Anda di halaman 1dari 1

Bahasa, Sastra, dan Budaya

KERJA SAMA KANTOR BAHASA SULAWESI TENGGARA DAN HARIAN RAKYAT SULTRA
senin, 14 Agustus 2017 5
ARTIKEL
Puisi
- Theo Martinus Markus - Literasi dan Kemerdekaan
Perempuan Takdir
Lekas menepi sebelum lesap gemintang
di Teluk Kendari
halaman rumah, ikut serta dalam rom- atas laut yang surut. Di atasnya, bende- Ada lagi kejadian menarik di bibir
pecah dalam dekap fajar pertama bongan ini. Roda pustaka adalah mo- ra merah putih tetap berkibar. teluk. Seorang ibu, mencari-cari anak­
bagi Anak yang tengah bersemadi tor yang menjadi alat penggerak buku Tidak lama kemudian, rombongan nya di antara anak lain yang asik mem-
di dalam tubuh rapuhnya, ke berbagai tempat. Di tepi teluk, ter- pegiat literasi lainnya tiba. Mereka ada- baca. Tidak ada anaknya di situ. Ter­
seorang perempuan takdir, tertapis hujan dapat bangkai perahu besar digerogoti lah Ari Ashari dan Budur dari Idea Pro- nyata sang anak berada di atas pera-
berada di antara gemuruh serapah masa. Sebuah ikon yang merekam jejak ject. Juga Astika Elfakhri dari Komu- hu, jauh di dalam teluk yang susut. Si
menadahkan doa penghabisan agar kelak kemaritiman Sulawesi Tenggara. nitas Arus. Bukan hanya anak, bebera- ibu lalu menuruni tangga ke bawah laut
mahkota duri yang dikenakan pada OLEH: Syaifuddin Gani Tas pustaka dibuka. Buku dikeluar­
kan. Anak-anak antusias. Segera saja,
pa ibu turut hadir melihat anaknya dan
ikut membaca. Ada seseorang yang me-
sambil memegang cambuk dan me-
manggil-manggil nama anaknya.
Anaknya melunak, sebelum masa pengembaraan

L
berakhir; genap kedua belas rasul menjadi bukti tempat duduk yang tersusun dari tem- narik dan menjadi perhatian kami. Dia “Sini ko cepat membaca. Teman-te-
iterasi adalah sebuah upaya bok yang panjang menjadi area mem- adalah seorang ibu yang serius mem- manmu di sini membaca semua. Komau
bahwa pengkhianat yang menjual Anaknya
peningkatan kualitas hidup baca. Di lokasi itu, bendera merah putih baca, tetapi perkataannya kurang jelas bodokah. Cepat!”
demi tiga puluh uang perak manusia. Literasi boleh dika- masih berkibar dengan ­ megahnya, meskipun sangat lantang di antara sua­ Berkat panggilan ibu yang memeg-
adalah seorang aktor yang baik takan seperti yang diutara- ditiup angin Teluk Kendari yang ra senyap anak-anak. Belakangan kami ang cambuk, si anak datang bergabung.
kan Rendra, yakni daya hidup dan daya harum. Di atas teluk, beberapa pera-
­ ketahui bahwa dia rupanya seorang Ia segera buka buku. Ternyata, dari
Lengkingan dini hari cipta. Nah, sekaitan dengan itu, bera­ hu tradisional berlayar dengan bende- tunawicara. Majalah yang dia baca ada- gerakan kecil literasi pada sore hari, 17
pekik tertahan kota Betlehem gam cara warga Indonesia merayakan ra merah putih berkibar di atasnya. Jika lah yang khusus mengupas tuntas Su­ Agustus 2016 itu, menghadirkan se-
adalah permulaan kisah kemerdekaan yang ke-71, silam. Pusta- nelayan berjuang memanen ikan demi ngai Rhein, sebuah sungai yang mem­ buah fakta bahwa setiap manusia me-
seorang perempuan takdir yang menderita ka Kabanti Kendari ikut memaknai ke- kebutuhan keluarga, kami berjuang belah beberapa negara di Eropa, seper- miliki naluri dan bakat literasi. Faktor
di bawah pemerintahan Pontius Pilatus merdekaan ini dengan sebuah ­gerakan dengan gerakan literasi. Indeks ekono- ti Perancis, Austria, Liechtenstein, Be- lingkungan begitu menentukan untuk
“...bangunlah...” yakni mengantar buku ke haribaan mi dan indeks literasi harus bahu-mem- landa, Jerman, dan Swiss. Menariknya, menyalurkan hasrat berliterasi mereka.
