Anda di halaman 1dari 4

Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik.

Sila-sila Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi Pancasila mengandung arti
bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Dalam filsafat Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai
praktis.
· Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai
kerakyatan, dan nilai keadilan.
· Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang selanjutnya
akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.
· Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini
merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang mendasari
nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat, berbansa, dan
bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of value
Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan.
Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan ontologi dan epistemologinya. Pokok-pokok
aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:
Tuhan yang Maha Esa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi beserta
antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia secara psikologis-
spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu secara universal. Hukum alam
dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan kemanusiaan yang menjamin multieksistensi
demi keharmonisan dan kelestarian hidup.
Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam perwujudan Tuhan
yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi, secara
individual maupun sosial).
Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi: Tuhan yang mahaesa
dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta dengan berbagai unsur yang
menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang harmonis, subyek manusia yang bernilai
bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.) beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga
dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu,
pengetahuan, sosio-budaya umat manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia
menurut tempat dan zamannya.
Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan berbagai nilai:
manusia sebagai pengamal nilai atau ‘konsumen’ nilai yang bertanggung jawab atas norma-norma
penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai pencipta nilai dengan karya dan
prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek budaya). “Man created everything from something to
be something else, God created everything from nothing to be everything.” Dalam keterbatasannya,
manusia adalah prokreator bersama Allah.
Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari hakikat manusia
sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan rendah hati, cinta keadilan
dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.
Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani sehingga memiliki
kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan kepercayaan masing-
masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik, supernatural dan supranatural. Maka
potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori: diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang
unik: secara sadar mencintai keadilan dan kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk
manusia – identitas utama akal budi dan nuraninya – melalui sikap dan karyanya.
Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap pendayagunaan nilai,
mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran ialah cinta kasih, dan hakikat
ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam, permusuhan, perang, etc.).
Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud dalam dunia indra,
ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan sosial manusia meliputi:
1. hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan dan
antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);
2. hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa Prima)
menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).
kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial horisontal (garis APB);
kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap Ketuhanan yang
mahaesa;
kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC. Tegasnya, garis
PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi, kualitas kesadaran akan
Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber nilai dan
kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya potensi intrinsik dalam
kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan nurani manusia (berupa
kebajikan). Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat kepribadiannya adalah cinta
sesama. Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma bakti dan pengabdiannya untuk selalu
berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif ini bersifat ontologis pula, karena sifat dan
potensi pribadi manusia berkembang dari potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self,
bahkan dari kehidupan dunia menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis ini pada
hakikatnya ialah usaha dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta,
terutama cinta diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan. Kebaikan
dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta pribadi dengan sesama
dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan rohani dan kebahagiaan pribadi
manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai
Tuhan dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan ideal,
meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif dengan
mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ‘ikatan’ hukum alam dan hukum moral yang psikologis-
religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan suprarasional. Penghayatannya
pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (real-self dan ideal-self), bahkan demi tujuan
akhir pada periode post-existence (demi kehidupan abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang
normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena nilai
filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan konflik kejiwaan
maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!
http://orathforever.blogspot.com/2012/10/makalah-filsafat-pancasila-ontologis.html

1. Kajian Aksiologi
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada ivakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu
pengeiahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu
kesatuan dasar aksiologis, maka nilai-nilai yang terkandung dalamnya pada hakikatnya juga merupakan
suatu kesatuan.

Selanjutnya, aksiologi Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan
sebagai “keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu tindakan
kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena: 229).
Di dalam Dictionary of Sociology’ an Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah suatu
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu
benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Dengan demikian, nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung nilai,
artinya ada sifat atau kualitas yang melekat padanya, misalnya bunga itu indah, pcrbuatan itu baik. Indah
dan baik adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Jadi, nilai itu sebenarnya
adalah suatu
kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai itu karena adanya
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.

Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat bergantung pada titik tolak dan sudut
pandang setiap teori dalam menentukan pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakikat
nilai yang tertinggi adalah nilai material, sedangkan kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang
tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun, dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat
dikelompokkan pada dua macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan
sabjek pemberi nilai, yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektit. tetapi juga terdapat pandangan bahwa pada
hakikatnya nilai sesuatu itu melekat pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan pandangan dari paham
objektivisme.

Notonagoro memerinci tentang nilai, ada yang bersifat material dan nonmaterial. Dalam hubungan ini,
manusia memiliki orientasi nilai yang berbeda bergantung pada pandangan hidup dan filsafat hidup
masing-masing. Ada yang mendasarkan pada orientasi nilai material, tetapi ada pula yang sebaliknya,
yaitu berorientasi pada nilai yang nonmaterial. Nilai material relatif lebih mudah diukur menggunakan
pancaindra ataupun alat pengukur. Akan tetapi, nilai yang bersifat rohaniah sulit diukur, tetapi dapat juga
dilakukan dengan hati nurani manusia sebagai alat ukur yang dibantu oleh cipta, rasa, serta karsa dan
keyakinan manusia (Kaelan, 2005).

Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian
yang mengakui nilai material dan nilai vital. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai
kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, seperti nilai material, nilai
vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, ataupun nilai kesucian
yang secara keseluruhan bersifat sistemikhierarkis. Sehubungan dengan ini, sila pertama, yaitu ketuhanan
Yang Maha Esa menjadi basis dari semua sila-sila Pancasila (Darmodihardjo: 1978). Secara aksiologis,
bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa
Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang
berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesialah yang menghargai, mengakui, serta
menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai.
Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak
menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan,
atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa
Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan manusia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai