PEMBIMBING:
OLEH:
C021181508
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
MENGAPA SAYA MEMUTUSKAN BERTAHAN PADA PERNIKAHAN PENUH
SKRIPSI
PEMBIMBING:
OLEH:
C021181508
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
karena dengan rahmat dan karunia-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan
berharap skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat khususnya pada keilmuan
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, Penulis sangat terbuka adanya
umpan balik, saran dan masukan dari berbagai pihak terkait demi perbaikan dimasa
yang akan datang. Demikian, sekiranya skripsi ini dapat dipahami dan berguna bagi
Proses pengerjaan skripsi ini merupakan sebuah proses yang panjang dan bukan
sesuatu yang mudah untuk dilalui oleh penulis. Peneliti bersyukur bahwa Allah SWT
skripsi telah membimbing dan mengarahkan serta memotivasi peneliti. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
1. Kedua orang tua penulis, atas kasih sayang, dukungannya baik secara
3. Bapak Dr. Ichlas Nanang Afandi, S.Psi., M.A.dan Ibu Triani Arfah, S.Psi.,
vi
umpan balik, serta apresiasi selama pengerjaan skripsi ini yang membuat
Akademik peneliti selama 3,5 tahun yang telah banyak memberikan umpan
cerita baik masalah akademik maupun personal hingga peneliti dapat menjadi
5. Ibu Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi., Psikolog dan Ibu Susi Susanti, S.Psi., M.A.
selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak memberikan umpan balik dan
6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Prodi Psikologi FK Unhas atas segala ilmu yang
banyak kesempatan bagi penulis untuk dapat bergeser menjadi lebih baik.
7. Sahabat penulis atas semua bentuk dukungan yang telah diberikan pada
8. Pitty, Nadya, Farah, Mutma, Neni, Rahmi, Indah yang telah memberikan
vii
10. Seluruh informan yang telah bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan
kekerasan, karena tanpanya peneliti tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kebermanfaat secara
luas, serta pesan baik yang disampaikan penelitian ini dapat menginspirasi individu
yang sedang mengalami KDRT ataupun menjadi sarana pembelajaran bagi teman-
teman mahasiswa.
viii
ABSTRAK
ix
ABSTRACT
x
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Penelitian ............................................................................................... 6
1.3 Signifikansi dan Keunikan Penelitian .................................................................... 6
1.4 Maksud, Tujuan, dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
1.4.1 Maksud Penelitian .......................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Penelitian............................................................................................ 7
1.4.3 Manfaat Penelitian.......................................................................................... 7
xi
4.1.1 Subjek NV ................................................................................................... 33
4.1.2 Subjek AB ................................................................................................... 34
4.1.3 Subjek RF ................................................................................................... 36
4.2 Riwayat KDRT Subjek Penelitian ........................................................................ 37
4.2.1 Subjek NV ................................................................................................... 37
4.2.2 Subjek AB ................................................................................................... 38
4.2.3 Subjek RF ................................................................................................... 40
4.3 Hasil Penelitian .................................................................................................... 42
4.3.1 Alasan Subjek Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan .................. 42
4.3.2 Rekapitulasi Hasil Temuan Keseluruhan Subjek ....................................... 70
4.4 Pembahasan ........................................................................................................ 71
4.4.1 Spiritualitas ................................................................................................... 72
4.4.2 Bertahan Demi Anak .................................................................................... 77
4.4.3 Tema Masing-Masing Subjek ...................................................................... 80
4.4.4 Pengambilan Keputusan Istri Bertahan Pada Pernikahan Penuh Kekerasan
............................................................................................................................... 87
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
BAB I
PENDAHULUAN
pernikahan bukan suatu kejadian tunggal, tetapi sebagai satu tahapan dalam
Bersatunya dua insan dalam suatu hubungan pernikahan menjadi sakral dan tidak
hanya mengikat secara personal, tetapi juga sebagai hubungan yang lebih luas yakni
masyarakat agar hubungan mereka berjalan harmonis dan bertahan sampai maut
menyesuaikan peran, serta mempunyai cinta yang matang satu sama lain. Namun,
tidak dapat dipungkiri dalam suatu pernikahan tidak selalu berjalan mulus, seringkali
bersifat relatif. Pada pernikahan yang baik konflik dapat teratasi dengan adanya
mengalami disfungsi konflik tidak akan terselesaikan dengan baik (Lederer & Jackson
1968, dalam Gottman 1998). Padahal Konflik yang tidak terselesaikan dengan baik
memiliki hubungan erat dengan tindak kekerasan. Meski konflik tidak selalu berakhir
pada kekerasan, tetapi umumnya konflik yang tidak diselesaikan oleh pihak-pihak
1
2
bersifat relatif yakni, memiliki makna sangat bergantung pada masyarakat setempat
lain (Galtung, 1980). Meski kekerasan ditekankan pada physical force atau sesuatu
kekerasan mulai diakui non-physical force atau sesuatu yang tidak berkaitan dengan
fisik. Gagasan ini didukung oleh hasil Konferensi Dunia Keempat tentang perempuan
“Any act of gender-based violence that result in, or is likely to result in, psyhical,
private life”
kesengsaraan baik secara fisik, seksual, dan psikis termasuk ancaman dan
tersebut diketahui bahwa tindak kekerasan dapat terjadi dimana saja, bahkan pada
lingkungan terdekat. Salah satu lingkungan terdekat individu adalah keluarga atau
rumah tangga. Kekerasan yang terjadi pada lingkup ini biasanya disebut sebagai
lumrah terjadi di dalam sebuah pernikahan dan dapat dilakukan baik suami maupun
sedangkan laki-laki atau suami sebagai pelaku. Hal ini diperkuat dengan data Komisi
mencatat angka kekerasan terhadap perempuan sejak 2010 terus meningkat dari
tahun ke tahun. Bahkan pada Juli 2021 kasus kekerasan terhadap perempuan
mencapai 2.500 kasus, melampui catatan kasus tahun 2020 sebanyak 2.400 kasus.
Data uraian diatas dapat dihubungkan dengan data Catatan Tahunan 2021
tentang kekerasan terhadap perempuan bahwa ranah yang paling beresiko bagi
hubungan personal yakni, sebesar 79%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kekerasan
tertinggi di ranah personal dan KDRT yaitu, kekerasan terhadap Istri sebesar 3.221
kasus atau 50% dari kaseluruhan kasus di ranah KDRT/Ranah Personal, disusul
dengan Kekerasan dalam pacaran sebesar 20% atau 1309 kasus. Tingginya
diabaikan, hal ini tidak terlepas dari adanya anggapan masyarakat yang memandang
persoalan KDRT sebagai persoalan yang bersifat internal dan atau privasi. Sehingga
tidak begitu banyak perhatian dan dukungan sosial yang diberikan pada korban
Jika menelisik lebih jauh KDRT tidak terjadi secara spontanitas dan memiliki sebab
oleh gender dan patriarki (Muhajarah, 2016). Selain itu, terdapat juga anggapan
kepatuhan istri terhadap suami juga mengakibatkan relasi kuasa yang tidak setara
karena laki-laki dianggap lebih utama dari pada perempuan. Hal ini membentuk
4
persepsi bahwa KDRT merupakan hal yang wajar terjadi akibat ketidak patuhan dan
disebutkan oleh Gelles (1995, dalam Hardani, Wilaela, Bakhtiar & Hertina, 2010)
bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi karena tidak adanya
kemandirian istri secara ekonomi. Pernyataan ini diperkuat oleh Moors (1995) karena
adanya ketergantungan ekonomi istri kepada suami sehingga, istri sangat mungkin
kemandirian ekonomi seorang istri akan meningkatkan harga diri dan posisi dirinya
memiliki kemandiriran secara ekonomi atau istri yang tidak bergantung secara
finansial dengan suami lebih mungkin terbebas dari tindak kekerasan yang dilakukan
oleh suaminya. Atau jika berada pada hubungan penuh kekerasan harga diri dan
posisi diri istri berpenghasilan tetap akan mendorongnya keluar dari hubungan
sebelumnya dalam kondisi pernikahan yang penuh dengan kekerasan ternyata tidak
pernikahan yang difungsi. Adapun keputusan istri untuk bertahan dalam situasi ini
tentunya menjadi fenomena yang menarik karena hal ini bertentangan dengan
yang dipenuhi oleh kekerasan. Apalagi ketika istri memiliki penghasilan tetap dan
tidak bergantung secara ekonomi dengan pelaku dalam hal ini suaminya.
5
dijelaskan pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi & Hartini (2017) bahwa istri lebih
suaminya dan melakukan forgiveness. Temuan lain dikemukakan oleh Hakimi (2001)
bahwa kurangnya pengetahuan tentang kekerasan terbatas pada kekerasan fisik saja
sehingga, kekerasan jenis lainnya dianggap sebagai sesuatu yang wajar dilakukan
oleh suami. Selain itu, dijelaskan juga bahwa istri bertahan pada pernikahan penuh
kekerasan dilakukan demi anak-anak. Hal ini karena pandangan umum melihat anak
Peneliti juga melakukan wawancara awal pada istri korban KDRT, dari hasil
“Saya seringkali dibentak, dicaci dan dihina bahkan dituduh dan diancam
Lebih lanjut subjek NV mengatakan suaminya masih bersikap baik kepada dirinya.
Hal ini memberikan harapan bagi Subjek NV bahwa suaminya akan berubah
“Saya diperlakukan seperti itu oleh suami saya sudah berulang kali, dalam
sebulan pasti ada..Walaupun suami saya sering kasar, tapi terkadang dia juga
bersikap baik sama saya dan saya yakin suatu saat dia akan berubah”.
tersebut masih belum cukup. Masih banyak substansi penting terkait mengapa
Sehingga, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih dalam apa sesungguhnya yang
6
membuat istri yang mandiri secara finansial memutuskan untuk bertahan pada
memutuskan bertahan pada pernikahan penuh kekerasan?: Studi kasus pada istri
berpenghasilan tetap”.
rumusan penelitan ini adalah “Mengapa istri berpenghasilan tetap memutuskan untuk
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang memilih bertahan dalam pernikahan, salah
satunya penelitian yang dilakukan oleh Putri & Aviani (2019) yang menemukan bahwa
adanya faktor ekonomi menjadi alasan dibalik keputusan istri untuk bertahan meski
mengalami tindak kekerasan. Penelitian yang telah ada seakan memperlihatkan istri
korban KDRT bergantung secara finansial pada pelaku dalam hal ini pasangannya.
Sehingga, tidak ada pilihan lain selain memilih untuk bertahan dalam pernikahan yang
disfungsi.
Penelitian ini penting untuk diadakan dengan pertimbangan bahwa faktor ekonomi
tidak menjadi penyebab tunggal yang memengaruhi keputusan istri korban kekerasan
bertahan dalam pernikahannya. Akan tetapi, ada banyak faktor psikologis yang
melatarbelakangi keputusan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan bagi
istri korban KDRT yang memiliki penghasilan tetap sehingga, alasan memilih
7
Apabila dikaitkan dengan ulasan Martha (2013) persoalan kekerasan dalam rumah
tangga sangat berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Sebagai individu, istri
memiliki hak karena ia manusia. Namun, kenyataannya hak ini direnggut tidak hanya
karena adanya tindak kekerasan tetapi, seringkali istri sebagai korban memilih untuk
diam dan bertahan dalam rumah tangganya. Hal ini menjadikan Kekerasan Dalam
Hidden crime dapat lebih berbahaya dan tidak terkontrol karena berada pada
ranah privasi. Hal ini tidak terlepas dari anggapan masyarakat yang memandang
KDRT sebagai urusan “dapur” suatu keluarga. Oleh karena itu, adanya pemahaman
gambaran keputusan istri korban KDRT bertahan dalam pernikahan sekiranya dapat
untuk bertahan dalam pernikahan meski pada kondisi Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT)”
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
informasi pada kajian ilmu Psikologi. Khususnya Psikologi Sosial yang mengungkap
b. Manfaat Praktis
mengalami KDRT. Selain itu, diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi
pada istri dalam rumah tangga, sebagai upaya mencegah dan menekan angka KDRT
di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
pengambilan keputusan pada situasi pelik tersebut, dalam hal ini pernikahan penuh
kekerasan. Sehingga, konsep teori yang digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan
fenomena perilaku tersebut adalah teori pengambilan keputusan itu sendiri. Terlebih
keputusan. Diakhir, akan diuraikan terkait pengambilan keputusan istri bertahan pada
dan keinginan untuk saling mencintai, menghargai, dan menghormati. Hal ini perlu
dilakukan baik suami maupun istri, sebab jika hanya satu pihak saja yang
hak dalam lingkup rumah tangga. Pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
pengambilan keputusan bertahan dalam hubungan tidak lepas dari karakteristik dan
9
10
kekerasan yang diterima oleh istri yang berkaitan dengan keputusan istri memilih
umumnya dilakukan secara berulang kali, sehingga memberikan efek dimana lama
kelamaan istri sebagai korban dapat menerima hubungan kekerasan ini sebagai hal
yang wajar. Lambat laun istri menangkap bentuk kekerasan tersebut sebagai bentuk
adanya rasa kasih sayang dan keintiman dari suami. Hal ini dipengaruhi oleh harapan
peluang yang lebih kecil untuk meninggalkan pasangannya. Hal ini tidak lepas dari
upaya pelaku kekerasan untuk melakukan berbagai cara agar korban tetap terikat
Ketiga, istri cenderung dianggap bertanggung jawab bila terjadi kekerasan dalam
rumah tangga, korban disalahkan karena anggapan kelakuan mereka sendiri dan
dan juga didukung oleh norma dan sikap lingkungan terhadap pasangan. Stigmatisasi
ini lambat laun membuat istri sebagai korban justru meyakini dan bahkan
terhadap istri diantaranya disebebkan oleh adanya reaksi sosial yang cenderung
korban bahwa kekerasan yang diterima akan berhenti. Hal ini berupa tipuan, sebab
siklus KDRT membungkus kekerasan sebagai rasa cinta dan komitmen pada
bercampur dengan adanya ketegangan emosi. Fase ini ditandai dengan adanya
Kedua, tahap tindakan yang mana ketegangan tidak dapat diselesaikan dengan
baik, sehingga akan terjadi kekerasan, biasanya fisik. Pelaku merasa bahwa dengan
melakukan tindak kekerasan maka ketegangan dapat berakhir dan situasi akan
Ketiga, tahap penyesalan atau juga dikenal sebagai tahap bulan madu dimana
pelaku tindak kekerasan akan menunjukkan rasa bersalah dan penyesalan. Meskipun
begitu, penyesalan tersebut bisa saja bersifat manipulatif, artinya pelaku menyesal
yang akan diterimanya seperti perceraian. Oleh karena itu, istri sebagai korban akan
merasa kasihan, luluh, dan memaafkan pelaku dengan harapan pelaku tidak akan
Keempat, tahap stabil yang mana situasi rumah tangga cenderung lebih stabil.
