Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MATA KULIAH

PENGANTAR HUKUM ISLAM

(PEMBAGIAN HUKUM ISLAM)

Dosen Pengampu:
Asman, M. Ag

OLEH:

ZAHRA APRILIANTI
NIM: 301.2022.011
SEMESTER: 1
KELOMPOK: 6

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SULTAN MUHAMMAD SYAFIUDDIN
SAMBAS
2022 M/ 1444 H
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
A. Latar Belakang.......................................................................................................
B. Rumusan Masalah..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................
A. Hukum Syarak dan Pembagiannya........................................................................
B. Hukum Taklifi dan Contohnya..............................................................................
C. Hukum Wadi’iy dan Contohnya..........................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................................
B. Saran....................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................

i
CATATAN PERBAIKAN:
1. Tulisan dirapikan
2. Perbaiki footnote lihat contoh makalah
3. Tambah footnote/catatan kaki
4. Tulisan bahasa asing harus di miringkan
5. Perbaiki tulisan arabnya
6. Cek kembali apakah sub pembahasan sudah sama dengan RPS
7. Penulisan penomoran makalah di perbaiki
8. Ayat la-Qurnan dan hadis harus ditambahkan
9. Perbaiki daftar pustakanya
10. Usahkan daftar pustaka dari buku/jurnal
11. Lihat contoh makalah yang diberikan sebagai rujukan penulisan
makalah.
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum Islam merupakan suatu hukum yang memiliki sifat statis dan
Sekaligus dinamis Statis berarti suatu hal yang tetap bersumberkan pada Al-
Qur’an dan hadits dalam setiap aspek kehidupan. Dinamis berarti mampu
menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan perkembangan zaman, tempat
dan keadaan, serta cocok ditempatkan dalam segala macam bentuk struktur ctual
kehidupan, baik secara individu maupun secara kolektif bermasyarakat.
Sekilas bila pemikiran mengenai Hukum Islam ditelaah dari zaman ke
zaman, tentulah akan terlihat berbagai macam corak pemikiran yang tak jarang
saling bersinggungan dan saling bertentangan antara seorang mujtahid dengan
mujtahid lainnya. Berdasarkan hal tersebut, sepatutnya umat Islam tidak
perbedaan akan segala macam perbedaan itu. Penulis kira, umat Islam juga tidak
perlu saling actual dan mengkhim suatu golongan dengan pemikiran tertentu
adalah paling benar diantara golongan yang lain. Karena hal tersebut hanya
dapat menimbulkan pengerusakan, penghujatan dan permusuhan yang
berkepanjangan yang nantinya bisa jadi akan berdampak pada penodaan
terhadap agama Islam itu sendiri.
Berbicara mengenai corak pemikiran Hukum Islam dari masa ke masa,
sudah tentu hal tersebut tidak dapat lepas dari tokoh atau pemikir yang hidup
pada zaman dan lingkungannya yang turut berperan dalam mewarnai
keberagaman akan corak pemikiran Hukum Islam, diantara banyaknya para
cendikiawan, khususnya yang hidup di Indonesia, salah satunya adalah Munawir
Sjadzali. Beliau merupakan seorang cendikiawan Islam yang memiliki gagasan
dan pemikiran yang terkait dengan Hukum Islam, yang salah satu dari
pemikirannya tersebut dapat menimbulkan actual yang berkepanjangan antara
pro dan kontra dari berbagai macam pihak.1
Pemikiran itu ia sebut sebagai Reaktualisasi Ajaran Islam. Satu dari
pemikirannya tersebut dapat menimbulkan actual yang berkepanjangan antara
pro dan kontra dari berbagai macam pihak. Pemikiran itu ia sebut sebagai
Reaktualisasi Ajaran Islam, buah pemikirannya yang merupakan bunga rampai
dari pemikiran-pemikirannya yang terdiri atas riba bunga bank dan pembagian
harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan. 2 Terkait dengan hal tersebut,
dalam pembahasan kali ini juga akan membahas mengenai Reaktualisasi Ajaran
Islam yang digagas oleh Munawir Sjadzali, hanya saja dalam pembahasan ini
yang akan dibahas hanya mengenai reaktualisasi Hukum Islam bidang
kewarisannya saja
Munawir Sajadli berpikir untuk mengaktualisasi kembali ajaran Hukum
Islam khususnya yang terkait dengan pembagian hukum waris, karena
menurutnya, ia melemparkan gagasan tersebut tidak, dalam keadaan vakum dan
tanpa actual. Gagasan reaktualisasi Munawir Sjadzali kemukakan karena ia
meyakinkan makin meluasnya sikap mendua dikalangan masyarakat Islam,
bahkan germasuk mereka yang akrab dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
seperti halnya sikap mereka dalam masalah pembagian warisan antara anak laki-

