MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 78/PUU-XXI/2023
PERIHAL
PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1976
TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA
PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN
BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN KEJAHATAN
TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG PERUBAHAN KITAB-KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA; KITAB
UNDANG-UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA; DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON
(IX)
JAKARTA
KAMIS, 21 DESEMBER 2023
i
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 78/PUU-XXI/2023
PERIHAL
PEMOHON
1. Haris Azhar
2. Fatiah Maulidiyanti
3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam hal ini diwakili
oleh Muhamad Isnur selaku Ketua Umum dan Zainal Arifin selaku Ketua Bidang
Advokasi dan Jaringan
4. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dalam hal ini diwakili oleh Sasmito selaku
Ketua Umum dan Ika Ningtyas Unggraini selaku Sekretaris Jenderal
ACARA
SUSUNAN PERSIDANGAN
1) Suhartoyo (Ketua)
2) Saldi Isra (Anggota)
3) Arief Hidayat (Anggota)
4) Anwar Usman (Anggota)
5) Enny Nurbaningsih (Anggota)
6) Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota)
7) Wahiduddin Adams (Anggota)
8) M. Guntur Hamzah (Anggota)
9) Ridwan Mansyur (Anggota)
1. Feri Amsari
2. Mohammad Fandi
3. Nafirdo Ricky Qurniawan
4. Delpedro Marhaen
5. Shaleh Al Ghifari
6. Hemi Lavour Febrinadez
7. Ibnu Syamsu Hidayat
8. Sri Afianis
1. E. Fernando M. Manullang
2. Bambang Harymurti
C. Pemerintah:
1. Purwoko (Kemenkumham)
2. Surdiyanto (Kemenkumham)
3. Fauzi Ibrahim Reza (Kemenkumham)
4. Nisa Zuliana Fitri (KejaksaanAgung)
5. Lailah (Kominfo)
[sic!] : tanda yang digunakan apabila penggunaan kata dalam kalimat yang digunakan oleh pembicara diragukan
kebenarannya antara ucapan dengan naskah/teks aslinya.
… : tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus, berulang-ulang, atau kalimat yang tidak koheren
(pembicara melanjutkan pembicaraan dengan membuat kalimat baru tanpa menyelesaikan kalimat yang lama).
(…) : tanda yang digunakan pada kalimat yang belum diselesaikan oleh pembicara dalam sidang, namun disela oleh
pembicara yang lain.
1
KETUK PALU 3X
Terima kasih, Majelis yang hadir. Dimulai dari kanan saya, ada
Nafirdo, kemudian ada Delpedro, kemudian ada Lavo, kemudian ada Feri
Amsari, saya sendiri Mohammad Fandi, di sebelah kiri saya ada Shaleh Al
Ghifari, di sebelahnya ada Ibnu, dan di paling ujung ada Sri Afianis.
Terima kasih, Majelis.
Izin, Majelis.
yang bisa memberikan hak dan kewajiban. Suatu subjek tidak bisa
mengklaim bahwa ia memiliki hak atau kewajiban. Hak dan kewajiban itu
mesti berasal dari pihak yang berfungsi membuat dan menerapkan
hukum dan pihak ini disebut sebagai organ hukum. Ide Kelsen yang di
atas itu selaras dengan apa yang dibayangkan oleh Leibniz bahwa suatu
konsep mesti memiliki clarity dan sureness-nya. Subjek hukum tidak bisa
hadir secara arbitrer, ada hal yang diberikan kepada seseorang berupa
hak dan kewajiban, namun pemberian itu mesti berasal dari kekuasaan
dan bukan dari sembarang pihak. Masalahnya, organ hukum di mata
Kelsen itu adalah fiksi karena ini mengenai suatu masyarakat dan ini
tidak merujuk kepada suatu kenyataan sosiologis di dalam masyarakat.
