Anda di halaman 1dari 61

TRIO DETEKTIF-MISTERI KARANG, HIU

By:Alfred Hitchcock

PESAN ALFRED HITCHCOCK

Perlu kuperingati pada pembaca yang cepat merasa takut. Sebaiknya jangan membaca
kisah ini, kalau rasa-rasanya tidak berani menantang terpaan angin dan ombak,
menghadapi sabotase dan serangan ikan hiu, banjir lumpur yang longsor, serta sosok-sosok
menyeramkan yang tahu-tahu muncul dari kedalaman samudra! Pembaca yang tidak
menyukai petualangan menengangkan, kusarankan agar lebih memilih kisah yang lebih
santai!

Tapi bagi pembaca bersaraf baja, yang memang kegemarannya mencari-cari keasyikan
petualangan yang seru, kisah pengalaman Trio Detektif yang terbaru ini benar-benar cocok,
karena kejadian-kejadian yang mereka alami sangat merangsang syaraf dan otak! Belum
pernah para penyelidik remaja itu terlibat dalam rangkaian peristiwa seramai kali ini.
Teka-teki yang membingungkan dan berbagai ancaman berbahaya menyebabkan
masing-masing dari mereka harus mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki!

Jupiter Jones, pemimpin mereka yang bertubuh agak montok dan yang kecerdasannya agak
keterlaluan itu, benar-benar harus menggunakan segala akal dan kecerdikannya untuk
memecahkan misteri demi misteri yang muncul bertubi-tubi.
Kemampuan Pete Crenshaw yang bertubuh kekar, menyebabkan dia dibebani tugas-tugas
berbahaya!

Dan kesigapan Bob Andrews yang rajin, menyelamatkan mereka dari situasi yang sangat
gawat!

Nah, pembaca penggemar petualangan, kini ikutilah ketiga sahabat kita itu dalam daya
upaya mereka menyibak MISTERI KARANG HIU!

Alfred Hitchcock

1. KARANG HIU NOMOR SATU

Karang Hiu Nomor Satu?" Bob Andrews mengatakannya dengan nada heran. "Wah, kenapa
namanya seperti itu, Ayah?"

Bob berdiri di samping ayahnya, di haluan kapal motor pesiar yang melaju dengan gerakan
terayun-ayun meniti ombak. Kedua sahabatnya, Pete Crenshaw dan Jupiter Jones, ada pula
di situ. Pete memandang samudra luas berair biru gelap yang terbentang sejauh mata
memandang, serta deretan pulau bergunung-gunung yang menjulang di hadapan."Karang
Hiu Nomor Satu itu bukan nama yang enak didengar!" kata Pete sembari gelisah. Mr.
Andrews, ayah dari Bob Andrews, hanya bisa tertawa saja.

"Anjungan tempat pengeboran minyak bumi pada umumnya diberi nama pengenal," kata Mr.
Andrews. "Anjungan baru ini letaknya sekitar setengah mil dari suatu beting karang terkenal,
yaitu Karang Hiu. Anjungan itu yang pertama dibangun pada lokasi itu, jadi namanya... ya,
Karang Hiu Nomor Satu." Mata Mr. Andrews berkilat-kilat kocak. "Sudah banyak kapal yang
pecah menabrak karang itu! Tapi itu pada zaman dulu. Kini bisa dibilang sudah tidak pernah
lagi ada musibah seperti itu. Tapi kalau ikan hiu. Mereka sampai sekarang masih ada di
perairan sekitar situ. Itulah sebabnya dinamakan karang hiu!"

Pete langsung kecut mendengar penjelasan itu, "Sudah kusangka nama itu memiliki arti
yang tidak menyenangkan!" keluhnya.

Jupiter hanya diam. Ia berdiri sambil menatap lurus ke depan, ke arah pulau-pulau yang
nampak menjulang di sebelah selatan. Pulau-pulau itu membatasi perairan Selat Santa
Barbara yang saat itu sedang disebrangi kapal pesiar yang mereka tumpangi. Ketiga pulau
terbesar, yaitu Santa Cruz, Santa Rosa, dan Santa Miguel terlihat menyatu, seolah-olah
merupakan suatu daratan besar, dengan perairan terbuka yang terbentang luas antara
gugus pulau-pulau itu dengan Pulau Anacapa yang lebih kecil di sebelah timur, dan kapal
pesiar yang mereka tumpangi mengarah ke perairan terbuka itu.

"Sebentar lagi kita sampai!" kata Jupiter bergairah, ketika kapal mulai mengitari ujung Pulau
Santa Cruz. Dialah yang paling bersemangat saat Mr. Andrews mengajak mereka bertiga
untuk ikut.
Ketiga remaja itu terkenal di tempat tinggal mereka di Rocky Beach sebagai Trio detektif.

*Flashback
Siang itu, ketiga remaja itu sedang bersantai-santai di perkarangan belakang rumah Bob.
Tiba-tiba Mr. Andrews muncul dari dalam rumah.
"Anak-anak," serunya, "kalian mau ikut? Ada petualangan yang mengasyikkan!"

"Petualangan apa, Mr. Andrews?" tanya Pete. "Di perairan Santa Barbara ada anjungan
minyak baru," kata Mr. Andrews,"dan kelompok pelindung kelestarian lingkungan saat ini
sedang berusaha merintangi para pekerja di sana yang hendak melakukan pengeboran. Aku
ditugaskan kesana untuk menulis laporan mengenai aksi itu."

Mr. Andrews bekerja sebagai reporter pada sebuah harian yang diterbitkan di Los Angeles.
Kadang-kadang ia ditugaskan keluar kota untuk meliput berbagai kejadian.

"Di perairan lepas pantai kan sudah banyak anjungan minyak yang dibangun selama ini,"
kata Bob. "Apa istinewanya anjungan yang baru ini Ayah?"

"Aku tahu!" sela Jupiter bersemangat. "Tadi malam ada berita mengenainya di TV. Anjungan
baru itu yang pertama di luar Pulau-pulau selat. Dengannya dimulai pembukaan ladang
minyak baru pada lokasi yang dekat sekali dengan pulau-pulau itu. Hal itu menimbulkan
kemarahan kelompok pelindung kelestarian alam, mengingat bahwa pulau-pulau itu boleh
dibilang masih murni dan penuh dengan kehidupan asli, baik binatang maupun
tumbuh-tumbuhan, di darat maupun di laut. Jika ada minyak tumpah, kemurnian itu bisa
musnah karenanya!"
Mr. Andrews mengangguk.
"Ketika anjungan itu sedang dibangun pun orang-orang yang memprotes berusaha
menghalang-halangi dengan jalan berlayar hilir-mudik di lokasi itu," kata Jupiter
"Dan sekarang," sambung Jupiter lagi, "beratus-ratus kapal dan perahu layar mengepung
untuk menghalangi dimulainya pekerjaan pengeboran! Kapan kita berangkat ke sana, Mr.
Andrews?"
"Sekarang ini juga," jawab Mr. Andrews, "jika orangtua kalian mengizinkan."

Dengan segera Pete dan Jupe bersepeda pulang untuk meminta izin dan berkemas. Dan
dengan segera pula mereka sudah kembali lagi untuk ikut dengan Mr. Andrews, naik mobil
menuju kota Santa Barbara yang letaknya sekitar delapan puluh mil disebelah utara.
Beberapa jam kemudian mereka sudah berdiri di bagian haluan kapal motor pesiar yang
berangkat dari pelabuhan Sabta Barbar. Barang-barang mereka ditinggal di sebuah hotel.

******

Di perairan selat antar kota Santa Barbara dan pulau-pulau di depannya nampak sejumlah
anjungan minyak. Dengan konstruksinya yang tinggi menjulang di atas permukaan laut dan
menara pengeboran pada satu sisi masing-masing konstruksi, anjungan-anjungan itu
nampak seperti suatu armada kapal induk. Pete memandang dengan penuh minat.
"Bukankah di sini tempat awal terjadinya keributan tentang tumpahan minyak dari lokasi
pengeboran lepas pantai itu?" katanya dengan nada bertanya.

"Betul," jawab Jupiter, lalu menyambung dengan memaparkan hal-hal yang diingat olehnya
tentang peristiwa itu. "Kota Santa Barbara berusaha mencegah dilakukannya pengeboran
minyak pada lokasi ini mengingat adanya risiko gempa bumi serta bahaya pencemaran
pantai dan kemusnahan kehidupan samudra, namun pemerintah mengizinkan
perusahaan-perusahaan minyak meneruskan rencana mereka. Kemudian, pada bulan
Januari 1969, terjadi semburan liar pada salah satu sumur minyak. Paling sedikit 235.000
galon minyak tumpah dan mencemari perairan, sebelum semburan liar itu akhirnya berhasil
dikendalikan. Banyak sekali satwa liar yang mati sebagai akibatnya! Belum lagi pantai yang
menjadi kotor karena tercemar minyak!"

Pete terkejut.

"Kalau begitu, kenapa segala anjungan itu masih tetap ada disini? Bukankah seharusnya
cepat-cepat dibongkar lagi?"

"Banyak orang yang berpendapat seperti yang kaukatakan itu, Pete," kata Mr. Andrews
menjawab. "Tapi urusannya tidak sesederhana itu. Negara kita memerlukan seluruh minyak
yang bisa diperoleh agar segala-galanya berjalan lancar, serta untuk memproduksi segala
macam barang yang kita perlukan. Tapi di pihak lain kelestarian lingkungan memang perlu
dilindungi! Mungkin itu lebih penting daripada minyak."

Kapal motor pesiar yang mereka tumpangi meluncur teranguk-anguk mengiris ombak dan
memotong arus selat. Ujung timur Pulau Santa Cruz yang menjulang tinggi sudah dikitari,
dan kini haluan diarahkan ke samudra luas.

"Itu dia!" Jupiter menunjuk ke depan, ke arah barat.

"Karang Hiu Nomor Satu!" seru Bob bersemangat

Anjungan minyak yang baru itu tegak menjulang diatas permukaan laut, bertumpu pada
kaki-kakinya yang kekar. Kelihatannya seperti semacam makhluk raksasa dari baja yang
bersiap-siap hendak berjalan menyebrangi samudra. Kapal motor pesiar itu pun meluncur
semakin mendekat. Kini, anak-anak bisa melihat bagian dari anjungan itu, yang terdiri dari
beberapa lantai yang bertingkat-tingkat diatas kaki-kaki baja yang sangat besar. Pada lantai
paling atas terdapat sebuah keran yang tinggi dan menara pengeboran yang lebih tinggi
lagi. Anjungan minyak itu luar biasa besarnya. Menurut taksiran Jupiter, panjang
masing-masing sisi lantainya sekitar tiga puluh meter, dan ujung atas menara pengeboran
mencuat sekitar lima puluh meter di atas permukaan laut. Dibandingkan dengan anjungan
itu yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari sore, kapal-kapal dan perahu-perahu yang
berlayar mengelilinginya kelihatan kecil sekali.

"Wah!" seru Pete. "Banyak sekalii...mungkin ada seratus!"


Aksi protes tethadap anjungan baru itu ternyata didukung oleh beraneka corak kapal perahu.
Kapal motor pesiar dari segala jenis, perahu-perahu layar bertiang tinggi, perahu-perahu
katamaran yang lebih kecil ukurannya, perahu-perahu lancang pesiar berbentuk anggun,
kapal-kapal nelayan yang kelihatan tidak terawat, kapal-kapal motor langsing dan laju yang
biasa disewakan untuk olahraga memancing di lautan dalam, kapal-kapal kerja bertenaga
besar dari jenis yang dipakai perusahaan-perusahaan minyak, dan bahkan ada satu kapal
layar pesiar yang sangat besar. Semuanya berlayar mengelilingi anjungan dengan garis
lintasan membentuk lingkaran besar, seperti pasukan berkuda Indian yang sedang
menyerang sebuah benteng di kawasan barat pada zaman dulu.

Panji-panji yang ditulisi dengan kata-kata bernada protes berkibar di ujung tiang kapal-kapal
itu. Sementara kapal motor pesiar yang membawa Mr. Andrews dan anak-anak semakin
mendekat, mereka mendengar suara-suara yang diteriakkan lewat alat-alat pengeras suara,
menyerukan slogan-slogan, memprotes kehadiran anjungan minyak baru itu. "Hentikan
pemboran minyak!... Enyahlah pencemar lingkungan!... Selamatkan flora, selamatkan fauna,
selamatkan manusia!..."

Sebuah kapal penangkap ikan bewarna hitam dengan anjungan kemudi terbuka,
meninggalkan iring-iringan yang membentuk lingkaran, bergetak menghampiri anjungan
minyak. Nampak dua orang pria berdiri di anjungan kemudi kapal itu, yang sebenarnya
merupakan atap datar dari kabin yang terdapat di bawahnya. Seorang diantaranya
memegang kemudi, sementara temannya bersandar ke pagar yang membatasi pinggiran
atap itu. Keduanya berteriak-teriak mengejek para pekerja yang ada di anjungan minyak.
Para pekerja yang berdiri diatas anjungan yang menjulang tinggi diatas air itu membalas,
berteriak-teriak marah, ".... Jangan dekati tempat ini!.... Kenapa kalian tidak pergi
memancing saja?... Ingin kemana-mana naok kuda lagi, ya?... Kalian kira kapal-kapal kalian
itu berlayar mesinnya pakai apa?..."

Sebuah kapal kerja bertubuh panjang uang selama itu bergerak sendiri di dalam lingkaran
besar yang dibentuk oleh kapal-kapal pemrotes lainnya menggiring kapal penangkap ikan
yang keluar dari barisan itu kembali ke tempatnya. Kapal kerja yang kelihatannya di lengkapi
dengan mesin yang kuat itu bernama Angin Laut. Nama itu tertulis pada dinding kabin
tempat kemudi dan buritannya. Pada spanduk yang terpasang di kabinnya yang rendah,
nampak tulisan:
PANITIA PENYELAMAT PULAU-PULAU SELATAN.
Mr. Andrews memberi tahu nahkoda kapal yang ditumpanginya agar berlayar menembus
lingkaran iring-iringan kapal pemrotes dan menghampiri kapal panitia itu.
"Hoi!" seru Mr. Andrews, ketika jarak yang memisahkan sudah tidak jauh lagi. "Di sini Bill
Andrews, dari pers!"

Seorang pria bertubuh jangkung, bermuka kurus, dan memakai kaca mata berbingkai tebal
yang berada di atas Angin Laut berpaling ke arah mereka. Orang itu memakai baju hangat
dari wol tebal dengan kerah lebar yang digulung. Baju hangat seperti itu biasa dipakai pelaut
do daerah berhawa dingin. Rambutnya yang panjang berkibar dipermainkan angin.
Diambilnya pipa hitam yang terselip di antara bibirnya, lalu ia berseru dengan memakai
corong pengeras suara.
"Halo! Merapatlah kemari!"

Awak kedua kapal itu sibuk bekerja, melempar dan melihat tali-temali, dan tidak lama
kemudian kapal-kapal itu sudah saling merapat berdampingan, terangguk-angguk
digerakkan alun samudra. Pria jangkung tadi datang menghampiri sampai ke batas pagar
kapal, lalu mengangguk ke arah Mr. Andrews dan anak-anak.

"Terima kasih atas kesediaan Anda datang kemari, Andrews," katanya dari atas kapalnya.
"Sekarang bisa Anda lihat sendiri, betapa keterlaluan anjungan minyak ini! Dibangun di
tempat terbuka sehingga selalu terancam badai yang mengamuk, diapit beting-beting
karang berbahaya yang bisa memecahkan kapal tanker, dan dekat sekali dengan
pulau-pulau itu!"

"Akan ku catat fakta-faktanya, Crowe," kata Mr. Andrews. Kemudian ia menoleh ke arah
anak-anak, dan berkata sambil tersenyum lebar, "Aku punya kejutan untuk kalian,
Anak-anak . Katakanlah ini hadiah, karena kalian sudah mau ikut kemari. Ini Mr. John
Crowe, pengarang terkenal itu!"

"John Crowe! Pengarang kisah-kisah misteri itu!" seru Bob.

"Wow," kata Pete bergairah. "Buku-buku Anda , sudah saya baca semuanya!"

"Kami juga," kata Jupiter menimbrung. "Anda di sini sedang mengumpulkan bahan-bahan
untuk kisah misteri yang baru, Mr. Crowe?"

"Tidak," jawab pengarang itu. "Aku ketua panitia penentang anjungan ini. Setiap orang
berkewajiban melindungi kelestarian lingkungan meski itu berarti kita terpaksa
mengesampingkan pekerjaan kita untuk sementara waktu."

Ia memandang ke arah anjungan baja yang menjulang, delangan tatapan marah. Tapi,
tahu-tahu ia tersenyum. "Ngomong-ngomong, aku bukan satu-satunya yang terkenal di sini.
Ketika Andrews mengatakan bahwa ada kemungkinan anak laki-lakinya yang bernama Bob
akan ikut kemari bersama kedua temannya, Pete Cranshaw dan Jupiter Jones, ia
seharusnya mengatakan bahwa yang diajaknya itu Trio Detektif!"

"Wah! Anda tahu tentang kami!" kata ketiga remaja itu serempak.

"Banyak kisah tentang kasus-kasus kalian yang ku baca selama ini," kata Mr. Crowe, "dan
sudah lama aku berniat meminta sesuatu dari kalian. Bolehkah aku minta selembar kartu
nama kalian, untuk koleksi cendera mata misteriku?"

Sementara Bob dan Pete berseri-seri karena bangga, Jupiter menyodorkan selembar kartu
nama Trio Detektif pada Mr. Crowe, menyebrangi pagar kedua kapal yang berdampingan
itu. Mr. Crowe membaca tulisan yang tertera disitu:
TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
???
Penyelidik Satu............ Jupiter Jones
Penyelidik Dua.......... Peter Crenshaw
Penyelidik Tiga............. Bob Andrews
Seorang pria berjenggot, memakai topi perwira Angkatan Laut yang sudah usang dan jaket
pelaut dari wol tebal berwarna biru tua dengan bergegas-gegas. Keprihatinan memancar
dari wajahnya yang tegar ditempa cuaca. Matanya berkilat-kilat marah. Ia mengatakan
sesuatu dengan suara pelan pada Mr. Crowe. Pengarang itu mengangguk. Air mukanya
tegang.

"Peekenalkan, ini kapten Jason, pemilik Angin Laut. Kukhawatirkan bahwa kita terpaksa..."
Mr. Crowe tertegun. Ditatapnya kartu nama Trio Detektif yang ada di tangannya. Kemudian
ia berpaling ke arah anak-anak.

"Anak-anak," katanya dengan lambat, " kelihatannya kalian tiba tepat pada waktunya.
Kemungkinan ada misteri yang bisa kalian tangani!"

2. KEHILANGAN YANG MISTERIUS

"Wah," kata Pete, " Anda pengarang kisah-kisah misteri, Mr. Crowe. Kenapa tidak Anda
sendiri yang menanganinya?"

"Rupanya ada perbedaan, apakah seseorang itu pengarang cerita detektif atau benar-benar
detektif," kata Mr. Crowe singkat. "Terus terang, masalah yang kami hadapi ini
membingungkan bagiku. Tapi kalian bertiga betul-betul detektif, kan?"

Jupiter mengangguk

"Kami akan senang jika memang bisa membantu," katanya agak sombong. "Jika Anda
ceritakan apa yang sebenarnya...."

Kapten Jason melirik arlojinya dengan sikap gelisah.

"kita dikejar waktu, Mr. Crowe," kata pemilik kapal Angin Laut itu

"Baiklah, Kapten," kata Crowe. "Seperti hendak kukatakan tadi, Anak-anak, kami harus
dengan segera kembali ke pelabuhan. Itulah misterinya, yaitu bahwa tahu-tahu kami harus
kembali. Tapi kita terpaksa mengundurkan pembicaraan ini sampai kita berjumpa lagi nanti
di darat."

"Kecuali jika anak-anak ikut kembali dengan Anda," kata Mr. Andrews menyarankan. "Aku
akan mewawancarai orang-orang yang ikut dalam aksi protes di kapal-kapal lain, dan untuk
itu aku tidak perlu mereka temani."
"Kalau bisa begitu, baik sekali!" kata Crowe bersemangat. "Dalam pelayaran kembali ke
darat, mereka bisa kuberitahu persoalannya."

"Benar-benar tidak apa-apa jika kami kembali sekarang, Ayah?" tanya Bob bersemangat.

Mr. Andrews mengangguk.

"Apapun juga misteri yang dihadapi Crowe, ada kemungkinan hal itu bahkan merupakan
bagian dari aksi protes ini. Jadi kalian bertiga ikut sajalah dengan dia pulang ke darat. Nanti
ku susul kalian ke rumah Mr. Crowe, dan kalian laporkan semuanya padaku."

Dibantu Kapten Jason dan nahkoda kapal motor yang mereka tumpangi, ketiga remaja itu
memanjat pagar dan menyebrang ke Angin Laut, sementara kedua kapal itu
terangguk-angguk terus mengikuti irama alun samudra. Jarak antara keduanya kemudian
merenggang, dan kapal mitir yang membawa Mr. Andrews mengarah ke lingkaran
kapal-kapal kelompok aksi protes, di mana ayah Bob akan mengadakan wawancara.

Lewat radio, Mr. Crowe menghubungi asistennya dalam kepanitiaan aksi protes, yang
berada di kapal lain. Pada asisten itu diinstruksikan agar kapalnya mengambil alih posisi
pimpinan. Setelah itu, Angin Laut bertukar haluan, menuju ke darat yang jaraknya sedikit
diatas satu jam pelayaran. Dengan cepat kapal yang laju karena bertenaga besar itu sudah
meninggalkan lokasi anjungan minyak dan kapal-kapal lainnya, mengarah ke celah lebar
yang membentang antara Santa Cruz dan Pulau Anacapa.

"Ada kapal lain yang juga kembali ke darat," kata Bob sambil menunjuk ke depan.

Kapal yang ditunjuknya itu sudah beberapa mil jauhnya di depan mereka. Panji-panji aksi
protes masih tetap berkibar di tiangnya. Kapal itu berwarna hitam, yaitu yang tadi
meninggalkan barisan pemrotes dan kedua pria yang ada di atas anjungannya yang terbuka
mengejek-ejek para pekerja di anjungan minyak. Kapal itu sudah sampai di celah yang
lebar, dan kini membelok masuk ke Selat Santa Barbara.

"Jed dan Tim Connors!" kata Mr. Crowe dengan nada sebal. Ia menudungi matanya sambil
menatap ke depan. "Mereka abang-adik penyelam tiram dari Oxnard. Mereka secara
sukarela menawarkan diri ikut dalam aksi protes ini, tapi aku sekarang sangsi apakah tepat
keputusan yang kuambil untuk mengizinkan mereka ikut. Mereka sulit diatur. Menurut
rencana, kami semua seharusnya tiba serempak di lokasi anjungan, dan nanti pergi
bersama-sama pula. Dengan begitu aksi protes akan lebih besar pengaruhnya."

"Kalau begitu kenapa kita pergi lebih dulu, Mr. Crowe?" tanya Pete dengan heran.

"Karena terpaksa, Pete," jawab Mr. Crowe geram. "Kita tidak bisa lebih lama tetap berada di
sana, karena bahan bakar tidak cukup lagi. Dan itulah misterinya, Anak-anak!"

3. PERTENGKARAN
Mr. Crowe yang tampak gugup berjalan mendahului anak-anak. Di depan mereka State
Street, yang merupakan jalan raya Santa Barbara, memotong jalan besar yang sejajar
dengan garis pantai dan berujung di dermaga minyak. Tiga buah truk besar bermuatan
pipa-pipa pengeboran yang bertumpuk tinggi di atas bak kendaraan-kendaraan itu berbaris
di depan pintu masuk ke dermaga. Ketiga pengemudinya, begitu pula para pekerja
perusahaan minyak yang ada di situ, memandang dengan tegang ke depan. Segerombolan
orang yang nampaknya ikut dalam aksi protes merintangi jalan masuk, dengan membawa
poster-poster dan spanduk-spanduk.

"Ada sesuatu yang tidak beres di sini!" ujar Mr. Crowe. "Aku telah mencapai kata sepakat
dengan manajer perusahaan minyak bahwa takkan ada konfrontasi selama pengadilan
masih mempertimbangkan apakah pengeboran bisa dimulai atau tidak!"

"Itu, lihat!" kata Jupiter sambal menunjuk. "Saya rasa di sanalah sumber keributan ini!"

Di tempat terbuka antara truk-truk dan gerombolan pemrotes ada sebuah mobil sedan
panjang berwarna hitam. Sekitar tiga meter di depannya, seorang pria berbahu bidang
memakai setelan rompi dan topi pengaman berwarna kuning berdiri dengan sikap marah,
menghadapi barisan pemrotes.

"Untuk terakhir kalinya kalian kuperingatkan! Dasar manusia-manusia sinting! Ayo minggir!
Aku harus melakukan pengeboran untuk mendapatkan minyak, dan masa bodoh kalau ada
beberapa ikan mati konyol karenanya!"

"Kata Crowe, antara kita sudah ada kata sepakat!" seru seseorang diantara para pemrotes.

"Katanya, ada perdamaiannya untuk sementara!" Pria bertopi pengaman itu mencibir.

"Aku tidak mau tahu dengan orang-orang radikal! Sekarang kalian semua..."

Seorang laki-laki berpenampilan kasar dengan pakaian kerja dekil, sepatu karet beralas
tinggi dan mengenakan bagian atas dari pakaian penyelam, mendesak maju dari
tengah-tengah barisan pemrotes. Mukanya lebar dan merah ditempa cuaca. Ia memakai topi
wol berwarna hitam, seperti yang biasa dipakai nelayan daerah situ.

"Dan kami tidak mau berunding dengan bajingan-bajingan bisnis! sergahnya.

Di belakangnya, seorang pria yang juga bertubuh gempal dan berpakaian serupa kecuali
topi wol nya berwarna merah nyala, ikut mendesak maju. Ia berpaling, menghadap ke arah
barisan pemrotes.

"Orang ini tidak menaati kata sepakat!" katanya sambal menggerak-gerakkan kedua
tangannya dengan bersemangat. "Aku tidak mau pipa-pipa itu masuk ke dermaga! Tanpa
pipa, takkan ada pengeboran! Pokoknya tidak bisa!... Tidak bisa!... Ayo pergi!..."

Air muka orang perusahaan minyak yang memakai topi pengaman kuning, menjadi
bertambah merah karena marah.

"Kami akan masuk!" teriaknya. "Dengan cara baik-baik atau dengan kekerasan, terserah
pada kalian!"

Pria bertopi wol hitam yang berdiri di barisan depan gerombolan pemrotes berseru, "Duduk!
Barisan paling depan, duduk semuanya!"

Orang perusahaan minyak yang bertopi pengaman kuning melambai, memberi isyarat pada
para pengemudi truk dan pekerja-pekerja, yang dengan segera berkumpul menggerombol di
belakangnya.

Sementara itu Mr. Crowe dan anak-anak sudah sampai di tempat truk-truk itu diparkir.
Seorang pria bertubuh pendek kurus, berumur sekitar tiga puluhan dan memakai jaket
penahan angin dan celana komprang dari kain drill meloncat turun dari truk yang paling
dekat. Ia menghampiri Mr. Crowe yang bersama anak-anak bergegas menuju ke tempat
gerombolan pemrotes yang sementara itu sudah duduk beramai-ramai merintangi jalan
masuk ke dermaga.

"Kedua orang bersepatu lars karet itu yang membakar-bakar mereka agar merintangi
truk-truk kami, Crowe," kata pria itu. "Kusangka kita sudah mencapai kata sepakat”.

"Siapakah mereka itu?" Tanya Jupiter dengan napas terengah-engah.

"Jed dan Tim Connors. Mereka abang-adik pemilik kapal hitam tadi, yang anjungan
kemudinya terletak di atas atap kabin," Kata Mr. Crowe. "Jed yang memakai topi hitam,
sedangkan Tim yang merah. mereka penyelam tiram."Sambil mengangguk ke arah pria
kurus yang berjalan seiring dengan mereka, ia menambahkan, "Ini Mr. Paul MacGruder,
Anak-anak. Manajer perusahaan minyak itu untuk kawasan Santa Barbara sini. Dalam kata
sepakat kita tidak tercakup bertruk-truk pipa pengeboran, MacGruder!" +

"Ya, aku tahu," kata Paul MacGruder mengakui, "dan aku menyesal karenanya. Kami cuma
bermaksud menggunakannya di dermaga. Aku sebenarnya tidak menyetujui
pengangkutannya kemari, tapi Mr. Hanley yang disana itu bersikeras."

"Siapa dia?" tukas Crowe, sementara mereka sudah sampai di tempat pera pekerja minyak
yang berkerumun dengan sikap menantang. Pemimpin mereka, yaitu pria yang memakai
topi pengaman berwarna kuning, berpaling dan menatap rombongan Crowe dengan mata
melotot.

"Mr. Hanley," kata MacGruder, "ini John Crowe, ketua panitia pemrotes. Mr. Hanley
adalah..."

"Aku direktur perusahaan minyak ini," bentak Mr. Hanley. "Dan jika Anda tidak bisa
mengendalikan orang-orang Anda, akan kubereskan mereka!"
"Ini jalan umum, Mr. Hanley," kata Crowe dengan ketus, "dan sikap Anda yang begitu itu
tidak mempermudah persoalan!"

"Aku tidak sudi dianggap remeh oleh segerombolan manusia sinting!" kata Mr. Hanley
marah-marah. "Aku tetap mengatakan bahwa kalian tidak berhak ada di tempat ini! Dan
kemungkinan Anda-lah yang mendalangi sabotase terhadap anjungan itu!"

"Sabotase?" kata Crowe dengan heran. "Kami sama sekali tidak menghampiri..."

"Ada orang yang merusak peralatan di Karang Hiu Nomor Satu! Dan siapa lagi yang datang
kesana, kecuali kapal-kapal kalian?!"

"Mr. Hanley," sela MacGruder, "pipa-pipa itu sebenarnya belum perlu ada di sini sekarang.
Mungkin sebaiknya kita kirim saja kembali."

"Pipa-pipa itu harus ditaruh di dermaga kita!" teriak Hanley dengan marah. "Anda ingin Mr.
Yamura pulang ke Jepang dengan membawa laporan bahwa kita disini tidak mampu
mengatur urusan kita dengan beres?" Ia mengangguk ke arah seorang laki-laki botak
bertubuh kecil dan berpakaian setelan sutra berwarna kelabu yang berdiri dengan tenang di
samping mobil hitam yang besar. Orang itu, yang umurnya sekitar 60 tahun, membalas
anggukannya dengan sopan sambil terus memperhatikan keributan dari balik kaca matanya
yang berbingkai baja.

"Jika mau bicara tentang sabotase, kapalku diutik-utik orang!" tukas Mr. Crowe dengan
marah pula. "Empat kali kami tahu-tahu mengalami bahwa bahan bakar tidak cukup lagi
untuk kembali ke pelabuhan! Mulai sekarang, orangku Torao akan menjaga terus di kapal
apabila aku tidak ada di situ!"

"Biar FBI sekalipun yang menjaga kapal Anda masa bodoh amat," sergah Mr. Hanley.
"Sekarang suruh orang-orang Anda minggir, jika tidak ingin diobrak-abrik orang-orangku!"

Mendengar kata-kata itu, para pekerja perusahaan minyak lantas berseru-seru meneriakkan
tantangan ke arah kelompok pemrotes. Tim Connors mengambil sebatang kayu yang
tergeletak di tepi dermaga.

"Persenjatai diri kalian!" teriaknya. "Kita layani tantangan mereka!"

Para pekerja minyak mulai bergerak maju. Para pemrotes yang selama itu duduk,
berlompatan bangkit untuk mempertahankan diri. Tiba-tiba Jed Connors mengumpat lalu
menyerbu ke arah para pekerja minyak, diikuti dengan segera oleh saudaranya. Dua orang
pekerja minyak bertubuh besar maju menyongsong mereka.

Tiba-tiba terdengar bunyi sirene di kejauhan. Datangnya dari tiga arah sekaligus, dan
mendekat dengan cepat. Mr. Hanley mengumpat.

"Siapa yang memanggil polisi?"


"Aku," kata MacGruder. "Sepuluh menit yang lalu."

"Kau ini bekerja untuk siapa sebenarnya, MacGruder?" tukas Hanley. "Aku tidak perlu
orang-orang cengeng! Anda tidak menghendaki aksi-aksi protes ini dihentikan?"

"Tidak, dengan cara kekerasan seperti begini," jawab MacGruder.

Sebelum direktur perusahaan minyak itu sempat mengatakan apa-apa lagi, di jalanan sudah
berkecamuk perkelahian ramai! Kedua bersaudara Connors bergumul dengan kedua
pekerja minyak yang menyongsong mereka, sedang para pekerja minyak selebihnya
berhadapan dengan gerombolan pemrotes. Dan tidak lama kemudianpolisi yang sementara
itu tiba, dengan segera mendesak maju untuk memisahkan kedua gerombolan yang sedang
ramai berkelahi itu. Lima belas menit kemudian urusan sudah selesai. +

Seorang polisi yang sudah agak berumur dengan tali emas di topinya menghampiri Crowe.

"Bagaimana asal mulanya kejadian ini, John?" katanya dengan nada tajam.

"Direktur perusahaan minyak ini hendak mencoba-coba memaksakan masuknya tiga truk
dengan muatan pipa-pipa ke dalam dermaga, Max! Mobilnya ada di...."

Crowe berpaling ke tempat mobil besar tadi diparkir. Tapi kendaraan itu tidak ada lagi di
sana. Hansley dan Yamura juga tidak nampak.

"Menurut para pekerja minyak, sepasang jagoan di antara gerombolan aksi Anda yang
memulai," kata polisi yang bernama Max. "Coba Anda tunjukkan, yang mana mereka
itu!""Wah," kata Pete, "mereka juga sudah tidak ada lagi, Mr. Crowe!"

"Mereka pun sudah pergi!" seru Bob.

"Mr. MacGruder juga!" ujar Jupiter menambahkan.

Crowe mengangguk dengan gerakan lambat.

"Max, ketiga anak ini adalah Trio Detektif, penyelidik remaja dari Rocky Beach. Anak-anak,
ini Kapten Max Berg, dari kantor kepolisian di sini."

"Trio Detektif?" Kapten Berg tersenyum. "Aku sudah pernah mendengar tentang kalian, dan
Chief Reynolds di Rocky Beach. Ia sangat membanggakan kemampuan kalian."

Anak-anak tersenyum mendengar kata-kata itu.

"Hanley itu tadi yang membuat orang-orangku panas," kata Crowe pada kapten polisi itu,
"tapi kami seharusnya bisa menahan diri. Aku harus bicara dengan panitia, agar
orang-orang yang cepat naik darah ini dikendalikan."
"Baiklah, John," kata Kapten Berg. "Sekali ini kami tidak akan melakukan penangkapan.
Truk-truk itu akan kusuruh pergi, orang-orangmu kusuruh pulang, lalu akan kutempatkan
seorang polisi untuk berjaga di sini. Kalian kuberi waktu sehari untuk menenangkan
perasaan."Crowe mengucapkan terima kasih pada kapten polisi itu, lalu mengajak
anak-anak kembali ke pelataran parkir di depan marina. Sesampainya di sana anak-anak
bergegas masuk ke mobil Buick Crowe yang sudah tua dan reyot.

"Saya mendapat kesan, Sir," kata Jupiter, sementara mobil itu mulai meluncur meninggalkan
pelabuhan, "kedua bersaudara Connors itu seakan-akan dengan sengaja membakar-bakar
orang-orang yang ikut dalam aksi protes Anda itu. Rasanya seolah-olah mereka memang
menghendaki polisi datang, dan barangkali lantas melarang aksi itu."

"Mereka memang sudah lebih dulu kembali dari anjungan," kata Bob menambahkan.

"Dan," kata Jupiter lagi, "mungkin itu alasan di balik kejadian hilangnya bahan bakar kapal
Anda. Mereka yang membuat ulah sehingga kapal panitia terpaksa begitu sering lebih dulu
meninggalkan tempat dilancarkannya aksi protes, dengan maksud agar para pemrotes yang
lainnya kehilangan kepercayaan pada Anda."

"Maksudmu, ada kemungkinan Connors bersaudara itu secara diam-diam berkerja untuk
perusahaan minyak?" tanya Mr. Crowe. "Dengan tindakan mereka membakar-bakar para
peserta aksi protes tadi, mereka hendak menimbulkan kesan bahwa kami tidak segan-segan
menggunakan kekerasan?"

Jupiter mengangguk.

"Itu bukan siasat baru, Sir," katanya."Entah ya, Satu," sanggah Pete. "Aku tidak mendapat
kesan bahwa Mr. Hanley memerlukan bantuan untuk menimbulkan keributan. Mungkin dia
yang hendak merongrong nama baik Mr. Crowe di kalangan aksi protes, dengan jalan
mencuri bahan bakar kapalnya." +

"Mungkin juga," kata Jupiter, sementara Mr. Crowe membelokkan mobilnya memasuki
perkarangan sebuah rumah tua yang besar di daerah sebelah atas bagian timur kota.

Rumah-rumah di lingkungan situ besar-besar dan berdinding papan. Sebagian besar dari
bangunan-bangunan tua itu sudah dipugar. Halaman-halamannya ditanami rumput yang
terawat, dan ada kebun bunganya yang luas. Tapi rumah yang didiami Mr. Crowe dibiarkan
seperti wujud aslinya, tanpa halaman rumput, dikelilingi pohon-pohon tua dan petak-petak
mawar.

Mereka semua turun dari mobil. Jupiter terlalu sibuk berfikir, sehingga sama sekali tidak
memperhatikan rumah itu.

"Mr. MacGruder kelihatannya berusaha keras untuk mencegah terjadinya keributan," kata
penyelidik remaja berbadan montok itu. "Ia berusaha agar suasana tetap tenang."
"Aku juga begitu, Jupiter," kata Mr. Crowe. "Persoalan tidak pernah bisa diselesaikan
dengan kekerasan."

"Memang," kata Jupiter sependapat, "tapi saya bertanya-tanya, mungkinkah ada alasan
tertentu di balik sikap Mr. MacGruder itu."

"Yang jelas, berani juga ia mengambil risiko menentang Mr. Hanley tadi," kata Bob.

Mereka berjalan menuju pintu depan. Tiba-tiba terdengar bunyi keras dari arah belakang
rumah.

"Apa itu..?" Mr. Crowe terkejut.Terdengar langkah orang berlari gedebak-gedebuk di


belakang rumah tua itu.

"Di belakang!" seru Pete sambil lari mendahului ke arah itu.

Di pekarangan belakang ada kebun jeruk berukuran kecil, terbentang dari sisi rumah sampai
pagar belakang. Seseorang berpakaian penyelam berwarna hitam nampak berlari di dalam
kebun itu. Ia terburu-buru memanjat pagar dan menghilang dibaliknya.

4. TAMU TAK DIUNDANG YANG ANEH

"Itu, lihat!" seru Bob sambil menunjuk.

Salah satu jendela sebelah belakang rumah besar itu terbuka. Tepat di bawahnya ada tong
sampah. Tong itu terguling.

"Ia tadi masuk ke dalam!" kata Jupiter. "Kita harus menangkapnya!"

Mr. Crowe mengangguk dengan cepat.

"Di balik pagar belakang ada lorong, mungkin ia melarikan diri lewat situ! Bob, pete, kalian
cepat-cepat kembali ke jalan lalu langsung ke belakang lewat sisi kiri dan kanan, untuk
menghadangnya di ujung lorong itu! Aku dan Jupe mengejar dari arah belakang sini!"

Bob dan Pete bergegas pergi, sementara Mr. Crowe lari menembus kebun diikuti Jupiter.
Pengarang cerita detektif itu melompati pagar, disusul oleh Jupiter yang menyebrang
dengan cara memanjat. Tapi tak urung penyelidik bertubuh bundar itu jatuh juga
terjerembab ke balik pagar. Ia buru-buru berdiri lagi dengan wajah merah karena malu, lalu
menyusul Mr. Crowe yang sementara itu sudah memasuki lorong. Keduanya celingukan di
situ, memandang ke kanan dan ke kiri.

"Lenyap!" tukas Mr. Crowe dengan sebal.

Bob dan Pete muncul di kedua ujung lorong. Keduanya melambai sambil
menggeleng-geleng. Rupanya mereka juga tidak melihat tamu tak diundang itu.

"Mestinya ia lari lewat pekarangan rumah sebelah belakang ini, menuju ke jalan berikut,"
kata Mr. Crowe menarik kesimpulan. Ia melambai ke arah Bob dan Pete, memberi isyarat
pada mereka agar bergerak menuju jalan berikut.

Diikuti oleh Jupiter yang nafasnya mulai tersengal-sengal, Mr. Crowe lari menyeberang
lorong lalu memasuki pekarangan rumah sebelah belakang dimana terdapat rumah yang
besar. Mereka muncul di jalan yang berikut.
Pete dan Bob nampak sudah sampai di ujung-ujung jalan itu. Selain mereka, tidak nampak
siapa-siapa lagi di situ.

"Kita... kita kehilangan jejak!" kata Jupiter terengah-engah.

Mr. Crowe mengangguk dengan sebal, sementara Bob dan Pete datang menghampiri
dengan berlari-lari kecil. Pete kelihatan bingung.

"Kami tidak melihat ada mobil pergi, baik dari lorong tadi maupun dari jalan ini," katanya.
"Jadi bagaimana mungkin ia tahu-tahu menghilang?"

"Rupanya kita diperdaya olehnya!" kata Jupiter menarik kesimpulan. "Ia menyelinap kembali
ke depan! Atau mungkin juga bersembunyi di salah satu tempat. Yang jelas, kita takkan
mungkin bisa menemukannya sekarang."

Dengan lesu mereka semua kembali ke rumah Crowe, menyusur kedua pekarangan yang
berbelakangan.

"Ia tadi memakai pakaian penyelam," kata Bob. "Kedua bersaudara Connors ketika di
dermaga tadi, kulihat memakai pakaian penyelam!"

"Di Santa Barbara sini, banyak yang memakai pakaian begitu," kata Mr. Crowe. "Aku sendiri
juga punya."

Ketika mereka sedang berjalan di dalam kebun di pekarangan belakang rumah Mr. Crowe,
tiba-tiba sikap Pete berubah menjadi waspada.

"Ada orang bersembunyi di sana," bisiknya sambil menunjuk ke salah satu sudut rumah, di
mana samar-samar nampak seseorang berdiri merunduk di belakang semak bunga kamelia.
Mr. Crowe memandang ke sana, lalu tertawa.

"Itu Torao, tukang kebunku yang baru. Aku tidak tahu bahwa ia sudah datang. Mungkin ia
melihat orang itu tadi!"

Mereka bergegas menghampiri Torao, yang sedang sibuk memupuk semak kamelia.
Setelah dekat barulah anak-anak melihat bahwa ia orang Jepang. Masih muda, berumur
sekitar dua puluh tahun. Tubuhnya yang kecil langsing hanya dibungkus kaos oblong dan
celana pendek. Kakinya beralas sendal jepit.

"Halo, Torao," sapa Mr. Crowe.

Tukang kebun itu terkejut, lalu menoleh. Rupanya ia begitu sibuk dengan pekerjaannya,
sehingga tidak tahu bahwa mereka datang. Begitu melihat Mr. Crowe ia mengangguk sambil
tersenyum lebar. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.

"Kau sudah lama di sini, Torao?" tanya Mr. Crowe.

"Baru saja datang," kata pemuda bertubuh kecil itu dengan logat Jepang yang kental.

"Kau tadi melihat seseorang di sekitar sini? Memakai pakaian penyelam?"

Torao menggeleng.

"Tidak lihat siapa-siapa."

"Kau tidak mendengar kami berlari mengejarnya?" desak Jupiter.

Mata Torao terkejap.

"Baru saja datang. Tidak dengar apa-apa."

Suaranya ramah. Tapi gaya bicaranya gugup, seakan-akan merasa kikuk karena berada di
negara asing. Ia tersenyum, tapi senyuman orang bingung.

"Baiklah kalau begitu, Torao," kata Mr. Crowe. "O ya, ngomong-ngomong, bisakah kau
malam ini berjaga lagi di Angin Laut?"

"Berjaga?" kening Torao berkerut sebentar, seperti sedang berpikir. Kemudian ia


kelihatannya mengerti. "Ah ya, bisa!"

"Baiklah," kata Mr. Crowe lagi, lalu berpaling kepada anak-anak. "Sekarang kita coba
periksa saja, apa maunya orang tadi masuk ke rumahku."

Ketika mereka sudah menuju ke pintu, tiba-tiba Torao berbicara lagi.

"Lihat dua orang," katanya bersemangat. "Berdiri di pojok."

"Bagaimana penampilan mereka, Torao?" tanya Jupiter dengan cepat.

Tukang kebun yang masih muda itu memandang Crowe dengan sikap bingung.

"Ia tidak begitu bisa berbahasa Inggris, Jupiter," kata pengarang itu. "Apa boleh buat, kurasa
cuma itu saja yang bisa diceritakannya pada kita."
Mr. Crowe mengajak anak-anak masuk ke dalam rumah, menuju kamar yang jendelanya
dibiarkan terbuka oleh tamu tak diundang tadi. Kamar itu merupakan ruang kerja Mr. Crowe.
Sebuah kamar berukuran kecil. Di situ ada meja dengan buku-buku, dan kertas-kertas
catatan bertumpuk-tumpuk di atasnya, ditambah suatu berkas naskah yang sudah siap,
pena-pena berwarna berjejer-jejer, serta sebuah mesin ketik model kuno. Selain itu ada pula
sebuah kursi dengan alas tempat duduk dan sandaran dari kain terpal. Kursi seperti itu
biasa dipakai para sutradara sewaktu membuat film. Lalu adapula seperangkat alat stereo
yang sudah tua, serta tiga buah lemari arsip yang sudah penyok di sana-sini. Di salah satu
sudut tegak sebuah pesawat pemancar dan penerima berita radio berukuran besar , seperti
yang lazim dipakai di kapal untuk hubungan komunikasi dari laut ke darat.

Laci paling atas dari salah satu lemari arsip terbuka sedikit. Sebuah buku catatan terletak di
atas lemari itu dalam keadaan terbuka, di samping sebuah peta berukuran besar. Mr. Crowe
memandang buku catatan yang terbuka itu dengan sikap heran.

"Mau apa dia dengan buku catatan kepanitiaanku?" katanya.

Pete mengambil peta besar itu.

"Heh, ini kan peta beting-beting karang dan catatan kedalaman laut di sekitar pulau-pulau
itu," katanya.

Jupiter ikut memperhatikan peta itu.

"Tapi anjungan yang baru belum tertera, begitu pula gambar lintasan pelayaran kapal-kapal
Anda ke sana," katanya. "Apa yang tertulis dalam buku catatan itu, Sir?"

"Jadwal harian aksi protes kami!" jawab Mr. Crowe. "Apa yang menurut rencana akan kami
lakukan setiap hari di sekitar anjungan dan di darat, kapan kami berangkat dan kapan
kembali, kapal-kapal mana saja yang tersedia, siapa-siapa yang ikut... pokoknya segala hal
seperti itu."

"Sudah pernah hal ini terjadi sebelumnya?" kata Jupiter. "Maksud saya, ada orang dengan
diam-diam masuk kemari dan membaca catatan pada buku ini?"

Mr. Crowe berpikir sebelum menjawab.

"Mungkin saja, Jupiter," katanya kemudian. "Aku selama ini tidak pernah melihat
siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku merasa seakan-akan buku ini agak beralih tempatnya.
Waktu itu aku tidak merasa curiga, tapi sekarang..."

Ia tidak menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu pintu kamar diketuk dari luar. Torao
menjenguk ke dalam

"Ada orang datang," katanya.


Kalimatnya disusul oleh masuknya orang itu ke dalam kamar. Ternyata Mr. Andrews, ayah
Bob.

"Nah, bagaimana? Misteri itu sudah berhasil kalian selesaikan?" katanya.

"Bukannya diselesaikan," kata Mr. Crowe, "tapi kami malah menemukan beberapa misteri
baru. Mudah-mudahan Anda lebih berhasil dengan pekerjaan Anda tadi."

"O ya, aku berhasil membuat serangkaian wawancara menarik dengan beberapa orang dari
kelompok Anda. Sekarang aku akan mewawancarai wakil-wakil perusahaan minyak. Kalian
ingin ikut, Anak-anak?"

"Yah, kenapa tidak?" kata Bob sambil mendesah. "Di sini pun, tidak banyak yang bisa kami
lakukan saat ini."

"Bisakah kita nanti mampir sebentar untuk makan malam?" kata Pete mengusulkan.

"Kurasa itu bisa diatur," jawab Mr. Andrews sambil tertawa. "Anda mau ikut makan bersama
kami, Crowe?"

"Kurasa lebih baik tidak ku tinggalkan tempat ini. Saat ini sedang terjadi sesuatu yang
mencurigakan. Sayangnya, aku tidak tahu apa itu, dan kenapa terjadi."

Jupiter masih memegang buku catatan Mr. Crowe, sementara perhatiannya terarah pada
peta petunjuk letak beting-beting karang dan pulau-pulau di sekitarnya.

"Mr. Crowe," katanya, "Anda punya buku catatan harian Angin Laut?"

"Ada, tapi disimpan oleh Kapten Jason. Mungkin sekarang ia masih ada di kapal."

"Kalau begitu," kata Jupiter, "saya tidak jadi ikut dengan Anda, Mr. Andrews. Saya kembali
saja ke hotel, apabila Anda tidak berkeberatan mampir sebentar sebelum di pelabuhan,
karena saya ada perlu sedikit di Angin Laut."

"Kau ada ide baru, Jupe?" tanya Bob dan Pete serempak.

"Mungkin," kata Jupiter mengelak.

"Jadi kau juga tidak jadi ikut makan, Jupiter?" tanya Mr. Andrews.

"Yah," kata Jupiter buru-buru, "kalau begitu, saya rasa sebaiknya saya ikut dengan kalian!"

Mendengar jawabannya, yang lain-lainnya tertawa semua.

5. BEBERAPA ORANG TAMU


Hari sudah gelap ketika Mr. Andrews bersama Bob dan Pete kembali ke hotel dimana
Jupiter tadi diturunkan setelah makan malam bersama. Mereka menemukan remaja itu
sedang duduk menghadapi meja tulis di salah satu dari kedua kamar yang mereka tempati.
Di depannya terletak buku catatan harian kapal Angin Laut, buku catatan kepanitiaan Mr.
Crowe, serta peta pulau-pulau.

"Wah," kata Pete, sambil merebahkan diri ke salah satu sofa yang ada di situ, "tak kusangka
pekerjaan wawancara itu sangat melelahkan!"

"Ya, mereka bicara tentang segala hal, kecuali apa yang ingin kita dengar sebagai jawaban,"
kata Bob. "Sulit sekali mengorek fakta-fakta yang sebenarnya dari mereka tadi!"

"Yah, begitulah pekerjaan reporter, Anak-anak," kata Mr. Andrews sambil tertawa.
"Kadang-kadang kita bisa memperoleh cerita yang lebih menarik dengan cara membiarkan
orang yang kita wawancarai berbicara seenak hati mereka. Dengan begitu tanpa sadar
mereka membeberkan siapa mereka sebenarnya! Apa sebetulnya yang ada dalam pikiran
mereka!"

"Kalau begitu, Mr. Hanley tadi rupanya sama sekali tidak menaruh perhatian pada
burung-burung maupun ikan," kata Pete, "dan ia membenci orang-orang yang
mementingkan kelestarian lingkungan hidup."

"Ia bersikap masa bodoh terhadap apa yang terjadi di dunia," kata Bob menambahkan,
"selama perusahaannya bisa terus menjual minyak!"

"Ia dan Mr. Yamura berpandangan lain tentang apa yang diperlukan dunia kita ini, Bob," kata
Mr. Andrews menjelaskan. "Dan mereka tadi benar, sehubungan dengan begitu banyak
orang yang akan kehilangan pekerjaan, apabila kita tidak punya minyak bumi. Saat ini dunia
memerlukan minyak dalam jumlah yang banyak."

"Mr. Yamura itu sebenarnya siapa, Sir?" tanya Jupiter.

"Seorang industriawan Jepang yang datang kemari untuk mengadakan perembukan dengan
perusahaan minyak yang membangun anjungan baru itu, Jupiter. Rupa-rupanya
keluarganya adalah pemilik sebuah perusahaan minyak dan kimia yang sudah cukup lama
ada di Jepang."

"Mungkin Mr. Hanley bisa belajar dari dia tentang beberapa hal," kata Bob.

"Di segi pelestarian lingkungan, orang Jepang tidak lebih baik daripada Hanley," kata Mr.
Andrews. Ia memandang arlojinya. "Aku masih harus mewawancarai MacGruder, manajer
setempat dari perusahaan minyak itu. Orang di kantornya tadi mengatakan, ada
kemungkinan ia sedang berada di dermaga saat ini. Jika kalian ingin ikut lagi dengan aku,
mungkin kita nanti bisa mampir sebentar untuk makan es krim. Nah, bagaimana?"
Pete langsung nyengir.

"Aku sih, setuju-setuju saja," katanya.

Jupiter ikut berdiri.

"Tapi sayangnya, kami sudah berjanji pada Mr. Crowe bahwa kami akan kembali ke
rumahnya malam ini."

"Kapan kita berjanji begitu?" tanya Bob.

"Eh Jupe, aku tidak ingat..." kata Pete, tapi kalimatnya terputus karena kakinya diam-diam
ditendang oleh Bob. "Aduh! O ya, aku ingat lagi sekarang. Kita tadi mengatakan akan
datang lagi malam ini untuk... untuk..."

"Merencanakan apa yang akan kita lakukan besok," kata Jupiter menyambung.

"Yah, kalau begitu aku sendiri saja mencari MacGruder di dermaga," kata Mr. Andrews, "dan
jika tidak ada di sana, aku akan mampir di kantor redaksi Sun Press, itu nama koran yang
terbit di kota ini, untuk meneliti koleksi foto-foto mereka. Barangkali saja ada yang bisa
kupakai. Aku takkan lama-lama pergi. Kalian juga, ya! Jangan pulang terlalu larut malam.
Urusan kita banyak, besok."

Setelah itu Mr. Andrews tidak kelihatan lagi, Pete langsung mengumpat sambil
membungkuk untuk mengusap-usap mata kakinya yang tadi ditendang Bob.

"Kalau memberi tanda, tanpa menendang keras-keras aku pun sudah mengerti, Konyol!"
umpatnya. "Tapi aku tidak ingat ada salah seorang di antara kita tadi mengatakan bahwa
kita harus kembali ke rumah Mr. Crowe untuk..."

"Aduh, Pete!" seru Bob tidak sabaran. "Jupe sudah berhasil menemukan jawaban misteri itu!
Betul kan, Jupe?" +

"Ya, kurasa begitulah," kata Jupiter menjawab dengan gaya agak sok. "Atau
setidak-tidaknya, sebagian besar daripadanya. Jawabannya ada di sini, di dalam buku
catatan harian kapal Angin Laut ini. Dengannya, ditambah dengan apa yang sudah berhasil
kita ketahui sebelumnya, kita akan bisa mengatakan pada Mr. Crowe, apa yang sebetulnya
terjadi dengan bahan bakar di kapalnya itu!"

"Bilang saja dulu pada kami!" seru kedua temannya.

Tapi Jupiter malah nyengir menyebalkan.

"Nanti saja kalau kita sudah ada di sana."

Bob dan Pete mengerang. Tapi mereka membantu Jupiter membawa buku catatan
kepanitiaan Mr. Crowe serta peta lautnya, dan mengikutinya meninggalkan hotel. Mereka
berjalan melintasi State Street pada malam yang sunyi itu menuju rumah Mr. Crowe yang
terletak di Garden Street, hanya beberapa blok saja dari hotel. Pengarang itu sendiri yang
membukakan pintu. Anak-anak diajaknya masuk lagi ke kamar kerjanya yang kelihatan
morat-marit. Dari pesawat radio gelombang pendek yang tegak di sudut terdengar laporan
Penjaga Pantai yang mengumumkan bahwa ada badai yang kini bergerak ke arah utara.

"Wah, Anak-anak, aku tidak..." kata Mr. Crowe.

"Jupiter sudah berhasil memecahkan misteri itu!" sela Pete cepat-cepat.

"Yah," kata Jupiter, "saya rasa, sebagian besar daripadanya."

"Hebat, Jupiter!" kata Mr. Crowe bergembira. "Coba ceritakan!"

"Baik, Sir." Jupiter mengangguk. "Saya berhasil memperoleh buku catatan harian Angin
Laut, lalu saya bandingkan..."

Ia terhenti, karena tiba-tiba terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Bunyinya keras,
memberikan kesan bahwa orang yang melakukannya terburu-buru. Mr. Crowe keluar untuk
membukakan pintu. Ia kembali bersama manajer lokal perusahaan minyak, Paul
MacGruder. Orang itu menatap Mr. Crowe dengan marah.

"Mau apa Yamura tadi kemari?" tukasnya.

"Pengusaha bangsa Jepang itu, yang tadi ada di dermaga?" kata Mr. Crowe dengan nada
heran. "Ia tidak kemari tadi, MacGruser." +

"Apa maksud Anda ia tidak kemari?" kata MacGruder, kini juga dengan nada heran.
"Aku melihatnya masuk ke perkarangan rumah Anda ini hampir setengah jam yang lalu, dan
baru saja ia keluar lagi lalu langsung pergi dengan mobil!"

"Aku bahkan sama sekali belum pernah bertemu secara langsung dengan Yamura!" bentak
Mr. Crowe.

"Tapi aku tadi melihatnya ada di sini!"

Sementara kedua orang itu bertatap-tatapan, tiba-tiba mata Jupiter nampak berkilat-kilat.

"Mungkin," katanya, "ia tadi cuma mengamat-amati rumah ini. Mengintai Mr. Crowe!"

"Maksudmu," kata Bob, "untuk perusahaan minyak?"

"Atau dengan alasan lain," kata Jupiter. "Mungkin ia kemari bukan cuma untuk berembuk
dengan perusahaan minyak itu saja."
Sesaat semuanya membisu. Kemudian Paul MacGruder mengangguk.

"Ia sudah seminggu ada di sini, dan baru hari ini ia baru mendatangi anjungan pengeboran
dan dermaga kami," kata manajer bertubuh langsing itu.

"Tadi aku mendengar dia berbicara lewat telepon mengenai Crowe dan aksi protes itu. Jadi
ketika ia kemudian bergegas pergi, aku membuntutinya. Dan ia langsung menuju kemari."

"Lalu apa maunya?" tanya Mr. Crowe dengan heran.

MacGruder mengangkat bahu.

"Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak beres dengan urusan ini," katanya serius.

"Seperti kejadian di dermaga tadi siang. Maksudku bukan tindak-tanduk Hanley yang
congkak, karena itu sudah kuperkirakan dari dia. Tapi kelihatannya ada di antara
orang-orang kalian yang secara diam-diam menolong Hanley, dengan secara sengaja
memulai keributan dan menyebabkan polisi harus turun tangan, serta mungkin melarang
seluruh aksi protes."

"Itu kan tidak masuk akal!" tukas Mr. Crowe.

"Mungkin saja," balas MacGruder, "tapi yang jelas, ada sesuatu yang tidak bis a
dikendalikan lagi, sabotase terhadap anjungan pengeboran, kapal Anda diutik-utik orang...
rasanya ada orang yang hendak merusak nama kalian semua."

"Wah," kata Jupiter berlagak polos, "kedengarannya seolah-olah Anda menginginkan aksi
protes itu berhasil, Mr. MacGruder. Maksud saya, padahal Anda kan bekerja pada
perusahaan minyak itu."

Dengan wajah memerah, manajer itu menatap Jupiter.

"Tugasku memproduksi minyak, Anak muda," katanya, "tapi pelestarian lingkungan


merupakan kewajiban kita semua, termasuk orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis
minyak." +

Setelah itu MacGruder keluar. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin mobil
dinyalakan di depan, disusul keberangkatan mobil itu. Di dalam ruang kerja, yang terdengar
hanya suara petugas Penjaga Pantai yang membacakan laporan bahwa badai yang berawal
di perairan lepas pantai Baja California kini menuju ke semenanjung itu dan diperkirakan
akan reda apabilah sudah sampai di atas daerah daratan.

"Untuk apa Yamura mengamat-amati diriku?" tanya Crowe.

"Itu jika ia benar melakukannya," kata Bob. "Maksud saya, kan hanya MacGruder yang
mengatakan begitu. Buktinya tidak ada."
"Betul," kata Jupiter. "Tapi katakanlah itu benar, kenapa MacGruder marah karenanya?
Sikapnya tadi seolah-olah menginginkan aksi protes berlanjut."

"Masa bodoh dengan semuanya itu!" seru Pete. "Misterinya, Jupe, misterinya! Apa
sebabnya bahan bakar Angin Laut saban kali susut secara misterius?"

Jupiter hanya nyengir saja. Setelah beberapa saat, barulah ia menjawab.

"Karena kapal itu membawa sesuatu yang berat ke anjungan!" katanya.

6. JUPITER MENEMUKAN JAWABAN

"Itu mustahil, Jupiter!" kata Mr. Crowe.

"Tidak, Sir," kata Jupiter berkeras. "Hanya itu kemungkinan jawaban yang benar."

"Mana mungkin kami membawa sesuatu ke sana tanpa mengetaguinya?"

"Tentang itu saya belum tahu," kata Jupiter mengakui, "tapi saya tahu bahwa Anda jelas
mengangkut sesuatu ke perairan diluar itu, sesuatu yang berat bobotnya. Itu satu-satunya
jawaban yang bisa diterima sebagai penjelasan mengenai bahan bakar Anda yang saban
kali menyusut dengan begitu cepat." +

"Kau yakin, Satu?" kata Bob dengan nada sangsi.

"Ya," kata Jupiter mantap. "Mr. Crowe dan Kapten Jason sudah memeriksa mesin,
tangki-tangki bahan bakar serta saluran-salurannya, tapi mereka tidak menemukan sesuatu
yang rusak atau tidak beres. Mereka memeriksa alat pengukur cadangan bahan bakar dan
bahkan melakukan pengecekan dengan tongkat pengukur. Setiap kali berangkat dari
pelabuhan menuju anjungan yang baru itu, tangki-tangki Angin Laut selalu terisi penuh.
Tidak mungkin ada yang bisa mencuri isinya dalam pelayaran, dan tidak ada yang terpergok
naik ke kapal sewaktu masih terlambat di marina. Jadi..."

"Tapi, Jupe," sela Bob "kalau tidak ada yang naik ke kapal, mana mungkin ada orang bisa
menaruh sesuatu ke situ?"

"Jawaban tentang itu juga belum kutemukan," kata Jupiter mengakui, "tapi yang jelas, hal itu
terjadi."

Pemimpin Trio Detektif itu menatap yang lain-lainnya dengan sikap menantang. Bob dan
Pete kelihatan gelisah karenanya. Mr. Crowe memperhatikan Jupiter, lalu mengangguk.

"Baiklah, Jupiter. Lanjutkan penjelasanmu, kami akan mendengarkan. Apa yang


menyebabkan kau menarik kesimpulan itu?"
"Buku catatan harian Angin Laut, Sir, serta penalaran sederhana," kata Jupiter menjawab.
"Pertama, mengingat bahwa kecuali pada empat kejadian itu persediaan bahan bakar yang
Anda bawa selalu cukup, maka perhitungan Kapten Jason mengenai banyaknya bahan
bakar yang diperlukan untuk berlayar ke anjungan, hilir-mudik di sana sepanjang hari, lalu
kembali lagi ke pelabuhan, kelihatannya cocok. Kemudian kedua, nampaknya sudah pasti
bahwa tidak terjadi penyusutan bahan bakar sebagai akibat kebocoran, pencurian, atau
gangguan mesin. Ketiga, apabila tidak ada bahan bakar yang hilang dengan cara-cara yang
baru saja saya katakan, maka itu berarti bahwa pada keempat hari itu Angin Laut lebih
banyak menggunakan bahan bakar."

"Itu gagasan yang bagus, Jupe!" kata Pete bersemangat.

"Pendapatku tadi juga begitu," kata Jupiter.

"Karenanya aku lantas menanyakan pada Kapten Jason ketika aku mendatanginya untuk
meminjam buku catatan harian kapal ini. Kutanyakan padanya, apakah pada keempat hari
itu ia membeli bahan bakar di tempat lain."

"Tidak," kata Mr. Crowe. "Kemungkinan itu juga sudah terpikir olehku. Tapi Kapten Jason
selalu membeli bahan bakar di depot yang sama di marina."

"Ya, begitulah yang dikatakannya pada saya, dan saya rasa hampir mustahil bahan bakar
yang dijual pada satu depot bisa begitu berlainan dari hari ke hari," kata Jupiter, lalu
meneruskan, "kemungkinan ketiga adalah, karena salah satu sebab pada keempat hari itu
Angin Laut berlayar lebih jauh dari biasanya. Tapi Anda tidak mengatakan pernah
melakukan pelayaran mengitar atau mampir di tempat lain, dan itu juga tidak tertera dalam
buku catatan harian ini. Saya tidak percaya Anda dan Kapten Jason mungkin lupa, jika
memang mampir atau mengitar pada hari-hari yang bersangkutan itu!"
"Kami memang tidak pernah berlayar mengitar," kata Mr. Crowe membenarkan.

"Jadi," kata Jupiter menyimpulkan, "bahan bakar Anda tidak tercecer atau hilang, mesin
bekerja normal, jenis bahan bakar yang dipakai selalu sama, dan Anda setiap hari bisa
dibilang menempuh jarak pelayaran yang selalu sama. Sepanjang yang dapat saya lihat,
hanya satu kemungkinan lagi yang masih ada... yaitu faktor waktu. Apakah pada keempat
hari itu Anda memerlukan waktu yang lebih lama untuk berlayar ke anjungan dan kemudian
kembali ke pelabuhan? Saya tiba-tiba merasa yakin bahwa hal itu pasti terjadi, dan ternyata
dugaan saya itu dibenarkan oleh catatan dalam buku harian pelayaran ini."

Jupiter memandang yang lainnya dengan sikap puas.

"Di sini tercatat bahwa pada keempat hari Angin Laut kemudian kekurangan bahan bakar,
Anda tiba sekitar lima belas menit lebih lambat dari biasanya di anjungan minyak! Pada
keempat hari itu Anda memerlukan waktu lima belas menit lebih lambat untuk sampai di
sana, dan lima belas menit lebih lama pula pada waktu kembali ke pelabuhan pada tiga hari
diantaranya! Karena sibuk mengatur kapal-kapal peserta aksi protes, Anda tidak menyadari
adanya selisih lima belas menit itu."
Mr. Crowe hanya bisa melongo saja.

"Jelas bahwa ada sesuatu yang memperlambat gerak pelayaran Angin Laut pada keempat
hari itu." kata Jupiter melanjutkan. "Anda sudah mengecek gerak pasang laut, begitu pula
arus dan angin, tapi tidak menjumpai sesuatu yang lain dari biasanya. Jadi tinggal satu
jawaban yang mungkin menurut saya... yaitu bahwa pada hari-hari itu mungkin Angin Laut
mestinya membawa beban yang lebih berat! Beban tambahan itu yang memperlambat
jalannya, sehingga membutuhkan lebih banyak bahan bakar untuk menempuh jarak
pelayaran yang sama!"

Tiba-tiba Mr. Crowe tertawa.

"Ya, betul, tentu saja! Jelas, kan? Jawabannya begitu sederhana!"

"Sangat sederhana," kata Jupiter singkat.

"Maaf, Jupiter," kata Mr. Crowe buru-buru. "Orang selalu mengatakan begitu setelah si
detektif menjelaskan duduk perkaranya, ya? Tapi terus terang, aku sendiri sama sekali tak
terpikir ke situ. Kau benar-benar hebat."

"Terima kasih, Sir," kata Jupiter dengan wajah yang nampak senang. Ia mengeluarkan
selembar kertas catatan berwarna kuning dari kantungnya. "Dan karena saya tadi ada waktu
sedikit di hotel, saya hitung berapa kira-kira beban tambahan yang mestinya dibawa pada
hari-hari itu oleh kapal Anda. Dari jarak tempuh yang biasanya dicapai dengan setiap galon
bahan bakar, lalu kecepatan, jarak, dan jumlah kekurangan bahan bakar, saya memperoleh
ukuran beban seberat kurang lebih satu ton... yang diangkut bolak-balik, kecuali pada hari
pertama ketika Anda bisa mencapai pelabuhan dengan kekuatan sendiri. Waktu itu mestinya
beban tambahan itu hanya diangkut dalam pelayaran ke anjungan saja. Kenapa begitu?
Nah, tentang itu saya belum tahu."

"Satu ton? Seribukilo?" kata Pete tercengang.

"Wah, Satu,?" kata Bob, "bagaimana mungkin barang seberat itu bisa disembunyikan di
kapal? Bahkan bagaimana bisa dinaikkan tanpa ketahuan?"

"Kedengarannya memang tidak masuk akal," kata Jupiter.

"Hebat!" keluh Pete. "Kau berhasil menyelesaikan suatu teka-teki... dan memunculkan
teka-teki baru! Sekarang bagaimana cara kita menyelesaikan misteri ini?"

"Dengan cara mengawasi Angin Laut malam ini, dan setiap malam yang selanjutnya, sampai
kita menemukan jawabannya," kata Jupiter dengan mantap.

"Torao sudah menjaga di sana, Jupiter," kata Mr. Crowe mengingatkan. "Lalu nanti, setelah
tengah malam, Kapten Jason yang akan menjaga."
"Saya tahu, Sir," kata Jupiter, "tapi sebelum ini pun mereka sudah menjaga di sana. Entah
dengan cara bagaimana, orang yang ada di balik misteri ini ternyata bisa naik ke kapal
tanpa terlihat oleh mereka."

"Jangan-jangan orang itu tidak bisa dilihat," kata Bob sambil tersenyum.

"Aduh... hantu, maksudmu?" kata Pete. Ia meneguk ludah.

Jupiter menggeleng dengan sikap tidak sabar.

"Jangan bercanda, ah! Hantu? Mana ada hantu? Nah, kita nanti harus mengamat-amati
kapal itu tanpa ada yang bisa melihat kita, termasuk Torao atau Kapten Jason."

"Kau kan tidak hendak mengatakan, orang tak dikenal itu mungkin salah satu dari mereka
berdua, Jupiter?" kata Mr. Crowe.

"Kalau soal kemungkinan, siapa saja pun mungkin," kata Jupiter dengan serius, "Kita bukan
hanya tidak tahu apa beban yang Anda ankut itu serta bagaimana caranya bisa berada di
atas kapal. Kita juga tidak tahu kenapa beban itu ada di situ!"

"Baiklah," kata Mr. Crowe. "Takkan kukatakan pada siapa-siapa apa yang akan kalian
lakukan. Tapi aku harus ikut!"

Jupiter menggeleng.

"Ada kemungkinan Anda diamat-amati terus, Sir. Anda harus tetap berada di sini, di rumah
Anda, agar jangan sampai ada yang merasa curiga. Anda bisa mengantar kami ke sana,
tapi setelah itu Anda harus kembali kemari."

Mr. Crowe mengangguk, walau dengan sikap segan.

"Kapan kalian hendak mulai?" katanya.

"Sekarang ini juga," kata Jupiter dengan mantap. "Kami kembali dulu ke hotel untuk
mengambil peralatan dan memberi tahu ayah Bob ke mana kami akan pergi. Setelah itu kita
langsung ke Angin Laut dan memeriksanya dengan saksama dari haluan sampai buritan,
untuk memastikan bahwa belum ada apa-apa di atasnya!"

7. BOB DALAM BAHAYA!

Setengah jam kemudian anak-anak dengan dibantu oleh Torao dan Mr. Crowe sudah
selesai melakukan pemeriksaan di atas kapal itu. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa.

"Kalian sebaiknya kembali saja ke hotel sekarang," kata Mr. Crowe pada Jupiter dan kedua
temannya. "Kau menjaga terus di sini, Torao, dan laporkan kalau melihat sesuatu. Jangan
kaucegah siapa pun juga yang hendak naik kemari. Kalau perlu, sembunyi! Kaulaporkan
saja padaku kemudian. Oke?"

"Yes, Sir, very good." Pemuda Jepang itu mengangguk-anggukan kepalanya dengan
bersemangat. "Akan Torao lakukan."

"Yuk, Anak-anak," kata Mr. Crowe.

Mereka semua masuk ke mobil pengarang itu, lalu berangkat. Begitu sudah tidak kelihatan
lagi dari Angin Laut, Mr. Crowe menghentikan mobilnya di salah satu di salah satu sudut
yang gelap di pelataran parkir marina.

"Aku pulang sekarang, dan akan kuusahakan agar bisa dilihat orang dari luar," kata
pengarang itu. "Hati-hati, ya, Anak-anak. Kita tidak tahu apa yang sebetulnya yang sedang
terjadi, jadi jika kalian menghadapi kesulitan, kalian harus segera menghubungiku. Oke?"

Ketiga penyelidik remaja itu mengangguk. Mr. Crowe menjalankan mobilnya lagi,
meninggalkan anak-anak yang mengendap-endap di pelataran parkir yang gelap itu. Mereka
memakai pakaian berwarna gelap, sehingga hampir-hampir tidak kelihatan. Jupiter
mengeluarkan tiga buah senter dari kantungnya.

"Ini kubeli sewaktu kalian berdua sedang ikut dengan ayah Bob," katanya menjelaskan.
"Setelah berhasil kuketahui jawaban atas teka-teki lenyapnya bahan bakar Angin Laut, aku
tahu bahwa selanjutnya kita harus melakukan pengintaian pada malam hari. Nah, kaca
senter ini masing-masing kututupi dengan kertas yang ditengah-tengahnya kubuatkan
lubang berbentuk silang, lingkaran, dan segi tiga. Aku akan membawa senter yang
lubangnya berbentuk silang, kau Bob, kau yang segi tiga, sedang Pete yang lingkaran.
Dengan begitu apabila kita harus memencar nanti dan memberi isyarat, kita bisa tahu siapa
itu!"

"He, itu ide yang bagus sekali, Satu!" kata Pete.

"Yah," kata Jupiter dengan nada terpaksa, "sebetulnya bukan ideku sendiri. Aku pernah
membaca mengenainya. Orang inggris menggunakan isyarat semacam begini di London,
ketika lampu-lampu di kota itu sering harus dipadamkan pada perang Dunia Kedua. Oke,
sekarang kita pergi ke tempat pengamatan masing-masing!"

Ketiga remaja itu menyelinap maju di pelataran yang gelap itu, menuju marina.
Beratus-ratus kapal dan perahu tertambat di situ. Tiang-tiang nampak menjulang bagaikan
hutan gundul, dengan latar belakang langit malam. Pete menyelinap melewati Angin Laut
yang ditambatkan ke tembok laut, menuju sebuah pangkalan yang terbuat dari kayu. Di situ
ia menemukan suatu tempat dari mana ia bisa mengamati sisi seberang Angin Laut. Jupiter
menyusur tembok laut menuju ke tanggul batu, lalu bersembunyi di belakang sederetan
tong. Dari situ ia bisa melihat seluruh geladak dengan kapal yang hendak diamati. Bob
merebahkan diri di bawah haluan sebuah perahu katamaran yang ditarik ke atas tembok
laut. Dari situ ia bisa dengan jelas melihat geladag belakang kapal motor yang besar itu.
Ketiga penyelidik remaja itu menunggu dalam kegelapan malam yang sunyi itu.

Satu jam sudah berlalu.

Sekali-sekali mereka menyalakan senter sekilas untuk saling memberitahu bahwa mereka
masih tetap ada di tempat yang sama, dan belum melihat apa-apa.

Menjelang pukul sebelas, Pete mulai gelisah. Ia tidak melihat apa pun juga di atas Angin
Laut. Bahkan Torao yang mestinya ada di situ, juga tidak nampak. Diangkatnya senter untuk
memberi isyarat. Tapi tidak jadi. Jantungnya seakan berhenti berdenyut sesaat!

Ada orang memasuki marina dari jalan pelabuhan, dan dengan diam-diam menuju Angin
Laut! Orang yang hanya kelihatan berupa bayangan gelap itu bergerak dengan cepat tapi
menyelinap. Kelihatannya seperti terburu-buru dan tidak mau terlihat orang.

Orang yang mengendap-endap itu sampai di kapal, dan.... Pete terkesiap. Ternyata yang
datang itu bukan satu orang tapi dua. Dua sosok gelap yang berdiri berdekatan di atas
tembok laut. Kelihatannya mereka seperti sedang berembuk. Pete memincingkan mata,
berusaha melihat lebih jelas. Ia hanya bisa melihat potongan kedua orang itu.
Kedua-duanya berbahu besar, dan kelihatannya seperti memakai topi yang tidak jelas
bentuknya. Topi dari bahan wol! Kedua orang itu adalah penyelam-penyelam tiram dari
Oxnard, yang memulai keributan di dermaga siang itu! Connors bersaudara!

Kedua orang itu memandang berkeliling, lalu naik ke geladak Angin Laut.

Saat itu nampak sinar senter Jupiter memancar putus-putus menembus kegelapan malam.
Sinar itu membentuk huruf-huruf sandi morse yang berarti: A-W-A-S.

Pete menyalakan senternya sekali untuk mengisyaratkan bahwa peringatan itu sudah
dipahaminya. Setelah itu perhatiannya kembali terarah ke kapal yang diselubungi kegelapan
itu. Dari tempat pengintaiannya, ia bisa melihat seluruh tubuh kapal, di depan tembok laut.
Sosok-sosok gelap dari kedua bersaudara Connors sebentar-sebentar kelihatan lalu lenyap
lagi, sementara mereka berkeliaran di geladak. Mula-mula mereka muncul di bagian haluan,
lalu di buritan, dan kemudian lenyap sama sekali.

Suda pergi lagikah mereka? Pete memasang telinga. Ia mendengar berbagai bunyi yang
samar. Datangnya seperti dari bawah geladak. Apakah yang sedang dilakukan kedua orang
itu? Dan mana Torao, pemuda Jepang itu. Bunyi-bunyi gerakan masih terdengar selama
beberapa waktu di bawah. Kemudian kedua penyelam tiram tadi muncul lagi di geladak.
Mereka turun dari kapal, lalu menuju jalan raya pelabuhan.

Pete melihat sinar senter berkelip-kelip, mengisyaratkan kata-kata: KUIKUTI. Melihat bentuk
cahaya terang yang berwujud segi tiga, dengan segera Pete tahu bahwa yang memberi
isyarat itu Bob. Pete meninggalkan posnya sambil merunduk-runduk. Ia pergi ke tempat
Jupiter, yang bersembunyi di balik deretan tong.
"Kita ikut membututi, Satu?" bisiknya.

"Jangan," kata Jupiter sambil berbisik pula. "Kalau lebih dari satu yang membuntuti, nanti
gampang ketahuan." Pemimpin Trio Detektif itu mengintip ke depan, memperhatikan Bob
menyelinap keluar dari bawah perahu katamaran untuk membuntuti Tim dan Jed Connors.
"Kecuali itu, aku hendak naik ke kapal untuk melihat apakah ada sesuatu yang mereka taruh
tadi di sana. Mungkin Torao melihat di mana..."

Jupiter tidak melanjutkan kalimatnya. Ia menatap ke arah di mana Tim dan Jed Connors tadi
menghilang dengan dibuntuti Bob.

"Pete!" suara Jupe terlihat tegang. "Ada orang lain! Itu, lihat.. muncul dari tempat parkir di
mana Bob tadi bersembunyi!"

Pete melihat sesosok samar seseorang yang muncul dari pelataran parkir. Orang itu
menyelinap dengan cepat ke arah yang dituju oleh Bob dan kedua penyelam tiram tadi.

"Ia membuntuti Bob!" bisik Pete tegang.

"Kalau begitu Bob mungkin dalam bahaya," kata Jupe. "Akan kususul mereka, untuk
memperingatkannya! Kau tetap menjaga di sini!"

"Cepat, Jupe!" desak Pete. "Sementara itu akan kucari Torao. Siapa tahu, barangkali aku
akan bisa menemukan apa yang tadi dilakukan keduan Connors bersaudara di dalam
kapal!"

Jupiter mengangguk, lalu bergegas menyusur tembok laut menuju promenade pelabuhan. Ia
menyelinap dengan memilih tempat-tempat yang gelap, sementara pandangannya terpaku
terus pada orang yang nampak samar berjalan di depan. Orang itu kelihatannya mengintai
seseorang yang ada di depannya. Siapakah yang dibuntutinya? Bob, atau Connors
bersaudara?

Di tembok laut, Pete bersembunyi di balik deretan tong. Diperhatikannya Jupe dan orang
yang dibuntutinya menghilang dalam kegelapan malam. Sampai beberapa waktu kemudian,
ia masih juga belum mendengarkan bunyi mobil pergi meninggalkan pelataran parkir marina.
Rupanya kedua Connors bersaudara dan orang yang dibuntuti Jupe berjalan kaki terus,
walau tidak jelas hendak kemana mereka. Tapi itu berarti ada kemungkinan keduanya akan
agak lama pergi. +

Jadi Pete harus bertindak seorang diri. Ditatapnya sosok Angin Laut yang gelap. Apakah
Tim dan Jed Connors tadi menaruh sesuatu di sana? Dan apabila itu mereka lakukan,
apakah Torao melihatnya? Di manakah Torao?

Pete bergegas dengan langkah menyelinap melintasi tembok laut, menghampiri kapal yang
terapung di air. Tidak ada yang kelihatan bergerak di atasnya. Pete sama sekali tidak
melihat pemuda Jepang yang seharusnya menjaga di situ.

Pete naik ke kapal, lalu buru-buru merunduk.

"Torao?" panggilnya dengan suara pelan.

Ia mendengarnya dengan seksama. Tapi tidak terdengar suara menjawab panggilannya.

Pete menyelinap sepanjang geladak depan menuju anjungan kemudi.

"Torao?"

Ia merasa seperti melihat sesuatu bergerak di dekat buritan. Pete menegakkan tubuh, lalu
memandang dengan mata terpincing ke dalam gelap, ke tempat di mana tadi ia melihat ada
sesuatu yang bergerak.

Pete mendengar bunyi langkah berat di belakangnya. Ia hendak berpaling, tapi sudah
terlambat. Bahunya dicengkeram tangan yang kekar!

"Jangan bergerak!"

Suara berat yang mengucapkannya bernada galak. Pete tidak bisa berkutik. Bahunya terasa
seperti dicengkeram jepitan besi!

