REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 56/PUU-IX/2011
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA
(PASAL 67 DAN PASAL 244)
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA
PEMERIKSAAN PENDAHULUAN
(I)
JAKARTA
RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 56/PUU-IX/2011
PERIHAL
PEMOHON
ACARA
SUSUNAN PERSIDANGAN
i
Pihak yang Hadir
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.40 WIB
KETUK PALU 3X
Terima kasih, Yang Mulia. Saya perkenalkan diri saya Prof. Dr.
Yusril Ihza Mahendra, S.H. M.Sc. Dan di sebelah kanan saya ada Saudara
La Ode Haris, S.H. Dan sebelah kiri saya Saudara Mansur, S.H. Ketiga
kami adalah Kuasa Hukum dari Pemohon Prinsipal Ir. Agusrin M.
Najamudin yang sekarang Pemohon Prinsipal tidak hadir pada
kesempatan ini. Berdasarkan kuasa hukum yang sah yang telah
diberikan kepada kami, kami mengajukan permohonan untuk melakukan
pengujian undang-undang, yaitu uji materil Pasal 67 dan Pasal 244,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Terima kasih, Yang Mulia.
2
dan akan kami revisi. Begitu juga kesalahan-kesalahan teknis
pengetikan, ada kalimat-kalimat yang terpotong yang akan kami
perbaiki. Lain daripada itu, kami sangat mengharapkan Majelis Hakim
dalam sidang pendahuluan ini dapat memberikan saran, pendapat, dan
masukan untuk kami memperbaiki dan mempertajam, baik argumen
maupun hal-hal lain yang terkait dengan permohonan ini. Karena
mungkin ada sesuatu yang baru yang belum pernah terjadi dalam proses
pengujian undang-undang sebelumnya karena di dalam permohonan ini
sebenarnya adalah menguji yurisprudensi dari Mahkamah Agung.
Pertama-tama, kami ingin menegaskan bahwa Pemohon Prinsipal
Ir. Agusrin M. Najamudin adalah mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) untuk mengajukan perkara ini berdasarkan pertimbangan
bahwa Pasal 244, dan Pasal 67, dan Pasal 244 KUHP itu pada intinya…,
KUHAP pada intinya adalah bahwa terhadap putusan bebas (putusan
vrijspraak) oleh pengadilan negeri tidak dapat diajukan banding kepada
pengadilan tinggi. Begitu juga Pasal 244 dari KUHAP menyatakan bahwa
terhadap putusan banding, tidak dapat diajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Terhadap putusan bebas tidak dapat ajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
Pemohon Prinsipal yaitu Ir. M. Najamudin…, eh, Ir. Agusrin M.
Najamudin adalah Gubernur Bengkulu nonaktif yang sekarang ini, yang
ketika mengajukan permohonan ini berstatus sebagai terdakwa dalam
perkara pidana yang telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan petitum putusan yang menyatakan putusan tersebut
tanggal 24 Mei 2011 yang lalu, yang Amar putusannya terdiri sebagai
berikut. Menyatakan terdakwa Ir. Agusrin M. Najamudin bin Maryono
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi, sebagaimana dalam dakwaan primer dan subsider.
Kedua, membebaskan terdakwa. Oleh karena itu, dari semua
dakwaan penuntutan umum…, penuntut umum ketika menyatakan
memulihkan hak terdakwa dan kemampuan kedudukan dan harkat serta
martabatnya.
Sebenarnya berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP, maka
putusan ini final. Karena Pasal 67 KUHAP jelas menyatakan bahwa
terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding. Bahwa di dalam
kasus yang dihadapi Pemohon Jaksa memang tidak melakukan banding,
namun langsung mengajukan kasasi atas putusan tersebut dan nyata-
nyata melanggar ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP. Namun
menurut penuntut umum berdalih bahwa pengajuan kasasi seperti itu
didasarkan atas yurisprudensi Mahkamah Agung.
Nah, selanjutnya proses itu sedang berlangsung dan sekarang
nyata-nyata bahwa Jaksa penuntut umum telah mengajukan kasasi
kepada Mahkamah Agung dan Pemohon Prinsipal melalui para penasihat
hukumnya juga sudah mengajukan kontra memori terhadap kasasi yang
diajukan oleh jaksa penuntut hukum itu kepada Mahkamah Agung.
Dengan alasan ini, maka kami berkeyakinan bahwa Pemohon memiliki
3
kedudukan hukum, lantaran ada hak-hak konstitusional dari Pemohon
yang dirugikan, yaitu antara lain di dalam hak-hak yang diatur di dalam
pasal…, di dalam Pasal 28D ayat (1) dari Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya tentang Jaminan, Keadilan, Pengakuan, Kesamaan, dan
Kepastian Hukum yang Adil.
Sebenarnya ketentuan-ketentuan ini adalah sudah jelas, terang,
dan pada hemat Pemohon adalah satu ketentuan yang konstitusional,
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dalam
perkembangannya ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 dari KUHAP ini
mengalami satu pergeseran penting. Pertama-tama dia bergeser dengan
salah satu surat keputusan dari Menteri Kehakiman yang kami jelaskan
di sini dan surat keputusan Menteri Kehakiman itu kemudian…, lima hari
kemudian pada tahun 1983 melahirkan yurisprudensi ke Mahkamah
Agung, yaitu dalam perkara Raden Sonson Natalegawa pada waktu itu
yang didakwa melakukan korupsi dan kemudian oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat diputuskan bebas, tapi jaksanya kemudian melakukan
banding dan permohonan banding itu diregister oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, meskipun bertentangan dengan KUHAP yang melarang
panitera untuk menerima, merigister permohonan banding atas putusan
bebas dan diteruskan ke pengadilan tinggi, kemudian dihukum dan
kemudian mengajukan kasasi. Dan dari kasasi itu lahirlah satu hal yang
sampai sekarang dikatakan sebagai satu yurisprudensi, tetap Mahkamah
Agung yang sebenarnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan di
dalam KUHAP.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Pasal 191 KUHAP hanya
mengenal tiga jenis putusan, yaitu putusan bebas (vrijspraak), putusan
lepas (ontslag), dan yang ketiga adalah menjatuhkan hukuman. Hanya
tiga jenis keputusan inilah yang dikenal di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana kita. Namun, dalam pertimbangan Mahkamah
Agung mengatakan bahwa terhadap putusan bebas itu sebenarnya dapat
dibedakan dua kategori, apa yang disebut dengan bebas murni atau
bebas tidak murni. Dan di dalam literatur-literatur hukum Belanda, kita
mengenal apa yang disebut dengan zuivere vrijspraak dan (bedekte
vrijspraak). Tapi tidak dikenal, baik di dalam HIR, di dalam (suara tidak
terdengar jelas), maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana hanya hal seperti itu dikenal di dalam praktik-praktik pengadilan
di bawah HIR dan belum pernah dipraktikan di bawah KUHAP, tiga
KUHAP diberlakukan pada tahun 1981. Namun surat keputusan Menteri
Kehakiman pada waktu itu mengajukan pertanyaan, “Bolehkah diajukan
banding dan kasasi terhadap putusan bebas?” Alasannya boleh,
mengingat situasi, dan kondisi, kebenaran, dan keadilan, boleh
mengajukan banding dan kasasi yang nanti akan didasarkan kepada
yurisprudensi.
Jadi pada waktu surat Menteri Kehakiman dikeluarkan pada tahun
1983, itu memang belum ada yurisprudensinya. Jadi memang kelihatan
ada semacam suatu rekayasa, nanti akan didasarkan pada yurisprudensi.
4
Dan betul beberapa hari kemudian muncullah putusan Mahkamkah
Agung yang dipimpin oleh Hakim Hadi Handoyo pada waktu itu yang
memberikan pertimbangan-pertimbangan yang kami kutipkan panjang
sekali di dalam permohonan ini yang pada intinya terhadap putusan
bebas itu dapat diajukan kasasi dan Mahkamah Agung dengan dalih
dapat melakukan pengawasan dan pembinaan kepada pengadilan di
bawahnya, dapat memeriksa kasasi itu, dan menilai apakah putusan
bebas itu tergolong ke dalam zuivere vrijspraak ataukah bedekte
vrijspraak. Dan karena putusan Raden Sonson Natalegawa itu terus-
menerus dijadikan acuan oleh banyak sekali putusan-putusan pengadilan
sampai sekarang, maka dia dikategorikan sebagai yurisprudensi tetap
dari Mahkamah Agung.
