Kelompok 2 Idk 3
Kelompok 2 Idk 3
DOSEN PEBIMBING
Ns. Miftahul Ulfa ., S.Kep., M..Kep
DISUSUN OLEH
S1 KEPERAWATAN
STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan perubahan gaya hidup,
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan tidak hanya terbatas sebagai sumber zat gizi tetapi
juga mampu memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh. Fenomena tersebut melahirkan apa
yang disebut pangan fungsional, yaitu pangan yang mengandung komponen aktif yang
mempunyai fungsi fisiologis dan digunakan untuk pencegahan atau penyembuhan penyakit
atau untuk mencapai kesehatan yang optimal. Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal
banyak mengandung senyawa fitokimia yang bermanfaat dalam pencegahan maupun
pengobatan penyakit.
Berbagai penelitian telah membuktikan manfaat komponen fitokimia dalam tanaman
rempah dan obat seperti jahe (Zingiber officinale Roscoe), kunyit (Curcuma domestica), temu
lawak (Curcuma xanthorrhiza), lidah buaya (Aloe vera), mengkudu (Morinda citrifolia), kayu
secang (Caesalpinia sappan Linn.), dan pala (Myristica fragrans). Komponen fitokimia dan
pangan fungsional dikenal berhubungan dalam pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit
utama penyebab kematian termasuk kanker, diabetes, penyakit jantung, dan tekanan darah
tinggi, serta penyakit lainnya seperti keropos tulang, fungsi usus besar yang abnormal dan
arthritis. Pangan fungsional berbahan baku tanaman rempah dan obat biasanya disajikan
dalam bentuk minuman kesehatan, jamu, minuman instan, jus, sirup, manisan, acar, dan lain-
lain. Walaupun pangan fungsional dapat menjadi pendorong pertumbuhan industri pangan,
cukup banyak masalah yang perlu dipecahkan termasuk pemasaran, distribusi, merek dagang
dan pelabelan, penentuan harga, serta rasa dari produk tersebut, termasuk penelitian untuk
membuktikan klaim khasiat yang semuanya berdampak pada tingginya harga jual.
B. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana konsep obat dan toksin
C. TUJUAN
Tujuan umum
Dengan adanya makalah ini kita mampu mengeetahui berbagai obat-obatan tradisional
yang mengandung ditoksin atau racun,sekaligus kita bisa mencegah efek setelah
mengkonsumsi obat yang telah mengandung ditoksin atau racun.
Tujuan khusus
1. Mengetahui obat-obatan tradisional yang mengandung toksin atau racun.
2. Mengetahui efek samping dari obat-obatan tradisional yang mengandung toksin atau
racun.
3. Mengetaui pencegahan terjadinya toksiologi.
BAB II
TINJAUAN KONSEP
A. OBAT-OBATAN TRADISIONAL
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat,
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga bergeser. Bahan pangan yang kini banyak
diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta
penampakandan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu
bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah,
serta meningkatkan penyerapan kalsium, (Astawan 2003). Goldberg (1994) menyebutkan
bahwa dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan
bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya
terhadap kesehatan tubuh. Fenomena tersebut melahirkan konsep pangan fungsional.
Menurut Badan POM (2001), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami
maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-
kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman,
mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat
diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap
metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Meskipun
mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk
kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami.
Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta
untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun di negara
berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, konsumen Amerika Serikat (AS)
membelanjakan US$ 12,70 miliar untuk suplemen pangan dan angka tersebut meningkat
13%/tahun (Aarts 1998 dalam Witwer 1999).
Di Indonesia, kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan
makanan untuk mempromosikan produk-produknya melalui pencantuman klaim kesehatan
pada label produk maupun iklannya. Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen
makanan meningkat cukup pesat dalam dasawarsa terakhir, baik yang diproduksi di dalam
negeri maupun yang diimpor.
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan
dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif,
maka pangan fungsional lebih bersifat pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan
fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional seperti
yoghurt, kefir dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang
mengandung serat larut. Juga produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang
berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman, telah tersedia
berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif
rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat,
dan bandrek.
Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal mengandung komponen fitokimia yang
berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Kebutuhan akan
tanaman rempah dan obat terus meningkat sejalan dengan munculnya kecenderungan untuk
kembali ke alam dan adanya anggapan bahwa efek samping yang ditimbulkannya tidak
sebesar obat sintetis. Produksi tanaman biofarmaka di Indonesia selama lima tahun terakhir
meningkat cukup pesat dengan pertumbuhan tahun 2003 sebesar 12,93%. Dalam tulisan ini
dibahas beberapa tanaman rempah dan obat yang berpotensi besar sebagai sumber bahan
pangan fungsional dan hasil-hasil penelitian yang mendukungnya.
