BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
BAB II
Pasal 2
Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata,
kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian,
kebebasan, dan tanggung jawab.
Pasal 3
Pasal 4
PENYELENGGARAAN
PENYIARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Komisi Penyiaran
Indonesia
Pasal 7
(1) Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut
Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.
(2) KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal
mengenai penyiaran.
(3) KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk
di tingkat provinsi.
(4) Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 8
(1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta
mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
(2) Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI
mempunyai wewenang:
a. menetapkan standar program siaran;
b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran;
d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siaran;
e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga
penyiaran, dan masyarakat.
(3) KPI mempunyai tugas dan kewajiban :
a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar
sesuai dengan hak asasi manusia;
b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan
industri terkait;
d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik
dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan
f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang
menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
Pasal 9
(1) Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah
berjumlah 7 (tujuh) orang.
(2) Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari dan oleh anggota.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3
(tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
(4) KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh negara.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai
dengan kebutuhan.
(6) Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
Pasal 10
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang
penyiaran;
g. tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa;
h. bukan anggota legislatif dan yudikatif;
i. bukan pejabat pemerintah; dan
j. nonpartisan.
(2) Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul
masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.
(3) Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara
administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi.
(4) Anggota KPI berhenti karena:
a. masa jabatan berakhir;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri;
d. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap; atau
e. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 11
(1) Apabila anggota KPI berhenti dalam masa jabatannya karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis
masa jabatannya.
(2) Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI
Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.
Pasal 12
Bagian Ketiga
Jasa Penyiaran
Pasal 13
(1) Jasa penyiaran terdiri atas:
(2) Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselengga-rakan oleh:
a. Lembaga Penyiaran Publik;
b. Lembaga Penyiaran Swasta;
c. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
d. Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Bagian Keempat
(1) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan
oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
(2) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat
penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran
Publik lokal.
(4) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik dibentuk sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Dewan pengawas ditetapkan oleh Presiden bagi Radio Republik Indonesia dan
Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran
Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji
kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah
dan/atau masyarakat.
(6) Jumlah anggota dewan pengawas bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi
Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) orang dan dewan pengawas bagi
Lembaga Penyiaran Publik Lokal sebanyak 3 (tiga) orang.
(7) Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas.
(8) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik mempunyai
masa kerja 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali
masa kerja berikutnya.
(9) Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI
bersama Pemerintah.
Pasal 15
(1) Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari :
a. iuran penyiaran;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
c. sumbangan masyarakat;
d. siaran iklan; dan
e. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
(2) Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan
keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui
media massa.
Bagian Kelima
Lembaga Penyiaran Swasta
Pasal 16
(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan
hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa
penyiaran radio atau televisi.
(2) Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta,
kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
Pasal 17
(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
(2) Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan
dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya
tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum
dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan
untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.
Pasal 18
(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu
orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa
wilayah siaran, dibatasi.
(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan
media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran
swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional,
baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh
KPI bersama Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 19
Bagian Keenam
Lembaga Penyiaran Komunitas
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf c merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta
untuk melayani kepentingan komunitasnya.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan :
a. tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian
perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan
b. untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan,
dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan
informasi yang menggam-barkan identitas bangsa.
(3) Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan komunitas nonpartisan yang
keberadaan organisasinya:
a. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas
internasional;
b. tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan
c. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu.
Pasal 22
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari
kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari
sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 23
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas wajib membuat kode etik dan tata tertib untuk
diketahui oleh komunitas dan masyarakat lainnya.
(2) Dalam hal terjadi pengaduan dari komunitas atau masyarakat lain terhadap
pelanggaran kode etik dan/atau tata tertib, Lembaga Penyiaran Komunitas wajib
melakukan tindakan sesuai dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.
Pasal 26
Pasal 27
Pasal 28
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan
izin yang diberikan; dan
b. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.
Pasal 29
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 34 ayat (4) dan ayat (5) berlaku pula bagi
Lembaga Penyiaran Berlangganan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Lembaga Penyiaran Asing
Pasal 30
(1) Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.
(2) Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan
kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun
dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga
penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Stasiun Penyiaran dan Wilayah Jangkauan
Siaran
Pasal 31
(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa
penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun
penyiaran lokal.
(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem
stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem
stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun
oleh KPI bersama Pemerintah.
(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara
Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi
tersebut.
(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal
diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.
Bagian Kesepuluh
Rencana Dasar Teknik Penyiaran dan
Persyaratan Teknis Perangkat
Penyiaran
(1) Setiap pendirian dan penyelenggaraan penyiaran wajib memenuhi ketentuan
rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan
persyaratan teknis perangkat penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disusun lebih lanjut oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kesebelas
Perizinan
Pasal 33
(1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh
izin penyelenggaraan penyiaran.
(2) Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang
akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
undang- undang ini.
(3) Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.
(4) Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara
setelah memperoleh:
a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk
perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas
usul KPI.
(5) Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c,
secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara
melalui KPI.
(6) Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib
diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari
forum rapat bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c.
(7) Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui
kas negara.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan
penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.
Pasal 34
(1) Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:
a. izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun;
b. izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing
dapat diperpanjang.
(3) Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran
radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk
lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1
(satu) tahun.
(4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.
(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena :
a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;
b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan
siaran yang ditetapkan;
c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan
kepada KPI;
d. dipindahtangankan kepada pihak lain;
e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis
perangkat penyiaran; atau
f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(6) Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan
tidak diperpanjang kembali.
BAB VI
PELAKSANAAN SIARAN
Bagian Pertama
Isi Siaran Pasal 35
Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
Pasal 36
(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa,
menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan
budaya Indonesia.
(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-
kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam
negeri.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak
khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada
waktu
yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika
dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak
hubungan internasional.
Bagian Kedua
Bahasa Siaran
Pasal 37
Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus
Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38
(1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan
khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau
secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan
keperluan mata acara tertentu.
