Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Obat-obatan tradisional dan Toxicologi obat

DOSEN PEBIMBING
Ns. Miftahul Ulfa ., S.Kep., M..Kep
DISUSUN OLEH

DWI REZKIANA SARI ( 181014201622 )


PRITA YUSIKA SARI ( 181014201646 )
RUTH DAMAYANTI ADELIA ( 181014201650 )
VENI EKA SEPTIYANA .H. ( 181014201654 )
YOHANIS DODOK ( 181014201656 )
YUNIYANTI PAKAGE ( 181014201660 )
YURIKE ISWARI ( 181014201666 )

S1 KEPERAWATAN
STIKES WIDYAGAMA HUSADA MALANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejalan dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan perubahan gaya hidup,
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan tidak hanya terbatas sebagai sumber zat gizi tetapi
juga mampu memberikan manfaat kesehatan bagi tubuh. Fenomena tersebut melahirkan apa
yang disebut pangan fungsional, yaitu pangan yang mengandung komponen aktif yang
mempunyai fungsi fisiologis dan digunakan untuk pencegahan atau penyembuhan penyakit
atau untuk mencapai kesehatan yang optimal. Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal
banyak mengandung senyawa fitokimia yang bermanfaat dalam pencegahan maupun
pengobatan penyakit.
Berbagai penelitian telah membuktikan manfaat komponen fitokimia dalam tanaman
rempah dan obat seperti jahe (Zingiber officinale Roscoe), kunyit (Curcuma domestica), temu
lawak (Curcuma xanthorrhiza), lidah buaya (Aloe vera), mengkudu (Morinda citrifolia), kayu
secang (Caesalpinia sappan Linn.), dan pala (Myristica fragrans). Komponen fitokimia dan
pangan fungsional dikenal berhubungan dalam pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit
utama penyebab kematian termasuk kanker, diabetes, penyakit jantung, dan tekanan darah
tinggi, serta penyakit lainnya seperti keropos tulang, fungsi usus besar yang abnormal dan
arthritis. Pangan fungsional berbahan baku tanaman rempah dan obat biasanya disajikan
dalam bentuk minuman kesehatan, jamu, minuman instan, jus, sirup, manisan, acar, dan lain-
lain. Walaupun pangan fungsional dapat menjadi pendorong pertumbuhan industri pangan,
cukup banyak masalah yang perlu dipecahkan termasuk pemasaran, distribusi, merek dagang
dan pelabelan, penentuan harga, serta rasa dari produk tersebut, termasuk penelitian untuk
membuktikan klaim khasiat yang semuanya berdampak pada tingginya harga jual.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana konsep obat dan toksin
C. TUJUAN
Tujuan umum
Dengan adanya makalah ini kita mampu mengeetahui berbagai obat-obatan tradisional
yang mengandung ditoksin atau racun,sekaligus kita bisa mencegah efek setelah
mengkonsumsi obat yang telah mengandung ditoksin atau racun.
Tujuan khusus
1. Mengetahui obat-obatan tradisional yang mengandung toksin atau racun.
2. Mengetahui efek samping dari obat-obatan tradisional yang mengandung toksin atau
racun.
3. Mengetaui pencegahan terjadinya toksiologi.
BAB II
TINJAUAN KONSEP

A. OBAT-OBATAN TRADISIONAL
Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat,
tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga bergeser. Bahan pangan yang kini banyak
diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta
penampakandan cita rasanya menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu
bagi tubuh, seperti dapat menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, dan kadar gula darah,
serta meningkatkan penyerapan kalsium, (Astawan 2003). Goldberg (1994) menyebutkan
bahwa dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan
bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya
terhadap kesehatan tubuh. Fenomena tersebut melahirkan konsep pangan fungsional.
Menurut Badan POM (2001), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami
maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-
kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi
kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman,
mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat
diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan efek samping terhadap
metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang dianjurkan. Meskipun
mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk
kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami.
Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta
untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun di negara
berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, konsumen Amerika Serikat (AS)
membelanjakan US$ 12,70 miliar untuk suplemen pangan dan angka tersebut meningkat
13%/tahun (Aarts 1998 dalam Witwer 1999).
Di Indonesia, kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan
makanan untuk mempromosikan produk-produknya melalui pencantuman klaim kesehatan
pada label produk maupun iklannya. Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen
makanan meningkat cukup pesat dalam dasawarsa terakhir, baik yang diproduksi di dalam
negeri maupun yang diimpor.
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan
dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif,
maka pangan fungsional lebih bersifat pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan
fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional seperti
yoghurt, kefir dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang
mengandung serat larut. Juga produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang
berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman, telah tersedia
berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif
rempah-rempah seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat,
dan bandrek.
Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal mengandung komponen fitokimia yang
berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit. Kebutuhan akan
tanaman rempah dan obat terus meningkat sejalan dengan munculnya kecenderungan untuk
kembali ke alam dan adanya anggapan bahwa efek samping yang ditimbulkannya tidak
sebesar obat sintetis. Produksi tanaman biofarmaka di Indonesia selama lima tahun terakhir
meningkat cukup pesat dengan pertumbuhan tahun 2003 sebesar 12,93%. Dalam tulisan ini
dibahas beberapa tanaman rempah dan obat yang berpotensi besar sebagai sumber bahan
pangan fungsional dan hasil-hasil penelitian yang mendukungnya.