Pada tahap ini pertengkaran sudah mereda dan kekerasan tidak lakukan. Meskipun
begitu, akar permasalahan bisa saja belum diatasi. Sehingga, hubungan sangat
mungkin untuk terganggu kestabilannya dan akan kembali pada tahapan pertama
Pengambilan keputusan merupakan proses kognitif memilih antara dua atau lebih
alternatif, mulai dari yang relatif jelas misalnya, memesan makanan di restoran hingga
adalah proses membuat pilihan dari dua atau lebih alternatif dalam rangka mencapai
hasil yang diinginkan. Pengambilan keputusan terdiri dari tiga kunci elemen. Pertama,
keputusan sebagai proses yang tidak hanya menghasilkan pilihan akhir dari antara
dengan melibatkan tujuan atau target yang dihasilkan dari aktivitas mental bahwa
proses mental yang mana akan melibatkan dirinya harus membuat prediksi kedepan.
Kemudian, dari alternatif pilihan tersebut pembuat keputusan memilih salah satu
diantra dua atau lebih pilihan dengan membuat perkiraan atau estimasi terkait
frekuensi perkiraan yang akan terjadi. Berdasarkan beberapa definisi dari ahli, maka
termasuk dalam bentuk berpikir dan dari hasil tindakan tersebut akan menghasilkan
Pengambilan keputusan memiliki sifat futuristik, artinya terarah pada masa depan.
Tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua yakni, tujuan yang
bersifat tunggal dan tujuan yang bersifat ganda. Pada tujuan yang bersifat tunggal
ditandai dengan adanya satu masalah yang dihadapi pembuat keputusan dan tidak
memiliki kaitan dengan masalah lain, sedangkan pada tujuan bersifat ganda terdapat
dua atau lebih masalah yang saling berkaitan dapat bersifat kontradiktif ataupun
proaktif.
tangga yang dimaksudkan agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan setiap
anggota keluarga yang mana dapat berjalan lancar dan tujuan dapat dicapai dengan
mudah dan efisien. Meski begitu, masalah-masalah dalam mencapai tujuan tidak
Basis atau dasar-dasar dalam pengambilan keputusan telah dibahas oleh George
Terry dan Leslie pada bukunya yang berjudul Principle of Management. Adapun lima
basis dalam pengambilan keputusan menurut Terry & Rue (2008) sebagai berikut:
1. Intuisi
Intuisi merupakan wawasan atau persepsi langsung yang merupakan produk dari
insting, perasaan, kesan minimal indera, atau kekuatan bawah sadar (VandenBos,
2015). Keputusan yang diambil berdasarkan intuisi bersifat subjektif sebab intuisi
14
melibatkan satu pihak saja, sehingga sangat kurang pertimbangan dan hal-hal lain
2. Pengalaman
memperkirakan hal apa yang menjadi latar belakang masalah dan bagaimana
penyelesaian masalah, hal ini karena adanya pertimbangan yang matang dari
3. Fakta
Fakta merupakan pernyataan akan situasi yang benar-benar terjadi dari sebuah
kejadian. Keputusan yang berdasar pada fakta termasuk dalam hal ini data dan
informasi yang cukup merupakan pengambilan keputusan yang baik karena akan
menghasilkan keputusan yang sehat dan solid atau kuat. Meskipun pada prosesnya
4. Otoritas
15
keputusan yang didasari oleh otoritas memiliki keterbatasan pada pihak yang dapat
orang yang lebih tinggi kedudukannya terhadap orang yang berada di bawah
5. Rasional
berpikir yang lebih tinggi yang berdasar pada prinsip-prinsip penalaran yang dapat
diterima oleh logika (VandenBos, 2015). Keputusan yang didasari oleh adanya
pertimbangan rasional bersifat objektif, logis, lebih transparan dan konsisten untuk
memaksimalkan hasil atau nilai dalam batas tertentu. Sehingga, keputusan yang
2012). Oleh karena itu, dalam mengkaji proses pengambilan keputusan istri yang
bertahan dalam rumah tangga penuh dengan kekerasan perlu diketahui basis yang
Herbert Simons pada tahun 1977 mengatakan terdapat tiga fase utama dalam proses
16
pengambilan keputusan, model ini lalu dikembangkan dan menghasilkan empat fase
Pada fase ini proses yang terjadi yaitu, penelusuran dan pendeteksian dari lingkup
permasalahan serta proses mengenali masalah yang tengah dihadapi. Data yang
diperoleh dari hasil penulusuran dan pendeteksian tersebut akan diproses dan diuji
Pada fase ini terjadi proses pengembangan dan pencarian alternatif solusi atau
verifikasi untuk mengetahui keakuratan model dalam meneliti masalah yang ada
Pada fase ini proses yang terjadi berupa pemilihan terhadap dua atau lebih
alternatif solusi yang telah dihasilkan pada fase perancangan agar ditentukan dengan
Pada fase ini pemilihan alternatif yang telah dilakukan pada fase sebelumnya akan
dievaluasi dan diawasi apakah solusi yang dipilih dapat bekerja dan seberapa baik
kerja solusi tersebut. Tahapan ini juga opsional dalam proses pengambilan keputusan
17
yang terjadi jika terdapat perubahan atau kegagalan dari hasil pemilihan alternatif
satu atau lebih alternatif guna mencapai hasil yang diinginkan. Keputusan yang baik
dan efektif tentu membutuhkan pemahaman yang rinci mengenai realitas dan
lingkungan sosial (Eisenfuhr, 2011). Dalam membuat keputusan berbagai faktor yang
Juliusson, Karlsson, dan Garling (2005, dalam Dietrich, 2010) mengatakan bahwa
masa lalu memengaruhi keputusan yang dibuat individu di masa depan. Hal ini dapat
diilustrasikan ketika hasil keputusan individu dinilai baik, maka individu cenderung
untuk memutuskan dengan cara yang sama, mengingat situasi baik yang telah
dihasilkan. Sementara itu, Sagi, & Friedland, 2007 (dalam Dietrich, 2010)
lalu. Akan tetapi, bagaimanapun keputusan masa depan yang dibuat berdasarkan
yang dapat menyebabkan kesalahan memori, penilaian yang tidak akurat, dan logika
yang salah. Bias kognitif tidak terbatas pada bias keyakinan, ketergantungan yang
dengan mudah menjelaskan suatu peristiwa sebagai hal yang tak terhindarkan.
18
yang dianggap berisiko dan bias konfirmasi yang mana individu hanya mengamati
atau pengamatan yang dianggap tidak pasti, tanpa melihat gambaran yang lebih
menyebabkan keputusan yang buruk. Meskipun begitu, Shah & Oppenheimer, 2008
(dalam Dietrich, 2010) mengatakan bahwa bias kognitif memungkinkan individu untuk
3. Perbedaan individu
Usia, status sosial, ekonomi, dan kemampuan kognitif sangat signifikan dalam
sangat erat kaitannya dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu, yang mana
akan berdampak pada baik ataupun buruknya keputusan yang akan dihasilkan.
Ketika individu percaya apa yang mereka putuskan penting, maka individu lebih
mudah untuk membuat keputusan. Acevedo dan Krueger (2004, dalam Dietrich,
2010) menjelaskan bahwa individu akan lebih mudah mengambil keputusan ketika
mereka percaya pendapatnya menunjukkan sikap dari populasi umum. Selain itu,
5. Eskalasi komitmen
Juliusson, Karlsson, dan Garling (2005, dalam Dietrich, 2010) mengatakan bahwa
artinya, individu mengerahkan lebih banyak waktu, uang, dan tenaga ke dalam
keputusan yang mereka rasa dapat berkomitmen di dalamnya. Lebih lanjut, individu
bertanggung jawab atas waktu, uang, dan tenaga yang dihabiskan untuk sebuah
Pada saat melakukan aktivitas setiap hari individu terus terlibat dengan tindakan
dalam kehidupan manusia dapat terjadi secara sadar maupun tidak sadar.
sehari-hari, tetapi juga dilakukan pada berbagai bidang keilmuan seperti yang paling
Salah satu isu dalam keilmuan psikologi yang melibatkan aktivitas pengambilan
keputusan yaitu, keputusan istri bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan
sadar dari berbagai alternatif pilihan hidup guna memutuskan untuk mempertahankan
pernikahan yang telah terjalin. Keputusan ini tentu tidak mudah, sebagaimana yang
Hasil yang diperoleh dalam pengambilan keputusan dengan risiko tentunya harus
Sebelum memutuskan alternatif masalah yang akan dipilih individu terlebih dahulu
pada sesuatu yang heuristik, artinya dilakukan evaluasi kembali atas alternatif yang
dipilih. Pada fenomena keputusan istri bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan
a. Marital expectation
Menurut Rani & Dovina (2018) marital expectation adalah keyakinan yang sudah ada
dan keluarga mereka, serta bagaimana peran yang dimiliki dan peran pasangan yang
individu sehingga memiliki motivasi untuk bertahan dalam suatu pernikahan. Juvva &
Batthi (2006) menjelaskan bahwa marital expectation terdiri dari empat aspek
dalam hubungan satu sama lain. Kedua, harapan dari pernikahan yaitu, harapan yang
berhubungan dengan posisi sosial yang cenderung merujuk pada ego, misalnya
harapan adanya pengakuan sosial atau peningkatan status sosial sebagai seseorang
yang menikah.
21
pernikahan menjadi suatu lingkungan yang dapat dikendalikan untuk mengatur dan
yaitu, harapan yang mengarahkan pada suatu pernikahan sebagai suatu hubungan
tempat tumbuh bersama, menghadapi masa sulit, setia, jujur, dan menjaga kesatuan
pernikahan.
b. Pemaafan (Forgiveness)
sadar dari perasaan, sikap, dan perilaku terhadap indvidu, sehingga tidak lagi
sehingga, hubungan dapat dilanjutkan (Lopes & Snyder, 2009). Adapun aspek-aspek
pemaafan terdiri dari tiga yakni, avoidance motivations, revenge motivations, dan
beneviolence motivations.
pribadi dan psikologis dengan pelaku (Lopes & Snyder, 2009). Pada kasus istri
bertahan dalam rumah tangga aspek ini memiliki peranan penting. Diasumsikan
bahwa aspek ini memengaruhi keputusan istri untuk tetap berusaha menjaga
(Lopes & Snyder, 2009). Pengambilan keputusan istri untuk bertahan meski kerap
mendapatkan tindak kekerasan oleh suaminya bisa saja dipengaruhi oleh adanya
22
aspek ini yang mana istri akan menghilangkan keinginannya untuk membalas
tindakan kekerasan yang diterima oleh suami. Sedangkan, istri berupaya untuk
kebaikan kepada pelaku (Lopes & Snyder, 2009). Aspek ini dapat memengaruhi
keputusan istri yang mengalami tindak kekerasan untuk tetap bertahan. Aspek ini
memungkinkan istri untuk bertahan dengan berperilaku baik dengan suami yang telah
melakukan tindak kekerasan dalam rangka menjaga hubungan pernikahan tetap baik.
c. Komitmen (Commitment)
bertahan dalam jangka waktu panjang dan mengedepankan loyalitas. Hal ini
didukung oleh pernyataan Taylor, Peplau & David (2009) bahwa individu yang sangat
berkomitmen pada hubungan sangat mungkin untuk tetap bersama dalam keadaan
suka maupun duka dan demi menjaga keutuhan rumah tangga. Secara singkat
Keputusan istri untuk bertahan dalam pernikahan penuh dengan kekerasan dapat
ditinjau dari komitmen yang dimiliki oleh istri terhadap pasangannya. Terdapat tiga
komitmen yang dapat memengaruhi keputusan istri menurut Rusbult (dalam Taylor
bergantung pada individu tersebut. Akan tetapi, komitmen ini biasanya dipengaruhi
oleh kepuasan istri di dalam suatu hubungan yang berkaitan dengan daya tarik
Kedua, komitmen moral yang merujuk pada perasaan terkait kewajiban dan atau
sesuatu yang sakral dan suci sehingga, memiliki motivasi untuk berkomitmen seumur
hidup dengan pasangan yang telah dinikahi. Komitmen ini cenderung menjauhkan
Ketiga, komitmen struktural merujuk pada suatu kekuatan yang menghalangi istri
untuk meninggalkan suatu hubungan. Hal ini karena komitmen yang terbentuk akan
memberikan dampak negatif berupa kerugian jika dilanggar. Misalnya, istri takut
dengan konsekuensi legal, sosial, ekonomi yang akan terjadi jika memutuskan untuk
bercerai, sehingga tetap memilih terkurung dalam pernikahan yang tidak bahagia.
Selain jenis komitmen terdapat pula faktor yang memengaruhi istri tetap bertahan
meski berada pada pernikahan yang disfungsi yakni, kurangnya alternatif yang lebih
yang lebih baik menjadi penghalang untuk keluar dari suatu hubungan karena istri
berpikir bahwa bisa jadi sesuatu yang didapatkan dalam hubungan saat ini tidak bisa
didapatkan di tempat lain. Sedangkan, banyaknya investasi dalam hal ini energi,
Keterangan:
Garis hubungan
Garis sebab-akibat
Framework penelitian
Fokus Penelitian
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa penelitian ini fokus pada istri
Menghadapi kondisi rumah tangga yang penuh kekerasan setiap individu pasti
digunakan berupa intuisi, pengalaman, rasional, otoritas, atau fakta. Serta faktor
pengalaman masa lalu, bias kognitif, perbedaan individu, kepercayaan pada relevansi
pribadi, dan eskalasi komitmen. Setelah melalui proses mental tersebut istri akan
membuat pilihan bercerai atau bertahan, tetapi fokus penelitian ini hanya pada istri
komitmen.
BAB III
METODE PENELITIAN
untuk mengekplorasi dan memahami makna pada individu atau kelompok yang
merupakan realitas sosial yang bersifat subjektif. Hal ini karena keputusan istri yang
Sehubungan dengan itu, maka pendekatan yang tepat digunakan adalah studi
pendekatan yang mengeksplorasi suatu kasus secara detail dan mendalam melalui
berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Punch (1998, dalam Poerwandari, 2017)
menjelaskan bahwa kasus dapat berupa fenomena khusus yang hadir dalam suatu
konteks yang terbatasi atau bounded context. Kasus dapat berupa keputusan,
proses, atau peristiwa khusus tertentu. Selain itu, Yin (2014) juga menegaskan bahwa
pendekatan ini tepat digunakan untuk mengkaji sebuah fenomena unik individu.