Organ hukum di mata Kelsen yang fiksi ini kebetulan seperti
dikonfirmasi oleh seorang filsuf Kantian dan dia bukan seorang sarjana
hukum bernama Axel Hagerstrom. Yang menurut saya Axel Hagerstrom
menunjukkan bahwa hal yang dianggap fiksi oleh Kelsen itu dianggap
sebagai bukan realitas. Hagerstrom menggunakan suatu proyeksi
filosofis yang menarik karena pertama dia menunjukkan bagaimana
Hegel ketika menjelaskan bahwa hukum adalah suatu perkembangan
dialektis dari tahap subjektif yang tadinya semula berupa etika-etika dan
menjelma menjadi suatu spirit yang objektif dan di situ terjelmalah apa
yang disebut sebagai hukum. Intinya yang disampaikan oleh Hagerstrom
dengan menggunakan pemikirannya Hegel bahwa hukum ditaruh oleh
dia sebagai sesuatu yang objektif dan itu ada di luar diri manusia. Ini
juga yang dibayangkan atau dilakukan oleh para filsuf empiris. Karena
bagi mereka sumber pengetahuan adalah segala hal yang ada di luar diri
manusia. Jadi objek-objek yang bisa disensor itu adalah objek
pengetahuan, dengan kata lain berarti pengetahuan yang kita dapatkan
itu diambil dari sesuatu yang di luar diri manusia.
Nah, oleh sebab itu di mata Hagerstrom, apapun yang dianggap
di luar diri manusia itu bukan realitas. Menurut Hagerstom, semua yang
ada di luar diri manusia adalah nihil. Mengapa demikian? Ini karena
Hagerstrom dengan memproyeksikan ide Immanuel Kant, yaitu das ding
an sich, ia ingin mengatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang suatu
objek, sesungguhnya bukan si objek itu sendiri. Yang kita ketahui
sesungguhnya adalah penampakan-penampakan dari objek tersebut.
Nah, berarti objek itu benar ada di luar diri kita. Diketahui bukan karena
si objek tersebut, tapi karena kita menyatakan ada objek berkat adanya
penampakan terhadap objek tersebut.
Dengan kata lain, dalam perspektif Hagerstrom pengetahuan akan
suatu objek sesungguhnya bersumber dari fenomena yang ditangkap
oleh rasio si subjek. Ini artinya sesuatu yang dianggap riil kalau si subjek
itu mengakui hal itu ada. Akibat lebih jauh, realitas sesungguhnya ada di
dalam diri subjek. Bukan di luar subjek, bukan objek-objek di luar diri
manusia. Karena itu semua adalah hal yang nihil.
7
1946 tidak berlaku lagi karena ketidakjelasan definisi kata “kabar atau
pemberitahuan bohong”, “onar”, “kabar yang tidak pasti”, “kabar yang
berkelebihan”, dan “kabar yang tidak lengkap”. Hingga menyebabkan
pasal-pasal ini mengancam hak konstitusional warga seperti tertera
dalam Pasal 28F dan Pasal 28E ayat (3). Apalagi boleh dikata, semua
pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 ini sekarang telah
diatur undang-undang lain yang lebih baru dan lebih lengkap. Ada
Undang-Undang ITE, ada Undang-Undang Bank, ada Undang-Undang
Keadaan Darurat, bahkan termasuk KUHP, yaitu Wetboek van Strafrecht
yang kini juga telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.
Demikianlah Keterangan saya. Terima kasih. Wassalamualaikum
wr. wb.
Silakan dilanjutkan.
Ya, ini saya nanti ada pertanyaannya, tapi ini akan saya kaitkan
dengan (...)
Jadi kalau menurut kami, Ahli, jadi kita melihat deliknya dulu. Jadi
deliknya yang Pasal 14 dan 15 itu sebenarnya adalah deliknya itu adalah
menerbitkan keonaran. Kalau kita diukur dari keonarannya, maka itu
akan ada kerugian, sehingga itu bisa menjadi delik. Sedangkan kalau ada
petugas yang menangkap dengan mengukur keonaran, itu maka betul
penerapannya Pasal 14 itu.
Ini yang mau … akan saya tanyakan. Saya kasih pengantar dulu,
prolog. Mohon tenang.
Ibu (…)
Baik.
Baik, terima kasih. Ya, mungkin mohon izin agak memerlukan apa
namanya … waktu sedikit. Karena sangat tertarik saya dengan apa yang
disampaikan oleh kedua Ahli, terutama Ahli Pak Dr. Fernando yang
berbicara masalah keadilan. Ya, memang masalah keadilan ini masalah
yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dari sejak
zaman dulu, zaman Nabi Adam sampai hari kiamat pun, masalah
keadilan ini menjadi masalah yang sangat krusial. Suatu contoh, ketika
seorang raja menugaskan dua perwira ke suatu tempat tugas, lalu yang
kembali hanya satu orang. Ditanyalah kepada dua perwira ini dan tidak
bisa menjawab, “Di mana keberadaan salah seorang sahabat dari
perwira ini?” Sehingga yang kembali ini dijatuhi hukuman mati, dianggap
menghilangkan nyawa atau menghilangkan diri temannya. Ketika mau
dieksekusi, tiba-tiba muncul sang perwira ini. Lalu sang raja
menyatakan, “Fiat justitia ruat caelum,” yang kita kenal dengan lambang
atau apa … kata-kata yang ada di dunia advokat. Yang artinya apa?