dan Bayi kecil menanti anak-anak Teluk Kendari. Sebuah usaha bahu membangun peradaban. Sungai Rhein di majalah itu seperti laut Pada hari kemerdekaan ke-71 itu,
sederhana dan kecil untuk terlibat me- Tidak lama kemudian, telepon yang di sisinya terdapat bangunan. gerak literasi adalah upaya memberi
“...terdengar tangis dan ratap sedih...”
nautkan mata rantai lingkaran literasi. genggam saya bergetar. Saya ­ angkat. Dia bernama Marta. Dia lalu asyik makna bagi Indonesia. Pada bagian lain
mata pedang menetak leher Itulah sebabnya, sore hari pada Ternyata Ari Ashari, pendiri dan berdiskusi dengan Ari sambil menunjuk di wilayah Indonesia ada yang meraya-
kawan-kawannya, tanggal 17 Agustus 2016 lalu, kami dari penge­lola Idea Project, sebuah komuni- gambar dan kemudian menunjuk juga kannya dengan lomba lari, makan keru-
Sebelum Ia sendiri terkesima Pustaka Kabanti, yakni saya, Ita Winda, tas literasi di Kota Kendari, akan ­datang ke Teluk Kendari. Katanya, melalui ba- puk, dan lain-lain. Semuanya adalah wu-
pada kilau legam Tombak yang Hakim, Faiz, dan Ranum berangkat dari bersama beberapa orang. hasa yang tidak jelas, gambar di majalah jud kecintaan kepada NKRI. Kami dari
mengecup lambung kudusNya kompleks BTN Puri Tawang Alun 2 Sebelum Ari Ashari dan rom­ dan Teluk Kendari sama. Ia lalu berki- Pustaka Kabanti, memaknainya dengan
Diiringi jerit pilu perempuan takdir sebagai tanda Blok H/11 sebagai markas Pustaka Ka- bongan tiba, kami segera berpindah ke sah dengan bahasa isyarat bahwa dulu gerakan literasi: menggerakkan roda
persembahan harum banti, menuju kawasan Teluk Kendari. tempat lain. Kami memasuki lorong semasa masih muda, ia sering ke Teluk pustaka menuju Teluk Kendari, mem-
sang Bayi mungil telah genap Sebelumnya, kami memilah buku sempit yang berliku. Lorong yang men- Kendari dengan perahu. Teluk Kendari bawa buku bacaan anak, dan sekaligus
di Golgota. bacaan yang sesuai dengan sasaran jadi pemukiman warga teluk yang ber- begitu lekat dalam ingatannya. Majalah menciptakan jembatan memori ke masa
yang dituju, yakni anak-anak teluk. profesi sebagai nelayan. Rumah-rumah yang berisi tentang Sungai Rhein telah silam. Di sinilah letak kebebasan dalam
Jadinya, kami mengutamakan bahan mereka sebagian aus oleh angin ber­ menjadi jembatan memorinya dengan memaknai kemerdekaan Indonesia. Se-

Para Penari Malam bacaan bagi anak. Sebuah tas dipenuhi


buku yang dibawa menggunakan mo-
tor. Usai salat Asar, kami berangkat.
garam. Di rumah itu, kelak akan men-
jadi tempat permanen kehadiran kami.
Kami menyapa warga dan anak-
masa lalu. Di ujung perjumpaan kami,
Marta meminta majalah tersebut. Kami
lalu bersepakat untuk memberikan ma-
genap warga memiliki cara masing-mas-
ing untuk berkontribusi bagi bangsanya.
