Anda di halaman 1dari 181

J. Biol. Indon. Vol 6, No.

3 (2010) ISSN 0854-4425 ISSN 0854-4425

JURNAL JURNAL BIOLOGI BIOLOGI INDONESIA INDONESIA


Akreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 6, No. 3, Desember 2010
Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years After Beguins Collection Marlina Ardiyani Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park Maman Rahmansyah & I Made Sudiana Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik Arif Nurkanto, Febrianti Listyaningsih, Heddy Julistiono & Andria Agusta Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yang Diisolasi Dari Sponge di Perairan Ternate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi E.S.Mulyaningsih, H.Aswidinnoor, D.Sopandie, P.B.F.Ouwerkerk, S. Nugroho, &I.H. Slamet Loedin Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes Ria Oktarina, Sri Supraptini Mansjoer, Dewi Apri Astuti, Irma Herawati Suparto & Dondin Sajuthi 293

313

325

341

353

367

383

BOGOR, INDONESIA

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)


Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember). Editor Pengelola Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Deby Arifiani, S.P., M.Sc

Dr. Izu Andry Fijridiyanto


Dewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI Alamat Redaksi

Sekretariat Oscar efendi SSi MSi


d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email : jbi@bogor.net; o_efendi@yahoo.com Website : http://biologi.or.id Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010) KATA PENGANTAR

Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA edisi volume 6 nomor 3 tahun 2010 memuat 13 artikel lengkap. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Departemen Kementerian Pertanian, IPB, Puslit Biologi LIPI, Bioteknologi-LIPI dan Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands. Topik yang dibahas pada edisi ini meliputi 5 topik dalam bidang Botani, tiga topik tentang mikrobiologi, empat topik tentang zoologi dan satu topik campuran yang membahas bidang botani dan zoologi. Pada edisi ini yang menarik 6 makalah merupakan hasil kajian kawasan pulau-pulau Kecil di Ternate Maluku Utara. Selanjutnya artikel yang memuat serangga pengunjung bunga raflesia dapat dipastikan merupakan artikel sangat jarang dijumpai sehubungan dengan populasi bunganya yang sangat sulit diperoleh. Editor

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)


UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 3, Juni 2010: Prof.Dr. Woro.A.Noerdjito Puslit Biologi-LIPI Drs. M. Noerdjito, Puslit Biologi-LIPI Dr Yulin Lestari F MIPA-IPB Awal Riyanto, Puslit Biologi-LIPI Drs. Roemantyo, Puslit Biologi-LIPI Ir. Titi Juhaeti MSi, Puslit Biologi-LIPI Dr. Nuril Hidayati, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2010

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010)


DAFTAR ISI
Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years After Beguins Collection Marlina Ardiyani Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park Maman Rahmansyah & I Made Sudiana Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik Arif Nurkanto, Febrianti Listyaningsih, Heddy Julistiono & Andria Agusta Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate, Maluku Utara Edi Mirmanto Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yang Diisolasi Dari Sponge di Perairan Ternate Rini Riffiani & Nunik Sulistinah Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi E.S.Mulyaningsih, H.Aswidinnoor, D.Sopandie, P.B.F.Ouwerkerk, S. Nugroho, &I.H. Slamet Loedin Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes Ria Oktarina, Sri Supraptini Mansjoer, Dewi Apri Astuti, Irma Herawati Suparto & Dondin Sajuthi Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) di Perairan Pesisir Jawa Barat Yunizar Ernawati & Mohammad Mukhlis Kamal Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop Dwi Astuti & Hellen Kurniati Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: Suatu Analisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi Roemantyo Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia Sih Kahono, Sofi Mursidawati & Erniwati 293

313

325

341

353

367

383

393

405

415

429

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty I.P. Utaminingrum & Eko Sulistyadi Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya 50% dan Penilaian Karakter Tanaman Berdasarkan Fenotipnya Gatut Wahyu Anggoro Susanto & Titik Sundari

443

459

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 293-312 (2010)

Zingiberaceae of the Ternate Island: Almost A Hundread Years After Beguins Collection
Marlina Ardiyani
Herbarium Bogoriense, Botany Division, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jl. Raya Bogor km.46, Cibinong 16912, INDONESIA. Email: marlina.ardiyani@googlemail.com ABSTRAK Zingiberacea Pulau Ternate: Hampir Seratus Tahun Koleksi Beguin. Ditemukan sepuluh jenis Zingiberaceae yang mewakili lima marga (Alpinia, Etlingera, Hornstedtia, Globba, Boesenbergia) di Pulau Ternate. Alpinia novae-pommeraniae K. Schum. dan A. pubiflora (Benth.) K. Schum. merupakan catatan baru untuk Maluku. Pengkoleksian kembali Alpinia regia dari lokasi tipe memberikan tambahan informasi baru di mana spesimen tipe (Beguin 1234 di herbarium L) tidak lengkap. Kata kunci: jahe-jahean, Maluku, Pulau Ternate, Beguin.

INTRODUCTION The Zingiberaceae with about 54 genera and over 1200 species is the largest of the eight families comprising the monophyletic tropical order Zingiberales. There have been revisions of this family for certain areas in Malesia (e.g. Malay Peninsula by Holttum (1950); Borneo by Smith (1985, 1986, 1987, 1988, 1989) and Sakai and Nagamasu (2000, 2000b, 2003, 2006), but few taxonomic studies have been carried out especially in E Wallaceas line. Furthermore, the existing taxonomic treatments are mostly old references without keys, illustrations and incomplete descriptions of the species. Important references include the monograph by Schumann (1904, 1899) and for the local treatments, especially in the Mollucas and Papua New Guinea, are by Valeton (1913, 1914) and Smith (1975, 1977).

In order to update the gingers study of Moluccas, the author has conducted an exploration to the Ternate Island in July to August 2009, almost a hundred years after Beguins collectin between 1920 and 1922 (Fl. Malesiana Foundation, 1974). Ternate is an island in the Maluku Islands of eastern part of Indonesia, located off the west coast of the larger island of Halmahera. The only collection of gingers recorded from this island is by Beguin, representing nine species altogether, that are deposited at Herbarium Bogoriense (BO). The taxonomic treatment is presented here to support the existing accounts on the family in this region. MATERIALS AND METHODS Collecting methods follow that of Burtt & Smith (1976) and Poulsen (2006). Since additional flowering material was collected, measurements of 293

Marlina Ardiyani

generative characters that are damaged in herbarium specimens were included in species description. Herbarium specimens deposited at BO were also examined. RESULTS The recent collection comprised of ten taxa in five genera, namely Alpinia, Boesenbergia, Etlingera, Globba and Hornstedtia . This result is similar to Beguins collection from the same area except for the sterile Boesenbergia (Table 1). The gingers can be found from low to high altitude. Alpinia regia and A. gigantea were recorded from 700 to 1,500 m altitude, while the rest were only

found from the lower altitude including Alpinia novapommeraniae, A. nutans, Etlingera rosea , E. elatior , Globba marantina, and Hornstedtia scottiana. The author also collected several cultivated species, which are not treated here, namely Alpinia purpurata , A. galanga (L.) Willd., A. vittata W. Bull, Costus speciosus (J.Knig) Sm., Costus globosus Blume, Curcuma longa L., Hedychium coronarium Koen., Kaempferia sp. and Zingiber cassumanar Roxb. Wild gingers are not common in Ternate, probably due to the absence of river in Gamalama mountain, because the habitat is too dry for this plants. Nutmeg and Cloves plantations, however, were found up to c. 1,100 m alt. (Wallace 1996).

Key to The Genera of Zingiberaceae In Ternate Island (Fertile Species)


1 Lateral staminodes well developed................................... Lateral staminodes reduced or absent...................................... 2 Inflorescence terminal on the leafy shoot................................. Inflorescence radical on separate shoot at the base................... 3 Labellum and filament connate to form a staminal tube above the insertion of the petals.......................................................... Labellum and filament not connate... 1. Globba 2 2. Alpinia 3 3. Etlingera 4. Hornstedtia

Table 1. List of gingers collection by Beguin (19201922) and Marlina et al. (2009)
No. Species 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Alpinia gigantea Blume Alpinia nova-pommeraniae K. Schum. Alpinia nutans (L.) Roscoe Alpinia pubiflora (Benth.) K. Schum. Alpinia regia K. Heyne ex R.M. Sm Boesenbergia sp. Etlingera rosea B.L. Burtt & R.M. Sm. Etlingera elatior (Jack) R.M. Sm. Globba marantina L. Hornstedtia scottiana (F. Muell.) K. Schum. Total Beguin Marlina et al . (1920192 2009 9 10

294

Zingiberaceae of the Ternate Island:

TAXONOMY 1. Globba L., Mant. pl. (1771) 170. Type species: Globba marantina L. Valeton, Nova Guinea, Bot. 8 (1913) 925. Distribution Thailand, Sumatra, Peninsular Malaysia, Singapore, Sarawak, Brunei, Sabah, Kalimantan, Java, Philippines, Moluccas, Papua New Guinea. 1. Globba marantina L., Mant. pl. (1771) 170. Type: Cat.Linn.herb. 45/ 1 (holo LINN); K. Schum., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 156; Zingib. Malesia (2004) 100. Description Terrestrial herb. Leafy shoot to 45 cm long, with up to 9 leaves per shoot; base to 1 cm diameter, yellow-brown; sheath light green, glabrous; ligule ca. 1 mm long, hairy; petiole to 2 mm long, light green, glabrous; lamina elliptic, to 14.5 5.2 cm, green and glabrous above, pale green and hairy beneath; base acute; apex caudate. Inflorescence terminal. No flowers found in the specimens, only bulbs in the inflorescence. Inflorescence

according to Schumann (1904), panicle globose without bract at the lowest part, bracts 1.2-2.2 cm long, imbricate, elliptic, or suborbicular, slightly acute. According to Holttum (1950), flowers when present yellow, staminodes longer than corollalobes, lip with apex much base of corollalobes, anther 4 spurs. Vernacular name: Not recorded Uses : Not recorded Distribution: Widespread Ecology and habitat: In nutmeg plantations. Materials examined: North Moluccas. Ternate, Ake Bobotja, 25 m, 4 October 1920, V.M.A. Beguin 840 (BO!); Ternate, Kotta Baroe, ca. 3 m, 6 May 1921, V.M.A. Beguin 1556 (BO!); Ternate, Loboso, c.10 m, 5 March 1938, Anang 121; Ternate, Maliaro (0047.098N, 2721.200E), 425 m, 29 July 2009, Marlina Ardiyani 204 with Rudi Samsudin (BO!).

Key to species of Alpinia


1. Flowers white or greenish white........... Flowers dark red......... 2. Inflorescence branched and secund....... Inflorescence branched or not, not secund ........... 3. Leaves hairy beneath; labellum large c. 3.8 4.3 cm; fruits Leaves puberulous or glabrous beneath; labellum small c. 12-17 7-9.5 mm; fruits glabrous . 4. Inflorescence not branched; fruits c. 2.5 cm diameter.. Inflorescence not branched; fruits small c. 5 mm diameter 2 2.1. A. nutans 2.2. A. regia 3 2.3. A. novae pommeraniae 4 2.4. A. gigantea 2.5. A. pubiflora

295

Marlina Ardiyani

2. Alpinia Roxb ., Asiat. Res. 11 (1810) 350; Valeton, Nova Guinea, Bot. 8 (1913) 937; R.M. Smith, Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh 34 (1975) 180; R.M. Smith, Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh 35 (1977) 195. Distribution: Throughout Malesia. 2.1 Alpinia nutans (L.) Roscoe, Exot. Bot. 2 (1805) 93. (Figure 1) Basionym: Globba nutans L., Mant. pl. (1771) 170. Type: Herb. amboin. 6: 140, t. 62, 63 (1750). Synonym: Alpinia molucana Gagnep., Bull. Soc. Bot. France 48 (1901) XC. Type: C. Gaudichaud-Beaupr 101 , Moluccas, Pulau Lawak (holo P). Terrestrial herb in dense clump (to 13 cm between leafy shoots), without stilted-root. Leafy shoot to 7.2 m long, with up to 19 leaves per shoot; base to 11 cm diameter, light green with brown scale, rhizome yellowish white inside, mild taste; sheath green, glabrous; ligule ca. 2 cm long, apex acute-rounded, coarse and scarcely hairy, with brown margin; petiole 1.52.5 cm long, green, reticulate; lamina lanceolate, 81150 15.527 cm, dark green, base rounded, oblique, margin slightly undulate, yellow, ciliate with brown hairs, apex acute to acuminate, both surfaces glabrous. Inflorescences not branched, terminal, with ca. 20 flowers, 1 open at a time; peduncle erect then pendent, to 60 cm long, yellowish green, glabrous; peduncular bracts to 51 cm long, light green with drying brown apex; spike ca. 76 11.5 cm; fertile bracts, spathulate, ca. 8 3.6 cm, dark red, margin undulate; bracteole tubular, to 2.5 1.5 cm, drying brown. Flowers 296

3.54.2 cm long; calyx ca. 1.6 810 mm, apex 3-toothed with spiny tips, dark red, glabrous, persistent at fruiting stage; corolla tube ca. 1.3 cm long, red; dorsal lobe hooded, ca. 14 7 mm, margin incurved, red, glabrous; lateral lobes hooded, ca. 11 9 mm, margin incurved, red, glabrous; labellum elliptic, ca. 14 8 mm, apex acute-rounded, dark red, glabrous; filament ca. 15 mm long, red, glabrous; anther ca. 11 5 mm; style ca. 3.1 cm long, white; stigma white; ovary to 1 1 cm, white-green, glabrous; Infructescences ca. 67.5 8.5 cm, with ca. 47 capsules. Capsule globose, 1.5 3.1 1.82.7 cm, light green with reddish brown tinge when immature, turning to reddish orange or dark red at maturity, glabrous; seeds brown, aril greyish brown transparent. Vernacular name: Manoa, Moa, Goloba koi. Uses : The young shoots are used for cooking and the mature one for making rope. Etymology: The specific epithet Alpinia nutans refers to the nodding inflorescences. Ecology and habitat: Widespread in the Ternate Island. Found in disturb forests,and also in clove and nutmeg plantations. Distribution: Moluccas Materials examined: North Moluccas. Ternate Island: Foramadiahi, 350 m alt., 26 December 1920, flowering & fruiting, V.M.A. Beguin 1273 (BO!); Tabahawa, 300 m

Zingiberaceae of the Ternate Island:

E br

fr fe

G fr se

Figure 1. Alpinia nutans. A. Infructescence. B. Young inflorescence. C. Old inflorescence. D. Ligule and base of leaf blade. E. Apex of leaf blade. F. Young fruits and bracts: br = bract, fe = fertile bract, fr = fruit. G. Flower. H. Fruits: fr fruit, seed. M. Ardiyani 203. Photographs by M. Ardiyani.

297

Marlina Ardiyani

alt., 15 October 1920, flowering & fruiting, V.M.A.Beguin 944 (BO!, L); Maliaro, 0047.130N, 12721.328E, 385 m alt., 29 July 2009, flowering & fruiting, Marlina Ardiyani & Rudi Samsudin 203 (BO!). 2.2. Alpinia regia K. Heyne ex R.M. Sm., Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh 35 (1977) 203; Checkl.Zingib.Malesia (2004) 28. Type: V.M.A. Beguin 1234, Moluccas, Pulau Ternate (holo L; iso BO!, E). (Figure 2) Terrestrial, giant herb in dense clump (to 15 cm between leafy shoots), with stilted-root. Leafy shoot to 510 m long, 11.5 cm diameter, with up to 13 leaves per shoot; base to 22 cm diameter, orange-brown, glabrous; sheath yellowish green with brown spots except drying orange-brown towards basal part, glabrous; ligule to 4.5 cm long, apex acute-rounded, yellowish brown, hairy; petiole to 11 cm long, winged, basal part ear-shaped, crenulate, yellowish green, glabrous; lamina lanceolate, plicate, easily torn, to 245 45 cm, base cuneate, oblique, apex acute, upper surface dark green, lower surface yellowish green, glabrous. Inflorescences 34 branches, with ca. 145 flowers, 1015 open at a time; peduncle erect, to 78 cm long, 2 cm diameter, yellowish green, densely tomentose except for lowest before branches glabrous; peduncular bracts to 85 12 cm, drying brown; fertile bracts tubular, ca. 1.5 1.2 cm, mouth slanting to 2/3 of length, drying brown; bracteole tubular, to 16 8 mm, apex asymmetric, light green on lower , brown on upper . Flowers glabrous: hermaphrodite 298

flowers ca. 4.2 cm long; calyx ca. 12 6 mm, apex 3-toothed, light green with drying brown edges; corolla tube ca.11 4.5 mm, cream-white; dorsal lobe hooded, ca. 2.2 1.2 cm, slightly boatshaped, apex cucullate, greenish white; lateral lobes lanceolate with slightly hooded apex, ca. 18 8 mm, margin slightly wrinkled; lateral staminodes 3 mm long, white; labellum lanceolate, ca. 26 9.5 mm, apex rounded, fimbriate, creamwhite; filament ca. 22 8 mm, very thick, white; anther ca. 8 1.5 mm, anther crest ciliate with short hairs; style ca. 3 cm long, white; stigma light green; ovary to 9 8.5 mm, green. Infructescence to 64 9.5 cm, with ca. 40 capsules. Capsule globose, 2.5 1.7 cm, green, glabrous; seeds white, aril white. Vernacular name: Dubele. Uses: The young shoot eaten raw or used for cooking. Etymology: The epithet regia refers to the habit of the species. Ecology and habitat: Alpinia regia only can be found from 700 m to 1500 m alt. in Mt. Gamalama near Maliaro. There are only two populations oberved along the trail to the mountain from Maliaro village betweeen 0047.494' N, 12720.809' E at 740 m alt. to 0047.764N, 12720.749E at 1003 m alt. In the North Foramadiahi, the species was collected at 14001450 m alt. by Beguin. Distribution: Celebes, Moluccas, Papua New Guinea.

Zingiberaceae of the Ternate Island:

F D E

I fr fe fe bl ca cl

cl

ss

cl ov la

Figure 2. Alpinia regia. A. Infructescence with some open flowers. B. Infructescence, closeup, shows secund inflorescence. C. Young inflorescence. D. Base of leafy-shoot. E. Ligule and base of winged petiole. F. Petiole. G. Leaves. H. Flowers, close-up. I. Flowers: fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 220. Photographs by M. Ardiyani.

299

Marlina Ardiyani

Materials examined: North Moluccas. Ternate Island: West Sanoto Besar, 600 m alt., 4 April 1922, flowering & fruiting, V.M.A. Beguin 1943 (BO!); Mt. Gamalama, 0047.764N, 12720.749E, 1003 m alt., 1 August 2009, flowering & fruiting, Marlina Ardiyani et al. 220 (BO). Notes. Alpinia regia is rare, since only two populations were found, in Mt. Gamalama and observed to be slow in reaching its giant state. Its young shoots are harvested for food, thus conservation effort is needed for this species from extinction in the wild. Smith (1977) stated that this species has sessile leaves as she did not observe the basal part of the leaf on the material examined. However, based on the recent collection from the type locality and the isotype specimen deposited in BO, this plant is petiolate; petiole is up to 11 cm long. 2.3. Alpinia novae-pommeraniae K. Schum., Bot. Jahrb. Syst. 27 (1899) 285; Checkl. Zingib. Malesia (2004) 24. Type: F.O. Dahl 131 (syn B, probably lost in Second World War), O. Warburg 16158 (syn B, probably lost in Second World War). (Figure 3) Terrestrial herb in dense clump (to 4.5 cm between leafy shoots), without stilted-root. Leafy shoot to 1.6 m long, with up to 7 leaves per shoot; base to 3.5 cm diameter, yellow-white; sheath yellowish green, glabrous; ligule to 8 mm long, slightly bilobed, green, puberulous; petiole to 8.5 cm long, green, puberulous; lamina lanceolate, to 76 11 cm, plicate, margin undulate, dark green and glabrous above, shiny pale green, velvety beneath; 300

base oblique, obtuse; apex caudate. Inflorescences terminal, ca. 29 cm long, with ca. 9 flowers, 2 open at a time; peduncle erect, to 6.5 cm long, green, velvety; peduncular bracts to 35 cm long forming sheath and lamina, green; no fertile bracts; bracteole enclosing the ovary, slit to base on one side, to 25 8 mm, white, puberulous. Flowers ca. 5 cm long; ovary to 1 6 mm, yellowish green; calyx tubular, 3-toothed, 18.5 mm 6 mm, white, hairy; corolla tube ca. 14.5 8 mm, white; dorsal lobe oblong, with slightly hooded apex, ca. 2.5 1.65 cm, yellowish white, slightly transparent; lateral lobes lanceolate with round apex, apex slightly hooded, ca. 2.1 1.1 cm; lateral staminodes ca. 3.5 mm long, pinkish; labellum obovate, ca. 3.8 4.3 cm, ca. 1.1 cm wide at the narrowest part, red with yellow margin and red lines; filament ca. 12 3 mm, yellowish green with pinkish base; anther ca. 11 8.5 mm, cream-white; style ca. 3.4 cm long, white; epigynous glands ca. 3 mm long; stigma yellowish white. Infructescence head to 14 7 cm, with ca. 9 fruits per head, fruit globose, ca. 3 2.4 cm, red, hairy; seed black, aril white. Vernacular name: Madamonge. Uses: Fruits eaten. Ecology and habitat: This species was only found in Air Tege-tege where there was spring water. This species probably prefers moist area as it was not found in relatively dry places. Distribution: Moluccas (new records), Papua New Guinea.

Zingiberaceae of the Ternate Island:

F D E

I ss ca cl

cl ss fr cl la

wf

fe ov

Figure 3. Alpinia novae-pommeraniae. A. Inflorescence. B. Infructescence. C. Ligule and petiole. D & E. Flowers, close-up. F. Base of leaf blade. G. Apex of leaf blade. H. Flower, side view. I. Flowers: wf = whole flower, fe = fertile bract, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 231. Photographs by M. Ardiyani.

301

Marlina Ardiyani

Material examined: North Moluccas. Ternate, s.d., flowering and fruiting, V.M.A. Beguin 1263 (BO!); Ternate, Air Tege-tege (0047280'N, 1272120.7'E), 404 m, 3 August 2009, flowering and fruiting, Marlina Ardiyani et al. 231(BO!). 2.4. Alpinia gigantea Blume, Enum. pl. Javae (1827) 59; Checkl. Zingib. Malesia (2004) 16. Type: C.G.C. Reinwardt s.n. (holo BO!, syn E). (Figure 4) Description Terrestrial herb in dense clump, with stilted-root. Leafy shoot to 4-6 m long; base to 8.5 cm diameter, orange-brown, glabrous; sheath greenish brown, glabrous; ligule to 1.2 cm long, apex acute-rounded, brownish green, coarse; petiole to 4.5 cm long, light green, glabrous; lamina lanceolate, plicate, to 124 26.5 cm, dark green and glabrous above, pale green, glabrous beneath; base acute-rounded; apex acuminate. Inflorescence terminal, to 100 cm long, with ca. 25 flowers, ca. 2 open at a time; spike to 60 5.5 cm, not secund; peduncle pendent, to 40 cm long, green, glabrous; peduncular bracts to 67 cm long, drying brown; fertile bracts forming tube, slit to the base at one side, ca. 2 1.2 cm, drying brown; bracteole enclosing the ovary, tubular, to 15 7 mm, light green, glabrous. Male flower ca. 3 cm long; ovary to 5 4 mm light green, glabrous; calyx tubular, 3-toothed, 10 6 mm, green with brown edge at apex, glabrous; corolla tube 15 5 mm, creamwhite; dorsal lobe flat, erect, with slightly 302

hooded apex and with brown edge, to 15 9 mm, light green, transparent on sides and on the lowest part, glabrous; lateral lobes elliptic, sides slightly folded, with slightly hooded apex, hooded apex with brown tinge, to 9.5-12 5.5-7 mm, light green, transparent on the lower part; teeth 3 mm long, cream; labellum spathulate, to 12-17 7-9.5 mm, cream yellow, wrinkled and white-green at apex, glabrous; filament thick, ca. 9.512 6.5 mm, cream-white; anther ca. 6-8 4.5-6.5 mm, cream; epigynous glands ca. 1.5 mm long, cream. Infructescence: fruit elongate, ca. 2.5 2 cm, green, glabrous; seed white transparent, aril white. Vernacular name: not recorded. Uses: not recorded. Etymology: gigantea means giant though A. regia is much bigger. Ecology and habitat: In secondary forest. The leafy shoot looks similar to the giant Alpinia regia. Distribution: Moluccas. Materials examined: North Moluccas. Ternate, North Foramadiahi, V.M.A. Beguin 1489 (BO); Ternate, North Foramadiahi, c.1450 m, 14 March 1921, flowering, V.M.A. Beguin 1529 (BO!); Ternate, North Foramadiahi, c.1400 m, 13 March 1921, flowering, V.M.A. Beguin 1524 (BO!); Ternate, North Foramadiahi, 1450 m, 14 March 1921, flowering, V.M.A. Beguin 1530 (BO!); Ternate, s.d. , V.M.A.

Zingiberaceae of the Ternate Island:

H bl fe ca cl

cl

st fr cl

la

ov

Figure 4. Alpinia gigantea. A. Infructescence. B & C. Infructescence, close-up. D. Ligule. E. Base of leaf blade. F. Apex of leaf blade. G. Young inflorescence. H. Male flowers, closeup: fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary, aborted, st = stamen, fr = fruit. M. Ardiyani 222. Photographs by M. Ardiyani.

303

Marlina Ardiyani

Beguin 1664 (BO!); Ternate, Gamalama mountain (004754.1'N, 1272135.0'E), 1206 m, 1 August 2009, flowering and fruiting, Marlina Ardiyani et al. 221 (BO); Ternate, Gamalama mountain (004745.7'N, 1272044.8'E), 992 m, 1 August 2009, flowering and fruiting, Marlina Ardiyani et al. 222 (BO). 2.5. Alpinia pubiflora (Benth.) K. Schum., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 313; Checkl. Zingib. Malesia (2004) 27. Basionym: Hellenia pubiflora Benth., London J. Bot. 2 (1843) 235; Languas pubiflora (Benth.) Merr., Enum. Philipp. fl. pl. 1 (1923) 233. Type: G.W. Barclay s.n. (August 1840)(syn K), Pulau Yapen, R.B. Hinds s.n. (syn K). Description Terrestrial herb with leafy shoot to 2.5 m long; ligule to 1.2 cm long, apex acute-rounded; petiole to 5 mm long, glabrous; lamina lanceolate, to 30 5 cm, dark green and glabrous above, pale green, glabrous beneath; base acute; apex acuminate. Inflorescences branched, terminal, to 20 cm long, with ca. 25 flowers; peduncle erect, to 5 cm long, green, pubescent. Flowers ca. 1 cm long, white-green; calyx tubular, 3toothed, ca. 2.5 cm long, pubescent; corolla tube ca. 3 cm long; dorsal lobe flat, to 25 9 mm, pubescent; lateral lobes elliptic, sides slightly folded, apex slightly hooded, to 25 7 mm; labellum spathulate, to 30 9.5 mm, pubescent. Infructescence: fruit round, ca. 5 5 mm, green, glabrous. 304

Vernacular name: not recorded. Uses: not recorded. Etymology: pubiflora means the flowers are pubescent. Ecology and habitat: In secondary forest. Distribution: Philippines, Moluccas, West Papua. Materials examined: North Moluccas. Ternate, c.20 m, 9 May 1921, flowering & fruiting, V.M.A. Beguin 1615 (BO!). Notes: The author did not find this species during the exploration. More work is needed before we confirm that they are extinct in the wild. 3. Hornstedtia Retz., Observ. bot. 6 (1791) 18. Valeton, Nova Guinea, Bot. 8 (1913) 927; Checkl.Zingib.Malesia (2004) 111. Type: Hornstedtia scyphifera (J. Knig) Steud. Distribution: Sumatra, Peninsular Malaysia, Singapore, Sarawak, Sabah, Kalimantan, Java, Philippines, Sulawesi, Moluccas, West Papua, Papua New Guinea. 3.1 Hornstedtia scottiana (F. Muell.) K. Schum., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 194; Checkl.Zingib.Malesia (2004) 116. Basionym: Elettaria scottiana F. Muell. Lectotype: J. Dallachy s.n. (MEL, designated by Smith, 1987), Queensland; Amomum lycostomum Lauterb. & K. Schum. ex K. Schum., nom. nud., Bot. Jahrb. Syst. 27 (1899)

Zingiberaceae of the Ternate Island:

305; Hornstedtia lycostoma Lauterb. & K. Schum., Fl. Schutzgeb. Sdsee (1900) 228. Type: C.A.G. Lauterbach 2495, 2542 (syn B), Papua New Guinea. (Figure 5) Terrestrial herb in dense clump (to 6 cm between leafy shoots), without stilted-root. Leafy shoot to 5.35 m long, with up to 33 leaves per shoot; base to 6.5 cm diameter, golden brown; sheath green, glabrous; ligule 813 mm long, apex rounded, dark green, hairy; subsessile or petiolate, petiole ca. 6 mm long, green, pubescent except glabrous on lower part; lamina lanceolate, ca. 69.5 14.5 cm, base cuneate, apex acuminate, upper surface green, lower surface pale green, both surfaces glabrous. Inflorescences radical, 1015 cm long, erect, ca. 1 flower open at a time; peduncle 48 cm long; peduncular bracts slightly boat-shaped, brown, darker on margin; sterile bracts concave, 7.28.5 3.1 cm, inner part reddish grey, outer maroon, puberulous; fertile bracts boatconical-shaped, ca. 6.7 2.5 cm, pinkish white, glabrous; bracteole boat-shaped, 45 7 mm, apex caudate, translucent white with pinkish apex. Flowers to 8 cm long; calyx tubular, ca. 60 8.5 mm, deeply bilobed, transparent tinged with pink at apex and basal part, persistent at fruiting stage; corolla tube ca. 6.4 cm long, pinkish white at 2/3 lower part, dark red on 1/3 upper; dorsal lobe lanceolate, ca. 17 11.5 mm, apex slightly hooded,

with rounded tips, translucent red on margin; lateral lobes lanceolate, ca. 17 8 mm, apex rounded; labellum ovate, ca. 1.7 1.4 cm, white with median red; filament ca. 6.4 cm long, pinkish white; anther ca. 13 4.5 mm, cream-white; style ca. 7.7 cm long, white; stigma white; epigynous glands ca. 4 mm long, yellowish white; ovary to 7 mm, goldenwhite, hairy. Infructescences ca. 11.5 5.5 cm. Capsule elongate, ca. 3.2 1.2 cm, cream-white with red tinge at apex; seeds black, aril white. Vernacular name: Goloba kusi; Goloba boboedo. Uses: Fruits eaten. Ecology and habitat: In disturbed forests. Distribution: Moluccas, Papua New Guinea. Materials examined: North Moluccas. Ternate, Foramadiahi, 350 m, 9 December 1920, flowering, V.M.A. Beguin 1208 (BO!); Ternate, Foramadiahi, 500 m, 22 November 1920, flowering and fruiting, V.M.A.Beguin 1165 (BO!); Ternate, s.d., flowering, V.M.A. Beguin 1272 (BO!, L, K); Ternate, s.d., flowering, V.M.A. Beguin 1663 (BO!); Ternate, Maliaro (0047.112N, 12721.452'E), 318 m, 31 July 2009, flowering & fruiting, Marlina Ardiyani 219 with Rudi Samsudin (BO!).

Key to The Species of Etlingera


1. Peduncle of inflorescence long, to 30 cm; fruit spiny..4.1. E. rosea Peduncle of inflorescence short, to 9 cm; fruit smooth.....4.2. E. elatior

305

Marlina Ardiyani

ifr

ifl cl ca bl la ss fr

fe

Figure 5. Hornstedtia scottiana. A. Radical inflorescence. B. Inflorescence, close-up with dissection. C. Ligule and base of leaf blade. D. Apex of leaf blade. E. Base of leaf blade. F. Flower, close-up. G. Flowers, close-up: ifr = infructescence with dissection, ifl = inflorescence with dissection, fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 219. Photographs by M. Ardiyani.

306

Zingiberaceae of the Ternate Island:

4.Etlingera Giseke,Prael. ord. nat. pl. (1792) 209; Valeton, Nova Guinea, Bot. 8 (1913) 930; Checkl.Zingib.Malesia (2004) 72. Type: Etlingera littoralis (J. Knig) Giseke. Distribution: Thailand, Sumatra, Peninsular Malaysia, Sarawak, Brunei, Sabah, Kalimantan, Java, Philippines, Sulawesi, Moluccas, West Papua, Papua New Guinea. 4.1. Etlingera rosea B.L. Burtt & R.M. Sm ., Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh 43 (1986) 240., nom. nov.; Donacodes roseus Teijsm. & Binn., nom. nud., Catalogus van s Lands Plantentuin te Buitenzorg (1854) 58; Cardamomum roseum Kuntze, nom. illeg., Revis. gen. pl. 2 (1891) 687; Amomum roseum K. Schum., nom. illeg., Pflanzenr. IV, 46 (1904) 256; Geanthus roseus Loes., nom. illeg., Nat. Pflanzenfam. ed. 2, 15,A (1930) 593. Type: J.E. Teijsmann s.n. (BO!, K). (Figure 6) Terrestrial herb in dense clump (to 20 cm between leafy shoots), without stilted-root. Leafy shoot ca. 5 m long, with up to 21 leaves per shoot; base to 6.5 cm diameter, golden brown, hairy; sheath green, glabrous; ligule to 1.2 cm long, rounded, dark green, glabrous; petiole ca. 2.5 cm long, green, glabrous; lamina lanceolate, 75 15.4 cm, green and glabrous above, pale green and glabrous beneath; with hairy margin; base round; apex acuminate. Inflorescences to 17 cm long, arising from base of leafy shoot, erect, with 32 flowers, ca. 8 open at a

time; peduncle to 9 cm long; peduncular bracts boat-shaped, apex rounded, mucronate, creamish yellow; sterile bracts slightly boat-shaped, ca. 3.2 1.7 cm, apex hooded, acute, spiny, light green with yellow-orange tinge except golden brown towards the base; fertile bracts elongate, folded inward, ca. 4.5 1.6 cm, light green with yellow-orange tinge except golden brown towards the base, hairy; bracteole boat-shaped, enclosing the ovary, ca. 1.7 1 cm, translucent with golden brown tinge, hairy. Flowers ca. 5 cm long; calyx tubular, ca. 20 4 mm, apex 3-toothed, golden creamyellow, hairy; corolla tube 18 3 mm, white with yellowish tinge, lobes white with yellowish tinge, edges curved inwards, apex curled inwards; dorsal lobe ca. 2.4 cm long, ca. 3 mm wide at base, ca. 6 mm wide at apex, lateral lobes ca. 1.9 cm long, ca. 3.5 mm wide; staminal tube ca. 3 mm long, white; labellum ca. 2.8 cm long with ca. 9 mm wide at apex, sides overlapped, apex curled outwards; filament ca.13 3 cm, white, scarcely hairy; anther ca. 5.5 mm long, ca. 3.5 mm wide, white-yellow, anther crest absent; epigynous glands ca. 3 mm long; style ca. 3.5 cm long, white; stigma ca. 1.5 mm wide, white-yellow; ovary to 6 mm long, golden yellow-brown, hairy. Infructescences head to 9 cm long and 6 cm diam., subglobular, bracts not persistent, with ca. 30 fruits per head, fruit ca. 1.8 1.7 cm, globular, spiny with calyx remnant at apex, cream-yellow with cream-yellow to pink spines, spines to 3 mm long, curved; seed white, aril white transparent.

307

Marlina Ardiyani

C D E

G fe bl ca

ss la cl ov

fr

Figure 6. Etlingera rosea. A. Inflorescence, close-up. B. Infructescence, close-up. C. Ligule. D. Base of leaf blade. E. Apex of leaf blade. F. Inflorescence and infructescence. G. Flowers, close-up: fe = fertile bract, bl = bracteole, ca = calyx, cl = corolla lobe, la = labellum, ov = ovary, ss = stamen and stigma, fr = fruit. M. Ardiyani 218. Photographs by M. Ardiyani.

308

Zingiberaceae of the Ternate Island:

Vernacular name: Goloba Papua. Uses: Fruits eaten. Etymology: rosea refers to the colour of the flower that is pink, but sometimes the flowers are white-yellow. Ecology and habitat: In disturbed forests. Distribution: Celebes, Moluccas. Materials examined: North Moluccas. Ternate, Foramadiahi, 600 m, 22 November 1920, flowering and fruiting, V.M.A. Beguin 1167 (BO!); Ternate, s.d. , flowering, leg. ign. 1024 (BO!); Ternate, Lagoena, 450 m, 12 May 1920, fruiting, V.M.A. Beguin 684 (BO!); Ternate, Maliaro (0047.112N, 12721.452'E), 318 m, 31 July 2009, flowering and fruiting, Marlina Ardiyani 218 with Rudi Samsudin (BO!). 4.2. Etlingera elatior (Jack) R.M. Sm., Etlingera elatior (Jack) R.M. Sm., Notes Roy. Bot. Gard. Edinburgh 43 (1986) 244; Checkl.Zingib.Malesia (2004) 75. Basionym: Alpinia elatior Jack, Descriptions of Malayan Plants 2(7) (1822) 2; Nicolaia elatior (Jack) Horan., Prodr. Monogr. Scitam. (1862) 32. Type: W. Jack s.n. (1818) , specimen lost. Nicolaia intermedia Valeton, Bull. Jard. Bot. Buitenzorg ser. 3, 3 (1921) 133. Type: Anon. s.n. (HB XI B IV 101) (holo BO), Java: W. Jack s.n. (1818) , specimen lost.

Distribution: Widespread. Description Terrestrial herb in dense clump (to 20 cm between leafy shoots), without stilt-rooted. Leafy shoot to 4 m long, with up to 22 leaves per shoot; base to 7 cm diameter, light green with drying brown scales; sheath light green with greenish brown marks, glabrous; ligule to 1.6 cm long, apex slightly bilobed to rounded, yellowish green, glabrous; petiole ca. 2.5 cm long, yellowish green, glabrous; lamina lanceolate, ca. 85 18.5 cm, yellowish green and glabrous above, light green and glabrous beneath; base cordate, oblique; apex acuminate, oblique. Flowering shoot to 1.5 m long, arising from base of leafy shoot, erect, with ca. 17 flowers open at a time; peduncle to 1.5 m long, glabrous; peduncular bracts ca. 10 cm long, green, glabrous; spike ca. 8 cm long and ca. 2 cm wide in lower part, conical-shape; sterile bracts obovate to lanceolate with acute apex, ca. 11 7 cm, pink with darker pink tinge on margin, greenish yellow on lowerpart; fertile bracts lanceolate, ca. 7 1.7 cm, red with pink transparent margin, creamish white on lower part, glabrous; bracteole boatshaped, deeply slit in one side, ca. 2.6 1.3 cm, dark pink, transparent, lanceolate to broadly lancelate. Flowers ca. 5 cm long; corolla tube ca. 1.3 cm long, cream white with pink tinge, lobes red, dorsal lobe ca. 25 7 mm, lateral lobes ca. 25 5 mm; staminal tube ca. 1 cm long, white; labellum folded on sides, forming a tunnel, ca. 12.8 cm long and ca. 2 cm wide at the widest part, dark red with 309

Marlina Ardiyani

yellow margin; filament ca. 25 3 mm, white; anther ca. 9 mm long, ca. 3.5 mm wide, red with white tinge; epigynous glands ca. 4 mm long, light yellow; style ca. 3.5 cm long, pink; stigma maroon; ovary to 4.5 mm long, white, hairy; calyx tubular, deeply slit in one side, ca. 3.4 cm long and ca. 1.3 cm diameter, red, glabrous. Infructescences head to 10 cm long and ca. 8 cm diam., subglobular, with ca. 50 fruits per head, fruit ca. 1.8 1.7 cm, globular, with brown drying calyx remnant, red. Vernacular name: Patikala. Uses: Flowers, fruits and young shoot are used for cooking. Ecology and habitat: In disturbed forest. Distribution: Widespread. Materials examined: North Moluccas. Ternate, 1921, V.M.A. Beguin 1250 (BO!); Ternate, Laguna, 350 m, 24 April 1920, flowering, V.M.A. Beguin 594 (BO!); Ternate, Maliaro (0047.144N, 12721.205'E), 437 m, 29 July 2009, flowering and fruiting, Marlina Ardiyani 207 with Rudi Samsudin (BO). Incomplete Species 1. Boesenbergia sp. Description Terrestrial herb, rhizomes smell like Boesenbergia rotunda. Leafy shoot to 45 cm long, with up to 4 leaves per shoot; base to 1.5 cm diameter, red-brown; leafless sheath red; sheath green, glabrous; ligule ca. 1 mm long; petiole to 8 cm long, 310

green, glabrous; lamina elliptic, to 23 10 cm, green and glabrous above, pale green and glabrous beneath; base acute; apex slightly acuminate. Ecology and habitat: In nutmeg plantations. Materials examined: Ternate, Maliaro (0047.098N, 12721.200'E), 425 m, 29 July 2009, Marlina Ardiyani 208 with Rudi Samsudin (BO!). ACKNOWLEDGEMENT The exploration was funded by Iptekda Khusus, LIPI (Indonesian Institute of Sciences) as part of the project IPTEKDA KHUSUS Ternate Expedition 2009. The author is indebted to Dr Ibnu Maryanto who organized the expedition; Drs Syamsir Andili, Major of Ternate and his staff who have helped the team in the field. I appreciate valuable comments on the manuscript from Ms. Avelinah Julius from FRIM, Malaysia. Many thanks are also due to Dr Mark Newman who helped to identify Alpinia species. REFERENCES Blume, CL. 1827. Enumeratio plantarum Javae. Lugduni Batavorum. Burtt, BL. & RM. Smith. 1976. Notes on the collection of Zingiberaceae. Flora Malesiana Bull. 29: 25992601. Burtt, BL. & RM. Smith. 1986. Etlingera: the inclusive name for Achasma, Geanthus, and Nicolaia (Zingibera-

Zingiberaceae of the Ternate Island:

ceae). Notes from the Royal Bot. Garden Edinburgh 43: 235-241. Giseke, PD. 1792 . Praelectiones in Ordines Naturales Plantarum. Jack, W. 1822. Descriptions of Malayan Plants 7. Malayan Miscellanies. Sumatra Mission Press, Bencoolen. Kress, WJ., LM. Prince & KJ. Williams. 2002. The phylogeny and a new classification of the gingers (Zingiberaceae): evidence from molecular data. Amer. J. Bot. 89:1682-1696. Kress, WJ. 1990. The phylogeny and classification of the Zingiberales. Ann. Missouri Bot.Garden 77: 698721. Newman, M., A. Lhuillier & AD. Poulsen. 2004. Checklist of the Zingiberaceae of Malesia. Blumea. Sup. 16: 1-163. Ngamriabsakul, C., MF. Newman & QCB. Cronk. 2000. Phylogeny and disjunction in Roscoea (Zingiberaceae). Edinburgh J. Bot. 57: 3961. Poulsen, AD. 2006. Etlingera of Borneo . Natural History Publications (Borneo), Kota Kinabalu, Malaysia & Royal Botanic Garden Edinburgh, Scotland. 263 pp. Roxburgh, W. 1812. Descriptions of several of the monandrous plants in India, belonging to the natural order called Scitamineae by Linnaeus, Cannae by Jussieu and Drimyrhizae by Ventenat. Asiatic Research or Trans. Soc. 11: 318-362. Schumann, K. 1904. Zingiberaceae. In Engler, A. (ed.). Das Pflanzenreich

IV. Vol 46. Wilhelm Engelmann, Leipzig, Germany. Sakai, S. & H. Nagamasu. 1998. Systematic studies of Bornean Zingiberaceae: I. Amomum in Lambir Hills, Sarawak. Edinburgh J. Bot. Sakai, S. & H. Nagamasu. 2000a. Systematic studies of Bornean Zingiberaceae: II. Elettaria of Sarawak. Edinburgh J. Bot. 57(2): 227243. Sakai, S. & H. Nagamasu. 2000b. Systematic studies of Bornean Zingiberaceae: III. Tamijia: A new. Edinburgh J. Bot 57: 245255. Sakai, S. & H. Nagamasu. 2003. Systematic studies of Bornean Zingiberaceae: IV. Alpinioideae of Lambir Hills, Sarawak. Edinburgh J. Bot. 60(2): 181216. Sakai, S. & H. Nagamasu. 2006. Systematic studies of Bornean Zingiberaceae V. Zingiberoideae of Lambir Hills, Sarawak. Blumea 51(1): 95115. Schumann, KM. 1899. Monographie der Zingiberaceae von Malaisien und Papuasien. Botanische Jahrbcher fr Systematik, Pflanzengeschichte und Pflanzengeographie 27: 259350. Smith, RM. 1975. Additional notes on Alpinia sect. Myriocrater. Notes from the Royal Bot. Garden Edinburgh 34: 180. Smith, RM. 1977. Additional notes on Alpinia sect. Myriocrater. Notes from the Royal Botanic Garden Edinburgh 35: 195-208.

311

Marlina Ardiyani

Smith RM. 1985. A review of Bornean Zingiberaceae: 1. (Alpineae p.p.). Notes from the Royal Bot. Garden Edinburgh 42(2): 261-314. Smith RM. 1986. A review of Bornean Zingiberaceae: 2. (Alpineae, concluded). Notes from the Royal Botanic Garden Edinburgh 43(3): 439-466.

Smith, RM. 1986. New combinations in Etlingera Giseke (Zingiberaceae). Notes from the Royal Bot. Garden Edinburgh 43: 243-254. Smith RM. 1987. A review of Bornean Zingiberaceae: 3. (Hedychieae).

Submitted: September 2009 Accepted: Maret 2010

312

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 313-323 (2010)

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park
Maman Rahmansyah & I Made Sudiana
Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences, Jl. Raya Jakarta Bogor km 46,

Cibinong Science Center, Cibinong 16911, E-mail: manrakam@yahoo.co.id


ABSTRAK Produktivitas Fosfatase Asam pada Bacillus sp. yang Diisolasi dari Tanah Hutan Taman Nasional Gunung Salak. Pada pengamatan ini dilakukan karakterisrik bakteri pelarut fosfat yang diisolasi dari tanah hutan Taman Nasional Gunung Salak. Sebanyak 21 koloni hasil isolasi diuji terhadap produktivitas enzim fosfatase berdasar pelarutan media mengandung fosfat. Isolat yang terkuat melarutkan fosfat diidentifikasi sebagai Bacillus sp. Pada pengamatan lanjutan terhadap strain teruji dilakukan penumbuhan pada media cair selama 90 jam inkubasi, dan hasilnya ternyata mampu melarutkan fosfat inorganik (Pi) dari sumber trikalsium fosfat (Ca-Pi) dan alumunium fosfat (Al-Pi) masing-masing pada kisaran 1,2 sampai 152 dan 0.8 sampai 25 mg.L-1; dan menunjukkan aktifitas enzim fosfomonoesterase antara 0.2 sampai 1.01 unit pada media yang mengandung larutan para-nitrophenylphosphate sebagai media fosfat organik (Po) artifisial. Konsumsi glukosa pada media yang diukur selama pertumbuhan sejalan pula dengan produk ortofosfat sebagai akibat adanya aktifitas enzim fosfatase. Peningkatan fosfatase juga sejalan dengan bertambahnya biomassa sel bakteri dan penambahan produk asam glukonat. Penurunan pH dari 7 menjadi 5 diakibatkan peningkatan produk asam glukonat di dalam media tumbuh. Bakteri pelarut fosfat yang berasal dari tanah hutan Taman Nasional Gunung Salak dapat memproduksi fosfatase asam untuk memineralisasi sumber-sumber fosfat menjadi sumber nutrisi yang siap digunakan oleh akar tumbuhan, dan itu merupakan prediksi kuat untuk menjadikan isolat bakteri pelarut fosfat sebagai sumber bahan pupuk hayati. Kata kunci: Bacillus sp., tanah hutan, fosfatase asam, Ca-Pi, Al-Pi.

INTRODUCTION Ecology of microbial communities can be attributed in part to understand that these organisms have directly effects on ecosystem processes (Beare et al. 1995; Horner-Devine et al. 2004; Fierer & Jackson 2006). Phosphate solubilizing bacteria (PSB) commonly found as adaptive bacteria (Glenn & Mandelstam 1971) in most soils (Chonkar

& Taraedar 1984; Venkateswarlu et al. 1984). The population levels of phosphobacteria were higher in the rhizosphere soil, and able to produce phytohormones and phosphatases enzyme under in vitro conditions (Ponmurugan & Gopi 2006). PSB was able to convert the insoluble phosphates into soluble forms by acidification, chelating and exchange reactions, and production of gluconic acid (Chen et al.

