Anda di halaman 1dari 213

NOVEL ORANG-ORANG PROYEK DAN KAITANNYA DENGAN

TRILOGI NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK


KARYA AHMAD TOHARI
(Analisis Strukturalisme Genetik)

Skripsi
Oleh:
Andi Dwi Handoko
K1206012

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

1
2

NOVEL ORANG-ORANG PROYEK DAN KAITANNYA DENGAN


TRILOGI NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK
KARYA AHMAD TOHARI
(Analisis Strukturalisme Genetik)

Oleh:
Andi Dwi Handoko
K1206012

Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
3

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji


Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. Dra. Raheni Suhita, M. Hum.


NIP 19440315 197804 1 001 NIP 19630309 198803 2 001
4

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Kamis


Tanggal : 15 April 2010

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Slamet Mulyono, M.Pd.


Sekretaris : Dr. Andayani, M.Pd.
Anggota 1 : Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Anggota 2 : Dra. Raheni Suhita, M.Hum.

Disahkan oleh:
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.


NIP 19600727 198702 1 001
5

ABSTRAK

Andi Dwi Handoko. NOVEL ORANG-ORANG PROYEK DAN KAITANNYA


DENGAN TRILOGI NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA
AHMAD TOHARI (ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK). Skripsi.
Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret
Surakarta, April 2010.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) keterjalinan


antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk; (2) pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel
Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk; dan (3) struktur
sosial novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan
strukturalisme genetik. Metode yang digunakan adalah metode dialektik. Sumber
data adalah novel Orang-orang Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk,
hasil wawancara dengan pengarang, buku Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam
Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia
Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, dan artikel-artikel dari internet.
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik analisis dokumen dan wawancara
mendalam. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir (flow
model of analysis). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) ada
keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk; (2) pandangan dunia Ahmad Tohari dalam novel
Orang-orang Proyek dan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah pandangan
humanisme universal yang terdiri dari pandangan religius, kesenian, sosial,
budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral; dan (3) struktur sosial dalam novel
Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk dibagi menjadi
dua, yakni institusi pemerintahan dan religi serta ada homologi antara struktur
teks dan struktur sosial dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk.
6

MOTTO

”Mending baca daripada nggak baca, mending nulis daripada nggak nulis”
(Pawon)
7

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:


1. orangtua dan seluruh anggota keluargaku;
2. teman-temanku, mulai dari teman SD, SMP,
SMA, kuliah, dan teman-teman yang lain;
3. pembaca; dan
4. almamater.

KATA PENGANTAR
8

Penulis mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas


limpahan berkah dan hidayah-Nya, penulis diberi kekuatan dan kemampuan untuk
menyelesaikan skripsi dengan judul ”Novel Orang-orang Proyek dan Kaitannya
dengan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Analisis Strukturalisme Genetik)”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan.
Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya
kesulitan-kesulitan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan,
saran, dan doa kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. ..........................................................................................................Prof.
Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan
izin dalam penyusunan skripsi;
2. ..........................................................................................................Drs.
Suparno, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah
menyetujui surat izin dalam penyusunan skripsi;
3. ..........................................................................................................Drs.
Slamet Mulyono, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin
dalam penyusunan skripsi;
4. ..........................................................................................................Prof.
Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., selaku pembimbing 1 dan Dra. Raheni Suhita,
M.Hum., selaku pembimbing 2 yang telah memberikan bimbingan, saran, dan
pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi;
9

5. ..........................................................................................................Prof.
Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan kepada penulis dalam
perkuliahan;
6. ..........................................................................................................Bapa
k dan Ibu Dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis;
7. ..........................................................................................................Bapa
k Ahmad Tohari, selaku pengarang novel Orang-orang Proyek dan trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk yang telah berbagi informasi mengenai karya
dan dunianya serta nasihat-nasihat yang sangat bermanfaat bagi penulis;
8. ..........................................................................................................Maha
siswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, terutama teman-teman
mahasiswa angkatan 2006;
9. ..........................................................................................................Risty,
terima kasih atas semangat yang telah diberikan; dan
10..........................................................................................................Semu
a pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan bagi pembaca.

Surakarta, 9 April 2010

Penulis
10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI.................................................................................................... x
TABEL............................................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
BAB II. LANDASAN TEORI ......................................................................... 8
A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 8
1. Novel ............................................................................................... 8
11

a.............................................................................................Haki
kat Novel..................................................................................... 8
b.............................................................................................Jenis-
jenis Novel .................................................................................. 10
c.............................................................................................Unsu
r Intrinsik Novel.......................................................................... 12
d.............................................................................................Unsu
r Ekstrinsik Novel ....................................................................... 26
2. Strukturalisme Genetik.................................................................... 29
a.............................................................................................Haki
kat Strukturalisme....................................................................... 29
b.............................................................................................Haki
kat Strukturalisme Genetik ......................................................... 32
B. Penelitian yang Relevan....................................................................... 50
C. Kerangka Berpikir................................................................................ 52
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 54
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 54
B. Bentuk dan Strategi Penelitian............................................................. 54
C. Sumber Data......................................................................................... 55
D. Teknik Sampling .................................................................................. 56
E. Teknik Pengumpulan Data................................................................... 56
F. Validitas Data....................................................................................... 56
G. Analisis Data ........................................................................................ 57
H. Prosedur Penelitian .............................................................................. 59
BAB IV. HASIL PENELITIAN ...................................................................... 62
A. ....................................................................................................Desk
ripsi Data .............................................................................................. 62
1. Novel Orang-orang Proyek............................................................. 62
2. Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk............................................ 62
3. Tinjauan Pengarang ......................................................................... 63
12

B. ....................................................................................................Anali
sis Data dan Pembahasan ..................................................................... 66
1.................................................................................................K
eterjalinan Antarunsur Intrinsik Novel Orang-orang Proyek
dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad
Tohari ............................................................................................. 66
a...........................................................................................K
eterjalinan Antarunsur Intrinsik Novel Orang-orang
Proyek Karya Ahmad Tohari ................................................... 66
b...........................................................................................K
eterjalinan Antarunsur Intrinsik Trilogi Novel Ronggeng
Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari ......................................... 99
2.................................................................................................P
andangan Dunia Pengarang Novel Orang-orang Proyek dan
Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk .......................................... 137
a............................................................................................K
elompok Sosial Ahmad Tohari ................................................ 137
b. ..........................................................................................P
andangan Dunia Ahmad Tohari dalam Novel Orang-
orang Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk ...... 144
3.................................................................................................S
truktur Sosial Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel
Ronggeng Dukuh Paruk ................................................................. 168
a............................................................................................P
roses Kreatif Pengarang dalam Novel Orang-orang
Proyek dan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk ................. 168
b. ..........................................................................................D
eskripsi Struktur Sosial Novel Orang-orang Proyek dan
Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk .................................... 176
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN......................................... 186
13

A. ....................................................................................................S
impulan................................................................................................. 186
B. ....................................................................................................I
mplikasi................................................................................................ 187
C. ....................................................................................................S
aran....................................................................................................... 191
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 193
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................... 198
14

TABEL

Tabel Jadwal Penelitian .................................................................................. 54


15

DAFTAR GAMBAR

Gambar
1. .....................................................................................................Kera
ngka Berpikir........................................................................................ 53
2. .....................................................................................................Mode
l Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis) ..................................... 59
16

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran
1. .....................................................................................................Sinop
sis Novel Orang-orang Proyek ............................................................ 198
2. .....................................................................................................Sinop
sis Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk........................................... 201
3. .....................................................................................................Catat
an Hasil Wawancara............................................................................. 204
4. .....................................................................................................Artik
el Internet “Menjenguk Tuhan Lewat Orang Kecil”............................ 219
5. .....................................................................................................Artik
el Internet “Pluralisme Gus Dur” ......................................................... 225
6. .....................................................................................................Artik
el Internet “Biografi Gus Dur”............................................................. 228
7. .....................................................................................................Artik
el Internet “Biografi Singkat” .............................................................. 233
8. .....................................................................................................Artik
el Internet “Sejarah Korupsi di Indonesia” .......................................... 235
9. .....................................................................................................Surat
Pernyataan Ahmad Tohari ................................................................... 242
10. ...................................................................................................Surat
Pernyataan Keaslian Skripsi................................................................. 243
11. ...................................................................................................Surat
Permohonan Izin Menyusun Skripsi .................................................... 244
12. ...................................................................................................Surat
Keputusan Dekan FKIP ....................................................................... 245
17

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan sastra di Indonesia menunjukkan angka positif. Sastra
banyak diminati orang karena sastra bersifat dulce et utile, yakni berguna dan
menghibur. Sastra dapat dijadikan sebagai sarana ekspresi dan rohani, bahkan
sebagai sarana berekonomi. Tidak jarang ada seorang penulis sastra yang
menggantungkan penghasilan hidupnya hanya dari menulis karya sastra.
Perkembangan sastra memberi sinyal bahwa kehidupan seni bahasa masih
mendapat perhatian di masyarakat. Perkembangan sastra ini mengacu pada
aspek kuantitas dan kualitas.
Bertolak dari aspek kuantitas, sekarang banyak orang menjadi sastrawan
dan menghasilkan banyak karya, seperti puisi, cerpen, naskah drama, novel, dan
sebagainya. Tidak hanya itu, ruang untuk mengekspresikan karya sastra semakin
beragam. Pada hari-hari tertentu—khususnya hari Minggu—beberapa media
cetak menyajikan rubrik khusus sastra. Kontributor rubrik tersebut biasanya
terbuka untuk umum sehingga banyak orang menjadi sastrawan terkenal berawal
dari karyanya yang sering dimuat di media cetak. Selain itu, media internet
menjadi sebuah ruang ekspresi yang bebas untuk menuangkan karya sastra.
Bertolak dari aspek kualitas, sekarang banyak sastrawan yang
menghasilkan karya-karya bermutu dan bernilai seni tinggi. Sangidu (2004:41)
memberi penjelasan bahwa “sastra yang baik tidak hanya merekam kenyataan
yang ada dalam masyarakat seperti sebuah tustel foto, tetapi merekam dan
melukiskan kenyataan dalam keseluruhan”. Aspek terpenting dalam karya sastra
adalah pelukisan kenyataan oleh pengarang tentang kemajuan manusia. Karya
sastra yang berkualitas tidak akan mudah lekang oleh pergantian zaman.
Sebuah paradoks terjadi dalam dunia pendidikan. Di balik perkembangan
sastra yang pesat, tingkat apresiasi siswa terhadap karya sastra ternyata masih
kurang. Motivasi untuk membaca sangat kecil. Taufiq Ismail pernah melakukan
penelitian terhadap minat baca siswa di Indonesia dan ternyata hasilnya adalah
18

rendah. Taufiq Ismail (2000) membuat tulisan berjudul “Benarkah Bangsa Kita
Telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?”. Hal ini dibuktikannya dengan
penelitian tentang bacaan sastra wajib di sekolah di beberapa negara dan
diperoleh angka nol untuk responden (siswa) Indonesia. Aktivitas membaca
karya sastra pada dasarnya tidak hanya bertujuan untuk menghayati dan
menikmati isi karya sastra, tetapi lebih apresiatif ke arah menggali informasi dan
nilai-nilai dalam karya sastra yang representatif terhadap kehidupan nyata.
Selain minat baca siswa rendah, apresiasi terhadap sastra kurang juga
disebabkan oleh pembelajaran sastra yang tidak kreatif dan inovatif. Guru yang
kurang berminat untuk mengajarkan sastra kadang menjadi salah satu faktor
rendahnya kualitas pembelajaran sastra. Persediaan buku sastra yang tidak
memadai juga merupakan salah satu penyebab kurangnya minat siswa terhadap
sastra. Guru sebagai pembelajar harus berkompeten dalam menyampaikan
materi tentang karya sastra dengan cara mengetahui dan memahami secara
mendetail tentang karya sastra tersebut. Pemahaman terhadap suatu karya sastra
dapat dengan cara memahami makna totalitas dalam karya sastra.
Salah satu karya sastra adalah novel. Sebuah novel memberikan suatu
gambaran luas terhadap pembacanya. Ruang luas dalam novel memungkinkan
seseorang untuk menggali lebih dalam atas nilai-nilai dan informasi di dalam
novel. Pengarang mempunyai pengalaman dan ilmu pengetahuan yang luas
sebagai bahan untuk mengarang novel. Oleh karena itu, tidak jarang sebuah
novel mengandung cerita berwujud multikultural. Multikulturalisme dalam
cerita novel bisa saja terjadi karena merupakan pencerminan sebuah masyarakat
yang juga multikultural. Masalah-masalah agama, sosial, kemanusiaan, adat,
politik, budaya, dan lain-lain adalah inspirasi yang banyak mengilhami seorang
pengarang dalam membentuk kesatuan cerita dalam karyanya.
Di tengah gencarnya arus budaya sastra populer, sekarang masih dapat
ditemukan novel yang memuat kritik sosial. Contoh novel yang sarat dengan
nilai kritik sosial adalah novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kedua novel ini menceritakan masyarakat
kecil yang tertindas oleh kesewenang-wenangan para penguasa. Bahasa yang
19

lugas namun cerdas yang digunakan Ahmad Tohari membuat kedua novel
tersebut mudah dipahami oleh pembaca awam. Pesan-pesan moral dan filsafat
begitu kental dihadirkan Ahmad Tohari melalui tokoh-tokoh dalam kedua novel.
Novel Orang-orang Proyek merepresentasikan lika-liku kehidupan
orang-orang proyek pada masa Orde Baru. Novel ini menceritakan seorang
insinyur bernama Kabul. Kabul diceritakan sebagai tokoh yang harus
mempertahankan idealismenya di tengah-tengah masyarakat yang terbawa arus
budaya pragmatisme Orde Baru. Praktik kerja pada Orde Baru cenderung
membiasakan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kabul
mendapatkan sebuah proyek pembangunan jembatan. Akan tetapi, anggaran
dana proyek yang seharusnya untuk membiayai proyek harus dipolitisasi dan
dikebiri untuk urusan di luar proyek. Novel ini pada dasarnya berisi kritikan
terhadap pemerintahan Orde Baru yang selalu membela kepentingan suatu
golongan. Novel ini secara tidak langsung juga mengkritik pemerintahan
sekarang yang masih saja belum bebas dari budaya KKN.
Bertolak dari segi penggunaan bahasa dan muatan nilai sosial, ciri khas
novel Orang-orang Proyek tidak jauh berbeda dengan trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk. Kritik terhadap kesewenang-wenangan penguasa tetap menjadi
menu utama dalam trilogi novel tersebut. Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
menggunakan latar tahun 1960-an. Latar tersebut memberi gambaran tentang
sejarah komunis dan transisi Orde Lama ke Orde baru. Barangkali Ahmad Tohari
ingin menyampaikan pengalaman pahit rakyat kecil yang tertindas di zaman itu.
Di dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari memberikan
nilai-nilai tentang kebudayaan dan humanisme dengan lebih intens. Trilogi
novel ini adalah penyatuan tiga novel, yakni Catatan buat Emak, Lintang
Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Trilogi novel ini menceritakan
degradasi sosial yang di alami suatu dukuh yang bernama Dukuh Paruk dengan
pusat pengisahan seorang ronggeng bernama Srintil. Srintil harus menjalani
berbagai problematika karena statusnya sebagai ronggeng dan tahanan politik.
Selain itu, terdapat tokoh Rasus yang diceritakan sebagai anak Dukuh Paruk
yang bersifat kritis. Ia meninggalkan Dukuh Paruk untuk mencari jati dirinya.
20

Di samping nilai kritik sosial, kedua novel ini juga mengangkat warna
lokal. Kedua novel dihiasi penceritaan situasi desa yang alami yang merupakan
ciri khas karya Ahmad Tohari. Ahmad Tohari terampil bercerita tentang alam
dengan detail dan cermat sehingga pembaca seolah-olah berada dalam situasi
penceritaan novel. D. Zawawi Imron (2008) mengemukakan bahwa meskipun
sebuah novel adalah sebuah dunia rekaan (fiksi), namun Ahmad Tohari mampu
membangun tokoh rekaannya selalu bertumpu pada realitas kehidupan. Oleh
sebab itu, Ahmad Tohari menggambarkan situasi sosial pada masanya dengan
teknik yang estetik pada novel Orang-orang proyek dan trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk. D. Zawawi Imron lebih lanjut juga memaparkan bahwa Ahmad
Tohari memang tidak ingin sekadar menghibur pembaca melalui karya-
karyanya. Akan tetapi, ia ingin berbagi rasa dalam puncak-puncak kepedihan
dan kegetiran yang singgah bersama musibah kehidupan yang pernah
dirasakannya. Hal ini menguatkan bahwa karya sastra dibangun atas dasar fakta-
fakta yang berkelebat dalam diri pengarang dan menampilkannya ke permukaan
sebagai sebuah fiksi (Misbahus Surur, 2008)
Karya-karya Ahmad Tohari sering dijadikan sebagai objek penelitian,
terutama trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk. Di dalam catatan pembuka trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk, ada sebuah catatan “lebih dari 50 skripsi dan
tesis (Leiden dan Lund Univ.―Swedia) telah lahir dari novel ini”. Dr. Bertold
Damhauser bahkan mengatakan “novel ini merupakan bacaan wajib mahasiswa
jurusan sastra Asia Timur”. Hal ini membuktikan bahwa Ronggeng Dukuh Paruk
adalah karya fenomenal. Karya-karya Ahmad Tohari yang lain seperti Kubah,
Belantik, Bekisar Merah, Lingkar Tanah Lingkar Air, dan yang lainnya juga
telah banyak dijadikan sebagai obejek penelitian. Ada ciri khas dalam karya-
karya Ahmad Tohari sehingga banyak melahirkan inspirasi orang-orang untuk
menelitinya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada
karya-karya Ahmad Tohari. Peneliti menggabungkan dua karya Ahmad Tohari,
yakni novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
untuk ditelaah dengan pendekatan strukturalisme genetik.
21

Strukturalisme genetik cocok untuk diterapkan pada karya besar yang


memiliki tokoh hero. Novel Orang-orang Proyek dikatakan sebagai karya besar
karena hasil ciptaan dari seorang sastrawan besar yang sudah memperoleh
berbagai penghargaan di bidang sastra seperti Hadiah Sastra ASEAN dan
penghargaan Yayasan Buku Utama. Novel ini juga sudah diterbitkan ulang
sehingga secara tidak langsung memberi acuan bahwa novel ini diterima oleh
banyak orang. Begitu pula dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk. Trilogi
novel ini telah dicetak ulang dan merupakan karya masterpiece Ahmad Tohari.
Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk juga telah diterjemahkan ke dalam
beberapa bahasa asing. Selain itu, di dalam kedua novel tersebut terdapat
seorang tokoh yang mengalami berbagai problematika yang disebut sebagai
problematic hero. Berdasar pada ciri-ciri tersebut, novel Orang-orang Proyek
dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sangat cocok ditelaah dengan
strukturalisme genetik.
Kekuatan dari kedua novel tersebut sebenarnya adalah kedekatan cerita
dengan realitas sejarah Indonesia. Penceritaan tentang sisi lain pemerintahan
Orde Baru dan peralihan antara Orde Baru dengan Orde Lama merupakan
refleksi pengarang sebagai subjek kolektif. Dengan demikian, Ahmad Tohari
dikatakan seperti menyingkap tabir sejarah dengan caranya sendiri. Hal ini
menguatkan bahwa sastra bukanlah karya fiktif tanpa realitas. Karya sastra
adalah rekaman sejarah dan fakta sosial yang dikemas dengan kreativitas
pengarang. Karya sastra dikatakan sebagai refleksi dan representasi kenyataan
sosial yang dituangkan dalam bentuk seni bahasa. Oleh karena itu, karya sastra
tetap mengandung bobot kebenaran yang nyata. Kebenaran-kebenaran nyata
tersebut dikonstruksi dengan imajinasi sehingga menjadi kesatuan imajinatif.
Karya sastra mampu memberikan ajaran moral dan nilai-nilai bagi pembacanya.
Adanya penelitian karya sastra menggunakan strukturalisme genetik ini
diharapkan memunculkan sebuah penjelasan bahwa konstruksi cerita dalam
novel tidak hanya imajinasi atau kebohongan saja, tetapi merupakan konstruksi
dari suatu kebenaran yang terjadi dalam kehidupan nyata.
22

Penelitian ini diharapkan memberi pemahaman baru bagi guru dalam


menyampaikan materi tentang novel. Selama ini guru biasanya hanya
menyampaikan materi novel yang berkaitan dengan strukturnya secara objektif
sehingga siswa mendapat pemahaman tekstual yang terkesan repetitif dan
membosankan. Sudah saatnya pemahaman terhadap unsur di dalam novel
dikaitkan dengan unsur luar yang meliputi sejarah, fakta sosial kemanusiaan, dan
budaya sehingga pembelajaran menjadi lebih variatif.
Bertolak dari beberapa uraian di atas, ditarik simpulan bahwa
strukturalisme genetik sangat cocok digunakan untuk menganalisis novel dari
aspek internal maupun eksternal. Novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk juga merupakan karya besar yang dapat dijadikan objek
penelitian dengan strukturalisme genetik. Beracuan pada alasan-alasan tersebut,
peneliti ingin menganalisis novel Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan
trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menggunakan
pendekatan strukturalisme genetik.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, di ambil rumusan masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang
Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk?
2. Bagaimana pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel Orang-
orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk?
3. Bagaimana struktur sosial novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-
orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
23

2. Mendeskripsikan pandangan dunia pengarang yang tercermin dalam novel


Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
3. Mendeskripsikan struktur sosial novel Orang-orang Proyek dan trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan menambah khasanah pengetahuan
secara teoretis kepada pembaca mengenai penelitian dalam bidang sastra,
terutama penelitian sastra dengan strukturalisme genetik.

2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi para peneliti yang berniat
menganalisis karya sastra, khususnya penelitian yang menggunakan
pendekatan strukturalisme genetik.
b. Manfaat bagi siswa
Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan motivasi dan
kemampuan siswa untuk mengapresiasi karya sastra dengan memahami
latar belakang lahirnya suatu karya sastra.
c. Manfaat bagi guru
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bagi guru tentang pendekatan
struktural genetik untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran sastra
yang menarik, kreatif, dan inovatif.
d. Manfaat bagi pengambil kebijakan pendidikan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pedoman untuk
menentukan arah kebijakan pendidikan dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia secara inovatif dan kontekstual.
24

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Novel
a. Hakikat Novel
Burhan Nurgiyantoro (2005: 9) memaparkan bahwa novel berasal dari
bahasa Italia, yakni novella. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 9)
mengemukakan bahwa secara harfiah novella berarti sebagai “sebuah barang
baru yang kecil” yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk
prosa. Berdasarkan pengertian tersebut, dijelaskan bahwa novel adalah salah satu
jenis karya sastra yang berbentuk prosa. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat
Sunaryo Basuki Ks yang menjelaskan
“novel atau roman adalah bentuk prosa yang sangat beragam, sulit
mendefinisikannya sebagai bentuk sederhana seperti kisah yang
mengedepankan tokoh, di suatu masa dan suatu tempat, menghadapi
sejumlah konflik, dan punya alur (plot) tertentu, dan menjanjikan suatu
keputusan sesudah klimaks dicapai” (Sunaryo Basuki Ks, 2006: 159).

Novel disebut sebagai karya fiksi. Novel adalah cerita berbentuk prosa
dalam ukuran yang luas (Jakob Sumardjo & Saini K.M., 1988: 29). Ukuran luas
dalam pengertian tersebut berupa unsur yang kompleks dalam novel yang
meliputi plot, tokoh, konflik, tema, suasana, latar, dan lain-lain. Selain unsur
yang kompleks, novel menuntut keterjalinan antarunsur yang membentuk
totalitas makna. The American College Dictionary (dalam Henry G. Tarigan,
1993: 164) menyebutkan bahwa novel adalah “suatu cerita prosa yang fiktif
dengan panjang tertentu, melukiskan para tokoh, gerak, dan adegan kehidupan
nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau
atau kusut”. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa unsur-unsur pembangun
novel tersebar secara tidak sistematis karena karya sastra bukan sebuah karya
ilmiah, tetapi unsur-unsur tersebut menyebar sesuai dengan ciri dan tujuannya.
Definisi serupa sejalan dengan definisi novel yang terdapat dalam The Advanced
25

Learner’s Dictionary of Current English (dalam Henry G. Tarigan, 1993: 164),


yakni novel adalah “suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu
buku atau lebih, dan menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat
imajinatif”.
Novel sebagai sebuah karya fiksi merupakan sebuah karangan yang
memaparkan ide, gagasan, atau khayalan dari pengarangnya. Ide atau gagasan
tersebut berupa pengalaman langsung yang dimiliki pengarang maupun sebuah
ide yang bersifat imajinasi. Brooks (dalam Henry G. Tarigan, 1993: 120)
mendefinisikan bahwa fiksi adalah “sebuah bentuk penyajian atau cara
seseorang memandang hidup ini”. Bertolak dari pengertian itu, diambil sebuah
pemikiran bahwa karya fiksi memang tidak nyata, tetapi karya sastra juga bukan
sebuah kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra yang
menekankan kekuatan kesastraan pada daya penceritaan. Karya sastra tidak
hanya sebuah khayalan, tetapi merupakan sebuah cerminan dari suatu hal yang
dirasakan, dilihat, bahkan mungkin dialami oleh seorang pengarang.
Goldmann (dalam Faruk, 1994: 18) mendefinisikan novel sebagai “cerita
mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia
yang juga terdegradasi”. Goldmann (1977: 1) menjelaskan “by authentic values,
i mean, of course, not the values that the critic or the reader regards as
authentic, but those which, without being manifestly present in the novel,
organize in accordance with an implic mode its world as a whole”. (“nilai-nilai
autentik menurut saya bukan nilai yang dihasilkan sebagai kritikan atau apresiasi
pembaca, tetapi hal itu secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang
mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas”). Pencarian nilai-
nilai dilakukan oleh seorang tokoh hero yang problematik. Nilai-nilai tersebut
hanya ada dalam kesadaran pengarang dengan bentuk yang konseptual dan
abstrak. Bentuk yang konseptual dan abstrak ini diidentifikasi dari masalah-
masalah yang terjadi dalam sebuah novel sehingga mampu menyajikan beberapa
bagian cerita yang terangkum dalam sebuah keterjalinan cerita yang padu dan
utuh.
26

Berdasarkan beberapa pengertian novel di atas, ditarik sebuah simpulan


bahwa novel adalah suatu karya sastra berbentuk prosa fiksi yang mengandung
unsur-unsur pembangun cerita dan merupakan sebuah pandangan dari sebuah
kenyataan yang dibangun secara imajinatif dalam sebuah cerita.

b. Jenis-jenis Novel
Ada beberapa jenis novel dalam sastra. Jenis novel mencerminkan
keragaman tema dan kreativitas dari sastrawan yang tak lain adalah pengarang
novel. Burhan Nurgiyantoro (2005: 16) membedakan novel menjadi novel serius
dan novel populer.
1) Novel Serius
Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru
dengan cara penyajian yang baru pula. Secara singkat disimpulkan bahwa unsur
kebaruan sangat diutamakan dalam novel serius. Di dalam novel serius, gagasan
diolah dengan cara yang khas. Hal ini penting mengingat novel serius
membutuhkan sesuatu yang baru dan memiliki ciri khas daripada novel-novel
yang telah dianggap biasa. Sebuah novel diharapkan memberi kesan yang
mendalam kepada pembacanya dengan teknik yang khas ini. Oleh karena itu,
dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling
tidak, pengarang berusaha untuk menghindarinya. Novel serius mengambil
realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia
baru” melalui penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.
Novel serius tidak mengabdi kepada selera pembaca sehingga perhatian novel
sastra lebih kepada nilai-nilai kesastraan yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu,
novel serius selalu mendapatkan perhatian yang lebih dari para kritikus sastra.
2) Novel Populer
Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Novel ini cenderung
menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu baru. Novel populer tidak
menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha untuk
meresapi hakikat kehidupan lebih dalam. Staton (dalam Burhan Nurgiyantoro,
27

2005: 19) mengemukakan bahwa novel populer lebih mudah dibaca dan lebih
mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Novel
populer tidak begitu memfokuskan pada efek estetis, tetapi memberikan hiburan
langsung dari aksi ceritanya. Novel populer cenderung untuk mengejar selera
pembaca dan komersial sehingga novel ini tidak akan menceritakan sesuatu
dengan serius.
Jakob Sumardjo & Saini K.M. (1988: 29) membagi novel menjadi tiga
jenis, yakni novel percintaan, petualangan dan fantasi.
1) Novel Percintaan
Novel ini melibatkan peranan tokoh wanita dan pria secara imbang.
Terkadang peranan wanita lebih dominan. Novel ini biasanya berisi berbagai
macam tema dan hampir sebagian besar novel termasuk ke dalam jenis novel ini.
2) Novel Petualangan
Novel petualangan sedikit sekali memasukkan peranan wanita. Jika
wanita disebut dalam novel ini, penggambarannya hampir stereotip dan kurang
berperan dalam cerita. Walau terkadang di dalam novel jenis petualangan
terdapat tema percintaan, tetapi hal itu hanya sebagai sampingan saja.
3) Novel Fantasi
Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realitis dan serba tidak
mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel dengan jenis ini
mementingkan ide, konsep, dan gagasan pengarang yang hanya jelas jika
disampaikan dalam bentuk cerita fantastik yang dalam hal ini menyalahi hukum
empiris dan bertentangan dengan relitas.
Goldmann (dalam Jiwa Atmaja, 2009: 35) membedakan novel menjadi
tiga jenis, yakni novel idealisme abstrak, novel psikologis, dan novel
pendidikan. Goldmann mencontohkan novel yang berjudul Don Quixote untuk
jenis novel idealisme abstrak. Goldmann mencontohkan novel yang berjudul L’
education Sentimentale untuk jenis novel psikologis dan novel Wilhem Meister
karya Gothe untuk jenis novel pendidikan. Di dalam novel idealisme abstrak
yang dicontohkan Goldmann, tokoh hero penuh optimisme dalam petualangan
tanpa menyadari kompleksitas dunia. Pada novel yang kedua, sang hero
28

cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia


konvensi, dan pada novel terakhir, sang hero telah melepaskan pencariannya
akan nilai-nilai authentik, tetapi tetap menolak dunia.

c. Unsur Intrinsik Novel


Novel sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur yang saling
berhubungan sehingga membentuk suatu kepaduan cerita. Unsur intrinsik adalah
unsur yang membangun suatu karya sastra sehingga membentuk suatu kesatuan
cerita yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, unsur intrinsik adalah unsur yang
berada di dalam karya sastra dan terlepas dari unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra. Pengkajian unsur intrinsik dalam karya sastra merupakan wujud
kerja strukturalisme. Pengkajian unsur intrinsik dalam karya sastra bersifat
otonom. Hal ini diperkuat oleh Budi Darma (2004: 23) yang menyatakan bahwa
kajian intrinsik membatasi diri pada karya sastra itu sendiri, tanpa
menghubungkan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra tersebut.
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra
itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai
karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur
yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan
antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat novel berwujud. Atau,
sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah
yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud,
untuk menyebut sebagian saja, misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan,
tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-
lain (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 23).

Nugraheni Eko Wardani (2009: 183) menyebutkan bahwa strukturalisme


memandang bahwa struktur karya sastra terdiri atas: tema, plot, setting,
penokohan dan perwatakan, dan sudut pandang. Di dalam penelitian ini dibahas
beberapa unsur intrisik novel yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut
pandang. Berikut adalah penjelasan tentang unsur-unsur intrinsik tersebut.
1) Tema
Setiap fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran
tujuan (Henry G. Tarigan, 1993: 125). Siti Ajar Ismiyati (2000: 161) berpendapat
29

bahwa tema cerita memegang peran dan fungsi yang sama pentingnya dengan
unsur lainnya, yakni merupakan alat bantu atau sarana untuk memahami seluk-
beluk novel secara keseluruhan. Seseorang harus mengetahui tema karya sastra
untuk menjawab makna suatu karya sastra. Tema sebuah karya sastra berada
dalam jalinan cerita yang membangun karya sastra tersebut. Stanton (2007: 41)
menjelaskan bahwa tema merupakan makna yang merangkum semua elemen
dalam cerita dengan cara yang paling sederhana. Penjelasan ini senada dengan
pendapat Brooks & Warren (dalam Henry G. Tarigan, 1993: 125) yang
mengatakan bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel.
Shipley dalam Dictionary of World Literature mengartikan tema sebagai
subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam
cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80). Pengertian lain disampaikan oleh
Zainuddin Fananie (2002: 84) yang menjelaskan bahwa tema adalah ide,
gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya
sastra. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005:
68) yang menjelaskan bahwa tema dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan
dasar umum sebuah novel. Hal ini juga diperkuat oleh Panuti Sudjiman (1988:
50) yang menjelaskan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang
mendasar suatu karya sastra.
Beracuan dari beberapa pendapat di atas, ditarik sebuah simpulan bahwa
tema adalah gagasan dasar dari sebuah cerita atau karya sastra yang terkandung
di seluruh unsur cerita dan dapat digunakan untuk menjawab makna cerita atau
karya sastra tersebut.
a) Jenis-jenis Tema
Burhan Nurgiyantoro (2005: 77) memaparkan bahwa tema dapat
digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda, tergantung dari segi
mana penggolongan itu dilakukan. Di dalam kajian teori ini, dipaparkan jenis-
jenis tema dipandang dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley. Berikut
adalah penjelasan tentang tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 80-81).
30

(1) Tema tingkat fisik


Tema sebuah karya sastra pada tingkatan ini lebih ditunjukkan dengan
aktivitas fisik dari pada kejiwaan. Jadi, cerita lebih menekankan
mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan tokoh yang berada dalam
sebuah cerita arau karya sastra.
(2) Tema tingkat organik
Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan
mempersoalkan masalah seksualitas—suatu aktivitas yang hanya dapat
dilakukan oleh makhluk hidup. Tema ini menekankan pada aspek
persoalan kehidupan seksual manusia, khususnya kehidupan seksual
yang menyimpang, misalnya peselingkuhan, homo seksual, pelecehan
seksual, dan lain-lain.
(3) Tema tingkat sosial
Tema ini mengarah kepada manusia sebagai makhluk sosial. Tema ini
menekankan pada persoalan hidup manusia dengan lingkungan
sosialnya. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah
ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, dan
masalah lainnya terutama yang berhubungan dengan kritik sosial.
(4) Tema tingkat egoik
Tema ini mengarah pada manusia sebagai makhluk individu. Di dalam
kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia mempunyai banyak
permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia
terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah
individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga
diri, sifat, citra diri, jati diri, dan lain-lain.
(5) Tema tingkat divine
Tema ini mengarah pada tataran manusia sebagai makhluk dengan
tingkatan yang tinggi. Masalah yang menonjol dalam tema ini adalah
masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta, religiositas, atau
berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan
hidup, visi, dan keyakinan.
31

b) Tema Mayor dan Tema Minor


Tema dipandang sebagai makna yang dikandung dalam cerita. Makna
sebuah cerita atau karya sastra dapat lebih dari satu. Oleh sebab itu, banyak
interpretasi yang muncul dari sebuah karya sastra. Hal inilah yang menyebabkan
kesulitan untuk menentukan tema pokok cerita atau dapat disebut dengan tema
mayor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau
gagasan dasar umum suatu karya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Menentukan
tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih,
mempertimbangkan, dan menilai di antara sejumlah makna yang ditafsirkan
yang ada dikandung oleh karya sastra yang bersangkutan (Burhan Nurgiyantoro,
2005: 82). Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar atau keseluruhan
cerita dan bukan makna yang terdapat dalam bagian-bagian cerita tertentu saja.
Makna yang hanya terdapat dalam bagian-bagian cerita tertentu saja
disebut makna tambahan. Makna tambahan ini disebut sebagai tema-tema
tambahan atau tema minor (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 83). Oleh karena itu,
banyak sedikitnya tema minor dalam sebuah karya sastra tergantung banyaknya
makna tambahan dalam karya sastra tersebut. Makna-makna tambahan bukan
sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi tema tersebut berhubungan dengan makna-
makna tambahan lain yang pada akhirnya mendukung tema mayor.
2) Penokohan
Penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya fiksi. Suatu
peristiwa terjadi karena adanya aksi dan reaksi tokoh-tokoh. Suatu peristiwa
cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya tokoh. Abrams (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 165) menjelaskan bahwa “tokoh cerita adalah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”. Burhan
Nurgiyantoro (2005: 165) menambahkan bahwa penokohan itu juga disamakan
artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-
tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Batasan ini memberi
indikasi bahwa masing-masing tokoh mempunyai karakter tertentu yang mampu
32

mendukung jalannya cerita sekaligus berhubungan dengan unsur lain yang


akhirnya membentuk keterjalinan cerita yang padu dan utuh dalam novel.
Istilah penokohan menurut Herman J. Waluyo (1994: 165) adalah cara
pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh
dengan unsur cerita yang lain, watak, tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang
menggambarkan tokoh-tokoh itu. Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:
165) yang menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Albertine Minderop (2005: 6) menjelaskan bahwa dalam menyajikan
karakter (watak), pada umumnya pengarang menggunakan dua metode dalam
karyanya, yakni metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing).
a) Metode Langsung (Telling)
Pickering & Hoeper (dalam Albertine Minderop, 2005: 6) memberi
penjelasan bahwa metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada
eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Ada beberapa cara
menentukan karakter tokoh dengan metode langsung (telling).
(1) Karakterisasi menggunakan
nama tokoh
Nama tokoh dalam suatu karya sastra kerap kali digunakan untuk
memberikan ide atau menumbuhkan gagasan, memperjelas, serta
mempertajam perwatakan tokoh. Para tokoh diberikan nama yang
melukiskan karakteristik yang membedakannya dengan tokoh yang lain.
Nama tersebut mengacu pada karakteristik dominan si tokoh.
(2) Karakterisasi melalui
penampilan tokoh
Faktor penampilan tokoh memegang peranan penting sehubungan
dengan telaah karakterisasi. Penampilan tokoh misalnya, pakaian yang
dikenakan oleh tokoh atau bagaimana ekspresi tokoh dalam cerita.
Perincian penampilan memperlihatkan kepada pembaca tentang usia,
kondisi fisik/kesehatan, dan tingkat kesejahteraan tokoh. Pada
33

karakterisasi perwatakan tokoh melalui penampilan terkait pula dengan


kondisi psikologis tokoh dalam cerita.

(3) Karakterisasi melalui tuturan


pengarang
Metode ini memberikan tempat yang luas dan bebas kepada pengarang
atau narator dalam menentukan kisahnya. Pengarang berkomentar
tentang watak dan kepribadian para tokoh hingga menembus ke dalam
pikiran, perasaan dan gejolak batin sang tokoh. Oleh karena itu,
pengarang terus menerus mengawasi karakterisasi tokoh. Pengarang
tidak sekadar menggiring perhatian pembaca terhadap komentarnya
tentang watak tokoh, tetapi juga mencoba membentuk persepsi
pembaca tentang tokoh yang dikisahkannya.
b) Metode Tidak Langsung
(Showing)
Metode tidak langsung mengarah pada metode dramatik yang
mengabaikan kehadiran pengarang sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat
menampilkan diri secara langsung melalui tingkah laku mereka. Berikut adalah
cara untuk mengetahui karekter tokoh dengan metode tidak langsung.
(1) Karakterisasi melalui dialog
Karakterisasi melaui dialog dapat berupa sesuatu yang dikatakan
penutur dan jati diri penutur. Jadi, dalam sebuah teks dialog
menyiratkan suatu watak atau karakter dari tokoh yang mengucapkan
dialog tersebut.
(2) Lokasi dan situasi percakapan
Dalam kehidupan nyata, percakapan yang berlangsung secara pribadi
dalam suatu kesempatan di malam hari biasanya lebih serius dan lebih
jelas daripada percakapan di malam hari. Bercakap-cakap di ruang
keluarga biasanya lebih signifikan daripada berbincang di jalan. Dengan
demikian, sangat mungkin hal tersebut terjadi pada cerita fiksi.
34

(3) Jatidiri tokoh yang dituju oleh


penutur
Penutur dalam hal ini adalah tuturan yang disampaikan tokoh dalam
cerita. Maksudnya adalah tuturan yang diucapkan tokoh tertentu tentang
tokoh lain.

(4) Kualitas mental para tokoh


Kualitas mental para tokoh dapat dikenali melalui jalinan dan aliran
tuturan ketika para tokoh bercakap-cakap. Misalnya, para tokoh yang
terlibat dalam suatu diskusi yang hidup menandakan bahwa mereka
memiliki sikap mental yang cerdas dan terbuka.
(5) Nada suara, tekanan, dialek, dan
kosa kata
Nada suara dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang
watak tokoh, walau diekspresikan secara eksplisit atau implisit. Hal itu
juga berlaku pada sikap ketika tokoh bercakap-cakap dengan tokoh lain.
Penekanan suara juga memberikan gambaran penting tentang tokoh
karena memperlihatkan keaslian watak tokoh bahkan dapat
merefleksikan pendidikan, profesi, dan dari kelas mana tokoh berasal
(Pickering & Hoeper dalam Albertine Minderop, 2005: 36).
(6) Karakterisasi melalui tindakan
para tokoh
Selain melalui tuturan, watak tokoh dapat diamati melalui tingkah laku.
Tokoh dan tingkah laku bagaikan dua sisi uang logam, misalnya adalah
penampilan tokoh yang berupa perubahan ekspresi wajah dapat
memperlihatkan watak tokoh. Selain itu, terdapat motivasi yang
melatarbelakangi perbuatan dan memperjelas gambaran watak para
tokoh. Apabila pembaca mampu menelusuri motivasi ini, pembaca
tidak sulit untuk menentukan watak tokoh.
35

Setiap tokoh memiliki suatu karakter atau watak tertentu. Satu tokoh
dalam suatu cerita dapat dideskripsikan memiliki banyak karakter. Ada beberapa
cara untuk menggambarkan watak tokoh. Herman J. Waluyo (2002: 17)
menyebutkan tiga cara melukiskan tokoh.
(1) Keadaan fisik
Keadaan fisik tokoh meliputi umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat
jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan,
tinggi atau pendek, kurus atau gemuk, suka senyum atau cemberut, dan
lain-lain. Ciri-ciri fisik tersebut dihubungkan dengan pemilikan watak
pada seorang tokoh.
(2) Keadaan psikis
Keadaan psikis tokoh meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar
moral, temperamen, ambisius, kompleks psikologis yang dialami,
keadaan emosi, dan lain-lain.
(3) Keadaan Sosiologis
Keadaan sosiologis tokoh meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras,
agama, ideologi, dan sebagainya. Keadaan sosiologis tertentu akan
memengaruhi sikap dan watak suatu tokoh.
E.M. Forster (dalam Budi Darma, 2004: 14) membagi tokoh menjadi
dua, yaitu tokoh bulat (round character) dan tokoh pipih (flat character). Budi
Darma menambahkan bahwa tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk
berubah, belajar dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan.
Tokoh bulat memiliki berbagai dimensi watak dan tidak bersifat hitam putih
(yang jahat selalu jahat dan yang baik selalu baik). Tokoh pipih berkebalikan
dengan tokoh bulat, yakni tidak mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar
dari pengalaman, dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Tokoh pipih
bercirikan dimensi watak statis, sederhana, tidak kompleks atau bersifat hitam
putih (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 41)
Burhan Nurgiyantoro (2005: 176-177) berpendapat bahwa tokoh dibagi
menjadi dua macam. Pembagian berdasar pada segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh dalam suatu cerita. Tokoh tersebut adalah:
36

(1) tokoh utama cerita, yaitu tokoh


yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan; dan
(2) tokoh tambahan, yaitu tokoh
yang berperan sebagai tambahan dalam cerita.
Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan tak dapat dilakukan secara
eksak. Pembedaan lebih bersifat gradasi dan kadar keutamaan tokoh bertingkat.
Berdasar peranannya terhadap jalan cerita, Herman J. Waluyo (2002: 16)
mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam, yakni:
(1) tokoh protagonis, yaitu tokoh
yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis
yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai
pendukung cerita;
(2) tokoh antagonis, yaitu tokoh
penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang
cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan
(3) tokoh tritagonis, yaitu tokoh
pembantu baik untuk tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, disimpulkan bahwa penokohan dalam
suatu novel memberi peranan penting terhadap keterjalinan unsur dalam cerita.
Di samping itu, banyak cara untuk mengenali bagaimana karakter, watak, atau
penokohan dalam suatu cerita di dalam novel.
3) Alur
Herman J. Waluyo (1994: 145) memberi batasan bahwa alur atau plot
adalah struktur gerak yang didapatkan dalam cerita fiksi. Boulton (dalam
Herman J. Waluyo, 1994: 145) menegaskan bahwa plot juga berarti peristiwa
yang disusun dalam urutan waktu yang menjadi penyebab mengapa seseorang
tertarik untuk membaca dan mengetahui kejadian yang akan datang. Sejalan
dengan pendapat di atas, Stanton (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Berkaitan dengan pengertian
alur, Abdul Rozak Zaidan, dkk. (2001: 17) menjelaskan bahwa alur adalah jalan
peristiwa yang melibatkan tokoh. Alur digerakkan oleh tokoh dan tanpa tokoh
37

sebuah alur tidak akan terasa hidup. Tokoh tidak akan terasa hidup tanpa alur.
Alur adalah unsur yang menjadikan tokoh hadir dalam cerita. Alur adalah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara
logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh
para pelaku (Luxemburg, dkk., 1989: 149). Wiyatmi (2006: 36) menjelaskan
bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan
kausalitas. Hubungan ini mengacu pada keterjalinan antarunsur yang
membangun cerita. Peristiwa yang satu dan peristiwa lain saling memengaruhi
dan saling terikat karena dibentuk oleh alur.
Zainuddin Fananie menyebutkan ada tiga prinsip utama plot, yakni:
a) plots of action, yaitu analisis
proses perubahan peristiwa secara lengkap, baik yang muncul secara
bertahap maupun tiba-tiba pada situasi yang dihadapi tokoh utama, dan
sejauh mana urutan peristiwa yang dianggap sudah tertulis
(determinisme) itu, berpengaruh terhadap perilaku dan pemikiran tokoh
bersangkutan dalam menghadapi situasi tersebut;
b) plots of character, yaitu proses
perubahan tingkah laku atau moralitas secara lengkap dari tokoh utama
kaitannya dengan tindakan emosi dan perasaan; dan
c) plots of thought, yaitu proses
perubahan secara lengkap kaitannya dengan perubahan pemikiran tokoh
utama dengan segala konsekuensinya berdasarkan kondisi yang secara
langsung dihadapi (Zainuddin Fananie, 2002: 94-95).

Tiga prinsip utama plot di atas didasarkan pada fungsi plot dalam
membangun nilai estetik. Oleh karena itu, identifikasi dan penilaian terhadap
keberadaan plot menjadi sangat beragam.
Dipandang dari waktu terjadi peristiwa, alur atau plot dibagi menjadi tiga
jenis, yakni plot lurus, sorot-balik, dan campuran.
a) Plot lurus/progresif
Alur atau plot dalam sebuah novel dapat dikatakan lurus/progresif jika
peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa
yang pertama diikuti oleh peristiwa atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang
kemudian. Dalam hal ini, cerita dimulai secara runtut dari tahap awal,
(penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat,
klimaks), dan akhir (penyelesaian) (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 154)
38

b) Plot sorot-balik/flash-back
Plot sorot balik menekankan bahwa suatu cerita dalam karya sastra tidak
selalu dimulai dari tahap awal, tetapi bisa langsung menuju ke konflik, klimaks,
atau bagian cerita lainnya. Teknik sorot balik atau flash-back sering lebih
menarik karena sejak awal membaca buku, pembaca langsung ditegangkan,
langsung “terjerat” suspense, dengan tidak terlebih dahulu melewati tahap
perkenalan seperti pada novel berplot progresif yang ada kalanya
berkepanjangan dan agak bertele-tele (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 155).

c) Plot campuran
Plot campuran adalah penggunaan plot dalam sebuah cerita dengan
menggabungkan plot lurus dan sorot-balik. Jadi, sebuah karya fiksi yang
menggunakan plot campuran di dalmnya terdapat urutan waktu yang berbolak-
balik.
Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149) membedakan tahapan
plot menjadi lima macam, yakni:
a) tahap situation (tahap penyituasian), yaitu tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi awal. Tahap ini memiliki
fungsi sebagai landasan cerita yang diceritakan;
b) tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), yaitu tahap
yang mulai menunjukkan pemunculan masalah-masalah atau peristiwa-
peristiwa yang menyulut konflik;
c) tahap ricing action (tahap peningkatan konflik), yaitu tahap yang
menunjukkan konflik-konflik yang dimunculkan mulai berkembang dan
peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan;
d) tahap climax (tahap klimaks), yaitu tahap yang menunjukkan konflik atau
pertentangan yang terjadi pada para tokoh mulai mencapai puncaknya; dan
e) tahap denouement (tahap penyelesaian), yaitu tahap yang menunjukkan
konflik utama telah mencapai klimaks dan mulai diberi jalan keluar.
Konflik-konflik tambahan yang lain juga mulai diberi jalan keluar.
39

Salah satu bagian dari alur adalah konflik. Konflik dibedakan menjadi
dua kategori, yakni konflik eksternal dan konflik internal (Stanton, 2007: 31).
Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan
sesuatu di luar dirinya. Burhan Nurgiyantoro (2005: 124) membagi konflik
eksternal menjadi: (a) konflik fisik, yaitu konflik yang disebabkan adanya
perbenturan antara tokoh dengan lingkungan alam; dan (b) konflik sosial, yaitu
konflik yang disebabkan oleh adanya kontak sosial antarmanusia. Konflik
internal adalah konflik yang dialami manusia dengan dirinya sendiri.
Penyelesaian dalam cerita fiksi juga termasuk ke dalam plot. Di dalam
teori klasik Aristoteles, penyelesaian suatu cerita dibedakan menjadi dua, yaitu
kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end) (Burhan Nurgiyantoro, 2005:
146). Selain itu, penyelesaian suatu cerita fiksi dapat dikategorikan ke dalam dua
golongan, yakni penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka (Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 147). Penyelesaian tertutup mempunyai maksud bahwa
akhir cerita memang sudah berakhir atau hasil sesuai kadar dan logika dalam
cerita. Penyelesaian terbuka berarti ada kemungkinan akhir cerita masih bisa
berlanjut karena pada akhir cerita masih terkesan menggantung.
Keterjalinan antarunsur intrinsik cerita pada dasarnya bertumpu pada
hukum plot. Jika unsur-unsur intrinsik dalam suatu cerita telah memenuhi
hukum plot, jalinan cerita tersebut dikatakan mempunyai keterjalinan cerita yang
baik. Kenny (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 39) mengungkapkan bahwa
hukum plot ada empat, yakni plausibility (kebolehjadian), surprise (kejutan),
suspense (ketegangan), dan unity (kesatuan). Plausibility berarti cerita mampu
dilogika, masuk akal, realistis, dan mampu meyakinkan pembaca. Surprise
berarti cerita harus memberikan keterkejutan bagi pembaca. surprise berkaitan
dengan suspense, yakni keterkejutan menimbulkan ketegangan atau rasa ingin
tahu bagi pembaca. Sementara itu, unity adalah kesatuan cerita yang padu atau
utuh, tidak berupa penggalan-penggalan terpisah dari awal sampai akhir yang
tidak mempunyai benang merah.
Berdasarkan uraian-uraian di atas ditarik simpulan bahwa alur adalah
unsur dalam sebuah cerita yang berfungsi untuk menjalin peristiwa-peristiwa
40

dengan tujuan hasil jalinan cerita menandakan jalinan cerita yang dapat diterima
oleh pembaca.
4) Latar (Setting)
Stanton (2007: 35) berpendapat “latar adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan
peristiwa yang sedang berlangsung”. Latar atau setting adalah salah satu unsur
penting dalam pembentukan cerita dalam sebuah karya fiksi. Latar dapat
membangun suasana cerita dan mendukung unsur-unsur cerita lainnya. W.H
Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 1994: 198) menyatakan bahwa setting atau
latar adalah keseluruhan lingkungan cerita yang melingkupi adat istiadat,
kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh. Sementara itu, Abrams (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 216) menjelaskan bahwa latar juga disebut sebagai landas
tumpu, mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dianggap
sebagai pangkalan pijakkan dunia rekaan yang direalisasikan dengan tempat,
waktu, dan sistem kehidupan, termasuk sarana kehidupan (Abdul Rozak Zaidan,
dkk., 2001: 18).
Latar dalam sebuah cerita mempunyai fungsi tertentu. Montaque dan
Henshaw (dalam Herman J. Waluyo, 1994: 198) menyatakan tiga fungsi latar,
yakni:
a) mempertegas watak para pelaku;
b) memberikan tekanan pada tema cerita; dan
c) memperjelas tema yang disampaikan.
Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) membedakan latar menjadi tiga unsur
pokok, yakni latar tempat, waktu, dan sosial.
a) Latar tempat
Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan
dapat berupa tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat
dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak
41

tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang


bersangkutan.
b) Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap
waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke
dalam suasana cerita.
c) Latar sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam
lingkup yang cukup kompleks dan dapat berupa adat istiadat, kebiasaan
hidup, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap,
dan lain-lain. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh
yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.
Bertolak dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa latar
(setting) adalah unsur dalam sebuah cerita yang melingkupi waktu, lingkungan,
kehidupan sosial, dan peristiwa yang turut berhubungan dengan unsur lain dalam
membentuk kesatuan cerita.
5) Sudut pandang (point of view)
Point of view adalah istilah dari teori cerita atau naratologi yang
menunjukkan kedudukan atau tempat berpijak juru cerita terhadap ceritanya
(Dick Hartoko & B. Rahmanto, 1986: 108). Di lain pihak, Panuti Sudjiman
(1988: 71) menjelaskan bahwa seorang pencerita atau pengarang menyampaikan
cerita dari sudut pandangnya sendiri. Sudut pandang atau point of view adalah
sudut dari mana pengarang bercerita (Herman J. Waluyo, 1994: 183). Hampir
sejalan dengan pendapat itu, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248)
mengemukakan bahwa sudut pandang adalah “cara atau pandangan yang
dipergunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan,
42

latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi
kepada pembaca”.
Di dalam sebuah novel, pengarang mengolah karakter tokoh dengan
berbagai sudut pandang. Novel memungkinkan pengarang untuk memakai
banyak sudut pandang.
Herman J. Waluyo (1994: 184) memaparkan ada tiga jenis sudut
pandang, yakni:
a) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai
“aku”. Teknik ini disebut teknik akuan;
b) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai
‘dia’. Teknik ini disebut teknik diaan; dan
c) pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki
berbagai peran secara bebas, pengarang tidak fokus kepada satu tokoh
cerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Teknik ini disebut
sebagai omniscient narratif.
Bertolak dari beberapa penjelasan di atas ditarik simpulan bahwa sudut
pandang adalah salah satu unsur intrinsik karya sastra yang digunakan oleh
pengarang sebagai cara untuk memandang atau memosisikan diri pengarang
dalam suatu cerita.

d. Unsur Ekstrinsik Novel


Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu
sendiri (Suroto, 1989: 138). Hal ini diperjelas oleh Budi Darma (2004: 23) yang
menyatakan bahwa kajian ekstrinsik sangat memperhatikan hubungan karya
sastra dengan dunia di luar karya sastra itu sendiri. Unsur ekstrinsik secara tidak
langsung turut membangun kesatuan sebuah karya sastra. Unsur ini ikut
memengaruhi penciptaan suatu karya sastra. Unsur ekstrinsik terdiri dari latar
sosial budaya, biografi pengarang, dan proses kreatif penciptaan karya. Berikut
adalah penjelasan lebih detail mengenai unsur-unsur tersebut.
1) Latar Sosial Budaya
43

Sastra dipandang sebagai suatu gejala sosial. Quthb (dalam Sangidu,


2004: 38) mengemukakan bahwa karya sastra adalah “untaian perasaan dan
realitas sosial (semua aspek kehidupan manusia) yang telah tersusun baik dan
indah”. Dengan kata lain, sastra diciptakan oleh pengarang berdasar realita sosial
yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, dikatakan bahwa sastra memang
mencerminkan kenyataan. Luxemburg (dalam Sangidu, 2004: 39) menambahkan
bahwa pendapat ini disebut penafsiran mimetik mengenai sastra.
Karya sastra dapat disebut sebagai tanggapan pengarang terhadap dunia
atau realitas sosial yang dihadapinya. Pemikiran ini mendapat pengakuan yang
positif dari Zeraffa (dalam Sangidu, 2004: 43) yang menjelaskan bahwa
“sebelum pencipta (pengarang) menulis karya sastra yang berwujud novel atau
lainnya, maka ia terlebih dahulu menganalisis sebuah realitas sosial yang
dihadapinya”. Hal ini sejalan dengan pendapat Rachmat Djoko Pradopo (2005:
108) yang memaparkan bahwa “pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan
latar belakang sosial budayanya”. Seorang pengarang yang baik akan selalu
mempelajari segala macam persoalan dalam kehidupan manusia. Hal ini
berkaitan dengan misinya sebagai seorang pengarang yang selalu berhubungan
dengan manusia dengan segala permasalahannya. Latar sosial pada dasarnya
mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Latar belakang karya sastra meliputi faktor kehidupan dan
lingkungannya, seperti geografi, sejarah, legenda, pekerjaan, kepercayaan, nilai-
nilai masyarakat dan cara berpikir (Nafron Hasjim, dkk., 2001: 43). Herman J.
Waluyo (1994: 66) juga memaparkan bahwa “latar belakang sosial budaya
adalah suku, agama, kepercayaan, bahasa, adat istiadat, pendidikan, pekerjaan,
tempat tinggal, dan sebagainya”. Latar belakang sosial budaya ini akan
memengaruhi suatu karya fiksi dan memberi nuansa pada karya fiksi tersebut.
Kelas sosial pengarang akan memengaruhi bentuk dan karya yang
diciptakannya, sebagaimana dikatakan Griff (dalam Faruk 1994: 55) yang
menyatakan bahwa sekolah dan latar belakang keluarga dengan nilai-nilai dan
tekanannya memengaruhi sesuatu yang dikerjakan oleh sastrawan.
44

Latar sosial budaya disimpulkan sebagai corak dasar dari sebuah


kelompok sosial masyarakat tertentu yang turut menjadi atmosfer penulisan
cerita fiksi. Latar sosial budaya yang memengaruhi sebuah novel tidak pernah
lepas dari keadaan sosial budaya masyarakat yang telah menyatu dalam diri
pengarang.