8. ANCAMAN DI DALAM GELAP

Bob melintasi promenade, lalu jalan raya pelabuhan yang terletak di sebelahnya. Ia berjalan
sambil memilih tempat-tempat yang paling gelap, dan kemudian menyusur tepi
bangunan-bangunan di seberang jalan. Kedua penyelam tiram tadi agak jauh di depannya.
Sambil berjalan kedua pria bersaudara itu terdengar seperti bertengkar. Tim Connors, yang
memakai topi merah, yang paling banyak bicara, sementara Jed Connors hanya
mendengarkan saja.

Kedua orang itu berjalan dua blok lebih jauh ke arah timur, sambil terus bertengkar. Mereka
sama sekali tidak menoleh ke belakang. Bob mengikuti mereka dengan diam-diam.
Kemudian kedua orang yang berjalan di depannya masuk ke sebuah jalan kecil yang
mengarah ke utara, di mana terdapat gudang-gudang serta toko-toko umpan pancing dan
ikan. Semua bangunan itu sudah tutup. Tidak ada lampu yang menyala di dalamnya. Di
jalan itu terdapat sebuah hotel besar yang sudah tua. Kelihatannya kumuh, tidak terawat.
Tidak banyak cahaya terang menyinar keluar dari hotel itu sendiri. Jendela-jendelanya
kebanyakan ditutupi tirai berwarna hijau. Tapi di lantai dasar, lampu-lampu neon yang
menyilaukan sinarnya membentuk kata-kata bahwa di situ ada kedai tempat minum-minum:
Blue Shark Bar.

Jed dan Tim Connors masuk ke kedai minum itu. Terdengar bunyi berisik bercampur
hingar-bingar suara musik ketika pintu kedai itu dibuka, tapi dengan segera lenyap lagi
ketika pintu sudah kembali menutup.

Bob berdiri dengan perasaan kecut dibalik bayangan sebuah gudang. Ia belum pernah
masuk ke kedai minum pada malam hari. Sedang kedai yang dimasuki kedua orang tadi
kelihatannya bukan tempat yang ramah. Nampak jelas bahwa pengunjungnya para nelayan
dan pelaut. Bob sadar bahwa kehadirannya di dalam pasti mencolok mata. Tapi ia harus
masuk, karena ingin tahu apa yang dilakukan Tim dan Jed Connors di dalam.

Bob memperhatikan keadaan dirinya. Saat itu ia memakai baju hangat, celana panjang, dan
sepatu yang semuanya berwarna gelap. Mungkin orang-orang di dalam mau percaya kalau
ia mengaku anak nelayan yang mencari ayahnya. Bob menarik napas dalam-dalam, lalu
menyebrang jalan menuju Blue Shark Bar.

Asap rokok mengepul berputar-putar di dalam sebuah ruangan panjang dan berlangit-langit
rendah. Ruangan itu penuh orang-orang berpenampilan sangar.

"He, Kau! Mau apa kau masuk kemari?"

Seorang laki-laki yang sangat gendut, bercelana korduroi dekil, dan topi pet pelaut yang
kumal berlumur minyak menghalang-halangi Bob.

"Aku-aku-" Bob tergagap-gagap.

"Ayo keluar! Kau dengar kataku? Anak-anak tidak boleh masuk kemari! Ayo cepat!"

Sambil meneguk ludah berkali-kali, Bob buru-buru mundur dan keluar. Laki-laki gendut itu
menutup pintu kedai begitu Bob sudah berada di luar. Bob hanya bisa menatap pintu yang
tertutup, dengan perasaan kecut bercampur kesal pada dirinya sendiri karena tidak mampu
mengarang-ngarang alesan yang bisa diterima si Gendut itu. Sudah jelas bahwa kini ia
takkan bisa masuk lagi lewat jalan itu. Si Gendut pasti takkan mau percaya, alesan apa pun
yang dikemukakannya.

Bob memandang ke kiri dan ke kanan di jalan yang lengang itu. Di sisi hotel yang letaknya
lebih jauh ke darat ada sebuah gang. Pada sebuah papan tanda yang menunjuk ke dalam
gang itu ada tulisan: pengantaran Barang-barang Untuk Blue Shark Bar. Bob bergegas ke
ujung gang itu. Jika barang-barang untuk kedai minum itu diantar lewat situ, maka mestinya
di sana ada pintu masuk ke tempat itu! +

Gang itu sempit dan gelap. Bob memasukinya dengan berhati-hati, menyelinap di antara
dua dinding bata tanpa jendela. Gang itu kemudian menikung ke bagian belakang hotel. Dan
di situ nampak tong-tong sampah berderet di kiri-kanan sebuah pintu yang diterangi lampu
bersinar remang yang terpasang di atasnya.

Ternyata pintu itu tidak dikunci

*
Di geladak Angin Laut, Pete menggeliat-geliat dalam cengkeraman orang yang ada di
belakangnya.

"Mau apa kau di sini?" tanya orang itu dengan suara galak.

"Saya-saya-" Pete tergagap-gagap, sementara ia mencari-cari alasan yang paling masuk


akal kenapa ia ada di situ, tapi tanpa membeberkan maksud yang sebenarnya.

"Nah, kau tidak bisa ngomong, ya?" bentak orang itu. "Kuperingatkan saja dengan baik-baik,
jika kau tidak ingin berurusan dengan polisi, lebih baik kau katakan saja apa yang hendak
kau lakukan di sini!"

Tiba-tiba Pete melihat bahwa bayangan yang tadi nampak olehnya di buritan kapal,
bergerak lagi! Ternyata Torao! Jika pemuda itu bias menyelinap ke belakang orang yang
mencengkramnya, mungkin mereka berdua akan bisa....

Pete mengeluh dalam hati! Niatnya kandas, karena Torao malah secara terang-terangan
dating menghampiri!

"Kenalan Mister Crowe," kata pemuda Jepang itu sambil tersenyum dan
mengangguk-angguk. "Datang untuk menjaga kapal."

"Apa?" kata orang yang berada di belakang Pete. "Nyalakan lampu anjungan, Torao."

Torao menyalakan lampu yang dimaksudkan. Orang yang tidak bisa dilihat oleh Pete itu
memutar tubuh remaja itu ke arahnya. Saat itu barulah Pete menyadari bahwa orang yang
selama itu mencengkeramnya adlah Kapten Jason. Nahkoda Angin Laut itu melepaskan
cengkeramannya.

"Aku inget lagi sekarang, kau satu dari ketiga remaja yang ikut dengan kami ke anjungan
minyak. Siapa namamu?"

"Pete Crenshaw, Sir."

"Oke, Pete, sekarang apa urusanmu dengan keterangan Torao tadi, menjaga kapal ini?"

Pete buru-buru menjelaskan apa yang sedang dilakukan oleh Trio Detektif, sehubungan
dengan kesimpulan yang diambil oleh Jupiter.

"Seribu kilo!" kata nahkoda berjenggo itu dengan nada kaget. "Itu mustahil. Tidak mungkin
ada orang menyembunyikan barang sebesar itu di Angin Laut tanpa kuketahui."

"Kami sadar bahwa kedengarannya tidak masuk akal, Kapten Jason," kata Pete
sependapat, "tapi Jupiter merasa yakin bahwa itu satu-satunya jawaban atas teka-teki
menyusutnya bahan bakar Anda."
Kapten Jason berpikir selama beberapa saat, lalu menggeleng.

"Harus kuakui, perhitungan yang dibuat oleh temanmu itu bisa menjelaskan kenapa bahan
bakar kapal ini selalu menyusut dengan cepat, dan aku sendiri tidak bisa menemukan
penjelasan yang masuk akal. Tapi walau begitu...."

"Kapten," kata Pete, "tadi kami melihat kedua Connors bersaudara itu, maksudku Jed dan
Tim Connors, naik kemari. Mereka tidak membawa apa-apa yang besar ukurannya. Tapi
bisa saja mereka tadi menyelundupkan sesuatu kemari. Mungkin Torao sempat melihat
barang apa itu, dan disembunyikan di mana!"

"Aku dengar orang-orang," kata Torao. "Tidak melihat. Mister Crowe bilang, sembunyi. Aku
sembunyi."

"Selain mereka masih ada satu orang lagi," kata Pete menambahkan. "Kami tidak bisa
mengenalinya, dan ia juga tidak naik kemari, tapi jelas bahwa ia mengintip-intip ke arah sini."

"Kalau begitu sebaiknya kita geledah kapal ini, sekarang juga," kata Kapten Jason.

Sambil mengikuti Nahkoda berjenggot itu menuju ke bawah geladak, Pete melirik arlojinya.
Ternyata saat itu belum pukul 11.30. Padahal giliran kapten Jason menjaga di kapal baru
mulai saat tengah malam. Kenapa ia dating terlalu cepat?

Jupiter membuntuti orang yang diawasinya menyebrang jalan raya pelabuhan, lalu masuk
ke sebuah jalan samping. Orang itu rupanya mengikuti seseorang lain yang ada di
depannya. Di depan sebuah hotel yang kelihatan kumuh, orang itu berhenti. Di lantai dasar
ada kedai minum yang bernama Blue Shark Bar. Jupiter melihat wajah orang yang
dibuntutinya, diterangi sinar lampu-lampu neon yang bercahaya merah dan biru. Ternyata
Paul MacGruder, manajer perusahaan minyak yang terlibat dalam keributan di dermaga
siang itu.

MacGruder kelihatan bersikap ragu sambal berdiri di depan pintu masuk ke Blue Shark Bar,
seakan-akan sedang menimbang baik-buruknya jika ia masuk ke situ. kemudian ia
meneruskan langkah, membelok masuk ke sebuah gang yang terdapat antara hotel dan
bangunan sebelahnya.

Jupiter mencari-cari dengan matanya ke segala arah, kalau-kalau Bob atau kedua
bersaudara Connors ada di dekat situ. Tapi jalan yang gelap itu sunyi. Tidak nampak
siapa-siapa di situ. Jupiter bergegas ke ujung gang yang dimasuki MacGuder, lalu
memandang dengan mata terpincing ke dalam. +

Ia tidak melihat apa-apa. Bahkan MacGruder juga tidak.


Jupiter masuk ke dalam gang itu. Ia melangkah dengan gugup, sambil memilih
tempat-tempat yang paling gelap di situ. ketika gang itu kemudian menikung di bagian
belakang hotel, Jupiter berlutut lalu merangkak dan mengintip ke balik tikungan. Di ujung
sebelah sana dilihatnya dinding yang tinggi. Gang itu buntu.

Dan tidak ada siapa-siapa di gang itu.

Jupiter terkejut. Ia cepat-cepat berdiri, lalu bergegas ke balik tikungan. Tidak ada apa-apa di
gang sebelah hotel, kecuali tong-tong sampah berderet-deret. Kemudian dilihatnya sebuah
pintu, diapit deretan tong sampah. Rupanya MacGruder masuk lewat situ. Jupiter menjamah
pegangan pintu, hendak ikut masuk. Saat itu didengarnya suara seseorang, entah dari mana
datangnya.

"Awas.... Jupiter..... Jones!"

Jupiter berpaling dengan cepat.

Masih tetap tidak ada siapa-siapa di dalam gang gelap itu.

"Awas.... Jupiter.... Jones!..... Gemetarlah!.."

Entah dari mana datangnya suara itu! Atau...

"Aku.... aku tidak percaya pada...." kata Jupiter, sementara keringat dinginnya mulai
mengucur.

"Kau.... harus.... percaya.... Jupiter Jones!" kata suara gaib itu lagi.

Lalu... tidak sampai tiga meter dari tempat Jupe berada, tahu-tahu tutup sebuah tong
sampah mulai bergerak ke atas, seakan-akan mengambang dengan sendirinya!

9. PERJUMPAAN YANG MENCURIGAKAN

Tutup tong sampah itu seakan-akan mengambang semakin tinggi dalam gang yang gelap
itu..... disusul munculnya kepala seseorang dari dalam tong. Suara tadi terdengar lagi,
berbisik, "He, Jupe!"

Wajah yang memakai tutup tong sebagai topi itu nyengir. Bob!

"Aduh, Bob!" keluh Jupiter dengan suara tertahan. Diusapnya keringat dingin yang
membasahi kening. "Tidak lucu! Lagi pula, bagaimana jika tadi ada orang lain
mendengarmu!"

"Sorry, Satu," kata Bob, "tapi aku tidak bisa menahan diri tadi, ketika melihatmu
menyelinap-nyelinap!"
Bob nyengir lagi, dan kini Jupiter terpaksa ikut tertawa geli. Ia memandang berkeliling. Tapi
tidak ada orang lain di sekitar situ. Jadi tidak ada yang mungkin mendengar atau melihat
mereka. Bob memanjat keluar dari tong sampah.

"Apa yang kau lakukan di dalam tong itu, Bob?" tanya Jupe.

Bob membersihkan pakaiannya yang kotor kena debu.

"Aku tadi membuntuti Jed dan Tim Connors masuk ke Blue Shark Bar. Setelah itu aku
kemari. Baru saja aku hendak menyelinap ke dalam lewat pintu belakang itu, ketika
kudengar ada orang datang. Aku lantas buru-buru bersembunyi dalam salah satu tong
sampah yang kebetulan kosong."

"Orang yang datang itu tidak melihatmu?"

"Kurasa tidak," kata Bob sambal menggeleng, "tapi aku juga tidak sempat melihat dia. Aku
cuma mendengar dia membuka pintu itu, lalu masuk ke dalam."

"Orang itu Paul MacGruder," kata Jupiter. Diceritakannya bagaimana ia dan Pete melihat
orang itu membuntuti Bob dan kedua Connors bersaudara.

"Mungkinkah dia bersekongkol dengan yang dua lagi, menurutmu?" Tanya Bob. "Barangkali
dia bertugas menjaga, sementara mereka naik ke Angin Laut?

"Aku tidak tahu, Bob," jawab Jupe. "Aku tidak tahu apakah ia kawan mereka, atau
mengamat-amati mereka karena salah satu alasan tertentu, atau mungkin juga hendak
menyelinap naik ke Angin Laut tapi didului kedua Connors bersaudara. Aku juga tidak tahu
apakah ia melihatmu membuntuti mereka atau tidak, begitu pula apakah ia membuntuti mu,
atau membuntuti mereka. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan jalan
masuk ke Blue Shark Bar dan berusaha mengamat-amati gerak-gerik mereka semua di
situ."

Bob terkejut.

"Kau yakin, Jupe?" katanya. "Maksudku, tempat itu kelihatannya berbaaya bagi kita.
Mungkin lebih baik kita panggil saja Mr. Crowe dulu."

"Kita tidak punya waktu," kata Jupiter. "Mungkin jika kita menyelinap masuk lewat jalan
belakang lalu mengintip dari tempat tersembunyi, kita takkan ketahuan. Yuk!"

Dengan hati-hati Jupiter membuka pintu belakang yang berbatasan dengan gang, lalu
dengan cepat kedua remaj itu menyelinap masuk ke dalam bangunan. Mereka sampai di
sebuah lorong sempit dan gelap, dengan sejumlah ruangan gudang di sisi kiri dan kananya.
Dari ujung lorong itu terdengar bunyi berisik kesinukkan orang bekerja di dapur. Dan di
depannya lagi terdengar bunyi musik yang nyaring dan suara ramai orang mengobrol.
"Kita tidak bias msuk lewat dapur, Satu," bisik Bob.

"Betul, memang tidak bisa tanpa dilihat orang ," kata Jupiter sependapat, "tapi kemungkinan
kita tidak perlu melewati ruang dapur. Nampaknya di depan ada lorong lain yang menyilang
lorong ini."

Kedua remaja itu beringsut-ingsut maju dengan sangat hati-hati, tanpa menimbulkan bunyi
sedikit pun. Ruang dapur terletak di ujung lorong, setelah persimpangan dengan lorong yang
satu lagi. Di sebelah kanan, lorong yang satu lagi itu berujung pada sebuah pintu yang
kelihatannya terkunci. Tapi di sebelah kiri, lorong itu kelihatannya mengarah ke kedai
minum.

"Cepat, Bob," desak Jupiter, "sebelum ada yang datang dari dapur!"

Kedua remaja itu bergegas menyusur lorong yang menyilang itu sampai membelok setelah
melewati deretan kamar kecil. Dilindungi bunyi berisik yang datang dari ruang kedai minum
di depan, mereka menghampiri pintu yang berbatasan dengan ruangan itu lalu menyelinap
masuk. Kini mereka berada di ruangan panjang berlangit-langit rendah dan bercahaya
remang-remang, yang penuh dengan asap rokok dan kebisingan musik serta keramaian
suara orang. Persis di sebelah kanan pintu yang mereka masuki ada rak tempat gantungan
pakaian dengan beberapa jas tergantung di situ. Dengan cepat Jupe dan Bob bersembunyi
di belakang rak itu, lalu mengintip ke dalam ruangan. +

Sepanjang sisi kanan kedai itu ada sebuah meja layan dengan sejumlah bangku tinggi tanpa
sandaran di depannya. Sedangkan lantai di depannya penuh dengan meja-meja yang ramai
dikerumuni orang-orang yang bercakap-cakap dengan suara keras. Bob celingukan dengan
perasaan gugup, mencari-cari pria gendut tadi yang rupanya bertugas sebagai satpam di
situ. Tapi ia tidak melihatnya. Kemudian perhatiaannya tertarik ke arah sebuah meja yang
letaknya di tengah-tengah ruangan.

"Jupe!" bisik Bob sambal menyikut rusuk temannya itu.

Tim dan Jed Connors duduk semeja di situ, dengan Paul MacGruder! Manager perusahaan
minyak itu kelihatan sedang berbicara dengan sikap sengit, sementara kedua pria yang
semeja dengan dia mendengarkan sambal duduk bersandar. Mereka bertiga minum bir.

"Kita harus berusaha lebih dekat lagi ke sana!" bisik Jupe. "Aku ingin mendengar
pembicaraan mereka."

"Jangan nekat!" kata Bob dengan cemas. "Kalau kita keluar, pasti dengan segera diusir dari
sini!"

"Itu risiko yang harus kita ambil!" jawab Jupe.

"Ruangan ini hanya remang-remang cahayanya. Berjalanlah lambat-lambat sambil


menunduk, dan jangan jauh-jauh dari dinding. Mungkin dengan cara begitu kita takkan
ketahuan di tempat seramai ini."

Sebelum Bob sempat membantah, Jupe sudah keluar dari rak gantungan tempat mereka
bersembunyi, lalu maju beringsut-ingsut sambil merapatkan diri ke didinding sebelah kiri.
Bob mengikutinya, sambil berusaha terus memperhatikan MacGruder serta Tim dan Jed
Connors. Tiba-tiba MacGruder mendorong kursinya ke belakang dan berdiri.

"MacGruder hendak pergi!" bisik Bob sambil mendekatkan mulut ke telinga Jupiter.

Manajer perusahaan minyak itu menuju pintu depan. Tapi kemudian ia membelok, menuju
ke meja layan dan berhenti di sebelah seorang pria pendek botak yang memakai setelan jas
berwarnagelap. Bob terkejut ketika orang itu menolrh ke arah MacGruder.

"Itu kan pengusaha yang orang Jepang itu!" bisik Bob pada Jupiter.

"Yamura, maksudmu. Ya, betul, itu dia," jawab Jupe dengan suara lirih tapi tegang.
"Kelihatannya sibuk dengan urusan lain juga di samping mencari minyak."

"Mungkin ia cuma melancong saja kemari. Ia tadi sendirian saja di meja layan."

"Ini bukan tempat yang biasa didatangi wisatawan," kata Jupe. "He, coba kau lihat Jed dan
Tim Connors. Mereka kelihatannya sangat tertarik pada MacGruder dan Yamura."

Kedua penyelam tiram yang masih duduk di meja mereka tadi kelihatan memperhatikan
Yamura dan MacGruder dengan penuh minat. Tim Connors yang memakai topi merah,
kemudian kelihatan seperti hendak berdiri.

"He, kalian berdua! Cari apa kalian di sini?"

Tahu-tahu satpam bertubuh gendut yang tadi mengusir Bob keluar sudah berdiri di depan
Jupiter. Tubuhnya yang besar menyebabkan Jupe tidak bisa melihat apa-apa lagi di
depannya. Satpam itu menatap Bob, lalu mengumpat.

"Bukankah tadi sudah kukatakan jangan masuk kemari? Nah, sekarang kalian akan tahu
rasa. Akan ku..."

Saat itu terdengar suara seseorang bersuara kasar berbicara di belakang satpam gendut itu.

"Mereka datang untuk menemui kami, Marco. Kami memang menunggu mereka."

Tim Connors muncul disamping satpam gendut itu sambal tersenyum pada Bob dan Jupe.
Tapi satpam yang bernama Marco itu masih sangsi.

"Anak-anak kan tidak boleh masuk kemari, Connors," katanya menggerutu.