1
A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti Dalam
Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Aswaja Pressindo 2012), hlm. 12.
2
Munawir Sjdzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988), hlm. 2
laki dan perempuan.3 Menurut Munawir Sjadzali, banyak diantara umat Islam
yang pada saat itu secara formal dan keyakinannya berpegang teguh kepada
penafsiran harfiah atau tekstual ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi, akan tetapi
perilaku pribadi setiap harinya bertolak belakang dengan apa yang secara formal
mereka yakini tersebut, dengan cara mencari actual dan berdalih yang tentunya
menurut Munawir Sjadzali tidak sesuai dengan logika keislaman. Kemudian
Munajwir Sjadzali menganjurkan daripada melakukan hal-hal yang dapat
dikategorikan sebagai hilah terhadap agama Islam. Dengan demikian, tidak lagi
relevan untuk dijadikan rujukan dalam upaya masyarakat Islam mencari
penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan yang actual sekarang ini.4
Menurut Munawir Sjadzali, dalam pembagian harta warisan antara anak
laki-laki dan perempuan, yang termaktub dalam potongan ayat Al-Qur’an, surat
An-nisa’ ayat 11, yang dengan jelas menyatakan bahwa hak anak laki-laki dua
kali lebih besar daripada hak anak perempuan. Ketentuan tersebut justru sudah
banyak ditingalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Informasi tersebut ia ketahui setelah Munawir Sajadzali
mendapat kepercayaan menjabat sebagai Menteri Agama pada dua periode,
Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-
1993).5
Saat menjabat sebagai Menteri Agama, Munawir banyak mendapat
laporan
dari beberapa Hakim Agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang
terkenal kuat akan ajaran Islamnya seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan, terkait dengan banyaknya tindakan penyimpangan dari ketentuan Al-
Qur’an tersebut. Para Hakim Agama seringkali menyaksikan, apabila seorang
keluarga muslim meninggal, dan atas permintaan para ahli warisnya Pengadilan
Agama memberikan fatwa waris sesuai dengan hukum waris atau faraid, maka

3
Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, hlm. 2.
4
Munawir Sjadzali, Bunga Rampai Wawasan Dewasa Islam Ini (Jakarta: UI-PRESS,
1994), hlm. 44
5
Detail Kabinet Menteri - Situs Web Kepustakaan Presiden-Presiden Republik Indonesia
htm http://kepustakaan- presiden pari go.id/cabinet personnel/ popup profil pejabat php?
id=327&presiden id=2&presiden Esuharto, diakses tanggal 27 Agustus 2012
kerap kali terjadi bahwa para ahli waris tidak melaksanakan fatwa waris tersebut
dan kemudian pergi ke Pengadilan Negeri untuk meminta agar diperlakukan
sistem pembagian lain, yang terang tidak sesuai dengan pembagian faraid
Hukum Islam.6
Perlu diketahui bahwa saat Munawir Sjadzali menjabat sebagai Menteri
Agama dan permasalahan persamaan pembagian warisan mencuat, belum lahir
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang
ketentuan di dalamnya mengatur kewenangan Pengadilan Agama di bidang
kewarisan berdasarkan asas personalitas keislaman yang meliputi seluruh
golongan rakyat beragama Islam, yang berarti dalam hal terjadi persengketaan
waris bagi setiap orang yang beragama Islam. Kewenangan mengadilinya
tunduk dan takluk pada Peradilan Agama dan bukan ke lingkungan Peradilan
Umum.7 Sehingga sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut umat Islam yang
hendak membagi harta warisan, dapat dengan suka rela memilih salah satu
peradilan, antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri yang kemudian akan
mengurus dan memutus perkara harta warisan mereka. 8 Bahkan setelah
dikeluarkannya Undang-Undang tersebut, sekitar tahun 1990 hingga 1995,
pemanfaatan umat Islam terhadap Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
perkara waris hanya sebesar 11,28% saja. Sementara sisanya, yakni 88,18%
masih mengajukan penyelesaian perkara waris ke Pengadilan Negeri.9
Selain itu, menurut Munawir Sjadzali suatu hal yang perlu secara khusus
dicatat pada saat itu ialah bahwa yang enggan melaksanakan fatwa-waris dari
Pengadilan Agama dan kemudian pegi ke Pengadilan Negeri itu tidak hanya
orang-orang awam terhadap Hukum Islam saja, melainkan juga banyak tokoh-
tokoh organisasi Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keislaman dan mereka

6
Sjadzali, Polemik, 3.
7
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah pemikiran dan Realita, (Malang:
UIN Malang Press, 2009), hlm. 210. ;
8
Munawir Sjadzali, Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 57-58.
9
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam secara Adil Dengan Metode Perhitungan Mudah
Dan Praktis, (Surabaya: Airlangga University Press, 2010), hlm. 30.
yang akrab dengan Al-Qur’an dan sunnah pun turut melakukan hal yang
serupa.10

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Hukum Syarak dan Pembagiannya?
2. Pengertian Hukum Taklifi dan Contohnya?
3. Apa Itu Hukum Wadi’iy dan Contohnya?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Hukum Syarak dan Pembagiannya