2) Biografi Pengarang
Jakob Sumardjo & Saini K.M. (1988: 22) menyebutkan bahwa biografi
adalah riwayat hidup atau cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang
lain. Biografi pengarang dapat dikatakan sebagai data penunjang untuk
mengetahui pandangan dunia, latar belakang sosial, pendidikan, agama, dan
segala hal yang berhubungan dengan pengarang.
Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang tidak hanya dapat
dipelajari melalui karya-karya mereka, tetapi juga dapat di pelajari dari dokumen
biografi. Biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang penciptaan
karya sastra (Wellek & Warren, 1990: 82). Sugihastuti (2002: 3) menekankan
bahwa Pandangan hidup pengarang diperlukan untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara pola dasar pemikiran dengan hasil ciptaannya antara proses
kreatif dengan karya-karyanya.
Berlandaskan pada pemikiran-pemikiiran tersebut, ditarik simpulan
bahwa analisis karya sastra dengan menggunakan data berupa biografi
pengarang hanya sebagai salah satu sumber pendukung dan bukan satu-satunya
sumber untuk dapat menjelaskan makna yang terkandung dalam suatu karya
sastra.
3) Proses Kreatif Penciptaan Karya
Karya sastra yang diciptakan tanpa kreativitas pengarang tidak mungkin
menempati perhatian pembaca. Kreativitas ditandai dengan adanya penemuan
baru dalam proses penceritaan. Pengarang melakukan proses kreatif ketika
berkarya. Perjalanan proses kreatif yang terjadi secara tak langsung turut
memengaruhi teciptanya pandangan dunia pengarang. Selain sebagai data
45

penunjang dari data yang diperoleh akan diketahui atmosfer seperti apa yang
melingkupi pengarang saat menciptakan karya.
Pengarang yang satu dengan yang lainnya, dalam proses penciptaan
karya sastra memiliki teknik yang berbeda, sebab proses penciptaan karya sastra
bersifat individual. Cara mengarang yang digunakan oleh seorang pengarang
berbeda dengan pengarang lain. Hal ini memungkinkan terjadinya kemiripan,
tetapi tidak bisa dipastikan sama. Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, tahap
awal adalah dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada
perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Hal ini bagi sejumlah pengarang,
justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif (Wellek & Warren,
1990: 97).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa proses kreatif
merupakan perjalanan sebuah karya yang berasal dari proses imajinasi,
persiapan, peluluhan, dan pengejawantahan yang dialami pengarang dalam
melahirkan karya. Proses tersebut merupakan bagian dari perjalanan psikologis
pengarang yang bersatu dengan kesadaran yang nyata.

2. Strukturalisme Genetik
a. Hakikat Strukturalisme
Kata “struktur” secara etimologis berasal dari bahasa latin, yakni
structura yang berarti bentuk atau bangunan. Pendekatan struktural dipelopori
oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Pendekatan ini mendapat
pengaruh dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan
diakronik ke sinkronik. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa
merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili
sesuatu yang lain yang disebut makna (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 39).
Strukturalisme sebagai pendekatan dalam penelitian sastra memandang
bahwa sebuah karya sastra mengandung kebulatan makna yang diakibatkan oleh
perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Hal ini berarti
penelitian sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa
memperhatikan pengarang, penyair, pembaca atau hal yang bersifat ekstrinsik
46

dari karya sastra tersebut. Karya sastra dalam pendekatan struktural dipandang
sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas,
maupun pembaca. Penjabaran tentang strukturalisme tersebut sepadan dengan
pendapat Teeuw (1984: 135) yang menjelaskan bahwa analisis struktural
bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail
dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Strukturalisme disebut dengan pendekatan objektif, yakni pendekatan
dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra
sebagai karya fiksi (Iswanto, 2003: 60). Pendekatan ini menyerahkan pemberian
makna karya sastra terhadap eksistensi karya sastra tanpa mengaitkan unsur
yang ada di luar signifikansinya.
Langkah awal dalam sebuah penelitian karya sastra adalah dengan
menggunakan analisis struktural. Analisis secara struktural akan menghasilkan
suatu analisis yang objektif terhadap suatu karya. Abrams (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 36) menjelaskan bahwa struktur karya sastra dapat diartikan
sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang
menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah.
Terdapat tiga gagasan pokok yang termuat dalam teori struktur (Peaget
dalam Tirto Suwondo, 2003: 56). Ketiga unsur tersebut adalah:
1) gagasan keseluruhan (wholeness) yang dapat diartikan sebagai bagian-
bagian atau analisisnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah
intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-
bagiannya;
2) gagasan transformasi (transformation), yaitu sebuah struktur
menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus sehingga
memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru; dan
3) gagasan mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal yang
berasal dari luar dirinya untuk mempertahankan transformasinya.
47

Walaupun pendekatan struktural telah mampu menganalisis dan


memaknai suatu karya sastra, tetapi pendekatan tersebut memiliki beberapa
kelemahan. Teeuw menyebutkan empat kelemahan pada pendekatan struktural.
Kelemahan pendekatan struktural terutama berpangkal pada empat hal: (a)
New Criticism secara khusus, dan analisis struktur karya sastra secara umum
belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang
tepat dan lengkap, bahkan ternyata merupakan bahaya untuk
mengembangkan teori sastra yang sangat perlu; (b) karya sastra tidak dapat
diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra
dengan latar belakang sejarah; (c) adanya struktur objektif pada karya sastra
semakin disangsikan; peranan pembaca selaku pemberi makna dalam
interpretasi karya sastra semakin ditonjolkan dengan segala konsekuensi
untuk analisis struktural; (d) analisis yang menekankan otonomi karya sastra
juga menghilangkan konteks dan fungsinya sehingga karya itu dimenara-
gadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya (Teeuw, 1984: 139-140).

Umar Junus (dalam Faruk, 2002: 16) mengatakan bahwa strukturalisme


mempunyai dua kelemahan, yaitu hanya melakukan penyelidikan terhadap unsur
formal yang bertolak dari struktur bahasa dan hanya memperhatikan adanya
sistem itu sendiri. Walaupun strukturalisme mempunyai beberapa kelemahan,
tetapi strukturalisme diperlukan sebagai langkah awal dalam meneliti suatu
karya sastra. Oleh karena itu, strukturalisme dijadikan dasar suatu penelitian
karya sastra.
Strukturalisme dapat dilanjutkan dengan studi sosiologi sastra agar
sebuah penelitian karya sastra menjadi tidak timpang karena studi sosiologi
sastra tidak ahistoris seperti strukturalisme. Layiwola (1998: 157) menjelaskan
bahwa “the sociology of literature stipulates that no phenomenon in art or in
social life can truly be researched unless it is contextualised in its own history
and its own environment”(“sosiologi sastra menegaskan bahwa tidak ada
fenomena dalam seni atau kehidupan sosial yang dapat benar-benar diteliti
kecuali dalam konteks sejarah dan lingkungannya sendiri”).
Berdasarkan beberapa tinjauan di atas, dapat dipahami bahwa analisis
struktural merupakan salah satu kajian kesusastraan yang menitikberatkan pada
hubungan antarunsur pembangun karya sastra. Struktur yang membentuk karya
sastra tersebut dapat berupa penokohan, alur, pusat pengisahan, latar, tema, dan
48

sebagainya. Struktur novel yang hadir di hadapan pembaca merupakan sebuah


totalitas. Novel yang dibangun dari sejumlah unsur akan saling berhubungan dan
saling menentukan sehingga menyebabkan novel tersebut menjadi sebuah
totalitas makna. Karya sastra juga tak bisa dilepaskan dengan unsur ekstrinsik.
Oleh karena itu, analisis struktural perlu dilanjutkan dengan analisis sosiologi
yang disebut dengan strukturalisme genetik.

b. Hakikat Strukturalisme Genetik


Strukturalisme genetik adalah cabang penelitian sastra secara struktural
yang tak murni (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Maksud dari struktural yang
tak murni adalah penelitian ini tetap menggunakan kajian struktural otonom
sebagai dasar kemudian dilanjutkan dengan aspek-aspek di luar karya sastra
yang meliputi keadaan sosial yang turut membangun lahirnya karya sastra
tersebut. Munculnya strukturalisme genetik merupakan reaksi atas struktural
otonom yang hanya memandang otonomi karya sastra dan mengabaikan latar
belakang sejarah serta latar belakang yang lain.
Iswanto (2003: 59) menguatkan pengertian dan penjelasan di atas. Ia
memberi batasan tentang strukturalisme genetik sebagai sebuah pendekatan di
dalam penelitian sastra yang lahir sebagai reaksi dari pendekatan strukturalisme
murni yang antihistoris dan kausal. Penelitian yang bersifat objektif terhadap
karya sastra dan mengabaikan latar sosial yang turut mengondisikan lahirnya
karya sastra tersebut dinilai mempunyai ketimpangan. Strukturalisme genetik
merupakan suatu disiplin yang menaruh perhatian kepada teks sastra dan latar
belakang sosial budaya, serta subjek yang melahirkannya (Sangidu, 2004: 29).
Nyoman Kutha Ratna (2009: 123) mendefinisikan bahwa strukturalisme genetik
adalah analisis struktur dengan memberi perhatian terhadap asal-usul karya.
Dalam hal ini struktur mengacu pada struktur intrinsik dan ekstrinsik, namun
masih ditopang oleh beberapa teori sosial seperti konsep homologi, struktur
sosial, subjek kolektif, dan pandangan dunia.
49

Strukturalisme genetik merupakan gabungan antara strukturalisme


dengan Marxisme. Chennells (1993: 109) menjelaskan “marxism is a theory of
social change which argues that social change is created through the interaction
of the material realities of a society...”(“marxisme adalah teori tentang
perubahan sosial yang berpendapat bahwa perubahan sosial diciptakan melalui
interaksi dari realitas material kehidupan masyarakat...”). Berangkat dari
pengertian ini, strukturalisme genetik mengandung penelaahan-penelaahan karya
sastra yang dihubungkan dengan kondisi sosial.
Strukturalisme genetik sebagai bagian dari strukturalisme memahami
segala sesuatu di dalam dunia ini, termasuk karya sastra sebagai struktur. Oleh
karena itu, usaha strukturalisme genetik untuk memahami karya sastra terarah
pada usaha untuk menemukan struktur karya itu. Penjelasan di atas merupakan
reduksi beberapa pemikiran dari Abrams, Alam Swingewood, dan Thomas
Sebeok (Jiwa Atmaja, 2009: 115) yang berturut-turut menyebut strukturalisme
genetik sebagai kritik historian yang paling menonjol pada jalur Marxisme.
Penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut,
yaitu intrinsik dan sudut di luar karya. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik
(kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasarnya. Selanjutnya penelitian
dilakukan dengan menggabungkan berbagai unsur intrinsik tersebut dengan
realitas sosial budaya masyarakatnya. Karya sastra sebagai refleksi zaman dapat
mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi dan budaya. Peristiwa-
peristiwa penting pada zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-
unsur intrinsik karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 56).
Peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine. Taine menyatakan
bahwa sastra tidak hanya sekadar karya yang bersifat imajinatif dan pribadi,
melainkan cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu
pada saat karya itu dilahirkan (Zainuddin Fananie, 2002: 117). Selanjutnya
pendekatan strukuralisme genetik dikembangkan oleh Lucien Goldmann. Ia
adalah seorang ahli sastra Perancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya
pendekatan yang mampu merekonstruksi pandangan dunia pengarang.
Pendekatan ini tidak seperti pendekatan Marxisme yang cenderung positivistik
50

dan mengabaikan kelitereran sebuah karya sastra. Goldmann tetap berpijak pada
strukturalisme karena ia menggunakan prinsip struktural yang dinafikan oleh
pendekatan marxisme, hanya saja kelemahan pendekatan strukturalisme
diperbaiki dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya sastra
(Iswanto, 2003: 60).
Faruk (1999: 12) menyatakan bahwa Goldmann percaya karya sastra
merupakan sebuah struktur. Karya sastra tidak berdiri sendiri, melainkan banyak
hal yang menyokongnya sehingga menjadi satu bangunan yang otonom. Akan
tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra
dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya
terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Struktur itu bukanlah sesuatu yang
statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yang terus berlangsung, proses
strukturasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks
sastra yang bersangkutan. Strukturalisme genetik mencoba mengaitkan antara
teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur
sosial. Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu
sama lain untuk menopang teorinya sehingga membentuk apa yang disebut
sebagai strukturalisme genetik di atas. Kategori-kategori itu adalah fakta
kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan
penjelasan (Faruk, 1999: 12).
Eagleton mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme genetik menempati
posisi antara strukturalisme yang ahistoris dan historis di satu pihak dan
posisi antara dektum Engels dan Hegelian (dialektika) di pihak lainnya.
Umar Junus kemudian mengatakan bahwa Goldmann menggunakan konsep
dialektika yang bersumber dari Engels dan Hegelian yang kemudian
dikembangkan menjadi Neo-Hegelian (Jiwa Atmaja: 2009: 140).

Kutipan di atas mendapat persetujuan dari Nyoman Kutha Ratna yang


memaparkan bahwa Goldmann memperbarui konsep dialektika Hegel.
Goldmann juga disebut neo-Hegelian (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 122)
Perilaku manusia secara kolektif dan kebudayaan tak bisa dilepaskan dari
pendekatan strukturalisme genetik. Hasil kebudayaan masyarakat yang juga
51

dapat mewakili subjek kolektif adalah dasar yang dapat menghubungkan antara
karya dan kebudayaan tersebut. Layiwola menegaskan bahwa
“in genetic structuralism, there exist three fundamental characteristics of
human behavior which underlie the study of culture and society: 1) the first
characteristic of human action and thought is that it has a tendency to adapt
to environment either reinforcing the present order or challenging to
change it; 2) he second is a tendency, either in individual or in groups, to
conform to a general order at creating new structural forms; 3) he third
tendency is to modify the order and thereby transcends it”
(“dalam strukturalisme genetik, terdapat tiga ciri dasar perilaku manusia
yang mendasari studi budaya dan masyarakat: 1) karakteristik pertama pada
tindakan dan pikiran manusia memiliki kecenderungan untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang baik untuk memperkuat masa sekarang atau
menentang untuk mengubahnya; 2) kedua adalah kecenderungan, baik
dalam individu maupun kelompok, untuk menyesuaikan diri dengan
ketertiban umum dalam menciptakan bentuk-bentuk struktur baru; 3)
kecenderungan ketiga adalah untuk memodifikasi susunan dan dengan
menjadikannya lebih penting”)(Layiwola, 1998: 157-158)

Bertolak dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa


strukturalisme genetik adalah suatu pendekatan untuk menelaah karya sastra
berdasarkan struktur di dalam karya yang dihubungkan dengan latar belakang
sosial, budaya, dan sejarah yang mewakili pandangan dunia pengarang sebagai
subjek kolektif. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sebuah
pendekatan strukturalisme genetik.
1) Fakta Kemanusiaan
Di dalam suatu masyarakat terkandung fakta-fakta yang tak terhitung
jumlah dan komposisinya. Goldmann (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 48)
menyatakan bahwa “revolusi sosial, politik, ekonomi, penciptaan karya kultural
yang besar merupakan fakta sosial”. Fakta sosial yang merupakan produk kerja
kultur masyarakat adalah rujukan yang urgen dalam pandangan sosiologi. Fakta-
fakta dalam pandangan sosiologi dengan sendirinya dipersiapkan dan
dikondisikan oleh masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam
antarhubungannya dengan fakta sosial lain, yang juga telah dikondisikan secara
sosial (Nyoman Kutha ratna, 2003: 36).
Faruk (1999: 12) menjelaskan bahwa “fakta kemanusiaan adalah segala
hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang
52

berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan”. Fakta ini bermacam-macam dan


dapat berwujud seperti aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun
kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni patung, dan seni sastra. Fakta-fakta
kemanusiaan pada hakikatnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fakta
individual dan fakta sosial. Fakta yang kedua mempunyai peranan penting dalam
sejarah, sedangkan fakta yang pertama tidak memiliki hal itu (Faruk, 1999: 12).
Suwardi Endraswara (2003: 60) menjelaskan bahwa yang terpenting dari
kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang mampu mengungkapkan
fakta kemanusiaan. Fakta ini mempunyai unsur yang bermakna, karena
merupakan pantulan respon-respon subjek kolektif dan individual dalam
masyarakat. Subjek tersebut selalu berinteraksi dalam masyarakat untuk
melangsungkan hidupnya. Interaksi tersebut memunculkan upaya-upaya
manusia untuk menyeimbangkan kehidupan manusia dengan alam semesta.
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 12) menganggap bahwa semua fakta
kemanusiaan merupakan suatu struktur yang berarti. Hal tersebut bermaksud
bahwa fakta-fakta itu sekaligus mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai fakta-fakta kemanusiaan harus
mempertimbangkan struktur dan artinya. Goldmann (dalam Faruk, 1999: 13)
juga mengatakan bahwa fakta-fakta kemanusiaan mempunyai arti karena
merupakan respon-respon dari subjek kolektif atau individual, pembangunan
suatu percobaan untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok bagi aspirasi-
aspirasi subjek itu. Dengan kata lain, fakta-fakta itu merupakan hasil usaha
manusia mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan
dunia sekitar.
2) Subjek kolektif
Subjek kolektif adalah subjek yang berparadigma dengan subjek fakta
sosial (historis). Subjek ini disebut subjek transindividual. Goldmann (dalam
Faruk, 1999: 14-15) mengatakan revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-
karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis). Individu dengan
dorongan libidonya tidak akan mampu menciptakannya, tetapi yang dapat
menciptakannya hanya subjek transindividual. Demikian pula fakta seperti
53

pengangkatan batu besar, pembangunan jembatan, dan pembuatan jalan. Fakta-


fakta serupa juga bukan merupakan hasil aktivitas subjek individual, melainkan
subjek transindividual. Karya sastra sebagai teks mewakili pandangan subjek
kolektif, yakni pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat. Lucien
Goldmann (dalam Raman Selden, 1991: 37) menolak bahwa teks-teks adalah
ciptaan jenius individual dan menyatakan bahwa teks-teks itu didasarkan pada
“struktur-struktur mental transindividual” milik kelompok-kelompok (atau
kelas-kelas) khusus.
Faruk (1999: 17) mengemukakan bahwa “karya sastra yang besar
merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif”. Karya sastra besar
mengandung muatan nilai-nilai masyarakat sosial tertentu yang mengalami
berbagai problematika karena pada dasarnya karya sastra adalah simbolisasi dari
pemikiran spekulatif pengalaman manusia atas dirinya, bangsa, dan dunianya (T.
Widijanto, 2009: 3-4). Sejarah dan kebudayaan membentuk struktur yang akan
di pandang oleh seorang pengarang menjadi suatu aktivitas subjek
transindividual.
Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2009: 125) menjelaskan bahwa
transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu, tetapi dengan struktur
mental kelompok. Dengan demikian, dikatakan bahwa subjek transindividual
adalah kumpulan individu-individu yang tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi
merupakan satu kesatuan dan satu kolektivitas. Semua manusia berusaha
membangun keseimbangan dengan lingkungan sekitarnya dengan melakukan
berbagai tindakan. Strukturalisme genetik membedakan tindakan individual
dengan tindakan kolektif. Tindakan individual dimaksudkan hanya untuk
pemenuhan kebutuhan individual yang cenderung libidinal, sedangkan tindakan
kolektif diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kolektif yang bersifat sosial.
Subjek tindakan libidinal adalah individu, sedangkan tindakan kolektif adalah
kelompok sosial. Di dalam strukturalisme genetik, subjek transindividual
merupakan energi untuk membangun pandangan dunia (Nyoman Kutha Ratna,
2009: 125).
3) Struktur Karya Sastra
54

Suparman (1999: 79) menjelaskan “literature contains life and reality in


a system of verbal relationship” (“sastra berisi kehidupan dan kenyataan dalam
suatu sistem hubungan verbal”). Hubungan verbal diwujudkan dengan karya
sastra yang bermedium bahasa dan berstruktur. Struktur karya sastra tetap
menjadi sesuatu yang penting dalam strukturalisme genetik karena pendekatan
ini adalah pengembangan dari strukturalisme. Struktur novel merupakan hal
pokok yang harus diketahui dan dianalisis lebih dulu sebelum menganalisis
pandangan dunia pengarang. Struktur novel adalah hal-hal pokok dalam novel
yang meliputi unsur-unsur intrinsik dan telah dijabarkan sebelumnya.
Pada pendekatan strukturalisme genetik, Goldmann (dalam Nugraheni
Eko Wardani, 2009: 55) berpandangan bahwa struktur novel adalah ekspresi dari
pandangan dunia pengarang yang dinyatakan dalam alam semesta yang
imajinatif melalui tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi antartokoh. Konsep
struktur pada pendekatan strukturalisme genetik berpusat pada hubungan
antartokoh yang menekankan tokoh hero sebagai tokoh yang mengalami
degradasi. Goldmann (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 55) menyatakan
bahwa konsep strukturnya menitikberatkan pada relasi antartokoh yang bersifat
tematis. Dengan demikian, kajian struktur teks atau kajian intrinsik dalam
penelaahan novel dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik lebih
fokus ke dalam permasalahan dan hubungan tokoh hero dengan tokoh lainnya.
Walaupun demikian, unsur instrinsik lainnya perlu dikaji untuk mendukung
keterjalinan seluruh unsur intrinsik.
Di dalam eseinya yang berjudul The Epistemology of Sociology
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 17) mengemukakan pendapat mengenai karya
sastra pada umumnya, yakni karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia
secara imajiner dan bahwa dalam usahanya dalam mengekspresikan pandangan
dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-
relasi secara imajiner. Berdasarkan hal tersebut, Goldmann membedakan karya
sastra dari masalah filsafat dan sosiologi. Goldmann menilai bahwa filsafat
mengekspresikan pandangan dunia secara konseptual, sedangkan sosiologi
mengacu pada empirisitas (Faruk, 1999: 17). Selain itu, dalam esei berjudul The
55

Sociology of Literature: Status and Problem Method, Goldmann (dalam Faruk,


1999: 17) mengatakan bahwa dalam hampir seluruh karyanya penelitian
dipusatkan pada elemen kesatuan, pada usaha menyingkapkan struktur yang
koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan semesta karya sastra. Di dalam
kebudayaan yang mengarah ke visi materialisme kultural, karya sastra
merupakan hasil proses kreatif yang merekonstruksi fakta-fakta sosial dalam
sebuah waktu dan ruang tertentu.
Kreativitas seni menurut visi materialisme kultural dengan demikian
mengakui adanya hubungan yang dinamis antara struktur karya dengan
struktur sosial secara keseluruhan. Karya seni sastra, melalui makna
intrinsiknya tidak hanya dimanfaatkan pada saat diciptakan, pada masa
pengarangnya masih hidup. Sebaliknya, manfaat yangg lebih besar justru
sebagai eksplorasi terhdap material kultural sepanjang sejarahnya, manfaat
dalam hubungan antargenerasi (Nyoman Kutha Ratna, 2003: 39).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dipahami bahwa dalam sebuah


kajian dengan menggunakan stukturalisme genetik, perlu digunakan kajian
struktural untuk menelaah suatu novel secara tekstual dan memaparkan unsur-
unsur intrinsiknya untuk dihubungkan dengan unsur luar yang berupa latar
belakang sejarah, sosial budaya, dan pandangan dunia pengarang. Selain itu,
dalam pendekatan strukturalisme genetik, analisis struktur teks hanya
menekankan pada hubungan antartokoh dengan tokoh hero sebagai pusatnya.
Walaupun demikian, struktur lain dalam novel seperti tema, penokohan, alur,
latar, dan sudut pandangan tetap menjadi fokus penganalisisan.
4) Struktur Sosial
a) Hakikat Struktur Sosial
Struktur sosial merupakan unsur genetik penciptaan karya sastra
(Nugraheni Eko Wardani, 2009: 56). Karya sastra tidak hanya dibentuk oleh
pengarang secara subjektif dari dirinya sendiri. Akan tetapi, sastra tetap berada
di tengah masyarakat yang berstruktur. Pada pendekatan strukturalisme genetik,
karya sastra merupakan pengerucutan dari masalah yang ada di masyarakat yang
dituangkan dengan ide-ide imajinatif dan bahasa yang disesuaikan pengarang.
Pola-pola hubungan antara sastra dengan masyarakat, dipandang sebagai
pola-pola yang selalu berada dalam proses perubahan, bukan pola-pola
56

hubungan yang monolitis. Dinamika pola-pola hubungan mengimplikasikan


pengaruh artistik seni sastra atas struktur sosial dalam kondisi-kondisi
struktur intrinsik karya yang juga berubah (Nyoman Kutha Ratna, 2003:
100).

Kutipan pernyataan Nyoman Kutha Ratna tersebut menunjukkan bahwa


struktur sosial dalam suatu masyarakat turut mengondisikan struktur suatu karya
sastra. Perubahan struktur sosial melalui proses-proses tertentu dapat menjadi
sebuah refleksi bagi seorang pengarang untuk memindahkan kejadian-kejadian
nyata menjadi kejadian fiktif yang berbentuk karya sastra. Rachmat Djoko
Pradopo (2005: 107) menilai bahwa karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan
sosial budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan atau penulisnya
merupakan salah seorang anggota masyarakat bangsanya. Iser (dalam Muh.
Nurachmat Wirjosutedjo & Rachmat Djoko Pradopo, 2004) mengemukakan
bahwa fiksi sebagai satu alat untuk mengatakan kepada pembaca mengenai
realitas. Dengan demikian, dikatakan bahwa struktur dan esensi karya sastra
tidak dapat lepas dari struktur sosial. Melalui hubungan bermakna antara karya
dengan masyarakatnya, sesuai dengan hakikatnya, maka fungsi karya sastra
tidak berbeda dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain seperti ekonomi,
hukum, politik, dan sebagainya (Nyoman Kutha Ratna, 2005: 166-167)
Basrowi (2005: 67) memaparkan bahwa struktur sosial adalah hubungan
sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang
merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Pada bagian yang sama
Basrowi juga menambahkan bahwa struktur sosial tidak hanya mengandung
unsur kebudayaan saja, tetapi tetap mencakup seluruh prinsip hubungan-
hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil. Soerjono Soekanto (1984: 112)
juga berpendapat bahwa struktur sosial adalah hubungan timbal balik antara
posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan. Pengertian lain dipaparkan oleh
Soleman B. Taneko (1993: 47) yang menyatakan bahwa struktur sosial adalah
jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-
norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial dan lapisan-
lapisan sosial. Bertolak dari pengertian tersebut peranan struktur dalam sosial
57

kemasyarakatan adalah memelihara kontinuitas yang bersifat struktural dari


peranan individu-individu yang tergabung di dalamnya.
Soleman B. Taneko (1993: 47) mengemukakan bahwa unsur-unsur
pokok struktur sosial suatu masyarakat teridiri dari: (1) kelompok-kelompok
sosial; (2) lembaga-lembaga sosial atau institusi sosial; (3) kaidah-kaidah atau
norma sosial; dan (4) lapisan-lapisan sosial atau stratifikasi sosial.

(1) Kelompok-kelompok Sosial


Kelompok sosial merupakan perwujudan dari pergaulan hidup atau
kehidupan bersama (Soleman B. Taneko, 1993: 49). Suatu kelompok sosial
terbentuk karena adanya pergaulan hidup di antara individu-individu pada waktu
dan tempat tertentu. Setiap individu membutuhkan interaksi dengan individu
yang lain. Oleh karena itu, individu memiliki rasa ketergantungan dengan
individu lain dan berinteraksi sehingga muncul kelompok-kelompok sosial
dalam sebuah masyarakat.
(2) Lembaga-lembaga Sosial atau Institusi Sosial
Alvin L. Bertrand menyatakan bahwa institusi-institusi sosial pada
hakikatnya adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma sosial (struktur sosial)
yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan fungsi masyarakat (Soleman B.
Taneko, 1993: 72). Sejalan dengan pendapat di atas, Roucek & Warren
mengemukakan bahwa institusi adalah
pola-pola yang mempunyai kedudukan tetap atau pasti untuk
mempertemukan bermacam-macam kebutuhan manusia yang muncul dari
kebiasaan-kebiasaan dengan mendapatkan persetujuan dari cara-cara yang
sudah tidak dipungkiri lagi, untuk memenuhi konsep kesejahteraan
masyarakat dan menghasilkan suatu struktur (Soleman B. Taneko, 1993:
72-73).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, Soleman B. Taneko


memberi simpulan bahwa institusi tidak saja merupakan persetujuan dari pola-
pola aktivitas untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga merupakan pola-
pola yang berhubungan dengan asosiasi (organisasi) untuk menjalankannya.
58

Munculnya pola-pola tersebut dipicu oleh keinginan-keinginan masyarakat


untuk dapat menciptakan cara-cara yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Cooley & Davis (Soerjono
Soekanto, 1984: 197) yang menyatakan bahwa lembaga atau institusi adalah
kaidah-kaidah yang kompleks yang ditetapkan oleh masyarakat, untuk secara
teratur memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Di bawah ini adalah
pemaparan fungsi dan struktur dari beberapa institusi, yakni keluarga, institusi
pemerintahan, institusi ekonomi, dan institusi religi.
(a) Keluarga
Keluarga merupakan fokus umum dari pola-pola institusional (Soleman
B. Taneko, 1993: 75). Aspek umum yang terdapat dalam pola institusi keluarga
adalah seperti pola pelamaran, perkawinan, kekerabatan, dan sebagainya. Pola-
pola seperti itu mengindikasikan bahwa keluarga merupakan pusat kehidupan
secara individual yang di dalamnya terdapat suatu hubungan yang intim dan
dalam derajat yang tinggi. Keluarga adalah institusi yang meneruskan keturunan.
Berdasarkan pengertian ini, dijabarkan bahwa keluarga mempunyai fungsi
sebagai penanggungjawab, pemelihara, pengasuh, dan pendidik anak. Selain itu,
keluarga juga berfungsi sebagai unit ekonomi. Artinya, keluarga merupakan unit
produksi untuk menghasilkan pangan, sandang, dan beberapa kebutuhan
material lainnya itu, dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga itu
sendiri maupun dari luar keluarga (Soleman B. Taneko, 1993: 75-76).
Fungsi lain dari keluarga adalah untuk menetapkan status dari seorang
individu dalam masyarakat. Status memberi penjelasan terhadap kedudukan
seorang individu di masyarakat. Secara tidak langsung, status yang disandang
oleh seseorang akan memengaruhi keturunannya. Horton & Hunt (1996: 274-
279) menjabarkan beberapa fungsi keluarga, yaitu fungsi pengaturan seksual,
fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status,
fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomis.
(b) Institusi Pemerintahan
Institusi pemerintahan adalah institusi yang mempunyai kewenangan
untuk memelihara ketertiban, menjalankan administrasi peradilan, dan
59

melindungi warga masyarakat dari bahaya luar (Soleman B. Taneko, 1993: 77).
Institusi pemerintahan memerlukan suatu organisasi yang spesifik, yaitu negara.
Soleman B. Taneko pada bagian yang sama menjelaskan bahwa negara adalah
suatu organisasi yang mempunyai kekuatan untuk menjalankan kekuasaannya
terhadap semua anggota dalam masyarakat. Dengan demikian, institusi
pemerintahan mempunyai peranan dan kekuasaan yang tinggi dalam masyarakat.
Horton & Hunt (1996: 379) berpendapat bahwa kekuasaan dapat
diartikan sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mengendalikan
proses pengambilan keputusan. Di lain pihak, Weber (dalam Kamanto Sunarto,
2000: 76) memberi pandangan bahwa kekuasaan perlu dibedakan dengan
dominasi. Suatu dominasi memerlukan suatu keabsahan, yaitu pengakuan atau
pembenaran masyrakat terhadap dominasi tersebut agar penguasa dapat
melaksanakan kekuasaannya secara sah.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, ditarik simpulan bahwa
walaupun negara sebagai institusi pemerintahan yang memiliki kekuasaannya
yang tinggi, tetapi kekuasaan tersebut memerlukan suatu keabsahan dari
masyarakat yang dikuasainya.
(c) Institusi Ekonomi
Institusi ekonomi berpusat pada kegiatan produksi, distribusi, dan
konsumsi dari barang dan jasa. Di dalam suatu masyarakat terdapat bermacam-
macam institusi ekonomi. Jika ada suatu masyarakat, pasti di dalamnya terdapat
institusi ekonomi. Soleman B. Taneko (1993: 81) berpendapat bahwa
masyarakat sangat kompleks dan menurut kompleksitasnya kebudayaan material
yang dimiliki oleh masyrakat mengakibatkan kompleksitasnya tipe organisasi
yang menjalankan aktivitas ekonomi.
Beracuan pada penjabaran Soleman B. Taneko di atas, ditarik penjelasan
bahwa kompleksitas dalam masyarakat mencakup suatu kebutuhan yang
heterogen di masyarakat. Adanya kelas-kelas sosial juga memengaruhi
kompleksitas tersebut. Dengan adanya kompleksitas, masyarakat mengadakan
pemisahan badan organisasi untuk menjalankan satu atau beberapa fungsi
ekonomi, tetapi dalam masyarakat yang lain fungsi ekonomi mungkin hanya
60

dijalankan oleh keluarga, klan, atau masyarakat setempat (seperti desa)


(Soleman B. Taneko, 1993: 81).
Institusi ekonomi sangat berkaitan dengan telaah strukturalisme genetik
yang merupakan gabungan antara strukturalisme dan sosiologi sastra. Wallek &
Warren (1990: 115) berpendapat bahwa sosiologi sastra bertugas menelusuri
status sosial kelas, meneliti ketergantungannya pada kelas penguasa, serta
mempelajari sumber ekonomi dan prestisenya dalam masyarakat.

(d) Institusi Religi


Institusi religi merupakan institusi yang banyak dan bervariasi di dalam
masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada suatu pola yang telah mapan dan
perilaku mengenai bagaimana mereka melakukan hubungan dengan supranatural
(Soleman B. Taneko, 1993: 83). Lembaga agama termasuk institusi religi.
Agama merupakan sesuatu yang sering didefinisikan sebagai tanggapan teratur
terhadap unsur supranatural (Horton & Hunt, 1996: 326). Masyarakat yang
heterogen memungkinkan adanya suatu golongan masyarakat yang tidak
menganut suatu agama, namun mereka tetap mempunyai suatu sistem ritual atau
kepercayaan yang serupa dan agama yang di dasarkan atas unsur supranatural.
(3) Kaidah-kaidah atau Norma Sosial
Norma-norma sosial merupakan wujud konkret dari nilai-nilai atau boleh
jadi merupakan pedoman yang mana berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan
suatu larangan (Soleman B. Taneko, 1993: 66). Sistem kebudayaan yang dianut
suatu masyarakat menumbuhkan norma-norma sosial di dalam masyarakat
tersebut. Norma-norma sosial dianggap suatu konsep yang berkaitan dengan
semua keteraturan sosial yang berhubungan dengan evaluasi dari objek-objek,
individu-individu, tindakan-tindakan, dan gagasan-gagasan.
Keberadaan norma-norma sosial mendesak seorang individu yang ada
dalam suatu sistem kemasyarakatan untuk menjalankan norma-norma yang
sudah dibuat. Aplikasi norma-norma dalam suatu masyarakat pada akhirnya
dijadikan patokan terhadap perilaku-perilaku yang dilakukan oleh individu
dalam masyarakat tersebut.
61

(4) Lapisan-lapisan Sosial atau Stratifikasi Sosial


Gejala stratifikasi sosial dapat ditemukan pada setiap masyarakat karena
gejala tersebut tumbuh dengan sendirinya seiring pertumbuhan dalam
masyarakat. Soerjono Soekanto (1993: 247) memaparkan bahwa stratifikasi
sosial merupakan suatu jenis diferensi sosial yang terkait dengan pengertian
akan adanya jenjang secara bertingkat yang nantinya akan memunculkan strata
tertentu. Definisi lain tentang stratifikasi dikemukakan oleh Kamanto Sunarto.
Kamanto Sunarto (2000: 85) mengemukakan bahwa stratifikasi sosial adalah
pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya dalam
sosiologi.
Parson (dalam Soerjono Soekanto, 1993: 259) menyatakan bahwa
stratifikasi sosial diperlukan dan juga dikehendaki pada suatu masyarakat
kompleks yang berorientasi pada kemajuan. Pada dasarnya munculnya
startifikasi sosial disebabkan oleh keheterogenan manusia dalam masyarakat
yang di antaranya memiliki tujuan yang sama. Suatu stratifikasi sosial
memperlihatkan suatu pola hidup yang sama dari anggota-anggotanya.
Stratifikasi sosial secara tidak langsung akan mengumpulkan orang-orang yang
mempunyai peluang-peluang kehidupan yang sama dipandang dari sudut
ekonomis.
b) Struktur Sosial Masyarakat Banyumas
Masyarakat Banyumas adalah salah satu bagian dari masyarakat Jawa.
Cliffod Geertz (dalam Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 34) membagi masyarakat
jawa menjadi tiga bagian, yakni “abangan”, “santri”, dan “priyayi”. Pasurdi
Suparlan (dalam Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 34) sebagai pengantar buku
Cliffod Geertz mengungkapkan bahwa tiga lingkungan yang berbeda telah
mewujudkan adanya: “abangan” yang menekankan pentingnya aspek-aspek
animistik, “santri” yang menekankan aspek-aspek Islam, dan “priyayi” yang
menekankan aspek-aspek Hindu.
Di dalam masyarakat Banyumas dikenal kesenian lengger. Di dalam
website Pemerintah Kabupaten Banyumas (2009), lengger dijelaskan sebagai
seni pertunjukan tradisional khas Banyumas yang dilakukan oleh penari wanita.
62

Dalam pertunjukannya, penari lengger menari sambil menyanyi (nyinden)


dengan diiringi oleh gamelan calung. Kata lengger merupakan jarwo dhosok
(penggabungan dua kata menjadi kata bentukan baru) yang berarti diarani leng
jebule jengger atau “dikira lubang ternyata mahkota ayam jantan”. Maksud
jarwo dhosok tersebut adalah berkaitan dengan kebiasaan pada masa lalu pemain
lengger berjenis kelamin laki-laki yang berdandan perempuan. Dengan kata lain,
kata lengger merupakan gabungan dari kata leng dan ngger atau jengger. Leng
adalah simbol jender perempuan sedangkan jengger adalah simbol gender laki-
laki.
Kesenian lengger dalam perkembangannya lebih sebagai media hiburan
sehingga penari yang semula laki-laki diganti dengan penari perempuan yang
berparas cantik. Pada masyarakat tradisional di daerah Banyumas, lengger
memiliki fungsi ritual sebagai pelaksanaan upacara kesuburan. Lengger
dipentaskan untuk keperluan baritan (upacara minta hujan), sedekah bumi
(upacara syukuran setelah panen padi), kaul atau nadar dan lain-lain. Sekarang
lengger banyak dipentaskan untuk keperluan hiburan masyarakat pedesaan
maupun perkotaan dan telah dimodifikasi menjadi tarian-tarian yang digarap
dengan konsep masa kini. Lengger hidup subur di seluruh wilayah sebaran
budaya Banyumas.
Pernyataan di atas disetujui oleh Nesri Kusmayadi, dkk. (dalam Wijang J.
Riyanto, dkk., 2006: 36) yang menjelaskan bahwa tarian ronggeng pada awal
pertumbuhannya berfungsi sebagai bagian dari upacara adat, namun dalam
perkembangan selanjutnya cenderung berfungsi sebagai sarana hiburan dan
pergaulan sekaligus sarana seni tontonan atau pertunjukkan. Salamun, dkk.
(dalam Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 36) mengemukakan bahwa waktu
pementasan kesenian lengger biasanya dimulai dari pukul 20.00 WIB hingga
selesai pukul 24.00 WIB. Lengger dimulai dengan diperdengarkan gending-
gending pendahuluan seperti gending eling-eling sebelum pada akhirnya
dilanjutkan dengan tarian lengger.
Lengger adalah nama lain dari kesenian ronggeng. S. Dloyana Kusuma
(dalam Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 35) menjelaskan bahwa ronggeng adalah
63

kesenian rakyat dan termasuk dalam wilayah seni tradisional. Kata “ronggeng’
secara etimologis berasal dari bahasa sanksekerta, yakni “renggana” yang berari
wanita pujaan. S. Dloyana Kusuma juga menambahkan bahwa wanita pujaan
yang disebut sebagai “renggana” tersebut mempunyai peranan sebagai
penghibur para tamu di istana-istana pada waktu upacara kerajaan.
Tim (dalam Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 36) menjelaskan bahwa tarian
ronggeng adalah tarian bayaran. Para pelakunya terdiri dari seorang perempuan
atau lebih. Perempuan penari ini yang disebut dengan ronggeng. Tariannya
diiringi oleh gamelan yang antara lain terdiri dari gendang dan gong. Ronggeng
sebagai tarian bayaran sering dipentaskan oleh orang-orang/penyewa yang
mengadakan suatu hajatan, seperti perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Salah
satu ciri khas yang tampak dalam seni ronggeng adalah apabila menari dibarengi
dengan nyanyian.
5) Pandangan Dunia
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) berpendapat bahwa
karya sastra sebagai struktur bermakna mewakili pandangan dunia pengarang,
tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Dengan
demikian, strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang
menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui
pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikannya. Oleh karena itu, karya
sastra tidak dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang
telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Pengabaian unsur masyarakat
berarti penelitian sastra menjadi pincang.
Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik.
Homologi, kelas-kelas sosial, struktur bermakna, dan subjek transindividual
diarahkan pada totalitas pemahaman yang dianggap sebagai simpulan suatu
penelitian. Pandangan dunialah yang memicu subjek untuk mengarang,
identifikasi pandangan juga yang dianggap sebagai salah satu ciri
keberhasilan suatu karya (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 125-126).

Berdasarkan kutipan di atas, Nyoman Kutha Ratna memaparkan bahwa


dengan cara mengetahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu berarti
mengetahui kecenderungan suatu masyarakat, sistem ideologi yang mendasari
64

sosial sehari-hari. Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2009: 126) secara
definitif menjelaskan bahwa pandangan dunia sebagai ekspresi psike melalui
hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik, dan
terjadi dalam periode bersejarah yang panjang.
Pendekatan Goldmann sebagaimana kemudian diketahui ternyata
meletakkan tekanan pada “kesatuan internalitas” karya sastra, yang
dianggapnya sebagai hasil suatu pandangan dunia yang sebenarnya eksternal
sifatnya. Pandangan dunia dianggap memiliki pandangan yang identik
dengan kelompok sosial tertentu. Pada sisinya lain, pandangan dunia
pengarang dianggapnya mampu menopang bobot estetik karya sastra, yang
sekaligus merupakan ekspresi tak langsung dari pandangan dunia
kelompoknya (Jiwa Atmaja, 2009: 81).

Pandangan dunia menurut Goldmann (dalam Faruk, 1999: 16) adalah


istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-
aspirasi, dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama
anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan
kelompok-kelompok sosial lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan
dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang
dihadapi subjek kolektif yang memilikinya (Faruk, 1999: 16). Beracuan dari
berbagai perspektif permasalahan tersebut, disimpulkan bahwa pandangan dunia
adalah pengkristalan ide-ide, gagasan-gagasan dari suatu kelompok sosial
tertentu dan dipertentangkan dengan gagasan-gagasan kelompok sosial lainnya.
Suwardi Endraswara (2003: 60) menyatakan bahwa hipotesis Goldmann
yang mendasari penemuan pandangan dunia adalah tiga hal, yaitu:
a) semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas,
maksudnya selalu berupa respon terhadap lingkungannya;
b) kelompok sosial mempunyai tendensi untuk menciptakan pola tertentu
yang berbeda dari pola yang sudah ada; dan
c) perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju
transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dan
semua aksi sosial dan sejarah.
Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 58) mengemukakan
bahwa pandangan dunia merupakan perspektif yang koheren dan terpadu
65

mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta. Hal
ini menunjukkan bahwa pandangan dunia adalah sebuah kesadaran hakiki
masyarakat dalam menghadapi kehidupan. Kesadaran tentang pandangan dunia
ini adalah kesadaran yang telah ditafsirkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa karya sastra sebenarnya merupakan ekspresi pandangan dunia yang
imajiner.
Untuk menyusun pandangan dunia pengarang dalam karya sastra, perlu
dikaji terlebih dahulu mengenai kelompok sosial pengarang (Nugraheni Eko
Wardani, 2009: 50). Kelompok sosial pengarang akan memberi informasi yang
lebih jelas tentang kehidupan sosial pengarang. Selain itu, salah satu komponen
pandangan dunia pengarang adalah menyebutkan tokoh-tokoh yang memiliki
pandangan dunia yang sama dengan pengarang (Nugraheni Eko Wardani, 2009:
158). Melalui analisis pandangan dunia, strukturalisme genetik dianggap mampu
memberikan pemahaman yang berbeda sebagaimana kelas-kelas sosial berperan
dalam menampilkan sebuah karya sastra. Karya sastra dalam hubungan ini
bukan semata-mata imajinasi, melainkan memiliki akar sosialnya (Nyoman
Kutha Ratna, 2005: 165).
6) Dialektika “Pemahaman-Penjelasan”
Prinsip dasar dari metode dialektik adalah mengenai fakta-fakta
kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat kongkret dengan
mengintegrasikannya dengan keseluruhan. Sehubungan dengan itu, metode
dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu “keseluruhan-bagian”
dan “pemahaman-penjelasan” (Faruk, 1999: 20).
Goldmann (dalam Jiwa Atmaja, 2009: 50) menjelaskan bahwa metode
dialektik merupakan metode yang khas dan berbeda dari metode positivis,
metode intuitif, dan metode biografi yang psikologis. Goldmann (dalam Faruk,
1999: 20-21) memandang karya sastra sebagai produk strukturasi pandangan
dunia sehingga cenderung mempunyai struktur yang koheren. Sebagai struktur
yang koheren karya sastra merupakan satuan yang dibangun dari bagian-bagian
yang lebih kecil. Oleh karena itu, pemahaman terhadapnya dapat dilakukan
dengan konsep keseluruhan-bagian. Akan tetapi, teks karya sastra itu sendiri
66

merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar, yang membuatnya menjadi
struktur yang berarti. Di dalam pengertian ini, pemahaman mengenai teks sastra
sebagai keseluruhan tersebut harus dilanjutkan dengan usaha menjelaskannya
dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
Goldmann (dalam Faruk, 1999: 21) berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari,
sedangkan penjelasan adalah usaha menggabungkannya ke dalam struktur yang
lebih besar. Dengan kata lain, pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas
bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna bagian itu
dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
Teknik pelaksanaan metode dialektik menurut Goldmann (dalam Faruk
1999: 21) berlangsung sebagai berikut:
a) peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan
tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian; dan
b) melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya
dengan keseluruhan dengan cara menentukan sejauh mana setiap unit
yang dianalisis tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh, daftar
elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang tidak dilengkapi dalam
model semula, dan frekuensi elemen-elemen serta hubungan-hubungan
yang diperlengkapinya dalam model yang sudah dicek itu.
Iswanto (2003: 62) berpendapat bahwa penelitian dengan metode
strukturalisme genetik secara sederhana dapat diformulasikan dengan urutan
langkah berikut.
a) Penelitian harus dimulai pada kajian unsur intrinsik karya sastra.
b) Mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok sosial pengarang
karena ia merupakan bagian dari komunitas kelompok tertentu.
c) Mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengondisikan
karya sastra saat diciptakan pengarang.
Beracuan pada ketiga langkah tersebut akan diperoleh abstraksi
pandangan dunia pengarang yang diperjuangkan oleh tokoh problematik yang
biasanya adalah tokoh utama.
67

B. Penelitian yang Relevan


Penelitian yang telah dilakukan dan relevan dengan penelitian ini adalah
penelitian Novia Maharani Handayani pada tahun 2006 dengan judul “Novel
Opera Jakarta Karya Titi Nginung (Tinjauan Strukturalisme Genetik)”.
Penelitian tersebut menghasilkan simpulan berupa:
1. struktur yang tercipta dalam novel Opera Jakarta sudah bagus sehingga
pembaca mudah untuk memahaminya. Hubungan antartokoh yang
tercipta dalam novel Opera Jakarta terdiri dari: persaingan,
persahabatan, perselingkuhan, kepatuhan palsu, dendam, rindu, cemburu,
simpati, antipati, fitnah, dan cinta tercipta dalam hubungan tokoh-
tokohnya;
2. pandangan dunia pengarang terhadap novel Opera Jakarta ada dua,
yakni pandangan tentang dunia dan cinta yang berkaitan erat dengan
substansi cerita. Pandangan dunia tersebut adalah humanisme kejawen;
dan
3. novel Opera Jakarta menurut pembagian jenis novel Lucien Goldmann
tergolong ke dalam jenis novel pendidikan.
Pendekatan penelitian yang digunakan Novia Maharani Handayani sama
dengan penelitian ini, yakni strukturalisme genetik. Akan tetapi, ada beberapa
perbedaan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Novia Maharani
Handayani. Penelitian Novia Maharani Handayani hanya menganalisis satu
novel dan tidak mengaitkannya dengan novel lain. Perbedaan lainnya adalah
penelitian tersebut tidak membahas mengenai struktur sosial novel. Selain itu,
penelitian tersebut juga menentukan jenis novel berdasarkan teori dari Lucien
Goldmann.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
Deddy Hernandy Oekon dan Siti Chamamah Soeratno dengan judul “Pandangan
Dunia Natsume Soseki dalam Novel Shanshiro: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra”
(“World View of Natsume Soseki in Shanshiro: A Study of Sociology of
Literature”) (2004). Hasil penelitian tersebut adalah deskripsi mengenai
68

pandangan dunia Soseki dalam novel Shanshiro. Pandangan dunia Soseki


menyoroti penyimpangan keadaan masyarakat Jepang yang meliputi:
1. kaum intelektual yang melupakan peran sosialnya;
2. sistem pendidikan tinggi yang hanya menekankan pada Teaching
Oriented;
3. deviasi nilai dan norma budaya dalam masyarakat Jepang; dan
4. arah modernisasi yang telah menyimpang dari cita-cita awal.
Penelitian Deddy Hernandy Oekon dan Siti Chamamah Soeratno
menggunakan teori sosiologi Lucien Goldmann, yakni sama dengan teori yang
digunakan peneliti dalam penelitian ini. Akan tetapi, penelitian tersebut hanya
memfokuskan pada pandangan dunia pengarang, yakni pandangan dunia Soseki
dalam novel Shanshiro.

C. Kerangka Berpikir
Penelitian ini menganalisis karya sastra berupa novel. Novel yang
dianalisis adalah novel berjudul Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penganalisisan kedua novel
tersebut menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Strukturalisme
genetik merupakan pendekatan yang menganalisis unsur intrinsik suatu karya
sastra secara menyeluruh tanpa mengabaikan pandangan dunia pengarang dan
struktur sosial yang menjadi pondasi awal terciptanya karya sastra.
Penerapan pendekatan strukturalisme genetik ditempuh dengan cara
menganalisis hubungan-hubungan yang terjalin antarunsur instrinsik atau
struktur teks dan memasukkan pandangan dunia pengarang. Analisis pandangan
dunia pengarang bertujuan memperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi
sosiologis yang turut memengaruhi terciptanya cerita dalam novel Orang-orang
Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk. Penganalisisan novel dengan
pendekatan strukturalisme genetik ini juga menuju pada tataran sosiologis
pengarang berupa struktur sosial yang turut mengondisikan terciptanya novel.
Analisis pada penelitian ini meliputi penganalisisan struktur novel berupa
unsur intrinsik maupun unsur yang berada di luar karya. Penganalisisan unsur
69

intrinsik meliputi analisis tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang.
Analisis unsur intrinsik novel bersifat menyeluruh untuk menemukan
keterjalinan antarunsur instrinsik. Selain itu, dianalisis juga mengenai hubungan
antartokoh dalam novel tersebut. Setelah langkah tersebut selesai, peneliti
menganalisis pandangan dunia pengarang dan struktur sosial dalam dua novel
tersebut. Analisis pandangan dunia pengarang dilakukan dengan cara
menganalisis pandangan kelompok pengarang dan individu pengarang sebagai
subjek kolektif. Analisis struktur sosial novel dilakukan dengan menghubungkan
struktur sosial dalam teks novel dan struktur sosial dalam realitas kehidupan.
Gambaran lebih jelas mengenai penelitian ini dijelaskan dengan alur
kerangka berpikir berikut.

Karya Sastra

Novel Orang-orang Proyek dan


Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Analisis Strukturalisme Genetik

Unsur Intrinsik
- Tema Pandangan Dunia
- Penokohan - Individual Struktur Sosial
- Alur/plot - Kelompok
- Latar
- Sudut Pandang

Simpulan
Gambar 1. Kerangka Berpikir
70

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan objek kajian berupa
novel. Objek penelitian ini adalah novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Tidak ada pembatasan mengenai
tempat penelitian. Maksud dari tidak ada pembatasan adalah suatu tempat dapat
digunakan jika memungkinkan dan mendukung untuk dilaksanakan penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yakni dari bulan Januari
sampai bulan April 2010. Berikut adalah tabel jadwal pelaksanaan penelitian.

Tabel Jadwal Penelitian


BULAN
No KEGIATAN Jan Feb Maret April
2010 2010 2010 2010
1 Persiapan dan x x x
pengurusan izin
2 Pengumpulan data x x x x
3 Analisis data x x x x x
4 Penyusunan laporan x x x x x x

B. Bentuk dan Strategi Penelitian


Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan
strukturalisme genetik. Strategi yang digunakan adalah analisis isi, yaitu dengan
mengkaji isi berdasarkan data yang telah didapatkan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode dialektik karena pendekatan yang digunakan
adalah strukturalisme genetik. Metode yang digunakan dalam strukturalisme
genetik adalah metode dialektik (Titik Maslikatin, 2003:23). Cara kerja metode
ini adalah dengan pemahaman bolak-balik dari struktur karya ke struktur
masyarakat atau sebaliknya
71

C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat
diperoleh (Suharsimi Arikunto, 1998:114). Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dokumen dan informan.
1. Dokumen
Sumber data berupa dokumen dalam penelitian ini adalah novel, yakni
novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari. Selain itu, digunakan dokumen lain, yakni buku Proses Kreatif
Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang disusun oleh
Wijang J. Riyanto, dkk., dan buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca
Orba di Tengah Pusaran Demokrasi yang ditulis Arif Yulianto. Dokumen
berupa artikel-artikel dari internet juga digunakan pada penelitian ini.
Rumusan masalah nomor satu dijawab dengan menggunakan data
dokumen berupa novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk. Rumusan masalah nomor dua dijawab dengan menggunakan data
dokumen novel Orang-orang Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk,
buku Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh
Paruk, dan artikel-artikel dari internet. Rumusan masalah nomor tiga dijawab
dengan menggunakan data dokumen novel Orang-orang Proyek, trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk, buku Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi
Novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca
Orba di Tengah Pusaran Demokrasi dan artikel-artikel dari internet.
2. Informan
Sumber data berupa informan berbentuk hasil wawancara dari informan
tersebut. Informan dalam penelitian ini adalah Ahmad Tohari selaku pengarang
novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Wawancara dilaksanakan pada tanggal 16 Februari 2010 di rumah Ahmad
Tohari, Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Hasil
wawancara digunakan sebagai data untuk menjawab rumusan masalah nomor
dua dan tiga.
72

D. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling.
Teknik yang dimanfaatkan dalam purposive sampling adalah teknik dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Artinya adalah sampel dipilih berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan objek formal penelitian yang
dilakukan (Sangidu, 2004:63). Pertimbangan-pertimbangan dalam penelitian ini
mengacu pada kesesuaian data dengan pendekatan strukturalisme genetik.
Purposive sampling dilakukan untuk lebih memfokuskan penelitian. Purposive
sampling dilaksanakan dengan cara mengambil cuplikan teks dari novel Orang-
orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Selain itu, teknik Purposive sampling juga digunakan untuk mencuplik data dari
buku Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh
Paruk, buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah
Pusaran Demokrasi, artikel-artikel dari internet, dan hasil wawancara dengan
Ahmad Tohari.

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah analisis dokumen
dan wawancara mendalam. Analisis dokumen digunakan untuk menganalisis
dokumen yang digunakan dalam penelitian yakni dokumen berupa novel Orang-
orang Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Proses Kreatif Ahmad
Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil
Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, dan artikel-
artikel dari internet. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh
informasi/data dari pengarang novel Orang-orang Proyek dan Ronggeng Dukuh
Paruk, yakni Ahmad Tohari.

F. Validitas Data
Mardalis (2007:61) menjelaskan bahwa validitas adalah ketepatan alat
yang digunakan untuk mengukur sesuatu, atau adanya kesesuaian alat ukur
dengan apa yang diukur. Peneliti menggunakan cara triangulasi untuk menguji
73

validitas data. Penelitian ini menggunakan tiga jenis triangulasi, yakni


triangulasi teori, triangulasi sumber data, dan triangulasi pengumpulan data.
1. Triangulasi teori
H.B. Sutopo (2002: 82) menjelaskan bahwa triangulasi teori dilakukan
dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas
permasalahan yang dikaji. Penggunaan triangulasi teori bertujuan menarik suatu
simpulan yang bisa diterima kebenarannya. Pada penelitian ini digunakan dua
macam pendekatan teoretis, yakni strukturalisme dan sosiologis (genetika).
2. Triangulasi sumber data
Triangulasi sumber data mengarahkan peneliti untuk menggunakan
berbagai jenis sumber data dalam sebuah penelitian. Pada penelitian ini
digunakan sumber data berupa informan dan dokumen. Informan adalah Ahmad
Tohari, sedangkan dokumen berupa novel Orang-orang Proyek, trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk, buku Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi
Novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia
Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, dan artikel-artikel dari internet.
3. Triangulasi metode
Triangulasi pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data yang
sama dengan menggunakan teknik yang berbeda. Contohnya adalah penggunaan
teknik wawancara dan analisis dokumen. Triangulasi pengumpulan data
dilaksanakan dengan mewawancarai Ahmad Tohari dan menganalisis dokumen
berupa novel Orang-orang Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku
Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk,
buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran
Demokrasi, dan artikel-artikel dari internet.

G. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
mengalir (flow model of analysis). Teknik analisis mengalir terdiri dari empat
bagian, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan
simpulan.
74

1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah proses awal penelitian, yakni dengan
mengumpulkan data seakurat dan sedetail mungkin. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis data dan wawancara. Oleh
karena itu, data yang digunakan berupa dokumen dan hasil wawancara.
Dokumen utama adalah novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk. Dokumen pendukung adalah buku Proses Kreatif Ahmad Tohari
dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil Militer di
Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, dan artikel-artikel dari
internet. Data berupa hasil wawancara diperoleh dari wawancara dengan Ahmad
Tohari.
2. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan,
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari data
yang didapat dari sumber data penelitian. Data yang terdapat dalam dokumen
dan hasil wawancara tidak semua diambil, namun direduksi terlebih dahulu agar
data lebih sederhana. Data yang kurang mendukung dibuang sehingga data
menjadi lebih fokus dan jelas. Reduksi data sudah termasuk dalam proses
analisis data. Proses analisis ditunjukkan dengan adanya proses pemilahan dan
pemilihan data yang penting untuk digunakan dalam penelitian.
3. Penyajian data
Penyajian data mengacu pada rumusan masalah yang telah ditentukan
sebagai pertanyaan penelitian sehingga yang disajikan merupakan deskripsi
mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab permasalahan
yang ada. Misalnya data yang diambil dari novel Orang-orang Proyek dan
trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk digunakan untuk menjawab rumusan
masalah nomor satu, dua, dan tiga, sedangkan buku Proses Kreatif Ahmad
Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil
Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, dan artikel-
artikel dari internet digunakan untuk menjawab rumusan masalah nomor dua dan
tiga. Penyajian data menindaklanjuti proses analisis pada bagian sebelumnya,
75

yakni reduksi data. Penyajian data disusun dengan kalimat-kalimat yang logis
dan sistematis sehingga mudah dipahami dan memungkinkan untuk
memunculkan suatu tindakan berdasarkan pemahaman tersebut.
4. Penarikan simpulan
Pada tahap ini, data disimpulkan setelah melalui proses reduksi dan
sajian data. Penarikan simpulan merupakan jawaban dari permasalahan yang
dibahas dalam penelitian. Hasil simpulan dapat menjawab ketercapaian atau
ketidakcapaian tujuan penelitian. Penarikan simpulan didasarkan pada
keseluruhan proses analisis data. Simpulan yang telah didapat diverifikasi lagi
untuk mendapatkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penjelasan tentang teknik analisis data di atas digambarkan dalam bagan
berikut.

Masa pengumpulan data


-------------------------------------------------
Reduksi data
Antisipasi Selama Pasca
Penyajian data
Analisis
Selama Pasca
Penarikan simpulan
Selama Pasca
Gambar 2. Model Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis)
(Miles, Mattew B. & Huberman, A. Michael, 1992:18)

H. Prosedur Penelitian
Berikut adalah penjelasan mengenai prosedur penelitian yang diterapkan
dalam penelitian ini.
1. Pengumpulan data
Pegumpulan data adalah prosedur pertama dalam penelitian.
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara:
a. mengumpulkan data sesuai dengan cara pengumpulan data yang telah
direncanakan dari sumber-sumber data yang digunakan. Sumber data
76

tersebut adalah dokumen dan hasil wawancara. Dokumen berupa novel


Orang-orang Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Proses
Kreatif Ahmad Tohari Dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk,
buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah
Pusaran Demokrasi, dan artikel-artikel dari internet. Hasil wawancara
adalah data yang diperoleh dari wawancara informan, yakni Ahmad
Tohari; dan
b. mengelompokkan data yang terkumpul dan berhubungan dengan
penelitian. Pengelompokkan data didasarkan pada rumusan masalah,
misalnya rumusan masalah nomor satu hanya berdasarkan data yang
diambil dari novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk.
2. Analisis data
Analisis data dilakukan setelah data dikumpulkan. Analisis data dalam
penelitian ini adalah dengan cara:
a. menganalisis keterjalinan antarunsur intrinsik novel Orang-orang Proyek
dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari;
b. menganalisis pandangan dunia pengarang novel Orang-orang Proyek dan
trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk berdasarkan isi novel Orang-orang
Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, buku Proses Kreatif
Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk, artikel-
artikel dari internet, dan hasil wawancara dengan Ahmad Tohari;
c. menganalisis struktur sosial novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk berdasarkan hasil wawancara dengan Ahmad
Tohari, novel Orang-orang Proyek, trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk, buku Proses Kreatif Ahmad Tohari Dalam Trilogi Novel
Ronggeng Dukuh Paruk, buku Hubungan Sipil Militer di Indonesia
Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, dan artikel-artikel dari
internet; dan
d. mendeskripsikan simpulan akhir dari analisis secara keseluruhan.
77

3. Penyusunan laporan penelitian


Penyusunan laporan penelitian dilaksanakan dengan prosedur sebagai
berikut:
a. menulis laporan penelitian;
b. meneliti kesatuan dan kepaduan laporan; dan
c. memperbanyak laporan.
78

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

1. Novel Orang-orang Proyek


Novel Orang-orang Proyek adalah sebuah novel karya Ahmad Tohari.
Novel ini diterbitkan oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun
2007. Akan tetapi, sebenarnya novel ini pernah diterbitkan lebih dahulu oleh
penerbit Jendela dan penerbit Matahari. Novel dengan tebal 224 halaman ini pun
pernah dimuat secara bersambung di Harian Umum Suara Merdeka.
Novel Orang-orang Proyek menceritakan kehidupan orang-orang yang
bekerja dalam suatu proyek pembangunan. Ada seorang insinyur bernama Kabul
yang menangani suatu proyek besar, yakni pembangunan sebuah jembatan di
Sungai Cibawor. Idealismenya sebagai insinyur sangat tinggi. Akan tetapi,
dalam proyek tersebut ia harus mempertaruhkan idealismenya sebagai insinyur.
Di tengah-tengah proses pengerjaan proyek, ia harus berhadapan dengan pihak-
pihak yang menginginkan dana proyek untuk kepentingan-kepentingan di luar
proyek, terutama untuk kepentingan partai golongan penguasa.
Pengarang novel ini cukup terampil mendeskripsikan suasana pedesaan
dan sisi lain orang-orang proyek. Novel ini memberi gambaran yang cukup jelas
tentang perilaku para pejabat pada masa pemerintahan Orde Baru. Nilai kritik
sosial yang dimuat dalam novel ini sangat kental dan mudah diterima. Bahasa di
dalam novel ini cukup mudah dipahami oleh orang awam, namun di sisi lain
novel ini memberikan suatu penjelasan terhadap suatu masalah yang
tersembunyi yang tidak semua orang tentu bisa menjelaskannya dengan jelas.

2. Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk


Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah kumpulan tiga novel yang
dikarang oleh Ahmad Tohari. Tiga novel tersebut adalah Catatan Buat Emak,
Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Trilogi novel dengan tebal
79

406 halaman ini diterbitkan oleh penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama pada
tahun 2003 dan sudah mengalami cetak ulang keempat pada bulan Januari 2009.
Trilogi novel ini sudah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing
seperti Jepang, Jerman, Belanda, Cina, dan Inggris. Ahmad Tohari pun
menerjemahkan trilogi novel ini ke dalam bahasa Jawa. Trilogi novel Ronggeng
Dukuh Paruk dapat dikatakan sebagai karya masterpiece dari Ahmad Tohari.
Trilogi novel ini menceritakan tentang suatu masyarakat yang hidup di
sebuah dukuh, yaitu Dukuh Paruk. Masyarakat yang tinggal di dukuh ini
terkenal lugu dan belum tersentuh oleh pendidikan formal. Di Dukuh Paruk ada
sebuah tradisi untuk menghormati moyangnya yang bernama Ki Secamenggala.
Hal-hal yang berbau animisme merupakan kenyataan yang berada di tengah-
tengah Dukuh Paruk. Di sana terdapat tradisi seni ronggeng yang merupakan ciri
khas dukuh tersebut.

3. Tinjauan Pengarang
Ahmad Tohari adalah sastrawan Indonesia yang lahir di desa
Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa
Tengah pada tanggal 13 Juni 1948. Pendidikan formalnya ditempuh di SMAN 2
Purwokerto (1966). Sebenarnya Ahmad Tohari pernah kuliah di beberapa
fakultas, antara lain Fakultas Ilmu Kedokteran Ilmu Khaldun Jakarta (1967-
1970) Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman Purwokerto (1974-1975), dan
Fakultas Sosial Politik Univesitas Sudirman Purwokerto (1975-1976), namun
semua tidak diselesaikannya karena kendala nonakademik.
Ahmad Tohari pernah bekerja sebagai tenaga honorer di Bank BNI 1946
(1966-1967). Di dalam dunia jurnalistik, ia pernah menjadi redaktur pada harian
Merdeka (Jakarta, 1979-1981), staf redaksi pada majalah Keluarga (Jakarta,
1981-1986), dan dewan redaksi pada majalah Amanah (Jakarta, 1986-1993). Ia
mengaku tidak betah tinggal di kota Jakarta karena kota terasa sangat sibuk dan
bising. Oleh karena itu, sejak tahun 1993, ia memilih pulang ke kampung
halamannya. Ia menjadi penulis lepas di beberapa surat kabar dan majalah serta
80

menjadi anggota Poet Essaist and Novelis. Ia sering menulis kolom di harian
Suara Merdeka Semarang dan aktif mengisi berbagai seminar sastra dan budaya.
Ahmad Tohari dan kakaknya mengelola sebuah pesantren peninggalan
orangtuanya di desa kelahirannya untuk mengembangkan potensi dan
pemberdayaan umat. Ahmad Tohari tinggal bersama istrinya, yakni Syamsiah
yang kesehariannya bekerja dinas sebagai guru di sebuah sekolah dasar. Tiga
anaknya telah berhasil dikuliahkan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
sedangkan dua anaknya yang lain dikuliahkan di Universitas Jenderal Sudirman
Purwokerto. Ia mengaku sangat bersyukur dapat menyekolahkan anak-anaknya
ke jenjang pendidikan tinggi. Ia merasa dapat “membalas dendam” atas
kegagalan kuliahnya.
Ahmad Tohari termasuk pengarang yang produkif. Karya sastra yang
telah dihasilkannya cukup banyak. Upacara Kecil adalah cerpen pertamanya
yang dimuat di media massa. Awalnya, ia hanya sekadar menulis. Akan tetapi,
Ia memantapkan untuk menulis setelah cerpennya Jasa-jasa buat Sanwirya
memperoleh Hadiah Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep
pada tahun 1975. Di Kaki Bukit Cibalak merupakan novel pertamanya yang
dimuat secara bersambung di Harian Kompas pada tahun 1979 (diterbitkan
menjadi buku oleh PT Gramedia Jakarta tahun 1986). Setelah itu, lahirlah
novelnya yang kedua Kubah pada tahun 1980. Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan
Buat Emak (1982) adalah novel ketiganya, yang merupakan trilogi bersama
Lintang Kemukus Din Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986). Setelah trilogi
RDP, kemudian lahir kumpulan cerpen Senyum Karyamin (1989), novel Bekisar
Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (kumpulan
cerpen, 2000), Belantik (Bekisar Merah II) (2001), dan Orang-orang Proyek
(2002, diterbitkan kembali oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007).
Trilogi novelnya yang populer dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk diterbitkan
menjadi satu buku oleh PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta (2003) yang
memuat ketiga novelnya yakni Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari,
dan Jentera Bianglala dengan memasukkan bagian-bagian yang disensor selama
22 tahun.
81

Berbagai penghargaan pernah diterima Ahmad Tohari. Ia menerima:


hadiah sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep untuk cerpen
Jasa-jasa Buat Sanwirya (1975), hadiah dari Yayasan Buku Utama untuk novel
Kubah (1980), hadiah sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta
untuk novel Di Kaki Bukit Cibalak (1986). Ketika mengikuti International
Writing Programme di Amerika Serikat ia memperoleh penghargaan Fellow
Writer the University of Iowa (1990), Penghargaan Bhakti Upapradana dari
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk Pengembangan Seni Budaya (1995),
dan South East Asia Writes Award, Bangkok (1995).
Ahmad Tohari memanfaatkan karya sastra sebagai penyalur atau
perwujudan gagasan untuk membela nasib masyarakat yang lemah dan tak
berdaya menghadapi kekuasaan. Ahmad Tohari sering berkhotbah di hadapan
banyak orang, tetapi Ahmad Tohari merasa batinnya belum puas sehingga
memilih novel sebagai jalan lain yang diyakini akan menyentuh mata batin
sejumlah orang. Ahmad Tohari memperkaya ide dengan memahami kehidupan
orang-orang miskin dan orang-orang yang termarjinalkan oleh politik. Ia
kemudian menyadari bahwa setiap orang bebas memandang suatu permasalahan
dari sudut manapun. Kebebasan seperti itulah yang menyebabkan imajinasinya
tetap kaya.
Setiap pengarang memiliki gaya dalam menciptakan karya sastra. Akan
tetapi, gaya tersebut tidak lepas dari pengaruh-pengaruh di luar pengarang.
Begitu pula dengan Ahmad Tohari. Ia mengaku banyak terpengaruh dari
sastrawan-sastrawan ternama di Indonesia. Ia terpengaruh oleh Amir Hamzah
dalam hal kehalusan bahasa. Ia terpengaruh oleh Buya Hamka dalam hal
religiositas. Soal romantisme Jawa, ia sangat terpengaruh oleh Ani Asmara, dan
soal keberanian, ia terpengaruh oleh Chairil Anwar.
(Dirangkum dari: Ahmad Tohari, 2007: 221; Ahmad Tohari, 2009: 405-
406; Nur Latifah US, 2007: 6-10; Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 10-12; dan
Yudiono K.S., 2000: 340-341).
82

B. Analisis Data dan Pembahasan


Analisis data menjadi sarana untuk menjawab pokok permasalahan
dalam penelitian ini. Analisis mengacu prosedur ilmiah yang telah dijelaskan
dalam bab-bab sebelumnya. Di dalam analisis data ini, peneliti menganalisis
novel Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Peneliti membagi alur
analisis data untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang novel Orang-
orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Pada analisis data, novel Orang-orang Proyek disingkat OOP dan trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk disingkat RDP. Data hasil wawancara disebut
Catatan Hasil Wawancara dan disingkat CHW. Penyingkatan ini dilakukan
untuk mempermudah dalam menganalisis data. Berikut adalah analisis novel
Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari berdasarkan pendekatan strukturalisme genetik.

1. Keterjalinan Antarunsur Intrinsik Novel Orang-orang Proyek dan


Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
a. Keterjalinan Antarunsur Intrinsik Novel Orang-orang Proyek Karya
Ahmad Tohari
1) Tema
Tema adalah gagasan dasar dari sebuah karya sastra yang terkandung di
seluruh unsur cerita dan digunakan untuk menjawab makna cerita karya sastra
tersebut. Ada lima tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 80-81), yakni tema tingkat fisik, organik, sosial, egoik, dan
divine. Jika dipandang dari tingkat pengalaman jiwa, tema dalam novel OOP
digolongkan sebagai tema sosial. Tema sosial mengacu pada masalah-masalah
sosial dalam cerita novel tersebut. Masalah sosial berupa masalah ekonomi,
politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, dan masalah lainnya
terutama yang berhubungan dengan kritik sosial. Di dalam novel ini memuat
beberapa permasalahan sosial yang menimbulkan konflik antartokoh. Tema
sosial terangkat dalam novel ini karena cerita dalam novel tersebut menceritakan
83

suatu masyarakat yang heterogen. Heterogenitas tersebut menciptakan gradasi


status sosial setiap tokoh sehingga menimbulkan masalah sosial yang memicu
timbulnya konflik. Masalah sosial yang menonjol dalam novel ini adalah
masalah yang berakar pada proyek pembangunan jembatan yang dikerjakan
Kabul. Di dalam proyek tersebut, Kabul tidak kuasa untuk melawan penguasa
yang sewenang-wenang menggunakan dana proyek untuk kepentingan politik.
Dana proyek seharusnya hanya untuk pembangunan jembatan agar kualitas hasil
pembangunan jembatan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akan
tetapi, banyak oknum atau pejabat yang mencampuri urusan proyek dan
menyalahgunakan dana proyek. Gambaran mengenai masalah tersebut
dijelaskan dalam kutipan cerita OOP berikut.
“Di proyek yang sedang digarap, Kabul menghadapi permainan-permainan
kotor yang dilakukan oleh mereka yang resmi mengaku beragama, sudah
pula ditatar dengan Pedoman Pengalaman Pancasila. Tetapi mereka tetap
serakah. Anggaran, fasilitas, maupun barang-barang proyek yang
sesungguhnya milik rakyat acap menjadi bahan bancakan. Dan dengan
adanya proyek pembangunan jembatan itu, saya senang tapi susah.” (OOP:
44)

Kutipan di atas memperlihatkan Kabul mengalami sebuah konflik batin


yang kuat. Ia senang mendapat proyek, tetapi di lain pihak ia susah karena dana
proyek sering digunakan sebagai bancakan atau disalahgunakan oleh pihak-
pihak tertentu di luar proyek. Hal ini dimasukkan dalam tema sosial karena dana
pembangunan jembatan pada dasarnya adalah dana dari rakyat yang telah
membayar pajak. Selain itu, pembangunan jembatan tersebut adalah untuk
kepentingan rakyat sendiri sehingga kualitasnya harus dipertanggungjawabkan
demi keselamatan dan kemaslahatan masyarakat.
Tema dalam novel OOP secara umum dibagi menjadi dua yakni, tema
mayor dan tema minor.
a) Tema Mayor.
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan
dasar umum suatu karya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Tema mayor dalam
novel OOP karya Ahmad Tohari adalah kritik sosial. Kritik sosial adalah
masalah pokok yang sering diceritakan dalam novel ini. Sejak awal penceritaan,
84

nuansa kritik sosial sangat terasa dalam novel ini. Salah satu contoh adalah
kegelisahan Kabul karena waktu pengerjaan proyek dipercepat, padahal musim
masih penghujan. Rekomendasi perancang agar proyek dimulai waktu kemarau
diabaikan oleh pimpinan yang berkuasa atas proyek tersebut. Percepatan
pelaksanaan proyek mempunyai alasan agar jembatan cepat selesai dan dapat
digunakan untuk kampanye partai golongan penguasa. Akan tetapi, pada musim
penghujan, banjir membuat tiang pancang jembatan menjadi miring sehingga
pekerjaan harus diulang lagi dari awal. Hal ini dijelaskan dalam kutipan dialog
Kabul berikut.
“Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal
menghendaki jembatan itu selesai sebelum pemilu 1992. Karena, saya kira,
peresmiannya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan
penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-
ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik.” (OOP: 10)

Kritik terhadap pemerintah dalam cerita ini sangat terlihat jelas. Kritik
tersebut mengacu pada beberapa oknum pemerintahan yang menyalahgunakan
jabatannya dengan sewenang-wenang. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita
OOP berikut.
Proyek ini, yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri akan menjadi
beban masyarakat, mereka anggap milik pribadi. Kabul tahu bagaimana
bendahara proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai golongan
penguasa. Kendaraan-kendaraan proyek wajib ikut meramaikan perayaan
HUT golongan itu. Malah pernah terjadi pelaksana proyek diminta
mengeraskan jalan yang menuju rumah ketua partai golongan karena tokoh
itu akan punya hajat. Bukan hanya mengeraskan jalan, melainkan juga
memasang tarub. Belum lagi dengan oknum sipil maupun militer, juga
oknum-oknum anggota DPRD yang suka minta uang saku kepada
bendahara proyek kalau mereka mau plesir ke luar daerah. (OOP: 25-26)

Novel OOP memaparkan tentang orang-orang yang terlibat komunis. Di


dalam cerita novel ini, orang-orang yang disangka dan berkaitan dengan
komunis atau Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu dianaktirikan oleh
pemerintah yang saat itu adalah pemerintahan Orde Baru. Kritik sosial tentang
penganaktirian atau diskriminasi atas orang-orang yang dianggap komunis
dipaparkan dalam kutipan cerita OOP berikut.
85

Tapi, Kabul, benarkah kamu akan seberani itu? Sebab bila kamu berani
membantah, si Tamu-1 pasti akan menerormu dengan tuduhan sengit;
loyalitasmu terhadap Orde Baru diragukan—tak mau berpartisipasi dalam
pembangunan. Atau kamu akan diteliti, dikuliti, sampai mereka yakin
bahwa kamu bersih lingkungan. Yakni, kamu anak, kemenakan, sepupu,
jauh, satu buyut, dengan orang yang terlibat gerakan komunis. (OOP: 85-
86)

Cerita dalam novel OOP tidak hanya mengkritik para pimpinan atau
pejabat saja, tetapi mengkritik rakyat yang tertular sifat pejabat yang tercela. Di
dalam novel diceritakan melalui dialog Pak Tarya yang menganggap orang
kampung juga bisa berbuat korupsi dan menyuap. Petikan dialog dipaparkan
sebagai berikut.
“He-he-he... itu dulu, Mas Kabul. Sekarang lain. Sekarang orang kampung
menganggap, misalnya, mengambil aspal dari pinggir jalan adalah perkara
biasa. Bila ketahuan, ya mereka akan membelikan rokok buat pak mandor.
Selesai. Atau, mereka takkan merasa bersalah karena menebang kayu jati di
perkebunan negara, karena mereka tahu banyak pagar makan tanaman. Jadi
kalau kuli-kuli Anda mencuri semen dan orang kampung jadi penadahnya,
apa aneh?” (OOP: 19)

b) Tema Minor
Tema minor adalah makna yang hanya terdapat dalam bagian-bagian
cerita tertentu saja (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 83). Tema minor disebut juga
tema tambahan. Tema minor akan melengkapi tema mayor. Ada beberapa tema
minor dalam novel OOP karya Ahmad Tohari. Tema minor itu adalah
percintaan, kejujuran, dan persahabatan.
(1) Tema Percintaan
Tema percintaan dihadirkan dalam cerita sebagai bumbu agar cerita
dalam novel semakin menarik. Tema tentang percintaan sangat menonjol atas
dukungan tiga orang tokoh, yakni Kabul, Wati, dan Yos. Pada awalnya kisah
percintaan dimulai dari gosip yang dimunculkan Mak Sumeh. Mak Sumeh
berkata kepada Kabul bahwa Wati suka dengan Kabul. Berikut adalah kutipan
ceritanya.
“Anu. Tapi sebelumnya aku minta maaf. Apa Pak Insinyur belum tahu
Wati... anu... suka sama pak Insinyur?” Mak Sumeh menatap lurus ke arah
mata Kabul. Yang ditatap mengangkat alis. (OOP: 46)
86

Orang-orang sekitar proyek akhirnya terpengaruh adanya isu hubungan


Wati dengan kabul. Perbincangan ada hubungan khusus antara Wati dan Kabul
mulai sering terdengar dari orang-orang di sekitar Kabul. Bahkan masalah itu
pun terdengar oleh Basar yang memiliki status kepala desa di lokasi proyek
Kabul. Hal ini dijelaskan dalam kutipan pertanyaan yang dilontarkan Basar
kepada Kabul berikut. “Suara di luar kian santer. Orang bilang, kamu pacaran
sama Wati. Betul?” (OOP: 105)
Sikap Wati terhadap Kabul pada dasarnya melebihi sikap wajar sebagai
bawahan Kabul. Wati merasa ingin memperhatikan dan diperhatikan oleh Kabul.
Wati pernah menyediakan perangkat untuk salat Jumat bagi Kabul. Wati sangat
gembira saat Kabul sedang malas keluar untuk makan siang dan menawarkan
untuk makan di dalam ruangan kantor. Kegembiraan Wati disebabkan dirinya
dapat makan berdua hanya dengan Kabul. Kutipan dialog Wati berikut
memperjelas kegembiraan Wati.
“Mas ingin makan di ruang ini? Wah, ini kejutan. Aku suka sekali, Mas.
Sebab, seperti di rumah sendiri, ya kan? Sedangkan makan di warung?
Sumpek. Banyak orang, lagi.” (OOP: 97)

Percintaan segitiga ditunjukkan dalam cerita novel ini. Percintaan


segitiga terjadi karena Wati suka terhadap Kabul, sedangkan Wati sudah
mempunyai pacar, yakni Yos. Rasa suka Wati terhadap Kabul mendapat
tanggapan dingin dari Kabul karena Kabul tahu Wati sudah mempunyai pacar.
Kesungguhan Wati terhadap Kabul dibuktikannya dengan memberikan
keputusan yang sulit bagi Yos, yakni menikah atau putus. Menikah bagi Yos
tentu hal yang sulit karena ia masih kuliah. Akhirnya putus hubungan dengan
Wati adalah jalan terbaik bagi Yos. Akhirnya, Wati resmi menikah dengan
Kabul. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita OOP berikut.
Libur akhir tahun ingin dinikmatinya di rumah Biyung bersama Wati yang
sudah menjadi nyonya Kabul. (OOP: 217)

(2) Tema Kejujuran


Kejujuran tampak pada Kabul yang jujur terhadap profesi yang
ditekuninya. Idealismenya sebagai insinyur tetap dijaga sebagai bentuk kejujuran
87

yang harus dibela dan dipertahankan. Kabul sebagai ketua pelaksana konstruksi
proyek tidak mau menerima suap dan bertanggung jawab atas kualitas hasil
kerjanya. Kabul bingung harus memilih di antara dua pilihan, yakni bertahan
dengan idealismenya atau keluar dari proyek yang sebenarnya ia banggakan. Hal
ini dijelaskan dalam kutipan cerita OOP berikut.
Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara
kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan
keberpihakkan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan
manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya
adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena
keduanya hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?
Mungkin. Atau entah. Yang jelas bagiku kecurangan besar maupun kecil
yang terjadi di proyek ini pastiakan mengurangi tingkat kesungguhan,
bahkan menghianati tujuan dasarnya. Dan hatiku tak bisa menerimanya.
(OOP: 34)

Cerita selanjutnya menunjukkan Kabul tetap mempertahankan


idealismenya sebagai insinyur. Di tengah tekanan-tekanan yang bersimpangan
dengan idealismenya sebagai insinyur, ia memilih mengundurkan diri dari
proyek. Pengunduran diri Kabul bukanlah suatu bentuk dari sifat pengecut,
tetapi semua itu dilakukan karena Kabul memang mempunyai prinsip yang kuat.
Hal ini dijelaskan dalam kutipan dialog Kabul berikut.
“Maaf, Pak Dalkijo. Kalau keputusan Anda sudah final, saya pun tak
mungkin berubah. Saya tetap mengundurkan diri.” (OOP: 198)

“Maaf, Wat, aku memutuskan berhenti karena prinsip yang harus kubela.
Aku harus pergi, namun aku minta kamu tetap bekerja sampai proyek ini
selesai. Atau dianggap selesai menjelang pada HUT GLM, kira-kira sebulan
lagi.” (OOP: 201)

(3) Tema Persahabatan


Tema persahabatan dalam cerita ini adalah persahabatan antara Kabul
dengan orang-orang di dalam proyek dan masyarakat sekitar proyek. Perkenalan
Kabul dan tokoh yang bernama Pak Tarya semakin menambah alur dalam cerita.
Pak Tarya bagi Kabul adalah seorang yang nyaman untuk diajak ngobrol. Kabul
dan Pak Tarya berhubungan akrab, walaupun mereka belum lama saling kenal.
Mereka baru kenal setelah Kabul menangani suatu proyek pembangunan
88

jemabatan di dekat desa Pak Tarya. Hal ini dijelaskan pada kutipan dialog Pak
Tarya berikut.
“Ah, saya jadi malu. Yah, sampeyan tidak tahu saya suka main seruling
karena kita belum lama kenal. Sampeyan pendatang dan saya orang sini asli.
Kalau bukan karena proyek pembuatan jembatan di hilir itu, mungkin kita
takkan pernah bertemu.” (OOP: 8)

Di dalam novel OOP, Kabul diceritakan sebagai insinyur yang


menangani suatu proyek pembangunan jembatan. Akan tetapi, ia tidak sombong
dengan prestisenya. Ia mau berteman dengan siapa saja, termasuk berteman
dengan seorang banci yang bernama Tante Ana. Tante Ana sering menghibur
para tukang di proyek. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan dialog yang
disampaikan Kabul kepada Tante Ana berikut.
“Ya, aku suka sama kamu karena kita sudah jadi teman. Iya, kan? Kamu
mau punya teman aku?” (OOP: 165)

Cerita persahabatan dalam novel OOP ditemukan melalui hubungan


antara Kabul dan Basar. Kabul dan Basar diceritakan sebagai mantan mahasiswa
yang dulu aktif dalam berbagai kegiatan. Mereka berasal dari satu perguruan
tinggi namun hanya berbeda fakultas. Mereka bertemu karena lokasi proyek
yang dipegang Kabul berada dalam desa yang dikepalai Basar. Persahabatan
antara Kabul dan Basar ditunjukkan dalam kutipan-kutipan dialog Basar kepada
Kabul berikut.
“Bul, cukup. Aku masih temanmu seperti lima tahun lalu ketika kita masih
sama-sama aktivis kampus. Dan asal kamu tahu, mungkin aku satu-satunya
kades yang diam-diam golput. Maka dengarlah. Sekarang kita bicara tanpa
Baldun. Pada prinsipnya aku mengerti dan mendukung sikapmu. Kamu juga
pernah bilang sebaiknya aku tetap menjadi kades. Jadi, mari kita berbagi
pengertian.” (OOP: 144)

“Bul, kali ini aku datang sebagai teman. Artinya, sama sekali tidak ada
kaitannya dengan jabatanku sebagai kades.” (OOP: 105)

2) Penokohan
Tokoh dalam suatu novel menjadi akar pokok terjadinya jalinan konflik
dan alur. Berdasar pada teori strukturalisme genetik, dalam analisis penokohan
akan dideskripsikan penokohan pada tokoh hero dan hubungannya dengan tokoh
89

yang lain dalam membentuk keterjalinan cerita dalam novel. Hal ini sejalan
dengan pendapat Goldmann (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 55) yang
menyatakan bahwa konsep strukturnya menitikberatkan pada relasi antartokoh
yang bersifat tematis. Di dalam novel OOP terdapat banyak tokoh dalam
mendukung keterjalinan cerita. Di bawah ini dipaparkan penjelasan mengenai
penokohan dan hubungan antartokoh dalam novel OOP.
a) Kabul
Kabul digolongkan ke dalam tokoh utama protagonis. Tokoh protagonis
adalah tokoh yang mendukung cerita (Herman J. Waluyo, 2002: 16). Kabul
bersifat dominan dan selalu diceritakan dari awal hingga akhir cerita. Kabul
adalah seorang insinyur yang sedang menangani suatu proyek pembangunan
jembatan. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita OOP berikut.
Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak semua permainan ini. Mutu
bangunan menjadi taruhan. Padahal bila mutu bangunan dipermainkan,
masyarakatlah yang pasti akan menanggung akibat buruknya. Dan bagi
Kabul hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya.
(OOP: 28)

Berdasarkan kutipan di atas, diketahui kalimat pertama menekankan


kedudukan Kabul sebagai seorang insinyur. Selain itu, ia sebagai seorang
insinyur merasa bertanggung jawab terhadap hasil pembangunan proyek yang
ditanganinya. Ia tidak ingin profesinya sebagai insinyur dinodai dengan urusan
politik kotor yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan urusan pembangunan
proyek. Berdasarkan fisik, Kabul adalah tokoh yang masih muda, berwajah
bersih, dan pandai. Penjelasan ini dikuatkan dalam kutipan berikut.
Pak Tarya memerhatikan kepergian Kabul sampai lelaki muda itu lenyap ke
arah hilir melewati tepian sungai yang berbatu-batu. “Anak pandai” pikir
Pak Tarya. “Kalau tidak, mustahil lelaki semuda itu dipercaya menjadi
kepala pelaksana pembangunan jembatan yang bernilai ratusan juta. Atau
bahkan miliar? Dan wajahnya bersih. Sorot matanya terasa memancarkan
kesederhanaan. Atau kesejatian. Ah nanti dulu, toh dia bagian dari mereka,
orang proyek!” (OOP: 11-12)

Di sekitar pembangunan proyek, Kabul lebih sering dipanggil Pak


Insinyur. Di dalam novel diceritakan bahwa panggilan insinyur lebih pantas dan
90

terhormat daripada menyebut nama. Adapun kutipan yang memperjelas


pernyataan tersebut disebutkan di bawah ini.
Di kalangan jemaah masjid kampung, Kabul sudah menjadi sosok yang
sangat dikenal karena sudah puluhan kali ikut Salat Jumat di sana. Dan
mereka tidak suka menyebut nama. Karena mereka merasa lebih sopan
dengan menyebut dia Pak Insinyur, atau Pak Pelaksana. (OOP: 36)

Beracuan pada kutipan di atas, diketahui Kabul adalah sosok yang rajin
dan tekun melaksanakan ibadah salat. Ibadah salat yang dilaksanakan Kabul
menandakan bahawa dia beragama Islam. Selain kutipan di atas, sifat rajin dan
ketekunan Kabul dalam melaksanakan ibadah salat tercermin dalam kutipan
cerita OOP berikut.
Kabul agak terlambat bangun. Lari ke kamar mandi, keluar, menyambar
sajadah. Mandinya belakangan. (OOP: 73)

Kutipan kalimat dari cerita novel OOP di atas menyiratkan bahwa Kabul
mengutamakan salat subuh karena terlambat bangun dan menunda aktivitas
mandi di pagi hari. Di dalam cerita, latar belakang Kabul pun diungkap. Kabul
diceritakan sebagai mantan aktivis kampus. Semasa Kabul kuliah, ia aktif dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat kritis seperti demonstrasi dan diskusi. Hal ini
dijelaskan dalam kutipan cerita OOP berikut.
“...Mungkin karena saya terlalu banyak kehilangan waktu, untuk
demonstrasi menentang kerunyaman kampus atau diskusi-diskusi dengan
anak-anak yang pinter. Ah, saya sendiri merasa saya memang pantas
ditinggalkan pacar.”
“Jadi dulu Anda aktivis?”
“Mungkin ya. Tapi tak bisa lanjut karena saya harus cari uang untuk
menghidupi ibu yang sudah sendiri, dan adik-adik. Kami sama seperti
kebanyakan orang kampung ini, miskin.”(OOP: 22)

Beracuan pada kutipan di atas, diketahui bahwa kesibukan Kabul sebagai


aktivis semasa kuliah dahulu menyebabkan ia ditinggalkan pacarnya. Pertanyaan
“Jadi dulu Anda aktivis?” yang dilontarkan oleh Pak Tarya dan dijawab dengan
“Mungkin ya. ...” oleh Kabul, menguatkan Kabul memang seorang mantan
aktivis kampus. Beracuan pada kutipan di atas, diketahui Kabul adalah sosok
yang penuh tanggung jawab dan mandiri. Keadaan telah memaksa Kabul untuk
menanggalkan status aktivis dan memperjuangkan kuliah dan keluarganya.
91

Keluarga yang dimiliki Kabul adalah ibu dan adik-adiknya karena ayahnya telah
tiada. Keadaan seperti itulah yang memaksa Kabul untuk menjadi tulang
punggung keluarga.
Kabul sebagai tokoh utama protagonis dalam cerita novel OOP
direfleksikan sebagai tokoh yang mempunyai kepribadian yang baik. Kabul
sebagai mantan aktivis tetap idealis terhadap pemikirannya. Ia tidak terjebak
oleh situasi yang selalu menekan dirinya untuk melepaskan idealismenya,
bahkan ketika dirinya diejek sebagai Don Kisot oleh Dalkijo. Idealisme
mengarahkan dirinya untuk tetap berpedoman pada peraturan-peraturan yang
dinilai benar dan tepat. Deskripsi tentang idealisme Kabul dijelaskan dengan
beberapa kutipan dialog tokoh Dalkijo di bawah ini.
“Ya, saya bisa mengira-ngira. Mantan aktivis seperti Dik Kabul tentu
menghendaki perubahan besar di berbagai bidang. Korupsi dalam berbagai
bentuk dan manifestasinya harus dihilangkan. Pemerintah mesti cakap,
berwibawa, dan terpercaya. Lembaga legislatif harus selalu berpihak kepada
kepentingan rakyat. Pokoknya demokrasi harus benar-benar tegak. Dengan
demikian, cita-cita membangun kehidupan bersama yang adil dan makmur
bisa menjadi kenyataan. Terus dan terus. Ya, ya. Dan dalam kaitan dengan
proyek ini, lelang harus seratus persen dibelanjakan untuk kepentingan
proyek, sehingga mutunya memenuhi persyaratan objektif. Nah, itu bagus.
Koboi seperti saya juga bisa bilang itu bagus.” (OOP: 30)

“Baik! Tapi jangan salahkan aku bila Dik Kabul harus menghadapi
interogasi aparat keamanan. Dan ini, Dik Kabul. Idealismemu tidak akan
membuat jadi pahlawan. Kecuali Don Kisot!” (OOP: 200)

Posisi Kabul sebagai insinyur pelaksana proyek menuntutnya untuk


bersifat bijaksana. Di tengah-tengah konflik yang terjadi, ia harus mengambil
jalan tengah yang tepat. Kabul bersifat bijaksana dan pemaaf ketika dirinya
menghadapi Kang Martasatang dan Wircumplung yang membuat onar di kantor.
Keonaran itu terjadi karena ada salah paham antara Kang Martasatang dengan
Kabul. Kang Martasatang menuduh Kabul mengorbankan anaknya untuk
dijadikan tumbal dalam pembangunan proyek sehingga Kang Martasatang
marah dan membuat onar di kantor. Setelah fakta terungkap bahwa anak Kang
Martasatang tidak dijadikan tumbal, Kabul tidak mempersoalkan keonaran dan
92

kerusakan yang terjadi dalam kantor. Ia memaafkan Kang Martasatang.


Penjelasannya ditunjukkan dalam kutipan cerita OOP berikut.
“Ya, Pak Tarya. Dan saya nyaris celaka. Tapi sudahlah. Semua sudah lewat
dan saya sudah memaafkan Kang Martasatang”. (OOP: 132)

Di dalam jalinan cerita OOP, Kabul digambarkan sebagai sosok yang


sabar dan tidak lekas marah. Kabul dapat menahan amarah yang berkecamuk di
dalam dirinya ketika menghadapi suatu masalah. Hal ini dijelaskan dalam
kutipan cerita OOP berikut.
Dia tersinggung, karena ada orang membanting gelas di kantornya. Tapi
Kabul berusaha keras mengendalikan perasaan. Menahan kemarahan.
(OOP: 178)

Tenang. Kabul tampak sangat tenang. Dan dia sebenarnya sudah


menyediakan cukup kata-kata untuk menanggapi tekanan Dalkijo. Namun
Kabul memilih diam sejenak. (OOP: 200)

Kutipan (OOP: 178) adalah kutipan cerita ketika Yos sedang bertengkar
dengan Wati di dalam kantor proyek. Kabul sebagai pelaksana proyek
tersinggung karena ada yang membuat ribut di dalam kantornya. Akan tetapi,
sifat sabarnya lebih menguasai amarahnya. Di lain sisi, sifat pemaaf, penyabar,
dan mampu menahan amarah yang dimiliki Kabul menyiratkan bahwa Kabul
kurang profesional sebagai kepala pelaksana yang dalam hal ini ia adalah
seorang pemimpin. Ia sebagai pemimpin seharusnya lebih tegas terhadap segala
masalah yang menyangkut urusan kerja.
Jalinan cerita dalam novel menggambarkan Kabul sebagai sosok yang
penuh kasih dan sayang. Kabul sangat menyayangi keluarganya. Salah satu
contoh bentuk kasih sayangnya adalah ketika Kabul memberi perhatian terhadap
adiknya yang kepanasan karena sedang melihat pelaksanaan pembangunan
jembatan. Penjelasan tersebut ditunjukkan dalam kutipan cerita OOP berikut.
“Itu bagus. Dan sekarang carilah tempat yang teduh. Atau pakailah ini.”
Kabul melepas helm dan langsung menaruhnya di atas kepala Aminah yang
tertutup kerudung (OOP: 175)

Beracuan pada beberapa analisis data di atas, disimpulkan bahwa Kabul


adalah tokoh utama protagonis yang memiliki peran sebagai insinyur. Di dalam
93

cerita novel OOP, Kabul merupakan tokoh hero yang mengalami berbagai
problematika. Kabul digambarkan sebagai insinyur yang pandai, berwajah cerah,
rajin beribadah, idealis, bertanggung jawab, mandiri, bijaksana, pemaaf, tidak
lekas marah, sabar, dan penuh kasih sayang.
b) Pak Tarya
Di dalam cerita novel OOP, Pak Tarya diposisikan sebagai tokoh
tambahan yang protagonis. Peran Pak Tarya dalam novel ini lebih sebagai
penyeimbang cerita. Pak Tarya dideskripsikan berumur sudah tua, namun masih
memiliki semangat yang tinggi. Pak Tarya diceritakan sebagai seorang yang
mempunyai hobi memancing. Hal ini ditunjukkan dari kutipan-kutipan cerita
OOP berikut.
“Ya, sampai beberapa hari yang lalu saya hanya tahu Pak Tarya tukang
mancing... .” (OOP: 9)

Pak Tarya, pemancing tua yang gemar bermain seruling untuk diri sendiri
itu, tinggal agak jauh. Namun dia selalu melewati proyek setiap kali pergi
memancing di bawah pohon arah ke hulu. (OOP: 16-17)

Kabul tersenyum. Dan tambah yakin, dalam soal mancing, Pak Tarya
memang sangat berpengalaman. (OOP: 21)

Naik kembali ke badan jembatan Kabul tiba-tiba menghentikan langkah.