Sejak tahun 2017, tempat kami
Aku hanyalah aksara pudar Waktu tempuh dari Pustaka Kaban- anak yang baru kali itu kami kenali. jalah itu kepadanya. Biarlah kenangan berkegiatan di sana diberi nama Pus-
pada redupnya atap kota kita ti ke lokasi hanya sekitar 25 menit saja. Mereka mendukung dan mempersila- Teluk Kendari dan masa lalunya kem- taka Teluk Kendari. Selanjutnya, se-
sekalipun kau tak pernah mengatakannya. Kami tiba di sebuah kawasan yang ber- kan kami masuk ke lorong lebih ke bela- bali hadir melalui majalah itu. buah kebahagiaan lain, Kantor Bahasa
nama Pulau Ponda. Sebuah tempat yang kang yang berhadapan langsung deng­ Bukan hanya Marta yang tidak Sulawesi Tenggara hadir di sana dalam
Setiap perbincangan aku muntah-muntah
telah menjadi lokasi gerakan literasi te­ an Teluk Kendari. Kami lalu membuka sempurna alat artikulasinya. Dua orang program Literasi Anak 2017. Merdeka!
kau bilang : minum saja kata! luk yang diadakan Pustaka Kabanti. lapak buku di teras sebuah rumah ne- anak perempuan yang berusia seki-
sontak aku bingung, Anak-anak teluk yang telah layan. Di teras sebuah rumah itulah, tar 10 tahun pun, keadaannya seperti * Syaifuddin Gani adalah seorang
‘kata’ siapa sebenarnya ini? menge­nali kami segera menyongsong sekitar dua puluhan anak-anak teluk Marta. Suci dan Nadia. Si anak perem- peneliti di Kantor Bahasa Sulawe-
Kita yang tak bisa kekal dan berlari-lari di belakang mengiku- mengerubuti buku. Mereka membaca puan tersebut juga asik membaca deng­ si Tenggara. Ia juga menulis puisi.
selalu berusaha menahan kepergian waktu ti roda pustaka menuju tepi teluk. Ada atau melihat gambar yang ada di dalam an caranya sendiri. Ia membaca buku Saat ini ia juga berkhidmat di Pusta-
meski kita sama-sama tahu anak-anak yang tengah bermain bola di buku. Beberapa perahu tergeletak di ­hanya dengan bababababa. ka Kabanti Kendari yang ia dirikan.

CERPEN
tumpukan mayat sepi ini takkan pernah mewujud
dan hanya menyisakan anyir dalam ruang sempit
kamar tidurku.

Ritus Pertemuan
Kemarau di matamu
Cerpen: Kianya Mhusba
Sudah tujuh hari aku di sini dan
Senja di Batauga
didukung olehnya. Ah, Hijau dan Abu. Kami saling pandang lalu mena- Sekali, dua kali, dan dalam sekejap ia telah
Isyaratkan permintaan untuk kesekian kalinya burung mungil Aku membayangkan gerak ritual mere- tap Bibi Nur dengan mimik ingin tahu, berada di luar rumah. Popongku menge-
Tuntaskan luapan rindu itu seperti sengaja mengunjungiku. ka. Gerakan unik yang membuat teng- “Siapa itu Popongku dan Cicirio, Bi?” jar sambil menggerakkan kedua tangannya
Ribuan malam berjarak lautan Keduanya tak akan pergi hingga langit gorokanku susah menelan ­tumpi-tumpi “Nantilah, setelah dari makam Pa- naik turun seperti yang dilakukan adiknya.
di Batauga memerah dan aku menutup lezat buatan Nek Maryati. Gerakan manmu, Bibi akan cerita tentang mereka.” Aku bergerak, aku terbang! Pekiknya ter-
Tahun ke sembilan, jendela kamar ini. yang membuatku tak ingin beranjak Malam di Kadatua terasa lama tahan. Ia pun bergerak cepat menyusul
Kala bulan menjelma kanak “Burung apa itu, Nek?” tanyaku. walau sedetik dari depan jendela. menghampiri pagi. Bibi Nur menepa- Cicirio. Sayup-sayup terdengar rintihan pilu.
