5 - Bahasa Dan Sastra - 14 Agustus 2017
5 - Bahasa Dan Sastra - 14 Agustus 2017
KERJA SAMA KANTOR BAHASA SULAWESI TENGGARA DAN HARIAN RAKYAT SULTRA
senin, 14 Agustus 2017 5
ARTIKEL
Puisi
- Theo Martinus Markus - Literasi dan Kemerdekaan
Perempuan Takdir
Lekas menepi sebelum lesap gemintang
di Teluk Kendari
halaman rumah, ikut serta dalam rom- atas laut yang surut. Di atasnya, bende- Ada lagi kejadian menarik di bibir
pecah dalam dekap fajar pertama bongan ini. Roda pustaka adalah mo- ra merah putih tetap berkibar. teluk. Seorang ibu, mencari-cari anak
bagi Anak yang tengah bersemadi tor yang menjadi alat penggerak buku Tidak lama kemudian, rombongan nya di antara anak lain yang asik mem-
di dalam tubuh rapuhnya, ke berbagai tempat. Di tepi teluk, ter- pegiat literasi lainnya tiba. Mereka ada- baca. Tidak ada anaknya di situ. Ter
seorang perempuan takdir, tertapis hujan dapat bangkai perahu besar digerogoti lah Ari Ashari dan Budur dari Idea Pro- nyata sang anak berada di atas pera-
berada di antara gemuruh serapah masa. Sebuah ikon yang merekam jejak ject. Juga Astika Elfakhri dari Komu- hu, jauh di dalam teluk yang susut. Si
menadahkan doa penghabisan agar kelak kemaritiman Sulawesi Tenggara. nitas Arus. Bukan hanya anak, bebera- ibu lalu menuruni tangga ke bawah laut
mahkota duri yang dikenakan pada OLEH: Syaifuddin Gani Tas pustaka dibuka. Buku dikeluar
kan. Anak-anak antusias. Segera saja,
pa ibu turut hadir melihat anaknya dan
ikut membaca. Ada seseorang yang me-
sambil memegang cambuk dan me-
manggil-manggil nama anaknya.
Anaknya melunak, sebelum masa pengembaraan
L
berakhir; genap kedua belas rasul menjadi bukti tempat duduk yang tersusun dari tem- narik dan menjadi perhatian kami. Dia “Sini ko cepat membaca. Teman-te-
iterasi adalah sebuah upaya bok yang panjang menjadi area mem- adalah seorang ibu yang serius mem- manmu di sini membaca semua. Komau
bahwa pengkhianat yang menjual Anaknya
peningkatan kualitas hidup baca. Di lokasi itu, bendera merah putih baca, tetapi perkataannya kurang jelas bodokah. Cepat!”
demi tiga puluh uang perak manusia. Literasi boleh dika- masih berkibar dengan megahnya, meskipun sangat lantang di antara sua Berkat panggilan ibu yang memeg-
adalah seorang aktor yang baik takan seperti yang diutara- ditiup angin Teluk Kendari yang ra senyap anak-anak. Belakangan kami ang cambuk, si anak datang bergabung.
kan Rendra, yakni daya hidup dan daya harum. Di atas teluk, beberapa pera-
ketahui bahwa dia rupanya seorang Ia segera buka buku. Ternyata, dari
Lengkingan dini hari cipta. Nah, sekaitan dengan itu, bera hu tradisional berlayar dengan bende- tunawicara. Majalah yang dia baca ada- gerakan kecil literasi pada sore hari, 17
pekik tertahan kota Betlehem gam cara warga Indonesia merayakan ra merah putih berkibar di atasnya. Jika lah yang khusus mengupas tuntas Su Agustus 2016 itu, menghadirkan se-
adalah permulaan kisah kemerdekaan yang ke-71, silam. Pusta- nelayan berjuang memanen ikan demi ngai Rhein, sebuah sungai yang mem buah fakta bahwa setiap manusia me-
seorang perempuan takdir yang menderita ka Kabanti Kendari ikut memaknai ke- kebutuhan keluarga, kami berjuang belah beberapa negara di Eropa, seper- miliki naluri dan bakat literasi. Faktor
di bawah pemerintahan Pontius Pilatus merdekaan ini dengan sebuah gerakan dengan gerakan literasi. Indeks ekono- ti Perancis, Austria, Liechtenstein, Be- lingkungan begitu menentukan untuk
“...bangunlah...” yakni mengantar buku ke haribaan mi dan indeks literasi harus bahu-mem- landa, Jerman, dan Swiss. Menariknya, menyalurkan hasrat berliterasi mereka.