TANAMAN REMPAH DAN OBAT SUMBER PANGAN FUNGSIONAL


Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman mempunyai
peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap
penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui mempunyai fungsi
fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, inhibitor protease,
monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak
terkandung dalam sayuran dan kacang-kacangan, termasuk tanaman rempah dan obat.
Menurut Craig (1999), diet yang menggunakan rempahrempah dalam jumlah banyak sebagai
penyedap makanan dapat menyediakan berbagai komponen aktif fitokimia yang bermanfaat
menjaga kesehatan dan melindungi tubuh dari penyakit kronis. Bahan-bahan tersebut dapat
disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain minuman kesehatan, minuman instan, jus, sirup,
permen, acar, manisan, dodol, selai, dan jeli. Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan
bahwa jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman
fungsional asal karakteristik sensorinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh
masyarakat luas. Minuman seperti beras kencur, sari jahe, sari asam, kunyit asam, sari temu
lawak, bir pletok, dan susu telor madu jahe merupakan contoh minuman asal jamu yang dapat
dikembangkan sebagai produk industri minuman fungsional.

1. JAHE (Zingiber officinale Rosc.)


Jahe merupakan jenis rempah-rempah yang paling banyak digunakan dalam berbagai
resep makanan dan minuman. Secara empiris jahe biasa digunakan masyarakat sebagai
obat masuk angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi, dan
lainlain.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa jahe mempunyai sifat antioksidan. Beberapa
komponen utama dalam jahe seperti gingerol, shogaol, dan gingeron memiliki aktivitas
antioksidan di atas vitamin E (Kikuzaki dan Nakatani 1993). Selain itu jahe juga
mempunyai aktivitas antiemetik dan digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan.
Radiati et al. (2003) menyatakan bahwa konsumsi ekstrak jahe dalam minuman
fungsional dan obat tradisional dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mengobati diare.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak jahe dapat meningkatkan daya tahan tubuh
yang direfleksikan dalam sistem kekebalan, yaitu memberikan respons kekebalan inang
terhadap mikroba pangan yang masuk ke dalam tubuh. Hal itu disebabkan ekstrak jahe
dapat memacu proliferasi limfosit dan menekan limfosit yang mati (Zakaria et al. 1996)
serta meningkatkan aktivitas fagositas makrofag (Zakaria dan Rajab 1999). Selain itu jahe
mampu menaikkan aktivitas salah satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam
melisis sel targetnya, yaitu sel tumor dan sel yang terinfeksi virus (Zakaria et al. 1999).
Hasil penelitian ini menopang data empiris yang dipercaya masyarakat bahwa jahe
mempunyai kapasitas sebagai antimasuk angin, suatu gejala menurunnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terserang oleh virus (influenza). Peningkatan aktivitas NK membuat tubuh
tahan terhadap serangan virus karena sel ini secara khusus mampu menghancurkan sel
yang terinfeksi oleh virus. Selanjutnya Nurrahman et al. (1999) menyatakan bahwa
mengkonsumsi jahe setiap hari dapat meningkatkan aktivitas sel T dan daya tahan limfosit
terhadap stres oksidatif. Komponen dalam jahe yaitu gingerol dan shogaol mempunyai
aktivitas antirematik. Hal ini ditunjang dengan pendapat Kimura et al. (1997) bahwa jahe
berfungsi sebagai anti-inflamasi rematik arthritis kronis.

2. KUNYIT (Curcuma domestica) dan TEMU LAWAK (Curcuma xanthorrhiza)


Penggunaan kunyit dalam bidang pangan tidak hanya sebatas sebagai bumbu untuk
menambah rasa dan memberi warna, tetapi juga sebagai bahan baku minuman sehat seperti
kunyit asam atau kunyit instan. Secara empiris kunyit banyak digunakan sebagai obat mag,
penurun kolesterol, diare, nyeri haid, sakit kuning, dan obat luka.
Komponen aktif dalam kunyit yang berperan adalah kurkuminoid. Komponen ini juga
terdapat pada beberapa jenis temu-temuan lain seperti temu lawak. Kurkuminoid adalah
komponen yang memberikan warna kuning yang bersifat sebagai antioksidan dan
berkhasiat antara lain sebagai hipokolesteromik, kolagogum, koleretik, bakteriostatik,
spasmolitik, antihepatotoksik, dan anti-inflamasi. Selain kurkumin, kandungan l-turmeron
pada rimpang temu lawak berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit.
Akhir-akhir ini temu lawak banyak digunakan dalam berbagai minuman kesehatan
maupun sirup multivitamin terutama untuk anak-anak, karena khasiatnya sebagai
penambah nafsu makan. Secara umum bahan tambahan tersebut dikenal dengan nama
curcuma.
Kadar zat antioksidan dalam rempah-rempah juga diketahui cukup tinggi. Berbagai
penelitian telah membuktikan khasiat kurkuminoid dalam pengobatan terutama sebagai
antihepatoksik dan antikolesterol, serta obat tumor dan kanker (Nagabhushan dan Bhide
1992; Chan dan Fong dalam Craig 1999). Komponen fenolik dalam kunyit dapat
menghambat pertumbuhan kanker dan mempunyai aktivitas antimutagenik. Selain itu
kunyit juga dapat menekan pertumbuhan kanker usus, payudara, paru-paru, dan kulit.