Apa Itu Hukum Syara’? Pengertian hukum secara bahasa berarti Al-
Qadha’ (‫اء‬K‫ )القض‬yang berarti keputusan.11 Sedangkan pengertian hukum syara’
secara istilah adalah :
‫ أو وضعًا‬،‫ طلبًا أو تخييرًا‬،‫هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين‬

Adalah titah syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan, dan peletakan.12
Berangkat dari definisi hukum syara’ tersebut dapat kita pahami bahwa
hukum syara’ adalah apa yang telah ditetapkan oleh titah syariat yaitu Al-Quran
dan As-Sunnah. Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan
“syara”.13 Hukum secara etimologi (bahasa) berarti “memutuskan,

10
Sjadzali, Polemik, 3.; idem, Bunga, 44s
11
F00TNOTE/CATATAN KAKI
12
F00TNOTE/CATATAN KAKI
13
F00TNOTE/CATATAN KAKI
menetapkan, dan menyelesaikan”.14 Secara istilah hukum merupakan
‘seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui
oleh suatu negara atau sekelompok masyarakat, berlaku dan bersifat mengikat
untuk seluruh anggota masyarakatnya’.15
Hukum syara’ berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik itu perkataan
atau perbuatan berupa melakukan atau meninggalkan sesuatu. Dan ia tidak ada
kaitannya dengan keyakinan atau akidah. Mukallaf yang dimaksud dalam
definisi tersebut adalah siapa saja yang keadaannya dibebani syariat, termasuk
anak kecil dan orang gila. Dari definisi tersebut juga dapat kita ketahui bahwa
hukum syara’ terbagi menjadi dua, yaitu :
Yang pertama adalah tuntutan baik itu perintah maupun larangan, baik itu
bersifat pasti maupun tidak pasti dan juga pilihan apakah mau mengerjakan atau
meninggalkannya. Sedangkan yang kedua adalah wadh’i atau peletakan, yang
mana ia merupakan perkara-perkara yang diletakkan oleh pembuat syariat yang
menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya.16
Hukum syara’ atau hukum islam menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab)
syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau
diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir).17 Sedangkan menurut
ulama fiqh hukum syara atau hukum islam ialah efek yang dikehendaki oleh
kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah. 18 Syariat menurut
bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan
oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah.19 Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat
adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh
kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama

14
F00TNOTE/CATATAN KAKI
15
F00TNOTE/CATATAN KAKI
16
F00TNOTE/CATATAN KAKI
17
F00TNOTE/CATATAN KAKI
18
F00TNOTE/CATATAN KAKI
19
F00TNOTE/CATATAN KAKI
Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam
seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.20
Di dalam Islam, semua umat muslim adalah saudara. Dan kewajiban dari
seorang muslim adalah saling mengingatkan kepada saudara seiman. Jadi bagi
anda yang telah mengetahui pengertian hukum Islam, sangat diharapkan jika
anda mengingatkan dan menyebar luaskan ilmu tersebut terhadap muslim yang
lain. Selain medapat pahala karena berdakwah, anda juga bisa bertukar pikiran
dengan orang yang anda ingatkan tersebut. Jika perlu, buatlah sebuah kelompok
pengajian yang menjadi wadah untuk anda saling mengingatkan berbagai amalan
yang bisa dilakukan.21
Sebagaimana definisi hukum syara’ di atas, maka hukum dapat kita
ketahui bahwa hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu : Taklifi dan Wadh’i
B. Hukum Taklifi dan Contohnya
Hukum taklifi adalah tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf untuk
mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan, dan pilihan antara
mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan. Hukum taklifi adalah salah
satu jenis hukum Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga hukum wadh'i. 22
Istilah halal, haram, wajib, sunah, dan sebagainya merupakan bagian dari hukum
taklifi dalam Islam.
Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum penugasan. Dalam bahasa
Arab, taklifi artinya pembebanan.23 Ketaatan terhadap hukum tersebut
merupakan wujud kesadaran beragama bagi umat Islam. Pembebanan hukum
taklifi ditujukan kepada orang Islam mukalaf.24 Seorang mukalaf artinya orang
yang sudah balig (cukup umur) dan berakal (tidak gila atau hilang kesadaran).
Artinya, anak-anak kecil atau pengidap gangguan jiwa akut hingga akalnya

20
https://studihukum.wordpress.com/2013/07/22/pengertian-hukum-islam/ diakses pada
tanggal 16 Oktober Pukul 23.00
21
https://pengertiandefinisi.com/pengertian-hukum-islam-dan-manfaatnya/ diakses pada
tanggal 16 Oktober Pukul 23.15
22
F00TNOTE/CATATAN KAKI
23
F00TNOTE/CATATAN KAKI
24
F00TNOTE/CATATAN KAKI
terganggu tidak dibebani hukum-hukum taklifi. 25 Lantas, apa saja macam-
macam hukum taklifi dalam Islam?
Secara umum, hukum taklifi terdiri dari tiga kategori, yaitu perintah,
larangan, dan hukum pilihan (opsi untuk menjalankan sesuatu atau
meninggalkannya).26 Dari ketiga kategori ini, para ulama membaginya menjadi
lima macam, yaitu wajib, haram, sunah (mandub), makruh, dan mubah.

