Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Di bawahbimbingan
Jakarta, 30 April2019
Penguji I tc/os
I gr5
Novi Diah Haryanti. M. Hum.
NrP. 19841t26 201503 2007
Pengqi II lr/6r
Mengetahui
Itas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
:ffi
/r{;-kRl4,'";" '.
iffir'-ag*i
f,k
:tgztostg 199803 2 oot
KEMENTERIAN AGAPIA
UIN JAKARTA : 1-2010
FITK FORM(FRI
工 農 力 mめ ル %6"Fa,I"r2嬌
“ "
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Seko1711''
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benm hasil karya sendiri
dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apayang saya fulis.
l
Pemyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh ujian Munaqasyah.
i
ABSTRACT
This study aims to find out the comparison of the local customs occuring in
the novel and film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. The research method
applied in this study is comparative literature, namely indentify the objective
elements in the novels and films, focusing on the comparison of local customs in
between the novels and films. The results obtained are there is a silting of the
tradition and historical background of Minangkabau after the process of
ecranization. Proven by the amount of contraction and changes in variation in the
Minangkabau local color elements in the Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
novel. Contraction and changes in variation are found in many elements of the
Minangkabau culture. While the local color elements are the most dominant in the
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck novel, that is the social element
Minangkabau, considering that the director did not make any changes during the
process of transformation. The results of this study can be used as a source of
literary learning in schools, in suitable with the core competencies and basic
competencies of the 2013 curriculum, that is understanding the process of
ecranization in literary works. This material focuses on students to be able to
analyze local colors in two different media, spesifically media books or films.
Students are expected to be able to analyze the comparison of a novel with it’s
ecranization film.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, beserta
nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah”.
Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan (S.Pd.). Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
ide atau gagasan baru yang lebih kreatif dan inovatif di masa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai rintangan. Tanpa
bantuan dan peran serta berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah
mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan mempermudah
dalam penyelesaian skripsi ini;
3. Rosida Erowati, M. Hum, selaku Penasehat Akademik sekaligus dosen
pembimbing skripsi yang bersedia membantu serta mempermudah
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas ide, saran, arahan, motivasi,
bimbingan, serta kesabaran Ibu selama ini;
4. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang telah memberikan banyak ilmu selama masa studi penulis;
5. Suwandi dan Karsinah, S.Pd, kedua orang tua penulis yang telah mendidik
penulis dengan segala kasih sayang tulus. Terima kasih untuk
pengorbanan, perjuangan hidup, doa-doa, serta nasehat mamah dan papah
sehingga penulis dapat melalui tahap ini;
iii
6. Fajrina Sita Dewi, S.Kel, Komala, S.Pd, Eriliyabuduni Ulfi, S.Gz, dan
Sophia Syifa Fauzia, S.I.P., sahabat tercinta penulis sejak SMA hingga
kini yang selalu setia memberikan motivasi dan kasih sayang kepada
penulis;
7. Chitra Nur Imaniar, S.Pd, Fikry Bermaki, S.Pd, Bunga Indah Puspita Sari,
S.Pd, Dede Zakiyah, S.Pd, Tri Wibowo, S.Pd, dan, rekan PBSI yang selalu
membantu penulis saat menghadapi kesulitan dalam penyusunan skripsi
ini;
8. Maria Forly Christine Sinaga, S.S, Bella Octavia, Delia Dwi Putri Rahayu,
dan Heny Sofiany, rekan kerja Bank CIMB Niaga selama satu tahun
terakhir yang selalu memberikan kritik dan motivasi kepada penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini;
9. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas B angkatan 2012, terima kasih
atas pengalaman dan pembelajaran berharga yang penulis dapatkan selama
masa studi serta motivasi untuk segera menyelesaikan skripsi;
10. Rio Tirta Erlangga, S.Si, sahabat dan pendamping terhebat bagi penulis.
Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, motivasi, kasih sayang, dan
segala hal yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................ 5
D. Perumusan Masalah ................................................................. 5
E. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6
F. Manfaat Penelitian ................................................................... 6
G. Metodologi Penelitian .............................................................. 7
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 11
A. Hakikat Novel ........................................................................... 11
B. Tinjauan Film. .......................................................................... 19
C. Ekranisasi ................................................................................. 22
D. Sosiologi Sastra ........................................................................ 24
E. Warna Lokal ............................................................................. 25
F. Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................ 34
G. Hasil Penelitian yang Relevan .................................................. 36
v
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................... 46
A. Analisis Objektif Novel dan Film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck .......................................................................... 46
B. Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dengan Film Adaptasinya. .................... 106
C. Implikasi terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah................................................................. 149
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Fenomena alih wahana dari suatu karya sastra ke dalam media lain telah
terjadi sejak beberapa dekade ini. Puisi Taufik Ismail yang dialihwahanakan
ke dalam musik oleh grup musik Bimbo, atau novel Bunga Raos dari
Cikembang karya Kwee Tek Hoy yang diubah menjadi drama adalah contoh
alih wahana sebuah karya sastra. Istilah alih wahana ini dipopulerkan oleh
Sapardi Djoko Damono sebagai suatu perubahan dari satu jenis kesenian ke
dalam jenis kesenian lain.
