Anda di halaman 1dari 131

MENGAPA SAYA MEMUTUSKAN BERTAHAN PADA PERNIKAHAN PENUH

KEKERASAN? : STUDI KASUS PADA ISTRI BERPENGHASILAN TETAP

PEMBIMBING:

Dr. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A.

Triani Arfah, S.Psi., M.Psi., Psikolog

OLEH:

Shabrina Cinnong Djauhari

C021181508

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022
MENGAPA SAYA MEMUTUSKAN BERTAHAN PADA PERNIKAHAN PENUH

KEKERASAN? : STUDI KASUS PADA ISTRI BERPENGHASILAN TETAP

SKRIPSI

Diajukan untuk Menempuh Ujian Sarjana


pada Fakultas Kedokteran
Program Studi Psikologi
Universitas Hasanuddin

PEMBIMBING:

Dr. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A.

Triani Arfah, S.Psi., M.Psi., Psikolog

OLEH:

Shabrina Cinnong Djauhari

C021181508

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa

karena dengan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul Mengapa Saya Memutuskan Bertahan dalam Pernikahan

Penuh Kekerasan?: Studi Kasus Pada Istri Berpenghasilan Tetap. Peneliti

berharap skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat khususnya pada keilmuan

Psikologi, meski peneliti menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini terdapat

kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, Penulis sangat terbuka adanya

umpan balik, saran dan masukan dari berbagai pihak terkait demi perbaikan dimasa

yang akan datang. Demikian, sekiranya skripsi ini dapat dipahami dan berguna bagi

diri penulis sendiri maupun orang yang membacanya.

Proses pengerjaan skripsi ini merupakan sebuah proses yang panjang dan bukan

sesuatu yang mudah untuk dilalui oleh penulis. Peneliti bersyukur bahwa Allah SWT

menghadirkan berbagai pihak yang dalam menyelesaikan penulisan dan penyusunan

skripsi telah membimbing dan mengarahkan serta memotivasi peneliti. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya terutama kepada:

1. Kedua orang tua penulis, atas kasih sayang, dukungannya baik secara

psikologis, emosional, sosial, dan finansial, serta memberikan kesempatan

untuk peneliti menekuni keilmuan Psikologi.

2. Saudara penulis, atas pengertiannya terhadap dinamika yang peneliti lalui

selama ini dan kesediannya meluangkan waktu untuk menemani penulis

selama pengerjaan skripsi ini.

3. Bapak Dr. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A.dan Ibu Triani Arfah, S.Psi.,

M.Psi., Psikolog selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan,

vi
umpan balik, serta apresiasi selama pengerjaan skripsi ini yang membuat

penulis dapat memperluas wawasan khususnya terkait topik pengambilan

keputusan. Peneliti pribadi bersyukur atas bimbingannya sehingga mendapat

banyak insight terutama terkait penelitian kualitatif.

4. Ibu Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku dosen Pembimbing

Akademik peneliti selama 3,5 tahun yang telah banyak memberikan umpan

balik, saran, pendampingan, dan kesediaan waktu untuk peneliti berbagi

cerita baik masalah akademik maupun personal hingga peneliti dapat menjadi

pribadi yang lebih baik.

5. Ibu Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Ibu Susi Susanti, S.Psi., M.A.

selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak memberikan umpan balik dan

pembelajaran hingga penulis dapat memperluas wawasan dan memberikan

pandangan baru yang relevan dengan skripsi ini.

6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Prodi Psikologi FK Unhas atas segala ilmu yang

telah diberikan, pendampingan, dan menjadi sosok pengajar yang memberi

banyak kesempatan bagi penulis untuk dapat bergeser menjadi lebih baik.

7. Sahabat penulis atas semua bentuk dukungan yang telah diberikan pada

penulis. Terimakasih telah menemani dan menghibur penulis di masa sulit

pengerjaan skripsi dan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Pitty, Nadya, Farah, Mutma, Neni, Rahmi, Indah yang telah memberikan

dukungan, hiburan, serta waktu untuk menemani dan membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini.

9. Segenap teman-teman seperjuangan, Closure atas semua momen

kebersamaan selama ini.

vii
10. Seluruh informan yang telah bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan

membagikan cerita serta pandangannya secara terbuka terkait pengambilan

keputusan istri berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan penuh

kekerasan, karena tanpanya peneliti tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kebermanfaat secara

luas, serta pesan baik yang disampaikan penelitian ini dapat menginspirasi individu

yang sedang mengalami KDRT ataupun menjadi sarana pembelajaran bagi teman-

teman mahasiswa.

Makassar, 8 Maret 2022

Shabrina Cinnong Djauhari


C021181508

viii
ABSTRAK

Shabrina Cinnong Djauhari, C021181508, Mengapa Saya Memutuskan Bertahan


Pada Pernikahan Penuh Kekerasan?: Studi Kasus Pada Istri Berpenghasilan Tetap,
Skripsi, Fakultas Kedokteran, Program Studi Psikologi, 2022.
xv + 96 halaman, 4 lampiran.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena yang sudah


sering terjadi di dalam sebuah pernikahan yang umumnya dialami oleh perempuan
atau istri. Meski kerap mendapatkan kekerasan tetapi, terdapat istri yang
memutuskan untuk bertahan pada pernikahan tersebut. Fenomena ini sebenarnya
telah dijelaskan pada penelitian terdahulu, tetapi lebih berfokus pada faktor ekonomi.
Sedangkan, terdapat istri yang mandiri secara ekonomi juga memutuskan untuk
bertahan pada pernikahan penuh kekerasan. Penelitian ini diadakan untuk
mengeksplorasi dan memahami mengapa istri berpenghasilan tetap memutuskan
untuk bertahan pada pernikahan penuh kekerasan. Penelitian ini dilaksanakan
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang dianalisis
menggunakan teknik inductive thematic. Penelitian ini melibatkan 3 informan kunci
dan 1 informan ahli yang ditentukan melalui teknik judgement sampling.
Hasil penelitian mengungkap bahwa terdapat dua tema utama alasan istri
berpenghasilan tetap memutuskan untuk bertahan pada pernikahan penuh
kekerasan yaitu (1) Spiritualitas; dan (2) Bertahan demi anak. Selain itu, terdapat juga
faktor pendukung lainnya yang memengaruhi keputusan istri bertahan dalam
pernikahan penuh kekerasan mencakup (1) Menganggap kekerasan sebagai bagian
dari pernikahan; (2) Sejarah keluarga; (3) Konsekuensi logis pendidikan tinggi; (4)
Norma budaya; (5) Memasuki usia senja; (6) Konsekuensi menikah dengan keluarga;
(7) Malu pada tetangga; (8) Konsekuensi profesi; dan (9) Asa bahwa suami akan
berubah. Hasil penelitian ini dapat diimplikasikan bagi pemerintah dan lembaga
terkait perlindungan perempuan, individu yang mengalami KDRT, dan masyarakat.

Kata Kunci: Kekerasan dalam rumah tangga, Pengambilan Keputusan, Faktor-faktor


bertahan dalam pernikahan
Daftar Pustaka, 62 (1980-2021)

ix
ABSTRACT

Shabrina Cinnong Djauhari, C021181508, Why I Decided to Stay in a Domestic


Violent?: A Case Study on Fixed Income Wife, Bachelor Thesis, Faculty of Medicine,
Psychology Department, 2022.
xv + 96 pages, 4 attachments.

Domestic Violence (DV) is a phenomenon that often occurs in a marriage which is


generally experienced by women or wives. Even though they often get violence, there
are wives who decide to stay in the marriage. This phenomenon has been explained
in previous studies, but only focuses on economic aspect. Meanwhile, there are
economically independent wives who also decide to stay in disfungtional marriages.
This research aim to explore and understand why wives with fixed income decide to
stay in domestic violent. This research was conducted using a qualitative method with
a case study approach which was analyzed using inductive thematic techniques. This
study involved 3 key informants and 1 expert informant who were determined through
judgment sampling technique.
The results of the study show that there are two main themes why wives decide to
persist in domestic violent, there are (1) Spirituality; and (2) Survive for the children.
In addition, there are also other supporting factors that influence the wives decision
to stay in violent marriage, comprise (1) Perceiving violence as part of the marriage;
(2) Family history; (3) the existence of higher education; (4) Cultural norms; (5)
entering old age; (6) married with the family; (7) Shame on neighbors; (8) professional
consequences; and (9) Hope that the husband will change. The results of this study
can be implied for the government and women protection agency, individuals (main
experience domestic violence), and the community.

Keywords: Domestic Violence, Decision Making, Factors of surviving in marriage.


Bibliography, 62 (1980-2021)

x
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................. ii


Halaman Persetujuan .................................................................................................. iii
Lembar Pengesahan....................................................................................................iv
Lembar Pernyataan ..................................................................................................... v
Kata Pengantar ............................................................................................................vi
Abstrak .........................................................................................................................ix
Abstrack ....................................................................................................................... x
Daftar Isi .......................................................................................................................xi
Daftar Tabel ............................................................................................................... xiii
Daftar Gambar ........................................................................................................... xiv
Daftar Lampiran ..........................................................................................................xv

BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Penelitian ............................................................................................... 6
1.3 Signifikansi dan Keunikan Penelitian .................................................................... 6
1.4 Maksud, Tujuan, dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
1.4.1 Maksud Penelitian .......................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Penelitian............................................................................................ 7
1.4.3 Manfaat Penelitian.......................................................................................... 7

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 9
2.1.1 Pernikahan Penuh Kekerasan ...................................................................... 9
2.1.2 Pengambilan Keputusan (Decision Making) .............................................. 12
2.1.2.1 Definisi Pengambilan Keputusan ................................................... 12
2.1.2.2 Dasar-Dasar Pengambilan Keputusan........................................... 13
2.1.2.3 Proses Pengambilan Keputusan .................................................... 15
2.1.2.4 Faktor-Faktor Pengambilan Keputusan ......................................... 17
2.1.3 Pengambilan Keputusan Istri Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan
.............................................................................................................................. 19
2.2 Kerangka Konseptual ............................................................................................ 9

BAB III: METODE PENELITIAN


3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian ........................................................................ 25
3.2 Unit Analisis ......................................................................................................... 26
3.3 Subjek Penelitian ................................................................................................. 26
3.3.1 Subjek/Informan Kunci ................................................................................. 27
3.3.3 Subjek/Informan Ahli .................................................................................... 28
3.4 Teknik Penggalian Data....................................................................................... 28
3.5 Teknik Analisis Data ............................................................................................ 29
3.6 Teknik Keabsahan Data ...................................................................................... 30
3.7 Prosedur Kerja ..................................................................................................... 30

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Profil Subjek Penelitian ........................................................................................ 33

xi
4.1.1 Subjek NV ................................................................................................... 33
4.1.2 Subjek AB ................................................................................................... 34
4.1.3 Subjek RF ................................................................................................... 36
4.2 Riwayat KDRT Subjek Penelitian ........................................................................ 37
4.2.1 Subjek NV ................................................................................................... 37
4.2.2 Subjek AB ................................................................................................... 38
4.2.3 Subjek RF ................................................................................................... 40
4.3 Hasil Penelitian .................................................................................................... 42
4.3.1 Alasan Subjek Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan .................. 42
4.3.2 Rekapitulasi Hasil Temuan Keseluruhan Subjek ....................................... 70
4.4 Pembahasan ........................................................................................................ 71
4.4.1 Spiritualitas ................................................................................................... 72
4.4.2 Bertahan Demi Anak .................................................................................... 77
4.4.3 Tema Masing-Masing Subjek ...................................................................... 80
4.4.4 Pengambilan Keputusan Istri Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan
............................................................................................................................... 87

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 90
5.2 Saran ............................................................................................................... 91

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 93


Lampiran

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Triangulasi Sumber Penelitian .................................................................. 30

Tabel 3.2 Timeline Prosedur Kerja ............................................................................ 32

Tabel 4.1 Profil Subjek Penelitian .............................................................................. 33

Tabel 4.2 Rekapitulasi Alasan Bertahan Subjek NV ................................................. 49

Tabel 4.3 Rekapitulasi Alasan Bertahan Subjek AB ................................................. 59

Tabel 4.4 Rekapitulasi Alasan Bertahan Subjek RF ................................................. 68

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian ........................................................... 24

Gambar 4.1 Hasil Temuan Alasan Bertahan Subjek NV .......................................... 53

Gambar 4.2 Hasil Temuan Alasan Bertahan Subjek AB .......................................... 61

Gambar 4.3 Hasil Temuan Alasan Bertahan Subjek RF .......................................... 70

Gambar 4.4 Rekapitulasi Hasil Temuan Keseluruhan Subjek .................................. 71

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Guideline Interview

Lampiran 2 Informed Consent

Lampiran 3 Lembar Pernyataan Sikap Pengerjaan Transkrip Verbatim

Lampiran 4 Tabulasi Hasil Triangulasi Sumber

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan suatu tahapan kehidupan yang terjadi dalam dunia

belahan manapun. Kovavacs (dalam kurdek, 2002) mengemukakan bahwa

pernikahan bukan suatu kejadian tunggal, tetapi sebagai satu tahapan dalam

kehidupan. Zentner (2005) menambahkan bahwa pernikahan ialah proses

menyatukan dan atau mengkombinasikan dua individu dengan kepribadian yang

berbeda dalam suatu hubungan yang ditujukan berlangsung seumur hidup.

Bersatunya dua insan dalam suatu hubungan pernikahan menjadi sakral dan tidak

hanya mengikat secara personal, tetapi juga sebagai hubungan yang lebih luas yakni

membentuk subsistem baru dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan harapan

masyarakat agar hubungan mereka berjalan harmonis dan bertahan sampai maut

memisahkan. Hurlock (2011) menjelaskan harmonis sebagai keadaan suami-istri

memperoleh kebahagiaan bersama yang membuahkan keputusan dengan

menyesuaikan peran, serta mempunyai cinta yang matang satu sama lain. Namun,

tidak dapat dipungkiri dalam suatu pernikahan tidak selalu berjalan mulus, seringkali

terdapat konflik yang menghalangi hadirnya keharmonisan dalam rumah tangga.

Kemampuan setiap pernikahan dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi

bersifat relatif. Pada pernikahan yang baik konflik dapat teratasi dengan adanya

perhatian, kasih sayang, dan pengertian. Sebaliknya, pada pernikahan yang

mengalami disfungsi konflik tidak akan terselesaikan dengan baik (Lederer & Jackson

1968, dalam Gottman 1998). Padahal Konflik yang tidak terselesaikan dengan baik

memiliki hubungan erat dengan tindak kekerasan. Meski konflik tidak selalu berakhir

pada kekerasan, tetapi umumnya konflik yang tidak diselesaikan oleh pihak-pihak

1
2

bersangkutan berujung pada kekerasan. Kekerasan sendiri merupakan konsep yang

bersifat relatif yakni, memiliki makna sangat bergantung pada masyarakat setempat

(Djannah, Rustam, Nuraisah, Sitorus, & Batubara, 2002).

Kekerasan dalam arti sempit ialah tindakan berupa serangan, perusakan

penghancuran yang berhubungan dengan fisik seseorang maupun terhadap orang

lain (Galtung, 1980). Meski kekerasan ditekankan pada physical force atau sesuatu

yang berhubungan dengan fisik, tetapi seiring perkembangan zaman unsur

kekerasan mulai diakui non-physical force atau sesuatu yang tidak berkaitan dengan

fisik. Gagasan ini didukung oleh hasil Konferensi Dunia Keempat tentang perempuan

yang menyebutkan (Lipshitz & Ekström, 2006):

“Any act of gender-based violence that result in, or is likely to result in, psyhical,

sexual, or psychological harm or suffering to women, including threats of such

acts, coercion or arbitrary deprivation of liberty, wheter occurring in public or

private life”

Berdasarkan kutipan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan

merupakan tindakan yang dapat menyengsarakan atau mungkin dapat berakibat

kesengsaraan baik secara fisik, seksual, dan psikis termasuk ancaman dan

perampasan hak-hak perempuan di ruang publik atau personal. Dari penjelasan

tersebut diketahui bahwa tindak kekerasan dapat terjadi dimana saja, bahkan pada

lingkungan terdekat. Salah satu lingkungan terdekat individu adalah keluarga atau

rumah tangga. Kekerasan yang terjadi pada lingkup ini biasanya disebut sebagai

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan fenomena yang sudah

lumrah terjadi di dalam sebuah pernikahan dan dapat dilakukan baik suami maupun

istri. Walau begitu, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


3

menjelaskan bahwa pada kasus KDRT perempuan umunya menjadi korban

sedangkan laki-laki atau suami sebagai pelaku. Hal ini diperkuat dengan data Komisi

Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang

mencatat angka kekerasan terhadap perempuan sejak 2010 terus meningkat dari

tahun ke tahun. Bahkan pada Juli 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan

mencapai 2.500 kasus, melampui catatan kasus tahun 2020 sebanyak 2.400 kasus.

Data uraian diatas dapat dihubungkan dengan data Catatan Tahunan 2021

tentang kekerasan terhadap perempuan bahwa ranah yang paling beresiko bagi

perempuan mengalami kekerasan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan

hubungan personal yakni, sebesar 79%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kekerasan

tertinggi di ranah personal dan KDRT yaitu, kekerasan terhadap Istri sebesar 3.221

kasus atau 50% dari kaseluruhan kasus di ranah KDRT/Ranah Personal, disusul

dengan Kekerasan dalam pacaran sebesar 20% atau 1309 kasus. Tingginya

kekerasan terhadap istri menunjukkan konsistensi laporan tertinggi dibanding jenis

KDRT/Ranah Personal lainnya. Meski begitu, kekerasan terhadap istri cenderung

diabaikan, hal ini tidak terlepas dari adanya anggapan masyarakat yang memandang

persoalan KDRT sebagai persoalan yang bersifat internal dan atau privasi. Sehingga

tidak begitu banyak perhatian dan dukungan sosial yang diberikan pada korban

kekerasan dalam rumah tangga (Rahayu, 2013).

Jika menelisik lebih jauh KDRT tidak terjadi secara spontanitas dan memiliki sebab

tertentu yang melatar belakanginya. Terdapat anggapan bahwa KDRT disebabkan

oleh gender dan patriarki (Muhajarah, 2016). Selain itu, terdapat juga anggapan

bahwa kekeliruan dalam memahami ajaran agama terkait penghormatan dan

kepatuhan istri terhadap suami juga mengakibatkan relasi kuasa yang tidak setara

karena laki-laki dianggap lebih utama dari pada perempuan. Hal ini membentuk
4

persepsi bahwa KDRT merupakan hal yang wajar terjadi akibat ketidak patuhan dan

kurangnya penghormatan terhadap suami (Suhandjati, 2017).

Anggapan lain terkait penyebab terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

disebutkan oleh Gelles (1995, dalam Hardani, Wilaela, Bakhtiar & Hertina, 2010)

bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena tidak adanya

kemandirian istri secara ekonomi. Pernyataan ini diperkuat oleh Moors (1995) karena

adanya ketergantungan ekonomi istri kepada suami sehingga, istri sangat mungkin

direndahkan. Sharma melengkapi temuan tersebut dengan mengatakan bahwa

kemandirian ekonomi seorang istri akan meningkatkan harga diri dan posisi dirinya

dalam hubungannya dengan suami (Hardani et al., 2010).

Berdasarkan pemaparan tersebut terkandung makna tersirat bahwa istri yang

memiliki kemandiriran secara ekonomi atau istri yang tidak bergantung secara

finansial dengan suami lebih mungkin terbebas dari tindak kekerasan yang dilakukan

oleh suaminya. Atau jika berada pada hubungan penuh kekerasan harga diri dan

posisi diri istri berpenghasilan tetap akan mendorongnya keluar dari hubungan

tersebut. Namun, fakta-fakta linear dan fenomena sosial yang diungkapkan

sebelumnya dalam kondisi pernikahan yang penuh dengan kekerasan ternyata tidak

selamanya istri korban KDRT memutuskan untuk meninggalkan pernikahannya.

Gagasan tersebut didukung oleh fakta lapangan yang menunjukkan bahwa

terdapat istri yang mandiri secara ekonomi memilih untuk mempertahankan

pernikahan yang difungsi. Adapun keputusan istri untuk bertahan dalam situasi ini

tentunya menjadi fenomena yang menarik karena hal ini bertentangan dengan

kecenderungan umum yang mana istri memutuskan untuk meninggalkan hubungan

yang dipenuhi oleh kekerasan. Apalagi ketika istri memiliki penghasilan tetap dan

tidak bergantung secara ekonomi dengan pelaku dalam hal ini suaminya.
5

Fenomena bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan sebelumnya telah

dijelaskan pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi & Hartini (2017) bahwa istri lebih

memilih menyelesaikan permasalahan kekerasan yang dialaminya secara

kekeluargaan dan memilih untuk menjaga hubungan interpersonal bersama

suaminya dan melakukan forgiveness. Temuan lain dikemukakan oleh Hakimi (2001)

bahwa kurangnya pengetahuan tentang kekerasan terbatas pada kekerasan fisik saja

sehingga, kekerasan jenis lainnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar dilakukan

oleh suami. Selain itu, dijelaskan juga bahwa istri bertahan pada pernikahan penuh

kekerasan dilakukan demi anak-anak. Hal ini karena pandangan umum melihat anak

menjadi korban konflik orangtua, sehingga menyebabkan perempuan mengalah.

Peneliti juga melakukan wawancara awal pada istri korban KDRT, dari hasil

wawancara tersebut subjek NV yang berada di kota Makassar mengatakan bahwa

“Saya seringkali dibentak, dicaci dan dihina bahkan dituduh dan diancam

penjara. Ini membuat saya merasa takut”.

Lebih lanjut subjek NV mengatakan suaminya masih bersikap baik kepada dirinya.

Hal ini memberikan harapan bagi Subjek NV bahwa suaminya akan berubah

sehingga pernikahannya layak dipertahankan.

“Saya diperlakukan seperti itu oleh suami saya sudah berulang kali, dalam

sebulan pasti ada..Walaupun suami saya sering kasar, tapi terkadang dia juga

bersikap baik sama saya dan saya yakin suatu saat dia akan berubah”.

Meskipun telah diperoleh alasan keputusan istri berpenghasilan tetap bertahan

dalam pernikahan penuh kekerasan, tetapi sesungguhnya peneliti merasa hal

tersebut masih belum cukup. Masih banyak substansi penting terkait mengapa

mereka memutuskan untuk bertahan yang perlu pengkajian lebih mendalam.

Sehingga, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam apa sesungguhnya yang
6

membuat istri yang mandiri secara finansial memutuskan untuk bertahan pada

pernikahan penuh kekerasan. Adapun judul penelitian ini “Mengapa saya

memutuskan bertahan pada pernikahan penuh kekerasan?: Studi kasus pada istri

berpenghasilan tetap”.

1.2 Rumusan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka, dapat diperoleh

rumusan penelitan ini adalah “Mengapa istri berpenghasilan tetap memutuskan untuk

bertahan dalam pernikahan penuh dengan kekerasan?”

1.3 Signifikansi dan Keunikan Penelitian

Beberapa penelitian telah banyak mengeksplorasi penyebab istri korban

Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang memilih bertahan dalam pernikahan, salah

satunya penelitian yang dilakukan oleh Putri & Aviani (2019) yang menemukan bahwa

adanya faktor ekonomi menjadi alasan dibalik keputusan istri untuk bertahan meski

mengalami tindak kekerasan. Penelitian yang telah ada seakan memperlihatkan istri

korban KDRT bergantung secara finansial pada pelaku dalam hal ini pasangannya.

Sehingga, tidak ada pilihan lain selain memilih untuk bertahan dalam pernikahan yang

disfungsi.

Penelitian ini penting untuk diadakan dengan pertimbangan bahwa faktor ekonomi

tidak menjadi penyebab tunggal yang memengaruhi keputusan istri korban kekerasan

bertahan dalam pernikahannya. Akan tetapi, ada banyak faktor psikologis yang

melatarbelakangi keputusan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan bagi

istri korban KDRT yang memiliki penghasilan tetap sehingga, alasan memilih
7

bertahan karena adanya ketergantungan ekonomi dapat didiskualifikasi dan

memberikan pembaharuan dari penelitian-penelitian sebelumnya.

Apabila dikaitkan dengan ulasan Martha (2013) persoalan kekerasan dalam rumah

tangga sangat berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Sebagai individu, istri

memiliki hak karena ia manusia. Namun, kenyataannya hak ini direnggut tidak hanya

karena adanya tindak kekerasan tetapi, seringkali istri sebagai korban memilih untuk

diam dan bertahan dalam rumah tangganya. Hal ini menjadikan Kekerasan Dalam

Rumah tangga sebagai kejahatan yang tersembunyi atau hidden crime.

Hidden crime dapat lebih berbahaya dan tidak terkontrol karena berada pada

ranah privasi. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat yang memandang

KDRT sebagai urusan “dapur” suatu keluarga. Oleh karena itu, adanya pemahaman

gambaran keputusan istri korban KDRT bertahan dalam pernikahan sekiranya dapat

memperkaya pengetahuan pada fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) yang sangat sering dijumpai.

1.4 Maksud, Tujuan, dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Maksud Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian, maka penelitian ini diadakan dengan maksud:

“Mengeksplorasi dan memahami mengapa istri berpenghasilan tetap memutuskan

untuk bertahan dalam pernikahan meski pada kondisi Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT)”

1.4.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami mengapa istri

berpenghasilan tetap memustuskan untuk bertahan dalam pernikahan meski pada

kondisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”


8

1.4.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengembangan sumber

informasi pada kajian ilmu Psikologi. Khususnya Psikologi Sosial yang mengungkap

proses pengambilan keputusan istri berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan

meski mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada khalayak umum

mengenai keputusan istri berpenghasilan tetap mempertahankan pernikahan meski

mengalami KDRT. Selain itu, diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi

terkait perlindungan perempuan agar dapat membantu menangani kasus kekerasan

pada istri dalam rumah tangga, sebagai upaya mencegah dan menekan angka KDRT

di Indonesia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka

Keputusan untuk bertahan dalam sebuah pernikahan penuh kekerasan secara

psikologis merupakan sesuatu yang kompleks. Penelitian ini mengkaji bagaimana

pengambilan keputusan pada situasi pelik tersebut, dalam hal ini pernikahan penuh

kekerasan. Sehingga, konsep teori yang digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan

fenomena perilaku tersebut adalah teori pengambilan keputusan itu sendiri. Terlebih

dahulu akan dijelaskan gambaran pernikahan penuh kekerasan, kemudian secara

bertahap akan diuraikan definisi pengambilan keputusan, dasar-dasar pengambilan

keputusan, proses pengambilan keputusan, dan faktor-faktor pengambilan

keputusan. Diakhir, akan diuraikan terkait pengambilan keputusan istri bertahan pada

pernikahan penuh kekerasan.

2.1.1 Pernikahan Penuh Kekerasan

Pernikahan merupakan suatu tahapan kehidupan yang membutuhkan kesiapan

dan keinginan untuk saling mencintai, menghargai, dan menghormati. Hal ini perlu

dilakukan baik suami maupun istri, sebab jika hanya satu pihak saja yang

melakukannya tentu akan mengarahkan hubungan pernikahan menjadi tidak sehat,

salah satunya dengan adanya kekerasan. Kekerasan dalam Rumah Tangga

disimpulkan sebagai setiap perbuatan terhadap indvidu dalam rumah tangga

terutama perempuan yang berakibat pada timbulnya kesengsaraan dan atau

kemungkinan timbulnya penderitaan baik secara fisik, seksual, psikologis, serta

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman, pemaksaan, dan perampasan hak-

hak dalam lingkup rumah tangga. Pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

pengambilan keputusan bertahan dalam hubungan tidak lepas dari karakteristik dan

9
10

siklus yang khas. Mahoney (dalam Martha, 2003) menjelaskan karakteristik

kekerasan yang diterima oleh istri yang berkaitan dengan keputusan istri memilih

untuk mempertahankan pernikahannya:

Pertama, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan

umumnya dilakukan secara berulang kali, sehingga memberikan efek dimana lama

kelamaan istri sebagai korban dapat menerima hubungan kekerasan ini sebagai hal

yang wajar. Lambat laun istri menangkap bentuk kekerasan tersebut sebagai bentuk

adanya rasa kasih sayang dan keintiman dari suami. Hal ini dipengaruhi oleh harapan

akan adanya keberlanjutan hubungan di masa depan dengan pelaku.

