Anda di halaman 1dari 80

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 2002


TENTANG PENYIARAN

BAB I

KETENTUAN

UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


1. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau
suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat
interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima
siaran.
2. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana
pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa
dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau
media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh
masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
3. Penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan
gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa
program yang teratur dan berkesinambungan.
4. Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang
menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara
umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan
berkesinambungan.
5. Siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan
masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat
dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga
penyiaran yang bersangkutan.
6. Siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui
penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan,
memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada
khalayak sasaran untuk mempengaruhi konsumen agar menggunakan produk
yang ditawarkan.
7. Siaran iklan layanan masyarakat adalah siaran iklan nonkomersial yang
disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan,
memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran,
dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi
khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan
tersebut.
8. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang
dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang
angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan
sumber daya alam terbatas.
9. Lembaga penyiaran adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran
publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun
lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi,
dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
10. Sistem penyiaran nasional adalah tatanan penyelenggaraan penyiaran
nasional berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran nasional sebagai
upaya mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana tercantum dalam Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang adalah kondisi
informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi
atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di
Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional.
12. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden
atau Gubernur.
13. Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen
yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam
Undang- undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang
penyiaran.
14. Izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan oleh negara
kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.

BAB II

ASAS, TUJUAN, FUNGSI, DAN ARAH

Pasal 2
Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata,
kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian,
kebebasan, dan tanggung jawab.

Pasal 3

Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional,


terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun
masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan
industri penyiaran Indonesia.

Pasal 4

(1) Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai


media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial.
(2) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyiaran juga mempunyai fungsi ekonomi dan kebudayaan.
Pasal 5

Penyiaran diarahkan untuk :


a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa;
c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
d. menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa;
e. meningkatkan kesadaran ketaatan hukum dan disiplin nasional;
f. menyalurkan pendapat umum serta mendorong peran aktif masyarakat
dalam pembangunan nasional dan daerah serta melestarikan lingkungan
hidup;
g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat di
bidang penyiaran;
h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian rakyat,
mewujudkan pemerataan, dan memperkuat daya saing bangsa dalam era
globalisasi;
i. memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab;
j. memajukan kebudayaan nasional.
BAB III

PENYELENGGARAAN

PENYIARAN

Bagian Pertama

Umum

Pasal 6

(1) Penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.


(2) Dalam sistem penyiaran nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk
penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(3) Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola
jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk
stasiun jaringan dan stasiun lokal.
(4) Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.
Bagian Kedua

Komisi Penyiaran

Indonesia

Pasal 7
(1) Komisi penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) disebut
Komisi Penyiaran Indonesia, disingkat KPI.
(2) KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal
mengenai penyiaran.
(3) KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk
di tingkat provinsi.
(4) Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
Pasal 8

(1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta
mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.
(2) Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI
mempunyai wewenang:
a. menetapkan standar program siaran;
b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta
standar program siaran;
d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku
penyiaran serta standar program siaran;
e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Peme-rintah, lembaga
penyiaran, dan masyarakat.
(3) KPI mempunyai tugas dan kewajiban :
a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar
sesuai dengan hak asasi manusia;
b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan
industri terkait;
d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sang-gahan, serta kritik
dan apresiasi masyarakat terhadap penye-lenggaraan penyiaran; dan
f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang
menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Pasal 9

(1) Anggota KPI Pusat berjumlah 9 (sembilan) orang dan KPI Daerah
berjumlah 7 (tujuh) orang.
(2) Ketua dan wakil ketua KPI dipilih dari dan oleh anggota.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua dan anggota KPI Pusat dan KPI Daerah 3
(tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
(4) KPI dibantu oleh sebuah sekretariat yang dibiayai oleh negara.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, KPI dapat dibantu oleh tenaga ahli sesuai
dengan kebutuhan.
(6) Pendanaan KPI Pusat berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan pendanaan KPI Daerah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.

Pasal 10

(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota KPI harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. berpendidikan sarjana atau memiliki kompetensi intelektual yang setara;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f. memiliki kepedulian, pengetahuan dan/atau pengalaman dalam bidang
penyiaran;
g. tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan kepemilik-an media massa;
h. bukan anggota legislatif dan yudikatif;
i. bukan pejabat pemerintah; dan
j. nonpartisan.
(2) Anggota KPI Pusat dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan KPI Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atas usul
masyarakat melalui uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka.
(3) Anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI Daerah secara
administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi.
(4) Anggota KPI berhenti karena:
a. masa jabatan berakhir;
b. meninggal dunia;
c. mengundurkan diri;
d. dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap; atau
e. tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11
(1) Apabila anggota KPI berhenti dalam masa jabatannya karena alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e, yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis
masa jabatannya.
(2) Penggantian anggota KPI Pusat secara administratif ditetapkan oleh Presiden
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan anggota KPI
Daerah secara administratif ditetapkan oleh Gubernur atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh KPI.

Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian kewenangan dan tugas KPI


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengaturan tata hubungan antara KPI Pusat
dan KPI Daerah, serta tata cara penggantian anggota KPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ditetapkan dengan Keputusan KPI Pusat.

Bagian Ketiga

Jasa Penyiaran

Pasal 13
(1) Jasa penyiaran terdiri atas:

a. jasa penyiaran radio; dan

b. jasa penyiaran televisi.

(2) Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselengga-rakan oleh:
a. Lembaga Penyiaran Publik;
b. Lembaga Penyiaran Swasta;
c. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
d. Lembaga Penyiaran Berlangganan.

Bagian Keempat

Lembaga Penyiaran Publik


Pasal 14

(1) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf a adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan
oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi
memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.
(2) Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas
Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia yang stasiun pusat
penyiarannya berada di ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) Di daerah provinsi, kabupaten, atau kota dapat didirikan Lembaga Penyiaran
Publik lokal.
(4) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik dibentuk sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Dewan pengawas ditetapkan oleh Presiden bagi Radio Republik Indonesia dan
Televisi Republik Indonesia atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia; atau oleh Gubernur, Bupati, atau Walikota bagi Lembaga Penyiaran
Publik lokal atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, setelah melalui uji
kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan dari pemerintah
dan/atau masyarakat.
(6) Jumlah anggota dewan pengawas bagi Radio Republik Indonesia dan Televisi
Republik Indonesia sebanyak 5 (lima) orang dan dewan pengawas bagi
Lembaga Penyiaran Publik Lokal sebanyak 3 (tiga) orang.
(7) Dewan direksi diangkat dan ditetapkan oleh dewan pengawas.
(8) Dewan pengawas dan dewan direksi Lembaga Penyiaran Publik mempunyai
masa kerja 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali
masa kerja berikutnya.
(9) Lembaga Penyiaran Publik di tingkat pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Lembaga Penyiaran Publik di tingkat daerah
diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik disusun oleh KPI
bersama Pemerintah.

Pasal 15
(1) Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik berasal dari :
a. iuran penyiaran;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
c. sumbangan masyarakat;
d. siaran iklan; dan
e. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
(2) Setiap akhir tahun anggaran, Lembaga Penyiaran Publik wajib membuat laporan
keuangan yang diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya diumumkan melalui
media massa.

Bagian Kelima
Lembaga Penyiaran Swasta

Pasal 16
(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf b adalah lembaga penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan
hukum Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa
penyiaran radio atau televisi.
(2) Warga negara asing dilarang menjadi pengurus Lembaga Penyiaran Swasta,
kecuali untuk bidang keuangan dan bidang teknik.

Pasal 17

(1) Lembaga Penyiaran Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
didirikan dengan modal awal yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
(2) Lembaga Penyiaran Swasta dapat melakukan penambahan dan pengembangan
dalam rangka pemenuhan modal yang berasal dari modal asing, yang jumlahnya
tidak lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari seluruh modal dan minimum
dimiliki oleh 2 (dua) pemegang saham.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta wajib memberikan kesempatan kepada karyawan
untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.

Pasal 18

(1) Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu
orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa
wilayah siaran, dibatasi.
(2) Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan
jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan
media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran
swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
(3) Pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional,
baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi, disusun oleh
KPI bersama Pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan kepemilikan dan penguasaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pembatasan kepemilikan silang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Pasal 19

Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta diperoleh dari:

a. siaran iklan; dan/atau


b. usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
Pasal 20
Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi
masing- masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu)
saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran.

Bagian Keenam
Lembaga Penyiaran Komunitas

(1) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2)
huruf c merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta
untuk melayani kepentingan komunitasnya.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diselenggarakan :
a. tidak untuk mencari laba atau keuntungan atau tidak merupakan bagian
perusahaan yang mencari keuntungan semata; dan
b. untuk mendidik dan memajukan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan,
dengan melaksanakan program acara yang meliputi budaya, pendidikan, dan
informasi yang menggam-barkan identitas bangsa.
(3) Lembaga Penyiaran Komunitas merupakan komunitas nonpartisan yang
keberadaan organisasinya:
a. tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas
internasional;
b. tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan
c. tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu.

Pasal 22
(1) Lembaga Penyiaran Komunitas didirikan atas biaya yang diperoleh dari
kontribusi komunitas tertentu dan menjadi milik komunitas tersebut.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dapat memperoleh sumber pembiayaan dari
sumbangan, hibah, sponsor, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Pasal 23

(1) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang menerima bantuan dana awal


mendirikan dan dana operasional dari pihak asing.
(2) Lembaga Penyiaran Komunitas dilarang melakukan siaran iklan dan/atau siaran
komersial lainnya, kecuali iklan layanan masyarakat.
Pasal 24

(1) Lembaga Penyiaran Komunitas wajib membuat kode etik dan tata tertib untuk
diketahui oleh komunitas dan masyarakat lainnya.
(2) Dalam hal terjadi pengaduan dari komunitas atau masyarakat lain terhadap
pelanggaran kode etik dan/atau tata tertib, Lembaga Penyiaran Komunitas wajib
melakukan tindakan sesuai dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.

Bagian Ketujuh Lembaga


Penyiaran Berlangganan
Pasal 25
(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) huruf d merupakan lembaga penyiaran berbentuk badan hukum
Indonesia, yang bidang usahanya hanya menyelenggarakan jasa penyiaran
berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh izin penyelenggaraan
penyiaran berlangganan.
(2) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada
pelanggan melalui radio, televisi, multi-media, atau media informasi lainnya.

Pasal 26

(1) Lembaga Penyiaran Berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25


terdiri atas:
a. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit;
b. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel; dan
c. Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui terestrial.
(2) Dalam menyelenggarakan siarannya, Lembaga Penyiaran Ber-langganan harus:
a. melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan
dan/atau disalurkan;
b. menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas kanal
saluran untuk menyalurkan program dari Lembaga Penyiaran Publik dan
Lembaga Penyiaran Swasta; dan
c. menyediakan 1 (satu) kanal saluran siaran produksi dalam negeri berbanding
10 (sepuluh) siaran produksi luar negeri paling sedikit 1 (satu) kanal saluran
siaran produksi dalam negeri.
(3) Pembiayaan Lembaga Penyiaran Berlangganan berasal dari :
a. iuran berlangganan; dan
b. usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.

Pasal 27

Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui satelit, sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. memiliki jangkauan siaran yang dapat diterima di wilayah Negara Republik
Indonesia;
b. memiliki stasiun pengendali siaran yang berlokasi di Indonesia;
c. memiliki stasiun pemancar ke satelit yang berlokasi di Indonesia;
d. menggunakan satelit yang mempunyai landing right di Indonesia; dan
e. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

Pasal 28
Lembaga Penyiaran Berlangganan melalui kabel dan melalui terestrial,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b dan huruf c, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. memiliki jangkauan siaran yang meliputi satu daerah layanan sesuai dengan
izin yang diberikan; dan
b. menjamin agar siarannya hanya diterima oleh pelanggan.