Proses alih wahana sebuah karya sastra yang cukup populer di kalangan
masyarakat pada saat ini yaitu novel yang diubah ke dalam media film, atau
yang biasa dikenal dengan istilah ekranisasi. Berangkat dari keterbatasan
dunia kata-kata dan juga sebagai pengaruh dari perkembangan teknologi
modern yang memungkinkan seseorang lebih kreatif dalam mengapresiasi
sebuah karya sastra, novel yang difilmkan telah menerobos pasar dan
berkembang pesat. Salah satu tujuan ekranisasi tersebut yakni untuk menarik
para peminat atau konsumen, sehingga orang-orang yang tidak suka membaca
sastra masih tetap bisa menikmati sastra lewat film. Selain itu, pembaca tidak
harus menikmati cerita lewat imaji linguistik dan dunia khayalnya, tetapi
pembaca dapat menikmati cerita lewat imaji visual. Tentunya pembaca tidak
perlu berkhayal tentang alur demi alur yang disediakan, karena di dalam film
telah divisualisasikan senyata mungkin oleh tim produksi.
Saat ini ekranisasi menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi khalayak
luas. Dalam sejarah perfilman Indonesia, banyak film-film ekranisasi yang
turut mewarnai industri perfilman Indonesia. Fenomena tersebut mulai marak
di Indonesia pada dekade 70-an. Pada saat itu istilah ekranisasi belum
digunakan, melainkan adaptasi. Beberapa di antaranya yakni Gita Cinta SMA
1
2
(1979), Atheis (1974), dan Si Doel Anak Betawi (1972). Sementara itu,
beberapa film ekranisasi yang baru-baru ini ditayangkan yakni Supernova
(2014), Toba Dreams (2015), dan Filosofi Kopi (2015).
Beberapa novel sastra klasik juga turut digarap oleh sutradara. Beberapa di
antaranya yaitu novel Badai Pasti Berlalu (1971) karangan Marga T yang
difilmkan pada tahun 1977 dan 2007, novel Dibawah Lindungan Ka’bah
(1938) karangan Buya Hamka yang difilmkan pada tahun 2011, dan novel
Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karangan Ahmad Tohari yang difilmkan pada
tahun 2011. Salah satu contoh novel sastra klasik yang diangkat ke layar lebar
dan cukup banyak mendapat sorotan dari para penikmatnya yakni novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938) karangan Buya Hamka. Novel ini
diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, yang disutradarai oleh Sunil
Soraya. Kemunculan film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck mendapatkan
sambutan yang luar biasa dari masyarakat, mengingat masyarakat Indonesia
cukup menggemari film bergenre drama. Film ini berhasil menyedot kurang
lebih satu juta delapan ratus penonton. Pada tahun 2014, kedua pemeran
utama dalam film ini, yakni Herjunot Ali sebagai Zainuddin dan Pevita Pearce
sebagai Hayati, mendapatkan anugerah piala penghargaan Festival Film
Bandung dalam kategori pemeran pria dan pemeran wanita terbaik.
Menjadi salah satu film yang cukup sukses di pasaran, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck membuktikan bahwa masih ada ruang bagi novel sastra
klasik untuk menunjukkan eksistensinya di tengah maraknya ekranisasi dari
novel-novel populer saat ini. Salah satu point penting yang dapat dengan
mudah kita temukan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah
kentalnya warna lokal Minangkabau yang disuguhkan. Minangkabau, sebagai
daerah yang kaya akan nilai-nilai budaya sering dimanfaatkan sebagai latar
penciptaan karya sastra oleh pengarang. Warna lokal sendiri sebenarnya sudah
ada dalam kesusastraan Indonesia sejak masa sebelum perang. Hal tersebut
bisa kita dapatkan pada novel Siti Nurbaya (1922) karangan Marah Roesli
yang mengambil latar budaya Minangkabau. Beberapa karya sastra lain yang
berwarna lokal Minangkabau yaitu novel Tidak Menyerah (1962) karya
3
Motinggo Busje, novel Hati Nurani Manusia (1965) karya Idrus, drama Putu
Bungsu (1978) karya Wisran Hadi, dan novel Dan Perang pun Usai (1979)
karya Ismail Marahimin.