Kedua, perempuan yang mengalami kekerasan oleh pasangannya memiliki

peluang yang lebih kecil untuk meninggalkan pasangannya. Hal ini tidak lepas dari

upaya pelaku kekerasan untuk melakukan berbagai cara agar korban tetap terikat

dengannya. Misalnya, suami yang selalu mengontrol segala aspek keuangan

keluarga. Dengan begitu, akan mencegah korban yang memiliki ketergantungan

sumber finansial untuk kabur.

Ketiga, istri cenderung dianggap bertanggung jawab bila terjadi kekerasan dalam

rumah tangga, korban disalahkan karena anggapan kelakuan mereka sendiri dan

atau seharusnya istri dapat menghindari terjadinya kekerasan jika mengubah

perilakunya. Adanya fenomena perempuan cenderung menyalahkan diri diciptakan

dan juga didukung oleh norma dan sikap lingkungan terhadap pasangan. Stigmatisasi

ini lambat laun membuat istri sebagai korban justru meyakini dan bahkan

menyalahkan dirinya sendiri atas kekerasan yang dialaminya. Fenomena kekerasan

terhadap istri diantaranya disebebkan oleh adanya reaksi sosial yang cenderung

permisif terhadap perilaku KDRT antara pasangan suami-istri.


11

Adapun siklus kekerasan dalam fenomena KDRT memberikan harapan bagi

korban bahwa kekerasan yang diterima akan berhenti. Hal ini berupa tipuan, sebab

siklus KDRT membungkus kekerasan sebagai rasa cinta dan komitmen pada

pasangannya, namun terus berulang sebagai berikut (Huriyani, 2008):

Pertama, tahap ketegangan yang mana terjadi perbedaan pendapat yang

bercampur dengan adanya ketegangan emosi. Fase ini ditandai dengan adanya

tekanan, amarah, bahkan ancaman. Kurangnya keterampilan komunikasi yang baik

berujung pada sifat saling menyakiti.

Kedua, tahap tindakan yang mana ketegangan tidak dapat diselesaikan dengan

baik, sehingga akan terjadi kekerasan, biasanya fisik. Pelaku merasa bahwa dengan

melakukan tindak kekerasan maka ketegangan dapat berakhir dan situasi akan

kembali terkendali. Dengan cara kekerasan, pelaku juga memperlihatkan bahwa

dirinya lebih kuat.

Ketiga, tahap penyesalan atau juga dikenal sebagai tahap bulan madu dimana

pelaku tindak kekerasan akan menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. Meskipun

begitu, penyesalan tersebut bisa saja bersifat manipulatif, artinya pelaku menyesal

bukan karena menyadari kesalahannya, tetapi takut menghadapi konsekuensi berat

yang akan diterimanya seperti perceraian. Oleh karena itu, istri sebagai korban akan

merasa kasihan, luluh, dan memaafkan pelaku dengan harapan pelaku tidak akan

melakukan kekerasan lagi.

Keempat, tahap stabil yang mana situasi rumah tangga cenderung lebih stabil.

Pada tahap ini pertengkaran sudah mereda dan kekerasan tidak lakukan. Meskipun

begitu, akar permasalahan bisa saja belum diatasi. Sehingga, hubungan sangat

mungkin untuk terganggu kestabilannya dan akan kembali pada tahapan pertama

dan begitu seterusnya.


12

2.1.2 Pengambilan Keputusan (Decision Making)

2.1.2.1 Definisi Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan proses kognitif memilih antara dua atau lebih

alternatif, mulai dari yang relatif jelas misalnya, memesan makanan di restoran hingga

keputusan yang kompleks misalnya, memilih pasangan. Psikolog telah mengadopsi

dua strategi konvergen untuk memahami pengambilan keputusan Pertama, analisis

statistik dari beberapa keputusan yang melibatkan tugas-tugas kompleks. Kedua,

manipulasi eksperimental dari keputusan sederhana, dengan melihat elemen-elemen

yang muncul kembali di dalamnya (VandenBos, 2015).

Sedikit berbeda, Eisenfuhr (2011) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan

adalah proses membuat pilihan dari dua atau lebih alternatif dalam rangka mencapai

hasil yang diinginkan. Pengambilan keputusan terdiri dari tiga kunci elemen. Pertama,

pengambilan keputusan membuat pilihan dari sejumlah pilihan. Kedua, pengambilan

keputusan sebagai proses yang tidak hanya menghasilkan pilihan akhir dari antara

alternatif. Ketiga, pengambilan keputusan akan mencapai hasil yang diinginkan

dengan melibatkan tujuan atau target yang dihasilkan dari aktivitas mental bahwa

individu pembuat keputusan terlibat dalam mencapai keputusan akhir.

Sedangkan, Suharnan (2005) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan

merupakan proses memilih dan atau menentukan berbagai alternatif kemungkinan

diantara situasi-situasi yang tidak pasti. Individu pembuat keputusan melakukan

proses mental yang mana akan melibatkan dirinya harus membuat prediksi kedepan.

Kemudian, dari alternatif pilihan tersebut pembuat keputusan memilih salah satu

diantra dua atau lebih pilihan dengan membuat perkiraan atau estimasi terkait

frekuensi perkiraan yang akan terjadi. Berdasarkan beberapa definisi dari ahli, maka

dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses mental yang


13

termasuk dalam bentuk berpikir dan dari hasil tindakan tersebut akan menghasilkan

sesuatu yang disebut keputusan.

Pengambilan keputusan memiliki sifat futuristik, artinya terarah pada masa depan.

Tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua yakni, tujuan yang

bersifat tunggal dan tujuan yang bersifat ganda. Pada tujuan yang bersifat tunggal

ditandai dengan adanya satu masalah yang dihadapi pembuat keputusan dan tidak

memiliki kaitan dengan masalah lain, sedangkan pada tujuan bersifat ganda terdapat

dua atau lebih masalah yang saling berkaitan dapat bersifat kontradiktif ataupun

proaktif.

Pada pernikahan kegiatan-kegiatan dilakukan bersama dalam sebuah rumah

tangga yang dimaksudkan agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan setiap

anggota keluarga yang mana dapat berjalan lancar dan tujuan dapat dicapai dengan

mudah dan efisien. Meski begitu, masalah-masalah dalam mencapai tujuan tidak

dapat dielakkan. Sehingga, masalah-masalah tersebut perlu untuk dipecahkan agar

tidak menghambat tercapainya tujuan. Adapun pengambilan keputusan berperan

untuk memecahkan masalah yang tengah dihadapi.

2.1.2.2 Dasar-Dasar Pengambilan Keputusan

Basis atau dasar-dasar dalam pengambilan keputusan telah dibahas oleh George

Terry dan Leslie pada bukunya yang berjudul Principle of Management. Adapun lima

basis dalam pengambilan keputusan menurut Terry & Rue (2008) sebagai berikut:

1. Intuisi

Intuisi merupakan wawasan atau persepsi langsung yang merupakan produk dari

insting, perasaan, kesan minimal indera, atau kekuatan bawah sadar (VandenBos,

2015). Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi bersifat subjektif sebab intuisi
14

bertentangan dengan penalaran dan atau refleksi sadar. Sehingga, pengambilan

keputusan berdasarkan intuisi memerlukan waktu yang singkat.

Pengambilan keputusan berdasakan intuisi sangat terbatas karena sulit untuk

mengukur ketepatannya. Hal ini dikarenakan pengambilan keputusan hanya

melibatkan satu pihak saja, sehingga sangat kurang pertimbangan dan hal-hal lain

cenderung diabaikan. Meski begitu, pengambilan keputusan berdasarkan intuisi akan

tepat jika digunakan untuk menghadapi masalah-masalah yang bersifat kemanusiaan

(Terry & Rue, 2008).

2. Pengalaman

Pengalaman adalah sebuah peristiwa yang benar-benar dialami yang mana

menghadirkan kesadaran individu (VandenBos, 2015). Sebagai dasar dalam

pengambilan keputusan pengalaman memberikan manfaat bagi pengetahuan secara

praktis. Pengalaman menghantarkan pada kemampuan untuk melihat dan atau

memperkirakan hal apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana

penyelesaian masalah, hal ini karena adanya pertimbangan yang matang dari

pengalaman sebelumnya baik keuntungan maupun kerugian sehingga menghasilkan

keputusan yang baik (Terry & Rue, 2008).

3. Fakta

Fakta merupakan pernyataan akan situasi yang benar-benar terjadi dari sebuah

kejadian. Keputusan yang berdasar pada fakta termasuk dalam hal ini data dan

informasi yang cukup merupakan pengambilan keputusan yang baik karena akan

menghasilkan keputusan yang sehat dan solid atau kuat. Meskipun pada prosesnya

pemerolehan fakta terkadang cukup sulit dibandingkan dasar pengambilan

keputusan lainnya (Terry & Rue, 2008).

4. Otoritas
15

Otoritas merupakan wewenang atau kekuasaan yang memungkinkan pihak yang

bersangkutan membuat peraturan untuk memerintah orang lain. Pengambilan

keputusan yang didasari oleh otoritas memiliki keterbatasan pada pihak yang dapat

melakukannya, biasanya dilakukan oleh pimpinan kepada bawahannya atau oleh

orang yang lebih tinggi kedudukannya terhadap orang yang berada di bawah

kedudukannya. Dasar pengambilan keputusan ini cenderung bersifat rutin dan

diasosiasikan dengan praktik diktatorial. Kelemahan keputusan yang didasari oleh

otoritas biasanya permasalahan yang seharusnya dipecahkan justru menjadi bias

dan kurang jelas (Terry & Rue, 2008).

5. Rasional

Rasional merupakan sesuatu yang berkaitan dengan penalaran atau proses

berpikir yang lebih tinggi yang berdasar pada prinsip-prinsip penalaran yang dapat

diterima oleh logika (VandenBos, 2015). Keputusan yang didasari oleh adanya

pertimbangan rasional bersifat objektif, logis, lebih transparan dan konsisten untuk

memaksimalkan hasil atau nilai dalam batas tertentu. Sehingga, keputusan yang

didasari rasionalitas dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai yang

diinginkan (Terry & Rue, 2008).

Dasar-dasar pengambilan keputusan sangat penting untuk dibahas sebab

keputusan dapat diambil jika pengambilan keputusan memiliki dasar (Makawimbang,

2012). Oleh karena itu, dalam mengkaji proses pengambilan keputusan istri yang

bertahan dalam rumah tangga penuh dengan kekerasan perlu diketahui basis yang

digunakan ketika pengambilan keputusan.

2.1.2.3 Proses Pegambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan proses yang melibatkan banyak tahapan.

Herbert Simons pada tahun 1977 mengatakan terdapat tiga fase utama dalam proses
16

pengambilan keputusan, model ini lalu dikembangkan dan menghasilkan empat fase

(Luthans, 2006). Turban et al (2005) mengatakan bahwa model Simon merupakan

karakterisasi yang paling kuat dan lengkap mengenai pengambilan keputusan.

Adapun fase pengambilan keputusan menurut Simon sebagai berikut:

1. Fase pemahaman (Inteligence phase)

Pada fase ini proses yang terjadi yaitu, penelusuran dan pendeteksian dari lingkup

permasalahan serta proses mengenali masalah yang tengah dihadapi. Data yang

diperoleh dari hasil penulusuran dan pendeteksian tersebut akan diproses dan diuji

dalam rangka mengidentifikasi masalah (Turban et al. 2005).

2. Fase perancangan (Design phase)

Pada fase ini terjadi proses pengembangan dan pencarian alternatif solusi atau

tindakan yang memungkinkan untuk diambil. Fase ini merupakan representasi

kejadian nyata yang disederhanakan, sehingga diperlukan proses validasi dan

verifikasi untuk mengetahui keakuratan model dalam meneliti masalah yang ada

(Turban et al. 2005).

3. Fase pemilihan (Choice phase)

Pada fase ini proses yang terjadi berupa pemilihan terhadap dua atau lebih

alternatif solusi yang telah dihasilkan pada fase perancangan agar ditentukan dengan

memperhatikan kriteria-kriteria berdasarkan tujuan yang akan dicapai. Hasil

pemilihan tersebut kemudian akan diimplementasikan pada proses pengambilan

keputusan (Turban et al. 2005)

4. Fase implementasi (Implementation phase)

Pada fase ini pemilihan alternatif yang telah dilakukan pada fase sebelumnya akan

dievaluasi dan diawasi apakah solusi yang dipilih dapat bekerja dan seberapa baik

kerja solusi tersebut. Tahapan ini juga opsional dalam proses pengambilan keputusan
17

yang terjadi jika terdapat perubahan atau kegagalan dari hasil pemilihan alternatif

pada fase pemilihan (Turban et al. 2005).

2.1.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan sebuah proses untuk menetapkan pilihan dari

satu atau lebih alternatif guna mencapai hasil yang diinginkan. Keputusan yang baik

dan efektif tentu membutuhkan pemahaman yang rinci mengenai realitas dan

lingkungan sosial (Eisenfuhr, 2011). Dalam membuat keputusan berbagai faktor yang

disadari maupun tidak disadari memandu perilaku pengambilan keputusan. Menurut

Dietrich (2010) terdapat lima faktor yang mempengaruhi proses pengambilan

keputusan sehingga memengaruhi keputusan:

1. Pengalaman masa lalu

Juliusson, Karlsson, dan Garling (2005, dalam Dietrich, 2010) mengatakan bahwa

masa lalu memengaruhi keputusan yang dibuat individu di masa depan. Hal ini dapat

diilustrasikan ketika hasil keputusan individu dinilai baik, maka individu cenderung

untuk memutuskan dengan cara yang sama, mengingat situasi baik yang telah

dihasilkan. Sementara itu, Sagi, & Friedland, 2007 (dalam Dietrich, 2010)

mengatakan bahwa individu cenderung menghindari pengulangan kesalahan masa

lalu. Akan tetapi, bagaimanapun keputusan masa depan yang dibuat berdasarkan

pengalaman masa lalu belum tentu keputusan terbaik.

2. Bias kognitif merupakan

Bias kognitif merupakan pola berpikir berdasarkan pengamatan dan generalisasi

yang dapat menyebabkan kesalahan memori, penilaian yang tidak akurat, dan logika

yang salah. Bias kognitif tidak terbatas pada bias keyakinan, ketergantungan yang

berlebihan pada pengetahuan sebelumnya dalam membuat keputusan, cenderung

dengan mudah menjelaskan suatu peristiwa sebagai hal yang tak terhindarkan.
18

Selain itu, umumnya orang memiliki kecenderungan untuk menghilangkan informasi

yang dianggap berisiko dan bias konfirmasi yang mana individu hanya mengamati

apa yang mereka harapkan dalam pengamatan.

Dalam pengambilan keputusan, bias kognitif memengaruhi dengan cara individu

terlalu mengandalkan atau memberikan lebih banyak kepercayaan pada pengamatan

yang diharapkan dan pengetahuan sebelumnya, sedangkan mengabaikan informasi

atau pengamatan yang dianggap tidak pasti, tanpa melihat gambaran yang lebih

besar. Pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh bias kognitif dapat

menyebabkan keputusan yang buruk. Meskipun begitu, Shah & Oppenheimer, 2008

(dalam Dietrich, 2010) mengatakan bahwa bias kognitif memungkinkan individu untuk

membuat keputusan yang efisien dengan bantuan heuristik.

3. Perbedaan individu

Beberapa perbedaan individu juga dapat memengaruhi pengambilan keputusan.

Usia, status sosial, ekonomi, dan kemampuan kognitif sangat signifikan dalam

memengaruhi pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan perbedaan individu

sangat erat kaitannya dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu, yang mana

akan berdampak pada baik ataupun buruknya keputusan yang akan dihasilkan.

4. Kepercayaan pada relevansi pribadi

Ketika individu percaya apa yang mereka putuskan penting, maka individu lebih

mudah untuk membuat keputusan. Acevedo dan Krueger (2004, dalam Dietrich,

2010) menjelaskan bahwa individu akan lebih mudah mengambil keputusan ketika

mereka percaya pendapatnya menunjukkan sikap dari populasi umum. Selain itu,

kepercayaan individu bahwa keputusannya penting tidak lepas dari kepentingan

mereka memperhatikan kepentingan sendiri pada hasil keputusan.


19

5. Eskalasi komitmen

Juliusson, Karlsson, dan Garling (2005, dalam Dietrich, 2010) mengatakan bahwa

individu membuat keputusan berdasarkan eskalasi komitmen yang tidak rasional,

artinya, individu mengerahkan lebih banyak waktu, uang, dan tenaga ke dalam

keputusan yang mereka rasa dapat berkomitmen di dalamnya. Lebih lanjut, individu

cenderung untuk terus membuat keputusan berisiko ketika mereka merasa

bertanggung jawab atas waktu, uang, dan tenaga yang dihabiskan untuk sebuah

peristiwa tertentu. Akibatnya, pengambilan keputusan terkadang dipengaruhi oleh

seberapa jauh pengorbanan yang dirasakan individu.

2.1.3 Pengambilan Keputusan Istri Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan

Pada saat melakukan aktivitas setiap hari individu terus terlibat dengan tindakan

pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak hanya dilakukan pada

masalah-masalah tertentu, tetapi digunakan pada berbagai masalah baik masalah-

masalah yang sederhana hingga masalah-masalah kompleks yang membutuhkan

analisis dan pertimbangan secara mendalam. Aktivitas pengambilan keputusan

dalam kehidupan manusia dapat terjadi secara sadar maupun tidak sadar.

Pengambilan keputusan tidak hanya dilakukan pada masalah seputar kehidupan

sehari-hari, tetapi juga dilakukan pada berbagai bidang keilmuan seperti yang paling

umum manajemen, ekonomi, politik, bahkan psikologi (Suharnan, 2005).

Salah satu isu dalam keilmuan psikologi yang melibatkan aktivitas pengambilan

keputusan yaitu, keputusan istri bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan

kekerasan. Proses pengambilan keputusan istri sebagai korban dilakukan secara

sadar dari berbagai alternatif pilihan hidup guna memutuskan untuk mempertahankan

pernikahan yang telah terjalin. Keputusan ini tentu tidak mudah, sebagaimana yang

diketahui bahwa pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang memiliki risiko.


20

Hasil yang diperoleh dalam pengambilan keputusan dengan risiko tentunya harus

ditanggung sebagai konsekuensi. Handoko (2010) menjelaskan bahwa risiko yang

dimaksud adalah ada peluang timbulnya kerugian, ketidakpastiaan, atau perbedaan

hasil dari harapan.

Sebelum memutuskan alternatif masalah yang akan dipilih individu terlebih dahulu

mempertimbangkan probabilitas guna meminimalisir risiko yang diterima. Kahneman

dan Tversky (1982) menjelaskan bahwa perkiraan terhadap kemungkinan berdasar

pada sesuatu yang heuristik, artinya dilakukan evaluasi kembali atas alternatif yang

dipilih. Pada fenomena keputusan istri bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan

terdapat beberapa aspek psikologis yang dijumpai dalam masyarakat yaitu:

a. Marital expectation

Marital expectation merupakan konsep pernikahan yang dimiliki seseorang.

Menurut Rani & Dovina (2018) marital expectation adalah keyakinan yang sudah ada

sebelumnya yang dimiliki seseorang terkait pernikahan, hubungan dengan pasangan

dan keluarga mereka, serta bagaimana peran yang dimiliki dan peran pasangan yang

diperoleh melalui interaksi sosial. Harapan-harapan ini memengaruhi perilaku

individu yang memiliki ekspektasi tersebut.

Marital expectation berkenan mengenai harapan dalam pernikahan yang dimiliki

individu sehingga memiliki motivasi untuk bertahan dalam suatu pernikahan. Juvva &

Batthi (2006) menjelaskan bahwa marital expectation terdiri dari empat aspek

harapan. Pertama, harapan sebagai pasangan yaitu, harapan adanya penerimaan

dalam hubungan satu sama lain. Kedua, harapan dari pernikahan yaitu, harapan yang

berhubungan dengan posisi sosial yang cenderung merujuk pada ego, misalnya

harapan adanya pengakuan sosial atau peningkatan status sosial sebagai seseorang

yang menikah.
21

Ketiga, harapan keluarga pasangan yaitu, harapan yang menginginkan

pernikahan menjadi suatu lingkungan yang dapat dikendalikan untuk mengatur dan

mengarahkan kehidupan pernikahan. Keempat, harapan pada institusi pernikahan

yaitu, harapan yang mengarahkan pada suatu pernikahan sebagai suatu hubungan

tempat tumbuh bersama, menghadapi masa sulit, setia, jujur, dan menjaga kesatuan

pernikahan.

b. Pemaafan (Forgiveness)

Forgiveness atau pemaafan merupakan suatu tindakan dengan sengaja

mengesampingkan perasaan benci terhadap individu yang telah melakukan

kesalahan atau tindakan menyakitkan. Pemaafan merupakan transformasi secara

sadar dari perasaan, sikap, dan perilaku terhadap indvidu, sehingga tidak lagi

didominasi oleh kebencian dan dapat mengekspresikan belas kasih, empati,

kemurahan hati dan sebagainya (VandenBos, 2015). Pemaafan dalam hubungan

pernikahan merupakan proses pemulihan cinta dan kepercayaan dalam hubungan

sehingga, hubungan dapat dilanjutkan (Lopes & Snyder, 2009). Adapun aspek-aspek

pemaafan terdiri dari tiga yakni, avoidance motivations, revenge motivations, dan

beneviolence motivations.

Avoidance motivations merupakan penurunan motivasi untuk menghindari kontak

pribadi dan psikologis dengan pelaku (Lopes & Snyder, 2009). Pada kasus istri

bertahan dalam rumah tangga aspek ini memiliki peranan penting. Diasumsikan

bahwa aspek ini memengaruhi keputusan istri untuk tetap berusaha menjaga

hubungan dengan pelaku yaitu suami.

Revenge motivations merupakan penurunan motivasi untuk membalas dendam

(Lopes & Snyder, 2009). Pengambilan keputusan istri untuk bertahan meski kerap

mendapatkan tindak kekerasan oleh suaminya bisa saja dipengaruhi oleh adanya
22

aspek ini yang mana istri akan menghilangkan keinginannya untuk membalas

tindakan kekerasan yang diterima oleh suami. Sedangkan, istri berupaya untuk

meminimalisir amarah terhadap tindakan yang menyakitinya.

Beneviolence motivations merupakan peningkatan motivasi untuk berbuat

kebaikan kepada pelaku (Lopes & Snyder, 2009). Aspek ini dapat memengaruhi

keputusan istri yang mengalami tindak kekerasan untuk tetap bertahan. Aspek ini

memungkinkan istri untuk bertahan dengan berperilaku baik dengan suami yang telah

melakukan tindak kekerasan dalam rangka menjaga hubungan pernikahan tetap baik.

c. Komitmen (Commitment)

Pernikahan adalah hubungan yang mengikat secara sosial, yang mana

didalamnya meliputi aspek-aspek sosial, ekonomi, dan reproduksi dengan pasangan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Duvall & Miller(1985) bahwa:

“Marriage is an emotional and legal commitment of two people to share

emotional and physical intimacy various tasks and economical resource”

Pernyataan tersebut mencerminkan bahwa suatu pernikahan diharapkan dapat

bertahan dalam jangka waktu panjang dan mengedepankan loyalitas. Hal ini

didukung oleh pernyataan Taylor, Peplau & David (2009) bahwa individu yang sangat

berkomitmen pada hubungan sangat mungkin untuk tetap bersama dalam keadaan

suka maupun duka dan demi menjaga keutuhan rumah tangga. Secara singkat

commitment in a relationship memiliki kekuatan baik positif maupun negatif yang

menjaga individu tetap berada dalam suatu hubungan.

Keputusan istri untuk bertahan dalam pernikahan penuh dengan kekerasan dapat

ditinjau dari komitmen yang dimiliki oleh istri terhadap pasangannya. Terdapat tiga

komitmen yang dapat memengaruhi keputusan istri menurut Rusbult (dalam Taylor

et al, 2009) sebagai berikut:


23

Pertama, komitmen personal merujuk pada keinginan individu untuk

mempertahankan dan meningkatkan hubungan. Komitmen ini bersifat subektif

bergantung pada individu tersebut. Akan tetapi, komitmen ini biasanya dipengaruhi

oleh kepuasan istri di dalam suatu hubungan yang berkaitan dengan daya tarik

terhadap pasangan atau menikmati kehadiran pasangan.

Kedua, komitmen moral yang merujuk pada perasaan terkait kewajiban dan atau

tanggung jawab sosial. Sebagian istri meyakini bahwa pernikahan merupakan

sesuatu yang sakral dan suci sehingga, memiliki motivasi untuk berkomitmen seumur

hidup dengan pasangan yang telah dinikahi. Komitmen ini cenderung menjauhkan

individu pada keputusan bercerai ketika menghadapi masalah.

Ketiga, komitmen struktural merujuk pada suatu kekuatan yang menghalangi istri

untuk meninggalkan suatu hubungan. Hal ini karena komitmen yang terbentuk akan

memberikan dampak negatif berupa kerugian jika dilanggar. Misalnya, istri takut

dengan konsekuensi legal, sosial, ekonomi yang akan terjadi jika memutuskan untuk

bercerai, sehingga tetap memilih terkurung dalam pernikahan yang tidak bahagia.

Selain jenis komitmen terdapat pula faktor yang memengaruhi istri tetap bertahan

meski berada pada pernikahan yang disfungsi yakni, kurangnya alternatif yang lebih

baik dan banyaknya investasi dalam hubungan. Kurangnya ketersediaan alternatif

yang lebih baik menjadi penghalang untuk keluar dari suatu hubungan karena istri

berpikir bahwa bisa jadi sesuatu yang didapatkan dalam hubungan saat ini tidak bisa

didapatkan di tempat lain. Sedangkan, banyaknya investasi dalam hal ini energi,

waktu, uang, keterlibatan emosional, pengalaman dan sebagainya akan menjadi

penghalang jika berada dalam hubungan yang disfungsi karena mengakibatkan

disonansi kognitif (Taylor et al, 2009).


24

2.2 Kerangka Konseptual

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Keterangan:

Garis hubungan

Garis sebab-akibat

Framework penelitian

Fokus Penelitian

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa penelitian ini fokus pada istri

berpenghasilan tetap yang mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga.

Menghadapi kondisi rumah tangga yang penuh kekerasan setiap individu pasti

melakukan aktivitas mental berupa pengambilan keputusan dalam memecahkan

masalah. Proses pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh dasar-dasar yang

digunakan berupa intuisi, pengalaman, rasional, otoritas, atau fakta. Serta faktor

pengalaman masa lalu, bias kognitif, perbedaan individu, kepercayaan pada relevansi

pribadi, dan eskalasi komitmen. Setelah melalui proses mental tersebut istri akan

membuat pilihan bercerai atau bertahan, tetapi fokus penelitian ini hanya pada istri

yang memutuskan untuk bertahan. Adapun keputusan istri berpenghasilan tetap

untuk bertahan dapat dipengaruhi oleh marital expectations, forgiveness, dan

komitmen.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif. Creswell (2016)

mengemukakan bahwa penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang berfokus

untuk mengekplorasi dan memahami makna pada individu atau kelompok yang

berasal dari masalah sosial. Poerwandari (2017) menambahkan bahwa pendekatan

kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretatif dan

fenomenologis. Pemaparan tersebut relevan dengan penelitian yang akan dilakukan

sebagaimana kasus istri berpenghasilan tetap yang memilih untuk bertahan

merupakan realitas sosial yang bersifat subjektif. Hal ini karena keputusan istri yang

mandiri secara finansial memilih untuk bertahan dalam pernikahan dengan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan situasi yang unik.

