Anda di halaman 1dari 161

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM NOVEL KORUPSI

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER


DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Disusun oleh :

Taufik Hidayatulloh
NIM : 1111013000101

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM NOVEL KORUPSI


KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.pd,)

Oleh:

Taufik Hidavatullah
NIM : 1111013000101

NIP. 19771030 200802 2 009

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAII DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAII
JAKARTA
1437 Itt20t6I]uI
LEMBAR PBNGESAHAN UJIAN MUNAQASA}I

Slaipsi Berjudul Pendidikan Antikorupsi.dalam Novel Korupsi Karya


Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia disnsun oleh Taufik Ilidayatulloh Nomor Induk Mahasiswa
11L101300010L, diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah
pada tanggal 14 Juli 2016 dihadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak
memperoleh gelar Sarjana Sl (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sasta
Indonesia.

Jakarta, 14 Juli 2016


Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tanqan ,-
Makwn s-ubukLM.rrum. 9.-.91.:.Pll'
ryD/mtu*--
NIP. 19800305200901 I 015

S eketaris P anitia (S ekretaris Jurus anlProdi)

Dona Aii Karunia Putra. MA. fe- of'?o\C


NIP. 19E40409201101 I 015

Penguji I
l3 -o? . zotL
NoYi Diah Haryanti. M.Hum.
NIP. 19841 126 201s03 2 007

Penguji II
Nurvati Diihadah. M.Pd.. MA. tl- o7 -zorl
NIP. 19660829 199903 2 003

Mengetahui,
Tarbffihdan Keguruan
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen: FITK-FR-AKD-089
UIN JAKARTA
FORM (FR)
Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia
Hal 1t1
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama Taufik Hidayatulloh


TempaUTgl.Lahir Jakarta, 11 Juli 1991
NIM I 11 1013000101
Jurusan / Prodi Pendidikan Bahasa'dan Sasha Indonesia
Judul Skripsi Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya
Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pernbelajaran

Bahasa dan Sasta Indonesia


Dosen Pernbimbing: l. Rosida Erowati, M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri

dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Wisuda.

Jakarta, 24 Jlur;ri2016

NIM. 1111013000101
“Setiap manusia dibekali oleh Allah naluri
untuk berbuat kebaikan dan kejahatan,
termasuk korupsi. Untuk itu diperlukan upaya
mempertebal iman dalam diri dan membuat
sistem yang menutup peluang melakukan
korupsi.”
(Alm. KH. Dzainuddin MZ.)
ABSTRAK

Taufik Hidayatulloh, 1111013000101, “Pendidikan Antikorupsi dalam Novel


Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Pembimbing : Rosida Erowati, M.Hum.

Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang


menggambarkan konflik batin seorang tokoh utama dalam upayanya mencari
ketenangan hidup. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pendidikan
antikorupsi dalam novel Korupsi dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra
di SMA. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode penentuan
unit analisis, pencatatan data dan analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan novel Korupsi memiliki unsur intrinsik yang
mendukung tema minor harta-tahta-wanita dan tema mayor konflik batin tokoh
Bakir dalam usahanya mencari ketenangan hidup yang menurutnya hanya didapat
dengan memiliki harta. Kemudian, korupsi dipilih sebagai respon atas
berkurangnya harta benda akibat gaji yang kurang memadai dan pandangannya
terhadap harta rekan kerja yang disangkanya hasil dari korupsi. Selain tema minor
dan mayor yang diusung PAT, novel Korupsi memuat pendidikan antikorupsi
yang dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
tingkat SMA kelas XI (Sebelas). Pendidikan antikorupsi dapat dipelajari dari jerat
lingkaran korupsi yang memperlihatkan seorang yang mencoba melakukan
korupsi akan senantiasa berkutat di lingkaran korupsi. Untuk mencegahnya dapat
dilakukan dengan menanamkan nilai antikorupsi yang meliputi, kejujuran,
tanggung jawab, disiplin dan sederhana.

Kata Kunci : Pendidikan Antikorupsi, Novel Korupsi, Pramoedya Ananta Toer.

i
ABSTRACT

Taufik Hidayatulloh, 1111013000101, "Anti-corruption Education in the Novel


Corruption by Pramoedya Ananta Toer and It’s Implication of Indonesian
Language and Literature Learning in High School.” Departement of Indonesian
Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching Science,
State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. Supervisor: Rosida Erowati,
M.Hum.

Corruption novel by Pramoedya Ananta Toer is a novel that describes the inner
conflict of a main character in his quest for peace of life. This study have a
purposed to knowing the anti-corruption education in the novel Corruption and
it’s implication of Indonesian language and literature learning in high school. The
method used in the writing of the paper is a qualitative descriptive. Data collection
in this study using the method determining the unit of analysis, data recording and
analysis.
The results showed the corruption of the novel has elements of intrinsic support
the theme of minor treasure-throne-women and the major theme of inner conflict
Bakir figures in the quest for peace of life which he only obtained with
possession. Then, corruption is chosen in response to the reduction in property
due to inadequate salaries and views on treasure colleagues he thought the result
of corruption. In addition to minor and major themes that carried PAT, the novel
Corruption contains anti-corruption education to be implicated of Indonesian
language and literature learning at the high school level class XI (Eleven). Anti-
corruption education can be learned from the snare of the corruption circle shows
a man who tried to do corruption will continue stuggling in the circle of
corruption. To prevent this can be done by instilling values that include anti-
corruption, honesty, responsibility, discipline and simple.

Keywords : Anti-corruption Education, Novel Corruption, Pramoedya Ananta


Toer

ii
KATA PENGANTAR

ِ‫ِبسْــــــــــــــــــمِ اهللِ الّرَحْمَنِ الّرَحِيْم‬

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena


berkat rahmat dan hidayahnya, skripsi yang berjudul “Pendidikan
Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan
Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” pada
akhirnya dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW karena kehadirannya
merupakan rahmat bagi alam semesta.

Selama lebih dari sembilan bulan proses pengerjaan skripsi, penulis


begitu banyak menemui lika-liku hambatan yang mewarnai proses
penulisan skripsi, dari beragamnya opsi pembahasan yang menarik untuk
diteliti khususnya novel lain yang memiliki tema serupa yakni korupsi,
hingga perubahan judul atas saran dosen pembimbing. Kemudian, hal
tersebut menjadi motivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada nama-nama
berikut.

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan;
2. Makyun Subuki, M.Hum., selaku Kepala Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia;
3. Dona Aji Karunia Putra, M.A., selaku Sekretaris Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia;
4. Rosida Erowati, M.Hum., selaku pembimbing dalam penulisan
skripsi yang selalu memberikan arahan dengan ilmu yang
meningkatkan pengetahuan penulis. Terima kasih atas arahan,
motivasi, bimbingan dan kesabaran Ibu selama ini;
5. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku penguji I dan Nuryati
Djihadah, M.Pd., MA., selaku penguji II yang telah menguji
penulis dalam sidang munaqosah dan memberikan saran maupun
perbaikan yang memperkaya ilmu pengetahuan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
6. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah memperkenalkan indahnya dunia sastra, keanekaragaman
bahasa dan manfaat besar sebagai seorang pengajar;

iii
7. Keluarga besar Kartama dan Taspiah selaku orang tua penulis,
kakak Eka Novianty dan adik Kevin Dwi Indra Tama yang tiada
henti-hentinya memberikan dukungan, baik doa, moral maupun
moril sejak penulis lahir hingga kini;
8. Teman skripsi seperjuangan, Meilinda Sari Rusmiyati, S.I.kom.,
yang telah membantu penulisan skripsi dalam hal pencarian
referensi serta harapan-harapan yang memotivasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi;
9. Teman seperjuangan dalam menempuh program sarjana strata
satu, seluruh mahasiswa Jurusan PBSI khususnya PBSI C
angkatan 2011 dan anggota ROJALI yang telah memberikan
banyak motivasi serta pengalaman hidup yang menjadikan
perjalanan menempuh pendidikan ini menjadi penuh warna dan
arti.

Semoga semua bantuan doa, motivasi serta bimbingan yang telah


diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Selain itu, penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak agar
dapat membantu meningkatkan mutu pembelajaran dan pengajaran bahasa
dan sastra Indonesia.

Jakarta, 24 Juni 2016


Penulis

Taufik Hidayatulloh

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQOSAH

ABSTRAK ............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1


B. Identifikasi Masalah ........................................................................ 7
C. Pembatasan Masalah ....................................................................... 7
D. Rumusan Masalah ........................................................................... 8
E. Tujuan Penelitian ............................................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ........................................................................... 8
G. Metodologi Penelitian ...................................................................... 9
H. Penelitian yang Relevan ................................................................. 11

BAB II LANDASAN TEORI

A. Hakikat Korupsi ............................................................................. 13


1. Definisi Korupsi ....................................................................... 13
2. Pendidikan Antikorupsi .......................................................... 15
B. Hakikat Novel ................................................................................ 18
C. Unsur Intrinsik Novel .................................................................... 18
D. Sosiologi Sastra ............................................................................. 32
E. Hakikat Pembelajaran Sastra ......................................................... 33
F. Pembelajaran Prosa dalam Kurikulum 2013 ................................. 35

BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN HIDUP

A. Biografi Pramoedya Ananta Toer .................................................. 38


B. Pandangan Hidup Pramoedya Ananta Toer ................................... 44

v
BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik ............................................................................... 47


1. Tema ....................................................................................... 47
2. Penokohan .............................................................................. 50
3. Alur .......................................................................................... 63
4. Latar ......................................................................................... 72
5. Sudut Pandang ......................................................................... 82
6. Gaya Bahasa ............................................................................ 83
B. Hasil Penelitian : Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi .. 87
1. Jerat Lingkaran Korupsi .......................................................... 87
2. Nilai Antikorupsi ................................................................... 100
C. Implikasi pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ......... 110

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ....................................................................................... 115


B. Saran ............................................................................................. 116

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 117

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 : RPP

Lampiran 2 : Sinopsis

PROFIL PENULIS

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pramoedya (selanjutnya; PAT) adalah tokoh non-politik ketika ia
memulai karirnya. Namun, kelak ia harus membayar cukup mahal
keterlibatannya dalam dunia politik, hingga meskipun dikenal sebagai tokoh
sastra terkemuka ia juga dituduh telah menenggelamkan bakat kepenulisannya
demi tujuan-tujuan politik.1 Meski menurut Ajip Rosidi, PAT merupakan
orang yang tidak suka dengan organisasi dan keterlibatan PAT dalam sebuah
organisasi hanya sebatas sebagai penulis yang menuangkan karyanya.2
Keterlibatannya dalam dunia politik mengakibatkan dirinya keluar masuk
penjara tanpa adanya proses hukum. Karya PAT dirampas dan dilarang terbit
karena dituduh meresahkan masyarakat dan mengandung unsur kritik kepada
pemerintah. Di tengah pelarangan yang digaungkan oleh pemerintah (dan
sebagian masyarakat), karya-karya PAT justru mendapat sambutan baik dari
dunia Internasional. Karya-karya tersebut bahkan diterjemahkan ke dalam 40
bahasa.3 Hukuman pidana yang diterapkan pemerintah orde baru terhadap
masyarakat yang memiliki kaitan dengan karya PAT mengakibatkan
minimnya apresiasi. Banyak karya PAT yang kurang mendapat tempat di
masyarakat kalau tidak disebut dilupakan, salah satunya novel Korupsi.
Novel korupsi merupakan friksi kritik pada pamong pradja yang jatuh di
atas perangkap korupsi.4 Pada saat itu, pamong pradja sedang dalam sorotan
permasalahan kesejahteraan pegawai dan kaitannya dengan kasus korupsi.
1
Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi, (Depok: Komunitas
Bambu, 2012), h. 1.
2
Ibid., h. xvii.
3
Tahar Ben Jelloun, Korupsi, Terj. dari L’Homme Rompu oleh Okke K.S. Zaimar, (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 5.
4
Mega Fiyani, Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta
Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra, Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Jakarta, 2011, h. 27, tidak dipublikasikan.

1
2

Rosihan Anwar dalam tulisannya “Geger Dikalangan Pamong Pradja”,


memotret adanya indikasi kolusi (pada akhirnya korupsi) dalam tubuh
pamong pradja. Indikasi tersebut muncul setelah pengangkatan pegawai
pamong pradja baru yang dianggap hanya menguntungkan partai Menteri
pada saat itu karena berlatar belakang anggota partai berkuasa.5
Di Indonesia, novel Korupsi diterbitkan pertama kali oleh Majalah
Indonesia, keluaran khusus No. 54 tahun 1954.6 Ketika itu, pemerintah
mengeluarkan kebijakan pemotongan atas anggaran belanja PPK (Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan), yang mengakibatkan berlangsungnya krisis
penerbitan.7 Keadaan ini mengakibatkan banyak penerbit pada masa itu tidak
dapat berkembang. Selain itu, keadaan ekonomi masyarakat dalam periode
tahun lima puluhan menjadikan roman, objek yang kurang menarik dari segi
ekonomi. Hal ini berdampak pada jumlah pembaca potensial yang dapat
mengeluarkan uang untuk membeli buku menjadi terbatas.8 Novel Korupsi
kemudian diterbitkan kembali oleh majalah kebudayaan Nusantara pada 1961
hingga menghasilkan cetakan ketiga pada 1964.9 Namun, pada 13 Oktober
1965 PAT ditahan. Ia dituduh terlibat dalam Lekra yang dianggap oleh Orde
Baru sebagai badan yang disusupi komunisme.10 Citra buruk yang disebarkan
Orde Baru kepada masyarakat kemudian turut mempengaruhi
keberlangsungan karya-karya para anggota Lekra, termasuk karya PAT.
Ketika proses penciptaan novel Korupsi (dan novel lainnya ditahun lima
puluhan), keadaan sosial-ekonomi keluarga PAT sedang dalam kondisi sulit
karena krisis keuangan dan tanggungan PAT terhadap saudaranya pasca

5
Rosihan Anwar, “Geger Dikalangan Pamong Pradja”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10
Oktober 1954, h. 5.
6
A.Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 403.
7
Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011)., h. 15.
8
Teeuw, op. cit., h. 195.
9
Ibid., h. 403.
10
Hun, op. cit., h. 20.
3

meninggalnya orang tua mereka. Hal ini berakibat tidak memungkinkannya


untuk menciptakan roman yang serius dan lebih mengejar kuantitas
penerbitan. Selama masa itu, PAT fanatik menulis demi keperluan rumah
tangganya.11 Dikalangan kritikus sastra, H.B. Jassin12 dan A.Teeuw13 menilai
Korupsi sebagai novel yang kurang mengesankan. Rivai Apin menyorot tokoh
Sirad yang dianggapnya sebagai tokoh mati.14 PAT kemudian membela diri
atas kritik yang ditujukan padanya; “Pramoedya felt that the items examined
by his critics were not of prime relevance to his work. He missed a discussion
of the social message of his texts, as this was his main concern”.15 Dalam
novel Korupsi, tujuan utama yang dimunculkan seperti kesederhanaan, sebab-
akibat korupsi dan angkatan tua yang mentalnya ketularan kolonialisme justru
tidak mendapat perhatian para kritikus.
Novel Korupsi justru mendapat sambutan yang baik oleh dunia
internasional, setidaknya Korupsi telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda (Korruptie, Hein Vruggink Amsterdam, 1983) dan bahasa Prancis
(Corruption, Denys Lombard Paris, 1981).16 Novel Korupsi (bersama novel
Bukan Pasar Malam dan Jejak Langkah) dalam edisi Prancis dikagumi oleh
masyarakat Negeri Bonaparte itu.17 Bahkan, menjadi inspirasi seorang penulis
Maroko yang besar dan mahsyur di Prancis, Tahar Ben Jelloun, untuk turut
merekam kejahatan ini dalam novelnya yang berjudul L’Homme Rompu.18

11
Teeuw, op. cit., h. 29.
12
HB. Jassin, Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essei, (Jakarta: Gunung
Agung, 1962), h. 139.
13
Teeuw, op. cit., h. 205.
14
Rivai Apin, “Tokoh2 Mati: Korupsi Novel Pramoedya Ananta Toer dalam Madjalah
Indonesia”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 22 Agustus 1954, h. 25.
15
Martina Heinschke, “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya‟s Developing Literary
Concepts”, Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966, h. 159.
16
Teeuw, op. cit., h. 411.
17
Bersihar Lubis, “Narsisme Harap Minggir”, Majalah Gamma, Jakarta, 31 Mei-6 Juni 2000,
h. 92.
18
Tahar Ben Jelloun, op. cit., h. 11.
4

Sepanjang perjalanan sastra Indonesia, telah banyak penulis dengan latar


belakang zamannya masing-masing menuliskan novel dengan tema korupsi.
Novel Jalan Tak Ada Ujung karya Muchtar Lubis dapat dikatakan sebagai
perintis novel dengan tema korupsi pasca kemerdekaan, meskipun korupsi
masih menjadi tema minor di tengah tema perjuangan yang dianggap masih
hangat. Pada masa orde baru, terdapat novel Orang-Orang Proyek karya
Ahmad Tohari yang menggambarkan tokoh yang memiliki pilihan melawan
atau terbawa arus korupsi. Novel 86 karya Okky Madasari yang memiliki
setting waktu pasca reformasi menggambarkan kejahatan korupsi yang
semakin berkembang dan menjadi fenomena yang dianggap biasa, bahkan
kebanyakan masyarakat seolah tidak memiliki pilihan dan „terpaksa‟ terbawa
arus korupsi.
PAT mendayagunakan jalinan peristiwa secara humanis dalam novel
Korupsi bahwa permasalahan ini bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja,
lewat permasalahan korupsi yang dibalut dengan harapan jamak seorang pria
dalam urusan dunia, harta-tahta-wanita. Hal tersebut kemudian menimbulkan
konflik batin tokoh utama antara mengejar kebahagiaan semu dan mencari
ketenangan batin. Eratnya penggambaran konflik batin dirasa menjadi nilai
yang paling menonjol di antara novel dengan tema serupa. Dengan pemilihan
sudut pandang aku orang pertama dan cerita yang berfokus pada konflik batin
tokoh utama, memudahkan narator mengeksplorasi sisi batin tokoh utama
untuk memperoleh empati dari pembaca. Hal yang menarik justru karena
pembaca diharapkan memberikan empati dari tokoh antihero, tokoh yang
berbuat kejahatan namun diharapkan dapat memberikan nilai-nilai positif
kepada pembaca.
Dewasa ini praktik korupsi dianggap sebagai sebuah kejahatan yang tidak
bisa dihindarkan. Dogma yang berkembang di masyarakat seperti „kalau tidak
korupsi kapan kaya,‟ „ujung-ujungnya duit,‟ hingga „uang terima kasih,‟
menggambarkan kebiasaan masyarakat yang justru mendukung praktik
5

korupsi. Jika direlevansikan pada masa kini, novel Korupsi dapat dijadikan
pembelajaran antikorupsi yang paling mendasar dalam diri manusia yakni
niat. Dengan niat kesempatan dapat dibuka dan dengan niat pula kesempatan
untuk korupsi dapat ditutup. Keluarga tokoh utama digambarkan sebagai
keluarga yang menolak perilaku korup dan memilih untuk tetap sederhana
(meski cenderung kekurangan). Biasanya para koruptor beralasan keadaan
rumah tangga dan gaya hidup keluarga yang memaksa mereka melakukan
korupsi. Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bahwa diri kita sendirilah yang
bisa menentukan apa yang akan dilakukan, korupsi atau berani jujur.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia,
namun hasilnya masih jauh dari harapan. Survei Corruption Perception Index
(CPI) tahun 2015 yang dipublikasikan Transparancy International (TI)
menunjukkan posisi Indonesia di urutan 88 dari 168 negara yang diukur.19 Hal
ini menjadi paradoks negara Islam terbesar di dunia, terutama pejabat muslim
yang telah melakukan sumpah jabatan di atas Al-Quran. Salah satu Firman
Allah SWT dalam Al-Quran berkaitan dengan harta berbunyi:

ٍِْ‫حكَا ِو نِتَ ْأ ُكهُىا َفرِيقًا ي‬


ُ ْ‫م وَتُ ْدنُىا ِبهَا ِإنَى ان‬
ِ‫ط‬ِ ‫َونَا تَ ْأكُهُىا َأيْىَاَنكُ ْى بَيَُْكُ ْى بِانْبَا‬
20
ٌَ‫س بِانْإِثْىِ َوأََْتُىْ َت ْعَهًُى‬
ِ ‫ل انَُا‬ ِ ‫َأيْىَا‬
Ada dua cara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi, yakni
langkah represif (penindakan) dan langkah preventive (pencegahan).
Tindakan dalam langkah pencegahan di antaranya upaya perbaikan sistem
birokrasi dan yang paling penting adalah penyemaian bibit-bibit antikorupsi
melalui jalur pendidikan. Penanaman nilai-nilai antikorupsi akan melahirkan
generasi antikorupsi dimasa yang akan datang. Divisi Pencegahan KPK telah

19
Transparency International, Perbaikan Penegakan Hukum, Perkuat KPK, Benahi Layanan
Publik, diakses pada 02/02/2016, 20.30 WIB dari www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/
corruption-perceptions-index-2015
20
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 188).
6

mengeluarkan program-program berkaitan dengan pencegahan korupsi, di


antaranya membentuk program sekolah antikorupsi,21 pelatihan guru,22
pengadaan mata kuliah pendidikan antikorupsi di Perguruan Tinggi, hingga
bersinergi dengan Kemdikbud dan Kemenag lewat penyelarasan kurikulum
antikorupsi.23 Namun, mengherankan memang bahwa gaung bidang
pencegahan kurang menarik dibanding bidang penindakan yang mampu
menyedot animo media.24 Padahal, gerakan antikorupsi merupakan langkah
awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang
lebih baik sejak usia muda dengan membangun karakter.
Langkah preventive di dunia pendidikan dapat diterapkan dalam proses
belajar pembelajaran. Salah satunya pengajaran sastra yang memiliki peran
pemupukan karakter peserta didik. Namun, kurangnya ketersediaan karya
sastra seperti novel yang bermutu di sekolah mengakibatkan pembelajaran
analisis novel hanya sebatas kutipan teks. Sedianya, dengan membaca
keseluruhan cerita, peserta didik akan memahami pesan tersirat di samping
pesan tersurat yang disampaikan oleh penulis novel. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam novel dapat diresap oleh peserta didik dan secara tidak
sadar merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka. Adanya hubungan karya
sastra dengan pembentukan kepribadian menunjukkan bahwa karya sastra
mempunyai kesempatan untuk menjadi sarana dalam mengubah kondisi sosial
masyarakatnya.
Berkaitan dengan teori dan fakta terhadap novel Korupsi dan kondisi
masyarakat Indonesia, peneliti tertarik mengkaji mengenai Pendidikan

21
Iman Santoso, “28 Siswa Lulus Sekolah Antikorupsi”, Integrito, Jakarta, September-
Oktober 2015, h. 54.
22
Sheto Risky Prabowo, “KPK Ajak 25 Guru Menulis Antikorupsi”, Integrito, Jakarta,
September-Oktober 2015, h. 37.
23
Sheto Risky Prabowo, “KPK Selaraskan Pendidikan Antikorupsi”, Integrito, Jakarta,
September-Oktober 2015, h. 7.
24
Johan Budi, dkk., Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, (Jakarta: Spora
Communications, 2007), h. 75.
7

Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer dan


Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kemudian, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber
pengajaran yang menumbuhkan rasa kepedulian dan pengetahuan mengenai
korupsi, supaya peserta didik memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang
terjadi pada negeri ini dan untuk menumbuhkan semangat antikorupsi sebagai
generasi penerus bangsa.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka identifikasi
masalah dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sejarah kelam PAT menyebabkan banyak karyanya kurang mendapatkan
apresiasi khususnya di Indonesia, salah satunya novel Korupsi.
2. Perilaku menganggap korupsi sebagai suatu kewajaran yang berkembang
di masyarakat menumbuhkan praktik korupsi. Hal ini terlihat dari
tingginya angka korupsi di Indonesia.
3. Langkah preventive kurang mendapat perhatian dari masyarakat. Padahal,
langkah ini merupakan tindakan yang efektif dan efesien karena akan
mencegah perilaku korupsi dari akar, lewat penanaman karakter.
4. Kurangnya ketersediaan novel yang bermutu di sekolah mengakibatkan
terbatasnya pengetahuan siswa terhadap novel yang baik untuk mereka
baca. Selain itu, mengakibatkan pembelajaran analisis novel hanya
sebatas kutipan teks yang menyebabkan siswa tidak mengetahui nilai-
nilai yang terdapat di dalam novel.
C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah ini diharapkan agar dalam penelitian tidak meluas.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini yaitu pendidikan
antikorupsi dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer dan
implikasinya pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA.
8

D. Rumusan Masalah
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi
permasalahan pada hal sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur pendidikan antikorupsi dideskripsikan dalam novel
Korupsi karya PAT?
2. Bagaimana implikasi pendidikan antikorupsi dideskripsikan dalam novel
Korupsi karya PAT pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan dan pembatasan masalah maka tujuan penelitian
adalah
1. Mendeskripsikan struktur pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam
novel Korupsi karya PAT.
2. Mendeskripsikan implikasi pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam
novel Korupsi karya PAT pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
di SMA.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan tidak hanya bermanfaat bagi peneliti
namun dapat bermanfaat untuk orang lain dalam rangka menumbuhkan
semangat antikorupsi. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Manfaat teoretis
Sebagai hasil penelitian yang akan memperkaya bahan ajar terutama di
bidang novel, karena novel merupakan salah satu materi yang diminati
siswa. Namun, kurangnya novel bermutu terutama novel klasik yang
dibaca, mengakibatkan kurangnya pengetahuan siswa.
2. Manfaat praktis
9

a. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia, sebagai bahan pembelajaran


untuk memudahkan guru dalam mengambil contoh pengajaran
dengan tema antikorupsi.
b. Bagi siswa, sebagai sarana pembelajaran dengan tema antikorupsi
yang terdapat dalam karya sastra. Karya ini akan membuat siswa
tertarik terhadap permasalahan antikorupsi.
c. Bagi peneliti lain, sebagai bahan informasi ketika mengambil tema
yang sama mengenai antikorupsi dan sebagai bahan perbaikan untuk
penelitian ini.
G. Metodologi Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung dari bulan September 2015 sampai Juni 2016.
Penelitian ini tidak terkait dengan tempat tertentu karena objek yang dikaji
berupa naskah (teks) karya sastra yaitu novel.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data
dekriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati. Adapun
langkah penelitian dalam metode kualitatif adalah definisi masalah,
perumusan hipotesis, perumusan definisi operasional, merancang alat
penyelidikan, pengumpulan data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan
melaporkan hasil penyelidikan.25 Pengkajian ini bertujuan untuk
mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang
meliputi analisis dan interpretasi data tersebut.
Untuk menginterpretasi data yang terdapat di dalam novel, diperlukan
analisis intrinsik dengan menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan
objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada

25
Boy S. Sabarguna, Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, (Jakarta: UI-Press, 2005), h.
10.
10

karya sastra.26 Unsur yang dimaksud seperti tema, penokohan, alur, latar,
sudut pandang dan gaya bahasa.
Sastra merupakan komunikasi antara sastrawan dan pembacanya. Apa
yang ditulis sastrawan di dalam karyanya adalah apa yang ingin diungkapkan
kepada pembacanya. Dalam menyampaikan idenya, sastrawan tidak bisa
dipisahkan dari latar belakang dan lingkungannya (alam semesta).27 Untuk
dapat memahami konteks perkembangan sosial masyarakat yang berkaitan
dengan permasalahan korupsi yang terdapat di dalam novel ini, penulis juga
menggunakan pendekatan ekstrinsik; pendekatan tradisional yang meliputi
sosiologi sastra maupun psikologi sastra. Kedua pendekatan ini saling
berkaitan karena memiliki objek yang sama, yaitu manifestasi manusia yang
teridentifikasi dalam karya. Perbedaannya, objek sosiologi sastra adalah
manusia dalam masyarakat sebagai transindividual, sedangkan objek
psikologi sastra adalah manusia secara individual, tingkah laku sebagai
manifestasi psike. Karena itulah, aspek-aspek psikologi bermanfaat bagi
sosiologi sastra apabila memiliki nilai-nilai historis yang berhubungan dengan
aspek-aspek kemanusiaan secara keseluruhan.28
1. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian adalah tempat memperoleh data. Dalam penelitian
ini yang menjadi subjek penelitian adalah pendidikan anti korupsi dalam
novel Korupsi karya PAT. Sedangkan objek yang digunakan dalam
penelitian ini adalah novel Korupsi karya PAT yang diterbitkan oleh
Hasta Mitra pada Februari 2002.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik pustaka yakni teknik menggunakan sumber-sumber tertulis untuk
26
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:Grasindo,2008), h. 183.
27
Ibid., h. 178.
28
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
cet. ke 2, h. 13.
11

memperkuat informasi sebagai bahan dasar analisis. Teknik pustaka


didapat dari berbagai sumber di antaranya buku, majalah, skripsi, file
digital dan dokumen lain yang berkaitan dengan objek penelitian. Teknik
pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah dengan membaca novel
Korupsi karya PAT kemudian mencatat teks yang menggambarkan
pendidikan antikorupsi. Langkah berikutnya menganalisis dengan teknik
kepustakaan berkenaan dengan pendidikan antikorupsi.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah suatu cara yang digunakan untuk
menguraikan keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar
data tersebut dapat dipahami oleh orang lain. Secara metodis, langkah
kerja teknik analisis data dalam penelitian ini dapat disusun ke dalam
langkah pokok, yaitu a) mendeskripsikan data dengan menggunakan
pendekatan objektif untuk mengetahui kandungan unsur intrinsik yang
terdapat di dalam novel berupa tema, penokohan, alur, latar dan gaya
bahasa, b) menganalisis teks yang menggambarkan pendidikan
antikorupsi dengan memanfaatkan pendekatan sosiologi sastra untuk
mengetahui hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra
yang berkaitan dengan permasalahan korupsi, dan c) hasil analisis
tersebut kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran pendidikan
antikorupsi.
H. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai novel karya PAT telah banyak dilakukan, baik di
dalam maupun di luar negeri. Namun, sepanjang pencarian, penulis belum
menemukan penelitian dengan fokus penelitian yang sama. Penelitian
berkaitan dengan novel korupsi pernah dilakukan oleh mahasiswi
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Astri Adriani. Dalam tesisnya yang
berjudul “Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer dan L’Homme Rompu karya
Tahar Ben Jelloun sebagai karya sastra Francophone”. Pemilihan novel
12

Korupsi dan L’Homme Rompu didasarkan pada hubungan Indonesia dan


Perancis, khususnya mengenai penerjemahan karya sastra. Astri Adriani
mengungkapkan bahwa ide cerita L’Homme Rompu merupakan sambutan
terhadap novel Korupsi yang terjadi karena adanya dialog antarteks dan
interteks.
Selain itu, mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia,
Ricky Sukandar. Dalam tesisnya yang berjudul “Kajian Sosiologis dan Nilai
Karakter dalam Novel Mengenai Korupsi serta Pemanfaatannya sebagai
Bahan Ajar di SMA”, Ricky Sukandar membahas gambaran sosiologis dan
nilai karakter yang terkandung dalam novel Korupsi karya PAT, Orang-
Orang Proyek karya Ahmad Tohari dan Sebuah Novel 86 karya Okky
Madasari. Pemilihan novel-novel tersebut didasarkan pada latar dalam novel
yang dirasa mewakili potret masyarakat pada zamannya masing-masing;
Korupsi karya PAT perwakilan orde lama, Orang-Orang Proyek karya
Ahmad Tohari mewakili orde baru dan Sebuah Novel 86 karya Okky
Madasari pasca reformasi.
Penelitian serupa pernah dipublikasikan oleh Ni Nyoman Subardini dalam
jurnal yang diterbitkan Universitas Nasional (UNAS), dengan judul “Potret
Koruptor dalam Novel Korupsi.” Dalam penelitiannya, Ni Nyoman Subardini
mendeskripsikan fenomena korupsi dalam dua novel yakni novel Korupsi
karya PAT dengan L’Homme Rompu karya Taher Ben Jelloun. Hasilnya,
kedua novel sama-sama menggambarkan sebuah fenomena korupsi dan pesan
tersirat yang sama, yakni meskipun seorang koruptor telah sukses
mengumpulkan hartanya, hati nuraninya belum tentu tenang karena ia harus
selalu menjaga kebohongan-kebohongannya.
Melihat penelitian sebelumnya terhadap novel Korupsi karya PAT,
penelitian “Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya Pramoedya
Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia” memiliki perbedaan fokus penelitian dibandingkan penelitian
13

sebelumnya. Penelitian ini mengungkapkan pendidikan antikorupsi dalam


novel Korupsi yang kemudian dapat menambah khazanah pengetahuan dan
menumbuhkan semangat antikorupsi dalam diri peserta didik.
BAB II

LANDASAN TEORETIS

Landasan teoretis yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya


disusun untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini sehubungan dengan
masalah yang diteliti. Landasan teori yang relevan dengan penelitian ini
diuraikan sebagai berikut.
A. Hakikat Korupsi
1. Definisi Korupsi
Koruptologi, sebuah cabang ilmu pengetahuan baru yang bertujuan
untuk mempelajari korupsi dari berbagai aspek ditawarkan Guru Besar
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Redatin Parwadi, M.A. Korupsi berasal
dari kata Latin Coruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa
Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Corruptie.
Corruptie selanjutnya masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan
Korupsi. Adapun logi berasal dari logos yang berarti ilmu atau
pengetahuan. Sesuai dengan interdisiplinernya, koruptologi adalah ilmu
pengetahuan sistematik yang menelaah korupsi dalam berbagai aspek,
termasuk peraturan perundang-undangan dan pelanggaran terhadap
peraturan mengenai korupsi.1
Istilah korupsi yang telah diterima dalam pembendaharaan kata bahasa
Indonesia terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata korupsi
diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan, organisasi, yayasan dsb) untuk keuntungan pribadi atau
orang lain.2 Dalam dunia hukum Indonesia yang tercantum dalam pasal 2
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001, korupsi didefinisikan sebagai
1
Redatin Parwadi, Koruptologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 41.
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h. 736.

13
14

perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau


orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara.3
Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “pemanfaatan
kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi”. Sedangkan, Transpency
International (TI) mengartikan korupsi sebagai perilaku pejabat publik,
politikus, pegawai negeri, yang secara tidak wajar/ilegal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengan dirinya dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan.4 Lebih spesifik,
Boesono Soedarso mengartikan korupsi tidak hanya terbatas pada
keterlibatan pejabat negara, tetapi siapapun orang yang melawan hukum
untuk melakukan perbuatan memperkaya diri yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.5
Hafidhuddin dalam Mansyur Semma memberikan gambaran korupsi
dalam persepektif ajaran Islam. Dalam Islam, korupsi termasuk perbuatan
fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya
dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar).6 Korupsi mencakup
penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan
nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan
pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campur tangan dan
penipuan. Kemudian, suapan (sogokan) didefinisikan sebagai hadiah,
penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau
dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku,

3
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 279.
4
Anwary, Perang Melawan Korupsi, (Jakarta: Institut Pengkajian Masalah-masalah Politik
dan Ekonomi, 2012), h.126.
5
Boesono Soedarso, Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia, (Jakarta: UI
Press, 2009), h. 10.
6
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia
Indonesia dan Perilaku Politik, (Jakarta: Yayasan Obor, 2008), h. 33.
15

terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat


pemerintah).7
Korupsi didahului oleh adanya niat, kemudian adanya kesempatan
karena mempunyai kewenangan, didukung oleh lingkungan yang korup,
dilanjutkan dengan tindakan korupsi, serta setelah berhasil, berusaha
untuk mengamankan hasil dan menikmatinya. Jika dirumuskan sebagai
berikut :
Korupsi = Niat (Intention) + Kesempatan (Kekuasaan, Kewenangan)
+ Lingkungan Korup + Action (Tindakan Melakukan
Korupsi) + Security (Mengamankan Hasil/ Menikmati).8

Dari beberapa pengertian mengenai korupsi tersebut, dapat


disimpulkan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan uang negara yang
dilakukan perorangan, perusahaan, organisasi, yayasan dsb untuk
keuntungan pribadi atau orang lain. Kemudian, dalam penelitian ini,
digunakan rumus yang dikemukakan Redatin dalam menganalisis alur
korupsi yang dilakukan tokoh dalam novel Korupsi.

2. Pendidikan Antikorupsi
Pemerintah Indonesia telah berusaha keras untuk memerangi korupsi
dengan berbagai cara. KPK sebagai lembaga independen yang secara
khusus menangani tindak korupsi dengan upaya pencegahan dan
penindakan tindak korupsi. Namun di sisi lain, upaya penindakan
membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Belum lagi jika dihitung dari
dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Upaya memberantas korupsi yang paling murah dan efektif adalah dengan

7
David H. Bayley, Akibat-akibat Korupsi pada Bangsa-bangsa sedang Berkembang, Terj.
dari The Effect of Corruption In a Developing Nation oleh Muchtar Lubis dan James C.Scott, (Jakarta:
LP3S, 1988), h. 86.
8
Redatin, op. cit., h. 56.
16

tindakan preventive (pencegahan), seperti pendidikan antikorupsi dan


penanaman nilai-nilai integritas kepada anak-anak sejak dini.9
Pada dasarnya korupsi terjadi karena adanya faktor internal (niat) dan
faktor eksternal (kesempatan). Niat lebih terkait dengan faktor individu
yang meliputi perilaku dan nilai-nilai yang dianut sedangkan kesempatan
terkait dengan sistem yang berlaku. Upaya pencegahan korupsi dapat
dimulai dengan menanamkan nilai-nilai antikorupsi dalam diri individu.
Setidaknya ada sembilan nilai antikorupsi yang penting untuk ditanamkan
dalam diri individu, seperti :
a. Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai dasar yang menjadi landasan utama
bagi penegakan integritas diri seseorang. Tanpa adanya kejujuran
mustahil seseorang bisa menjadi pribadi yang berintegritas. Seseorang
dituntut untuk bisa berkata jujur dan transparan serta tidak berdusta
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
b. Kedisiplinan
Ketekunan dan konsistensi untuk terus mengembangkan potensi
diri membuat seseorang akan selalu mampu memberdayakan dirinya
dalam menjalani tugasnya. Kepatuhan pada prinsip kebaikan dan
kebenaran menjadi pegangan utama dalam bekerja.
c. Tanggung Jawab
Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari
bahwa keberadaan dirinya di muka bumi adalah untuk melakukan
perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia.
d. Kesederhanaan
Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari
kebutuhannya dan berupaya memenuhi kebutuhannya dengan

9
Nanang Puspito (eds)., Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Kemendikbud, 2011), h. iii.
17

semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak tergoda untuk hidup dalam


gelimang kemewahan.
e. Kepedulian
Kepedulian sosial kepada sesama menjadikan seseorang memiliki
sifat kasih sayang. Pribadi dengan jiwa sosial tidak akan tergoda untuk
memperkaya diri sendiri dengan cara yang tidak benar, tetapi ia malah
berupaya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk
membantu sesama.
f. Kemandirian
Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri seseorang
menjadi tidak bergantung terlalu banyak pada orang lain. Pribadi yang
mandiri tidak akan menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab demi mencapai keuntungan sesaat.
g. Kerja keras
Perbedaan nyata akan jelas terlihat antara seseorang yang
mempunyai etos kerja dengan yang tidak memilikinya. Individu
beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil
kerjanya demi terwujudnya kemanfaatan publik yang sebesar-
besarnya.
h. Keberanian
Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian
untuk menyatakan kebenaran dan menolak kebathilan. Ia tidak akan
mentolerir adanya penyimpangan dan berani menyatakan
penyangkalan secara tegas.
i. Keadilan
Pribadi dengan karakter yang adil akan menyadari bahwa apa
yang dia terima sesuai dengan jerih payahnya. Ia tidak akan menuntut
untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah upayakan. Bila ia
18

seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil


kepada bawahannya sesuai dengan kinerjanya.10

Seperti yang telah dijelaskan bahwa penyebab korupsi terdiri dari


faktor internal dan eksternal. Upaya pencegahan korupsi pada dasarnya
dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau setidaknya mengurangi kedua
faktor tersebut dengan menanamkan nilai antikorupsi pada setiap
individu.11 Kemudian, dalam penelitian ini, digunakan nilai antikorupsi
yang dikampanyekan KPK sebagai landasan dalam menanamkan nilai
antikorupsi pada peserta didik.

B. Hakikat Novel
Novel adalah karya fiksi yang dibangun melalui berbagai unsur
intrinsiknya. Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan pengarang dan dibuat
mirip dengan dunia nyata lengkap dengan peristiwa-peristiwa di dalamnya,
sehingga seolah-olah seperti kenyataan. Seorang sastrawan memperlakukan
kenyataan yang digunakan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan cara
meniru, memperbaiki, menambah atau menggabung-gabungkan kenyataan
yang ada untuk dimasukkan ke dalam karya sastranya.12
Istilah novel dalam bahasa Indonesia berasal dari istilah novel dalam
bahasa Inggris yang berakar dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa
Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti “sebuah barang baru yang
kecil” dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”.
Dewasa ini, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama
dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette) yang berarti sebuah karya
prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak

10
Yuli Astuti, Nilai dan Prinsip Antikorupsi, diakses pada 02/04/16, 20.20 WIB, dari
http://diskopukm.natunakab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:komitmen-
anti-korupsi&catid=58&Itemid=1150
11
Nanang Puspito, op. cit., h. 75.
12
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta:Grasindo,2008), h. 46.
19

terlalu pendek.13 Dari segi jumlah kata, maka biasanya suatu novel
mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tak terbatas
jumlahnya.14
Wellek dan Warren membagi ragam fiksi naratif menjadi dua, ragam fiksi
naratif yang utama dalam bahasa Inggris disebut romance (romansa) dan
novel. Novel bersifat realistis, sedangkan romansa bersifat puitis dan epic.
Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi: surat, jurnal, memoar
atau biografi, kronik atau sejarah. Dapat dikatakan novel merupakan
gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel
itu ditulis. Sedangkan romansa ditulis dalam bahasa yang agung dan
diperindah, menggambarkan apa yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin
terjadi.15
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karangan prosa yang
panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. 16 Novel
dibangun dari dua unsur yakni intrinsik dan ektrinsik. Dalam unsur intrinsik
terdapat tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang dan gaya bahasa. Sedangkan
unsur ektrinsik dapat berupa latar belakang penulis dan kondisi sosial pada
saat novel tersebut dibuat. Kedua unsur tersebut saling berkaitan karena saling
berpengaruh dalam sebuah karya sastra.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa novel
adalah sebuah karya sastra fiksi yang ditulis secara naratif dengan
menggunakan unsur intrinsik sebagai unsur pembangun cerita. Novel ditulis
oleh pengarang dengan mengambil inspirasi berdasarkan gambaran
kehidupan.
13
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2009), h. 12.
14
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 165.
15
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, Terj. dari, Theory of Literature oleh
Melanie Budianta, (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 282.
16
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., h. 969.
20

C. Unsur Intrinsik Novel


Novel memiliki struktur yang membangun sebuah cerita di dalamnya.
Salah satunya adalah unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang
membangun karya sastra dari dalam yang akan mewujudkan struktur karya
sastra seperti tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang dan gaya bahasa.
1. Tema
Tema karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman)
kehidupan. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup
dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-tema ke dalam karya fiksi
sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan interaksinya dengan
lingkungan.
Pada dasarnya tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Stanton
dan Kenny dalam Nurgiyantoro menjelaskan tema adalah makna yang
dikandung oleh sebuah cerita.17 Makna sebuah cerita dapat lebih dari satu.
Oleh sebab itu, banyak interpretasi yang muncul dari sebuah karya sastra.
Hal ini yang menyebabkan sulitnya untuk menentukan tema pokok atau
dapat disebut tema mayor.
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau
gagasan umum suatu karya. Menentukan tema pokok sebuah cerita pada
hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan dan
menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan dan dikandung oleh
karya yang bersangkutan. Sedangkan, tema minor merupakan makna yang
hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dan dapat
18
diidentifikasikan sebagai makna bagian, makna tambahan.
Menentukan tema merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena
harus memperhatikan berbagai aspek, termasuk pemahaman cerita secara

17
Nurgiyantoro, op. cit., h. 114.
18
Ibid., h. 133.
21

keseluruhan dan sudut pandang yang dipilih. Walau sulit ditentukan secara
pasti, tema bukanlah makna yang “disembunyikan”. Untuk menentukan
sebuah tema dapat disimpulkan dari keseluruhan cerita bukan hanya
berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Kehadiran tema adalah
terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita.19
Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah diungkapkan, dapat
disimpulkan bahwa tema adalah ide dasar atau gagasan pokok yang secara
eksplisit terkandung dalam sebuah novel. Serangkaian peristiwa dapat
diidentifikasikan berdasarkan tema mayor dan tema minor. Secara
keseluruhan, untuk mendapatkan tema dalam sebuah novel diperlukan
proses kesimpulan dari keseluruhan cerita.
2. Tokoh dan Penokohan
Sudjiman dalam Budianta mengemukakan tema adalah individu
rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa
dalam cerita.20 Istilah tokoh merujuk pada orangnya atau pelaku cerita.
Sedangkan, Jones dalam Nurgiyantoro berpendapat penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Penokohan dalam sebuah karya sastra merupakan cara
pengarang untuk menampilkan watak, perwatakan dan karakter tokoh.
Tokoh hanya merupakan karakter ciptaan pengarang, namun tokoh dalam
karya sastra diharapkan sebagai seorang tokoh yang hidup secara wajar,
sewajar sebagaimana kehidupan manusia.21 Bentuk penokohan yang
paling sederhana adalah pemberian nama.22 Penafsiran kualitas penokohan
dalam sebuah karya didasarkan pada penerimaan pembaca.
Untuk menganalisis tokoh, dapat ditinjau dari berbagai sudut, di
antaranya sebagai berikut:
19
Ibid., h. 116.
20
Melanie Budianta, Membaca Sastra, (Magelang: Indonesia Tera, 2002), h. 86.
21
Nurgiyantoro, op. cit., h. 247-249.
22
Wellek dan Warren, op. cit., h. 287.
22

1) Berdasarkan peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat


dibedakan atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan)
dan tokoh komplementer (tambahan).23 Tokoh utama (central
character, main character) adalah tokoh yang diutamakan
penceritanya dalam novel. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa lebih dari
seseorang, walau kadar keutamaannya tidak (selalu) sama. Sementara
itu, peran tokoh tambahan dalam cerita lebih sedikit, tidak
dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan
tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
2) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh dapat dibedakan atas
tokoh utama (antihero), tokoh utama (protagonis) dan yang terpenting
adalah tokoh lawan (antagonis), yakni tokoh yang diciptakan untuk
mengimbangi tokoh utama. Konflik di antara mereka itulah yang
menjadi inti dan menggerakkan cerita.24 Tokoh antihero adalah “a
main character in a dramatic or narrative work who is characterized
by a lack of traditional heroic qualities, such as idealism or
courage”.25 Lebih lanjut, Abrams memberikan pengertian antihero
sebagai“The chief person in a modern novel or play whose character
is widely discrepant from that which we associate with the traditional
protago- nist or hero of a serious literary work. Instead of manifesting
largeness, dignity, power, or heroism, the antihero is petty,
ignominious, passive, ineffectual, or dishonest”.26 Tokoh protagonis
merupakan tokoh yang mendukung jalannya cerita, biasanya disertai
nilai-nilai yang dikagumi (hero), sedangkan tokoh antagonis adalah
23
Siswanto, op. cit., h. 143.
24
Budianta, loc. cit.
25
The American Heritage Dictionary of the English Language, Antihero, diakses pada
18/06/16, 21:00 WIB, dari http://thefreedictionary.com/antihero
26
Abrams, A Glossary of Literary Terms, (United States of America: Cornell University,
1999), h. 11.
23

tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, baik secara langsung


ataupun tidak langsung.27
3) Berdasarkan perwatakannya, tokoh dapat dibagi menjadi tokoh
sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang
asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu.
Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek
kejutan bagi pembaca. Sedangkan, tokoh bulat merupakan tokoh yang
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian dan jati dirinya.28
4) Berdasarkan teknik pelukisan tokoh, setidaknya ada dua cara yakni
teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik ekspositori atau analitis
adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung.
Sedangkan teknik dramatik adalah teknik yang digunakan pengarang
dengan tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta
tingkah laku para tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita
untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas
yang dilakukan.29
Dari pemaparan yang telah diungkapkan, dapat disimpulkan bahwa
tokoh adalah karakter ciptaan pengarang yang mengalami peristiwa dalam
cerita dan memiliki penggambaran secara wajar seperti umumnya
kehidupan manusia. Dalam penelitian ini, tokoh dan penokohan dibagi
menjadi tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan) dan tokoh
komplementer (tambahan) dengan memperhatikan bagaimana pengarang
melukiskan tokoh, fungsi penampilan di dalam cerita dan memberikan
watak yang mempengaruhi perkembangan cerita.

27
Nurgiyantoro, op. cit., h. 261.
28
Ibid., h. 265-266.
29
Ibid., h. 279-283.
24

3. Alur (Plot)
Dalam teori-teori yang berkembang, plot juga dikenal dengan istilah
struktur naratif, susunan dan juga sujet. Foster dalam Nurgiyantoro
menjelaskan plot sebagai peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai
penekanan pada adanya hubungan kausalitas.30 Hubungan kausalitas
diartikan sebagai hubungan sebab akibat, kemunculan peristiwa
sebelumnya akan menyebabkan munculnya peristiwa lain. Kata kunci
“hubungan sebab-akibat” antar peristiwa merupakan pembeda plot dengan
jalan cerita yang hanya memperhatikan rentetan peristiwa. Jan Van
Luxemburg dkk mengartikan alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca
mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik
saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.31
Sudjiman dalam Siswanto membagi alur menjadi alur erat (ketat) dan
alur longgar. Alur erat adalah jalinan peristiwa yang sangat padu di dalam
suatu karya sastra; kalau salah satu peristiwa ditiadakan, keutuhan cerita
akan terganggu. Alur longgar adalah jalinan peristiwa yang tidak padu di
dalam karya sastra, meniadakan salah satu peristiwa tidak akan
mengganggu jalan cerita.32
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dapat dibedakan menjadi plot
lurus (progresif), plot sorot balik (flash back) dan plot campuran.
a. Plot Lurus (Progresif)
Plot sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa-
peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa (-
peristiwa) yang pertama diikuti oleh (atau: menyebabkan
terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Jika dituliskan

30
Ibid., h. 165-167.
31
Jan Van Luxemburg, Mieke Bal dan Williem G Wetsteijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terj.
dari Inleiding In de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartanto, (Jakarta: Gramedia, 1992), cet. 4, h.
149.
32
Siswanto, op. cit., h. 161.
25

dalam bentuk skema, secara garis besar plot progresif akan


berwujud sebagai berikut.
A B C D E
b. Plot Sorot Balik (Flash Back)
Urutan kejadian dalam plot ini tidak bersifat kronologis. Cerita
tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan awal
cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau
bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
Jika dituliskan dalam bentuk skema, secara garis besar plot sorot
balik akan berwujud sebagai berikut.
D1 A B C D2 E
c. Plot Campuran
Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di
dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-
adegan sorot balik. Demikian pula sebaliknya. Jika dituliskan
dalam bentuk skema, secara garis besar plot campuran akan
berwujud sebagai berikut.
E D1 A B C D233
Aminudin dalam Siswanto membedakan tahapan-tahapan peristiwa
atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian.
1) Tahapan awal atau biasa disebut tahap perkenalan. Pada tahap ini
pada umumnya diberi sejumlah informasi penting yang berkaitan
dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap
berikutnya. Dalam tahap ini pengarang memperkenalkan identitas
tokoh, misalnya nama, asal, ciri fisik dan sifatnya.
2) Tahapan konflik merupakan tahap ketegangan atau pertentangan
antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan.

33
Nurgiyantoro, op. cit., h. 213-216.
26

Tahap ini dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian,


menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai
dimunculkan pada tahapan sebelumnya, menjadi semakin
meningkat, semakin menegangkan.
3) Tahapan komplikasi atau rumitan merupakan bagian tengah alur
cerita rekaan yang mengembangkan tikaian. Dalam tahapan ini,
konflik yang terjadi semakin tajam karena berbagai sebab dan
berbagai kepentingan yang berbeda dari setiap tokoh.
4) Tahapan klimaks merupakan bagian alur cerita rekaan yang
melukiskan puncak ketegangan, terutama dipandang dari segi
tanggapan emosional pembaca.
5) Tahapan leraian merupakan bagian struktur alur sesudah tercapai
klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi
menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.
6) Selesaian atau tahap akhir merupakan tahapan di mana segala
permasalahan mulai terselesaikan, semua konflik mulai menemui
jalan keluar atau akhir cerita. Dalam tahap ini semua masalah
dapat diurai, kesalahpahaman dijelaskan, rahasia dibuka. Ada dua
macam selesaian, tertutup dan terbuka. Selesaian tertutup adalah
bentuk penyelesaian cerita yang diberikan oleh sastrawan.
Selesaian terbuka adalah bentuk penyelesaian cerita yang
diserahkan kepada pembaca. 34

Dari berbagai pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan


bahwa alur adalah berbagai peristiwa yang dialami oleh pelaku, diseleksi
dan diurutkan berdasarkan sebab akibat untuk mencapai efek tertentu.
Dalam penelitian ini, alur akan dibahas dengan memperhatikan tahapan
peristiwa maupun jalinan peristiwa di dalamnya.
34
Siswanto, op. cit., h. 159-160.
27

4. Latar
Latar adalah lingkungan yang dapat dianggap berfungsi sebagai
metonimia atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Latar juga dapat
berfungsi sebagai penentu pokok; lingkungan yang dianggap sebagai
penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh
individu.35 Latar dapat berupa segala keterangan mengenai waktu, ruang
dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.36 Latar memberikan
pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal penting untuk memberikan
kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.37
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu dan sosial.
a. Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu
dan mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar
tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau
paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis
tempat bersangkutan.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Permasalahan waktu dalam karya naratif dapat bermakna ganda: di
satu pihak menyaran pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita

35
Wellek dan Warren, op. cit., h. 291.
36
Budianta, loc. cit.
37
Nurgiyantoro, op. cit., h. 303.
28

dan dipihak lain menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi
yang dikisahkan dalam cerita.
c. Latar Sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat
mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia
dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar sosial berhubungan
dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah atau atas. 38
Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana
terjadinya lakuan dalam karya sastra yang digunakan sebagai landasan
untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca.
5. Sudut Pandang
Abrams dalam Nurgiyantoro mengemukakan sudut pandang adalah
cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Pandangan hidup
pengarang disalurkan lewat kacamata tokoh cerita.39 Aminuddin dalam
Siswanto mengartikan sudut pandang atau point of view sebagai cara
pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. 40
Berikut pembedaan sudut pandang berdasarkan bentuk persona tokoh
cerita, yakni persona ketiga dan persona pertama.

38
Ibid., h. 315-322.
39
Ibid., h. 248.
40
Siswanto, op. cit., h. 152.
29

1) Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”


Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang persona
ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita
yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau
kata gantinya; ia, dia, mereka. Dalam sudut pandang ini terdapat “dia”
mahatahu, “dia” terbatas dan “dia” sebagai pengamat.
2) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang
persona pertama, first-person point of view, narator adalah seseorang
yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self consciousness,
mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar,
dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada
pembaca. Narator hanya bersifat mahatahu bagi diri sendiri dan tidak
terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita.
a) “Aku” Tokoh Utama
Si “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku
yang dialaminya, baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun
fisik dan hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya. Si
“aku” menjadi fokus, pusat kesadaran, pusat cerita. Segala sesuatu
yang di luar diri si “aku”, peristiwa, tindakan dan orang,
diceritakan hanya jika berhubungan dengan dirinya, atau
dipandang penting. Jika tidak, hal itu tidak disinggung sebab si
“aku” mempunyai keterbatasan terhadap segala hal yang di luar
dirinya. Namun sebaliknya, tokoh “aku” memiliki kebebasan
untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Teknik
“aku” dapat dipergunakan untuk melukiskan serta membeberkan
pengalaman kehidupan manusia yang paling dalam dan rahasia
sekalipun.
30

Si “aku” yang menjadi tokoh utama cerita praktis menjadi


tokoh protagonis. Hal itu amat memungkinkan pembaca menjadi
merasa benar-benar terlibat. Pembaca akan mengidentifikasikan
diri terhadap tokoh “aku” dan karenanya akan memberikan empati
secara penuh. Namun, keterbatasan tokoh “aku” untuk menjangkau
tokoh dan peristiwa lain di luar dirinya dianggap sebagai
kelemahan teknik ini. Pembaca menjadi tidak banyak tahu karena
pengetahuannya tergantung pada pengetahuan si “aku”.
b) “Aku” Tokoh Tambahan
Tokoh “aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan
sebagai tokoh tambahan, first-person peripheral. Tokoh “aku”
hadir untuk membawakan cerita kepada pembaca.
3) Sudut Pandang Campuran
Penggunaan kedua sudut pandang dalam sebuah novel terjadi
karena pengarang ingin memberikan cerita lebih banyak kepada
pembaca. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran dapat
berupa sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu
dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku”
sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan
dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara
“aku” dan “dia” sekaligus.41
Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya dalam
cerita sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita. Kemudian, dalam penelitian ini
menggunakan pembedaan sudut pandang berdasarkan bentuk persona
tokoh cerita yakni sudut pandang persona pertama “Aku” tokoh utama.

41
Nurgiyantoro, op. cit., h. 347-361.
31

6. Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istrilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam
alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini
akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak
pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah,
maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahilan untuk menulis
atau mempergunakan kata-kata secara indah.42 Gaya bahasa adalah cara
pengarang menggunakan bahasa. Gaya bahasa dapat dibatasi dengan cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Keraf membagi jenis gaya bahasa ke dalam empat kelompok, yaitu 1)
berdasarkan pilihan kata, yang terdiri atas gaya bahasa resmi, gaya bahasa
tak resmi dan gaya bahasa percakapan, 2) berdasarkan nada, yang terdiri
atas gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah, 3)
berdasarkan struktur kalimat, yang terdiri atas klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antitesis dan repetisi 4) berdasarkan langsung tidaknya
makna, yang terdiri atas gaya bahasa retoris, meliputi aliterasi, asonansi,
anostrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asindeton, polisindeton,
kiasmus, elipsis, eufimismus, lutotes, histeron proteron, pleonasme dan
tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, erotesis atau pertanyaan
retoris, silepsis dan zeugma, koreksio atau epanortosis, hiperbol, paradoks
dan oksimoron 5) gaya bahasa kiasan yang meliputi persamaan atau
simile, metafora, alegori, parabel, dan fabel, personifikasi atau
prosopopoeia, alusi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia,

42
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet.
ke-18, h. 112.
32

hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan pun
atau paronomasia.43
Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa untuk
mengungkapkan pikirannya yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis.
D. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal
dari akar kata Yunani, sosio (berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman)
dan logi (logos yang berarti sabda, perkataan, perumpanaan). Ilmu sosiologi
berarti ilmu mengenai asal-ususl dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu
pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia
dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empiris. Sedangkan, sastra
berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan intruksi. Jadi,
sosiologi sastra berarti pemahaman terhadap karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan yang meliputi keterlibatan
pengarang sebagai anggota masyarakat.44
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis
pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan
adat istiadat pada masa novel itu disituasikan. Pengarang mengubah karyanya
selaku seorang warga masyarakat pula.45 Pendekatan sosiologi sastra
merupakan hubungan antara sastra dan masyarakat yang bertolak belakang
dari frasa De Bonald, literature is an exspression of society, bahwa “sastra
adalah ungkapan perasaan masyarakat” yang berarti sastra mencerminkan dan
mengekspresikan hidup.46

43
Ibid., h.112-145.
44
Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
cet. ke 2, h. 1-3.
45
Luxemburg, dkk., op. cit., h. 23.
46
Wellek dan Warren, op. cit., h. 110.
33

Abrams dalam Siswanto menggunakan istilah pendekatan mimetik yang


berarti pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap
hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar sastra. Pendekatan ini
memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.47 Sedangkan, Robert
Escarpit menjelaskan apa yang dimaksud dengan sosiologi sastra melalui
hubungan antara sastra dan masyarakat dengan berbagai tinjauan sudut
pandang, antara lain kesusasteraan dan masyarakat, sejarah dan politik
perbukuan.48
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi
sastra atau pendekatan mimetik adalah pemahaman terhadap karya sastra
dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan yang
melatarbelakangi karya tersebut yang meliputi keterlibatan pengarang sebagai
anggota masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

E. Hakikat Pembelajaran Sastra


Pendidikan (education) adalah keseluruhan aktifitas manusia dan
masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan, memperbaiki, memulihkan,
kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. Adapun parameter dari
“kualitas” manusia terletak pada aspek kesadaran, pengetahuan dan
keterampilan, yang ketiganya harus bersifat seimbang, saling menopang dan
berkesinambungan. Keseluruhan dari keseimbangan itu akan menciptakan
“karakter” manusia, yakni sifat yang dimiliki dan menjadi ciri yang
membedakan dengan manusia lain. Perluasan dari “karakter manusia” adalah
karakter masyarakat dan selanjutnya karakter bangsa.49
Karya sastra berfungsi sebagai alat untuk menanamkan nilai-nilai dan
karakter, serta merangsang imajinasi kreativitas anak berfikir kritis melalui

47
Siswanto, op. cit., h. 188.
48
Robert Escarpit, Pengantar Sosiologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h.
17.
49
Andi Sinulingga, Berharap pada Pemuda?, (Jakarta: Suara Karya, 2006), h. 82.
34

rasa penasaran jalan cerita dan metafora-metafora yang terdapat di dalamnya.


Pembelajaran sastra juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa
mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan
latihan mempertajam perasaan, penalaran dan daya khayal serta kepekaan
terhadap mayarakat, budaya, lingkungan hidup dan nilai yang terkandung
dalam sebuah karya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra
diresapi oleh anak dan secara tidak sadar merekonstruksi sikap dan
kepribadian mereka.
Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu
memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap
peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanamkan,
menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah
manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap nilai-nilai, baik dalam
konteks individual, maupun sosial.50 Sastra berkaitan erat dengan semua
aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra
menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila
dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang
menghayatinya.51 Dengan demikian kehadiran sastra dalam pembelajaran
mempunyai kontribusi yang besar, karena melalui pembelajaran sastra siswa
akan menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang
ditemukan dalam karya sastra itu berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan
seperti nilai moral, nilai pendidikan, nilai religiuitas bahkan nilai antikorupsi
yang diharapkan dapat diresapi dalam perilaku siswa.
Dalam rangka mengembangkan suatu perencanaan pembelajaran,
diperlukan pendekatan yang mencakup strategi, metode dan teknik
pembelajaran. Pendekatan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru

50
Sihaloholistick, Pembelajaran dan Teori Apresiasi Sastra, diakses pada 11/12/2015, 14.00
WIB, dari www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/pembelajaran-dan-teori-apresiasi-sastra
51
Rahmanto, B., Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 17.
35

yang dimulai dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses


pembelajaran dan diakhiri dengan penilaian hasil belajar. Pendekatan yang
dapat digunakan di antaranya; 1) pendekatan imposisi, 2) pendekatan
teknologis, 3) pendekatan personalisasi, 4) pendekatan interaksional, 5)
pendekatan konstruktivis, 6) pendekatan pengolahan informasi, 7) pendekatan
inquiry dan 8) pendekatan pemecahan masalah.52
Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran sastra adalah proses pembelajaran yang berfungsi
sebagai penanaman nilai-nilai dan karakter, serta merangsang imajinasi
kreativitas anak berfikir kritis dan memperkaya pengalaman siswa untuk
menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya.

F. Pembelajaran Prosa dalam Kurikulum 2013


Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman,
produktif, kreatif, inovatif dan afektif serta mampu berkontribusi pada
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.53
Untuk itu, kurikulum 2013 dikembangkan dengan penyempurnaan esensial
berikut ini:
1. Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan yang bersifat alamiah
(kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat
peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan
potensinya masing-masing. Dalam hal ini peserta didik merupakan subjek
belajar berlangsung secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami
berdasarkan kompetensi tertentu, bukan transfer ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge).

52
Lukmanul Hakiim, Perencanaan Pembelajaran, (Bandung: CV Wacana Prima, 2009), h.
43.
53
Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015), cet. ke-6, h. 65.
36

2. Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi boleh jadi


mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan
ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan,
kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta
pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optiimal
berdasarkan standar kompetensi tertentu.54
Penyempurnaan esensial kurikulum ini berpusat pada peserta didik
(student center) yang dalam pembelajaran menggunakan komunikasi dua arah
antara guru dan peserta didik. Peserta didik tidak berfokus menerima ilmu
pengetahuan dari guru saja, melainkan bisa mendapatkan ilmu dari mana saja
seperti pengalaman disekitarnya bahkan melalui internet. Guru dituntut
memberikan stimulus yang kreatif agar peserta didik menjadi aktif dengan
rasa ingin tahu yang tinggi dalam materi pelajaran.
Tujuan pokok yang perlu dicapai dalam pembelajaran prosa adalah
peningkatan kemampuan baik secara ekstensif maupun intensif. Untuk
mencapai tujuan tersebut ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan, di
antaranya :
1. Menggiatkan minat baca siswa; memberikan contoh dengan wawasan
guru yang luas hasil dari membaca, memberi sugesti kepada siswa
mengenai hal yang menarik dari novel yang akan dibahas, memberi
kemudahan dalam pencarian novel dan memberikan pengukuhan dengan
hasil nilai yang sesuai dengan kompetensi.
2. Bantuan untuk mempermudah memahami novel; pemilihan edisi buku,
mengawali pembicaraan dengan menyenangkan, memberikan pentahapan
belajar, membuat cerita lebih hidup dan menggunakan metode yang
bervariasi.55

54
Ibid., h. 164.
55
Rahmanto, op. cit., h. 66-79.
37

Untuk mencapai kualitas yang telah dirancang dalam dokumen


kurikulum, kegiatan pembelajaran perlu menggunakan prinsip 1) berpusat
pada peserta didik, 2) mengembangkan kreativitas peserta didik, 3)
menciptakan kondisi menyenangkan dan menantang, 4) bermuatan nilai,
etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan 5) menyediakan pengalaman
belajar yang beragam melalui penerapan berbagai strategi dan metode
pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, efektif, efisien, dan
bermakna.56
Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan
bahwa penggunaan kurikulum dalam pembelajaran prosa menghasilkan
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik serta memberikan
pembelajaran secara kontekstual yang akan menghasilkan pemahaman serta
pengalaman peserta didik terhadap permasalahan yang terdapat di
lingkungannya.

56
Awan Sundiawan, Skenario Mengarahkan Generasi Z, diakses pada 14 Juli 2016, 21.30
WIB, dari https://awan965.wordpress.com/2013/10/19/contoh-rpp-kurikulum-2013-semua-mapel-
skenario-mengarahkan-generi-z/
BAB III
BIOGRAFI DAN PANDANGAN HIDUP

A. Biografi Pramoedya Ananta Toer


Dilahirkan dengan nama Pramoedya Ananta, Pramoedya kemudian
berinisiatif menambahkan nama Toer, pada semua keturunan Toer termasuk
dirinya, sebagai penghormatan atas nama baik keluarga.1 Pramoedya Ananta
Toer (kemudian disebut PAT) lahir di Blora, sebuah kota di perbatasan Jawa
Tengah dengan Jawa Timur, pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta,
30 April 2006 pada usia 81 tahun.2 Ia anak sulung dari sembilan anak yang
dilahirkan dari hasil perkawinan M.Toer3 dengan Oemi Saidah.
Ayah PAT merupakan putra tertua seorang naib, sementara ibunya putri
tengah seorang petinggi keagamaan dari Rembang. Setelah menikah, sang
suami meninggalkan sekolah dasar Belanda HIS (Holandse Indische School)
untuk mengajar di sekolah swasta nasionalis Boedi Oetomo di Blora. Ia rela
gajinya turun dari yang dia terima sebagai guru pemerintahan meskipun
menjabat sebagai kepala sekolah di institusi pendidikan pribumi tersebut.4
Ayah PAT seorang penganut nasionalis kiri yang tidak mau bekerja sama
dengan pemerintah kolonial Belanda.5 Hal ini turut mempengaruhi pola
pemikiran PAT mengenai pandangannya terhadap pola sebuah negara. Toer
mengajarkan kepada PAT pengetahuan soal langit, bumi, sejarah, kisah-kisah

1
Muhammad Muhibbuddin, Catatan dari Balik Penjara: Goresan Pena Revolusi Pramoedya
Ananta Toer, (Yogyakarta: Zora Book, 2015), h. 8.
2
Ibid., h.1.
3
Nama ayah Pramoedya sebenarnya Mastoer. Tetapi suku kata di depan namanya “Mas”
dihilangkan, karena dianggap “Mas” berkaitan dengan kata sapaan “Mas” yang berbau feodal yang
dalam pergerakan nasional, justru ditentangnya.
4
Savitri Scherer, Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi, (Depok: Komunitas
Bambu, 2012), h. 11.
5
Koh Young Hun, Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011)., h.2.

38
39

rakyat, kehidupan masyarakat tertindas, bahkan isu-isu nasionalisme dan


kerakusan imprealisme Belanda.6
Kehidupan serba kekurangan akibat penghasilan suami sebagai guru
sekolah negeri memaksa Oemi Saidah mencari nafkah tambahan untuk sebuah
keluarga besar. Ini menjadi salah satu masalah yang kerap menjadi bahan
percekcokan dalam keluarga. Masalah ini kemudian ikut mewarnai karya PAT
dalam cerpen “Kemudian Lahirlah Dia” yang dimuat dalam Cerita dari
Blora.7 Kemudian, dalam banyak karya PAT terdapat begitu banyak wanita
yang hampir menjadi manusia teladan, yang berani dan tabah, yang tetap
memperjuangkan kemanusiaan dan keadilan,8 termasuk di dalam novel
Korupsi.
Kisah asmara PAT bermula sejak perkenalannya dengan seorang gadis
yang bertugas sebagai Palang Merah di penjara Bukit Duri, Arfah Ilyas. Pada
15 Januari 1950, setelah menerima penghargaan untuk novel Perburuan, ia
menikahi gadis itu.9 Dengan tanggungan yang makin berat dan inflasi
menjadikan honor tulisan yang ia terima (kalaupun diterima) makin merosot
nilainya, situasi keuangan keluarga itu makin memutusasakan. Pada masa itu
PAT fanatik menulis, demi keperluan rumah tangganya. Pada Mei 1953, di
tengah kondisi ekonomi keluarganya yang memburuk, ia mendapatkan
undangan ke Belanda sebagai tamu dari Sticusa (Stichtung Culture
Samenwerking; Yayasan Kerjasama Kebudayaan Belanda-Indonesia).10
Ketika di Nederland, PAT menghasilkan karya Korupsi dan Midah – Simanis
Bergigi Emas.11

6
Muhibbuddin, op. cit., h. 23.
7
Hun, op. cit., h. 3.
8
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta:
PT Dunia Pustaka Jaya, 1997)., h. 13.
9
Scherer, op. cit., h. 16.
10
Hun, op. cit., h. 15.
11
Teeuw, op. cit., h. 31.
40

In the Netherland, Pramoedya perhaps intending to escape the gloomy


scene of Indonesia and look for inspiration from the outside world.
However, the Holland trip appears to have been a disappointment for
Pramoedya, primarily because he came to recognize that Indonesia and the
Netherlands were simply too different. Holland reminded him of "a coffin,"
and he was particularly sensitive to "the contrast between his own country,
in the process of establishing itself and seeking an identity, and Holland
which had already been established." He became more critical of the
Sticusa was a "colonial brain trust" which only aimed at "importing
Western culture into Indonesia."12

Pada Januari 1954, PAT kembali ke tanah air, tepat diberlakukannya


pemotongan atas Anggaran Belanja PPK (Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan) yang mengakibatkan berlangsungnya krisis penerbitan.
Kemudian menyebabkan PAT kembali berhadapan dengan kesulitan hidup
yang tentu saja berpengaruh pada keadaan rumah tangganya. Hal ini
mengakibatkan pernikahan dengan Arfah Ilyas tidak berlangsung lama
dikarenakan kondisi ekonomi PAT pada masa itu. Akhirnya, ia terpaksa
meninggalkan anak istrinya, setelah empat kali diusir. Kesulitan ekonomi
rumah tangga itu terbesit dalam beberapa tulisan PAT seperti Sunyi Senyap di
Siang Hidup.13 Kemudian pada awal tahun 1955, PAT menikah lagi dengan
Maimunah Thamrin, istri yang menemaninya hingga akhir hayat.14
Berpalingnya PAT ke arah kiri, tidak dapat dipisahkan dari kesulitan
hidup yang dihadapinya pada masa tersebut. Pada waktu itu, PAT didekati
oleh A.S. Dharta yang saat itu menjadi Sekretaris Jenderal Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat). Adanya uluran tangan untuk menerjemahkan Gorki
pada saat paling sulit dalam hidupnya, menyadarkannya bahwa organisasi
kirilah yang menolongnya pada saat detik-detik yang menentukan.15

12
Hong Liu, “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural
Intellectual”, Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966, h. 121.
13
Scherer, op. cit., h. xv.
14
Hun, loc. cit.
15
Scherer, op. cit., h. xvi.
41

PAT menghadiri Kongres Nasional Pertama Lekra pada Januari 1959. Ia


ditunjuk sebagai wakil ketua Lembaga Sastra Indonesia.16 Menurut Ajip
Rosidi penunjukan PAT hanya sebatas perlambangan saja, karena PAT bukan
orang yang suka aktif dalam organisasi. Dukungannya terhadap langkah
politik kiri lebih banyak disuarakan melalui tulisan dalam Lentera - ruang
kebudayaan yang dipimpinnya.17 Hal ini diakui PAT kemudian, bahwa
dengan menjadi anggota Lekra banyak kerugian yang didapatnya dan PAT
mengaku tidak pernah mendapat satu sen pun pemberian dari pihak Lekra atau
pemerintah, baik sebagai anggota Lekra maupun sebagai pendukung gagasan
Bung Karno, walaupun orang lain mendapatkan kemudahan, kedudukan,
status politik, bahkan perumahan bekas Belanda.18
Sejarah PAT dengan penjara dimulai sejak 1947, ketika itu ia bekerja
sebagai redaktur majalah Sadar yang merupakan edisi Indonesia dari majalah
The Voice of Free Indonesia. Pada 21 Juli 1947, aksi militer Belanda yang
pertama pecah. Semua milik Republik Indonesia yang ada di Jakarta dikuasai
tentara Belanda. PAT mendapat tugas untuk mencetak dan menyebarkan
risalah-risalah perlawanan. Kemudian, ia ditangkap oleh tentara Belanda
dengan surat-surat bukti di kantongnya. Naskahnya yang ditulis sejak 1938
dirampas oleh Angkatan Laut Belanda dan dia dijebloskan ke Penjara Bukit
Duri. Ia dibebaskan pada masa setelah Konferensi Meja Bundar pada akhir
Desember 1949. Di dalam sel, ia menulis bermacam roman dan cerita, antara
lain Perburuan (1949) dan Keluarga Gerilja (1950). Dengan bantuan Prof.
Resink, karya-karyanya dapat diselundupkan keluar dari penjara dan disiarkan
di berbagai majalah, di antaranya, Mimbar Indonesia dan Siasat, dengan nama
Pram.19

16
Ibid., h. 18.
17
Ibid., h. xvii.
18
Hun, op. cit., h. 17.
19
Ibid., h. 11-12.
42

Pada bulan Maret 1960, PAT menerbitkan Hoa Kiau di Indonesia. Buku
ini dituduh berisi pembelaan terhadap pedagang-pedagang keturunan China
yang menurut Undang-undang “PP No. 10/1959” dilarang berdagang di
daerah tingkat kecamatan dan kabupaten. Akhirnya, ia dipenjara di Cipinang
selama sembilan bulan tanpa proses peradilan. Pada waktu itu, pihak militer
mendakwanya sebagai “orang yang menjual Indonesia kepada China dengan
buku”. Penahanan ini merupakan yang pertama bagi PAT, yang dilakukan
pemerintah sendiri selepas Indonesia merdeka.20
Selama periode 1955-1965, ia menulis novel Sekali Peristiwa di Banten
Selatan yang diterbitkan tahun 1959. Sementara itu ia juga menulis potongan
dari novel yang lebih panjang, Gadis Pantai, yang terbit berseri dalam
Bintang Timur pada 1962. Namun, pada 13 Oktober 1965, tahun di mana ia
berencana melanjutkan penulisan kreatifnya, ia ditahan.21 Ia dituduh terlibat
dalam kegiatan-kegiatan Lekra yang dianggap oleh Orde Baru sebagai badan
yang disusupi komunisme. Tanpa proses peradilan, PAT ditahan di Pulau
Buru pada 10 September 1969. Selama pembuangan di sana, pada mulanya
PAT tidak dibenarkan menulis, tetapi kemudian ia diizinkan menulis setelah
kedatangan Jendral Soemitro ke Pulau Buru pada 1973.22
Pada 21 Desember 1979, PAT mendapat surat pembebasan secara hukum
tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S tetapi masih dikenakan tahanan
rumah, kota dan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor satu kali seminggu
selama kurang lebih 2 tahun.23 Kisahnya di Pulau Buru, dituangkan dalam
lembaran-lembaran kertas dan menghasilkan karya Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu. Selain itu, ia pun berhasil menorehkan maha karya Tetralogi Buru yang
terdiri dari empat novel yaitu, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak

20
Ibid., h. 18.
21
Scherer, op. cit., h. 20.
22
Hun, op. cit., h. 20.
23
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2011), h. i.
43

Langkah dan Rumah Kaca yang berhasil mendapat pujian internasional dan
telah diterjemahkan dalam 20 bahasa.24
Setelah bebas dari tahanan, latar belakang PAT sebagai anggota Lekra
masih tersisa di masyarakat. Pada tahun 1981, PAT diusir secara tertulis oleh
Dekan UI ketika memberikan ceramah di Fakultas Sastra UI atas undangan
Senat Mahasiswa. Pada saat itu PAT mengisi ceramah tentang „Sikap dan
Peranan Kaum Intelektual di Dunia Ketiga, Khususnya di Indonesia‟. Tidak
berhenti sampai di situ, PAT kemudian di interogasi oleh Satgas Intel selama
satu minggu.25
Dalam keterasingannya di negeri sendiri, PAT justru beberapa kali
menerima penghargaan internasional dan menjadi nominasi penghargaan
Nobel Sastra. Salah satunya ketika penganugerahan hadiah Magsaysay yang
menimbulkan protes di Indonesia dari berbagai kalangan termasuk sastrawan
dan budayawan, di antaranya dua pemenang hadiah Magsaysay sebelumnya,
Mochtar Lubis dan H.B. Jassin, dan tokoh lain seperti Asrul Sani, Rendra dan
Taufiq Ismail. Mereka membuat pernyataan bersama kepada yayasan Hadiah
Ramon Magsaysay sebagai protes terhadap keputusan yayasan dan mendesak
membatalkan putusan itu. Mereka menganggap bahwa sangat ironis hadiah
dengan menggunakan nama Magsaysay, yang seumur hidup memperjuangkan
demokrasi dan hak asasi manusia, diberikan kepada penulis yang selama ikut
memimpin Lekra terbukti anti demokratis dan ikut menindas hak manusia.26
Di Indonesia terdapat dua front, satu pro dan satu kontra. Tiga budayawan
yang tidak mau menandatangani pernyataan itu, misalnya Ajip Rosidi,
Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. Padahal, Goenawan dan Arief
Budiman merupakan tokoh yang menandatangani Manikebu yang diteror dan
tertindas oleh Lekra. Bagi Goenawan alasan penting untuk tidak
24
Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer, Belenggu di Pulau Buru, diakses pada
09/02/2016 20.30 WIB, dari http://ekakurniawan.net/blog/tetralogi-buru-dan-novel-modern-178.php
25
Teeuw, op. cit., h. 51.
26
Ibid., h. 53.
44

menandatangani protes adalah “Saya tidak mau bersikap seperti Pram dulu,
mencegah seseorang mendapatkan sebuah hadiah yang memang pantas
diperolehnya, hanya karena dia lawan kita. Kalau ini kita lakukan, maka ini
artinya kita menghidupkan kembali budaya yang kita lawan dulu. Kita tidak
menciptakan budaya baru yang lebih baik”.27
Like all authors of the Angkatan 45, he underlined as the decisive
characteristic of his generation its openness to world literature, as
exemplified by Chairil Anwar and Idrus, who had been able to reveal new
realms of creative language use through their encounters with Western
literature. He says, Indonesian literature need for to unfold its own
character. Sticking too closely to a foreign model, in his view, indicated a
lack of genuine creativity. To him, Indonesian literature had to be seen as a
variant with equal rights, not as a replica of the occidental model.28

Demikianlah, PAT tetap berada dalam situasi yang kontras. Pada satu
pihak PAT terpaksa hidup sebagai warga negara yang sudah tiga puluh tahun
lebih kehilangan hak asasinya sebagai manusia tanpa pernah diadili dalam
proses hukum yang pantas. Pada pihak lain, PAT tetap hadir bagi Indonesia
maupun dunia internasional sebagai tokoh yang berpengaruh meskipun
memiliki masa lalu yang kontroversial, namun keunggulannya sebagai
sastrawan tetap diakui oleh seluruh dunia.29

B. Pandangan Hidup Pengarang


Dalam karyanya, PAT secara konsisten terus menyuarakan kemerdekaan
dan hak-hak asasi manusia, serta melawan berbagai penindasan. Membaca
novel-novelnya berarti melihat wajah Indonesia. Bagi PAT, menulis adalah
sebuah bentuk perlawanan. Inspirasi penulisan datang dari kehidupan.
Baginya, “Menulis adalah tantangan pribadi saya terhadap kediktatoran,”
dengan merekam apa yang dialaminya ke dalam karya. Mengenai

27
Ibid., h. 55.
28
Martina Heinschke, “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya‟s Developing Literary
Concepts”, Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966, h. 159.
29
Teeuw., op. cit., h. 54.
45

permasalahan korupsi, PAT pernah mengalaminya ketika bertugas sebagai


Perwira Pers. Karena dituduh korupsi, PAT terpaksa mengundurkan diri dari
Badan Keamanan Rakyat. Padahal seperti yang diakuinya, ia mengundurkan
diri karena belum dibayar selama tujuh bulan masa kerjanya. Pengalaman ini
menjadi bahan tulisannya dalam novel Krandji Bekasi Djatuh. Dalam novel,
tokoh Surip merupakan perwira administrasi yang korup.30
Menurut PAT salah satu alasan praktik korupsi tumbuh subur adalah
pengaruh jawanisme, paham tidak tertulis yang mengharuskan perintah atasan
untuk harus selalu dipatuhi. Hal itu tercermin dari bahasa Jawa yang
bertingkat-tingkat yang diciptakan untuk memuliakan atasan. Ketika
diterjemahkan ke dalam politik, hal tersebut dapat dikaitkan sebagai fasisme,
paham yang tidak memperbolehkan adanya oposisi atau perlawanan.31
Jawanisme adalah taat dan setia kepada atasan, yang pada akhirnya
menjurus kepada fasisme. Kaum Jawa memiliki prinsip yang selalu taat dan
setia bahkan membabi buta kepada atasan dan tidak memikirkan pihak lain
sama sekali. Menurut PAT, hal inilah yang mengakibatkan Pulau Jawa dijajah
oleh berbagai bangsa asing selama berabad-abad, karena kaum elit Jawa
berkolusi dengan kekuatan kolonial yang mencari rempah-rempah. Sejarah
mencatat bahwa daerah kerajaan Jawa jatuh ke tangan penjajah tanpa perang,
tetapi dengan cara kaum elit disuap oleh penjajah.32
Sikap taat tanpa memandang benar salah kepada atasan banyak ditentang
oleh PAT lewat karyanya, salah satunya dalam novel Korupsi yang terdapat
pada tokoh Sirad sebagai bawahan Bakri. Sirad yang mencium tingkah laku
Bakri melakukan korupsi, segera mencari penyebabnya. Meskipun Sirad tidak
berhasil mengungkapnya, namun perlawanan Sirad ditunjukkan dengan tidak

30
Hun, op. cit., h. 11.
31
August Hans den Boef dan Kees Snoek, Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir, (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008), h. 44.
32
Ibid., h. 45.
46

ikut tenggelam dalam perbuatan yang dilakukan Bakri. Hal ini bisa diartikan
sebagai perlawanan PAT kepada paham Jawanisme.
Karya lain yang menyelipkan perlawanan terhadap penindasan dan
perbuatan curang (korupsi) terdapat pada novel Anak Semua Bangsa. Dalam
novel, tokoh Mama memberikan nasihat kepada Minke, “Kau harus bertindak
terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, ...
mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan.”33 PAT
berpandangan bahwa penindasan yang dialami tokoh Mama dan Minke yang
juga dialami oleh masyarakat Indonesia, harus dilawan. Bahwa manusia
memiliki hak yang sama, entah itu berasal dari suku pribumi maupun Eropa.
Kewajiban moral terhadap bangsa dan Tanah air telah memotivasi PAT
untuk bekerja. Seorang pengarang besar pada hakikatnya adalah memberikan
sesuatu, bukan meminta apa-apa dari karyanya. Manusia besar adalah manusia
pemberi. Segala sesuatu yang dilakukan adalah untuk memperkaya
kebudayaan bangsanya. Untuk bisa memperkaya, memberi sesuatu kepada
umat manusia, ia harus memiliki sesuatu: karya. PAT telah menyadarkan pada
kepentingan konsep dasar “memberi.” Itulah sebabnya ia kurang suka pada
rencana-rencana orang untuk hidup sebagai pengarang di luar negeri.34

33
Toer, op. cit., h. 4.
34
Eka Budianta, Mendengar Pramoedya, (Jakarta: PT. Atmochademas Persada, 2005), h. 21 -
22.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik Novel Korupsi


Unsur intrinsik adalah unsur pembangun dalam sebuah karya sastra yang
terdapat dalam bangunan karya itu sendiri. Karya sastra yang dipilih dalam
penelitian ini adalah novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer
(selanjutnya disebut PAT). Adapun unsur intrinsik yang dibahas meliputi 1)
tema, 2) tokoh dan penokohan, 3) alur, 4) latar, 5) sudut pandang dan 6) gaya
bahasa.
1. Tema
Seperti yang telah dipaparkan penulis pada bab II mengenai
pengertian tema dan penggolongan tema berdasarkan tingkat
keutamaannya yakni tema mayor dan tema minor. Tema minor yang
terdapat dalam novel Korupsi merupakan penghubung peristiwa maupun
sebab akibat atas perbuatan yang dilakukan tokoh.
Ya, Sutijah sungguh cantik. ... Kalau saja dia istriku, dia akan
mengerti bagaimana kesulitanku, dan dia pasti mau membantu
melancarkan rencana dan usahaku. Pasti! Tidak seperti betina ini.
Sebenarnya kami bisa hidup seperti itu, di sebuah rumah yang
menyendiri, tidak terganggu angan-angan ini oleh betinaku yang
banyak raba, banyak duga dan banyak tingkah.1

Tema minor percintaan yang diselipkan PAT dari tema mayor korupsi
membuat cerita ini masih „laku‟ pada masa itu. Masa di mana tema-tema
romansa mendominasi cerita novel yang terbit pada masa itu. Kutipan di
atas terjadi ketika istri Bakir menolak perbuatan korupsi yang dilakukan
Bakir. Bakir (yang mewakili pria pada umumnya) ketika telah memiliki
harta dan terdapat perbedaan pandangan, memilih pergi dari istrinya

1
Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), h. 38-39.

47
48

untuk mendapatkan wanita lain, Sutijah. Hal ini menunjukkan sebuah


adagium yang ada di masyarakat: harta-tahta-wanita.
Tema mayor novel ini justru terdapat dalam konflik batin tokoh Bakir
ketika mencari ketenangan hidup yang disangkanya akan didapat dengan
memperoleh harta. Untuk memperoleh hal tersebut, Bakir kemudian
memutuskan korupsi. Tema tersebut tergambar jelas dari pemikiran Bakir
maupun dialog antartokoh. Hampir seluruh bab dalam novel Korupsi
membahas konflik batin Bakir ketika sebelum, sedang dan setelah
melakukan korupsi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Tak mengerti aku mengapa keadaanku tinggal bobrok sedang
orang yang dahulu hanya kler-ku belaka kini sudah menjadi anggota
parlemen. Dia cerdik mestinya. Aku yang kurang cerdik. Dan
sekaranglah saatnya. ... He, mengapa pula aku jadi begini sekarang?
Kemarin aku masih merasa tenang penuh keyakinan akan kebesaran
Tuhan beserta alam semestanya yang berjalan teratur dan dengan hati
berisikan rahmat.2

Kutipan di atas menjelaskan konflik batin Bakir dalam


„perjuangannya‟ melakukan korupsi yang dirasanya sebagai kewajaran
untuk mengejar ketertinggalan cara mencari nafkah seperti prasangkanya
yang juga dilakukan oleh teman kerja Bakir. Bukan hal yang mudah bagi
Bakir untuk meninggalkan kejujuran yang ditanamkan oleh leluhurnya,
ditambah penolakan yang ditunjukkan oleh istrinya, Mariam, serta
pertentangan secara tidak langsung oleh asistennya, Sirad.
“Aku masih isterimu, karena itu ada hak padaku untuk meminta
sesuatu daripadamu.”
“Ya, ya aku mengerti. Apa yang kau pinta?”
“Aku pinta engkau tidak akan berbuat seperti itu.”
“Siapakah yang bilang aku akan berkorupsi?”
“Tidakkah aku cukup tua untuk mengetahui ? Tingkah lakumu
yang bilang?”3

2
Ibid., h. 11-13.
3
Ibid., h. 49.
49

“Pak, terus terang saja pak, aku tak suka melihat perubahan
bapak.”
“Aku nggak ngerti maksudmu. Bicara bergampang sajalah.”
“Begini, pak, sekarang sedang mengamuk .... Korupsi!”4

Konflik dalam diri Bakir semakin meningkat ketika penolakan justru


datang dari orang terdekat Bakir, istri. Seseorang yang menurut Bakir
menjadi alasan untuk melakukan korupsi, untuk menyejahterakan
keluarga. Peristiwa itu kemudian menimbulkan konflik batin baru dalam
diri Bakir, antara mengikuti kemauan hati yang didesak kebutuhan
ekonomi atau hidup pasrah dalam keadaan disisa umur yang telah
menginjak empat puluh tahun.
Kantor itu memang mendapat nama baik karena aku. Tanpa aku
uang akan berhamburan dan negara sudah lama menderita rugi.
Karena pembelianku - semua beres. Kepandaianku sebagai pembeli
seharusnya kupergunakan untuk hidupku sendiri. Mengapa selama itu
aku tetap bodoh dan menerima kemiskinan sebagai keharusan?5
Tahulah aku kini: untuk memperoleh uang dan kemewahan ini
aku telah kehilangan segala-galanya. Juga harapan orang tuaku
dahulu beserta pendidikannya kini telah lenyap! Yang tinggal hanya
kesempatan untuk memulai jalan baru kembali: tetapi untuk itu
umurku yang telah tua ini tidak memungkinkan. Keberanianku
bertambah habis ...6

Dalam keraguan, Bakir merasa memiliki jasa atas selamatnya uang


negara karena kejujurannya selama ini dan merasa berhak atas perbuatan
korupsi yang akan dilakukannya. Konflik batin masih terus
mempengaruhi pemikiran Bakir. Bahkan, setelah berhasil melakukan
korupsi, ketenangan Bakir hilang dan merasa kehidupan masa lalu yang
sederhana lebih membuatnya tenang karena baginya “kemiskinan adalah
kutukan bagi hati yang tidak sederhana.”7

4
Ibid., h. 55-57.
5
Ibid., h. 45.
6
Ibid., h. 130.
7
Ibid., h. 82.
50

Dari beberapa hal yang telah dipaparkan mengenai tema dapat


diambil kesimpulan bahwa, tema minor memiliki peran untuk melengkapi
tema mayor yang menjadi tujuan utama PAT. Adagium harta-tahta-
wanita yang mendorong seseorang untuk melakukan korupsi
digambarkan secara kompleks sehingga menjadi tema minor yang
mendukung tema mayor yakni konflik batin seorang koruptor (Bakir)
ketika sebelum, sedang dan setelah melakukan korupsi.
2. Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau
lakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Ditinjau dari peranan dan
keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer
(utama), tokoh sekunder (tokoh bawahan) dan tokoh komplementer
(tambahan). Penokohan dalam novel Korupsi dapat diketahui melalui
pemikiran, perbuatan dan dialog yang dilakukan oleh tokoh.
a. Tokoh Utama
Terdapat tiga tokoh utama dalam novel Korupsi. Tiap-tiap tokoh
utama memiliki karakter yang berbeda-beda dan memiliki kedudukan
yang penting atas golongan yang diwakilinya. Tokoh-tokoh tersebut
adalah sebagai berikut.
1) Bakir
Secara fisiologis, Bakir digambarkan sebagai sosok laki-laki
berusia empat puluh tahun. Dilihat dari aspek sosiologisnya, Bakir
merupakan pemimpin sebuah kantor pegawai negeri yang telah
mengabdi selama dua puluh tahun, namun digambarkan tidak
memiliki harta maupun pandangan hormat dari rekan kerja seperti
umumnya pemimpin. Penggambaran dengan cara analitik ini
memungkinkan narator untuk melanjutkan „tugas‟nya untuk fokus
pada konflik batin yang dialami Bakir. Ditinjau dari wataknya,
Bakir dapat dikategorikan sebagai tokoh dinamis. Hal ini
51

dipengaruhi oleh psikologis tokoh yang pada awalnya memegang


teguh kejujuran namun karena desakan ekonomi dan status sosial
yang selayaknya dia dapatkan, kemudian Bakir mengubah
pendiriannya.
Aku pun sudah tua. Kebesaran dan keagunganku telah
padam. Yang tinggal hanya umurku yang tua dan kelemahan
yang tambah lama tambah menggerumuti tenaga.8
Ah, alangkah sakit hatiku ini –merasa harus meninggalkan
sejarah yang lama, yang telah kubangunkan dari hari ke hari –
untuk memasuki, untuk mereguk sejarah baru, sejarah
kemegahan di mana tidak ada batas yang menghalangi.9
Tidak! Tidak! Bertahun-tahun aku sudah menderita jadi
pegawai. Kalau aku mengerjakan korupsi, tidak akan aku kena
sial. Tidak! Itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran – itu sudah
selayaknya.10

Perannya sebagai tokoh antihero membawa tujuan besar yang


dibawa PAT, bahwa seorang koruptor akan selalu merasa
kehilangan ketenangan hidupnya. Dalam novel, secara psikologis
Bakir takut jika kejujuran yang selama ini jadi kebanggaannya
akan hilang, ia takut pandangan teman kerjanya atas apa yang
akan dia lakukan dan dia takut kehilangan ketenangan batin yang
selama ini menjadi satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Hal
ini terlihat dalam kutipan berikut.
Dengan mengambil harta benda kantor aku kehilangan
ketenangan batinku. Tapi aku ingin juga memiliki ketenangan
batin itu beserta harta benda ini.11
Tiba-tiba aku menjadi gelisah. Bisakah aku
mengerjakannya? Beranikah aku? Dan kalau tertangkap? Kalau
ketahuan oleh semua orang? Polisi dan pengadilan itu

8
Ibid., h. 1.
9
Ibid., h. 4.
10
Ibid., h. 10.
11
Ibid., h. 18.
52

demikian berkuasa sehingga rebahlah siapa yang hendak


dikeping-kepingnya.12

Perubahan karakter pandangan hidup tokoh Bakir dikarenakan


secara psikologis, Bakir merasa memiliki jasa yang besar terhadap
urusan kantor. Bakir merasa telah menjadi pemimpin yang baik
dengan menghasilkan kas negara yang sehat, mengizinkan Sirad
untuk kuliah, memberikan susu kepada pegawai dan bahkan
melegalkan pencurian kertas yang dilakukan opas. Meski
demikian, Bakir merasa tidak mendapatkan status sosial yang
sepadan dengan apa yang telah dilakukannya, harta dan
kehormatan. Hal tersebut mendorongnya untuk melanjutkan
perbuatan korupsi yang dirasai sebagai sebuah kewajaran.
Ha, pembagian kopi susu ini pun karena jasaku. ...
Seharusnya pegawai-pegawai itu memuji pimpinanku dan
menghormati sebagaimana layaknya.13 Mula-mula pembagian
teh susu, kemudian si Sirad yang kini hampir memperoleh
gelar doktoral dan kemudian si opas jahanam itu yang boleh
mengambili kertas-kertas bekas dari keranjang sampah.14
Kalau korupsi suatu perbuatan jahat, bukankah kejahatan
itu akan hilang lenyap karena jasaku padanya?15

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Bakir memutuskan untuk


korupsi. Dalam perjalanannya, Bakir yang merasa perbuatannya
tidak melanggar hukum karena justru menolong perusahaan untuk
mendapatkan order, mulai bernafsu mengumpulkan harta yang
lebih banyak, bahkan berniat memiliki seorang istri muda. Istri
muda secara sosial dipandang sebagai sebuah kemapanan dan
kemampuan seorang laki-laki.

12
Ibid., h. 10.
13
Ibid., h. 11.
14
Ibid., h. 14.
15
Ibid., h. 9.
53

Tahulah aku kini bahwa alasan perjuangan hidup untuk


anak-bini dan keluarga hanyalah tameng untuk keselamatan
diri sendiri belaka. Keinsafan itu membuat aku malu pada
diriku sendiri.16
Kututup mataku dan kukenangkan segala kepahitan
penghidupan yang telah silam: pahit tapi damai dan hati tidak
gersang dirongrong kiri kanan.17

Kutipan di atas memperlihatkan akhir dari aksi korupsi Bakir


yang membawanya kembali pada kesimpulan, hidup tanpa korupsi
lebih tenang. Secara psikologi, perubahan karakter tokoh Bakir
membawanya kembali kepada kesadaran, bahwa ada sesuatu yang
tidak bisa dibeli yakni, ketenangan hidup. Ketenangan yang dulu
selalu dia miliki bersama istri pertamanya, meskipun secara sosial
keluarganya dalam keadaan sulit. Ketenangan yang mulai hilang
ketika ia memperturutkan hawa nafsu untuk memenuhi gengsi dan
mengejar kelas sosial dengan melakukan korupsi.
2) Mariam
Tokoh Mariam dalam novel Korupsi berkedudukan sebagai
tokoh utama tambahan yang keberadaannya sangat mempengaruhi
tokoh utama, Bakir, dalam hal menjadi sumber dari terikatnya
kesadaran Bakir terhadap cara berpikir, sikap dan bertutur.
Perannya sebagai tokoh protagonis menimbulkan konflik batin
tersendiri dalam diri Bakir. Tokoh yang justru merupakan sosok
yang paling dekat dengannya.
Mariam merupakan istri Bakir dan telah dikaruniai empat
orang anak selama lima belas tahun hidup bersama. Ditinjau dari
psikologisnya, Mariam digambarkan sebagai tokoh statis, tokoh
yang selalu melayani sepenuh hati dan patuh kepada suami. Ketika

16
Ibid., h. 88.
17
Ibid., h. 138-142.
54

dalam kesulitan ekonomi (uang belanja yang kurang), Mariam


selalu berbesar hati. Bahkan, meskipun jiwanya menolak
perbuatan Bakir untuk korupsi, Mariam tetap menjalankan
tugasnya sebagai seorang istri. Secara sosiologis, Mariam (dan
Bakir) pada mulanya berasal dari keluarga yang cukup berada.
Namun, jatuh miskin karena perubahan pemerintahan yang
berakibat pada kurangnya gaji sehingga harta bendanya semakin
berkurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Watak Mariam
digambarkan secara dramatik oleh Bakir. Hal tersebut
menimbulkan empati tersendiri bagi pembaca, seperti pada
kutipan berikut.
Dan, sungguh kebaikan apa yang tidak dipikirkan oleh
istriku ini sejak kita kawin? Seakan akan ia dilahirkan hanya
untuk berbuat dan memikirkan kebaikan. Tiba-tiba aku mengiri
pada kesederhanaannya.18
Aku dekati dia dan nampak olehku wajahnya yang pucat,
kulitnya yang layu, dalam umurnya yang masih muda.19

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendapat penolakan dari


Mariam untuk melakukan korupsi. Bakir melihat fisiologi Mariam
dalam usianya yang masih muda namun terlihat kulit yang layu
dan wajah yang pucat. Hal ini akibat dari kondisi ekonomi
keluarga Bakir. Namun, meski dengan kekurangan ekonomi,
kesetiaannya kepada Bakir tidak berubah dan tetap berpandangan
pada kesederhanaan hidup. Hal ini dapat dijadikan cermin
masyarakat ketika kekurangan ekonomi dan mengejar status
sosial, umumnya seorang istri akan mendorong suami untuk
melakukan segala cara, dalam hal ini untuk korupsi.
“Mengapa bicara tentang korupsi, Mah?”

18
Ibid., h. 42.
19
Ibid., h. 97.
55

“Ngeri aku membayangkan,” katanya. “Engkau pegawai


tinggi, engkau mempunyai kekuasaan. Engkau sebenarnya
bisa berbuat seperti itu. Ngeri aku membayangkan namamu
dimuat di surat-suratkabar sebagai koruptor.”20

Kedudukannya sebagai tokoh statis membawanya menolak


bahkan mengecam Bakir yang berniat melakukan korupsi.
Karakter ini kemudian berakibat pada berpalingnya Bakir pada
Sutjiah, seorang gadis yang pernah diidam-idamkannya. Namun,
Mariam tak bergeming, pendiriannya tetap pada keluarga yang
tenang (tanpa korupsi) meski kekurangan materi.
Pada suatu sore yang tiada terduga-duga isteriku beserta
keempat anaknya datang ke tempatku ditahan ... “Untuk apa
engkau datang ke mari?” ... “Bukankah engkau suamiku?” ...
“Engkau mengampuni aku, Mariam?” Ia mengangguk.21

Sebagai tokoh protagonis, Mariam mewakili tokoh yang


berpegang teguh pada kebenaran. PAT sebagai penulis yang
terinspirasi pada ibunya, memasukkan unsur „perempuan hebat‟
seperti pada karya lainnya. Kesederhanaan dan kesetiaannya kelak
membuat Mariam tetap menerima keadaan Bakir bahkan ketika
Bakir telah meninggalkannya dan kini sedang dipenjara.
3) Sutijah
Harta-tahta-wanita, begitulah adagium tentang pemikiran
seorang pria pada umumnya. Sutijah dapat dikatakan dihadirkan
sebagai cerminan ungkapan tersebut terhadap Bakir. Sutijah
merupakan tetangga Bakir yang telah diperhatikannya sedari kecil.
Seperti jamaknya pemikiran pasangan ketika dalam masalah, Bakir
pun berpikir tentang perempuan lain, Sutijah, ketika ia sedang
bermasalah dengan Mariam. Dalam cerita, bayang-bayang Sutijah

20
Ibid., h. 38.
21
Ibid., h. 150-152.
56

dalam pikiran Bakir ini kemudian menjadi klimaks yang


menunjukkan bagaimana alur terjadinya adagium harta-tahta-
wanita di dalam cerita.
Ya, Sutijah sungguh cantik. Tak tahu aku bagaimana
nasibnya sekarang setelah ayahnya meninggal. Empat tahun
paling sedikit ia telah pindah dari rumah sebelah ... alangkah
manisnya ia waktu minta diri akan pindah dengan mata
berkaca-kaca. Begitu mengerti anak itu. Kalau saja dia isteriku,
dia akan mengerti bagaimana kesulitanku dan dia pasti mau
membantu melancarkan rencana dan usahaku.22

Ditinjau dari fisiologisnya, Sutijah digambarkan sebagai gadis


cantik yang memiliki kelembutan hati. Karakter Sutijah pada
mulanya dicitrakan sebagai karakter protagonis. Namun,
perubahan karakternya menjadi antagonis dikarenakan latar
belakang sosiologisnya sebagai orang kaya yang jatuh miskin
membawanya haus akan duniawi. Karakter yang mempengaruhi
pilihannya untuk menerima duniawi yang diberikan oleh Bakir.
Waktu dahulu aku selalu rindu pada Sutijah, dia terus
menerus mendorong tentang Sutijah: “Anak begitu cantik. Aku
kira, tiap lelaki yang melihatnya akan tergiur.”
“Sutijah masih begitu muda. Kalau dikawini hanya
mengocar-ngacirkan rumah tangga. Lihat saja, ia belum lagi
bisa memasak, belum bisa berpakaian, belum bisa menghitung
uang belanja.”23

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir teringat masa lalu ketika


Mariam merasakan apa yang dipikirkan Bakir. Sebuah peristiwa
yang mengungkapkan sesungguhnya seorang wanita mengetahui
apa isi hati suaminya. Namun, karakter Mariam yang lemah
lembut membawanya tidak berburuk sangka atas perilaku Bakir.
Sebaliknya, kondisi ekonomi Bakir pada saat itu yang serba

22
Ibid., h. 38.
23
Ibid., h. 72.
57

kekurangan ditambah keluarga yang masih harmonis


membawanya untuk tidak memikirkan Sutijah lebih jauh.
“Kenal betul, karena dia saudara sepupuku. Kami adalah
serumpun keluarga kaya dan cuma kami yang hidup miskin.”24
“Sekiranya aku boleh memperoleh engkau,” ulangku. ...
”Bagaimana dengan anak-anak?” ia berkata bimbang
seperti pada diri sendiri.
“Dan bagaimana dengan ibu mereka?” katanya terus.25

Selayaknya seorang wanita, secara psikologis Sutijah turut


memikirkan perasaan istri Bakir dan anak-anak mereka. Dalam diri
Sutijah tidak ada cinta kepada Bakir, sedianya Sutijah ingin
menolak pinangan Bakir. Namun, alasan himpitan ekonomi dan
desakan Ibu Sutijah yang akan menikahkannya dengan saudara
yang memiliki penyakit TBC membuat Sutijah menerima pinangan
Bakir.
Tambah lama kuperhatikan tingkah lakunya bertambah
teranglah olehku bahwa ia adalah termasuk wanita yang tidak
sederhana hatinya, ruwet dan sulit karena berbagai dambaan
keduniawian.26

Sutijah semakin memperlihatkan karakter sebenarnya, sebagai


seorang muda yang haus akan duniawi dan tentunya tetap tanpa
cinta kepada Bakir. Ketika karakter Bakir kembali merindukan
ketenangan yang hilang, karakter materialistik yang dimiliki
Sutijah mengakibatkan konflik batin dalam diri Bakir.
b. Tokoh Sekunder (Tokoh Bawahan)
Dalam novel Korupsi, terdapat setidaknya dua tokoh sekunder.
Meskipun penggambaran karakter yang ditampilkan tidak terlalu kuat.

24
Ibid., h. 102.
25
Ibid., h. 81-83.
26
Ibid., h. 101.
58

Namun, tokoh sekunder ini cukup mempengaruhi jalannya cerita.


Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.
1) Sirad
Sejarah pembaruan oleh pemuda banyak mewarnai sejarah
bangsa ini. Tokoh tambahan protagonis ini digambarkan secara
dramatik oleh Bakir sebagai golongan terpelajar. Keberadaan
tokoh Sirad mencerminkan konflik antara kaum tua dan kaum
muda. Sebagai tokoh yang mewakili kaum muda, ditinjau dari
psikologisnya, Sirad memiliki pola pikir pembaru dan
revolusioner.
Dia selamanya bebas bertindak terhadapku, karena
memang sejak dahulu aku tertarik kepadanya, dan aku anggap
ia sekedudukan denganku. Ia tak pernah menunduk-nunduk
mencari muka. Itulah yang kusukai.27
“Lepas dasi, berkemeja, celana pendek sesuai dengan hawa
panas Indonesia, dan – selalu bersikap perwira, bertindak
perwira, berpikir perwira. Kita butuh keperwiraan, tidak butuh
tikus.”28

Kutipan di atas terjadi ketika Sirad mencurigai Bakir akan


melakukan korupsi dikarenakan perubahan penampilan yang
ditunjukkan Bakir. Bakir yang berposisi sebagai kaum tua merasa
perlu mengajak kaum muda (Sirad) untuk ikut dalam „usahanya‟.
Namun, Sirad yang berposisi sebagai kaum muda „ditugasi‟ oleh
narator untuk membawa semangat-semangat revolusioner yang
berakibat munculnya konflik dalam diri Bakir.
“Pak, percayalah, dahulu bapak aku obrak-abrik juga,
tetapi yang berkepentingan tidak percaya padaku. Tetapi kini
tidak bisa lagi! Barang siapa mengikuti jejakmu dan mengotori
kantorku akan kubuat kocar-kacir.”29

27
Ibid., h. 67.
28
Ibid., h. 60.
29
Ibid., h. 155-156.
59

Semangat pembaruan yang ditunjukan Sirad tidak berdampak


apa-apa ketika tidak memegang kekuasaan (dukungan dari atasan).
Di satu sisi, PAT mencoba mengkritik kaum muda yang tidak
memiliki keberanian ketika menyuarakan pendapatnya. Di sisi
lain, karakter Sirad mewakili jutaan pemuda yang memiliki jiwa
pembaruan namun tidak memiliki kekuasaan atau dukungan.
2) Bakri, Bakar, Basir dan Basirah
Pemilihan kuantitas anak yang mencapai empat anak
menimbulkan kesan banyaknya tanggungan Bakir. Dilihat dari
posisinya, keempat anak Bakir tidak memiliki porsi yang cukup
kuat dalam cerita. Kehadirannya hanya untuk menyatakan alasan
yang jamak bagi pelaku korupsi, desakan kebutuhan keluarga.
“Pak, pak, aku lulus! Bulan muka masukkan aku di SMA.”
“Pak, pak. Aku juga lulus.”
“Bulan depan aku minta masuk SMP,” sambung anak
kedua si Bakar.30
“Ya, mereka sudah besar. Gaji tak memadai dan mereka
membutuhkan biaya lebih banyak – tambah lama tambah
banyak.”31

Secara sosiologis, keempat anak Bakir merupakan anak yang


pintar dalam urusan sekolah. Di dalam keluarga, pengetahuannya
akan kondisi ekonomi keluarga membawa sisi psikologisnya
„hanya‟ meminta untuk dimasukkan ke sekolah yang lebih tinggi.
Di sisi lain, peristiwa tersebut dapat dijadikan gambaran kondisi
masyarakat Indonesia pada masa itu, yakni banyak faktor yang
menghalangi dalam usaha menempuh pendidikan, salah satunya
ekonomi.

30
Ibid., h. 3.
31
Ibid., h. 30.
60

Ah, dahulu menjadi pegawai negeri adalah suatu


kehormatan. Kebesaran malah. Dan aku harap anakku pun
menjadi pegawai negeri. Itulah pula sebabnya mereka kuberi
huruf pangkal B seperti namaku Bakir, agar sedikit atau
banyak memperoleh tuahku dan bisa menjadi pegawai negeri.32

Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian


nama.33 Keempat anak Bakir diberi nama dengan inisial yang
sama dengan ayahnya, B. Dahulu Bakir merupakan seorang
pegawai yang jaya, yang bangga terhadap posisinya sebagai
pegawai negeri. Penguatan tradisi yang diharapkan Bakir dengan
memberikan nama inisial yang sama, sebuah harapan akan masa
jayanya dulu dapat diraih anaknya kelak. Cara yang juga
dilakukan PAT pada dirinya dengan menambahkan nama Toer
pada dirinya, sebagai harapan kelak dapat menjadi orang baik
seperti Bapaknya, M.Toer.
c. Tokoh Komplementer
1) Thiaw Lie Ham
Tokoh ini dihadirkan terkait dengan hubungan dalam konteks
profesi, Bakir sebagai pemimpin pengadaan barang negara
sedangkan Thiaw Lie Ham sebagai presiden direktur Muria N.V.,
sebuah perusahaan produksi pakaian yang bekerja sama dengan
kantor Bakir.
Kuambil daftar perusahaan-perusahaan yang ada di laci.
Deretan nama Tionghoa. Dan di antara nama Tionghoa yang
dua ratus lima puluh itu hanya dua nama Indonesia, Muria
N.V., presiden direktur Thiaw Lie Ham. Hmm, dialah yang
mula-mula akan jadi sumber keuanganku.34

32
Ibid., h. 2.
33
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1993), Terj. dari,
Theory of Literature oleh Melanie Budianta, h. 287.
34
Toer, op. cit., h. 60.
61

Secara sosial, nama Tionghoa dipilih karena mencerminkan


realita bahwa perusahaan di Indonesia kebanyakan dimiliki oleh
pengusaha China. Bahkan di dalam novel diceritakan ketika
perusahaan bernama Indonesia, pemimpinnya tetap keturunan
Tionghoa seperti pada kutipan di atas.
Pikiran ini menyuruh aku mengingat, siapa yang harus
menjadi sasaranku untuk pertama kali. Ya! Gampang saja.
Taoke itu sudah berkali-kali mencoba menyogok aku. Kena dia
sekarang. Kena!35

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana Thiaw Lie Ham


sebagai pengusaha yang berusaha menyogok Bakir untuk
mendapatkan order. Kehadiran tokoh ini turut mengubah karakter
Bakir, dari awalnya sebagai pegawai negara yang dapat
membentengi diri dari aksi korupsi, kemudian pendiriannya
berubah karena adanya dorongan dari dalam diri dan melihat
peluang untuk korupsi. Hal ini dapat dikatakan sebagai potret yang
melatarbelakangi terjadinya korupsi, bahwa seorang koruptor
dapat melakukan aksinya terutama dikarenakan dorongan dari
dalam diri ditambah adanya pihak-pihak yang bekerja sama, baik
terpaksa maupun sukarela.
2) Wanita setengah tua
Tokoh ini diperkenalkan tanpa nama dan latar belakang yang
cukup. Dalam realita, sosok tokoh ini biasanya hanya dikenal
dengan istilah „mami‟. Masalah privasi dan keamanan menjadi
alasan perlunya menjaga rahasia latar belakang sosok seperti tokoh
ini. Meskipun tanpa nama dan latar belakang yang cukup, tokoh ini
cukup mempengaruhi konflik batin dalam diri Bakir ketika

35
Ibid., h. 10.
62

berhasil korupsi dengan terpaksa bergaul pada lingkungan baru.


Lingkungan „mami‟ yang mencari ketenangan sesama golongan.
Bila mas tidak ikut, nah, mas dalam beberapa hari ini akan
bangkrut, karena semua orang tahu tidak ada warisan apa-apa
yang ditinggalkan orang tua mas untuk mas.36

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana „mami‟ memaksa


Bakir untuk ikut golongan ini. Keberadaan „mami‟ ini membawa
Bakir tenggelam jauh dalam konflik batinnya. Tokoh ini berfungsi
untuk memperlihatkan bagaimana Bakir (dan para koruptor dalam
realita) harus susah payah mempertahankan status sosialnya
hingga terpaksa bergabung dengan kelompok sosial „mami‟.
Sebuah peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bahwa,
“Sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak
ada melihat jalan kembali”.

Kekuatan novel Korupsi terletak pada konflik batin yang terjadi dalam
diri Bakir. Perubahan psikologis Bakir dipengaruhi oleh pandangan sosial
yang dirasanya tidak didapat selayaknya pemimpin perusahaan.
Keputusan untuk melakukan korupsi berawal dari niat dalam diri Bakir,
namun keluarga dijadikan alasan atas pelanggaran yang dilakukan.
Meskipun terdapat penamaan tokoh yang terkesan kurang diperhatikan
seperti penggunaan nama Mariam37 yang sama antara istri dan wanita
dalam kumpulan „mami‟, namun seluruh tokoh yang dihadirkan dilihat
secara karakter maupun kedudukannya dirasa turut mendukung konflik
batin yang dialami Bakir menjadi semakin kompleks. Posisi Bakir sebagai
tokoh antihero dalam usahanya melakukan korupsi merepresentasikan

36
Ibid., h. 110.
37
Ibid., h. 117 dan 151.
63

psikologi para koruptor, bahwa seorang koruptor akan selalu merasa


hilang ketenangan hidupnya.

3. Alur (Plot)
Seperti yang telah dipaparkan penulis dalam bab II mengenai plot. Plot
dalam novel Korupsi adalah plot lurus (progresif). Jenis pemilihan plot
tersebut akan memudahkan pemikiran pembaca untuk memahami pesan.
Dilihat dari segi kriteria kepadatan cerita, novel Korupsi dapat
dikategorikan sebagai novel dengan alur erat. Alur ini mengakibatkan
fokus pembaca terus tertuju pada konflik batin yang dialami Bakir.
Cerita dimulai secara runtut dari tahapan awal, pemunculan konflik,
komplikasi, klimaks, peleraian dan penyelesaian. Peristiwa yang menjadi
pokok utama dalam novel ini menceritakan konflik batin tokoh utama
dalam memperoleh kebahagiaan. Berikut tahapan plot novel Korupsi:
a. Tahapan Awal
Secara keseluruhan novel Korupsi menceritakan bagaimana Bakir
melihat suatu peluang untuk menutupi kekurangan ekonomi dalam
hidupnya. Di bagian pertama, Bakir diperkenalkan sebagai seorang
pegawai negeri yang serba kekurangan di umurnya yang senja.
Anak-anak sudah besar dan harus melanjutkan sekolahnya ...
Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam
penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam
hati, seperti sudah jamak di masa ini: Korupsi.38
Sebetulnya sudah bisa aku kerjakan dari dahulu! Tetapi
sekarang masih cukup waktu untuk memulai. Belum lagi
ketinggalan.39

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir memandang keadaan ekonomi


keluarganya yang semakin kekurangan. Penghasilan Bakir sebagai
pegawai negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup

38
Ibid., h. 1-4.
39
Ibid., h. 5.
64

ditambah kebutuhan anak-anaknya untuk sekolah. Namun, Bakir


malah melihat banyak kawan-kawannya malah dalam keadaan
berkecukupan. Hal ini digunakan PAT untuk memperkenalkan
psikologi Bakir dalam memandang keadaan sekelilingnya. Di sisi lain,
peristiwa ini dapat dikatakan plausibel, memotret realita keadaan
pegawai negeri pada masa itu; gaji yang kurang dan (mengakibatkan)
perilaku korup meski dengan skala kecil dan tertutup.40 Dalam novel,
karakter Bakir yang pada mulanya seorang pegawai jujur, berubah
terbalik menjadi karakter yang menghalalkan segala cara, dengan
alasan klasik; kebutuhan ekonomi.
b. Pemunculan Konflik
Pada bagian pertama telah digambarkan pemikiran Bakir untuk
memperbaiki ekonomi dengan cara korupsi. Meski kata telah
terucapkan yang mengakibatkan seolah realisasi hanya menunggu
waktu.41 Namun, kejujuran yang melekat dalam diri Bakir ditambah
keraguan yang ditunjukkan, menimbulkan suspens sendiri bagi
pembaca terhadap pilihan Bakir, antara melanjutkan rencana atau tetap
hidup sederhana meski dalam kekurangan. Hal tersebut merupakan
konflik batin pertama dalam diri Bakir. Pada bagian kedua ini, PAT
mulai memunculkan konflik dengan memberikan celah kepada Bakir
untuk melakukan korupsi.
Sejak hari ini, sejak detik ini, telah kuputuskan hubunganku
dengan sejarah dan cara hidup dahulu. ... Ini dia: surat
permohonan dari daerah meminta perlengkapan. ... Apa katanya?

40
Rivai Apin, “Suasana Tjatut Meliputi Kehidupan Ekonomi”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta,
10 Oktober 1954, h. 3
41
A. Teeuw tentang kata „niat‟ dalam Korupsi : Begitu kata itu terungkapkan dan terdengar,
maka point of no return telah dilewati. Perbuatan hanya menjadi penjelmaan tak terelakan dari kata.
Karena itu, mungkin cerita ini tidak cukup menegangkan bagi pembaca yang mendekatinya dari
konvensi-konvensi naratif lainnya. (Lihat A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra
Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997, h. 204).
65

Kami tak bisa membiarkan daerah kami terlantar. Karena itu


dengan hormat memohon diusahakan perlengkapan.42
Dadaku berdegapan berhadapan dengan satu kekuasaan yang
sejak kecil menyusun pikiranku. Dan untuk pekerjaan yang akan
kulakukan ini aku harus menerobosi dan menghancurkan
kekuasaan ini baru perbuatan itu mungkin dapat kukerjakan.43

Kemampuan seseorang melakukan korupsi karena adanya


kekuasaan. Situasi dalam teks di atas menggambarkan Bakir
memanfaatkan kekuasaannya. Perubahan karakter Bakir digambarkan
bertahap, pada mulanya Bakir merasa korupsi yang akan dilakukannya
hanya ganjaran atas kebaikan yang telah dikerjakannya. Latar
belakang Bakir yang dikenal sebagai orang jujur kemudian
menimbulkan konflik kedua dalam diri Bakir. Bakir seolah berkata,
“Mampukah aku melakukannya dan meninggalkan sejarah kejujuran?”
c. Komplikasi
Pada bagian ketiga, empat dan lima, konflik yang dialami Bakir
mulai mengalami peningkatan. Dorongan kebutuhan ekonomi dan
keinginan status sosial yang dicapai telah mengubah karakter Bakir
dan berpandangan bahwa korupsi adalah sebuah cara yang lumrah.
Pembaca diberikan surprise ketika Bakir dihadapkan dengan karakter
istri Bakir yang statis, tetap pada pendiriannya untuk hidup tenang dan
bahkan menentang korupsi yang akan dilakukan Bakir meski dalam
kondisi kekurangan ekonomi.
“Engkau tidak berniat, bukan?” tanyanya.
“Berniat? Berniat apa?”
“Korupsi!”
Seperti geledek kata itu menyambar pendengaranku. Tubuh
dan hatiku meriut karenanya dan tenaga dan semangat dan
keberanianku hancur kena sambaran geledek itu ... perempuan ini

42
Toer, op. cit., h. 8.
43
Ibid., h. 14.
66

banyak mengetahui! Banyak mengetahui! Mau aku


menyumpahinya. Tapi aku tak berani.44

Posisi Mariam sebagai istri Bakir memunculkan konflik ketiga


dalam diri Bakir. Membahagiakan Mariam dan keluarga sedianya
merupakan alasan Bakir rela melakukan korupsi. Kondisi ini
kemudian dijadikan alasan Bakir untuk melirik Sutijah, seorang gadis
yang menurut Bakir dapat sejalan dengan pemikirannya.
“Uang sebanyak itu tidak ada di kas kami tuan. Uang sebegitu
besar musti ditaruh di bank, tuan. Kalau tidak diri tidak aman,
barang tidak aman.”
“Berapa bisa kasih?”
“Cuma lima ribu, tuan.”
“Dalam minggu ini yang lima puluh ribu harus terbayar
semua. Kalau tidak, taoke akan rugi banyak. Order aku cabut
kembali.”45

Kutipan di atas terdapat pada bagian keenam, menggambarkan


Bakir yang melakukan korupsi pertamanya dengan meminta bagian
kepada Thiaw Lie Ham, direktur N.V. Muria, atas setiap baju pegawai
yang diproduksi. Perubahan pandangan Bakir, dari awalnya dapat
membentengi diri dari korupsi lalu mengubah pandangannya menjadi
seorang yang ikut terbawa arus korupsi, dapat dijadikan pembelajaran
bahwa korupsi dapat terjadi atau tidak berasal dari dalam diri yakni
niat.
Ada aku lihat Sutijah memandangi uang itu lama-lama dan
dengan sendirinya saja kepalaku mengangguk-angguk. Tiba-tiba
saja aku percaya pada diriku sendiri, pada kemenangan yang akan
kuperoleh.46

Seperti jamaknya adagium harta-tahta-wanita, pada bagian ketujuh


ini memperlihatkan sikap Bakir setelah memperoleh keuntungan dari

44
Ibid., h. 37.
45
Ibid., h. 66-67.
46
Ibid., h. 81.
67

korupsinya yakni berusaha mendapatkan Sutijah, seorang gadis yang


dahulu pernah menjadi perhatiannya. Hal ini menguatkan pandangan
jamak seorang laki-laki yang direpresentasikan oleh tokoh Bakir,
bahwa dengan harta segalanya dapat diraih, termasuk wanita. Namun,
PAT mencoba untuk membuat cerita menjadi lebih menyatu pada
realitas dengan membentuk karakter Sutijah yang kemudian menerima
Bakir karena perubahan status sosial yang dialaminya.
d. Klimaks
Puncak konflik yang dialami Bakir terdapat pada bagian
kedelapan. Peristiwa itu terjadi ketika Bakir mencoba membagi hasil
korupsi kepada istri dan keluarganya. Meskipun sebelum melakukan
korupsi istrinya telah menentang, baginya semua usaha ini dilakukan
untuk keluarga.
“Jangan engkau kira engkau sendiri satu-satunya perempuan,”
kataku kemudian – deras dan menebang.
“Mengapa mendekat lagi? Kalau engkau tahu banyak
perempuan, mengapa tidak pergi pada mereka?”
Kemarahanku yang mulai mengendap kini seakan api kecil
disiram bensin. Kebakaran beserta ledakan terjadi di dalam
dadaku. Tanganku melayang dan menempeleng pipinya. Ia
terjatuh rebah di samping Basirah, tetapi dengan segera bangun
lagi. Dan aku sendiri berjalan cepat menuju ke dunia bebas.47

Kutipan di atas terjadi ketika sikap statis yang ditunjukan Mariam


membuat Bakir kehabisan kesabaran. Di satu sisi, masih ada rasa
bersalah dalam diri Bakir ketika meninggalkan istri dan keluarga yang
telah bersama-sama hidup dalam kekurangan. Di sisi lain, Bakir
merasa penolakan Mariam dianggap sebagai sebuah penghinaan
karena telah berjuang untuk menyelamatkan keluarganya. Kalaupun
dengan cara korupsi, baginya itu dikarenakan tidak ada cara lain.

47
Ibid., h. 96-98.
68

“Ya, besok pagi kita berangkat ke Bogor dan kawin di sana,”


kataku. Ia mengangguk.
Aku dan dia dengan tali alam yang mengikat. Dan aku merasa
berbahagia dalam ikatan itu.48

Pada bagian kesembilan, untuk mendapatkan status sosial


selanjutnya setelah harta adalah istri muda. Istri muda dipandang
sebagai sebuah keberhasilan seorang lelaki. Kutipan di atas terjadi
ketika Bakir melamar Sutijah, gadis yang dirasa memiliki pandangan
yang sama mengenai harta. Pemilihan Sutijah juga menimbulkan
konflik tersendiri dalam diri Bakir. Ini merupakan konflik keempat
yang ia alami, antara tetap bertahan dengan istri dan keluarga yang
telah hidup dalam kesederhanaan atau pergi akibat penolakan Mariam
atas tindakan yang dia lakukan.
e. Peleraian
Kehidupan Bakir terus berjalan. Pada bagian kesepuluh, di tengah
gilang-gemilang Bakir dengan hasil korupsinya, terdapat sebuah
penyesalan dalam dirinya, sesuatu yang hilang; kesederhanaan dan
ketenangan batin. Setelah berhasil korupsi dan memperoleh istri baru,
pada bagian kesepuluh narator langsung menceritakan penyesalan
dalam diri Bakir. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tidak ada
kesempatan untuk bersenang-senang dalam diri koruptor dengan harta
rampasannya. Sebaliknya, seorang koruptor akan selalu merasakan ada
yang kosong dalam dirinya.
Inilah duniaku yang sempit ini. Inilah jantungku yang terus
menggigil oleh ketakutan dan kecurigaan. ... Di sana lagi isteri dan
keempat anakku sedang berjalan. Ya, memang nampak lebih
miskin daripada dahulu. Teteapi mereka tidak terus menggigil
sebagaimana aku sekarang.49

48
Ibid., h. 99-105.
49
Ibid., h. 106-108.
69

Kutipan di atas menjelaskan ketika Bakir telah memiliki harta,


Bakir berharap dapat hidup tenang. Namun, karakter Bakir yang
terbiasa hidup damai terusik ketika jiwanya tidak merasa tenang meski
memiliki harta yang dahulu diidam-idamkannya. Bakir terus terseret
dalam arus duniawi tanpa ketenangan batin.
Sebelum meninggalkan ruangan kerja kulihat jam. Satu jam
lagi dan baru aku dapat mengunjungi Mariam – salah seorang
anggota organisasi orang-orang semacam aku, dalam kesulitan
seperti aku pula.50

Dalam proses peleraian cerita pada bagian kesebelas, Bakir


digambarkan terus terjerumus dalam pergaulan yang membawanya
pada kekosongan jiwa. Kutipan di atas terjadi ketika Bakir terpaksa
ikut dalam golongan „mami‟ untuk menutupi kekhawatiran akan
terbuka perbuatannya. Meski penceritaan mengenai golongan ini
kurang kuat dan terkesan hanya tempelan. Namun, keberadaan
golongan ini memberikan kesan bahwa seorang koruptor akan jauh
tenggelam dalam urusan duniawi dan tanpa memiliki kemampuan
untuk kembali.
Baru sekali ini ada terlihat olehku bahwa perempuan cantik,
muda dan pandai merayu inilah sebenarnya biang keladi yang
menggampangkan keruntuhan pertahanan batinku.51
“Aku tahu, engkau menyesal meninggalkan anak dan
isterimu. Hanya karena aku! Karena itu bukan main tololmu kalau
tidak mau mengerti, segala permintaanku harus dikabulkan, ...”52

Pada bagian kedua belas dan tiga belas, narator menceritakan


Bakir yang tidak bisa menutupi kegelisahannya. Kegelisahan akan
kehancuran hidupnya. Di lain pihak, Sutijah dengan karakternya yang
hanya ingin menguasai harta benda tidak memedulikan Bakir. Bahkan,

50
Ibid., h. 116.
51
Ibid., h. 139-142.
52
Ibid., h. 144.
70

Sutijah tidak keberatan jika Bakir ingin kembali kepada Mariam


dengan syarat tidak membawa harta benda apapun. Hal ini
menguatkan kesan bahwa apa yang akan diraih seseorang berawal dari
niat. Dalam hal ini niat Sutijah ketika menerima pinangan Bakir, harta.
Kosongnya jiwa Bakir tanpa ketenangan merupakan konflik kelima
yang dirasakan Bakir.
f. Penyelesaian
Pada tahun pembuatan novel 1953, belum ada hukuman pidana
mengenai korupsi.53 Fakta ini kemudian yang digunakan narator untuk
menyelesaikan cerita novel Korupsi. Penyelesaian yang tidak diduga-
duga oleh pembaca masa kini yang berharap Bakir ditangkap karena
kasus korupsinya, namun jika dilihat konteks hukum pada tahun
pembuatan novel, cerita ini menjadi plausibel.
Ah, ya, sebelumnya memang aku tak mengerti bahwa aku
ditangkap bukan karena orang tahu perbuatan korupsi, tetapi si
celaka taoke itu telah memberi aku ribuan palsu.54
Pada bagian keempat belas, Bakir tertangkap karena diduga
melakukan peredaran uang palsu yang diakuinya didapat dari taoke.
Tidak ada penjelasan tentang tokoh taoke yang memberikan uang
palsu kepadanya. Peristiwa ini dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama
sebagai simbol perlawanan pemerasan yang dilakukan pegawai negeri
meskipun dengan cara yang licik. Sisi kedua memperlihatkan
bagaimana seorang pengusaha55 melakukan segala cara untuk

53
Istilah korupsi hadir pertama kali dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan
Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Lihat
Mansyur Semma, Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia
dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obor, 2008, h. 81.
54
Toer, op. cit., h. 149.
55
Dalam novel pengusaha yang dimaksud adalah keturunan Tionghoa. Tidak menutup
kemungkinan pemilihan pengusaha keturunan Tionghoa bukan merupakan kritik etnis, melainkan
hanya representasi kebanyakan pengusaha, berlatar belakang keturunan Tionghoa.
71

mendapatkan order dan tetap mendapatkan untung dengan


memberikan sogokan uang palsu.
“Engkau,” katanya, “bagaimana pun juga adalah suamiku.
Biarlah aku dan anak-anakmu tak engkau ajak bersenang, tetapi di
dalam duka ini engkau tetap suamiku. Engkau tetap ayah dari
anak-anakmu.”
“Sejak kini aku doakan engkau selalu memperoleh kekuatan.
Dalam kejatuhan itulah orang bisa memilikinya.”56

Kesederhanaan seorang wanita terus dipertahankan narator dalam


tokoh Mariam. Pembaca diberikan surprise ketika Mariam menjenguk
Bakir di tahanan dan mengatakan akan tetap menganggapnya sebagai
suami setelah Bakir meninggalkannya untuk wanita lain. Ia pun
membawa serta keempat anak mereka. Konflik batin keenam yang
dirasakan dalam diri Bakir yakni sesuatu yang telah lama hilang sejak
dia mulai memutuskan menghamba pada harta benda dan
meninggalkan sejarah kejujurannya, ketenangan.

Dari beberapa hal yang telah dipaparkan mengenai alur, dapat


disimpulkan bahwa alur yang digunakan dalam novel Korupsi merupakan
alur maju progresif. Eratnya alur dalam novel ini menghasilkan fokus
pembaca terus tertuju pada konflik batin yang dialami tokoh utama. Hal
ini menghasilkan empati pembaca sehingga konflik batin dapat diterima.
Pemilihan gaya penceritaan pada bagian peleraian dengan langsung
menceritakan kekosongan dalam diri Bakir ketika berhasil melakukan
korupsi memberikan kesan bahwa seorang koruptor tidak pernah memiliki
waktu untuk merasakan kesenangan dalam dirinya meski dengan
banyaknya harta yang didapat. Pada bagian penyelesaian, meski kurang
diterima oleh pembaca masa kini yang mengharapkan Bakir ditangkap
karena kasus korupsinya, pemilihan ending dengan menceritakan Bakir

56
Toer, op. cit., h. 151.
72

yang dipenjara akibat mengedarkan uang palsu menjadi plausibel jika


dilihat belum adanya hukum tentang koruptor pada masa itu.
4. Latar
Latar dapat berupa segala keterangan mengenai waktu, ruang dan
suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Unsur latar dapat dibedakan
ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur
tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
a. Latar Tempat
Pemilihan latar tempat dalam karya sastra mempengaruhi pola
pemikiran tokoh di dalamnya. Dalam novel Korupsi terdapat latar
netral dan fungsional yang mempengaruhi perkembangan tokoh secara
sosiologis maupun psikologis. Penggambaran latar tersebut koheren
dan digunakan sesuai dengan fungsi alaminya. Latar tempat tersebut
antara lain sebagai berikut.
1) Rumah Bakir
Latar rumah Bakir dapat dikatakan sebagai latar netral dilihat
dari aspek keberadaan tempat. Keberadaannya seperti umumnya
rumah seseorang di berbagai tempat. Namun, jika dipandang dari
segi fungsi dalam hubungannya dengan meningkatnya konflik
batin Bakir, latar ini memiliki fungsi sebagai awal permasalahan.
Jika dikaitkan dengan latar suasana, latar ini berfungsi membangun
kegelisahan dalam diri Bakir. Keharmonisan rumah tangga yang
telah dibangun selama lima belas tahun perlahan runtuh oleh
desakan kebutuhan ekonomi yang mengakibatkan berkurangnya
harta benda. Seperti masyarakat pada umumnya, rumah merupakan
satu dari sekian faktor yang menentukan status sosial seseorang.
Telah dua puluh tahun aku jadi pegawai. Tetapi kian hari
kian berkurang saja harta benda dan umurku. Lemari agung
yang dahulu menghiasi ruang depan sudah lima tahun ini
hilang disita orang. Sepeda motor yang dahulu menjadi
73

kebanggaanku telah lama melayang. Sepeda tua itulah


gantinya. Perhiasan istriku, yang dahulu kerap kali dikagumi
orang, sudah lama berubah bentuk menjadi surat-surat
pegadaian yang tidak berharga karena tidak tertebus.57

Dari kutipan di atas tampak perubahan ekonomi Bakir dengan


menghilangnya harta benda. Meskipun istri dan anak-anak mereka
tidak pernah mengeluh akan kondisi tersebut. Hilangnya harta dan
juga rumah merupakan kejatuhan diri bagi pria pada umumnya.
Harta benda yang hilang karena kurangnya gaji menjadi awal
alasan Bakir melakukan korupsi. Penggambaran harta benda yang
berkurang karena kurangnya gaji pegawai negeri menjadi koheren
dengan alur dan latar suasana melihat keadaan sosio-kultur
pegawai negeri pada saat itu memang diakui kurang mencukupi.58
2) Kantor
Pemilihan latar kantor yang berlokasi di Jakarta secara
fungsional dan tipikal koheren dengan realita, mengingat
keberadaan pusat pemerintahan berada di Jakarta. Bakir
merupakan pemimpin perkantoran pegawai negeri yang bertugas
pada pembelian dan pengadaan barang. Dari segi cerita,
keberadaan latar ini berfungsi sebagai tempat yang memberikan
celah kepada Bakir untuk melakukan korupsi
Lihat si Herman. Engkau kenal juga dia. Bekas juru tulisku.
Mestilah engkau masih ingat, sekarang? Wah rumah sendiri,
mobil sendiri, menggaji sopir pula. Anak-anaknya
disekolahkan ke mana-mana.”59

Kutipan di atas menggambarkan pemikiran Bakir mengenai


rekan kerjanya yang lebih mapan. Di satu sisi, harta benda yang

57
Ibid., h. 2.
58
Rosihan Anwar, “Geger Dikalangan Pamong Pradja”, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 10
Oktober 1954, h. 5.
59
Toer, op. cit., h. 36.
74

dimiliki rekan kerja menimbulkan kecemburuan yang menjadikan


alasan untuk melakukan pelanggaran, dalam hal ini korupsi. Di
sisi lain, potret ini menggambarkan gejolak korupsi yang mulai
menggejala di kalangan pegawai negeri. Sebuah potret yang
mewakili pandangan umum masyarakat mengenai citra negatif
pegawai negeri.
Habis kantor kuangkat sebagian harta terpendam itu,
langsir ke pasar Senen dan menjualnya di tempat toko kertas
tangan kedua.60

Perlengkapan kantor merupakan barang pertama yang


dikorupsi Bakir. Perlengkapan kantor dipilih sebagai barang kecil
yang dapat „melatih‟ perbuatan korupsi Bakir. Rendahnya
pengawasan teman kerja Bakir membuat peluang untuk menjual
perlengkapan kantor menjadi terbuka. Hal ini dapat diartikan
sebagai kritik yang disuarakan oleh PAT pada masyarakat yang
hanya diam ketika melihat kecurangan. Peristiwa pegawai menjual
barang kantor juga merupakan potret dalam masyarakat
61
pascakemerdekaan dikarenakan kondisi ekonomi.
3) Muria N.V., Jakarta Kota
Muria N.V. digambarkan sebagai perusahaan penyedia barang
yang dipimpin oleh presiden direktur Thiaw Lie Ham yang
berlokasi di Jakarta Kota. Dilihat dari realita, latar ini dapat
dikatakan fungsional dan tipikal karena pada umumnya sebuah
daerah pascakemerdekaan, hanya daerah kota yang memiliki
berbagai macam pertokoan (kebanyakan dimiliki oleh keturunan
Tionghoa) dan telah terkenal sebagai pusat kehidupan.