Diam untuk memasang telinga. Seruling! Ya, lamat-lamat Kabul mendengar
bunyi itu. Pasti Pak Tarya sedang menunggui pancing sambil duduk meniup
serulingnya. (OOP: 218)

Di dalam cerita, Pak Tarya dikenal sebagai pensiunan pegawai Kantor


Penerangan. Selain itu, Pak Tarya diceritakan sebagai seorang laki-laki yang
telah kehilangan kejantanan atau impotensi. Hal-hal tersebut dijelaskan dalam
kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
“... Tapi kini saya sudah dapat informasi yang lebih lengkap bahwa
sebetulnya Pak Tarya adalah pensiunan pegawai Kantor Penerangan. ...”
(OOP: 9)

Bagi Pak Tarya impotensi ternyata bisa juga dinikmati. Yakni sebagai ruang
di mana kenangan akan kemudaannya dulu terasa lebih manis dan lebih
mengesankan untuk diingat. (OOP: 17)
94

Hubungan antara Kabul dan Pak Tarya adalah hubungan sosial antara
seorang pelaksana proyek dengan seorang warga yang tinggal di sekitar proyek.
Akan tetapi, hubungan tersebut menjadi semakin intim karena mereka sering
bertemu dan mempunyai arah pemikiran yang sama. Pak Tarya adalah orang
pertama yang mendapat keluh kesah dari Kabul soal kecurangan-kecurangan di
dalam proyek. Salah satu kutipan yang memperjelas pernyataan tersebut adalah
dua dialog dari Pak Tarya dan Kabul berikut.
“Tapi, Mas Kabul, banjir adalah urusan alam. Jadi, buat apa disesali dan
dibuat sedih?
“Karena kerugian itu sesungguhnya bisa dihindarkan bila awal pelaksanaan
pembangunan jembatan itu ditunda sampai musim kemarau tiba beberapa
bulan lagi. Itulah rekomendasi dari perancang. Namun rekomendasi itu
diabaikan, konon demi mengejar waktu”. (OOP: 10)

Kabul dan Pak Tarya adalah dua tokoh yang paling sering digunakan
pengarang untuk menggali nilai-nilai moral dalam cerita. Dialog dan narasi
cerita antara Pak Tarya dan Kabul sering menyinggung masalah-masalah sosial,
sejarah, dan filsafat. Penggalian nilai yang intens dari kedua tokoh ini dilakukan
oleh pengarang karena kedua tokoh tersebut memiliki pandangan sosial yang
sama. Masalah sosial, sejarah, dan filsafat digali melalui penggalan dialog Pak
Tarya berikut.
“Dulu Ki Ronggowarsito menciptakan tembang tentang zaman edan itu
sebagai peringatan agar orangtetap memilih jalan keselamatan, bukan jalan
gila. Namun sekarang tembang itu malah dihayati terbalik, sehingga seolah-
olah menjadi pembenar atas perilku edan. Buktinya, bila tidak ikut edan
tidak akan mendapat bagian. Artinya, banyak orang rela disebut edan
asalkan perut kenyang.” (OOP: 69-70)

Kabul dan Pak Tarya dalam novel OOP adalah dua tokoh yang
merefleksikan pesan moral yang diusung pengarang novel. Keterkaitan Pak
Tarya dengan konflik pada dasarnya adalah tipis dan tidak langsung terlibat
dalam konflik yang serius di dalam novel. Pak Tarya adalah tempat keluh kesah
Kabul soal konflik yang dihadapinya di dalam proyek.
c) Wati
Wati diposisikan sebagai tokoh tambahan yang protagonis di dalam cerita
novel OOP. Wati dalam cerita OOP cenderung untuk menekankan tema minor
95

yang mewarnai keterjalinan seluruh unsur cerita. Tema minor tersebut mengarah
pada tema tentang percintaan. Wati diceritakan sebagai wanita yang bekerja
sebagai penulis kantor di dalam proyek. Deskripsi tentang Wati dijelaskan pada
kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
Padahal dia berpendidikan sarjana muda kesekretariatan dan bisa
mengoperasikan komputer. Jadilah Wati pulang kampung, mengurus
administrasi proyek sambil, katanya, menunggu peluang pekerjaan yang
lebih baik. (OOP: 24)

Wati yang periang memang biasa menyapa siapa saja dengan bahasa dan
senyum yang sama hangatnya. Gayanya seperti anak usia enam belas,
padahal usia Wati sudah 23. (OOP: 24)

Berdasarkan kutipan di atas, diketahui bahwa Wati dideskripsikan


sebagai tokoh wanita periang berumur 23 tahun yang mempunyai gelar sarjana
muda. Walaupun demikian, gaya Wati dideskripsikan seperti anak usia enam
belas tahun.
Hubungan antara Kabul dan Wati adalah hubungan antara pimpinan dan
bawahan. Akan tetapi, cerita membawa hubungan Kabul dan Wati menjadi
hubungan yang tidak hanya sekadar hubungan pimpinan dan bawahan.
Penceritaan Kabul dan Wati diwarnai konflik tentang percintaan. Konflik
percintaan tersebut pada akhirnya menghubungkan Kabul dengan tokoh Yos
yang dijelaskan dalam kutipan dialog berikut.
“Maafkan aku Pak,” ujar Yos sambil melangkah ke arah Kabul. “Aku t
eman Wati. Namaku Yos. Aku telah berbuat kasar di tempat ini.” (OOP:
178)

Yos dalam cerita OOP dinarasikan sebagai pacar Wati. Hubungan


mereka tidak berjalan lancar karena hubungan jarak jauh dan Wati lebih tertarik
pada atasan kerjanya, yakni Kabul. Hal ini memunculkan konflik percintaan segi
tiga antara Wati, Yos, dan Kabul. Akan tetapi, akhirnya hubungan Wati dan Yos
pupus di tengah jalan. Konflik percintaan antara Kabul dan Wati pada akhirnya
membawa hubungan kedua tokoh ini menuju ke hubungan yang lebih serius,
yakni pernikahan. Dengan demikian, simpulkan bahwa kehadiran Wati adalah
kunci untuk menjabarkan tema minor, yakni tema percintaan.
96

d) Dalkijo
Dalkijo diceritakan sebagai tokoh tambahan antagonis. Tokoh antagonis
adalah tokoh penentang cerita (Herman J. Waluyo, 2002: 16). Dalkijo berperan
sebagai kepala proyek. Dalkijo adalah kepala proyek yang biasa untuk
melakukan korupsi. Sikap hidupnya pragmatis dan senang berfoya-foya.
Deskripsi Tokoh Dalkijo dijelaskan dalam kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
“... Dalkijo selalu memakai topi wol merek Stetson. Dan memakainya
dengan meniru gaya para koboi yang sering muncul di bioskop tahun enam
puluhan. Di atas sadel sepeda motor besar yang selalu dikendarainya ke
proyek, Dalkijo pun mengusahakan gayanya mirip para penunggang kuda
dari Texas. Agaknya kekoboian memang sudah merasuk ke dalam hidup
pemimpin proyek ini.” (OOP: 27)

Pengakuan Dalkijo mengesankan. Kabul memang sudah tahu gaya hidup


atasan dan keluarganya itu. Pragmatis, jor-joran. Hidup harus dinikmati atau
mencari nikmat dalam hidup. Ah, itu jalan yang dipilih koboi Dalkijo.
(OOP: 31)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa deskripsi fisik tokoh Dalkijo mirip


dengan koboi. Deskripsi secara psikologis mengarah ke sifat koboi. Tokoh
Dalkijo diceritakan hidup secara bermewah-mewahan karena ia sudah bosan
dengan hidup miskin. Status Dalkijo sebagai kepala proyek memungkinkan dia
untuk menyalahgunakan wewenangnya. Sifat-sifat seperti ini bertentangan
dengan Kabul yang idealis.
Status Dalkijo sebagai kepala proyek secara langsung memberi acuan
bahwa Dalkijo adalah atasan Kabul. Jadi, disimpulkan bahwa hubungan Kabul
dengan Dalkijo adalah hubungan antara bawahan dan atasan. Hubungan tersebut
memicu konflik karena perilaku atau watak kedua tokoh tersebut saling
berseberangan. Kabul seorang yang idealis, sedangkan Dalkijo seorang yang
pragmatis. Pertentangan watak inilah yang menghidupkan konflik cerita dalam
novel OOP.
e) Basar
Basar adalah tokoh tambahan tritagonis. Tokoh tritagonis adalah tokoh
pembantu baik untuk tokoh protagonis maupun tokoh antagonis (Herman J.
97

Waluyo, 2002: 16). Di dalam novel OOP, Basar diceritakan sebagai kepala desa
tempat proyek yang dilaksanakan oleh Kabul. Basar adalah teman sekampus
Kabul waktu masih kuliah. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita OOP berikut.
Hanya Basar, kepala desa yang dulu teman sekampus, masih sering
memanggil Kabul dengan namanya. (OOP: 36)

Basar diceritakan sebagai mantan aktivis seperti Kabul. Basar sebagai


bekas aktivis juga mengalami konflik batin dengan kontradiksi antara arah
pikirnya dengan cara kerja pemerintahan pada masa Orde Baru. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan-kutipan berikut.
“Seperti Kabul, saya juga sarjana dan mantan aktivis. Tapi di sini saya
adalah kepala desa yang wajib tunduk kepada orang pemerintah dan orang
partai golongan. ...” (OOP: 44)

“Memang salahku, bekas aktivis jadi kades di zaman Orde Baru yang gila
ini, “ keluh Basar. “ Ternyata tugas utama kades zaman Orde Baru bukan
melayani masyarakat, melainkan GLM. (OOP: 93)

Hubungan Kabul dan Basar adalah hubungan pertemanan. Selain itu,


hubungan mereka menjadi hubungan yang formal karena status Kabul sebagai
pelaksana proyek dan Basar sebagai kepala desa. Kehadiran Basar mendukung
penokohan Kabul, namun kadang juga menghambat karena Basar adalah salah
satu orang pemerintah yang menjabat sebagai kepala desa. Basar harus tunduk
kepada orang-orang golongan dan penghambat utama proyek yang dikerjakan
Kabul adalah ulah orang-orang golongan.
Kehadiran Basar juga menghubungkan antara Kabul dengan tokoh
Baldun. Baldun dideskripsikan sebagai ketua panitia renovasi masjid yang
meminta sumbangan dana dari proyek yang dikepalai Kabul. Deskripsi
mengenai tokoh Baldun ditunjukkan dengan kutipan cerita OOP berikut.
Hening sejenak, sampai terdengar Baldun terbatuk. Lelaki lima puluhan
tahun ini berjaket GLM, berkopiah. Sisa rambut yang tertutup mengilat oleh
minyak (OOP: 137)

Dan tak salah lagi, sebagai ketua renovasi masjid, Baldun mengajukan surat
permohonan bantuan kepada pelaksana proyek. Bantuan yang diminta
diharapkan berupa uang serta material bangunan, terutama besi beton dan
semen. (OOP: 137)
98

Kehadiran Baldun menambah konflik batin yang dialami Kabul. Kabul


mempunyai inisiasi untuk mengabulkan permohonan Baldun, namun bukan dari
dana pokok proyek. Kabul mengumpulkan barang-barang sisa proyek untuk
dijual dan hasilnya diberikan untuk renovasi masjid. Kabul bahkan menyumbang
lima puluh sak semen dari dana pribadinya. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan
cerita OOP berikut.
“Dan, Basar, kamu boleh ambil lima puluh sak semen dari toko Atay. Aku
pribadi yang akan membayarnya,” kata Kabul. (OOP: 144)

f) Pekerja Proyek
Pekerja proyek adalah orang-orang yang bekerja dalam proyek
pembangunan jembatan yang dikepalai Kabul. Pekerja proyek digolongkan ke
dalam tokoh tambahan tritagonis. Mereka adalah Kang Asep, Siringo-ringo,
Atay, Hutauruk, Bejo, Cak Mun, dan Sawin. Deskripsi tentang pekerja proyek
dijelaskan dengan beberapa kutipan cerita OOP berikut.
Ada operator alat berat bernama Siringo-ringo. Ada mandor bernama kang
Asep, ada pemasok bahan bangunan bernama Atay. Juga ada sopir
Hutauruk, tukang batu Bejo, atau tukang las Cak Mun. (OOP: 16)

Sudah empat hari Sawin, anak bungsunya yang ikut nguli di proyek, tidak
pulang. (OOP: 119)

Hubungan antara Kabul dan pekerja proyek adalah hubungan antara


atasan dan bawahan. Selain itu, kehadiran pekerja proyek menambah konflik
batin yang dialami Kabul. Pekerja-pekerja tersebut ternyata meniru ulah para
pejabat yang menyalahgunakan pekerjaan. Pekerja-pekerja proyek ikut berulah
curang demi keuntungan pribadi dalam pembangunan proyek. Berikut adalah
kutipan yang menjelaskan pernyataan tersebut.
Mandor yang mencatat penerimaan material pun pandai bermain. Dia bisa
bermain dengan menambah angka jumlah pasir atau batu kali yang masuk.
Truk yang masuk sepuluh kali bisa dicatat lima belas kali, dan untuk
kecurangan itu dia menerima suap dari para sopir. (OOP: 26)

g) Orang-orang di Sekitar Proyek


99

Orang-orang di sekitar proyek adalah orang-orang yang mempunyai


peran di sekitar proyek. Mereka adalah Mak Sumeh, Sri, Mita, Sonah, dan Tante
Ana. Tokoh-tokoh tersebut digolongkan ke dalam tokoh tambahan tritagonis.
Deskripsi tentang tokoh-tokoh tersebut dijelaskan dalam kutipan cerita OOP
berikut.
Mak Sumeh membawa barisan pelayan warungnya; Sri, Mita, dan Sonah.
Ketiganya baru belasan tahun, tidak hanya terampil menjadi juru saji,
melainkan juga pandai menjual senyum. Kadang, pada sore atau malam hari
ketika ada kerja lembur, datang juga Tante Ana, banci yang pandai main
mata, main goyang, dan main kecrek sambil nyanyi dangdut atau lagu-lagu
bergaya ludruk. (OOP: 16)

Hubungan antara kabul dan tokoh-tokoh yang disebutkan di atas pada


dasarnya adalah hubungan antara seorang kepala proyek dengan penjual
kebutuhan makanan dan hiburan di sekitar proyek. Selain itu, Kabul dan Mak
Sumeh mempunyai hubungan yang lebih akrab karena secara tidak langsung
Mak Sumeh adalah perantara terjalinnya kisah cinta antara Kabul dan Wati.
Masih ada tokoh lainnya yang digolongkan ke dalam orang-orang di
sekitar proyek, yakni Kang Martasatang dan Wircumplung. Kedua tokoh ini
digolongkan ke dalam tokoh tambahan antagonis. Hubungan kedua tokoh ini
dengan Kabul terjadi karena Kang Martasatang yang didukung oleh
Wircumplung menilai bahwa Kabul telah mengubur jasad anak Kang
Martasatang di dalam beton sebagai tumbal pembangunan proyek. Kang
Martasang mempercayai apa yang dikatakan oleh Wircumplung. Konflik batin
yang sedang melanda diri Kang Martasatang karena kehilangan anaknya
semakin bertambah akibat fitnah dari Wircumplung. Oleh karena itu, terjadi
konflik antara Kang Martasatang dan Kabul. Hal ini dijelaskan dalam kutipan
dialog Kang Martasatang berikut.
“Pak Kabul jangan pura-pura bingung!” kata-kata Kang Marta terdengar
makin mengeras. “Anak saya, Sawin, hilang karena tekah dijadikan tumbal
proyek ini dan jasadnya ikut dicor jadi bagian tiang jembatan. Sekarang
jawab: Iya apa tidak?” (OOP: 128-129).

h) Keluarga Kabul
100

Keluarga Kabul terdiri dari Biyung, Samad, dan Aminah. Biyung adalah
ibu kandung Kabul. Sedangkan Samad dan Aminah adalah adik kandung Kabul.
Tokoh-tokoh tersebut digolongkan ke dalam tokoh tembahan protagonis.
Deskripsi tokoh yang termasuk anggota keluarga Kabul dijelaskan dengan
beberapa kutipan cerita OOP berikut.
“Yang bener! Itu adikku Samad, datang kemarin sore. Dia mau pamer
karena sudah lulus. Insinyur hidro. Jadi di sini saat ini ada tiga orang dari
satu almamater; kamu, aku, dan adikku.” (OOP: 103).

“Dan adiknya, Aminah, malah lebih hebat. Dia tak mau lagi kusokong,
karena katanya sudah bisa nyambi jualan cendera mata. Aku hampir
menangis mendengarnya. Bayangkan, mahasiswi farmasi harus jualan
cendera mata; bagaimana membagi waktunya? Dan berapa untungnya?
(OOP: 103)

“... Agar bisa menyekolahkan kami, Biyung tidak pernah menanak nasi
tetapi oyek, semacam thiwul. Biyung kami juga bertani kecil-kecilan sambil
jualan klanthing dan gembus, insinyur oyek. Tidak lebih....” (OOP: 103)

Berdasarkan beberapa kutipan di atas, ditarik simpulan bahwa Samad


berperan sebagai tokoh yang baru saja menyelesaikan kuliah dan mempunyai
gelar insinyur hidro. Samad kuliah di kampus yang sama dengan kampus Kabul.
Jadi, mereka lulusan satu almamater. Aminah diceritakan sebagai adik kandung
Kabul yang masih kuliah di jurusan Farmasi. Kabul sangat menyayangi Aminah
dan bangga terhdapnya karena Aminah sanggup hidup mandiri. Biyung yang
tidak lain adalah ibu kandung Kabul diceritakan sebagai tokoh pekerja keras.
Biyung menyekolahkan ketiga anaknya hanya dengan bertani dan berjualan
klanthing dan gembus.
3) Alur
Stanton (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Di dalam novel OOP pengarang
membagi cerita menjadi lima bagian. Pembagian cerita ini memungkinkan
pembaca untuk lebih mudah memahami isi cerita. Penceritaan dalam novel OOP
sebagian besar pada dasarnya menggunakan alur lurus. Akan tetapi, pengarang
juga menggunakan alur sorot-balik di beberapa bagian. Adapun penggunaan alur
sorot-balik/flash-back ditunjukkan dengan dua kutipan cerita OOP berikut.
101

Pak Tarya terlena. Namun jiwanya melayang meniti suara seruling,


menembus masa lalu dan hadirnya bayangan jembatan. Ya, jembatan yang
empat puluh tahun lalu masih berdiri megah, namun kemudian sengaja
diledakkan pada tahun 1948. Para pemuda menghancurkan jembatan itu
dalam usaha menghambat laju tank-tank tentara Belanda yang mengejar
mereka. (OOP: 12)

Atau entahlah. Karena bayangan koboi Dalkijo mendadak lenyap dari


ingatan Kabul. Sebagai ganti, muncul satu-satu bayangan teman-teman
Kabul pada masa anak-anak. (OOP: 32)

Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149) membedakan tahapan


plot menjadi lima macam, yakni tahap Situation, generating circumstances,
ricing action, climax, dan denouement. Studi analisis tahapan alur dalam novel
OOP dijelaskan dengan pemaparan berikut.
a) Tahap Situation (Tahap Penyituasian)
Tahap situasi berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-
tokoh cerita. Cerita dalam novel OOP diawali dengan deskripsi latar. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita OOP berikut.
Pagi ini sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di
hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah menjadi watak sungai
pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung cepat. Air yang semula jernih
mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora setengah jam
kemudian. (OOP: 5)

Tapak proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor terletak di tengah


bulak, di wilayah kosong. (OOP: 15)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa latar tempat yang digunakan dalam


cerita adalah Sungai Cibawor. Sungai Cibawor digunakan sebagai latar tempat
karena di sana adalah tempat pelaksanaan proyek pembangunan jembatan.
Sungai Cibawor dijadikan sebagai latar tempat pusat pengisahan cerita yang
dibagi menjadi beberapa latar tempat yang lebih spesifik.
Selain deskripsi latar, tahap situasi mendeskripsikan tokoh-tokoh dalam
cerita. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa kutipan cerita OOP berikut.
Ketenangan di bawah pohon mbulu itu seakan diberi bobot lain oleh
kedatangan seorang pemancing tua. Lelaki itu telah lama menjadikan
kerindangan pohon mbulu di tepi Sungai Cibawor itu sebagai tempat yang
paling disukai. (OOP: 6)
102

Si pendatang, laki-laki muda dengan sepatu kulit dan baju katun lengan
panjang, dengan perkakas radio terselip di pinggangnya, tidak segera
menyatakan kehadirannya. (OOP: 7-8)

Mereka yang terlibat di proyek itu datang dari berbagai latar budaya
maupun kesukuan. Ada operator alat berat bernama Siringo-ringo. Ada
mandor bernama kang Asep, ada pemasok bahan bangunan bernama Atay.
Juga ada sopir Hutauruk, tukang batu Bejo, atau tukang las Cak Mun. Mak
Sumeh membawa barisan pelayan warungnya; Sri, Mita, dan Sonah.
Ketiganya baru belasan tahun, tidak hanya terampil menjadi juru saji,
melainkan juga pandai menjual senyum. Kadang, pada sore atau malam hari
ketika ada kerja lembur, datang juga Tante Ana, banci yang pandai main
mata, main goyang, dan main kecrek sambil nyanyi dangdut atau lagu-lagu
bergaya ludruk. (OOP: 16)

Beberapa kutipan di atas menunjukkan pelukisan tokoh dalam cerita


novel OOP. Pemancing tua yang di maksud pada kutipan (OOP: 6) adalah Pak
Tarya, sedangkan sosok yang dideskripsikan sebagai laki-laki muda pada
kutipan (OOP: 7-8) adalah Kabul. Pada kutipan (OOP: 16) dideskripsikan
pekerja-pekerja proyek dan orang-orang yang berada di sekitar proyek.
b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik)
Tahap ini berisi pemunculan masalah-masalah atau peristiwa yang
menyulut konflik. Deskripsi tentang peristiwa yang mengandung masalah dan
memunculkan konflik dijelaskan dalam kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
Tanpa terasa proyek sudah berjalan tiga bulan. Namun karena dimulai
ketika hujan masih sering turun, volume pekerjaan yang dicapai berada di
bawah target. Menghadapi kenyataan ini, Kabul sering uring-uringan.
Jengkel karena hambatan ini sesungguhnya bisa dihindari bila pemerintah
sebagai pemilik proyek dan politikus tidak terlalu banyak campur tangan
dalam tingkat pelaksanaan. (OOP: 25)

Namun menghadapi semua tingkat kebocoran itu, Insinyur Dalkijo—atasan


Kabul, seperti tak menanggung beban apa pun. Suatu saat ketika bersama-
sama berada di rumah makan, Kabul mengeluh atas tingginya angka
kebocoran yang berarti beban tambahan cukup besar yang harus dipikul oleh
anggaran proyek. (OOP: 26)

“Coba, Pak Tarya. Dua bulan lagi HUT partai golongan akan dipusatkan di
desa kita ini. Dananya besar sekali. Dan saya tidak mau dikuras untuk hal
yang tidak semestinya. Jadi, kepada orang Kabupaten saya bilang tak punya
uang. Tapi apa kata mereka? ‘Saudara masih ingin jadi kades, kan? Di desa
103

Saudara sedang ada proyek besar, kan?’ Begitulah, bagaimana saya tidak
susah,” (OOP: 44)

Ketiga kutipan tersebut menunjukkan permasalahan yang dihadapi tokoh-


tokoh dalam pembangunan proyek. Kutipan (OOP: 25) adalah masalah yang
harus dihadapi Kabul dan pekerja proyek tentang pelaksanaan pembangunan
jembatan yang dipercepat dari jadwal yang seharusnya. Percepatan
pembangunan itu disebabkan oleh campur tangan pemerintah sebagai pemilik
proyek dengan tanpa dasar pertimbangan teknis ilmiah yang telah diajukan
perancang proyek. Kutipan (OOP: 26) memberi acuan bahwa pekerjaan di dalam
proyek tidak normal karena tingginya tingkat kebocoran yang ternyata dilakukan
oleh orang-orang dalam. Akan tetapi, Dalkijo sebagai pemimpin proyek pun
tidak mempermasalahkan soal kebocoran tersebut karena ia termasuk orang yang
menikmati hasil kebocoran dana proyek. Kutipan (OOP: 44) mengindikasikan
bahwa selain kebocoran dari dalam, dana proyek harus dibagi untuk kepentingan
pemerintah yang dalam hal ini melalui partai golongan.
c) Tahap Ricing Action (Tahap Peningkatan Konflik)
Pada tahap ini, konflik-konflik yang dimunculkan mulai berkembang dan
peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi semakin memperjelas karakter tokoh dan membawa suasana
cerita menjadi lebih kompleks. Berikut adalah kutipan-kutipan yang
memperjelas perkembangan konflik yang mulai menegangkan.
Sebagai ketua renovasi masjid, Baldun mengajukan surat permohonan
bantuan kepada pelaksana proyek. Bantuan yang diminta diharapkan berupa
uang serta material bangunan, terutama besi beton dan semen. (OOP: 137)

“Baik. Tapi anda akan saya laporkan ke atas. Saya akan cari data jangan-
jangan Anda tidak bersih lingkungan. Sebab indikatornya mulai jelas. Masa
iya dimintai bantuan untuk pembangunan masjid Anda banyak berkelit.
Cukup. Selamat malam. Dan selanjutnya mungkin anda tidak bisa mendapat
proyek lagi. Atau Dalkijo akan memecat Anda” (OOP: 142)

“Aku mulai ragu apakah aku akan bekerja di sini sampai proyek selesai.
Sebab aku tidak yakin proyek ini akan rampung dengan baik. Maksudku
jembatan yang sedang kita bangun ini mungkin tidak akan memenuhi baku
mutu. Dan kalau sudah bisa dipastikan demikian, aku akan mengundurkan
diri sebelum pekerjaan berakhir.” (OOP: 151)
104

Masih pusing dengan masalah pasir, kemarin kepala Kabul dibuat puyeng
lagi. Permintaan atas kekurangan besi rancang yang diajukan kepada
Dalkijo dijawab dengan kedatangan truk tronton; isinya besi rancang bekas
bongkaran jembatan di pantura. (OOP: 180)

Kutipan (OOP: 137) di atas memberi informasi bahwa Baldun yang


mempunyai status ketua renovasi masjid meminta dana dari proyek yang
ditangani Kabul. Akan tetapi, kabul bersikukuh bahwa proyek tidak bisa
memberi bantuan karena dana proyek yang menipis karena tingginya angka
kebocoran. Kutipan (OOP: 142) mendeskripsikan bahwa Baldun marah karena
permohonan bantuan dana untuk renovasi masjid ditolak oleh Kabul. Baldun
mengancam Kabul dengan ancaman bahwa Kabul termasuk orang yang tidak
bersih lingkungan. Orang yang tidak bersih lingkungan adalah orang yang
terlibat atau dinilai ikut dalam gerakan komunis. Pada Orde Baru, ada
diskriminasi bagi orang-orang yang terlibat gerakan komunis pada masa lalu.
Pada kutipan (OOP: 180) terdapat deskripsi bahwa Kabul ragu dengan
pekerjaannya karena dalam bekerja ia harus bekerja maksimal dengan kualitas
bahan bangunan yang minimal. Jika kecurangan-kecurangan dalam proyek terus
berlangsung, Kabul tidak segan-segan untuk mengundurkan diri dari proyek
karena hal tersebut tidak sesuai dengan idealismenya sebagai insinyur. Pada
kutipan keempat, konflik batin yang dialami Kabul semakin rumit. Kabul
disuruh oleh Dalkijo untuk menggunakan besi rancang bekas untuk membangun
lantai jembatan.
d) Tahap Climax (Tahap Klimaks)
Pada tahap ini, konflik atau pertentangan yang terjadi dalam cerita mulai
mencapai puncaknya. Tahap klimaks adalah titik puncak pokok permasalahan
yang terjadi dalam cerita. Ketegangan dalam cerita berada dalam tahap yang
maksimal. Ketegangan dalam tahap klimaks dijelaskan dengan penceritaan
Kabul yang mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pelaksana proyek.
Penjelasan tentang pengunduran diri Kabul ditunjukkan dalam kutipan cerita
OOP berikut.
105

“Terima kasih atas nasihat Pak Dalkijo. Untuk mereka yang suka
gampangan dan ingin serbamudah, nasihat Bapak tentu pas. Dan maaf, Pak,
saya bukan dari kalangan seperti itu. Jadi saya memilih mengundurkan diri
terhitung sejak hari ini.” (OOP: 200)

Pengunduran diri Kabul disebabkan oleh konflik batin yang dialaminya


telah mencapai puncak. Konflik batin tersebut jelas dikarenakan tingginya
penyalahgunaan tata cara kerja proyek tanpa berdasar pada kualitas hasil proyek.
Tingginya angka kebocoran karena KKN mengakibatkan dana proyek menipis
dan bahan bangunan yang digunakan untuk pembangunan jembatan adalah
bahan bangunan yang berkelas rendah. Puncak konflik batin Kabul terjadi saat
Dalkijo tetap memutuskan untuk memakai besi rancang bekas untuk membuat
lantai jembatan. Berikut adalah kutipan yang memperjelas pernyataan tersebut.
“Ya. Keputusan itu kuambil tadi malam setelah aku berbicara dengan pihak
pemilik proyek, tokoh-tokoh partai, dan khusunya jajaran GLM. Mereka
telah setuju kebijakan yang kuambil. Dan itu pula keputusan yang kubawa
saat ini.”
“Artinya, besi bekas, pasir yang kurang bermutu, tetap akan dipakai?”
“Ya. Dan peresmian jembatan ini tetap akan dilaksanakan tepat pada HUT
GLM. Itulah keputusan yang ada dan Dik Kabul kuminta bisa
menerimanya.” (OOP: 198)

Kutipan dialog antara Dalkijo dan Kabul tersebut mengindikasikan


bahwa Kabul tidak bisa menerima keputusan Dalkijo untuk memakai besi bekas
dan pasir yang tidak bermutu untuk membangun jembatan. Kutipan tersebut
memperjelas bahwa pembagunan jembatan lebih berorentasi untuk kepentingan
politik, yakni untuk dipamerkan pada kampanye dan perayaan HUT GLM.
Klimaks ditandai dengan pembangunan jembatan yang telah selesai dan
tidak berapa lama kemudian digunakan untuk kampanye dan perayaan HUT
GLM. Pada saat kampanye dan perayaan HUT GLM, jembatan dilewati puluhan
kendaraan yangsarat dengan manusia dan trailer. Hal tersebut ditunjukkan dalam
kutipan cerita OOP berikut.
Kabul menahan napas. Beban berat trailer terasa menindih dan menggilas
dadanya. Tapi puluhan ribu manusia mabuk itu tak satu pun peduli. Mereka
menggeber motor dan klakson dalam histeri yang makin gila, dan terus
meneriakkan yel-yel kejayaan palsu. Dan roda trailer terus bergulir menekan
lantai jembatan yang pasti belum sempurna mengeras. Bejo menekankan
106

tapak tangan di kedua pipinya. Cemas. Kabul makin tegang. Pak Tarya
membisu. Wati makin merapat. Dan sorak Bejo meledak setelah trailer
melewati jembatan. “Aduh, Pak Kabul! Aku bersyukur, ternyata lantai
jembatan sudah kuat, tidak ambrol.” (OOP: 212)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa ternyata jembatan yang belum
lama selesai dibangun mampu menahan puluhan kendaraan dan trailer. Masalah
yang dikhawatirkan Kabul ternyata tidak terjadi.
e) Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian)
Pada tahap ini, konflik utama yang telah mencapai klimaks diberi jalan
keluar, begitu juga dengan konflik-konflik tambahan yang lain. Konflik-konflik
yang dibangun sepanjang cerita dan telah menemui titik klimaks diberi
penyelesaian. Tahap Penyelesaian ditandai dengan deskripsi jembatan Cibawor
yang tidak bisa digunakan lagi karena lantai jembatan jebol. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita OOP berikut.
Jembatan Cibawor sudah kelihatan. Tampak mangkrak dan kesepian.
Kegagahan yang dulu sempat tampak kini hilang. Dan begitu turun dari
mobil di mulut jembatan, Kabul segera tahu bagian mana yang rusak. Lantai
jebol pada dua titik dan aspal sudah retak hampir sepanjang lantai jembatan.
(OOP: 217)

Tahap penyelesaian konflik ditandai dengan deskripsi Kabul yang


bekerja di proyek milik swasta dan telah menikah dengan Wati. Kutipan cerita
OOP berikut akan memperjelas deskripsi tersebut.
Akhir Desember 1992, hanya satu tahun setelah Kabul meninggalkan
proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor. Keinginan kabul bekerja
di proyek milik swasta terlaksana ketika dia mendapat kepercayaan
menjadi site manager pembangunan hotel di Cirebon. Libur akhir tahun
ingin dinikmatinya di rumah Biyung bersama Wati. Wati yang sudah
menjadi Nyonya Kabul. Mereka baru sebulan menikah. (OOP: 216-217)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kabul telah bekerja di proyek


swasta. Kabul menilai bahwa bekerja di proyek swasta tidak akan terkendala
soal kebocoran dana proyek. Proyek milik swasta tidak akan dicampuri
persoalan politik. Selain itu, Kabul telah menikah dengan Wati yang dulu adalah
penulis kantor di proyeknya.
107

Penyelesaian cerita dalam OOP digolongkan ke dalam penyelesaian


tertutup. Hal ini dikarenakan nasib setiap tokoh telah ditentukan oleh pengarang
di akhir cerita.

4) Latar
Setiap novel memiliki latar untuk mendukung jalinan cerita. Penggunaan
latar dalam suatu novel mempertegas penokohan dan deskripsi cerita. Hal ini
sejalan dengan pendapat Montaque dan Henshaw (dalam Herman J. Waluyo,
1994: 198) yang menyatakan tiga fungsi latar, yakni (1) mempertegas watak
para pelaku; (2) memberikan tekanan pada tema cerita; dan (3) memperjelas
tema yang disampaikan.
Latar dalam novel OOP dibagi menjadi tiga bagian, yakni latar tempat,
waktu, dan sosial.
a) Latar Tempat
Latar tempat adalah lokasi terjadinya cerita. Latar tempat dalam novel
OOP adalah di sekitar Sungai Cibawor. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan-
kutipan cerita OOP berikut.
Pagi ini sungai Cibawor kelihatan letih. Tiga hari yang lalu hujan deras di
hulu membuat sungai ini banjir besar. Untung sudah menjadi watak sungai
pegunungan, banjir yang terjadi berlangsung cepat. Air yang semula jernih
mulai mengeruh di pagi hari, meninggi dan segera menggelora setengah jam
kemudian. (OOP: 5)

Tapak proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor terletak di tengah


bulak, di wilayah kosong. (OOP: 15)

Air Sungai Cibawor jauh menyurut, sehingga membantu mempermudah


pekerjaan proyek. Tapi Kang Martasatang menghadapi kehilangan
pekerjaan hingga musim hujan mendatang. Karena Sungai Cibawor bisa
diseberangi dengan jalan kaki, rakit tambang Kang Martasatang tidak laku.
(OOP: 50)

Sekitar Sungai Cibawor adalah latar tempat utama dalam novel OOP.
Penggunan latar sekitar Sungai Cibawor didetailkan dengan menelaahnya
menjadi beberapa latar tempat seperti di bawah pohon mbulu (halaman 5),
tengah bulak (halaman 15), warung Mak Sumeh (halaman 16), bangunan bedeng
108

(halaman 23), ruang kantor (halaman 35), rumah Basar (halaman 37), lokasi
proyek (halaman 50), rumah Pak Tarya (halaman 76), belakang rumah Kang
Martasatang (halaman 119), dan latar tempat lain di sekitar Sungai Cibawor
yang mendukung jalan cerita.

b) Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu terjadinya cerita. Latar waktu dalam novel
OOP adalah latar pada tahun 1991 dan akhir 1992. Hal tersebut ditunjukkan
dengan beberapa kutipan cerita OOP berikut.
“Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal
menghendaki jembatan itu selesai sebelum pemilu 1992. Karena, saya kira,
peresmiannya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan
penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-
ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik.” (OOP: 10)

Di tahun 1991 ini Kabul sering membaca kritikan pedas terhadap para
anggota dan lembaga DPRD. Secara kelembagaan, DPRD sering dicap
hanya menjadi tukang stempel atau aksesori pemerintah Orde Baru. (OOP:
56)

“He-he-he, kalau kita adalah partai, ya, partai-partaian? Kalau kita hukum,
ya hukum-hukuman?” gurau Pak Tarya.
“Ya, Dan seterusnya. Dan harap catat, ini omongan saya hari ini, 13 Juni
1991,“ ujar Kabul. (OOP: 70)

“... Bangun, bangun! Hentikan mimpimu. Dan sadarilah di tahun 1991 ini
kita hidup di bawah orde feodal baru.” (OOP: 111)

Akhir Desember 1992, hanya satu tahun setelah Kabul meninggalkan


proyek pembangunan jembatan Sungai Cibawor. Keinginan kabul bekerja di
proyek milik swasta terlaksana ketika dia mendapat kepercayaan menjadi
site manager pembangunan hotel di Cirebon. (OOP: 216)

Kutipan (OOP: 10) menyiratkan bahwa jadwal pelaksanaan proyek


pembangunan jembatan berorentasi pada kampanye partai golongan yang akan
maju dalam pemilu 1992. Berdasarkan pernyataan tersebut, secara tidak
langsung memberi informasi bahwa pengerjaan proyek terjadi pada tahun
sebelum 1992, yakni tahun 1991. Informasi pelaksanaan proyek atau latar waktu
terjadi pada tahun 1991 dipertegas pada kutipan (OOP: 56), (OOP: 70) dan
109

(OOP: 111). Pada kutipan (OOP: 216) dideskripsikan bahwa bagian akhir cerita
berlatar waktu pada akhir Desember 1992.
c) Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada keadaan sosial yang melingkupi para tokoh
dalam cerita. Latar sosial dideskripsikan beriringan dengan latar tempat dan
waktu Latar sosial akan menggambarkan keadaan sosial sekaligus mempertajam
karakter dan watak tokoh yang terlibat dalam cerita. Latar sosial dalam novel
OOP ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
Di tahun 1991 ini Kabul sering membaca kritikan pedas terhadap para
anggota dan lembaga DPRD. Secara kelembagaan, DPRD sering dicap
hanya menjadi tukang stempel atau aksesori pemerintah Orde Baru. Rakyat
jadi pemilih sangat naif yang hanya dipinjam namanya. Keterwakilan
mereka di lembaga legislatif sangat rendah. Amanat rakyat pemilih kurang
tersalur dan lebih banyak menjadi bahan retorika para politikus. (OOP: 56)

“Kan zaman sudah edan, Mas. Pilihan kita hanya dua. Ikut edan atau jadi
korban keedanan.”
“Memang sih, Pak, sekarang ini di mana tidak ada orang edan? Jajaran
birokrasi pemerintah, gudangnya. Jajaran penegak hukum, tentara,
Depdikbud, Depag, sama saja. Pengusaha, kontraktor, bankir, tak ada beda.”
(OOP: 69)

“Orang di sini percaya bahwa jasad manusia punya mata dan kekuatan yang
besar. Maka mereka percaya setiap jembatan atau bangunan besar lain,
seperti waduk atau bendungan, harus di beri tumbal berupa mayat manusia.
Dan tumbal itu konon bisa macam-macam. Kalau disebut jengger atau ayam
jantan muda, maksudnya adalah perjaka. Kalau disebut babon atau ayam
betina, maksudnya adalah perempuan dewasa. Dan kalau disebut pitik,
maksudnya adalah anak-anak.” (OOP: 133)

Kutipan (OOP: 56) menunjukkan latar sosial yang terjadi pada tahun
1991. Pada saat itu, anggota dan lembaga DPRD hanya dicap sebagai aksesori
pemerintah Orde Baru. Amanat rakyat hanya menjadi bahan untuk dipolitisasi.
Pada kutipan (OOP: 69), deskripsi cerita menunjukkan keadaan zaman
yang dinilai sudah edan dan tidak sesuai dengan zaman yang diharapkan oleh
Kabul dan Pak Tarya. Semua pejabat dan lembaga bersifat pragmatis dan tidak
mengutamakan kepentingan kepentingan rakyat.
110

Kutipan (OOP: 133) menunjukkan bahwa latar sosial masyarakat yang


diceritakan dalam novel masih percaya adanya mitos dan tahayul. Di dalam
cerita, beberapa tokoh yang mewakili masyarakat di sekitarnya masih percaya
dengan hal-hal yang berbau animisme. Kepercayaan terhadap hal-hal yang
berbau animisme secara tidak langsung mengindikasikan bahwa masyarakat
tersebut masih berpendidikan rendah.
5) Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk
memandang atau memosisikan diri dalam suatu cerita. Abrams (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2005: 248) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah “cara
atau pandangan yang dipergunakan oleh pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca”. Setiap pengarang bebas menentukan
sudut pandang yang digunakan dalam sebuah cerita fiksi. Penggunaan sudut
pandang tertentu menekanakan ciri khas dari seorang pengarang. Sudut pandang
yang digunakan pengarang dalam novel OOP adalah omniscient narratif, yakni
pengarang serba tahu dan dapat menceritakan segalanya atau memasuki berbagai
peran secara bebas (Herman J. Waluyo, 1994: 184). Pengarang tidak fokus
kepada satu tokoh cerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Dengan
sudut pandang tersebut, pengarang bebas menceritakan tokoh-tokoh dengan
detail. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan penggunaan sudut pandang
tersebut.
Tapi pagi ini lelaki tua itu tampak ragu. Dia tidak segera memasang
pancingnya lalu duduk di batu seperti biasa. Dia tetap berdiri dan menatap
ke permukaan air. Mengernyitkan alis, lalu menurunkan kantong perkakas
lusuhnya. (OOP: 6)

Kabul tersenyum dan mengangguk-angguk. Tapi wajahnya menampakkan


rasa masygul. Hatinya serasa tertusuk. (OOP: 11)

Basar hampir terlambat Salat Subuh karena bangun kesiangan. Kunjungan


orang-orang GLM tadi malam membuatnya gelisah sepanjang malam,
sehingga Basar kurang tidur. (OOP: 89)
111

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan pengarang mendeskripsikan


tokoh-tokoh dalam novel dengan bebas. Kutipan (OOP: 6), pengarang
mendeskripsikan lelaki tua yang tak lain adalah Pak Tarya. Pada kutipan (OOP:
11), pengarang menceritakan Kabul, dan pada kutipan (OOP: 89), pengarang
menceritakan Basar. Di dalam ketiga kutipan tersebut, posisi pengarang berada
di luar tokoh-tokoh yang diceritakan. Oleh karena itu, pengarang sering
menggunakan kata ganti orang ketiga, yakni “dia”, “ia” atau “-nya” untuk
merujuk tokoh yang sedang diceritakan.
Di dalam penggunaan sudut pandang pengarang serba tahu, pengarang
sering memosisikan dirinya di dalam tokoh-tokoh yang sedang diceritakan. Hal
tersebut ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara
kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan
keberpihakkan kepada masyarakat miskin. (OOP: 34)

Kelaparan adalah penderitaan yang tidak kepalang. Dan biyung sering


membantu tetangga melepaskan diri dari penderitaan itu. Tapi kini aku,
Kabul, malah mendatangkan penderitaan kepada Wati, meski masalahnya
bukan kelaparan. (OOP: 116)

Mereka adalah “orang terlibat” dan eks terlibat” PKI. Aku diperintah terus
mengancam, sehingga mereka bersama anak-cucu selalu tunduk, takut, dan
pasrah bongkokan di hadapan kepentingan GLM? (OOP: 86)

Pada kutipan (OOP: 34) dan (OOP: 116), pengarang memosisikan


dirinya sebagai Kabul. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan kata ganti “aku”
untuk menyebut Kabul. Pada kutipan (OOP: 86), pengarang memosisikan
dirinya sebagai Basar.
Penggunaan sudut pandang pengarang serba tahu membebaskan
pengarang untuk melibatkan arah pikiran pembaca ketika membaca cerita novel
OOP. Pengarang sering menggunakan kalimat tanya untuk mempermainkan
pikiran pembaca. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita OOP
berikut.
Apakah karena mereka masih mengalami pendidikan zaman Belanda yang
sangat menekankan idealisme serta kedisiplinan ilmu? Apa karena
112

kepribadian mereka memang kuat? Atau lagi, apa karena mereka hidup pada
masa yang relatif belum terlalu korup? (OOP:148)

Bagaimana kalau mesin derek datang sebelum tujuh belas hari? Apakah
balok-balok jembatan harus dipasang juga? Apakah dua balok yang cacat itu
tidak akan diganti? (OOP: 156)

Pengarang sering menggunakan kalimat tanya di beberapa bagian cerita


untuk mempermainkan pikiran pembaca. Walaupun demikian, kalimat tanya
tersebut justru dijawab sendiri oleh pengarang. Hal tersebut ditunjukkan dalam
kutipan-kutipan cerita OOP berikut.
Lalu, apakah kejujuran yang sering minta dibuktikan dengan kesahajaan
sama dengan mempertahankan kemelaratan? Ah, tidak. Pasti tidak. (OOP:
34)

Dan pengusaha kontraktor yang bernama Dalkijo? Dia bendahara GLM.


(OOP: 86)

Berdasarkan penggunaan sudut pandang seperti di atas, pengarang


memiliki maksud tertentu pada proses penceritaannya. Pengarang seolah-olah
ingin mengusulkan kepada pembaca tentang gagasan-gagasan dan pikiran-
pikirannya melalui pendekatan ke setiap tokoh cerita. Pengarang memberikan
pemahaman setelah ia masuk ke dalam tokoh-tokoh tersebut dari segala posisi
dan menceritakannya secara lugas dan jelas. Pengarang dapat bercerita sebagai
insinyur, pekerja, mandor, kepala desa, pejabat, lelaki, wanita, dan lain-lain.
Novel OOP menunjukkan suatu keterjalinan antarunsur intrinsik. Hal ini
dibuktikan dengan keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Unsur-
unsur itu adalah tema, penokohan, plot, latar, dan sudut pandang.
Tema dalam OOP mendukung keseluruhan unsur intrinsik karena tema
adalah gagasan dasar yang melatari cerita. Tema dalam OOP adalah kritik sosial.
Tema berhubungan dengan penokohan karena tema membentuk karakter-
karakter yang dimiliki setiap tokoh. Kabul sebagai pusat pengisahan dalam OOP
adalah tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme/sosial. Kabul
diceritakan menentang praktik korupsi, suap, pragmatisme, dan lain-lain yang
pada akhirnya menjadi masalah sosial yang merugikan masyarakat. Karakter
Kabul terbentuk dari tema, begitu pula dengan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh
113

tersebut saling berhubungan dan saling memunculkan konflik. Konflik-konflik


yang terjadi dalam cerita membuat jalinan pada alur. Oleh karena itu, penokohan
dan hubungan antartokoh dalam cerita OOP mendukung terjalinannya plot/alur.
Konflik yang terjadi antartokoh dalam OOP menghidupkan alur cerita.
Dominasi alur cerita pada OOP adalah alur lurus. Di beberapa bagian ada yang
menggunakan alur flash-back, namun hal itu hanyalah pembayangan cerita dari
seorang tokoh. Selain itu, unsur-unsur tersebut juga didukung oleh latar. Unsur
latar memberi penekanan pada penokohan dan mendukung terjadinya jalinan
cerita/plot. Latar tempat, waktu, dan sosial memberi ruang penceritaan sehingga
tokoh-tokoh dapat saling berinteraksi. Latar memberi konteks cerita sehingga
mendukung dan menjalin unsur-unsur yang lain.
Unsur terakhir yang mendukung adalah sudut pandang. Sudut pandang
dalam OOP adalah omniscient narratif, yakni pengarang serba tahu dan dapat
menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas. Sudut
pandang memberi kontribusi bagi pengarang dalam menjalin semua unsur
berdasarkan posisinya sebagai pengarang. Dengan demikian, unsur-unsur
intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang dalam
OOP memiliki keterjalinan dan saling mendukung satu dengan yang lain.
Keterjalinan antarunsur intrinsik cerita OOP diuji dengan hukum plot.
Kenny (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 39) mengungkapkan bahwa
hukum plot ada empat, yakni plausibility (kebolehjadian), surprise (kejutan),
suspense (ketegangan), dan unity (kesatuan). Plausibility (kebolehjadian)
menunjukkan bahwa cerita OOP memiliki kemungkinan terjadi di dunia nyata.
Setiap bagian cerita mempunyai kadar plausbility yang berbeda. Ada yang
berkemungkinan besar dan berkemungkinan kecil. Cerita dibangun oleh konflik-
konflik yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh. Konflik ini sering hiperbolis dari
kenyataan sebenarnya sehingga konflik terasa sangat kuat dan tajam. Kekuatan
dan ketajaman konflik ini yang membuat cerita memilki plausibility yang tinggi.
Surprise (kejutan) menunjukkan bahwa cerita OOP mengandung kejutan-
kejutan bagi pembaca. Kejutan-kejutan tersebut membuat cerita semakin
berdaya tarik tinggi. Kejutan dalam OOP seperti cerita Sawin yang ternyata
114

tidak dijadikan tumbal proyek, melainkan lama tidak kembali ke proyek karena
tersesat saat mengikuti Sonah mudik ke Jatibarang. Selain itu, ada kejutan pada
bagian cerita lain, yakni saat iring-iringan kendaraan peserta kampanye GLM
melewati jembatan Cibawor yang belum lama selesai dibangun. Banyak yang
menduga jembatan tersebut akan amblas karena belum sepenuhnya kuat. Akan
tetapi, cerita menunjukkan bahwa jembatan tersebut kuat dan tidak amblas.
Walaupun demikian, pada akhir cerita, pembaca dikejutkan dengan cerita bahwa
jembatan Cibawor rusak karena lantai jembatan amblas.
Suspense (tegangan) menunjukkan bahwa cerita OOP memiliki
ketegangan cerita yang memunculkan daya tarik tinggi bagi pembaca. Berbagai
konflik yang dimunculkan pengarang membuat ketegangan cerita menjadi kuat.
Ketegangan tersebut seperti konflik antara Kabul dan Dalkijo. Konflik tersebut
menunjukkan ketegangan yang terjadi antara Kabul dan Dalkijo. Kabul ingin
mengundurkan diri dari proyek karena mempertahankan idealismenya,
sedangkan Dalkijo mengancam Kabul untuk tetap bertahan di proyek. Selain itu,
ada juga konflik antara Kabul dan Kang Martasatang yang begitu menegangkan.
Konflik yang menandai klimaks adalah konflik yang paling kuat, yakni ketika
jembatan Cibawor yang belum lama selesai dibangun sudah digunakan untuk
dilewati kendaraan-kendaraan berat pada ajang kampanye partai golongan.
Unity (kesatuan) menunjukkan bahwa cerita OOP adalah satu kesatuan
utuh dan saling terkait. unsur-unsur dalam cerita yang meliputi tema, penokohan,
alur, latar, dan sudut pandang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan
cerita. Novel OOP yang dibagi menjadi lima bagian juga mengindikasikan
bahwa lima bagian tersebut semuanya saling terkait dan membentuk satu
kesatuan cerita. Berdasarkan hukum plot di atas, dapat dikatakan bahwa novel
OOP mempunyai keterjalinan antarunsur intrinsik yang baik.
Berdasarkan analisis dan pembahasan mengenai keterjalinan antarunsur
intrinsik novel OOP di atas, disimpulkan bahwa setiap unsur mempunyai
keterjalinan dengan unsur-unsur lainnya. Tema dalam OOP mendukung
keseluruhan unsur intrinsik karena tema adalah gagasan dasar yang melatari
cerita. Penokohan dan hubungan antartokoh dalam cerita OOP mendukung
115

terjalinannya plot. Unsur latar memberi penekanan pada penokohan dan


mendukung terjadinya jalinan cerita/plot. Sudut pandang penceritaan memberi
kontribusi yang bebas bagi pengarang dalam menjalin semua unsur berdasarkan
posisinya sebagai pengarang. Selain itu, cerita OOP telah memenuhi hukum plot
yang terdiri dari plausibility, surprise, suspense, dan unity.

b. Keterjalinan Antarunsur Intrinsik Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk


Karya Ahmad Tohari
1) Tema
Ada lima tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2005: 80-81), yakni tema tingkat fisik, organik, sosial, egoik, dan divine. Tema
dalam novel RDP seperti novel OOP, yakni digolongkan sebagai tema sosial
jika dipandang dari tingkat pengalaman jiwa. Tema sosial dalam novel RDP
mengacu pada masalah-masalah sosial seperti masalah humanisme, ekonomi,
politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, dan masalah lainnya.
Di dalam novel ini memuat beberapa permasalahan sosial yang menimbulkan
konflik antartokoh. Tema sosial tercermin pada deskripsi Dukuh Paruk yang
miskin dan jauh dari pendidikan formal. Latar sosial yang masih terpencil
membuat masyarakat Dukuh Paruk terkurung pada sistem adat. Di sana masih
ada kepercayaan terhadap arwah moyang yang diwujudkan dengan
penghormatan makan Ki Secamenggala. Tradisi ronggeng pun menjadi sebuah
tradisi yang khas dari dukuh kecil tersebut. Gambaran sosial Dukuh Paruk yang
mendukung tema pada RDP ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap
bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah
serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya. (RDP: 15)

Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh
Paruk. Kemelaratannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan
sakit, serta sumpah serapah cabul menjadi bagiannya yang sah. (RDP: 79)

Berdasarkan kedua kutipan tersebut, diketahui bahwa Dukuh Paruk di


deskripsikan sebagai dukuh yang masyarakatnya melarat, terbelakang, terpencil,
116

dan kurang memperhatikan kesehatan. Hal tersebut menimbulkan masalah-


masalah sosial yang menjadi warna dalam penceritaan novel.
Persoalan politik diangkat sebagai tema sosial dalam RDP. Kisruh politik
pada tahun 1965 menjadi landasan cerita sosial yang menarik. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Pada akhir bulan September 1965 itu Srintil sudah dua minggu manggung
terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama
kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan
budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam
bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa
saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas
hati. Cuma-cuma. (RDP: 236-237)

Tema dalam novel RDP secara umum dibagi menjadi dua yakni, tema
mayor dan tema minor.
a) Tema Mayor.
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan
dasar umum suatu karya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 82). Tema mayor dalam
novel RDP karya Ahmad Tohari adalah kritik sosial. Kritik sosial adalah
masalah pokok yang sering diceritakan dalam novel ini. Seperti di dalam novel
OOP, nuansa kritik sosial sangat terasa dalam novel RDP sejak awal
penceritaan.
Kritik sosial yang dikandung dalam cerita RDP dicontohkan dengan
politisasi kesenian ronggeng. Srintil yang memangku status sebagai ronggeng
diminta untuk pentas dalam rapat atau kampanye partai komunis. Srintil dan
Kartareja selayaknya orang Dukuh Paruk lainnya yang bodoh dan buta huruf
tidak paham jika mereka dilibatkan dalam urusan politik. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Ada orang datang, entah siapa. Kepada Kartareja orang itu mengaku
anggota panitia. Dia menyodorkan kertas berisi catatan lagu. Tetapi karena
Kartareja buta huruf orang itu membacakan untuknya. Ternyata lagu-lagu
itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada
pergantian kata atau kalimat. Kartareja merasakan keanehan karena dalam
lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa
kurang akrab dalam hatinya. Tetapi Kartareja tidak mengajukan pertanyaan
117

apa pun. Baginya menuruti kata priayi atau orang yang seperti itu
merupakan salah satu kebajikan dalam hidup. (RDP: 179)

Mengapa Sakum tidak tahu bahwa teman-temannya sesama orang Dukuh


Paruk tidak lebih beruntung meski mata mereka awas? Mereka juga tidak
menangkap makna istimewa yang dibawa hari ini, sejarah hari ini. Mereka
tidak mengerti makna pidato, tanda-tanda gambar partai, atau slogan-slogan
yang telah dilihatnya memenuhi lapangan kecamatan Dawuan. Bukan hanya
karena mereka sepenuhnya buta huruf. Lebih dari itu. Di dalam tradisi hidup
mereka ikatan kesetiaan dan kebersamaan nyaris tak pernah menerobos ke
luar batas Dukuh Paruk. Politik dalam sisi pandang yang paling bersahaja
tak pernah muncul di pedukuhan terpencil itu. (RDP: 182)

Kutipan (RDP: 179) mendeskripsikan Srintil yang diberi tugas untuk


menyanyikan lagu, namun isi lagu diselipkan kata-kata yang memolitisasi
rakyat. Dengan acuan deskripsi tersebut, ronggeng tidak lagi murni sebagai
kesenian. Ada intrik dan politisasi pengunaan kesenian ronggeng demi
kepentingan sebuah partai yang pada waktu itu menggaungkan revolusi. Kutipan
(RDP: 182) mendeskripsikan kegelisahan yang dialami Sakum. Ia menilai ada
sesuatu yang tidak wajar yang terjadi di sekelilingnya, terutama ketika ia pergi
ke acara Agustusan di lapangan Kecamatan Dawuan. Ketidakwajaran itu terjadi
karena masyarakat hanya tahu perayaan di lapangan itu, namun mereka tidak
paham dengan maksud dan makna perayaan tersebut. Kutipan tersebut
mempertegas bahwa masyarakat Dukuh Paruk adalah masyarakat yang masih
terbelakang sehingga belum bisa memaknai dan memahami politik yang telah
masuk ke dalam lingkungan mereka.
b) Tema Minor
Tema minor adalah makna yang hanya terdapat dalam bagian-bagian
cerita tertentu saja (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 83). Tema minor disebut juga
tema tambahan. Tema minor akan melengkapi tema mayor. Ada beberapa tema
minor dalam novel RDP karya Ahmad Tohari. Tema minor itu adalah
persahabatan, animisme, dan kekeluargaan. Berikut adalah penjelasan tentang
tema-tema minor yang turut membangun jalan cerita dalam novel RDP.
(1) Tema Persahabatan
118

Tema persahabatan diceritakan sebagai adegan pembuka cerita.