dan Bayi kecil menanti anak-anak Teluk Kendari. Sebuah usaha bahu membangun peradaban. Sungai Rhein di majalah itu seperti laut Pada hari kemerdekaan ke-71 itu,
sederhana dan kecil untuk terlibat me- Tidak lama kemudian, telepon yang di sisinya terdapat bangunan. gerak literasi adalah upaya memberi
“...terdengar tangis dan ratap sedih...”
nautkan mata rantai lingkaran literasi. genggam saya bergetar. Saya angkat. Dia bernama Marta. Dia lalu asyik makna bagi Indonesia. Pada bagian lain
mata pedang menetak leher Itulah sebabnya, sore hari pada Ternyata Ari Ashari, pendiri dan berdiskusi dengan Ari sambil menunjuk di wilayah Indonesia ada yang meraya-
kawan-kawannya, tanggal 17 Agustus 2016 lalu, kami dari pengelola Idea Project, sebuah komuni- gambar dan kemudian menunjuk juga kannya dengan lomba lari, makan keru-
Sebelum Ia sendiri terkesima Pustaka Kabanti, yakni saya, Ita Winda, tas literasi di Kota Kendari, akan datang ke Teluk Kendari. Katanya, melalui ba- puk, dan lain-lain. Semuanya adalah wu-
pada kilau legam Tombak yang Hakim, Faiz, dan Ranum berangkat dari bersama beberapa orang. hasa yang tidak jelas, gambar di majalah jud kecintaan kepada NKRI. Kami dari
mengecup lambung kudusNya kompleks BTN Puri Tawang Alun 2 Sebelum Ari Ashari dan rom dan Teluk Kendari sama. Ia lalu berki- Pustaka Kabanti, memaknainya dengan
Diiringi jerit pilu perempuan takdir sebagai tanda Blok H/11 sebagai markas Pustaka Ka- bongan tiba, kami segera berpindah ke sah dengan bahasa isyarat bahwa dulu gerakan literasi: menggerakkan roda
persembahan harum banti, menuju kawasan Teluk Kendari. tempat lain. Kami memasuki lorong semasa masih muda, ia sering ke Teluk pustaka menuju Teluk Kendari, mem-
sang Bayi mungil telah genap Sebelumnya, kami memilah buku sempit yang berliku. Lorong yang men- Kendari dengan perahu. Teluk Kendari bawa buku bacaan anak, dan sekaligus
di Golgota. bacaan yang sesuai dengan sasaran jadi pemukiman warga teluk yang ber- begitu lekat dalam ingatannya. Majalah menciptakan jembatan memori ke masa
yang dituju, yakni anak-anak teluk. profesi sebagai nelayan. Rumah-rumah yang berisi tentang Sungai Rhein telah silam. Di sinilah letak kebebasan dalam
Jadinya, kami mengutamakan bahan mereka sebagian aus oleh angin ber menjadi jembatan memorinya dengan memaknai kemerdekaan Indonesia. Se-
CERPEN
tumpukan mayat sepi ini takkan pernah mewujud
dan hanya menyisakan anyir dalam ruang sempit
kamar tidurku.
Ritus Pertemuan
Kemarau di matamu
Cerpen: Kianya Mhusba
Sudah tujuh hari aku di sini dan
Senja di Batauga
didukung olehnya. Ah, Hijau dan Abu. Kami saling pandang lalu mena- Sekali, dua kali, dan dalam sekejap ia telah
Isyaratkan permintaan untuk kesekian kalinya burung mungil Aku membayangkan gerak ritual mere- tap Bibi Nur dengan mimik ingin tahu, berada di luar rumah. Popongku menge-
Tuntaskan luapan rindu itu seperti sengaja mengunjungiku. ka. Gerakan unik yang membuat teng- “Siapa itu Popongku dan Cicirio, Bi?” jar sambil menggerakkan kedua tangannya
Ribuan malam berjarak lautan Keduanya tak akan pergi hingga langit gorokanku susah menelan tumpi-tumpi “Nantilah, setelah dari makam Pa- naik turun seperti yang dilakukan adiknya.
di Batauga memerah dan aku menutup lezat buatan Nek Maryati. Gerakan manmu, Bibi akan cerita tentang mereka.” Aku bergerak, aku terbang! Pekiknya ter-
Tahun ke sembilan, jendela kamar ini. yang membuatku tak ingin beranjak Malam di Kadatua terasa lama tahan. Ia pun bergerak cepat menyusul
Kala bulan menjelma kanak “Burung apa itu, Nek?” tanyaku. walau sedetik dari depan jendela. menghampiri pagi. Bibi Nur menepa- Cicirio. Sayup-sayup terdengar rintihan pilu.