Pasal 29

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 33 ayat (1) dan ayat (7), Pasal 34 ayat (4) dan ayat (5) berlaku pula bagi
Lembaga Penyiaran Berlangganan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Lembaga Penyiaran Asing

Pasal 30
(1) Lembaga penyiaran asing dilarang didirikan di Indonesia.
(2) Lembaga penyiaran asing dan kantor penyiaran asing yang akan melakukan
kegiatan jurnalistik di Indonesia, baik yang disiarkan secara langsung maupun
dalam rekaman, harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman kegiatan peliputan lembaga
penyiaran asing disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Stasiun Penyiaran dan Wilayah Jangkauan
Siaran

Pasal 31
(1) Lembaga penyiaran yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio atau jasa
penyiaran televisi terdiri atas stasiun penyiaran jaringan dan/atau stasiun
penyiaran lokal.
(2) Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan sistem
stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem
stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sistem stasiun jaringan disusun
oleh KPI bersama Pemerintah.
(5) Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara
Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi
tersebut.
(6) Mayoritas pemilikan modal awal dan pengelolaan stasiun penyiaran lokal
diutamakan kepada masyarakat di daerah tempat stasiun lokal itu berada.
Bagian Kesepuluh
Rencana Dasar Teknik Penyiaran dan
Persyaratan Teknis Perangkat
Penyiaran
(1) Setiap pendirian dan penyelenggaraan penyiaran wajib memenuhi ketentuan
rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis perangkat penyiaran.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana dasar teknik penyiaran dan
persyaratan teknis perangkat penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
disusun lebih lanjut oleh KPI bersama Pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kesebelas
Perizinan
Pasal 33
(1) Sebelum menyelenggarakan kegiatannya lembaga penyiaran wajib memperoleh
izin penyelenggaraan penyiaran.
(2) Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang
akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan
undang- undang ini.
(3) Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik.
(4) Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara
setelah memperoleh:
a. masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk
perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas
usul KPI.
(5) Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c,
secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara
melalui KPI.
(6) Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib
diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ada kesepakatan dari
forum rapat bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c.
(7) Lembaga penyiaran wajib membayar izin penyelenggaraan penyiaran melalui
kas negara.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan
penyelenggaraan penyiaran disusun oleh KPI bersama Pemerintah.

Pasal 34
(1) Izin penyelenggaraan penyiaran diberikan sebagai berikut:
a. izin penyelenggaraan penyiaran radio diberikan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun;
b. izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10
(sepuluh) tahun.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b masing-masing
dapat diperpanjang.
(3) Sebelum memperoleh izin tetap penyelenggaraan penyiaran, lembaga penyiaran
radio wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 6 (enam) bulan dan untuk
lembaga penyiaran televisi wajib melalui masa uji coba siaran paling lama 1
(satu) tahun.
(4) Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.
(5) Izin penyelenggaraan penyiaran dicabut karena :
a. tidak lulus masa uji coba siaran yang telah ditetapkan;
b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan
siaran yang ditetapkan;
c. tidak melakukan kegiatan siaran lebih dari 3 (tiga) bulan tanpa pemberitahuan
kepada KPI;
d. dipindahtangankan kepada pihak lain;
e. melanggar ketentuan rencana dasar teknik penyiaran dan persyaratan teknis
perangkat penyiaran; atau
f. melanggar ketentuan mengenai standar program siaran setelah adanya
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(6) Izin penyelenggaraan penyiaran dinyatakan berakhir karena habis masa izin dan
tidak diperpanjang kembali.

BAB VI
PELAKSANAAN SIARAN
Bagian Pertama
Isi Siaran Pasal 35
Isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi, dan arah siaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Pasal 36

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk
pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa,
menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan
budaya Indonesia.
(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-
kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam
negeri.
(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak
khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada
waktu
yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau
menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan
kepentingan golongan tertentu.
(5) Isi siaran dilarang :
a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika
dan obat terlarang; atau
c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan.
(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau
mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak
hubungan internasional.

Bagian Kedua
Bahasa Siaran
Pasal 37
Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus
Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38

(1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam


penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk
mendukung mata acara tertentu.
(2) Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan
keperluan suatu mata acara siaran.
Pasal 39

(1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan
khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau
secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan
keperluan mata acara tertentu.
(2) Sulih suara bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dibatasi paling banyak
30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah mata acara berbahasa asing yang
disiarkan.
(3) Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak
tunarungu.

Bagian Ketiga
Relai dan Siaran Bersama

Pasal 40

(1) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain, baik
lembaga penyiaran dalam negeri maupun dari lembaga penyiaran luar negeri.
(2) Relai siaran yang digunakan sebagai acara tetap, baik yang berasal dari dalam
negeri maupun dari luar negeri, dibatasi.
(3) Khusus untuk relai siaran acara tetap yang berasal dari lembaga penyiaran luar
negeri, durasi, jenis dan jumlah mata acaranya dibatasi.
(4) Lembaga penyiaran dapat melakukan relai siaran lembaga penyiaran lain secara
tidak tetap atas mata acara tertentu yang bersifat nasional, internasional,
dan/atau mata acara pilihan.
Pasal 41

Antar lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama


sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan
monopoli pembentukan opini.
Bagian Keempat
Kegiatan Jurnalistik
Pasal 42
Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik
tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Bagian Kelima
Hak Siar
Pasal 43
(1) Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.
(2) Dalam menayangkan acara siaran, lembaga penyiaran wajib mencantumkan
hak siar.
(3) Kepemilikan hak siar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus disebutkan
secara jelas dalam mata acara.
(4) Hak siar dari setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Ralat Siaran
Pasal 44
(1) Lembaga penyiaran wajib melakukan ralat apabila isi siaran dan/atau berita
diketahui terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan, atau terjadi sanggahan atas
isi siaran dan/atau berita.
(2) Ralat atau pembetulan dilakukan dalam jangka waktu kurang dari 24 (dua puluh
empat) jam berikutnya, dan apabila tidak memungkinkan untuk dilakukan, ralat
dapat dilakukan pada kesempatan pertama serta mendapat perlakuan utama.
(3) Ralat atau pembetulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
membebaskan tanggung jawab atau tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak
yang merasa dirugikan.

Bagian Ketujuh
Arsip Siaran Pasal
45
(1) Lembaga Penyiaran wajib menyimpan bahan siaran, termasuk rekaman audio,
rekaman video, foto, dan dokumen, sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 1
(satu) tahun setelah disiarkan.
(2) Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah, nilai informasi, atau nilai penyiaran
yang tinggi, wajib diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga
kelestariannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedelapan
Siaran Iklan
Pasal 46
(1) Siaran iklan terdiri atas siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.
(2) Siaran iklan wajib menaati asas, tujuan, fungsi, dan arah penyiaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.
(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan:
a. promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, ideologi, pribadi
dan/atau kelompok, yang menyinggung perasaan dan/atau merendahkan
martabat agama lain, ideologi lain, pribadi lain, atau kelompok lain;
b. promosi minuman keras atau sejenisnya dan bahan atau zat adiktif;
c. promosi rokok yang memperagakan wujud rokok;
d. hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai
agama; dan/atau
e. eksploitasi anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Materi siaran iklan yang disiarkan melalui lembaga penyiaran wajib memenuhi
persyaratan yang dikeluarkan oleh KPI.
(5) Siaran iklan niaga yang disiarkan menjadi tanggung jawab lembaga penyiaran.
(6) Siaran iklan niaga yang disiarkan pada mata acara siaran untuk anak-anak wajib
mengikuti standar siaran untuk anak-anak.
(7) Lembaga Penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan
masyarakat.
(8) Waktu siaran iklan niaga untuk Lembaga Penyiaran Swasta paling banyak 20%
(dua puluh per seratus), sedangkan untuk Lembaga Penyiaran Publik paling
banyak 15% (lima belas per seratus) dari seluruh waktu siaran.
(9) Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk Lembaga Penyiaran Swasta
paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari siaran iklan niaga, sedangkan
untuk Lembaga Penyiaran Publik paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari
siaran iklannya.
(10) Waktu siaran lembaga penyiaran dilarang dibeli oleh siapa pun untuk
kepentingan apa pun, kecuali untuk siaran iklan.
(11) Materi siaran iklan wajib menggunakan sumber daya dalam negeri.
Bagian Kesembilan
Sensor Isi Siaran
Pasal 47
Isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor
dari lembaga yang berwenang.
BAB V
PEDOMAN PERILAKU PENYIARAN
Pasal 48
(1) Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.
(2) Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun
dan bersumber pada :
a. nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan
lembaga penyiaran.
(3) KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran
kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.
(4) Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-
kurangnya berkaitan dengan:
a. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
b. rasa hormat terhadap hal pribadi;
c. kesopanan dan kesusilaan;
d. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;
f. penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;
g. penyiaran program dalam bahasa asing;
h. ketepatan dan kenetralan program berita;
i. siaran langsung; dan
j. siaran iklan.
(5) KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.
Pasal 49
KPI secara berkala menilai pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (3) sesuai dengan perubahan peraturan perundang-
undangan dan perkembangan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pasal 50
1) KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran.
2) KPI wajib menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui
adanyapelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran.
3) KPI wajib menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat
mendasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e.
4) KPI wajib meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan
dan memberikan kesempatan hak jawab.
5) KPI wajib menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada
pihak yang mengajukan aduan dan Lembaga Penyiaran yang terkait.

Pasal 51
1) KPI dapat mewajibkan Lembaga Penyiaran untuk menyiarkan dan/atau
menerbitkan pernyataan yang berkaitan dengan aduan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (2) apabila terbukti benar.
2) Semua Lembaga Penyiaran wajib menaati keputusan yang dikeluarkan oleh KPI
yang berdasarkan pedoman perilaku penyiaran.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
1) Setiap warga negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab
dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional.
2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan
pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan
Lembaga Penyiaran.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan
terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

BAB VII
PERTANGGUNG JAWABAN
Pasal 53
1) KPI Pusat dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya
bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
2) KPI Daerah dalam menjalankan fungsi, wewenang, tugas, dan kewajibannya
bertanggung jawab kepada Gubernur dan menyampaikan laporan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.

Pasal 54
Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggung jawab secara umum atas
penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penanggung jawab atas tiap-tiap
program yang dilaksanakan.

BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 56
1) Penyidikan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini
dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
2) Khusus bagi tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b dan huruf e, penyidikan
dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan Undang-
undang yang berlaku.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 57
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio dan
dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap orang
yang:
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5);
e. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (6).

Pasal 58
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk penyiaran radio dan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk penyiaran televisi, setiap
orang yang:
a. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
b. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1);
c. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4);
d. melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (3).
Pasal 59
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat
(10) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) untuk penyiaran radio dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah) untuk penyiaran televisi.

BAB XI

KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 60
1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di bidang
penyiaran yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum
diganti dengan yang baru.
2) Lembaga Penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya Undang-undang
ini tetap dapat menjalankan fungsinya dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan
Undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun untuk jasa penyiaran radio dan
paling lama 3 (tiga) tahun untuk jasa penyiaran televisi sejak diundangkannya
Undang- undang ini.
3) Lembaga Penyiaran yang sudah mempunyai stasiun relai, sebelum
diundangkannya Undang-undang ini dan setelah berakhirnya masa penyesuaian,
masih dapat menyelenggarakan penyiaran melalui stasiun relainya, sampai
dengan berdirinya stasiun lokal yang berjaringan dengan Lembaga Penyiaran
tersebut dalam batas waktu paling lama 2 (dua) tahun, kecuali ada alasan khusus
yang ditetapkan oleh KPI bersama Pemerintah.
BAB XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 61
1) KPI harus sudah dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah
diundangkannya Undang-undang ini.
2) Untuk pertama kalinya pengusulan anggota KPI diajukan oleh Pemerintah atas
usulan masyarakat kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal 62
1) Ketentuan-ketentuan yang disusun oleh KPI bersama Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 29 ayat
(2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (2), Pasal 33 ayat (8),
Pasal 55 ayat (3), dan Pasal 60 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus ditetapkan
paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah selesai disusun oleh KPI bersama
Pemerintah.

