Anda di halaman 1dari 142

J. Biol. Indon. Vol 6, No.

2 (2010) ISSN 0854-4425 ISSN 0854-4425

JURNAL JURNAL BIOLOGI BIOLOGI INDONESIA INDONESIA


Akreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 6, No. 2, Juni 2010
Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 163 2006 Onrizal Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau 173 Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di 185 Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo 195 Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi 211 dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis 225 Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto

BOGOR, INDONESIA

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)


Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember). Editor Pengelola Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Dr. Anggoro Hadi Prasetyo

Dr. Izu Andry Fijridiyanto


Dewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI Alamat Redaksi

Sekretariat Oscar efendi SSi MSi


d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email : jbi@bogor.net Website : http://biologi.or.id Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

OBITUARI

Pada tanggal 20 Februari 2010, redaksi Jurnal Biologi Indonesia telah kehilangan seorang Editor Pengelola Dr. ANGGORO HADI PRASETYO yang menghadap Ilahi pada usia 39 tahun 6 bulan. Dr. Anggoro H. Prasetyo adalah staf Puslit Biologi LIPI, seorang ahli taksonomi rayap yang diperkirakan merupakan generasi muda satu-satunya yang mempelajari kelompok serangga tersebut. Sebelum meninggalkan kita semua, beliau dengan penuh semangat telah mengkoreksi isi jurnal ini berikut saran-saran yang harus diperbaiki. Dr.Anggoro H.Prasetyo meninggalkan seorang istri Dr. Marlina ARDIYANI, yang bekerja di Puslit Biologi

LIPI dalam bidang taksonomi tumbuhan dari takson Zingiberaceae, serta dua orang anak laki laki (M. Ammar Zaky dan M. Zuhdi Ali) dan dua anak perempuan (Anisa Zahra dan Aisyah Zafrina Aini).

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010) KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia edisi volume 6 nomer 2 tahun 2010 yaitu memuat 11 artikel lengkap dan sebuah artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Departemen Kementerian Kehutanan, Pertanian, Fakultas MIPA IPB, Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas. MIPA Universitas Indonesia, Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara, Pusat Konservasi Kebun Raya Bogor, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Bogor dan Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi empat topik dalam bidang Botani, dua topik tentang mikrobiologi satu topik mengenaik hasil perombakan bakteri dan bahan organik lainnya dan lima topik dalam bidang zoologi Beragamnya penulis pada edisi ini yang membahas tiga topik utama yaitu Zoologi, Botani dan Mikrobiologi diharapkan semakin banyak keragaman pembaca dan akhir kata yang diharapkan dari editor jurnal ini akan semakin banyak penulis yang berkeinginan membagi hasil karya penelitiannya dengan menulis ke dalam Jurnal Biologi Indonesia. Editor

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)


UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 2, Juni 2010: Dr. Niken TM. Pratiwi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Ir. Majariana Krisanti MSi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Onrizal MSi, Universitas Sumatra Utara Dr.Tike Sartika, Balitnak, Departemen Pertania, Ciawi bogor Dr. Dwi Astuti, Puslit Biologi-LIPI Drs. Edi Mirmanto MSc, Puslit Biologi-LIPI Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPI Drs. M. Noerdjito, Puslit Biologi-LIPI Drh. Anang S. Achmadi MSc, Puslit Biologi-LIPI Sigit Wiantoro SSi ,MSc Puslit Biologi-LIPI Ir. Dwi Agustiyani MSc, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2010

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)


DAFTAR ISI
Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Rini Riffiani 153

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977- 163 2006 Onrizal Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau 173 Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di 185 Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia Awal Riyanto, Suprayogo Soemarno dan Achmad Farajallah Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo 195 Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species Didik Widyatmoko Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi 211 dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis 225 Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia Sri Soegiharto, Agus P. Kartono, & Ibnu Maryanto Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik 237 Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey 255 (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik Dwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin 265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah 277 Penduduk dan Industri Eko Harsono dan Sulung Nomosatryo TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito (Coleoptera, 289

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 153-161 (2010)

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta-Salawati Raja Ampat Papua


Rini Riffiani
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Jakarta Bogor km 46, Cibinong, Email: Rar4id@yahoo.com

ABSTRACT
Isolation of Bacteria Degrading Phenanthrene in Batanta- Salawati Districts Raja Ampat Papua. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) are important environmental contaminants in soil and water. These compounds have a potential risk to human health, as many of them are carsinogenic and toxic to marine organisms such as diatome, gasthrophode, mussel, and fish. Phenanthrene is one of the hazardous hydrocarbon compounds. The purpose of this research was to characterize microbial strains from Batanta-Salawati Raja Ampat Papua Island and their ability to remove phenanthrene. Two isolates were identified at their physiological characteristics based on salinity tolerance, pH tolerance and the composition of nitrogen base. Molecular identification based on 16S rRNA gene sequences indicated that bacteria had the highest similarity with Rhodobacteraceae bacterium F9 and Roseobacter sp. RW 37. Rhodobacteraceae bacterium F9 could grow optimum on ONR7a media with 5% salinity and at pH of 5-7,5 while Roseobacter sp. RW 37 could grow optimum on ONR7a media with 2% salinity and at pH of 6,2-7,5. Key words: Phenanthrene, physiological characteristic, molecular identification, Raja Ampat

PENDAHULUAN Berbagai kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transportasi melalui media laut, sering menghasilkan kejadian kebocoran tumpahan minyak ke lingkungan. Tumpahan minyak di laut telah berdampak terhadap pencemaran multidimensi bagi makhluk hayati laut itu sendiri, usaha perikanan, usaha pariwisata, sampai kepada tingkat kerusakan laut (Edwards & White 1999). Kecelakaan tanker pengangkut minyak, tumpahan minyak mentah dari kegiatan eksplorasi minyak bumi sering terjadi di perairan Indonesia, yang memerlukan

perhatian dan tindakan bioremediasi yang lebih optimum dengan memanfaatkan teknologi biostimulasi dan bioaugmentasi. Aplikasi teknologi bioremidiasi memerlukan data dasar diversitas jenis dan fungsi fisiologis mikroba laut. Bakteri mampu mendegradasi bahan kimia berbahaya dalam lingkungan menjadi air dan gas yang tidak berbahaya (CO 2) (Vidali 2001). Menurut Yamikov et al. (2004), bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi banyak ditemukan di laut. Beberapa bakteri yang diketahui dapat mendegradasi senyawa PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) dalam minyak bumi antara lain 153

Rini Riffiani

Cycloclasticus, Marinobacter, Pseudomonas, dan Sphingomonas (Kasai et al.2002). Phenanthrene merupakan salah satu dari senyawa PAH yang berpotensi sebagai zat karsinogen dan bersifat racun terhadap biota laut seperti diatom, gastropoda, remis, serta ikan (Ouyang 2006; Sack et al. 1997). Kepulaun Raja Ampat merupakan kawasan tropis dengan produktivitas ekosistem yang tinggi, yang mempunyai peran sentral dalam menjaga ekosistem dunia. Batanta dan Salawati merupakan pula u yang masuk dalam wilayah Kepulaun Raja Ampat. Kepulaun ini terletak antara pulau Halmahera dan Papua. Kawasan ini merupakan pulaupulau yang berbatasan dengan kawasan Wallacea dan dikenal memiliki kekayaan hayati laut sangat tinggi. Ekosistem Raja Ampat telah mengalami perubahan dengan adanya kegiatan penambangan, penyelundupan kayu ilegal melalui kepulauan Raja Ampat oleh sejumlah kapal asing, dan ekploitasi sumber daya perairan. Hampir 99 % mata pencaharian warga kepulauan Raja Ampat di laut, dan umumnya warga setempat memiliki kendaraan laut yang menggunakan bahan bakar minyak yang dapat mencemari perairan laut (Kadarusman 2007). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bakteri yang dapat mendegradasi senyawa phenanthrene di pulau Batanta-Salawati kepulauan Papua Raja Ampat. Diharapkan dari penelitian ini dapat diperoleh bakteri unggulan yang dapat digunakan sebagai landasan untuk pengembangan teknologi bioremidiasi hidrokarbon di lepas pantai.

BAHAN DAN CARA KERJA Sampling Sampel penelitian diambil dari Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat pada tanggal 21 April-11 Mei 2008. Kordinat geografi astronomi dari lokasi pengambilan sampel adalah S: 00.18.865 E: 130.55.17 dan sampai S: 00.19.189 E: 130.066 (Gambar 1). Sampel yang dikumpulkan berupa air laut. Untuk menghindari terjadinya degradasi jumlah bakteri dan kematian bakteri pada sampel, dilakukan metode pengayaan (enrichment). Media pengayaan yang digunakan adalah medium artificial seawater mineral salt medium (ONR7a) yang mengandung phenanthrene (1000 ppm). Komposisi media ONR7a per liter: 22,79 g NaCl, 3,99 g Na2SO4, 0,72 g KCl, 83 mg NaBr, 31 mg NaHCO3, 27 mg H3BO3, 2.6 g NaF, 0,27 g NH4Cl, 83 mg Na2HPO4 , 1,3 g TAPSO, 11,18 g MgCl2, 1,46 g CaCl2, 24 mg SrCl2, 2 mg FeCl2 (Sheryl et al.1995). Pengayaan dilakukan dengan cara menambahkan 100 L sampel air laut pada tabung (PCR tube) yang telah berisi 2 ml medium enrichment secara aseptik dan dilakukan langsung di lapangan setelah pengambilan sampel. Sampel kemudian disimpan pada suhu ruang 27280C. Isolasi bakteri pendegradasi phenanthrene Bakteri pendegradasi phenanthrene diisolasi pada medium minimum agar ONR7a dengan menggunakan metode sebar (spread). Medium yang telah

154

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel

diinokulasikan kemudian disublimasi dengan cara memanaskan senyawa phenanthrene pada suhu optimum yaitu 100C selama 10 menit. Kondisi demikian menyebabkan senyawa tersebut menguap, lalu tertangkap pada medium yang diberi pendingin berupa batu es (Gambar 2). Pemberian batu es di atas medium yang telah diinokulasi untuk mencegah mencairnya medium agar karena terkena uap panas senyawa phenanthrene. Medium yang telah disublimasi kemudian diinkubasi selama 7 hari pada temperatur 300C. Bakteri yang dapat mendegradasi senyawa phenanthrene ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni. Pemurnian Biakan Potensial Pendegradasi Phenanthrene Isolat yang tumbuh dalam zona bening kemudian diisolasi secara aseptik dan diinokulasikan kembali ke medium ONR7a. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 30 0 C selama 24-72 jam. Kemurnian biakan diuji dengan diinokulasikan kembali pada medium kaya, yaitu marine agar. Media marine agar mengandung 5 gr pepton, 1 gr yeast ex-

tract, 0,1 gr ferric citrate, 19,45 gr sodium chloride, 8,8 gr MgCl, 3,24 gr sodium sulfate, 1,88 gr calcium chloride, 0,55 pottasium chloride, 0,16 gr sodium bicarbonate, 15 gr agar, 34 mg stronsium chloride, 22 mg boric acid, 4 mg sodium sillicate, 2,4 mg sodium flouride, 1,6 gr ammonium nitrat, dan 8 mg disodium phosfate. Pengujian Konfirmasi Pengujian konfirmasi bertujuan untuk memastikan kemampuan biak terseleksi dalam mendegradasi phenanthrene. Isolat terseleksi diinokulasikan kembali pada medium ONR7a, dan disublimasi kembali dengan senyawa phenanthrene. Kultur kemudian diinkubasi pada suhu 300 C selama 24-72 jam. Pembentukan zona bening pada medium ONR7a kemudian diamati. Zona bening yang terbentuk di sekeliling koloni menandakan bahwa isolat tersebut mampu mendegradasi senyawa phenanthrene. Pengujian Pengaruh Salinitas dan pH Terhadap Isolat Terpilih Pengaruh salinitas dan pH terhadap pertumbuhan isolat SL49 dan B29 dilakukan dengan cara menumbuhkan kedua isolat dalam medium ONR7a 155

Rini Riffiani

Gambar 2. Teknik sublimasi untuk isolasi mikroba pendegradasi PAHs

dengan variasi salinitas (NaCl) 0%, 2%, 5%, dan 10% serta variasi pH 5, 6,2, 7, dan 10. Kultur diinkubasi pada shaker inkubator dengan suhu 30 0 C dan kecepatan 100 rpm selama 4 hari. Pengukuran pertumbuhan mikroba (OD) dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengukuran dilakukan setiap 4 jam dan 16 jam. Penelitian yang dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap, dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode Analysis of Varian (ANOVA) pada taraf nyata 5% dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan program SPSS versi 12. Identifikasi dan Analisis Filogenetik. Identifikasi dilakukan secara molekular dengan 16S rDNA. Analisis molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekuensing. Ekstraksi DNA menggunakan intragene matrix kit (Biorad) dilanjutkan dengan amplifikasi. Hasil optimasi PCR diperoleh komposisi per reaksi sebesar 25 L dengan menggunakan Primer 9F (5GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan

1510R (5 GGCTACCTTGTTACGA CTT) . Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada Bank Gen NCBI dataLibrary. Analisis Filogenetik menggunakan program multiple aligment Clustal X versi 1.83. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan jarak kekerabatan genetik dengan metode Neighbor joining. Konstruksi jarak evolusi dalam derajat kepercayaan menggunakan bootstrap value pada program NJ plot. HASIL Penapisan mikroba pendegradasi senyawa penanthrene Hasil isolasi bakteri pendegradasi penanthrene menggunakan metode sublimasi terlihat dengan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni. Setelah dipurifikasi ditemukan 2 isolat, yaitu SL49 dan B29. Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Isolat Terseleksi Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum bakteri SL49 terjadi pada medium dengan salinitas (NaCl) 2% (Gambar 3A), sedangkan

156

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

pertumbuhan isolat B29 berada pada kisaran salinitas lebih luas dibandingkan SL49, yaitu pada kisaran salinitas 2-10%, dengan pertumbuhan optimum terjadi pada salinitas (NaCl) 5% dengan setelah diinkubasi selama 28 jam (Gambar 3B). Berdasarkan uji statistik terjadi perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bakteri SL 49 dan B29 dengan perlakuan dengan variasi salinitas pada taraf uji 0,05. Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan Isolat Terpilih Hasil pengujian pH terhadap pertumbuhan menunjukkan bahwa pertumbuhan optimum bakteri SL49 terjadi pada pH normal, yaitu pada kisaran 6,2-7,5 (Gambar 4A). Pada pH asam (pH 5) dan pH basa (pH 10) pertumbuhan bakteri terlihat kurang optimal. Pertumbuhan bakteri B29 memiliki kisaran pH yang lebih luas dibandingkan dengan SL49, yaitu pada kisaran 5-7,5. Hasil tersebut menunjukkan bakteri B29 memiliki toleransi terhadap pH dan salinitas yang lebih luas dibandingkan bakteri SL49 (Gambar 4B). Berdasarkan
A) B)

uji statistik terjadi perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bakteri SL49 dan B29 dengan perlakuan dengan variasi pH pada taraf uji 0,05. Identifikasi dan Analisis Filogenetik Isolat Terpilih Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat B29 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Rhodobacteraceae bacterium F9 dengan persentase tingkat kesamaan 100% dan urutan nukleotida yang dapat dideteksi mencapai hingga 1026 bp. Sedangkan bakteri dengan kode isolat SL 49 mempunyai tingkat kesamaan dengan Roseobacter sp. RW 37 dengan tingkat kesamaan 99% dan nukleotida yang dapat dideteksi mencapai 910 bp. PEMBAHASAN Terbentuknya zona bening di sekeliling koloni bakteri menunjukkan bahwa koloni bakteri tersebut dapat menggunakan senyawa phenanthrene

Gambar 3. (A) Kurva pertumbuhan bakteri SL 49; (B) B 29 dalam medium ONR7 dengan variasi salinitas

157

Rini Riffiani

sebagai sumber karbon dan energi bagi pertumbuhannya. Oleh karena media ONR7a merupakan media minimum mineral, setelah sumber karbon dari medium digunakan untuk pertumbuhan habis, maka bakteri akan menggunakan senyawa kar bon aromatik yaitu phenanthrene sebagai sumber karbon dan energi bagi bakteri (Sheryl et al. 1995). Menurut Iwabuchi & Harayama. (1997), biodegradasi senyawa PAH diawali dengan masuknya atom oksigen (reaksi oksidasi) ke dalam inti aromatik. Reaksi ini dikatalisis oleh multikomponen dioksigenase. Senyawa PAH yang teroksidasi akan membentuk prekursor intermediet dari siklus asam sitrat. Sebagai produk dari siklus tersebut pada akhirnya akan terbentuk air dan karbon dioksida. Senyawa phenanthrene dapat didegradasi secara sempurna oleh bakteri menjadi air dan karbon dioksida melalui salah satu dari dua jalur yang ada, yakni jalur o-phthalat dan salisilat (Iwabuchi & Harayama 1997). Kedua jalur tersebut melalui senyawa intermediet yang sama, yaitu 1-hydroxy-2-napthoic acid.
A) B)

Bakteri Aeromonas dan Nocardioides sp. strain KP7 mendegradasi senyawa phenanthrene melalui jalur o-phthalat, sedangkan bakteri Burkholderia cepacia F297 melalui jalur salisilat (Iwabuchi & Harayama 1997; Mrozik et al.2002). Serangkaian reaksi yang terjadi dalam proses biodegradasi senyawa phenanthrene baik melalui jalur o-phthalat maupun salisilat dapat dilihat pada. Menurut Anthoni (2006), NaCl sangat mempengaruhi salinitas air laut, karena konsentrasinya paling dominan dibandingkan dengan senyawa lainnya. Air laut dengan salinitas 3,5% mengandung sekitar 85,62% NaCl, artinya konsentrasi senyawa NaCl di dalam air laut sebesar 3%. Oleh karena itu, bakteri SL49 dapat tumbuh optimum pada medium dengan salinitas (NaCl) 2%, karena konsentrasi NaCl yang terkandung di dalamnya hampir menyerupai habitat aslinya (air laut) yaitu sebesar 3%. Pertumbuhan isolat B29 berada pada kisaran salinitas lebih luas dibandingkan SL49, yaitu pada kisaran salinitas 2-10%, dengan pertumbuhan

Gambar 4 (A) Kurva pertumbuhan bakteri SL49; (B) B29 dalam medium ONR7a dengan variasi pH

158

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

optimum terjadi pada salinitas (NaCl) 5% dengan OD 1,396 setelah diinkubasi selama 28 jam (Gambar 3B). Hal ini diduga stabilitas membran, aktivitas enzim, maupun mekanisme transpor aktif bakteri ini tidak terganggu oleh kenaikan konsentrasi Na+. Menurut Kogure et al. (1991), sebagian bakteri laut memiliki ketergantungan terhadap ion Na+ untuk menjaga stabilitas membran, aktivitas enzim, dan mekanisme tranpor aktif. Pertumbuhan bakteri B29 memiliki kisaran pH yang lebih luas dibandingkan dengan SL49, yaitu pada kisaran 5-7,5. Hasil tersebut menunjukkan bakteri B29 memiliki toleransi terhadap pH dan salinitas yang lebih luas dibandingkan bakteri SL49 (Gambar 4A dan 4B). Hal

ini menunjukkan bahwa bakteri SL49 memiliki pH optimum untuk pertumbuhan sesuai dengan pH habitat asli dari bakteri laut, yaitu sekitar 7-8,5 (Peter 2003). Hasil analisis menampilkan pohon filogeni kedua isolat bakteri tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Pohon filogeni tersebut menunjukkan bahwa B29 adalah Rhodobacteraceae bacterium F9 dan bakteri SL49 adalah Roseobacter sp. RW 37 memiliki kekerabatan yang dekat. Kedua kelompok tersebut termasuk ke dalam kelompok -Proteobacteria. Mikroba laut dari kelompok Sub klas Proteobacteria merupakan mikroba laut terkultur yang mempunyai peran dalam proses bioremediasi senyawa toksik seperti senyawa PAH (Polycyclic

Gambar 5. Pohon kekerabatan 2 bakteri potensial pendegradasi phenanthrene yaitu B29 (Rhodobacteraceae bacterium F9) dan bakteri SL49 (Roseobacter sp. RW 37) dengan kelompok luar sebagai pembanding Microbacteriaceae bacterium yang dianalisis dengan program BioEdit. Tingkat ketelitian dendogram ditentukan melalui nilai bootstrap dengan pengulangan 1000 kali.

159

Rini Riffiani

Aromatic Hydrocarbon) yang banyak terdapat pada bahan bakar fosil terutama minyak bumi (Kasai et al. 2002) KESIMPULAN Dua bakteri pendegradasi senyawa phenanathrene dari kepulauan Raja Ampat telah diisolasi, masing-masing adalah Roseobacter sp. RW 37 dan Rhodobacteraceae bacterium F9. Keduanya merupakan kelompok Proteobacteria. Pertumbuhan optimum Roseobacter sp. RW 37 berlangsung pada salinitas 2% dan pada kisaran pH 6,2-7,5 sedangkan Rhodobacteraceae bacterium F9 pada salinitas 5% dan pada kisaran pH 5-7,5. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Bambang Sunarko, Dr. I Made Sudiana, Dra. Nunik Sulistinah, Arif Nurkanto S. Si, yang telah memberikan kontribusi yang besar selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Anthoni, FJ. 2006. The Chemical Composition of Seawater. http:/ /www.seafriends.orgnz/oceano/ seawater.htm Edward, R.& I.White. 1999. The Sea Empress Oil Spill.Environmental Impact and Recovery. Proceeding of International Oil Spill Conference. American Petroleum Institute Washington DC.

Iwabuchi, T.& S. Harayama. 1997. Biochemical and Genetic Characterization of 2-Carboxybenzaldehyde Dehydrogenase, an Enzyme Involved in Phenanthrene Degradation by Nocardioides sp. Strain KP7. J. Bacteriology. 179: 6488-6494. Kadarusman, 2007. Studi Awal Pengeboman Ikan di Raja Ampat, Suatu Ancaman Megadiversitas Jantung Segitiga Karang Dunia. Factsheet Apsor: www.apsordkp. com. Akademi Perikanan SorongDKP. Sorong, Papua Barat. Kasai, Y, H. Kishira, & S. Harayama. 2002. Bacteria Belonging to the Genus Cycloclasticus Play a Primary Role in the Degradation of Aromatic Hydrocar bons Released in a Marine Environment. Appl.& Envi. Microbiology. 56255633. Kogure, K, O. Suwan, K. Ohwada, & U. Simidu. 1991. Correlation between Possession of a Respiration-Dependent Na+ Pump and Na+ Requirement for Growth of Marine Bacteria. Appl.& Envi.Microbiology. 57. 18441846. MacLeod, RA. 1965. The Question of the Existence Specific Marine Bacter ia. Bacteriological Review, 29 (1). Mrozik, A., Z. Piotrowska-Seget & S. Labuzek. 2002. Bacterial Degradation and Bioremediation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. Polish Journal of Envir. Studies 12: 15-25.

160

Isolasi Bakteri Pendegradasi Phenanthrene dari Batanta

Ouyang, Jun. 2006. Phenanthrene Pathway Map. http://umbbd.msi. umn. edu/pha/phamap. html Peter L., JA.Musick & Jeanette Wyneken. 2003. The Biology of Sea Turtles. II: 420.CRC Press LLC. Sack, U, MH.Thomas, D. Joanna, EC. Carl, M. Rainer, Z. Frantisek & F. Wolfgang 1997. Comparison of Phenanthrene and Pyrene Degradation by Different Wood-Decaying Fungi. Appl.& Envi. Microbiolog. 63: 3919-3925. Yamikov, MM., Laura G., Renata D., Ermanno C., Tatiana N. C., WolfRainer A., Heinrich L., Kenneth N. Timmis & Peter N. Golyshin. 2004. Thalassolituus oleivorans

gen. nov., sp. nov., a Novel Marine Bacterium That Obligately Utilizes Hydrocar-bons. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology, 141148 Sheryl, E Dykstershouse, JP. Gray, RP. Herwig, Canolara & JT. Staley. 1995. Cycloclasticus pugetii gen. Nov, sp. Nov, on Aromatic Hydr oca rbon-Degra ding Bacterium from Marine Sadiments. International Journal of Systematic Bacteriology. 116123. Vidali, M. 2001. Bioremediation and Overview. Pure and Applied. Chemistry.IUPAC, Vol. 73, 7: 11631172.

Memasukkan: Mei 2009 Diterima: Desember 2009

161

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-172 (2010)

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006
Onrizal
Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara ABSTRACT Land-cover change of mangrove forests at eastern coast of North Sumatra in Period 1977 to 2006. Mangrove is one of the worlds threatened major tropical environments. Nevertheless, activities that contribute to this depletion continue. The main objectives of this research were to analyze the land cover change of mangrove forests in eastern coastal of North Sumatra based on previous inventory in period 1997 to 2006 and to acquire the factors of mangrove disturbance in the areas. In fact, mangrove forest areas in eastern coastal of North Sumatra decreased 59.68% from 103,425 ha in 1977 to 41,700 ha in year 2006. Expansion of aquaculture ponds and extraction of timber and fuel wood were most important factors of mangrove forest degradation in the areas. Therefore, we need to rehabilitate the degraded mangrove forests in the area both massively and systematically, and to prevent the remaining mangrove forests from destruction activities. Keywords: mangroves, land-cover change, North Sumatra

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994), sedangkan di Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 ha (Ditjen INTAG1993). Dengan demikian, luas hutan mangrove Indonesia hampir 50% dari luas mangrove Asia dan hampir 25% dari luas hutan mangrove dunia. Hutan mangrove sebagai salah satu lahan basah di daerah tropis dengan akses yang mudah serta kegunaan komponen biodiversitas dan lahan yang tinggi telah menjadikan sumberdaya tersebut sebagai sumberdaya tropis yang

terancam kelestariannya (Valiela et al. 2001; Onrizal 2005) dan menjadi salah satu pusat dari isu lingkungan global. Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem tersebut (Dave 2006, Primavera 2005). Dalam kurun waktu 25 tahun, hutan mangrove dunia hilang sebesar 35% (Valiela et al. 2001) dan hutan mangrove Indonesia yang rusak mencapai 57,6% (Ditjen RLPS 2001). Meskipun hutan mangrove terus terancam kelestariannya, namun berbagai aktivitas penyebab kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya dalam skala dan intensitas yang terus meningkat. Data luas dan perubahan luas hutan mangrove menjadi salah satu topik 163

Onrizal

penting sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya secara lestari. Namun banyak terdapat kesimpangsiuran data, sehingga seringkali sulit dijadikan dasar dalam perencanaan. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian yang secara khusus menganalisis perubahan penggunaan lahan hutan mangrove, baik dari hutan primer ke hutan sekunder, maupun dari hutan mangrove ke bentuk penggunaan lahan selain hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara berdasarkan hasil inventarisasi mangrove yang telah dilakukan serta faktor penyebabnya. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan utama penelitian ini berupa hasil inventarisasi hutan mangrove di pesisir Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat 4 (empat) hasil inventarisasi mangrove di wilayah kajian dengan metode pendekatan yang sepadan, yakni tahun 1977 (Bakosurtanal 1977 dalam ITTO & Ditjen RLPS 2005), 1988/1989 (ODA & Dirjen Perikanan 1993), 1997 (Ditjen RRL 1997), dan 2006 (BP DAS Asahan Barumun 2006; BP DAS Wampu Sei Ular 2006). Keempat hasil inventarisasi tersebut dipilih karena metode inventarisasi yang digunakan hampir sama, yakni menggunakan data penginderaan jauh sebagai data dasar, sehingga bisa dibandingkan. Hasil inventarisasi dan peta yang dihasilkan dala m kajian tersebut kemudian ditumpangtindihkan untuk mengetahui perubahan tutupan hutan mangrove, khususnya di pesisir timur Sumatera Utara untuk kurun waktu 1977-2006. 164

Spesifikasi metode dan cakupan wilayah kajian yang digunakan untuk tutupan hutan mangrove dalam empat pengukuran berbeda dalam kurun waktu 1977-2006 adalah sebagai berikut: a.1977 oleh Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005) menggunakan Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara b.1993 oleh ODA & Dirjen Perikanan (1993) menggunakan Peta RePProT tahun 1988 dan sejumlah seri peta tanah BPPP tahun 1990 untuk pesisir timur Sumatera Utara c.1977 oleh Ditjen RRL (1997) menggunakan Peta Citra Landsat TM tahun 1997 dan Peta Landsystem. untuk pesisir timur Sumatera Utara d. 2006 oleh dua instansi, yaitu BP DAS Asahan Barumun (2006) untuk pesisir Asahan dan Labuhan Batudan dan BP DAS Wampu Sei Ular (2006) untuk pesisir timur Langkat, Deli Serdang. Kegiatan inventarisasi tahun 2006 ini menggunakan Peta Citra Landsat TM tahun 2005 atau 2006 dan Peta Landsystem. Hasil tumpang tindih peta landsat TM dan Peta Landsystem oleh Dirjen RRL (1997) menunjukkan bahwa hutan mangrove di Sumatera terdapat di 2 (dua) sistem lahan, yakni KJP (kajapah) dan PTG (puting), namun hasil tumpang tindih Peta Landsat TM dan Peta Landsystem oleh BP DAS Asahan Barumun (2006) dan BP DAS Wampu Sei Ular (2006) menunjukkan bahwa hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara selain terdapat pada dua sistem lahan tersebut, juga dijumpai pada sistem lahan KHY (kahayan). Namun agar bisa dibanding-

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

kan, perubahan penutupan lahan antara 1997 dan 2006, hanya menggunakan luasan hutan mangrove pada sistem lahan KJP dan PTG. Penggunaan kedua sistem lahan tersebut (KJP dan PTG) tersebut juga sebanding dengan sebaran hutan mangrove hasil inventarisasi tahun 1977 oleh Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005) dan tahun 1988/1989 oleh ODA & Dirjen Perikanan (1993). Selanjutnya pengecekan lapangan terhadap hasil tumpang tindih peta-peta hasil inventarisasi untuk validasi pada setiap perwakilan penutupan lahan. Hasil validasi tersebut juga untuk mengetahui penyebab kerusakan atau perubahan tutupan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. HASIL Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Mangrove Hasil interpretasi Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara menunjukkan pada tahun 1977 terdapat sekitar 103,415 ha hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Sebagian besar (89.093 ha atau 86,2%) hutan mangrove tersebut berupa hutan mangrove primer dan sisanya (14.322 ha atau 13,8%) sebagai hutan mangrove sekunder. Berdasarkan administrasi pemerintahan, sebagian besar hutan mangrove tersebut terdapat di Kabupaten Langkat dengan luas sebesar 45.909 ha (44,4%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang (21.051 ha atau 20,4%), Kabupaten Asahan (18.785 ha atau 18,2%) dan paling kecil luasannya

pada Kabupaten Labuhan Batu (17.670 ha atau 17,1%) (Tabel 1). Luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dalam 4 kali pengukuran berbeda (1977, 1988/1989, 1997 dan 2006) terus menurun. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yakni sebesar 14,01% (tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68% (hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977. Sebaliknya penggunaan lahan selain hutan mangrove yang pada tahun 1977 tidak dijumpai, kecuali tambak sebesar (308 ha), pada tiga pengukuran berikutnya terus meningkat, yakni 16.469 ha pada tahun 1988/1998, 50.247 ha pada tahun 1997, dan 61.746 pada tahun 2006 (Gambar 1). Penggunaan lahan hutan mangrove menjadi selain hutan mangrove adalah konversi untuk areal pertambakan, perkebunan, permukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989 disajikan pada Tabel 2. Penyebab Perubahan Penggunaan Lahan Hutan Mangrove Perubahan luas hutan mangrove primer menjadi hutan mangrove sekunder terutama disebabkan oleh aktivitas 165

Onrizal

Tabel 1. Perubahan penggunaan lahan hutan mangrove dari tahun 1977 s.d. tahun 2006 di pesisir timur Sumatera Utara
Kabupaten Langkat Tipe Penggunaan Lahan HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM HM Primer HM Sekunder Tot. HM Non-HM 1977a 42.208 3.701 45.909 17.897 3.154 21.051 308 15.563 3.222 18.785 13.425 4.245 17.670 89.093 14.322 103.415 308 Luas (ha) pada Tahun 1988/1989b 1997c 36.175 4.314 40.489 5.450 11.116 7.249 18.365 2.686 7.633 5.070 12.703 6.082 7.274 10.100 17.374 2.251 62.198 26.733 88.931 16.469 10.000 25.300 35.300 10.639 387 11.010 11.397 9.654 3.904 898 4.801 13.984 1.700 1.700 15.970 14.290 38.908 53.198 50.247 2006d, e 2.711 17.916 20.627 25.313 1.125 15.392 16.517 4.534 2.305 2.305 16.480 2.251 2.251 15.419 3.836 37.864 41.700 61.746 % Perubahan Luas* 1988/1989 1997 2006 (14,29) 16,56 (11,81) 11,87 (37,89) 129,84 (12,76) 12,76 (50,95) 57,36 (32,38) 32,38 (45,82) 137,93 (1,68) 12,74 (30,19) 86,66 (14,01) 15,92 (76,31) 583,60 (23,11) 23,17 (97,84) 249,08 (45,86) 45,86 (74,92) (72,14) (74,44) 74,44 (100,00) (59,95) (90,38) 90,38 (83,96) 171,66 (48,56) 48,59 (93,58) 384,08 (55,07) 55,14 (93,71) 388,02 (21,54) 21,54 (100,00) (28,46) (87,73) 87,73 (100,00) (46,98) (87,26) 87,26 (95,69) 164,37 (59,68) 59,71

Deli Serdang (+ Serdang Bedagai) Asahan

Labuhan Batu

Total

Keterangan: HM = hutan mangrove; Tot. HM = total hutan mangrove; Non-HM = penggunaan lahan selain hutan mangrove pada lahan yang sebelumnya berupa hutan mangrove. * = dibandingkan dengan tahun 1977, angka dalam tanda kurung menunjukkan luas tipe lahan tersebut berkurang dibandingkan dengan tahun 1977. Pustaka: a = Bakosurtanal (1977) dalam ITTO & Ditjen RLPS (2005), b = ODA & Dirjen Perikanan (1993), c = Ditjen RRL (1997) [Catatan: Data luasan mangrove untuk Kab. Asahan mencakup landsystem KJP dan PTG, dan untuk Kab. Labuhan Batu mencakup landsystem KJP], d = BP DAS Wampu Sei Ular (2006) [Catatan: Kegiatan ini mencakup Kab. Langkat, Kab. Deli Serdang, dan Kab. Serdang Bedagai. Dalam perhitungan, data Kab. Serdang Bedagai digabung dengan data Kab. Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Dalam kajian ini mencakup 3 landsystem, yakni KJP, PTG dan KHY, namun karena penghitungan luas penggunaan lahan mangrove tidak dipisah, maka luasan pada tahun 2006 mencakup ketiga landsystem tersebut], e = BP DAS Asahan Barumun, (2006) [Catatan: Data luasan mangrove untuk Kab. Asahan mencakup landsystem KJP dan PTG, dan untuk Kab. Labuhan Batu mencakup landsystem KJP. Pada kegiatan inventarisasi ini, hutan mangrove juga dijumpai pada landsystem KHY dengan luasan tutupan mangrove sebesar 19.366,1 ha dari 87.837,1 ha luas total landsystem KHY di Kab. Asahan dan 4.485,4 ha dari 119.909.5 ha luas total landsystem KHY di Kab. Labuhan Batu, namun tidak dimasukkan dalam perhitungan ini, karena luasan pada landsystem KHY tersebut tidak termasuk pada perhitungan luasan mangrove pada inventarisasi mangrove pada tahuntahun sebelumnya].

166

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

120000 HMP 100000 HMS THM NHM

80000 Luas (ha)

60000

40000

20000

0 1977 1988/89 Tahun 1997 2006

Gambar 1. Perubahan tutupan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Luas total hutan mangrove (THM), hutan mangrove primer (HMP) terus menurun dalam kurun waktu 1977/2006. Sebaliknya luas hutan mangrove sekunder (HMS) dan areal non hutan mangrove (NHM) karena konversi hutan mangrove terus bertambah dalam kurun waktu yang sama.

penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah. Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian. Areal tambak pada tahun 1977 hanya terdapat di Kabupaten Deli Serdang seluas 308 ha (Tabel 2), namun pada tahun 1988/ 1989, areal tambak menyebar dan bertambah pada daerah lain di pesisir timur Sumatera Utara, yakni sebesar 10.333 ha atau bertambah seluas 10.025 ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada tahun 1988/1989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang (4.786 ha atau 46,32%), kemudian diikuti Kabupaten Langkat (4.462 ha atau 43,18%), Kabupaten Asahan (1.053 ha atau 10,19%) dan sisanya di Kabupaten Labuhan Batu (hanya 32 ha atau 0,31%).

Hasil inventarisasi BP DAS Wampu Sei Ular (2006) menunjukkan areal tambak di Kabupaten Langkat meningkat menjadi 7.397,47 ha, di Kabupaten Deli Serdang menjadi 4.842,95 ha. Areal mangrove di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu pada tahun 2006 juga meningkat dibandingkan tahun 1988/ 1989, yakni secara berturut-turut menjadi 1.106,50 ha dan 2.555,00 ha (BP DAS Asahan Barumun 2006). Dengan demikian, areal tambak di pesisir timur Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 15.901,92 ha atau dalam kurun waktu 1988/1989 sampai 2006 areal tambak bertambah seluas 5.568,92 ha dalam kurun waktu 17 tahun. Luas tambak tahun 2006 ini tidak termasuk areal yang tambak yang berada di sistem lahan KHY yang mencapai 9.189,50 ha karena pada inventarisasi tahun-tahun sebelumnya tidak dihitung.