Sejak awal harus disadari bahwa tidak mungkin membuat suatu petunjuk lengkap
mengenai pemeriksaan toksisitas suatu obat atau zat kimia.pada hakekatnya tidak perlu
dibedakan antara obat dan zat kimia dari sudut toksikologi, sehingga dalam pembahasan
keduanya diperlakukan sama. Selanjutnya dalam bab ini akan disebut zat untuk pengertian
zat kimia termasuk obat. Percobaan toksisitas sangat bervariasi dan suatu protocol yang kaku
akan membuat penelitian tidak relevan atau menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih.
Karena itu jenis pemeriksaan toksisitas harus didasarkan pada sifat zat (kimia atau obat) yang
akan digunakan serta cara pemakaian.penggunaan obat secara kronik seperti pada
pengobatan hipertensi atau penggunaaan kontrasepsi harus disertai dengan data
karsinogenisitas dan teratogenisitas.dengan tidak mengurangi kepentingan hal yang telah
dijrlaskan tadi,akan dibahas beberapa aspek dari pemeriksaan toksisitas obat penilaian
komprehensif dapat diperoleh melalui pendiddikan dalam bidang
farmakokinetik,farmakodinamik,dan toksikologi.toksikologi sendiri berhubungan dengan
farmakologi karena perbedaan fundamental hanya terletak pada gangguan dosis yang lebih
besar dalam eksperimen toksikologi. pengetahuan dalam kedua ilmu ini bersifat
komplementer dan saling menunjang.
1. Uji farmakokinetik
Pengetahuan mengenai hai ini penting untuk menapsirkan tidak saja efek terapi
tetapi,juga toksisitas suatu obat.segala hal yang menyangkut farmakokinetik ini memerlukan
analisis kuantitatif dari zat dalam cairan biologik atau organ tubuh.Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi absorpsi ini,sehingga akan mempengaruhi dosis dan toksisitasnya.suatu obat
atau zat kimia yang akan dipakai lokal saja pada kulit, harus dipelajari terutama berapa jauh
absorpsinya melalui kulit. Perbedaan kadar dalam darah dari pemberian oral dan parenteral
akan memberi gambaran tentang derajat absorpsi per oral.
Setelah diabsorpsi semua zat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah.Distribusi ini mungkin tidak akan merata dan kumulasi sering dilihat dalam organ
tubuh tertentu. Pengikat obat oleh protein plasma dapat mengurangi efektivitas/ toksisitasnya.
Keadaan distribusi ini tidak statis tetapi sangat dinamis sehingga selalu obat akan mengalami
redistribusi dalam cairan dan organ tubuh. Setiap obat akan dianggap oleh tubuh sebagai
suatu bahan asing, sehingga tubuh merombaknya menjadi bentuk yang dapat diekskresi
(lebih larut dalam air, lebih polar). Metabollit yang terbentuk, biasanya tidak aktif lagi dan
toksisitas biasanya berkurang, walau kadang – kadang dapat terjadi sebaliknya.
Alat ekskresi terpenting ialah hati dan ginjal. Ekskresi obat dapat terjadi dalam bentuk
asalnya maupun bentuk metabolit. Pengetahuan mengenai ini penting dalam toksikologi
karena pada keracunan, usaha untuk meningkatkan diuresis hanya dapat bermanfaat bila obat
yang bersangkutan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk aktif dan bukan dalam bentuk
metabolit inaktif.
2. Uji Farmakodinamik
Sebelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dulu efek
apa yang terjadi terhadap semua organ dalam tubuh yang sehat. Screening efek
farmakodinamik ini sangat diperlukan. Jarang terdapat suatu obat yang hanya memiliki satu
jenis efek, hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi fungsi
berbagai macam alat dan faal tubuh. Seringkali sifat toksik suatu obat merupakan lanjutan
dari efek farmakodinamik atau efek terapinya.