Persoalannya adalah Mahkamah Konstitusi seperti dijelaskan
oleh…, seperti diatur oleh Undang-Undang Dasar, maupun berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku, salah satu
kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Pertanyaannya adalah apakah Mahkamah Konstitusi
dapat menguji sebuah yurisprudensi? Ini persoalan yang kami katakan
sesuatu yang baru, yang barangkali memerlukan pemikiran dan mudah-
mudahan Mahkamah akan mempertimbangkan hal ini. Memang di dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-
Undangan, yurisprudensi tidak termasuk salah satu bentuk dari
peraturan hukum dan masuk dalam istilah hukum, namun dalam politik
hukum diakui yurisprudensi adalah sebagai sumber hukum. Tetapi dalam
praktiknya ya, yurisprudensi Mahkamah Agung bukan saja dapat
menyampingkan satu teks undang-undang, satu norma undang-undang,
bahkan yurisprudensi Mahkamah Agung itu dapat menggeser satu norma
undang-undang hukum positif yang berlaku.
Kalaulah kita selama ini berkeyakinan bahwa Mahkamah Konstitusi
adalah The Guardian of the Constitution, sebagai penjaga konstitusi dan
Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai nilai yang setara
dengan Undang-Undang Dasar, maka Putusan Mahkamah Agung yang
menjadi yurisprudensi tetap, juga sebenarnya mempunyai kekuatan yang
setara dengan undang-undang. Oleh karena itu, kami berpendapat
Mahkamah Konstitusi dapat menguji yurisprudensi Mahkamah Agung.
Kalau sekiranya pandangan kami ini mungkin dinilai tidak tepat,
tentu kami akan memperbaiki argumen-argumen kami di dalam
menyusun argumentasi dari permohonan ini. Mungkin tidak argumen
itu, tapi argumen lain bahwa ketentuan dalam Pasal 67 dan Pasal 244
KUHAP sebagai norma hukum positif yang berlaku adalah konstitusional,
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, tetapi berbagai
penafsiran muncul, mulai dari Surat Menteri Kehakiman, mulai dari
Putusan-Putusan Mahkamah Agung, dan juga baru-baru ini keterangan
resmi dari Jaksa Agung, Basrief Arief dalam Sidang DPR RI Komisi III
yang mempertanyakan kasus Prita..., Prita Mulyasari ya, yang juga
5
diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tetapi, jaksa
mengajukan kasasi atas putusan itu dengan melanggar Pasal 67 dan
pasal 244, tapi Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi itu dan
mengadili sendiri, lalu kemudian membatalkan putusan Pengadilan
Jakarta Pusat dan menghukum Prita Mulyasari, lagi-lagi dengan merujuk
kepada yurisprudensi yang dibuat oleh Andi Handoyo pada tahun 1983.
Dan ketika DPR mempertanyakan kepada Jaksa Agung Basrief
Arief, apa alasan mengajukan kasasi terhadap putusan bebas padahal
bertentangan dengan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, maka Jaksa Agung
Basrief Arief dengan jawaban resmi ke DPR merujuk kepada Surat
Menteri Kehakiman pada tahun 1983, sebagai dasar untuk mengajukan
kasasi. Menjadi pertanyaan penting bagi kita, apakah sebenarnya
kekuatan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Tahun 1983 itu? Sehingga
dapat dijadikan dasar oleh Mahkamah Agung dan dijadikan pegangan
oleh Jaksa Agung Basrief Arief untuk melangkahi ketentuan Pasal 67 dan
Pasal 244 KUHAP.
Nah, persoalan-persoalan kalau sekiranya memang ada
pandangan bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk menguji
yurisprudensi, maka kami akan memperbaiki argumen atau permohonan
ini tidak pada hal itu. Tetapi, ketentuan yang hukum positif yang
sebenarnya konstitusional, tidak bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan Undang-Undang Dasar, tapi karena ditafsirkan bermacam-
macam baik oleh jaksa agung maupun oleh Mahkamah Agung maupun
oleh para akademisi dan lain-lain, sehingga penafsiran yang beraneka
ragam itu menghilangkan kepastian hukum yang sudah dijamin oleh
Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP yang bersesuaian dengan ketentuan
Pasal 28D ayat (1) dari Undang-Undang Dasar 1945.
Inilah inti persoalan yang kami kemukakan ini dan karena ini
sebenarnya menyangkut kepentingan begitu banyak orang, bukan hanya
Pemohon Prinsipal Ir. Najamudin..., Ir. Agusrin M. Najamudin yang
sekarang ini adalah Gubernur Bengkulu aktif, kemudian diberhentikan
sementara karena menjadi terdakwa, diputus bebas oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, mestinya sudah selesai. Dia kembali ke kedudukan
semula sebagai gubernur dalam waktu 30 hari menurut Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tapi karena jaksa
melakukan kasasi, maka sampai hari ini Pemohon Prinsipal tetap tidak
dapat dipulihkan kembali kedudukannya sebagai Gubernur Provinsi
Bengkulu yang aktif.