60
Ibid., h. 13.
61
Rivai Apin, Loc. Cit.
75

... Dan taksi terus menderum ke kota pula: Muria N.V.,


Thiaw Lie Ham.62

Dilihat dari kedudukannya dalam cerita, keberadaan tempat ini


berfungsi sebagai tempat korupsi yang dilakukan Bakir kepada
pengusaha Tionghoa. Latar ini dapat dikatakan sebagai latar netral
karena penggunaan latar dapat digantikan dengan tempat lain,
meskipun akan sedikit mengubah alur maupun unsur fiksi lain.
4) Rumah Sutijah
Setelah hasil korupsi ditolak oleh istrinya, Bakir menuju ke
rumah Sutijah, memperkuat sebuah adagium harta-tahta-wanita.
Jika dilihat dari hubungannya dengan alur, maka rumah Sutijah
dapat digolongkan ke dalam latar fungsional. Hal ini tampak pada
pemilihan cerita „mempertemukan‟ kembali Bakir dengan Sutijah
di rumah Sutijah yang menggambarkan bahwa peristiwa
perselingkuhan dimulai dari Bakir. Berbeda halnya jika pertemuan
telah mereka siasati di suatu tempat yang akan menunjukkan ada
keinginan dari keduanya.
Empat tahun paling sedikit setelah ia pindah dari rumah
sebelah, pindah di rumah yang lebih murah sewanya, lebih ke
udik.63

Kutipan di atas merupakan pandangan Bakir akan keberadaan


Sutijah. Rumah Sutijah diceritakan pada mulanya dekat dengan
rumah Bakir, kemudian pindah ke lokasi yang lebih udik.
Pemilihan penggunaan istilah „lebih udik‟ menunjukkan kondisi
ekonomi Sutijah yang menurun pascameninggalnya sang ayah.
Rumah itu terlindung oleh pagar bambu tinggi dalam
anyaman yang rapat. Tak dapat orang lewat melihat pendopo
dan pekarangannya. Bahkan bagaimana bentuk rumah itu pun

62
Toer, op. cit., h. 63.
63
Ibid., h. 38.
76

tidak bisa dilihat dari luar. Hanya genteng rumah yang merah-
hitam saja yang nampak.64

Potret rumah Sutijah selanjutnya digambarkan dengan rumah


yang tidak bisa dilihat orang dari luar karena pagar yang tinggi.
Pada umumnya, pagar yang tinggi merupakan simbol pemilik
rumah yang berusaha mengamankan harta bendanya dari ancaman
orang luar.65 Hal ini menimbulkan pengertian yang kontradiktif
mengenai arti pagar tinggi, mengingat kondisi ekonomi Sutijah
diceritakan menurun pascameninggalnya sang ayah dan ditambah
keterangan lokasi Sutijah yang pindah rumah ke lebih udik. Dalam
konteks cerita, pagar tinggi berfungsi untuk melindungi
perbincangan antara Bakir dan Sutijah dari pandangan orang luar.
5) Villa di Bogor
Pada umumnya, memiliki villa di Bogor dipandang sebagai
sebuah kemapanan oleh masyarakat Jakarta. Jarak yang tidak
terlalu jauh dari Jakarta dan perbedaan suhu antara Jakarta dan
Bogor menjadikan lokasi ini dipilih sebagai hiburannya warga
Jakarta. Dalam cerita, pemilihan latar villa di Bogor sebagai tujuan
meningkatkan status sosial Bakir dapat dipandang sebagai latar
simbolik.
Juga aku tidak tinggal di kamar di belakang warung cina,
tetapi di sebuah gedung dari dua setengah ratus ribu. Tidak lagi
di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di
deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor.66
Istanaku tidak memberi kedamaian batin.67

64
Ibid., h. 78.
65
Ahadi, Apa Fungsi Pagar Rumah, diakses pada 11/06/2016, 20:00 WIB dari
http://www.ilmusipil.com/apa-fungsi-pagar-rumah
66
Toer, op. cit., h. 107.
67
Ibid., h. 139.
77

Meskipun villa di Bogor merupakan simbol kemapanan yang


diimpikan masyarakat secara umum (juga Bakir), namun dalam
cerita Bakir justru merasa tidak mendapatkan ketenangan setelah
memiliki harta yang didapatnya dari hasil korupsi. Hal ini dapat
diartikan villa di Bogor memiliki fungsi sebagai simbol
kemapanan sekaligus menjadi titik balik psikologi tokoh Bakir
akan pandangan hidupnya yakni mencari ketenangan batin.
6) Penjara
Keberadaan latar tempat penjara merupakan potret di
masyarakat ketika seseorang menyesali perbuatannya namun terus
melakukan kesalahannya dan baru (terpaksa) berhenti ketika
berakhir dipenjara. Hal ini dapat dilihat dari narasi yang diutarakan
Bakir mengenai keruntuhan hidupnya, namun ia terus melakukan
korupsinya dan bahkan berusaha menutupinya dengan mengikuti
kelompok „mami‟.
Hanya untuk menunda datangnya keruntuhan, sedangkan
keruntuhan itu sendiri telah kuketahui akan datang juga.
Namun aku tak mau runtuh atas kehendakku sendiri.
Kekuasaan dari luar harus meruntuhkan daku.68
Ah, ya, sebelumnya memang aku tak mengerti bahwa aku
ditangkap bukan karena orang tahu perbuatan korupsi, tetapi si
celaka taoke itu telah memberi aku ribuan palsu.69

Potret mengenai situasi penjara tidak digambarkan secara jelas


karena fokus penceritaan PAT dengan latar ini adalah kembalinya
karakter Bakir menjadi seorang yang mencari ketenangan batin.
Selain itu, pemilihan cerita tertangkapnya Bakir bukan karena
kasus korupsi merupakan kritik yang membangun untuk

68
Ibid., h. 111.
69
Ibid., h. 149.
78

pemerintah pada masa itu mengenai hukuman bagi koruptor yang


belum ada70 dan “negara yang masih sibuk dengan gerombolan.”71
b. Latar Waktu
Latar waktu mengenai kapan peristiwa dalam novel Korupsi tidak
ditunjukkan secara jelas. Hal ini memberikan kesan bahwa cerita ini
universal, dapat terjadi kapan pun. Dilihat dari tahun pembuatan, novel
ini ditulis sekitar tahun 1953 yang menandakan masa setelah
kemerdekaan, masa di mana gejolak korupsi di kalangan pegawai
negeri mulai muncul yang dilatar belakangi kurang mencukupinya gaji
pegawai negeri.72 Jika dikaitkan dengan alur, cerita dalam novel
mencerminkan kegelisahan masyarakat mengenai korupsi yang mulai
bergejolak pada masa itu.
“Apa yang mengamuk?”
“Korupsi!”
“Kalau bapak tahu berapa puluh ribu pemuda yang mati! Kalau
bapak tahu berapa dari orang-orang tua – yang di jaman penjajahan
dahulu tak sempat kaya ...”73

Kutipan di atas memperlihatkan bagaimana kegelisahan Sirad


mengenai korupsi di kantornya. Dalam novel, diceritakan Bakir mulai
korupsi dengan menjual perlengkapan kantor. Peristiwa ini dapat

70
Istilah korupsi hadir pertama kali dalam hukum Indonesia pada tahun 1958. Hal ini turut
mempengaruhi latar sosio-kultur dalam novel dengan tema korupsi setelah tahun 1958. Senja di
Jakarta karya Mochtar Lubis yang terbit pada 1958 mulai menggunakan hukuman koruptor ketika
tokoh Sugeng ditangkap (Lihat, Mochtar Lubis, Senja di Jakarta, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, cet
ke-2, 1981, h. 314). Pada masa orde baru ketika pemberantasan korupsi berjalan di tempat, novel
Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang menggunakan latar waktu 1992 pun memilih untuk
„membiarkan‟ koruptor menjarah proyek tanpa ada hukum yang berusaha menghentikannya (Lihat,
Ahmad Tohari, Orang-Orang Proyek, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet ke-2, 2015, h. 230).
Latar sosio-kultur dalam novel terus memotret realita masyarakat pada masanya. Pascareformasi,
ketika korupsi diperangi lewat KPK namun masih terdapat oknum-oknum yang melindungi
„keberlangsungan‟ hidup koruptor. Potret ini muncul pada 86 karya Okky Madasari ketika koruptor
yang telah ditangkap berusaha menyogok di dalam pengadilan. (Lihat, Okky Madasari, 86, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, cet ke-3, 2015, h. 169).
71
Toer, op. cit., h. 118.
72
Anwar, loc. cit.
73
Toer, op. cit., h. 57.
79

dikatakan menyuarakan kegelisahan masyarakat jika dilihat dari realita


bahwa pada masa itu usaha korupsi dengan menjual barang kantor
mulai menggeliat di masyarakat.74
Selain keterangan waktu pembuatan, keterangan waktu dapat dilihat
berdasarkan urutan waktu yakni, pagi, sore dan malam. Hal tersebut
dapat dilihat berdasarkan waktu antropologis dan kronologis manusia
yang juga turut mempengaruhi jalannya cerita. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan berikut.
Pagi itu aku berangkat kerja dengan semangat baru! Niat itu
telah ada dalam hatiku dan keyakinan akan kemenangan perjuangan
sekali ini demikian terasa di hati.75

Pagi itu Bakir berniat melakukan korupsi. Latar pagi dipilih karena
berdasarkan waktu antropologis pada umumnya karyawan masuk
kantor di pagi hari. Latar pagi juga dapat diibaratkan sebagai semangat
baru, semangat seseorang melakukan sesuatu yang baru.
“O, jadi bapak akan kondangan berdasi ini?”
Tak tahu aku jawabannya, segera kutinggalkannya ... Dan taksi
terus menderum ke kota pula: Muria N.V., Thiaw Lie Ham.
Taoke membuka laci dan aku menerima lima ribu ... aku minta
diri dan kembali melompat ke dalam taksi. Tujuan: langsung ke
kantor.76

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir berbohong kepada Sirad untuk


menjalankan niat korupsinya. Dalam novel, tugas untuk memberikan
order seharusnya dilakukan oleh opas. Namun, untuk menjalankan niat
korupsinya Bakir pergi ke Muria N.V. pada jam kerja, untuk
memastikan kutipan yang telah ditentukannya pada order yang
diberikan. Secara antropologis, Bakir telah melanggar kewajiban
pegawai negeri pada umumnya yakni tetap bekerja pada jam kantor.

74
Apin, loc. cit.
75
Toer, op. cit., h. 5.
76
Ibid., h. 62-67.
80

... tiada terasa matahari Jakarta hilang tergelincir di balik atap


rumah dan tajuk pepohonan.77

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir dan Sutijah berbincang di


beranda rumah Sutijah. Secara kronologis, hal ini mengisyaratkan
telah terjadi percakapan yang cukup panjang dan harmonis. Peristiwa
ini diperlukan untuk menunjukkan hubungan yang harmonis antara
Bakir dan Sutijah. Sebuah peristiwa awal menuju peristiwa yang
semakin meningkat dari segi emosional yakni, Bakir melamar Sutijah.
Malam itu aku mau bicara bersungguh-sungguh dengan
isteriku. Tapi ia tak datang-datang juga di ranjang. ... Wekker
menunjukkan jam sepuluh malam.78

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir berusaha membujuk istrinya


untuk menerima hasil korupsinya. Secara antropologis, bagi pegawai
negeri, waktu untuk berbincang bersama keluarga hanya tersisa sore
atau malam hari dan hari libur. Latar waktu malam dipilih karena
kesunyiannya. Suasana yang cocok untuk membicarakan masalah-
masalah bersama keluarga, dalam peristiwa ini Bakir kepada Mariam.
c. Latar Sosial
Latar sosial dalam novel Korupsi dapat dilihat sebagai potret
suasana pascakemerdekaan, di mana pada saat itu gaji pegawai negeri
kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.79 Latar
sosial juga berkaitan dengan berkembangnya konflik batin yang
dialami Bakir. Kondisi sosial yang berkaitan dengan konflik batin
Bakir, seperti terlihat dalam kutipan berikut.
Dahulu aku mempunyai rumah sendiri. Sekarang demikian pula.
Tetapi beberapa kamar, itu pun yang terbaik dan terdepan letaknya,
terpaksa disewakan. Keributan di depan tidak mengijinkan –
dentuman karung-karung beras yang dilemparkan di lantai, dan abu
77
Ibid., h. 79.
78
Ibid., h. 95.
79
Anwar, loc. cit.
81

karung yang terbang campur aduk dengan makanan kami.


Selamanya bunyi karung beras dilemparkan itu menggeletarkan
jantungku yang sudah tua dan lemah, dan selalu pula kututup
kupingku sekalipun perbuatan demikian tidak menolong apa-apa.80

Kutipan di atas menggambarkan latar sosial Bakir. Sebagai


permulaan, diperkenalkan latar sosial Bakir yang pada mulanya
memiliki rumah maupun barang-barang yang dapat menunjukkan
status sosial keluarga Bakir. Namun, gaji yang semakin tidak
mencukupi ditambah kebutuhan keluarga turut mempengaruhi kondisi
ekonomi keluarga Bakir. Berkurangnya barang-barang dan ruangan di
dalam rumah karena dikontrakan dirasa Bakir sebagai sebuah
kehilangan status sosial yang mengakibatkan bawahannya tidak
memberikan rasa hormat pada dirinya. Hal ini kemudian turut
mempengaruhi dirinya untuk korupsi.
Perasaan celaka tiap kali meminta perhatianku pabila dapatlah
aku kesempatan menertawakan diriku sendiri karena penduduk di
sekeliling rumahku di Bogor amat menghormati aku karena
mempunyai perhatian besar terhadap pemberantasan buta huruf,
bahkan aku telah menjadi pelindung waktu lebaran menyerahkan
beras sekarung kepada panitia zakat fitrah, waktu terjadi kebakaran
menyerahkan uang lima ribu untuk para korban, dan sekiranya aku
mempunyai perusahaan, maka semua surat kabar akan kuberi iklan
tiap bulan tujuh kali agar mereka tak coba-coba bongkar
rahasiaku.81

Setelah melakukan korupsi, Bakir mendapat status sosial dan


lingkungan baru. Kutipan di atas menggambarkan bagaimana hasil
dari korupsi yang dilakukan Bakir. Perubahan latar sosial merupakan
bagian yang tak terelakan ketika memasuki lingkungan baru. Bakir
yang mengharapkan merasa tenang setelah memiliki harta justru
merasa ketakutan setiap saat, ketakutan akan datangnya keruntuhan

80
Toer, op. cit., h. 29.
81
Ibid., h. 108.
82

dirinya. Sebuah tujuan utama dari novel Korupsi bahwa status sosial
bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan ketenangan hidup.

Perubahan latar mempengaruhi karakter tokoh Bakir seperti pada


pemilihan latar villa sebagai pergerakan status sosial Bakir. Memiliki
villa di Bogor dipandang oleh masyarakat Jakarta sebagai sebuah bentuk
kemapanan. Pemilihan latar waktu sesuai dengan waktu antropologis
kebiasaan manusia seperti Bakir yang setiap pagi bekerja. Waktu
antropologis itu kemudian berbenturan dengan waktu kronologis yang
menimbulkan kecurigaan pada diri Sirad ketika Bakir yang seharusnya
bekerja pada jam kantor, memilih pergi ke Muria N.V. untuk
menjalankan niat korupsinya. Dilihat dari latar sosial, perubahan status
sosial yang didapat Bakir membawanya kepada kesadaran bahwa hidup
bukan selalu tentang harta.

5. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view merupakan cara pengarang
menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Dalam novel
Korupsi, sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang
pertama. Pemain yang bertindak sebagai pelaku utama. Si “aku” tokoh
utama mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya,
baik bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik dan hubungannya
dengan sesuatu yang di luar dirinya. Fungsi sudut pandang orang pertama
ini adalah untuk mengajak pembaca memahami isi hati dan jalan pikiran
dari tokoh utama melalui narasi maupun dialog yang tertera. Hal ini
terlihat dalam teks berikut.
Sungguh, aku tak sampai hati melihat itu. Karena itu kembali
kudekati isteriku dan mengulangi ajakan untuk berdamai. Aku dekati
83

dia dan nampak olehku wajahnya yang pucak, kulitnya yang layu,
dalam umurnya yang masih muda.82

Dengan menggunakan sudut pandang „aku‟ PAT mencoba menggali


apa yang dipikirkan oleh Bakir untuk diresapi oleh pembaca. Pembaca
kemudian (tanpa sadar) memasuki jalan pikiran Bakir. Pemilihan sudut
pandang ini membuat pengarang leluasa mengeksplorasi sisi batin Bakir
untuk kemudian menciptakan konflik.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara pengarang menggunakan bahasa dalam
menyampaikan gagasan melalui karya yang dihasilkan. Pemilihan kata
yang tepat dalam gaya bahasa mampu membangun jalinan cerita yang
menarik. Penggunaan ungkapan, majas dan pengolahan kata atau kalimat
akan menimbulkan kesan estetik dalam sebuah karya sastra. Penggunaan
gaya bahasa juga memiliki fungsi dalam penekanan kata maupun kalimat
yang berkaitan dengan unsur intrinsik lainnya seperti tema, penokohan,
latar maupun sudut pandang. Adapun pengaruh gaya bahasa terhadap
unsur intrinsik adalah sebagai berikut.
a. Tema
Pemilihan kata maupun kalimat dalam sebuah peristiwa di dalam
novel dapat dilihat berdasarkan kedudukannya dalam membangun
konflik. Kedudukan tersebut mempertegas tema yang diusung
pengarang di dalamnya. Hal tersebut dapat terlihat pada kutipan
berikut.
Tiba-tiba aku mengerti : lelaki ini merasa tua kalau ia tak
sanggup menarik hati wanita lagi; dan selama ia masih diterima
sekalipun telah bernafas selama tiga perempat abad ia tetap merasa
masih muda. Dan uang bisa menolong memudakan manusia.83

82
Ibid., h. 97.
83
Ibid., h. 68.
84

Harta-tahta-wanita dapat dikategorikan sebagai tema minor yang


telah dijelaskan penulis pada bagian tema. Kutipan di atas terjadi
ketika Bakir membayangkan manfaat uang yang didapatnya dari hasil
korupsi. Seperti adagium harta-tahta-wanita, Bakir membayangkan
menggunakan uang tersebut untuk merayu Sutijah. Gaya bahasa ini
dapat dikategorikan berdasarkan langsung tidaknya makna. Frasa
“uang bisa menolong memudakan manusia”, dapat dikategorikan
sebagai hiperbol, karena kenyataanya memiliki uang tidak dapat
menahan manusia untuk menjadi tua. Frasa “memudakan manusia”
juga diberikan perluasan makna oleh pengarang yakni merasa muda
jika mampu memiliki wanita lagi. Hal tersebut menegaskan adagium
harta-tahta-wanita.
b. Penokohan
Pembentukan karakter tokoh dapat dilakukan lewat narasi maupun
pemikiran tokoh itu sendiri. Pemilihan pola tersebut berpengaruh pada
emosi pembaca dalam memahami karakter tokoh. Dalam novel
Korupsi, karakter Bakir diperkenalkan lewat pemikiran tokoh itu
sendiri, hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
Dengan sendirinya saja kakiku terbanting-banting lemah ke
kanan dan ke kiri untuk melepaskan kungkungan ini – kungkungan
seberat ini, kungkungan seerat ini aku harus putuskan semua ini ...
harus putuskan semua ini ... putuskan semua ini ... semua ini ... ini
....84

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendapatkan penolakan dari


istrinya mengenai rencana untuk korupsi. Dalam dialognya, nada yang
ditunjukkan Bakir seolah menunjukkan kelemahan untuk melanjutkan
rencananya. Narasi sebelumnya, Bakir mengharapkan dirinya kembali
muda agar dapat merayu Sutijah. Permasalahan percintaan di tengah

84
Ibid., h. 39.
85

usaha Bakir untuk melaksanakan niat korupsinya memberikan


kesempatan multi tafsir bagi pembaca. Pola seperti ini dapat
dikategorikan gaya bahasa retoris bagian elipsis. PAT seolah
memberikan suspense bagi pembaca untuk menerka apa yang
selanjutnya dilakukan Bakir; memutuskan hubungannya dengan
Mariam, memutuskan untuk menikah dengan Sutijah, memutuskan
untuk tidak korupsi atau bahkan segera merealisasikan niat korupsinya.
c. Latar
Ketepatan pemilihan kata dalam sebuah kalimat mampu
menimbulkan gagasan mengenai latar yang dimaksud oleh pengarang
yang nantinya akan mempengaruhi imaji dalam diri pembaca. Hal
tersebut dapat terlihat dalam kutipan berikut.
Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku
plymouth. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya
yang tenang di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan
Bogor.85

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendeskripsikan hasil


korupsinya. Pemilihan latar villa di selatan Bogor dapat dikategorikan
sebagai ketepatan pilihan kata kategori sangat khusus dari kata sangat
umum yakni rumah. Selain itu, pemilihan tempat ini dapat dikaitkan
dengan jenis-jenis gaya bahasa dari segi nonbahasa. Perbedaan kondisi
alam Bogor dengan Jakarta banyak dimanfaatkan warga Jakarta
sebagai tujuan rekreasi. Dalam cerita, Bakir membeli villa di Bogor
untuk meningkatkan status sosialnya. Memiliki villa di Bogor dapat
dianggap sebagai sebuah kemapanan khususnya oleh warga Jakarta.
d. Sudut Pandang
Pemilihan sudut pandang „aku‟ orang pertama seperti yang telah
dijelaskan penulis pada bagian sudut pandang mempengaruhi pembaca

85
Ibid., h. 107.
86

untuk turut merasakan apa yang dialami tokoh. Hal ini tidak terlepas
dari pemilihan kata yang tepat, seperti terlihat pada kutipan berikut.
Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnya baik di mulut
maupun di hati: korupsi, korupsi, korupsi. Akhirnya teguhlah niatku
untuk mengerjakan juga. Berdengung kata itu: korupsi, korupsi,
korupsi. Tiap dinding dan tiap benda di kamar serasa merasa ikut
menggigilkan kata itu-itu juga : korupsi! korupsi!86

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mencanangkan untuk


melakukan korupsi. Dengan menggunakan gaya bahasa kiasan
personifikasi pada sudut pandang „aku‟ orang pertama ini, membawa
pembaca seakan merasakan dengung suara yang dirasakan Bakir.
Ketepatan pemilihan kata secara alami dengan memanfaatkan benda di
sekitar Bakir turut menambah nuansa kegalauan yang dirasakan Bakir.

Penggunaan gaya bahasa dalam novel Korupsi dapat dikatakan tepat


guna. Terlihat bagaimana PAT mendayagunakan bahasa dengan detail-
detail pilihan kata yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini turut
mempengaruhi pembaca dalam memahami jalan cerita yang diberikan
lewat pilihan kata yang meningkatkan konflik. Pemilihan kata yang telah
dikonvensi oleh masyarakat seperti villa di Bogor sebagai simbol status
sosial pun turut menambah nuansa kejadian ini seolah nyata adanya.

Setelah penulis melakukan penelitian terhadap novel Korupsi karya PAT,


terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai hasil temuan.
Meskipun novel Korupsi bukan karya best seller dari PAT, namun cukup
memiliki pengaruh terhadap dunia sastra dan perjalanan menulis PAT sendiri.
Ciri khas PAT dalam menggambarkan gejolak dalam diri tokoh tampak dalam
konflik batin yang memberikan suspense bagi pembaca dalam memahami
jalan pikiran Bakir. Dilihat dari penggambaran masing-masing tokoh yang

86
Ibid., h. 4.
87

mempengaruhi perkembangan tema, baik tema minor maupun mayor,


padunya alur dalam upaya membawa emosi pembaca, pemilihan sudut
pandang “aku” yang menghasilkan empati pembaca atas penggambaran diri
manusia dari dalam, pemilihan latar yang mempengaruhi karakter para tokoh
dan bagaimana PAT mendayagunakan bahasa dengan tepat guna ditambah
pelopor tema korupsi dalam sastra Indonesia menjadikan novel Korupsi satu
dari sekian banyak novel PAT yang perlu mendapat apresiasi. Secara
keseluruhan novel korupsi menceritakan bagaimana korupsi pada masa itu
mulai menggeliat di kalangan masyarakat. Pada mulanya Bakir dapat
menahan arus korupsi, namun benteng tersebut runtuh karena alasan desakan
ekonomi dan kebutuhan akan status sosial. Hal tersebut menandakan korupsi
dapat dicegah dan dapat pula terjadi karena adanya niat.

B. Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi


Pendidikan antikorupsi yang terdapat dalam novel korupsi dapat diteliti
berdasarkan dua aspek, yaitu jerat lingkaran korupsi dan nilai antikorupsi.
Pesan atau nilai yang dapat dijadikan pembelajaran antikorupsi ini
digambarkan melalui pemikiran Bakir maupun dialog antartokoh.
1. Jerat Lingkaran Korupsi
Korupsi didahului oleh adanya niat, kemudian kesempatan yang tercipta
karena mempunyai kewenangan, didukung oleh lingkungan yang korup,
dilanjutkan dengan tindakan dan setelah berhasil, berusaha untuk
mengamankan hasilnya. Jika dirumuskan sebagai berikut.
Korupsi = Niat (Intention) + Kesempatan (Kekuasaan,
Kewenangan) + Lingkungan Korup + Action (Tindakan
Melakukan Korupsi) + Security (Mengamankan Hasil/
Menikmati).87

87
Redatin Parwadi, Koruptologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 56.
88

Dalam novel, melalui tokoh Bakir, PAT menggambarkan korupsi bukan


hal yang mudah untuk dimulai oleh seseorang yang sebelumnya menjalani
hidup secara lurus dan jujur. Namun, reputasi kejujuran yang bertahun-
tahun tak terusik itu akhirnya luruh juga oleh gelegak hasrat untuk
mengejar ketenangan hidup yang disimbolkan dengan harta yang
berkecukupan. Pembahasan mengenai jerat lingkaran korupsi berkaitan
dengan unsur intrinsik yang telah dibahas sebelumnya, namun titik fokus
pembahasan ini adalah bagaimana perbuatan korupsi dapat menjerat
seseorang dan membawanya terus terjerumus di dalamnya. Hal ini
kemudian dapat dijadikan pembelajaran untuk menjaga diri dari hal-hal
yang dapat menjerat kita dari perbuatan korupsi.
a. Niat (Intention): Otak sebagai Kontrol Perilaku
PAT telah menekankan „niat‟ dalam diri Bakir untuk melakukan
korupsi sebagai tegangan pada awal cerita. Secara faktual niat adalah
perbuatan.88 Tekanan pada kata „niat‟ yang mendahului perbuatan
diungkapkan oleh perkataan yang terus menerus dipakai. Seperti yang
telah dibahas pada bagian penokohan (lihat h. 51), hal ini kemudian
menimbulkan konflik batin dalam diri Bakir ketika niat berbenturan
dengan nilai kejujuran yang dipegangnya.
Kami ingin mendapat tempat tinggal aman. Kami butuh uang
untuk mengusir warung di depan. Anak-anak sudah besar dan harus
melanjutkan sekolahnya.89

Peristiwa di atas dilihat dari perkembangan alur terdapat pada


bagian perkenalan yang berkaitan dengan latar sosial (lihat h. 64),
bahwa pascakemerdekaan gaji pegawai negeri saat itu kurang
mencukupi kebutuhan hidup pegawainya.90 Hal tersebut kemudian

88
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer,
(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997), h. 203.
89
Toer, op. cit., h. 3.
90
Anwar, loc. cit.
89

menjadi alasan umum yang dilontarkan masyarakat ketika melakukan


perbuatan melawan hukum: kurangnya gaji dan kebutuhan hidup yang
semakin mendesak. Dalam novel Korupsi, potret tersebut digambarkan
melalui konflik batin tokoh Bakir yang intensif sejak awal alur hingga
peleraian (lihat h. 64-71). Niat untuk melakukan korupsi dikarenakan
keinginannya untuk mendapatkan kembali status sosial yang hilang
karena berkurangnya harta benda dan ketidakpastian pendidikan
anaknya, akibat gaji pegawai negeri yang kurang mencukupi.
Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam
penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam
hati seperti sudah jamak di masa kini: Korupsi.91

Kutipan di atas menunjukkan pergaulan dapat mempengaruhi cara


pandang masyarakat menjadi berburuk sangka terhadap kemampuan
(harta) orang lain. Dalam hadist, pepatah manusia tidak dapat terlepas
dari masyarakatnya, diibaratkan bergaul dengan tukang minyak wangi
yang menularkan wewangian dan tukang pandai besi yang membawa
panas92 yang berarti lingkungan dapat mempengaruhi seseorang. Hal
ini terjadi ketika Bakir berniat untuk korupsi karena merasa teman-
temannya pun melakukannya. Meskipun, jika dilihat pada pembahasan
mengenai tema (lihat h. 48), Bakir hanya menerka kekayaan teman
kantornya dan menganggapnya sebagai hasil korupsi. Namun,
pergaulan Bakir dengan orang-orang yang (menurutnya) korupsi
perlahan mengubah karakternya, dari awalnya sebagai pegawai negara
yang dapat membentengi diri dari aksi korupsi, kemudian mengubah
pendiriannya karena melihat lingkungan yang (menurutnya)

91
Toer, op. cit., h. 3-4.
92
Permisalan teman yang baik dan buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang
pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi dan kalaupun tidak,
engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya)
mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap
(H.R. Bukhari 5534 dan Muslim 2628).
90

melakukan korupsi. Hal ini merupakan kritik yang diusung PAT


terhadap orang yang mudah cemburu pada harta orang lain dan secara
tidak sadar menerka “mengapa dia bisa kaya, pasti korupsi”, kemudian
dijadikan alasan atas pelanggaran hukum yang dilakukannya.
Besok atau lusa aku akan kembali jadi pegawai terhormat
sebagai di jaman kolonial dahulu, terpandang dan dimalui.93

Manusia dilahirkan dengan dibekali kemampuan akal untuk


memilih perbuatan apa yang akan dilakukannya. Bagi kaum pria,
urusan duniawi seperti harta-tahta-wanita, seakan menjadi simbol yang
menunjukkan status sosialnya. Dalam novel, hal ini berkaitan dengan
tema minor yang diusung PAT ketika alasan harta-tahta-wanita muncul
dalam perkara seseorang melakukan korupsi (lihat h. 47). Hal tersebut
tampak pada tokoh Bakir yang pada mulanya hanya berniat
mendapatkan harta untuk mencari ketenangan masa depan
keluarganya. Namun, niat Bakir semakin intens ketika harta diraih
dengan mengharapkan rasa hormat oleh bawahannya yang dirasa tidak
didapat ketika ia belum memiliki harta. Akhirnya, seperti adagium
harta-tahta-wanita, istri muda sebagai simbol kemampuan bagi seorang
pria membawa Bakir memilih Sutijah sebagai istri muda.
Hari ini juga akan kumulai. Gampang! Berunding dengan
leperansir! Buat kuitansi palsu, dan negara akan bayar aku. Semua
beres dan bukti kejahatan tidak ada. Aku sudah tua dan barangkali
dalam lima atau sepuluh tahun yang akan datang tubuhku telah
dikuburkan orang bersama batu kerikil. Mengapa harus menjalani
korupsi? Mengapa menodai sejara yang demikian bersih kalau
sejarah itu hampir selesai?94
Dalam memahami tokoh Bakir ketika merealisasikan „niat‟nya,
narator menarik ulur emosi pembaca. Konflik batin dalam diri Bakir
ditambah penolakan yang ditunjukkan istrinya seolah memberikan

93
Toer, op. cit., h. 9.
94
Ibid., h. 10-12.
91

suspense bagi pembaca, antara Bakir yang akan menarik niatnya untuk
melakukan korupsi atau tetap melanjutkan niatnya tanpa
memperhatikan sekelilingnya. Namun, ketika niat sudah dicanangkan
dan terus dipelihara, maka realisasi dari niat hanya menunggu waktu
yang tepat. Hal ini dapat dikatakan sebagai cara khas PAT dalam
mendayagunakan tokohnya untuk mengusung sebuah misi. Seperti
Bakir, kebanyakan tokoh yang digambarkan PAT memiliki pemikiran
yang individualis, mendobrak bobroknya suatu sistem di masyarakat,
namun di sisi lain tetap bersifat seperti manusia pada umumnya yang
memiliki kepedulian terhadap konvensi-konvensi masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari tokoh Minke dalam Bumi Manusia ketika
pemikirannya melawan adat Jawa. Meski menolak, secara manusiawi
yang memiliki hubungan sosial, Minke tetap melakukan konvensi-
konvensi yang ada sebagai bentuk penghormatan kepada raja seperti
berjalan dengan menggunakan pantat dan tangan untuk menunjukkan
sikap hormat kepada raja, bahkan ketika raja tersebut adalah ayahnya
sendiri.95
b. Kesempatan (Kekuasaan, Kewenangan): Terciptanya Peluang Korupsi
Korupsi dapat terjadi karena adanya kekuasaan yang dipegang oleh
seseorang dan wewenang yang berlebihan tanpa adanya
pertanggungjawaban yang jelas. Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa semakin besar kekuasaan serta wewenang yang luas maka akan
semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi
atau perorangan, sehingga dengan keadaan ini potensi korupsi yang
dimiliki akan semakin tinggi.
Karena surat ini; - surat yang ada di tangan ini – ha, paling
sedikit, aku bisa korek uang duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah!