Dari pemaparan beberapa ahli, dapat ditarik kesimpulan bahwa unit kajian
penelitian ini merujuk pada pendekatan studi kasus. Jenis penelitian ini menjadi
25
26
metode yang sesuai untuk menjawab rumusan penelitian yakni, mengeksplorasi dan
Unit analisis pada penelitian ini adalah “pengambilan keputusan bertahan pada
merupakan aktivitas yang lazim dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi pada
beberapa kasus keputusan yang dihasilkan bersifat kasuistik, dalam hal ini keputusan
untuk bertahan pada pernikahan penuh kekerasan. Demikian, penelitian ini mencoba
bertahan dalam pernikahan meski pada kondisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
mengarahkan peneliti pada data yang spesifik guna menjawab maksud dari
mencapai titik jenuh atau saturation point (Poerwandari, 2017). Sehingga, subjek
penelitian kualitatif dilakukan berdasarkan tujuan atau kriteria yang relevan dengan
teknik yang mana kriteria subjek dipilih berdasarkan judgement peneliti. Kriteria yang
ditetapkan oleh peneliti karena keyakinan bahwa kriteria tersebut mewakili atau
sesuai dengan tujuan penelitian (Malhotra, 2005). Jumlah subjek pada teknik ini
27
dapat ditentukan sebelumnya atau didasarkan pada ketercapaian titik jenuh, artinya
Subjek atau informan kunci merupakan individu yang memiliki informasi secara
menyeluruh terkait permasalahan yang diangkat. Hal ini karena individu tersebut
terlibat langsung pada fenomena sosial yang diteliti, dalam penelitian ini pengambilan
Dasar pertimbangan kriteria (1) merupakan upaya spesifikasi pada penelitian studi
kasus ini. Pada banyak penelitian terdahulu dikemukakan bahwa istri memilih untuk
ketergantungan ekonomi istri kepada suami. Faktanya, terdapat istri yang mandiri
kekerasan oleh suami. Oleh karena itu, ditetapkan istri berpenghasilan tetap sebagai
kriteria subjek dengan anggapan bahwa faktor ekonomi tidak lagi menjadi alasan
2) Mengalami kekerasan oleh suami baik berupa kekerasan fisik, psikis, mental,
Dasar pertimbangan kriteria (2) adalah kemampuan istri untuk bertahan dalam
keunikan dari kasus ini. Pada umumnya istri yang mengalami Kekerasan Dalam
Rumah Tangga diawal cenderung memilih diam dan bertahan pada kondisi tersebut
karena memegang nilai dan norma tanggung jawab sosial, namun jika kekerasan
berlangsung dalam kurun waktu yang lama istri cenderung tidak lagi peduli dengan
28
sanksi sosial yang diterima jika memilih menjadi janda. Hal ini sesuai dengan temuan
Subjek atau informan ahli pada penelitian ini dibutuhkan karena pandangan bahwa
informan ahli telah memiliki pengalaman yang jauh lebih mumpuni dibandingkan
peneliti. Sehingga, informasi yang diberikan oleh pakar atau ahli akan memengaruhi
interpretasi daripada penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti akan
meminta pendapat dari seorang ahli yang bernama Istiana Tajuddin, S.Psi., M.Psi.,
sebagai Psikolog juga telah banyak menangani klien yang memiliki fenomena yang
sama dengan penelitian ini sejak tahun 2018. Demikian informasi yang diberikan oleh
tujuan penelitian.
Penggalian data yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara mendalam
atau in-depth interview. Penelitian ini mengkaji suatu proses pemilihan suatu alternatif
yang spesifik dan unik, sehingga teknik wawancara mendalam dilakukan dengan cara
sebagai pengingat bagi peneliti mengenai aspek-aspek yang perlu dibahas, serta
aspek-aspek yang relevan. Namun, pertanyaan yang telah ditetapkan tidak bersifat
Wawancara mendalam pada penelitian ini tidak hanya ditujukan kepada subjek
ditujukan pada significant other digunakan sebagai pelengkap data atau informasi
wawancara akan dikonversi menjadi transkrip hasil wawancara dan akan direduksi
yang dilakukan untuk mengidentifikasi pola atau menemukan tema melalui data yang
telah dikumpulkan oleh peneliti (Braun & Clarke, 2012). Konten yang dihasilkan
digunakan pada penelitian ini sebab, belum ada literatur yang membahas terkait
penuh kekerasan. Demikian, metode analisis data ini dapat memberikan gambaran
informasi yang telah diperoleh dari subjek. Adapun bentuk triangulasi sumber
seminar proposal. Adapun yang termuat dalam proposal meliputi latar belakang,
direvisi berdasarkan masukan dari Tim Pembimbing dan Tim Pembahas, terakhir
atau in-depth-interview yang dilakukan dalam tiga tahap, yakni wawancara pertama
bentuk triangulasi sumber. Pada tahap ini, peneliti melakukan penjaringan subjek
berdasarkan kriteria judgement peneliti dan mendapatkan tiga orang yang bersedia
kali pertemuan.
sebanyak empat kali pertemuan yaitu, pada tanggal 16 Desember 2021 pukul 10.35-
12.49 WITA, pada tanggal 23 Desember 2021 pukul 12.00-13.03, pada tangal 29
Desember 2021 pukul 12.36-14.00, dan pada tanggal 6 Januari 2022 pukul 14.20-
15.15. Indorman kunci AB dilakukan secara tatap muka sebanyak tiga kali pertemuan
Desember 2021 pukul 14.00-15.37, dan pada tanggal 8 Januari 2021 pukul 19.02-
19.56. Dan informan RF dilakukan secara tatap muka sebanyak tiga kali pertemuan
yaitu, pada tangal 29 Desember 2021 pukul 14.30 -15.40, pada tanggal 16 Januari
pukul 13.50-14.48, dan pada tanggal 28 Januari 2022 pada pukul 13.20-14.05.
Psikolog dilakukan secara tatap muka sebanyak satu kali pada tanggal 4 Maret 2022
pukul 12.03-12.40.
32
Pada tahap analisis data diawali dengan pembuatan transkrip hasil wawancara
berupa verbatim yang kemudian dikoding sesuai dengan teknik inductive thematic
temuan penelitian. Hasil analisis data tersebut dilaporkan dalam bagian hasil dan
Pada tahap penyusunan laporan hasil temuan penelitian yang telah disajikan pada
Pembimbing 2. Setelah seluruh hasil temuan dituangkan pada laporan akhir, peneliti
balik dari seminar hasil penelitian akan didiskusikan bersama Pembimbing 1 dan
Berikut rangkaian tahapan kerja penelitian yang telah dilakukan peneliti pada tabel
timeline berikut:
2021 2022
No Tahapan Kerja
Okt Nov Des Jan Feb Mar
1 Penyusunan proposal penelitian
2 Seminar proposal
3 Revisi proposal dan persiapan
pengumpulan data
4 Tahap Pengumpulan data
5 Tahap Analisis data
6 Tahap penyusunan dan pelaporan
penelitian
BAB IV
orang yang bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini. Ketiga subjek berstatus istri
yang memiliki penghasilan tetap dan memutuskan untuk bertahan dalam pernikahan
subjek:
Subjek Penelitian
Profil
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Inisial NV AB RF
Tempat,Tanggal Tuban, 26 Soppeng,
Lahir November 13 September Majene, 5 Juli 1960
1981 1958
Usia 40 Tahun 63 Tahun 61 Tahun
Pekerjaan PNS Pensiunan PNS Pensiunan PNS
Domisili Makassar Makassar Makassar
Latar Belakang
Jawa Bugis Makassar
Budaya
Pendidikan Terakhir S3 SMK S1
Usia Pernikahan 14 Tahun 43 Tahun 39 Tahun
Jumlah Anak 3 Anak 3 Anak 4 Anak
4.1.1 Subjek NV
tunggal yang dekat dengan bapaknya, karena ibu NV telah meninggal sejak dirinya
berada di bangku Sekolah Dasar dan bapaknya tidak menikah lagi. Setelah lulus SMA
Sipil di Kota Gorontalo dan memutuskan pindah ke Kota Makassar pada tahun 2007
33
34
dan menghadapi masalah sendiri serta menjadi sosok yang saat ini dipandangnya
Sehingga, pada tahun 2014 NV melanjutkan S2 di IPB dan pada tahun 2017
hubungan jarak jauh dengan suaminya di usia pernikahan yang ketujuh tahun. Hingga
saat ini NV telah memiliki tiga anak dengan usia anak paling tua 13 tahun dan anak
Sejak kecil NV dibesarkan dalam keluarga berlatar belakang agama islam dan
budaya Jawa. Nilai-nilai serta norma-norma yang berlaku dalam agama dan budaya
Nilai-nilai dan norma budaya yang dipegang oleh NV salah satunya tertuang pada
pepatah jawa yang berbunyi “Rukun agawe santoso” yang NV maknai bahwa meski
menanamkan nilai “Sawang sinawang” dalam diri NV yang dimaknai meski rumah
tangganya banyak diterpa masalah NV tidak boleh mengeluh, patah semangat, dan
patah hati karena menganggap masih ada orang yang lebih susah dari dirinya.
4.1.2 Subjek AB
merupakan anak kesebelas dari sebelas bersaudara yang sejak kecil hidup dalam
35
budaya Bugis. Budaya bugis sangat kental dalam kehidupan AB yang berasal dari
kasta Datuk Soppeng, sehingga setiap perilaku dan tindakan AB harus sesuai dengan
nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para leluhur. Salah satu nilai yang lekat dalam diri
nilai-nilai budaya dan ajaran agama. AB menuturkan bahwa sejak kecil dirinya telah
diajarkan agama oleh Ibunya. Apalagi ketika bapak AB meninggal pada saat dirinya
berada di bangku kelas 2 SMP, nilai-nilai agama semakin giat diajarkan oleh ibunya.
Salah satu nilai agama yang diajarkan kepada AB yaitu, yakin dan menyerahkan
segala sesuatu kepada sang pencipta melalui ibadah. Hal tersebut kemudian
dengan sepupu satu kali, sepupu dua kali, atau sepupu tiga kali. Hal tersebut juga
dilakukan oleh AB yang menikahi sepupu tiga kalinya. Meski menikah melalui
perjodohan, AB dan suaminya menikah atas dasar suka sama suka, hal ini membuat
AB berkomitmen untuk bertahan pada pilihan yang telah dipilih. Hingga saat ini AB
telah memiliki 3 anak dengan anak tertua berusia 40 tahun dan anak paling kecil
berusia 28 tahun.
kampung halamannya, Soppeng. Pada tahun 1972 apoteker di Soppeng hampir tidak
daerah dan apotik swasta. Meski begitu, AB mengatakan bahwa dirinya sangat
sanak keluarga dan kerabat serta memperkuat hubungannya dengan Tuhan untuk
4.1.3 Subjek RF
merupakan perempuan keturunan Maluku Ambon yang besar di Makassar. Hal ini
membuat RF tumbuh dalam multikultural, tetapi RF mengatakan satu nilai yang selalu
diajarkan kepada dirinya yaitu, sebagai anak tertua RF harus mengayomi adik-
adiknya, sehingga sejak kecil RF telah dibebankan tanggung jawab yang lebih
Kehidupan rumah tangga RF dimulai pada tahun 1982, ketika dirinya berusia 22
suami merupakan laki-laki yang penyayang dan taat beragama. Selayaknya orang
Karir RF dimulai sebagai guru Sekolah Dasar pada tahun 1982, ketika dirinya baru
waktu yang lama dirinya kemudian terangkat sebagai guru SD di Kota Makassar.
Pertama kali RF mengajar dirinya merupakan guru yang menangani kelas 5 dan 6,
hingga pada tahun 2009 dirinya terangkat sebagai kepala sekolah di salah satu SD
4.2.1 Subjek NV
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh NV telah dirasakan bahkan
sejak awal pernikahan atau 14 tahun yang lalu. Kekerasan yang dialami berupa
mengakui bahwa hal ini baru terlihat setelah dirinya menikah, padahal sebelum
menikah sang suami dipandang sebagai sosok yang lemah lembut. Seiring
bertambahnya usia pernikahan NV, kekerasan verbal tersebut lambat laun diterima
oleh NV sebagai sesuatu yang wajar, karena menganggap hal tersebut merupakan
tabiat suami yang tidak dapat diubah. Meski begitu, NV seringkali masih merasa sakit
mengatakan bahwa saat itu suaminya tidak hanya melakukan kekerasan verbal tetapi
juga mulai berani main tangan. Tetapi, NV mencoba memahami kesalahan sang
suami yang berselingkuh karena saat itu dirinya baru saja melakukan hubungan jarak
jauh karena harus melanjutkan S2 di kota yang berbeda. Kondisi rumah tangga NV
Kejadian tersebut terulang kembali pada tahun 2019, saat dirinya menempuh
kekerasan, dimulai ketika dirinya penasaran oleh pacar suaminya dan mencoba
didorong dan dipukul oleh sang suami. Meski saat itu tidak mendapatkan bukti
berada di salah satu pusat perbelanjaan, hal ini dilakukannya agar sang suami tidak
kemudian melebar.
dimasukkan ke rumah sakit jiwa oleh sang suami. Kedua, NV kerap kali dilemparkan
pisau oleh suaminya ketika dirinya sedang beradu mulut. Ketiga, NV dilaporkan ke
polisi atas tuduhan pencemaran nama baik yang hingga ini persidangannya masih
terus berlanjut.
4.2.2 Subjek AB
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh AB bermula pada tahun 1998,
dipenuhi oleh adu mulut. Dari perkelahian tersebut tak disangka anak AB yang telah
39
tuanya.
Anak AB yang paling tua kemudian marah kepada sang bapak mengetahui ibunya
enggan untuk berbicara kepada sang bapak. Hal ini lantas membuat suami AB marah
mereka. Kemarahan sang suami dituangkan dalam bentuk kekerasan berupa cacian
Seiring waktu berjalan rumah tangga AB mulai membaik, hal ini karena suami AB
Suami AB juga kembali bersikap romantis dengan mengajak AB dan anak-anak jalan-
jalan setiap akhir pekan. AB mengatakan bahwa sejak dulu suaminya memang
tangganya yaitu, dirinya merasa adanya isolasi sosial yang diberikan oleh suaminya.
AB mengatakan bahwa dirinya hanya bisa keluar untuk bekerja dan membeli
kebutuhan rumah tangga. AB mengatakan bahwa suaminya bisa marah besar jika
dirinya tidak patuh, hal ini terjadi karena adanya kecurigaan dari suami bahwa AB
demikian. Kejadian tersebut menjadi masa sulit untuk dirinya apalagi saat itu belum
ada handphone yang canggih untuk bertemu dengan orang secara virtual, padahal
pihak pengadilan agama terkait kebenaran tanda tangan yang terdapat di lembar
merasa telah patuh dan taat dengan perintah sang suami tetapi, dirinya masih
dikhianati. Hal tersebut membuat AB marah, meski begitu AB merasa iba ketika sang
suami menangis meminta izin untuk menikah lagi. AB kemudian memberikan izin
karena saat itu suaminya berjanji akan menceraikan perempuan tersebut setelah tiga
bulan.