Persahabatan tersebut mengacu pada hubungan Rasus, Warta, dan Darsun.
Mereka adalah warga Dukuh Paruk. Persahabatan mereka waktu kecil
terdeskripsikan pada kutipan cerita RDP berikut.
Teman-temanku sebaya, Warta dan Darsun, rela menempuh sarang semut
burangrang di atas pohon asalkan mereka dapat mencuri mangga atau
jambu. Dengan buah-buahan itu Warta dan Darsun ikut memanjakan Srintil.
(RDP: 36)

Rasus, Warta, dan Darsun bersahabat dengan Srintil. Waktu kecil Srintil
senang menari dan menyanyi menirukan gaya seorang ronggeng. Hal tersebut
menarik perhatian Rasus, Warta, dan Darsun sehingga mereka ikut serta dengan
permainan Srintil. Di dalam cerita mereka dideskripsikan menjadi pengiring
musik ronggeng yang tentu saja hanya ronggeng permainan. Hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Di pelataran yang membatu di bawah pohon nangka. Ketika angin tenggara
bertiup dingin menyapu harum bunga kopi yang selalu mekar di musim
kemarau. Ketika sinar matahari mulai meredup di langit barat. Srintil menari
dan bertembang. Gendang, gong dan calung mulut mengiringinya. Rasus
bersila, menepak-nepak lutut menirukan gaya seorang penggendang. Warta
mengayunkan tangan ke kiri-kanan, seakan ada perangkat calung di
hadapannya. Darsun membusungkan kedua pipinya. Suaranya berat
menirukan bunyi gong. (RDP: 13)

Tema persahabatan yang dihadirkan pengarang di awal cerita adalah


bentuk tawaran menarik kepada pembaca. Pembaca disuguhi tema yang ringan
namun menarik dan berbobot. Bobot penceritaan yang sederhana tersebut
terletak pada deskripsi sosiologis dan kebiasaan anak-anak Dukuh Paruk yang
secara tidak langsung memberi modal awal bagi pembaca untuk membuat
referensi sosiologis dan tipologi Dukuh Paruk.
(2) Tema Animisme
Animisme adalah kepercayaan terhadap roh-roh yang dinilai berada
dalam suatu tempat seperti batu, gunung, makam, pohon, sungai, dan lain-lain.
Kepercayaan tersebut juga berupa kepercayaan untuk menyembah benda mati
yang merupakan representasi dari nenek moyang. Di dalam cerita RDP
kepercayaan tersebut diwujudkan dengan adanya makam Ki Secamenggala. Ki
119

Secamenggala dipercaya sebagai moyang masyarakat Dukuh Paruk. Hal


tersebut dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Dua puluh tiga rumah berada di pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang
seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki
Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling
sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh
Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. (RDP:
10)

Makam Ki Secamenggala diceritakan sebagai pusat magis di Dukuh


Paruk. Makam itu di keramatkan dan diberi sesajen sebagai bentuk
penghormatan dan penghambaan masyarakat Dukuh Paruk terhadap arwah Ki
Secamenggala. Masyarakat menilai makam Ki Secamenggala adalah tempat
yang suci, keramat, dan patut untuk di sembah. Pernyataan-pernyataan tersebut
diperjelas dalam kutipan cerita RDP berikut.
Tetapi mereka memujanya. Kubur Ki Secamenggala yang terletak di
punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan
kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki
Secamenggala membuktikan polah-tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk
berpusat di sana. (RDP: 10)

Animisme yang dianut masyarakat Dukuh Paruk mengindikasikan bahwa


masyarakat tersebut masih percaya kepada hal yang bersifat irasional. Hal
tersebut tentu disebabkan oleh kadar pengetahuan yang dimiliki masyarakat
Dukuh Paruk Masih rendah. Bentuk irasionalitas yang dimaksud ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
“He, Santayib. Bukti yang berbicara. Lihat, anakku, istriku, emakku, semua
tergeletak. Mereka makan bongkrekmu pagi ini,” bentak seorang laki-laki di
belakang Sakarya.
“Tidak bisa! Siapa tahu kejadian ini adalah pageblug. Siapa tahu kejadian
ini karena kutuk roh Ki Secamenggala yang telah lama tidak diberi sesaji.
Siapa tahu!” (RDP: 26)

(3) Tema Kekeluargaan


Tema kekeluargaan memberi warna cerita RDP. Tema kekeluargaan
dibangun secara tersirat sebagai representasi masyarakat pedesaan. Penjabaran
tentang kekeluargaan dalam Dukuh Paruk secara jelas ditunjukkan dalam
kutipan cerita RDP berikut.
120

"Sampean bibiku, pamanku, uwakku, dan sedulur-sedulurku semua, apakah


kalian selamat?" kata Rasus kepada semua orang yang ada di sekelilingnya.
Namun sebutan “sedulur” yang diucapkan Rasus dengan tulus malah
mengunci semua mulut orang Dukuh Paruk. Mereka terharu masih diakui
saudara oleh Rasus yang tentara, yang kuasa apakah seseorang harus ditahan
atau harus dibebaskan. (RDP: 257)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa rasa kekeluargaan pada diri Rasus


sebagai salah satu bagian masyarakat Dukuh Paruk masih ada, walaupun Rasus
telah berstatus sebagai tentara. Rasa memiliki Dukuh Paruk tetap ada dalam jiwa
Rasus karena di sana Rasus dilahirkan dan dibesarkan.
2) Penokohan
Penokohan dibagi menjadi dua, yakni tokoh utama dan tambahan. Di
dalam sebuah prosa, suatu tokoh juga memiliki kadar peran sebagai tokoh utama
tambahan. Berdasar pada teori strukturalisme genetik, dalam analisis penokohan
dideskripsikan penokohan tokoh hero dan hubungannya dengan tokoh yang lain
dalam membentuk keterjalinaan cerita novel. Hal ini sejalan dengan pendapat
Goldmann (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 55) yang menyatakan bahwa
konsep strukturnya menitikberatkan pada relasi antartokoh yang bersifat tematis.
Di bawah ini dipaparkan penjelasan mengenai penokohan dan hubungan
antartokoh dalam novel RDP.
a) Srintil
Srintil digolongkan ke dalam tokoh utama protagonis. Eksistensi Srintil
dalam penceritaan RDP sangat dominan mulai dari awal sampai akhir dan
menemui berbagai problematika sehingga Srintil diklasifikasikan sebagai tokoh
hero.. Srintil menjadi titik pusat permasalahan dalam cerita. Di dalam RDP
Srintil dideskripsikan sebagai salah satu anggota masyarakat Dukuh Paruk yang
telah yatim piatu. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Srintil adalah seorang yatim piatu-sisa sebuah malapetaka, yang membuat
banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah-ibu. (RDP: 21)

Srintil dideskripsikan sebagai ronggeng. Status ronggeng pada dirinya


sekaligus memberi penguatan terhadap latar sosial dirinya sebagai masyarakat
121

Dukuh Paruk. Srintil sebagai seorang ronggeng memiliki deskripsi fisik yang
cantik. Hal ini dijelaskan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
“Ya, benar. Engkau cantik sekali sekarang,” ujar Warta.
“Seperti seorang ronggeng?” tanya Srintil lagi. Gayanya manja.
“Betul.” (RDP: 12)

Pokoknya, pada usia empat belas tahun aku berani mengatakan Srintil
cantik. Boleh jadi ukuran yang kupakai buat menilai Srintil hanya patut bagi
selera Dukuh Paruk. Namun setidaknya pengakuanku itu sebuah kejujuran.
Maka pengakuan ini berkelanjutan dan aku tidak merasa bersalah telah
bersikap semacam itu.(RDP: 36)
“Itu dia, ronggeng Dukuh Paruk. Srintil memang cantik.”
“He! Betulkah di Dukuh Paruk ada gadis dengan kulit bersih, betis montok
tanpa kurap?” (RDP: 81)

Srintil dideskripsikan pandai menari karena ia seorang ronggeng. Tarian


dalam ronggeng bukanlah tari biasa. Akan tetapi, tarian ronggeng digunakan
untuk memikat penonton terutama para lelaki. Deskripsi tentang kepandaian
Srintil dalam menari ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Selama menari wajah Srintil dingin. Pesonanya mencekam setiap penonton.
Banyak orang terharu dan kagum melihat bagaimana Srintil melempar
sampur. Bahkan Srintil mampu melentikkan jari-jari tangan, sebuah gerakan
yang paling sulit dilakukan oleh seorang ronggeng. (RDP: 20)

Di dalam cerita RDP, peran Srintil tidak hanya terbatas sebagai


masyarakat Dukuh Paruk yang berstatus sebagai ronggeng. Srintil merupakan
seorang gowok. Ia diminta seorang tokoh bernama Sentika untuk menjadi
seorang gowok bagi anaknya, yakni Waras. Gowok adalah seorang perempuan
yang akan memberi pelajaran kepada seorang anak laki-laki tentang banyak hal
tentang perikehidupan berumah tangga, seperti hubungan suami istri. Peran
Srintil sebagai gowok dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Srintil melakukan kedua-duanya dengan jitu, kewes, dan pantes. Keluwesan
seorang istri sejati yang hanya mungkin tampil karena Srintil menghayati
sepenuhnya peran sebagai gowok. (RDP: 221)

b) Rasus
Rasus digolongkan ke dalam tokoh utama protagonis sekaligus tokoh
hero. Rasus diceritakan pada awal dan akhir cerita. Walaupun demikian, Rasus
122

adalah salah satu tokoh yang memunculkan banyak cerita dalam RDP. Rasus
menjadi pondasi awal terciptanya konflik batin pada diri Srintil. Rasus
dideskripsikan sebagai anak asli Dukuh Paruk. Semua orang di Dukuh Paruk
percaya akan adanya mitos tentang kekeramatan makam Ki Secamenggala.
Akan tetapi, Rasus tidak mempercayainya. Hal ini mengindikasikan bahwa
Rasus lebih pandai daripada orang Dukuh Paruk lainnya. Ketidakpercayaan
Rasus terhadap mitos dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Cerita yang kumaksud adalah sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh
Dukuh Paruk. Konon menurut dongeng tersebut pernah terjadi sepasang
manusia mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena
kutuk setelah berjinah di atas makam Ki Secamenggala. Semua orang
Dukuh Paruk percaya penuh akan kebenaran cerita itu. Kecuali aku yang
meragukannya dan mencurigainya hanya sebagai salah satu usaha
melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu. (RDP: 68)

Rasus dideskripsikan sebagai seorang yang tangkas dan tidak manja.


Rasus diidentikkan dengan tokoh pewayangan, yakni Gatotkaca. Deskripsi
tentang Rasus ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Wajah yang kedua adalah laki-laki jenis Rasus, dan Rasus sendirilah
modelnya. Dia tangkas seperti anak kijang, harga dirinya hampir mencapai
taraf congkak dan tidak merengek apalagi mengemis. Rasus memberi karena
Srintil meminta atau Srintil meminta dan Rasus memberi. Sebagai laki-laki
kepribadiannya menggaris jelas. Rasus memang masih muda tetapi di hati
Srintil dia memberi gambaran sebuah pohon kukuh dengan bayangan yang
teduh tempat orang bernaung. (RDP: 142)

Gatotkaca Rasus sering harus memberondongkan Karl Gustaf ke kubu-kubu


yang mestinya berisi manusia; manusia yang sangat mungkin seperti diriku
juga, merasa diri sebagai Gatotkaca. Untung, dalam hal pemberondongan
semacam itu aku sekali pun tidak pernah melihat langsung manusia yang
terhuyung jatuh akibat peluru yang kutembakkan. Namun suatu kali aku
benar-benar harus mengamalkan doktrin dasar seorang tentara. (RDP: 387-
388)

Rasus diceritakan sebagai tentara. Ia adalah satu-satunya anak asli Dukuh


Paruk yang menjadi tentara. Ia dipanggil dengan Prajurit Dua Rasus. Hal ini
dijelaskan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
“Ah, itu tak mungkin. Rasus sudah menjadi tentara. Kau tak melihat bedil
yang tergantung di tiang kayu itu?” ujar perempuan lainnya. (RDP: 105)
123

“Saya Prajurit Dua Rasus. Saya ingin berjumpa komandan kompleks


tahanan ini secara pribadi. Saya adalah bekas pembantunya. Oh, maaf. Dulu
saya adalah pembantu rumah tangga Komandan.” (RDP: 267)

Rasus berhubungan dengan Srintil. Rasus dan Srintil adalah tokoh hero
dalam RDP. Kedua tokoh ini adalah penyumbang aspek konflik dan
penyelesaian dalam cerita. Srintil dan Rasus diceritakan sebagai anak Dukuh
Paruk. Status keluarga kedua tokoh tersebut sama, yakni sebagai yatim piatu.
Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
“Srin, kau dan aku sama-sama menjadi anak Dukuh Paruk yang yatim piatu
sejak kanak-kanak. Kita senasib. Maka aku tak senang bila melihat kau
celaka. Bila kau mati aku merasa kehilangan seorang teman. Kau
mengerti?” (RDP: 50)

Di dalam cerita RDP, muncul rasa kasih dan ikatan batin dalam diri
Srintil dan Rasus. Rasus sangat perhatian kepada Srintil. Rasus sendiri berangan-
angan bahwa Srintil adalah refleksi dari emaknya yang telah tiada. Buktinya
adalah Rasus memberi perhatian kepada Srintil dengan memberinya buah
pepaya. Tidak hanya itu, Rasus memberikan pusaka keluarga berupa keris
kepada Srintil agar digunakan dalam pentas ronggeng. Perhatian tersebut
mewujudkan sebuah ikatan batin di antara diri Rasus dan Srintil. Pada waktu
malam bukak klambu, yakni malam penyerahan keperawanan Srintil kepada
orang yang menang sayembara, Srintil justru memberikan malam bukak klambu
kepada Rasus. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
“Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak
boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita
takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”
Sepatah pun aku tak bisa menjawab. Kerongkonganku terasa tersekat.
Karena gelap aku tak dapat melihat dengan jelas. Namun aku merasakan
Srintil melepaskan rangkulan, kemudian sibuk melepaskan pakaian. (RDP:
76)

Rasus adalah tokoh yang memberi solusi pemecahan cerita ketika Srintil
diceritakan gila. Rasus kaget ketika mendengar bahwa Srintil telah gila. Rasus
berinisiasi untuk membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
124

Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi. Baju putih
lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih menandakan aku tentara
adalah potongan rambut serta sepatuku. Pintu rumah Kartareja kuketuk.
Istrinya kuminta memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas.
Aku akan membawanya ke rumah sakit tentara karena aku tahu di sana ada
bagian perawatan penyakit kejiwaan.(RDP: 398-399)

c) Warta dan Darsun


Warta dan Darsun adalah tokoh tambahan protagonis. Warta dan Darsun
diceritakan sebagai teman Rasus waktu kecil. Rasus, Warta, dan Darsun adalah
anak-anak asli Dukuh Paruk. Ketika kecil mereka sering bermain bersama. Hal
ini dijelaskan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Adat Dukuh Paruk mengajarkan, kerja sama antara ketiga anak laki-laki itu
harus berhenti di sini. Rasus, Warta dan Darsun kini harus saling adu tenaga
memperebutkan umbi singkong yang baru mereka cabut. Rasus dan Warta
mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Tak ada protes. Ketiganya
kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan
langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sengaknya kencing sendiri. (RDP:
11)

Teman-temanku sebaya, Warta dan Darsun, rela menempuh sarang semut


burangrang di atas pohon asalkan mereka dapat mencuri mangga atau
jambu. Dengan buah-buahan itu Warta dan Darsun ikut memanjakan Srintil.
(RDP: 36)

Hubungan Rasus dan Warta diceritakan lebih banyak dari pada hubungan
Rasus dan Darsun oleh pengarang dalam RDP. Ketika Rasus sedang sedih,
Rasus menyuruh Warta untuk menyanyi menghibur dirinya. Cerita RDP
memebri penjelasan bahwa tokoh Warta dengan mudah akan menyanyikan lagu
jika ia diberi pujian terlebih dahulu. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP
berikut.
Tidak sulit membuat Warta mau bertembang bila orang mau menyediakan
setumpuk kata pujian baginya. Di antara sesama anak Dukuh Paruk, Warta
dikenal mempunyai suara paling bagus. Tembang kegemarannya juga
menjadi kegemaran setiap anak di pedukuhan itu, sebuah lagu duka bagi
para yatim-piatu. Orang takkan menemukan siapa penggubah lagu itu yang
mampu mewakili nestapa anak anak yang di dunia tanpa ayah dan emak.
(RDP: 63)
125

Berdasarkan penjelasan dan kutipan-kutipan di atas, diketahui hubungan


antara Rasus, Warta, dan Darsun adalah hubungan persahabatan. Warta dan
Darsun adalah sahabat bermain Rasus waktu kecil.
d) Sakarya
Sakarya diposisikan sebagai tokoh tambahan protagonis. Sakarya
diceritakan sebagai kakek dari Srintil sekaligus memangku status kamitua di
Dukuh Paruk. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Sakarya, kamitua di pedukuhan terpencil itu masih merenungi ulah cucunya
sore tadi. Dengan diam-diam Sakarya mengikuti gerak-gerik Srintil ketika
cucunya itu menari di bawah pohon nangka. Sedikit pun Sakarya tidak ragu,
Srintil telah kerasukan indang ronggeng. (RDP: 15)

Sakarya berhubungan dengan Srintil. Hubungan antara Srintil dan


Sakarya adalah hubungan antara cucu dan kakek dalam suatu keluarga. Posisi
Sakarya sebagai kakek Srintil memberi jalan keluar bagi pengarang untuk
menceritakan tokoh Santayib dan istri Santayib. Santayib dan istrinya adalah
orangtua Srintil. Mereka diceritakan meninggal karena keracunan bongkrek
ketika Srintil masih bayi. Peristiwa keracunan bongkrek yang terjadi pada tokoh
Santayib dan istrinya dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Sakarya hendak melompat ke depan. Ingin ditepiskannya tangan Santayib
yang menggenggam bongkrek. Malah ingin dikoreknya mulut anak dan
menantunya agar makanan beracun itu keluar kembali. Itu kehendak
Sakarya. Tetapi ambang pintu rumah Santayib lain kemauannya. Sakarya
yang ingin bergerak secepatnya tersandung ambang pintu, jatuh dengan
kepala membentur tiang kayu. (RDP: 27)

e) Kartareja dan Nyi Kartareja


Kartareja dan Nyai Kartareja dalam cerita RDP diposisikan sebagai tokoh
tambahan tritagonis. Penggolongan ke dalam tokoh tritagonis karena kedua
tokoh ini mendukung jalan hidup Srintil sebagai ronggeng, namun sering kali
ada pemaksaan kehendak yang bertolak belakang dengan batin Srintil. Di dalam
RDP, Kartareja dideskripsikan sebagai dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Hal ini
dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir
sebaya ini secara turun-temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk.
126

Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun
menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya.(RDP: 16)

Kartareja sebagai dukun ronggeng mempunyai peran untuk membimbing


dan mengatur seorang ronggeng. Dukun ronggeng berarti orang yang mampu
menjadikan orang biasa menjadi ronggeng. Akan tetapi, seseorang yang akan
menjadi ronggeng harus memenuhi syarat sebagai seorang calon ronggeng.
Seorang calon ronggeng harus diserahkan kepada dukun ronggeng. Hal ini
dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Pada hari baik, Srintil diserahkan oleh kakeknya, Sakarya kepada Kartareja.
Itu hukum Dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon ronggeng.
Keluarga calon harus menyerahkannya kepada dukun ronggeng, menjadi
anak akuan. (RDP: 17)

Nyi Kartareja dideskripsikan sebagai seorang istri dukun ronggeng yang


pandai merias. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Di dalam rumah, Nyai Kartareja sedang merias Srintil. Tubuhnya yang kecil
dan masih lurus tertutup kain sampai ke dada. Angkinnya kuning. Di
pinggang kiri kanan ada sampur berwarna merah saga. Srintil didandani
seperti laiknya seorang ronggeng dewasa. Kulitnya terang karena Nyai
Kartareja telah melumurinya dengan tepung bercampur air kunyit. Istri
dukun ronggeng itu juga telah menyuruh Srintil mengunyah sirih. Bibir
yang masih sangat muda itu merah. (RDP: 18)

Selain pandai merias ronggeng, Nyi Kartareja adalah dukun ronggeng. Ia


adalah sosok yang mampu memberi mantra pekasih pada seorang ronggeng.
Mantra pekasih diberikan kepada ronggeng supaya memikat orang-orang yang
melihatnya. Penjelasan tentang kemampuan Nyi Kartareja memberi mantra
pekasih dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Satu hal disembunyikan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu, ketika
dia meniupkan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil. Mantra yang di Dukuh
Paruk dipercaya akan membuat siapa saja tampak lebih cantik dari yang
sebenarnya; (RDP: 18)

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, hubungan antara Srintil, Kartareja,


dan Nyi Kartareja adalah hubungan antara calon ronggeng dan dukun ronggeng
yang akan menjadikan Srintil sebagai ronggeng sungguhan. Akan tetapi, secara
tidak langsung, hubungan mereka menjadi hubungan keluarga karena Sakarya
127

telah menyerahkan Srintil kepada Kartareja dan istrinya untuk dibimbing sebagai
ronggeng.
f) Sakum
Sakum diposisikan sebagai tokoh tambahan protagonis. Sakum di
deskripsikan sebagai pemukul calung dalam pentas ronggeng. Sakum
dideskripsikan sebagai laki-laki yang bermata buta. Akan tetapi, ia mampu
melihat dengan mata batinnya dengan merasakan suasana di sekitarnya.
Deskripsi tentang Sakum ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Dia berhasil menemukan kembali Sakum, laki-laki dengan sepasang mata
keropos namun punya keahlian istimewa dalam memukul calung besar.
Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secara seksama pagelaran
ronggeng. Seperti seorang awas, (RDP: 17)

Selain bermata buta dan pandai memainkan calung. Sosok Sakum


dideskripsikan sebagai seorang yang memilki sifat humoris. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
Sebagai penabuh calung yang masyhur, meski kedua matanya buta, Sakum
tak pernah mengeluh. Bahkan gaya dan suaranya selalu berupa banyolan.
(RDP: 149)

Hubungan antara Srintil dan Sakum adalah hubungan ronggeng dengan


pemukul calung. Calung adalah alat musik yang digunakan untuk iringan musik
dalam pentas ronggeng. Selain itu, Srintil dan Sakum diikat dengan rasa
kekeluargaan sebagai masyarakat asli Dukuh Paruk.
g) Marsusi
Marsusi digolongkan sebagai tokoh tambahan antagonis. Ia selalu
berseberangan pendapat dengan Srintil. Deskripsi tentang Marsusi ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
Khayalan Srintil terkacau oleh deru sepeda motor yang memasuki Dukuh
Paruk. Di kecamatan Dawuan dan sekitarnya hanya ada dua kendaraan
seperti itu. Yang satu milik siten wedana, lainnya milik Marsusi, seorang
kepala perkebunan karet Wanakeling. (RDP: 118)

Berdasarkan kutipan tersebut, Marsusi dideskripsikan sebagai salah


seorang yang kaya di Kecamatan Dawuan. Marsusi mempunyai status sebagai
kepala perkebunan karet Wanakeling. Marsusi merasa sebagai orang yang kaya
128

dan ingin memakai Srintil sebagai ronggeng. Akan tetapi, berkali-kali Srintil
menolaknya karena Srintil sudah tidak mau melayani laki-laki yang hanya
menginginkan tubuhnya. Ia trauma karena telah ditinggalkan oleh Rasus.
Penolakan Srintil atas tawaran Marsusi, membuat Marsusi kecewa dan marah
karena merasa dihina oleh Srintil. Marsusi ingin balas dendam kepada Srintil.
Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
“Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu
betul Srintil menerima semua laki-laki yang datang sebelum saya demi uang
yang tak seberapa atau demi satu-dua gram emas, Tetapi dia menampikku,
padahal seratus gram kalung emas berbandul berlian yang kusodorkan
kepadanya. Mau disebut apa lagi kalau bukan penghinaan yang sebesar-
besarnya. Tetapi, Kek..." (RDP: 176)

Marsusi membalas dendam kepada Srintil dengan cara memakai ilmu


hitam. Ia meminta bantuan kepada Tarim. Balas dendam Marsusi dilakukan
dengan mengacaukan pentas ronggeng yang dilakukan Srintil. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Hanya seorang yang tahu persis apa yang telah terjadi. Marsusi dalam
pakaian penyamaran berdiri di balik bayang-bayang sebatang pohon.
Tangan kanannya menggenggam sebuah botol kecil sebesar kelingking. Bila
mulut botol itu ditutup dengan ibu jarinya maka terjadi heboh di panggung.
Srintil tak bisa bernapas. Itu sudah sekali dibuktikannya. Dan sekali heboh
belumlah cukup buat membalas kesumatnya terhadap ronggeng Dukuh
Paruk itu. Dengan sabar Marsusi menanti kesempatan berikutnya. (RDP:
193)

Hubungan Srintil dan Marsusi adalah hubungan antara ronggeng dan


seorang laki-laki yang menginginkan jasa ronggeng untuk melayani kebutuhan
biologis. Akan tetapi, dalam cerita Srintil telah memutuskan untuk tidak
melayani laki-laki. Ia ingin serius menjalin hubungan rumah tangga.
h) Tampi dan Goder
Tampi dan Goder adalah dua tokoh yang mewarnai penceritaan Srintil
dalam RDP. Tampi dan Goder digolongkan ke dalam tokoh tambahan
protagonis. Tampi adalah ibu Goder. Deskripsi tentang Tampi dan Goder
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Makin lama Srintil makin lekat dengan Goder, bayi Tampi. Sering kali
Srintil menyuruh, jelasnya mengusir Tampi pulang bila Goder sudah di
129

tangannya. Hasrat meneteki Goder telah berubah menjadi renjana jiwanya,


renjana hatima, dan renjana sistem ragawinya. Maka alam jangan disalahkan
bila Dia menggerakkan kelenjar air susu Srintil bekerja meskipun ronggeng
itu belum pernah melahirkan dan bukan pula dalam masa menyusukan.
(RDP: 139)

Kutipan tersebut memberi informasi bahwa Srintil sangat dekat dengan


Goder. Goder telah dianggap sebagai anak oleh Srintil. Dengan demikian,
hubungan antara Srintil dan Goder adalah hubungan antara anak angkat dan ibu
angkat, sedangkan Tampi adalah ibu kandung dari Goder.
i) Sentika
Sentika adalah tokoh tambahan protagonis dalam RDP. Sentika
dideskripsikan sebagai lelaki yang berusia enam puluhan tahun. Deskripsi yang
lebih lengkap mengenai Sentika dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Sentika, satu-satunya penumpang di atas andong itu adalah laki-laki usia
enam puluhan. Subur badannya, berwajah bulat dan tenang. Bajunya hitam.
Celananya yang longgar menutup lutut juga berwarna hitam. Ikat kepalanya
melilit rapi. Dengan bibir merah karena makan sirih lengkaplah penampilan
Sentika sebagai laki-laki sisa masa lalu, dan hidup bertani di daerah
pegunungan. (RDP: 198)

Sentika hadir dalam cerita RDP karena ia diceritakan sebagai seorang


yang menginginkan jasa Srintil sebagai ronggeng. Jasa ini bukanlah jasa
syahwat, melainkan jasa untuk pentas ronggeng. Selain itu, kehadiran Sentika
dalam cerita RDP memberi peran lebih pada Srintil. Di dalam cerita RDP, Srintil
diminta untuk menjadi seorang gowok bagi anak Sentika yang bernama Waras.
Hal inilah yang menyebabkan Srintil juga berhubungan dengan Waras.
Permintaan Sentika kepada Srintil untuk menjadi seorang gowok ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
"Lucu? Baiklah. Tetapi kamu, Wong Ayu, bersedia menjadi gowok bagi
anakku, bukan?" kata Sentika sambil menatap jenaka kepada Srintil. (RDP:
202)

Berdasarkan penjelasan dan beberapa kutipan di atas, disimpulkan bahwa


hubungan Srintil dengan Sentika adalah hubungan antara ronggeng dengan
seorang pengguna jasa ronggeng dan gowok.
j) Bakar
130

Bakar adalah tokoh tambahan antagonis. Deskripsi tentang Bakar


ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh
Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak
Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi
semangatnya luar biasa. (RDP: 228)

Bakar bagi Srintil adalah tokoh yang dianggap sebagai seorang ayah.
Bakar sering menggunakan jasa Srintil sebagai ronggeng untuk pentas di banyak
tempat. Setiap pentas Srintil selalu mendapatkan bayaran yang tinggi dan tidak
jarang mendapat hadiah. Kehadiran sosok Bakar sangat penting dalam
kehidupan Srintil, bahkan rombongan ronggeng Srintil diberi hadiah seperangkat
alat pengeras suara. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Di mata Srintil, Bakar adalah seorang ayah yang sangat layak. Ramah, dan
kelihatannya paham akan banyak hal termasuk perasaan pribadi Srintil.
Kebapakannya tidak hanya dibuktikan dengan bayaran tinggi yang selalu
diberikannya kepada Srintil tetapi juga dengan sikapnya yang dingin
terhadap tujuan-tujuan erotik. Bakar juga memberikan hadiah kepada Srintil
beserta rombongannya berupa seperangkat alat pengeras suara; perkakas
elektronik pertama yang masuk dan sangat dibanggakan oleh orang Dukuh
Paruk. (RDP: 228)

Di sisi lain, Bakar telah memolitisasi kesenian ronggeng yang dibawakan


Srintil dan rombongannya. Kebodohan Srintil dan orang-orang Dukuh Paruk
menyebabkan mereka tidak mengetahui bahwa mereka sedang dipolitisasi. Hal
ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Tidak. Bakar tidak bicara macam-macam di Dukuh Paruk. Dia hanya ingin
Srintil dan rombongannya menjadi alat penarik massa, sekaligus
mendaulatnya. Tujuan itu sudah berhasil dicapai dengan modal tak
seberapa: pengeras suara, pakaian pakaian, serta sikap kebapakan. Juga
slogan-slogan yang telah diubah menjadi syair untuk mengganti lirik
tembang tradisional. (RDP: 230-231)

Berdasarkan penjelasan dan kutipan-kutipan di atas, ditarik simpulan


bahwa hubungan antara Srintil dan Bakar adalah hubungan antara seorang
ronggeng dengan aktivis partai. Akan tetapi, Srintil dengan kebodohannya
menilai bahwa Bakar adalah pahlawan baginya.
k) Bajus
131

Di dalam cerita RDP, Bajus diceritakan sebagai orang proyek yang


berasal dari Jakarta. Keterlibatannya dalam cerita RDP membuat Bajus
digolongkan ke dalam tokoh tambahan antagonis. Deskripsi tentang Bajus
ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Bajus itu orang proyek. Proyek itu milik pemerintah, jadi Bajus orang
pemerintah. Apabila Bajus menggandeng Srintil, maka orang-orang
sekecamatan Dawuan hanya bisa memberikan satu makna; Srintil sudah
digandeng pemerintah. Bekas tahanan politik atau bukan nyatanya Srintil
sudah dipakai oleh pemerintah. (RDP: 366)

Sebagai pemborong kelas dua Bajus sadar betul keakraban semacam itu
amat perlu. Di dalam rapat yang akan segera diselenggarakan Bajus
sesungguhnya tidak mempunyai peran resmi apa pun. Namun selama dia
tidak ingin ketinggalan dalam hal jatah pekerjaan, Bajus harus rajin datang
pada rapat seperti itu. (RDP: 375)

Pada kutipan (RDP: 366), dijelaskan bahwa Bajus adalah orang


pemerintah. Srintil dalam hal ini sebagai bekas tahanan tetap bisa bergaul
dengan orang pemerintah. Dengan demikian, cap komunis yang berikan kepada
Srintil semakin luntur, walaupun pada kenyataannya Srintil tetap dinilai sebagai
bekas komunis.
Hubungan Bajus dan Srintil semakin dekat ketika Bajus sering
mengunjungi rumah Srintil. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP
berikut.
Kemudian, celoteh Nyai Kartareja seperti demikian adanya, berkembang
menjadi kenyataan. Bajus dengan teratur mengunjungi Srintil, tetap dengan
warna tanpa petualangan. Kadang Bajus datang bersama teman dan kadang
dia mengundang Kartareja ikut duduk-duduk di rumah Srintil. (RDP: 362)

Kedekatan hubungan antara Srintil dan Bajus menyebabkan perubahan


psikologis pada Srintil. Srintil menilai kedekatan tersebut sebagai pondasi awal
untuk dapat melangkah ke hubungan serius, yakni berumah tangga. Akan tetapi,
Srintil kembali ke dalam lubang perangkap. Srintil diperalat oleh Bajus.
Kebaikan Bajus yang diberikan kepada Srintil bukanlah suatu hal yang tulus dan
serius. Akan tetapi, hal tersebut dilakukan Bajus agar Srintil mau memberi imbal
balik dengan meminta Srintil untuk melayani Blengur. Blengur adalah
pemborong kelas satu yang sering memberikan Bajus Proyek. Permintaan Bajus
132

kepada Srintil untuk menemani Pak Blengur ditunjukkan dalam kutipan cerita
RDP berikut.
"Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah,
dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya berapa
pun harganya akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini.
Temanilah dia. Temanilah dia, Srin." (RDP: 381)

Akhirnya, beban psikologis Srintil semakin menumpuk. Srintil tidak kuat


menerima kondisi di sekitarnya. Hal inilah yang menyebabkan Srintil menjadi
gila. Bajus adalah tokoh paling utama yang menyebabkan Srintil menjadi gila.
l) Sersan Slamet
Sersan Slamet adalah tokoh yang berjasa bagi Rasus. Penokohan Sersan
Slamet dalam RDP digolongkan ke dalam tokoh tambahan protagonis. Di dalam
RDP Sersan Slamet adalah tokoh yang mengangkat Rasus sebagai tobang.
Pengangkatan inilah awal mula yang menyebabkan Rasus pada akhirnya
menjadi tentara. Deskripsi tentang Rasus menjadi tobang ditunjukkan dalam
kutipan cerita RDP berikut.
Pada hari-hari pertama menjadi tobang, banyak hal baru yang kurasakan.
Siang hari aku mencuci pakaian-pakaian tentara, melap sepatu-sepatu.
Urusan dapur menjadi bagianku pula. Aku melakukan bagian ini dengan
senang hati karena di samping memasak aku berkesempatan pergi
berbelanja ke pasar Dawuan. Di sana aku pamer dengan baju seragam.
(RDP: 93)

Jasa Sersan Slamet kepada Rasus tidak hanya sekadar mengangkat Rasus
menjadi tobang. Akan tetapi, Sersan Slamet adalah sosok yang mengajari Rasus
tentang banyak hal. Hal inilah yang menyebabkan Rasus menjadi pandai. Rasus
tidak seperti masyarakat Dukuh paruk lainnya yang terkenal miskin dan bodoh.
Hubungan Sersan Slamet dengan Rasus tidak hanya hubungan antara tobang dan
sersan, tetapi masuk ke dalam wilayah pribadi. Hal ini dijelaskan dalam kutipan
cerita RDP berikut.
Hubunganku dengan Sersan Slamet lebih dapat dikatakan sebagai hubungan
pribadi daripada sebagai hubungan antara seorang tobang dan seorang
sersan. Dia banyak bertanya tentang diriku, asal-usulku bahkan sekolahku.
Dia mengajariku menulis dan membaca setelah mengetahui aku tak pernah
bersekolah. Berbagai kisah diceritakan kepadaku. (RDP: 93)
133

m) Kapten Mortir
Kapten Mortir diceritakan sebagai perwira menengah yang mengepalai
tempat tahanan Srintil. Kapten mortir digolongkan ke dalam tokoh tambahan
tritagonis. Rasus dan Kapten Mortir terhubung dalam jalinan cerita karena Rasus
pergi ke kantor Kapten Mortir untuk menjenguk Srintil. Kapten Mortir
mengabulkan permintaan Rasus untuk menjenguk Srintil. Hal ini dijelaskan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
“Kamu saya beri kesempatan bertemu Srintil selama sepuluh menit. Kamu
harus mencatat sendiri apa yang kalian bicarakan, dan serahkan kepada
ajudanku. Ini kertasnya. Sekarang pergilah ke kamar tunggu!” (RDP: 270)

Kutipan tersebut sekaligus menyiratkan bahwa hubungan Rasus dengan


kapten Mortir terjalin karena Rasus meminta izin kepada Kapten Mortir untuk
menjenguk Srintil.
3) Alur
Stanton (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Di dalam trilogi novel RDP, pengarang
membagi cerita menjadi tiga bagian, yakni buku pertama berjudul Catatan buat
Emak, kedua berjudul Lintang Kemukus Dini Hari, dan ketiga berjudul Jantera
Bianglala. Pada Catatan buat Emak, cerita dibagi menjadi empat bab. Pada
Lintang Kemukus Dini Hari, cerita dibagi menjadi lima bab, sedangkan pada
Jantera Bianglala, cerita dibagi menjadi empat bab. Pembagian cerita ini
memungkinkan pembaca untuk lebih mudah memahami isi cerita. Penceritaan
dalam novel OOP pada dasarnya sebagian besar menggunakan alur lurus. Akan
tetapi, pengarang menggunakan alur sorot-balik di beberapa bagian. Adapun
penggunaan alur sorot-balik/flash-back ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP
berikut.
Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil
basah kuyup tersiram hujan lebat. Di dalam kegelapan yang pekat,
pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang. (RDP: 21)

Pada kutipan tersebut, pengarang menceritakan kejadian masa lalu di


Dukuh Paruk. Penanda yang menunjukkan bahwa kutipan tersebut adalah bagian
dari plot sorot-balik adalah penggunaan klausa “sebelas tahun yang lalu”. Di
134

bagian cerita dengan plot sorot-balik tersebut, diceritakan sosok Santayib dan
istrinya sebagai pembuat tempe bongkrek. Di bagian itu diceritakan musibah
yang dialami masyarakat Dukuh Paruk. Musibah tersebut adalah masyarakat
Dukuh Paruk yang terkena racun karena memakan tempe bongkrek buatan
Santayib dan istrinya.
Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149) membedakan tahapan plot
menjadi lima macam, yakni tahap Situation, generating circumstances, ricing
action, climax, dan denouement. Analisis mengenai tahapan alur novel RDP
dipaparkan sebagai berikut.
a) Tahap Situation (Tahap Penyituasian)
Tahap situasi berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-
tokoh cerita. Cerita dalam novel RDP diawali dengan deskripsi latar. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh
Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan
menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah
menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang
menjadi bercak-bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi
berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru
hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya. (RDP: 9)

Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit


itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun
bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian
Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik.
Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.
(RDP: 9)

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan latar yang digunakan dalam RDP


adalah sebuah dukuh bernama Dukuh Paruk. Latar dijelaskan dengan gaya
deskripsi tentang musim, keadaan dukuh, tumbuhan, hewan-hewan yang ada di
sawah, angin, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa deskripsi latar
ditekankan pengarang dengan kuat. Penekanan deskripsi latar dalam cerita
bertujuan untuk membentuk imajinasi yang kuat pada pembaca tentang cerita di
dalam novel. Dengan demikian, pembaca seolah-olah berada dalam situasi
seperti yang diceritakan pengarang.
135

Selain deskripsi latar, tahap situasi mulai mendeskripsikan tokoh-tokoh


dalam cerita. Hal ini ditunjukkan dalam beberapa kutipan cerita RDP berikut.
Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah-payah mencabut
sebatang singkong. Namun ketiganya masih terlampau lemah untuk
mengalahkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur.
Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu
tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah
seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal. (RDP: 10)

Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya, Srintil


berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-
orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu
ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya, Srintil mendendangkan lagu
kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora
suwe.(RDP: 11)

Menjelang tengah malam barangkali hanya Sakarya yang masih termangu di


bawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan
terpencil itu masih merenungi ulah cucunya sore tadi. (RDP: 15)

Beberapa kutipan di atas menunjukkan pelukisan tokoh dalam cerita


novel RDP. Kutipan (RDP: 10) menunjukkan deskripsi tiga anak laki-laki yang
sedang mencabut singkong di tepi kampung. Tiga anak laki-laki tersebut pada
bagian lain diceritakan sebagai Rasus, Warta, dan Darsun. Kutipan tersebut
memberi informasi bahwa pengarang tidak langsung menyebut nama tokoh,
namun mendeskripsikan perilaku tokoh lebih dahulu. Hal ini mengindikasikan
bahwa kekuatan deskripsi tokoh ditekankan oleh pengarang. Kutipan (RDP: 11)
mendeskripsikan Srintil pada awal cerita. Deskripsi Srintil pada kutipan tersebut
adalah deskripsi Srintil ketika masih kecil. Srintil dideskripsikan sebagai anak-
anak yang senang menyanyikan lagu ronggeng. Kutipan (RDP: 15)
mendeskripsikan tentang Sakarya sebagai kamitua di Dukuh Paruk.
b) Tahap Generating Circumstances (Tahap Pemunculan Konflik)
Tahap ini berisi pemunculan masalah-masalah atau peristiwa yang
menyulut konflik. Deskripsi tentang peristiwa yang mengandung masalah dan
memunculkan konflik dijelaskan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan
kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar
rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai
136

merasa takut. Mulai terpikir olehku apakah sudah tiba saatnya bagiku
kembali ke Dukuh Paruk? Aku berharap para perampok tidak tertarik pada
pedukuhan itu karena letaknya yang berada di tengah sawah. Menurut
perhitunganku, andaikata terjadi perampokan di sana polisi gampang
mengepungnya. (RDP: 90)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa sebuah konflik dimunculkan dengan


penceritaan situasi Kecamatan Dawuan yang tidak aman. Kecamatan Dawuan
tidak aman karena banyak terjadi perampokan. Hal ini membuat Rasus gelisah
dan memikirkan keadaan Dukuh Paruk. Rasus menaruh harapan agar
perampokan tidak melanda Dukuhnya. Konflik ini muncul di dalam penceritaan
Rasus.
"Aku memang ronggeng, maka tangan laki-laki boleh hinggap di mana saja
pada tubuhku. Tetapi kini hatiku bukan lagi ronggeng. Bukan!" (RDP: 132)

Kutipan di atas menunjukkan konflik yang dihadirkan oleh Srintil.


Konflik tersebut berupa konflik batin. Srintil mengalami dualisme pada dirinya.
Ia berstatus sebagai ronggeng, tapi hatinya tidak menghendaki lagi untuk
menjadi ronggeng. Konflik batin ini disebabkan karena Srintil ditinggal pergi
oleh Rasus tanpa pamit. Hal ini merupakan bentuk penolakan Rasus secara tidak
langsung terhadap Srintil karena Srintil menginginkan Rasus tetap tinggal di
Dukuh Paruk untuk membina rumah tangga. Penjelasan tentang pernyataan
tersebut ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Maka bagi Srintil kepergian Rasus tidak bisa dipahami secara lain kecuali
atas kehendak Sang Dalang juga. Meskipun sebagai akibatnya Srintil harus
merasakan kegetiran dalam hatinya. Lain lagi perihal penolakannya atas
Marsusi. Srintil khawatir jangan-jangan penolakannya itu berarti
penentangan terhadap pakem hidup. Dan sepanjang yang dipercayainya
sikap semacam ini akan membawa akibat buruk. (RDP: 156)

Konflik batin yang dialami srintil menimbulkan konflik lain. Srintil


diceritakan tidak mau menerima permintaan pentas ronggeng. Permintaan untuk
meronggeng pada pentas perayaan Agustusan pun ia tolak. Srintil memilih
dihukum daripada meronggeng lagi. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita
RDP berikut.
137

"Ya, sudah! Aku rela menerima hukuman. Dibui pun jadi! Bagaimana aku
harus menari bila hati tak mau. Kakek tahu bukan, sebuah tarian baru hidup
bila hati dan jiwa ikut menari." (RDP: 162)

Keputusan Srintil untuk berhenti meronggeng menyebabkan konflik lain.


Srintil merasa gelisah karena dengan keputusannya berhenti meronggeng
menjadikan anggota rombongan ronggeng tidak lagi mempunyai penghasilan.
Srintil merasa terketuk untuk meronggeng lagi ketika mendengar kesedihan dan
kegelisahan tokoh Sakum yang tidak berpenghasilan. Oleh karena itu, Srintil
memutuskan untuk meronggeng dalam acara Agustusan. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
Dalam perjalanan pulang, Srintil telah mendapat kata putus. Dia hendak
memenuhi permintaan panitia Agustusan. Tetapi Srintil sendiri tidak bisa
memastikan apakah keputusan itu merupakan tekad yang utuh atau hanya
karena sebab lain. Pihak pertama yang mendengar keputusan Srintil adalah
Goder, bayi yang dipeluknya erat-erat sambil berjalan pulang. (RDP: 167-
168)

Srintil diceritakan mau meronggeng lagi. Akan tetapi, ia sudah tidak


ingin melayani kebutuhan syahwat laki-laki. Srintil hanya meronggeng jika
diminta untuk pentas. Ketika Marsusi meminta Srintil untuk melayani
syahwatnya dengan imbalan yang tinggi, Srintil menolaknya. Tolakan Srintil
mengecewakan Marsusi dan menilai penolakan tersebut adalah bentuk
penghinaan terhadap Marsusi. Hal ini membuat Marsusi marah dan ingin
mencelakakan Srintil. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Tentu saja aku ingin membalasnya, bahkan melenyapkannya. Aku tahu
betul Srintil menerima semua laki-laki yang datang sebelum saya demi uang
yang tak seberapa atau demi satu-dua gram emas, Tetapi dia menampikku,
padahal seratus gram kalung emas berbandul berlian yang kusodorkan
kepadanya. Mau disebut apa lagi kalau bukan penghinaan yang sebesar-
besarnya. Tetapi, Kek..." (RDP: 176)

Konflik muncul dalam kehidupan sosial Dukuh Paruk. Kebodohan


mengakibatkan masyarakat tidak paham terhadap situasi sejarah yang sedang
terjadi di sekitar Dukuh Paruk. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP
berikut.
138

Mereka juga tidak menangkap makna istimewa yang dibawa hari ini, sejarah
hari ini. Mereka tidak mengerti makna pidato, tanda-tanda gambar partai,
atau slogan slogan yang telah dilihatnya memenuhi lapangan kecamatan
Dawuan. Bukan hanya karena mereka sepenuhnya buta huruf. (RDP: 182)

Pada penceritaan RDP dengan latar waktu tahun 1964, rombongan


ronggeng diceritakan semakin banyak melakukan pentas di beberapa tempat.
Rombongan ronggeng mengenal sosok Pak Bakar. Hal ini ditunjukkan dalam
kutipan cerita RDP berikut.
Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana,
ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat
orang berhajat melainkan di tengah rapat umum baik siang atau malam hari.
Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh
Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. (RDP:
228)

Degradasi terjadi pada kesenian ronggeng. Kesakralan Ronggeng Dukuh


Paruk mengalami penipisan. Hal ini dikarenakan pentas ronggeng tidak murni
sebagai pentas ronggeng. Akan tetapi, pentas tersebut telah dipolitisasi oleh
orang-orang partai. Hal ini diperjelas dalam kutipan cerita RDP berikut.
Itulah. Yang jelas hal semacam ini baru sekarang kita alami. Sejak dulu
ronggeng ya ronggeng. Tidak harus pakai nama atau papan nama. Dukuh
Paruk sejak dulu ya Dukuh Paruk. Tanpa gambar partai di mulut jalan itu
pun pedukuhan kita ini bernama Dukuh Paruk. Nah, Kartareja. Bagaimana
ini?" (RDP: 229)

c) Tahap Ricing Action (Tahap Peningkatan Konflik)


Pada tahap ini, konflik-konflik yang dimunculkan mulai berkembang dan
peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan. Konflik-
konflik yang terjadi membawa suasana cerita menjadi lebih kompleks. Berikut
kutipan-kutipan yang memperjelas perkembangan konflik yang mulai
menegangkan.
Suatu ketika sehabis rapat di mana Srintil mengisi acara kesenian, ratusan
penonton mabuk. Mereka kesurupan, kemudian mereka beramai-ramai
merojeng padi. Mereka membabat padi menguning di sawah-sawah entah
milik siapa. (RDP: 232)

Kutipan di atas menunjukkan bentuk ketegangan yang terjadi setelah


Srintil pentas ronggeng. Banyak orang mabuk yang kemudian membuat
139

kerusuhan berupa perojengan padi. Hal ini membuat kegelisahan dan keresahan
rombongan ronggeng sekaligus Sakarya sebagai kamitua Dukuh Paruk. Oleh
karena itu, Sakarya memutuskan untuk tidak mengizinkan rombongan ronggeng
mengikuti pentas. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
"Pak Bakar," kata Sakarya penuh kekesalan. "Kami orang-orang Dukuh
Paruk tidak ingin dilibatkan dengan kerusuhan-kerusuhan itu. Bila demikian
terus keadaannya samalah artinya sampean menjerumuskan kami. Orang
Dukuh Paruk tidak menyukai kekerasan. Pak Bakar, buat selanjutnya kami
tak mau ikut rapat-rapat itu." (RDP: 233)

Keputusan Sakarya dan rombongan ronggeng untuk tidak mau lagi


pentas dalam rapat membuat tokoh Bakar menyusun siasat licik. Ia melakukan
perusakan di makam Ki Secamenggala yang dikeramatkan warga Dukuh Paruk.
Akan tetapi, Bakar membuat kejadian perusakan tersebut seolah-olah dilakukan
oleh orang-orang yang padinya dirojeng. Hal itu ditandai dengan adanya caping
hijau di balik semak dekat cungkup makam yang dirusak. Hal tersebut dijelaskan
dalam dua kutipan cerita RDP berikut.
Namun ketenangan Dukuh Paruk tidak berlangsung lama. Suatu hari
Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki
Secamenggala poranda dirobohkan orang. Dukuh Paruk terluka parah tepat
pada sisinya yang paling peka. (RDP: 235)
Caping ini kutemukan di balik semak. Kita tak pernah mempunyai barang
seperti demikian. Ini pasti milik bajingan-bajingan yang telah merusak
cungkup makam. (RDP: 235)

Rombongan ronggeng memutuskan untuk pentas lagi. Alasannya adalah


sebagai bentuk balas dendam karena perusakan makam Ki Secamenggala. Akan
tetapi, hal ini justru membuat rombongan ronggeng dan warga Dukuh Paruk
sengsara karena mereka dinilai terlibat dengan kegiatan komunis yang saat itu
dilarang pemerintah. Peristiwa ini menyebabkan Srintil, Sakarya, Kartareja, dan
Warga Dukuh Paruk lainnya ditahan. Hal ini dijelaskan dalam dua kutipan cerita
RDP berikut.
“Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di
luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian
berdua. Bahwa Saudara Kartareja dan Saudara Srintil termasuk orang-orang
yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan
tugas." (RDP: 240-241)
140

Apalagi orang-orang terpenting di sana kemudian ditahan oleh petugas


keamanan yang menganggap Sakarya, kartareja, dan terutama Srintil ikut
terlibat dalam gerakan orang-orang komunis. (RDP: 253)

Srintil akhirnya dibebaskan dari penjara. Akan tetapi, Srintil mengalami


beban psikologis karena trauma dengan penahanannya. Beban psikologis
tersebut bertambah ketika ia sadar bahwa ia berstatus sebagai bekas tahanan
politik. Ia merasa menjadi orang yang terasing karena status tersebut. Perilaku
Srintil menjadi bertolak belakang dengan perilakunya ketika masih menjadi
seorang ronggeng. Srintil menjadi lebih pendiam. Hal ini ditunjukkan dalam
kutipan cerita RDP berikut.
Dan mengapa Srintil pada hari-hari pertama kepulangannya hanya bisa diam
dan diam. Mengapa pula Srintil kelihatan amat lelah dan wajahnya kelihatan
jauh lebih tua dari usianya yang baru dua puluh tiga tahun. (RDP: 278)

Srintil tidak mempunyai niat untuk menjadi ronggeng lagi. Ia


menginginkan untuk menjadi orang somahan atau berumah tangga. Niat dalam
diri Srintil tersebut benar-benar merubah dirinya. Ia sudah tidak pantas menjadi
ronggeng lagi. Sakum berpendapat bahwa roh indang ronggeng sudah hilang
dalam diri tubuhnya. Hal ini dijelaskan dalam kutipan cerita RDP berikut.
"Betul! Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku.
Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada
pada tubuh sampean." (RDP: 335)

d) Tahap Climax (Tahap Klimaks)


Tahap ini menunjukkan konflik atau pertentangan yang terjadi dalam
cerita mulai mencapai puncaknya. Tahap klimaks adalah titik puncak pokok
permasalahan yang terjadi dalam cerita. Ketegangan dalam cerita berada dalam
tahap yang maksimal. Ketegangan dalam tahap klimaks dijelaskan dalam
kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
"Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah,
dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya berapa
pun harganya akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini.
Temanilah dia. Temanilah dia, Srin."
Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan
dadanya turun-naik dengan cepat. Kedua tangannya bergetar. (RDP: 381)
141

"Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau
menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak
bisa melakukannya?" (RDP: 383)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Bajus memaksa Srintil untuk


melayani Pak Blengur. Pada awalnya Bajus sangat baik dan perhatian terhdap
Srintil. Hal ini ternyata hanya siasat Bajus agar Srintil mau melayani atasannya
sebagai hadiah atas proyek yang diberikan kepada Bajus. Kontradiksi situasi
yang dialami Srintil menyebabkan batinnya lemah dan terombang-ambing ke
dalam situasi yang tidak jelas. Beban psikologis yang pada awalnya terobati
dengan kehadiran Bajus, justru semakin menambah konflik batin karena Bajus
tidak sesuai dengan yang diinginkan Srintil. Titik klimaks cerita RDP ditandai
dengan cerita Srintil yang menjadi gila karena merasa dikhianati Bajus.
Deskripsi Srintil yang telah gila ditunjukkan dengan dua kutipan cerita RDP
berikut.
Sunyi. Mencekam. Bulu kuduk merinding. Adakalanya orang menjadi
sangat takut bila tiba-tiba berhadapan dengan mayat. Dan akan sekian kali
lebih takut bila yang di depan mata adalah mayat hidup. Srintil terlihat
masih dalam posisi yang ganjil. Wajah mati. Mata tak berkedip dan mulut
melongo. Bajus terhenyak ke belakang dan amplop yang menggembung
jatuh ke lantai. Gagap dia. Sulit baginya menerima kenyataan bahwa
kemanusiaan kadang tidak lebih tebal dari kulit bawang. Srintil beberapa
menit yang lalu masih lengkap dengan pesona seorang perempuan muda
yang cantik. Pesona yang bahkan sesungguhnya menembus juga jantung
Bajus yang impoten. Kini tak ada lagi pesona. Tidak juga kecantikan.
Kemanusiaannya tinggal tersisa berupa sosok dan nama. Selebihnya adalah
citra hewani. Citra makhluk tanpa akal budi. (RDP: 385-386)

Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang


tertangkap oleh mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran.
Srintil yang demikian kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus
oblong yang robek-robek. Srintil yang duduk di atas sesuatu, mungkin
kotorannya sendiri. Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu
kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra
punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu. (RDP:
395)

e) Tahap Denouement (Tahap Penyelesaian)


142

Pada tahap ini, konflik utama yang telah mencapai klimaks diberi jalan
keluar, begitu juga dengan konflik-konflik tambahan yang lain. Konflik-konflik
yang dibangun sepanjang cerita dan telah menemui titik klimaks, diberi
penyelesaian. Tahap Penyelesaian ditandai dengan kedatangan Rasus ke Dukuh
Paruk. Rasus diceritakan terkejut dengan keadaan Srintil yang telah gila. Pada
akhir cerita, Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
Pagi-pagi sesaat matahari terbit aku sudah berpakaian rapi. Baju putih
lengan panjang serta celana abu-abu. Yang masih menandakan aku tentara
adalah potongan rambut serta sepatuku. Pintu rumah Kartareja kuketuk.
Istrinya kuminta memandikan Srintil dan memberinya pakaian yang pantas.
Aku akan membawanya ke rumah sakit tentara karena aku tahu di sana ada
bagian perawatan penyakit kejiwaan.(RDP: 398-399)

Penyelesaian cerita dalam RDP digolongkan ke dalam penyelesaian


terbuka. Hal ini dikarenakan pembaca diberi kebebasan untuk menentukan
bagaimana nasib Srintil dan Rasus selanjutnya.
4) Latar
Setiap novel memiliki latar untuk mendukung jalinan cerita. hal ini
sejalan dengan pendapat Stanton (2007: 35) yang menyatakan bahwa “latar
adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa yang sedang berlangsung”. Penggunaan latar
dalam suatu novel akan mempertegas pelukisan dan deskripsi cerita. Latar dalam
novel RDP dibagi menjadi tiga bagian, yakni latar tempat, waktu, dan sosial.
a) Latar Tempat
Latar tempat adalah lokasi terjadinya cerita. Latar tempat dalam novel
RDP adalah di Dukuh Paruk, Kecamatan Dawuan, dan Kota Eling-eling.
Penggunaan latar di Dukuh Paruk ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita RDP
berikut.
Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh
Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan
menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah
menjadi padang kering berwarna kelabu. (RDP: 9)
143

Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit


itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun
bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gembala di tepian
Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik.
Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.
(RDP: 9)

Dukuh Paruk masih diam meskipun beberapa jens satwanya sudah terjaga
oleh pertanda datangnya pagi. Kambing-kambing mulai gelisah dalam
kandangnya. Kokok ayam jantan terdengar satu-satu, makin lama makin
sering. Burung sikatan mencecet-cecet dari tempat persembunyiannya. Dia
siap melesat bila terlihat serangga pertama melintas dalam sudut
pandangnya. (RDP: 111)

Kartareja termenung. Dia bingung karena semua orang berkata tidak. Dukuh
Paruk lengang. Semua orang bersembunyi di dalam gubuk masing-masing.
Sakum yang sedang berada di luar, ditarik-tarik masuk oleh anaknya. Dukuh
Paruk sungguh sungguh hening sehingga desau angin ringan terdengar
mendaulat suasana. (RDP: 307)

Penggunaan latar di Kecamatan Dawuan ditunjukkan dalam kutipan-


kutipan cerita RDP berikut.
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan
kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar
rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai
merasa takut. (RDP: 90)

“Aku harus segera bergabung kembali dengan Sersan Slamet. Dia beserta
anak-anak buahnya sangat membutuhkan tenagaku. Wilayah kecamatan
Dawuan belum aman, bukan?” kataku yang segera disambut dengan
anggukan-anggukan kepala. (RDP: 105)

Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di
lapangan kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang
dengan tulisan macam-macam. Ada yang direntang di antara pohon-pohon,
tetapi lebih banyak yang ikut masuk ke lapangan yang padat manusia.
(RDP: 180)

Penggunaan latar di Kota Eling-eling ditunjukkan dalam kutipan-kutipan


cerita RDP berikut.
Di dalam mobil yang sedang melaju beberapa kali Bajus mencuri pandang
ke samping. Ya. Semula Bajus bermaksud singgah ke rumah rias di kota
Eling-eling untuk memoles Srintil. Kini secara pasti Bajus merasa tidak
144

perlu melaksanakan niat semula. Srintil ternyata sudah pintar mematut


dirinya. (RDP: 372-373)

Ternyata rapat hanya berlangsung tidak sampai dua jam. Bajus berdiri dan
melongok ke dalam. Dilihatnya Blengur sedang berbincang sambil berdiri
dengan seorang pejabat penting yang berkantor di Eling-eling. Tidak sabar,
Bajus masuk. Dengan kesopanan seorang kacung diambilnya tas dari tangan
Blengur, lalu berdiri menunggu. Keduanya kemudian keluar. (RDP: 377)
Tiba di Dawuan sudah pukul sebelas malam karena aku mampir nonton film
di kota Eling-eling. Ada niat hendak pinjam sepeda kepada Sersan Pujo di
Koramil Dawuan. Tetapi urung karena aku sungguh merasa tidak
mempunyai alasan buat tergesa-gesa sampai ke Dukuh Paruk. (RDP: 393)

Sopir bus jurusan kota Eling-eling mula-mula berkeberatan membawa kami.