Sehubungan dengan itu, maka pendekatan yang tepat digunakan adalah studi

kasus. Creswell (2016) menjelaskan bahwa pendekatan studi kasus merupakan

pendekatan yang mengeksplorasi suatu kasus secara detail dan mendalam melalui

pengumpulan informasi secara lengkap dengan menggunakan pengumpulan data

berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Punch (1998, dalam Poerwandari, 2017)

menjelaskan bahwa kasus dapat berupa fenomena khusus yang hadir dalam suatu

konteks yang terbatasi atau bounded context. Kasus dapat berupa keputusan,

proses, atau peristiwa khusus tertentu. Selain itu, Yin (2014) juga menegaskan bahwa

pendekatan ini tepat digunakan untuk mengkaji sebuah fenomena unik individu.

Dari pemaparan beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa unit kajian

penelitian ini merujuk pada pendekatan studi kasus. Jenis penelitian ini menjadi

25
26

metode yang sesuai untuk menjawab rumusan penelitian yakni, mengeksplorasi dan

memahami Keputusan istri berpenghasilan tetap untuk bertahan dalam pernikahan

meski pada kondisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3.2 Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini adalah “pengambilan keputusan bertahan pada

pernikahan dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Pengambilan keputusan

merupakan aktivitas yang lazim dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi pada

beberapa kasus keputusan yang dihasilkan bersifat kasuistik, dalam hal ini keputusan

untuk bertahan pada pernikahan penuh kekerasan. Demikian, penelitian ini mencoba

mengeksplorasi bagaimana proses istri berpenghasilan tetap memutuskan untuk

bertahan dalam pernikahan meski pada kondisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

3.3 Subjek Penelitian

Pemilihan subjek pada penelitian kualitatif dilakukan pada subjek yang

mengarahkan peneliti pada data yang spesifik guna menjawab maksud dari

penelitian. Pemilihan subjek juga perlu memperhitungkan suatu penelitian mampu

mencapai titik jenuh atau saturation point (Poerwandari, 2017). Sehingga, subjek

penelitian kualitatif dilakukan berdasarkan tujuan atau kriteria yang relevan dengan

maksud penelitian, dan tidak dapat dipilih secara acak.

Berdasarkan pernyataan sebelumnya maka penentuan subjek pada penelitian ini

dilakukan dengan teknik judgement sampling. Judgement sampling merupakan suatu

teknik yang mana kriteria subjek dipilih berdasarkan judgement peneliti. Kriteria yang

ditetapkan oleh peneliti karena keyakinan bahwa kriteria tersebut mewakili atau

sesuai dengan tujuan penelitian (Malhotra, 2005). Jumlah subjek pada teknik ini
27

dapat ditentukan sebelumnya atau didasarkan pada ketercapaian titik jenuh, artinya

tidak lagi memberikan informasi baru (Kusumastuti & Khoiron, 2019).

3.3.1 Subjek/Informan Kunci

Subjek atau informan kunci merupakan individu yang memiliki informasi secara

menyeluruh terkait permasalahan yang diangkat. Hal ini karena individu tersebut

terlibat langsung pada fenomena sosial yang diteliti, dalam penelitian ini pengambilan

keputusan istri berpenghasilan tetap bertahan pada pernikahan penuh kekerasan.

Berikut kriteria subjek yang ditentukan berdasarkan judgement peneliti:

1) Istri berpenghasilan tetap

Dasar pertimbangan kriteria (1) merupakan upaya spesifikasi pada penelitian studi

kasus ini. Pada banyak penelitian terdahulu dikemukakan bahwa istri memilih untuk

tetap bertahan dalam pernikahan dengan kekerasan dikarenakan adanya

ketergantungan ekonomi istri kepada suami. Faktanya, terdapat istri yang mandiri

secara finansial yang memutuskan untuk bertahan meski kerap mendapatkan

kekerasan oleh suami. Oleh karena itu, ditetapkan istri berpenghasilan tetap sebagai

kriteria subjek dengan anggapan bahwa faktor ekonomi tidak lagi menjadi alasan

dibalik keputusan istri untuk bertahan

2) Mengalami kekerasan oleh suami baik berupa kekerasan fisik, psikis, mental,

dan seksual setidaknya telah berlangsung selama 3 tahun.

Dasar pertimbangan kriteria (2) adalah kemampuan istri untuk bertahan dalam

pernikahan penuh kekerasan setidaknya selama tiga tahun mengindikasikan adanya

keunikan dari kasus ini. Pada umumnya istri yang mengalami Kekerasan Dalam

Rumah Tangga diawal cenderung memilih diam dan bertahan pada kondisi tersebut

karena memegang nilai dan norma tanggung jawab sosial, namun jika kekerasan

berlangsung dalam kurun waktu yang lama istri cenderung tidak lagi peduli dengan
28

sanksi sosial yang diterima jika memilih menjadi janda. Hal ini sesuai dengan temuan

Saraswati (2020) menunjukkan 12 dari 14 istri memutuskan untuk bercerai setelah

mengalami kekerasan selama tiga tahun.

3.3.2 Subjek/Informan Ahli

Subjek atau informan ahli pada penelitian ini dibutuhkan karena pandangan bahwa

informan ahli telah memiliki pengalaman yang jauh lebih mumpuni dibandingkan

peneliti. Sehingga, informasi yang diberikan oleh pakar atau ahli akan memengaruhi

interpretasi daripada penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti akan

meminta pendapat dari seorang ahli yang bernama Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi.,

Psikolog yang berprofesi sebagai dosen Psikologi Universitas Hasanuddin dan

merupakan Psikolog di Pusat Pelayanan Pemberdayaan Perempuan. Selain itu, ahli

sebagai Psikolog juga telah banyak menangani klien yang memiliki fenomena yang

sama dengan penelitian ini sejak tahun 2018. Demikian informasi yang diberikan oleh

informan ahli sekiranya dapat memperkaya informasi dan membantu tercapainya

tujuan penelitian.

3.4 Teknik Penggalian Data

Penggalian data yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara mendalam

atau in-depth interview. Penelitian ini mengkaji suatu proses pemilihan suatu alternatif

yang spesifik dan unik, sehingga teknik wawancara mendalam dilakukan dengan cara

semi terstruktur. Artinya, peneliti akan menggunakan pedoman wawancara untuk

ditanyakan kepada subjek. Pedoman wawancara pada penelitian ini berfungsi

sebagai pengingat bagi peneliti mengenai aspek-aspek yang perlu dibahas, serta

aspek-aspek yang relevan. Namun, pertanyaan yang telah ditetapkan tidak bersifat

kaku dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan penelitian guna mendapatkan


29

informasi yang kaya terkait pengambilan keputusan istri berpenghasilan tetap

bertahan dalam pernikahan dengan kekerasan (Moleong, 2014).

Wawancara mendalam pada penelitian ini tidak hanya ditujukan kepada subjek

tetapi, significant other dari masing-masing subjek. Wawancara mendalam yang

ditujukan pada significant other digunakan sebagai pelengkap data atau informasi

serta menjadi bukti pendukung untuk mengetahui pengambilan keputusan istri

berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan.

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan teknik inductive-thematic yang mana hasil

wawancara akan dikonversi menjadi transkrip hasil wawancara dan akan direduksi

dengan bantuan MAX-QDA. Teknik inductive-thematic merupakan teknik anlisis data

yang dilakukan untuk mengidentifikasi pola atau menemukan tema melalui data yang

telah dikumpulkan oleh peneliti (Braun & Clarke, 2012). Konten yang dihasilkan

memungkinkan untuk mengupas secara rinci data-data kualitatif yang

menghantarkan pada penemuan seberapa jauh sebuah fenomena terjadi melalui

kacamata peneliti (Fereday & Muir-Cochrane, 2006). Teknik inductive-thematic tepat

digunakan pada penelitian ini sebab, belum ada literatur yang membahas terkait

pengambilan keputusan istri yang berpenghasilan tetap bertahan pada pernikahan

penuh kekerasan. Demikian, metode analisis data ini dapat memberikan gambaran

secara mendetail berbagai aspek yang memengaruhi pengambilan keputusan istri

berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan.


30

3.6 Teknik Keabsahan Data

Keabsahan data pada penelitian ini dilakukan dengan pengecakan atau

pembanding melalui teknik triangulasi sumber dan triangulasi peneliti. Triangulasi

sumber dilakukan dengan cara membandingkan atau mengecek kembali informasi

dari significant other masing-masing subjek sebagai penguat dan penambah

informasi yang telah diperoleh dari subjek. Adapun bentuk triangulasi sumber

penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Triangulasi Sumber Penelitian

Subjek Significant Other (Inisal/Hubungan dengan Subjek)


1. NH / Rekan Kerja
NV
2. HS / Sahabat
1. AY / Anak
AB
2. AH / Ponakan
1. BY / Saudara
RF
2. MA / Saudara

Sedangkan, Triangulasi peneliti dilakukan dengan membandingkan hasil

interpretasi penelitian antara peneliti dengan pembimbing pertama dan pembimbing

kedua untuk memberikan suatu pembuktian terhadap tema-tema secara koheren.

3.7 Prosedur Kerja

Berikut diuraikan gambaran pelaksanaan penelitian mulai dari persiapan

penelitian hingga penyusunan laporan:

a. Tahap persiapan penelitian

Pada tahap persiapan penelitian mencakup penyusunan proposal hingga

seminar proposal. Adapun yang termuat dalam proposal meliputi latar belakang,

rumusan penelitian, tujuan penelitian, kajian pustaka, dan metode peneltian.

Selanjutnya, proposal penelitian diusulkan dalam seminar proposal untuk dibahas

bersama dengan Tim pembahas. Proposal yang telah dipresentasikan kemudian


31

direvisi berdasarkan masukan dari Tim Pembimbing dan Tim Pembahas, terakhir

peneliti menyiapkan guideline interview yang akan digunakan untuk pengumpulan

data melalui in-depth-interview.

b. Tahap pengumpulan data

Pada tahap pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara mendalam

atau in-depth-interview yang dilakukan dalam tiga tahap, yakni wawancara pertama

kepada subjek, mengkaji kembali hasil wawancara dan melakukan wawancara

lanjutan, terakhir wawancara pada masing-masing significant others subjek sebagai

bentuk triangulasi sumber. Pada tahap ini, peneliti melakukan penjaringan subjek

berdasarkan kriteria judgement peneliti dan mendapatkan tiga orang yang bersedia

menjadi informan kunci. Pengambilan data keseluruhan informan sebanyak sebelas

kali pertemuan.

Wawancara mendalam bersama informan kunci NV dilakukan secara tatap muka

sebanyak empat kali pertemuan yaitu, pada tanggal 16 Desember 2021 pukul 10.35-

12.49 WITA, pada tanggal 23 Desember 2021 pukul 12.00-13.03, pada tangal 29

Desember 2021 pukul 12.36-14.00, dan pada tanggal 6 Januari 2022 pukul 14.20-

15.15. Indorman kunci AB dilakukan secara tatap muka sebanyak tiga kali pertemuan

yaitu, pada tanggal 22 Desember 2021 pukul 10.20-11.40, pada tanggal 30

Desember 2021 pukul 14.00-15.37, dan pada tanggal 8 Januari 2021 pukul 19.02-

19.56. Dan informan RF dilakukan secara tatap muka sebanyak tiga kali pertemuan

yaitu, pada tangal 29 Desember 2021 pukul 14.30 -15.40, pada tanggal 16 Januari

pukul 13.50-14.48, dan pada tanggal 28 Januari 2022 pada pukul 13.20-14.05.

Sedangkan, wawancara bersama informan ahli Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi.,

Psikolog dilakukan secara tatap muka sebanyak satu kali pada tanggal 4 Maret 2022

pukul 12.03-12.40.
32

c. Tahap analisis data

Pada tahap analisis data diawali dengan pembuatan transkrip hasil wawancara

berupa verbatim yang kemudian dikoding sesuai dengan teknik inductive thematic

menggunakan aplikasi manajemen data Maxqda. Selanjutnya, data yang telah

dianalis kemudian dituliskan dalam bentuk deskripsi sehingga membentuk temuan-

temuan penelitian. Hasil analisis data tersebut dilaporkan dalam bagian hasil dan

pembahasan laporan penelitian.

d. Tahap penyusunan dan pelaporan laporan

Pada tahap penyusunan laporan hasil temuan penelitian yang telah disajikan pada

bagian hasil dan pembahasan kemudian dikonsultasikan kepada Pembimbing 1 dan

Pembimbing 2. Setelah seluruh hasil temuan dituangkan pada laporan akhir, peneliti

mempersiapkan presentasi hasil penelitian kepada Tim Pembahas. Adapun umpan

balik dari seminar hasil penelitian akan didiskusikan bersama Pembimbing 1 dan

Pembimbing 2 hingga penelitian terkait dirampungkan.

Berikut rangkaian tahapan kerja penelitian yang telah dilakukan peneliti pada tabel

timeline berikut:

Tabel 3.2 Timeline Prosedur Kerja

2021 2022
No Tahapan Kerja
Okt Nov Des Jan Feb Mar
1 Penyusunan proposal penelitian
2 Seminar proposal
3 Revisi proposal dan persiapan
pengumpulan data
4 Tahap Pengumpulan data
5 Tahap Analisis data
6 Tahap penyusunan dan pelaporan
penelitian
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Subjek Penelitian

Berdasarkan hasil penjaringan subjek melalui kriteria penelitian, diperoleh tiga

orang yang bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini. Ketiga subjek berstatus istri

yang memiliki penghasilan tetap dan memutuskan untuk bertahan dalam pernikahan

penuh kekerasan. Berikut merupakan tabel yang menyajikan profil masing-masing

subjek:

Tabel 4.1 Profil Subjek Penelitian

Subjek Penelitian
Profil
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Inisial NV AB RF
Tempat,Tanggal Tuban, 26 Soppeng,
Lahir November 13 September Majene, 5 Juli 1960
1981 1958
Usia 40 Tahun 63 Tahun 61 Tahun
Pekerjaan PNS Pensiunan PNS Pensiunan PNS
Domisili Makassar Makassar Makassar
Latar Belakang
Jawa Bugis Makassar
Budaya
Pendidikan Terakhir S3 SMK S1
Usia Pernikahan 14 Tahun 43 Tahun 39 Tahun
Jumlah Anak 3 Anak 3 Anak 4 Anak

4.1.1 Subjek NV

NV merupakan perempuan berusia 40 tahun yang lahir dan besar di Tuban. NV

menetap di Tuban bersama bapaknya hingga lulus SMA. NV merupakan anak

tunggal yang dekat dengan bapaknya, karena ibu NV telah meninggal sejak dirinya

berada di bangku Sekolah Dasar dan bapaknya tidak menikah lagi. Setelah lulus SMA

NV kemudian merantau ke Kota Bogor untuk melanjutkan pendidikan di Institut

Pertanian Bogor. Kemudian, setelah lulus S1 NV diterima menjadi Pegawai Negeri

Sipil di Kota Gorontalo dan memutuskan pindah ke Kota Makassar pada tahun 2007

33
34

setelah NV menikah. Perjalanan hidup tersebut membuat NV terbiasa hidup mandiri

dan menghadapi masalah sendiri serta menjadi sosok yang saat ini dipandangnya

sebagai seorang istri dan ibu yang tangguh.

NV merupakan salah satu peneliti madya di Kementrian Pertanian Republik

Indonesia. Sebagai seorang peneliti NV dituntut untuk terus melanjutkan sekolahnya.

Sehingga, pada tahun 2014 NV melanjutkan S2 di IPB dan pada tahun 2017

melanjutkan S3 di IPB, hal ini memberikan konsekuensi pada NV untuk melakukan

hubungan jarak jauh dengan suaminya di usia pernikahan yang ketujuh tahun. Hingga

saat ini NV telah memiliki tiga anak dengan usia anak paling tua 13 tahun dan anak

terakhir berusia 3 tahun.

Sejak kecil NV dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang agama islam dan

budaya Jawa. Nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku dalam agama dan budaya

Jawa diinternalisasi oleh NV dalam kehidupan sehari-hari, tak terlepas dalam

kehidupan pernikahannya. Bahkan, nilai-nilai dan norma agama yang diterapkan NV

dalam membina rumah tangga dan mendidik anak.

Nilai-nilai dan norma budaya yang dipegang oleh NV salah satunya tertuang pada

pepatah jawa yang berbunyi “Rukun agawe santoso” yang NV maknai bahwa meski

pernikahannya tidak mudah tetapi ia akan berusaha untuk memperjuangkan dengan

keyakinan bahwa kerukunan akan memberikan kekuatan. Selain itu, NV juga

menanamkan nilai “Sawang sinawang” dalam diri NV yang dimaknai meski rumah

tangganya banyak diterpa masalah NV tidak boleh mengeluh, patah semangat, dan

patah hati karena menganggap masih ada orang yang lebih susah dari dirinya.

4.1.2 Subjek AB

AB merupakan perempuan kelahiran Soppeng, 13 September 1958. AB

merupakan anak kesebelas dari sebelas bersaudara yang sejak kecil hidup dalam
35

budaya Bugis. Budaya bugis sangat kental dalam kehidupan AB yang berasal dari

kasta Datuk Soppeng, sehingga setiap perilaku dan tindakan AB harus sesuai dengan

nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para leluhur. Salah satu nilai yang lekat dalam diri

AB yakni, “Asitinajang” atau nilai kepatutan.

Asitinajang merupakan nilai kepatutan bahwa AB harus bertindak sesuai dengan

nilai-nilai budaya dan ajaran agama. AB menuturkan bahwa sejak kecil dirinya telah

diajarkan agama oleh Ibunya. Apalagi ketika bapak AB meninggal pada saat dirinya

berada di bangku kelas 2 SMP, nilai-nilai agama semakin giat diajarkan oleh ibunya.

Salah satu nilai agama yang diajarkan kepada AB yaitu, yakin dan menyerahkan

segala sesuatu kepada sang pencipta melalui ibadah. Hal tersebut kemudian

diterapkan oleh AB dalam menghadapi permasalahan di dalam rumah tangganya.

Nilai-nilai budaya yang melekat dalam keluarga AB juga mengatur terkait

pernikahan, bahwa pernikahan harus dilakukan dengan adanya perjodohan baik

dengan sepupu satu kali, sepupu dua kali, atau sepupu tiga kali. Hal tersebut juga

dilakukan oleh AB yang menikahi sepupu tiga kalinya. Meski menikah melalui

perjodohan, AB dan suaminya menikah atas dasar suka sama suka, hal ini membuat

AB berkomitmen untuk bertahan pada pilihan yang telah dipilih. Hingga saat ini AB

telah memiliki 3 anak dengan anak tertua berusia 40 tahun dan anak paling kecil

berusia 28 tahun.

AB merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil dibidang kesehatan. Sebagai

lulusan Sekolah Sistem Apoteker di Ujung Pandang AB sangat dibutuhkan di

kampung halamannya, Soppeng. Pada tahun 1972 apoteker di Soppeng hampir tidak

ada, sehingga AB banyak menghabiskan masa mudanya bekerja di Rumah Sakit

daerah dan apotik swasta. Meski begitu, AB mengatakan bahwa dirinya sangat

menikmati pekerjaannya dan dengan bekerja AB dapat mengalihkan pikirannya pada


36

masalah-masalah yang dihadapi. Setelah, pensiun AB lebih sering mengunjungi

sanak keluarga dan kerabat serta memperkuat hubungannya dengan Tuhan untuk

mengalihkan permasalahan dalam rumah tangga yang dihadapi.

4.1.3 Subjek RF

RF merupakan perempuan kelahiran Majene, yang saat ini berusia 61 tahun. RF

merupakan perempuan keturunan Maluku Ambon yang besar di Makassar. Hal ini

membuat RF tumbuh dalam multikultural, tetapi RF mengatakan satu nilai yang selalu

diajarkan kepada dirinya yaitu, sebagai anak tertua RF harus mengayomi adik-

adiknya, sehingga sejak kecil RF telah dibebankan tanggung jawab yang lebih

banyak dibandingkan saudranya. Peran tersebut dirasakan RF memengaruhi dirinya

dalam menghadapi masalah, salah satunya masalah rumah tangga.

Kehidupan rumah tangga RF dimulai pada tahun 1982, ketika dirinya berusia 22

tahun. Keputusan RF untuk menikah karena adanya pertimbangan bahwa sosok

suami merupakan laki-laki yang penyayang dan taat beragama. Selayaknya orang

yang membina rumah tangga, RF berharap pernikahannya dapat terus berlanjut

hingga maut memisahkan. Dari pernikahan tersebut RF telah dikarunia 1 anak

perempuan dan 3 anak laki-laki.

Karir RF dimulai sebagai guru Sekolah Dasar pada tahun 1982, ketika dirinya baru

saja menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru. Tidak membutuhkan

waktu yang lama dirinya kemudian terangkat sebagai guru SD di Kota Makassar.

Pertama kali RF mengajar dirinya merupakan guru yang menangani kelas 5 dan 6,

hingga pada tahun 2009 dirinya terangkat sebagai kepala sekolah di salah satu SD

di Kabupaten Gowa. Demikian, RF mengabdikan dirinya sebagai kepala sekolah

hingga pensiun di tahun 2020.


37

4.2 Riwayat KDRT Subjek Penelitian

4.2.1 Subjek NV

Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh NV telah dirasakan bahkan

sejak awal pernikahan atau 14 tahun yang lalu. Kekerasan yang dialami berupa

cacian menggunakan bahasa kasar setiap kali suaminya sedang marah. NV

mengakui bahwa hal ini baru terlihat setelah dirinya menikah, padahal sebelum

menikah sang suami dipandang sebagai sosok yang lemah lembut. Seiring

bertambahnya usia pernikahan NV, kekerasan verbal tersebut lambat laun diterima

oleh NV sebagai sesuatu yang wajar, karena menganggap hal tersebut merupakan

tabiat suami yang tidak dapat diubah. Meski begitu, NV seringkali masih merasa sakit

hati akibat perkataan sang suami.

Kekerasan yang dialami NV kemudian memuncak ketika dirinya mengetahui sang

suami berselingkuh pada tahun 2015. NV yang mengetahui suaminya berselingkuh

kemudian marah dan akhirnya menimbulkan perkelahian diantara keduanya. NV

mengatakan bahwa saat itu suaminya tidak hanya melakukan kekerasan verbal tetapi

juga mulai berani main tangan. Tetapi, NV mencoba memahami kesalahan sang

suami yang berselingkuh karena saat itu dirinya baru saja melakukan hubungan jarak

jauh karena harus melanjutkan S2 di kota yang berbeda. Kondisi rumah tangga NV

saat itu mulai membaik bahkan mereka dikaruniai anak ketiga.

Kejadian tersebut terulang kembali pada tahun 2019, saat dirinya menempuh

pendidikan doktor. Suami NV kembali ketahuan berselingkuh dengan orang yang

berbeda. Namun, perselingkuhan tersebut disangakal oleh suami NV sehingga,

timbul masalah baru. NV mengatakan sejak itu pernikahannya dipenuhi oleh

kekerasan, dimulai ketika dirinya penasaran oleh pacar suaminya dan mencoba

mencari tahu melalui handphone suaminya, hal tersebut menyebabkan dirinya


38

didorong dan dipukul oleh sang suami. Meski saat itu tidak mendapatkan bukti

apapun, NV mencoba kembali merampas handphone suaminya ketika sedang

berada di salah satu pusat perbelanjaan, hal ini dilakukannya agar sang suami tidak

memukulnya karena sedang berada di keramaian.

Setelah kejadian tersebut NV terus mendapatkan kekerasan oleh sang suami,

sebab suami NV tetap menyangkal perselingkuhan yang dilakukan meski telah

terdapat banyak bukti. NV mengatakan bahwa perselingkuhan tersebut sulit untuk

diputuskan karena saudara-saudara suami mendukung suami NV untuk

meninggalkan NV dan menikahi selingkuhannya. Oleh karena itu, permasalahan ini

kemudian melebar.

Tidak terima dengan hal tersebut NV lantas melaporkan suaminya ke kementrian

tempat suami NV bekerja. Akibat permasalahan tersebut, suami NV di mutasi dan

dipindah tugas ke Bandung serta penurunan jabatan. Peristiwa tersebut membuat

suami NV merasa kecewa. Kekecewaan tersebut dilakukan dengan berbagai bentuk

kekerasan. Pertama, NV sering mendapatkan ancaman pembunuhan atau

dimasukkan ke rumah sakit jiwa oleh sang suami. Kedua, NV kerap kali dilemparkan

pisau oleh suaminya ketika dirinya sedang beradu mulut. Ketiga, NV dilaporkan ke

polisi atas tuduhan pencemaran nama baik yang hingga ini persidangannya masih

terus berlanjut.

4.2.2 Subjek AB

Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh AB bermula pada tahun 1998,

ketika usia pernikahannya memasuki 20 tahun. Saat itu, AB yang menetap di

Kabupaten Soppeng menemukan bahwa suaminya telah menikah dengan

perempuan lain di Kota Makassar. Mengetahui hal tersebut pernikahan AB kemudian

dipenuhi oleh adu mulut. Dari perkelahian tersebut tak disangka anak AB yang telah
39

beranjak dewasa mengetahui permasalahan yang tengah dihadapi oleh orang

tuanya.

Anak AB yang paling tua kemudian marah kepada sang bapak mengetahui ibunya

dikhianati. Kekecewaan yang dirasakan oleh anak AB mengakibatkan sang anak

enggan untuk berbicara kepada sang bapak. Hal ini lantas membuat suami AB marah

kepada AB karena menganggap bahwa AB menanamkan kebencian pada anak-anak

mereka. Kemarahan sang suami dituangkan dalam bentuk kekerasan berupa cacian

dan makian, bahkan AB mengatakan suaminya sering kali melempar barang-barang

hingga mengakibatkan kerusakan.

Seiring waktu berjalan rumah tangga AB mulai membaik, hal ini karena suami AB

telah meminta maaf kepada AB dan bersedia meninggalkan perempuan tersebut.

Suami AB juga kembali bersikap romantis dengan mengajak AB dan anak-anak jalan-

jalan setiap akhir pekan. AB mengatakan bahwa sejak dulu suaminya memang

merupakan sosok yang romantis sehingga, AB mulai dapat melupakan kejadian

perselingkuhan tersebut. Akan tetapi, AB merasa bahwa terdapat konsekuensi dari

membaiknya rumah tangga AB.

Dampak buruk yang dirasakan oleh AB setelah membaiknya hubungan rumah

tangganya yaitu, dirinya merasa adanya isolasi sosial yang diberikan oleh suaminya.

AB mengatakan bahwa dirinya hanya bisa keluar untuk bekerja dan membeli

kebutuhan rumah tangga. AB mengatakan bahwa suaminya bisa marah besar jika

dirinya tidak patuh, hal ini terjadi karena adanya kecurigaan dari suami bahwa AB

berselingkuh. Sedangkan, AB sendiri tidak mengetahui kenapa sang suami berpikir

demikian. Kejadian tersebut menjadi masa sulit untuk dirinya apalagi saat itu belum

ada handphone yang canggih untuk bertemu dengan orang secara virtual, padahal

AB butuh untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.


40

Pada tahun 2018, tepat 40 tahun usia pernikahannya AB kembali mendapati

suaminya hendakmenikah lagi dengan teman anaknya yang juga merupakan

tetangga satu kelurahan di Soppeng. AB mengetahui ketika dirinya ditanyai oleh

pihak pengadilan agama terkait kebenaran tanda tangan yang terdapat di lembar

pengajuan pernikahan. Mengetahui hal tersebut, AB merasa kesal karena dirinya

merasa telah patuh dan taat dengan perintah sang suami tetapi, dirinya masih

dikhianati. Hal tersebut membuat AB marah, meski begitu AB merasa iba ketika sang

suami menangis meminta izin untuk menikah lagi. AB kemudian memberikan izin

karena saat itu suaminya berjanji akan menceraikan perempuan tersebut setelah tiga

bulan.