Aku tiba di kampungmu Aku sedang berada di dalam kamar Ini kunjungan pertama kami di ti janji bercerita tentang Popongku dan “Popongku, Popongku, susullah aku.”
Lengkap dengan iringan ini ketika pertama kali melihat kedua Batauga sejak setahun menikah. Hari Cicirio. Kisah yang membuat tenggoro- “Cicirio, Cicirio, mari bersama men-
Sajen bagi para leluhur burung itu. Nek Maryati masuk mem- ke-2 di Batauga, aku tak sempat melihat kanku kembali susah menelan tumpi- cari makan.”
bawakan dua lembar sarung untukku. dengan jelas awal kedatangan Hijau dan tumpi lezat buatan Bibi Nur. Popongku dan Cicirio ­mengangkasa.
Tergerai rambut Ia tak menjawab, hanya melongok ke Abu. Mereka bertengger beberapa detik *** Menembus kabut menghilang di balik
Tertabur senyum arah pohon yang kutunjuk, lalu meng­ di kosen jendela lalu terbang karena jen- “Popongku! Bangun, Nak. Ayo ikut pekat malam bersama tetes hujan yang
Saat kau mendekat ajakku keluar kamar. dela ditutup oleh Hasril. Hari ke-3, aku Bapak ke sungai!” semakin menebal.
Menangkup tangan “Kamu belum makan siang sejak mulai tertarik ketika keduanya menci­ “Cicirio, Sayang. Maukah kau mem- ***
Mengucap salam dari Kendari, kan. Makanlah dulu.” cit lirih bersahutan. Hari ke-4, aku bisa bantu ibu di kebun?” Sudah lebih tiga bulan sejak ku­
“Para Dewata kiranya sudi mendengar segenap doa dinda Nek Maryati menarik gorden hing- melihat dengan jelas kedatangan mere- Sapaan yang terdengar khas se- tinggalkan Batauga, aku tak bisa ­tidur
Telah diberi keselamatan pada kekasihku ga jendela tertutup setengah. Kusam- ka. Saat itu aku sadar, Hijau dan Abu se- tiap pagi, dari suami istri yang tak le- malam. Gerak Hijau dan Abu saat
Adakah engkau lelah di perjalanan? bar jilbab kaus dan menyusul Nek Mar- lalu muncul tepat pada waktu yang sama lah menghabiskan pagi dan senja deng­ berkejaran mencapai dahan pohon mete.
Berapa samudera kiranya telah kanda arungi?” yati di luar. Sekilas, ujung mataku me- setiap hari; saat aku bersiap salat zuhur an mencari ikan dan mengolah kebun. Kicau pilu keduanya kala bersahutan.
nangkap gerakan burung itu berpindah dan saat Nek Maryati memanggil untuk Popongku, anak laki-laki yang ­ hanya Kepak girang saat mereka mematuk be-
Derap hujan-atap bilik-lenguh kuda di kejauhan dari pohon jambu mete ke kosen jendela makan siang bersama. Hari ke-5 aku mu- menghabiskan hari dengan memutar ras. Tatap tajam Hijau dan Abu sebelum
Bersatu pada gemuruh cakrawala kamar. Saat makan malam kuulang lagi lai merasa wajib menunggu kedatang­ dan mengejar gasing. Cicirio, anak pe­ mereka menghilang di balik senja. Has-
Khidmat menyaksikan suci pertemuan per­tanyaanku tentang burung itu. an Hijau dan Abu. Kuambil segenggam rempuan yang hanya tahu ­bergembira ril sangat khawatir dengan keadaanku.
Dua hati yang tak lagi saling curiga “Itu hanya burung hutan biasa,” beras lalu menyodorkan pada mere- bersama boneka kesayangannya. Po- Kami akan memiliki anak dan ia tak
jawab Nek Maryati singkat. Aku tak ka. Dengan lincah keduanya mendekat, pongku dan Cicirio tidak melakukan ­ingin bayi kami tidak mendapat perawa-
Memulas sepi puas dengan jawabannya. Burung ber- bertengger di kosen jendela, dan mela- apa-apa selain tidur, makan, dan ber- tan yang baik. Bayi kami baik-baik saja.