3. LIDAH BUAYA (Aloe vera)


Melihat potensinya yang sangat besar, tanaman lidah buaya sudah dibudidayakan secara
komersial. Menurut Maskur (2001), lidah buaya telah dibudidayakan secara luas di
Kalimantan Barat, khususnya Pontianak pada lahan lebih dari 25.000 ha. Produksi lidah
buaya yang telah dimanfaatkan baru sekitar 0,02%, sedangkan sisanya diekspor dalam
bentuk daun segar dengan harga yang sangat rendah ke berbagai negara seperti Singapura,
Malaysia, Taiwan, dan negaranegara Eropa.
Menurut Henry (1979), unsur utama dari cairan lidah buaya adalah aloin, emodin, resin,
gum dan unsur lainnya seperti minyak atsiri. Dari segi kandungan nutrisi, gel atau lendir
daun lidah buaya mengandung beberapa mineral seperti Zn, K, Fe, dan vitamin seperti
vitamin A, B1, B2, B12, C, E, inositol, asam folat, dan kholin. Djubaedah (2003)
menyebutkan bahwa gel lidah buaya mengandung 17 jenis asam amino penting. Dengan
kandungan nutrisi yang demikian lengkap dan bervariasi maka peluang diversifikasi
produk lidah buaya sangat besar.
Produk minuman dari lidah buaya mempunyai kalori yang sangat rendah (4 kal/100 g
gel), sehingga sangat sesuai untuk program diet (Hartanto dan Lubis 2002). Di Kalimantan
Barat, lidah buaya sudah diolah dalam berbagai bentuk makanan dan minuman seperti jus,
koktail, gel lidah buaya dalam sirup, selai, jeli, dodol, dan manisan. Untuk memperpanjang
umur simpannya telah dilakukan pula penelitian pembuatan tepung lidah buaya dengan
penambahan bahan pengisi (Sumarsi et al. 1998). Gel lidah buaya juga telah
dikembangkan dalam bentuk sediaan oral sebagai minuman kesehatan yang diklaim
menyegarkan dan memberikan efek mendinginkan. Secara empiris lidah buaya digunakan
sebagai obat luka bakar, panas dalam, asam urat serta afrodisiak dan malnutrisi karena
kandungan asam amino dan vitaminnya.
Gel lidah buaya juga memperlihatkan aktivitas antipenuaan karena mampu menghambat
proses penipisan kulit dan menahan kehilangan serat elastin serta menaikkan kandungan
kolagen dermis yang larut air. Lidah buaya terbukti dapat menurunkan kadar gula darah
pada penderita diabetes (Okyar et al. 2001). Penggunaan gel lidah buaya yang umum
adalah dengan mengoleskan gel pada bagian yang terinfeksi secukupnya, sedangkan untuk
produk yang mengandung aloin dan aloe-emodin dengan diminum 1−3 sendok makan, 3
kali sehari.

4. MENGKUDU (Morinda citrifolia L.)


Dalam beberapa tahun terakhir tanaman mengkudu mendapat perhatian sangat besar
karena adanya fakta empiris serta bukti penelitian yang menyatakan bahwa buah ini
berkhasiat untuk mengobati beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, tumor, dan
diabetes. Buah mengkudu mengandung berbagai senyawa metabolit sekunder yang sangat
berguna bagi kesehatan, selain kandungan nutrisinya yang juga beragam seperti vitamin A,
C, niasin, thiamin dan riboflavin, serta mineral seperti zat besi, kalsium, natrium, dan
kalium (Tabel 5 dan 6). Hirazumi et al. (1996) melaporkan bahwa jus buah mengkudu
berfungsi sebagai imunomodulator yang mempunyai efek antikanker. Selanjutnya
Hirazumi dan Furuzawa (1999) menyatakan bahwa jus buah mengkudu dapat digunakan
sebagai agen tambahan (suplemen) dalam pengobatan kanker.
Beberapa jenis senyawa fitokimia dalam buah mengkudu adalah terpen, acubin, L
asperuloside, alizarin, zat-zat anthraquinone, asam askorbat, asam kaproat, asam kaprilat,
zat-zat scopoletin, damnacanthal dan alkaloid (Anon 1997 dalam Pohan dan Antara 2001).
Menurut Hisawa et al. (1999) dalam Djauhariya (2003), komponen damnacanthal
merupakan zat antikanker. Senyawa turunan anthraquinone dalam mengkudu antara lain
adalah morindin, morindone dan alizarin, sedangkan alkaloidnya antara lain xeronin dan
proxeronin (precursor xeronine). Xeronin merupakan alkaloid yang dibutuhkan tubuh
manusia untuk mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur serta membentuk struktur protein
(Solomon 1998).
Untuk menetralisir bau tidak sedap pada buah mengkudu, yang disebabkan oleh asam
kaproat dan kaprilat, dapat ditambahkan essence, asam sitrat dan madu (Pohan dan Antara
2001), atau dicampur dengan teh dan gula. Selanjutnya Pohan dan Antara (2003)
menyebutkan bahwa minuman dari buah mengkudu yang beredar di pasaran secara
kesehatan aman untuk dikonsumsi sebagai minuman penyegar. Lebih lanjut hasil penelitian
Antara et al. (2001) menyimpulkan bahwa sediaan yang berupa cairan hasil perasan buah
mengkudu aman untuk dikonsumsi dengan nilai toksisitas LD50 > 52,61 ml/ kg bobot
badan untuk pekatan sari buah atau setara dengan 480 g/kg bobot badan untuk buah segar.

5. KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.)


Kayu secang sangat dikenal terutama di Sulawesi sebagai pemberi warna pada air minum
yang dikenal sebagai teh secang. Kayu secang juga merupakan salah satu ramuan yang
digunakan dalam pembuatan minuman tradisional Betawi bir pletok yaitu sebagai pemberi
warna. Secara empiris kayu secang dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, berak darah,
darah kotor, penawar racun, sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan
pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan astringent.
Sanusi (1989) telah mengisolasi zat warna merah yang terkandung dalam kayu secang
yang dikenal sebagai senyawa golongan brazilin. Brazilin merupakan senyawa antioksidan
yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Berdasarkan aktivitas antioksidannya,
brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia
(Moon et al. 1992). Selanjutnya Lim et al. (1997) membuktikan bahwa indeks antioksidatif
dari ekstrak kayu secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial (BHT BHA). Peneliti
lain mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-inflamasi (Sukria 1993
dalam Sundari et al. 1998).
Berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk menguji manfaat kayu secang, seperti
khasiatnya sebagai antibakteri. Anis (1990) dalam Sundari et al. (1998) melakukan
penelitian terhadap beberapa jenis ekstrak kayu secang sebagai anti-bakteri penyebab tukak
lambung. Selanjutnya Sumarmi (1994) dalam Sundari et al (1998) menguji daya
antibakteri kayu secang terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Untuk
menghentikan pendarahan, diduga yang berperan adalah tanin dan asam galat (Sundari et
al. 1998). Tanin juga bersifat sebagai antibakteri dan astringent atau menciutkan dinding
usus yang rusak karena asam atau bakteri. Kadar tanin ekstrak kayu secang yang diperoleh
dengan perebusan selama 20 menit adalah 0,137% (Winarti dan Sembiring 1998).

6. PALA (Myristica fragrans Houtt)


Pala adalah salah satu jenis rempahrempah yang banyak digunakan dalam industri
makanan, farmasi, dan kosmetik. Biji dan fuli pala (selaput biji) digunakan sebagai sumber
rempah-rempah, sedangkan daging buah pala sering diolah menjadi berbagai produk
pangan seperti manisan, sirup, jam, jeli, dan chutney. Minyak biji pala terutama digunakan
dalam industri flavor (penambah cita rasa) makanan dan dalam jumlah kecil digunakan
dalam industri farmasi dan kosmetik (Leung 1980).
Biji pala digunakan sebagai obat untuk berbagai jenis penyakit, seperti sakit gigi,
disentri, encok, bau nafas tidak sedap, dan untuk menginduksi aborsi. Pala juga dikenal
berkhasiat sebagai obat penenang. Menurut Morita et al. (2003), salah satu komponen
penting dalam buah pala adalah miristicin yang mempunyai aktivitas sebagai
hepatoprotektor.
Kandungan minyak atsiri pala sekitar 5−15% yang meliputi pinen, sabinen, kamfen,
miristicin, elemisin, isoelemisin, eugenol, isoeugenol, metoksieugenol, safrol, dimerik
polipropanoat, lignan, dan neolignan (Janssen dan Laeckman 1990; Isogai et al. dalam
Sonavane et al. 2001). Eugenol merupakan komponen utama yang bersifat menghambat
peroksidasi lemak dan meningkatkan aktivitas enzim seperti dismutase superoksidase,
katalase, glutation peroksidase, glutamin transferase, dan glukose- 6-fosfat dehidrogenase
(Kumaravelu et al. 1996). Ekstrak kloroform pala juga mempunyai aktivitas antidiare
dengan meningkatkan kandungan ion-ion Na dan Cl dalam jaringan, sedangkan ekstrak
petroleum eter buah pala mempunyai aktivitas antibakteri terhadap beberapa spesies
Shigela dan E. coli (Wessinger 1985; De et al. dalam Sonavane et al. 2001).
PROSPEK TANAMAN REMPAH DAN OBAT SEBAGAI SUMBER PANGAN
FUNGSIONAL
Tanaman rempah dan obat mempunyai potensi besar sebagai sumber makanan dan
minuman fungsional seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya
menjaga kesehatan. Keberadaan pangan fungsional tidak hanya bermanfaat bagi masyarakat
atau konsumen, tetapi juga bagi pemerintah maupun industri pangan. Bagi konsumen,
pangan fungsional bermanfaat untuk mencegah penyakit, meningkatkan imunitas,
memperlambat proses penuaan, serta meningkatkan penampilan fisik. Bagi industri pangan,
pangan fungsional akan memberikan kesempatan yang tidak terbatas untuk secara inovatif
memformulasikan produk-produk yang mempunyai nilai tambah bagi masyarakat.
Selanjutnya bagi pemerintah, adanya pangan fungsional akan menurunkan biaya untuk
pemeliharaan kesehatan masyarakat.
Menurut Milner (2000), ada tiga alasan yang mendukung peningkatan minat terhadap
pangan fungsional, yaitu tingginya biaya pemeliharaan kesehatan, peraturan yang
mendukung, dan penemuan- penemuan ilmiah. Peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan
masyarakat dalam persen terhadap Produk Nasional Bruto (GNP) semakin meningkat di
seluruh dunia. Di AS pemeliharaan kesehatan mencapai sekitar 14% GNP. Kebiasaan makan
yang tidak baik dinilai oleh banyak kalangan berperan dalam menurunkan kesehatan dan
berhubungan dengan tingginya biaya pemeliharaan kesehatan. Berbagai penelitian
menemukan adanya kaitan antara kebiasaan makan dengan timbulnya beberapa jenis
penyakit seperti jantung koroner dan kanker. Dilaporkan bahwa korelasi antara kebiasaan
makan dan kanker adalah ~ 60% pada wanita dan > 40% pada pria.
Manfaat komponen fitokimia dan pangan fungsional telah dipublikasikan secara luas
sehingga pengetahuan dan minat konsumen terhadap bahan pangan kaya komponen
fitokimia dan pangan fungsional pun meningkat. Di AS, penjualan produk pangan
fungsional tumbuh dari 7% pada tahun 2001 menjadi 9% tahun 2002, sementara
pertumbuhan keseluruhan industri pangan tahun 2002 adalah 3% (Young dalam Sheehy dan
Morrissey 1998). Menurut Hasler (2000) dalam Muchtadi (2001), perdagangan
nutraceuticals dan pangan fungsional mencapai US $ 14,70 miliar dan diproyeksikan
meningkat lagi pada tahun-tahun mendatang (Tabel 8).
Cerahnya prospek pangan fungsional berbasis tanaman rempah dan obat juga ditunjang
dengan semakin majunya penelitian dan pengembangan eksplorasi komponen bioaktif dalam
tanaman rempah dan obat. Selain itu, kemajuan teknologi pengolahan pangan telah mampu
menghasilkan produk-produk makanan dan minuman yang secara organoleptic disukai
konsumen serta mengandung komponen-komponen yang berguna bagi kesehatan.
Dibandingkan dengan mengkonsumsi suplemen pangan, penggunaan pangan fungsional
lebih menguntungkan bagi konsumen karena suplemen hanya mengandung komponen jenis
tertentu, bukannya berbagai jenis komponen fitokimia yang secara alami terdapat dalam
makanan. Pengembangan jenis pangan kaya serat, vitamin maupun fitokimia melalui
teknologi genetika, bioteknologi, fortifikasi dan pemeliharaan tanaman merupakan
pendekatan yang tepat untuk mendapatkan manfaat kesehatan yang optimal (Bloch dan
Thomson 1998).
Wrick (2003) menyebutkan beberapa hal yang menjadi pendorong pertumbuhan industri
pangan fungsional di AS. Generasi muda AS yang meliputi 27% populasi umumnya sangat
peduli pada kesehatan. Selanjutnya banyak orang melihat pentingnya suplemen pangan,
yang dapat berarti adanya kesempatan bagi produk pangan yang dapat berfungsi sebagai
sumber manfaat kesehatan yang baru. Yang terakhir adalah bahwa suplemen pangan tidak
dapat memuaskan rasa lapar, hanya makanan yang dapat melakukannya.