1. Wajib
Hukum taklifi yang pertama adalah wajib. Wajib adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh pembuat syariat yang harus dikerjakan. 27 Orang yang
melaksanakan perkara wajib akan diberi ganjaran dan berhak mendapatkan
hukuman apabila ditinggalkan. Pembebanan suatu perkara hingga hukumnya
wajib didasarkan dalil-dalil yang sudah pasti (qath'i) dan tidak diragukan
kesahihannya.28 Karena itu, orang-orang yang mengingkari hal-hal wajib dalam
Islam, keimanannya patut dipertanyakan. Perkara wajib atau fardu merupakan
perintah yang diiringi janji pemberian pahala bagi yang menjalankannya dan
ancaman neraka bagi yang meninggalkannya. Contoh-contoh perkara wajib
dalam Islam adalah perintah salat lima waktu, puasa, serta zakat dan haji bagi
yang mampu. istilah lain atau sinonim dari Wajib diantaranya ada Fardhu atau
Faridhah, Hatmun atau Mahtum, dan Lazim.
Menurut kalangan hanafiyyah Fardhu dan Wajib itu berbeda. Fardhu atau
Faridhah adalah istilah hukum yang ditetapkan dengan dalil Qath’i seperti Al-
Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang ditetapkan dengan dalil Dzanni
seperti hadits ahad maka ia disebut Wajib. 29 Pembagian Hukum Wajib terbagi
dalam empat kategori yaitu :
1) Dari segi keterikatannya dengan waktu, dan ini terbagi menjadi
dua:

25
F00TNOTE/CATATAN KAKI
26
F00TNOTE/CATATAN KAKI
27
F00TNOTE/CATATAN KAKI
28
F00TNOTE/CATATAN KAKI
29
F00TNOTE/CATATAN KAKI
 Wajib Mutlaq atau Wajib Muwassa’, yaitu kewajiban yang
waktu pelaksanannya luas dan tidak terikat dengan waktu
tertentu, seperti menqadha’ puasa Ramadhan.
 Wajib Muqayyad atau Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban
yang pelaksanaannya terikat oleh waktu tertentu, seperti
shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya.
2) Dari segi ketentuan obyeknya, terbagi menjadi dua :
 Wajib Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan
dan tidak ada pilihan lain selain yang sudah menjadi
ketentuan, seperti wajibnya puasa di bulan Ramadhan,
wajibnya Haji, dan lain sebagainya.
 Wajib Ghairu Mu’ayyan atau Wajib Mukhayyar, yaitu
kewajiban yang dibolehkan menentukan salah satu diantara
beberapa pilihan. Contohnya adalah kaffarah bagi orang
yang melanggar sumpah.
3) Dari segi kadarnya, ini terbagi menjadi dua :
 Wajib Muqaddar atau Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban
yang telah ditentukan kadarnya, seperti jumlah raka’at pada
shalat fardhu, jumlah minimal pembayaran zakat, dsb.
 Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak
ditentukan kadarnya, seperti berinfak di jalan Allah,
bersedekah, memberi makan anak yatim, dsb.
4) Dari segi subyek hukumnya, terbagi menjadi dua :
 Wajib Aini atau Fardhu Ain, yaitu kewajiban yang
dibebankan kepada setiap individu, seperti shalat lima
waktu, puasa Ramadhan, dsb.
 Wajib Kifa’i atau Fardhu Kifayah, yaitu kewajiban yang
dibebankan secara kolektif, yang apabila sudah terwakili
maka gugurlah kewajiban itu. Seperti shalat jenazah, jihad
fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar, dsb.
2. Sunnah (Mandub)
Hukum taklifi yang kedua adalah mandub. Mandub adalah sesuatu yang
diperintahkan oleh pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan. 30 Orang yang
mengerjakan perkara mandub dalam rangka mencari pahala akan mendapatkan
pahala, akan tetapi tidak dihukum bila meninggalkannya. Istilah lain dari
Mandub diantaranya ada Sunnah, Masnuun, Mustahab atau Istihbab, Nafl atau
Nafilah, Tathawwu’, dan Fadhilah. Suatu perkara dianggap sunah apabila yang
mengerjakannya memperoleh pahala dan meninggalkannya tidak mendapat
dosa. Artinya, seorang muslim yang mengerjakan amalan itu lebih baik
daripada tidak mengerjakannya.31 Ulama Mazhab Maliki, Imam Asy-Syatibi
menyatakan bahwa perkara sunah merupakan pelengkap dari ibadah wajib. Ia
merupakan penyempurna dari kelalaian dalam ibadah fardu di atas. "Barang
siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia juga menjalankan
ibadah wajib," tulis Imam Asy-Syatibi dalam Kitab Al-Muwafaqat (2008). 32
Contoh-contoh perkara sunah adalah mengerjakan salat rawatib, salat duha,
puasa Senin-Kamis, dan sebagainya. Adapun Pembagian Mandub atau Sunnah
dari segi tingkatannya, diantaranya :
1) Sunnah muakkadah adalah sunnah yang selalu dikerjakan oleh
Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam. Contohnya melaksanakan shalat
sunnah dua rakaat sebelum subuh.
2) Sunnah ghairu muakkadah adalah sunnah yang tidak selalu
dikerjakan oleh Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam artinya sesekali
beliau meninggalkannya, seperti shalat tarawih, shalat empat rakaat
sebelum dan sesudah dzuhur, dan lain sebagainya.33
Ada pula sunnah zawaid atau sunnah adat, yaitu perbuatan Nabi
sallallaahu 'alaihi wasallam yang bukan dalam rangka beribadah kepada Allah
ta’ala, seperti cara berpakaian, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi,
cara berjalan, cara berkendara, dan lain sebagainya. Melakukan sunnah adat ini
merupakan keutamaan, tidaklah tercela ketika meninggalkannya, dan