Kenyataanya setelah tiga bulan suaminya tidak kunjung cerai sehingga, AB

memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dan menetap di Kota

Makassar. Keputusan tersebut tentu tidak disambut baik oleh sang suami, sebelum

memutuskan pergi AB kerap beradu mulut hingga meraskan kekerasan verbal berupa

bentakan dan umpatan. Meski begitu, AB tetap memutuskan untuk pindah ke

Makassar bersama anaknya. Setelah kejadiaan tersebut, AB mulai merasakan

kekerasan ekonomi yakni, uang yang mereka tabung bersama diambil oleh sang

suami tanpa sepengetahuan AB, bahkan rumah AB di Soppeng hampir dibalik nama

atas nama istri baru suaminya.

4.2.3 Subjek RF

Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh RF dimulai ketika usia

pernikahannya telah memasuki 25 tahun. Saat itu, RF secara tidak sengaja

mendapati suaminya berselingkuh dengan seorang perempuan di sebuah kos-kosan

di Kota Makassar. Tak disangka ternyata perselingkuhan tersebut telah berlangsung


41

lama, bahkan orang sekitar kos-kosan tersebut mengungkapkan bahwa suami RF

sudah setahun terakhir tinggal bersama perempuan tersebut.

Perselingkuhan tersebut kemudian merubah kehidupan rumah tangga RF. Setiap

harinya kehidupan RF dipenuhi dengan pertengkaran dan adu mulut bersama sang

suami, tak jarang RF menerima perlakuan kasar oleh suaminya seperti bentakan dan

umpatan dengan kata-kata kasar. Meski RF mengatakan bahwa dirinya dapat

umpatan dengan kata-kata kasar merupakan hal yang wajar bagi laki-laki tetapi,

dirinya terkadang tidak tahan. Selain itu, RF memandang bahwa setiap konflik yang

terjadi di dalam rumah tangganya terjadi karena RF tidak lagi percaya dengan sang

suami, sehingga dirinya selalu menuduh suaminya berselingkuh setiap keluar rumah.

Hal tersebut kemudian mendorong RF mencoba kembali percaya dan memaafkan

suaminya.

Hubugan rumah tangga RF mulai membaik, meski tidak kembali seperti

sebelumnya tetapi RF melihat suaminya mulai berubah menjadi lebih baik. RF

mengatakan bahwa suaminya mulai dekat dengan anak-anak lagi, dan jarang keluar

rumah hingga larut malam. Namun, pekerjaan suami RF sebagai pelatih tentara

mengharuskannya untuk selalu pergi keluar kota dalam waktu yang cukup lama.

Setiap kali suami RF pulang dari luar kota mereka selalu bertengkar, RF mengatakan

bahwa tak hanya dibentak, suaminya seringkali mengeluarkan bahasa kasar khas

Makassar dan mengusir dirinya dari rumah.

Selama empat tahun RF terus mengalami hal yang sama dan melihat rumah

tangganya berputar seperti lingkaran setan. Sementara membenahi rumah

tangganya RF juga terus mencoba untuk kembali percaya dengan sang suami,

karena RF menyadari bahwa persoalan ini muncul akibat dirinya belum bisa

sepenuhnya percaya dengan suaminya. Akan tetapi, usaha RF tampaknya tidak


42

membuahkan hasil, sebab setelah 4 tahun dia kembali mendapati suaminya

berselingkuh dengan perempuan yang sama.

Perselingkuhan yang kedua kali tampaknya membuat RF benar-benar tidak bisa

lagi percaya dengan suaminya. Apalagi suami RF telah menikah siri dan telah

memiliki dua anak dari perempuan tersebut. RF yang terpukul dengan kejadian

tersebut lantas memutuskan untuk pisah rumah dengan suaminya. Selama 3 tahun

RF dan suaminya tidak pernah berinteraksi, hingga saat anaknya hendak menikah

RF kembali bertemu dengan suaminya dan sejak saat itu RF mulai membuka

komunikasi dengan suaminya. Meski, tidak hidup serumah tetapi, suami RF sesekali

berkunjung kerumah RF dan anak-anaknya.

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Alasan Subjek Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan

4.3.1.1 Subjek NV

Hasil olah data yang telah dilakukan diperoleh lima tema utama terkait alasan

subjek NV bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, bertahan demi anak,

keyakinan pada Tuhan, kekerasan sebagai bagian dari pernikahan, sejarah keluarga,

dan konsekuensi logis pendidikan tinggi. Selanjutnya akan dijabarkan dari masing-

masing alasan subjek NV bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan berdasarkan

data yang diperoleh selama proses pengumpulan data.

4.3.1.1.1 Bertahan Demi Anak

Bertahan demi anak dimaknai sebagai upaya mempertahankan pernikahan

dengan kekerasan karena adanya anak, sebab meyakini bahwa anak yang tumbuh

di dalam keluarga utuh akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan

umum subjek NV melihat bahwa ketika terdapat konflik orang tua, anak akan menjadi
43

korban, apalagi jika perceraian menjadi keputusan terhadap konflik rumah tangga

yang dihadapi. Subjek NV melihat pada kondisi ini, sebagai seorang ibu keputusan

ideal yang perlu diambil adalah bertahan dengan berkorban serta membaktikan

dirinya pada suami dan anak-anaknya. Pandangan tersebut menyebabkan subjek NV

mengalah bahkan mengabaikan keinginan dan kebutuhan dirinya. Hal ini berkaitan

dengan beberapa pernyataan yang disampaikan Subjek NV berikut:

"..yang bikin saya nangis itu anak-anak sih, apalagi anak saya yang cowok
kan udah pernah ada omongannya...” (IK.NV, Pos. 88)

“Tapi apa yang buat saya bertahan itu.. Begini dek. Kalau dibilang kesal,
saya kesal…” (IK.NV, Pos. 109)

“….Anak saya laki laki, yang besar bilang “Mama, janganlah sampai cerai,
janganlah pisah” “Kenapa, nak?” “Nanti malu, iih mamanya A janda” gitu.
Anak saya nangis, dia ngomong itu.. Dia nangis. Saya bilang kan, “Oh ya,
nak” yaudahlah. Masa sih saya nggak bisa kuat, cuma masalah begini”
Barangkali masih ada yang lebih susah dari saya. Itu yang membuat saya
“Ini apasih, masalah apasih” gituloh dek” (IK.NV, Pos. 109)

Berkaitan dengan pengambilan keputusan subjek NV untuk bertahan juga

dilakukan dengan berbagai pertimbangan, salah satunya agar anak dari subjek NV

tidak kehilangan haknya sebagai anak yakni, dinafkahi oleh bapaknya. Meskipun

dirinya mengakui bahwa secara ekonomi tanpa suaminya pun dirinya tetap bisa

menghidupi anak-anaknya tetapi, ada kekhawatiran subjek NV jika keputusannya

untuk bercerai dapat melukai hak anaknya mendapatkan nafkah dari bapaknya.

"Terus Hak.. Hak anak saya kan, dinafkahi bapaknya. Itu bisa hilang,
kalau saya gugat" (IK.NV, Pos. 109)

"Karena, kalau saya cerai dia bisa nikah lagi dong dan rata-rata laki
laki itu kalau sudah pisah terus dia nikah lagi.. Banyak kejadian disini,
dia sudah lupa, nggak pernah nafkahi anaknya. Rata-rata begitu, rata-rata
dek… Jarang yang masih mau. Itusih pertimbangannya" (IK.NV, Pos. 109)

Kekhawatiran lain dijelaskan subjek NV bahwa apabila dirinya menggugat cerai

suaminya dapat berdampak pada hilangnya hak asuh anak yang dimilikinya.
44

Sehingga, meskipun merasa sakit hati dengan perlakuan kasar yang diterima tetapi,

subjek NV tetap memutuskan untuk bertahan pada pernikahan tersebut. Berikut

kekhawatiran yang disampaikan oleh subjek NV:

"…Kalau perempuannya yang minta cerai, hak..Hak anak itu hilang


dek. Jadi saya sakit hati kan “Udahlah, pokoknya..” Emosi saya gugat
cerai dia”. Bagus kalau hak asuh anak masih ke saya, bisa jadi hak asuh
anak saya nggak dapetkan." (IK.NV, Pos. 109)

Pengorbanan ini juga dapat dikaitkan dengan realitas yang ada dalam budaya dan

di masyarakat bahwa keluarga harus terdapat bapak dan ibu. Meski agar anak-

anaknya memiliki keluarga yang lengkap dirinya perlu untuk mengorbankan

kebahagiaannya demi membahagiakan anak-anaknya. Dengan pengorbanan

tersebut subjek NV dapat menilai dirinya sebagai sosok ibu yang baik, walau dirinya

sudah tidak kuat. Hal ini tampak pada pernyataan berikut:

“Itulah dek anak-anak yang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang broken
home dia bahkan bisa mencari sesuatu diluar usia, apalagi sampai
melakukan hal yang ga baik, kan jangan sampai toh” (IK.NV, Pos. 244)

“Anak kan butuh sosok orang tua yang lengkap.. Untuk dia itu yah..
Meskipun sebenarnya dengan Ibu Bapaknya suka cek cok dia juga
terganggu. Cuma itu bisa ditutupin lah ketika dia lihat bapak ibunya lagi
baik.. Dia bisa lihat “Oh.. Bapak ibu ku sudah baik-baik, itu mungkin bisa lah
mengobati rasa sakit hatinya… Yah Anak, meskipun sejatinya dibilang
kuat gak kuat, Enggak kuat” (IK.NV, Pos. 319)

4.3.1.1.2 Keyakinan Pada Tuhan

Keyakinan pada Tuhan adalah sebuah konsep dasar atas beriman dan percaya

bahwa Tuhan itu ada dan segala yang dikehendaki merupakan takdir terbaik bagi

seorang hamba, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Kehadiran Tuhan tumbuh

di dalam diri subjek NV sebagai muslim yang memercayai Allah S.W.T dengan

sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Artinya, apa yang telah direncanakan

oleh Allah merupakan hal terbaik yang terjadi dalam kehidupannya. Demikian, subjek

NV mengetahui betul bahwa dalam kehidupannya tidak selalu berjalan mulus, karena
45

Allah akan memberikan cobaan dalam hidupnya, salah satunya dengan adanya

kekerasan di dalam rumah tangganya.

"Malu sama tuhan dek.. Cobaan kamu tuh baru itu tuh.., masih banyak
yang lebih susah dari kamu, masih banyak yang lebih menderita. Masa
kamu dikasih cobaan gitu aja enggak bisa, ibaratnya gitu laah." (IK.NV,
Pos. 109)

Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh subjek NV diangap sebagai

cobaan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya. Hal tersebut diyakini pasti memiliki

jalan keluar, karena subjek NV percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan

melebihi batas kemampuan dirinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:

“.. Bayangkan awal nikah engga kerja, dia gituin saya, tapi saya kan
pandang itu bahwa.. Itulah Allah kasih saya seperti ini supaya saya apa?..
Supaya saya kuat, Allah engga mungkin kasih cobaan saya melebihi
kemampuan saya. Dan saya yakin Allah kasih saya cobaan pasti sepaket
dengan solusinya gitu..” (IK.NV, Pos. 321)

“…Menurut saya.. Saya orang pilihannya Allah bahwa tidak semua orang
dikasih cobaan seperti itu, kenapa saya dipilih? Karena saya dirasa Allah,
saya itu mampu, saya sanggup. Seperti itu..Jadi itu lah menguatkan saya”
(IK.NV, Pos. 321)

Hal lain yang memengaruhi pengambilan keputusan subjek NV untuk bertahan

dalam pernikahan penuh kekerasan karena dirinya meyakini Allah dengan tulus,

sehingga apa yang telah ditakdirkan Allah kepadanya selalu disyukuri. Hal ini

ditunjukkan bagaimana subjek NV meyakini bahwa kekerasan yang dialami memiliki

arti, karena merupakan ujian yang diberikan Allah kepadanya. Demikian, subjek NV

bersyukur atas apa yang telah dikehendaki Allah dengan melihat bahwa mungkin ada

yang lebih menderita dibanding dirinya.

"…“Eh ini masalah cuman kecil kok jangan di besar – besarkan”


maksudnya masih banyak kok orang yang punya masalah lebih berat dari
ini..." (IK.NV, Pos. 58)

"Ibaratnya gitu laah. Itu saya tanamkan pada diri saya. Saya nggak boleh
ngeluh, saya nggak boleh patah hati, patah semangat, patah hati. Saya
percaya Allah itu, lebih sayang saya. Di luar sana orang tua saya lebih
46

sayang, tapi ada yang lebih sayang sama saya yaitu Allah. Saya gitu
dek..yang menjadikan saya sampai saat ini bertahan gitu. itusih dek."
(IK.NV, Pos. 109)

"Nggak perlu saya, ratapin meratapi “Allah tuh nggak sayang sama saya”
nggak… “Allah itu sangat sayang sama saya”. Makanya, saya dikasih
cobaan melalui rumah tangga saya ini” (IK.NV, Pos. 109)

“…Itulah yang terbaik,pasti.. Manusia kan tidak tahu apa yang Allah
ketahui, jadi janganlah kita merasa “Allah tuh benci sama saya yah, kok saya
dikasih cobaan segitunya” itu jangan" (IK.NV, Pos. 327)

Sebagai seorang muslim subjek NV meyakini bahwa ketika bertakwa kepada Allah

berarti subjek NV perlu menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya,

dan menjauhi larangan dan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah. Dengan taat

dengan perintah Allah maka, subjek NV percaya dirinya dapat mengembangkan dan

memiliki kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan subjek NV

sebagai berikut:

"..Masa siih, harusnya takut sama tuhan lah, itu kan (bercerai) sebenarnya
ga boleh dalam agama." (IK.NV, Pos. 109)

“..Dalam agama kan udah dijelasin pernikahan itu ibadah..Ibaratnya kalau


sendiri pahalanya 10 kalau berdua kan pahalanya..Ee..Ibaratnya 20 kan
gitu..Kalau niatnya ibadah insya Allah dia akan berubah” (IK.NV, Pos. 327)

4.3.1.1.3 Kekerasan Sebagai Bagian dari Pernikahan

Kekerasan sebagai bagian dari pernikahan merupakan pemahaman bahwa dalam

pernikahan pasti ada baik dan buruknya, sehingga dalam pernikahan sangat wajar

terjadi kekerasan. Sebagai seorang yang memeluk agama islam subjek NV meyakini

bahwa pernikahan merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Allah

S.W.T atas dasar kesucian, sehingga baik dan buruk yang terjadi dalam pernikahan

harus diterima. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Makanya kenapa saya bertahan yah karena mungkin, pernikahan itu kan
sebenarnya sakral yah kita sudah berjanji depan tuhan.. Dan toh yang
namanya orang rumah tangga ada lah..kurang lebihnya, kekurangannya,
kelebihannya ada lah..Masing – masing ada” (IK.NV, Pos. 320)
47

Bagi subjek NV kekerasan adalah konsekuensi dalam berumah tangga, dan ini

merupakan hal yang wajar terjadi mengingat pernikahan menurut subjek NV

merupakan salah satu ujian dalam kehidupan yang membutuhkan perjuangan serta

sarana pembelajaran yang berlangsung seumur hidup.

"..Itulah saya berfikir ya Allah memang itu rumah tangga itu bukan enaknya
saja sudah punya suami selesai, tapi kemampuan kita bertahan,
kemampuan kita menahan emosi, kemampuan kita mencari solusi dari
setiap maslah" (IK.NV, Pos. 58)

“Menurut saya yah rumah tangga itu perjuangan hingga akhir hayat,
istilahnya pendidikan ada strata nya karena ibaratnya kan kalau S1 4
tahun, yakan? selesai itu S2 2 tahun, S3 3 tahun, semua kan ada batas
waktunya.. Sementara kalau rumah tangga itu gak ada, ibaratnya
sekolahnya orang hidup, sekolahnya dunia itu yaah orang berumah
tangga itu.. Enggak mengenal strata, dia nda mengenal..Memang
perjuangan utama nya di situ” (IK.NV, Pos. 320)

Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga bagi subjek NV merupakan suatu

sarana pembelajaran, artinya menikah memberikan pembelajaran-pembelajaran

baru dalam kehidupan. Tidak hanya pembelajaran dalam menghadapi permasalahan

dalam rumah tangga, tetapi juga pembelajaran dalam kehidupan subjek NV sehari-

hari. Berikut pernyataan subjek NV yang mendukung:

“Itulah mungkin saya jadi pinter, maksudnya pinter gini kalau kemarin –
kemarin dia marah saya tanggepin saya tanggepin akhirnya saya juga
ikutan marah, malah lebih ribut, tapi kesini-kesini saya paham dia ini
penyakitan, penyakitan maksudnya disini yah bukan kanker, dia ini sakit
jiwa nya istilah nya..Entah diguna – guna atau memang mentalnya dan itu,
saya harus paham gitu jadi setiap dia emosi kucoba buat ketawain ku
bercandain, terus dia baik lagi..” (IK.NV, Pos. 54)

"Justru ini, e.. ini membuat saya bisa berbagi pengalaman, saya bisa lebih
tau lah hal-hal yang dulunya kayak urusan polisi tuh saya tutup mata, gitu
ya. Urusan, jadi tau urusan urusan, saya bisa… minimal deketlah sama
orang orang yang diatas-atas gitu. Itulah ajang saya, ajang saya untuk
mengeksplor “oh bahwa, kamu selama ini tau nya cuma belajar, urus anak”
itulah nggak pernah tau, dunia luar. Inilah dunia luar itu” Bahwa, ibaratnya
gini.. baik sama orang itu boleh, apalagi suami yaa, dalam tanda kutip.
Cuma ya, kamu harus hati hati." (IK.NV, Pos. 109)
48

4.3.1.1.4 Sejarah Keluarga

Sejarah keluarga dimaknai sebagai aspek-aspek budaya, nilai, dan norma-norma

yang berlaku dalam suatu keluarga secara turun-temurun dalam hal ini nilai dan

norma-norma yang memandang perceraian bukan sebagai pemecahan masalah

dalam pernikahan. Sejarah keluarga subjek NV sangat bertentangan dengan

perceraian, dan memandang perceraian bukan sebagai alternatif pemecahan

masalah yang tepat dalam menghadapi konflik dalam rumah tangga. Hal ini juga

memengaruhi bagaimana subjek NV memutuskan untuk tetap bertahan dalam rumah

tangganya meski kerap mendapatkan tindak kekerasan oleh suaminya.

"Masalah-masalah ini saya jadikanlah sebagai ujian, apalagi keluarga


saya itu dari nenek-nenek yang dulu enggak pernah ada yang bercerai, gini
dek saya lihatnya om-om saya sepupu saya, pernikahannya semua engga
ada kok yang mulus semua, itu ga ada. Tapi toh sampai sekarang mereka
bisa gitu loh bertahan, kok saya enggak bisa, kan gitu" (IK.NV, Pos. 88)

"..Keluarga saya tidak ada yang kawin cerai. Kan saya anak tunggal niih, ya.
Sepupu sepupu saya tuh nggak ada yang.. ya banyak lah yang rumah
tangganya, kacau balau. Maksudnya, utang apa namanya…Tapi itu ya..
wajarlah. Mereka masih saling bersama, tapi yang namanya kawin cerai itu
nggak ada itu. Termasuk nenek nenek, nenek nenek ku yang dulu dulu..
Nggak ada yang namanya kawin cerai, nggak ada." (IK.NV, Pos. 109)

4.3.1.1.5 Konsekuensi Logis Pendidikan Tinggi

Konsekuensi logis pendidikan dimaknai sebagai suatu akibat dari pendidikan yang

tinggi, bahwa ketika menyandang gelar sebagai doktor tidak hanya berkaitan dengan

prestasi akademiknya, tetapi memiliki tanggung jawab pada kehidupan sehari-hari

dalam menyelesaikan masalah. Subjek NV memiliki keyakinan bahwa seorang doktor

seharusnya mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi, sebab

dalam rangka mencapai gelar tersebut subjek NV telah mengalami berbagai macam

masalah yang telah diatasi. Meski begitu, subjek NV memiliki pendirian bahwa pilihan

bercerai merupakan suatu isyarat bahwa dirinya tidak mampu menyelesaikan


49

permasalahan yang ada di dalam rumah tangganya. Hal tersebut tampak dari

pernyataan berikut:

"Apalagi saya ini..(diam) bukan apa, tapi pendidikannya tinggi, ibaratnya


masalah-masalah itu udah banyak yang dilaluin.. Malu lah, kalau engga bisa
menyelesaikan masalah begini, gitu sih dek.." (IK.NV, Pos. 88)

"Saya kan pendidikannya tinggi, masa menyelesaikan masalah seperti itu


saja nggak sanggup, gitu." (IK.NV, Pos. 109)

“Saya kan sudah S3 memang itulah disinilah saya belajar pendewasaan diri
S3 itu bukan serta merta pendidikan tertinggi bukan itu, benar benar
ajang untuk menjadi sabar, untuk menjadi dewasa, saya dek gak perhatikan
desertasi apa itu tapi proses untuk sampai ke situ itu memang bukan
bimsalabim tidak dek..Saya perhatikan toh, iya yah saya di uji begini tapi
apabila saya di uji selesai sekolah ku tapi pernikahan saya porak poranda
ibaratnya kan, aneh” (IK.NV, Pos. 344)

Tabel 4.2 Rekapitulasi Alasan Bertahan Subjek NV

Contoh Pernyataan yang


No Tema Kategori
Mendukung
1. “….Anak saya laki laki, yang
besar bilang “Mama, janganlah
sampai cerai,janganlah pisah”
“Kenapa, nak?” “Nanti malu, iih
mamanya A janda” gitu. Anak Bertahan demi anak
saya nangis, dia ngomong itu.. (Bertahan demi anak
Dia nangis. Saya bilang kan, dimaknai sebagai
“Oh ya, nak” yaudahlah. Masa upaya
sih saya nggak bisa kuat, cuma mempertahankan
masalah begini” Barangkali pernikahan dengan
1 masih ada yang lebih susah kekerasan karena Alasan
dari saya. Itu yang membuat adanya anak, dengan bertahan
saya “Ini apasih, masalah keyakinan bahwa dalam
apasih” gituloh dek” keluarga yang utuh pernikahan
2. “Itulah dek anak-anak yang mampu memberikan penuh
terlahir dari keluarga yang bisa kehidupan yang lebih kekerasan
dibilang broken home dia baik bagi anak)
bahkan bisa mencari sesuatu
diluar usia, apalagi sampai
melakukan hal yang ga baik,
kan jangan sampai toh”
1. "Malu sama tuhan dek.. Keyakinan pada Tuhan
Cobaan kamu tuh baru itu tuh.., (Keyakinan pada
2 masih banyak yang lebih susah Tuhan adalah sebuah
dari kamu, masih banyak yang konsep dasar atas
lebih menderita. Masa kamu beriman dan percaya
50

dikasih cobaan gitu aja enggak bahwa Tuhan itu ada


bisa, ibaratnya gitu laah." dan segala yang
2. “…Menurut saya.. Saya orang dikehendaki
pilihannya Allah bahwa tidak merupakan takdir
semua orang dikasih cobaan terbaik bagi seorang
seperti itu, kenapa saya dipilih? hamba, termasuk
Karena saya dirasa Allah, saya kekerasan dalam
itu mampu, saya sanggup. rumah tangga)
Seperti itu..Jadi itu lah
menguatkan saya”
1. Makanya kenapa saya
bertahan yah karena mungkin,
pernikahan itu kan sebenarnya
sakral yah kita sudah berjanji
depan tuhan.. Dan toh yang
namanya orang rumah tangga
ada lah..kurang lebihnya,
kekurangannya, kelebihannya Kekerasan sebagai
ada lah..Masing – masing ada” bagian dari pernikahan
2. “Menurut saya yah rumah (Kekerasan sebagai
tangga itu perjuangan hingga bagian dari pernikahan
akhir hayat, istilahnya dimaknai bahwa dalam
3 pendidikan ada strata nya pernikahan pasti ada
karena ibaratnya kan kalu S1 4 baik dan buruknya,
tahun, yakan? selesai itu S2 2 sehingga dalam
tahun, S3 3 tahun, semua kan pernikahan sangat
ada batas waktunya.. wajar terjadi
Sementara kalau rumah tangga kekerasan)
itu gak ada, ibaratnya
sekolahnya orang hidup,
sekolahnya dunia itu yaah
orang berumah tangga
itu..Enggak mengenal strata,
dia nda mengenal..Memang
perjuangan utama nya di situ”
1. "Masalah-masalah ini saya Sejarah keluarga
jadikan lah sebagai ujian, (Sejarah keluarga
apalagi keluarga saya itu dari dimaknai sebagai
nenek-nenek yang dulu enggak aspek-aspek budaya,
pernah ada yang bercerai, gini nilai, dan norma-norma
dek saya lihatnya om-om saya yang berlaku dalam
sepupu saya, pernikahannya keluarga secara turun-
4
semua engga ada kok yang temurun dalam hal ini
mulus semua, itu ga ada. Tapi nilai dan norma-norma
toh sampai sekarang mereka yang memandang
bisa gitu loh bertahan, kok saya perceraian bukan
enggak bisa, kan gitu" sebagai pemecahan
2. "..Keluarga saya tidak ada yang masalah dalam
kawin cerai. Kan saya anak pernikahan)
51

tunggal niih, ya. Sepupu


sepupu saya tuh nggak ada
yang.. ya banyak lah yang
rumah tangganya, kacau balau.
Maksudnya, utang apa
namanya…Tapi itu ya..
wajarlah. Mereka masih saling
bersama, tapi yang namanya
kawin cerai itu nggak ada itu.
Termasuk nenek nenek, nenek
nenek ku yang dulu dulu..
Nggak ada yang namanya
kawin cerai, nggak ada."
1. "Apalagi saya ini.. bukan apa
tapi pendidikannya tinggi,
ibaratnya masalah-masalah itu
udah banyak yang dilaluin malu
lah, kalau engga bisa
Konsekuensi logis
menyelesaikan masalah begini,
pendidikan tinggi
gitu sih dek.."
(Konsekuensi logis
2. “Saya kan sudah S3 memang
pendidikan dimaknai
itulah disinilah saya belajar
bahwa ketika
pendewasaan diri S3 itu bukan
menyandang gelar
serta merta pendidikan tertinggi
sebagai doktor tidak
5 bukan itu, benar benar ajang
hanya berkaitan pada
untuk menjadi sabar, untuk
prestasi akademik,
menjadi dewasa, saya dek gak
tetapi memiliki
perhtikan desertasi apa itu tapi
tanggung jawab pada
proses untuk sampai ke situ itu
kehidupan sehari-hari
memang bukan bimsalabim
dalam menyelesaikan
tidak dek saya perhatikan toh
masalah)
iya yah saya di uji begini tapi
apabila saya di uji selesai
sekolah ku tapi pernikahan
saya porak poranda
ibaratnya..kan aneh”

Berdasarkan hasil wawancara bersama subjek NV yang berstatus sebagai istri

berpenghasilan tetap, diperoleh total lima tema alasan NV bertahan dalam

pernikahan penuh kekerasan yaitu, bertahan demi anak, keyakinan pada Tuhan,
52

kekerasan sebagai bagian dari pernikahan, sejarah keluarga, dan konsekuensi logis

pendidikan tinggi. Hasil temuan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1

Gambar 4.1 Hasil temuan alasan bertahan subjek NV

4.3.1.2 Subjek AB

Hasil olah data yang telah dilakukan diperoleh empat tema utama terkait alasan

subjek AB bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, keyakinan pada

Tuhan, norma budaya, memasuki usia senja, serta konsekuensi menikah dengan

keluarga. Selanjutnya akan dijabarkan masing-masing alasan subjek AB bertahan

dalam pernikahan penuh kekerasan yang telah diperoleh selama proses

pengumpulan data melalui in-depth-interview.

