Anda di halaman 1dari 8

Gunung Tambora

Tambora

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Topografi Sumbawa. Kaldera Tambora mampu diteliti pada semenanjung proses utara...
Gunung Tambora (atau Tomboro) yaitu sebuah stratovolcano giat yang terletak di pulau
Sumbawa, Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu
(sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan
sampai barat laut, dan kaki sampai puncak sisi timur sampai utara), Provinsi Nusa Tenggara
Barat, tepatnya pada 8°15' LS dan 118° BT. Gunung ini terletak benar di sisi utara dan
selatan kerak oseanik. Tambora terbentuk oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini
meningkatkan ketinggian Tambora sampai 4.300 m yang membuat gunung ini pernah
menjadi salah satu puncak tertinggi di Nusantara dan mengeringkan dapur magma agung di
dalam gunung ini. Perlu masa seabad untuk mengisi kembali dapur magma tersebut.

Kegiatan vulkanik gunung berapi ini sampai puncaknya pada bulan April tahun 1815
ketika meletus dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index. Letusan tersebut menjadi
letusan tebesar semenjak letusan danau Taupo pada tahun 181. Letusan gunung ini terdengar
sampai pulau Sumatra (lebih dari 2.000 km). Debu vulkanik jatuh di Kalimantan, Sulawesi,
Jawa dan Keliruku. Letusan gunung ini mengakibatkan kematian sampai tidak kurang dari
71.000 orang dengan 11.000—12.000 di selangnya terbunuh secara langsung dampak dari
letusan tersebut. Bahkan beberapa peneliti memperkirakan sampai 92.000 orang terbunuh,
tetapi angka ini diragukan karena berdasarkan atas agak yang terlalu tinggi. Semakin dari itu,
letusan gunung ini mengakibatkan perubahan iklim lingkungan kehidupan. Satu tahun
berikutnya (1816) sering disebut sebagai Tahun tanpa musim panas karena perubahan drastis
dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dihasilkan dari letusan Tambora ini.
Dampak perubahan iklim yang drastis ini banyak panen yang gagal dan kematian ternak di
Belahan Utara yang mengakibatkan terjadinya kelaparan terburuk pada masa seratus tahun
ke-19.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Geografi Tambora?
2. Bagaimana Sejarah geologisnya ?
3. Bagaimana Letusan tahun 1815?
4. Apa bukti Bukti arkeologi?
5. Bagaimana Ekosistemnya?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Geografi

Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa yang adalah proses dari kepulauan Nusa
Tenggara. Gunung ini yaitu proses dari busur Sunda, tali dari kepulauan vulkanik yang
membentuk rantai selatan kepulauan Indonesia. Tambora membentuk semenanjungnya
sendiri di pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi utara semenanjung
tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan terdapat teluk Saleh dengan panjang 86
km dan luas 36 km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.

Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati kegiatan gunung tersebut, gunung
Tambora yaitu kawasan untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi. Gunung ini juga menarik
turis untuk mendaki gunung dan kegiatan margasatwa. Dompu dan Bima yaitu kota yang
letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa.
Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan
desa Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa Calabai.

Terdapat dua jalur pendakian untuk sampai kaldera gunung Tambora. Rute pertama
dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini
mengikuti jalan beraspal menempuh perkebunan kacang mede sampai belakangnya sampai
ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini belakangnya di proses selatan kaldera
dengan ketinggian 1.950 m yang mampu dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian.
Lokasi ini kebanyakan dipakai sebagai kemah untuk mengamati kegiatan vulkanik karena
hanya memerlukan masa satu jam untuk sampai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa
Pancasila di sisi barat laut gunung Tambora. Bila menggunakan rute kedua, karenanya
kaldera hanya mampu dicapai dengan berlanjut kaki.

B. Sejarah geologis
1. Pembentukan

Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan 180-190 km di atas
zona subduksi. Gunung ini terletak benar di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Gunung ini
memiliki laju konvergensi sebesar 7.8 cm per tahun. Tambora dianggarkan telah berada di
bumi semenjak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar). Ketika gunung ini meninggi
dampak proses geologi di bawahnya, dapur magma yang agung ikut terbentuk dan sekaligus
mengosongkan inti magma. Pulau Mojo pun ikut terbentuk sebagai proses dari proses geologi
ini di mana teluk Saleh pada awal mulanya adalah cekungan samudera (sekitar 25.000 BP).

Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk sebelum
letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama dengan wujud stratovolcano. Diameter
lubang tersebut sampai 60 km. Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir
turun secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Semenjak letusan tahun 1815, pada proses paling bawah terdapat endapan lava dan
material piroklastik. Agak 40% dari lapisan diganti oleh 1-4 m arus lava tipis. Scoria tipis
dihasilkan oleh fragmentasi arus lava. Pada proses atas, lava ditutup oleh scoria, tuff dan
bebatuan piroklastik yang mengalir ke bawah. Pada gunung Tambora, terdapat 20 kawah.
Beberapa kawah memiliki nama, misalnya Tahe (877 m), Molo (602 m), Kadiendinae, Kubah
(1648 m) dan Doro Api Toi. Kawah tersebut juga menghasilkan arus lava basal.

2. Sejarah letusan

Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung


Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi agungnya letusan tidak
dikenal. Agak tanggal letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150
tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama. Masing-masing
letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga.
Pada letusan ketiga, tidak terdapat arus piroklastik.

Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi semakin giat, dengan puncak letusannya
terjadi pada bulan April tahun 1815. Agung letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic
Explosivity Index (VEI), dengan banyak semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, arus piroklastik, korban jiwa,
kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini memengaruhi
iklim global dalam masa yang lama. Kegiatan Tambora sesudah letusan tersebut baru selesai
pada tanggal 15 Juli 1815. Kegiatan kemudian kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun
1819 dengan hal benar letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh ditemani gempa
susulan yang dianggap sebagai proses dari letusan tahun 1815. Letusan ini masuk dalam skala
kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi
hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat arus lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang
kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.

Gunung Tambora sedang berstatus giat. Kubah lava kecil dan arus lava sedang terjadi
pada lantai kaldera pada masa seratus tahun ke-19 dan masa seratus tahun ke-20. Letusan
terakhir terjadi pada tahun 1967, yang ditemani dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI,
yang berfaedah letusan terjadi tanpa ditemani dengan ledakan.

C. Letusan tahun 1815

1. Kronologi letusan

Kawasan yang dianggarkan terkena debu letusan Tambora tahun 1815. Kawasan merah
menunjukan ketebalan debu vulkanik. Debu tersebut sampai pulau Kalimantan dan Sulawesi
(ketebalan 1 cm).
Gunung Tambora merasakan ketidakaktifan selama beberapa masa seratus tahun sebelum
tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang adalah hasil dari pendinginan
hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup. Didalam dapur magma dalam
kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari air magma bertekanan tinggi terbentuk pada
ketika pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5 kbar
muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.

Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan
hitam. Pada tanggal 5 April 1815, letusan terjadi, disertai dengan suara guruh yang terdengar
di Makassar, Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa
(1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Keliruku (1400 km dari gunung Tambora).
Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11 April 1815 (lebih
dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awal mulanya dianggap sebagai suara tembakan
senapan. Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, debu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur
dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815.

Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini makin kuat. Tiga lajur api
terpancar dan bergabung. Seluruh pegunungan berganti menjadi arus agung api. Batuan
apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, disertai dengan
debu pada pukul 9:00-10:00 malam. Arus piroklastik panas mengalir turun menuju laut di
seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan agung terdengar sampai
sore tanggal 11 April. Debu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat"
tercium di Batavia dan hujan agung yang ditemani dengan debu tefrit jatuh, belakangnya reda
selang tangal 11 dan 17 April 1815.

Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka
menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak masa sampai hari
kemudian. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak
sehingga sebuah detasemen tentara melakukan usaha dari Djocjocarta, dengan agak bahwa
pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan
dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam kondisi darurat.

Laporan Thomas Stamford Raffles.

Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index.
Letusan ini empat kali semakin kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883.
Dianggarkan 100 km³ piroklastik trakiandesit dikeluarkan, dengan agak massa 1,4×1014 kg.
Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6-7 km dan kedalaman 600-700 m. Massa jenis
debu yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m². Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki
ketinggian agak 4.300 m, salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Sesudah letusan, tinggi
gunung ini hanya setinggi 2.851 m.

Letusan Tambora tahun 1815 yaitu letusan terbesar dalam sejarah. Letusan gunung ini
terdengar sejauh 2.600 km, dan debu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km. Kegelapan terlihat
sejauh 600 km dari puncak gunung selama semakin dari dua hari. Arus piroklastik menyebar
setidaknya 20 km dari puncak.
2. Dampak

Seluruh tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan


debu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km .
Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan
3 Oktober 1815. Awan dengan debu tebal sedang menyelimuti puncak pada tanggal 23 April.
Ledakan selesai pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab sedang terlihat pada tanggal 23
Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat
tahun sesudah letusan.

Dalam perjalananku menuju proses barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan
banyak proses dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap masyarakat yang menjadi
kurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Sedang terdapat mayat di jalan dan
tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya dilepaskan dan rumah-rumah
rubuh, masyarakat yang selamat kesukaran mencari makanan.
Semenjak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang
menyerang banyak masyarakat yang agung. Diduga masyarakat minum air yang
terkontaminasi debu, dan kuda juga meninggal, dalam banyak yang agung untuk masalah
yang sama.

Letnan Philips diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa.

Tsunami agung menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April,
dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m
dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m
terjadi di Keliruku.

Tinggi asap letusan sampai stratosfer, dengan ketinggian semakin dari 43 km. Partikel
debu jatuh 1 sampai 2 minggu sesudah letusan, tetapi terdapat partikel debu yang tetap berada
di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.
Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling lingkungan kehidupan, membuat
terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris
selang tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran
cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau
merah muda di atas.

agak kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang benar. Zollinger (1855)
memperkirakan 10.000 orang meninggal karena arus piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat
38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di
pulau Lombok.[20] Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang
terbunuh di Sumbawa dan Lombok.[21] Beberapa pengarang menggunakan figur
Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang mencetuskan banyak kematian sebesar 88.000
jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak mampu ditemukan dan
berdasarkan pustaka yang tidak mampu dilacak. Tanguy merevisi banyak kematian
berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di
Sumbawa sesudah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak
korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Dianggarkan 11.000
meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan
kelaparan sesudah letusan. Oppenheimer (2003) mencetuskan banyak kematian semakin dari
71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel dibawah.

D. Bukti arkeologi

Pada musim panas tahun 2004, tim dari Universitas Rhode Island, Universitas North
Carolina di Wilmington, dan direktorat vulkanologi Indonesia, dipimpin oleh Haraldur
Sigurdsson, memulai sebuah penggalian arkeologi di gunung Tambora. Sesudah enam
minggu, tim tersebut menggali bukti hal benar kebudayaan yang hilang yang musnah karena
letusan gunung Tambora. Situs tersebut terletak 25 km sebelah barat kaldera, di dalam hutam,
5 km dari pantai. Tim tersebut harus melewati endapan batu apung vulkanik dan debu dengan
tebal 3 m.

Tim tersebut menggunakan radar penembus tanah untuk mencari lokasi rumah kecil yang
terkubur. Mereka menggali kembali rumah dan mereka menemukan sisa dua orang dewasa,
dan juga mangkuk perunggu, alat besi dan artifak lainnya. Desain dan dekorasi artifak
memiliki kecocokan dengan artifak dari Vietnam dan Kamboja. Uji coba dilakukan
menggunakan teknik karbonisasi memperjelas bahwa mereka terbentuk dari pensil arang
yang diwujudkan oleh panas magma. Seluruh orang, rumah dan kebudayaan dibiarkan seperti
ketika mereka berada tahun 1815. Sigurdsson menyebut kebudayaan ini sebagai Pompeii dari
timur. Berdasarkan artifak yang ditemukan, yang mayoritas benda perunggu, tim
mencetuskan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah menunjukan bahwa
orang di pulau Sumbawa terkenal di Hindia Timur untuk madu, kuda, kayu sepang
(caesalpinia sappan), menghasilkan dye merah, dan cendana yang dipakai untuk dupa dan
pengobatan. Kawasan ini dikenal produktif dalam proses pertanian.