(2) Sulih suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak
30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang
disiarkan.
(3) Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak
tunarungu.
Bagian Ketiga
Relai dan Siaran Bersama
Pasal 40
(1) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik
lembaga penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri.
(2) Relai siaran yang digunakan sebagai acara tetap, baik yang berasal dari dalam
negeri maupun dari luar negeri, dibatasi.
(3) Khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar
negeri, durasi, jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi.
(4) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain secara
tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat nasional, internasional,
dan/atau mata acara pilihan.
Pasal 41
Bagian Kelima
Hak Siar
Pasal 43
(1) Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.
(2) Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan
hak siar.
(3) Kepemilikan hak siar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan
secara jelas dalam mata acara.
(4) Hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Ralat Siaran
Pasal 44
(1) Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita
diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas
isi siaran dan/atau berita.
(2) Ralat atau pembetulan dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 24 (dua puluh
empat) jam berikutnya, dan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan, ralat
dapat dilakukan pada kesempatan pertama serta mendapat perlakuan utama.
(3) Ralat atau pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
membebaskan tanggung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak
yang merasa dirugikan.
Bagian Ketujuh
Arsip Siaran Pasal
45
(1) Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio,
rekaman video, foto, dan dokumen, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1
(satu) tahun setelah disiarkan.
(2) Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran
yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga
kelestariannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedelapan
Siaran Iklan
Pasal 46
(1) Siaran iklan terdiri atas siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.
(2) Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi
dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan
martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain;
b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai
agama; dan/atau
e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi
persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI.
(5) Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran.
(6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib
mengikuti standar siaran untuk anak-anak.
(7) Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan
masyarakat.
(8) Waktu siaran iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20%
(dua puluh per seratus), sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling
banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu siaran.
(9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta
paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan
untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari
siaran iklannya.
(10) Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk
kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.
(11) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri.
Bagian Kesembilan
Sensor Isi Siaran
Pasal 47
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor
dari lembaga yang berwenang.
BAB V
PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN
Pasal 48
(1) Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.
(2) Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun
dan bersumber pada :
a. nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan
lembaga penyiaran.
(3) KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran
kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.
(4) Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-
kurangnya berkaitan dengan:
a. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
b. rasa hormat terhadap hal pribadi;
c. kesopanan dan kesusilaan;
d. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;
f. penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;
g. penyiaran program dalam bahasa asing;
h. ketepatan dan kenetralan program berita;
i. siaran langsung; dan
j. siaran iklan.
(5) KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.
Pasal 49
KPI secara berkala menilai pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (3) sesuai dengan perubahan peraturan perundang-
undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pasal 50
1) KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.
2) KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui
adanyapelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran.
3) KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat
mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e.
4) KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan
dan memberikan kesempatan hak jawab.
5) KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada
pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.
Pasal 51
1) KPI dapat mewajibkan Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan dan/atau
menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar.
2) Semua Lembaga Penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI
yang berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
1) Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab
dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.
2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan
pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan
Lembaga Penyiaran.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.
BAB VII
PERTANGGUNG JAWABAN
Pasal 53
1) KPI Pusat dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya
bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
2) KPI Daerah dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya
bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 54
Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas
penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap
program yang dilaksanakan.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
1) Penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini
dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2) Khusus bagi tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b dan huruf e, penyidikan
dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan Undang-
undang yang berlaku.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 57
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang
yang:
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).
Pasal 58
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap
orang yang:
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).
Pasal 59
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat
(10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.
BAB XI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 60
1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di bidang
penyiaran yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan yang baru.
2) Lembaga Penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-undang
ini tetap dapat menjalankan fungsinya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun untuk jasa penyiaran radio dan
paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi sejak diundangkannya
Undang- undang ini.
3) Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum
diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian,
masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai
dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran
tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus
yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 61
1) KPI harus sudah dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah
diundangkannya Undang-undang ini.
2) Untuk pertama kalinya pengusulan anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas
usulan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 62
1) Ketentuan-ketentuan yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat
(2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (8),
Pasal 55 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan
paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah selesai disusun oleh KPI bersama
Pemerintah.
Pasal 63
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN
PERS
Pasal 9
1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers
dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk
kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara
terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama
dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan
masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara
Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN
PERS
Pasal 15
1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan
pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
3. Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya
yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
4. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
5. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan
dengan keputusan Presiden.
6. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya
dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
7. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
BAB VI
PERS
ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing
di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers
dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan
kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga
dan meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal
13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta
rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 19
1. Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di
bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku
atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
2. Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini,
wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis,
dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik
oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik
atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang
dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik
tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat
Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek
hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi
sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit
Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk
oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah
dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan
dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait
dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik,
atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang
berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi
di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik lainnya
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui
Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam
berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter
yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia,
warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh
Presiden.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan
asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung
jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna
dan penyelenggara Teknologi Informasi.
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN
ELEKTRONIK
Pasal 5
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijaminkeutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau
menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang
memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang- undangan.
Pasal 8
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang
sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada
Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda
Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan
Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan
telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban
memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang
digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati- hatian untuk
menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait
pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara
yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik
ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera
memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan
dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak
pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda
Tangan Elektronik telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat
menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya
data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda
Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran
dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat
Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan
konsekuensi hukum yang timbul.
BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM
ELEKTRONIK
Bagian Kesatu
Pasal 13
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Sistem
Elektronik
Pasal 15
Pasal 16
TRANSAKSI
ELEKTRONIK
Pasal 17
Pasal 18
Pasal 19
BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN HAK
PRIBADI
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang- undangan, penggunaan
setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi
seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan
Undang-Undang ini.