Dominan akan warna lokal Minangkabau dalam novel dan juga filmnya,
menjadi alasan penulis memilih Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Penelitian ini akan membahas mengenai perubahan warna lokal sebagai akibat
dari kegiatan ekranisasi. Pembahasan mengenai warna lokal perlu
diperhatikan mengingat pada masa sekarang ini, pengaruh kebudayaan asing
telah menimbulkan kurangnya kadar kecintaan terhadap budaya bangsa
sendiri. Dengan adanya penelitian ini, setidaknya kita telah ikut berpartisipasi
dalam melestarikan eksistensi warisan budaya yang ada di nusantara,
khususnya Minangkabau. Selain itu, kemunculan film ini patut diapresiasi
karena tidak mudah bagi seorang sutradara untuk mengekranisasikan novel-
novel sastra, terlebih lagi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang terbit
sudah cukup lampau, yakni tahun 1938. Sutradara tentu berusaha keras
bagaimana menciptakan latar tahun 1930-an yang masih sangat tradisional
untuk kemudian ditampilkan pada masa sekarang, yang notabene sudah
memasuki zaman modern. Melalui penggunaan metode sastra bandingan,
penulis akan melakukan kajian bandingan terhadap novel yang sudah
difilmkan serta mengkaji gambaran warna lokal yang terkandung di dalam
novel dan di dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Pemilihan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebagai bahan
kajian dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memahami wujud warna
lokal Minangkabau secara umum. Terlebih dalam ranah pembelajaran Bahasa
dan Sastra di sekolah baik SMP/MTs maupun SMA/MA, materi tentang
warna lokal jarang disentuh oleh guru sehingga pengetahuan siswa tentang
warna lokal sangat rendah. Dengan mempelajari warna lokal dalam sebuah
karya sastra, akan terbentuk bagaimana karakter siswa dalam menghargai
budaya bangsa. Apabila dikaitkan dengan Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck, guru dapat memberikan rujukan kepada peserta didik untuk mampu
membaca dan menerapkan nilai-nilai sosial budaya dan nilai positif yang
4
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Rumusan Masalah
E. Tujuan Penelitan
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan peneliti khususnya, dan pembaca pada umumnya tentang
bagaimana mengkaji warna lokal dalam sebuah karya sastra.
2. Manfaat Praktis
a. Adanya pembelajaran siswa mengenai apresiasi karya sastra yang
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi dan
menganalisis sebuah karya sastra khususnya novel dan film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Selain itu mengembangkan
kemampuan siswa untuk menilai sebuah karya sastra yang berkualitas
baik dan buruk, serta menjadikan siswa untuk gemar membaca dan
berpikir kritis.
b. Penulisan ini dapat dijadikan bahan ajar guru Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran
Sastra Indonesia, khususnya dalam membandingkan sebuah karya
sehingga mampu memaparkan persamaan dan perbedaan serta
kelebihan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya tersebut
melalui analisis perbandingan sastra.
c. Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk mengetahui warna lokal
yang terdapat di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
7
(2013) karya Buya Hamka, dan filmnya berjudul sama, produksi tahun
2013 yang disutradarai oleh Sunil Soraya.
d. Diharapkan penulisan ini juga berguna bagi para penulis lain yang
ingin melakukan penulisan dengan tema sejenis.
G. Metodologi Penelitian
1. Objek Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disampaikan, objek dalam
penelitian ialah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya
Hamka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama
tahun 2013 dan filmnya yang ditayangkan pada 2013 garapan sutradara
Sunil Soraya. Dengan demikian judul penelitian ini ialah “Analisis
Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia di Sekolah”.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sastra bandingan. Endraswara
mengemukakan bahwa “sastra bandingan dapat juga dimengerti sebagai
upaya membandingkan dua karya atau lebih.”1 Sastra bandingan, dalam
penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun bidang
ilmu lain, merupakan bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya
bagaimana menghubungkan sastra yang satu dengan yang lain, bagaimana
pengaruh antarkeduanya, serta apa yang dapat diambil dan apa yang
diberikannya.2
Metode sastra bandingan tidak jauh berbeda dengan metode kritik
sastra, yang objeknya lebih dari satu karya. Endraswara mengungkapkan
bahwa “penelitian dalam sastra bandingan bersifat berpindah dari satu
1
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Bandingan, (Jakarta: Bukupop,
2011), hlm. 2.
2
Ibid.
8
3. Sumber Data
Sumber data pada penulisan ini terbagi atas sumber data primer dan
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa
opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi
terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian.
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka yang
3
Ibid.
4
Razali Kasim, Sastra Bandingan; Ruang Lingkup dan Metode, (Medan: USU Press,
1996), hlm. 28.
5
Aminuddin, Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra,
(Malang: YA 3, 1990), hlm. 14.
9
diterbitkan oleh Balai Pustaka edisi revisi cetakan pertama tahun 2013 dan
film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck garapan PT Soraya Intrecine
Films yang tayang pada 2013.
Data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu data-data yang diambil dari buku-
buku, jurnal, dan karya ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian.
A. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia, kita mengenal istilah
prosa yang memiliki definisi sebagai karya sastra yang sifatnya tidak
terikat dengan aturan-aturan penulisan seperti rima, irama, diksi atau yang
lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, prosa menghadirkan sesuatu
yang baru dalam kesusasteraan Indonesia akibat pengaruh sastra serta
budaya Barat. Kebaruan tersebut diantaranya berbentuk novel, cerpen,
kritik, esai, resensi, dan masih banyak lagi. Dari beberapa bentuk prosa
baru yang sudah disebutkan, novel menjadi salah satu karya sastra yang
cukup populer lantaran peredarannya sudah sangat meluas. Priyatni
menjelaskan bahwa “kata novel berasal dari bahasa Latin novellus. Kata
novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa
Inggris. Makna baru tersebut dapat diartikan sebagai bentuk karya sastra
yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan
drama”1, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa novel adalah
salah satu bentuk kebaruan dari prosa.
Dalam istilah Indonesia, Nurgiyantoro menyebutkan bahwa “novelet
(Inggris: novellete) berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.”2 Bila
melihat dari segi panjangnya cerita, novel mengisahkan kehidupan
manusia dan zamannya dalam skala yang lebih luas jika dibandingkan
dengan cerpen yang hanya mengisahkan satu peristiwa dalam satu waktu
tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Robert Stanton bahwa “novel mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,
1
Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010), hlm. 124.
2
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2012), hlm. 9-10.
11
12
3
Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.
90.
4
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 23.
5
Ibid., hlm. 67.
6
Ibid., hlm. 70.
13
15
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 159.
16
Dwi Susanto, Pengantar Teori Sastra, (Yogyakarta: CAPS, 2012), hlm. 131.
17
17
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 149-150.
18
Ibid., hlm. 248.
18
19
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 151.
20
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, hlm. 256.
19
B. Tinjauan Film
1. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film adalah “selaput tipis
yang terbuat dari selluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat
potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).”23
Sementara menurut Cangara, “film dalam pengertian sempit adalah
penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih
luas bisa juga termasuk yang disiarkan televisi.”24
Meskipun pada awalnya film adalah hiburan bagi kelas bawah di
perkotaan, dengan cepat film mampu menembus batas-batas kelas dan
menjangkau kelas yang lebih luas. Film merupakan produk komunikasi
massa yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Saat ini telah
terdapat berbagai macam film. Sumarno berpendapat bahwa “meskipun
cara pendekatan berbeda-beda, semua film dapat dikatakan mempunyai
21
Siswanto, Pengantar Teori Sastra, hlm. 158-159.
22
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010),
hlm. 113.
23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hlm. 316.
24
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 136.
20
25
Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT Grasindo, 1996), hlm. 10.
26
Himawan Pratista, Memahami Film, (Jakarta: Homerian Pustaka, 2009), hlm. 1.
21
C. Ekranisasi
Ekranisasi berkembang di Indonesia mulai tahun 1984 yang diawali
dengan adanya film yang diangkat dari novel berjudul Roro Mendut karangan
Y.B Mangunwijaya. Istilah ekranisasi menurut Eneste adalah “pelayarputihan
atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam
bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak
mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat
dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan.”28 Dengan adanya proses
ekranisasi mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan,
yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambar-gambar yang
bergerak berkelanjutan. Lebih lanjut lagi Eneste mengungkapkan bahwa
“ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara
individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong
royong).”29 Seperti yang kita ketahui bahwa novel merupakan karya
perseorangan sementara film merupakan hasil kerja gotong royong yang
melibatkan banyak pihak, seperti produser, sutradara, penulis skenario,
pemain, dan lain-lain.
Jika dalam membaca novel tidak ada faktor visual yang membatasi
imajinasi kita, dalam film tampaknya hal itulah yang utama. Tokoh-tokoh lain
dalam novel dan film itu bisa saja berbeda-beda, tergantung pada selera kita.
Demikian juga latar, unsur yang sangat penting dalam novel maupun film.
Latar novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah kota Padang pada
awal abad ke-20, suatu hal yang tentu tidak bisa dibayangkan oleh pembaca
yang tidak memiliki gambaran mengenai itu. Sementara itu, sutradara film
menentukan latar yang seperti apa yang dianggap sesuai agar alur bisa berjalan
wajar dan penokohan bisa meyakinkan. Unsur lain yang perlu juga mendapat
27
Ibid., hlm. 30-162.
28
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores : Nusa Indah, 1991), hlm. 60.
29
Ibid.
23
30
Ibid., hlm. 60-66.
24
atau penulis skenario semata-mata agar film tidak terlalu sama persis
dengan novelnya namun tetap bertumpu pada inti isi novel.
D. Sosiologi Sastra
Kemunculan sastra di tengah-tengah masyarakat tidak secara tiba-tiba.