Pasal 63
Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1997 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku
lagi.

Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UNDANG-UNDANG TENTANG PERS.


BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha
pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta
perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan,
atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi
informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau
peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban
melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan
jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan
peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak
mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus
dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama
baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang
orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap
suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah
diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN
PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-
prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,
dan kontrol sosial.
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1),pers nasional dapat berfungsi sebagai
lembaga ekonomi.
Pasal 4
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari,
memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum,wartawan mempunyai
Hak Tolak.
Pasal 5
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga
tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum,
dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;

BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.

BAB IV
PERUSAHAAN
PERS
Pasal 9
1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers
dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk
kesejahteraan lainnya.

Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara
terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama
dan alamat percetakan.

Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu
kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan
masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara
Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.

BAB V
DEWAN
PERS
Pasal 15
1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan
pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di
bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
3. Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya
yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
4. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
5. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan
dengan keputusan Presiden.
6. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya
dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
7. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.

BAB VI
PERS
ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing
di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers
dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan
kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga
dan meningkatkan kualitas pers nasional.

BAB VIII
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan
yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal
13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta
rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).

BAB IX
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 19
1. Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di
bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku
atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti
dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
2. Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini,
wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.

BAB X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);

2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-


barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara
3. Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut
ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan
penerbitan-penerbitan berkala;Dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.


BAB I
KETENTUAN
UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan
menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan,
menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis,
dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog,
digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat,
ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik
yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik
oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik
atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang
dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik
tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat
Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek
hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh
Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi
sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit
Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk
oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah
dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan
dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait
dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik,
atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang
berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi
di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer
dan/atau Sistem Elektronik lainnya
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui
Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang,
Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam
berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter
yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia,
warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan
persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh
Presiden.
Pasal 2
Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum
Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di
wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan
asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih
teknologi atau netral teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung
jawab; dan
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna
dan penyelenggara Teknologi Informasi.

BAB III
INFORMASI, DOKUMEN, DAN TANDA TANGAN
ELEKTRONIK

Pasal 5

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil


cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai
dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan surat beserta dokumennya yang menurut
Undang- Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau
akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6

Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4)
yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli,
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan,
dijaminkeutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.

Pasal 7
Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau
menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang
memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang- undangan.

Pasal 8

(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu Informasi Elektronik


dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar
oleh Pengirim ke suatu Sistem Elektronik yang ditunjuk atau
dipergunakan Penerima dan telah memasuki Sistem Elektronik yang
berada di luar kendali Pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik ditentukan pada saat Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem Elektronik di bawah
kendali Penerima yang berhak.
(3) Dalam hal Penerima telah menunjuk suatu Sistem Elektronik tertentu
untuk menerima Informasi Elektronik, penerimaan terjadi pada saat
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik memasuki Sistem
Elektronik yang ditunjuk.
(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan
dalam pengiriman atau penerimaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada
di luar kendali Pengirim;
b. b. waktu penerimaan adalah ketika Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang
berada di bawah kendali Penerima.

Pasal 9

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus


menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Pasal 10

(1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat


disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang
sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada
Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses
penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda
Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi
setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan
Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa
Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan
telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang
terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban
memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang
digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati- hatian untuk
menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait
pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara
yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik
ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera
memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan
dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak
pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda
Tangan Elektronik telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat
menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya
data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda
Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran
dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat
Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan
konsekuensi hukum yang timbul.

BAB IV
PENYELENGGARAAN SERTIFIKASI ELEKTRONIK DAN SISTEM
ELEKTRONIK

Bagian Kesatu

Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik

Pasal 13

(1) Setiap Orang berhak menggunakan jasa Penyelenggara Sertifikasi


Elektronik untuk pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
(2) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik harus memastikan keterkaitan suatu
Tanda Tangan Elektronik dengan pemiliknya.
(3) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia; dan
b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia
dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik asing yang beroperasi di Indonesia
harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 14

Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat


(1) sampai dengan ayat (5) harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan
pasti kepada setiap pengguna jasa, yang meliputi:
a. metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Penanda Tangan;
b. hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat
Tanda Tangan Elektronik; dan
c. hal yang dapat digunakan untuk menunjukkan keberlakuan dan keamanan
Tanda Tangan Elektronik.

Bagian Kedua

Penyelenggaraan Sistem
Elektronik

Pasal 15

(1) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem


Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap
beroperasinya Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap
Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal
dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau
kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik.

Pasal 16

(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap


Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik
yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan,
dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan
kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V

TRANSAKSI

ELEKTRONIK

Pasal 17

(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup


publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau
pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama
transaksi berlangsung.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

(1) Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik


mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi
Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik
internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata
Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang
berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang
menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut,
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

Pasal 19

Parapihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem


Elektronik yang disepakati.
Pasal 22

(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada


Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya
melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara Agen Elektronik tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL, DAN PERLINDUNGAN HAK
PRIBADI

Pasal 23

(1) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat


berhak memiliki Nama Domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan Nama Domain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus didasarkan pada iktikad baik, tidak melanggar prinsip
persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak Orang lain.
(3) Setiap penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, atau masyarakat yang
dirugikan karena penggunaan Nama Domain secara tanpa hak oleh Orang
lain, berhak mengajukan gugatan pembatalan Nama Domain dimaksud.

Pasal 24

(1) Pengelola Nama Domain adalah Pemerintah dan/atau masyarakat.


(2) Dalam hal terjadi perselisihan pengelolaan Nama Domain oleh masyarakat,
Pemerintah berhak mengambil alih sementara pengelolaan Nama Domain
yang diperselisihkan.
(3) Pengelola Nama Domain yang berada di luar wilayah Indonesia dan
Nama Domain yang diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Nama Domain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 25

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya


intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya
dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

Pasal 26
(1) Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang- undangan, penggunaan
setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi
seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.
(2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan
Undang-Undang ini.

BAB VII

PERBUATAN YANG
DILARANG

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan
dan/atau pengancaman.

Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau
menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik
tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik
yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik
Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Pasal 34

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor,
mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki:
a. perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau
secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33;
b. sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu
yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan
tujuan memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 sampai dengan Pasal 33.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika
ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem Elektronik,
untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak
melawan hukum.

Pasal 35

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

Pasal 36

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34
yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain.

Pasal 37

Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah
Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi
Indonesia.

BAB VIII
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 38

(1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang


menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi
Informasi yang menimbulkan kerugian.
(2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak
yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan
Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 39
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.

BAB IX
PERAN PEMERINTAH DAN PERAN
MASYARAKAT

Pasal 40

(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi


Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik
strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat
Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta
menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan
pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen
Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan
perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 41

(1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi


Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik
dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi
konsultasi dan mediasi.

BAB X

PENYIDIKAN

Pasal 42

Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-


Undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan
ketentuan dalam Undang- Undang ini.

Pasal 43

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

(2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik,
integritas data, atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap sistem elektronik yang terkait
dengan dugaan tindak pidana harus dilakukan atas izin ketua pengadilan
negeri setempat.
(4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya
kepentingan pelayanan umum.
(5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar
dan/atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan
adanya dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan
Undang-Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang
patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang
ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan
dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga
digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana
kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara
menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap
tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana
yang berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui
penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat
dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada
penuntut umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk
berbagi informasi dan alat bukti.

Pasal 44

Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan


menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan;
dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal
5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).

BAB XI

KETENTUAN PIDANA
Pasal 45

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 46

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).

Pasal 47

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31


ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).

Pasal 48

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 49

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 50

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34


ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 51

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar
rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar
rupiah).

Pasal 52

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak
dikenakan pemberatan sepertiga dari pidana pokok.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai


dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem
Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau yang digunakan untuk layanan publik
dipidana dengan pidana pokok ditambah sepertiga.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 sampai
dengan Pasal 37 ditujukan terhadap Komputer dan/atau Sistem
Elektronik serta Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
milik Pemerintah dan/atau badan strategis termasuk dan tidak terbatas
pada lembaga pertahanan, bank sentral, perbankan, keuangan,
lembaga internasional, otoritas penerbangan diancam dengan pidana
maksimal ancaman pidana pokok masing-masing Pasal ditambah
dua pertiga.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan
pidana pokok ditambah dua pertiga.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan Perundang-


undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan
Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini
dinyatakan tetap berlaku.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54

(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun
setelah diundangkannya Undang-Undang ini.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 33 TAHUN 2009
TENTANG
PERFILMAN
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan
media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan
2. Perfilman adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film.

3. Budaya bangsa adalah seluruh sistem nilai, gagasan, norma, tindakan,


dan hasil karya bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Kegiatan perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung


berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial.

5. Usaha perfilman adalah penyelenggaraan perfilman yang langsung


berhubungan dengan film dan bersifat komersial.

6. Masyarakat adalah warga negara Indonesia nonpemerintah yang


mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang perfilman.

7. Iklan film adalah bentuk publikasi dan promosi film.

8. Insan perfilman adalah setiap orang yang memiliki potensi dan


kompetensi dalam perfilman dan berperan dalam pembuatan film.

9. Sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film


dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum.

10. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden


Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
11. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah.

12. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan kebudayaan.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI

Bagian Pertama

Pasal 2

Perfilman berasaskan:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kemanusiaan;
c. bhinneka tunggal ika;
d. keadilan;
e. manfaat;
f. kepastian hukum;
g. kebersamaan;
h. kemitraan; dan
i. kebajikan.

Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 3

Perfilman bertujuan:

a. terbinanya akhlak mulia;


b. terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa;
c. terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa;
d. meningkatnya harkat dan martabat bangsa;
e. berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa;
f. dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional;
g. meningkatnya kesejahteraan masyarakat; dan
h. berkembangnya film berbasis budaya bangsa yang hidup dan
berkelanjutan.
Bagian Ketiga
Fungsi
Pasal 4

Perfilman mempunyai fungsi:


a. budaya;
b. pendidikan;
c. hiburan;
d. informasi;
e. pendorong karya kreatif; dan
f. ekonomi.

BAB III

KEGIATAN PERFILMAN DAN USAHA PERFILMAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5
Kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan
berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama,
etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.
Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang
mengandung isi yang:
a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta
penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
b. menonjolkan pornografi;
c. memprovokasi terjadinya pertentangan
antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai- nilai agama;
e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum;
dan/atau
f. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Pasal 7

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai
pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:
a. untuk penonton semua umur;
b. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
c. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
d. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Pasal 8

(1) Kegiatan perfilman meliputi:


a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. pengedaran film;

(2) Usaha perfilman meliputi:


d. pembuatan film;
e. jasa teknik film;
f. pengedaran film;
g. pertunjukan film;
h. penjualan film dan/atau penyewaan film;
i. pengarsipan film;
j. ekspor film; dan
k. impor film.

(3) Kegiatan perfilman dan usaha perfilman selain yang dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
Pasal 9

(1) Pelaku kegiatan perfilman meliputi:


a. pelaku kegiatan pembuatan film;
b. pelaku kegiatan jasa teknik film;
c. pelaku kegiatan pengedaran film;
d. pelaku kegiatan pertunjukan film;
e. pelaku kegiatan apresiasi film; dan

f. pelaku kegiatan pengarsipan film.