Penemua arkeologi memperjelas bahwa terdapat kebudayaan yang hancur karena letusan
tahun 1815. Sebutan Kerajaan Tambora yang hilang disebut oleh media. Dengan penemuan
ini, Sigurdsson bermaksud untuk kembali ke Tambora tahun 2007 untuk mencari sisa desa,
dan rindu mampu menemukan istana.

E. Ekosistem

Tim penelitian yang dipimpin oleh ahli botani Swiss, Heinrich Zollinger, tiba di pulau
Sumbawa tahun 1847. Misi Zollinger yaitu untuk mempelajari letusan dan pengaruhnya
terhadap ekosistem lokal. Dia yaitu orang pertama yang memanjat ke puncak gunung
Tambora sesudah letusan gunung tersebut. Gunung tersebut sedang tertutup oleh asap. Ketika
Zollinger memanjat, kakinya tenggelam beberapa kali menempuh kerak permukaan tipis
menuju lapisan hangat yang seperti sulfur. Beberapa tumbuh-tumbuhan kembali tumbuh dan
beberapa pohon diteliti di lereng yang semakin rendah. Hutan Casuarina dicatat pada 2.200-
2.550 m. Beberapa Imperata cylindrica juga mampu ditemukan.
Masyarakat mulai tinggal di gunung Tambora pada tahun 1907. Penanaman kopi dimulai
pada tahun 1930-an di lereng proses barat laut gunung Tambora, di desa Pekat. Hutan hujan
yang disebut Duabangga moluccana telah tumbuh dengan ketinggian 1.000-2.800 m.
Penanaman tersebut mencakupi kawasan seluas 80.000 hektar (800 km²). Hutan hujan
ditemukan oleh tim Belanda, dipimpin oleh Koster dan De Voogd tahun 1933. Mereka
memulai perjalanan di "daerah hampir tandus, kering dan panas" dan mereka memasuki
"hutam hebat" dengan "raksasa hutan yang agung dan megah". Pada ketinggian 1.100 m,
mereka memasuki hutan montane. Pada ketinggian 1.800 m , mereka menemukan Dodonaea
viscosa yang didominasi oleh pohon Casuarina. Di puncak, mereka menemukan sedikit
Anaphalis viscida dan Wahlenbergia.

56 spesies burung ditemukan tahun 1896, termasuk Crested White-eye. 12 spesies


lainnya ditemukan pada tahun 1981. Beberapa penelitian ahli ilmu binatang menemukan
spesies burung lainnya di gunung, menghasilkan ditemukannya semakin dari 90 spesies
burung. Kakatua-kecil Jambul-kuning, Murai Asia, Tiong Emas, Ayam hutan Hijau dan
Perkici Pelangi diburu untuk dijual dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Gosong
berkaki-jingga diburu untuk dimakan. Eksploitasi burung mengakibatkan menjadi kurangnya
populasi burung. Yellow-crested Cockatoo hampir punah di pulau Sumbawa.

Semenjak tahun 1972, perusahaan penebangan komersial telah beroperasi di kawasan ini,
yang mengakibatkan ancaman terhadap hutan hujan. Perusahaan penebangan memegang izin
untuk menebang kayu di kawasan seluas 20.000 hektar (200 km²), atau 25% dari banyak luas
kawasan. Proses hutan hujan lainnya dipakai untuk berburu. Di selang tanah berburu dan
tanah penebangan, terdapat cagar lingkungan kehidupan, temat rusa, kerbau, babi hutan,
kelelawar, rubah terbang, dan berbagai spesies reptil dan burung mampu ditemukan.
Daftar pustaka
C.R. Harrington (ed.). The Year without a summer? : world climate in 1816, Ottawa :
Canadian Museum of Nature, 1992. ISBN 0-660-13063-7
Henry and Elizabeth Stommel. Volcano Weather: The Story of 1816, the Year without a
Summer, Newport RI. 1983. ISBN 0-915160-71-4

Anda mungkin juga menyukai