REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA
MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON
(III)
JAKARTA
RABU, 31 OKTOBER 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007
PERIHAL
PEMOHON
Eurico Guterres
ACARA
SUSUNAN PERSIDANGAN
1
Pihak yang Hadir:
Pemohon:
• Eurico Guterres
Pemerintah:
DPR RI:
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
KETUK PALU 1X
Terima kasih.
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua Insya Allah. Perkenankan hadir
dari pihak Kuasa Pemohon, yang pertama dari sebelah kiri saya adalah
Saudara H. Achmad Michdan, kemudian saya sendiri Muhammad
Mahendradatta, kemudian sebelah kanan saya yang terhormat Prinsipal
kami Pemohon asli, yaitu Saudara Eurico Guterres. Kemudian sebelah
kanannya Saudara Adnan Wirawan, sebelah kanannya lagi Saudara
Irwan Hermansyah Siregar dan di belakangnya ini adalah rekan-rekan
advokat muda yang membantu kami; Saudara Guntur, Saudara Heri, dan
Saudara Tejo.
Kemudian hari ini kami membawa juga Saksi Ahli satu orang,
terima kasih.
Terima kasih.
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Yang Mulia, saya Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan
HAM.
3
4. PEMERINTAH : JOHANI SILALAHI,S.H. (DIRT TUN KEJAGUNG
RI)
4
Baik, pada hari ini ahli kami mohonkan keterangan sesuai dengan
keahliannya perihal mengenai sistem peradilan pidana khususnya
menerangkan mengenai masalah criminal justice system kemudian di
dalamnya apa yang kami tidak tahu apakah bisa mendukung
argumentasi-argumentasi maupun dalil kami, perihal mengenai
berangkatnya permohonan kami ini adalah berdasarkan keyakinan kami
terhadap criminal justice system atau pure criminal justice system, jadi
criminal justice system yang murni berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang ada dan teori-teori hukum yang ada itu yang akan kami kemukakan
hari ini, walaupun ada mungkin beberapa nanti kami mohon
diperkenankan untuk juga menanyakan hal-hal yang mungkin diketahui
oleh ahli sesuai, sekali lagi sesuai dengan keahliannya, jadi pokok-
pokoknya adalah mengenai criminal justice system, dimana pada saat ini
untuk kepentingan tersebut Saudara Ahli Doktor M. Sholehuddin, S.H.,
M.H. sudah menyiapkan kertas kerjanya dengan judul Pengujian Pasal 43
ayat (2) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan seterusnya. Ini
khususnya terhadap Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman, mohon
petunjuk dari Mahkamah yang terhormat apakah ahli nanti akan
menyampaikan dahulu kertas kerja ini diikuti dengan pertanyaan atau
bagaimana teknis acara yang akan dilangsungkan oleh Mahkamah?
Agama?
5
11. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.
Islam.
Terima kasih.
Sebelum kami menggali, dalam konteks menggali mungkin Doktor
M. Solehuddin S.H.,M.H. telah memiliki suatu pandangan atau kertas
kerja yang mungkin bisa disampaikan paparan terlebih dahulu mengenai
criminal justice system ataupun mengenai pengujian Pasal 43 ayat (2)
dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar
1945 khususnya Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya dari
tinjauan sistem peradilan pidana.
Terima kasih.
Mohon izin Majelis Hakim yang mulia.
Saya hadir di sini untuk memenuhi panggilan profesi untuk
diminta memberikan keterangan ahli yang terkait dengan masalah
permohonan pengajuan pengujian Pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
6
khususnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 24 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Keahlian saya seperti yang saya sudah sebutkan tadi karena latar
pendidikan saya di bidang hukum kepidanaan, maka dalam hal ini saya
akan menjelaskan mengenai atau yang terkait dengan aspek ilmu hukum
kepidanaan dan criminal justice system. Kita mungkin sudah tahu semua
dan sudah membaca bahwa Pasal 43 ayat (2) dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 itu tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa
“Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) itu
dibentuk atas usul DPR-RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden.”