4.3.1.2.1 Keyakinan Pada Tuhan

Keyakinan pada Tuhan dimaknai sebagai keyakinan yang pasti bahwa Allah SWT

merupakan tuhan Yang Maha Kuasa, artinya segala sesuatu yang ada di dunia telah
53

diatur dan terjadi karena izin Allah begitupun dengan kekerasan dalam rumah tangga

yang dialami oleh subjek AB. Sebagai seseorang yang memeluk agama Islam, subjek

AB memandang kekerasan dalam rumah tangga yang dialami merupakan ketentuan

dari Allah. Hal tersebut diketahui dari pernyataan berikut:

"Ku ikhlaskan apa yang terjadi… Karena kupikir sedangkan itu semua
terjadi pasti dengan sepengetahuan Allah..Semua sudah diatur mi begini
begini, jadi tinggal kita saja mau terima atau tidak, itu yang saya pikir."
(IK.AB, Pos. 219)

"Pikiran ku begitu..Tidak mungkin terjadi itu tanpa campur tangan Allah,


tapi mungkin orang lain tidak bisa menerima begitu toh banyak orang
marah-marah toh, tapi kalau saya, saya tidak mau marah. Saya coba
terima.." (IK.AB, Pos. 207)

Kekerasan yang dialami oleh subjek AB diyakini sebagai cobaan yang diberikan

oleh Allah SWT dan merupakan bentuk nikmat yang diberikan kepada hambanya

agar dapat belajar bersabar. Subjek AB percaya bahwa jika dirinya memutuskan

untuk bercerai artinya dirinya tidak mampu melewati ujian yang diberikan dan

melawan ketentuan Allah SWT. Berikut pernyataan AB yang mendukung pernyataan

tersebut:

"Tapi tetap kan mempertahankan keluarga, karena dengan perceraian itu


paling dibenci oleh Allah…Yang namanya cobaan pasti datang dari Allah,
jadi kuterima dengan ikhlas karena itu mi yang ditentukan untuk saya"
(IK.AB, Pos. 18)

"Saya tahan-tahan karena saya berpikir saya diuji, jangan sampai suatu
saat dia bisa sadar..Bisa baik, itumi dengan berpisah itu kan jalan yang
paling dibenci sama Allah jadi saya berusaha perbaiki karena saya pikir
saya diuji" (IK.AB, Pos. 74)

"Saya tidak mau Allah marah sama saya, dikasih cobaan begitu banyak,
nikmat sekali itu di kasih cobaan begitu, kenapa musti tidak mau? Itu yang
saya takutkan, saya takut sama Allah" (IK.AB, Pos. 207)

Kekerasan dalam rumah tangga sebagai cobaan yang diberikan oleh Allah diyakini

oleh subjek AB memiliki kebaikan atau hikmah jika dapat dilewati dengan sabar,
54

bahwa dibalik kekerasan yang dialami ada nikmat yang lebih besar yang diberikan

Allah kepada subjek AB. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:

"Saya berpikir Allah kasih ka cobaan karena mungkin Allah sayang, Allah
mau kasih ka sesuatu toh. Jadi disitu karena Allah saja saya berpikir begitu
sampai saya tidak marah, saya tidak kecewa karena saya takut sama
Allah" (IK.AB, Pos. 207)

"Jadi kupikir kalau tidak ada cobaan di kasihka Allah tidak pernah ka
berpikir ini rumah ku urus balik nama, jadi itu semua kupikir saya dapatkan
hadiah dari Allah. Baru anak-anak ku juga baik semua ke saya, tambah na
sayangka. Jadi berpikir ini semua hadiah dari Allah toh karena anak-anak
tiap hari mungkin menelpon, artinya na hiburka kasian" (IK.AB, Pos. 221)

Bahkan menurut subjek AB hikmah dari cobaan yang diberikan oleh Allah yaitu,

kehamilan anaknya setelah 10 tahun pernikahan. Subjek AB meyakini bahwa

kehamilan anaknya merupakan hadiah dari Allah karena dirinya telah sabar

menghadapi kekerasan yang dialami, hal ini karena kehamilan anaknya terjadi tidak

lama setelah kejadian kekerasan yang diterima oleh suaminya.

"Saya takut, Allah sudah kasih saya banyak nikmat kenapa masalah begitu
kau kecewa jadi itu yang saya pikir karena banyak nikmatnya di kasih ka."
(IK.AB, Pos. 207)

"Banyak nikmat Allah karena yang saya pikir anak ku yang pertama, 10
tahun mi menikah tidak adapi anaknya, akhirnya dikasih anak sama Allah
jadi itu juga yang paling kusyukuri itu, karena Allah yang tolong itu, jadi
nikmat apa lagi mau saya dustakan pada Allah, na ini anak berjuang 10
tahun artinya bagaimana pun suami, namanya suami mau punya anak kan
bisa menikah lagi, lebih baik saya alami begini daripada anak ku toh jadi
itulah ku syukuri" (IK.AB, Pos. 235)

"…Jadi mending kebahagianku saja diambil daripada kebahagian anak ku.


Jadi bersyukur ka pas ada anaknya dia, jadi langsung itu hilangmi saya
susahku kalau kuliatmi anak ku bahagia toh." (IK.AB, Pos. 237)

"Iya, karena pas itu sudah mulai memang mi kejadiannya disitu itu baru
anak ku hamil artinya itu semua kupikir nikmat Allah yang di kasih ka
kenapa mau dustakan itu. Ini anak ku berjuang semenjak sudah nikah
berjuang punya anak, kenapa je’ baru bisa ada anaknya, bisa di kasih hamil
sama Allah, artinya di kasih ka cobaan dulu itu. Jadi saya bilang kenapa
mau persoalan begitu mauka tidak bersyukur" (IK.AB, Pos. 237)
55

Subjek AB percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan ketentuan dari

Allah SWT, sehingga terdapat kepasrahan dalam dirinya untuk menerima kekerasan

yang ada dalam pernikahannya sebagai suatu cobaan. Subjek AB meyakini bahwa

Allah maha mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya, sehingga sebagai hamba

dirinya hanya dapat berserah diri menerima ketentuan Allah SWT dengan ikhlas.

"Allah dulu lah segala sesuatu Allah dulu, artinya ada masalah apa kita
berserah diri Kepada Allah" (IK.AB, Pos. 193)

"…makanya tidak pernah (berpikir bercerai) memang tong ka.. Mungkin


nasib ku begitu karena kalau kupikir lagi kalau cinta ji saja, cinta cinta
begitu..Tapi yah namanya pernikahan ada ada saja ujiannya" (IK.AB, Pos.
203)

"Saya pikir kalau saya marah, tidak anu (menerima) dengan ketentuan
Allah saya bisa memprotes sama Allah... ya itu sebenarnya membuat saya
tidak mau protes karena saya takut sama Allah, sudah kasih yang terbaik
tapi saya tolak. Karena ku pikir juga tinggal sedikit mami ki di dunia ini, apa
mi kalau hilang begitu saja itu amal ta karena kita tidak ikhlas menerima
cobaannya toh. Jadi itu yang saya tanamkan" (IK.AB, Pos. 207)

Berserah diri yang dilakukan oleh subjek AB dilakukan dalam bentuk

mendekatkan diri kepada Allah. Dengan mendekatkan diri kepada sang pencipta,

subjek AB dapat menyalurkan emosi negatif yang dirasakan akibat kekerasan yang

diterimanya. Sehingga, dirinya dapat merasakan ketenangan dan terhindar dari

kesedihan. Hal tersebut tercermin pada kutipan berikut:

"…Biar ada masalah rumah tanggaku, ku syukuri mi saja, tapi memang


tong kukasi lapang dadaku, jadi tidak pernah mi ada rasa sakit, artinya
karena kan saya ada grup mengajiku banyak, jadi lebih baik kurasa itu
daripada mauka marah-marah, berdosa jki” (IK.AB, Pos. 133)

“Artinya kuterima ini nasibku. Cuma minta ka sama Allah, istigfar, berdoa itu
saja. Saya minta ketenangan saya minta untuk baik kembali supaya
tidak ada kesedihan, Cuma Allah yang saya minta” (IK.AB, Pos. 42)

Selain itu, ketika ditanya terkait hal apa yang menguatkan dirinya untuk memutuskan

tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan, subjek AB menjawab bahwa


56

karena adanya iman dan takwa yang mana perceraian merupakan bentuk

ketidakpatuhan hamba pada aturan yang telah ditetapkan Allah.

"Saya tidak mau menggugat karena kan saya tau kalau perceraian itu
dilarang sama Allah, nah itu yang saya tidak mau seperti orang tidak punya
iman." (IK.AB, Pos. 40)

"Iman dan takwa pada Allah karena semenjak ada masalah yang
namanya...Saya itu mengaji larika kesitu, saya mengaji bisa bisa satu kali
hatam satu bulan jadi betul – betul dengan ini masalah Allah kasih ka
kesempatan untuk sholat, puasa senin- kamis sholat isro, pokoknya
mempersiapkan untuk bekal akhirat" (IK.AB, Pos. 157)

4.3.1.2.2 Norma Budaya

Norma budaya merupakan suatu cara hidup yang diwariskan dari generasi ke

generasi. Norma budaya dibentuk oleh beberapa unsur salah satunya, sistem agama.

Subjek AB dengan latar belakang budaya bugis banyak didominasi dengan sistem

agama islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat setempat.

Adanya keyakinan dalam agama islam bahwa perceraian merupakan suatu tindakan

yang dibenci oleh Allah kemudian ditransferkan pada norma budaya yang berlaku di

lingkungan subjek AB. Meskipun telah mengalami globalisasi, tetapi subjek AB

menjelaskan bahwa norma budaya terkait adanya larangan bercerai masih tertanam

dalam dirinya. Hal tersebut diketahui dari pernyataan berikut:

"Jaman dulu itu bugis, masih kental namanya norma-norma agama..


Perceraian itu hampir tidak ada kita lihat orang bercerai, karna itu yang
diajarkan orang-orang dulu" (IK.AB, Pos. 199)

"Artinya kan saya produk dulu, jadi biar ada youtube, televisi, hp apa segala
macam itu yang diajarkan ki sama orang tua itu masih tertanam jadi nda
ada itu istilah bercerai, sekarang memang orang seperti mami nda
ada .. Sudah cerai, ada juga cewe menggoda-menggoda." (IK.AB, Pos. 201)

Mempertahankan keutuhan rumah tangga dipahami oleh subjek AB sebagai

kewajiban seorang istri. Sehingga, perceraian dipandang sebaga wujud dari


57

kurangnya harga diri seorang istri serta ketidakmampuan istri untuk menjaga

kehormatan keluarga. Hal ini disampaikan oleh subjek AB pada kutipan berikut:

"Kalau dari keluarga saya dari awal dia suruh saya pisah. Ada yang
mendukung tapi lebih banyak yang menyuruh untuk pisah. Karena berpikir
tidak di kasih makan jeka, karena saya terima gaji, lebih baik pisah saja.
Tapi saya sebagai istri punya kewajiban juga berusaha mempertahankan,
berusaha memperbaiki" (IK.AB, Pos. 56)

“Tapi saya mentong nda mau minta cerai, karena kalau saya minta cerai dia
menang, karena na legalkan mi pernikahan nya. Apa mi dibilang orang?
Apalagi itu perempuan di Soppeng kita satu botto (kelurahan), pasti malu
dilihat ki seperti nda menjaga harga diri” (IK.AB, Pos. 177)

“Kita itu orang bugis, namanya perempuan harus punya harga diri harus
bisa jaga kehormantannya.. Bukan cuma kehormatannya tapi keluarganya
juga, jadi nda ada itu orang dulu mau cerai …” (IK.AB, Pos. 231)

4.3.1.2.3 Memasuki usia senja

Memasuki usia senja dimaknai sebagai masa perkembangan terakhir dalam hidup

manusia yang terjadi ketika telah memasuki usia 60 tahun. Subjek AB percaya bahwa

ketika telah memasuki usia senja maka seharusnya seseorang lebih mendekatkan

diri kepada Allah serta lebih banyak mengumpulkan pahala sebagai bekal di akhirat

kelak. Menurut subjek AB bercerai di usia tua bukanlah sebuah pilihan yang tepat

karena kerugiaan yang didapatkan lebih besar, khususnya trekait hubungan dengan

Allah.

"..Toh tapi yang sekarang ku pikir ini kalau minta cerai juga nda ada ji
gunannya, rugi ji karena dosa jeka saja. Jadi kubiarkanji saja begini karena
kalau cerai putus silaturahim" (IK.AB, Pos. 155)

"Kalau saya kupikir tua tong meka toh, mau juga kunikmati hidupku sama
Allah.. Kah artinya adaji hal lain yang bisa buat ka bahagia, kenapa ka mau
rusak karena satu masalah" (IK.AB, Pos. 175)

"Mending saya mengaji.. Artinya alihkan ke hal yang lain, ke agama artinya
lebih mendekatkan diri sama Allah daripada kita mau mengamuk atau apa
tidak adaji gunanya jadi saya berpikir lebih baik sama Allah ka, artinya ku
pikir apa lagi saya mau kejar sama sama tua mki juga" (IK.AB, Pos. 211)
58

“Tidak ada guna-gunanya (bercerai)..Sedikit lgi melangkah ke kuburan mki


apa mau didapat kalau kita tidak ikhlas menerima apa yang Allah kehendaki
toh" (IK.AB, Pos. 243)

Selain itu, subjek AB menuturkan bahwa pernikahan di usia senja sangatlah

berbeda dengan pernikahan usia muda. Pernikahan pada masa lanjut usia memiliki

fokus untuk mendekatkan diri kepada Allah agar ibadah lebih sempurna. Hal ini

karena tujuan pernikahan yang lainnya telah dicapai bersama.

“Untuk apa kita sudah tua mki, apalagi yang mau dikejar? na sudah mki
nikmati semuanya, adami anak, sekarang ada cucu.. Jadi tinggal sisa-sisa
umur mami toh. Jadi di kasih ka ini umur yang lapang. jadi bagaiamana
saya bisa khatam Quran, artinya rumah tangga itu kalau sudah tua mki
bagaimana kita mau saling membawa ke surga saja” (IK.AB, Pos. 237)

Subjek AB juga memandang bahwa ketika telah memiliki cucu, rumah tangga telah

menjadi keluarga yang tidak dapat dipisahkan.

“..Jadi begitumi kalau punyamki cucu artinya itu rumah tangga sudah jadi
keluarga yang tidak bisa ki mau putuskan silaturahmi, jadi ku ikhlaskanmi
karena memang maumi di apa” (IK.AB, Pos. 133)

4.3.1.2.4 Konsekuensi Menikah dengan Keluarga

Konsekuensi menikah dengan keluarga dimaknai sebagai dampak dari adanya

pernikahan dengan keluarga yang memengaruhi pengambilan keputusan AB untuk

bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan. Dalam tradisi budaya keluarga subjek

AB pernikahan lazimnya dilakukan melalui perjodohan, begitupun dengan subjek AB

yang menikahi saudara sepupunya. Hal ini memberikan dampak sulitnya untuk

memutuskan bercerai ketika menghadapi masalah karena akan memutuskan

silaturahmi dengan keluarga lainnya.

"tidak kah kita itu sama-sama keluarga galung, kalau mau cerai itu pasti
ada rasa tidak enak. Kumpul sama keluarga, nah itu ji itu ji juga keluarga,
masa mau putuskan silaturahmi na satu keluarga ki ini" (IK.AB, Pos.129)

“..dulu itu menikah, karna dia itu sepupu tiga kali ku. Jadi menikah itu supaya
sama-sama keluarga ini jadi lebih dekat, tapi baku suka memang jeka.
Apalagi kakak ku sama kakaknya juga menikah toh, jadi kenapa je’ mau ka
59

putuskan silaturahmi karna masalah begitu.. Artinya kuanggap begitu


memang menikah ada ada saja cobaannya” (IK.AB, Pos. 131)

Selain itu, subjek AB memandang bahwa ketika dia memutuskan untuk bercerai

maka, hubungannya dengan keluarga suaminya juga akan terputus. Padahal,

keluarga suaminya juga merupakan keluarganya, apalagi hubungan yang terjalin

antara subjek AB dan mertuanya sangat baik. Hal tersebut memengaruhi subjek AB

memutuskan untuk tetap bertahan dalam pernikahan meski mengalami kekerasan.

"Aiih tidak, kah saya karena saya ingat juga ibu nya itu baek sekali dia
restui saya, lebih na suka ka daripada anaknya saya tidak mau bercerai
karena kasian juga karena kalau saya bercerai tentu putus hubungan
dengan orangtua nya" (IK.AB, Pos. 155)

"ah ibunya na anggap ka sebagai anak, saya ji na percaya biar anaknya


pergi ndaji na pusingi..Saya ji nacari, jadi itu faktor utama nya saya mau
bertahan itu" (IK.AB, Pos. 155)

Tabel 4.3 Rekapitulasi Alasan Bertahan Subjek AB

Contoh Pernyataan yang


No Tema Kategori
Mendukung
Keyakinan pada
1. "Ku ikhlaskan apa yang terjadi… Tuhan (Keyakinan
Karena kupikir sedangkan itu pada Tuhan dimaknai
semua terjadi pasti dengan sebagai keyakinan
sepengetahuan Allah.. Semua yang pasti bahwa
sudah diatur mi begini begini, jadi Allah SWT
tinggal kita saja mau terima atau merupakan tuhan
tidak, itu yang saya pikir." Yang Maha Kuasa,
1 2. "Saya tahan-tahan karena saya artinya segala
Alasan
berpikir saya diuji, jangan sampai sesuatu yang ada di
bertahan
suatu saat dia bisa sadar..Bisa dunia telah diatur dan
dalam
baik, itumi dengan berpisah itu terjadi karena izin
pernikahan
kan jalan yang paling dibenci Allah begitupun
penuh
sama Allah jadi saya berusaha dengan kekerasan
kekerasan
perbaiki karena saya pikir saya dalam rumah tangga
diuji" yang dialami oleh
subjek AB)
1. "Jaman dulu itu bugis, masih Norma budaya
kental namanya norma-norma (Norma budaya
agama.. Perceraian itu hampir merupakan suatu
2
tidak ada kita lihat orang cara hidup yang
bercerai, karna itu yang diajarkan diwariskan dari
orang-orang dulu" generasi ke generasi.
60

2. “Kita itu orang bugis, namanya Norma budaya


perempuan harus punya harga dibentuk oleh
diri harus bisa jaga beberapa unsur salah
kehormantannya.. Bukan cuma satunya, sistem
kehormatannya tapi keluarganya agama)
juga, jadi nda ada itu orang dulu
mau cerai”
1. "Kalau saya kufikir tua tong meka
toh, mau juga kunikmati hidupku
sama Allah.. Kah artinya adaji hal Memasuki usia senja
lain yang bisa buat ka bahagia, (Memasuki usia senja
kenapa ka mau rusak karena dimaknai bahwa
satu masalah" ketika telah berumur
2. “Untuk apa kita sudah tua mki, lanjut usia maka
apalagi yang mau dikejar? na seharusnya
3 sudah mki nikmati semuanya, seseorang lebih
adami anak, sekarang ada cucu.. mendekatkan diri
Jadi tinggal sisa sisa umur mami kepada Allah serta
toh. Jadi di kasih ka ini umur lebih banyak
yang lapang. jadi bagaiamana mengumpulkan
saya bisa khatam Quran, artinya pahala sebagai bekal
rumah tangga itu kalau sudah tua di akhirat kelak)
mki bagaimana kita mau saling
membawa ke surga saja”
1. "tidak kah kita itu sama sama
keluarga galung, kalau mau cerai
itu pasti ada rasa tidak enak. Konsekuensi
Kumpul sama keluarga nah itu ji menikah dengan
juga keluarga, masa mau keluarga
putuskan silaturahmi na satu (Konsekuensi
keluarga ki ini" menikah dengan
2. “..dulu itu menikah, karna dia itu keluarga dimaknai
sepupu tiga kali ku. Jadi menikah sebagai dampak dari
4 itu supaya sama sama keluarga adanya pernikahan
ini jadi lebih dekat, tapi baku dengan keluarga
suka memang jeka. Apalagi yang memengaruhi
kakak ku sama kakaknya juga pengambilan
menikah toh, jadi kenapa je’ mau keputusan untuk
ka putuskan silaturahmi karna bertahan dalam
masalah begitu.. Artinya pernikahan penuh
kuanggap begitu memang kekerasan)
menikah ada ada saja
cobaannya”
61

Berdasarkan uraian dari hasil wawancara bersama subjek AB yang berstatus

sebagai istri berpenghasilan tetap, ditemukan empat tema terkait alasan AB bertahan

dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, keyakinan pada Tuhan, norma budaya,

memasuki usia senja, dan konsekuensi menikah dengan keluarga. Hasil temuan

tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2

Gambar 4.2 Hasil temuan alasan bertahan subjek AB

4.3.1.3 Subjek RF

Berdasarkan hasil olah data yang dilakukan diperoleh empat tema utama terkait

alasan subjek RF bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, bertahan demi

anak, malu pada tetangga, konsekuensi legal, dan asa suami akan berubah.

Selanjutnya akan dijabarkan masing-masing alasan subjek RF bertahan dalam

pernikahan penuh kekerasan yang diperoleh selama proses pengumpulan data.


62

4.3.1.3.1 Bertahan Demi Anak

Bertahan demi anak dimaknai sebagai upaya bertahan dalam pernikahan demi

anak-anak, meskipun sebenarnya pernikahan tidak lagi menjadi hubungan yang

nyaman. Subjek RF memahami bahwa jika pernikahannya berakhir maka, anak-anak

akan menjadi korban dari keputusan tersebut, apalagi saat masa sulit pernikahannya

anak-anak RF masih remaja. Hal tersebut tampak dari pernyataan RF berikut:

"Anak-anak juga bilang toh “kasian kita semua ma klo kita pisah” tapi
sebenarnya tidak kuat juga kadang, dengan orangnya memang selalu
tinggalkan rumah, maksudnya bukan karena perempuan itu dia tinggalkan
rumah, tapi karena memang pekerjaannya diluar begitu." (IK.RF, Pos. 50)

"Dengan ketidaknyamanan tante selama 4 tahun hidup serumah itu.. Tidak


nyaman tapi bertahan saja sampai anak-anak besar semua" (IK.RF,
Pos.186)

Anak merupakan faktor penting yang dipertimbangkan oleh subjek RF dalam

mengambil keputusan atas permasalahan yang dihadapi. Adanya kekhawatiran

terkait nasib anak-anaknya ke depan jika terjadi perceraian membuat RF rela

bertahan dalam pernikahan penuh dengan kekerasan. Secara khusus, RF

mengkhawatirkan nasib anak perempuannya.

"Karena mungkin masalahnya memang ada di tante.. Seperti sudah tidak


ada kepercayaan kalau dia ke kantor, mungkin juga om merasa dia jujur,
tidak kemana mana juga ikut marah karena tertuduh. Jadi tante mengalah
saja, karena kalau bertengkar terus, kasian anak anak masuk ke kamar.
Kan tante punya anak satu perempuan tiga laki-laki, ini yang paling
terbebani yang perempuan ini…." (IK.RF, Pos.78)

"Kakak yang perempuan kan SMA dulu, sering sakit-sakitan. Jadi itu kakak
dulu, kalau pulang dari sekolah dia seperti orang kerasukan itu dadanya
seperti di tusuk batu, nanti sudah di infus satu botol baru lega mungkin
terlalu banyak dipendam. Maksudnya dia cewek kasian, kasian kalau tiba
tiba orangtuanya harus berpisah" (IK.RF, Pos.80)

Kekhawatiran RF pada masa depan anak perempuannya yaitu, apabila dirinya

bercerai maka, anak perempuannya tidak diterima oleh lingkungan sosialnya karena

memiliki keluarga yang tidak utuh.


63

"Malu kalau orang tuanya harus berpisah, apalagi kalau dia sudah pacar,
kan kita tidak tahu kalau dia sudah punya. Jangan-jangan dijauhi karena
keluarganya dilihat kacau begitu." (IK.RF, Pos.80)

"..Artinya bagaimana anak anak toh maksudnya tidak ada bapaknya kasian
perasaan nya apalagi ada kakak satu perempuan toh gadis kalau bicara
tentang kakak.. Aduh itu yang tante kasian… Bagaimana saat itu dia sudah
punya pacar begitu toh" (IK.RF, Pos.224)

"Tante punya satu kan anak perempuan itu mi yang namanya y sekarang di
wahidin yang laki-lakinya mungkin masa bodoh toh kalau dia orang tuanya
bercerai, tapi bagaimana keluarganya kasian belum tentu dia bisa diterima"
(IK.RF, Pos.226)

RF menganggap bahwa dirinya sebagai seorang ibu memiliki tanggung jawab

untuk berusaha mempertahankan rumah tangga yang telah dibentuk demi anak-

anaknya. Bahkan, RF yang kerap mendapatkan kekerasan verbal dan psikis dari

sang suami mengesampingkan perasaannya yang ingin bercerai demi kebutuhan

anak-anaknya memiliki kasih sayang dan sosok orang tua yang lengkap dalam

keluarga yang utuh. Selain itu, adanya anggapan RF bahwa anak dengan orang tua

bercerai lebih rentan melakukan perilaku menyimpang.

"…“Karena kamu kan andai kamu jadi anak nakal, jadi anak nakal untung
kau tidak jadi anak nakal lihat bapakmu menikah lagi”. Bisa jadi
narkoba, bisa jadi apa. Jadi itu saja, kecewa..Kecewa tapi setidaknya
keluarganya masih utuh jadi, dia bisa terima ." (IK.RF, Pos.142)

"…Tapi seandainya tante tidak bertahan, tidak sabar, ini anak-anak


kan dia bisa nakal karena mungkin kecewa, karena tante dia kehilang sosok
bapaknya, karena tante keluarganya hancur…. Coba sekarang, tante
sabar toh akhirnya dia, anak anak masih mau sama tante, ini yang laki laki.
Kalo nda diliat tante, “dimana bermalam mama?” Selalu dicari tante di grup
“dimana mama?”." (IK.RF, Pos.146)

Sosok suami juga dipandang RF sebagai bapak yang baik untuk anak-anaknya.

Meski bukan sosok suami yang baik untuk RF, tetapi ini menjadi pertimbangan RF

untuk tetap bertahan dalam pernikahannya yakni, agar anak-anaknya tetap dapat

melihat sosok bapak yang baik.


64

"..Maksudnya kayak shalat nya, shalat nya om itu baik sekali, justru om itu
yang paling tidak pernah lambat kalau shalat toh tepat waktu, pokoknya bapak
yang baik untuk anak-anaknya.. Tapi itu saya heran, cuman itu maksudnya
kan tante dapati itu berzina terus dengan itu perempuan, Tapi itu nilai agama
nya yang dia terapkan agama ke anak-anak nya bagus dia terapkan ke anak-
anaknya bagus, sampe sekarang anak-anak nya sudah berumah tangga
masih sering dikasih tahu agama." (IK.RF, Pos.242)

"Iya baik, istilahnya dia penyayang perhatian kepada anak anak shalat nya
baik, Jadi begini saja, kalau begini paling tidak masih ada sosok bapak yang
anak-anak bisa lihat.." (IK.RF, Pos.246)

4.3.1.3.2 Malu pada tetangga

Malu pada tetangga dimaknai sebagai adanya perasaan tidak enak hati kepada

tetangga karena berbuat sesuatu yang kurang baik yang berbeda dari kebiasaan,

dalam hal ini perceraian. Subjek RF yang berperan sebagai kepala sekolah di salah

satu SD Negeri di dekat rumahnya dikenal baik oleh warga sekitar, begitupun

suaminya sebagai tentara. Hubungan pernikahan mereka dipandang oleh warga

sekitar sebagai hubungan yang harmonis, hingga dijadikan panutan bagi warga lain

dalam berumah tangga. Hal ini diakui oleh RF bahwa jika tetangganya mengalami

masalah dalam rumah tangga, mereka akan meminta saran kepada RF dan suami.

Sehingga, perceraian dipandang sebagai alternatif pilihan yang lebih banyak

memberikan dampak negatif bagi RF.