167

Onrizal

Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan dan dampak budidaya udang tambak di pesisir timur Sumatera Utara antara tahun 1977 dan 1988/1989
Dampak terhadap tutupan hutan mangrove/penggunaan lahan antara tahun 1977 dan 1988/1989 Hutan sekunder di lahan bekas hutan primer Hutan sekunder di bekas lahan garapan Hutan gundul di bekas hutan primer Hutan gundul di bekas hutan sekunder Tambak yang sudah ada tahun 1977 Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan primer Tambak udang yang berlokasi di bekas hutan sekunder Tambak udang yang berlokasi di bekas lahan garapan Luas total perubahan dari hutan primer dan hutan belukar sekunder Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan primer Luas garapan yang berlokasi di bekas hutan sekunder Areal hutan primer dalam luasan < 50 ha Areal hutan sekunder dalam luasan < 50 ha Langkat 1.127 1.262 72 5 0 2.394 835 1.233 3.229 1.104 1.281 1.261 315 Deli Serdang 1.060 3.097 112 43 308 3.078 696 1.012 3.774 1.184 403 1.329 1.080 Asahan 2.879 1.098 249 0 0 808 108 137 916 3.505 2.444 477 423 Labuhan Batu 4.461 2.363 106 22 0 14 18 0 32 1.218 913 328 16 Total 9.527 7.820 539 70 308 6.294 1.657 2.382 7.951 7.011 5.041 3.395 1.834

PEMBAHASAN Secara umum di pesisir timur Sumatera Utara, pengurangan luasan huta n mangr ove pr imer maupun pengurangan areal hutan mangrove menjadi areal selain hutan mangrove terus terjadi. Hilangnya hutan mangrove di Kabupaten Langkat menyumbang kontribusi terbesar berkurangnya hutan mangrove di Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977 s.d. 2006, yakni sebesar 25.313 ha (41,0%), kemudian diikuti oleh Kabupaten Asahan sebesar 16.480 ha (26,7%) 25,0% dan Kabupaten Labuhan Batu sebesar 15.419 ha serta yang paling kecil pada Kabupaten Deli Serdang sebesar 4.534 ha (7,3%). Berbagai kegiatan rehabilitasi mangrove secara umum belum mampu 168

mengurangi laju ker usakan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara. Pada pesisir Kabupaten Labuhan Batu seluruh hutan mangrove primer tidak dijumpai lagi sejak tahun 1997 dari luas awal tahun 1977 sebesar 13.423 ha. Kondisi hilangnya hutan mangrove primer juga terjadi di Kabupaten Asahan, yakni dari luasan sebesar 15.563 ha pada tahun 1997 dan hilang seluruhnya pada tahun 2006 (Gambar 2) berubah menjadi hutan mangove sekunder atau areal selain mangrove. Dalam skala kecil, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove atau suksesi alami mampu mengurangi areal non hutan mangr ove menjadi hutan mangrove. Dalam periode 1997-2006 di Labuhan Batu pada sistem lahan yang sama terjadi penambahan areal hutan

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

mangrove sebesar 551 ha yang diduga disebabkan oleh kegiatan rehabilitasi maupun suksesi alami. Hutan mangrove di Deli Serdang dalam kurun waktu yang sama juga bertambah sebesar 5.120 ha, namun hal ini kemungkinan besar berasal dari tambahan hutan mangrove dari sistem KHY sebesar 5.693 ha yang tidak diperhitungkan pada inventarisasi tahun 1997. Oleh karena itu, patut diduga luasan hutan mangrove pada landsystem KJP dan PTG jauh berkurang dibandingkan hasil pengukuran tahun 1997, yakni hanya menjadi 5.757,58 ha pada tahun 2006 dari luas sebelumnya sebesar 11.397 ha pada tahun 1997. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkawatirkan,

seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Bahkan di pantai timur Sumatera Utar a, kerusakan mangrove di pulau Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat mengakibatkan pulau tersebut sekarang sudah hilang/tenggelam (Onrizal & Kusmana 2008). Kerusakan hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utar a berdampak pada penur unan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap (65,7% jenis ikan menjadi langka/sulit didapat, dan 27,5% jenis ikan menjadi hilang/tidak pernah lagi tertangkap) serta penurunan pendapatan nelayan sebesar 40,5% (Onrizal et al. 2009). Konversi hutan mangrove di pantai

45000 40000 35000 30000 Luas (ha) 25000 20000 15000 10000 5000 0 HMP HMS Langkat NM HMP HMS NM HMP HMS Asahan NM HMP HMS NM Deli Serdang Labuhan Batu 1977 1988/1989 1997 2006

Gambar 2. Perubahan penutupan hutan mangrove pada setiap kabupaten di pesisir timur Sumatera Utara berdasarkan hasil pengukuran pada empat tahun berbeda (1977, 1988/ 1989, 1997, dan 2006). HMP = hutan mengrove primer, MHS = hutan mangrove sekunder, NM = non hutan mangrove

169

Onrizal

Napabalano, Sulawesi Tenggara menyebabkan berkurangnya secara nyata kelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) (Amala 2004). Walters et al. (2008) menyatakan bahwa hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai dan sungai secara umum menyediakan habitat bagi berbagai jenis ikan. Hamilton & Snedaker (1984) melaporkan 80% jenis biota laut komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove di kawasan Florida, USA. Demikian juga halnya dengan 67% jenis hasil tangkapan perikanan komersial di bagian timur Australia. Selanjutnya, hampir 100% udang dan 49% ikan demersal yang ditangkap pada kawasan Selat Malaka bergantung pada kawasan mangrove (Macintosh 1982). Oleh karena itu, kerusakan hutan mangrove di Sumatera Utara secara khusus dan umumnya di seluruh dunia harus segera dihentikan, kemudian diikuti dengan upaya segera untuk merehabilitasi hutan mangrove yang rusak dan dilakukan secara masif dengan pelibatan aktif seluruh para pihak terkait serta mencegah berbagai aktivitas pengrusakan terhadap hutan mangrove yang masih tersisa. Dengan demikian, diharapkan hutan mangrove kembali pulih sehingga mampu mengembalikan berbagai fungsinya, baik fungsi ekologi, maupun fungsi sosial-ekonomi. KESIMPULAN DAN SARAN Hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977, 1988/1989, 1997 dan 2006 kondisinya terus menurun. Hutan 170

mangrove di wilayah tersebut pada tahun 2006 hanya tersisa sebesar 41.700 ha dari luas awal pada tahun 1977 sebesar 103.415 ha atau hilang sebesar 59,68% selama 29 tahun. Penyebab utama perubahan luas dan kerusakan hutan mangrove tersebut adalah penebangan hutan mangrove secara berlebihan dan konversi untuk lahan tambak, perkebunan dan pertanian. Penurunan luas dan kerusakan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utar a telah menyebabkan (a) meningkatnya abrasi pantai sampai hilangnya Pulau Tapak Kuda, (b) menurunnya keanekaragaman dan volume hasil tangkap nelayan pesisir dan (c) pada akhirnya menurunkan pendapatan nelayan secara khusus dan umumnya bagi masyarakat pesisir pantai. Pada sisi lain, upaya rehabilitasi mangrove dalam kurun waktu bersamaan belum mampu mengurangi laju kerusakan hutan mangrove. Oleh karena itu, upaya masif yang terencana dan sistematik serta pelibatan secara aktif seluruh pihak terkait untuk rehablitasi hutan mangrove yang rusak. Pada saat bersamaan penting dilakukan upaya pencegahan berbagai aktivitas yang merusak hutan mangrove yang masih ada. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Pengelolaan Hutan Mangrove II yang berkedudukan di Medan atas bantuan pustaka hasil inventarisasi mangrove di pesisir timur Sumatera Utara tahun 2006 untuk

Perubahan Tutupan Hutan Mangrove

wilayah BP DAS Wampu Sei Ular. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada BP DAS Asahan Barumun atas kerjasamanya dalam inventarisasi hutan mangrove tahun 2006 pada wilayah kerjanya. DAFTAR PUSTAKA Amala, WAL. 2004. Hubungan konversi hutan mangrove dengan kemelimpahan kepiting bakau (Scylla serrata) di pantai Napabalano Sulawesi Tenggara. [Tesis] Program Pascasarjana. UGM Yogyakarta. BP DAS Asahan Bar umun. 2006. Inventarisasi dan identifikasi lahan kritis mangrove di 4 (empat) kabupaten (Asahan, Labuhan Batu, Nias, dan Nias Selatan) Pro-pinsi Sumatera Utara. Pematang Siantar: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Asahan Barumun. BP DAS Wampu Sei Ular. 2006. Inventarisasi dan identifikasi mangrove SWP DAS Wampu Sei Ular Tahun Anggaran 2006. Medan: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Wampu Sei Ular. Dave, R. 2006. Mangrove ecosystem of south, west Madagascar: an ecological, human impact, and subsistence value assessment. Tropical Resources Bulletin 25: 7-13 Ditjen INTAG. 1993. Hasil penafsiran luas areal dari citra landsat MSS liputan tahun 1986-1991.

Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Departemen Kehutanan RI. Ditjen RLPS. 2001. Kriteria dan standar teknis rehabilitasi wilayah pantai. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departe-men Kehutanan RI. Ditjen RRL. 1997. Inventarisasi dan identifikasi hutan bakau (mangrove) yang rusak di Propinsi Simatera Utara. Direktorat Jenderal Rebiosasi dan Rehabilitasi Lahan (Ditjen RRL) Departemen Kehutanan. FAO. 1994. Mangrove forest management guidelines. Rome. FAO Forestry Paper 117. Hamilton, LS. & SC. Snedaker. (Ed.). 1984. Handbook for mangrove area management. Hawaii: IUCN/Unesco/UNEP. ITTO & Dirjen RLPS. 2005. Review of data and information of mangrove forest ecosystem at North Sumatra Province. Jakarta: International Tropical Timber Organization (ITT O) & Directorate General of Land and Forest Rehabilitation Development, Ministry of Forestry (Ditjen RLPS). Macintosh, DJ. 1982. Fisheries and aquaculture significance of mangrove swamps, with special reference to the Indo-West Pacific region. Dalam: Muir & Roberts (Eds.). Recent Advances in Aquaculture. pp. 485. England: Croom Helm. 171

Onrizal

ODA & Dirjen Perikanan. 1993. The Malacca straits coastal environment and shrimp aquaculture in North Sumatra. Over seas Development Administr ation (ODA) & Direktorat Jenderal Perikanan (Ditjen Perikanan) Departemen Pertanian. Onrizal, & C. Kusmana. 2008. Studi ekologi hutan mangrove di pantai timur Sumatera Utara. Biodiversitas 9 (1): 25-29. Onrizal, A. Purwoko, & M. Mansor. 2009. Impact of mangrove forests degradation on fisherman income and fish catch diversity in eastern coastal of North Sumatra, Indonesia. Int ern a ti o nal Conference on Natural and Environmental Sciences 2009 (ICONES09) at the Hermes

Palace Hotel Banda Aceh on May 6-8, 2009. Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat di pesisir utara Nias dari tsunami. Warta Konservasi Lahan Basah 13 (2): 5-7. Primavera, JH. 2005. Mangroves, fishpond, and the quest for sustainability. Science 310 (5745): 57-58. Valiela, I., JL. Bowen, & JK. York. 2001. Mangrove forest: one of the worlds threatened major tropical environments. Bioscience 51(10): 807-815. Walters, BB., P. Ronnback, JM. Kovacs, B. Crona, S.A. Hussain, R. Badola, J.H. Primavera, E. Barbier, & F. Dahdouh-Guebas. 2008. Ethnobiology, socio-economic and management of mangr ove forests: a review. Aquatic Botany 89: 220236.

Memasukkan: September 2009 Diterima: Januari 2010

172

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 173-183 (2010)

Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random Amplified Polymorphic DNA
Yulita Kusumadewi, Yuyu S. Poerba, &Tukirin Partomihardjo Laboratorium Genetika Tumbuhan, Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Centre Jl. Raya Bogor Km. 46 Bogor 16911 Email: yulita.kusumadewi@gmail.com ABSTRACT
Genetic Diversity of Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] from Riau Province Based on Random Amplified Polymorphic DNA Fingerprint. Gonystylus bancanus is a commercial timber found only on peat swamp forests, scatteredly distributed in Sumatra and Kalimantan. Their existence is now under severe threat due to habitat conversion. One of the remaining natural populations of ramin was in Riau Province, Sumatra. This study aimed to assess genetic diversity of this species within their natural populations in Riau Province using Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). RAPD profiles were obtained by performing PCR amplification using five arbitrary primers. One hundred and eleven putative loci of RAPD were scored and analysed using Popgene and NTSYS software. Eleven of RAPD bands were commonly found in all populations and 16 bands were distinctively found in certain populations. These unique bands may serve as population diagnostic marker for such populations. The average genetic diversity within population (0.1606) was lower than that of among populations (0.1894). Genetic differentiation (Gst) indicated that 95.56% of total genetic diversity in ramin was attributed to the differences among populations. The highest genetic diversity was found in population 3 (He:0.1858) and 3 (I:0.2864), while the lowest genetic variation was observed in population 1 (He: 0.1438) and 2 (I: 0.2201). Total genetic diversity for all population (Ht) was 0.1982 with an average value of genetic diversity within populations (Hs) was 0.1606. The low level of genetic diversity found in ramin with high population differentiation may suggest that these remaining populations was undergoing genetic bottleneck resulted from severe habitat fragmentation. Keywords: genetic diversity, populations, ramin, Gonystylus bancanus, RAPD.

PENDAHULUAN Ramin (Gonystylus bancanus, Thymelaeaceae) merupakan salah satu jenis tumbuhan kayu komersial yang menjadi primadona dalam dunia perdagangan kayu. Negara penghasil kayu ramin yang potensial saat ini hanya

Malaysia dan Indonesia. Kayu ramin diperdagangkan dalam berbagai produk seperti papan interior, komponen perabotan, pigura, lantai, pasak kayu dan mainan anak-anak. Jenis-jenis ramin ini hanya tumbuh di hutan gambut dan tersebar secara mengelompok di Sumatra dan Kalimantan (Jayusman 2007). Salah 173

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

satu populasi alam ramin yang masih tersisa adalah di area hutan konsesi Provinsi Riau, Sumatra. Seperti halnya dengan jenis-jenis kayu komersil lainnya, jenis ini banyak dieksploitasi untuk diambil kayunya sehingga keberadaannya terancam punah. Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa ramin memiliki siklus regenerasi yang sangat sulit dan lambat, baik di habitat alaminya maupun di area percobaan. Kesulitan dalam mengembangkan ramin melalui kultur jaringan juga dialami oleh Laboratorium Kultur Jaringan di Bidang Botani Puslit BiologiLIPI. Ramin dikategorikan sebagai jenis terancam dengan status rawan (VuA1cd IUCN 2008) dan dimasukkan dalam Appendix II CITES (2009). Studi keragaman genetika dilakukan untuk mengetahui variasi genetika pada tingkat individu maupun populasi yang salah satunya untuk tujuan konservasi genetik, populasi maupun jenis. Studi ini telah dilakukan dengan menggunakan berbagai marka baik molekuler (Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), Random Fragment Lenght Polymorphism (RFLP), Simple Sequence Repeats (SSRs) maupun protein (isozyme dan allozyme). Beberapa studi sudah dilakukan untuk memperkirakan keragaman genetika ramin, termasuk mengembangkan marka mikrosatelit untuk melacak asal usul loka si ramin untuk mencegah perdagangan kayu illegal (Smulders et al. 2007) dan pengembangan protokol ekstraksi kayu olahan ramin (Asif & Cannon 2005). Penelitian ini bertujuan 174

untuk mengetahui keragaman genetika antar individu dan populasi ramin di kawasan propinsi Riau dengan menggunakan marka RAPD. RAPD adalah marka molekuler yang telah banyak digunakan untuk identifikasi genotipe (Jimenez et al. 2002; Poerba et al. 2007) dan kultivar (Malik et al. 2006; Shabaan et al. 2006; Jain et al. 2007) serta memperkirakan keragaman genetika jenis-jenis pohon kayu tropis (Siregar et al. 2008; Rath et al. 1998; Poerba et al. 2007). Keuntungan utama dari RAPD adalah menghasilkan polimorfisme yang cukup tinggi, random sampling dalam genom total dan secara teknis cukup cepat dan mudah dilakukan. Kekurangan dari penggunaan marka RAPD yaitu marka ini hanya mengamplifikasi alel dominan dan memiliki tingkat keberulangan yang rendah. Hal ini dapat diatasi antara lain dengan melakukan amplifikasi PCR lebih dari satu kali untuk memastikan konsistensi hasil yang diperoleh. BAHAN DAN CARA KERJA Sampel ramin yang dianalisis dalam studi ini sejumlah 28 (Tabel 1) yang berasal dari enam populasi alam di propinsi Riau (Gambar 1). Populasi 1, 2 and 3 berada di area konsesi PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), populasi 4 dan 6 berada di PT Ara Ara Abadi, dan populasi 5 berada dalam konsesi PT Bina Daya Bintara. Sampel ini dikoleksi dalam bentuk daun yang dikeringkan dalam silica gel.

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Tabel 1. Daftar sampel ramin dari setiap populasi.


No. populasi 1 2 3 4 5 6 No sampel 1-4 5-7 8-10, 26 11, 13-19 12, 20, 27-28 21-25 Jumlah sampel 4 3 4 8 4 5 Lokasi Palawan Sungai Kutub Alam Lestari Blok Palalawan, Palalawan, Blok Konservasi, Palalawan Batas Konservasi, Triomas Serapung Serapung A, Palalawan Batas Blok Palalawan Serapung Tengah Keterangan Pohon induk Anakan Anakan Anakan Anakan Anakan

4 1 2

6 3

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel pada enam populasi ramin di propinsi Riau. 1) Palawan, 2) Sungai Kutub Alam Lestari, 3) Blok Palalawan, Palalawan, Blok Konservasi, Palalawan Batas Konservasi, Triomas Serapung, 4) Serapung A, Palalawan Batas, 5) Blok Palalawan, 6) Serapung Tengah.

Ekstraksi total DNA genom Ekstraksi DNA dilakukan dengan mengikuti protokol Delaporta et al. (1983). Lima L total DNA dielektroforesis dalam 0.7% gel agarosa dalam larutan penyangga TEA(Tris-EDTA), kemudian diwarnai dengan ethidium bromida, lalu divisualisasi menggunakan lampu ultraviolet kemudian difoto dengan menggunakan gel documentation system untuk memastikan kuantitas dan kualitas DNA.

Analisis RAPD Analisis RAPD yang dilakukan pada studi ini mengikuti protokol William et al. (1990) dengan menggunakan lima primer RAPD (Operon Technology Ltd) yang diseleksi dari 10 primer RAPD dari Operon Kit A, B, C, N, dan U. Reaksi PCR dilakukan dua kali ulangan untuk memastikan konsistensi profil yang dihasilkan. Hasil amplifikasi PCR divisualisasi pada gel agarosa 2.0% dalam larutan penyangga TEA secara 175

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

elektroforesis, lalu diwarnai dengan etidium bromida. Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan menggunakan UV transluminator, kemudian difoto dengan menggunakan gel documentation system. Sebagai standar digunakan 100 bp plus DNA marker (Promega) untuk menetapkan ukuran pita hasil amplifikasi DNA. Analisis data Skor data Setiap pita RAPD dianggap sebagai satu lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan pita yang jelas yang disekor: ada (1) dan tidak ada (0). Matr iks binari fenotip RAPD ini kemudian disusun untuk digunakan pada beberapa analisis. Keragaman genetika Parameter-parameter yang digunakan untuk mengkarakterisasi pola keragaman genetika dikalkulasi dengan menggunakan program POPGENE ver. 1.31 (Yeh et al. 1997) dibawah asumsi hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Parameter yang digunakan untuk mengukur keragaman genetika dalam populasi adalah 1) Prosentase Lokus Polimorfik (PLP, Nei 1973); 2) Jumlah alel putatif per lokus (na); 3) Jumlah alel efektif per lokus/gene pool (ne,, Hartl & Clark 1989); 4) keragaman genetika yang diharapkan (H/He=expected heterozygosity (Nei 1973) dan keragaman fenotipik berdasarkan Shannons information index (Lewontin 1972). Sedangkan parameter yang digunakan untuk mengukur keragaman genetika antar populasi adalah 1) Neis 176

(1978) unbiased measures of genetic distance; 2) the relative magnitude of differentiation among populations (GST=Dst /Ht, Nei 1987); 3) Gene flow (Nm, Mc Dermott & McDonald 1993). HASIL Profil dan distribusi RAPD di populasi Lima primer RAPD digunakan dalam penelitian ini dan diperoleh 111 fragmen DNA yang dihasilkan, berukuran dari 100 hingga 2800pb (pasang basa), yakni 99.11% diantaranya merupakan pita polimorfik (Tabel 2). Primer OPD-20 menghasilkan pita terbanyak (28) sedangkan primer OPU12 menghasilkan pita tersedikit (17). Ada 11 pita umum yang dijumpai pada seluruh populasi, yang sebagian besar berasal dari primer OPD-20. Sementara itu ada 15 pita unik yang terdapat pada populasi tertentu yang umumnya dijumpai pada populasi 4 (Tabel 2). Keragaman genetika Keragaman genetika tertinggi dijumpai pada populasi 3 dan 4 masingmasing berdasarkan parameter He (0,1858) dan I (0,2864). Keragaman genetika terendah dijumpai pada populasi 1 dan 2 masing-masing berdasarkan parameter He (0,1438) dan I (0,2201) (Tabel 3). Nilai total keragaman genetika pada semua populasi (Ht) adalah 0.1982+ 0,0179 dengan nilai rata-rata keragaman genetika dalam populasi (Hs) adalah 0,1606+ 0,0097. Nilai keragaman genetika antar populasi (Dst) adalah

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Tabel 2. Sebaran pita polimorfik RAPD pada enam populasi ramin di propinsi Riau.
Nama primer Urutan DNA primer Jumlah dan ukuran pita terpendekterpanjang 19 (100-1600 pb) OPB-15 OPC-16 GGAGGGTGTT 22 (300-1600 pb) CACACTCCAG 28 (300-1800 pb) OPD-20 OPN-14 OPU-12 ACCCGGTCAC TCGTGCGGGT TCACCAGCCA Jumlah 25 (400-1800 pb) 17 (300-1200 pb) 111 1800 650 11 800 850 1400 1800 1500 2 750 450 3 1 650 4 400 2 350 3 650 700 900 450 750 400 Ukuran pita umum 100 350 Ukuran pita unik pada setiap populasi

1 1300

2 500

3 1500

4 450

5 950

6 1600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 M

Gambar 2. Salah satu profil RAPD yang dihasilkan dari primer OPN-14 menunjukkan pitapita DNA polimorfik. M: DNA marker. Angka 1-28: nomor sampel. Anak panah menunjukkan pita umum ukuran 1800 pb. Tabel 3. Keragaman genetika setiap populasi ramin.
Populasi 1 2 3 4 5 6 Jumlah sampel 4 3 4 8 4 5 Jumlah lokus polimorfik 50 44 62 80 55 61 PLP (%) 44.64 39,29 55,36 71,43 49,11 54,46 na 1,4464 1,3929 1,5536 1,7143 1,4911 1,5446 ne 1,2334 1,2525 1,3013 1,2679 1,2541 1,2353 He 0,1438 0,1480 0,1859 0,1769 0,1574 0,1520 I 0,2214 0,2201 0,2838 0,2864 0,2427 0,2415

177

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

0,1894, jauh lebih rendah Ht dan Hs. Differensiasi genetika (Gst) yang ada antar populasi adalah 95.56% dan gene flow (Nm) yang terjadi antar populasi 2,1393 (Tabel 4). Sedangkan nilai Gst untuk individual marka RAPD berkisar antara 0.0045 (OPB15-18)- 0.3097 (OPD20-23). Jarak genetika dan analisis kluster Jarak genetika tertinggi (0.0491) tercatat antara populasi 2 dan 5, sedangkan jarak genetik terendah (0.0181) tercatat antara populasi 1 dan 2 (Tabel 5). Dendrogram UPGMA (Gambar 3) menyajikan gambar an kesamaan genetika keenam populasi berdasarkan matriks jarak genetika Nei (1978) (Tabel 5). Populasi 3 dan 4 serta 1 dan 2 memiliki kesamaan yang terbanyak, sesuai dengan jarak genetik yang cukup kecil (Tabel 5) sehingga membentuk dua kelompok di terminal cabang dendrogram. Berikutnya populasi 6 yang terdekat dengan kedua kelompok ini dan
Tabel 4. Nilai Ht, Hs, Dst, GST dan Nm
Rerata Ht 0,1982+ 0,0179 Hs 0,1606+ 0,0097

populasi 5 terletak di dasar dendrogram. PEMBAHASAN Profil dan distribusi RAPD di populasi Jumlah pita yang dihasilkan setelah amplifikasi DNA dengan PCR sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal urutan DNA komplementernya pada cetakan DNA (DNA template) yang digunakan (Tingey et al. 1994). Polimorfisme pita-pita RAPD yang dihasilkan dari penelitian ini sangat tinggi (99,11% polimorfik). Duplikasi reaksi PCR juga menghasilkan keberulangan yang memuaskan sehingga hal ini menunjukkan bahwa primer yang diseleksi menghasilkan profil RAPD yang cukup konsisten. Variasi genetika yang ditemui pada penelitian ini berdasarkan perbedaan pola pita RAPD yang dijumpai pada individu ramin. Secara umum, 111 pita RAPD ini menyebar rata di seluruh individu ramin. Namun ada pita-pita tertentu

Gst 0,9956

Dst 0,1894

Nm 2,1393

Tabel 5. Jarak genetika antar populasi ramin berdasarkan Neis Unbiased Measures.
1 **** 0,0181 0,0251 0,0197 0,0407 0,0235 2 **** 0,0225 0,0331 0,0491 0,0359 3 **** 0,0196 0,0294 0,0366 Populasi 4 5 6

1 2 3 4 5 6

**** 0,0253 0,0299

**** 0,0319

****

178

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

0.0360

0.0180

0.0000
pop5

Populasi 5
pop6

Populasi 6 Populasi 2 Populasi 1 Populasi 4 Populasi 3

pop1

pop2

pop3

pop4 0.1

Gambar 3. Dendrogram pengelompokkan enam populasi ramin berdasarkan jarak genetika Nei (1978).

yang dijumpai di seluruh individu dan pita unik yang hanya dijumpai di populasi tertentu atau bahkan di individu tertentu. Terdapatnya pita-pita tertentu yang hanya dijumpai pada populasi tertentu maka pita-pita unik tersebut berpotensi untuk dijadikan marka untuk identifikasi provenance. Namun demikian, untuk menjadikan RAPD sebagai marka diagnostik tingkat populasi masih perlu ditunjang studi lanjutan, karena jumlah sampel yang terdapat pada populasi 2 khususnya (3 individu) masih sangat minim. Apabila jumlah sampel diperbanyak akan ada kemungkinan ditemukan pita-pita unik lainnya atau sebaliknya pita unik menjadi pita umum. Namun mengingat densitas ramin yang cukup kecil (~1 pohon/hektar) maka jumlah individu sampel yang didapatkan juga cukup kecil.

Keragaman genetika Jumlah individu yang dicuplik untuk sampel bervariasi antara 3 hingga 8 (Tabel 3). Rendahnya jumlah sampel disebabkan oleh rendahnya densitas ramin. Hal ini kemungkinan disebabkan terjadinya fragmentasi habitat ramin yang cukup parah sehingga populasi-populasi ramin terpisah menjadi sub-populasi yang hanya berisi beberapa individu dalam jumlah kecil. Menurut hasil crusing PT Diamond Raya Timber, sejak tahun 1999 telah terjadi penurunan potensi pohon sebesar 80% dan saat ini ini densitas ramin di area tersebut adalah 0.7 pohon/ hektar (Jayusman 2007). Penurunan ukuran populasi dapat menyebabkan terisolasinya populasipopulasi menjadi populasi kecil, seringkali hanya terdiri kurang dari 50 individu.

179

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

Rendahnya jumlah individu dalam setiap populasi dapat menjadi ancaman tersendiri bagi kelangsungan hidup ramin karena dapat menyebabkan terjadinya erosi genetik dan tingginya diferensiasi antar populasi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa terdapat differensiasi genetika yang sangat tinggi (99,56%) diantara populasi ramin. Sementara itu, nilai total keragaman genetika populasi ramin (Ht: 0,1982) termasuk rendah dibanding jenis tumbuhan hutan tropis terancam lainnya, Metasequoia glyptostroboides (H: 0,318, Li et. al. 2005), tetapi lebih tinggi dibanding Dipterocarpus littoralis (H: 0,1958). Rendahnya nilai keragaman genetika dalam populasi ini tidak sesuai dengan kenyataan yang umumnya terjadi pada jenis-jenis tumbuhan menyerbuk silang. Ramin, seperti halnya jenis-jenis tumbuhan tropis lainnya adalah jenis tumbuhan dominan di hutan rawa gambut, late successional dan menyerbuk silang. Pada jenis-jenis menyerbuk silang seperti ini biasanya nilai keragaman genetika dalam populasi lebih tinggi daripada antar populasi (Loveless & Hamrick 1984; Hamrick & Godt 1989; Pither et al., 2003). Sebaliknya, telah terjadi pada ramin yang diteliti. Rendahnya keragaman genetika ramin kemungkinan disebabkan oleh terjadinya inbreeding antar individu dalam populasi yang jumlahnya sedikit sehingga variasi genetik yang ada juga rendah atau bahkan selfers pada individu. Terjadinya inbreeding dan/atau self fertilisation, memang sulit untuk dibuktikan terutama pada ramin yang memiliki jangka hidup

panjang. Namun hal ini merupakan salah satu penjelasan yang bisa dipaparkan. Ancaman lain bagi kelangsungan hidup ramin adalah rendahnya tingkat regenerasi. Dari informasi yang diperoleh di lapangan, tingkat predasi ramin oleh mamalia kecil (tupai) dan burung (rangkong) cukup tinggi. Masa berbuah ramin rata-rata setiap 3-5 tahun sekali yang seringkali merupakan panen raya. Tingginya predasi mengakibatkan berkurangnya jumlah biji yang dapat berkecambah menjadi semai. Kemampuan semai untuk berkembang juga sangat rendah karena berbagai faktor, antara lain serangan herbivor dan mati kekeringan, sehingga seringkali sulit menjumpai anakan ramin di habitat alaminya. Teknik budidaya ramin juga belum sepenuhnya dikuasai hingga saat ini. Sementara itu ramin merupakan jenis kayu favorit dalam dunia perdagangan kayu yang terus diminati. Seluruh kondisi ini cukup memprihatinkan, dan apabila dibiarkan berlanjut, dikhawatirkan ramin akan segera mengalami kepunahan. Jarak genetika dan analisis kluster Populasi 5 dan 6 tidak mengelompok bersama dengan populasi-populasi lain. Hal ini kemungkinan karena individuindividu ramin yang berada di kedua populasi ini memiliki alel yang paling berbeda yang tercermin dari profil RAPD mereka. Tingginya jarak genetik antara populasi 2 dan 5 yang juga tercermin dari pola pengelompokkan pada dendrogram, kemungkinan disebakan oleh rendahnya jumlah individu yang tercuplik dimana kesemua individu dalam kedua populasi

180

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

ini juga memiliki alel yang sangat berbeda. Kedua populasi ini terletak pada dua hutan konsesi yang berbeda (Gambar 1) dalam jarak yang cukup jauh sehingga kemungkinan terjadinya percampuran materi genetik baik melalui pollen maupun pencaran biji antar kedua populasi ini juga sangat kecil. Sedangkan mengelompoknya populasi 3 dan 4 yang secara geografis jaraknya cukup jauh (Gambar 1)kemungkinan disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, adanya kesamaan profil RAPD yang dihasilkan dari amplifikasi PCR. RAPD menggunakan primer universal yang mengamplifikasi daerah genom DNA secara acak, sehingga pitapita DNA yang dihasilkan juga bersifat acak. Kedua, terdapatnya kemungkinan bahwa beberapa individu pada kedua populasi berasal dari provenance yang sama- apabila terjadi introduksi pada kedua populasi tersebut. Namun hal yang kedua kemungkinan kecil terjadi, karena semua ramin yang berada dalam area konsesi ini merupakan hutan alam. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Riau Andalan Pulp and Paper atas fasilitas dan ijin pengumpulan material di area konservasi kawasan HTI RAPP. Terima kasih juga kepada Sdri. Agustina dan Herlina yang telah memberi bantuan teknis terhadap penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asif, M.J. & C.H. Cannon. 2005. DNA extraction from processes wood: a

case study for the identification of endangared timber species (Gonystylus bancanus). Plant Mol. Biol. Reporter 23: 185-192. Convention on International trade in endangered species of wild flora and fauna. 2009. Appendices I, II and III. Valid from 22 May 2009. P. 40. Delaporta, SL., J. Wood, & JB. Hicks. 1983. A plant DNA minipreparation. Version II. Plant Mol. Biol. Reporter 4:1921. Hamrick, JL., & MJW. Godt, 1989. Allozyme diversity in plant species. Dalam: Brown, AHD, MJ. Clegg, AL. Kahler, & BS. Weir (eds.). Plant population genetics, breeding and genetic resources. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts. Hartl, DL. & AG. Clark. 1989. Principles of population genetics. 2nd ed. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts. IUCN. 2008. Red List of Endangered Species. International Union for the Conservation of Nature and Natur al Resources, Gland. Switzerland. Available from URL: http://www.iucnredlist.org/ Jayusman. 2007. Degradasi sumberdaya genetik jenis ramin dan upaya penyelamatannya. Apforgen newsletter 4:1-4. Jain, PK, L. Saini, MH. Pathak & VK. Gupta. 2007. Analysis of genetic variation in different ba nana (Musa species) variety using random amplified polymorphic

181

Kusumadewi, Poerba, & Partomihardjo

DNAs (RAPDs). African J. Biotech. 6 (17): 1987-1989. Jiminez , JF., P. Sanchez-Gomez, J. Guemes, O. Werner & JA. Rossello. 2002. Genetic variability in a narrow endemic snapdragon (Antirrhinum subaeticum, Schrophulariaceae) using RAPD markers. Heredity 89(5): 387-393. Lewontin, R.C. 1972. The apportionment of human diversity. J. Evol. Biol. 6: 381-398. Li, YY., XY. Chen, X. Zhang, TY. Wu, HP. Lu, & YW Chai. 2005. Genetic differences between wild and artificial populations of Metasequoia glyptostroboides Hu et Cheng (Taxodiaceae): Implication for species recovery. Conser. Biol. 19: 224-231. Loveless, MD. & JL. Hamrick. 1984. Ecological determinants of genetic structure in plant populations. Ann. Rev. Ecol.& Syst. 15: 65-95. Malik, SK., R. Chaudhury, OP. Dhariwal & R.K. Kalia. 2006. Collection and characterisation of Citrus indica Tanaka and C. macroptera Montr.: wild endange-red species of north eastern India. Gen. Res. & Crop Evol. 53: 1485-1493. McDermott, JM. & BA. McDonald. 1993. Gene flow in plant pathosystems. Ann.Rev. Phytopathology 31: 353-373. Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genetics 89: 583-590. Nei, M. 1973. Analysis of gene diversity in subdivided populations. 182

Proceedings of the National Academy Sciences USA 70: 33213323. Pither, R., JS. Shore, & M. Kellman. 2003. Genetic diversity of the tropical tree Terminalia amazonia (Combretaceae) in natur ally fragmented populations. Heredity. 91(3): 307-313. Poerba, YS., A. Wawo, & KS. Yulita. 2007. Keragaman Fenotipe RAPD Santalum album L. di Pulau Timor bagian timur. Berita Biologi 8(6): 537- 546. Shaaban, EA., S. Abd-El-Aal SKH., NS. Zaied & AA. Rizkalla. 2006. Assessment of genetic variability on some orange accessions using RAPD DNA markers. Res. J. Agri.& Biol.Sci 2(6): 564-570. Siregar, IZ., T. Yunanto, & P Pamoengkas. 2008. Implikasi genetik metode pembiakan tanaman Shorea johorensis Foxw. Pada sistem silvikultur tebang pilih tanam jalur (TPTJ). Biodiversitas 9(4): 250-254. Smulders, MJM., WPC. Van T Westende, B. Diway, G.D. Esselink, P.J. Van Dr Meer, & J.M. Koopman. 2007. Development of microsattelites markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking wood of this protected species. Molecular Ecology Notes. (Proof. read. version) Tingey, SV., JA. Rafalski, & MK. Hanafey. 1994. Genetic analysis with RAPD markers: In Plant

Keragaman genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz]

Molecular Biology. C. Coruzzi & P. Puidormenech (Eds.) p.491-498. Williams, JG., AR. Kubelik, KJ. Livak, J.A. Rafalsky, & S.V. Tingev. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research 18(22): 65316535. Yeh, FC., RC. Yang, TBJ. Boyle, ZH., Ye, JX. Mao 1997. POPGENE (version 1.31), the user-friendly shareware for population genetic

analysis. Molecular Biology and Biotechnology centre, University of Alberta, Edmonton. Alberta, Canada. Available free at http:// www.ualberta.ca/~fyeh. Yulita, KS & T. Partomihardjo. 2010. Keragaman genetika populasi pelahlar [Dipterocarpus littoralis (Bl.) Kurz] di P ulau Nusakambangan berdasa-rkan profil Enhanced Random Amplified Polymorphic DNA. Berita Biologi (in press.)

Memasukkan: Juni 2009 Diterima: Desember 2009

183

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 185-194 (2010)

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia
Awal Riyanto1, Suprayogo Soemarno2 dan Achmad Farajallah3
1)

Museum Zoologicum Bogoriense, Puslit Biologi-LIPI, Gd Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta Bogor Km.46 Cibinong 16911; Email: awal_lizards@yahoo.com, awal.riyanto@lipi.go.id 2) KIRAI Indonesia, Jl. Taman Sari II/58, Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta 3) FMIPA Jurusan Biologi IPB, Kampus Darmaga, Bogor. ABSTRACT

The Loss and Recent Condition Habitat of Sulawesian Tortoise (Indotestudo forstenii) at Cape Santigi, Central Sulawesi, Indonesia. Unsupervised method of remote sensing was applied were evaluated to compute the habitat loss during five years, from 2001 to 2005 using MultispecW32 software. Meanwhile, the fieldwork was done from 22 to 30 June 2007 to determine the recent condition of habitat at Sologi hill, a part area of Cape Santigi. During five years (from 2001 to 2005) the forest (habitat) in Cape Santigi was loss making up 60.04 % (rate = 419.25 ha/year). Sologi hill forest was shown as a remaining habitat in Cape Santigi. Vegetation in Sologi hill forest is relatively still good, but is threatened by human activities. We suggested developing the natural preserve to protect this tortoise, habitat and ecosystem also other wildlife at Sologi hill. Key words: Indotestudo forstenii, habitat, Cape Santigi, Central Sulawesi, Indonesia.

PENDAHULUAN Fauna Sulawesi adalah paling istimewa di Indonesia, dengan tingkat endemisitas tinggi pada kelompok mamalia darat, amfibia dan reptilia (Whitten et al. 1987; Gillespie et al. 2005). Semula di Sulawesi diketahui hanya terdapat tiga jenis kura-kura darat dan air tawar, yaitu Kuya Batok (Cuora amboinensis) dan dua jenis endemik, Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) dan Kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) (de Rooij

1915). Koch et al. (2008) melaporkan temuan sebaran jenis labi-labi (Amyda cartilaginea) sebagai anggota baru bagi kura-kura di Sulawesi. Indotestudo forstenii adalah satusatunya jenis kura-kura darat atau baning yang ditemukan di timur garis Wallacea (Hoogmoed & Crumly 1984) dan terdistribusi dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Utara (Platt et al. 2001; Riyanto et al. 2008; Ives et al. 2008). Di alam, baning ini hidup dalam hutan perbukitan hingga ketinggian 200 m di atas permukaan laut, tetapi dijumpai juga di 185

Riyanto, Soemarno & Farajallah

perbukitan lembah Palu yang tandus yang dipenuhi Opuntia nigrican (Riyanto et al. 2008; Ives et al. 2008). Semula Baning Sulawesi diduga terdiri atas beberapa cryptic species. Dugaan ini didasarkan pada variasi kehadiran dan ketidak-hadiran keping nuchal. Hasil penelitian Ives et al. (2008) menunjukkan bahwa ada tidaknya keping nuchal ternyata tidak berkorelasi dengan variasi genetik dan disimpulkan sebagai genetik serupa tetapi berbeda morfologi. Perbedaan morfologi tersebut diduga sebagai respon lingkungan yang berbeda. Saat ini Indotestudo forstenii dimasukkan dalam status Endangered oleh IUCN 2009 dan Appendiks II oleh CITES 2009. Dalam peraturan perundangan Republik Indonesia, jenis ini tidak termasuk dalam satwa lindungan, namun pemanenan dari alam diatur melalui mekanisme kuota tangkap yang ditetapkan oleh otoritas managemen atas dasar pertimbangan otoritas ilmiah (Samedi & Iskandar 2000). Meskipun demikian, aktivitas ilegal pemanenan dan perdagangan baning ini masih terjadi (Riyanto et al. 2008). Ancaman bagi kelestarian jenis ini juga datang dari kehilangan habitat sebagaimana yang dinyatakan Whitten et al. (1987). Penelitian mengenai habitat Baning Sulawesi merupakan suatu kesempatan untuk dapat lebih mengetahui dan memahami situasi terkini dari jenis tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat laju kehilangan habitat dan evaluasi kondisi habitat yang tersisa saat ini dengan studi kasus di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

BAHAN DAN CARA KERJA Pemilihan kawasan Semenanjung Santigi sebagai lokasi penelitian didasarkan pada hasil penelitian Platt et al. (2001) yang telah mencatat keberadaan Baning Sulawesi di kawasan tersebut dan informasi dari pemasok dan pemburu kura-kura professional. Kepastian lokasi tersebut sebagai habitat baning dimaksud, juga dibuktikan dengan pencarian secara eksploratif pada hutan bukit Sologi dengan mengerahkan tenaga lima orang untuk mencari Baning dan dibantu seekor anjing pemburu. Pencarian dilakukan dari pukul 9.00-16.00 waktu setempat selama tiga hari (tiga kali ulangan). Penentuan besar perubahan tutupan lahan dalam hal ini hutan yang menjadi habitat Baning Sulawesi di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah dilakukan melalui aplikasi penginderaan jauh (remote sensing) dengan metoda unsupervised. Aplikasi penginderaan jauh telah banyak digunakan dalam bidang kehutanan. Menurut Lanya & Bruvoll (1994) data landsat sangat efektif dalam identifikasi perubahan pengggunaan lahan hutan ke non hutan. Data landsat (citra satelit) diunduh secara cuma-cuma dari United State Geological Survey (USGS; http://glovis.usgs. gov), citra satelit tersebut dipotret pada tahun 2001 dan 2005. Dalam metode unsupervised ini, citra satelit diklasifikasikan menjadi 7 kelas pada konvergensi 98%. Selanjutnya masing-masing cluster diidentifikasi untuk ditentukan jenis tipe tutupan lahannya. Unit area yang

186

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

digunakan untuk untuk masing-masing cluster adalah hektar. Evaluasi kondisi terkini terhadap habitat yang tersisa yaitu bukit Sologi suatu area hutan yang terletak di tenggara Semenanjung Santigi telah dilakukan dari tanggal 22 hingga 30 Juni 2007. Data vegetasi diperoleh dengan cara menempatkan petak cuplikan secara subyektif, yaitu pada titik ditemukannya Baning Sulawesi. Petak cuplikan dibuat berukuran 20 x100 m (0,2 ha) menyesuaikan kondisi medan, kemudian pada petak tersebut dibuat: i) 20 anak petak berukuran 10 x10 m untuk pancacahan pohon (diameter batang 10 cm), ii) 20 anak petak berukuran 5x5 m untuk pencacahan anak pohon (diameter batang 5-10 cm), dan iii) 20 anak petak berukuran 2x2 m untuk pencacahan tumbuhan bawah (diameter batang 2-4,9 cm). Seluruh pohon di dalam anak petak dicacah, diukur diameter batang setinggi dada dan ditaksir tinggi totalnya. Data setiap jenis pohon dan anak pohon pada setiap anak petak dianalisis untuk mengetahui frekuensi, kerapatan dan luas bidang dasar. Jumlah nilai nisbi ketiga variabel selanjutnya dijumlahkan

untuk mendapatkan indeks nilai penting masing-masing jenis pohon dan anak pohon. Tingkat keragaman jenis ditentukan menggunakan nilai indeks diversitas Shannon Wiener (H) dan kemerataannya dengan indeks kemerataan (E.). HASIL Laju kehilangan habitat Perubahan penutupan lahan dari tahun 2001 hingga 2005 kawasan Semenanjung Santigi diilustrasikan pada Gambar 2 dan hasil perhitungan kuantitatif disajikan pada Gambar 3. Dalam kurun lima tahun dalam area seluas 7959,51 ha pada kawasan Semenanjung Santigi, telah terjadi kehilangan hutan seluas 2096,23 ha (60,04 %) atau dengan laju 419,25 ha tiap tahunnya. Sementara itu, telah terjadi perluasan area perkebunan sebesar 1498,29 ha (260,05%). Struktur vegetasi Bentukan vegetasi pada bukit Salogi tergolong relatif masih alami, pengaruh kegiatan manusia terbatas pada pembalakan kayu dan pemungutan hasil

Gambar 1. Lokasi penelitian Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

187

Riyanto, Soemarno & Farajallah

hutan lain, sedang pembukaan hutan menjadi lahan budidaya pertanian masih terbatas di daerah pantai landai atau pertemuan kaki-kaki bukit di pinggir pantai. Kerapatan pohon pada kawasan ini tercatat 490 individu/ha dengan luas bidang dasar (LBD) sebesar 237.876 cm2/ha dan rataan LBD/individu sebesar 485 cm2. Kerapatan anak pohon tercatat 2.480 individu/ha dengan LBD/ha 47.488 cm2 dan rataan LBD/individu 19,1 cm2 (Tabel 1). Pola sebaran diameter batang dan stratifikasi tajuk lokasi ini diilustrasikan pada Gambar 4. Tampak kelas diameter batang yang terbentuk memperlihatkan pola teratur, membentuk huruf J terbalik, dengan lebar sebaran 10-70 cm. Pola

sebaran stratifikasi tajuk juga memperlihatkan kenampakan yang baik, dijumpai lima stratum tajuk E-A, dengan stratum D (10-19 m) merupakan str atum menerus. Komposisi jenis Komposisi jenis pohon, anak pohon dan tumbuhan bawah di bukit SologiSemenanjng Santigi disajikan pada Tabel 1. Pada kawasan ini, dalam luasan 0,2 ha tercatat sebanyak 28 jenis pohon (18 suku, 21 marga). Pada tingkat anak pohon dalam luasan 0,05 ha tercatat 31 jenis (17 suku, 24 marga), sedangkan pada tingkat tumbuhan bawah dalam luasan 0,008 ha tercatat 45 jenis (22 suku, 38 marga).