Kemudian Pasal 43 ini ada penjelasannya, “dalam hal DPR-RI
mengusulkan terbentuknya pengadilan HAM, DPR mendasarkan pada
dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus
dan tempus delicti, jadi ada pembatasan di sini yang sebelum di undang-
undang ini. Jadi tegas di situ dinyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc
itu dapat kita interpretasikan dari pasal dan penjelasannya ini bahwa
DPR-RI diberikan kewenangan untuk mengusulkan, bukan pembentukan,
bukan membentuk. Jadi mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad
Hoc, sedangkan yang menetapkan melalui SK Presiden adalah Presiden,
terhadap apa? Terhadap peristiwa tertentu, pada masa tertentu, dan
tempat tertentu.
Jadi objek yang dijadikan alasan untuk mengusulkan
pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di sini adalah peristiwa-peristiwa
masa lalu yang diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat sebelum
berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM Ad Hoc. Ini yang menjadi
objek alasan dari pengusulan oleh DPR untuk membentuk Pengadilan
HAM Ad Hoc.
Kasus yang menjadi objek tersebut itu hanyalah peristiwa yang
diduga telah terjadi pelanggaran HAM, dalam hal ini kejahatan genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jadi hanya dua jenis kejahatan
saja yang diperinci dalam bentuk-bentuknya yang banyak terutama
misalnya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam penjelasannya di Pasal 43 seperti yang kita
baca di situ, DPR di dalam mengusulkan untuk membentuk Pengadilan
HAM Ad Hoc ini kepada Presiden itu tidak diperbolehkan untuk
katakanlah melakukan pembentukan itu begitu saja atau sewenang-
wenang menduga begitu saja sehingga diajukan kepada Presiden untuk
mengusulkan pembentukannya. Dari sinilah dapat saya pertanyakan dua
hal, yang pertama apakah prosedur pembentukan Pengadilan HAM
tersebut—Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana disebutkan dalam pasal
itu apakah termasuk dalam ruang lingkup tugas yuridis hukum pidana?
Ini masalah yang pertama.
Masalah yang kedua, apakah substansi Pasal 43 ayat (2) dan
penjelasannya tersebut bertentangan dengan konsepsi criminal justice
systems sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman? Dua masalah ini
7
yang perlu kita perhatikan dalam hal ini. Masalah pertama misalnya, kita
semua tahu bahwa DPR-RI memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan. Yang terkait dengan fungsi legislasi itu adalah
kekuasaan untuk membentuk undang-undang termasuk Undang-Undang
Pidana, Undang-Undang Pengadilan HAM ini (Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000) secara substantif termasuk ke dalam Undang-Undang
Pidana karena di dalamnya termuat hukum pidana materil maupun
hukum pidana formilnya sekaligus. Jadi dapat kita katakan bahwa ini
Undang-Undang Pidana. Terkait dengan hal itu, penjelasan dari pasal
tersebut menegaskan bahwa untuk mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM Ad Hoc ini DPR-RI mendasarkan pada dugaan.
Dugaan di sini dalam penjelasan pasal tersebut, kata “dugaan”
bukanlah sekedar kata, tetapi dia merupakan istilah yang sudah umum
diterima kalangan teoritisi dan praktisi hukum pidana. Kata dan konsep
itu berbeda, jadi kata dan istilah itu berbeda. Arti dari sebuah kata
disebut dengan makna, sedangkan arti dari sebuah istilah itu disebut
konsep. Kalau kata “dugaan” itu bermakna mengajuk atau mengira-
ngira, itu maknanya. Jadi sangat naif kalau suatu pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Republik ini kemudian ada sebuah lembaga diberi
kewenangan untuk mengusulkan itu berdasarkan perkiraan begitu saja,
itu kalau kita mengacu kepada arti dari kata “dugaan” ini, karena artinya
memang mengira dalam Kamus Bahasa Indonesia mengacu atau
mengira, tetapi menurut istilah.
Jadi saya katakan di sini bukan sekedar kata “dugaan” itu, tetapi sebuah
istilah yang sudah umum dalam konteks hukum pidana. Istilahnya dari
sebuah istilah adalah sebuah konsep, apa konsep dari dugaan itu?
Konsepnya adalah terkait dengan persoalan penyelidikan. Jadi persoalan
kata “dugaan” di sini konsepnya adalah menyangkut atau terkait dengan
persoalan penyelidikan untuk mencari dan menemukan ada tidaknya
suatu peristiwa yang merupakan pelanggaran pidana. Dengan demikian
untuk sampai dugaan telah terjadinya suatu peristiwa pelanggaran HAM
berat, DPR-RI dalam konteks pasal tersebut harus melakukan tindakan
penyelidikan. Padahal sesungguhnya tindakan penyelidikan itu menurut
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Pengadilan HAM, itu sesungguhnya
penyelidikan itu merupakan rangkaian dari tugas penyelidik, jadi
rangkaian tugas-tugas dari penyelidik. Sedangkan yang ditunjuk dari
Undang-Undang Pengadilan HAM ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 ini yang ditunjuk untuk melakukan penyelidik adalah Komnas HAM,
di sini ada reasoning-nya mengapa kewenangan penyelidik tersebut
hanya ditunjuk dan diserahkan oleh undang-undang kepada Komnas
HAM? Meskipun di situ ada penjelasan yang dikatakan bahwa Komnas
HAM itu diasumsikan sebagai lembaga yang bersifat independen
sehingga diharapkan tercipta dan terjaga objektivitas hasil
penyelidikannya, tetapi secara penal policy kebijakan hukum pidana
sebagai bagian dari criminal policy, kebijakan kriminal. Penunjukan
lembaga Komnas HAM ini sebagai penyelidik terhadap peristiwa-
8
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pelanggaran HAM berat, itu
merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dan rasionalitas penggunaan
dan penerapan hukum pidana, karena memang pengertian dari criminal
policy, kebijakan kriminal itu harus rasional. Sebab kalau tidak rasional
itu justru tidak sesuai dengan definisi criminal policy itu sendiri yang
dikatakan oleh Huffnagel sebagai suatu usaha yang rasional dari
masyarakat tentang penanggulangan kejahatan.
Jadi ada tiga alasan dari aspek criminal policy. Yang pertama,
secara fungsional Komnas HAM itu memang suatu lembaga negara yang
bertugas melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan
pemantauan terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia sehingga
sinkron dengan wewenang penyelidikan yang diembannya seperti yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. Kemudian alasan
yang kedua, bahwa Komnas HAM itu beranggotakan tokoh masyarakat
yang profesional, berdedikasi tinggi yang sistem rekrutmennya kita
semua tahu sangat ketat sehingga dia dikatakan di dalam Undang-
Undang HAM itu berintegritas tinggi dan profesional.
Kemudian yang ketiga, kedudukan Komnas HAM itu sendiri
sebagai lembaga negara yang tidak dapat katakanlah dipengaruhi atau
diintervensi oleh pihak manapun termasuk Pemerintah. Jadi ada tiga
alasan ini secara—kalau kita tinjau dari aspek criminal policy ini
merupakan usaha-usaha yang rasional, dengan sadar dan sengaja
memang ditunjuk untuk itu. Kita tidak bisa membayangkan misalnya
bagaimana berbagai efek negatif yang akan terjadi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara ini kalau penilaian yang lebih bersifat
judgement itu terhadap suatu peristiwa hukum pidana, apalagi hukum
pidana itu masuk pada pelanggaran HAM yang berat diserahkan pada
lembaga politik misalnya, kita tidak bisa membayangkan itu.
Bentuk-bentuk kehatian di sini memang sering dan sudah
diperingatkan oleh berbagai pakar hukum pidana dan kriminologi, baik di
Indonesia maupun di berbagai negara-negara maju, hendaknya
menggunakan hukum pidana itu harus selektif, tidak sembarangan,
cermat, dan hati-hati. Karena seperti yang saya tulis di sini, saya
mengutip pendapat Herbert Pecker dalam The Limit of Criminal Sanction,
dinyatakan olehnya bahwa hukum pidana itu suatu ketika akan menjadi
penjamin utama terhadap kesejahteraan dan kebebasan umat manusia.
Tetapi suatu ketika hukum pidana itu akan menjadi pengancam utama
terhadap kebebasan dan kesejahteraan umat manusia bila digunakan
secara sembarangan dan paksa, ini artinya apa? Bahwa jika kita ingin
menggunakan penal policy kebijakan hukum pidana itu hendaknya harus
cermat dan tidak sembarangan, sehati-hati mungkin.
Dari pendapat Herbert Pecker ini dan beberapa pendapat yang
saya kutip hendaknya diharapkan bisa membuka mata hati kita atau
membuka mata hati tiap pihak yang terkait dengan pembentukan
Undang-Undang Pidana, agar dalam menggunakan Undang-Undang
Pidana itu harus cermat dan hemat karena menyangkut persoalan-
9
persoalan nasib kemanusiaan. Siapa yang terkena hukum pidana? Ada
yang memperingatkan, hukum pidana itu bagai mengiris dagingnya
sendiri, artinya apa? Artinya sangat mengerikan. Siapa yang terkena
hukum pidana dia tidak bisak enak tidur, tidak bisa enak makan, dan
sebagainya. Yang terkena bukan pada tersangka atau terdakwa atau
terpidana saja, tetapi semua keluarga dan koleganya itu menjadi sedih.
Ada yang mengatakan bahwa hukum pidana itu bagai pedang
bermata dua. Di satu sisi dia ingin menegakkan hukum yang dilanggar
oleh manusia lain, tetapi di sisi lain hukum pidana justru dapat
merendahkan martabat manusia melalui sanksi pidananya yang sangat
keras dan menekan, ini artinya apa? Hendaknya setiap Undang-Undang
Pidana ini termasuk Undang-Undang Pengadilan HAM ini semestinya
harus hati-hati dan sesuai dengan konsep-konsep keilmuan dan criminal
justice system yang sudah menjadi kesepakatan bagi bangsa-bangsa
beradab, ini dari aspek-aspek hukum pidananya. Di dalam undang-
undang tersebut, di dalam Pasal 43 ayat (2)-nya itu, itu masuk ke dalam
pengertian criminal justice system, itu masuk ke dalam criminal justice
process, jadi proses peradilan pidana. Karena di situ menyangkut aturan-
aturan atau tata cara atau prosedur untuk membawa seseorang ke
hadapan tahapan-tahapan pemidanaan. Ini yang dimaksud dengan
criminal justice process yang dibedakan dengan pengertian criminal
justice system.
Kalau misalnya ada yang mengatakan atau membandingkan
bahwa pengadilan HAM Ad Hoc itu dalam dunia internasional sudah ada,
memang benar. Kalau kita bandingkan di situ sudah ada memang
pengadilan HAM Ad Hoc, contoh-contohnya. ICTY, ICTR, Mahkamah
Nurenberg dan sebagainya. Tapi kita harus ingat bahwa di situ ada
statutanya, ada semacam aturannya, undang-undangnya yang tetap
memperhatikan norma-norma, konsep-konsep keilmuan dari hukum
pidana dan criminal justice system, saya contohkan di situ. Misalnya di
article 1 ICTY atau ICTR, itu jelas di situ bahwa hukum pidana itu harus
tidak boleh menyimpangi asas lex certa. Asas lex certa ini mengatakan
bahwa rumusan norma-norma yang ada di dalam hukum pidana itu
harus jelas dan tegas, tidak mempunyai pengertian ambigu yang
menimbulkan multitafsir. Contoh ICTY misalnya, di situ dijelaskan bahwa
statuta ini, pengadilan ICTY ini, pengadilan HAM Ad Hoc ini, pengadilan
kejahatan internasional ini dibatasi, ada waktunya, sejak tahun 1991
misalnya yang ICTY. Kalau yang ICTR itu juga ada waktunya, ditegaskan
dalam norma hukumnya itu. Sekarang kita bandingkan dengan Undang-
Undang Pengadilan HAM Ad Hoc, di situ dikatakan peristiwa tertentu,
masa tertentu, dan waktu tertentu.
Kata tertentu dalam aspek hukum pidana itu tidak sesuai dengan
asas lex certa, asas kejelasan arti yang tidak boleh menimbulkan
ambigu, yang tidak menimbulkan multitafsir kalau kita bandingkan
dengan undang-undang kita Pengadilan HAM Ad Hoc itu. Peristiwa
tertentu itu yang mana? Banyak peristiwa kejahatan yang diduga
10
melanggar pelanggaran HAM berat. Masa tertentu, masa yang mana?
Masanya juga banyak, tidak jelas, norma rumusan norma ini tidak jelas.
Karena ketidakjelasan ini tentunya dapat dimasuki oleh kepentingan-
kepentingan di luar hukum, akhirnya apa? Yang berbicara adalah
kehendak politik. Kita tidak bisa membayangkan rumusan tindak pidana
umum terhadap persoalan perampasan kemerdekaan seseorang yang
diancam pidana maksimum dua belas tahun begitu saja melalui
kehendak politik DPR bisa berubah menjadi pelanggaran kejahatan
terhadap HAM yang berat yang ancamannya sangat tinggi memakai
sistem sanksi minimum khusus, yakni sepuluh tahun, minimal sepuluh
tahun. Bagaimana kita bisa bayangkan hanya dengan dugaan yang
mengira-ngira, dengan kehendak politik saja rumusan tindak pidana
umum yang ancamannya maksimum dua belas tahun berubah seketika
menjadi ancaman minimum sepuluh. Jadi dari aspek hukum pidana, dari
aspek criminal policy jelas ini tidak bisa diterima di dalam bangunan ilmu
hukum pidana.
Jadi itu kira-kira yang mungkin bisa saya ungkapkan, mungkin
dalam Panel ini lebih jelasnya akan kita diskusikan.
Terima kasih.
Silakan.
Kami hanya minta kejelasan saja dari Saudara Ahli, tadi dikatakan
Saudara Ahli mencoba memperbandingkan antara pengadilan HAM Ad
Hoc dengan pengadilan Ad Hoc internasional yang pernah ada, baik itu
ICTR, ICTY, dan lain sebagainya. Pertanyaannya dari segi fakta hukum
atau sejarah hukum Tribunal International Ad Hoc tadi, sebelum adanya
ICC itu, itu dia ada, ada itu bersamaan dengan ICC atau pada saat itu
belum ada ICC?
11
22. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H.
Ya, betul.
Karena memang belum ada lembaga permanen, kemudian karena
ini menyangkut kejahatan terhadap pelanggaran berat, kejahatan-
kejahatan serius yang kalau dibiarkan akan menjadi diimpolitikkan, ini
juga dilarang keras dalam konsep-konsep hukum pidana, makanya
dibentuklah pengadilan HAM Ad Hoc ini. Jadi kejahatan-kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida dan macam-macam itu. Lalu
dibentuklah ICTY, ICTR. Itupun seperti yang saya katakan tadi tegas
tetap memperhatikan asas-asas fundamental dalam hukum pidana.
Misalnya yang saya katakan tadi asas lex certa tetap dihargai, kemudian
ada statutanya, semacam aturan. Ada statuta, statuta ICTY, statuta
ICTR, ada. Jadi ada landasan hukumnya. Hakim dalam memutuskan ada
landasan hukumnya semua.
12
25. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,
M.H, Ph.D
Ya, memang pada waktu itu belum berdiri ICC ini, ICC belum
berdiri sehingga setiap ada kasus yang memang itu dianggap sudah
mengganggu atau mengancam ketertiban dunia internasional, maka
dibentuklah Mahkamah Kejahatan Internasional Ad Hoc ini, tapi tetap
ada statutanya, ada landasan hukumnya, ada undang-undangnya
sebagai pijakan untuk mengadili, setiap kejadian. Kalau ICTY untuk
Yugoslavia, kalau ICTR untuk Rwanda, kalau Nurenberg untuk Nazi di
Jerman, Mahkamah Tokyo itu untuk dalam waktu perang dunia kedua.
Jadi ada statutanya masing-masing, berbeda dengan pengadilan
HAM Ad Hoc ini, apa undang undangnya? Tidak ada. Dia mendompleng
kepada pengadilan HAM, Undang-Undang Pengadilan HAM. Kalau kita
mengacu kepada dunia internasional untuk membentuk pengadilan HAM
Ad Hoc. Semestinya dibuat tersendiri setiap kasus, kalau menurut
pendapat saya, kalau mau mengacu kepada dunia internasional tiap
untuk mengadili kejahatan yang sebelum terjadi, sebelum Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan, bagaimana mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalu di Indonesia? Ya buatlah
undang-undangnya, statutanya kalau dunia internasional. Nah, ini tidak.
Mendompleng kepada Undang-Undang Pengadilan HAM, berarti kita
inikan tidak konsisten kalau kita ingin katakanlah mengacu kepada dunia
internasional.
Jadi ada setiap ingin mengadili Ad Hoc buat undang-undangnya,
apa sulitnya membuat undang-undang? DPR memang kekuasaan untuk
membuat undang-undang, tidak mendompleng kepada pengadilan HAM
yang sudah permanen. Bangsa kita ini sebenarnya sudah hebat, lebih
maju daripada dunia internasional, karena Undang-Undang Pengadilan
HAM tahun 2000, sedangkan ICC tahun 2002, berarti kita lebih dulu
dong, lebih maju. Tetapi pengadilan Ad Hoc-nya kenapa dompleng?
Dunia internasional tidak dompleng, ada ICTY, saya membawanya di
sini. Ini statutanya, ini statuta ICTY, ini statuta ICTR, ada semua di sini.
Dalam bahasa Inggris, karena ada lima bahasa, bahasa Inggris, Bahasa
Arab, bahasa Cina, bahasa Spanyol, Perancis, dan Rusia. Jadi semua ada
aturannya, ada normanya yang diatur. Nah, kita tidak seperti itu.
13
27. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,
M.H, Ph.D
Apa saja?
Baik.
14
HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di dalam pengadilan
negeri di Jakarta Pusat.” Artinya Pengadilan Jakarta Pusat meliputi
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah. Sedangkan untuk peristiwa yang terjadi di Timor-
Timur seharusnya masuk dalam Pengadilan Negeri Makasar, ini undang-
undangnya.
Jadi kata mendompleng tadi, kata mendompleng sepenuhnya atau
mendompleng dengan deviasi, dengan penyimpangan? Kalau menurut
Saudara melihat kenyataan demikian. Karena Keppresnya kami pelajari
demikian atau faktanyalah, klien kami ini diadili di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk peristiwa atau TKP atau locus delicti yang terjadi di
Timor-Timur. Padahal di sini jelas undang-undang ini mengatakan
Pengadilan Jakarta Pusat hanya punya wewenang, berarti siapa yang
menentukan kedudukan pengadilan ini?
Karena itulah saya katakan tadi, kita ini kalau mau membentuk
pengadilan HAM Ad Hoc dibentuklah undang-undangnya, setiap ada
pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc bentuk saja undang-undangnya
seperti ini, kalau tidak akan menimbulkan persoalan seperti ini. Kalau
mau dompleng, dompleng sepenuhnya. Kalau itu dikatakan tadi jelas
kalau masalah yurisdiksi pengadilannya dan di sini jelas di ICTY dan
ICTR itu yurisdiksi pengadilannya jelas, jadi semua diatur, ada aturannya
yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat dalam aturan ini. Itu
satu bukti bahwa aturan-aturan yang sudah tertera yang ditetapkan
dalam undang-undang tidak, katakanlah dilanggar. itu dilanggar.
15
justice administration, jadi administrasi peradilan pidana. Karena
persoalan-persoalan apalagi kalau wilayah satu negara itu sangat luas
sehingga ditetapkan di dalam undang-undangnya, dibagi-bagi
yurisdiksinya ini. Karena itu sudah ditetapkan di dalam undang-undang,
pelaksana dari undang-undang, semua pihak yang terkait dengan
persoalan dari undang-undang itu tetap harus mengacu kepada norma-
norma yang diatur, jadi seperti itu. Jadi ada landasan-landasan
yurisdiksinya yang tidak boleh dilanggar begitu saja, kalau itu dilanggar
berarti tentunya akan menimbulkan cacat hukum yang bisa dipersoalkan
secara hukum sesuai dengan tahapan-tahapan persoalan itu.
Dari apek hukum pidana, jadi hukum pidana di dalam Pasal 1 ayat
(1) di KUHP itu sebenarnya mengandung empat asas yang dalam KUHP,
asas yang pertama legalitas formal, kita semua sudah tahu. Kemudian
asas lex temporis delicti, itu asas yang kedua di dalam kandungan Pasal
1 ayat (1) KUHP. Jadi suatu tindak pidana itu dipidana, diancam pidana
atau dihukum pada saat kapan suatu perbuatan itu dilakukan dan saat
itu hukum pidana itu diberlakukan, itu lex temporis delicti. Kemudian
asas non retroaktif dan asas lex certa yang tadi ditanyakan, jadi bagian
dari empat yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP asas lex
certa itu gunanya apa? Supaya rakyat itu percaya kepada Pemerintah
karena jelas dari suatu norma yang mengatur dari masyarakat karena
tugas yuridis hukum pidana itu bukan sekedar mengatur masyarakat
sebenarnya, tapi mengatur kewenangan atau kekuasaan Pemerintah,
dalam hal ini aparat penegak hukum. Itu dikatakan oleh Profesor Peter
dalam The Other Side of Criminology. Jadi the juridical task of criminal
law is not policing society but policing the policy, ini artinya apa? Tugas
yuridis hukum pidana itu sebenarnya bukan sekedar mengatur
masyarakat tetapi mengatur kewenangan kekuasaan Pemerintah itu
supaya jelas. Kalau di dalam undang-undangnya peristiwa tertentu,
masa tertentu, waktu tertentu, tempat tertentu, tertentu yang mana?
Tertentu dalam hukum pidana tidak jelas, sama dengan kata “segera”.
Penyidik setelah memeriksa tersangka harus segera melimpahkan
kepada penuntut umum, kata segera di sini dalam aspek lex certa tidak
boleh. Harus dikatakan penyidik setelah memeriksa tersangka dalam
16
waktu 3x24 jam, 7x24 jam, itu jelas dalam hukum pidana. Tetapi kalau
segera, tertentu, itu tidak jelas. Kejahatan pelanggaran HAM yang berat
itu banyak, kenapa dikatakan tertentu? Ini akan menimbulkan sikap
pemilihan dan pemilahan, dipilih saja kalau begitu yang masa tertentu,
waktu tertentu, “oh yang ini sajalah yang tahun ini saja, atau yang
tersangkut dengan PDI-P, misalnya atau yang tersangkut dengan partai
tertentu, ini menimbulkan sikap memilih dan memilah kalau tertentu itu.
Dalam hukum pidana ini dilarang keras, tidak boleh. Kalau tidak justru
hukum pidana akan menimbulkan martabat manusia itu sendiri karena
tidak jelas, hukum pidana itu sangat keras bagai mengiris dagingnya
sendiri, ingat itu!
Jadi harus hati-hati dan tidak sembarangan, harus rasional.
Criminal policy itu harus rasional, begitu.
Saudara ahli, saya jadi ingin curhat kepada Saudara Ahli. Dalam
kasus kami ini klien kami ini sebetulnya sebelumnya tidak masuk dalam
tersangka, sampai dua kali tidak masuk. Begitu masuknya di DPR,
sebelumnya tidak masuk. Di DPR itu klien kami ini merasa dia baru
dimasukkan, sebelumnya oleh Komnas HAM itu tidak dimasukkan, dalam
penelitian itu tidak dipanggil tapi di DPR dibentuk tim gabungan dia
diperiksa, baru masuk tetapi ada juga yang keluar.
Apakah ini bentuk dari memilah dan memilih sebagaimana yang
dimaksud atau aplikasi memilah dan memilih memang seperti itu?
Ya, salah satunya begitu. Ini karena akibat apa? Karena normanya
tidak diatur sesuai dengan konsep-konsep criminal justice system dan
doktrin-doktrin dalam ilmu hukum pidana karena tadi itu, tidak sesuai.
Jadi undang-undangnya seperti itu, kita mau mengacu kepada dunia
internasional tapi tidak konsisten. Mau membuat peraturan perundang-
undangan tidak konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum
pidana. Proses politik itu pada pembentukan undang-undangnya, jadi
pembentukan hukumnya, itu proses politik. Tetapi pada saat proses
penegakan hukum politik tidak boleh masuk di sini, maksudnya seperti
itu. Karena di dalam pembentukan undang-undang pidana harus benar-
benar diperhatikan semua aspek-aspek yang mempengaruhi perundang-
undangan pidana itu supaya dalam pelaksanaannya nanti pelaksana
undang-undang ini, para teoritisi, hakim, jaksa, juga semua pengacara,
dan polisi semua itu tidak ambigu, tidak mempunyai multi tafsir seperti
itu, itu gunanya asas lex certa, seperti itu.
17
41. KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H.
Jawaban DPR?
18
47. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H.
Terakhir, saya tidak tahu karena terus terang baru kemarin sore
belajar HAM, statuta itu siapa yang buat? Statuta untuk ICTY, ICTR?
Yang membuat?
19
kepada hukum, lalu terbentuklah ini statuta, tidak digarap sendiri karena
tidak ahli, Dewan Keamanan tidak ahli.
Jadi dikonsepkan oleh ILC (International Law Committee), Komisi
Hukum Internasional, oleh ILC. Memang ada pemrakarsanya,
pemrakarsanya Dewan Keamanan, jadi seperti itu.
20
siapkan dua belas rangkap, insya Allah dua belas rangkap dari kertas
kerja yang akan disampaikan.
Mohon maaf, masih ada kekurangan dua lagi sedang di-foto copy.
Terima kasih.
21
69. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.
Di Indonesia?
22
Diatur di dalam Undang-Undang Komnas HAM, misalnya melalui
rekonsiliasi, penyelesaian seperti itu.
23
Sebab bunyi Pasal 51—saya bacakan—undang-undang ini mulai
berlaku tanggal diundangkan, artinya ke depan bukan?
Ya, ke depan.
24
yang di Timor-Timur itu sudah hasil penyelidikan dari Komnas HAM yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, undang-
undang yang mengatur.
Jadi DPR tidak mengadakan penyelidikan, DPR hanya melakukan
pembentukan dia tidak adakan penyelidikan karena ini sudah ada. Jadi
dia tidak melanggar ketentuan-ketentuan itu, jadi hal-hal itu adalah
mengenai masalah itu. Sekarang kenapa pembentukan Pengadilan HAM
berat itu harus ada? Karena ini ada masalah adanya ketentuan Undang-
Undang Dasar yang tidak boleh retroaktif, Pasal 28E ayat (1) ayat (2),
sekarang bagaimana caranya untuk menembus ini? Inilah Pengadilan
HAM Ad Hoc itu dibentuk dan harus mempunyai kewenangan oleh DPR,
karena yang mempunyai kewenangan di dalam hal itu adalah DPR
bersama dengan Pemerintah, ini masalahnya bukan?
Sekarang menurut Ahli bagaimana cara penyelesaian HAM berat
sebelumnya kalau tidak diatur dari sini? Di dalam undang-undang itu
sendiri, karena Undang-Undang Dasar itu melarang. Ini persoalan yang
dihadapi di dalam masalah-masalah ini. Jadi yang dimaksud Saudara
mengenai criminal justice system itu bagaimana menurut Anda?
25
97. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.
26
yang berlaku. Jadi oleh karena itu Pemerintah berpendapat bahwa apa
yang disampaikan oleh Ahli dalam hal ini adalah seyogianya disampaikan
kepada pembentuk undang-undang dalam kaitannya legislative review.
Yang kedua adalah, barangkali kalau ini pertanyaan kami ingin
mendapat gambaran dari Ahli dimana sebagaimana tadi Hakim Konstitusi
sampaikan, dimana letak kerugian konstitusionalitas dari Pemohon itu
sendiri? Karena kalau kita membaca Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi maupun Undang-Undang Dasar, “Pemohon adalah yang
merasa hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
keberlakuan undang-undang ini.” Kami ingin mendapatkan gambaran
yang jelas dari Ahli, barangkali untuk memperkaya Pemerintah di dalam
mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dalam pengujian undang-undang
ini.
Terima kasih Yang Mulia.
Ada sedikit yang saya agak bingung kalau DPR dikatakan tidak
melakukan penyelidikan dalam kasus ini, faktanya yang bersangkutan
melakukan penyelidikan, ini yang mengalami bahwa dia diperiksa oleh
DPR oleh tim gabungan. Kalau dikatakan DPR tidak melakukan
penyelidikan dia diinterogasi, kemudian DPR juga mencari bukti-bukti ke
Timor-Timur dan lain sebagainya, apakah itu bukan bentuk dari
penyelidikan dan penyidikan?
Terima kasih.
27
sebetulnya harus dikemukakan dalam persidangan dalam pengadilan
HAM berat kemarin itu, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan
HAM berat tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara si
Pemohon di situ, bukan di sini.
Baiklah, saya kira sudah selesai sampai di sini, sudah tidak ada
yang bakal dikemukakan lagi ya?
28
Surat sudah kami masukkan.
KETUK PALU 3X
29