Anda di halaman 1dari 38

rtin

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 78/PUU-XXI/2023

PERIHAL
PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1976
TENTANG PERUBAHAN DAN PENAMBAHAN BEBERAPA
PASAL DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA BERTALIAN DENGAN PERLUASAN
BERLAKUNYA KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
PIDANA, KEJAHATAN PENERBANGAN, DAN KEJAHATAN
TERHADAP SARANA/PRASARANA PENERBANGAN
JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG PERUBAHAN KITAB-KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA; KITAB
UNDANG-UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA; DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN
2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON
(IX)

JAKARTA
KAMIS, 21 DESEMBER 2023
i

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 78/PUU-XXI/2023

PERIHAL

Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan


Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan
dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana,
Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan
juncto Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab-Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap
Keamanan Negara; Kitab Undang-Undang-Undang Hukum Pidana; dan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Haris Azhar
2. Fatiah Maulidiyanti
3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam hal ini diwakili
oleh Muhamad Isnur selaku Ketua Umum dan Zainal Arifin selaku Ketua Bidang
Advokasi dan Jaringan
4. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dalam hal ini diwakili oleh Sasmito selaku
Ketua Umum dan Ika Ningtyas Unggraini selaku Sekretaris Jenderal

ACARA

Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (IX)

Kamis, 21 Desember 2023, Pukul 11.24 – 13.05 WIB


Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jln. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
ii

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Suhartoyo (Ketua)
2) Saldi Isra (Anggota)
3) Arief Hidayat (Anggota)
4) Anwar Usman (Anggota)
5) Enny Nurbaningsih (Anggota)
6) Daniel Yusmic P. Foekh (Anggota)
7) Wahiduddin Adams (Anggota)
8) M. Guntur Hamzah (Anggota)
9) Ridwan Mansyur (Anggota)

Saiful Anwar Panitera Pengganti


iii

Pihak yang Hadir:

A. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Feri Amsari
2. Mohammad Fandi
3. Nafirdo Ricky Qurniawan
4. Delpedro Marhaen
5. Shaleh Al Ghifari
6. Hemi Lavour Febrinadez
7. Ibnu Syamsu Hidayat
8. Sri Afianis

B. Ahli dari Pemohon:

1. E. Fernando M. Manullang
2. Bambang Harymurti

C. Pemerintah:

1. Purwoko (Kemenkumham)
2. Surdiyanto (Kemenkumham)
3. Fauzi Ibrahim Reza (Kemenkumham)
4. Nisa Zuliana Fitri (KejaksaanAgung)
5. Lailah (Kominfo)

*Tanda baca dalam risalah:

[sic!] : tanda yang digunakan apabila penggunaan kata dalam kalimat yang digunakan oleh pembicara diragukan
kebenarannya antara ucapan dengan naskah/teks aslinya.
… : tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus, berulang-ulang, atau kalimat yang tidak koheren
(pembicara melanjutkan pembicaraan dengan membuat kalimat baru tanpa menyelesaikan kalimat yang lama).
(…) : tanda yang digunakan pada kalimat yang belum diselesaikan oleh pembicara dalam sidang, namun disela oleh
pembicara yang lain.
1

SIDANG DIBUKA PUKUL 11.24 WIB

1. KETUA: SUHARTOYO [00:01]

Kita mulai persidangan. Persidangan Perkara Nomor 78/PUU-


XXI/2023 dibuka dan persidangan dinyatakan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3X

Selamat siang. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk


kita sekalian. Diperkenalkan Pemohon yang hadir?

2. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [00:28]

Terima kasih, Majelis yang hadir. Dimulai dari kanan saya, ada
Nafirdo, kemudian ada Delpedro, kemudian ada Lavo, kemudian ada Feri
Amsari, saya sendiri Mohammad Fandi, di sebelah kiri saya ada Shaleh Al
Ghifari, di sebelahnya ada Ibnu, dan di paling ujung ada Sri Afianis.
Terima kasih, Majelis.

3. KETUA: SUHARTOYO [00:48]

Baik, dari Pemerintah.

4. PEMERINTAH: PURWOKO [00:52]

Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr, wb.


Dari Kuasa Pemerintah hadir di sebelah kanan, Bapak Ibrahim
Reja, kemudian Pak Surdiyanto, saya sendiri Purwoko. Kemudian di
sebelah kiri saya Ibu Nisa Juliana Fitri, dan kemudian Ibu Laila, Yang
Mulia. Terima kasih.

5. KETUA: SUHARTOYO [01:10]

Baik. Dari Pemohon mengajukan Ahli, ya, untuk agenda


persidangan siang hari ini. Dr. E. Fernando M. Manullang dan Bambang
Harymurti. Betul? Betul, ya? Dipersilakan Ahli Pemohon untuk maju
mengucapkan sumpah. Silakan, Bapak-Bapak.
Yang Mulia Pak Daniel dan Yang Mulia Bapak Wahiduddin Adams
berkenan untuk menuntun lafal sumpahnya.

6. HAKIM ANGGOTA: DANIEL YUSMIC P FOEKH [01:57]

Baik. Ahli Bapak Dr. E. Fernando M. Manullang, ya. Ya, kalau


Katolik, tiga, ya, jarinya tiga. Ikuti lafal janji yang saya tuntun, ya.
2

“Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang


sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong
saya.”

7. AHLI DARI PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG [02.30]

Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang


sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong
saya.

8. HAKIM ANGGOTA: DANIEL YUSMIC P FOEKH [02.46]

Baik, terima kasih. Terima kasih. Saya kembalikan kepada Yang


Mulia Pak Ketua.

9. KETUA: SUHARTOYO [01:10]

Terima kasih. Dimohon Yang Mulia Bapak Waiduddin Adams.

10. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS [02:55]

Baik. Terima kasih, Yang Mulia Ketua.


Untuk Ahli Pemohon Bambang Harymurti. Ikuti lafal yang saya
tuntunkan.
“Bismillahirrahmanirrahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai
Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.”

11. AHLI DARI PEMOHON: BAMBANG HARYMURTI [03:08]

Bismillahirrahmanirrahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai


Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.

12. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS [03:28]

Baik, terima kasih. Saya kembalikan ke Yang Mulia Ketua.

13. KETUA: SUHARTOYO [03:31]

Terima kasih, Yang Mulia.


Pemohon, siapa terlebih dahulu yang akan didengar?
3

14. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [03:39]

Yang didengar terlebih dahulu ada Ahli Dr. Fernando, kemudian


yang selanjutnya Bambang Harymurti.

15. KETUA: SUHARTOYO [03:45]

Baik. Silakan, Pak Fernando di podium. Kemudian waktunya


sekitar 10 menit kurang lebih dan untuk pertanyaan supaya diakomodir
melalui satu … salah satu Kuasa Hukumnya saja. Jadi nanti bisa
dikoordinasikan sejak sekarang.

16. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [04:06]

Izin, Majelis, untuk pertanyaan, apakah kami meminta dua orang


menjadi perwakilan kami?

17. KETUA: SUHARTOYO [04:14]

Satu orang saja.

18. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [04:15]

Izin, Majelis.

19. KETUA: SUHARTOYO [04:16]

Dari kemarin satu orang, kan?

20. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [04:17]

Dari kemarin ada dua perwakilan yang bertanya dan Majelis di


dalam Perkara 84/2023 mengizinkan Pemerintah untuk melalui dua
orang untuk bertanya.

21. KETUA: SUHARTOYO [04:29]

Ya, itu tidak kemudian setiap perkara harus satu. Substansinya


dilihat. Apa?

22. KUASA HUKUM PEMOHON: SHALEH AL GHIFARI [04:37]

Karena kami juga memfokuskan bagian pertanyaan kami menjadi


dua, Majelis. Untuk kemaksimalan dari (...)
4

23. KETUA: SUHARTOYO [04:44]

Baik, kalau begitu boleh berdua, tapi untuk masing-masing


ditujukan untuk ahli yang satu, ya. Jadi dua boleh, tapi yang satu untuk
Pak Fernando, yang satu nanti itu Pak Harymurti. Silakan, tidak ada
masalah. Oke.
Silakan.

24. AHLI DARI PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG [05:07]

Terima kasih, Yang Mulia.


Saya pertama-tama ingin menerangkan seorang peran … peran
seorang filsuf besar bernama Gottfried Wilhelm Leibniz yang menjadi
pionir bagaimana ide keadilan dan terutama hukum yang semula bersifat
filosofis atau saya sebut sebagai pra sains, lalu menjadi science. Leibniz
melakukan ini karena ia tertantang atas permintaan seorang kaisar
bernama Leopold, Kaisar Leopold I. Tantangan sang kaisar itu adalah ia
ingin melakukan restorasi atas hukum Romawi dan itu dilakukan dengan
cara menggantikan corpus iuris civilis yang dulu dibuat oleh Kaisar
Yustisianus. Maka itu Leibniz merancang suatu kodeks baru yang dia
sebut sebagai kodeks leopoldus, walaupun kitab ini tidak secara efektif
digunakan oleh Holy Roman Empire karena kekaisaran ini tidak berumur
panjang di tangan Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Leibniz membuat suatu
proposal science yang mereformasi hukum Romawi berjudul Nova
Methodus Dissenda Docendic Jurisprudencia atau dalam bahasa Inggris
saya disebut sebagai New Method for Learning and Teaching
Jurisprudence. Karya reformasi ini bisa dikatakan diambil dari
disertasinya Leibniz yang berjudul Ars Combinatoria. Inti gagasannya
demikian, keadilan terutama hukum termasuk undang-undang dalam hal
ini, tak memiliki karakter ilmiahnya karena baik kadilan termasuk hukum
dianggap semata-mata sebagai insights. Dia datang dari dalam diri dan
akibatnya dimensi filosofisnya terlalu pekat. Akibat lebih jauhnya kadilan
dan termasuk hukum kehilangan clarity dan sureness, ya. Saya
mengambil dari satu tulisan, ditulis oleh … saya lupa namanya, dia
menyebutnya sebagai sureness daripada dibilang sebagai certainty.
Dengan kata lain, saya melihat Leibniz memandang kadilan, termasuk
hukum adalah suatu ide yang pra sains. Oleh sebab itu, Leibniz
melakukan transformasi yang unik karena Leibniz ketika itu
menggunakan … karena Leibniz ketika itu menggunakan natural law
untuk membawa ide keadilan, termasuk hukum ke ranah sains. Menurut
Leibniz, nature memiliki tiga aspek sekaligus, yaitu sebagai fisis yang
semata-mata alamiah, kedua sebagai ethos yang saya pahami sebagai
kebiasaan-kebiasaan yang bernuansa etis, dan ketiga sebagai logos yang
saya artikan bahwa alam memiliki rasionya untuk mengatur semestanya.
5