Jadi bara api. pasangan biasanya memiliki warna hap habis beras di telapak tanganku. main. Popongku selalu menolak di­ Dokter pun hanya menyarankan istira-
bulu yang sama atau setidaknya mirip. “Kalian sangat lapar. Mau kutam- ajak menangkap ikan, “Aku malas, Pak. hat dan vitamin yang cukup untukku.
Kedua burung ini berbeda. Satu ber- bah lagi?” tanyaku senang. Kuambil Tanganku tak kuat memegang jala.” Diam-diam, aku ingin kembali ke
Theo Martinus Markus adalah penyair Manado. Saat warna abu-abu dengan paruh kuning. lagi beras segenggam dan mereka kem- “Nanti Bapak bantu kau, Nak.” Batauga menemui Hijau dan Abu. Tapi
Satu lagi berwarna hijau dengan pa- bali makan dengan lahap. “Tidak, Pak. Aku tak mau!” sebelum itu, aku ingin mengganti nama
ini ia adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Uni- ruh merah. Bulu sekitar dada kedua­nya “Bagaimana nanti jika bapak sudah
Hari ke-6. Aku sadar bahwa aku tak mereka menjadi Popongku dan Cicirio.
versitas Sam Ratulangi Manado. berwarna kuning terang. bisa sekejap pun meninggalkan mereka. tak ada?” Itu nama mereka yang sebenarnya. Aku
Sambil menunggu gerimis reda, ku- Gerakan berputar si Hijau, rintihan si Abu, “Kan masih ada Ibu. Biar ibu saja akan kembali ke Batauga untuk mera-
Redaksi menerima kiriman naskah puisi, cerpen, lirik Vitorio di pergelangan tanganku. dan kepak sayap keduanya yang tampak yang bekerja.” wat Popongku dan Cicirio meski kutahu
dan esai yang belum pernah dipublikasikan ke pos-el Pukul 12.00 dan dari jauh kedua burung senang saat kusodorkan beras. Dan ke­ Ibunya menatap sedih Popongku. Hasril akan mati-matian melarang.
bastra.kbsultra@gmail.com itu terbang berkejaran dengan posisi tika senja menapak di garis langit Batauga, Lalu berganti berharap pada anak pe­ Sore ini, aku sedang melepas penat ke-
yang selalu sama. Aku memberi nama aku mulai merasa takut kehilangan. Hijau rempuannya. tika Hasril masuk menyodorkan ponselnya.
untuk mereka. Sesuai warna bulunya, si dan Abu tahu kalau aku selalu menunggu “Cicirio, mau ikut ibu ke kebun?” “Ini Nek Maryati. Ia menanyakan
Susunan Redaksi : Hijau dan si Abu. Hijau selalu terbang di jendela ini. Mereka memilihku untuk “Aku tak mau, Bu! Nanti tanganku kabarmu.”
Penanggung Jawab : Kepala Kantor Bahasa Sultra lebih dulu mencapai pohon mete daripa- menghabiskan senja bersama. jadi kotor dan terluka.” Suara Nek Maryati terdengar. Aku
Pemimpin Redaksi : Uniawati, S.Pd., M.Hum da Abu. Ia berputar satu kali sambil men- *** “Bagaimana kalau ibu juga tak ada? memberi salam dan mengatakan aku
Sekretaris Redaksi : Moh. Hanafi, S.S. cicit memanggil. Lalu Abu datang dan “Jadi kita pulang sekarang, Pa?” Kamu harus bisa mengolah kebun.” ingin dibuatkan tumpi-tumpi olehnya.
