Anda di halaman 1dari 5

6/3/2019 Roh Kudus menggugat … | tepian sempadan - a blog by leonard c.

epafras

tepian sempadan – a blog by leonard c. epafras

to a ‘vast dark continent’ that one could never hope to


explore fully … all one could do was sail around it,
disembark at different points, and make narrow treks
through the jungle ahead (daniel ogden)

Roh Kudus menggugat …

This entry was posted on May 30, 2019, in Refleksi. Bookmark the permalink. Leave a comment
Tulisan menyambut Pentakosta:

Kisah Para Rasul 4:32 – 5:26-42

Leonard Chrysostomos Epafras

Bacaan ini adalah locus classicus pertarungan antara kelompok agama mapan dan kelompok baru.
Skenario sosiologis klasik ini ditunjukkan dengan terjadinya ketegangan antara otoritas agama
Yahudi masa itu berhadapan dengan cikal bakal sekte/mazhab (haireseōs) Nasrani (Kis. 24:5) sebagai
cikal bakal gereja perdana, persis setelah Kisah Para Rasul season 1 episode 4 tentang Pentakosta.

Biasalah kalau kelompok agama mapan kebakaran jenglot jika muncul kelompok baru yang memberi
alternatif model keagamaan baru, terlebih kalau kelompok baru itu “mencuri domba” dari yang
lama. Ketegangan semacam di atas bisa dipahami dengan pertolongan teori sosiologis tentang “jarak
sosial” (social distance). Yaitu dengan mengamati bagaimana “kita” dan “mereka”, “kalangan sendiri”
dan “kalangan luar,” dan istilah-istilah sejenis dibentuk di dalam teks. Ada jarak sosial yang bersifat
afektif, ada juga yang normatif dan interaktif. Dalam bacaan kita bagian polemik ayat 27-39
kelihatannya menjadi indikasi jarak sosial yang sedang dibentuk.

Kisah ini bukan saja menceritakan kisah heroik para rasul setelah mengalami collective effervescence,
ketika beramai-ramai, borongan dan menular muncul perasaan meluap-luap, berbuih-buih, secara …
turunnya Roh Kudus membuat mereka berani memberitakan injil. Kisah ini juga menceritakan
benturan dengan struktur agama mapan, yang diwakili oleh Mahkamah Agama (MA) Yahudi yang
disebut Sanhedrin.

Dalam bacaan ada beberapa indikasi jarak-jarak sosial, misalnya frasa “mereka [pengawal Bait Allah]
takut, kalau-kalau orang banyak melempari mereka,” “Imam Besar … menanyai mereka”, “dengan
keras kami melarang,” “Kita harus lebih taat,” termasuk tindakan kekerasan menyesah dan
melarang. Ayat 17 yang menyinggung sikap “iri hati” dari anggota Sanhedrin, dalam bahasa
sosiologis merupakan indikasi jarak sosial afektif yang perlahan terbentuk. Bukan simpati atau
empati yang muncul, tetapi perasaan berjarak dan berkompetisi. Jarak sosial itu bisa juga dideteksi
https://ruangberbagiku.wordpress.com/2019/05/30/roh-kudus-menggugat/ 1/5
6/3/2019 Roh Kudus menggugat … | tepian sempadan - a blog by leonard c. epafras

dalam ucapan Gamaliel pada ayat 38-39, yang mungkin adalah kalimat-kalimat polemik yang
dikenakan pada Gamaliel. Ia adalah seorang Rabi besar yang sangat dihormati dalam tradisi
Yudaisme dan guru Rasul Paulus, sehingga penting melihat posisinya karena berada dalam silang
antara tradisi Kristen dan Yudaisme. Sebagai dokumen agama Kristen, bagian Kisah Para Rasul ini
seakan-akan mau mengatakan lewat mulut Gamaliel bahwa Yudaisme mainstream melawan
kehendak Allah karena menentang munculnya “Kekristenan.” Kalau tradisi Kristen (jemaat Lukas)
menaruh kata-kata dalam ayat 39 pada mulut Rabi Gamaliel, perkataan serupa oleh tradisi Yudaisme
Rabinis justru tercatat diucapkan oleh cicit Gamaliel yang bernama Rabi Yokhanan. Jadi arena
polemik antaragama pun menjadi bagian dari dinamika penciptaan jarak sosial ini.