BAB VII
PERBUATAN YANG
DILARANG
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik
yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik
Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Pasal 34
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau
secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu
yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan
tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika
ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik,
untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak
melawan hukum.
Pasal 35
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 36
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34
yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.
Pasal 37
BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 38
Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN
MASYARAKAT
Pasal 40
Pasal 41
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 42
Pasal 43
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 44
BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 46
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
Pasal 47
Pasal 48
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 49
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 50
Pasal 52
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak
dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Pasal 1
1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan
media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan
2. Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film.
BAB II
Bagian Pertama
Pasal 2
Perfilman berasaskan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kemanusiaan;
c. bhinneka tunggal ika;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kepastian hukum;
g. kebersamaan;
h. kemitraan; dan
i. kebajikan.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perfilman bertujuan:
BAB III
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan
berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang
mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan
antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai- nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal 7
Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai
pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Pasal 8
(3) Kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain yang dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Pasal 9
Pasal 11
(1) Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku
usaha pembuatan film yang melakukan pengedaran film dan ekspor film
untuk film produksi sendiri.
Pasal 12
Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha
pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh
persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang
mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 13
Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g atau huruf h dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang
bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau
menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 14
(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf f wajib didaftarkan kepada Menteri tanpa
dipungut biaya dan diproses dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja.
(2) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin usaha,
kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan film oleh pelaku usaha
perseorangan.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri
untuk setiap jenis usaha:
• usaha pengedaran film;
• usaha ekspor film; dan/atau
• usaha impor film.
(4) Izin usaha diberikan oleh bupati atau walikota untuk setiap jenis usaha:
• usaha penjualan dan/atau penyewaan film; dan/atau
• usaha pertunjukan film.
(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak termasuk izin
usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau
jaringan teknologi informatika.
(6) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterbitkan
tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
kerja.
(7) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi usaha pertunjukan
film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi
informatika diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(8) Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku usaha perfilman yang dapat
mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal baik secara langsung maupun
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran usaha
dan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 15
Pasal 16
(1) Pembuatan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pembuatan film
atau pelaku usaha pembuatan film.
(2) Pelaku kegiatan pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 17
(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.
(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4),
pemberitahuannya dinyatakan batal.
Pasal 18
(1) Pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi analog, digital, atau
teknologi tertentu dan direkam pada:
a) pita seluloid;
b) pita video;
c) cakram optik; atau
d) bahan lainnya.
(2) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat melalui proses
kimia, elektronik, atau proses lainnya.
Pasal 19
(1) Pembuatan film dapat dilakukan dalam bentuk film cerita atau film
noncerita.
(2) Bentuk film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk berita
dan materi siaran langsung yang disiarkan oleh lembaga penyiaran
televisi.
Pasal 20
a. perlindungan hukum;
b. perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang berisiko;
c. jaminan keselamatan dan kesehatan kerja; dan
d. jaminan sosial.
(4) Perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur harus
memenuhi hak- hak anak dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para
pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
(2) Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan isi
film.
Pasal 22
(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia
dilakukan dengan izin Menteri.
(3) Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa
dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film
Pasal 23
(2) Jasa teknik film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Jasa teknik film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan jasa teknik film
atau pelaku usaha jasa teknik film.
(2) Pelaku kegiatan jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.
Bagian Keempat
Pengedaran Film
Pasal 25
(1) Pengedaran film dilakukan oleh pelaku kegiatan pengedaran film atau
pelaku usaha pengedaran film.
(2) Pelaku kegiatan pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia.
Pasal 26
(1) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat
(3) wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha
pertunjukan film untuk memperoleh film.
(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk
mendapatkan kopi-jadi film berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas
yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha pengedaran film terhadap
pelaku usaha pertunjukan film.
Pasal 27
(1) Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan perlakuan yang
adil terhadap pelaku usaha pengedaran film untuk mempertunjukkan film.
(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk
mendapatkan kesempatan jam pertunjukan berdasarkan kriteria urutan
prioritas secara jelas yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha
pertunjukan film terhadap pelaku usaha pengedaran film.
Pasal 28
(1) Menteri menetapkan tata edar film untuk menjamin perlakuan yang adil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pertunjukan Film
Pasal 29
(1) Pertunjukan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pertunjukan film
atau pelaku usaha pertunjukan film.
(2) Pelaku kegiatan pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 30
a. layar lebar;
b. penyiaran televisi; dan
c. jaringan teknologi informatika.
(2) Pertunjukan film melalui layar lebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi pertunjukan film:
a. di bioskop;
b. di gedung pertunjukan nonbioskop; dan
c. di lapangan terbuka.
(3) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan sistem proyeksi atau nonproyeksi terhadap semua hasil
pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
(4) Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di bioskop
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib
memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap
judul film yang dipertunjukkan.
Pasal 34
Pasal 35
(1) Penjualan film dan/atau penyewaan film dapat dilakukan oleh pelaku
usaha penjualan film dan/atau pelaku usaha penyewaan film berbentuk
badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Penjualan film dan/atau penyewaan film sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Bagian Ketujuh
Apresiasi Film
Pasal 36
(2) Pelaku kegiatan apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 37
a. festival film;
b. seminar, diskusi, dan lokakarya; dan
c. kritik dan resensi film.
(2) Apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Bagian Kedelapan
Pengarsipan Film
Pasal 38
(1) Pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pengarsipan film
atau pelaku usaha pengarsipan film.
(2) Pelaku kegiatan pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.
(4) Pelaku usaha pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia.
(5) Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 39
(1) Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari
setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk
disimpan sebagai arsip paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal terakhir film dipertunjukkan.
(2) Pelaku kegiatan pembuatan film secara sukarela menyerahkan salah satu
kopi-jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film
Indonesia untuk disimpan sebagai arsip.
(3) Pusat pengarsipan film Indonesia harus aktif melakukan perolehan kopi-
jadi film dokumenter yang memiliki nilai sejarah dan budaya bangsa.