"Kalau tante bercerai malunya minta ampun, dan pasti akan terdampak
sekali kita dengan tetangga karena kita yang jadi panutan di BTN itu toh,
kita yang jadi panutan kayak segala sesuatu liat ke om dan tante"
(IK.RF, Pos.120)

"Iya seperti mereka melihat pernikahan om dan tante itu yang dicontoh, karena
panutannya itu kasih sayangnya om ke keluarga, tidak pernah om keluar kalau
tidak dengan kita semua, waktu masih di pakkatto saya tinggal di Rindam
tentara, tidak mau ke Makassar kalau tidak dengan tante. Selalu menunjukkan
kasih sayangnya itu tidak mau keluar kalau tidak sama tante dengan anak-
anak." (IK.RF, Pos.124)
"Itu kalau ada masalah keluarganya, masalah tetangga lari ke kita semua. Toh
kita dapat masalah begini, malunya minta ampun..Malu"
(IK.RF, Pos.126)
65

"..Itulah maksudnya kita orang dikenal jadi panutan begitu yah biar di asrama
dulu yah begitu juga" (IK.RF, Pos.220)
Perasaan malu yang dirasakan oleh RF terus berlanjut hingga sekarang, bahkan

ketika dirinya sudah tidak lagi hidup satu rumah dengan suaminya. Meski RF

menyadari bahwa tetangganya penasaran mengapa dia dan suami tak tinggal

serumah, tetapi dirinya bersyukur karena suaminya masih sering datang ke

rumahnya. Berikut pernyataan yang disampaikan oleh subjek NV:

"Sudah kan, om tinggal sama itu perempuan, menikah siri mereka, nanti
ada apa..Ada apa baru dia pulang kerumah..Itu lagi rasa malunya tinggi
sekali. Tapi sebenarnya tidak ada berani tetangga tanya “kemana bapak?”
Tidak ada yang berani tanya kemana bapak, nanti saja pas bapak datang
baru dia tanya langsung “darimana ki pak?” Tapi malu iya malu…Pastimi
orang tertuju ke kita karena kan BTN disitu kecilji” (IK.RF, Pos.126)

"Kalau rasa malu itu malu sekali, tapi untungnya setelah itu 3 tahun pisah itu
bapak mulai mi lagi datang kerumah. Kalau biasanya juga kan tante mengajar
jadi selalu tinggalkan rumah pulang tinggal masuk rumah lagi" (IK.RF,
Pos.126)
Keputusan untuk tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan karena adanya

perasaan malu sama tetangga juga tidak lepas dari sifat yang dimiliki oleh subjek RF

yang mengatakan bahwa dirinya tidak tahan memikirkan omongan orang tentang

dirinya.

"iyaa, tante orangnya tidak tahan dengan omongannya orang, tante kan
orangnya tertutup, tante orang tertutup" (IK.RF, Pos.270)

“Jadi mungkin semua orang ngomong tidak bicarakan itu, tapi tante kalau liat
orang ngumpul walaupun mungkin bukan bicara tentang rumah tangga nya
tante, tante pasti merasa..” (IK.RF, Pos.274)

4.3.1.3.3 Konsekuensi Profesi

Konsekuensi profesi dimaknai sebagai timbulnya dampak negatif jika terjadi

perceraian yang telah diatur dalam hukum bagi RF sebagai PNS dan suaminya

sebagai tentara. Sebagai abdi negara keduanya memiliki peran di dalam masyarakat
66

sebagai teladan dalam tutur dan tindakan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga.

Hal tersebut telah di tuliskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

sehingga, ada prosedur tersendiri yang harus dilakukan RF jika dirinya memilih untuk

bercerai, yang mana prosedur tersebut dianggap meyulitkan bagi RF.

"..Jadi om ini tidak mengajukan karena dia tentara, tante juga kan tante
pegawai negeri, kalau kita pegawai negeri kita terikat sama negara, jadi kalau
mau bercerai itu harus minta izin sama atasannya dulu tante dan itu susah
izinnya" (IK.RF, Pos. 194)

"Susah, ribet karena kayaknya nda mengganggu juga ji toh, dia nda
mengganggu saya jga nda mengganggu, saya bebaskan dia tinggal sama itu
perempuan kalau mau datang, datang.. Jadi begitu jalan nya begitu saja"
(IK.RF, Pos. 198)

"..Malaska mengurus karena itu saya tidak mau berhubungan dengan orang"
(IK.RF, Pos. 282)

Prosedur perceraian yang harus dihadapi oleh RF dan suaminya turut berperan

dalam memengaruhi keputusan RF untuk bertahan. Selain perlu melewati prosedur

yang panjang, RF juga mengatakan bahwa dalam mengajukan izin perceraian dirinya

perlu memiliki alasan yang jelas. Sedangkan, alasan dasar dirinya ingin menggugat

cerai karena suaminya selingkuh atau dalam perundang-undangan termasuk zina,

tentu alasan tersebut dapat mengancam karir suaminya. RF sendiri tidak ingin jika

suaminya harus kehilangan pekerjaan karena bercerai, selain itu RF juga tidak ingin

jika orang lain mengetahui permasalahan yang ada dalam rumah tangganya.

"…Kalau dulu kan memang tante tidak bisa, dia juga tentara nda bisa ceraikan
tante, Karena tante pegawai negeri toh, kalau pegawai negeri kan harus minta
izin sama atasan dulu banyak mau diurus-urus, harus juga jelas alasannya
toh. Kalau alasannya kayak begitu kan malu...Orang yang tadinya tidak tahu
jadi tahu." (IK.RF, Pos. 200)

"Kasihan juga kalau tante melapor cerai diatasannya, bahaya itu konsekuensi
nya dia bisa di pecat" (IK.RF, Pos. 216)

"Karena bagaimana yah, karena kita kan sudah tua malu kalau cerai, coba
masih muda – muda begitu, masih awal – awal pernikahan, mungkin tidak ini
sama orang toh.. Tapi kalau masa tua begini baru kita mau melapor na masih
67

berapa tahun itu om pensiun waktu itu, kan dia pensiun 2019 masih berapa
tahun barukan kita dikenal semua, tante itu dengan om dikenal, jadi kalau
tante pergi melapor langsung jadi pusat perhatian" (IK.RF, Pos. 218)

4.3.1.3.4 Asa bahwa suami akan berubah

Asa bahwa suami akan berubah dimaknai sebagai pengharapan RF bahwa suatu

saat suaminya dapat berubah yang didasari oleh pengalaman masa lalu RF dengan

suami. Meski sering mengalami kekerasan verbal dan kekerasan psikis RF memiliki

harapan bahwa suaminya akan berubah, hal ini dikarenakan selama 25 tahun

membina rumah tangga dia mengenal suaminya sebagai sosok suami yang baik. Hal

tersebut tampak dari pernyataan RF berikut:

"Jadi itu selama 25 tahun bahagia tidak ada kendala, nanti setelah tante dapati
dia selingkuh. Pokoknya sudah tidak ada apa namanya…Hampir tidak ada
lagi perlakuan baiknya. Tapi tante masih berusaha untuk memperbaiki. Siapa
tau dia masih bisa berubah" (IK.RF, Pos. 28)

"Dia itu selama yang kukenal dia orangnya baik sudah dari sebelum menikah,
apalagi sudah menikah, baik sama tante, tapi Cuma karena itu saja dia ketemu
sama itu perempuan dia berubah..Jadi tante yakin ada saatnya dia berubah"
(IK.RF, Pos. 30)

Ekspektasi yang terbangun dari RF kepada suaminya juga dipengaruhi oleh

pengalaman masa lalu RF ketika belum menghadapi masa sulit dalam

pernikahannya, yang mana pernikahan dipandang sebagai hubungan yang

membuatnya merasa nyaman. Selain itu, sebelum terjadi perselingkuhan RF melihat

suaminya sebagai sosok suami yang baik.

"Karena begini nak, saya pikir sebelum dapati dengan perempuan itu, rumah
tangga adem sekali, dia datang nyaman sekali. Jadi tante mau coba lagi
setelah dia selingkuh siapatau bisa damai lagi kayak dulu." (IK.RF, Pos. 66)

"Betul, perhatiannya, kasih sayangnya, megalah nya begitu pokoknya


perhatian sekali, dia lebih baik mengalah daripada harus kita bertengkar dulu
sebelum kenal dengan perempuan begitu, dengan keluarga maksdunya
dengan bapak mama semua adik adik nya tante semua diperhatikan semua,
kasih sayang nya tinggi sekali" (IK.RF, Pos. 182)
68

"Siapa tau juga om akan berubah begitu... Jadi maksudnya, itu sudah tidak
nyaman semenjak sudah tau itu, memang sifatnya nda seperti dulu lagi..
Begitu sudah tidak seperti dulu lagi. Tapi kita tidak tahu hati kapan saja bisa
berbalik" (IK.RF, Pos. 186)

Harapan bahwa suaminya dapat berubah juga dapat dipengaruhi oleh adanya

permintaan maaf yang dilakukan suami RF kepada dirinya. Meski setelah meminta

maaf suami RF tetap melakukan kesalahan tersebut tetapi, RF tetap memaafkan

dengan anggapan bahwa selama 25 tahun berumah tangga dia selalu merasa

bahagia. Berikut kutipan wawancara RF yang mendukung pernyataan tersebut:

"Dia minta maaf itu sudah dua minggu tiga minggu begitu lagi, jadi itu sudah..
Seperti apa, kebiasaan" (IK.RF, Pos. 62)

“Tante maafkan karena kan kita ini sudah berumah tangga sudah lama..
Selama 25 tahun saya menikah dengan ini bapak rasanya itu indah terus, baru
saja setelah itu dia berubah." (IK.RF, Pos. 64)

Tabel 4.4 Rekapitulasi Alasan Bertahan Subjek RF

Contoh Pernyataan yang


No Tema Kategori
Mendukung
1. "Anak-anak juga bilang toh
“kasian kita semua ma klo kita
pisah” tapi sebenarnya tidak
kuat juga kadang, dengan
orangnya memang selalu
tinggalkan rumah, maksudnya
bukan karena perempuan itu Bertahan demi anak
dia tinggalkan rumah, tapi (Bertahan demi anak
karena memang pekerjaannya dimaknai sebagai Alasan
diluar begitu." upaya bertahan dalam bertahan
2. "Kakak yang perempuan kan pernikahan demi anak- dalam
1
SMA dulu, sering sakit sakitan. anak, meskipun pernikahan
Jadi itu kakak dulu, kalau sebenarnya pernikahan penuh
pulang dari sekolah dia seperti tidak lagi menjadi kekerasan
orang kerasukan itu dadanya hubungan yang
seperti di tusuk batu, nanti nyaman)
sudah di infus satu botol baru
lega mungkin terlalu banyak
dipendam. Maksudnya dia
cewek kasian, kasian kalau tiba
tiba orangtuanya harus
berpisah"
69

1. "Kalau tante bercerai malunya


minta ampun, dan pasti akan
Malu pada tetangga
terdampak sekali kita dengan
(Malu pada tetangga
tetangga karena kita yang jadi
dimaknai sebagai
panutan di BTN itu toh, kita
adanya perasaan tidak
yang jadi panutan kayak segala
enak hati kepada
sesuatu liat ke om dan tante"
2 tetangga karena
2. “Jadi mungkin semua orang
berbuat sesuatu yang
ngomong tidak bicarakan itu,
kurang baik yang
tapi tante kalau liat orang
berbeda dari
ngumpul walaupun mungkin
kebiasaan, dalam hal
bukan bicara tentang rumah
ini perceraian)
tangga nya tante, tante pasti
merasa..”
1. "…Kalau dulu kan memang
tante tidak bisa, dia juga tentara
nda bisa ceraikan tante, Karena
Konsekuensi profesi
tante pegawai negeri toh, kalau
(Konsekuensi profesi
pegawai negeri kan harus minta
dimaknai sebagai
izin sama atasan dulu banyak
timbulnya dampak
mau diurus-urus, harus juga
negatif jika terjadi
3 jelas alasannya toh. Kalau
perceraian yang telah
alasannya kayak begitu kan
diatur dalam hukum
malu...Orang yang tadinya tidak
bagi RF sebagai PNS
tahu jadi tahu."
dan suaminya sebagai
2. "Kasihan juga kalau tante
tentara)
melapor cerai diatasannya,
bahaya itu konsekuensi nya dia
bisa di pecat"
1. "Jadi itu selama 25 tahun
bahagia tidak ada kendala,
nanti setelah tante dapati dia
selingkuh. Pokoknya sudah
tidak ada apa Asa bahwa suami akan
namanya…Hampir tidak ada berubah (Asa bahwa
lagi perlakuan baiknya. Tapi suami akan berubah
tante masih berusaha untuk dimaknai sebagai
memperbaiki. Siapa tau dia pengharapan RF
4 masih bisa berubah" bahwa suatu saat
2. "Karena begini nak, saya suaminya dapat
berpikir sebelum dapati dengan berubah yang didasari
perempuan itu, rumah tangga oleh pengalaman masa
adem sekali, dia datang lalu RF dengan suami)
nyaman sekali. Jadi tante mau
coba lagi setelah dia selingkuh
siapatau bisa damai lagi kayak
dulu."
70

Berdasarkan wawancara yang dilakukan bersama RF diperoleh empat tema

alasan RF bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan meski memiliki penghasilan

tetap yakni, bertahan demi anak, malu pada tetangga, konsekuensi legal, dan asa

suami akan berubah. Hasil temuan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.3

Gambar 4.3 Hasil temuan alasan bertahan subjek RF

4.3.2 Rekapitulasi Hasil Temuan Keseluruhan Subjek

Berdasarkan uraian hasil wawancara yang telah dilakukan pada ketiga subjek

terdapat sebelas tema alasan istri berpenghasilan tetap bertahan pada pernikahan

penuh kekerasan yakni, keyakinan pada Tuhan, bertahan demi anak, kekerasan

sebagai bagian dari pernikahan, sejarah keluarga, konsekuensi logis pendidikan

tinggi, norma budaya, memasuki usia senja, konsekuensi menikah dengan keluarga,

malu pada tetangga, konsekuensi profesi, dan asa bahwa suami akan berubah.

Rekapitulasi hasil wawancara keseluruhan subjek dapat dilihat pada gambar 4.4
71

Gambar 4.4 Rekapitulasi hasil temuan keseluruhan subjek

4.4 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami mengapa istri

berpenghasilan tetap memutuskan untuk bertahan dalam pernikahan penuh

kekerasan. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan secara inductive-thematic,

diperoleh sebelas tema alasan istri berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan

penuh kekerasan. Meski masing-masing subjek dipengaruhi oleh atribut psikologis

yang berbeda, namun dari keseluruhan subjek diperoleh dua tema yang dapat
72

merepresentasikan alasan istri berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan

penuh kekerasan yakni, spiritualitas dan bertahan demi anak. Sedangkan, tema

masing-masing subjek sebanyak delapan tema yakni, kekerasan sebagai bagian dari

pernikahan, sejarah keluarga, konsekuensi logis pendidikan tinggi, norma budaya,

memasuki usia senja, konsekuensi menikah dengan keluarga, malu pada tetangga,

konsekuensi profesi, dan asa suami akan berubah.

4.4.1 Spiritualitas

Spiritualitas merupakan konsep yang luas terkait pengalaman subjektif seseorang

terhadap sesuatu yang relevan secara eksistensial untuk individu tersebut.

Spiritualitas biasanya berkaitan dengan sistem kepercayaan individu yang membantu

untuk mencapai kesadaran tertinggi hingga transendensi diri. Hal tersebut juga

ditemukan dalam hasil penelitian ini.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dua dari tiga subjek memandang

bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya merupakan takdir terbaik

yang diberikan oleh Tuhan kepada dirinya. Pernyataan tersebut menggambarkan

adanya kesediaan untuk percaya terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan

besar, dalam hal ini Tuhan. Hal tersebut dapat dijelaskan menggunakan teori

spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan. Secara garis besar, Spilka (1993, dalam

Saifuddin 2019) menjelaskan bahwa spiritualitas terbagi menjadi tiga kategori yakni,

spiritualitas berkaitan dengan Tuhan, spiritualitas berkaitan dengan ekologi dan alam,

terakhir spiritualitas berkaitan dengan hubungan sesama manusia.

Kategori Spiritualitas yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu, spiritualitas

berkaitan dengan Tuhan yakni, sesuatu yang berorientasi pada Tuhan yang

umumnya berhubungan erat dengan agama. Secara sederhana, agama adalah

segala pikiran untuk percaya kepada sesuatu Yang Maha Segalanya, yang kemudian
73

memunculkan perasaan takut dan tunduk sehingga melakukan setiap perilaku yang

berwujud ritual keagamaan dan perilaku yang sesuai dengan norma agama yang

diyakini (Saifuddin, 2019). Sebagaimana yang tergambarkan dari hasil wawancara,

NV dan AB selalu menghadirkan Tuhan dalam setiap tindakan dan pikirannya

sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan mereka, adalah

pemberian dari Tuhan termasuk cobaan yang mereka hadapi. Mereka meyakini

bahwa setiap cobaan adalah hal baik bagi mereka, dan tidak mungin melebihi

kemampuan mereka. Ketundukan mereka terhadap Tuhan, membuat mereka

menghindari segala sesuatu yang Tuhan tidak sukai.

Pernyataan sebelumnya relevan dengan pandangan subjek NV dan AB bahwa

pernikahan merupakan suatu peristiwa sakral yang tidak hanya disaksikan oleh

sesama manusia tetapi juga disaksikan oleh Tuhan, hal ini menimbulkan perasaan

malu dan takut pada NV dan AB jika memutuskan untuk bercerai. Pandangan

tersebut menggambarkan kehadiran Tuhan dalam pernikahan mereka yang

memberikan motivasi untuk senantiasa menjaga keutuhan pernikahan.

Sederhananya dijelaskan oleh Dudley dan Kosinski bahwa kesetiaan pernikahan

dipengaruhi oleh adanya iman atau kepercayaan terkait kesucian pernikahan yang

menghantarkan pada meningkatnya komitmen perkawinan, memperkuat nilai-nilai

moral, dan meningkatkan hubungan mereka dengan Tuhan. Goodman & Dollahite

menambahkan bahwa melibatkan Tuhan dalam pernikahan berorientasi untuk

menjaga kesatuan pernikahan (Hood, Hill, & Spilka, 2018).

Keterkaitan antara spiritualitas dan agama secara lebih jelas dikemukakan oleh

Newman (2004 dalam Saifuddin, 2019) bahwa dinamika keyakinan, agama, dan

spiritualitas. Newman menjelaskan bahwa kepercayaan berkaitan dengan sikap

mengetahui atau knowing. Dengan mengetahui seseorang dapat memercayai dan


74

meyakini sesuatu, hal ini selaras dengan yang diketahui oleh NV dan AB bahwa

perceraian merupakan sesuatu yang dibenci oleh Tuhan.

Selanjutnya pengetahuan tersebut diimplementasikan oleh NV dan AB dalam

kehidupannya, yang mana hal ini telah melibatkan praktik ajaran agama atau doing.

Adapun spiritualitas berubungan dengan penghayatan mendalam kepercayaan dan

praktik agama sehingga menjadi pribadi yang baik atau being. Kondisi ini

digambarkan dari hasil wawancara NV yang menghayati dengan menjauhi larangan

dan segala sesuatu yang dibenci oleh Tuhan dirinya merasakan dirinya dapat

mengembangkan dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Hal serupa juga

ditunjukkan dari hasil wawancara AB yang memandang bahwa dengan iman dan

takwa masalah yang dihadapinya justru memberikan kesempatan untuk lebih

mendekatkan diri kepada Tuhan dengan memperbanyak beribadah dan berdoa.

Sejalan dengan penghayatan NV dan AB, keduanya merasakan kehadiran Tuhan

sebagai sosok pengasih dan penyayang. NV mengatakan bahwa konflik dalam rumah

tangganya merupakan bentuk kasih sayang Tuhan melalui cobaan agar dirinya

menjadi sosok yang kuat. Sedangkan, AB memandang dibalik kekerasan yang

dialaminya terdapat hadiah yang sedang Tuhan persiapkan untuk dirinya. Temuan

tersebut berkaitan dengan penjelasan Nelson (2009) bahwa seseorang yang melihat

Tuhan sebagai sosok pengasih dan penyayang sangat relevan dengan deferring

coping yakni, bentuk coping menyerahkan segala masalah kepada Tuhan.

Deferring coping sebagai respon pikiran dan perilaku dalam mengatasi konflik

yang dihadapi memberikan NV dan AB motivasi untuk bertahan dalam pernikahan

penuh kekerasan. Hal ini karena deferring coping mengarahkan individu untuk

memiliki God locus of control. Karakteristik locus of control ini digambarkan dari hasil

wawancara NV dan AB yang meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
75

kehidupan mereka merupakan ketetapan Tuhan, termasuk kekerasan yang mereka

alami. Oleh karena itu, keduanya berserah diri dan ikhlas menjalani apa yang telah

ditetapkan kepada mereka.

Nelson (2009) menambahkan bahwa god locus of control berhubungan positif

dengan keterampilan mengelola stres serta tingkat depresi yang lebih rendah. Hal ini

karena terdapat fokus positif pada pemecahan masalah melalui dimensi agama.

Pandangan terkait Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengatur membuat

individu yang menghadapi situasi sulit mendapatkan dukungan secara spiritual

sehingga, individu cenderung melakukan perbuatan yang dianggap baik dan

menghindari perbuatan yang dapat merusak hubungannya dengan Tuhan.

Lebih lanjut, hasil wawancara bersama AB menunjukkan adanya pandangan

bahwa bercerai bukanlah sebuah pilihan yang tepat dilakukan di usianya yang

memasuki usia senja, karena akan merusak hubungan AB dengan Tuhan-Nya. Hal

ini karena lansia mengalami adanya perubahan psikokososial yang melibatkan

proses transisi kehidupan dan kehilangan. Ratnawati (2017) menambahkan bahwa

kehilangan yang dialami lansia menghantarkan mereka sadar terhadap kematian.

Hubungan antara kesadaran akan kematian dan spiritualitas pada lansia

dijelaskan oleh Hood et al (2018) bahwa diantara orang-orang lanjut usia, agama

merupakan suatu kenyataan yang membantu mereka untuk dapat mengatasi

permasalahan yang ada dalam kehidupan dan meningkatkan rasa kontrol serta harga

diri mereka. Sedangkan, Hayward (2015, dalam Hood et al, 2018) menjelaskan lansia

yang mengintegrasikan agama dengan keadaan hidup mereka berkorelasi pada

perasaan coping. Bentuk coping digambarkan pada hasil wawancara AB yang

menyatakan dirinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk memperkuat

hubungannya dengan Tuhan melalui ibadah yakni, shalat, puasa, dan mengaji
76

dibandingkan fokus pada kekerasan yang dialami. Hal ini dijelaskan oleh Hood, Hill,

& Spilka (2018) bahwa beribadah merupakan suatu strategi coping yang baik karena

memberi perasaan kontrol pada diri individu terhadap situasi konflik.

Perasaan kontrol terhadap situasi menurut Granqvist (2003, dalam Hood et all.,

2018) berhubungan pada secure attachment yakni, keterikatan dengan perasaan

aman yang memungkinkan individu melakukan kompensasi untuk mengendalikan

situasi sulit. Di sisi lain, individu yang memperoleh secure attachment dari proses

spiritualitas lebih terlibat dengan pencarian makna dari situasi sulit yang hadapi.

Sesuai dengan hasil penelitian, baik NV dan AB keduanya meyakini makna

kekerasan di dalam rumah tangga sebagai ujian yang diberikan Tuhan dan akan

mendapatkan imbalan yang lebih baik jika dirinya dapat melewatinya dengan tabah

dan ikhlas.

Berkaitan dengan temuan penelitian, informan ahli mengatakan bahwa

spiritualitas memengaruhi istri untuk bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan

merujuk pada value atau nilai yang dimiliki oleh individu. Value tersebut dapat

berkembang didalam diri individu melalui sistem keluarga. Sebagaimana penelitian

ini mengungkap bahwa sejak kecil AB telah diajarkan nilai-nilai agama oleh orang

tuanya. Salah satu nilai agama yang diajarkan kepada AB yaitu, yakin dan

menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan.

Lebih lanjut, Informan ahli menjelaskan value yang dimiliki individu dapat

mengarahkan pada mindset tradisional bahwa apapun yang terjadi, pernikahan tetap

harus dipertahankan. Padahal, dalam agama perceraian diperbolehkan jika kepala

keluarga sudah melakukan tindakan diluar batas atau lebih banyak memberikan

dampak buruk bagi diri individu. Sama halnya dengan kekerasan yang dialami oleh
77

istri tentu memberikan pengaruh buruk bagi kehidupannya terutama secara

psikologis.

4.4.2 Bertahan Demi Anak

Bertahan demi anak merupakan suatu pengetahuan umum bahwa anak dapat

menjadi korban dari adanya perceraian orang tua. Pemahaman ini ditemukan dari

hasil wawancara NV dan RF yang memandang bahwa anak yang tumbuh dalam

keluarga yang bercerai lebih berpeluang melakukan perilaku menyimpang, sehingga

mereka lebih memilih untuk bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan. Hal ini

tidak terlepas dari adanya pemberian label negatif pada anak keluarga broken home,

beberapa orang menganggap bahwa anak dari keluarga broken home memiliki

kehidupan yang bobrok, bebas, tidak terurus, dan lain sebagainya. Sejalan dengan

fenomena tersebut Safira (2018) mengatakan bahwa terdapat kondisi dalam

masyarakat yang melihat anak dengan orang tua bercerai identik dengan anak-anak

yang nakal, sehingga anak-anak dengan orang tua bercerai terkena dampak sosial

berupa stigma.

Tidak jauh berbeda, RF juga menyadari adanya beban psikologi kultural pada anak

dengan orang tua bercerai, khususnya pada anak perempuan. Dalam hasil

wawancara RF meyakini hal tersebut dipicu karena adanya perasaan malu pada anak

perempuannya jika orang tuanya bercerai. Hal tersebut berkaitan dengan

kekhawatiran bahwa anaknya tidak dapat diterima dilingkungan sosial karena berasal

dari keluarga yang tidak utuh, apalagi jika nantinya ingin membina rumah tangga.

Secara sederhana, temuan Febiyanti (2021) mengungkap bahwa perceraian

dipandang sebagai sebuah aib yang terkesan dapat mengurangi status sosial,

identitas sosial, bahkan nilai prestise seorang perempuan.


78

Pemberian stigma pada anak dengan orang tua bercerai berdampak pada harkat

dan martabat anak perempuan. Terdapat sebuah pemikiran pada masyarakat

tradisional yang memandang anak perempuan sebagai calon ibu selayaknya tumbuh

dari keluarga yang baik-baik, sebab perempuan menjadi faktor utama berhasil

tidaknya sebuah rumah tangga. Dengan begitu, menikahi perempuan dari orang tua

yang bercerai diyakini dapat meningkatkan peluang terjadinya perceraian di

kemudian hari.

Pada teori watak bangsa, Danandjaja (1994) menjelaskan bahwa setiap kultur

merupakan sumber nilai bagi masyarakatnya, serta dijadikan sebagai kerangka

acuan untuk berperilaku agar dapat mengukuhkan jati diri sebagai bagian dari

kebersamaan budaya tersebut. Seperti yang dikatakan oleh RF bahwa jika dirinya

bercerai anak perempuannya belum tentu dapat diterima dengan keluarga calon

suaminya kelak. Demikian, sulit bagi RF terlepas dari pemikiran tersebut sehingga

menghantarkan dirinya pada keputusan untuk bertahan dalam pernikahan penuh

kekerasan.

Lebih lanjut stigma yang memengaruhi keputusan NV untuk bertahan yaitu, adanya

stigma janda. Hasil wawancara memperlihatkan adanya kekhawatiran anak NV jika

ibunya menyandang status janda, hal ini diutarakan oleh NV bahwa anak laki-lakinya

pernah meminta dirinya untuk tidak bercerai karena takut adanya bullying dari teman

sebaya apabila ibunya men-janda. Kondisi ini relevan dengan temuan Naufaliasari &

Andriani (2013) mengungkap salah satu stressor yang mendatangkan stress pada

istri yang menyandang status janda yakni, sikap masyarakat terhadap status janda.