PERMASALAHAN DAN TANTANGAN


Walaupun pangan fungsional dapat menjadi pendorong utama pertumbuhan industri
pangan, terdapat beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi. Wrick (2003)
menyebutkan bahwa perpaduan yang tepat dari riset pasar, pemasaran, iptek, pelabelan,
distribusi, penentuan harga, rasa dan kenyamanan merupakan tantangan tersendiri.
Sementara Sheehy dan Morrissey (1998) melaporkan bahwa walaupun pangan fungsional
potensial memberikan manfaat kesehatan bagi konsumen, beberapa hambatan dalam
penyebaran dan penerimaan jenis pangan ini perlu diperhatikan. Pengembangan pangan
fungsional dan penelitian dasar untuk mendokumentasikan klaim pemasaran cukup mahal
sehingga harga jualnya menjadi sangat tinggi (McNutt 1994). Selanjutnya Hilliam (1996)
dalam Sheehy dan Morrissey (1998) menyatakan bahwa konsumen mencurigai janji akan
manfaat kesehatan dari produk ini sebagai justifikasi untuk mencantumkan harga tinggi. Hal
tersebut semakin menegaskan bahwa klaim yang berkaitan dengan jenis pangan tertentu
harus nyata.
Beberapa permasalahan dalam pengembangan pangan fungsional dari tanaman juga
dinyatakan oleh Percival dan Turner (2001), antara lain: 1) penentuan identitas dan cara
panen yang benar dari tanaman sebagai bahan baku pangan fungsional, 2) standardisasi
produk, karena tanaman rempah dan obat yang tumbuh atau dibudidayakan dalam kondisi
yang berbeda, juga lokasi dan musim yang berbeda, akan menghasilkan kandungan bahan
aktif yang berbeda pula, 3) proses pengolahan, karena dapat mempengaruhi komponen aktif
yang terkandung dalam tanaman obat yang digunakan dalam pangan fungsional, 4)
keamanan dari herbal tersebut, karena beberapa jenis herbal cukup berbahaya bagi
kesehatan. Selain itu juga perlu diperhatikan potensi interaksinya dengan obat kimia dan
kemungkinan adanya kontaminan.
Pelabelan merupakan hal yang penting dalam pengembangan pangan fungsional, karena
dalam label tercantum keterangan tentang produk tersebut termasuk klaim kesehatan. Di
Indonesia, pelabelan diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan. Karena
adanya klaim tersebut maka perlu disertakan bukti dari manfaat klaim tersebut. Hal ini
penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat akan manfaat pangan fungsional serta
melindungi masyarakat dari klaim yang tidak benar atau berlebihan, dan yang lebih penting
lagi dari kemungkinan efek berbahaya dari produk tersebut.
Permasalahan lain dalam pengembangan pangan fungsional adalah jenis pangan tersebut
harus memenuhi persyaratan organoleptik konsumen. Kandungan pangan fungsional seperti
komponen fitokimia, isolat nutrien atau ekstrak tanaman mempunyai bau dan rasa (flavor)
terlalu kuat dan sering kali kurang menyenangkan. Penambahan dalam jumlah sedikit tidak
atau kurang dirasakan manfaatnya, sedangkan dalam jumlah banyak akan menimbulkan bau
dan rasa yang tidak disukai. Beberapa herba, ekstrak tanaman serta komponen fitokimia
lainnya yang bermanfaat untuk kesehatan mempunyai bau dan rasa kuat dan kurang disukai
serta tekstur yang kurang disukai pula. Bau dan rasa tersebut sukar atau tidak dapat ditutupi
atau disembunyikan. Permasalahan tersebut akan memperpanjang proses formulasi pangan
atau menambah biaya untuk mendapatkan nilai sensoris yang disukai (Wrick 2003).
Seperti telah diuraikan, berbagai jenis tanaman rempah dan obat mempunyai potensi yang
sangat besar sebagai sumberpangan fungsional. Pengembangan lebih lanjut menjadi produk
pangan fungsional komersial memerlukan penelitian mendalam untuk memperoleh data
yang pasti mengenai komponenbioaktif, khasiat, keamanan, sampai uji farmakologi dan uji
klinisnya untuk membuktikan klaim manfaatnya. Sheehy dan Morrissey (1998)
menyimpulkan bahwa keberhasilan pengembangan pangan fungsional bergantung pada
banyak faktor, antara lain keamanan, efikasi, rasa, kemudahan dan nilai (value) dari produk
tersebut. Yang paling penting adalah bahwa produk tersebut harus aman dan klaim
manfaatnya nyata.
B. TOXSIKOLOGI
Toksikologi merupakan ilmu yang lebih tua dari farmakologi. Prosedur pemerikasaan
toksisitas obat dan zat kimia menjadi sangat rumit dan semuanya dilakukan untuk mencegah