Leibniz lantas menggunakan alasan logos tersebut, ini makanya saya


sebut sebagai unik, sebagai dasar baginya membawa ide keadilan,
termasuk hukum, masuk ke ranah sains. Leibniz melakukannya dengan
mengikuti ide Descartian bahwa suatu pengetahuan dapat diterima
sebagai hal yang ilmiah sepanjang pengetahuan itu terukur selayaknya
aritmatika dan geometri. Maka itu dalam salah satu bagian dari empat
bagian kodeks yang dia buat, pada bagian elementa iuris civilis odierno
atau the elements of civil law, Leibniz memberikan sejumlah konsep-
konsep hukum, yang terutama adalah dan relevan dalam sidang ini,
yaitu konsep subjek hukum. Leibniz dengan demikian dapat dikatakan
seorang filsuf yang berhasil membawa ide keadilan, termasuk hukum,
yang semula pra sains karena hanya berupa insights menjadi sebuah ide
epistemik karena mengenalkan salah satunya apa yang dikenal di era
sekarang sebagai konsep hukum.
Berbicara konsep hukum bernama subjek hukum, saya ingin
menunjukkan adanya suatu subjek bernama jabatan yang di dalam
bahasa Belanda disebut sebagai ambt. Jabatan ini berbeda dengan
pribadi kodrati, naturlijk person, mengingat subjek terakhir ini hadir
karena alasan alamiah, sementara jabatan lahir karena alasan yuridis,
yaitu karena konstitusi, bisa juga karena undang-undang. Jabatan
dengan demikian nyaris sama dengan pribadi hukum atau yang kita
sebut dalam bahasa Belanda sebagai recht person. Walau demikian,
subjek hukum jabatan memiliki perbedaan dengan recht person. Saya
ingin menjelaskannya dengan menggunakan suatu metafora properti
bernama kursi. Alasan saya, terinspirasi dari jabatan presiden yang
secara etimologis dalam bahasa latin kata presiden berasal dari kata pre
yang diartikan secara longgar di hadapan dan sedere atau sedeo yang
dapat diartikan secara longgar sebagai duduk. Ini artinya ada person
yang bisa datang dan pergi duduk dalam kursi presiden. Metafora ini
berlaku juga untuk jabatan lain, terutama menteri karena menteri kurang
lebih secara etimologis dalam bahasa latin diartikan sebagai pembantu
dan itu sesuai dengan apa yang dibayangkan oleh konstitusi kita. Berarti
ada pembantu presiden yang bisa silih berganti, datang dan duduk, maaf
… datang dan pergi setelah mereka duduk di suatu kursi dan kursi itu
disebut sebagai menteri.
Atas dasar itulah saya menggunakan suatu term yang enggak
lazim bahwa jabatan adalah sama dengan chairperson. Saya
mengartikan ada subjek hukum ketiga yang bukan person alamiah,
bukan pula person buatan, person ketiga ini adalah yang menduduki
suatu kursi, kursi jabatan. Yang stabil di sini adalah kursinya, bukan
personnya. Kursi menjadi status, bukan person yang menjadi status.
Masalahnya, Majelis Hakim yang saya muliakan, Hans Kelsen, di mata
Hans Kelsen, suatu subjek dalam perspektif tradisional menyatakan
bahwa subjek dianggap sebagai subjek hukum ketika subjek itu diberi
hak dan kewajiban. Lantas, Kelsen mengingatkan bahwa adanya kuasa
6

yang bisa memberikan hak dan kewajiban. Suatu subjek tidak bisa
mengklaim bahwa ia memiliki hak atau kewajiban. Hak dan kewajiban itu
mesti berasal dari pihak yang berfungsi membuat dan menerapkan
hukum dan pihak ini disebut sebagai organ hukum. Ide Kelsen yang di
atas itu selaras dengan apa yang dibayangkan oleh Leibniz bahwa suatu
konsep mesti memiliki clarity dan sureness-nya. Subjek hukum tidak bisa
hadir secara arbitrer, ada hal yang diberikan kepada seseorang berupa
hak dan kewajiban, namun pemberian itu mesti berasal dari kekuasaan
dan bukan dari sembarang pihak. Masalahnya, organ hukum di mata
Kelsen itu adalah fiksi karena ini mengenai suatu masyarakat dan ini
tidak merujuk kepada suatu kenyataan sosiologis di dalam masyarakat.
Organ hukum di mata Kelsen yang fiksi ini kebetulan seperti
dikonfirmasi oleh seorang filsuf Kantian dan dia bukan seorang sarjana
hukum bernama Axel Hagerstrom. Yang menurut saya Axel Hagerstrom
menunjukkan bahwa hal yang dianggap fiksi oleh Kelsen itu dianggap
sebagai bukan realitas. Hagerstrom menggunakan suatu proyeksi
filosofis yang menarik karena pertama dia menunjukkan bagaimana
Hegel ketika menjelaskan bahwa hukum adalah suatu perkembangan
dialektis dari tahap subjektif yang tadinya semula berupa etika-etika dan
menjelma menjadi suatu spirit yang objektif dan di situ terjelmalah apa
yang disebut sebagai hukum. Intinya yang disampaikan oleh Hagerstrom
dengan menggunakan pemikirannya Hegel bahwa hukum ditaruh oleh
dia sebagai sesuatu yang objektif dan itu ada di luar diri manusia. Ini
juga yang dibayangkan atau dilakukan oleh para filsuf empiris. Karena
bagi mereka sumber pengetahuan adalah segala hal yang ada di luar diri
manusia. Jadi objek-objek yang bisa disensor itu adalah objek
pengetahuan, dengan kata lain berarti pengetahuan yang kita dapatkan
itu diambil dari sesuatu yang di luar diri manusia.
Nah, oleh sebab itu di mata Hagerstrom, apapun yang dianggap
di luar diri manusia itu bukan realitas. Menurut Hagerstom, semua yang
ada di luar diri manusia adalah nihil. Mengapa demikian? Ini karena
Hagerstrom dengan memproyeksikan ide Immanuel Kant, yaitu das ding
an sich, ia ingin mengatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang suatu
objek, sesungguhnya bukan si objek itu sendiri. Yang kita ketahui
sesungguhnya adalah penampakan-penampakan dari objek tersebut.
Nah, berarti objek itu benar ada di luar diri kita. Diketahui bukan karena
si objek tersebut, tapi karena kita menyatakan ada objek berkat adanya
penampakan terhadap objek tersebut.
Dengan kata lain, dalam perspektif Hagerstrom pengetahuan akan
suatu objek sesungguhnya bersumber dari fenomena yang ditangkap
oleh rasio si subjek. Ini artinya sesuatu yang dianggap riil kalau si subjek
itu mengakui hal itu ada. Akibat lebih jauh, realitas sesungguhnya ada di
dalam diri subjek. Bukan di luar subjek, bukan objek-objek di luar diri
manusia. Karena itu semua adalah hal yang nihil.
7

Nah, Hagerstrom lantas membawanya dalam suatu proyeksi


hukum. Jika realitas itu secara subjektif ada di dalam diri manusia dan
itu bersifat tak terbatas, maka itu adalah yang dia sebut sebagai
perasaan yang di dalam literatur jurisprudens kita sebutnya sebagai
psikologi. Terlepas translasi mana yang tepat, saya ingin mengatakan
bahwa Hagerstrom ingin menunjukkan yang riil hanyalah perasaan,
hanyalah emosi, hati, dan sejenis itu, sementara yang di luar diri
manusia, yang sifatnya tidak psikologis adalah bukan realitas, malah bisa
dikatakan sebagai nihil.
Dengan demikian, subjek dalam konteks tradisi ilmu pengetahuan
hukum berbeda dengan subjek yang … ini yang harus saya garis bawahi,
Yang Mulia, pra positif karena saya menggunakan terma pra positif
untuk menunjukkan bahwa ada subjek yang belum dinyatakan atau
ditempatkan positif sebagai subjek hukum. Bahwa ada subjek yang pra
positif dan subjek tersebut belum dikonsepsikan oleh kekuasaan.
Nah, bagaimana kita mengenal subjek yang pra positif ini? Ada
dua kategori sederhana yang saya ingin gunakan dalam kesempatan
yang mulia ini. Pertama adalah kategori kognitif. Rene Descartes, Kant,
Johann Gottlieb Fichte adalah para filsuf yang mengatakan bahwa subjek
adalah person. Person di sini diidentifikasikan secara kognitif, maka itu
Descartes pernah memberikan suatu pepatah cogito ergo sum, “Saya
berpikir, maka saya ada.” Dan bahkan Kant dengan filsafat transendental
yang mengatakan adanya subjek transendental yang artinya secara
longgar, subjek yang berpikir, begitu pula dengan Fichte.
Kategori kedua. Itu kategori historis, ini didorong oleh Hegel
karena Hegel mengatakan bahwa subjek adalah bagian dari
perkembangan historis dan itu artinya menempatkan individu-individu
sebagai bagian dari masyarakat. Ide hegelian ini diadopsi oleh seorang
filsuf Frankfurt bersama … bernama Axel Honneth ketika dia
menunjukkan bahwa subjek atau individu adalah agen otonom karena
dalam subjek individu tersebut terdapat kesadaran diri mengenai
kepentingan individual sifatnya dalam rangka mendapatkan pengakuan
sosial.
Berbekal dua kategori itu walaupun ada kategori-kategori lainnya,
saya memang sengaja membatasi diri. Saya ingin menunjukkan bahwa
ada subjek pra positif yang tidak fiksi. Dianggap tidak fiksi karena
setidaknya dia berpikir secara kognitif dan subjek itu berinteraksi secara
sosial.
Ini berbeda dengan subjek yang dikategorikan secara yuridis,
Yang Mulia. Karena subjek yang diletakkan secara Kelsenian itu tidak
dapat dikatakan dia riil karena subjek di sini secara tidak langsung dapat
dikatakan sebagai fiksi juga. Bagaimana tidak? Subjek ini tidak berpikir,
subjek ini tidak berinteraksi secara sosial, subjek ini yang ada di dalam
hukum diberikan hak dan kewajiban oleh kekuasaan yang sah.
Celakanya pemberi kekuasaan, organ hukum, menurut Kelsen adalah
8

fiksi. Kekuasaan seperti ini dalam pandangan Hagerstrom adalah di luar


diri manusia, kekuasaan ini tidak riil karena kekuasaan ini tidak bersifat
psikologis. Subjek dan organ hukum oleh sebab itu adalah sama-sama
nihil karena tidak memiliki emosi. Implikasinya, Yang Mulia, bagaimana
mungkin suatu subjek hukum berupa jabatan yang dianggap nihil oleh
Hagerstrom memiliki perasaan? Dengan kata lain, saya hendak
mempertanyakan bagaimana mungkin orang-orang yang datang dan
pergi, duduk di suatu kursi jabatan mengklaim telah merasa dihina,
padahal kursi yang diduduki oleh pejabat tersebut jelas-jelas tidak punya
perasaan? Jika ada seorang pejabat yang tidak mampu melihat bahwa
konsep hukum yang ilmiah telah membawa ide keadilan, termasuk
hukum terutama undang-undang keluar dari diri kita yang berakibat
seperti hilangkan insight dalam keadilan, termasuk hukum dan kemudian
mengatakan bahwa dirinya sebagai pejabat, terhina. Saya dapat
memberikan suatu praduga, si pejabat tersebut telah berpretensi
memiliki kursi jabatan tersebut. Ada frasa untuk itu, kursi dan jabatan
seperti sehati dengan si pejabat pribadi, vice versa.
Terima kasih, Yang Mulia.

25. KETUA: SUHARTOYO [20:29]

Baik, terima kasih. Silakan duduk kembali.


Dilanjut Pak Ahli, Pak Bambang, silakan. Boleh di sana, Pak.

26. AHLI DARI PEMOHON: BAMBANG HARYMURTI [20:51]

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum wr. wb. Salam


konstitusi, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi. Terima kasih atas
kehormatan yang diberikan pada saya untuk menyampaikan Keterangan
Ahli tentang mengapa Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia dan
karena itu perlu dinyatakan oleh Majelis Hakim Konstitusi sebagai produk
hukum yang tidak lagi berlaku. Ada dua alasan utama yang ingin saya
sampaikan.
Alasan pertama adalah sejarah turunnya undang-undang ini,
mungkin semacam asbabul nuzum. Undang-undang ini adalah produk
hukum transisi di zaman darurat, sehingga tak sesuai lagi dengan kondisi
sekarang yang sudah dalam keadaan normal. Bahkan beberapa pasal
undang-undang ini menjadi mencederai hak konstitusi setiap warga
karena konstitusi kita telah diamandemen.
Alasan kedua adalah bahaya penerapan undang-undang ini pada
kelangsungan kehidupan demokrasi bangsa, terutama menyangkut hak
konstitusional warga untuk menyampaikan informasi kepada publik,
termasuk hak konstitusi saya ketika didakwa dengan Pasal 14 ini, dua
dekade silam.
9

Dua alasan ini saya ajukan karena merupakan kompetensi


keahlian saya sebagai wartawan yang telah bekerja selama 41 tahun,
terutama di bidang politik nasional, saya telah mempelajari sejarah
politik, termasuk konstitusi Republik Indonesia dan perkembangannya
hingga sekarang. Selain itu, kini saya menjadi ahli di Dewan Pers dan
pernah menjadi Anggota serta Wakil Ketua Lembaga Bentukan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers itu. Tugas utama yang
diamanahkan undang-undang pada Dewan Pers adalah menjaga
kemerdekaan pers di Indonesia.
Inti pendapat saya adalah undang-undang pada dasarnya adalah
aspirasi politik masyarakat yang dibekukan menjadi kesepakatan hukum
yang mengikat. Sedangkan konstitusi adalah prinsip utama kesepakatan
bangsa dalam membangun negara yang menjadi cita-cita bersama.
Ibarat sebuah gedung, konstitusi adalah fondasi atau rangka bangunan
negara. Sedangkan undang-undang adalah dinding yang melekat pada
fondasi rangka tersebut, sehingga harus sejalan dan tak boleh terpisah
apalagi bertentangan.
Aspirasi politik orang ramai niscaya berubah dengan berjalannya
waktu dan bila perkembangan aspirasi politik masyarakat ini telah
berubah secara signifikan, maka menjadi tugas para wakil rakyat di
parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang baru
menggantikan yang lama. Bahkan konstitusipun jika dianggap perlu
disempurnakan dapat diamandemen dan kalau mayoritas rakyat
menginginkannya diubah total. Ini hal yang berlaku di negara demokratis
yang mengakui kedaulatan rakyat sebagai esensi dari berjalannya roda
kenegaraan yang juga merupakan esensi konstitusi kita.
Untuk memastikan para wakil rakyat menyusun undang-undang
baru sebagai pelaksanaan dari kedaulatan rakyat ini, Mahkamah
Konstitusi dibentuk di awal Reformasi. Tugas utamanya adalah
memastikan parlemen tidak bertentangan dengan konstitusi. Karena
konstitusi adalah aspirasi inti masyarakat Indonesia ketika menyatakan
dirinya sebagai satu bangsa yang merdeka dan berdaulat, termasuk
perlindungan terhadap hak-hak dasar setiap warga, seperti hak
menyampaikan pendapat. Ini tentunya bila sebuah negara demokrasi
berada dalam kondisi normal. Masalahnya, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 jelas bukan produk hukum yang dilahirkan ketika negara
dalam kondisi normal. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, pada
dasarnya adalah produk hukum transisi. Jadi, dimaksudkan sebagai
aturan sementara sampai keadaan dianggap telah normal. Sebagai
undang-undang pertama yang dihasilkan Republik Indonesia di masa
yang penuh kegentingan, maka dilengkapi juga pasal-pasal untuk
mengatasi masalah darurat yang tentu dihadapi di saat itu. Pasal-pasal
kondisi darurat ini, seharusnya sudah tak berlaku lagi ketika undang-
undang yang khusus mengatur keadaan darurat telah diundangkan. Ini
sesuai dengan doktrin universal, lex specialis derogat legi generali dan
10

lex posterior derogat legi priori. Namun pada kenyataannya, pasal-pasal


ini masih diterapkan sampai hari ini.
Disahkan 77 tahun silam, tepatnya pada 26 Februari 1946 atau
sekitar 7 bulan setelah Proklamasi Republik Indonesia, undang-undang
ini dilahirkan untuk mengisi kekosongan hukum dalam wilayah Republik
Indonesia yang sudah menyatakan kemerdekannya pada 17 Agustus
1945, dua hari setelah pemerintah pendudukan Jepang resmi menyerah
kepada negara-negara sekutu. Pemerintah Republik Indonesia saat itu
yang berkepentingan pernyataan proklamasinya diakui dunia
internasional, harus segera membuktikan eksistensinya sebelum pasukan
sekutu sebagai pemenang perang hadir ke Indonesia secara resmi untuk
mengambil alih otoritas dan pasukan pendudukan Jepang. Ketika itu,
pemerintah tentu belum mempunyai kelembagaan negara yang lengkap,
seperti tertulis di Undang-Undang Dasar 1945 yang baru disahkan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 7 bulan sebelumnya. Walhasil,
belum ada parlemen hasil pemilihan umum sebagai lembaga pembuat
undang-undang. Maka sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, Pembuatan Undang-Undang Nomor 1 1996
dilakukan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat yang dibentuk pada 29
Agustus 1945. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 disusun oleh Badan
Pekerja KNIP yang didirikan pada 16 Oktober 1945 dengan Sutan Sjahrir
sebagai ketua.
Undang-undang ini pada intinya menyatakan, peraturan militer
Jepang di Indonesia tak berlaku lagi dan menggantinya dengan
memberlakukan kembali Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pemerintahan Kolonial Belanda atau Wetboek van Strafrecht voor
Nederlandsch Indie yang sempat dinyatakan penguasa Jepang tak
berlaku sejak Maret 1942. Keputusan ini utamanya dimaksudkan untuk
menyatakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia yang baru
menyatakan kemerdekannya ini bukan pemberian pengusaha …
penguasa militer Jepang, tapi aspirasi murni bangsa Indonesia.
Pernyataan penting dalam kondisi geopolitik saat ini, yaitu dalam rangka
meraih dukungan internasional agar mengakui kemerdekaan Republik
Indonesia. Bahkan, pada 7 Oktober 1945, 40 anggota KNIP merasa perlu
menandatangani petisi untuk Bung Karno. Mereka menuntut komite
menjadi badan legislatif dan bukan pembantu presiden. Selain itu,
menteri harus bertanggung jawab pada KNIP, bukan ke presiden.
Menanggapi petisi itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta
mengeluarkan maklumat Wakil Presiden Nomor 10, sebetulnya nomor X,
25 Oktober 1945, yang membuat KNIP menjadi lembaga legislatif dan
mengubah sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer.
Setelah itu, pada 3 November 1945, dikeluarkan lagi maklumat Wakil
Presiden tentang Hak Rakyat Membuat Partai Politik yang memperkuat
perjuangan, mempertahankan kemerdekaan, dan keamanan masyarakat.
Partai politik yang terbentuk dimaksudkan dapat mengikuti pemilihan
11

umum anggota Badan Perwakilan Rakyat yang direncanakan akan


diadakan pada Januari 1946.
Pada 4 November 1945, Presiden Soekarno melantik Sutan Sjahrir
oleh perdana menteri yang anggota kabinetnya merupakan perwakilan
partai politik yang ada, yang umumnya berasal dari organisasi
perlawanan terhadap pemerintahan pendudukan militer Jepang. Saat itu,
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, dan nyaris semua
menteri kabinet presidensial yang diberhentikan dianggap mempunyai
dosa berkolaborasi dengan penguasa Jepang, mereka umumnya anggota
BPUPKI dan PPKI, hingga perlu digantikan oleh para pemimpin Indonesia
yang memiliki rekam jejak melawan keras pemerintahan pendudukan
Jepang.
Pengangkatan Sjahrir dan para pemimpin non kolaborator lainnya
itu juga diperlukan untuk meredakan berbagai ketegangan antara rakyat
Indonesia dan pasukan sekutu yang bertugas mengamankan para
tahanan militer Jepang di Indonesia. Ketika itu, rakyat Indonesia curiga
pada militer Belanda yang membonceng sekutu ke Indonesia sebagai
pasukan yang akan menegakkan kembali pemerintahan kolonial Belanda.
Sebaliknya, pasukan sekutu mengkhawatirkan perlawanan bersenjata
rakyat Indonesia yang selalu dihembuskan Belanda telah mendapat
hadiah kemerdekaan dari penguasa Jepang. Pasukan sekutu atau AFNEI,
yang dipimpin Letnan Jenderal Philip Christian, mendarat di Jakarta, 29
September 1945. Kesatuan ini bertugas untuk melucuti dan
mengembalikan tentara Jepang ke daerah asalnya, mengevakuasi APWI
atau tawanan Jepang dan Belanda, mengambil alih daerah pendudukan
Jepang, dan menjaga keamanan dan ketertiban hingga pemerintahan
sipil berfungsi kembali.
Ketika itu, tentara sekutu hanya mengakui kedaulatan Belanda di
Indonesia, sehingga aksi-aksi militer di daerah Republik Indonesia
dengan dalih membebaskan APWI sering terjadi seperti di Jakarta,
Bandung, Semarang, Magelang, Surabaya, dan Malang. Bahkan seorang
serdadu Belanda, Kopral Richard, sempat menembakkan pistolnya ke
arah mobil dinas yang ditumpangi Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada
bulan November 1945 di Cikini. Beruntung tembakan pertama anggota
Netherlands Indie Civil Administration atau NICA asal Ambonita
mengenai sasaran, dan tembakan yang kedua macet, dan Patroli Tentara
Inggris turun tangan mengambil alih keamanan hingga keadaan kembali
aman. Sutan Sjahrir bekerja keras mendinginkan suasana panas akibat
insiden itu, demi menunjukkan kemampuan Republik Indonesia sebagai
negara yang beradab. Padahal aksi-aksi militer seperti itu biasanya
mendapatkan perlawanan keras dari para pejuang RI hingga kerap jatuh
korban besar. Korban yang paling besar jatuh di Surabaya pada 10
November 1945. Konflik berdarah yang kini diperingati setiap tahun
sebagai hari pahlawan. Sebuah peristiwa kepahlawanan saat rakyat
Indonesia yang bersenjata seadanya mampu memukul mundur pasukan
12

sekutu yang baru memenangkan Perang Dunia Kedua dan datang


bersenjata lengkap dengan kapal perang, pesawat terbang … pesawat
terbang dan kendaraan tempur lainnya. Perlawanan dahsyatnya akhirnya
membuat pemimpin pasukan sekutu memilih bernegosiasi dengan
Pemerintah RI dalam menjalankan misinya menyelamatkan tahanan
militer di Jepang dan terjaganya keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Jenderal Christison memimpin AFNEI secara resmi memfasilitasi
perundingan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Belanda, tak hanya di
Indonesia sejak 17 Agustus-November 1945, tapi diteruskan di Belanda
di Hooge Veluwe. Ini jelas kemenangan diplomatis bagi Republik
Indonesia karena merupakan pengakuan de facto atas kedaulatan
Pemerintah RI hingga tinggal menegosiasikan pengakuan de jure-nya
saja. Sayangnya, bersikukuhnya Belanda menolak pengakuan kedaulatan
Republik Indonesia atas Pulau Sumatera dan pendirian bahwa Indonesia
tetap harus berada menjadi bagian dari kerajaan Belanda membuat
perundingan Hooge Veluwe pun mengalami jalan buntu. Kegagalan
perundingan tersebut membuat suasana makin tegang dan berbagai
konflik berdarah memarak, sehingga Pemerintah Republik Indonesia
memutuskan memindahkan ibu kota ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.
Kegagalan perundingan ini juga membuat tuduhan Pemerintahan
Sjahrir terlalu lunak dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik
Indonesia semakin nyaring, bahkan berujung pada krisis politik dalam
negeri dengan dijatuhkannya Pemerintahan Kabinet Sjahrir melalui mosi
tidak percaya oleh Koalisi Partai Persatuan Perjuangan Masyumi dan PNI
pada 12 Maret 1946. Hanya sekitar dua pekan setelah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 diterbitkan.
Bahwa undang-undang ini hanya beraku untuk Pulau Jawa dan
Madura, sedangkan untuk wilayah lain akan diputuskan presiden adalah
salah satu contoh tudingan lunaknya Kabinet Sutan Sjahrir dalam
bernegosiasi dengan Belanda. Namun, keberhasilan menjatuhkan
Pemerintah Kabinet Sjahrir ternyata tak diikuti dengan kesepakatan
membangun pemerintahan koalisi baru, hingga Presiden Soekarno pun
memutuskan mengangkat kembali Sutan Sjahrir untuk membentuk
kabinet baru yang dilantik pada 3 Maret 1946 dan diminta meneruskan
negosiasi dengan Belanda yang difasilitasi oleh PBB. Kabinet Sjahrir
kedua ini berhasil meraih berbagai kemenangan diplomasi, misalnya
dengan Kesepakatan Perjanjian Yogya antara Pemerintah RI dan
Pimpinan AFNEI, 2 April 1946 yang memberikan kewenengan penuh
pada Tentara Republik Indonesia untuk melakukan pelucutan dalam
(ucapan tidak terdengar jelas) Tentara Jepang di wilayah Republik
Indonesia untuk diserahkan ke pihak AFNEI. Tugas ini berhasil
dituntaskan Tentara Republik Indonesia pada 18 Juni 1946 dengan
selesainya pengangkutan lebih dari 35.000 orang tawanan Jepang.
Berbagai kemenangan jalur diplomasi ini dianggap tidak cukup
oleh sebagian pemimpin nasional, terutama kalangan muda dan para
13