Sementara itu, keputusan NV untuk bertahan demi anak juga berkaitan pada

pemenuhan hak-hak anak. Terdapat kekhawatiran NV jika dirinya memutuskan untuk

bercerai, suaminya lalai dalam memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Meski


79

dirinya mampu untuk membiayai kehidupan anak-anaknya namun, NV tidak ingin

menyakiti anaknya jika suaminya melupakan perannya sebagai bapak. Pernyataan

NV ini diperkuat dengan temuan Nurlian & Daulay (2008) yang mengungkap bahwa

terdapat budaya yang tetap menempatkan suami sebagai pencari nafkah, hal ini

dikarenakan adanya kesepakatan bersama terkait pembagian peran di dalam rumah

tangga.

Secara umum, alasan utama yang mendasari pengambilan keputusan NV dan

RF bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yaitu demi anak-anak. Meski

mereka merasakan ketidaknyamanan setiap menerima tindak kekerasan tetapi,

keduanya rela mengorbankan keinginan dan kebutuhan dirinya. Pengorbanan ini

memang telah hidup di dalam masyarakat dengan adanya pandangan mendapatkan

kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain, dalam hal ini anak. Realitas ini

selaras dengan teori morality of victimization atau moralitas pengorbanan Adriana

(2000 dalam Huriyani, 2008) yang menjelaskan adanya penyerahan diri perempuan

sepenuhnya terhadap konstruksi sistem patriarki pada nilai-nilai feminin dalam

budaya yang memandang perempuan sebagai seorang ibu idealnya membaktikan

dirinya pada anak-anak dan suami sehingga istri kehilangan kemampuannya untuk

menanggapi keinginan dan kebutuhan dirinya.

Hasil temuan penelitian ini juga relevan dengan pernyataan informan ahli bahwa

bertahan demi anak kerap memengaruhi keputusan istri bertahan dalam pernikahan

penuh kekerasan agar anak tidak kehilangan figure bapak. Keputusan tersebut

biasanya dilakukan apabila suami hanya melakukan tindak kekerasan kepada istri,

dan tidak pada anak-anaknya. Sehingga, selama anak mereka merasa aman dan

nyaman istri dapat menekan atau mengelola ketidaknyamanan yang dirasakan. Hal

ini juga dapat dipengaruhi karena adanya peran lain sebagai ibu yang membuat istri
80

sulit membedakan antara relasi suami-istri dan sebagai sebuah sistem keluarga.

Dengan begitu, istri memutuskan untuk bertahan pada pernikahan penuh kekerasan

agar dapat memberikan hadiah ke anak-anaknya berupa keluarga yang utuh.

4.4.3 Tema Masing-Masing Subjek

Masing-masing individu memiliki sumber daya yang berbeda dalam menjalankan

perannya sebagai decision maker yang tentu memberikan berbagai pertimbangan-

pertimbangan berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Selain, spiritualitas dan

bertahan demi anak hasil penelitian mengungkap beberapa temuan alasan istri

berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan. Adapun temuan

tersebut antara lain:

Pertama, konsekuensi logis pendidikan tinggi. Berasal dari latar belakang

pendidikan yang tinggi NV meyakini seorang doktor seharusnya mampu

menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi, sedangkan perceraian

dianggap dirinya sebagai isyarat ketidakmampuan menyelesaikan masalah. Secara

teori, Festinger (1957, dalam Sarwono, 2009) menjelaskan bahwa adanya hubungan

yang bertolak belakang atara satu elemen kognitif dengan elemen lain dalam diri

individu dapat mengakibatkan disonansi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa disonansi kognitif merujuk pada perasaan tidak

nyaman akibat adanya ketidaksesuaian sikap dan tingkah laku yang memotivasi

individu untuk berusaha mengurangi disonansi agar tercapai keselarasan antara satu

elemen kognitif dengan lainnya dalam diri individu. Disonansi kognitif didasari oleh

adanya hasrat manusia akan konsistensi keyakinan, sikap, dan perilakunya agar

mencapai stabilitas. Dengan begitu, NV dapat mengalami disonansi ketika menyadari

dirinya sebagai lulusan doktor dipandang oleh sosial harus mampu menyelesaikan

segala permasalahan, termasuk persoalan rumah tangganya. Akibatnya, NV


81

memutuskan bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan agar dapat berpengang

pada norma sosial yang diyakini. Dengan begitu, NV dapat menghindari

ketidaknyamanan berupa perasaan tidak mampu menyelesaikan masalah apabila

bercerai.

Keputusan untuk bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yang dipengaruhi

oleh konsekuensi logis pendidikan tinggi juga dapat dijelaskan oleh Icek Ajzen (2005)

dalam theory of planned behavior yang menyatakan bahwa intensi individu untuk

melakukan suatu perilaku dikontstruk oleh sikap individu terhadap perilaku tersebut,

norma subjektif, dan kontrol perilaku yang dipersepsikan. Sebagaimana pada

penelitian ini, sikap NV dalam menyelesaikan masalah di dalam rumah tangga

ditentukan oleh keyakinan yang diperoleh terkait konsekuensi dari perilaku bercerai.

Selain itu, terdapat persepsi yang bersifat subjektif mengenai tekanan sosial sebagai

seorang doktor untuk tidak melakukan perilaku bercerai, sehingga memotivasi NV

untuk memenuhi harapan-harapan orang dalam kehidupannya. Terakhir, kontrol

perilaku yang dipersepsikan NV terkait perceraian dengan statusnya sebagai seorang

doktor merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, sebab dimensi ini terkait dengan

adanya control belief yang salah satunya dipengaruhi oleh status sosial dan

pendidikan. Demikian, kombinasi dari tiga dimensi tersebut memberikan pengaruh

motivasional terhadap keputusan NV bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan.

Sedangkan, melalui hasil wawancara dengan informan ahli diketahui bahwa

konsekuensi logis pendidikan tinggi yang memengaruhi pengambilan keputusan istri

bertahan pada pernikahan dengan KDRT berhubungan dengan adanya cognitive

bias. Menurut ahli, cognitive bias pada istri disebabkan karena kurangnya ruang yang

dimiliki istri untuk dapat melihat permasalahan secara objektif, dalam hal ini

kekerasan. Pada akhirnya istri terjebak dalam begitu banyak bias baik karena adanya
82

pengaruh emosi, tekanan sosial, motivasi, atau pada saat memproses informasi,

sehingga makna dari informasi yang diterima berubah.

Kedua, konsekuensi menikah dengan keluarga. AB berasal dari keluarga yang

memiliki tradisi menikah dengan saudara sepupu. Meski menikah karena saling

mencintai tetapi, terdapat tujuan kedua pihak keluarga untuk mempererat silaturahmi

satu sama lain melalui pernikahan AB dengan suami. Kondisi ini membuat AB lebih

memilih untuk bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan dibandingkan harus

merusak hubungan yang telah terjalin antar kedua keluarga. Hal ini karena hubungan

di dalam keluarga AB dan suaminya telah terjalin kuat dan memiliki ikatan emosional.

Ikatan emosional sangat memengaruhi pengambilan keputusan AB bertahan

dalam pernikahannya. Sebagaimana yang ditemukan pada penelitian Hamid (2016)

bahwa ikatan emosional yang terbentuk dari pengalaman emosi baik berupa senang,

marah, kecewa, dan emosi lainnya dimaknai decision maker sebagai sumber motivasi

atau stressor yang memengaruhi cara atau strategi dalam mengambil keputusan.

Selain itu, informan ahli juga mengatakan meski tidak menjadi pertimbangan utama,

tetapi relasi antar keluarga besar yang telah terjalin selama bertahun-tahun turut

menjadi pertimbangan bagi istri untuk memutuskan keluar dari jerat KDRT. Demikian,

ikatan emosional dan relasi yang terbangun antara AB dan keluarga suaminya

menjadi motivasi bagi dirinya untuk mempertahankan pernikahannya meski penuh

dengan kekerasan.

Ketiga, konsekuensi profesi. Sebagai seorang PNS, perceraian bagi RF

merupakan hal yang sulit untuk dilakukan karena perlu melewati prosedur yang

dianggap menyulitkan. Di sisi lain, suami RF berprofesi sebagai tentara yang juga

perlu melewati proses yang panjang jika ingin bercerai. Bahkan, RF mengatakan

perceraian untuk suaminya merupakan hal yang sangat beresiko karena dapat
83

mengancam karir suaminya, sedangkan RF sendiri tidak ingin jika suaminya harus

kehilangan pekerjaan.

Teori komitmen Rusbult (dalam Taylor et al, 2009) menjelaskan bahwa komitmen

untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga meski dalam kondisi sulit dipengaruhi

oleh adanya komitmen struktural yakni, merujuk pada suatu kekuatan yang

menghalangi istri untuk meninggalkan suatu hubungan. Hal ini karena komitmen yang

terbentuk akan memberikan dampak negatif berupa kerugian jika dilanggar, dalam

hal ini konsekuensi legal dari pekerjaan NV dan suami. Sehingga, NV tetap memilih

terkurung dalam pernikahan yang tidak bahagia.

Keempat, kekerasan sebagai bagian dari pernikahan. Berdasarkan hasil

wawancara diketahui bahwa NV meyakini pernikahan sebagai suatu ketentuan yang

telah digariskan oleh Tuhan atas dasar kesucian, sehingga baik atau buruk yang

terjadi dalam pernikahan harus ia terima. Temuan ini didukung oleh Taylor et al (2009)

bahwa individu yang sangat berkomitmen sangat mungkin untuk tetap bersama

dalam sebuah hubungan baik pada keadaan suka maupun duka demi menjaga

keutuhan rumah tangga.

Keputusan untuk bertahan dalam pernikahan penuh dengan kekerasan dapat

ditinjau dari teori komitmen moral, yang mana menjelaskan bahwa perasaan terkait

kewajiban dan atau tanggung jawab sosial. Hal ini karena istri meyakini bahwa

pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan suci sehingga, termotivasi untuk

berkomitmen seumur hidup dengan pasangan yang telah dinikahi. Hal ini selaras

dengan pandangan NV yang menganggap pernikahan memiliki kelebihan dan

kekurangannya masing-masing. Dengan begitu, komitmen ini menjauhkan NV pada

keputusan bercerai ketika menghadapi masalah.


84

Temuan ini juga dapat dijelaskan dengan teori persepsi bahwa pemahaman

terbentuk dari kejadian yang dialami oleh subjek NV menghadirkan persepsi bahwa

pernikahan merupakan ujian dalam kehidupan yang membutuhkan perjuangan.

Menurut Strongman (2003, dalam Hamid, 2016) Kesadaran yang dimanifestasikan

dalam pengalaman individu menghantarkan pada terbentuknya persepsi dalam

memandang sesuatu. Sedangkan, menurut informan ahli bahwa bagaimana istri

menanggapi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya dipengaruhi oleh

persepsi istri dari apa yang dihadapi selama bersama dengan suaminya. Hal ini

berkaitan dengan pandangan NV bahwa pernikahan merupakan salah satu ujian

dalam kehidupan dan sebagai “sekolahnya orang hidup”. Dengan begitu, persepsi

mengenai kekerasan sebagai bagian dari pernikahan memengaruhi keputusan NV

untuk bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan.

Kelima, sejarah keluarga. Hasil wawancara dengan NV menggambarkan adanya

nilai dan norma-norma yang berlaku dalam keluarga yang memandang perceraian

sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam berumah tangga meski pada situasi

sulit. Dalam teori social identity Ellemers (1999, dalam Mulkan, 2015) menjelaskan

bahwa individu akan membentuk konsep diri dari persepsi yang sesuai dengan

kelompok sosialnya, yang mana akan termuat kesadaran kognitif individu akan

keanggotaanya di dalam kelompok tersebut. Dengan begitu, individu melakukan self

categorization dengan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai

dengan yang dilakukan oleh kelompok sosialnya.

Keenam, norma budaya. Wawancara bersama AB memperlihatkan di dalam

budaya Bugis Soppeng diyakini bahwa perceraian merupakan suatu tindakan yang

dibenci oleh Tuhan, nilai tersebut kemudian diajarkan oleh orang-orang terdahulu

secara turun-temurun. Liliweri (2004) mengemukakan bahwa dalam budaya terdapat


85

penekanan pada nilai diri kolektif sehingga menumbuhkan rasa keterkaitan satu sama

lain. Hal ini tidak terlepas adanya identitas budaya yang memberikan makna pada

pribadi seseorang meliputi tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu

kebudayaan.

Herdiyanto et al (2016) menambahkan bahwa adanya ketaatan individu pada

norma budaya yang berlaku dilakukan karena adanya kebutuhan individu untuk

menjadi anggota dalam suatu kelompok sosial. Dengan begitu, identitas budaya akan

memengaruhi self-esteem individu, sebab self-esteem dikonstruk berdasarkan

budaya yang melihat diri sendiri sebagai makhluk hidup menyesuaikan pada nilai

budaya pada umumnya. Kondisi tersebut sesuai dengan wawancara AB yang

menunjukkan apabila terjadi perceraian hal tersebut dipandang sebagai kurangnya

harga diri seorang istri karena ketidakmampuannya untuk menjaga kehormatan

keluarga.

Ketujuh, malu pada tetangga. Hasil wawancara menggambarkan bahwa RF

merupakan sosok yang sering menjadi tempat meminta saran oleh tetanngga-

tetangganya khususnya terkait masalah rumah tangga, menurut RF hal ini terjadi

karena tetangga memandang pernikahan RF berjalan harmonis. Temuan ini secara

sederhana dijelaskan oleh Edelmann (1981) bahwa embarrassment citra publik

individu terhadap rekasi orang lain baik nyata maupun tidak nyata terhadap perilaku

tidak dinilai tidak pantas yang dilakukan oleh individu tersebut.

Lebih lanjut, Edelmann (1981) menjelaskan bahwa embarassment atau rasa malu

secara sistematis dibangun di dalam sistem sosial masyarakat. Hal ini karena rasa

malu merupakan emosi sosial yang berkaitan erat dengan norma perilaku yang

diterima secara sosial. Pada penelitian ini terlihat perceraian dipandang RF sebagai

suatu kondisi yang tidak menyenangkan karena adanya kemungkinan dampak buruk
86

terhadap identitas sosial positif di lingkungan tetangga. Dengan begitu, perasaan

malu pada tetangga mengarahkan RF untuk membatasi perilaku yang dinilai

menyimpang dengan bertahan pada pernikahan penuh kekerasan.

Berdasarkan hasil wawancara bersama informan ahli, malu pada tetangga dapat

dijelaskan sebagai upaya mempertahankan keluarga sebagai look service ke orang-

orang bahwa dirinya memiliki keluarga yang utuh, meskipun sebenarnya di dalamnya

hancur. Hal ini berkaitan dengan adanya keinginan untuk mendapatkan pegakuan

sosial bahwa keluarganya baik-baik saja. Hal ini kemudian mendorong RF untuk

memutuskan bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan bahkan jika relasi

interpersonalnya dengan suami tidak lagi baik.

Kedelapan, asa bahwa suami akan berubah. Hasil wawancara bersama RF

memperlihatkan adanya pengharapan RF bahwa suatu saat suaminya dapat berubah

dapat dipengaruhi oleh adanya permintaan maaf yang dilakukan suaminya. Hal ini

sejalan dengan yang dijelaskan oleh Huriyani (2008) bahwa terdapat siklus

kekerasan dalam fenomena KDRT yang memberikan harapan bagi korban bahwa

kekerasan yang diterima akan berhenti. Adanya siklus KDRT membungkus

kekerasan sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, namun terus

berulang, sesuai dengan pernyataan NV bahwa meski dirinya mengetahui bahwa

setelah meminta maaf suami RF tetap melakukan kesalahan. Meski begitu, RF tetap

memaafkan karena memiliki harapan suaminya dapat berubah dengan angapan

bahwa selama 25 tahun berumah tangga dirinya selalu merasa bahagia,

sebagaimana faktor lain yang memengaruhi proses pengambilan keputusan yaitu,

pengalaman masa lalu.

Siklus kekerasan dalam fenomena KDRT yang memengaruhi istri untuk bertahan

dalam pernikahan penuh kekerasan juga dapat dijelaskan oleh Lopez (2009) dalam
87

bukunya yang berjudul The Encyclopedia of Positive Psychology pada bagian hope

bahwa harapan adalah ekspektasi yang merujuk pada pengharapan untuk

mewujudkan suatu keungkinan atau tujuan yang ingin dicapai. Adanya harapan

memberikan energi positif yang memotivasi individu untuk melalui situasi sulit agar

dapat mecapai tujuan yang diinginkan. Sehubungan dengan itu, adanya permintaan

maaf yang dilakukan oleh suami RF dan perubahan sikap baik yang bertahan selama

beberapa waktu memberikan harapan bagi RF untuk mencapai pernikahan yang

harmonis seperti sebelumnya.

Berdasarkan hasil wawancara bersama ahli juga mengungkap bahwa siklus KDRT

membuat istri sulit untuk melepaskan diri dari jeratan kekerasan karena adanya fase

honeymoon yang mana bayangan-bayangan atau imaji-imaji di fase tersebut

memberikan dampak yang besar bagi istri ketika mendapatkan perlakuan KDRT.

Artinya, setiap kali istri mendapatkan kekerasan terbangun persepsi bahwa nantinya

suaminya akan kembali baik lagi, sehingga istri melakukan pemakluman. Demikian,

ketika akan memutuskan untuk berpisah istri akan merasa ragu apakah keputusan

tersebut merupakan keputusan yang tepat dan tidak terburu-buru karena adanya

harapan bahwa suaminya akan berubah.

4.4.4 Pengambilan Keputusan Istri Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan

Pengambilan keputusan bertahan pada pernikahan penuh kekerasan merupakan

proses kognitif yang kompleks karena memiliki sifat terarah pada masa depan, yang

mana istri sebagai decision maker membuat begitu banyak prediksi-prediksi terkait

kemungkinan situasi-situasi tidak pasti dapat terjadi. Apalagi dalam membuat

keputusan istri dihadapkan pada berbagai masalah. Hal tersebut kemudian

mengarahkan istri mengambil keputusan berdasarkan pada rasional, karena

dilakukan dengan berbagai pertimbangan.


88

Meski pengambilan keputusan istri bertahan pada pernikahan penuh kekerasan

berdasarkan pada rasional tetapi, tidak selalu keputusan yang dihasilkan merupakan

keputusan yang baik atau mendekati kebenaran. Hal ini dikarenakan adanya faktor-

faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan itu sendiri. Minda (2015)

menjelaskan pada rational approach to decision making bahwa dalam pengambilan

keputusan individu melakukan pertimbangan alternatif dengan menetapkan expected

value atau nilai yang diharapkan terjadi pada tiap alternatif pilihan.

Adanya pertimbangan yang dilakukan tidak serta-merta membuat keputusan yang

dihasilkan menjadi optimal, hal ini dikarenakan adanya permasalahan bias dalam

pengambilan keputusan. Bias pada pengambilan keputusan istri bertahan pada

pernikahan penuh kekerasan dapat terjadi karena istri lebih memilih alternatif pilihan

dengan expected value yang rendah, yakni bertahan pada KDRT tetapi menjanjikan

kepastian. Artinya, istri lebih memilih bertahan meskipun sebenarnya mereka tidak

nyaman pada situasi tersebut karena menghindari ketidakpastian yang mungkin

terjadi apabila dirinya bercerai. Hal ini dapat digambarkan pada temuan tema

konsekuensi logis pendidikan tinggi, konsekuensi menikah dengan keluarga,

konsekuensi profesi, malu pada tetangga, norma budaya, malu pada tetangga, dan

asa bahwa suami akan berubah.

Pada penelitian ini bias menimbulkan framing effect yaitu, pengambilan keputusan

dengan memfokuskan pada keuntungan dan kegagalan. Sehingga meski bertahan

dan bercerai merupakan dua pilihan yang berisiko bagi istri, tetapi istri tetap

memutuskan untuk bertahan. Keputusan istri bertahan dikarenanakan resiko

bertahan sudah jelas yakni, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami,

sedangkan resiko bercerai masih belum pasti. Oleh karena itu, individu lebih enggan

atau menghindari keputusan bercerai agar dapat menghindari ketidakpastian.


89

Lebih lanjut Minda (2015) menjelaskan bahwa selain expected value, bias yang

terjadi pada pendekatan rasional juga dapat disebabkan karena adanya loss aversion.

Loss Aversion merupakan keadaan dimana individu lebih khawatir dengan kerugian

dibandingkan fokus pada keuntungan yang diperoleh. Hal tersebut terjadi karena nilai

psikologis yang diberikan untuk kehilangan sesuatu lebih besar dari nilai psikologis

terkait keuntungan. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan dimana

ketiga subjek lebih khawatir dengan kerugian akibat bercerai yang telah dijelaskan

pada sebelas tema masing-masing subjek dibandingkan keuntungan yang dapat

diperoleh yakni, terbebas dari jeratan KDRT. Demikian, mereka lebih memilih untuk

bertahan dalam hubungan yang tidak ideal karena takut kehilangan.

Prospect theory yang dijelaskan oleh Minda (2015) mengungkap bahwa adanya

bias seringkali membuat keputusan malah menyimpang dari rasionalitas. Adanya

alasan psikologis dibalik pengambilan keputusan akhirnya membuat keputusan yang

terbentuk menjadi kurang optimal. Sesuai dengan tema-tema temuan alasan istri

berpenghasilan tetap bertahan pada pernikahan penuh kekerasan seluruhnya

dipengaruhi oleh atribut psikologis, yang mana atribut psikologis tersebut membatasi

istri untuk melihat gambaran kekerasan yang dialami secara heuristik. Hal ini

dikarenakan bias kognitif menghalagi istri untuk bisa berpikir secara objektif, sehingga

istri kekurangan informasi terkait probabilitas keuntungan jika bercerai karena

alternatif pilihan tersebut dianggap tidak pasti.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Keputusan Istri bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan dipengaruhi oleh

banyak faktor psikologis yang melatarbelakangi. Hasil temuan pada penelitian ini

mengungkap bahwa keputusan istri bertahan dipengaruhi oleh multi-faktor yang

mana temuan utama dijelaskan karena adanya spiritualitas dan bertahan demi anak.

Aspek spiritualitas pada penelitian ini menjelaskan adanya keterkaitan antar agama

dan pernikahan. Sedangkan, bertahan demi anak dalam penelitian ini relevan dengan

adanya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat terhadap peran perempuan di dalam

rumah tangga.

Terdapat juga faktor pendukung lain yang turut memengaruhi keputusan istri

bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan. Pertama, menganggap kekerasan

sebagai bagian dari pernikahan bahwa setiap pernikahan memiliki kekurangan.

Kedua, sejarah keluarga bahwa tidak adanya tindakan bercerai secara turun-

temurun. Ketiga, konsekuensi logis pendidikan tinggi bahwa terdapat tekanan sosial

yang bersifat subjektif karena pendidikan tinggi.

Keempat, norma budaya bahwa adanya nilai dalam kebudayaan yang mengaitkan

antara harga diri perempuan dan pernikahan. Kelima, konsekuensi menikah dengan

keluarga berkaitan dengan adanya relasi antar keluarga yang telah terjalin dalam

jangka waktu yang lama. Keenam, malu pada tetangga berkaitan dengan adanya

perasaan malu jika memutuskan bercerai. Ketujuh, konsekuensi profesi relevan

dengan adanya aturan hukum yang mengatur perceraian pada abdi negara. Terakhir,

asa bahwa suami akan berubah pada penelitian ini berhubungan dengan adanya

harapan perubahan perilaku suami yang timbul akibat siklus KDRT.

90
91

5.2 Saran

Mencermati hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti memberikan

beberapa saran pada pihak-pihak bersangkutan agar dapat mengaplikasikan temuan

penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagi individu (utamanya istri yang mengalami KDRT)

- Berdasarkan pembahasan penelitian ini diketahui bahwa istri yang mengalami

kekerasan seringkali mengabaikan keinginan dan kebutuhannya untuk

terbebas dari tindak kekerasan, diharapkan penelitian ini dapat menjadi

motivasi bagi istri yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga

untuk mengetahui dan memahami situasi yang dihadapi, sehingga dapat

terhindar dari dampak negatif akibat kekerasan khususnya pada aspek

psikologis.

b. Bagi pemerintah dan Lembaga terkait perlindungan perempuan

- Berdasarkan temuan penelitian ini diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang

menyebabkan istri bertahan dan tidak melaporkan tindak kekerasan yang

dialami, disarankan agar melakukan peninjauan kembali terhadap strategi-

strategi dalam mengatasi kekerasan dalam rumah tangga sehingga tidak

banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat.

- Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa masih banyak masyarakat yang

melakukan toleransi pada tindak kekerasan di dalam rumah tangga,

disarankan agar pemerintah melakukan kebijakan baik melalui sosialisasi atau

kegiatan lainnya yang mendukung tidak adanya toleransi terhadap kekerasan

khususnya yang terjadi di lingkup rumah tangga.


92

c. Bagi masyarakat

- Berdasarkan pembahasan diketahui bahwa masih banyak masyarakat yang

melakukan toleransi pada tindak kekerasan di dalam rumah tangga,

disarankan agar masyarakat lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus

KDRT yang ada di lingkungan sekitar.

- Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keputusan istri bertahan

dipengaruhi oleh adanya stigma di masyarakat, disarankan agar masyarakat

dapat mengubah pelabelan atau stigma terhadap status janda dan anak

dengan orang tua bercerai sehingga tidak menimbulkan pandangan korban

bahwa lebih baik bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan dibanding

menghadapi stigma masyarakat.

d. Bagi peneliti selanjutnya

- Ilmuwan dan praktisi psikologi khususnya dibidang psikologi sosial dan

psikologi klinis disarankan untuk berkolaborasi dalam melakukan eksplorasi

sumber-sumber yang membentuk pandangan individu untuk mempertahankan

pernikahan, serta menggali dinamika yang membentuk alasan istri

berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan.

- Keputusan istri bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan merupakan

sesuatu yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak hal sehingga, perlu

dilakukan penelitian yang sifatnya kolaboratif dari berbagai disiplin ilmu terkait

baik melalui pendekatan agama, sosiologi, dan hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, I. (2005). Attitudes, personality and behaviour. United Kingdom: McGraw-Hill


Education.

Braun , V., & Clarke , V. (2012). Using thematic analysis in psychology: Qualitative
research in psychology. In H. Cooper, P. Camic, D. Long, A. Panter, D.
Rindskopf, & K. Sher, APA Handbook of Research Methods in Psychology,
Vol. 2: Research Designs: Qualitative, Neuropsychological, and biological (pp.
57-71). America Psychological Association.

CATAHU 2021 Komnas Perempuan: Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap


Perempuan Tahun 2020 (2021, 5 Maret). Siaran Pers. Diakses pada tanggal
5 Oktober 2021 dari
https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

Creswell, J. (2016). Research design: Pendekatan metode kualitatif, kuantitatif, dan


campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danandjaja, J. (1994). Antropologi Psikologi: Teori, metode, dan sejarah


perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers.

Dewi, I., & Hartini, N. (2017). Dinamika forgiveness pada istri yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). INSAN Jurnal Psikologi dan
Kesehatan Masyarakat, 2(1), 51-62.

Dietrich, C. (2010). Decision making: Factors that influence decision making,


heuristics used, and decision outcomes. Inquires Journal, 2(2), 1-8.

Djannah, F., Rustam, Nuraisah, Sitorus, M., & Batubara, C. (2002). Kekerasan
terhadap istri. Yogyakarta: LKIS pelangi aksara.

Duvall, E., & Miller, B. (1985). Marriage and family development (6th Edition). New
York: Harper & Row.

Edelmann, R. (1981). Embarrassment: The state of research. Current Psychological


Reviews, 1, 125-138.

Eisenfuhr, F. (2011). Decision making. New York: Springer.

Febiyanti, D. (2021). Beban psikologi kultural pada anak perempuan di keluaga


broken home pada etnis Mandailing (Studi kasus di Kota Pangsidempuan).
Medan: Universitas Sumatera Utara .
Fereday, J., & Muir-Cochrane, E. (2006). Demonstrating rigor using thematic analysis:
A hybrid approach of inductive and deductive coding and theme development.
International Journal of Qualitative Methods, 5(1), 80-92.

