Anda di halaman 1dari 36

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN AHLI PEMOHON
(IV)

JAKARTA

SELASA, 24 JANUARI 2017


MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 103/PUU-XIV/2016

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


[Pasal 197 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945

PEMOHON

1. Juniver Girsang
2. Harry Ponto
3. Swandy Halim, dkk

ACARA

Mendengarkan Keterangan Ahli Pemohon (IV)

Selasa, 24 Januari 2017, Pukul 11.06 – 12.52 WIB


Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Arief Hidayat (Ketua)


2) Maria Farida Indrati (Anggota)
3) Suhartoyo (Anggota)
4) Aswanto (Anggota)
5) I Dewa Gede Palguna (Anggota)
6) Patrialis Akbar (Anggota)
7) Manahan MP Sitompul (Anggota)
8) Wahiduddin Adams (Anggota)

Rizki Amalia Panitera Pengganti

i
Pihak yang Hadir:

A. Pemohon:

1. Joelbaner Hendrik Toendan

B. Kuasa Hukum Pemohon:

1. Juniver Girsang
2. Arief Patramijaya
3. Hanita Oktavia
4. Swandy Halim
5. Patricia Lestari
6. Triweka Rinanti
7. Budi Rahmad
8. Fajri Akbar

C. Ahli dari Pemohon:

1. Bagir Manan
2. Slamet Sampurno Soewondo
3. Eddy O.S. Hiariej

D. Pemerintah:

1. Hotman Sitorus
2. Surdiyanto
3. Nasrun
4. Priorenta

E. Pihak Terkait:

1. Suhadi
2. Darmoko Yutiwitanto
3. Joko Mirun

ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.06 WIB

1. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Bismillahirrahmaanirrahiim. Sidang dalam Perkara Nomor


103/PUU-XIV/2016 dengan ini dibuka dan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 3X

Saya cek kehadirannya. Pemohon, yang hadir siapa? Silakan.

2. PEMOHON: JUNIVER GIRSANG

Baik. Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Dari Pemohon yang hadir
pada pagi hari ini mulai dari sebelah kiri, rekan kami Arief Patramijaya.
Kemudian, yang kedua Triweka Rinanti. Kemudian, sebelah kiri saya
Hanita Oktavia. Kemudian, saya sendiri Juniver Girsang. Sebelah kanan
saya Bapak Swandy Halim. Kemudian, Patricia Lestari. Yang tidak pakai
toga adalah Prinsipal Joelbaner Hendrik Toendan. Yang sebelah kanan
Pak Budi Rahmad. Di belakang ada Fajri Akbar. Terima kasih, Majelis
Yang Mulia.

3. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih, Pemohon. Dari DPR tidak hadir. Dari


Pemerintah, siapa yang hadir?

4. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia. Pemerintah hadir Bapak M. Nasrun dari


Kejaksaan dan Ibu Priorenta. Saya Hotman Sitorus dan Pak Surdiyanto.
Demikian, Yang Mulia. Terima kasih.

5. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih. Dari Pihak Terkait, siapa yang hadir? Silakan,
Pak.

6. PIHAK TERKAIT: SUHADI

Assalamualaikum wr. wb.

1
7. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

8. PIHAK TERKAIT: SUHADI

Pihak Terkait dalam hal ini adalah saya Suhadi (Hakim Agung)
mewakili Mahkamah Agung. Yang kedua, samping sebelah kanan saya
Pak Witanto, S.H., lengkapnya Darmoko Yutiwitanto (Hakim Yustisial) di
Mahkamah Agung dan Pak Joko Mirun, S.H. (Kasubag Administrasi) di
Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung. Terima kasih.

9. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Agenda kita pada pagi hari ini
adalah mendengarkan keterangan Ahli yang diajukan oleh Pemohon.
Sudah hadir di hadapan kita Yang Mulia Prof. Bagir Manan, yang amat
terpelajar Prof. Eddy Hiariej, dan juga yang amat terpelajar Prof. Slamet.
Saya persilakan untuk maju ke depan untuk diambil sumpahnya terlebih
dahulu.
Mohon berkenan, Yang Mulia Pak Wahid untuk memandu sumpah.
Beliau bertiga beragama Islam.

10. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Baik. Kepada Para Ahli Yang Mulia Prof. Bagir Manan, Yang
Terhormat Prof. Eddy O.S. Hiariej, dan Terhormat Prof. Slamet
Sampurno Soewondo untuk mengikuti lafal yang akan saya tuntunkan.
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai
Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.”

11. AHLI BERAGAMA ISLAM:

Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai


Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.

12. HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS

Terima kasih.

2
13. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Yang Mulia. Saya persilakan kembali ke tempat


duduk.
Kepada Pemohon, siapa dulu yang harus memberikan
keterangan? Urut-urutannya? Saya persilakan.

14. PEMOHON: JUNIVER GIRSANG

Baik. Terima kasih, Majelis. Yang pertama, Prof. Dr. Bagir Manan,
S.H., M.C.L. Kemudian, nanti yang kedua Prof. Dr. Eddy Hiariej.
Kemudian, selanjutnya Prof. Dr. Slamet Sampurno, Majelis Hakim Yang
Mulia. Terima kasih.

15. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Sesuai dengan permintaan dari Pemohon, Prof. Bagir Manan,


saya persilakan.

16. AHLI DARI PEMOHON: BAGIR MANAN

Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para


Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi. Sebelum saya membacakan
catatan ini, saya mohon maaf karena di dalam tulisan ini masih ada
beberapa salah cetak, yang perbaikannya sambil saya bacakan saja.
Terima kasih.
Terlebih dahulu, saya sampaikan terima kasih atas kesempatan
dan kehormatan berdiri di hadapan Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia
Para Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan
keterangan Ahli dalam Permohonan Pengujian secara yudisial Pasal 197
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis
Mahkamah Konstitusi. Sebelum menguraikan rincian keterangan Ahli
sesuai dengan permohonan-permohonan, saya minta perhatian Yang
Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis tentang Pasal 197 ayat
(2), walaupun Pemohon hanya menyebut Pasal 197 ayat (1), tapi tidak
mungkin dilepaskan dari Pasal 197 ayat (2) yang mengancam batal,
apabila putusan Majelis Hakim dalam suatu perkara pidana tidak memuat
kecuali yang tercantum dalam huruf g semua unsur-unsur yang
ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP atau hukum acara peradilan
pada umumnya adalah hukum yang mengatur tata cara atau prosedur
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara karena itu disebut law of
procedure atau processrecht.

3
Dalam negara hukum hubungan antara hukum materiil dan
hukum formal atau law of procedure merupakan dua sisi dari satu mata
uang, two sided of one coin, mengapa?
Hukum acara tidak sekadar ketentuan tentang tata cara
melaksanakan dan menegakkan hukum materiil. Apalagi sekadar tata
kerja administratif proses peradilan, lebih mendasar dari itu hukum acara
akan menentukan:
 Pertama. Terwujud atau tidak terwujud tujuan hukum materiil atau
maksud pembentuk undang-undang.
 Kedua. Memastikan apakah putusan Majelis Hakim akan mewujudkan
keadilan atau sekurang-kurangnya memberi rasa puas bagi pencari
keadilan, bahkan memuaskan masyarakat pada umumnya.
 Apakah proses peradilan dijalankan dengan … yang dijalankan, saya
ulangi. Apakah proses peradilan dijalankan dengan kelurusan dan
kejujuran (fairness), dan tidak berpihak (impartiality), tidak bias
(against bias), dan lain-lainnya akan menghambat atau menghalangi
atau terwujudnya keadilan (obstruction of justice).
Dalam kaitan dengan jaminan prosedur yang penuh kelurusan dan
kejujuran (fair), serta dijalankan dalam keteraturan (regularity), serta
tidak bepihak, izinkan saya mengutip beberapa pendapat.
1. Justice Frankfurter, US. Supreme Court, dalam satu kasus McNabb
Tahun 1943 mengatakan bahwa sebagian besar sejarah tentang
kebebasan sebenarnya adalah sejarah tentang ketaatan pada
perlindungan atau jaminan prosedur. Tentu maksudnya prosedur yang
fair dan imparsial.
2. Justice Jakson juga dari Mahkamah Agung Amerika dalam perkara
Shanghnessy tahun 1953 menyatakan bahwa prosedur yang fair dan
dijalankan dalam keteraturan merupakan esensi yang tidak dapat
dipisahkan dari kebebasan.
3. Profesor Wade dari Oxford University dalam bukunya Administrative
Law menyatakan bahwa prosedur yang fair dan imparsial merupakan
hal yang paling esensial dalam negara hukum.
Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi. Tanpa mengurangi betapa penting dan esensial
pendapat-pendapat para tokoh kenamaan yang disebutkan di atas,
izinkan saya meninjau dari aspek lain, segi-segi prosedural, atau tata
cara menjalankan hukum pada umumnya atau secara khusus prosedur
menjalankan peradilan (administration of justice), yaitu kaitannya
dengan birokratisasi yang berlebihan. Prosedur yang berlebihan dapat
melahirkan tata laksana atau tata kelola birokratik yang dapat
memunculkan masalah-masalah, antara lain:
 Pertama. Tata laksana yang birokratis, apalagi birokratisasi yang
belebihan akan menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas. Kalau hal ini
terjadi pada penyelenggaraan peradilan, sehingga didapati
birokratisasi penyelenggaraan peradilan, penyelenggaraan peradilan

4
akan menjadi tidak efisien dan tidak efektif yang akan berujung pada
hambatan memperoleh peradilan. Sedang sebe … sedangkan seperti
diutarakan Profesor Wade di atas, "Justice and efficiency go hand to
hand," keadilan deefisien … dan efisiensi itu harus selalu
bergandengan tangan satu sama lain. Lebih-lebih lagi kalau
birokratisasi ini dihubungkan dengan ketentuan undang-undang
sebagai bagian dari kehendak politik akan sulit melepaskannya dari
persoalan politization of judiciary.
 Kedua. Birokratisasi yang berde … berlebihan, dapat menimbulkan
dorongan penyalahgunaan kekuasaan yang akan berujung pada
kesewenang-wenangan, yang secara khusus akan merugikan pencari
keadilan atau keadilan pada umumnya, maupun baik itu keadilan
dalam arti subtantive maupun keadilan dalam arti procedural.
 Ketiga. Birokratisasi yang berlebihan dalam penyelenggaraan peradilan
akan meneguhkan ungkapan justice delay, justice denied. Menunda-
nunda penyelesaian perkara akibat birokratisasi yang berlebihan yang
disertai penyalahgunaan kekuasaan atas nama birokrasi akan
mengakibatkan tidak terwujudnya ... tidak terwujudnya keadilan bagi
pencari keadilan, bahkan bagi masyarakat pada umumnya.
Tatanan birokrasi memang diperlukan, termasuk dalam
menjalankan peradilan, tapi birokratisasi apalagi ... lagi birokratisasi yang
berlebihan, akan sulit menghindari berbagai akibat buruk yang
disebutkan di atas. Mohon izin.
Yang Mulia, Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi. Sekarang izinkan saya menyampaikan catatan atas
KUHAP Pasal 197 yang menjadi dasar permohonan Pemohon.
Secara konstitusional, Pemohon berpendapat KUHAP Pasal 197,
khususnya 197 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan, “Negara Indonesia adalah
Negara Hukum,” dan Pasal 28D yang pada pokoknya memuat prinsip
persamaan di depan hukum, equality before the law.
Dengan demikian, kedua pasal tersebut mengatur hal yang sama,
yaitu prinsip negara hukum atau negara berdasarkan hukum. Di atas
telah dikemukakan, meskipun Pemohon hanya mempersoalkan Pasal 197
ayat (1), saya memohon perhatian Yang Mulia, Ketua dan anggota
Majelis Mahkamah Konstitusi untuk secara sistematik memperhatikan
juga Pasal 197 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2),
semua unsur-unsur (terkecuali tercantum dalam huruf g), merupakan
mandatory conditions atau mandatory clause. Syarat-syarat yang mesti
ada atau wajib dicantumkan dalam setiap putusan Majelis Hakim, baik
pada tingkat judex facti maupun judex juris. Kalau tidak seperti telah
diutarakan di atas, putusan tersebut diancam batal dalam makna batal
demi hukum, van rechtswege nietig.
Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi. Izinkan saya sesuai dengan permohonan Pemohon

5
hanya mencatat putusan Majelis Hakim pada tingkat kasasi. Apakah
semua unsur-unsur yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1), kecuali
huruf g merupakan mandatory conditions pada setiap putusan tingkat
kasasi? Apakah tidak ada berbagai unsur itu sebagai sesuatu yang tidak
perlu atau yang hanya berlaku sebagai directory conditions, artinya
hanya sebagai petunjuk atau pedoman yang atas pertimbangan Majelis
Kasasi dapat dipilih yang mesti dimuat atau tidak ... atau tidak dimuat
sebagai suatu bentuk judicial discretionary, dari Majelis Hakim Kasasi
tanpa ancaman batal demi hukum sepanjang hal itu tetap menjamin
fairness dan impartiality.
Saya berpendapat untuk putusan tingkat kasasi, tidak semua
unsur-unsur di luar yang dimuat dalam ... di luar dimuat dalam huruf g
Pasal 197 ayat (1) merupakan mandatory conditions atau mandatory
clause.
 Pertama. Atas dasar pertimbangan yudicial ... yuridis, semua kita yang
belajar ilmu hukum sungguh mengetahui, Mahkamah Agung sebagai
badan peradilan tinggi adalah judex juris yang hanya memeriksa,
mempertimbangkan, dan memutus penerapan hukum atau lazim juga
disebut hanya memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus
persoalan penerapan hukum. Karena hanya memeriksa, mengadili,
dan memutus persoalan penerapan hukum dalam bahasa gurauan
dengan para hakim atau di kampus, saya sering mengatakan kasasi
itu secara has ... secara kas ... hakiki memeriksa, mengadili hakim
judex facti. Memang ada kemungkinan Mahkamah Agung sebagai
judex facti, yaitu apabila ada undang-undang yang menentukan
Mahkamah Agung memeriksa, mengadili, dan memutus sebagai ...
memutus sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tapi, ini
merupakan special rule, bukan sebagai general rule. Karena
Mahkamah Agung hanya sebagai judex juris, tidaklah relevan dalam
putusan tingkat kasasi memuat kembali hal-hal seperti dakwaan,
tuntutan, pemeriksaan oleh judex facti. Kalau ada unsur-unsur yang
dianggap perlu, semata-mata demi memeriksa penerapan hukum oleh
judex facti seperti pertimbangan dan isi ... dan isi putusan judex facti.
 Kedua. Atas dasar doktrin, yaitu doktrin reasonableness versus
unreasonableness semua keputusan dan tindakan penyelenggaraan
negara dan pemerintahan, termasuk putusan hakim berlaku asas
reasonableness, harus dalam kewajaran yang dapat dimengerti oleh
sebanyak-banyaknya orang. Reasonableness ini meliputi waktu yang
wajar, tujuan yang wajar, bahkan penggunaan bahasa yang wajar.
Akibat harus memuat semua unsur-unsur yang di atur Pasal 197 ayat
(1) kecuali huruf g, putusan kasasi dapat mencapai beratus-ratus
bahkan ribuan lembar. Hal ini menimbulkan kesulitan, baik bagi
penyelenggara peradilan maupun pencari keadilan. Bagi penyelengara
peradilan akan dibutuhkan waktu lama dan perlu ketelitian untuk
mencatat ulang hal-hal yang sudah tercantum dalam putusan judex

6
facti. Bagi pencari keadilan harus menunggu lama sebelum menerima
putusan hakim, hal ini merupakan suatu yang tidak wajar, tidak
reasonable. Secara doktriner, keputusan, tindakan termasuk putusan
hakim yang tidak lagi mencerminkan kewajaran secara ekstrem bukan
hukum atau setidak-tidaknya bukan hukum yang baik, apalagi
menimbulkan beban yang berlebihan.
Doktrin lain yang barangkali dapat dipertimbangkan adalah yang
disebut fettering of power, yaitu ketentuan-ketentuan atau hubungan
hukum yang membelenggu kekuasaan. Dalam pemeriksaan tingkat
kasasi, Pasal 197 merupakan ketentuan yang membelenggu karena
selain dapat terkena ungkapan justice delay justice denied tidak kalah
penting sangat bertentangan dengan penyelenggaraan peradilan kita
yang harus diselenggarakan berdasarkan asas sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
 Ketiga. Atas dasar pertimbangan praktis, memuat semua unsur-unsur
yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali yang tercantum
huruf g akan mengakibatkan hal-hal berikut.
1) Akan membebani secara berlebihan yang tidak relevan secara
yuridis maupun praktis penyelenggaraan administrasi perkara.
Dalam perkara-perkara yang kompleks seperti korupsi atau tindak
pidana serius lainnya akan melibatkan kemungkinan sampai ribuan
lembar yang harus disalin kembali untuk dimuat dalam putusan
kasasi. Secara yuridis memuat kembali hal-hal tersebut tidak lagi
relevan bagi Mahkamah Agung sebagai judex juris. Hal-hal itu
sangat penting bagi tingkat judex facti.
2) Akibat susunan dan isi putusan harus memuat semua unsur Pasal
197 ayat (1) kecuali huruf g mengakibatkan kelambanan putusan
sampai pada pencari keadilan. Hal ini akan menimbulkan … sudah
dicatat di atas … justice delay justice denied. Lebih-lebih lagi akibat
tidak ada pembatasan kasasi, setiap tahun ada puluhan ribu
permohonan kasasi.
3) Akibat keinginan pihak-pihak berperkara untuk secepat-cepatnya
menerima putusan secara lengkap dapat menimbulkan praktik yang
tidak sehat.
4) Bagi pihak-pihak yang berkepentingan c.q. pemohon kasasi tidak
lagi relevan bahkan tidak berkepentingan memuat dalam putusan
kasasi hal-hal yang sudah dimuat dalam putusan judex facti.
Karena mereka sudah menerima putusan judex facti dan meneliti
untuk menemukan dasar dan alasan permohonan kasasi.
Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, saya akan mencatat praktik
menerapkan Pasal 197 KUHAP dalam putusan kasasi perdata.
Secara normatif, hal ini merupakan satu anomali. Bagaimana
mungkin ketentuan-ketentuan acara pidana diterapkan begitu saja dalam
perkara perdata? Tentu dalam putusan kasasi, perkara perdata tidak

7
memuat dakwaan, tuntutan, dan pemidanaan. Tetapi sebagai pengganti,
dimuat gugatan, jawaban, dan lain-lain yang tidak relevan dalam
pemeriksaan tingkat kasasi. Hingga hari ini, HIR dan RBg bagian perdata
masih berlaku sebagai pedoman beracara dalam perkara perdata.
Ketentuan-ketentuan Rv (Rechtsvordering) hanya dipergunakan untuk
mengisi kekosongan HIR dan RBg yang dapat mempengaruhi tegaknya
keadilan.
Ditinjau dari segi politik hukum yang ada pada waktu itu, zaman
Hindia Belanda maksudnya, HIR dan RBg merupakan tata cara beracara
yang sederhana dan memudahkan, di samping sebagai dasar
menerapkan hukum adat materiil.
Izinkan saya memberi beberapa contoh yang menunjukkan HIR
dan RBg sebagai tata cara beracara yang sederhana.
1. Para Pemohon dapat menyampaikan permohonan atau gugatan
secara lisan yang akan dicatat oleh panitera atau ketua pengadilan. Di
pihak lain dalam Rv, hukum acara untuk golongan Eropa dan
dipersamakan semua permohonan diajukan secara tertulis.
2. Menurut HIR atau RBg, pemeriksaan berperkara perdata dilakukan
dengan mendatangkan pihak-pihak dan saksi untuk didengar secara
langsung oleh hakim … oleh hakim atau yang kita kenal dengan public
hearing. Hakim sangat aktif membimbing untuk mengarahkan perkara
pada hal-hal yang relevan dari segi hukum. Sebaliknya dalam Rv,
hakim memeriksa permohonan tertulis diwakili kuasa hukum tanpa
menghadirkan pihak-pihak, kecuali dianggap sangat perlu.
Gambaran beracara, termasuk penyusunan putusan secara
sederhana ini semestinya tetap dilanjutkan, tanpa mengurangi berbagai
perubahan dan perkembangan baru. Hal ini seperti dikemukakan di atas
sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Berdasarkan hal-hal di atas, mengingat penerapan hukum acara
pidana c.q. 19 … Pasal 197 dalam menyusun putusan kasasi berkat
perdata merupakan satu anomali, mengingat pula pemeriksaan tingkat
kasasi adalah pemeriksaan dalam tatanan judex juris dan tuntutan atas
asas sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta sesuai dengan asas HIR
RBg. Sudah semetinya putusan kasasi perdata … perkara perdata
mempunyai corak tersendiri, bukan mengikuti Pasal 197 KUHAP.
Yang Mulia Ketua dan Yang Mulia Para Anggota Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi. Demikianlah beberapa catatan keterangan yang
dapat saya sampaikan. Sekiranya Yang Mulia Majelis dapat
mempertimbangkan paling tidak relaksasi Pasal 197 KUHAP yang secara
gramatikal merupakan mandatory conditions menjadi sekurang-
kurangnya directory conditions. Hal itu tidak semata-mata
menyederhanakan proses penyusunan putusan kasasi dan bukan pula
sekadar lebih efisien.

8
Lebih dari itu, merupakan bagian integral dari upaya Para Yang
Mulia mewujudkan tata peradilan sederhana, berkeadilan. Dapat pula
ditambahkan pemikiran ulang Pasal 197 dalam putusan tingkat kasasi
akan menjadi sumbangan nyata upaya mewujudkan tata peradilan yang
bersih, jauh dari purbasangka dan senantiasa menjamin rasa puas bagi
pencari keadilan.
Mohon maaf, apabila ada yang mengusik hati Yang Mulia Ketua
dan seluruh Anggota Majelis Hakim. Terima kasih.

17. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Bagir.


Silakan, Pak Prof. Eddy O.S. Hiariej.

18. AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ

Assalamualaikum wr. wb.

19. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam.

20. AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ

Shalom om swastiastu. Selamat siang. Majelis Mahkamah


Konstitusi Yang Mulia, izinkanlah saya menyampaikan pendapat hukum
terkait Pengujian Pasal 197 ayat (1) KUHAP terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. Bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan surat putusan
pemidanaan memuat huruf a sampai dengan huruf l, tidak akan saya
bacakan.
2. Bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP berikut penjelasannya tidak
mencantumkan secara tegas, apakah yang dimaksudkan dengan surat
putusan pemidanaan? Apakah surat putusan pemidanaan pada
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, ataukah pada tingkat kasasi di
Mahkamah Agung, ataukah pada semua di tingkatan peradilan?
3. Bahwa ketentuan pasal a quo yang bersifat multitafsir dan
bertentangan dengan prinsip negara hukum, dan prinsip pengakuan
jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.

9
Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berdasarkan pokok
perkara di atas, adapun pendapat Ahli sebagai berikut.
 Pertama. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
menyatakan Negara Republik Indonesia adalah negara hukum.
Dengan mengutip pendapat Frederich Julius Stahl, salah satu
konsekuensi negara hukum bahwa negara wajib memberikan jaminan
terhadap perlindungan hak asasi manusia.
 Kedua. Konsep perlindungan hukum, termasuk perlindungan terhadap
hak asasi manusia dalam konteks hukum pidana dapat dilihat secara
in abstracto dan in concreto. Perlindungan in abstarcto mengandung
makna bahwa substansi suatu kaidah hukum tidak memberikan
perlindungan. Sedangkan perlindungan hukum in concreto
mengandung arti bahwa praktik penegakan hukum tidak memberikan
perlindungan. Paling tidak, ada dua parameter yang dapat dijadikan
ukuran untuk menyatakan apakah perlindungan hukum in abstracto
dikandung oleh suatu norma hukum ataukah tidak. Pertama, apakah
suatu norma menjamin kepastian hukum? Kedua, apakah suatu norma
yang ... norma … apakah suatu norma itu bersifat diskriminatif? Kedua
parameter tersebut bersifat kumulatif. Artinya, jika salah satu saja
parameter tidak terpenuhi, maka dikatakan bahwa norma hukum
tersebut tidak memberikan perlindungan secara in abstracto.
 Ketiga. Sifat dan karakter hukum pidana harus diakui ... maaf, sifat
dan karakter hukum acara pidana haruslah diakui bahwa sedikit
banyaknya mengekang hak asasi manusia. Jadi, bisa dibayangkan
orang ditangkap, ditahan, diproses, harta bendanya digeledah, disita.
Belum tentu pada akhirnya hakim akan menyatakan dia bersalah.
Karena sifat sedikit banyaknya mengekang hak asasi manusia, oleh
karena itu ketentuan hukum acara pidana bersifat keresmian, dengan
memegang teguh pada syarat-syarat asas legalitas dalam hukum
acara pidana, yaitu ketentuan hukum acara pidana yang harus tertulis
(lex scripta), ketentuan hukum acara pidana harus jelas dan tidak
bersifat multitafsir (lex certa), serta ketentuan hukum acara pidana
yang harus ditafsirkan secara ketat (lex stricta).
 Keempat. Pasal 179 … Pasal 197 ayat (1) KUHAP hanya mengatur
bahwa surat pemidanaan harus memuat syarat-syarat sebagaimana
ditentukan dalam pasal a quo, namun tidak memberikan kepastian
hukum apakah surat putusan pemidanaan dalam pasal a quo adalah
putusan pemidanaan pada pengadilan negeri, atau meliputi seluruh
tingkatan pengadilan, termasuk pengadilan tinggi dan Mahkamah
Agung. Hal ini bertentangan dengan prinsip lex certa dalam hukum
acara pidana.

10
Oleh karena ketidakpastian maksud dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP
tersebut, maka Mahkamah Agung mengalami kendala pada saat proses
minutasi putusan perkara-perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung.
Hal ini disebabkan oleh karena Mahkamah Agung harus mencantumkan
kembali seluruh fakta-fakta persidangan, termasuk namun tidak terbatas
pada dakwaan serta seluruh bukti-bukti, keterangan saksi-saksi,
keterangan para ahli yang notabene telah dicantumkan dalam putusan
tingkat pengadilan negeri. Akibatnya proses minutasi perkara menjadi
sangat lama dan tidak ada kepastian hukum kapan akan selesai diperiksa
oleh Mahkamah Agung. Bahkan kualitas pertimbangan majelis hakim
menjadi tidak maksimal karena terlalu fokus mencantumkan seluruh
syarat-syarat tersebut. Bahwa akibat lamanya proses pemeriksaan
perkara di Mahkamah Agung tersebut, tidak mendapatkan kepastian
hukum kapan perkara yang ditanganinya akan selesai diperiksa oleh
Mahkamah Agung. Akibatnya dalam menjalankan fungsinya untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran menjadi terhambat yang mana
tertundanya keadilan sama saja dengan tidak memberikan keadilan,
sebagaimana yang tadi sudah diutarakan oleh Yang Mulia Prof. Bagir
Manan, justice delay is justice denied, artinya menunda keadilan sama
saja dengan tidak melaksanakan keadilan.
Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Hal kelima yang ingin
disampaikan Ahli bahwa untuk menjamin kepastian hukum frasa surat
putusan pemidanaan haruslah ditafsirkan sebagai putusan pemidanaan
pada pengadilan negeri. Adapun argumentasi teoretik dari pendapat Ahli
yang demikian didasarkan pada:
1. Ada tujuh prinsip penafsiran dalam hukum pidana. Salah satu prinsip
penafsiran dalam hukum pidana ada yang disebut dengan istilah
titulus est lex dan rubrica est lex. Prinsip titulus est lex berarti judul
bab yang menentukan, sedangkan prinsip rubrica est lex berarti judul
bagian atau paragraf yang menentukan. In casu a quo Pasal 197 ayat
(1) berada di Bab XVI perihal pemeriksaan sidang pengadilan dan di
bawah bagian keempat mengenai pembuktian dan putusan dalam
acara pemeriksaan biasa. Kata-kata pembuktian dan putusan
disebutkan dalam satu napas, sehingga haruslah ditafsirkan
pembuktian dan putusan dalam pemeriksaan di pengadilan negeri.
Penafsiran yang demikian karena dalam perkara pidana pada
hakikatnya pembuktian terhadap dugaan suatu tindak pidana terjadi
pada pemeriksaan tingkat pertama, yang dalam hal ini adalah
pengadilan negeri.
2. Bahwa berdasarkan interpretasi sistematis, sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d yang menyatakan,
“Pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan sidang.”
Semakin jelas bahwa pemeriksaan sidang yang dimaksud adalah
pemeriksaan pada pengadilan negeri, hal ini karena pembuktian

11
terhadap fakta yang dikaitkan dengan unsur delik oleh penuntut
umum berdasarkan adagium actori in cumbit onus probandi hanya
dilakukan pada pengadilan negeri sebagai pemeriksaan tingkat
pertama dalam suatu perkara pidana.
3. Yang tadi juga sudah disinggung oleh Yang Mulia Prof. Bagir Manan.
Bahwa judex facti yang sesungguhnya hanyalah terdapat pada
pengadilan negeri yang mana selain memeriksa fakta, hakim pun
memeriksa dan menerapkan aturan hukum yang sesuai dengan fakta
yang terbukti. Kendati pun pemeriksaan banding yang dilakukan oleh
pengadilan tinggi juga sebagai judex facti, namun pada kenyataannya
dalam pemeriksaan tingkat banding hanyalah memeriksa berkas tanpa
melakukan konfrontasi, klarifikasi, dan verifikasi atas bukti terhadap
suatu fakta yang terdapat dalam berkas perkara.
4. Bahwa berdasarkan metode interpretasi komparatif, yaitu
membandingkan pelaksanaan suatu aturan hukum antara suatu
negara dengan negara lain, syarat-syarat putusan sebagaimana dimak
... syarat-syarat putusan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 197 ayat (1) hanyalah untuk pengadilan tingkat pertama.
Sedangkan putusan pada pemeriksaan banding maupun pemeriksaan
tingkat kasasi, jauh lebih ringkas karena hanya berisi pertimbangan
mengapa menerima atau menolak suatu permohonan banding atau
kasasi.
Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Berdasarkan berbagai
argumentasi di atas, Ahli menyimpulkan bahwa Pasal 197 ayat (1)
KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai surat
putusan pemidanaan adalah pada pengadilan negeri, sebagaimana yang
dimohonkan oleh Para Pemohon. Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
Wabillahitaufik walhidayah wassalamualaikum wr. wb. Shalom. Om
shanti shanti om.

21. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Eddy Hiariej. Berikutnya Prof. Slamet Sampurno,


saya persilakan.

22. AHLI DARI PEMOHON: SLAMET SAMPURNO SOEWONDO

Assalamualaikum wr. wb.

23. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb.

12
24. AHLI DARI PEMOHON: SLAMET SAMPURNO SOEWONDO

Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang Mulia
Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Perkenankan saya, dalam hal ini memberikan keterangan Ahli
dalam Perkara Nomor 103/PUU-XIV/2016.
Bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 197
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Pasal 28D
ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena
Pemohon merasa dirugikan akibat keberlakuan Pasal 197 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebabkan proses
pemeriksaan perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung
menjadi lama dan tidak ada kepastian hukum, kapan akan selesai diadili
oleh Mahkamah Agung?
Bahwa terhadap permohonan yang diajukan Pemohon tersebut,
terlebih dahulu Ahli ingin membahas adagium justice delayed justice
denied, yang dua Saksi sudah memberikan penjelasan, yang berarti
keadilan yang tertunda sama saja dengan tidak memberikan keadilan.
Adagium ini pada pokoknya menggariskan bahwa dalam suatu proses
penegakan hukum, keadilan bagi masyarakat pencari keadilan tidak
boleh tertunda atau terhambat. Oleh karena tertunda atau terhambatnya
keadilan tersebut, sama saja dengan tidak memberikan keadilan atau
keadilan menjadi merosot kadarnya.
Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Bahwa adagium justice
delayed justice denied harus menjadi ruh dalam setiap proses penegak
hukum ... penegakan hukum, termasuk pada saat pemeriksaan perkara
di tingkat banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Oleh karena itu,
proses pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, maupun
peninjauan kembali pada prinsipnya tidak boleh terhambat atau dengan
kata lain proses pemeriksaan perkaranya tidak boleh berjalan lambat
atau lama. Karena hal tersebut sama saja dengan tidak memberikan
kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Dengan demikian, menurut Ahli, pelanggaran terhadap adagium
justice delayed justice denied jelas merupakan pelanggaran terhadap
konstitusi. Oleh karena itu, konstitusi sudah memberikan jaminan
keadilan dan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia,
khususnya Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Saya
tidak menyebut ... membacakan lagi isi Pasal 28D ayat (1).
Yang keempat, adagium tersebut di atas sejalan dengan asas
peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana lembaga
peradilan dituntut untuk menyelenggarakan peradilan secara cepat,
sederhana, dan biaya ringan. Cepat artinya dalam melaksanakan
peradilan, suatu perkara diharapkan dapat diselesaikan sesegera