30
F00TNOTE/CATATAN KAKI
31
F00TNOTE/CATATAN KAKI
32
F00TNOTE/CATATAN KAKI
33
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
melakukannya adalah perbuatan terpuji.34 Karena melakukan sunah adat dalam
rangka tasyabbuh terhadap Nabi sallallaahu 'alaihi wasallam adalah baik
selama tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih diutamakan. Beliau
sallallaahu 'alaihi wasallam bersabda :
‫َم ْن َتَشَّبَه ِبَقْو ٍم َفُهَو ِم ْنُهْم‬
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka. [HR.
Abu Dawud no. 4031]35
3. Haram
Hukum taklifi yang ketiga adalah haram. Haram adalah sesuatu yang
dilarang oleh pembuat syariat yang harus ditinggalkan.36 Orang yang
meninggalkan perkara yang haram karena mengharapkan pahala maSka ia akan
mendapatkan pahala, sedangkan orang yang melakukannya berhak
mendapatkan azab. Lawan dari hukum wajib adalah haram. Jika perintah wajib
harus dikerjakan, larangan haram harus ditinggalkan. 37 Perkara haram adalah
perintah untuk meninggalkan suatu hal dengan janji pahala apabila
menaatinya.38 Sementara itu, orang yang melanggarnya akan dikenai dosa.
Contoh-contoh perilaku haram adalah minum khamar, berzina, mencuri, dan
lainnya. Istilah lain dari haram diantaranya ada Mahthur dan Mamnu’. Adapun
Pembagian Haram terbagi menjadi dua, yaitu :
1) Haram lidzatihi atau haram karena zatnya. Yaitu perbuatan yang
pada asalnya haram menurut hukum syar’i. Contoh : syirik, zina,
mencuri, memakan babi, dan lain sebagainya.
2) Haram lighairigi atau haram karena selainnya. Yaitu perbuatan
yang pada asalnya diperbolehkan atau disyariatkan, namun karena
adanya faktor lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan
kemudharatan maka perbuatan itu menjadi haram. Contohnya
seperti transaksi jual beli pada saat adzan jum’at. Jual beli itu pada
asalnya diperbolehkan, akan tetapi apabila dilakukan saat
34
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
35
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
36
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
37
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
38
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
dikumandangkan adzan jum’at maka menjadi haram, karena ini
dapat menjadikan seseorang terlewat melaksanakan shalat jum’at.39

4. Makruh
Hukum taklifi yang keempat adalah makruh. Makruh adalah sesuatu yang
dilarang oleh pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan. 40 Seorang yang
meninggalkan perkara makruh maka akan diganjar pahala apabila ia
melakukannya dalam rangka mematuhi perintah, namun orang yang
melanggarnya tidaklah berdosa. Lawan dari hukum sunah adalah makruh. Jika
perkara sunah dianjurkan untuk dikerjakan, perkara makruh sebaiknya
ditinggalkan.41 Tidak ada dosa bagi orang yang melakukan perbuatan makruh,
namun memperoleh pahala apabila meninggalkannya. Di antara contoh
perbuatan makruh adalah lebih baik diam daripada membicarakan hal-hal tak
berguna.

Catatan :

 Penggunaan istilah makruh yang telah berjalan dikalangan para ulama


adalah makruh yang telah dijelaskan pada pembahasan ini, kecuali ulama
hanafiyyah. Mereka membagi makruh menjadi dua, yaitu makruh tahrim
dan makruh tanzih. Makruh Tahrim adalah sesuatu yang dilarang atau
diharamkan oleh syariat akan tetapi dalilnya bersifat Dzanni Al-Wurud
(dugaan kuat). Sementara Makruh Tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan
oleh syariat untuk ditinggalkan sebagaimana makruh yang dikenal oleh
para ulama pada umumnya.
 Yang terjadi pada kalam Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian ahli
hadits, penggunaan istilah makruh bisa bermakna haram bisa juga
bermakna makruh secara istilah, maka berhati-hatilah dan jangan sampai
salah menafsirkan!

