Toba (3)
Asal Usul Danau Toba Sesungguhnya
Danau toba sesungguhnya berasal dari sebuah letusan gunung berapi raksasa (supervolcano)
yang terjadi 73 ribu tahun lalu. Letusan Toba ini adalah yang ketiga, dua letusan sebelumnya
sudah pernah terjadi dalam jangka waktu 1 juta tahun. Letusan Toba yang menciptakan danau
Toba sekarang diperkirakan memiliki indeks Ledakan Vulkanis 8 (Mega Kolosal) sedemikian
hingga membentuk kompleks kawah berukuran 3 ribu km persegi. Volume erupsi
diperkirakan antara 2 ribu hingga 3 ribu km kubik magma dan 800 km kubiknya terendapkan
sebagai abu vulkanis.
Ukuranledakannya adalah dua kali letusan gunung Tambora tahun 1815. Letusan gunung
Tambora saat itu saja sudah cukup menghasilkan Tahun Tanpa Musim Panas di belahan
bumi utara.
Menurut Alan Robock, letusan Toba tidak memicu zaman es. Penelitiannya yang menganalisa
Di Zaman Dahulu kala, Ada seorang pemburu yang tinggal di sebuah padang rumput. Ia
adalah leluhur kita. Pekerjaannya sehari-hari adalah memburu hewan paginya, kembali ke
tempat berkumpul bersama keluarganya di waktu petang. Matahari baru terbenam kala itu.
Sang pemburu asyik bermain dengan istri dan anak-anaknya.
Anggota kelompok lain sedang menyalakan api. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara
gemuruh dari langit.
Di waktu tengah malam, ada sesuatu yang muncul dari langit. Terjadi hujan yang aneh. Hujan
abu. Sang pemburu dan kelompoknya harus segera meninggalkan tempat tersebut dan
mencari tempat baru. Abu terus mengguyur. Pemburu dan keluarganya berusaha ke barat,
menjauh dari asal abu. Setelah setahun mereka berjalan ke barat, mereka bertemu dengan
hutan rimba dan pegunungan sangat tinggi. Daerah ini ganas. Walaupun banyak hewan
buruan, tapi lebih sering para pemburulah yang dimakan oleh hewan. Kepala suku
memutuskan agar kelompok pergi ke utara dan menghindari hutan lebat di barat. Maka
berangkatlah para pemburu yang tersisa ke arah utara. Di utara mereka menemukan banyak
sumber makanan, walaupun cuaca saat itu sangat dingin. Hewan hewan yang tidak mampu
bertahan di cuaca dingin mudah diburu dan karenanya dapat menjamin kelangsungan
kelompok.
Pada akhirnya para leluhur sampai di sebuah selat. Di seberang selat ada daratan. Walaupun
sama saja dengan di sini, tapi mungkin ada hal baru di sana. Hewan-hewan di sini semakin
langka dan iklim semakin kering. Maka para leluhur membuat sampan untuk menyeberangi
selat. Di seberang selat adalah daerah yang ternyata tidak lebih baik dari daerah asal para
leluhur. Disini kering, pasir dan abu dimana-mana. Para leluhur harus berjalan terus di tepi
pantai agar tidak terjebak di tengah gurun. Mereka terus berjalan dan berjalan.
Pada akhirnya mereka tiba di sebuah dunia yang aneh. Dunia abu-abu, segalanya penuh
tertutup abu. Tampaknya lebih baik disini daripada di dunia pasir. Lewat musyawarah,
akhirnya leluhur memutuskan untuk masuk ke dunia abu.
Di dunia abu ini, mereka bertemu dengan penduduk asli. Mereka sama dengan leluhur.
Ternyata mereka adalah kelompok lain yang telah lebih dulu sampai di sini. Mereka
bercengkerama dan berbagi cerita. Mereka juga berbagi trik dan cara bertahan hidup. Setiap
anggota kelompok tahu cara membuat api karena disini malam dan siang hampir sama
gelapnya. Dan tanpa api mereka dapat tersesat di hutan.
Seiring berjalannya waktu, debu tidak lagi turun. Matahari mulai jelas terlihat. Para leluhur
memutuskan untuk tidak tinggal di dunia abu-abu yang sekarang mulai hijau. Mereka
berencana mencari tempat baru di timur. Mereka kembali bertualang. Jumlah leluhur sudah
sangat banyak, hanya beberapa orang saja yang meneruskan perjalanan. Mereka adalah para
pemberani yang gemar bertualang. Mereka menembus hutan belantara dan mendaki gunung
yang tinggi. Mereka bertemu banyak sekali hal-hal menakjubkan. Dari permata hingga hewan
unik. Semua halangan berhasil dilalui, hingga sang leluhur akhirnya tiba di sebuah selat.