13
mungkin dan dalam waktu yang singkat. Sederhana artinya peradilan
harus diselengarakan dengan simpel, singkat, dan tidak berbelit-belit.
Biaya ringan artinya biaya perkara murah agar bisa dijangkau oleh
semua lapisan masyarakat.
Selanjutnya poin kelima, saya tidak membacakan klausul Pasal 2
dan Pasal 4. Bahwa dengan didasarkan pada asas tersebut di atas yang
notabene merupakan pedoman utama dalam menjalankan peradilan,
maka proses pemeriksaan perkara yang memakan waktu jelas
merupakan bentuk pelanggaran terhadap asas peradilan yang cepat,
sederhana, dan biaya ringan tersebut.
Oleh karena itu, lamanya proses pemeriksaan perkara tersebut
harus segera ditanggulangi atau diselesaikan, yakni dengan cara mencari
akar masalah yang menyebabkan lamanya proses pemeriksaan perkara
di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali tersebut. Hal ini perlu
dilakukan agar tidak ada lagi keadilan bagi masyarakat yang tertunda,
dimana hal tersebut sama saja dengan tidak memberikan keadilan.
Yang keenam. Bahwa dalam perkara a quo Pemohon mendalilkan
bahwa lamanya proses pemeriksaan perkara tersebut diakibatkan
ketidakjelasan cakupan surat putusan pemidanaan dalam Pasal 197 ayat
(1) KUHAP, apakah pada pengadilan negeri saja atau juga mencakup
pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Tujuh. Bahwa secara historis, para pembuat undang-undang
menilai bahwa untuk menciptakan kepastian hukum secara formil bagi
para pencari keadilan dalam suatu perkara pidana, maka perlu diatur
keseragaman formulasi surat putusan pemidanaan. Oleh Karena itu,
dirumuskanlah Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur syarat-syarat
yang harus dicantumkan dalam suatu surat putusan pemidanaan. Namun
demikian menurut Ahli, rumusan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut
tidak memberikan kepastian hukum secara formil, khususnya apakah
surat putusan pemidanaan yang dimaksud hanya surat putusan
pemidanaan pada pengadilan negeri atau meliputi seluruh tingkat
pengadilan, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung.
Delapan. Bahwa berdasarkan sistematika dalam KUHAP, proses
pemeriksaan perkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun
peninjauan kembali, masing-masing diatur dalam … pada bab-bab
tersendiri dalam KUHAP. Penggolongan ini dimaksudkan agar
memudahkan para penegak hukum dan masyarakat untuk mengetahui
keberlakuan dari tiap-tiap pasal dalam KUHAP. Adapun Pasal 197 ayat
(1) KUHAP digolongkan dalam bagian keempat pembuktian dan putusan
yang notabene merupakan bagian dari pemeriksaan di tingkat pertama di
pengadilan negeri.

14
Sembilan. Bahwa dalam bab tentang banding, Pasal 233 sampai
dengan Pasal 243 KUHAP, kasasi Pasal 244 sampai dengan 258 KUHAP,
maupun peninjauan kembali Pasal 263 sampai 269 sama sekali tidak
terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP
juga berlaku pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, dan
peninjauan kembali. Padahal dalam sistematika suatu undang-undang, in
casu KUHAP, apabila terdapat suatu pasal yang berlaku secara mutatis
mutandis pada tahapan pemeriksaan perkara berikutnya, maka
ketentuan terkait berlaku pasal tersebut akan dinyatakan secara tegas
dalam undang-undang tersebut. Misalnya, Pasal 226 KUHAP mengatur
tentang petikan putusan pada peradilan tingkat pertama. Adapun pasal
ini berlaku pula pada peradilan tingkat banding sebagaimana secara
tegas dinyatakan dalam Pasal 243 ayat (3) KUHAP. Selanjutnya, Pasal
226 tersebut juga berlaku pada peradilan tingkat kasasi dan peninjauan
kembali sebagaimana yang secara tegas dinyatakan dalam Pasal 257 dan
Pasal 267 ayat (2) KUHAP. Saya tidak membacakan isi pasalnya, saya
langsung untuk mempersingkat waktu.
Sepuluh. Bahwa di samping itu, Pasal 197 ayat (1) KUHAP sama
sekali tidak mencantumkan memori kasasi dan memori PK (Peninjauan
Kembali) sebagai salah satu syarat yang harus dimuat dalam suatu …
dalam surat putusan pemidanaan. Padahal memori kasasi dan memori
peninjauan kembali merupakan suatu hal yang mutlak … merupakan
suatu hal yang mutlak ada dalam proses pemeriksaan kasasi dan
peninjauan kembali. Oleh karena dalam pemeriksaan kasasi dan
peninjauan kembali, pedoman bagi Majelis Hakim untuk memeriksa
keberatan penuntut umum, atau terdakwa, atau terpidana adalah
memori kasasi dan memori peninjauan kembali. Oleh karena itu, apabila
Pasal 197 ayat (1) KUHAP juga dimaksudkan untuk pemeriksaan di
tingkat kasasi dan peninjauan kembali quod non, maka Pasal 197 ayat
(1) KUHAP juga akan mencantumkan memori kasasi dan memori PK
(Peninjauan Kembali) sebagai salah satu syarat yang harus dicantumkan
dalam surat putusan pemidanaan.
Sebelas. Bahwa pemeriksaan perkara di tingkat pertama sangatlah
berbeda dengan pemeriksaan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan
kembali. Hal ini disebabkan oleh karena pemeriksaan di tingkat kasasi
dan peninjauan kembali tidak lagi memeriksa fakta-fakta hukum
sebagaimana yang dilakukan pada peradilan tingakat pertama (judex
facti), melainkan hanya memeriksa terkait penerapan hukumnya saja
(judex juris). Dengan demikian, sejatinya syarat-syarat dalam Pasal 197
ayat (1) KUHAP tidak seluruhnya perlu dimuat kembali dalam putusan
judex juris, kasasi, dan peninjauan kembali. Misalnya, terkait surat
dakwaan, daftar bukti, keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, dan hal-
hal lain yang berkaitan dengan fakta-fakta di persidangan.

15
Dua belas. Di samping itu, putusan tingkat banding, kasasi, dan
peninjauan kembali tidak dapat dipandang sebagai putusan yang
masing-masing berdiri sendiri dari putusan tingkat pertama, sehingga di
tiap tingkatan pengadilan harus mencantumkan kembali seluruh fakta-
fakta persidangan. Putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan
kembali harus dipandang sebagai suatu kesatuan utuh dan tidak
terpisah-pisah dari putusan tingkat pertama. Hal tersebut menjadi esensi
putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dengan uraian
sebagai berikut.
• Pada tingkat banding, Majelis Hakim Banding dalam putusannya akan
menjatuhkan putusan yang isinya menguatkan, mengubah, atau
membatalkan putusan di tingkat sebelumnya dimana frasa
menguatkan, mengubah, dan membatalkan tersebut berarti bahwa
putusan Majelis hakim di tingkat banding tidak lepas dari putusan
Majelis hakim di tingkat sebelumnya, Pasal 241 ayat (1) KUHAP.
• Selanjutnya. Pada tingkat kasasi Majelis Hakim Kasasi dalam
putusannya akan menjatuhkan putusan yang isinya menolak atau
mengabulkan permohonan kasasi, dimana frasa menolak atau
mengabulkan tersebut berarti bahwa putusan majelis hakim di tingkat
kasasi tidak lepas dari putusan Majelis hakim di tingkat sebelumnya.
Pada tingkat peninjauan kembali majelis hakim peninjauan kembali
dalam putusannya akan menjatuhkan putusan yang isinya menolak
permohonan peninjauan kembali atau membatal putusan yang
dimintakan peninjauan kembali, dimana frasa menolak atau
membatalkan tersebut berarti bahwa putusan Majelis hakim di tingkat
peninjauan kembali tidak lepas dari putusan Majelis hakim di tingkat
sebelumnya, Pasal 266 ayat (2) KUHAP.
• Selanjutnya. Bahwa berdasarkan segenap uraian tersebut di atas,
jelas bahwa Pasal 197 ayat (1) KUHAP memiliki karakteristik dan
dimaksudkan hanya untuk surat putusan pemidanaan pada peradilan
tingkat pertama dan bukan untuk tingkat banding, kasasi, maupun
peninjauan kembali. Namun demikian oleh karena Pasal 197 ayat (1)
KUHAP tersebut tidak memberikan kepastian hukum bahwa surat
putusan pemidanaan yang dimaksud adalah hanya meliputi surat
putusan pemilihan pada pengadilan negeri, maka hal tersebut telah
menyebabkan Mahkamah Agung harus mencantumkan kembali
seluruh syarat-syarat tersebut dalam putusan tingkat kasasi dan
peninjauan kembali. Hal inilah yang mengakibatkan proses
pemeriksaan perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali
menjadi lama dan tidak ada kepastian hukum kapan akan selesai
diadili.

16
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia. Senyatanya,
Mahkamah Agung sendiri mempunyai kewenangan untuk mengatur
formasi putusan di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali
sebagaimana kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 79 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Namun
demikian, kewenangan Mahkamah Agung tersebut terhambat akibat
ketidakpastian maksud dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP oleh karena
apabila Mahkamah Agung tidak mencantumkan kembali syarat-syarat
dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut dalam putusan tingkat kasasi
dan peninjauan kembali, maka putusan tersebut akan batal demi hukum
sebagaimana ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP.
Selanjutnya bahwa dengan kondisi tersebut di atas, maka mau
tidak mau Mahkamah Agung harus mencantumkan kembali seluruh
syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP,
dimana hal tersebut mengakibatkan proses mutasi perkara di Mahkamah
Agung menjadi lama, belum lagi apabila berkas-berkas perkara tersebut
berasal dari daerah-daerah di luar Jawa yang tidak jarang banyak sekali
kesalahan pengetikan akibatnya Mahkamah Agung harus membaca dan
mengoreksi berkas tersebut secara teliti untuk menghindari adanya
kesalahan yang dapat mengakibatkan putusan menjadi cacat hukum.
Kondisi yang sedemikian jelas melanggar asas peradilan yang cepat
sebagaimana yang telah Ahli uraikan sebelumnya.
Di samping itu, putusan di tingkat kasasi dan peninjauan kembali
menjadi tidak sederhana dan berbelit-belit oleh karena Mahkamah Agung
kembali mencantumkan seluruh fakta-fakta persidangan. Akibatnya
putusan kasasi dan peninjauan kembali tersebut hanya berisi
pengulangan-pengulangan saja yang sudah tentu tidak efektif dan efisien
apabila dibandingkan dengan pertimbangan hukum yang hanya
beberapa halaman saja. Di samping itu, akibat terlalu fokus untuk
mencantumkan seluruh syarat-syarat tersebut, kualitas pertimbangan
hukum dalam putusan tersebut menjadi tidak maksimal.
Oleh karena itu, kondisi tersebut jelas melanggar asas peradilan
yang sederhana sebagaimana yang telah Ahli uraikan sebelumnya.
Lebih lanjut oleh karena putusan tingkat kasasi dan peninjauan
kembali tersebut berisi seluruh fakta-fakta persidangan, maka putusan-
putusan tersebut bisa menghabiskan beratus-ratus halaman, bahkan
untuk perkara tindak pidana khusus, seperti misalnya korupsi bisa
menghabiskan ribuan halaman. Hal ini jelas merupakan pemborosan
apabila dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan. Belum lagi hal
tersebut sangat bertentangan dengan prinsip go green yang sedang
galak-galaknya dicanangkan oleh pemerintah, kondisi tersebut jelas
melanggar asas peradilan dengan biaya ringan dan asas-asas dalam
hukum lingkungan.