(2) Pelaku usaha perfilman meliputi:


g. pelaku usaha pembuatan film;
h. pelaku usaha jasa teknik fllm;
i. pelaku usaha pengedaran film;
j. pelaku usaha pertunjukan film;
k. pelaku usaha penjualan film dan/atau penyewaan film;
l. pelaku usaha pengarsipan film;
m. pelaku usaha ekspor film; dan
n. pelaku usaha impor film
Pasal 10

(1) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan film Indonesia, kecuali
pelaku usaha impor film.

(2) Pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 9 wajib mengutamakan penggunaan sumber daya
dalam negeri secara optimal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib mengutamakan film Indonesia


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan wajib mengutamakan
penggunaan sumber daya dalam negeri secara optimal sebagaimana
dimaksud ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 11

(1) Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dilarang memiliki usaha perfilman lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya integrasi vertikal, baik langsung maupun tidak langsung.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku
usaha pembuatan film yang melakukan pengedaran film dan ekspor film
untuk film produksi sendiri.

Pasal 12

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
huruf d dilarang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha
pembuatan film atau pengedaran film atau impor film melebihi 50% (lima puluh
persen) jam pertunjukannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut yang
mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pasal 13

Pelaku usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g atau huruf h dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha perfilman atau membuat ketentuan yang
bertujuan untuk menghalangi pelaku usaha perfilman lain memberi atau
menerima pasokan film yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau
persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 14

(1) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf a, huruf b, dan huruf f wajib didaftarkan kepada Menteri tanpa
dipungut biaya dan diproses dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari
kerja.

(2) Jenis usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h wajib memiliki izin usaha,
kecuali usaha penjualan film dan/atau penyewaan film oleh pelaku usaha
perseorangan.

(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri
untuk setiap jenis usaha:
• usaha pengedaran film;
• usaha ekspor film; dan/atau
• usaha impor film.

(4) Izin usaha diberikan oleh bupati atau walikota untuk setiap jenis usaha:
• usaha penjualan dan/atau penyewaan film; dan/atau
• usaha pertunjukan film.

(5) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak termasuk izin
usaha pertunjukan film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau
jaringan teknologi informatika.

(6) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diterbitkan
tanpa dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
kerja.

(7) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bagi usaha pertunjukan
film yang dilakukan melalui penyiaran televisi atau jaringan teknologi
informatika diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(8) Izin usaha tidak dapat diberikan kepada pelaku usaha perfilman yang dapat
mengakibatkan terjadinya integrasi vertikal baik secara langsung maupun
tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pendaftaran usaha
dan permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 15

Kerja sama antarpelaku usaha perfilman wajib dilakukan dengan perjanjian


tertulis.
Bagian Kedua
Pembuatan Film

Pasal 16

(1) Pembuatan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pembuatan film
atau pelaku usaha pembuatan film.

(2) Pelaku kegiatan pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.
Pasal 17

(1) Pembuatan film oleh pelaku usaha pembuatan film sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus didahului dengan
menyampaikan pemberitahuan pembuatan film kepada Menteri dengan
disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film.

(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan


tanpa dipungut biaya dan dicatat dalam jangka waktu paling lama 3
(tiga) hari kerja.

(3) Menteri wajib:


a) melindungi pembuatan film yang telah dicatat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.
b) mengumumkan secara berkala kepada publik data judul-judul film
yang tercatat.

(4) Pelaku usaha pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melaksanakan pembuatan film yang dicatat paling lama 3 (tiga)
bulan sejak tanggal pencatatan pembuatan film.

(5) Dalam hal rencana pembuatan film sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (4),
pemberitahuannya dinyatakan batal.
Pasal 18

(1) Pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi analog, digital, atau
teknologi tertentu dan direkam pada:
a) pita seluloid;
b) pita video;
c) cakram optik; atau
d) bahan lainnya.

(2) Film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat melalui proses
kimia, elektronik, atau proses lainnya.

Pasal 19

(1) Pembuatan film dapat dilakukan dalam bentuk film cerita atau film
noncerita.

(2) Bentuk film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk berita
dan materi siaran langsung yang disiarkan oleh lembaga penyiaran
televisi.
Pasal 20

(1) Pembuatan film wajib mengutamakan insan perfilman Indonesia secara


optimal.

(2) Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi:

a. penulis skenario film;


b. sutradara film;
c. artis film;
d. juru kamera film;
e. penata cahaya film;
f. penata suara film;
g. penyunting suara film;
h. penata laku film;
i. penata musik film;
j. penata artistik film;
k. penyunting gambar film;
l. produser film; dan
m. perancang animasi.
Insan perfilman selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam
Peraturan Menteri.

(3) Insan perfilman sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) dan ayat (3) mendapat:

a. perlindungan hukum;
b. perlindungan asuransi pada usaha perfilman yang berisiko;
c. jaminan keselamatan dan kesehatan kerja; dan
d. jaminan sosial.

(4) Perlindungan hukum untuk insan perfilman anak-anak di bawah umur harus
memenuhi hak- hak anak dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(5) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
dibuat dalam perjanjian tertulis yang mencakup hak dan kewajiban para
pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

(1) Dalam pembuatan film dapat dilakukan pembuatan iklan film.

(2) Iklan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib sesuai dengan isi
film.

Pasal 22

(1) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia
dilakukan dengan izin Menteri.

(2) Pembuatan film yang menggunakan insan perfilman asing dilakukan


sesuai peraturan perundang-undangan.

(3) Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan tanpa
dipungut biaya dan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film

Pasal 23

(1) Jasa teknik film meliputi:

a. studio pengambilan gambar film;


b. sarana pengambilan gambar film;
c. laboratorium pengolahan film;
d. sarana penyuntingan film;
e. sarana pengisian suara film;
f. sarana pemberian teks film; dan
g. sarana pencetakan dan/atau penggandaan film.

(2) Jasa teknik film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.

Pasal 24

(1) Jasa teknik film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan jasa teknik film
atau pelaku usaha jasa teknik film.

(2) Pelaku kegiatan jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha jasa teknik film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Bagian Keempat
Pengedaran Film

Pasal 25

(1) Pengedaran film dilakukan oleh pelaku kegiatan pengedaran film atau
pelaku usaha pengedaran film.

(2) Pelaku kegiatan pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha berbadan hukum Indonesia.

Pasal 26

(1) Pelaku usaha pengedaran film sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat
(3) wajib memberikan hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha
pertunjukan film untuk memperoleh film.

(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pertunjukan film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk
mendapatkan kopi-jadi film berdasarkan kriteria urutan prioritas secara jelas
yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha pengedaran film terhadap
pelaku usaha pertunjukan film.
Pasal 27

(1) Pelaku usaha pertunjukan film wajib memberikan hak dan perlakuan yang
adil terhadap pelaku usaha pengedaran film untuk mempertunjukkan film.
(2) Hak dan perlakuan yang adil terhadap pelaku usaha pengedaran film
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak dan perlakuan untuk
mendapatkan kesempatan jam pertunjukan berdasarkan kriteria urutan
prioritas secara jelas yang diberlakukan sama oleh pelaku usaha
pertunjukan film terhadap pelaku usaha pengedaran film.

Pasal 28

(1) Menteri menetapkan tata edar film untuk menjamin perlakuan yang adil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27.

(2) Tata edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. ketentuan tentang pokok-pokok hak dan kewajiban para pihak yang
harus diatur di dalam perjanjian kerjasama antara para pihak;
b. pengawasan ketaatan atas perjanjian kerja sama; dan
c. sanksi atas pelanggaran kerjasama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata edar film sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pertunjukan Film

Pasal 29

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pertunjukan film
atau pelaku usaha pertunjukan film.

(2) Pelaku kegiatan pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

(3) Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia.

Pasal 30

(1) Pertunjukan film dapat dilakukan melalui:

a. layar lebar;
b. penyiaran televisi; dan
c. jaringan teknologi informatika.

(2) Pertunjukan film melalui layar lebar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi pertunjukan film:

a. di bioskop;
b. di gedung pertunjukan nonbioskop; dan
c. di lapangan terbuka.

(3) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dengan sistem proyeksi atau nonproyeksi terhadap semua hasil
pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.

(4) Pertunjukan film selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 31

(1) Pertunjukan film untuk golongan penonton usia


21 (dua puluh satu) tahun atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf d yang melalui penyiaran televisi hanya dapat dilakukan dari pukul
23.00 sampai pukul 03.00 waktu setempat.

(2) Pertunjukan film untuk golongan penonton usia


21 (dua puluh satu) tahun atau lebih kepada khalayak umum dilarang dilakukan
di lapangan terbuka atau di gedung pertunjukan nonbioskop kecuali kegiatan
apresiasi film atau pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/atau penelitian.

Pasal 32

Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat


(3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam
puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6
(enam) bulan berturut-turut.

Pasal 33

(1) Pelaku usaha pertunjukan film yang melakukan pertunjukan film di bioskop
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a wajib
memberitahukan kepada Menteri secara berkala jumlah penonton setiap
judul film yang dipertunjukkan.
Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai pertunjukan film sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 diatur dalam Peraturan
Menteri.
Bagian Keenam
Penjualan Film dan Penyewaan Film

Pasal 35

(1) Penjualan film dan/atau penyewaan film dapat dilakukan oleh pelaku
usaha penjualan film dan/atau pelaku usaha penyewaan film berbentuk
badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

(2) Penjualan film dan/atau penyewaan film sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Ketujuh
Apresiasi Film

Pasal 36

(1) Apresiasi film dilakukan oleh pelaku kegiatan apresiasi film.

(2) Pelaku kegiatan apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perseorangan, organisasi, Pemerintah dan pemerintah daerah.

Pasal 37

(1) Apresiasi film sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 36 meliputi:

a. festival film;
b. seminar, diskusi, dan lokakarya; dan
c. kritik dan resensi film.

(2) Apresiasi film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Bagian Kedelapan
Pengarsipan Film

Pasal 38

(1) Pengarsipan film dapat dilakukan oleh pelaku kegiatan pengarsipan film
atau pelaku usaha pengarsipan film.

(2) Pelaku kegiatan pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi perseorangan, organisasi, Pemerintah, dan pemerintah daerah.

(3) Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) membentuk pusat


pengarsipan film Indonesia.

(4) Pelaku usaha pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan badan usaha Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia.

(5) Pengarsipan film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
dukungan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengarsipan film sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 39
(1) Pelaku usaha pembuatan film menyerahkan salah satu kopi-jadi film dari
setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film Indonesia untuk
disimpan sebagai arsip paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
tanggal terakhir film dipertunjukkan.
(2) Pelaku kegiatan pembuatan film secara sukarela menyerahkan salah satu
kopi-jadi film dari setiap film yang dimilikinya kepada pusat pengarsipan film
Indonesia untuk disimpan sebagai arsip.
(3) Pusat pengarsipan film Indonesia harus aktif melakukan perolehan kopi-
jadi film dokumenter yang memiliki nilai sejarah dan budaya bangsa.
(4) Penyimpanan arsip film sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Bagian Kesembilan
Ekspor Film dan Impor Film

Pasal 40

(1) Ekspor film dilakukan oleh pelaku usaha ekspor film.


(2) Impor film dilakukan oleh pelaku usaha impor film.

(3) Pelaku usaha ekspor film dan pelaku usaha impor film sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masing-masing merupakan badan
usaha berbentuk badan hukum Indonesia.

Pasal 41

(1) Pemerintah wajib mencegah masuknya film impor yang bertentangan


dengan nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa.

(2) Pemerintah wajib membatasi film impor dengan menjaga proporsi antara film
impor dan film Indonesia guna mencegah dominasi budaya asing.
Pasal 42

(1) Impor film dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau badan
internasional yang diakui Pemerintah untuk kepentingannya sendiri.

(2) Film yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dipertunjukkan kepada khalayak umum dengan pemberitahuan kepada
Menteri.