Makassar. Keputusan tersebut tentu tidak disambut baik oleh sang suami, sebelum
memutuskan pergi AB kerap beradu mulut hingga meraskan kekerasan verbal berupa
kekerasan ekonomi yakni, uang yang mereka tabung bersama diambil oleh sang
suami tanpa sepengetahuan AB, bahkan rumah AB di Soppeng hampir dibalik nama
4.2.3 Subjek RF
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh RF dimulai ketika usia
harinya kehidupan RF dipenuhi dengan pertengkaran dan adu mulut bersama sang
suami, tak jarang RF menerima perlakuan kasar oleh suaminya seperti bentakan dan
umpatan dengan kata-kata kasar merupakan hal yang wajar bagi laki-laki tetapi,
dirinya terkadang tidak tahan. Selain itu, RF memandang bahwa setiap konflik yang
terjadi di dalam rumah tangganya terjadi karena RF tidak lagi percaya dengan sang
suami, sehingga dirinya selalu menuduh suaminya berselingkuh setiap keluar rumah.
suaminya.
mengatakan bahwa suaminya mulai dekat dengan anak-anak lagi, dan jarang keluar
rumah hingga larut malam. Namun, pekerjaan suami RF sebagai pelatih tentara
mengharuskannya untuk selalu pergi keluar kota dalam waktu yang cukup lama.
Setiap kali suami RF pulang dari luar kota mereka selalu bertengkar, RF mengatakan
bahwa tak hanya dibentak, suaminya seringkali mengeluarkan bahasa kasar khas
Selama empat tahun RF terus mengalami hal yang sama dan melihat rumah
tangganya RF juga terus mencoba untuk kembali percaya dengan sang suami,
karena RF menyadari bahwa persoalan ini muncul akibat dirinya belum bisa
lagi percaya dengan suaminya. Apalagi suami RF telah menikah siri dan telah
memiliki dua anak dari perempuan tersebut. RF yang terpukul dengan kejadian
tersebut lantas memutuskan untuk pisah rumah dengan suaminya. Selama 3 tahun
RF dan suaminya tidak pernah berinteraksi, hingga saat anaknya hendak menikah
RF kembali bertemu dengan suaminya dan sejak saat itu RF mulai membuka
komunikasi dengan suaminya. Meski, tidak hidup serumah tetapi, suami RF sesekali
4.3.1.1 Subjek NV
Hasil olah data yang telah dilakukan diperoleh lima tema utama terkait alasan
subjek NV bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, bertahan demi anak,
keyakinan pada Tuhan, kekerasan sebagai bagian dari pernikahan, sejarah keluarga,
dan konsekuensi logis pendidikan tinggi. Selanjutnya akan dijabarkan dari masing-
dengan kekerasan karena adanya anak, sebab meyakini bahwa anak yang tumbuh
di dalam keluarga utuh akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan
umum subjek NV melihat bahwa ketika terdapat konflik orang tua, anak akan menjadi
43
korban, apalagi jika perceraian menjadi keputusan terhadap konflik rumah tangga
yang dihadapi. Subjek NV melihat pada kondisi ini, sebagai seorang ibu keputusan
ideal yang perlu diambil adalah bertahan dengan berkorban serta membaktikan
mengalah bahkan mengabaikan keinginan dan kebutuhan dirinya. Hal ini berkaitan
"..yang bikin saya nangis itu anak-anak sih, apalagi anak saya yang cowok
kan udah pernah ada omongannya...” (IK.NV, Pos. 88)
“Tapi apa yang buat saya bertahan itu.. Begini dek. Kalau dibilang kesal,
saya kesal…” (IK.NV, Pos. 109)
“….Anak saya laki laki, yang besar bilang “Mama, janganlah sampai cerai,
janganlah pisah” “Kenapa, nak?” “Nanti malu, iih mamanya A janda” gitu.
Anak saya nangis, dia ngomong itu.. Dia nangis. Saya bilang kan, “Oh ya,
nak” yaudahlah. Masa sih saya nggak bisa kuat, cuma masalah begini”
Barangkali masih ada yang lebih susah dari saya. Itu yang membuat saya
“Ini apasih, masalah apasih” gituloh dek” (IK.NV, Pos. 109)
dilakukan dengan berbagai pertimbangan, salah satunya agar anak dari subjek NV
tidak kehilangan haknya sebagai anak yakni, dinafkahi oleh bapaknya. Meskipun
dirinya mengakui bahwa secara ekonomi tanpa suaminya pun dirinya tetap bisa
untuk bercerai dapat melukai hak anaknya mendapatkan nafkah dari bapaknya.
"Terus Hak.. Hak anak saya kan, dinafkahi bapaknya. Itu bisa hilang,
kalau saya gugat" (IK.NV, Pos. 109)
"Karena, kalau saya cerai dia bisa nikah lagi dong dan rata-rata laki
laki itu kalau sudah pisah terus dia nikah lagi.. Banyak kejadian disini,
dia sudah lupa, nggak pernah nafkahi anaknya. Rata-rata begitu, rata-rata
dek… Jarang yang masih mau. Itusih pertimbangannya" (IK.NV, Pos. 109)
suaminya dapat berdampak pada hilangnya hak asuh anak yang dimilikinya.
44
Sehingga, meskipun merasa sakit hati dengan perlakuan kasar yang diterima tetapi,
Pengorbanan ini juga dapat dikaitkan dengan realitas yang ada dalam budaya dan
di masyarakat bahwa keluarga harus terdapat bapak dan ibu. Meski agar anak-
tersebut subjek NV dapat menilai dirinya sebagai sosok ibu yang baik, walau dirinya
“Itulah dek anak-anak yang terlahir dari keluarga yang bisa dibilang broken
home dia bahkan bisa mencari sesuatu diluar usia, apalagi sampai
melakukan hal yang ga baik, kan jangan sampai toh” (IK.NV, Pos. 244)
“Anak kan butuh sosok orang tua yang lengkap.. Untuk dia itu yah..
Meskipun sebenarnya dengan Ibu Bapaknya suka cek cok dia juga
terganggu. Cuma itu bisa ditutupin lah ketika dia lihat bapak ibunya lagi
baik.. Dia bisa lihat “Oh.. Bapak ibu ku sudah baik-baik, itu mungkin bisa lah
mengobati rasa sakit hatinya… Yah Anak, meskipun sejatinya dibilang
kuat gak kuat, Enggak kuat” (IK.NV, Pos. 319)
Keyakinan pada Tuhan adalah sebuah konsep dasar atas beriman dan percaya
bahwa Tuhan itu ada dan segala yang dikehendaki merupakan takdir terbaik bagi
seorang hamba, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Kehadiran Tuhan tumbuh
di dalam diri subjek NV sebagai muslim yang memercayai Allah S.W.T dengan
sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Artinya, apa yang telah direncanakan
oleh Allah merupakan hal terbaik yang terjadi dalam kehidupannya. Demikian, subjek
NV mengetahui betul bahwa dalam kehidupannya tidak selalu berjalan mulus, karena
45
Allah akan memberikan cobaan dalam hidupnya, salah satunya dengan adanya
"Malu sama tuhan dek.. Cobaan kamu tuh baru itu tuh.., masih banyak
yang lebih susah dari kamu, masih banyak yang lebih menderita. Masa
kamu dikasih cobaan gitu aja enggak bisa, ibaratnya gitu laah." (IK.NV,
Pos. 109)
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh subjek NV diangap sebagai
cobaan yang diberikan oleh Allah kepada dirinya. Hal tersebut diyakini pasti memiliki
jalan keluar, karena subjek NV percaya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan
melebihi batas kemampuan dirinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut:
“.. Bayangkan awal nikah engga kerja, dia gituin saya, tapi saya kan
pandang itu bahwa.. Itulah Allah kasih saya seperti ini supaya saya apa?..
Supaya saya kuat, Allah engga mungkin kasih cobaan saya melebihi
kemampuan saya. Dan saya yakin Allah kasih saya cobaan pasti sepaket
dengan solusinya gitu..” (IK.NV, Pos. 321)
“…Menurut saya.. Saya orang pilihannya Allah bahwa tidak semua orang
dikasih cobaan seperti itu, kenapa saya dipilih? Karena saya dirasa Allah,
saya itu mampu, saya sanggup. Seperti itu..Jadi itu lah menguatkan saya”
(IK.NV, Pos. 321)
dalam pernikahan penuh kekerasan karena dirinya meyakini Allah dengan tulus,
sehingga apa yang telah ditakdirkan Allah kepadanya selalu disyukuri. Hal ini
arti, karena merupakan ujian yang diberikan Allah kepadanya. Demikian, subjek NV
bersyukur atas apa yang telah dikehendaki Allah dengan melihat bahwa mungkin ada
"Ibaratnya gitu laah. Itu saya tanamkan pada diri saya. Saya nggak boleh
ngeluh, saya nggak boleh patah hati, patah semangat, patah hati. Saya
percaya Allah itu, lebih sayang saya. Di luar sana orang tua saya lebih
46
sayang, tapi ada yang lebih sayang sama saya yaitu Allah. Saya gitu
dek..yang menjadikan saya sampai saat ini bertahan gitu. itusih dek."
(IK.NV, Pos. 109)
"Nggak perlu saya, ratapin meratapi “Allah tuh nggak sayang sama saya”
nggak… “Allah itu sangat sayang sama saya”. Makanya, saya dikasih
cobaan melalui rumah tangga saya ini” (IK.NV, Pos. 109)
“…Itulah yang terbaik,pasti.. Manusia kan tidak tahu apa yang Allah
ketahui, jadi janganlah kita merasa “Allah tuh benci sama saya yah, kok saya
dikasih cobaan segitunya” itu jangan" (IK.NV, Pos. 327)
Sebagai seorang muslim subjek NV meyakini bahwa ketika bertakwa kepada Allah
berarti subjek NV perlu menjalankan apa yang telah diperintahkan Allah kepadanya,
dan menjauhi larangan dan segala sesuatu yang dibenci oleh Allah. Dengan taat
dengan perintah Allah maka, subjek NV percaya dirinya dapat mengembangkan dan
memiliki kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan subjek NV
sebagai berikut:
"..Masa siih, harusnya takut sama tuhan lah, itu kan (bercerai) sebenarnya
ga boleh dalam agama." (IK.NV, Pos. 109)
pernikahan pasti ada baik dan buruknya, sehingga dalam pernikahan sangat wajar
terjadi kekerasan. Sebagai seorang yang memeluk agama islam subjek NV meyakini
bahwa pernikahan merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Allah
S.W.T atas dasar kesucian, sehingga baik dan buruk yang terjadi dalam pernikahan
“Makanya kenapa saya bertahan yah karena mungkin, pernikahan itu kan
sebenarnya sakral yah kita sudah berjanji depan tuhan.. Dan toh yang
namanya orang rumah tangga ada lah..kurang lebihnya, kekurangannya,
kelebihannya ada lah..Masing – masing ada” (IK.NV, Pos. 320)
47
Bagi subjek NV kekerasan adalah konsekuensi dalam berumah tangga, dan ini
merupakan salah satu ujian dalam kehidupan yang membutuhkan perjuangan serta
"..Itulah saya berfikir ya Allah memang itu rumah tangga itu bukan enaknya
saja sudah punya suami selesai, tapi kemampuan kita bertahan,
kemampuan kita menahan emosi, kemampuan kita mencari solusi dari
setiap maslah" (IK.NV, Pos. 58)
“Menurut saya yah rumah tangga itu perjuangan hingga akhir hayat,
istilahnya pendidikan ada strata nya karena ibaratnya kan kalau S1 4
tahun, yakan? selesai itu S2 2 tahun, S3 3 tahun, semua kan ada batas
waktunya.. Sementara kalau rumah tangga itu gak ada, ibaratnya
sekolahnya orang hidup, sekolahnya dunia itu yaah orang berumah
tangga itu.. Enggak mengenal strata, dia nda mengenal..Memang
perjuangan utama nya di situ” (IK.NV, Pos. 320)
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga bagi subjek NV merupakan suatu
dalam rumah tangga, tetapi juga pembelajaran dalam kehidupan subjek NV sehari-
“Itulah mungkin saya jadi pinter, maksudnya pinter gini kalau kemarin –
kemarin dia marah saya tanggepin saya tanggepin akhirnya saya juga
ikutan marah, malah lebih ribut, tapi kesini-kesini saya paham dia ini
penyakitan, penyakitan maksudnya disini yah bukan kanker, dia ini sakit
jiwa nya istilah nya..Entah diguna – guna atau memang mentalnya dan itu,
saya harus paham gitu jadi setiap dia emosi kucoba buat ketawain ku
bercandain, terus dia baik lagi..” (IK.NV, Pos. 54)
"Justru ini, e.. ini membuat saya bisa berbagi pengalaman, saya bisa lebih
tau lah hal-hal yang dulunya kayak urusan polisi tuh saya tutup mata, gitu
ya. Urusan, jadi tau urusan urusan, saya bisa… minimal deketlah sama
orang orang yang diatas-atas gitu. Itulah ajang saya, ajang saya untuk
mengeksplor “oh bahwa, kamu selama ini tau nya cuma belajar, urus anak”
itulah nggak pernah tau, dunia luar. Inilah dunia luar itu” Bahwa, ibaratnya
gini.. baik sama orang itu boleh, apalagi suami yaa, dalam tanda kutip.
Cuma ya, kamu harus hati hati." (IK.NV, Pos. 109)
48
yang berlaku dalam suatu keluarga secara turun-temurun dalam hal ini nilai dan
masalah yang tepat dalam menghadapi konflik dalam rumah tangga. Hal ini juga
"..Keluarga saya tidak ada yang kawin cerai. Kan saya anak tunggal niih, ya.
Sepupu sepupu saya tuh nggak ada yang.. ya banyak lah yang rumah
tangganya, kacau balau. Maksudnya, utang apa namanya…Tapi itu ya..
wajarlah. Mereka masih saling bersama, tapi yang namanya kawin cerai itu
nggak ada itu. Termasuk nenek nenek, nenek nenek ku yang dulu dulu..