Bagian penting dari perspektif ini adalah perkataan Petrus dan rasul-rasul pada ayat 29 dan
seterusnya. Ketika dilarang dengan keras oleh MA supaya tidak mengajarkan nama Yesus, jawaban
Petrus aneh, dan seakan mempertanyakan asumsi teologis mereka. Perkataan dengan penuh wibawa,
“Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu” (ay. 28), dibalas dengan, “Kita harus
lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia … dan kami adalah saksi … kami dan Roh Kudus,
yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia” (ay. 29 dan 32). Wajar jika reaksi
anggota MA keras: Dasar noob, kemaki! Majnun benar mereka mempertanyakan ketaatan (kita) dan
menyatakan (kita) ga punya Roh Kudus! Memangnya mereka siapa? Wah ini sih keterlaluan.
“Tenggelamkan!!”

Jauhan Malang dari Merapi, jauh panggang dari api, alias ga nyambung. Kan harusnya kalau dilarang
mengajarkan tentang nama itu, ya dibalas dengan pertanyaan, kenapa dilarang? Lalu dilanjutkan
dengan pledoi Petrus dengan judul “Roh Kudus Menggugat.” Lebih keren, dan akan mendapat like,
gelembung love, reshare, dan setidaknya 1495 komen “semangat kakak.” Tapi ini koq dijawab “Kita
harus lebih taat bla bla bla.” Halah.

Niatan Petrus pertama-tama mau menunjukkan bahwa gerakan mereka bukan gerakan asing yang
jauh dari iman Yahudi pada umumnya. Tetapi juga mau mengritik jika MA ternyata “tidak taat”
pada Allah. Sampai di sini ada penciptaan jarak sosial normatif, yaitu ketika terjadi diskusi tentang
seberapa sama dan bedanya antara dua kelompok, baik dari sisi ajaran maupun pengalaman iman.
Juga ada penciptaan jarak sosial interaktif di antaranya karena mereka sangat intens berjumpa di
ruang publik (Serambi Salomo), di ruang publik terbatas (MA), serta berbagi keyakinan karena
keduanya berasal dari tradisi Yudaisme masa itu. Sehingga tidak heran sengit dan menyakitkan
karena mereka berbicara dalam kosa kata yang sama, tema yang sama, tapi dari sudut pandang,
makna dan detil pengalaman iman yang berbeda. Girard sudah bilang kalau permusuhan paling
sengit ya antara saudara sekandung (frères ennemis), antara mereka yang berasal dari agama yang
sama.

Krisis antarkelompok agama memang sering muncul dalam bentuk pertarungan asimetrik di antara
keduanya, pertarungan yang lahir dari alam dan pola pikir yang berbeda. Antara struktur mapan
yang menekankan pada ajaran alias afirmasi rasional dibanding kelompok baru yang menekankan
pengalaman beriman.

Zaman sekarang Petrus dan kelompoknya ibarat micro-preacher yang sangat populer dengan Holy
Spirit Ministry-nya. Sementara MA dibayangkan misalnya sejenis gereja yang mempertahankan iman
Kalvinis dengan gigih. Kelompok mapan mempunyai perangkat organisasi yang terstruktur (bahkan
ada satpam, pontifical swiss guard, dll.), sementara kelompok baru subversif bersifat cair, luwes,
jejaring, struktur sederhana, sering kali terdiri dari unit-unit terpisah (rizomik) yang mandiri dan
dapat beradaptasi dengan keadaan secara cepat. Seringkali juga narasi penderitaan dan martir
sebagai pengorbanan bagi cita-cita yang lebih besar didengungkan – “Rasul-rasul itu meninggalkan
sidang MA dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita penghinaan oleh karena

https://ruangberbagiku.wordpress.com/2019/05/30/roh-kudus-menggugat/ 2/5
6/3/2019 Roh Kudus menggugat … | tepian sempadan - a blog by leonard c. epafras

Nama Yesus,” suatu tradisi yang berpadanan dengan tradisi martir Yahudi sejak zaman Romawi
yang disebut qiddush ha-Shem (menguduskan nama Tuhan, yaitu mati mempertahankan iman Yahudi,
berasal dari Im. 22:32).

Orang mungkin dengan mudah bersimpati dan mengidentifikasi diri dengan kelompok baru yang
subversif ini. Lebih asik, dinamis dan jaman now abiss. Apalagi sebagai pembaca Kristen masa lalu
dan masa kini, polemik dalam bacaan menjadi penegas perbedaan antara agama Yahudi dan Kristen.
Dan dari pertarungan itu, Kristen lah pemenangnya!! Yeyy.

Euforia tumbuhnya sekte Nasrani yang kemudian menjadi Kekristenan, mengantarkan pada
permusuhan berabad-abad antara Kekristenan dan Yudaisme yang tragis. Lupa bahwa Kekristenan
perdana yang cair, egaliter dan penuh kuasa roh juga bisa berubah mengerak, mengeras, dan menjadi
sistem. Ketegangan gereja-gereja historis dan gereja-gereja dan gerakan Kristen independen masa
kini mencerminkan situasi ini.

Bacaan kita ini menyarankan hal lebih jauh bahwa kedua belah pihak punya tantangannya sendiri.
Analisa jarak sosial hanyalah permulaan. Sebab kita pun bisa melihat bukan saja pertentangan tetapi
juga fusion of horizon, perjumpaan cakrawala. Ada ufuk yang ditatap bersama. Yaitu bahwa kedua
model seberapapun perbedaan yang ditekankan, berada dalam tataran pengalaman iman, sosial,
politis yang sama. Kosa kata dan khazanah teologisnya sering bertumpang tindih.

Seperti telah disinggung di atas, Petrus sebagai seorang Yahudi menegaskan bahwa gerakannya
bukan gerakan asing. Bahkan ia menggunakan kosa kata yang sama dengan anggota MA, “Allah
nenek moyang kita,” “tangan kanan,” “Juruselamat” (messiah), “bertobat” (t’shuvah), Roh Kudus
(ruakh ha-qodesh) dan seterusnya. Karena itu mereka sebenarnya berjalan beriringan dan menapak
satu alur sejarah.

Jika dibaca sejak 4:32 maka tampak bahwa keduanya, Petrus dan MA (lewat Gamaliel) menghadapi
persoalan sama, yaitu penindasan kolonial Romawi. Penindasan dari bacaan teks bisa dideteksi
berupa ketidak adilan, distribusi kekayaan yang tidak merata, moral masyarakat yang merosot, dan
pemberontakan. Kondisi ini sering diperburuk karena lembaga agama yang mapan tidak berbuat
apa-apa atau malah turut memperburuk. Roh Kudus menggugat kondisi ini melalui gerakan Petrus
dan kawan-kawan. Gerakan ini membuat terobosan melalui kuasa Roh Kudus untuk mengatasi tiga
hal yang di atas, sementara ucapan Gamaliel menyasar soal pemberontakan terhadap penindasan
kolonialisme. Pada akhirnya Petrus dan Gamaliel memberikan solusi melalui ketaatan kepada Allah.

Petrus sebagai wakil dari gerakan baru yang subversif menegaskan pentingnya “ketaatan” pada
suprastruktur yaitu Allah sendiri melalui kuasa Roh Kudus yang menghidupkan, memulihkan
(mujizat-mujizat). Kuasa roh memberi kekuatan untuk memulihkan diri dari komodifikasi hak milik
(4:34-37), melaluinya ada keberanian untuk melakukan redistribusi kekayaan. Demikian juga, pada
ayat 16, istilah “orang sakit” dan “diganggu roh jahat” menurut Kisah Para Rasul biasanya berkaitan
dengan kemiskinan, status sosial rendah, dan eksploitasi ekonomi. Selanjutnya memperbaiki
integritas moral melalui kisah Ananias dan Safira (5:1-10). Runtuhnya integritas moral dalam konteks
kolonialisme tidak lepas dari tuntutan berwajah dua antara kalangan sendiri dan penguasa. Tetapi
kasus ini menunjukkan juga rawannya manuver manusia di antara ruang privat dan ruang publik
terhadap modus penciptaan pseudo-personality, mirip-mirip dengan dunia medsos saat ini di mana
ada aktivitas presentasi diri yang menjadi tabir dari kenyataan privat. Menurut teks, kuasa Roh
Kudus memampukan komunitas Kristen perdana melihat tidak nyambungnya ke dua ruang tersebut
dan memanggil bangsa Yahudi untuk kembali pada integritas moral yang utuh sebagai bagian dari
proses penebusan.

https://ruangberbagiku.wordpress.com/2019/05/30/roh-kudus-menggugat/ 3/5
6/3/2019 Roh Kudus menggugat … | tepian sempadan - a blog by leonard c. epafras

Ketaatan kepada Allah yang dikaitkan dengan kuasa Roh Kudus (Petrus dan kawan-kawan)
dalam menggugat dan memulihkan kenyataan sosial, serta ketaatan kepada Allah melalui
kematangan iman yang mampu menenggang perbedaan (Gamaliel) itulah yang kita butuhkan
saat ini.

Ketaatan kepada Allah versi Gamaliel mempunyai dimensi sosial politik dan hubungan
lintaskelompok yang berbeda. Dimensi politik ditunjukkan dengan ketegangan bangsa Yahudi
terhadap gerakan-gerakan nasionalis keagamaan yang bertebaran zaman itu. Kata-kata Imam Besar
“menanggungkan darah Orang itu kepada kami” (ay. 28) adalah manifestasi ketegangan sejarah itu
di mana bangsa Yahudi selalu kuatir jika muncul gerakan keagamaan baru akan mengundang
penguasa kolonial campur tangan dan akibatnya berdampak bagi seluruh bangsa. Gerakan yang
gagal berarti penggeledahan, pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak bersalah, persekusi
masal, polarisasi di tengah masyarakat, beredarnya hoaks, disinformasi, dan seterusnya. Mirip
seperti di Indonesia ketika gerakan sosial terjadi di era kolonial Belanda. Itu sebabnya Yudaisme
Rabinis pada periode selanjutnya menekankan pada konsensus para rabi dan bukan pada karisma
individual akibat kegagalan berkali-kali gerakan semacam itu.

Di tengah kondisi ini sikap Petrus dan Gamaliel menggambarkan kontras. Petrus menafsir ketaatan
pada Allah dalam kaitan dengan kuasa Roh Kudus. Gamaliel menafsirkan ketaatan pada Allah
dalam kaitan dengan menekan sentimen kelompok atas perbedaan keyakinan. Keduanya benar.

Petrus dan kelompoknya sedang mengalami fase euforia keagamaan. Manifestasinya luar biasa
dalam bentuk mujizat-mujizat yang terjadi. Tapi sebagaimana umumnya euforia keagamaan ia bisa
tergoda memegang keyakinan yang eksklusif dan terpenjara dalam gelembung pengalamannya
sendiri (ay 32, “kami dan Roh Kudus”). Di zaman sekarang, hal ini ibarat orang Kristen yang hidup
dalam epistemic bubble, yang kalau kepeleset bisa jatuh pada hedon rohani yang kadang bikin gumoh.
Apalagi di konteks Indonesia saat ini yang sedang “mabuk agama,” efeknya tambah kuat dengan
polarisasi lintasagama yang tidak peduli pada perbedaan.

Gamaliel lebih matang dan terbuka daripada Petrus yang belum melihat cakrawala karya Allah di
luar pengalamannya sendiri. Gamaliel mengingatkan bahwa semangat yang sama juga terjadi
terhadap pengikut Teudas (Todah) dan Yudas (Yehudah ha-G’lili/ha-Gamla). Argumennya adalah
lanjutan dari pernyataan Petrus (ayat 29), bahwa kita harus taat kepada Allah daripada kepada
manusia. Punch linenya adalah, “Biarkanlah mereka.” Kekuatan untuk mengatakan “biarkanlah” bisa
jadi karena putus asa, ga peduli, atau sengit. Tapi bisa juga lahir dari kematangan iman dan
kedalaman pengamatan atas hidup manusia. Ia memberi ruang pada hati manusia untuk siap
menerima perbedaan, mendelegasikan evaluasi purna atas apapun, termasuk gerakan keagamaan
pada kebijaksanaan Allah. Bukan manusia ukurannya, tetapi sejarah yang diawasi oleh Allah.
Menurut bacaan ia menyiratkan bahwa para rekan sejawatnya bisa melawan Allah jika
mendahulukan rasa sengit terhadap perbedaan, dan mengintervensinya melalui penindasan
kelompok lain.

Era poskolonial saat ini mungkin tidak banyak melakukan kekerasan fisik langsung dalam konflik
lintasgereja, tetapi kekerasan simbolik, verbal dan panoptik (kekerasan terhadap representasi pihak
lawan, sebagai contoh bagi yang lain) hampir selalu ada. Bacaan kita mengingatkan kapasitas itu jika
berada dalam posisi mapan sebab terlalu banyak yang harus dipertaruhkan, harga diri, aset, jumlah
anggota, pengaruh, dan sebagainya. Sosok Gamaliel menunjukkan bahwa kelompok mapan tidaklah
homogen, selalu ada peluang suara yang menetralisir ketegangan.

Ketaatan kepada Allah yang dikaitkan dengan kuasa Roh Kudus (Petrus dan kawan-kawan) dalam
menggugat dan memulihkan kenyataan sosial, serta ketaatan kepada Allah melalui kematangan
iman yang mampu menenggang perbedaan (Gamaliel) itulah yang kita butuhkan saat ini.

https://ruangberbagiku.wordpress.com/2019/05/30/roh-kudus-menggugat/ 4/5
6/3/2019 Roh Kudus menggugat … | tepian sempadan - a blog by leonard c. epafras

Pada akhirnya semua posisi dapat diperdebatkan dan perlu dipergumulkan lebih jauh.

Amin.

Create a free website or blog at WordPress.com. WPExplorer.

https://ruangberbagiku.wordpress.com/2019/05/30/roh-kudus-menggugat/ 5/5

Anda mungkin juga menyukai