39
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
40
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
41
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
 Bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika melarang sesuatu
akan tetapi beliau mengerjakannya maka hal ini menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut diperbolehkan. Bukan berarti yang semula dilarang
kemudian berubah menjadi makruh, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam tidaklah mengerjakan hal yang dimakruhkan.42

5. Mubah
Hukum taklifi yang kelima adalah mubah. Mubah adalah sesuatu yang
tidak ada hubungannya dengan perintah dan larangan pada asalnya. 43
Maksudnya adalah perbuatan yang pada asalnya tidak diperintahkan dan tidak
pula dilarang oleh syariat. Hal ini dikarenakan apabila perbuatan tersebut
dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka perbuatan
tersebut mengikuti hukum yang melatarbelakanginya. Contohnya seperti
mempelajari bahasa Arab yang hukum asalnya adalah boleh. Namun, karena
kita diwajibkan untuk mengetahui kandungan dari Al-Quran dan As-Sunnah
maka tidak mungkin kita bisa mengetahuinya tanpa mempelajari bahasa Arab.
Sehingga mempelajari bahasa Arab hukumnya menjadi wajib atas dasar latar
belakang tersebut. Contoh lain seperti makan dan minum. Hukum asalnya
adalah mubah, namun apabila dilakukan secara berlebihan hingga
membahayakan dirinya maka ia menjadi haram. Perkara mubah adalah hukum
opsional.44 Orang-orang Islam boleh mengerjakan atau meninggalkannya.
Keduanya tidak menghasilkan pahala atau memperoleh dosa. Di antara contoh
perkara mubah adalah tertawa, berdagang, dan lain sebagainya.
C. Hukum Wadi’iy dan Contohnya
Hukum wadh’i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
sebab, syarat, dan sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukan hukum
taklifi.45 Hukum wadh'i ialah salah satu jenis hukum syariat Islam menurut
ulama ushul fikih, selain juga hukum taklifi.46 Sederhananya, hukum wadh'i
42
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
43
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
44
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
45
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
46
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
merupakan hukum kondisional yang menyertai hukum taklifi. Hukum taklifi
sendiri berkaitan perkara haram, halal, sunah, makruh, dan mubah. Kelima
hukum itu disertai dengan hukum kondisional. 47 Misalnya, perkawinan menjadi
sebab halalnya hubungan suami istri. Perkawinan yang menjadi sebab mubahnya
hubungan suami istri termasuk bahasan dalam hukum wadh'i.
Sebelum akad nikah, laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak
boleh berkhalwat (berduaan), apalagi berhubungan badan. Selepas perkawinan,
hal-hal terlarang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi
halal dan boleh dilakukan. Selanjutnya, hukum-hukum syariat ini, baik itu
hukum wadh'i dan taklifi lazimnya ditujukan kepada mukalaf atau orang yang
sudah layak dibebankan hukum Islam. Orang mukalaf adalah sosok yang sudah
balig (cukup umur), berakal sehat (tidak mabuk atau hilang kesadaran), dan tidak
tidur (dalam kondisi sadar).48 Hal itu tergambar dalam sabda Rasulullah SAW:
“Pena [pencatat amal] diangkat dari tiga golongan, yaitu orang tidur sampai
dia bangun, anak-anak sampai dia balig, dan dari orang yang gila sampai dia
sadar [berakal],” (H.R. Ibnu Majah). Secara umum, hukum wadh'i terdiri dari 6
macam, yaitu sebab, syarat, penghalang (mani'), azimah dan rukhsah, serta sah
dan batal.49
1. Sebab
Hukum wadh’i yang pertama adalah Sabab yang dalam bahasa indonesia
berarti sebab. Secara bahasa sebab adalah sesuatu yang bisa menyampaikan
kepada sesuatu yang lain. Dalam istilah ushul fiqih sebab adalah sesuatu yang
dijadikan oleh pembuat syariat sebagai penanda atas keberadaan suatu
hukum.50 Secara definitif, sebab dalam hukum wadh'i adalah tanda hingga
lahirnya hukum Islam. Tanpa tanda (sebab) itu, seorang mukalaf tidak dibebani
hukum syariat.51 Sebagai misal, tanda balig merupakan sebab bagi kewajiban
hukum-hukum Islam. Anak kecil yang belum cukup umur (balig) tidak wajib

