kalinya setelah sekian lama, Ega datang ke
kamarku atas kemauannya sendiri.
Kata-kata serasa lenyap dari pikiran
maupun mulutku. Kami berdua berdiri di
tengah-tengah kamar, saling berpelukan.
Tubuhnya terasa pas dan lembut, tak henti-
hentinya aku merutuki Galih karena telah
sukses memisahkan kami.
Setahun enam bulan katanya... Tiba-tiba
lama waktu yang kemungkinan harus
kutanggung itu terasa seperti ketidak-adilan
yang membuatku ingin bersumpah serapah
karena harus meninggalkan Egalita sendirian
di luar.
Pelukanku di tubuhnya tanpa sadar
mengetat.
“Kak... kekencengan...” protes Ega,
menggeliat lemah.
Aku masih belum ingin melepasnya,
berdoa semoga akan ada keajaiban yang
membuat kami tak perlu berpisah terlalu lama.
Doaku terkabul, karena bukan satu tahun
enam bulan, tapi dua belas bulan hukuman
yang akhirnya ditetapkan oleh hakim untukku.
Kami tidak naik banding, karena putusan ini
cukup murah hati mengingat bukti-bukti
memberatkan yang banyak jumlahnya. Karena
kelakuan baik, aku dibebaskan setelah
sembilan bulan meringkuk di dipenjara.
Namun aku belum menyadari kalau sembilan
bulan ini adalah jarak yang cukup untuk
mengubah hidup kami berdua selamanya.

Anda mungkin juga menyukai