Pasal 43

Pelaku usaha perfilman dilarang melakukan sulih suara film impor ke dalam
bahasa Indonesia, kecuali film impor untuk kepentingan pendidikan dan/atau
penelitian.
Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut mengenai ekspor film dan impor film sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 43 diatur dalam
Peraturan Menteri.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 45
Masyarakat berhak:

a. memperoleh pelayanan dalam kegiatan perfilman dan usaha perfilman;


b. memilih dan menikmati film yang bermutu;
c. menjadi pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman;
d. memperoleh kemudahan sarana dan prasarana pertunjukan film; dan
e. mengembangkan perfilman.

Pasal 46

Masyarakat berkewajiban:
a. membantu terciptanya suasana aman, damai,
b. tertib, bersih, dan berperilaku santun dalam pembuatan film dan pertunjukan
film;
membantu terpeliharanya sarana dan prasarana perfilman; dan

c. mematuhi ketentuan tentang penggolongan usia penonton film.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Insan Perfilman

Pasal 47

Setiap insan perfilman berhak:


a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;
b. mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja;
c. mendapatkan jaminan sosial;
d. mendapatkan perlindungan hukum;
e. menjadi mitra kerja yang sejajar dengan pelaku usaha perfilman;
f. membentuk organisasi profesi yang memiliki kode etik;
g. mendapatkan asuransi dalam kegiatan perfilman yang berisiko;
h. menerima pendapatan yang sesuai dengan standar kompetensi; dan
i. mendapatkan honorarium dan/atau royalti sesuai dengan perjanjian.

Pasal 48

Setiap insan perfilman berkewajiban:


a. memenuhi standar kompetensi dalam bidang
perfilman;
b. melaksanakan pekerjaan secara profesional;
c. melaksanakan perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis; dan
d. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya
bangsa.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Pelaku Kegiatan Perfilman dan Pelaku Usaha Perfilman

Pasal 49

Setiap pelaku kegiatan perfilman dan pelaku usaha perfilman berhak:


a. berkreasi, berinovasi, dan berkarya dalam bidang perfilman;
b. mendapatkan kesempatan yang sama untuk menumbuhkan dan
mengembangkan kegiatan perfilman dan usaha perfilman;
c. mendapatkan perlindungan hukum;
d. membentuk organisasi dan/atau asosiasi kegiatan atau usaha yang memiliki
kode etik; dan
e. mendapatkan dukungan dan fasilitas dari Pemerintah dan pemerintah
daerah.

Pasal 50
(1) Setiap pelaku kegiatan perfilman berkewajiban:
a. memiliki kompetensi kegiatan dalam bidang perfilman; dan
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan
budaya bangsa dalam kegiatan perfilman.

(2) Setiap pelaku usaha perfilman berkewajiban:


a. memiliki kompetensi dan sertifikat usaha dalam bidang perfilman;
b. menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan
budaya bangsa dalam usaha perfilman; dan
c. membuat dan memenuhi perjanjian kerja dengan mitra kerja yang
dibuat secara tertulis.
BAB V
KEWAJIBAN, TUGAS, DAN WEWENANG
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 51

Pemerintah berkewajiban:
a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memfasilitasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
c. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi film dan pengarsipan film; dan
d. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

Pasal 52

Pemerintah bertugas menyusun, menetapkan, dan mengoordinasikan


pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional dengan
memperhatikan masukan dari badan perfilman Indonesia.
Pasal 53

Pemerintah berwenang memberikan keringanan pajak dan bea masuk tertentu


untuk perfilman.

Pasal 54

Pemerintah daerah berkewajiban:


a. memfasilitasi pengembangan dan kemajuan perfilman;
b. memberikan bantuan pembiayaan apresiasi dan pengarsipan film;
c. memfasilitasi pembuatan film untuk pemenuhan ketersediaan film
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32; dan
d. memfasilitasi pembuatan film dokumenter tentang warisan budaya
bangsa di daerahnya.

Pasal 55
(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas:
a. melaksanakan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional;
b. menetapkan serta melaksanakan kebijakan
dan rencana perfilman daerah; dan
c. menyediakan sarana dan prasarana untuk pengembangan dan
kemajuan perfilman.
(2) Dalam menetapkan kebijakan dan rencana perfilman daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, pemerintah daerah mengacu pada
kebijakan dan rencana induk perfilman nasional.

Pasal 56

Pemerintah daerah berwenang untuk memberikan keringanan pajak daerah dan


retribusi daerah tertentu untuk perfilman.

BAB VI
SENSOR
FILM

Pasal 57

(1) Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan
wajib memperoleh surat tanda lulus sensor.

(2) Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan setelah dilakukan penyensoran yang meliputi:

a. penelitian dan penilaian tema, gambar, adegan, suara, dan teks


terjemahan suatu film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan
kepada khalayak umum;
b. penentuan kelayakan film dan iklan film untuk diedarkan dan/atau
dipertunjukkan kepada khalayak umum; dan
c. penentuan penggolongan usia penonton film.

(3) Penyensoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan


prinsip memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh
negatif film dan iklan film.
Pasal 58

(1) Untuk melakukan penyensoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat


(2) dan ayat (3) dibentuk lembaga sensor film yang bersifat tetap dan
independen.

(2) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.

(3) Lembaga sensor film bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.

(4) Lembaga sensor film dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi.

Pasal 59

Surat tanda lulus sensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1)
diterbitkan oleh lembaga sensor film.

Pasal 60

(1) Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1)
melaksanakan penyensoran berdasarkan pedoman dan kriteria sensor film
yang mengacu kepada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan Pasal 7.

(2) Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip


dialog dengan pemilik film yang disensor.

(3) Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema,


gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan
pedoman dan kriteria sensor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.

(4) Lembaga sensor film mengembalikan iklan film yang tidak sesuai dengan
isi film sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) kepada
pemilik iklan film untuk diperbaiki.

(5) Lembaga sensor film dapat mengusulkan sanksi administratif kepada


Pemerintah terhadap pelaku kegiatan perfilman atau pelaku usaha
perfilman yang melalaikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 dan Pasal 7.

Pasal 61
(1) Lembaga sensor film memasyarakatkan penggolongan usia penonton film
dan kriteria sensor film.

(2) Lembaga sensor film membantu masyarakat agar dapat memilih dan
menikmati pertunjukan film yang bermutu serta memahami pengaruh film
dan iklan film.

(3) Lembaga sensor film mensosialisasikan secara intensif pedoman dan


kriteria sensor kepada pemilik film agar dapat menghasilkan film yang
bermutu.

Pasal 62

Lembaga sensor film dibantu oleh:


a. sekretariat; dan

b. tenaga sensor yang memiliki kompetensi di bidang penyensoran.

Pasal 63

(1) Menteri mengajukan kepada Presiden calon anggota lembaga sensor


film yang telah lulus melalui seleksi.

(2) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh panitia
seleksi yang dibentuk dan ditetapkan oleh Menteri.

(3) Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari
pemangku kepentingan perfilman.

(4) Panitia seleksi dalam memilih calon anggota lembaga sensor film
bekerja secara jujur, terbuka, dan objektif.

(5) Calon anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi
syarat-syarat:
a. warga negara Republik Indonesia berusia paling rendah 35 (tiga puluh
lima) tahun dan paling tinggi 70 (tujuh puluh) tahun;
b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
c. memahami asas, tujuan, dan fungsi perfilman;
d. memiliki kecakapan dan wawasan dalam ruang lingkup tugas
penyensoran; dan
e. dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu.

Pasal 64

(1) Anggota lembaga sensor film berjumlah 17 (tujuh belas) orang terdiri atas
12 (dua belas) orang unsur masyarakat dan 5 (lima) orang unsur
Pemerintah.

(2) Anggota lembaga sensor film memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(3) Anggota lembaga sensor film diangkat oleh Presiden setelah


berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Pengangkatan dan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 65

(1) Lembaga sensor film dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan dapat didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja
daerah.

(2) Lembaga sensor film dapat menerima dana dari tarif yang dikenakan
terhadap film yang disensor.

(3) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diaudit oleh
akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

(4) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk Penerimaan
Negara Bukan Pajak.
Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, kedudukan, keanggotaan,


pedoman dan kriteria, serta tenaga sensor dan sekretariat lembaga sensor film
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal
64, dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 67

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam


penyelenggaraan perfilman.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk:
a. apresiasi dan promosi film;
b. penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan perfilman;
c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perfilman;
d. pengarsipan film;
e. kine klub;
f. museum perfilman;
g. memberikan penghargaan;
h. penelitian dan pengembangan;
i. memberikan masukan perfilman; dan/atau
j. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film luar negeri.

(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara perseorangan atau kelompok.
Pasal 68

(1) Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perfilman


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a, huruf g, huruf
h, huruf i, dan huruf j dibentuk badan perfilman Indonesia.

(2) Pembentukan badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan dapat difasilitasi oleh
Pemerintah.

(3) Badan perfilman Indonesia merupakan lembaga swasta dan bersifat


mandiri.

(4) Badan perfilman Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik


Indonesia.

(5) Badan perfilman Indonesia dikukuhkan oleh Presiden.

Pasal 69

Badan perfilman Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 bertugas


untuk:
a. menyelenggarakan festival film di dalam negeri;
b. mengikuti festival film di luar negeri;
c. menyelenggarakan pekan film di luar negeri;
d. mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing;
e. memberikan masukan untuk kemajuan perfilman;
f. melakukan penelitian dan pengembangan perfilman;
g. memberikan penghargaan; dan
h. memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.
Pasal 70

(1) Sumber pembiayaan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68


berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan


Belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah
bersifat hibah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non- Anggaran Pendapatan


dan Belanja Negara dan non-anggaran pendapatan dan belanja daerah
wajib diaudit oleh akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.

BAB VIII
PENGHARGAA
N

Pasal 71

(1) Setiap film yang meraih prestasi tingkat nasional dan/atau tingkat
internasional, wajib diberi penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh


Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 72

(1) Insan perfilman, pelaku kegiatan perfilman, dan pelaku usaha perfilman
yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan perfilman diberi
penghargaan.

(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh


Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
berbentuk tanda kehormatan, pemberian beasiswa, asuransi, pekerjaan,
atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat bagi penerima
penghargaan.

(4) Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB IX
PENDIDIKAN, KOMPETENSI, DAN SERTIFIKASI

Pasal 73

Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan dan/atau


memfasilitasi pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan kompetensi
insan perfilman.

Pasal 74

(1) Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi.


(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui sertifikasi kompetensi.

(3) kompetensi dilakukan oleh organisasi profesi, lembaga sertifikasi profesi,


dan/atau perguruan tinggi.

(4) Sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

BAB X
PENDANAAN

Pasal 75

Pendanaan perfilman menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,


pemerintah daerah, pelaku kegiatan perfilman, pelaku usaha perfilman, dan
masyarakat.

Pasal 76

Pengelolaan dana perfilman dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi,


transparansi, dan akuntabilitas publik.

Pasal 77

Sumber pendanaan untuk perfilman dapat diperoleh dari:


a. pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta
pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. masyarakat melalui berbagai kegiatan;
c. kerja sama yang saling menguntungkan;
d. bantuan luar negeri yang tidak mengikat; dan/atau
e. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB XI

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 78

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,


Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1)
dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2),
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2),Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal
31, Pasal 33ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57
ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Pasal 79

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat


berupa:

a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara; dan/atau
d. pembubaran atau pencabutan izin.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
dan besaran denda administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 80

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan,


atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor
padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 81

(1) Setiap orang yang mempertunjukkan film hanya dari satu pelaku usaha
pembuatan film atau pengedaran film atau impor film tertentu melebihi
50% (lima puluh persen) jam pertunjukannya yang mengakibatkan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha perfilman
atau membuat ketentuan yang bertujuan untuk menghalangi pelaku
usaha perfilman lain memberi atau menerima pasokan film yang
mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(3) Penanganan perkara terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 82

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan
Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, ancamanpidana
denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidananya.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan
Pasal 81 dilakukan oleh atau atas nama korporasi, pidana dijatuhkan
kepada:

a. korporasi; dan/atau
b. pengurus korporasi.