(4) Penyimpanan arsip film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Bagian Kesembilan
Ekspor Film dan Impor Film
Pasal 40
(3) Pelaku usaha ekspor film dan pelaku usaha impor film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-masing merupakan badan
usaha berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 41
(2) Pemerintah wajib membatasi film impor dengan menjaga proporsi antara film
impor dan film Indonesia guna mencegah dominasi budaya asing.
Pasal 42
(1) Impor film dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau badan
internasional yang diakui Pemerintah untuk kepentingannya sendiri.
(2) Film yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dipertunjukkan kepada khalayak umum dengan pemberitahuan kepada
Menteri.
Pasal 43
Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor ke dalam
bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau
penelitian.
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan impor film sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 45
Masyarakat berhak:
Pasal 46
Masyarakat berkewajiban:
a. membantu terciptanya suasana aman, damai,
b. tertib, bersih, dan berperilaku santun dalam pembuatan film dan pertunjukan
film;
membantu terpeliharanya sarana dan prasarana perfilman; dan
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Insan Perfilman
Pasal 47
Pasal 48
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pelaku Kegiatan Perfilman dan Pelaku Usaha Perfilman
Pasal 49
Pasal 50
(1) Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman; dan
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan
budaya bangsa dalam kegiatan perfilman.
Pemerintah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
c. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film; dan
d. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
Pasal 52
Pasal 54
Pasal 55
(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional;
b. menetapkan serta melaksanakan kebijakan
dan rencana perfilman daerah; dan
c. menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan
kemajuan perfilman.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dan rencana perfilman daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu pada
kebijakan dan rencana induk perfilman nasional.
Pasal 56
BAB VI
SENSOR
FILM
Pasal 57
(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan
wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.
(2) Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:
(3) Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Pasal 59
Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1)
diterbitkan oleh lembaga sensor film.
Pasal 60
(1) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1)
melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film
yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan Pasal 7.
(4) Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan
isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada
pemilik iklan film untuk diperbaiki.
Pasal 61
(1) Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film
dan kriteria sensor film.
(2) Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat memilih dan
menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film
dan iklan film.
Pasal 62
Pasal 63
(2) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh panitia
seleksi yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri.
(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari
pemangku kepentingan perfilman.
(4) Panitia seleksi dalam memilih calon anggota lembaga sensor film
bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.
(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi
syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga puluh
lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;
d. memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas
penyensoran; dan
e. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.
Pasal 64
(1) Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh belas) orang terdiri atas
12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur
Pemerintah.
(2) Anggota lembaga sensor film memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(1) Lembaga sensor film dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
(2) Lembaga sensor film dapat menerima dana dari tarif yang dikenakan
terhadap film yang disensor.
(3) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diaudit oleh
akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
(4) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
Pasal 66
BAB VII
Pasal 67
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk:
a. apresiasi dan promosi film;
b. penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan perfilman;
c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
d. pengarsipan film;
e. kine klub;
f. museum perfilman;
g. memberikan penghargaan;
h. penelitian dan pengembangan;
i. memberikan masukan perfilman; dan/atau
j. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film luar negeri.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara perseorangan atau kelompok.
Pasal 68
Pasal 69
BAB VIII
PENGHARGAA
N
Pasal 71
(1) Setiap film yang meraih prestasi tingkat nasional dan/atau tingkat
internasional, wajib diberi penghargaan.
(1) Insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku usaha perfilman
yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman diberi
penghargaan.
(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
berbentuk tanda kehormatan, pemberian beasiswa, asuransi, pekerjaan,
atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima
penghargaan.
(4) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB IX
PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI
Pasal 73
Pasal 74
(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
BAB X
PENDANAAN
Pasal 75
Pasal 76
Pasal 77
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 78
Pasal 79
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara; dan/atau
d. pembubaran atau pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 80
Pasal 81
(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha
pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi
50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman
atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku
usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang
mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 82
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan
Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, ancamanpidana
denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidananya.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan
Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pidana dijatuhkan
kepada:
a. korporasi; dan/atau
b. pengurus korporasi.
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat
dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
dan/atau
b. pencabutan izin usaha.
Pasal 83
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 84
Pada saat Undang-Undang ini berlaku anggota lembaga sensor film yang telah
ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) tetap menjalankan tugas
dan fungsinya sampai ditetapkan anggota lembaga sensor film sesuai dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 85
BAB XIV
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 86
Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) harus
sudah terbentuk paling lama 1(satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Pasal 89
Pasal I
1. Data Pribadi adalah data tentang ora.ng perseorangan yang teridentifikasi atau dapat
diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.
2. Pelindungan Data Pribadi adalah keseluruhan upaya untuk melindungi Data Pribadi
dalam rangkaian pemrosesan Data Fribadi guna menjamin hak konstitusional subjek Data
Pribadi.
4. Pengendali Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional
yang bertindak . sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan
melakukan kendali pemrosesan Data Pribadi.
5. Prosesor Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional
yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam melakukan pemrosesan Data
Pribadi atas nama Pengendali Data Pribadi.
6. Subjek Data Pribadi adalah orang perseorangan yang pada dirinya melekat Data Pribadi.
8. Korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik yang
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
9. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/ atau Anggaran . Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau
luar negeri.
10. Organisasi Internasional adalah organisasi yang diakui sebagai subjek hukum
internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.
11. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 2
(1) Undang-Undang ini berlaku untuk Setiap Orang, Badan Publik, dan Organisasi
Internasional yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini:
b. di luar rvilayah hukum Negara Republik Indonesia, yang memiliki akibat hukum:
2. bagi Subjek Data Pribadi warga negara Indonesia di luar wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.
(2) Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pemrosesan Data Pribadi oleh orang
perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga.
