Klang!
Aku menangkis pedang Legion. Saat dia melepaskan
kewaspadaannya sebentar, aku menusukkan pedangku ke
bahunya. Itu meluncur dengan mulus di bawah tulang
selangkanya.
Aku mendengar dan merasakan hentakan kecil saat Pedang
Raja Hitam membelah tulang belikatnya menjadi dua,
bilahnya keluar dari punggungnya. Legion melolong
kesakitan saat darah yang cukup banyak mengalir keluar
dari zirahnya.
“Bajingan… kau akan membayar untuk ini” umpatnya
“Ooohh.. Aku gemetar.” Ejekku.
Legion menendangku, dan aku mundur. Kulihat dia berdiri
dan dia kemudian kembali masuk ke posisi kuda-kuda.
Setelahnya, dia bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Aku
tidak punya waktu untuk menggerakkan pedangku. Aku
hanya bisa melihat bayangan setelah pedangnya mengarah
ke arahku dan—
.
—kurasakan tombakku menembus tubuhku sendiri. Legion
mendorongnya ke dalam tubuhku secara perlahan untuk
memaksimalkan rasa sakitnya.
.
Aku menangkap pedangnya dengan tangan kosong.
.
Dia mencabut tombaknya, dan menusukku lagi. Dan lagi. Dan
lagi. Aku mendengar suaranya di kepalaku, itu adalah suara
daging dicabik-cabik, dagingku sendiri. Kau telah
dikalahkan. Kau tidak bisa melawannya. Karena
kegagalanmu, kau akan dibuang ke kekosongan
selamanya.
“Tidak—“
.
Mulut Legion terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu.
Namun itu menutup lagi. Dia nyaris tidak bisa mundur saat
Pedang Raja Hitam mencetak luka miring besar dari bagian
atas panggulnya di sisi kanan hingga bahu kirinya. Jika dia
tidak mundur seperti itu, dia pasti sudah terbelah dua oleh
seranganku. Legion terengah-engah, batuk darah, dan jatuh
berlutut.
Dia sudah kehabisan tenaga.
.
Pertarungan kami, semua telah berakhir. Bertarung di depan
pintu retakan ruang, Legion telah menendangku masuk ke
Void. Memperjelas dominasinya kepadaku.
Pandangan terakhirku, adalah wajahnya. Wajahnya yang
tersenyum menyebalkan. Sebuah senyum yang melihatku
sebagai tidak lebih dari serangga penggangu.
.
Aku berdiri di dekatnya, pikiran-pikiran berkecamuk di
benakku. Sudah cukup bermain, main, pikirku dalam hati.
Kini, roda telah berputar. Dia sudah kalah dan tinggal
menyambut ajal.
Aku telah membuktikan, bahwa pada akhirnya, akulah yang
terakhir tertawa.
Dengan Pedang Raja Hitam, aku akan menusuknya. Merusak
rohnya sampai dia tidak akan pergi ke alam lain, dan hanya
akan hancur berkeping-keping di tempat ini. Yah, tidak akan
ada reinkarnasi, tidak akan ada kehidupan setelah kematian.
Ini adalah akhir pamungkas dari The Strongest Seeker -
Legion.
“Ini sudah berakhir, Legion”
Dan kemudian, aku menusukkan pedang Raja Hitam ke
tulang rusuknya.
Catatan admin : kalimat berwarna biru adalah kilas balik /
Flashback.
0o0
PART 7 : Immortalis
Kejutan dari dampaknya menjalar ke lenganku. Legion
berteriak. Itu bukan auman amarahnya, tapi jeritan
kesakitan. Perasaan damai yang tidak wajar, perasaan yang
berbeda dari perasaan lainnya, menyelimutiku. Mataku
terpejam saat aku membiarkannya membasuh diriku, dan
tubuhku menjadi rileks saat balas dendamku terpuaskan
setelah penantian panjang selama berabad-abad.
.
“Legion!”
Aku menoleh dan melihat tiga sosok sedang memperhatikan.
Aku melihat Balance, The Hollow Man, dan seseorang yang
tidak aku kenali.
Kemarahan mendidih dalam diriku ketika para penyusup ini
mengganggu pembenaranku. Aku menoleh kesekitar, dan
bahkan tidak sadar ketika kulihat Pessum Ire dan Eddo Edi
Essum juga sudah ada di dalam ruangan.
Tiga orang dari kubu mereka, dan tiga orang dari kubu kami,
bertatapan selama beberapa saat. Aku sadar, ketika para
penyusup itu berbisik-bisik, mereka pasti tengah
merencanakan sesuatu.
Kemudian, aku melihat The Hollow Man menyerbu Pessum
Ire dan Essum. Ini pemakamannya. Aku mendengus, dasar
bodoh.
Disisi lain, Balance dan si lelaki tidak kukenal tiba-tiba
mendekat dengan semacam sihir teleportasi. Aku tau, bahwa
mereka hendak mendekati mayat Legion. Itulah kenapa, aku
memutuskan untuk mencegat mereka dan langsung
mengayunkan pedangku, berharap menebas mereka berdua
seketika.
Aku tersenyum. Balance bodoh. Kau masuk langsung ke area
tebasanku. Aku yakin.100 persen yakin, bahwa itu adalah
kematian The Balance.
Sayang, aku lupa bahwa dia adalah eksistensi diatas Holder
itu sendiri.
Klang!
Tebasanku ditangkis oleh sebuah pedang yang tiba-tiba
dikeluarkannya.
“Ap—?”
Perlu beberapa detik sampai aku menyadari kenapa
tebasanku bisa dihalangi. Ketika aku menyadarinya, darahku
langsung mendidih, dan aku bisa merasakan Pedang Raja
Hitam mengeluarkan aura seakan dia menggila.
Itu, yang dipegang The Balance, tidak lain dan tidak bukan,
adalah Pedang Raja Putih. Kau mungkin tidak akan bisa
membayangkan perasaannya; Perasaan ketika pedangku
menggila dan panas ber api-api mulai menguap. Dia kenal
musuh bebuyutannya dan perasaan itu dia tularkan
kepadaku.
Baik Pedang Raja Hitam dan aku, kita berdua sama-sama tau
kalau pertemuan kedua pedang ini adalah sesuatu yang
ditakdirkan.
“Benar juga! Benar juga!! Memang harus seperti ini! Memang
sudah tertulis diantara bintang-bintang bahwa Pedang Raja
Hitam, harus melawan Pedang Raja Putih!!” ujarku.
Kemudian, kami bertarung.
.
Kami beradu, pedang melawan pedang. Aku tidak mengerti,
kenapa Pedang Raja Hitam menolak mengeluarkan aura
mematikan ketika aku menebaskan pedangku kepada
Balance.
Aku tersentak, ketika Balance benar-benar mampu
menekanku dengan sebegitu sengitnya.
‘k-keparat ini’ aku membatin. Itu kutujukan tidak hanya
kepada The Balance, tetapi juga kepada Pedang Raja Hitam.
Pedang ini, dengan segenap kesombongannya yang tinggi,
menolak untuk menurutiku dalam melancarkan serangan
mematikan. Ini seperti, dia memaksa aku dan Balance untuk
berada di power level yang sama.
Aku tidak tau kenapa, padahal beberapa waktu lalu, aku
sempat yakin Pedang Raja Hitam telah mengeluarkan aura
super kuat yang kukira, akan disusul dengan ledakan
kekuatan yang dahsyat. Namun nyatanya tidak.
‘fu$k’ aku mengumpat dalam hati, ketika Pedang sialan ini
tidak mau menuruti kehendakku. Lebih parah, ketika aku
melihat Pessum Ire, benar-benar tidak bisa menandingi The
Hollow Man..
Kemudian, karena salah langkah, kulihat Balance
menggunakan kesempatan itu untuk menarik temanya dan
mendekatkannya ke Legion.
Entah apa yang dia lakukan, namun, orang yang seharusnya
sudah menjadi mayat itu, tiba-tiba kembali mendapatkan
kekuatannya dan sembuh.
!?!
Aku mundur, untuk melihat Legion mengejang, berguling
dan bangkit kembali.
“Tidak!” aku berteriak.
Legion mengaum, dia menerima Pedang Raja Putih dari
Balance dan langsung menyerangku.
“Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidak!” Legion
menjatuhkanku ke tanah. Tinjunya menghantam wajahku,
satu demi satu. Aku mendengarnya menjerit marah padaku
saat dia memukul wajahku berulang kali. Memanggil sisa
kekuatanku, aku menendangnya menjauh dariku.
Aku sempat melayangkan sayatan di pipinya, namun kulihat
pipi itu sembuh kembali. Aku tertegun. Legion terbang
mundur agak jauh sebelum berhenti. Dia mengaum lagi, dan
kembali bangkit.
.
Sebelum dia sempat menyerangku lagi, Edo Edi Essum
berbalik ke arahnya. Legion menjerit dan jatuh berlutut,
hidung dan telinganya berdarah. Dengan Legion yang tidak
berdaya untuk sementara waktu, aku mengalihkan
perhatianku ke Balance.
‘O-Orang ini. Dia telah mengacaukan segalanya!’ batinku.
Aku kemudian mengangkat Pedang Raja Hitam tinggi, dan
kali ini Pedang itu merespon. Kemudian, satu tebasan di
udara, dan aura hitam berbentuk sayatan melayang ke arah
Balance.
Sayang, yang bisa aku kenai hanya jubahnya, karena dia
menghindar dengan cepat. Tsk, pengguna sihir benar-benar
merepotkan.
"Begitukah? Susah-susah kau mencoba membunuh Legion,
dan kini Edo Edi Essum yang akan mengakhiri Legion
untukmu? Benar-benar payah!” kudengar Balance
mengejekku.
Aku menoleh kepada Eddo Edi Essum yang nampaknya tidak
mencoba menghabisi Legion sama sekali. Entah dia tidak
bisa, tidak mau, atau dia sedang menganalisa apakah
keabadian Legion yang telah kembali.
Yah, aku yakin keabadian itu telah kembali,
Kulirik Pessum Ire, dan dia sudah benar-benar terkapar,
dikalahkan oleh The Hollow Man. Entah dia sudah mati atau
belum.
Ah, semuanya menjadi kacau balau. Legion sudah kembali
abadi dan semua usahaku sia-sia. Dengan kami yang
kekurangan orang dan Balance yang ada disini, usaha ini
mustahil untuk dilanjutkan.
Aku tertawa pelan. Bukan kepada orang lain, tapi kepada
diriku yang terlalu lama bermain-main. Menyesali fakta
bahwa aku tidak membunuh Legion sedari tadi.
Aku mengangguk pelan pada Edo Edi Essum.
Mengisyaratkan untuk mundur, dan dia tau apa yang harus
dilakukan.
.
.
.
Kilatan cahaya mengerikan menyelimuti kami berdua. Aku
bisa mendengar musuh-musuh kami berteriak kaget saat
Essum dan aku melarikan diri. Sekilas terlintas dalam
benakku bahwa kami telah meninggalkan Pessum Ire.
Namun ketika aku sadar, aku sudah tidak peduli lagi. Rasa
sakit yang membakar menyelimutiku saat aku diteleportasi
kembali ke Void.
Dipenuhi penyesalan, sekali lagi aku melayang melewati
Kekosongan. Essum melayang diam-diam di sampingku saat
aku tanpa sadar mempelajari Pedang Raja Hitam. Aku telah
menang, aku berpikir dalam hati, aku telah menang. Aku
telah mengalahkan Legion. Aku, Infectos Essun, telah
mengalahkan makhluk terkuat di planet ini. Dan kemudian,
semuanya diambil dariku. Diambil oleh si brengsek yang ikut
campur itu. Balance!
“Apakah kau menyesal?”
Kata-kata Essum mengejutkanku. Bahkan dari mendengar
suaranya, keberadaanku sendiri tergunjang. Aku mengejang
kesakitan saat suara itu mencapai telingaku. Aku merasakan
setiap sensasinya merayapi kulitku, merasakan suaranya
seperti darah kotor di lidahku.
“Ya.” Balasku.
“Apakah kau ingin kekuatan lebih?”
“Ya!”
“Aku bisa memberikannya. Aku bisa memberimu
kekuatan, untuk memusnahkan Balance dan
Legion.” tawar Essum.
“Oh ya. Bagaimana caranya?”
“.. Kau harus bersumpah setia kepadaku.”
Mendengar itu, aku langsung merinding. Aku bahkan tidak
tau kalau aku masih bisa merinding. Kemudian, sensasi
membunuh yang sangat luar biasa, bisa kurasakan dari diri
Essum. Aku menjaga jarak. Bahkan aku, sang Penguasa Void,
masih bisa terkisap ketika merasakan sensasi itu.
“Jangan main-main Essum! Kita masih punya aliansi ya—
ARRRGGGHHH!!!”
Sumpah setia.
Kata-kata itu berputar-putar di dalam kepalaku. Aku merasa
seolah-olah pikiranku terkoyak. Semacam kekuatan yang
mengekang mengalir di sekitarku. Ini lebih berat, lebih
intens dari apapun yang pernah aku rasakan sebelumnya.
Aku merasakan tulang-tulangku retak karena beban itu. Aku
bisa merasakan tubuhku hancur, lemas.
“Y-Ya.” aku terkesiap. Entah kenapa, aku kemudian
menyetujui tawarannya. “A-Aku... menginginkan kekuasaan.
Aku ingin balas dendam. Aku ingin menghancurkan semua
orang yang menghalangi jalanku. Edo Edi Essum, aku
bersumpah... kesetiaanku padamu. Hidupku... adalah milikmu.”
“Bagus.”
“...”
“Sekarang sebutkan namamu.”
Namaku? Aku harus memberitahukan namaku pada Edo Edi
Essum. Siapa namaku? Aku memikirkan hal itu dalam
pikiranku yang lemah. Aku tidak dapat memikirkannya. Yang
aku rasakan hanyalah rasa sakit dan kelelahan. Teror
mencengkeramku. Aku harus mengingat namaku! Aku harus
memberitahukan namaku kepada Edo Edi Essum! Aku harus!
Tiba-tiba perasaan damai menyelimutiku. Aku ingat namaku.
Itu selalu menjadi namaku, meski aku tidak pernah
mengetahuinya. Aku merasa bodoh karena tidak pernah
menyadarinya.
“Namaku... Edo Infectus."
“Ya. Ucapkan lagi.”
“Namaku.. Edo Infectus!”
Namaku...
Nama...?
Na....
N...
n..
.
0o0
PART 8 : Venaliter
“Tunggu, jika kau membunuhku, akan datang konsekwensi
yang sangat berb—“
Permohonan The Holder of the Harvest terputus saat
Pedang Raja Hitam meluncur melalui tenggorokannya. Dia
berdeguk, menatap ke bawah saat darahnya mengalir di
pedang itu.
Aku berhenti sejenak sebelum mecabut pedang itu dengan
tajam ke samping, memenggal kepala sang Holder
sepenuhnya. Saat tubuh itu merosot ke tanah, aku
meraih Sabit yang tergenggam di tangannya. Tangannya
kaku, posesif terhadap Objek bahkan dalam kematian. Aku
memotongnya dengan Pedang Raja Hitam. Mengambil Sabit
tersebut, aku menyarungkan pedangku dan keluar dari
institusi itu.
.
“Jangan bergerak! Angkat tangan! Jangan bergerak atau kami
akan terpaksa menggunakan kekerasan!”
Suara manusia itu terdengar keras, jelas diperkuat. Jaketnya
bertuliskan FBI. Aku dikelilingi oleh mungkin lima puluh
pria berjaket serupa, semuanya mengacungkan berbagai
senjata api otomatis dan semi-otomatis ke arahku.
Seorang pria berdiri beberapa meter di depan yang lain, dan
aku dapat melihat bahwa dialah yang menyuruhku untuk
mengangkat tanganku ke udara. Aku bisa merasakan
kegelisahan dalam dirinya dan semua agen yang ada.
Sebagian besar wujudku ditutupi oleh jubah, dan wajahku
tertunduk, sehingga mustahil bagi mereka untuk melihat
bahwa aku bukanlah manusia. Namun, seperti hewan yang
pemalu, mereka masih bisa merasakan bahayanya.
Aku berdiri di luar rumah sakit jiwa yang tinggi di sebuah
kota bernama Los Angeles, dan para agen FBI meneriakkan
ancaman yang tidak akan pernah bisa mereka atasi
sementara beberapa helikopter melayang di atas mereka.
Aku tahu secara naluriah bahwa helikopter itu juga
mempunyai senjata yang diarahkan kepadaku.
“Aku akan menghitung sampai tiga!” Suara pria itu terdengar,
“Angkat tangan!”
Suara yang diperkuat, menggunakan pengeras susara itu,
semakin melelahkan. Aku mulai berjalan menuju pria itu.
“Berhenti di situ!” Dia berteriak dengan gugup. Aku menarik
tudung kepalaku, memperlihatkan wajahku padanya. Wajah
pria itu menjadi pucat sebelum dia jatuh ke tanah,
mengejang dan mulutnya terbata-bata. Aku meraih
tenggorokannya dengan tangan kananku dan
mengangkatnya ke udara. Lelaki itu meronta—tanganku tak
lagi berkulit, sudah lama menjadi tulang, kitin, atau menjadi
seperti semacam keramik—Tanganku menggengam
semakin erat, semakin erat, semakin erat, semakin erat, dan
leher pria itu patah dengan bunyi yang keras.
Suara itu sepertinya membangunkan anggota pasukan
lainnya dari kebingungan mereka.
“Tembak!” seseorang berteriak. Hampir seketika, berbagai
senjata api ditembakkan dengan sangat cepat, dan proyektil-
proyektil kecil melesat ke arahku. Waktu di sekitarku
melambat. Aku dapat melihat dan mendengar proyektil
beterbangan, membelah udara untuk mencapaiku. Aku
memejamkan mata dan merasakan aku dipukul mundur oleh
beban serangannya.
Aku menarik tanganku, lalu merentangkannya. Gelombang
energi dilepaskan dariku. Agen terdekat dariku menguap
seluruhnya, sementara peluru yang terbang ke arahku
terperangkap dalam gelombang, dan terbang kembali ke
penembaknya. Kaca di gedung di belakangku, serta satu
helikopter yang melayang, pecah berkeping-keping.
Pecahannya jatuh ke tanah seperti hujan salju yang
mematikan, kehebatannya hilang bagi semua orang yang
berdiri di bawah kecuali diriku sendiri. Di salah satu
pecahan kaca, aku melihat sekilas wajahku sendiri.
Tidak ada kulit, hanya tengkorak yang ditutupi dan diberi
daging oleh semacam bahan keramik putih, dengan garis
dan tanda hitam di bagian depan. Gigiku telah menajam
menjadi taring. Dua tanduk, seperti tanduk banteng,
menjulur ke depan, dimulai dari tempat pelipisku berada
dan mengarah ke depanku. Keramik itu memanjang dari dan
ke belakang tengkorakku, di bawahnya rambut hitam
pekatku (yang jelas-jelas belum aku pangkas) jatuh ke
punggung. Aku bisa melihat mataku sendiri di pecahan itu,
melihat kehampaan yang mengerikan di dalamnya. Aku
hampir bisa melihat tuanku. Pemikiran itu membuat aku
gembira karena begitu dekat dengan Edo Edi Essum.
Pecahan besi jatuh ke tanah dan pecah menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil. Aku mendongak, untuk melihat
sebuah proyektil besar meluncur dari salah satu helikopter
yang belum jatuh, dengan jejak asap di belakangnya.
Aku melenturkan sayapku, merobek sebagian besar bagian
belakang jubahku, sebelum merentangkannya dengan tajam.
