Anda di halaman 1dari 61

ANALISIS PERBANDINGAN WARNA LOKAL NOVEL DAN FILM

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK SERTA IMPLIKASINYA


TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAH

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh

Indri Zikria Oktaviani


NIM. 1112013000060

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

ANALIilS PERBAI\IDINGAI\IWARNA LOKAL NOVEL DAN FILM


TENGGEI./IMNYA KAPAL VAN DER IYITCKSERTA IMPLIKASIIYYA
TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DI SEKOLAE

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Indri Zikria Oktaviani


NrM. 1112013m0ffi0

Di bawahbimbingan

NrP. 19771030 200801 2A09

JURUS$I PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESH


FAIruLTAS ILMU TARBTYAH DAN KEGURUAN
I]NTYERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIT HIDAYATIILLAH
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

Skripsi berjudul "Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah" disusun oleh Indri Zil<cia Oktaviani,
Nomor Induk Mahasiswa 1112013000060, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK).UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus
dalam Ujian Munaqasah pada 30 April 2019, dihadapan dewan penguji. Oleh
karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana (S.Pd) dalam bidang
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 30 April2019

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal


fi|fi
I\{ak}run Subuki. M. Hum. /nq
NrP. 19800305 200901 1015

Sekteraris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Toto Edidarmo. M.A.


, 4-*
tT/E -%t9
NIP. 19760225 200801 1020

Penguji I tc/os
I gr5
Novi Diah Haryanti. M. Hum.
NrP. 19841t26 201503 2007

Pengqi II lr/6r

Ahmad Bahtiar. M. FIqm, lvq


NIP. 1 9760 ttg 200912 t002

Mengetahui
Itas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

:ffi
/r{;-kRl4,'";" '.

iffir'-ag*i

f,k
:tgztostg 199803 2 oot
KEMENTERIAN AGAPIA
UIN JAKARTA : 1-2010
FITK FORM(FRI
工 農 力 mめ ル %6"Fa,I"r2嬌
“ "
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama IndH Zikria Oktaviani

Tempat / Tgl.Lahir Tangerang,15 0ktober 1995


NI\4 1112013000060
Jurusan / Prodi Pcndidikan Bahasa dan Sastra lndonesia
Judul Skripsi "Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film
■4"θ 物 ッα」
色ρα
Jン勧 Der ttθ たSCtt hplikasinya

terhadap Pclnbelttaran Bahasa dan Sastra lndonesia di

Seko1711''

Dosen Pembimbing :Rosida Erowati,M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benm hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apayang saya fulis.
l

Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh ujian Munaqasyah.

Jakartt 29 Apri1 2019


Ybs.

Inご Fl Zikria Oktaviani


NIPI.1112013000060
ABSTRAK

INDRI ZIKRIA OKTAVIANI, 1112013000060, “Analisis Perbandingan Warna


Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah”. Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan warna lokal yang


terjadi pada novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sastra bandingan,
yaitu mengidentifikasi unsur objektif novel dan film, serta memfokuskan pada
perbandingan warna lokal antara novel dan film. Hasil penelitian yang diperoleh
yaitu terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah proses
ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan perubahan
variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di dalam novel.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan variasi banyak
ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur warna lokal yang
paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yaitu unsur sosial
Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan perubahan apapun saat
proses ekranisasi. Hasil penelitian ini kemudian diharapkan dapat dijadikan
sumber pembelajaran sastra di sekolah, sesuai dengan Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar kurikulum 2013 yaitu memahami proses ekranisasi dalam
karya sastra. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat menganalisis
warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan juga film. Siswa
diharapkan dapat menganalisis perbandingan sebuah novel dengan film
ekranisasinya.

Kata Kunci: Warna Lokal, Sastra Bandingan, Ekranisasi, Novel Tenggelamnya


Kapal Van Der Wijck, Perbandingan Novel dan Film

i
ABSTRACT

INDRI ZIKRIA OKTAVIANI, 1112013000060, ”Comparative Analysis of The


Local Custom in The Novel and Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck and
It's Implications for The Study of Indonesian Language and Literature in
Schools”. Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and
Teacher Science, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2019.

This study aims to find out the comparison of the local customs occuring in
the novel and film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. The research method
applied in this study is comparative literature, namely indentify the objective
elements in the novels and films, focusing on the comparison of local customs in
between the novels and films. The results obtained are there is a silting of the
tradition and historical background of Minangkabau after the process of
ecranization. Proven by the amount of contraction and changes in variation in the
Minangkabau local color elements in the Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
novel. Contraction and changes in variation are found in many elements of the
Minangkabau culture. While the local color elements are the most dominant in the
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck novel, that is the social element
Minangkabau, considering that the director did not make any changes during the
process of transformation. The results of this study can be used as a source of
literary learning in schools, in suitable with the core competencies and basic
competencies of the 2013 curriculum, that is understanding the process of
ecranization in literary works. This material focuses on students to be able to
analyze local colors in two different media, spesifically media books or films.
Students are expected to be able to analyze the comparison of a novel with it’s
ecranization film.

Keywords: The Local Color of Comparative Literature, Ecranization, Novel


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Comparison of Novels and Films.

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, beserta
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah”.

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai rintangan. Tanpa
bantuan dan peran serta berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah
mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan mempermudah
dalam penyelesaian skripsi ini;
3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku Penasehat Akademik sekaligus dosen
pembimbing skripsi yang bersedia membantu serta mempermudah
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas ide, saran, arahan, motivasi,
bimbingan, serta kesabaran Ibu selama ini;
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberikan banyak ilmu selama masa studi penulis;
5. Suwandi dan Karsinah, S.Pd, kedua orang tua penulis yang telah mendidik
penulis dengan segala kasih sayang tulus. Terima kasih untuk
pengorbanan, perjuangan hidup, doa-doa, serta nasehat mamah dan papah
sehingga penulis dapat melalui tahap ini;

iii
6. Fajrina Sita Dewi, S.Kel, Komala, S.Pd, Eriliyabuduni Ulfi, S.Gz, dan
Sophia Syifa Fauzia, S.I.P., sahabat tercinta penulis sejak SMA hingga
kini yang selalu setia memberikan motivasi dan kasih sayang kepada
penulis;
7. Chitra Nur Imaniar, S.Pd, Fikry Bermaki, S.Pd, Bunga Indah Puspita Sari,
S.Pd, Dede Zakiyah, S.Pd, Tri Wibowo, S.Pd, dan, rekan PBSI yang selalu
membantu penulis saat menghadapi kesulitan dalam penyusunan skripsi
ini;
8. Maria Forly Christine Sinaga, S.S, Bella Octavia, Delia Dwi Putri Rahayu,
dan Heny Sofiany, rekan kerja Bank CIMB Niaga selama satu tahun
terakhir yang selalu memberikan kritik dan motivasi kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini;
9. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2012, terima kasih
atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama
masa studi serta motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi;
10. Rio Tirta Erlangga, S.Si, sahabat dan pendamping terhebat bagi penulis.
Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, motivasi, kasih sayang, dan
segala hal yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Semoga segala bentuk bantuan, dukungan, serta partisipasi yang diberikan


kepada penulis mendapat pahala dan balasan lebih baik yang berlipat ganda dari
Allah SWT. Amin.

Jakarta, 30 April 2019


Penulis

Indri Zikria Oktaviani

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 5
D. Perumusan Masalah ................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 11
A. Hakikat Novel ........................................................................... 11
B. Tinjauan Film. .......................................................................... 19
C. Ekranisasi ................................................................................. 22
D. Sosiologi Sastra ........................................................................ 24
E. Warna Lokal ............................................................................. 25
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................ 34
G. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................. 36

BAB III PENGARANG DAN KARYANYA ........................................... 39


A. Biografi Buya Hamka ............................................................... 39
B. Karya Buya Hamka .................................................................. 41
C. Pemikiran Buya Hamka ............................................................ 43
D. Profil Tim Produksi .................................................................. 44

v
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 46
A. Analisis Objektif Novel dan Film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck .......................................................................... 46
B. Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dengan Film Adaptasinya. .................... 106
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah................................................................. 149

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 152


A. Simpulan ................................................................................... 152
B. Saran ......................................................................................... 153

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena alih wahana dari suatu karya sastra ke dalam media lain telah
terjadi sejak beberapa dekade ini. Puisi Taufik Ismail yang dialihwahanakan
ke dalam musik oleh grup musik Bimbo, atau novel Bunga Raos dari
Cikembang karya Kwee Tek Hoy yang diubah menjadi drama adalah contoh
alih wahana sebuah karya sastra. Istilah alih wahana ini dipopulerkan oleh
Sapardi Djoko Damono sebagai suatu perubahan dari satu jenis kesenian ke
dalam jenis kesenian lain.
Proses alih wahana sebuah karya sastra yang cukup populer di kalangan
masyarakat pada saat ini yaitu novel yang diubah ke dalam media film, atau
yang biasa dikenal dengan istilah ekranisasi. Berangkat dari keterbatasan
dunia kata-kata dan juga sebagai pengaruh dari perkembangan teknologi
modern yang memungkinkan seseorang lebih kreatif dalam mengapresiasi
sebuah karya sastra, novel yang difilmkan telah menerobos pasar dan
berkembang pesat. Salah satu tujuan ekranisasi tersebut yakni untuk menarik
para peminat atau konsumen, sehingga orang-orang yang tidak suka membaca
sastra masih tetap bisa menikmati sastra lewat film. Selain itu, pembaca tidak
harus menikmati cerita lewat imaji linguistik dan dunia khayalnya, tetapi
pembaca dapat menikmati cerita lewat imaji visual. Tentunya pembaca tidak
perlu berkhayal tentang alur demi alur yang disediakan, karena di dalam film
telah divisualisasikan senyata mungkin oleh tim produksi.
Saat ini ekranisasi menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi khalayak
luas. Dalam sejarah perfilman Indonesia, banyak film-film ekranisasi yang
turut mewarnai industri perfilman Indonesia. Fenomena tersebut mulai marak
di Indonesia pada dekade 70-an. Pada saat itu istilah ekranisasi belum
digunakan, melainkan adaptasi. Beberapa di antaranya yakni Gita Cinta SMA