BAB II ASAS
Pasal 3
a) . perlindungan
b) . kepastian hukum;
c) kepentingan umum;
d) . kemanfaatan;
e) kehati-hatian;
f) . keseimbangan;
g) pertanggungjawaban; dan
h) kerahasiaan.
BAB III
(2) Data Pribadi yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a meliputi:
b) data biometrik;
c) data genetika;
d) catatan kejahatan;
e) data anak;
(3) Data Pribadi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b meliputi:
a) nama lengkap;
b) jenis kelamin;
c) kewarganegaraan
d) agama;
e) status perkawinan;
BAB IV
Pasal 5
Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan Informasi tentang kejelasan identitas, dasar
kepentingan hukum, tujuan permintaan dan penggunaan Data Pribadi, dan akuntabilitas
pihak yang meminta Data Pribadi.
Pasal 6
Pasal 7
Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan akses dan memperoleh salinan Data Pribadi
tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
Subjek Data Pribadi berhak untuk mengakhiri pemrosesan, menghapus, dan/ atau
memusnahkan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 9
Subjek Data Pribadi berhak menarik kembali persetqjuan pemrosesan Data Pribadi tentang
dirinya yang telah diberikan kepada Pengendali Data Pribadi.
Pasal 10
(1) Subjek Data Pribadi berhak untuk mengajukan keberatan atas tindakan pengambilan
keputusan yang hanya didasarkan pada pemrosesan secara otomatis, termasuk pemrofilan,
yang menimbulkan akibat hukum atau berdampak signifrkan pada Subjek Data Pribadi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan keberatan atas pemrosesan secara otomatis
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Subjek Data Pribadi berhak menunda atau membatasi pemrosesan Data Pribadi secara
sesual dengan tujuan pemrosesan Data Pribadi.
Pasal 12
1. Subjek Data Pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran
pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran pemrosesan Data Pribadi dan tata cara
pengenaan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 13
1. Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan dan/atau menggunakan Data Pribadi tentang
dirinya dari Pengendali Data Pribadi dalam bentuk yang sesuai dengan struktur dan/
atau format yang lazim digunakan atau dapat dibaca oleh sistem elektronik.
2. Subjek Data Pribadi berhak dan Data Pribadi tentang dirinya ke Pengendali Data Pribadi
lainnya, sepanjang sistem yang digunakan dapat saling berkomunikasi secara aman
sesuai dengan prinsip Pelindungan Data Pribadi berdasarkan Undang-Undang ini.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak Subjek Data Pribadi untuk menggunakan dan Data
Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Pelaksanaan hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 11 diajukan melalui permohonan tercatat yang disampaikan secara elektronik
atau nonelektronik kepada Pengendali Data Pribadi.
Pasal 15
1. Hak-hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 1O
ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk:
2. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan hanya dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang.
BAB V
Pasal 16
c) penyimpanan;
(2) Pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan sesuai dengan
prinsip Pelindungan Data Pribadi meliputi:
a) Data Pribadi dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan
transparan;
c) pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan menjamin hak Subjek Data Pribadi;
e) pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan melindungi keamanan Data Pribadi dari
pengaksesan yang tidak sah, pengungkapan yang tidak sah, pengubahan yar:g
tidak sah, penghilangan Data Pribadi;
g) Data Pribadi dimusnahkan dan/atau dihapus setelah masa retensi beralhir atau
berdasarkan permintaan Subjek Data Pribadi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundangundangan; dan
h) pemrosesan Data Pribadi dilakukan secara bertanggung jawab dan dapat dibulrtikan
secara jelas.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemrosesan Data Pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Pemasangan alat pemroses atau pengolah data visual di tempat umum dan/ atau pada
fasilitas pelayanan publik dilakukan dengan ketentuan:
b. harus menampilkan Informasi pada area yang telah dipasang alat pemroses atau
pengolah data visual; dan
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dikecualikan untuk
pencegahan tindak pidana dan proses penegakan hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Pemrosesan Data Pribadi dapat dilalrukan oleh 2 (dua) atau lebih Pengendali Data
Pribadi.
(2) Dalam hal Pemrosesan Data Pribadi dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Pengendali Data
Pribadi harus memenuhi syarat minimal:
a. terdapat perjanjian antara para Pengendali Data Pribadi yang memuat peran, tanggung
jawab, dan hubungan antar-Pengendali Data Pribadi;
b. terdapat tujuan yang saling berkaitan dan cara pemrosesan Data Pribadi yang ditentukan
secara bersama; dan
BAB VI
KEWAJIBAN PENGENDALI DATA PRIBADI DAN PROSESOR DATA PRIBADI DAI,AM
PEMROSESAN DATA PRIBADI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19
a. Setiap Orang;
c. Organisasi Internasional.
Bagian Kedua
Pasal 20
(1) Pengendali Data Pribadi wajib memiliki dasar pemrosesan Data Pribadi.
(2) Dasar pernmsesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi untuk 1 (sahr) atau
beberapa tujuan tertentu yang telah disampait oleh Pengendali Data Pribadi kepada Subjek
Data Pribadi;
b. pemenuhan kewajiban perjanjian dalam hal Subjek Data Pribadi merupakan salah satu
pihak atau untuk memenuhi permintaan Subjek Data Pribadi pada saat akan melalrukan
pedanjian;
c. pemenuhan kewajiban hukum dari Pengendali Data Pribadi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
f. pemenuhan kepentingan yang sah lainnya dengan memperhatikan tujuan, kebututran, dan
keseimbangan kepentingan Pengendali Data Pribadi dan hak Subjek Data Pribadi.
Pasal 21
(1) Dalam hal pemrosesan Data Pribadi berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2O ayat (21 huruf a, Pengendali Data Pribadi wajib menyampaikan
Informasi mengenai:
(2) Dalam hal terdapat perubahan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengendali Data Pribadi wajib . memberitahukan kepada Subjek Data Pribadi sebelum
terjadi perubahan Informasi.
Pasal 22
(1) Persetujuan pemrosesan Data Pribadi dilakukan melalui persetujuan tertulis atau
terekam.