Penyunting : Syaifuddin Gani, S.Pd., membalas dengan bunyi yang terdengar Tanyaku berbisik pada Hasril sam- “Sudahlah, bapak dan ibu tak usah Nek Maryati tertawa bahagia. Ia senang
Zakiyah M. Husba, S.S., M.Si. pilu. Keduanya lalu hinggap bersamaan bil merapikan piring dan gelas yang memaksa kami bekerja. Kami sudah kami semua baik-baik saja. Nek Marya­
di dahan pohon. Aku terkesima dan tak baru selesai kucuci. Hasril mengge- senang seperti ini.” Begitu setiap hari. ti juga menyampaikan salam dari Bibi
ingin beranjak dari depan jendela yang leng, “Nanti sore kita masih harus zia­ Hingga suatu hari. Nur, Saria, dan Arnia.
sengaja kubiarkan terbuka lebar, meski rah ke makam Paman. Besok pagi baru- “Kakak, aku lapar. Ayo makan! “Kau juga pasti ingin tahu kabar si
Info Lingua mata harus menyipit menahan terik ma- lah kita kembali ke Batauga.” Jarum jam Setelah itu, kita bermain lagi.” Hijau dan Abu, kan?“
tahari yang menyengat tepat di wajah. dinding di ruang tengah terasa sangat Seperti biasa, keduanya pun membu- Aku mengangguk cepat.

Pemakaman atau Permakaman?


“Tunggu sebentar ya, aku harus lambat. Sudah dua hari kami di rumah ka tudung saji di atas meja. Sebelum per- “Sehari setelah kalian pergi, Nek
salat,” ucapku pelan pada Hijau dan Bibi Nur. Bibi Nur adalah kakak tertua gi bekerja, ibunya selalu menyediakan memberi beras pada Hijau dan Abu.
Abu. Ajaib! Mereka mendengarku. Sele- ayah Hasril. Aku ingin segera kembali makan untuk mereka berdua. Namun, Mereka lahap seperti biasa. Nek juga
Dalam komunikasi sehari- pada kalimat (2). Dengan de- sai salat, aku kembali dan mereka masih ke Batauga karena sudah dua hari Hijau alangkah kaget Popongku dan Cicirio. berucap pada mereka kalau kau pergi
hari, pengguna bahasa Indonesia mikian, pada kalimat (2) itulah di dahan pohon itu. Bahkan hingga je­ dan Abu tak kuberi beras. Tudung saji yang tertutup hanya ber­ untuk waktu yang lama.”
tampaknya lebih sering meng­ penggunaan kata pemakaman lang azan magrib. Kuceritakan kejadian “May, mari sini! Duduklah di sini. isi gasing dan boneka. Bukan ikan bakar “Lalu?” tanyaku pelan penuh harap.
gunakan kata pemakaman dari- yang benar. ini pada Hasril. Ia hanya tertawa. Kau juga, Hasril!” dan sayur kuah yang nikmat. Popongku Nek Maryati terdiam sejenak, lalu
pada permakaman, seperti yang Lalu, bagaimana ­ dengan “Semua burung hutan di habitat Kami mendekat duduk di sebelah dan Cicirio merasa sangat sedih. berkata, “Itu terakhir kalinya Nek me­
ter­dapat pada contoh berikut. penggunaan kata ­ pemakaman masing-masing pasti punya kebiasaan Bibi Nur. Suami Bibi Nur sudah ber- “Bapak dan ibu sudah tak sayang lihat Hijau dan Abu.”
yang sama setiap harinya.” tahun-tahun meninggal. Di rumah ini lagi pada kita. Mereka tak mau lagi “Apa Nek yakin mereka tak pernah
(1) Korban yang meninggal pada kalimat (1), apakah tidak
“Bukan!...Bukan itu maksudku.” ia ditemani oleh anak bungsunya. Bibi memberi kita makan,” ucap Popongku. datang lagi?
dunia itu dimakamkan di benar? Makna yang dimak-
“Lalu?” Nur mempunyai dua anak perempuan, “Iya, Kak. Lalu apa yang harus kita Nek Maryati mengiyakan, “Nek se-
pemakaman umum. sud pada kalimat (1) di atas “Mereka melakukan hal yang me­ Saria dan Arnia. Keduanya telah meni- lakukan sekarang? Bapak dan ibu be- lalu menunggu depan jendela sampai
(2) Dia tidak sempat meng- adalah ‘tempat ­memakamkan’ nurutku tidak biasa dilakukan oleh bu- kah dan memiliki anak masing-masing. lum pulang. Aku sangat lapar,” Cicirio saat ini, May. Tak ada satu pun burung
hadiri acara p­emakaman atau ‘pekuburan’, bukan ‘pro­ rung-burung yang lain.” “Nanti kalau kalian punya anak, pun menangis. Mereka merintih, tubuh yang datang di dahan pohon itu.”