Tegakkan hukum meskipun langit akan runtuh. Padahal si petugas atau
perwira yang dianggap sudah mati telah kembali. Itu contoh. Artinya
apa? Tegakkan hukum, tegakkan keadilan meskipun akan runtuh.
Nah, kita bandingkan dengan apa yang dialami oleh Socrates.
Karena beda pendapat, itu kejadian ribuan tahun yang lalu, lalu diadili di
sebuah peradilan atau sebuah pengadilan Athena, dan dijatuhi hukuman.
Suruh memilih tiga jenis hukuman. Pertama, meninggalkan Athena.
Kedua, membayar denda. Ketiga, meminum racun. Artinya harus
dijatuhi, hukuman mati dan … dengan cara meminum racun. Apa yang
dipilih oleh Socrates? Dia memilih minum racun. Tetapi sebelumnya dia
menulis sebuah pembelaan dalam sebuah pleidoi yang bernama the
apology yang ditulis oleh muridnya Plato.
Apa kata-kata yang luar biasa dalam pembelaan pleidoinya? Dia
bukan meminta kebebasan, meminta keringan hukuman. Tetapi kalimat
21
yang sangat luar biasa. Yang pada intinya adalah silakan tuan-tuan
menghukum saya, semau kalian, tapi kita lihat ke depan, siapa yang
punya prospek paling baik? Artinya, prospek apa pun yang terjadi di
kemudian, saya atau tuan-tuan? Saya yakin, Ahli juga pasti sudah
mengetahui masalah itu.
Kemudian kita kaitkan dengan peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Mas Bambang juga, mungkin sekalian juga ini,
akan saya tanyakan juga. Kasus Sengkon dan Karta, sudah sekian lama
masuk dalam penjara. Lalu di dalam penjara, bertemulah seseorang
yang mengaku bahwa pembunuh yang sebenarnya adalah dia. Waktu itu
hukum tertutup, tidak ada upaya yang bisa dilakukan, peninjauan
kembali belum ada. Akhirnya, lahirlah Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1980, yang memberi peluang untuk Sengkon dan Karta
bisa mengajukan peninjauan kembali, yang walaupun pada saat itu
timbul pro dan kontra bahwa Mahkamah Agung tidak punya kewenangan
untuk membuat peraturan semacam itu. Tetapi demi menyelamatkan
nyawa, menyelamatkan kemerdekaan seseorang, akhirnya dibuat
Peraturan Nomor 1 Tahun 1980 oleh Mahkamah Agung dan itu dijadikan
bakal atau cikal bakal lahirnya lembaga peninjauan kembali dalam
KUHAP, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1980. Itu sejarahnya tahun
1981.
Pak Fernando, itu luar biasa. Tadi ada kalimat, “Keadilan datang
dari dalam diri.” Betul. Persis yang diucapkan oleh tokoh India yang
bernama Mahatma Gandhi. Pengadilan yang paling tinggi di dunia ini
adalah pengadilan hati nurani, bukan oleh sang hakim saja, atau siapa
pun, termasuk wartawan, misalnya.
Pertanyaan saya ringan saja. Mana yang lebih utama antara
hukum dan keadilan? Idealnya adalah hukum dan keadilan harus
berjalan seiring, seirama. Tetapi kadang-kadang, ya, ketika hukum
ditegakkan, mungkin ada sebagian yang mengatakan itu tidak adil.
Tergantung dari sisi mana? Kepentingan apa? Pada posisi mana
seseorang melihat dalam sebuah kasus? Kalau ada kepentingannya, ya,
mohon maaf, misalnya dalam dunia politik yang akhir-akhir ini kita lagi
ramai.
Wah, itu sudah bagus, tepat, putusannya bagus. Sementara di sisi
lain atau bagi diri seseorang, itu merupakan kezaliman yang luar biasa.