313

Rahmansyah & Sudiana

2006). The soluble forms also may contribute to their stimulatory effect on plant growth (Hameeda et al. 2006). Correlation between PSB growth and capacity of phosphatases enzyme activity, as due to availability of phosphorous content in the medium identified by Barik & Purushothaman (1998). In the other hand, there is increasing evidence that phosphobacteria improve plant caused to biosynthesis of plant growth substances rather than their action in releasing available phosphorous. Subsequently, PSB is requisite for land reclamation and restoration to improve despoiled land since the genus has useful producing plant growth promoter, phosphorus availability to plant, and as the competitor of plant bacterial pathogen. In the preliminary work, the fastest growing and the widest clearing zone formation in selective agar media for the isolate of PSB has deprived from forest soil collected from Gunung Salak National Park. In the existing investigation, culture approach has been studied whether the fine isolate and then delineated as gram-positive bacterium, named Bacillus sp. Some researcher find out that the genus relatively has large number of protein phosphatases (Cohen 1989; Villafranca et al. 1996), it can be serine/threonine phosphatases which have showed wide specificities, and also tyrosine phosphatases. The present work was undertaken to compare the phosphate-repressible enzyme formed by the Bacillus sp. Activity of phosphatases enzymes evaluated through the bacterial growth within media containing tri-calcium 314

phosphate and aluminum phosphate as inorganic phosphate, and in the bacterial growth containing para-nitrophenyl phosphate (pNpp) as organic (artificial) phosphate. The results suggest that the phosphate mineralization capability of the PSB would appropriate to produce plant nutritive value in subsequent work on biofertilizer function. The presence of PSB in Gunung Salak National Park is not only important for ecosystem health but also important genetic resources. MATERIALS AND METHODS Surface soil samples (up to 20 cm depth) collected from fields as a bulk samples of various places at forest floor in Gunung Salak National Park; the altitude is 900 m above sea level; situated around S 0604624.3" - 0604649.8" and E 10604209.9" - 10604225.9"; in June 2009. Composite soil sample of each soil case mixed thoroughly, with then air dried and passed throughout 100 mesh sieves for studies. In the preliminary work, based on the broadest halozone screen ability growing in selected media, the 21 isolates recognized as PSB (Tabel 1). Selected isolate (GS1) then identified through analysis of gene 16S RNA using the method of Pitcher et al. (1989), and identified as Bacillus sp. In the further quantification, the strain cultured on liquid media contains of phosphorous substances, and incubated on a rotary shaker (180 rpm) at 30C. For liquid media, mineral phosphate (5 gL-1 tri-calcium phosphate or aluminum phosphate) were sterilized

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

separately and then mixed with the autoclaved medium (10 gL-1 glucose; 0.27 gL-1 NH4NO3; 0.2 gL-1 KCl; 0.1 g L -1M g S O 4 7 H 2O ; 1 m g L -1 MnSO46H2O; 1 mgL-1 FeSO47H2O; and 0.1 gL-1 Yeast extract). Glucose oxidation to become gluconic acid is a major mechanism for mineral phosphate solubilization. When gluconic acid content and phosphomonoesterase activity in the culture medium measured, the strain was prepared for preculturing in LB medium (10 gL-1 polypeptone, 5 gL-1 NaCl, 5 gL-1 Yeast extract, 1 gL-1 glucose). The precultured

was washed twice with 10 mM potassium phosphate buffer (pH 7.5) and resuspended in the same buffer and at the same concentration as the original pre-culture. The suspension (inoculum mass 5%, v/v) was then transferred to 100 ml glucose minimal medium containing 0.4% glucose and 21 mM potassium phosphate buffer (pH 6.8); and incubated on a rotary shaker (180 rpm) at 30C. For determination of organic acid produced, the strain was cultured in GMS medium containing 10 gL-1 glucose; 2 gL -1 (NH 4 ) 2 SO 4 ; 0.3 gL -1 MgCl26H2O; 1 mgL-1 MnCl24H2O; 6

Tabel 1. PSB was common bacteria isolated from Gunung Salak National Park

No

Strain

Growth rate +++ ++ ++ + + + + + + + + + + + + + + + + + +

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

GS1 GS2 GS3 GS4 GS5 GS6 GS7 GS8 GS9 GS10 GS11 GS12 GS13 GS14 GS15 GS16 GS17 GS18 GS19 GS20 GS21

Ca-P dissolution capacity 3.1 2.8 2.8 1.9 1.8 1.8 1.8 1.8 1.7 1.7 1,7 1,7 1,6 1.7 1.7 1,7 1,7 1,6 1.7 1.7 1,7

Remarks: +++ fast growing; ++ medium growing; + slow growing, a Colonies appear after 24 h (+++); after 48 h (++); and after 72 h (+). b Ratio of clear zone areas per colony areas

315

Rahmansyah & Sudiana

mgL-1 FeSO47H2O; 6 mgL-1 NaMoO4; thiamine (20 L-1); tri-calcium phosphate (20 mgmL-1); and incubated on a rotary shaker (180 rpm) at 37C. Cells were collected by centrifugation at different growth periods in order to verifications the change in pH and P-concentration in the medium. Samples were centrifuged 6000 rpm for 10 minutes to receive clear solutions for analysis. The P-concentration and pH were determined throughout supernatants in each investigation. The Pconcentration estimated with ascorbic acids methods. The 50 ~ 200 micro-liter of the culture filtrate was mixed with 900 micro-liter of phosphorus mixed reagents, keep at room temperature for 10 minutes. The P-concentration was measured in spectrophotometer at 880 nm. In order to observe the effect of cultural conditions for mineral phosphate solubilizing, bacterial strains were cultured at various insoluble phosphates (tricalcium phosphate, and aluminum phosphate) at defined concentrations of glucose conditions. Five ml of a precultured solution was inoculated in 50 ml of medium in a 250-ml Erlenmeyer flask. After inoculation, the flasks were placed on a shaker and the bacteria were grown at 370C for 24 h. The supernatant of each culture was obtained by centrifugation at 10,000 rpm for 10 min. For the experiment to determine gluconic acid, a 0.5 ml aliquot of the culture filtrate passed through 0.2 m Whatman membrane filter. The organic acids in filtrates were identified by high-performance liquid chromatography with a Thermo hypersil 316

C18 column (250 x 4.6mm). Organic acids were monitored using a UV detector at 220 nm. The mobile phase consisted of 50 mM sodium phosphate and 5 mM tetra-butyl-ammonium hydrogen sulfate, pH 6.5 (95%), plus acetonitrile (5%) and a flow rate of 0.25 mlmin-1. The protein phosphatases activity was tested by the ability to hydrolyze pnitrophenyl phosphate (pNpp) in a buffer containing 50 mM Tris HCl (pH 7.2). Phosphomonoesterase activity (PME) was measured after incubation at 37C (Margesin1996). Phosphatases activity was determined by measurement of pnitrophenol in a spectrophotometer at a wavelength of 400 nm. PME activity was expressed in unit and defined as micromoles nitrophenol produced by 1 ml enzyme per hour. Three replicate of flasks and tubes were used for all in each treatment of examination; and also from which the other samples were collected at 4 to 96 hours in various sampling interval of incubation; those were analyzed for the parameters studies. Analysis of correlation and some other statistical requirement among mean values calculated at various variables amongst the confidence level of the degree of freedom (Parker 1979). RESULTS The isolated bacterium had a marked of insoluble phosphate solubilizing activities, because the culture grows to visualize clear zone upward in the region of the colony forming after 3 days

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

incubation at 30C. In estimating the efficacy of phosphate source utilization by the PSB, result in phosphatases assay of Bacillus sp. in liquid cultures containing insoluble phosphate analytically measured. Result of the studies have correlated in the parameters measurement of Ca- and Al-phosphate metabolism as inorganic phosphate incorporation to glucose reduction in the substrate, but it does not proper to organic phosphate of para-nitrophenylphosphate. The highest production of phosphorus substance during incubation was measured, and it found in the medium containing tri-calcium phosphate. Gluconic acid production was increase followed by pH reduction in the culture medium (Table 2). This indicates the evenness of phosphatic source utilization, a prominent phenotypic characteristic of phosphate solubilizing bacterial isolates in relation to carbon augmentation. Most bacterial (PSB) population was stable after 24 hours incubation.

PSB live activity in culture was closely followed by gluconic acid production as caused by glucose incorporation. The phenomenon gives sequence that the option culture incubation for Bacillus sp. should be after 36 hours and reaching the limit action in 60 hours incubation (Figure 1). That information becomes useful to find out the maximum incubation period for that bacterial in the propagation culture for biotechnological purpose. Kinetic potential of unit phosphatase activities belonging to Bacillus sp. was measured in tri-calcium phosphate and alumunium phosphate solution culture substance; and subsequently those measurement acquiesced phosphate quantity of culture in the yield of 150 and 25 mgL -1 respectively, at 88 hours incubation (Figure 2). The result assumed the PSB effectively capable to increase soluble phosphate in their habitat (in soil of forest floor in Gunung Salak National Park), because of phytase commonly

Table 2. Probability levels for statistical significance value in observation

Parameters studied of in-vitro culture of Bacillus sp. 1. Relationship of Ca-phosphate solubilization vs. glucose reduction in the substrate: 2. Relationship of Al-phosphate solubilization vs. glucose reduction in the substrate: 3. Relationship of Ca-phosphate to Al-phosphate solubilization in the substrate: 4. Relationship of gluconic acid production to pH level for the period of incubation:

Correlation

y = -24.04x + 3832.7 y = -199.07x + 4890.1 y = 23x + 0.38 y = -0.78x + 7.27

(r = - 0.91 S)* (r = - 0.95 S)* (r = 0.37 NS)* (r = - 0.97 S)**

Remarks: * (S) Significant and (NS) non-significant at p0.001 = 0.597; df = 25, with 26 samples ** (S) Significant at p0.001 = 0.872; df = 8, with 9 samples

317

Rahmansyah & Sudiana

have specify requirement to Ca 3+ and Al2+ for its enzyme activity. Phytate is the major component of organics forms of P in soil (Richardson 1994). Phytase activity can be important for stimulating growth under limited P in soil, and supports to improve or transfer the P-solubilizing trait to plant-growthpromoting bacteria (Rodrguez et al. 2006). Most phytases (myo-inositol hexakisphosphate phosphohydrolases) belong to high molecular weight acid phosphatases, which has capability to hydrolyze of phytic acid to be orthophosphate inorganic and phosphate esters from lower mio-inositol. Phytic acid is a phosphate ester that usually establishes in soil, and it could bond the important minerals and protein. Phosphomonoesterase (PME) examined as acid phosphatase under Tris-HCl (pH 7.2)

buffer in the medium culture solution, but only low activity of the enzyme detected in the investigation. DISCUSSION Microbial communities in forest soil play important role in maintaining global ecosystem health. PSB is one of the important soil microbes which stimulate dissolution of less soluble-P into soluble form and that available for plant growth. The availability of P in soil is generally low, and in forest ecosystem most of phosphate in the form of organic bound phosphate. Those organically bound phosphates should be hydrolyzed by phophatase enzyme produced by soil microorganism. Soluble phosphate released (H2 PO4 -, HPO4= and PO4=), are then undergoes several biochemical

5 4 3 2 1 0 0 20 40 60 80 100 120 Incubation (hour)


Figure 1. Bacillus sp. ( ) increased which indicate apart of glucose ( ) consumed; and it was converted into biomass followed by gluconic acid ( ) increasing in the media

Gluc.103(g.L1) G.Ac.101(mg.L1)

Biom.CFU.109

318

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

transformation, or again bounded to other soil minerals (Cunningham & Kuiack 1992). The availability of phosphate in soil is greatly dependent on soil pH, carbon content, redox potentials, and soil physical structures. The Strain of GS1 identified as Bacillus sp., was able to solubilize both Ca-P and Al-P. Their ability to solubize those less soluble phosphate may indicate that the strain is important in stimulating phosphate dissolution. The physiological mechanism by which P dissolved is very complex. Phosphobacteria (PSB) have been found to produce some organic acids such as monocarboxylic acid (acetic, formic), monocarboxylic hydroxy (lactic, glucenic, glycolic), monocarboxylic, ketoglucenic, decarboxylic (oxalic, succinic), dicarboxylic hydroxy (malic, maleic), and tricarboxylic hydroxy (citric) acids in

180 28

order to solubilize inorganic phosphate compounds (Lal 2002). Phosphobacteria deprive from rhizosphere soils when was tested under in-vitro condition on their production capacity of growth regulators and phosphatase enzyme (Ponmurugan & Gopi 2006). Several soil bacteria posses the ability to solubilizing insoluble inorganic phosphate and make it available to plants. The effect is generally due to the production of organic acids by these organisms, and also produce amino acids, vitamins, and growth promoting substances like indole acetic acid (IAA) and gibberellic acid (GA3), which help in better growth of plants (Richardson 2001;Gyaneshwar et al. 2002). The results of enzyme activities, including soil phosphatase activity, could be compared not only with soil physical and chemical properties, but also with other biological
1.2

CaPi
150

AlPi
24 1

pNpp

Phosphatases(Unit)

20 120 16 90 12 60 8 30
y =0.01x2 +2.804x 16.59 R=0.944

0.8

0.6

0.4

4
y=0.002x2 +0.453x+1.370 R=0.939

0.2
y =0.000x2 +0.024x+0.030 R=0.938

0 0 25 50 75 100

0 0 25 50 75 100

0 0 25 50 75 100

Incubation(hour)

Figure 2. Trend of kinetic potential of phosphatase released with Bacillus sp. altering phosphate inorganic (Ca- and Al-phosphate; Figure 2A & 2B), and phosphate organic (p-nitrophenyl-phosphate; Figure 2C)

319

Rahmansyah & Sudiana

factors such as microbial biomass, the level of adenosine triphosphate, etc. (Chhonkar & Tarafdar 1984). Falih & Wainwright (1996) found that the activity of phosphatase enzymes increased when a carbon source was added to the soil. Evaluate to the result of experiment here, inform that glucose incorporation proved to cause increasing cell biomass of Bacillus sp. in culture, and gluconic acid increment (Figure 1); and in the different way, the medium acidity is plunge to 5 from pH 7 as before during 96 hours incubation. Alkaline phosphatase of several bacterial species has been investigated by Landeweert et al. (2001), and the genus have differ one from another in certain respects. The genus seems in general to share the property of being repressed by phosphate inorganic in Escherichia coli, Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens and Staphylococcus aureus. PSB is capable of solubilizing accumulated insoluble phosphate compound sources in soil by

the production of organic acid, phenolic compounds, protons, and siderophores. According to Kelly et al. (1984) investigations, maximum phosphates (inorganic pyrophosphate) formed at 12 hours incubation in Bacillus sp. when divalent metal Mn 2+ occurred in the medium culture, and the inorganic pyrophosphates activity found as intracellular enzyme. In the other study on the extracellular phosphates activity, Nomoto et al. (1988) found the optimum alkaline phosphate excreted into broth culture fairly stable in pH 5 ~ 12. Extracellular enzymes, including phosphatases, are important for the degradation of organic substances in the soil for organic phosphate mineralization (Hysek & Sarapatka 1998). The functionalities of PSB communities differ on the basis of phosphate sources present in the culture medium in this investigation. Phosphatases activities expressed optimum in 75 to 100 hours incubation (Figure 2) may cause the MnCl 2 containing in media culture.

12
Carbon Used (10-4)

8
= Ca-Pi unit-1 = Al-Pi unit-1

8 7 6
pH

10 8 6 4 2 0 0 25 50
Incubation (hour)

Gluconic Acid (mg.L-1)

7 6 5 4 3 2 1 0
0 25 50 75 100
Gluconicacid

Acidity level (pH)

= p-NPP unit-1

5 4 3 2 1 0

75

100

Incubation (hour)

Figure 3. Incorporation of glucose along with phosphatases activities and carbon used by Bacillus sp. (left), followed by increasing of gluconic acid and pH 7 reduce to pH 5 (right)

320

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

Gluconic acid is organic acid compound arise from the oxidation of glucose. It is produce by the fermentation of glucose by bacteria, and in aqueous solution at neutral pH the gluconic acid forms the gluconate ion. Chen et al. (2006) investigate the isolates of phosphobacteria collected from agriculture soil. The isolates belong to genus of Bacillus , Rhodococcus , Arthrobacter , Serratia, Chryseobacterium , Delftia , Gordonia and Phyllobacterium were identified. In other finding, four strains namely Arthrobacter ureafaciens, Phyllobacterium myrsinacearum, Rhodococcus erythropolis and Delftia sp. reported for the first time as PSB after confirming their capacity to solubilized considerable amount of tricalcium phosphate in the medium by secreting organic acids. Ten isolates of Bacillus megaterium can do not producing any gluconic acid in the culture along 72 hours incubation. In the contrary, 96 hours incubation of Bacillus sp. in this experiment was able to produce gluconic acid, and negatively correlated with glucose incorporation but positively correlated to cell biomass (Figure 3). CONCLUSION Isolate of Bacillus sp. demonstrate clearly in solubilizing tri-calsiumphosphate more than alumuniumphosphate; Increasing cell population of Bacillus sp. was following in gluconic acid yield as due to glucose metabolism as carbon source in culture; Bacillus sp. was certainly characterized on the basis of biochemical reaction, and as due to the

cultural performance in the medium containing inorganic phosphate. ACKNOWLEDGEMENTS We acknowledge to the Directorate General for Higher Education, Ministry of National Education, Republic of Indonesia, for the financial assistance provided for this study in the year 2009. Also, we are grateful to our acquaintance for critically reading this manuscript REFERENCES Barik, SK. & CS. Purushothaman. 1998. Phosphatase activity of two strain of bacteria on orthophosphate enrichment. Proc. Natl. Frontiers in Appl. Environ. Microbial . Dec.11-13, SES, CUSAT. Cochin. pp.165-170. Beare, MH., DC. Coleman, DA. Crossley Jr., PF. Hendrix & EP. Odum. 1995. A hierarchical approach to evaluating the significance of soil biodiversity to biogeochemical cycling. Plant and Soil. 170: 5-22. Chen,YP., PD. Rekha, AB. Arun, FT. Shen, WA. Lai & CC. Young. 2006. Phosphate solubilizing bacteria from subtropical soil and their tricalcium phosphate solubilizing abilities. App. Soil Ecol. 34:33-41. Chonkar, PK & JC. Tarafdar. 1984. Accumulation of phosphatase in soils. J. Indian Soc. Soil Sci. 32: 266272.

321

Rahmansyah & Sudiana

Cohen, P. 1989. The structure and regulation of protein phosphatases. Annu. Rev. Biochem. 58: 453-508. Cunningham, JE., & C. Kuiack. 1992. Production of citric and oxalic acid and solubilization of calcium phosphate by Penicillium bilail. Appl. Environ. Microbial. 58:1451-1458. Falih, AMK. & TM. Wainwrigh. 1996. Microbial and enzyme activity in soils amended with natural source and easily available carbon. Biol Fertil Soils. 21: 177183. Fierer, N., & RB. Jackson. 2006. The diversity and biogeography of soil bacterial communities. PNAS 103 (3): 626631. Glenn, AR. & J. Mandelstam. 1971. Sporulation in Bacillus subtilis 168, comparison of alkaline phosphatase from sporulating and vegetative cells. Biochem. J. 123:129-138. Gyaneshwar, P., GN. Kumar, LJ. Parekh & PS. Poole. 2002. Role of soil microorganism in improving P nutrition of Plants. Plant soil. 245: 83-93. Hameeda, B., OP. Rupela, G. Reddy & K. Satyavani. 2006. Application of plant growth promoting bacteria associated with compost and macrofauna for growth promotion of Pearl Millet ( Pennisetum glaucum L.). Biol. Fertil. Soils. 43: 221-227. Horner-Devine, MC., M. Lage, JB. Hughes & BJM. Bohannan. 2004. A taxa-area relationship for bacteria. Nature 432: 750-753.

Hysek, J. & B.Sarapatka. 1998. Relationship between phosphatase active bacteria and phosphatase activities in forest soils. Biol Fertil Soils. 26: 112115. Kelly, CT., AM Nash & MW. Fogarty. 1984. Effect of manganese on alkaline phosphatase production in Bacillus sp. RK11. Applied Microbial Biotechnology. 19: 6166. Lal, L. 2002. Phosphatic biofertilizers. Agrotechnology Publication Academy, Udaipur, India, 224p. Landeweert, R., E. Hoffland, RD Finlay, TW. Kuyper, N. Van Breemen. 2001. Linking plants to rocks, ectomycorrhizal fungi mobilize nutrients from minerals. Trends Ecol. Evol. 16: 248-253. Margesin, R. 1996. Enzymes Involved in Phosphorus Metabolism: Acid and Alkaline Phosphomonoesterase Activity with the Substrate pNitrophenyl Phosphate. In: Eds. F. Schinner, R. Ohlinger, E. Kandeler & R. Margesin. Methods in Soil Biology. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg. p. 213-217. Nomoto, M., M. Ohsawa, H. Wang, C. Chen & K.Yeh. 1988. Purification and characterization of extracellular alkaline phosphatase from an alkalophilic bacterium. Agri. Biol.Chem. 52(7): 16431647. Parker, RE.1979. Introductory Statistics for Biology. Studies in Biology No. 43. Edward Arnold Ltd. London. Pitcher, DG. & RJ. Owen. 1989. Rapid extraction of bacterial genomic

322

Production of Acid Phosphatase in Bacillus sp.

DNA with guanidium thiocyanate. Lett.appl. Microbial. 8 : 151-156. Ponmurugan, P. & C. Gopi. 2006. In vitro production of growth regulators and phosphatase activity by phosphate solubilizing bacteria. Afri. J. Biotech. 5(4): 348-350. Richardson, AE. 1994. Soil microorganisms and phosphorous availability. In Eds. CE Pankhurst, BM Doube and VVSR Gupta . Soil Biota: Management in Sustainable Farming Systems. . pp. 5062. CSIRO, Victoria, Australia. Rodrguez, H., R. Fraga, T. Gonzalez & Y. Bashan. 2006. Genetics of phosphate solubilization and its potential applications for improving

plant growth-promoting bacteria. Plant and Soil. 287:1521. Richardson, AE. 2001. Prospect for using soil microorganisms to improve the quisition of phosphorus by plants. Aust. J. Plant Physiol. 58: 797906. Venkateswarlu, B., AV. Rao & P. Raina. 1984. Evaluation of phosphorus solubilization by microorganisms isolated from arid soils. J. Indian Soc. Soil Sci. 32: 273277. Villafranca, JE., CR. Kissinger & HE. Parge.1996. Protein serine/ threonine phosphatases. Curr. Opin. Biotechnol. 7: 397-402.

Memasukkan: November 2009 Diterima: Maret 2010

323

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 325-339 (2010)

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate Sebagai Sumber Antibiotik


Arif Nurkanto1, Febrianti Listyaningsih3, Heddy Julistiono1 & Andria Agusta 2
1

Bidang Mikrobiologi, Puslit Biologi LIPI, Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46 Cibinong 16911, e-mail: arif.nurkanto@lipi.go.id 2 Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI 3 Jurusan Biologi, F.MIPA Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRACT Exploration of Soil Actinomycetes Diversity from Ternate as Indigenous Antibiotic Sources. Actinomycetes of soil samples from Ternate, North Moluccas were isolated using SDS-YE method in humic acid vitamin agar. Ternate has high abundance of Actinomycetes, approximately 6.00 487 x 104 CFU/ g soil, depends on habitat types. We have selected 60 isolates and conducted antibiotic screening against pathogenic bacteria and fungi using agar diffusion method and found both narrow and broad antibiotic spectrum types . Based on 16S rDNA analysis, all Actinomycetes with antibiotic activities are belong to the genus Streptomyces. . Minimum Inhibitor Concentration (MIC) value was determined by broth microdilution method. It was found that MIC values varied, depended on microbial tested. We found two isolates with higher antibiotic activity compared to the commercial antibiotics (chloramphenicol, erythromycin for antibacterial and nystatin, kabicidin for antifungal). Cell destruction analysis caused antibiotic activities was conducted through leak of protein and nuclatic acid.

Key words : Actinomycetes, soil, Ternate, antibiotic, cell distruction

PENDAHULUAN Aktinomisetes memegang peranan yang amat penting dalam industri farmasi karena kemampuannya dalam memproduksi senyawa metabolit yang bervariasi, baik dari struktur maupun fungsinya. Senyawa metabolit yang di hasilkan oleh aktinomisetes banyak yang memiliki aktivitas antagonis terhadap bakteri maupun jamur. Atas dasar ini maka aktinomisetes banyak dikembangkan dan digunakan sebagai bahan obat dalam penanggulangan berbagai

macam penyakit, baik pada manusia maupun hewan (Solanki et al . 2008; Hopwood 2007) Pencarian bahan obat baru berbasis metabolit aktinomisetes terus dilakukan dengan berbagai macam metode pendekatan, baik berupa eksplorasi daerah khusus atau lingkungan unik, pengembangan metode isolasi , sampai pada teknik rekayasa genetika . Aktinomisetes merupakan kelompok bakteri yang terdistribusi luas di tanah, serasah, air dan sumber-sumber alami yang lain (Debananda et al. 2009; Hopwood 2007; Sette et al. 2005) bahkan 325

Nurkanto dkk

di lingkungan yang ekstrim sekalipun (Hamdali et al. 2008) . Keragaman dan jenis aktinomisetes sangat dipengaruhi oleh faktor kimia, fisika dan biologi lingkungan di sekitarnya. Identifikasi lingkungan ekologi yang baru merupakan faktor krusial dalam penenemuan jenis baru dari aktinomisetes yang juga memiliki senyawa metabolit yang baru pula. Lingkungan ekologi baru yang paling sering meghasilkan jenis baru dan metabolit baru diantaanya adalah lingkungan ekstrim seperti gurun pasir, dasar lautan, daerah es dan daerah hutan hujan tropis (Nolan & Cross 1988; Okazaki & Naito 1986; Saadoun & Gharaibeh 2003). Khusus untuk daerah hutan hujan tropis, merupakan target lingkungan ekologi yang sangat menarik dalam ekplorasi aktinomisetes penghasil senyawa metabolit tertentu. Hutan hujan tropis sangat memungkinkan ditemukannya keragaman dan populasi aktinomisetes yang tinggi dan membuka peluang besar untuk memperoleh metabolit baru. Indonesia memiliki daerah hutan hujan tropis salah satu yang terbesar di dunia yang merupakan hot spot dari keanekaragaman hayati, termasuk bakteri. Ternate, salah satu pulau di jajaran Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, merupakan salah satu daerah yang menarik untuk dikaji karena pertimbangan beberapa hal. Disamping merupakan hutan hujan tropis dengan lingkungan hangat dan lembab sepanjang tahun, pulau ini juga memiliki kondisi tanah yang unik karena sebagain besar tersusun atas magma dan lava beku yang relatif muda hasil erupsi Gunung Gamalama. Disamping kondisi lingku326

ngannya yang menarik, ekplorasi bakteri di Ternate hamper tidak pernah dilakukan. Hal ini akan memberikan informasi baru yang penting tentang inventarisasi keanekaragaman aktinomisetes Indonesia dalam kaitannya sebagai drug discovery di kawasan Wallacea ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aktinomisetes yang terkarakterisasi dan teridentifikasi dengan kemampuan antibiotik yang tinggi, untuk pengembangan lebih lanjut. BAHAN DAN CARA KERJA Sampel tanah diambil sebanyak 500 g, dikeringanginkan selama 7 hari, digerus dengan menggunakan mortar, kemudian disaring menggunakan saringan tepung. Sampel yang telah kering dilakukan islolasi aktinomisetesnya dengan metode Sodium Dodesyl Sulfat Yeast Ekstrak (SDS-YE) pada medium Humic Vitamin Agar (HVA) (Hayakawa & Nanomura, 1987; Hayakawa et al. 2004; Nurkanto et al. 2008) dan diinkubasi selama 14 sampai dengan 21 hari pada suhu 28oC. Koloni yang tumbuh dari masing-masing cawan petri dihitung. Koloni yang dihitung dari tiap cawan petri harus lebih dari 10 koloni (Lee & Hwan 2002) untuk kemudian dikalkulasi dalam perhitungan total jumlah koloni per gram sampel tanah. Koloni aktinomisetes yang tumbuh dipindahkan ke medium Yeast Strach Agar (YSA) untuk mendapat isolat murni. Identifikasi isolat terpilih dilakukan melalui pendekatan molekular 16S rDNA. Tahapan yang dilakuan berupa ekstraksi DNA, amplifikasi menggu-

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

nakan Polymerase Chain Reaction (PCR), visualisasi hasil PCR, purifikasi DNA hasil amplifikasi, cycle sequencing, sekuen dan analisis data. Ekstraksi DNA menggunakan metode GES (Pitcher et al . 1989) dilanjutkan dengan amplifikasi. Primer 20 F (5-GATTTTGATCCTGGCTCAG 3) dan 1500 R (5-GTTACCTTGTTACGACTT3) 10 pmol masingmasing sebesar 0,625 L, DNA template 5 L, DMSO 0,5 L, Go Taq (Promega) sebesar 12,5 L dan 5,75 L deionized water. Reaksi PCR dengan menggunakan Thermalcycler (Takara Shuzo Co., Ltd., Shiga, Japan) selama 30 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 95 C selama 1,5 menit, kemudian dilanjutkan dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 0,5 menit pada suhu 95 C, annealing 0,5 menit pada suhu 50 C dan 1,5 menit ekstensi pada suhu 72 C. Setelah 30 siklus selesai, diikuti 10 menit pada suhu 72 C dan pendinginan pada suhu 4 C selama 30 menit. Hasil amplifikasi di fraksinasi secara elektroforesis menggunakan Mupid Mini Cell (exu) pada gel agarose 1% dalam buffer TAE (Tris Acetat-EDTA) selama 25 menit pada 100 V. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan ethidium bromida dengan konsentrasi 1 L/100 mL selama 20 menit. Hasil pemisahan divisualisasi pada Gel Doc Printgraph (Bioinstrument, ATTO) menggunakan UV transluminator dengan menggunakan standar 100 bp DNA ladder (Promega) untuk mengetahui hasil dan ukuran pita DNA hasil amplifikasi.

Ke dalam 25 l sampel produk PCR ditambahkan 15 l larutan PEG (40% PEG 6000 dan 10 mM MgCl2) dan 6 l 3 M sodium asetat. Bolak-balik selama 10 menit dan sentrifugasi dengan kecepatan 16.100 g selama 25 menit. Supernatan dibuang dengan cara dipipet. Pellet DNA dicuci dengan 50 l etanol 70% sebanyak 2 kali. Dan pellet dilarutkan dengan 20 l dH2O ultra pure. Sampel 16s rDNA murni disimpan pada 200 C. Tahap selanjutnya adalah cycle sequencing dengan menggunakan primer 520 F (5-GTGCCAGCAGCCGCGG3), 920 R (5-CCGTCAATTCATTTGAGTTT-3), 520 R (5-ACCGCGGCTGCTGGC-3), 920 F (5-AAACTCAAATGAATTGACGG-3), 20 F (5GATTTTGATCCTGGCTCAG3) dan 1500 R (5 GTTACCTTGTTACGAC TT3). Komposisi yang digunakan untuk tiap tabung adalah 0,5 L primer 10 pmol, 1 DNA hasil purifikasi, 0,5 L Big Dye Terminator sequen premix kit (Applied Biosystems Inc., Warington, UK), 5 kali sequen bufer 1,5 L dan deionized water sampai volume 10 L. Selanjutnya dilakukan amplifikasi dengan PCR sebanyak 40 siklus. Pemanasan pertama pada suhu 96 C selama 60 detik diikuti dengan siklus yang terdiri dari denaturasi 10 detik pada suhu 96 C, annealing 5 detik pada suhu 50 C. Preparasi dilakukan dengan mencampurkan 10 L produk cycle sequencing dengan 1 L 3M Na-acetat, 1 L 125 mM EDTA (pH 8) dan 25 L ethanol absolut kemudian di vortex dan didiamkan selama 15 menit. Tahap berikutnya dilakuan sentrifugasi 16.000 xg selama 25 menit pada temperatur 327

Nurkanto dkk

dingin (4 0C) . Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 70% athanol untuk kemudian disentrifugasi ulang 16.000 xg selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet dikeringanginkan selama 10 menit. Pelet DNA yang sudah kering ditambah dengan 10 L HiDi-Formamide (Applied Biosystems Inc., Warington, UK) dan di vortex. Sampel kemudian dipanaskan 95 C selama 2 menit dan segera didinginkan dalam es. Tahap selanjutnnya sampel diinjeksi dengan sekuenser model ABI 3130 (Applied Biosystems Inc., Foster, California). Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada Bank Gen NCBI dataLibrary . filogenetik analisis menggunakan program multiple aligment Clustal X versi 1.83. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan jarak kekerabatan genetik dengan metode Neighbor joining . Konstruksi jarak evolusi dalam derajat kepercayaan menggunakan bootstrap value pada program NJ plot. Masing-masing isolat aktinomisetes ditumbuhkan dengan 100 ml medium cair Actino Medium No. 1 (Daigo, Japan) dengan komposisi 5 g polipepton, 3 g ekstrak khamir, 1 L H 2 O, pH 7,2. Inkubasi dilakukan selama 7 hari dengan penggojogan pada rotary shaker dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28 oC. Ekstraksi untuk mendapat produk metabolit dilakukan dengan menambahkan 100 ml larutan etil asetat dan metanol (4 : 1) selama 3 kali, dan kemudian dikeringkan dengan rotary evaporator pada suhu 35 oC. Kristal metabolit yang terbentuk ditimbang dan dilarutkan kembali dengan aseton. 328

Ekstrak yang diperoleh dianalisis dengan teknik KLT (gel silika GF254) dengan larutan pengembang campuran CH2Cl2 dan methanol dengan perbandingan 15:1. Kromatogram KLT kemudian dimonitor dengan pemaparan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan pereaksi penampak noda 1% CeSO4 dalam 10% H2SO4 pekat. Mikroba uji yang digunakan berupa bakteri gram positip dan negatip ( Escherichia coli NBRC 14237 , Bacillus subtilis NBRC 3134, Staphylococcus aureus NBRC 13276 , Micrococcus luteus NBRC 1367) dan fungi/yeast (Candida albicans NBRC 1594, Saccharomyces cerevisiae NBRC 10217 dan Aspergilus niger ). Uji antibiotik yang dilakukan adalah metode difusi media. Pengujian antibakteri dilakukan dengan menuangkan 4 mL top layer media Mueler Hinton (Difco) 0,5 resep yang mengandung 0,2 mL bakteri uji ke atas medium Mueller Hinton agar (ekstrak beef 2g/L, casein 17,5 g/L Strach 1,5 g/L dan agar 17 g/L) dalam petridish. Pengujian antifungi/yeast sama dengan pengujian antibakteri, tapi media yang digunakan adalah Saburoad (Difco, 10 g/L pepton, 40 g/L glukosa, 17 g/l agar). Uji antibiotik dilakukan dengan meletakkan paper disc steril yang dicelupkan dalam larutan hasil ekstraksi pada agar. Indikasi produk antibiotik dapat diamati dengan terbentuknya zona bening di sekitar paper disc. Penentuan MIC dilakukan terhadap Mikroba uji, yaitu bakteri gram negatif, bakteri gram positip, yeast dan filamentous fungi . Mikroba yang digunakan sama dengan uji aktivitas

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

antibiotik. Mikroba tersebut di tumbuhkan pada suhu 35 p C dalam medium cair ( Mueller Hinton untuk bakteri, Saboroad untuk yeast dan fungi). Waktu inkubasi tiap mikroba berbeda, mulai dari 12 24 jam. Tiap interval waktu dilakukan penghitungan jumlah koloni dengan metode Agar plating hingga diperoleh konsentrasi sel 1 5 x 105 CFU/ mL. Metode yang digunakan dalam penentuan MIC adalah Broth Microdilution Method (Schwalbe et al. 2007 ; Rahman et al. 2005 ). Pengamatan dilakukan dengan 3 kali ulangan pada waktu yang berbeda. Dilakukan juga uji konfirmasi dengan menggunakan metode Agar difusion method terhadap hasil MIC yang di peroleh dengan metode Broth Microdilution method. Hal ini dilakukan untuk memastikan ada tidaknya pertumbuhan mikroba uji. Untuk mengetahui aktivitas dan kemampuan daya hambat ekstrak terhadap mikroba uji, dilakukan uji banding dengan menggunakan antibiotik komersial berupa antibakteri (kloramphenicol dan eritromycin) anti yeast dan antifungi (kabicidin dan nystatin). Uji Kebocoran Sel Suspensi mikroba uji yang telah ditumbuhkan selama 24 jam dalam media NB (bakteri) dan YMB (kapang dan khamir) sebanyak 10 ml diambil, ditambahkan 0,5 mL tween 80. larutan bakteri uji disentrifuge dingin dengan kecepatan 3500 rpm selama 20 menit. Filtrat dibuang kemudian pelet dalam tabung dicuci dengan buffer fosfat pH 7,0 sebanyak dua kali. Larutan buffer

fosfat dan sel mikroba di tambah dengan ekstrak isolat Aktino dengan konsentrasi 1 MIC dan 2 MIC serta kontrol (tanpa penambahan ekstrak), diinkubasi dalam inkubator goyang selama 24 jam. Suspensi di sentrigfuge 3500 rpm selama 15 menit, lalu dipisahkan supernatan dan peletnya. Cairan supernatan diambil dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm dengan menggunakan spektrofotometri UV/VIS (Shimadzu, Japan). HASIL Kelimpahan Aktinomisetes Perhitungan kelimpahan aktinomisetes yang dilakukan berdasarkan tingkat elevasi gunung Gamalama, mulai dari titik terendah sampai pada puncak gunung. Sampel yang diambil sebanyak 12 titik. Hasil penghitungan total koloni aktinomisetes cukup bervariasi, mulai dari ketinggian 8 sampai 1500 m dpl. Berdasarkan analisis statistik menggunakan SPSS v.13 ( p = 0,95), dari titik pengambilan sampel tidak ditemukan adanya pola penyebaran yang berkorelasi antara ketinggian dan kelimpahan (Tabel 1). Isolasi dan Screening Antibiotik Telah diisolasi sebanyak 60 isolat untuk di lakukan screening produksi antibiotik terhadap bakteri gram positip, gram negatif, yeast dan jamur berfilamen. Disamping dilakukan pengujian antibiotik, dilakukan juga kuantifikasi senyawa metabolit yang produksi oleh masingmasing isolat uji. (Tabel 02). Aktivitas antibiotik ditunjukkan dengan adanya 329

Nurkanto dkk

zona bening di sekitar kertas cakram (Gambar 1 dan 2). Analisis Molekuler 16 S rDNA Identifikasi molekular dengan 16S rDNA telah dilakukan terhadap isolat aktinomycetes yang memiliki aktivitas antibiotik. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar dari aktinomisetes yang memiliki aktivitas antibiotik adalah kelompok Streptomyces . Fisualisasi produk PCR dan hasil analisis konstruksi pohon filogenetik seperti pada Gambar 3 dan 4. Penentuan Minimum Inhibitor Concentration (MIC) Isolat yang memiliki aktivitas antibiotik tertinggi dan telah di identifikasi

(MG.500.1.1 dan MG 1250.1.2.) dikultivasi ulang dengan skala medium yang lebih besar (1 liter) dan di ekstrak metabolitnya. Penentuan MIC ekstrak terpilih dilakukan dengan membandingkannya dengan antibiotik komersial. Hasil analisis perhitungan MIC pada Tabel 3. Analisis Kebocoran Sel Analisis kebocaran sel dilakukan dengan analisis kandungan protein dan asam nukleat yang di keluarkan sel setelah perlakuan. Perlakuan adalah 0 MIC, 1 MIC dan 2MIC terhadapap dua ekstrak dari 2 isolat di atas. Ekstrak MG 500 1.1 diujikan pada E. coli dan S. cerevisiae. Ekstrak 1250 1.2 diujikan pada A. Niger. Hasil analisis seperti pada Gambar 5.

Tabel 1. Perhitungan total koloni tiap gram sampel yang terkait dengan faktor lingkungan
Sampel Posisi Ketinggian (m) 8 17 250 370 370 514 742 1000 1253 1463 pH Subtrak / vegetasi Total koloni (CFU/g sampel) x 104 6,0 0.70 487,5 95,45 62,5 3,53 50,0 33,5 60,0 14,10 200 21,21 95 0,00 145,0 7,07 87,5 17,67 42,5 3,53

A.1 MG.10 LAGUNA BBL-1 BBL-2 MG.500 MG.750 MG.1000.1 MG.1250 MG.1500

00.53.604 N 127.21.403 E 00.47.462 N 127.18.072 E 00.46.000 N 127.20.969 E 00.46.438 N 127.19.275 E 00.46.438 N 127.19.275 E 00.47.001 N 127.21.325 E 00.47.252 N 127.21.118 E 00.47.764 E 127.20.749 E 00.47.705 N 127.20.864 E 00.47.881 N 127.20.686 E

7.0 7.0 7.0 7.0 7.0 6.5 6.9 6.8 6.0 6.9

No vegetation Durio sp. Cengkeh (Syngzigium aromaticum) Lahar hitam Lahar merah Monoculture pala (Miristrica fragans) Cengkeh Pandan, heterogen Pandanus sp. Heterogen

330

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

Tabel 2. Produksi Metabolit dan Kemampuan antibiotik isolat aktinomisetes.


No Isolat Produksi senyawa (mg/ml) 57,2 0,3 0,14 0,1 0,04 0,02 0,02 0,04 0,1 0,58 0,02 0,18 0,04 0,18 0,06 0,3 0,3 0,38 0,5 0,3 1,57 0,84 0,1 0,56 0,26 0,5 0,04 0,24 0,28 1,84 0,08 0,42 0,14 0.38 0,58 0,38 0,94

Rerata diameter zona hambat (mm)


E. coli 31 17 M. luteus 30,5 13 S. aureus 25 10,5 B. subtilis 25,5 10.5 C. albicans S. cerevisiae 25 A. niger 31,7 -

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 14 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37

MG 500.1 2 MG 500.1 1 MG 1500.1 6 MG 1500.1 5 MG 500.1 3 MG 500.1 4 MG 500.1 5 MG 500.1 6 MG 500.1 7 MG 500.1 8 MG 1500.1 1 MG 1500.1 2 MG 1500.1 3 MG 1500.1 4 MG 1500.1 7 LGN 1 1 LGN 1 2 LGN 1 3 LGN 1 4 LGN 1 5 BBL 2 1 BBL 2 2 BBL 2 3 BBL 2 4 BBL 2 5 A11 A12 A13 A14 A15 A16 MG 750.1 5 MG 1250 1 1 MG 1250 1 2 MG 1250 1 3 MG 1250 1 4 BBL 1 1

331

Nurkanto dkk

Tabel 2. Lanjutan
No Isolat Produksi senyawa (mg/ml) 2,90 0,58 0,48 0,24 0,14 0,64 0,08 0,02 0,2 0,02 0,02 0,08 0,24 1,05 0,2 1,14 0,52 2,19 0,08 0,04 0,2 0,06 0,58

Rerata diameter zona hambat (mm)


E. coli 7 7,5 M. luteus 8,5 S. aureus 9,5 B. subtilis 8,5 C. albicans S. cerevisiae A. niger -

38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60

BBL 1 2 BBL 1 3 BBL 1 4 MG 750.1 1 MG 750.1 2 MG 750.1 3 MG 750.1 4 MG 1000.1 1 MG 1000.1 2 MG 1000.1 3 MG 1000.1 4 MG 1000.1 5 MG 1000.1 6 MG 10.1.S 1 MG 10.1.S 2 MG 10.1.S 3 MG 10.1.S 4 MG 10.1.S 5 MG 10.1.S 6 MG 10.1.S 7 MG 10.1.S 8 MG 10.1.S 9 MG 500.1 9

Isolat yang memiliki aktivitas antibiotik dan telah di identifikasi di simpan dalam bank koleksi kultur di LIPI Microbial Cultere Collection (LIPIMC), Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI dengan nomer koleksi seperti pada Tabel 4.

PEMBAHASAN
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa perbedaan kelimpahan yang terjadi kemungkinan lebih disebabkan 332

oleh kondisi biologi, kimia dan fisika tanah serta vegetasi naungan, bukan kerena ketinggian tempat. Sampel tanah dari habitat A1 memiliki kepadatan yang jauh lebih rendah dibandingkan yang lain. Hal ini disebabkan karena struktur tanah adalah larva beku yang keras, sehingga tidak memungkinkan adanya sirkulasi udara yang baik. Disamping itu, lava belum terdegadasi sehingga memiliki kandungan nutrisi yang relatif rendah dan tidak sesuai dengan kondisi pertumbuhan aktinomisetes.

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

Gambar 1. Zona bening yang terbentuk oleh aktivitas antibakteri dari senyawa yang diproduksi oleh aktinomisetes.

Gambar 2. Zona bening yang terbentuk oleh aktivitas anti jamur dari senyawa yang diproduksi oleh aktinomisetes.

Dari 60 isolat yang di screening, 10 % diantaranya memiliki aktivitas antibiotik, baik yang bersifat arrow spectrum (spesifik menghambat satu jenis mikroba tertentu saja) maupun broad spectrum (menghambat beberapa jenis mikroba). Dari hasil konstruksi pohon filogenetik berdasarkan parsial 16 S rDNA, terlihat bahwa semua isolat masuk dalam genus Streptomyces. Dari

enam isolat, isolat MG 500.1.1 memiliki kedekatan dengan Streptomyces hygroscopicus (99% homologi) dan isolat MG 500.1.4 dekat dengan Streptomyces resistomycificus (99% homologi). Empat isolat lainnya secara filogenetik terpisah dari kerabat trdekatnya, sehingga memiliki kemungkinan jenis baru.

333

Nurkanto dkk

Gambar 3. Fisualisasi PCR product hasil analisis.Analisis (dari kiri : Marker, MG.500.1.1, MG.500.1.4, MG.500.1.6, A.1.6, MG.750.1.2, dan MG.10.1.S.8.).

21 35 100 9 43 100 15 8 97 32 4 13 2 22 2 44 100 95 34 100 85 100 100 100 100 0.05

Nocardiopsis rosea strain YIM 90094


MG 10. 1. S 8

Streptomyces goshikiensis strain 173428" Streptomyces galilaeus strain HBUM174638 100 Streptomyces galilaeus strain HBUM174638 Streptomyces psammoticus strain K33 Streptomyces variabilis strain HBUM173496
MG 1250 1.2 A 1.6 MG 500 1.6

Streptacidiphilus luteoalbus strain IS096 Kitasatospora kepongensis strain H 6549 Streptomyces prunicolor strain 22-1 Streptomyces rimosus strain MJM8796 Streptomyces cacaoi subsp. cacaoi strain NBRC 12837 Streptomyces violaceoruber strain KCTC 9787 Streptomces psammoticus strain IFO 13971 Streptomyces kathirae strain s7a Streptomyces panacagri strain Gsoil 519 Streptomyces aureofaciens strain KACC 20180 Arthrobacter sulfureus strain CSQ5 Arthrobacter citreus Streptomyces seoulensis strain HBUM174550 Streptomyces tauricus strain HBUM175010 Kitasatospora kifunensis strain HKI 0316 Streptomyces hygroscopicus strain SMUM3697
MG 500 1.1

100

87 100 100 34 99

Streptomyces miharaensis strain NBRC 13791 Streptomyces phaeofaciens strain NBRC 13372 Streptomyces psammoticus strain NBRC 13971 Streptomyces puniceus strain NRRL B-2895T 98 Streptomyces bobili strain NBRC 16166 Streptomyces griseoaurantiacus strain HBUM174220 Streptomyces aureus strain 173978 Streptomyces aburaviensis 99% strain AS 4.1869 Streptomyces resistomycificus strain 6792
MG 500 1.4

Streptomyces pseudovenezuelae strain BUM174623 Arthrobacter agilis strain 090-2.1-CV-A-08a

Gambar 4. Analisis Filigenetik isolat aktinomisetes.

334

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

Tabel 3. Penentuan nilai MIC ekstrak uji terhadap bakteri dan fungi dibandingkan dengan kontrol antibiotik komersial
No Mikroba Uji Ekstrak (g/ ml) MG 500 MG 1.1 1250 1.2 2 128 128 128 Na 16 Na na na na na na na 16 Antibiotik komersil sebagai pembanding (g/ ml) Chloramphenicol 16 16 16 8 na na na Eritromycin 32 16 0.06 0.03 na na na Nistatin na na na na 32 64 16 Kabicidin na na na na 32 64 64

1 2 3 4 5 6 7

Escherichia coli NBRC 14237 M. luteus NBRC 1367 S. aureus NBRC 13276 Bacillus subtilis NBRC 3134 Candida albicans NBRC 1594 S. cerevisiae NBRC 10217 Aspergillus niger

Keterangan : na = tidak aktif

Gambar 5. Analisis kebocoran sel. A : ekstrak MG 500.1.1 terhadap sel E. coli; B : ekstrak MG 500.1.1 terhadap S. cereviseae dan C : ekstrak MG 1250.1.2 terhadap A. niger.