(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), korporasi dapat
dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
dan/atau
b. pencabutan izin usaha.

Pasal 83

Tindak pidana dianggap sebagai tindak pidana korporasi apabila tindak


pidana tersebut dilakukan oleh:
a. pengurus yang memiliki kedudukan berwenang mengambil keputusan
atas nama korporasi;
b. orang yang mewakili korporasi untuk melakukan perbuatan hukum;
dan/atau
c. orang yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan korporasi
tersebut.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 84

Pada saat Undang-Undang ini berlaku anggota lembaga sensor film yang telah
ada berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) tetap menjalankan tugas
dan fungsinya sampai ditetapkan anggota lembaga sensor film sesuai dengan
Undang-Undang ini.
Pasal 85

Pada saat Undang-Undang ini berlaku:


a. Pelaku usaha pertunjukan film wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.

b. Pelaku usaha pembuatan film wajib memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
c. Insan perfilman harus memenuhi standar kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) paling lama 5 (lima) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.

BAB XIV
KETENTUAN
PENUTUP

Pasal 86

Lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) harus
sudah terbentuk paling lama 1(satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 87

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:


a) semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan Undang- Undang ini.
b) badan yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1992
tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473)
dan peraturan pelaksanaannya tetap menjalankan tugas dan fungsinya
sampai dibentuk atau diubahnya badan tersebut oleh Pemerintah.
Pasal 88

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan dalam waktu


paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 89

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun


1992 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 90
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang undang ini dengan
penempatannya negara Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 27 TAHUN 2022
TENTANG
PELINDUNGAN DATA PRIBADI

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal I

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Data Pribadi adalah data tentang ora.ng perseorangan yang teridentifikasi atau dapat
diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.

2. Pelindungan Data Pribadi adalah keseluruhan upaya untuk melindungi Data Pribadi
dalam rangkaian pemrosesan Data Fribadi guna menjamin hak konstitusional subjek Data
Pribadi.

3. Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung


nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat,
didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.

4. Pengendali Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional
yang bertindak . sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan
melakukan kendali pemrosesan Data Pribadi.

5. Prosesor Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional
yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam melakukan pemrosesan Data
Pribadi atas nama Pengendali Data Pribadi.

6. Subjek Data Pribadi adalah orang perseorangan yang pada dirinya melekat Data Pribadi.

7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

8. Korporasi adalah kumpulan orang dan/ atau kekayaan yang terorganisasi baik yang
berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.

9. Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/ atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/ atau Anggaran . Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau
luar negeri.

10. Organisasi Internasional adalah organisasi yang diakui sebagai subjek hukum
internasional dan mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional.

11. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

Pasal 2

(1) Undang-Undang ini berlaku untuk Setiap Orang, Badan Publik, dan Organisasi
Internasional yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini:

a. yang berada di wilayah hukum Negara Republik Indonesia; dan

b. di luar rvilayah hukum Negara Republik Indonesia, yang memiliki akibat hukum:

1. di wilayah hukum Negara Republik Indonesia; dan/atau

2. bagi Subjek Data Pribadi warga negara Indonesia di luar wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.

(2) Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pemrosesan Data Pribadi oleh orang
perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga.

BAB II ASAS

Pasal 3

Undang-Undang ini berasaskan :

a) . perlindungan

b) . kepastian hukum;

c) kepentingan umum;

d) . kemanfaatan;

e) kehati-hatian;

f) . keseimbangan;

g) pertanggungjawaban; dan

h) kerahasiaan.

BAB III

JENIS DATA PRIBADI


Pasal 4

(1) Data Pribadi terdiri atas:

a) Data Pribadi yang bersifat spesifik; dan

b) Data Pribadi yang bersifat umum.

(2) Data Pribadi yang bersifat spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a meliputi:

a) data dan informasi kesehatan;

b) data biometrik;

c) data genetika;

d) catatan kejahatan;

e) data anak;

f) data keuangan pribadi; dan/ atau

g) data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Data Pribadi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b meliputi:

a) nama lengkap;

b) jenis kelamin;

c) kewarganegaraan

d) agama;

e) status perkawinan;

f) dan/ atau Data Pribadi yang dikombinasikan mengidentifikasi seseorang.

BAB IV

HAK SUBJEK DATA PRIBADI

Pasal 5

Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan Informasi tentang kejelasan identitas, dasar
kepentingan hukum, tujuan permintaan dan penggunaan Data Pribadi, dan akuntabilitas
pihak yang meminta Data Pribadi.

Pasal 6

Subjek Data Pribadi berhak melengkapi, memperbarui, dan/atau memperbaiki kesalahan


dan/atau ketidakakuratan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan tujuan pemrosesan
Data Pribadi.

Pasal 7
Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan akses dan memperoleh salinan Data Pribadi
tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8

Subjek Data Pribadi berhak untuk mengakhiri pemrosesan, menghapus, dan/ atau
memusnahkan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 9

Subjek Data Pribadi berhak menarik kembali persetqjuan pemrosesan Data Pribadi tentang
dirinya yang telah diberikan kepada Pengendali Data Pribadi.

Pasal 10

(1) Subjek Data Pribadi berhak untuk mengajukan keberatan atas tindakan pengambilan
keputusan yang hanya didasarkan pada pemrosesan secara otomatis, termasuk pemrofilan,
yang menimbulkan akibat hukum atau berdampak signifrkan pada Subjek Data Pribadi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan keberatan atas pemrosesan secara otomatis
sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

Subjek Data Pribadi berhak menunda atau membatasi pemrosesan Data Pribadi secara
sesual dengan tujuan pemrosesan Data Pribadi.

Pasal 12

1. Subjek Data Pribadi berhak menggugat dan menerima ganti rugi atas pelanggaran
pemrosesan Data Pribadi tentang dirinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran pemrosesan Data Pribadi dan tata cara
pengenaan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 13

1. Subjek Data Pribadi berhak mendapatkan dan/atau menggunakan Data Pribadi tentang
dirinya dari Pengendali Data Pribadi dalam bentuk yang sesuai dengan struktur dan/
atau format yang lazim digunakan atau dapat dibaca oleh sistem elektronik.

2. Subjek Data Pribadi berhak dan Data Pribadi tentang dirinya ke Pengendali Data Pribadi
lainnya, sepanjang sistem yang digunakan dapat saling berkomunikasi secara aman
sesuai dengan prinsip Pelindungan Data Pribadi berdasarkan Undang-Undang ini.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai hak Subjek Data Pribadi untuk menggunakan dan Data
Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 14
Pelaksanaan hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai
dengan Pasal 11 diajukan melalui permohonan tercatat yang disampaikan secara elektronik
atau nonelektronik kepada Pengendali Data Pribadi.

Pasal 15

1. Hak-hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 1O
ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk:

a) kepentingan pertahanan dan keamanan nasional;

b) kepentingan proses penegakan hukum;

c) kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara;

d) kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan


stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara;
atau '

e) kepentingan statistik dan penelitian ilmiah.

2. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan hanya dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang.

BAB V

PEMROSESAN DATA PRIBADI

Pasal 16

(1) Pemrosesan Data Pribadi meliputi: '

a) pemerolehan dan pengumpulan;

b) pengolahan dan penganalisisan;

c) penyimpanan;

d) perbaikan dan pembaruan;

e) penampilan, pengumuman, transfer, penyebarluasan, atau pengungkapan; dan/


atau

f) penghapusan atau pemusnahan.

(2) Pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dilakukan sesuai dengan
prinsip Pelindungan Data Pribadi meliputi:

a) Data Pribadi dilakukan secara terbatas dan spesifik, sah secara hukum, dan
transparan;

b) pemrosesan Data Pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya;

c) pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan menjamin hak Subjek Data Pribadi;

d) pemrosesan Data Pribadi dilakukan secara akurat, lengkap, tidak menyesatkan,


mutakhir, dan dapat dipertan ggungi awabkan ;

e) pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan melindungi keamanan Data Pribadi dari
pengaksesan yang tidak sah, pengungkapan yang tidak sah, pengubahan yar:g
tidak sah, penghilangan Data Pribadi;

f) pemrosesan Data Pribadi dilakukan dengan memberitahukan tujuan dan aktivitas


pemrosesan, serta kegagalan Pelindungan Data Pribadi;

g) Data Pribadi dimusnahkan dan/atau dihapus setelah masa retensi beralhir atau
berdasarkan permintaan Subjek Data Pribadi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundangundangan; dan

h) pemrosesan Data Pribadi dilakukan secara bertanggung jawab dan dapat dibulrtikan
secara jelas.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemrosesan Data Pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

(1) Pemasangan alat pemroses atau pengolah data visual di tempat umum dan/ atau pada
fasilitas pelayanan publik dilakukan dengan ketentuan:

a. untuk tujuan keamanan, pencegahan bencana, dan/atau pengumpulan, analisis, dan


penyelenggaran lalu lintas pengaturan Informasi lalu lintas;

b. harus menampilkan Informasi pada area yang telah dipasang alat pemroses atau
pengolah data visual; dan

c. tidak digunakan untuk mengidentifikasi seseorang.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dikecualikan untuk
pencegahan tindak pidana dan proses penegakan hukum sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 18

(1) Pemrosesan Data Pribadi dapat dilalrukan oleh 2 (dua) atau lebih Pengendali Data
Pribadi.

(2) Dalam hal Pemrosesan Data Pribadi dilakukan oleh 2 (dua) atau lebih Pengendali Data
Pribadi harus memenuhi syarat minimal:

a. terdapat perjanjian antara para Pengendali Data Pribadi yang memuat peran, tanggung
jawab, dan hubungan antar-Pengendali Data Pribadi;

b. terdapat tujuan yang saling berkaitan dan cara pemrosesan Data Pribadi yang ditentukan
secara bersama; dan

c. terdapat narahubung yang ditunjuk secara bersama-sama.

BAB VI
KEWAJIBAN PENGENDALI DATA PRIBADI DAN PROSESOR DATA PRIBADI DAI,AM
PEMROSESAN DATA PRIBADI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 19

Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi meliputi:

a. Setiap Orang;

b. Badan Publik; dan

c. Organisasi Internasional.

Bagian Kedua

Kewajiban Pengendali Data Pribadi

Pasal 20

(1) Pengendali Data Pribadi wajib memiliki dasar pemrosesan Data Pribadi.

(2) Dasar pernmsesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. persetujuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi untuk 1 (sahr) atau
beberapa tujuan tertentu yang telah disampait oleh Pengendali Data Pribadi kepada Subjek
Data Pribadi;

b. pemenuhan kewajiban perjanjian dalam hal Subjek Data Pribadi merupakan salah satu
pihak atau untuk memenuhi permintaan Subjek Data Pribadi pada saat akan melalrukan
pedanjian;

c. pemenuhan kewajiban hukum dari Pengendali Data Pribadi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

d. pemenuhan pelindungan kepentingan vital Subjek Data Pribadi;

e. pelaksanaan tugas dalam rangka kepentJngan umum, pelayanan publik, atau


pelaksanaan . kewenangan Pengendali Data Pribadi berdasarkan peraturan perundang-
undangan; dan/atau

f. pemenuhan kepentingan yang sah lainnya dengan memperhatikan tujuan, kebututran, dan
keseimbangan kepentingan Pengendali Data Pribadi dan hak Subjek Data Pribadi.

Pasal 21

(1) Dalam hal pemrosesan Data Pribadi berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2O ayat (21 huruf a, Pengendali Data Pribadi wajib menyampaikan
Informasi mengenai:

a. legalitas dari pemrosesan Data Pribadi;

b. tujuan pemrosesan Data Pribadi;

c. jenis dan relevansi Data Pribadi yang akan diproses;

d. jangka waktu retensi dokumen yang memuat Data Pribadi;

e. rincian mengenai Informasi yang

f. jangka waktu pemrosesan Data Pribadi; dan

g. hak Subjek Data Pribadi.