Kurniawan mengungkapkan bahwa “sebagai produk budaya yang berupa
tulisan bermedia bahasa, sastra tidak dapat lepas dengan genetisnya, yaitu
manusia sebagai pengarang. Sastra eksis karena ada manusia yang menulisnya
(penulis), dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat yang menjadi
kajian sosiologi.”31 Oleh karena itu, sastra tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat. Karya sastra seringkali dinyatakan sebagai “dokumen sosial”
lantaran keberadaannya yang mencerminkan peristiwa yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Emzir dan Rohman berpendapat bahwa
“sebagai dokumen sosial, karya sastra dapat dilihat sebagai rekam jejak yang
mencatat realitas keadaan sosial budaya pada masa karya itu diciptakan.”32
Sosiologi sastra menurut Ratna berasal dari bahasa Yunani, yaitu sosio
atau socius yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos
yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan, atau ilmu.33 Sosiologi sastra
merupakan salah satu pendekatan interdisiplin, selain empat pendekatan yang
dikemukakan Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan
pragmatik. Pendekatan ini menggabungkan antara ilmu sastra dengan ilmu
sosologi. Kedua ilmu tersebut memiliki objek yang sama yaitu manusia dalam
masyarakat, namun terdapat perbedaan dalam hakikatnya. Ratna
menungkapkan bahwa sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan
masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sedangkan sastrawan
mengungkapkannya melalui emosi.34
31
Heru Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2012), hlm. 6.
32
Emzir dan Saifur Rohman, Teori dan Pengajaran Sastra, (Jakarta: Rajawali Pers,
2016), hlm. 114.
33
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), hlm. 1.
34
Ibid., hlm. 4.
25
E. Warna Lokal
Sebuah karya sastra, dalam hal ini novel, tentu membutuhkan latar yang
tajam dan jelas untuk menopang alur cerita. Ketajaman dan kejelasan sebuah
latar dalam novel akan memberikan kesan bahwa di sanalah cerita dalam
novel itu benar-benar terjadi. Ketajaman dan kejelasan latar ini biasa dikenal
dengan warna lokal. Warna lokal berkaitan dengan latar cerita yang
35
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 335-336.
36
Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, hlm. 25.
26
37
Uniawati, “Warna Lokal dan Representasi Budaya Bugis-Makassar dalam Cerpen
„Pembunuh Parakang‟: Kajian Sosiologi Sastra,” Kandai XII. no.1 (Mei 2016): hlm. 102.
38
Ibid.
39
Ahmad Bahtiar, “Warna Lokal Betawi dalam Kumpulan Cerpen „Terang Bulan Terang
di Kali: Cerita Keliling Jakarta‟ Karya S.M Ardan,” artikel diakses pada 24 September 2017 dari
http://susastra.fib.ui.ac.id/wp-content/uploads/81/2017/01/15.
27
40
Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia,” artikel
diakses pada 12 April 2019 dari http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/.
41
Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 383.
42
Moh Soerjani, dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan, (Jakarta: UI-Press, 1987), hlm. 3.
28
43
Syatriadin, “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan,” JISIP I, no. 2 (November 2017):
hlm. 101.
29
44
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : Rajawali Pers, 2017), hlm.
205.
45
Muhammad Barir, “Kesetaraan dan Kelas Sosial Dalam Perspektif Al-Quran,” Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur‟an dan Hadis XV, no. 1 (Januari 2014): hlm. 62.
30
46
Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, hlm. 144.
47
Frangky Benjamin Kandioh, “Eksistensi Kelompok-Kelompok Sosial dalam
Melestarikan Nilai-Nilai Budaya di Desa Kamangta Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa,”
Society XXI, (Maret-April 2016): hlm. 52.
31
48
Basrowi, Pengantar Sosiologi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 93.
32
individu itu hidup dan bergaul. Menyadari bahwa dirinya lemah, maka
manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun
organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan kesejahteraan
hidupnya.
c. Sistem Pengetahuan
Merupakan produk manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan
tentang alam sekitar, pengetahuan tentang alam flora dan fauna,
pengetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-kebudayaan,
seperti ilmu untuk menyembuhkan penyakit, dan pengetahuan tentang
sifat dan tingkah laku manusia adalah pengetahuan yang teramat
penting dalam suatu masyarakat. Selain itu, pengetahuan tentang sopan
santun pergaulan, adat-istiadat, sistem norma, hukum adat,
pengetahuan tentang sejarah tempat asal masyarakat itu menetap juga
sangat penting.
d. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Merupakan produk manusia sebagai homo economicus. Sistem ini
menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.