335

Nurkanto dkk

Tabel 4. Registrasi nomor penyimpanan kultur pada LIPIMC

No 1 2 3 4 5 6

Nomor kode isolat MG 500.1.1 MG 500.1.4 MG 500.1.6 MG 1250.1.2 A 1.6 MG 10.1.5.8

Nomor isolat di LIPIMC LIPIMC 368 LIPIMC 369 LIPIMC 370 LIPIMC 371 LIPIMC 372 LIPIMC 373
oleh Streptomyces MG 500.1.1 menghambat semua mikroba uji kecuali C. albicans dan A. niger. Nilai MIC untuk menghambat E. coli (2 g/mL) jauh lebih rendah dibandingkan dengan antibiotik komersial chloramphenicol dan erytromicin. MIC untuk menghambat yeast S. Cerevisiae (16 g/mL) juga lebih rendah dibandingkan dengan antibiotik komersial kabicidin dan nystatin. Walaupun demikian, nilai MIC terhadap mikroba lain lebih tinggi dibandingkan dengan antibiotik komersial. Nilai MIC dari Streptomyces MG 1250.1.2 terhadap A. niger sama dengan nistatin, dan lebih rendah dibandingkan dengan kabicidin. Nilai MIC yang lebih rendah menujukkan kemampuan antibiotik yang tinggi. Makin rendah MIC, makin bagus aktivitas antibiotiknya. Dari hasil yang telah diperoleh, menujukkan hasil yang positip, dimana kedua ekstrak memiliki aktivitas antibiotik yang lebih tinggi dibandingkan dengan antibiotik komersial yang telah lama digunakan untuk obat saat ini, walaupun masih dalam bentuk ekstrak campuran. Data kebocoran dinding sel menunjukkan adanya kerusakan sel oleh pengaruh pemberian ekstrak. Kerusakan

Diketahui bahwa Streptomyces merupakan genus dari aktinomisetes yang paling banyak memproduksi antibiotik dan molekul bioaktif di bandingkan dengan genus lain dari aktinomisetes (Solanki et al. 2008; Khamma et al. 2008; Goodfellow & Simpson 1987), bahkan juga lebih tinggi dibandingkan dengan mikroba lain seperti jamur dan yeast.Isolat yang memiliki kemampuan antibiotik dari hasil screening, dilakukan seleksi lebih lanjut untuk mendapatkan isolat unggul. Dari 6 isolat aktif, dipilih dua isolat untuk di analisis lebih lanjut. Dua isolat tersebut adalah Streptomyces MG 500.1.1 dan Streptomyces MG 1250.1.2. Pemilihan isolat tersebut didasarkan pada kemampuan antibiotiknya yang paling tinggi dan sifat khas antibiotiknya yang kebetulan berlawanan. Streptomyces MG 500.1.1 bersifat broad spectrum sedangkan Streptomyces MG 1250.1.2 lebih bersifat arrow spectrum. Uji lanjut MIC dilakukan untuk mengetahui dosis minimum dari metabolit yang diproduksi oleh kedua isolat terpilih dalam menghambat beberapa jenis mikroba. Hasilnya menunjukkan nilai MIC yang bervariasi terhadap mikroba uji. Senyawa metabolit yang diproduksi 336

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

yang terjadi berupa rusaknya dinding dan membran sel yang diikuti dengan keluarnya material seluler ke medium antara lain protein dan asam nukleat yang diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 260 dan 280 nm. Hampir semua antibiotik bekerja dengan merusak membran sitoplasma. Karena ekstrak yang digunakan bersifat hidrofobik, maka mekanisme awal adalah penempelan senyawa ekstrak dengan fosfolipid dan lipoprotein pada membran bagian luar. Ekstrak juga kemungkinan berikatan dengan peptidoglikan yang bersifat hidrofobik, yang mengganggu permeabilitas membran. Dengan terganggunya permeabilitas membran sel, maka ekstrak akan masuk ke dalam sitosol sel dan mengganggu proses metabolisme sel secara keseluruhan. Menurut Sikkema et al dan Ultee et al. 2002 dalam Miksusanti et al. (2008), adanya akumulasi ekstrak dalam sitoplasma akan menyebabkan membran mengalami pembengkakan, perubahan permiabilitas dan fluiditas. Akibatnya potensial membran menurun, kerja enzim dalam proses metabolisme menurun yang pada akhirnya menyebabkan terlepasnya material sel ke luar, yang terdeteksi dengan tingginya protein dan asam nukleat. Secara umum pemberian perlakuan 2 MIC menimbulkan kerusakan yang lebih berat dibandingkan dengan dosis 1 MIC. KESIMPULAN Aktinomisetes yang diisolasi dari sampel tanah berbagai tipe subtrat dan habitat asal ternate memiliki kelimpahan yang cukup tinggi. Tidak ditemukan

adanya pola kelimpahan aktinomisetes yang dibatasi oleh ketinggian. Berdasarkan analisis 16S rDNA, semua isolal yang memiliki aktivitas antibiotik masuk dalam genus Streptomyces . Diperoleh dua strain aktinomisetes Streptomyces MG 500.1.1 dan Streptomyces MG 1250.1.2 yang senyawa metabolitnya memiliki aktivitas antibiotik yang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari antibiotik komersial. Metabolit dari Streptomyces MG 500.1.1 lebih kuat melawan E. coli dan S. cerevisiae , sedangkan Streptomyces MG 1250.1.2 pada A.niger. Aktivitas antibiotik ditandai dengan kebocoran sel dan terlepasnya material organik (protein dan asam nukleat). Untuk selanjutnya Perlu dilakukan isolasi, elusidasi dan karakterisasi metabolit dari kedua strain yang memiliki aktivitas antibiotik. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dibiayai oleh proyek IPTEKDA LIPI 2009. Terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ibnu Maryanto sebagai koordinator proyek, Walikota Ternate, semua tim ekspedisi Ternate 2009, Dian Alfian dan semua fihak yang membantu penelitian kami. DAFTAR PUSTAKA Debananda, S. Ningthoujam, S. Sanasam & S. Nimaichand.2009. Screening of Actinomycete Isolates from Niche Habitats in Manipur for Antibiotic Activity. American J.l Biochem. Biotech. 5 (4): 221-225.

337

Nurkanto dkk

Goodfellow, M. and KE. Simpson. 1987. Ecology of Streptomyces. App Microbial. 2 : 97 125. Hamdali, H., B. Bouizgarne, M. Hadi , A. Lebrihi, M. Virolle and Y. Ouhdouch. 2008. Screening for rock phosphate solubilizing Actinomyce from Moroccan phosphate mines. App.Soil Ecol. 38 : 12 19. Hayakawa, M. & T. Nanomura. 1987. Humic Acid Vitamin Agar, and a New Medium for the Selective Isolation of Soil Actinomycetes. J. Ferment technology 65: 501 509. Hayakawa, M., Y.Yoshida & Y. Iimura. 2004. Selective isolation of bioactive soil actinomycetes belonging to the Streptomyces violaceusniger phenotypic cluster. J. Appl. Microbiol. 96 : 973981. Hopwood, DA,.2007. Streptomyces in Nature and Medice . Oxford University Press. New York. Khamma, S., A. Yokota, & S. Lumyong. 2008. Actinomycetes isolated from medical Plant rhizosphere soil : diversity and screening of antifungal compounds, indole-3acetic acid sidorephore production. World J.Microbiol Biotechnol . 10.1007. Lee, YJ. & BK. Hwang. 2002. Diversity of Antifungal Actinomycetes in Varios Vegetative soils of Korea. J. Microbiol 48: 407- 417. NRC Research Press. Miksusanti, BSK. Jennie, B. Ponco & G. Trimulyadi. 2008. Cell wall Disruption of Escherchia coli K1.1 338

by Temu Kunnci ( Kaempferia pandurata) Essential Oil. Berita Biologi. 9 (1) : 1 8. Nolan, R.&T. Cross. 1988. Isolation and screening of actinomycetes. dalam: Goodfellow, M., Williams S.T., Mordarski M, editors. Actinomycetes in biotechnology. London: Academic Press. Hlm. 1 32. Nurkanto, A, M. Rahmansyah & A. Kanti. 2008. Teknik Isolasi Aktinomisetes . LIPI Press. Jakarta. Okazaki, T. & A. Naito.1986. Studies on actinomycetes isolating from Australian soil. dalam: Szabo, G., S. Biro, M. Goodfellow, editors. Biological biochemical and biomedical asp.ects of actinomycetes. Budapest: Akademiai Kiado. Hlm. 739 41. Pitcher, DG., NA. Saunders and RJ. Owen. 1989. Rapid extraxtion of bacterial genomic DNA with Guanidium thiocyanate. Lett Appl Microbiol. 8 : 108 114. Rahman, A, MI Choudhary and WJ. Thomsen. 2005. Bioassay Techniques for Drug Develoment. Hardwood Academic Publishers. London. Saadoun, I. & R. Gharaibeh. 2003. The Streptomyces flora of Badia region of Jordan and its potential as a source of antibiotic-resistant bacteria. J. Arid Environ 53: 365 371. Schwalbe,R, L. Stele-Moore & AC. Goodwin. 2007. Antimicrobial

Eksplorasi Keanekaragaman Aktinomisetes Tanah Ternate

Susceptibility Testing Protocols. CRC Press. New York. Sette, LD., VM. de Oliveira & GP. Mano. 2005. Isolation and characterization of alachlordegrading actinomycetes from soil.

Antonie van Leeuwenhoek. 87 : 81 -89. Solanki,R, M. Khanna & R. Lal. 2008. Bioactive Compounds from Marine Actinomycetes. Indian J. Microbial. 48 : 410 431.

Memasukkan: September 2009 Diterima: April 2010

339

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 341-351 (2010)

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami di Pulau Ternate, Maluku Utara
Edi Mirmanto
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta Bogor km 46, Cibinong

ABSTRACT Vegetation Analysis of Natural Forest in Ternate Island, North Maluku. A vegetation analysis of the Ternate natural forest has been conducted by establishing 9 plots of each 30-m x 30-m. All trees (dbh. e10 cm) within all plots were measured, their positions were determined, and their species were identified. In total there were 68 tree species recorded within plots belonging to 34 families. Trichospermum morotainense was the most common species, followed by Albizia falcataria, Elmerilla ovata, Cordia mixa, and Macaranga longicaudatum. Almost all of the common species such as A. falcataria, Tristiopsis canarioides, Pometia pinnata, E. ovata and Intsia bijuga were found as emergent or canopy trees. According to the ordination (DCCA) analysis there were at least three tree species associations which were related to habitat characteristics (conditions). However the populations dominant species varied among sites, which might be related to the habitat characteristics and/or effects of human activities in the past. Keywords: Vegetation, natural forest, Ternate, North Maluku

PENDAHULUAN Kepulauan Maluku merupakan bagian dari kawasan Malesia yang dikenal memiliki keanekaragaman flora dan tipe vegetasi yang tertinggi di dunia (Steenis 1948; Balgooy 1976). Secara geografis posisi kepulauan ini terletak di antara Asia-Malesia Barat dan AustraliaPasifik, sehingga memungkinkan terjadinya percampuran flora dan fauna dari 2 wilayah tersebut dan memperkaya keanekaragaman hayati kepulauan tersebut. Ternate merupakan salah satu pulau kecil yang berada dalam wilayah Kepulauan Maluku, dan terletak di sebelah pantai Barat pulau Halmahera.

Keberadaan Pulau Ternate cukup menarik karena sebagian areanya berupa Gunung Gamalama, yang keberadaannya mempunyai arti positif dan negatif. Gunung yang masih aktif ini telah meletus beberapa kali yang menimbulkan kerugian tidak sedikit. Di sisi lain sumberdaya alam yang terdapat di daerah Gunung Gamalama merupakan salah satu modal dasar dalam pengembangan Kota Ternate. Mengingat letak geografisnya, diperkirakan masih terdapat flora dan fauna yang khas Maluku atau bahkan Ternate. Seperti halnya pulau-pulau kecil lainnya, keberadaan vegetasi hutan alami di P. Ternate merupakan aset yang perlu dipertahankan. Sebagian besar hutan di 341

Edi Mirmanto

pulau kecil merupakan sisa ekosistem alami daratan dengan biodiversitas yang tinggi. Berlangsungnya proses isolasi geografis yang lama telah membentuk pola-pola vegetasi yang khas dan membentuk jenis-jenis endemik pada sebagian besar pulau-pulau kecil. Di samping itu fungsi dan potensi vegetasi hutan di pulau kecil memegang peranan penting, baik secara ekologis maupun ekonomis khususnya bagi masyarakat yang menghuni di dalamnya. Di Ternate, keberadaan hutan alami berupa spot-spot hutan di antara hamparan tanaman cengkeh dan pala, pada daerah-daerah lereng ke arah puncak G. Gamalama. Sebagian terdapat di daerah-daerah sumber air dan daerah keramat (jere). Keberadaan hutan alami di pulau ini memegang peranan penting dalam mempertahankan kestabilan ekosistem di daerah tersebut. Untuk itu keberadaan hutan alami di P. Ternate perlu dipertahankan, karena dengan rusaknya hutan alami ini akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumber air yang sangat terbatas. Di lain pihak pengetahuan dan informasi tentang biodiversitas P. Ternate belum terungkap dan terdokumentasi dengan baik. Sehubungan dengan itu perjalanan ke P.Ternate telah dilakukan untuk melakukan penelitian dan eksplorasi flora dan fauna di P.Ternate. Tulisan ini merupakan sebagian hasil dari kegiatan penelitian tersebut, yang ditekankan pada analisis vegetasi hutan alami di pulau Ternate. Tujuan utama analis vegetasi adalah untuk mempelajari dan mengungkapkan komposisi flora, struktur hutan dan pola komunitas 342

vegetasi hutan alami di pulau Ternate dan kaitannya dengan kondisi habitatnya. BAHAN DAN CARA KERJA Ternate merupakan merupakan nama pulau sekaligus nama kota di Kepulauan Maluku, yang terletak di sebelah pantai Barat pulau Halmahera. Luas P. Ternate sekitar 76 km, dan sebagian arealnya berupa Gunung Gamalama yang tingginya mencapai 1.715 m. Adapun Kota Ternate sendiri terbentang antara 0472 -1142 LU dan 127222 -127362 BT. Secara administrasi pemerintahan, Ternate termasuk ke dalam Propinsi Maluku Utara, dengan wilayah yang terbagi menjadi 3 kecamatan, yaitu Moti, Ternate Utara, dan Ternate Selatan. Secara umum curah hujan di daerah penelitian relatif rendah, yaitu dengan rata-rata tahunan tercatat sebesar 2.202 mm. Rata-rata curah hujan bulanan bervariasi dari 50 sampai 263 mm, dengan curah hujan tertinggi tercatat pada bulan Mei dan Desember, dan terendah pada bulan Juni sampai September (Sumber: Stasiun Meteorologi Babullah Ternate). Dengan demikian iklim di daerah penelitian dapat digolongkan beriklim kering tengah tahun. Suhu udara cukup panas dan tidak terlalu bervariasi, yaitu berkisar antara 23,3 dan 31,5 C. Sebagian besar penutupan lahan di daerah ini berupa tanaman cengkeh ( Syzygium aromaticum ) dan pala ( Myristica fragrans ) dengan umur tanam bervariasi. Di samping itu terdapat tanaman lain diantaranya, seperti

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

Artocarpus integra , Cocos nucifera, dan Nephelium lappaceum . Vegetasi hutan alami yang ada terutama terdapat pada daerah-daerah ke arah puncak, lereng yang cukup terjal, cagar alam dan keramat (jere). Hutan alami umumnya dalam kondisi cukup baik, dengan kerapatan relatif tinggi dan dengan pohon berukuran besar yang cukup banyak. Sembilan petak pencuplikan data vegetasi dengan ukuran masing-masing 30m x 30m dibuat dalam kawasan hutan primer pegunungan atas dan bawah (sekitar pondok rehabilitasi), hutan primer dataran rendah (Jere Tobana dan sekitar Air Tege-tege), dan hutan sekunder tua (Gambar 2). Masing-masing petak dibagi menjadi 9 anak petak (10m x 10m). Setiap pohon dengan diameter 10 cm yang terdapat di setiap anak petak, diidentifikasi jenisnya, diukur diameter batangnya setinggi 1,3 m dari atas tanah, ditaksir tinggi total dan bebas cabang, serta ditentukan posisinya. Setiap jenis yang tercatat dibuat spesimen bukti

ekologi untuk keperluan identifikasi lebih lanjut di Herbarium Bogoriense. Data yang terkumpul dianalisis dengan mengikuti metode Bray & Curtis (1957), Mueller-Dombois (1983), dan Greigh-Smith (1964) untuk mendapatkan nilai-nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, frekuensi relatif kerapatan relatif, dominansi relatif, dan nilai penting. Jenis dan nilai pentingnya di setiap petak digunakan sebagai parameter dalam analisis ordinasi DCCA (Detrended Corespondence Component Analysis), dengan menggunakan perangkat lunak MVSP 3.1 (Multi Variate Statistical Package). Berdasarkan analisis ini diperoleh pengelompokan petak-petak berdasarkan kesamaan komposisi jenisnya dan kondisi habitatnya. HASIL Komposisi Floristik Berdasarkan hasil pencacahan pada 9 petak pencuplikan data tercatat paling

Gambar 2. Peta daerah penelitian dan letak petak pencuplikan data vegetasi ( A-I)

343

Edi Mirmanto

tidak 68 taksa pohon (diameter e 10 cm) yang tergolong ke dalam 34 suku (Lampiran 1). Dari 34 suku yang tercatat, 6 suku di antaranya mempunyai nilai penting suku (NPS) > 16,0, dan ditetapkan sebagai suku-suku utama di daerah penelitian. Ke 6 suku tersebut adalah Euphorbiaceae (NPS=34,24), Moraceae (NPS=20,78), Sapindaceae (NPS=27,77), Magnoliaceae (NPS= 23,71), Fabaceae (NPS=23,69), dan Tiliaceae (NPS=16,36). Dua suku pertama tercatat memiliki jumlah jenis yang tertinggi, 3 suku berikutnya dengan nilai dominansi yang tertinggi, sedangkan 1 suku terakhir dengan kerapatan tertinggi. Heterogenitas pohon secara umum cukup tinggi, yaitu sebagian besar (94,3 %) jenis dengan frekuensi < 50 %, dan hanya 4 jenis (5,6 %) dengan frekuensi > 50 % (Gambar 2). Ke 4 jenis tersebut yaitu Cordia mixa , Glochidion philippicum , dan Vernonia arborea yang masing-masing dengan F= 55,5 %, serta Trichospermum morotainense dengan F= 88,9 %. Hal ini menggambarkan pola persebaran jenis yang tidak merata, yang kemungkinan berkaitan dengan kondisi habitat ataupun karena

campur tangan manusia yang sudah berlangsung sejak lama. Bedasarkan nilai penting rata-rata jenis (NPR) di atas 10,0 ditentukan 8 jenis pohon utama, yaitu bertutut-turut Trichospermum morotainense (NPR= 24,13), Albizia falcataria (NPR=21,47), Elmerilla ovata (NPR=19,23), Cordia mixa (NPR=15,52), Macaranga longicaudatum (NPR=14,54), Syzygium aromaticum (NPR=10,91), Swietenia mahagoni (NPR=10,55), dan Villebrunea rubescens (NPR=10,04). Jenis-jenis pohon tersebut, kecuali Trichospermum morotainense, secara lokal mempunyai nilai penting yang tertinggi. Kedudukan T. morotainense di petak H digantikan oleh Tristiopsis canarioides (Ngame) yang secara lokal sangat dominan karena semua pohon yang ada berdiameter di atas 150 cm. Struktur Hutan Di dalam 9 petak (30 x 30 m) pencuplikan data (luas total 0,81 ha) tercacah sebanyak 497 individu pohon (diameter > 10 cm). Sebagian besar pohon yang tercacah berukuran kecil, yaitu sebanyak 83,7 % dengan diameter antara 10 dan 20 cm, namun sebanyak

Gambar 2. Persebaran kelas frekuensi jenis pohon di daerah penelitian P. Ternate

344

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

3,4 % pohon (17 individu) diantaranya mencapai diameter >100 cm (Gambar 3). Dari 17 individu pohon tersebut terdiri atas 5 jenis, yaitu Albizia falcataria, Bischoffia javanica, Palaquium obovatum, Pometia pinnata, dan Tristiopsis canarioides yang mencapai diameter >200 cm. Berdasarkan hasil pengukuran tinggi pohon, hutan di daerah penelitian secara umum terdiri atas 3 lapisan kanopi, yaitu lapisan I dengan tinggi antara 22,5 dan 30 m, lapisan II antara 15 dan 22,5 m, serta lapisan III antara 7,5 dan 15 m. Pohon-pohon menonjol mempunyai tinggi di atas 30 m, dengan pohon tertinggi mencapai 38 m diwakili oleh jenis-jenis Albizia falcataria , Tristiopsis canarioides , Pometia pinnata , Elmerilla ovate, dan Instia bijuga. Di lain pihak pohon-pohon dengan tinggi < 7,5 m merupakan pohon ternaungi yang meliputi 18,5 % populasi pohon terdiri atas jenis-jenis Bridelia glauca, Cyathea sp., Glochidion philippicum, Gnetum gnemon, Leea indica, Macaranga longicaudatum, Polyscias nodosa,

Vernonia arborea dan Villebrunea rubescens . Pola Vegetasi Hasil analisis ordinasi dengan DCCA menunjukkan adanya tiga pengelompokan petak pencuplikan data (Gambar 4 ). Kelompok I terdiri atas 4 petak (A, B, C, dan D) yang terdapat pada daerah relatif tinggi dengan kelerengan tajam, kelompok II terdiri atas 2 petak (G dan I) pada daerah relatif datar dan rendah, kelompok III terdiri atas 3 petak (E, F, dan H) terdapat pada daerah rendah tetapi dengan kelerengan cukup tajam. Keanekaragaman jenis dan basal area pohon di setiap kelompok nampak cukup bervariasi; tertinggi pada kelompok I dan terendah pada kelompok III. Basal area tertinggi tercatat pada kelompok II yang merupakan petak-petak pada daerah relatif datar. Pengelompokan petak pencuplikan data nampak serupa dengan pengelompokan atau asosiasi jenis yang dianalisis. Gambar 5 menunjukkan adanya pengelompokan atau asosiasi jenis pohon

Gambar 3. Persebaran kelas diameter pohon di daerah penelitian P. Ternate

345

Edi Mirmanto

menurut ketinggian dan kemimiringan habitat. Di sini terlihat adanya 4 asosiasi jenis, yaitu kelompok A merupakan jenisjenis yang cenderung tumbuh dan berkembang pada daerah tinggi tetapi dengan kelerengan tidak terlalu tajam. Kelompok B hampir serupa dengan kelompok A, tetapi dengan kondisi kelerengan habitat lebih terjal. Kelompok C tumbuh pada habitat dengan kelerengan paling tajam, sedangkan kelompok D pada habitat yang relatif datar. Keberadaan jenis-jenis tersebut erat kaitannya dengan kondisi habitat, tetapi nampak juga adanya pengaruh atau campur tangan manusia. Berdasarkan pengelompokan ini dapat ditentukan 4 tipe komunitas, yaitu kelompok A sebagai komunitas hutan pegunungan atas, kelompok B sebagai komunitas

pegunungan bawah, kelompok C sebagai komunitas lereng, dan kelompok D sebagai komunitas dataran rendah. PEMBAHASAN Secara keseluruhan jumlah jenis yang tercatat dalam penelitian ini relatif rendah dibandingkan dengan hasil penelitian dari beberapa pulau kecil lainnya, baik Kepulauan Maluku (Mirmanto & Ruskandi 1986); sekitar Papua (Purwaningsih 1995; Simbolon 1995, 1998), maupun pulau kecil lainya (Yusuf dkk. 2006; Partomihardjo dkk. 2001; 2003; Tagawa 1992). Di samping itu perbedaan nampak pula dalam komposisi jenisnya. Perbedaan dalam jumlah jenis kemungkinan berkaitan dengan perbe-

Gambar 4. Pengelompokan petak pencuplikan data berdasarkan hasil analisis DCCA dengan menggunakan parameter ketinggian, kelerengan, diversitas dan basal area

346

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

daan dalam jumlah dan ukuran petak serta luas daerah penelitian. Di lain pihak perbedaan komposisi jenis dapat dipahami karena proses pembentukan vegetasi di pulau kecil pada umumnya melalui berbagai bentuk penyesuaian terhadap lingkungan yang cukup bervariasi. Karena itu setiap pulau kecil kemungkinan akan memiliki keragaman yang unik dan spesifik, baik pada tingkat ekosistem (tipe vegetasi) maupun tingkat jenis. Dengan demikian diperkirakan bahwa masing-masing pulau kecil mempunyai tipe vegetasi dengan komposisi jenis yang bervariasi. Kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak sepenuhnya berlaku bagi keberadaan vegetasi hutan alami di P. Ternate. Seperti diketahui bahwa sejak zaman penjajahan, P. Ternate dikenal sebagai penghasil rempah-rempah diantaranya cengkeh dan pala. Ini berarti

bahwa keberadaan cengkeh dan pala di Ternate sudah ada sejak zaman dulu. Saat ini masih ditemukan pohon cengkeh yang diperkirakan berumur ratusan tahun dengan diameter batang mencapai lebih dari 2 m. Berdasarkan informasi tersebut, diperkirakan bahwa berkurangnya jenisjenis pohon alami sudah terjadi sejak lama. Dengan demikian keberadaan hutan alami pada saat penelitian dilakukan, kemungkinan merupakan hutan yang tersisa atau hasil dari rehabilitasi sebagai upaya untuk mendukung kestabilan ekosistem Ternate. Terlepas dari sejarah panjang pulau Ternate, hasil pencuplikan data vegetasi menunjukkan adanya 4 tipe komunitas yang berkaitan dengan kondisi habitat. Komposisi jenis dan struktur hutan antar komunitas hutan di daerah penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang cukup nyata. Berdasarkan nilai Indeks

Gambar 5. Pengelompokan jenis berdasarkan hasil analisis DCCA dengan menggunakan parameter ketinggian dan kelerengan

347

Edi Mirmanto

Kesamaan (IK) antar komunitas, terlihat adanya gradasi perubahan komposisi jenis dari komunitas hutan pegunungan atas ke arah komunitas dataran rendah. IK antara komunitas pegunungan atas dan komunitas dataran rendah hanya mencapai 6,78 %, yang menunjukkan perbedaan komposisi jenis yang tinggi. Ini dapat dipahami karena hampir semua petak dalam komunitas dataran rendah berada dalam hutan sekunder tua dan hutan campuran dengan tanaman budidaya. Dengan demikian keanekaragaman jenis pohon di dalam komunitas dataran rendah jauh lebih rendah dibandingkan dengan komunitas lainnya. Penurunan atau rendahnya kekayaan jenis pohon pada komunitas dataran rendah kemungkinan berkaitan dengan dampak aktivitas manusia, baik dalam melakukan pengelolaan perkebunan maupun dalam pemanfatan kayu hutan. Dengan demikian dalam komunitas dataran rendah regenerasi alami nyaris tidak terjadi. Dilain pihak keberadaan komunitas hutan pegunungan dan komunitas lereng dapat dikatakan tidak mengalami gangguan, ditandai dengan kerapatan dan luas bidang dasar yang cukup tinggi. Ini dapat dipahami karena selain kondisi habitatnya yang berlereng terjal, juga merupakan daerah yang secara ekologis atau secara adat perlu dipertahankan. Karena itu hasil pencuplikan data di daerah Jere Tobana maupun Air Tege-tege menunjukkan kerapatan dan luas bidang dasar yang tinggi. Berdasarkan komposisi jenis pohon yang terdapat pada beberapa petak pencuplikan data, seperti di daerah Jere 348

Tobana dan Air Tege-tege, menunjukkan hal yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Beberapa jenis yang tercatat, seperti Albizia falcataria , Swietenia mahagoni , Instia bijuga , Elmerilla ovata, dan Tristiopsis canaroides, yang nampaknya bukan tumbuhan asli di daerah penelitian tetapi mampu bertahan dan berkembang dengan baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya individu dari jenis-jenis tersebut pada tingkat semai dan belta. Keterdapatan jenis-jenis tersebut di daerah penelitian kemungkinan sebagai hasil rehabilitasi yang dilakukan pada waktu yang silam. Di lain pihak komposisi jenis pohon di daerah pegunungan atas menunjukkan karakteristik jenis-jenis pegunungan. Beberapa jenis seperti Villebrunea rubescens , Trema orientalis dan Bischoffia javanica yang melimpah di daerah penelitian dikenal sebagai jenis-jenis pegunungan, juga terdapat secara melimpah di daerah G. Halimun dan Salak. KESIMPULAN Terdapat 4 komunitas hutan yang tersebar pada kondisi habitat yang bervariasi, yang diperkirakan berkaitan dengan karakteristik habitat dan campur tangan manusia dalam usaha menjaga kestabilan ekosistem. Beberapa jenis yang tercatat mencirikan sebagai flora pegunungan dan beberapa jenis lainnya diperkirakan sebagai hasil rehabilitasi. Secara keseluruhan keadaan hutan alami di pulau Ternate perlu tetap dipertahankan sebagai stabilisator.

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

DAFTAR PUSTAKA Balgooy, MMJ. van. 1976. Phytogeography. In: K. Paijmans (ed.). New Guinea Vegetation. 1-22. Greigh-Smith, P. 1964. Quantitative Plant Ecology . Second Edition. Butterworths, London. Muller-Dombois, D & H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley, New York Mirmanto & Ruskandi. 1986. Analisa vegetasi hutan dataran rendah di pulau Geser, Maluku. Laporan Perjalanan. Doc. HB Partomihardjo, T., EN. Sambas & S. Prawiroatmodjo. 2001. Keanekaragaman jenis tumbuhan dan tipe vegetasi Pulau Nusakambangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Nusakambangan. 2001: 39-48. Partomihardjo, T., Roemantyo & S. Prawiroatmodjo. 2003. Biological diversity of small islands: Case study on landscape, vegetation and floristic notes of Nusakambangan Island, Cilacap Indonesia. Global Taxonomy Initiative in Asia. Report and Proc. of First GTI Regional Workshop in Asia. Putrajaya, Malaysia: 106111. Purwaningsih. 1995. Komposisi jenis dan struktur vegetasi hutan primer dan hutan sekunder pulau Biak, Irian Jaya. Dalam: H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 1995. Puslitbang Biologi-LIPI. hal 34-45. Simbolon, H. 1995. Tipe-tipe vegetasi cagar alam pulau Supiori, Kabupa-

ten Biak Numfor, Irian Jaya. Dalam: H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 1995. Puslitbang Biologi-LIPI. hal 54-72. Simbolon, H. 1998. Perubahan floristik dan keadaan hutan pada beberapa lokasi penelitian di Cagar Alam Pulau Yapen Tengah, Irian Jaya. Ekologi Indonesia, 2 (3): 1-11. Schmidt, FH. & Ferguson, JHA. 1951. Rain fall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with western New Guinea. Kementrian Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Verhandelingen, No.42. Steenis, CGGJ. van. 1948. Flora Malesiana , Series I, Vol. IV. Noordhof-Kolff NV, Jakarta. Tagawa, H. 1992. Primary succession and the effect of first arrival on subsequent development of forest types. Geo J. 28 (2): 175-183. Yusuf, R., A. Ruskandi, Wardi & Dirman. 2006. Studi vegetasi P. Karimunjawa dan beberapa pulau kecil lainnya, di kawasan TN Karimunjawa. Dalam: AJ Arief, EB Waluyo, Mulyadi & H. Julistiono (eds.). Laporan Teknik 2006 . Pusat Penelitian Biologi-LIPI. hal 17-31. Memasukkan: November 2009 Diterima: April 2010

349

Edi Mirmanto

Lampiran 1: Lanjutan
SUKU Spesies Albisia falcataria Gliricidia sp. Intsia bijuga GNETACEAE Gnetum gnemon ICACINACEAE Ghompandra LAURACEAE Actinodaphne sp.1 Actinodaphne sp.2 Cinnamomum burmanii Litsea garciaae Litsea sp. LEEACEAE Leea indica MAGNOLIACEAE Elmerillia ovata Magnolia candollii MELIACEAE Aglaia sp. Swietenia mahagoni MORACEAE Artocarpus elasticus Artocarpus integra Ficus septica Ficus sp.1 Ficus sp.1 Ficus sp.2 Ficus sp.3 MYRISTICACEAE Myristica fragrans MYRTACEAE Eugenia fascigiata Eugenia sp. + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + A + B + C D + E F + + G H I

FABACEAE

350

Komposisi Flora dan Struktur Hutan Alami Di Pulau Ternate,

Lampiran 1: Lanjutan
SUKU Spesies Syzygium aromaticum OLEACEAE Chionanthus ramiflorus PINACEAE Pinus merkusii PROTEACEAE Helicia robusta ROSACEAE Prunus arborea RUBIACEAE Mycetia SP. Wendlandia panniculata SABIACEAE Meliosma SAPINDACEAE Harpulia cupanirides Nephelium lappaceum Pometia pinnata Tristiopsis canarioides SAPOTACEAE Palaquium obovatum Palaquium sp. Sapotaceae STERCULIACEAE Commersonia batramia Sterculia coccinea Sterculia sp.1 Sterculia sp.2 TILIACEAE Grewia acuminata Trichospermum morotainense ULMACEAE Trema orientalis URTICACEAE Villebrunea rubescens + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + A B C + D E F + G H I +

351

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 353-365 (2010)

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa Nitril dan Protein yang Diisolasi Dari Spons di Perairan Ternate
Rini Riffiani & Nunik Sulistinah
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong Science Center Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong. E-mail : Rar4id@yahoo.com ABSTRACT Screening of Nitrile and Protein-Degrading Marine Bacteria Isolated from Sponge in Ternate Sea Water. Thirty three marine bacteria have been isolated from marine sponge in Ternate by enrichment culture. Screening bacteria-degrading nitrile was done by microtitter plate method based on growth ability tested by Iodonitrotetazolium chloride. Product of nitrile degradation was determined by Gas Chromatography (GC) and the potential bacteria-degrading protein was also screened by using selected media which contained casein. The results showed that twenty one isolates were able to show the clearing zone in selected media. Five isolates capable of utilizing acetamide as the sole source of carbon and nitrogen. Acetate and ammonia produced for hydrolysis acetonitrile by using resting cell of Lysobacter sp. Key words: Nitrile, bacterium, sponge, Ternate

PENDAHULUAN Lautan Indonesia merupakan bagian wilayah Indopasifik yang mempunyai keanekaragaman biota laut terbesar di dunia. Dilaporkan bahwa jenis biota laut di daerah tropis Indonesia 2-3 kali lebih besar dibandingkan biota laut di daerah sub tropis dan daerah beriklim dingin (Sujatmiko 2000). Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya alam tersebut dan ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang hidup lebih dari 300 jenis karang, 200 jenis ikan dan beberapa jenis moluska, krustasea, spounge, algae dan biota lainnya (Var Soest 1994). Spons merupakan salah satu organisme laut yang mempunyai potensi

cukup besar karena kandungan senyawa bioaktifnya. Binatang laut ini mampu hidup sampai kedalaman 50 meter di bawah permukaan laut. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada porus sponge ( Microcionia prolifera ) ditemukan beberapa jenis bakteri, seperti genus Pseudomonas, Aerosomonas, Vibrio, Achromobacter, Flavobacterium, Corynebacterium, dan Micrococcus (Madri et al. in Reinheimer 1991) Saat ini eksplorasi mikroba banyak dilakukan karena mikroba mempunyai kemampuan mensintesis enzim-enzim tertentu yang dapat digunakan untuk kepentingan industri seperti industri pangan, obat, kimia maupun sebagai agen bioremediasi lingkungan tercemar. Beberapa mikroba perombak senyawa nitril baik alifatik maupun aromatik telah banyak ditemukan dan dimanfaatkan 353

Riffiani & Sulistinah

untuk mensintesis senyawa-senyawa penting secara komersial, seperti misalnya untuk memproduksi akrilamida dan S-(+)-Ibuprofen (Yamamoto et al. 1990, Nawas et al. 1992). Dilaporkan juga oleh Sunarko et al. 2007 mikroba potensial pendegradasi nitril dapat dikembangkan dengan meningkatkan kemampuan region, stereo, dan kemoselektifitasnya untuk menghasilkan produk yang lebih spesifik. Disamping mikroba pendegradasi nitril, beberapa mikroba yang mampu mensintesis enzim protease juga banyak dimanfaatkan untuk kepentingan industri, seperti industri deterjen, pengolahan susu, farmasi, dan makanan (Moon & Parulekar 1993). Enzim protease dilaporkan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi karena aplikasinya sangat luas. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengisolasi dan menapis mikroba laut potensial yang mampu mensintesis enzim pendegradasi nitril dan protease. Dari penelitian ini diharapkan diperoleh mikroba dari ekosistem laut yang nantinya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai agen untuk mensintesis senyawa-senyawa organik maupun dimanfaatkan dibidang pangan, serta dapat memberikan informasi mengenai data mikroba laut potensial perairan laut, khususnya di Ternate. BAHAN DAN CARA KERJA Isolasi mikroba laut dari spons dilakukan dengan 3 metode. Metode pertama dilakukan dengan mengisolasi langsung spons (tanpa sterilisasi) melalui pengenceran bertingkat hingga 10-3 yaitu 354

1,0 gram sampel diimasukkan ke dalam 9 ml larutan NaCl 0,85%, dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 10 menit, kemudian 50 l sampel yang telah dihomogenkan diambil dan diinokulasikan ke dalam media Marine Agar . Koloni yang tumbuh diisolasi dan dimurnikan untuk pengujian lebih lanjut. Metode kedua dilakukan dengan mensterilisasi permukaan spons dengan cara merendam potongan spons ke dalam larutan alkohol 70% selama 10 menit, kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak 2 kali. Selanjutnya sampel diperlakukan sama dengan metode I. Metode ketiga dilakukan dengan memotong spons yang telah disterilkan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian langsung ditanam pada media Marine Agar. Media yang digunakan untuk isolasi mikroba laut adalah Marine Agar dengan komposisi sebagai berikut : 5,0 g pepton, 1,0 g yeast extract, 0,1 g ferric citrate, 19,45 g sodium chloride, 8,8 g MgCl, 3,24 g sodium sulfate, 1,88 g calcium chloride, 0,55 pottasium chloride, 0,16 g sodium bicarbonate, 15,0 g agar, 34,0 mg stronsium chloride, 22,0 mg boric acid, 4,0 mg sodium sillicate, 2,4 mg sodium flouride, 1,6 mg ammonium nitrat, dan 8 mg disodium phosphate, aquadest 1000 ml. pH media diatur 7,40,2 Media penapisan yang digunakan adalah media mineral dengan komposisi sebagai berikut : Na 2HPO 4 0,357g, KH 2PO 4 0,1g, MgSO 4.7H 2O 0,1g, CaCl 2 .2H 2 O 0,01g, FeSO 4 .7H 2 O 0,001g, Yeast Extract 0,01g, Mikroelemen 1,0 ml, Aquadest ditambahkan sampai volume 1000 ml (Meyer & Schlegel 1983;

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

Pfennig 1974). Adapun komposisi mikroelemen : ZnSO4.7H 2O, MnCl2.4H 2O, H 3 BO 3 , CoCl 2 .6H 2 O, CuCl 2 .2H 2 O, NiCl2.6H2O, Na2MO4.2H2O, Na2SeO3, Aquadest 1000 ml. Penapisan mikroba pendegradasi nitril dilakukan dengan menumbuhkan isolat bakteri hasil isolasi ke dalam microtitter plate steril yang berisi 1 ml media mineral yang mengandung senyawa nitril dengan konsentrasi yang berbeda (dalam hal ini asetonitril/ asetamida 100 mM dan benzonitril/benzamida 25 mM). Microtitter plate yang telah diinokulasi tersebut diinkubasi di atas mesin pengocok pada kecepatan 110 rpm pada suhu 28 oC selama 72 jam. Pada 72 jam inkubasi, pertumbuhan mikroba diuji dengan larutan INT (Iodonitrotetrazolium) dan aktivitasnya diuji dengan reagen Nessler (Oliver et al. 1989). Sebanyak 100 l kultur ditambah dengan 14 l larutan INT 0,5 mg/ml. Perubahan warna yang terbentuk mengindikasikan pertumbuhan mikroba. Semakin pekat warna yang terbentuk mengindikasikan pertumbuhan semakin tinggi. Sebanyak 198 l NaOH 0,1 N ditambahkan ke dalam 2 l kultur, dihomogenkan kemudian ditambahkan 4 l reagen Nessler. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang 28oC selama 20 menit. Aktivitas yang tinggi ditandai dengan terbentuknya warna kuning tua hingga kecoklatan. Biomassa dari isolat bakteri terpilih diproduksi dalam erlenmeyer (1000 ml) yang berisi 500 ml media tumbuh yang mengandung 100 mM asetamida. Selanjutnya kultur diinkubasi di atas

shaker pada suhu ruang ( 28 oC) selama 72 jam. Sel dipanen dengan mensentrifuse kultur pada kecepatan 9000 rpm selama 30 menit pada suhu 4oC. Sel yang diperoleh dicuci dengan 50 mM buffer fosfat (KH2PO4) pH 7,2 sebanyak 2 kali. Sel tersebut selanjutnya digunakan untuk penentuan aktivitas enzim dan penentuan produk degradasi nitril. Konsentrasi substrat dan produk degradasi ditentukan dengan menggunakan GC-Shimadzu 14 B, detektor FID, kolom Porapax Q, suhu kolom 225oC, suhu injektor 240 oC, suhu detektor 240 o C (Sunarko et al. 2000). Konsentrasi sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut: (sampel) = Luas area sampel/ Luas area standar X (standar) Pengujian aktivitas enzimatik secara kualitatif dilakukan dengan menumbuhkan isolat bakteri terpilih pada media protease agar dan diinkubasi pada suhu ruang (280C) selama 48 jam. Terbentuknya atau zona bening pada media mengindikasikan bahwa mikroba yang diuji mampu mensintesis protease. Pengujian aktivitas enzim secara kuantitatif dilakukan dengan menambahkan substrat casein 2% (480 l) ke dalam 20 mM bufer fosfat pH 7 dan crude enzim sebanyak 120 l, kemudian campuran reaksi tersebut dihomogenkan dan diinkubasi di atas shaker pada suhu 300C selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan 600 l TCA 10% dan diinkubasi dalam es selama 30 menit, disentrifugasi dengan kecepatan 15.000 rpm, selama 5 menit pada suhu 40C dan supernatan diukur pada panjang gelombang 420 nm (Secades & Guijarro 1999). Identifikasi dilakukan secara molekular dengan 16S rDNA. Analisis 355

Riffiani & Sulistinah

molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekunsing. Ekstraksi DNA menggunakan intragene matrix kit (Biorad) dilanjutkan dengan amplifikasi. Hasil optimasi PCR diperoleh komposisi per reaksi sebesar 25 L dengan menggunakan Primer 9F (5GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan 1510R (5GGCTACCTTGTTACGA CTT). Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada Bank Gen NCBI dataLibrary . Analisis Filogenetik menggunakan program multiple aligment Clustal X versi 1.83. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan jarak kekerabatan genetik dengan metode Neighbor joining dan jarak evolusi dalam derajat kepercayaan menggunakan bootstrap value pada program NJ plot. HASIL Mikroba Pendegradasi Nitril a.Isolasi dan Penapisan Bakteri Laut Pendegradasi Nitril Diperoleh 33 isolat bakteri yang di isolasi dari spons yang diperoleh dari perairan laut Ternate. Penapisan mikroba pendegradasi nitril dengan teknik microtitter plate dan uji aktivitas bakteri secara kualitatif ditampilkan pada Tabel

1 dan Gambar 1 dan menunjukkan bahwa dari keseluruhan isolat yang diuji kemampuan tumbuhnya pada asetamida hanya 15 isolat bakteri yang mampu tumbuh. Sedangkan isolat bakteri yang tumbuh pada benzamida relatif lebih sedikit dan aktivitas enzimnya juga relatif lebih rendah dibandingkan pada asetamida (Tabel 1). Warna pink yang terbentuk pada saat penambahan indikator Iodonitrotetrazolium chloride (INT) pada kultur cair mengindikasikan pertumbuhan mikroba, semakin pekat warna yang terbentuk mengindikasikan pertumbuhan semakin tinggi (Gambar 1). Secara umum dari hasil pengujian menunjukkan adanya korelasi positif antara pertumbuhan dan aktivitas enzim. Isolat yang tumbuh dengan baik memiliki aktivitas enzim yang relatif cukup baik pula. Hal ini mengindikasikan, bahwa isolat bakteri yang mampu tumbuh pada amida kemungkinan besar mampu mensintesis enzim pendegradasi senyawa nitril. b. Pola Pertumbuhan Isolat bakteri ID 04TR dan ID 13TR pada Asetamida 100 mM Pola pertumbuhan dua isolat bakteri terpilih ID.04.TR dan ID.13.TR pada asetamida 100 mM ditampilkan dalam Gambar 2.

Gambar 1. Pengujian pertumbuhan bakteri pada asetamida dan benzamida sebagai substrat dengan menggunakan microtitter plate. Asetamida (A) dan Benzamida (B)

356

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

Setelah masa pertumbuhan 72 jam pertumbuhan nampaknya mencapai maksimal. Sedangkan bakteri ID.13.TR memerlukan fase lag yang cukup panjang yaitu 20 jam kemudian masuk ke fase eksponesial. Pertumbuhan isolat ID.04.TR lebih baik dibanding isolat ID.13.TR. Dengan demikian untuk pengujian selanjutnya dipilih satu isolat (ID.04.TR) yang mempunyai kemampuan tumbuh dan aktivitas yang lebih baik.

c. Pola Degradasi Isolat bakteri ID04TR dan penentuan produk degradasi. Pola degradasi dan produk degradasi asetonitril oleh isolat bakteri ID04TR ditampilkan pada Gambar 3. Degradasi asetonitril dengan menggunakan sel utuh (whole cell) tampaknya melalui 2 alur reaksi yang melibatkan enzim nitril hidratase dan amidase. Penurunan konsentrasi asetonitril selama proses degradasi dan terbentuknya asam asetat dan ammonia memperkuat dugaan terjadinya proses degradasi asetonitril oleh aktivitas enzim pendegradasi nitril.

Tabel 1. Pertumbuhan dan aktivitas isolat bakteri pada asetamida dan benzamida dengan teknik penapisan menggunakan microtitter plate
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Isolat
ID.02.TR ID.03.TR ID.04.TR ID.06.TR ID.07.TR ID.11.TR ID.13.TR ID.14.TR ID.15.TR ID.16.TR ID.21.TR ID.22.TR ID.23.TR ID.24.TR ID.29.TR ID.30.TR ID.31.TR ID.32.TR ID.33.TR

Asetamida 100 mM Pertumbuhan Aktivitas


++

Benzamida 25 mM Pertumbuhan Aktivitas


++ _ _ + _ _ _ _ _ ++ _ ++ + _ _ + _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ + _ + _ _ _ + -

++ + ++++ ++ + _ + _ + _ _ + ++ + ++ ++ + ++ ++

+ ++++ _ + + ++ _ + + + ++ + ++ _ + _ _

357

Riffiani & Sulistinah

Profil degradasi asetonitril menggunakan gas chromatografi (GC) memperlihatkan adanya penurunan konsentrasi asetonitril selama 180 menit inkubasi (Gambar 4, Tabel 2). Mikroba Perombak Protein a. Penapisan Mikroba Laut Penghasil Enzim Protease Hasil penapisan mikroba laut penghasil enzim protease terhadap 36 isolat bakteri menunjukkan bahwa dijumpai ada 21 isolat diantaranya

memberikan hasil positif yaitu terbentuknya clearing zone atau zona bening disekeliling koloni. Zona bening yang terbentuk merupakan indikasi awal bahwa isolat bakteri tersebut mampu mensintesis protease. Dari 21 isolat hanya 4 isolat yaitu ID.06.TR, ID.09.TR, ID.24.TR dan ID.31.TR mempunyai aktivitas tinggi dipilih untuk pengujian lebih lanjut secara kuantitatif. Selanjutnya, keempat isolat yang diduga mempunyai aktivitas protease tinggi ditumbuhkan dalam media cair yang

Pertumbuhan (OD 436 nm)

0,1 Pertumbuhan Lysobacter sp. Kontrol (media + Lysobacter sp.) Pertumbuhan Enterobacteriaceae bacterium Kontrol (media + Enterobacteriaceae bacterium)

0,01 0 20 40 60 80

Gambar 2. Pertumbuhan Lysobacter sp. dan Enterobacteriaceae bacterium pada Asetamida (100 mM)

Asetonitril (CH3CN) 80 Asam asetat (mM) Ammonium 70 1 2 3

Waktu (Jam)

Asetonitril (mM)

60

50

40

10 8

30

6 4 2

20

0 0 50 100 150 200

Waktu (menit)

Gambar 3. Degradasi asetonitril menggunakan resting cell Lysobacter sp. dan pembentukan produk metabolitnya.

358

Ammonium (mM)

Asam Asetat (mM)

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

peak asetonitril (standar) peak asetonitril sampel

Standar asetonitril

Inkubasi 15 menit

30 menit

150 menit

180 menit

Gambar 4. Penurunan konsentrasi asetonitril selama proses degradasi menggunakan Gas Chromatografi (GC) Tabel 2. Konsentrasi substrat/produk biotransformasi kelima isolat
Waktu inkubasi 15 60 90 120 180 Konsentrasi substrat/produk biotransformasi (mM) asetonitril 53,614 53,167 47,522 37,692 26,144 asam asetat 1,3754 0,2960 0,4232 0,323 0,1860 amonium 7,2 1,55 2,22 1,90 9,70

mengandung casein dan diinkubasi selama 48 jam dengan pengocokan. Hasil pengujian aktivitas memperlihatkan bahwa isolat bakteri ID.19.TR memiliki aktivitas enzim protease yang paling tinggi yaitu sebesar 226,85 (U/ml) dan aktivitas terendah ditunjukkan oleh isolat bakteri ID.31.TR sebesar 36,100 U/ml (Gambar 5) b. Identifikasi dan Analisis Filogenetik Isolat Terpilih Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode

16S rDNA menggunakan program BLAST ditampilkan pada Tabel 3 . PEMBAHASAN Penapisan bakteri laut perombak senyawa nitril dan amida Hasil penapisan 33 isolat bakteri spons menggunakan asetamida dan benzamida menunjukkan bahwa isolat isolat bakteri ID.02.TR (Micrococcus luteus strain G3-6-08) ID.04.TR (Lysobacter sp.), ID.13.TR ( Enterobacteriaceae bacterium B12), ID.22.TR 359

Riffiani & Sulistinah

(Arthrobacter sp. WPCB190) ID.24. TR (Sphingomonas sp.) dan ID.31.TR (Spons bacterium IS8) mampu tumbuh dalam 100 mM asetamida dan mempunyai aktivitas enzim yang relatif lebih baik dibandingkan isolat-isolat yang lainnya. Dari Tabel 1 tampak bahwa isolat yang mempunyai kemampuan tumbuh yang baik memiliki aktivitas enzim yang baik mampu tumbuh pada asetamida kemungkinan juga mampu mensintesis enzim pendegradasi senyawa nitril. Tabel 1 tersebut juga menunjukkan, bahwa Lysobacter sp. menunjukkan kemampuan tumbuh dan aktivitas yang paling baik dibandingkan tiga isolat lain. Dengan demikian bakteri Lysobacter sp. merupakan isolat potensial untuk pengujian lebih lanjut. Penapisan mikroba dengan menggunakan benzamida menunjukkan bahwa hanya 2 isolat bakteri yang mampu

tumbuh dengan baik pada benzamida yaitu ID.02.TR (Micrococcus luteus strain G3-6-08), dan ID.22.TR (Arthrobacter sp. WPCB190) dengan aktivitas enzim yang relatif rendah. Ketidakmampuan tumbuh isolat pada benzamida disebabkan karena benzamida merupakan senyawa turunan benzonitril dan tergolong dalam amida aromatik yang sangat toksik. Disamping itu benzamida dan benzonitril mempunyai kelarutan yang sangat rendah dibandingkan asetamida atau asetonitril, sehingga sulit didegradasi dan dimetabolisme sebagai sumber energi, karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan mikroba. Dilaporkan sedikit mikroba yang mampu tumbuh pada benzonitril dan benzamida (Sunarko et al. 2000). Dengan demikian ditunjukkan bahwa kemampuan tumbuh isolat bakteri pada asetamida lebih tinggi dibandingkan pada benzamida karena asetamida merupakan senyawa alifatik

250

A k tiv ita s e n z im p ro te a s e (U /m l)

200

150

100

50

0 ID.06.TR ID.09.TR ID.19.TR ID.31.TR

Isolat bakteri

Gambar 5. Aktivitas enzim protease isolat ID.06.TR, ID.09.TR, ID.19.TR, ID.31.TR

360

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

Tabel 3. Identifikasi 9 isolat bakteri laut potensial hasil penapisan


No 1 2 3 4 5 ID Isolat ID.02.TR ID.04TR ID.12TR ID.13.TR ID.19.TR Hasil identifikasi (16S rDNA) Micrococcus luteus strain G3-6-08 Lysobacter sp. Vibrio harveyi Enterobacteriaceae bacterium B12 Sphingomonas phyllosphaerae strain FA2 Arthrobacter sp. WPCB190 Bacillus pumilus strain ST277 Sphingomonas sp. Sponge bacterium IS8 Homologi (100 %) 98 99 96 89 90 Kemampuan amidase protease amidase protease protease amidase + + + + + +

protease +

6 7 8 9

ID.22TR ID.23.TR ID.24. TR ID.31.TR

98 96 98 99

amidase + protease amidase amidase protease + + + +

amida yang cenderung lebih mudah dihidrolisis oleh mikroba. Biodegradasi asetonitril Degradasi asetonitril dengan menggunakan resting cell Lysobacter sp. yang ditumbuhkan dalam 100 mM tampaknya melalui 2 jalur reaksi yang melibatkan enzim nitril hidratase dan amidase. Hal ini terbukti dengan menurunnya konsentrasi asetonitril selama proses degradasi tersebut dengan terbentuknya asam asetat dan amonia memperkuat terjadinya proses degradasi asetonitril oleh aktivitas enzim pendegradasi nitril. Secara umum, biodegradasi senyawa nitril dilaporkan melalui dua alur reaksi yang menghasilkan asam karboksilat dan ammonia (NH 4 + ) sebagai produk akhirnya (Nagasawa et al . 1987; Kobayashi1991). Pada alur reaksi pertama melibatkan enzim nitril hidratase

(E.C. 4.3.2.84) dan amidase (E.C. 3.5.1.4), sedangkan reaksi kedua melibatkan enzim nitrilase (E.C.3.5.5.1). Diketahui bahwa degradasi senyawa nitril alifatik melibatkan nitril-hidratase dan amidase, sedangkan degradasi nitril aromatik hanya melibatkan enzim nitrilase saja (Nagasawa et al. 1987; Banerjee et al. 2002).