"Ya, aku tahu, tapi mereka cuma sebentar saja," kata Tim Connors. "Mereka cuma hendak
menyampaikan pesan pada kami. Betul, kan, Anak-anak?"

"Ya, betul," kata Jupe. "Pesan untuk Anda dan Jed."

"Ayo, ikut ke meja kami," kata Tim Connors.

Satpam gendut itu masih terus menatap Bob dan Jupe sambil melotot Akhirnya ia
mengangkat bahu.

"Masa bodolah, Connors, tapi setelah itu mereka harus segera keluar dari sini!"

Satpam itu segera pergi, sementara Tim Connors mengajak anak-anak ke mejanya. Jupiter
menoleh sebentar, memandang ke arah meja layan.

"Bob," bisiknya, "MAcGruder dan Yamura tidak ada lagi!"

Bob hanya sempat mengangguk, karena sementara itu mereka sudah sampai di meja
tempat Jed Connors duduk sambal memperhatikan kedua remaja itu.

"Bisa repot sekali kalian, masuk-masuk kemari," kata Jed Connors. "Kenapa kalian mencari
Crowe? Ada di sinikah dia?"

"Dari mana Anda mengenal kami, Mr. Connors?" tanya Jupe.

"Dengan cara yang sama seperti kalian mengenal kami," jawab Jed Connors. "Kami melihat
kalian bersama Crowe tadi siang, di dermaga."

Tim Connors tertawa nyengir.

"Crowe mestinya marah pada kami, ya-karena keributan yang timbul di sana tadi." Air
mukanya berubah, menjadi masam. "Tapi orang-orang dari perusahaan minyak itu membuat
darahku mendidih!"

"Kalau begitu kenapa Anda kemudian bercakap-cakap dengan salah seorang dari mereka?"
tanya Bob dengan cepat. "Apa sebabnya MacGruder membuntuti Anda-" Bob menggigit
bibir. Mukanya memerah. Dipandangnya Jupiter dengan perasaan kecut.

"Aha!" kata Jed Connors. "Jadi kalian rupanya mengamat-amati Angin Laut untuk Crowe,
ya? Nah, terus terang saja, kami melakukan hal yang hampir serupa dengan kalian. Tadi
kami datang ke Angin Laut, untuk berbicara dengan Kapten Jason. Tapi ia tidak ada.
Kemudian kami melihat MacGruder berkeliaran di dekat situ. Mengingat terjadinya
penyabotan terhadap Angin Laut, kami langsung merasa curiga lalu membuntutinya."

"Kami membuntutinya terus berkeliling kota," kata Tim, "dan akhirnya kembali lagi di daerah
pelabuhan, ke dermaga minyak. Kami melihatnya naik ke sebuah perahu yang kemudian
didayungnya menuju marina! Kami berlari-lari di pantai mengikutinya, tapi kehilangan jejak
dalam gelap. Tapi kami bias menduga ke mana ia pergi!"

"Karenanya selama beberapa waktu kami mengamat-amati Angin Laut dari darat. Karena
tidak melihat apa-apa, akhirnya kami memutuskan untuk pergi memeriksa ke Angin Laut,
kami naik ke situ, tapi tidak kelihatan sesuatu yang rasanya aneh. Karenanya kami lantas
turun lagi dan pergi kemari."

"Kami melihat Anda berdua di sana," kata Jupiter berterus terang, "lalu membuntuti kemari."

"Kemudian, tahu-tahu MacGruder muncul dan langsung mendatangi kami," kata Tim
Connors lagi. "Katanya, ia melihat kami naik ke Angin Laut, dan ia bertanya apakah kami
melihat sesuatu di sana! Kami tidak mengatakan padanya bahwa kami membuntuti dia.
Kami cuma mengatakan bahwa kami mengantarkan sesuatu untuk Crowe ke kapal. Entah
dia percaya atau tidak pada cerita kami itu, tapi yang jelas, ia punya niat tersembunyi."

Jupiter mengangguk.

"Lalu bagaimana dengan Mr. Yamura itu?" katanya.

"Siapa?" kata Tim.

"He," sambut Jed, "rasanya yang dimaksudkan olehnya adalah orang Jepang itu, dengan
siapa MacGruder tadi bercakap-cakap! Lelaki tua itu, yang muncul bersama Hanley di
dermaga. Mungkin ia juga merencanakan sesuatu untuk perusahaan minyak itu!"

"Aku takkan heran, jika benar begitu," kata Tim. "Orang-orang minyak semuanya selalu
bersatu, tidak peduli dari negara mana mereka berasal."

"Ya, memang," kata Jed sambil mengangguk, lalu menoleh sebentar ke belakang.
"Sekarang sebaiknya kalian cepat-cepat saja keluar lagi. Bilang pada Crowe apa yang kami
lihat, ya?"

"Baik," kata Jupiter. "Yuk, Bob."

Kedua remaja itu melintasi ruangan yang penuh asap dan kebisingan itu, menuju pintu
depan. Sesampainya di luar, Jupiter membelok ke arah pelabuhan.

"Kau percaya cerita mereka itu, Satu?" tanya Bob.

"Entahlah," kata Jupiter sambil merenung. "Mungkin saja benar, karena tingkah laku
MacGruder memang aneh. Tapi barangkali bisa kita selidiki kebenarannya. Yuk."

Keduanya bergegas menuju marina.

10. GAGASAN PETE


Kapten Jason menggeleng.

"Tidak ada sesuatu pun di kapal ini yang tidak semestinya ada di sini, baik barang itu ringan
atau berat."

Nahkoda Angin Laut yang berjenggot lebat itu baru saja selesai menggeledah kapalnya
dengan cermat. Kini ia berdiri sambil bersandar pada pagar haluan, sementara Pete duduk
nongkrong di atas tutup lubang palka. Torao berdiri sambil memandang mereka berdua. Air
mukanya memancarkan rasa ingin tahu seseorang yang tidak menangkap apa yang sedang
dibicarakan.

"Apalagi," sambung Kapten Jason, "tidak ada satu tempat pun di kapal ini di mana barang
sebesar itu bisa disembunyikan."

"Di bawah memang sama sekali tidak ada apa-apa," kata Pete mengakui dengan perasaan
tidak puas. "Tapi aku yakin, Jupe pasti..." Ia menelengkan kepala dengan sikap
mendengarkan. "Ada orang datang!"

"Cepat, merunduk!" desis Kapten Jason.

Mereka memasang telinga. Tapi sekarang tidak terdengar apa-apa lagi. Mereka menunggu
sambil menahan napas. Tapi tidak terjadi apa-apa selama beberapa saat.

Kemudian nampak dua titik sinar memecah kegelapan malam. Sebuah silang dan sebuah
segi tiga!

"Itu Bob dan Jupe!" kata Pete bersemangat. "Mereka rupanya terkejut, ketika melihat ada
beberapa orang di sini. Mereka tidak berani mendekat, selama belum tahu siapa kita."

Ia membalas isyarat dengan menyorotkan senternya yang dilengkapi dengan lubang cahaya
berbentuk lingkaran. Tidak lama kemudian Jupiter dan Bob muncul di atas tembok laut, lalu
naik ke kapal.

"Kenapa kau ada di kapal dengan lampu-lammpu menyala, Dua?" tanya Jupiter. "Kan
mungkin saja ada orang datang-"

"Kapten Jason tadi menyangka aku orang yang datang dengan niat jahat," kata Pete
menjelaskan, "lalu setelah itu ia ingin memeriksa seluruh kapal. Dengan segala keributan
tadi serta lampu yang dinyalakan di mana-mana, kurasa kalau ada orang datang pasti akan
tahu bahwa kami ada di sini."

"Tidak ada yang mengatakan padaku bahwa kalian mengamat-amati Angin Laut dan yang
lain-lainnya tidak boleh sampai dilihat orang," kata Kapten Jason menambahkan. "Aku
datang lebih dulu dari waktu yang direncanakan untuk menggantikan Torao menjaga di dini.
Ketika kudengar dari Pete bahwa kemungkinan ada orang menaruh sesuatu di kapalku ini,
aku lantas ingin tahu barang apa itu!"
"Ya, aku mengerti." Jupiter mengangguk-angguk. "Dan Anda menemukan-"

"Ada lagi yang datang!" Tiba-tiba Torao memotong.

Terdengar bunyi orang berjalan di tembok laut, dari arah promenade. Jupe dan yang
lain-lainnya menunggu dengan tegang. Akhirnya Nampak Mr. Crowe diterangi sinar yang
memancar dari Angin Laut. Ia naik ke kapal dengan wajah cemas.

"Semuanya beres? Kalian semua tidak apa-apa? Torao juga?"

"Tentu saja, Sir," kata Jupiter. "Tapi kusangka Anda hendak tetap tinggal di rumah."

"Ya, memang," jawab Mr. Crowe, "tapi Torao harus dating melapor dulu pada saat tengah
malam, sebelum pulang ke rumahnya. Sekarang sudah hampir pukul satu, tapi ia belum
juga muncul. Karenanya kekhawatiranku timbul."

Jupiter dan kedua rekannya melaporkan semua yang terjadi sejak Crowe berpisah dari
mereka. Kapten Jason menambahkan sedikit mengenai penggeledahan kapal.

"Tapi Anda tidak menemukan apa-apa?" tanya Mr. Crowe.

"Tidak sesuatu pun," kata Kapten Jason dengan suaranya yang berat.

"Sedang MacGruder tadi membuntuti kedua Connors bersaudara, lalu mendatangi mereka
di kedai minum itu?"

"Betul, Sir," kata Bob sambil mengangguk. "Orang Jepang, Mr. Yamura itu, juga ada di
sana."

"Dan kalian percaya cerita Tim dan Jed Connors tadi?" tanya Mr. Crowe lagi.

"Belum tahu, Sir," jawab Jupiter, lalu berpaling ke Torao. "Kau tadi melihat ada orang lain
lagi naik kemari, Torao? Dari arah air, dan sebelum kedua Connors bersaudara muncul?"

Torao menjawab dengan terputus-putus, karena tidak begitu menguasai bahasa Inggris.

"Dua orang , waktu sama," katanya. "Orang lain, tidak lihat. Bersembunyi. Tidak bisa lihat.
Sorry."

"He, Jupe," kata Pete. "Aku tadi mengamat-amati sisi kapal yang menghadap ke air. Dengan
begitu mestinya aku melihat kalau ada perahu datang. Tapi aku tidak melihat apa-apa."

"Kalau begitu mereka bohong!" tukas Mr. Crowe. "Aku berani bertaruh pasti merekalah yang
mengutik-utik kapal ini!"
"Belum tentu," kata Jupiter. Keningnya berkerut. "Bisa saja Torao tadi tidak melihat ada
orang datang, karena orang itu sangat berhati-hati. Bisa saja MacGruder meninggalkan
perahunya di tempat lain, lalu berenang kemari. Mungkin ia memanjat naik dari tepi air, dan
Pete tidak melihat dia."

"MacGruder itu juga penyelam lautan dalam," kata Mr. Crowe. "Bisa saja ia memakai
pakaian selam di bawah pakaiannya yang biasa. Di dalam kegelapan, takkan aneh jika Pete
tidak melihat orang yang memakai pakaian selam berwarna hitam!"

"Ya, itu mungkin saja," kata Pete mengakui.

"Tapi," kata Bob mengetengahkan, "tidak ada orang menaruh sesuatu di sini malam ini. Jadi
mungkin saja cerita Tim dan Jed Connors tentang melihat MacGruder naik perahu tidak
bohong, dan di pihak lain bisa saja MacGruder tidak melakukan sesuatu apapun terhadap
Angin Laut."

"Ya, itu mungkin saja," kata Jupiter sependapat dengan perasaan lesu.

"Dan kita masih tetap belum tahu bagaimana sesuatu yang sebesar dan seberat itu bisa
disembunyikan di kapal ini," kata Mr. Crowe. " Yah, malam sudah larut. Kurasa kita pulang
saja semuanya sekarang. Anda juga, Kapten. Rasanya tidak ada gunanya menjaga kapal
sepanjang malam. Jika nanti sebelum pagi ada yang menaruh sesuatu yang berat di kapal,
pasti dengan mudah kita akan menemukannya. Tolong Anda antarkan Torao ke tempat
kosnya, sementara aku mengantar ketiga anak ini ke hotel tempat mereka menginap."

Kapten Jason mengangguk, lalu turun dari kapal bersama Torao. Jupe, Bob dan Pete
menunggu di haluan, sementara Mr. Crowe pergi memadamkan lampu anjungan dan
mengunci pintu-pintu. Pete berdiri dekat pagar sambil memandang ke bawah, menatap air
yang gelap.

"Kita pulang saja dulu sekarang, Anak-anak ," kata Mr. Crowe ketika ia sudah kembali.
"Besok-"

Saat itu Pete berpaling. Matanya terbuka lebar.

"Mungkin barang itu bukan berada di atas kapal," katanya bersemangat. "Mungkin ditaruh di
bawah kapal!"

Yang lain-lain memandangnya dengan sikap tidak mengerti.

"Maksudku," kata Pete lagi, "menurut Kapten Jason tadi, di atas sini tidak ada tempat di
mana barang seberat itu bisa disembunyikan tanpa ketahuan. Tapi bisa saja itu ada di kapal
tanpa berada di atasnya-yaitu jika ditempelkan di bawah lunas!"

"Dan," kata Bob menimpali, "baik kedua Connors bersaudara maupun MacGruder adalah
penyelam lautan dalam! Siapa pun dari mereka bertiga itu bisa saja menempelkan barang
itu di sana!"

"He, Pete! Kurasa kau menemukan jawabannya!" seru Jupe bersemangat.

"Jika barang itu ada di bawah, tidak perlu ukurannya besar untuk menyebabkan laju kapal
terhambat!" kata Pete lagi. +

"Wah! Mungkin barang itu seorang penyelam, yang diam-diam membonceng setiap kali
Angin Laut berangkat ke anjungan minyak," kata Bob.

Tapi Pete menggeleng.

"Terlalu kecil, Bob," katanya "Lagi pula, penyelam takkan mungkin bisa tahan berpegangan
terus, jika Angin Laut berlayar dengan kecepatan maksimum. Biar tubuhnya dikaitkan ke
lunas, masker dan tangki udaranya pasti akan terenggut lepas."

"Tapi untuk apa orang menempelkan sesuatu pada kapal ini?" kata Mr. Crowe dengan
heran. "Dan apa barangnya?"

"Mungkin alat penyadap?" kata Bob menebak. "Agar orang-orang dari perusahaan minyak
bisa mengetaui semua yang Anda bicarakan di sini?"

"Kurang besar, Bob," kata Pete. "Tapi bagaimana dengan kamera berukuran besar, atau
sesuatu seperti itu?"

"Untuk apa , Pete?" kata Mr. Crowe dengan nada bertanya. "kami kan cuma pergi ke
anjungan pengeboran lalu berkeliaran memprotes di sekitar situ, dan kemudian pulang lagi?"

Tiba-tiba Jupiter menyela pembicaraan.

"Kecuali jika orang itu membawa sesuatu ke anjungan, atau mengangkut sesuatu ke darat!
Sesuatu yang rahasia. Sesuatu yang memerlukan wadah yang besar ukurannya! Wadah itu
dikirim ke anjungan dengan cara memasangnya di bawah lunas kapal ini, kemudian
penyelam dari anjungan itu menyelam dan menaruh barang yang hendak diangkut secara
diam-diam ke darat itu ke dalam wadah tadi, lalu Angin Laut mengangkutnya ke darat tanpa
Anda yang berada di kapal mengetahuinya! Sesuatu benda yang tidak boleh ketahuan!"

"Penyelundupan!" seru Bob dan Pete serempak.


Jupiter mengangguk.

"Seseorang membawa barang yang entah apa itu dari luar negeri ke anjungan pengeboran,
dan kemudian menggunakan Angin Laut untuk menyelundupkannya ke darat!"

"Tapi kenapa kapalku yang dipakai?" tanya Mr. Crowe.

"Karena Anda pemimpin aksi protes ini. Anda sudah pasti setiap hari datang ke anjungan
itu," kata Jupiter "Itu sebabnya penyelundup itu perlu melihat jadwal yang tercatat dalam
buku catatan Anda, Sir-agar ia tahu kapan Anda berangkat ke luar dan kemudian kapan
kembali lagi ke pelabuhan!"
Mr. Crowe tercengang.

"Sedang polisi takkan terpikir untuk memeriksa kapal-kapal yang ikut dalam aksi protes
kami!" katanya.

"Kondisi yang sempurna bagi penyelundup itu!" kata Bob.

Mr. Crowe mengangguk.

"Ketika kapal ini pertama kali kekurangan bahan bakar-tapi tidak sampai benar-benar
habis-mungkin waktu itu mereka sedang melakukan percobaan dulu! Mereka mengirim
wadah itu untuk memastikan bahwa hal itu bisa dilakukan, lalu kemudian dilepaskan
sesampai di anjungan."

"Sekarang, kelihatannya MacGruder yang paling layak dicurigai," kata Jupiter lambat-lambat.
"Ia yang paling bisa leluasa datang ke anjungan. Ia tidak menentang aksi protes, dan tidak
menginginkan polisi bertindak membubarkannya. Padahal ia kan orang dari perusahaan
minyak. Penyelundupan bisa menjelaskan sikapnya itu."

"Jangan-jangan Mr. Yamura itu semacam petugas kepolisian," kata Pete menebak, "dan itu
sebabnya MacGruder kelihatan gelisah menghadapinya."

"Kalau begitu," kata Mr. Crowe, "besok pagi kita langsung saja mencari MacGruder!"

"Jangan," bantah Jupiter. "Soalnya, kita belum punya bukti sama sekali. Tapi kurasa barang
bukti pertama sudah akan bisa kita temukan malam ini juga!"

"Bagaimana caranya, Jupe?" tanya Pete.

"Dengan cara menyelam ke bawah kapal ini! Mungkin Pete tadi tidak melihat MacGruder
karena ia berada di dalam air, memasang sebuah wadah ke lunas Angin Laut! Anda punya
perlengkapan menyelam di sini, Mr. Crowe?"

"Tidak, Jupiter, tapi kalau di rumah ada! Ku Ambilkan sebentar!"

"Anda ajak Pete, Sir. Ia pernah mengikuti kursus menyelam dengan peralatan. Anda periksa
nanti, apakah perlengkapan itu pas untuk dia."

Mr. Crowe mengangguk, lalu bergegas ke mobilnya bersama Pete.

Bob dan Jupiter menunggu di atas kapal. Hawa pada malam yang gelap itu bertambah
dingin. Kapal-kapal dan perahu-perahu yang berlabuh di marina berderak-derik di tambatan
masing-masing. Di mana-mana ada bayangan bergerak-gerak, seakan mengancam. Kedua
remaja itu saban kali terkejut begitu terdengar bunyi sepelan apapun. Mereka menggigil,
karena kedinginan dan karena gugup. +

Akhirnya Mr. Crowe kembali bersama Pete. Teman mereka itu sudah memakai pakaian
penyelam. Ia kelihatannya tidak merasakan hawa dingin. Digantungkannya tangki udara ke
punggungnya, dan ujung saluran pernapasan dimasukkannya ke mulut. Ia duduk duduk di
pagar kapal dengan posisi membelakangi air. Ia melambai sambil nyengir, lalu menjatuhkan
diri ke belakang dan masuk ke air. Tidak lama kemudian sudah nampak sinar senter kedap
air yang dibawanya bergerak-gerak di bawah lunas Angin Laut.

Di atas geladak, Bob, jupe, dan juga Mr. Crowe menunggu dengan tidak sabar.
Sebentar-sebentar mereka melihat sinar samar senter yang dibawa Pete bergerak
menerangi haluan sampai buritan. Kemudian sumber sinar itu menanjak langsung ke arah
mereka, disusul munculnya Pete di permukaan air. Mereka bertiga membantunya naik ke
kapal. Pete duduk di atas tutup lubang palka, lalu membuka maskernya.

"Tidak ada apa-apa di bawah," katanya. "Aku hanya melihat permukaan luas yang mulus,
Jupe. Sama sekali tidak ada tempat di mana mungkin bisa dipasang sebuah kait!"

Jupiter menggigit-gigit bibir bawahnya.

"Baiklah, Dua," katanya. "Mungkin dugaan kita tentang MacGruder tadi keliru. Tapi aku
yakin, arah penyelidikan kita sudah benar. Sekarang kita pulang saja dulu, lalu besok kita
memasang jebakan!"

11. PEMBONCENG

Keesokan paginya, tiba-tiba sinar matahari memancar masuk ke dalam kamar hotel tempat
Jupe dan kedua temannya tidur. Pete mengerang sambil cepat-cepat membenamkan kepala
ke bawah bantal. Jupe memutar tubuh dan berbaring menelentang, persis bayi ikan paus.
Bob berteriak, "Tutup lagi tirai itu!"

Mr. Andrews terkekeh.