Gambar 2. Citra satelit perubahan penutupan lahan dalam lima tahun dari 2001 hingga 2005 di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah setelah diolah dengan metode unsupervised. A. Kondisi tahun 2001. B. Kondisi tahun 2005.

188

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Jenis penyusun utama vegetasi hutan pada habitat Baning Sulawesi dapat diketahui dari Indeks Nilai Penting (INP) lebih dari 10% (Tabel 2) yang disusun oleh delapan jenis utama yaitu Corypha elata, Streblus ilicifolia, Trema sp., Diospyros sp3, Cleistanthus sumatranus, Drypetes minahasae, Grewia acuminata, dan Prunus grisea. Adapun pada tingkat anak pohon disusun oleh sembilan jenis yaitu Streblus ilicifolia, Streblus asper, Cleistanthus sumatranus, Diospyros sp3, Pteros-

permum diversifolium, Croton tiglium, Garuga floribunda, Claoxylon affine, Callicarpa longifolia, dan Goniostoma rupestre. Pada kelompok tumbuhan bawah didominasi oleh empat jenis utama yaitu Cleistanthus sumatranus, Diospyros sp3, Streblus asper dan Streblus ilicifolia. Diversitas dan kemerataan Indeks diversitas (H) dan indeks kemerataan jenis (E) pohon (20 anak

Gambar 3. Perubahan luasan tutupan lahan di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah dalam kurun lima tahun (2001-2005). Tabel 1. Data kuantitatif vegetasi pada habitat Baning Sulawesi di bukit Sologi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

Kerapatan (individu/ha) LBD per individu LBD (cm 2/ ha) Jumlah jenis Jumlah marga Jumlah suku Indeks keragaman (H) Indeks kemerataan (E)
Keterangan: LBD=luas bidang dasar

Pohon 490 485,4 237.867,1 28 21 18 1,333 0,878

Tingkat vegetasi Anak pohon Tumbuhan bawah 2.480 19,1 47.487,5 31 45 24 38 17 22 1,341 0,875

189

Riyanto, Soemarno & Farajallah

petak 10x10 m) dan anak pohon (20 anak petak 5x5 m) disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data pada Tabel 1 tersebut, tampak bahwa vegetasi tingkat pohon maupun anak pohon relatif sama dalam diversitas maupun kemerataannya. Diversitas kedua tingkat vegetasi tersebut tergolong sedang (H pohon=1,333 dan H anak pohon=1,341), sebab menurut Soerianegara (1996) diversitas dikatakan tinggi bila memiliki nilai indeks ShannonWiener lebih dari 3,5. Namun demikian kemerataan jenis tingkat pohon dan anak pohonnya cukup tinggi dengan nilai mendekati satu (E pohon=0,878 dan E anak pohon=0,875). PEMBAHASAN Laju kehilangan hutan kawasan Semenanjung Santigi termasuk sangat cepat. Dalam luasan 7959,51 ha pada periode 2001 hingga 2005, kawasan tersebut telah kehilangan hutan mencapai 60,04% atau laju kehilangan hutan sebesar 419,25 ha/tahun. Faktor utama
A

penyebab hilangnya hutan pada masa itu diduga akibat adanya program transmigrasi yang mengkonversi hutan dataran rendah menjadi pemukiman dan lahan persawahan (Platt et. al. 2001). Hal ini sebelumnya juga telah disinggung oleh Whitten et. al. (1987) dan Myers (1992) bahwa deforestasi di Sulawesi adalah sebagai hasil dari aktivitas logging, proyek perkebunan, pembalakan dan kebijakan transmigrasi. Hutan bukit Sologi yang terletak di bagian tenggara Semenanjung Santigi dapat dipandang sebagai hutan atau habitat yang tersisa, meskipun selama tiga hari pencarian hanya menemukan satu individu jantan Baning Sulawesi. Temuan ini berbeda dengan hasil wawancara dengan pemburu profesional jenis kura-kura ini yang menyebutkan bahwa dua bulan sebelum penelitian ini dilakukan mereka telah berhasil menperoleh sebanyak 13 individu dengan total jumlah hari pencarian tujuh hari pada lokasi yang sama. Perbedaan temuan ini kemungkinan disebabkan oleh
B

Gambar 4. Sebaran diameter batang (A) dan tinggi tajuk (B) pohon pada petak cuplikan di hutan bukit Salogi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah.

190

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Tabel 2. Jenis utama penyusun bentukan vegetasi tingkat pohon, anak pohon dan tumbuhan bawah berdasarkan nilai INP 10% di bukit Sologi-Semenanajung Santigi, Sulawesi Tengah.

Jenis Callicarpa longifolia Claoxylon affine Cleistanthus sumatranus Corypha elata Croton tiglium Diospyros sp3 Drypetes minahasae Garuga floribunda Geniostoma rupestre Grewia acuminata Prunus grisea Pterospermum diversifolium Streblus asper Streblus ilicifolia Trema sp.
konsekuensi sifat kelompok herpetofauna termasuk jenis Indotestudo forstenii seperti yang dinyatakan oleh Blomberg & Shine (1996), bahwa satwa kelompok herpetofauna umumnya bersifat kriptik dan bersembunyi sehingga sulit untuk dijumpai. Sementara itu, sebagian besar habitat di Semenanjung Santigi telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan coklat dan tidak pernah lagi ditemukan satupun individu Baning Sulawesi lagi. Hal ini cukup menggambarkan bahwa kelangsungan hidup Baning Sulawesi tergantung pada habitat hutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa vegetasi area hutan bukit Sologi masih baik, yang ditunjukkan dari nilai indeks diversitas, indeks kemerataan yang mendekati satu, pola sebaran

Pohon 14,58 40,35 8,62 2,41 7,50 1,89 9,20 28,00

INP 10% Anak Tumbuhan pohon bawah 10,0 13,5 38,7 12,9 18,7 22,0 16,8 10,6 11,5 17,9 12,3 38,0 36,8 17,8 -

diameter batang teratur membentuk huruf J terbalik dan pola sebaran stratifikasi tajuk juga memperlihatkan kenampakan yang baik dijumpai lima stratum tajuk EA, dengan stratum D (10-19 m) merupakan stratum menerus. Secara fisiognomi tegakan membentuk struktur horisontal dan vertikal cukup teratur. Namun demikian, tekanan kegiatan manusia yang dapat merusak kondisi tersebut sudah terasa. Pada beberapa bagian dari hutan bukit Sologi terutama batas pasang surut hingga mendekati punggung bukit sudah mulai mengalami alih fungsi menjadi lahan budidaya, seperti kebun jeruk dan ladang jagung. Lapisan humus yang tebal pada lahan bukaan hutan baru terlihat mampu menopang pertumbuan jagung secara optimal pada 191

Riyanto, Soemarno & Farajallah

kawasan ini dan hal ini makin menggiurkan bagi para penggarap lahan. Selain itu, pembalakan kayu juga mulai merambah kawasan ini. Bentuk-bentuk kegiatan ini bila tidak segera ditangani akan menyebabkan r usak bahkan hilangnya habitat bagi Baning Sulawesi dan satwaliar lainnya seperti burung Maleo, rusa timor dan ayam hutan. Dokumentasi beberapa aktivitas yang mengancam kelestarian hutan di bukit Sologi disajikan pada Gambar 5. Langkah penyelamatan hutan bukit Sologi salah satunya dengan menjadikannya sebagai cagar alam. Selain Baning Sulawesi, dengan terjaganya keutuhan bukit Sologi maka satwaliar lainnya juga akan ikut lestari seperti rusa timor, burung maleo dan ayam hutan yang juga ditemukan pada lokasi tersebut ketika penelitian ini dilakukan. Penetapan kawasan hutan Sologi menjadi cagar alam hendaknya dilakukan secara persuasif dan partisipasif terutama terhadap para penggarap lahan di area tersebut. Para penggarap ini adalah sebagian kecil warga berbagai desa di kawasan Semenanjung Santigi yang tidak mempunyai lahan garapan di desa mereka. Dalam rangka penetapan hutan Sologi sebagai cagar alam dan pembuatan serta pelaksanaan program konservasi insitu Baning Sulawesi diperlukan adanya suatu Project Design Matrix (PDM) yang baik. PDM yang baik disusun melalui metoda Project Cycle Management (PCM) yang melibatkan banyak stake holder seperti departemen kehutanan, pemerintah daerah, masyarakat lokal/penggarap dan perguruan tinggi. 192

KESIMPULAN DAN SARAN Kawasan Semenanjung Santigi dalam kurun 5 tahun (2001-2005) telah mengalami kehilangan hutan sebanyak 2.096,23 ha (60,04%) dengan laju kehilangan mencapai 419,25 ha/tahun. Ada kecenderungan bahwa hutan bukit Sologi merupakan habitat yang tersisa di kawasan Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah. Hal ini dibuktikan dari masih ditemukannya individu Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) pada hutan bukit Sologi, sedangkan pada habitat yang sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan coklat sudah tidak ditemukan individu Baning Sulawesi lagi. Kondisi hutan bukit Sologi masih baik dan mendesak untuk segera ditetapkan menjadi cagar alam sebagai upaya konservasi insitu bagi Baning Sulawesi. Upaya konservasi ini membutuhkan suatu PDM yang baik yang dibuat melalui metoda PCM dengan melibatkan banyak stake holder seperti departemen kehutanan, pemerintah daerah, masyarakat lokal/penggarap dan perguruan tinggi. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Anders G.J. Rhodin (Turtle Conservation Fund) atas dukungan untuk penelitian ini. AR mengucapkan terimakasih kepada Dr. Masami Kaneko dan Dr. Buho Hoshino (Rakuno Gakuen University, Jepang), Dr. Rika Akamatsu (EnVision, Japan) dan Takashi Ono (EnVision, Jepang) yang telah memberikan pengetahuan mengenai GIS dan Remote

Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Habitat Baning Sulawesi

Gambar 5. Beberapa aktivitas alihfungsi hutan yang sedang berlangsung di area hutan Bukit Sologi-Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah. A-Pembukaan hutan pada bagian punggung bukit. B-Pembalakan liar skala kecil. C-Ladang jagung dan kebun jeruk (tanda panah).

Sensing yang diseleng-garakan JICA. Terimakasih juga ditujukan kepada bapak Ismail Rachman (HB Cibinong-LIPI) atas bantuannya dalam identifikasi spesimen tumbuhan. Penelitian ini dibiayai oleh Turtle Conservation Fund-CI USA. DAFTAR PUSTAKA Bloomberg, SB. & R. Shine. 1996. Reptile. In: Sutherland, WJ. (Ed). Ecological Census Techniques a Handbook. Cambridge University Press. Cambridge. 218-226. Dombois, DM & H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of vegetation Ecology. John Wiley & Sons. New York.

Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M. Scroggie & Boeadi. 2005. Herpetofaunal Richness and Community Structure of Offshore Islands of Sulawesi, Indonesia. Biotropica 37(2): 279290. Hoogmoed, MS & CR. Crumly. 1984. Land tortoise types in the Rijksmuseum van Natuurlijke Historie with comments on nomenclature and systematic (Reptilia: Testudines: Testudinidae). Zool. Med. Leiden 58: 259341 Ives, I., PQ. Spinks & HB. Shaffer. 2008. Morphological and genetic variation in the endangered Sulawesi tortoise Indotestudo

193

Riyanto, Soemarno & Farajallah

forstenii: evidence of distinct lineages? Con. Gen 9:709713. Ives, I., SG. Platt, JS. Thasirin, I. Hunowu, S. Siwu & TR. Rainwater. 2008. Field Surveys, Natural History Observations, and Comments on the Exploitation and Conservation of Indotestudo forstenii, Leucocephalon yuwonoi, and Cuora amboinen-sis in Sulawesi, Indonesia. Chelonian Con. Biol 7(2): 240248. Koch, A., I. Ives, EA. Arida & DT. Iskandar. 2008. On the Occurrence of the Asiatic Softshell Turtle, Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770), on Sulawesi, Indonesia. Hamadryad 32(2): 198 204. Lanya, I. & B. Bruvoll. 1994. Aplikasi Remote Sensing Untuk Identifikasi, Pemantauan dan Pemetaan Penggunaan Lahan di Kecamatan Seserida dan Sekitarnya Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Proseding Proceedings of the NORINDRA SeminarJakarta, 25-26 May 1993. Myers, N. 1992. The Primary Source: Tropical Forests and Our Future. W.W. Norton Co. New York. Platt, SG., RJ. Lee & WK. Michael. 2001. Notes on the Distribution, Life History, and Exploitation of

Turtle in Sulawesi, Indonesia, with 2 Emphasis on Indotestudo forstenii and Leucocephalon yuwonoi. Chelonian Con. Biol. 4:154-159. Riyanto, A., A. Farajallah & J. Arisona. 2008. The Endangered Sulawesi Tortoise (Indotestudo forstenii): Behavior, habitat, population in the wild and the harvest level. Annual Report to TCF & CI, USA. Rooij, Nde. 1915. The Reptiles of The Indo Australian Archipelago I (Lacertilia, Chelonia, Emydosauria). E.I. Brill. Ltd. Leiden. Samedi & DT. Iskandar. 2000. Freshwater Turtle and Tortoise Conservation and Utilization in Indonesia. Proceeding of a Workshop on Conservation and Trade of Freshwater Turtle and Tortoise in Asia. Phnom Penh, Cambodia, 14 December. 106-111. Soerianegara, I. 1996. Ekologi, Ekologisme dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Whitten, AJ., M. Mustafa & GS. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press.

Memasukkan: Oktober 2009 Diterima: Januari 2010 194

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 195-209 (2010)

Plant- Diversity and Composition in Mount Nok and the Waifoi Forest of the Waigeo Raja Ampat Islands: with Special Reference to The Threatened Species
Didik Widyatmoko
UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas LIPI, Jl. Kebun Raya Cibodas, Sindanglaya, Cianjur 43253, Email: didik_widyatmoko@yahoo.com

ABSTRACT Keragaman dan Komposisi Tumbuhan di Hutan Gunung Nok dan Waifoi Waigeo Kepulauan Raja Ampat: Dengan Perhatian Khusus Pada Species yang Terancam Kepunahan Raja Ampat merupakan kepulauan di Papua Barat yang terdiri atas sekitar 610 pulau; empat di antaranya merupakan pulau besar (Waigeo, Salawati, Batanta, dan Misool). Ekspedisi dan studi ekologi dilakukan di Gunung Nok dan Hutan Waifoi (Pulau Waigeo) pada tahun 2007. Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mempelajari komposisi dan keragaman beta (-diversity) flora Gunung Nok dan Hutan Waifoi yang merupakan area penting di Cagar Alam Pulau Waigeo Timur; mengkaji status populasi dari spesies-spesies endemik atau yang terancam kepunahan; serta mempelajari karakteristik habitat flora endemik atau terancam kepunahan . Survei komposisi dan kelimpahan populasi dilakukan dengan menggunakan metode cuplikan sabuk transek (transect belts) dan kuadrat yang disusun secara sistematis bergantian di ke dua sisi sabuk transek di dua lokasi penelitian. Formasi dan keragaman beta vegetasi Gunung Nok diobservasi dengan cara menetapkan titik-titik pengamatan berdasarkan perbedaan karakteristik komunitas vegetasi di sepanjang gradien gunung. Identitas spesies dan posisi keberadaannya dalam strata kanopi dicatat dan diobservasi. Sebanyak 554 records tumbuhan berhasil dikoleksi dari lokasi penelitian; lima spesies merupakan tumbuhan endemik Waigeo (Guioa waigeoensis, Alstonia beatricis, Calophyllum parvifolium, Schefflera apiculata, dan Nepenthes danseri) yang semuanya berkategori terancam kepunahan, sedangkan 42 spesies merupakan endemik New Guinea. Dendrobium dan Bulbophyllum merupakan dua marga anggrek yang paling beragam berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan. Kata kunci: Keragaman , komposisi tumbuhan, spesies terancam kepunahan, Gunung Nok, Hutan Waifoi, Waigeo

INTRODUCTION Raja Ampat is a group of four large islands (namely Waigeo, Batanta, Salawati, and Misool) with more than 600 smaller islands. The islands are located and scattered off the western tip of the

Birds Head of New Guinea and administrated by the West Papua Province of Indonesia. The waters and environment around the Islands have been known as the most biologically diverse marine area in the world, especially in terms of coral reefs and fish 195

Didik Widyatmoko

species (Webb 2005; Pemkab Raja Ampat & CI 2006). However, despite for being a biologically very rich area, little is known about the Islands of plant diversity and terr estrial resources (Bappenas 2003; Webb 2005). Detail plant expeditions and surveys focusing on the beta diversity will therefore provide important baseline data for managing and conserving biodiversity sustainablyof the Islands (Webb 2005). Current situations show that higher elevations are vital refuge areas for the survival of many species (both for plants and animals) as much of the lower areas have been disturbed and converted into various land uses. By recording the biodiversity and characteristics occurred along gradient and elevation of a mountain area the total potential will be known, and thus conservation action plans can consequently be constructed effectively. Geologically the Raja Ampat Islands is also very interesting, by having extensive karst ecosystems, alluvium substrates, acid volcanic and ultrabasic rocks, as well as a number of relatively high mountains (Jepson & Whittaker 2002; Webb 2005; Pemkab Raja Ampat & CI 2006). The floristic diversity is high due to heterogenous substrate conditions, biogeographical factors, and diverse habitat types which range from submontane forests, via forests on karst and acid volcanics, to sago swamps and mangroves. The ultrabasic scrub of Waigeo Island is unique and widely known for its endemic species (Webb 2005). Hill forests on volcanic substrates and karst formations extensively occur in this island. Each island of the Raja 196

Ampat has its own characteristics, especially in terms of vegetation composition and habitat types (BKSDA Papua II 2003). Undoubtedly, the Raja Ampat is botanically very important and valuable, despite their relatively small size compared to the main island Papua (Johns 1995; Johns 1997ab; CI 1999; Webb 2005). The conservation status of the Raja Ampat Islands is also unique, i.e. the population density is very low, the villagers in general have great concern to conserve their lands, and the traditional gover nment system is still highly influential (Webb 2005). Over the past twenty years, logging had been extensive in a number of areas of the Islands and even almost exhaustive in the lowlands. However, some of the prior logging was relatively light, searching primarily for large trees of Merbau: Intsia bijuga and I. palembanica (Webb 2005), and thus the potential for the Raja Ampat Islands remains relatively intact. Preventing logging and mining companies to disturb the Islands key conservation areas is indeed crucial if we intend to sustain the invaluable biodiversity contained. As part of a larger expedition team called Ekspedisi Widya Nusantara organised by the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), an expedition team from the Centre For Plant Conservation Bogor Botanic Gardens had surveyed and conducted a floral collecting trip to Mount Nok (Mt. Buffelhorn) and the Waifoi forest of Waigeo Island from 11 June to 9 July 2007. The aims of the expedition were: 1) to elucidate the plant -diversity and

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

composition of Mount Nok and the Waifoi forest (East Waigeo Nature Reserve), 2) assess the population status of the threatened or endemic species found, and 3) describe their habitat characteristics in order to understand their ecological preferences for conservation action purposes. MATERIAL AND METHODS Study and Exploration Area The study area and expedition locations were focused on the Waifoi Forest and the slope of Mount Nok area within the East Waigeo Island Nature Reserve, the Raja Ampat Islands, at altitudes range from 20 to 630 m above sea level. Bomat Isthmus was also explored but only for the purpose of threatened plant collection. Waifoi Village (Waigeo) was used as the entry point to the Nature Reserve, while the camp established at Kamtabae River (E 13004338.2" S 00553.3") was used as

the reference point to explore the surrounding forests. Different directions comprising all four aspects were covered in order to comprehensively cover the study and exploration areas. Hill and lower mountain forests (with slopes ranging from 30 to 70%) dominated the inland nature reserve topography. East Waigeo Island Nature Reserve was established in 1996 based on the decree of the Indonesian Minister of Forestry No. 251/Kpts-II/1996 covering a total area of 119,000 hectares, located between E 13003351" and E 13005554" and between S 000227" and S 000851". Rainfall recorded at a station on Saunek (Waigeo) was 1.5 m. y-1. The wettest months are April to September. Vegetation structure and composition The study area covers: 1) two hectares of mixed age indigenous forest located on top of the Manitalu hill forest within the reserve at an altitude of 183 m, and 2) a gradient along the mount Nok

Figure 1. Map of Waigeo Island (left, source: Google 2007) and the detail locations studied in the island (right, with green tree symbols). Coordinates and elevations of all locations (localities) observed were recorded using a GPS. Waifoi village is located at the center of the circle (blue flags), Bomat Isthmus is located at the left most, and the top of Mount Nok is at the right most.

197

Didik Widyatmoko

slope started from the Kamtabae River (20 m asl) to the shoulder of the mount Nok at an altitude of 630 m asl. Two belt transects (of 100 m x 10 m each) were established on the Manitalu hill forest and one transect of the same size (100 m x 10 m) was developed on each elevation of the mount Nok to sample the plant composition (formation) and abundance with the major axis orientated north-south derived from a selected compass bearing (Krebs 1989; Cropper 1993). Thus there were 10 quadrats (of 10 m x 10 m) on each elevation. A belt transect of 100 m x 10 m was used because it is an effective, operational size to operate (Ludwig & Reynolds 1988; Krebs 1989). Yet all existing trees within 5 m either side of the major axis of a transect can still be recognized. A series of 26 quadrats (of 2 m x 2 m each) were established at each of the two belt transects established on the Manitalu hill forest to record seedling and shrub composition (following Mueller-Dombois & Ellenberg 1974, Cox 1974, Sokal & Rohlf 1981). Quadrats were arranged systematically in an alternating pattern within the two belt transects developed in order to cover uniformly both sides of the axes (Ludwig & Reynolds 1988). Each individual tree and sapling within all belt transects developed was identified, the diameter was measured at breast height using a diameter tape, and the relative frequency, relative density, relative dominance, and importance value were calculated using the standard formulas for vegetation analysis (Cox 1974, Krebs 1989). Abundance was calculated by using the density parameter, 198

i.e. number of individuals found within a sampled area (Cropper 1993). Species identity and position in the canopy strata, either main canopy (height > 25 m), subcanopy (consisting of two layers: upper subcanopy 15-25 m and lower subcanopy 5-15 m), or understorey (<5 m) were recorded. Damaged or dead plants were not included as their identity would be undescribed. The location of each belt transect was recorded using a Garmin Global Positioning System MAP 175. Land slopes were measured using a clinometer (SUUNTO Optical Reading Clinometer PM-5 made in Finlandia), while soil pH and humidity were measured using a soil tester DEMETRA patent no. 193478 Electrode Measuring System, Tokyo, Japan. RESULTS A total of 554 plant records (specimens) were collected from three sites: Kamtabae River, Mount Nok and Bomat Isthmus. However, the results of vegetation analysis included in this study were only from Kamtabae River and Mount Nok while those of Bomat Isthmus were excluded for separate publication. Specimens collected from Bomat Isthmus were highlighted here due to their high conservation values, including Nepenthes danseri. Five species found are endemic to Waigeo Island (Guioa waigeoensis, Alstonia beatricis, Calophyllum parvifolium, Schefflera apiculata, and Nepenthes danseri ) and 42 species endemic to New Guinea. The five endemic species have been regarded as threatened by the IUCN (2000, 2008).

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Based on the Indonesian Botanic Gardens Catalogues (1999, 2001), 72 species of the 554 plant records have been determined as new collections for the Indonesian Botanic Gardens. Some living specimens of the new palm species (Livistona brevifolia) firstly described by Dowe and Mogea in 2004 from Kawe Island were also found and collected from the Bomat Isthmus, Waigeo. Vegetation structure of lowland forest Lowland forest of Waigeo (or New Guinea in general) possesses Malesian char acteristics, but without the dominance of dipterocarps. Based on the importance values (Table 3), the forest main canopy was mainly dominated by Pometia pinnata, Tabernaemontana auricantiaca, Palaquium obovatum, Celtis philippinensis, Intsia bijuga, Vatica rassak, Semecarpus macrocarpa, Artocarpus altilis, and Koordersiodendron pinnatum. The subcanopy mainly consisted of Pimend lodendron amboinicum, Myristica lancifolia, Drypetes longifolia, Pometia pinnata, Syzygium sp., Harpulia ramiflora, Lansium domesticum, Dysoxylum arborescens, Cynometra novoguineensis, Orania regalis, and Dillenia papuana. Dominat lower subcanopy included small trees and shrub Aglaia lawii, the small palms Licuala gramnifolia and Sommieria leucophylla, Ixora kerstingii, Garcinia dulcis, Maniltoa rosea, and M. plurijuga, while dominant understorey species on the forest floor included Pandanus sp., Elatostema polioneurum, and the ferns

Nephrolepis dufii and Selaginella wildenowii. Most of the land was composed by laterit ultrabasic soil. Plant species diversity on hill forest Hill forests seemed to be moister than forests lower down and the canopy was generally broken and fairly open. These forests indicated species turnover (transition) between lower and higher forests. Although the abundance of each individual species varied significantly, Decaspermum fruticosum, Planchonella catartea, Garcinia latssima, and Rhodamnia cinerea were clearly the most dominant species on this midelevation forest class, as shown by their basal area values (Table 1, Figure 2). On the other hand, Gynotroces axillaris, Smilax leucophloa, Dysoxylum parasiticum, Casuarina rumphiana, and the Waigeo-endemic species Alstonia beatricis consisted of small populations. Interestingly, the population size of the threatened, Waigeo-endemic species Guioa waigeoensis was relatively large locally, although the populations tended to clump. The importance value of this species was significantly high (Table 1). In comparison with G. waigeoensis (28 plants ha-1), the population size of A. beatricis (4 plants ha-1) was much smaller, as shown by its abundance (density). The small population status together with the absence of its seedlings indicated that A. beatricis was facing a serious problem to establish. The absence of the seedlings might be due to certain inhibiting factors faced during the seed germination stage. Further research is required to reveal this 199

Didik Widyatmoko

phenomenon. Unlike the two endemic species, the populations of Myrsine rawacensis, Pimeleodendron amboinicum and Cryptocaria infectonia were fairly abundant (Figure 2). Table 2 showed plant species composition (formation) at different elevations on Mount Nok, Waigeo Island, the Raja Ampat Islands. In general, species formation varied with elevations (along the gradient), on which lowland species differed significantly from those of hill and higher lands (i.e. lower montane areas). However, no areas of the Raja Ampat Islands were higher than 1,000 m. Interestingly, pseudomontane vegetation existed on tops of the hills occupying altitudes from 100 m to 200 m. This was shown by the occurrence

of the commonly high-inland occupying species, such as Casuarina rumphiana, Decaspermum fruticosum, Castanopsis acuminata and Livistona rotundifolia. These species were able to grow at much lower elevations on the island constituting the so-called pseudomontane vegetation, although their densities were relatively low, especially C. rumphiana and L. rotundifolia (Table 3). The width of their ecological amplitude or their ability to tolerate different climatic conditions might be the case. The proximity of the mountains particularly the forest edges to the ocean created dynamic climatic conditions and might be the driving force to form the Massenerhebung effect. Mountains surrounded by large ranges tended to

Table 1. Frequencies, densities and basal areas of dominant tree species on Manitalu hill forests (Kamtabae River) within East Waigeo Nature Reserve.
Species Alstonia beatricis Rhodamnia cinerea Garcinia latissima Dysoxylum parasiticum Decaspermum fruticosum Planchonella catartea Nephelium cuspidatum Pimeleodendron amboinicum Salacia macrophylla Casuarina rumphiana Cryptocaria infectonia Myrsine rawacensis Buchanania papuana Gynotroces axillaris Guioa waigeoensis Ploiarium alternifolium Northea fasciculata Frequency 0.23 0.80 0.69 0.23 0.76 0.76 0.38 0.54 0.54 0.15 0.46 0.54 0.23 0.08 0.46 0.23 0.15 Density (individuals ha-1) 4 30 30 3 37 34 10 20 9 3 25 16 4 1 28 3 4 BA (m2 ha-1) 0.01 1.28 1.33 0.15 1.08 1.48 0.30 1.03 0.70 0.01 0.90 0.01 0.15 0.01 1.28 0.01 0.01 Importance Value 2.42 6.24 6.48 2.59 8.57 8.25 1.88 6.02 3.73 2.02 5.84 3.54 2.26 1.10 6.07 1.22 1.26

200

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Nephrolepis dufii Flagellaria indica Northea fasciculata Ploiarium alternifolium Guioa waigeoensis Gynotroces axillaris Buchanania papuana Myrsine rawacensis Cryptocaria infectonia Casuarina rum phiana Salacia m acrophylla Sm ilax leucophloa Pim eleodendron am b oinicum Nephelium cuspidatum Planchonella catartea Decasperm um fruticosum Dysoxylum parasiticum Garcinia latissim a Rhodam nia cinerea Alstonia b eatricis 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Number of Individua ls

Figure 2. Composition and abundance of plant species occurred on Manitalu hill forests within East Waigeo Nature Reserve (Kamtabae River and the surrounding areas).

have higher tree lines than more isolated mountains (like Mount Nok) due to heat retention and wind shadowing (MacKinnon et al. 1996). The pseudomontane areas of Mount Nok seemed to be the most suitable habitats of the Island endemic plant species. Table 3 showed the abundances of dominant plant species occurred along the altitudinal gradient of Mount Nok, East Waigeo Nature Reserve. While the abundance of most species varied significantly with elevation, that of Licuala graminifolia was consistently high along the gradient. Tabernaemontana aurantiaca, Pometia pinnata, and Palaquium obovatum seemed to

dominate lowland areas, while Celtis philippinensis and Intsia bijuga dominated higher sites. However, the populations of Intsia bijuga, Vatica rassak and Nagaia wallichii seemed to be scattered, with some relatively large colonies were found above 400 m. Small colonies of the threatened species Schefflera apiculata and Calophyllum parvifolium were found above 600 m above sea level. Interestingly, Castanopsis acuminata was one of the most abundant tree species on 400-500 m as this species commonly occurs in much higher altitudes. In general, the soil thickness varied significantly from site to site, from shallow 201

Didik Widyatmoko

Table 2. Plant species composition (formation) at different elevations (-diversity) on Mount Nok, Waigeo Island, the Raja Ampat Islands, West Papua.
Elevation (m asl) 20 - 100 Species composition (formation) Tabernaemontana aurantiaca, Pometia pinnata, Palaquium obovatum, Celtis philippensis, Intsia bijuga, Vatica rassak, Orania regalis, Licuala graminifolia, Orania regalis, Pandanus tectorius, Semecarpus macrocarpa, Artocarpus altilis, Syzygium malaccensis, Psychotria tripendumculata, Dillenia papuana, and Sommieria leucophylla. Further inland, Hydriastele costata sometimes occurred. Rhodamnia cinerea, Garcinia latissima, Decaspermum fruticosum, Planchonella catartea, Guioa waigeoensis, Licuala graminifolia, Exocarpus latifolius, Cryptocaria infectoria, Semecarpus macrocarpa, Myrsine rawacensis, Casuarina rumphiana, Psychotria tripendumculata, Pimeleodendron amboinicum, Intsia bijuga, Artocarpus altilis, and Livistona rotundifolia very rarely found. Calophyllum persemile, C. grandiflorum, Pometia pinnata, Artocarpus integer, Licuala graminifolia, Lasianthus purpureus, Knema sp., Gnetum sp., Actinodaphne sp., Gyrinops sp., and Canarium sp. Nagaia wallichii, Schima wallichii, Rhodamnia cinerea, Canarium sp., Gironniera sp., Garcinia sp., and Fagraea sp. Castanopsis acuminata, Symplocos fasciculata, Celtis philippinensis, Vatica rassak, Pometia pinnata, Parkia sp., Gironniera sp., and Pandanus tectorius. Celtis philippinensis, Poliosma ilicifolia, Pangium edule, Palaquium sp., Calophyllum persemile, Pandanus sp., Actinodaphne sp., Elaeocarpus sp., Helicia sp., Heritiera javanica, Smilax sp., Inga sp., and Calyptrocalix sp. The orchid Phalaenopsis amabilis scattered, small population. Intsia bijuga, Celtis philippinensis, Calophyllum persemile, and Castanopsis acuminata. Some orchid populations abundant, growing on very steep, narrow mount ridges (Dendrobium macrophyllum, D. amboinensis, Ceratostylis sp., Cadetia sp., Eria javanica, Thelasis sp., and Appendicula sp.). Begonias grew very well. Wendlandia sp., Phytosporum ramiflorum, Heritiera javanica, Intsia bijuga, Oleandra sp. The endemics Schefflera apiculata and Calophyllum parvifolium found. Rocky habitats, very steep, land slides easily, slope 80-90%. Cliff walls were formed by rock piles, united by plant root systems. Dominant species Tabernaemontana aurantiaca, Pometia pinnata, Palaquium obovatum, Celtis philippensis, Intsia bijuga, Vatica rassak, Licuala graminifolia, and Orania regalis.

100-200 Hill tops

Rhodamnia cinerea, Garcinia latissima, Decaspermum fruticosum, Planchonella catartea, Guioa waigeoensis, and Licuala graminifolia. PSEUDOMONTANE VEGETATION Casuarina rumphiana occurred.

270

Calophyllum persemile, C. grandiflorum, Pometia pinnata, Artocarpus integer, Licuala graminifolia, and Lasianthus purpureus. Nagaia wallichii, Schima wallichii, Rhodamnia cinerea, and Canarium sp. Castanopsis acuminata, Symplocos fasciculata, Celtis philippinensis, Vatica rassak, and Pometia pinnata. Celtis philippinensis, Poliosma ilicifolia, Pangium edule, Palaquium sp., Calophyllum persemile, Pandanus sp., Actinodaphne sp., and Elaeocarpus sp.

350

460

545

560

Intsia bijuga, Celtis philippinensis, Calophyllum persemile, and Castanopsis acuminate.

630

Wendlandia sp., Phytosporum ramiflorum, Heritiera javanica, and Intsia bijuga.