Nggak ada yang namanya kawin cerai, nggak ada." (IK.NV, Pos. 109)
Konsekuensi logis pendidikan dimaknai sebagai suatu akibat dari pendidikan yang
tinggi, bahwa ketika menyandang gelar sebagai doktor tidak hanya berkaitan dengan
dalam rangka mencapai gelar tersebut subjek NV telah mengalami berbagai macam
masalah yang telah diatasi. Meski begitu, subjek NV memiliki pendirian bahwa pilihan
permasalahan yang ada di dalam rumah tangganya. Hal tersebut tampak dari
pernyataan berikut:
“Saya kan sudah S3 memang itulah disinilah saya belajar pendewasaan diri
S3 itu bukan serta merta pendidikan tertinggi bukan itu, benar benar
ajang untuk menjadi sabar, untuk menjadi dewasa, saya dek gak perhatikan
desertasi apa itu tapi proses untuk sampai ke situ itu memang bukan
bimsalabim tidak dek..Saya perhatikan toh, iya yah saya di uji begini tapi
apabila saya di uji selesai sekolah ku tapi pernikahan saya porak poranda
ibaratnya kan, aneh” (IK.NV, Pos. 344)
pernikahan penuh kekerasan yaitu, bertahan demi anak, keyakinan pada Tuhan,
52
kekerasan sebagai bagian dari pernikahan, sejarah keluarga, dan konsekuensi logis
pendidikan tinggi. Hasil temuan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.1
4.3.1.2 Subjek AB
Hasil olah data yang telah dilakukan diperoleh empat tema utama terkait alasan
Tuhan, norma budaya, memasuki usia senja, serta konsekuensi menikah dengan
Keyakinan pada Tuhan dimaknai sebagai keyakinan yang pasti bahwa Allah SWT
merupakan tuhan Yang Maha Kuasa, artinya segala sesuatu yang ada di dunia telah
53
diatur dan terjadi karena izin Allah begitupun dengan kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami oleh subjek AB. Sebagai seseorang yang memeluk agama Islam, subjek
"Ku ikhlaskan apa yang terjadi… Karena kupikir sedangkan itu semua
terjadi pasti dengan sepengetahuan Allah..Semua sudah diatur mi begini
begini, jadi tinggal kita saja mau terima atau tidak, itu yang saya pikir."
(IK.AB, Pos. 219)
Kekerasan yang dialami oleh subjek AB diyakini sebagai cobaan yang diberikan
oleh Allah SWT dan merupakan bentuk nikmat yang diberikan kepada hambanya
agar dapat belajar bersabar. Subjek AB percaya bahwa jika dirinya memutuskan
untuk bercerai artinya dirinya tidak mampu melewati ujian yang diberikan dan
tersebut:
"Saya tahan-tahan karena saya berpikir saya diuji, jangan sampai suatu
saat dia bisa sadar..Bisa baik, itumi dengan berpisah itu kan jalan yang
paling dibenci sama Allah jadi saya berusaha perbaiki karena saya pikir
saya diuji" (IK.AB, Pos. 74)
"Saya tidak mau Allah marah sama saya, dikasih cobaan begitu banyak,
nikmat sekali itu di kasih cobaan begitu, kenapa musti tidak mau? Itu yang
saya takutkan, saya takut sama Allah" (IK.AB, Pos. 207)
Kekerasan dalam rumah tangga sebagai cobaan yang diberikan oleh Allah diyakini
oleh subjek AB memiliki kebaikan atau hikmah jika dapat dilewati dengan sabar,
54
bahwa dibalik kekerasan yang dialami ada nikmat yang lebih besar yang diberikan
Allah kepada subjek AB. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut:
"Saya berpikir Allah kasih ka cobaan karena mungkin Allah sayang, Allah
mau kasih ka sesuatu toh. Jadi disitu karena Allah saja saya berpikir begitu
sampai saya tidak marah, saya tidak kecewa karena saya takut sama
Allah" (IK.AB, Pos. 207)
"Jadi kupikir kalau tidak ada cobaan di kasihka Allah tidak pernah ka
berpikir ini rumah ku urus balik nama, jadi itu semua kupikir saya dapatkan
hadiah dari Allah. Baru anak-anak ku juga baik semua ke saya, tambah na
sayangka. Jadi berpikir ini semua hadiah dari Allah toh karena anak-anak
tiap hari mungkin menelpon, artinya na hiburka kasian" (IK.AB, Pos. 221)
Bahkan menurut subjek AB hikmah dari cobaan yang diberikan oleh Allah yaitu,
kehamilan anaknya merupakan hadiah dari Allah karena dirinya telah sabar
menghadapi kekerasan yang dialami, hal ini karena kehamilan anaknya terjadi tidak
"Saya takut, Allah sudah kasih saya banyak nikmat kenapa masalah begitu
kau kecewa jadi itu yang saya pikir karena banyak nikmatnya di kasih ka."
(IK.AB, Pos. 207)
"Banyak nikmat Allah karena yang saya pikir anak ku yang pertama, 10
tahun mi menikah tidak adapi anaknya, akhirnya dikasih anak sama Allah
jadi itu juga yang paling kusyukuri itu, karena Allah yang tolong itu, jadi
nikmat apa lagi mau saya dustakan pada Allah, na ini anak berjuang 10
tahun artinya bagaimana pun suami, namanya suami mau punya anak kan
bisa menikah lagi, lebih baik saya alami begini daripada anak ku toh jadi
itulah ku syukuri" (IK.AB, Pos. 235)
"Iya, karena pas itu sudah mulai memang mi kejadiannya disitu itu baru
anak ku hamil artinya itu semua kupikir nikmat Allah yang di kasih ka
kenapa mau dustakan itu. Ini anak ku berjuang semenjak sudah nikah
berjuang punya anak, kenapa je’ baru bisa ada anaknya, bisa di kasih hamil
sama Allah, artinya di kasih ka cobaan dulu itu. Jadi saya bilang kenapa
mau persoalan begitu mauka tidak bersyukur" (IK.AB, Pos. 237)
55
Subjek AB percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan ketentuan dari
Allah SWT, sehingga terdapat kepasrahan dalam dirinya untuk menerima kekerasan
yang ada dalam pernikahannya sebagai suatu cobaan. Subjek AB meyakini bahwa
Allah maha mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya, sehingga sebagai hamba
dirinya hanya dapat berserah diri menerima ketentuan Allah SWT dengan ikhlas.
"Allah dulu lah segala sesuatu Allah dulu, artinya ada masalah apa kita
berserah diri Kepada Allah" (IK.AB, Pos. 193)
"Saya pikir kalau saya marah, tidak anu (menerima) dengan ketentuan
Allah saya bisa memprotes sama Allah... ya itu sebenarnya membuat saya
tidak mau protes karena saya takut sama Allah, sudah kasih yang terbaik
tapi saya tolak. Karena ku pikir juga tinggal sedikit mami ki di dunia ini, apa
mi kalau hilang begitu saja itu amal ta karena kita tidak ikhlas menerima
cobaannya toh. Jadi itu yang saya tanamkan" (IK.AB, Pos. 207)
mendekatkan diri kepada Allah. Dengan mendekatkan diri kepada sang pencipta,
subjek AB dapat menyalurkan emosi negatif yang dirasakan akibat kekerasan yang
“Artinya kuterima ini nasibku. Cuma minta ka sama Allah, istigfar, berdoa itu
saja. Saya minta ketenangan saya minta untuk baik kembali supaya
tidak ada kesedihan, Cuma Allah yang saya minta” (IK.AB, Pos. 42)
Selain itu, ketika ditanya terkait hal apa yang menguatkan dirinya untuk memutuskan
karena adanya iman dan takwa yang mana perceraian merupakan bentuk
"Saya tidak mau menggugat karena kan saya tau kalau perceraian itu
dilarang sama Allah, nah itu yang saya tidak mau seperti orang tidak punya
iman." (IK.AB, Pos. 40)
"Iman dan takwa pada Allah karena semenjak ada masalah yang
namanya...Saya itu mengaji larika kesitu, saya mengaji bisa bisa satu kali
hatam satu bulan jadi betul – betul dengan ini masalah Allah kasih ka
kesempatan untuk sholat, puasa senin- kamis sholat isro, pokoknya
mempersiapkan untuk bekal akhirat" (IK.AB, Pos. 157)
Norma budaya merupakan suatu cara hidup yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Norma budaya dibentuk oleh beberapa unsur salah satunya, sistem agama.
Subjek AB dengan latar belakang budaya bugis banyak didominasi dengan sistem
agama islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh masyarakat setempat.
Adanya keyakinan dalam agama islam bahwa perceraian merupakan suatu tindakan
yang dibenci oleh Allah kemudian ditransferkan pada norma budaya yang berlaku di
menjelaskan bahwa norma budaya terkait adanya larangan bercerai masih tertanam
"Artinya kan saya produk dulu, jadi biar ada youtube, televisi, hp apa segala
macam itu yang diajarkan ki sama orang tua itu masih tertanam jadi nda
ada itu istilah bercerai, sekarang memang orang seperti mami nda
ada .. Sudah cerai, ada juga cewe menggoda-menggoda." (IK.AB, Pos. 201)
kurangnya harga diri seorang istri serta ketidakmampuan istri untuk menjaga
kehormatan keluarga. Hal ini disampaikan oleh subjek AB pada kutipan berikut:
"Kalau dari keluarga saya dari awal dia suruh saya pisah. Ada yang
mendukung tapi lebih banyak yang menyuruh untuk pisah. Karena berpikir
tidak di kasih makan jeka, karena saya terima gaji, lebih baik pisah saja.
Tapi saya sebagai istri punya kewajiban juga berusaha mempertahankan,
berusaha memperbaiki" (IK.AB, Pos. 56)
“Tapi saya mentong nda mau minta cerai, karena kalau saya minta cerai dia
menang, karena na legalkan mi pernikahan nya. Apa mi dibilang orang?
Apalagi itu perempuan di Soppeng kita satu botto (kelurahan), pasti malu
dilihat ki seperti nda menjaga harga diri” (IK.AB, Pos. 177)
“Kita itu orang bugis, namanya perempuan harus punya harga diri harus
bisa jaga kehormantannya.. Bukan cuma kehormatannya tapi keluarganya
juga, jadi nda ada itu orang dulu mau cerai …” (IK.AB, Pos. 231)
Memasuki usia senja dimaknai sebagai masa perkembangan terakhir dalam hidup
manusia yang terjadi ketika telah memasuki usia 60 tahun. Subjek AB percaya bahwa
ketika telah memasuki usia senja maka seharusnya seseorang lebih mendekatkan
diri kepada Allah serta lebih banyak mengumpulkan pahala sebagai bekal di akhirat
kelak. Menurut subjek AB bercerai di usia tua bukanlah sebuah pilihan yang tepat
karena kerugiaan yang didapatkan lebih besar, khususnya trekait hubungan dengan
Allah.
"..Toh tapi yang sekarang ku pikir ini kalau minta cerai juga nda ada ji
gunannya, rugi ji karena dosa jeka saja. Jadi kubiarkanji saja begini karena
kalau cerai putus silaturahim" (IK.AB, Pos. 155)
"Kalau saya kupikir tua tong meka toh, mau juga kunikmati hidupku sama
Allah.. Kah artinya adaji hal lain yang bisa buat ka bahagia, kenapa ka mau
rusak karena satu masalah" (IK.AB, Pos. 175)
"Mending saya mengaji.. Artinya alihkan ke hal yang lain, ke agama artinya
lebih mendekatkan diri sama Allah daripada kita mau mengamuk atau apa
tidak adaji gunanya jadi saya berpikir lebih baik sama Allah ka, artinya ku
pikir apa lagi saya mau kejar sama sama tua mki juga" (IK.AB, Pos. 211)
58
berbeda dengan pernikahan usia muda. Pernikahan pada masa lanjut usia memiliki
fokus untuk mendekatkan diri kepada Allah agar ibadah lebih sempurna. Hal ini
“Untuk apa kita sudah tua mki, apalagi yang mau dikejar? na sudah mki
nikmati semuanya, adami anak, sekarang ada cucu.. Jadi tinggal sisa-sisa
umur mami toh. Jadi di kasih ka ini umur yang lapang. jadi bagaiamana
saya bisa khatam Quran, artinya rumah tangga itu kalau sudah tua mki
bagaimana kita mau saling membawa ke surga saja” (IK.AB, Pos. 237)
Subjek AB juga memandang bahwa ketika telah memiliki cucu, rumah tangga telah
“..Jadi begitumi kalau punyamki cucu artinya itu rumah tangga sudah jadi
keluarga yang tidak bisa ki mau putuskan silaturahmi, jadi ku ikhlaskanmi
karena memang maumi di apa” (IK.AB, Pos. 133)
bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan. Dalam tradisi budaya keluarga subjek
yang menikahi saudara sepupunya. Hal ini memberikan dampak sulitnya untuk
"tidak kah kita itu sama-sama keluarga galung, kalau mau cerai itu pasti
ada rasa tidak enak. Kumpul sama keluarga, nah itu ji itu ji juga keluarga,
masa mau putuskan silaturahmi na satu keluarga ki ini" (IK.AB, Pos.129)
“..dulu itu menikah, karna dia itu sepupu tiga kali ku. Jadi menikah itu supaya
sama-sama keluarga ini jadi lebih dekat, tapi baku suka memang jeka.
Apalagi kakak ku sama kakaknya juga menikah toh, jadi kenapa je’ mau ka
59
Selain itu, subjek AB memandang bahwa ketika dia memutuskan untuk bercerai
antara subjek AB dan mertuanya sangat baik. Hal tersebut memengaruhi subjek AB
"Aiih tidak, kah saya karena saya ingat juga ibu nya itu baek sekali dia
restui saya, lebih na suka ka daripada anaknya saya tidak mau bercerai
karena kasian juga karena kalau saya bercerai tentu putus hubungan
dengan orangtua nya" (IK.AB, Pos. 155)
sebagai istri berpenghasilan tetap, ditemukan empat tema terkait alasan AB bertahan
dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, keyakinan pada Tuhan, norma budaya,
memasuki usia senja, dan konsekuensi menikah dengan keluarga. Hasil temuan
4.3.1.3 Subjek RF
Berdasarkan hasil olah data yang dilakukan diperoleh empat tema utama terkait
alasan subjek RF bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan yakni, bertahan demi
anak, malu pada tetangga, konsekuensi legal, dan asa suami akan berubah.
Bertahan demi anak dimaknai sebagai upaya bertahan dalam pernikahan demi
akan menjadi korban dari keputusan tersebut, apalagi saat masa sulit pernikahannya
"Anak-anak juga bilang toh “kasian kita semua ma klo kita pisah” tapi
sebenarnya tidak kuat juga kadang, dengan orangnya memang selalu
tinggalkan rumah, maksudnya bukan karena perempuan itu dia tinggalkan
rumah, tapi karena memang pekerjaannya diluar begitu." (IK.RF, Pos. 50)
"Kakak yang perempuan kan SMA dulu, sering sakit-sakitan. Jadi itu kakak
dulu, kalau pulang dari sekolah dia seperti orang kerasukan itu dadanya
seperti di tusuk batu, nanti sudah di infus satu botol baru lega mungkin
terlalu banyak dipendam. Maksudnya dia cewek kasian, kasian kalau tiba
tiba orangtuanya harus berpisah" (IK.RF, Pos.80)
bercerai maka, anak perempuannya tidak diterima oleh lingkungan sosialnya karena
"Malu kalau orang tuanya harus berpisah, apalagi kalau dia sudah pacar,
kan kita tidak tahu kalau dia sudah punya. Jangan-jangan dijauhi karena
keluarganya dilihat kacau begitu." (IK.RF, Pos.80)
"..Artinya bagaimana anak anak toh maksudnya tidak ada bapaknya kasian
perasaan nya apalagi ada kakak satu perempuan toh gadis kalau bicara
tentang kakak.. Aduh itu yang tante kasian… Bagaimana saat itu dia sudah
punya pacar begitu toh" (IK.RF, Pos.224)
"Tante punya satu kan anak perempuan itu mi yang namanya y sekarang di
wahidin yang laki-lakinya mungkin masa bodoh toh kalau dia orang tuanya
bercerai, tapi bagaimana keluarganya kasian belum tentu dia bisa diterima"
(IK.RF, Pos.226)
untuk berusaha mempertahankan rumah tangga yang telah dibentuk demi anak-
anaknya. Bahkan, RF yang kerap mendapatkan kekerasan verbal dan psikis dari
anak-anaknya memiliki kasih sayang dan sosok orang tua yang lengkap dalam
keluarga yang utuh. Selain itu, adanya anggapan RF bahwa anak dengan orang tua
"…“Karena kamu kan andai kamu jadi anak nakal, jadi anak nakal untung
kau tidak jadi anak nakal lihat bapakmu menikah lagi”. Bisa jadi
narkoba, bisa jadi apa. Jadi itu saja, kecewa..Kecewa tapi setidaknya
keluarganya masih utuh jadi, dia bisa terima ." (IK.RF, Pos.142)
Sosok suami juga dipandang RF sebagai bapak yang baik untuk anak-anaknya.