1
2

(1979), Atheis (1974), dan Si Doel Anak Betawi (1972). Sementara itu,
beberapa film ekranisasi yang baru-baru ini ditayangkan yakni Supernova
(2014), Toba Dreams (2015), dan Filosofi Kopi (2015).
Beberapa novel sastra klasik juga turut digarap oleh sutradara. Beberapa di
antaranya yaitu novel Badai Pasti Berlalu (1971) karangan Marga T yang
difilmkan pada tahun 1977 dan 2007, novel Dibawah Lindungan Ka’bah
(1938) karangan Buya Hamka yang difilmkan pada tahun 2011, dan novel
Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karangan Ahmad Tohari yang difilmkan pada
tahun 2011. Salah satu contoh novel sastra klasik yang diangkat ke layar lebar
dan cukup banyak mendapat sorotan dari para penikmatnya yakni novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938) karangan Buya Hamka. Novel ini
diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, yang disutradarai oleh Sunil
Soraya. Kemunculan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mendapatkan
sambutan yang luar biasa dari masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia
cukup menggemari film bergenre drama. Film ini berhasil menyedot kurang
lebih satu juta delapan ratus penonton. Pada tahun 2014, kedua pemeran
utama dalam film ini, yakni Herjunot Ali sebagai Zainuddin dan Pevita Pearce
sebagai Hayati, mendapatkan anugerah piala penghargaan Festival Film
Bandung dalam kategori pemeran pria dan pemeran wanita terbaik.
Menjadi salah satu film yang cukup sukses di pasaran, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck membuktikan bahwa masih ada ruang bagi novel sastra
klasik untuk menunjukkan eksistensinya di tengah maraknya ekranisasi dari
novel-novel populer saat ini. Salah satu point penting yang dapat dengan
mudah kita temukan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah
kentalnya warna lokal Minangkabau yang disuguhkan. Minangkabau, sebagai
daerah yang kaya akan nilai-nilai budaya sering dimanfaatkan sebagai latar
penciptaan karya sastra oleh pengarang. Warna lokal sendiri sebenarnya sudah
ada dalam kesusastraan Indonesia sejak masa sebelum perang. Hal tersebut
bisa kita dapatkan pada novel Siti Nurbaya (1922) karangan Marah Roesli
yang mengambil latar budaya Minangkabau. Beberapa karya sastra lain yang
berwarna lokal Minangkabau yaitu novel Tidak Menyerah (1962) karya
3

Motinggo Busje, novel Hati Nurani Manusia (1965) karya Idrus, drama Putu
Bungsu (1978) karya Wisran Hadi, dan novel Dan Perang pun Usai (1979)
karya Ismail Marahimin.
Dominan akan warna lokal Minangkabau dalam novel dan juga filmnya,
menjadi alasan penulis memilih Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan warna lokal sebagai akibat
dari kegiatan ekranisasi. Pembahasan mengenai warna lokal perlu
diperhatikan mengingat pada masa sekarang ini, pengaruh kebudayaan asing
telah menimbulkan kurangnya kadar kecintaan terhadap budaya bangsa
sendiri. Dengan adanya penelitian ini, setidaknya kita telah ikut berpartisipasi
dalam melestarikan eksistensi warisan budaya yang ada di nusantara,
khususnya Minangkabau. Selain itu, kemunculan film ini patut diapresiasi
karena tidak mudah bagi seorang sutradara untuk mengekranisasikan novel-
novel sastra, terlebih lagi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang terbit
sudah cukup lampau, yakni tahun 1938. Sutradara tentu berusaha keras
bagaimana menciptakan latar tahun 1930-an yang masih sangat tradisional
untuk kemudian ditampilkan pada masa sekarang, yang notabene sudah
memasuki zaman modern. Melalui penggunaan metode sastra bandingan,
penulis akan melakukan kajian bandingan terhadap novel yang sudah
difilmkan serta mengkaji gambaran warna lokal yang terkandung di dalam
novel dan di dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Pemilihan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai bahan
kajian dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memahami wujud warna
lokal Minangkabau secara umum. Terlebih dalam ranah pembelajaran Bahasa
dan Sastra di sekolah baik SMP/MTs maupun SMA/MA, materi tentang
warna lokal jarang disentuh oleh guru sehingga pengetahuan siswa tentang
warna lokal sangat rendah. Dengan mempelajari warna lokal dalam sebuah
karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter siswa dalam menghargai
budaya bangsa. Apabila dikaitkan dengan Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, guru dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu
membaca dan menerapkan nilai-nilai sosial budaya dan nilai positif yang
4

terkandung di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini.


Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, meneliti warna lokal dalam
sebuah novel sangatlah menarik untuk meningkatkan mutu pembelajaran
sastra sebagai salah satu langkah mengantisipasi perpecahan bangsa akibat
pengaruh budaya luar.
Agar hasil penelitian ini nantinya tidak hanya berhenti pada
pendeskripsian warna lokal dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, penulis mencoba mengimplikasikannya dengan materi
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa hingga saat ini minat siswa untuk membaca sebuah novel
masih sangat rendah, terlebih lagi jika novel yang harus dibaca adalah novel-
novel sastra klasik. Alur cerita yang berbelit-belit serta penggunaan bahasa
Melayu klasik yang sulit dimengerti membuat siswa merasa bosan
membacanya. Hadirnya film-film hasil ekranisasi dari novel sastra klasik
seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,
dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada
di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil
ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca
mereka. Selain itu, melalui media film diharapkan guru dapat membantu siswa
untuk meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya
sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film. Berdasarkan hal
tersebut, peneliti menetapkan novel dan transkrip film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck ini sebagai objek penelitian dengan judul “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
di Sekolah”.
5

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dapat


diidentifikasi beberapa masalah, yaitu:
1. Banyaknya film ekranisasi yang mewarnai industri perfilman Indonesia.
2. Ketidaksesuaian cerita sebagai akibat dari proses ekranisasi.
3. Rendahnya kemampuan siswa dalam memahami hal-hal yang berkaitan
dengan warna lokal.
4. Lemahnya teknik dan penggunaan media pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia oleh guru khususnya dalam mengapresiasi karya sastra
Indonesia di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ini diharapkan agar pembahasan dan penelitian tidak


meluas. Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disusun, maka penulisan
lebih terfokus pada warna lokal. Penulis akan membandingkan dan
menganalisis perubahan warna lokal yang terjadi saat novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karangan Buya Hamka edisi revisi cetakan pertama
tahun 2013 diekranisasikan ke dalam film dengan judul yang sama yang rilis
tahun 2013 serta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di sekolah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka


didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana persamaan dan perbedaan warna lokal yang terjadi antara
novel dengan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck?
2. Bagaimanakah implikasi pembahasan warna lokal dalam novel dan film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terhadap pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di sekolah?
6

E. Tujuan Penelitan

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan


penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan warna lokal yang terdapat
dalam novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
2. Mendeskripsikan implikasi pembahasan warna lokal yang terdapat dalam
novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terhadap
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan peneliti khususnya, dan pembaca pada umumnya tentang
bagaimana mengkaji warna lokal dalam sebuah karya sastra.
2. Manfaat Praktis
a. Adanya pembelajaran siswa mengenai apresiasi karya sastra yang
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan
menganalisis sebuah karya sastra khususnya novel dan film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Selain itu mengembangkan
kemampuan siswa untuk menilai sebuah karya sastra yang berkualitas
baik dan buruk, serta menjadikan siswa untuk gemar membaca dan
berpikir kritis.
b. Penulisan ini dapat dijadikan bahan ajar guru Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran
Sastra Indonesia, khususnya dalam membandingkan sebuah karya
sehingga mampu memaparkan persamaan dan perbedaan serta
kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya tersebut
melalui analisis perbandingan sastra.
c. Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui warna lokal
yang terdapat di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
7

(2013) karya Buya Hamka, dan filmnya berjudul sama, produksi tahun
2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya.
d. Diharapkan penulisan ini juga berguna bagi para penulis lain yang
ingin melakukan penulisan dengan tema sejenis.

G. Metodologi Penelitian

1. Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, objek dalam
penelitian ialah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya
Hamka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama
tahun 2013 dan filmnya yang ditayangkan pada 2013 garapan sutradara
Sunil Soraya. Dengan demikian judul penelitian ini ialah “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah”.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan. Endraswara
mengemukakan bahwa “sastra bandingan dapat juga dimengerti sebagai
upaya membandingkan dua karya atau lebih.”1 Sastra bandingan, dalam
penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun bidang
ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya
bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana
pengaruh antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang
diberikannya.2
Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik
sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Endraswara mengungkapkan
bahwa “penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu

1
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop,
2011), hlm. 2.
2
Ibid.
8

sastra ke sastra yang lain, kemudian dicari benang merahnya.” 3 Dalam


menganalisis novel dan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, penulis
menggunakan kajan sastra bandingan yang bersifat komparatif. Kajian ini
menitikberatkan pada penelaahan teks karya-karya sastra yang
dibandingkan, misalnya karya sastra satu dengan karya sastra yang lain,
atau beberapa karya sastra seorang pengarang dengan satu atau lebih karya
sastra seorang pengarang lainnya.4 Penggunaan kajian sastra bandingan
yang bersifat komparatif ini agar penulis dapat meneliti dan mengetahui
persamaan dan perbedaan warna lokal novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck dengan film ekranisasinya.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan jenis kualitatif. Menurut
Bogdan dan Taylor yang disarikan oleh Aminuddin penelitian kualitatif
yaitu “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati”.5 Hal ini memberi arti bahwa temuan dari penelitian kualitatif
tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya,
tetapi menggunakan prosedur yang dikumpulkan dengan menggunakan
berbagai sarana.

3. Sumber Data
Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa
opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi
terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka yang

3
Ibid.
4
Razali Kasim, Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode, (Medan: USU Press,
1996), hlm. 28.
5
Aminuddin, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra,
(Malang: YA 3, 1990), hlm. 14.
9

diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama tahun 2013 dan
film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck garapan PT Soraya Intrecine
Films yang tayang pada 2013.
Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diambil dari buku-
buku, jurnal, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik catat, karena data-datanya berupa teks dan analisis film dicatat juga
dengan menggunakan teknik catat. Adapun langkah-langkah dalam
pengumpulan data adalah; 1) membaca novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck secara berulang-ulang; 2) menentukan unsur intrinsik yang
membangun novel tersebut, mencatat kutipan-kutipan yang menjadi bukti
untuk menjelaskan hasil analisis unsur-unsur intrinsiknya serta yang
mengandung permasalahan yang terkait dengan fokus kajian, yaitu warna
lokal pada novel tersebut; 3) menonton film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck berulang-ulang; 4) menentukan unsur intrinsik yang membangun
pada film tersebut; 5) membuat sekuen (waktu dan kejadian) serta frame
film sebagai pembukti untuk menjelaskan hasil analisis yang terkait
tentang fokus kajian, yaitu warna lokal; 6) mencari dan mencatat
perbandingan warna lokal novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dengan film ekranisasinya.