47
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
48
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
49
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
50
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
51
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
salat, puasa, atau menjalankan ibadah fardu lainnya. Dan ketiadaan sebab
adalah penanda ketiadaan suatu hukum. Sebab terbagi menjadi dua :
1) Adalah sebab yang ditetapkan oleh pembuat syariat dan di luar
batas kemampuan mukallaf. Contohnya seperti tergelincirnya
matahari menjadi sebab wajibnya shalat dzuhur, masuknya bulan
Ramadhan menjadi sebab wajibnya berpuasa Ramadhan, dsb.
2) Adalah sebab yang telah ditetapkan syariat dan berada dalam batas
kemampuan mukallaf. Contohnya seperti safar menjadi sebab
diperbolehkannya puasa di siang Ramadhan, zina menjadi
penyebab ditegakkannya hukum had, murtad menjadi sebab
dihalalkannya darah.52
2. Syarat
Hukum wadh’i yang kedua adalah syarat. Syarat adalah sesuatu yang
keberadaan hukum bergantung pada keberadaannya, dan ketiadaannya itu
berkonsekuensi tidak adanya hukum.53 Namun, keberadaan syarat tidak
mengharuskan adanya yang disyaratkan. Misalnya seperti shalat yang
disyaratkan untuk wudhu, namun wudhu tidak mengharuskan adanya shalat.
Suatu ibadah atau perkara syariat lazimnya mewajibkan adanya syarat harus
dipenuhi. Tanpa adanya syarat, perkara itu batal dan tak boleh dikerjakan.
Sebagai misal, saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat
sahnya puasa. Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan
dianggap tidak sah. Syarat adalah hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu
ibadah atau sahnya hukum syariat Islam tersebut. Syarat juga bukan bagian dari
yang disyaratkan, akan tetapi ia sesuatu yang berada di luar. 54 Misalnya wudhu
adalah syarat untuk melaksanakan shalat, akan tetapi wudhu bukan bagian dari
shalat. Syarat terbagi menjadi dua :
1) Adalah syarat syar’i. Syarat syar’i adalah syarat yang datang dari
syariat itu sendiri. Misalnya seperti suci dari hadats menjadi syarat

52
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
53
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
54
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
shalat, haul dan nishab menjadi syarat ditunaikannya zakat mal,
dsb.
2) Adalah syarat ja’li. Syarat ja’li adalah syarat yang dibuat oleh
mukallaf sendiri dalam hal mu’amalah bukan dalam hal ibadah.55
3. Mani’
Hukum wadh’i yang ketiga adalah mani’ yang berarti penghalang. Mani’
adalah sesuatu yang mengharuskan ketiadaannya hukum karena
keberadaannya, atau batalnya sebab, yang terkadang terwujudnya sebab syar’i,
dan terpenuhinya semua syarat-syaratnya tetapi terdapat mani’ yang
menyebabkan terhalangnya keberadaan hukum.56 Contohnya adalah datangnya
haul dan nishab merupakan syarat dan sabab wajibnya menunaikkan zakat.
Namun, keberadaan hutang menjadi mani’ (penghalang) wajibnya
menunaikkan zakat. Mani’ terbagi menjadi dua :
1) Mani’ al-hukm. Mani’ Al-Hukm adalah sesuatu yang ditetapkan
syariat sebagai penghalang bagi keberadaan hukum. Contohnya
seperti haid pada wanita menjadi penghalang shalat.
2) Mani’ 'as-sabab. Mani’ As-Sabab adalah sesuatu yang ditetapkan
syariat sebagai penghalang berfungsinya sebab, sehingga sebab itu
tidak lagi mempunyai konsekuensi hukum. Contohnya seperti
seorang yang hartanya telah mencapai nishab dan haul, namun
karena ia masih memiliki hutang maka terhalanglah kewajiban
zakatnya sebab hutangnya.57
4. Sah dan Batal
Apa yang dimaksud dengan sah? Perbuatan mukallaf ketika syarat telah
terpenuhi, mani’ (penghalang) tidak ada, dan adanya suatu sebab perbuatan itu
dilakukan maka secara syariat hukumnya sah. 58 Dengan demikian, sah
merupakan perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu
terpenuhinya syarat, rukun, sebab dan tidak ada mani’, serta memiliki
konsekuensi bagi pelakunya yaitu terbebas dari tanggungan hukum yang

55
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
56
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
57
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
58
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
menjadi tanggung jawabnya.59 Contoh : Apabila seseorang melaksanakan shalat
dzuhur setelah tergelincinya matahari, didahului dengan bersuci, dan tidak
dalam keadaan haid, maka shalatnya dihukumi sah.
Kebalikan dari sah adalah batal. Perbuatan mukallaf ketika tidak
terpenuhinya sebagian atau seluruh dari terpenuhinya syarat, sebab, dan tidak
adanya mani’ maka secara syariat perbuatan tersebut hukumnya batal. 60 Contoh
: Apabila seseorang melaksanakan shalat dzuhur setelah tergelincirnya
matahari, didahului dengan wudhu, dan dalam keadaan haid, maka shalatnya
batal karena adanya penghalang yaitu haid.
5. Azimah dan Rhukhsah
Azimah adalah ketentuan asal dari hukum-hukum yang disyariatkan tanpa
adanya faktor lain.61 Contoh : Shalat pada waktunya, menyempurnakan shalat,
haramnya bangkai, dsb.
Sementara rukhshah adalah ketentuan hukum berupa keringanan bagi
mukallaf pada kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan keringan tersebut.
Atau dengan kata lain rukhshah adalah keringanan yang diberikan oleh Allah
ta’ala karena adanya alasan syar’i.62 Contoh : Bolehnya makan di siang bulan
Ramadhan bagi musafir, bolehnya memakan bangkai ketika tidak ada makanan
apapun selain makanan tersebut dan bila tidak memakannya akan
mengakibatkan kebinasaan, dsb.