Meski bukan sosok suami yang baik untuk RF, tetapi ini menjadi pertimbangan RF
untuk tetap bertahan dalam pernikahannya yakni, agar anak-anaknya tetap dapat
"..Maksudnya kayak shalat nya, shalat nya om itu baik sekali, justru om itu
yang paling tidak pernah lambat kalau shalat toh tepat waktu, pokoknya bapak
yang baik untuk anak-anaknya.. Tapi itu saya heran, cuman itu maksudnya
kan tante dapati itu berzina terus dengan itu perempuan, Tapi itu nilai agama
nya yang dia terapkan agama ke anak-anak nya bagus dia terapkan ke anak-
anaknya bagus, sampe sekarang anak-anak nya sudah berumah tangga
masih sering dikasih tahu agama." (IK.RF, Pos.242)
"Iya baik, istilahnya dia penyayang perhatian kepada anak anak shalat nya
baik, Jadi begini saja, kalau begini paling tidak masih ada sosok bapak yang
anak-anak bisa lihat.." (IK.RF, Pos.246)
Malu pada tetangga dimaknai sebagai adanya perasaan tidak enak hati kepada
tetangga karena berbuat sesuatu yang kurang baik yang berbeda dari kebiasaan,
dalam hal ini perceraian. Subjek RF yang berperan sebagai kepala sekolah di salah
satu SD Negeri di dekat rumahnya dikenal baik oleh warga sekitar, begitupun
sekitar sebagai hubungan yang harmonis, hingga dijadikan panutan bagi warga lain
dalam berumah tangga. Hal ini diakui oleh RF bahwa jika tetangganya mengalami
masalah dalam rumah tangga, mereka akan meminta saran kepada RF dan suami.
"Kalau tante bercerai malunya minta ampun, dan pasti akan terdampak
sekali kita dengan tetangga karena kita yang jadi panutan di BTN itu toh,
kita yang jadi panutan kayak segala sesuatu liat ke om dan tante"
(IK.RF, Pos.120)
"Iya seperti mereka melihat pernikahan om dan tante itu yang dicontoh, karena
panutannya itu kasih sayangnya om ke keluarga, tidak pernah om keluar kalau
tidak dengan kita semua, waktu masih di pakkatto saya tinggal di Rindam
tentara, tidak mau ke Makassar kalau tidak dengan tante. Selalu menunjukkan
kasih sayangnya itu tidak mau keluar kalau tidak sama tante dengan anak-
anak." (IK.RF, Pos.124)
"Itu kalau ada masalah keluarganya, masalah tetangga lari ke kita semua. Toh
kita dapat masalah begini, malunya minta ampun..Malu"
(IK.RF, Pos.126)
65
"..Itulah maksudnya kita orang dikenal jadi panutan begitu yah biar di asrama
dulu yah begitu juga" (IK.RF, Pos.220)
Perasaan malu yang dirasakan oleh RF terus berlanjut hingga sekarang, bahkan
ketika dirinya sudah tidak lagi hidup satu rumah dengan suaminya. Meski RF
menyadari bahwa tetangganya penasaran mengapa dia dan suami tak tinggal
"Sudah kan, om tinggal sama itu perempuan, menikah siri mereka, nanti
ada apa..Ada apa baru dia pulang kerumah..Itu lagi rasa malunya tinggi
sekali. Tapi sebenarnya tidak ada berani tetangga tanya “kemana bapak?”
Tidak ada yang berani tanya kemana bapak, nanti saja pas bapak datang
baru dia tanya langsung “darimana ki pak?” Tapi malu iya malu…Pastimi
orang tertuju ke kita karena kan BTN disitu kecilji” (IK.RF, Pos.126)
"Kalau rasa malu itu malu sekali, tapi untungnya setelah itu 3 tahun pisah itu
bapak mulai mi lagi datang kerumah. Kalau biasanya juga kan tante mengajar
jadi selalu tinggalkan rumah pulang tinggal masuk rumah lagi" (IK.RF,
Pos.126)
Keputusan untuk tetap bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan karena adanya
perasaan malu sama tetangga juga tidak lepas dari sifat yang dimiliki oleh subjek RF
yang mengatakan bahwa dirinya tidak tahan memikirkan omongan orang tentang
dirinya.
"iyaa, tante orangnya tidak tahan dengan omongannya orang, tante kan
orangnya tertutup, tante orang tertutup" (IK.RF, Pos.270)
“Jadi mungkin semua orang ngomong tidak bicarakan itu, tapi tante kalau liat
orang ngumpul walaupun mungkin bukan bicara tentang rumah tangga nya
tante, tante pasti merasa..” (IK.RF, Pos.274)
perceraian yang telah diatur dalam hukum bagi RF sebagai PNS dan suaminya
sebagai tentara. Sebagai abdi negara keduanya memiliki peran di dalam masyarakat
66
sebagai teladan dalam tutur dan tindakan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga.
sehingga, ada prosedur tersendiri yang harus dilakukan RF jika dirinya memilih untuk
"..Jadi om ini tidak mengajukan karena dia tentara, tante juga kan tante
pegawai negeri, kalau kita pegawai negeri kita terikat sama negara, jadi kalau
mau bercerai itu harus minta izin sama atasannya dulu tante dan itu susah
izinnya" (IK.RF, Pos. 194)
"Susah, ribet karena kayaknya nda mengganggu juga ji toh, dia nda
mengganggu saya jga nda mengganggu, saya bebaskan dia tinggal sama itu
perempuan kalau mau datang, datang.. Jadi begitu jalan nya begitu saja"
(IK.RF, Pos. 198)
"..Malaska mengurus karena itu saya tidak mau berhubungan dengan orang"
(IK.RF, Pos. 282)
Prosedur perceraian yang harus dihadapi oleh RF dan suaminya turut berperan
yang panjang, RF juga mengatakan bahwa dalam mengajukan izin perceraian dirinya
perlu memiliki alasan yang jelas. Sedangkan, alasan dasar dirinya ingin menggugat
tentu alasan tersebut dapat mengancam karir suaminya. RF sendiri tidak ingin jika
suaminya harus kehilangan pekerjaan karena bercerai, selain itu RF juga tidak ingin
jika orang lain mengetahui permasalahan yang ada dalam rumah tangganya.
"…Kalau dulu kan memang tante tidak bisa, dia juga tentara nda bisa ceraikan
tante, Karena tante pegawai negeri toh, kalau pegawai negeri kan harus minta
izin sama atasan dulu banyak mau diurus-urus, harus juga jelas alasannya
toh. Kalau alasannya kayak begitu kan malu...Orang yang tadinya tidak tahu
jadi tahu." (IK.RF, Pos. 200)
"Kasihan juga kalau tante melapor cerai diatasannya, bahaya itu konsekuensi
nya dia bisa di pecat" (IK.RF, Pos. 216)
"Karena bagaimana yah, karena kita kan sudah tua malu kalau cerai, coba
masih muda – muda begitu, masih awal – awal pernikahan, mungkin tidak ini
sama orang toh.. Tapi kalau masa tua begini baru kita mau melapor na masih
67
berapa tahun itu om pensiun waktu itu, kan dia pensiun 2019 masih berapa
tahun barukan kita dikenal semua, tante itu dengan om dikenal, jadi kalau
tante pergi melapor langsung jadi pusat perhatian" (IK.RF, Pos. 218)
Asa bahwa suami akan berubah dimaknai sebagai pengharapan RF bahwa suatu
saat suaminya dapat berubah yang didasari oleh pengalaman masa lalu RF dengan
suami. Meski sering mengalami kekerasan verbal dan kekerasan psikis RF memiliki
harapan bahwa suaminya akan berubah, hal ini dikarenakan selama 25 tahun
membina rumah tangga dia mengenal suaminya sebagai sosok suami yang baik. Hal
"Jadi itu selama 25 tahun bahagia tidak ada kendala, nanti setelah tante dapati
dia selingkuh. Pokoknya sudah tidak ada apa namanya…Hampir tidak ada
lagi perlakuan baiknya. Tapi tante masih berusaha untuk memperbaiki. Siapa
tau dia masih bisa berubah" (IK.RF, Pos. 28)
"Dia itu selama yang kukenal dia orangnya baik sudah dari sebelum menikah,
apalagi sudah menikah, baik sama tante, tapi Cuma karena itu saja dia ketemu
sama itu perempuan dia berubah..Jadi tante yakin ada saatnya dia berubah"
(IK.RF, Pos. 30)
"Karena begini nak, saya pikir sebelum dapati dengan perempuan itu, rumah
tangga adem sekali, dia datang nyaman sekali. Jadi tante mau coba lagi
setelah dia selingkuh siapatau bisa damai lagi kayak dulu." (IK.RF, Pos. 66)
"Siapa tau juga om akan berubah begitu... Jadi maksudnya, itu sudah tidak
nyaman semenjak sudah tau itu, memang sifatnya nda seperti dulu lagi..
Begitu sudah tidak seperti dulu lagi. Tapi kita tidak tahu hati kapan saja bisa
berbalik" (IK.RF, Pos. 186)
Harapan bahwa suaminya dapat berubah juga dapat dipengaruhi oleh adanya
permintaan maaf yang dilakukan suami RF kepada dirinya. Meski setelah meminta
dengan anggapan bahwa selama 25 tahun berumah tangga dia selalu merasa
"Dia minta maaf itu sudah dua minggu tiga minggu begitu lagi, jadi itu sudah..
Seperti apa, kebiasaan" (IK.RF, Pos. 62)
“Tante maafkan karena kan kita ini sudah berumah tangga sudah lama..
Selama 25 tahun saya menikah dengan ini bapak rasanya itu indah terus, baru
saja setelah itu dia berubah." (IK.RF, Pos. 64)
tetap yakni, bertahan demi anak, malu pada tetangga, konsekuensi legal, dan asa
suami akan berubah. Hasil temuan tersebut dapat dilihat pada gambar 4.3
Berdasarkan uraian hasil wawancara yang telah dilakukan pada ketiga subjek
terdapat sebelas tema alasan istri berpenghasilan tetap bertahan pada pernikahan
penuh kekerasan yakni, keyakinan pada Tuhan, bertahan demi anak, kekerasan
tinggi, norma budaya, memasuki usia senja, konsekuensi menikah dengan keluarga,
malu pada tetangga, konsekuensi profesi, dan asa bahwa suami akan berubah.
Rekapitulasi hasil wawancara keseluruhan subjek dapat dilihat pada gambar 4.4
71
4.4 Pembahasan
diperoleh sebelas tema alasan istri berpenghasilan tetap bertahan dalam pernikahan
yang berbeda, namun dari keseluruhan subjek diperoleh dua tema yang dapat
72
penuh kekerasan yakni, spiritualitas dan bertahan demi anak. Sedangkan, tema
masing-masing subjek sebanyak delapan tema yakni, kekerasan sebagai bagian dari
memasuki usia senja, konsekuensi menikah dengan keluarga, malu pada tetangga,
4.4.1 Spiritualitas
untuk mencapai kesadaran tertinggi hingga transendensi diri. Hal tersebut juga
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dua dari tiga subjek memandang
bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupannya merupakan takdir terbaik
adanya kesediaan untuk percaya terhadap sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan
besar, dalam hal ini Tuhan. Hal tersebut dapat dijelaskan menggunakan teori
spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan. Secara garis besar, Spilka (1993, dalam
Saifuddin 2019) menjelaskan bahwa spiritualitas terbagi menjadi tiga kategori yakni,
spiritualitas berkaitan dengan Tuhan, spiritualitas berkaitan dengan ekologi dan alam,
berkaitan dengan Tuhan yakni, sesuatu yang berorientasi pada Tuhan yang
segala pikiran untuk percaya kepada sesuatu Yang Maha Segalanya, yang kemudian
73
memunculkan perasaan takut dan tunduk sehingga melakukan setiap perilaku yang
berwujud ritual keagamaan dan perilaku yang sesuai dengan norma agama yang
pemberian dari Tuhan termasuk cobaan yang mereka hadapi. Mereka meyakini
bahwa setiap cobaan adalah hal baik bagi mereka, dan tidak mungin melebihi
pernikahan merupakan suatu peristiwa sakral yang tidak hanya disaksikan oleh
sesama manusia tetapi juga disaksikan oleh Tuhan, hal ini menimbulkan perasaan
malu dan takut pada NV dan AB jika memutuskan untuk bercerai. Pandangan
dipengaruhi oleh adanya iman atau kepercayaan terkait kesucian pernikahan yang
moral, dan meningkatkan hubungan mereka dengan Tuhan. Goodman & Dollahite
Keterkaitan antara spiritualitas dan agama secara lebih jelas dikemukakan oleh
Newman (2004 dalam Saifuddin, 2019) bahwa dinamika keyakinan, agama, dan
meyakini sesuatu, hal ini selaras dengan yang diketahui oleh NV dan AB bahwa
kehidupannya, yang mana hal ini telah melibatkan praktik ajaran agama atau doing.
praktik agama sehingga menjadi pribadi yang baik atau being. Kondisi ini
dan segala sesuatu yang dibenci oleh Tuhan dirinya merasakan dirinya dapat
mengembangkan dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Hal serupa juga
ditunjukkan dari hasil wawancara AB yang memandang bahwa dengan iman dan
sebagai sosok pengasih dan penyayang. NV mengatakan bahwa konflik dalam rumah
tangganya merupakan bentuk kasih sayang Tuhan melalui cobaan agar dirinya
dialaminya terdapat hadiah yang sedang Tuhan persiapkan untuk dirinya. Temuan
tersebut berkaitan dengan penjelasan Nelson (2009) bahwa seseorang yang melihat
Tuhan sebagai sosok pengasih dan penyayang sangat relevan dengan deferring
Deferring coping sebagai respon pikiran dan perilaku dalam mengatasi konflik
penuh kekerasan. Hal ini karena deferring coping mengarahkan individu untuk
memiliki God locus of control. Karakteristik locus of control ini digambarkan dari hasil
wawancara NV dan AB yang meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
75
alami. Oleh karena itu, keduanya berserah diri dan ikhlas menjalani apa yang telah
dengan keterampilan mengelola stres serta tingkat depresi yang lebih rendah. Hal ini
karena terdapat fokus positif pada pemecahan masalah melalui dimensi agama.