202

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

(16 cm) to very thick (more than 1.5 m). The shallow soils commonly occurred on top of hills, consequently the plants were rarely tall and the roots seemed to be short and small. Decaspermum fruticosum, Planchonella catartea, and Garcinia latssima wer e the most abundant species on this shallow soils. Broken and open canopy was common, especially on steep slopes. In contrast, taller and larger trees mainly occurred on lowland forests, particularly on the alluvial soils (such as Pimelodendron amboinicum, Vatica rassak, Palaquium obovatum, and Celtis philippensis) and volcanic soils (such as Intsia bijuga, Pometia pinnata, and Koordersiodendron pinnatum). Soil textures generally consisted of clayed-silt and sandy-silt formations, describing the most extensive lowland vegetation on Waigeo. Detail results of the soil laboratory analysis were reported separately. DISCUSSIONS Five species found have been regarded as threatened and vulnerable to extinction, indicating an urgent conservation action to carry out. Alstonia beatricis or Pulai Waigeo (the IUCN Category: VU D2) and Schefflera apiculata (VU D2) are endemic to Waigeo. Both species constituted small scattered populations and even suppressed in the case of A. beatricis. A. beatricis is a small tree occurring only on tops of the island hills and preferring a dry, relatively open habitat. S. apiculata occurred on the slopes of Mount Nok at an altitude of 600 to 700

m. The species leaf characteristics were interesting compared to those of other members of the genus Schefflera. The threatened pitcher plant Nepenthes danseri (VU B1+2b) was found in Bomat Isthmus (Waigeo) occupying a very dry open karst habitat, with an average air humidity of 25 per cent and temperature of 330C during the day time in June 2007. Most individuals occurred on very steep slopes ranging from 70 to 80 per cent, growing on ultrabasic soils (pH > 7.2) and coexisting with Casuarina rumphiana, Decaspermum bracteatum, Baeckea fruticans, Styphelia abnormis, and Pinanga rumphianum. Guioa waigeoensis and Calophyllum parvifolium populations were also vulnerable (VU D2) showing a clumped spatial distribution pattern. However, ecological information about these two threatened species is still very limited. Potential and attractive species and their conservation values Economically potential small palms collected include Sommieria leucophylla. The individuals of this species showed different leaf colours, in which two variants have been recorded in terms of the abaxial leaf surface colour (some were green while others were grey). Taxonomically, this is an interesting discovery requiring further investigation. The other economically promising small palms found were Areca macrocalyx, Dransfieldia micrantha, and Pinanga rumphianum. Partly soil types seemed to determine plant species composition, both 203

Didik Widyatmoko

Table 3. Relative frequencies, densities and dominances of plant species occurred at different elevations on Mount Nok, East Waigeo Nature Reserve, Waigeo.
Elevation (m asl) Species Tabernaemontana aurantiaca Pometia pinnata Palaquium obovatum Celtis philippensis Intsia bijuga Vatica rassak Licuala graminifolia Orania regalis Pandanus tectorius Semecarpus macrocarpa Artocarpus altilis Syzygium malaccensis Psychotria tripendumculata Dillenia papuana Sommieria leucophylla Hydriastele costata Other species (52) Rhodamnia cinerea Garcinia latissima Decaspermum fruticosum Planchonella catartea Guioa waigeoensis Licuala graminifolia Exocarpus latifolius Cryptocaria infectoria Semecarpus macrocarpa Myrsine rawacensis Casuarina rumphiana Psychotria tripendumculata Pimeleodendron amboinicum Intsia bijuga Artocarpus altilis Livistona rotundifolia Other species (58) Calophyllum persemile Calophyllum grandiflorum Relative Frequency 4.62 3.75 3.44 2.85 1.46 2.10 4.11 2.31 2.44 2.32 2.19 1.38 1.07 0.92 1.26 0.64 63.14 5.03 4.52 3.36 4.11 3.32 4.60 3.24 2.43 1.19 1.58 1.48 1.64 1.16 0.74 0.81 0.38 60.41 4.53 4.34 Relative Density 6.41 7.22 4.48 3.25 2.97 2.38 4.64 3.22 2.41 1.82 1.61 1.60 2.13 1.27 2.08 1.01 51.50 7.02 5.23 6.71 6.01 4.19 4.42 4.01 3.88 3.02 2.71 2.26 2.01 1.84 1.18 1.22 1.01 43.28 6.83 5.02 Relative Dominance 8.28 6.81 5.24 4.82 4.43 4.33 0.04 2.06 1.35 1.46 1.62 1.66 1.38 1.40 0.02 0.42 54.68 0.22 1.33 0.85 0.76 1.64 0.02 1.45 1.10 1.22 1.01 1.25 1.30 1.04 2.08 1.67 1.18 81.88 6.26 6.47 Importance Value 19.31 17.78 13.16 10.92 8.86 8.81 8.79 7.59 6.20 5.60 5.42 4.64 4.58 3.59 3.36 2.07 169.32 12.25 11.08 10.92 10.88 9.15 9.04 8.70 7.41 5.43 5.30 4.99 4.95 4.04 4.00 3.70 2.57 185.57 17.62 15.83

20-100

100-200

204

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Table 3. Continued
Elevation (m asl) 270 Species Pometia pinnata Artocarpus integer Licuala graminifolia Lasianthus purpureus Knema sp. Gnetum sp. Actinodaphne sp. Gyrinops sp. Canarium sp. Other species (46) Nagaia wallichii Schima wallichii Rhodamnia cinerea Canarium sp. Gironniera sp. Garcinia sp. Fagraea sp. Other species (42) Castanopsis acuminata Symplocos fasciculata Celtis philippinensis Vatica rassak Pometia pinnata Parkia sp. Gironniera sp. Pandanus tectorius Other species (45) Celtis philippinensis Poliosma ilicifolia Pangium edule Palaquium sp. Calophyllum persemile Pandanus sp. Actinodaphne sp. Elaeocarpus sp. Helicia sp. Heritiera javanica Inga sp. Smilax sp. Calyptrocalix sp. Relative Frequency 3.26 3.71 5.17 4.15 4.01 2.31 2.96 2.73 0.94 61.89 6.57 4.33 4.27 2.78 3.12 2.04 3.82 73.07 7.17 5.36 3.29 3.76 4.15 3.14 2.86 2.41 67.86 5.51 3.46 2.36 2.46 1.89 2.27 2.32 2.42 1.23 1.63 2.54 0.44 1.17 Relative Density 6.29 5.47 4.72 4.03 2.81 3.22 2.30 1.43 2.02 55.86 5.81 6.04 5.27 3.41 4.37 2.14 1.81 71.15 6.83 4.02 3.24 3.27 4.32 2.05 2.81 1.54 71.92 6.52 7.51 3.56 3.65 1.53 1.22 4.46 2.14 2.65 1.56 1.25 1.58 1.27 Relative Dominance 4.81 2.28 0.06 0.86 1.88 1.88 0.17 1.14 1.03 73.16 4.24 4.46 3.82 3.27 0.46 2.86 1.08 79.81 4.22 6.45 4.83 3.43 0.48 2.85 2.04 2.49 73.21 5.28 5.81 4.24 3.81 3.44 3.32 0.01 2.03 1.32 1.41 0.63 0.62 0.14 Importance Value 14.36 11.46 9.95 9.04 8.70 7.41 5.43 5.30 3.99 190.91 16.62 14.83 13.36 9.46 7.95 7.04 6.71 224.03 18.22 15.83 11.36 10.46 8.95 8.04 7.71 6.44 212.99 17.31 16.78 10.16 9.92 6.86 6.81 6.79 6.59 5.20 4.60 4.42 2.64 2.58

350

460

545

205

Didik Widyatmoko

Table 3. Continued
Elevation (m asl) Species Other species (41) Intsia bijuga Celtis philippinensis Calophyllum persemile Castanopsis acuminata Other species (48) Wendlandia sp. Phytosporum ramiflorum Heritiera javanica Intsia bijuga Oleandra sp. Schefflera apiculata Calophyllum parvifolium Other species (43) Relative Frequency 70.30 6.53 4.44 3.38 2.43 83.22 5.71 3.76 2.48 2.76 1.79 1.67 0.87 80.96 Relative Density 61.10 6.53 7.01 3.55 4.25 78.66 4.32 6.21 3.44 2.35 1.63 2.12 0.96 78.97 Relative Dominance 67.94 5.25 4.83 4.23 2.84 82.85 4.28 3.81 3.24 2.81 2.44 1.02 1.01 81.39 Importance Value 199.34 18.31 16.28 11.16 9.52 244.73 14.31 13.78 9.16 7.92 5.86 4.81 2.84 241.32

560

630

in Mount Nok and the Waifoi forest. Species compositions occurred on volcanic and karst formations were considerably different. Pometia pinnata, Tabernaemontana auricantiaca, Artocarpus altilis, Intsia bijuga, Vatica rassak, Rhodamnia cinerea, Decaspermum fruticosum, and Planchonella catartea grew very well on volcanic substrates. The palm species Licuala graminifolia, Orania regalis and Sommieria leucophylla also preferred these substrates. On the other hand, the palms Hydriastele costata (synonym: Gulubia costata) and Livistona brevifolia habitat preferences were clearly dry karst habitats particularly ultrabasic rocks. Hydriastele costata seemed to be a prominent indicator species of the karst ecosystem. On the other hand, Hydriastele rhopalocarpa occurred on inland hill forests on volcanic substrates. Palms are indeed important elements of many 206

tropical forests and often show specific ecological preferences (Tomlin-son 1979; House 1984) and local or regional patterns of association (Kahn & Mejia 1990; Moraes 1996; Svenning 1999). Some palm species appear to be adapted to specific edaphic conditions, such as soil formation, quality, type, and drainage (House 1984; Moraes 1996). A number of attractive species were also found, including Maniltoa rosea, M. plurijuga, Pothos scandens, Tapeinocheilos sp., and the broad leaf species Dillenia papuana. Promising species for their economic uses occurred on the Nature Reserve include Cynometra novoguineensis, Piper sp., and Raphidophora sp. Valuable orchids were also r ecorded including Dendrobium macrophyllum, Dendrobium lasianthera, and Dendrobium capituliflorum. Most orchid species occurred on Mount Nok and Kamtabae River were epiphytic, comprising 103

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

different species. In contrast, the terrestrial species found at the same sites were only 31 species. Dendrobium and Bulbophyllum were the most diverse genera in these two localities, indicated by their greatest species numbers found, consisting of 32 and 16 species respectively. Most orchid individuals lived on the upper parts of trunks or stems of the host trees. CONCLUSIONS Five plant species found (Alstonia beatricis, Schefflera apiculata, Nepenthes danseri, Guioa waigeoensis, and Calophyllum parvifolium) have been regarded as threatened, indicating their urgent conservation actions. The pitcher plant N. danseri found in Bomat Isthmus seemed to be very vulnerable to extinction locally due to its current threats and habitat vulnerability. In order to conserve these threatened species the persistence of their coexisting species and protected habitat are very crucial. The populations of some of the threatened species were dominated by young plants, reflecting a growing population in which regeneration and recruitment still continue in some sites. However, habitat conversion and human disturbance clearly threatened the persistence of these species. Population sizes and structures of the threatened and endemic species varied spatially with volcanic and karst formations being the most favourable habitat in which most of the species occurred. By protecting these types of habitat, the threatened and endemic species populations will be

sustained for a long term. This information can be used to set criteria and priorities for protecting representative suitable sites both within and outside the nature reserve. As seedlings and young plants in several locations were suppressed or even absent, in situ management should focus on monitoring and managing the survival of the young stages to assist them to establish successfully. Given expected patterns of forest disturbance and conversion over the next few decades, the most important step is to protect high quality habitat in dedicated conservation reserves. ACKNOWLEDGEMENTS I greatly appreciated the expedition team members: Didit Okta Pribadi, Wihermanto, Saripudin, Sudarsono, Supardi, Tatang Daradjat (Bogor Botanic Gardens), Rustandi (Cibodas Botanic Gardens), Deden Mudiana (Purwodadi Botanic Gardens), and I Gede Tirta (Bali Botanic Gardens) for their great assistance and cooperation. The map was drawn by Didit Okta Pribadi. I also thank Dr. Irawati and Dr. Hery Harjono for the support and encouragement. I acknowledged Ir. Kurung, M.M., Djefri Tibalia, Alberth Nebore, Irman Meilandi, Kris, Gustab Gaman, Sakeus Dawa, and Husen for their help and cooperation. REFERENCES Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Indonesia Integrated Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Jakarta. 207

Didik Widyatmoko

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua II Sorong, 2003. Beberapa Kawasan Cagar Alam Dalam Lingkungan Seksi Konservasi Wilayah IV Balai KSDA Papua II Sorong. Sorong. Conservation International. 1999. The Irian Jaya Biodiversity Conservation Priority-Setting Workshop: Final Report. Conservation International, Washington, DC. Cox, GW. 1974. Laboratory Manual of General Ecology 2 nd edition. Printed in the United States of America. Cropper, SC. 1993. Management of Endangered Plants. Jenkin Buxton Printers Pty Ltd., Melbourne. Dressler, RL. 1990. The Orchids Natural History and Classification. Harvard University Press, Cambridge. House, AP. 1984. The Ecology of Oncosperma horridum on Siberut Island, Indonesia. Principes 28 (2): 85-89. Hubalek, Z. 1982. Coefficients of Association and Similarity Based on Binary (Presence-Absence) Data: An evaluation. Biol . Rev 57: 669-689. Indonesian Botanic Gardens. 1999. An Alphabetical List of Indonesian Orchid Cultivated in Bogor Botanic Gardens. Bogor. Indonesian Botanic Gardens. 2001. An alphabetical list of plant species cultivated in Bogor Botanic Gardens. Bogor.

IUCN (The International Union for the Conservation of Natur e and Natural Resources). 2000. 2000 IUCN Red List of Threatened Species (Compiled by Craig Hilton-Taylor). IUCN Species Survival Commission. Gland, Switzerland and Cambridge, UK. IUCN. 2008. 2008 IUCN Red List of Threatened Species (A Global Species Assessment). The IUCN Species Survival Commission. Janson, S. & J. Vegelius. 1981. Measures of Ecological Association. Oecologia 49: 371-376. Jepson, P. & RJ. Whittaker. 2002. Ecoregions in Context: A critique with special reference to Indonesia. Cons. Biol 16 (1): 4257. Johansson, DR. 1975. Ecology of Epiphytic Orchids in West African Rain Forests. Amer Orchid Soc. Bull. 44: 125-136. Johns, RJ. 1995. Malesi-An introduction. Curtiss Bot. Mag.12 (2): 53 62. Johns, RJ. 1997. Background Papers for the Study of the Flora and Vegetation of the N. E. Kepala Burung, Irian Jaya, Indonesia. Royal Botanic Gardens, Kew. Johns, RJ. 1997. A checklist of the Fern Allies, Ferns and Gymnosperms of the N. E. Kepala Burung (Vogelkop), Irian Jaya, Indonesia. Royal Botanic Gardens, Kew. Kahn, F. & K. Mejia. 1990. Palm Communities in Wetland Forest Ecosystems of Peruvian Amazonia. Forest Ecol. Manag 33 & 34: 169-179.

208

Plant -Diversity and Composition in Mount Nok

Krebs, CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper & Row Publishers. New York. Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and computing. John Wiley & Sons, New York. MacKinnon, K., G. Hatta, H. Halim, & A. Mangalik. 1996. The Ecology of Kalimantan. Periplus Editions, Singapore. Mittermeier, RA., N. Myers, & CG. Mittermeier. 1999. Hotspots. Cemex, Conservation International, Mexico. Monk, KA., Y. de Fretes, & G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Periplus Editions, Singapore. Moraes, MR. 1996. Diversity and Distribution of Palms in Bolivia. Principes 40 (2): 75-85. Mueller-Dombois, D. & H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons Inc., New York.

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Conservation International Indonesia. 2006. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Irian Jaya Barat. Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan CI, Sorong. Secr etariat of the Convention on Biological Diversity. 2003. Global Strategy for Plant Conservation. Montreal, Canada. Sokal, RR. & FJ. Rohlf. 1981. Biometry: The Principles and Practice of Statistics in Biological Research. W.H. Freeman and Company, New York. Svenning, JC. 1999. Microhabitat Specialization in a Species-rich Palm Community in Amazonian Ecuador. J. Ecol. 87: 55-65. Tomlinson, PB. 1979. Systematics and Ecology of the Palmae. Annual Rev. Ecol.Sys 10: 85-107. Webb, CO. 2005. Vegetation of the Raja Ampat Islands, Papua, Indonesia. A Report to the Nat. Con. Rev. 1.5.

Memasukkan: Oktober 2009 Diterima: Januari 2010

209

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 211-224 (2010)

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan yang diberi Jerami Padi dan Bahan Penghambat Nitrifikasi A. Wihardjaka
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jl. Raya Jakenan Km 5 Jakenan Pati 59182, E-mail : whjk@telkom.net ABSTRACT Nitrous Oxide Emission from Rainfed Lowland Rice Soils through Applications of Rice Straw and Nitrification Inhibitor Materials. Alternate wet-dry of soil condition under rainfed lowland system influence on source and sink dynamics of green house gases. Lowland rice soil is one of antropogenic sources of nitrous oxide (N2O) emission produced by microbiological nitrification-denitrification mediated processes. Attempt to increase soil productivity in lowland rice system by organic amendment is predicted to stimulate nitrous oxide production. The increase of N2O production in lowland rice could be suppressed by using nitrification inhibitor materials. A field experiment was conducted in rainfed lowland rice during 2009 dry season. The objective was to study interaction of rice straw application and nitrification inhibitor materials on nitrous oxide emission from rainfed lowland rice. Experiment was arranged using factorial randomizes block design with three replicates and treatment of rice straw application (without rice straw, fresh straw, composting straw) and inhibitor nitrification materials (without inhibitor nitrification, neemcake, carbofuran). Interaction of rice straw and nitrification inhibitor materials decreased significantly N2O emission from lowland rice soil. Nitrous oxide emission in plot without rice straw was higher than in plot treated with neither fresh rice straw nor composting straw. Application neemcake combined with composting straw emitted lowest nitrous oxide with flux of 72 g N2O ha-1 season-1, whereas the highest N2O emission was found in plot without nitrification inhibitor materials and rice straw with flux of 454 g N2O ha-1 season-1. Compared with treatment of without nitrification inhibitor, application of neemcake and carbofuran could suppress nitrous oxide emission of 48.6 and 41.3 %, respectively. Key words : nitrous oxide emission, rainfed lowland, rice straw, nitrification inhibitors

PENDAHULUAN Sistem sawah tadah hujan dengan kondisi basah-kering berpengaruh terhadap pola atau dinamika emisi gas dinitrogen oksida. Kondisi tergenang merupakan kondisi ideal bagi pembentukan gas metana (source) dan rosot (sink) bagi gas dinitrogen oksida, sedangkan kondisi kering berfungsi

sebagai rosot metana, dan sumber bagi gas dinitrogen oksida (Xiong et al. 2007). Tanah sawah merupakan salah satu sumber antropogenik utama gas dinitrogen oksida (N2O), yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global (IPCC 2006). Konsentrasi N2O di atmosfer dilaporkan mengalami peningkatan dengan laju 0,25% setiap tahun (Hansen & Bakken 1993, Snyder et al. 2009). Tanah pertanian

211

A. Wihardjaka

memberikan kontribusi terhadap emisi N2O sebesar 0,2-2,1 Tg N2O (Hansen & Bakken 1993). Gas N2O di atmosfer relatif lebih lama berada dibandingkan gas CO2 dan metana (Prinn et al. 1990), dengan sifat berpotensi pemanasan global 250-310 kali lebih tinggi daripada CO2 (Watson et al. 1992, Abao et al. 2000, Meiviana et al. 2004). Gas N2O secara alami dihasilkan dalam tanah melalui proses mikrobiologis, denitrifikasi dan nitrifikasi. Proses tersebut dipengaruhi oleh bahan organik tersedia, pasokan nitrat, ketersediaan oksigen, kandungan air tanah, reaksi tanah (pH), suhu tanah dan kehadiran tanaman (Byrnes cit Hansen & Bakken 1993, Snyder et al. 2009). Bakteri nitrifikasi (Nitrosomonas dan Nitrobacter) yang merupakan bakteri kemoautotrofik berperan dalam proses nitrifikasidenitrifikasi yang bertanggung jawab terhadap hilangnya N dari lahan sawah (Minami & Fukushi, 1984). Pada kondisi tanah reduktif, bakteri anaerobik fakultatif denitrifikasi mengubah nitrat menjadi molekul nitrogen (N2O, N2) (Yoshida 1978). Menurut Klemedtson et al. (1988), beberapa mikroorganisme tanah yang mampu menghasilkan gas N2 O yaitu bakteri nitrifikasi, bakteri denitrifikasi, bakteri nondenitrifikasi pereduksi nitrat, jamur pereduksi nitrat atau jamur lain. Ketersediaan nitrat dalam tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan laju denitrifikasi. NO 3 sangat tidak stabil pada kondisi tanah tergenang, yang dalam beberapa hari setelah penggenangan nitrat akan hilang sebagai N2O dan N2 melalui denitrifikasi (Ponnamperuma 1977). Proses denitrifi212

kasi menghasilkan gas N 2 O dalam suasana anaerob, namun dilaporkan pula bahwa proses tersebut dapat berlangsung dengan adanya O2 . Beberapa bakteri denitrifikasi menggunakan O2 dan NO2secara simultan sebagai akseptor elektron (Klemedtson et al. 1988). Pemberian bahan pembenah organik pada tanaman budidaya diduga memacu peningkatan aktivitas mikrobia denitrifikasi dan emisi N2 O (Meijide et al. 2009). Emisi N2O alami dapat meningkat akibat berbagai ragam kegiatan pertanian. Kegiatan tersebut secara langsung menambah pasokan nitrogen ke dalam tanah yang dapat dikonversi menjadi N2O (USEPA 2006). Menurut Laegreid et al. cit Gold & Oviatt (2005), rata-rata 1,25% N yang ditambahkan ke dalam tanah sebagai pupuk atau limbah organik atau fiksasi hayati ditransformasi menjadi N2 O. Laju emisi gas N2O bergantung pada jumlah dan komposisi pupuk baik pupuk organik maupun pupuk mineral (Mosier et al. 1994). Peningkatan takaran pupuk kandang hingga 7,5 t ha-1 meningkatkan emisi N 2 O berkisar 28,8100,3% (Setyanto et al. 1997). Masukan bahan organik yang mudah terdegradasi melalui pembenaman sisa tanaman ke dalam tanah akan meningkatkan jumlah denitrifier dan laju denitrifikasi, sehingga memberikan kondisi menguntungkan bagi pembentukan N2O (Granli & Bockman 1994, Xiong et al. 2007). Jerami padi sebagai salah satu bahan pembenah organik tersedia melimpah di kawasan sawah tadah hujan. Pemberian jerami 5 t ha-1 dapat meningkatkan hasil gabah padi sawah tadah hujan setara

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

dengan pemupukan 30 kg N ha-1 (Basyir & Suyamto 1996, Sharma & Mittra cit Toha et al. 2001). Pengelolaan jerami padi pada tanah sawah tadah hujan dapat mempengaruhi pola dan besarnya emisi gas N2O. Menurut Xiong et al. (2007), selain pupuk N anorganik, pupuk organik adalah sumber penting pelepasan N2O ke atmosfer. Kehilangan Hara N melalui nitrifikasi denitrifikasi menyebabkan efisiensi pupuk N rendah (Arafat et al. 1999). Hara N yang hilang melalui denitrifikasi di lahan sawah dapat mencapai kisaran 30 40% (Ladha et al. 1997, Sahrawat 2004), sehingga dapat mempengaruhi keseimbangan N dalam sistem produksi tanaman (Hansen & Baken 1993). Beberapa bahan penghambat nitrifikasi telah tersedia secara komersial dan relatif mahal harganya, antara lain: 2-chloro-6 (trichloromethyl) pyridine, sulfathiazole, dicyandiamide, 2-amino-4chloro-6-methyl pyrimidine, 2-mercaptobenzothiazole, thiourea, 5-ethoxy-3tr ichlor omethyl-1 ,2,4-t hiadia zole (terrazole), dan karbofuran (2,3-dihidro2,2-dimetil-7-benzofuranil metilkarbamat) (Kusmaraswamy et al. cit Sahrawat 2004, Unger et al. 2009). Beberapa bahan alami berpotensi sebagai penghambat nitrifikasi, antara lain biji mimba (Azadirachta indica A Juss). Di India, biji mimba telah banyak dimanfaatkan dalam budidaya tanaman pangan sebagai bahan penghambat nitrifikasi selain sebagai bahan pestisida nabati, namun di Indonesia belum begitu banyak dimanfaatkan. Mimba (Azadirachta indica) merupakan satu di antara famili Meliaceae yang telah lama

dimanfaatkan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman budidaya sebelum tergeser oleh pestisida sintetik di era revolusi hijau. Selain itu, biji mimba mengandung metabolit sekunder berupa polifenol atau lemak tidak jenuh tertentu yang dapat bertindak sebagai penghambat nitrifikasi dan dapat meningkatkan efisiensi pupuk urea (Rao 1994). Informasi penggunaan bahan alami mimba sebagai penghambat nitrifikasi dan pengaruhnya terhadap emisi N2O di lahan sawah tadah hujan relatif masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji emisi gas dinitrogen oksida (N2 O) dari tanah sawah tadah hujan melalui interaksi pemberian jerami padi dan bahan yang berfungsi sebagai penghambat nitrifikasi. BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi dan Perlakuan Kegiatan penelitian dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan intensif di kecamatan Jaken, Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada musim kering 2009. Lokasi percobaan termasuk dalam wilayah Desa Sidomukti, Kecamatan Jaken, Kabupaten Pati yang terletak pada ketinggian 15 m di atas permukaan laut, 17 km dari Pantai Utara Jawa Tengah (kecamatan Juana) dengan koordinat 111o10 BT dan 6o45 LS, dan tipe iklim Oldeman termasuk E2 E3 (BPS 2000). Tanah tempat penelitian akan dilaksanakan diklasifika-sikan sebagai Vertic Endoaquepts yang bereaksi agak masam (pH-H 2 O 5,6) dengan kandungan N total rendah (0,3 mg g-1) dan C-organik rendah (3,2 mg g-1). 213

A. Wihardjaka

Percobaan disusun menggunakan rancangan faktorial acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Faktor I berupa jerami padi terdiri tiga perlakuan (tanpa jerami, jerami segar 5 t ha-1, jerami melapuk 5 t ha -1 ). Faktor II berupa pemberian bahan penghambat nitrifikasi yang terdiri a tiga perlakuan (tanpa bahan penghambat nitrifikasi, tepung biji mimba 20 kg ha-1, karbofuran 20 kg ha-1). Bibit padi Ciherang ditanam pindah dari persemaian pada masing-masing petakan berukuran 4 m X 5 m. Bibit padi ditanam 1 bibit setiap lubang dengan jarak tanam 20 cm X 20 cm. Bahan pembenah organik (perlakuan jerami) diberikan bersamaan dengan pengolahan tanah dengan cara dibenamkan, dan lahan dibiarkan dua minggu sebelum dilakukan penanaman. Bahan penghambat nitrifikasi ditumbuk dan diayak dengan ayakan 0,5 mm, serta diberikan bersamaan dengan pemberian pupuk nitrogen. Takaran pupuk anorganik diberikan sesuai anjuran setempat yaitu 120 kg N, 45 kg P2O5, dan 60 kg K2O setiap hektar. Pupuk N diberikan tiga tahap yaitu 1/3N sebelum tanam, 1/3N saat anakan aktif, 1/3N saat primordia bunga. Pupuk P diberikan sekaligus sebelum tanam dan pupuk K diberikan dua tahap yaitu 1/2K sebelum tanam dan 1/2K saat primordia bunga. Kandungan hara N, P, K dalam jerami padi dipertimbangkan dalam penghitungan kebutuhan pupuk anorganik (N, P, K). Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif sesuai anjuran spesifik lokasi. Pengendalian hama dan gulma dilakukan secara intensif dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan. 214

Pengumpulan Data Data yang diamati meliputi fluks gas dinitrogen oksida, populasi bakteri denitrifikasi (metode Most Probable Number), respirasi tanah (metode jar), dan kandungan nitrat dan C organik. Populasi bakteri denitrifikasi dan respirasi tanah diamati saat tanaman pada fase pertumbuhan anakan maksimum (45 hst). Fluks gas N2O diukur pada beberapa fase pertumbuhan tanaman (fase anakan aktif, fase anakan maksimum, fase primordia bunga, fase keluar malai atau pembungaan, fase masak) menggunakan sungkup. Respirasi tanah diukur dengan cara memasukkan contoh tanah sebanyak 100 g bobot kering mutlak ke dalam gelas piala 1000 ml. Ke dalam gelas piala tersebut dimasukkan dua buah gelas piala 20 ml masing-masing berisi 5 ml larutan KOH 0,1N dan 5 ml H2O. Gelas piala 1000 ml ditutup rapat dan diinkubasi selama 1 minggu dalam ruang gelap. Setelah inkubasi, larutan KOH dan H2O masingmasing dititrasi dengan larutan HCl. Respirasi tanah ditetapkan dengan formula dalam Anas (1989) sebagai berikut : R = [(A-B0.N.120] / t R : respirasi tanah dalam mg C-CO2 g1 hari-1 A : ml HCl contoh tanah B : ml HCl blanko N : normalitas HCl t : lama inkubasi (hari) Perhitungan Populasi Mikroba Denitrifikasi Metode MPN (most probable number) dipakai untuk menghitung jumlah bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi.

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

Contoh tanah 10 g dari masing-masing perlakuan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml yang mengandung larutan fisiologis, dikocok selama 30 menit, dan dibiarkan beberapa menit. Suspensi tanah 0,1 ml dari seri pengenceran (10-3 10-5 ) dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung kultur. Pemipetan dimulai dari seri pengenceran tertinggi dan diulang 3 sesuai dengan daftar yang akan digunakan. Tabung kultur ditutup dengan rapat dan diinkubasi selama dua minggu pada suhu 28 o C. Media kultur digunakan merupakan campuran nutrient broth dengan larutan KNO 3 . Tabung yang menunjukkan terbentuknya gas yang ditandai dengan terjungkitnya posisi tabung durham sebagai tabung positif dari seri pengenceran. Jumlah tabung positif dicocokkan dengan tabel MPN. Populasi mikroba denitrifikasi dihitung dengan menggunakan metode MPN seperti yang tercantum dalam Anas (1989). Pengukuran Fluks Gas N2 O Fluks gas N2O diukur pada beberapa fase pertumbuhan tanaman menggunakan sungkup. Sungkup tertutup (closed chamber) ukuran 40 cm X 20 cm X 17

cm yang terbuat dari pleksiglas diletakkan di permukaan tanah sawah di sela-sela tanaman padi (Gambar 1) untuk pengambilan contoh gas yang pertama, dan pada posisi yang sama untuk pengambilan contoh gas berikutnya. Pengambilan contoh udara dalam sungkup dilakukan empat kali dengan interval waktu pengambilan contoh gas 10, 20, 30, dan 40 menit. Pengambilan contoh gas dilakukan pagi hari (07.00 09.00). Contoh gas diambil dengan menggunakan injektor polipropilen volume 5 ml berkatup. Injektor dibungkus dengan kertas perak yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan contoh gas. Setiap pengambilan contoh gas, perubahan suhu dalam sungkup diukur. Contoh gas dianalisis menggunakan alat kromatografi gas yang dilengkapi dengan electron capture detector (ECD) dan kolom Porapak Q menetapkan fluk N2O dengan metode yang digunakan International Rice Research Institute (Cortons et al. 2000, Jain et al. 2000, Ko & Kang 2000). Kromatografi gas Shimadzu 14A telah dikalibrasi dengan baik dan presisi tinggi (detektor 150 oC, kolom 100 oC, injektor 150 oC) digunakan hanya untuk mengukur

Gambar 1. Sungkup penangkapcontoh gas.

215

A. Wihardjaka

N 2 O. Fluk N 2 O kumulatif dihitung berdasarkan penjumlahan dari beberapa pengukuran fluk N2O selama pertumbuhan tanaman padi sawah. Fluk gas N2O dihitung menggunakan persamaan yang digunakan Lantin et al. (1995), yaitu : E=

HASIL Fluks gas dinitrogen oksida (N2O) tertinggi dari tanah sawah tadah hujan terjadi saat tanaman padi sawah berumur 45 hst atau saat fase primordia bunga (Gambar 2). Pola fluks N2O mengikuti pola pertumbuhan tanaman padi, meningkat di awal pertumbuhan saat fase anakan aktif hingga anakan maksimum dan mencapai puncak fluk saat primordia bunga, dan menurun atau melandai saat fase reproduktif tanaman (keluar bunga hingga pemasakan). Gambar 3 memperlihatkan fluks N2O kumulatif pada petakan-petakan yang diberi perlakuan jerami dan bahan penghambat nitrifikasi. Fluk N2O pada petakan tanpa jerami umumnya lebih tinggi dibandingkan petakan dengan jerami segar atau petakan dengan dengan jerami melapuk, sedangkan fluk N2 O pada petakan jerami melapuk relatif lebih rendah daripada pada petakan dengan jerami segar. Pemberian bahan penghambat nitrifikasi dapat menurunkan fluks N2O dari tanah sawah tadah hujan. Fluks N2O pada petakan yang diberi bahan penghambat nitrifikasi biji mimba relatif lebih rendah dibandingkan petakan yang diberi karbofuran atau tanpa diberi bahan penghambat nitrifikasi. Fluks N 2 O tertinggi dihasilkan dari petakan tanpa diberi bahan penghambat nitrifikasi diikuti petakan dengan diberi karbofuran, dan fluk terendah dihasilkan dari petakan dengan pemberian biji mimba. Interaksi jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi nyata menurunkan emisi N2O dari tanah sawah. Emisi N2O

273,2 dc Vch Wm . . . dt Ach Vm 273,2 + T

E : emisi gas N2O (ug m-2 menit-1) dc/dt : perbedaan konsentrasi N2 O per satuan waktu (ppb menit-1) Vch : Volume sungkup (m3) Ach : luas sungkup (m2) Wm : berat molekul N2O (44,02.103 mg) Vm : volume molekul N2O (22,41. 10-3 m3) T : suhu rata-rata selama pengambilan contoh (oC) Analisis Data Data terkumpul akan dianalisis menggunakan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) taraf 5% yang digunakan untuk membandingkan nilai tengah perlakuan. Hubungan fluks N2O dengan ketersediaan substrat dan populasi mikroba saat fase pertumbuhan primordia bunga ditunjukkan dengan persamaan regresi berganda Yi = o + 1X1i + 2X2i +3X3i +4X4i dimana Yi = fluk N2O dan peubah bebas X 1 = kandungan nitrat, X 2 = kandungan C organik, X3 = populasi mikroba total, X4 = respirasi tanah, o = intercept dan = koefisien regresi. Koefisiensi deterimnasi dihitung menggunakan formula dalam Piegorsch & Bailer (2005). 216

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

pada perlakuan tanpa jerami lebih tinggi daripada perlakuan dengan jerami segar dan jerami melapuk (Gambar 4). Baik pada petakan tanpa jerami dan petakan dengan jerami melapuk, pemberian biji mimba menghasilkan emisi N2O terendah diikuti dengan pemberian karbofuran dan tanpa pemberian bahan penghambat nitrifikasi. Emisi N 2 O pada petakan dengan jerami segar, pemberian karbofuran memperlihatkan fluks terendah diikuti pemberian biji mimba dan tanpa penghambat nitrifikasi. Pemberian biji mimba dan jerami melapuk nyata menghasilkan emisi N 2 O ter endah dengan fluk 72 g N2O ha-1 musim-1, dan emisi N2O tertinggi nyata dihasilkan dari petakan tanpa penghambat nitrifikasi dan

tanpa jerami dengan fluk 454 g N2O ha-1 musim-1. Emisi N2O pada perlakuan jerami padi nyata lebih rendah daripada tanpa jerami padi. Emisi N2 O rata-rata dari perlakuan jerami, jerami segar, dan jerami melapuk masing-masing sebesar 317, 154, 130 g N2O ha -1 musim-1 . Jerami segar dan jerami melapuk dapat menurunkan fluks N2O masing-masing sebesar 51,4 dan 58,9 % dibandingkan tanpa jerami padi. Jerami melapuk relatif menekan emisi N2O lebih tinggi daripada jerami segar. Pemberian bahan penghambat nitrifikasi nyata menghasilkan emisi N2O lebih rendah dibandingkan tanpa pemberian bahan penghambat nitrifikasi. Emisi N2O dari perlakuan biji mimba
Jerami Segar Jerami Melapuk

1.6 Fluks N2O (ug N2O m -2 menit -1) 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

Tanpa Jerami Padi

10

30

45

60

80

10

30

45

60

80

10

30

45

60

80

Hari setelah tanam (hst)


Tanpa bahan penghambat Biji Mimba Karbofuran

Gambar 2. Fluk N2O pada beberapa fase pertumbuhan padi sawah yang diberi perlakuan jerami dan bahan penghambat nitrifikasi
70 Fluks kumulatif (mg N2O m -2) 60 50 40 30 20 10 0 10 30 45 60 80 10 30 45 60 80 10 30 45 60 80 Hari setelah tanam (hst)
Tanpa bahan penghambat Biji Mimba Karbofuran

Tanpa Jerami Padi

Jerami Segar

Jerami Melapuk

Gambar 3. Fluk N2O kumulatif pada beberapa fase pertumbuhan padi sawah

217

A. Wihardjaka

relatif lebih rendah dibandingkan dari perlakuan karbofuran. Emisi N2O ratarata pada perlakuan tanpa bahan penghambat nitrifikasi, biji mimba, dan karbofuran masing-masing sebesar 286, 147, 168 g N2O ha-1 musim-1. Dibandingkan tanpa bahan penghambat nitrifikasi, biji mimba dan karbofuran masing-masing dapat menekan emisi N2O sebesar 48,6 dan 41,3 %. PEMBAHASAN Emisi N 2 O tertinggi terjadi saat tanaman padi dalam fase pertumbuhan primordia bunga (45 hst), dan menurun hingga menjelang panen tanaman padi (Gambar 2). Fase pertumbuhan primordia bunga merupakan awal pertumbuhan generatif atau reproduktif tanaman padi (Yoshida 1978). Produksi eksudat akar tanaman padi lebih aktif terjadi saat awal fase pertumbuhan reproduktif terutama pada saat primordia bunga. Translokasi hasil fotosintesis dari daun ke akar lebih optimal pada primordia bunga dan sebagian besar akan ditranslokasikan ke dalam butir-butir gabah pada fase pertumbuhan reproduktif (Yoshida 1978).
500 450 Emisi N2O (g N 2O ha musim )
-1

Eksudat akar dibutuhkan mikroba dalam metabolismenya sebagai sumber energi atau substrat dalam melakukan aktivitasnya, termasuk bakteri denitrifikasi pada kondisi tanah anaerobik. Eksudat akar merupakan bahan organik seperti karbohidrat, asam-asam organik, asamasam amino yang difermentasikan menjadi asetat atau CO2 dan H+, yang beberapa bahannya digunakan sebagai akseptor elektron mikroba tertentu (Holzapfel-Pschron et al. 1986). Tanah sawah berpotensi meningkatkan emisi gas dinitrogen oksida (N2O) bilamana jumlah N tersedia bagi transformasi mikrobia yang ditingkatkan melalui pemupukan N anorganik, penanaman leguminosa, pengembalian pupuk organik dan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah, dan mineralisasi biomassa tanah dan bentuk-bentuk lain bahan organik tanah. Tanah sawah tergenang memberikan habitat ideal bagi bakteri anaerob fakultatif seperti bakteri denitrifikasi, sehingga dapat berfungsi baik pada kondisi dengan maupun tanpa oksigen dalam mengemisi N 2 O dan memfiksasi N2 (Rao 1994). Pemberian jerami padi in situ ke dalam tanah sawah
Tanpa Penghambat Nitrifikasi Biji Mimba Karbofuran

400 350 300 250 200 150 100 50 0 Tanpa Jerami Jerami Segar cde de b b bc

-1

bcd cde e

Jerami Melapuk

Gambar 4. Emisi dinitrogen oksida dari tanah sawah tadah hujan. Huruf sama pada masingmasing bar berarti tidak berbeda nyata menurut uji BNT taraf 0,05

218

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

umumnya meningkatkan laju fiksasi nitrogen, laju denitrifikasi dan emisi N2O (Rao 1994, Vallejo et al. cit Meijide et al. 2009). Pembenaman jerami padi ke dalam tanah sawah nyata menurunkan emisi gas N2O (Gambar 4), sedangkan pengelolaan jerami padi tidak nyata mempengaruh emisi N2O, baik dalam bentuk segar ataupun diberikan dalam kondisi melapuk. Pemberian jerami padi dapat menekan pelepasan N2O dari dalam tanah ke atmosfer, yang berarti mengurangi kehilangan N dalam bentuk N2 O sebagai hasil proses nitrifikasidenitrifikasi dan sekaligus meningkatkan efisiensi pupuk N anorganik. Peningkatan efisiensi pupuk N akan menjamin ketersediaan N bagi pertumbuhan tanaman padi (Yoshida 1978). Penurunan emisi N2O tersebut sebagai hasil interaksi jerami padi dengan bahan penghambat nitrifikasi (biji mimba atau karbofuran). Pemberian pupuk N anorganik saja tanpa disertai dengan pemberian jerami padi menghasilkan emisi N2O lebih tinggi daripada kombinasi pupuk N anorganik dan jerami padi pada takaran N yang sama. N dari pupuk anorganik lebih cepat ditransformasi pada kondisi yang sesuai dibandingkan N hasil mineralisasi pupuk organik. Selain itu, tanah Vertic Endoaquept lebih tanggap terhadap pemupukan N anorganik akibat rendahnya kandungan N dalam tanah (0,3 mg g-1), sehingga berpengaruh terhadap tingginya emisi N2O meskipun kandungan nitrat dalam tanah di sekitar perakaran lebih tinggi dibandingkan kombinasi pupuk N dan jerami padi (Tabel 1). Rendahnya emisi N2O pada petakan yang diberi jerami padi baik segar maupun

melapuk dimungkinkan terkait dengan populasi denitrifikasi yang menurun dan ketersediaan NH4+ hasil dari dekomposisi jerami padi pada kondisi anoksik. Menurut Kirk (2000), dekomposisi bahan organik dalam kondisi anoksik dihasilkan asamasam organik lebih sederhana + asam amino (RCH 2 NH 2 COOH) + NH 4 + . Selain itu, dengan pemberian bahan penghambat nitrifikasi oksidasi NH4 + menjadi NO2- akan terhambat sehingga tidak terbentuk N2O (Kirk & Kronzucker 2005). Saat fase pertumbuhan primordia bunga, tanaman mengeluarkan eksudat akar lebih banyak di sekitar perakaran padi sawah. Eksudat akar tersebut digunakan mikroba sebagai sumber energi atau substrat dalam melakukan aktivitasnya, antara lain berupa bahan organik dan nitrat. Seperti terlihat pada Tabel 1, fluk N2O lebih tinggi terjadi pada kandungan nitrat dan populasi bakteri denitrifikasi tinggi di sekitar perakaran tanaman (rizosfer), terutama pada perlakuan tanpa jerami. Pelepasan N2O ke atmosfer antara lain ditentukan oleh kandungan karbon, kandungan nitrat, aktivitas mikroba, populasi denitrifikasi dalam tanah. Hubungan fluks N 2 O dengan ketersediaan substrat dan populasi mikroba digambarkan dengan persamaan regresi berganda N2O = -1,11 + 0,0214 NO3 0,740 C-org + 0,0140 mikroba total + 0,0450 respirasi (R2 = 98,4 %). Peningkatan fluks N 2 O berbanding lurus dengan kandungan nitrat, populasi mikroba total, dan respirasi tanah, namun fluks N2 O berbanding terbalik dengan kandungan C organik di zona perakaran tanaman padi. Ketersediaan 219

A. Wihardjaka

nitrat dalam tanah nyata mempengaruhi besarnya fluk dinitrogen oksida (P < 0,01). Kondisi tanah sawah tergenang selama pertumbuhan tanaman padi menciptakan kondisi anoksik yang distimulasi oleh proses denitrifikasi dengan pasokan nitrat sebagai substrat mikroba dentrifikasi (Meijide et al. 2009). Hasil analisis kadar C organik saat tanaman berumur 45 hst menunjukkan bahwa kandungan karbon organik di sekitar perakaran tanaman padi berkisar 6,1 8,4 mg g-1. Karbon organik yang tersedia di perakaran tanaman padi merupakan faktor penting yang ikut menentukan emisi N2O, meskipun jumlah karbon yang dikeluarkan dalam media akar lebih rendah daripada yang terdapat dalam jaringan tanaman (Rao 1994). Bahan penghambat nitrifikasi berpengaruh terhadap penurunan populasi bakteri denitrifikasi, yang pada kondisi anaerob berperan dalam pembentukan dan pelepasan gas N 2 O dari tanah. Menurut Willison & Anderson cit Granli & Bockman (1994), bahan penghambat nitrifikasi dicyandiamide (DCD) dapat juga menekan aktivitas bakteri denitrifikasi meskipun populasinya melimpah dalam tanah hutan yang diberi glugosa dan NO3 -. Kondisi tanah sawah yang tergenang selama pertumbuhan tanaman menciptakan kondisi tanah anaerobik dengan potensial redoks rendah yang dapat menurunkan kandungan NO3 -N dan meningkatkan NH4-N dan kandungan polifenol dalam tanah (Unger et al. 2009). Peningkatan kandungan polifenol dalam tanah dapat menghambat aktivitas bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi meskipun ketersediaan NO 3 -N dan

populasi bakteri denitrifikasi di sekitar perakaran tanaman padi relatif tinggi. Bentuk bahan penghambat nitrifikasi tidak nyata mempengaruhi emisi N2O dari tanah sawah. Emisi N2 O dari petakan yang diberi biji mimba tidak berbeda nyata dengan petakan yang diberi karbofuran. Efektivitas biji mimba relatif lebih tinggi dibandingkan karbofuran dalam menurunkan emisi N2O terutama bila diberikan bersamaan dengan jerami padi yang telah melapuk (Gambar 4). Biji mimba dapat dipandang sebagai sumberdaya murah dan tersedia melimpah potensial sebagai penghambat nitrifikasi seperti karbofuran, namun relatif lebih ramah lingkungan dibandingkan karbofuran yang berpotensi sebagai kontaminan dalam ekosistem sawah. Biji mimba yang digunakan dalam kajian ini mengandung senyawa polifenol (0,13% tannin), yang diduga dapat menghambat aktivitas bakteri nitrifikasi dan bakteri denitrifikasi. Senyawa polifenol seperti tannin yang merupakan salah satu komponen bahan organik hanya mampu dimanfaatkan oleh jamur terutama genus Aspergillus dan Penicillium, sehingga genus-genus bakteri tidak dapat memanfaatkan atau terhambat aktivitasnya (Rao 1994). Meskipun di rizosfer tersedia asam amino dalam jumlah besar, adanya senyawa polifenol akan menghambat aktivitas beberapa genus bakteri. Beberapa genus bakteri yang ditemukan dalam rizosfer antara lain Pseudomonas, Achromobacter, Arthrobacter, Azotobacter, Mycobacte-rium, dan Bacillus. Di antara genus-genus tesebut, Pseudomonas dan Achromobacter merupakan genus-genus bakteri yang melaksanakan denitrifikasi yang

220

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

Tabel 1. Pengaruh pemberian jerami padi dan bahan penghambat nitrifikasi terhadap
Pengelolaan jerami padi Tanpa jerami Jerami segar Jerami melapuk Bahan penghambat nitrifikasi (pn) Tanpa bahan pn Biji Mimba Karbofuran Tanpa bahan pn Biji Mimba Karbofuran Tanpa bahan pn Biji Mimba Karbofuran Populasi bakteFluks N2O Kandungan ri denitrifikasi -2 (ug m nitrat (ppm) (104 SPK g-1 menit-1) tanah) 1,39 110 110 0,73 93 15 0,89 94 20 140 108 0,93 12 77 0,56 3 70 0,21 0,55 75 140 0,22 63 4 0,29 73 4 Respirasi tanah (mg CO2_C g-1 tanah hari-1) 6,2 5,5 7,9 4,8 4,6 6,6 7,9 7,2 3,3

Keterangan : data hasil analisis dari contoh tanah komposit, pn = penghambat nitrifikasi, SPK = satuan pembentuk koloni

paling banyak dijumpai dalam tanah sawah (Handayanto & Hairiah 2007). KESIMPULAN Pemberian jerami padi nyata menurunkan emisi dinitrogen oksida dari tanah sawah tadah hujan kahat nitrogen, dimana penurunan emisi N2O lebih tinggi tercapai bilamana jerami padi diberikan setelah terjadi perombakan (melapuk). Pemberian jerami padi pada tanah sawah tadah hujan dapat meningkatkan efisiensi pupuk N anorganik sekaligus menekan kehilangan N dalam bentuk N2O. Biji mimba lebih efektif menurunkan emisi N2O bilamana diberikan bersamaan dengan jerami padi yang telah melapuk. Biji mimba, sumberdaya murah dan melimpah tersedia berpotensi sebagai penghambat nitrifikasi seperti karbofuran, namun lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan karbofuran yang berpotensi sebagai kontaminan dalam ekosistem sawah.

