Anda di halaman 1dari 21

LOGBOOK TUTORIAL

BLOK TRAUMATOLOGI DAN EMERGENCY


SKENARIO 2
“PERAMPOKAN BERDARAH ”

PEMBIMBING :
dr. Torus Hasayangan

Disusun Oleh:
Luckie Loveanis
61120028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
T.A. 2023/2024
SKENARIO 2
“PERAMPOKAN BERDARAH”

Tn. Deni, seorang laki-laki berusia 25 tahun datang diantar oleh


keluarganya ke IGD RSUD Kota Batam merupakan korban perampokan
dirumahnya sejak 1 jam yang lalu dengan luka robek di bagian perut dari ulu hati
hingga perut bagian kanan atas, dengan usus dan lambung terburai keluar.
Pasien datang dalam keadaan tidak sadarkan diri diantar oleh keluarganya.
Terdapat perdarahan dari luka tersebut yang keluar terus-menerus. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran pasien menurun, dengan GCS E3V4M5,
TD 90/50 mmHg, RR 40x/menit ; tidak dalam ; teratur, N 115 x/menit ; kuat ;
teratur, dan T 36,7 °C, akral teraba agak dingin, dari pemeriksaan tersebut
menandakan pasien dalam keadaan syok.
Sedangkan hasil pemeriksaan Hb 6 gr/dl, Berat Badan pasien 60 Kg.
Sedangkan status lokalis abdomen didapatkan luka robek sepanjang 15 cm dari
regio epigastrika hingga hipogastrika dekstra, dengan usus dan lambung terburai
keluar, dan perdarahan yang terus- menerus. Pasien segera mendapatkan
penanganan awal intensif terutama untuk mengatasi keadaan syok pasien dan
segera dilakukan operasi berupa Laparatomi Eksplorasi Cito. Dan dari
pembedahan laparotomi tersebut didapatkan adanya luka robek pada liver cukup
lebar yang mengeluarkan darah terus-menerus. Setelah dilakukan laparotomi
pasien dirawat di Intensive Care Unit (ICU) agar pasien lebih termonitor keadaan
umum dan tanda-tanda vitalnya.
Bagaimana anda menjelaskan keadaan yang dialami oleh pasien dan
bagaimana penanganannya secara cepat, tepat dan sistematis ?

TERMINOLOGI ASING
1. Laparotomi : Insisi melalui dinding perut (Dorland ed.30:422)
2. Akral : Berkenaan dengan/mempengaruhi tungkai/ekstremitas
lain (Dorland ed.30 : 8)
3. Cito : Cepat/Segera (Bahasa Latin)
4. Ekspbrasi : Penyelidikan/pemeriksaan untuk tujuan diagnostik
(Dorland 29:411)
5. Hipogastric : Di bagian tengah bawah/ suprapubik.
6. ICU : Tempat pasien dikirim jika pasien memerlukan
pemantauan ketat (Kemenkes)
7. Epigastrica : Daerah perut bagian tengah dan atas yang terletak
diantara angulus sterni (Dorland ed. 30 : 272)
8. Liver : Kelenjar besar berwarna merah gelap pada bagian atas
perut sebelah kanan tepat dibawah diagfragma (Dorland
ed. 29: 446)

RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang menyebabkan luka terjadi perdarahan terus menerus?
2. Mengapa tuan Deni bisa mengalami syok ?
3. Bagaimana keadaan tuan Deni setelah dilakukan laparotomi ?
4. Bagaimana cara untuk memberhentikan perdarahan terus menerus?
5. Apakah operasi laparotomi eksplorasi cito yang dilakukan tuan Deni tepat
dan efektif?