(2) Dalam hal terdapat perubahan Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pengendali Data Pribadi wajib . memberitahukan kepada Subjek Data Pribadi sebelum
terjadi perubahan Informasi.

Pasal 22

(1) Persetujuan pemrosesan Data Pribadi dilakukan melalui persetujuan tertulis atau
terekam.

(2) Persetqiuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara elektronik
atau nonelektronik.

(3) Persetqjuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang
sama.

(4). Dalam hal persetqluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat tujuan lain,
permintaan persetqjuan harus memenuhi ketentuan:

a. dapat dibedakan secara jelas dengan hal lainnya;

b. dibuat dengan forrnat yang dapat dipahami dan mudah diakses; dan

c. menggunalan bahasa yang sederhana dan jelas.

(5) Persetqjuan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (4) dinyatakan batal demi hukum.

Pasal 23

Klausul perjanjian yang di dalamnya terdapat permintaan pemrosesan Data Pribadi yang
tidak memuat persetqjuan yang sah secara eksplisit dari Subjek Data Pribadi dinyatakan
batal demi hukum.

Pasal 24

Dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib menunjukkan
bukti persetujuan yang telah diberikan oleh Subjek Data Pribadi.

Pasal 25
(1) Pemrosesan Data Pribadi anak khusus.

(2) Pemrosesan Data Pribadi anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat
persetujuan dari orang tua anak dan/ atau wali anak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Pemrosesan Data Pribadi disabilitas ' diselenggarakan secara khusus. secara disabilitas
dilakukan

(2) Pemrosesan Data Pribadi penyandang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
komunikasi dengan cara tertentu sesuai dengan ketentuan undangan.

(3) Pemrosesalr Data Pribadi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib mendapat persetujuan dari penyandang disabilitas dan/ atau wali penyandang
disabilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 28

Pengendali Data Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi secara terbatas dan
spesifik, sah secara hukum, dan transparan.

Pasal 28

Pengendali Data Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi sesuai dengan tujuan
pemrosesan Data Pribadi.

Pasal 29

(1) Pengendali Data Pribadi wajib memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi Data
Pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam memastikan akurasi, kelengkapan, dan konsistensi Data Pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) Pengendali Data Pribadi wajib melakukan verifikasi.

Pasal 30

(1) Pengendali Data Pribadi wajib memperbarui dan/ atau ' memperbaiki kesalahan dan/atau
ketidakakuratan Data Fribadi paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak Pengendali Data Pribadi menerima permintaan pembaruan dan/atau perbaikan Data
Pribadi.

(2) Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan hasil pembaruan dan/atau perbaikan
Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.

Pasal 31

Pengendali Data Pribadi wajib melakukan perekaman terhadap seluruh kegiatan


pemrosesan Data Pribadi.

Pasal 32
(1) Pengendali Data Pribadi wajib memberikan akses kepada Subjek Data Pribadi terhadap
Data Pribadi yang diproses beserta rekam jejak pemrosesan Data Pribadi sesuai dengan
jangka waktu penyimpanan Data Pribadi.

(2) Akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak Pengendali Data Pribadi menerima permintaan akses.

Pasal 33

Pengendali Data Pribadi wajib menolak memberikan akses perubahan terhadap Data Fribadi
kepada Subjek Data Pribadi dalam hal:

a. membahayakan keamanan, kesehatan fisik, atau kesehatan mental Subjek Data Pribadi
dan/ atau orang lain;

b. berdampak pada pengungkapan Data Pribadi milik c orang lain; dan/ atau bertentangan
dengan kepentingan pertahanan dan keamanan nasional.

Pasal 34

(1) Pengendali Data Pribadi wajib melakukan penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi
dalam hal pemrosesan Data Pribadi memiliki potensi risiko tinggi terhadap Subjek Data
Pribadi.

(2) Pemrosesan Data Pribadi memiliki potensi risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:

a. pengambilan keputusan secara otomatis yang memiliki akibat hukum atau dampak yang .
signifikan terhadap Subjek Data Pribadi;

b. pemrosesan atas Data Pribadi yang bersifat spesifik;

c. pemrosesan Data Pribadi dalam skala besar;

d. pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan evaluasi, penskoran, atau pemantauan yang
sistematis terhadap Subjek Data Pribadi;

e. pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan pencocokan atau penggabungan sekelompok


data;

f. penggunaan teknologi baru dalam pemrosesan Data Pribadi; dan/ atau

g. pemrosescrn Data Pribadi yang membatasi pelaksanaan hak Subjek Data Pribadi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

Pengendali Data Pribadi wajib melindungi dan memastikan keamanan Data Pribadi yang
diprosesnya, dengan melakukan:
a. penyusunan dan penerapan langkah teknis ' operasional untuk melindungi Data Pribadi
dari gangguan pemrosesan Data Pribadi yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan

b. penentuan tingkat keamanan Data Pribadi dengan memperhatikan sifat dan risiko dari
Data Pribadi yang harus dilindungi dalam pemrosesan Data Pribadi.

Pasal 36

Dalam melakukan pemrosesan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib menjaga
kerahasiaan Data Pribadi.

Pasal 37

Pengendali Data Pribadi wajib melakukan pengawasan terhadap setiap pihak yang terlibat
dalam pemrosesan Data Pribadi di bawah kendali Pengendali Data Pribadi.

Pasal 38

Pengendali Data Pribadi wajib melindungi Data Pribadi dari pemrosesan yang tidak sah

Pasal 39

(1) Pengendali Data Pribadi wajib mencegah Data Pribadi diakses secara tidak sah.

(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan sistem keamanan
terhadap Data Pribadi yang diproses dan/ atau memproses Data Pribadi sistem elektronik
secara andal, aman, dan bertanggung jawab.

(3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

(1) Pengendali Data Pribadi wajib menghentikan pemrosesan Data Pribadi dalam hal Subjek
Data Pribadi menarik kembali persetujuan pemrosesan Data Pribadi.

(2) Penghentian pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak Pengendali Data Pribadi
menerima permintaan penarikan kembdi persetqiuan pemrosesan Data Pribadi.

Pasal 41

(1) Pengendali Data Pribadi wajib melakukan penundaan dan pembatasan pemrosesan
Data Fribadi baik sebagian maupun seluruhnya paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak Pengendali Data Pribadi menerima permintaan penundaan dan
pembatasan pemrosesan Data Pribadi.

(2) Penundaan dan pembatasan pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dalam hal:

a terdapat ketentuan peraturan perundang undangan tidak memungkinkan dilakukan


penundaan dan Pribadi;dan penundaan pemrosesan Data
b. dapat membahayakan keselamatan pihak lain dan atau

c. Subjek Data Pribadi terikat perjanjian tertulis dengan Pengendali Data Pribadi yang tidak
dilalrukan dan pembatasan pemrosesan Data Pribadi

(3) Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan telah dilaksanakan penundaan dan
pembatasan pemrosesan Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.

Pasal 42

(1) Pengendali Data Pribadi wajib mengakhiri pemrosesan Data Pribadi dalam hal:

a. telah mencapai masa retensi;

b. tujuan pemrosesan Data Pribadi telah tercapai; atau

c. terdapat permintaan dari Subjek Data Pribadi.

(2) Pengakhiran pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

(1) Pengendali Data Pribadi wajib menghapus Data Pribadi dalam hal:

a. Data Pribadi tidak lagi diperlukan untuk pencapaian tujuan pemrosesan Data Pribadi;

b. Subjek Data Pribadi telah melakukan penarikan kembali persetqiuan pemrosesan Data
Pribadi;

c. terdapat permintaan dari Subjek Data Pribadi; atau

d. Data Pribadi diperoleh dan/ atau diproses dengan cara melawan hukum.

(2) penghapusan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 44

(1) Pengendali Data Pribadi wajib memusnahkan Data Pribadi dalam hal:

a. telah habis masa retensinya dan berketerangan dimusnahkan berdasarkarr jadwal retensi
arsip; . b. terdapat permintaan dari Subjek Data Pribadi;

c. tidak berkaitan dengan penyelesaian proses hukum suatu perkara; dan/ atau

d. Data Pribadi diperoleh dan/ atau diproses dengan cara melawan hukum.

(2) Pemusnahan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan penghapusan dan/atau pemusnahan Data


Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.
Pasal 46

(1) Dalam hal terjadi kegagalan Pelindungan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh
empat) jam kepada:

a. Subjek Data Pribadi; dan

b. lembaga.

(2) Pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat: Data
Pribadi yang terungkap; kapan dan bagaimana Data Pribadi terungkap; dan upaya
penanganan dan pemulihan atas terungkapnya Data Pribadi oleh Pengendali Data Pribadi.

(3) Dalam hal tertentu, Pengendali Data Pribadi wajib memberitahukan kepada masyarakat
mengenai kegagalan Pelindungan Data Pribadi.

Pasal 47

Pengendali Data Pribadi wajib bertanggung jawab atas pemrosesan Data Pribadi dan
menunjukkan pertanggungiawaban dalam kewajiban pelaksanaan prinsip Pelindungan Data
Pribadi.

Pasal 48

(1) Pengendali Data Pribadi berbentuk badan hukum yang melakukan penggabungan,
pemisahan, pengambilalihan, peleburan, atau pembubaran badan hukum wajib
pemberitahuan pengalihan Data Pribadi kepada Subjek Data Pribadi.

(2) Pemberitahuan pengalihan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sebelum dan sesudah penggabungan, pemisahan, pengambilalihan, peleburan, atau
pembubaran badan hukum.

(3) Dalam hal Pengendali Data Pribadi berbentuk badan hukum melakukan pembubaran
atau dibubarkan, penyimpanan, pentransferan,penhapusan atau pemusnahan Data Pribadi
dilalsanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Penyimpanan, pentransferan, penghapusan, atau pemusnahan Data Pribadi


sebagaimana dimaksud 'pada ayat (3) diberitahukan kepada Subjek Data Pribadi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (l), ayat (21, dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 49

Pengendali Data Pribadi dan/ atau Prosesor Data Pribadi wajib melaksanakan perintah
lembaga dalam rangka penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi sesuai dengan Undang-
Undang ini.

Pasal 50
(1) Kewajiban Pengendali Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 32,
Pasal 36, PasaJ42, Pasal 43 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, Pasal 44 ayat (1) huruf
b, Pasal 45, dan Pasal 46 ayat (1) huruf a, dikecualikan untuk:

a. kepentingan pertahanan dan keamanan nasional'

b. kepentingan proses penegakan hukum;

c. kepentingan urnum dalam rangka penyelenggaraan negara; atau

d. kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan


stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara.

(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan hanya dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang.

Bagian Ketiga

Kewajiban Prosesor Data Pribadi

Pasal 51

(1) Dalam hal Pengendali Data Pribadi menunjuk Prosesor Data Pribadi, Prosesor Data
Pribadi wajib melakukan pemrosesan Data Pribadi berdasarkan perintah Pengendali Data
Pribadi.

(2) Pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(3) Pemrosesan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam
tanggung jawab Pengendali Data Pribadi.

(4) Prosesor Data Pribadi dapat melibatkan Prosesor Data Pribadi lain dalam melakukan
pemrosesan Data Pribadi.

(5) Prosesor Data Pribadi wajib mendapatkan persetqiuan tertulis dari Pengendali Data
Pribadi sebelum melibatkan Prosesor Data Pribadi lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(4).

(6) Dalam hal Prosesor Data Pribadi melakukan pemrosesan Data Pribadi di luar perintah
dan tujuan yang ditetapkan Pengendali Data Pribadi, pemosesan Data Pribadi menjadi
tanggung jawab Prosesor Data Pribadi.

Pasal 52

Ketentuan mengenai kewajiban Pengendali Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 29, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 berlaku juga
terhadap Prosesor Data Pribadi.

Bagian Keempat

Pejabat atau Petugas yang Melaksanakan Fungsi Pelindungan Data Pribadi

Pasal 53
(1) Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi wajib menunjuk pejabat atau petugas
yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi dalam hal:

a. pemros(:san Data Pribadi untuk kepentingan pelayanan publik;

b. kegiatan inti Pengendali Data Pribadi memiliki sifat, ruang lingkup, dan/ atau tujuan yang
memerlukan pemantauan secara teratur dan sistematis atas Data Pribadi dengan skala
besar; ' dan

c. kegiatan inti Pengendali Data Pribadi terdiri dari pemrosesan Data Pribadi dalam skala
besar untuk Data Pribadi yang bersifat spesifik dan/ atau Data Pribadi yang berkaitan
dengan tindak pidana.

(2) Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditunjuk berdasarkan profesionalitas, pengetahuan mengenai
hukum, praktik Pelindungan Data Pribadi, dan kemampuan untuk memenuhi tugas-
tugasnya.

(3). Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari dalam dan/ atau luar Pengendali
Data Pribadi atau Prosesor Data Pribadi.

Pasal 54

(1) Pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi memiliki
tugas paling sedikit:

a. menginformasikan dan memberi saran kepada Pengendali Data Pribadi atau Prosesor
Data pribadi agar mematuhi ketentuan dalam undang undang dasar

b. memantau dan memastikan kepatuhan terhadap Undang-Undang ini dan kebljakan


Pengendali Data Pribadi atau Prosesor Data Pribadi;

c. memberikan saran mengenai penilaian dampak Pelindungan Data Pribadi dan memantau
kine{a Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi; dan

d. berkoordinasi dan bertindak sebagai narahubung ' untuk isu yang berkaitan dengan
pemrosesan Data Pribadi.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (l), pejabat atau petugas
yang melaksanakan fungsi Pelindungan Data Pribadi memperhatikan risiko terkait
pemrosesan Data Pribadi, dengan mempertimbangkan sifat, ruang lingkup, konteks, dan
tujuan pemrosesan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi
Pelindungan Data Pribadi diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VII

TRANSFER DATA PRIBADI

Bagian Kesatu
Transfer Data Pribadi Dalam Wilayah Hukum Negara Republik Indonesia

Pasal 55

(1) Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer . Data Pribadi kepada Pengendali
Data Pribadi lainnya dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.

(2) Pengendali Data Pribadi yang melakukan transfer Data Pribadi dan yang menerima
transfer Data Pribadi wajib melakukan Pelindungan Data Pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang ini.

Bagian Kedua

Transfer Data Pribadi ke Luar Wilayah Hukum Negara Republik Indonesia

Pasal 56

(1) Pengendali Data Pribadi dapat melakukan transfer Data Pribadi kepada Pengendali Data
Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi di luar wilayah hukum Negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalarn Undang- Undang ini.

(2) Dalam melakukan transfer Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (l),
Pengendali Data Pribadi wajib memastikan negara tempat kedudukan Pengendali Data
Pribadi dan/ atau Prosesor Data Pribadi yang . menerima transfer Data Pribadi memiliki
tingkat Pelindungan Data Pribadi yang setara atau lebih tinggi dari yang diatur dalam
Undang-Undang ini.

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 tidak terpenuhi, Pengendali
Data Pribadi wajib memastikan terdapat Pelindungan Data Pribadi yang memadai dan
bersifat mengikat. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat
(3) tidak terpenuhi, Pengendali Data Pribadi wajib mendapatkan persetqiuan Subjek Data
Pribadi.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai transfer Data Pribadi ' diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB VIII

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 57

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2O ayat (l), ' Pasal 21, Pasal 24, Pasal 25 ayat
(2), Pasal 26ayat(31, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32 ayat (1),
Pasal 33, Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), Pasal
4O ayat (1), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44
ayat (1), Pasal 45, Pasal 46 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 47, Pasal 48 ayat (l), Pasal 49,
Pasal 51 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 52, Pasal 53 ayat (l), Pasal 55 ayat (21, dan Pasal 56
ayat (2) sampai dengan ayat (4) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (l) berupa:


a. peringatantertulis;

b. penghentian sementara kegiatan pemrosesan Data Pribadi;

c. penghapusan atau pemusnahan Data Pribadi; dan/atau

d. dendaadministratif.

(3) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d paling tinggi 2 (dua) persen dari perrdapatan tahunan atau . penerimaan tahunan
terhadap variabel pelanggaran.

(4) Penjatuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh
lembaga.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif selagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IX

KELEMBAGAAN

Pasal 58

(1) Pemerintah berperan dalam mewujudkan penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi


sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

(2) Penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh lembaga.

(3) kmbaga sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ditetapkan oleh Presiden.

(4) lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (21 ' bertanggung jawab kepada Presiden.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga sebagaimana dimalsud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Presiden.

Pasal 59

lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) melaksanakan:

a. perumusan dan penetapan kebijakan dan strategi Pelindungan Data Pribadi yang menjadi
panduan bagi Subjek Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi, dan ' Prosesor Data Fribadi;

b. pengawasan terhadap penyelenggaraan Pelindungan Data Pribadi;

c. penegakan hukum administratif terhadap pelanggaran Undang-Undang ini; dan

d. fasilitasi penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Pasal 60

Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) berwenang:

a.. merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang Pelindungan Data Pribadi


b. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Pengendali Data Pribadi;

c. menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran Pelindungan Data Pribadi yang


dilakukan Pengendali Data Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi;

d. membantu aparat penegak hukum dalam penanganan dugaan tindak pidana Data Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;

e. bekerja sama dengan lembaga Pelindungan Data Pribadi negara lain dalam rangka
penyelesaian dugaan . pelanggaran Pelindungan Data Pribadi lintas negara;

f. melakukan penilaian terhadap pemenuhan persyaratan transfer Data Pribadi ke luar


wilayah hukum Negara Republik Indonesia;

g. memberikan perintah dalam rangka tindak lanjut hasil pengawasan kepada Pengendali
Data Pribadi dan/ atau Prosesor Data Pribadi;

h. melakukan publikasi hasil pelaksanaan pengawasan Pelindungan Data Pribadi sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

i. menerima aduan dan/atau laporan tentang dugaan terjadinya pelanggaran Pelindungan


Data Pribadi;

j. melakukan pelurusan dan pemeriksaan atas pengaduan, laporan, dan/atau hasil


pengawasan terhadap dugaan terjadinya pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;

k. memanggil dan menghadirkan Setiap Orang dan/ atau Badan Publik yang terkait dengan
dugaan pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;

l. meminta keterangan, data, Informasi, dan dokumen dari Setiap Orang dan/ atau Badan
Publik terkait dugaan pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;

m. memanggil dan menghadirkan ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan dan penelusuran
terkait dugaan pelanggaran Pelindungan Data Pribadi;

n melakukan pemeriksaan dan penelusuran terhadap sistem elektronik, sarana, ruang, dan/
atau tempat yang digunakan Pengendali Data Pribadi dan/atau Prosesor Data Pribadi,
termasuk memperoleh akses terhadap data dan/atau menunjuk pihak ketiga; dan

o.meminta bantuan hukum kepada kejaksaan dalam penyelesaian sengketa Pelindungan


Data Pribadi.

Pasal 61

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wewenang lembaga sebagaimana dimaksud


dalam Pa6al 60 diatur dalam Peraturan Pemerintah

BAB X

KERJA SAMA INTERNASIONAL

Pasal 62
(1) Kerja sama internasional dilakukan oleh Pemerintah dengan pemerintah negara lain atau
Organisasi Internasional terkait dengan Pelindungan Data Pribadi.

(2) Kerja sama internasional dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang ini dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip hukum internasional.

BAB XI

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 63

(1) Masyarakat dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
mendukung terselenggaranya Pelindungan Data Pribadi.

(2) Pelaksanaan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
pendidikan, pelatihan, advokasi, sosialisasi, dan/ atau pengawasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan

BAB XII

PENYELESAIAN SENGKETA DAN HUKUM ACARA

Pasal 64

(1) Penyelesaian sengketa perlindungan Data Pribadi dilakukan melalui arbitrase,


pengadilan, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa dan/ atau proses peradilan
Pelindungan Data Pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
hukum acara yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3) Alat bukti yang sah dalam Undang-Undang ini meliputi:

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara; dan

b. alat bukti lain berupa informasi elelrtronik dan/ atau dokumen elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Dalam hal diperlukan untuk melindungi Data Pribadi, proses persidangan dilakukan
secara tertutup.

BAB XIII

LARANGAN DALAM PENGGUNAAN DATA PRIBADI

Pasal 65

(1) Setiap Orang dilarang secara melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan Data
Pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi.
(2) Setiap Orang dilarang secara melawan hukum mengungkapkan Data Pribadi yang bukan
miliknya.

(3) setiap orang dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribdai yang bukan
miliknya.

Pasal 66

Setiap Orang dilarang membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan data pribadi dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang mengakibatkan kerugian
bagi orang lain.

BAB XIV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 67

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau
mengumpulkan Data Pribadi yang bukan mililoeya dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian Subjek Data Pribadi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengunglapkan Data Pribadi
yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan senqaja dan melawan hukum menggunakan Data Pribadi
yang bukan miliknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.00O.OOO.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 68

Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Data Pribadi palsu atau memalsukan Data
Pribadi dengan maksud untuk menguntrrngkan diri sendiri atau orang lain yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 .tipidana
dengan pidana penjara paling tama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp6.0OO. 000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 69

Selain dijatuhi pidana bagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 juga dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh
atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.

Pasal 70
(1) Dafam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dan Pasal 68 dilakukan
oleh Korporasi, pidana dapat dljatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi
perintah, pemilik manfaat, dan/ atau Korporasi.

(2) Pidana yang dapat d[jatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda.

(3) Pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi paling banyak 10 (sepuluh) kali dari
maksimal pidana denda yang diancamkan.

(4) Selain dijatuhi pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Korporasi dapat
dijatuhi pidana ' tambahan berupa:

a. perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak
pidana;

b. pembekuan seluruh atau sebagian usaha Korporasi;

c. pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;

d. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan Korporasi;

e. melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan;

f. pembayaran ganti kerugian;

g. pencabutan izin; dan/atala

h. pembubaran Korporasi.

Pasal 71

(1) Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana denda, terpidana diberikan jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk
membayar denda tersebut.

(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang untuk waktu paling lama I (satu) bulan.

(3) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) maka harta kekayaan atau pendapatan terpidana
dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.

(4) Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak cukup atau tidak untuk dilaksanakan, pidana denda yang tidak
memungkinkan dibayar diganti dengan pidana penjara paling lama sebagaimana
diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.

(5) Lamanya pidana penjara sebagaimspa dimaksud pada ayat (4) yang ditentukan oleh
hakim, dicantumkan dalam putusan pengadilan.

Pasal 72

(1) Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta kekayaan atau pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) dilakukan terhadap terpidana Korporasi dan tidak cukup
untuk melunasi pidana . denda, Korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pembekuan
sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi untuk jangka wa.ktu paling lama 5 (lima)
tahun.

(2) I.arnanya pembekuan bagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang ditentukan oleh hakim, dicantumkan dalam putusan
pengadilan.

Pasal 73

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pdsal 72 juga berlaku dalam hal
penjatuhan pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 74

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pengendali Data Pribadi, Prosesor Data
Pribadi, dan pihak lain yang terkait dengan pemrosesan Data Pribadi, wajib menyesuaikan
dengan ketentuan pemrosesan Data Pribadi berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2
(dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 75

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Pelindungan Data Pribadi, dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 76

Undang undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
-3-

Anda mungkin juga menyukai