Dari food gathering berkembang ke food producing, dari bercocok
tanam, kemudian beternak, mengusahakan kerajinan, berdagang dan
terus berkembang.
e. Sistem Teknologi dan Peralatan
Merupakan produk manusia sebagai homo faber. Bersumber dari
pemikirannya yang cerdas dibantu dengan kekuatan tangannya yang
mampu memegang sesuatu dengan erat, manusia menciptakan
sekaligus mempergunakan alat yang kemudian dimanfaatkan untuk
lebih memenuhi kebutuhannya. Teknologi sering dikatakan sebagai
cara-cara memproduksi, memakai, dan memelihara segala peralatan
hidup setiap suku bangsa. Teknologi tradisional adalah teknologi yang
belum dipengaruhi oleh teknologi yang berasal dari kebudayaan
“Barat”. Teknologi tradisional mengenal tujuh macam sistem peralatan
34
dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai oleh masyarakat kecil atau
masyarakat pedesaan yaitu: alat produksi, senjata, wadah, makanan,
pakaian, tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi.
f. Bahasa
Merupakan produk manusia sebagai homo longuens. Pembahasan
ini mendeskripsikan tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang
diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasi dari
bahasa tersebut. Ciri-ciri menonjol dari suku bangsa dapat diuraikan
dengan beberapa contoh kata yang diambil dari ucapan bahasa sehari-
hari. Kata-kata tersebut bisa mengenai anggota badan (kepala, mata,
hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya), gejala-gejala dari alam
(angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan
sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan,
duduk, berdiri dan sebagainya).
g. Kesenian
Merupakan produk manusia sebagai homo esteticus. Kesenian
merupakan segala ekspresi hasrat manusia terhadap keindahan di
dalam suatu kebudayaan. Hasil kesenian yang diciptakan oleh seniman
di setiap daerah tentu beraneka ragam. Adapun ragam kesenian yang
dimaksud misalnya seni rupa, seni suara, seni drama, dan lain-lain.
51
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 16.
52
Ibid, hlm. 17.
36
seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck akan membuat penontonnya,
dalam hal ini siswa, merasa penasaran untuk mengetahui jalan cerita yang ada
di film dan jalan cerita yang ada di novel. Dengan begitu, sebuah film hasil
ekranisasi akan dapat membantu siswa dalam meningkatkan minat membaca
mereka. Melalui media film, diharapkan guru dapat membantu siswa untuk
meningkatkan pemahaman dan penafsirannya dalam menganalisis karya
sastra, dalam hal ini novel yang diangkat menjadi film.
Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Analisis
Framing Novel)”. Hasil penelitian yang didapat oleh Isma menunjukkan
bahwa cara pandang dan latar belakang sangat memengaruhi seseorang dalam
menafsirkan realitas sosial berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Hamka mengemas karakter
Zainuddin sebagai sosok berdarah Makassar-Minang berdasarkan cara
pandangnya. Hamka cukup paham dengan makna siri’ yang dianut masyarakat
Makassar, namun pencitraan nilai siri’ pada diri Zainuddin masih lemah. Hal
ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar belakang Hamka sebagai orang
Minangkabau (non-Makassar), maka tidak terdapat kesadaran besar untuk
menggambarkan karakter orang Makassar sebagaimana seharusnya pada
sosok Zainuddin. Begitu pula tokoh Zainuddin dalam cerita diposisikan
sebagai seseorang yang berdarah Makassar-Minang, secara lahiriah bisa saja
darah Minang melekat pada diri Zainuddin, sehingga tidak sepenuhnya ia
mampu memegang kokoh adat Makassar.
Adapun Daratullaila Nasri, mahasiwi S2 Ilmu Sastra, Universitas Gajah
Mada. Tesisnya berjudul "Ideologeme Novel Tenggelamnya Kapal van der
Wijck Karya Hamka; Kajian Intertekstual Kristeva" pada tahun 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan bentuk dan makna ideologeme pada
teks Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Untuk menyajikan tujuan penelitian
tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis suprasegmental dan
intertekstual. Cara kerja penelitian ini, yaitu mencari fungsi intertekstual yang
ada pada teks cerita. Fungsi tersebut adalah kode yang terkait dengan teks
sosial dan sejarah yang ditemukan dalam variabel terikat dan kemudian
dihubungkan dengan variabel independen. Variabel terikat mengacu kepada
teks dalam, sedangkan variabel independen mengacu pada teks luar. Hasil
penelitian ini menunjukkan, bahwa teks sosial dan sejarah yang ditemukan
pada teks novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki kesamaan atau
kejajaran dengan teks sosial dan sejarah yang ada pada teks luar. Bentuk teks
sosial dan sejarah yang ditemukan pada teks cerita tersebut adalah teks mamak
dan kemenakan, harta pusaka, perkawinan, perempuan sebagai kemenakan,
38
urang sumando, surau, Rumah Gadang dan rangking, parewa, urang siak,
urang asa, asal usul Islam di Makassar, dan peristiwa tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck sebagai latar cerita. Teks sosial dan sejarah tersebut
didominasi oleh budaya Minangkabau. Pendominasian ini menggambarkan
pengekslusifan budaya sehingga membentuk masyarakatnya. Produksi makna
teks dihasilkan melalui cara pandang oposisi, tranformasi dan transposisi.