5. Teknik Analisis Data


Data dianalisis dengan menggunakan teori bantu struktural, kemudian
unsur-unsur itu dianalisis dengan menggunakan metode sastra bandingan.
10

Analisis ini hanya berkisar pada perbandingan warna lokal novel


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dengan film ekranisasinya.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, kita mengenal istilah
prosa yang memiliki definisi sebagai karya sastra yang sifatnya tidak
terikat dengan aturan-aturan penulisan seperti rima, irama, diksi atau yang
lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, prosa menghadirkan sesuatu
yang baru dalam kesusasteraan Indonesia akibat pengaruh sastra serta
budaya Barat. Kebaruan tersebut diantaranya berbentuk novel, cerpen,
kritik, esai, resensi, dan masih banyak lagi. Dari beberapa bentuk prosa
baru yang sudah disebutkan, novel menjadi salah satu karya sastra yang
cukup populer lantaran peredarannya sudah sangat meluas. Priyatni
menjelaskan bahwa “kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata
novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa
Inggris. Makna baru tersebut dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra
yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan
drama”1, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa novel adalah
salah satu bentuk kebaruan dari prosa.
Dalam istilah Indonesia, Nurgiyantoro menyebutkan bahwa “novelet
(Inggris: novellete) berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.”2 Bila
melihat dari segi panjangnya cerita, novel mengisahkan kehidupan
manusia dan zamannya dalam skala yang lebih luas jika dibandingkan
dengan cerpen yang hanya mengisahkan satu peristiwa dalam satu waktu
tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Robert Stanton bahwa “novel mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,

1
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), hlm. 124.
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012), hlm. 9-10.

11
12

hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai


peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil.”3
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan salah satu karya sastra yang kemunculannya tergolong baru
dalam kesusasteraan Indonesia, yang menggambarkan kehidupan tokoh-
tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks sebagai sebuah hasil
imajinasi pengarang atas realitas atau fenomena kehidupan yang dilihat
dan dirasakan.
2. Unsur Intrinsik Novel
Sebagai sebuah karya sastra yang menggambarkan kehidupan tokoh-
tokohnya dalam suatu plot yang cukup kompleks, tentunya novel tidak
berdiri sendiri. Ada beberapa unsur yang turut serta membangun sebuah
novel. Salah satunya adalah unsur intrinsik, yang menurut Nurgiyantoro
yaitu “unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita.”4
Unsur-unsur ini secara faktual dijumpai pembaca pada saat membaca
karya sastra. Unsur intrinsik novel terdiri dari tema, tokoh dan penokohan,
latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
a. Tema
Secara keseluruhan, tema merupakan bagian awal dan terpenting
dalam sebuah karya sastra. Menurut Stanton dan Kenny dalam
Nurgiyantoro, tema adalah “makna yang dikandung oleh sebuah
cerita.”5 Tema merupakan kandungan secara umum dari keseluruhan
isi cerita. Itu berarti, tema akan dapat ditentukan setelah kita
menyimpulkan keseluruhan isi cerita karya sastra. Nurgiyantoro
mengungkapkan bahwa tema dapat dipandang sebagai gagasan dasar
umum sebuah karya sastra. Gagasan dasar umum itulah yang
digunakan untuk mengembangkan cerita.6

3
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
90.
4
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 23.
5
Ibid., hlm. 67.
6
Ibid., hlm. 70.
13

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan dasar


pengarang dalam menciptakan sebuah novel yang menyangkut seluruh
persoalan dalam keseluruhan isi cerita. Tema tidak secara gamblang
tertulis dalam novel, maka untuk menentukan sebuah tema, kita perlu
membaca novel tersebut dengan saksama.
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan adalah salah satu unsur yang tepenting
dalam suatu cerita. Perlu diketahui bahwa antara tokoh dan penokohan
memiliki pengertian yang berbeda, namun keduanya saling
melengkapi. Abrams dalam Nurgiyantoro berpendapat bahwa tokoh
adalah “orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral
dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan.”7 Dari penjelasan Abrams
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian tokoh mengacu pada
orangnya sebagai si pelaku cerita. Dalam Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, yang disebut sebagai tokoh seperti Zainuddin, Hayati, Aziz,
dan masih banyak lagi. Sedangkan yang disebut penokohan menurut
Jones dalam Nurgiyantoro adalah “pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.”8 Itu berarti
tokoh yang ditampilkan dalam karya fiksi harus ditampilkan sejelas-
jelasnya dari segi sifat, sikap, maupun tingkah lakunya, mengingat
yang disampaikan Nurgiyantoro bahwa “tokoh cerita menempati posisi
strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.”9
Berdasarkan beberapa pengertian tentang tokoh dan penokohan,
dapat disimpulkan bahwa ketika seorang pengarang menentukan siapa
saja yang akan menjadi pelaku di dalam cerita, ia pun akan sekaligus
menentukan bagaimana perwatakan, pelukisan, dan tingkah laku para
7
Ibid., hlm. 165.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 167.
14

pelaku cerita. Itulah mengapa dikatakan bahwa antara tokoh dan


penokohan saling berhubungan satu sama lain.
Bila melihat dari peranan tokoh dalam pengembangan plot sebuah
cerita, dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan.
Nurgiyantoro menjelaskan bahwa “tokoh utama adalah tokoh yang
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian.”10 Dalam penelitian ini,
Zainuddin yang memegang peranan sebagai tokoh utama. Sebaliknya,
ada tokoh-tokoh yang kemunculannya hanya sekali atau beberapa kali
di dalam cerita, dan itu pun dalam porsi penceritaan yang lebih
pendek. Tokoh ini disebut tokoh tambahan. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Nurgiyantoro bahwa “pemunculan tokoh-tokoh
tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan,
dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,
secara langsung ataupun tak langsung.”11 Kemunculan tokoh tambahan
dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dapat ditemukan pada
tokoh Mak Base, Khadijah, Aziz, dan masih banyak lagi.
c. Latar
Sebuah cerita dibentuk oleh berbagai permasalahan yang dialami
oleh tokoh-tokohnya dengan alur yang bermacam-macam. Untuk
mengekspresikan hal tersebut, seorang tokoh memerlukan ruang
lingkup, tempat dan waktu demi terjalinnya sebuah cerita yang baik.
Singkatnya, selain tema, tokoh dan penokohan serta alur, novel juga
membutuhkan latar. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, “latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.”12 Sementara itu, Leo
Hamalian dan Frederick R. Karrel menambahkan bahwa “latar cerita
10
Ibid., hlm. 176-177.
11
Ibid.
12
Ibid., hlm. 216.
15

dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,


suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat
berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,
prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi
suatu problema tertentu.”13 Hal ini menunjukkan bahwa selain
memberikan informasi sebagaimana adanya, kehadiran latar dapat
menunjukkan keadaan atau jati diri tokoh.
Sehubungan dengan pendapat Nurgiyantoro mengenai deskripsi
latar, Nurgiyantoro juga menjelaskan bahwa unsur latar dapat
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yakni tempat, waktu, dan sosial.
a. Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas.
b. Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah.
c. Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir
dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya rendah, menengah, atau atas.14

Dari beberapa pengertian tentang latar tersebut, dapat disimpulkan


bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa
13
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 149.
14
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 227-234.
16

yang dikisahkan dalam cerita fiksi. Landasan tersebut dapat berupa


tempat, waktu, suasana, atau lingkungan sosial yang memperjelas
kondisi peristiwa-peristiwa yang ada di dalam sebuah karya sastra.
d. Alur
Alur juga merupakan salah satu unsur fiksi yang kehadirannya
penting. Wahyudi mengungkapkan yang dimaksud dengan alur adalah
“rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan saksama yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan kearah klimaks dan
selesaian.”15 Berdasarkan pernyataan Wahyudi tersebut, bisa kita tarik
point penting, yakni kedudukan alur sebagai tulang punggung sebuah
cerita. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Stanton yang
menganggap alur “sebagai tulang punggung sebuah cerita, sebab alur
bersifat mampu menjelaskan dirinya sendiri daripada unsur-unsur yang
lain. Alur atau plot merupakan satu mata rangkai sebuah peristiwa
yang dihubungkan dengan sebab akibat.”16
Sebagai tulang punggung sebuah cerita, perlu diketahui bahwa alur
tersusun berdasarkan beberapa tahapan agar kehadiran alur mampu
memberikan unsur kejutan kepada pembacanya. Untuk menjelaskan
tahapan-tahapan alur ini penulis menggunakan pendapat
Nurgiyantoro, yang menyatakan bahwa tahapan-tahapan alur
dijelaskan menjadi lima bagian. Tahapan-tahapan tersebut sebagai
berikut.
1. Tahap Penyituasian, berisi pelukisan dan pengenalan situasi
latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain, yang terutama
berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada
tahap berikutnya.
2. Tahap Pemunculan Konflik, tahap ini memunculkan masalah
dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik. Konflik itu

15
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 159.
16
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), hlm. 131.
17

sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi


konflik-konflik pada tahap berikutnya.
3. Tahap Peningkatan Konflik, pada tahap ini konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang
mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
4. Tahap Klimaks, tahap di mana konflik yang terjadi mencapai
titik intensitas puncak. Pada tahap ini klimaks sebuah cerita
akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku
dan penderita terjadinya konflik utama.
5. Tahap Penyelesaian, tahap di mana konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian. Konflik-konflik yang
lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada,
juga diberi jalan keluar. Sehingga, tahap ini disebut sebagai
tahap akhir sebuah cerita.17
Peristiwa-peristiwa dalam alur memiliki hubungan sebab akibat
hingga menjadikannya sebuah cerita yang utuh. Berdasarkan beberapa
pendapat tentang alur, penulis menyimpulkan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa dalam setiap adegan yang ada di dalam cerita.
e. Sudut Pandang
Definisi sudut pandang yang disampaikan oleh Abrams dalam
Nurgiyantoro yakni “menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca.”18 Sejalan dengan pendapat Abrams, Siswanto berpendapat
bahwa sudut pandang adalah “tempat sastrawan memandang ceritanya.
Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa,

17
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 149-150.
18
Ibid., hlm. 248.
18

tempat, dan waktu dengan gayanya sendiri.”19 Hal ini menunjukkan


bahwa sudut pandang merupakan sebuah siasat yang dipilih pengarang
untuk menumpahkan ide-ide ceritanya. Dari sudut pandang ini,
pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya.
Ada banyak macam sudut pandang dalam karya sastra. Friedman
dalam Stevick, yang kemudian disarikan oleh Nurgiyantoro,
membedakan sudut pandang berdasarkan perbedaan yang telah umum
dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan
persona pertama.20
1. Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Sudut pandang ini memungkinkan narator memiliki
kedudukan sebagai seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh
dalam cerita, tentunya posisi narator ini berada di luar cerita.
Penyebutan yang dilakukan narator terhadap tokoh-tokoh yang
ditampilkan biasanya berupa nama atau kata ganti (ia, dia,
mereka).
2. Sudut pandang persona pertama: ”Aku”
Sudut pandang ini memungkinkan narator terlibat di dalam
cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa, serta
sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca
menerima apa yang diceritakan si “aku”, maka kita hanya dapat
melihat dan merasakan secara terbatas seperti apa yang dilihat
dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.
f. Gaya Bahasa
Aminuddin dalam Siswanto mengatakan bahwa gaya bahasa
adalah “cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
indah dan harmonis melalui media bahasa serta mampu menyentuh

19
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 151.
20
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 256.
19

daya intelektual dan emosi pembaca.”21 Melalui gaya bahasa, kita


dapat mengetahui karakter pengarang dalam bercerita lewat pemilihan
kata-katanya. Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan Keraf,
bahwa gaya bahasa adalah “cara mengungkapkan pikiran melalui
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis.”22
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa gaya bahasa merupakan cara pengarang memilih dan
menggunakan bahasa dalam karya yang dihasilkan. Semakin khas gaya
bahasa yang digunakan pengarang, maka karakter pengarang tersebut
akan semakin terlihat.