17
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Bahwa
berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa ketidakpastian cakupan Pasal
197 ayat (1) KUHAP telah menyebabkan tidak terwujudnya asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) juncto Pasal 4 ayat (2) ,te. Misalnya,
seorang terdakwa didakwa dengan beberapa pasal tindak pidana …
tindak pidana. Namun, pada peradilan tingkat pertama diputus bebas. Di
tingkat kasasi, terdakwa tersebut dinyatakan terbukti bersalah dan pada
hari itu juga status putusan tersebut sudah dicantumkan oleh Mahkamah
Agung pada website Mahkamah Agung dengan status kabul atau tolak.
Padahal terdakwa tersebut sama sekali tidak mendapatkan
informasi terkait pasal berapa dan pertimbangan hukum apa yang
menjadi dasar dirinya dinyatakan bersalah. Adapun pasal dan
pertimbangan hukum tersebut belum dapat diinformasikan kepada
terdakwa oleh karena proses minutasi perkara yang lama akibat Pasal
197 ayat (1) KUHAP tersebut. Hal ini jelas telah melanggar jaminan
keadilan bagi terdakwa tersebut. Oleh karena terdakwa tersebut telah
dihukum dan diinformasi, dan informasi tentang hukuman tersebut telah
tersebar luas, tapi terdakwa tersebut sendiri tidak mengetahui apa
sebenarnya kesalahannya. Hal ini jelas telah melanggar Pasal 28F
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur bahwa setiap orang
berhak atas informasi, dimana informasi ini sangat luar biasa pentingnya
bagi terdakwa untuk membela diri martabat dan kehormatannya.
Selanjutnya terdakwa tersebut akan langsung menjalani hukuman
berdasarkan petikan putusan yang sama sekali tidak mencantumkan apa
pertimbangan hakim kasasi untuk menyatakan dirinya bersalah.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Mahkamah
Konstitusi perlu memberikan kepastian hukum terhadap cakupan Pasal
197 ayat (1) KUHAP. Karena apabila hal-hal tersebut di atas terus
dibiarkan, maka Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut tidak akan
memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, bahkan malah … bahkan
akan menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi
masyarakat sebagaimana telah Ahli uraikan di atas.
Berdasarkan uraian tersebut, maka Ahli pada pokoknya
sependapat dengan petitum yang dimohonkan Pemohon dan Pemohon a
quo … dalam permohonan a quo, yakni Mahkamah Konstitusi
menyatakan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai surat putusan pemidanaan
pada tingkat pengadilan negeri.
Bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon tersebut,
maka menurut Ahli hal tersebut akan memberikan kemanfaatan yang
besar memenuhi asas manfaat di samping asas keadilan dan kepastian
hukum. Bukan hanya bagi Pemohon, melainkan terlebih lagi bagi seluruh
masyarakat pencari keadilan. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada pihak

18
yang akan dirugikan apabila keadilan yang rumusan tertulisnya dalam
bentuk putusan pengadilan dapat dikeluarkan dengan cepat dan efisien.
Terakhir, perlu Ahli sampaikan bahwa apabila Mahkamah
Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon sebagaimana petitum
tersebut di atas, maka menurut Ahli tidak akan terjadi kekosongan
hukum pada putusan tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Oleh karena sebagaimana yang telah Ahli uraikan sebelumnya bahwa
berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk
mengatur hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan. Apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
peraturan perundangan yang berlaku.” Dalam hal ini, kewenangan
tersebut termasuk kewenangan Mahkamah Agung untuk mengatur
formulasi putusan di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Demikian keterangan Ahli ini disampaikan. Atas perhatian Yang
Mulia Majelis Hakim Konstitusi saya ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb.

25. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Waalaikumsalam wr. wb. Terima kasih, Prof. Slamet Sampurno,


silakan duduk.
Ya, ketiga Ahli sudah menyampaikan keterangannya di
persidangan. Selanjutnya apakah dari Pemohon akan ada yang akan
disampaikan atau sudah jelas?

26. PEMOHON: JUNIVER GIRSANG

Terima kasih, Majelis. Dari Pemohon sudah sangat jelas, sudah


sesuai dengan apa yang kami mohonkan di dalam persidangan ini,
Majelis Hakim Yang Mulia.

27. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Ya, baik. Dari Pemerintah? Sama?

28. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Ada, Yang Mulia.

29. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Oh, ya. Silakan.

19
30. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia.


Ahli yang Terhormat Prof. Bagir Manan, Prof. Eddy, dan Prof.
Slamet. Kepada Prof. Bagir Manan. Setelah 31 tahun kemudian kita
menghadapi inkonstitusional putusan, 31 tahun. Sehingga
pertanyaannya, Prof, argumentasi apa yang harus dibagun setelah 30
tahun berpraktik ini? Sistematika putusan menjadi tidak konstitusional.
Konstitusional pada tingkat pengadilan negeri, tetapi kemudian tidak
konstitusional pada tingkat … kalau Prof. Bagir tidak mencantumkan
banding, tapi kasasi saja. Sehingga juga itu pertanyaannya kepada Prof.
Bagir, kenapa hanya pada tingkat kasasi kalau dari tulisan ini? Tidak
menyinggung di banding dan tidak menyinggung di PK. Itu
pertanyaannya Prof. Bagir.
Kemudian kepada Prof. Eddy yang mempersoalkan kepastian
hukum. Kita selalu dikatakan norma itu terdiri dari kumpulan kata-kata.
Sebagai kata, memang akan selalu tafsir. Tidak ada kata yang tidak
lepas dari tafsir, sehingga ketika kita sampai di pengadilan ini, tafsir itu
disatukan. Sehingga, apakah memang Pasal 157 itu atau Pasal 197 itu
mengandung ketidakpastian hukum? Ataukah itu hanya masalah tafsir?
Ya, memang selalu bebas ditafsir oleh para advokat. Selalu juga bebas
ditafsir oleh para penegak hukum sampai ke meja hakim. Apakah seperti
itu praktiknya? Apakah ini hanya sebuah dogma-dogma di ruang-ruang
kelas? Selalu kita ajarkan di ruang-ruang kelas, kepastian hukum-
kepastian hukum, tapi sesungguhnya tidak ada kepastian hukum pada
level norma, tapi akan hadir pada level pengadilan ini. Itu yang kepada
Prof. Eddy.
Kepada Prof. Slamet, peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Kalau itu esensinya, kenapa harus di putusan dan juga di putusan
kasasi? Kenapa tidak di pengadilan negeri kalau esensinya peradilan
cepat, sederhana, dan ringan? Kemudian, juga ketika tadi Prof.
mengatakan bahwa tidak ada kekosongan hukum apabila dikabulkan.
Apakah kita terbayang? Sebuah sistematika putusan diatur melalui
undang-undang pada tingkat pengadilan negeri, tetapi kemudian diatur
melalui peraturan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, apakah justru
ini menghancurkan sistem hukum? Ketika di level pengadilan negeri
diatur melalui undang-undang, tapi kemudian kita mendalilkan akan
diatur nanti di tingkat ... diatur di peraturan Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi. Apakah akan menghadirkan sebuah turbulence hukum?
Demikian, yang ... Majelis, saya tanyakan. Terima kasih.

20
31. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, Pak Sitorus. Terima kasih.


Dari Pihak Terkait, ada, Yang Mulia?

32. PIHAK TERKAIT: SUHADI

Terima kasih, Yang Mulia Bapak Ketua dan Anggota Majelis


Mahkamah. Dari Mahkamah Agung sebagai pihak yang terkait. Setelah
menyimak apa yang disampaikan oleh Para Ahli, kami sependapat
dengan argumentasi sebagai berikut.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipermasalahkan
di dalam permohonan ini terdiri dari 22 bab, 286 pasal. Pasal 197 itu ada
di dalam Bab XVI dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bab
XVI itu adalah mengatur tentang pemeriksaan tingkat pertama.
Pemeriksaan tingkat pertama terdiri dari tiga jenis perkara. Yang
pertama adalah perkara biasa atau dulu disebut tolakan. Kemudian,
perkara singkat dan perkara cepat. Perkara cepat itu terdiri dari dua,
perkara tipiring dan perkara lalu lintas. Semua ada di dalam Bab XVI itu,
termasuk Pasal 197 KUHAP ada di dalam Bab XVI. Bab XVII yang
mengatur tentang pemeriksaan upaya hukum biasa, yaitu banding dan
kasasi. Bab XVIII adalah pemeriksaan luar biasa, yaitu perkara kasasi
demi kepentingan hukum dan apa ... peninjauan kembali.
Di dalam Bab XVII dan Bab XVIII, tidak ada satu pun pasal yang
menentukan bahwa Pasal 197 itu berlaku bagi putusan, baik
pemeriksaan upaya hukum biasa maupun tingkat kasasi. Oleh sebab itu,
di dalam praktik peradilan sejak KUHAP itu lahir, tanggal 31 Desember
tahun 1981, Mahkamah Agung sudah tidak sepenuhnya tunduk pada
Pasal 197 itu. Ada dari ... eh, yang disebut tadi bahwa dari a sampai l
yang disebut di satam ... di dalam Pasal 197 ayat (1), yaitu huruf d yang
mendominasi pengadilan ... eh, putusan pengadilan, yaitu uraian singkat
tentang fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yang terdiri dari
keterangan saksi, keterangan terdakwa, kalau ada ahli, semua dimuat di
dalam mencantumkan ... di dalam memenuhi ketentuan huruf d itu. Dan
kalau huruf d itu tidak ada, di dalam ayat (2) mengancam bahwa
putusan itu batal demi hukum. Di dalam praktik sejak KUHAP itu hadir,
keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan keterangan ahli, tidak
termuat lagi di dalam putusan itu. Putusan pengadilan tinggi maupun
putusan Mahkamah Agung setelah dakwaan, kemudian tuntutan
penuntut umum, putusan PN, putusan PT, kemudian masuk ke
pertimbangan hukum. Justru di sisi lain sebagaimana disebutkan tadi
bahwa Pasal 197 tidak mensyaratkan ada memori kasasi, padahal di
dalam putusan kasasi secara imperatif … secara imperatif bahwa kalau
tidak ada alasan kasasi, maka putusan itu batal demi hukum.