pengikut Tan Malaka, sementara itu militer Belanda juga kerap


berbenturan dengan tentara rakyat hingga pemerintah merasa perlu
menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1946, yaitu Undang-
Undang Keadaan Bahaya pada 6 Juni 1946. Dengan Undang-Undang ini,
pemerintah pun menangkap beberapa tokoh-tokoh radikal yang
dipercaya panglima jenderal sedang … sedang menyiapkan kudeta,
namun penangkapan itu justru memperuncing perlawanan. Pada 27 Juni
1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir bersama para pendampingnya,
antara lain Sumitro Joyo Hadi Kusumo diculik kelompok bersenjata di
Solo. Penculikan ini membuat Presiden Soekarno gusar menyatakan
negara dalam keadaan bahaya dan mengambil alih pemerintahan
nasional. Bung Karno berpidato melalui pidato, memerintahan para
penculik agar selekasnya membebaskan Sutan Sjahrir. Seruan ini
ternyata cukup efektif dan beberapa hari kemudian Sjahrir dan
rombongan dibebaskan. Namun bukan berarti keamanan membaik,
beberapa hari kemudian rumah Amir Safruddin diserbu kelompok
bersenjata dan sang menteri pertahanan sempat dibawa ke atas sebuah
truk terbuka. Beruntung, Amir Safruddin dapat mempengaruhi supir truk
untuk membawanya ke istana presiden hingga upaya penculikan itu pun
gagal.
Majelis Hakim Konstitusi yang saya muliakan. Kisah ini saya
sampaikan untuk memberi konteks suasana kegentingan yang memaksa
pada saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 diterbitkan. Ini adalah
produk hukum yang sejak pembentukannya dimaksudkan hanya untuk
memenuhi keperluan masa transisi, yaitu ketika institusi demokrasi hasil
pemilihan umum belum terbentuk dan sedang terjadi pergulatan
kekuasaan untuk mengisi vakum akibat berakhirnya pemerintahan
pendudukan Jepang.
Kondisi yang jelas sangat berbeda dengan sekarang. Saat ini
konstitusi kita telah disempurnakan para wakil rakyat hasil pemilihan
umum melalui upaya amandemen yang utamanya memperkuat
perlindungan terhadap kehidupan demokrasi kita, termasuk hak asasi
setiap warga. Berbagai perundang-undangan juga telah diterbitkan
melalui proses normal dan tentunya lebih sesuai dibandingkan dengan
produk hukum yang dibuat 77 tahun silam.
Majelis Hakim Konstitusi yang kami muliakan, saya paham bahwa
lanjutnya usia sebuah undang-undang tak serta-merta membuatnya jadi
buruk dan perlu dicampakkan. Oleh karena itu, malah kita simak bunyi
Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang jadi topik
pembahasan kita di persidangan ini. Pasal 14, “Barang siapa dengan
menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja
menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya 10 tahun.” Pasal 2 … ayat (2), “Barang siapa
menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat
menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat
14

menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong


dihukum dengan penjara setinggi-tingginya 3 tahun.” Pasal 15, “Barang
siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan,
atau yang tidak lengkap sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut
dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat
menimbulkan keonaran di kalangan rakyat dihukum dengan hukuman
penjara setinggi-tingginya 2 tahun.”
Sekilas bunyi pasal-pasal ini baik-baik saja, terutama bagi orang-
orang baik. Namun, dalam praktiknya sangat mencederai hak
konstitusional warga, terutama yang tertera di Pasal 28F Undang-
Undang Dasar 1945 karena kalangan penguasa lah yang mendefinisikan
kata kabar atau pemberitahuan bohong, onar, kabar yang tidak pasti,
kabar yang berkelebihan, dan kabar yang tidak lengkap. Hal ini saya
alami sendiri ketika dua dekade silam divonis satu tahun penjara oleh
Pengadilan Jakarta Pusat dengan dakwaan telah terbukti melanggar
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Saya divonis
karena sebagai pimpinan redaksi bertanggung jawab atas penyebaran
tulisan di Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang berjudul Ada Tommy
di Tena Abang. Pemberitaan yang memenuhi kode etik jurnalistik itu
disimpulkan majelis hakim yang dipimpin Suripto, S.H., sebagai berita
bohong yang diterbitkan untuk menimbulkan keonaran di kalangan
rakyat. Vonis ini diperkuat majelis hakim tinggi di Pengadilan Tinggi
Jakarta.
Saya punya banyak cerita aneh tentang jalannya persidangan,
terutama keterangan saksi. Namun karena keterbatasan waktu, tidak
saya sampaikan dalam keterangan ini dan bisa saya sampaikan jika Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi ingin mengetahuinya lebih jauh. Saya
beruntung majelis hakim agung menerima permohonan kasasi yang saya
ajukan yang keputusannya diumumkan persis pada hari pers nasional, 9
Februari 2006. Keputusan majelis hakim agung dibawah pimpinan Prof.
Dr. Bagirmanan, S.H., itu memang kerap menjadi jurisprudensi dalam
berbagai kasus sengketa hukum pers, namun tidak menghilangkan
ancaman Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
terhadap hak konstitusional warga, terutama Pasal 28F. Padahal hak
menyuarakan pendapat dengan bebas ini merupakan persyaratan utama
berlangsungnya kedaulatan rakyat, berlangsungnya kehidupan
demokrasi yang sehat. Itu sebabnya amandemen pertama konstitusi
Amerika Serikat melarang siapa pun mengatur hak berekspresi
warganya. Itu pula sebabnya negara Eropa yang bergabung dalam Uni
Eropa atau Dewan Eropa harus menghilangkan pasal pidana pencemaran
nama baik. Demikian pula banyak negara-negara lain yang bertransisi
menjadi negara demokratis melakukan hal yang serupa, misalnya Ghana,
Ukrainia, Sri Lanka, dan Timor Leste.
Kini sudah saatnya Indonesia juga memulai langkah serupa
dengan menyatakan Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
15

1946 tidak berlaku lagi karena ketidakjelasan definisi kata “kabar atau
pemberitahuan bohong”, “onar”, “kabar yang tidak pasti”, “kabar yang
berkelebihan”, dan “kabar yang tidak lengkap”. Hingga menyebabkan
pasal-pasal ini mengancam hak konstitusional warga seperti tertera
dalam Pasal 28F dan Pasal 28E ayat (3). Apalagi boleh dikata, semua
pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 ini sekarang telah
diatur undang-undang lain yang lebih baru dan lebih lengkap. Ada
Undang-Undang ITE, ada Undang-Undang Bank, ada Undang-Undang
Keadaan Darurat, bahkan termasuk KUHP, yaitu Wetboek van Strafrecht
yang kini juga telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023.
Demikianlah Keterangan saya. Terima kasih. Wassalamualaikum
wr. wb.

27. KETUA: SUHARTOYO [42:08]

Waalaikumsalam wr. wb. Baik Saudara Pemohon, nanti … atau


Kuasa, keterangan tambahannya segera disusulkan, ya. Baik, silakan,
dari Pemohon, bisa mengajukan pertanyaan kalau ada.

28. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [42:21]

Baik, Majelis, mungkin saya khusus ke Ahli Dr. Fernando, nanti


mungkin rekan saya akan khusus ke Ahli Bambang.
Yang pertama, saya mencoba mengulang pertanyaan-pertanyaan
yang selalu dilontarkan ketika ada atau bertanya tentang eksistensi pasal
pencemaran nama baik. Ketika seseorang dihina atau dicemarkan nama
baiknya, kerugian yang dia alami adalah perasaan bahwa dirinya
tercemar. Pertanyaannya adalah apakah perasaan tercemar merupakan
fiksi yang menurut tadi Ahli sampaikan menurut Hans Kelsen dan nihil
menurut Hagerstrom?
Kemudian, apakah harkat, martabat, dan nama baik menurut Ahli,
juga merupakan suatu hal yang fiksi dan nihil? Pertanyaan berikutnya,
ada suatu kata yang sering digunakan dalam menjadikan justifikasi
adanya pasal-pasal pencemaran nama baik, dikenakan dengan satu delik
pidana. Ada kata-kata seperti ubi societas ibi ius, ada kata-kata seperti
nullum delictum, dan seterusnya. Dalam tulisan Ahli, Ahli mengatakan
bahwasanya kata-kata tersebut mengutip Heikki Mattila adalah suatu
ritmis atau puisi.
Nah, pertanyaannya adalah ketika kata-kata tersebut tadinya
adalah sebuah ritmis puisi yang digunakan oleh si pencetus, apa
konsekuensinya dan apakah masih relevan jika digunakan sebagai dasar
pembentukan suatu hukum, lebih-lebih suatu hukum pidana?
Berikutnya, apakah Ahli bisa menjelaskan apa yang dimaksud
dengan figurative speech? Dan apakah figurative speech itu bisa
16

dijadikan dasar atau panduan dalam membentuk suatu produk hukum?


Demikian dari saya, terima kasih.

29. KETUA: SUHARTOYO [44:25]

Silakan dilanjutkan.

30. KUASA HUKUM PEMOHON: SHALEH AL GHIFARI [44:28]

Baik, terima kasih, Yang Mulia. Saya akan bertanya ke Pak


Bambang. Yang pertama, tadi Ahli sudah menjelaskan tentang konteks
dan kemudian relevansi dari apa namanya ... sejarah tersebut terhadap
pasal ini. Saya ingin menanyakan terkait apakah situasi darurat atau
situasi ketegangan yang Ahli jelaskan tadi itu, dia sejalan dengan
maksud perkembangan hukum yang meregulasi tentang kebebasan
berbicara dan berpendapat? Pada situasi saat ini, dia sejalan dengan
doktrin clear and present danger, dimana suatu aturan hukum pidana
bisa menjerat ekspresi yang kemudian berdampak kepada clear and
present danger ini. Apakah Pasal 14, 15 ini dia sejalan atau tidak sejalan
dengan itu?
Lalu kemudian apa … apa kaitannya pula dengan doktrin yang
memancing ancaman yang nyata (incitement to immediate threat)?
Karena konteks yang Ahli jelaskan tadi menurut pemahaman kami
memang itu situasi transisi dan keadaan darurat yang agak berbeda,
gitu. Kemudian tadi Ahli menjelaskan bahwa keberadaan pasal ini
meskipun sudah ada Undang-Undang Pers tetap menjadi ancaman dan
kaitannya dengan lex specialis derogat legi generali. Bagaimana dengan
konteks … jadi selain pers dengan konteks citizen journalism? Karena
kemudian pasal-pasal ini yang kita tahu salah, satu alasan Permohonan
kami juga menjerat orang-orang yang kemudian tidak termasuk di dalam
ruang lingkup Undang-Undang Pers, tapi kemudian mereka berekspresi
di publik, menyatakan perasaan mereka mengalami ketidakadilan, dan
lain-lain, tapi kemudian dijerat dengan undang-undang ini. Apakah …
apa kaitannya dengan keberadaan Undang-Undang Pers?
Terus yang terakhir, konteks dirumuskannya hak jawab, hak
koreksi, dan hak tolak di dalam Pasal 1 angka 10, 11, dan 12 Undang-
Undang Pers, serta kaitannya dengan di undang-undang ini tidak
dijelaskan secara ketat apa yang dimaksud dengan kata dapat, keonaran
yang tidak … keonaran, kabar yang tidak pasti, dan seterusnya itu yang
kemudian membuat penguasa atau mungkin penegak hukum
mendefinisikan itu dalam penerapan? Bagaimana perbandingannya ini
dengan mekanisme hak-hak jawab, hak koreksi, dan hak tolak dalam
Undang-Undang Pers?
Mungkin itu, Yang Mulia.
17

31. KETUA: SUHARTOYO [48:11]

Baik, dari Pemerintah?

32. PEMERINTAH: SURDIYANTO [48:15]

Ya, terima kasih, Yang Mulia, atas kesempatannya.


Mungkin dari Pemerintah hanya satu pertanyaan saya tujukan ke
Ahli Bambang Harymurti, ya. Ya, mungkin kalau saya melihat dari
penjelasannya, kayaknya kok lebih tepat Ahli menjadi Saksi, gitu, ya.

33. KETUA: SUHARTOYO [48:33]

Bapak enggak usah komentar itu. Ada pertanyaan tidak?

34. PEMERINTAH: SURDIYANTO [48:37]

Ya, pertanyaannya begini. Tadi bahwa Ahli menyatakan Pasal 14


dan 15 ini sudah tidak layak lagi, gitu, ya. Nah, kalau kami, Ahli, itu
masih memandang ini masih efektif, gitu (…)

35. KUASA HUKUM PEMOHON: FERI AMSARI [48:55]

Interupsi, Yang Mulia. Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.

36. PEMERINTAH: SURDIYANTO [48:59]

Ya, ini saya nanti ada pertanyaannya, tapi ini akan saya kaitkan
dengan (...)

37. KETUA: SUHARTOYO [49:04]

Ya, langsung pertanyaan saja, Pak. Ini untuk pertanyaan, bukan


untuk pernyataan.

38. PEMERINTAH: SURDIYANTO [49:07]

Ini untuk pertanyaan. Kalau tidak diawali seperti itu, bagaimana


saya mau nanya?

39. KETUA: SUHARTOYO [49:13]

Bapak langsung pertanyaan, apa yang mau ditanya?


18

40. PEMERINTAH: SURDIYANTO [49:14]

Jadi kalau menurut kami, Ahli, jadi kita melihat deliknya dulu. Jadi
deliknya yang Pasal 14 dan 15 itu sebenarnya adalah deliknya itu adalah
menerbitkan keonaran. Kalau kita diukur dari keonarannya, maka itu
akan ada kerugian, sehingga itu bisa menjadi delik. Sedangkan kalau ada
petugas yang menangkap dengan mengukur keonaran, itu maka betul
penerapannya Pasal 14 itu.

41. KETUA: SUHARTOYO [49:50]

Ya, Bapak pertanyaannya?

42. PEMERINTAH: SURDIYANTO [49:53]

Itu pertama. Nah, pertanyaan saya, bagaimana kalau misalnya ...


ini yang salah … kalau menurut Ahli, yang salah ini undang-undangnya
atau penegak hukumnya ketika orang menangkap, ya, dengan tanpa
delik yang jelas? Misalnya dengan delik kabar bohong. Padahal kabar
bohong itu bukan delik. Karena itu sesuatu yang menimbulkan delik.
Kabar keolah apa … tidak pasti, itu bukan delik, tapi itu hal yang akan
menimbulkan delik. Bagaimana menurut Ahli, kalau misalnya ada
petugas yang menerapkan pasal itu dengan alasan itu untuk
menangkap, sedangkan itu bukan delik? Apakah itu yang salah?

43. KETUA: SUHARTOYO [50:43]

Sudah bisa ditangkap, jadi (…)

44. PEMERINTAH: SURDIYANTO [50:44]

Apakah itu yang salah undang-undangnya atau salah petugasnya?

45. KETUA: SUHARTOYO [50:48]

Undang-undangnya atau penegak hukumnya? Pertanyaan lain,


ada enggak?

46. PEMERINTAH: SURDIYANTO [50:50]

Saya rasa cukup, Yang Mulia. Terima kasih.

47. KETUA: SUHARTOYO [50:52]

Baik, dari Meja Hakim.


19

Pemerintah? Untuk Ahli satunya, jangan ke Pak Bambang.

48. PEMERINTAH: NISA ZULIANA FITRI [51:03]

Sebenarnya ada beberapa pasal yang diuji dalam perkara ini,


tidak hanya Pasal 14, 15, tapi juga ada Pasal 310, Pasal 273, dan
seterusnya. Nah, yang kita perlu pahami bersama adalah rumusan pasal
itu adalah aturan berperilaku dari seseorang. Pola-pola yang dirumuskan
oleh pembentuk undang-undang untuk mengatur atau membatasi agar
jangan sampai perilaku seseorang itu melanggar hak-hak orang lain.
Saya tidak melihat dari Keterangan Ahli.

49. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [51:34]

Interupsi, Majelis. Itu adalah pernyataan.

50. KETUA: SUHARTOYO [51:37]

Ini untuk (…)

51. PEMERINTAH: NISA ZULIANA FITRI [51:37]

Ini yang mau … akan saya tanyakan. Saya kasih pengantar dulu,
prolog. Mohon tenang.

52. KETUA: SUHARTOYO [51:40]

Ibu (…)

53. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI [51:42]

Mungkin bisa tanya dulu, baru dijelaskan.

54. PEMERINTAH: NISA ZULIANA FITRI [51:42]

Baik.

55. KETUA: SUHARTOYO [51:42]

Bentar. Nanti kalau masih mengeluarkan pernyataan-pernyataan


lebih dulu, kemudian formulasi pertanyaannya, kemudian malah tidak
segera … apa … melalui Hakim saja pertanyaannya.
Kan Anda biasa beracara di peradilan umum. Ketika terjadi
kebuntuan begitu, ambil oleh Hakim nanti.
Mau tanya ke Pak Fernardo Ibu, silakan apa pertanyaannya?
20

56. PEMERINTAH: NISA ZULIANA FITRI [52:05]

Rumusan ideal seperti apa yang menurut Ahli harus dibuat di


dalam suatu undang-undang untuk membatasi kebebasan mengeluarkan
pendapat dari seseorang? Apakah memang kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat itu tidak perlu dibatasi sama sekali? Kalau
misalnya perlu dibatasi, seperti apa rumusan yang menurut Saudara Ahli
tepat?

57. KETUA: SUHARTOYO [52:28]

Ya, apa lagi, Ibu? Cukup, itu saja?


Baik. Dari meja Hakim? Silakan, Yang Mulia Prof. Anwar.

58. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN [52:41]

Baik, terima kasih. Ya, mungkin mohon izin agak memerlukan apa
namanya … waktu sedikit. Karena sangat tertarik saya dengan apa yang
disampaikan oleh kedua Ahli, terutama Ahli Pak Dr. Fernando yang
berbicara masalah keadilan. Ya, memang masalah keadilan ini masalah
yang sangat mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dari sejak
zaman dulu, zaman Nabi Adam sampai hari kiamat pun, masalah
keadilan ini menjadi masalah yang sangat krusial. Suatu contoh, ketika
seorang raja menugaskan dua perwira ke suatu tempat tugas, lalu yang
kembali hanya satu orang. Ditanyalah kepada dua perwira ini dan tidak
bisa menjawab, “Di mana keberadaan salah seorang sahabat dari
perwira ini?” Sehingga yang kembali ini dijatuhi hukuman mati, dianggap
menghilangkan nyawa atau menghilangkan diri temannya. Ketika mau
dieksekusi, tiba-tiba muncul sang perwira ini. Lalu sang raja
menyatakan, “Fiat justitia ruat caelum,” yang kita kenal dengan lambang
atau apa … kata-kata yang ada di dunia advokat. Yang artinya apa?
Tegakkan hukum meskipun langit akan runtuh. Padahal si petugas atau
perwira yang dianggap sudah mati telah kembali. Itu contoh. Artinya
apa? Tegakkan hukum, tegakkan keadilan meskipun akan runtuh.
Nah, kita bandingkan dengan apa yang dialami oleh Socrates.
Karena beda pendapat, itu kejadian ribuan tahun yang lalu, lalu diadili di
sebuah peradilan atau sebuah pengadilan Athena, dan dijatuhi hukuman.
Suruh memilih tiga jenis hukuman. Pertama, meninggalkan Athena.
Kedua, membayar denda. Ketiga, meminum racun. Artinya harus
dijatuhi, hukuman mati dan … dengan cara meminum racun. Apa yang
dipilih oleh Socrates? Dia memilih minum racun. Tetapi sebelumnya dia
menulis sebuah pembelaan dalam sebuah pleidoi yang bernama the
apology yang ditulis oleh muridnya Plato.
Apa kata-kata yang luar biasa dalam pembelaan pleidoinya? Dia
bukan meminta kebebasan, meminta keringan hukuman. Tetapi kalimat
21

yang sangat luar biasa. Yang pada intinya adalah silakan tuan-tuan
menghukum saya, semau kalian, tapi kita lihat ke depan, siapa yang
punya prospek paling baik? Artinya, prospek apa pun yang terjadi di
kemudian, saya atau tuan-tuan? Saya yakin, Ahli juga pasti sudah
mengetahui masalah itu.
Kemudian kita kaitkan dengan peristiwa yang terjadi di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, Mas Bambang juga, mungkin sekalian juga ini,
akan saya tanyakan juga. Kasus Sengkon dan Karta, sudah sekian lama
masuk dalam penjara. Lalu di dalam penjara, bertemulah seseorang
yang mengaku bahwa pembunuh yang sebenarnya adalah dia. Waktu itu
hukum tertutup, tidak ada upaya yang bisa dilakukan, peninjauan
kembali belum ada. Akhirnya, lahirlah Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1980, yang memberi peluang untuk Sengkon dan Karta
bisa mengajukan peninjauan kembali, yang walaupun pada saat itu
timbul pro dan kontra bahwa Mahkamah Agung tidak punya kewenangan
untuk membuat peraturan semacam itu. Tetapi demi menyelamatkan
nyawa, menyelamatkan kemerdekaan seseorang, akhirnya dibuat
Peraturan Nomor 1 Tahun 1980 oleh Mahkamah Agung dan itu dijadikan
bakal atau cikal bakal lahirnya lembaga peninjauan kembali dalam
KUHAP, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1980. Itu sejarahnya tahun
1981.
Pak Fernando, itu luar biasa. Tadi ada kalimat, “Keadilan datang
dari dalam diri.” Betul. Persis yang diucapkan oleh tokoh India yang
bernama Mahatma Gandhi. Pengadilan yang paling tinggi di dunia ini
adalah pengadilan hati nurani, bukan oleh sang hakim saja, atau siapa
pun, termasuk wartawan, misalnya.
Pertanyaan saya ringan saja. Mana yang lebih utama antara
hukum dan keadilan? Idealnya adalah hukum dan keadilan harus
berjalan seiring, seirama. Tetapi kadang-kadang, ya, ketika hukum
ditegakkan, mungkin ada sebagian yang mengatakan itu tidak adil.
Tergantung dari sisi mana? Kepentingan apa? Pada posisi mana
seseorang melihat dalam sebuah kasus? Kalau ada kepentingannya, ya,
mohon maaf, misalnya dalam dunia politik yang akhir-akhir ini kita lagi
ramai.
Wah, itu sudah bagus, tepat, putusannya bagus. Sementara di sisi
lain atau bagi diri seseorang, itu merupakan kezaliman yang luar biasa.
Begitu juga, Mas Bambang, misalnya ada sebuah tulisan, “Dihimpun dari
berbagai macam sumber yang dijadikan sebuah fakta,” disiarkan ke
mana-mana. Ternyata, berita itu membunuh karakter seseorang.
Pertanyaanya, di mana nurani seorang wartawan atau media ketika apa
yang ditulis itu adalah sebuah cerita bohong atau bertentangan dengan
fakta yang sebenarnya? Mungkin itu saja. Terima kasih.
22

59. KETUA: SUHARTOYO [01:00:16]

Cukup, ya. Yang lain tidak, ada? Silakan, Prof. Guntur.

60. HAKIM ANGGOTA: M. GUNTUR HAMZAH [01:00:22]

Baik, terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Pertama, saya tentu
menyampaikan terima kasih juga kepada Pak Fernando Manullang dan
Pak Bambang Harymurti atas Keterangannya dalam persidangan ini.
Saya fokus saja ke Pak Fernando Manullang, ya, tanpa mengurangi rasa
hormat kepada Pak Bambang Harymurti. Memang menarik, ya, diskursus
yang disampaikan oleh Pak Fernando Manullang kaitannya dengan
pemikiran dari Leibniz, ya, pra sains ke sains. Tapi saya tidak mau terlalu
ini karena itu level filsafat yang terlalu tinggi. Tetapi saya ingin
mengatakan bahwa isu menyangkut … apa … transformasi keadilan,
kemudian jadi tendensi-tendensi keadilan yang masuk ke norma, yang
menjadi hukum, ya, yang tentu ajeg, terukur, apa semua. Ya, memang
ini diskursus yang tidak Tunggal, ya. Jadi memang sudut pandang satu,
sudut pandang lain. Kita ambil contoh saja, sederhananya. Ketika John
Locke … pemikiran John Locke menggagas mengenai trias politika yang
membagi kekuasaan eksekutif, legislatif, federatif, dan kemudian itu
diterapkan di Inggris pada waktu itu. Kemudian apa yang terjadi?
Masyarakat banyak juga yang tidak puas dengan, ya, undang-undang
yang dibuat oleh parlemen. Akhirnya apa yang terjadi? Kemudian
terkenalah Raja Louis … Raja Louis XIV, ya, apa yang dikatakan di
Perancis bahwa inilah kejadiannya kalau banyak undang-undang yang
dibuat oleh parlemen tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Akhirnya
apa yang dikatakan? “L'etat, c'est moi,” saya adalah raja. Akan jauh lebih
bagus kalau saya yang buat, jadi dia yang buat, dia juga yang
laksanakan, dia juga yang adili. Tetapi itu tidak bisa dipertahankan
seperti itu. Apa artinya? Itulah tadi, diskursusnya tidak tunggal.
Tergantung perspektif dimana kita melihatnya.
Nah, saya ingin menanyakan kaitannya secara konkret saja. Ini
ada transformasi. Tadi saya sepakat dengan Pak Fernando bahwa
memang namanya hukum itu harus, ya, jelas, klir. Kita sudah sebut
biasanya dengan istilah lex certa, lex stricta. Seperti itu semua. Apa
artinya? Ketika ini hukum dari perspektif Pak Fernando, saya cuma
pengin dari perspektif … karena mendalami pemikiran dari Pak
Fernando. Ketika keadilan ini sudah ditransformasi ke dalam norma
aturan hukum, yang tadi yang disebut tadi sudah ajeg, ya, sudah
terukur. Nah, kemudian persoalannya, kira-kira menurut Pak Fernando,
apa lagi yang bisa menjadi alasan? Karena tadi kita katakan keadilan itu
adalah apa? Sangat … apa … memiliki tendensi yang hanya sangat apa
… subjektif lah. Ketika dia dinormakan menjadi objektif, kan gitu. Nah,
sekarang pertanyaan saya adalah, menurut Pak Fernando, kira-kira apa
23

lagi alasan kita ini untuk me … apa … men-challenge, ya, membantah


hukum yang sudah ada, apakah dengan demikian berarti masih ada lagi
hukum yang sudah dibuat, ya, undang-undang yang sudah dibuat itu
kemudian yang kita katakana, “Semua yang namanya tendensi-tendensi
keadilan masukkanlah ke dalam norma, supaya itu menjadi terukur,
ajeg, sehingga itu menjadi acuan kita bersama dalam bermasyarakat dan
bernegara,” kan begitu.
Nah, kalau ketika itu sudah dituangkan, masuk, menurut Pak
Fernando, apakah masih ada lagi cara untuk mempersoalkan hal-hal
yang sudah ajeg, terukur itu, apakah cukup dengan, ya, sudah,
laksanakan saja? Sebagaimana apa yang tertuang dalam aturan hukum
itu, meskipun kita katakan … saya katakan tadi, tidak tunggal ini karena
kita juga mengenal yang namanya prinsip lex iniusta non est lex, hukum
yang tidak adil itu bukan hukum.
Jadi, di sinilah kembali, mentah lagi ini persoalan-persoalan
seperti ini. Tapi saya ingin dari sudut pandang Pak Fernando saja.
Karena saya tahu Pak Fernando lebih apa … mengkaji aspek-aspek
filosofisnya. Dan saya juga berharap, kira-kira nanti suatu saat Pak
Fernando bisa juga memikirkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah …
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Untuk apa?
Menyelenggarakan peradilan. Guna apa? Guna menegakkan hukum dan
keadilan. Dua frasa ini, menegakkan hukum dan keadilan ini, kira-kira
bagaimana nih wujudnya ini, ya? Kalau hakim dituntut untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Mungkin itu, tapi itu next time
mungkin bisa dipikirkan oleh Pak Fernando.
Terima kasih, Yang Mulia. Mohon maaf.

61. KETUA: SUHARTOYO [01:05:46]

Silakan, Pak Fernando untuk dijawab.

62. PEMERINTAH: SURDIYANTO [01:05:56]

Izin, Yang Mulia. Yang Mulia, sebelum Ahli menjawab, Pemerintah


yang (…)

63. KETUA: SUHARTOYO [01:05:55]

Apa?
24

64. PEMERINTAH: SURDIYANTO [01:05:56]

Begini, Yang Mulia. Jadi, kami merasa tidak ada keseimbangan


dalam persidangan. Kenapa? Karena ketika kami menanya selalu
diganggu, selalu dibatasi dengan waktu.

65. KETUA: SUHARTOYO [01:06:20]

Nanti, biar dijawab dulu, Pak.

66. PEMERINTAH: SURDIYANTO [01:06:19]

Enggak, sebentar, Yang Mulia. Karena kami juga tidak pernah


mengganggu Pemohon atau mengkritik, gitu, ya, tapi saya mohon
hanya tolong jangan diperlakukan tidak seimbang, gitu, ya.

67. KETUA: SUHARTOYO [01:06:27]

Kami … sebentar, saya sudah bisa menangkap apa yang


disampaikan. Bahwa kami tidak membatasi jumlah pertanyaan, tapi
sebenarnya kami ingin pertanyaan itu fokus, jadi apa yang disampaikan
oleh Pemohon tadi bisa dibenarkan, makanya kami kemudian
mengingatkan.
Bahkan kalau memang yang tadi saya warning itu, kalau
penyampaian pertanyaan itu kemudian tidak klir dan kemudian terjadi
kebuntuan, akan saya sampaikan nanti, pertanyaan bisa melalui Hakim,
kan begitu. Saya tidak pernah membatasi, lho.

68. PEMERINTAH: SURDIYANTO [01:07:06]

Artinya begini, Yang Mulia. Jadi kalau kita langsung bertanya, itu
agak sulit, ya, karena kita ini punya hak untuk mempertahankan pasal-
pasal yang diuji, sehingga juga kita perlu juga, ya, ada prolog-prolog,
ada pandangan-pandangan.

69. KETUA: SUHARTOYO [01:07:22]

Ya, itu yang berkali-kali di persidangan selalu diingatkan, kalau


ada sesuatu yang tidak sependapat dengan apa yang disampaikan Ahli,
kan bisa dimuat di dalam kesimpulan nanti, bukan kemudian direspons.
Kalau ada yang belum klir mau ditanyakan, silakan. Kita selalu
dalam persidangan begitu. Bahwa memang porsinya untuk pertanyaan
itu bukan untuk merespons keterangan keahlian yang diajukan oleh
pihak lawan.
Silakan dijawab Pak … anu … dijawab, Pak Fernando.
25

70. AHLI DARI PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG


[01:08:17]

Baik, terima kasih, Yang Mulia.


Ini ada beberapa pertanyaan yang dari Kuasa Hukum Pemohon
dan sekaligus saya akan jawab yang pertanyaan dari Ibu dari Pihak
Termohon.
Pertanyaannya, apakah harkat, martabat, perasaan terhina itu
fiksi? Saya melihat dari beberapa literatur yang saya baca, itu justru
tidak fiksi kalau dia tidak pernah keluar dari diri kita. Harus ada alasan
kognitif untuk mengatakan bahwa saya punya martabat, saya merasa
terhina. Nah, yang jadi soal, jabatan-jabatan itu tidak punya kognisi.
Maka itu saya sangat cemas menyaksikan pemahaman di kalangan
awam bahwa perasaan terhina itu bisa dibawa ke dalam kedudukan dia,
status dia sebagai pejabat. Karena saya tidak pernah sekali lagi melihat
kursi itu punya kognisi dan kursi itu tidak pernah berinteraksi secara
sosial, dia tidak pernah menjadi perkembangan historis secara sosial.
Oleh sebab itu, kalau kita merasa terhina, martabatnya
terganggu, itu adalah problem pribadi, Yang Mulia. Hendaknya itu
dibawa dalam ranah perdata, tidak pidana. Nah, oleh sebab itu, maksim-
maksim yang digunakan oleh para pendekar hukum, terutama di dalam
bidang hukum pidana, itu pun juga mengganggu kenyamanan dalam
tanda petik saya sebagai akademia. Karena maksim-maksim itu
sebenarnya menurut saya, nullum delictum dan sebagainya, sepanjang
yang saya ketahui dalam literatur sejarah Romawi, itu hanyalah bagian
dari pembelajaran, pendidikan hukum, dan itu digunakan sebagai bagian
dari orasi, bagian dari yang kita kenal dengan sebutan masa sekarang,
legal reasoning. Tetapi sekali lagi yang saya ingin ingatkan, itu hanyalah
pantun. Sebuah pantun belum tentu menjadi asas, maka itu saya sangat
tidak menerima. Ada dulu seorang profesor yang selalu mengatakan,
“Maksim-maksim hukum dalam bahasa latin bahwa itu adalah asas.”
Saya kira profesor itu sudah lupa dengan pelajaran pengantar ilmu
hukum, karena saya kebetulan juga mengajar pengantar ilmu hukum,
karena saya tegaskan kepada mahasiswa saya ketika saya menghadapi
situasi itu, dan saya cukup kerepotan saat itu, Yang Mulia, apakah itu
asas? Bukan. Itu pantun, sudah tidak dipakai lagi itu sebenarnya. Dan
herannya, saya mendengar dari mahasiswa-mahasiswa saya, dalam
lomba-lomba moot court di Indonesia, senang sekali mahasiswa kita
menggunakan pantun-pantun itu, padahal itu pepatah, petitih yang
sudah tidak ada lagi dipakai di dalam legal reasoning modern masa kini.
Mengapa saya mengatakan begitu? Karena semenjak tahun 1900-an,
sejak Abad 20, pengetahuan hukum sudah bergerak menjadi lebih
modern dan lebih analitis. Dan hal yang pertama ditolak dalam
pendekatan yang analitis, dan itu dikemukakan oleh Herbert Hart, bahwa
hukum sudah tidak boleh lagi repot-repot dengan urusan filsafat, cukup
26

mengenalkan ide-ide yang analitis dan itu didasarkan pada konsep-


konsep hukum. Jadi, membawa worldview adalah suatu upaya untuk
membuat hukum justru tidak ilmiah. Dengan kata lain, saya mau
mengatakan, menggunakan pantun-pantun itu mengembalikan
pembicaraan hukum kita kembali ke abad pertengahan.
Nah, apakah pantun-pantun itu bisa jadi asas? Bisa, sepanjang
komunitas epistemiknya menerima. Kalau kita mengenal pantun, nullum
delictum, saya mengenalnya asas legalitas. Tetapi saya tidak pernah
menerima bahwa nullum delictum adalah asas. Tidak pernah saya bisa
menerima itu.
Nah, oleh sebab itu, ya, kita harus hati-hati untuk melihat
figurative speech. Karena figurative speech, majas, kiasan, atau di dalam
bahasa asing yang lebih dikenal di dalam kosakata Bahasa Indonesia
sebagai metafora, perlu juga dipertimbangkan oleh peradilan, tidak
hanya Mahkamah Konstitusi, tetapi oleh peradilan di bawah Mahkamah
Agung.
Mengapa saya katakan begitu? Karena figurative speech itu
adalah suatu ungkapan-ungkapan yang bisa disampaikan berdasarkan
suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman pribadi. Di dalam
filsafat, mohon maaf, Majelis Hakim, kami menyebutnya sebagai
fenomenologis. Jadi, saya tahu sesuatu lebih enak daripada yang lain,
bukan karena teori, tetapi karena pengalaman pribadi saya. Ini lebih
berat, ini lebih ringan, bukan karena telah ditimbang. Ada alasan-alasan
yang menjustifikasi bahwa itu lebih berat atau lebih ringan, tetapi karena
ada pengalaman-pengalaman yang saya bisa katakan itu lebih berat atau
lebih ringan.
Nah, oleh sebab itu, ya, kalau kita kembali kepada terhina atau
tidak terhina, itu sangat figuratif. Itu sangat pribadi. Itu problem
fenomenologis yang diperbincangkan di dalam filsafat dan itu hanya bisa
diungkapkan oleh subjek-subjek.
Nah, oleh sebab itu, Majelis Hakim yang saya muliakan, saya
selalu skeptis pada suatu upaya mengobjektivikasi pengalaman-
pengalaman pribadi. Kalau ada yang bisa melakukan itu, mohon maaf,
Yang Mulia, kalau saya sarkas, jangan-jangan saya harus sembah orang
itu karena menurut saya sudah sakti sekali itu.
Nah, jadi menyambung dengan pertanyaan dari Pihak Pemerintah,
apakah kebebasan perlu dibatasi atau tidak?
Saya ingin memberikan satu diskursus baru, Yang Mulia, yang
sekarang sedang trending, seorang Korea, tetapi dianggap sebagai filsuf
Jerman yang namanya Byung Chul Han. Dia mengatakan kurang-lebih
secara sederhana begini. “Di alam demokrasi, tubuh bisa didisiplinkan.
Kebebasan dengan demikian bisa diatur. Tetapi di alam invokrasi,” dia
sebut begitu, “tidak ada yang bisa mengatur tubuh. Kenapa? Karena
informasi bergerak secara bebas dan tidak bisa didisiplinkan.”
27

Jadi, kita harus melihat dengan hati-hati, cermat, dan bijaksana


bahwa berita bohong, itu bukan dalam kendali kita. Siapa pun yang
mereproduksi berita, bisa menjadi bohong karena berita itu tidak pernah
bisa didisiplinkan. Tubuh kita bisa didisiplinkan, pikiran kita belum tentu
bisa didisiplinkan, dan setiap pelanggaran bisa diberi pendisiplinan.
Tetapi sekali lagi, informasi tidak bisa.
Yang saya mau tekankan di sini, Majelis Hakim yang saya
muliakan, kalau kita bicara kebebasan, kebebasan itu tidak lagi kita lihat
melekat pada individu-individu. Saya boleh bilang, kita sudah masuk
dalam masa postmodern. Di dalam masa postmodern kebebasan itu ada
di informasi. Jadi alangkah rumitnya kita mengatur bagaimana kita
mengatakan ini bohong atau tidak bohong, sementara informasi itu liar,
tidak terkendali, dan menghukum orang yang menyatakan sesuatu dan
dituduh dengan mengatakan bohong, menurut saya itu menyakitkan
sekali.
Nah, oleh sebab itu, saya ingin juga mengelanjutkan apa yang
dikemukakan oleh Yang Mulia Hakim Anwar Usman dan Yang Mulia
Hakim Guntur Hamzah. Hukum dan keadilan, kita pilih yang mana? Saya
tidak bisa mengatakan pilih yang mana. Karena kenapa? Majelis Hakim
yang saya muliakan, di dalam diskursus kita, di dalam teori-teori hukum
kita, di dalam pembelajaran ilmu hukum kita, ada satu yang tidak pernah
kita bayangkan bahwa perbedaan fundamental antara hukum dan
keadilan bahwa hukum adalah problem linguistik. Keadilan tidak dibatasi
pada problem linguistik yang saya maksud. Mengapa saya katakan
problem linguistik? Saya terinspirasi dengan apa yang dikatakan oleh
Boethius seorang filsuf Yunani ditanya, “Jadi hukum itu apa?” Dia jawab
secara sederhana di dalam dialog berjudul Kratilus, di situ terlibat Plato
dan Aristoteles. Dijawabnya gampang, “Hukum itu bahasa.” Lantas,
kenapa bahasa? Karena hanya orang yang berbahasalah yang bisa buat
hukum, yang tidak berbahasa tidak bisa buat hukum.
Nah, dari situ para filsuf, hingga generasinya Thomas Hobbes,
dan terutama sampai dengan generasinya Gustav Radbruch, saya
menemukan bagaimana hukum itu terjelma di dalam teks karena suatu
alasan yang Radbruch bilang dan ini istilah yang aneh, dan ini tidak ada
di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dia menyebutnya sebagai
positifisasi. Jadi kalau kita katakan ada keadilan di dalam hukum itu bisa
diterima karena dia dipositifisasi. Nah, yang tidak dibayangkan oleh kita,
Majelis Hakim yang saya menguliakan, positifisasi ini di dalam
bayangannya Radbruch itu adalah suatu ide yang transindividual, dia
suatu ide yang melampaui diri kita. Itu yang dibilang oleh Hagerstrom,
dia telah meninggalkan kita.
Nah, oleh sebab itu, kita harus melihat bahwa kalau kita
memperbincangkan keadilan di luar sana, dia tidak menuntut positifisasi.
Kalau saya tidak merasa adil, saya katakan kepada Bapak Bambang
Harymurti saya tidak akan mengatakan bahwa apa yang saya katakan itu
28

terpositifisasi. Tidak. Kenapa saya katakan begitu? Karena keadilan di


dalam diskursus di luar hukum itu justru beranjak dari disagreement.
Seperti yang dibayangkan oleh John Rawls atau yang dibayangkan juga
oleh filsuf seperti Habermas bahwa ada overlapping … overlapping
consensus atau katakan ada disensus. Ini adalah satu diskursus yang
lebih radikal lagi. Bahwa kita justru berbicara keadilan karena kita harus
membicarakan apa yang tidak kita sepakati, bukan apa yang kita
sepakati. Jadi dalam canda sehari saya, hari-hari saya dulu saya selalu
bilang, mari kita sepakat atas hal yang kita tidak sepakati.
Jadi artinya, yang tidak kita sepakati itulah yang harus kita
bicarakan. Nah, perselisihan-perselisihan semacam itu, ada di luar sana,
Majelis Hakim, tidak di parlemen, tidak di dalam gedung, itu keseharian
ada di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kenapa? Karena ciri dari
perselisihan itu tidak ada dasar apa yang disebut sebagai positivisasi.

71. KETUA: SUHARTOYO [01:21:08]

Waktunya, Pak Fernando.

72. AHLI DARI PEMOHON: E. FERNANDO M. MANULLANG


[01:20:09]

Ya, saya singkati.


Nah, oleh sebab itu, kalau ditanya, bagaimana kita harus me-
challenge norma-norma tersebut? Saya tidak bisa memberikan satu
prosedur yang ajeg, bagaimana kita me-challenge. Yang saya mau
katakan begini, Majelis Hakim yang saya muliakan, kalau kita bicara
keadilan, memang pada dasarnya itu muncul dari rasa. Tidak ada itu
saya pernah dengar orang demi rasa kepastian, yang saya sering dengar
adalah demi rasa keadilan dan rasa itu ada di luar sana. Ada di jalanan,
ada di pasar-pasar, ada di kampus-kampus, ada di kalangan para aktivis,
dan seterusnya.
Nah, artinya apa? Kita memang harus terus-menerus memaknai
keadilan karena keadilan yang dibuat di dalam norma, itu bisa kita
terima hanya karena satu alasan. Dia terwujud dalam satu bahasa dan
dia diterima karena dipositivisasi, tetapi yang tidak dipositivisasi yang
tidak pernah didiktumkan secara linguistik, itu juga bicara keadilan dan
itu patut kita dengar.
Begitu kurang-lebih. Terima kasih.

73. KETUA: SUHARTOYO [01:22:26]

Baik, silakan, Pak Bambang.


29

74. AHLI DARI PEMOHON: BAMBANG HARYMURTI [01:22:27]

Terima kasih, Yang Mulia.


Langsung saja saya mencoba menjawab pertanyaan dari
Penggugat tentang clear and present danger dan juga incitement.
Ini menurut saya adalah satu konsep di dalam teori informasi
yang mengatakan bahwa sesuatu itu … sesuatu informasi yang dapat,
dalam hal ini menimbulkan keonaran, itu baru dapat dinyatakan sebagai
satu … kalau bahasanya dari … dari Pemerintah adalah delik, hanya
kalau sudah nyata bahaya itu akan segera terjadi jika tidak dicegah.
Barangkali kalau orang, pistolnya sudah diambil, sudah dikokang, tinggal
ditarik pelatuknya, gitu. Tapi, kalau dikokang saja belum, itu tidak clear
and present danger.
Tapi yang menarik dalam teori informasi adalah yang mengatakan
ini seorang peraih hadiah Nobel, Joseph Stiglitz mengatakan,
“Sebetulnya hampir tidak ada informasi yang berbahaya, yang sering
menjadi masalah adalah cara menyampaikan informasi itu.” Jadi saya
kasih contoh, seandainya di ruang ini saya tiba-tiba menyatakan Bapak-
Bapak dan Ibu-Ibu mari kita sama-sama keluar karena ada api menyala
di sana. Itu tidak menimbulkan bahaya, kita mungkin dengan tenang
semua keluar. Tapi kalau saya tiba-tiba keluar teriak, “Ada api! Ada api!”
Mungkin banyak yang loncat, ada yang kejepit di pintu, ada yang luka.
Informasinya sama ada api, tapi cara penyampaiannya yang bisa
membuat itu jadi berbahaya atau tidak berbahaya. Dan ini juga yang
kadang-kadang disebut fire in the theater, konsepnya. Karena itu
tentang adanya api di sebuah teater, cara menyampaikannya.
Oleh karena itu, kode etik jurnalistik tidak bicara soal pembatasan
informasi yang boleh dan tidak boleh diteruskan, tapi bagaimana cara
menyampaikan informasi itu, banyak lebih kepada saat itu. Karena kode
etik pada dasarnya adalah satu keseimbangan antara memaksimalkan
apa yang diinginkan, dicapai oleh profesi itu, tapi meminimumkan ekses
atau dampak negatifnya, yaitu adalah satu keseimbangan. Dan problem
dari undang-undang … Pasal 14, Pasal 15 ini ketidakjelasan dalam
definisi kata itu, sehingga sulit untuk menyatakan mana nih clear and
present danger-nya, mana incitement-nya. Kata onar sendiri bisa berapa
ahli berdebat, apakah onar itu kalau viral itu onar, atau onar itu kalau
sudah ada bakar-bakaran mobil polisi, atau onar itu kalau ribut di mana,
itu ketidakpastian hukum jadinya.
Nah, ketidakpastian hukum pasti menimbulkan ketidakadilan,
kalau tadi kembali ke masalah itu. Dan karena itu, saya selalu
mengatakan bagi para pembuat undang-undang atau peraturan,
janganlah membuat undang-undang atau peraturan yang akan
merugikan orang yang taat. Karena lebih baik tidak usah membuat
aturan itu, kalau itu hanya akan merugikan orang yang taat.
30

Nah, ini ada kaitannya juga dengan lex specialis derogat legi
generali, saya ingin menyampaikan saja undang-undang yang sekarang
sudah banyak sekali undang-undang yang mengatur tentang ujaran
kebencian dan berbagai macam kegiatan yang dianggap bisa membuat,
menimbulkan bahaya, bahkan undang-undang bila diperlukan dinyatakan
keadaan darurat, yang jauh lebih lengkap dan lebih baru ketimbang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Sehingga sebetulnya undang-
undang yang penuh ketidakpastian hukum ini dan menyebabkan
ketidakadilan, sebaiknya dihilangkan saja. Karena pemerintah tidak
kehilangan hak untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
dengan tidak adanya. Tetapi membiarkannya berisiko, hak konstitusi
warga dilanggar.
Jadi tidak ada manfaatnya … tidak ada mudarat … tidak ada
manfaatnya, banyak mudaratnya. Dan demikian juga kemerdekaan pers
tidak dapat dipisahkan dari citizen journalis … journalism, karena kalau
masyarakat tidak berani bicara, kemerdekaan pers juga mati. Karena
pers tidak bisa memberitakan apa-apa kalau tidak ada narasumber yang
mau berbicara, ya. Dan ketika kami di Dewan Pers, bagi kami seorang
wartawan itu sesuai undang-undang, asal dia mendeklarasikan dirinya
taat kode etik jurnalistik, maka Dewan Pers akan sesuai undang-undang
menyatakan dia bekerja sebagai wartawan. Dan karena itu, mendapat
perlindungan seperti itu. Kenapa ini kita bisa lakukan? Karena kalau di ...
anak-anak di negara maju, itu ada lagu yang menarik. Dia bilang, “Sticks
and stones can break my bones, but words will never hurt me.” Ya, itu
diajarin karena kalau dengan batu, dengan kayu, kita dipukul bisa
divisum berapa dalam lukanya. Tapi kalau dengan kata-kata, ada yang
merasa sangat luka, ada yang tidak bisa ... tidak bisa diukur. Seperti tadi
disebutkan, tidak ada ukuran objektifnya.
Oleh karena ini, ini bukan urusan publik ... bukan urusan negara,
pemerintah, ini urusan perdata. Kalau Anda merasa … apa ... dirugikan
oleh satu berita dan sebagainya, silakan menggugat secara perdata.
Jangan membebani negara, buktikan bahwa anda dirugikan, gitu. Dan
itu sebabnya, bank dunia melalui World Bank Institute pernah
mengategorikan negara di dunia atas tiga kelompok. Negara yang paling
maju itu biasanya struktur hukumnya menyatakan, pertama,
pencemaran nama baik itu bukan pidana. Kedua, pembuktian
pencemaran nama baik secara perdata itu menjadi beban penggugat
yang harus membuktikan, ya. Dan kalau negara masih pencemaran
nama baik itu pidana, umumnya itu negara-negara yang terbelakanglah
atau yang secara ekonomi juga tidak majulah, kurang maju, ya.
Kalaupun maju, mungkin baru sebentar, belum terbukti waktu lama, ya.
Dan itu ... ini yang bikin bank dunia, ini ahli-ahli ekonomi, bukan ahli
politik, ya. Jadi, dia pakai statistik dan sebagainya. Kalau diperlukan,
saya bisa memberikan kesaksian ke sini karena ini saya sudah paparkan
ke banyak penjuru dunia.
31

Dan ... jadi, sebetulnya kalau untuk urusan informasi, sebenarnya


yang diperlukan adalah hak jawab, hak koreksi, cukup dengan itu saja.
Karena dengan begitu, maka kita dapat menjaga arus informasi yang
bebas, yang menjadi syarat kemajuan, tetapi kita bisa menyaring
informasi yang keliru karena langsung dikoreksi atau langsung dijawab
menjadi lengkap, kalau informasinya tadinya kurang lengkap. Tanpa itu,
kalau informasi macet, dampaknya jauh lebih berbahaya, ya. Saya bisa
cerita bahwa ... ini contoh yang sering saya sampaikan, Hitler dan
Mussolini itu adalah produk hasil pemilihan rakyat. Yang membuat
mereka terpilih karena arus informasinya yang dikontrol. Mereka yang
bersuara anti Hitler, waktu itu dikirim pasukan yang namanya brown
shirt (seragam coklat), dipukulin, diintimidasi, sehingga lama-lama tidak
ada yang berani memberi informasi yang bertentangan dengan informasi
yang sesuai yang diinginkan Hitler. Demikian Mussolini, bedanya cuma
pasukannya berbaju hitam. Kalau sekarang mungkin pakai buzzer.
Jadi kalau dibuat suasana yang disebut chilling effect bahwa
pendapat yang berbeda itu tidak berani diutarakan karena berbagai
kegiatan, maka informasi kehilangan kesaktiannya dia menjadi alat
penguasa saja. Saya bisa cerita dalam kasus pengadilan saya,
bayangkan saksi di bawah sumpah bisa menyatakan konon itu artinya
pasti. Ketika ditanya benar, ya, ini kan pendapat saya boleh dong, itu
saksi ahli di pengadilan.
Nah, izinkan saya untuk menjawab ini semua dengan satu
jawaban paradigma ahli, yaitu berbagi pengalaman saya bersama Pak
Bagir Manan, ketika itu Ketua Dewan Pers, kami kedatangan Ketua
Mahkamah Agung dan Wakil Mahkamah Agung Belanda ke Indonesia.
Kebetulan Wakil Ketua Mahkamah Agungnya juga Ketua Dewan Pers
Belanda. Dan ketika sebelum bertemu kami menyiapkan semua pasal-
pasal yang sama, yang biasa dipakai untuk menjerat wartawan, bunyinya
persis sama di Indonesia dan di Belanda. Lalu ketika kita diskusi ternyata
di Belanda sejak tahun 1950-an tidak pernah ada wartawan masuk
penjara, tapi di Indonesia banyak. Pasalnya persis bunyinya sama. Lalu
kami berdiskusi, lalu saya kembali ke kompetensi saya dalam sejarah
hukum. Saya sekarang paham itu terjadi, karena, Yang Mulia, ketika
Konferensi Meja Bundar kemudian batal, bukan batal, ya, akhirnya
bertengkar kita, maka semua setelah itu, maka semua hakim-hakim,
dosen Belanda keluar dari Indonesia. Dan kita nasionalisasi. Yang tersisa
adalah profesor, praktisi hukum Indonesia yang ketika undang-undang
Belanda berlaku menangani perkara di pengadilan pribumi. Sebaik kita
tahu walaupun undang-undangnya sama pada saat zaman Belanda, ini
menjawab juga soal penerapan hukum. Penerapan hukumnya berbeda
untuk kalangan orang putih, kalangan timur jauh, dan kalangan pribumi.
Hakimnya beda, jaksanya beda, undang-undangnya sama. Pasal yang
sama dikenakan pada Bung Karno di Indonesia, dia dihukum 4 tahun
penjara karena pengadilan pribumi. Tapi di Belanda, Muhammad Hatta,
32

majelis hakim membuang tuduhan karena mengatakan bahwa ini hanya


bisa diterapkan di negara jajahan, tidak berlaku di negara merdeka
seperti Belanda. Pasalnya persis sama. Karena apa? Doktrin pengadilan
untuk orang kulit putih, hukum adalah untuk melindungi hak hukum
warga. Tapi doktrin penegakan hukum bagi pribumi adalah untuk
menegakkan ketertibaan (ucapan tidak terdengar jelas). Sehingga
kecenderungannya salah terus dan dihukum terus. Karena itu untuk
menjaring orang-orang nasionalis. Sekarang pertanyaannya … sekarang
masalahnya paradigma itu belum berubah. Kita tidak menerapkan KUHP
kita seperti Belanda menerapkan KUHP terhadap orang kulit putih yang
merdeka. Kita menerapkan dan diajarkan termasuk di mohon maaf,
fakultas ahli ini, adalah menerapkannya kepada kaum pribumi untuk
(ucapan tidak terdengar jelas). Jadi untuk menjawab pertanyaan tadi.
Dan nyatanya, kenapa negara Belanda yang hukumnya sama dengan
Indonesia jauh lebih maju dari Indonesia dan masyarakatnya lebih bebas
dan demokrasinya lebih sehat?
Ini problem saya, bagaimana mengubah paradigma hukum di
Indonesia supaya penerapannya seperti orang Belanda menerapkan
pada orang kulit putih, yaitu warga kelas satu. Sebab yang diterapkan
sekarang kita hanya meneruskan penjajahan kepada pribumi
menggunakan produk-produk yang dulu diterbitkan oleh orang kulit
putih, tapi penerapannya meneruskan yang kepada pribumi, bukan pada
saat kita merdeka, kita juga harusnya menerapkannya terhadap seperti
pada orang kulit putih.
Jadi saya kasih contoh, Pasal 5 dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946 itu sebetulnya yang belum terlaksana, yaitu semua pasal-
pasal yang bertentangan dengan sifat orang Indonesia yang telah
merdeka dinyatakan tidak berlaku lagi dan diberi kekuasaan pada
Mahkamah Agung untuk menentukan pasal-pasal apa yang ada itu.
Sayangnya pasal ini, sekarang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023,
sebetulnya yang kita teruskan malahan paradigma yang sama. Nah (…)

75. KETUA: SUHARTOYO [01:37:42]

Waktunya, Pak Bambang.

76. AHLI DARI PEMOHON: BAMBANG HARYMURTI [01:37:45]

Jadi untuk menjawab tadi Yang Mulia menanyakan di mana nurani


media? Saya kira profesi itu kumpulan orang, ya, jadi tentu tidak satu
entitas. Tapi sebetulnya menyimaknya, lihat saja ketaatannya pada kode
etik jurnalistik. Dan ini yang sering … mungkin saya perlu sampaikan
dengan kalangan profesi hukum, ada perbedaan paradigma yang sangat
tajam antara kebenaran menurut hukum dan kebenaran menurut
jurnalistik. Kebenaran menurut hukum itu biasanya dianggap fix, statis,
33

ya. Sedangkan kebenaran menurut jurnalistik itu sifatnya sangat


dinamis. Kebenaran yang saya yakini hari ini, besok mungkin sudah tidak
benar lagi, harus saya perbaiki. Itu adalah upaya pencarian yang tidak
henti.
Karena itu saya sering menyampaikan, sering wartawan dan
rohaniwan itu tidak bisa akur, walaupun sama-sama profesinya adalah
menyebarluaskan yang diyakini kebenaran, tetapi rohaniwan itu merasa
kebenarannya sudah ditemukan, tidak perlu dicari lagi, tinggal
disebarluaskan. Sedangkan jurnalist itu kebenarannya tidak pernah dapat
yang fix, selalu ada expired date-nya, harus dicari terus. Sehingga oleh
rohaniwan dianggap kafir, kira-kira begitu.
Dan karena itu, kita akan selalu dinamis situasinya. Dan mungkin
kalau siapa pun yang merasa dirugikan oleh media, sebetulnya itu hanya
bagian dari siklus hidup, pada akhirnya kebenaran pasti akan muncul.
Terima kasih, Yang Mulia.

77. KETUA: SUHARTOYO [01:39:33]

Baik. Terima kasih. Pemohon masih mau mengajukan ahli?

78. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI

Satu kali kesempatan lagi, Majelis. Masih.

79. KETUA: SUHARTOYO

Berapa ahli lagi?

80. KUASA HUKUM PEMOHON: MOHAMMAD FANDI

Rencana dua orang ahli.

81. KETUA: SUHARTOYO

Dua orang ahli, ya. Baik. Jadi dijadwalkan, tapi waktunya belum
bisa dipastikan, nanti akan diberitahukan. Dipersiapkan saja untuk ahli
yang masih tersisa. Dua lagi, ya? Untuk CV dan keterangannya,
keterangannya juga yang utuh sekalian, jadi kami bisa merespons
sebagaimana yang Pak Bambang tadi, ada yang tersisa tadi, yang belum
diserahkan, nanti segera diserahkan.
Kemudian kalau bisa, coba putusan yang Pak Bambang yang
kasasi dilampirkan, ya. Yang … ya? Jika itu kalau Hakim ini kan terserah
para pihak, tapi jika itu relevan dan lain-lain, kan bisa.
34

82. KUASA HUKUM PEMOHON: FERI AMSARI [01:40:44]

Izin. Sebagai alat bukti, Yang Mulia?

83. KETUA: SUHARTOYO [01:40:46]

Ya, diserahkan. Ya?

84. KUASA HUKUM PEMOHON: FERI AMSARI [01:40:48]

Baik, Yang Mulia.

85. KETUA: SUHARTOYO [01:40:49]

Baik, kemudian terima kasih untuk para ahli, Pak Bambang dan
Pak Fernando. Pemerintah ada yang ditanyakan, Pak Surdiyanto tadi
sudah jelaskan, ya, Bapak kalau kurang klir bisa dilihat Risalah Sidang
tadi, apa yang kami lakukan tidak memberikan keseimbangan itu. Ibu
pun kan tanya satu, saya tanya cukup, sudah cukup sampai miknya mati
tadi, kan. Tidak ada pembatasan, hanya cara menyampaikannya, ya,
supaya to the point saja. Dan itu kan selalu setiap sidang diingatkan.
Baik, dengan demikian sidang selesai dan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 13.05 WIB

Jakarta, 21 Desember 2023


Panitera,
Muhidin

Anda mungkin juga menyukai