B. Tinjauan Film
1. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah “selaput tipis
yang terbuat dari selluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat
potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).”23
Sementara menurut Cangara, “film dalam pengertian sempit adalah
penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih
luas bisa juga termasuk yang disiarkan televisi.”24
Meskipun pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di
perkotaan, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan
menjangkau kelas yang lebih luas. Film merupakan produk komunikasi
massa yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Saat ini telah
terdapat berbagai macam film. Sumarno berpendapat bahwa “meskipun
cara pendekatan berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai

21
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 158-159.
22
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),
hlm. 113.
23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 316.
24
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 136.
20

satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang terhadap muatan masalah-


masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk melayani
keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya.”25 Artinya,
apa-apa yang diproyeksikan di atas layar adalah merupakan hasil rekaman
dari berbagai realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
film adalah bentuk media komunikasi massa audiovisual yang
mengandung unsur-unsur teknologi dan kesenian, yang di dalamnya
terdapat simbol-simbol yang dapat melukiskan pesan atau ideologi si
pembuat film.
2. Unsur-unsur Pembentuk Film
Bicara tentang film, tentu kita harus bersinggungan langsung dengan
unsur-unsur pembentuknya sehingga kita dapat memahami dengan lebih
baik. Menurut Pratista, film secara umum dapat dibagi atas dua unsur
pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. “Unsur naratif adalah
bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara
(gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita, unsur naratif adalah
perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau juga
sering diistilahkan gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis
pembentuk film.”26 Dalam hal ini, unsur-unsur seperti tokoh, masalah,
konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemen yang termasuk ke dalam
unsur naratif. Sementara unsur-unsur seperti mise-en-scene, sinematografi,
editing, dan suara termasuk ke dalam unsur sinematik. Namun penulis
tidak akan membahas seluruh unsur tersebut, melainkan hanya beberapa
unsur saja yang terkait dengan penelitian ini.
a. Pelaku Cerita (Tokoh)
Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yaitu utama dan
pendukung. Tokoh utama sering diistilahkan dengan tokoh

25
Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT Grasindo, 1996), hlm. 10.
26
Himawan Pratista, Memahami Film, (Jakarta: Homerian Pustaka, 2009), hlm. 1.
21

protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan


tokoh antagonis yang biasanya bertindak sebagai pemicu konflik.
b. Masalah dan Konflik
Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang
dihadapi tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalahan
ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin
dari luar diri tokoh protagonis ataupun dari dalam diri tokoh
protagonis (konflik batin).
c. Lokasi
Tempat/lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai
pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat
membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.
d. Waktu
Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting
dalam membangun cerita. Pagi, siang, sore dan malam dalam film
memiliki makna sendiri untuk menjelaskan konteks cerita.
e. Suara
Suara dalam perannya sebagai salah satu unsur sinematik,
dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar,
yakni dialog, musik, dan efek suara. Melalui unsur ini kita dapat
mengetahui sudut pandang dalam sebuah film, yaitu diegetic dan
nondiegetic sound. Diegetic sound adalah semua suara yang
berasal dari dalam dunia cerita filmnya (dialog, suara-efek
karakter, musik), sementara nondiegetic sound adalah seluruh
suara yang berasal dari luar dunia cerita film dan hanya mampu
didengar oleh penonton saja (lagu, efek suara, narasi).
f. Sekuen
Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu
rangkaian peristiwa yang utuh. Dalam pertunjukkan teater, sekuen
bisa disamakan dengan satu babak. Satu sekuen biasanya
22

dikelompokkan berdasarkan satu periode (waktu), lokasi, atau satu


rangkaian aksi panjang.27

C. Ekranisasi
Ekranisasi berkembang di Indonesia mulai tahun 1984 yang diawali
dengan adanya film yang diangkat dari novel berjudul Roro Mendut karangan
Y.B Mangunwijaya. Istilah ekranisasi menurut Eneste adalah “pelayarputihan
atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam
bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak
mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat
dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan.”28 Dengan adanya proses
ekranisasi mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan,
yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang
bergerak berkelanjutan. Lebih lanjut lagi Eneste mengungkapkan bahwa
“ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong
royong).”29 Seperti yang kita ketahui bahwa novel merupakan karya
perseorangan sementara film merupakan hasil kerja gotong royong yang
melibatkan banyak pihak, seperti produser, sutradara, penulis skenario,
pemain, dan lain-lain.
Jika dalam membaca novel tidak ada faktor visual yang membatasi
imajinasi kita, dalam film tampaknya hal itulah yang utama. Tokoh-tokoh lain
dalam novel dan film itu bisa saja berbeda-beda, tergantung pada selera kita.
Demikian juga latar, unsur yang sangat penting dalam novel maupun film.
Latar novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah kota Padang pada
awal abad ke-20, suatu hal yang tentu tidak bisa dibayangkan oleh pembaca
yang tidak memiliki gambaran mengenai itu. Sementara itu, sutradara film
menentukan latar yang seperti apa yang dianggap sesuai agar alur bisa berjalan
wajar dan penokohan bisa meyakinkan. Unsur lain yang perlu juga mendapat
27
Ibid., hlm. 30-162.
28
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores : Nusa Indah, 1991), hlm. 60.
29
Ibid.
23

perhatian khusus adalah dialog. Film tidak memungkinkan, atau setidaknya


mengharamkan, adanya dialog panjang-panjang seperti yang ada dalam
bukunya, yang sebagian besar di antaranya bahkan ada yang berbentuk syair.
Dalam kasus Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck terdapat dialog yang cukup
panjang saat menceritakan riwayat orang tua Zainuddin. Dialog itu tidak
mungkin ditampilkan dalam film.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama, proses
perubahan dari pembaca menjadi penonton, juga proses perubahan dari
kesenian yang dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja menjadi kesenian
yang hanya dapat dinikmati di tempat-tempat tertentu dan pada waktu-waktu
tertentu pula. Itulah alasan mengapa ekranisasi dikatakan sebagai proses
perubahan.
Eneste menjelaskan beberapa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari
proses ekranisasi. Perubahan tersebut yaitu penciutan, penambahan
(perluasan) dan perubahan bervariasi.30
1. Penambahan, merupakan hal yang pasti terjadi ketika seorang
sutradara atau penulis skenario mengalihwahanakan sebuah novel
menjadi sebuah film. Penambahan yang dimaksud yakni dari segi
cerita, alur, penokohan, latar, atau suasana.
2. Penciutan, hal ini perlu dilakukan mengingat sebuah film hanya dapat
dinikmati hanya dalam kurun waktu 1-3 jam. Tidak seperti novel yang
dapat dinikmati lebih dari kurun waktu tersebut, bahkan berhari-hari.
Maka seorang sutradara dan penulis skenario harus cerdas memilih
peristiwa-peristiwa mana saja dan tokoh mana saja yang akan
ditampilkan dalam filmnya.
3. Perubahan bervariasi, proses ini tentu akan terjadi saat memfilmkan
sebuah novel. Variasi-variasi tersebut diciptakan seorang sutradara

30
Ibid., hlm. 60-66.
24

atau penulis skenario semata-mata agar film tidak terlalu sama persis
dengan novelnya namun tetap bertumpu pada inti isi novel.

D. Sosiologi Sastra
Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba.
Kurniawan mengungkapkan bahwa “sebagai produk budaya yang berupa
tulisan bermedia bahasa, sastra tidak dapat lepas dengan genetisnya, yaitu
manusia sebagai pengarang. Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya
(penulis), dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi
kajian sosiologi.”31 Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat. Karya sastra seringkali dinyatakan sebagai “dokumen sosial”
lantaran keberadaannya yang mencerminkan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Emzir dan Rohman berpendapat bahwa
“sebagai dokumen sosial, karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang
mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya itu diciptakan.”32
Sosiologi sastra menurut Ratna berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio
atau socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos
yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan, atau ilmu.33 Sosiologi sastra
merupakan salah satu pendekatan interdisiplin, selain empat pendekatan yang
dikemukakan Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan
pragmatik. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu sastra dengan ilmu
sosologi. Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam
masyarakat, namun terdapat perbedaan dalam hakikatnya. Ratna
menungkapkan bahwa sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan
masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan
mengungkapkannya melalui emosi.34

31
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), hlm. 6.
32
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), hlm. 114.
33
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 1.
34
Ibid., hlm. 4.
25

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.


Ratna mengungkapkan bahwa di antara genre utama karya sastra; puisi,
prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang paling dominan
dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di
antaranya; novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,
memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah
kemasyarakatan yang juga paling luas serta bahasa novel cenderung
merupakan bahasa sehari-hari yang paling umum digunakan dalam
masyarakat. Oleh karena itulah, karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-
ciri zamannya.35 Dengan demikian, Ratna mengungkapkan dalam bukunya
yang lain bahwa “penelitian sosiologi sastra, baik dalam bentuk penelitian
ilmiah maupun aplikasi praktis, dilakukan dengan cara mendeskripsikan,
memahami, dan menjelaskan unsur-unsur karya sastra dalam kaitannya
dengan perubahan-perubahan struktur sosial yang terjadi di sekitarnya.”36
Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra adalah analisis teks untuk
mengetahui strukturnya, kemudian digunakan untuk memahami lebih dalam
lagi gejala sosial yang ada di luar sastra. Analisis karya sastra dengan
sosiologi tidak hanya meneliti sastra dan masyarakat. Lebih dari itu, ini
merupakan sebuah media pandangan pengarang terhadap kondisi realitas
sosial di masyarakatnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
digunakan untuk memaparkan hubungan antarunsur pembangun karya sastra
dari aspek sosial yang ada.