Dan oleh karena ini juga menyangkut nasib seseorang, melalui
sidang pendahuluan ini, kami mohon juga kepada Majelis Hakim untuk
mempertimbangkan, memberikan prioritas, mempercepat perkara ini
karena menyangkut kedudukan dari seorang gubernur yang tidak dapat
aktif karena terhalang dengan upaya kasasi dari, dari jaksa ini, dan ini
akan juga menimbulkan persoalan konstitusional yang baru, apakah
guberner itu suspend karena hal seperti ini berkaitan dengan masa
jabatannya sebagai gubernur selama 5 tahun.
6
Kami mohon kiranya hal ini dapat dipertimbangkan untuk dapat
kita proses dalam waktu yang tidak terlalu lama. Terima kasih, Yang
Mulia.
7
menurut…, menurut permohonan Pemohon. Jadi ini masalah betul ini
karena merupakan hal yang di luar daripada penggarisan yang sudah
ada sebelumnya.
Demikian juga di petitum nomor 3, itu jurisprudence tertentu yang
kami…, kalau klasemen yang saya lihat itu jurisprudence Mahkamah
Agung itu biasanya nomor dua…, nomornya dulu baru tidak ada garis
miringnya, terus K, K itu artinya kasasi, biasnya itu. Jadi mungkin…,
mungkin…, tapi penulisan saja dulu, mungkin tidak ada garis miringnya
itu, kepada Saudara Pemohon. Jadi 273 umpanyanya, K garis miring PIK,
kalau lain kan perdata PDT, nah itu. Ndak…, ndak ada garis miringnya,
tapi ndak…, itu ndak jadi soal.
Kemudian dan ini betul-betul hal-hal yang di luar ini. Ini
sebenarnya kalau ndak salah di…, di Jerman itu boleh, boleh
membatalkan putusan Mahkamah Agung, MK itu. Tapi di sini tidak,
jadi…, jadi mungkin bisa dibuat rumusan sedemikian rupa bagaimana
baiknya ini supaya bisa kena. Secara pribadi dapat dipahami, tapi cuma
ini kewenangan ini bagaimana ini memasukinnya. Sebagai orang yang
bekas dari peradilan umum, saya katakan lalu apa sih, kok kenapa kok
nambah kerjaan, kalau sudah selesai di sana ya selesai. Dosanya…,
dosanya di sana, kalau hakim pertamanya. Tapi itu sudah tidak ada
Mahkamah Agung. Saya selesai, Pak.
Ya, Saudara diberi waktu 14 hari setelah hari ini. Ya, silakan Pak
Alim.
8
9. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM
9
Nah, kalau yurisprudensi ini bisa menggeser satu undang-undang,
apakah tidak kekuatan yurisprudensi itu setara dengan undang-undang?
Kalaulah Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang,
maka mengapa suatu yurisprudensi setara dengan undang-undang tidak
dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi? Itu suatu hal baru yang belum
kita pertimbangkan, apakah dengan kias dan analogi bahwa undang-
undang? Tetapi juga kalau memang ada suatu keputusan yang dapat
menyampingkan undang-undang, akan meniadakan norma undang-
undang, tidakkah itu bisa diuji oleh Makamah Konstitusi? Kalau masalah
ini dibiarkan, tidak ada cara untuk menyelesaikannya dan kami berharap
kepada Mahkamah Konstitusi sebagai (suara tidak terdengar jelas) dapat
memberikan solusi terhadap masalah ini.
Hal lain yang ingin kami sampaikan adalah bahwa memang
lazimnya dalam permohonan di Mahkamah Konstitusi ini untuk
menyatakan membatalkan suatu undang-undang karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar ataupun juga kemudian memberikan
tafsir, sehingga dia menjadi konstitusional. Tapi kalau kita mempelajari
Undang-Undang Dasar, maupun Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar. Apakah menguji itu memang harus berarti membatalkan?
Apakah menguji itu memang harus memberikan tafsir conditionally
constitutional ? Apakah kalau kami memohon bahwa Pasal 67 dan Pasal
244 ini mohon diuji? Ini konstitusional atau tidak? Apakah itu menyalahi?
Apakah itu bukan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi? Kalau kami
mohon Pasal 67 dan Pasal 244 ini (suara tidak terdengar jelas) menguji,
oh ini konstitusional. Apakah itu bukan kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi juga? Itu pertanyaan kami.
10
Dengan demikian sidang saya nyatakan ditutup.
KETUK PALU 3X
t.t.d.
Paiyo
NIP. 19601210 198502 1 001
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
11