orang tuanya karena ses memakamkan’. M ­akna “Misalnya?” ajari mereka sejak kecil agar memban- mereka lemas menahan lapar dan haus. Kutarik napas panjang. Nek Marya­
­sedang di luar kota. ‘tempat memakamkan’ atau “Kedua burung itu tidak berkicau. tu orang tua. Di rumah, dapur, kebun, Hingga malam kedua orang tua mere- ti mengakhiri percakapan. Kusodorkan
Tepatkah penggunaan ‘pekuburan’ itu terdapat Mereka merintih.” pokoknya di mana saja anak-anakmu ka tak pulang. Mereka mencari-cari kembali ponsel pada Hasril. Ada rona
kata pemakaman pada kedua pada kata permakaman, bukan “Ah, kamu berlebihan.” harus siap bekerja. Jangan jadi malas! berharap menemukan sedikit makanan bahagia terpancar dari wajahnya. Ku­
kalimat tersebut? pemakaman. Dengan demikian, “Mereka juga seperti paham deng­ Nanti tak berguna.” yang mungkin disimpan oleh ibunya. tahu ia lega karena aku tak akan bisa lagi
Imbuhan peng-…-an, se- kalimat (1) di atas seharusnya an ucapanku.” Aku mengiyakan semua ucapan Bibi Lalu Cicirio menemukan dua selendang melihat Popongku dan Cicirio berteng-
bagaimana yang tertera pada dinyatakan seperti perubahan- “Dengar, May! Kucing, anjing, bu- Nur. Setahun menikah kami belum di- kusam berwarna hijau dan abu-abu. ger di dahan pohon jambu mete. **
kata pemakamani, bermakna nya pada kalimat berikut. rung, juga kuda adalah hewan yang karuniai anak. Semua sudah diupayakan “Cicirio, mungkin selendang ini
‘proses, cara, atau perbuatan’ (1a) Korban yang meninggal paling mudah paham ucapan manusia dan kami tetap bersabar. Bibi Nur ­terus bisa membawa kita terbang mencari
jika dilatih,” berucap tentang cara mendidik anak. makan di luar.” * Penulis tinggal di Kendari. Cerpen ini ter-
seperti yang dinyatakan pada dunia itu dimakamkan di
“Ada yang berbeda dengan bu- Jangan malas, tidak membantah orang Popongku mengikat selendang hijau inspirasi dari cerita rakyat Buton “Cicirio
kata dasarnya. Sejalan deng­ permakaman umum. rung-burung itu, Pa!” tua, rajin bekerja, dan harus berguna pada lengan Cicirio. Lalu Cicirio meng­ dan Popongku” yang ditulis oleh guru-gu-
an itu, kata pemakaman ber- “Kita belum berkunjung ke ru- untuk orang lain. Aku dan Hasril tak ikat selendang abu-abu pada lengan Po- ru SMP Batauga sebagai tugas Apresia-
makna ‘proses, cara, perbuatan Sumber: Lembar Informa- mah Bibi Nur di Kadatua,“ Hasril men- ­banyak komentar selain mengangguk. pongku. Cicirio mencoba mengerakkan si Sastra dalam kegiatan Penyuluhan Ke-
memakamkan’. Makna seper­ si Kebahasaan, Pusat Pengem- jawab dengan mengalihkan pembicaraan, “Jangan sampai anak-anak menjadi kedua tangannya naik turun. mahiran Berbahasa Indonesia bagi Tena-
ti itu hanya terdapat pada kata bangan dan Pembinaan Bahasa, “Besok kita ke sana.” malas dan bernasib malang seperti Po- “Kak…kakak! Lihat, aku bergerak. ga Pendidik SMP di Kabupaten Buton Se-
pemakaman yang digunakan Kemdikbud (2016). Aku kesal. Harapanku tak pongku dan Cicirio.” Aku terbang!” Cicirio memekik girang. latan pada bulan Juli 2017.

Anda mungkin juga menyukai