Kecepatan saat aku terlempar ke atas menimbulkan desahan
dari agen lain saat aku mengulurkan tanganku, menangkap
misil di udara. Aku memutar lenganku dan
merentangkannya lagi saat aku melepaskan misilnya, dan
aku merasakan keterkejutan di wajah pilot saat misil itu
terbang ke arahnya. Sebuah ledakan spektakuler terjadi saat
pecahan peluru dan besi menghujani agen di bawahku.
Aku mendarat di tengah-tengah mereka saat helikopter lain
melepaskan tembakan, proyektilnya memecahkan serpihan
kecil keramik saat memantul ke arahku. Aku meraih wajah
agen terdekat dan melemparkannya ke atas, ke dalam
pesawat. Aku mendengar kaca pecah saat tubuh itu
mendarat di depan pilot. Helikopter itu berputar ke bawah,
ledakannya menghancurkan beberapa agen yang tersisa.
Saat cahaya mulai meredup, aku menarik tudung kepalaku
hingga tandukku hampir tidak terlihat dan wajahku kembali
tertutup. Sayapku terlipat ke belakang saat aku mulai
berjalan cepat menjauh dari lokasi pembantaia—
Dor Dor!
Aku berbalik dan melihat seorang agen yang sendirian,
menembakiku dengan senjata genggam kecil. Dor—tang!.
Tembakannya memantul dari bahuku, hingga serpihan kecil
tulang keramik beterbangan keluar. Aku berbalik ke arahnya.
“LeaEveD toHIEs pDlaEce as SonUcMe EDO”
Pria itu, yang sebelumnya gemetaran, kini terdiam. Setelah
merenung sejenak, dia memasukkan senjata api ke mulutnya,
lalu menarik pelatuknya.
.
Aku melangkah ke dalam Void, dan disambut oleh Edo Edi
Essum. Aku membungkuk, memperlihatkan di hadapanku
Objek yang kuperoleh dari perjalananku. Aku bisa
merasakan energi familiar dan sangat besar yang
menimpaku. Kebisingan dan keteguhan suaranya yang
mengerikan, menyerang pikiran dan tubuhku; Aku melihat,
mendengar, dan merasakan ucapan dan kata-kata yang
menggangguku, membatasiku.
“Bagus sekali. Dan bagaimana dengan Holdernya?”
“DEEAD, DmOy MaEsDter, aIs yEoSu coSmmaUndeMd EDI.”
“Kerja Bagus. Sekarang, Ini hadiahmu.”
“ThEaDnOk yEoDu, mIy MaEsStSeUrM ESSUM”
.
Aku merasakan penderitaan yang tidak asing lagi ketika Edo
Edi Essum memberikan lebih banyak kekuatannya kepadaku.
Aku bisa merasakan rasa sakit yang semakin bertambah,
semakin menumpuk, semakin besar di dalam diriku. Aku
merasa seolah-olah rasa sakit dan energi yang diberikannya,
mencabik-cabik aku dari dalam. Mulutku terbuka dalam
jeritan tanpa suara.
Ini adalah kepekatan.
0o0
PART 9 : Mortuus Monumentum
Aku mendarat di tengah-tengah mayat yang berserakan di
reruntuhan kuno. Seorang pria merangkak ke arahku,
menarik dirinya dengan sisa lengannya. Dia mengucapkan
sesuatu yang tidak bisa kupahami sebelum aku menjatuhkan
Pedang Raja Hitam, membungkamnya secara permanen.
Aku mengambil satu langkah ke depan; energi yang aku
rasakan di sini tidak seperti yang lain. Aku melacaknya
dari Void, terpesona oleh kekuatan dan... keakrabannya. Ada
sesuatu yang memperingatkanku dan mencegahku agar
aku tidak memberitahu Edo Edi Essum tentang perjalananku.
Akhirnya, protes atas penilaianku yang lebih baik dihantam
oleh rasa keingintahuan, serta hal lain yang masih belum
bisa kutemukan, pada akhirnya aku sampai di reruntuhan
ini.