59
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
60
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
61
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
62
FOOTNOTE/CATATAN KAKI
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum syara’ adalah apa yang telah ditetapkan oleh titah syariat yaitu Al-
Quran dan As-Sunnah. Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata
“hukum” dan “syara”. Hukum secara etimologi (bahasa) berarti “memutuskan,
menetapkan, dan menyelesaikan”. Secara istilah hukum merupakan
‘seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui
oleh suatu negara atau sekelompok masyarakat, berlaku dan bersifat mengikat
untuk seluruh anggota masyarakatnya’.
Hukum syara’ berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik itu perkataan
atau perbuatan berupa melakukan atau meninggalkan sesuatu. Dan ia tidak ada
kaitannya dengan keyakinan atau akidah. Mukallaf yang dimaksud dalam
definisi tersebut adalah siapa saja yang keadaannya dibebani syariat, termasuk
anak kecil dan orang gila. Dari definisi tersebut juga dapat kita ketahui bahwa
hukum syara’ terbagi menjadi dua, yaitu :
Yang pertama adalah tuntutan baik itu perintah maupun larangan, baik itu
bersifat pasti maupun tidak pasti dan juga pilihan apakah mau mengerjakan atau
meninggalkannya. Sedangkan yang kedua adalah wadh’i atau peletakan, yang
mana ia merupakan perkara-perkara yang diletakkan oleh pembuat syariat yang
menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya.
Sebagaimana definisi hukum syara’ di atas, maka hukum dapat kita
ketahui bahwa hukum syara’ terbagi menjadi dua yaitu : Taklifi dan Wadh’i.
Hukum taklifi adalah tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf untuk
mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan, dan pilihan antara
mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan. Hukum taklifi adalah salah
satu jenis hukum Islam menurut ulama ushul fikih, selain juga hukum wadh'i.
Istilah halal, haram, wajib, sunah, dan sebagainya merupakan bagian dari hukum
taklifi dalam Islam. Secara definitif, hukum taklifi adalah hukum penugasan.
Dalam bahasa Arab, taklifi artinya pembebanan. Secara umum, hukum taklifi
terdiri dari tiga kategori, yaitu perintah, larangan, dan hukum pilihan (opsi untuk
menjalankan sesuatu atau meninggalkannya). Dari ketiga kategori ini, para
ulama membaginya menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, sunah (mandub),
makruh, dan mubah. Artinya, seorang muslim yang mengerjakan amalan itu
lebih baik daripada tidak mengerjakannya.
Hukum wadh’i adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang
sebab, syarat, dan sesuatu yang menjadi penghalang untuk melakukan hukum
taklifi. Hukum wadh'i ialah salah satu jenis hukum syariat Islam menurut ulama
ushul fikih, selain juga hukum taklifi. Sederhananya, hukum wadh'i merupakan
hukum kondisional yang menyertai hukum taklifi. Hukum taklifi sendiri
berkaitan perkara haram, halal, sunah, makruh, dan mubah. Kelima hukum itu
disertai dengan hukum kondisional. Misalnya, perkawinan menjadi sebab
halalnya hubungan suami istri. Perkawinan yang menjadi sebab mubahnya
hubungan suami istri termasuk bahasan dalam hukum wadh'i.

B. Saran
Makalah ini kami buat pasti masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi
tulisan dan kata-kata yang kurang cocok dibaca ataupun cara penulisan yang
kurang tepat serta isi yang jauh dari kata sempurna. maka dengan terbuka kami
menerima masukan dari para pembaca yang budiman dan baik berupa saran
maupun kritik yang bersifat konstruktif karena dengan saran dan kritik dari para
pembaca. Kami sebagai penulis dapat membuat makalah lebih baik lagi
kedepannya. Dan kami harap para pembaca mendapat manfaat dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Sjadzali, Munawir. Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa Ini, Jakarta UI
PRESS. 1994
Nelty Khairiyah, Endi Suhendi Zen. Pendidikan Agama Islam Dan Budi Pekerti.
2017
Munawir Sjdzali. Hukum Islam, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012.
Munawir Sjdzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka
Panjimas 1988
A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti Dalam
Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Praktek,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991
Afdol, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil Dengan Metode Perhitungan
Mudah Dan Praktis, Surabaya: Airlangga University Press, 2010

Anda mungkin juga menyukai