HIPOTESIS
1. Dikarenakan besar luka robek yang didapat oleh tuan Deni memungkinkan
terjadinya perdarahan yang mengenai pembuluh darah pada abdomen.
2. Berdasarkan skenario, tuan Deni mengalami syok hipovolemik disebabkan
oleh tidak cukupnya volume sirkulasi akibat perdarahan.
3. Setelah dilakukan laparotomi tuan Deni dirawat di ICU agar lebih
termonitor keadaan umum dan tanda-tanda vitalnya.
4. Adanya bahan yang tersisa seperti kasa, kemeja, handuk kemudian ditekan
pada luka untuk membantu koagulasi.
5. Operasi laparotomi eksplorasi cito ini tepat dan efektif dalam
mengeluarkan darah yang mengalami perdarahan dan menjaga kesehatan
tuan Deni.
SKEMA

Tuan Deni
25 Tahun

Anamnesis: Pemeriksaan fisik:


1. Status generalis:
Keluahan Utama: a. GCS E3V4M5
Terdapat luka robek b. TD : 90/50 mmHg
dibagian perut bagian kanan c. RR : 40x/menit (tidak
atas dengan usus lambung dalam dan teratur)
terburai keluar. d. Nadi : 115x/menit (kuat
dan teratur)
Keluhan tambahan: e. Suhu : 36,7◦c (agak
1. Pasien tidak sadar teraba dingin)
diri f. BB : 60kg
2. Perdarahan dari luka g. HB : 6 gram/dL
keluar terus 2. Status lokalis luka :
menerus. a. robek sepanjang 15cm
dari epigastrika-
hipogastrika dengan

Diagnosis usus dan lambung

Luka abdomen terurai keluar


b. perdarahan terus
menerus

Tatalaksana
Laparotomi dan ICU
LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami pengertian syok
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami jenis-jenis syok
3. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami manifestasi klinis syok
akibat perdarahan
4. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami penanganan syok akibat
perdarahan
5. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami penegakan diagnosis dan
tatalaksana trauma tajam pada abdomen
6. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami indikasi laparatomi
eksplorasi
7. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami penanganan luka
organ dalam abdomen
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

1. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami pengertian syok


Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi
kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan perfusi jaringan
vital atau menurunnya volume darah secara bermakna. Syok juga dapat terjadi
akibat dehidrasi jika kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau
kehilangan darah ≥ 20% EBV (estimated blood volume).

2. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami jenis-jenis syok


Secara umum, syok dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan
penyebabnya yaitu:
a. Syok hipovolemik (volume intravaskuler berkurang)
Syok hipovolemik merupakan syok yang paling sering dijumpai
pada anak, terjadi akibat kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.
Penyebab tersering syok hipovolemik pada anak adalah muntah, diare,
glikosuria, kebocoran plasma (misalnya pada demam berdarah dengue),
sepsis, trauma, luka bakar, perdarahan saluran cerna, perdarahan
intrakranial. Akibat kehilangan cairan, terjadi penurunan preload. Sesuai
dengan hukum Starling, penurunan preload ini akan berakibat pada
penurunan isi sekuncup, selanjutnya penurunan curah jantung. Baro
receptor akan merangsang syaraf simpatik untuk meningkatkan denyut
jantung dan vasokonstriksi untuk mempertahankan curah jantung dan
tekanan darah. Syok hipovolemik yang lama dapat mengakibatkan
gangguan fungsi organ-organ. Dalam keadaan normal, Ginjal menerima 25
persen curah jantung. Pada syok hipovolemik akan terjadi redistribusi
aliran darah dari korteks ke medula Bila keadaan ini berlangsung lama
akan terjadi tubular nekrosis akut serta gangguan glomerulus dengan
akibat gagal ginjal akut. Depresi miokardium juga sering terjadi,
sementara hipotensi yang lama dapat pula menyebabkan gangguan hati.
b. Syok Kardiogenik (pompa jantung terganggu)
Syok kardiogenik terjadi akibat kegagalan pompa jantung, yang
dapat diakibatkan akibat preload, afterload atau kontraktilitas miokardium.
Curah jantung juga menurun pada disritmia. Gangguan preload dapat
terjadi akibat pneumotoraks, efusi perikardium, hemoperikardium atau
penumoperikardium. Gangguan afterload dapat terjadi akibat kelainan
obstruktif congenital, emboli, peningkatan resistensi vaskular sistemik
(misalnya pada pheochromocytoma). Gangguan kontraktilitas miokardium
dapat diakibatkan infeksi virus, gangguan metabolik seperti asidosis,
hipoglikemia, hipokalsemia, penyakit kolagen dll. Disritmia, misalnya
blok arterioventrikular atau paroxysmal atrial takikardia dapat
mengakibatkan syok kardiogenik. Respon neurohumoral seperti terjadi
pada syok hipovolemik juga terjadi pada syok kardiogenik. Peningkatan
resistensi vaskular sistemik akan meningkatkan afterload yang lebih lanjut
akan berakibat penurunan curah jantung.
c. Syok obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung)
Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang
menuju jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac
tamponade. 5 Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok
obstruktif adalah CO↓, BP↓, dan SVR↑.
d. Syok distributif (vasomotor terganggu)
Syok distributif terjadi akibat berbagai sebab seperti blok syaraf
otonom pada anesthesia (syok neurogenik), anafilaksis dan sepsis.
Penurunan resistensi vaskular sistemik secara mendadak akan berakibat
penumpukan darah dalam pembuluh darah perifer dan penurunan tekanan
vena sentral. Pada syok septik, keadaan ini diperberat dengan adanya
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga volume intravaskular
berkurang.
1) Syok sepsis
Syok sepsis adalah sepsis berat disertai hipotensi persisten
walaupun telah mendapat resusitasi cairan awal yang adekuat.
Manifestasi klinis yang bisa terjadi adalah perubahan
hemodinamik yang dikategorikan menjadi : 1) kondisi
hiperdinamik (warm shock), yaitu takikardia, peningkatan
cardiac output (atau bisa normal), serta penurunan resistensi
pembuluh darah sistemik. 2) kondisi hipodinamik (cold shock)
yaitu, suatu bentuk lanjut setelah hiperdinamik, dimana telah
terjadi penurunan cardiac ourput.
2) Syok anafilaktik
Sindrom klinis syok yang terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (alergi) sistemik. Syok ini ditandai
dengan hipotensi, takikardia, akral dingin, serta oligouria dan
dapat disertai dengan reaksi sistemik anafilaktik seperti, reaksi
sistemik ringan : rasa gatal hangat, rasa penuh di mulut dan
tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar
mata dll. Reaksi sistemik sedang : gejala sistemik ringan
ditambah spasme bronkus dan/atau edema saluran napas
sehingga muncul keluhan sesak, batuk, atau mengi. Reaksi
sistemik berat : gejala sistemik ringan dan sedang yang lebih
berat.
3) Syok hemorrhagic
Syok mengacu pada perfusi jaringan yang tidak memadai
karena ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen jaringan
dan kemampuan tubuh untuk memasoknya. Ada banyak
penyebab syok hemoragik yang mencakup banyak sistem.
Trauma tumpul atau trauma tembus adalah penyebab paling
umum, diikuti oleh sumber gastrointestinal atas dan bawah.
Sumber obstetrik, vaskular, iatrogenik, dan bahkan sumber
urologis telah dijelaskan. Perdarahan dapat berasal dari
eksternal atau internal.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami manifestasi klinis
syok akibat perdarahan
Hypovolemic shock atau syok hipovolemik dapat didefinisikan sebagai
berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan kapasitas pembuluh
darah total. Hypovolemic shock merupakan syok yang disebabkan oleh
kehilangan cairan intravascular yang umumnya berupa darah atau plasma.
Kehilangan darah oleh luka yang terbuka merupakan salah satu penyebab yang
umum, namun kehilangan darah yang tidak terlihat dapat ditemukan di abdominal,
jaringan retroperitoneal, atau jaringan di sekitar retakan tulang. Sedangkan
kehilangan plasma protein dapat diasosiasikan dengan penyakit seperti
pankreasitis, peritonitis, luka bakar dan anafilaksis.
Manifestasi klinis syok hipovolemik
Klasifikasi pendarahan berdasarkan presentase volume darah yang hilang:
a. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
1) Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
2) Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan
frekuensi pernapasan.
3) Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk
kehilangan darah sekitar 10%
b. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
1) Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit),
takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan
pengisian kapiler, dan anxietas ringan.
2) Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar
katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah
diastolik.
c. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
1) Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan
tekanan darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang
signifikan, seperti kebingungan atau agitasi
2) Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-
40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang
menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
3) Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi
keputusan untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada
respon awal terhadap cairan.
d. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
1) Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah
sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak
terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar, penurunan
status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
2) Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami penanganan syok