UCAPAN TERIMA KASIH Perhargaan yang tinggi dengan ucapan terima kasih disampaikan kepada Sdr. Helena Lina Susilowati, sdr. Rina Kartikawati, Sdr. Miranti Ariyani, Sdr. Titi Soepiawati yang telah membantu dalam analisis fluks N2O di Laboratorium Emisi Gas Rumah Kaca Balingtan. DAFTAR PUSTAKA Abao Jr, EB., KF. Bronson, R. Wassmann, & U. Singh. 2000. Simultaneous records of methane and nitrous oxide emission in rice-based cropping systems under rainfed conditions. Nut. Cyc. Agroecos. 58: 131-139. Anas, I. 1989. Bologi Tanah dalam Praktek. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arafat, SM., A. Abd El-Galil, & M. Abu Seeda. 1999. Improvement of nitrogen fertilizer efficiency with 221

A. Wihardjaka

nitrification inhibitors in lowland rice. Pakistan J.Biol. Sci.2(4) : 1184-1187. Basyir, A. & Suyamto. 1996. Penelitian padi untuk mendukung pelestarian swasembada pangan. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balai Penelitian Padi. Badan Litbang Pertanian. Buku I. Balai Penelitian Tanaman Padi. 146 170. BPS. 2000. Kabupaten Pati dalam Angka 1999. Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah. Cortons, TM., JB. Bajita, FS. Grospe, RR. Pamplona, CA. Aziz Jr, R. Wassmann, RS. Lantin, & L.V. Buendia. 2000. Methane emission from irrigated and intensively managed rice fields in Central Luzon, Philippines. Nut. Cyc. Agroecos.58 : 37-53. Gold, AJ. & CA. Oviatt. 2005. Nitrate in fresh water and nitrous oxide in the atmosphere. Dalam : Addiscott, T.M. (ed.). Nitrate, Agriculture and the Environment. CABI Publishing. Wallingford, Oxfordshire, U.K. 110-154. Granli, T. & OC. Bockman. 1994. Nitrous oxide from agriculture. Norwegian J. Agric. Sci. Suppl. 12 : 1-159. Handayanto, E. & K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta. Hansen, S. & LR. Bakken. 1993. N2O, CO2 and O2 concentrations in soil air influenced by organic and 222

inorganic fertilizers and soil compaction. J. Agric. Sci. 7 : 110. Holzapfel-Pschorn, AR., Conrad, & W. Seiler. 1986. Effect of vegetation on the emission of methane from submerged rice paddy soil. Plant and Soil 92 : 223-233. IPCC. 2006. 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventory. IGES, Japan. Jain, MC., S. Kumar, R. Wassmann, S. Mitra, SD. Singh, JP. Singh, R. Singh, AK. Yadav, & S. Gupta. 2000. Methane emissions from irrigated rice fields in northen India, New Delhi. Nutrient Cycling in Agroecosystem 58 : 75-83. Kirk, GJD. 2000. Rate-limiting steps in nitrogen acquisition by rice in flooded soil. Dalam :Sheehy, J.E., P.L. Mitchell, B. Hardy (eds.). Redesigning Rice Photosynthesis to Increase Yield. IRRI Elsevier. Amsterdam, Lausanne, Tokyo. 249-254. Kirk, GJD. & HJ. Kronzucker. 2005. The potential for nitrification and nitrate uptake in the rhizosphere of wetland plants: A modelling study. Ann. Bot. 96(4) : 639-646. Klemedtsson, L., BH. Svensson, & T. Rosswall. 1988. Relationship between soil moisture content and nitrous oxide production during nitrification and denitrification. Biol. Fertil. Soils 6 : 106-111. Ko, JY. & HW. Kang. 2000. The effect of cultural practices on methane emission from rice fields. Nut. Cyc. Agroecosystem 58 : 311-314.

Emisi Gas Dinitrogen Oksida dari Tanah Sawah Tadah Hujan

Ladha, JK., FJ. de Bruijn, & KA. Malik. 1997. Introduction: assessing opportunities for nitrogen fixaton in rice-a frontier project. Dalam : Ladha, et al. (ed.). Opportunities for Biological Nitrogen Fixation in Rice and Other NonLegumes. Developments in Plant and Soil Sciences. Vol. 75. Kluwer Academic Publishers. In Coperation with IRRI. The Netherlands. Lantin, RS., JB. Aduna, & AM. Javeliana. 1995. Methane Measurements in Rice Fields. International Rice Research Institute. Los Banos, Manila, Philippines. Meijide, A., Lourdes Garca-Torres, Augusto Arce, & Antonio Vallejo. 2009. Nitrogen oxide emissions affected by organic fertilization in a non-irrigated Mediterranean barley field. Agri. Ecos.Env. 132 : 106115. Meiviana, A., DR. Sulistiowati, & MH. Soejachmoen. 2004. Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, JICA, Yayasan Pelangi. Jakarta. Minami, K. & S. Fukushi. 1984. Methods for measuring N2O flux from water surface and N 2 O dissolved in water from agricultural land. Soil Sci. Plant Nutr. 30(4) : 495-502. Mosier, AR., KF. Bronson, JR. Freney, & DG. Keerthisinghe. 1994. Use nitrification inhibitors to reduce nitrous oxide emission from urea fertilized soils. Dalam : CH4 and

N 2 O: Global Emissions and Controls from Rice Field and Other Agricultural and Industrial Sources. NIAES. 187 196. Piegorsch, WW. & AJ. Bailer. 2005. Analyzing Environmental Data. John Wiley & Sons, Ltd. Chichester. Ponnamperuma, FN. 1977. Physicochemical properties of submerged soils in relation to fertility. IRPS 5 : 10-12. Prinn, R., D. Cunnold, R. Rasmussen, P. Simmonds, F. Alyen, A. Crawford, P. Fraser, & R. Rosen. 1990. Atmospheric emission and trends of nitrous oxide reduced from 10 years of ALE-GAGE data. J. Geophys. Res. 95 : 18369-18385. Rao, NSS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI-Press, Indonesia. Sahrawat, KL. 2004. Nitrification inhibitors for controlling methane emission from submerged rice soils. Current Science 87(8): 1084-1087. Setyanto, P., Mulyadi, & Z. Zaini. 1997. Emisi gas N 2 O dari beberapa sumber pupuk nitrogen di lahan sawah tadah hujan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 16(1): 14-18. Snyder, CS., TW. Bruulsema, TL. Jensen, & PE. Fixen. 2009. Review of greenhouse gas emissions from crop production systems and fertilizer management effects. Agri.Ecos.Env. 133 : 247266. Toha, HM., AK. Makarim, & S. Abdurachman. 2001. Pemupukan NPK pada varietas IR64 di musim 223

A. Wihardjaka

ketiga pola indeks pertanaman padi 300. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20(1): 40 49. Unger, IM., PP. Motavalli, & RM. Muzika. 2009. Changes in soil chemical properties with flooding : A field laboratory approach. Agri. Ecos. Env. 131 : 105-110. USEPA. 2006. Nitrous Oxide : Sources and Emission. http://www.epa.gov/ nitrousoxide/sources.html Watson, RT., LG. Meira Filho, E. Sanhueza & T. Janetos. 1992. Climate Changes 1992. The

Supplementary Reports to the IPPC Scientific Assessment. Cambridge University Press. Cambridge, UK. Xiong, ZQ., GX. Xing, & ZL. Zhu. 2007. Nitrous oxide and methane emissions as affected by water, soil and nitrogen. Pedosphere 17(2) : 146-155. Yoshida, T. 1978. Microbial metabolism in rice soil. Dalam : Soil and Rice. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. 445-463.

Memasukkan : November 2009 Diterima: Februari 2010

224

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 225-235 (2010)

Pengelompokan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar Berdasarkan Karakteristik Jenis Pakan Polen di Kebun Raya Bogor, Indonesia
Sri Soegiharto1), Agus P. Kartono2), & Ibnu Maryanto3)
1

Peneliti Balai Besar Dipterocarpa Samarinda, Email: srisoegiharto@gmail.com 2 Staf Pengajar Mayor KVT IPB Bogor, Email: apkartono@yahoo.co.id 3 Peneliti Zoologi LIPI Cibinong, Email: ibnu_mar@yahoo.com

ABSTRACT The Grouping of Fruit Bats Based on Pollend Type Characterized as Food Resources in Bogor Botanical Garden, Indonesia. A study was conducted to identify pollen consummed by fruits bat in Bogor Botanical Garden from March 2008 to June 2009. The types of crown of the flower, pollen and pollen size which chosen by fruit bats were analysed by using high detrended canonical correspondent. The result indicated that there are three major groups of bats based on the similarities of food type or flower resources consumed by fruit bats. The groups were (1) males of Macroglossus sobrinus and the females of Eonycteris spelaea, (2) Cynopterus brachyotis and the females of C. minutus, and (3) males and females of C. titthaheileus, females of C. brachyotis and Macroglossus sobrinus, males of C. sphinx and C. minutus, and females of C. sphinx. Key words: Megachiroptera, pollend, seed distribution,

PENDAHULUAN Kelelawar memiliki peran ekologis yang penting sebagai pemencar biji buahbuahan seperti sawo, jambu air, jambu biji, duwet dan cendana (Dumont et al. 2004); serta penyerbuk bunga dari tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti petai, durian, bakau, kapuk randu dan mangga. Kelelawar Megachiroptera, terutama pada genus Pteropus sangat berperan penting dalam penyerbukan dan pemencaran biji (Pierson & Rainey 1992; Wiles & Fujita 1992). Spesies anggota pada genus ini mengunjungi kurang lebih 26 spesies tumbuhan berbunga dan 64

tumbuhan buah, serta membantu penyerbukan lebih dari 31 genus dan 14 famili Angiosperma (Marshall 1985). Keanekaragaman jenis tumbuhan di Kebun Raya Bogor tergolong tinggi. Jumlah koleksi terakhir sampai Januari 2006 terdiri atas 222 famili, 1.257 genera, 3.423 jenis dan lebih dari 13.684 spesimen tanaman hidup (Subarna 2006). Kelelawar Cynopterus sp. di Kebun Raya Bogor memakan 48 jenis tumbuhan yang sebagian besar (74,38%) merupakan tumbuhan hutan dan bagian yang dimakan adalah buah dan daun (Suyanto 2001). Meskipun demikian, kelelawar merupakan salah satu hewan yang masih kurang 225

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

diperhatikan dalam upaya konservasinya. Hal ini dikarenakan lemahnya pengetahuan masyarakat akan arti penting kelelawar dalam rangkaian mata rantai ekologi. Dari uraian tersebut penelitian ini dilakukan dengan beberapa tujuan, yaitu 1) mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan pakan yang dimakan kelelawar, 2) menentukan penge-lompokan masingmasing jenis kelelawar jantan dan betina terhadap faktor tumbuhan pakan (tipe mahkota bunga, tipe polen dan ukuran polen) dalam pemilihan jenis tumbuhan pakan kelelawar. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1) mengetahui karakteristik jenis tumbuhan pakan kelelawar dalam upaya mendukung konservasi di daerah perkotaan, 2) memberikan informasi kepada masyarakat akan perlunya upaya konservasi terhadap jenis-jenis kelelawar di daerah perkotaan. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan di Kebun Raya Bogor (KRB) selama 16 bulan, mulai Maret 2008 hingga Juni 2009. Pengambilan sampel kelelawar dilakukan di KRB setiap dua minggu sekali sebanyak 2 ekor setiap spesies tertangkap di 13 lokasi titik penangkapan. Untuk penempatan misnet (jaring kabut) ditempatkan menggunakan teknik purposive sampling sedangkan pengambilan sampel kelelawar menggunakan teknik random sampling. Jaring kabut yang dipasang pada waktu senja hari pada pukul 17.00-18.00 WIB dan pagi hari pada pukul 06.00 08.00 WIB dilakukan pengecekan jaring kabut dan pengam226

bilan kelelawar. Pengambilan sampel kelelawar dilakukan selama kurun waktu 16 bulan, untuk tiap bulannya dilakukan dengan selang waktu 2 minggu sekali. Jumlah sampel kelelawar yang diambil tiap 2 minggu sekali berjumlah 2 ekor untuk tiap masing-masing jenis kelelawar. Pengambilan kelelawar dipilih untuk tiap jenis yang mewakili spesiesnya masing-masing jantan dan betina. Spesies kelelawar yang diambil adalah Cynopterus minutus, C. brachyotis, C. sphinx, C. titthaecheilus, Macroglossus sobrinus, Rousettus amplexicaudatus dan Eonycteris spelaea. Proses analisis polen dilakukan secara hati-hati, mengingat ukuran polen yang sangat kecil 10m-200m menyebabkan polen mudah berpindah dari tempat satu ketempat yang lain. Pengambilan sampel polen didapat dari isi pencernaan kelelawar. Hasil dari isi pencernaan kemudian dicampur kedalam alkohol 70% dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi selanjutnya dilakukan pemusingan dengan putaran 2000 rpm selama 30 menit, langkah selanjutnya dilakukan pembuangan cairan alkohol yang digunakan dan diganti dengan alkohol yang baru. Langkah tersebut dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Endapan yang dihasilkan dari proses pemusingan diletakkan pada gelas objek sebanyak satu tetes kemudian ditetesi dengan gliserol dan ditutup dengan cover glass dengan bagian tepinya direkatkan menggunakan kuteks kuku. Penggunaan gliserol pada analisis ini diperuntukkan sebagai bahan pengawet (Yulianto 1992). Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

perbesaran 10, 45 dan 100 kali. Pendataan dilakukan dengan mencatat dan menggambar jenis polen yang ditemukan dalam object glass. Langkah selanjutnya dihitung jumlah polen yang ditemukan. Polen yang ditemukan di dalam perut kemudian diidentifikasi sampai tingkat famili dan genus menurut kunci determinasi Erdmant (1952), Nayar (1999) dan Paldat (2005). Data yang dihasilkan ditranformasi sesuai dengan sebaran data. Pada penelitian ini data yang dihasilkan dalam bentuk persentase, sehingga bentuk transformasi yang digunakan adalah transformasi arcsin (Syahid 2009). Pengelompokan kelelawar pemakan buah dan nektar berdasarkan karakteristik jenis pakan dianalisis menggunakan pendekatan analisis multivariate hiper Detrend Canonical Corespondence Analysis (hDCCA) menurut ter Braak & Smilauer (1998). Penggunaan metode hDCCA ini bertujuan untuk menentukan kedekatan pengelompokan dalam bentuk grafik serta mengungkap informasi maksimum dari suatu matriks data dengan faktor lingkungan secara bersamaan. Matriks data yang digunakan terdiri atas jenis kelelawar jenis tumbuhan yang teridentifikasi sebagai sampel dan 3 parameter lingkungan yaitu tipe mahkota bunga, tipe polen dan ukuran polen. Bentuk mahkota bunga terbagi kedalam 8 tipe, yaitu tabung, bintang, disk, kupu, lonceng, mangkuk, kedok, dan bulir. Menurut Tjitrosoepomo (2007) bentuk mahkota bunga dibagi kedalam beberapa bentuk (1) bintang (rotatus atau stellatus), (2) tabung (tubulosus), (3)

kupu-kupu (papilio-naceus), (4) mangkuk (urceolatus), (5) berto-peng/ berkedok (personatus), (6) lonceng (campanulatus), (7) disk, dan (8) bulir. Untuk tipe polen dibedakan berdasarkan kelas permukaannya yang ditentukan melalui perbandingan sumbu polar (P) dengan total lebar polen (E) menurut Erdtman (1943). Berdasarkan rasio P/E maka tipe polen dapat diklasifikasikan ke dalam: (a) peroblate, rasio P/E kurang dari 4/8, (b) oblate, rasio P/E=4/86/8, (c) sub-spheroidal, rasio P/E=6/88/6, (d) prolate, rasio P/ E=8/68/4, dan (e) perprolate, rasio P/ E >8/4. Tipe polen subspheroidal selanjutnya dapat dibagi lagi ke dalam: (a) suboblate, rasio P/E=6/87/8, (b) oblate spheroidal, rasio P/E=7/88/8, (c) prolate spheroidal, rasio P/E=8/88/7, dan (d) sub-prolate, rasio P/E=8/78/6 (Erdmant 1952). Ukur an polen dibagi menurut Erdtman (1943) yaitu sangat kecil/ perminute (<10m), kecil/minute (10 25m), sedang/mediae (2550m), besar/magnae (50100m), sangat besar/permagnae (100200m), dan raksasa/giganteae (>200 m). Analisis pengaruh karakteristik bentuk bunga, tipe dan ukuran polen dengan hCCA menggunakan software Canoco for Windows 4.5 (Leps & Smilauer 1999). HASIL Hasil analisis polen dapat diketahui jumlah persentase polen masing-masing spesies kelelawar. Penyajian data dilakukan dalam 3 bentuk, yaitu (1) persentase pakan kelelawar dengan jenis 227

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

mahkota bunga disajikan pada Tabel 1, (2) persentase pakan kelelawar dengan tipe polen disajikan pada Tabel 2, dan (3) persentase pakan kelelawar dengan ukuran polen disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis pengelompokkan jenis kelelawar jantan dan betina berdasarkan tipe mahkota, tipe polen, dan ukuran polen menggunakan hDCCA terlihat pada Gambar 1 variasi data spesies yang dapat diterangkan adalah untuk axis 1 = 0,146, dengan eigenvalue = 0,753; axis 2 = 0,177, dengan eigenvalue = 0,162. Axis 1 pada analisis hDCCA menjelaskan kedekatan masing-masing kelompok kelelawar pada pemilihan tipe mahkota, tipe dan ukuran polen. Axis 2 menjelaskan hubungan kedekatan anggota spesies dalam satu kelompok atau antar kelompok dalam nilai axis 1 yang sama. Hasil analisis memperlihatkan (Gambar 1) bahwa jenis Macroglossus

sobrinus jantan dan Eonycteris spelaea betina membentuk kelompok pertama yang memiliki kesamaan pemilihan tipe pakan. Kelompok kedua terdiri dari Cynopterus brachyotis jantan dan C. minutus betina. Kelompok ketiga terdiri dari C. titthaecheilus betina dan C. titthaecheilus jantan, C. brachyotis betina, M.sobrinus betina, C. sphinx jantan, C. minutus jantan, C. sphinx betina. Kelompok pertama terbagi menjadi dua sub kelompok, sub kelompok A terdiri dari jenis Macroglossus sobrinus jantan dan sub kelompok B terdiri dari jenis Eonycteris spelaea betina. Kelompok ketiga terbagi menjadi tiga sub kelompok yaitu sub kelompok C, sub kelompok D dan subkelompok E. Pada sub kelompok C terdiri dari jenis C. titthaecheilus,jantan dan C. titthaecheilus,betina, sub kelompok D terdiri dari jenis C.

Tabel 1. Persentase mahkota bunga yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar.
Jenis Kelelawar CM CB CS CT M R E Mahkota Bunga Sex Tabung Bintang Disk Kupu Lonceng Mangkuk Kedok Bulir

85,05 2,97 11,99 Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaecheilus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea.

1,86 4,15

4,95 18,40 21,47

30,7 27,77 68,88 52,95 44,08 29,58 42,11 68,39 48,74 57,03

7,26

7,26 9,09 7,40

11,03 9,55 9,06

14,48 12,66 25,24 12,54 7,23 18,1

43,74 61,28 14,18 33,84 41,44 50,53 9,61 19,08 11,39 42,97 100

100

228

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

Tabel 2.
Jenis Kelelawar CM CB CS CT M R E

Persentase tipe polen yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar


Tipe Polen Sex SubOblate Oblate Spheroidal Prolate Spheroidal PerProlate

Peroblate

Oblate

Prolate

36,31 14,94 11,93 64,72 14,48 7,23 43,34 42,67 29,66

56,42 6,5 41,9 85,52 7,23 15,16 35,65

7,26 76,69 39,45 35,28 74,92 37,59 42,17 23,01 57,03 100

1,86 6,72

14,13 11,69

10,61 4,95

42,97

34,21

100 5,01

14,95

39,85

5,97

Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaecheilus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea,

Tabel 3. Persentase ukuran polen yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar
Jenis Kele-lawar CM CB CS CT M R E Gigantea Ukuran Polen Sex Permagnae Magnae

40,77 46,29 52,24 35,8 14,48 13,92 44,04 25,74 61,04

43,58 53,71 44,2 64,2 85,52 86,08 41,83 61,78 20,56 100 100

15,65 3,57

14,13 12,47 18,4

100 92,87

7,13

Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaecheilus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea,

229

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

4 3

OB

KU_P

Kelompok III

7
Kelompok I
PR_SP BI_T

Sub Kel. C

8
Sub Kel. D
PE_PR

AXIS 2

2 1 0 -1

DI_S

Sub Kel. A

9 13

Kelompok II
TA_B

Kelompok V

3 2

4 12 1

KE_D PR

10 5
PE_OB MA_K LO_C

Sub Kel. B
OB_SP

Sub Kel. E

SB_OB

BU_L

11

Kelompok IV

-1
-2 -2

2 AXIS 1

6 6

Gambar 1. Pengelompokkan kelelawar berdasarkan karakteristik mahkota bunga, tipe polen. Keterangan : 1. = C. minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotis
betina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaecheilus,jantan, 8=C. titthaecheilus,betina, 9= M. sobrinus jantan, 10= M. sobrinus betina, 11= R. amplexicaudatus betina, 12= E. spelaea jantan, 13= E. spelaea betina. SB_OB=Sub Oblate, OB= Oblate, PR_SP=Prolate Speroidal, PE_PR=Perprolate, PR=Prolate, PE_OB= Peroblate, OB_SP= Oblate spheroidal. TA_B= Tabung, BI_T=Bintang, DI_S= Disk, KU_P= Ku pukupu,LO_C=Lonceng,MA_K=Mangkuk,KE_D=Kedok, BU_L=Bulat.

brachyotis betina, sub kelompok E terdiri dari jenis M. sobrinus betina, C. sphinx jantan, C. minutus jantan, C. sphinx betina. Kelompok keempat ditempati jenis R. amplexicaudatus betina, dan pada kelompok kelima ditempati oleh jenis E. spelaea jantan. Hasil analisis pengelompokkan jenis kelelawar jantan dan betina berdasarkan tipe mahkota, tipe polen, dan ukuran polen menggunakan hDCCA terlihat pada Gambar 1. variasi data spesies yang dapat diterangkan adalah untuk axis 1 = 0,146, dengan eigenvalue = 0,753; axis 2 = 0,177, dengan eigenvalue = 0,162. Axis 1 pada analisis hDCCA menjelaskan kedekatan masing-masing kelompok kelelawar pada pemilihan tipe mahkota, tipe dan ukuran polen. Axis 2 230

menjelaskan hubungan kedekatan anggota spesies dalam satu kelompok atau antar kelompok dalam nilai axis 1 yang sama. Macroglossus sobrinus jantan dan Eonycteris spelaea betina membentuk kelompok pertama yang memiliki kesamaan pemilihan tipe pakan. Kelompok kedua terdiri dari Cynopterus brachyotis jantan dan C. minutus betina. Kelompok ketiga ter diri dari C. titthaecheilus betina dan C. titthaecheilus jantan, C. brachyotis betina, Macroglossus sobrinus betina, C. sphinx jantan, C. minutus jantan, C. sphinx betina. Kelompok pertama terbagi menjadi dua sub kelompok, sub kelompok A terdiri dari jenis Macroglossus sobrinus jantan dan sub kelompok B terdiri dari jenis

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

Eonycteris spelaea betina. Kelompok ketiga terbagi menjadi tiga subkelompok yaitu sub kelompok C, subkelompok D dan subkelompok E. Pada sub kelompok C terdiri dari jenis C. titthaecheilus jantan dan C. titthaecheilus,betina, sub kelompok D terdiri dari jenis C. brachyotis betina, sub kelompok E terdiri dari jenis Macroglossus sobrinus betina, C. sphinx jantan, C. minutus jantan, C. sphinx betina. Kelompok keempat ditempati jenis R. amplexicaudatus betina, dan pada kelompok kelima ditempati oleh jenis E. spelaea jantan. Pengelompokan jenis kelelawar didasarkan oleh karakteristik mahkota bunga, tipe dan ukuran polen (Gambar 1 dan Gambar 2). Kelompok pertama dipengaruhi oleh mahkota bunga disk, bintang, tabung dan tipe polen sub oblate, oblate spheroidal dan prolate spheroidal. Jenis M. sobrinus jantan dipengaruhi ukuran polen magnae membentuk sub kelompok A, sedangkan jenis E. spelaea betina dipengaruhi oleh ukuran polen magnae dan giganteae membentuk sub kelompok B. Kelompok kedua dipengaruhi oleh mahkota mangkuk, lonceng, bulat dan tipe polen peroblate dan perprolate. Kelompok kedua ini dipengaruhi oleh ukuran polen permagnae. Kelompok ketiga dibagi menjadi subkelompok C, D dan sub kelompok E. Pada subkelompok C dipengaruhi oleh bentuk mahkota kupukupu dan tipe polen oblate dan ukuran polen giganteae. Sub kelompok D dan E dipengaruhi oleh bentuk mahkota mangkuk, lonceng dan tipe polen peroblate dan perprolate. C. brachyotis betina dipengaruhi oleh

ukuran polen magnae membentuk sub kelompok C. Untuk sub kelompok E mengindikasikan kurang dipengaruhi oleh ukuran polen permagnae. Kelompok keempat dikelompokkan oleh pengaruh bentuk mahkota, tipe dan ukuran polen. Kelompok kelima dipengaruhi oleh mahkota kedok, tipe polen prolate serta ukuran polen giganteae. Pada Gambar 3. akan tampak jenisjenis tumbuhan pakan yang mempengaruhi pengelompokkan kelelawar. Pada kelompok pertama jenis yang mempengaruhi adalah jenis Anacardium sp., Adenanthera sp., Apocynaceae sp.1., Paceae sp.1, Syzygium sp.1. Kelompok kedua jenis yang mempengaruhi adalah Anacardium sp.3., Annona sp., Ceiba sp.3, Ceiba sp.1, Acanthaceae sp.1, Pinaceae sp.1, Begoniaceae sp.1, Duabanga sp., Eugenia sp. Pada kelompok ketiga yang terbagi kedalam 2 sub kelompok, masing-masing sub kelompok memiliki keterkaitan jenis yang berbeda. Sub kelompok A jenis tumbuhan yang mempengaruhi adalah Hisbiscus sp. Sub kelompk B jenis tumbuhan yang mempengaruhi adalah [Orchidaceae] sp.2, Acacia sp., [Convolvulaceae] sp.1, Cyathea sp., Salacia sp., [Convolvulaceae] sp.2, Cyperus sp., Croton sp., [Acanthaceae] sp.1, [Pinaceae] sp.1, [Begoniaceae] sp.1. Kelompok keempat tidak ada tumbuhan yang mempengaruhi kuat. Kelompok kelima dipengaruhi oleh tumbuhan jenis [Orchidaceae] sp.3. PEMBAHASAN Pada pengelompokan kelelawar berdasarkan karakteristik polen tumbuhan pakan dapat dibedakan 231

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

A)

3 2 AXIS 2
Axis 21

Kelompok III Kelompok I Sub Kel. A Kelompok II

7 8
Sub Kel. C Sub Kel. D Kelompok V

3 2 13
Sub Kel. B

4 12 10 5 6 1
Sub Kel. E

0
Kelompok IV

-1

-1

11

-1

-1

Axis2 1

AXIS 1

B)

3 2 AXIS 2

7 8
Kelompok I Kelompok II

Kelompok III Sub Kel. C

9 3
Sub Kel. A

4 10 5 6 1
Sub Kel. E Sub Kel. D

Kelompok V

12

Axis 2

2 13

1 0

Sub Kel. B

Kelompok IV

-1

-1

11

-1

-1

Axis 1

AXIS 1

C)

3 2 AXIS 2 1 0

7 8
Kelompok I Kelompok II

Kelompok III Sub Kel. C Kelompok V

9 3
Sub Kel. A

4 2 10 5 6
Sub Kel. D

12

Axis 2

13
Sub Kel. B

1
Sub Kel. E

Kelompok IV

-1

-1

11

-1

-1

2
Axis 1

Gambar 2. Karakteristik ukuran polen yang mempengaruhi pengelompokan lalai. a. ukuran polen magnae, b. ukuran polen permagnaee, c. ukuran polen giganteae.
Keterangan : 1. = C. minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotis betina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaecheilus,jantan, 8=C. titthaecheilus,betina, 9= M. sobrinus jantan, 10= M. sobrinus betina, 11= R. amplexicaudatus betina, 12= E. spelaea jantan, 13= E. spelaea betina.

AXIS 1

232

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

5 6
al

Kelompok III Sub Kel. C Sub Kel. D Kelompok V


ap

2 AXIS 2

Kelompok I
h ay av f j

Kelompok II

Sub Kel. A

ah aq ij q ae r i s aw l af a ad au 3

1
Sub Kel. B

2 13

c at m

an ai p ag t ak ar am x ao k n ab aq az 3 u g v aa d ax o w 10 ac

12

Sub Kel. E

0 -1

Kelompok IV

-1

11

-1 -1

2 AXIS 1

5 5

Gambar 3. Jenis tumbuhan pakan yang mempengaruhi pengelompokan lalai.


Keterangan : 1. = C. minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotis betina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaecheilus,jantan, 8=C. titthaecheilus,betina, 9= M. sobrinus jantan, 10= M. sobrinus betina, 11= R. amplexicaudatus betina, 12= E. spelaea jantan, 13= E. spelaea betina. a=Anacardiaceae sp.3, c=Acanthaceae sp.1, d=Acasia sp., e=Acasia sp.2, f =Adenanthera sp., g=Alnus sp., h=Anacardium sp., i=Annona sp. ,j=Apocynaceae sp. 1, k=Baringtonia sp., l=Bauhinia sp., m=Begoniaceae sp.1, n=Betula sp., o=Betulaceae sp. 1, p=Ceiba pentandra, q=Ceiba sp.1, r=Ceiba sp.2, s=Ceiba sp3, t=Celastraceae sp.1, u=Compositae sp.1, v=Convulvulaceae sp.1, w=Convulvulaceae sp.2, x=Crateva sp., y=Croton sp., z=Croton sp.2, aa=Cyathea sp., ab=Cyperaceae sp.2, ac=Cyperus sp., ad=Dacrydium sp., ae=Dilleniaceae sp.1, af=Duabanga sp., ag=Durio sp., ah=Durio zibethinus, ai=Ericaceae sp.1, aj=Eugenia sp., ak=Euphorbiaceae sp.1, al=Hisbiscus sp., am=Licania sp., an=Mimosa sp., ao=Orchidaceae sp.2, ap=Orchidaceae sp.3, aq=Orchidaceae sp.4, ar=Parkia sp., as=Persea sp., at=Pinaceae sp. 1, au=Pinaceae sp.2, av=Poaceae sp. 1, aw=Poaceae sp. 2, ax=Salacia sp., ay=Syzygium sp.1, az=Typhaceae sp.1

kedalam (1) fungsi kelelawar sebagai penyerbuk, (2) fungsi kelelawar sebagai penyebar biji, (3) fungsi kelelawar sebagai penyerbuk dan penyebar biji. Fungsi kelelawar sebagai penyerbuk tumbuhan diterangkan pada pengelompokan kelelawar dengan hDCCA pada kelompok 1 dan kelompok 5 (Gambar 1). Fungsi kelelawar sebagai penyerbuk tumbuhan diprediksi karena ketertarikan kelelawar oleh sumber nektar dan polen pada bunga. Jenis tumbuhan yang

memiliki bunga dengan bentuk mahkota disk, bintang dan tabung diserbuki oleh jenis kelelawar E. spelaea betina, M. sobrinus jantan dan E. spelaea jantan. Pada jenis tumbuhan ini dimungkinkan buah yang dihasilkan setelah penyerbukan tidak disebarkan oleh jenis kelelawar. Simpulan karena hanya jenis kelelawar spesialis pemakan nektar dan polen saja yang menyukai jenis bunga ini sedangkan jenis kelelawar spesialis pemakan buah tidak menyukai jenis 233

Soegiharto, Kartono, & Maryanto

tumbuhan ini. Jenis tumbuhan sebagai penciri tersebut adalah spesies Betula sp., [Poaceae] sp.2, Adenanthera sp., [Apocynaceae] sp.1. Tipe kelelawar dengan moncong tumpul dan cenderung sebagai penyebar biji buah dapat diterangkan pada pengelompokan kelelawar dengan hDCCA seperti pada kelompok 2 (Gambar 1), walaupun jenis tersebut juga berfungsi ganda sebagai penyerbuk sebagai fungsi ke dua seperti yang terjadi pada penelitian Maryati dkk (2008). Spesies kelelawar yang tergolong dalam fungsi ini adalah C. minutus betina, C. brachyotis jantan khususnya sebagai penyebar dan penyerbuk utama tumbuhan Annona sp., [Apocynaceae] sp.1, [Anacardiaceae] sp.3, Duabanga sp. Kelelawar jenis lainnya seperti hasil analisis hDCCA pada kelompok 3 (Gambar 1). Spesies kelelawar yang tergolong dalam fungsi ini adalah spesies C. minutus jantan, C. sphinx jantan, C. sphinx betina, C. titthaecheilus,jantan, C. titthaecheilus,betina, dan M. sobrinus betina. Tumbuhan penciri sebagai penyerbuk dan penyebar biji adalah spesies tumbuhan [Acanthaceae] sp.1, Acasia sp., Alnus sp., Baringtonia sp., Bauhi-nia sp., Begoniaceae sp. 1, Betula sp., [Betulaceae] sp. 1, Ceiba pentandra, Ceiba sp. 1, Ceiba sp.2, Ceiba sp.3, [Celastraceae] sp.1, [Compositae] sp.1, [Convolvulaceae] sp.1, Crateva sp., Croton sp., Cyathea sp., [Cyperaceae] sp.2, Cyperus sp., Dacrydium sp., [Dilleniaceae] sp. 1, Durio sp., Durio zibethinus, [Ericaceae] sp.1, [Euphorbia-ceae] sp.1, Hisbiscus sp., Licania sp., Mimosa sp., 234

[Orchidaceae] sp.2, [Orchidaceae] sp.4, [Pinaceae] sp. 1, [Pinaceae] sp.2, [Poaceae] sp. 2, Salacia sp., [Typhaceae] sp.1 Dalam satu spesies kelelawar antara jantan dan betina berbeda dalam mencari sumber pakan, hanya spesies C. titthaecheilus,yang memiliki kesamaan karakter dalam pencarian sumber pakan. Kondisi ini menyerupai hasil penelitian Maryati dkk (2008) Sebab perbedaan tersebut belum bisa dijelaskan s mengapa dalam satu jenis berbeda dalam pencarian pakan. KESIMPULAN Fungsi kelelawar dalam ekologi dapat dijelaskan pada penggolongan secara multivariate. Peran kelelawar terbagi menjadi 3 yaitu peran kelelawar sebagai penyerbuk, kelelawar sebagai penyebar biji, kelelawar sebagai penyerbuk dan penyebar biji. Peran kelelawar tersebut berbeda menurut kesukaan terhadap bentuk mahkota bunga, tipe dan ukuran polen. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terioma kasih kepada segenap staf Kebun Raya Bogor yang telah membantu dalam penelitian ini DAFTAR PUSTAKA Dumont, ER., GD Weiblen & JR Winkelmann. 2004. Prefe-rences of fig wasps and fruit bats for figs of functionally dioecious Ficus pungens. J.Trop. Eco. 20:233238

Pengelompokan Kelelawar Pemakan buah dan nektar

Erdtman, G. 1943. An Introduction to Pollen Analysis. New York: Chronica Botanica. Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms: An introduction to the study pollen grains and spores. Copenhagen: Munksgard. Leps, J & P. Smilauer. 1999. Multivariate Analysis of Ecological Data. Faculty of Biological Sciences, Univer-sity of South Bohemia. Ceske Budejovice. Maryati, AP. Kartono & I. Maryanto 2008. Kelelawar Pemakan Buah Sebagai Polinator yang diidentifikasi Melalui Polen yang Digunakan Sebagai sumber Pakannya di Kawasan Sektor Linggarjati, Taman Nasional Ciremai Jawa Barat. J. Biol.Indo. 4 (5): 335347 Marshall, AG. 1985. Old world phytophagous bats (Megachi-roptera) and their food plants:a survey. J.Biol. Lin.Soc.55(1):321330. Nayar TS. 1999. Pollen Flora of Maharashtra State India. International Bioscence Series Volume XIV. New Delhi: Today & Tomorrows.. Paldat. 2005. Illustrated Handbook on Pollen Terminology. Dept. of Palynology. Pierson ED. & WE. Rainey. 1992. The biology of flying foxes of the genus Pteropus: A review. In: DE Wilson and GL Graham (Eds). Pacific island flying foxes proceedings of an international conservation

conference. US Fish Wild Serv Biol Rep. p:117. Suyanto A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan BiologiLIPI. Bogor. Syahid A. 2009. Transformasi Data. http:/ /abdulsyahid-forum. blogspot.com/ 2009/04/ transformasi-data.html. [20 Juni 2009] Subarna A. 2006. Sekilas Kebun Raya Bogor. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Ter Braak, CJF. & P Smilauer. 1998. Canoco Reference Manual and Users Guide to Canoco for Windows. Ithaca: Microcomputer Power Tjitrosoepomo, G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr Wiles, GJ. & MS. Fujita. 1992. Food plants and economic importance of flying foxes on Pacific islands. In: DE Wilson and GL Graham (Eds). Pacific island flying foxes: Proceedings of an international conservation conference 3638. Yulianto, E. 1992. Preparasi dan dasar determinasi palinologi. Laporan studi praktek Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral ITB. Bandung.

Memasukkan: Juni 2009 Diterima: Februari 2010 235

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 237-253 (2010)

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen
Eko Sulistyadi
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI. Email : eko_bio33@yahoo.co.id ABSTRACT Capability of Nir-Conservation Area for Preserving Jawa Lowland Endemic: Case Study in Kebumen District. Indonesia region is inhabited by 1.598 birds which 372 Indonesian endemic birds and 56 species of them are Jawa endemic. Amongs of jawa endemic birds, 19 species are lowland occupant. Indeed the birds play important roles in ecosystem as agents of pest population control, pollination, and seed dispersal. In lowland area of Jawa, intensive transformation of land use exacerbated by no conservation area may threaten presence of the endemic birds. This study aims to assess caring capacity of disrupted area in low lands for preserving endemic birds of Jawa. The study was conducted in Bedegelon river covering northern mountaneus area of Kebumen district from October-November 2007 using encounter rates methode. Survey was carried out in three farm types: agroforestry (wanatani), intercropping agriculture area (tumpangsari) and mixed area of vegetation-settelment area (sempadan sungai). Result shows that four spesies Jawa lowland endemik birds was found in observed area. Lonchura leucogastroides and dicaeum trochileum found at all farm type, Prinia familiaris found at intercropping agriculture area (tumpangsari). Alcedo coerulescens were observed at agroforestri area (wanatani) and mixed of vegetation-settelment area (sempadan sungai) farm type. Key words : Jawa endemik birds, diversity, Jawa lowland, farm tipe, kebumen district

PENDAHULUAN Mengingat bahwa setiap jenis hayati memiliki fungsi dalam melestarikan ekosistem yang ditempatinya, maka sudah seyogyanyalah bahwa setiap jenis hayati harus tetap dipertahankan keberadaan dan fungsinya. Namun demikian, di antara sedemikian banyak jenis hayati yang terdapat di bumi ini, beberapa kelompok di antaranya juka ada perubahan lingkungan pendukung-

nya akan menjadi rawan punah. Kelompok hayati rawan punah tersebut antara lain yang bersifat endemik, migrant, pemangsa puncak, megaherbivora dan berbiak dalam kelompok. Oleh karena itu jenis hayati yang termasuk dalam kelompok rawan punah perlu tetap memiliki habitat dengan luasan yang cukup dalam bentuk kawasan konservasi. Indonesia telah ditetapkan sebagai negara megadiversity ke dua terbesar di dunia (Mittermeier & Mittermeier 1997).