Pandangan terkait Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pengatur membuat
bahwa bercerai bukanlah sebuah pilihan yang tepat dilakukan di usianya yang
memasuki usia senja, karena akan merusak hubungan AB dengan Tuhan-Nya. Hal
dijelaskan oleh Hood et al (2018) bahwa diantara orang-orang lanjut usia, agama
permasalahan yang ada dalam kehidupan dan meningkatkan rasa kontrol serta harga
diri mereka. Sedangkan, Hayward (2015, dalam Hood et al, 2018) menjelaskan lansia
hubungannya dengan Tuhan melalui ibadah yakni, shalat, puasa, dan mengaji
76
dibandingkan fokus pada kekerasan yang dialami. Hal ini dijelaskan oleh Hood, Hill,
& Spilka (2018) bahwa beribadah merupakan suatu strategi coping yang baik karena
Perasaan kontrol terhadap situasi menurut Granqvist (2003, dalam Hood et all.,
situasi sulit. Di sisi lain, individu yang memperoleh secure attachment dari proses
spiritualitas lebih terlibat dengan pencarian makna dari situasi sulit yang hadapi.
kekerasan di dalam rumah tangga sebagai ujian yang diberikan Tuhan dan akan
mendapatkan imbalan yang lebih baik jika dirinya dapat melewatinya dengan tabah
dan ikhlas.
merujuk pada value atau nilai yang dimiliki oleh individu. Value tersebut dapat
ini mengungkap bahwa sejak kecil AB telah diajarkan nilai-nilai agama oleh orang
tuanya. Salah satu nilai agama yang diajarkan kepada AB yaitu, yakin dan
Lebih lanjut, Informan ahli menjelaskan value yang dimiliki individu dapat
mengarahkan pada mindset tradisional bahwa apapun yang terjadi, pernikahan tetap
keluarga sudah melakukan tindakan diluar batas atau lebih banyak memberikan
dampak buruk bagi diri individu. Sama halnya dengan kekerasan yang dialami oleh
77
psikologis.
Bertahan demi anak merupakan suatu pengetahuan umum bahwa anak dapat
menjadi korban dari adanya perceraian orang tua. Pemahaman ini ditemukan dari
hasil wawancara NV dan RF yang memandang bahwa anak yang tumbuh dalam
mereka lebih memilih untuk bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan. Hal ini
tidak terlepas dari adanya pemberian label negatif pada anak keluarga broken home,
beberapa orang menganggap bahwa anak dari keluarga broken home memiliki
kehidupan yang bobrok, bebas, tidak terurus, dan lain sebagainya. Sejalan dengan
masyarakat yang melihat anak dengan orang tua bercerai identik dengan anak-anak
yang nakal, sehingga anak-anak dengan orang tua bercerai terkena dampak sosial
berupa stigma.
Tidak jauh berbeda, RF juga menyadari adanya beban psikologi kultural pada anak
dengan orang tua bercerai, khususnya pada anak perempuan. Dalam hasil
wawancara RF meyakini hal tersebut dipicu karena adanya perasaan malu pada anak
kekhawatiran bahwa anaknya tidak dapat diterima dilingkungan sosial karena berasal
dari keluarga yang tidak utuh, apalagi jika nantinya ingin membina rumah tangga.
dipandang sebagai sebuah aib yang terkesan dapat mengurangi status sosial,
Pemberian stigma pada anak dengan orang tua bercerai berdampak pada harkat
tradisional yang memandang anak perempuan sebagai calon ibu selayaknya tumbuh
dari keluarga yang baik-baik, sebab perempuan menjadi faktor utama berhasil
tidaknya sebuah rumah tangga. Dengan begitu, menikahi perempuan dari orang tua
kemudian hari.
Pada teori watak bangsa, Danandjaja (1994) menjelaskan bahwa setiap kultur
acuan untuk berperilaku agar dapat mengukuhkan jati diri sebagai bagian dari
kebersamaan budaya tersebut. Seperti yang dikatakan oleh RF bahwa jika dirinya
bercerai anak perempuannya belum tentu dapat diterima dengan keluarga calon
suaminya kelak. Demikian, sulit bagi RF terlepas dari pemikiran tersebut sehingga
kekerasan.
Lebih lanjut stigma yang memengaruhi keputusan NV untuk bertahan yaitu, adanya
ibunya menyandang status janda, hal ini diutarakan oleh NV bahwa anak laki-lakinya
pernah meminta dirinya untuk tidak bercerai karena takut adanya bullying dari teman
sebaya apabila ibunya men-janda. Kondisi ini relevan dengan temuan Naufaliasari &
Andriani (2013) mengungkap salah satu stressor yang mendatangkan stress pada
istri yang menyandang status janda yakni, sikap masyarakat terhadap status janda.
Sementara itu, keputusan NV untuk bertahan demi anak juga berkaitan pada
NV ini diperkuat dengan temuan Nurlian & Daulay (2008) yang mengungkap bahwa
terdapat budaya yang tetap menempatkan suami sebagai pencari nafkah, hal ini
tangga.
kebahagiaan dengan membahagiakan orang lain, dalam hal ini anak. Realitas ini
(2000 dalam Huriyani, 2008) yang menjelaskan adanya penyerahan diri perempuan
dirinya pada anak-anak dan suami sehingga istri kehilangan kemampuannya untuk
Hasil temuan penelitian ini juga relevan dengan pernyataan informan ahli bahwa
bertahan demi anak kerap memengaruhi keputusan istri bertahan dalam pernikahan
penuh kekerasan agar anak tidak kehilangan figure bapak. Keputusan tersebut
biasanya dilakukan apabila suami hanya melakukan tindak kekerasan kepada istri,
dan tidak pada anak-anaknya. Sehingga, selama anak mereka merasa aman dan
nyaman istri dapat menekan atau mengelola ketidaknyamanan yang dirasakan. Hal
ini juga dapat dipengaruhi karena adanya peran lain sebagai ibu yang membuat istri
80
sulit membedakan antara relasi suami-istri dan sebagai sebuah sistem keluarga.
Dengan begitu, istri memutuskan untuk bertahan pada pernikahan penuh kekerasan
bertahan demi anak hasil penelitian mengungkap beberapa temuan alasan istri
teori, Festinger (1957, dalam Sarwono, 2009) menjelaskan bahwa adanya hubungan
yang bertolak belakang atara satu elemen kognitif dengan elemen lain dalam diri
Lebih lanjut dijelaskan bahwa disonansi kognitif merujuk pada perasaan tidak
nyaman akibat adanya ketidaksesuaian sikap dan tingkah laku yang memotivasi
individu untuk berusaha mengurangi disonansi agar tercapai keselarasan antara satu
elemen kognitif dengan lainnya dalam diri individu. Disonansi kognitif didasari oleh
adanya hasrat manusia akan konsistensi keyakinan, sikap, dan perilakunya agar
dirinya sebagai lulusan doktor dipandang oleh sosial harus mampu menyelesaikan
bercerai.
oleh konsekuensi logis pendidikan tinggi juga dapat dijelaskan oleh Icek Ajzen (2005)
dalam theory of planned behavior yang menyatakan bahwa intensi individu untuk
melakukan suatu perilaku dikontstruk oleh sikap individu terhadap perilaku tersebut,
ditentukan oleh keyakinan yang diperoleh terkait konsekuensi dari perilaku bercerai.
Selain itu, terdapat persepsi yang bersifat subjektif mengenai tekanan sosial sebagai
doktor merupakan hal yang sulit untuk dilakukan, sebab dimensi ini terkait dengan
adanya control belief yang salah satunya dipengaruhi oleh status sosial dan
bias. Menurut ahli, cognitive bias pada istri disebabkan karena kurangnya ruang yang
dimiliki istri untuk dapat melihat permasalahan secara objektif, dalam hal ini
kekerasan. Pada akhirnya istri terjebak dalam begitu banyak bias baik karena adanya
82
pengaruh emosi, tekanan sosial, motivasi, atau pada saat memproses informasi,
memiliki tradisi menikah dengan saudara sepupu. Meski menikah karena saling
mencintai tetapi, terdapat tujuan kedua pihak keluarga untuk mempererat silaturahmi
satu sama lain melalui pernikahan AB dengan suami. Kondisi ini membuat AB lebih
merusak hubungan yang telah terjalin antar kedua keluarga. Hal ini karena hubungan
di dalam keluarga AB dan suaminya telah terjalin kuat dan memiliki ikatan emosional.
bahwa ikatan emosional yang terbentuk dari pengalaman emosi baik berupa senang,
marah, kecewa, dan emosi lainnya dimaknai decision maker sebagai sumber motivasi
atau stressor yang memengaruhi cara atau strategi dalam mengambil keputusan.
Selain itu, informan ahli juga mengatakan meski tidak menjadi pertimbangan utama,
tetapi relasi antar keluarga besar yang telah terjalin selama bertahun-tahun turut
menjadi pertimbangan bagi istri untuk memutuskan keluar dari jerat KDRT. Demikian,
ikatan emosional dan relasi yang terbangun antara AB dan keluarga suaminya
dengan kekerasan.
merupakan hal yang sulit untuk dilakukan karena perlu melewati prosedur yang
dianggap menyulitkan. Di sisi lain, suami RF berprofesi sebagai tentara yang juga
perlu melewati proses yang panjang jika ingin bercerai. Bahkan, RF mengatakan
perceraian untuk suaminya merupakan hal yang sangat beresiko karena dapat
83
mengancam karir suaminya, sedangkan RF sendiri tidak ingin jika suaminya harus
kehilangan pekerjaan.
Teori komitmen Rusbult (dalam Taylor et al, 2009) menjelaskan bahwa komitmen
untuk tetap menjaga keutuhan rumah tangga meski dalam kondisi sulit dipengaruhi
oleh adanya komitmen struktural yakni, merujuk pada suatu kekuatan yang
menghalangi istri untuk meninggalkan suatu hubungan. Hal ini karena komitmen yang
terbentuk akan memberikan dampak negatif berupa kerugian jika dilanggar, dalam
hal ini konsekuensi legal dari pekerjaan NV dan suami. Sehingga, NV tetap memilih
telah digariskan oleh Tuhan atas dasar kesucian, sehingga baik atau buruk yang
terjadi dalam pernikahan harus ia terima. Temuan ini didukung oleh Taylor et al (2009)
bahwa individu yang sangat berkomitmen sangat mungkin untuk tetap bersama
dalam sebuah hubungan baik pada keadaan suka maupun duka demi menjaga
ditinjau dari teori komitmen moral, yang mana menjelaskan bahwa perasaan terkait
kewajiban dan atau tanggung jawab sosial. Hal ini karena istri meyakini bahwa
pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan suci sehingga, termotivasi untuk
berkomitmen seumur hidup dengan pasangan yang telah dinikahi. Hal ini selaras
Temuan ini juga dapat dijelaskan dengan teori persepsi bahwa pemahaman
terbentuk dari kejadian yang dialami oleh subjek NV menghadirkan persepsi bahwa
persepsi istri dari apa yang dihadapi selama bersama dengan suaminya. Hal ini
dalam kehidupan dan sebagai “sekolahnya orang hidup”. Dengan begitu, persepsi
nilai dan norma-norma yang berlaku dalam keluarga yang memandang perceraian
sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam berumah tangga meski pada situasi
sulit. Dalam teori social identity Ellemers (1999, dalam Mulkan, 2015) menjelaskan
bahwa individu akan membentuk konsep diri dari persepsi yang sesuai dengan
kelompok sosialnya, yang mana akan termuat kesadaran kognitif individu akan
budaya Bugis Soppeng diyakini bahwa perceraian merupakan suatu tindakan yang
dibenci oleh Tuhan, nilai tersebut kemudian diajarkan oleh orang-orang terdahulu
penekanan pada nilai diri kolektif sehingga menumbuhkan rasa keterkaitan satu sama
lain. Hal ini tidak terlepas adanya identitas budaya yang memberikan makna pada
pribadi seseorang meliputi tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu
kebudayaan.
norma budaya yang berlaku dilakukan karena adanya kebutuhan individu untuk
menjadi anggota dalam suatu kelompok sosial. Dengan begitu, identitas budaya akan
budaya yang melihat diri sendiri sebagai makhluk hidup menyesuaikan pada nilai
keluarga.
merupakan sosok yang sering menjadi tempat meminta saran oleh tetanngga-
tetangganya khususnya terkait masalah rumah tangga, menurut RF hal ini terjadi
individu terhadap rekasi orang lain baik nyata maupun tidak nyata terhadap perilaku
Lebih lanjut, Edelmann (1981) menjelaskan bahwa embarassment atau rasa malu
secara sistematis dibangun di dalam sistem sosial masyarakat. Hal ini karena rasa
malu merupakan emosi sosial yang berkaitan erat dengan norma perilaku yang
diterima secara sosial. Pada penelitian ini terlihat perceraian dipandang RF sebagai
suatu kondisi yang tidak menyenangkan karena adanya kemungkinan dampak buruk
86
Berdasarkan hasil wawancara bersama informan ahli, malu pada tetangga dapat
orang bahwa dirinya memiliki keluarga yang utuh, meskipun sebenarnya di dalamnya
hancur. Hal ini berkaitan dengan adanya keinginan untuk mendapatkan pegakuan
sosial bahwa keluarganya baik-baik saja. Hal ini kemudian mendorong RF untuk
dapat dipengaruhi oleh adanya permintaan maaf yang dilakukan suaminya. Hal ini
sejalan dengan yang dijelaskan oleh Huriyani (2008) bahwa terdapat siklus
kekerasan dalam fenomena KDRT yang memberikan harapan bagi korban bahwa
kekerasan sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, namun terus
setelah meminta maaf suami RF tetap melakukan kesalahan. Meski begitu, RF tetap
Siklus kekerasan dalam fenomena KDRT yang memengaruhi istri untuk bertahan
dalam pernikahan penuh kekerasan juga dapat dijelaskan oleh Lopez (2009) dalam
87
bukunya yang berjudul The Encyclopedia of Positive Psychology pada bagian hope
mewujudkan suatu keungkinan atau tujuan yang ingin dicapai. Adanya harapan
memberikan energi positif yang memotivasi individu untuk melalui situasi sulit agar
dapat mecapai tujuan yang diinginkan. Sehubungan dengan itu, adanya permintaan
maaf yang dilakukan oleh suami RF dan perubahan sikap baik yang bertahan selama
Berdasarkan hasil wawancara bersama ahli juga mengungkap bahwa siklus KDRT
membuat istri sulit untuk melepaskan diri dari jeratan kekerasan karena adanya fase
memberikan dampak yang besar bagi istri ketika mendapatkan perlakuan KDRT.