akibat perdarahan
Penatalaksanaan untuk pasien yang datang dengan syok hipovolemik, penting
untuk membedakan antara syok hipovolemik hemoragik dan non-hemoragik,
karena hal ini akan menentukan penatalaksanaan. Resusitasi dini dengan
pengendalian sumber perdarahan yang cepat sangat penting untuk syok
hipovolemik hemoragik untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi
transfusi darah. Pengendalian sumber perdarahan dilakukan dengan cara
endoskopi, bedah, atau, yang lebih sering, radiologi intervensi. Dalam hal
resusitasi syok hemoragik, penggunaan produk darah dibandingkan resusitasi
kristaloid menghasilkan hasil yang lebih baik. Transfusi yang seimbang dengan
menggunakan 1:1:1 atau 1:1:2 plasma ke trombosit ke sel darah merah yang
dikemas menghasilkan hemostasis yang lebih baik.
Pemberian anti-fibrinolitik pada pasien dengan perdarahan hebat dalam waktu
3 jam setelah cedera traumatik tampaknya dapat mengurangi kematian akibat
perdarahan hebat. Standl et al. (2018) menyatakan bahwa penanganan syok
hipovolemik terdiri dari resusitasi cairan menggunakan cairan kristaloid dengan
akses vena perifer, dan pada pasien karena perdarahan, segera kontrol perdarahan
(transfusi). Dalam mencegah terjadinya hipoksia, disarankan untuk dilakukan
intubasi dengan normal ventilasi.
Menurut Kolecki & Menckhoff (2016) Cairan resusitasi yang digunakan
adalah 12 cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah
dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada
orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan
tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka
pemberian kristaloid terus dilanjutkan. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali
lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi
cairan kristaloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika
tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian
koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami penegakan diagnosis
dan tatalaksana trauma tajam pada abdomen
Pendekatan diagnostik trauma tajam pada abdomen
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa
ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu
dan turgor kulit.
Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada keadaan
syok hipovolemik:
a. Complete Blood Count (CBC), mengetahui kemungkinan terjadinya
penurunan hemoglobin, hematokrit dan platelet.
b. Blood Urea Nitrogen (BUN), peningkatan BUN menandakan adanya
disfungsi ginjal.
c. Kadar elektrolit dalam serum untuk menunjukkan abnormalitas.
d. Produksi urin, mungkin <400 ml/hari atau tidak ada sama sekali.
e. Pulse oximetry, untuk melihat penurunan saturasi oksigen.
f. AGDA, untuk mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.
g. Tes koagulasi, untuk menunjukkan pemanjangan PT dan APTT.
Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut,
antara lain:
a. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.
b. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan
gastrointestinal.
c. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
d. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.