237

Eko Sulistyadi

Selanjutnya juga dikatakan pula bahwa di dunia tercatat ada 9.040 jenis burung, 1.531 jenis diantaranya terdapat di Indonesia dengan 397 jenis (26%) endemik. Dalam thesisnya, van Balen (1999) menyebutkan bahwa terdapat 12 jenis burung endemik dataran rendah Pulau Jawa dan terdapat 12 jenis burung dataran rendah Pulau Jawa yang terancam punah. Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terpadat di dunia dengan jumlah penduduk diperkirakan 96 juta jiwa dan kepadatan 800 jiwa/km2 (MacKinnon dkk 1998); penebangan hutan di Pulau Jawa yang telah terjadi mulai abad 16 dan mencapai puncak pada abad 19 telah memberikan kontribusi terhadap penyusutan penutupan vegetasi di Jawa (terutama hutan hujan) yang sekarang diperkirakan tinggal 2,3% atau kurang (van Balen 1999). Fakta ini menggam-barkan bahwa hampir seluruh lahan dataran rendah di Jawa telah dialihfungsi-kan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Partasasmita (2003) menyebutkan bahwa dampak negatif dari pertumbuhan populasi manusia, laju deforestrasi dan fragmentasi habitat yang terus terjadi mempengaruhi persebaran maupun kelimpahan berbagai jenis burung. Studi penyebaran burung di Jawa (van Balen 1999) menunjukkan adanya pola kenampakan abnormal dalam penyebaran burung pada berbagai ketinggian. Terlihat penurunan jumlah jenis yang signifikan pada zona bukit pada ketinggian 300-1500m. Kondisi ini menggambarkan adanya pengaruh aktivitas manusia yang mendesak habitat satwa liar termasuk burung.

Hanya ada beberapa kawasan konservasi yang berfungsi baik di dataran rendah P Jawa yaitu di Jawa Barat terdapat TN Ujung Kulon dan di Jawa Timur terdapat TN Merubetiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo (Rais dkk 2007). Jawa Tengah tidak memiliki kawasan konservasi dataran rendah yang memadai, padahal untuk kelestarian jenis hayati selain ketersediaan populasi yang cukup juga perlu adanya pertukaran gen antar populasi. Oleh karena itu dirasa perlu dilakukan penelitian perihal potensi kawasan nir-konservasi sebagai kawasan pendukung kelestarian burung di Jawa Tengah sebagai penghubung kawasan konservasi yang ada di Jawa Barat dengan Jawa Timur yang meliputi populasi TN Ujung Kulon, TN Merubetiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo. Untuk itu dilakukan penelitian di dataran rendah dengan ketinggian dibawah 500 meter di perbukitan utara Kebumen. Tipe ekosistem yang dipilih adalah lahan pertanian yang umum terdapat di lahan pertanian Jawa yaitu pola wanatani, tumpangsari dan sempadan sungai. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober-November 2007 di daerah aliran sungai Bedegolan termasuk perbukitan utara Kabupaten Kebumen. Pengamatan dilakukan pada tiga tipe lahan yaitu (1) wanatani, terletak di perbukitan pada ketinggian 500 m. dpl. Tumbuhan utama pada lahan ini adalah jati (Tectona grandis), kelompok nangka (Arthocarpus spp.), beringin (Ficus benjamin) dan saman (Samanea saman). Lahan ini

238

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

relatif tidak diolah tanahnya dan pepohonannya tidak di tebang; (2) tumpangsari, terletak di perbukitan pada ketinggian 500 m. dpl. Dengan tumbuhan utama beringin, kelompok nangka, dan asam (Tamarindus indica). Tanah lahan ini setiap kali diolah untuk ditanami ulang dengan ubi jalar (Ipomoea batatas),ketela pohon (Manihot esculenta), jagung (Zea mays) dan albisia (Albizia falcataria); (3) sempadan sungai (Bedegolan), terletak di dataran rendah dengan ketinggian 200 m. dpl. Lahan ini didominasi oleh tanaman kelapa (Cocos nucifera), pisang (Musa paradisiaca), mangga (Mangivera spp.), dan jambu batu (Psidium guajava). Lahan ini tidak diolah, vegetasi yang ada merupakan campuran antara tumbuhan (liar) dan tanaman masyarakat. Sensus burung dilakukan dengan metoda encounter rates (Bibby dkk 1998) yaitu gabungan antara metoda pengamatan titik dan jalur sepanjang 2 km. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan binokuler 8 X 30 dan pengukur waktu. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah temuan individu dalam satu jalur dalam waktu 1 jam pengamatan dengan pengulangan empat kali pada waktu yang berbeda. Pengamatan dilakukan antara pukul 06.0007.00, 07.00-08.00, 16.00-17.00 dan 17.00-18.00. Untuk memastikan bahwa pengambilan contoh sudah dapat mewakili populasi masing-masing jenis burung maka data yang diperoleh diuji dengan bootstrap. Kecukupan data ditunjukkan oleh tiga grafik yang terbentuk dengan grafik bootstrap berada di antara Jack

2 means dengan jenis terobservasi Sobs (mao tau). Uji bootstrap dilakukan dengan bantuan software EstimateS ver 7.00. Jika data yang terkumpul telah memenuhi syarat maka berbagai perhitungan lain layak untuk dilanjutkan. Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis burung di masing-masing tipe lahan dilakukan dengan cara membandingkan jumlah individu setiap jenis burung dengan jumlah total individu burung yang terhitung. Hasil analisis ini dikenal dengan sebutan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner (H). indeks keanekaragaman Shannon Wienner dijelaskan dengan pendekatan indeks kemerataan Evenness (E) yang besarnya antara 01 (Ludwig & Reynold 1988). Indeks kemerataan menggambarkan tingkat kemerataan populasi suatu jenis burung yang diperoleh dengan membagi nilai keanekaragaman dengan jumlah jenis yang ditemukan. Untuk melihat perbandingan keanakeragaman jenis burung antar habitat dipakai uji beda (t). Hasil uji ini diharapkan dapat menggambarkan perbandingan nilai rata-rata keanekaragaman antar habitat. Kelimpahan relatif jenis burung dihitung dengan menggunakan metode encounter rates (Bibby et al. 1998). Kelimpahan relatif menggambarkan jumlah individu dari suatu jenis burung yang kemungkinan dapat ditemukan dalam setiap 10 jam pengamatan. Selanjutnya Bibby dkk (1998) memberikan batasan bahwa jika kelimpahan relatif suatu jenis burung kurang dari 0,1 maka jenis tersebut disebut jarang, antara 0,1 sampai 2,0 disebut tidak umum, antara 2,1 239

Eko Sulistyadi

sampai 10,0 disebut sering, antara 10,1 sampai 40,0 disebut umum dan lebih dari 40,0 disebut melimpah. Untuk melihat pengelompokkan jenis burung dan faktor-faktor yang mempengaruhinya digunakan analisis kelompok dengan menggunakan indeks ketidaksamaan Bray curtis dan dianalisis dengan bantuan program NTSYSpc 2.1. Jenis-jenis burung endemik pulau Jawa dan habitat pilihannya dicatat mengikuti penelusuran buku MacKinnon dkk 1998, Wishnu dkk 2007. HASIL Keanekaragaman jenis burung Teramati sebanyak 30 jenis burung di lokasi penelitian dengan jumlah individu 1.005 ekor. Di lahan wanatani ditemukan 25 jenis burung dengan jumlah individu 550 ekor, di lahan tumpangsari ditemukan 20 jenis dengan jumlah individu 268 ekor dan di lahan sempadan sungai ditemukan 20 jenis dengan jumlah individu 187 ekor. Terdapat 17 jenis burung dari daerah

wanatani yang sama dengan di daerah tumpangsari, 18 burung dari daerah wanatani yang sama dengan dari daerah sempadan dan 16 jenis burung dari daerah tumpangsari yang sama dengan dari daerah sempadan. Data lengkap mengenai nilai keanekaragaman tiap jenis burung dapat dilihat pada Tabel 1. Grafik perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu antar habitat dapat dilihat pada Gambar 1. Kekayan jenis burung tertinggi tercatat di lahan wanatani dengan 25 jenis (550 ekor) dan indeks keragaman jenis 3,707 serta indeks kemerataan 0,359; di lahan tumpangsari terdapat 20 jenis (268 ekor) dengan indeks keanekaragaman jenis 3,757 dan indeks kemerataan 0,533; di lahan sempadan terdapat 20 jenis (187 ekor) dengan indeks keragaman 3,573 dan indeks kemerataan 0,416. Dengan demikian lahan tumpangsari memiliki keanakaragaman jenis burung tertinggi dengan populasi yang merata untuk tiap jenis. Keanekaragaman jenis burung di lahan wanatani cukup tinggi namun kemerataan jenisnya rendah, sedangkan lahan sempadan sungai keanekaragaman

600 500 400 300 200 100 0

550
jml individu jml jenis

268 187 25 1 2 20 3 20

Habitat

Gambar 1. Perbandingan jumlah jenis dan jumlah individu burung antar habitat

240

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Tabel 1. Keanekaragaman jenis burung di tiap tipe lahan

Indeks Indeks keanekaragaman Shannon (H) Indeks kemerataan Evennes (E)


jenis burungnya paling rendah dengan kemerataan jenis yang lebih tinggi dibandingkan lahan wanatani. Uji beda (t) dengan rentang kepercayaan 95% menunjukkan perbedaan keanekaragaman jenis burung yang signifikan antar tipe lahan. Lahan wanatani dengan lahan tumpangsari berbeda nyata P < 0,009. Lahan tumpangsari dengan lahan sempadan sungai berbeda nyata dengan P < 0,005. Perbedaan signifikan P< 0,004 juga terlihat antara lahan wanatani dengan lahan sempadan sungai. Analisis Estimate S Berdasarkan analisis Estimate S diperkirakan terdapat 32 jenis burung di lokasi penelitian namun hasil observasi hanya menunjukkan terdapat 30 jenis. Pada lahan wanatani ditemukan 25 jenis burung namun analisis bootstrap memperkirakan dapat ditemukan 27 jenis. Pada lahan tumpangsari dan sempadan sungai masing-masing ditemukan 20 jenis burung yang diperkirakan dapat ditemukan 22 jenis burung (Gambar 2). Kelimpahan Relatif Jenis Burung Dengan menjumlahkan seluruh hasil pengamatan setiap jenis (12 kali pengamatan masing-masing selama 1 jam) di setiap lahan kemudian dibagi 10/12 maka

Wanatani 3,707 0,359

Tipe lahan Tumpangsari Sempadan sungai 3,757 3,573 0,533 0,416

diperoleh kelimpahan relatif jenis burung pada masing-masing lahan (Tabel 2). Pada tabel tersebut terlihat bahwa di lahan wanatani terdapat 8 jenis burung yang melimpah, 10 jenis umum, 2 jenis sering, 5 jenis tidak umum dan tidak ada yang termasuk kategori jarang; di lahan tumpangsari terdapat 10 jenis burung yang melimpah, 4 jenis umum, 6 jenis sering, tidak ada jenis burung yang tercatat dengan kategori jarang; dan di lahan sempadan terdapat 5 jenis burung yang melimpah, 9 jenis umum, 6 jenis sering, tidak ada jenis burung yang tercatat dengan kategori tidak umum atau jarang. Tercatat 6 jenis burung melimpah di ketiga tipe lahan, yaitu jenis walet sarangputih, walet sarang-hitam dan sriti linchi (Aerodramus fuciphagus, Aerodramus maxima, Collocalia linchi), madu sriganti (Nectarinia jugularis), cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), dan sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus). Keberadaan jenis tumbuhan seperti kelompok nangka (Arthocarpus spp.), akasia (Acacia spectabilis), randu (Ceiba pentandra), dan asam (Tamarindus indica) menyediakan serangga dan nektar yang menjadi pakan bagi jenis burung tersebut. Empat jenis burung tercatat dengan kategori umum di lahan sempadan sungai, sedangkan di dua tipe 241

Eko Sulistyadi

lahan yang lain tercatat melimpah yaitu bondol jawa (Lonchura leucogastroides), bondol peking (Lonchura punctulata), madu kelapa (Anthreptes malacensis) dan cekakak sungai (Todirhamphus chloris). Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) hanya tercatat umum di lahan wanatani sedangkan di lahan tumpangsari dan sempadan sungai tercatat melimpah. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Analisis kelompok Hasil analisis pengelompokan ketidaksamaan bray curtis pada koefisien ketidaksamaan 0,65 (Gambar 3) untuk setiap jenis burung dengan menggunakan NTSYS spc 2.1 menunjukkan bahwa di ketiga lahan terdapat 7 kelompok yang terpisah. 1. Kelompok pertama terdiri atas wallet sarang-putih (Aerodramus fuciphaA)
35 30 25 20 15 10 5
0

gus), walet sarang-hitam (Aerodramus maximus), sriti linchi (Collocalia linchi), madu sriganti (Nectarinia jugularis), cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps), sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus), bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cekakak sungai (Todirhamphus chloris), bondol peking (Lonchura punctulata), madu kelapa (Anthreptes malacensis), cabai jawa (Dicaeum trochileum), tekukur biasa (Streptopelia chinensis), gelatik batu kelabu (Parus major), dan cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster). 2.Kelompok kedua terdiri atas prenjak padi (Prinia inornata), caladi tilik (Picoides moluccensis), cici padi (Cisticola juncidis), cici merah (Cisticola exilis), cipoh kacat (Aegithina tiphia), kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), gemak B)
30 25 20

Sobs (M Tau) ao Jack 2 M ean Bootstrap M ean

15 10
5

0 1 2
3 4

C)
25 20 15 10 5
0

Pengamatan

D)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0

Pengamatan

10

11

12

Pengamatan

Pengamatan

Gambar 2. Nilai Observasi, perkiraan jumlah, dan bootstrap hasil analisis estimatesS ( A= Wanatani, B=Tumpang sari, C= Sempadan sungai D= Seluruh lahan).

242

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Tabel 2. Kelimpahan relatif jenis burung di tiap tipe lahan


Kelimpahan relatif Jenis burung Wanatani Jml/10 jam Walet liur (Aerodramus fuciphagus), walet sarang-hitam (Aerodramus maxima) dan sriti linchi (Collocalia linchi Horsfield & Moore, 1854) Madu sriganti (Nectarinia jugularis) Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) Bondol jawa (Lonchura leucogastroides) Bondol peking (Lonchura punctulata) Madu kelapa (Anthreptes malacensis) Cekakak sungai (Todirhamphus chloris) Tekukur biasa (Streptopelia chinensis) Cabai jawa (Dicaeum trochileum) Prenjak padi (Prinia inornata) Caladi tilik (Picoides moluccensis) Cipoh kacat (Aegithina tiphia) Gemak tegalan (Turnix sylvatica) Gelatik batu kelabu (Parus major) Cekakak jawa (Halcyon pileata) Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) Raja udang biru (Alcedo coerulescens) Pijantung kecil (Arachnothera everetti) Cici padi (Cisticola juncidis) Cici merah (Cisticola exilis) Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) Bubut jawa (Centropus nigrorufus) Kipasan belang (Rhipidura javanica) Elang hitam (Ictinaetus malayensis) Laying-layang api (Hirundo rustica) Gagak kampung (Corvus macrorhynchos) Prenjak jawa (Prinia familiaris). Raja udang meninting (Alcedo meninting) Wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis) Total jenis Kategori Tumpangsari Jml/10 jam Kategori Sempadan sungai Jml/10 jam Kategori

223,10

160

137,14

123,38 108,17 74,37 62,54 43,94 42,25 42,25 32,11 28,73 25,35 16,90 13,52 10,14 5,07 5,07 18,59 1,69 1,69 21,97 13,52 11,83 1,69 1,69 1,69 ----------25 jenis

1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 2 4 4 2 2 2 4 4 4 -----------

80 60 110 55 52,5 62,5 47,5 55 42,5 7,5 15 12,5 5 7,5 5 40 ----------------12,5 5 2,5 ----20 jenis

1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 2 2 3 3 3 2 ----------------2 3 3 -----

57,14 74,29 171,43 34,29 17,14 17,14 34,29 45,71 22,86 5,71 11,43 5.71 5.71 17,14 5.71 --11,43 17,14 ------------------5.71 5,71 20 jenis

1 1 1 2 2 2 2 1 2 3 2 3 3 2 3 --2 2 ------------------3 3

243

Eko Sulistyadi

C.linchi N.jugularis O.ruficeps P.cinnamomeus L.leucogastroid T.chloris L.punctulata A.malacensis D.trochileum S.chinensis P.major P.aurigaster P.inornata P.moluccensis C.juncidis L.leucogastroid C.exilis A.tiphia Z.palpebrosus T.sylvatica H.cyanoventris A.longirostra I.malayensis A.coerulescens C.bengalensis R.javanica H.rustica C.macrorhynchos P.familiaris A.meninting C.sepulcralis
0.00 0.25 0.50 0.75 1.00

Koefisien

Gambar 3. Pengelompokan jenis burung berdasarkan indeks ketidaksamaan bray curtis.

tegalan (Turnix sylvatica), dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris). 3.Kelompok ketiga terdiri atas pijantung kecil (Arachnothera longirostra) dan elang hitam (Ictinaetus malayensis). 4.Kelompok keempat terdiri atas rajaudang biru (Alcedo coerulescens), bubut alang-alang (Centropus bengalensis) dan kipasan belang (Rhipidura javanica). 5.Kelompok kelima terdiri atas layanglayang api (Hirundo rustica) dan gagak kampung (Corvus macrorhynchos). 6.Kelompok keenam adalah prenjak jawa (Prinia familiaris). 7.Kelompok ketujuh adalah raja-udang meninting (Alcedo meninting) dan wiwik uncuing (Cuculus sepulcralis). Sukmantoro dkk (2007) mengungkapkan bahwa wilayah Indonesia ditempati oleh 1.598 jenis burung; sebagian bersifat menetap dan sebagian 244

lagi bersifat migran. Diketahui juga bahwa di Pulau Jawa terdapat 507 jenis burung dengan 56 jenis merupakan jenis endemik Indonesia dan 32 jenis diantaranya hanya terdapat di Jawa ( Lampiran 1). Penelusuran jenis burung berdasarkan ketinggian tempat dan tipe habitat (MacKinnon dkk 1998) menunjukkan ada 19 jenis burung endemik Jawa yang dapat hidup di dataran rendah. Habitat yang banyak dihuni oleh burung endemik dataran rendah adalah payapaya, pesisir pantai, hutan sekunder dataran rendah, kebun, lahan pertanian, semak hutan perbukitan dan padang rumput dataran rendah. Salah satu burung dataran rendah endemik Jawa yang diduga telah punah yaitu trulek jawa (Vanellus macropterus Wagler, 1827). PEMBAHASAN Di ketiga lahan penelitian secara keseluruhan ditemukan 30 jenis burung.

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Analisis Estimate S (Gambar 2) menunjukkan bahwa di ketiga lahan penelitian diperkirakan terdapat 32 jenis. Sedangkan di lahan wanatani diperkirakan terdapat 27 jenis, di lahan tumpangsari dan sempadan diperkirakan terdapat 22 jenis burung. Selisih antara perkiraan dan hasil observasi disebabkan adanya kesulitan mengaidentifikasi antara sriti linchi (Collocalia linchi), walet saranghitam (Aerodramus maxima) dan walet sarang-putih (Aerodramus fuciphagus) yang selalu terbang. Walaupun tidak sempurna namun karena bootstrap hasil keempat kali ulangan seluruh berada di antara rata-rata dengan observasi maka dapat dikatakan bahwa pengamatan yang dilakukan sudah benar sehingga data yang diperoleh layak untuk dianalisis lebih lanjut. Perbedaan keanekaragaman jenis burung antar tipe lahan terlihat dari hasil uji (t) dengan nilai yang signifikan. Keanekaragaman jenis burung tertinggi dimiliki oleh lahan tumpangsari dengan kemerataan jenis burung yang paling tinggi dibandingkan lahan yang lain. Lahan wanatani memiliki kekayaan jenis burung yang lebih tinggi (25 jenis), sedangkan lahan sempadan sungai diketahui memiliki kekayaan jenis terendah dengan kemerataan jenis lebih rendah dari lahan tumpangsari namun lebih tinggi dari lahan wanatani . Perbedaan jenis burung antar tipe lahan merupakan wujud dari perbedaan daya dukung pada tiap lahan. Menurut (Wiens 1992; Krebs & Davis 1978) burung memiliki kemampuan untuk memilih habitat yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang mendukung kebutuhan hidupnya.

Lahan wanatani yang relatif masih alami dan ditumbuhi pohon jati (Tectona grandis), kelompok nangka (Arthocarpus spp.), beringin (Ficus Benjamin) dan saman (Samanea saman) disenangi oleh jenis burung yang beraktifitas di tajuk dan kerimbunan pohon seperti Kacamata (Zosterops palpebrosus); lahan tumpangsari yang diolah untuk ditanami ubi jalar (Ipomoea batatas), ketela pohon (Manihot esculenta) dan jagung (Zea mays) lebih banyak dihuni oleh burung pemakan serangga yang memanfaatkan strata bawah, semak dan tanaman pertanian tersebut untuk mencari makan. Wiwik uncuing (Cacomantis sepulcralis) dan Raja udang meninting (Alcedo meninting) cenderung menyukai habitat tertutup dekat perairan yang dapat dijumpai pada lahan sempadan sungai. Keberadaan tumbuhan sangat terkait dengan ketersediaan pakan, tempat bersarang, perlindungan dari pemangsa dan juga faktor mikroklimat, dengan demikian tumbuhan dapat mempengaruhi ada dan tidaknya suatu jenis burung di suatu lokasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Partasasmita (2003) bahwa perubahan komposisi komponen habitat berupa jenisjenis tumbuhan yang berimplikasi langsung terhadap peru-bahan ketersediaan sumberdaya, akan merubah pula komposisi burung-burung yang memanfaatkanya yang sekaligus akan merubah jenis burung yang mendiami habitat tersebut. Pada lahan yang banyak berhubungan dengan aktivitas manusia yaitu lahan tumpangsari dan lahan sempadan sungai diketahui kekayaan jenis burungnya lebih 245

Eko Sulistyadi

rendah (20 jenis) dibandingkan lahan wanatani yang cenderung lebih alami (25 jenis). Odum (1971) menjelaskan bahwa keanekaragaman jenis burung cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi. Namun demikian perlu diperhatikan juga bahwa kadang kekayaan jenis yang tinggi tidak selalu diikuti dengan kemerataan jenis yang tinggi pula, hal inilah yang menyebabkan tidak semua lokasi yang memiliki kekayaan jenis yang tinggi keanekaragaman jenisnya juga tinggi. Aktivitas manusia (pengolahan lahan pertanian) akan berdampak pada penurunan keanekaragaman jenis tumbuhan asli yang juga akan berdampak pada perubahan jenis burung yang ada. Krebs dan Davis (1978) mengemukakan bahwa ketidakhadiran suatu jenis burung di satu tempat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu ketidakcocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit dan pesaing) dan faktor kimiafisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan. Keberadaan berbagai jenis burung, terutama jenis endemik dataran rendah Jawa di lokasi penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan daya dukung yang beragam pada tiap lahan dapat mendukung jenis burung yang lebih beraneka ragam pula. Rosenzweig (1995) menjelaskan bahwa setiap jenis membutuhkan habitat yang sesuai untuk dapat bertahan hidup. Habitat dengan variasi yang lebih besar akan berbanding lurus dengan variasi jenis yang lebih besar 246

pula. Cabai jawa (Dicaeum trochileum) dan bondol jawa (Lonchura leucogastroides) terdapat di semua tipe lahan namun demikian terdapat perbedaan kelimpahan yang tentunya berhubungan dengan daya dukung lingkungan. Dicaeum trochileum tercatat melimpah di lahan tumpangsari sedangkan Lonchura leucogastroides tercatat melimpah di lahan wanatani dan lahan tumpangsari. Raja udang biru (Alcedo coerulescens) tercatat umum di lahan sempadan sungai namun tidak umum di lahan wanatani karena jenis ini lebih menyukai daerah yang memiliki aliran air. Jenis walet dan sriti (Aerodramus fuciphagus + Aerodramus maxima + Collocalia linchi) serta sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) memiliki nilai kelimpahan relatif yang tinggi di lahan wanatani dan lahan tumpangsari. Kondisi vegetasi yang didominsi oleh kelompok nangka (Arthocarpus spp.) dan beringin (Ficus benjamina) pada kedua lahan serta pohon saman (Samanea saman) pada lahan wanatani dan pohon asem (Tamarindus indica)di lahan tumpangsari menyediakan sumber pakan berupa serangga yang berlimpah untuk jenis-jenis burung pemakan serangga tersebut. Ruang terbuka di atas tajuk pohon serta adanya pergerakan serangga terbang merupakan kondisi yang disenangi oleh jenis walet dan sriti untuk berburu mangsa dengan cara menyambar serangga yang sedang terbang. Adanya area yang ditanami Ipomoea batatas, Manihot esculenta dan Zea mays di lahan tumpangsari juga menyediakan ruang terbuka bagi pergerakan jenis walet dan sriti (Aerodramus fuciphagus/

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Aerodramus maxima/ Collocalia linchi) dan sekaligus menyediakan serangga terbang yang melimpah yang merupakan sumber pakan utamanya. Burung sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) menyenangi lahan yang memiliki tumbuhan dengan kondisi bawah tajuk yang relatif terbuka (Noerdjito 2009). Kondisi vegetasi di lahan tumpangsari yang lebih terbuka menyebabkan penutupan bawah tajuk cenderung lebih terbuka dan tidak terlalu rapat, hal inilah yang menyebabkan sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus) lebih melimpah di lahan tumpangsari daripada di lahan wanatani. Jenis cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) tercatat melimpah di lahan wanatani karena jenis ini mempunyai kemampuan mencari pakan di tempat yang agak rimbun; jarak percabangan yang tidak terlalu jauh dapat mendukung pergerakan jenis burung ini dalam mencari serangga sebagai pakannya (Noerdjito 2009). Jenis-jenis tumbuhan seperti disebutkan di depan juga menyediakan sumber nektar (bunga) untuk burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) sehingga jenis burung ini juga cukup melimpah di lahan wanatani. Keberadaan burung tekukur biasa (Streptopelia chinensis) di lahan tumpangsari juga mengindikasikan adanya lahan terbuka/pertanian yang biasanya digunakan untuk mencari makan (Noerdjito 2009). Lahan sempadan sungai dikuasai oleh burung madu sriganti (Nectarinia jugularis) dan cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps). Kondisi vegetasi yang didominasi oleh kelapa (Cocos nucifera) merupakan sumber

nektar bagi burung madu sriganti, sedangkan keberadaan pisang (Musa paradisiaca), mangga (Mangivera spp.), dan jambu batu (Psidium guajava) selain menyediakan nektar (bunga) juga menyediakan pakan berupa serangga dan menyediakan percabangan bagi burung cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) untuk berpindah tempat dan mencari makan. MacKinnon (1998) menjelaskan bahwa jenis cinenen kelabu menyukai habitat semak, kebun, dan aktif mulai dari strata bawah sampai ke puncak pohon. Pengelompokan jenis berdasarkan indeks ketidaksamaan braycurtis (Gambar 3) menunjukkan adanya 7 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 12 jenis burung yaitu Walet liur (Aerodramus fuciphagus), walet sarang-hitam (Aerodramus maxima) dan sriti linchi (Collocalia linchi), sampai dengan cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) (Gambar 3). Kelompok ini terdiri dari jenis-jenis burung yang bersifat kosmopolitan yang mempunyai rentang habitat luas, hal ini ditunjukkan dengan 11 jenis burung tersebut dapat ditemukan di semua tipe lahan dan satu jenis yaitu kutilang (Pycnonotus aurigaster) ditemukan di lahan wanatani dan tumpangsari. Perubahan habitat yang terjadi di hutan dataran rendah yang telah diubah menjadi areal terbuka menyebabkan beberapa spesies burung mengalami perubahan strata tempat mencari makannya dan luas daerah jelajahnya bertambah (Partasasmita 2003), pada kasus jenis burung kosmopolitan yang memiliki kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang beragam sangat memungkinkan bagi 247

Eko Sulistyadi

jenis-jenis ini untuk hidup di ketiga tipe lahan yang mempunyai daya dukung berbeda. Kelompok kedua terdiri dari 8 jenis burung yaitu prenjak padi (Prinia inornata) sampai dengan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris) (Gambar 3). Kelompok burung ini semuanya dapat ditemukan di lahan wanatani, dimana tiga jenis diantaranya yaitu Zosterops palpebrosus, Cisticola juncidis, dan Cisticola exilis hanya bisa ditemukan di lahan wanatani. Zoosterops palpebrosus merupakan burung yang menyukai hidup di puncak pohon yang tinggi (MacKinnon dkk 1998) yang masih banyak dijumpai di lahan wanatani. Kelompok ketiga terdiri dari Arachnothera longirostra dan Ictinaetus malayensis merupakan jenis burung yang menyukai habitat dengan vegetasi cukup lebat, karena itulah jenis ini hanya ditemukan di lahan wanatani yang banyak didominasi oleh jenis pohon seperti Tectona grandis, Arthocarpus spp., Ficus benjamina dan Samanea saman. MacKinnon dkk. (1998) juga menjelaskan bahwa kedua jenis burung ini senang hidup di hutan bukit dengan vegetasi yang cukup lebat. Kelompok keempat terdiri dari rajaudang biru (Alcedo coerulescens), bubut alang-alang (Centropus bengalensis) dan kipasan belang (Rhipidura javanica) yang merupakan jenis-jenis yang suka berada di dekat aliran air. Keberadaan aliran mata air di lahan wanatani menjadi faktor yang menyebabkan pengelompokkan jenis ini. Kelompok kelima terdiri dari Hirundo rustica dan Corvus macrorhynchos merupakan jenis burung yang 248

hanya ditemukan pada lahan tumpangsari. Kedua burung ini menyukai tempat terbuka. Menurut MacKinnon dkk. (1998) Corvus macrorhynchos banyak ditemukan pada lahan terbuka dekat desa, sedangkan Hirundo rustica sering terlihat melayang di lahan terbuka untuk menyambar serangga yang menjadi makanannya. Fakta ini sesuai dengan kondisi di lahan tumpangsari. Kelompok keenam adalah burung Prinia familiaris yang menyukai habitat sekunder terbuka (MacKinnon dkk 1998) sehingga jenis ini hanya ditemukan di lahan tumpangsari yang cenderung terbuka dan menyediakan banyak serangga sebagai pakan utama. MacArthur (1965) dalam Rosenzweig (1995) menunjukkan adanya keterkaitan antara keanekaragaman jenis burung dengan kondisi habitat pada struktur vertikal yaitu rumput-rumputan, semak dan perdu, serta pada lapisan kanopi pohon. Jenis prenjak ini merupakan burung yang memanfaatkan strata bawah yaitu semak untuk hidup dan mencari makan. Hal ini berbeda dengan burungburung kelompok enam yang memanfaatkan ruang terbuka. Kelompok ketujuh terdiri dari Cacomantis sepulcralis dan Alcedo meninting merupakan jenis burung yang hanya ditemukan pada lahan sempadan sungai. Cacomantis sepulcralis merupakan penghuni dataran rendah di perbukitan dan menyukai tumbuhan sekunder (MacKinnon dkk 2000), sedangkan Alcedo meninting termasuk jenis raja udang yang menyukai bertengger di dekat perairan tawar

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

(sungai) dengan pepohonan yang cukup banyak (MacKinnon dkk 1998). Data yang disajikan oleh Mittermeier & Mittermeier (1997) masih merupakan data lama dengan jumlah jenis burung di Indonesia 1.531 jenis dan 397 merupakan jenis endemik. Pendekatan data baru yang dilakukan oleh Sukmantoro dkk. (2007) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 1.598 jenis burung dengan 372 jenis (23,28%) merupakan jenis endemik. Catatan untuk jenis terancam punah IUCN Red List ada 118 jenis burung (7,38%), dengan demikian Indonesia berada pada peringkat pertama untuk jenis burung terancam punah. Analisis terhadap perubahan jumlah jenis ini telah merubah posisi Indonesia menjadi peringkat empat negara dengan keanekaragaman jenis burung tertinggi di dunia. Untuk kategori endemisitas jenis burung, Indonesia masih berada di peringkat pertama. Ditemukan empat jenis burung endemik dataran rendah Jawa di lokasi penelitian yaitu Lonchura leucogastroides, Dicaeum trochileum, Prinia familiaris dan Alcedo coerulescens (lihat lampiran). Dari empat jenis tersebut tidak ada yang termasuk kategoti terancam punah menurut IUCN Red List, dan hanya satu jenis yaitu Alcedo coerulescens yang termasuk jenis dilindungi perundang-undangan RI. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi penelitian yang meliputi tiga tipe lahan yaitu wanatani, tumpangsari dan sempadan sungai hanya mampu mendukung kehidupan jenis endemik yang umum dan tidak bisa mendukung kehidupan jenisjenis endemik yang terancam punah.

Berkurangnya keanekaragaman jenis tumbuhan akibat pengolahan lahan untuk pertanian kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Selain itu fragmentasi lahan akibat pola pertanian yang berbeda (wanatani, tumpangsari, dan sempadan sungai) semakin mengurangi luasan habitat serta mengurangi koridor yang menghubungkan antar populasi jenis burung endemik yang ada di kawasan konservasi, padahal sebagian besar jenis burung endemik memerlukan habitat yang cukup luas dengan diversitas daya dukung yang tinggi untuk dapat bertahan hidup. Informasi dari (www.burung.org) menyebutkan bahwa beberapa hutan yang penting bagi keanekaragaman hayati, khususnya di Jawa Tengah, saat ini belum terwakili di dalam kawasan konservasi. Selain jenis burung endemik dataran rendah Jawa, ternyata lahan pertanian dengan pola wanatani, tumpangsari, dan sempadan sungai juga mendukung kehidupan jenis-jenis burung pemakan serangga (pengendali hama), pemakan nektar (penyerbuk), pemakan biji (agen penyebar) dan jenis pemangsa puncak, dalam hal ini elang hitam (Ictinaetus malayensis). van Balen (1999) mengungkapkan sejumlah burung dataran rendah telah memperluas wilayah altitudinal, yaitu tiga jenis spesialis dataran rendah ekstrem, lima jenis spesialis lereng bukit dan tujuh jenis lainnya telah memperluas habitat hutan menuju habitat taman. Pola adaptasi dengan cara memperluas rentang habitat merupakan respon burung terhadap penyusutan 249

Eko Sulistyadi

habitat dan tekanan manusia. Lebih jauh lagi Wiens (1992) menjelaskan bahwa potensi sumberdaya, seperti ketersediaan pakan di habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung sehingga daerah nir-konservasi seperti lahan pertanian, kawasan terbuka, dan bahkan daerah pemukiman penduduk dapat menjadi habitat penting bagi burung apabila tersedia pakan yang berlimpah. Melihat fakta ini maka dapat dikatakan bahwa kawasan nir-konservasi (lahan pertanian) dapat mendukung kelestarian keanekaragaman berbagai jenis burung serta menjadi koridor yang akan menjamin tetap berjalannya aliran gen antar populasi burung di wilayah-wilayah konservasi sehingga kelestarian populasi berbagai jenis burung tetap terjaga dengan baik. KESIMPULAN Lahan tumpangsari memiliki keanekaragaman jenis burung tertinggi diikuti lahan wanatani dan lahan sempadan sungai. Perbedaan keanekaragaman jenis burung yang signifikan antar tipe lahan membuktikan bahwa lokasi penelitian memiliki daya dukung yang beranekaragam. Daerah penelitian dihuni oleh empat jenis burung endemik (dataran rendah) Jawa, yaitu Lonchura leucogastroides dan Dicaeum trochileum ditemukan di semua tipe lahan, Prinia familiaris di lahan tumpangsari serta Alcedo coerulescens di lahan wanatani dan lahan sempadan sungai. Burung endemik Jawa yang rawan punah tidak ditemukan di lahan penelitian 250

sehingga dapat dikatakan bahwa lahan nir-konservasi ini belum dapat melindungi jenis endemik dataran rendah Jawa yang lain terutama yang terancam punah. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Djuwanto M.Si, Drs. Sukiya M.Si, Drs. M. Noerdjito dan Dr. Ibnu Maryanto yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Bibby, CM Jones & S. Marsden. 1998. Expedition Field Techniques Bird Surveys. London: Expedition Advisory Centre Royal Geographical Society. 134 hal. Burung Indonesia. 2010. Daerah Endemik Burung (Hutan di Jawa dan Bali). (http:// www.burung.org/detail_eba.php) 25 Januari 2010, pukul 14.46 WIB. Krebs, JR. & NB Davies. 1978. Behavioural ecology: an Evolutionary Approach. 3rd ed. London: Blackwell Scientific Publication (XI + 494) hal. Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988. Statistical Ecology A Primer on Methods and Computing. J. Wiley & Sons. (XI + 337) hal. MacKinnon J. 1998. Burung-Rurung di Sumatera, Jawa,Bali, dan Kalimantan (terjemahan). Bogor: Puslitbang Biologi LIPI BirdLife Indonesia. (XV + 509) hal.

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi

Mittermeier, RA. & CG. Mittermeier. 1997. Megadiversity (Earth Biologicaly Weatlhiest Nations). Canada: Quebecor Printing Inc. Cimex. 501 hal. Noerdjito, M. 2009. Keanekartagaman Jenis Burung di Enclave Arban Taman Nasional Gunung Ciremai. J. Biologi Indonesia 5(3) : (269-278) hal. Odum, EP. 1971. Fundamentals of Ecology 3rd. Philadelphia: W.B Saunders & Co. (XIV + 574) hal. Partasasmita, R. 2003. Ekologi Burung Pemakan Buah dan Biji sebagai Penyebar Biji (Paper Falsafah Sains Program Pasca Sarjana / S3). Institut Pertanian Bogor (25) hal. Rais, S., Y. Ruchiat, A. Sartono & T. Hideta. 2007. Buku Informasi 50 Taman Nasional di Indonesia.

Jakarta: Departemen KehutananLH JICA. (XVII + 291) hal. Rosenzweig, ML. Spesies Diversity in Space and Time. 1995. UK: Cambridge University Press (XX + 436) hal. Sukmantoro, W., M. Irham, W. Novarino, F Hasudungan, N. Kemp & M. Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia No 2. Bogor : Indonesian Ornithologists Union. (X + 157) hal. van Balen, B. 1999. Birds on Fragmented Islands: Persistence in The Forests of Java and Bali. Tropical Resource Management Papers, No. 30. Wageningen University. (IV + 181) hal. Wiens JA, 1992. The ecology of bird communities. Vol. I. Foundantions and patterns., Cambridge University Press.

Memasukkan: Agustus 2009 Diterima: Januari 2010

251

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 255-263 (2010)

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey (Presbytis rubicunda Mueller, 1838)
Wartika Rosa Farida
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, E-mail: wrfarida@indo.net.id ABSTRAK Analisis Kebutuhan Nutrien dan Efisiensi Penggunaan Pakan pada Lutung Merah (Maroon Leaf Monkey Mueller, 1838). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kebutuhan nutrien dan efisiensi penggunaan pakan pada lutung merah (Presbytis rubicunda). Penelitian telah dilakukan di Penangkaran Mamalia Kecil Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI selama 38 hari yang terdiri dari 10 hari masa adaptasi pakan dan 28 hari (4 minggu) masa pengumpulan data. Obyek yang digunakan adalah dua ekor lutung merah terdiri dari satu ekor jantan dan satu ekor betina. Pakan alternatif yang diberikan selama penelitian adalah daun beringin (Ficus benyamina), daun selada (Lactuca sativa), kangkung (Ipomoea aquatica), buncis (Phaseolus vulgaris), markisa (Passiflora quadrangularis), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan pisang lampung (Musa sp.). Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, pendugaan kebutuhan nutrien, dan efisiensi penggunaan pakan. Jenis pakan yang paling palatabel bagi lutung merah jantan adalah ubi jalar sedangkan bagi lutung merah betina adalah buncis. Rataan konsumsi pakan berdasarkan bahan kering adalah 78,09 gram/ekor/hari. Rataan konsumsi nutrien adalah abu 4,60 gram/ekor/hari, protein kasar 7,87 gram/ekor/hari, lemak kasar 3,05 gram/ekor/hari, serat kasar 10,56 gram/ekor/hari, bahan ekstrak tanpa nitrogen 51,40 gram/ ekor/hari, dan bruto energi 2948,50 kal/ekor/hari. Rataan pertambahan bobot badan lutung merah selama penelitian adalah 6,25 gram/ekor/hari dengan efisiensi penggunaan pakan 15,84%. Data konsumsi nutrien tersebut dapat digunakan sebagai dasar penyusunan ransum dan pakan bagi lutung merah di penangkaran. Key words: Consumption, feed utilization, Presbytis rubicunda, captive breeding

INTRODUCTION Maroon leaf monkey (Presbytis rubicunda) is one of the kinds of protected animals based on Minister of Agriculture Decree No. 537/Kpts/Um/ 7/1977. In APPENDIX II CITEs (Baillie and Groombridge, 1996) and IUCN, this animal is categorized as vulnerable. Supriatna and Wahono (2000) stated that the population of this animal decreased along the year as the effect of habitat damages and illegal trade.