kejadian yang dapat merugikan konsumen atau pasien seperti pada kasus talidomid. Setiap
zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya dan terjadinya keracunan ditentukan
oleh dosis dan cara pemberian. Paracelsus pada tahun 1564 telah meletakan dasar penilaian
toksikologis dengan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah suatuzat kimia adalah
racun. Sekarang dikenal banyak faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat
racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap zat kimia,
termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali, atau suatu dosis
besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek
terapi, maka dosis yang adkuat dapat menimbulkan efek fermakoterpeutik. Beberapa macam
keracunan telah diketahui terjadi berdasarkan kelainan genetic (primakuin, INH,
suksinilkolin) atau defisiensi enzim pada neunatus prematur (kloramfenikol), interaksi pada
pemberian obat kombinasi kadang kadang memberi hasil yang sulit dievaluasi atau
diramalkan toksisitasnya.
a. Toksikologi Eksperimental

Sejak awal harus disadari bahwa tidak mungkin membuat suatu petunjuk lengkap
mengenai pemeriksaan toksisitas suatu obat atau zat kimia.pada hakekatnya tidak perlu
dibedakan antara obat dan zat kimia dari sudut toksikologi, sehingga dalam pembahasan
keduanya diperlakukan sama. Selanjutnya dalam bab ini akan disebut zat untuk pengertian
zat kimia termasuk obat. Percobaan toksisitas sangat bervariasi dan suatu protocol yang kaku
akan membuat penelitian tidak relevan atau menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih.
Karena itu jenis pemeriksaan toksisitas harus didasarkan pada sifat zat (kimia atau obat) yang
akan digunakan serta cara pemakaian.penggunaan obat secara kronik seperti pada
pengobatan hipertensi atau penggunaaan kontrasepsi harus disertai dengan data
karsinogenisitas dan teratogenisitas.dengan tidak mengurangi kepentingan hal yang telah
dijrlaskan tadi,akan dibahas beberapa aspek dari pemeriksaan toksisitas obat penilaian
komprehensif dapat diperoleh melalui pendiddikan dalam bidang
farmakokinetik,farmakodinamik,dan toksikologi.toksikologi sendiri berhubungan dengan
farmakologi karena perbedaan fundamental hanya terletak pada gangguan dosis yang lebih
besar dalam eksperimen toksikologi. pengetahuan dalam kedua ilmu ini bersifat
komplementer dan saling menunjang.
1. Uji farmakokinetik

Pengetahuan mengenai hai ini penting untuk menapsirkan tidak saja efek terapi
tetapi,juga toksisitas suatu obat.segala hal yang menyangkut farmakokinetik ini memerlukan
analisis kuantitatif dari zat dalam cairan biologik atau organ tubuh.Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi absorpsi ini,sehingga akan mempengaruhi dosis dan toksisitasnya.suatu obat
atau zat kimia yang akan dipakai lokal saja pada kulit, harus dipelajari terutama berapa jauh
absorpsinya melalui kulit. Perbedaan kadar dalam darah dari pemberian oral dan parenteral
akan memberi gambaran tentang derajat absorpsi per oral.
Setelah diabsorpsi semua zat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah.Distribusi ini mungkin tidak akan merata dan kumulasi sering dilihat dalam organ
tubuh tertentu. Pengikat obat oleh protein plasma dapat mengurangi efektivitas/ toksisitasnya.
Keadaan distribusi ini tidak statis tetapi sangat dinamis sehingga selalu obat akan mengalami
redistribusi dalam cairan dan organ tubuh. Setiap obat akan dianggap oleh tubuh sebagai
suatu bahan asing, sehingga tubuh merombaknya menjadi bentuk yang dapat diekskresi
(lebih larut dalam air, lebih polar). Metabollit yang terbentuk, biasanya tidak aktif lagi dan
toksisitas biasanya berkurang, walau kadang – kadang dapat terjadi sebaliknya.
Alat ekskresi terpenting ialah hati dan ginjal. Ekskresi obat dapat terjadi dalam bentuk
asalnya maupun bentuk metabolit. Pengetahuan mengenai ini penting dalam toksikologi
karena pada keracunan, usaha untuk meningkatkan diuresis hanya dapat bermanfaat bila obat
yang bersangkutan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk aktif dan bukan dalam bentuk
metabolit inaktif.
2. Uji Farmakodinamik

Sebelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dulu efek
apa yang terjadi terhadap semua organ dalam tubuh yang sehat. Screening efek
farmakodinamik ini sangat diperlukan. Jarang terdapat suatu obat yang hanya memiliki satu
jenis efek, hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi fungsi
berbagai macam alat dan faal tubuh. Seringkali sifat toksik suatu obat merupakan lanjutan
dari efek farmakodinamik atau efek terapinya.
3. Menilai Keamanan Zat kimia

Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi,
karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan dipergunakan harus diuji toksisitas dan
keamanannya. Bila zat kimia itu merupakan zat tambahan makanan atau kontaminan yang
tanpa sengaja dapat masuk dalam makanan , misalnya : pestisida atau berbagai metal, maka
penilaian kamanannya dilakukan melalui tata yang telah baku. Setiap zat kimia, bila
diberikan dosis yang cukup besar akan menibulkan gejala-gejala toksis. Gejala-gejala ini
pertama-tama harus ditentukan pada hewan coba melalui penelitian toksisitas akut dan
subkronik guna memperoleh kesan pertama tentang kelainan yang dapat ditimbulan .
selanjutnya, perlu ditentukan sesuatu dosis yang terbesar yang tidak menimbulkan efek
merugikan pada hewan percobaan yang disebut No Effect Level (NEL) atau No (observer)
effect level (NOEL). Hal ini dilakukan dengan mencobakan berbagai tingkat dosis sampai
ditemukan dosis yang tidak menimbulkan efek buruk pada hewan percobaan.

4. Uji toksikologi

Sebelum percobaan toksikologi dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi,
sifat obat dan rencana penggunaannya. Hal ini memerlukan judgement seorang yang
berpengalaman dalam bidang ini.
 Toksisitas Akut

Percobaan ini meliputi Single Dose Eksperiment yang di evaluasi 3-14 hari sesudahnya,
tergantung dari gejala yang ditimbulkan.batas dosis harus dipilih sedemikisn rupa sehingga
dapat memperoleh suatu kurva dosis respon yang dapat berwujud respon yang bertahap
( mislanya mengukur lamanya waktu tidur) atau suatu respon kuantal ( misalnya mati)
biasanya digunakan 4-6 kelompok terdiri dari sedikitnya 4 ekor tikus percobaan.
Cara pemberiam obat harus dipilih sesuai dengan yang akan digunakan diklinik. Jadi
untuk obat yang akan dipakai sebagai obat suntik perlu diuji dengan cara parenteral dan obat
yang digunakan sebagai salep terutama harus diuji pada kulit.
 Toksisitas jangka lama
Percoban jenis ini mencangkup pemberian obat secara berulang selama 1-3 bulan
(percobaan subakut), 3-6 bulan (percobaan kronik) atau seumur hewan (lifelong studies).
Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat,
kecuali untuk percobaan karsinogenisitas.

 Mekanisme terjadinya toksisitas obat

Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik.karena itu, gejala
toksik merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan. Suatu obat jantung yang bekerja
menghambat konduksi antrioventrikular akan menimbulkan blok AV pada keracunan ,suatu
hipnotik akan menimbulkan koma . hal ini akan lebih cepat terjadi , pada manusia yang
hipereaktif terhadap obat bersangkutan.
5. Keracunan

Anamnesis amat penting dan sering dapat menunjukan adanya unsur keracunan tetapi ini
hanya benar bila anamnesis menjurus kesuatu cerita yang positif keracunan dapat terjadi
karena beberapa hal , dan pilahan dibawah ini dapat membantu dalam mencari sebab
keracunan.
a. Pilahan menurut cara terjadinya keracunan
Self poisoning. Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi
dengan pengetahuan bawah dosis ini tidak akan membahayakan
b. Attempted suicide
c. Dalam hal ini pasien memang bermaksud bunuh diri, tetapi bisa dengan kematian
atau pasien sembuh kembali bisa ini salah tafsir tentang dosis yang di makannya
d. accidental poisoning
hal ini merupakan kecelakaan ,tanpa faktor kesengajaan