Tidak ingin ada keonaran dalam busnya, katanya. Dengan wajah masam
akhirnya dia mengalah setelah melihat kartu anggota militer yang
kusodorkan dekat matanya. (RDP: 401)

b) Latar Waktu
Latar waktu adalah waktu terjadinya cerita. Latar waktu dalam novel
RDP adalah latar pada tahun 1946 sampai dengan tahun 1969. Hal tersebut
ditunjukkan dengan beberapa kutipan cerita RDP berikut.
Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat
mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946.
Semua penghuni pedukuhan itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah
Srintil. (RDP: 21)

Kutipan di atas menunjukkan latar yang digunakan cerita RDP terjadi


pada tahun 1946. Selain itu, latar waktu dalam RDP ada yang menunjukkan
terjadi pada tahun 1960. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan
kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar
rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai
merasa takut. (RDP: 90)

Latar waktu RDP ada yang terjadi pada tahun 1963. Kutipan yang
menunjukkan latar waktu pada tahun 1963 ditunjukkan dalam kutipan cerita
RDP berikut.
Perayaan Agustusan tahun 1963 itu dimulai dengan upacara pagi hari di
lapangan kecamatan Dawuan. Pemandangan dikuasai oleh kain rentang
dengan tulisan macam-macam. (RDP: 180)
145

Penggunaan latar waktu tahun 1964 banyak disebutkan dalam cerita. Hal
ini ditunjukkan dengan beberapa kutipan cerita RDP berikut.
Jadi Dukuh Paruk masih tetap Dukuh Paruk meskipun pada tahun 1964 itu
dunia di luarnya sedang berhura-hura. Pidato di mana-mana. Gambar-
gambar simbol partai di mana-mana dan pawai di mana-mana. Dukuh Paruk
tetap tenang ditunggui oleh cungkup di puncak sebuah bukit kecil di
tengahnya. (RDP: 184)

Si pemuda yang segera tanggap tidak menuruti ocehan dari sudut lapangan
itu. Dia cukup pintar dengan cara mengganti lagunya. Para pemain diaturnya
sejenak. Kemudian berkumandanglah Genjer Genjer, sebuah lagu daerah
yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. (RDP:
189)

Tidak seorang pun di Dukuh Paruk mempunyai kalender. Bila pun ada tak
seorang pun di sana bisa membaca bahwa waktu telah berjalan sampai pada
tahun 1964. Dukuh Paruk tetap tegak dan makin gagah dengan ronggeng
cantik berusia sembilan belas tahun. Dukuh Paruk meraih masa ketenaran
yang belum pernah terjadi sebelumnya. (RDP: 226)

Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan
kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka
berkapur bahkan berjendela kaca. (RDP: 227)

Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana,


ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat
orang berhajat melainkan di tengah rapat umum baik siang atau malam hari.
(RDP: 228)

Akhirnya pada tahun 1964 menjelang tahun berikutnya Dukuh Paruk dan
ronggengnya berbaur dalam satu pengertian dengan kelompok Bakar. Srintil
mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar: Ronggeng Rakyat.
Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir. (RDP: 232)

Deskripsi latar waktu dalam RDP terjadi pada tahun 1965. Pada
pengunaan latar waktu tahun 1965, banyak kejadian penting yang memunculkan
dan menyulut konflik. Latar waktu pada tahun 1965 ditunjukkan dalam kutipan
cerita RDP berikut.
Berita tentang perusakan makam Ki Secamenggala cepat tersebar ke mana-
mana, tanpa seorang Dukuh Paruk pun menceritakan hal yang merampas
kehormatan mereka itu keluar. Dan para perusak yang memakai caping
hijau. Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka
146

berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu. (RDP:
236)

Pada akhir bulan September 1965 itu Srintil sudah dua minggu manggung
terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama
kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan
budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam
bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. (RDP:
236-237)

Latar waktu pada RDP terjadi pada tahun 1966. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
Awal kemarau tahun 1966. Malam yang sangat dingin menyertakan
kecemasan yang meluas. Anjing-anjing liar yang beringas karena terangsang
bau darah. Atau mayat-mayat yang tidak diurus secara layak. Angin
tenggara membawa bau bunga bangkai. (RDP: 238-239)

Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa
Tengah. Kegelapan yang mencekam telah berlangsung setengah tahun
lamanya. Tak ada orang keluar setelah matahari terbenam kecuali para
petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer. (RDP: 247)

Latar waktu pada RDP terjadi pada tahun 1969. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita RDP berikut.
Dukuh Paruk pada tahun 1969 adalah Dukuh Paruk yang tetap miskin dan
bodoh. Dan Dukuh Paruk tiga tahun sesudah dilanda kobaran api adalah
tempat terpencil yang kehilangan banyak ciri utamanya. Tak ada lagi suara
calung dan tembang ronggeng. Makam Ki Secamenggala yang secara turun-
temurun menjadi anutan kehidupan batin orang Dukuh Paruk kelihatan tak
terawat. (RDP: 283)

Latar waktu pada RDP berakhir pada tahun 1970. Pada tahun ini,
Kecamatan Dawuan diceritakan dikenai proyek pembangunan irigasi. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah
gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari
berbagai jenis dan ukuran. (RDP: 361)

c) Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada keadaan sosial yang melingkupi para tokoh
dalam cerita. Latar sosial dideskripsikan beriringan dengan latar tempat dan
147

waktu Latar sosial akan menggambarkan keadaan sosial sekaligus mempertajam


karakter dan watak tokoh yang terlibat dalam cerita. Latar sosial dalam novel
RDP ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Di pedukuhan itu ada kepercayaan kuat, seorang ronggeng sejati bukan hasil
pengajaran. Bagaimanapun diajari, seorang perawan tak bisa menjadi
ronggeng kecuali roh indang telah merasuk tubuhnya. Indang adalah
semacam wangsit yang dimuliakan di dunia peronggengan. (RDP: 13)

Kutipan tersebut menunjukkan latar sosial cerita RDP yang menyebut


bahwa masyarakat Dukuh Paruk percaya bahwa keahlian ronggeng sejati bukan
hasil dari pengajaran. Akan tetapi, masyarakat percaya bahwa seseorang menjadi
ronggeng karena dihinggapi roh indang. Oleh karena itu, jika roh indang telah
hilang dari tubuh seorang ronggeng maka ia tidak lagi berjiwa ronggeng.
Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu
menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana
terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya.
Mereka hanya puas menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-
kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu
rumah. Suara calung dan tembang ronggeng meninabobokkan Dukuh Paruk.
Maka benar kata Sakarya, bagi orang Dukuh Paruk kehidupan tanpa calung
dan ronggeng terasa hambar. Calung dan ronggeng pula yang memberi
kesempatan mereka bertayub dan minum ciu sepuas-puasnya. (RDP: 86)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa latar sosial Dukuh Paruk


dideskripsikan dekat dengan kebodohan dan kemelaratan. Masyarakat Dukuh
Paruk dideskripsikan hanya puas menjadi buruh tani. Dukuh Paruk
dideskripsikan identik dengan kehadiran ronggeng dan suara calung.
Sekelilingku adalah tanah air yang kecil dan sengsara. Ditambah dengan
nestapa yang sedang menimpa Srintil, Dukuh Paruk bertambah sakit.
Sekelilingku adalah Dukuh Paruk yang sedang lelap dalam gubuk-gubuk
ilalang, Dukuh Paruk yang sejak kelahirannya tak pernah mampu
menangkap maksud tertinggi kehidupan. Tanah airku yang kecil tak pernah
bersungguh-sungguh mengembangkan akal budi sehingga tidak tahu bahwa
dia seharusnya menyingkirkan kurap dan cacing yang menggerogoti anak-
anak, serta kebodohan yang hanya membawa kemelaratan turun-temurun.
Karena tak pernah atau tak mampu mengembangkan akal budi pula, tanah
airku yang kecil sesungguhnya tak pernah berusaha menyelaraskan diri
dengan selera Ilahi. Ibuku telah sekian lama terlena dalam krida batin yang
naif, kenaifan mana telah melahirkan antara lain ronggeng-ronggeng Dukuh
Paruk. (RDP: 403)
148

Latar sosial yang ditunjukkan dalam kutipan tersebut memberi informasi


lebih jelas bahwa keadaan Dukuh Paruk identik dengan kesengsaraan.
Masyarakatnya tidak cepat tanggap menghadapi perubahan sejarah yang terjadi.
Mereka tetap hidup dalam kehidupan dan cara pikir yang stagnan.
5) Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara yang digunakan oleh pengarang untuk
memosisikan diri dalam suatu cerita. Setiap pengarang bebas menentukan sudut
pandang yang digunakan dalam sebuah cerita fiksi. Penggunaan sudut pandang
tertentu dapat menekankan ciri khas dari seorang pengarang. Sudut pandang
yang digunakan pengarang dalam novel RDP ada dua, yakni teknik akuan dan
omniscient narratif. Teknik akuan berarti pengarang bercerita dengan kata ganti
orang pertama, yakni “aku” atau “-ku”. Teknik akuan berarti pengarang sebagai
orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” (Herman J. Waluyo,
1994: 184). Teknik akuan menjadikan pengarang terlibat dalam cerita dengan
memosisikan dirinya pada seorang tokoh.
Penggunaan teknik omniscient narratif berarti pengarang serba tahu dan
menceritakan segalanya atau dapat memasuki berbagai peran secara bebas.
Pengarang tidak fokus kepada satu tokoh cerita, tetapi semua tokoh
mendapatkan penonjolan. Dengan sudut pandang tersebut, pengarang bebas
menceritakan tokoh-tokoh dengan detail.
Ada dua bagian dalam RDP yang menggunakan sudut pandang teknik
akuan. Dua bagian tersebut terletak di awal dan akhir cerita. Bagian awal
merujuk pada bagian bab dua sampai bab empat, sedangkan bagian akhir
merujuk pada bab empat mulai halaman tiga ratus delapan puluh tujuh sampai
akhir novel.
Penggunaan teknik akuan pada bagian awal cerita RDP ditunjukkan
dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Aku sendiri, kata Nenek, selamat secara kebetulan. Selagi Ayah dan Emak
baru merasa pusing di kepala, aku sudah jatuh pingsan. Tanpa ada yang
memberi petunjuk, Nenek menggali tanah berpasir di samping rumah. Aku
ditanamnya dalam posisi berdiri, hanya dengan kepala berada di atas
permukaan tanah. Sebenarnya, inilah cara orang Dukuh Paruk mengobati
149

orang keracunan jengkol. Aneh, dengan cara ini pula aku selamat dari racun
tempe bongkrek. (RDP: 33)

Sampai di tengah pesawahan aku menoleh ke belakang. Aku tersenyum


sendiri, lalu bergegas meneruskan perjalanan. Dengan memanggul bedil,
rasanya aku gagah. Tetapi sebenarnya perasaan itu muncul bukan karena
ada sebuah bedil di pundak, melainkan karena aku telah begitu yakin
mampu hidup tanpa kehadiran bayangan Emak. Di belakangku Dukuh
Paruk diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana; keramat Ki
Secamenggala, kemelaratan, sumpah-serapah, irama calung dan seorang
ronggeng. (RDP: 107)

Penggunaan teknik akuan pada dua kutipan di atas ditandai dengan


penggunaan kata ganti “aku” dan “ku”. “Aku” mengacu pada Rasus sebagai
tokoh yang bercerita. Dengan demikian, Pengarang memosisikan dirinya sebagai
Rasus dalam teknik akuan tersebut. Teknik akuan kurang memberikan
kebebasan bagi pengarang karena pengarang menceritakan cerita sesuai karakter
tokoh yang diwakilinya. Pengarang tidak leluasa menceritakan orang lain karena
penceritaan hanya mengacu pada tingkat pemahaman tokoh pertama.
Pada bagian akhir, penggunaan teknik akuan masih mengacu Rasus.
Penggunaan teknik akuan pada bagian akhir cerita RDP ditunjukkan dalam
kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Ketika masih kecil aku sering keluar dari Dukuh Paruk malam hari bersama
teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu.
Dunia kecil berbumi batang pisang bermatahari lampu blencong telah
berjasa besar meletakkan dasar-dasar wawasan pada diriku tentang
kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku yang masih anak-
anak nilai-nilai dasar yang waktu itu kuyakini sebagai kebenaran sejati.
(RDP: 387)

Aku bersembahyang. Aku berdoa untuk Dukuh Paruk agar dia sadar dan
bangkit dari kebodohannya. Dan dengan air mata berjatuhan aku memohon
kepada Tuhan kiranya Srintil mendapat kesempatan kembali memanusia dan
mampu memahluk. (RDP: 398)

Penggunan teknik pengarang serba tahu atau omniscient narratif


ditunjukkan dalam kutipan-kutipan cerita RDP berikut.
Sambil membersihkan mulutnya dengan punggung lengan, Rasus mengajak
kedua temannya melihat kambing-kambing yang sedang mereka
gembalakan. Yakin bahwa binatang gembalaan mereka tidak merusak
150

tanaman orang, ketiganya berjalan ke sebuah tempat di mana mereka sering


bermain. Di bawah pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik
bermain seorang diri. Perawan kecil itu sedang merangkai daun nangka
dengan sebatang lidi untuk dijadikan sebuah mahkota. (RDP: 11)

Tetapi Sakarya telah merasakan kekalahan hidup yang pasti. Dia merasa
peran hidupnya sudah mandul, tanpa arti. Apalah arti perwujudannya
apabila Dukuh Paruk tidak lagi memukul calung, tidak lagi menyanyikan
lagu-lagu ronggeng karena kedua-duanya akan mengungkit kebencian
terhadap Dukuh Paruk. (RDP: 283)

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan pengarang mendeskripsikan


tokoh-tokoh dengan bebas. Pada kutipan (RDP: 11), pengarang mendeskripsikan
Rasus dan teman-temannya. Tokoh-tokoh dalam kutipan tersebut membentuk
suatu yang jamak sehingga pengarang menggunakan kata ganti “mereka”. Pada
kutipan (RDP: 283), pengarang menceritakan Sakarya. Teknik sudut pandang
seperti ini membebaskan pengarang untuk mengambil dan menceritakan tokoh-
tokoh dalam cerita. Selain itu, pengarang juga bebas untuk menentukan bahasa-
bahasa yang digunakan tokoh untuk berdialog dengan tokoh lain.
Posisi pengarang berada di luar tokoh-tokoh yang diceritakan. Oleh
karena itu, pengarang sering menggunakan kata ganti orang ketiga, yakni “dia”,
“ia” atau “-nya” untuk merujuk tokoh yang sedang diceritakan. Penceritaan
tokoh secara jamak menggunakan kata ganti orang ketiga jamak, yakni
“mereka”.
Novel RDP menunjukkan suatu keterjalinan antarunsur intrinsik. Hal ini
dibuktikan dengan keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lain. Unsur-
unsur itu adalah tema, penokohan, plot, latar, dan sudut pandang.
Tema dalam RDP mendukung keseluruhan unsur intrinsik karena tema
adalah gagasan dasar yang melatari cerita. Tema dalam RDP adalah kritik sosial.
Tema berhubungan dengan penokohan karena tema membentuk karakter-
karakter yang dimiliki setiap tokoh. Pada cerita RDP, ada Srintil dan Rasus.
Tokoh-tokoh ini mewakili pemunculan masalah sosial dalam RDP. Srintil
diceritakan sebagai ronggeng dan Rasus diceritakan sebagai pemuda Dukuh
Paruk yang tidak menyetujui praktik-praktik eksploitasi wanita dalam
peronggengan. Perbedaan pandangan antartokoh tersebut menguatkan adanya
151

masalah pandangan sosial. Rasus juga diceritakan sebagai seorang yang


menentang pembunuhan dan penahanan orang-orang komunis. Hal tersebut
dinilai Rasus tidak memandang nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan
itu pada dasarnya adalah nilai sosial. Penyimpangan mengenai nilai-nilai sosial
dalam masyarakat ikut memunculkan konflik di antara tokoh. Karakter Kabul
dan Srintil terbentuk dari tema, begitu pula dengan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh
tersebut saling berhubungan dan saling memunculkan konflik. Konflik-konflik
yang terjadi dalam cerita membuat jalinan pada alur. Oleh karena itu, penokohan
dan hubungan antartokoh dalam cerita RDP mendukung terjalinannya plot/alur.
Konflik yang terjadi antartokoh dalam RDP menghidupkan alur cerita.
Dominasi alur cerita pada RDP adalah alur lurus. Di beberapa bagian ada yang
menggunakan alur flash-back, namun hal itu hanyalah pembayangan cerita dari
seorang tokoh. Selain itu, unsur-unsur tersebut juga didukung oleh latar. Unsur
latar memberi penekanan pada penokohan dan mendukung terjadinya jalinan
cerita/plot. Latar tempat, waktu, dan sosial memberi ruang penceritaan sehingga
tokoh-tokoh dapat saling berinteraksi. Latar memberi konteks cerita sehingga
mendukung dan menjalin unsur-unsur yang lain.
Unsur terakhir yang mendukung adalah sudut pandang. Sudut pandang
dalam RDP adalah omniscient narratif, yakni pengarang serba tahu dan dapat
menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas. Sudut
pandang memberi kontribusi bagi pengarang dalam menjalin semua unsur
berdasarkan posisinya sebagai pengarang. Dengan demikian, unsur-unsur
intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, latar, dan sudut pandang dalam
RDP memiliki keterjalinan dan saling mendukung satu dengan yang lain.
Keterjalinan antarunsur intrinsik cerita RDP diuji dengan hukum plot.
Kenny (dalam Nugraheni Eko Wardani, 2009: 39) mengungkapkan bahwa
hukum plot ada empat, yakni plausibility (kebolehjadian), surprise (kejutan),
suspense (ketegangan), dan unity (kesatuan). Plausibility (kebolehjadian)
menunjukkan bahwa cerita RDP memiliki kemungkinan terjadi di dunia nyata.
Setiap bagian cerita mempunyai kadar plausbility yang berbeda. Ada yang
berkemungkinan besar dan berkemungkinan kecil. Cerita dibangun oleh konflik-
152

konflik yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh. Konflik ini sering hiperbolis dari
kenyataan sebenarnya sehingga konflik terasa sangat kuat dan tajam. Kekuatan
dan ketajaman konflik ini yang membuat cerita memilki plausibility yang tinggi.
Surprise (kejutan) menunjukkan bahwa cerita RDP mengandung kejutan-
kejutan bagi pembaca. Kejutan-kejutan tersebut membuat cerita semakin
berdaya tarik tinggi. Kejutan dalam RDP seperti cerita pada malam bukak
klambu bagi Srintil. Di dalam cerita ada dua orang yang bersaing untuk
memenangkan malam bukak klambu, yakni Sulam dan Dower. Orang yang
berhak atas malam bukak klambu adalah orang kaya, namun pengarang RDP
justru memberi kejutan kepada pembaca. Ternyata yang mendapat malam bukak
klambu adalah Rasus. Padahal Rasus adalah orang miskin. Selain itu, ada
kejutan pada bagian cerita lain, yakni pada saat makam Ki Secamenggala
dirusak oleh seseorang. Di dalam cerita terkesan yang merusak makam adalah
pemilik sawah yang dirojeng oleh orang-orang komunis. Hal itu dibuktikan
dengan ditemukkannya caping hijau di dekat cungkup makam Ki Secamenggala.
Akan tetapi, sebenarnya yang merusak cungkup makam adalah Bakar. Bakar
bertindak seperti itu agar kelompok Ronggeng Dukuh Paruk mau kembali pentas
dalam acara-acara yang diadakan orang komunis. Surprise lainnya adalah pada
akhir cerita Srintil diceritakan menjadi gila karena dikhianati oleh Bajus.
Padahal dari awal tidak ada indikasi-indikasi Srintil akan menjadi gila.
Suspense (tegangan) menunjukkan bahwa cerita RDP memiliki
ketegangan cerita yang memunculkan daya tarik tinggi bagi pembaca. Berbagai
konflik yang dimunculkan pengarang membuat ketegangan cerita menjadi kuat.
Ketegangan tersebut seperti cerita saat Srintil dinobatkan sebagai ronggeng pada
upacara di dekat makam Ki Secamenggala. Ketegangan terjadi saat dukun
ronggeng, yakni Kartareja mendadak tidak sadarkan diri. Kartareja diduga
dirasuki roh Ki Secamenggala dan memeluk Srintil dengan kuat sehingga Srintil
sulit untuk bernapas. Ketegangan tersebut reda setelah disiram air kembang oleh
Nyai Kartareja. Ketegangan lainnya juga tampak pada cerita mengenai
penangkapan orang-orang Dukuh Paruk yang dianggap komunis, termasuk
Srintil.
153

Unity (kesatuan) menunjukkan bahwa cerita RDP adalah satu kesatuan


utuh dan saling terkait. unsur-unsur dalam cerita yang meliputi tema, penokohan,
alur, latar, dan sudut pandang saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan
cerita. Trilogi novel yang dibagi menjadi tiga buku juga mengindikasikan bahwa
tiga bagian tersebut semuanya saling terkait dan membentuk satu kesatuan
cerita. Berdasarkan hukum plot di atas, dapat dikatakan bahwa RDP mempunyai
keterjalinan antarunsur intrinsik yang baik.
Berdasarkan analisis dan pembahasan mengenai keterjalinan antarunsur
novel RDP di atas, disimpulkan bahwa setiap unsur mempunyai keterjalinan
dengan unsur lainnya. Tema dalam RDP mendukung keseluruhan unsur
intrinsik. Penokohan dalam cerita RDP mendukung terjalinannya plot. Unsur
latar memberi penekanan pada penokohan dan mendukung terjadinya jalinan
cerita/plot. Sudut pandang memberi kontribusi bagi pengarang dalam menjalin
semua unsur berdasarkan posisinya sebagai pengarang. Selain itu, cerita RDP
telah memenuhi hukum plot yang terdiri dari plausibility, surprise, suspense, dan
unity.

2. Pandangan Dunia Pengarang Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi


Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Pandangan dunia pengarang adalah salah satu bagian dari teori
strukturalisme genetik. Pandangan dunia membawa pemahaman bahwa novel
atau karya sastra lahir dari kolektivitas pengarang. Goldmann (dalam Suwardi
Endraswara, 2003: 57) berpendapat bahwa karya sastra sebagai struktur
bermakna mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu
melainkan sebagai anggota masyarakat. Pengarang memiliki pandangan
terhadap masalah-masalah dalam lingkungannya. Pandangan tersebut sekaligus
mewakili pandangan orang-orang yang berada dalam tatanan sosial kultural
pengarang.
a. Kelompok Sosial Ahmad Tohari
Di dalam teori telah dijelaskan bahwa untuk menyusun pandangan dunia
pengarang dalam karya sastra, perlu dikaji terlebih dahulu mengenai kelompok
154

sosial pengarang (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 50). Pemahaman terhadap


kelompok sosial pengarang akan memberi kontribusi sosiologis di dalam
penganalisisan novel. Ahmad Tohari adalah seorang pengarang yang memiliki
rasa sosial yang tinggi. Ia hidup dalam lingkungan desa. Interaksi sosial di desa
terasa lebih dijunjung tinggi daripada di kota. Berikut adalah deskripsi mengenai
kelompok sosial Ahmad Tohari.
1) Kelompok Muslim Pesantren
Ahmad Tohari adalah sosok yang dilahirkan di lingkungan pesantren. Ia
sudah terbiasa mendengarkan orang-orang mengaji ketika masih kecil. Karakter
keagamaan Ahmad Tohari terbentuk karena adaptasi lingkungan yang telah
dijalaninya sejak kecil. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti
pada tanggal 16 Februari 2010, Ahmad Tohari mengatakan “Jadi begini,
keluarga saya itu punya pesantren, tapi pesantren kecil. Saya lahir di situ. Ketika
lahir, ya saya sudah mendengar orang mengaji” (CHW). Walaupun demikian,
Ahmad Tohari tidak memilih jalur pesantren sebagai jalur pendidikan formal. Ia
memilih masuk SMP dan SMA umum. Ia memutuskan sepihak untuk mendaftar
ke SMP ketika ia didaftarkan oleh orangtuanya ke sebuah Pendidikan Guru
Agama (PGA). Dengan demikian, pengetahuan agama yang dimilki oleh Ahmad
Tohari bukan dari jalur formal, namun terbentuk karena adaptasi di keluarga.
Ayah Ahmad Tohari adalah tokoh Nahdatul Ulama (NU) sehingga sejak
kecil Ahmad Tohari sudah mengenal tokoh-tokoh besar NU seperti Fuad
Hasyim, Gus Dur, Cak Nur, Cak Nun, dan lain-lain. Ahmad Tohari mengaku
bahwa dia adalah anggota NU yang nasionalis. Ia berpandangan lebih universal
terhadap permasalahan agama. Pandangan agama Ahmad Tohari diperluas
dengan membaca buku-buku keagamaan. Hal ini diperjelas dengan kutipan
wawancara berikut. “Jadi saya belajar sambil lalu. Baru kemudian setelah
dewasa baca buku-buku agama yang kitab putih bukan kitab kuning. Bergaul
dengan orang-orang nyentrik, ya Cak Nur, Gus Dur, Cak Nun. Jadi, pikiran saya
berkembang di sana” (CHW).
Pemikiran-pemikiran Ahmad Tohari tentang agama banyak dituangkan
dalam tulisan lepas yang sering dimuat media masa. Ahmad Tohari adalah
155

seseorang yang terlibat dalam NU sehingga pun banyak memberikan


pandangannya terhadap NU. Tidak hanya itu, ia pun memberi pandangan
terhadap organisasi-organisasi muslim lainnya, seperti Muhammadiyah.
Pemikirannya terhadap agama, sosial, dan budaya dirangkum dalam sebuah
buku berjudul Berhala Kontemporer Renungan Lepas Seputar Agama,
Kemanusiaan, dan Budaya Urban (1996). Buku itu adalah kumpulan tulisan
lepas Ahmad Tohari.
Ahmad Tohari sebagai seorang muslim pesantren tidak bersifat fanatik.
Ia mengaktualisasikan kemuslimannya atas dasar niat dan komitmennya untuk
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Ahmad Tohari tidak terjebak
dengan simbol-simbol agama yang bersifat mengekang nilai-nilai kemanusiaan.
Ia mempunyai perspektif terhadap kemuslimannya atas dasar pemaknaan nilai-
nilai agama. Ahmad Tohari mengaku tidak suka berkhotbah secara formal
seperti dalam khotbah Jumat atau mimbar-mimbar keagamaan, ia memilih untuk
berkhotbah dengan tulisan-tulisannya atau khotbah secara eksplisit dalam
obrolan-obrolannya dengan orang lain. Hal ini dijelaskan dalam kutipan
wawancara berikut. “Khotbah formal di masjid malah saya hindari. Khotbah
saya ini ya begini. Khotbah Jumat itu. Tidak. Saya menghindari betul dari
khotbah-khotbah semacam itu” (CHW)
Pemikiran Ahmad Tohari cenderung berkiblat pada pluralisme. Ia
menganggap dan mengaktualisasikan agama sebagai budaya, bukan hanya
sebagai wahyu. Berikut ini adalah pernyataan Ahmad Tohari mengenai agama
dan budaya.
“Sangat sedikit orang yang memandang agama sebagai kebudayaan. Karena
sebagian besar orang melihat agama adalah wahyu. Sedang saya dan Gus
Mus memandang agama adalah penafsiran terhadap wahyu, bukan wahyu
itu sendiri, sehingga kerja penafsiran adalah kerja budaya. Agama adalah
kebudayaan dan agama pun harus dibudayakan. Di dalam bahasa lain,
agama harus menjadi perilaku nyata di bumi, tidak hanya menjadi ajaran-
ajaran normatif. Jadi, saya beranggapan kalau kita mengupayakan kearifan-
kearifan sosial atau pengabdian sosial, etika sosial itu tidak kurang dari
faktor pembumian terhadap agama atau pembudayaan terhadap agama. Di
dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kejamakan atau pluralitas internal
maupun eksternal agama mendapat ruang.” (Republika, 2007 ).
156

Salah satu pemikiran Ahmad Tohari adalah pemahaman atas agama


bukan hanya aktivitas fisik dan rohani saja. Akan tetapi, aktualisasi nilai-nilai
agama adalah untuk mewujudkan humanisme universal. Agama bukan hanya
diwujudkan dalam simbol-simbol yang berupa ritual keagamaan. Simbol-simbol
tersebut hanyalah aturan normatif, bukan tujuan dalam memeluk dan
mengamalkan suatu agama. Agama adalah sumber dari kasih dan sayang.
Ahmad Tohari memahami aktualisasi agama sebagai perilaku nyata atau
tindakan-tindakan konkret di dalam kehidupan manusia.
2) Kelompok Budayawan
Ahmad Tohari dikelompokkan ke dalam tokoh budayawan.
Kebudayawanan Ahmad Tohari mencakup statusnya sebagai sastrawan dan
sejarawan. Statusnya sebagai sastrawan tidak bisa diragukan lagi. Novel dan
cerpen-cerpennya banyak yang mendapatkan penghargaan. Karya yang paling
masterpiece adalah Ronggeng Dukuh Paruk yang telah diterjemahkan dalam
beberapa bahasa. Ahmad Tohari sebagai seorang sejarawan adalah salah satu
saksi mata dan saksi sejarah pergolakan politik di Indonesia. Ahmad Tohari
tidak terjun langsung dalam politik praktis. Akan tetapi, ia selalu mengikuti
perkembangan politik di negeri ini. Ahmad Tohari banyak menuangkan sejarah
yang dilihatnya dalam karya-karyanya. Kisruh politik pada tahun 1965 atau
peristiwa Gerakan 30 September (G30S) diceritakannya kembali dalam trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk. Budaya korupsi pemerintahan Orde Baru
diceritakannya dalam novel Orang-orang Proyek. Ahmad Tohari sebagai
sastrawan sekaligus sejarawan menyingkap tabir sejarah dengan caranya sendiri,
yaitu dengan karya sastra.
Ahmad Tohari sering mengangkat budaya-budaya lokal dalam karya-
karyanya. Kebudayaan harus tetap dipelihara sampai kapanpun. Tanpa kehadiran
novel Ronggeng Dukuh Paruk, barangkali banyak orang yang tidak mengetahui
seluk beluk ronggeng. Ahmad Tohari sebagai seorang budayawan selalu
menuangkan bentuk-bentuk budaya sebagai manifestasi nilai-nilai kemanusiaan
dalam karya-karyanya.
157

Posisi kepengarangan Ahmad Tohari disejajarkan dengan beberapa


sastrawan yang memiliki alur estetika kejawaan, seperti Satyagraha Hoerip,
Umar Kayam, Linus Suryadi A.G., Danarto, Y.B. Mangunwijaya, Kuntawijaya,
dan lain-lain (Wijang J. Riyanto, dkk, 2006: 7). Hal ini terjadi karena Ahmad
Tohari adalah seorang budayawan Jawa. Ia lahir dan tumbuh dalam kebudayaan
Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa tumbuh dalam diri Ahmad Tohari dan
dituangkannya dalam karya sastra. Konstruksi cerita dalam karya-karya Ahmad
Tohari sangat kental dengan budaya Jawa dan pengetahuan keislaman. Hal inilah
yang membentuk citra pada Ahmad Tohari sebagai budayawan yang berpikiran
universal atau holistik.
3) Tokoh-tokoh yang Berada dalam Satu Pandangan dengan Ahmad
Tohari.
Salah satu komponen pandangan dunia pengarang adalah menyebutkan
tokoh-tokoh yang memiliki pandangan dunia yang sama dengan pengarang
(Nugraheni Eko Wardani, 2009: 158). Pandangan tersebut bukan berarti sama
mutlak, tetapi lebih cenderung ke arah pandangan yang sejalur atau hampir
sama. Ada banyak tokoh yang sejalan dengan pemikiran Ahmad Tohari, namun
dalam penelitian ini hanya membatasi dua tokoh, yaitu Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) dan Umar Kayam.
a) Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Gus Dur lahir di Jombang Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia
adalah anak dari Wahid Hasyim. Kakek Gus Dur adalah pendiri Nahdatul Ulama
(NU), yakni KH. Hasyim Asyari. Gus Dur pernah memangku status sebagai
ketua PBNU. Gus Dur adalah presiden keempat Republik Indonesia. Pada waktu
menjadi Presiden, Gus Dur mengaktualisasikan pandangannya tentang
pluralisme. Ia mencabut larangan pengunaan huruf Tiong Hoa. Ia
mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) sebagai hari libur nasional.
Sikapnya sangat terbuka bagi berbagai agama dan etnis. Karena sikapnya yang
terbuka terhadap etnis Tiong Hoa, beberapa tokoh Tiong Hoa Semarang
menjulukinya sebagai “Bapak Tiong Hoa” (Jafar Sidik, 2009).
158

Pandangan Gus Dur dengan pandangan Ahmad Tohari cenderung hampir


sama dalam hal agama dan humanisme. Gus Dur bersifat terbuka terhadap suku,
agama, ras, maupun golongan. Gus Dur tidak merasa dirinya sebagai priayi,
namun ia merasa sama tinggi dengan manusia-manusia lainnya. Semua manusia
mempunyai harkat dan martabat yang sama di dalam masyarakat. Kontribusi
Gus Dur menjunjung tinggi pluralisme adalah sebagai kontribusinya menentang
feodalisme yang berkembang di Indonesia. Ahmad Tohari satu pemikiran
dengan Gus Dur. Ahmad Tohari menentang adanya kepriyaian dan feodalisme.
Ahmad Tohari juga tidak membedakan agama maupun golongan. Hal ini sejalan
dengan kutipan wawancara berikut.
Dulu Rama Mangun, sekarang rama-rama banyak sekali yang kenal dengan
saya. Satu aliran dalam artian ingin memuliakan manusia. Kalau sudah
begitu, saya tidak pandang agama (CHW).

Pluralisme Ahmad Tohari ditunjukkan dalam bersikap di tengah


masyarakat. Walaupun Ahmad Tohari berstatus sebagai santri, namun ia dapat
hidup akrab dan membaur dengan masyarakat “abangan” di lingkungannya yang
masih berpegang kuat pada ajaran kejawen. Hal ini tampak pada cerita-cerita
dalam OOP maupun RDP yang sarat dengan cerita mengenai tradisi masyarakat
“abangan” seperti pemasangan susuk, pemujaan roh, penyerahan tumbal, dan
lain-lain. Ahmad Tohari ingin memberi pencerahan kepada masyarakat dengan
novel-novelnya. Ia tidak membeda-bedakan status dan golongan masyarakat di
sekitarnya. Hal tersebut adalah pluralisme yang ditunjukkan Ahmad Tohari,
yakni pluralisme yang humanis. Ahmad Tohari pun menilai bahwa pluralisme
Gus Dur berkaitan dengan sejarah Islam dan humanisme. Berikut adalah
pernyataan Ahmad Tohari dalam memandang pluralisme yang dianut Gus Dur.
"Pluralisme Gus Dur sebenarnya bisa dilacak dari sejarah Islam itu sendiri,
misalnya, semangat pluralisme yang ada di balik Piagam Madinah. Di situ
Rasulullah Saw. mengakui dan memberi hak hidup pada agama dan
kepercayaan lain. Demikian pula pada bagaimana Rasulullah menghormati
dan menghargai sikap yang dipilih oleh pamannya sendiri, Abdul Muthalib.
Dan inilah yang menjadi rujukan semangat pluralisme Gus Dur, pluralisme
dalam semangat persaudaraan dalam kebangsaan atau kemanusiaan.
Pluralisme yang universal," (Ahda Imran, 2009).
159

Ahmad Tohari memandang Gus Dur sebagai sosok manusia yang


sebenarnya. Hal mempunyai maksud bahwa Gus Dur selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan pada diri seseorang. Gus Dur memandang bahwa setiap
manusia mempunyai kodrati yang sama. Penjelasan tersebut ditunjukkan dengan
kutipan wawancara antara peneliti dengan Ahmad Tohari berikut.
“Dia manusia yang sesungguhnya. Saya kira manusia yang sesungguhnya
ya manusia seperti Gus Dur. Memberi kecintaan pada siapapun, melindungi
siapapun, membantu siapapun dan tidak pernah merasa lebih tinggi dari
siapapun. Jadi Gus Dur itu kepada siapapun akrab. Jadi beginilah, manusia
ini hebat sekali“ (CHW).

Ahmad Tohari memandang Gus Dur sebagai sosok yang selalu menjaga
syahadatnya. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan hasil wawancara antara peneliti
dengan Ahmad Tohari berikut.
“Nah, kemarin ketika Gus Dur meninggal, saya menulis di Jawa Pos Jawa
Timur. Gus Dur datang di sini, tidur di karpet. Padahal tahun 1995 posisinya
ketua umum PBNU. Karpet saya kan karpet murahan yang tidak pernah
disedot. Kemudian kenapa bisa begitu? Saya menafsirkan tindakan Gus Dur
itu sebagai tindakan orang yang menjaga syahadatnya, yakni tidak
menganggap dirinya mulia, karena hanya Tuhan yang tahu. Saya pikir ke
belakang itu ya Kanjeng Nabi suka tidur di lantai rumahnya yang berlantai
tanah, hanya beralaskan tikar daun kurma. Hingga ketika bangun tidur
ngecap itu lidi-lidinya. Hal itu ditangisi oleh sahabat-sahabatnya. Nabi
adalah orang yang paling menjaga syahadatnya. Tidak akan menghendaki
kemuliaannya.” (CHW)

Ahmad Tohari sangat dekat dengan sosok Gus Dur. Gus Dur sering
berkunjung ke rumah Ahmad Tohari di Jatilawang, Banyumas. Di rumah
tersebut, Gus Dur suka tidur di karpet dan bukan di atas tempat tidur yang bersih
dan nyaman. Tindakan Gus Dur tersebut ditafsirkan oleh Ahmad Tohari sebagai
tindakan seseorang yang menjaga syahadatnya.
b) Umar Kayam
Umar Kayam adalah seorang sastrawan sekaligus sosiolog. Ia lahir di
Ngawi pada tanggal 30 April 1932. Pendidikan formal terakhir Umar kayam
adalah program doktoral di Cornell University Amerika Serikat. Umar Kayam
menjabat ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Pada tahun 1969, Pada tahun
1969. Pada saat yang bersamaan, ia menjabat Rektor Lembaga Pendidikan
160

Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta) dan anggota Board of


Trustee International Broadcast Institute yang bermarkas di Roma. Umar
Kayam adalah seorang akademisi, ilmuwan, sastrawan, dan budayawan. Umar
Kayam pernah menjabat sebagai direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas Hasanuddin Ujung Pandang (1975-1976), direktur Pusat Studi
Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM) (1977-1997), dan dosen
Pascasarjana Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
(1998-2001). Pada tahun 1989, ia mendapat pengukuhan sebagai Guru Besar
Universitas Gajah Mada. (Yayasan Umar Kayam, 2008)
Karya sastra karangan Umar Kayam antara lain Seribu Kunang-kunang
di Manhattan, Sri Sumarah, Bawuk, Para Priyayi, dan Jalan Menikung. Umar
Kayam adalah salah satu orang yang menentang cara pemerintahan Orde Baru.
Umar Kayam selalu menjunjung tinggi nilai humanis di dalam masyarakat. Ia
akan menentang segala bentuk dehumanisasi. Hal ini sama dengan pemikiran
Ahmad Tohari yang tertuang dalam beberapa karyanya. Ahmad Tohari sangat
kritis dengan pemerintahan Orde Baru dan menjunjung tinggi humanisme.
Ahmad Tohari menilai karya Umar Kayam, yakni Para Priyayi dan Jalan
Menikung adalah bentuk representasi perlawanan budaya feodal dalam
masyarakat. Umar Kayam dan Ahmad Tohari adalah dua pemikir yang
menentang bentuk budaya feodal, yakni kepriayian. Mereka terlahir dan
berkembang di tengah-tengah budaya Jawa yang feodal. Oleh sebab itu, mereka
memandang tentang kepriayian sebagai bentuk dehumanisasi. Kepriayian akan
melunturkan kesejajaran harkat dan martabat manusia. Bentuk penentangan
Ahmad Tohari terhadap feodalisme sering termaktub dalam cerita OOP maupun
RDP.
b. Pandangan Dunia Ahmad Tohari dalam Novel Orang-orang Proyek dan
Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Analisis pandangan dunia menguraikan pandangan-pandangan Ahmad
Tohari yang tercakup dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Permasalahan-permasalahan sosial yang ditemukan
dalam novel-novel Ahmad Tohari bukan sekadar permasalahan fiktif, tetapi hal
161

tersebut adalah konstruksi imajinatif dari sudut pandang Ahmad Tohari. Ahmad
Tohari adalah sosok yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang luas.
Karya-karyanya sebagian besar adalah representasi dari pengalaman dan
pengetahuannya tersebut. Berikut adalah deskripsi mengenai pandangan Ahmad
Tohari dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk.
1) Pandangan Religius
Ahmad Tohari adalah seorang yang lahir di lingkungan pesantren. Sejak
kecil ia telah akrab dengan kegiatan maupun pengetahuan agama. Oleh karena
itu, pandangan religius Ahmad Tohari sangat luas. Ayahnya adalah tokoh
Nahdatul Ulama (NU) sehingga secara tidak langsung ia tahu banyak tentang
seluk-beluk keagamaan dalam NU. Walaupun demikian, Ahmad Tohari tidak
terjebak lebih jauh soal pengelompokkan dalam agama. Ia berpikir lebih
universal. Ia mempunyai pandangan bahwa agama adalah sarana untuk
memanusiakan manusia, bukan sekadar aktivitas simbolis.
Ahmad Tohari hidup di tengah-tengah masyarakat “abangan”. Orang-
orang “abangan” adalah orang yang berstatus agama Islam, namun masih
terseret budaya kejawen. Orang-orang santri di lingkungannya adalah minoritas.
Ahmad Tohari sebagai penganut agama Islam sangat berpikir rasional. Ia tidak
percaya adanya mitos-mitos yang mengarah ke animisme maupun dinamisme.
Mitos adalah suatu bentuk yang irasional. Pandangan Ahmad Tohari mengenai
mitos dituangkan dalam karya-karyanya.
Permasalahan mitos dimunculkan oleh Ahmad Tohari di dalam cerita
RDP. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya makam Ki Secamenggala yang
dikeramatkan oleh orang-orang Dukuh Paruk. Pandangan Ahmad Tohari yang
tidak mempercayai mitos diwakilkan dengan hadirnya Rasus. Rasus diceritakan
tidak mempercayai kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk pada umumnya yang
mengeramatkan makam Ki Secamenggala. Hal tersebut ditunjukkan dalam
kutipan cerita RDP berikut.
Cerita yang kumaksud adalah sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh
Dukuh Paruk. Konon menurut dongeng tersebut pernah terjadi sepasang
manusia mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena
162

kutuk setelah berjinah di atas makam Ki Secamenggala. Semua orang


Dukuh Paruk percaya penuh akan kebenaran cerita itu. Kecuali aku yang
meragukannya dan mencurigainya hanya sebagai salah satu usaha
melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu. (RDP: 68)

Berdasarkan kutipan tersebut, ketidakpercayaan Ahmad Tohari terhadap


mitos disampaikan melalui Rasus. Ada sebuah keganjilan dalam cerita karena
Rasus adalah bagian dari masyarakat Dukuh Paruk yang tak mengenal
pendidikan dan agama. Oleh sebab itu, seharusnya Rasus mempercayai adanya
mitos tersebut. Akan tetapi, Ahmad Tohari menceritakan lain. Rasus
dikontradiksikan dengan pandangan masyarakat Dukuh Paruk. Hal itu
merupakan siasat Ahmad Tohari untuk menyelipkan pesan kepada pembaca
mengenai ketidakpercayaannya terhadap mitos.
Di dalam OOP, Ahmad Tohari mengulang soal mitos. Mitos dihadirkan
kembali dalam cerita OOP. Isu mitos dalam OOP disampaikan melalui tokoh
Kang Martasatang dan Wircumplung. Tokoh-tokoh tersebut mempercayai
bahwa proyek pembangunan yang dikerjakan Kabul meminta tumbal seorang
pemuda, dalam hal ini adalah tokoh Sawin sebagai pekerja proyek. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita OOP berikut.
“Pak Kabul jangan pura-pura bingung!” kata-kata Kang Marta terdengar
makin mengeras. “Anak saya, Sawin, hilang karena tekah dijadikan tumbal
proyek ini dan jasadnya ikut dicor jadi bagian tiang jembatan. Sekarang
jawab: Iya apa tidak?” (OOP: 128-129)

Isu seputar mitos tersebut ditanggapi oleh Kabul dengan


ketidakpercayaan. Ahmad Tohari mengulangi cara dalam memberi
pandangannya di dalam setiap karyanya. Ahmad Tohari bersembunyi di dalam
karakter Kabul yang tidak mempercayai mitos. Hal ini ditunjukkan dalam
kutipan OOP berikut.
“Tidak! Tuduhan Kang Marta tak masuk akal. Kalau ada benda lunak ikut
dicor, tiang beton akan jadi lemah. Lagi pula, apa kami sudah gila?” (OOP:
129)

Pandangan tentang mitos disampaikan melalui Pak Tarya. Pak Tarya


dalam OOP lebih berposisi sebagai pemberi informasi. Pemikiran Pak Tarya
pada OOP secara tidak langsung sama dengan pemikiran Kabul yang tidak
163

mempercayai mitos. Sekali lagi, Ahmad Tohari bersembunyi dalam tokoh cerita
novelnya, yakni Pak Tarya. Adapun pandangan Pak Tarya mengenai mitos
adalah sebagai berikut.
“Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah
masyarakat kita masih lumayan tinggi. Dengarkan Mas kabul, orang sini
percaya misalnya, mayat yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran
tebing.” (OOP: 132-133)
Di dalam OOP, Ahmad Tohari menuangkan pandangan mengenai agama
secara lugas. Di dalam teks OOP, ada semacam riwayat atau dalil yang sengaja
dihadirkan Ahmad Tohari. Riwayat tersebut berbunyi “Tidak diutus Kanjeng
Nabi, kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Riwayat inilah yang
dijadikan kunci oleh Ahmad Tohari mengenai pandangannya soal agama.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Ahmad Tohari mengaktualisasikan agama
bukan hanya sekadar sebagai simbol, namun lebih ke arah aktualisasi nilai
agama yang berorentasi menjunjung harkat dan martabat manusia. Ahmad
Tohari menjelaskan soal pandangan agamanya secara lugas dalam kutipan dialog
antara Pak Tarya dan Basar berikut.
“Nanti dulu. Jadi, pengucapan syahadat, tindakan salat, dan seterusnya
bukan tujuan keberagamaan kita?”
“Perhatikan lagi kata ‘kecuali’. Dengan demikian kita yakin bahwa tujuan
keberagamaan kita adalah penyempurnaan budi luhur. Sedangkan kelima
rukun itu hanya sarana untuk mencapai tujuan itu. Sarana, atau jalan, atau
syariah. Tapi sepenting-pentingnya syariah, dia hanya jalan, bukan tujuan.”
(OOP: 41)

Berdasarkan kutipan tersebut, Ahmad Tohari menjelaskan bahwa tujuan


utama agama adalah menyempurnakan akhlak manusia. Pada sisi lain, simbol-
simbol agama yang berupa pengucapan syahadat, salat, dan lainnya adalah
hanya untuk sebagai sarana dalam menyempurnakan akhlak manusia. Pandangan
seperti inilah yang memberi tanda bahwa Ahmad Tohari bersikap universal dan
tidak termasuk dalam kalangan fanatik yang berpandangan sempit soal agama.
Soal pandangan agama, Ahmad Tohari termasuk seorang muslim
pesantren yang berpandangan maju. Ia mempunyai pandangan tersendiri
mengenai konsep syahadat dan berhala. Ahmad Tohari memandang bahwa
seseorang yang telah membaca syahadat mempunyai risiko untuk
164

mengamalkannya sebagai bentuk kompensasi. Kompensasi yang harus


dilakukan oleh pengucap syahadat adalah tidak mempertuhan dirinya sendiri.
Konsep berhala menurut Ahmad Tohari adalah penyembahan terhadap diri
sendiri. Salah satu contoh adalah seseorang yang merasa dirinya lebih mulia
daripada manusia lain berarti orang itu adalah berhala. Hal ini berarti orang itu
telah mempertuhankan dirinya sendiri. Selama ini, konsep berhala yang
dipandang secara umum adalah berhala dalam bentuk batu, patung, gunung, dan
lain-lain. Ahmad Tohari menilai bahwa hal tersebut memang haram dan
termasuk dosa besar. Akan tetapi, konsep berhala dalam masa sekarang lebih
parah karena manusia sering memuliakan dirinya sendiri daripada orang lain,
dalam hal ini dia memberhalakan dirinya sendiri. Pandangan mengenai konsep
berhala tersebut dijelaskan dalam kutipan hasil wawancara antara peneliti
dengan Ahmad Tohari berikut.
Syahadat kan kesaksian “Tiada Tuhan selain Illah”” kompensasinya apa
sih? Konsekuensi yang tepat adalah tunjukkan kamu tidak mengïllahikan
dirimu sendiri. Bukan kamu mempertuhankan berhala. Iya, tapi itu nomor
kesekian. Pertama adalah apa kamu mempertuhankan dirimu sendiri?
(CHW)

2) Pandangan Kesenian
Ahmad Tohari memandang kesenian sebagai salah satu bagian dari
kehidupan masyarakat. Kesenian merupakan ejawantah sikap manusia yang
mempunyai rasa, cipta, dan karsa. Nilai keluhuran seni menjadi hal yang penting
untuk dijaga. Di dalam RDP, Ahmad Tohari memberikan pandangan tentang
nilai keluhuran seni melalui Sakarya. Sakarya bersifat kritis mengenai kesenian
ronggeng yang mulai keluar dari prosedur-prosedur tradisi yang diwariskan
nenek moyangnya. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan berikut.
Itulah. Yang jelas hal semacam ini baru sekarang kita alami. Sejak dulu
ronggeng ya ronggeng. Tidak harus pakai nama atau papan nama. Dukuh
Paruk sejak dulu ya Dukuh Paruk. Tanpa gambar partai di mulut jalan itu
pun pedukuhan kita ini bernama Dukuh Paruk. Nah, Kartareja. Bagaimana
ini?" (RDP: 229)

Berdasarkan kutipan tersebut, diperoleh pemahaman bahwa kesenian


ronggeng mulai meninggalkan tradisi. Ada sebuah politisasi kesenian dalam
165

cerita RDP, yakni ketika kesenian ronggeng yang telah mendarah daging di
Dukuh Paruk digunakan sebagai alat propaganda politik. Hal ini tidak sesuai
dengan nilai keluhuran seni yang dianggap masyarakat sebagai nilai yang agung.
Kesenian merupakan ejawantah rasa, cipta, dan karsa. Oleh karena itu, bentuk
politisasi yang merugikan masyarakat dinilai menyimpang dari makna falsafah
kesenian. Kesenian harus ditempatkan pada hakikat intinya. Apalagi kesenian
ronggeng adalah bentuk manifestasi keluhuran budaya dalam masyarakat.
Politisasi kesenian membuat kesenian sebagai manifestasi keluhuran budaya
dalam masyarakat bersifat paradoksal karena merugikan masyarakat.
Pandangan Ahmad Tohari terhadap kesenian secara tidak langsung
memberi inspirasi dalam karya-karyanya. Ahmad Tohari mengaku sering
menonton wayang dan ketika masih kecil sudah membaca komik Mahabarata
dan Ramayana versi asli karangan R.A. Kosasih. Hal ini ditunjukkan dengan
kutipan hasil wawancara berikut.
“… ketika SD itu saya bisa berkenalan dengan cara meminjam komik-
komik Mahabarata. Dulu itu 48 jilid. Tamat saya baca. Dan itu Ramayana
36 jilid saya baca. Dan itu Mahabarata dan Ramayana yang benar dari
kitabnya R.A. Kosasih.” (CHW)

Saya menguasai wayang karena saya tadi membaca komik Ramayana dan
Mahabarata. Secara fisik saya sering nonton wayang. (CHW)

Pemahamannya tentang wayang dituangkan dalam cerita RDP. Pada


bagian akhir RDP, ide wayang dimunculkan bersama kemunculan Rasus.
Ahmad Tohari membuat deskripsi Rasus yang suka menonton wayang di masa
kecilnya. Intensitas Rasus menonton wayang membuat dirinya memperoleh
pemahaman terhadap nilai-nilai yang tersirat dalam pagelaran wayang. Hal ini
ditunjukkan dengan kutipan berikut.
Nilai yang kuperoleh dari dunia wayang itu bisa saja masih mengendap
dalam jiwa ketika aku memasuki dinas ketentaraan. Aku, Rasus, mungkin
saja kadang secara tidak sadar menganggap diri ini adalah Gatotkaca atau
Bima, dua prajurit dan kstaria Amarta yang perkasa. (RDP: 387)

Ide tentang wayang menginspirasi Ahmad tohari dalam mengarang novel


OOP. Ahmad Tohari melakukan pengulangan dalam ceritanya. Di dalam OOP,
166

kesenian wayang dipolitisasi untuk kepentingan partai golongan yang berkuasa


pada saat itu. Ahmad Tohari ingin menunjukkan banyak kesenian yang mulai
dimasuki kepentingan politik. Politik mulai merambah dalam segala sendi
kehidupan manusia. Di dalam novel OOP, diceritakan mengenai rencana pentas
wayang yang mengambil lakon “Gatotkaca Kembar Tiga”. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan berikut.
“Eh, di masa pembangunan, semua dalang harus kreatif mencipta lakon
yang bersemangat Orde Baru. Dan Gatotkaca Kembar Tiga menceritakan
ada tiga Gatotkaca. Yang satu ber-kampuh warna hijau, satu lagi ber-
kampuh warna merah, dan yang lain ber-kampuh warna lambang GLM. Dan
akhir cerita membuktikan, sang Gatotkaca yang ber-kampuh warna GLM-
lah yang asli. Lainnya palsu dan kerjanya bikin kacau negara.” (OOP: 82)

Berdasarkan kutipan di atas, dijelaskan bahwa bentuk politisasi kesenian


wayang adalah dengan mengubah jalan cerita dan penokohan wayang. Warna
setiap kampuh yang dipakai oleh tiga Gatotkaca adalah simbolisasi partai-partai
yang berada dalam pemerintahan Orde Baru. Jika dihubungkan dengan realitas
sosial pada saat itu, kampuh warna hijau melambangkan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), warna merah melambangkan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI), dan warna lambang GLM, yakni kuning melambangkan Golongan Karya
(Golkar).
Pandangan Ahmad Tohari mengenai bentuk politisasi kesenian selalu
terepetisi di setiap karyanya. Ada kemiripan penceritaan politisasi kesenian pada
RDP dan OOP. Hal ini ditunjukkan dengan dua kutipan cerita RDP dan OOP
berikut.
Ada orang datang, entah siapa. Kepada Kartareja orang itu mengaku
anggota panitia. Dia menyodorkan kertas berisi catatan lagu. Tetapi karena
Kartareja buta huruf orang itu membacakan untuknya. Ternyata lagu-lagu
itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada
pergantian kata atau kalimat. Kartareja merasakan keanehan karena dalam
lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa
kurang akrab dalam hatinya. Tetapi Kartareja tidak mengajukan pertanyaan
apa pun. Baginya menuruti kata priayi atau orang yang seperti itu
merupakan salah satu kebajikan dalam hidup. (RDP: 179)
167