Para leluhur memutuskan untuk menyeberang selat itu dan tiba di tanah Sumatera. Mereka
berjalan terus ke pedalaman dan akhirnya tiba di sebuah Danau. Danau Toba yang besar dan
berasap.
Mereka memandang pada keluasan danau yang luar biasa. Membentang dengan indahnya.
Leluhur yang paling pintar melihat adanya semburan abu kecil di pinggiran danau. Ia tersadar
kalau inilah sumber gemuruh raksasa yang pernah leluhur mereka dengar dahulu. Inilah
penyebab kenapa leluhur mulai mengungsi di masa lalu. Inilah penyebab keberadaan kita
disini. Ini Danau Toba.
Para leluhur merasa telah tiba pada tujuannya. Merekapun tinggal di sekitar Danau Toba.
Waktu berlalu dan leluhur terus beranak pinak. Merekalah leluhur suku Batak. Suku Batak
lahir di sini, tak berapa lama setelah lahirnya Danau Toba. Bisa dikatakan kalau Batak dan
Toba adalah saudara.
Danau Toba lahir dan mengundang leluhur untuk menemaninya. Ya, gemuruh itu adalah
tanda kelahiran Danau Toba. Ia berasal dari Letusan Gunung Api raksasa yang melontarkan
abu-abunya ke angkasa. Itulah asal usul Danau Toba.
Perbandingan letusan toba dengan letusan supervolcano lainnya
Di chapter kedua, Ksatria Nusantara Merah menjelaskan kepada Rangga bahwa dia adalah
Ksatria Nusantara yang berhasil mengunci Kelana dan menyebabkan meledaknya Gunung
Tambora pada 200 tahun silam.
Kejadian meletusnya Gunung Tambora itu bukan fiksi, bahkan peristiwa itu terkenal dengan
salah satu ledakan yang paling terkenal di muka bumi selama 10,000 tahun belakangan ini.
Akibat ledakannya sinar matahari pun terhalang masuk ke permukaan bumi dan
menghasilkan penurunan suhu.
LETAK GEOGRAFIS
Gunung Tambora adalah sebuah stratovolcano aktif, terletak di pulau Sumbawa yang
merupakan bagian dari kepulauan Nusa Tenggara, Gunung ini terletak di dua kabupaten,
yaitu Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima.
Letusan besar tersebut juga menyebabkan perubahan iklim global anomali pada 1816, dengan
rata-rata suhu global turun 0,40-0,70 derajat Celsius yang mengakibatkan sinar matahari
terhalang masuk ke permukaan bumi dan menghasilkan penurunan suhu.
Fenomena pendinginan global pada 1816 tersebut tercatat sebagai dekade terdingin kedua di
belahan bumi utara sejak 1400 Masehi. Kejadian ini dikenal juga dengan sebutan Year
without Summer
http://nusantaranger.com/referensi/buku-elang/chapter-2-mimpi/ledakan-gunung-
tambora-1815-masehi/
7 April 2015
Kirim
Letusan Gunung Tambora dua abad lalu menciptakan kaldera seluas 8 km
Letusan pertama Gunung Tambora terdengar pada 5 April 1815 di Pulau Jawa (Jakarta),
terdengar selama 15 menit dan berlangsung sampai kesokan harinya, seperti meriam.
Demikian catatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford Raffles, tentang
letusan Gunung Tambora dalam memoarnya The History of Java.
Raffles menulis ledakan tersebut sempat disangka meriam yang menyerang pasukan di
Yogyakarta. Pada 6 April, sinar matahari tertutup dan hujan abu dalam jumlah kecil pun
mulai menyelimuti Sulawesi dan Gresik di Jawa Timur.
Catatan tentang letusan Gunung Tambora juga tercantum pada naskah kuno Kerajaan Bima,
Bo Sangaji Kai.
Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, maka berbunyilah seperti bunyi meriam
orang perang, kemudian maka turunlah krisik batu dan habu seperti dituang lamanya tiga hari
dua malam, sebut naskah kuno itu sebagaimana dibacakan ahli filologi Siti Maryam
Salahuddin, 88 tahun, yang merupakan putri Sultan Bima terakhir, Muhamad Salahuddin.
Berdasarkan laporan Letnan Owen Philips, selaku utusan Raffles, Raja Sanggar masih hidup
dan menjadi saksi peristiwa tersebut.
Sekitar pukul 7 malam tanggal 10 April terlihat tiga bola api besar keluar dari Gunung
Tomboro. Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat
demikian keterangan Raja Sanggar.
Siti Maryam membacakan naskah kuno Bo Sangaji Kai yang memuat tentang
letusan Tambora.
Catatan berbagai saksi mata dan hasil analisis para ahli semakin menegaskan bahwa letusan
Gunung Tambora pada 1815 merupakan yang terbesar dalam catatan sejarah modern.
Material vulkanis yang dikeluarkan saat Gunung Tambora meletus mencapai lebih dari
100km kubik atau 100 milliar meter kubik, sedangkan Gunung Merapi 'hanya' memuntahkan
150 juta meter kubik.
Volcanic Eruption Index Tambora skala 7. Itu yang terbesar dan baru pertama terjadi pada
sejarah modern. Sementara Merapi mencapai skala 4, jelas Surono.
Dampaknya sangat luas. Aerosol sulfat yang dikeluarkan oleh letusan Tambora tertahan di
atmosfer sehingga menghalangi sinar matahari ke bumi. Setahun kemudian, gelap masih
menyelimuti Benua Eropa pada musim panas. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai 'Tahun
tanpa musim panas'.
Kelaparan
Imbas letusan Gunung Tambora kepada nyawa manusia jauh lebih dahsyat. Dalam laporan
kepada Raffles, Letnan Owen Philips menjelaskan kondisi Pulau Sumbawa dan Dompu yang
melewati sebagian wilayah Bima. Sebagian besar wilayah Kerajaan Sanggar yang terletak di
kaki Gunung Tambora turut hancur.
Bencana terbesar yang dialami penduduk sangat mengerikan untuk dikisahkan. Mayat-
mayat masih bergelimpangan di tepi jalan dan di beberapa perkampungan tersapu bersih,
rumah rumah hancur, penduduk yang masih hidup menderita kelaparan, tulis Phillips.
Sejumlah catatan menyebutkan material vulkanis dari Gunung Tambora juga menyebabkan
gagal panen di Pulau Tambora dan Pulau Bali. Akibatnya, sebanyak 100 ribu jiwa meninggal
di wilayah sekitar Pulau Sumbawa dan 200.000 jiwa secara global.
Situasi setelah letusan digambarkan dalam naskah kuno Kerajaan Bima yang ditulis pada
1815.
"Maka heran sekalian hambanya, melihat karunia Rabbalalamin yang melakukan al-
Faalu-I-Lima Yurid ( Apa yang dikehendakiNya), maka teranglah hari maka melihat rumah
dan tanaman maka rusak semuanya demikianlah adanya, yaitu pecah gunung Tambora
menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul
Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad."
Temuan kerangka dan sisa bangunan rumah yang diyakini merupakan Kerajaan
Tambora.
Ancaman bencana
Ahli geologi dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, yang terlibat dalam penelitian
bersama Haraldur Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, pada 2007,
menemukan kerangka manusia di Dusun Oi Bura yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi kejadian saat letusan Gunung Tambora.
Kerangka yang kita jumpai masih bertahan di tempat pada saat terjadi letusan utama.
Mereka kebetulan jatuh masih di bawah rumah sendiri, tertimbun rumahnya sendiri. Mungkin
juga pada saat itu hujan karena kita temui endapan lumpur. Jadi diperkirakan dia jatuh di
dalam lumpur karena di bagian bawahnya itu utuh dalam artian tidak terbakar, jelas Indyo.
Dari temuan itu, diduga penduduk di kaki Gunung Tambora ketika itu tidak mengenal
ancaman gunung berapi.
Selain Tambora, gunung berapi lain di wilayah Indonesia yang tercatat sebagai letusan besar
dalam sejarah modern yaitu Krakatau pada 1883, meski kedahsyatannya di bawah Tambora.
Penelitian internasional pada 2003 menemukan jejak letusan Gunung Samalas di Lombok
NTB yang terjadi pada tahun 1257 berupa abu kimia yang terdapat di Arktik Kutub Utara dan
Antartika.
Struktur awal gunung purba ini menyisakan kawah besar yang kini lebih dikenal dengan
nama Danau Segara Anak. Gunung Purba lain yang meletus pada 74.000 tahun lalu adalah
Toba yang menyisakan kawah berupa danau dengan panjang 100 km dan lebar 30 km.
Di Indonesia terdapat 127 gunung berapi, 69 diantaranya dipantau karena pernah meletus
sekali sejak 1600 an. Sekitar empat juta orang tinggal di sekitar gunung-gunung berapi
tersebut.
Kepala Badan Geologi Surono mengatakan keberadaan gunung berapi tidak hanya
memberikan tanah yang subur dan potensi wisata, tetapi juga memunculkan pentingnya
edukasi tentang potensi ancaman sebagai upaya untuk pengurangan risiko bencana.