95
Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2010), cet. ke-15, h.
179.
92

Mengapa tidak? Aku punya kuasa dalam pembelian ini. Pegawai-


pegawai menengah dan rendah itu tak akan tahu sedikitpun tentang
ini. Dan kalau mereka tahu mereka bisa angkat kaki dengan
segera.96

Sistem akuntabilitas dalam suatu lembaga mempunyai pengaruh


yang sangat penting bagi kinerja pegawai dalam sebuah lembaga.
Peristiwa di atas, ditinjau dari perkembangan alur yang meningkatkan
konflik batin tokoh yang terdapat pada bagian pemunculan konflik
(lihat h. 65), terjadi ketika Bakir melihat celah untuk korupsi yang
didukung oleh sistem akuntabilitas yang lemah di kantornya. Peluang
melakukan korupsi sebanding dengan semakin besarnya kewenangan
seseorang terkait dengan kebijakan yang dimiliki. Hal ini merupakan
kritik yang dilancarkan PAT atas lemahnya sistem akuntabilitas di
pemerintah pada masa itu yang mengakibatkan peluang untuk
melakukan korupsi terbuka karena tidak adanya pertanggungjawaban
atas biaya yang digunakan.97
Pikiran ini menyuruh aku mengingat, siapa yang harus menjadi
sasaranku untuk pertama kali. Ya! Gampang saja. Taoke itu sudah
berkali-kali mencoba menyogokku. Kena dia sekarang! Kena!98

Kesempatan untuk melakukan korupsi dapat semakin terbuka ketika


pihak swasta yang berhubungan dengan pegawai negeri menggunakan
sogokan untuk mendapatkan order. Dalam novel, hal ini dapat
dipahami lewat narasi tokoh Bakir di atas bahwa ada taoke yang
pernah mencoba menyogoknya. Permasalahan ini menunjukkan pihak
swasta juga memiliki peran dalam terjadinya korupsi. Pola semacam
ini terus berlangsung hingga kini, 63 tahun sejak novel Korupsi
96
Toer, Korupsi, op. cit., h. 8.
97
Rivai Apin tentang ketidakberesan pembagian lisensi impor istimewa oleh Menteri Iskak
kepada kawan-kawan separtainya yang mengakibatkan langkanya ketersediaan barang di dalam negeri.
(Lihat Rivai Apin, “Suasana Tjatut Meliputi Kehidupan Ekonomi” dalam Siasat Warta Sepekan,
Jakarta, 10 Oktober 1954, h. 3).
98
Toer, op. cit., h. 10.
93

diterbitkan, ketika seorang tahanan KPK mengaku menerima sogokan


karena diancam pihak swasta.99 Permasalahan tersebut merupakan
salah satu misi yang diusung PAT yakni perang melawan korupsi juga
perlu dimulai dari sikap pihak swasta (masyarakat) ketika berhubungan
dengan pegawai negeri.
Nanti habis kantor kuangkat sebagian dari harta terpendam itu,
langsir ke pasar Senen dan menjualnya di tempat toko kertas tangan
kedua.100

Selain kesempatan yang terdapat di kantor dengan kurangnya


akuntabilitas, kesempatan lain yang turut menyuburkan praktik korupsi
adalah adanya pasar gelap (ilegal). Dalam novel diceritakan Bakir
menjual peralatan kantor ke pasar Senen, meski dengan harga yang
jauh lebih murah dari harga biasanya. Harga pasar bebas semua itu
tidak kurang dari seratus, tetapi aku tak berani membantah.101
„Budaya‟ menjual barang kantor ini berkaitan dengan kondisi sosial
pada masa pembuatan novel seperti yang telah dibahas pada bagian
latar waktu (lihat h.78), bahwa kejahatan menjual barang kantor mulai
jamak dilakukan oleh masyarakat karena kondisi ekonomi.102 Korupsi
pencurian aset negara dapat terjadi dalam skala yang lebih besar
seperti penjualan gedung negara dengan harga yang jauh lebih murah,
hingga skala yang kecil seperti menggunakan kendaraan kantor untuk
keperluan pribadi. Hal ini merupakan kritik yang dilancarkan PAT
terhadap keberadaan pasar gelap yang (anehnya) didukung oleh

99
Dian Maharani, Bacakan Pleidoi, Rudi Akui Terima Uang karena Terpaksa, diakses pada
02/05/2016 21.00 WIB dari,
http://nasional.kompas.com/read/2014/04/15/1816082/Bacakan.Pleidoi.Rudi.Akui.Terima.Uang.karen
a.Terpaksa
100
Toer, op. cit., h. 13.
101
Ibid., h. 20.
102
Apin, loc. cit.
94

masyarakat itu sendiri dengan ikut menjual barang curian meski


dengan harga yang jauh lebih murah.

c. Lingkungan Korup: Gejolak Korupsi di Masyarakat


Secara umum, kondisi lingkungan akan berdampak pada
masyarakat di lingkungan tersebut. Dalam memahami korupsi, sebuah
pertanyaan kemudian muncul: mungkinkah seseorang melakukan
korupsi di tengah lingkungan yang tidak korup atau sebaliknya,
mungkinkah untuk tidak korupsi di tengah lingkungan korup. Dalam
novel, hal ini berkaitan dengan meningkatnya konflik batin Bakir
ketika ia melihat rekan kerja bahkan bawahannya yang memiliki
kehidupan jauh lebih baik darinya (lihat h. 64). Praktik korupsi
digambarkan dapat terjadi dimulai dengan adanya niat pelaku yang
didukung oleh perbedaan harta yang dimiliki rekan pegawai. Hal ini
kemudian menguatkan niat Bakir untuk melakukan korupsi seperti
umumnya masyarakat yang memelihara kecemburuan terhadap harta
orang lain.
... Markis si Sujak itu, yang baru dibelinya untuk hadiah ulang
tahun perkawinannya yang kelima belas, harganya tak kurang dari
tujuh ribu ... kalau begitu si Sujak itu korupsi juga rupanya. Cuma
aku yang ketinggalan kereta.103
Dengan tiada menunggu jawaban ia telah membukai harta
curianku. Ah, kalau sekiranya aku polisi, dialah yang mula-mula
aku tangkap. Dialah biangkeladi dari segala pencurian di kantor-
kantor pemerintah. Tiada dia, pencurian kertas dan karbon dan lain-
lainnya tidak akan terjadi di Indonesia ini.104

Secara psikologis tokoh, kutipan di atas terjadi ketika Bakir melihat


keadaan ekonomi rekan kerjanya yang jauh lebih baik darinya. Ada
dua sisi yang coba disuarakan PAT lewat serangkaian peristiwa di

103
Toer, op. cit., h. 70.
104
Ibid., h. 20.
95

atas. Di satu sisi, PAT menggambarkan „kebiasaan‟ masyarakat yang


berburuk sangka terhadap harta milik orang lain dan menjustifikasi
alasan tersebut ketika melanggar hukum. Di sisi lain, PAT
menggambarkan bahwa fenomena korupsi sudah sedemikian rupa
mulai dilakukan pegawai pada masa itu meski masih dalam taraf yang
kecil dan sembunyi-sembunyi. Hal ini, kemudian turut didukung
dengan keberadaan pasar gelap yang menampung harta curian.
Karena surat ini: -surat yang ada di tangan ini- ha, paling sedikit
aku bisa korek uang duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah! Mengapa
tidak? ... Orang-orang lain berbuat begitu juga. Apa salahnya aku
mulai mencoba-coba! Mereka bisa punya mobil malah ada yang
mendirikan rumah tiga buah dalam setahun dan tidak ada satu polisi
pun bisa menangkap.105

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mendapatkan celah untuk


melakukan korupsi. Peristiwa ini kemudian turut mengubah karakter
Bakir secara perlahan, dari seorang yang antikorupsi menjadi orang
yang melakukan korupsi karena melihat peluang untuk korupsi. PAT
menggambarkan karakter Bakir secara manusiawi ketika memandang
sebuah permasalahan, salah dalam bersikap yang bisa dialami oleh
siapa saja dan di mana saja. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi dapat
terjadi di tengah lingkungan yang bersih sekalipun, tergantung
bagaimana seseorang menciptakan atau menutup peluang untuk
korupsi.
d. Tindakan Melakukan Korupsi (Action): Melawan Nurani
Korupsi merupakan tindakan menyalahgunakan kewenangan yang
dimiliki dengan melakukan tindakan yang merugikan negara. Korupsi
bermula dari suatu tindakan kecil dan seringkali akan berakhir menjadi
kebiasaan dengan skala yang lebih besar. Dalam novel, tokoh yang
melakukan korupsi justru tokoh yang memiliki latar belakang reputasi
105
Ibid., h. 8.
96

yang baik, Bakir. Hal ini kemudian menimbulkan surprise bagi


pembaca dalam memahami perkembangan tokoh Bakir.
“Kalau tidak mau aku bisa cari tempat lain ...”
“Tuan kan kenal aku? Tuan kenal kantorku, kedudukanku,
bahkan juga namaku.”
“Jadi tuan ambil untuk tuan sendiri lima rupiah satu setel ...”
“Kan bisa tuan jual delapan puluh lima rupiah. Yang lima buat
aku?”
“Jadi dimahalkan?”
“Ya, tentu saja dimahalkan. Yang bayar kan bukan taoke? Yang
bayar negara.”
Ia diam dan menimbang-nimbang. Akhirnya:
“Betul juga kata tuan,” katanya. 106

Ditinjau dari perkembangan konflik, kutipan di atas meningkatkan


konflik batin Bakir menuju klimaks ketika Bakir tetap melaksanakan
niatnya untuk korupsi (lihat h. 66), dengan „melawan‟ sejarah
kejujuran yang telah dijalani. Untuk memperkuat kesan memiliki
kewenangan, Bakir menunjukkan semua dapat dikendalikan dan
meyakinkan kepada taoke bahwa memberikan kutipan sebagai sebuah
kewajaran. Seperti umumnya orang melakukan kejahatan untuk
pertama kali, Bakir pun merasa ragu-ragu untuk melakukannya.
Bahkan, dilihat secara psikologis, hati Bakir mengecam perbuatan
korupsi yang melawan nuraninya, “Perbuatan ini adalah tindakan
pengecut! Aku cuma mau ambil jalan yang dekat, tidak ada susah
payahnya, tercepat, paling menguntungkan.”107 Namun, niat yang
telah dipelihara dalam hati ditambah kesempatan yang terbuka,
mendorong Bakir untuk melanjutkan perbuatannya. Peristiwa ini
menunjukkan betapa niat yang didukung oleh kesempatan dapat
mengubah pandangan seseorang, bahkan pandangan yang bertolak
belakang sekalipun. Hal ini merupakan kritik PAT terhadap orang-

106
Ibid., h. 64-66.
107
Ibid., h. 15.
97

orang yang memelihara niat untuk melakukan pelanggaran hukum,


karena peluang bisa diciptakan dan lingkungan dapat diubah
sedemikian rupa.
Perubahan yang sesungguhnya tidaklah ada. Rupa-rupanya
hanya akulah yang berubah – aku sendiri. Dahulu semua ramah
terhadap aku dan sebaliknya. Tapi kini aku tidak berani ramah
terhadap mereka, takut kalau-kalau tergelincir petunjuk-petunjuk
yang bisa menjejaki perbuatanku.
Kedamaian dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan
kehidupan berumah tangga bersama anak-anak dan biniku kini telah
hilang, mungkin juga untuk selama-lamanya.108

Kutipan di atas menunjukkan konflik batin dalam diri Bakir setelah


melakukan korupsi. Jika ditinjau dari perkembangan alur, peristiwa
tersebut terdapat pada bagian peleraian (lihat h. 69). Bakir kembali
pada kesadarannya bahwa, harta yang diimpikan nyatanya tidak dapat
memberikan ketenangan dalam dirinya. Perasaan tersebut muncul tepat
setelah Bakir melaksanakan niatnya untuk korupsi. Pemilihan gaya
penceritaan pada bagian alur dengan langsung menceritakan
penyesalan dalam diri Bakir ketika berhasil melakukan korupsi
merupakan misi PAT untuk mengungkapkan bahwa seorang koruptor
tidak pernah merasakan kesenangan dalam dirinya meski dengan
banyaknya harta yang didapat.
e. Mengamankan Hasil/ Menikmati (Security): Kritik PAT terhadap
Hedonisme di Masyarakat
Pelaku koruptor sadar bahwa uang hasil korupsi akan mudah
terlihat oleh masyarakat, misalnya pegawai pajak yang dapat
mengamati rekening kemudian melihat latar belakang pemilik
rekening tersebut. Satu-satunya cara mengamankan hasil korupsi
adalah dengan memanipulasi pendapatan. Dalam novel, cara tersebut

108
Ibid., h. 106-108.
98

dapat dilihat dari tokoh Bakir ketika berusaha memanipulasi


pendapatan yang diperoleh. Hal ini memperlihatkan PAT berusaha
mengembangkan cerita secara natural dengan memperhatikan jalinan
peristiwa berdasarkan realita di masyarakat.
Siasatku begitu ulung dan tidak akan diketahui orang. Bukankah
setengah tahun yang lalu kubeli surat lotre yang mendapat hadiah
pertama dengan lima puluh ribu rupiah lebih mahal? Bukankah itu
bisa juga dipergunakan untuk mengelakkan tuduhan berkorupsi? 109

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir memikirkan siasat yang akan


digunakan kelak ketika ia ditangkap karena korupsi. Seperti jamaknya
pelaku kejahatan, secara psikologis, Bakir menyembunyikan sumber
harta yang didapat, karena dengan gaji pegawai negerinya sangat sulit
ia memiliki harta seperti yang diinginkannya. Peristiwa ini digunakan
PAT untuk menunjukkan perasaan koruptor di tengah menikmati hasil
korupsinya, bahwa para koruptor selalu merasakan risau perilakunya
terungkap. Hal ini kemudian mengakibatkan hilangnya ketenangan
batin para koruptor.
“Orang tuaku adalah kaya mempunyai perusahaan pembakaran
kapur dan pabrik tegel di Yogya dan Gunung Kidul. Dan kakekku.”
“Dia petani kaya di Purwokerto.”
“Dua ratus hektar sawahnya.”
“Orang-orang itu akan salah duga kalau mendakwa aku
melakukan korupsi.”
“Sebenarnya mereka tak perlu menuduh-nuduh. Mereka bisa
pergi kepada polisi dan mengadukan halku. Itu lebih gampang,”
gertakku. Tahu benar aku bahwa gertakan itu akan melenyapkan
dakwaan yang bukan-bukan. Tapi sekiranya mereka kerjakan juga,
habis tandaslah riwayatku.110

Kutipan di atas terjadi ketika Bakir didakwa melakukan korupsi


oleh para pegawainya. Kecurigaan tersebut muncul karena melihat

109
Ibid., h. 146.
110
Ibid., h. 124-126.
99

perubahan dalam diri Bakir yang memiliki benda-benda yang dianggap


dapat meningkatkan status sosial, seperti villa di Bogor, mobil
plymouth dan dandanan yang perlente. Kemudian, secara naluri Bakir
menolak dakwaan tersebut dan memanipulasinya dengan mengatakan
harta benda yang dimiliki merupakan warisan dari orangtuanya. Hal ini
merupakan misi yang diusung PAT, bahwa masyarakat dapat ikut
mengawasi harta para pegawai negara sebagai pencegahan tindakan
korupsi. Pada masa kini, setiap pegawai negara diwajibkan melaporkan
harta kekayaannya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas harta yang
dimiliki.111
Aku ingat pada janjiku yang dahulu. Kami akan berpesiar ke Bali
apabila tidak ada halangan dan menghirup hawa bebas tanpa
memikirkan apa pun juga. Kupandangi dia lama-lama. Begitu
cantik dan muda. Tangan dan lehernya dihiasi bermacam permata
yang mahal-mahal.
Kuteruskan permenunganku. Kian lama kian terasa betapa
hampa hidupku selama ini: dalam umur yang begini yang tiada
dikawani oleh cinta seorang anak atau seorang isteri, atau
sesamanya.112

Seperti jamaknya koruptor untuk menunjukkan kelas sosialnya


dengan cara memiliki properti dan kendaraan mewah serta berpergian
ke tempat hiburan. Dalam novel, Bakir membeli segala peralatan
mewah, mobil mahal dan villa di selatan Bogor untuk menunjukkan
status sosial yang telah berubah. Namun, di tengah harta benda yang
dimiliki, ada sesuatu yang hilang dalam diri Bakir karena terus dilanda
kekhawatiran akan terungkapnya perilaku yang dilakukan. Peristiwa
ini, dilihat dari psikologi tokoh, kemudian membawa Bakir kembali
kepada kesadaran bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting dari
harta. Perannya sebagai tokoh antihero membawa tujuan besar yang
111
kpk.go.id, Mengenai LHKPN, diakses pada 18/06/2016, 20.00 WIB, dari
http://kpk.go.id/id/layanan-publik/lhkpn/mengenai-lhkpn
112
Toer, op. cit., h. 141-143.
100

dibawa PAT, bahwa seorang koruptor akan selalu merasa kehilangan


ketenangan hidupnya karena merasa khawatir terbongkar
kecurangannya.
2. Nilai Antikorupsi
Nilai antikorupsi yang ditampilkan PAT dalam novel Korupsi dapat
dipetik dari narasi maupun dialog para tokoh yang menunjukkan nilai
antikorupsi dan pelanggaran terhadap nilai antikorupsi yang dilakukan
tokoh utama, Bakir. Nilai antikorupsi yang dilanggar tersebut
menimbulkan konflik batin tokoh Bakir dikarenakan bersinggungan dengan
nilai antikorupsi yang diusung tokoh lain. Nilai antikorupsi yang dirujuk
berdasarkan sembilan nilai yang dikampanyekan KPK yakni jujur, disiplin,
tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani dan peduli.
Dalam novel Korupsi, setidaknya terdapat empat nilai antikorupsi yang
ditunjukkan oleh para tokoh maupun nilai antikorupsi yang dilanggar tokoh
Bakir. Kedua sisi nilai tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai
pembelajaran untuk membentengi diri dari perbuatan korupsi. Nilai
antikorupsi tersebut adalah sebagai berikut.
a. Kejujuran: Benteng Utama Manusia
Kejujuran merupakan tonggak awal untuk melawan tindak korupsi.
Nilai kejujuran yang dilanggar dalam novel Korupsi terlihat dari
bagaimana Bakir sebagai tokoh utama antihero yang mengalami
perubahan dikarenakan lingkungan dan terutama dorongan dari dalam
diri. Hal ini tampak pada perubahan tokoh utama ketika sebelum,
sedang dan setelah melakukan korupsi. Sementara itu, terdapat tokoh
Mariam dan Sirad yang mencerminkan tokoh pengusung nilai
kejujuran. Kemudian, kedua sisi tokoh yang berseberangan ini
mengakibatkan konflik yang mempengaruhi perkembangan cerita.
Secara sosiologis, Bakir merupakan tokoh yang dikenal selalu
mengamalkan nilai kejujuran dalam setiap tindakannya, baik itu di
101

kantor maupun di dalam keluarga. Karakter ini kemudian


mengakibatkan konflik batin dalam diri Bakir kelak ketika
memutuskan untuk korupsi.
Aku tiada dengar apa yang dikatakan isteriku selanjutnya. Aku
mulai memikirkan nasib diriku. Semua orang –semua saja- yang
kenal padaku pasti tahu aku adalah orang yang jujur terus menerus.
Aku yakin, bahwa kejujuranku sudah terkenal ke mana-mana dan
aku yakin juga banyak orang telah bercerita tentang kejujuranku
dengan perasaan kecewa: lihat tuan Bakir itu; apakah yang bisa
diperolehnya dengan kejujurannya itu? Paling sedikit seratus orang
telah menyesalkan kejujuranku yang tidak menghasilkan apa-
apa.113

Kutipan di atas menggambarkan pemikiran Bakir ketika berniat


korupsi. Permasalahan yang dirasakan masyarakat secara umum:
kurangnya gaji dan dorongan kebutuhan hidup. Bayangan hidup
tenang dimasa tua mendorongnya untuk meninggalkan kejujuran yang
selama ini dipegangnya. Bakir merasa kejujuran yang selama ini ia
lakukan tidak berbekas apa-apa, bahkan menurutnya orang lain akan
menyesalkan kejujurannya. Nilai kejujuran mendapatkan porsi yang
cukup besar dalam andil membentuk jalinan alur lewat tokoh Bakir.
Dengan memulai korupsi, berarti Bakir telah meninggalkan kejujuran
yang telah melekat pada dirinya. Hal ini dapat menjadi pembelajaran
yang diusung PAT, bahwa sesungguhnya pilihan untuk melakukan
korupsi atau tidak, ada dalam diri masing-masing.
Ah sekali membohong, pikirku, harus tetap dan terus
membohong hingga akhirnya engkau tak tahu lagi mana yang benar
dan mana yang bohong.114

Seorang koruptor akan selalu merasa risau akan terungkapnya


perilaku yang dilakukan. Untuk itu seorang koruptor akan selalu

113
Ibid., h. 37.
114
Ibid., h. 87.
102

menutupi hal-hal yang menurutnya berbahaya dengan kebohongan.


Kutipan di atas memperlihatkan Bakir yang merasa terlalu banyak
berbohong hingga tidak tahu lagi mana yang benar. Nilai kejujuran
yang diusung PAT juga terdapat dalam karya lainnya seperti Rumah
Kaca, ketika tokoh Pangemanann menjabarkan konspirasinya untuk
menggelincirkan aktivitas politik Minke dengan membuat
kebohongan-kebohongan. Sebuah peristiwa yang diungkap dari sudut
pandang Pangemanann sebagai tokoh antihero yang menceritakan
perbuatannya ketika menghalangi perjuangan Minke. Dalam novel
Korupsi, terdapat beberapa tokoh yang mengusung nilai kejujuran, di
antaranya sebagai berikut.
“Kalau benteng kejujuranmu telah tembus untuk pertama kali,”
–ia mulai menegur dengan suara berdaulat- “engkau akan
menyerah. Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak
akan dapat memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu
saja yang bisa menolongmu.”115

Kutipan di atas terjadi ketika Mariam menentang suaminya, Bakir,


yang berniat melakukan korupsi. Karakternya yang statis dengan tetap
berpegang pada kejujuran, menimbulkan konflik dalam diri Bakir yang
memiliki karakter dinamis. Perubahan karakater Bakir pada mulanya
didorong keinginan hidup tenang. Keinginan tersebut dibayangkan
hanya dapat diraih jika memiliki harta yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
“Barangkali mereka kekurangan uang belanja, lantas
berkorupsi,” tiba-tiba aku memperlunak kesalahan mereka –
kesalahan yang akan kujalankan nanti.
“Kalau hanya karena kekurangan belanja, mereka bisa cari kerja
lain yang lebih menguntungkan dan tidak menjadi tikus. Tikus!
Tikus yang terus-menerus merusak sampai akhirnya datang kucing
menerkamnya.”116

115
Ibid., h. 48.
116
Ibid., h. 58.
103

Selain Mariam, terdapat tokoh Sirad yang mengusung nilai


kejujuran. Hal tersebut terlihat dari kutipan di atas yang
menggambarkan pemikiran Sirad yang menentang perilaku korupsi.
Sebagai tokoh muda, Sirad mewakili semangat kaum yang memiliki
pola pikir pembaru dan revolusioner (lihat h. 58). Lewat tokoh Sirad,
PAT mengajak kaum muda untuk bergerak melakukan perubahan
membangun bangsa dalam hal membentengi diri dengan kejujuran.
b. Tanggung Jawab: Mengukur Etos Kerja
Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas sesuai dengan kewajiban yang seharusnya
dilakukan. Seseorang yang bertanggung jawab kelak akan melakukan
tugas dengan sebaik-baiknya dengan anggapan yang dilakukan sebagai
pengabdian dan pengorbanan. Namun, lain halnya dengan koruptor
yang senantiasa mengabaikan kewajibannya.
Sirad telah tiga tahun bekerja menjadi pembantuku yang setia.
Dapat aku katakan dialah sesungguhnya sekretarisku, bahkan lebih
dari itu: wakilku. Sesungguhnya sudah lama dia harus kuusulkan
menjadi sekretarisku atau wakilku. Tetapi keinginan untuk
mendapat pujian dari atasan sebagai kepala bagian, yang luar biasa
giatnya inilah, yang menyebabkan dia jadi korban.117

The right man on the right job, ungkapan itu mungkin akan tepat
bila disandingkan dengan kutipan di atas. Bakir merupakan kepala
bagian tetapi tidak mengerti tugas yang harus dikerjakan. Sementara
Sirad, pembantu Bakir yang paham apa yang harus dikerjakan, justru
tidak mendapatkan promosi jabatan yang selayaknya. Secara psikologi
tokoh, Bakir tidak mempromosikan jabatan kepada Sirad karena ingin
menunjukkan kepada atasan seolah segala pekerjaan dia yang lakukan.
Hal ini (bisa dikatakan) kritik PAT terhadap pejabat negara yang tidak

117
Ibid., h. 52.
104

memiliki kapasitas selayaknya yang mengakibatkan pelayanan publik


kurang maksimal.
“... Bapak terlalu sering mengabaikan kantor. Pekerjaan
menjadi berantakan dan dari daerah-daerah datang protes dan
keluhan kelambatan pesanan.”
“Jangan dikira aku tidak bekerja sebaik-baiknya untuk
keberesan kantor ini. Tidak seorang pun dapat menggulingkan
aku.”118

Seorang koruptor senantiasa tidak menjalankan tanggung


jawabnya dengan baik dikarenakan sibuk menutupi perbuatan
korupsinya. Ditinjau dari perkembangan alur, kutipan di atas
memperlihatkan konflik dalam diri Bakir menuju peleraian (lihat h.
69). Bakir yang merasa rekan kerjanya mulai curiga atas perubahan
dalam dirinya mulai mencari siasat untuk menutupi perbuatannya.
Usaha menutupi kegelisahannya kemudian mengakibatkan
terbengkalainya tugas kantor. Hal ini merupakan nilai yang diusung
PAT, bahwa seorang pelaku kejahatan, dalam hal ini koruptor, akan
selalu hidup dalam ketakutan yang kemudian akan berdampak pada
terbengkalainya kewajiban yang dimiliki.
Ia juga mempunyai jalannya sendiri: tiap hari membawa buku
pelajarannya untuk menarik perhatianku. Di waktu tak ada kerja
dibacainya buku-buku itu dan memberinya catatan di merge.
Sebelum kantor mulai kerja ia telah duduk di teritis dengan buku
yang tebal-tebal.119
Melihat aku datang, pegawai-pegawai memperlihatkan
kerajinannya masing-masing. Tapi sudah lama aku tidak peduli
pada sikap palsu itu. Kudapati Sirad sedang menyusun
pekerjaannya.120

Selain tokoh yang mengabaikan tanggung jawab, terdapat tokoh


yang mengusung nilai tanggung jawab, salah satunya Sirad. Karakter

118
Ibid., h. 114-115.
119
Ibid., h. 53.
120
Ibid., h. 62-67.
105

Sirad yang statis tetap berpegang pada nilai tanggung jawab kemudian
mempengaruhi konflik batin Bakir. Kutipan di atas memperlihatkan
bagaimana karakter Sirad yang tidak meninggalkan tanggung jawab di
tengah usahanya dalam menempuh pendidikan. Jika seseorang yang
memiliki sifat abai terhadap tanggung jawab akan senantiasa mencari
bermacam alasan untuk menghindari tanggung jawabnya, seseorang
yang memiliki tanggung jawab akan melakukan tugasnya dengan
sebaik mungkin, termasuk tanggung jawab dengan tidak korupsi. Hal
ini merupakan cara membentengi diri dari perilaku korup yang
diusung PAT lewat tokoh Sirad, bahwa masyarakat harus memiliki
nilai tanggung jawab dalam setiap pekerjaannya untuk menutup
peluang melakukan korupsi.
c. Kedisiplinan: Menerima Pemberian Sesuai dengan Haknya
Kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan
kepatuhan kepada suatu aturan. Seorang yang disiplin akan senantiasa
menjalankan pekerjaan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.
Namun, bagi koruptor, kedisiplinan merupakan hal yang biasa untuk
dilanggar, karena dengan melanggar disiplin celah melakukan korupsi
akan terbuka.
Perbuatan ini adalah tindakan pengecut! Pengecut! Aku cuma
mau ambil jalan yang dekat, tidak ada susah payahnya, tercepat,
paling menguntungkan– dan: masih tetap membutuhkan
kehormatan.121

Dalam novel, PAT banyak memberikan pelajaran moral lewat


tokoh Bakir. Salah satunya kutipan di atas ketika Bakir yang berniat
melakukan korupsi mengakui bahwa perbuatan ini merupakan
perbuatan seorang pengecut. Ditinjau dari perkembangan alur, kutipan
di atas memberikan suspense bagi pembaca mengingat penggambaran

121
Ibid., h. 15.
106

karakter Bakir sebelumnya sebagai kepala kantor yang jujur, antara


tetap melaksanakan niat korupsinya atau kembali kepada kesadaran.
Satu hal yang dapat dijadikan pembelajaran bahwa, koruptor pun
sebenarnya sadar, tindakan tidak disiplin dengan mengambil hak orang
lain merupakan perbuatan yang salah dan menimbulkan kegelisahan
dalam dirinya. Namun, pelaku koruptor yang memilih memelihara niat
untuk mencari celah korupsi akan terus terjerumus dalam kubangan
koruptor tanpa mampu kembali.
“Kecurigaan tuan tidak pada tempatnya. Begini, beri aku
persekot dari bagianku dan nanti sore taoke menerima order.”
Taoke membuka laci dan aku menerima lima ribu. Kantongku
menjadi gembung sekarang.122
...
“Tuan tidak suka pada syarat-syaratku? Tanyaku agak
mendesak. “Sayang sungguh kalau tidak tuan terima. Dengan
pesanan ini sekaligus perusahaan tuan akan sebesar perusahaan-
perusahaan asing.”
Dari ruangan sebelah terdengar suara direktur perusahaan itu
menelpon.
“Ya, ada di sini,” katanya “bukti? ada bukti tinggal nangkap
basah.”123

Mengambil hak orang lain, begitulah para koruptor „bekerja‟


dalam sistem yang mereka buat. Ada pihak yang tidak berdaya
melawan koruptor dan ada pihak yang berjuang melawan koruptor.
Ditinjau dari unsur penokohan, kutipan di atas menggambarkan dua
sikap yang dipilih pengusaha swasta ketika berhubungan dengan
Bakir. Kutipan pertama menggambarkan taoke menuruti bagian yang
diminta Bakir untuk mendapatkan order. Sementara pada kutipan
kedua, terdapat taoke yang memilih untuk berupaya menjebak Bakir
ketika berniat korupsi. Secara umum, perlawanan yang ditunjukkan

122
Ibid., h. 66-67.
123
Ibid., h. 131-133.
107

PAT lewat tokoh taoke merupakan nilai yang selalu diusung dalam
setiap karyanya, mendobrak sistem yang memasung masyarakatnya
(dalam hal ini korupsi). Hal ini dapat dijadikan pembelajaran bahwa
dengan disiplin menerima sesuatu sesuai dengan hak dan bekerja
sesuai prosedur, peluang terjadinya korupsi dapat ditutup rapat-rapat.
d. Kesederhanaan: Harta sebagai Akibat Perbuatan Bukan Tujuan
Pola hidup berlebih-lebihan erat kaitannya dengan tindakan korupsi.
Setidaknya, kerakusan merupakan satu di antara pola hidup berlebihan
yang menyebabkan perilaku korupsi sulit disembuhkan. Seseorang
dengan karakter sederhana akan senantiasa bersyukur atas nikmat yang
telah diperoleh dan perbuatannya selalu dilandasi nilai-nilai agama
maupun nilai kebaikan.
Cukup untuk membuat rumah sendiri, sepeda motor aku punya
lagi. Rumah tangga mentereng di mana tiap waktu menderu
dentaman Francis Bernett atau Indian, atau B.M.W., bahkan
mungkin juga Plymouth. Dan pegawai-pegawai – monyet-monyet
itu – akan mengagumi, takluk dan takzim padaku. Mereka takkan
dapat bersikap masa bodoh seperti sekarang. Dan isteriku akan
berpakaian baik seperti dahulu, cukup perhiasan cukup kesenangan.
Kita dapat menggaji babu, barangkali dua atau tiga. Dan anak-anak?
Mereka akan terus dapat sekolah. Di waktu liburan mereka dapat
bersenang di gunung, di pantai atau belajar membuat tamasya
jauh.124

Ditinjau dari perkembangan tokoh, kutipan di atas menunjukkan


angan-angan Bakir yang tinggi secara perlahan turut mengubah
karakternya menjadi dinamis. Bakir membayangkan hal-hal yang dapat
membuatnya bahagia. Celakanya, untuk memenuhi hal yang diidam-
idamkannya itu, Bakir berniat melakukan korupsi. Korupsi, bagaimana
pun alasannya merupakan tindakan melawan hukum dan tidak dapat
dibenarkan. Bakir beralasan, korupsi yang dilakukan hanya untuk

124
Ibid., h. 8-9.
108

memenuhi kebutuhan hidup karena gaji yang kurang. Namun, alasan


tersebut hanyalah alasan seorang koruptor. Hal ini dapat dilihat dari
tokoh istri Bakir yang tetap bersyukur dan berperilaku sederhana
meskipun gaji suaminya kurang mencukupi. Untuk itu, mencegah niat
untuk melakukan korupsi dapat dilakukan dengan mensyukuri nikmat
yang telah diterima.
Sesungguhnya dia begitu setia. Barangkali tak ada satu wanita
lain di dunia ini yang seperti dia setianya. Barangkali. Ia tak pernah
mengeluh di depanku karena kekurangan uang belanja. Kekurangan
selalu diisinya dan diatasinya sendiri. Perempuan lain mungkin
meradang menghadapi kekurangan belanja.125

Sederhana merupakan satu dari beberapa nilai yang diharapkan


PAT dapat dipetik dari novel Korupsi. Kutipan di atas memperlihatkan
karakter Mariam yang diceritakan lewat pandangan Bakir, yang
memiliki pola hidup yang tetap sederhana. Meski, dengan posisi Bakir
sebagai kepala bagian memungkinkannya untuk mendorong suaminya
melakukan korupsi. Dengan gaya hidup sederhana, pembaca akan
dibiasakan untuk hidup sesuai dengan kemampuan dan mendahulukan
kebutuhan daripada keinginan.
Siapa yang tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya? Tetapi
uang ini – dia telah membawa aku ke jurusan lain – di urusan yang
tidak kuhendaki sendiri – dengan kekuatan yang penuh dan tiada
terlawan. Aku masih ingin hidup dengan istriku yang setia itu,
dengan anak-anakku yang cerdas-cerdas. 126

Kutipan di atas menggambarkan dinamisnya karakter Bakir yang


akhirnya kembali pada kesadaran dan „setuju‟ bahwa meski dengan
harta berlimpah seorang koruptor akan selalu merasa kehilangan
ketenangan hidupnya. Bakir pun merindukan kehidupannya yang

125
Ibid., h. 44.
126
Ibid., h. 107.
109

dahulu, pahit tapi damai dan hati tidak gersang dirongrong kiri
kanan.127
Setelah penulis melakukan penelitian tentang pendidikan antikorupsi
dalam novel Korupsi karya PAT, terdapat beberapa hal yang dapat
dikemukakan sebagai hasil temuan. Novel Korupsi diterbitkan ketika
suasana ekonomi pegawai negeri sedang menurun akibat gaji yang kurang
mencukupi. Hal ini kemudian menyebabkan kegelisahan di masyarakat
akan „budaya‟ korupsi yang mulai menggejala. PAT menawarkan sebuah
jalinan cerita yang mengusung nilai antikorupsi yakni pilihan untuk
melakukan korupsi atau melawan terdapat dalam diri manusia itu sendiri,
karena setiap manusia dibekali naluri untuk berbuat kebaikan dan
kejahatan. Hal tersebut dapat dilihat dari jerat lingkaran korupsi yang
memberikan pelajaran bagaimana seorang koruptor menjalankan aksinya.
Jerat lingkaran korupsi dimulai dari niat yang dipelihara menghasilkan
dorongan untuk mencari celah melaksanakan korupsi. Lingkungan turut
mendukung terjadinya pelanggaran, namun pilihan untuk melawan atau
ikut terbawa arus ada dalam diri sendiri. Hal ini terlihat dari perubahan
karakter Bakir dari sebelumnya dapat membentengi diri dari korupsi,
kemudian beralih menjadi seorang yang terbiasa melakukan korupsi karena
desakan ekonomi dan terlebih karena niat yang dipelihara. Korupsi
kemudian dapat terjadi dikarenakan tersedianya peluang, salah satunya
akibat rendahnya akuntabilitas. Puncaknya dengan melakukan tindakan
korup, dengan atau tanpa didukung lingkungan dan dengan atau tanpa
adanya peluang, karena ketika niat telah tertanam, peluang dapat diciptakan
dan lingkungan dapat diubah sedemikian rupa. Jerat lingkaran korupsi
berakhir pada usaha mengamankan hasil korupsi, para koruptor senantiasa
merasa risau akan terungkapnya perbuatan yang dilakukan. Untuk

127
Ibid., h. 142.
110

mencegah jerat lingkaran koruptor, dapat dilakukan dengan membentengi


diri dari perbuatan korupsi dengan menanamkan dan mengamalkan nilai
antikorupsi, antara lain: kejujuran yang dapat membentengi diri dari
perbuatan korupsi, tanggung jawab yang dapat membawa seseorang
senantiasa melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, disiplin yang dapat
membentuk sikap seseorang untuk menerima sesuai dengan haknya dan
kesederhanaan yang dapat membentuk pribadi seseorang untuk mensyukuri
nikmat yang diperoleh.