Galtung, J. (1980). The true world: A transnational perspective. New York: The Free
Press.
93
Gottman, J. (1998). Psychology and the study of marital processes. Annual Review
of Psychology, 169-197.

Hakimi, M. (2001). Membisu demi harmoni : Kekerasan terhadap isteri dan kesehatan
perempuan di Jawa tengah, Indonesia. Yogyakarta: LPKGM-FK-UGM.
Hamid, A. (2016). Makna kompetensi emosi bagi manajer dalam pengambilan
keputusan. Jurnal Publikasi Pendidikan, 6(2), 130-140.
Handoko, H. (2010). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Yogyakarta:
BPFE.

Harapan, P., Sabrian, F., & Utomo, W. (2014). Studi fenomenologi persepsi lansia
dalam mempersiapkan diri menghadapi kematian. Jurnal Online Mahasiswa
PSIK, 1(2), 1-9.

Hardani, S., Wilaela, Bakhtiar, N., & Hertina. (2010). Perempuan dalam lingkaran
KDRT. Pekanbaru: PSW Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.

Herdiyanto, Y., Tobing, D., & Astiti, D. (2016). Psikologi Lintas Budaya. Denpasar:
Universitas Udayana.

Hood, R., Hill, P., & Spilka, B. (2018). The psychology of religion: An empirical
approach (5th Edition). New York: Guilford Publications.

Huriyani, Y. (2008). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan privat yang
jadi persoalan publik. Journal Legislasi Indonesia, 5(3), 75-86.

Hurlock, E. (2011). Psikologi perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang.


Jakarta: Erlangga.

Juvva, S., & Batthi, R. (2006). Epigenetic model of marital expectations.


Contemporary Family Therapy: An International Journal, 28(1), 67-72.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1982). Judgement under uncertainty: Heuristics and
biases. New York: Cambridge University.

Kasus meningkat, Kemen PPA ajak milenial cegah KDRT. (2019, 29 Maret). Siaran
Pers. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2021 dari
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2089/kasus-
meningkat-kemen-pppa-ajak-milenial-cegah-kdrt

Kurdek, L. (2002). On being insecure about the assessment of attachment styles.


Journal of Social and Personal Relationship, 811-834.

Kusumastuti, A., & Khoiron, A. (2019). Metode penelitian kualitatif. Semarang:


Lembaga Pendidikan Sukarno Pressindo.

Liliweri, A. (2004). Dasar-dasar komunikasi antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.
94
Lipshitz, M., & Ekström, I. (2006). Domestic violence and its reverberations. New
York: Nova Science.

Lopes, S., & Snyder, C. (2009). Oxford handbook of positive psychology (2nd Edition).
United Kingdom: Oxford University Press.

Lopez, S. (2019). The encyclopedia of positive psychology. New York: John Wiley &
Sons.

Luthans, F. (2006). Perilaku organisasi (Edisi Sepeuluh). Yogyakarta: Andi.

Makawimbang, J. (2012). Kepemimpinan pendidikan yang bermutu. Bandung:


Alfabeta.

Malhotra, N. (2005). Riset pemasaran: Pendekatan terapan. (S. Maryam, Trans.)


Jakarta: Pt Indeks.
Martha, A. (2003). Perempuan kekerasan dan hukum. Yogyakarta: UII Press.

Minda, J. (2015). The psychology of thinking: Reasoning, decision-making and


problem-solving. United Kingdom: Sage

Moleong, L. (2014). Metode penelitian kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Moors, A. (1995). Woman, property, and islam. New York: Cambridge University.

Muhajarah, K. (2016). Perselingkuhan suami terhadap istri dan upaya


penanganannya. Jurnal Studi Gender(12), 23-30.

Mulkan, A. (2015). Pengaruh identitas sosial terhadap kepercayaan dan norma


kelompok serta dampaknya terhadap online helping behavior pada forum
online facebook asosiasi ibu menyusui Indonesia. Surabaya: Univeritas
Airlanga.

Naufaliasari, A., & Andriani, F. (2013). Resiliensi pada wanita dewasa awal pasca
kematian pasangan. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2(2), 264-269.

Nelson, J. (2009). Psychology, religion, and spirituality. New York: Springer.

Nurlian, & Daulay, H. (2008). Kesetaraan gender dalam pembagian kerja keluarga
petani ladang (Studi kasus analisa isu gender pada keluarga petani ladang di
Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagen Raya, NAD).
Jurnal Harmoni Sosial, 2(2), 76-82.

Poerwandari, E. (2017). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.


Jakarta: LPSP3 UI.

95
Putri, N., & Aviani, Y. (2019). Gambaran istri korban KDRT yang mempertahankan
pernikahan. Jurnal Riset Psikologi, 1(3), 1-12.

Rahayu, S. (2013). Kecemasan dan strategi coping istri yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga di Samarinda. Psikoborneo, 1(1), 50-56.

Rani, R., & Dovina, D. (2018). A study on the marital expectations of female college
students in Chennai city. International Journal of Research and Analytical
Reviews, 5(4), 66-69.

Ratnawati, E. (2015). Asuhan keperawatan gerontik. Yogyakarta: Pustaka Baru.

Safira, A. (2018). Strategi presentasi diri anak dari keluarga broken home dalam
mengatasi stigma sosial. Surabaya: Universitas Airlangga.

Saifuddin, A. (2019). Psikologi agama: Implementasi psikologi untuk memahami


perilaku beragama. Jakarta Timur: Kencana.

Saraswati, R. (2020, Maret 10). Riset: Perempuan korban KDRT enggan bercerai
karena ingin hindari sanksi sosial. Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.
Diakses pada tanggal 5 Oktober 2021 dari
https://theconversation.com/amp/riset-perempuan-korban-kdrt-enggan-
bercerai-karena-ingin-hindari-sanksi-sosial-132768

Sarwono, S., & Meinarno, E. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

Suhandjati, S. (2017). Kepemimpinan laki-laki dalam keluarga: Implementasi pada


masyarakat Jawa. Jurnal Theologia, 28(2), 329-350

Suharnan. (2005). Psikologi kognitif. Surabaya: Srikandi.

Taylor, E., Peplau, L., & David, S. (2009). Psikologi sosial (Edisi Kedua Belas).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Terry, G. R., & Rue, L. (2008). Dasar-dasar manajemen. (G. Ticoalu, Trans.) Jakarta:
Bumi Akasara.

Turban, E., Jay, A., & Ting, P. L. (2005). Decision support systems and intelligent
system Ed. 7. New Jersey: Pearson Education.

VandenBos, G. R. (2015). APA dictionary of psychology (2nd Edition). Washington


DC: American psychological association .

Yin, R. (2014). Studi kasus desain dan metode . Jakarta: Rajawali Pers.

Zentner, M. (2005). Ideal mate personality concepts and compatibility in close


relationship: A longitudinal analysis. Journal of Personality and Social
Psychology, 89(2), 242-256.

96
LAMPIRAN
Lampiran 1 - Lembar Guideline Interview

LEMBAR GUIDELINE INTERVIEW INFORMAN KUNCI

Pelaksanaan wawancara
Hari/Tanggal pelaksanaan :
Waktu mulai pelaksanaan :
Waktu selesai pelaksanaan :

A. Profil Subjek
1. Siapa nama Anda?
2. Berapa umur Anda?
3. Bisakah Anda ceritakan riwayat pendidikan Anda?
4. Bisakah Anda ceritakan riwayat pekerjaan Anda?
5. Bisakah Anda ceritakan latar belakang budaya Anda?

B. Data Pernikahan
1. Berapa usia perkawinan Anda?
2. Bagaimana Anda memandang pernikahan?
3. Bagaimana Anda menggambarkan sosok suami Anda selama menikah?
4. Bagaimana hubungan Anda dengan suami setelah menikah?
5. Hal apa saja yang berkesan dan membekas dalam pernikahan Anda?
6. Apakah Anda pernah mengalami masa sulit dalam pernikahan?
7. Bagaimana cara Anda dan pasangan mengatasi masalah tersebut?

C. Pertanyaan Umum
1. Bisa Anda ceritakan tentang KDRT yang saudari alami selama ini?
2. Sudah berapa lama Anda mengalami KDRT?
3. Apa saja bentuk-betuk KDRT yang dialami?
4. Apa yang Anda lakukan setelah mengalami KDRT?
5. Kenapa Anda bertahan?

D. Pertanyaan Tambahan
(Pertanyaan tambahan mengikuti jawaban subjek terhadap pertanyaan umum)

1. Apakah Anda pernah menerima kekerasan dari suami ketika sedang


mengatasi masalah?
2. Jika Iya, bisa kah anda ceritakan bentuk kekerasan yang Anda dapatkan?
3. Bagaimana awal mula terjadinya KDRT yang Anda alami?
4. Hingga saat ini sudah berapa lama Anda mendapatkan kekerasan?
5. Bisakah Anda ceritakan hal-hal apa saja yang biasanya memicu kekerasan
terjadi?
6. Lalu tindakan apa saja yang Anda lakukan ketika mendapatkan kekerasan?
(Lanjutan)

7. Bagaimana Anda memandang diri Anda setelah mendapatkan kekerasan


tersebut?
8. Apakah Anda merasakan ada perubahan sikap dalam diri Anda sebelum dan
sesudah KDRT terjadi?
9. Apa saja perubahan sikap tersebut?
10. Bagaimana cara Anda menyikapi hal-hal yang mengganggu setelah adanya
KDRT dalam pernikahan Anda?
11. Bisakah Anda jelaskan seberapa sering Anda menerima KDRT?
12. Jika sering, bagaimana Anda melihat KDRT yang dilakukan berulang kali?
13. Menurut Anda apakah ada kasih sayang dari suami ketika melakukan
tindakan KDRT?
14. Bagaimana harapan anda pada hubungan Anda dengan suami setelah
adanya KDRT?
15. Menurut Anda bagaimana norma dan sikap lingkungan sekitar Anda
memandang fenomena KDRT?
16. Pada saat menghadapi masalah dalam rumah tangga bagaimana biasanya
Anda dan pasangan menyelesaikannya?
17. Apakah dalam menyelesaikan masalah Anda atau suami beradu mulut
dengan ketegangan emosi? Misalnya marah, diancam, atau dibentak.
18. Jika iya, apakah permasalahan tersebut dapat diatasi dengan baik?
19. Jika tidak, apakah yang biasanya terjadi jika permasalahan tersebut tidak
teratasi?
20. Apakah Anda mendapatkan kekerasan (fisik, psikis, dan seksual)?
21. Jika iya, apakah suami Anda menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan
setelah melakukan kekerasan?
22. Jika iya, menurut Anda apa konsekuensi atau dampak buruk yang
kemungkinan didapatkan suami Anda akibat tidak kekerasan yang
dilakukannya?
23. Bagaimana tanggapan Anda terkait perasaan bersalah dan penyesalan
suami?
24. Apakah Anda merasa kasihan, luluh, dan memaafkan kekerasan tersebut?
25. Jika iya, bagaimana kondisi hubungan Anda setelah itu?
26. Apakah setelah hubungan Anda membaik ada kemungkinan terjadi tindak
kekerasan lagi?
27. Setelah mengalami KDRT secara berulang apakah penyelesaian masalah
yang tepat menurut Anda?
28. Apakah pernah Anda berpikir untuk meninggalkan hubungan kekerasan
tersebut?
29. Jika pernah, kapan pikiran tersebut biasanya hadir?
30. Bisakah Anda ceritakan menurut pandangan Anda terkait perceraian?
31. Bisakah Anda ceritakan pertimbangan-pertimbangan apa yang mungkin Anda
pikirkan ketika berpikir untuk bercerai?
(Lanjutan)

32. Lalu apa yang membuat Anda hingga saat ini tetap bertahan dalam hubungan
tersebut?
33. Bisakah Anda ceritakan kejadian atau hal yang membuat Anda yakin untuk
bertahan?
34. Apakah setelah terjadi kekerasan Anda merasa tetap perlu menjaga
hubungan dengan suami?
35. Jika iya, bisakah Anda ceritakan dinamika yang Anda rasakan?
36. Apakah pernah terpintas dalam pikiran Anda untuk membalas perlakuan
kasar suami?
37. Jika iya, apakah hal tersebut benar Anda lakukan?. Jika tidak, bagaimana
upaya Anda dalam meminimalisir emosi negatif terhadap tindakan kekerasan
yang diterima?
38. Apakah Anda merasa perlu berbuat baik kepada suami Anda bahkan setelah
menerima kekerasan?
39. Bagaimana pandangan Anda tentang pernikahan? khususnya terkait posisi
sosial
40. Bagaimana harapan Anda tentang pernikahan bagi perkembangan diri Anda?
41. Bagaiaman Anda memandang sosok pasangan?
42. Bagaimana ekspektasi Anda terkait hubungan Anda dengan suami? dan
bagaimana dengan keluarganya?
43. Lalu bagaimana yang sebenarnya terjadi?
44. Bisakah Anda ceritakan bagaimana kehadiran suami bagi Anda? dan hal
berkesan yang Anda rasakan pada suami Anda?
45. Apakah hal tersebut membuat Anda ingin terus mempertahankan
pernikahan?
46. Bagaimana menurut Anda nilai moral, budaya, agama melihat pernikahan?
47. Bagiamana Anda menyikapi pandangan tersebut?
48. Bisakah Anda ceritakan kerugian apa yang mungkin Anda alami baik
konsekuensi legal (sebagai PNS), sosial, ekonomi jika memutuskan untuk
bercerai?
49. Menurut Anda apakah ada sesuatu yang tidak bisa Anda dapatkan diluar
hubungan pernikahan? (Misalnya, kasih sayang, pehatian, dsb.)
50. Menurut Anda seberapa besar pengorbanan Anda pada pernikahan baik
energi, waktu, uang, keterlibatan emosional
(Lanjutan)

LEMBAR GUIDELINE INTERVIEW INFORMAN AHLI

Pelaksanaan wawancara
Hari/Tanggal pelaksanaan :
Waktu mulai pelaksanaan :
Waktu selesai pelaksanaan :

A. Pembukaan
1. Pengisian informed consent
2. Pengajuan izin untuk menggunakan alat perekam selama proses wawancara

B. Inti
1. Bolehkah Anda menceritakan profil singkat Anda khususnya yang relevan terkait
penelitian ini dalam rangka memahami keputusan istri berpenghasilan tetap
bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan?
2. Bagaimana Anda melihat fenomena istri berpenghasilan tetap bertahan dalam
pernikahan penuh kekerasan?
3. Dari sudut pandang Anda sebagai ahli apa saja hal yang melatarbelakangi istri
bertahan dalam KDRT?
4. Berdasarkan temuan penelitian terdapat dua temuan utama istri bertahan dalam
pernikahan penuh kekerasan yakni, spiritualitas dan bertahan demi anak.
Bagaimana komentar Anda terkait temuan tersebut?

C. Penutup
1. Ucapan terima kasih
2. Salam penutup
Lampiran 2 - Informed Consent
(Lanjutan)
(Lanjutan)
(Lanjutan)
Lampiran 3 - Lembar Pernyataan Sikap Pengerjaan Transkrip Verbatim
(Lanjutan)
(Lanjutan)
(Lanjutan)
Lampiran 4 - Tabulasi Hasil Triangulasi Sumber

TABULASI HASIL TRIANGULASI SUBJEK NV


Significant Other 1: NH / Sahabat
Significant Other 2: HS / Rekan kerja

Hasil Wawancara Hasil Wawancara


Tema Temuan Hasil Wawancara Subjek Status
Significant Other 1 Significant Other 2
“….Anak saya laki laki, yang “tapi N sih ituji anaknya,
besar bilang “Mama, janganlah yang besar si anu larangki
“Ibu N bilang niat baiknya
sampai cerai,janganlah pisah” cerai, yang bungsu juga
masih ada, niat baiknya
“Kenapa, nak?” “Nanti malu, iih dekat sama bapaknya,
sama anaknya.. Jadi itu
mamanya A janda” gitu. Anak tapi itu si L mengerti mi
dia bilang karena anak
saya nangis, dia ngomong itu.. jadi bilang “sudah mama
itu tidak boleh pasti
Dia nangis. Saya bilang kan, cerai saja daripada
Bertahan demi anak selalu melengket sama Terkonfirmasi
“Oh ya, nak” yaudahlah. Masa selalu… berpisah saja ,
bapaknya, dia bilang
sih saya nggak bisa kuat, daripada selalu ribut..”
“ada suami yang tidak
cuma masalah begini” begitulah, jadi itu anak –
perlu adanya kejujuran,
Barangkali masih ada yang anaknya tau persoalanya
yang penting punya niat
lebih susah dari saya. Itu yang mamanya sama
baik” “
membuat saya “Ini apasih, bapaknya , jadi dia liat
masalah apasih” gituloh dek” sering bertengkar”
“Hubungannya orang
“…Menurut saya.. Saya orang “Kalau ibadahnya saya
sama Tuhan kan kita
pilihannya Allah bahwa tidak liat yah begitu, sama
tidak tau, tapi memang
semua orang dikasih cobaan kayak orang lainnya
Ibu N dia apa di..
Keyakinan pada seperti itu, kenapa saya sholat apa, tapi mungkin
Orangnya itu kayak Terkonfirmasi
Tuhan dipilih? Karena saya dirasa itu memang keyakinannya
nrimo, apa yang terjadi
Allah, saya itu mampu, saya karena selama ini kalau
terjadi mi dia itu dikasih
sanggup. Seperti itu..Jadi itu dia cerita “berdoa saja
apa nda pernah itu
lah menguatkan saya” bu”. Betul mi itu “
mengeluh, jadi mungkin
yah memang ada
pengaruh itu”
“Padahal kalau mau
“istilahnya anak
“Menurut saya yah rumah dibayangkan bemana itu
sekarang itu sudah di
tangga itu perjuangan hingga perjuangannya selama
ujung tanduk, saya
akhir hayat, istilahnya menikah.. bayangkan mi
bilang “lebih baik kita
pendidikan ada strata nya itu 3 anaknya dia urusi
lepasmi saja bu daripada
karena ibaratnya kan kalu S1 4 semua, sekarang kalau
terganggu sekolah ta
tahun, yakan? selesai itu S2 2 mau dipikir ini dia tongmi
sama anak-anak” dia
tahun, S3 3 tahun, semua kan urus anaknya sendri,
Kekerasan sebagai bilang “iya juga sih” tapi
ada batas waktunya.. karena suaminya tidak
bagian dari buktinya sampai Terkonfirmasi
Sementara kalau rumah disini, belum lagi masalah
pernikahan sekarang juga tidak..
tangga itu gak ada, ibaratnya sama keluarganya
Mungkin juga dia sudah
sekolahnya orang hidup, suaminya, tambah lagi
terbiasa dikerasi begitu
sekolahnya dunia itu yaah masalahnya sama
sama suaminya, karna
orang berumah tangga suaminya.. tapi dia tahan-
sebelum masalah ini,
itu..Enggak mengenal strata, tahan tonji, itumi mungkin
kalau dari ceritanya Ibu
dia nda mengenal..Memang na maksud karna kalau
N suaminya memang
perjuangan utama nya di situ” kita “edede mending
kasar”
lepaskanmi” “
“Saya cuma pernah
"Masalah-masalah ini saya
“Kalau itu saya kurang ketemu bapaknya Ibu N
jadikan lah sebagai ujian,
tau.. Tapi memang waktu itu saya ke Bogor,
apalagi keluarga saya itu dari
bapaknya itu setelah yang saya tahu…
nenek-nenek yang dulu
meninggal mamanya N Bapaknya sudah sakit
enggak pernah ada yang
tidak mau mi menikah hati sekali sama
Sejarah keluarga bercerai, gini dek saya lihatnya Terkonfirmasi
lagi.. Kalau keluarganya menantunya, tapi itu
om-om saya sepupu saya,
yang lain nda tau ka, tapi mungkin perasaannya
pernikahannya semua engga
mungkin memang kuliat dia karena kalau dari
ada kok yang mulus semua, itu
diajarkanki kesetiaan ceritnya memang ada
ga ada. Tapi toh sampai
begitu di keluarganya” keluarganya yang kacau
sekarang mereka bisa gitu loh
rumah tangganya tapi
bertahan, kok saya enggak tidak cerai.. Tapi kalau
bisa, kan gitu" dilarang menurutku tidak,
justru bapaknya tidak
mau dia lanjut” .
“kalau itu dia nda pernah “Saya pernah nasehati
bilang langsung ke saya.. tapi dia bilang “kalau
"Apalagi saya ini.. bukan apa Tapi dulu pas itu mi saya selesaikan sekolah
tapi pendidikannya tinggi, puncak-puncaknya mi dulu rumah tanggaku
ibaratnya masalah-masalah itu dilaporkanki itu dia akan hancur-hancuran”
Konsekuensi logis
udah banyak yang dilaluin memang lebih baek dan betul dia tunda Terkonfirmasi
pendidikan tinggi
malu lah, kalau engga bisa terlambat seelesai sekolahnya, balik ke
menyelesaikan masalah padahal bisa-bisa itu di Makassar selesaikan
begini, gitu sih dek.." TGR, na lebih na pilih masalahnya..Sampai-
pulang ke sini urus sampai itu anaknya na
masalah suaminya” tinggal di Bogor bertiga”
(Lanjutan)
TABULASI HASIL TRIANGULASI SUBJEK AB
Significant Other 1: AY / Anak
Significant Other 2: AH / Ponakan

Hasil Wawancara Hasil Wawancara


Tema Temuan Hasil Wawancara Subjek Status
Significant Other 1 Significant Other 2
“Saya tahan-tahan karena saya “Pung B yang
“Iya Ibu memang dia
berpikir saya diuji, jangan sepengetahuanku nah,
apa-apa Tuhan dulu.. H
sampai suatu saat dia bisa iya dia lebih banyak
sama M biasa na bilangji
Keyakinan pada sadar..Bisa baik, itumi dengan beribadahji.. Sepertinya
tahanmu Bu sama Terkonfirmasi
Tuhan berpisah itu kan jalan yang seperti itu kalau dia
kelakuannya Bapak,
paling dibenci sama Allah jadi cerita na doakan mami
biasa bilang ji
saya berusaha perbaiki karena pung A, kah nd mau tong
ikhlaskanmi”
saya pikir saya diuji" juga cerai”
“Dulu pernah ka dengar
cerita mauki cerai, kah
banyak miitu yang bilang
"Jaman dulu itu bugis, masih “Mungkin yah..Namanya
cerai mi saja kah nda na
kental namanya norma-norma juga orang dikampung
kasih makan jki.. Tapi
agama.. Perceraian itu hampir kan biasa memang “ihh
Norma budaya hmm apa dulu itu dih Terkonfirmasi
tidak ada kita lihat orang anu itu” apakah, kayak
sebabnya nda jadi ki...
bercerai, karna itu yang anu salah dibikin kalau
Lupa lupa ingatka tapi
diajarkan orang-orang dulu" ada orang cerai”
kalau nda salah nah, dia
takutkan orang, kan itu
kayak tong seperti aib”
“Iya karena memang “Memang itu selalu na
“Kalau saya kufikir tua tong
saya kuliat Ibuku itu, bilang kalau adami yang
meka toh, mau juga kunikmati
kalau lama lagi nda tanyaki bilangji “tua meka
Memasuki usia senja hidupku sama Allah.. Kah Terkonfirmasi
masuk Soppeng na juga” mungkin malas mi
artinya adaji hal lain yang bisa
telpon lagi bapak tanya juga na urus kelong
buat ka bahagia, kenapa ka
sholatnya apa kelong na pung A”
mau rusak karena satu bagaimana, karena
masalah" memang apa semenjak
sama itu yang baru apa
nda tau kah itu sholat
nda itu, biasa lagi ibuku
itu yang telpon I subuh”
“Kalau keluarga tau
semua ji ceritanya jadi
"tidak kah kita itu sama sama
sepertinya sih nda
keluarga galung, kalau mau “Iya, pasti itu pasti ada
mungkin ji juga mau
Konsekuensi cerai itu pasti ada rasa tidak rasa nda enak karena
putus silaturahmi kalau
menikah dengan enak. Kumpul sama keluarga keluarga ki semua je’.. Terkonfirmasi
dia bercerai, tapi
keluarga nah itu ji juga keluarga, masa Anu orang-orang kita
mungkin perasaannya
mau putuskan silaturahmi na kenal semuaji”
dia begitu toh kah ada
satu keluarga ki ini"
tong itu orang nda
enakan biar nda salah ji”
TABULASI HASIL TRIANGULASI SUBJEK RF
Significant Other 1: BY / Saudara
Significant Other 2: MA / Saudara
Hasil Wawancara Hasil Wawancara
Tema Temuan Hasil Wawancara Subjek Status
Significant Other 1 Significant Other 2
"Kakak yang perempuan kan
SMA dulu, sering sakit
sakitan. Jadi itu kakak dulu, “Demi anak-anak itu
“Memang faktor utama
kalau pulang dari sekolah dia pastime utamanya karena
dia itu bertahan memang
seperti orang kerasukan itu itu. Kan anak-anaknya itu
demi. Demi anak-anak,
dadanya seperti di tusuk dekat semua sama
Bertahan demi anak diliat kondisinya anak- Terkonfirmasi
batu, nanti sudah di infus bapaknya.. Memang ada
anaknya toh bagaimana
satu botol baru lega mungkin pernah dia bicara “biarmi
kasian sakitnya itu kalau
terlalu banyak dipendam. saya bertahan untuk anak-
orang tuanya bercerai”
Maksudnya dia cewek anak” itu ada”
kasian, kasian kalau tiba tiba
orangtuanya harus berpisah"
“Namanya manusiawi
“Yah faktor sosialnya yah,
toh, namanya orang
"Kalau tante bercerai dari pembicaraanya dia itu
malu sama orang..
malunya minta ampun, dan takut sepertinya orang lain
Cuma dia malu kalau
pasti akan terdampak sekali melihat dia “Kasihannya
rahasianya sampai
kita dengan tetangga karena deh Ibu Y”.. Terus faktor
Malu pada tetangga terbongkat bahwa Terkonfirmasi
kita yang jadi panutan di BTN sosianya karena kan dia
suaminya punya
itu toh, kita yang jadi seorang guru terus
simpanan.. Dia memang
panutan kayak segala suaminya tentara kenapa
malunya berlebihanki
sesuatu liat ke om dan tante" bisa begitu toh
apalagi itu Om Y itu
keluarganya”
dilihat baik sama orang”
"Kasihan juga kalau tante “Itu juga pernah dia mau “Pernah itu toh ceritanya
melapor cerai diatasannya, mengajukan tapi karena bulatmi keputusannya
Konsekuensi profesi Terkonfirmasi
bahaya itu konsekuensi nya harus menghadap terus cerai, tapi namanya ABRI
dia bisa di pecat" yang suaminya kan kan tidak bisa kita serta
ABRI itu harus lagi merta mau cerai harus jelas
menghadap ke kenapanya itu, terus juga
komandannya.. Banyak apakah masih bisa
laporan-laporan harus diperbaiki.. Stres toh dia
dia buat untuk mau seperti sidang apa
membuktikan pantas itu?, iya mediasi.. Sampai
atau tidak bercerai, jadi lari ke rajawali, tapi setelah
mungkin dia timbang- mediasi akhirnya dihentikan
timbang lagi akhirnya laporannya"
tidak jadi, baikan lagi”
“Sampai saat ini pun selalu
"Karena begini nak, saya “ Oh iya itu juga pernah
dia selalu ada harapan
berpikir sebelum dapati ada pembicaraannya dia
karena saya liat tante P itu
dengan perempuan itu, bilang “siapa tau dalam
sangat mencintai, sangat
rumah tangga adem sekali, proses kedepannya dia
Asa bahwa suami menyayangi.. Bisa kita tau
dia datang nyaman sekali. bisa berubah”.. Karena Terkonfirmasi
akan berubah itu meski namanya dia
Jadi tante mau coba lagi terlepas dari
selalu disakiti tapi kalau dia
setelah dia selingkuh kesalahannya Om Y itu
cerita suaminya kan cerita
siapatau bisa damai lagi sebenarnya sangat baek
cerita baiknya yang dia
kayak dulu." sama keluarga itu baek”
ceritakan”

Anda mungkin juga menyukai