E. Warna Lokal
Sebuah karya sastra, dalam hal ini novel, tentu membutuhkan latar yang
tajam dan jelas untuk menopang alur cerita. Ketajaman dan kejelasan sebuah
latar dalam novel akan memberikan kesan bahwa di sanalah cerita dalam
novel itu benar-benar terjadi. Ketajaman dan kejelasan latar ini biasa dikenal
dengan warna lokal. Warna lokal berkaitan dengan latar cerita yang
35
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 335-336.
36
Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, hlm. 25.
26

menggambarkan tempat atau daerah tertentu, tradisi masyarakat, dialek, adat


dan kebiasaan, dan lain-lain, seperti pendapat Abrams dalam Uniawati yang
menyatakan bahwa “sastra warna lokal adalah sastra berlatar belakang daerah,
berupa adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dialek, cara berpikir, dan perasaan
masyarakat.”37 Tidak hanya menyangkut kedaerahan dan ciri khusus kultur
setempat, menurut Uniawati, warna lokal juga pada hakikatnya menyangkut
“realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara tak langsung oleh
realitas yang dicerminkan dalam karya sastra.”38
Hadirnya sebuah karya sastra yang kental dengan kelokalan dapat
menjadikannya media dalam melestarikan budaya setempat. Komposisi warna
lokal dalam karya sastra Indonesia telah dimulai sejak awal sejarah sastra
Indonesia. Bahtiar mengatakan bahwa “kalau kita perhatikan karya-karya
pengarang yang biasa dikenal dengan istilah „Angkatan Balai Pustaka‟, maka
sangat tajamlah warna lokal Minangkabau pada cerita-cerita pengarang yang
berasal dari daerah tersebut.”39 Kehadiran karya sastra Indonesia berwarna
lokal Minangkabau dapat kita temui pada Siti Nurbaya karya Marah Rusli
(1922), juga pada karya yang saat ini penulis teliti yaitu Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck karya Buya Hamka (1939). Dapat kita simpulkan bahwa
penggunaan warna lokal Minangkabau memang sudah ada sejak masa
sebelum kemerdekaan. Hanya saja terdapat perbedaan tema yang diangkat
oleh karya sastra berlatar Minangkabau sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Menurut Kusmarwanti, kebanyakan karya sastra berlatar Minangkabau
sebelum kemerdekaan mengangkat masalah perlawanan golongan pembaharu
terhadap adat yang digambarkan sebagai sesuatu yang kolot. Berbeda dengan
karya sastra berlatar Minangkabau setelah kemerdekaan, yang kebanyakan

37
Uniawati, “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen
„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra,” Kandai XII. no.1 (Mei 2016): hlm. 102.
38
Ibid.
39
Ahmad Bahtiar, “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan Terang
di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan,” artikel diakses pada 24 September 2017 dari
http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/15.
27

mengangkat “tema perjuangan untuk kebebasan dan harga diri manusia


sebagaimana dituntut oleh filosofi adatnya.40
Kemunculan warna lokal dalam karya sastra Indonesia jelas tidak dapat
terlepas dari unsur latar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar dalam
sebuah karya sastra menjadi unsur terpenting dalam kaitannya dengan
kemunculan warna lokal. Selain latar, guna mempertajam warna lokal suatu
daerah biasanya pengarang juga menggunakan bahasa serta dialek setempat
dalam karyanya. Biasanya penggunaan bahasa dan dialek tersebut akan kita
temukan pada dialog antar tokoh-tokohnya. Lebih luas lagi, Ratna
menambahkan bahwa sastra warna lokal menyajikan informasi permukaan
mengenai lokasi tertentu, dengan cara melukiskan unsur-unsur yang kelihatan
(seperti lingkungan fisik, unsur sosial dan unsur budaya) sebagai dekorasi
tanpa mendalami kehidupan yang sesungguhnya.41 Berdasarkan pernyataan
Ratna tersebut, penulis menyimpulkan bahwa untuk menghadirkan warna
lokal dalam karya sastra, maka perlu ada tiga unsur yang turut serta berperan
dalam proses penciptaan karya tersebut. Berikut adalah pembahasan mengenai
ketiga unsur-unsur tersebut.
1. Lingkungan Fisik
Lingkungan merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia
yang perkembangannnya dipengaruhi oleh manusia serta alam sekitar.
Soerjani mengemukakan bahwa ilmu lingkungan mempelajari tempat dan
peranan manusia di antara makhluk hidup dan komponen kehidupan
lainnya. Ilmu inilah yang mempelajari bagaimana manusia harus
menempatkan dirinya dalam suatu ekosistem atau dalam lingkungan
hidupnya.42 Dalam lingkungan, terdapat komponen yaitu abiotik dan
biotik. Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti
tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen

40
Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia,” artikel
diakses pada 12 April 2019 dari http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/.
41
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 383.
42
Moh Soerjani, dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan, (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 3.
28

biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan,


manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Lingkungan fisik termasuk ke dalam komponen abiotik, atau biasa
disebut dengan kebendaan. Dalam hal ini, lingkungan fisik yang terdapat
di dalam sebuah daerah dapat berupa keadaan alam seperti gunung, sungai,
atau pun sawah. Lingkungan fisik selalu berubah oleh adanya berbagai
macam gaya alam baik yang berkekuatan besar maupun kecil. Pada cerita
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, lingkungan fisik yang dihadirkan
oleh Hamka berupa gunung, sawah, sungai, rumah, surau, dan gelanggang.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lingkungan merupakan keadaan alam
yang terbentuk dari komponen hidup dan tak hidup. Lingkungan fisik
merupakan komponen abiotik yang mencakup keadaan sumber daya alam
seperti tanah, air, laut, gunung dan sebagainya dan mengharuskan manusia
serta makhluk hidup lainnya untuk menempatkan diri dalam lingkungan
tersebut.
2. Unsur-unsur Sosial
Manusia hadir sebagai makhluk sosial yang tidak pernah bisa lepas
dari manusia yang lainnya atau lingkungan sekitarnya. Dalam jurnal yang
ditulis oleh Syatriadin, Pidarta mengungkapkan bahwa “sosiologis adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-
kelompok dan struktur sosialnya.”43 Definisi tersebut memberi arti bahwa
ilmu sosiologi mempelajari tentang bagaimana hubungan antar manusia
serta mempelajari bagaimana sistem sosial beserta unsur-unsurnya dalam
suatu wilayah.
Sistem sosial telah ada di dalam lingkungan suatu wilayah seiring
dengan berjalannya kehidupan manusia. Sistem sosial diartikan sebagai
hubungan antara unsur-unsur sosial atau bagian-bagian di dalam
kehidupan sosial masyarakat yang saling mempengaruhi. Unsur-unsur

43
Syatriadin, “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan,” JISIP I, no. 2 (November 2017):
hlm. 101.
29

sosial tersebut akan membangun suatu kesatuan yang berhubungan antara


satu dengan yang lainnya di dalam kehidupan.
Adapun unsur-unsur sosial yang akan dibahas terkait penelitian ini
yaitu yang terdiri dari kelas sosial, kelompok sosial, dinamika sosial, dan
lembaga sosial. Berikut adalah pembahasan dari masing-masing unsur
sosial.
a. Kelas Sosial
Soekanto dan Sulistyowati mengungkapkan bahwa kelas sosial
adalah “semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukannya di
dalam suatu lapisan, sedangkan kedudukan mereka itu diketahui serta
diakui oleh masyarakat umum.”44 Hal ini menunjukkan bahwa adanya
kemungkinan pengelompokan yang didasarkan atas kesamaan
kedudukan, misalnya masyarakat kelas menengah ke atas berbeda
karakteristik dengan masyarakat menengah ke bawah.
Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat dapat ditentukan
dari sikap, gaya hidup, perilaku sosial, dan yang lebih mudah dapat
ditentukan berdasarkan penghasilan. Adanya kelas sosial jelas akan
menimbulkan sekat dalam kehidupan bermasyarakat, seperti apa yang
diungkapkan oleh Barir dalam jurnalnya bahwa kelas sosial pada
akhirnya “memunculkan sekat kehidupan dalam berbagai bidang,
superioritas, alienasi, perselisihan, dan tidak jarang sampai bermuara
pada tindak diskriminasi sosial”.45
b. Dinamika Sosial
Dinamika sosial merupakan hal-hal yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Soekanto
mengungkapkan bahwa “keadaan yang tidak stabil dalam kelompok
sosial terjadi karena konflik antarindividu dalam kelompok atau karena
adanya konflik antarbagian kelompok tersebut sebagai akibat tidak

44
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), hlm.
205.
45
Muhammad Barir, “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran,” Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur‟an dan Hadis XV, no. 1 (Januari 2014): hlm. 62.
30

adanya keseimbangan antara kekuatan-keuatan di dalam kelompok itu


sendiri”.46 Maka dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan yang
ada tersebut, nantinya dapat menimbulkan gangguan pada
keseimbangan sosial yang ada. Adapun objek pembahasan dinamika
sosial meliputi: pengendalian sosial, penyimpangan sosial, dan
mobilitas sosial.
1. Pengendalian sosial, merupakan cara atau proses pengawasan baik
yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk
mengajak, mendidik bahkan memaksa warga masyarakat agar para
anggota masyarakat mematuhi norma dan nilai yang berlaku.
2. Penyimpangan sosial, merupakan perilaku sejumlah orang yang
dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku
sehingga penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi-reaksi
seperti pergunjingan masyarakat.
3. Mobilitas sosial merupakan peristiwa sosial di mana individu atau
kelompok bergerak atau berpindah kelas sosial satu ke lapisan
sosial lainnya.
c. Kelompok Sosial
Kandioh dalam jurnalnya mengungkapkan bahwa kelompok sosial
adalah “kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh
masyarakat. Kelompok juga dapat memengaruhi perilaku para
anggotanya.”47 Manusia adalah makhluk sosial yang saling bergantung
dengan manusia lainnya. Semakin dekat jarak geografis antara satu
orang dengan orang yang lainnya maka semakin besar peluang kedua
orang tersebut untuk saling berinteraksi, bersosialisasi, bahkan
berkelompok. Tidak hanya kedekatan fisik, faktor kesamaan juga turut