C. Implikasi pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia


Novel Korupsi karya PAT memberikan banyak pelajaran tentang nilai
antikorupsi seperti kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan dan
kesederhanaan. Hal ini sejalan dengan tujuan implementasi kurikulum 2013,
salah satunya peserta didik menjadi insan yang kreatif dan mampu
menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi. Oleh karena itu, novel
Korupsi dapat diimplementasikan pada pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester genap (dua). Hasil
analisis ini dapat dimanfaatkan dalam rangka mengembangkan keterampilan
berbahasa dan bersastra seperti yang terdapat dalam RPP, dengan kompetensi
dasar yang menekankan pada aspek menganalisis teks cerita cerita fiksi dalam
novel baik melalui lisan maupun tulisan dengan cara menentukan sifat tokoh
dan cara penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan. Siswa
diharapkan mampu menganalisis kedudukan dan sifat tokoh serta mampu
menginterpretasi makna yang terkandung di dalam novel.
Salah satu permasalahan dalam proses pembelajaran novel adalah
kurangnya ketersediaan novel bermutu di sekolah yang dapat dibaca siswa.
Akibatnya, ketika dihadapkan dengan tugas membaca novel dalam pelajaran,
kebanyakan bersumber bukan dari novel populer dan teenlit (biasanya
dimiliki siswa karena tren), siswa menjadi kurang antusias dan cenderung
111

tidak membaca novel tersebut. Dengan perkembangan teknologi, hal tersebut


dapat disiasati dengan menyediakan novel digital yang dapat diunduh siswa
lewat perangkat ponselnya. Hal ini tentunya memerlukan kerjasama antara
pemerintah selaku penyedia layanan dan penulis selaku pemilik karya.
Meski file digital belum banyak memiliki lisensi dari pemegang hak
cipta. Proteksi yang minim dalam dunia internet mengakibatkan mudahnya
mengakses file tersebut. Namun, dalam tujuan pembelajaran hal ini memiliki
dampak positif, setidaknya dapat memperkenalkan budaya membaca pada
siswa. Untuk memfasilitasi hal tersebut, guru dapat menyediakan novel
digital setidaknya satu novel dalam satu semester. Novel tersebut diharapkan
merupakan novel yang tersedia di perpustakaan, namun jumlahnya kurang
memadai untuk dibaca secara serentak oleh siswa. Hal ini dimaksudkan
untuk tetap menghargai hak cipta penulis novel yang karyanya dimanfaatkan
dalam pembelajaran dengan cara digital.
Dalam implikasi pembelajaran penelitian ini, penulis mencoba
menggunakan teknik membaca dengan menggunakan file digital. File yang
telah disiapkan sebelumnya dapat diunduh oleh siswa setidaknya satu bulan
sebelum materi memahami wacana dalam novel dilaksanakan. Novel Korupsi
yang memiliki tebal 160 halaman diharapkan dapat selesai dibaca oleh siswa
dalam waktu yang disediakan. Dengan membaca keseluruhan cerita, siswa
akan memahami pesan tersirat di samping pesan tersurat yang disampaikan
oleh penulis novel. Untuk itu, diperlukan pengecekan kembali untuk
memastikan siswa telah membaca novel dengan cara menanyakan isi cerita
maupun pesan yang terdapat di dalam novel sebelum jadwal materi tersebut
dilaksanakan. Dengan pesatnya perkembangan media sosial, tugas tersebut
dapat memanfaatkan media sosial sebagai daya tarik siswa dalam
pembelajaran. Dalam hal ini, siswa ditugaskan untuk mengunggah kutipan
novel yang menurutnya unik atau menginsipirasi yang ditemukan di dalam
novel Korupsi. Hal ini memerlukan daya tarik guru untuk membawa siswa
112

mengikuti aturan yang diterapkan guru untuk kemudian mengubah siswa


menjadi gemar membaca, dalam hal ini membaca novel.
Saat jadwal kegiatan belajar mengajar dilaksanakan, siswa diharapkan
telah membaca bahkan mendiskusikan hal-hal yang terdapat di dalam novel
Korupsi lewat media sosial yang ditentukan. Dalam pertemuan pertama
dengan indikator mampu menentukan teknik pelukisan, karakter tokoh dan
cara penggambaran tokoh, siswa dibawa memasuki kegiatan awal
pembelajaran dengan menggunakan metode tanya-jawab untuk
mengungkapkan tokoh novel yang dikagumi dari novel yang telah dibaca
selain novel Korupsi. Hal ini akan membawa siswa mempelajari secara
konsep, apa yang telah mereka dapat di luar kegiatan belajar sekolah.
Pada bagian inti, untuk memperkuat pemahaman siswa, guru dapat
menjelaskan konsep karakter, kedudukan dan penggambaran tokoh
berdasarkan kutipan di dalam novel Korupsi. Kemudian, guru memfasilitasi
siswa untuk mengungkapkan pengetahuannya dengan metode tanya-jawab,
terkait unsur penokohan dalam novel seperti teknik pelukisan, karakter tokoh
dan cara penggambaran tokoh oleh pengarang. Hal ini bertujuan untuk
memberikan arahan kepada siswa ketika mengerjakan tugas selanjutnya yakni
mengidentifikasi karakter, kedudukan dan penggambaran tokoh berdasarkan
kutipan yang terdapat dalam novel Korupsi. Dengan menggunakan
pendekatan inquiry, setelah memahami nilai maupun cara berpikir yang
terdapat dalam unsur intrinsik penokohan, tugas ini akan memberi
pembelajaran pada siswa untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi
ketika berhadapan dengan dunia nyata. Untuk menugaskan siswa
menyampaikan tugasnya di depan kelas (atau dari tempat duduknya) yang
dapat dikoreksi oleh teman-temannya secara langsung, digunakan permainan
“tepuk satu, tepuk dua” agar membiasakan siswa konsentrasi dan memastikan
siswa telah mengerjakan tugas. Hal ini bertujuan untuk memotivasi siswa
bertanggung jawab dalam mengerjakan tugasnya karena penunjukkan
113

diberikan secara acak. Sebagai penutup, guru melakukan refleksi dengan


menanyakan apa yang telah dipelajari dan kesulitan yang dihadapi siswa.
Kemudian, memberikan tugas untuk pertemuan berikutnya yakni menentukan
nilai antikorupsi yang terdapat dalam novel.
Pada pertemuan kedua, dengan indikator mampu menginterpretasi makna
yang terkandung pada teks novel, guru memulai pembelajaran dengan
meminta siswa untuk menyampaikan pendapatnya mengenai nilai antikorupsi
yang terdapat di dalam novel. Hal ini bertujuan untuk memastikan siswa telah
siap memasuki pembelajaran. Guru dapat melengkapi pengetahuan siswa
dengan memberikan informasi mengenai nilai antikorupsi yang diusung
KPK.
Pada bagian inti, guru memanfaatkan media audiovisual film dengan
judul “Berani Jujur? Hebat!”128 yang akan menghubungkan pengetahuan
siswa dalam menganalisis novel Korupsi. Dengan menampilkan film
tersebut, diharapkan siswa memiliki pengetahuan tentang nilai antikorupsi
yang dikampanyekan KPK. Untuk menunjang pembelajaran dengan metode
kooperatif, guru memfasilitasi siswa untuk membuat empat kelompok
(banyaknya kelompok tergantung jumlah siswa). Hal ini bertujuan agar siswa
dapat mengembangkan kecakapan hidupnya, seperti memecahkan masalah,
pengambilan keputusan, berpikir logis dan bekerja sama lewat interaksi
secara aktif dan positif dalam kelompok. Kemudian, untuk menerapkan their
existing knowlegde melalui problem solving, guru menugaskan siswa untuk
menghubungkan nilai antikorupsi dalam novel dengan kehidupan sehari-hari
dengan cara menuliskan naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama
tokoh seperti yang terdapat dalam novel Korupsi namun siswa memiliki
kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan dan mengandung nilai

128
Sosishot Project, Berani Jujur? Hebat!, diakses pada 16/06/2016 21:00 WIB, dari
http://m.youtube.com/watch?v=Dz7Js09JdfA&itct=CCkQpDAYACITCKWrgcavs80CFSgYfgodrXEp
vFIMYmVyYW5pIanVy&gl=ID&hl=id&client=mv-googl
114

antikorupsi meliputi aspek kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan dan


kesederhanaan. Metode penugasan ini dimaksudkan sebagai wujud
menerapkan pemahaman siswa terkait dengan nilai antikorupsi.
Setelah pembelajaran berlangsung, siswa diharapkan mengetahui nilai
antikorupsi dan dapat menghindarkan diri dari perilaku korupsi dengan
mengamalkan nilai antikorupsi. Pada pertemuan pertama, dengan
menggunakan metode inquiry, diharapkan siswa dapat menemukan sendiri
unsur intrinsik berkaitan dengan penokohan berdasarkan pengetahuan yang
telah dimiliki. Dengan menggunakan pembelajaran yang berbasis pada
problem solving pada pertemuan kedua, diharapkan siswa dapat memecahkan
masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-harinya secara realistis.
Selain itu, pembelajaran ini diharapkan menghasilkan dampak jangka panjang
yakni membentuk kepribadian siswa yang memiliki budaya antikorupsi dan
berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Melalui pembelajaran dengan kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi
sekaligus berkarakter yang menggunakan pendekatan tematik dan kontekstual,
diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningatkan dan
menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan meninternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulai sehingga terwujud
dalam perilaku sehari-hari.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap objek kajian
novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer, maka dapat dipaparkan
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Analisis intrinsik terhadap novel Korupsi memperlihatkan seluruh unsur
intrinsik yang terdapat dalam novel Korupsi mendukung tema minor
adagium harta-tahta-wanita yang mendorong seseorang untuk melakukan
tindak kejahatan, dalam hal ini korupsi, dan tema mayor yakni konflik
batin seorang koruptor. Hal ini merupakan kritik yang dilancarkan PAT
melihat kondisi sosiologi masyarakat Indonesia pada saat itu yang mulai
melakukan praktik korupsi dan gagasan dasar untuk memerangi praktik
korupsi yaitu seorang pelaku kejahatan akan selalu kehilangan
ketenangan batinnya. Selanjutnya, dalam rangka upaya tindakan
pencegahan korupsi dapat dimulai lewat pendidikan antikorupsi kepada
generasi muda sebagai penerus bangsa. Analisis terhadap pendidikan
antikorupsi dapat dilihat dari jerat lingkaran korupsi dan nilai antikorupsi
yang terdapat dalam novel Korupsi yang dapat dijadikan pembelajaran
dalam upaya membentengi diri dari perilaku korup. Empat nilai tersebut
yakni kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan kesederhanaan.
2. Implikasi terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah
adalah peserta didik dapat mempelajari pendidikan antikorupsi melalui
novel Korupsi. Pembelajaran dengan tema pendidikan antikorupsi yang
terdapat dalam novel ini dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra
di sekolah seperti yang terdapat pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) bahasa dan sastra di tingkat SMA kelas XI (sebelas) semester

115
116

genap (dua) dengan kompetensi dasar yang menekankan pada aspek


menganalisis teks cerita cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan
maupun tulisan dan menentukan sifat tokoh dan cara penggambarannya
dengan alasan yang meyakinkan. Pada pertemuan pertama, dengan
menggunakan metode inquiry, siswa diharapkan dapat menemukan
sendiri unsur intrinsik berkaitan dengan penokohan berdasarkan
pengetahuan yang telah dimiliki. Dengan menggunakan pembelajaran
yang berbasis pada problem solving pada pertemuan kedua, siswa
diharapkan mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan gejala
korupsi para konteks kehidupan sehari-hari. Hasil jangka panjangnya,
peserta didik diharapkan memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang
terjadi pada negeri ini dan semangat antikorupsi sebagai generasi penerus
bangsa. Hal ini sejalan dengan tujuan implementasi kurikulum 2013,
salah satunya peserta didik menjadi insan yang kreatif dan mampu
menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi.
B. Saran
Dari kesimpulan yang sudah dijelaskan sebelumnya, penulis memberikan
beberapa saran yang nantinya dapat dijadikan referensi demi terlaksanakannya
pengembangan pendidikan, terutama pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.
1. Penelitian ini hanya berkisar pada pendidikan antikorupsi yang terdapat
dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk itu, penelitian
ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dan motivasi pada penelitian
selanjutnya dengan mengaitkan novel lain yang memiliki tema serupa,
korupsi.
2. Luasnya aspek pendidikan antikorupsi memungkinkan peneliti selanjutnya
meneliti pendidikan antikorupsi dari bidang studi yang berbeda seperti,
pendidikan antikorupsi dalam novel dilihat dari sudut pandang hukum
islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abrams. M.H., A Glossary of Literary Terms. United States of America: Cornell


University, 1999.

Anwary. Perang Melawan Korupsi. Jakarta: Institut Pengkajian Masalah-masalah


Politik dan Ekonomi, 2012.

B., Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Bayley, David H. Akibat-akibat Korupsi pada Bangsa-Bangsa sedang


Berkembang, Terj. dari The Effect of Corruption In a Developing Nation oleh
Muchtar Lubis dan James C.Scott. Jakarta: LP3S, 1988.

Budi, Johan. Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan. Jakarta: Spora


Communications, 2007.

Budianta, Eka. Mendengar Pramoedya. Jakarta: PT. Atmochademas Persada,


2005.

Budianta, Melanie. Membaca Sastra. Magelang: Indonesia Tera, 2002.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013.

Escarpit, Robert. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,


2005.

Hakiim, Lukmanul. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima,


2009.

Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan


Internasional. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Hans, August. dan Snoek, Kees. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir. Jakarta:
Komunitas Bambu, 2008.

Hun, Koh Young. Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Jassin, HB. Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essei. Jakarta:
Gunung Agung, 1962.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet.
18, 2008.

117
118

Lubis, Mochtar. Senja di Jakarta. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet ke-2, 1981.

Luxemburg, Jan Van., dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. dari Inleiding In de
Literatuurwetenschap oleh Dick Hartanto. Jakarta: Gramedia, cet. 4, 1992.

Madasari, Okky. 86. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet ke-3, 2015.

Muhibbuddin, Muhammad. Catatan dari Balik Penjara: Goresan Pena Revolusi


Pramoedya Ananta Toer. Yogyakarta: Zora Book, 2015.

Mulyasa. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya, cet. ke-6, 2015.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


Univesity Press, 1995.

Parwadi, Redatin. Koruptologi. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Puspito, Nanang T. (eds). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi.


Jakarta: Kemendikbud, 2011.

Ratna, Nyoman Kutha. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


cet. ke 2, 2009.

Sabarguna, Boy. Analisis Data pada Penelitian Kualitatif, Jakarta: UI-Press.


2005.

Semma, Mansyur. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara,
Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor, 2008.

Scherer, Savitri. Pramoedya Ananta Toer: Luhur dalam Ideologi. Depok:


Komunitas Bambu, 2012.

Sinulingga, Andi. Berharap pada Pemuda?. Jakarta: Suara Karya, 2006.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo, 2008.

Soedarso, Boesono. Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korupsi di Indonesia.


Jakarta: UI Press, 2009.

Tahar Ben Jelloun, Korupsi, Terj. dari L’Homme Rompu oleh Okke K.S. Zaimar,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.
119

Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa, 1986.

Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta


Toer. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1997.

Toer, Pramoedya Ananta. Korupsi. Jakarta: Hasta Mitra, 2002.

-----. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, cet. ke-15, 2010.

-----. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Lentera Dipantara, 2011.

Tohari, Ahmad. Orang-Orang Proyek. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet


ke-2, 2015.

Wellek , Rene., dan Warren, Austin. Teori Sastra. Terj. dari, Theory of Literature
oleh Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia, 1993.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Fiyani, Mega. “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya
Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra.” Skripsi pada UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011. tidak dipublikasikan.

Anwar, Rosihan. “Geger Dikalangan Pamong Pradja.” Siasat Warta Sepekan,


Jakarta, 10 Oktober 1954.

Apin, Rivai. “Tokoh2 Mati: Korupsi Novel Pramoedya Ananta Toer dalam
Madjalah Indonesia“, Siasat Warta Sepekan, Jakarta, 22 Agustus 1954.

-----. “Suasana Tjatut Meliputi Kehidupan Ekonomi”, Siasat Warta Sepekan,


Jakarta, 10 Oktober 1954.

Heinschke, Martina. “Between Gelanggang and Lekra: Pramoedya’s Developing


Literary Concepts.” Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966.

Liu, Hong. “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural
Intellectual.” Jurnal Indonesia, Vol. 61, April 1966.
120

Lubis, Bersihar. “Narsisme Harap Minggir.” Majalah Gamma, Jakarta, 31 Mei - 6


Juni, 2000.

Prabowo, Sheto Risky. “KPK Ajak 25 Guru Menulis Antikorupsi.” Integrito.


Jakarta, September-Oktober 2015

-----. “KPK Selaraskan Pendidikan Antikorupsi.” Integrito, Jakarta, September-


Oktober 2015

Santoso, Iman. “28 Siswa Lulus Sekolah Antikorupsi.” Integrito. Jakarta,


September-Oktober 2015.

Ahadi. “Apa Fungsi Pagar Rumah.” http://ilmusipil.com, 11 Juni 2016.

Astuti, Yuli. “Nilai dan Prinsip Antikorupsi.” www.diskopukm.natunakab.go.id,


02 April 2016.

International, Transparency. “Perbaikan Penegakan Hukum, Perkuat KPK, Benahi


Layanan Publik.” www.ti.or.id, 02 Februari 2015.

Kpk.go.id. “Mengenai LHKPN.” http://kpk.go.id, 18 Juni 2016.

Kurniawan, Eka. “Pramoedya Ananta Toer, Belenggu di Pulau Buru.”


http://ekakurniawan.net, 09 Ferbuari 2016.

Maharani, Dian. “Bacakan Pleidoi, Rudi Akui Terima Uang Karena Terpaksa.”
www.nasional.kompas.com, 02 Mei 2016.

Project, Sosishot. “Berani Jujur? Hebat!”, http://m.youtube.com, 16 Juni 2016.

Sihaloholistick, “Pembelajaran dan Teori Apresiasi Sastra.”


www.jendelasastra.com, 11 Desember 2015.

Sundiawan, Awan. “Skenario Mengarahkan Generasi Z.”


https://awan965.wordpress.com, 14 Juli 2016.

The American Heritage Dictionary of the English Language. “Antihero.”


http://thefreedictionary.com/antihero, 18 Juni 2016.
Lampiran 1

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sekolah : SMA 5 Jakarta


Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester : XI / 2
Alokasi waktu : 2 x 45 menit (1x pertemuan)

1. Kompetensi Inti
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan
mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan
mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara
efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan
mengapresiasi sastra Indonesia.
KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan
sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni (ipteks).
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah
abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia
secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah
keilmuan terkait.

2. Kompetensi Dasar
1.3. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita
sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel.
2.4. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita
novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh.
3.3. Menganalisis teks cerita cerita fiksi dalam novel baik melalui lisan
maupun tulisan dengan cara menentukan sifat tokoh dan cara
penggambarannya dengan alasan yang meyakinkan

3. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu :
a. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks dalam
novel.
b. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita
fiksi dalam novel.
c. Menganalisis teks yang terdapat dalam novel dengan cara mendidentifikasi
unsur intrinsik bagian penokohan.

4. Metode Pembelajaran
a. Diskusi.
b. Inkuiri.
c. Ceramah.
d. Penugasan.

5. Langkah-Langkah Pembelajaran
Pertemuan I
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
A. Kegiatan Awal 1) Guru mempersilahkan salah satu dari peserta didik 15 Menit
untuk memimpin doa bersama
2) Guru mengkondisikan dan momotivasi peserta
didik bahwa mengerti karakter tokoh penting guna
pemahaman novel keseluruhan.
3) Guru mengajak peserta didik bertanya jawab
untuk menggali pengetahuan awal mengenai novel
“Anak-anak, bagaimana novel yang telah kalian
baca? Apakah ada tokoh yang kalian kagumi? Pada
pembelajaran kali ini kita akan belajar tentang
menerangkan sifat-sifat tokoh dalam novel”.

B. Kegiatan Inti Mengamati : 60 Menit


1) Teknik pelukisan, penggambaran, dan karakter
tokoh yang ditampilkan guru.
2) Mencermati uraian yang berkaitan dengan struktur
dan kaidah novel
Mempertanyakan :
1) Bertanya jawab mengenai hal yang berhubungan
dengan unsur intrinsik khususnya bagian penokohan
dalam novel Korupsi.
Mengeksplorasi :
1) Menentukan teknik pelukisan, penggambaran, dan
karakter tokoh yang terdapat novel Korupsi.
Mengasosiasi :
1) mendiskusikan tentang unsur intrinsik khususnya
bagian penokohan
Mengomunikasikan :
1) Menyampaikan teknik pelukisan tokoh,
penggambaran, dan karakter tokoh yang terdapat
dalam novel Korupsi.
2) Peserta didik yang lain memberikan tanggapan
mengenai interpretasi yang disampaikan temannya.
C. Kegiatan Akhir 1) Peserta didik diminta mengungkapkan 15 Menit
pengalamannya dalam mengidentifikasi unsur
intrinsik khususnya bagian penokohan.
2) Guru bersama peserta didik menyimpulkan materi
pembelajaran menerangkan sifat tokoh dan
implementasinya.
3) Guru menjelaskan tugas pertemuan berikutnya
secara kelompok, menentukan nilai antikorupsi yang
terdapat dalam novel.

6. Alat / Bahan / Sumber


a. Alat/bahan :
1) Buku :
- Kreatif Berbahasa dan Bersast ra Indonesia u n t u k S M A
kelas XI. Jakarta : Ganeca Exact. hlm. 119-122.
- Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002.
2) LCD dan laptop.
b. Power Point :
1) Buku
Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Kementerian Pendidikan Nasional. hlm. 257-261.
2) Contoh novel :
Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002.

7. Penilaian
a. Teknik : Tes tertulis dan Penugasan.
b. Bentuk : Uraian dan Uji Petik kerja.
c. Bentuk Instrumen/Soal : Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter
tokoh yang terdapat dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu!

Mengetahui, Jakarta, 24 Juni 2016


Kepala SMA/MA Guru Bahasa Indonesia

Taufik Hidayatulloh
NIP. NIM 111.101.3000.101
Lampiran 1

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Sekolah : SMA 5 Jakarta


Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia
Kelas / Semester : XI / 2
Alokasi waktu : 2 x 45 menit (1x pertemuan)

1. Kompetensi Inti
KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dengan
mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri dan
mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai),
santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian
dari solusi atas berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara
efektif dengan memiliki sikap positif terhadap bahasa dan sastra
Indonesia serta mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia dan
mengapresiasi sastra Indonesia.
KI 3 : Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahu tentang bahasa dan
sastra Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian bahasa dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni (ipteks).
KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah
abstrak untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia
secara mandiri dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah
keilmuan terkait.

2. Kompetensi Dasar
1.3. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks cerita
sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel.
2.4. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita
novel dengan cara menentukan kedudukan tokoh-tokoh.
4.1. Menginterpretasi makna teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini,
dan cerita fiksi dalam novel baik secara lisan maupun tulisan.

3. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran berlangsung diharapkan peserta didik mampu :
a. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami,
menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks dalam
novel.
b. Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam
penggunaan bahasa Indonesia untuk memahami dan menyajikan cerita
fiksi dalam novel.
c. Menginterpretasi makna yang terdapat dalam novel dengan baik yang
berkaitan dengan nilai antikorupsi.

4. Metode Pembelajaran
a. Diskusi.
b. Problem solving.
c. Ceramah.
d. Penugasan.

5. Langkah-Langkah Pembelajaran
Pertemuan II
Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan
Waktu
A. Kegiatan Awal 1) Guru mempersilahkan salah satu dari peserta didik 15 Menit
untuk memimpin doa bersama
2) Mengkondisikan dan momotivasi peserta didik
bahwa mengerti karakter tokoh penting guna
pemahaman novel keseluruhan.
3) Mengajak peserta didik bertanya jawab untuk
menggali pengetahuan pelajaran pertemuan
sebelumnya.
“Anak-anak, bagaimana tugas mengenai nilai
antikorpsinya? Pada pembelajaran kali ini kita akan
belajar tentang menerangkan nilai antikorupsi yang
terdapat dalam novel Korupsi.
B. Kegiatan Inti Mengamati : 60 Menit
1) Nilai antikorupsi berdasarkan rujukan nilai
antikorupsi KPK.
2) Mencermati uraian yang berkaitan dengan nilai
antikorupsi
Mempertanyakan :
1) Bertanya jawab mengenai hal yang berhubungan
dengan nilai antikorupsi yang pernah peserta didik
alami
Mengeksplorasi :
1) Peserta didik menampilkan temuan nilai
antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi yang
dikerjakan secara berkelompok.
Mengasosiasi :
1) Peserta didik menghubungkan nilai antikorupsi
tokoh dalam novel Korupsi dengan kehidupan
sehari-hari peserta didik dengan cara menuliskan
cerita naskah drama secara berkelompok dengan
ketentuan menggunakan nama tokoh seperti yang
terdapat dalam novel Korupsi namun siswa memiliki
kebebasan mengubah karakter tokoh sesuai
kebutuhan dan mengandung nilai antikorupsi
meliputi a) jujur, b) tanggung jawab, c) disiplin dan
d) kesederhanaan
Mengomunikasikan :
1) Menyampaikan kerangka naskah drama yang telah
dibuat dan mengandung nilai antikorupsi yang telah
dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari meliputi
aspek (a) jujur, (b) tanggung jawab, (c) disiplin, dan
(d) kesederhanaan
2) Peserta didik yang lain memberikan tanggapan
mengenai interpretasi yang disampaikan temannya.
C. Kegiatan Akhir 1) Peserta didik mengungkapkan permasalahan di 15 Menit
masyarakat sesuai dengan permasalahan dalam novel.
2) Peserta didik diminta mengungkapkan
pengalamannya dalam mengidentifikasi nilai
antikorupsi yang terdapat dalam novel Korupsi
3) Guru bersama peserta didik menyimpulkan materi
pembelajaran mengidentifikasi nilai antikorupsi yang
terdapat dalam novel Korupsi
4) Guru menjelaskan tugas pertemuan berikutnya
secara individu, menulis poster di kertas A4.

6. Alat / Bahan / Sumber


a. Alat/bahan :
1) Buku :
- Kreatif Berbahasa dan Bersast ra Indonesia u n t u k S M A
kelas XI. Jakarta : Ganeca Exact. hlm. 119-122.
- Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002.
2) LCD, speaker dan laptop.
3) Video “Berani jujur?hebat!”
b. Power Point :
1) Buku
Bahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Kementerian Pendidikan Nasional. hlm. 257-261.
2) Contoh novel :
Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, Hasta Mitra, 2002.
3) Video :
Berani jujur? Hebat! diakses dari,
http://m.youtube.com/watch?v=Dz7Js09JdfA&itct=CCkQpDAYACITC
KWrgcavs80CFSgYfgodrXEpvFIMYmVyYW5pIanVy&gl=ID&hl=id&
client=mv-google

7. Penilaian
a. Teknik : Tes tertulis dan Penugasan.
b. Bentuk : Uraian dan Uji Petik kerja.
c. Bentuk Instrumen/Soal :

Mengetahui, Jakarta, 24 Juni 2016


Kepala SMA/MA Guru Bahasa Indonesia

Taufik Hidayatulloh
NIP. NIM 111.101.3000.101
Lampiran RPP

1. Bahan Ajar

A. Menganalisis Karakter Tokoh

Novel sebagai rekaman peristiwa kehidupan di masyarakat yang


menceritakan manusia dengan segala sepak terjangnya. Novel hadir dengan
tokoh-tokoh dan karakternya. Beragam karakter tokoh novel adalah
gambaran karakter manusia dalam kehidupan nyata karena novel lahir dari
pengalaman batin pengarang yang merasakan kehidupan manusia.
Setiap tokoh dalam novel mempunyai karakter atau watak. Karakter
tersebut berfungsi untuk menghidupkan tokoh. Pada umumnya, pengarang
menggunakan model orang-orang di sekitarnya untuk menghidupkan cerita.
Tentu saja penggambaran itu tidak persis sama. Ada perubahan-perubahan
sesuai dengan visi pengarang.
1) Sifat atau Karakter Tokoh
Berdasarkan sifat atau karakter yang dapat menimbulkan konflik, tokoh-
tokoh dalam novel terdiri atas tiga jenis tokoh, yaitu:
a. Tokoh antihero
Tokoh utama dengan karakter protagonis. Tokoh ini mempunyai sifat
yang kontras terhadap sifat-sifat umum yang biasa dimiliki tokoh-
tokoh utama.
b. Tokoh protagonis
Tokoh utama pendukung jalannya cerita, biasanya memiliki nilai-nilai
kebaikan yang diharapkan masyarakat.
c. Tokoh antagonis
Tokoh yang diciptakan untuk menghalangi upaya tokoh utama.
d. Tokoh tritagonis
Tokoh pembantu, bersifat netral, tokoh penengah.
2) Kedudukan Tokoh
Berdasarkan peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan
atas tiga jenis golongan, yaitu:
a. Tokoh primer (utama)
Tokoh yang diutamakan penceritanya dalam novel. Ia merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan.
b. Tokoh sekunder (tokoh bawahan)
Tokoh yang mendukung tokoh utama. Kedudukannya dalam cerita
lebih sedikit, tidak dipentingkan dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak
langsung.
c. Tokoh komplementer (tokoh bawahan)
Tokoh figuran yang membantu tokoh utama, tetapi tidak begitu aktif.
3) Penggambaran Watak Tokoh
Penggambaran watak tokoh dapat diketahui melalui tiga cara, yakni dari
segi fisis, segi psikis, dan segi sosiologis.
a. Segi Fisis
Pengarang menjelaskan keadaan fisik tokohnya yang meliputi usia,
jenis kelamin, keadaan tubuh (tinggi, pendek, pincang, gagah,
tampan, menarik, dan sebagainya). Ciri-ciri wajah (cantik, jelek,
keriput, dan sebagainya), dan ciri khas yang spesifik.
b. Segi Psikis
Pengarang melukiskan tokoh berdasarkan latar belakang kejiwaan,
kebiasaan, sifat, dan karakternya. Segi psikis meliputi moral,
kecerdasan, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, dan keahlian
khusus yang dimilikinya.
c. Segi Sosiologi
Pengarang menggambarkan latar belakang kedudukan tokoh
tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan tokoh-tokoh
lainnya. Segi sosiologis meliputi status sosial (kaya, miskin,
menengah), peranan dalam masyarakat, pendidikan, pandangan
hidup, kepercayaan, aktivitas sosial, dan suku bangsa.
B. Nilai antikorupsi
1) Kejujuran
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
2) Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya), Negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
3) Kedisiplinan
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
4) Kesederhanaan
Bersahaja, sikap dan perilaku yang tidak berlebihan, tidak banyak seluk
beluknya, tidak banyak pernik, lugas, apa adanya, hemat, sesuai
kebutuhan, dan rendah hati.