Cara pandang oposisi tidak mempersatukan dua sistem budaya yang berbeda,
sehingga muncul transposisi dan transformasi budaya, yaitu dari tradisional ke
modern. Modernitas membawa orang berpikir nasionalis sehingga tidak ada
lagi perbedaan antarsuku atau kelompok. Yang ada hanya persatuan
antarbangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang penulis paparkan di atas, maka
skripsi yang berjudul “Analisis Perbandingan Warna Lokal Novel dan Film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah” ini belum pernah ada
yang menggunakan judul yang sama. Oleh karena itu, penulis mengangkat
judul tersebut sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
BAB III
PENGARANG DAN KARYANYA
39
40
Amrullah. Serikat Islam inilah yang merasuki jiwa Hamka sehingga ia rajin
mendengarkan pidato para tokoh Muhammadiyah.3
Sekembalinya dari tanah Jawa, Hamka mulai mengemukakan ide-ide
sosialisme Islam lewat pidatonya di tanah Minang sehingga Hamka sudah
menjadi tokoh di Minangkabau saat usianya masih 17 tahun. Hamka juga
menerbitkan majalahnya yang pertama yaitu “Khatib-ul Ummah” tahun 1925.
Pada usia 17 tahun, ia telah sering menulis di berbagai majalah dan surat kabar.
Di bidang jurnalistik, kariernya tercatat sebagai koresponden dan pemimpin
majalah Pelita Andalas, Bintang Islam, Kemajuan Zaman, Al Mahdi (di
Makassar), Pembela Islam, Bintang Islam, Pedoman Masyarakat dan Panji
Masyarakat.4 Meskipun Hamka sudah terkenal di Minang, ia masih sering
mendapat kritikan pedas dari masyarakat karena Hamka dipandang hanya
sebagai “tukang pidato” bukan ahli agama apalagi ahli bahasa Arab. Situasi
seperti ini membuat Hamka memutuskan untuk pergi ke Mekkah saat usianya
19 tahun. Sekembalinya dari Mekkah pada tanggal 5 April 1929, Hamka
menikahi Siti Rahmah, gadis pujaannya sejak kecil. Dengan gelar “Haji” di
depan namanya, Hamka baru dianggap sah sebagai ulama oleh masyarakat
Minang. Ia kembali aktif dalam pergerakannya sebagai pengurus
Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Tahun 1936, Hamka pindah ke Medan. Di kota ini ia mengembangkan bakat
intelektualnya lewat majalah “Pedoman Masyarakat”. Majalah ini pun
mempopulerkan namanya dengan sederet julukan; wartawan, pengarang,
mubaligh sekaligus ahli dakwah. Di Medan ini pula Hamka mengenal karya-
karya sastra dan kebudayaan barat sehingga wawasan budayanya semakin tebal.
Terbukti dengan mencuatnya Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Merantau
Ke Deli (1940), dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937).5
Ketika Jepang berkuasa, Hamka menjadi konsul Muhammadiyah Sumatera
Tengah. Jabatan inilah yang membuatnya didekati Jepang. Ia dianggap tokoh
agama masyarakat, tapi justru itu Hamka dijauhi masyarakat dan kerabatnya,
3
Effendy, “Buya Hamka”.
4
SP, “Prof. Dr. Hamka,” Haluan, 19 Februari 1989, hlm. 9.
5
Effendy, “Buya Hamka”.
41
yang menganggapnya “anak emas” Jepang. Menghadapi hal ini, Hamka dengan
berat hati meninggalkan kota Medan, setelah Jepang angkat kaki. Hamka
pindah ke Jakarta tahun 1950. Ia diangkat menjadi anggota pimpinan pusat
Muhammadiyah di Purwokerto. Di Jakarta ia lebih aktif dalam gerakan sosial,
dakwah dan mengarang. Antara tahun 1951-1952 Hamka mengelola Yayasan
Pesantren Islam yang didirikan Dr. Syamsudin (Mensos saat itu). Yayasan
inilah yang melahirkan masjid agung Al-Azhar yang berpengaruh besar pada
kegiatan dakwah islamiah di Jakarta dan sekitarnya.6
Pergolakan poltik di awal tahun 60-an makin panas. Hamka mendirikan
majalah “Gema Islam”. Media ini efektif membendung PKI yang sering
menyerang lewat surat kabarnya. Mengahadapi hal ini PKI makin gencar
menyudutkan posisi Hamka. PKI menuduh Hamka sebagai plagiator dalam
bukunya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, berlanjut dengan tuduhan
Hamka berkomplot hendak membunuh Bung Karno. Ini mengakibatkan Hamka
mendekam di penjara.
Hamka banyak berjasa bagi bangsa, negara, agama, dan kemanusiaan.