Begitu juga, Mas Bambang, misalnya ada sebuah tulisan, “Dihimpun dari
berbagai macam sumber yang dijadikan sebuah fakta,” disiarkan ke
mana-mana. Ternyata, berita itu membunuh karakter seseorang.
Pertanyaanya, di mana nurani seorang wartawan atau media ketika apa
yang ditulis itu adalah sebuah cerita bohong atau bertentangan dengan
fakta yang sebenarnya? Mungkin itu saja. Terima kasih.
22
Baik, terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Pertama, saya tentu
menyampaikan terima kasih juga kepada Pak Fernando Manullang dan
Pak Bambang Harymurti atas Keterangannya dalam persidangan ini.
Saya fokus saja ke Pak Fernando Manullang, ya, tanpa mengurangi rasa
hormat kepada Pak Bambang Harymurti. Memang menarik, ya, diskursus
yang disampaikan oleh Pak Fernando Manullang kaitannya dengan
pemikiran dari Leibniz, ya, pra sains ke sains. Tapi saya tidak mau terlalu
ini karena itu level filsafat yang terlalu tinggi. Tetapi saya ingin
mengatakan bahwa isu menyangkut … apa … transformasi keadilan,
kemudian jadi tendensi-tendensi keadilan yang masuk ke norma, yang
menjadi hukum, ya, yang tentu ajeg, terukur, apa semua. Ya, memang
ini diskursus yang tidak Tunggal, ya. Jadi memang sudut pandang satu,
sudut pandang lain. Kita ambil contoh saja, sederhananya. Ketika John
Locke … pemikiran John Locke menggagas mengenai trias politika yang
membagi kekuasaan eksekutif, legislatif, federatif, dan kemudian itu
diterapkan di Inggris pada waktu itu. Kemudian apa yang terjadi?
Masyarakat banyak juga yang tidak puas dengan, ya, undang-undang
yang dibuat oleh parlemen. Akhirnya apa yang terjadi? Kemudian
terkenalah Raja Louis … Raja Louis XIV, ya, apa yang dikatakan di
Perancis bahwa inilah kejadiannya kalau banyak undang-undang yang
dibuat oleh parlemen tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Akhirnya
apa yang dikatakan? “L'etat, c'est moi,” saya adalah raja. Akan jauh lebih
bagus kalau saya yang buat, jadi dia yang buat, dia juga yang
laksanakan, dia juga yang adili. Tetapi itu tidak bisa dipertahankan
seperti itu. Apa artinya? Itulah tadi, diskursusnya tidak tunggal.
Tergantung perspektif dimana kita melihatnya.
Nah, saya ingin menanyakan kaitannya secara konkret saja. Ini
ada transformasi. Tadi saya sepakat dengan Pak Fernando bahwa
memang namanya hukum itu harus, ya, jelas, klir. Kita sudah sebut
biasanya dengan istilah lex certa, lex stricta. Seperti itu semua. Apa
artinya? Ketika ini hukum dari perspektif Pak Fernando, saya cuma
pengin dari perspektif … karena mendalami pemikiran dari Pak
Fernando. Ketika keadilan ini sudah ditransformasi ke dalam norma
aturan hukum, yang tadi yang disebut tadi sudah ajeg, ya, sudah
terukur. Nah, kemudian persoalannya, kira-kira menurut Pak Fernando,
apa lagi yang bisa menjadi alasan? Karena tadi kita katakan keadilan itu
adalah apa? Sangat … apa … memiliki tendensi yang hanya sangat apa
… subjektif lah. Ketika dia dinormakan menjadi objektif, kan gitu. Nah,
sekarang pertanyaan saya adalah, menurut Pak Fernando, kira-kira apa
23
Apa?
24
Artinya begini, Yang Mulia. Jadi kalau kita langsung bertanya, itu
agak sulit, ya, karena kita ini punya hak untuk mempertahankan pasal-
pasal yang diuji, sehingga juga kita perlu juga, ya, ada prolog-prolog,
ada pandangan-pandangan.
Nah, ini ada kaitannya juga dengan lex specialis derogat legi
generali, saya ingin menyampaikan saja undang-undang yang sekarang
sudah banyak sekali undang-undang yang mengatur tentang ujaran
kebencian dan berbagai macam kegiatan yang dianggap bisa membuat,
menimbulkan bahaya, bahkan undang-undang bila diperlukan dinyatakan
keadaan darurat, yang jauh lebih lengkap dan lebih baru ketimbang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Sehingga sebetulnya undang-
undang yang penuh ketidakpastian hukum ini dan menyebabkan
ketidakadilan, sebaiknya dihilangkan saja. Karena pemerintah tidak
kehilangan hak untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
dengan tidak adanya. Tetapi membiarkannya berisiko, hak konstitusi
warga dilanggar.