Artinya, setiap kali istri mendapatkan kekerasan terbangun persepsi bahwa nantinya
suaminya akan kembali baik lagi, sehingga istri melakukan pemakluman. Demikian,
ketika akan memutuskan untuk berpisah istri akan merasa ragu apakah keputusan
tersebut merupakan keputusan yang tepat dan tidak terburu-buru karena adanya
proses kognitif yang kompleks karena memiliki sifat terarah pada masa depan, yang
mana istri sebagai decision maker membuat begitu banyak prediksi-prediksi terkait
berdasarkan pada rasional tetapi, tidak selalu keputusan yang dihasilkan merupakan
keputusan yang baik atau mendekati kebenaran. Hal ini dikarenakan adanya faktor-
value atau nilai yang diharapkan terjadi pada tiap alternatif pilihan.
dihasilkan menjadi optimal, hal ini dikarenakan adanya permasalahan bias dalam
pernikahan penuh kekerasan dapat terjadi karena istri lebih memilih alternatif pilihan
dengan expected value yang rendah, yakni bertahan pada KDRT tetapi menjanjikan
kepastian. Artinya, istri lebih memilih bertahan meskipun sebenarnya mereka tidak
terjadi apabila dirinya bercerai. Hal ini dapat digambarkan pada temuan tema
konsekuensi profesi, malu pada tetangga, norma budaya, malu pada tetangga, dan
Pada penelitian ini bias menimbulkan framing effect yaitu, pengambilan keputusan
dan bercerai merupakan dua pilihan yang berisiko bagi istri, tetapi istri tetap
bertahan sudah jelas yakni, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suami,
sedangkan resiko bercerai masih belum pasti. Oleh karena itu, individu lebih enggan
Lebih lanjut Minda (2015) menjelaskan bahwa selain expected value, bias yang
terjadi pada pendekatan rasional juga dapat disebabkan karena adanya loss aversion.
Loss Aversion merupakan keadaan dimana individu lebih khawatir dengan kerugian
dibandingkan fokus pada keuntungan yang diperoleh. Hal tersebut terjadi karena nilai
psikologis yang diberikan untuk kehilangan sesuatu lebih besar dari nilai psikologis
terkait keuntungan. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan dimana
ketiga subjek lebih khawatir dengan kerugian akibat bercerai yang telah dijelaskan
diperoleh yakni, terbebas dari jeratan KDRT. Demikian, mereka lebih memilih untuk
Prospect theory yang dijelaskan oleh Minda (2015) mengungkap bahwa adanya
terbentuk menjadi kurang optimal. Sesuai dengan tema-tema temuan alasan istri
dipengaruhi oleh atribut psikologis, yang mana atribut psikologis tersebut membatasi
istri untuk melihat gambaran kekerasan yang dialami secara heuristik. Hal ini
dikarenakan bias kognitif menghalagi istri untuk bisa berpikir secara objektif, sehingga
banyak faktor psikologis yang melatarbelakangi. Hasil temuan pada penelitian ini
mana temuan utama dijelaskan karena adanya spiritualitas dan bertahan demi anak.
Aspek spiritualitas pada penelitian ini menjelaskan adanya keterkaitan antar agama
dan pernikahan. Sedangkan, bertahan demi anak dalam penelitian ini relevan dengan
adanya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat terhadap peran perempuan di dalam
rumah tangga.
Terdapat juga faktor pendukung lain yang turut memengaruhi keputusan istri
Kedua, sejarah keluarga bahwa tidak adanya tindakan bercerai secara turun-
temurun. Ketiga, konsekuensi logis pendidikan tinggi bahwa terdapat tekanan sosial
Keempat, norma budaya bahwa adanya nilai dalam kebudayaan yang mengaitkan
antara harga diri perempuan dan pernikahan. Kelima, konsekuensi menikah dengan
keluarga berkaitan dengan adanya relasi antar keluarga yang telah terjalin dalam
jangka waktu yang lama. Keenam, malu pada tetangga berkaitan dengan adanya
dengan adanya aturan hukum yang mengatur perceraian pada abdi negara. Terakhir,
asa bahwa suami akan berubah pada penelitian ini berhubungan dengan adanya
90
91
5.2 Saran
motivasi bagi istri yang mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga
psikologis.
c. Bagi masyarakat
dapat mengubah pelabelan atau stigma terhadap status janda dan anak
sesuatu yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak hal sehingga, perlu
dilakukan penelitian yang sifatnya kolaboratif dari berbagai disiplin ilmu terkait
Braun , V., & Clarke , V. (2012). Using thematic analysis in psychology: Qualitative
research in psychology. In H. Cooper, P. Camic, D. Long, A. Panter, D.
Rindskopf, & K. Sher, APA Handbook of Research Methods in Psychology,
Vol. 2: Research Designs: Qualitative, Neuropsychological, and biological (pp.
57-71). America Psychological Association.
Dewi, I., & Hartini, N. (2017). Dinamika forgiveness pada istri yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). INSAN Jurnal Psikologi dan
Kesehatan Masyarakat, 2(1), 51-62.
Djannah, F., Rustam, Nuraisah, Sitorus, M., & Batubara, C. (2002). Kekerasan
terhadap istri. Yogyakarta: LKIS pelangi aksara.
Duvall, E., & Miller, B. (1985). Marriage and family development (6th Edition). New
York: Harper & Row.
Galtung, J. (1980). The true world: A transnational perspective. New York: The Free
Press.
93
Gottman, J. (1998). Psychology and the study of marital processes. Annual Review
of Psychology, 169-197.
Hakimi, M. (2001). Membisu demi harmoni : Kekerasan terhadap isteri dan kesehatan
perempuan di Jawa tengah, Indonesia. Yogyakarta: LPKGM-FK-UGM.
Hamid, A. (2016). Makna kompetensi emosi bagi manajer dalam pengambilan
keputusan. Jurnal Publikasi Pendidikan, 6(2), 130-140.
Handoko, H. (2010). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Yogyakarta:
BPFE.
Harapan, P., Sabrian, F., & Utomo, W. (2014). Studi fenomenologi persepsi lansia
dalam mempersiapkan diri menghadapi kematian. Jurnal Online Mahasiswa
PSIK, 1(2), 1-9.
Hardani, S., Wilaela, Bakhtiar, N., & Hertina. (2010). Perempuan dalam lingkaran
KDRT. Pekanbaru: PSW Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim.
Herdiyanto, Y., Tobing, D., & Astiti, D. (2016). Psikologi Lintas Budaya. Denpasar:
Universitas Udayana.
Hood, R., Hill, P., & Spilka, B. (2018). The psychology of religion: An empirical
approach (5th Edition). New York: Guilford Publications.
Huriyani, Y. (2008). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan privat yang
jadi persoalan publik. Journal Legislasi Indonesia, 5(3), 75-86.
Kahneman, D., & Tversky, A. (1982). Judgement under uncertainty: Heuristics and
biases. New York: Cambridge University.
Kasus meningkat, Kemen PPA ajak milenial cegah KDRT. (2019, 29 Maret). Siaran
Pers. Diakses pada tanggal 4 Oktober 2021 dari
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2089/kasus-
meningkat-kemen-pppa-ajak-milenial-cegah-kdrt
Lopes, S., & Snyder, C. (2009). Oxford handbook of positive psychology (2nd Edition).
United Kingdom: Oxford University Press.
Lopez, S. (2019). The encyclopedia of positive psychology. New York: John Wiley &
Sons.
Moors, A. (1995). Woman, property, and islam. New York: Cambridge University.
Naufaliasari, A., & Andriani, F. (2013). Resiliensi pada wanita dewasa awal pasca
kematian pasangan. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2(2), 264-269.
Nurlian, & Daulay, H. (2008). Kesetaraan gender dalam pembagian kerja keluarga
petani ladang (Studi kasus analisa isu gender pada keluarga petani ladang di
Desa Cot Rambong, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagen Raya, NAD).
Jurnal Harmoni Sosial, 2(2), 76-82.
95
Putri, N., & Aviani, Y. (2019). Gambaran istri korban KDRT yang mempertahankan
pernikahan. Jurnal Riset Psikologi, 1(3), 1-12.
Rahayu, S. (2013). Kecemasan dan strategi coping istri yang menjadi korban
kekerasan dalam rumah tangga di Samarinda. Psikoborneo, 1(1), 50-56.
Rani, R., & Dovina, D. (2018). A study on the marital expectations of female college
students in Chennai city. International Journal of Research and Analytical
Reviews, 5(4), 66-69.
Safira, A. (2018). Strategi presentasi diri anak dari keluarga broken home dalam
mengatasi stigma sosial. Surabaya: Universitas Airlangga.
Saraswati, R. (2020, Maret 10). Riset: Perempuan korban KDRT enggan bercerai
karena ingin hindari sanksi sosial. Semarang, Jawa Tengah, Indonesia.
Diakses pada tanggal 5 Oktober 2021 dari
https://theconversation.com/amp/riset-perempuan-korban-kdrt-enggan-
bercerai-karena-ingin-hindari-sanksi-sosial-132768
Sarwono, S., & Meinarno, E. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Taylor, E., Peplau, L., & David, S. (2009). Psikologi sosial (Edisi Kedua Belas).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Terry, G. R., & Rue, L. (2008). Dasar-dasar manajemen. (G. Ticoalu, Trans.) Jakarta:
Bumi Akasara.
Turban, E., Jay, A., & Ting, P. L. (2005). Decision support systems and intelligent
system Ed. 7. New Jersey: Pearson Education.
Yin, R. (2014). Studi kasus desain dan metode . Jakarta: Rajawali Pers.
96
LAMPIRAN
Lampiran 1 - Lembar Guideline Interview
Pelaksanaan wawancara
Hari/Tanggal pelaksanaan :
Waktu mulai pelaksanaan :
Waktu selesai pelaksanaan :
A. Profil Subjek
1. Siapa nama Anda?
2. Berapa umur Anda?
3. Bisakah Anda ceritakan riwayat pendidikan Anda?
4. Bisakah Anda ceritakan riwayat pekerjaan Anda?
5. Bisakah Anda ceritakan latar belakang budaya Anda?
B. Data Pernikahan
1. Berapa usia perkawinan Anda?
2. Bagaimana Anda memandang pernikahan?
3. Bagaimana Anda menggambarkan sosok suami Anda selama menikah?
4. Bagaimana hubungan Anda dengan suami setelah menikah?
5. Hal apa saja yang berkesan dan membekas dalam pernikahan Anda?
6. Apakah Anda pernah mengalami masa sulit dalam pernikahan?
7. Bagaimana cara Anda dan pasangan mengatasi masalah tersebut?
C. Pertanyaan Umum
1. Bisa Anda ceritakan tentang KDRT yang saudari alami selama ini?
2. Sudah berapa lama Anda mengalami KDRT?
3. Apa saja bentuk-betuk KDRT yang dialami?
4. Apa yang Anda lakukan setelah mengalami KDRT?
5. Kenapa Anda bertahan?
D. Pertanyaan Tambahan
(Pertanyaan tambahan mengikuti jawaban subjek terhadap pertanyaan umum)
32. Lalu apa yang membuat Anda hingga saat ini tetap bertahan dalam hubungan
tersebut?
33. Bisakah Anda ceritakan kejadian atau hal yang membuat Anda yakin untuk
bertahan?
34. Apakah setelah terjadi kekerasan Anda merasa tetap perlu menjaga
hubungan dengan suami?
35. Jika iya, bisakah Anda ceritakan dinamika yang Anda rasakan?
36. Apakah pernah terpintas dalam pikiran Anda untuk membalas perlakuan
kasar suami?
37. Jika iya, apakah hal tersebut benar Anda lakukan?. Jika tidak, bagaimana
upaya Anda dalam meminimalisir emosi negatif terhadap tindakan kekerasan
yang diterima?
38. Apakah Anda merasa perlu berbuat baik kepada suami Anda bahkan setelah
menerima kekerasan?
39. Bagaimana pandangan Anda tentang pernikahan? khususnya terkait posisi
sosial
40. Bagaimana harapan Anda tentang pernikahan bagi perkembangan diri Anda?
41. Bagaiaman Anda memandang sosok pasangan?
42. Bagaimana ekspektasi Anda terkait hubungan Anda dengan suami? dan
bagaimana dengan keluarganya?
43. Lalu bagaimana yang sebenarnya terjadi?
44. Bisakah Anda ceritakan bagaimana kehadiran suami bagi Anda? dan hal
berkesan yang Anda rasakan pada suami Anda?
45. Apakah hal tersebut membuat Anda ingin terus mempertahankan
pernikahan?
46. Bagaimana menurut Anda nilai moral, budaya, agama melihat pernikahan?
47. Bagiamana Anda menyikapi pandangan tersebut?
48. Bisakah Anda ceritakan kerugian apa yang mungkin Anda alami baik
konsekuensi legal (sebagai PNS), sosial, ekonomi jika memutuskan untuk
bercerai?
49. Menurut Anda apakah ada sesuatu yang tidak bisa Anda dapatkan diluar
hubungan pernikahan? (Misalnya, kasih sayang, pehatian, dsb.)
50. Menurut Anda seberapa besar pengorbanan Anda pada pernikahan baik
energi, waktu, uang, keterlibatan emosional
(Lanjutan)
Pelaksanaan wawancara
Hari/Tanggal pelaksanaan :
Waktu mulai pelaksanaan :
Waktu selesai pelaksanaan :
A. Pembukaan
1. Pengisian informed consent
2. Pengajuan izin untuk menggunakan alat perekam selama proses wawancara
B. Inti
1. Bolehkah Anda menceritakan profil singkat Anda khususnya yang relevan terkait
penelitian ini dalam rangka memahami keputusan istri berpenghasilan tetap
bertahan dalam pernikahan penuh kekerasan?
2. Bagaimana Anda melihat fenomena istri berpenghasilan tetap bertahan dalam
pernikahan penuh kekerasan?
3. Dari sudut pandang Anda sebagai ahli apa saja hal yang melatarbelakangi istri
bertahan dalam KDRT?
4. Berdasarkan temuan penelitian terdapat dua temuan utama istri bertahan dalam
pernikahan penuh kekerasan yakni, spiritualitas dan bertahan demi anak.
Bagaimana komentar Anda terkait temuan tersebut?
C. Penutup
1. Ucapan terima kasih
2. Salam penutup
Lampiran 2 - Informed Consent
(Lanjutan)
(Lanjutan)
(Lanjutan)
Lampiran 3 - Lembar Pernyataan Sikap Pengerjaan Transkrip Verbatim
(Lanjutan)
(Lanjutan)
(Lanjutan)
Lampiran 4 - Tabulasi Hasil Triangulasi Sumber