“Ya! Tapi jangan lupa, mintalah orang dinas kebudayaan mengubah pupuh-
pupuh atau lirik nyanyian lengger. Sesuaikan kata-katanya dengan semangat
Orde Baru. …” (OOP: 83)

Kedua kutipan yang diambil dari teks RDP dan OOP tersebut
menunjukkan adanya suatu kemiripan. Kemiripan tersebut mengacu pada bentuk
atau cara yang dipakai tokoh cerita untuk memolitisasi kesenian ronggeng atau
lengger. Politisasi dilakukan dengan cara mengganti bait-bait lagu yang akan
dinyanyikan peronggeng atau pelengger. Bait-bait lagu tersebut diganti dengan
bait-bait yang mengandung kata-kata politis. Kata-kata politis tersebut adalah
bentuk upaya mendukung kelompok-kelompok politik tertentu. Oleh sebab itu,
pandangan Ahmad Tohari tentang bentuk politisasi kesenian pada novel RDP
dan OOP adalah sama. Pandangan tersebut berangkat dari realitas sosial Ahmad
Tohari.
Penghayatan tentang nilai seni dituangkan Ahmad Tohari dengan
mencuplik beberapa lagu Jawa di dalam novelnya. Hal ini ditunjukkan dengan
dua kutipan berikut.
Dari mulutnya terdengar tembang pucung, pujian bagi para ronggeng.
Sambil melangkah tangannya bertepuk berirama.
Sengkang ceplik, cunduk jungkat sarwi wungu
Pupur lelamatan
Nganggo rimong plangi kuning
Candanira kaya sekar dhedhompolan (RDP: 196)

Kabul berusaha menangkap tembang apa yang sedang mengalir dari hati
Pak Tarya dan menangkap kata-kata yang hanyut dalam senandung itu;
Asmaradana.
Nora gampang wong ngaurip
Yen tan weruh uripira
Uripe padha lan kebo
Angur kebo dagingira
Kalal yen pinangana
Pan manungsa dagingipun
Yen pinangan pasthi karam … (OOP: 191)

Ahmad Tohari di dalam RDP dan OOP memandang bahwa kesenian


Jawa harus tetap hidup di tengah kehidupan manusia yang tergerus modernisasi.
Ahmad Tohari secara tidak langsung turut melestarikan kesenian Jawa melalui
168

novelnya. Ada transformasi kesenian dalam bentuk literatur. Aktivitas fisik


kesenian diliteralkan oleh Ahmad Tohari melalui novel-novelnya.
3) Pandangan Sosial
Ahmad Tohari adalah seorang sastrawan yang selalu memandang
masalah sosial sebagai pusat inspirasi. Ia intens membahas tema-tema sosial
dalam setiap karyanya. Ia tidak menyetujui adanya suatu tindakan yang
menyebabkan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Ia selalu berpihak pada
rakyat kecil yang tertindas. Rakyat kecil adalah sosok yang harus dibela dalam
memperjuangkan hak-haknya. Ahmad Tohari menyatakan bahwa ia ingin
memberikan kontribusi terciptanya masyarakat yang mapan dan sejahtera
dengan menggarap tema sosial dalam setiap karyanya. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan wawancara berikut.
“Dari awal, jadi begini. Hal itu berangkat dari komitmen saya untuk
memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat yang bermutu yang
tatanan sosialnya itu adil, mapan, dan terciptanya rakyat yang diperhatikan
hak-haknya. Mungkin ke latar belakangnya karena saya dilahirkan lalu
dibesarkan dari masyarakat kelas bawah hingga hal-hal yang menyangkut
nilai-nilai dasar, ketidakadilan, seperti kebersamaan, penghargaan terhadap
manusia itu terus terbawa sejak lahir.” (CHW)

Komitmen Ahmad Tohari sangat jelas dalam memperjuangkan nilai-nilai


sosial dalam masyarakat. Ia menganggap dengan menggarap tema sosial dalam
karya-karyanya akan mampu memberi konstribusi pencerahan nilai sosial
terhadap masyarakat luas. Pemasungan hak-hak yang seharusnya didapatkan
oleh seseorang tidak dibenarkan dalam berkehidupan masyarakat. Di dalam
RDP, nilai sosial digambarkan Ahmad Tohari dalam kutipan berikut.
Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu
menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana
terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya.
Mereka hanya puas menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-
kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu
rumah. (RDP: 86)

Di dalam kutipan tersebut, Ahmad Tohari memberi gambaran keadaan


masyarakat yang miskin dan bodoh. Teks tersebut secara implisit adalah cara
pandang Ahmad Tohari terhadap kehidupan dukuh/desa yang terpencil dan
169

belum mengenal pendidikan. Pendidikan adalah hak setiap orang. Gambaran


tentang Dukuh Paruk dalam RDP memberi pandangan bahwa waktu itu hak
pendidikan yang dimiliki setiap orang belum dicukupi oleh negara. Konsep
keadilan sosial belum diterapkan dalam tatanan sosial pada saat itu. Oleh karena
itu, muncul suatu masyarakat yang terbelakang. Masyarakat yang hanya belajar
dari lingkungan sekitarnya yang masih dilingkupi animisme. Keterpencilan dan
keterbelakangan membuat masyarakat kurang peka dan kritis ketika menghadapi
problematika sosial.
Masalah sosial diceritakan Ahmad Tohari secara intens dalam OOP.
Tema dalam OOP menyoroti tentang masalah sosial yang terjadi pada masa
Orde Baru. Ketika sudah bertahun-tahun Indonesia merdeka, namun keadilan
dalam masyarakat belum menunjukkan prestasi yang positif. Di dalam OOP,
Ahmad Tohari mendeskripsikan masyarakat kelas bawah. Hal ini ditunjukkan
dalam kutipan cerita OOP berikut.
Mereka, anak-anak proyek itu, adalah generasi yang malang. Kebanyakan
mereka meninggalkan bangku sekolah sebelum waktunya untuk masuk ke
pasar tenaga kerja demi perut. Dan di proyek ini mereka digaji terlalu kecil
karena pos anggaran untuk gaji tertekan oleh besarnya faktor X … (OOP:
59)

Di dalam kutipan tersebut, Ahmad Tohari memberi pandangan bahwa


konsep keadilan belum tercipta dalam masyarakat, terutama di masyarakat
tingkat bawah. Kutipan di atas adalah gambaran mengenai ketidakadilan dalam
bidang pendidikan. Hak-hak pendidikan yang harus diterima oleh seorang anak
harus hilang karena beban ekonomi. Selain itu, mereka tetap mendapatkan suatu
ketidakadilan soal upah di tempat bekerja. Kerja tidak sepadan dengan upah
yang diterima karena adanya korupsi.
Ahmad Tohari selalu memberi pandangan-pandangan sosialnya pada
karya yang diciptakannya. Hal tersebut bukan sekadar pandangan imajinatif
yang dibuat oleh Ahmad tohari. Akan tetapi, pandangan tersebut lahir karena
realitas sosial Ahmad Tohari. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan sosial
kelas bawah. Ketidakadilan, kemiskinan, kriminalitas, dan lain-lain adalah fakta-
170

fakta sosial yang sering ditemui Ahmad Tohari sehingga melahirkan pandangan
sosial yang diejawantahkan dalam setiap karyanya.
4) Pandangan Budaya
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang berlimpah. Keberagaman
budaya menciptakan suatu masyarakat yang multikultural. Salah satu budaya
adalah budaya Jawa. Budaya Jawa berkembang dalam lingkup pulau Jawa.
Ahmad Tohari adalah asli orang Jawa. Ia hidup dalam lingkungan budaya Jawa.
Oleh karena itu, dalam jiwa Ahmad Tohari teradaptasi budaya Jawa. Budaya
Jawa sangat terasa kehadirannya dalam karya-karya Ahmad Tohari. Budaya
Jawa dihadirkan Ahmad Tohari dalam bentuk kesenian seperti wayang, lagu,
lengger (ronggeng), tarian, dan lain-lain. Bentuk budaya-budaya Jawa tersebut
adalah manifesti masyarakat Jawa. Ahmad Tohari telah meliteralkan budaya
tersebut sebagai bentuk keterwakilannya sebagai subjek kolektif.
Budaya selalu mengalami pergeseran, entah dalam bentuk fisik maupun
fungsi. Inilah yang menjadi sorotan Ahmad Tohari. Ia memandang kultur
budaya mengalami pergeseran karena sejarah. Sejarah telah membuat dominasi
atas kepentingan-kepentingan tertentu hingga membuat pola pikir suatu
masyarakat berubah. Perubahan masyarakat adalah perubahan sejarah.
Kebudayaan sebagai salah satu bagian sejarah tidak mustahil untuk mengalami
perubahan. Pandangan Ahmad Tohari mengenai perubahan budaya dalam RDP
ditunjukkan dalam kutipan cerita berikut.
Srintil tidak mengerti bahwa makin banyaknya pesawat radio di Dawuan,
atau kedatangan orang-orang Jakarta yang akan membangun sebuah
bendungan adalah salah satu pertanda teriadinya ayunan itu. Pintu negeri
yang semula terkunci bagi bantuan, modal serta banyak kultur luar kini
terbuka lebar. Nilai-nilai kebangsaan yang dirumuskan dalam semangat
swadaya serta konservasi kultur dan budaya sendiri, surut dalam sebuah
pergulatan seru. Dan lagi-lagi nurani kehidupan sering terlangkahi. (RDP:
322)

Kutipan tersebut menunjukkan adanya deteriorasi sistem tradisi kultural


Dukuh Paruk. Deteriorasi ini dipandang dalam perspektif naturalisme Dukuh
Paruk dan bukan dalam perspektif modernitas. Akan tetapi, hal ini adalah kunci
untuk membuka sistem sosial di Dukuh Paruk untuk menuju ke arah kebudayaan
171

plural dan terbuka. Hal ini terlihat dalam kutipan bahwa Dukuh Paruk mulai
dimasuki kultur luar. Di sana mulai ada pembangunan, alat komunikasi (radio),
dan orang-orang luar yang dinilai mempunyai wawasan yang lebih maju masuk
ke dalam Dukuh Paruk. Egoisme masyarakat Dukuh Paruk yang dulu sangat
menjunjung tinggi adat dan tradisi mulai luntur tererosi oleh budaya baru.
Ironisme budaya sosial ditunjukkan Ahmad Tohari dalam OOP.
Modernisasi dan globalisasi telah mengubah cara pikir dan kultur masyarakat.
Masyarakat menuruti arus modernisasi dan globalisasi di segala arah. Mereka
lebih banyak tidak memperhatikan kearifan sebagai manusia yang telah dianut
sebagian besar masyarakat. Tuntutan kemajuan budaya membuat masyarakat
dituntut untuk mengejarnya dengan segala cara. Pandangan Ahmad Tohari
mengenai perubahan budaya dalam OOP ditunjukkan dalam kutipan cerita
berikut.
“… Lebih baik hidup penuh gaya meskipun selalu dikejar tuntutan yang
terus meningkat daripada hidup sederhana dan ketinggalan zaman. Soal jiwa
yang gelisah karena dikejar kebutuhan yang terus meningkat? Ah, ada
obatnya yang gampang: bar, minuman keras, perempuan, drugs, narkotika.”
(OOP: 193)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa perubahan zaman telah mengubah


pola pikir masyarakat. Kearifan dan kesederhanaan mulai ditinggalkan
masyarakat karena selalu mengejar kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Peningkatan kebutuhan hidup tentu adalah risiko masyarakat yang menuntut
hidup sesuai kehendak zaman. Tuntutan zaman modern dan global membuat
masyarakat bersifat konsumsif dan pragmatis.
Ahmad Tohari adalah seorang yang sangat menentang feodalisme.
Budaya feodal masih dijunjung tinggi dalam sistem sosial masyarakat. Ahmad
Tohari memandang bahwa harkat dan martabat semua manusia itu sejajar. Tidak
ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Feodalisme masih banyak dianut
masyarakat, khususnya masyarakat di Jawa. Adanya kastanisasi dalam
masyarakat membuat distorsi nilai-nilai kemanusiaan. Sesama manusia yang
hidup dalam suatu sistem sosial harus saling menghormati. Perbedaan pendapat
adalah suatu hal yang wajar.
172

Deskripsi tentang budaya feodal ditunjukkan dalam kutipan-kutipan


cerita berikut.
Dalam wawasan mereka semua priayi adalah sama, yakni tangan kekuasaan.
Setiap priayi boleh datang atas nama kekuasaan tak peduli mereka adalah
hansip, mantri pasar, opas kecamatan atau seorang pejabat dinas perkebunan
negara seperti Marsusi. Dan ketika kekuasaan menjadi aspek yang paling
dominan dalam kehidupan masyarakat, orang Dukuh Paruk seperti Srintil
tidak mungkin mengerti perbedaan antara polisi, tentara atau pejabat
perkebunan. Semuanya adalah tangan kekuasaan dan Srintil tidak mungkin
bersikap lain kecuali tunduk dan pasrah. (RDP: 294)

“Saya jadi malu kepada keluarga Martasatang.” desah Kabul.


Pak Tarya tertawa lagi.
“He-he, baguslah. Artinya, dalam diri sampeyan masih tersisa sikap
perwira.” (OOP: 135)

Kutipan cerita RDP di atas menunjukkan bahwa Srintil mempunyai


pandangan seorang priayi adalah penguasa. Kekuasaan para priayi sangat
dominan sehingga Srintil sebagai masyarakat biasa mempunyai sikap yang
tunduk dan pasrah dengan keadaan tersebut. Kutipan cerita OOP menunjukkan
bahwa Kabul merasa malu dengan keluarga Martasatang karena proyek yang
dilaksanakan oleh Kabul nantinya akan berakibat pada hilangnya pekerjaan
Kang Martasatang. Bentuk egaliter ditunjukkan oleh Kabul. Kabul dipandang
sebagai priayi oleh masyarakat, tetapi Kabul masih mempunyai rasa malu dan
hormat terhadap Kang Martasatang yang hanya masyarakat biasa. Pandangan
egaliter Ahmad Tohari ditunjukkan dengan sikap dan perwatakan Kabul dalam
OOP.
Ahmad Tohari menentang feodalisme Jawa yang diwujudkan dalam
wujud sistem kepriayian. Kelompok priayi dicontohkan seperti para pejabat,
pegawai negeri, dan aparat pemerintahan. Priayi dianggap kelompok yang harus
dihormati dalam pemahaman kultur masyarakat Jawa. Sikap egaliter antara
priayi dan masyarakat biasa terlihat tipis, bahkan tidak ada sama sekali. Sikap
Ahmad Tohari yang menentang konsep kepriayian ditunjukkan dalam kutipan
wawancara berikut.
“O iya, itu saya sering ketemu. Kuntowijoyo atau Umar kayam dalam satu
sisi sama dengan saya, yaitu ingin mengubah kepriayian. Kepriayian itu
173

mengandaikan ada satu lapis seseorang yang derajatnya lebih tinggi


daripada orang lain. Itu saya tidak setuju. Gini. Ini pemikiran budaya yang
sangat mendasar. Ada kalimat dalam Bahasa Indonesia berbunyi “Mbok
Sarikem pergi ke sawah berpas-pasan dengan Ibu Camat yang hendak pergi
ke kota”. Jika diucapkan dalam bahasa Jawa yang benar, maka begini
“Mbok Sarikem kesah dateng sabin papagan kalian Ibu Camat ingkang
badhe tindak kitha”. Selain itu salah. Jadi Mbok Sarikem kesah, Ibu Camat
tindak. Itu sudah standar bahasa Jawa, kalau tidak begitu, salah. Mengapa
mbok Sarikem “kesah”? Karena dia petani. Mengapa Ibu Camat “tindak”?
Karena perginya ke kota. Jadi priayi. Perlukah dipertahankan pola bahasa
seperti ini?” (CHW)

Ahmad Tohari menentang konsep kepriayian Jawa karena priayi yang


harus dihormati justru kadang melakukan hal-hal yang tidak terhormat. Mereka
menganggap masyarakat biasa sebagai wong cilik dan terkadang dijadikan objek
untuk diperalat demi kepentingan mereka. Priayi hidup dari gaji yang
sebenarnya adalah uang rakyat, sedangkan rakyat mencari uang dengan
usahanya sendiri. Akan tetapi, dalam kenyataannya priayi lebih terhormat
daripada rakyat. Pernyataan tersebut diperjelas dengan kutipan wawancara
berikut.
Sarikem kesah, Ibu Camat tindak”, lho itu gimana? Untuk negara demokrasi
nggak boleh ada seperti itu. Apalagi kalau dipikir secara sosiologis. Bu
Camat kan hidup dari APBD. Jadi, dia hidup dari uang rakyat kan? Lha
rakyat kerja dengan keringatnya sendiri. Apalagi yang namanya petani atau
wong cilik itu hampir selalu memberi subsidi kepada yang di atasnya.
Produksi pertanian selalu berlimpah. Milik petani ditukar murah dalam
industri. Buruh diberi upah lebih murah dari aslinya. (CHW)

Di dalam cerita RDP, Ahmad Tohari memberikan pandangannya


mengenai korelasi jender. Narasi dan deskripsi Srintil menunjukkan adanya
wacana feminisme. Srintil diposisikan sebagai perempuan yang dipaksa
menerima bias jender karena kultur masyarakat. Srintil yang berstatus ronggeng
dijadikan objek eksploitasi perempuan. Srintil harus menerima adanya ritual
bukak klambu. Ia dipaksa menyerahkan keperawanannya untuk seseorang yang
berani membayar dengan harga tertinggi. Srintil dipaksa untuk melepaskan hak-
hak kodratinya sebagai perempuan. Realitas kultural memaksanya untuk tidak
dapat mencintai, berumah tangga, dan mempunyai anak. Srintil
direpresentasikan sebagai seorang perempuan yang tertindas oleh budaya
174

patriarki. Posisi Srintil berbeda dengan Rasus jika dilihat dalam korelasi jender.
Rasus adalah seorang tokoh yang direpresentasikan sebagai seorang lelaki yang
menemukan jati diri. Rasus tidak terkungkung dalam konsep kultural yang
dianut sebagian besar masyarakat Dukuh Paruk. Ia keluar dari Dukuh Paruk
untuk menemukan nilai-nilai yang memberinya pengetahuan luas.
5) Pandangan Politik
Sejarah politik Indonesia mengalami pasang surut sebelum dan setelah
kemerdekaan. Ahmad Tohari adalah seorang yang selalu mengikuti
perkembangan politik Indonesia, walaupun tidak terlibat dalam politik praktis.
Kondisi perpolitikan Indonesia telah memberi banyak inspirasi bagi Ahmad
Tohari. Praktik politik selalu berimbas pada kehidupan sosial. Hal inilah yang
membuat Ahmad Tohari memiliki pandangan untuk memberi pencerahan sosial
dengan pesan-pesan di dalam karyanya.
Indonesia adalah negara dengan sistem pemerintahan demokrasi. Bentuk
pemerintahan adalah republik. Ahmad Tohari memandang demokrasi di
Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan konsep demokrasi. Konsep
demokrasi pada dasarnya adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Rakyat adalah inti utama dalam pemerintahan. Akan tetapi, justru rakyat
seringkali tertindas oleh praktik politik yang sedang berlangsung.
Ahmad Tohari intens menggarap tema-tema politik pada masa Orde
Baru. Orde Baru dipandang Ahmad Tohari sebagai pemerintahan yang sangat
menyimpang dari konsep demokrasi. Orde Baru adalah orde ketika Soeharto
berkuasa. Ahmad Tohari memaparkan bahwa konsep pemerintahan Soeharto
tidak melaksanakan dasar-dasar demokrasi. Demokrasi hanya sekadar nama dan
legalitas pemerintahan. Praktik kekuasaan lebih didominasi konsep otoriter.
Otoritas pemerintah sangat kuat ketika Orde Baru. Oleh karena itu, kontrol
masyarakat sangat lemah karena tekanan-tekanan dari pemerintah.
Ahmad Tohari memandang bahwa konsep kekuasaan yang dijalankan
Soeharto ketika Orde Baru meniru konsep kerajaan Mataram. Hal ini dinilai
salah karena bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik. Soeharto
memimpin negara republik seperti kerajaan. Jika pada masa kerajaan Mataram
175

ada upeti dari tingkat bawah hingga ke atas, pada masa pemerintahan Orde Baru
menerapkan hal yang sama. Oleh karena itu, korupsi menjadi budaya ketika
Orde Baru berlangsung. Uang rakyat dikorupsi melalui aparat-aparat
pemerintahan. Pandangan Ahmad Tohari terhadap pemerintahan Orde Baru
ditunjukkan dalam kutipan wawancara berikut.
“Soeharto adalah orang bodoh dan tidak berpendidikan. Dia itu anak SMP.
Dia hanya mengerti bagaimana menembak orang dengan bedil. Lalu konsep
yang dia miliki tentang kekuasaan adalah kekuasaan Mataram. Dia terapkan
persis ketika memerintah. Tiga puluh tahun ia membiarkan negeri ini
menumbuhkan budaya korupsi. Sekarang, kamu lihat yang namanya Tomi,
Bambang Triatmojo pernah kerja apa? Uangnya trilyunan. Bangsat! Uang
siapa? Uang nenek moyang kamu itu. Uang rakyat. Nah kalau Pak Harto
begitu, maka semua panglima meniru, ya kan kalau panglima begitu,
Kodam begitu, gubernur begitu, Kapolda begitu, sampai ke tingkat
masyarakat. Kamu percaya ini, kantor pajak setor ke kantor pajak yang lebih
tinggi. Nanti Dirjen pajak setor ke Istana, persis seperti Mataram. Itu pajak.
Semua begitu. Bank begitu.” (CHW)

Berdasarkan pernyataan Ahmad Tohari tersebut, Ahmad Tohari


memandang bahwa uang rakyat banyak dikorupsi ketika Orde Baru. Korupsi
dijalankan melalui pajak, bank, dan lain-lain. Aparat-aparat pemerintahan
menjadi sarana penyaluran uang korupsi. Dengan demikian, korupsi
dilaksanakan secara masif ketika pemerintahan Orde Baru. Hal inilah yang
sangat ditentang oleh Ahmad Tohari.
Pandangan Ahmad Tohari mengenai korupsi di Indonesia banyak
ditemukan dalam cerita OOP. Ahmad tohari sangat intens menyajikan pesan-
pesan cerita yang sangat menentang budaya korupsi. Hal ini dicontohkan pada
kutipan cerita OOP berikut.
Maka, apakah kata “korupsi” dikenal dalam sistem kekuasaan kerajaan?
Tidak. Karena bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung serta
manusia yang hidup di atasnya adalah milik raja dan para pembantunya.
“Korupsi” hanya ada pada kamus negara republik. Tapi republik belum
pernah tegak di negeri ini. (OOP: 149)

Kutipan teks cerita OOP tersebut menyiratkan bahwa negeri ini


(Indonesia) belum pernah menegakkan konsep kerepublikan karena korupsi.
Korupsi hanya dikenal dalam kerajaan. Ahmad Tohari memandang bahwa
176

korupsi harus dibinasakan dari Indonesia. Hal ini untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat Indonesia yang lebih baik. Jika korupsi tetap berlangsung, negara ini
bukan negara republik, tetapi kerajaan. Ironisme Ahmad Tohari terhadap konsep
republik dan kerajaan dijelaskan dalam pernyataaannya berikut.
“Jadi, dulu ketika ingin merdeka, kita mengandaikan bahwa konsep
kekuasaan itu berubah dari kekuasaan otoriter kerajaan menjadi kekuasaan
daulat rakyat atau demokrasi di mana orang berkeluarga itu karena merasa
mendapat mandat dari pemimpin. Tapi ternyata ketika sudah merdeka, dari
presiden sampai ketua RT merasa menjadi priayi. Kelihatan kan? Kurang
ajar betul. Jadi menikmati kekuasaan sebagai milik pribadi, padahal yang
dulu dicita-citakan adalah kekuasaan itu amanat dari rakyat. Jadi yang
namanya public servent/pelayan rakyat itu: pegawai, tentara, polisi, bupati,
itu melayani masyarakat. Eh ternyata masih seperti masyarakat mereka
priayi, kita wong cilik. Ya kurang ajar itu. Buat apa negeri ini jadi republik?
Jadi kerajaan Indonesia saja kenapa?” (CHW)

Berdasarkan pernyataan tersebut, Ahmad Tohari memandang bahwa


konsep otoriter harus dihapus dan digantikan dengan konsep demokrasi yang
pada dasarnya telah menjadi sistem pemerintahan Indonesia. Ia memandang
bahwa konsep demokrasi adalah tersalurnya amanat rakyat kepada wakil rakyat
yang berada dalam pemerintah. Hal ini tentu saja tetap mengedepankan konsep
keadilan sosial sebagai dasarnya.
Ahmad Tohari mengkritik keras konsep Orde Baru yang
mendiskriminasikan orang-orang yang dianggap tidak bersih lingkungan. Orang
yang tidak bersih lingkungan adalah orang yang dianggap terlibat gerakan
komunis pada masa Partai Komunis Indonesia (PKI). Keluarga orang yang
dianggap tidak bersih lingkungan juga terkena dampaknya. Jadi, stigma orang-
orang yang tidak bersih lingkungan terus berlanjut dalam garis keturunan. Jika
ada seorang bapak yang dianggap tidak bersih lingkungan, anak dan cucunya
secara langsung juga dianggap tidak bersih lingkungan. Hal ini dipandang
Ahmad Tohari sebagai ketidakadilan hukum dalam masyarakat. Pada masa Orde
Baru, orang yang tidak bersih lingkungan mempunyai stigma di masyarakat,
tidak boleh menjadi pegawai pemerintahan, dan kadang tidak boleh ikut dalam
Pemilihan Umum (Pemilu). Penjelasan tersebut diperjelas dengan pernyataan
Ahmad Tohari berikut.
177

Itu, jadi ada repetisi masalah PKI, lagi-lagi adalah komitmen saya terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Lha kalau orang PKI sudah dihukum begitu berat
tapi tidak berkesudahan itu kan tidak adil. Yang terlibat PKI itu bapaknya,
kenapa sampai anak cucunya dihukum. Itu kan benar-benar tidak adil.
(CHW)

Ahmad Tohari menyampaikan pandangannya melalui tokoh yang


dibuatnya, yakni Kabul. Pandangan Ahmad Tohari mengenai orang yang tidak
bersih lingkungan dalam novel OOP ditunjukkan dalam kutipan cerita berikut.
Sebenarnya Kabul tak peduli dirinya disebut bersih atau tidak bersih
lingkungan. Ketersinggungannya lebih disebabkan oleh kenyataan labelisasi
bersih lingkungan adalah taktik politik murahan dan sangat menistakan
martabat manusia. Celakanya lebelisasi itu telah memakan ribuan korban.
Ironisnya pada sisi lain labelisasi bersih lingkungan sering dimainkan
menjadi alat ampuh untuk menjatuhkan orang yang tak disukai. (OOP: 143)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Ahmad tohari merepresentasikan


penolakannya terhadap labelisasi tidak bersih lingkungan pada seseorang
melalui Kabul. Labelisasi tidak bersih lingkungan pada seseorang sangat
merugikan orang yang diberi label tersebut.
Tragedi politik pada tahun 1965 dan 1966 adalah titik tolak permasalahan
mengenai labelisasi tidak bersih lingkungan. Pada tahun 1965, muncul gerakan
politik yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G30S). Orang-orang
komunis diduga adalah dalang gerakan tersebut. Akan tetapi, pada tahun 1966
muncul gerakan dari pemerintah untuk melenyapkan ajaran komunis dan
penganutnya dari bumi Indonesia sehingga muncullah pembunuhan masal atas
orang-orang yang dianggap komunis. Ahmad Tohari memandang hal tersebut
sebagai bentuk penistaan nilai-nilai kemanusiaan, padahal orang-orang yang
dibunuh atau diasingkan ke suatu tempat belum tentu adalah orang komunis.
Peristiwa tragedi politik tahun 1965 dan 1966 sangat memengaruhi
penciptaan karya-karya Ahmad Tohari, terutama pada trilogi novel RDP.
Realitas sejarah pada masa itu telah memberi banyak pandangan bagi Ahmad
Tohari. Ahmad Tohari merepresentasikan korban tragedi politik masa itu
melalui Srintil. Srintil dianggap komunis karena ia diajak terlibat dalam rapat-
rapat propaganda komunis. Srintil tidak mengetahui perihal komunis, ia hanya
178

datang rapat karena dia disuruh meronggeng. Srintil hanya tahu soal pentas
ronggeng dan tidak mengetahui politik. Ia diperalat oleh orang-orang komunis.
Srintil dicap komunis dan secara tidak langsung Dukuh Paruk pun mendapatkan
cap tersebut. Pandangan Ahmad Tohari mengenai korban labelisasi komunis
pada cerita RDP ditunjukkan dalam kutipan berikut.
Dan apabila hukuman berat yang diterima oleh Dukuh Paruk dianggap
sebagai nilai tukar bagi keterlibatannya dalam rapat-rapat propaganda
orang-orang komunis, maka cara pembayaran seperti itu adalah ceroboh dan
sangat menggemaskan. (RDP: 261)

Labelisasi tidak bersih lingkungan menjadi sebuah cara untuk menekan


seseorang. Aparat pemerintahan dengan mudah menangkap dan menahan
seseorang dengan alasan tidak bersih lingkungan. Ahmad Tohari sangat tidak
menyetujui cara-cara seperti itu. Hal ini membuat penceritaan Ahmad Tohari
tentang komunis pada karya-karyanya terkesan repetitif. Ada kemiripan
penceritaan di dalam RDP dan OOP mengenai komunis dan labelisasi tidak
bersih lingkungan. Labelisasi tidak bersih lingkungan digunakan untuk
mengancam seseorang agar tunduk dalam kekuasaan orang yang mengancam.
Hal ini ditunjukkan dalam kutipan-kutipan berikut.
"Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau
menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak
bisa melakukannya?" (RDP: 383)

“Baik. Tapi anda akan saya laporkan ke atas. Saya akan cari data jangan-
jangan Anda tidak bersih lingkungan. Sebab indikatornya mulai jelas. Masa
iya dimintai bantuan untuk pembangunan masjid Anda banyak berkelit.
Cukup. Selamat malam. Dan selanjutnya mungkin anda tidak bisa mendapat
proyek lagi. Atau Dalkijo akan memecat Anda” (OOP: 142)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa labelisasi tidak bersih lingkungan


mempunyai daya kuasa untuk memaksa, menekan, memengaruhi, bahkan
menahan seseorang. Hal ini menekankan bahwa pemerintah Orde Baru sangat
otoriter menumpas paham komunis. Komunis dianggap sebagai paham yang
merugikan dan harus dibinasakan dari bumi Indonesia. Akan tetapi, persoalan
tentang labelisasi orang tidak bersih lingkungan mulai pudar setelah era
reformasi.
179

Ahmad Tohari merasa kecewa dengan praktik politik di Indonesia. Ia


mengaku tertarik pada politik ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ikut
dalam Pemilu. Akan tetapi, Ahmad Tohari akhirnya kecewa karena ternyata PPP
tidak sesuai harapannya. Hal ini diperjelas dengan kutipan wawancara antara
peneliti dengan Ahmad Tohari berikut.
Jadi saya itu orangnya hanya sekali ikut pemilu, yaitu ketika PPP baru ikut.
Kalau tidak salah tahun 1971 atau tahun berapa, apa 1977. Waktu itu
sebagai orang yang cukup muda, saya 29 tahun. Waktu itu kan ada orang
NU, orang Muhammadiyah, segala eksponen itu masuk ke dalam PPP.
Partai benar itu. Tapi setelah itu saya kecewa dan Golput sampai sekarang.
Jadi kalau saya memilih misalnya orang legislatif itu karena orangnya bukan
partainya. (CHW)

Ahmad Tohari termasuk Golongan Putih (Golput) ketika diadakan


Pemilu. Ia mengaku hanya satu kali mengikuti Pemilu, yakni ketika PPP masuk
dalam jajaran partai politik Indonesia. Pada saat itu, Ahmad Tohari memandang
bahwa PPP dapat menampung aspirasinya karena pada dasarnya PPP adalah
partai yang dibentuk oleh organisasi-organisasi besar seperti NU dan
Muhammadiyah. Akan tetapi, Ahmad Tohari menilai eksistensi PPP tidak
seperti yang diinginkannya. Kekecewaan tersebut mengakibatkan Ahmad Tohari
selalu menjadi Golput dalam setiap Pemilu. Setelah Pemilu diadakan secara
langsung, Ahmad Tohari mulai mengikutinya. Akan tetapi, menurut
pengakuannya ia hanya memilih orang (legislatif) dan bukan memilih partai.
6) Pandangan Ekonomi
Keadaan ekonomi memengaruhi keadaan sosial suatu masyarakat.
Ahmad Tohari hidup dalam masyarakat yang pada umumnya berekonomi lemah.
Hal ini menginspirasi Ahmad Tohari untuk membuat karya sastra mengenai
kesulitan dan penderitaan masyarakat miskin. Pandangan Ahmad Tohari
mengenai kemiskinan tertuju pada masyarakat yang terpencil dan jauh dari kota.
Kelaparan dan kemiskinan adalah hal yang sering ditemui Ahmad Tohari. Hal
ini ditunjukkan dengan cerita-cerita di dalam RDP. Cerita kemiskinan RDP
mewakili pandangan Ahmad Tohari mengenai situasi sosial ekonomi
masyarakatnya. Pandangan Ahmad Tohari mengenai masyarakat berekonomi
lemah dalam RDP ditunjukkan dalam kutipan cerita berikut.
180

Makin lama tinggal di luar tanah airku yang kecil, aku makin mampu
menilai kehidupan di pedukuhan itu secara kritis. Kemelaratan di sana
terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan penghuninya.
Mereka hanya puas menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-
kecilan. Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu
rumah. (RDP: 86)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa warga Dukuh Paruk hanya puas


dengan pekerjaannya sebagai buruh tani. Mereka miskin karena tidak mau untuk
mengubah pola pikir mereka terhadap ekonomi. Hal ini juga menunjukkan
bahwa pandangan Ahmad Tohari dalam RDP mengindikasikan tidak adanya
pemerataan ekonomi dari pemerintah. Kegiatan ekonomi hanya berpusat di kota.
Masyarakat pinggiran tidak tersentuh kebijakan-kebijakan ekonomi dari atas.
Akan tetapi, ketika Dukuh Paruk membuka diri, dampak lemahnya
perekonomian dari luar justru masuk ke dalam Dukuh Paruk. Runtuhnya
stabilitas ekonomi nasional juga berimbas kepada ekonomi Dukuh Paruk. Hal ini
ditunjukkan dalam kutipan cerita RDP berikut.
Bahkan pada tahun-tahun itu Dukuh Paruk semakin kusam. Pedukuhan yang
kecil itu mustahil menghindar dari keruntuhan sistem ekonomi yang sudah
lama menggejala secara umum di seluruh negeri. (RDP: 227)

Ahmad Tohari menilai kapitalisme merugikan perekonomian masyarakat


menengah ke bawah. Kapitalisme semakin menguat karena pemerintah tidak
profesional dalam menanganinya. Ahmad Tohari menambahkan bahwa pada
dasarnya konsep kapitalisme tidak sepenuhnya buruk, namun praktiknya sering
merugikan masyarakat kecil. Hal tersebut dinyatakan oleh Ahmad Tohari dalam
kutipan wawancara berikut.
“Ya. Terakhir terdengar ternyata pemerintah tidak punya daya apapun untuk
mengatasi kejahatan kapitalisme. Kapitalisme tidak sepenuhnya buruk tapi
selalu saja mengorbankan mayoritas masyarakat miskin. Pemerintah
sepenuhnya tidak berdaya mengatasi kapitalisme tadi yang sebenarnya
menguasai negeri ini. Saya selalu berpikir bagaimana memberi kontribusi
untuk kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat.” (CHW)

Ahmad Tohari memandang arus modernitas dan globalisasi memacu


masyarakat untuk cenderung berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif
cenderung dilakukan oleh masyarakat menengah ke atas. Masyarakat kecil
181

cenderung meminimalkan konsumsi karena keterbatasannya untuk mendapatkan


barang. Perilaku konsumtif juga didukung budaya feodal dan pragmatis sehingga
perilaku ini lebih mengacu pada kehidupan orang-orang yang dianggap sebagai
priayi. Pandangan mengenai budaya konsumtif ditunjukkan Ahmad Tohari
dalam kutipan cerita OOP berikut.
Keluarga presiden, menteri, jenderal, gubernur, anggota DPR, pengusaha
yang kongkalikong dengan pejabat, hidup dalam pragmatisme yang sangat
kental. Oportunis dan mumpung sebagai anak kandung pragmatisme yang
sangat mereka akrabi. Luar biasa kaya, konsumtif, kemaruk, dan terkadang
sikap sangat tega terhadap kelompok masyarakat miskin sering mereka
perlihatkan tanpa tedheng aling-aling. (OOP: 148-149)

Kesenjangan sosial adalah dampak nyata dari tidak meratanya


perekonomian yang dijalankan pemerintah. Kelompok-kelompok bermodal
justru mendominasi perekonomian dan semakin menyingkirkan masyarakat
kecil. Masyarakat kecil hanya hidup sebagai pekerja kasar, buruh, petani, dan
lain-lain yang kehidupan ekonominya tetap stagnan bahkan semakin terpuruk.
7) Pandangan Nilai Moral
Pemikiran Ahmad Tohari mengenai nilai-nilai moral dalam karya-
karyanya adalah sebagai bentuk kontribusi yang ingin diberikan kepada
masyarakat. Ia menginginkan agar masyarakat hidup secara mapan, sejahtera,
adil, jujur, dan tegaknya hukum di dalam tatanan sosial yang bermutu. Karya
sastra yang dibuat Ahmad tohari semata-mata diniatkan untuk pencerahan sosial.
Ahmad Tohari memberikan pencerahan sosial melalui pesan-pesan moral yang
ada dalam setiap karyanya. Pesan tersebut dituangkan dalam teks secara implisit
maupun eksplisit. Krisis moral yang terjadi dalam realitas masyarakat
menyentuh batin Ahmad Tohari sehingga dengan karyanya ia ingin memberi
kontribusi pencerahan sosial atas krisis moral tersebut.
Pandangan Ahmad Tohari mengenai nilai moral direpresentasikan
melalui tokoh-tokoh dalam cerita RDP dan OOP. Berdasarkan hasil wawancara
yang peneliti lakukan dengan Ahmad Tohari pada tanggal 16 Februari 2010,
Ahmad Tohari mengaku sering bersembunyi di dalam tokoh-tokoh novelnya.
182

Karakter suatu tokoh yang mengangkat nilai moral adalah bentuk representasi
idealisme Ahmad Tohari.
Ahmad Tohari memandang bahwa idealisme penting untuk dimiliki
seseorang. Idealisme akan menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik.
Ahmad Tohari mengaku bahwa pada waktu dulu Indonesia memiliki banyak
tokoh yang idealis. Akan tetapi, idealisme mulai pudar pada masa Orde Baru
karena konsep pemerintahan yang kaku dan otoriter. Berikut ini adalah
pernyataan Ahmad Tohari mengenai tokoh-tokoh yang ia anggap idealis.
“Kalau di sini, sebetulnya pada awalnya penuh dengan orang idealis seperti
Bung karno, Hatta, Sultan Syahrir, Tan Malaka, Abdul Wahid Hasyim.
Yang menghancurkan idealisme yaitu Soeharto.” (CHW)

Rasus adalah tokoh dalam cerita RDP yang diciptakan Ahmad Tohari
untuk mewakili konsep idealisme. Rasus diceritakan sebagai seorang yang keras
terhadap keyakinan pada dirinya. Idealisme tampak pada Rasus ketika ia tidak
setuju dengan adanya pelaksanaan tradisi bukak klambu, mitos-mitos yang
dipercaya oleh masyarakat Dukuh Paruk, dan ketidakadilan eksekusi pada
orang-orang yang dianggap komunis setelah peristiwa politik tahun 1965. Selain
itu, idealisme Rasus tampak pada kecintaannya terhadap Dukuh Paruk. Ia
menginginkan agar Dukuh Paruk memiliki kehidupan sosial yang lebih baik. Hal
ini ditunjukkan dengan kutipan cerita RDP berikut.
Dalam keadaan demikian aku memang merasa ada tangan menuding
kepadaku. Akulah yang secara moral paling layak mengambil tanggung
jawab bagi pemanusiaan Dukuh Paruk. Ini sebuah pekerjaan yang
menyenangkan karena akan kulakukan di atas pangkuan ibu kandungku.
Aku akan sangat senang melakukannya tanpa mengingat di sana ada gubuk
reyot bekas sarangku, tanpa mengingat adanya Srintil, bahkan tanpa
menghubung-hubungkannya dengan semangat patriotik. (RDP: 392)

Pandangan Ahmad Tohari mengenai idealisme direpresentasikan melalui


Kabul dalam cerita OOP. Kabul adalah tokoh cerita OOP yang selalu memegang
teguh idealismenya sebagai insinyur. Seseorang yang idealis mengutamakan
kejujuran hatinya. Kabul tidak terpengaruh kekuasaan, tekanan-tekanan,
pemaksaan, dan lain-lain dalam mempertahankan idealismenya. Bentuk
idealisme Kabul ditunjukkan dengan kutipan berikut.
183

Sebagai insinyur, Kabul tahu betul dampak semua permainan ini. Mutu
bangunan menjadi taruhan. Padahal bila mutu bangunan dipermainkan,
masyarakatlah yang pasti akan menanggung akibat buruknya. Dan bagi
Kabul hal ini adalah pengkhianatan terhadap derajat keinsinyurannya.
(OOP: 28)

Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Ahmad Tohari


pada tanggal 16 Februari 2010, Ahmad Tohari mengaku idealisme Kabul
ditujukan untuk anaknya yang pada waktu itu baru lulus pascasarjana Teknik
Sipil Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Ahmad Tohari ingin
menasihati para insinyur agar memiliki watak seperti Kabul. Berikut adalah
pernyataan Ahmad Tohari.
Itu karakter yang dibentuk. Jadi, lahir dari idealisme saya. Tapi sebetulnya
itu atau latar belakangnya adalah anak saya yang ketiga baru di wisuda di
UGM. Teknik Sipil UGM pascasarjana (S2). Saya ingin menasihati para
insinyur itu. Lha itu sebenarnya saya ingin anak saya seperti Kabul. Jadi,
lahir dari idealisme. Figurnya malah tidak ada. (CHW)

Figur Kabul di dalam realitas sosial Ahmad Tohari sebenarnya tidak ada.
Kabul hanyalah tokoh imajinatif yang dibuat Ahmad Tohari. Akan tetapi,
pembentukan cerita merupakan konstruksi dari pengalaman-pengalaman nyata
yang dimiliki Ahmad Tohari. Sosok Kabul dengan watak idealismenya adalah
contoh agar ditiru orang-orang, khususnya para insinyur.
Cerita RDP dan OOP pada dasarnya adalah bentuk kontribusi Ahmad
Tohari dalam memperjuangkan nilai-nilai moral. Novel-novel tersebut adalah
bentuk khotbah pencerahan dari Ahmad Tohari. Ahmad Tohari mengatakan
bahwa seseorang harus menjadi manusia Indonesia baru, yakni manusia
Indonesia yang wataknya amanah, cukup ilmu, cukup iman, kerja, dan cukup
menyadari bahwa hidup ini bersama dan berkelanjutan.
Deskripsi mengenai pandangan dunia Ahmad Tohari di atas
menyimpulkan bahwa Ahmad Tohari mempunyai berbagai sudut pandang
mengenai masalah-masalah dalam OOP dan RDP. Ada keterkaitan mengenai
pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP. Tujuh kategori
pandangan dunia yang dianalisis dan dibahas pada bagian sebelumnya selalu
muncul dalam OOP dan RDP.
184

Pandangan dunia muncul dalam diri Ahmad Tohari sebagai subjek


kolektif. OOP dan RDP dikarang oleh Ahmad Tohari sehingga secara tidak
langsung karya tersebut memuat pandangan-pandangan dunia yang dimilikinya.
Pandangan dunia Ahmad Tohari lahir dari pengalaman, pengetahuan, hubungan
sosial, hubungan antarkelompok, dan realitas sosial yang dimiliki Ahmad
Tohari. Pandangan dunia tersebut merupakan bentuk manifestasi Ahmad Tohari
dalam OOP dan RDP. OOP dan RDP mempunyai jalinan cerita berbeda, namun
kedua novel tersebut merepresentasikan masalah-masalah sosial yang berasal
dari pandangan dunia Ahmad Tohari.
Pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP jika dikerucutkan
selalu menyinggung masalah kemanusiaan atau humanisme. Pandangan
humanisme adalah modal dasar yang dimiliki oleh Ahmad Tohari untuk
mengarang OOP dan RDP. Pandangan humanisme Ahmad Tohari bersifat
universal. Pandangan tersebut tidak hanya menyentuh satu persoalan saja. Akan
tetapi, pandangan dunia tersebut menyentuh berbagai lini kehidupan mulai dari
masalah religius, kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan nilai moral. Hal
ini tidak terlepas dari niat Ahmad Tohari untuk memberi kontribusi pada
masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang tatanan sosialnya baik dan
berkualitas.
Berdasarkan pembahasan pandangan dunia di atas, disimpulkan bahwa
ada keterkaitan pandangan dunia Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP.
Pandangan dunia tersebut mengacu dan mengerucut pada pandangan humanisme
universal.

3. Struktur Sosial Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel


Ronggeng Dukuh Paruk
a. Proses Kreatif Pengarang dalam Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi
Novel Ronggeng Dukuh Paruk
Ahmad Tohari adalah sosok pengarang yang tidak sekadar menuangkan
imajinasinya saja ketika berkarya. Ia mengarang berdasarkan realitas sosial. Ia
merekonstruksi pengalaman-pengalamannya yang nyata menjadi karya fiksi. Hal
185

ini sejalan dengan pendapat Rachmat Djoko Pradopo (2005: 108) yang
memaparkan bahwa “pengarang tidak terlepas dari sejarah sastra dan latar
belakang sosial budayanya”. Karya fiksi karangan Ahmad Tohari adalah
deskripsi masyarakat menengah ke bawah. Hampir semua karya Ahmad Tohari
termasuk OOP dan RDP selalu menceritakan kehidupan masyarakat kalangan
bawah. Ahmad Tohari menjadikan karya sastra sebagai media pencerahan sosial.
Ia menuangkan gagasan-gagasan dan aspirasinya dalam bentuk karya sastra
untuk membela kaum lemah yang tertindas.
Berbagai pengalaman dari realitas sosial telah membuat Ahmad Tohari
kaya inspirasi. Selain itu, Ahmad Tohari sering membaca sejak kecil. Berbagai
ilmu pengetahuan ia serap dari buku-buku yang ia baca. Jika dianalogikan
sebagai gelas dan air, Ahmad Tohari adalah gelas yang terus dipenuhi hingga
meluap. Luapan air itu adalah karya-karya Ahmad Tohari. Jadi, pengalaman dan
ilmu pengetahuan Ahmad Tohari yang luas memudahkan ia untuk berkarya.
Berikut adalah pernyataan Ahmad Tohari mengenai intensitas kegiatan
membacanya.
“Mulai kemudian karena suka membaca, ketika SD itu saya bisa berkenalan
dengan cara meminjam komik-komik Mahabarata. Dulu itu 48 jilid. Tamat
saya baca. Dan itu Ramayana 36 jilid saya baca. Dan itu Mahabarata dan
Ramayana yang benar dari kitabnya R.A. Kosasih. Saya tamat sudah.
Bayangkan itu sudah kayak apa, sudah isi apa otak saya itu masih SD
padahal itu.” (CHW)

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Ahmad


Tohari pada tanggal 16 Februari 2010, Ahmad Tohari mengaku bahwa sejak
SMP ia senang membaca buku-buku di perpustakaan sekolah. Di perpustakaan
sekolah, ia menemukan buku-buku klasik seperti Salah Asuhan dan Azab dan
Sengsara. Selain itu, ia berkenalan dengan seorang guru Seni Rupa yang senang
sastra. Perkenalannya dengan guru tersebut membuatnya lebih rajin membaca
karena guru Seni Rupa tersebut mempunyai banyak koleksi buku sastra. Ahmad
Tohari mengatakan bahwa hampir semua karya sastra klasik telah ia baca di
waktu SMP.
186

Ciri khas kepengarangan Ahmad Tohari adalah selalu memunculkan


warna lokal. Lokalitas dalam karya Ahmad Tohari adalah bentuk kearifan yang
dimiliki Ahmad Tohari. Ia hidup di desa sehingga hampir semua karyanya
mendeskripsikan tentang desa. Keindahan dan kondisi pedesaan dideskripsikan
dengan diksi yang tepat. Ahmad Tohari dilahirkan dan besar di pedesaan
sehingga gaya pedesaannya tampak pada karyanya. Hal itu ditunjukkan dengan
penyebutan beberapa hewan dan tumbuhan sawah dengan bahasa Jawa.
Kekhasan Ahmad Tohari dalam mengolah kata merupakan citra yang telah
melekat pada karya-karyanya.
RDP dan OOP adalah bentuk manifestasi kegelisahan Ahmad Tohari
yang dituangkan dalam teks. RDP dan OOP berangkat dari pandangan Ahmad
Tohari mengenai kehidupan sosial di sekitarnya. Cerita di dalam RDP dan OOP
adalah konstruksi pengalaman-pengalaman Ahmad Tohari. Pengalaman-
pengalaman tersebut tentu saja adalah realitas sosial yang pernah dirasakan dan
ditemui Ahmad Tohari. Oleh sebab itu, ditemukan beberapa fakta
kemanusiaan/sosial yang terdapat dalam RDP dan OOP. Fakta kemanusiaan
adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun
yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (Faruk, 1999: 12).
1) Fakta-fakta Sosial dalam Novel Orang-orang Proyek
Novel Orang-orang Proyek menceritakan kehidupan orang-orang yang
bekerja dalam suatu proyek pembangunan. Ada seorang insinyur bernama Kabul
yang menangani suatu proyek besar, yakni pembangunan sebuah jembatan di
Sungai Cibawor. Kabul dideskripsikan sebagai lulusan perguruan tinggi dengan
gelar insinyur. Ia selalu ingin menerapkan ilmunya dengan cara sebaik-baiknya.
Idealismenya sebagai insinyur sangat tinggi. Akan tetapi, dalam proyek tersebut
ia harus mempertaruhkan idealismenya sebagai insinyur. Di tengah-tengah
proses pengerjaan proyek, ia harus berhadapan dengan pihak-pihak yang
menginginkan dana proyek untuk kepentingan-kepentingan di luar proyek,
terutama untuk kepentingan partai golongan penguasa.
Ahmad Tohari menilai bahwa pelaksanaan proyek di Indonesia hampir
selalu terdapat penyimpangan. Penyimpangan tersebut berbentuk material
187

maupun non-material. Bentuk material seperti korupsi dan bentuk non-material


seperti unsur politik dalam pelaksanaan proyek. Bentuk-bentuk penyimpangan
tersebut diceritakan Ahmad Tohari dalam OOP. Penceritaan tersebut bukan
sekadar hasil imajinasi Ahmad Tohari, namun memang berangkat dari
rekonstruksi pengalaman-pengalaman nyata. Hal ini dijelaskan oleh Ahmad
Tohari dalam kutipan wawancara berikut.
“Pengalaman yang dikonstruksi, kemudian diambil dari rata-rata peristiwa-
peristiwa di proyek. Selalu begitu, selalu begitu sampai sekarang. Dan dari
proyek apapun. Selalu tidak bermutu. Padahal mereka (insinyur—red) juga
sebenarnya tahu apa yang harus mereka lakukan tapi selalu dikhianati.
Kamu lihat jalan raya itu (sambil menunjuk jalan—red). Mereka tahu
bagaimana membuat jalan yang baik. Mengapa dikhianati? Jadi mental
proyek itu sebenarnya seperti itu. Bahkan Sidang Umum MPR diproyekkan.
Keputusan besar diproyekkan. Mau bikin Undang-undang diproyekkan, cari
ruang-ruangnya. Jadi, sebenarnya OOP itu memang kritik saya terhadap
pelaksanaan hampir semua proyek di Indonesia. Mental proyek itu adalah
mental mencari keuntungan dari suatu kegiatan pembangunan/mencari
keuntungan yang tidak benar. Misalnya, seorang pegawai negeri memimpin
proyek. Dia sudah digaji untuk itu, tapi dia pasti akan berlipat ganda
penghasilannya kalau berperilaku seperti itu.” (CHW)

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Ahmad


Tohari pada tanggal 16 Februari 2010, Ahmad Tohari mengaku bahwa cerita
OOP adalah representasi pemerintahan Orde Baru. Ahmad Tohari mengaku
bahwa latar belakang penulisan novel OOP adalah representasi bentuk
kegelisahannya karena ada sebuah pembangunan jembatan di daerahnya yang
dikerjakan dengan tergesa-gesa. Ketergesaan itu dengan tujuan cepat selesai
sehingga dapat digunakan untuk kampanye partai terbesar pada waktu Orde
Baru, yakni Golkar. Proses pengerjaan jembatan dinilai jelek karena tergesa-
gesa. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan hasil wawancara berikut.
“Itu berangkat dari hal-hal yang real atau nyata. Kalau tidak salah peristiwa
terjadinya pada Pemilu 1977 atau 1982. Anda tadi lewat satu jembatan,
waktu itu sedang dibangun jembatan itu. Lalu ada wakil presiden yang ketua
Golkar yang meresmikannya. Jadi sepenuhnya sangat berwarna Golkar dan
sangat plat merah. Saya benci betul itu. Demi kampanye Golkar, jembatan
itu diselesaikan secara tergesa-gesa, prosesnya juga sangat jelek. Bendahara
proyek selalu bendahara Golkar pada masa itu.” (CHW)
188

Cerita OOP berlatar tahun 1991, yakni menceritakan pembangunan


proyek pembangunan jembatan dengan tujuan dapat digunakan untuk ajang
kampanye Pemilu tahun 1992. Realitas yang terjawab adalah Indonesia juga
mengadakan pemilu pada tahun 1992. Akan tetapi, berdasar kutipan wawancara
di atas, Ahmad Tohari mengaku bahwa cerita OOP mengangkat peristiwa
Pemilu 1977 atau 1982. Ahmad Tohari mengaku bahwa hal tersebut sah karena
di dalam novel dia dapat lepas dari ruang dan waktu. Ia mengatakan:
“Ini enaknya nulis novel, membebaskan materi dari ruang dan waktu.
Misalnya itu terjadi di Boyolali tapi seolah-olah terjadi di Banyumas nggak
apa-apa kan Yang penting esensinya, bukan tempat dan waktunya.” (CHW)