2. Penilaian

Indikator Jenis Bentuk Instrumen


A. Mampu Tes Uraian 1. Jelaskan kedudukan tokoh dan
menentukan sifat atau karakter tokoh yang
kedudukan terdapat dalam novel Korupsi!
tokoh-tokoh Berikan alasanmu!
dengan tepat.
B. Mampu 2. Terdapat tiga cara
menentukan sifat penggambaran tokoh yang
tokoh dengan digunakan pengarang.
alasan yang Bagaimanakah cara
meyakinkan penggambaran tokoh dalam
novel Korupsi? Jelaskan
masing-masing dengan
memberikan tiga contoh kutipan
dalam novel!
C. Mampu 3. Buatlah naskah drama dengan
menginterpretasi ketentuan menggunakan nama
makna yang tokoh seperti yang terdapat
terkandung pada dalam novel Korupsi, kamu
teks novel memiliki kebebasan mengubah
karakter tokoh sesuai kebutuhan
cerita yang mengandung nilai
antikorupsi meliputi 1) jujur, 2)
tanggung jawab, 3) disiplin dan
4) kesederhanaan!

3. Rubrik Penilaian

Instrumen Aspek Penilaian Skor


1. Jelaskan kedudukan 1. Mampu menunjukkan kedudukan tokoh
tokoh dan sifat atau dengan tepat 30
karakter tokoh yang
2. Kurang tepat dalam menunjukkan kedudukan
terdapat dalam novel 20
tokoh
Korupsi! Berikan
alasanmu! 3. Tidak tepat dalam menunjukkan kedudukan
tokoh 10

2. Terdapat tiga cara 1. Mampu menunjukkan tiga sifat dan tiga


penggambaran tokoh teknik penggambaran tokoh dengan tepat 30
yang digunakan
2. Mampu menunjukkan dua sifat dan dua teknik
pengarang. 20
penggambaran tokoh dengan tepat
Bagaimanakah cara
penggambaran tokoh 3. Mampu menunjukkan satu sifat dan satu
dalam novel Korupsi? teknik penggambaran tokoh dengan tepat
Jelaskan masing-
masing dengan
10
memberikan tiga
contoh kutipan dalam
novel!

3. Buatlah naskah drama 1. Mampu memanfaatkan empat nilai


dengan ketentuan antikorupsi dalam naskah drama dengan baik 40
menggunakan nama
tokoh seperti yang 2. Mampu memanfaatkan tiga nilai antikorupsi
dalam naskah drama dengan baik 30
terdapat dalam novel
Korupsi, kamu 3. Mampu memanfaatkan dua nilai antikorupsi
memiliki kebebasan dalam naskah drama dengan baik 20
mengubah karakter 4. Mampu memanfaatkan satu nilai antikorupsi
tokoh sesuai dalam naskah drama dengan baik
kebutuhan cerita yang
mengandung nilai
antikorupsi meliputi 10
1) jujur, 2) tanggung
jawab, 3) disiplin dan
4) kesederhanaan!

Total 100

Skor Akhir = Skor perolehan siswa a+b+c

Soal dan Contoh Jawaban

1. Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat dalam
novel Korupsi! Berikan alasanmu!
 Kedudukan tokoh
Tokoh primer (utama) : Bakir, Mariam dan Sutijah
Tokoh sekunder : Sirad, Bakri, Bakar, Basir dan Basirah
Tokoh komplementer : Thiaw Lie Ham dan Wanita setengah tua
Alasan :
Karena tokoh Bakir mendapatkan porsi cerita yang banyak yang
digunakan pengarang untuk mengusung nilai antikorupsi.
Tokoh Mariam dan Sutijah merupakan tokoh yang mendapat porsi cerita
yang banyak dan bersinggungan secara langsung dengan Bakir.
Tokoh Sirad, Bakri, Bakar, Basir dan Basirah diceritakan lebih sedikit
dan tidak menimbulkan konflik langsung yang dirasakan Bakir.
Tokoh Thiaw Lie Ham dan Wanita setengah tua hanya sebagai ikon atau
tokoh yang membawa Bakir menjalankan niatnya dan tenggelam dalam
jurang korupsi
 Sifat atau karakter tokoh
Tokoh antihero : Bakir
Tokoh protagonis : Mariam dan Sirad
Tokoh antagonis : Sutijah dan Thiaw Lie Ham
Tokoh tritagonis : Wanita setengah tua, Bakri, Bakar, Basir
dan Basirah
Alasan :
Tokoh Bakir sebagai antihero karena sebagai tokoh utama yang memiliki
porsi penceritaan lebih banyak namun berbuat kejahatan yang diharapkan
memberikan nilai positif bagi pembaca.
Tokoh Mariam dan Sirad sebagai tokoh protagonis karena membawa
nilai-nilai kebaikan dan menentang Bakir dalam upaya korupsi.
Tokoh Sutijah dan Thiaw Lie Ham sebagai tokoh antagonis karena
mendukung kejahatan yang dilakukan Bakir.
Tokoh Wanita setengah tua sebagai tokoh tritagonis karena sebagai
pelengkap kejahatan yang dilakukan Bakir dan Bakri, Bakar, Basir dan
Basirah karena sebagai alasan Bakir melakukan korupsi

2. Terdapat tiga cara penggambaran tokoh yang digunakan pengarang.


Bagaimanakah cara penggambaran tokoh dalam novel Korupsi? Jelaskan
masing-masing dengan memberikan tiga contoh kutipan dalam novel!
 Segi Fisis
Aku dekati dia dan nampak olehku wajahnya yang pucat, kulitnya yang
layu, dalam umurnya yang masih muda. (h. 97)
Kutipan di atas terjadi ketika Bakir melihat kondisi fisik istrinya,
wajahnya yang pucat, kulitnya yang layu dalam umur yang masih muda
secara tidak langsung menggambarkan kondisi ekonomi keluarga Bakir
yang serba kurang.
 Segi Psikis
Telah dua puluh tahun aku jadi pegawai – kumulai dari magang. Tetapi
kian hari kian berkurang saja harta benda dan umurku. ... Banyak di
antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang
olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati seperti sudah jamak di masa
kini: Korupsi.(h. 4)
Kutipan di atas terjadi ketika Bakir memikirkan apa yang harus
dilakukan untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarganya dan
pemikirannya membawa untuk melakukan korupsi.
 Segi Sosiologi
Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku plymouth.
Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di
deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor. (h. 107).
Kutipan di atas terjadi ketika Bakir mengungkapkan harta kekayaan hasil
korupsinya, secara sosiologis harta tersebut merubah status sosialnya.

3. Buatlah naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh seperti


yang terdapat dalam novel Korupsi, kamu memiliki kebebasan mengubah
karakter tokoh sesuai kebutuhan cerita yang mengandung nilai antikorupsi
meliputi 1) jujur, 2) tanggung jawab, 3) disiplin dan 4) kesederhanaan!

Masih Mau Korupsi?

Tema : Korupsi di sekitar kita.


Tokoh : Mariam, Sutijah, Bakir, Pak Sirad, Thiaw Lie dan Basirah

Pagi itu siswa kelas XI A telah belajar bahasa Indonesia dengan tema
Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi. Bel istirahat pun berbunyi.
Seluruh siswa keluar kelas kecuali Sutijah dan Mariam yang masih
berbincang di tempat duduknya masing-masing.
Mariam : “Pendidikan Antikorupsi, mungkin gak sih kita gak korupsi, dari
sehari-hari aja kita selalu melakukan perbuatan korupsi, aku sih
dengerin pelajaran tadi cuma karena gurunya aja yang asik,
ganteng lagi.”
Sutijah : “Yee Pak Siradnya aja yang kamu inget, pelajarannya juga
diinget atuh dan dijalankan!”
Mariam : “Diinget sih, tapi coba deh, sehari-hari aja kita ngelakuin
korupsi, kayak gini nih.”

Bakir mempraktikan apa yang dimaksud Mariam. Ketika Bakir di kantin bel
tanda masuk berbunyi. Sementara Mariam dan Sutijah tetap pada tempat
duduknya. *kegiatan yang dilakukan Bakir digambarkan hanya angan-angan
Sutijah dan Mariam.
Bakir : “Ah, nanggung nih belum abis makanannya. Lagi baru aja
istirahat, cepet banget masuknya sih. Ah, nanti bilang aja sama
pak Sirad abis ke wc. Sakit perut hehehe”
Setengah jam kemudian
Pak Sirad : Melihat Bakir meminta izin masuk kelas “Sudah setengah jam
pelajaran, dari mana saja kamu?”
Bakir : “Abis dari wc pak, sakit perut”. Sambil memegang perut, dalam
hati Bakir mengeluh benar-benar merasa sakit perut, karma
mungkin.
Pak Sirad : kepada Bakir “Kamu ke UKS aja, biar sakit perut kamu
sembuh.”
kepada siswa di kelas “Anak-anak kita lanjutkan pembagian
hadiah voucher makan di kantin ini, siapa yang bisa jawab?”
Bakir : dalam hati “Ha! Uda sakit perut beneran, gak kebagian voucher
makan lagi”
Bakir dan Pak Sirad keluar ruangan.

Mariam : “Tuh dari hal kecil aja kita uda gak jujur, akhirnya tanggung
jawab kita buat belajar jadi terbengkalai kan.”
Sutijah : “Ya itu sih tergantung orangnya aja, masa mau boong terus.
Lagian belajar sama Bu Basirah kan enak, orangnya baik. Dan
siapa pun gurunya bukannya belajar kewajiban kita ya?”
Mariam : “Iya sih, kalo gurunya gak asik korupsi kayak gitu kayak sesuatu
yang wajar.”
Sutijah : “Nah, permikiran mewajarkan kesalahan itu yang bikin praktik
korupsi makin subur.”
Mariam : “Ya gak selamanya sih, kalau kayak gini, aku juga ngeliatnya
males.”

Bapak Thiaw Lie mengantar anaknya Basirah yang terlambat masuk kelas
Pak Sirad
Bapak Thiaw Lie : “Maaf Bapak, anak saya terlambat, supir saya ngendarain
mobil mercedes baru saya itu, hemmm ... pelan-pelan
sekali, takut lecet katanya pak. Ini juga anak saya, mandi
sama dandannya lama sekali pak. Jadi makin telat pak,
mohon maaf bapak.”
Basirah : “Hehehe. Kan kalo tampil cantik jadi semangat diliatin
temen, eh semangat belajar.”
Pak Sirad : “Oh ya, bukan biasanya Basirah di antar sama mama nya
jalan kaki, kan rumahnya gak jauh dari sekolah kan pak?”
Bapak Thiaw Lie : “Hehe iya pak ya mulai sekarang Basirah ke mana-mana
harus di anter sama supir dengan mobil mercedes barunya
pak, khawatir saya”
Pak Sirad : “Oh begitu, baik pak. Basirah silahkan masuk.”
Setelah Bapak Thiaw Lie pergi
Pak Sirad : “Basirah, kurangi dandan berlebihan kamu, sederhana
saja seperti teman-teman kamu, karena pelajar itu dilihat
dari kepandaiannya, bukan dari penampilannya, apa lagi
kamu jadi mengabaikan disiplin masuk tepat waktu. PR
kamu uda?”
Basirah : “Hehehe uda pak ... eh sedikit lagi ... eh belum pak.”
Pak Sirad : “Hmm ...”
Pak Sirad dan Basirah keluar ruangan.

Mariam dan Sutijah : “Ya kalau modelnya kayak gitu sih “MASIH MAU
KORUPSI?”
Koperasi Guru dan Karyawan
SMA NEGERI 5 JAKARTA
Jl. Tebet Timur Raya Jakarta Selatan

No Absen : Paraf
Nilai
Nama : Guru Orang Tua
Kelas :
Bidang Studi :
Hari/Tanggal : Lembar Jawaban

Soal

1. Jelaskan kedudukan tokoh dan sifat atau karakter tokoh yang terdapat
dalam novel Korupsi! Berikan alasanmu!
2. Terdapat tiga cara penggambaran tokoh yang digunakan pengarang.
Bagaimanakah cara penggambaran tokoh dalam novel Korupsi? Jelaskan
masing-masing dengan memberikan tiga contoh kutipan dalam novel!
3. Buatlah naskah drama dengan ketentuan menggunakan nama tokoh
seperti yang terdapat dalam novel Korupsi, kamu memiliki kebebasan
mengubah karakter tokoh sesuai kebutuhan cerita yang mengandung nilai
antikorupsi meliputi 1) jujur, 2) tanggung jawab, 3) disiplin dan 4)
kesederhanaan!

Jawaban

1. ........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
2. ........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
3. ........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
........................................................................................................................
Lampiran 2

Sinopsis Novel Korupsi


Korupsi adalah sebuah novel yang menceritakan tentang kehidupan
seorang pegawai negeri yang berusaha untuk menutupi kekurangan
ekonomi keluarganya dengan cara korupsi. Bakir, seorang pegawai negeri
yang telah mengabdi selama dua puluh tahun. Berasal dari keturunan yang
juga pegawai negeri. Baginya menjadi pegawai negeri adalah suatu
kehormatan. Harapan itu tertuang pada nama yang ia berikan kepada
keempat anaknya, dengan inisial B: Bakri, Bakar, Basir dan Basirah.
Dalam novel ini PAT memotret bagaimana keadaan sosial yang terjadi
pada masa itu, gaji pegawai negeri yang kurang mencukupi untuk
kebutuhan hidup keluarga. Dalam novel diceritakan semakin hari
kebutuhan keluarga Bakir semakin banyak sedangkan harta Bakir sedikit
demi sedikit menghilang untuk menutupi kebutuhan keluarga. Bagian
depan rumahnya disewakan pada orang Tionghoa, kendaraan bermotor
berubah menjadi sepeda tua yang berkarat dan harta berharga lainnya telah
berubah menjadi surat pegadaian. Keadaan bertambah sulit ketika anak-
anak Bakir yang semakin dewasa akan melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi. Kegelisahan Bakir memikirkan biaya sekolah anak membuat
pikirannya tak tenang. Ia melihat kawan-kawannya yang mujur dalam
kehidupan. Orang-orang yang pernah menjadi bawahannya bisa lebih
makmur dari dirinya. "Apakah yang bisa diperolehnya dengan
kejujurannya itu? Paling sedikit seratus orang telah menyesalkan
kejujuranku yang tidak menghasilkan apa-apa ini" Terniatlah dalam hati
Bakir, satu kata : Korupsi!1 Dalam perjalanan melaksanakan niat untuk
korupsi, Bakir mendapat tantangan dari istri dan asistennya sendiri.
Tantangan terbesar yang dihadapi Bakir justru berasal dari diri sendiri,
ketika kejujuran yang selama ini dipegangnya harus ditinggalkannya untuk
melakukan korupsi.
Korupsi pertama yang dilakukan Bakir adalah mengambil persediaan
alat tulis kantor dan menjualnya ke Taoke di Pasar Senen. Taoke hanya

1
Pramoedya Ananta Toer, Korupsi, (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), h. 3-4.
menghargai barang „kutipan‟ tersebut sebesar Rp 20. Di tengah konflik
batin dalam diri Bakir, antara melanjutkan niatnya untuk melakukan
korupsi atau tetap hidup tenang meski kekurangan, Bakir mendapat
pembenaran dalam dirinya “Kalau aku terima uang sebagai tanda terima
kasih, apa salahnya? Itu bukan pelanggaran dan juga bukan kejahatan”.2
Nyatanya, pembenaran tersebut hanyalah penghibur diri di tengah
kecemasan ada yang menyadari tindakannya. Namun, tekad yang telah
tertanam dalam diri Bakir melangkahkan kakinya untuk melakukan
korupsi yang lebih besar, memanipulasi pembelian kerja sama dengan
Taoke di Jakarta Kota.
Di rumah, Istri yang telah mendampinginya selama 15 tahun seakan-
akan bisa mencium niat korupsi Bakir. Istri Bakir mengutarakan ketakutan
jika suatu hari membaca nama suaminya di koran sebagai koruptor.
Baginya lebih baik hidup tenang-tenang. Bakir yang merasa melakukan
korupsi untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarga menantang istrinya
“Kalau aku mau korupsi, apa engkau mau berkata?”. Istrinya berusaha
mengingatkan Bakir tetapi ia tidak mengacuhkannya. “Kalau benteng
kejujuranmu telah tembus untuk pertama kali. Engkau akan menyerah.
Terus menyerah pada nafsu-nafsumu dan engkau tidak akan dapat
memiliki bentengmu lagi. Cuma tenaga di luar dirimu saja yang bisa
menolongmu”.3
Setelah mendapat tentangan keras dari istri, Bakir mulai melirik gadis
yang sering ada di lamunannya, Sutijah. Sutijah berusia 20 tahun. Hidup
berdua dengan ibunya di kawasan kumuh. Bakir memberikan uang
korupsinya pada Sutijah. Gadis polos yang telah mencecap kekejaman
hidup akhirnya luluh dalam rayuan rupiah. Bakir meninggalkan istri dan
empat anaknya dan menikahi Sutijah. Mereka tinggal di rumah yang besar
di kawasan puncak Bogor. Perubahan Bakir sekarang nampak jelas;
dandanannya semakin perlente, sepeda tua berganti dengan mobil

2
Ibid., h. 75-76.
3
Ibid., h. 48.
Lampiran 2

Plymouth dan kemeja selalu buatan luar negeri. Penduduk di sekitar rumah
menghormatinya karena ia tidak pelit mengeluarkan uang untuk bantuan
sosial.
Meskipun telah melakukan korupsi selama hampir dua tahun, dan
telah menghasilkan harta yang diidamkannya, Bakir tetap diliputi konflik
batin. Kali ini, Bakir merasa harta yang ia miliki tidak memberi kedamaian
batin. Dalam lamunannya, Bakir teringat istri dan anak-anaknya yang setia
menemani dalam kesenangan maupun kemiskinan. Berbeda dengan
Sutijah yang makin lama makin cantik namun tidak bisa memberikan
kebahagiaan lagi, bahkan menjadi biang keladi perasaan duka dan
kemuraman.
Bakir tertangkap polisi ketika sedang mengirimkan uang untuk Sutijah
dikantor pos. Namun, Bakir tertangkap bukan karena korupsi melainkan
diduga menyebarkan uang palsu. Di penjara, Bakir dikunjungi oleh istri
dan keempat anaknya, mereka masih tetap pada pendiriannya bahwa Bakir
tetap suami dan ayah dari anak-anak mereka. Dan di akhir cerita, Bakir
mengartikan dirinya sebagai “Golongan tua yang sebaiknya lenyap dan
tidak ada lagi faedahnya bertahan di balik benteng kepalsuan”4 dan Sirad
sebagai golongan muda yang berada “Di gelanggang perjuangan di mana
ia dan angkatannya sedang menjawab tantangan hari depan – buat dirinya,
buat tanah air dan sejarahnya”.5

4
Ibid., h. 158.
5
Ibid., h. 160.
LEMBAR PENGESAHAN UJI REFERENSI

Nama Taufik Hidayatulloh


NIM I 1 I 1013000101

Jurusan Pendidikan Bahbsa dan Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan


Judul Skripsi Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Korupsi Karya
Pramoedya Ananta Toer dan Lnplikasinya pada
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosed Pembimbing Rosida Erowati, M.Hum.

Paraf

BAB I
Savitri Scherer. Pramoedya
Ananta Toer: Luhur dalam
1
Ideologi. Depok: Komunitas
Bambu.2012.
1, xvii. 1

&
Tahar Ben Jelloun. Korupsi. Te1.
dan L'Homme Rompu oleh Okke
2
K.S. Zaimar. Jakarta: PT Serambi
Ilmu Semesta,2010.
Mega Fiyani, "Nilai Sosial dalam
5, 11 1,3
4
Novel Bukan Pasar Malam Karya
Pramoedya Ananta Toer;
J
knplikasinya terhadap
Pembelajaran Sastra. " Skrips i pada
LIIN Syarif Hidayatullah lakarta,
27 I
4
Jakarta. 2011. tidak
dipublikasikan.
Rosihan Anwar. "Geger
Dikalangan Pamong Pradja."
4
Siasat Warta Sepekan. Jakarta, l0
Oktober 1954.
5 2
#
A.Teeuw. Citra Manusia
Indonesia dalam Karya Sastra 403, 195,29,
5
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya, 1997.
205
)1-
-)
4
Koh Young Hun. Pramoedya
Menggugat: Melacak Jejak
6
Indonesia.lakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011.
HB. Jassin. Kesusasteraan
15,20 2
4
7
Indonesia Modern dalam Kritik
dan Essei.lakarta: Gunung Agung,
t962.
Rivai Apin. "Tokoh2 Mati:
t39 J
4
Korupsi Novel Pramesflya Ananta
8 Toer dalam Madjalah Indonesia."
Siasat Warta Sepelmn. Iakarta,22
Azustus 1954.
25 3
&
Martina Heinschke. "Between
Gelanggang and Lekra:
9 Pramoedya's Developing Literary
Concepts." Jurnal Indonesia, Y ol.
61, April 1966.
159 J
&
Bersihar Lubis. "Narsisme Harap
l0 Minggir." Majalah Gamma,
Jakarta, 31 Mei-6 Juni 2000.
92 J
+
Transp arency International.
"P erb aikan P enegakan Hukum,
11 Perkuat KPK, Benahi Layanan
Publik." www.ti.or.id, 02 Februari
2016
5
&
Iman Santoso. "28 Siswa Lulus
t2 Sekolah Antikorupsi." Integrito,
Jakarta, September-Oktober 20 1 5.
54 6
fr
Sheto Risky Prabowo. "KPK Ajak
25 Guru Menulis Antikornpsi."
13
Integrito, Jakarta, September-
Oktober 2015.
37 6
+
Sheto Risky Prabowo. "KPK
Selaraskan Pendidikan
t4
Antikorupsi." Integrito, Jakarla,
September-Oktober 20 I 5.
1 6
h
Johan Budi, dkk. Menyalakan
Lilin di Tengah Kegelapan.
15
Jakarta: Spora Communications,
2007.
75 6
$
Boy S. Sabarguna. Analisis Data
16 pada Penelitian Kualitatif.
Jakarta: LII-Press, 2005.

Wahyudi Siswanto. Pengantar


10 9
d
l7 Teori Sastra. 183, 179 9, 10
.1-l
Jakarta: Grasindo,200 8.
Nyoman Kutha Ratna. Paradigma
18 Sosiologi Sastra. Yogyakarta: 13 10 .l.o
Pustaka Pelajar, cet. ke 2,2009.

BAB II
Redatin Parwadi.
t9 Korupt o I o gi. Yo gyakarta:
Kanisius,2010.
4t, 56 13, 15
&
Departemen Pendidikan Nasional.
Kamus Besar Bahasa
20
Indonesia.lakarta: PT Gramedia
736,969 14, t9
&
Pustaka Utama, 2008.

Andi Hamzah. Pemberantasan


2l
Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional.
Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
279 15
4
Anwary. Perang Melawan
22
Korupsi. Jakarta: Institut t26 15
Pengkajian Masalah-masalah
Politik dan Ekonomi, 2012.
J^
Boesono Soedarso. Latar
Belakang Sejarah dan Kultural
23
Korupsi di Indonesia. Jakarta: UI
Press. 2009.
l0 15
4
Mansyur Semma. Negara dan
Korupsi: Pemikiran Mochtar
24 Lubis Atas Negara, Marutsia JJ l5
Indonesia dan Perilaku Politik.
Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
+
David H. Bayley. Akibat-akibat
Kortqsi pada Bangsa-bangs.r
25 sedang Berkembang. Te{. dar,
The Effect of Corruption In a
Developins Nation oleh Muchtar
86 15
$
Lubis dan James C.Scott. Jakarta:
LP3S, l9gg
Nanang Puspito (eds). Pendidikan
Anti Korupsi untuk Perguntan
iii,
26
Tinggi.lakarta: Kemendikbud,
20t1.
75 16, 18
&
Yuli Astuti. "Nilai dan Prinsip
Antikorupsi."
27
http://diskopulon.natunakab. go.id,
02 Awil2016
18
+
Wahyudi Siswanto. Pengantar 46,143, 16l. 18,22,
28 Teori Sastra,
Grasindo,2008.
Jakarta: t59-160,152,

12,
188
ll4,133,
24,26,
28,33 fl
116,247-249,

29
Burhan Nurgiyantoro, Teori
P engkaj ian Fiksi. Yo gyakarta :
Gadjah Mada University Press,
2009.
261,265-266,
279-283,
165-t67,
213-216,303,
3t5-322,249,
347-361
19,20,
21,24,
27,28,30 I
Henry Guntur Tarigan. Prinsip-
30 Prinsip Dasar Sastra.Bandtng;
Angkasa,1986.
Rene Wellek dan Austin Warren.
16s t9
+
31
Teori Sastra. Terj. dari, Theory of
Literature oleh Melanie Budianta.
Jakarta: Gramedia, 1993.
282,287,
291, ll0
19,23,
27,32 s
Melanie Budianta. Me.mbaca
32 Sastra. Magelang: Indonesia Tera,
2002.
86 20
#
The American Heritage
Dictionary of the English
33 Language, "Antihero." 22
http //thefreedictionary. c om/antih
:

ero, 18 Juni 2016


4
Abrams. A Glossary of Literary
Terms.United States of America:
34
Comell University, 1 999.
Jan Van Luxemburg, Mieke Bal
1l 22
+
dan Williem G Wetsteijn.
35
Pengantar llmu Sastra. Teq'. dari
Inleidins In de
749,23 24,32
#
Literatuurwetenschap oleh Dick
Hartanto. Jakarta: Gramedia,
1992, cet. 4.

Gorys Keraf. Dilrsi dan Gaya


36 Bahasa. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008. Cet. ke-l8.
tt2, tt2:t45. 31, 32
&
Nyoman Kutha Ratna. Paradigma
37 Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. ke 2,2009.

Robert Escarpit. Pengantar


1-3 32
+
38 Sosiolo gi Sastra. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Andi Sinulinggu. Berharap pada
t7 33
+
39 Pemuda? Jakarta: Suara Karya,
2006.
Sihaloholistick. "Pembelajaran
82 33
+
dan Teori Apresiasi Sastra."
40
wwwjendelasastra.com, 11
Desember 2015
Rahmanto, B. Metode Pengajaran
JJ
+
4l Sastra. Yogyakarta: Kanisius,
1988.
17,66-79 33,36
&
Lulsnanul Hakiim. Perencanaan
42 Pembelajaran. Bandung: CV
Wacana Prima,2009.
43 JJ
+
Mulyasa. Pengembangan dan
Implementasi Kurikulum 2013.
43
Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
cet. ke-6, 2015.
65, t64 35,36
4
Awan Sundiawan. "Skenario
Mengarahkan Generasi"
44
https ://awan96 5.wordpress.com,
14 Juli 2016
37
&
III
B,AB
Muhammad Muhibbuddin.
Catatan dari Balik Penjara:
4t Goresan Pena Revolusi 8,1,23 38, 39
Pramoedya Ananta Toer.
Yogyakarta; Zora Book, 2015
Saviki Scherer. Pramoedya 11, 16, xv,
Ananta Toer: Luhur dalam 39,39,
42
Ideologi. Depok Komunitas
Bambu,2012.
xvi, ivii,
18,
ll-r2,20 40,41,42 A
Koh Young Hun. Pramoedya 38,39,
Menggugat: Melacak Jejak 2,3,15,17,
43
Indonesia. Jakarta:
PustakaUtama,2011.
Gramedia 18,20, 11
40,41,
42,46
fl
A. Teeuw. Citra Manusia
Indonesia dalam Karya Sastra 13,31,51,
44
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
PT Dunia Pustaka Jaya,1997.
53,55,54
39,43,44
+
Hong Liu. "Pramoedya Ananta
Toer and China: The
45 Transfonnation of a Cultural
Intellectual." Jumal Indonesia,
Vol. 61, April 1966.
t2l 40
fl
Pramoedya Ananta Toer. Anak
46 Semua Bangsa. Jakarta: Lentera i,4 42,46
Dipantara,2011. 4,
Eka Kurniawan. "Pramoedya
Ananta Toer, Belenggu di Pulau
47
Buru." http://ekakurniawan.net,
43
J^
09 Ferbuari 2015
Martina Heinschke. "Between
Gelanggang and Lekra:
48 Pramoedya's Developing Literary 159 44
Concepts." Jurnal Indonesia, Y ol.
61. April 1966.
August Hans den Bcef dan Kees
Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini
49 44,45 45
Berakhir. Jakarta: Komunitas
Bambu,2008.
Eka Budianta. Mendengar
Pramoedya. Jakarta: PT.
50
Atmochademas Persad a, 2005.
21-22 46
&
BAB IV
38-39, ll-13,
49,55-57.,45,
130,82,1,4,
10,18, 10,
11, 14, g, gg,
t38-142,42,
97,38, 150-
152,39,72,
102, gi-93,
101,6'7,60,
155-156, 3,
30,2,60,
ll0, 117 dan
151, 1-4,5, g,
14,37, 66-67,
81,96-98,
99-105, 106-
108,116,
Pramoedya Ananta Toer. Korupsi.
51 139-t42,144, 47-t09
Jakarta: Hasta Mifra, 2002.
149,151,36,
13, 63, 39,
,fl
78,107, l3g,
1ll,149,
ll8, 57, 5,
62-67,79,95,
29, l0g, 97 ,
68,39, lo7,
3-4,20,70,
64-66,15,
106-108, 146,
t24-r26,
t4t-t43,37,
87,48, 58,
52, ll4-t15,
53,62-67,15,
66-67, r3t-
133.44.
Rene Wellek dan Austin Warren.
Teori Sastra. Jakarta: Gramedia,
52
1993. Te{'. dari, Theory of
Literature oleh Melanie Budianta.
A. Teeuw. Citra Manusia
287 60
fl
Indonesia dalam Karya Sostra
53
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta:
Dunia Pustaka Jaya. 1997.
204,203 64,70, B8

fl
Mansyur Semma. Negara dan
Korupsi: Pemikiran Mochtar
Lubis Atas Negara, Manusia
d
54 81 70
Indonesia dan Perilaku Politik.
Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
Rosihan Anwar. "Geger
Dikalangan Pamong Pradja."
55
Siasat Warta Sepekan. Jakarta, 10
Oktober 1954.
Rivai Apin. "Suasana ljatut
5 73,78,88
0
Meliputi Kehidupan Ekonomi."
+
64,74,
56 3
Siasat Warta Sepekan. Jakarta, 10 87,92,93
Oktober 1954.
Ahadi. "Apa Fungsi Pagar Rumah"
http://www.il musipil.com, L1- Juni
&
57 76
20L6
Mochtar Lubis. Senja di Jakarta.
58 Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
Cet ke-2, 1981.
Okky Madasari. 86. Jakarta: PT.
314 78
&
59 Gramedia Pustaka lJtama, Cet ke-
3.2015.
230 78
&
Ahmad Tohari. Orang-Orang
60 Proyek. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, Cet ke-2, 2015.
169 78
d.
Redatin Parwadi.
6t Korupt o I o gi. Yo gyakarta: s6 87
Kanisius,2010. .&
Pramoedya Ananta Toer. Bumi
62 Manusia. Jakarta: Lentera
Dipantara, Cet. ke-l 5, 2010.
Dian Maharani. "Bacakan Pleidoi,
179 91
s
Rudi Akui Terima Uang karena
63 Terpaksa." 93
http//nasional.kompas. com 02 Mei
20t6
64
kpk.go.id, "Mengenai
http://kpk.go.id, 18 Juni 2016
Sosishot Project. "Berani Jujur?
LHKPN"
99
+
65 Hebat!" http://m.youtube.com,
16 Juni 2016
113
+
KEMENTERIAN AGAMA No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081
UIN JAKARTA
FoRM (FR)
Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. lr. H- Juanda No gS Ciputat 15112 lndonesia
Ha 111

SURAT BIMBINGAN SKRIPSI


Nomor : Un.01/F. lAer{.0r.11..31}-.. tzorb Jakarta, l6 Juni 2016
Lamp. : -
Hal : Bimbingan Skripsi

Kepada Yth.

RosidaErowati, M.Hum
Pembimbing Skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Ass alamu' alailatm wr.wb.

Dengan ini diharapkan kesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing VII


(materi/teknis) penulisan slaipsi mahasiswa:

Nama : Taufik Hidayatulloh


NIM I 11 1013000101
Jr:rusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Semester l0 (Sepuluh)
Judul Slaipsi Pendidikan Antikorupsi dalam Novel Kompsi Karya
Pramoedya Ananta Toer dan Implikasinya pada Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul tersebut telah disetujui oleh Jurusan yang bersangkutan pada tanggal 2 September
2015, abstraksiloutline terlampir. Saudara dapat melakukan perubahan redalsional pada judul
tersebut. Apabila perubahan substansial dianggap perlu, mohon peurbimbing menghubungi
Jurusan terlebih dahulu.

Bimbingan skripsi ini diharapkan selesai dalani'waktu 6 (enam) bulan, dan dapat
diperpanjang selama 6 (enam) bulan berikutnya tanpa surat perpanjangan.

Atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Was s al amu' a laibum wr.wb.

dan Sastra lndonesia

200901 1 015
Tembusan:
l. Dekan FITK
2. Mahasiswaybs.
BIODATA

Taufik Hidayatulloh, anak kedua dari tiga bersaudara


ini lahir di Desa Ujung Pendok Indramayu, 11 Juli 1991.
Namun, karena urbanisasi yang dilakukan orang tua ke
ibu kota Jakarta dan urusan administrasi baru dibuat di
Jakarta, mengakibatkan pencatatan tempat lahir penulis
menjadi Jakarta.
Penulis menempuh pendidikan formalnya di TK Bina
Mulia, SDN 03, SMPN 73 dan SMA Muhammadiyah 5
yang semuanya berlokasi di Tebet. Setelah tamat SMA,
penulis mencoba mengejar cita-cita pertama dengan
mendaftar di Taruna Akademi Polisi TA. 2009 dan 2010. Namun, takdir berkata
lain dan membawa penulis mengejar cita-cita kedua. Kemudian, penulis memilih
Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan program
studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia untuk mengejar cita-cita sebagai
guru.
Penulis memiliki hobi bermain sepak bola dan telah menghasilkan piala PBSI
CUP. Selain itu, penulis memiliki ketertarikan pada dunia film yang disalurkan
lewat merancang pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran audio
visual yang dapat menarik minat siswa dalam proses pembelajaran.
Pengabdian pendidikan pernah dijalankan penulis ketika PPKT di SMPN 87
Jakarta, kemudian ikut aktif sebagai sekretariat, liasion organizer (LO) maupun
tim penilaian dalam penyelenggaran event lomba SMP tingkat nasional pada
Lomba Karya Jurnalistik Siswa 2015, Kawah Kepemimpinan Pelajar 2015,
Lomba Penelitian Ilmiah Remaja 2015 dan Olimpiade Siswa Nasional 2016.

Anda mungkin juga menyukai