"Ayo bangun, Anak-anak. Kalian menulis pesan, minta dibangunkan pukul tujuh pagi.
Sekarang bangun!"

Sambil tertawa Mr. Andrews pergi lagi, sementara ketiga remaja itu tetap berbaring di
ranjang masing-masing.

"Aku benci pada orang dewasa," kata Pete.

"Bukan semua orang dewasa, cuma orang tua saja," sambut Bob.

"Cuma orang tua yang gembira pada pukul tujuh pagi," ujar Jupe menambahkan.
"Itu perincian yang tepat, Satu," kata Bob lagi.

"Setuju," kata Pete. "Tapi kita memang meninggalkan pesan itu."

"Rupanya kita sudah sinting waktu itu," kata Bob.

Ketiga remaja itu tertawa, lalu melompat turun dari ranjang dan buru-buru mengenakan
pakaian tebal untuk berlayar. Sepuluh menit kemudian mereka sudah melahap sarapan pagi
di restoran hotel itu. Sebenarnya mereka masih mengantuk, tapi dengan cepat kesegaran
mereka pulih ketika membicarakan kasus itu dengan Mr. Andrews.

"Penyelundupan, ya?" kata Mr. Andrews menanggapi dugaan ketiga remaja itu. "Ya,
kedengarannya memang itulah jawabannya. Tapi hati-hati dalam bertindak nanti."

"Kami akan ditemani Mr. Crowe dan Kapten Jason," kata Pete menenangkan.

"Syukurlah, kalau begitu," kata Mr. Andrews lagi, "tapi sayangnya, Bob tidak bisa ikut
dengan kalian. Aku memerlukan dia selama beberapa jam pagi ini."

"Aduh, Ayah, haruskah itu?" kata Bob memprotes.

"Aku ada janji penting di universitas, untuk mewawancarai seorang pakar terkemuka yang
bersikap netral mengenai urusan minyak bumi dan kelestarian lingkungan. Sementara itu
rekaman wawancara-wawancaraku kemarin perlu disalin. Itu tidak bisa ditangguhkan. Kau
kan cekatan kalau mengetik, Bob, jadi takkan terlalu lama waktu yang kauperlukan untuk
mengerjakannya."

"Baiklah, Ayah," kata Bob. "Kurasa mereka bisa bekerja sendiri untuk sementara waktu,
tanpa aku."

"Wah," kata Pete dengan cepat, "kau yakin bahwa kami pasti sanggup, Bob?"

Sebagai jawaban, Bob melempar sendok ke arah Pete. Sambil bercanda mereka
menyelesaikan sarapan. Kemudian Mr. Andrews berangkat dengan mobilnya untuk
mengadakan wawancara. Bob ditinggal di kamar untuk mengerjakan tugas mengetik hasil
rekaman wawancara-wawancara yang dibuat ayahnya itu sehari sebelumnya.

Pete dan Jupe berjalan kaki ke rumah Mr. Crowe. Pengarang itu sudah menunggu mereka,
lalu bersama-sama mereka naik mobil menuju marina. Sambil menyetir, Mr. Crowe
menunjuk ke langit-nampak gumpalan-gumpalan awan tipis yang tinggi melayang-layang.

"Awan-awan yang tinggi itu pasti pinggiran paling luar dari badai yang kini sedang melanda
perairan Pasifik di depan Meksiko," katanya. "Menurut laporan cuaca tadi, badai itu masih
terus bergerak ke utara, tapi belum belum mencapai daratan di Baja seperti di prakirakan
semula. Badai boleh dibilang tidak pernah menghampiri kawasan Santa Barabara. Tapi lebih
baik kita cek lagi pada Penjaga Pantai, sebelum kita berangkat keluar."
Sesampai di marina, Mr. Crowe dan Kapten Jason pergi berunding dengan panitia aksi
protes serta para nahkoda kapal-kapal yang akan berangkat ke anjungan pengeboran. Jupe
dan kedua temannya bisa mendengar suara Tim dan Jed Connors yang lantang sedang
membicarakan rencana mereka dengan pelaut-pelaut yang lain.

"Apa yang akan kita lakukan, Jupe?" tanya Pete.

"Pertama-tama kita ke bawah, supaya jangan terlihat orang lain," kata Jupiter sambil
mendului turun dan masuk ke kabin Angin Laut. Begitu sampai di bawah, ia menunjuk
perlengkapan menyelam. "Bersiaplah untuk menyelam, Pete, lalu kau tetap di sini. Jangan
menampakkan diri di geladak. Tapi kau harus bersiap untuk naik dan langsung menyelam.
Oke?"

"Beres," kata Pete, lalu mulai mengenakan pakaian selam.

Jupiter kembali ke geladak. Ia berdiri di situ dengan sikap seolah tidak ada apa-apa.
Diperhatikannya para pemrotes yang masih sibuk mengatur rencana di darat. Lima belas
menit kemudian Mr. Crowe kembali ke kapal, bersama Kapten Jason.

"Menurut perkiraan Penjaga Pantai, badai takkan bergerak sampai sejauh sini, atau bahkan
cukup dekat sehingga dapat menimbulkan bahaya. Dan andaikan terjadi pun paling cepat
baru besok. Jadi kita akan berangkat ke luar. Aksi protes harus dilangsungkan setiap hari.
Mana Pete?"

"Di bawah, siap untuk menyelam," jawab Jupe dengan bersuara pelan. "Menurut rencanaku,
sebaiknya kita berangkat sesuai seperti kebiasaan Anda selama ini. Tapi separuh jalan
meninggalkan pelabuhan kita berhenti, lalu dengan segera Pete menyelam! Jika ada
sesuatu di bawah lunas kapal ini, ia pasti akan melihatnya nanti."

"Baiklah," kata Mr. Crowe. Setelah itu ia pergi membantu Kapten Jason menyiapkan
keberangkatan Angin Laut. Beberapa kapal aksi protes sementara itu suda mulai
meninggalkan pelabuhan, dengan spanduk-spanduk dan bendera-bendera yang terpasng
berkibar-kibar. Jupiter melihat bahwa diantaranya terdapat pula kapal penangkap ikan
berwarna hitam dengan anjungan kemudi terbuka. Tim Connors dengan topi wolnya yang
berwarna merah berdiri memegang kemudi. Pada posisi beting pasir di mulut pelabuan,
masing-masing kapal itu nampak sangat memperlambat gerak sampai nyaris berhenti, lalu
mulai menambah kecepatan lagi pada saat menyongsong gerak alun selat menuju ke arah
pulau-pulau di kejauhan.

"Oke, kita berangkat sekarang, Jupiter," kata Mr. Crowe dari anjungan kemudi.

Jupiter mengangguk lalu menghampiri gang menuju kabin di mana Pete bersembunyi. Angin
Laut bergerak pelan-pelan, meninggalkan tembok laut dan keluar dari lingkungan marina,
melintasi perairan pelabuhan. Ketika sudah separuh jalan menuju beting pasir, Mr. Crowe
buru-buru mengatakan sesuatu pada Kapten Jason. Gerak Angin Laut melambat. Jupiter
berseru ke dalam gang,

"Oke, Pete! Sekarang!"

Sementara kapal berhenti sama sekali, Pete bergegas keluar dari gang dan lari
menghampiri pagar geladak, berbalik, dan langsung menceburkan diri ke air dengan posisi
membelakang. Jupiter memperhatikan sinar senter yang dibawa Pete lenyap di bawah
lambung kapl. Mr. Crowe datang menghampiri, sementara Kapten Jason memperhatikan
dari anjungan kemudi. menit demi menit berlalu dengan lambat. Kemudian terdengar suara
berseru dari sisi seberang kapal. Pete mengapung-apung di situ, dengan masker terbuka.

"Tidak ada apa-apa di bawah, Satu," serunya sambil menengadah.

Jupiter terkejut.

"Tapi... tapi... aku begitu yakin," katanya.

"Naiklah, Pete," ujar Mr. Crowe dengan suara pelan.

Dengan dibantu oleh Mr. Crowe, Pete naik ke atas kapal.

"Kalian masih ingin ikut ke luar sekarang?" tanya Mr. Crowe.

"Bagaimana, Jupe?" tanya Pete.

"Kita keliru rupanya," kata Jupe dengan sedih. "Tidak ada yang memasang sesuatu pun di
bawah lunas."

"Barangkali orang itu melihat kita," kata Pete. "Atau mungkin juga wadah barang itu tidak
direncanakan akan diangkut ke luar hari ini. Mungkin besok-"

"Kecuali" wajah Jupiter berseri kembali- "jika penyelundup itu bekerja dengan sistem dua
kali pelayaran! Pada pelayaran yang pertama wadah barang yang dirahasiakan itu dikirim ke
luar lalu dimuat di anjungan pengeboran, dan baru diangkut kembali ke pelabuhan pada
pelayaran yang berikut! Jadi ketika Anda untuk pertama kali mengalami kekurangan bahan
bakar, Mr. Crowe, waktu itu bukan merupakan percobaan-melainkan memang belum ada
barang yang sudah siap untuk diangkut kembali ke darat.Dan sekali ini tidak ada yang
diangkut ke luar-karena yang ada di anjungan pengeboran merupakan wadah yang
terakhir!" +

"Kalau begitu, kita berangkat saja sekarang!" seru Pete bersemangat.

Mr. Crowe mengangguk, lalu hendak kembali ke anjungan kemudi. Saat itu terdengar suara
orang memanggil-manggil dari arah marina.

"Hoi, Angin Laut! Hoi! John Crowe!"


Kapten Max Berg dari kantor kepolisian Santa Barbara, berdiri di salah satu pangkalan. Ia
melambai-lambai.

"Crowe, Anda dipanggil wali kota! Kami mengadakan pertemuan mengenai kerusuhan yang
terjadi di dermaga minyak kemarin!"

Mr. Crowe membalas berseru, "Hanley juga hadir?"

"Ya!"

"Baiklah, kalau begitu!" Mr. Crowe menoleh ke Kapten Jason sambil mengangguk.
"Antarkan aku kembali, Kapten." Ia berpaling pada Jupe dan Pete. "Kapal ini akan tetap
berangkat nanti-karena kita harus terus melakukan tekanan. Kalau mau, kalian bisa
mewakili aku nanti di sana! Pasti semuanya beres, karena kan ada Kapten Jason."

Angin Laut kembali ke tempatnya semula. Sesampai di sana Mr. Crowe meloncat ke darat
untuk menggabungkan diri dengan Kapten Berg, sementara kapal bergerak kembali ke luar.
Mr. Crowe berseru dari darat, "Jika rapat sudah selesai nanti, aku akan pulang ke rumah
dan menghubungi kalian lewat radio!"

Angin Laut meluncur melintasi perairan pelabuhan, lalu melambatkan jalan sampai nyaris
berhenti di belakang dua kapal aksi protes lainnya yang sedang berlayar dengan sangat
lambat melalui terusan sempit yang memotong beting pasir. Ketika kedua kapal itu sudah
melewati terusan, Kapten Jason membawa kapalnya dengan lambat-lambat melintasi
terusan dan memasuki perairan Selat Santa Barbara yang saat itu nampak kemilau
permukaannya.

Kapal kerja berlunas panjang itu meluncur dengan laju. Percikan ombak haluan membasahi
geladak. Alun laut lebih panjang dan tinggi daripada sehari sebelumnya. Kapal bergerak dan
terangguk-angguk. Jupiter berpegangan erat-erat pada pagar geladak depan. Mukanya
agak pucat.

"Ombak... aggak lebih besar hari ini," katanya sambil meneguk ludah.

"Badai yang di selatan itu," kata Kapten Jason menjelaskan dari anjungan kemudi. "Tiupan
anginnya menimbulkan ombak yang laju, mendului badai itu sendiri. Tapi alun yang begini
saja takkan sangat memperlambat gerak kita."

"Apa yang akan kita lakukan jika sudah sampai di sana nanti, Satu?" tanya Pete.
"Maksudku, aku kan tidak bisa sepanjang hari menyelam untuk memeriksa lunas."

Jupiter berpikir sebentar, lalu menjawab,

"Bisa saja kita melakukan pemeriksaan dari waktu ke waktu. Atau bisa juga kita turun ke
kabin dan mendengarkan dari situ. Jika wadah itu ukurannya sebesar perkiraanku, si
penyelundup pasti akan menimbulkan bunyi di bawah air pada saat ia..."

"Anak-anak," seru Kapten Jason dari anjungan kemudi, "kapal Jed dan Tim Connors ada di
depan kita, sekitar dua mil. Itu kapal yang paling laju sesudah Angin Laut, jadi mestinya kita
makin menyusulnya. Tapi kenyataannya tidak begitu!"

"Maksud Anda," kata Jupe bersemangat, "ada sesuatu yang memperlambat gerak kita?"

Kapten Jason mengangguk.

"Aku takkan menyadarinya jika pikiranku tidak sedang ke situ, tapi kecepatan kita turun
sampai dua knot, dan itu bukan disebabkan oleh angin atau arus. Ada sesuatu yang
membebani!"

"Tapi tidak ada apa-apa di bawah sewaktu kuperiksa tadi!" kata Pete.

"Kita bergerak pelan sekali ketika sedang melewati beting pasir!" seru Jupe. "Rupanya pada
saat itulah sesuatu ditempelkan ke lunas Angin Laut!"

"Wah, Jupe," kata Pete, "kecepatan kita memang sangat diperlambat tadi, tapi kan tidak
sampai benar-benar berhenti. Tidak mungkin ada yang mampu mendorong barang seberat
itu sampai menempel di bawah lunas kapal yang sedang bergerak." +

Jupiter menarik-narik bibir bawahnya.

"Itu memang benar, tapi... mungkin saja kan, kalau benda itu sendiri yang bergerak lalu
menempel di bawah lunas lunas! Benda yang ada di bawah itu mestinya bergerak sendiri ke
situ!"

"Apa yang biasa bergerak di dalam air kecuali penyelam?" kata Pete dengan nada bertanya.
"Dan tidak mungkin ada penyelam yang mampu bertahan menggantung terus di bawah,
sementara kita berlayar dengan laju."

"Entahlah," kata Jupiter.

"Aku juga tidak tahu," kata Kapten Jason menimpali, "tapi kesimpulan Jupe tadi kurasa
sudah benar. Benda yang ada di bawah kita itu bisa bergerak sendiri. Jadi benda itu bukan
wadah yang biasa-biasa saja, melainkan pembonceng!"

12. PEMBURU HIU

Pete langsung pucat mukanya.

"Pembonceng seperti... seperti apa, misalnya?"

"Yang jelas, pembonceng yang berat," kata Kapten Jason dengan wajah serius.
"Sesuatu," ujar Jupiter menimpali, "yang bisa berpegang pada kapal besi yang meluncur
dengan kecepatan hampir dua puluh lima knot di perairan berombak besar, tapi tidak
apa-apa!"

Angin Laut meluncur terus mengiris alun selat yang besar dan panjang. Ketiga orang yang
ada di atasnya memandang lantai geladak sambil membisu, seakan-akan ingin bisa melihat
ke bawah dengan menembus dinding baja. Atau mungkin juga mereka merasa bersyukur,
karena tidak bisa melihat ke bawah.

"Sebaiknya kita periksa saja, Anak-anak," kata Kapten Jason kemudian. "Kita perlu tahu,
apa sebetulnya yang ada di bawah itu."

"Aku sih, tidak kepingin tahu!" kata Pete.

"Omong kosong!" kata Jupiter tegas. "Kau takkan menjumpai makhluk raksasa atau seperti
itu nanti di sana. Katakanlah memang ada monster penghuni samudra, takkan mungkin
makhluk itu menempel pada sebuah kapal untuk ikut ke sebuah anjungan pengeboran, lalu
membonceng pulang lagi! Tidak, apa pun juga yang ada di bawah itu, bendanya pasti
buatan manusia. Kurasa semacam kendaraan."

"Itu bisa dengan segera kita ketaui," kata Kapten Jason. "Pete, kau ambil-"

"Nanti dulu!" kata Jupiter memotong. "Bagaimana jika ada orang di bawah sana? Jika kita
berhenti di sini, orang itu pasti curiga lalu cepat-cepat pergi. Kita takkan bisa memergokinya,
dan barangkali malah menyebabkan ia sadar bahwa ia sudah ketahuan."

"Kalau begitu apa yang harus kita lakukan, Satu?" tanya Pete.

"Kita terus saja seperti biasa. Lalu nanti begitu sudah tiba di perairan sekitar anjungan
pengeboran, Pete akan menyelam lagi untuk memergokinya."

"Kau benar, Jupiter," kata Kapten Jason. "Tapi sebaiknya kalian berdua mengamat-amati
dari sisi kiri dan kanan, untuk berjaga-jaga kalau-kalau sebelumnya benda itu sudah
melepaskan diri!"

"Aku mengawasi di sebelah kiri!" kata Pete sambil menuju ke pinggir pagar sebelah kiri.

Jupiter menjaga di pagar sebelah kanan. Kedua remaja itu menatap terus ke bawah,
memperhatikan air berwarna hijau yang kelihatannya meluncur dengan laju ke arah buritan.
Tidak lama kemudian Angin Laut sudah melewati perairan antara pulau-pulau Anapaca dan
Santa Cruz, lalu menuju ke barat. Anjungan Karang Hiu Nomor satu nampak lurus di depan.
Alun ombak yang panjang melambung tinggi menyapu tonggak-tonggak penyangganya
yang terbuat dari baja.

"Perasaanku tidak enak melihat perkembangan cuaca ini, Anak-anak," kata Kapten Jason
tiba-tiba, dari anjungan kemudi. Ia menatap langit, yang sementara itu sudah diselaputi
awan tipis tapi merata. "Itu awan sirostratus, dan kelihatannya semakin bertambah tebal.
Gerak alun ombak lebih tinggi dan cepat daripada seharusnya, barometer tidak stabil,
sedang angin berubah-ubah arah dan semakin kencang. Kelihatannya keadaan bisa gawat
nanti."

"Badai itu, Sir?" kata Jupiter.

Kaptep Jason mengangguk.

"Melihat segala gejala ini, posisinya lebih dekat dari biasanya. Ada kemungkinan bergerak
lurus menuju Santa Barbara. Sebaiknya kuhubungi saja Penjaga Pantai."

"Kita sudah hampir sampai di anjungan, Kapten!" seru Pete.Bangunan besar dari baja itu
nampak menjulang di atas laut, diterangi sinar matahari yang kini nampak pudar. Pada satu
sisinya armada kapal aksi protes menunggu untuk membentuk lingkaran. Jauh di atas
mereka, para pekerja di anjungan berdiri menggerombol di tepi pagar sambil berteriak-teriak
mengejek.

Pete memasang perlengkapan selamnya, sementara Kapten Jason memperlambat gerak


Angin Laut di tengah alun ombak. Nahkoda itu memperhatikan laut dan langit dengan sikap
gelisah, sementara gerak kapal semakin lambat.

"Untuk menyelam, laut mulai terlalu bergelora," katanya. "Aku-"

Saat itu Angin Laut terasa seperti melaju lebih cepat dari semula.

"Jupe! Kapten!" seru Pete. "Itu dia!"

Mereka semua memandang ke air dari sisi kiri, yang menghadap ke anjungan pengeboran.
Suatu bayangan panjang dan langsing seperti torpedo nampak samar di dalam air dan
menghilang ke tempat yang lebih dalam.

"Kelihatanya seperti... seperti... ikan hiu!" kata Pete dengan perasaan tegang.

"Bukan," kata Kapten Jason sambil menatap ke bawah."Bukan hiu, Pete, tapi Pemburu Hiu!
Rupanya selama ini menempel pada kita dengan magnet!"

"Pemburu Hiu? Apa itu, Kapten?" tanya Jupiter.

"Itu kendaraan yang biasa dipakai penyelam, Jupiter. Tapi berlainan dengan kapal selam, di
dalam tubuhnya tidak ada udara, dan penyelam yang memakainya harus mempergunakan
tangki udaranya sendiriuntuk bernapas. Panjangnya hampir dua meter, dengan tinggi sedikit
di atas satu meter, sedang lebarnya sekitar satu meter. Sebagai penggerak dipergunakan
arus listrik, dan bisa mengangkut peralatan serta tangki-tangki udara cadangan."
"Atau barang selundupan!" kata Jupiter.

"Jadi itu rupanya yang membonceng kita selama ini," kata Kapten Jason.

"Dandia sudah pergi menghilang!" tambah Pete.

***

Ketika sudah menyelesaikan wawancara, Mr. Andrews kembali dengan mobilnya ke hotel.
Bob baru saja selesai mengetikkan hasil rekaman wawancara ayhnya sehari sebelumnya.

"Terima kasih, Bob. Berkat bantuanmu, aku bisa menghemat waktu," kata Mr. Andrews.
"Sekarang aku harus ke kantor redaksi di Los Angeles, untuk memasukkan bagian pertama
dari laporanku. Kau hendak tinggal di sini saja? Besok aku sudah kembali."