Aku tiba di kampungmu Aku sedang berada di dalam kamar Ini kunjungan pertama kami di ti janji bercerita tentang Popongku dan “Popongku, Popongku, susullah aku.”
Lengkap dengan iringan ini ketika pertama kali melihat kedua Batauga sejak setahun menikah. Hari Cicirio. Kisah yang membuat tenggoro- “Cicirio, Cicirio, mari bersama men-
Sajen bagi para leluhur burung itu. Nek Maryati masuk mem- ke-2 di Batauga, aku tak sempat melihat kanku kembali susah menelan tumpi- cari makan.”
bawakan dua lembar sarung untukku. dengan jelas awal kedatangan Hijau dan tumpi lezat buatan Bibi Nur. Popongku dan Cicirio mengangkasa.
Tergerai rambut Ia tak menjawab, hanya melongok ke Abu. Mereka bertengger beberapa detik *** Menembus kabut menghilang di balik
Tertabur senyum arah pohon yang kutunjuk, lalu meng di kosen jendela lalu terbang karena jen- “Popongku! Bangun, Nak. Ayo ikut pekat malam bersama tetes hujan yang
Saat kau mendekat ajakku keluar kamar. dela ditutup oleh Hasril. Hari ke-3, aku Bapak ke sungai!” semakin menebal.
Menangkup tangan “Kamu belum makan siang sejak mulai tertarik ketika keduanya menci “Cicirio, Sayang. Maukah kau mem- ***
Mengucap salam dari Kendari, kan. Makanlah dulu.” cit lirih bersahutan. Hari ke-4, aku bisa bantu ibu di kebun?” Sudah lebih tiga bulan sejak ku
“Para Dewata kiranya sudi mendengar segenap doa dinda Nek Maryati menarik gorden hing- melihat dengan jelas kedatangan mere- Sapaan yang terdengar khas se- tinggalkan Batauga, aku tak bisa tidur
Telah diberi keselamatan pada kekasihku ga jendela tertutup setengah. Kusam- ka. Saat itu aku sadar, Hijau dan Abu se- tiap pagi, dari suami istri yang tak le- malam. Gerak Hijau dan Abu saat
Adakah engkau lelah di perjalanan? bar jilbab kaus dan menyusul Nek Mar- lalu muncul tepat pada waktu yang sama lah menghabiskan pagi dan senja deng berkejaran mencapai dahan pohon mete.
Berapa samudera kiranya telah kanda arungi?” yati di luar. Sekilas, ujung mataku me- setiap hari; saat aku bersiap salat zuhur an mencari ikan dan mengolah kebun. Kicau pilu keduanya kala bersahutan.
nangkap gerakan burung itu berpindah dan saat Nek Maryati memanggil untuk Popongku, anak laki-laki yang hanya Kepak girang saat mereka mematuk be-
Derap hujan-atap bilik-lenguh kuda di kejauhan dari pohon jambu mete ke kosen jendela makan siang bersama. Hari ke-5 aku mu- menghabiskan hari dengan memutar ras. Tatap tajam Hijau dan Abu sebelum
Bersatu pada gemuruh cakrawala kamar. Saat makan malam kuulang lagi lai merasa wajib menunggu kedatang dan mengejar gasing. Cicirio, anak pe mereka menghilang di balik senja. Has-
Khidmat menyaksikan suci pertemuan pertanyaanku tentang burung itu. an Hijau dan Abu. Kuambil segenggam rempuan yang hanya tahu bergembira ril sangat khawatir dengan keadaanku.
Dua hati yang tak lagi saling curiga “Itu hanya burung hutan biasa,” beras lalu menyodorkan pada mere- bersama boneka kesayangannya. Po- Kami akan memiliki anak dan ia tak
jawab Nek Maryati singkat. Aku tak ka. Dengan lincah keduanya mendekat, pongku dan Cicirio tidak melakukan ingin bayi kami tidak mendapat perawa-
Memulas sepi puas dengan jawabannya. Burung ber- bertengger di kosen jendela, dan mela- apa-apa selain tidur, makan, dan ber- tan yang baik. Bayi kami baik-baik saja.
Jadi bara api. pasangan biasanya memiliki warna hap habis beras di telapak tanganku. main. Popongku selalu menolak di Dokter pun hanya menyarankan istira-
bulu yang sama atau setidaknya mirip. “Kalian sangat lapar. Mau kutam- ajak menangkap ikan, “Aku malas, Pak. hat dan vitamin yang cukup untukku.