Ahmad Tohari menggunakan simbol-simbol untuk membedakan antara


realitas dan karya fiksinya. Golongan Karya (Golkar) diubah menjadi Golongan
Lestari Menang (GLM). Pada masa Orde Baru, Golkar selalu mendominasi
warna politik Indonesia. Hal itu sama diceritakan pada OOP, yakni GLM sangat
mendominasi warna politik pada alur cerita.
Ahmad Tohari mengaku bahwa ia sering bersembunyi dalam suatu
karakter tokoh yang dikarangnya. Ahmad Tohari mengaku bahwa Pak Tarya
dalam cerita OOP adalah representasi dari dirinya. Pak Tarya diceritakan
sebagai seorang lelaki berumur yang mempunyai hobi memancing. Hal tersebut
sesuai dengan karakter pada diri Ahmad Tohari. Ahmad Tohari mengaku
sebagai seorang pemancing sejati. Memancing ia jadikan sebagai hobi. Berikut
adalah pernyataan Ahmad Tohari mengenai hal tersebut.
“Ya, kadang-kadang saya memang bersembunyi dalam diri satu karakter.
Terutama soal mancing. Saya memang hobi mancing. Saya sangat
menikmati suasana mancing. Saya itu pemancing sejati. Tidak harus dapat
ikan. Dan mancing itu tidak untuk mencari ikan.” (CHW)

Ahmad Tohari tidak hanya ingin memberikan pencerahan sosial melalui


OOP. Ia juga memberikan hiburan-hiburan ringan dalam cerita OOP. Hiburan
tersebut berupa cerita-cerita anekdot yang sering diceritakan Pak Tarya. Anekdot
tersebut bukan sekadar karangan Ahmad Tohari. Akan tetapi, hal itu adalah
pengalaman nyata yang diceritakan kembali oleh Ahmad Tohari di dalam OOP.
Di dalam OOP, ada cerita mengenai seorang suami yang mempunyai hobi
189

memancing yang fanatik sehingga ketika disuruh memilih pancing dan istrinya,
suami itu memilih pancing. Hal tersebut benar-benar terjadi dalam kenyataan.
Berikut adalah pernyataan Ahmad Tohari.
“Itu benar-benar itu, teman saya itu gila benar itu. Teman mancing saya itu
sebenarnya tukang batu. Istrinya itu buka warung kecil-kecilan. Orang buka
warung itu kan orientasi labanya besar sekali kan? Melihat suaminya saben
Minggu mancing, buat apa buang-buang nyewa perahunya saja mahal,
bensin harus dibiayai, belum tentu dapat. Istrinya itu marah melarang
suaminya mancing. Sangat logis kan? Gila itu! Ia mengatakan ‘Kalau saya
pilih kamu atau walesan, saya pilih walesan’ dan itu benar.” (CHW)

2) Fakta-fakta Sosial dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk


Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak memuat fakta sosial yang
merupakan rekam jejak dari pengalaman dan kondisi sosial masyarakat
pengarangnya. Bentuk fakta sosial dalam trilogi novel ini adalah penceritaan
tentang masa transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru. Di dalam
penceritaan itu, Ahmad Tohari menyajikan permasalahan serius mengenai kisruh
politik tahun 1965/1966 di Indonesia dengan gaya bahasa yang lugas, tegas, dan
sederhana. Selain itu, diceritakan mengenai kondisi sosial kultural masyarakat di
daerah Jatilawang Kabupaten Banyumas dengan diwakili penggambaran sosial
kultural Dukuh Paruk dalam cerita RDP.
Latar belakang Ahmad Tohari mengarang RDP adalah representasi
bentuk kegelisahannya terhadap peristiwa politik yang terjadi pada tahun 1965.
Pada tahun 1965 dan setelahnya, terjadi penumpasan orang-orang komunis dari
bumi Indonesia. Peristiwa tersebut bermula dari sebuah gerakan yang bernama
Gerakan 30 September 1965 (Gestapu) dan Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok).
Ahmad tohari mengaku bahwa pada tahun 1965 ia sudah kelas dua SMA
sehingga sudah dewasa untuk memahami peristiwa yang terjadi. Pada saat itu,
orang-orang yang dianggap komunis dibunuh dan dipenjara, bahkan ada yang
diasingkan ke beberapa tempat terpencil. Rumah-rumah dibakar. Masyarakat
justru adalah pelaku pembakaran tersebut karena ada provokasi dari tentara yang
saat itu ditugaskan untuk menumpas komunis. Ahmad Tohari menilai peristiwa
tersebut adalah peristiwa yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan tidak
menjunjung keadilan sosial. Berikut adalah pernyataan Ahmad Tohari.
190

“Tahun 1965 itu saya sudah SMA kelas dua. Jadi ketika terjadi geger itu,
terjadi pembakaran rumah-rumah, pembunuhan, saya sudah sangat dewasa,
sudah sangat mampu merekam sampai ke dasar hati. Semua orang benar-
benar gila itu. Rumah bisa seenaknya dibakar. Dan ramai-ramai itu. Orang
yang membakar itu masyarakat, walau memang itu diprovokasi, yang
memprovokasi adalah tentara. Jadi, saya bilang ‘nggak bener ini, ini nggak
bener’, tapi jiwa saya kan berontak terus dari tahun 1965 sampai RDP
ditulis tahun 1980.” (CHW)

Berdasar pernyataan Ahmad Tohari di atas, jiwa Ahmad Tohari berontak


karena menilai peristiwa politik pada tahun 1965 adalah sebuah bentuk
kekejaman kekuasaan. Oleh karena itu, di dalam dirinya muncul kegelisahan
untuk menceritakan kepada publik. Jiwa jurnalis muncul dalam diri Ahmad
Tohari. Akan tetapi, pemerintah pasti akan melarang terbitan atau tulisan yang
mengupas tentang penumpasan PKI. Akhirnya Ahmad Tohari memilih publikasi
melalui novel yang berciri fiktif. Ahmad Tohari melakukan strategi dengan cara
menjadikan Rasus sebagai tentara. Jadi, di dalam RDP diceritakan Srintil
ditangkap tentara, namun di sisi lain Srintil ditolong oleh tentara, yakni Rasus.
Jika Rasus dijadikan orang sipil, Ahmad Tohari meyakini hal itu akan membuat
marah tentara. Walaupun sudah melakukan strategi tersebut, Ahmad Tohari
mengaku bahwa dia dipanggil dan diinterogasi tentara perihal penulisan RDP.
Berikut adalah pernyataan Ahmad Tohari.
“Jadi, sebenarnya begini. Tahun 1966 saya tamat SMA. Kemudian mulai
tahun itu saya menunggu adanya atau terbitan apalah yang mengupas
kejadian tahun 1965 itu. Bayangkan! Tahun 1965 sampai tahun 1980 tidak
ada satu pun novel Indonesia yang berani bicara. Jadi saya pionir dan
termasuk gila. Tahun 1980 berani. Berani betul kalau tiba-tiba peluru di
kepala? Makanya saya punya strategi Rasus sebagai tentara. Kalau Rasus itu
orang sipil atau guru, aduh, tentara bisa marah betul itu. Kapten Mortir yang
baik hati yang juga tentara, walaupun yang mencacah-cacah Srintil juga
tentara. Itu salah satu cara agar RDP bisa terbit. Itu pun saya terpaksa
dipanggil oleh tentara.“ (CHW)

Ada beberapa peristiwa tentang stigma komunis yang membuat gelisah


Ahmad Tohari. Oleh sebab itu, di beberapa karyanya termasuk RDP banyak
mengupas masalah komunis. Ahmad Tohari mengaku mempunyai seorang
teman yang ayahnya komunis. Temannya tersebut tiga kali ditinggalkan oleh
pacarnya hanya karena pacarnya tidak mau jika jadi menantu orang komunis.
191

Teman Ahmad Tohari tersebut sangat sedih, bahkan mengutuk ayahnya yang
komunis. Jadi, stigma orang komunis di mata masyarakat pada waktu itu sangat
jelek. Berikut adalah penuturan Ahmad Tohari.
“Ya, banyak cerita-cerita nyata yang membuat saya itu semakin trenyuh.
Ada teman, teman lebih muda dari saya, perempuan cantik. Dia jadi guru.
Setelah bapaknya tahun 1965 dinyatakan terlibat, pacarnya
meninggalkannya, tidak ingin jadi mantu orang PKI. Karena dia memang
cantik, datang lagi pacar yang kedua. Setelah tahu sejarah ayahnya,
ditinggal lagi. Yang terakhir malah tentara, ya itu, meninggalkan lagi
sampai tiga kali selalu ditinggalkan. Akhirnya, teman saya ini nggembor
(menangis). Menangisnya itu mengutuk ayahnya.” (CHW)

Ahmad Tohari mengaku bahwa Dukuh Paruk yang diceritakan dalam


RDP mengacu pada suatu tempat yang memang terdapat di daerah Kecamatan
Jatilawang Kabupaten Banyumas. Tempat itu bernama Pekuncen. Pada tahun
1960-an, masyarakat Pekuncen adalah masyarakat yang masih memegang kuat
budaya kejawen dan animisme. Walaupun demikian, mereka mengaku sebagai
orang Islam. Masyarakat Pekuncen disebut sebagai masyarakat “abangan”, yakni
orang-orang Islam yang masih memegang kuat tradisi kejawen. Di Pekuncen ada
makam yang sangat dikeramatkan, yakni makam Banatuling. Masyarakat sangat
menghormati makam tersebut. Di dalam RDP, makam Banatuling disimbolkan
dengan makam Ki Secamenggala. Ahmad Tohari mengaku tidak berani
menyebut makam Banatuling dalam RDP karena masyarakat Pekuncen sangat
menghormatinya. Oleh karena itu, Ahmad Tohari menggunakan nama Ki
Secamenggala yang mengacu pada makam Banatuling di Pekuncen. Berikut
adalah pernyataan Ahmad Tohari.
“ …RDP itu memang ada lokasinya. Lokasi yang menjadi acuan, walaupun
tidak sepenuhnya sama. Itu daerahnya, ada suatu wilayah yang disebut,
namanya Pekuncen. Pekuncen itu maksudnya adalah tempat juru kunci
karena di sana ada makam. Makam Banatuling karena makam itu sangat
dihormati. Banatuling itu tokoh lokal yang sangat dihormati. Orang-orang
itu kan masih berbeda dengan yang lain. Islam ya Islam, tapi masih ada
kejawennya” (CHW)

Pelukisan masyarakat yang miskin di dalam RDP adalah bentuk


representasi yang dilakukan Ahmad Tohari terhadap Pekuncen. Pada tahun
1960, belum ada rumah yang beratap ilalang di Pekuncen. Beracuan pada
192

struktur geografis, menurut Ahmad Tohari latar Pekuncen sangat mirip dengan
latar Dukuh Paruk. Berikut adalah pernyataan Ahmad Tohari.
“Nah itu, kalau dari Pekuncen mau ke Pasar Jatilawang akan melewati gang
panjang. Jadi, seperti Dukuh Paruk. Mau keluar ke Dawuan itu kan mulai
gang panjang. Tetapi ya sekarang sulit karena itu kan pelukisan tahun 1960-
an di mana waktu itu di Pekuncen itu boleh dibilang tidak ada rumah yang
beratap genteng. Semuanya beratap ilalang. Rumah saya pada tahun 1950
masih ilalang kok.” (CHW)

Di dalam RDP, ada penceritaan mengenai Gowok. Gowok dalam realitas


masyarakat memang benar-benar ada. Gowok ada dalam tradisi masyarakat
Purbalingga. Berikut adalah penuturan Ahmad Tohari yang dikutip dari buku
“Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk”.
Jadi, sebetulnya tradisi gowok itu di Purbalingga. Jadi, bukan di Banyumas.
Dan tradisi gowok itu riil. Jadi tidak ngarang. (Wijang J. Riyanto, dkk.,
2006: 56)

b. Deskripsi Struktur Sosial Novel Orang-orang Proyek dan Trilogi Novel


Ronggeng Dukuh Paruk
Struktur karya sastra dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat yang
turut mengondisikan terciptanya karya sastra tersebut. Struktur sosial merupakan
unsur genetik penciptaan karya sastra (Nugraheni Eko Wardani, 2009: 56).
Pengarang adalah salah satu bagian dari struktur sosial dalam masyarakat.
Pengarang mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu sehingga ia tercakup
dalam suatu institusi-institusi sosial. Institusi sosial memberi gambaran sosial
kepada pengarang dalam berkarya. Gambaran kondisi sosial terlihat jelas pada
OOP dan RDP. Analisis struktur sosial OOP dan RDP menekankan pada dua
institusi, yakni pemerintahan dan religi.
1) Institusi Pemerintahan
Institusi pemerintahan mengacu pada kondisi sosial politik di Indonesia
yang tercermin dalam OOP dan RDP. Kondisi sosial politik di Indonesia adalah
permasalahan pokok yang selalu dibahas Ahmad Tohari dalam OOP dan RDP.
Jadi, dalam bagian ini disampaikan mengenai kondisi sosial politik Indonesia
dilihat dari sudut pandang sejarah. Di dalam OOP, latar cerita menunjukkan
pada masa Orde Baru, yakni pada tahun 1991. Walaupun demikian, Ahmad
193

Tohari pada bagian sebelumnya menjelaskan bahwa ia terinspirasi Pemilu 1977


atau 1988. Latar cerita RDP menunjukkan peristiwa-peristiwa pada masa Orde
Lama dan Orde Baru. Berdasarkan penjelasan tersebut, pada bagian ini
disampaikan deskripsi kondisi perpolitikan pada masa Orde Lama dan Orde
Baru.
a) Orde Lama
Orde Lama adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Sukarno. Orde
Lama tercermin dalam alur cerita RDP. Gambaran Orde Lama dalam RDP
terutama saat masa akhir Orde Lama, yakni saat berlakunya Demokrasi
Terpimpin (1959-1966). Hal ini tampak pada pembahasan mengenai unsur latar
waktu pada bagian sebelumnya, yakni latar waktu peristiwa cerita RDP banyak
terjadi pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965.
Pada masa Demokrasi Terpimpin muncul ketegangan antara Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). TNI sebagai
golongan fungsional harus menghadapi persoalan yang rumit karena pada satu
sisi TNI harus berpegang teguh pada Pancasila dan Undang-undang Dasar
(UUD) 1945, namun di sisi lain harus menghadapi berbagai intimidasi dan
dominasi PKI (Arif Yulianto, 2002: 230). Jadi, pada waktu itu ada kekuatan
besar yang sedang berseteru di bawah pimpinan Presiden Sukarno.
PKI dan TNI membuat berbagai kebijakan untuk menunjukkan dominasi
mereka di dalam kancah perpolitikan pada masa Demokrasi Terpimpin. PKI
membuat organisasi-organisasi di beberapa bidang dan TNI pun membuat
organisasi-organisasi untuk menandingi PKI. Salah satu contoh adalah PKI
membuat surat kabar: Harian Rakyat, Bintang Timur, dan Warta Bakti. TNI
menandinginya dengan menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha (Arif Yulianto, 2002: 234). Di dalam bidang budaya, PKI membentuk
sebuah lembaga bernama Lembaga Kebudayaan Daerah (Lekra). Lekra bekerja
di bidang kebudayaan dan kesenian. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan
kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya. Lekra
berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat.
194

Lekra dibentuk sebagai alat propaganda politik PKI. Kesenian dan


kebudayaan dalam masyarakat dinilai strategis untuk menyebarkan paham-
paham komunis. Berbagai macam seni dijadikan sarana berpolitik sebagai
representasi kebudayaan rakyat. Bentuk kesenian tersebut antara lain: wayang,
sastra, kethoprak, lengger (ronggeng), dan lain-lain. Di dalam RDP, disinggung
mengenai praktik-praktik yang digencarkan Lekra. Hal tersebut ditunjukkan
dalam cerita RDP ketika Srintil disuruh untuk pentas dalam rapat-rapat
propaganda PKI. Cerita tersebut adalah representasi dari tindakan-tindakan yang
dilakukan para aktivis Lekra. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmad Tohari
berikut.
“Mengapa trilogi ini saya tulis dengan mengambil latar kehidupan
peronggengan di Dukuh Paruk? Karena ada pengalaman nyata di tahun 1965
semua kelompok ronggeng yang dianggap dari Lekra (Lembaga Kesenian
Rakyat yang komunis) dilarang pentas. Dan kebanyakan para seniman
ditahan.” (Wijang J. Riyanto, dkk., 2006: 42)

Pemikiran kesenian menurut Lekra adalah seni bukan hanya untuk seni,
namun seni dapat dijadikan sebagai sarana melawan kebijakan-kebijakan
pemerintahan yang tidak mempedulikan hak-hak kerakyatan. Oleh karena itu,
Lekra juga disebut sebagai kesenian rakyat.
Lekra ditentang oleh seniman-seniman yang tergabung dalam kelompok
Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Lekra menggunakan kesenian untuk
membela rakyat yang tertindas, namun aktivitas Lekra tersebut dinilai Manikebu
sebagai bentuk politisasi terhadap kesenian. Hal ini dianggap mengancam
supremasi prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan karya seni pada alat
propaganda politik yang sarat dengan slogan-slogan verbal belaka.
Politisasi kesenian ini representasikan Ahmad Tohari dalam cerita RDP.
Berikut adalah kutipan cerita RDP yang mendukung pernyataan tersebut.
Ada orang datang, entah siapa. Kepada Kartareja orang itu mengaku
anggota panitia. Dia menyodorkan kertas berisi catatan lagu. Tetapi karena
Kartareja buta huruf orang itu membacakan untuknya. Ternyata lagu-lagu
itu semua sudah dihafal oleh dukun ronggeng itu. Hanya di sana-sini ada
pergantian kata atau kalimat. Kartareja merasakan keanehan karena dalam
lagu-lagu itu diselipkan kata "rakyat" dan "revolusi", kata-kata mana terasa
kurang akrab dalam hatinya. Tetapi Kartareja tidak mengajukan pertanyaan
195

apa pun. Baginya menuruti kata priayi atau orang yang seperti itu
merupakan salah satu kebajikan dalam hidup. (RDP: 179)

Pada tanggal 30 September 1965, ketegangan antara PKI dan TNI


memuncak dan menyebabkan malapetaka yang dahsyat bagi masyarakat
Indonesia. PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Pemberontakan
tersebut disebut sebagai Gerakan 30 September 1965 (Gestapu). Gerakan
tersebut berlanjut pada hari berikutnya, yakni 1 Oktobers 1965 sehingga disebut
Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok). Gerakan tersebut melakukan aksi dengan
cara menculik dan membunuh tujuh perwira tinggi TNI. Kemarahan di tubuh
TNI memuncak akibat peristiwa tersebut. TNI membalasnya dengan menculik
dan membinasakan orang-orang komunis. Jadi, orang-orang yang ikut dalam
PKI termasuk aktivis Lekra ditahan dan dibunuh. Ada juga yang diasingkan ke
sebuah tempat terpencil, seperti pulau Buru.
Realitas mengenai Gestapu dan Gestok di atas diungkap Ahmad Tohari
dalam cerita RDP. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan cerita RDP berikut.
Pada akhir bulan September 1965 itu Srintil sudah dua minggu manggung
terus-menerus di arena pasar malam di lapangan kota Dawuan atas nama
kelompok Bakar. Dua minggu yang jor-joran, sarat dengan pemberontakan
budaya. Tayub yang secara resmi dilarang pemerintah, pada pasar malam
bulan September 1965 itu digalakkan kembali dengan semena-mena. Siapa
saja boleh naik panggung rakyat buat berjoget atau menciumi Srintil sepuas
hati. Cuma-cuma.
Sampailah hari pertama bulan Oktober. Hari pertama yang disusul hari-hari
berikutnya, suatu masa yang tidak bisa dimengerti oleh siapa pun di Dukuh
Paruk. Tiba-tiba mereka merasakan kehidupan menjadi gagudan limbung.
Pasar malam bubar tanpa pengumuman apa pun. Dawuan, terutama
pasarnya yang biasaramai kian hari kian sepi. Orang-orang kelihatan lebih
banyak diam dan menunggu. (RDP: 236-237)

Pemberontakan yang disebut sebagai Gestapu dan Gestok akhirnya dapat


dikendalikan Mayor Jenderal Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai
Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Soeharto dinilai
sebagai seorang pahlawan yang berjasa dalam penumpasan Gestapu dan Gestok.
Keberhasilan Soeharto memimpin TNI AD dalam menumpas Gestapu dan
Gestok berpengaruh terhadap arah peta politik Indonesia. Walaupun demikian,
kebijakan Soeharto untuk menumpas orang-orang komunis adalah suatu hal
196

yang sangat tidak menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Hal


tersebut dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM).
Pemberantasan orang-orang yang dianggap komunis diceritakan oleh
Ahmad Tohari dalam RDP. Cerita ini adalah representasi dari tindakan Soeharto
pada masa akhir Orde Lama. Rumah-rumah orang-orang komunis dibakar dan
orang-orang yang dianggap komunis diangkut dengan truk dan dibawa ke suatu
tempat untuk diasingkan atau dibunuh. Berikut adalah kutipan cerita RDP yang
sesuai dengan penjelasan di atas.
Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa
Tengah. Kegelapan yang mencekam telah berlangsung setengah tahun
lamanya. Tak ada orang keluar setelah matahari terbenam kecuali para
petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer. Tem,bakan bedil masih
terdengar satu-dua di kejauhan. Dan kadang cakrawala malam bernoda
merah, ada rumah yang dibakar. ada deru truk berhenti disusul suara
langkah sepatu yang berat, lalu berangkat lagi. (RDP: 247)

b) Orde Baru
Orde Baru menandai berakhirnya pemerintahan Orde Lama. Peristiwa
Gestapu dan Gestok telah menciderai pemerintahan Sukarno. Pemerintahan
Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Presiden Sukarno mengalami
kemunduran. Masyarakat dan mahasiswa melakukan demonstrasi-demonstrasi
mengkritik pemerintah. Pada tanggal 10 Januari 1966 muncul tiga tuntutan dari
mahasiswa yang disebut sebagai Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi Tritura
adalah: (1) bubarkan PKI; (2) turunkan harga; dan (3) bubarkan Kabinet
Dwikora.
Pada tanggal 11 Maret 1966 muncul Supersemar. Presiden Sukarno
memberi mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala kebijakan yang
dianggap perlu untuk menjaga stabilitas keamanan nasional. Surat perintah
tersebut dinamakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) karena diberikan
pada tanggal 11 Maret. Supersemar mengawali langkah pertama Soeharto untuk
naik tahta menjadi presiden. Pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto diangkat
197

menjadi presiden Republik Indonesia secara penuh berdasarkan Ketetapan No.


XLIV/MPRS/1968 (Arif Yulianto, 2002: 247).
Pemerintahan Orde Baru tercermin dalam cerita RDP bagian akhir dan
semua cerita OOP. Di dalam RDP, yakni pada bagian Jantera Bianglala,
diceritakan ada pembangunan saluran irigasi di Dukuh Paruk. Berikut adalah
kutipan cerita yang menunjukkan pernyataan tersebut.
Di tengah sawah, seratus meter di sebelah barat Dukuh Paruk, Bajus
memimpin teman-temannya mengukur dan membuat pancang-pancang.
Tamir pada teodolit, Kusen memegang payung serta Diding pada tongkat
skala. Beberapa lainnya adalah pembantu yang mengurus pematokan-
pematokan. Mereka bekerja mengikuti alur parit besar; bekas rencana
saluran irigasi tersier yang pernah dibuat pada masa pendudukan Jepang
namun gagal diselesaikan. Bajus dan teman-temannya dikirim langsung dari
Jakartauntuk mengawali pembangunan sebuah bendungan yang akan
mengairi dua ribu lima ratus hektar sawah yang sebagian besar terletak di
kecamatan Dawuan. (RDP: 308)

Hal itu adalah representasi pemerintahan Orde Baru yang sedang giat-
giatnya membangun negeri. Pemerintahan Orde Baru disebut sebagai era
pembangunan sehingga Soeharto dijuluki sebagai “Bapak Pembangunan”. Pada
cerita OOP, representasi Orde Baru lebih menekankan pada alat politik Orde
Baru, yakni Golkar. Nama Golkar diubah menjadi Golongan Lestari Menang
(GLM) dalam cerita OOP. GLM diceritakan sebagai partai golongan penguasa
yang sangat berkuasa. GLM mencakup berbagai aspek struktur masyarakat
bahkan pegawai negeri dan ABRI. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan cerita
OOP berikut.
Memang ya. Karena, sistem kekuasaan di bawah Golongan Lestari Menang,
GLM, menempatkan jajaran perangkat desa dan kelurahan seluruh
Indonesia menjadi onderbouw mereka. Jajaran perangkat desa adalah satu di
antara tiga pilar penopang GLM. Dua pilar lain adalah birokrasi pegawai
negeri dan ABRI. Maka, suka atau tidak, Kades seperti Basar sudah
tercantum sebagai kader Golongan Lestari Menang. (OOP: 84)

Pada masa Orde Baru terjadi enam kali pemilu, yakni pada tahun 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu tahun 1971 diikuti oleh 10 partai,
yakni Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti, IPKI, dan
Murba. Pemilu mulai diadakan secara priodik, yakni lima tahun sekali sejak
198

Pemilu tahun 1977. Sejak Pemilu tahun 1977, ada penyusutan partai yang
mengikuti Pemilu, yakni hanya tiga partai. Tiga partai tersebut adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya, dan Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Pada keseluruhan Pemilu tersebut, Golkar selalu menang
mutlak di atas PPP dan PDI. Keterlibatan PPP dan PDI dalam setiap Pemilu
Orde Baru cenderung hanya sebagai “partai penggembira”.
Keberadaan PPP, Golkar, dan PDI direpresentasikan Ahmad Tohari
dalam cerita OOP. Golkar diceritakan sebagai partai golongan yang sangat
berkuasa. Deskripsi mengenai partai-partai tersebut dianalogikan oleh Ahmad
Tohari dengan sosok wayang, yakni Gatotkaca. Berikut adalah data kutipan
cerita OOP yang menunjukkan pernyataan tersebut.
“Eh, di masa pembangunan, semua dalang harus kreatif mencipta lakon
yang bersemangat Orde Baru. Dan Gatotkaca Kembar Tiga menceritakan
ada tiga Gatotkaca. Yang satu ber-kampuh warna hijau, satu lagi ber-
kampuh warna merah, dan yang lain ber-kampuh warna lambang GLM. Dan
akhir cerita membuktikan, sang Gatotkaca yang ber-kampuh warna GLM-
lah yang asli. Lainnya palsu dan kerjanya bikin kacau negara.” (OOP: 82)

Orde Baru adalah suatu orde pemerintahan yang dinilai sarat kegiatan
korupsi. Korupsi merajalela di segala aspek dan bidang. Sebenarnya ada upaya
dari pemerintah untuk menumpas korupsi, namun upaya tersebut tidak
menghasilkan sesuatu yang dapat dibanggakan. Amin Rahayu (2005)
menyatakan bahwa pidato kenegaraan Presiden Soeharto di depan anggota
DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967 memberi isyarat bahwa ia bertekad untuk
membasmi korupsi di Indonesia sampai ke akar-akarnya. Wujud dari tekad itu
adalah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung. Pada tahun 1970 muncul protes dari mahasiswa mengenai kinerja TPK
yang dinilai kurang bisa memberantas korupsi. Amin Rahayu lebih lanjut
menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, dan
Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sarang
korupsi.
Protes mengenai TPK ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite
Empat yang beranggotakan Prof. Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo dan A.
199

Tjokroaminoto. Tugas utamanya adalah menyelidiki korupsi di Departemen


Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Akan
tetapi, komite ini hanya sekadar menjadi formalitas saja karena hasil temuannya
tentang dugaan korupsi di Pertamina tidak direspon pemerintah. Setelah itu
muncul Operasi Tertib (Opstib) yang juga bertugas memberantas korupsi. Akan
tetapi, pembentukan Opstib tidak mampu membinasakan korupsi di Indonesia.
Cerita OOP juga membahas mengenai praktik korupsi di Indonesia.
Korupsi yang membudaya pada masa Orde Baru dijadikan salah satu unsur
pembangun cerita oleh Ahmad Tohari dalam OOP. Hal ini ditunjukkan dengan
kutipan cerita OOP berikut.
Maka, apakah kata “korupsi” dikenal dalam sistem kekuasaan kerajaan?
Tidak. Karena bumi, air, udara, dan kekayaan yang terkandung serta
manusia yang hidup di atasnya adalah milik raja dan para pembantunya.
“Korupsi” hanya ada pada kamus negara republik. Tapi republik belum
pernah tegak di negeri ini. (OOP: 149)

2) Institusi Religi
Institusi religi merupakan institusi yang banyak dan bervariasi di dalam
masyarakat, tetapi biasanya terpusat pada suatu pola yang telah mapan dan
perilaku mengenai bagaimana mereka melakukan hubungan dengan supranatural
(Soleman B. Taneko, 1993: 83). Institusi religi berkaitan dengan kepercayaan
supranatural yang diwujudkan dengan praktik-praktik simbolik peribadatan.
Indonesia bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara yang ikut mengurusi
kehidupan beragama masyarakatnya. Oleh karena itu, hak dan kebebasan untuk
memeluk agama diatur dalam undang-undang. Setiap orang memiliki kebebasan
dan hak untuk beragama. Di lain sisi, adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu
juga diakui keberadaannya oleh negara. Pada masa Orde Baru, ada lima agama
yang resmi diakui oleh pemerintah. Lima agama itu adalah agama Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Budha, dan Hindu. Agama Islam adalah agama
dengan pengikut terbesar di Indonesia.
Di dalam RDP dan OOP, ada cerita mengenai mitos yang mengacu pada
animisme. Animisme yang dianut masyarakat termasuk dalam tataran institusi
religi. Selain itu, diungkapkan ajaran-ajaran Islam walau tidak secara eksplisit
200

ditunjukkan dalam teks. RDP dan OOP merepresentasikan masyarakat Jawa.


Oleh karena itu, ada pengungkapan mengenai religiositas masyarakat Jawa.
Animisme dalam cerita RDP dan OOP ditunjukkan dengan kutipan cerita
berikut.
Cerita yang kumaksud adalah sebagian dongeng yang hanya dimiliki oleh
Dukuh Paruk. Konon menurut dongeng tersebut pernah terjadi sepasang
manusia mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena
kutuk setelah berjinah di atas makam Ki Secamenggala. Semua orang
Dukuh Paruk percaya penuh akan kebenaran cerita itu. Kecuali aku yang
meragukannya dan mencurigainya hanya sebagai salah satu usaha
melestarikan keangkeran makam moyang orang Dukuh Paruk itu. (RDP: 68)

“Yah, kita telah disadarkan bahwa ternyata kadar animisme di tengah


masyarakat kita masih lumayan tinggi. Dengarkan Mas kabul, orang sini
percaya misalnya, mayat yang hanyut di sungai bisa mencegah kelongsoran
tebing.” (OOP: 132-133)

Mayoritas penduduk Indonesia―khususnya Jawa―memeluk agama


Islam. Institusi religi masyarakat Jawa dibagi menjadi dua, yakni santri dan
“abangan”. Santri adalah orang Islam yang taat menjalankan ibadah, sedangkan
“abangan” adalah orang-orang Islam yang masih memegang kuat tradisi
kejawen. Santri dan “abangan” berbaur menjadi satu dalam kehidupan
masyarakat Jawa.
Ahmad Tohari digolongkan dalam masyarakat santri. Lingkungan
keluarga Ahmad Tohari adalah lingkungan santri. Ia sudah akrab dengan
lingkungan santri sejak kecil. Ayah Ahmad Tohari adalah ketua Nahdatul Ulama
(NU) tingkat kecamatan yang sekaligus bekerja sebagai pegawai Kantor Urusan
Agama (KUA). Kesantrian keluarga Ahmad Tohari dimulai sejak generasi
ayahnya.
Masyarakat “abangan” masih mempercayai adat-adat kejawen yang telah
diwariskan oleh nenek moyang. Mereka beribadah selayaknya orang Islam,
namun di sisi lain mereka masih melakukan ritual-ritual kejawen. Ritual tersebut
seperti menyimpan pusaka, mengeramatkan suatu tempat, percaya sesajen, dan
lain-lain. Bentuk kebudayaan dan kesenian masyarakat “abangan” seperti
wayang, lengger (ronggeng), kuda lumping, debus, dan lain-lain.
201

Ahmad Tohari hidup di pinggiran Jawa Tengah, tepatnya di Desa


Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. Ahmad Tohari
hidup dalam lingkungan keluarga santri, namun masyarakat di sekitar
lingkungannya mayoritas adalah masyarakat “abangan”. Jadi, kaum santri adalah
kaum yang minoritas di desa Ahmad Tohari. Masyarakat “abangan” di desa
Ahmad Tohari mayoritas masih buta huruf dan hidup bertani di ladang atau
sawah yang kurang subur. Ahmad Tohari tidak selalu hidup di lingkungannya
sendiri. Ia ikut berbaur bersama masyarakat “abangan” di desanya sehingga ia
mengenal ritual-ritual kejawen, bahkan pertunjukkan ronggeng.
Masyarakat Jawa masih banyak yang membenarkan mitos-mitos yang
tidak masuk akal. Masyarakat Jawa mengenal adanya mitos bahwa dalam setiap
pengerjaan proyek-proyek besar ada korban manusia sebagai tumbal. Tumbal
tersebut bertujuan agar pelaksanaan proyek berjalan lancar. Hal ini tercermin
dalam cerita OOP. Hal ini ditunjukkan dengan kutipan cerita OOP berikut.
“Orang di sini percaya bahwa jasad manusia punya mata dan kekuatan yang
besar. Maka mereka percaya setiap jembatan atau bangunan besar lain,
seperti waduk atau bendungan, harus di beri tumbal berupa mayat manusia.
Dan tumbal itu konon bisa macam-macam. Kalau disebut jengger atau ayam
jantan muda, maksudnya adalah perjaka. Kalau disebut babon atau ayam
betina, maksudnya adalah perempuan dewasa. Dan kalau disebut pitik,
maksudnya adalah anak-anak.” (OOP: 133)

Gambaran masyarakat dalam OOP dan RDP masih banyak yang


memegang teguh kearifan lokal yang telah diwariskan oleh nenek moyang
seperti membakar dupa saat akan mengadakan pentas ronggeng. Bentuk-bentuk
kearifan lokal sebenarnya bukan merupakan suatu yang mesti ditentang selama
hal tersebut ditujukan untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia.
Kearifan lokal akan membentuk sebuah keseimbangan antara perilaku manusia
dengan alam tempat tinggalnya.
Berdasarkan pembahasan mengenai fakta-fakta sosial dan struktur sosial,
novel OOP dan RDP mempunyai homologi atau persamaan dengan realitas
sosial di masyarakat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ada homologi antara
struktur teks novel dan struktur sosial yang turut mengondisikan jalinan cerita.
202

BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab IV, diperoleh
simpulan sebagai berikut.
1. Ada keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Orang-orang Proyek
dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Tema dalam
novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, yakni
kritik sosial mendukung keseluruhan unsur intrinsik karena tema adalah
gagasan dasar yang melatari cerita. Penokohan dan hubungan antartokoh
dalam cerita Orang-orang Proyek maupun trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk mendukung terjalinannya plot. Unsur latar berupa latar tempat, waktu,
dan sosial pada kedua novel juga memberi penekanan pada penokohan dan
mendukung terjadinya jalinan cerita/plot. Sudut pandang pada kedua novel
tersebut adalah omniscient narratif sehingga memberi kontribusi yang bebas
bagi pengarang dalam menjalin semua unsur berdasarkan posisinya sebagai
pengarang. Selain itu, keterjalinan antarunsur intrinsik dalam cerita novel
Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk dapat
dikatakan baik karena telah memenuhi hukum plot, yakni adanya plausibility,
surprise, suspense, dan unity.
2. Pandangan dunia Ahmad Tohari dalam novel Orang-orang Proyek dan
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah pandangan humanisme universal yang
terdiri dari pandangan religius, kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan
nilai moral. Pandangan religius Ahmad Tohari menunjukkan bahwa Ahmad
Tohari tidak mempercayai adanya mitos. Pandangan kesenian, budaya, dan
nilai moral Ahmad Tohari menunjukkan ajakan untuk menjaga nilai
keluhuran seni budaya dan idealisme. Pandangan sosial Ahmad Tohari
menunjukkan adanya komitmen Ahmad Tohari untuk memberikan kontribusi
dalam memperjuangkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Pandangan
politik dan ekonomi Ahmad Tohari menunjukkan penolakan Ahmad Tohari
203

terhadap kegiatan korupsi, labelisasi komunis, dan kegiatan ekonomi


kapitalis.
3. Struktur Sosial dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk berkaitan dengan fakta-fakta sosial dalam
lingkungan Ahmad Tohari. Struktur sosial dalam kedua novel dibagi menjadi
dua, yakni institusi pemerintahan dan institusi religi. Institusi pemerintahan
dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk menunjukkan struktur sosial pada
masa transisi Orde Lama dan Orde baru, sedangkan pada novel Orang-orang
Proyek menunjukkan struktur sosial pada pertengahan Orde Baru. Selain itu,
pada trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk terjadi pertentangan antara
masyarakat, pemerintah, dan Partai Komunis Indonesia, sedangkan pada
novel Orang-orang Proyek hanya terjadi pertentangan antara masyarakat dan
pemerintah. Institusi religi menunjukkan struktur religi masyarakat Jawa
dibagi menjadi dua golongan, yakni santri dan “abangan”. Ada kaitan dan
homologi antara struktur teks dan struktur sosial dalam novel Orang-orang
Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk.

B. Implikasi
Penelitian ini merupakan kajian terhadap karya sastra, yakni novel
Orang-orang Proyek dan kaitannya dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
dengan pendekatan strukturalisme genetik. Hasil penelitan memberi deskripsi
mengenai keterjalinan antarunsur intrinsik masing-masing novel, pandangan
dunia pengarang, dan struktur sosial yang ikut mengondisikan terjadinya jalinan
cerita novel. Selain itu, hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek
lain yang relevan dan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dijelaskan
sebagai berikut.
1. Implikasi pada Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia
Penelitian dengan judul “Novel Orang-orang Proyek dan Kaitannya
dengan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Analisis Strukturalisme
Genetik)” memiliki kaitan dengan pembelajaran apresiasi sastra, yakni
pembelajaran teori dan apresiasi novel. Apresiasi novel dalam pembelajaran
204

seharusnya tidak hanya sebatas pada telaah struktur, namun harus menuju ke
tataran sosiologis yang ikut mengondisikan terciptanya novel tersebut. Dengan
demikian, pemahaman siswa terhadap suatu novel lebih holistik. Siswa tidak
hanya diarahkan pada pengertian-pengertian tekstual, namun diarahkan ke
pemahaman terhadap realitas sosial yang berkaitan dengan isi novel. Selain itu,
hasil penelitian ini dapat dikembangkan sebagai pola pembelajaran apresiasi
novel kepada siswa untuk menunjang kemampuan kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran pendidik yang tidak
sekadar menyampaikan kaidah pemahaman struktur, tetapi juga menyampaikan
pandangan dunia dan struktur sosial yang turut mengondisikan terciptanya
novel.
Novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
dapat dijadikan alternatif materi pembelajaran apresiasi sastra di kelas XI SMA
dengan batasan usia minimal 16 tahun. Batasan usia tersebut berdasarkan
penahapan usia oleh Moody (dalam Nafron Hasjim, dkk., 2001: 30) yang
menggolongkan anak usia 16 tahun ke atas ke dalam the generalizing stage.
Seorang anak dalam usia tersebut sudah memliki kemampuan seperti
menggeneralisasikan permasalahan, berpikir abstrak, menentukan sebab pokok
suatu gejala, dan memberikan keputusan yang bersangkut paut dengan moral.
Oleh karena itu, jenis dan ragam karya yang diberikan dapat meliputi apa saja
(Suminto A. Sayuti dalam Nafron Hasjim, dkk., 2001: 30). Selain itu, silabus
pada jenjang SMA kelas XI mengandung standar kompetensi berupa memahami
berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan. Standar kompetensi
tersebut memuat kompetensi dasar berupa menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.
Novel Orang-orang Proyek dapat diapresiasi secara bebas oleh siswa
karena pengarang banyak menyampaikan pesan-pesan secara eksplisit dalam
cerita. Akan tetapi, pemberian materi dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk menuntut guru untuk membimbing dan mengarahkan siswa dalam
mempelajari trilogi novel tersebut. Trilogi novel tersebut memang sarat dengan
nilai sosial dan moral, namun pengarang sering menyampaikannya secara
205

implisit. Cerita dalam trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk seperti bukak
klambu, kata-kata kotor, dan adegan yang cenderung tidak senonoh perlu
mendapat bimbingan dan arahan dari guru. Selain itu, struktur sosial novel
Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk berkaitan dengan
sejarah politik di Indonesia sehingga kedua novel ini bagus untuk dijadikan
alternatif materi ajar karena berhubungan dan menunjang bidang lain, yakni
pelajaran Sejarah.

2. Implikasi pada Aspek Keteladanan


Penelitian ini membahas pandangan dunia pengarang yang diwakili oleh
tokoh hero dan hubungannya dengan tokoh lain. Tokoh hero adalah tokoh yang
mengalami dan menyelesaikan berbagai macam problematika sehingga tokoh
tersebut dapat memberi keteladanan. Tokoh Kabul dalam novel Orang-orang
Proyek adalah tokoh yang memperjuangkan idealisme. Oleh karena itu, tokoh
Kabul dapat dijadikan sebagai teladan dalam masyarakat. Tokoh Rasus dalam
trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk melakukan pencarian jati diri dengan
keluar dari Dukuh Paruk. Rasus juga menentang bentuk-bentuk mitos dan
eksploitasi wanita dalam peronggengan. Oleh karena itu, tokoh Rasus pun dapat
dijadikan sebagai teladan. Siswa juga dapat merefleksikan isi cerita dengan
realitas di sekitarnya. Siswa akan mampu menilai seseorang yang dapat
dijadikan teladan bagi dirinya.

3. Implikasi pada Bidang Pelestarian Seni Budaya Jawa


Di dalam penelitian ini dibahas mengenai pandangan kesenian dan
budaya Ahmad Tohari dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk. Ada nilai-nilai seni budaya yang diejawantahkan dalam
cerita kedua novel. Nilai-nilai seni budaya tersebut mencakup nilai-nilai dalam
wayang, lagu-lagu Jawa, dan seni lengger/ronggeng. Seni budaya tersebut harus
dijaga kelestariannya dengan syarat terlepas dari hal-hal yang bersifat negatif.
Hal-hal negatif yang perlu ditinggalkan seperti adanya ritual bukak klambu,
206

ritual pembakaran dupa bagi arwah nenek moyang, dan pemasangan susuk
dalam dunia peronggengan karena hal tersebut melanggar norma agama.
Keberadaan novel Orang-orang Proyek dan Ronggeng Dukuh Paruk
memberi ruang untuk mewujudkan apresiasi dan pelestarian seni budaya Jawa
tersebut dalam bentuk teks. Hal tersebut mengafirmasi bahwa pelestarian seni
budaya Jawa tidak hanya terbatas dalam bentuk fisik saja, namun dapat dengan
cara mengangkatnya sebagai cerita novel. Dengan demikian, pembaca novel
dapat ikut mengapresiasi seni budaya Jawa yang termaktub dalam novel.
Proses pelestarian seni budaya Jawa kemudian dapat lebih dikembangkan
secara lebih sistematis. Aplikasi yang lebih mudah adalah sebagai media
pendidikan. Penyelenggaraan pembelajaran sastra menjadi salah satu sarana
yang bisa diandalkan. Sistematika yang dimiliki proses pembelajaran bisa
menempatkan karya sastra ini sebagai bahan ajar apresiasi karya sastra.

4. Implikasi bagi Pembaca Karya Sastra


Pembaca karya sastra dapat memosisikan dirinya dari berbagai perspektif
ketika membaca novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk.. Dalam hal ini, pembaca adalah seseorang dengan batas usia minimal 16
tahun karena usia ini seseorang sudah cukup mampu menggeneralisasikan
masalah dan mampu memilah hal yang positif dan negatif. Pembaca dapat
memosisikan dirinya sebagai apresiator atau bahkan peneliti. Pengapresiasian
dan penelitian karya sastra akan mampu memberikan pandangan positif bagi
masyarakat terhadap eksistensi sastra.
Penelitian novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh
Paruk dapat memberikan persepsi positif bagi masyarakat. Simpulan penelitian
yang mengungkap bahwa ada kaitan dan homologi antara struktur teks dan
struktur sosial memberi pemahaman bahwa suatu cerita novel tidak hanya
imajinatif saja. Akan tetapi, suatu cerita novel berdasar pada suatu realitas
kehidupan. Hal ini akan mengikis persepsi masyarakat yang menganggap sastra
hanya hasil rekaan/khayalan. Selain itu, pembaca novel dapat mengomparasikan
cerita novel dengan realitas kehidupan sebagai bahan refleksi diri.
207

5. Implikasi pada Bidang Pengembangan Penelitian Sastra


Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan bagi pengembangan
penelitian sastra. Pengembangan ini mengacu pada aspek kuantitas dan kualitas.
Aspek kuantitas mengacu pada bertambahnya hasil penelitian sastra. Hasil
penelitian ini akan menjadi dokumen yang dapat memberi informasi kepada
pembaca sekaligus dapat dijadikan referensi bagi peneliti sastra di masa
mendatang. Aspek kualitas mengacu pada pengembangan penelitian sastra
dengan pendekatan strukturalisme genetik. Selain itu, adanya penelitian sastra
ini juga mampu memberikan sumbangan positif terhadap peningkatan kualitas
penelitian ilmiah dalam bidang sastra.

C. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, peneliti memberikan saran-saran sebagai
berikut.
1. Saran kepada Guru Bahasa dan Sastra Indonesia
Novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
dapat digunakan oleh guru sebagai alternatif materi pembelajaran apresiasi sastra
di kelas XI SMA karena sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar
pada silabus. Penelitian dengan judul “Novel Orang-orang Proyek dan
Kaitannya dengan Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk (Analisis
Strukturalisme Genetik)” juga dapat dijadikan acuan bagi guru dalam
memberikan materi sastra dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia.
Pemberian materi mengenai novel oleh guru seharusnya tidak hanya terpancang
pada penelaahan unsur-unsur intrinsik saja, namun berlanjut pada pandangan
dunia dan struktur sosial yang mampu memberikan pemahaman yang
menyeluruh terhadap cerita novel. Dengan demikian, siswa tidak hanya
memperoleh pemahaman cerita dalam novel secara tekstual, namun siswa
memperoleh pandangan-pandangan positif yang dituangkan pengarang dalam
novel. Siswa juga dapat mengetahui latar belakang sosial terbentuknya cerita
novel berdasarkan realitas kehidupan.
208

2. Saran kepada Siswa


Siswa sebaiknya lebih intens memperdalam materi sastra dengan
membaca novel dengan mengaitkannya dengan realitas kehidupan. Siswa akan
mendapat pengalaman dan pengetahuan dengan membaca novel. Semakin
banyak membaca novel, pengalaman dan pengetahuan siswa akan bertambah.
Siswa diharapkan mampu memilah hal-hal positif dan negatif yang terdapat
dalam novel. Hal-hal negatif dalam cerita novel Orang-orang Proyek dan trilogi
novel Ronggeng Dukuh Paruk, seperti animisme, kata-kata kotor, dan adegan-
adegan yang cenderung tidak senonoh harus dijauhi oleh siswa. Hal-hal positif,
seperti memperjuangkan nilai-nilai humanisme dan mempertahankan idealisme
adalah hal-hal positif yang dapat dipetik oleh siswa. Nilai-nilai positif tersebut
dapat menjadi dasar bagi siswa untuk menerapkannya dalam berperilaku di
masyarakat. Pembacaan novel secara menyeluruh diharapkan akan memberi
ruang bagi siswa untuk berkontemplasi, membuka wawasan, dan peka terhadap
masalah-masalah sosial.

3. Saran kepada Pembaca Karya Sastra


Pembaca sebaiknya mengimplementasikan nilai-nilai positif dalam karya
sastra yang telah dibacanya dalam berperilaku di masyarakat. Nilai-nilai positif
dalam novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk,
seperti sikap memperjuangkan nilai-nilai humanisme, tidak mempercayai mitos,
dan mempertahankan idealisme. Novel Orang-orang Proyek dan trilogi novel
Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah materi bacaan sastra yang
berkualitas sehingga masyarakat disarankan untuk membacanya.

4. Saran kepada Peneliti Lain


Peneliti lain sebaiknya terus mengembangkan penelitian ilmiah dalam
bidang sastra agar mampu mengangkat eksistensi sastra di masyarakat. Novel
Orang-orang Proyek dan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari adalah novel yang berkualitas. Oleh karena itu, peneliti lain hendaknya
dapat menelaah novel ini dengan pendekatan lain.
209

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak Zaidan, dkk. 2001. Pedoman Penyuluhan Apresiasi Sastra.


Jakarta: Pusat Bahasa.

Ahda Imran. 2009. ”Pluralisme Gus Dur” dalam http://newspaper.pikiran-


rakyat.com/prprint.php?mib= beritadetail&id=120571. Diunduh
pada 10 Februari 2010.

Ahmad Tohari. 2007. Orang-orang Proyek. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama.

________. 2009. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama.

Albertine Minderop. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta:


Yayasan Obor.

Amin Rahayu. 2005. ”Sejarah Korupsi di Indonesia” dalam


http://swaramuslim.net/siyasah/more.php?id=2222_0_6_0_M.
Diunduh pada 10 Februari 2010.

Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orba di


Tengah Pusaran Demokrasi. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indah.

Budi Darma. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press.

Chennells, A.J. 1993. “Marxist and Pan-Africanist Literary Theories and a


Sociology of Zimbabwean Literature”. Zambezia, XX (ii):128-129.

D. Zawawi Imron. 2008. Maret 30. Mengaji Srintil. Jawa Pos.

Deddy Hernandy Oekon dan Siti Chamamah Soeratno. 2004. “World


View of Natsume Soseki in Shanshiro: A Study of Sociology of
Literature”. Jurnal Humanika. Juli, No. 3, (17): 325-339.

Dick Hartoko & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra.


Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik


sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
210

_______. 2002. Kelangsungan: Hubungan Teori dengan Kritik Sastra


Indonesia. Majalah Horison edisi XXXV, Januari, hal. 9-19.

Goldmann, Lucien. 1977. Towards in the Sociology of the Novel. Trans.


Alan Sharidon. London: Tavisteek Publication.

H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan


Penerapannya dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.

Henry G. Tarigan. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:


Angkasa.

Herman J. Waluyo. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas


Maret University Press

________. 2002. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta:


Hanindita Graha Widya.

Horton, Paul B. & Hunt, Chester L. 1996. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.

Iswanto. 2003. “Penelitian Sastra dalam Perspektif Strukturalisme


Genetik” dalam Metodologi Penelitian Sastra (Jabrohim, ed.).
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Jafar Sidik. 2009. “Biografi Gus Dur” dalam


http://www.antara.co.id/berita/1262186533/biografi-gus-dur.
Diunduh pada 10 Februari 2010.

Jakob Sumardjo & Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:


Gramedia.

Jiwa Atmaja. 2009. Kritik Sastra Kiri. Bali: Udayana Univesity Press.

Kamanto Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi Kedua). Jakarta:


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Layiwola, Dele. 1998. “The Subject-Object Imperative: Women and The


Colonial Struggle in Three West African Novels”. African Study
Monographs, 19 (3): 149-160.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick
Hartoko). Jakarta: PT. Gramedia.

Mardalis. 2007. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta:


Bumi Aksara.
211

Miles, Mattew B. & Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif


(Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press.

Misbahus Surur. 2008. Maret 23. Mengais Realitas dalam Novel Sejarah.
Jawa Pos.

Muh. Nurachmat Wirjosutedjo & Rachmat Djoko Pradopo. 2004.


“Marjinalisasi Perempuan dalam Bekisar Merah dan Belantik karya
Ahmad Tohari: Tinjauan Kritik Sastra Feminis”. Jurnal Humanika.
Juli, No. 3, (17): 309-323.

Nafron Hasjim, dkk. 2001. Pedoman Penyusunan Bahan Penyuluhan


Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Novia Maharani Handayani. 2006. “Novel Opera Jakarta Karya Titi


Nginung (Tinjauan Strukturalisme Genetik)”. Skripsi: tidak
dipublikasikan.

Nugraheni Eko Wardani. 2009. Makna Totalitas dalam Karya Sastra.


Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Nur Latifah US. 2007. Indonesian Writer’s Bibliophiles. Solo: Penerbit


Katta.

Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

_________. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan


Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_________. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Panuti Sudjiman. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Pemerintah Kabupaten Banyumas. 2009. ”Lengger” dalam


http://www.banyumaskab.go.id/v2009/berita/index.php?idm=&jns=
1&idkb=6&id_beritaawal=1538&id_berita=1538. Diunduh pada 10
Februari.

Rachmat Djoko Pradopo. 2005. Beberapa Teori sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
212

Raman Selden. 1991. Panduan pembaca Teori Sastra Masa Kini


(Terjemahan Rachmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.

Republika. 2007. “Menjenguk Tuhan Lewat Orang Kecil” dalam


http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=293048. Diunduh
pada 10 Februari 2010.

Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan


Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat.

Siti Ajar Ismiyati. 2000. “Pupus Kang Pepes Karya Suharmono Kasiyun:
Tinjauan Tema dan Fakta Cerita”. Jurnal Widyaparwa. September,
No.55: 158-171.

Soerjono Soekanto. 1984. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur


Masyarakat. Jakarta: Rajawali.

Soleman B. Taneko. 1993. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar


Sosiologi Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (Terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi
Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Jakarta: Rineka Cipta.

Sunaryo Basuki Ks. 2006. Sastra Kita Numpang “Nampang”. Yogyakarta:


Penerbit Pinus.

Suparman. 1999. “Some Values of Learning English Literature”. MIBAS.


Tahun Ke-11, No. 21: 79-90.

Suroto. 1989. Apresiasi Sastra indonesia. Jakarta: Erlangga.

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi,


Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS UNY.

Taufiq Ismail. 2000. “Pengajaran Sastra yang Efektif dan Efisien di


SLTA”. Jurnal Widyaparwa. Maret, No. 54: 115-123.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
213

T. Widijanto. 2009. “Sastra sebagai Pembelajaran Manusia-Bangsa dan


Problematika Pengajarannya”. Littera. Tahun Ke-2. No. 9: 2-14.

Tirto Suwondo. 2003. “Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan


dalam Penelitian Sastra” dalam Metodologi Penelitian Sastra
(Jabrohim, ed.). Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Titik Maslikatin. 2003. “Belenggu Karya Armijn Pane: Kajian


Strukturalisme Genetik”. Jurnal Argapura. 23, No. 1: 1-20.

Wellek, Rene & Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan (Terjemahan


Melanie Budianta). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Wijang J. Riyanto, dkk. 2006. Proses Kreatif Ahmad Tohari dalam Trilogi
Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Surakarta: Taman Budaya Jawa
Tengah

Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

Yayasan Umar Kayam. 2008. “Biografi Singkat” dalam


http://www.umarkayam.org/index.php?option=com_content&task=v
iew&id=42&Itemid=47. Diunduh pada 10 Februari 2010.

Yudiono K.S. 2000. “Esei Pendek tentang Kekuasaan dalam Novel-novel


Ahmad Tohari” dalam Sastra: Ideologi, Politik, dan Kekuasaan
(Soediro Satoto dan Zainuddin Fananie, ed.). Surakarta:
Muhammadiyah University Press.

Zainuddin Fananie. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah


University Press.

Anda mungkin juga menyukai