(2) Persetqiuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara elektronik
atau nonelektronik.
(3) Persetqjuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
sama.
(4). Dalam hal persetqluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat tujuan lain,
permintaan persetqjuan harus memenuhi ketentuan:
b. dibuat dengan forrnat yang dapat dipahami dan mudah diakses; dan
(5) Persetqjuan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (4) dinyatakan batal demi hukum.
Pasal 23
Klausul perjanjian yang di dalamnya terdapat permintaan pemrosesan Data Pribadi yang
tidak memuat persetqjuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi dinyatakan
batal demi hukum.
Pasal 24
Dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib menunjukkan
bukti persetujuan yang telah diberikan oleh Subjek Data Pribadi.
Pasal 25
(1) Pemrosesan Data Pribadi anak khusus.
(2) Pemrosesan Data Pribadi anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
persetujuan dari orang tua anak dan/ atau wali anak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Pemrosesan Data Pribadi disabilitas ' diselenggarakan secara khusus. secara disabilitas
dilakukan
(2) Pemrosesan Data Pribadi penyandang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
komunikasi dengan cara tertentu sesuai dengan ketentuan undangan.
(3) Pemrosesalr Data Pribadi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib mendapat persetujuan dari penyandang disabilitas dan/ atau wali penyandang
disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
Pengendali Data Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi secara terbatas dan
spesifik, sah secara hukum, dan transparan.
Pasal 28
Pengendali Data Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi sesuai dengan tujuan
pemrosesan Data Pribadi.
Pasal 29
(1) Pengendali Data Pribadi wajib memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi Data
Pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi Data Pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) Pengendali Data Pribadi wajib melakukan verifikasi.
Pasal 30
(1) Pengendali Data Pribadi wajib memperbarui dan/ atau ' memperbaiki kesalahan dan/atau
ketidakakuratan Data Fribadi paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak Pengendali Data Pribadi menerima permintaan pembaruan dan/atau perbaikan Data
Pribadi.
(2) Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan hasil pembaruan dan/atau perbaikan
Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.
Pasal 31
Pasal 32
(1) Pengendali Data Pribadi wajib memberikan akses kepada Subjek Data Pribadi terhadap
Data Pribadi yang diproses beserta rekam jejak pemrosesan Data Pribadi sesuai dengan
jangka waktu penyimpanan Data Pribadi.
(2) Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak Pengendali Data Pribadi menerima permintaan akses.
Pasal 33
Pengendali Data Pribadi wajib menolak memberikan akses perubahan terhadap Data Fribadi
kepada Subjek Data Pribadi dalam hal:
a. membahayakan keamanan, kesehatan fisik, atau kesehatan mental Subjek Data Pribadi
dan/ atau orang lain;
b. berdampak pada pengungkapan Data Pribadi milik c orang lain; dan/ atau bertentangan
dengan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional.
Pasal 34
(1) Pengendali Data Pribadi wajib melakukan penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi
dalam hal pemrosesan Data Pribadi memiliki potensi risiko tinggi terhadap Subjek Data
Pribadi.
(2) Pemrosesan Data Pribadi memiliki potensi risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. pengambilan keputusan secara otomatis yang memiliki akibat hukum atau dampak yang .
signifikan terhadap Subjek Data Pribadi;
d. pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan evaluasi, penskoran, atau pemantauan yang
sistematis terhadap Subjek Data Pribadi;
g. pemrosescrn Data Pribadi yang membatasi pelaksanaan hak Subjek Data Pribadi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Pengendali Data Pribadi wajib melindungi dan memastikan keamanan Data Pribadi yang
diprosesnya, dengan melakukan:
a. penyusunan dan penerapan langkah teknis ' operasional untuk melindungi Data Pribadi
dari gangguan pemrosesan Data Pribadi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
b. penentuan tingkat keamanan Data Pribadi dengan memperhatikan sifat dan risiko dari
Data Pribadi yang harus dilindungi dalam pemrosesan Data Pribadi.
Pasal 36
Dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib menjaga
kerahasiaan Data Pribadi.
Pasal 37
Pengendali Data Pribadi wajib melakukan pengawasan terhadap setiap pihak yang terlibat
dalam pemrosesan Data Pribadi di bawah kendali Pengendali Data Pribadi.
Pasal 38
Pengendali Data Pribadi wajib melindungi Data Pribadi dari pemrosesan yang tidak sah
Pasal 39
(1) Pengendali Data Pribadi wajib mencegah Data Pribadi diakses secara tidak sah.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan sistem keamanan
terhadap Data Pribadi yang diproses dan/ atau memproses Data Pribadi sistem elektronik
secara andal, aman, dan bertanggung jawab.
(3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Pengendali Data Pribadi wajib menghentikan pemrosesan Data Pribadi dalam hal Subjek
Data Pribadi menarik kembali persetujuan pemrosesan Data Pribadi.
(2) Penghentian pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak Pengendali Data Pribadi
menerima permintaan penarikan kembdi persetqiuan pemrosesan Data Pribadi.
Pasal 41
(1) Pengendali Data Pribadi wajib melakukan penundaan dan pembatasan pemrosesan
Data Fribadi baik sebagian maupun seluruhnya paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak Pengendali Data Pribadi menerima permintaan penundaan dan
pembatasan pemrosesan Data Pribadi.
(2) Penundaan dan pembatasan pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dalam hal:
c. Subjek Data Pribadi terikat perjanjian tertulis dengan Pengendali Data Pribadi yang tidak
dilalrukan dan pembatasan pemrosesan Data Pribadi
(3) Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan telah dilaksanakan penundaan dan
pembatasan pemrosesan Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.