This animal has long tail, longer than its body, with reddish hairs and bluish face. In their habitat, they live in group up to eight heads and mastered by one male. Maroon leaf monkey is arboreal, diurnal animal, and the eater of leaves (folivorus), however, they also eats fruits and flowers. Their habitats include mangrove, primary and secondary forests both in low and high level land. Biological aspects of this animal are extremely a little and constituted deficient data (Kool, 1989). 255

Wartika Rosa Farida

The distribution of maroon leaf monkey in Indonesia includes Sumatera, east part of Kalimantan, and in the bigger amount in Sabah, Malaysia. Nowadays, the existence of this animal is increasingly threatened as the consequence of forest clearing on a large scale, forest fire, illegal hunting, and uncontrollable trading. The extinction of the wild animals is accelerated by the fact that their habitats are interrupted that, in turn, drive to decrease the biodiversity. Besides, there are another factors also accelerated the extinction process of primate: illegal hunting to get primate babies for souvenir, illegal ownership, and illegal trading. It is urgent to conduct research to obtain information which can helping to do ex situ captive breeding management of maroon leaf monkey. The fulfilling of nutrient need of this animal in ex situ captive breeding is necessary for the efforts of preserving the existence of this animal. The giving of alternative feed that is different from original feed in its habitat to maroon leaf monkey should helped fulfilling main need of this animal. The aim of this research is meant to obtain the data of (1) nutrient requirement and feed efficiency ratio of maroon leaf monkey in ex situ captive breeding and (2) the kinds of alternative feed to replace original feed in its original habitat. MATERIAL AND METHODS The material used in this research is two maroon leaf monkey, one male aged 3 years and one female aged less than 1 year. Captive rooms used are two individual captive rooms, namely the type 256

with size of 3.15 m long, 2.26 m wide, and 1.99 m high, and wall of wire fence with holes of size 2.5 cm x 2.5 cm which is covered by fine wire fence with holes of size 7 mm x 7 mm. Each captive room is completed with plastic plate to put feed and plastic cup to put water drinking and bamboo trunks placed crisscross in the center of captive room used by maroon leaf monkey to do its activities. The feedstuff is given with the way of cafeteria feeding in the morning (08:00 a.m) and afternoon (04:00 p.m) while drinking water is given ad libitum so that there is water along the time. All of feedstuffs are given in conformity. Preliminary treatment is done for 10 days so that maroon leaf monkey could adapt to feedstuff given. The period of data collecting is 4 weeks (28 days). The feedstuff given in this research are ficus leaf (Ficus benyamina), lettuce (Lactuca sativa), kangkong (Ipomoea aquatica), string bean (Phaseolus vulgaris), passion fruit (Passiflora quadrangularis), sweet potatoes (Ipomoea batatas) dan Lampung banana (Musa sp.). All of feedstuff are washed to remove pesticide residue and other dirty things, put in plastic plate in each captive room to enable maroon leaf monkey choosing its feedstuff. Every kind of feedstuff is weighing before giving to this animal. In the next morning, the rest of feedstuff will be weighed. The measuring of temperature and humidity in the research area is done using thermo-hygrometer which is put in one side of captive room. Temperature and humidity are noted three times a day:

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

Picture 1. Maroon leaf monkey

(Photo: W.R.Farida, 2009)

in the morning (06.00 a.m), in the noon (12:00 p.m), and in the afternoon (04:00 p.m). Proximate analysis is conducted to get information about nutrient content of each kind of feedstuff. The need of nutrient can determinate by measuring the consumption of every feedstuff per day per animal. The average of feedstuff consumed by maroon leaf monkey then could be decided as the standard of feed need. Data analysis used descriptive method. This research method is chosen by considering that the sum of material is limited. Data processing is done by describing the data obtained in the form of tables or graphs in the statements to explain and summarize the results of the research. RESULTS Temperatur e averages during research in the morning, noon, and afternoon are 25.41C, 30.76C, and 29.82C, consecutively; while humidity averages in the morning, noon, and afternoon are 81.93%, 64.15%, and 29.32%, consecutively. Sukandar (2004)

repor ted that the temperature and humidity in the original habitat of maroon leaf monkey are between 20C and 30C for temperature and 80% for humidity. The condition of low temperature and high humidity in the morning and high temperature and low humidity in the noon will give effect to condition and activities of maroon leaf monkey in captive breeding. Extreme temperature influences feed consumption of the animal. High temperature decreases the consumption while low temperature increases the consumption. Table 1 shows that the content of N-free extractives and protein of leaves are high enough, because part of leaves that given to maroon leaf monkey is shoot/young parts which is having nutrient content higher than other parts (de graff et al. 2004 in Prayogo 2006) and according to Kappeler (1981) leaves are the source of high protein. The dry matter content of feedstuff also has high crude fiber because vegetable and fruit that given are the source of high crude fiber (Yulianti et al. 2006). The feedstuff with the highest crude fiber is ficus leaf, namely 39.45%.

257

Wartika Rosa Farida

Based on the consumption of fresh feedstuff (Table 2), male maroon leaf monkey most likes sweet potatoes, string bean, and passion fr uit, consecutively. Lampung banana is consumed more than ficus leaf in the week1 and week 4. Kangkong is liked more than ficus leaf and lettuce. Female maroon leaf monkey most likes string bean, sweet potatoes, passion fruit, and

lampung banana, consecutively. In the first two weeks, it consumed more ficus leaf, however, in week 3 and week 4, it consumed more kangkong and lettuce. Based on the amount of fresh feedstuff consumed weekly, female maroon leaf monkey consumed more lettuce than male maroon leaf monkey do. It is caused by the fact that female maroon leaf monkey is still young and

Table 1. Compositon of nutrient content feedstuff in the research of maroon leaf monkey (100% dry matter)
Feedstuff Ficus leaf Lettuce Kangkong String bean Passion fruit Sweet potatoes Lampung banana DM Ash CP C. Fat CF NFE GE --------------------------------- (%) ------------------------------- (cal/g) 25.05 13.78 14.35 8.82 39.45 23.60 4335 8.01 21.28 33.18 5.37 8.95 31.22 3786 9.89 10.69 30.55 3.38 14.85 40.53 4314 75.40 5.63 4.12 1.22 12.17 76.86 3545 14.78 5.10 1.91 14.87 24.19 53.93 4137 25.22 2.78 3.69 1.06 9.43 83.04 3699 38.75 3.49 33.65 0.52 1.03 61.31 3218

Notes : DM = dry matter, CP= crude protein ; C.Fat = crude fat, CF = crude fiber; NFE = nitrogen free extractives; GE = gross energy

Table 2. Fresh feedstuff consumed by male and female maroon leaf monkey
Male (g/head/day) Feedstuff Wk. 1 Wk. 2 59.29 7.14 76.29 228.29 142.57 311.00 38.29 Wk. 3 78.00 3.71 110.57 253.57 185.43 319.14 70.29 Wk. 4 74.14 2.14 126.29 325.14 177.57 332.14 82.71 Ficus leaf 56.14 Lettuce 12.71 Average Wk. 1 Sd 66.89 45.57 10.79 6.43 37.71 4.68 94.07 29.71 29.34 262.11 219.71 43.27 163.89 91.29 20.81 324.39 173.14 11.34 70.36 111.86 22.89 Female (g/head/day) Wk. 2 44.71 41.71 41.00 Wk. 3 Wk. 4 43.86 55.00 71.29 46.71 50.86 52.29 299.14 137.43 176.00 92.29 Average Sd 45.21 1.22 46.32 7.99 48.57 17.73 258.00 32.50 123.40 26.96 177.00 30.36 88.50 17.79

Kangkong 63.14 String bean Passion fruit Sweet potatoes Lampung banana 241.43 150.00 335.29 90.14

258.43 254.71 112.57 152.29 142.43 216.43 78.14 71.71

Notes : Wk = week

258

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

with the growing teeth preferred lettuce which is softer and contends lower crude fiber than ficus leaf and kangkong (Table 1). Consumption is feedstuff amount consumed by animal while the feedstuff is given ad libitum (Parakkasi 1999). According to Maynard et al. (1979), the purpose of an animal consuming its ration is to maintain its life, to grow, and to produce. Palatability is one of some factors determining the rate of r ation consumption of animal. According Church and Pond (1988), palatability is influenced by the form,

DM consumption (g/head/day) 160 140 120 100 80 60


11 .0 2
69 9. 11 76 8. 10

smell, taste, texture, and temperature of feedstuff given. Based on sex of maroon leaf monkey, dry matter consumption of feedstuff by this animal shows (Table 2) fluctuation in consuming dry matter by both male and female. There is an increase of consuming dry matter of feedstuff by female maroon leaf monkey in week 2 to week 4, on the contrary a decrease of consuming dry matter of feedstuff by the female happened. In week 1, female maroon leaf monkey consumed high dry matter of feedstuff
31 8. 12 03 1. 14

89 .5 7

Male Female

20 0 Week 1

Week 2

Week 3

13 .1 2

Week 4

Observation time

Figure 1. Average of dry matter consumption of maroon leaf monkey (g/head/day)

300
DM consumption (g/head/day)

250 200 150 100 50 c Fi us ' le af t tu Le ce s it ng an na oe fru ko be na at n ng io ot Ba ng ss tri tp Ka S ee Pa Sw

13 .1 5

40

Male Female

Feedstuff

Figure 2. Average of dry matter consumption of maroon leaf monkey based on feedstuff (g/ head/day)

259

Wartika Rosa Farida

because it still adapted to alternative feedstuff given. While in week 2 and the next week, it has adjusted to its basic need. Based on the amount of feedstuff consumed, male maroon leaf monkey consumed more dry matter of feedstuff than female maroon leaf monkey (Figue 1), because the male is adult monkey aged 3 years with body weight more than the female, while the female is young monkey aged 1 year in growing period. Winter and Funk (1956) reported that ration consumption is influenced by energy and protein contained in the ration, race, sex, and growth rate. Ration amount consumed is depended on body size of animal, daily activities in doing moving activity, temperature in and around captive room, quality and quantity of ration given, and its management. The same fact is also stated by Moen (1973), that feed consumption is influenced by sex, age, surrounding condition, and season change. High temperature can cause a decrease in feed consumption and an increase in drinking water consumption. Figure 2 shows that consumption of dry matter from sweet potatoes and string bean is the biggest amount and like most by the male, while the female preferred string bean and lampung banana. High consumption of sweet potatoes is caused by its carbohydrate content of 75%-90% used by the body as energy resources (Muhilal 1991). The family of maroon leaf monkey is the eater leaves primate (folivorus) (NRC 2005), though in its original habitat it also consumes fruit, seed, and liana

DISCUSSION Consumption is the amount of feeds can eaten by every animal and constitutes essential factor which is basic to determine principal need for life and production (Parakkasi 1999). Sweet potatoes, string bean, dan lampung banana with the sweet taste are the kinds of feeds palatable for maroon leaf monkey. Palatability factor is urgent in measuring feed consumption for animal (Tomaszewska et al. 1991). The amount nutrient consumption by maroon leaf monkey is influenced by the amount of dry matter consumption and nutrient content of every feed material. The amount of nutrient consumption is also effected by the difference of feeds palatability. Based on averages of nutrient consumption, that of male maroon leaf monkey is higher than that of female leaf monkey, because body weight of the male is higher so that the nutrient requirement is also bigger. Percentage of the highest need of nutrient is N-free extractives, namely 66.85% for male maroon leaf monkey and 61.79% for the female (Table 4). Nfree extractives are carbohydrate not contending crude fiber and contends much starch (Tillman et al. 1991). It is caused by the fact that feed material given contended higher N-free extractives than other nutrients. N-free extractives consumed by maroon leaf monkey is relatively higher than that of other nutrients. The feeds with high N-free extractives are easily digested and contend high energy. The percentage

260

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

Table 3. Average of nutrient consumption of maroon leaf monkey (g/head/day)


Week III Week IV Average sd Male Female Male Female Male Female DM 128.31 13.12 141.03 13.15 124.45 31.72 13.65 38.58 Ash 6.43 5.48 6.04 0.99 7.34 1.27 8.01 1.19 6.96 2.23 0.89 2.17 CP 10.88 10.40 7.26 2.69 11.91 3.22 13.29 3.24 10.84 4.89 2.58 3.68 C. Fat 4.55 3.18 4.38 0.34 5.55 0.44 5.56 0.40 5.01 1.09 0.63 1.39 CF 16.46 11.62 15.99 1.17 15.91 1.47 20.45 1.37 17.20 3.91 2.18 5.14 BETN 81.37 58.88 73.51 5.82 84.20 6.73 93.73 6.95 83.20 19.60 8.35 26.19 GE (kal/ 4499 3315 4136 407 4898 495 5351 486 4721 1176 head/day) 523 1426 Notes : DM = dry matter, CP= crude protein ; C. Fat = crude fat, CF = crude fiber; NFE = nitrogen free extract; GE = gross energy Nutrient Week I Week II Male Female Male Female 119.69 89.57 108.76 11.02

Table 4. Estimation of nutient need of maroon leaf monkey


Nutrient Ash Crude protein Crude fat Crude fiber NFE GE (Kal/100 g BK) Male Female Average Sd --------------------------(% DM)-------------------------5.59 8.71 4.03 13.82 66.85 3793.49 7.03 15.41 3.44 12.33 61.79 3707.44 6.31 1.02 12.06 4.74 3.74 0.42 13.08 1.05 64.32 3.58 3750.47 60.85

Notes : DM = dry matter; NFE = nitrogen free extractives; GE = gross energy

average for crude fiber need is the second highest need, namely 13.08%. This is caused the ability of maroon leaf monkey in digesting the feeds contending crude fiber in its digestive tract as the consequence of the presence of bacteria there to fermenting the feeds originated of plants (NRC 2003). Female maroon leaf monkey showed higher body weight addition than the male

experienced, namely around 350 g or 9.21 g/head/day (Table 5). It can be explained, female maroon leaf monkey is animal in growing period so that their body weight growth is high, while the male is adult monkey who just less experienced growth. Growth is an extremely complex process including body weight gain and the growth will be spread evenly and simultaneously 261

Wartika Rosa Farida

Table 5. Daily weight gain and feed efficiency ratio of maroon leaf monkey
Description Body weight in the beginning of observation (g) Body weight in the end of observation (g) Daily weight gain (g/head/day) Dry matter consumption (g/head/day) Feed Efficiency Ratio (%) Male 7,850 7,975 3.29 124.45 2.64 Female 1,750 2,100 9.21 31.72 29.04

(Maynard et al. 1979). Body weight gain data is obtained through measuring body weight increase by calculating repeatedly in certain time such as daily, weekly, or monthly (Tillman et al. 1991). The efficiency of feeds using is comparation between body weight gain and dry matter consumption of ration (Crampton & Harris 1969). Research result showed that female maroon leaf monkey who is younger than male maroon leaf monkey seemed has higher feeds using efficiency, namely 29.04%. CONCLUSION From the result of this research it can be concluded that average of feedstuff consumption for maroon leaf monkey are 126.80 g/head/day fresh material and 78.09 g/head/day dry matter. N-fr ee extractives is the nutr ient consumed most. The estimation of nutrient requirement by maroon leaf monkey is as follows 6.31% ash, 12.06% crude protein, 3.74% crude fat, 13.08% crude fiber, and 64.32% N-free extractives. The estimation nutrient requirement of maroon leaf monkey can be known from the result of this research 262

so that feeds intake for this animal can be better. REFERENNCES Baillie, J. & Groombridge, B. (compilers and editors) 1996. 1996 IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN, Gland, Switzerland. Church, DC & WG. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Edition. John Wiley and Sons, Inc., Canada. Crampton, EW. & LE. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. W.H. Freeman and Co. San Fransisco. Kappeler, M. 1981. Sketch of The Ecological Position. [http:www. markuskappler.ch/gips- /chapter8. html]. [10 Maret 2008]. Kool, KM. 1989. Behavioural Ecology of the Silver Leaf Monkey (Trachypithecus auratus sondaicus) In the Pangandaran Nature Reserve, West Java, Indonesia. University of New South Wales, Sidney. Maynard, LA., JK. Loosli, HF Hintz, & HG. Wanner. 1979. Animal

Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency

Nutrition. 3rd Ed. McGraw Hill Publishing Co Ltd. New York. Muhilal. 1991. Ubi Jalar Kurangi Resiko Buta. http://www.mail-archive. com. Kompas (on-line) Jakarta. [16 Februari 2008]. Moen, AN. 1973. Wildlife Ecology. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. National Research Council. 2005. Nutrient Requirements of Nonhuman Primates, 2nd Revised Edition. The National Academies Press, Washington, D.C. National Research Council. 2003. Nutrient Requirements of Nonhuman Primatess, 2nd Revised Edition, The National Academies Press, Washington, D.C. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UIPress, Jakarta. Prayogo, H. 2006. Kajian tingkah laku dan analisis pakan lutung perak (Trachypithecus cristatus) di Pusat Primata Scamutzer Taman Margasatwa Ragunan. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sukandar, S. 2004. Laporan Inventarisasi Flora dan Fauna di Cagar Alam Takokak. Balai Konser vasi Sumber Daya Alam Jawa Barat I. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Bandung. Supritna, S & EH. Wahono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Tillman, AD, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, & S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press. Tomaszewska, MW., IK Sutama & TD. Chaniago. 1991. Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winter, AR, & EM. Funk.1956. Poultry Science and Practice. 4 th Ed. Chicago. Philadelphia. New York. 323-326. Yulianti, S., Irlansyah, E. Junaedi & M. Widjaya. 2006. Khasiat dan Manfaat Apel. Agro Media Pustaka, Jakarta.

Memasukkan: Oktober 2009 Diterima: Januari 2010 263

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 265-275 (2010)

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik


1)

Dwi Agustiyani, 2)Ruly Marthina Kayadoe & 1)Hartati Imamuddin


1)

Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi-LIPI, Jl. Ir. H. Juanda 18, Bogor 16002 2) Dep. Biologi, Fak. MIPA-UI ABSTRACT

Nitrite Oxidation by Heterotrophic Bacteria Under Aerobic Condition. The nitrite transforming activities of heterotrophic bacteria from isolates from agriculture soil, Lampung were studied under aerobic conditions. Among the 9 bacterial isolates tested, almost all are reported have ability to consume of nitrite, but none of the bacterial isolates formed significant nitrate in the medium. NOB H1 (Bacillus licheniformis), is denitrification-negative, consumed 16. 4 mg/L of nitrites with the accumulation of 4.45 mg/L nitrates. While, NOB H8 (Pseudomonas sp.) is denitrification-positive, consumed 49. 64 mg/L of nitrite with the accumulation of 3.34 mg/L nitrates. Nitrite oxidations of both isolates NOB H1 and NOB H8 took place during stationery phase to the dead phase. Growth pattern of both isolates NOB H1 and NOB H8 were sigmoid with generation time of 1.69 and 2.19 hour, respectively Key words: heterotrophicbacteria; nitrite oxidation; denitrification

PENDAHULUAN Nitrifikasi merupakan reaksi penting dalam siklus nitrogen, yaitu oksidasi amonium menjadi nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat. Nitrifikasi autotrofik dilakukan oleh dua kelompok bakteri kemolitotrofik yang berbeda, yaitu ammonia-oxidizing bacteria (AOB) seper ti Nitrosomonas dan nitriteoxidizing bacteria (NOB) seperti Nitrobacter (Prosser 1989). Proses nitrifikasi sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh bakteri kemolitotrofik tetapi berbagai mikroorganisme lainnya, seperti bakteri heterotrofik, kapang, dan khamir juga mempunyai kemampuan untuk mengoksidasi berbagai komponen nitrogen (Sakai et al. 1996). Nitrifikasi

heterotrofik pertama kali dilaporkan pada tahun 1894. Proses ini merupakan komponen minor dari biogeokimia siklus nitrogen (Hans et al. 1989). Secara kuantitatif, peran nitrifikasi heterotrofik relatif kecil dibanding nitrifikasi autotrofik, namun nitrifikasi heterotrofik menjadi dominan di tanah hutan konifer yang bersifat asam (Killham 1986, Schimel et al. 1984, Both 1990). Bakteri heterotrofik berperan dalam proses nitrifikasi di alam jika bakteri kemolitoautotrofik berada dalam kondisi tidak aktif, seperti pada tanah yang terlalu asam atau basa, pada kondisi kadar oksigen yang rendah, kadar nitrogen terlarut yang tinggi, suhu yang terlalu rendah atau tinggi, atau terdapatnya senyawa penghambat 265

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

nitrifikasi seperti nitrapirin (Nishio et al. 1994, Mller 2002). Bakteri nitrifikasi heterotrofik yang telah banyak dipelajari adalah Alcaligenes sp. yang diisolasi dari tanah (Castignetti et al. 1980, Castignetti et al. 1981, Castignetti et al. 1982, Castignetti et al. 1983). Bakteri ini dapat mengoksidasi pyruvic oxime (PO) (Castignetti et al. 1983), mampu mengasimilasi nitrat (Castignetti et al. 1980) dan denitrifikasi (Castignetti et al. 1981). Bakteri heterotrofik pengoksidasi nitrit pada umumnya memiliki aktivitas mengoksidasi nitrit lebih rendah; sekitar 103-104 kali lebih rendah dibandingkan bakteri kemolitoautotrofik, (Focht & Verstraete 1977, Killham 1986, Gupta 1997). Aktivitas yang rendah tersebut disebabkan nitrit bukan sumber energi sehingga bakteri heterotrofik hanya mengoksidasi nitrit dalam jumlah yang rendah dibandingkan kemampuannya mengoksidasi sumber organik (Nishio 1994). Menurut Kuenen & Robertson (1994), proses nitrifikasi heterotrofik membutuhkan NADPH tetapi tidak menghasilkan ATP, reaksi oksidasi senyawa nitrogen secara lengkap tersebut oleh bakteri heterotrofik belum banyak diketahui (Killham 1986, Koops & Pommerening-Roser 2001, Barra clough & Puri 1995). Bakteri heterotrofik pengoksidasi nitrit mempunyai waktu generasi lebih cepat dibandingkan bakteri kemolitoautotrofik. Waktu generasi bakteri heterotrofik bervariasi antara 12 menit hingga 24 jam (Todar 2002). Akumulasi produk nitrifikasi pada bakteri heterotrofik pengoksidasi nitrit hanya dapat diamati setelah kultur mencapai fase pertum266

buhan stasioner. Banyak bakteri heterotrofik menghasilkan nitrit dan nitrat setelah fase aktif pertumbuhan (fase log), sehingga diduga proses nitrifikasi pada bakteri heterotrofik berhubungan dengan proses autolisis (Verstraete & Alexander 1972). Focht & Verstraete (1977) menduga bahwa bakteri nitrifikasi heterotrofik dapat menggunakan nitrit sebagai faktor pertumbuhan atau faktor biosidal untuk membantu kompetisi dan kelangsungan hidupnya (Paavolainen 1999). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bakteri nitrifikasi heterotrofik, mengetahui pola pertum-buhan dan pola reduksi nitrit dan produk nitrat yang dihasilkannya. BAHAN DAN CARA KERJA Medium yang digunakan Beberapa media digunakan dalam penelitian ini adalah Nutrien Agar (NA) untuk mengamati pertumbuhan, medium heterotrofik pengoksidasi nitrit dari Sakai et al. (1996) medium Giltay, dan medium Nutrient Broth (NB). Kultivasi bakteri Sumber isolat bakteri diambil dari tanah pertanian di Lampung. Tanah sebanyak 1 gram ditumbuhkan pada Erlenmeyer (100 ml) yang berisi 50 ml media pertumbuhan (pH 7,2) yang mengandung 100 mg/L NaNO2. Kultur tersebut kemudian diinkubasi selama 15 hari pada suhu ruang diatas pengocok (shaker), dengan kecepatan 120 rpm. Selama inkubasi dilakukan pengamatan pertumbuhan mikroba pengoksidasi nitrit, yaitu dengan cara mengamati

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

perubahan nitrit dan terbentuknya nitrat secara kualitatif, menggunokulasikan masing-masing ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml medium heterotrofik yang dilengkapi tabung durham dengan posisi terbalik dalam kondisi aerobik dan semi anaerobik (dengan pemberian 2 ml paraffin oil), pada medium Giltay dan medium NB. Kultur tersebut kemudian diinkubasi selama 1 minggu pada suhu ruang. Kemampuan isolat bakteri heterotrofik dalam memproduksi gas N dipantau dengan car a mengamati pembentukan gelembung udara di dalam tabung durham. HASIL Isolasi bakteri heterotrofik pengoksidasi nitrit Hasil isolasi diperoleh 8 isolat bakteri heterotrofik murni (NOB H1 NOB H8). Pengamatan morfologi makroskopik koloni bakteri tersebut memiliki morfologi yang berbeda (Tabel 1). Berdasarkan pengamatan mikroskopis, 6 isolat bakteri bersifat gram negatif dan 2 isolat bersifat gram positif (Tabel 2).Perbedaan morfologi makroskopik dan mikroskopik tersebut, diduga kedelapan isolat bakteri he-terotrofik merupakan jenis yang berbeda. Seleksi kemampuan isolat bakteri heterotrofik dalam mengoksidasi nitrit Konsentrasi nitrit pada awal inkubasi terdeteksi sebesar 71 mg/L NNO2. Hasil pengukuran konsentrasi nitrit pada akhir inkubasi dari delapan isolat bakteri yang diuji berbeda, berkisar

antara 21,40 sampai 64,21 mg/L N-NO2. Sedangkan konsentrasi nitrat yang terbentuk berkisar antara 3,03 sampai 4,45 mg/L N-NO3 (Tabel 3). Penurunan konsentrasi nitrit terbesar ditunjukkan oleh isolat NOB H8, yaitu sebanyak 49,60 mg/L N-NO2, namun nitrat yang terbentuk hanya sebesar 3,34 mg/L N-NO3 atau 6,73% dari jumlah penurunan konsentrasi nitrit. Pembentukan konsentrasi nitrat terbesar ditunjukkan oleh isolat NOB H1, yaitu sebanyak 4,45 mg/L N-NO3, sedangkan penurunan nitrit sebanyak 16,4 mg/L NNO2. Berdasarkan hasil tersebut isolat NOB H1 dan NOB H8 dipilih untuk pengujian penentuan pola pertumbuhan dan aktivitas oksidasi nitrit. Pola pertumbuhan isolat bakteri heterotrofik terpilih 1. Pola pertumbuhan isolat NOB H1 Fase lag isolat NOB H1 berlangsung sampai jam ke 4. Fase eksponensial terjadi sampai jam ke 8 dan fase stasioner hingga kematian terjadi pada jam ke 24 (Gambar 1). Pada saat fase eksponensial, isolat NOB H1 tumbuh dengan cepat, dengan waktu generasi isolat bakteri NOB H1 mencapai 1,69 jam. 2. Pola pertumbuhan isolat NOB H8 Kurva pertumbuhan isolat bakteri NOB H8 menunjukkan pola yang hampir sama dengan isolat NOB H1. Fase lag berlangsung selama 1 jam, fase eksponensial berlangsung sampai jam ke 11, dan selanjutnya memasuki fase stasioner dan kematian (Gambar 2). Fase lag pada isolat NOB H8 tidak berlangsung lama dan 267

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

mengindikasikan bakteri dapat cepat beradaptasi. Fase eksponensial pada isolat NOB H8 berlangsung cukup lama hingga jam ke 11. Berdasarkan hasil TPC waktu generasi isolat NOB H8 mencapai 2,19 jam. D. Pola reaksi oksidasi nitrit isolat bakteri heterotrofik terpilih 1. Pola reaksi oksidasi nitrit isolat NOB H1 Hasil pengujian pola reaksi perubahan nitrit isolat NOB H1 menunjukkan bahwa secara umum dari jam ke 0 sampai ke 120 terjadi penurunan konsen-

trasi nitrit. Amonium mengalami kenaikan sampai jam ke 22, dan pada jam ke 24 mengalami penurunan, kemudian konstan sampai akhir inkubasi. Penurunan konsentrasi nitrit diikuti dengan kenaikan konsentrasi nitrat mulai terjadi jam ke 24 sampai jam ke 120 (Gambar 3). Efisiensi penurunan nitrit dari isolat bakteri NOB H1 mencapai 16,6%, dan efisiensi pembentukan nitratnya 6,2%. 2. Pola reaksi oksidasi nitrit isolat NOB H8 Konsentrasi nitrit sampai 8 jam inkubasi, tidak memperlihatkan peruba-

Tabel 1. Karakter morfologi makroskopik koloni isolat-isolat bakteri heterotrofik Pada agar dalam cawan petri Kode Isolat NOB H1 NOB H2 NOB H3 NOB H4 NOB H5 NOB H6 NOB H7 NOB H8 Warna Oranye Kuning Putih Krem Kuning Kuning terang Putih Putih Kemiringan Bundar Bundar Kriting Bundar Tidak beratur Bundar Bundar Bundar Permukaan Cembung Cembung Menonjol Cembung Menonjol Cembung Cembung Cembung Tepi Rata Rata Erose Beralun Beringgit Rata Rata Rata Pada agar miring Effuse Bentuk benang Effuse Echinulate Effuse Effuse Bentuk benang Effuse

Tabel 2. Karakter morfologi mikroskopik isolat-isolat bakteri heterotrofik Kode isolat NOB H1 NOB H2 NOB H3 NOB H4 NOB H5 NOB H6 NOB H7 NOB H8 Jenis Gram + + Bentuk Sel Batang Bulat Bulat Bulat Batang Bulat Bulat Batang

268

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

OD 610 nm
0 -5

10

15

20

25

30

Waktu (Jam)

Gambar 1. Kurva pertumbuhan isolat bakteri heterotrofik NOB H1 selama 24 Jam

OD 610 nm
1 0 -5

10

15

20

25

30

Waktu (Jam)

Gambar 2. Kurva pertumbuhan isolat bakteri heterotrofik NOB H8 selama 24 Jam

han yang signifikan, nampak turun pada jam ke 8 sampai jam ke 11, setelah itu mengalami kenaikan dan penurunan secara bergantian sampai jam ke 24. Amonium mengalami kenaikan dari jam ke 0 sampai jam ke 5, kemudian turun hingga jam ke 14, naik kembali pada jam ke 17 kemudian turun hingga akhir reaksi. Penurunan konsentrasi nitrit yang diikuti dengan kenaikan nitrat terjadi pada jam ke 8 sampai jam ke 11. Setelah jam ke 11, konsentr asi nitr at cenderung menunjukkan penurunan sampai jam ke 24 (Gambar 4).

Penurunan konsentrasi nitrit yang diikuti peningkatan konsentrasi nitrat menunjukkan reaksi oksidasi nitrit. Oksidasi nitrit pada isolat NOB H8 terjadi pada jam ke 8 sampai jam ke 16, tetapi konsentrasi nitrat yang terbentuk sangat rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan isolat bakteri NOB H8 dalam mengoksidasi nitrit sangat rendah. Apabila dihubungkan dengan kurva pertumbuhan pada Gambar 2, reaksi oksidasi nitrit menjadi nitrat juga terjadi ketika bakteri berada pada fase stasioner. Setelah jam ke 11, konsentrasi 269

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

Tabel 3. Rerata penurunan konsentrasi nitrit dan pembentukan nitrat isolat-isolat bakteri Heterotrofik Kode Isolat NOB H1 NOB H2 NOB H3 NOB H4 NOB H5 NOB H6 NOB H7 NOB H8 N-NO2 awal (mg/L) 71 71 71 71 71 71 71 71

140 12

N-NO2 akhir (mg/L) 54,60 62,04 77,55 55,84 64,21 63,28 44,98 21,40

Penurunan N-NO2 (mg/L) 16,4 8,96 0 15,6 6,79 7,72 26,02 49,60

Pembentukan N-NO3 (mg/L) 4,45 3,03 4,60 3,84 3,38 4,04 3,26 3,34

10 120 8
N-NO2 (mg/L) N-NO3 (mg/L); N-NH4 (mg/L)

100 6

80

2 60 0

-20

20

40

60
Waktu (Jam)

80

100

120

Amonium

Nitrit

Nitrat

Gambar 3. Grafik perubahan nitrit serta produksi nitrat dan amonium isolat bakteri NOB H1 selama 120 jam

nitrit mengalami penurunan dan kenaikan secara bergantian sampai jam ke 24, sedangkan konsentrasi nitrat cenderung mengalami penurunan. Uji produksi gas N isolat bakteri heterotrofik terpilih Hasil pengujian produksi gas dari kedua isolat bakter i yang diuji menunjukkan bahwa isolat NOB H1 tidak memperlihatkan pembentukan gas di dalam tabung durham pada medium heterotrofik dalam kondisi aerobik dan 270

semi anaerobik (Gambar tidak ditampilkan). Isolat NOB H1 juga tidak memperlihatkan kemampuan membentuk gas pada medium Giltay dan medium Nutrient Broth (NB) dalam kondisi semi anaerobik. Sedangkan isolat bakteri NOB H8 mampu membentuk gelembung gas di dalam tabung durham pada medium heter otrofik aerobik dan anaerobik, juga pada medium Giltay, dan medium Nutrien Broth (NB) dalam kondisi semi anaerobik.

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

103 8

102 6
N-NO2 (mg/L) N-NO3 (mg/L); N-NH4 (mg/L)

101 4

100

99 -20

20

40

60

80

100

120

Waktu (Jam)
Nitrit Amonium Nitrat

Gambar 4. Grafik perubahan nitrit serta produksi nitrat dan amonium isolat bakteri NOB H8 selama 24 jam

Identifikasi isolat bakteri heterotrofik terpilih Hasil identifikasi oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) menyimpulkan bahwa isolat bakteri NOB H1 adalah bakteri Bacillus licheniformis. dan isolat NOB H8 adalah Pseudomonas sp. (data tidak ditampilkan). PEMBAHASAN Pengamatan makroskopik dan mikroskopik dari delapan isolat bakteri heterotrofik memperlihatkan hasil yang berbeda (Tabel 1 dan 2). Berdasarkan perbedaan tersebut dapat diasumsikan bahwa kedelapan isolat bakteri heterotrofik yang diamati merupakan jenis yang berbeda. Menurut Alexander (1965), berbagai jenis mikroorganisme heterotrofik diketahui mampu melakukan proses nitrifikasi, tetapi tidak ada karakter khusus yang menjadi ciri khas untuk mengelompokkan mikroorganisme heterotrofik nitrifikasi kedalam kelompok taksonomi tertentu. Dari hasil pengukuran penurunan konsentrasi nitrit, kedelapan isolat bakteri

heterotrofik yang diuji juga memperlihatkan kemampuan reduksi nitrit dan produksi nitrat yang berbeda (Tabel 3). Penurunan konsentrasi nitrit terbesar ditunjukkan oleh isolat NOB H8, yaitu sebanyak 49,60 mg/l N-NO2. sedangkan pembentukan konsentrasi nitrat terbesar ditunjukkan oleh isolat NOB H1, yaitu sebanyak 4,45 mg/l N-NO3. Berdasarkan hasil tersebut maka isolat NOB H1 dan NOB H8 dijadikan isolat terpilih untuk penentuan pola pertumbuhan dan uji aktivitas reduksi nitrit. Pertumbuhan isolat bakteri NOB H1 dalam medium heterotrofik cukup cepat, waktu generasinya mencapai sebesar 1,69 jam. Waktu generasi isolat bakteri NOB H1 pada media heterotr ofik dengan glukosa sebagai sumber karbon cukup pendek. Menurut Gottschalk (1986) sel membutuhkan lebih banyak energi untuk sintesis biomassa jika menggunakan asetat dari pada glukosa. Bakteri membutuhkan 99,5 mmol ATP untuk membentuk 1 g sel dari asetat, sedangkan jika menggunakan glukosa energi yang dibutuhkan bakteri hanya

271

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

34,8 mmol ATP. Glukosa merupakan monosakarida yang memiliki enam karbon dan lebih mudah digunakan oleh bakteri daripada sumber karbon lainnya (Boyer, 2002). Apabila dibandingkan dengan isolat NOB H1, fase eksponensial isolat bakteri NOB H8 berlangsung lebih lama, hingga jam ke 11. Berdasarkan hasil TPC (data tidak ditampilkan) dapat dihitung waktu generasi isolat NOB H8 sebesar 2,19 jam. Pola reaksi perubahan nitrit isolat NOB H1 (Gambar 3) menunjukkan bahwa secara umum terjadi penurunan konsentrasi nitrit yang diikuti oleh kenaikan konsentrasi amonium dan nitrat. Proses penurunan nitrit yang terjadi pada jam ke 0 sampai jam ke 22, tidak diikuti dengan kenaikan konsentrasi nitrat, melainkan kenaikan konsentrasi amonium (Gambar 3). Penurunan nitrit pada fase ini diduga disebabkan oleh reaksi reduksi nitrit menjadi amonium. Apabila dihubungkan dengan kurva pertumbuhan pada Gambar 1, reaksi reduksi nitrit menjadi amonium terjadi pada masa pertumbuhan sel bakteri. Pada masa pertumbuhan, isolat NOB H1 mereduksi nitrit menjadi amonium untuk digunakan dala m sintesis biomasa. Menurut Gottschalk (1986), mikroorganisme cenderung untuk mereduksi nitrit menjadi amonium karena amonium dapat digunakan untuk sintesis biomassa sel. Amonium juga digunakan untuk sintesis asam amino dan protein melalui glutamin dan glutamat (Joklik et al. 1992). Reaksi penurunan nitrit yang diikuti dengan kenaikan nitrat terjadi dari jam ke 24 sampai jam ke 120. Menurut Sakai et al. (1996), penurunan nitrit yang diikuti 272

dengan pembentukan nitrat mengindikasikan terjadinya proses oksidasi. Hasil identifikasi menyimpulkan bahwa isolat NOB H1 adalah bakteri Bacillus licheniformis. memperkuat dugaan bahwa isolat bakteri ini adalah bakteri pengoksidasi nitrit karena menurut Sakai et. al. (1994) beberapa kelompok Bacillus merupakan bakteri pengoksidasi nitrit. Apabila dihubungkan dengan kurva pertumbuhan pada Gambar 1, terlihat bahwa perubahan nitrit menjadi nitrat terjadi pada jam ke 22 sampai jam ke 120 yang berarti sudah memasuki fase stasioner sampai kematian. Menurut Verstraete & Alexander (1972), kebanyakan mikroorganisme heterotrofik menghasilkan nitrit atau nitrat setelah fase aktif pertumbuhan. Nitrit atau nitrat dihasilkan oleh mikroorganisme setelah sumber karbon telah habis digunakan untuk sintesis biomassa pada fase aktif pertumbuhan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan reaksi oksidasi nitrit pada isolat NOB H1 terjadi pada fase stasioner hingga kematian. Oksidasi nitrit pada isolat NOB H8 terjadi pada jam ke 8 sampai jam ke 11, tetapi konsentrasi nitrat yang terbentuk sangat rendah (Gambar 4). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan isolat bakteri NOB H8 dalam mengoksidasi nitrit sangat rendah. Apabila dihubungkan dengan kurva pertumbuhan pada Gambar 3, reaksi oksidasi nitrit menjadi nitrat juga terjadi ketika bakteri berada pada fase stasioner. Setelah jam ke 11 sampai jam ke 24, konsentrasi nitrit mengalami penurunan dan kenaikan secara bergantian, sedangkan konsentrasi nitrat cenderung mengalami penurunan.