46
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, hlm. 144.
47
Frangky Benjamin Kandioh, “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial dalam
Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa,”
Society XXI, (Maret-April 2016): hlm. 52.
31

membuat masyarakat berkelompok. Kesamaan yang dimaksud seperti


kesamaan usia, minat, karakter, kepercayaan, dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kelompok sosial merupakan
kumpulan individu yang hidup bersama karena adanya kesamaan
antara satu dengan yang lainnya serta memiliki hubungan timbal balik.
d. Lembaga Sosial
Lembaga sosial hadir sebagai alat kontol atas perilaku anggota
masyarakat yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat lainnya
(menyimpang). Seseorang akan dianggap menyimpang apabila
melakukan tindakan serta perilaku yang melanggar norma, adat, dan
peraturan secara hukum. Maka dari itu, peran lembaga sosial sangatlah
penting sebagai pengendali, pembina, sekaligus mencegah adanya
penyimpangan sosial tersebut di dalam masyarakat.
…social institution lebih menunjuk pada adanya unsur-unsur yang
mengatur perilaku warga dalam kehidupan sosial masyarakat.
Istilah lembaga sosial (sosial institution) di sini artinya, bahwa
lembaga sosial lebih menunjuk pada suatu bentuk perilaku sosial
anggota masyarakat dalam kehidupan bersama, sekaligus juga
mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma
dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga
tersebut.48
Kutipan tersebut merupakan pernyataan dari Basrowi terkait
makna dari istilah lembaga sosial. Melalui pernyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa lembaga sosial turut serta dalam pembentukan
perilaku dan moral masyarakat. Entah secara formal maupun informal,
lembaga sosial dibuat dengan tujuan untuk mengikat perilaku anggota
masyarakat agar berperilaku sesuai dengan tatanan aturan yang
menjadi kesepakatan sosial.
3. Unsur-unsur Budaya
Koentjaraningrat menyebutkan definisi kebudayaan sebagai “seluruh
sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan

48
Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 93.
32

belajar.”49 Dengan kebudayaan, manusia dapat hidup di segala macam


lingkungan alam. Meskipun manusia baru mengenal kebudayaannya sejak
saat ia dilahirkan, dengan kebudayaannya manusia dapat menjadi makhluk
yang paling berkuasa di mana pun ia berada. Kebudayaan merupakan
sebuah cara, baik untuk memahami maupun untuk mengorganisasikan
kehidupan manusia.
Hanafie mengungkapkan tujuh unsur kebudayaan yang dapat
ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat disebut
sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1) sistem
religi, (2) sistem organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4)
sistem mata pencaharian hidup, (5) sistem teknologi dan peralatan, (6)
bahasa, dan (7) kesenian.50
a. Sistem Religi
Merupakan produk manusia sebagai homo religious. Sistem religi
dalam suatu kebudayaan mempunyai tiga unsur yaitu sistem
keyakinan, sistem upacara keagamaan, dan suatu umat yang menganut
religi itu. Keyakinan mengandung konsepsi tentang dewa yang baik
maupun jahat, konsepsi tentang makhluk halus, konsepsi tentang roh
leluhur, konsepsi tentang hidup, konsepsi tentang dunia, konsepsi
tentang ilmu gaib, dan sebagainya. Sistem upacara keagamaan
mengandung empat aspek yakni tempat upacara keagamaan dilakukan,
saat upacara keagamaan dijalankan, benda-benda dan alat upacara,
orang yang melakukan dan memimpin upacara. Mengenai umat yang
menganut keyakinan, biasanya dideskripsikan mengenai pengikut
suatu kepercayaan dan hubungan satu dengan yang lainnya.
b. Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Merupakan produk manusia sebagai homo socius. Setiap
kehidupan masyarakat diatur oleh adat-istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan tempat
49
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm. 72.
50
Sri Rahaju Djatimurti Rita Hanafie, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakarta : CV Andi
Offset, 2016), hlm. 38-40.
33

individu itu hidup dan bergaul. Menyadari bahwa dirinya lemah, maka
manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun
organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
c. Sistem Pengetahuan
Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan
tentang alam sekitar, pengetahuan tentang alam flora dan fauna,
pengetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-kebudayaan,
seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan pengetahuan tentang
sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan yang teramat
penting dalam suatu masyarakat. Selain itu, pengetahuan tentang sopan
santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat,
pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga
sangat penting.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Merupakan produk manusia sebagai homo economicus. Sistem ini
menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
Dari food gathering berkembang ke food producing, dari bercocok
tanam, kemudian beternak, mengusahakan kerajinan, berdagang dan
terus berkembang.
e. Sistem Teknologi dan Peralatan
Merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari
pemikirannya yang cerdas dibantu dengan kekuatan tangannya yang
mampu memegang sesuatu dengan erat, manusia menciptakan
sekaligus mempergunakan alat yang kemudian dimanfaatkan untuk
lebih memenuhi kebutuhannya. Teknologi sering dikatakan sebagai
cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan
hidup setiap suku bangsa. Teknologi tradisional adalah teknologi yang
belum dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan
“Barat”. Teknologi tradisional mengenal tujuh macam sistem peralatan
34

dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh masyarakat kecil atau
masyarakat pedesaan yaitu: alat produksi, senjata, wadah, makanan,
pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi.
f. Bahasa
Merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Pembahasan
ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang
diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari
bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan
dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-
hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan (kepala, mata,
hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya), gejala-gejala dari alam
(angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan
sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan,
duduk, berdiri dan sebagainya).
g. Kesenian
Merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Kesenian
merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan di
dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman
di setiap daerah tentu beraneka ragam. Adapun ragam kesenian yang
dimaksud misalnya seni rupa, seni suara, seni drama, dan lain-lain.

F. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran mengenai analisis novel yang dibahas di sekolah sangat


membantu siswa dalam memperdalam ilmu sastra. Tujuan pembelajaran
tersebut dijabarkan ke dalam empat kompetensi, yaitu kompetensi menyimak,
kompetensi berbicara, kompetensi membaca, dan kompetensi menulis sastra.
Kompetensi menyimak meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan
mengapresiasi ragam karya sastra sesuai dengan tingkat kemampuan peserta
didik. Kompetensi berbicara meliputi kemampuan membahas dan
mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan konteks lingkungan dan
budaya. Kompetensi membaca meliputi kemampuan membaca dan memahami
35

berbagai jenis karya sastra. Kompetensi menulis meliputi kemampuan


mengapresiasikan karya sastra dalam bentuk sastra tulis yang kreatif dalam
bentuk menulis kritik dan esai sastra berdasarkan jenis sastra yang telah
dibaca. Menurut Rahmanto, manfaat dari pembelajaran sastra bagi siswa di
sekolah yaitu “membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan
budaya, mengembangkan cipta dan rasa, menunjang pembentukan watak.”51
Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak
dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita
rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan berbicara dengan ikut berperan
dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan
membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra
itu menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan
hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.52
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita ketahui bahwa kehadiran sastra
dalam pembelajaran memiliki peranan yang sangat penting. Dengan
mengikutsertakan sastra dalam kurikulum sekolah, berarti akan membantu
siswa melatih keterampilan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara yang
saling berhubungan satu sama lain. Melalui pembelajaran sastra, diharapkan
agar siswa mampu mengapresiasi karya sastra serta mampu mengembangkan
kepekaan siswa dalam memahami karya sastra.
Analisis warna lokal memang jarang ditemukan dalam pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah, sehingga pengetahuan siswa tentang
warna lokal sangat rendah. Padahal dengan mempelajari warna lokal dalam
sebuah karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter peserta didik dalam
menghargai budaya bangsa. Selain warna lokal, kajian ekranisasi juga menjadi
pembelajaran baru yang menarik bagi siswa. Banyak penelitian yang
membuktikan bahwa hingga saat ini minat siswa untuk membaca sebuah novel
masih sangat rendah, terlebih lagi jika novel yang harus dibaca adalah novel-
novel sastra klasik. Hadirnya film-film hasil ekranisasi novel sastra klasik

51
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 16.
52
Ibid, hlm. 17.
36

seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,
dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada
di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil
ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca
mereka. Melalui media film, diharapkan guru dapat membantu siswa untuk
meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya
sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film.

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian terhadap


Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini, dapat dibandingkan dengan skripsi
Dita Kurmala Sari, mahasiswi S1 Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Bengkulu pada tahun 2014.
Skripsinya berjudul “Pandangan Etnis Minangkabau tentang Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Studi pada Masyarakat Minangkabau di
Bengkulu)”. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menemukan
bagaimana cara pandang etnis Minangkabau, baik pandangan golongan tua
etnis Minangkabau maupun pandangan golongan muda etnis Minangkabau
tentang novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya
Hamka. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kualitatif
dengan teknik analisis model interaktif. Melalui teori Perbedaan Individu,
hasil menunjukkan bahwa dari latarbelakang cerita dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, masyarakat Minangkabau golongan tua
dan golongan muda memiliki persepsi yang beragam dalam memaknai adat
yang berlaku di daerah Minangkabau. Ada yang berpendapat sama dan ada
pula yang mengatakan bahwa sekarang cerita pada novel itu tidaklah berlaku
lagi. Hal itu karena pengaruh globalisasi, pendidikan, dan kemajuan teknologi.
Sementara itu, Isma Ariyani yang merupakan seorang mahasiswi S1 Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin,
juga melakukan penelitian terhadap novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck pada tahun 2014. Skripsinya berjudul “Representasi Nilai Siri’ pada
37

Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis
Framing Novel)”. Hasil penelitian yang didapat oleh Isma menunjukkan
bahwa cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam
menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka mengemas karakter
Zainuddin sebagai sosok berdarah Makassar-Minang berdasarkan cara
pandangnya. Hamka cukup paham dengan makna siri’ yang dianut masyarakat
Makassar, namun pencitraan nilai siri’ pada diri Zainuddin masih lemah. Hal
ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Hamka sebagai orang
Minangkabau (non-Makassar), maka tidak terdapat kesadaran besar untuk
menggambarkan karakter orang Makassar sebagaimana seharusnya pada
sosok Zainuddin. Begitu pula tokoh Zainuddin dalam cerita diposisikan
sebagai seseorang yang berdarah Makassar-Minang, secara lahiriah bisa saja
darah Minang melekat pada diri Zainuddin, sehingga tidak sepenuhnya ia
mampu memegang kokoh adat Makassar.
Adapun Daratullaila Nasri, mahasiwi S2 Ilmu Sastra, Universitas Gajah
Mada. Tesisnya berjudul "Ideologeme Novel Tenggelamnya Kapal van der
Wijck Karya Hamka; Kajian Intertekstual Kristeva" pada tahun 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan bentuk dan makna ideologeme pada
teks Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Untuk menyajikan tujuan penelitian
tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis suprasegmental dan
intertekstual. Cara kerja penelitian ini, yaitu mencari fungsi intertekstual yang
ada pada teks cerita. Fungsi tersebut adalah kode yang terkait dengan teks
sosial dan sejarah yang ditemukan dalam variabel terikat dan kemudian
dihubungkan dengan variabel independen. Variabel terikat mengacu kepada
teks dalam, sedangkan variabel independen mengacu pada teks luar. Hasil
penelitian ini menunjukkan, bahwa teks sosial dan sejarah yang ditemukan
pada teks novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki kesamaan atau
kejajaran dengan teks sosial dan sejarah yang ada pada teks luar. Bentuk teks
sosial dan sejarah yang ditemukan pada teks cerita tersebut adalah teks mamak
dan kemenakan, harta pusaka, perkawinan, perempuan sebagai kemenakan,
38

urang sumando, surau, Rumah Gadang dan rangking, parewa, urang siak,
urang asa, asal usul Islam di Makassar, dan peristiwa tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck sebagai latar cerita. Teks sosial dan sejarah tersebut
didominasi oleh budaya Minangkabau. Pendominasian ini menggambarkan
pengekslusifan budaya sehingga membentuk masyarakatnya. Produksi makna
teks dihasilkan melalui cara pandang oposisi, tranformasi dan transposisi.
Cara pandang oposisi tidak mempersatukan dua sistem budaya yang berbeda,
sehingga muncul transposisi dan transformasi budaya, yaitu dari tradisional ke
modern. Modernitas membawa orang berpikir nasionalis sehingga tidak ada
lagi perbedaan antarsuku atau kelompok. Yang ada hanya persatuan
antarbangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang penulis paparkan di atas, maka
skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” ini belum pernah ada
yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis mengangkat
judul tersebut sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA

A. Biografi Buya Hamka


Abdul Malik Karim Amrullah yang kemudian dikenal kebanyakan orang
sebagai Buya Hamka ini dilahirkan di desa Sungai Batang, Maninjau pada
tanggal 16 Februari 1908. Hamka adalah seorang ulama besar, filosof, pujangga
akbar, serta politikus. Di tanah Minang yang terkenal dengan adat bersendi
syarak inilah Hamka tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama
yang cukup berpengaruh. “Hamka adalah anak tertua dari ibunya yang bernama
Sofiyah. Ayahnya dikenal sebagai Dr. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah,
yang terpandang sebagai ulama sekaligus pembaharu keagamaan di
Minangkabau.”1
Hamka memang dikenal sebagai seorang yang besar dalam segala bidang.
Namun ternyata semua itu tidak diawalinya dengan menjadi manusia baik.
Beberapa tahap kehidupan sebagai “parewa” dan berkecimpung sebagai seorang
yang mencari kebebasan (free man) pernah ia lalui.2 Haji Abdul Karim sebagai
ulama besar menghendaki Hamka untuk menjadi orang besar dan alim. Untuk
itu ayahnya memasukkan Hamka ke Madrasah Thawalib, suatu lembaga
pendidikan yang didirikan oleh ayahnya sendiri. Hamka dibentuk jiwanya
dengan ajaran agama yang ditanamkan ayahnya. Di lain pihak Hamka
memendam kekecewaan atas perilaku ayahnya. Ia tidak suka melihat ayahnya
kawin cerai.
Akhirnya Hamka memutuskan untuk meninggalkan tanah Minang dan
berangkat ke tanah Jawa. Namun perantauannya kandas di Bengkulu. Ia
terserang penyakit cacar. Belum lagi pulih kesehatannya, ia pun terserang
malaria. Dengan tekad yang kuat, jadilah ia berangkat ke Jawa. Hamka yang
saat itu masih berusia 16 tahun berhasil mengikuti kursus-kursus yang
diselenggarakan Serikat Islam (SI) Yogyakarta lewat pamannya, Ja’far
1
Roni Effendy, “Buya Hamka,” Singgalang KMS, 25 Agustus 1987, hlm. 2.
2
Anspek, “HAMKA: Sumur Yang Tak Pernah Kering,” Haluan, 23 September 1990, hlm.
10.

39
40

Amrullah. Serikat Islam inilah yang merasuki jiwa Hamka sehingga ia rajin
mendengarkan pidato para tokoh Muhammadiyah.3
Sekembalinya dari tanah Jawa, Hamka mulai mengemukakan ide-ide
sosialisme Islam lewat pidatonya di tanah Minang sehingga Hamka sudah
menjadi tokoh di Minangkabau saat usianya masih 17 tahun. Hamka juga
menerbitkan majalahnya yang pertama yaitu “Khatib-ul Ummah” tahun 1925.
Pada usia 17 tahun, ia telah sering menulis di berbagai majalah dan surat kabar.
Di bidang jurnalistik, kariernya tercatat sebagai koresponden dan pemimpin
majalah Pelita Andalas, Bintang Islam, Kemajuan Zaman, Al Mahdi (di
Makassar), Pembela Islam, Bintang Islam, Pedoman Masyarakat dan Panji
Masyarakat.4 Meskipun Hamka sudah terkenal di Minang, ia masih sering
mendapat kritikan pedas dari masyarakat karena Hamka dipandang hanya
sebagai “tukang pidato” bukan ahli agama apalagi ahli bahasa Arab. Situasi
seperti ini membuat Hamka memutuskan untuk pergi ke Mekkah saat usianya
19 tahun. Sekembalinya dari Mekkah pada tanggal 5 April 1929, Hamka
menikahi Siti Rahmah, gadis pujaannya sejak kecil. Dengan gelar “Haji” di
depan namanya, Hamka baru dianggap sah sebagai ulama oleh masyarakat
Minang. Ia kembali aktif dalam pergerakannya sebagai pengurus
Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini ia mengembangkan bakat
intelektualnya lewat majalah “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini pun
mempopulerkan namanya dengan sederet julukan; wartawan, pengarang,
mubaligh sekaligus ahli dakwah. Di Medan ini pula Hamka mengenal karya-
karya sastra dan kebudayaan barat sehingga wawasan budayanya semakin tebal.
Terbukti dengan mencuatnya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau
Ke Deli (1940), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937).5
Ketika Jepang berkuasa, Hamka menjadi konsul Muhammadiyah Sumatera
Tengah. Jabatan inilah yang membuatnya didekati Jepang. Ia dianggap tokoh
agama masyarakat, tapi justru itu Hamka dijauhi masyarakat dan kerabatnya,
3
Effendy, “Buya Hamka”.
4
SP, “Prof. Dr. Hamka,” Haluan, 19 Februari 1989, hlm. 9.
5
Effendy, “Buya Hamka”.
41

yang menganggapnya “anak emas” Jepang. Menghadapi hal ini, Hamka dengan
berat hati meninggalkan kota Medan, setelah Jepang angkat kaki. Hamka
pindah ke Jakarta tahun 1950. Ia diangkat menjadi anggota pimpinan pusat
Muhammadiyah di Purwokerto. Di Jakarta ia lebih aktif dalam gerakan sosial,
dakwah dan mengarang. Antara tahun 1951-1952 Hamka mengelola Yayasan
Pesantren Islam yang didirikan Dr. Syamsudin (Mensos saat itu). Yayasan
inilah yang melahirkan masjid agung Al-Azhar yang berpengaruh besar pada
kegiatan dakwah islamiah di Jakarta dan sekitarnya.6
Pergolakan poltik di awal tahun 60-an makin panas. Hamka mendirikan
majalah “Gema Islam”. Media ini efektif membendung PKI yang sering
menyerang lewat surat kabarnya. Mengahadapi hal ini PKI makin gencar
menyudutkan posisi Hamka. PKI menuduh Hamka sebagai plagiator dalam
bukunya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, berlanjut dengan tuduhan
Hamka berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Ini mengakibatkan Hamka
mendekam di penjara.
Hamka banyak berjasa bagi bangsa, negara, agama, dan kemanusiaan.
Hamka mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar
(1958) dan dari University Kebangsaan Kualalumpur, Malaysia (1974). Pada
tahun 1975 Hamka menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka juga pernah menjabat sebagai anggota Majelis Ta’sisi Robitoh Alam
Islami yang berkedudukan di Mekkah.7
Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10:41 WIB, Hamka dipanggil Tuhan setelah
berbaring di rumah sakit selama seminggu. Beliau meninggalkan 10 orang
putra-putri dan seluruh umat manusia yang mencintainya.

B. Karya Buya Hamka


Sebagai sastrawan yang produktif, Hamka telah menciptakan lebih dari 300
buku besar dan kecil. Belum lagi yang bertebaran di banyak media massa. Di
antaranya: Khatibul Ummah (Majalah) (1925); Kemajuan Zaman (Majalah)

6
Effendy, “Buya Hamka”.
7
SP, “Prof. Dr. Hamka”.
42

(1928); Si Sabariyah (1928); Pembela Islam (1929); Islam dan Adat


Minangkabau (1929); Agama dan Perempuan (1929); Laila Majnun (1932); Al-
Mardi (1932); Pedoman Masyarakat (1936); Di bawah Lindungan Ka’bah
(1937); Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939); Margaretta Gauthier
(1938); Terusir (1938); Tasauf Modern (1938); Falsafah Hidup (1939);
Lembaga Hidup (1939); Penuntun Jiwa (1939); Di dalam Lembah Kehidupan
(1939); Merantau ke Deli (1939); Keadilan Illahi (1939); Lembaga Budi (1940);
Cermin Penghidupan (1940); Dijemput Mamaknya (1940); Angkatan Baru
(1940); Tuan Direktur (Almudirr) (1940); Sejarah Islam di Sumatera (1943);
Merdeka (1946); Revolusi Pikiran (1946); Revolusi Agama (1946); Negara
Islam (1946); Dari Lembah Cita-Cita (1946); Di Bantingkan Ombak
Masyarakat (1946); Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi (1946); Naskah
Renville (1948); Menunggu Beduk Berbunyi (1949); Cemburu (Ghibah)
(1949); Bohong di Dunia (1949); Urat Tunggang Pancasila (1950); Ayahku
(1950); Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1950); Mandi Cahaya di
Tanah Suci (1951); Di Lembah Nyl (1951); Di tepi Sungai Dajlah (1951);
Empat Bulan di Amerika 2 jilid (1952); Kenang-kenangan Hidup 4 jilid (1952);
Pribadi (1952); Lembaga Hikmat (1952); 1001 Soal-soal Hidup (1953); Sejarah
Umat Islam 4 jilid (1955); Pelajaran Agama Islam (1955); Kenang-kenangan di
Malaya (1956); Dari Perbendaharaan Lama (1957); Pengaruh Moh. Abduh di
Indonesia (1959); Panji Masyarakat (Majalah Islam) (1959); Pandangan Hidup
Muslim (1966); Sayid Jamaluddin Al-Afghani (1966); Tanya-Jawab 2 jilid
(1966); Panji Masyrakat (Majalah Islam) (1966); Kisah Nabi-Nabi (1968);
Beberapa Tantangan tantangan Umat Islam di Masa Kini (1972);
Mengembalikan Tasauf ke pangkalnya (1973); Kedudukan Perempuan dalam
Islam (1973); Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao” (1973); Muhammadiyah
di Minangkabau (1974). Karya Hamka yang dinilai terbesar yaitu “Tafsir Al
Azhar” yang memuat 30 juz lengkap kitab Al Qur’an. Tafsir ini dikarang
Hamka di dalam penjara masa orde lama.
43

C. Pemikiran Buya Hamka


Buya Hamka adalah pribadi yang mengasyikkan. Bila berbicara, baik ketika
bercakap-cakap, berceramah maupun berkhotbah, ia mampu memukau
pendengarnya. Ia bisa bagaikan “singa” di podium bila menangkis “tuduhan”
yang menyakitkan bagi Islam. Namun sebaliknya bila jiwanya tersentuh oleh
hal-hal yang manusiawi, ia mampu menguras airmata pendengarnya. Bahkan
tak jarang ia berkhotbah sambil tiap sebentar menyeka airmatanya, pada saat
mengagungkan kebesaran Ilahi. Hamka memiliki kharisma yang sukar
dicarikan tandingannya. Sikap yang terbuka dan jujur merupakan suatu ciri
tersendiri bagi Hamka dalam menghadapi berbagai situasi. Sikap Hamka
tersebut banyak dipengaruhi oleh peran sosial dan harapan-harapan ayahnya,
lingkungan adat Minangkabau tempat dia dibesarkan, serta nilai-nilai Islam
yang amat diyakininya.8
Menurut Jassin, Hamka adalah orang yang punya prinsip. Dalam dunia
sastra, Jassin melihat Hamka sebagai seorang yang cukup kreatif dan besar
pengaruhnya. Apa yang diceritakan Hamka dalam roman-romannya,
sebenarnya adalah konsep-konsep beliau tentang kehidupan dan menarik bagi
orang lain. Karena tertarik tentu saja orang mengikuti. Jadi dalam hal ini, dalam
pembentukan bahasa dengan gayanya sendiri, Hamka mempunyai arti penting
dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Penampilan Hamka memang
komplit. Kelancarannya menulis, berpidato, saling berkait. Karena itu tidaklah
mengherankan kalau Hamka bukan saja dikenal di dalam negeri, tetapi juga di
Malaysia. Bahkan buku-bukunya banyak dicetak di Malaysia.9
Menurut H. Abdullah Salim, kepemimpinan Buya Hamka sudah nampak
pada waktu mudanya terutama dalam bidang kesusasteraan, Hamka dikenalnya
sebagai pengarang yang berbakat. Jika dilihat dari segi pendidikan memang
rendah sekali, tetapi karena jiwa kepemimpinannya yang pada waktu mudanya

8
Azkarmin Zaini, “Buya Hamka,“ Kompas, 10 Agustus 1980, hlm. 7.
9
“HB JASSIN: HAMKA,” Amanah, no. 1 (Juli 1986): hlm. 78.
44

sangat aktif dalam organisasi inilah yang membesarkan Hamka menjadi dewasa
dan mendorong terus untuk maju dalam membina umatnya.10
Predikat Hamka di samping ulama yang juga berperan sebagai pengarang
roman pernah pula menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam di
Indonesia. Ada yang menganggap, ulama mengarang roman biasa saja. Ada
pula yang berpendapat, itu tidak pantas. Di waktu inilah ia mendapat julukan
yang tidak mengenakkan sebagai pengarang “ulama pengarang roman”. Akan
tetapi walaupun demikian ia tak pernah ambil pusing. “Kalau ilham datang,
saya akan terus mengarang roman,” katanya pada suatu ketika.11

D. Profil Tim Produksi


Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck diproduksi oleh PT Soraya
Intercine Films, sebuah rumah produksi sekaligus distributor film di Indonesia
yang didirikan oleh Ram Soraya pada 1 Juni 1982. Soraya Intercine Films
adalah perusahaan film terbesar di Indonesia. Sudah ratusan film produksi
Soraya Intercine Films yang mempunyai prestasi yang membanggakan.
Aktivitas bisnis dari perusahaan ini antara lain :
1. Memproduksi film
2. Memproduksi sinetron
3. Mendistribusikan film
4. Penjualan film baik dalam lingkup nasional maupun internasional
Hingga saat ini, Soraya Intercine Films telah memproduksi kurang lebih
tujuh puluh judul film. Kantor pusat perusahaan ini berada di Jalan K.H. Wahid
Hasyim 3 Menteng, Jakarta Pusat. Adapun direktur dari rumah produksi ini
yaitu Ramesh Pridhnani (Ram Soraya), sementara wakil direktur dari rumah
produksi ini yaitu Sunil Pridhnani (Sunil Soraya).
Sutradara dibalik pembuatan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
adalah Sunil Soraya. Sunil Soraya merupakan putra dari sutradara Ram Soraya,
pemilik rumah produksi Intercine Films. Sunil adalah seorang sutradara dan
10
Chatum, “Syubbanul Yaum Rijalul Ghad: Pemuda Kini, Tokoh Masa Depan,“ Risalah
Islamiyah, t.t., hlm. 33.
11
Raflis Chaniago, “H.B. Jassin Membela Hamka,” Singgalang, 4 Juni 1990, hlm. 6.
45

juga produser film Indonesia yang dikenal dengan karya-karya film remajanya,
seperti Apa Artinya Cinta? (2005), Eiffel I’m in Love (2003), Single (2015),
dan masih banyak lagi.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. Analisis perbandingan warna lokal pada novel dan film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan dapat disimpulkan,
bahwa terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah
proses ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan
perubahan variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan
variasi banyak ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur
warna lokal yang paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
yaitu unsur sosial Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan
perubahan apapun saat proses ekranisasi.
2. Implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
Implikasi analisis perbandingan warna lokal pada dua media yang berbeda
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah disesuaikan
dengan kurikulum 2013. Berdasarkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) kurikulum 2013 yaitu memahami proses alih wahana dalam karya
sastra, diharapkan siswa dapat menganalisis perbandingan sebuah novel
dengan film ekranisasinya. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat
menganalisis warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan
juga film. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan warna lokal, tidak hanya sebatas definisi yang mereka
ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang
bagi siswa. Setelah pembelajaran usai diharapkan siswa mendapatkan
informasi baru mengenai wujud warna lokal pada dua media yang berbeda.

152
153

B. Saran
Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, maka beberapa saran
penulis yaitu:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian
selanjutnya terhadap karya sastra sejenis maupun dengan genre yang berbeda.
Penelitian karya sastra lain, di samping analisis perbandingan warna lokal
pada novel dan film akan memberikan suatu pengetahuan baru dan cara
pemahaman baru terhadap karya sastra secara objektif.
2. Analisis warna lokal dapat dipilih oleh guru untuk dijadikan sebagai materi
baru dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XII. Khususnya mengenai
pengenalan-pengenalan lingkungan fisik, unsur sosial, dan unsur budaya lokal
untuk membentuk karakter siswa dalam menghargai budaya bangsa.
3. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka dapat
dijadikan bahan bacaan siswa. Selain mengoptimalkan keterampilan
berbahasa, membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya
Hamka akan meningkatkan pengetahuan budaya siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan


Sastra. Malang: YA 3. 1990.
Anonim. “HB JASSIN: HAMKA.” Amanah, 31 Juli 1986.
Anspek. “HAMKA, Sumur Yang Tak Pernah Kering.” Haluan Minggu, 23
September 1990.
Bahtiar, Ahmad. “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan
Terang di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan.” Artikel diakses
pada 24 September 2017 dari http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-
content/uploads/81/2017/01/15 .
Barir, Muhammad. “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran.”
Studi Ilmu-Ilmu al-Qura‟n dan Hadits XV, no. 1 (Januari 2014).
Basrowi. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2005.
Chaniago, Raflis. “H.B. Jassin Membela Hamka.” Singgalang. 4 Juni 1990.
Chatum. “Syubbanul Yaum Rijalul Ghad: Pemuda Kini, Tokoh Masa Depan.”
Risalah Islamiyah, t.t.
Effendy, Rony. “Buya Hamka” Singgalang KMS. 25 Agustus 1987.
Emzir dan Saifur Rohman. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.
2016.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta:
Bukupop. 2011.
Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores : Nusa Indah. 1991.
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Penerbit
Angkasa. 2013.
Hanafie, Sri Rahaju Djatimurti Rita. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakarta : CV
Andi Offset. 2016.
Kandioh, Frangky Benjamin, dkk. “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial
dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan
Tombulu Kabupaten Minahasa.” Society XXI, (Maret-April 2016).
Kasim, Razali. Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode. Medan: USU
Press. 1996.

154
155

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2010.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2012.
Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia.”
Artikel diakses pada 12 April 2019 dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/ .
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2012.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka. 2009.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara. 2010.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2009.
-----.Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
-----Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers. 2017.
Soerjani, Moh., dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan. Jakarta: UI-Press. 1987.
SP. “Prof. Dr. Hamka.” Haluan, 19 Februari 1989.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Grasindo. 1996.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012.
Syatriadin. “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan.” JISIP I, no.2 (November
2017).
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka. 2002
156

Uniawati. “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen


„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra.” Kandai XII, no. 1 ( Mei
2016).
Zaini, Azkarmin, “Buya Hamka.” Kompas. 10 Agustus 1980.
BIODATA PENULIS

Skripsi ini ditulis oleh seorang berdarah Betawi dari


Kelurahan Cipondoh Makmur, Kecamatan Cipondoh, Kota
Tangerang. Lahir pada tanggal 15 Oktober 1995 dari
pasangan suami isti Bapak Suwandi dan Ibu Karsinah.
Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik
pertama bernama Brilian Sheila Azhara dan adik kedua
bernama Aldilla Raffa Azriel Ramadhan.

Penulis mengawali pendidikan di bangku Madrasah Ibtidaiyah Nurussalam


Tangerang, lulus tahun 2006. Kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah
Pertama Negeri 10 Tangerang, lulus tahun 2009. Selanjutnya menempuh
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Tangerang, lulus tahun 2012.
Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis pernah mengikuti magang menjadi Editor di Perusahaan Penerbitan


Imania Jakarta Selatan selama kurang lebih dua minggu dalam rangka memenuhi
syarat mata kuliah pilihan Penyuntingan Naskah. Selanjutnya, penulis pernah
mengikuti Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT) di Sekolah Menengah
Pertama Islam Ruhama selama kurang lebih empat bulan.

Pada tanggal 30 April 2019, penulis dinyatakan LULUS melalui sidang


tertutup Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan berhak
menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) dengan predikat kelulusan “Dengan
Pujian”.

Anda mungkin juga menyukai