Pasal 42
(1) Pengendali Data Pribadi wajib mengakhiri pemrosesan Data Pribadi dalam hal:
(2) Pengakhiran pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
(1) Pengendali Data Pribadi wajib menghapus Data Pribadi dalam hal:
a. Data Pribadi tidak lagi diperlukan untuk pencapaian tujuan pemrosesan Data Pribadi;
b. Subjek Data Pribadi telah melakukan penarikan kembali persetqiuan pemrosesan Data
Pribadi;
d. Data Pribadi diperoleh dan/ atau diproses dengan cara melawan hukum.
(2) penghapusan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 44
(1) Pengendali Data Pribadi wajib memusnahkan Data Pribadi dalam hal:
a. telah habis masa retensinya dan berketerangan dimusnahkan berdasarkarr jadwal retensi
arsip; . b. terdapat permintaan dari Subjek Data Pribadi;
c. tidak berkaitan dengan penyelesaian proses hukum suatu perkara; dan/ atau
d. Data Pribadi diperoleh dan/ atau diproses dengan cara melawan hukum.
(2) Pemusnahan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
(1) Dalam hal terjadi kegagalan Pelindungan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam kepada:
b. lembaga.
(2) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat: Data
Pribadi yang terungkap; kapan dan bagaimana Data Pribadi terungkap; dan upaya
penanganan dan pemulihan atas terungkapnya Data Pribadi oleh Pengendali Data Pribadi.
(3) Dalam hal tertentu, Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan kepada masyarakat
mengenai kegagalan Pelindungan Data Pribadi.
Pasal 47
Pengendali Data Pribadi wajib bertanggung jawab atas pemrosesan Data Pribadi dan
menunjukkan pertanggungiawaban dalam kewajiban pelaksanaan prinsip Pelindungan Data
Pribadi.
Pasal 48
(1) Pengendali Data Pribadi berbentuk badan hukum yang melakukan penggabungan,
pemisahan, pengambilalihan, peleburan, atau pembubaran badan hukum wajib
pemberitahuan pengalihan Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.
(2) Pemberitahuan pengalihan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebelum dan sesudah penggabungan, pemisahan, pengambilalihan, peleburan, atau
pembubaran badan hukum.
(3) Dalam hal Pengendali Data Pribadi berbentuk badan hukum melakukan pembubaran
atau dibubarkan, penyimpanan, pentransferan,penhapusan atau pemusnahan Data Pribadi
dilalsanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (l), ayat (21, dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pengendali Data Pribadi dan/ atau Prosesor Data Pribadi wajib melaksanakan perintah
lembaga dalam rangka penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi sesuai dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 50
(1) Kewajiban Pengendali Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 32,
Pasal 36, PasaJ42, Pasal 43 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 44 ayat (1) huruf
b, Pasal 45, dan Pasal 46 ayat (1) huruf a, dikecualikan untuk:
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan hanya dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang.
Bagian Ketiga
Pasal 51
(1) Dalam hal Pengendali Data Pribadi menunjuk Prosesor Data Pribadi, Prosesor Data
Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi berdasarkan perintah Pengendali Data
Pribadi.
(2) Pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam
tanggung jawab Pengendali Data Pribadi.
(4) Prosesor Data Pribadi dapat melibatkan Prosesor Data Pribadi lain dalam melakukan
pemrosesan Data Pribadi.
(5) Prosesor Data Pribadi wajib mendapatkan persetqiuan tertulis dari Pengendali Data
Pribadi sebelum melibatkan Prosesor Data Pribadi lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).
(6) Dalam hal Prosesor Data Pribadi melakukan pemrosesan Data Pribadi di luar perintah
dan tujuan yang ditetapkan Pengendali Data Pribadi, pemosesan Data Pribadi menjadi
tanggung jawab Prosesor Data Pribadi.
Pasal 52
Bagian Keempat
Pasal 53
(1) Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi wajib menunjuk pejabat atau petugas
yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi dalam hal:
b. kegiatan inti Pengendali Data Pribadi memiliki sifat, ruang lingkup, dan/ atau tujuan yang
memerlukan pemantauan secara teratur dan sistematis atas Data Pribadi dengan skala
besar; ' dan
c. kegiatan inti Pengendali Data Pribadi terdiri dari pemrosesan Data Pribadi dalam skala
besar untuk Data Pribadi yang bersifat spesifik dan/ atau Data Pribadi yang berkaitan
dengan tindak pidana.
(2) Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditunjuk berdasarkan profesionalitas, pengetahuan mengenai
hukum, praktik Pelindungan Data Pribadi, dan kemampuan untuk memenuhi tugas-
tugasnya.
(3). Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari dalam dan/ atau luar Pengendali
Data Pribadi atau Prosesor Data Pribadi.
Pasal 54
(1) Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi memiliki
tugas paling sedikit:
a. menginformasikan dan memberi saran kepada Pengendali Data Pribadi atau Prosesor
Data pribadi agar mematuhi ketentuan dalam undang undang dasar
c. memberikan saran mengenai penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi dan memantau
kine{a Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi; dan
d. berkoordinasi dan bertindak sebagai narahubung ' untuk isu yang berkaitan dengan
pemrosesan Data Pribadi.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (l), pejabat atau petugas
yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi memperhatikan risiko terkait
pemrosesan Data Pribadi, dengan mempertimbangkan sifat, ruang lingkup, konteks, dan
tujuan pemrosesan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi
Pelindungan Data Pribadi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
Bagian Kesatu
Transfer Data Pribadi Dalam Wilayah Hukum Negara Republik Indonesia
Pasal 55
(1) Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer . Data Pribadi kepada Pengendali
Data Pribadi lainnya dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
(2) Pengendali Data Pribadi yang melakukan transfer Data Pribadi dan yang menerima
transfer Data Pribadi wajib melakukan Pelindungan Data Pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Pasal 56
(1) Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer Data Pribadi kepada Pengendali Data
Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalarn Undang- Undang ini.