Jadi tidak ada manfaatnya … tidak ada mudarat … tidak ada
manfaatnya, banyak mudaratnya. Dan demikian juga kemerdekaan pers
tidak dapat dipisahkan dari citizen journalis … journalism, karena kalau
masyarakat tidak berani bicara, kemerdekaan pers juga mati. Karena
pers tidak bisa memberitakan apa-apa kalau tidak ada narasumber yang
mau berbicara, ya. Dan ketika kami di Dewan Pers, bagi kami seorang
wartawan itu sesuai undang-undang, asal dia mendeklarasikan dirinya
taat kode etik jurnalistik, maka Dewan Pers akan sesuai undang-undang
menyatakan dia bekerja sebagai wartawan. Dan karena itu, mendapat
perlindungan seperti itu. Kenapa ini kita bisa lakukan? Karena kalau di ...
anak-anak di negara maju, itu ada lagu yang menarik. Dia bilang, “Sticks
and stones can break my bones, but words will never hurt me.” Ya, itu
diajarin karena kalau dengan batu, dengan kayu, kita dipukul bisa
divisum berapa dalam lukanya. Tapi kalau dengan kata-kata, ada yang
merasa sangat luka, ada yang tidak bisa ... tidak bisa diukur. Seperti tadi
disebutkan, tidak ada ukuran objektifnya.
Oleh karena ini, ini bukan urusan publik ... bukan urusan negara,
pemerintah, ini urusan perdata. Kalau Anda merasa … apa ... dirugikan
oleh satu berita dan sebagainya, silakan menggugat secara perdata.
Jangan membebani negara, buktikan bahwa anda dirugikan, gitu. Dan
itu sebabnya, bank dunia melalui World Bank Institute pernah
mengategorikan negara di dunia atas tiga kelompok. Negara yang paling
maju itu biasanya struktur hukumnya menyatakan, pertama,
pencemaran nama baik itu bukan pidana. Kedua, pembuktian
pencemaran nama baik secara perdata itu menjadi beban penggugat
yang harus membuktikan, ya. Dan kalau negara masih pencemaran
nama baik itu pidana, umumnya itu negara-negara yang terbelakanglah
atau yang secara ekonomi juga tidak majulah, kurang maju, ya.
Kalaupun maju, mungkin baru sebentar, belum terbukti waktu lama, ya.
Dan itu ... ini yang bikin bank dunia, ini ahli-ahli ekonomi, bukan ahli
politik, ya. Jadi, dia pakai statistik dan sebagainya. Kalau diperlukan,
saya bisa memberikan kesaksian ke sini karena ini saya sudah paparkan
ke banyak penjuru dunia.
31
Dua orang ahli, ya. Baik. Jadi dijadwalkan, tapi waktunya belum
bisa dipastikan, nanti akan diberitahukan. Dipersiapkan saja untuk ahli
yang masih tersisa. Dua lagi, ya? Untuk CV dan keterangannya,
keterangannya juga yang utuh sekalian, jadi kami bisa merespons
sebagaimana yang Pak Bambang tadi, ada yang tersisa tadi, yang belum
diserahkan, nanti segera diserahkan.
Kemudian kalau bisa, coba putusan yang Pak Bambang yang
kasasi dilampirkan, ya. Yang … ya? Jika itu kalau Hakim ini kan terserah
para pihak, tapi jika itu relevan dan lain-lain, kan bisa.
34
Baik, kemudian terima kasih untuk para ahli, Pak Bambang dan
Pak Fernando. Pemerintah ada yang ditanyakan, Pak Surdiyanto tadi
sudah jelaskan, ya, Bapak kalau kurang klir bisa dilihat Risalah Sidang
tadi, apa yang kami lakukan tidak memberikan keseimbangan itu. Ibu
pun kan tanya satu, saya tanya cukup, sudah cukup sampai miknya mati
tadi, kan. Tidak ada pembatasan, hanya cara menyampaikannya, ya,
supaya to the point saja. Dan itu kan selalu setiap sidang diingatkan.
Baik, dengan demikian sidang selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X