e. homicidal poisoning
keracunan ini akibat tindakan kriminaal yaitu seseorang dengan sengaja dengan
meracuni orang lain
8.pilahan menurut mula waktu terjadinya keracunan
 Diagnosis keracunan kronik
Sulit di buat karena gejalanya timbul perlahan dan lama sesudah pajanan.gejala juga
dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil.
Juga mungkin terjadi suatu manifestasi kronik pada organ oleh zat kimia yang
mempunyai t1/2 pendek, namun sifat toksisnya terhadap organ yang kumulatif.
 Diagnosis keracunan akut
Lebih mudah di kenal dari pada keracunan kronik karena biasanya terjadi
memdadak setelah makan sesuatu.
9.pilahan menurut bahan kimia
Golongan zat kimia tertentu biasnya memperlihatkan sifat toksit yang
sama.misalnya : golongan alcohol ,fenol,logam berat, oganoklorin dll.
10. gejala dan diagnosis keracunan
Gejala yang mengarah ke suatu diagnosis keracunan sebanding dengan banyaknya
jumlah golongan obat yang beredar. Dan suatu gejala sering bersifat aspesifik misalnya,
koma yang dapat disebabkan oleh hipnotip obat perangsang SPP, salisilat, anti depresi dll
. pada pengelolahan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis,
walaupun sebabnya belum diketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatis
sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya . diantaranya yang sangat penting pada
permulaan keracunan ialah derajat kesadaran dan respirasi.
BAB III
PEMBAHASAN

Meskipun jahe memiliki banyak manfaat kesehatan , ternyata jahe juga dapat memicu
sejumlah efek samping , terutama jika dikomsumsi dalam jumlah besar . menurut herbalist ,
komsumsi lebih dari 4 grm jahe dalam satu hari dapat menyebabkan mulas, kembung, mual, atau
gangguan perut. Jahe juga mengganggu efek obat pengencer darah, seperti warfin dan aspirin.
jahe digunakan sebagai penangkal untuk keracunan makanan atau obat, yang menekankan sifat
detoksifikasi. racun yang diciptakan di dalam tubuh dapat mereka buang secara efektif dengan
jahe. bahwa ramuan yang bermanfaat bagi kesehatan ini dapat benar-benar menimbulkan
ancaman kesehatan juga.

5 orang yang sebaiknya tidak mengonsumsi jahe : .

1. Orang dengan gangguan darah

Jahe mencegah pembekuan darah, tetapi meningkatkan sirkulasi dan aliran darah. Hal
ini meningkatkan risiko pendarahan, terutama pada orang dengan kelainan darah atau
mereka yang sedang menjalani pengobatan yang memperlambat pembekuan darah.

2. Orang dengan batu empedu

Jahe merangsang produksi empedu sehingga tidak dianjurkan untuk orang yang
menderita batu empedu.

3. Orang dengan diabetes dan hipertensi

Jahe mungkin menurunkan gula darah dan tekanan darah, sehingga orang yang
mengonsumsi obat untuk diabetes atau hipertensi harus berkonsultasi dengan ahli
kesehatan sebelum mengonsumsi jahe dalam bentuk apa pun.
4. Orang dengan Ulkus atau IBD

Jahe segar telah dikaitkan dengan penyumbatan usus, sehingga orang yang menderita
ulkus, penyakit radang usus atau usus yang tersumbat sangat disarankan untuk
menghindarinya.

5. Orang yang akan melakukan operasi

tahun 2007 menemukan bahwa mengonsumsi jahe sebelum operasi juga


meningkatkan risiko pendarahan internal. Para ahli kesehatan menyarankan untuk
menghindari konsumsi teh jahe dua minggu sebelum operasi.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pangan fungsional mempunyai prospek cerah sehingga peluang pengembangan produk
baru yang dapat diterima konsumen secara luas masih terbuka lebar, termasuk pangan
fungsional berbahan baku tanaman rempah dan obat. Berkembangnya pola hidup sehat dan
kembali ke alam akan mempercepat pengembangan jenis produk ini. Tersedianya pangan
fungsional yang beragam akan memudahkan konsumen dalam memperoleh jenis pangan yang
diyakini bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh. Bagi kalangan industri, produksi
jenis pangan ini harus benar-benar direncanakan dengan baik dan matang.
Standardisasi produk pangan fungsional merupakan suatu keharusan. Peran Badan POM
dalam menyusun konsep standar bagi pangan fungsional yang mencakup standar komposisi,
cara produksi, label dan klaim sangat dibutuhkan. Penyusunan standar tersebut antara lain
perlu mengacu pada Foods for Specified Use (FOSHU), suatu standar bagi pangan fungsional
yang sudah diberlakukan di Jepang.

B. SARAN
Untuk Masyarakat :
1. Perlu diperhatikan oleh masyarakat untuk tempat pengobatan alternatif yang tidak
disertai dengan sertifikat dari lembaga pelatihan pengobatan alternatif dari tempat ia belajar,
ataupun Departemen Kesehatan sehingga pasien lebih yakin dalam melakukan proses
penyembuhan, karena sudah terbilang aman dan keberadaannya telah diakui.
2. Masyarakat disarankan untuk bertanya terlebih dahulu apakah ada jaminan atas
resiko apa ada kemungkinan penyakit yang diderita malah memburuk setelah melakukan
pengobatan, sehingga perlu juga ditanyakan kepada pengobatanya.
3. Masyarakat harus mencari informasi selengkap-lengkapnya tentang pengobatan
alternatif yang ingin dikunjungi, sebelum melakukan pengobatan ditempat tersebut.
4. Masyarakat yang ingin hidup selalu sehat serta jauh dari penyakit, maka mulailah
sejak dini untuk memulai pola hidup sehat, seperti : olah raga, perbanyak minum air putih, dan
banyak mengkonsumsi buah-buahan.

DAFTAR PUSTAKA

Christina Winarti dan Nanan Nurdjanah, Journal: Peluang Tanaman Rempah Dan Obat
Sebagai Sumber Pangan Fungsional, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16111.
Sulistia G. Ganiswara, 2003, Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai