Anda di halaman 1dari 10

TUGAS INFRASTRUKTUR WILAYAH DAN KOTA

Nama : Fuadi Hary Merdeka


NPM :
Dosen Pengampu : Dr. Irin Caisarina, S.T., M.Sc

1. Terminal type A, B, dan C di Aceh.


Terminal type A:
» Terminal Type A Batoh (Kota Banda Aceh)
» Terminal Type A Lhokseumawe (Kota Lhokseumawe)
» Terminal Type A Langsa (Kota Langsa)
» Terminal Type A Paya Ilang (Kab. Aceh Tengah)
» Terminal Type A Meulaboh (Kab. Aceh Barat)

Terminal type B:

» Terminal Type B Sigli (Kab. Pidie)


» Terminal Type B Pidie Jaya (Kab. Pidie Jaya)
» Terminal Type B Bireun (Kab. Bireun)
» Terminal Type B Tamiang (Kab. Aceh Tamiang)
» Terminal Type B Aceh Jaya (Kab. Aceh Jaya)
» Terminal Type B Nagan Raya (Kab. Nagan Raya)
» Terminal Type B ABDYA (Kab. Aceh Barat Daya)
» Terminal Type B Subulussalam (Kota Subulussalam)
» Terminal Type B Singkil (Kab. Aceh Singkil)
» Terminal Type B Bener Meriah (Kab. Bener Meriah)
» Terminal Type B Tapaktuan (Kab. Aceh Selatan)
» Terminal Type B Kutacane (Kab. Aceh Tenggara)

Terminal Type C:

» Terminal Type C Sinabang (Kab. Simeulue)

2. Penentuan lokasi pelabuhan laut dan penentuan lokasi bandar udara


Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Pelabuhan Laut, sebagai berikut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 64 Tahun 2018 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Dan
Prosedur Penetapan Lokasi Bandar Udara, sebagai berikut.
Pasal 40
(1) Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diusulkan oleh Pemrakarsa
melalui surat permohonan tertulis dengan melampirkan:
a. kajian Rencana Induk Bandar Udara;
b. persetujuan Direktur Jenderal terhadap kelayakan lokasi Bandar Udara; dan
c. persyaratan administrasi.
(3) Penetapan lokasi Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku untuk
Bandar Udara baru.
(4) Dalam hal usulan penetapan lokasi Bandar Udara baru sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diprakarsai oleh Pemerintah maka penyediaan lahan dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 41
(1) Kajian Rencana Induk Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2)
huruf a harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 15.
(2) Persetujuan Direktur Jenderal terhadap kelayakan lokasi Bandar Udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b, diberikan untuk kajian kelayakan lokasi
Bandar Udara yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5.
(3) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c,
diajukan oleh pemrakarsa yang terdiri atas:
a. surat permohonan usulan penetapan lokasi Bandar Udara;
b. surat rekomendasi dari gubernur/bupati/walikota terhadap kesesuaian rencana lokasi
Bandar Udara dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tataran Transportasi
Wilayah serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Tataran Transportasi
Lokal, untuk Pemerintah Daerah dimana lokasi yang dimohonkan belum memiliki
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tataran Transportasi Wilayah serta Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Tataran Transportasi Lokal pada
daerah/wilayah setempat;
c. salinan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tataran Transportasi
Wilayah serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Tataran Transportasi
Lokal, untuk Pemerintah Daerah dimana lokasi yang dimohonkan telah
memiliki/ditetapkan/disahkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tataran
Transportasi Wilayah serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Tataran
Transportasi Lokal;
d. surat pernyataan kesanggupan penyediaan lahan untuk Bandar Udara yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Bandar Udara;
e. surat keterangan dari instansi yang berwenang, bahwa rencana lokasi Bandar Udara
tidak berada di kawasan taman nasional, hutan lindung, daerah cagar alam/budaya,
lahan konservasi atau potensi sumber daya alam; dan
f. surat kesanggupan untuk mengamankan dan mengendalikan tataguna lahan sekitar
Bandar Udara oleh Bupati/Walikota.
(4) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) huruf b, huruf
e, dan huruf f, dikeluarkan oleh instansi yang berwenang secara tertulis paling lambat
7 (tujuh) hari kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Contoh format surat persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.

3. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 48
(1) Bandar Udara yang telah ada (eksisting) hanya memerlukan penetapan rencana induk.
(2) Penetapan rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh
Pemrakarsa dengan disertai:
a. surat pernyataan kesesuaian rencana pengembangan Bandar Udara dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tataran Transportasi Wilayah serta Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Tataran Transportasi Lokal yang dibuktikan
dengan lampiran dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang sudah dimuat
di dalamPeraturan Daerah dan dokumen TataranTransportasi Wilayah serta lampiran
dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang sudah dimuat di dalam
Peraturan Daerah dan dokumen Tataran Transportasi Lokal; dan
b. surat pernyataan kesanggupan penyediaan lahan.
(3) Contoh format surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

4. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:


Pasal 49
(1) Direktur Jenderal menyusun program evaluasi terhadap Bandar Udara yang telah
beroperasi di Indonesia terhadap pemenuhan ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentangPenerbangan.
(2) Direktur Jenderal mengembangkan pelayanan perizinan penetapan lokasi Bandar Udara
melalui sistem online.
(3) Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini.

3. Rencana induk pelabuhan laut dan rencana induk bandar udara

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KP 432 Tahun


2017 Tentang Rencana Induk Pelabuhan Nasional, sebagai berikut.
MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG RENCANA
INDUK PELABUHAN NASIONAL.
PERTAMA : Menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
KEDUA : Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada Diktum
PERTAMA berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
KETIGA : Rencana Induk Pelabuhan Nasional merupakan pedoman dalam penetapan
lokasi, pembangunan, pengoperasian, pengembangan pelabuhan, dan penyusunan Rencana
Induk Pelabuhan.
KEEMPAT : Direktur Jenderal Perhubungan Laut melakukan pembinaan dan pengawasan
teknis penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional.

Peninjauan kembali Rencana Induk Pelabuhan Nasional dilakukan dengan pertimbangan


antara lain:
1. Pemekaran wilayah Provinsi maupun Kota/Kabupaten serta pengembangannya;
2. Perlunya memadukan simpul-simpul moda transportasi perairan (laut, sungai, danau
dan penyeberangan termasuk perubahan dalam tataran perencanaan angkutan
penyeberangan) guna menjamin adanya konektivitas dan integrasi pengembangan antar
moda;
3. Ditetapkannya 9 (sembilan) Agenda Pembangunan Pemerintahan yang dikenal
sebagai Nawacita yang diantaranya akan diwujudkan dengan program Tol Laut;
4. Pengembangan destinasi wisata prioritas nasional; dan
5. Rencana strategis lain terkait rencana pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
serta perubahan lingkungan strategis secara global.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2019


tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, sebagai berikut.
Pasal 16
(1) Penetapan Bandar Udara Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. rencana induk nasional Bandar Udara;
b. pertahanan dan keamanan negara;
c. pertumbuhan dan perkembangan pariwisata;
d. kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional; dan
e. pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri.
(2) Rencana induk nasional Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan arah kebijakan nasional Bandar Udara dan sebagai pedoman dalam
penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan
pengembangan Bandar Udara
Pasal 19
Rencana induk nasional Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana
tata ruang wilayah kabupaten / kota;
b. rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
c. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
d. potensi sumber daya alam;
e. perkembangan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional;
f. sistem transportasi nasional;
g. keterpaduan intermoda dan multimoda; dan
h. peran Bandar Udara.

4. Permenhub pelabuhan laut dan permenhub bandar udara


Permenhub Pelabuhan Laut
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2021
Tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.
 Keputusan Ditjen Perhubungan Laut OT. 101/2/DJPL-15 Tentang Penetapan Tata
Cara Perhitungan Struktur Fasilitas Pelabuhan Laut Tentang Penetapan Tata Cara
Perhitungan Struktur Fasilitas Pelabuhan Laut.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 22 Tahun 2010 Tentang Pengangkutan
Barang/Muatan Antar Pelabuhan Laut di Dalam Negeri.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 21 Tahun 2007 Tentang Sistem dan
Prosedur Pelayanan Kapal, Barang dan Penumpang Pada Pelabuhan Laut Yang
Diselenggarakan Oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kantor Pelabuhan.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 57 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 51 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Pelabuhan Laut.