Hamka mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar
(1958) dan dari University Kebangsaan Kualalumpur, Malaysia (1974). Pada
tahun 1975 Hamka menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka juga pernah menjabat sebagai anggota Majelis Ta’sisi Robitoh Alam
Islami yang berkedudukan di Mekkah.7
Jum’at, 24 Juli 1981 pukul 10:41 WIB, Hamka dipanggil Tuhan setelah
berbaring di rumah sakit selama seminggu. Beliau meninggalkan 10 orang
putra-putri dan seluruh umat manusia yang mencintainya.
6
Effendy, “Buya Hamka”.
7
SP, “Prof. Dr. Hamka”.
42
8
Azkarmin Zaini, “Buya Hamka,“ Kompas, 10 Agustus 1980, hlm. 7.
9
“HB JASSIN: HAMKA,” Amanah, no. 1 (Juli 1986): hlm. 78.
44
sangat aktif dalam organisasi inilah yang membesarkan Hamka menjadi dewasa
dan mendorong terus untuk maju dalam membina umatnya.10
Predikat Hamka di samping ulama yang juga berperan sebagai pengarang
roman pernah pula menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam di
Indonesia. Ada yang menganggap, ulama mengarang roman biasa saja. Ada
pula yang berpendapat, itu tidak pantas. Di waktu inilah ia mendapat julukan
yang tidak mengenakkan sebagai pengarang “ulama pengarang roman”. Akan
tetapi walaupun demikian ia tak pernah ambil pusing. “Kalau ilham datang,
saya akan terus mengarang roman,” katanya pada suatu ketika.11
juga produser film Indonesia yang dikenal dengan karya-karya film remajanya,
seperti Apa Artinya Cinta? (2005), Eiffel I’m in Love (2003), Single (2015),
dan masih banyak lagi.
BAB V
A. Simpulan
1. Analisis perbandingan warna lokal pada novel dan film Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan dapat disimpulkan,
bahwa terjadi pendangkalan tradisi serta latar historis Minangkabau setelah
proses ekranisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penciutan dan
perubahan variasi pada unsur-unsur warna lokal Minangkabau yang ada di
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Penciutan dan perubahan
variasi banyak ditemukan pada unsur budaya Minangkabau. Sementara unsur
warna lokal yang paling dominan dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
yaitu unsur sosial Minangkabau, mengingat sutradara tidak melakukan
perubahan apapun saat proses ekranisasi.
2. Implikasi terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah
Implikasi analisis perbandingan warna lokal pada dua media yang berbeda
terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah disesuaikan
dengan kurikulum 2013. Berdasarkan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi
Dasar (KD) kurikulum 2013 yaitu memahami proses alih wahana dalam karya
sastra, diharapkan siswa dapat menganalisis perbandingan sebuah novel
dengan film ekranisasinya. Materi ini memfokuskan peserta didik untuk dapat
menganalisis warna lokal pada dua media yang berbeda, yaitu media buku dan
juga film. Siswa dapat memahami lebih dalam mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan warna lokal, tidak hanya sebatas definisi yang mereka
ketahui. Hasil yang didapat nantinya pun akan berdampak jangka panjang
bagi siswa. Setelah pembelajaran usai diharapkan siswa mendapatkan
informasi baru mengenai wujud warna lokal pada dua media yang berbeda.
152
153
B. Saran
Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, maka beberapa saran
penulis yaitu:
1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk penelitian
selanjutnya terhadap karya sastra sejenis maupun dengan genre yang berbeda.
Penelitian karya sastra lain, di samping analisis perbandingan warna lokal
pada novel dan film akan memberikan suatu pengetahuan baru dan cara
pemahaman baru terhadap karya sastra secara objektif.
2. Analisis warna lokal dapat dipilih oleh guru untuk dijadikan sebagai materi
baru dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XII. Khususnya mengenai
pengenalan-pengenalan lingkungan fisik, unsur sosial, dan unsur budaya lokal
untuk membentuk karakter siswa dalam menghargai budaya bangsa.
3. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka dapat
dijadikan bahan bacaan siswa. Selain mengoptimalkan keterampilan
berbahasa, membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya
Hamka akan meningkatkan pengetahuan budaya siswa.
DAFTAR PUSTAKA
154
155
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2010.
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005.
Kurniawan, Heru. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu. 2012.
Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia.”
Artikel diakses pada 12 April 2019 dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132310008/ .
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2012.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Jakarta: Homerian Pustaka. 2009.
Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta:
Bumi Aksara. 2010.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2009.
-----.Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2010.
-----Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2004.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo. 2008.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers. 2017.
Soerjani, Moh., dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan. Jakarta: UI-Press. 1987.
SP. “Prof. Dr. Hamka.” Haluan, 19 Februari 1989.
Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.
Sumarno, Marselli. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Grasindo. 1996.
Susanto, Dwi. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS. 2012.
Syatriadin. “Landasan Sosiologis dalam Pendidikan.” JISIP I, no.2 (November
2017).
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka. 2002
156