3. Menilai Keamanan Zat kimia
Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi,
karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan dipergunakan harus diuji toksisitas dan
keamanannya. Bila zat kimia itu merupakan zat tambahan makanan atau kontaminan yang
tanpa sengaja dapat masuk dalam makanan , misalnya : pestisida atau berbagai metal, maka
penilaian kamanannya dilakukan melalui tata yang telah baku. Setiap zat kimia, bila
diberikan dosis yang cukup besar akan menibulkan gejala-gejala toksis. Gejala-gejala ini
pertama-tama harus ditentukan pada hewan coba melalui penelitian toksisitas akut dan
subkronik guna memperoleh kesan pertama tentang kelainan yang dapat ditimbulan .
selanjutnya, perlu ditentukan sesuatu dosis yang terbesar yang tidak menimbulkan efek
merugikan pada hewan percobaan yang disebut No Effect Level (NEL) atau No (observer)
effect level (NOEL). Hal ini dilakukan dengan mencobakan berbagai tingkat dosis sampai
ditemukan dosis yang tidak menimbulkan efek buruk pada hewan percobaan.
4. Uji toksikologi
Sebelum percobaan toksikologi dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi,
sifat obat dan rencana penggunaannya. Hal ini memerlukan judgement seorang yang
berpengalaman dalam bidang ini.
Toksisitas Akut
Percobaan ini meliputi Single Dose Eksperiment yang di evaluasi 3-14 hari sesudahnya,
tergantung dari gejala yang ditimbulkan.batas dosis harus dipilih sedemikisn rupa sehingga
dapat memperoleh suatu kurva dosis respon yang dapat berwujud respon yang bertahap
( mislanya mengukur lamanya waktu tidur) atau suatu respon kuantal ( misalnya mati)
biasanya digunakan 4-6 kelompok terdiri dari sedikitnya 4 ekor tikus percobaan.
Cara pemberiam obat harus dipilih sesuai dengan yang akan digunakan diklinik. Jadi
untuk obat yang akan dipakai sebagai obat suntik perlu diuji dengan cara parenteral dan obat
yang digunakan sebagai salep terutama harus diuji pada kulit.
Toksisitas jangka lama
Percoban jenis ini mencangkup pemberian obat secara berulang selama 1-3 bulan
(percobaan subakut), 3-6 bulan (percobaan kronik) atau seumur hewan (lifelong studies).
Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat,
kecuali untuk percobaan karsinogenisitas.
Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik.karena itu, gejala
toksik merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan. Suatu obat jantung yang bekerja
menghambat konduksi antrioventrikular akan menimbulkan blok AV pada keracunan ,suatu
hipnotik akan menimbulkan koma . hal ini akan lebih cepat terjadi , pada manusia yang
hipereaktif terhadap obat bersangkutan.
5. Keracunan
Anamnesis amat penting dan sering dapat menunjukan adanya unsur keracunan tetapi ini
hanya benar bila anamnesis menjurus kesuatu cerita yang positif keracunan dapat terjadi
karena beberapa hal , dan pilahan dibawah ini dapat membantu dalam mencari sebab
keracunan.
a. Pilahan menurut cara terjadinya keracunan
Self poisoning. Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi
dengan pengetahuan bawah dosis ini tidak akan membahayakan
b. Attempted suicide
c. Dalam hal ini pasien memang bermaksud bunuh diri, tetapi bisa dengan kematian
atau pasien sembuh kembali bisa ini salah tafsir tentang dosis yang di makannya
d. accidental poisoning
hal ini merupakan kecelakaan ,tanpa faktor kesengajaan
e. homicidal poisoning
keracunan ini akibat tindakan kriminaal yaitu seseorang dengan sengaja dengan
meracuni orang lain
8.pilahan menurut mula waktu terjadinya keracunan
Diagnosis keracunan kronik
Sulit di buat karena gejalanya timbul perlahan dan lama sesudah pajanan.gejala juga
dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.
Juga mungkin terjadi suatu manifestasi kronik pada organ oleh zat kimia yang
mempunyai t1/2 pendek, namun sifat toksisnya terhadap organ yang kumulatif.
Diagnosis keracunan akut
Lebih mudah di kenal dari pada keracunan kronik karena biasanya terjadi
memdadak setelah makan sesuatu.
9.pilahan menurut bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasnya memperlihatkan sifat toksit yang
sama.misalnya : golongan alcohol ,fenol,logam berat, oganoklorin dll.
10. gejala dan diagnosis keracunan
Gejala yang mengarah ke suatu diagnosis keracunan sebanding dengan banyaknya
jumlah golongan obat yang beredar. Dan suatu gejala sering bersifat aspesifik misalnya,
koma yang dapat disebabkan oleh hipnotip obat perangsang SPP, salisilat, anti depresi dll
. pada pengelolahan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis,
walaupun sebabnya belum diketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatis
sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya . diantaranya yang sangat penting pada
permulaan keracunan ialah derajat kesadaran dan respirasi.