Dari hasil persamaan regresi menunjukkan bahwa Lysobacter sp mampu menurunkan konsentrasi asetonitril (190 mM) sampai konsentrasi 0 mM dalam waktu 5 jam 35 menit (Gambar 6).
Berdasarkan Uji Korelasi menggunakan program SPSS versi 12 (P=0,05), menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi asetonitril ternyata tidak berkorelasi dengan terbentuknya asetat dan amonia. Selanjutnya selama penelitian ini ditunjukkan bahwa penurunan asetonitril 361

Riffiani & Sulistinah

tidak seiring dengan peningkatan asam asetat dan amonia. Hal ini kemungkinan karena asetat dan amonia yang terbentuk digunakan mikroba sebagai sumber karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan. Dilaporkan oleh Langdahl et.al. (1996), asetat yang dihasilkan dari degradasi asetonitril oleh Rhodococcus erythropolis BL 1 digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan. Kemampuan tumbuh Lysobacter sp. pada 100 mM asetamida relatif lebih rendah bila dibandingkan Rhodococcus erythropolis BL 1 yang diisolasi dari sedimen laut. R erythropolis mampu tumbuh pada asetronil hingga konsentrasi 1 M, fase lag dicapai 50 amonia pada fase eksponensial (Langdahl et al. 1996). Dilaporkan juga oleh Sunarko et al. 2000 bahwa Corynebacterium sp. D5 yang diisolasi dari limbah kimia ASTRA juga mampu tumbuh pada asetonitril hingga 5% ( 950 mM). Nampak mikroba yang diisolasi dari lingkungan yang ekstrim mempunyai toleransi yang tinggi terhadap senyawa pencemar.

Bakteri Laut Perombak Protein Beberapa bakteri yang memiliki enzim amidase juga memiliki aktivitas protease yaitu Micrococcus luteus, Lysobacter sp. dan Spons bacterium. Isolat bakteri dengan ID.19.TR teridentifikasi sebagai Sphingomonas phyllosphaerae strain FA2 memiliki aktivitas enzim protease tertinggi yaitu 226,85 (U/ml) . Akan tetapi kemampuan S. phyllosphaerae menghasilkan enzim protease jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Bacillus subtilis. Safey & Raouf (2004) melaporkan bahwa B. subtilis memiliki aktivitas spesifik ekstraselular enzim protease sebesar 6381,71 (unit/mg prot/ml -1). Protease adalah enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Enzim ini seringkali dibedakan menjadi proteinase dan peptidase. Protease mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar, sedangkan peptidase mengkatalisis hidrolisis fragmen polipeptida menjadi asam amino. Protease memegang peranan utama dalam banyak fungsi hayati, mulai dari tingkat sel, organ,

70 60 50 40 30 20 10 0 0 50 100 150 200 y = -0,18x + 60,37 R2 = 0,9175

Gambar 6. Persamaan regresi penurunan konsentrasi asetonitril oleh Lysobacter sp.

362

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

sampai organisme, yaitu dalam melangsungkan reaksi metabolisme dan fungsi regulasi (Mell et al. 2000). Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan beberapa bakteri laut yang telah diisolasi dari sampel spons dari perairan Ternate nampaknya selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryati et al (2000) bahwa kelimpahan jenis bakteri yang diisolasi dari spons di perairan Spermonde, Sulawesi Selatan didominasi oleh bakteri Vibrio sp. Pseudomonas sp., Spingomonas sp, Flavobacterium sp, Acinetobacter sp, dan Bacillus sp. Meyers et al. (2001) melaporkan bahwa terjadi hubungan simbiosis antara spons dan sejumlah

bakteri, dimana spons menyediakan dukungan dan perlindungan bagi bakteri sebagai simbion dan simbion menyediakan makanan bagi spons. Hasil analisis filogenik bakteri laut potensial yang diisolasi dari spons asal Perairan Ternate dapat dilihat pada Gambar 7. Pohon filogeni menunjukkan bahwa bakteri potensial yang diisolasi dari spons terbagi menjadi enam kelompok bakteri yaitu kelompok bakteri Arthrobacter , Bacillus , Lysobacter , Micrococcus , Spingomonas, dan Spons bacterium.

Gambar 7. Pohon kekerabatan bakteri potensial yang diisolasi dari sponge perairan Ternate

363

Riffiani & Sulistinah

KESIMPULAN Isolat bakteri ID04TR teridentifikasi sebagai Lysobacter sp mampu tumbuh dan memanfaatkan (100mM) asetonitril sebagai satu-satunya sumber karbon, energi, dan nitrogen. Proses degradasi asetonitril dengan menggunakan resting sel Lysobacter sp melibatkan enzim nitril hidratase dan amidase. Asam asetat dan amonium merupakan produk degradasi. Isolat bakteri dengan ID 19TR teridentifikasi sebagai Sphingomonas phyllosphaerae strain FA2 mampu merombak protein dan memiliki aktivitas enzim protease tertinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapakan terima kasih kepada Prof. Dr. Ibnu Maryanto sebagai koordinator Projek IPTEKDA KHUSUS yang telah mendanai kegiatan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan Arief Nurkanto, S.Si dan Munir yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Banerjee, A., R. Sharma, UC. Banerjee. 2002. The nitrile degrading enzymes: current status and future prospect. Appl. Microbiol . Biotechnol., 60 : 33-34 Kobayashi, M. 1991. Studies on Enzymes Involved in Nitrile Metabolism in

Rhodococcus rhodochrous. PhD [Thesis]. Langdahl, BR., P. Bisp & K. Ingvorsen. 1996. Nitrile hydrolysis by Rhodococcus erythropolis BL1, an acetonitrile-tolerant strain isolated from a marine sediment. Microbiol. Letter. 142 : 145-154 Mel, SF, K. Fuller, S. Wimer-Mackin, W. Lencer., & J. Mekalanos. 2000. Association of protease activity in Vibrio cholerae Vaccine Strains With Decreases in Transcellular Epithelial Resistance of Polarized T84 Intestinal Epithelial Cells. Infect Immune 68(11):6487-92. Moon, SH & SJ Parulekar. 1993. Some observation on protease producing in continuous suspension cultures of Bacillus firmus. Biotech. Bioengin. 41, 43-54 Meyer, O. & HG. Schlegel.1983. Biology of aerobic carbon monoxide oxidizing bacteria. Ann. Rev. Microbiol. 37 :277-310. Nagasawa, T., H. Nanba, K. Ryuno, K. Takeuchi & H. Yamada . 1987. Nitrile Hydratase of Pseudomonas chlororaphis B23. Eur. J. Biochem. 162 : 1305-1312. Nawaz, MS., TM. Heinze & C.A Cerniglia. 1992. Metabolism of Benzonitrile and Butyronitrile by Klebsiella pneumoniae . Appl. Environ. Microbiol. 38: 27-31 Oliver, MH., NK. Harison, JE. Bishop, PJ. Cole & GJ. Lauren. 1989. A rapid and convenient assay for counting cells cultured in microwell plates : Application for assessment

364

Penapisan Mikroba Laut Perombak Senyawa

of growth factors. J. Cell. Scie. 92 : 513-518. Pfennig, N. 1974. Rhodopseudomonas globiformis sp.A new species of Rhodospirillaceae. Arch. Microbiol. 100 : 197-206. Reinheimer, G . 1991. Aquatic Microbiology. 4 th Ed. John Wiley and Sons, Chichester and New York Secades P., & J.A Guijarro.1999. Purification and Characterization of an Extrascellular Protease from the Fish Pathogen Yersinia ruckeri and Effect of Culture Condition on Production. App.Envir. Microbiol. 65 (9): 3969-3975 Sujatmiko, W. 2000. Inventarisasi Jenis Spons Disekitar Perairan Pulau Lombok dan Garam di Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat, Kerjasama: Yayasan Rinjani Bahari, Badan Perencanaan dan Penerapan Teknologi, Badan Perencanaan dan Pembangunan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sunarko, B., Adityarini, USF. Tambunan & N. Sulistinah. 2000. Isolasi, seleksi dan karakterisasi mikroba pendegradasi asetonitril. Berita Biologi 5(2) : 177-185.

Sunarko, B., TU. Harwati, AT. Utari, D. Setianingrum & L. Nurhayani. 2007. Penapisan mikroba potensial untuk biokatalis produksi senyawa obat antiinflamasi nonsteroid (AINS). Laporan Teknik Kegiatan Pusat Penelitian Bioteknologi DIPA tahun 2006. Suryati, E., A Parenrengi, & Rosmiati. 2000. Penapisan Serta Analisis Kandungan Bioaktif Spons Clathria sp. yang efektif sebagai Antibiofouling pada teritif (Balanus amphitrit). J.Penel.Perik. Indo. 5 (3) Van Soest, RMW. 1994. Desmospons Distribution Pattern, In: Eds. Van Soest, R.W.M Van Kompen . T.M.G . Braekman, J.C. Spons in Time and Space. A.A Balkema, Rotterdam Yamamoto, K., Y. Ueno, K. Otsubo, K. Kawakami & K. Komatsu. 1990. Production of S- (+)-Ibuprofen from a nitrile compound by Acinetobacter sp. Strain AK226. J. App.Envir. Miro. 56 : 31253129.

Memasukkan: Desember 2009 Diterima: Mei 2010

365

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 367-381 (2010)

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium Untuk Pencarian Gen-gen Terkait Toleransi Kekeringan Menggunakan Transposon Ac/Ds pada padi cv. Batutegi
E.S.Mulyaningsih1, H.Aswidinnoor2, D.Sopandie2, P.B.F.Ouwerkerk3, S. Nugroho1, I.H. Slamet Loedin1. Email: enungf@yahoo.com
1

Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2Departemen Agronomi Institut Pertanian Bogor , 3 Institute of Biology IBL Leiden University Netherlands
ABSTRACT

Transformation Strategy for Indonesian Indica Rice in Attempt to Discover Drought-Tolerant Related Genes Using of Transposon Ac/Ds. Attempt to identify, isolate the gene, and study for gene function for several agronomical traits have been done including some drought tolerant traits. Japonica rice cultivars have been used due to its higher efficiencies compared with indica cultivars. Two plasmids namely pNU400 and pUR224 were used to generate mutants of these cultivars (Batutegi dan Kasalath cultivars). Those plasmids contain an element called Activator (Ac) and Dissociator (Ds) respectively. The pNU400 contains GFP (green flourescens protein) as a selectable marker, whereas the pUR224 contains hygromycine resistant gene and gusA as a reporter gene. Each plasmid was transformed into rice genome of Batutegi and Kasalath cultivars by Agrobacterium mediated transformation using three methods of transformation (A, B and C). The transformation method A was not suitable for both cultivars, where none of plantlets were produced from pNU400 and pUR224 plasmids. The transformation method B produced some plantlets from the Kasalath cultivar only using pUR224 plasmid. The transformation method C was the best method to produce transgenic plants from both cultivars (Batutegi and Kasalath), using both plasmids (pNU400 and pUR224). The PCR analysis showed that 19 and 9 plants of Batutegi and Kasalath contained both gusA and hpt genes respectively. None of those plants contained of gusA gene. Southern blot analysis revealed 3 independent lines from Batutegi dan 7 independent lines from Kasalath. The integration of Ac transposon was analyzed based on expression gfp gene when observed under UV dark reader. This research has proved that indica rice cultivars, especially the Batutegi cultivar of Indonesian origin, could be transformed. The cultivar could be used as plant model for the indica transformation. Key words: transformation, drought tolerant, indica rice, Ac/Ds transposons, Agrobacterium.

PENDAHULUAN Padi merupakan makanan pokok bagi lebih dari separuh penduduk dunia. Selain itu tanaman padi juga dijadikan

sebagai model untuk studi sistem transformasi genetik dan fungsi genetik tanaman monokotil. Perbaikan sifat tanaman padi secara bioteknologi telah dilakukan untuk mendapatkan tanaman 367

Mulyaningsih dkk

yang sesuai harapan. Teknik rekayasa genetik ialah dengan memasukkan gengen tertentu yang diinginkan. Salah satu sifat yang diinginkan ialah toleransi tanaman terhadap cekaman abiotik, diantaranya kekeringan, karena kekeringan dapat menekan pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman sebesar 70% (Bray et al. 2000). Transformasi genetik sangat penting untuk mempelajari sifat genetik dan mengetahui fungsi gen. Keberhasilan transformasi genetik padi kultivar japonica (niponbare) menggunakan Agrobacterium tumefaciens (Agrobacterium mediated transformation = AMT) sangat penting karena teknik ini dapat diaplikasikan untuk kultivar lainnya (Hiei et al. 1994). Sekarang ini transformasi dengan Agrobacterium pada padi digunakan bukan hanya untuk memasukkan satu gen target untuk tujuan perbaikan sifat tetapi juga untuk tujuan mempelajari fungsi gen target dengan cara meningkatkan atau menghilangkan ekspresinya (Dong et al. 1996; Meijer et al. 2000; Yamaguchi-Shinozaki & Shinozaki 2001; Deng et al. 2002; Scarpella et al. 2005; Hu et al. 2006; Xiao et al. 2007). Selain itu, teknik AMT juga digunakan untuk membentuk populasi pustaka mutan menggunakan insersi T-DNA atau menggunakan elemen loncat (transposon) seperti Ac/ Ds dari tanaman jagung atau kombinasinya (Greco et al. 2004; Izawa et al. 1991; Kolesnik et al. 2004). Transposon Ac/Ds diintroduksi ke dalam genom tanaman padi dengan memanfaatkan T-DNA dari suatu vektor ganda. Transposon Ds yang telah masuk 368

dalam genom akan berpindah posisi jika diinduksi oleh protein Ac transposase pada generasi berikutnya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk melakukan mutasi. Jika diperoleh tanaman T0 yang cukup banyak, diharapkan dari setiap tanaman tersebut diperoleh generasi tanaman T1 dengan insersi transposon yang berbeda. Insersi transposon diharapkan terjadi pada gen penting dan menghasilkan fenotipe tanaman tertentu sehingga fungsi gen yang dirusaknya (knock out) dapat diamati. Pada kenyataannya, tidak setiap knock out dapat menghasilkan fenotipe baru, hal ini disebabkan oleh adanya gen lain yang mampu menggantikan fungsi gen yang di-knock out. Oleh karena itu, vektor yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai fungsi lain yaitu sebagai gen-trap (Gambar 1). Dengan fungsi ini meskipun insersi transposon tidak memunculkan fenotipe baru, tetapi aktivitas dari promotor gen tersebut dapat diidentifikasi dengan memperhatikan ekspresi gen pelapor yang diintroduksi bersama dengan transposon. Dengan melihat pola ekspresi gen pelapor maka fungsi gen disekitar daerah insersi dapat diperkirakan. Identifikasi gen dan prediksi fungsi gen prosesnya semakin dipercepat dengan telah dilaporkannya urutan DNA genom dari padi japonica cv. Niponbare (Buell 2002). Jenis padi indica ditanam dan dikonsumsi secara luas di dunia termasuk di Indonesia, tetapi informasi keberhasilan transformasi genetik pada padi jenis ini masih terbatas. Hal ini dikarenakan jenis padi indica umumnya kurang responsif. Transformasi genetik padi indica dengan AMT dilaporkan mempunyai efisiensi

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

keberhasilan transformasi rendah (Rashid et al. 1996; Nayak et al. 1997; Khanna & Raina 2002). Efisiensi transformasi dapat ditingkatkan terhadap empat kultivar indica dengan melakukan perubahan variasi media dasar (Lin & Zhang, 2005). Hiei dan Komari (2006) dengan menggunakan material eksplan embrio belum masak (imature embryo) melaporkan efisiensi transformasi hingga 30% untuk setiap embrio pada 10 kultivar padi indica yang digunakan. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan nilai efisiensi transformasi antara lain tipe eksplan yang digunakan. Material eksplan yang digunakan dapat berupa kalus yang dihasilkan oleh bagian skutelum benih (Hiei et al. 1994; Rashid et al . 1996; Kumar et al. 2005), transformasi menggunakan benih secara langsung (Toki et al. 2006), kalus dari embrio belum masak (Dong et al. 1996), embrio belum masak (Hiei & Komari 2006) dan tunas pucuk (Hiei et al. 1994). Tujuan penelitian ini ialah membandingkan tiga metode transformasi AMT yaitu metode Hiei et al. 1994, Toki et al. 2006 dan Hiei dan Komari 2006 terhadap padi indica gogo Indonesia cv. Batutegi dan cv. Kasalath sebagai kultivar pembanding (padi lokal Thai-land), untuk memperoleh metode transformasi paling sesuai untuk kedua kultivar. Tanaman transgenik yang dihasi-lkan merupakan awal untuk membuat pustaka mutan Ac/ Ds pada padi indica menggunakan AMT. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi penting untuk membuktikan bahwa padi indica cv. Batutegi dapat ditransformasi.

BAHAN DAN CARA KERJA Benih padi cv. Batutegi dan Kasalath diperoleh dari Instalasi Penelitian Padi Muara Bogor. Plasmid rekombinan yang digunakan yaitu pNU400 dan pUR224 masing-masing mengandung transposon Ac dan Ds, diperoleh dari Dr. Narayana Uppadhyaya (CSIRO Plant Industry-Australia). Benih masak atau benih belum masak (berumur 8-12 hari setelah anthesis) padi cv. Batutegi dan Kasalath dikupas dan disterilisasi. Sterilisasi benih mengikuti metode yang dikemukakan Toki et al. 2006. Eksplan berupa benih masak selanjutnya ditiriskan diatas kertas steril sebelum ditanam pada media induksi kalus (Hiei et al. 1994) atau sebelum ditransformasi langsung (Toki et al. 2006). Pada kedua metode ini selanjutnya eksplan disimpan dalam ruang gelap dengan suhu 26C. Pada ekplan benih belum masak, embrio diperoleh dengan cara mengeluarkan embrio belum masak dari benih menggunakan pinset dalam ruang laminar. Embrio yang diambil berukuran antara 1,3 1,8 mm dan material ini selanjutnya digunakan untuk kegiatan transformasi. Plasmid rekombinan (pNU400 and pUR224) ditransformasikan ke dalam sel kompetan A. tumefaciens srain Agl-1 dengan menggunakan elektroporator. A. tumefaciens ditumbuhkan dalam medium agar yang mengandung 100 mg/l carbeniksilin dan 50 mg/l kanamisin untuk pNU400. Bakteri yang ditransformasi dengan plasmid pUR224 ditumbuhkan dalam media AB yang mengandung 100 mg/l carbeniksilin dan 50mg/l 369

Mulyaningsih dkk

spectinomisin. Bakteri ditumbuhkan selama 3 hari pada suhu 28C. Bakteri diambil dengan menggunakan spatula dan dilarutkan menggunakan media AAM (amino acid medium, yang mengandung 100 mM asetosiringone) hingga mencapai kerapatan sel tertentu sesuai dengan metode (Tabel 1). Transformasi A.tumefaciens srain Agl1 Metode Transformasi A (Hiei et al. 1994) Metode transformasi ke dalam kalus embriogenik menggunakan A.tumefaciens seperti yang dikemukakan Hiei et al . (1994) dengan media yang dimodifikasi Loedin dkk. (1997). Benih masak yang telah disterilisasi ditanam pada media induksi kalus IK3 sehingga diperoleh kalus embriogenik IK3 (media dasar LS yang mengandung 2,5 mg/l 2,4D dan dipadatkan dengan 0,2% phytagel). Induksi kalus dilakukan selama 2 minggu dalam ruang gelap. Pada saat infeksi, kalus direndam dalam kultur cair Agrobacterium selama 30 menit. Kalus dan bakteri di ko-kultivasi dalam media IK3-AS (IK3 yang mengandung 0,1 M
A
RB UbiP gfp UbiP

asetosiringone) dan diinkubasi pada suhu 25C selama 3 hari dalam ruang gelap. Untuk transforman menggunakan plasmid pUR224, setelah ko-kultivasi kalus dicuci dengan 400 mg/l cefotaxime dan diseleksi pada media IK3C250 H50 (IK3 yang mengandung 250 mg/l cefotaxime dan 50 mg/l higromisin. Sedangkan untuk transforman pNU400 setelah kalus dicuci kemudian ditanam pada media yang hanya mengandung 250 mg/l cefotaxime. Dua minggu kemudian kalus dipindah ke media seleksi IK3C50H50 (untuk pUR224) atau tanpa higromisin (pNU400). Kalus yang tahan terhadap antibiotik higromisin disubkultur ke dalam media regenerasi R3B (LS + 0,5 mg/l IAA + 0,3 mg/l BAP dan 0,5% phytagel). Transforman yang berasal dari pUR224, planlet yang diperoleh ditanam pada media MS tanpa hormon dan mengandung 50 mg/l higromisin. Metode Transformasi B (Toki et al. 2006) Benih masak yang telah disteril selanjutnya diprakultur dalam media

Ac

LB

RB

UbiP

Ds5

ori-AmpR

gusA

Ds3

bar

35S

hph

LB

Gambar 1. Skema daerah T-DNA dalam vektor transformasi pNU400 dan pUR224.
Keterengan: (A). T-DNA vektor pNU400 iAc : RB (border kanan), Ubi1P-sgfpS65T (gen penanda dikontrol oleh promotor ubi), Ubi1P-iAc transposon yang sudah didelesi pada posisi 5 (inaktif) dikontrol oleh peromotor Ubi, LB (border kiri). (B). T-DNA vektor pUR224 Ds : RB (border kanan), Ubi1P- Ds (disociator), gen ketahanan terhadap ampisilin untuk perbanyakan di E.coli, Ds yang memiliki intron GPA1 dengan splice acceptor (SA) di depan gen penanda gusA yang berfungsi sebagai gene trap, gen ketahanan terhadap basta (bar) yang akan aktif setelah Ds mengalami transposisi, gen penyeleksi ketahanan terhadap higromisin yang dikendalikan oleh promotor 35S, LB (border kiri). Masing-masing T-DNA berada dalam pCAMBIA1300 sebagai vektor back-bone. (Sumber: Dr. Narayana Uppadhyaya, CSIRO Plant Industry-Australia).

370

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

induksi kalus (media dasar MS yang mengandung 1 mg/l 2,4-D) dan 3% phytagel sebagai bahan padat. Prakultur dilakukan 4 - 6 hari pada ruang gelap dengan suhu 26C. Setelah prakultur, benih dimasukkan dalam tabung dan direndam dalam larutan Agrobacterium sambil dibolak balik selama 1,5 menit, kemudian ditiriskan di atas kertas saring steril. Benih selanjutnya ditempatkan di atas kertas filter steril (Whatman diameter 9 cm) yang telah dilembabkan dengan 0,5 ml larutan bakteri, lalu ditempatkan di atas media kokultivasi (MS+1mg/l2,4-D+0,1 M asetosiringone). Kokultivasi dilakukan pada kondisi gelap selama 3 hari pada suhu 25 C. Selanjutnya benih dicuci menggunakan air steril sebanyak 5 kali dan 1 kali dengan larutan yang mengandung 400 mg/l antibiotik cefotaksim untuk mematikan Agrobacterium. Benih dikeringkan di atas kertas saring steril dan dikultur dalam media seleksi (MS + 1 mg/l 2,4-D + 50 mg/l higromisin and 250 mg/l cefotaksime) untuk benih yang ditransformasi dengan pUR224 dan pada media yang sama tanpa higromisin untuk benih yang ditransformasi pNU400. Selama dalam media seleksi, kultur disimpan dalam kondisi terang dengan suhu 32C selama 2 minggu. Kalus yang terbentuk dari bagian skutelum benih selanjutnya dipindahkan dalam media praregenerasi selama 2 minggu (MS+ 1 mg/l kinetin dan 1 mg/l NAA) dan ditambahkan 50 mg/l higromisin untuk transforman dari pUR224. Selanjutnya kalus di subkultur ke dalam media yang sama sebagai media regenerasi. Untuk transforman yang berasal dari pUR224,

planlet yang diperoleh ditanam pada media dasar MS tanpa hormon dan mengandung 50 mg/l higromisin. Metode Transformasi C ( Hiei & Komari 2006) Embrio belum masak yang telah diperoleh ditempatkan dalam media kokultivasi NB-As (media dasar N6 + 2 mg/l 2,4-D, 1 mg/l NAA, 1 mg/l BA, 0,1 M asetosiringone, dan 5,5 g/l agarose tipe 1). Infeksi dengan Agrobacterium dilakukan pada suhu 25C dalam gelap selama 7 hari dalam media kokultivasi. Tunas yang terbentuk dipotong menggunakan skalpel. Setiap langkah subkuktur yang dilakukan menggunakan suhu 30C dalam kondisi terang. Embrio belum masak yang telah diinfeksi dipindahkan ke dalam media seleksi NBM-1 selama 5 hari (media NB + 2 mg/l 2,4-D, 1 mg/l NAA, 0,2 mg/l BA + 5 g/l gelrite + 250 mg/l cefotaxim dan 100 mg/l timentin) dengan bagian skutelum menghadap ke atas. Kultur dipindahkan ke dalam media seleksi NBM-2 (NBM-1 + 50 mg/l higromisin) selama 3 minggu untuk transforman dari plasmid pUR224 sedangkan transforman pNU400 dipindahkan ke dalam media NBM-1. Kalus transforman tahan higromisin dari pUR224 dipindahkan ke media pra regenerasi NBPR- hig (media NB + 2 mg/l 2,4-D, 2 mg/l NAA, 1 mg/ l BA + 7 g/l gelrite + 50 mg/l higromisin) dan kalus transforman pNU400 ke media NBPR tanpa higromisin selama 10 hari. Selama dalam media NBPR pengamatan terhadap kalus transforman pNU400 yang berpendar dilakukan ketika diamati di atas lampu UV (dark reader). Kalus 371

Mulyaningsih dkk

yang telah cukup besar dan kehijauan asal pUR224 dipindahkan ke dalam media regenerasi RNM-hig (media NB + 1 mg/l NAA, 3 mg/l BA + 4 g/l agarose tipe-1 + 40 mg/l higromisin), serta kalus berpendar asal pNU400 dipindahkan ke dalam media regenerasi yang sama tanpa menggunakan higromisin. Dua minggu kemudian plantlet asal pUR224 dipindahkan ke media perakaran (MS + 2 mg/l NAA + 25 mg/l higromisin) dan tanpa higromisisn untuk pNU400. Plantlet dengan perakaran cukup kuat dipindahkan ke dalam media tanah dalam pot. Perbedaan ketiga teknik transformasi disajikan dalam Tabel 1. Pengamatan dilakukan terhadap :
Efisiensi transformsi (%) pUR224 = Kalus tahan higromisin x 100% Kalus awal ditransformasi pNU400 = Kalus berpendar x 100% Kalus awal ditransformasi Efisiensi regenerasi (%) = kalus beregenerasi x 100% kalus tahan higromisin/ berpendar

Analisis Integrasi Gen Metode PCR (Polimerase chain reaction) Analisis PCR dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya transposon (Ds) pada tanaman generasi pertama ( T 0) hasil transformasi pUR224. Konfirmasi berdasarkan keberadaan gen penanda yang ada dalam daerah T-DNA (gusA dan hpt) dalam genom. DNA genomik diisolasi dengan metode CTAB (hexaecyl 372

trimethyl ammonium bromide) terhadap tanaman kontrol (tidak ditransformasi) dan terhadap kandidat tanaman transgenik hasil transformasi. Metode isolasi adalah sebagai berikut: daun muda sepanjang 5 cm dimasukan ke dalam tabung 1.5 ml, diberi N2 cair lalu digerus dan ditambahkan 750 l dapar isolasi. Dapar isolasi terdiri dari dapar lisis (Tris-HCl pH 7.5 0.2 M, EDTA 0.05 M, NaCl 2 M, dan CTAB 2%)], dapar ekstraksi (sorbitol 0.35 M, Tris-HCl pH 7.5 0.1 M, 5 mM EDTA) dan 5% sarkosil. Selanjutnya reaksi diinkubasi pada suhu 65oC selama 1 jam. Kemudian ke dalam tube ditambahkan 750 l chloroform:isoamylalkohol (24:1) dan disentrifugasi selama 5 menit pada kecepatan 8.000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan ditambah dengan 400 l isopropanol dingin, lalu disentrifugasi selama 6 menit dengan kecepatan 8.000 rpm pada suhu 4oC. Supernatan dibuang dan pelet dicuci dengan 70% etanol. Pelet dalam tabung dikeringkan dan dilarutkan dengan 50 l dapar TE pH 8.0. Primer yang digunakan ialah gusA forward 5-TCACCGAAGTTCATGCCA GTCC-3 dan reverse 5ACGCTCACACCGATACCATCAG-3 yang spesifik untuk gen penanda gusA, dan hpt forward 5-GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG-3dan reverse 5GCATCTCCCGCCGTGCAC-3 untuk gen hpt. Volume untuk 1x reaksi PCR ialah 20 l dengan komposisi sebagai berikut: 1x dapar PCR, 0.05 mM dNTP, 0.05 U Taq polymerase, 0,2 M masingmasing primer ( gusA reverse dan forward dan hpt reverse dan forward)

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Tabel 1. Perbedaan dalam tiga teknik transformasi yang digunakan


Perbedaan Konsentrasi sel OD 600 Umur benih Material tanaman Pra inkubasi Persiapan kalus Waktu infeksi Bakteri disertakan saat kokultivasi Waktu kokultivasi Waktu seleksi I Waktu seleksi II Pra regenerasi Metode A 0,5 - 1 masak kalus embriogenik Tidak Ya 15 menit Tidak 3 hari 2 minggu 2 minggu Tidak Metode B 0,1 masak benih Ya Tidak 1,5 menit Ya 3 hari 2 minggu, 2 minggu Ya, suhu 25C Metode C 0,3 belum masak embrio belum masak Tidak Tidak Ditetes langsung Ya 1 minggu 1 minggu 3 minggu Ya, suhu 30C

dan 100 ng DNA hasil isolasi sebagai cetakan. Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan alat PCR Thermal Cycler (Biometra), pada kondisi PCR sebagai berikut satu siklus denaturasi (95oC, 3 menit); 30 siklus amplifikasi [denaturasi 95oC 1 menit, annealing 55oC 1 menit, sintesis 72oC 1 menit]; 72oC 10 menit (pemanjangan final); 4oC (penyimpanan). Hasil PCR dipisahkan dengan alat elektroforesis menggunakan 1% gel agarose selama 45 menit pada tegangan 100 volt. Gel diwarnai menggunakan ethidium bromida (0,5 mg/liter) untuk visualisasi pita DNA produk PCR. Produk amplifikasi yang diharapkan muncul masing-masing berukuran 500 pb (pasang basa) untuk gen gusA dan 400 pb untuk hpt. Analisis integrasi Ac dari plasmid pNU400 adalah berdasarkan pendaran gfp yang diperoleh. Transforman kalus atau plantlet yang mengandung Ac akan ditunjukkan oleh pendaran warna hijau dari kalus atau tanaman tersebut ketika diamati di bawah UV.

Analisis Southern blot bertujuan untuk mengetahui pola integrasi gen sisipan dan jumlah salinan gen transposon Ds dengan menggunakan DNA pelacak hpt pada generasi tanaman pertama ( T0 ). Metode deteksi dengan PCR maupun Southern blot , memerlukan DNA genom sebagai DNA cetakan yang dianalisis. DNA tanaman diisolasi dengan metoda CTAB. Selanjutnya DNA genom dipotong menggunakan enzim restriksi Apa I semalam. Setelah dipisahkan dalam agarose gel 0,8%, blotting dilakukan dengan metoda alkali transfer ke membran nilon bermuatan positif. Analisis pola integrasi T-DNA dilakukan dengan hibridisasi Southern mengacu kepada protokol kit dari GE Healthcare (Amersham, UK). Hibridisasi Southern dilakukan terhadap tanaman-tanaman hasil transformasi dengan pUR224 dengan menggunakan fragmen gen hpt sebagai pelacak.

373

Mulyaningsih dkk

HASIL Perbandingan Metode Transformasi Hasil transformasi dengan metode A (Hiei et al. 1994) tidak menghasilkan plantlet transgenik untuk kedua plasmid yang digunakan (pUR224 dan pNU400). Meskipun transformasi pUR224 telah dilakukan terhadap 900 kalus Batutegi dan 700 kalus Kasalat. Dengan plasmid pNU400 transformasi dilakukan terhadap 780 kalus Batutegi dan 540 kalus Kasalath. Dengan metode B (Toki et al. 2006), keberhasilan untuk mendapatkan tanaman transgenik hanya diperoleh dari kultivar kasalath dengan plasmid pUR224. Efisiensi transformasinya sebesar 2,36% dan efisiensi regenerasi sebesar 27,27%. Dengan menggunakan plasmid pNU400 tidak diperoleh kalus ataupun tanaman transgenik yang berpendar sebagai ciri terekspresinya gen penanda gfp (Tabel 2.). Hasil transformasi menggunakan metode C (Hiei dan Komari, 2006) untuk cv. Batutegi dan Kasalath menunjukkan bahwa metode ini lebih baik dibandingkan metode A dan B. Hasil transformasi cv. Batutegi dan Kasalath dengan plasmid pNU400 disajikan pada Tabel 3.

Dengan menggunakan plasmid pUR224 diperoleh satu event transformasi pada cv kasalath dan dua event pada cv. Batutegi (Tabel 4 dan Gambar 2). Analisis Integrasi Gen dengan PCR Analisis PCR dengan menggunakan primer spesifik untuk gen hpt dan dan gusA dilakukan terhadap masing-masing 25 tanaman cv. Batutegi dan 17 tanaman cv. Kasalath. Tanaman-tanaman tersebut merupakan hasil transformasi dari plasmid pUR224. Hasil analisis dibedakan antara tanaman yang mengandung hpt dan gusA, mengandung hpt tapi tidak mengandung gusA , mengandung gusA tetapi tidak mengandung hpt, dan tanaman yang tidak mengandung gusA maupun hpt (Tabel 5 dan Gambar 3). Analisis Integrasi Gen dengan Southern blot Material tanaman yang digunakan ialah yang mengandung gen hpt dan gusA berdasarkan analisis PCR. Jumlah tanaman diuji masing-masing sebanyak 12 untuk cv. Batutegi dan 9 untuk Kasalath. Hasil analisis disajikan dalam Tabel 6 dan Gambar 4.

Tabel 2. Transformasi menggunakan metode B (Toki et al. 2006)


Kultivar Plasmid Kasalath pUR224 Jumlah benih 465 Kalus tahan hpt 11 Kalus regenerasi 3 Efisiensi transformasi (%) 2.36 Efisiensi Regenerasi (%) 27.27

Tabel 3. Transformasi menggunakan metode C (Hiei dan Komari, 2006) dengan plasmid pNU400
Kultivar Kasalath B. Tegi Plasmid pNU400 pNU400 Jumlah immature 20 60 Kalus GFP+ 15 22 Kalus GFP + proliferasi 15 6 Kalus regenerasi 10 19 Efi.transf (%) 75.00 36.67 Efi. Reg (%) 66.67 86.36

374

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Tabel 4. Transformasi menggunakan metode C (Hiei dan Komari, 2006) dengan plasmid pUR224
Kultivar Kasalath B. Tegi Jumlah Plasmid immature pUR224 86 pUR224 62 pUR224 101

Kalus tahan hpt 22 8 2

Kalus regenerasi 11 6 2

Efi.transf (%)

Efi. Reg (%)

25.58 12.90 1.98

50.00 75.00 100.00

Gambar 2. Ekspresi gen penanda gfp dari kalus dan tanaman transforman plasmid pNU400 pada cv. Kasalath dan Batutegi
Keterangan: a dan b kalus cv. Kasalath diamati pada dark reader (a) dan lampu neon (b) c dan d kalus cv. Batutegi diamati pada dark reader (c) dan lampu neon (d) e dan f plantlet Kasalath dan Batutegi, g Plantlet Kasalat GFP + (kiri) dan GFP- (kanan)

PEMBAHASAN Padi tipe indica banyak dibudidayakan di Asia termasuk Indonesia, namun keberhasilan transformasi genetiknya masih terbatas. Kegiatan transformasi padi indica cv. Kasalath sangat sulit dilakukan terlebih pada cv. Batutegi. Diduga bahwa kultivar indica yang digunakan dalam percobaan digolongkan dalam indica grup I, yang sebagian besar merupakan kultivar rekalsitran untuk kegiatan kultur jaringan dan transformasi genetik (Zhang et al. 1998; Wunn et al. 1996). Pada padi indica sering dijumpai

bahwa kondisi transformasi dan regenerasi yang optimum untuk suatu genotipe, menjadi tidak optimum untuk genotipe lainnya. Untuk mendapatkan sejumlah kalus tahan higromisin dari hasil transformasi menggunakan plasmid pUR224 diperlukan jumlah eksplan yang sangat banyak. Selain itu, meskipun transformasi dilakukan sangat intensif, namun keberhasilannya masih sangat rendah dibandingkan menggunakan padi japonica (cv. Niponbare) yang pernah dilakukan sebelumnya (Nugroho dkk . 2007). Kondisi yang sama juga terjadi pada hasil 375

Mulyaningsih dkk

Tabel 5. Hasil analisis integrasi gen hpt dan gusA pada cv. Batutegi dan Kasalath
Kultivar Batutegi Kasalath Total Total tan. J. Tan. diuji 25 17 Total Total tan. Hpt +/Gus+ 19 9 28 42 Jumlah Tanaman Hpt +/Gus4 6 10 Hpt -/Gus0 0 0

gus, 500 bp hpt, 400 bp


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Gambar 3. Hasil analisis PCR menggunakan primer hpt dan gusA pada padi cv. Batutegi dan kasalath
Keterangan: hind III; 1. plasmid pUR224; 2. pCambia 1301; 3. K+ pUR224 (cv Nipponbare); 4. K- Niponbare ; 5. K- Batutegi ; 6. K- Kasalath; 7.air ; 8 - 23 cv. Transforman Batutegi; 24 35 transforman Kasalath

Tabel 6. Hasil analisis Southern blot cv. Batutegi dan Kasalath menggunakan DNA pelacak hpt
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kode K1 no. 8 K1 no. 9 K1 no. 10 K2 no. 16 K3 no. 3 K2 no. 2-a K2 no. 2-b K2 no. 5 K4 no. 1 K5 no. 2 K7 no. 4 K8 no. 2 Lajur 6 7 8 11 Tidak ditampilkan 7 8 9 10 11 13 14 Jumlah salinan cv. Batutegi cv. Kasalth 2 2 2 1 2 1 1 1 1 1 4 1

12345678910 12345678910111213

Batutegi A

Kasalath B

Gambar 4. Contoh hasil analisis Southern pada cv. Batutegi (A) dan Kasalath (B) denganDNA pelacak hpt.
Keterangan: Kolom 1 dan 2: kontrol plasmid pUR224

376

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

transformasi menggunakan plasmid pNU400 yang membawa transposon Ac dengan gen penanda gfp. Berdasarkan hasil penelitian metode transformasi A yang paling tidak sesuai untuk kedua kultivar. Hasil ini bertolak belakang dengan percobaan sebelumnya pada padi japonica (cv. Nipponbare) dengan menggunakan kedua plasmid yang sama (pUR224 dan pNU400). Jumlah tanaman transgenik yang diperoleh lebih dari 1500 dari pUR224 dengan nilai efisiensi transformasi 95,6% (Nugroho dkk. 2007). Meskipun metode B (Toki et al. 2006) dapat digunakan untuk merakit tanaman transgenik dengan waktu lebih cepat pada padi tipe japonica tetapi pada tipe indica aplikasinya sangat sulit. Berdasarkan hasil penelitian, metode transformasi C (Hiei &Komari 2006) adalah yang terbaik untuk kedua kultivar tersebut. Tingkat kesulitan yang paling dominan ialah terjadinya pencoklatan jaringan setelah dilakukan infeksi dengan agrobacterium, diduga ada pengaruh negatif penggunaan antibiotik sehingga dapat meracuni kalus seperti pada penelitian sebelumnya (Khanna & Raina. 1999). Pada metoda A dan B juga dialami kesulitan terbentuknya kalus embriogenik. Sering pula dihadapi bahwa meskipun kalus bersifat embriogenik tetapi kemampuan kalus untuk membentuk plantlet sangat rendah. Meskipun keberhasilan yang diperoleh dalam penelitian ini masih relatif kecil, tapi membuktikan bahwa cv. Batutegi padi gogo asal Indonesia dapat ditransformasi. Adanya respon dalam kegiatan transformasi pada cv. Batutegi

telah membuka peluang dapat digunakan sebagai model untuk kegiatan pembentukan populasi mutan dari jenis indica, atau untuk tujuan perbaikan genetik melalui rekayasa. Analisis PCR dilakukan untuk melihat keberhasilan integrasi gen sisipan dalam genom tanaman. Analisis ini hanya dilakukan terhadap tanaman hasil transformasi menggunakan plasmid pUR224. Analisis dilakukan dengan menggunakan dua pasang primer spesifik masing-masing untuk gen penyeleksi hpt dan gen penanda gusA. Kedua gen ini berada dalam dalam daerah T-DNA yang sama dengan transposon Ds. Analisis PCR menunjukkan keberadaan gen-gen tersebut, sehingga dapat dipastikan bahwa transposon Ds telah teringrasi dalam genom tanaman generasi pertama ini (T0). Berdasarkan data hasil analisis PCR diperoleh bahwa dari 25 tanaman cv Batutegi, 19 tanaman diantaranya menunjukkan keberadaan pita yang berukuran 500 pb (gusA ) dan 400 pb (hpt). Sedangkan pada cv. Kasalath dari 17 tanaman yang diuji, 9 tanaman menunjukkan adanya kedua pita hasil amplifikasi. Diperoleh pula informasi bahwa tidak ada satupun tanaman yang hanya mengandung pita amplifikasi gusA saja. Analisis integrasi dengan PCR dan Southern blot hanya dilakukan untuk tanaman hasil transformasi dengan plasmid pUR224, sementara integrasi gen gfp yang membawa transposon Ac dilakukan berdasarkan ekspresi gen tersebut yang diamati pada alat uv dark reader.

377

Mulyaningsih dkk

Analisis Southern blot selain bertujuan untuk mengetahui integrasi gen sisipan juga untuk melihat pola integrasinya dalam genom. Hasil analisis Southern blot pada cv. Batutegi menujukkan bahwa K1 no. 8, K1 no. 9, K1 no. 10 adalah merupakan galur yang sama (sister line) dengan 2 salinan gen sisipan. Tanaman-tanaman tersebut berasal dari embrio yang sama saat transformasi. Diduga tanaman-tanaman tersebut berasal dari satu sel yang kemudian berploriferasi membentuk tanaman sendiri-sendiri. Galur K2 no. 16 dan K3 no. 3 masing-masing memiliki 1 dan 2 gen sisipan. Dengan demikian pada cv Batutegi diperoleh 3 galur tanaman yang berbeda. Pada cv Kasalath diperoleh 7 galur yang berbeda yaitu K2 no. 2-a, K2 no. 2-b, K2 no. 5, K4 no. 1, K5 no. 2, K7 no. 4, K8 no. 2. Meskipun tanaman K2 no. 2-b dan K2 no. 5 berasal dari embrio yang sama saat transformasi tetapi diduga mereka berkembang dari sel berbeda. Ketiadaan pita dari hasil hibridisasi Southern pada beberapa galur yang diuji diduga karena kualitas DNA yang kurang baik, meskipun galur-galur tersebut menunjukkan keberadaan pita gen hpt saat PCR . KESIMPULAN Metode transformasi C (Hiei dan Komari 2006) adalah yang terbaik untuk cv. Batutegi dan Kasalath. Diperoleh 19 tanaman cv Batutegi dan 9 tanaman cv. Kasalath yang menunjukkan keberadaan gen gusA dan hpt berdasarkan analisis PCR.

Integrasi gen gfp yang membawa transposon Ac dibuktikan berdasarkan ekspresi gen tersebut yang berpendar. Hasil Southern blot menujukkan terdapat 3 galur tanaman berbeda pada cv Batutegi dan 7 galur pada Kasalath. Keberhasilan penelitian ini membuktikan bahwa kultivar Batutegi yang merupakan padi gogo asal Indonesia dapat ditransformasi. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Narayanan Upadhyaya and Dr Satya Nugroho atas perkenannya menggunakan plasmid dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Dr Satya Nugroho dan Dr Ami Estiati atas bantuan penyediaan bahan kimia, diskusi dan sarannya. Terimakasih pula disampaikan untuk Nurhayati dan Oktri Yurika atas bantuannya di laboratorium. DAFTAR PUSTAKA Bray, EA., J. Bailey-Serres, & E. Weretilniyk. 2000. Response to abiotic stresses. In: Eds.Gruissem W, Buchannan B, Jones R Biochemistry and molecular Biology of Plants. American Society of Plant Physiologists, Rockville. Pp 1158-1249. Buell, CR. 2002. Current status of the sequence of the rice genome and prospects for finishing the first monocot genome. Plant physiol. 4:1585-1586. Deng, X., J. Philips, AH. Meijer, F. Salamini, & D. Bartels. 2002.

378

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Characterization of five novel dehidration responsive homeodomain leucin zipper genes from resurrection plant Craterostigma plantagineum . Plant Mol. Bio.49:601-610. Dong. J., W. Teng, WG. Buchhold, & TC. Hall. 1996. Agrobacterium mediated transformation of Javanica rice. Mol. Breed. 2:267276. Greco, R., PB. Ouwerkerk, AJ. Taal, C.Sallaud, E.Guiderdoni, AH. Meijer, & JH.Hoge. 2004. Transcription and somatic transposition of maize En/Spm transposons system in rice. Mol.Gen. Genomics. 270: 514-523. Hiei, Y., S. Otha, T. Komari, &T. Kumashiro. 1994. Efficient transformation of rice ( Oryza sativa L) mediated by Agrobacterium and sequence analysis of the boundaries of the T-DNA. Plant J. 6(0): 001-011. Hiei, Y., & T. Komari. 2006. Improved protocols for transformation of Indica rice mediated by Agrobacterium tumefaciens. Plant Cell Tissue and Organ Culture .85(3): 271-283. Hu H., M. Dai, J. Yao, B. Xiao, X. Li, Q. Zhang, & L. Xiong. 2006. Overexpressing a NAM, ATAF, and CUC (NAC) transcription factor enhances drought resistance and salt tolerance in rice. PNAS. 103(35): 12987-12992. Izawa. T., C. Miyazaki, M. Yamamoto, R. Terada, S. Lida, & K. Shimamoto. 1991. Introduction

and transposition of maize transposable element Ac in rice (Oryza sativa L). Mol Gen Genet. 227:391-396. Khanna, HK., SK. Raina. 1999. A g ro b a c t e r i u m - m e d i a t e d transformation of indica rice cultivars using binary and super binary vectors. Aust. J. Plant Physiol. 26: 311-324. Khanna, HK. & SK. Raina. 2002. Elite indica transgenic rice plants expressing modified cryIAc endotoxin of Bacillus thuringiensis show enhanced resistance to yellow stem borrer (Scirpophaga incertulas ). Transgenic Res . 11:411-423. Kolesnik, T., I. Szeverenyi, D. Bachmann, CS.Kumar, S.Jiang, R.Ramamoorthy. M. Cai, ZG.Ma, V. Sudaresan, & S.Ramachandran. 2004. Establishing an efficient Ac/Ds tagging system in rice: large scale analysis of Ds flanking sequences. Plant J. 37:301-314 Kumar, KK., S. Maruthasalam, M. Loganathan, D. Sudhakar, & P. Balasubramanian. 2005. An improved Agrobacterium mediated transformation protocol for recalcitrant elite indica rice cultivars. PMB 23:67-73. Lin, YJ., & Q. Zhang. 2005. Optimising the tisuue culture conditions for high efficiency transformation of Indica rica. Plant Cell Rep. 23:540-547. Meijer, AH., RJ. De Kam, I. dErfurth, W. Shen, & JHC. Hoge. 2000. HD-Zip protein of family I and II 379

Mulyaningsih dkk

from rice: interaction and functional properties. Mol Gen Genet. 236: 12-21. Nayak, P., D. Basu, S. Das, A. Basu, D. Ghosh, NA. Ramakrishnan, M. Ghosh, & KS. Soumitra. 1997. Transgenic elite indica rice plant expressing cry IAc -endotoxin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem borrer (Scirpophaga incertulas). Proc. Natl. Acad Sci. USA 94:211-216. Nugroho, S., ES. Mulyaningsih, D. Astuti, & CF. Pantouw. 2007. Upaya Pengembangan Populasi padi mutan dengan mutasi insersi transposon Ac/Ds pembawa gene trap untuk pencarian gen-gen penting dari padi. Prosiding Simposium, Seminar dan Kongres IX PERAGI 2007. Bandung, 1517 November 2007. hal 105-110. Rashid, H., S. Yokoi, K. Toriyama, & K. Hinata. 1996. Transgenic plant production mediated by Agrobacterium in Indica rice. Plant Cell Rep. 15:727-730. Scarpella, E., EJ. Simons, & AH. Meijer. 2005. Multiple regulatory elements contribute to the vascular-spesific expression of the rice HD-Zip gene oshox1 in Arabidopsis. Plant Cell Physiol. 46(8), 14001410. Slamet-Loedin, IH., W. Rahayu, S. Hutajulu, & J.Wibowo. (1997). Penggunaan dua strain Agrobacterium tumefaciens supervirulen untuk ko-kultivasi tanaman padi kultivar Cisadane

dan Rojolele. Prosiding Seminar Perhimpunan Bioteknologi Indonesia. Surabaya, 12-14 Maret 1997. hal 140-148. Toki, S., N. Hara, K. Ono, H. Onodera, A. Tagiri, S. Oka, & H. Tanaka. 2006. Early infection of scutellum tissue with agrobacterium allows high-speed transformation of rice. Plant J. 47:969-976. Wnn, J., A. Kloti, PK. Burkhardt, GCG. Biswass, K. Launis, VA. Iglesias , & I. Potrykus. 1996. Transgenic Indica rice breeding line IR-58 expressing a synthetic cry IAb gene from Bacillus thuringiensis provides effective insect pest control. Bio.Technol. 14:171-176. Xiao, B., Y. Huang, N. Tang, & L. Xiong. 2007. Over-expression of LEA gene in rice improves drought resistence under the field conditions. Theor. Appl. Genet. DOI 10.1007/s00122-007-0538-9. Yamaguchi-Shinozaki, K., &K. Shinozaki. 2001. Improving plant drought, salt and freezing tolerance by gene transfer of a single stressinducible transcription factor, in: Rice biotechnology: Improving yield, stress tolerance and grain quality No. 236. (Novartis Foundation Symposium), Wiley, Chichester, 176-189. Zhang, S., W. Song, L. Chen, D. Ruan, N. Taylor, P. Ronald, R. Beachy, & C. Fauquet. 1998. Transgenic elite indica varieties, resistant to Xanthomonas oryzae pv. Oryzae. Mol. Breed. 4: 551-558.

380

Perbandingan Tiga Metode Transformasi Agrobacterium

Memasukkan: Agustus 2009 Diterima: Mei 2010

381

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 383-392 (2010)

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi pada Pembentukkan Monyet Obes Ria Oktarina1,4, Sri Supraptini Mansjoer1,2, Dewi Apri Astuti1,2, Irma Herawati Suparto1,3 & Dondin Sajuthi1,3
1

Primate Research Center Bogor Agriculture University (ria.primatolog@gmail.com), 2 Department Animal Husbandry Bogor Agriculture University, 3 Department of Chemistry Bogor Agriculture University, 4 PT. Bimana Indomedical ABSTRACT

High Energy Diet to Develop Obese Animal Model in Cynomolgus Monkeys (Macaca fascicularis). Obesity is a primary predisposition for diseases such as metabolic syndrome (insulin resistance, blood lipid abnormality, and hypertension), type 2 diabetes, and cardiovascular disease. The effort to overcome obesity is needed by understanding the development of obesity. Therefore, it is urgent to carry out preclinical trials by using an obese animal model however it is still limited. The objective of this research was to study the effect of high energy diet with animal fat and soluble carbohydrate to produce obese cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Animals used in this study were 15 adult males divided equally into three treatment groups and were given diets for 4 months. The 3 groups were 1) receiving diet A consists of beef tallow without egg yolk; 2) receiving diet B consists of beef tallow and egg yolk, (energy 4,207 cal/g, fat 19.62%, and starch 60.34% in both first two diet) 3) receiving diet C consists of monkey chow as control (energy 4,330 cal/g, fat 5.55%, and starch 51.38%). Measurement were taken every four weeks for body weight, crown rump length, hip diameter, abdominal skin thickness, body mass index (BMI), nutrient consumption and digestibility. Results showed that animals received diet B had significant increase in body weight and BMI at week 4 and 8. Hip diameter and abdominal skin thickness were significant starting at week 4 in animals receiving diet with egg yolk (p<0.05) compared to the other two groups. Protein consumption and digestibility in group with diet A and B was lower (p<0.05) compared to control animals. However, digestibility for dry matter, fat, starch and energy were about 90%, meaning that the rations were considered adequate in developing obese monkey. The diet formula containing tallow and egg yolk increased body weight based on BMI criteria above 25 kg/m2. Key words: obesity, cynomolgus, egg yolk, body mass index, digestibility

PENDAHULUAN Obesitas adalah kelebihan bobot badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas pada manusia merupakan masalah yang cukup serius, bahkan saat ini obesitas dianggap penyakit multifaktor kompleks

yang disebabkan oleh interaksi faktor genetik dan lingkungan (Hill & Peters 1998). Departemen Kesehatan (2004) melaporkan bahwa prevalensi obesitas masyarakat yang tinggal di kota dari 1,1% menjadi 5,3% dan masyarakat yang tinggal di desa dari 0,7% menjadi 4,3% pada tahun 1999. Menurut WHO 2005 383

Oktarina dkk

di dunia terdapat 1,6 juta manusia remaja (umur 12 -21 tahun) menderita kelebihan bobot badan dan 400 juta manusia dewasa mengalami obesitas. Obesitas merupakan predisposisi utama untuk terjadinya beberapa penyakit terutama sindrom metabolik (seperti resisten insulin, abnormal pada lipid darah, dan hipertensi), diabetes melitus Tipe 2, dan penyakit kardiovaskular. Usaha mengatasi masalah obesitas sangat diperlukan dengan meningkatkan pemahaman tentang mekanisme pencegahan dan khususnya pengobatan terjadinya sindrom metabolik. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji preklinis dengan menggunakan hewan model antara lain tikus, mencit dan satwa primata seperti monyet bonnet (Macaca radiata), baboon (Papio hamadryas), monyet rhesus (Macaca mulatta) dan beruk (Macaca nemestrina). Penggunaan monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis) sebagai hewan model obes belum pernah dilaporkan. Secara alami, Putra et al. (2006) telah melaporkan bahwa monyet ekor panjang di Bali dapat mengalami obesitas dan diukur berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) dengan rerata 60. Usaha membentuk hewan model obes dapat dilakukan secara intervensi dengan pemberian pakan yang mengandung tinggi lemak maupun karbohidrat. Bennet et al. (1995) melaporkan bahwa pakan yang mengandung energi tinggi yaitu 4,2 Kal/ kg, terdiri dari lemak 21-31% dan karbohidrat 50-70% (sukrosa dan dekstrin) dapat menghasilkan hewan obes pada monyet rhesus (Macaca mulatta). 384

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji formula pakan dengan bahan bersumber energi tinggi yang berasal dari lemak hewan (tallow dan kuning telur) dan karbohidrat (gandum), untuk mendapatkan hewan model monyet ekor panjang obes. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2007 sampai dengan Juni 2008 di PT IndoAnilab, Bogor. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini 15 ekor monyet ekor panjang jantan dewasa, dengan bobot badan berkisar antara 45 kg, nomor protokol ACUC (Animal Care and Use Commitee) : 01-IA-ACUC-08. Monyet ekor panjang berasal dari hasil penangkaran Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat-Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB). Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Satu buah pisang dengan bobot kurang lebih 70 g/ekor/hari diberikan sebagai pakan tambahan dan air minum yang diberikan ad libitum. Peralatan yang digunakan antara lain kandang individu stainless steel (squeeze back cage ), alat pencampur pakan, alat pengukuran antara lain tongkat ukur merek FHK, penggaris kaliper merek Tricle brand, pita ukur merek Butterfly, dan timbangan bobot badan (merek Five Goats), timbangan pakan (merek Tonata), dan seperangkat alat analisis proksimat.

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Tabel 1 Kandungan nutrien dalam pakan percobaaan Kandungan nutrisi Pakan A* Bahan kering (%) 68,09 Protein (%) 14,42 Lemak (%) 19,62 Serat kasar (%) 1,81 Gross energi (kal/g) 4.480 BETN (%) 59,42

Pakan B* 70,18 15,01 19,62 1,14 4.207 60,34

Pakan C * 92,75 29,39 5,55 6,02 4.330 51,38

Keterangan: A=tallow dan gandum; B=tallow, kuning telur dan gandum; C=monkey chow (kontrol); BETN=Bahan ekstrak tanpa N. *Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan IPB 2008.

Sebanyak 15 ekor monyet ekor panjang yang akan digunakan dibagi secara acak berdasarkan bobot badan menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu : kelompok Pakan A (n= 5 ekor) yang mendapatkan formula pakan yang mengandung GE 4.480 kal/g, Lemak 19,62%, dan BETN 59,42%; kelompok Pakan B (n= 5 ekor) yaitu pakan obes dengan formula yang mengandung GE 4.207 kal/g, Lemak 19,62% dan BETN 60,34% dan; kelompok Pakan C atau kontrol (monkey chow) (n= 5 ekor) GE 4.330 kal/g, Lemak 5,55% dan BETN 51,38%. Waktu pengamatan selama empat bulan, mulai awal (minggu ke-0), setiap 4 minggu sampai dengan minggu ke-16. Peubah diamati setiap 4 minggu sampai dengan minggu ke-16 untuk peubah bobot badan, tinggi duduk (crown rump length) (m), indeks massa tubuh monyet (IMT) (kg/m2), lingkar pinggang (cm), tebal lipatan kulit perut (cm), konsumsi nutrien (g/ekor), sedangkan kecernaan semu nutrien (%) dihitumg pada akhir penelitian. Semua hasil yang diperoleh disajikan dalam nilai rataan, data diolah dengan analisis ragam (ANOVA) dengan pakan

sebagai perlakuan, yang terdiri 3 perlakuan dengan 5 ulangan. Analisis didasarkan pada perbedaan antar perlakuan dengan taraf 5%. Hasil analisis ragam yang berbeda, dilanjutkan dengan uji jarak Tukey. HASIL Hasil penelitian pembentukan monyet obes dengan pakan berenergi tinggi, dibahas dengan analisis ragam pada bobot badan dan ukuran - ukuran tubuh (lingkar pinggang dan tebal lipatan kulit perut) dan IMT. Bobot Badan Rataan bobot badan (kg) dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada minggu ke-4 dan 8 setelah diberi pakan kelompok hewan yang mendapat pakan B bobot badannya nyata lebih besar (P<0,05) dari kelompok yang diberi pakan A dan C, sedangkan kelompok monyet ekor panjang yang mendapat pakan A dan C bobot badannya tidak berbeda. Bobot badan monyet ekor panjang pada minggu ke-12 dan 16 385

Oktarina dkk

Tabel 2. Rataan bobot badan (kg) dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjang selama penelitian.
Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C Awal ( ) (KK) 4,72 10,95 4,64 10,60 4,66 10,69 Minggu ke-4 ( ) (KK) 4,76b 4,37 4,90a 0,51 4,51b 8,08 Minggu ke-8 ( ) (KK) 4,54b 3,00 5,01a 6,60 4,45b 6,71 Minggu ke-12 ( ) (KK) 4,58 13,16 5,05 16,43 4,58 4,98 Minggu ke-16 ( ) (KK) 4,82 18,87 5,09 17,22 4,60 5,54

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

menunjukkan tidak terdapat perbedaan bobot badan. Ukuran-ukuran Tubuh Pengukuran antropometri tubuh yang dapat digunakan sebagai penentuan obesitas adalah dengan melakukan pengukuran lingkar pinggang tebal lipatan kulit perut, tinggi duduk, dan IMT. Berikut ini hasil pengamatan ukuran-ukuran tubuh (lingkar pinggang, tebal lipatan kulit perut tinggi duduk) selama penelitian. Keragaman juga terjadi pada ukuranukuran tubuh dan IMT. Keragaman tertinggi terjadi pada kelompok pakan B untuk parameter lingkar pinggang, tebal lipatan kulit perut dan IMT. Hasil pengukuran lingkar pinggang selama penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) lebih besar pada monyet ekor panjang yang mendapat pakan B, jika dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan pakan A dan C, sedangkan monyet ekor panjang yang mendapat pakan A dan C tidak terdapat perbedaan ukuran lingkar pinggang. Bertambahnya ukuran lingkar pinggang pada kelompok perlakuan pakan B terjadi seiring dengan peningkatan bobot badan pada monyet ekor panjang. Pertambahan ukuran lingkar pinggang pada kelompok pakan B dapat dilihat pada Tabel 3. 386

Adanya penambahan bobot badan sangat berpengaruh terhadap peningkatan ukuran lingkar pinggang. Meningkatnya ukuran lingkar pinggang mempunyai hubungan erat dengan meningkatkan resiko terjadinya resiko sindrom metabolik pada manusia. Seperti yang dikemukakan oleh WHO (1997), jika lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada pria dan lebih dari 80 cm pada wanita dapat meningkatkan resiko terjadinya sindrom metabolik pada manusia. Akan tetapi kriteria lingkar pinggang MEP terhadap resiko terjadinya sindrom metabolik belum ada. Hasil pengukuran tebal lipatan kulit perut selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Dari hasil pengukuran menunjukan bahwa terdapat perbedaan ukuran tebal lipatan kulit perut pada minggu ke-4, 8 dan 12, dengan ukuran terbesar (P<0,05) pada kelompok yang mendapat pakan B jika dibandingkan dengan kelompok yang mendapat pakan A dan C, sedangkan pada kelompok yang mendapat pakan A dan C tidak terdapat perbedaan ukuran tebal lipatan kulit perut. Pada minggu ke-16 menunjukkan bahwa monyet ekor panjang yang mendapat pakan A, B dan C tidak terdapat perbedaan ukuran lingkar pinggang.

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Tabel 3. Rataan lingkar pinggang (cm) dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjang selama penelitian.

Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C

Awal ( ) (KK) 29,12 2,91 28,94 3,68 29,00 1,84

Minggu ke-4 ( ) KK) 28,10b ,26 31,18a 4,41 27,00b 2,84

Minggu ke-8 ( ) (KK) 28,00b 3,13 32,34a 6,91 28,00b 2,44

Minggu ke-12 ( ) (KK) 28,30b 2,21 32,42a 6,94 28,18b 1,72

Minggu ke-16 ( ) KK) 28,54b 2,46 32,96a 7,07 28,30 b 1,83

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Tabel 4 Rataan tebal lipatan kulit perut (cm) dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjang selama penelitian

Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C ( ) 0,36 0,39 0,38

Awal (KK) 18,59 9,96 1,99

Minggu ke-4 ( ) (KK) 0,36b 9,90 0,52a 27,60 0,40b 9,52

Minggu ke-8 Minggu ke-12 ( ) (KK) ( ) (KK) 0,39b 7,90 0,40b 8,78 0,53a 0,26 0,56a 30,17 b 0,41 5,01 0,45b 9,30

Minggu ke-16 ( ) (KK) 0,40b 9,24 0,58a 33,50 0,45b 8,63

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Pada ukuran tebal lipatan kulit perut menunjukkan keragaman yang tinggi dari minggu ke-0, 4, 8 dan 12 pada kelompok pakan B, jika dibandingkan dengan kelompok pakan A dan C. Adanya peningkatan ukuran tebal lipatan kulit perut pada kelompok pakan B selama penelitian dapat terlihat jelas pada Gambar 1. Tujuan pengukuran tebal lipatan kulit perut pada penelitian ini adalah untuk mengetahu tipe obesitas yang terjadi pada monyet ekor panjang. Sama halnya dengan ukuran lingkar pinggang, penambahan bobot badan juga menyebabkan peningkatan ukuran tebal lipatan kulit perut pada kelompok pakan B. Sama halnya dengan kejadian peningkatan lingkar pinggang, peningkatan tebal lipatan kulit perut adalah untuk mengetahui adanya penimbunan lemak di daerah subkutan dan abdomen. Penimbunan lemak pada daerah

abdomen dapat meningkatkan terjadinya resiko penyakit seperti diabetes melitus Tipe 2, toleransi terhadap glukosa terganggu, hipertensi, dan dislipidemi. Tinggi duduk (crown rump length), dengan mengukur dari puncak kepala sampai dengan pangkal ekor dengan menggunakan tongkat ukur. Tinggi duduk monyet ekor panjang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Ukuran tinggi duduk pada monyet ekor panjang dari awal sampai dengan akhir penelitian, menunjukkan tidak adanya penambahan ukuran tinggi duduk. Pada penelitian ini monyet ekor panjang yang digunakan adalah yang sudah berumur dewasa (susunan gigi Molar3/ Molar3). Sehingga secara fisiologi tidak ada peningkatan ukuran tubuh yang secara nyata, karena tidak sedang dalam masa pertumbuhan. Pengukuran tinggi duduk ini berguna untuk menghitung indeks massa tubuh 387

Oktarina dkk

Tebal Lipatan Kulit Perut 0.8 0.6 Cm 0.4 0.2 0 Minggu-0 Minggu-4 Minggu-8 Pakan B Minggu-12 Minggu-16 Pakan C

Pakan A

Gambar 1. Perkembangan tebal lipatan kulit perut MEP yang mendapat formula pakan A , B dan C selama penelitian.

(IMT), karena pengukuran IMT pada monyet ekor panjang didapat dari hasil perhitungan antara bobot badan dibagi dengan tinggi duduk (kg/m2). Hasil pengukuran IMT selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan IMT yang lebih besar (P<0,05) pada kelompok yang mendapat pakan B di minggu ke-4 dan minggu ke-8, jika dibandingkan dengan kelompok yang mendapat pakan A dan C, sedangkan kelompok yang mendapat pakan A dan C tidak terdapat perbedaan ukuran IMT selama penelitian. Ukuran IMT pada minggu ke-12 dan 16 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan ukuran IMT antar perlakuan yang mendapat pakan A, B dan C. Adanya peningkatan ukuran IMT pada kelompok pakan B selama penelitian

dapat terlihat jelas pada Gambar 2. Perkembangan bobot badan berpengaruh terhadap peningkatan ukuran lingkar pinggang dan tebal lipatan kulit perut dan IMT pada kelompok pakan B. Dari hasil pengamatan IMT dengan membandingkan antara bobot badan dan tinggi duduk kelompok hewan pakan A dan pakan C, masuk dalam kriteria kelebihan berat (over weight) dan pre obesitas, sedangkan untuk kelompok hewan pakan B masuk dalam kriteria obesitas Tipe I. Analisa Pakan Analisis pakan pada penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui banyak nutrien yang dikonsumsi dan kecernaan semu pakan di dalam feses. Hasil perhitungan konsumsi nutrien dan

Tabel 5. Rataan (cm) dan koefisien keragaman (%) tinggi duduk monyet ekor panjang selama penelitian.

Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C

Awal ( ) (KK) 0,44 4,07 0,44 2,29 0,44 2,02

Minggu ke-4 Minggu ke-8 ( ) (KK) ( ) (KK) 0,44 4,07 0,44 4,11 0,44 2,27 0,44 2,25 0,44 2,02 0,44 1,98

Minggu ke-12 ( ) (KK) 0,44 4,11 0,44 2,25 0,44 1,98

Minggu ke-16 ( ) (KK) 0,44 4,09 0,44 2,20 0,44 1,95

388

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Tabel 6. Rataan (kg/m2 )indeks massa tubuh dan koefisien keragaman (%) monyet ekor panjang selama penelitian.

Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C

Awal ( ) (KK) 24,51 8,35 24,19 6,25 23,94 10,08

Minggu ke-4 ( ) (KK) 23,59b 9,31 25,53a 6,02 23,18b 9,33

Minggu ke-8 ( ) (KK) 23,52b 7,27 26,02a 11,62 22,86b 8,60

Minggu ke-12 ( ) (KK) 23,73 7,58 26,24 11,60 23,52 7,31

Minggu ke-16 ( ) (KK) 24,88 13,30 26,44 12,50 23,55 7,16

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

28 26 Kg/m2 24 22 20 Minggu-0 Minggu-4 Pakan A Minggu-8 Minggu-12 Minggu-16 Pakan B Pakan C

Gambar 2. Perkembangan indeks massa tubuh MEP yang mendapat formula pakan A , B dan C selama penelitian.

kecernaan semu pakan dapat dilihat sebagai berikut. Konsumsi Nutrien Hasil pehitungan menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan (P<0,05) konsumsi bahan kering dan konsumsi energi pada minggu ke-8, sedangkan konsumsi BETN pada minggu ke-12. Rata-rata konsumsi bahan kering, lemak, BETN dan energi kelompok hewan yang mendapat perlakuan pakan B lebih tinggi (P<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok hewan yang mendapat perlakuan pakan A dan pakan C (Gambar 3). Pada minggu ke-4, 8 dan 16 kelompok yang mendapat pakan B lebih tinggi (P<0,05) mengkonsumsi bahan kering jika dibandingkan dengan

kelompok yang mendapat pakan A dan C. Pada minggu ke-12 kelompok hewan yang mendapat pakan C menunjukan konsumsi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan MEP yang mendapat pakan A dan B, sedangkan MEP yang mendapat pakan A dan B menunjukan tidak terdapatnya perbedaan konsumsi bahan kering. Konsumsi protein kasar, pada MEP pakan C lebih tinggi (P<0,05) jika dibandingkan dengan MEP pakan A dan B, sedangkan MEP yang mendapat pakan A dan B tidak menunjukan perbedaan konsumsi protein. Hal ini disebabkan tingginya kandungan protein kasar pada pakan C. Menurut Bennet et al. (1995), bahwa kebutuhan protein pada MEP adalah 3,5 g/ekor/hari. Jika dilihat dari kebutuhan protein MEP, pakan yang 389

Oktarina dkk

digunakan sudah mencukupi kriteria kebutuhan akan protein pada MEP. Pada kelompok pakan C, meskipun mengandung energi tinggi, akan tetapi tidak menyebabkan pertambahan bobot badan (P<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok pakan B. Hal ini disebabkan karena energi dalam pakan bersumber dari karbohidrat dan protein, karena protein dalam pakan jika dimetabolisme di dalam tubuh berfungsi menghasilkan enzim, hormon, komponen struktural, dan protein darah dari sel dan jaringan. Jika konsumsi protein berlebih di dalam tubuh akan dibuang bersamaan dengan urin. Konsumsi lemak dan BETN, pada monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan pakan B enam kali lipat lebih tinggi (P<0,05) dan empat kali lipat lebih tinggi (P<0,05) jika dibandingkan dengan kelompok pakan C. Tingginya konsumsi pada kelompok pakan B, ternyata berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Selama penelitian pada kelompok pakan B bobot badan meningkat tiap empat minggu pengukuran sebanyak 9,7%. Jika dibandingkan dengan formula obes Astuti et al. (2007), monyet ekor panjang mengkonsumsi lemak 4,7g/ekor/hr. Sedangkan pada penelitian ini kelompok pakan B mengkonsumsi lemak empat kali lebih tinggi. Energi pada formula pakan B adalah bersumber dari karbohidrat dan lemak. Lemak merupakan salah satu sumber energi yang disimpan dalam jaringan lemak dengan bentuk trigliserida, di dalam tubuh trigliserida dapat dimobilisasi untuk mensuplai energi dengan bantuan enzim lipase. Oleh karena itu penggunaan lemak tinggi 390

sebagai sumber energi selain karbohidrat diharapkan dapat mendepot lemak tubuh. Konsumsi energi pada kelompok hewan yang mendapat pakan B lebih tinggi (P<0,05) jika dibandingkan dengan monyet ekor panjang yang mendapat pakan A dan C, dan kedua perlakuan tersebut menunjukan tidak terdapat perbedaan konsumsi energi. Pada pakan C energi tinggi pada pakan ternyata tidak menyebabkan penambahan bobot badan selama penelitian. Hal ini disebabkan karena sumber energi berasal dari karbohidrat dan protein yang tinggi. Nilai kalori karbohirat dan protein (5,6 Kal) lebih rendah, jika dibandingkan dengan lemak yaitu 9 Kal (Parakkasi, 1983). Sedangkan pada formula pakan B sumber energi berasal dari karbohidrat dan lemak. Kecernaan Semu Pakan Persentase kecernaan semu monyet ekor panjang di akhir penelitian tidak terdapat perbeda, dengan kisaran kecernaan pada masing-masing MEP yang mendapat perlakuan formula pakan A, B dan pakan C seperti pada Tabel 7. Seluruh data kecernaan semu pakan pada perlakuan A, B dan pakan C menunjukkan angka lebih dari 90%, yang artinya kualitas ransum yang digunakan baik. Menurut McDonald et al. (2002) bahwa, faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah komposisi makanan, faktor hewan, dan faktor pemberian makanan. Dari hasil analisis ANOVA diketahui bahwa kecernaan semu protein kasar A dan B lebih rendah (P<0,05) jika dibandingkan dengan pakan C.

Kajian Pakan Bersumber Energi Tinggi Pada

Kecernaan protein kasar yang nyata lebih rendah pada perlakuan A dan B, disebabkan sumber protein pada formula A dan B (tepung ikan dan bungkil kedelai yang dipanaskan) kurang dapat dicerna pada MEP, jika dibandingkan dengan pakan C, dan juga kosentrasi protein pakan A dan B lebih rendah jika dibandingkan dengan pakan C. PEMBAHASAN Pada penelitian ini kelompok hewan yang mendapat pakan B mengalami peningkatan bobot badan yang nyata sebesar 9,7% selama pengamatan, sedangkan pada monyet ekor panjang kelompok pakan A adalah sebesar 2,1% dan kelompok perlakuan pakan C terjadi penurunan bobot badan sebesar 1,3%. Peningkatan bobot badan ini juga berpengaruh terhadap peningkatan lingkar pinggang, tebal lipatan kulit perut dan IMT (tipe 1). Berdasarkan World Health Organization (1997), IMT yaitu, lebih dari 23,0 berarti kelebihan berat (overweight), 23,0 24,9 berarti pre obesitas, dan 25,0 29,9 berarti obesitas Tipe I. Hasil pengamatan Putra et al. (2006), bahwa MEP di daerah pariwisata menunjukkan rata-rata ukuran IMT 60 (kg/m2) atau masuk dalam obesitas Tipe II, yang disebabkan faktor lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian obesitas pada MEP dapat disebabkan oleh faktor lingkungan. Rata-rata konsumsi energi pada kelompok pakan perlakuan B adalah 376,68 Kal/ekor/hari lebih tinggi, jika dibandingkan dengan kelompok A dan pakan C adalah 305,02 Kal/ekor/hari dan

300,11 Kal/ekor/hari. Konsumsi energi yang tinggi pada kelompok pakan B beriringan dengan adanya konsumsi yang tinggi pada bahan kering, lemak dan BETN. Pada penelitian Bennet et al. (1995) melakukan intragastric feeding dengan kandungan energi pakan 600 1050 Kal/hari pada monyet rhesus (Macaca mulatta) dan hasilnya dapat meningkatkan bobot badan sebanyak 2067% selama 9 tahun, sedangkan pada penelitian ini kelompok pakan B dapat meningkatkan bobot badan sebanyak 9,7% selama penelitian (enam belas minggu). Energi tinggi yang sama pada setiap formula pakan perlakuan, tenyata terdapat perbedaan konsumsi energi (P<0,05) pada kelompok pakan B, hal ini disebabkan penambahan kuning telur yang menyebabkan konsumsi yang lebih tinggi. Dari data kecernaan semu pakan dapat diketahui bahwa pakan yang perlakuan yang digunakan tercerna baik oleh tubuh yang artinya mempunyai kualitas yang baik, sehingga diharapkan penggunaan karbohidrat dan lemak sebagi sumber energi dapat di metabolis oleh tubuh dan disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Parakkasi (1983) menyatakan bahwa daya cerna lemak dipengaruhi oleh faktor panjangnya rantai dari asamasam lemak, berat molekul, asam lemak jenuh atau tidak jenuh, umur hewan, pH dalam usus, dan sumber-sumber protein. Dari nilai kecernaan semu pakan pada kelompok yang mendapat formula pakan A dan B, menunjukkan bahwa daya cerna semu (99%) yang sama baik jika dibandingkan dengan pakan C, yang 391

Oktarina dkk

artinya sumber lemak yang digunakan pada pakan A dan B tercerna baik oleh tubuh. UCAPAN TERIMA KASIH Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat-Institut Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB), atas bantuan pemberian fasilitas hewan penelitian. PT. IndoAnilab dan staff, atas bantuan dan izin penggunaan fasilitas penelitian. DAFTAR PUSTAKA Astuti, DA., IH. Suparto, D. Sajuthi, & IN. Budiarsa. 2007. Nutrient Intake and Digestibility of Cynomolgus Monkey ( Macaca fascicularis ) Fed with Obese Diet Compared to Monkey chow . International Symposium on Food Security Agricultural development and Enviromental Conservation in Southeast and East Asia; Bogor, 4 6 2007. Bogor. Bennet, BT. CR. Abee, & R. Henrickson. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research. Academic Press. Departermen kesehatan RI. 2004. Kecendrungan Masalah Gizi

dan Tantangan di Masa Datang. Jakarta. Hill, JO., & JC. Peters.1996. Enviromental contribution to the obesity epidemic. Science 280:1371-1374 McDonald, P. RA. Edwards, JFD. Greenhalgh, & CA. Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Prentice Hall. London. National Reseacrh Council. 2003. Nutrient Requirement Consumtion of Nonhuman Primate . Ed 2 nd Rev. Washington DC: The National Academic Press. Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik . Bandung: Angkasa. Putra, IGAA., IN. Wandia, IG. Soma, & D. Sajuthi. 2006. Index massa tubuh dan morfometri monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Bali. J vet 7:119 124. [WHO] The World Health Organization. 2005. Prevelence of Obesity. http:/ / w w w. w h o . i n t / m e d i a c e n t r e / factsheets/fs311/en/index.html. [10 September 2007]. [WHO] The World Health Organization. 1997. Obesity: preventing and managing the global epidemic. http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs311/en/index.html.[10 September 2007].

Memasukkan: Januari 2010 Diterima: Mei 2010

392

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 393-403 (2010)

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) di Perairan Pesisir Jawa Barat
Yunizar Ernawati,1 & Mohammad Mukhlis Kamal1
1)Dept. Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-IPB, Jln Lingkar Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680; Telp/Fax. 02518622932, Email: mm_kamal@ipb.ac.id / mohammadmk@yahoo.com ABSTRACT Effect of Exploitation Rate on Reproductive Performance in Goldstripe Sardinella (Sardinella gibbosa) in West Java Coastal Waters. The research objective was to explore the effect of exploitation rate on reproductive performance of goldstripe sardinella (Sardinella gibbosa). Three sites located in West Java coasts were selected representing coastal areas adjacent to the Indian Ocean (Palabuhan Ratu), Java Sea (Blanakan), and Sunda Strait (Labuan), for fish collection during May-July 2009. Fish samples were collected and the length was measured prior to sex determination, observation on gonad morphology as well as gonad maturity determination, examination on fecundity and eggs diameter, and protein content analysis. Estimation on exploitation rate (E) was calculated based on length data performance from which the result was correlated with reproductive parameters including the length at first maturity, fecundity, eggs distribution and diameter, and protein content analysis. By sites basis, variation in E was consistently shown only by eggs protein content in which the lower the E estimation the higher the protein contents. However, in response to E, there were inconsistencies shown by the length at first maturity, fecundity, and eggs diameter. Such inconsistencies are thought to be associated with population structure of matured female, and variability in the habitat conditions which determines the magnitude of fish stock. Key words: Sardinella gibbosa, exploitation rate, reproductive performance

PENDAHULUAN Ikan tembang (Sardinella gibbosa) adalah ikan pelagis kecil yang ditemukan menyebar di perairan Teluk Persia, Afrika Timur termasuk Madagaskar, Indonesia, Taiwan, Korea, Laut Arafura dan Australia bagian utara. Spesies ini hidup bergerombol di perairan pesisir pada kedalaman antara 10-70 m, ditangkap dengan purse seine , seine nets, dan set net (www.fishbase.org; Fischer & Whitehead 1974; Allen 2000).

Jenis ini termasuk ikan ekonomis penting dan merupakan salah satu target tangkapan perikanan artisanal di pesisir Indonesia. Menurut Widodo (1988) dari 52% total tangkapan ikan pelagis di Indonesia, 6,16% adalah ikan tembang. Berdasarkan data Dinas Perikanan Jawa Tengah, Raharjo (1995) melaporkan potensi lestari ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine sebesar 132.240 ton/tahun. Pada tahun 2002, tingkat pemanfaatannya di propinsi 393

Ernawati, & Kamal

sebesar 132.240 ton/tahun. Pada tahun 2002, tingkat pemanfaatannya di propinsi tersebut sudah mencapai 154,96% dari 525.610 ton potensi lestari. Laju eksploitasi ikan pada kondisi tangkap lebih (overfishing) mengakibatkan penurunan biomas tangkapan dan jumlah ikan berukuran besar (King 1997). Dengan demikian, struktur populasi ikan akan didominasi oleh individu berumur muda dan berukuran kecil, yang dapat mereduksi keragaan reproduksi. Hasil penelitian terhadap beragam spesies ikan laut, dari beberapa peneliti (Kjesbu 1989; Chambers & Legget 1996; Chambers & Waiwood 1996; Chambers 1997; Trippel et al. 1997; Trippel 1998; Platten 2004), berhasil membuktikan bahwa tekanan penangkapan menurunkan keragaan reproduksi yang diawali dengan penurunan ukuran ikan memijah pertama kali (length at first spawner). Berikutnya, pada ikan betina, kondisi ini akan menurunkan fekunditas dan ukuran diameter telur, sehingga viabilitas embrio dan larva menjadi rendah, yang puncaknya dapat mengurangi keberhasi-lan rekrutmen ikan di alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keterkaitan laju eksploitasi dengan keragaan reproduksi ikan tembang. Pendekatan yang digunakan adalah eksplorasi langsung dari data panjang dan parameter reproduksi ikan yang tertangkap dari tiga lokasi di pesisir Jawa Barat. BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi penelitian dibagi berdasarkan aktifitas perikanan dan batas perairan 394

pesisir, yakni Teluk Palabuhan Ratu yang berbatasan dengan Samudera Indonesia, Pesisir Blanakan yang berbatasan dengan Pantai Utara Jawa, dan Pantai Labuan yang berbatasan dengan Selat Sunda, selanjutnya disebut sebagai PR, BL, dan LN (Gambar 1). Pengambilan contoh ikan dilakukan di tempat pendaratan ikan (TPI) selama Mei, Juni, dan Juli 2009 dengan interval satu bulan. Pengambilan contoh ikan tembang dilakukan pada pendaratan pagi hari yang diambil secara acak dari setiap bakul. Karena data yang dibutuhkan hanya data panjang ikan, maka semua ikan contoh yang diambil diukur panjang totalnya dengan menggunakan mistar pada ketelitian 0,1 cm. Adapun sampel untuk pengamatan paremater reproduksi di laboratorium langsung disimpan di dalam cool box tanpa pengukuran panjang terlebih dahulu. Sampel ini ditransportasikan ke Bogor untuk disimpan dalam freezer pada suhu -30 o C sebelum dianalisis lebih lanjut. Untuk mengetahui parameter reproduksi dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas, diameter telur, dan kandungan protein telur di laboratorium. Ikan yang disimpan dalam freezer dikeluarkan dan dibiarkan sampai tidak beku sebelum diukur panjang-berat masing-masing dengan ketelitian 0,1 mm dan 0,01 g. Selanjutnya ikan dibedah untuk diamati jenis kelaminnya melalui pengenalan ciri seksual primer, dilanjutkan dengan pengamatan morfologi dan TKG (Effendie (1979). Untuk ikan betina, pengamatan lanjutan dilakukan dengan

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

penghitungan fekunditas dan pengukuran diameter telur. Sebagian telur dikondisikan kembali pada suhu -30 oC untuk dianalisis kadar proteinnya. Penentuan laju eksploitasi (E) berdasarkan data ukuran panjang ikan yang dicatat di lapangan dan di laboratorium. Perhitungan dilakukan dengan bantuan program FISAT II versi 1.2.2 untuk mencari nilai panjang maksimum (Linf), koefisien pertumbuhan (k), dan laju mortalitas total ikan (Z) (Pauly 1984; Sparre & Venema 1999). Dengan memasukkan data suhu perairan (T), laju mortalitas alami (M) diketahui menurut rumus empiris Pauly (1984) yaitu: Log(M) = -0,0066 0,279Log(Linf) + 0,6543(k) + 0,4634(T). Selanjutnya mortalitas akibat penangkapan (F) dihitung sebagai F = Z M, sehingga E = F/Z.

Ukuran ikan pertama kali memijah diduga dengan kurva logistik, yakni 50% dari seluruh ikan yang tertangkap yang ditemukan matang gonad. Fekunditas total (F) ditentukan dengan metode gabungan volumetrik dan gravimetrik. Hubungan F dengan panjang total ikan (L) ditentukan berdasarkan persamaan F = a Lb ; a dan b = konstanta hasil regresi (Effendie, 1979). Penghitungan kadar protein (%) menggunakan persamaan (Simamora 2000):
= (T B) x 0,014 x Normalitas HCl x 6,25 x 100 bobot sampel T = ml tiran, N = 0,030246 N

Data yang diperoleh baik sebagai nilai rataan (statistik parametrik) maupun nilai tengah (non-parametrik) dibandingkan pada selang kepercayaan 95% (Fowler & Cohen, 1997).

Labuan

Blanakan

Pelabuhan Ratu

Gambar 1. Sketsa lokasi pengambilan contoh ikan tembang (S. gibbosa) di Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan.

395

Ernawati, & Kamal

HASIL Komposisi tangkapan ikan tembang Ikan tembang yang terkumpul dari tiga lokasi pengambilan contoh selama penelitian berjumlah 625 ekor, di mana ikan tembang terbesar ditemukan di PR, sedangkan yang terkecil mendominasi hasil tangkapan LB. (Tabel 1). Berdasarkan panjang, ukuran panjang ikan tembang dibagi menjadi 11 kelas dengan interval 8 mm. Jumlah ikan terbanyak terdapat pada kelas ukuran 149-158 mm (BL), diikuti 129-138 mm (PR), dan 119128 mm (LB) (Gambar 2). Secara rerata ikan tembang BL memiliki ukuran terbesar (P<0,05) dibandingkan dengan PR dan LB. Ukuran tangkap ikan tembang PR lebih besar dibandingkan dengan LB (P<0,05). Laju eksploitasi ikan tembang Nilai dugaan laju eksploitasi (E) berkisar antara 0,53-0,64, di mana yang tertinggi adalah LB, diikuti BL dan PR (Tabel 2). Nilai E>0,5 merupakan indikasi dari kondisi tangkap lebih terutama akibat penangkapan, di mana penurunan

populasi paling cepat terjadi di LB. Membandingkan Gambar 2 dengan Tabel 3, meskipun ikan terbesar tertangkap di PR, tetapi menurut jumlah ikan pada kelas ukuran 149-156 mm proporsinya paling tinggi ditemukan di BL, sehingga rerata ukuran terbesar diperoleh di lokasi tersebut. Nilai Linf dan k terhadap E di LB tidak seperti yang diharapkan, yakni E tertinggi berasosiasi dengan L inf terendah dan k tertinggi . Ukuran ikan pertama kali memijah Jumlah ikan yang ber-TKG IV sebanyak 87 ekor (13,9% total sampel), yang terdiri dari 12 dan 10 (PR), 25 dan 15 (BL), dan 17 dan 8 ekor (LB). Pada titik potong 50% ukuran memijah, ukuran jantan adalah 153,5; 157; dan 140 mm, sedangkan betina adalah 163; 165; dan 142,5 mm pada ketiga lokasi tersebut. Ikan tembang betina memijah pada ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan di PR dan BL (P<0,05), sedangkan di LB tidak berbeda nyata. Secara keseluruhan, ukuran ikan memijah pertama kali terbesar di BL, dan terkecil di LB (P<0.05). Meskipun E

Tabel 1. Komposisi tangkapan ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan panjang, berat dan jumlah sampel menurut tempat dan waktu.
Lokasi Palabuhan Ratu P (mm) B (g) N Blanakan P (mm) B (g) N Labuan P (mm) B (g) N Bulan pengambilan contoh pada tahun 2009 Mei Juni Juli 137,81 8,73 155,61 15,33 n.a 24,78 4,68 33,59 9,78 n.a 151 56 n.a 165,66 9,13 158,20 9,37 154,77 6,65 43,48 7,38 38,68 6,81 35,62 4,60 60 78 44 151,09 5,70 130,91 9,21 120,75 5,52 20,78 4,49 15,49 2,37 30,94 3,99 78 81 77 Total 142,63 13,45 27,16 7,54 207 158,53 9,26 38,53 6,83 182 134,01 14,42 22,28 7,40 236

396

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

Tabel 2. Nilai dugaan parameter L (per tahun), k (per tahun), M, Z, F, dan E populasi ikan tembang (S. gibbosa) di Teluk Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL) dan Labuan (LB).
Lokasi PR BL LB

70 60 50 40 30 20 10 0 70 60 50 40 30 20 10 0 70 60 50 40 30 20 10 0 N=207 PR

Linf 203,18 192,68 203,18

k 0.97 1.10 0.60

M 1,97 2,15 1,44

Z 4,20 4,99 3,95

F 2,23 2,83 2,51

E 0,53 0,57 0,64

N=182

BL

Jumlah ikan

N=236

LB

Gambar 2. Distribusi ukuran ikan tembang (S. gibbosa) di setiap lokasi penelitian

100 Palabuhan Ratu Blanakan Labuan

75

50

Proporsi kematangan (%)

25

0 100

75

50

25

Panjang total (mm)

Gambar 3. Ukuran pertama kali memijah pada ikan tembang (S. gibbosa).

8 15 2 15 6 16 0 16 4 16 8 17 2 17 6 18 0 18 4 18 8 19 2 19 6 20 0

12

12

12

13

13

14

14

14

10 911 11 6 712 12 4 513 13 2 314 14 0 114 14 8 915 15 6 716 16 4 517 17 2 318 18 0 118 18 8 919 6

Kelas ukuran panjang (mm)

jantan

betina
0

397

Ernawati, & Kamal

lebih rendah, namun ikan di PR memijah lebih cepat dibandingkan dengan BL yang E nya lebih tinggi (0,53 : 0,57). Fekunditas ikan tembang Fekunditas total ikan tembang (S. gibbosa ) secara keseluruhan antara 10.872-149.853 butir. Median fekunditas tertinggi ditemukan di BL yaitu 63.261 butir pada panjang rata-rata 165 mm. Sedangkan median fekunditas rata-rata terendah terdapat di PR, meskipun sebaran nilai maksimum dan minimum lebih luas dibandingkan LB (Gambar 4). Hasil konsisten diperoleh di BL, yakni ukuran memijah terbesar berasosiasi dengan fekunditas tertinggi (P<0,05). Tidak ada hubungan antara panjang dengan fekunditas ikan (R 2 < 20%).

0.55 0.50

Meskipun ukuran panjang total berbeda satu sama lain (P<0,05), namun fekunditas ikan PR dan LB tidak berbeda nyata. Diameter telur Jumlah butir telur yang diukur diameternya berjumlah 8.700 terdiri dari 2.200 (diameter 0,40 0,12 mm), 4.000 (0,36 0,10), dan 2.500 (0,36 0,11 mm) (Gambar 5)dari lokasi PR, BL, dan LB. Morfologi telur ikan tembang secara umum berbentuk bulat. Sebaran diameter telur memperlihatkan bahwa telur ikan tembang di PR lebih besar dibandingkan lokasi lainnya (P<0,05). Ukuran diameter telur ikan antara BL dan LB tidak berbeda nyata. Lokasi PR dengan E terkecil dan memiliki ukuran

Diameter telur (mm)

0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 Palabuhan Ratu Blanakan Labuan

Lokasi pengambilan contoh

Gambar 5. Distribusi ukuran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa).

200 180 160 1.6e+5 1.4e+5 1.2e+5 140 120 100 80 60 4.0e+4 40 20 0 Palabuhan Ratu Blanakan Labuan 2.0e+4 0.0 1.0e+5 8.0e+4 6.0e+4

Lokasi pengambilan contoh

Gambar 4. Panjang total (histogram) dan fekunditas (box plot) ikan tembang (S. gibbosa).

398

Fekunditas total (butir)

Panjang total (mm)

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

ikan terbesar, diameter telur nya terbesar. Kandungan protein telur Secara rerata, kandungan protein telur ikan tembang tertinggi ditemukan di PR (24,88%), disusul BL (22,54%), dan LB (20,79%), yang mana PR berbeda nyata dengan LB (P<0,05) (Gambar 6). Meskipun perbedaan konsentrasi tersebut satu sama lain tidak berbeda nyata, namun ikan tembang PR dengan E terkecil dan diamater telur terbesar cenderung mengandung protein telur yang lebih banyak. PEMBAHASAN Eksplorasi analisis terhadap data panjang ikan tembang diperoleh nilai kisaran E antara 0,53 0.64. Dengan menggunakan E sebagai proxy tingkat pemanfaatan terhadap stok unit ikan tembang di tiga lokasi, respon dari keragaan reproduksi ikan tersebut ditemukan konsisten pada prosentase kandungan protein telur. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler, 1992; Riis-Vestergaard 2002).

35 30

Parameter reproduksi lainnya yaitu ukuran pertama kali memijah, fekunditas, dan diamater telur memperlihatkan respon yang variatif antar lokasi terhadap E. Gejala penurunan ukuran pertama kali memijah merupakan respon yang biasa ditemukan di perairan dengan intensitas penangkapan yang tinggi. Hal ini dikarenakan eksploitasi akan menghilangkan terlebih dahulu ikan-ikan yang berukuran lebih besar dan berumur lebih tua (King 1997; Oddone et al. 2005; Cubillos et al. 2008). Meskipun E tertinggi di LB direspon dengan baik oleh ukuran pertama kali memijah yang terkecil, namun hasil yang berlawanan ditemukan antara PR dengan di BL. Demikian pula halnya fekunditas tertinggi tidak ditemukan di PR melainkan di BL. Sebaliknya untuk diameter telur, laju eksploitasi terendah di PR direspon dengan ukuran diameter telur terbesar, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara BL dan LB. Menurut Platten (2004), diameter telur yang lebih kecil ditemukan pada populasi ikan betina di daerah penangkapan yang intensif. Ukuran telur dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur (Effendie 1979), yaitu yang berukuran besar

Kandungan protein (%)

25

20

15

10

Palabuhan Ratu

Blanakan

Labuan

Lokasi pengambilan contoh

Gambar 6. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) pada 3 lokasi penelitian

399

Ernawati, & Kamal

mempunyai kualitas yang lebih baik dan akan menghasilkan larva yang berukuran lebih besar daripada telur yang berukuran kecil (Kjesbu 1989; Chambers & Waiwood 1996; Chambers 1997; Trippel et al. 1997; Trippel 1998; Platten 2004), sehingga dapat menentukan sintasan larva dan keberhasilan rekrutmen. Adanya inkonsistensi antara laju eksploitasi dengan data keragaan reproduktif pada ikan tembang dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh ukuran dan frekuensi pemijahan induk ikan. Banyak peneliti (Kjesbu 1989; Chambers & Waiwood 1996; Chambers 1997; Trippel et al . 1997; Trippel 1998; Platten 2004) memperoleh bukti berdasarkan eksperimen laboratorium bahwa fekunditas dan ukuran diameter telur bergantung kepada kualitas dan frekuensi pemijahan dari induk betina. Induk yang berumur tua dan berukuran besar memiliki fekunditas yang lebih tinggi, diameter telur yang lebih besar, dan kandungan protein yang lebih tinggi. Kemudian induk yang telah memiliki pengalaman memijah sebelumnya (repeated spawner) akan memperlihatkan superioritasnya terhadap induk yang baru pertama kali memijah (first spawner). Contoh terbaru dari Vandeperre & Methven (2006), pada ikan cod (Gadus morhua ) memperkuat buktibukti tersebut. Pada penelitian ini yang berbasis kepada data dan informasi di lapangan tidak dapat membedakan apakah induk tersebut sudah pernah memijah sebelumnya atau untuk yang pertama kali. Hal ini sulit dilakukan karena ikan tembang ( S. gibbosa ) 400

termasuk ikan yang berukuran kecil dengan panjang maksimum antara 17-19 cm. Faktor eksternal penyebab inkonsistensi antara E dengan respon keragaan reproduktif adalah variasi kondisi habitat yang berimplikasi perbedaan besaran stok ikan tembang dan aktifitas perikanan tembang. Berdasarkan data statistik perikanan di tiga lokasi selama 5-10 tahun, produksi tangkapan PR, BL, dan LB dalam ton/tahun adalah 218,6589,90 (tahun 1996-2005), 4560,461075,49 (tahun 2002-2006), dan 2062,82472,18 (tahun 2001-2005) ton/tahun. Informasi ini meng-gambarkan adanya perbedaan dalam kegiatan perikanan tembang di ketiga lokasi tersebut, di mana hasil tangkapan tertinggi terjadi di BL, sedangkan terendah di PR. Perairan BL merupakan perairan tipikal pantai utara Jawa yang dangkal dengan kedalaman rata-rata 20 m, memiliki hutan mangrove binaan yang terpelihara. Sebagai contoh, hasil-hasil penelitian sebelumnya (Martosubroto & Sudrajat 1974; Manson et al . 2005) menyimpulkan bahwa ekosistem mangrove sangat penting peranannya dalam menyumbang produksi tangkapan ikan di wilayah pesisir, baik perikanan demersal maupun pelagis. Luasan perairan dangkal dan kondisi mangrove di PR dan LB tidak seluas dan sebaik BL, sehingga dapat diduga bahwa habitat dan produktivitas baik secara kuantitas maupun kualitas di BL lebih baik dibanding PR dan LB. Dengan demikian dapat diduga bahwa populasi ikan tembang di perairan Blanakan tertinggi daripada lokasi lainnya.

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

KESIMPULAN Hubungan antara laju eksploitasi dengan keragaan reproduktif ikan tembang hanya secara direspon oleh kandungan prosentase protein telur, yakni kandungan protein tertinggi berasosiasi dengan tingkat eksploitasi terendah. Parameter reproduksi lainnya yaitu ukuran memijah pertama kali, fekunditas, dan diameter telur berfluktuatif dan tidak konsisten dengan pola E. Inkonsistensi tersebut diduga tidak dilakukannya pemisahan antara individu betina pemijah pertama dengan pemijah ulangan, serta dipengaruhi oleh kondisi habitat dan besaran stok. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan terimakasih kepada Dilmaga Hari, S.Pi., Muhamad Anhar, Rikky J Simanjutak, S.Pi, dan Alsade Sihotang yang mengumpulkan sampel ikan tembang dari ketiga lokasi, proses analisis di laboratorium, dan mengolah sebagian data penelitian. DAFTAR PUSTAKA ABL Tour & Travel. 2010. Map of West Java; www.com/jabar/map.htm. Allen, G.A. 2000. A field guide for anglers and divers: marine fishes of south-east Asia . Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Chambers, R.C. 1997. Environmental influences on egg and propagule size in marine fishes. Dalam : Chambers, R.C. & E.A. Trippel (eds.). Early Life History and

Recruitment in Fish Populations. Fish and Fisheries Series 21. Chapman & Hall, London, UK. 63-102. Chambers, R.C. & K.G. Waiwood. 1996. Maternal and seasonal differences in egg size and spawning characteristics of captive Atlantic cod, Gadus morhua L. Canadian J.Fish.Aqua. Sci. 53: 1986-2003. Chambers, R.C. & W.C. Leggett. 1996. Maternal influences on variation in egg sizes in temperate marine fishes. J. Fish Bio. 36: 180 196. Cubillos, L., C. Gatica & R. Serra. 2008. Short review of natural mortality and size at first maturity on jack mackerel (Trachurus murphyi) in the Southeastern Pacific. Chilean Jack Mackerel Workshop. CHJMWS pap # 14. Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri; Bogor. 111h. Fischer, W, & P.J.P. Whitehead. 1974. FAO species identification sheets for fishery purposes. Eastern Indian Ocean (fishing area 57) and West Central Pacific (fishing area 71). Vol.3. Rome, Italy. Fowler, J. & L. Cohen. 1997. Practical statistics for field biology. John Wiley & Sons Inc. Chichester, New York, Brisbane, Toronto Singapore. Kamler, E. 1992. Early life history of fish: An energetic approach. Chapman & Hall, London. King, M. 1997. Fisheries biology, assessment and management. 401

Ernawati, & Kamal

Fishing News Book, Blackwell Science Inc. USA, Canada, and Australia. Kjesbu, O.S. 1989. The spawning activity of cod, Gadus morhua L. J. Fish Biol. 34: 195-206. Manson, F.J., N.R. Loneragan, B.D. Harch, G.A. Skilleter & L. Williams. 2005. A broad-scale analysis of links between coastal fisheries production and mangrove extent: A case study for northeastern Australia. Fish. Res. 74: 69-85. Martosubroto, P. & Sudrajat. 1974. A study on some ecological aspect and fisheries of Segara Anakan in Indonesia. Publ. of Fisheries Research Institution. LPPL, 1/73: 73-84. Oddone, M.C., L. Paesch & W. Norbis. 2005. Size at first sexual maturity of two species of rajoid skates, genera Atlantoraja and Dipturus (Pisces, Elasmobranchii, Rajidae) from the south-western Atlantic Ocean. J. App. Ichth. 21(1): 7072. Pauly, D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculators . ICLARM. Manila. Filipina. Pauly, D. & R. Froese. 2010. Species summary; www.fishbase.org/ Summary/ speciesSummary.php? ID=1 508&genusname= Sardinella &speciesname=gibbosa& lang=English. Platten, J.R. 2004. The Reproduction, Growth, Feeding and Impacts of 402

Exploitation of the Venus Tuskfish (Choerodon venustus) With some implications for its management. [PhD Thesis]. Queensland: University of Queensland. Raharjo, R. 1995. Analisis Hasil Tangkap dan Musim Penangkapan ikan tembang (S. fimbriata) di Pantai Utara Jawa Teangah yang didaratkan di PPI Juwana. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Riis-Vestergaard, J. 2002. Energy density of marine pelagic fish eggs. J. Fish Biol. 60: 1511-1528. Simamora, D. 2000. Kajian morfologi, perilaku, habitat dan analisis proksimat anjing tanah (Gryllotalpa sp.) dari Balige Sumatera Utara [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm. Sparre, P. & S.C. Venema. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan BangsaBangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Trippel, E.A., O.S. Kjesbu & P. Solemdal. 1997. Effect of adult age and size structure on reproductive output in marine fishes. Dalam Chambers, R.C. & E.A. Trippel (eds.). Early Life History and Recruitment in Fish Populations. Fish and Fisheries Series 21. Chapman & Hall, London, UK. 31-62. Trippel, E.A. 1998. Egg size and viability and seasonal offspring production

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif

of young Atlantic cod. Trans. Amer. Fish. Soc. 127: 339-359. Vandeperre, F. & D.A. Methven. 2006. Do bigger fish arrive and spawn at the spawning ground before smaller fish: Cod ( Gadus morhua ) predation on beach sapwning capelin (Malotus villosus) from coastal Newfoundland. Estu. Coas. Shelf Sci. 71: 391-400.

Widodo, J. 1988. Dynamic pool analysis of the ikan layang (Decapterus sp.) fishery in the Java Sea. Mar. Fish. Res.J. 48: 67-78.

Memasukkan: Januari 2010 Diterima: Mei 2010

403

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 405-414 (2010)

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop
Dwi Astuti & Hellen Kurniati Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya JakartaBogor KM 46, Cibinong. Email: wiek002@yahoo.com
ABSTRACT Genetic Diversity of Amphibia (Rana nicobariensis) at Ecology Park, Cibinong Based on DNA Sequences of Mitochomndrial d-Loop. The 397- base pairs from ten nucleotide sequences of mitochondrial d-loop region were determined and analyzed in object to study the genetic diversity of frog Rana nicobariensis at Ecology Park, Cibinong, West Java. There were six haplotypes from 10 individuals collected from Ecology Park. Haplotype and nucleotide or amino acid diversities in Ecology Park were 0.964 and 0.0064 respectively. Key words: Genetic diversity, Rana nicobariensis, Ecology Park Cibinong, DNA sequences, mitochondrial-d-loop

PENDAHULUAN R. nicobariensis adalah jenis kodok yang distribusinya sangat luas di Asia Tenggara yaitu mulai dari Thailand bagian selatan, Semenanjung Malaysia, Kepulauan Nicobar, Filipina, Sumatra, Kalimantan dan Jawa (IUCN 2009). Jenis kodok ini termasuk dalam kelompok jenis non-hutan, yang banyak dijumpai pada hasil modifikasi manusia (Inger & Lian 1996; Inger & Stuebing 1996). Areal Ecology Park di Cibinong merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibuat pada tahun 2000. Habitat ini telah dihuni 11 jenis kodok yang termasuk dalam kelompok non-hutan (Kurniati & Astuti 2009). Melihat ekosistem lahan basah di areal Ecology Park yang masih relatif baru, maka ada kemungkinan bahwa fauna amfibia yang ada di area ini berasal dari berbagai

populasi di sekitarnya atau dari lokasi lain. Dari 11 jenis kodok yang dijumpai di Ecologi Park, salah satunya, yaitu R. nicobariensis mempunyai distribusi vertikal yang luas, mulai dari 0 meter sampai 1500 meter dari permukaan laut (dpl) (Kurniati et al. 2000; Kurniati 2006), dan merupakan satu dari jenis kodok yang mendominasi di area tersebut dan belum pernah dikaji keragaman genetiknya. Kajian keragaman genetik sudah banyak dilakukan dengan menggunakan penanda dari DNA mitokondria. Maka, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genetik di antara individu-individu R. nicobariensis pada Ecology Park berdasarkan penanda molekuler genom mitokondria ruas d-loop. Dalam penelitian ini juga dianalisis individu-individu R. nicobariensis dari Halimun dan Sibolga sebagai pembanding.

405

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

DNA mitokondria (mtDNA) memiliki nilai penting dalam berbagai kajian keragaman genetik. Total panjang dari mtDNA telah dideterminasi pada 56 jenis hewan vertebrata (Boore 1999) dan berukuran mulai dari 16 hingga 20 kbp (kilo base pairs), tetapi kadang-kadang berukuran 15 hingga 21 kbp (Sano et al. 2005). mtDNA ini berbentuk lingkaran dan terdiri dari 37 gen 2 rRNAs, 13 gen pengkode protein, 22 tRNAs, dan daerah non-coding yang biasa disebut Control Region atau d-loop yang mengandung sinyal untuk replikasi dan transkripsi DNA (Wolstenholme 1992). Pada kelompok hewan amfibia, telah dipublikasikan sekuen utuh dari mtDNA pada jenis-jenis Xenopus laevis (Roe et al . 1985), Typholonectes natans (Zardoya & Meyer 2000), dan enam jenis ranoid (Ranoidae): R. Nigromacu-lata (Sumida et al. 2001), Fejervarya limnochairs (Liu et al. 2005), Buergeria buergeri (Sano et al. 2004), Rhacophorus schegelii (Sano et al. 2005) dan Polypedates megacephalus (Zhang et al. 2005). Sedangkan secara parsial, fragmen DNA d-loop pada beberapa jenis dari amfibia dari Ranoidae (e.g. Feller & Hedges 1998; Sumida et al. 2000; Macey et al. 2001) juga telah dipublikasikan. D-loop sangat potensi digunakan untuk mengkaji variasi, keragaman dan struktur genetik populasi pada satu jenis hewan. D-loop di dalam mtDNA merupakan bagian yang memiliki kecepatan evolusi tinggi (Brown 1985), juga memilki fragmen pendek yang konservatif (Clayton 1992). Pada beberapa kelompok hewan, daerah noncoding dari mitokondrial DNA juga 406

disebut sebagai suatu control region atau diplacement loop (d-loop) region dan dapat menjadi suatu marka genetik di dalam pengungkapan struktur genetika populasi dan filogeni intraspecies (Hoelzel 1993; Pollock et al.2000; Bruford et al. 2003; Ross et al. 2003) BAHAN DAN CARA KERJA Koleksi material sumber DNA . Sepuluh material DNA dikoleksi dari 10 individu R. nicobariensis dilakukan di areal Ecology Park Cibinong (Gambar 1) selama lima kali survei. Sebagai pembanding dianalisis juga material DNA yang dikoleksi dari Halimun Jawa Barat dan Sibolga, Sumatra Utara sebanyak 7 sampel. Analisis DNA mitokondria d-loop Material DNA diekstrasi dari koleksi jaringan dan daging yang dipreservasi dalam ethanol absolute , dengan menggunakan DNA Mini QIAGEN KIT. Metode ekstraksi yang dipakai mengikuti standar protokol yang dianjurkan QIAGEN KIT dengan sedikit modifikasi pada tahap inkubasi-2 yaitu dengan suhu 56 C, dan tahap pencucian dengan larutan AW2. Molekul DNA yang diperoleh disimpan dalam freezer atau refrigerator dan selanjutnya digunakan sebagai template dalam proses amplifikasi fragmen d-loop memalui PCR. Amplifikasi fragmen DNA pada daerah d-loop dilakukan dengan menggunakan sepasang primer DNA, yaitu 327-L dan 885-H (Jing Zhong et al., 2008), pada kondisi PCR 96 C-4

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel material sumber DNA R. nicobariensis menit, 30 siklus dari (94 C-1 menit , 50 C- 1 menit, 72 C- 1, 5 menit), dan 72 C-7 menit. Larutan reaksi PCR dibuat dalam 30 L dengan komponen dan konsentrasi akhir terdiri dari 1 L DNA, 10X Taq Buffer, 0,2 mM dNTPs, 2 mM MgCl2, 0,1 U Taq DNA Polimerase (ApliTaqGold/Takara), primer 327-L dan 885-H masing-masing 0,25 mM, dan air nanopure . Fragmen d-loop yang berhasil diamplifikasi, kemudian dimurnikan dan disekuen runutan basa nukleotidanya. Sekuensing dilakukan dua arah (Forward dan Reverse), masing-masing dengan menggunakan primer 327-L dan 885-H. Urutan basa pada daerah d-loop hasil dari proses sekuensing, kemudian dianalisis alignment (saling disejajarkan) dengan bantuan perangkat lunak ProSequen. Oleh karena proses sekuensing tidak berhasil mensekuen semua basa nukleotida dengan jelas, maka bagian data sekuen DNA yang tidak jelas tidak digunakan dalam analisis berikutnya. Sehingga jumlah basa nukleotida yang dianalisis untuk mengetahui keragaman genetik diantara individu-individu R. nicobariensis hanya sepanjang 395 pasang basa. Analisis data sekuen juga dilakukan untuk mengetahui beberapa karakter urutan basa nukleotida pada d-loop Rana yang dianalisis, diantaranya adalah menghitung komposisi basa . Data dan hasil analisis jarak genetik dan sekuen divergensi, variasi sekuen, dan nilai diversitas nucleotida atau asam amino (pi () berdasarkan Tajimas Neutrality Test diantara individu-individu R. nicobariensis baik di dalam maupun diantara populasi diperoleh dengan bantuan perangkat lunak MEGA 3. Tipe, jumlah, nilai diversitas haplotipe (Hd) dihitung dengan bantuan perangkat lunak DNAsp. Untuk mengetahui pengelompokan dan kedekatan diantara individuindividu R. nicobariensis , maka dikonstruksi pohon neigborn-joining (NJ) dengan bantuan perangkat lunak MEGA-3, dan 2 individu Rana nigromaculata (GenBank AY612275

407

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

dan AY612276) digunakan sebagai spesies outgroup. HASIL Amplifikasi fragmen d-loop dengan menggunakan sepasang primer 327-L dan 885-H tidak mudah dilakukan pada R. nicobariensis. Namun demikian pada 17 individu, d-loop dapat diamplifikasi dan menghasilkan fragmen DNA diatas atau sekitar 500 bp. Pada awalnya, primer ini dipilih karena pada publikasi sebelumnya ( Zhong Jing et al. 2008) fragmen d-loop yang dihasilkan menunjukkan adanya variasi sekuen DNA yang tinggi diantara individuindividu maupun populasi pada marga Fejervarian . Pada penelitian ini data sekuen DNA d-loop dari spesies ingroup yang akan dianalisis adalah sepanjang 395-bp, sedangkan data sekuen dari spesies outgroup pada posisi yang sama hanya ada sepanjang 377-bp. Semua data sekuen dari spesies ingroup ketika disejajarkan dengan data sekuen spesies outgroup , terdapat 2 basa yang mengalami delesi sehingga panjang situs spesies ingroup menjadi 397-bp. Jadi panjang situs sekuen dari spesies ingroup lebih panjang 20 situs dari spesies outgroup. Oleh karena itu untuk mengkonstruksi pohon filogeni dengan analisis NJ, maka data sekuen yang digunakan hanya sepanjang 375-bp (377 situs). Sedangkan untuk analisis variasi genetik diantara R. nicobariensis digunakan data sekuen sepanjang 395bp (397 situs).

Hasil analisis data sekuen d-loop sepanjang 395-bp pada semua individu R.nicobariensis yang diteliti, menunjukkan bahwa presentase basa timin (T) = 27,7 %, sitosin (C) = 26,2 %, adenin (A) = 33,9 %, dan guanin (G) = 12 %. Jadi timin + adenin (AT) sebesar 61, 6 % dan sitosin + guanin (GC) = 38,4 %. Dari komposisi tersebut menunjukkan bahwa komposisi AT jauh lebih banyak dari GC, dengan kata lain sekuen d-loop pada Rana ini adalah AT-rich. Substitusi basa yang bersifat transversi (ts = 6) terjadi lebih banyak dibandingkan yang bersifat transisi (ti =4), sehingga rasio ti/tv adalah 0,7. Rata-rata jarak genetik berdasarkan Kimura 2-parameter diantara individu pada populasi Ecology Park adalah 0.0065 0.0025, sedangkan pada analisis lain yang diambil dari Halimun 0.0106 0.0036 dan 0.0068 0.0031 pada Sibolga. Sementara rata-rata jarak genetik antara populasi Ecology Park Halimun adalah 0.0170 0.0064, Ecology ParkSibolga adalah 0.0212 0.0065, dan Halimun-.Sibolga adalah 0.0241 0.0066. Jadi, divergensi sekuen berdasarkan pada Ecology Park adalah 0.65 %, dan secara berturut-turut pada Halimun dan Sibolga adalah 1,06 % dan 164. 0,68 %. Hoplotipe dalam populasi R. nicobariensis. Sekuen DNA sepanjang 395-bp (397 situs) dari tiap individu R. nicobariensis pada Ecology Park Cibinong dan juga dari Kawasan Gn. Halimun, dan Sibolga yang dianalisis memperlihatkan adanya sejumlah haplotipe. Dari 17 individu yang dianalisis terdapat 13 haplotipe, 6

408

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

haplotipe diantaranya dijumpai pada 10 individu yang terdapat pada Ecology Park. Enam tipe haplotipe pada Ecology Park terdiri dari Hap-1 (1 individu), Hap2R (2 individu), Hap-3R (3 individu), Hap-4R (1 individu), Hap-5R (1 individu), dan Hap-6R (2 individu). Sedangkan tipe haplotipe lainnya terdapat pada sampel yang berasal dari Halimun dan Sibolga. Jumlah dan tipe haplotipe dari R. nicobariensis digambarkan pada Tabel 1. Dari analisis data sekuen DNA yang diperlihatkan pada Tabel 1 terlihat bahwa, di dalam sekuen DNA d-loop sepanjang 395-bp (397 situs) pada R. nicobariensis dari populasi Ecology Park , terjadi substitusi basa pada 6 situs sekuen, yaitu berturut-turut situs nomer 51, 58, 225, 244, 359, dan 379.

Nilai diversitas haplotipe R. nicobariensis pada Ecology Park adalah 0,889 sedangkan pada Halimun dan Sibolga secara berturut-turut adalah 1,000, dan 1,000, dan semua 3 populasi adalah 0,971. Nilai diversitas nucleotida atau asam amino (pi () pada populasi di Ecology Park berdasarkan Tajimas Neutrality Test sebesar 0,0058 , sedangkan di Halimun dan Sibolga adalah 0.0093 dan 0.0067, dan pada 3 populasi adalah 0.0144. Homogeinity test diantara individu-individu pada Ecology Park menghasilkan nilai yang bervariasi dari 0,1010 hingga 1,0000, dimana nilai 1,000 berjumlah 26 dari 45 pasangan data sekuen yang ada, sedangkan pada Halimun 0,3200-1,0000, dan 1,000 pada Sibolga.

Table 1. Haplotipe dari 17 individu R. nicobariensis pada 3 lokasi berbeda, yaitu Ecology Park(EPn), Taman Nasional Gunung Halimun (Hal) dan Sibolga (Sib).
Kode sampel jaringan EPn1 EPn2 EPn3 EPn4 EPn5 EPn7 EPn8 EPn11 EPn12 EPn6 Hal5 Hal2 Hal3 Hal7 Sib2 Sib4 Sib6 2 2 A . . . . . . . . . G G G G G G G 34 51 5 8 C T . T . T T T T . T T T T T T T 10 1 A . . . . . . . . . C . . . C . . Posisi basa nukleotida 1 1 1 2 2 2 3 4 7 2 2 4 3 4 3 5 6 4 T T C T A A . . . . . T . . . . . T . . . . . T . . . . . T . . . . . . . . . C . T . . . . . T . . . . . T . . . . . T . C G . . . . C G . . T . C G . . T . C . . . T A . . C T T A . . C T T A . . C T T 2 8 2 C . . . . . . . . . . . . T T T T 3 33 1 0 4 A G . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . G A G . G . . . . . . . 3 5 9 C . . . . A A A A . . . . . A A . 3 7 9 C T T T T T T T T T T T T T . T T Kode haplotipe (Hap) Hap-1R Hap-2R Hap-3R Hap-2R Hap-3R Hap-4R Hap-5R Hap-6R Hap-6R Hap-3R Hap-7R Hap-8R Hap-9R Hap-10R Hap-11R Hap-12R Hap-13R

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

A . . . . . . . . . . . C C . C C

G . . . . C . C C . . . . . C C C

409

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

Analisis neighbor-joining (NJ) Analisis NJ dilakukan untuk mengetahui pengelompokan dari individuindividu R. nicobariensis yang diteliti. Pohon NJ dikonstruksi berdasarkan analisis seluruh jumlah substitusi basa yang terjadi baik yang bersifat transisi dan transversi, dan menggunakan R. nigromaculata sebagi spesies outgroup (Gambar 2). Pada pohon NJ terlihat bahwa semua individu dari Ecology Park membentuk kluster tersendiri, memisah dari individu-individu yang dari Halimun maupun Sibolga. PEMBAHASAN Haplotipe sebanyak 6 tipe dengan nilai diversitas haplotipe dan diversitas

nukleotida yang terjadi di dalam populasi R. nicobariensis pada Ecology Park Cibinong menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik diantara individuindividu yang diteliti. Hal ini dikarenakan oleh sifat sekuen DNA pada daerah mitokondria d-loop yang sudah diketahui memiliki kecepatan substitusi basa DNA yang sangat cepat, sehingga sangat mungkin terjadi variasi genetik di antara individu-individu R. nicobarien-sis . Seperti yang telah dikatakan oleh Brown (1985) bahwa d-loop di dalam mtDNA merupakan bagian yang memiliki kecepatan evolusi tinggi. Gambaran keragaman genetik ini juga dapat diasumsikan bahwa individuindividu pada populasi Ecology Park

49 61 46 C

R. nicobariensis EPn5 R. nicobariensis EPn6 R. nicobariensis EPn3 R. nicobariensis EPn1 R. nicobariensis EPn2 R. nicobariensis EPn4 R. nicobariensis EPn12 R. nicobariensis EPn8 R. nicobariensis EPn11 R. nicobariensis EPn7 R. nicobariensis Hal5 R. nicobariensis Hal7 R. nicobariensis Hal12

43 83

EcologyPark,Cibinong JawaBarat

42 53 63

Halimun,Jawa Barat

R. nicobariensis Hal3

R. nicobariensis Sib2
51 43

R. nicobariensis Sib4 R. nicobariensis Sib6


100

Sibolga,Sumatera

R. nigromaculata R. nigromaculata

Spesiesoutgroup

0,01

Gambar 2. Pohon neigbor-joining (NJ) dari individu-individu R. nicobariensis berdasarkan analisis 375-bp (377 situs) pada DNA mitokondria d-loop. Angka-angka yang tertera di atas menunjukkan nilai bootstrap diatas 40 % .

410

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

tersebut kemungkinan berasal dari beberapa induk yang berbeda. Individuindividu tersebut mungkin berasal dari induk-induk yang berbeda baik pada populasi yang sama di daerah asalnya, atau berasal dari induk-induk pada populasi yang berbeda pada daerah asal yang sama, ataupun berasal dari indukinduk pada populasi di daeral asal yang berbeda. Seperti diketahui bahwa Ecology Park merupakan ekosistem bentukan baru dimana kemungkinan keragaman jenis fauna termasuk amfibia kodok R. nicobariensis jumlah individunya relatif sedikit dibandingkan pada lokasi atau ekosistem lain yang sudah lama terbentuk, bahkan sepanjang surve pengambilan sampel di Ecology Park tidak dijumpai kodok betina maupun telur kodok. Maka kemungkinannya, dugaan adanya keragaman genetik maupun adanya haplotipe-haplotipe DNA diantara individu-individu kodok yang diteliti, dikarenakan sebagian atau seluruh individu-individu kodok tersebut awalnya bukan penghuni asli di Ecology Park, namun berasal dari lokasi lain baik lokasi atau ekosistem disekitar Ecology Park maupun dari lokasi atau ekosistem yang lebih jauh. Menurut Inger & Voris (1993), penyebaran individu kodok yang biasanya dalam bentuk berudu dipengaruhi oleh koneksi habitat; hutan dengan keragaman jenis yang tinggi akan membagi kekayaan jenis kodok tersebut kepada habitat lain dalam proses pemulihan apabila ada koneksi berupa parit-parit atau sungai-sungai yang menghubungkannya. Berudu-berudu

yang penyebarannya secara pasif karena terbawa oleh air atau banjir akan bertahan hidup pada habitat yang cocok bagi bentukan dewasanya (Cushman 2006). Melihat fenomena ini, kemungkinan besar individu-individu kodok R. nicobariensis datang ke Ecology Park masih dalam fase berudu dan kemudian tumbuh menjadi kodok dewasa di areal Ecology Park. Seperti diketahui bahwa anak kodok yang masih dalam fase berudu hidup di dalam air, sehingga aliran air sungai atau air hujan banjir, sangat memungkinkan membawa berudu kodok menuju Ecology Park. Jika fenomena itu benar, maka ada prospek baik untuk konservasi fauna khususnya amfibia R. nicobariensis di Ecology Park, karena kemungkinan terjadinya inbreeding masih relatif kecil. Namun diketahui bahwa selama surve lapangan, di Ecology Park hanya dijumpai kodok-kodok jantan. Jadi untuk meningkatkan populasi kodok R. nicobariensis di Ecology Park juga perlu dilakukan introduce induk betina sehingga kodok-kodok jantan dan betina dapat melakukan proses perkembang biakan. Meskipun terjadi haplotipe sebanyak 6 pada 10 individu R. nicobariensis yang diteliti, namun nilai diversitas nukleotida atau asam amino (pi () pada populasi di Ecology Park dan juga pada kesemua 3 populasi (Ecology Park, Halimun, dan Sibolga) relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai diversitas pada populasi dan spesies kodok lain (Fejervarya multistriata). Penelitian sebelumnya dengan menggunakan primer DNA yang sama dan pada posisi 411

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

fragmen DNA yang sama, diversitas nucleotida diantara individu pada satu populasi jenis Fejervarya multistriata adalah 0,000 0,0130 dan 0,017 pada semua populasi (Zhong et al. 2008), dan nilai diversitas haplotipenya sebesar 0,969 untuk semua populasi dan bervariasi dari 0,0000 hingga 1,000 di dalam populasi. Ini menunjukkan bahwa keragaman genetik di antara individu-individu R. nicobariensis pada Ecology Park relatif lebih kecil dibandingkan keragaman genetik pada spesies kodok lain berdasarkan segmen DNA yang sama pada DNA mitokondria d-loop. Jarak genetik atau nilai divergensi sekuen DNA diantara individu R. nicobariensis pada ekology park relatif lebih kecil dibandingkan dengan populasi maupun spesies lain. Pada amfibia kodok di China, divergensi sekuen dari kodok Palaearctic adalah berkisar antara 0,24 % - 2, 71 % (Zang et al. 2004), 1, 32 % pada Chinese giant salamander Andrias davadianus (Tao et al. 2005), dan 1,7 % pada Taipeh tree frog, Rhacophorus taipeianus (Yang et al. 1994). KESIMPULAN Terdapat keragaman genetik di antara individu R. nicobariensis di Ecology Park Cibinong, meskipun relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan individu pada populasi dan spesies kodok lain. R. nicobariensis yang ada di Ecology Park sebagian atau semuanya kemungkinan bukan asli penghuni kawasan tersebut, melainkan berasal dari kawasan lain. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memprediksi 412

dari mana asal usul dari individu-individu kodok di Ecology Park , sehingga perlu dilakukan koleksi dan analisis terhadap sampel material DNA dari individuindividu R. nicobariensis pada beberapa populasi di Bogor dan daerah sekitarnya. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dibiayai oleh Program Insentif Dikti Th. 2009. Terima kasih disampaikan kepada sdr. Tri Wahyu Laksono yang telah membantu dalam pengambilan sampel DNA di lapangan, juga kepada sdri. Inda Natali dan Aniek Budi Dharmayanti yang telah membantu dalam proses penelitian DNA di laboratorium genetik, Bidang Zoologi Puslit Biologi-LIPI. DAFTAR PUSTAKA Boore, JL. 1999. Animal mitochondrial genomes. Nucleic Acids Res. 27: 1767-1780. Brown, WM. 1985. Evolution of the animal mitokondrial genome. In Molecular Evolutionary Genetics. Plenum Press. New York. Pp 95130. Bruford, MW, DG. Bradley, & G. Luikart. 2003. DNA markers reveal the complexity of livestock domestication. Nat. Rev. Genet. 4:900-910 Clayton, DA. 1982. Replication of animal mitochondrial DNA. Cell 28: 693705 Cushman, SA. 2006. Effects of habitat loss and fragmentation on amphibians: A review and prospec-tus. Biol. Conser 128(2): 231-240.

Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis)

Feller G & SB. Hedges. 1998. Molecular evidence for the early history of living amphibians. Mol. Phylo. Evol. 9: 509-516. Hoelzel AR. 1993. Evolution by DNA turnover in the control region of vertebrate mitochondrial DNA. Curr Opin Genet Develop 3:891895 Inger, RF & TF. Lian. 1996. The natural history of amphibians and reptiles in Sabah. Natural History Publication (Borneo). Kota Kinabalu. Inger, RF. & RB. Stuebing. 1997. A Field Guide to the Frogs of Borneo. Borneo Natural History Publishers, Kota Kinabalu, Malaysia. Inger, RF & HK. Voris. 1993. A Comparison of Amphibian Communities through Time and From Place to Place in Bornean Forests. J. Trop. Ecol. 9(4): 409433. IUCN 2009. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2009.2.<www.iucnredlist.org>. Downloaded on 20 January 2010. Kurniati, H., W. Crampton, A. Goodwin, A. Locket & A. Sinkins. 2000. Herpetofauna diversity of Ujung kulon National Park: An inventory results in 1990. J. Biol. Res. 6 (2): 113-128. Kurniati, H. 2006. The amphibians species in Gunung Halimun National Park, West Java, Indonesia. Zoo Indonesia 15(2): 107-120.

Kurniati, H & D. Astuti. 2009. Keragaman Jenis dan Genetik Amfibia di Ekosistem Buatan Ecology Park Kampus LIPI Cibinong. Laporan Akhir Program Insentif Bagi Peneliti dan Perekayasa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia . Depdiknas dan LIPI, Cibinong, Desember 2009. 33 hal. Liu et ZQ, YQ. Wang, & B. Su. 2005. The mitochondrial genome organization of tree frog, Fejervarya limnocharis (Amphibia: Anura): a new gene order in the mtDNA. Gene 346: 145-151. Macey, JR., JL. Strasburg , JA.Brisson, VT. Vredenburg, M. Jennings, &A. Larson. 2001. Molecular phylogenetics of Western North American frog oh the Rana boylii species group. Mol. Phyloenet. Evol. 19: 131-143 Pollock, DD., JA. Eisen, NA. Doggett, & MP. Cummings. 2000. A case for evolutionary Genomics and the comprehensive examination of sequence biodiversity. Mol. Biol Evol 17:1776-1788 Roe, BA, DP. Ma, RK. Wilson & JFH. Wong. 1985. The complete nucleotide sequence of the Xenopus laevis mitochondrial genome. J. Biol. Chem. 260: 9759-9774. Ross, HA, GM. Lento, ML. Dalebout, M. Good, G. Ewing, & P. McLaren. 2003. DNA surveillance: web-based molecular identification of whale, dolphins, and porpoises. J. Hered 94: 111-114 Sano, N., A. Kurabayashi, T. Fujii, H. Yonekawa, & M. Sumida. 2004.

413

Dwi Astuti & Hellen Kurniati

Complete nucleotide sequence and gene rearrangement of the mitochondrial genome of the bellring frog, Buergeria buergeri (family Rhacophoridae). Genes and Genet. Syst 79: 151-163. Sano N, A. Kurabayashi, T. Fujii, H. Yonekawa, & M.Sumida. 2005. Complete nucleotide sequence of the mitochondrial genome of the Schlegels tree frog Rhacophorus schlegelii (family Rhacophoridae). Genes & Genet. Syst. 80:213-214. Sumida, M., H. Kaneda, Y. Kato, Y.Kanamori, H. Yonekawa & Nishioka M. 2000. Sequence variation and structural conservation in the D-loop region and flanking genes of mitochondrial DNA from Japanese pond frogs. Genes Genet. Syst. 75: 79- 92. Sumida, M, Y. Kanamori, H. Kaneda, & Y. Kato. 2001. Complete nucleotide sequence and rearrangement of the mitochondrial genome of the Japanese pond frog Rana nigromaculata. Genes and Genet. Syst. 76(5): 311-325. Tao, FY., Wang XM, Zheng HX, & Fang SG. 2005. Genetic structure and geographic subdivision of four populations of the Chinese salamander (Andrias davidianus). Zool Res 26: 162-167.

Wolstenholme, DR. 1992. Animal mitochondrial DNA: structure and evolution. Mitokondrial Genomes. Academi Press. New York. Pp. 1 73-216. Yang YJ, YS. Lin YS, JL. Wu & CF. Hui. 1994. Variation in mitochondrial DNA and population structure of the Taipeh treefrog Rhacophorus taipeianus in Taiwan. Mol. Ecol 3: 219-228. Zardoya, R., & A. Meyer. 2000. Mitochondrial evidence on the phylogenetic position of caecilians (Amphibian: Gymnophiona). Genetics 155: 765-775 Zhang. XF, KY. Zhou,& Q. Chang. 2004. Population genetic structure of Pelophylax nigromaculata in Chinese mainland based on mtDNA control region sequences. Acta Genet Sin 31: 1232-1240. Zhang, P., H. Zhou, D. Liang, YF. Liu YQ. Chen, & LH. Qu. 2005. The complete mitochondrial genome of a tree frog, Polypedates megacephalus (Amphibia: Rhacophoridae), and a novel gene organization in living amphibians. Gene 346: 133143 Zhong. J., ZQ. Liu & YQ. Wang. 2008. Phylogeography of Rice Frog, Fejervarya multistriata (Anura: Ranidae), from China based on ntDNA d-loop sequencces. Zoo. Sci. 25: 811-820. Memasukkan: Januari 2010 Diterima: Juni 2010

414

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 415-428 (2010)

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: Suatu Analisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi
Roemantyo
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Raya Jakarta Bogor, Km 46, Cibinong Science Centre, Cibinong. Email: roemantyo@yahoo.com

ABSTRACT Land Use Model of Moti Island, Ternate, Moluccas: A Vegetation Based Spatial Design Analysis. The Moti Island was dominated by mountain areas and humitropepts soil type which have high organic matter and low subsoil base saturated values. Geologically, it is a volcanic rock with andesite composition includes lava, breccias and tuffs volcanic. Combined with high rainfall, width of island (24.6 km2) and very steep mountain (950 m asl.) the island has become fragile when not well managed. Compared to the other district, the productivity of this area was low because the natural resources have not been well developed yet. The shortage of biodiversity data of Moti Island has become major obstacles in developing Moti Island. This research was conducted to develop land use models as basic knowledge for spatial design analyses of Moti Island. Detail discussion on developing Digital Elevation Model of land use and slope area based on vegetation data was presented in this paper. Key words: Moti, land use, digital elevation model (DEM), spatial designing analyses

PENDAHULUAN Pulau Moti merupakan salah satu dari gugusan sederetan pulau-pulau kecil kepulauan Halmahera yang terletak di sebelah barat pulau besar Halmahera. Pulau-pulau tersebut antara lain adalah pulau Ternate, Tidore, Mare, Moti, Makian, serta pulau-pulau lain yang terletak di sebelah selatannya. Secara administratif pemerintahan, pulau Moti masuk di dalam Kota Ternate. Luas pulau Moti sekitar 24,6 km2 dan tergolong telah dihuni sejak lama seperti pulau lain di dalam wilayah Kota Ternate yaitu pulau Ternate, Hiri, Mayau, Tifure. Sedangkan

pulau lain yang ukurannya lebih kecil seperti pulau Maka, Mano dan Gurida statusnya tidak dihuni (Kantor Statistik Kota Ternate, 2008). Secara geografis pulau ini membentang pada koordinat 127, 38 127, 44 derajat bujur timur dan 0,43 0,48 derajat lintang utara yang dibatasi laut Maluku di sebelah utara, barat dan selatan dan selat Halmahera di sebelah timur. Jarak pulau ini dengan ibukota Kota Ternate sekitar 29 km yang hanya dapat dicapai dengan kapal selama kurang lebih 1 2 jam pelayaran. Penduduk kawasan pulau Moti ini umumnya merupakan penduduk asli dengan jumlah populasi kira-kira 4797 415

Roemantyo

jiwa pada tahun 2007 (Kantor Statistik Kota Ternate 2008) yang jika dibandingkan dengan seluruh penduduk yang ada di 4 kecamatan Kota Ternate adalah yang paling kecil jumlahnya (2 3 %). Jika menggunakan perkiraan pertambahan jumlah penduduk Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata 1,1 % (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2009), maka pada tahun 2010 ini jumlah penduduk pulau Moti akan mencapai angka kira-kira lebih dari 5000 jiwa. Penduduk ini tersebar di seluruh kawasan pulau terutama di sekitar kawasan pantai dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai nelayan dan petani kebun pala dan cengkeh. Secara administratif pulau Moti berada di wilayah kecamatan Moti dengan 6 kelurahan, yaitu Motikota, Figur, Tadenas. Tafaga, Tafamutu, dan Takofi sesuai dengan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 10 Tahun 2001 tentang pembentukan Kecamatan Moti. Kawasan ini tampak belum tereksplorasi dengan baik sumberdaya alamnya, meskipun potensi kawasan ini secara tradisional telah dikembangkan seperti pada sektor perkebunan, pertanian lahan kering dan perikanan. Belum tertatanya dengan baik pemanfaatkan lahan kawasan serta terbatasnya data sumberdaya alam kawasan ini menjadi salah satu kendala untuk pengembangan wilayah ini sehingga produktifitasnya kawasan ini masih rendah hingga saat ini. Sebagai pulau yang berukuran sedang (24.6 km2), pulau Moti memiliki sumber daya alam yang cukup untuk mendukung 416

pembangunannya. Untuk maksud tersebut penggunaannya harus ditata sehingga dapat mendukung secara mandiri kebutuhan masyarakat setempat dengan aman dan berkelanjutan. Dengan demikian produktivitasnya dapat lebih ditingkatkan dengan tanpa mengganggu kualitas sistem ekologi setempat. Ketergantungan akan pangan yang mengakibatkan biaya hidup tinggi dapat dihindarkan sehingga produk yang dihasilkan oleh masyarakat setempat selain untuk menunjang kehidupan juga dapat disisihkan sebagian untuk meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat setempat baik dari segi ekonomi, tingkat sosial dan pengetahuan melalui pendidikan yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data dasar sebagai modal pembuatan model pemanfaatan lahan untuk kawasan pulau Moti ini. Model yang diperoleh akan di analisis secara spasial untuk mendapatkan tata ruang yang cocok berbasis pada data vegetasi, sehingga kawasan ini dapat lebih diberdayakan secara aman dan berkelanjutan. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan yang diperlukan adalah peta-peta yang meliputi peta digital rupa bumi dan topografi 1: 250.000 (Bakosurtanal 1999), AMS sheet NA 52 1944 1: 1.000.000 (US Army Tophographic Command 1970), peta tutupan lahan, peta status lahan dan sistem lahan 1 : 250.000 (Re PPProt 1989), peta geologi 1: 1.000.000 (Clarke, 1989), citra satelit topografi

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

(SRTM) dan citra satelit Ikonos Juni, 2006. Data sekunder lain dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (2009) untuk data kependudukan, pertanian, perikanan, dan perkebunan, serta data curah hujan yang dikumpulkan dari Stasiun Meteorologi Baabulah Ternate (Kantor Statistik Ternate 2008) dan data iklim tahunan dari Agro-Climatic Map of Maluku and Irian Jaya 1 : 4.500.000 (Oldeman dkk 1980). Data primer dikumpulkan di lapangan dengan cara mengambil cuplikan tentang pola penggunaan lahan yang ada untuk dicatat posisi koordinat, ketinggian serta pemanfaatannya lahannya dengan menggunakan GPS. Berdasarkan data lapangan tersebut kemudian hasil cuplikan dipetakan pada citra ikonos dengan memperhitungkan faktor perubahan fisik pemanfaatan kawasan dan tutupan lahan (vegetasi). Hal ini diperlukan mengingat ada perbedaan waktu antara pengambilan data di lapangan dan data Citra Ikonos. Catatan perubahan fisik merupakan data baru sehingga perubahanperubahan yang terjadi dapat dipantau dengan membandingkan kondisi sebelumnya pada citra Ikonos. Selanjutnya data peta (spasial) dan data penggunaan lahan dan perubahannya sebagai data tekstual dianalisis untuk mendapatkan peta tata ruang kawasan. Proses penentuan pengabungan data spasial dan tekstual dapat dilihat pada bagan alir seperti pada Gambar 1. Analisis terhadap kawasan lindung, penyangga, dan pemanfaatan atau budidaya tanaman tahunan dilakukan terhadap hasil digitasi pemanfaatan

lahan dan interpretasi akhir. Dengan menggunakan parameter fisik kemiringan lereng, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi dan curah hujan harian rata-rata kemudian dianalisis status penggunaan lahannya. Penetapan penggunaan satuan lahan kemudian mengikuti metode dan kriteria yang digunakan oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional (Asdak 2002 dan Departemen Pekerjaan Umum 2008.). Satuan lahan dengan skor lebih dari 175 diklasifikasikan sebagai kawasan lindung. Satuan lahan dengan skor antara 125 dan 174 diklasifikasikan sebagai kawasan penyangga. Satuan lahan dengan skor kurang atau sama dengan 124 diklasifikasi dengan kawasan budidaya tanaman tahunan seperti perkebunan, tanaman industri. Sedangkan satuan lahan dengan kriteria seperti dalam penetapan kawasan budidaya tahunan serta terletak di tanah milik, tanah adat dan tanah negara diklasifikasikan sebagai kawasan tanaman budidaya semusim. Penentuan penggunaan lahan juga mempertimbangkan hal-hal khusus lain seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 pasal 55. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine 9.1 dimana peta rupa bumi (Bakosurtanal 1999) dipakai sebagai referensi. Sedangkan citra SRTM diolah dengan menggunakan 417

Roemantyo

Gambar 1: Bagan alir kerja analisis Tata Ruang pulau Moti

perangkat lunak Global Mapper9 untuk mendapatkan data topografi dengan beda ketinggian 5 m. Analisis data spasial dan tektual selanjutnya menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 untuk mendapatkan nilai sudut dan arah kelerengan lahan. Sedangkan perangkat lunak Microsoft access digunakan untuk memudahkan proses query dan pengelompokkan dan penggabungan data spasial dan tekstual. HASIL Kondisi fisiografi kawasan P. Moti Dari citra SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission), tampak dengan jelas bahwa pulau Moti merupakan kawasan dengan permukaan yang 418

bergunung-gunung dan berbatu. Kawasan yang tertinggi pulau ini mencapai ketinggian sekitar 930 950 m dpl yaitu terletak di puncak gunung Tuanane (lihat Gambar 2). Secara umum pulau Moti ini merupakan bagian dari lingkup lempeng bergerak bumi aktif yang dimulai dari Kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa yang dikelilingi oleh lengkung Sulawesi dan Pulau Sangihe di mana keduanya berkarakter vulkanis (Clarke 1989). Umumnya lahannya memiliki tipe tanah humitropepta dengan karakteristik agak lapuk dan kaya akan bahan organik, sedikit berkapur dengan tingkat kejenuhan basa tanah bawah bernilai rendah. Sedangkan di dataran yang lebih rendah bercampur dengan tanah liat dan abu vulkanis. Di kawasan

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

dataran lebih tinggi sering dipenuhi dengan bebatuan vulkanis (andesit) dengan ukuran yang cukup besar di lereng-lereng maupun di bagian lembahnya berupa pecahan-pecahan yang lebih kecil bercampur dengan tanah liat dan kapur (RePPProt 1989). Air tanah sangat dalam dan langka terutama di kawasan pegunungan atau dataran yang lebih tinggi, namun di dataran yang lebih rendah air cukup dangkal dan mudah diperoleh. Dari data iklim, kawasan ini tergolong dalam kawasan yang mempunyai curah hujan

yang cukup tinggi, dimana hampir selama 3-4 bulan penuh kawasan ini cukup lembab (Oldeman dkk. 1980). Jumlah hari hujan dan curah hujan dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4. Meskipun data curah hujan dan hari hujan diambil dari Stasiun Meteorologi Baabulah di pulau Ternate yang berjarak 29 km, namun dari peta Isohyat, pulau Moti masih masuk dalam tipe yang sama (Oldeman, dkk., 1980). Dari histogram hari hujan dan curah hujan dapat diperoleh gambaran secara umum bahwa sebagian

Gambar 2: Citra Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)

419

Roemantyo

kawasan pulau Moti ini tergolong cukup tinggi intesitas dan curah hujannya. Hampir di sepanjang tahun ada hujan dan curah hujan dengan intensitas hujan tinggi tampak terjadi pada bulan Nopember hingga Januari dan sekitar bulan Juni. Sedang pada bulan Pebruari hingga Mei curah hujan dan intensitasnya sedang.

Vegetasi Dari peta tutupan lahan dan status lahan yang dipublikasikan tahun 1989 oleh Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi (RePPProt 1989), sebagian besar kawasan pulau Moti diklasifikasikan sebagai kawasan yang ditutupi oleh hutan. Hutan tersebut tumbuh pada

Gambar 3 : Histogram hari hujan tiap bulan dari tahun 2003 2007. Sumber: Stasiun Meteorologi Baabulah Ternate (Kantor Statistik Ternate, 2008)

Gambar 4: Histogram curah hujan bulanan dari tahun 2003 2007. Sumber: Stasiun Meteorologi Baabulah Ternate (Kantor Statistik Ternate, 2008)

420

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

lahan pegunungan berkapur dan belukar dengan status sebagai hutan lindung di bagian tengah pulau dan hutan produksi yang dapat dikonversi di bagian dekat dengan perkampungan. Sedangkan data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Ternate (Kantor Statistik Kota Ternate 2008) menyebutkan bahwa kawasan hutannya hanya meliputi luas 6937,32 hektar (kira-kira 9% dari luas pulau) sebagian besar (4914,7 hektar) masih digolongkan sebagai hutan lindung yang tumbuh di atas batu kapur dan sebagian yang lain (2022,62 hektar) merupakan hutan yang dapat dikonversi terutama di dataran rendah dekat pantai. Pembagian dan batas hutan lindung dan hutan yang dapat dikonversi di lapangan masih kurang jelas, mengingat sebagian besar kawasan telah di miliki dan ditanami penduduk. Bagian puncak gunung dan lereng-lereng curam saja yang tampak sebagian masih utuh vegetasinya dengan jenis-jenis pohon hutan yang berukuran besar. Jika dibandingkan dengan data peta tutupan lahan dan status lahan (RePPProt, 1989), tampaknya telah terjadi konversi hutan lindung menjadi lahan budidaya pertanian dan perkebuan atau area penggunaan lain (APL). Observasi lapangan dan interpretasi citra Ikonos 2006 menunjukkan bahwa hutan dengan densitas tinggi (primer) masih tampak tersisa di puncak-puncak gunung dan lembah lembah yang curam. Sedangkan kawasan yang relatif datar dan dataran rendah sudah berupa kebun/ladang, semak dan belukar. Selanjutnya interpretasi citra

Ikonos dengan mengacu pada cuplikan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa kebun pala dan cengkih sudah merambah sampai pada daerah-daerah yang beresiko tinggi terhadap bencana tanah longsor (lihat Gambar 4). Dari citra Ikonos tampak pula lahan-lahan baru yang dibuka untuk ditanami dengan tanaman perkebunan seperti pala, cengkih dan kakao. Sedangkan di dataran rendah umumnya ditanami dengan kelapa, beberapa jenis buah-buahan dan jenisjenis tanaman pangan penghasil karbohidrat seperti ubi kayu, ubi jalar dan pisang. Jika ditinjau dari pemanfaatannya tampak sebagian besar kawasan pulau telah digunakan sebagai ladang pertanian lahan kering, kebun pala ( Myristica fragans ) dan cengkih (Syzygium aromaticum). Di beberapa tempat kedua jenis pohon tersebut sudah tumbuh besar dengan diameter pohon lebih dari 40 cm. Memang secara alami pala dan cengkih merupakan tumbuhan asli kawasan ini (Backer dan Bakhuizen van den Brink 1968), sehingga tidak mengherankan jika kedua jenis ini cukup mendominasi di kawasan ini. Identifikasi terhadap citra Satelit Ikonos menunjukkan bahwa indeks vegetasi cukup tinggi, karena hampir seluruh pulau Moti tertutup dengan tetumbuhan (lihat Gambar 4), baik yang tumbuh liar maupun yang ditanam (Utaminingrum 2010). Namun jika dilihat dari data statistik, produktifitas hasil pertanian dan perkebunan kawasan ini masih sangat rendah. Tidak banyak komoditi 421

Roemantyo

pertanian dan perkebunan yang diusahakan di sini. Kalaupun diusahakan, produksinya masih lebih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Kota Ternate (Kantor Statistik Kota Ternate, 2008). Beberapa jenis tanaman pangan yang ditanam di sini antara lain jagung (Zea mays), ubi kayu ( Manihot utilissima ), ubi jalar (Ipoemoea batatas). Sedang tanaman perkebunan yang ditanam antara lain kelapa ( Cocos nucifera ), pala ( Myristica fragans ), cengkih ( Syzygium aromaticum ) dan kakao ( Theobroma cacao ). Sedangkan RePPProt, (1989) telah mengidentifikasi lahan-lahan yang memiliki kesesuaian untuk dikembangkan sebagai lahan produktif di dataran rendah kurang dari 450 m dpl sebagai ladang atau lahan pertanian lahan kering. Pada saat itu vegetasi yang teridentifikasi adalah padang rumput, belukar, dan di beberapa tempat tanpa vegetasi, sehingga kawasan ini dapat dengan mudah dikonversi untuk tanaman pertanian Pemanfaatan Lahan Interpretasi pemanfaatan lahan dengan citra Ikonos dan data cuplikan lapangan selain mendapatkan nilai indeks vegetasi juga diperoleh gambaran tentang pemanfaatan lahan. Kawasan yang berhasil diidentifikasi berjumlah 5085 titik pemanfaatan lahan yang kemudian dikelompokkan dalam 5 golongan besar, yaitu: (1) pemanfaatan lahan untuk hutan sebanyak 1449 titik lokasi, (2) pemanfaatan lahan untuk kebun 3447 422

titik lokasi, (3) pemanfaatan lahan untuk usaha perikanan 1 lokasi, (4) fasilitas umum dan pemukiman 88 lokasi dan (5) lahan yang tidak dimanfaatkan (lahan terbuka) 100 lokasi. 1. Pemanfaatan lahan untuk hutan Kawasan ini merupakan hutan lindung, maupun kawasan hutan lain yang terdapat mulai dari pantai hingga puncak gunung. Di daerah pantai terdapat hutan mangrove dan hutan pantai. Hutan mangrove terdapat di 39 lokasi sedangkan hutan pantai ada di 6 lokasi. Di daratan terdapat semak belukar, hutan sekunder dan hutan primer. Semak, semak belukar dan hutan sekunder biasanya terletak di dataran yang lebih rendah, sedangkan hutan primer umumnya terletak di puncak-puncak gunung atau dilerenglerang yang terjal. Semak belukar biasanya terdapat dari ketinggian 5 700 m dpl., sedangkan hutan sekunder ditemukan pada ketinggian 50 875 m dpl. Hutan-hutan primer ditemukan pada ketinggian 195 930 m dpl. 2. Pemanfaatan lahan untuk kebun Pada saat pegamatan tercatat ada beberapa jenis tanaman keras kebun yang diusahakan di pulau Moti, yaitu cengkih, durian ( Durio zibethinus ), kakao, kelapa, kenari (Canarium sp.), pala, dan jeruk ( Citrus sp.). Kemungkinan tanaman kenari yang ada berasal dari tumbuhan liar, namun karena bijinya memiliki nilai ekonomi, maka jenis ini kemudian dipelihara. Selain tanaman keras ada beberapa jenis tanaman yang berumur pendek

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

yang diusahakan antara lain pisang ( Musa acuminata balbisiana ) dan singkong. Selain itu masih ada beberapa jenis tumbuhan liar yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber pangan yaitu sagu ( Metroxylon sagu ) yang banyak tumbuh di tempat-tempat yang sedikit berair dan lembab. Pemanfaatan lahan untuk kebun dapat ditemukan mulai dari pinggir pantai hingga ketinggian 770 m dpl. 3. Pemanfaatan lahan untuk usaha perikanan Usaha perikanan lebih banyak dilakukan oleh nelayan di laut, namun tercatat ada usaha baru yaitu dengan pembukan kolam untuk pemancingan di Moti Kota.