Permenhub Bandar Udara

 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 4 Tahun 1995 Tentang


Penyempurnaan dan Penataan Kelas Bandar Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 20 Tahun 2005 Tentang Pemberlakuan
standar nasional indonesia (SNI) 03-7046-2004 mengenai terminal penumpang
bandar udara sebagai standar wajib.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 31 Tahun 2005 Tentang Pemberlakuan
standar nasional Indonesia (SNI) 03-7049-2004 mengenai perancangan fasilitas
bagi pengguna khusus di bandar udara sebagai standar wajib.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 21 Tahun 2005 Tentang Pemberlakuan
Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-7095-2005 mengenai Marka dan Rambu Pada
Daerah Pergerakan Pesawat Udara di Bandar Udara sebagai Standar Wajib.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2005 Tentang Pemberlakuan
standar nasional Indonesia (SNI) 03-7066-2005 mengenai pemeriksaan penumpang
dan barang yang diangkut pesawat udara di bandar udara sebagai standar wajib
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 29 Tahun 2005 Tentang Pemberlakuan
standar nasional Indonesia (SNI) 03-7047-2004 mengenai terminal kargo bandar
udara sebagai standar wajib.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 41 Tahun 2011 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Otoritas Bandar Udara.
 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 Tentang
Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 39 Tahun 2014 Tentang Kriteria
Klasifikasi Organisasi Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40 Tahun 2014 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 87 Tahun 2016 Tentang Tata Cara dan
Prosedur Pemberian Izin Mendirikan Bangunan Bandar Udara dan Persetujuan
Pengembangan Bandar Udara.
 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor : KP 205 Tahun 2016
Tentang Penataan Area Komersial Pada Terminal Penumpang Bandar Udara.
 Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 110 Tahun 2019
Tentang PT. Angkasa Pura II (Persero) Sebagai Badan Usaha Bandar Udara,
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 56 Tahun 2019
Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40
Tahun 2014 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Bandar
Udara.
 Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 26 Tahun 2020
Tentang PT. Angkasa Pura I (Persero) Sebagai Badan Usaha Bandar Udara.
 Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 259 Tahun 2020
Tentang Tata Cara Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Kedalam Jabatan
Fungsional Inspektur Bandar Udara dan Asisten Inspektur Bandar Udara Melalui
Penyesuaian (Inpassing)
 Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 98 Tahun 2021
Tentang Penetapan Bandar Udara yang Dikelola oleh PT. Angkasa Pura II (Persero).
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 81 Tahun 2021
Tentang Kegiatan Pengusahaan di Bandar Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 37 Tahun 2021
Tentang Personel Bandar Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 36 Tahun 2021
Tentang Standarisasi Fasilitas Bandar Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 32 Tahun 2021
Tentang Standar Pembangunan Bandar Udara Serta Tempat Pendaratan dan Lepas
Landas Helikopter.
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 118 Tahun 2021
Tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 40
Tahun 2014 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Bandar
Udara.
 Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 41 Tahun 2023
Tentang Pelayanan Jasa Kebandarudaraan di Bandar Udara.

5. Apa itu AKAP dan AKDP?


AKAP merupakan kependekan dari istilah Antar Kota Antar Provinsi. Dari namanya,
sudah terlihat bahwa bus AKAP artinya merupakan bus yang kota tujuan dan kota asal
tempat berangkatnya sudah berbeda provinsi. Karena inilah, bus-bus jarak jauh yang
rutenya melintasi batas provinsi pasti menggunakan istilah "AKAP". Karena memang,
tak bisa dipungkiri bahwa, seperti diatas, AKAP artinya Antar Kota Antar Provinsi.
Bus AKAP rutenya biasanya lebih dari 200 kilometer, bahkan ada yang sampai ribuan
kilometer. Contohnya, bus jurusan Jakarta-Semarang adalah bus yang termasuk
AKAP, atau jurusan Lampung-Palembang juga termasuk AKAP.

Sementara, AKDP sendiri memiliki arti "Antar Kota Dalam Provinsi". Maknanya, bus
AKDP memiliki kota tujuan dan kota asal yang berbeda namun masih dalam satu
provinsi yang sama, jadi rutenya tidak melintasi batas provinsi. Bus-bus jarak dekat
hingga menengah kebanyakan adalah bus AKDP, yang tidak melintasi batas provinsi
manapun. Bus-bus jarak dekat memang kebanyakan menggunakan istilah AKDP,
sebab itu tadi, rutenya tidak melintasi batas provinsi. AKDP biasanya trayeknya
sekitar 50-150 kilometer. Contohnya, bus jurusan Lhokseumawe-Takengon itu AKDP,
bus jurusan Medan-Padang Sidempuan juga AKDP, jurusan Banda Aceh-Meulaboh
termasuk AKDP pula.

Anda mungkin juga menyukai