Anda di halaman 1dari 30

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA
---------------------

RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007

PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG
PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR 1945

ACARA
MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON
(III)

JAKARTA
RABU, 31 OKTOBER 2007
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 18/PUU-V/2007

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang


Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar 1945

PEMOHON

Eurico Guterres

ACARA

Mendengar Keterangan Ahli dari Pemohon (III)

Rabu, 31 Oktober 2007 WIB, Pukul 10.00 – 11.18 WIB


Ruang Sidang Utama Lt 2 Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Prof. Dr. H.M Laica Marzuki, S.H. Ketua


2) Prof. Dr.H.A. Mukthie Fadjar Anggota
3) Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M Anggota
4) Dr. Harjono, S.H., M.CL Anggota
5) Soedarsono, S.H.

Sunardi,S.H. Panitera Pengganti

1
Pihak yang Hadir:

Pemohon:

• Eurico Guterres

Kuasa Hukum Pemohon:

• H.M Mahendradatta, S.H., M.A., M.H., Ph.D


• Adnan Wirawan, S.H.
• Achmad Michdan, S.H.
• Irwan H. Siregar
• Guntur
• Heri
• Tejo

Pemerintah:

• Johani Silalahi, S.H. (Dirt. TUN kejagung RI)


• Mualimin Abdi (Kabag Litigasi Dept Hukum dan HAM)
• Dita Parawita Ningsih (Kasubdit Bantuan Hukum Kejagung RI)
• Bambang Dwi Handoko (Kasi Pelayanan Hukum, Kejagung RI)
• Maria (Kasi. Bantuan Hukum Kejagung RI)
• Ayu Agung (Jaksa Fungsional)

DPR RI:

• Dwi Trihartomo (Biro Hukum Setjen DPR RI)


• Hanggodo Suprio (Biro Hukum Setjen DPR RI)

Ahli dari Pemohon:

• Dr. Muhammad Sholehuddin, S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana


Universitas Bhayangkara, Surabaya)

2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB

1. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Sidang Panel yang diperluas dalam Perkara Nomor 18/PUU-


V/2007 dengan ini dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.

KETUK PALU 1X

Saudara yang hadir, utamanya kuasa, sebagaimana lazimnya


Saudara diminta memperkenalkan diri mengemukakan identitasnya,
silakan.

2. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Terima kasih.
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua Insya Allah. Perkenankan hadir
dari pihak Kuasa Pemohon, yang pertama dari sebelah kiri saya adalah
Saudara H. Achmad Michdan, kemudian saya sendiri Muhammad
Mahendradatta, kemudian sebelah kanan saya yang terhormat Prinsipal
kami Pemohon asli, yaitu Saudara Eurico Guterres. Kemudian sebelah
kanannya Saudara Adnan Wirawan, sebelah kanannya lagi Saudara
Irwan Hermansyah Siregar dan di belakangnya ini adalah rekan-rekan
advokat muda yang membantu kami; Saudara Guntur, Saudara Heri, dan
Saudara Tejo.
Kemudian hari ini kami membawa juga Saksi Ahli satu orang,
terima kasih.

3. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI,S.H., M.H (KABAG LITIGASI


DEPT HUKUM DAN HAM)

Terima kasih.
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Yang Mulia, saya Mualimin Abdi dari Departemen Hukum dan
HAM.

3
4. PEMERINTAH : JOHANI SILALAHI,S.H. (DIRT TUN KEJAGUNG
RI)

Terima kasih Yang Mulia,


Kami dari Kejaksaan Agung, saya sendiri Johani Silalahi S.H.,
Direktur Tata Usaha Negara (TUN), kemudian sebelah kiri kami Ibu Dita
Parawita Ningsih dan Maria dan di belakang kami Ayu Agung, dan
Bambang Handoko.
Terima kasih.

5. DPR-RI : DWI TRIHARTOMO (TIM BIRO HUKUM SETJEN DPR-


RI)

Terima kasih Majelis Hakim yang mulia.


Kami dari Biro Hukum Sekretariat Jenderal DPR-RI, saya Dwi
Trihartomo dan di sebelah kanan saya Hanggodo Suprio.
Terima kasih.

6. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Kepada Saudara Kuasa Pemohon dan Pemohon materil, sidang


pada hari ini adalah Sidang Panel dalam rangka en hier process karena
sedianya Saudara mengemukakan bakal mengajukan tiga ahli, ternyata
hanya hadir satu. Hal dimaksud dipandang cukup dengan tanpa
mengurangi persidangannya berjalan sesuai prosesnya.
Baik, sebagaimana lazimnya Saudara Kuasa mengemukakan
pokok-pokoknya saja sebelum kita mendengarkan calon ahli.

7. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Mahkamah yang mulia,


Yang pertama masalah teknis mengenai ahli, di luar kemampuan
kami karena panggilan sidang, kebetulan waktu saat panggilan sidang
hadir, beberapa ahli sudah membuat acara dua mingguan. Jadi mohon
dengan segala maaf dua orang ahli itu tidak bisa hadir, namun disertai
dengan permohonan diberikan waktu kembali untuk bisa hadir
mendengarkan ahli-ahli yang berhalangan karena tidak berada di kota
Jakarta, sehingga mohon waktu kembali mendengarkan ahli.
Selanjutnya selain memohon diberikan waktu kembali untuk
mendengarkan keterangan ahli yang dua itu, kami juga mohon
pertimbangan ulang mungkin dapat ditambah satu di antara ahli yang
pernah kami ajukan, khususnya yang bernama Doktor Bernard, itu
mohon pertimbangan ulang bilamana sekali lagi ada celah atau ada
tempat untuk pertimbangan tersebut.

4
Baik, pada hari ini ahli kami mohonkan keterangan sesuai dengan
keahliannya perihal mengenai sistem peradilan pidana khususnya
menerangkan mengenai masalah criminal justice system kemudian di
dalamnya apa yang kami tidak tahu apakah bisa mendukung
argumentasi-argumentasi maupun dalil kami, perihal mengenai
berangkatnya permohonan kami ini adalah berdasarkan keyakinan kami
terhadap criminal justice system atau pure criminal justice system, jadi
criminal justice system yang murni berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang ada dan teori-teori hukum yang ada itu yang akan kami kemukakan
hari ini, walaupun ada mungkin beberapa nanti kami mohon
diperkenankan untuk juga menanyakan hal-hal yang mungkin diketahui
oleh ahli sesuai, sekali lagi sesuai dengan keahliannya, jadi pokok-
pokoknya adalah mengenai criminal justice system, dimana pada saat ini
untuk kepentingan tersebut Saudara Ahli Doktor M. Sholehuddin, S.H.,
M.H. sudah menyiapkan kertas kerjanya dengan judul Pengujian Pasal 43
ayat (2) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan seterusnya. Ini
khususnya terhadap Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman, mohon
petunjuk dari Mahkamah yang terhormat apakah ahli nanti akan
menyampaikan dahulu kertas kerja ini diikuti dengan pertanyaan atau
bagaimana teknis acara yang akan dilangsungkan oleh Mahkamah?

8. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Baiklah, menurut hukum, ahli yang bakal didengar akan


disumpah. Adapun permintaan Saudara Kuasa untuk kemungkinan
mengajukan lagi dua yang tidak hadir itu akan kami sampaikan ke RPH.
Sebelum disumpah, kemukakan identitas dan agamanya Saudara dan
bidang keahlian Saudara, walaupun sudah dikemukakan tadi.

9. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Terim kasih Majelis Hakim yang mulia.


Saya nama Muhammad Solehuddin, pekerjaan Dosen Fakultas
Hukum Universitas Bhayangkara Surabaya. Latar belakang pendidikan S1
Fakultas Hukum Jurusan Hukum Kepidanaan, S2 jurusan atau
konsentrasi di bidang hukum kepidanaan, dan S3 dari Universitas
Diponegoro Semarang dengan konsentrasi hukum pidana dan
kriminologi.

10. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Agama?

5
11. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Islam.

12. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Petugas juru sumpah? Dipersilakan Hakim Konstitusi Profesor


Natabaya untuk menyumpahnya, terima kasih.

13. HAKIM KONSTITUSI : Prof. H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Ikuti lafal sumpah yang saya bacakan;


Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli akan memberikan
keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

14. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Demi Allah saya bersumpah, sebagai Ahli akan memberikan


keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.

15. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Saudara Kuasa Pemohon atau Pemohon materil, Saudara diminta


untuk mengajukan pertanyaan menggali keterangan Ahli.

16. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Terima kasih.
Sebelum kami menggali, dalam konteks menggali mungkin Doktor
M. Solehuddin S.H.,M.H. telah memiliki suatu pandangan atau kertas
kerja yang mungkin bisa disampaikan paparan terlebih dahulu mengenai
criminal justice system ataupun mengenai pengujian Pasal 43 ayat (2)
dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar
1945 khususnya Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman khususnya dari
tinjauan sistem peradilan pidana.

17. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Terima kasih.
Mohon izin Majelis Hakim yang mulia.
Saya hadir di sini untuk memenuhi panggilan profesi untuk
diminta memberikan keterangan ahli yang terkait dengan masalah
permohonan pengajuan pengujian Pasal 43 ayat (2) dan penjelasannya
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,

6
khususnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 24 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Keahlian saya seperti yang saya sudah sebutkan tadi karena latar
pendidikan saya di bidang hukum kepidanaan, maka dalam hal ini saya
akan menjelaskan mengenai atau yang terkait dengan aspek ilmu hukum
kepidanaan dan criminal justice system. Kita mungkin sudah tahu semua
dan sudah membaca bahwa Pasal 43 ayat (2) dalam Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 itu tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa
“Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) itu
dibentuk atas usul DPR-RI berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden.”
Kemudian Pasal 43 ini ada penjelasannya, “dalam hal DPR-RI
mengusulkan terbentuknya pengadilan HAM, DPR mendasarkan pada
dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus
dan tempus delicti, jadi ada pembatasan di sini yang sebelum di undang-
undang ini. Jadi tegas di situ dinyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc
itu dapat kita interpretasikan dari pasal dan penjelasannya ini bahwa
DPR-RI diberikan kewenangan untuk mengusulkan, bukan pembentukan,
bukan membentuk. Jadi mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad
Hoc, sedangkan yang menetapkan melalui SK Presiden adalah Presiden,
terhadap apa? Terhadap peristiwa tertentu, pada masa tertentu, dan
tempat tertentu.
Jadi objek yang dijadikan alasan untuk mengusulkan
pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di sini adalah peristiwa-peristiwa
masa lalu yang diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat sebelum
berlakunya Undang-Undang Pengadilan HAM Ad Hoc. Ini yang menjadi
objek alasan dari pengusulan oleh DPR untuk membentuk Pengadilan
HAM Ad Hoc.
Kasus yang menjadi objek tersebut itu hanyalah peristiwa yang
diduga telah terjadi pelanggaran HAM, dalam hal ini kejahatan genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jadi hanya dua jenis kejahatan
saja yang diperinci dalam bentuk-bentuknya yang banyak terutama
misalnya genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam penjelasannya di Pasal 43 seperti yang kita
baca di situ, DPR di dalam mengusulkan untuk membentuk Pengadilan
HAM Ad Hoc ini kepada Presiden itu tidak diperbolehkan untuk
katakanlah melakukan pembentukan itu begitu saja atau sewenang-
wenang menduga begitu saja sehingga diajukan kepada Presiden untuk
mengusulkan pembentukannya. Dari sinilah dapat saya pertanyakan dua
hal, yang pertama apakah prosedur pembentukan Pengadilan HAM
tersebut—Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana disebutkan dalam pasal
itu apakah termasuk dalam ruang lingkup tugas yuridis hukum pidana?
Ini masalah yang pertama.
Masalah yang kedua, apakah substansi Pasal 43 ayat (2) dan
penjelasannya tersebut bertentangan dengan konsepsi criminal justice
systems sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman? Dua masalah ini

7
yang perlu kita perhatikan dalam hal ini. Masalah pertama misalnya, kita
semua tahu bahwa DPR-RI memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan. Yang terkait dengan fungsi legislasi itu adalah
kekuasaan untuk membentuk undang-undang termasuk Undang-Undang
Pidana, Undang-Undang Pengadilan HAM ini (Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000) secara substantif termasuk ke dalam Undang-Undang
Pidana karena di dalamnya termuat hukum pidana materil maupun
hukum pidana formilnya sekaligus. Jadi dapat kita katakan bahwa ini
Undang-Undang Pidana. Terkait dengan hal itu, penjelasan dari pasal
tersebut menegaskan bahwa untuk mengusulkan dibentuknya
Pengadilan HAM Ad Hoc ini DPR-RI mendasarkan pada dugaan.
Dugaan di sini dalam penjelasan pasal tersebut, kata “dugaan”
bukanlah sekedar kata, tetapi dia merupakan istilah yang sudah umum
diterima kalangan teoritisi dan praktisi hukum pidana. Kata dan konsep
itu berbeda, jadi kata dan istilah itu berbeda. Arti dari sebuah kata
disebut dengan makna, sedangkan arti dari sebuah istilah itu disebut
konsep. Kalau kata “dugaan” itu bermakna mengajuk atau mengira-
ngira, itu maknanya. Jadi sangat naif kalau suatu pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Republik ini kemudian ada sebuah lembaga diberi
kewenangan untuk mengusulkan itu berdasarkan perkiraan begitu saja,
itu kalau kita mengacu kepada arti dari kata “dugaan” ini, karena artinya
memang mengira dalam Kamus Bahasa Indonesia mengacu atau
mengira, tetapi menurut istilah.
Jadi saya katakan di sini bukan sekedar kata “dugaan” itu, tetapi sebuah
istilah yang sudah umum dalam konteks hukum pidana. Istilahnya dari
sebuah istilah adalah sebuah konsep, apa konsep dari dugaan itu?
Konsepnya adalah terkait dengan persoalan penyelidikan. Jadi persoalan
kata “dugaan” di sini konsepnya adalah menyangkut atau terkait dengan
persoalan penyelidikan untuk mencari dan menemukan ada tidaknya
suatu peristiwa yang merupakan pelanggaran pidana. Dengan demikian
untuk sampai dugaan telah terjadinya suatu peristiwa pelanggaran HAM
berat, DPR-RI dalam konteks pasal tersebut harus melakukan tindakan
penyelidikan. Padahal sesungguhnya tindakan penyelidikan itu menurut
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Pengadilan HAM, itu sesungguhnya
penyelidikan itu merupakan rangkaian dari tugas penyelidik, jadi
rangkaian tugas-tugas dari penyelidik. Sedangkan yang ditunjuk dari
Undang-Undang Pengadilan HAM ini, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 ini yang ditunjuk untuk melakukan penyelidik adalah Komnas HAM,
di sini ada reasoning-nya mengapa kewenangan penyelidik tersebut
hanya ditunjuk dan diserahkan oleh undang-undang kepada Komnas
HAM? Meskipun di situ ada penjelasan yang dikatakan bahwa Komnas
HAM itu diasumsikan sebagai lembaga yang bersifat independen
sehingga diharapkan tercipta dan terjaga objektivitas hasil
penyelidikannya, tetapi secara penal policy kebijakan hukum pidana
sebagai bagian dari criminal policy, kebijakan kriminal. Penunjukan
lembaga Komnas HAM ini sebagai penyelidik terhadap peristiwa-

8
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pelanggaran HAM berat, itu
merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dan rasionalitas penggunaan
dan penerapan hukum pidana, karena memang pengertian dari criminal
policy, kebijakan kriminal itu harus rasional. Sebab kalau tidak rasional
itu justru tidak sesuai dengan definisi criminal policy itu sendiri yang
dikatakan oleh Huffnagel sebagai suatu usaha yang rasional dari
masyarakat tentang penanggulangan kejahatan.
Jadi ada tiga alasan dari aspek criminal policy. Yang pertama,
secara fungsional Komnas HAM itu memang suatu lembaga negara yang
bertugas melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, dan
pemantauan terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia sehingga
sinkron dengan wewenang penyelidikan yang diembannya seperti yang
ditetapkan dalam Undang-Undang Pengadilan HAM. Kemudian alasan
yang kedua, bahwa Komnas HAM itu beranggotakan tokoh masyarakat
yang profesional, berdedikasi tinggi yang sistem rekrutmennya kita
semua tahu sangat ketat sehingga dia dikatakan di dalam Undang-
Undang HAM itu berintegritas tinggi dan profesional.
Kemudian yang ketiga, kedudukan Komnas HAM itu sendiri
sebagai lembaga negara yang tidak dapat katakanlah dipengaruhi atau
diintervensi oleh pihak manapun termasuk Pemerintah. Jadi ada tiga
alasan ini secara—kalau kita tinjau dari aspek criminal policy ini
merupakan usaha-usaha yang rasional, dengan sadar dan sengaja
memang ditunjuk untuk itu. Kita tidak bisa membayangkan misalnya
bagaimana berbagai efek negatif yang akan terjadi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara ini kalau penilaian yang lebih bersifat
judgement itu terhadap suatu peristiwa hukum pidana, apalagi hukum
pidana itu masuk pada pelanggaran HAM yang berat diserahkan pada
lembaga politik misalnya, kita tidak bisa membayangkan itu.
Bentuk-bentuk kehatian di sini memang sering dan sudah
diperingatkan oleh berbagai pakar hukum pidana dan kriminologi, baik di
Indonesia maupun di berbagai negara-negara maju, hendaknya
menggunakan hukum pidana itu harus selektif, tidak sembarangan,
cermat, dan hati-hati. Karena seperti yang saya tulis di sini, saya
mengutip pendapat Herbert Pecker dalam The Limit of Criminal Sanction,
dinyatakan olehnya bahwa hukum pidana itu suatu ketika akan menjadi
penjamin utama terhadap kesejahteraan dan kebebasan umat manusia.
Tetapi suatu ketika hukum pidana itu akan menjadi pengancam utama
terhadap kebebasan dan kesejahteraan umat manusia bila digunakan
secara sembarangan dan paksa, ini artinya apa? Bahwa jika kita ingin
menggunakan penal policy kebijakan hukum pidana itu hendaknya harus
cermat dan tidak sembarangan, sehati-hati mungkin.
Dari pendapat Herbert Pecker ini dan beberapa pendapat yang
saya kutip hendaknya diharapkan bisa membuka mata hati kita atau
membuka mata hati tiap pihak yang terkait dengan pembentukan
Undang-Undang Pidana, agar dalam menggunakan Undang-Undang
Pidana itu harus cermat dan hemat karena menyangkut persoalan-

9
persoalan nasib kemanusiaan. Siapa yang terkena hukum pidana? Ada
yang memperingatkan, hukum pidana itu bagai mengiris dagingnya
sendiri, artinya apa? Artinya sangat mengerikan. Siapa yang terkena
hukum pidana dia tidak bisak enak tidur, tidak bisa enak makan, dan
sebagainya. Yang terkena bukan pada tersangka atau terdakwa atau
terpidana saja, tetapi semua keluarga dan koleganya itu menjadi sedih.
Ada yang mengatakan bahwa hukum pidana itu bagai pedang
bermata dua. Di satu sisi dia ingin menegakkan hukum yang dilanggar
oleh manusia lain, tetapi di sisi lain hukum pidana justru dapat
merendahkan martabat manusia melalui sanksi pidananya yang sangat
keras dan menekan, ini artinya apa? Hendaknya setiap Undang-Undang
Pidana ini termasuk Undang-Undang Pengadilan HAM ini semestinya
harus hati-hati dan sesuai dengan konsep-konsep keilmuan dan criminal
justice system yang sudah menjadi kesepakatan bagi bangsa-bangsa
beradab, ini dari aspek-aspek hukum pidananya. Di dalam undang-
undang tersebut, di dalam Pasal 43 ayat (2)-nya itu, itu masuk ke dalam
pengertian criminal justice system, itu masuk ke dalam criminal justice
process, jadi proses peradilan pidana. Karena di situ menyangkut aturan-
aturan atau tata cara atau prosedur untuk membawa seseorang ke
hadapan tahapan-tahapan pemidanaan. Ini yang dimaksud dengan
criminal justice process yang dibedakan dengan pengertian criminal
justice system.
Kalau misalnya ada yang mengatakan atau membandingkan
bahwa pengadilan HAM Ad Hoc itu dalam dunia internasional sudah ada,
memang benar. Kalau kita bandingkan di situ sudah ada memang
pengadilan HAM Ad Hoc, contoh-contohnya. ICTY, ICTR, Mahkamah
Nurenberg dan sebagainya. Tapi kita harus ingat bahwa di situ ada
statutanya, ada semacam aturannya, undang-undangnya yang tetap
memperhatikan norma-norma, konsep-konsep keilmuan dari hukum
pidana dan criminal justice system, saya contohkan di situ. Misalnya di
article 1 ICTY atau ICTR, itu jelas di situ bahwa hukum pidana itu harus
tidak boleh menyimpangi asas lex certa. Asas lex certa ini mengatakan
bahwa rumusan norma-norma yang ada di dalam hukum pidana itu
harus jelas dan tegas, tidak mempunyai pengertian ambigu yang
menimbulkan multitafsir. Contoh ICTY misalnya, di situ dijelaskan bahwa
statuta ini, pengadilan ICTY ini, pengadilan HAM Ad Hoc ini, pengadilan
kejahatan internasional ini dibatasi, ada waktunya, sejak tahun 1991
misalnya yang ICTY. Kalau yang ICTR itu juga ada waktunya, ditegaskan
dalam norma hukumnya itu. Sekarang kita bandingkan dengan Undang-
Undang Pengadilan HAM Ad Hoc, di situ dikatakan peristiwa tertentu,
masa tertentu, dan waktu tertentu.
Kata tertentu dalam aspek hukum pidana itu tidak sesuai dengan
asas lex certa, asas kejelasan arti yang tidak boleh menimbulkan
ambigu, yang tidak menimbulkan multitafsir kalau kita bandingkan
dengan undang-undang kita Pengadilan HAM Ad Hoc itu. Peristiwa
tertentu itu yang mana? Banyak peristiwa kejahatan yang diduga

10
melanggar pelanggaran HAM berat. Masa tertentu, masa yang mana?
Masanya juga banyak, tidak jelas, norma rumusan norma ini tidak jelas.
Karena ketidakjelasan ini tentunya dapat dimasuki oleh kepentingan-
kepentingan di luar hukum, akhirnya apa? Yang berbicara adalah
kehendak politik. Kita tidak bisa membayangkan rumusan tindak pidana
umum terhadap persoalan perampasan kemerdekaan seseorang yang
diancam pidana maksimum dua belas tahun begitu saja melalui
kehendak politik DPR bisa berubah menjadi pelanggaran kejahatan
terhadap HAM yang berat yang ancamannya sangat tinggi memakai
sistem sanksi minimum khusus, yakni sepuluh tahun, minimal sepuluh
tahun. Bagaimana kita bisa bayangkan hanya dengan dugaan yang
mengira-ngira, dengan kehendak politik saja rumusan tindak pidana
umum yang ancamannya maksimum dua belas tahun berubah seketika
menjadi ancaman minimum sepuluh. Jadi dari aspek hukum pidana, dari
aspek criminal policy jelas ini tidak bisa diterima di dalam bangunan ilmu
hukum pidana.
Jadi itu kira-kira yang mungkin bisa saya ungkapkan, mungkin
dalam Panel ini lebih jelasnya akan kita diskusikan.
Terima kasih.

18. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Saudara Kuasa Pemohon dan Pemohon materil masih adakah


pertanyaan yang diajukan?

19. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Masih ada Majelis.

20. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Silakan.

21. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Kami hanya minta kejelasan saja dari Saudara Ahli, tadi dikatakan
Saudara Ahli mencoba memperbandingkan antara pengadilan HAM Ad
Hoc dengan pengadilan Ad Hoc internasional yang pernah ada, baik itu
ICTR, ICTY, dan lain sebagainya. Pertanyaannya dari segi fakta hukum
atau sejarah hukum Tribunal International Ad Hoc tadi, sebelum adanya
ICC itu, itu dia ada, ada itu bersamaan dengan ICC atau pada saat itu
belum ada ICC?

11
22. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H.

Baik, terima kasih.


ICC itu justru dibentuk tidak begitu saja, jadi International
Criminal Court itu justru melalui persiapan-persiapan yang panjang dan
pengalaman-pengalaman masa lalu, terutama melihat terbentuknya
pengadilan ad hoc kejahatan internasional seperti ICTY atau ICTR ini,
yang di dalamnya di dalam praktik kemudian ICTY dan ICTR ini konsep-
konsep perkembangan hukum pidana internasional itu kemudian dicatat,
dipelajari. Dari pelajaran masa lalu ini yang menimbulkan
perkembangan-perkembangan hukum pidana internasional ini, maka
dibentuklah ICC sebagai Mahkamah Kejahatan Internasional permanen.
Sedangkan yang lain itu Ad Hoc. Jadi tidak begitu saja muncul, jadi
jawabannya belum ada pada waktu itu ICC. Karena ICC tahun 2002 baru
diberlakukan dan ini tidak diberlakukan secara surut, karena Statuta
Roma sebagai “Konstitusi” dari ICC ini benar-benar menghargai dan
menjunjung tinggi asas-asas fundamental dalam hukum pidana,
terutama asas legalitas formal karena dia tidak memberlakukan secara
surut untuk ICC ini. Kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelumnya tidak
menjadi yuridiksi dari ICC.

23. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Apakah benar penafsiran kami, berarti Ad Hoc yang dimaksud


Internasional Tribunal itu adalah karena Ad Hoc, karena belum ada
lembaga permanen?

24. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, betul.
Karena memang belum ada lembaga permanen, kemudian karena
ini menyangkut kejahatan terhadap pelanggaran berat, kejahatan-
kejahatan serius yang kalau dibiarkan akan menjadi diimpolitikkan, ini
juga dilarang keras dalam konsep-konsep hukum pidana, makanya
dibentuklah pengadilan HAM Ad Hoc ini. Jadi kejahatan-kejahatan
terhadap kemanusiaan, genosida dan macam-macam itu. Lalu
dibentuklah ICTY, ICTR. Itupun seperti yang saya katakan tadi tegas
tetap memperhatikan asas-asas fundamental dalam hukum pidana.
Misalnya yang saya katakan tadi asas lex certa tetap dihargai, kemudian
ada statutanya, semacam aturan. Ada statuta, statuta ICTY, statuta
ICTR, ada. Jadi ada landasan hukumnya. Hakim dalam memutuskan ada
landasan hukumnya semua.

12
25. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,
M.H, Ph.D

Baik, masih berkisar tentang International Tribunal Ad Hoc-nya,


ICTY, ICTR tetapi Ahli mengatakan bahwa ada statuta yang
mengaturnya, statuta itu dibuat untuk setiap kasus atau satu kemudian
untuk semua ICTY, ICTR itu satu statuta atau setiap International
Tribunal satu statuta.

26. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, memang pada waktu itu belum berdiri ICC ini, ICC belum
berdiri sehingga setiap ada kasus yang memang itu dianggap sudah
mengganggu atau mengancam ketertiban dunia internasional, maka
dibentuklah Mahkamah Kejahatan Internasional Ad Hoc ini, tapi tetap
ada statutanya, ada landasan hukumnya, ada undang-undangnya
sebagai pijakan untuk mengadili, setiap kejadian. Kalau ICTY untuk
Yugoslavia, kalau ICTR untuk Rwanda, kalau Nurenberg untuk Nazi di
Jerman, Mahkamah Tokyo itu untuk dalam waktu perang dunia kedua.
Jadi ada statutanya masing-masing, berbeda dengan pengadilan
HAM Ad Hoc ini, apa undang undangnya? Tidak ada. Dia mendompleng
kepada pengadilan HAM, Undang-Undang Pengadilan HAM. Kalau kita
mengacu kepada dunia internasional untuk membentuk pengadilan HAM
Ad Hoc. Semestinya dibuat tersendiri setiap kasus, kalau menurut
pendapat saya, kalau mau mengacu kepada dunia internasional tiap
untuk mengadili kejahatan yang sebelum terjadi, sebelum Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 diundangkan, bagaimana mengadili
kejahatan terhadap kemanusiaan masa lalu di Indonesia? Ya buatlah
undang-undangnya, statutanya kalau dunia internasional. Nah, ini tidak.
Mendompleng kepada Undang-Undang Pengadilan HAM, berarti kita
inikan tidak konsisten kalau kita ingin katakanlah mengacu kepada dunia
internasional.
Jadi ada setiap ingin mengadili Ad Hoc buat undang-undangnya,
apa sulitnya membuat undang-undang? DPR memang kekuasaan untuk
membuat undang-undang, tidak mendompleng kepada pengadilan HAM
yang sudah permanen. Bangsa kita ini sebenarnya sudah hebat, lebih
maju daripada dunia internasional, karena Undang-Undang Pengadilan
HAM tahun 2000, sedangkan ICC tahun 2002, berarti kita lebih dulu
dong, lebih maju. Tetapi pengadilan Ad Hoc-nya kenapa dompleng?
Dunia internasional tidak dompleng, ada ICTY, saya membawanya di
sini. Ini statutanya, ini statuta ICTY, ini statuta ICTR, ada semua di sini.
Dalam bahasa Inggris, karena ada lima bahasa, bahasa Inggris, Bahasa
Arab, bahasa Cina, bahasa Spanyol, Perancis, dan Rusia. Jadi semua ada
aturannya, ada normanya yang diatur. Nah, kita tidak seperti itu.

13
27. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,
M.H, Ph.D

Di dalam statuta tersebut prinsip-prinsip apa yang diatur? Apa


hanya waktunya saja dan tempatnya?

28. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Bukan, lengkap di sini.

29. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Apa saja?

30. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Jadi mulai dari aturan umum, terutama mengenai temporis delicti-


nya. Jadi yuridiksi rasione temporis, yuridiksi persone, dan macam-
macam, jadi semua diatur termasuk bentuk-bentuk atau macam-macam
kejahatannya, kemudian hakimnya, bagaimana sistem rekrutmen hakim,
penuntut umumnya, panitera, semua kedudukannya diatur di sini, ya
undang-undanglah, kesimpulannya ini undang-undang.

31. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Baik.

32. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Nah, kita kalau kita mau mengadakan pengadilan HAM Ad Hoc


apa ada di situ undang-undangnya? Berarti kita, katakanlah tidak
konsisten untuk meniru, mengacu kepada dunia internasional, seperti
itu.

33. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Saudara Ahli, kata-kata tadi mendompleng kepada Undang-


Undang Pengadilan HAM, saya menemukan dalam legal research saya,
ternyata pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc yang ada, terutama
dalam kasus kami kasus Timor-Timur itu sendiri telah melanggar
Undang-Undang Pengadilan HAM. Misalnya dalam Pasal 48 ketentuan
peralihan dikatakan bahwa yaitu ayat (2), “daerah hukum pengadilan

14
HAM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di dalam pengadilan
negeri di Jakarta Pusat.” Artinya Pengadilan Jakarta Pusat meliputi
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Banten,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Tengah. Sedangkan untuk peristiwa yang terjadi di Timor-
Timur seharusnya masuk dalam Pengadilan Negeri Makasar, ini undang-
undangnya.
Jadi kata mendompleng tadi, kata mendompleng sepenuhnya atau
mendompleng dengan deviasi, dengan penyimpangan? Kalau menurut
Saudara melihat kenyataan demikian. Karena Keppresnya kami pelajari
demikian atau faktanyalah, klien kami ini diadili di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk peristiwa atau TKP atau locus delicti yang terjadi di
Timor-Timur. Padahal di sini jelas undang-undang ini mengatakan
Pengadilan Jakarta Pusat hanya punya wewenang, berarti siapa yang
menentukan kedudukan pengadilan ini?

34. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Karena itulah saya katakan tadi, kita ini kalau mau membentuk
pengadilan HAM Ad Hoc dibentuklah undang-undangnya, setiap ada
pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc bentuk saja undang-undangnya
seperti ini, kalau tidak akan menimbulkan persoalan seperti ini. Kalau
mau dompleng, dompleng sepenuhnya. Kalau itu dikatakan tadi jelas
kalau masalah yurisdiksi pengadilannya dan di sini jelas di ICTY dan
ICTR itu yurisdiksi pengadilannya jelas, jadi semua diatur, ada aturannya
yang harus ditaati oleh semua pihak yang terlibat dalam aturan ini. Itu
satu bukti bahwa aturan-aturan yang sudah tertera yang ditetapkan
dalam undang-undang tidak, katakanlah dilanggar. itu dilanggar.

35. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Saudara Ahli saya mohon bantuan, ketegasan, sesuai dengan


keahlian Saudara dalam hukum pidana seberapa penting masalah
yurisdiksi ini? Apakah masalah yurisdiksi itu hanya masalah tempat saja?
Mau di situ kek mau di sana kek tidak masalah, seberapa penting?
Karena dalam praktik kami, gara-gara masalah yurisdiksi sebuah
dakwaan bisa batal, walaupun seseorang ini diancam hukuman mati
sekalipun gara-gara masalah yurisdiksi untuk masalah eksepsi dakwaan
bisa batal dan harus keluar dari tahanan, jadi seberapa penting yurisdiksi
itu?

36. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, jadi masalah yurisdiksi ini masalah kewenangan, kewenangan


hakim, kewenangan suatu pengadilan yang terkait dengan criminal

15
justice administration, jadi administrasi peradilan pidana. Karena
persoalan-persoalan apalagi kalau wilayah satu negara itu sangat luas
sehingga ditetapkan di dalam undang-undangnya, dibagi-bagi
yurisdiksinya ini. Karena itu sudah ditetapkan di dalam undang-undang,
pelaksana dari undang-undang, semua pihak yang terkait dengan
persoalan dari undang-undang itu tetap harus mengacu kepada norma-
norma yang diatur, jadi seperti itu. Jadi ada landasan-landasan
yurisdiksinya yang tidak boleh dilanggar begitu saja, kalau itu dilanggar
berarti tentunya akan menimbulkan cacat hukum yang bisa dipersoalkan
secara hukum sesuai dengan tahapan-tahapan persoalan itu.

37. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Saudara Ahli, saya masih ada pendapat ngeyel dari saya,


mengenai masalah asas lex certa yang sudah dikatakan di sini tempat
tertentu, waktu tertentu itukan sudah jelas di situ. Tadi Saudara Ahli
katakan tidak jelas itukan sudah jelas, waktu tertentu, tempat tertentu,
jelas.

38. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Dari apek hukum pidana, jadi hukum pidana di dalam Pasal 1 ayat
(1) di KUHP itu sebenarnya mengandung empat asas yang dalam KUHP,
asas yang pertama legalitas formal, kita semua sudah tahu. Kemudian
asas lex temporis delicti, itu asas yang kedua di dalam kandungan Pasal
1 ayat (1) KUHP. Jadi suatu tindak pidana itu dipidana, diancam pidana
atau dihukum pada saat kapan suatu perbuatan itu dilakukan dan saat
itu hukum pidana itu diberlakukan, itu lex temporis delicti. Kemudian
asas non retroaktif dan asas lex certa yang tadi ditanyakan, jadi bagian
dari empat yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP asas lex
certa itu gunanya apa? Supaya rakyat itu percaya kepada Pemerintah
karena jelas dari suatu norma yang mengatur dari masyarakat karena
tugas yuridis hukum pidana itu bukan sekedar mengatur masyarakat
sebenarnya, tapi mengatur kewenangan atau kekuasaan Pemerintah,
dalam hal ini aparat penegak hukum. Itu dikatakan oleh Profesor Peter
dalam The Other Side of Criminology. Jadi the juridical task of criminal
law is not policing society but policing the policy, ini artinya apa? Tugas
yuridis hukum pidana itu sebenarnya bukan sekedar mengatur
masyarakat tetapi mengatur kewenangan kekuasaan Pemerintah itu
supaya jelas. Kalau di dalam undang-undangnya peristiwa tertentu,
masa tertentu, waktu tertentu, tempat tertentu, tertentu yang mana?
Tertentu dalam hukum pidana tidak jelas, sama dengan kata “segera”.
Penyidik setelah memeriksa tersangka harus segera melimpahkan
kepada penuntut umum, kata segera di sini dalam aspek lex certa tidak
boleh. Harus dikatakan penyidik setelah memeriksa tersangka dalam

16
waktu 3x24 jam, 7x24 jam, itu jelas dalam hukum pidana. Tetapi kalau
segera, tertentu, itu tidak jelas. Kejahatan pelanggaran HAM yang berat
itu banyak, kenapa dikatakan tertentu? Ini akan menimbulkan sikap
pemilihan dan pemilahan, dipilih saja kalau begitu yang masa tertentu,
waktu tertentu, “oh yang ini sajalah yang tahun ini saja, atau yang
tersangkut dengan PDI-P, misalnya atau yang tersangkut dengan partai
tertentu, ini menimbulkan sikap memilih dan memilah kalau tertentu itu.
Dalam hukum pidana ini dilarang keras, tidak boleh. Kalau tidak justru
hukum pidana akan menimbulkan martabat manusia itu sendiri karena
tidak jelas, hukum pidana itu sangat keras bagai mengiris dagingnya
sendiri, ingat itu!
Jadi harus hati-hati dan tidak sembarangan, harus rasional.
Criminal policy itu harus rasional, begitu.

39. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Saudara ahli, saya jadi ingin curhat kepada Saudara Ahli. Dalam
kasus kami ini klien kami ini sebetulnya sebelumnya tidak masuk dalam
tersangka, sampai dua kali tidak masuk. Begitu masuknya di DPR,
sebelumnya tidak masuk. Di DPR itu klien kami ini merasa dia baru
dimasukkan, sebelumnya oleh Komnas HAM itu tidak dimasukkan, dalam
penelitian itu tidak dipanggil tapi di DPR dibentuk tim gabungan dia
diperiksa, baru masuk tetapi ada juga yang keluar.
Apakah ini bentuk dari memilah dan memilih sebagaimana yang
dimaksud atau aplikasi memilah dan memilih memang seperti itu?

40. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, salah satunya begitu. Ini karena akibat apa? Karena normanya
tidak diatur sesuai dengan konsep-konsep criminal justice system dan
doktrin-doktrin dalam ilmu hukum pidana karena tadi itu, tidak sesuai.
Jadi undang-undangnya seperti itu, kita mau mengacu kepada dunia
internasional tapi tidak konsisten. Mau membuat peraturan perundang-
undangan tidak konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum
pidana. Proses politik itu pada pembentukan undang-undangnya, jadi
pembentukan hukumnya, itu proses politik. Tetapi pada saat proses
penegakan hukum politik tidak boleh masuk di sini, maksudnya seperti
itu. Karena di dalam pembentukan undang-undang pidana harus benar-
benar diperhatikan semua aspek-aspek yang mempengaruhi perundang-
undangan pidana itu supaya dalam pelaksanaannya nanti pelaksana
undang-undang ini, para teoritisi, hakim, jaksa, juga semua pengacara,
dan polisi semua itu tidak ambigu, tidak mempunyai multi tafsir seperti
itu, itu gunanya asas lex certa, seperti itu.

17
41. KETUA : Prof. Dr. H.M. LAICA MARZUKI, S.H.

Saudara Kuasa Pemohon dengan tidak mengurangi hak Saudara


supaya dialog ini perlu dipertajam, adapun Panelis sudah mengikutinya
dalam tanya jawab tadi sudah mencermati supaya dialog ini dipertajam
karena masih ada acara berikut tanya jawab dari para hakim, tapi ini
tidak mengurangi hak Saudara.

42. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Terima kasih Majelis, memang sangat penting kami ditegur,


supaya kami tetap pada koridor waktu dan koridor tempat, hanya ini
saya ingin petunjuk kali ini, di dalam jawaban Dewan Perwakilan Rakyat
dikatakan begini, halaman 16, “dalam hal ini berlaku ketentuan
sebagaimana—halaman 6 ya! “Dalam hal ini berlaku ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Kitab Undang-Undang Acara
Pidana—KUHAP, bahwa dugaan tersebut didasarkan pada bukti
permulaan yang cukup, padahal Pasal 17 itu tentang penangkapan.
Artinya di sini yang berhak untuk melakukan dugaan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup sekenal saya, sepengetahuan saya adalah
seorang penyidik apakah demikian Dewan Perwakilan Rakyat ini memang
mengakui duduk sebagai penyidik?

43. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, kalau itu terdapat di dalam (...)

44. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Jawaban DPR?

45. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Tentang pengajuan ini.

46. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Dalam hal ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal


17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana—KUHAP, bahwa dugaan
tersebut harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Jadi
mengaju kepada KUHAP dan kemudian berdasarkan bukti permulaan
yang cukup setahu saya itu adalah tindakan penyidik.

18
47. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN, S.H., M.H.

Ya, itu memang suatu pengakuan yang formal sudah, bahwa


Pasal 43 ayat (2) dari Undang-Undang Pengadilan HAM ini diakui sendiri
oleh DPR bahwa dia di dalam melakukan dugaan itu harus melakukan
upaya-upaya yang terkait dengan criminal justice process, ini sudah
sangat jelas bahwa sebenarnya lembaga pembentuk undang-undang
tidak boleh masuk kepada lembaga pelaksana undang-undang, tugas-
tugas dan kewenangan lembaga pelaksana. Tetapi kalau memang sudah
diakui seperti itu berarti lembaga pembentuk undang-undang sudah
masuk kepada lembaga pelaksana undang-undang, dalam hal ini criminal
justice process. Untuk menilai, saya tidak bisa menilai karena bukan
kewenangan saya.

48. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Terakhir, saya tidak tahu karena terus terang baru kemarin sore
belajar HAM, statuta itu siapa yang buat? Statuta untuk ICTY, ICTR?

49. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Sudah, tadi ini (...)

50. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Tidak, yang membuat.

51. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Yang membuat?

52. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Yang menetapkan prosesnya?

53. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Oh, yang menetapkan? Jadi begini, statuta ICTY, ICTR ini


memang Dewan Keamanan yang katakanlah sebagai pelopornya karena
menganggap bahwa kasus-kasus kejahatan serius di daerah Yugoslavia
dan Rwanda ini sudah sangat mengancam perdamaian dunia, tetapi
Dewan Keamanan tidak sembarangan, dia membentuk Komisi Ahli, ahli
tentang apa? Ya, ahli tentang hukum dikembalikan lagi sebenarnya

19
kepada hukum, lalu terbentuklah ini statuta, tidak digarap sendiri karena
tidak ahli, Dewan Keamanan tidak ahli.
Jadi dikonsepkan oleh ILC (International Law Committee), Komisi
Hukum Internasional, oleh ILC. Memang ada pemrakarsanya,
pemrakarsanya Dewan Keamanan, jadi seperti itu.

54. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Kalau di Indonesia statuta itu bisa setingkat apa?

55. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Setingkat undang-undang, karena di dalamnya kalau kita


bandingkan ini bentuk-bentuknya sama dengan undang-undang.

56. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Undang-Undang Pidana ya?

57. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, Undang-Undang Pidana karena ini Mahkamah Kejahatan


Internasional Ad Hoc, tetapi bentuk-bentuknya kalau kita bandingkan
memang seperti undang-undang.

58. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Mahkamah yang terhormat melalui Ketua Majelis, sementara


cukup namun kalau lebih takutnya kami akan mohon minta waktu
bertambah.

59. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Saudara Kuasa apakah keterangan Ahli ini sudah dibuat atau


digandakan secara tertulis dan dalam dua belas rangkap?

60. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Sudah Majelis, tapi hanya paparan yang pertama namun dalam


dialog tadi tentunya akan masuk dalam Berita Acara, namun kami sudah

20
siapkan dua belas rangkap, insya Allah dua belas rangkap dari kertas
kerja yang akan disampaikan.

61. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Petugas supaya menjemput! Dua belas rangkap Saudara Kuasa.

62. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Mohon maaf, masih ada kekurangan dua lagi sedang di-foto copy.

63. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Apa yang ada saja dulu sebentar menyusul.

64. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Terima kasih.

65. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Sekarang kami ingin memberi kesempatan kepada Hakim Panelis


untuk mengajukan pertanyaan, Hakim Panelis Profesor Natabaya, silakan
Pak.

66. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Saudara Ahli, sebelum memasuki mengenai masalah materi saya


mau bertanya sedikit, bahwa tadi Saudara Panelis menyinggung
mengenai Pasal 24 daripada Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 24 ayat
(5), bahwa dalam rangka criminal justice system. Saya bertanya apakah
Pasal 24 ayat (5) yang dijadikan sebagai dasar permohonan oleh
Pemohon itu mengatur mengenai hak konstitusional?

67. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 Pak?

68. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Iya, saya bacakan Pasal 24 ayat (5), “susunan kedudukan


keanggotaan dan Hukum Acara Mahkamah Agung serta badan peradilan
di bawahnya diatur dengan undang-undang”, apakah ini mengatur
mengenai hak konstitusional daripada Pemohon?

21
69. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Tidak berkait secara langsung.

70. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Ya, sebab ini merupakan salah satu permohonan dia mengatakan


demikian. Nah, sekarang memasuki mengenai masalah yang ada
kaitannya dengan pokok permohonan. Dalam pokok permohonan ini
yang menjadi persoalan adalah mengenai pembentukan daripada HAM
Ad Hoc pengadilan ya? Apakah Saudara Ahli mengetahui bahwa sebelum
adanya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu ada ketentuan yang
menyangkut mengenai penyelesaian mengenai kejahatan HAM berat?

71. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Di Indonesia?

72. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Ya, di Indonesia. Ada tidak?

73. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ada di Undang-Undang HAM.

74. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Bukan, mengenai Pengadilan HAM berat, sebelum adanya


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai penyelesaian sengketa
mengenai HAM berat, apakah Saudara Ahli mengetahui ada ketentuan-
ketentuan mengenai penyelesaian itu?

75. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ketentuan menyangkut apa?

76. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Penyelesaian HAM berat di Indonesia.

77. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

22
Diatur di dalam Undang-Undang Komnas HAM, misalnya melalui
rekonsiliasi, penyelesaian seperti itu.

78. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Saya jelaskan, Saudara Ahli tidak mengikuti. Bahwa sebelum


Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu ada Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
apakah Saudara tahu bagaimana sejarah nasibnya?

79. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Nasibnya tidak tahu.

80. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Artinya Saudara tidak mengikuti perkembangan, bahwa Perpu ini


ditolak oleh DPR. Akibat ditolak oleh DPR, maka disiapkan oleh
Pemerintah dan DPR itu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu,
mengenai masalah HAM berat itu itu kan? Sekarang, undang-Undang
Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000 itu berlakunya kapan?

81. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Undang-Undang Pengadilan HAM?

82. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu.

83. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Saya harus melihat.

84. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Saya bacakan! Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 November


2000, berlakunya ini surut tidak?

85. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Kalau Undang-Undang Pengadilan HAM itu secara prinsipal tidak


menganut berlaku surut.

86. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

23
Sebab bunyi Pasal 51—saya bacakan—undang-undang ini mulai
berlaku tanggal diundangkan, artinya ke depan bukan?

87. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Ya, ke depan.

88. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Nah, sekarang timbul permasalahan bagaimana menyelesaikan


pelanggaran HAM berat sebelum undang-undang ini? Maka Undang-
Undang Nomor 26 itu sendiri mengenai keberadaan Pengadilan HAM
berat itu, Pasal 43. Untuk menyelesaikan perkara sebelum Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 itu berlaku, diberlakukan ada kejadian.
Bagaimana cara menyelesaikannya ini? Maka menyelesaikannya ini harus
dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc itulah Pasal 43 itu, di dalam Bab VII
itu. Tadi ada Saudara mengatakan bahwa mengenai penyelidikan dan
semacamnya itu harus dilakukan oleh penyelidik? Menurut Saudara hasil
penyelidikan siapa yang dilakukan oleh Pengadilan HAM berat yang telah
dilaksanakan itu? Yang untuk Tim-Tim itu?
Apakah itu pekerjaan DPR ataukah siapa yang melakukan?

89. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM-nya harus


dilakukan oleh Komnas HAM penyelidik itu.

90. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Komnas HAM-nya belum terbentuk, belum bisa mempunyai


kewenangan karena undang-undang ini berlaku ke depan.

91. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Semestinya untuk membentuk Undang-Undang Pengadilan HAM


Ad Hoc dibuatlah aturannya.

92. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Saudara harus baca Pasal 48! Pasal 48 mengatakan penyelidikan-


penyidikan dan penuntutan pelangaran HAM yang berat, yang sudah
atau yang sedang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang HAM tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Artinya apa yang dilakukan oleh Pengadilan HAM berat yang sebelum ini

24
yang di Timor-Timur itu sudah hasil penyelidikan dari Komnas HAM yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, undang-
undang yang mengatur.
Jadi DPR tidak mengadakan penyelidikan, DPR hanya melakukan
pembentukan dia tidak adakan penyelidikan karena ini sudah ada. Jadi
dia tidak melanggar ketentuan-ketentuan itu, jadi hal-hal itu adalah
mengenai masalah itu. Sekarang kenapa pembentukan Pengadilan HAM
berat itu harus ada? Karena ini ada masalah adanya ketentuan Undang-
Undang Dasar yang tidak boleh retroaktif, Pasal 28E ayat (1) ayat (2),
sekarang bagaimana caranya untuk menembus ini? Inilah Pengadilan
HAM Ad Hoc itu dibentuk dan harus mempunyai kewenangan oleh DPR,
karena yang mempunyai kewenangan di dalam hal itu adalah DPR
bersama dengan Pemerintah, ini masalahnya bukan?
Sekarang menurut Ahli bagaimana cara penyelesaian HAM berat
sebelumnya kalau tidak diatur dari sini? Di dalam undang-undang itu
sendiri, karena Undang-Undang Dasar itu melarang. Ini persoalan yang
dihadapi di dalam masalah-masalah ini. Jadi yang dimaksud Saudara
mengenai criminal justice system itu bagaimana menurut Anda?

93. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Jadi begini, criminal justice merupakan bagian sistem kekuasaan


kehakiman yang mempunyai konsep-konsepnya dan berlaku di Indonesia
itu sekitar baru tahun 70-an. Karena sebelumnya peradilan pidana kita
ini memakai konsep law enforcement. Karena itu dari kajian dan
pengamatan saya selaku menurut keilmuan saya yang saya tekuni
banyak sekali konsep-konsep criminal justice system ini belum dipahami
secara benar dan baik.

94. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Saya mau tanya, apakah KUHAP itu tidak merupakan criminal


justice system?

95. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Kalau hukum acara itu masuk ke dalam criminal justice process,


jadi ada bedanya antara criminal justice system dan criminal justice
process. Kalau criminal justice system itu dimulai sejak pembentukan
undang-undang—Undang-Undang Pidana dalam hal ini—sampai kepada
narapidana itu dibina di LP—Lembaga Pemasyarakatan.

96. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Apakah KUHAP itu salah satu bentuk daripada criminal justice


system?

25
97. AHLI DARI PEMOHON : Dr. M. SHOLEHUDDIN,S.H., M.H.

Salah satu bentuk, tetapi beda.

98. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Ya, betul! Di dalam hal ini, di dalam pelaksanaan pelanggaran


HAM berat ini dia tetap mengacu ke sana. Karena seluruh mengenai
ketentuan mengenai hukum acara yang diperlakukan di dalam proses
Pengadilan HAM berat itu adalah proses di dalam KUHAP plus yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 26. Dia tetap criminal justice
system, mulai daripada penyedik, penyelidik, penuntut, pengadilan, dan
lembaga permasyarakatan adalah satu sistem, tetap digunakan oleh ini.
Jadi Pengadilan HAM berat itu tetap mengacu kepada ini, apa yang
sudah diatur dalam undang-undang itu. Yang kata Anda bahwa tidak ada
statuta, itu merupakan statuta bagi pengadilan HAM berat, dia tidak
perlu lagi membuat suatu ketentuan yang baru karena undang-undang
itu sudah diperlakukan untuk pelaksanaan pemeriksaan pelanggaran
HAM itu.

99. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI, S.H.

Selanjutnya kalau dari pihak Pemerintah termasuk Jaksa Agung


kalau mungkin akan ajukan pertanyaan?

100. PEMERINTAH : MUALIMIN ABDI, S.H., M.H. (KABAG LITIGASI


DEPT HUKUM DAN HAM)

Terima kasih Yang Mulia.


Kami dari Pemerintah hanya ingin memberikan statement bahwa
Pemerintah pada dasarnya sangat menghargai informasi tentang criminal
justice system itu, kaitannya tindak pidana yang dilakukan oleh
Pemohon. Kami hanya ingin menyampaikan bahwa apa yang
disampaikan oleh Ahli seyogianya hal ini menjadi bahan atau masukan
terhadap DPR di dalam menyusun perundang-undangan atau paling
tidak itu dalam rangka perubahan atau amandemen Undang-Undang
Pengadilan HAM, karena kalau kita lihat dengan permohonan yang
dimohonkan oleh Pemohon itukan kaitannya dengan pengujian formil.
Jadi kalau pengujian formil itu tentunya berkaitan dengan proses
pembentukan peraturan perundang-undangan itu. Literatur yang kami
baca di sana mengatakan bahwa kalau pengujian formil itu apakah di
dalam prosesnya mengandung unsur-unsur korupsi, penyuapan, atau
tidak terkait atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan

26
yang berlaku. Jadi oleh karena itu Pemerintah berpendapat bahwa apa
yang disampaikan oleh Ahli dalam hal ini adalah seyogianya disampaikan
kepada pembentuk undang-undang dalam kaitannya legislative review.
Yang kedua adalah, barangkali kalau ini pertanyaan kami ingin
mendapat gambaran dari Ahli dimana sebagaimana tadi Hakim Konstitusi
sampaikan, dimana letak kerugian konstitusionalitas dari Pemohon itu
sendiri? Karena kalau kita membaca Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi maupun Undang-Undang Dasar, “Pemohon adalah yang
merasa hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
keberlakuan undang-undang ini.” Kami ingin mendapatkan gambaran
yang jelas dari Ahli, barangkali untuk memperkaya Pemerintah di dalam
mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dalam pengujian undang-undang
ini.
Terima kasih Yang Mulia.

101. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Apa yang dikemukakan oleh yang mewakili Pemerintah adalah


bersifat pernyataan belaka dan itu direkam, saya kira tidak perlulah
Saudara Ahli menjawabnya. Saudara Kuasa sudah selesai?

102. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Ada sedikit yang saya agak bingung kalau DPR dikatakan tidak
melakukan penyelidikan dalam kasus ini, faktanya yang bersangkutan
melakukan penyelidikan, ini yang mengalami bahwa dia diperiksa oleh
DPR oleh tim gabungan. Kalau dikatakan DPR tidak melakukan
penyelidikan dia diinterogasi, kemudian DPR juga mencari bukti-bukti ke
Timor-Timur dan lain sebagainya, apakah itu bukan bentuk dari
penyelidikan dan penyidikan?
Terima kasih.

103. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Mau ditanggapi atau tidak usah?

104. HAKIM KONSTITUSI : Prof.H.A.S NATABAYA,S.H., LL.M

Yang menjadi objek pemeriksaaan di sini adalah apakah Pasal 43


itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak? Kalau
masalah bahwa DPR melakukan penyelidikan atau tidak itu bukan urusan
Mahkamah. Bahwa DPR menggunakan ketentuan seperti di KUHAP, itu
urusan DPR. Tapi yang menjadi objek daripada Mahkamah ini adalah
apakah Pasal 43 itu pembentukannya bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar atau tidak. Bahwa di dalam prosesnya ada ini ada itu, itu

27
sebetulnya harus dikemukakan dalam persidangan dalam pengadilan
HAM berat kemarin itu, sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan
HAM berat tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara si
Pemohon di situ, bukan di sini.

105. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Demikian jawaban Hakim Panelis kepada Saudara Kuasa


Pemohon.

106. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Cukup jelas, yang penting ada kejelasan saja maksud daripada


tidak melakukan, cukup jelas.
Terima kasih.

107. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Baiklah, saya kira sudah selesai sampai di sini, sudah tidak ada
yang bakal dikemukakan lagi ya?

108. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Tanpa rasa mengurangi rasa hormat kami, pasti Hakim Mahkamah


Konstitusi sangat memperhatikan, tetapi perkenankan kami hanya untuk
keyakinan kami mengulangi permohonan kami untuk meminta waktu lagi
mengajukan dua ahli yang sangat berhalangan di hari ini dan tambahan
satu saksi lagi di antara daftar itu karena penting untuk menunjang
keterangan saksi-saksi lainnya. Pertanyaan teknisnya, apakah setelah
kami ajukan secara lisan di dalam persidangan ini perlu ditambah
dengan pengajuan surat permohonan?

109. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Saudara Kuasa yang saya hormati, jadi permintaan Saudara itu


diperhatikan oleh panelis dan akan dilaporkan kepada RPH. Jadi
penentuannya apakah permintaan Saudara dikabulkan atau tidak untuk
mengajukan yang berhalangan ini sangat bergantung kepada putusan
RPH dan suratnya sudah maju ya?

110. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

28
Surat sudah kami masukkan.

111. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Ya, nanti akan dibalas setelah dilaporkan kepada RPH.


Kemungkinan diganti orang ada tidak?

112. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Menambah, tapi menambah dari daftar yang sudah pernah kami


ajukan, satu saja Doktor Bernard.

113. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Diajukan saja nama-nama baru tadi.

114. KUASA HUKUM PEMOHON : H.M MAHENDRADATTA, S.H. MA,


M.H, Ph.D

Baik, terima kasih banyak.

115. KETUA : Prof. Dr. H.M LAICA MARZUKI,S.H.

Selanjutnya, sebelum Panelis menutup Sidang Panel ini dengan ini


Panelis mengemukakan apresiasi atas kehadiran Saudara Ahli guna turut
beracara di Mahkamah Konstitusi.
Baiklah, Sidang Panel pada siang hari ini dinyatakan selesai.

KETUK PALU 3X

SIDANG DITUTUP PUKUL 11.18 WIB

29

Anda mungkin juga menyukai