4. Pemanfaatan lahan untuk fasilitas umum dan pemukiman Pemukiman dan fasilitas umum meliputi kawasan perkampungan, sarana jalan, bagunan/gedung pemerintah dan sekolah, tempat mata air, sarana dan tempat ibadah , makam dan sarana olah raga. Fasilitas umum dan pemukiman ini umumnya terletak di dataran rendah di dekat pantai. 5. Lahan yang tidak dimanfaatkan (lahan terbuka). Lahan terbuka disini adalah lahan yang tidak atau belum dimanfaatkan. Lahan-lahan terbuka di kelurahan Motikota umumnya terletak dari ketinggian 45 hingga 520 m dpl. Sedangkan di kelurahan lain seperti

Gambar 4: Tampilan indeks vegetasi pada Citra Satelit Ikonos 2006

423

Roemantyo

Tadenas, Tafaga, Tafamutu, Figur dan Takofi terletak pada ketinggian kurang dari 130 m dpl. Lahan terbuka di kelurahan Tadenas, Tafaga, Tafamutu, Figur dan Takofi cenderung untuk dipersiapkan sebagai kebun atau ladang. Sedangkan di Motikota lebih sering merupakan lahan yang diterlantarkan atau lahan yang disiapkan untuk dibangun gedung. Jika dibandingkan diantara status pemanfaatan lahan yang ditemukan selama survai lapangan, maka lahan untuk kebun adalah yang paling banyak ditemukan yaitu mencapai 67,8 %, kemudian diikuti dengan lahan untuk hutan (28,50 %), lahan terbuka tidak atau belum dimanfaatkan (1,96 %), fasilitas umum (1,73%) dan perikanan (0.01%). Analisis terhadap hasil digitasi pemanfaatan lahan yang ditumpang susunkan pada peta model elevasi (DEM = Digital Elevation Model) diperoleh gambaran pemanfaatan lahan secara 3 dimensi seperti pada Gambar 6. Dari peta Model Elevasi Digital, tampak jelas bahwa usaha tani untuk perkebunan tanaman keras sudah masuk ke dalam kawasan hutan hingga sampai pada ketinggian 700 m dpl. Kawasan yang banyak dipakai sebagai kebun umumnya berada di sebelah timur, yaitu antara kelurahan Motikota dan Tadenas. Kebun di kedua kelurahan ini lebih beragam dibandingkan dengan 4 kelurahan lain dimana beberapa jenis tanaman industri selain kelapa, pala dan cengkih ditanam dan dikembangkan jenis lain antara lain seperti durian, jeruk, kenari, dan kakao. 424

Selain itu beberapa jenis tanaman palawija juga tercatat di tanam di kawasan ini seperti jagung, kacang tanah, singkong, ubi jalar dan vanili meskipun jumlahnya tidak begitu banyak. Pengembangan kolam perikanan sudah mulai tampak, meskipun masih dalam taraf untuk pemancingan. Usaha ini ditemukan di kelurahan Motikota. Pada peta model kelerengan pemanfaatan lahan (lihat Gambar 7) tampak bahwa kawasan hutan umumnya merupakan kawasan yang berelereng lebih dari 40 %. Kawasan tersebut meliputi hampir suluruh puncak bukit dan beberapa punggung bukit di kelurahan Tafaga, Takofi, Figur dan Tafamutu. Sedangkan di kawasan kelurahan Motikota dan Tadenas sudut kelerengan pada umumnya kurang dari 40 % PEMBAHASAN Dari data yang terkumpul, kawasan pulau Moti tergolong sebagai kawasan bergunung vulkanis dari lempeng bergerak bumi aktif. Banyaknya batuan andesit yang besar dan pecahan-pecahan batuan yang lebih kecil karena mudah lapuk dan bercampur dengan tanah liat dan kapur mengakibatkan kawasan ini sangat peka terhadap erosi atau lepasnya batuan (Clarke 1989). Kekayaan tanah akan unsur hara yang bercampur dengan abu vulkanis, menjadikan lahan kawasan ini cukup subur, sehingga memudahkan jenis-jenis tetumbuhan cepat mengalami permudaan.

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

Ditunjang dengan curah hujan yang relatif cukup tinggi, serta keadaan yang cukup lembab selama 3 4 bulan (Oldeman, dkk., 1980) maka beberapa jenis pohon dapat tumbuh dengan baik, meskipun lahannya cukup berpori dan sulit untuk mendapatkan air tanah terutama di kawasan pegunungan. Tampaknya faktor-faktor kesuburan tanah dan iklim tersebut mendorong masyarakat untuk terus merambah kawasan hutan lindung untuk ditanami dengan jenis-jenis pohon penghasil devisa negara seperti cengkeh, pala, kenari dan kakao. Pada saat penyiapan lahan dengan pembukaan lahan hutan

(semak belukar, hutan sekunder, maupun di hutan-hutan primer ditebang habis) maka ancaman terhadap erosi sangat tinggi. Hal ini mengingat di kawasan pegunungan biasanya merupakan kawasan dengan sudut kelerengan lebih dari 40 %. Jika vegetasi telah dibuka maka dengan curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir bandang karena air hujan akan langsung turun ke dataran yang lebih rendah tanpa ada tetumbuhan yang menghambat. Dalam jangka waktu yang lama, jika terdapat tanah-tanah yang terbuka maka kemampuan lahan untuk menahan dan

Gambar 6: Peta Model Elevasi Digital (DEM Digital Elevation Model) Pemanfaatan Lahan Pulau Moti

425

Roemantyo

menyimpan air akan berkurang dan terganggu. Dengan demikian fungsi hidrologi kawasan ini dalam mengkoservasi air menurun dengan akibat air tanah untuk keperluan masyarakat menjadi terbatas. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dengan memperhitungkan criteria kawasan lindung, sebagian besar kawasan hutan di pulau Moti ini memiliki nilai skor diatas 175. Karena itu maka kawasan tersebut harus segera dibatasi penggunaannya, selain untuk mengurangi ancaman terhadap bencana alam tanah longsor, banjir

bandang, juga untuk konservasi air tanah bagi pulau Moti. Dari Model Elevasi Digital (DEM) sudut kelerengan bukit Pulau Moti, dapat diperoleh gambaran awal kawasan mana saja yang harus segera dibatasi penggunaannya. Demikian pula melalui peta tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi kawasan mana saja yang cocok dan aman digunakan untuk usaha pertanian dan perkebunan. Dari warna lagenda pada peta tersebut (lihat Gambar 7), kawasan aman untuk usaha budidaya diindikasikan dengan spot warna hijau dengan skor sama dengan atau lebih kecil dari 124. Sedangkan spot warna warna kuning merupakan

Gambar 7: Peta Model Elevasi Digital (DEM) Sudut Kelerengan Bukit Pulau Moti

426

Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate,

kawasan penyangga dengan skor antara 125 dan 174. Sedangkan kawasan yang berwarna jingga hingga kemerah-merahan menunjukkan kawasan tersebut kurang aman untuk dijadikan kawasan budidaya dengan skor di atas 175. Karena itu kawasan ini harus ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dari peta-peta yang dihasilkan pada penelitian ini, terutama peta Model Elevasi Digital (DEM Digital Elevation Model) Pemanfaatan Lahan Pulau Moti dan peta Model Elevasi Digital (DEM) Sudut Kelerengan Bukit Pulau Moti, maka penyusunan model tata ruang untuk pegembangan kawasan dapat dilakukan dengan lebih mudah. KESIMPULAN Pemanfaatan lahan di kawasan pulau Moti perlu ditata dengan baik untuk mengurangi resiko bencana alam tanah longsor, banjir bandang pada saat hujan, krisis air dimasa yang akan datang. Kawasan hutan perlu dipertahankan keberadaaannya, terutama yang terletak di ketinggian di atas 600 m dpl. dan memiliki tingkat kelerengan lebih dari 40 %. Kemudian kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung. Selain sebagai daerah untuk menangkap air hujan, hutan ini juga diperlukan sebagai sumber bibit dan plasma nutfah beberapa jenis tanaman perkebunan yang ditanam oleh masyarakat setempat seperti kenari, pala dan cengkih. Pada beberapa tempat di kawasan pengunungan pada

ketinggian di atas 600 m dpl. dengan tingkat kelerengan lebih dari 40% dan telah terlanjur diusahakan oleh penduduk dengan menanami kenari, cengkeh dan pala, disarankan untuk tidak dipanen. Hal ini dimaksudkan agar ketiga jenis pohon tersebut tumbuh meliar kembali untuk kemudian menjadi stok bibit maupun plasma bagi pengembangan jenis tumbuhan di masa yang akan datang. Tingkat kerusakan hutan dan ekosistem kawasan pulau Moti masih dapat dihambat lajunya, yaitu dengan membangun model pengembangan kawasan dengan membuat rencana tata ruang yang lebih rinci. Data awal telah terkumpul berupa peta-peta model elevasi digital penggunaan lahan dan kelerengan bukit yang berbasis vegetasi. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Penelitian Biologi LIPI sehingga penulis memperoleh kesempatan melakuan penelitian ini hingga selesai. Disamping itu kepada sdr Hetty I.P. Utaminigrum S.Kom. yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data lapangan dan memproses digitalisasi peta. Pengambilan dala lapangan dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI dan IPTEKDA LIPI. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran 427

Roemantyo

Sungai. Gajah Mada University Press. Cetakan Kedua. 618 halaman. Backer C. A and R.C. Bakhuizen van den Brink, 1968. Flora of Java I. N.V.P. Noordhoff, Groningen, Netherlands. Badan Pusat Statistik, 2009. Statistik Indonesia 2009 . Badan Pusat Statistik, Republik Indonesia. Bakosurtanal, 1999. Peta Rupa Bumi Digital, Tata Guna Lahan, Status Lahan dan Topografi. Skala 1: 250.000. Bakosurtanal. Clarke, M.C.G. 1989, Geological Map of Indonesia: With Emphasis on Lithology . Atlas of The Lands Resources of Indonesia. A National Review. Ministry of Transmigration, Directorate General of Settlements Preparation. Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum, 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional . Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Penataan Ruang. Jakarta.

Kantor Statistik Kota Ternate, 2008. Data Curah Hujan Harian dan Hari hujan di Stasiun Meteorologi Babullah . Kantor Statistik Ternate, Kota Ternate. Oldeman, L.R., R. Irsal, and Muladi. 1980. Agroclimatic Map of Maluku and Irian Jaya. Centra l Research Institute for Agriculture, Indonesia. Space Imaging 2006, IKONOS, Level Standard Geometrically Corrected, GeoEye, 6/6/2006. Re PPProt, 1989. Review of Phase I Results, Java and Bali . Land Resources Departement, Overseas Development Administration United Kingdom and Direktorat Jendral Bina Program. Direktorat Jendral Penyiapan Pemukiman, Depatemen Transmigrasi. Jakarta. US Army Tophographic Command. 1970. Map of Ternate. Departemen of Defense, United State of America, Washington DC. 1302 Edition 4 TPC. Utaminingrum HIP. 2010. Pengumpulan dan Pengolahan Data Tutupan Lahan Pulau Moti, Ternate. Laporan Perjalanan Penelitian di Pulau Moti, Maluku Utara, Pusat Penelitian Biologi LIPI, 2010

Memasukkan: Juni 2010 Diterima: Agustus 2010

428

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 429-442 (2010)

Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia
Sih Kahono1), Sofi Mursidawati2) & Erniwati1) 1)Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, 2)Kebun Raya Bogor, Pusat Konservasi Eksitu-LIPI. Email: gegremetan@gmail.com ABSTRACT Insects Community on the Flower of Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) in its Non Native Habitat of Bogor Botanical Gardens, Bogor City, Province of West Java, Indonesia. The study was conducted at the Bogor Botanical Gardens, Bogor, West Java, Indonesia using a blooming female flower of R. patma. The insects were directly counted in the morning, noon, and afternoon on both fresh blooming and rotten R. patma . Twenty three insect species were collected during the study belonging to the order Coleoptera (2 families, 2 species, 5 individuals), Diptera (9 families, 18 species, 1176 individuals), and Hymenoptera (2 family, 4 species, 13 individuals). Number of individuals of each insect species captured were frequently less than 1.35% from total captured. There were specialization of flies visiting fresh opening flower and the rotten one. Six species, Leiomyza laevigata (Asteiidae), Chrysomya megacephala, and Hemipyrellia tagaliana (Calliphoridae), Stegana coleoptrata (Drosophilidae), Heteromyza oculata and Tephrochlamys rufiventris (Heleomyzidae) were predicted as important pollinators of R. patma. Key words: Insect community, flower, Rafflesia patma, non native habitat, Bogor Botanic Garden.

PENDAHULUAN Rafflesia adalah nama genus yang diabadikan dari nama Sir Stamford Raffles, termasuk kelompok tumbuhan berbunga famili Rafflesiaceae. Salah satu jenis yang paling terkenal adalah Rafflesia arnoldii ditemukan di Sumatera berukuran diameter kurang lebih tiga feet. Kurang-lebih ada 16 jenis Raflesia telah ditemukan di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan termasuk Sabah dan Sarawak (Nais 2001; 2004) dan Filipina (Yahya et al. 2010). Sudah

sejak lama jenis-jenis Rafflesia dikategorikan sebagai jenis langka dan dilindungi perundang-undangan (Anonim 2010; Wiriadinata 2007; Walter & Gillett 1998). Seluruh jenis Rafflesia menempel pada inang spesifiknya yaitu Tetrastigma spp. (Vitaceae) sehingga kelangsungan hidupnya mutlak tergantung pada inang tersebut (Barkman et al. 2004; Latiff & Mat-Salleh 1991). Penelitian biologi dan ekologi Rafflesia masih sangat sedikit (Nais 2001) sehingga masih banyak rahasia biologi dan natural history dari Rafflesia belum diketahui. Demikian pula 429

Kahono dkk

pengetahuan biologi reproduksi dan seluruh prosesnya termasuk penyerbukan bunga masih sangat terbatas (Zuhud et al. 1998; Anonim 2010). Padahal, pengetahuan ini sangat penting dalam upaya pengembangbiakan yang dapat dipakai untuk mendukung program konservasi di dalam habitat asli (in-situ) maupun di luar habitat aslinya (ex-situ). Penyerbukan pada bunga Rafflesia tidak bisa dipisahkan dengan serangga penyerbuknya karena bunga tersebut berumah dua (dioeciously flower) atau bunga jantan dan betina terdapat pada individu bunga yang berbeda (Meiyer 1997), sehingga serangga menjadi sangat penting peranannya mentransfer serbuksari dari bunga jantan ke putik bunga betina. Beberapa penelitian terdahulu mengungkapkan bahwa lalat dikenal sebagai penyerbuk bunga Rafflesia pada umumnya (Beaman et al. 1988; Priatna et al. 1989; Ong 2004). Bila dibandingkan dengan jumlah jenis Rafflesia yang ada dan aspek-aspek penting yang seharusnya diketahui maka penelitian penyerbuk dan penyerbukan pada bunga ini sangat jarang dilakukan. Sedikitnya penelitian dan publikasi dapat disebabkan karena jarangnya perjumpaan dengan bunga Rafflesia. Salah satu dari tiga jenis Rafflesia yang dijumpai di pulau Jawa adalah Rafflesia patma yang ditemukan di habitat yang khusus terutama di kawasan lindung atau konservasi seperti di kawasan konservasi seperti Cagar Alam Pangandaran Ciamis dan Leuweung Sancang Garut (Jawa Barat) (Herdiyanti 2009; Priatna et al . 1989; Ngatari, komunikasi pribadi). 430

Walaupun penyerbukan pada bunga R. patma mutlak memerlukan bantuan agen penyerbuk, namun sampai saat ini sangat sedikit dilakukan penelitian tentang serangga penyerbuknya. Karakter morfologi bunga R. patma yang berwarna orange kusam, berbau anyir spesifik seperti pembusukan materi tumbuhan, permukaan bunga yang luas dan terbuka dapat sebagai penarik bagi serangga terutama kelompok lalat (Diptera) dan kumbang (Coleoptera) yang tertarik pada aroma busuk (Free 1993; Faegri & Pijl 1971). Seperti pada umumnya bunga Rafflesia , maka penelitian penyerbuk pada R. patma di habitatnya baru dilakukan secara kualitatif yang sederhana di Cagar Alam Leuweng Sancang, Garut, propinsi Jawa Barat (Priatna et al . 1989). Lalat diperkirakan sebagai kelompok penting dalam proses penyerbukan R. patma karena sifat bunga yang berumah dua sehingga transportasi serbuksari dari bunga jantan ke putik bunga betina memerlukan bantuan akomodasi dari serangga yang mampu memindahkannya. Kebun Raya Bogor (KRB) yang berfungsi sebagai tempat konservasi eksitu bagi tumbuhan Indonesia, penelitinya telah berhasil menumbuhkan bunga R. patma yang berasal dari habitat aslinya di Cagar Alam Pangandaran, Ciamis Jawa Barat di dalam KRB. Keberhasilan menumbuhkan R. patma di KRB merupakan kesuksesan pertama di dunia menum-buhkan Rafflesia di luar habitatnya, sehingga penelitian ini merupakan penelitian pertama tentang serangga pengunjung bunga R. Patma di luar habitat aslinya. Walaupun penelitian

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

serangga pengunjung bunga ini hanya dilakukan pada bunga R. patma berjenis kelamin betina, namun informasi ini sangat penting bila dikaitkan dengan waktu kunjungan dari pagi hingga sore pada periode bunga sedang mekar. Ada kecenderungan kemiripan jenis-jenis atau kelompok serangga penyerbuk dengan tipe dan bentuk bunga pasangannya (Barth 1991; Faegri & Pijl 1971; Free 1993), sehingga pendugaan terhadap jenis-jenis serangga yang potensial sebagai penyerbuk bunga R. patma dapat dimungkinkan dengan menganalisis keanekaragaman dan populasi serangga yang bertepatan dengan waktu pemekaran bunga. Selain itu morfologi serangga, aktifitas dan perilakunya menjadi faktor penting yang dapat dipakai untuk mengkarakterisasi serangga sebagai penyerbuk suatu jenis bunga tertentu (Barth 1991; Faegri & Pijl 1971; Free 1993). Penelitian komunitas serangga pengunjung bunga R. patma dilakukan juga pada bunga layu untuk mengetahui perbedaan dan kesamaan terhadap keanekaragaman, populasi, dan aktifitas kunjungan serangga pada bunga R. patma antara yang sedang mekar dengan yang layu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan serangga pengunjung bunga R. patma dan aktifitas kunjungannya pada perbungaan R. patma yang sedang mekar dan layu, sehingga akan diketahui jenis-jenis serangga yang dimungkinkan sebagai penyerbuknya.

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di dalam lokasi pembibitan Kandang Badak dalam Kebun Raya Bogor, kota Bogor, propinsi Jawa Barat. Pengamatan dilakukan dari tanggal 20 sampai 26 Juli 2010. Penelitian ini diawali dengan pengamatan pendahuluan yang dilakukan pada malam hari menjelang bunga R. patma mekar yaitu tanggal 20 Juli 2010 malam saat bunga mulai membuka satu per satu sampai akhirnya bunga mekar penuh pada dini hari tanggal 21 Juli 2010. Pada awal bunga membuka pada dini hari tercium aroma anyir atau membusuk yang menguat. Pengamatan ini untuk melihat ada tidaknya serangga malam yang datang ke bunga saat bunga mulai membuka sampai mekar penuh. Pengamatan yang sama dilakukan pada malam hari berikutnya. Penelitian komunitas dan kunjungan harian serangga pengunjung bunga R. patma di luar habitat aslinya menggunakan satu bunga betina R. patma di Kebun Raya Bogor, yang mulai mekar pada tanggal 21 Juli 2010. Bunga ini berada dalam satu habitat buatan yang sama dengan dua bunga yang telah mekar sebelumnya (pada bulan Juni 2010). Pada habitat tersebut beberapa bunga R. patma yang masih kuncup atau dalam bentuk seperti umbi yang ada di dalamnya. Serangga yang dihitung adalah serangga yang hinggap pada bagianbagian bunga yang dapat dilihat dengan mata (Sofiyanti et al. 2007). Pengamatan serangga pengunjung bunga R. patma 431

Kahono dkk

terutama dilakukan pada (1) saat bunga mekar penuh (warna bunga orange kusam) selama dua hari tanggal 21-22 Juli 2010, dan (2) saat bunga layu (warna bunga berubah menjadi kehitaman) pada tanggal 25-26 Juli 2010. Penghitungan serangga dilakukan pada pagi, siang, dan sore hari masing-masing selama 30 menit, pagi (jam 06:00, 07:00, dan 08:00 WIB, masing-masing selama 10 menit), siang (jam 11:00, 12:00, dan 13:00 WIB, masingmasing selama 10 menit), dan sore (jam 14:00, 15:00, dan 16:00 WIB, masingmasing selama 10 menit). Pengambilan spesimen serangga dilakukan untuk jenis-jenis yang belum diketahui namanya yang memerlukan identifikasi. Pada jenis-jenis serangga pengunjung bunga layu jumlahnya sangat banyak sehingga tidak mungkin dihitung secara langsung, oleh karena itu dilakukan penangkapan dengan net serangga masing-masing sekali pada pagi, siang, dan sore. Pengawetan, identifikasi dan fotografi terhadap serangga yang telah dikoleksi dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Setiap spesimen yang diambil dibuat spesimen kering, diidentifikasi secara morfo-species, dicocokkan dengan buku dan referensi baku yaitu Rudnitski (1991; 1993) dan Colles & McAlpine (1970). Spesimen juga dibandingkan dengan spesimen koleksi ilmiah Laboratorium Entomologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi - LIPI, dibuat foto, dan diberi nomor setiap jenisnya agar terhindar dari kesalahan dalam menghitung populasinya.

Data yang diperoleh adalah data komunitas yang terdiri dari keanekaragaman jenis dan jumlah individunya pada setiap watu pengamatan. Untuk keperluan analisis data maka dilakukan rekapitulasi atau kombinasi dua hari data pada pagi, siang, dan sore, pada bunga mekar dan layu. Jumlah individual serangga yang ditemukan pada setiap pengamatan dianalisis langsung dan dikaitkan dengan analisa karakter morfologi dan perilakunya yang disajikan dalam tabel dan gambar. Keanekaragaman dan kemerataan species pengunjung bunga pada masing-masing waktu pengamatan dan kondisi bunga sangat jelas diketahui melalui tabel dan gambar. Untuk melihat pola kunjungan hariannya maka data keanekaragaman dan populasi serangga dikaitkan dengan waktu pengamatan dan kondisi bunga mekar dan layu. HASIL Komunitas serangga pengunjung bunga mekar dan layu Pada pengamatan malam hari pertama tanggal 20 Juni sampai dini hari tanggal 21 Juni 2010 dan malam hari berikutnya menunjukkan bahwa dari awal bunga R. patma betina membuka sudah tercium aroma agak anyir atau seperti bau pembusukan walaupun tidak begitu kuat dirasakan. Pada saat itu tidak ditemukan serangga yang datang ke bunga tersebut pada malam hari. Data ini menunjukkan bahwa serangga yang aktif mengunjungi bunga R. patma bukan serangga malam.

432

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Penelitian komunitas ini menemukan serangga pengunjung bunga R. patma di Kebun Raya Bogor sebanyak 23 jenis (14 famili, 1194 individu) terdiri dari tiga ordo yaitu Coleoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Ordo yang paling banyak anggotanya adalah Diptera (10 famili, 18 jenis, 1176 individu), diikuti berturut-turut oleh Hymenoptera (2 famili, 3 jenis, 13 individu), dan Coleoptera (2 famili, 2 jenis, 5 individu) (Tabel 1 dan Gambar 1). Jumlah individu yang mengunjungi bunga saat mekar dan layu setiap jenis serangga pada umumnya sangat sedikit di bawah 1,35% dari total individu. Jumlah individu yang tertinggi adalah Chrymomyza amoena (453 individu atau 37,94%), diikuti berturut-turut oleh Microdroso-phila claytonae (231 atau 19,35%), Pterogramma palliceps (160 atau 13,40%), Drosophila colorata (90 atau 7,54%), Microdrosophila sp. (80 atau 6,70%), Chrysomya megacephala (32 atau 2,68%), Heteromyza oculata (28 atau 2,35%), Stegana coleoptrata (25 atau 2,09%) (Tabel 1). Lima jenis lalat (Anthomyza gracilis, Chrysomya megacephala, Heteromyza oculata, Lispe Canadensis, dan Lecanocerus

compressicerps) berkunjung pada bunga mekar maupun bunga layu (Tabel 3). Jumlah seluruh individu setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patma pada pengamatan pagi, siang, dan sore di Kebun Raya Bogor menunjukkan bahwa yang terbanyak pada pagi hari adalah ordo Diptera dan Coleoptera, dan pada siang hari pada Hymenoptera (Gambar 2 dan Tabel 2). Keanekaragaman serangga yang mengunjungi bunga mekar dan bunga layu ada 5 jenis semuanya termasuk kelompok lalat (Diptera) yaitu Anthomyza gracilis, Chrysomya megacephala, Heteromyza oculata, Lispe canadensis, dan Lecanocerus compressicerps (Tabel 3). Komunitas dan fluktuasi harian serangga pada bunga sedang mekar Ditemukan lima jenis lalat yang hanya mengunjungi bunga R. patma yang sedang mekar yaitu Astiosoma flaveolum, Leiomyza laevigata, Hemipyrellia tagaliana, Stegana coleoptrata, dan Tephrochlamys rufiventris (Tabel 3, Gambar 3). Serangga yang mengunjungi tersebut tidak nampak terlihat fluktuasi

Hymenoptera Coleoptera 3 2 13% 9%

Mekar, 5

Layu, 1 1
Diptera 18 78%

Mekar & Layu, 5

Gambar 1. Proporsi jumlah jenis dari seluruh jenis serangga pengunjung bunga R. patma di Kebun Raya Bogor (kiri). Jumlah jenis serangga yang mengunjungi bunga R. patma yang sedang mekar saja, bunga yang layu saja, dan bunga layu maupun layu (kanan).

433

Kahono dkk

Tabel 1. Keanekaragaman, kelimpahan, dan persentase dari jumlah total individu serangga pengunjung bunga R. patma di Kebun Raya Bogor
Ordo/Jenis COLEOPTERA 1 2 Hydrophylidae sp. Staphilinidae sp. Sub-total DIPTERA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Anthomyza gracilis Astiosoma flaveolum Leiomyza laevigata Chrysomya megacephala Hemipyrellia tagaliana Nanomyina litorea Chrymomyza amoena Drosophila colorata Microdrosophila sp. Drosophila albomicans Stegana coleoptrata Heteromyza oculata Tephrochlamys rufiventris Lispe canadensis Hypocerides nectcus Lecanocerus compressicerps Pterogramma palliceps Amphicnephes pullus Sub-total HYMENOPTERA 1 2 3 Total Trigona laeviceps Formicidae sp. Aenictus sp. Sub-total Apidae Formicidae Formicidae 1 1 11 13 1194 0,08 0,08 0,92 1,09 100,00 Anthomyzidae Asteiidae Asteiidae Calliphoridae Calliphoridae Dolichopodidae Drosophilidae Drosophilidae Drosophilidae Drosophilidae Drosophilidae Heleomyzidae Heleomyzidae Muscidae Phoridae Phoridae Sphaeroceridae Platystomatidae 11 1 15 32 7 2 453 90 80 231 25 28 16 11 2 8 160 4 1176 0,92 0,08 1,26 2,68 0,59 0,17 37,94 7,54 6,70 19,35 2,09 2,35 1,34 0,92 0,17 0,67 13,40 0,34 98,49 Hydrophylidae Staphilinidae 3 2 5 0,25 0,17 0,42 Famili Jumlah Persentase

434

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Tabel 2. Jumlah individu (n) dan jenis (j) dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patma pada bunga mekar dan layu pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun Raya Bogor
Bunga Mekar pagi Ordo Coleoptera Diptera Hymenoptera n 0 53 1 j 0 10 1 siang n 0 57 0 j 0 9 0 n 0 33 0 sore j 0 7 0 pagi n 3 442 0 j 1 8 0 n 0 319 10 Bunga Layu siang j 0 9 2 sore n 2 272 2 j 1 8 1

495
500 450

376
400 350 300 250 200 150 100 50 0

305

10
2

3 0 pagi siang sore


Coleoptera Diptera Hymenoptera

Gambar 2. Jumlah seluruh individu dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patma pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun Raya Bogor

60

57 53

50

40

33

30

20

1 0
10

0
0

0 0

pagi siang sore


Coleoptera Diptera Hymenoptera

Gambar 3. Jumlah seluruh individu dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patma sedang mekar pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun Raya Bogor

435

Kahono dkk

442
450 400 350 300 250 200 150

319 272

0
100 50 0 pagi siang

10 2

3 0 2

sore

Coleoptera

Diptera

Hymenoptera

Gambar 4. Jumlah seluruh individu dari setiap ordo serangga pengunjung bunga R. patma layu pada setiap waktu pengamatan (pagi, siang, dan sore) di Kebun Raya Bogor

jenis dan populasi dari pagi sampai sore atau tidak seperti yang terjadi pada bunga lain yang mengindikasi bunga pengunjungnya berbeda antara pagi dan sore. Komunitas dan fluktuasi harian serangga pada bunga layu Ditemukan dua jenis kumbang (Hydropilidae sp. dan Staphilinidae sp.), dua jenis dari Hymenoptera (T. laeviceps dan Aenictus sp.) pada bunga R. patma yang layu, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Tujuh jenis lalat (Nanomyina litorea, Chrymomyza amoena, Drosophila colorata, Microdrosophila sp., Drosophila albomicans, Hypocerides nectcus, Pterogramma palliceps, dan Amphicnephes pullus ) berkunjung hanya pada bunga layu (Tabel 3). Jumlah individu lalat yang ditemukan pada bunga layu sangat banyak mencapai 442 individu, namun ada sedikit fluktuasi lalat pada pagi sampai sore hari. Jumlah individu lalat paling tinggi pada pagi hari kemudian menurun pada siang dan terendah pada sore hari (Gambar 4).

PEMBAHASAN Pada penelitian ini dilakukan pengamatan malam pada bunga yang sedang mekar untuk melihat serangga malam yang datang ke bunga R. patma, namun tidak menemukan serangga malam yang datang pada bunga. Data ini menunjukkan bahwa serangga malam tidak dimungkinkan sebagai penyerbuk bunga ini. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa tidak terjadinya fluktuasi serangga yang menonjol pada pagi dibandingkan dengan siang dan sore hari baik pada bunga mekar maupun bunga layu, dapat diartikan bahwa tidak terjadi perubahan kondisi bunga yang menyolok pada pagi dibandingkan dengan siang dan sore hari atau tidak seperti layaknya pada beberapa jenis bunga tanaman pertanian yang diketahui ada perkembangan dan perubahan bunga sepanjang hari (Uji et al. 2010). Seperti layaknya pada bunga yang waktu mekarnya berbeda yaitu pada pagi sampai sore hari ternyata berpengaruh pada variasi keanekaragaman dan populasi serangga pengunjung bunganya (Kahono 2001; Atmowidi 2008; Rianti 2009). Sebaliknya, untuk

436

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Tabel 3. Keanekaragaman dan kelimpahan serangga pengunjung bunga R. patma berdasarkan waktu pengamatan di Kebun Raya Bogor
Ordo No. 1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 1 2 3 Jenis Coleoptera: Hydrophylidae sp. Staphilinidae sp. Diptera: Anthomyza gracilis Astiosoma flaveolum Leiomyza laevigata Chrysomya megacephala Hemipyrellia tagaliana Nanomyina litorea Chrymomyza amoena Drosophila colorata Microdrosophila sp. Drosophila albomicans Stegana coleoptrata Heteromyza oculata Tephrochlamys rufiventris Lispe canadensis Hypocerides nectcus Lecanocerus compressicerps Pterogramma palliceps Amphicnephes pullus Hymenoptera: Trigona laeviceps Formicidae sp. Aenictus sp. Famili Hydrophylidae Staphilinidae Anthomyzidae Asteiidae Asteiidae Calliphoridae Calliphoridae Dolichopodidae Drosophilidae Drosophilidae Drosophilidae Drosophilidae Drosophilidae Heleomyzidae Heleomyzidae Muscidae Phoridae Phoridae Sphaeroceridae Platystomatidae Apidae Formicidae Formicidae 6 1 8 5 2 1 3 13 2 2 4 8 3 205 38 45 88 9 11 5 3 12 9 6 7 4 7 5 1 2 1 38 MEKAR pa si so pa 3 2 2 LAYU si so

3 2 155 26 20 72

93 26 15 71 1

4 62 1

60 3

1 1 9 2

kasus waktu mekar bunga R. patma terus ritme kunjungan serangga antara pagi, siang dan sore tidak dijumpai. Perbedaan hanya dijumpai terlihat jika kita membandingkan serangga pengunjung antara saat bunga mekar dan layu. Pada

kasus bunga ini, walaupun tidak terlihat perbedaan serangga pengunjungnya yaitu antara pagi dan siang bukan berarti bahwa tidak terjadi perubahan fisiologis bunga R. patma , namun sayangnya hingga saat penulisan ini, proses fisiologis 437

Kahono dkk

bunga ini saat mekar hingga layu belum ada peneliti yang mendata dan mencatatnya sehingga tidak dapat diketahui penyebab ketidak-fluktuasian serangga pengunjung. Kelompok lalat (Diptera) paling banyak mengunjungi bunga R. patma karena ketertarikannya kepada aroma bunga tersebut. Strategi mengeluarkan bau busuk seperti bangkai menyebabkan lalat tertarik pada bunga ini. Oleh karena itu lalat tersebut disebut juga carrion flies (Beaman et al. 1988; Rudnitski 1991; 1993) dan diduga lalat sebagai penyerbuknya. Lalat Sarcophaga sp., lalat buah Drosophila sp., lalat hijau Lucilia sp., dan lalat biru Protocalliphora sp. Dijumpai sebagai penyerbuk bunga R. patma di CA Leuweung Sancang Garut (Jawa Barat) (Priatna et al. 1989). Pada kasus pembungaan bunga ini, ternyata ada spesialisasi jenis serangga yang berkunjung pada bunga mekar saja atau bunga layu saja, atau berkunjung pada keduanya. Kecuali semut Formicidae sp dan lalat Astiosoma flaveolum, maka sepuluh jenis tersebut diduga yang paling dimungkinkan sebagai penyerbuk bunga R. patma. Dugaan tersebut didasarkan pada fakta bahwa mereka aktif dengan sengaja mengunjungi bunga R. patma yang mengeluarkan aroma attractant, tubuh memiliki rambut-rambut yang dimungkinkan untuk menempel serbuk sari, dan waktu kunjungan bertepatan dengan bunga yang sedang mekar. Lalat juga disebutkan sebagai penyerbuk pada jenis-jenis Rafflesia (Herdiyanti 2009; Priatna et al. 1999). Seluruh jenis yang 438

termasuk ordo Coleoptera dan Hymenoptera, dan lalat Astiosoma flaveolum walaupun mengunjungi bunga pada saat bunga sedang mekar tetapi sangat kecil kemungkinannya sebagai penyerbuk bunga R. patma karena kedatangannya secara eksidental saja dan tidak aktif. Seluruh jenis Coleoptera dan Hymenoptera tidak berpotensi sebagai penyerbuk karena kedatangannya hanya eksidental mengunjungi bunga R. patma. Selain itu ada tujuh jenis lalat ( Nanomyina litorea, Chrymomyza amoena, Drosophila colorata, Microdrosophila sp., Drosophila albomicans, Hypocerides nectcus, Pterogramma palliceps, dan Amphicnephes pullus) hanya ditemukan pada bunga layu saja sehingga pertemuan dengan bunga yang sedang mekar tidak terjadi sehingga fungsinya lebih sebagai pemakan zat-zat yang ada pada bunga layu daripada sebagai penyerbuk R. patma. Untuk menentukan jenis serangga yang nyata-nyata sebagai penyerbuk suatu bunga berumah dua seperti bunga R. patma ini diperlukan dua bunga jantan dan betina yang mekar bersamaan. Sayangnya, ketidak beradaan bunga jantan dan dalam penelitian ini hanya menggunakan bunga betina tunggal, sehingga penentuan jenis lalat penyerbuk bunga R. patma tidak bisa disimpulkan. Berbagai analisis dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan morfologi, perilaku, dan pendekatan biologi lainnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan penting (Dafni 1992). Aspek perilaku misalnya lalat datang pada saat bunga sedang mekar, memiliki aktifitas terbang

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

dan pindah tinggi pada bagian-bagian penting bunga dan antar bunga. Jenisjenis lalat yang berkunjung pada bunga R. patma mekar saja atau juga yang mengunjungi bunga mekar dan layu diduga menjadi jenis yang potensial sebagai penyerbuk. Perilaku atau aktifitas dari lalat yang aktif terbang berpindah-pindah ke bagian-bagian dalam dari bunga dimana organ kelamin berada dan bagian luar tubuh lalat yang dipenuhi dengan rambut-rambut yang dapat menempelkan serbuksari menjadi bahan pertimbangan penting dalam memperkirakan jenis mana yang memiliki kemungkinan kuat sebagai penyerbuk bunga R. patma. Berdasarkan data tersebut maka jenis-jenis lalat yang diduga memiliki kemampuan tinggi menyerbuki bunga R. patma adalah Leiomyza laevigata (Asteiidae), Chrysomya megacephala dan Hemipyrellia tagaliana (Calliphoridae), Stegana coleoptrata (Drosophilidae), Heteromyza oculata dan Tephrochlamys rufiventris (Heleomyzidae). Sedangkan yang kurang potensial sebagai penyerbuk adalah Anthomyza gracilis (Anthomyzidae), Lispe Canadensis (Muscidae), dan Lecanocerus compressicerps (Phoridae). Penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan tingkat skala potensial dari ke-sepuluh jenis lalat tersebut sebagai penyerbuk bunga R. patma terutama pada saat bunga jantan dan betina mekar bersamaan. Jenis apa yang potensial sebagai penyerbuk dihubungkan dengan strategi penyerbukannya di waktu yang akan datang. Sebagian besar jenis dan individu dari Drosophila mendatangi bunga R. patma

setelah bunga mulai layu, kecenderungan semakin banyak pada hari ke tiga dan seterusnya. Pada Saat bunga dikoleksi oleh staf Kebun Raya Bogor pada tanggal 29 Juli 2010 atau sembilan hari setelah bunga mekar masih banyak dijumpai lalat Drosophila spp. Walaupun jumlahnya sudah sangat menurun. Genus Drosophila selama ini dikenal sebagai fruit flies yang karakteristik pada buah lewat matang atau buah yang membusuk (Nais 2004; Anonim 2010; Markow & OGrady 2006). Drosophila mengambil material dari bunga R. patma yang membusuk dan dimungkinkan menaruh telurnya pada bagian bunga yang lunak untuk pertumbuhan larvanya. Sayangnya, bunga tersebut diambil untuk spesimen koleksi ilmiah Kebun Raya Bogor sehingga pembuktian tentang pemanfaatan bunga untuk media bagi Drosophila belum dapat dibuktikan. Pada bunga layu banyak peranannya sebagai perombak dan banyak jenis memanfaatkan bunga lapuk sebagai pakan anakannya. Berbagai keterbatasan syarat hidup, adaptasi pada lingkungan yang spesifik, penurunan kualitas dan kuantitas habitat alam yang terus terjadi menjadi penyebab semakin jarangnya bunga ini. Selain bahwa jenis ini di alam sudah jarang, beberapa faktor lain yang menyebabkan jenis bunga ini menjadi langka adalah sifat parasitismenya yang mutlak spesifik (Barkman et al. 2004; Latiff & MatSalleh 1991); bunga berumah dua (Meiyer 1997), tidak seimbangnya rasio seks (Nais 2001) sehingga jarang bunga betina terserbuki (Brown 1912), dan

439

Kahono dkk

faktor mortalitas bunga yang yang tinggi (Nais 2004; Emmons et al. 1991). Selama pengamatan tidak ditemukan kelompok binatang lain yang tercatat mengunjungi bunga. Hanya seekor kodok Rana sp. yang berada di bawah atau di sekitar bunga R. patma untuk memburu lalat-lalat yang mengunjungi bunga. KESIMPULAN - Ditemukan sebanyak 23 jenis serangga pengunjung bunga R. patma di luar habitat aslinya Kebun Raya Bogor, 18 jenis diantaranya adalah lalat. - Jenis-jenis lalat yang diduga dapat sebagai penyerbuknya bunga R. patma adalah Leiomyza laevigata (Asteiidae), Chrysomya megacephala dan Hemipyrellia tagaliana (Calliphori-dae), Stegana coleoptrata (Drosophili-dae) , Heteromyza oculata dan Tephrochlamys rufiventris (Heleomyzidae) SARAN - Dalam upaya konservasi eksitu R. patma perlu mempertimbangkan agar pembungaan yang terjadi di luar habitat tidak sia-sia dengan mengupayakan terjadinya waktu mekar bunga jantan dan betina terjadi bersamaan. Hal ini penting untuk agar penyerbukan dapat terjadi sehingga terbentuk biji yang dalam ditumbuhkembangkan. - Bila dimungkinkan dengan membuat stok serbuk sari yang masih aktif

sehingga dapat diserbukkan pada bunga betina yang mekar kemudian. UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih disampaikan kepada Kepala Kebun Raya Bogor melalui staf administrasi yang terkait yang telah memberikan ijin kepada kami dalam menggunakan bunga R. patma untuk penelitian ini. Bapak Ngatari yang telah memberikan banyak informasi tentang bunga R. patma dan Sdr. Sarino yang telah membantu melakukan pengamatan. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian rutin yang selama ini kami lakukan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Rafflesia: Biological Sciences. Dalam http://home pages.wmich.edu/~tbarkman/ rafflesia/Rafflesia.html. Western Michigan University. Atmowidi, T. 2008. Keanekaragaman dan Perilaku Kunjungan Serangga Penyerbuk Serta Pengaruhnya Dalam Pembentukan Biji Tanaman Caisin ( Brassica rapa L.: Cruciferae). [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Barkman, TJ., SH. Lim, K. Mat-Salleh, and J. Nais. 2004. Mitohondrial DNA sequences reveal the photosynthetic relative on Rafflesia, the worlds largest flower. PNAS. 1001 (3): 787-792. Barth, FG. 1991. Insect and flowers. The Biology of Partnership. Nwe Jersey: Princeton Univ. Press.

440

Komunitas Serangga Pada Bunga Rafflesia patma

Beaman RS., PJ. Decker, JH. Beaman. 1988. Pollination of Rafflesia (Rafflesiaceae). Amer. J. Bot. 75 (8): 1148-1162. Brake, I. & Bchli, G. 2008. Drosophilidae (Diptera). In World Catalogue of Insects, pp. 1-412. Brown, WH. 1912. The relation of Rafflesia manillana to its host. Philippine J. Sci.Bot.7: 209"236. Colles, DH. & DK. McAlpine. 1970. Diptera. In Waterhouse (ed.) 1970. The Insect of Australia. Melbourne University Press. Dafni, A. 1992. Pollination Ecology: A Practical Approach. Oxford Univ. Press. Emmons, LH., J. Nais, & A. Briun. 1991. The fruit and consumers of Rafflesia keithii (Rafflesiaceae). Biotropica 23 (2): 197-199. Faegri K. & L van der Pijl. 1971. The principles of pollination ecology. Pergamon Press. 291 pp. Free JB. 1993. Insect Pollination of crops. Second edition. Academic Press. 684 pp. Herdiyanti, PR. 2009. Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Garut Jawa Barat. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB. Kahono, S. 2001. Peranan dan Permasalahan Serangga Penyer-buk di Indonesia. Fauna Indonesia . 5 (2): 9-16.

Koorder, S.H. 1917. Notiz ber eine neue abbildung von Rafflesia hasseltii Sur. Latiff, A. & K. Mat-Salleh. 1991. Rafflesia. In: Kew, R. (ed.). The State of Nature Conservation in Malaysia. Kuala Lumpur: Malayan Nature Society-International Development and Research Centre of Canada. Latiff, A. & M. Wong. 2003. A new species of Rafflesia from peninsular Malaysia. Folia Malaysiana 4: 135-146. Markow, TA. & PM. OGrady (2006). Drosophila : A guide to species identification and use. London, UK, Elsevier Inc. Meiyer, W. 1997. Rafflesiaceae. Flora Malesiana. Series I Vol 13: 1-42. Nais J. 2001. Rafflesia of the World. Sabah Parks, Kota Kinabalu. Nais, J. 2004. Rafflesia Bunga Terbesar di Dunia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Dalam: Http://en.wikipedia.org/wiki/ Rafflesia. 1 Agustus 2010. Ong, LP. 2004. Biologi Rafflesia hasseltii Tanjung Datu, Sarawak. [Thesis]. Bangi: Pusat Studi Sains Sekitaran dan Sumber Alam, Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti Kebangasaan Malaysia. Priatna, DR, EAM. Zuhud, HS. Alikodra. 1989. Kajian ekologis Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Jawa Barat. Media Konservasi 2 (2): 1-7. Remsen, J. & P. OGrady (2002). Phylogeny of Drosophilinae (Diptera: Drosophilidae), with 441

Kahono dkk

comments on combined analysis and character support. Mol. Phylo. Evol. 24:249-264. Rianti, P., 2009. Keragaman, Efektifitas, dan Perilaku Kunjungan Serangga Penyerbuk Pada Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.: Euphorbiaceae). [Tesis] Magister Sains. Departemen Biologi. Sekolah Pascasarjana IPB. Rudnitski, SM. (ed.). 1991. Manual of Nearctic Diptera. Volume 1. Canadian Government Publishing Centre. Rudnitski, SM. 1993. Manual of Nearctic Diptera. Volume 2. Monograph/ Agriculture Canada; 27-28. Sofiyanti N, K. Mat-Salleh, D. Purwanto, E. Syahputra. 2007. The Note on Morphology of Rafflesia hasseltii Surigar from Bukit Tiga Puluh National Park, Riau. Biodiversitas 9( 1): 257-261. Uji, T., Erniwati & S. Kahono. 2010. Kajian biologi bunga pada beberapa tanaman pertanian musiman untuk mendukung manajemen penyerbu-

kannya. J. Tekno. Lingkungan (accepted). Wiriadinata H. 2007. Tumbuhan. Dalam: Noerdjito M & I Maryanto (eds.). Jenis-jenis hayati yang dilindungi perundang-undangan Indonesia.Cetakan ke-tiga. LIPI Press. Walter, KS. & Gillett, H.J. 1998. 1997 IUCN Red List of Threatened Plants. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Yahya AF, JO Hyun, JH Lee, TB Choi, BY Sun & PG Lapitan. 2010. Distribution pattern, reproductive biology, Cytotaxonomic study and CONSERVATIONof Rafflesia manillana in Mt. Makiling, Laguna, Philippines. Journal of Tropical Forest Science 22(2): 118126. Zuhud, EAM, A. Hikmat, & N. Jamil. 1998. Rafflesia Indonesia, Keanekaragaman, Ekologi dan Pelestariannya. Bogor: Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Suaka Margasatwa Indonesia (The Indonesia Wildlife Foundation) dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor.