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

Dari pola reaksi ini dapat disimpulkan bahwa penurunan nitrit pada isolat NOB H8 lebih besar disebabkan oleh reaksi reduksi nitrit menjadi gas N. Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan stokiometri yang menunjuk-kan adanya kehilangan jumlah N sekitar 45% pada akhir reaksi (data tidak ditampilkan). Menurut Gupta (1997), reaksi reduksi nitrit menjadi gas N merupakan bagian dari reaksi denitrifikasi, sehingga diduga bakteri NOB H8 adalah bakteri denitrifikasi. Castignetti & Hollo-cher (1984) bahwa beberapa bakteri denitrifikasi heterotrofik juga mampu melakukan proses nitrifikasi atau sebaliknya. Diduga isolat NOB H8 adalah bakteri denitrifikasi yang juga mempunyai kemampuan mengoksidasi nitrit (nitrifikasi). Hasil pengamatan kemampuan produksi gas pada media denitrifikasi (gambar tidak ditampilkan) menunjukkan bahwa isolat NOB H8 mampu memproduksi gas sedangkan isolat NOB H1 tidak memperlihatkan kemampuan memproduksi gas. Hasil uji produksi gas N pada isolat NOB H8 memperkuat dugaan bahwa isolat NOB H8 merupakan bakteri denitrifikasi. Hasil identifikasi yang menyimpulkan bahwa isolat bakteri NOB H8 adalah Pseudomonas sp. memperkuat dugaan bahwa isolat bakteri ini adalah bakteri denitrifikasi. Menurut Tchobanoglous et al.(2003), Pseudomonas sp. merupa-kan satu kelompok bakteri denitrifikasi. KESIMPULAN Pola pertumbuhan isolat bakteri heterotrofik NOB H1 dan NOB H8

mengikuti pola pertumbuhan yang sigmoid, dengan waktu generasi sebesar 1,69 jam untuk isolat NOB H1, dan 2,19 jam untuk isolat NOB H8. Isolat NOB H1 memiliki kemampuan mengoksidasi nitrit lebih besar dibandingkan dengan isolat NOB H8. Penurunan nitrit dari isolat NOB H8 tidak hanya disebabkan oleh reaksi oksidasi tetapi juga melalui reaksi reduksi (denitrifikasi). Isolat bakteri NOB H1 teridentifikasi sebagai bakteri Bacillus licheniformis dan isolat bakteri NOB H8 teridentifikasi sebagai bakteri Pseudomonas, sp. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Nani Mulyani yang telah membantu penelitian ini hingga selesai. Penelitian ini dibiayai dari anggaran DIPA Puslit Biologi-LIPI. DAFTAR PUSTAKA Alexander, M. 1965. Nitrification. In: Bartholomew, WV. & FE. Clark (eds). 1965. Soil nitrogen. American Society of Agronomy Inc., Publ., Madison. Barrachlough, D. & G. Puri. 1995. The use of 15N pool dilution and enrichment to separate the heterotrophic and autotr ophic pathways of nitrification. Soil Biol. Biochem. 27(1): 17-22. Boyer, RF. 2002. Concepts in biochemistry. Books/Cole, Australia. Both, GJ. 1990. The ecology of nitriteoxidizing bacteria in grassland soils. Institute for Ecological Research, Heteren. 273

Agustiyani, Kayadoe, & Imamuddin

Castignetti D., and HB Gunner. 1980. Sequential nitrification by an Alcaligenes sp. and Nitrobacter agilis. Can. J. Microbiol. 26: 11141119. Castignetti D., and HB Gunner. 1981. Nitrite and Nitrate synthesis from pyruvic oxime by an Alcaligenes sp. Curr. Microbiol. 5: 379-384. Castignetti, D. & TC. Hollocher. 1981. Vigorous denitrification by a heterotrophic nitrifier of the genus Alcaligenes Curr. Microbiol. 6: 274-252. Castignetti, D. & TC. Hollocher. 1982. Nitrogen redox metabolism of a heterotrophic nitrifying-denitrifying Alcaligenes sp. From soil. Appl. Environ. Microbiol. 44: 923-928 Castignetti, D., JR Petithory, and TC Hollocher. 1983. Pathway of oxidation of pyruvic oxime by a heterotrophic nitrifier of the genus Alcaligenes: evidence against hydrolysis to pyruvate and hydroxylamine. Arch. Biochem. Biophys. 224: 587-593. Castignetti, D. & TC. Hollocher. 1984. Heterotrophic nitrification among denitrifier s. Appl. Environ. Microbiol. 47(4): 620-623. Departemen Pekerjaan Umum. 1990. Kumpulan SNI bidang pekerjaan umum mengenai kualitas air. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Gottschalk, G. 1986. Bacterial metabolism. 2nd ed. Springer-Verlag, New York. Gupta, AB. 1997. Thiosphaera pantotropha: a sulphur bacterium capable 274

of simultaneous heterotrophic nitrifications and aerobic denitrification. Enzyme Microb. Technol. 21: 589-595. Hans P, Regina von Berg, I Hinkel, B Thoene and H Rennenberg. 1989. Heterotrophic Nitrification by Alcaligenes faecalis: NO2-, NO3N2O, and NO Production in Exponentially Growing Cultures. App. Environ. Mic. 55, No. 8: 2068-2072 Joklik, WK., HP. Willet, DB. Amos & CM. Wilfer t. 1992. Zinsser microbiology. 20th ed. Appleton & Lange, Norwalk. Koops, HP. & A. Pommerening-Rser. 2001. Distribution and ecophysiology of the nitrifying bacteria emphasizing cultured species. FEMS Microbiol. Ecol. 37: 1-9. Mller, C., RJ. Stevens, RJ. Laughlin. 2002. Evidence of carbon stimulated N transformations in grassland soil after slurry applications. Soil Biol. Biochem. : 1-9. Nishio, T., T. Yoshikura, K. Chiba & Z. Inouye. 1994. Effects of organic acids on heterotrophic nitrification by Alcaligenes faecalis OKK17. Biosci. Biotech. Biochem. 58(9): 1574-1578. Prosser, JI. 1989. Autotrophic nitrification in bacteria. Adv. Microb. Physiol. 30:125181. Sakai, K., Y. Ikehata, Y. Ikenaga, M. Wakayama & M. Moriguchi. 1996. Nitrite oxidation by heterotrophic bacteria under various nutritional and aerobic conditions. J. Ferment. Bioeng. 82(6): 613-617.

Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik

Tchobanoglous, G., FL. Burton & HD. Stensel. 2003. Wastewater engineering: Treatment and reuse. 4th ed. McGraw-Hill, Boston.

Todar, K. 2002. Growth of bacterial population. http://www.textbook of bacteriology.net. Verstraete, W. & M. Alexander. 1972. Heterotrophic nitrification by Arthrobacter sp. J. Bacteriol. 110 (3): 955-961. Memasukkan: November 2008 Diterima: Februari 2009

275

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 277-288 (2010)

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah Penduduk dan Industri
Eko Harsono &Sulung Nomosatryo
Pusat Penelitian Limnologi, Jl. Raya Cibinong Km 47 Cibinong Bogor

ABSTRACT Characterisation of Organic Carbon of Up Stream Citarum River Water from Domestic and Industrial Waste Effluent. The local government of Citarum upstream area has conducted the river cleaning program to increase Disolved Oxygen since 1991 until now. The program has impacted to installments of to wastewater treatment for 80% industrials in the Upper Citarum drainage area declining the load of BOD5 wastewater. However most of waste water coming from Banung population have been treated in the collective wastewater treatment (IPAL) of Bojongsoang. Nevertheless, the low concentration of Dissolved oxygen which is under the minimum stream standard concentration, 3mg/l still becomes a problem until now. An ineffectiveness of improvement of the DO is caused by the treatment effluent BOD5 load from domestic and industrial wastewater and low awareness industrial wastewater about characteristics of river water quality . This research aimed to characterize the BOD oxidation rate and BOD5 regime of each river reach base on wastewater domestic or industrial characteristic. The result of this research can then be applied to build the priority of the load reduction of BOD5 wastewater domestic or industrial in each reach of that river. The characteristic of oxidation rate have investigated at influent point and water body of Upper Citarum River by multivariate cluster observation. The oxidation rate was calculated by least-square method from BOD data. The BOD observation was measured by BOD meter everyday for 5 days. The result shows that Curugjompong at 0 to 21st km and 36th km to Majalaya bridge is characterizedby an industrial sewage, while the upper Citarum at 21 to 36 Km is characterized by an domesticsewage. Key words: Characteristic, oxydation rate, Citarum river, organic carbon.

PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) Citarum Hulu yang luas nya 1807 km 2 dan melingkupi Pemkot dan Pemkab. Bandung serta Pemkot. Cimahi, di salah satu sisi telah tumbuh sebagai pusat kegiatan ekonomi di Propinsi Jawa Barat. Namun di sisi lainnya, telah menekan

sungai Citarum Hulu dengan beban karbon organik terdegradasi (degradable organic carbon) yang terkandung dalam air limbah buangannya (Laporan tim PROKASIH 2007). Badan air sungai dapat dianggap sebagai mixed-flow reactor (Chapra 1997). Apabila badan air tersebut mendapat masukan material karbon 277

Eko Harsono & Nomosatryo

organik terdegradasi, maka akan tumbuh mikrobial. Sehingga sungai tersebut juga dapat dianggap sebagai kultur alami. Dimana nasib karbon organik terdegradasi dalam reaktor atau kultur alami tersebut akan dioksidasi oleh mikrobial heterogenous yang pada umumnya terdiri dari bakteri, protozoa, rotifers dan fungi untuk pertumbuhan serta perkembangannya (Thomann 1987). Sungai karena kondisi hidrolika dan alirannya, dapat melakukan reaerasi untuk memproduksi oksigen terlarut (DO) di dalam badan air itu sendiri (Chapra 1997). Produksi DO tersebut akan digunakan untuk pertumbuhan mikrobial dengan mengoksidasi karbon organik terdegradasi secara aerobik (Grady 1997). Apabila kehadiran karbon organik terdegradasi sedikit, mikrobial yang tumbuh juga sedikit, dan kebutuhan oksigen terlarut (DO) juga sedikit. Sehingga reaerasi sungai masih dapat mengembalikan kandungan DO sungai seperti semula dan kondisi aerobik masih dapat terjaga. Namun apabila karbon organik yang hadir berlebihan, maka mikrobial yang tumbuh kembang juga berlebihan, dan DO yang dibutuhkan juga berlebihan. Sehingga reaerasi tidak mampu lagi mengimbangi kebutuhan DO, yang pada gilirannya produksi DO tersebut defisit. Sungai yang produksi DO-nya defisit, lambat-laun akan tumbuh mikrobial yang dapat mengoksidasi karbon organik tanpa oksigen (mikrobial an-aerobik). Badan air sungai yang telah mengalami proses oksidasi an-aerobik akan membuat sungai berwarna hitam, 278

dimana produksi sampingannya (by product) adalah H2S yang bau dan zatzat beracun lainnya (Thomann,1987). Sungai yang demikian itu harkatnya telah merosot dan tidak disukai, karena tidak estetik dan terkesan kumuh. Sungai Citarum Hulu telah menerima beban karbon organik terdegradasi (degrdable) 160.000 ~ 200.000 Ton/Hari dari penduduk (Salim 2002), dan 81.363 ~ 109.114 Ton/hari dari industri (Bukit 2002). Dalam rangka melindungi sungai Ciatrum dalam dari ancaman difisit DO karena beban tersebut. Pemda setempat telah menetapkan baku mutu kualitas air sungai Citarum Hulu pada peruntukan golongan C dengan konsentrasi DO airnya e 3mg/l (Laporan tim PROKASIH 2007). Melalui PROKASIH dari tahun 1991 hingga sekarang juga telah dilakukan upaya penurunan beban tersebut. Dimana hasilnya adalah, 80% industri yang ada di dalam DAS Citarum Hulu telah memasang IPAL (Laporan tim PROKASIH 2007). Disamping itu, juga telah berlangsung Proyek Bandung Urban Development (BUDP) yang membangun saluran dan pengumpul air limbah sebagian besar penduduk kota Bandung yang kemudian diolah di IPAL kolektif Bojongsoang. Efisiensi penurunan karbon organik terdegradasi oleh IPAL industri dari program tersebut telah mencapai antara 50 s/d 60%. Sedangkan efisiensi IPAL Bojongsoang antara 45 s/d 50%. Tingkat efisiensi penurunan beban karbon terdegradasi tersebut, mestinya telah mengakibatkan laju reaerasi alami sungai Citarum Hulu sudah dapat mengembalikan DO air pada konsentrasi yang

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

dikehendaki. Namun demikian sampai saat ini, kandungan oksigen terlarut (DO) air sungai Citarum Hulu masih kurang dari baku mutu peruntukkannya, bahkan di sebagian ruas sungai konsentrasi DO airnya 0 mg/l (Wangsaatmadja 2007). Belum efektifnya upaya penurunan beban karbon organik terdegradasi tersebut, karena pendekatan yang telah dilakukan masih berdasarkan pada pembatasan beban pada keluaran dari sumber pencemar (effluent standard). Pendekatan ini tidak mempertimbangkan karakteristik sungainya sebagai badan air penerima. Meskipun target penurunan karbon organik terdegrdasi telah tercapai sesuai dengan baku mutu effluent, namun belum tentu dapat menaikan DO air sungai sesuai dengan yang dikehendaki oleh baku mutu sungainya (Stream standard). Untuk itu badan air sungai Citar um Hulu perlu diteliti untuk mengungkap karakteristiknya dalam menerima beban kar bon organik terdegradasi. Sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai landasan untuk menyusun alternatif dalam perencanaan dan implementasi pengendalian karbon organik terdegrdasi dalam perbaikan DO air. Sungai Citarum Hulu mempunyai banyak anak sungai (tributary) yang DAS-nya luas maupun sempit. Melalui anak-anak sungai tersebut beban karbon organik terdegrdasi dari penduduk maupun industri masuk ke dalam badan air sungai Citarum Hulu. Sehingga sangat sulit untuk membedakan asal air limbah yang mendominasi di setiap ruas badan air sungai tersebut. Apabila dominasi asal air limbah tersebut dapat diketahui, maka

dapat disusun prioritas dalam penurunan karbon organik terdegradsi dari sumber pencemar yang ada di dalam sub-DAS ruas-ruas sungai Citarum Hulu. Laju oksidasi kar bon organik degradable dapat dikatakan sebagai ekspresi kinerja mikrobial heterogenous dari suatu kultur (Benefield 1980). Laju oksidasi kar bon organik tersebut tergantung pada kemudahan karbon organik dioksidasi, kondisi fisika dan kimia lingkungan mikrobial serta kesiapan mikrobial dalam kultur tersebut. Apabila kondisi fisika, kimia lingkungan dan mikrobial konstan (sama), laju oksidasi semakin tinggi maka semakin mudah pula karbon organik terdegrasi dioksidasi. Sebaliknya semakin rendah laju oksidasi, maka semakin sulit pula karbon organik terdegradasi dapat dioksidasi. Menurut Chapra (1997) laju oksidasi untuk air limbah domestik berkisar antara 0,05 sampai 0,3/hari, dan penelitian Oke (2005) untuk contoh air limbah domestik dari influen IPAL kolam stabilisasi di Nigeria, telah memperoleh laju oksidasi 0,254 s/d 0,350. Sedangkan menurut Nemerow (1978) laju oksidasi air limbah industri tergantung pada jenis industrinya, dimana rentangnya antara 0,5 s/d 1.5/ hari. Apabila karbon organik terdegrdasi di dalam air setiap ruas sungai Citarum Hulu dapat dicirikan berdasarkan laju oksidasi dari air limbah penduduk dan industri. Maka dapat diketahui asal air limbah yang mendominasi di setiap ruas sungai tersebut. Untuk itu penelitian ini telah dilakukan, dimana hasilnya diharapkan dapat digunakan untuk menyusun prioritas dalam penuruanan karbon organik terdegradsi dari sumber 279

Eko Harsono & Nomosatryo

pencemar yang ada di dalam sub-DAS ruas-ruas sungai tersebut, sehingga DO air sungai Citarum Hulu dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan. BAHAN DAN CARA KERJA Pencirian air limbah domestik dan industri di ruas-ruas sungai Citarum Hulu, dilakukan dengan metode multivariate cluster observations menggunakan perangkat lunak statistik Minitab Release 14.12.0. Ciri air limbah domestik dan industri diwakili oleh laju oksidasi karbon terdegradasi (degradable) (k) dari contoh air sungai, influen sungai (masukan aliran air ke dalam sungai), air limbah area pemukiman dan contoh air limbah area industri di sepanjang sungai Citarum Hulu ruas Curugjompong hingga Majalaya. Berdasarkan informasi yang telah diperoleh bahwa, 80% industri yang telah berkembang di DAS Citarum Hulu adalah industri tekstil (Laporan Tim PROKASIH 2007), air limbah dari domestik Kota Bandung telah disalurkan dan diolah di IPAL Bojongsoang, dan informasi penyebaran area pemukiman dan industri hasil klasifikasi dari citra Aster tahun 2007, maka titik-titik pengambilan contoh air telah ditentukan. Contoh air limbah domestik (DMT) yang sebagai acuhan, diambil di saluran masuk (influen) IPAL Bojongsoang. Contoh air limbah industri (INDT) yang sebagai acuhan, diambil dari saluran pembuang kawasan industri tekstil di daerah Dayeuhkolot sebelum masuk ke dalam IPAL Industri kolektif Cisiriung.

Sedangkan contoh air yang lain lokasi titiknya dapat dilihat dalam Gambar 1. Pengambilan contoh air tersebut dilakukan pada bulan April 2008, yaitu pada akhir musim penghujan. Dimana pengambilan contoh airnya dilakukan dengan metode Grab. Menurut Chapra (1997), karbon organik terdegradasi yang langsung di oksidasi oleh mikrobial adalah yang dalam bentuk terlarut. Untuk mendekati itu, maka contoh air yang telah diambil langsung disaring dengan kertas saring Millipore 0,45 m. Dimana contoh air yang telah tersimpan dalam botol sample tersebut disimpan dalam pendingin (d4 0 C) ketika dibawa ke laboratorium. Sedangkan untuk menjaga keutuhan kandungan karbon organik terdegradasi dalam botol sample, sebelum 24 jam dari pengambilannya telah dilakukan analisis dan percobaan untuk menentukan BOD harian di laboratorium. Penentuan BOD harian tersebut, dilakukan dengan menggunakan BODmeter merck Aqualitic AL 181 yang sesuai metode standard APHA (1995). Dimana untuk menjamin kinerja mikrobial pada kultur di dalam botol untuk analisis BOD di laboratorium tersebut, telah digunakan mikrobial dari kultur lumpur mikrobial sungai Citarum Hulu. Sedangkan laju oksidasi karbon organik dihitung dari data BOD harian yang telah diperoleh. Dimana metode perhitungan laju oksidasi tersebut, menggunakan metode least-squares (Metcalf 1991).

280

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

Gambar 1. Lokasi Titik Pengambilan Contoh Air (Sampling)

HASIL Hasil pemantauan BOD harian contoh air sungai dan acuhan disajikan dalam Gambar 2, sedang dari masukan aliran (influen) disajikan dalam Gambar 3 Dari Gambar 2, dan Gambar 3 dapat dilihat, kurva BOD mempunyai kecenderungan yang serupa. Dimana hari ke nol hingga hari ke 1 masih landai, namun menginjak hari ke 2 sampai dengan hari ke 4 kurva BOD telah memperlihatkan kenaikan yang berarti, dan hingga hari ke 5 kurva BOD relatif tidak menunjukkan kenaikan yang berarti. Meskipun kecenderungan tersebut serupa, namun bila dilihat dari tiap titik contoh airnya, maka kurva tersebut mempunyai karakter sendirisendiri. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 2(b) yang merupakan contoh acuhan dari air limbah industri dan penduduk, dimana kecenderungannya sama namun lengkung BOD dari air limbah industri lebih tingggi dibandingkan dengan dari air

limbah penduduk. Karakteristik kurva BOD tersebut perbedaannya semakin jelas apabila dilihat dari laju oksidasi karbon organiknya (k) yang hasilnya dilaporkan berikut ini. Dari hasil pengamatan BOD tiap hari dan menggunakan metode seperti yang telah diuraikan sebelumnya, dapat dihitung laju oksidasi karbon organik (k). Hasil perhitungan k dari pemantauan BOD tiap titik pengambilan contoh air disajikan dalam Gambar 4. Dari Gambar 4 dapat dilihat, hasil k air limbah domestik (DMST) telah diperoleh 0.2088/hari, dan industri 0,491988/hari. Berdasarkan k acuhan tersebut, nilai k air sungai di titik 357, 382 dan 397 serta k air dari anak-anak sungai (influen) 356, 368,371 dan 398 cenderung berdekatan karakternya. Sedangkan nilai k air sungai di titik 361 dan dari anakanak sungai (influen) 359, 364, 367, 368, 369, 464, dan 387 cenderung berdekatan dengan nilai karakter kurva BOD dari air limbah penduduk (DMST).

281

Eko Harsono & Nomosatryo

30 25

357 382

361

140 120

Domistik (DMT) Industri (INDT)

20 15 10 5 0

BOD (Mg/l)

397

BOD (Mg/l)

100 80 60 40 20 0

(a)

(b)

Waktu (Hari)

Waktu (Hari)

Gambar 2. Hasil pemantauan BOD setiap hari di titik sungai (a) dan cuhan (b)
35 30 25 20 15 10 5 0 0 387 364 468 359 369 464 479 367
140 120 100 80 60 40 20 0

BOD (Mg/l)

BOD (Mg/l)

398 368 476

392 371 356

2 3 Waktu (Hari)

2 3 Waktu (Hari)

Gambar 3. Hasil pemantauan BOD setiap hari contoh air di titik influen
Curugjompong

K Acuhan :

K Sungai :

K nfluen :

Majalaya

Gambar 4. Hasil Perhitungan Laju Oksidasi (K)

282

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

Apabila kecenderungan visual tersebut dikelompokan lebih teliti dengan menggunakan multivariate cluster observations, maka diperoleh 3 kelompok yang ber beda dimana dendrogramnya dapat dilihat dalam Gambar 5 . Dari Gambar 5 dapat dilihat kelompok 1 dirinci menjadi sub-kelompok A1, A2 dan A3. Kelompok 2 hanya diisi oleh titik 476. Sedang kelompok 2 terdiri dari sub-kelompok C3 dan C5 dengan sisa titik 468, DMST, 464 dan 369. Sub-kelompok A1 yang terdiri dari titik 356 (s.Cisarea), 357 (s.Citarum) dan 371 (s.Citepus) dapat diartikan bahwa, air sungai Citarum di titik 357 satu tipekal dengan air influen titik 356 dan titik 371. Sub-kelompok A2 yang terdiri dari titik 368 (s. Palasari), 382 (s.Citarum) dan titik 397 (s.Citarum), dapat diartikan sebagai air sungai Citarum di titik 382 dan 397 satu tipekal dengan air influen titik 368. Sub-kelompok A3 yang terdiri dari titik 398 (s.Cimahi) dan 392 (s.Cibeureum)

dan INDST (industri), dapat diartikan air influen titik 398 dan 392 satu tipekal dengan air limbah industri. Sub-kelompok A tersebut, semuanya masuk dalam satu rumpun kelompok 1 yang mempunyai rerata K 0.451601/hari dan standard deviasi (Sd) 0,031719/hari. Sehingga dapat dikatakan kelompok 1 merupakan rumpun bercirikan air limbah industri, dimana air sungai Citarum di titik 357,382 dan 397 masuk di dalamnya. Sub-kelompok C3 yang terdiri dari titik 364 (s.Cidurian), 387 (s.Ciwidey) dan titik 478, dapat diartikan air limbah influen di titik-titik tersebut satu tipekal. Subkelompok C5 yang terdiri dari titik 359 (s.Citarik), 367 (s.Cikapundung) dan titik 361 (s.Citarum), dapat diartikan bahwa air sungai Citarum di titik 361 satu tipekal dengan ciri air limbah influen di titik 357 dan 367. Sedang sisa titik 468, DMST (domestik), 464 dan 369 (s.Cisangkey) merupakan titik-titik influen dengan ciri masing-masing. Sub-kelompok C dan sisa titik tersebut, semuanya masuk dalam

Gambar 5. Pengelompokan dari observasi

283

Eko Harsono & Nomosatryo

satu rumpun kelompok 2 yang mempunyai rerata K 0,207606/hari dan stadard deviasi (Sd) 0,29531/hari . Sehingga dapat dikatakan kelompok 3 merupakan rumpun bercirikan air limbah domestik, dimana air sungai Citarum di titik 361 masuk di dalamnya Titik 476 yang anggota kelompok 3, merupakan satu tangan dengan kelompok 1. Ini menunjukkan bahwa titik tersebut lebih dekat dengan kelompok 1 yang bercirikan air limbah industri dibandingkan dengan kelompok 2 yang bercirikan air limbah domestik. PEMBAHASAN Mikrobial yang digunakan dalam pemantauan BOD harian, pada tahap awal akan melakukan aklimasi dan adaptasi untuk penyesuaian dengan kondisi dan karbon organik terdegradasi yang ada (Benefield,1980). Kemudian pada tahap selanjutnya, mikrobial tersebut akan tumbuh dengan melakukan oksidasi karbon organik terdegradasi hingga habis. Secara empirikal, mikrobial melakukan oksidasi karbon organik di dalam botol BOD tersebut hingga habis memerlukan waktu selama 5 hari (Grady 1980). Memperhatikan Gambar 1 dan Gambar 2, proses aklimasi dan adaptasi terjadi selama 1 hari. Setelah mikrobial siap pada kondisi percobaan tersebut, maka mulai melakukan peran secara optimum hingga kar bon organik terdegradasi yang ada dalam air habis. Pada saat karbon organik degradable mendekati habis, maka kurva BOD pada hari ke 4 hingga ke 5 juga mendekati konstan. 284

Memperhatikan kurva BOD dari air limbah domestik (DMST), nilai k air limbah tersebut telah diperoleh sebesar 0.2088/hari. Apabila dibandingkan dengan k dari penelitian pendahulu (Chapra 1997), hasil k penelitian ini masuk dalam rentang yang ada dalam penelitian tersebut. Sedangkan bila dibandingkan dengan hasil penelitian Oke (2005), nilai k hasil penelitian ini lebih kecil. Perbedaan hasil penelitian k tersebut, diperkirakan karena letak IPAL terhadap daerah layanan. Makin jauh letak IPAL dengan daerah layanan, perjalanan air limbah tersebut memerlukan waktu yang lebih lama hingga sampai titik pengamatan. Semakin lama perjalanan kar bon organik terdegrdasi di penyaluran air limbah tersebut, semakin banyak pula karbon organik terdegrdasi yang teroksidasi oleh mikrobial yang tumbuh di saluran air limbah tersebut. Dengan demikian karbon organik terdegradasi yang tersisa di titik pengamatan telah berkurang, dan k yang diperoleh juga semakin kecil. Sedangkan apabila memperhatikan hasil k dari limbah industri yang telah diperoleh, yaitu 0,491988/hari. Nilai ini terletak pada rentang bawah dari hasil peneliti-peneliti pendahulu (Nemerow 1978). Seper ti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa lokasi pengambilan contoh air limbah industri dilakukan pada saluran pembuang air limbah dari kawasan industri yang akan masuk ke dalam sungai Citarum Hulu. Sehingga air limbah tersebut telah tercampur dengan air limbah dari aktivitas lain di kawasan industri tersebut. Dengan demikian nilai k yang telah diperoleh dalam penelitian

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

ini lebih kecil dibandingkan dengan hasil dari peneliti pendahulu. Seperti diuraikan dalam metode penelitian, contoh air limbah industri dan domestik diambil dari titik sebelum masuk IPAL (influen IPAL). Laju oksidasi (k) contoh air titik-titik influen dari kelompok air limbah industri mirip dengan k air limbah industri. Laju oksidasi (k) contoh air titik-titik influen dari kelompok air limbah domestik mirip dengan k air limbah domestik. Ini berarti air limbah pada titiktitik influen yang telah diambil boleh dikatakan belum melalui IPAL Memperhatikan hasil pengelompokan yang telah diperoleh, dari 4 titik contoh air sungai 3 titik masuk dalam kelompok air limbah industri dan 1 titik masuk ke dalam kelompok air limbah domestik. Sedang untuk titik-titik contoh air influen, 5 titik masuk ke dalam kelompok industri dan 6 titik masuk ke dalam kelompok air limbah domestik. Apabila nilai k dari titik-titik tersebut diplotkan terhadap jarak dari

Curugjompong ke Majalaya, maka diperoleh Gambar 6 berikut ini. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa, sungai Citarum Hulu dari Km. 0 hingga Km.21 terdapat 5 titik influen dari kelompok air limbah industri dan 6 titik influen dari kelompok air limbah domestik. Diantara titik-titik influen tersebut terdapat anak sungai yang besar, yaitu sungai Ciwidey (387), sungai Cisangkey (369) dan sungai Cikapundung (367) yang masuk ke dalam kelompok air limbah domestik. Dimana debit aliran sungai tersebut adalah Ciwidey 7,0 m3/ dt, sungai Cisangkey 4,0 m3 /det dan sungai Cikapundung 2,70 m3 /det. (E.Harsono 2009). Namun titik-titik di sungai 397 dan 382 masuk ke dalam kelompok air limbah industri. Ruas sungai antara Km. 21 hingga Km.36 mempunyai 2 titik influen dari kelompok air limbah domestik. Dua titik tersebut telah menyebabkan titik 361 di sungai juga masuk pada kelompok air limbah domestik. Demikian juga dengan

0.6 0.5 398

Pengaruh air limbah Industri 392 382 476 468 369 367 464

Pengaruh air limbah Domistik

Pengaruh air limbah Industri

K (1/Hari)

397 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0

368 371

356 357 359 364 361

478

387

Sungai
5 Curugjompong 10 15 20 25 30 35

Influen
40

Jarak dari Curugjompong (Km)

Majalaya

Gambar 6. Profil k terhadap jarak dari Curug Jompong

285

Eko Harsono & Nomosatryo

ruas sungai antara kilometer 36 hingga kilometer 44 yang hanya terdapat 1 titik influen dari kelompok air limbah industri, telah menyebabkan titik 357 di sungai juga masuk ke dalam kelompok air limbah industri. Memperhatikan ruas kilometer 0 sampai dengan kilometer 21, meskipun ruas hulunya dari kelompok air limbah domestik dan ada 6 titik influen dari kelompok air limbah domestik, namun dua titik di sungai masuk ke dalam kelompok air limbah industri. Ini menunjukan bahwa, air limbah industri yang masuk pada ruas tersebut sangat kuat tekanannya. Sehingga pada ruas tersebut dapat di katagorikan pada ruas yang dicirikan oleh air limbah industri. Begitu juga dengan ruas kilometer 21 hingga kilometer 36 dikatagorikan ruas yang dicirikan oleh air limbah domestik, dan ruas kilometer 36 hingg kilometer 44 dikatagorikan ruas yang dicirikan oleh air limbah industri.

Memperhatikan pembagian ruas berdasarkan ciri laju oksidasinya tersebut, sungai Citarum Hulu dari Curugjompong hingga Majalaya sebagian besar ruasnya bercirikan air limbah industri. Berdasarkan klasifikasi tutupan lahan melalui citra aster tahun 2007 (Gambar 7), ruas kilometer 0 sampai dengan kilometer 21 setara dari Curugjompong sampai Daerah Dayeuhkolot. Pada daerah antara ruas tersebut, terdapat sentra industri Cimahi dan Dayeukolot yang dekat dengan ruas kilometer 0 hingga kilometer 21. Maka dapat diperkirakan ciri air limbah industri pada ruas tersebut banyak dipengaruhi oleh buangan air limbah dari sentra-sentra industri tersebut. Dari Gambar 8 dapat dilihat, ruas kilometer 21 hingga kilometer 36 mendapat masukan dari anak-anak sungai seperti sungai Cikapundung, Cidurian dan lainnya, dimana sub DAS

Gambar 7. Posisi Titik-Titik Sampilng Anggauta Kelompok 1 Terhadap Tutupan Lahan Industri

286

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu

anak sungai tersebut melingkupi kota Bandung yang padat pemukimannya. Maka dapat dimengerti apabila sungai Citarum pada ruas 21 hingga 36 bercirikan air limbah domestik. KESIMPULAN Laju oksidasi kar bon organik terdegrdasi dapat digunakan untuk mencirikan air sungai Citarum Hulu dari air limbah industri dan domestik. Air sungai Citarum Hulu telah dicirikan oleh air limbah industri dan domestik, dimana pembagian ciri tersebut adalah sebagai berikut, Ruas Km.0 sampai dengan Km.21 dari Curugjompong dicirikan oleh air limbah industri. Ruas Km.21 sampai dengan Km.36 dari Curugjompong dicirikan oleh air limbah domestik. Ruas Km.36 sampai dengan Majalaya dari Curugjompong dicirikan oleh air limbah industri. Ciri air limbah industri di ruas Km.0 sampai dengan Km.21 banyak dipengaruhi oleh sentra industri di daerah Dayeuhkolot dan Cimahi Ciri air limbah domestik di ruas Km.21 sampai dengan Km. 36 banyak dipengaruhi oleh anak-anak sungai yang sub DAS-nya melingkupi Kota Bandung. Ciri air limbah industri pada ruas Km. 36 sampai dengan majalaya banyak dipengaruhi oleh sentra indutri di daerah Majalaya.

DAFTAR PUSTAKA APHA.1995. Standard Method for the Examination of Water and Wastewater. America Water Works Association and Water Pollution Control Federation, Washington DC. Benefield. LD & CW. Randall 1980. Biological Process Design for Wastewater Treatment. PrenticeHall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. Bukit. NT & IA.Yusuf. 2002. Beban pencemaran limbah industri dan status kualitas Sungai Citarum, J. Teknologi Lingkungan. 3(2): 98 106 Chapra. S.C. 1997. Surface Water Quality Modeling. New York, McGraw-Hill. Eko Harsono 2009. Identifikasi titik-titik masukan aliran material konsumer oksigen terlarut (DO) air Sungai Citarum hulu, Limnotek 16 (1):, 33 45 Grady.CPL & HC. Lim. 1980. Biological wastewater treatment, theory and applications. Marcel Dekker inc, New York Metcalf & Eddy, Inc. 1991. Wastewater Engineering. McGraw-Hill,Inc., New York. Nemerow, NL. 1978. Industrial water pollution, orginis, characteristics and treatment, AddisonWesley Publishing Company, Massa-chusetts Oke,IA & AA. Akindahunsi. 2005. A statistical evaluation of method of determining BOD rate. J. Appl. Sci. Res. 1(2): 223 227 287

Eko Harsono & Nomosatryo

Salim.H. 2002, Beban Pencemaran Limbah Domestik dan Pertanian di DAS Citarum. J. Teknologi Lingkungan. 3(2): 107-111 Thomann. RV & JA. Mueller. 1987, Principles of Surface Water Quality Modeling and Control. Harper and Row, Publishers, New York. Tim PROKASIH. 2007.Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaran

Air Melalui Prokasih Tahun Anggaran 2007. Pemerintah Propinsi Jawa Barat Wangsaatmadja.S. 2007. Evaluasi kebijakan pengendalian pencemaran Sungai Citarum hulu melalui pendekatan daerah aliran sungai terpadu, J. Infrastruktur dan Lingkungan Binaan. 3(2): 68 79.

Memasukkan:November 2009 Diterima:Maret 2010

288

Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 289-292 (2010)

TULISAN PENDEK
Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang (Coleoptera, Cerambicidae)
Woro Anggaraitoningsih Noerdjito
Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gdg. Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta Bogor, Km. 46, Cibinong

Kumbang sungut panjang (Coleoptera, Cerambycidae) sebagian besar anggota jenisnya, terutama stadium larvanya hidup sebagai pengebor kayu, dan cenderung memilih kayu mati atau kering yang sedang melapuk. Beberapa jenis diketahui hidup pada kayu yang ditanam sebagai tanaman industri, sehingga dianggap sebagai hama, misalnya Xysttrocera festiva pada tanaman jejunjing, Paraseriantes falcataria. Kebun Raya Bogor, yang sudah berumur hampir 200 tahun dapat dikatakan sebagai hutan tanaman sangat tua. Namun karena kawasan ini merupakan suatu kebun koleksi sehingga penangannya sangat khusus dan tidak alami. Oleh karena itu dimungkinkan bahwa kumbang Cerambycidae Kebun Raya Bogor yang kehidupannya selalu berhubungan dengan pohon tumbuhan berkayu adalah khas. Perangkap cabang Artocarpus diketahui paling efektif untuk monitoring kumbang Cerambycidae (Noerdjito, W. A. 2003. Noerdjito, W.A., Makihara Hiroshi and Sugiharto, 2003. How to find out indicated cerambycid species for

forest condition status in case of Gunung Hillman National, West Java and Bukit Bangkirai Forest, East Kalimantan. Proc. Int, Workshop on the Lanscape Level Rehabilitation of degraded Tropical Forests, 18-19 Feb.2003, FFPRI, Tsukuba, Japan. Page: 57-60. ), walaupun perangkap lain seperti perangkap Malaise dan lampu juga sangat penting untuk melakukan koleksi keragaman jenis kumbang di suatu habitat. Keadaan Kebun Raya Bogor yang merupakan salah satu tempat wisata yang biasanya di hari-hari libur banyak pengunjung, perangkap Artocarpus merupakan perangkap yang paling tepat untuk diterapkan. Satu minggu setelah perangkap cabang nangka (Artocarpus) dipasang, kumbang yang datang dikoleksi dengan metode beating yaitu dengan memukul perangkap agar kumbang yang bersembunyi di antara dedaunan jatuh dan ditampung dengan kain putih yang dibentangkan. Setelah sebulan, biasanya cabang sudah kering dan semua daun rontok perangkap cabang Artocarpus ini diganti dengan yang baru. Dari 54 perangkap yang dipasang dapat

289

W A Noerdjito

dikelompokkan menjadi 18 titik pengamatan untuk mempermudah memahami dan menelusuri kembali kondisi vegetasi atau lingkungannya. Oleh karena itu jumlah perangkap yang dipasang sangat erat dengan keadaan tumbuhan yang ada, yang tersebar di kawasan yang mempunyai tanaman berkayu (pohon dan semak). Hampir semua perangkap yang dipasang dikunjungi kumbang Cerambycidea, hanya perangkap no. 44 dan 46, yang terletak di kawasan sebelah timur kolam ista na, tidak didatangi kumbang Cerambycidae (Tabel 2). Kemungkinan besar karena letak perangkap yang terlalu dekat dengan jalan setapak yang ramai pengunjung (Gambar 1)

Setiap area di kebun raya Bogor ternyata menunjukkan habitat yang khas bagi kehidupan kumbang Cerambycidae (Tabel 1 dan Gambar 1) ditunjukkan
Tabel. 1. Lokasi pengambilan sampel

oleh perbedaan komposisi jenis yang dapat ditemukan. Di area 1, di sekitar Sentiong, yang didominasi oleh tanaman bambu keragaman jenis dan jumlah individu rendah dan yang ditemukan hanya jenis-jenis yang menunjukkan populasi tinggi yaitu Acalolepta rusticatorix, Sybra fervida dan Pteriolophia melanura. Hal yang sama juga ditemukan di area 4, di depan Guest. House sebelah utara lapangan rumput (7,8,9) bagian kanan, yang didominasi oleh koleksi rotan hanya dit emukan 2 jenis kumbang Cerambycidae yaitu Pelargoderus bipunctatus dan Sybra fervida. Sebaliknya area no 10 (24,25,26), Jl. Ke Kandang Badak sebelah kiri dan area no. 17 (45,46,47) yang didominasi oleh tumbuhan berkayu, dapat dikoleksi 9 jenis dengan komposisi jenis yang

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kawasan (No. Perangkap) Sentiong (1,2,3) Koleksi rotan, Depan Guese House (4,5,6) Depan G. House sebelah utara lapangan rumput (7,8,9) sebelah kiri Depan G. House sebelah utara lapangan rumput (7,8,9) sebelah kanan Taman Meksiko (10,11,12) Seberang sungai (dekat Gdg. Sembilan) (13,14,15) Depan Gdg. Sembilan (16,17,18) Hutan (19,20,21) Hutan pinggir jalan depan PMI (22,23,51)

No 10 12 11 13 14 15 16 17 18

Kawasan (No. Perangkap) Jl. Ke Kdg. Badak (24,25,26), sebelah kiri Jl. Ke Kdg. Badak (30,31,32), dekat sungai Jl. Ke Kdg. Badak (27, 28,29), sebelah kiri Mbah Jeprak dekat sungai(33,34,35) Mbah Jeprak depan makam (36,37,38) Di atas Mbah Jeprak dekat istana (39,40,41) Di pinggir sebelah utara kolam dekat istana Bogor (42,43,44) Sebelah timur kolam (45,46,47) Sebelah timur kolam dekat jalan (48,49,50)

290

Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan

sedikit berbeda. Dari komposisi tersebut diatas dapat dikatakan bahwa komposisi vegetasi di setiap area di Kebun Raya

Bogor sangat berbengaruh terhadap komposisi jenis kumbang Cerambycidae penghuninya.

Gambar 1. Letak pemasangan perangkap cabang Artocarpus di Kebun Raya Bogor

100 80 60 40 20 0 1

Jmlh. Individu Jmlh. Jenis

87 77 58

91

51 34 20 24 6 8 3 30 9 36

29 33 5

33 5 9 7

37 14 3 9

18 5 8 8 6

10 11 12 13 14 15 16 17 18

Gambar 2. Jumlah jenis dan individu kumbang sungut panjang yang terkoleksi dengan perangkap cabang Artocarpus di Kebun Raya Bogor

291

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)


PANDUAN PENULIS Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masingmasing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol , , , dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisan pustaka acuan sebagai berikut : Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/ lorCp.1.html.

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 2 (2010)

ERATA

Pengaruh Inokulasi Bakteri Terhadap Pertumbuhan Awal Jarak Pagar (Jatropa curcas L)
Sri Widawati & Maman Rahmansyah
Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Center, Jl Raya Jakarta Bogor km 46.Email: widadomon@yahoo.com

275 Bob ot basah tan aman (g) 225 175 125 75 25

1 50 Bobot kering tan aman (g) 1 25


Bobot Basah

300 250 200 150 100 50

1 00 75 50 25 0

y = 1,7 X + 23,7 r2 = 0,904 Y = 23.649 + 1.722 * X; R^2 = .904

c1 A

c2 B

c3 C

k1 D

k2 E

k3 F

t1 G

t2 H

t3I

P e r l a k u an

c1 c2 c3 A B C

k1 k2 k3 D E F P er l ak ua n

t1 G

t2 t3 H I

0 0 30 60 90 120 Bobot Kering 150 180

Gambar 3. Pengaruh perlakuan terhadap biomassa tanaman (kiri dan tengah) menghasilkan bobot yang berbeda nyata dari kontrolnya (P-E dan PF), namun masih sebanding dengan perlakuan P-D (kontrol dengan kompos plus), dan pada sisi parameter lainnya menunjukkan korelasi yang signifikan antara bobot basah terhadap bobot kering (kanan)

J. Biol. Indon. Vol 6, No.2 (2010)

Kemampuan Kawasan Nir-Konservasi dalam Melindungi Kelestarian Burung Endemik 237 Dataran Rendah Pulau Jawa Studi Kasus di Kabupaten Kebumen Eko Sulistyadi Analysis of Nutrient Requirement and Feed Efficiency Ratio of Maroon Leaf Monkey 255 (Presbytis rubicunda Mueller, 1838) Wartika Rosa Farida Oksidasi Nitrit Oleh Bakteri Heterotrofik Pada Kondisi Aerobik Dwi Agustiyani, Ruly Marthina Kayadoe & Hartati Imamuddin 265

Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah 277 Penduduk dan Industri Eko Harsono & Sulung Nomosatryo TULISAN PENDEK Arti Kebun Raya Bogor Bagi Kehidupan Kumbang Sungut Panjang Cerambicidae) Woro Anggaraitoningsih Noerdjito (Coleoptera, 289

Anda mungkin juga menyukai