BAB III
PEMBAHASAN
Meskipun jahe memiliki banyak manfaat kesehatan , ternyata jahe juga dapat memicu
sejumlah efek samping , terutama jika dikomsumsi dalam jumlah besar . menurut herbalist ,
komsumsi lebih dari 4 grm jahe dalam satu hari dapat menyebabkan mulas, kembung, mual, atau
gangguan perut. Jahe juga mengganggu efek obat pengencer darah, seperti warfin dan aspirin.
jahe digunakan sebagai penangkal untuk keracunan makanan atau obat, yang menekankan sifat
detoksifikasi. racun yang diciptakan di dalam tubuh dapat mereka buang secara efektif dengan
jahe. bahwa ramuan yang bermanfaat bagi kesehatan ini dapat benar-benar menimbulkan
ancaman kesehatan juga.
Jahe mencegah pembekuan darah, tetapi meningkatkan sirkulasi dan aliran darah. Hal
ini meningkatkan risiko pendarahan, terutama pada orang dengan kelainan darah atau
mereka yang sedang menjalani pengobatan yang memperlambat pembekuan darah.
Jahe merangsang produksi empedu sehingga tidak dianjurkan untuk orang yang
menderita batu empedu.
Jahe mungkin menurunkan gula darah dan tekanan darah, sehingga orang yang
mengonsumsi obat untuk diabetes atau hipertensi harus berkonsultasi dengan ahli
kesehatan sebelum mengonsumsi jahe dalam bentuk apa pun.
4. Orang dengan Ulkus atau IBD
Jahe segar telah dikaitkan dengan penyumbatan usus, sehingga orang yang menderita
ulkus, penyakit radang usus atau usus yang tersumbat sangat disarankan untuk
menghindarinya.
A. KESIMPULAN
Pangan fungsional mempunyai prospek cerah sehingga peluang pengembangan produk
baru yang dapat diterima konsumen secara luas masih terbuka lebar, termasuk pangan
fungsional berbahan baku tanaman rempah dan obat. Berkembangnya pola hidup sehat dan
kembali ke alam akan mempercepat pengembangan jenis produk ini. Tersedianya pangan
fungsional yang beragam akan memudahkan konsumen dalam memperoleh jenis pangan yang
diyakini bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh. Bagi kalangan industri, produksi
jenis pangan ini harus benar-benar direncanakan dengan baik dan matang.
Standardisasi produk pangan fungsional merupakan suatu keharusan. Peran Badan POM
dalam menyusun konsep standar bagi pangan fungsional yang mencakup standar komposisi,
cara produksi, label dan klaim sangat dibutuhkan. Penyusunan standar tersebut antara lain
perlu mengacu pada Foods for Specified Use (FOSHU), suatu standar bagi pangan fungsional
yang sudah diberlakukan di Jepang.
B. SARAN
Untuk Masyarakat :
1. Perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk tempat pengobatan alternatif yang tidak
disertai dengan sertifikat dari lembaga pelatihan pengobatan alternatif dari tempat ia belajar,
ataupun Departemen Kesehatan sehingga pasien lebih yakin dalam melakukan proses
penyembuhan, karena sudah terbilang aman dan keberadaannya telah diakui.
2. Masyarakat disarankan untuk bertanya terlebih dahulu apakah ada jaminan atas
resiko apa ada kemungkinan penyakit yang diderita malah memburuk setelah melakukan
pengobatan, sehingga perlu juga ditanyakan kepada pengobatanya.
3. Masyarakat harus mencari informasi selengkap-lengkapnya tentang pengobatan
alternatif yang ingin dikunjungi, sebelum melakukan pengobatan ditempat tersebut.
4. Masyarakat yang ingin hidup selalu sehat serta jauh dari penyakit, maka mulailah
sejak dini untuk memulai pola hidup sehat, seperti : olah raga, perbanyak minum air putih, dan
banyak mengkonsumsi buah-buahan.
DAFTAR PUSTAKA
Christina Winarti dan Nanan Nurdjanah, Journal: Peluang Tanaman Rempah Dan Obat
Sebagai Sumber Pangan Fungsional, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16111.
Sulistia G. Ganiswara, 2003, Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Jakarta.