Tatalaksana trauma tajam pada abdomen


Tatalaksana trauma tajam pada abdomen melibatkan langkah-langkah penting
untuk menangani cedera tersebut. Beberapa langkah penanganan yang dapat
dilakukan meliputi stabilisasi pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,
dan Tindakan lanjutan.
a. Langkah pertama terhadap orang yang mengalami trauma tajam abdomen
adalah mengevaluasi dan menstabilkan jalan napas serta sirkulasi darah
melalui metode ABC.
1) A (airway)
Pertama-tama, pastikan tidak ada cedera, luka memar, atau
luka terbuka di bagian leher yang dapat mengakibatkan obstruksi
jalan napas, dan suction untuk membersihkan akumulasi darah atau
sekresi yang dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
2) B (breathing)
Tindakan ini bertujuan untuk memastikan apakah korban
benar-benar bernapas atau tidak dengan cara melihat gerakan naik-
turun dada korban saat bernapas.
3) C (circulating)
Lakukan penilaian terhadap tekanan darah serta evaluasi
perdarahan. Hal ini dapat dinilai dari pengamatan klinis berupa
tingkat kesadaran, perfusi, dan nadi.
b. Pemeriksaan fisik pada trauma tajam abdomen penting untuk menilai
keparahan cedera dan menentukan langkah-langkah penanganan yang
tepat. Berikut adalah beberapa pemeriksaan fisik yang biasanya
dilakukan :
1) Pemeriksaan umum : Periksa tanda-tanda vital seperti denyut nadi,
tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan suhu tubuh. Cari tanda-
tanda syok, seperti kulit pucat, dingin, lembab, atau kesadaran
yang menurun.
2) Pemeriksaan abdomen : Periksa abdomen secara menyeluruh untuk
mencari tanda-tanda trauma. Lakukan inspeksi (pengamatan
visual), palpasi (perabaan), perkusi (memukul ringan untuk
mendengarkan suara), dan auskultasi (mendengarkan suara dengan
stetoskop). Cari tanda-tanda perdarahan internal, fraktur tulang,
atau adanya organ yang terluka.
a) Inspeksi : Perhatikan adanya luka terbuka, memar, atau
perubahan warna kulit pada abdomen. Cari tanda-tanda
distensi (pembengkakan) atau perut datar yang
mencurigakan.
b) Palpasi : Peraba perlahan permukaan abdomen dengan
menggunakan ujung jari untuk mencari nyeri, bengkak,
atau kekakuan pada otot atau organ di dalamnya.
c) Perkusi : Lakukan perkusi ringan pada abdomen untuk
mendengarkan suara yang berbeda pada area yang
terdapat cairan atau udara yang tidak normal.
d) Auskultasi : Dengarkan suara usus dengan menggunakan
stetoskop untuk mengevaluasi adanya pergerakan usus
yang normal atau adanya tanda-tanda obstruksi usus.
3) Pemeriksaan rektal dan genital: Pemeriksaan ini dilakukan untuk
menilai adanya darah pada rektum atau alat kelamin, yang dapat
menunjukkan cedera pada organ-organ di dalam abdomen.
4) Pemeriksaan anuscopy: Jika ada indikasi cedera pada rektum,
dokter mungkin akan melakukan anuscopy, yaitu memeriksa
rektum dengan menggunakan alat khusus yang disebut anoskop.
Selain pemeriksaan fisik, dokter juga mungkin akan meminta pemeriksaan
penunjang seperti radiografi abdomen, CT scan, atau ultrasonografi untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang cedera dan memandu penanganan
lebih lanjut.
c. Setelah pemeriksaan fisik dan penunjang dilakukan pada trauma tajam
abdomen, langkah selanjutnya akan tergantung pada hasil temuan dan
keparahan cedera. Berikut adalah beberapa langkah yang mungkin
diambil:
1) Stabilisasi : Jika pasien mengalami syok atau kondisi yang
mengancam jiwa lainnya, langkah pertama yang diambil adalah
stabilisasi pasien. Hal ini mencakup memastikan jalan napas yang
terbuka, memperbaiki pernapasan, mengontrol perdarahan, dan
menjaga tekanan darah yang adekuat. Tindakan resusitasi seperti
pemberian cairan intravena atau transfusi darah mungkin
diperlukan.
2) Pembedahan darurat : pembedahan darurat mungkin diperlukan
jika terdapat indikasi cedera abdomen yang signifikan, seperti
robekan organ atau perdarahan internal yang tidak terkendali.
Pembedahan ini bertujuan untuk memperbaiki cedera,
menghentikan perdarahan, dan mengeluarkan benda asing atau
benda tajam yang tertancap.
3) Observasi berkelanjutan : Observasi terus-menerus untuk
memantau perubahan kondisi pasien, termasuk tanda-tanda
perdarahan yang berkelanjutan atau infeksi.
4) Terapi antibiotic : Terapi antibiotik dapat diberikan jika ada
indikasi infeksi atau risiko infeksi pada cedera abdomen. Antibiotik
dapat membantu mencegah atau mengobati infeksi yang mungkin
timbul akibat cedera.
5) Pengelolaan nyeri : berikan obat penghilang rasa sakit untuk
mengendalikan nyeri yang mungkin timbul akibat cedera abdomen
atau prosedur bedah.
6) Rehabilitasi dan pemulihan: Setelah fase akut penanganan cedera
abdomen, pasien akan menjalani tahap rehabilitasi dan pemulihan.
Hal ini melibatkan perawatan jangka panjang, termasuk
pemantauan kondisi, terapi fisik, dukungan gizi, dan tindak lanjut
medis yang sesuai.

6. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami indikasi laparatomi


eksplorasi
Laparotomi eksplorasi adalah operasi untuk membuka area perut (abdomen).
Operasi ini dilakukan untuk menemukan penyebab masalah (seperti nyeri atau
pendarahan) yang tidak dapat didiagnosis. Ini juga digunakan ketika cedera perut
memerlukan perawatan medis darurat. Operasi ini menggunakan satu sayatan
besar (sayatan). Jika penyebab masalah ditemukan selama prosedur, maka
pengobatan sering kali dilakukan pada waktu yang bersamaan. Dalam beberapa
kasus, operasi invasif minimal yang disebut laparoskopi eksplorasi dapat
digunakan. Cara itu menggunakan kamera kecil dan beberapa sayatan kecil.
Indikasi Laparotomi Eksplorasi:
a. Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur
yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka
tumpul atau yang menusuk:
1) Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium) yang disebabkan oleh: luka tusuk, luka tembak.
2) Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritoneum) yang dapat disebabkan oleh pukulan, benturan,
ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (sit-belt).
b. Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa
rongga abdomen, yang diklasifikasikan atas primer, sekunder dan tersier.
Peritonitis primer dapat disebabkan oleh spontaneous bacterial peritonitis
(SBP) akibat penyakit hepar kronis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh
perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale,
perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid), sementara proses
pembedahan merupakan penyebab peritonitis tersier.
c. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi
usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan
perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai
usus halus. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang
memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila
penderita ingin tetap hidup. Penyebabnya dapat berupa perlengketan
(lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat
atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen), Intusepsi (salah
satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya
akibat penyempitan lumen usus), Volvulus (usus besar yang mempunyai
mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan
penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat
distensi), hernia (protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau
dinding dan otot abdomen), dan tumor (tumor yang ada dalam dinding
usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan
pada dinding usus).
d. Apendisitis mengacu pada radang apendiks
Suatu tambahan seperti kantong yang tak berfungsi terletak pada
bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari apendisitis
adalah obstruksi lumen oleh fases yang akhirnya merusak suplai aliran
darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi.
e. Tumor abdomen
f. Pancreatitis (inflammation of the pancreas)
g. Abscesses (a localized area of infection)
h. Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
i. Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the
intestines)
j. Intestinal perforation
k. Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
l. Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)
m. Internal bleeding

7. Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami penanganan luka


organ dalam abdomen
Rekomendasi penanganan trauma abdomen
Trauma tembus dan trauma tumpul mempunyai karakteristik yang berbeda
pada kerusakan organ intra abdominal, sehingga mempunyai pola pengelolaan
berbeda. Keuntungan yang didapat dari pengelolaan non operatif (PNO)
mendorong makin diupayakan menekan terjadinya laparatomi negative atau non-
terapeutik baik pada trauma tembus maupun trauma tumpul. Untuk itu
rekomendasi penanganan trauma abdomen didasarkan atas hasil penelitian
terdahulu yang dimodifikasi berdasarkan kondisi di Indonesia atau pernyataannya
dimodifikasi agar lebih tegas. Dalam rekomendasi akan diutarakan indikasi
laparatomi pada trauma abdomen.
a. Luka tusuk/tembus abdomen
Rekomendasi untuk laparatomi atau tidak laparatomi pada trauma tembus:
1) Pasien hemodinamik tidak stabil atau nyeri tekan yang meluas
(tanda peritonitis) harus menjalani laparotomi segera
2) Pasien hemodinamik stabil dengan pemeriksaan fisik yang tidak
bisa dipercaya (contoh: cedera kepala berat, cedera medula
spinalis, intoksikasi, atau perlu anestesi dan sedasi) harus diperiksa
lebih lanjut apakah ada cedera intraperitoneal atau menjalani
laparotomi eksplorasi bilamana fasilitas tidak mendukung.
3) Luka tusuk dengan eviserasi, karena data pendukung belum cukup
serta masih adanya kontroversi hasil, maka saat ini masih
direkomendasikan laparatomi segera.
4) Luka tusuk disertai perdarahan per-rektal dan atau darah pada pipa
nasogastrik menunjukkan adanya robekan gastrointestinal
merupakan indikasi operasi segera.
5) Laparotomi rutin tidak diindikasikan pada pasien stabil dengan
luka tusuk tanpa tanda peritonitis atau nyeri tekan abdomen yang
difus (jauh dari tempat luka) pada pusat kesehatan yang tersedia
ahli bedah
6) Laparotomi rutin tidak diindikasikan pada pasien stabil dengan
luka tembak jika luka tangensial dan tidak ada tanda rangsang
peritoneal.
7) Pemeriksaan fisik serial dapat dipercaya dalam mendeteksi cedera
bermakna setelah trauma tembus abdomen jika dilakukan oleh
klinisi yang berpengalaman dan dilakukan oleh tim yang sama.
8) Pada pasien yang diputuskan dikelola dengan NOM, CT
abdominopelvik perlu dipertimbangkan untuk membantu
mengambil keputusan ini
9) Pasien trauma tembus pada kuadran kanan atas abdomen dapat
dikelola tanpa laparotomi jika tanda vital stabil, pemeriksaan fisik
dapat dipercaya, dan nyeri tekan abdomen minimal atau tidak ada.
10) Kebanyakan pasien trauma tembus abdomen yang dapat dikelola
tanpa operasi dapat dipulangkan setelah observasi 24 jam bilamana
pemeriksaan abdomen yang bisa dipercaya tidak menunjukkan atau
minimal memberikan nyeri tekan perut.
11) Laparoskopi diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai sarana
diagnostik untuk menilai adanya penetrasi peritoneum dan laserasi
diafragma.
b. Trauma tumpul abdomen
Pasien dengan trauma tumpul abdomen sewaktu datang bisa sudah
menunjukkan tanda-tanda syok atau peritonitis atau kedua tanda tersebut
muncul setelah observasi atau bahkan tidak muncul sama sekali sampai
dipulangkan. Atas dasar hal tersebut dipakai dasar untuk pentahapan
pengelolaan.
Daftrar Pustaka

Saputra, D,N, Rahman, A, & Sutanto, B. “TATALAKSANA SYOK


HIPOVOLEMIK PADA PERDARAHAN INTRAABDOMINAL”. FK
Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi revisi. EGC :
Jakarta

http://eprints.undip.ac.id/61517/1/DIAGNOSIS_DAN_INDIKASI.....pdf

Antara, I. (2021). Analisa Asuhan Keperawatan Dengan Terapi Posisi Passive Leg
Raising (Plr) Dalam Meningkatkan Tekanan Darah Pada Tn. S Yang Mengalami
Syok Hipovolemik Di Ruang Igd Rsud Sanjiwani Gianyar Tahun 2021 (Doctoral
dissertation, Poltekkes Kemenkes Denpasar).

Carcillo, J. (2017). Syok. Journal Medicine, 3(1), 4.

Bouzat P et al (2020). Early management of severe abdominal trauma.


Anaesthesia, critical care & pain medicine, 39(2), 269–277.
https://doi.org/10.1016/j.accpm.2019.12.001

Sulfia Magfirah et al (2023). Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa


Malikussaleh Vol.2 No.5 Oktober 2023.

Tassya Fatimah Taufik, Faisol Darmawan (2020). Laporan Kasus : Trauma


Tusuk Abdomen Dengan Eviserasi Usus Pada Anak Laki-laki Usia 16
Tahun. MEDICAL JOURNAL OF LAMPUNG UNIVERSITY. Volume 9
Nomor 2 Desember 2020.

Schub T, March P (2014). Shock hypovolemic. Cinahl Information Systems.

Kolecki, P. and Menckhoff, C. R. (2016). Hypovolemic Shock Treatment &


Management: Prehospital Care, Emergency Department Care. Medscape.

Hardisman. (2013). Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok


Hipovolemik: Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas, 2 (3).
Tanto, Chris, et all. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Bagian II. Jakarta :
Media Aesculapius.

Laksana, Ery. 2015. Dehidrasi dan Syok. Jurnal SMF/Bagian Anestesi dan Terapi
Intensif. CDK-228/ vil.42 No. 5.

Anda mungkin juga menyukai