"Ya, Ayah. Aku hendak menunggu Jupe dan Pete."

Ketika Mr. Andrews sudah pergi, Bob memutuskan untuk pergi ke rumah Mr. Crowe. Ia ingin
tahu apakah ia bisa menggunakan radio penghubung daratan dan kapal yang dimiliki
pengarang itu untuk menghubungi Angin Laut. Menurut perkiraannya, Mr. Crowe pasti
takkan keberatan.

Ketika ia sedang berjalan kaki melewati jalan-jalan di kawasan timur, dilihatnya matahari
tertutup lapisan awan yang menyebabkan sinarnya berubah menjadi kuning pucat.
Sementara itu bertiup pula angin yang cukup kencang. Tiupannya mengakibatkan
dedauanan dan debu bertebangan ke mana-mana.

Sesampainya di rumah Mr. Crowe dilihatnya mobil pengarang itu diparkir di depan! Bob
terkejut, lalu bergegas lari ke pintu depan dan membunyikan bel. Mr. Crowe sendiri yang
membukakan pintu.

"Wah, kenapa Anda ada di sini, Sir?"

"Yuk, kita ke kamar kerjaku," kata Mr. Crowe.

Sambil berjalan mendului masuk ke ruangan yang berantakan itu, Mr. Crowe menjelaskan
tentang pertemuannya dengan wali kota dan pihak kepolisian.

"Karena itu Kapten Jason berangkat bersama kedua temanmu itu," katanya melanjutkan.
"Aku baru saja sampai. Ketika kau membunyikan bel, aku sedang mendengarkan berita
cuaca yang disiarkan Penjaga Pantai. Badai bertambah kencang dan berubah arah, kini
langsung menuju Santa Barbara dan pulau-pulau di depannya!"

"Wah, berbahaya juga kedengarannya!"

"Kalau sekarang masih belum, tapi nanti malam! Badai masih beberapa ratus mil di
sebelahselatan dari sini. Kau perlu tahu, Bob, walau dalam badai angin bertiup kencang
sekali-tujuh puluh lima mil per jam atau bahkan lebih-badai itu sendiri geraknya bis adibilang
lamban! Begitulah, hanya sepuluh sampai dua puluh mildalam satu jam. Angin dalam badai
bergerak melingkari suatu pusat yang boleh dikatakan tenang keadaannya. Tapi semakin
dekat ke pusat itu, semakin dahsyat pula kencangnya tiupan angin. Nah, pusaran angin
yang sedang mengamuk di daerah lepas pantai Meksiko itu bergerak lambat-lambat menuju
ke sini, dan dari hari ke hari akan kita rasakan tiupan angin yang semakin bertambah
kencang."

"Apakah pusatnya akan melewati daerah sini?"

"Saat ini masih terlalu dini untuk bisa mengatakannya secara pasti. Pusat itu garis
tengahnya cuma sekitar sepuluh mil saja-tapi keseluruhan daerah badai bisa bergaris
tengah tiga ratus mil! Ada kemungkinan pusat itu akan lewat jauh di sebelah barat dari sini,
di tengah laut, tapi walau begitu kita masih saja akan mengalami amukan anginnya. Apalagi
jika daerah kita berada dalam radius dua puluh lima mil dari titik pusatnya!"

"Ih, aku tidak kepingin berada di anjungan pengeboran itu malam ini!" kata Bob sambil
bergidik.

Mr. Crowe mengangguk.

"Kita coba saja menghubungi Angin Laut dan kita tanyakan bagaimana keadaan di luar."

Pengarang itu menyalakan radio penghubungnya. Saat itu juga terdengar bunyi gemeresik
keluar dari speaker.

"Angin Laut memanggil John Crowe. Masuk, Crowe. Di sini Angin Laut..."

***

Kapten Jason mendekatkan kepalanya ke mikrofon.

"Angin Laut memanggil John Crowe. Masuk, Crowe."

Di sela-sela bunyi angin, terdengar bunyi mendesing keluar dari speaker radio. "Di sini
Crowe, Angin Laut. Anda-kah itu, Jason?"

"Betul. Sebentar, Jupiter ingin bicara dengan Anda."

Jupiter meraih mikrofon dari tangan Kapten Jason.

"Kami sudah melihatnya, Sir! Ternyata menempelnya ke kapal Angin Laut diperlambat di
beting pasir! Semacam kapal selam untuk satu orang, yang untuk menjalankannya
diperlukan penyelam yang memakai peralatan. Dijalankannya dengan tenaga listrik, tapi
menurut Kapten Jason kecepatannya paling banyak cuma empat knot saja. Karena itulah ia
membonceng Angin Laut untuk pergi kemari. Rupanya penempelan ke lunas berlangsung
dengan bantuan semacam magnet yang kuat."

"Hebat, Jupiter! Dan kalian juga melihat penyelam yang mengemudikannya?"

"Tidak, Sir, cuma kendaraannya saja. Tapi saya yakin penyelam itu tidak tahu, jadi nanti ia
pasti akan membonceng lagi untuk menempuh pelayaran pulang! Sekarang ini kami
mengamat-amati landasan pendaratan yang terdapat di bawah anjungan pengeboran,
karena siapa tahu penyelam itu akan muncul di sana. Sayangnya gelombang di sini besar
dan bergelora, sehingga kami sulit melihat dengan jelas."

"Badai kini bergerak dengan cepat ke arah barat laut, menuju kemari," kata Crowe.
"Bagaimana keadaannya di sana, Kapten Jason?"

Nahkoda Angin Laut itu memperhatikan laut yang bergelora.

"Masih lumayan." katanya. "Beberapa kapal yang berukuran lebih kecil sudah kembali, tapi
kebanyakan masih tetap bertahan di sini."

"Berapa lama lagi kalian masih mampu bertahan di luar?"

Jupiter meraih mikrofon lagi.

"Kita harus bertahan sepanjang hari di sini, karena kalau tidak, bisa kehilangan jejak
pembonceng itu, Sir! Kapal kedua Connors bersaudara berada langsung di belakang Angin
Laut, dan mereka sedikit pun tidak mengalami kesulitan. Kami harus terus bertahan di sini!"

***

Mr. Crowe mendengar bunyi jendela kamar kerjanya yang terbuka berderak-derak.
Dilihatnya sinar matahari yang semula berwarna kekuningan berubah menjadi pudar, karena
lapisan awan yang menutupi matahari semakin bertambah tebal. Tapi hujan belum turun.

"Baiklah, Jupiter. Tapi kalau Kapten Jason nanti mengatakan sudah waktunya, kalian harus
segera kembali ke darat!"

Suara Kapten Jason terdengar lagi.

"Kami akan berhati-hati. Jika keadaan sudah benar-benar gawat, kami akan menyelinap dan
mencari tempat berlindung di belakang Pulau Santa Cruz!"

"Baiklah kalau begitu. Kalian bekuk pembonceng itu!"

Hubungan radio diputuskan, dan Mr. Crowe merebahkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Jason itu pelaut yang tangguh," katanya pada Bob. "dan Angin Laut dibangun untuk mampu
menanggulangi cuaca buruk. Mereka takkan apa-apa selama-"

"Ada orang mengintip di jendela, Sir!" bisik Bob.

Mr. Crowe berpaling dengan cepat. Tapi tidak nampak siapa-siapa di jendela. Bob meloncat
dari duduknya dan lari lewat serambi dalam ke pintu belakang. Embusan angin kencang
yang datang bertubi-tubi menyebabkan ranting-ranting pepohonan di situ bergerak-gerak
dengan liar. Tapi tidak ada orang di situ.

"Saya yakin, saya tadi melihat muka seseorang, di balik jendela! Orang itu pasti mendengar
segala percakapan kita! Tentang melihat pembonceng itu, dan juga tentang terus bertahan
di luar sampai ia kembali lagi ke kapal!"

Mr. Crowe mengamat-amati perkarangan yang lengang.

"Kau tahu arti hal ini, Bob? Apa pun juga yang sedang berlangsung, penyelam yang di luar
itu tidak bekerja seoang diri!"

"Jadi itu tak berarti bahwa orangnya adalah salah satu dari orang-orang yang selama ini kita
amat-amati!"

"Tapi salah satu dari mereka tetap saja mungkin terlibat dalam persengkongkolan dengan
dia."

"Kecuali Tim dan Jed Connors," kata Bob.

"Jika mereka berdua saat ini ada di kapal mereka," kata Mr. Crowe, "maka bisa dikatakan
mereka tidak terlibat. Tapi kita tadi hanya melihat Tim ketika kapal mereka berangkat."

Bob mengangguk lambat-lambat, lalu mereka berdua kembali ke kamar kerja Mr. Crowe. Di
sana mereka duduk tanpa bicara, hanya mendengarkan bunyi hembusan angin yang
semakin kencang.

13. KECELAKAAN GAWAT

Kapal-kapal rombongan aksi protes yang berlayar mengelilingi anjungan Karang Hiu Nomor
Satu haus berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan gerak melingkar mereka. Awan
yang semakin tebal dan semakin rendah bergerak masuk, menyebabkan langit bertambah
gelap. Ombak bertalu-talu semakin tinggi menimpa tiang-tiang baja penopang anjungan
pengeboran. Kapal-kapal yang berukuran lebih kecil satu demi satu mundur dan mencari
tempat berteduh di selat atau kembali ke Santa Barbara.

Pete, Jupe dan Kapten Jason berdiri sambil bertahan kuat-kuat di dalam bilik anjungan
kemudi di Angin Laut yang terombang-ambing dihajar ombak yang menggelora. Jupe sudah
mulai merasa mabuk laut. Tapi tak diacuhkannya perutnya yang seperti terpilin-pilin
rasanya, karena terlalu asik membayangkan akan menangkap pembonceng.
"Barometer sudah merosot sampai dua puluh sembilan koma tujuh," kata Kapten Jason
sambil menggenggam roda kemudi erat-erat untuk mempertahankan arah halluan Angin
Laut mengelilingi anjungan pengeboran. "Dan ini baru pinggir sebelah luar dari daerah
badai!"

Beberapa saat setelah pukul dua siang hujan tiba-tiba turun dan langsung deras, seperti
dicurahkan dari langit. Air hujan menampar-nampar kaca jendela bilik anjungan.

"Sebentar lagi kita akan terpaksa mencari tempat berteduh." kata Kapten Jason.

Jauh di atas mereka, di landasan anjungan yang letaknya lebih dari sepuluh meter di atas
air, segelintir pekerja pengeboran yangmasih berada di tepi pagar tidak lagi berteriak-teriak
mengejek. Mereka mengamat-amati kapal-kapal yang masih tersisa dan langit yang
semakin gelap, sambil membisu.
"Barangkali saja penyelam itu akan cepat kembali kemari," kata Jupiter dengan nada
berharap. "Jika dugaan kita benar, dan Pemburu Hiu itu menempel ke lunas dengan
bantuan magnet, maka kita satu-satunya kemungkinan baginya untuk kembali ke darat.
Kapal-kapal yang lain, semuanya terbuat dari kayu atau bahan sintetis."

"Mungkin ia berada di dalam air, dan karenanya tidak sadar bahwa badai sudah sampai di
sini," kata Pete.

"Kemungkinan itu ada, jika posisinya jauh di bawah," kata Kapten Jason, "tapi kedalaman
laut di sini cuman sekitar dua puluh lima meter, dan di bawah Karang Hiu lebih dangkal lagi."
Ia menuding ke arah Pulau Santa Cruz yang letaknya sekitar setengah mil dari situ, di mana
permukaan laut nampak putih. "Jadi orang itu pasti tahu bahwa di atas sini ada badai
mengamuk. Tapi mungkin saja ia berteduh ke darat, di pulau itu."

"Jika ia melakukan penyelundupan dari anjungan pengeboran," kata Pete menambahkan,


"kurasa saat ini ia ada di sana, jadi tidak perlu kembali ke darat."

"Tidak," kata Jupiter berkeras. "Aku yakin bahwa ia pasti kembali, dan jika kita terlalu cepat
kembali kita akan kehilangan jejak!"

Satu jam setelah hujan mulai mengguyur dari lapisan awan yang rendah dan gelap gulita,
ombak sudah menyambar-nyambar melampaui haluan Angin Laut . Saat itu tinggal empat
kapal saja yang masih terus bertahan. Jumlah itu terlalu sedikit untuk membentuk lingkaran.
Karenanya keempat-empatnya berlayar menggerombol. Kapal hitam Jed dan Tim Connors
menempati posisi langsung di belakang Angin Laut. Tim Connors berdiri di anjungan yang
terbuka. Dengan sikap tegaknya yang kekar, dengan topi wol merah dan jas hujannya yang
berwarna kuning, penampilannya saat itu mirip pelaut Viking dari zaman dulu. Sementara
kedua kapal bergerak dengan kecepatan serendah mungkin di tengah lautan yang
menggelora, Tim menggerakkan kapalnya menghampiri Angin Laut.

"Lumayan juga anginnya, Jason!" serunya.


"Ya, cukupan!" balas Kapten Jason berteriak pula.

"Sebentar lagi kembali?"

"Ya, sebentar lagi!"

Terdengar suara Tim Connors tertawa di sela deru hujan

"Taruhan lima puluh dolar, kami akan bisa lebih lama bertahan daripada kalian!"

"Kau sinting, Connors! Dan mundur sedikit! Jangan terlalu berdekatan!"

Tim Connors menyeringai di anjungannya, dan tetap mempertahankan jarak yang sangat
berdekatan. Keempat kapal yang bergerak lambat itu semuanya berada di sisi laut dari
anjungan Karang Hiu Nomor Satu dan setengah menghadap arah angin. Kapal-kapal itu
bergerak dengan kecepatan yang cukup untuk mempertahankan jarak dari anjungan
pengeboran dan melawan desakan ombak yang hendak membenturkan mereka ke
tiang-tiang penopang serta pangkalan tempat mendarat yang terbuat dari baja pula.

Kemudian dua kapal lagi membunyikan klakson mereka lalu berbalik menuju tempat yang
lebih aman di selat. Kini tinggal kapal hitam kedua Connors bersaudara dan Angin Laut yang
masih terus bertahan. Dengan perasaan gelisah, Jupiter terus mencari-cari dengan
matanya, mengamat-amati permukaan laut, kalau-kalau kendaraan bawah air berukuran
kecil tadi muncul lagi.

"Sudahlah, Jupe!" kata Pete. "Dalam cuaca segelap sekarang ini, kau takkan bisa
melihatnya. Bahkan mungkin dia sudah ada di bawah kita!"

"Sebentar saja lagi!" kata Jupiter meminta.

Tiba-tiba kapal Connors bergerak menjauh, dan Tim Connors berseru ke arah mereka.

"Anda menang, Jason! Nah, selamat bersenang-senanglah kalian!"

Sambil tertawa sekali lagi, Connors memacu gerak kapal hitamnya yang sementara itu
sudah berbalik haluan. Kapal itu meluncur terangguk-angguk melewati tempat anjungan
pengeboran, lalu menghilang di balik tirai hujan.

"Percuma saja, Jupiter," kata Kapten Jason. "Kita kembali sekarang juga. Barometer
merosot satu angka lagi, sementara angin semakin kencang. Jika kita masih lebih lama lagi
bertahan di sini, bisa gawat sekali nanti keadaan kita."

Jupiter mengangguk.

"Ya, kurasa memang begitu, Kapten."


Kapten Jason meningkatkan kelajuan gerak kapalnya sampai kecepatan maksimum. Angin
Laut melesat maju-tapi tiba-tiba sekujur tubuh kapal itu bergetar keras! Dari arah sebelah
bawah buritan terdengar bunyi berdentang-dentang!

"Apa itu?" teriak Pete.

"Kita menubruk sesuatu!" seru Jupiter dengan cemas.

Kapten Jason mempertahankan posisi roda kemudi yang bergerak liar.

"Tidak! Ada sesuatu yang patah di sebelah bawah! Gerak baling-baling tidak beres!
Sumbunya terpilin karenanya! Jika samai patah, patahannya bisa merobek lambung dan kita
bisa tenggelam!"

Nahkoda berjenggot lebat itu mematikan mesin, dan Angin Laut terapung-apung tanpa daya
di tengah laut yang sedang menggelora. Kapten Jason memandang ke arah anjungan
pengeboran yang menjulang tinggi-Angin Laut hanyut dengan cepat, lurus ke arah
tiang-tiang bajapenopang bangunan itu!

"Bagaimana sekarang?" teriak Pete ketakutan.

"Jika kapal kita pacu, ada kemungkinan lambungnya robek! Jika tidak kita lakukan, kita akan
terbanting membentur anjungan itu, atau terbalik! Mesin harus dihidupkan dalam keadaan
seperti begini, agar jangan sampai kapal terbalik dipukul ombak!" Kapten Jason
menggeretakkan geraham. "Hanya satu harapan kita sekarang, Anak-anak! Jika kita bisa
mempunyai kecepatan sedikit saja tanpa mengakibatkan patahnya sumbu
baling-baling-pegangan kuat-kuat!"

Dengan lambat-lambat Kapten Jason meningkatkan kecepatan kapalnya, sementara


anjungan pengeboran minyak menjulang tinggi tepat di depan haluan.

***

Mr. Crowe berjalan mondar-mandir di kamar kerjanya. Ia menatap keluar jendela,


memandang hujan yang mengguyur pekarangan belakang rumahnya. Bob duduk dekat
jendela sambil memandang ke luar pula. Awan hitam yang rendah menyebabkan suasana di
luar terasa seperti hari sudah senja. Padahal saat matahari terbenam masih beberapa jam
lagi.

"Kelihatannya... kelihatannya tidak begitu gawat," kata Bob dengan perasaan gelisah.
"Maksud saya, saya sudah sering melihat badai macam sekarang ini."

"Kita berada pada pinggirannya saja, Bob," kata Mr. Crowe. "Tapi di luar, di daerah
pulau-pulau itu... Akan kuhubungi mereka! Mereka harus pulang sekarang ini juga!"
Ia duduk di depan pesawat radio penghubungnya.

"Angin Laut! Masuk, Angin Laut! Kapten Jason?"

Setelah itu ia menunggu. Bob meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri pesawat
radio. Tidak terdengar jawaban masuk. Mr. Crowe mendekatkan mulutnya ke mikrofon.
"Masuk, Angin Laut! Halo, Kapten Jason! Masuk, Angin Laut!"

"Mereka..." Bob meneguk ludah, "selama ini mereka selalu menjawab!"

"Kita tunggu dulu beberapa menit. Mungkin mereka sedang sibuk."

Mereka menunggu selama lima menit di kamar kerja yang berantakan itu, sementara angin
dan hujan menderu-deru di luar.

"Halo, Angin Laut!" Mr. Crowe berbicara dengan nada tegang di depan mikrofon. "Kapten
Jason! Jupiter! Pete!"

Hanya kesunyian saja yang ada setelah itu.

"Akan kuhubungi Penjaga Pantai sekarang," kata Mr. Crowe kemudian sambil memencet
beberapa buah tombol. "Stasiun Penjaga Pantai Santa Barbara! John Crowe memanggil
Penjaga Pantai Santa Barbara!"

Terdengar bunyi gemertak keluar dari speaker.

"Letnan Jameson di sini!"

"Saya tidak bisa memperoleh hubungan dengan Angin Laut. Bagaimana dengan Anda?"

"Juga tidak. Ada gangguan listrik karena keadaan cuaca di luar sana. Akan kami usahakan
menghubungi mereka."

Beberapa menit berlalu. Mr. Crowe mengetuk-ngetuk meja, sementara Bob menggigiti
kuku-kuku jarinya.

Akhirnya speaker mendengung lagi. "Tidak ada jawaban masuk, Crowe. Anda tahu pasti
mereka masih ada di sana? Kapal-kapal yang lain sudah melaporkan diri dan sekarang
dalam perjalanan pulang."

"Saya sama sekali tidak tahu pasti tentang apapun juga, Letnan," kata Mr. Crowe, "tapi jika
mereka kembali, mestinya mereka menghubungi saya dulu!"

"Mungkin mereka cuma mengalami kesulitan saja dengan radio mereka," kata letnan
Penjaga Pantai itu berusaha menenangkan. Tapi nada suaranya tidak menimbulkan
perasaan demikian. "Mereka-nanti dulu, saya mendapat hubungan!"
Kesunyian yang menyusul terasa mencekam di kamar kerja Mr. Crowe, sementara hujan
bertambah lebat. Akhirnya terdengar lagi suara Letnan Jameson.

"Itu tadi Karang Hiu Satu, Crowe. Angin Laut mengalami kesulitan, tapi orang-orang Anda
berada dalam keadaan selamat di anjungan itu. Tapi nampaknya mereka terlibat dalam
salah satu kesulitan dengan orang-orang perusahaan minyak. Tadi disebut-sebut tentang
sabotase!"

Anda mungkin juga menyukai