(2) Dalam melakukan transfer Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (l),
Pengendali Data Pribadi wajib memastikan negara tempat kedudukan Pengendali Data
Pribadi dan/ atau Prosesor Data Pribadi yang . menerima transfer Data Pribadi memiliki
tingkat Pelindungan Data Pribadi yang setara atau lebih tinggi dari yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak terpenuhi, Pengendali
Data Pribadi wajib memastikan terdapat Pelindungan Data Pribadi yang memadai dan
bersifat mengikat. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat
(3) tidak terpenuhi, Pengendali Data Pribadi wajib mendapatkan persetqiuan Subjek Data
Pribadi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai transfer Data Pribadi ' diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 57
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2O ayat (l), ' Pasal 21, Pasal 24, Pasal 25 ayat
(2), Pasal 26ayat(31, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 ayat (1),
Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), Pasal
4O ayat (1), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44
ayat (1), Pasal 45, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47, Pasal 48 ayat (l), Pasal 49,
Pasal 51 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 52, Pasal 53 ayat (l), Pasal 55 ayat (21, dan Pasal 56
ayat (2) sampai dengan ayat (4) dikenai sanksi administratif.
d. dendaadministratif.
(3) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d paling tinggi 2 (dua) persen dari perrdapatan tahunan atau . penerimaan tahunan
terhadap variabel pelanggaran.
(4) Penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh
lembaga.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif selagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KELEMBAGAAN
Pasal 58
(2) Penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh lembaga.
(3) kmbaga sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan oleh Presiden.
(4) lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ' bertanggung jawab kepada Presiden.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga sebagaimana dimalsud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 59
a. perumusan dan penetapan kebijakan dan strategi Pelindungan Data Pribadi yang menjadi
panduan bagi Subjek Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi, dan ' Prosesor Data Fribadi;
Pasal 60
d. membantu aparat penegak hukum dalam penanganan dugaan tindak pidana Data Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;
e. bekerja sama dengan lembaga Pelindungan Data Pribadi negara lain dalam rangka
penyelesaian dugaan . pelanggaran Pelindungan Data Pribadi lintas negara;
g. memberikan perintah dalam rangka tindak lanjut hasil pengawasan kepada Pengendali
Data Pribadi dan/ atau Prosesor Data Pribadi;
k. memanggil dan menghadirkan Setiap Orang dan/ atau Badan Publik yang terkait dengan
dugaan pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;
l. meminta keterangan, data, Informasi, dan dokumen dari Setiap Orang dan/ atau Badan
Publik terkait dugaan pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;
m. memanggil dan menghadirkan ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan dan penelusuran
terkait dugaan pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;
n melakukan pemeriksaan dan penelusuran terhadap sistem elektronik, sarana, ruang, dan/
atau tempat yang digunakan Pengendali Data Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi,
termasuk memperoleh akses terhadap data dan/atau menunjuk pihak ketiga; dan
Pasal 61
BAB X
Pasal 62
(1) Kerja sama internasional dilakukan oleh Pemerintah dengan pemerintah negara lain atau
Organisasi Internasional terkait dengan Pelindungan Data Pribadi.
(2) Kerja sama internasional dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip hukum internasional.
BAB XI
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 63
(1) Masyarakat dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
mendukung terselenggaranya Pelindungan Data Pribadi.
(2) Pelaksanaan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
pendidikan, pelatihan, advokasi, sosialisasi, dan/ atau pengawasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan
BAB XII
Pasal 64
(2) Hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa dan/ atau proses peradilan
Pelindungan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
hukum acara yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
b. alat bukti lain berupa informasi elelrtronik dan/ atau dokumen elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal diperlukan untuk melindungi Data Pribadi, proses persidangan dilakukan
secara tertutup.
BAB XIII
Pasal 65
(1) Setiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data
Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi.
(2) Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan
miliknya.
(3) setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribdai yang bukan
miliknya.
Pasal 66
Setiap Orang dilarang membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian
bagi orang lain.
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 67
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau
mengumpulkan Data Pribadi yang bukan mililoeya dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengunglapkan Data Pribadi
yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi
yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.00O.OOO.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 68
Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data
Pribadi dengan maksud untuk menguntrrngkan diri sendiri atau orang lain yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 .tipidana
dengan pidana penjara paling tama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp6.0OO. 000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 69
Selain dijatuhi pidana bagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 juga dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh
atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.
Pasal 70
(1) Dafam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 dilakukan
oleh Korporasi, pidana dapat dljatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi
perintah, pemilik manfaat, dan/ atau Korporasi.
(2) Pidana yang dapat d[jatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda.
(3) Pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi paling banyak 10 (sepuluh) kali dari
maksimal pidana denda yang diancamkan.
(4) Selain dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Korporasi dapat
dijatuhi pidana ' tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak
pidana;
d. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan Korporasi;
h. pembubaran Korporasi.
Pasal 71
(1) Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana denda, terpidana diberikan jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk
membayar denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama I (satu) bulan.
(3) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) maka harta kekayaan atau pendapatan terpidana
dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.
(4) Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak cukup atau tidak untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak
memungkinkan dibayar diganti dengan pidana penjara paling lama sebagaimana
diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(5) Lamanya pidana penjara sebagaimspa dimaksud pada ayat (4) yang ditentukan oleh
hakim, dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Pasal 72
(1) Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) dilakukan terhadap terpidana Korporasi dan tidak cukup
untuk melunasi pidana . denda, Korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pembekuan
sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi untuk jangka wa.ktu paling lama 5 (lima)
tahun.
(2) I.arnanya pembekuan bagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang ditentukan oleh hakim, dicantumkan dalam putusan
pengadilan.
Pasal 73
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pdsal 72 juga berlaku dalam hal
penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 74
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pengendali Data Pribadi, Prosesor Data
Pribadi, dan pihak lain yang terkait dengan pemrosesan Data Pribadi, wajib menyesuaikan
dengan ketentuan pemrosesan Data Pribadi berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 75
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Pelindungan Data Pribadi, dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 76
Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
-3-