Kedua burung ini berbeda. Satu ber- bah lagi?” tanyaku senang. Kuambil Tanganku tak kuat memegang jala.” Diam-diam, aku ingin kembali ke
Theo Martinus Markus adalah penyair Manado. Saat warna abu-abu dengan paruh kuning. lagi beras segenggam dan mereka kem- “Nanti Bapak bantu kau, Nak.” Batauga menemui Hijau dan Abu. Tapi
Satu lagi berwarna hijau dengan pa- bali makan dengan lahap. “Tidak, Pak. Aku tak mau!” sebelum itu, aku ingin mengganti nama
ini ia adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Uni- ruh merah. Bulu sekitar dada keduanya “Bagaimana nanti jika bapak sudah
Hari ke-6. Aku sadar bahwa aku tak mereka menjadi Popongku dan Cicirio.
versitas Sam Ratulangi Manado. berwarna kuning terang. bisa sekejap pun meninggalkan mereka. tak ada?” Itu nama mereka yang sebenarnya. Aku
Sambil menunggu gerimis reda, ku- Gerakan berputar si Hijau, rintihan si Abu, “Kan masih ada Ibu. Biar ibu saja akan kembali ke Batauga untuk mera-
Redaksi menerima kiriman naskah puisi, cerpen, lirik Vitorio di pergelangan tanganku. dan kepak sayap keduanya yang tampak yang bekerja.” wat Popongku dan Cicirio meski kutahu
dan esai yang belum pernah dipublikasikan ke pos-el Pukul 12.00 dan dari jauh kedua burung senang saat kusodorkan beras. Dan ke Ibunya menatap sedih Popongku. Hasril akan mati-matian melarang.
bastra.kbsultra@gmail.com itu terbang berkejaran dengan posisi tika senja menapak di garis langit Batauga, Lalu berganti berharap pada anak pe Sore ini, aku sedang melepas penat ke-
yang selalu sama. Aku memberi nama aku mulai merasa takut kehilangan. Hijau rempuannya. tika Hasril masuk menyodorkan ponselnya.
untuk mereka. Sesuai warna bulunya, si dan Abu tahu kalau aku selalu menunggu “Cicirio, mau ikut ibu ke kebun?” “Ini Nek Maryati. Ia menanyakan
Susunan Redaksi : Hijau dan si Abu. Hijau selalu terbang di jendela ini. Mereka memilihku untuk “Aku tak mau, Bu! Nanti tanganku kabarmu.”
Penanggung Jawab : Kepala Kantor Bahasa Sultra lebih dulu mencapai pohon mete daripa- menghabiskan senja bersama. jadi kotor dan terluka.” Suara Nek Maryati terdengar. Aku
Pemimpin Redaksi : Uniawati, S.Pd., M.Hum da Abu. Ia berputar satu kali sambil men- *** “Bagaimana kalau ibu juga tak ada? memberi salam dan mengatakan aku
Sekretaris Redaksi : Moh. Hanafi, S.S. cicit memanggil. Lalu Abu datang dan “Jadi kita pulang sekarang, Pa?” Kamu harus bisa mengolah kebun.” ingin dibuatkan tumpi-tumpi olehnya.
Penyunting : Syaifuddin Gani, S.Pd., membalas dengan bunyi yang terdengar Tanyaku berbisik pada Hasril sam- “Sudahlah, bapak dan ibu tak usah Nek Maryati tertawa bahagia. Ia senang
Zakiyah M. Husba, S.S., M.Si. pilu. Keduanya lalu hinggap bersamaan bil merapikan piring dan gelas yang memaksa kami bekerja. Kami sudah kami semua baik-baik saja. Nek Marya
di dahan pohon. Aku terkesima dan tak baru selesai kucuci. Hasril mengge- senang seperti ini.” Begitu setiap hari. ti juga menyampaikan salam dari Bibi
ingin beranjak dari depan jendela yang leng, “Nanti sore kita masih harus zia Hingga suatu hari. Nur, Saria, dan Arnia.
sengaja kubiarkan terbuka lebar, meski rah ke makam Paman. Besok pagi baru- “Kakak, aku lapar. Ayo makan! “Kau juga pasti ingin tahu kabar si
Info Lingua mata harus menyipit menahan terik ma- lah kita kembali ke Batauga.” Jarum jam Setelah itu, kita bermain lagi.” Hijau dan Abu, kan?“
tahari yang menyengat tepat di wajah. dinding di ruang tengah terasa sangat Seperti biasa, keduanya pun membu- Aku mengangguk cepat.