Aku terus berjalan, akhirnya sampai pada sumber dari apa
yang aku rasakan. Itu hanyalah denyut nadi, hanya riak kecil
energi di tempat ini, tetapi energi itu ada. Dan kehadirannya,
untuk alasan yang aku tidak tahu, membuat aku terpesona.
Aku berjalan ke arahnya, dan aku merasakannya semakin
kuat. Rasanya seperti ingin menyentuhku. Aku melakukan
kontak dengannya, dan sebuah pemandangan, sebuah
penglihatan, ide-ide, mulai membanjiri pikiranku—
.
Cahaya bulan menari-nari di atas benda bernama Spike of
Enervation. Aku mengelusnya dengan santai, ujung jariku
menyentuhnya secukupnya untuk merasakan energinya,
seperti ada api dan kilat yang terkurung, mengalir di
dalamnya.
Tidak peduli berapa banyak Object yang aku peroleh, aku
selalu terkejut dengan kekuatan yang ada di dalamnya.
Pikiranku kembali pada Pemilik asli Objek ini, pada The
Holder Of Enervation, pada jawaban ketika aku
menanyakannya, “Apa yang bisa melemahkan Mereka?”
Pikiranku mengembara, dan aku berpikir tentang semua yang
telah kulakukan dalam keadaanku yang kacau, umur panjang
yang tidak normal. Mataku kembali tertuju pada Object ini,
dan mereka terdiam di sana selama beberapa saat, tenggelam
di dalamnya, tenggelam dalam ide atas Objectku yang ke-
seribu ini.
Sebuah suara lembut membuyarkan lamunanku, dan aku
mendongak. Seekor kucing berdiri di dinding batu dekat
kediamanku, mengawasiku. Ia anggun ketika memandangku
sejenak sebelum melompat turun, mendarat di sampingku.
Aku mengulurkan tangan padanya, tapi dia menghindar.
Entah kenapa, aku merasakan sedikit kesedihan, dan aku
sadar bahwa aku telah menggunakan tangan yang terbuat
dari air raksa. Aku mengulurkan tanganku yang lain, dan
dengan ragu-ragu, kucing itu mengambil beberapa langkah
ke arahku. Untuk sesaat, aku tergoda untuk berbicara
dengannya dalam bahasa kucing, karena aku
mengetahui Rahasia mereka, tapi ada sesuatu yang
menyuruhku untuk berpikir lebih baik tentangnya. Aku
merasa seolah-olah akan menghancurkan momen ini, yang
entah mengapa terasa begitu rapuh.
Mendapatkan kepercayaan diri, kucing itu bergerak
mendekatiku. Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas, aku
bisa melihat garis-garis abu-abu yang melintasinya. Aku bisa
melihat beberapa bercak darah di bulunya.
Aku memejamkan mataku yang ditandai, tidak ingin melihat
apa pun kecuali kucing itu sendiri, tidak ingin mencemari
pengalaman ini dengan Object. Kucing itu bergerak melewati
lenganku yang terulur, menyapu sisi tubuhku. Ia berputar-
putar, dan aku mengangkat tanganku yang normal untuk
mengelusnya. Ia mendengkur saat jemariku menelusuri
bulunya yang lembut, dan aku merasakan percikan
kebahagiaan di dalam diriku. Bukan kegembiraan bejat yang
timbul karena memperoleh sebuah Objek, perasaan yang
telah menjadi mesin pencarian gilaku, tapi kebahagiaan sejati
dan tenang.
Kucing itu mengeong pelan, dan aku merasakan diriku
tersenyum. Sudah sekian lama semenjak aku terakhir
tersenyum, sampai otot-otot wajahku terasa nyeri dan protes.
Saat kucing itu berputar di sekitarku, aku mulai melepaskan
kengerian yang sebelumnya menyelimuti pikiranku. Betapa
kacaunya aku, bagaimana aku bisa merasakan Object
mengambil alih hidupku, Seeker yang harus segera aku
hadapi—satu-satunya yang menyaingiku dalam jumlah
Object yang dia kumpulkan—dan banyak hal lainnya. Ekor
kucing menyentuh sisi lenganku, membawaku kembali ke
masa kini. Aku—