21
Dengan demikian, di dalam praktik bahwa putusan PN dan putusan
PT tidak sepenuhnya berlaku Pasal 197 dengan alasan bahwa di dalam
Bab XVII dan Bab XVIII tidak ada suatu pasal pun yang mengharuskan
tunduk kepada Pasal 197. Nah, di dalam pemeriksaan kasasi, di dalam
perkembangan sekarang ini ada dua tahap dalam pemeriksaan perkara
yang paling esensi. Pertama, sejak perkara itu diregister sampai dengan
putusan hakim.
Kemudian tahap yang kedua, sejak putusan hakim sampai dikirim
ke pengadilan pengaju. Tahap pertama sudah dapat ditangani oleh
Mahkamah sekarang ini dengan ada regulasi pemeriksaan bersama
secara simultan itu maksimum tiga bulan sudah harus putus, sudah
harus putus bahkan kalau sudah ditentukan oleh undang-undang lebih
cepat dari itu. Kalau perkara itu di dalam tahanan atau sudah ditentukan
oleh undang-undang bahwa perkara itu harus selesai seperti contohnya
perkara Perikanan, 30 hari sudah harus putus di Mahkamah Agung,
maka Hakim harus tunduk kepada ketentuan seperti itu.
Yang menjadi masalah sekarang ini adalah setelah putusan itu
putus sampai dengan putusan itu dikirim. Ya, dari banyak tumpukan
surat ke Mahkamah Agung yang banyak diminta oleh justiciabelen atau
pencari keadilan, bagaimana amar putusan itu, dikabulkan atau tidak.
Dan yang kedua, bagaimana pertimbangan hukum dari Hakim yang
mengutus perkara itu. Untuk yang pertama, Mahkamah pun sudah …
sudah dapat memenuhi dengan program one day publish. Jadi, begitu
perkara diputus sudah ada dicantumkan di sini, ditolak atau dikabulkan
permohonan kasasi itu. Tapi, mengenai yang kedua masalah
pertimbangan hukumnya, ini menjadi kesulitan karena erat sekali dengan
batang tubuh dari putusan itu sendiri. Putusan itu adalah tergantung
bagaimana tebal-tipisnya putusan yang sebelumnya, yaitu putusan dari
pengadilan tingkat I dan tingkat banding yang banyak sekarang ini
adalah masalah tipikor sampai beribu-ribu item mengenai barang bukti.
Barang bukti sampai ada 3000 item, maka itu yang membuat tebal
tipisnya putusan itu.
Nah, sekarang ini Mahkamah Agung dengan … apa … melihat
bagaimana kehendak dari masyarakat itu sudah membentuk tim untuk
menyusun … apa … putusan Mahkamah yang sudah ada sekarang,
bagaimana supaya putusan itu lebih sederhana, yaitu penyederhanaan
putusan antara lain bahwa dakwaan itu biasanya kalau misalnya perkara
kasasi sampai beratus-ratus halaman karena sifatnya dakwaan itu sering
… apa … kumulatif, alternatif, dan … apa … subsidiaritas, maksudnya
bisa beratus-ratus. Ini gagasan akan ditempuh bahwa cukup mungkin
pasal yang didakwakan saja yang dicantumkan dengan merujuk kepada
dakwaan itu ada di putusan pengadilan tingkat I.

22
Kemudian, masalah barang bukti. Barang bukti yang bisa beribu-
ribu item yang kalau misalnya harus ada dalam putusan pengadilan yang
pertama dalam tuntutan penuntut umum, harus ada daftar barang bukti
itu. Kemudian, putusan pengadilan negeri. Kalau putusan pengadilan
negeri itu ditolak oleh pengadilan tinggi, maka dibuat lagi … apa …
barang bukti tersebut. Kalau misalnya putusan kasasi itu tidak
sependapat dengan putusan pengadilan tinggi, maka dimuat lagi barang
bukti tersebut. Kemudian sampai ke PK bisa berulang lima kali dimuat hal
yang sama.
Oleh sebab itu, Mahkamah Agung dalam regulasi yang akan datang
mau mengacu cuma satu kali. Nanti mengacu bagaimana barang bukti
yang tidak sependapat dengan putusan sebelumnya, itu saja yang
dicantumkan di dalam putusan akhir.
Demikian, Yang Mulia, yang dapat kami sampaikan. Bahwa pada
dasarnya kami sependapat dan mendukung apa yang … apa namanya …
didahulukan permohonan atau gugatan di dalam … apa … permohonan
Pemohon. Terima kasih, mohon maaf akas … atas segala
kekurangannya. Wabillahitaufik walhidayah assalamualaikum wr. wb.

33. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, ini bukan tanggapan atau meminta pertanyaan pada Ahli, tapi
ini tambahan keterangan dari Pihak Terkait, ya. Tolong, Panitera, dicatat
sebagai tambahan keterangan dari Pihak Terkait.
Dari meja Hakim, ada? Yang pertama, Yang Mulia Pak Palguna,
kemudian Pak Suhartoyo, saya persilakan.

34. HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA

Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua. Saya menarik dengan


disampaikan oleh Prof. Bagir. Begini, Prof, jadi, memang menarik juga
ketika kita berbicara tentang hukum acara yang … ya, dalam bahasa
Belanda mudah-mudahan saya tidak keliru melafalkan itu, inilah yang
menyebabkan kenapa hakim itu di … disebut vrijheid in de
gebondenheid, gitu. Karena dia gebondenheid-nya dimana? Yaitu yang
mengikat salah satunya adalah hukum acara begitu, Pak.
Tetapi, Prof. Bagir sudah menyadarkan kita dengan di tulisan di
halaman 3, dia bukan tidak sekadar ketentuan … bahwa hukum acara itu
tidak sekadar tentang tata cara untuk melaksanakan dan menegakkan
hukum materiil, tetapi ada tiga poin di situ.
Ini kemudian merangsang pertanyaan pada saya. Gini, Prof.
Sebenarnya kalau kita melihat pada fungsi Mahkamah Agung dan tadi
sudah diterangkan sesungguhnya, bukankah salah satu fungsi
Mahkamah Agung itu adalah untuk memberikan kesatuan penafsiran, ya,
terhadap pelaksanaan suatu undang-undang? Jadi, untuk menyampaikan

23
ketentuan tafsir walaupun kita secara ... secara akademik mengakui
bahwa kekuatan fungsi itu lebih banyak terdapat di negara-negara
penganut prinsip precedent atau stare decicis.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah ada dua hal yang mau
saya tanyakan misalnya di sini, apakah sesungguhnya hakim, khususnya
Hakim Agung, jika melihat bahwa fungsi hukum acara itu bukan hanya
sekadar menerapkan ... bukan sekadar untuk menegakkan norma hukum
materiil, tetapi juga ada fungsi yang lebih penting itu tadi. Apakah itu
kemudian bisa menjadi semacam landasan teori bahwa penemuan
hukum itu bisa juga dilakukan terhadap hukum acara? Bukan hanya
terhadap hukum materiil? Dalam hal ini penemuan hukum
(rechtsvinding) melalui penafsiran oleh hakim secara khusus oleh
Mahkamah Agung dalam rangka pelaksanaan fungsi untuk memberikan
kesatuan tafsir.
Dalam hubungan ini, saya agak sependapat dengan pendapat Ahli
yang mengatakan, “Walaupun di negera-negara Eropa Kontinental atau
penganut tradisi civil law pada umumnya tidak dikenal prinsip stare
decicis.” Tetapi di situ juga ada konon ada satu prinsip yang cukup kuat
yang dikenal dengan kebiasaan peradilan (usus fori), sehingga kalau
sudah berulang itu menjadi sikap Mahkamah Agung, sesungguhnya itu
juga merupakan kebiasaan praktik.
Nah, oleh karena itu, maka pertanyaannya yang kedua saya, tadi
yang pertanyaan pertama, apakah boleh kita melakukan penafsiran
terhadap hukum acara? Dan kemudian pertanyaan yang kedua, jika
jawabannya adalah boleh, maka pertanyaan selanjutnya adalah
bukankah kemudian ini lebih praktis apabila hal itu dilakukan oleh
Mahkamah Agung? Bukan melalui pengajuan judicial review misalnya,
bukan ... tentu saja bukan persoalannya bukan Mahkamah Konstitusi
menolak untuk mengadili ini, bukan itu masalahnya. Tetapi secara praktis
bukankah itu akan menjadi lebih berdaya guna atau lebih efektif apabila
misalnya ini diikuti melalui penafsiran oleh Mahkamah Agung dan
kemudian ada anu ke bawahnya sampai peradilan di bawahnya
mengingat fungsi tadi itu?
Mungkin itu, ya, sekadar barangkali boleh dikatakan ... apa
namanya ... diskusi wawasan begitu Prof, mengenai soal ini tapi ini
penting saya kira juga karena persidangan ini adalah terbuka untuk
umum dan ternyata ada kaitannya dengan pertanyaan Pemerintah tadi
juga dalam soal-soal ini.
Terima kasih, Yang Mulia Pak Ketua.

24
35. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, Yang Mulia. Terima kasih.


Terakhir dari Yang Mulia Pak Suhartoyo. Saya persilakan.

36. HAKIM ANGGOTA:SUHARTOYO

Terima kasih, Pak Ketua Yang Mulia.


Jadi sebelum saya bertanya ke Para Yang Mulia dan yang maha
terpelajar Para Ahli. Sebenarnya dengan penjelasan dari Pihak
Mahkamah Agung tadi permohonan Pemohon ini sebenarnya sudah clear
sebenarnya, kalau benar memang Mahkamah Agung itu sudah secara
pelan-pelan sekarang tidak terpaku dengan 197 itu. Hanya benar juga
barangkali persoalan kemudian yang muncul, yang sering muncul, atau
suka muncul, atau sekali-kali muncul barangkali begini, Para Pemohon.
Ketika kemudian 197 tidak secara lengkap di muat dalam putusan. Nah,
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Lawyer ini yang suka mempersoalkan, “Oh, itu
putusan batal demi hukum.” Ketika kemudian kliennya merasa dirugikan,
tapi ketika diuntungkan barangkali sebaliknya. Ini kan dari perspektif
mana kita. Tapi paling tidak dengan penjelasan dari Mahkamah Agung
tadi menjadi clear.
Tapi begini, Bapak Suhadi, ya. Ini memang persoalan ada di tingkat
bawah, di tingkat PN dan tingkat PT barangkali. Kalau MA ini bisa
membuat regulasi dan kemudian mungkin karena putusan sudah yang
paling … paling terakhir, paling tinggi, sehingga para pencari keadilan
atau pihak-pihak yang terlibat di situ, termasuk jaksa penuntut umum
pun barangkali sudah bisa memahami bahwa ini merupakan putusan
memang oleh diputus oleh badan peradilan yang tertinggi oleh Para
Hakim Agung yang dipandang memang sudah sangat expert di bidang
perkaranya masing-masing yang ada dalam putusan itu.
Namun, di tingkat pertama memang kemudian muncul itu, ketika
tidak dimuat 197 yang dari a sampai l itu kemudian dengan serta-merta
putusan itu menjadi batal demi hukum di ayat (2)-nya 197 ayat (2).
Bahkan ada berapa perkara yang kemudian karena Mahkamah Agung
tidak mencantumkan perintah penahanan saja orang lari-lari tidak mau
eksekusi, meskipun itu kan case by case bisa dilihat kalau memang
terpidananya atau terdakwaannya ada di luar kan tidak mugkin
kemudian serta-merta di dalam amar itu dimuat perintah penahanan,
kecuali sebelum diputus mungkin akan dimasukkan terlebih dahulu itu
ada ... pertanyaan saya kepada Prof. Bagir barangkali, Yang Mulia.
Begini, memang seperti disampaikan Pak Pal bahwa sebenarnya
kan kita ini kalau sistem hukum dan sistem peradilan kita apakah pure
atau murni mengikuti sistem Common Law atau Eropa Continental?
Karena begini, Prof, kalau di dalam sistem Common Law itu yang
kemudian kan turunannya itu kan peradilan itu kan hanya ada judex facti

25
dan judex juris sebenarnya kan dua tingkat saja. Apakah kemudian
seperti di kita seperti disampaikan Prof. Eddy Hiariej juga bahwa
sebenarnya pengadilan tinggi itu apakah judex juris ataukah judex facti?
Karena memang perintah undang-undang itu judex facti. Tapi
sebenarnya kan secara substansial memang dalam Undang-Undang
Tahun 1947 dulu saya pernah ingat bahwa ada perintah bahwa … bukan
ada perintah, masih diperbolehkannya pengadilan tinggi itu memeriksa
perkara kembali dengan memanggil para pihak. Meskipun itu harus
dilihat tingkat kepentingannya kalau memang Majelis Hakim
memerlukan. Namun dalam … dalam praktik, memang selama ini kita
jarang menemukan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi itu kemudian
membuka sidang kembali memanggil para pihak, tapi pernah ada dan
saya juga pernah menyaksikan, bukan saya mengalami.
Memang kalau dikatakan judex facti karena perintah undang-
undang, tapi secara substansi itu sebenarnya disamping dia kemudian
mempertimbangkan fakta-fakta juga, Prof. Bagir, tapi mereka juga
kadang masuk pada wilayah penerapan hukumnya juga dipersoalkan.
Hukum acaranya juga dipersoalkan di situ. Jadi kalau demikian halnya
kan tidak ada bedanya dengan ini sama juga peradilan hukum, bukan
peradilan fakta lagi. Judex juris juga di situ, ada percampuran … sedikit
percampuran di situ.
Nah, ini yang kemudian barangkali juga mau tidak mau berakibat
kepada kenapa putusan di tingkat pertama harus memuat dari a sampai l
tadi? Karena surat dakwaan jelas. Itu kan dasar-dasar di dalam
pemeriksaan, dasar-dasar di dalam membuktikan unsur-unsur. Kemudian
surat tuntutan juga dasar-dasar untuk melakukan tuntutan, hasil
daripada pemeriksaan oleh persidangan yang diresumekan oleh penuntut
umum dituangkan dalam bentuk surat dakwaan itu. Nah, kemudian surat
dakwaan atau surat tuntutan juga bisa untuk dasar penasihat hukum
atau terdakwa mengajukan sebuah pleidoi atau pembelaan di situ.
Memang kemudian … kalau kemudian di … tidak dicantumkan
secara lengkap, memang kemudian pengadilan tinggi menjadi kehilangan
roh kalau di masih mendapat nomenklatur judex facti. Tapi kalau judex
juris memang, kemudian relevansinya di mana seperti yang disampaikan
Prof. Eddy Hiariej tadi?
Nah, saya minta pendapat Prof. Bagir. Apakah memang
relevansinya memang sangat kuat di pengadilan tinggi itu kemudian
masih tetap diberikan predikat judex facti itu? Karena berakibat dengan
mau tidak mau 197 a sampai l harus kebawa ke sana kalau memang
pure masih judex facti.
Kemudian yang kedua, Prof. Bagir bahwa saya tidak mengerti …
saya ingin pandangan Prof bahwa kalau memang itu harus atau mutlak
dimuat surat dakwaan dan surat tuntutan yang ada di huruf c dan huruf
e itu, bagaimana kalau kemudian untuk menghindari apa yang
dikeluhkan oleh Para Pemohon ini, khususnya pencari keadilan,

26
meskipun jaksa dulu mengatakan … sebenarnya kan juga diuntungkan
kejaksaan kalau memang … ya kan? Tapi kan karena mewakili
pemerintah, waktu itu tetap sebaliknya pendapatnya, tapi sebenarnya
justru penghematan yang luar biasa ini bagi negara. Jaksa kan dalam
pekerjaannya kan menggunakan anggaran negara sebenarnya itu.
Nah, bagaimana kalau hakikat ini, Prof. Bagir ya, kita geser menjadi
menimbang bahwa terdakwa di persidangan telah didakwa dengan
dakwaan sebagai berikut atau sebagaimana terlampir dalam Berita Acara
persidangan atau sebagaimana terlampir dalam berkas perkara. Kalau
kemudian diberi jembatan seperti itu, apakah kemudian menghilangkan
hakikat daripada satu-kesatuannya sebuah putusan itu yang memang
kemudian membawa kepada proses pembuktian secara keseluruhan itu,
Prof? Prof. Bagir ini.
Barangkali dua pertanyaan saya untuk Prof. Bagir. Tapi untuk Prof.
Eddy Hiariej, ya. Nah, saya juga minta pandangan Anda, apa mungkin
ada reverensi yang Prof Eddy Hiariej tadi … anu … bahwa memang di
pengadilan tinggi tidak bias dikatakan … bukan … tidak tepat lagi kalau
kemudian dinyatakan … dikatakan sebagai peradilan judex facti itu?
Pendapat Prof. Eddy tadi seperti itu, kan? Karena murni sebenarnya
hanya memeriksa berkas perkara.
Nah, kalau demikian halnya, kalau Anda punya rujukan-rujukan …
apa … dasar-dasar pemikiran itu, tentunya relevansi bahwa harus
memuat, khususnya surat dakwaan di suatu tuntutan, kemudian … bisa
kemudian dijadikan bahan pertimbangan di situ bahwa ini memang tidak
relevan lagi.
Kemudian kalau dengan Prof. Slamet, kok saya rasanya tidak begitu
… anu … ya, tidak begitu … saya kira akan menimbulkan persoalan kalau
Prof. Slamet ujuk-ujuk kemudian menyetujui permohonan pemohon
bahwa dalam putusan itu hanya tingkat pertama saja yang memuat a
sampai l itu. Kalau pengadilan tinggi Mahkamah Agung tidak memuat
huruf, Pasal 1 huruf a saja bagaimana? Tidak ada identitas terdakwa,
tidak ada irah-irah, ya kan? Tapi kalau kemudian sependapat apabila
surat dakwaan dan surat tuntutan tidak perlu dimuat barangkali, ini saya
minta pandangan Anda mungkin kalau semua itu juga tidak perlu
dimuat, apa isi putusan dari putusan Mahkamah Agung itu?
Barangkali kalau untuk Prof. Slamet perlu penjelasan saja supaya
persidangan ini menjadi klir juga. Terima kasih, Pak Ketua.

37. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Yang Mulia. Saya persilakan dari yang paling senior,
ya Yang Mulia Prof. Bagir saya persilakan.

27
38. AHLI DARI PEMOHON: BAGIR MANAN

Mestinya yang paling muda saja. Terima kasih, Yang Mulia Ketua.
Saya mulai dari mewakili siapa Pemerintah, kejaksaan atau apa ini,
ya? Sebab Pemerintah dan kejaksaan belum tentu sama, ya. Mengapa
saya hanya bicara tentang judex juris karena permohonan ini
permohonan mengenai putusan Mahkamah Agung, ya. Mahkamah Agung
itu di dalam sistematik … apa … karena berkedudukan sebagai judex
juris, gitu ya. Nah, hal-hal yang Pasal 197, hal-hal yang berkaitan
dengan judex juris tetap bisa dipakai, tapi yang berkaitan dengan judex
facti sebaiknya tidak, mestinya tidak karena itu saya katakan bahwa ada
semacam relaksasi gitu, ya. Jadi, misalnya dari pihak Mahkamah Agung
ingin membuat terobosan-terobosan ya, tapi hati-hati terobosan itu ada,
ada, ada, kalau bahasa pers, saya orang pers ada firewall, yaitu undang-
undang yang tidak boleh diterobos begitu saja ya, gitu ya.
Jadi, itu sebabnya saya bicara tentang judex juris saja karena kita
sedang perkara tentang permohonan, maka yang berkaitan dengan
putusan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, ya.
Kemudian, Yang Mulia Dr. Palguna ini. Mestinya ditanya di kampus
saja. Pertama, memang ada doktrin yang mengatakan hukum acara
tidak boleh ditafsirkan. Itu doktrin, gitu ya. Tapi saya paling tidak, tidak
menganut itu Dr. Palguna ya. Sebab apa? Ada dua alasan saya.
Pertama. Antara hukum substansi dengan hukum acara itu saya
katakan dua sisi dari mata uang, meskipun hukum substansinya bagus,
tapi kalau hukum acaranya tidak beres, keadilan tidak bisa dicapai.
Hukum substansi atau hukum materi tidak bisa dicapai. Karena itu,
hukum acara itu harus dapat di ... di … apa ... ditafsirkan sebab kalau
kita tidak memberikan penafsiran, kemungkinan saja justru akibat
prosedur yang tidak adil menyebabkan keadilan tidak bisa tercapai, gitu.
Nah, itu satu.
Kemudian yang kedua, atas dasar prinsip negara hukum. Prinsip
negara hukum mengatakan antara tujuan dan cara tidak boleh
dipisahkan, tujuan bagus, tapi menghalalkan segala cara, bukan negara
hukum. Itu sebabnya saya mengatakan kalau hukum acara itu
menjauhkan tercapainya keadilan, tercapainya kepastian hukum yang
adil, menyebabkan terjadinya proses peradilan menjadi tidak fair dan
tidak imparsial, maka itu boleh ditafsirkan. Itulah sebabnya saya katakan
ada tiga poin itu, Dr. Palguna, ya.
Kemudian yang kedua, Dr. Palguna. Apakah tidak praktis saja itu,
Mahkamah Agung saja deh yang mengatur-mengaturnya itu? Tadi oleh
Yang Mulia Pak Suhartoyo mengatakan, “Ada pedangnya Pasal 197 ayat
(2) yang mengancam kalau tidak mengikuti batal demi hukum.”
Jadi, harus ada satu ... satu apa ... ya, satu hal yang dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum bahwa Mahkamah Agung tidak
harus mengikuti itu dan Mahkamah Konstitusi sebagai … apa ... penjaga

28
konstitusi yang paling depan, menanggung kewajiban itu menurut saya
ya. Terima kasih, gitu ya.
Kemudian yang kedua, dari Yang Mulia Hakim Suhartoyo. PT itu
apakah judex juris, judex facti? Meskipun pengadilan tinggi tidak lagi
menghadirkan pihak-pihak, dia tetap memeriksa faktanya, mengapa?
Karena ... sebab putusan hakim tinggi itu dapat menyatakan yang tadi
tidak bersalah, bersalah; tidak terbukti, jadi terbukti dan itu semua fakta
bukan soal hukum, bukan soal hukum. Jadi ... jadi, dia judex facti itu, ya.
Mesti di court of appeal di mana pun saja, dia ada judex facti, ya.
Karena itu Mahkamah Agung Amerika itu beda dengan Mahkamah Agung
Perancis dan ... dan ... dan Belanda, dia ada court of appeal, ya, itu ...
itu karena dia memeriksa fakta.
Kemudian, dikatakan bagaimana kalau itu yang kita ... terserah
kebijakan saja kira-kira begitu, ya, apa mau pakai tunjuk apa ... itu lagi
... lagi, seperti tadi terhadap Dr. Palguna, ada Pasal 197 ayat (2) itu yang
menyatakan diancam batal dan batal di sini artinya adalah void, atau null
and void, atau van rechtswege nietig putusan itu dianggap tidak pernah
ada. Celakanya kalau itu terjadi, kita berhadap dengan adagium yang
lain, kita dilarang mau mengadili dua kali, kita bisa berhadapan dengan
prinsip itu karena itu hati-hati, itu.
Terima kasih, Yang Mulia Ketua.

39. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, Yang Mulia Prof. Bagir. Silakan, ini Pak Eddy Hiariej sama Pak
senior mana ini. Ya, urutannya Pak Eddy Hiariej dulu.

40. AHLI DARI PEMOHON: EDDY O.S. HIARIEJ

Ya, terima kasih, Ketua Yang Mulia Prof. Arief.


Saya mau mulai menjelaskan dengan mengingatkan kepada kita
semua bahwa dasar filosofis hukum acara pidana itu bukan untuk
mengontrol terdakwa, tapi mengontrol supaya aparat negara tidak
bertindak sewenang-wenang, itu dulu yang harus ada dibenak kepala
kita, terutama Pemerintah. Jadi bukan untuk mengontrol terdakwa,
untuk mengontrol jangan sampai aparat penegak hukum itu bertindak
sewenang-wenang.
Majelis Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Harus diakui bahwa
KUHAP itu dibentuk pada zaman Orde Baru dan zaman itu zaman yang
mengekang hak asasi manusia. Jadi, jangan bicara bahwa KUHAP kita itu
mengikuti due process of law, mimpi, tidak. KUHAP kita mengikuti keran
kontrol model yang mengabaikan hak asasi manusia. Jadi, jangan
dipersoalkan. Bapak yang dari Pemerintah ini sudah 31 tahun kok tidak
konstitusional, “Oh, ya, MK ini baru berada 10 tahun terakhir.” Dan
melalui forum ini, saya harus memberikan apresiasi kepada Mahkamah

29
Konstitusi, saya mengikuti semua putusan MK yang terkait dengan
KUHAP dan saya harus mengatakan bahwa MK berpikir jauh ke depan
untuk penegakan hukum pidana dalam konteks due process of law. MK
selalu menggunakan interpretasi futuristik. Apa yang diputuskan oleh MK
dalam persoalan-persoalan KUHAP itu sebanding, sejalan, dan apa yang
sedang disusun oleh pemerintah dalam RUU KUHAP yang dimulai ketika
Yang Mulia Dr. Patrialis Akbar sebagai Menteri Hukum dan HAM. Jadi
saya begitu apresiasi.
Oleh karena itu, saya mau menjawab beberapa pertanyaan dari
Pemerintah itu tidak sekadar penafsiran, jadi tidak dapat dikatakan
bahwa itu seenaknya advokat, atau seenaknya hakim, atau seenaknya
jaksa.
Pada dasarnya ketika hukum pidana itu lahir, itu dilarang untuk
ditafsirkan. Kalau Bapak baca bukunya Furbach, ketika dia selesai
menulis Strafgesetzbuch di Jerman, ada satu catatan di dalam
Strafgesetzbuch Jerman itu dikatakan, “Dilarang melakukan penafsiran
apa pun terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini.” Jadi,
diharamkan.
Kemudian, dalam perkembangan. Kalau toh boleh dilakukan
penafsiran, Majelis Yang Mulia, itu ada prinsip-prinsipnya. Ada tujuh
prinsip penafsiran dalam hukum pidana. Ada yang namanya prinsip
proporsionalitas, subsidaritas, materiil, in dubio pro reo, ditulis est lex,
rubrica est lex, dan yang terakhir adalah exceptio firmat regulam.
Yang Mulia Dr. Palguna. Hukum acara itu tidak boleh ditemukan,
hukum acara itu tidak boleh ditafsirkan lain selain dari apa yang tertulis,
tetapi kalau toh bisa ditafsirkan lain, maka berlaku prinsip exceptio firmat
regulam. Exceptio firmat regulam itu apa? Kalau hukum acara ditafsirkan
lain, maka dia tidak boleh ditafsirkan yang memberatkan terdakwa.
Jadi, asas kepastian hukum, perlindungan HAM itu harus tetap
dijunjung tinggi. Jelas Pasal 197 KUHAP itu multitafsir, semua putusan ini
putusan apa, sehingga melalui forum inilah kalau kita melakukan
interpretasi sistematis, tadi yang Ahli katakan di dalam keterangan ahli
itu, ya, memang dia ... apa namanya ... hanya menuju kepada putusan
pengadilan negeri karena tadi rubrica est lex dan ditulis est lex berada
bahwa dalam bab pembuktian dan pemeriksaan sidang. Jadi hukum
acara memang tidak bisa ditemukan.
Oleh karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi Yang Mulia memutus
perkara soal praperadilan, saya baca betul pendapat hakim yang berbeda
Yang Mulia Prof. Aswanto mengatakan, “Saya setuju dengan substansi
itu, tetapi KUHAP-nya dulu diubah.” Beliau patuh terhadap hukum acara.
Saya baca betul dissenting opinion itu. Oleh karena itu, untuk mencegah
kegaduhan dalam praktik pengadilan, tadi saya katakan bahwa Pasal 197
ini dia memang konstitusional jika memang itu hanya dibaca sebagai
putusan pada ... apa ... surat putusan pemidanaan pada pengadilan
negeri.

30
Mengenai judex facti, saya ... tadi sudah dijelaskan oleh Yang Mulia
Prof. Bagir Manan bahwa memang dalam sistem kita di Eropa
Kontinental yang memang mau tidak mau, suka tidak suka, hakim pada
pengadilan banding itu dia juga memeriksa fakta sehingga mengapa dia
disebut sebagai judex facti meskipun pada hakikatnya dia tidak
melakukan klarifikasi, konfrontasi, dan verifikasi dengan persoalan
pembuktian. Memang ada satu kelemahan dalam sistem bernegara kita,
Yang Mulia. Bahwa kalau kita melihat di mana pun di dunia ini, jalannya
perkara dari pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung itu ibarat
kerucut, kecuali negara kita tercinta ini dari bawah itu lurus sampai ke
atas. Ini kan sebetulnya persoalan trust saja, yang pertama. Dan yang
kedua, kalau kita taat asas, sebetulnya tidak akan terjadi penumpukan
perkara pada Mahkamah Agung. Saya berbahagia misalnya MK telah
memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan peninjauan kembali, bararti
memang MK telah kembali kepada titah ketika KUHAP itu dibentuk dan
sejarah mengenai peninjauan kembali.
Saya kira itu yang harus saya sampaikan. Sekali lagi saya harus
menyampaikan apresiasi saya kepada MK dalam banyak putusan terkait
oleh KUHAP, MK sudah meletakkan penegakkan hukum pidana itu pada
koridor due process of law dan melakukan interpretasi futuristik. Terima
kasih.

41. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih, Prof. Eddy Hiariej. Banyak apresiasi dari Prof.
Eddy belum tentu hakim nanti berpendapat sama dengan Prof. Eddy, ha,
ha, ha. Silakan, Pak … siapa? Lupa saya. Pak Slamet Sampurno, silakan.

42. AHLI DARI PEMOHON: SLAMET SAMPURNO SOEWONDO

Baik. Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim.


Tadi sudah banyak jawaban-jawaban dari para Ahli sebelumnya
sehingga saya berpikir bahwa saya mulai dari Pemerintah mengenai
turbulensi tadi. Jadi meskipun kita mengetahui bahwa ada kewenangan
Mahkamah Agung pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal
17, yang dimana kewenangan itu mengatur hal-hal yang diperlukan,
sehingga dapat saja memformulasikan putusannya sendiri dengan
undang-undang itu. Namun karena Mahkamah Agung taat asas, dia
mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi sehingga apa yang
dihasilkan nanti menjadi dasar bagi Mahkamah Agung untuk, ya … untuk
memformulasikan bentuk putusan kasasi dan peninjauan ... banding,
kasasi, dan peninjauan kembali.

31
Artinya apa? Karena kalau toh dia melakukan kewenangannya
berdasarkan undang-undang itu menjadi debatable bagi seperti pihak
pemerintah yang menyelenggarakan bahwa jika ada pihak yang
diuntungkan, dia enggak akan mempersoalkan penghilangan dari Pasal
197 ayat (1), tapi kalau dia dirugikan, dia akan mempersoalkan sebagai
dasar untuk membatalkan putusan itu. Jadi itu tadi yang saya katakan
bahwa tidak seperti apa yang dibayangkan oleh pihak pemerintah bahwa
terjadi turbulensi karena diatur oleh peraturan Mahkamah Agung, bukan
itu, Pak. Saya kira tidak itu sehingga Mahkamah Agung menunggu
putusan dari Mahkamah Konstitusi ini.
Selanjutnya, buat ... kepada Bapak Hakim Yang Mulia Suhartoyo
yang menyatakan bahwa apakah harus hilang semua yang ada di Pasal
197 ayat (1)? Tentu tidak, Pak Yang Mulia karena otomatis putusan itu
menjadi bodong, enggak tahu untuk siapa ini putusan kalau hilang
identitasnya, sehingga di situ memang tetap harus memuat identitas, ya,
locus dan tempus tentunya. Namun pengulangan-pengulangan bukti,
keterangan ahli, ya, itu saya pikir kalau yang disetujui, enggak perlu
diulangi lagi masuk di situ, ya. Karena terjadi pengulangan-pengulangan
yang mengakibatkan tidak efisiennya waktu yang digunakan oleh ...
untuk koreksi tentunya oleh hakim-hakim agung dalam mengeluarkan
putusannya nanti, sehingga yang seperti Yang Mulia menyatakan bahwa
harus, menurut saya harus hilang semua, enggak. Di situ ... makanya
saya sebutkan di situ misalnya terkait surat dakwaan, daftar bukti,
keterangan saksi, keterangan ahli, dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan fakta-fakta persidangan. Artinya, identitas ... apa namanya ...
locus, tempus, dan ... itu tetap harus dimuat di dalam putusan banding,
kasasi, dan peninjauan kembali.
Saya kira saya enggak terlalu banyak memakan waktu, saya terima
kasih atas perhatiannya.

43. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Terima kasih, Prof. Slamet. Sebelum saya akhiri persidangan ini,


saya akan menanyakan pada Pemohon apa masih mengajukan ahli atau
saksi atau sudah cukup?

44. PEMOHON: JUNIVER GIRSANG

Terima kasih, Majelis. Dari Pemohon sudah cukup ahli yang kami
hadirkan dalam persidangan ini, Majelis. Terima kasih.

45. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Terima kasih. Dari Pemerintah?

32
46. PEMERINTAH: HOTMAN SITORUS

Terima kasih, Yang Mulia, Pemerintah tidak mengajukan ahli.

47. KETUA: ARIEF HIDAYAT

Baik. Dari Pihak Terkait juga sudah cukup, ya? Baik, kalau begitu
terima kasih pada Ahli Yang Mulia dan amat terpelajar, Prof. Bagir
Manan, yang amat terpelajar, Prof. Eddy O.S. Hiariej, dan Prof. Slamet
Sampurno. Luar biasa keterangan yang disampaikan dalam persidangan
ini. Dan saya juga terima kasih atas apresiasi Prof. Eddy.
Yang terakhir, dari rangkaian persidangan ini kita tutup dengan
penyerahan kesimpulan dari Pemohon, Pemerintah, dan Pihak Terkait.
Kesimpulan bisa diserahkan di Kepaniteraan, sudah tidak ada sidang lagi
pada hari Rabu, 1 Februari 2017, paling lambat pukul 14.00 WIB. Saya
ulangi, kesimpulan dari semua pihak, kecuali Ahli, Rabu, 1 Februari 2017,
pukul 14.00 WIB.
Sekali lagi, terima kasih Para Ahli, Para Senior yang sudah
memberikan keterangan di persidangan ini. Sidang selesai dan ditutup.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 12.52 WIB

Jakarta, 24 Januari 2017


Kepala Sub Bagian Risalah,

Yohana Citra Permatasari


NIP. 19820529 200604 2 004

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

33

Anda mungkin juga menyukai