Memasukkan: Agustus 2010 Dioterima: September 2010

442

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 443-458 (2010)

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara
Hetty I.P. Utaminingrum & Eko Sulistyadi
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong Science Centre, Jl. Raya Jakarta Bogor KM 46, Cibinong. Email: hett003@lipi.go.id

ABSTRACT Study on the relationships between vegetation coverage and bird distribution in Moti Island, Ternate, North Moluccas. Research study on relationships between vegetation coverage and bird distribution in Moti Island, Ternate, Moluccas was conducted on May 2010. The objective of this research is to understand the bird species occurrence on a vegetation type as an indicator for environment quality determination in small Moti Island. Data on the occurrence of bird species in the every vegetation type was collected and recorded using exploration method. The bird species were identified for the scientific name, local name, their activities, location or coordinate position and their vegetation or habitat. The data then compiled and tabulated for the spatial analyses using Ikonos image and topographic (SRTM) maps data. The data output from the spatial analyses then analyzed using Principle Component Analyses (PCA) to get the most important factors of vegetation cover types that influenced the occurrence of the bird species. The results showed that about 34 bird species, belong to 20 families and 29 genera have occurred in the Moti Island. About 13 vegetation types were recorded as natural sites of bird species for feeding, playing and breeding grounds. Analyzing data using PCA showed that at least 3 vegetation types have played as important sites for bird species in this area. The sites were mangrove, secondary forest and mixed gardens. The roles of both three important vegetation types and bird species as environment quality indicators were in detail discussed in this paper. The discussion also includes how to develop fisherman villages in Moti Island using its own natural resources and biodiversity. Key words: Moti Island, birds distribution, vegetation coverage, spatial analyses

PENDAHULUAN Pulau Moti termasuk dalam kategori pulau kecil sesuai dengan kriteria yang terdapat dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002. Luas pulau ini hanya sekitar 24.6 km2 dengan jumlah penduduk tidak

lebih dari 4.797 jiwa (Anonim 2008 a), secara fisik geografis pulau ini masuk dalam wilayah Maluku Utara merupakan gugusan pulau dalam kawasan Wallacea dimana tingkat keanekaragaman hayati cukup tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman hayati ini didukung oleh variasi jenis vegetasi (Utaminingrum & Roemantyo

443

Utaminingrum & Sulistyadi

2010) dan jumlah satwa burung (Sulistyadi 2010) yang ditemukan di pulau Moti. Tutupan vegetasi mempunyai peranan penting dalam kelangsungan hidup bagi satwa yang ada disekitarnya. Beberapa tahun terakhir sebagian besar wilayah pulau Moti ini telah berubah menjadi areal perkebunan terutama kebun pala, kenari, cengkih dan kelapa. Berkurangnya luasan vegetasi, adanya perubahan fungsi hutan dan penggunaannya serta sulitnya diperoleh air tanah di daerah pegunungan (Roemantyo 2010) tentunya akan mempengaruhi keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Keunikan tumbuhan dan satwa pulau Moti ini belum pernah diungkap secara rinci tampak dari data spesimen koleksi dan herbarium yang tersimpan di Museum Zoologicum Bogoriense dan Herbarium Bogoriense masih sangat terbatas. Karena itu kajian tentang satwa dalam hubungannya dengan tutupan vegetasi perlu dilakukan. Dalam penelitian ini akan diteliti hubungan antara tutupan vegetasi dan satwa burung yang ada di pulau Moti. Kajian ini bertujuan untuk melihat kecenderungan keterdapatan satwa burung pada tipe tutupan vegetasi yang dapat menjadi salah satu indikator bagi baik tidaknya kualitas lingkungan secara umum di kawasan pulau Moti. BAHAN DAN CARA KERJA Dalam penelitian ini bahan yang digunakan untuk pengolahan data spasial antara lain beberapa peta digital yaitu berupa peta rupa bumi 1:250.000 444

(Bakosurtanal 1999), peta tematik tutupan lahan, 1:250.000 (Re PPProt 1989) dan Citra IKONOS Juni 2006 (Space Imaging, 2006), citra satelit topografi (SRTM Shuttle Radar Topographic Mission). Peralatan yang digunakan adalah peralatan lapangan dan peralatan laboratorium. Peralatan lapangan dibagi menjadi dua terdiri dari peralatan untuk pengamatan burung (binokuler, jaring dan buku panduan lapangan Burung-Burung Wallacea) dan peralatan untuk pengumpulan data spasial (GPS, altimeter, kompas, kamera digital, alat tulis). Peralatan laboratorium terdiri dari alat bedah dan prosesing spesimen burung, sedangkan peralatan laboratorium untuk pengolahan data spasial berupa perangkat keras komputer (personal komputer), perangkat lunak GIS (Geographical Information System) yang berkemampuan raster dan vector (ArcView 3.3), perangkat lunak pengolah Citra (ErdasImagine 9.1 dan Global Mapper 9), perangkat lunak pengolah data dari GPS (MapSource), perangkat lunak pengolah data tekstual (Microsoft Access), printer warna untuk mencetak peta dan untuk analisis statistik menggunakan perangkat lunak SPSS 12 for Windows. Penelitian lapangan dilakukan di pulau Moti, kecamatan Moti, Kota Ternate, propinsi Maluku Utara pada tanggal 1 17 Mei 2010. Ada 6 kelurahan yang dijadikan obyek observasi satwa burung yaitu Motikota, Figur, Tadenas, Tafaga, Tafamutu, dan Takofi. Mengingat topografi kawasan sangat terjal maka data primer keterdapatan satwa burung dikumpulkan dengan mengambil contoh secara acak

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

(eksplorasi) di dataran rendah dan di dataran tinggi dengan cara membuat jalur dan titik pengamatan pada peta dengan GPS. Di dataran rendah ekplorasi dilakukan dengan mengambil cuplikan di 6 kelurahan (Motikota, Figur, Tadenas. Tafaga, Tafamutu, dan Takofi) mulai dari pinggir pantai sampai pada ketinggian 100 m dpl. Sedangkan untuk dataran tinggi eksplorasi dilakukan di kelurahan Motikota dan Tadenas sampai pada ketinggian 700 m dpl. Data yang dikumpulkan antara lain nama jenis dan jumlah individu satwa burung, macam aktifitas, waktu beraktifitas, nama jenis tumbuhan tempat beraktifitas dan nama lokasi (kelurahan atau kampung). Posisi seluruh keterdapatan satwa burung dicatat koordinat ( latitude dan longitude) , ketinggian (altitude) dengan menggunakan alat bantu GPS (Global ositioning System). Identifikasi terhadap nama ilmiah burung menggunakan acuan dari Brian J.C. dan K. D. Bishop (1997). Analisis terhadap posisi keterdapatan satwa burung terhadap tutupan lahan dilakukan terhadap hasil digitasi pemanfaatan lahan dan interpretasi akhir yang dilakukan oleh Utaminingrum dan Roemantyo (2010), sedangkan klasifikasi keterdapatan satwa burung secara vertikal digunakan dengan menumpang susunkan data pada peta citra topografi (SRTM). Sebelum melakukan penggabungan data spasial dengan data tekstual, terlebih dahulu citra Satelit Ikonos + SRTM dikoreksi geometriknya dengan menggunakan perangkat lunak Erdas Imagine 9.1 pada peta rupa bumi (Bakosurtanal 1999) sebagai referensi. Citra SRTM diolah

dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper 9 untuk mendapatkan data topografi dengan beda ketinggian 5 m. Analisis data spasial dan tekstual ini selanjutnya diolah dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 untuk mendapatkan hubungan antara kelas ketinggian, tipe vegetasi dan jenis satwa burung. Agar proses query lebih mudah, pengelompokan dan penggabungan data spasial dengan data tekstual digunakan perangkat lunak Microsoft Access . Sedangkan untuk menganalisis hubungan antara tipe-tipe vegetasi dengan kehadiran jenis dan jumlah satwa burung digunakan perangkat lunak SPSS 12 for Windows. Normalisasi dan standarisasi data dilakukan sebelum data dianalisis. Seluruh nilai yang diperoleh sebelum dianalisis dinormalisasi dan distandarisasi dengan metode analisis Kluster (Kreb 1989) Normalisasi data diperlukan untuk membuat data proporsional, yaitu dengan menggunakan rumus:

P=

n1 N1

dimana, P = Nilai proporsional n1 = Nilai asli ke i N1 = Penjumlahan seluruh nilai Sedangkan standarisasi data dilakukan dengan menggunakan metode transformasi dengan menggunakan rumus: xI = log(x + 1) dimana, 445

Utaminingrum & Sulistyadi

xI = nilai data yang telah di transformasi x = nilai asli. Jika nilai proporsional masih 0, maka nilai tersebut diganti dengan nilai 0.1 untuk penghitungan kalkulasi proporsi. HASIL Jenis satwa burung yang ditemukan Observasi yang dilakukan di 6 kelurahan yaitu Motikota, Figur, Tadenas, Tafaga, Tafamutu, dan Takofi meliputi 293 titik koordinat di 58 lokasi pengamatan yang tersebar dari pinggir laut hingga kawasan pegunungan yang terjal pada ketinggian 700 m dpl. Tercatat ada sekitar 34 jenis nama satwa burung yang tercatat hidup dikawasan ini, meliputi 20 suku, 29 marga. Suku Accipitridae adalah yang paling banyak ditemukan, yaitu dengan 5 jenis dengan 3 marga yaitu Accipiter, Haliastur dan Milvus. Kemudian disusul dengan suku Columbidae 4 jenis, Alcedinidae 3 jenis, Cucculidae, Psittacidae, Nectariniidae, Campephagidae dan Sturnidae masing-masing 2 jenis. Sisanya sebanyak 12 suku berupa satwa burung dengan masing-masing 1 marga dan 1 jenis. Daftar jenis satwa burung yang telah diidentifikasi disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 tercatat paling tidak terdapat 4 jenis yang endemik Maluku yaitu Elang kecil maluku, Cekakak biru putih, Kapasan halmahera, Walik topi biru. Disamping itu tercatat pula jenis-jenis burung yang endemik di pulau lain tetapi ditemukan di pulau ini seperti Elang alap ekor totol endemik di Sulawesi, Bondol jawa endemik di Sumatra, Jawa dan Timor, serta burung Gosong kelam yang endemik 446

dari Papua. Beberapa jenis yang lain tercatat sebagai satwa burung migran. Sebaran vertikal satwa burung Meskipun pulau Moti luasnya hanya sekitar 24.6 km2, dengan topografi yang bergunung-gunung terjal mulai dari pantai hingga puncak gunung Tuaname (930 950 m dpl.) yang berjarak kira-kira 2,5 3 km dari Motikota ini tampak menjadi salah satu pembatas sebaran satwa burung. Sebaran burung secara vertikal menunjukkan adanya perbedaan jumlah perjumpaan jenis burung yang ditemukan di masing-masing zona ketinggian. Analisis spasial sebaran burung dengan peta topografi yang diolah dari citra SRTM digambarkan pada histogram perjumpaan satwa burung di masingmasing ketinggian di Pulau Moti (Gambar 1). Dari gambaran histogram perjumpaan satwa burung, tampak bahwa total perjumpaan terhadap satwa burung paling banyak terjadi di dataran rendah kurang dari 100 m dpl yaitu mencapai lebih dari 140 individu. Pada ketinggian diatas 100 m total perjumpaan indovidu burung cenderung berkurang drastis menjadi sekitar 30 ekor/individu. Demikian juga jumlah jenis burung yang dijumpai di dataran rendah lebih banyak dibandingkan dengan lokasi yang lebih tinggi. Pada ketinggian kurang dari 50 m dpl ditemukan sekitar 30 jenis burung, dan jenis yang ditemukan pada ketinggian sekitar 100 m dpl sudah di bawah 20 jenis, Perjumpaan satwa burung dan jenisnya mulai tampak bertambah lagi pada ketinggian 500 m dpl dan cenderung menurun kembali pada ketinggian lebih

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Tabel 1. Jenis-jenis satwa burung yang ditemukan di P. Moti, Ternate, Maluku


Suku Accipitridae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Accipitridae Alcedinidae Alcedinidae Ardeidae Artamidae Bucerotidae Campephagidae Campephagidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Corvidae Cuculidae Cuculidae Estrildidae Megapodiidae Meropidae Monarchidae Nectariniidae Nectariniidae Pachycephalidae Ploceidae Psittacidae Psittacidae Rhipiduridae Sturnidae Sturnidae Oriolidae Alcedinidae Nama ilmiah Accipiter erythrauchen Gray, 1861 Accipiter soloensis Horsfield, 1821 Accipiter trinotatus Bonaparte, 1850 Haliastur indus Boddaert, 1783 Milvus migrans Boddaert, 1783 Halcyon diops Temminck, 1824 Halcyon saurophaga Gould, 1843 Egretta sacra Gmelin, 1789. Artamus leucorynchus Linnaeus, 1771. Rhyticeros plicatus J.R.Forst., 1781 Coracina papuensis Gmelin, 1788 Lalage aurea Temminck, 1827 Chalcophaps indica Linnaeus, 1758 Ptilinopus monacha Temminck, 1824 Ptilinopus superbus Temminck, 1809 Streptopelia chinensis Scopoli, 1768. Corvus orru Bonaparte, 1850. Cacomantis variolosus Vigors & Horsfield, 1826 Eudynamys scolopacea Linnaeus, 1758 Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore,1858 Megapodius freycinet Gaimard, 1823 Merops ornatus Latham, 1801. Myiagra alecto Temminck, 1827. Cinnyris jugularis Linnaeus, 1766. Leptocoma sericea Lesson & Garnot, 1828. Pachycephala pectoralis Latham, 1802. Passer montanus Linnaeus, 1758 Eclectus roratus Mller, 1776. Tanygnathus megalorynchos Boddaert, 1783 Rhipidura leucophrys Latham, 1802 Aplonis metallica Temminck, 1824. Aplonis mysolensis Gray, 1862. Oriolus phaeochromus Gray, 1860 Ceyx lepidus Temminck, 1836 Nama daerah Elang kecil maluku Elang alap cina Elang alap ekor totol Elang bondol Elang paria Cekakak biru putih Cekakak pantai Kuntul karang Kekep babi Julang irian Kepudang sungu kartula Kapasan halmahera Delimukan zamrud Walik topi biru Walik raja Tekukur biasa Gagak orru Wiwik rimba Tuwur asia Bondol jawa Gosong kelam Kirik-kirik Australia Sikatan kilap Madu sriganti Madu hitam Kancilan emas Gereja Nuri bayan Betet kelapa paruh besar Kipasan kebun Perling ungu Perling maluku Kepudang halmahera Udang merah kerdil Sebaran M SKJCMTP C SKJCMTP SKJCMTP M MP SKJCMTP SKJCMTP MP MTP M SKJCMTP M CMTP SKJFFT MTP CMTP SKJCMTP SJT MP JCMTP MTP SKJCMTP CMP JCMTP SKJCMTP MTP CMTP MP CMTP CMP M CMP <F > > < E E > > <> > > <F > > > E E E Endemik E N< E <> <> E N<> <> > > E

Keterangan: S: Sumatera; K: Kalimantan; J: Jawa: C: Sulawesi; M: Maluku; T: Timor; P: Papua. <spesies tercatat di Filipina atau Asia Tenggara> Spesies tercatat di Kepulauan Bismarck, Solomon dan Australia; N< Spesies migran dari bagian utara ke Indonesia (100% sub spesies yang melintas di Indonesia bermigrasi); N> spesies migran dari bagian selatan ke Indonesia (100% subspesies yang melintas di Indonesia bermigrasi), E: Spesies endemik Indonesia, F: Spesies yang diperkirakan feral.

447

Utaminingrum & Sulistyadi

dari 600 m dpl. Meskipun bertambah jumlah perjumpaan maupun jenisnya tidak lebih dari 20. Hasil analisis dengan menggunakan citra satelit terhadap sebaran satwa burung di pulau Moti ini menunjukkan bahwa dari sekitar 293 titik pengamatan perjumpaan satwa burung terbanyak terdapat di kelurahan Tadenas dengan total perjumpaan jenis satwa burung 60 kali dan 126 individu di 83 titik pengamatan, kemudian disusul di kelurahan Motikota dengan total perjumpaan sebanyak 49 kali dan jumlah individu 203 di 101 titik pengamatan, Tafaga 43 kali dengan 77 individu di 64 titik, Figur 23 kali dengan 47 individu di 25 titik pengamatan, Tafamutu 13 kali dengan 47 individu di 16 titik pengamatan

dan Takofi 4 kali dengan 6 individu di 4 titik pengamatan. Memang data yang dikumpulkan dari Takofi sangat terbatas, selain jaraknya cukup jauh, medannya sangat sulit ditempuh dan cukup terjal bentang alamnya. Jika data posisi pengamatan ditumpang susunkan pada peta tutupan vegetasi pulau Moti (Utaminingrum dan Roemantyo, 2010), maka dapat diperoleh rincian informasi seperti pada Tabel 2. Paling sedikit ada sekitar 4 golongan besar tutupan vegetasi di pulau Moti ini dimana burung sering dijumpai, yaitu hutan (hutan mangrove, hutan sekunder, semak, dan semak belukar), kebun dan ladang (kebun campuran, kebun kakao, kebun kelapa, kebun pala, kebun singkong), kawasan pemukiman dan

160 140 120 100 80 60 40 20 0


10 120 0 -3 00 00 00 50 160 0 -1 00 050 20 1 an 30 1 40 1 51 an >6 14 -4 -5

Total perjumpaan Total jenis

in gg i

an

an

in gg i

in gg i

in gg i

gg i

in gg i

K et in

in gg i

K et

K et

Gambar 1. Diagram perjumpaan satwa burung di masing-masing ketinggian di Pulau Moti

448

K et

K et

K et

K et in

K et

gg i

an

an

an

an

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

fasilitas umum seperti sumber air bersih dan lapangan terbuka (Tabel 2). Dari data perjumpaan satwa burung, jumlah individu di masing masing titik pengamatan tampak bahwa kebun campuran menjadi tempat yang sering didatangi oleh burung, kemudian disusul oleh semak dan semak belukar. Kebun campuran merupakan ladang di hutan (jauh dari kampung) atau kebun yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. Dalam kebun campuran dijumpai berbagai jenis tanaman keras seperti pala (Myristica fragans), cengkih ( Syzygium aromaticum ), jenis buahbuahan seperti mangga ( Mangifera indica), jambu air (Syzygium aqueum), jambu batu (Psidium guajava), papaya (Carica papaya ), jeruk ( Citrus spp), nenas ( Annanas comosus ) maupun tanaman semusim seperti singkong ( Manihot utilissima ), ubi jalar (Ipoemoea batatas), cabai besar dan rawit (Capsicum spp.) dan beberapa jenis sayuran lain. Beberapa kebun tanaman keras yang ditanami secara monokultur seperti kebun kenari juga sering didatangi oleh satwa burung. Sedang pada semak-semak belukar, umumnya satwa burung ini terbang di atas tajuk semak belukar dan kemudian masuk di antara rerimbunan semak. Beberapa jenis satwa burung ditemukan membuat sarang dan berkembangbiak di kawasan semak ini. Kawasan lain yang disukai satwa burung adalah hutan sekunder. Hutanhutan sekunder umumnya memiliki tegakan pohon yang besar dan agak jarang. Satwa burung menyukai tempat ini terutama pada siang hari, sering

terbang di bawah tajuk pohon. Posisi titik dan jalur pengamatan burung yang ditumpang susunkan pada citra Ikonos menunjukkan dengan jelas hubungan antara tutupan vegetasi dengan jalur pengamatan (Gambar2) Observasi dilakukan di setiap sisi pulau Moti mulai dari utara yaitu kelurahan Motikota pada vegetasi mangrove dan perkebunan. Ke arah timur menuju Tadenas antara ketinggian 10 dan 700 m dpl. observasi pada vegetasi hutan mangrove, hutan sekunder, semak belukar, kebun campuran hingga perkebunan. Sedangkan di kelurahan lainnya titik dan jalur pengamatan hanya dibuat di dataran rendah, mengingat medan cukup sulit dan terjal seperti tampak pada model elevasi dijital tutupan vegetasi dan sebaran posisi pengamatan burung di pulau Moti. Uji korelasi dan analisis komponen utama (PCA) tutupan vegetasi dengan kehadiran dan jumlah jenis burung. Hasil uji korelasi antara tutupan vegetasi dengan kehadiran jumlah jenis burung dapat dilihat pada matrik korelasi antara tutupan vegetasi dengan variabel data keterdapatan/kehadiran jumlah jenis burungyang ditemukan (lihat lampiran 1). Dari data matrik korelasi dapat dilihat bahwa korelasi antar tutupan lahan tertinggi terdapat pada lokasi-lokasi mata air dan kebun kakao (0.884), hutan mangrove dan kebun singkong (0.826), kebun kakao dan semak belukar (0.802), semak belukar dengan pemukiman (0.724), kebun singkong dengan tanah 449

Utaminingrum & Sulistyadi

Tabel 2. Perjumpaan jenis satwa burung pada berbagai tipe tutupan vegetasi di Pulau Moti
Kelurahan Tutupan Lahan*) Jumlah perjumpaan jenis 8 9 6 6 21 5 2 2 13 1 16 14 19 5 5 9 15 4 10 5 4 9 4 Junmlah Individu 20 18 9 23 82 18 5 3 72 1 38 32 38 6 11 12 40 4 15 6 6 17 6 Titik Pengamatan 10 9 6 9 44 10 2 2 34 1 24 20 28 5 5 18 27 4 10 5 4 12 4 Cakupan ketinggian (m dpl) 50 50 50 400 200 50 50 300 600 50 300 700 50 50 100 50 50 50 50 50 50 50 50

Figur Figur Figur Motikota Motikota Motikota Motikota Motikota Motikota Tadenas Tadenas Tadenas Tadenas Tadenas Tadenas Tafaga Tafaga Tafaga Tafaga Tafaga Tafamutu Tafamutu Takofi

Kebun Campuran Pemukiman Kebun Kelapa Hutan Sekunder Kebun Campuran Kebun kakao Kebun Singkong Mata Air Semak Hutan Mangrove Hutan Sekunder Kebun Campuran Kebun Kenari Kebun Pala Kebun Singkong Hutan Mangrove Kebun Campuran Kebun Kelapa Semak Belukar Tanah Terbuka Kebun Campuran Pemukiman Hutan Mangrove

Keterangan: *) Sumber: Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku (Utaminingrum &
Roemantyo 2010)

terbuka (0.723), pemukiman dengan mata air (0.618), dan semak belukar dengan mataair (0.660). Jika dilihat secara spasial (Gambar 2) jarak antara titik pengamatan di masing-masing tutupan lahan tidak terlalu jauh. Jika diukur jaraknya masih di bawah 1000 meter, dimana beberapa jenis burung kawasan tersebut masih dalam jangkauan terbangnya (home range).

Hasil analisis dengan menggunakan


komponen utama (PCA) menunjukkan hubungan antara kehadiran jenis burung dengan variabel tutupan vegetasi dipengaruhi oleh 3 komponen/faktor utama dengan total nilai keragaman sebesar 72.560%. Komponen pertama menjelaskan sebesar 47.490%, komponen kedua 17.425% dan komponen ketiga 7.645%. Dari hasil

450

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Gambar 2. Peta Model elevasi digital tutupan lahan dan sebaran burung P. Moti.

analisis terhadap data jenis dan jumlah burung pada seluruh tipe tutupan vegetasi dengan 13 komponen yang ada pada Tabel 3 menunjukkan bahwa ada 3 komponen faktor tutupan vegetasi yang paling berpengaruh terhadap kehadiran jenis dan jumlah individu burung. Ketiga faktor tersebut adalah hutan mangrove, hutan sekunder, dan kebun campuran. Dari ketiga faktor tersebut tipe tutupan hutan sekunder merupakan yang paling banyak di kunjungi oleh jenis burung, kemudian disusul dengan kebun campuran dan yang terakhir adalah hutan mangrove Tipe tutupan vegetasi yang berupa hutan mangrove merupakan ekosistem yang spesifik dan berlokasi di kawasan pantai. Vegetasinya selalu hijau

sepanjang tahun dan jenis-jenis utama mangrove umumnya berbunga dan berbuah sepanjang tahun (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968). Jenisjenis tersebut memang sebagai tempat berlindung dan mencari makan berbagai jenis satwa termasuk burung, terutama pada saat jenis vegetasi lain sedang tidak berbunga/berbuah atau musim kemarau/ kering. Tipe tutupan vegetasi hutan sekunder dan kebun campuran yang posisinya sering berdekatan/berbatasan dan tumpang tindih perlu di analisis lebih rinci pengaruhnya (Tabel 2 dan Gambar 2).Untuk itu dibuat analisis untuk membedakannya dengan membuat grafik diagram sebar. Pada grafik diagram sebar (Gambar 3 ab) terlihat ada hubungan antara tiap 451

Utaminingrum & Sulistyadi

Tabel 3. Matrik analisis komponen utama terhadap seluruh tutupan vegetasi


Tutupan Vegetasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 hutan mangrove hutan sekunder kebun campuran kebun kakao kebun kelapa kebun kenari kebun pala kebun singkong mata air pemukiman semak semak belukar tanah terbuka 1 .114 .298 .127 .950 -.013 .384 .188 .389 .931 .768 .674 .829 .012 Komponen 2 .890 .241 .705 -.101 .082 -.193 -.241 .848 -.142 .235 .257 -.174 .798 3 .137 .601 -.389 -.084 .051 .444 -.228 .037 -.223 .183 .425 .203 -.293

faktor. Dari hubungan tiap faktor tersebut diperoleh nilai komulatif yang paling besar yaitu hubungan faktor 1 dengan faktor 2. Hubungan antara kedua faktor tersebut dapat dilihat bahwa ada 3 jenis burung yang kehadirannya secara positif dipengaruhi oleh tutupan vegetasi hutan sekunder, kebun campuran dan hutan mangrove yaitu burung madu hitam, perling ungu dan perling maluku. Pada faktor ini terlihat jenis burung madu hitam merupakan kelompok tersendiri yang dipengaruhi oleh tipe tutupan vegetasi kebun campuran. Selain madu hitam ada jenis burung lain yang sering mengunjungi tutupan vegetasi ini di antaranya gagak orru, kipasan kebun, perling ungu, kapasan halmahera, madu sriganti, betet kelapa paruh besar dan bondol jawa. Sedangkan jenis burung lain yang sering hadir pada tutupan vegetasi hutan mangrove antara lain kekep babi, kepudang sungu kartula, kipasan kebun,
452

sikatan kilap, walik topi biru dan cekakak pantai.Pada hutan sekunder jenis burung yang hadir di antaranya perling ungu, perling maluku, nuri bayan, madu hitam, gagak orru dan betet kelapa paruh besar. Jenis-jenis burung lain yang hanya terlihat berkunjung sekali atau beberapa kali hadir pada ketiga tutupan vegetasi tersebut antaralain cekakak pantai, cekakak biru putih, burung gereja, tekukur biasa, gosong kelam, kepudang halmahera, nuri bayan, walik raja, kepudang sungu kartula, julang irian, kancilan emas, kirik-kirik australia, kuntul karang, dan wiwik rimba. Jenis-jenis ini menyebar rata di setiap tutupan vegetasi di kawasan pulau ini, terutama pada semak belukar dan tanah terbuka. Sedangkan jenis burung lain seperti delimukan zamrud, elang alap cina, elang alap ekor totol, elang bondol, elang kecil maluku, elang paria, kekep hitam, tuwur

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Faktor 2

l q ff u m a nk b e p ri ee aa f gw hht iih c y d

bb

cc

-2

-1

Faktor 1

Faktor 3

gzdd f iw db j q s rm c u iiaa t h hh v ff ok l kk n e

cc

-1

ee a jj

-2

bb
-3

-1

Faktor 1

Gambar 3. Grafik sebaran hubungan jenis burung dengan tipe tutupan vegetasi dengan nilai varian pada faktor 1=47.490%, faktor 2 = 17.425%, dan fakor 3 = 7.645%
Keterangan :a. betet kelapa paruh besar, b. bondol jawa, c. cekakak biru putih, d.cekakak pantai, e. delimukan zamrud, f. elang alap cina, g. elang alap ekor totol, h. elang bondol, i. elang kecil maluku, j. elang paria, l. gagak orru, m. gereja, n. gosong kelam, o. julang irian, p. kancilan emas, q. kapasan halmahera, r. kekep babi, s. kepudang halmahera, t. kepudang sungu kartula, u. kipasan kebun, v. kirik-kirik australia, w. kuntul karang, x. madu hitam, y. madu sriganti, aa. Nuri bayan, bb. Perling maluku, cc. perling ungu, dd. kipasan kebun, ee. sikatan kilap, ff. tekukur biasa, gg. tuwur asia, hh. udang merah kerdil, ii. walik raja, jj. walik topi biru, kk. wiwik rimba.

453

Utaminingrum & Sulistyadi

asia, udang merah kerdil hanya terlihat mengelompok dan juga hanya beberapa kali datang ke tutupan vegetasi kebun campuran. PEMBAHASAN Kehadiran burung pada berbagai tipe tutupan lahan di pulau Moti menunjukkan bahwa ada saling ketergantungan antara satwa burung dan vegetasi. Paling tidak selama observasi yang dilakukan pada bulan Mei 2010 ada 34 jenis burung yang ditemukan di kawasan ini. Umumnya jenis burung tersebut menghuni dataran rendah dibawah 200 m dpl. Di kawasan ini banyak dijumpai kebun campuran dengan variasi jenis tumbuhan yang cukup tinggi, karena selain jenis-jenis tumbuhan yang dibudidayakan tidak jarang juga ditemukan jenis-jenis tumbuhan liar yang dibudidayakan seperti kenari, pala yang merupakan jenis asli (Backer dan Bakhuizen v.d. Brink, 1968). Kawasan ini umumnya berbatasan dengan hutan (hutan sekunder, semak, belukar). Dari pengamatan lapangan tampak bahwa saat observasi dilakukan banyak di antara tumbuhan sedang berbunga dan berbuah. Adanya bunga dan buah juga menarik satwa lain seperti serangga yang umumnya merupakan pakan dari jenis-jenis burung. Selain itu memang beberapa jenis buah juga merupakan pakan satwa burung yang tampak dari aktifitas mereka dalam mendapatkan pakan dan tempat berlindung/bermain. Keterkaitan antara tutupan lahan dengan kehadiran jenis burung sangat 454

dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sumber pakan, tingkat penutupan vegetasi serta heterogenitas jenis vegetasi. Berbagai jenis tumbuhan menghasilkan bunga dan buah yang merupakan sumber pakan jenis burung frugivora, selain itu berbagai jenis tumbuhan juga sangat disukai oleh berbagai jenis serangga yang juga merupakan pakan yang potensial bagi berbagai jenis burung insektivora. Dari hasil analisis hubungan korelasi antara tutupan lahan tampak bahwa beberapa tipe tutupan lahan saling memiliki keterdekatan jika ditinjau dari variasi dan jumlah kehadiran jenis burung. Beberapa kemungkinan adalah telah terjadi perubahan status fungsi kawasan (Roemantyo, 2010) sementara kondisi lingkungan belum sepenuhnya berubah secara total, sehingga jenis-jenis satwa burung masih sering berkunjung walaupun tumbuhannya sudah mulai berubah. Indikasi ini tampak dari dekatnya kawasan hutan mangrove dengan kebun di dataran rendah yang umumnya ditanami dengan jenis tanaman pertanian seperti singkong. Dari citra satelit yang diambil pada tahun 2006, tampak dengan jelas bahwa ada perbedaan status tutupan lahan dengan kondisi terakhir pada bulan Mei 2010 (Utaminingrum & Roemantyo 2010). Pada beberapa lokasi tampak bahwa ada kemungkinan kawasan hutan telah berubah menjadi kebun antara lain kebun kakao. Demikian pula pada kawasan mata air tampak sebelumnya adalah kawasan hutan, begitu juga dengan beberapa semak belukar pada tahun 2006 telah berubah menjadi pemukiman pada saat observasi lapangan.Indikasi

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

perubahan tipe ekosistem tampak dari kehadiran dan jumlah jenis burung yang relatif sama nilai koreksinya. Hasil analisis dengan menggunakan komponen utama (PCA) tampak bahwa ada 3 faktor utama yang berpengaruh terhadap kehadiran burung. Tutupan vegetasi hutan mangrove merupakan kawasan yang penting bagi jenis burung terutama pada saat jenis-jenis vegetasi lain tidak menghasilkan bunga/buah pada musim kemarau. Jenis-jenis burung yang menghuni pada vegetasi semak belukar akan langsung menuju ke kawasan hutan mangrove yang selalu hijau. Tentunya tidak semua burung bisa menuju ke hutan mangrove karena keterbatasan kemampuan terbang baik secara horizontal maupun vertikal. Beberapa jenis burung di dataran tinggi akan mengalami hambatan untuk mencapai dataran rendah/pantai. Sebagian burung mungkin hanya mampu terbang sampai pada ketinggian tertentu saja. Kawasan yang relatif lebih mudah dijangkau oleh jenis-jenis burung yang hidup di dataran tinggi adalah hutan sekunder dan kebun campuran yang umumnya terdapat pada ketinggian lebih dari 100 m dpl. karena itu kedua kawasan ini juga cukup penting bagi penyediaan sumber pakan. Demikian pula jenis-jenis lain yang menyukai kawasan hutan sekunder juga akan mendapatkan pakan yang cukup melimpah di kawasan ini karena tingginya keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada. Hutan sekunder disini adalah hutan yang memiliki tajuk/kanopi yang rendah dan lebih banyak tumbuhan primernya yang umumnya tidak terlalu tinggi.

Dari grafik diagram sebar terlihat bahwa ada jenis-jenis burung yang cenderung mengelompok dan memisahkan diri. Hal ini dikarenakan sebagian besar pengelompokan dipengaruhi oleh adanya faktor jenis, kerapatan dan penutupan vegetasi. Pada tipe tutupan vegetasi kebun campuran terlihat lebih mendominasi sebagian besar kawasan dengan tingkat vegetasi yang lebih tinggi sehingga menyebabkan lebih banyak jenis dan individu burung tercatat di tipe tutupan vegetasi ini dibandingkan dengan jenis burung yang tercatat ditipe tutupan vegetasi hutan mangrove dan hutan sekunder. Pada grafik (Gambar 3) juga terlihat adanya pengelompokan jenis-jenis predator seperti elang bondol, elang paria, elang alap ekor totol, elang alap cina, elang kecil maluku mengelompok menjadi satu pada tutupan vegetasi kebun campuran. Keberadaan jenis burung pemakan biji dan serangga ini kemungkinan besar akan menjadi mangsa yang potensial bagi burungburung pemangsa tersebut. Umumnya kebun campuran berisi berbagai jenis tumbuhan yang menghasilkan buah dan biji seperti kenari, pala beberapa jenis pohon buah-buahan dan palawija. Kawasan tutupan vegetasi kebun campuran ini biasanya berbatasan langsung dengan semak belukar yang memiliki kanopi rendah. Kondisi ini memudahkan jenis-jenis predator dalam mendapatkan mangsa sebagai pakan untuk menunjang kelangsungan hidupnya.

455

Utaminingrum & Sulistyadi

KESIMPULAN Ada kecenderungan ketergantungan jenis satwa burung dengan tipe tutupan vegetasi yang ada di pulau Moti. Dari sekitar 34 jenis burung yang ditemukan menunjukkan bahwa keberadaannya dipengaruhi paling tidak 3 tipe tutupan lahan utama yaitu hutan mangrove, hutan sekunder, dan kebun campuran. Tercatat ada 4 jenis burung endemik maluku terdapat di kawasan ini yaitu Elang kecil maluku, cekakak biru putih, kapasan halmahera dan walik topi biru. Ditemukannya jenis-jenis endemik kawasan lain mengindikasikan kawasan ini dapat dikatakan masih cukup baik kondisi lingkungannya. Pentingnya kawasan yang bervegetasi akan memberikan jaminan terjaga kehidupan satwa dan tumbuhan di pulau Moti ini, paling tidak kondisi vegetasi pulau Moti masih bisa mendukung kehidupan satwa burung selama setahun penuh. Bahkan jenisjenis burung yang beasal dari pulau dan kawasan yang jauh dari pulau ini ternyata ditemukan bisa hidup di kawasan ini dengan baik. Dipihak lain vegetasi dapat mengalami proses regenerasi secara alami yang tentunya dibantu oleh satwa burung yang melakukan penyerbukan dan pemencaran biji. Hadirnya jenis burung tersebut membuktikan lingkungan kawasan ini masih terjaga kualitasnya, meskipun ada indikasi perubahan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan budidaya.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Drs. Roemantyo dan Prof. Dr. Ibnu Maryanto yang telah membantu penulis dalam menganalisis data. Penelitian ini terlaksana berkat dana dari anggaran DIPA Pusat Penelitian BiologiLIPI dan IPTEKDA tahun 2010. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008 a. Statistik Kependudukan Kota Ternate. from http:// www.ternatekota.go.id/?cont=InfoKota&val=Statistik, 25 Mei 2010 Backer CA & RC. Bakhuizen van den Brink, 1968. Flora of Java I. N.V.P. Noordhoff, Groningen, Netherlands. Bakosurtanal. 1999. Peta Rupa Bumi Digital, Tata Guna Lahan, Status Lahan dan Topografi. Skala 1: 250.000. Bakosurtanal. Brian J. Coates & K. David Bishop, 1997. A Guide to the Birds of Wallacea Sulawesi, the Moluccas and Lesser Sunda Islands, Indonesia. Dove Publications Pty. Ltd. 534 hal. Krebs, CJ. 1989. Ecological Methodology. Harper 8 Row Publisher, New York, 654 hal. Re PPProt. 1989. Review of Phase I Results, Java and Bali . Land Resources Departement, Overseas Development Administration United Kingdom and Direktorat Jendral Bina Program. Direk-torat

456

Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung

Jendral Penyiapan Pemu-kiman, Depatemen Transmigrasi. Jakarta. Roemantyo, 2010. Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: Suatu Analisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi. Jurnal Biologi Indonesia 6(3) (Inpress).

Space Imaging 2006, IKONOS, Level Standard Geometrically Corrected, GeoEye, 6/6/2006. Sulistyadi, E 2010. Komunitas Burung Pulau Moti Ternate Maluku Utara. Laporan IPTEKDA 2010. LIPI Utaminingrum, H.I.P. & Roemantyo, 2010. Analisis Tutupan Lahan Kawasan Pulau Moti, Ternate, Maluku. Laporan IPTEKDA 2010.LIPI

Memasukkan : Juli 2010 Diterima : September 2010

457

458
kebun kakao mata air pemukiman semak .004 .210 .057 .884 -.014 .258 .182 .238 1.000 .618 .475 .660 -.073 .500 .618 1.000 .568 .724 .076 .034 .276 .002 .070 .311 .119 .442 .475 .568 1.000 .543 .043 .636 .569 .233 .195 -.027 .802 -.047 .508 .222 .183 .660 .724 .543 1.000 -.120 .316 .362 .162 .308 .269 -.077 .607 .077 .509 -.005 -.083 -.259 .043 .723 -.073 .076 .043 -.120 1.000 -.015 .220 .086 1.000 -.031 .326 .154 .263 .884 .636 .569 .802 -.005 -.083 -.259 .043 .723 -.047 .508 .222 .183 .070 .311 .119 .442 .002 .276 .034 .500 -.014 .258 .182 .238 -.077 .066 .013 1.000 -.052 .150 1.000 .013 -.050 1.000 .150 .066 1.000 -.050 -.052 -.077 -.031 .326 .154 .263 .217 -.147 -.148 .495 .119 .128 -.247 .334 .086 -.024 -.337 .826 kebun kelapa kebun kenari kebun pala kebun singkong semak belukar tanah terbuka .512 -.162 1.000 .086 .217 -.147 -.148 .495 .057 .233 .195 -.027 .509

Lampiran 1. Matrik korelasi antara tutupan vegetasi dengan keterdapatan/kehadiran jenis dan jumlah burung.

hutan hutan kebun mangrove sekunder campuran

1.000

.354

.354

1.000

Utaminingrum & Sulistyadi

hutan mangrove hutan sekunder kebun campuran kebun kakao

.512

-.162

-.015

.220

kebun kelapa

.086

.119

kebun kenari

-.024

.128

-.337

-.247

kebun pala kebun singkong mata air

.826

.334

.004

.210

pemukiman

.308

.316

.269

.362

semak semak belukar tanah terbuka

-.077

.162

.607

.077

Jurnal Biologi Indonesia 6 (3): 459-471 (2010)

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya 50% dan Penilaian Karakter Tanaman Berdasarkan Fenotipnya
Gatut Wahyu Anggoro Susanto & Titik Sundari
Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-Umbian, Malang ABSTRACT The Examination of 15 Soybean Genotypes at 50% Light Intensity and Evaluation of Crops Phenotypic Characters. Sunlight is one of the important plant growth requirements. In order to understand morphological character changes in the crops due to different light intensity, 15 genotypes of soybean consisted of Willis, D3578-3/3072-11, Seulawah, Aochi/W-62, Kaba, IAC 100/Brr-1, MLGG 0081, MLGG 0059, MLGG 0120, 9837/Kawi, D-6-185, IAC 100, MLGG 0383-1, Pangrango, MLGG 0069 and MLGG 0122 were tested. The research was conducted in Kendalpayak (grey Alluvial soil type, 450 above sea level, C3 climate type), Malang at dry season in 2006. The research design was Randomize Complete Block under two different environmental conditions, with three replications. The experiment was conducted under full and 50 %light intensity. The results indicated that the reduction of light intensity as much as 50 % resulted in some changes in phenotypic characters such as size and lifespan of the 15 genotype being tested, included the increase of plant height, the longer distance between nodes, the decrease in node number, the smaller size of stem diameter, the decrease on the number of leaves, the narrower of the leaf s width and the decrease in pod number. Lessened seed weight, the low weight of 100 seeds, the lowering level of the leafs greenness, and the accelerate age of flowering and harvesting. IAC 100, MLGG 0383-1 and IAC 100/BBR-1 produced high under 50% of light intensity. Keywords : Soybean (Glycine max (L) Merrill), light intensity, phenotypic

PENDAHULUAN Cahaya penting bagi pertumbuhan tanaman, tetapi naungan sering menjadi faktor pembatas dalam budidaya tanaman, baik pada tanaman perkebunan, pertanian maupun kehutanan. Tanaman yang menerima intensitas cahaya lebih rendah (ternaungi) sampai pada batas tingkat naungan tertentu, tanaman tidak akan mampu berproduksi , misalnya pada

sistem pola tumpangsari antara tanaman semusim (tanaman pangan) dengan tanaman tahunan (tanaman perkebunan), dimana kanopi daun tanaman tahunan dapat menutupi masuknya sinar matahari yang diperlukan oleh tanaman dibawahnya. Dalam kondisi demikian, genotipe toleran diharapkan lebih berperan untuk memanfaatkan lingkungan tercekam intensitas cahaya rendah, selain itu juga untuk meningkatkan

459

Susanto & Sundari

intensifikasi lahan, khususnya di lahan dengan intensitas cahaya rendah akibat ternaungi oleh tanaman. Intensitas cahaya matahari yang dibutuhkan tanaman merupakan sumberdaya umum yang dipersaingkan (Blum 1982; Badrun 1986) walaupun ketersediaannya melimpah, tetapi persaingan tersebut dapat terjadi antar individu daun maupun antar tanaman. Intensitas cahaya 50% atau naungan 50% dapat dikategorikan intensitas cahaya rendah, dimana kondisi tersebut dapat mengakibatkan menurunkan hasil biji hingga 50% (Stepphun et al. 2005). Tanaman kedelai yang tumbuh di lingkugan ternaungi akan terjadi penurunan aktifitas fotosintesis, sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi menjadi lebih berkurang (Osumi et al. 1998), tentunya hal ini akan mengakibat-kan jumlah polong berkurang, ukurtan biji akan menjadi kecil maupun hasil biji berkurang. Intensitas cahaya sebesar 60% atau naungan 40% dapat menyebabkan penurunan hasil biji kedelai hingga 32% (Whigham & Minor 1978). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi tingginya kehilangan hasil biji kedelai tersebut adalah dengan menanam kedelai toleran intensitas cahaya rendah atau naungan. Genotipe atau varietas kedelai berdaya hasil biji tinggi dan toleran intensitas cahaya rendah merupakan alternatif paling sesuai dalam meningkatkan produktivitas lahan dengan pola tumpangsari, baik di bawah tegakan tanaman perkebunan atau hutan yang masih muda, maupun pada pola tumpangsari dengan tanaman pangan lain. Untuk itu sangatlah penting melakukan 460

pengujian tanaman kedelai guna mengetahui perubahan-perubahan karakter tanaman akibat cekaman intensitas cahaya 50%. BAHAN DAN CARA KERJA Bahan yang digunakan adalah 15 genotipe kedelai terdiri dari D.3578-3/ 3072-11, Aochi/W-62, Kaba, IAC100/ Brr-1, MLGG 0081, MLGG 0059, MLGG 0120, 9837/Kawi, D-6-185, IAC 100, MLGG 0383-1, MLGG 0069, MLGG 0122, Seulawah, Willis dan Pangrango. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Kendapayak, Malang (jenis tanah Alluvial kelabu, elevasi 450 m dpl, tipe iklim C3) pada musim kering I (MK I) tahun 2007. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Acak Kelompok Lengkap di dua kondisi lingkungan, diulang tiga kali. Lingkungan yang digunakan adalah intensitas cahaya penuh (100%) dan intensitas cahaya 50% (naungan 50%). Untuk mendapatkan intensitas cahaya sebesar 50% digunakan dua lapis paranet hitam yang terbuat dari plastik, dipasang pada ketinggian 2,0 m di atas permukaan tanah. Perlakuan intensitas cahaya 50% mulai sejak tanam hingga dipanen. Setiap genotipe ditanam pada plot berukuran 6,0 m x 3,0 m. Jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua benih per lubang tanam. Pemupukan diberikan bersamaan tanam dengan dosis Urea 50, SP36 100 dan KCl 75 kg/ha dan tanaman dipelihara secara intensif. Pengukuran dilakukan secara destruktif terhadap dua tanaman contoh. Pengamatan meliputi komponen hasil, hasil biji, diameter batang, tingkat kehijauan daun diukur dengan

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

menggunakan klorofilmeter, panjang buku dan jumlah daun. Pengukuran luas daun mengguna-kan metode gravimetri (perbandingan bobot sub-sampel daun yang diambil dengan cara melubangi daun dengan alat pelubang yang sudah diketahui jari-jarinya) yang sebelumnya sudah dikalibrasi dengan leaf area meter. Pengamatan-pengamatan tersebut dilakukan pada umur dua, empat, enam dan delapan minggu setelah tanam (MST) dan panen. HASIL Intersitas cahaya matahari diukur pada pukul 11.00, 12.00 dan 13.00 wib setiap hari selama percobaan. Besarnya intensitas cahaya di tempat normal (intensitas 100%) antara 1050 hingga 1225 lux dengan rata-rata 1200 lux, sedangkan pada intensitas 50% antara 575 hingga 625 lux dengan rata-rata 610 lux, yang merupakan setengah dari intensitas cahaya penuh, maka selanjutnya disebut intensitas cahaya 50%. Rata-rata suhu harian pada kondisi intensitas cahaya 100% lebih tinggi daripada intensitas cahaya 50%, di tempat normal berkisar 29o hingga 31o

C, sedangkan pada intensitas cahaya 50% berkisar 28o hingga 30o C. Interaksi intensitas cahaya dengan genotipe terlihat juga pada tinggi tanaman umur enam MST, sedangkan pada umur dua, empat dan delapan MST perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh keragaman genotipe (Tabel 1). Rata-rata tinggi tanaman di tempat dengan intensitas cahaya 50% cenderung lebih tinggi. Tinggi tanaman umur delapan MST pada intensitas 100% berkisar 64,84 cm sedangkan pada intensitas 50% berkisar 75,98 cm. Interaksi antara intensitas cahaya dengan genotipe tidak berbeda nyata pada karakter panjang buku (jarak ruas antar buku) (Tabel 2), tetapi akibat intensitas cahaya 50% jarak ruas antar buku berkecenderungan menjadi lebih panjang. Pada umur delapan MST, panjang buku di tempat normal berkisar 4,23 cm sedangkan di tempat intensitas cahaya 50% berkisar 7,59c m (selisih 3,36 cm). Interaksi intensitas cahaya dengan genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah buku per tanaman pada umur enam dan delapan MST, tetapi tidak berpengaruh nyata pada umur dua dan

Tabel 1. Analisis Varian dan Tinggi Tanaman (cm) pada 15 Genotipe Kedelai.
Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) pada Umur Pengamatan (MST) Dua Empat Enam Delapan 17,50 34,39 51,89 64,84 30,54 46,21 55,27 75,98 16,23 18,08 5,80 14,09 ** ** ** ** ** tn ** ** tn tn ** tn

Keterangan: : * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

461

Susanto & Sundari

empat MST. Jumlah buku di tempat intensitas cahaya 100% lebih banyak (berkisar tiga buku) dibandingkan pada intensitas cahaya 50%. Pada umur dua MST, perbedaan jumlah buku dipengaruhi oleh keragaman genotipe, pada umur empat MST jumlah buku relatif sama yaitu berkisar 12 buku (Tabel 3). Perlakuan intensitas cahaya 50% mengakibatkan sebagian besar genotipe yang diuji relatif mengalami pengurangan ukuran diameter batang. Interaksi intensitas cahaya dengan genotipe berpengaruh nyata terhadap diameter batang pada umur dua dan enam MST, tetapi tidak berpengaruh nyata pada umur empat dan delapan MST. Perbedaan diameter batang pada umur delapan MST disebabkan keragaman genotipe (Tabel

4). Tanaman yang berumur dua dan enam MST menunjukkan ukuran diameter batang yang berbeda antar perlakuan sedangkan umur empat dan delapan MST ukuran diameter relatif sama. Interaksi intensitas cahaya dengan genotipe berbeda nyata untuk jumlah daun antar genotipe pada umur 4, 6 dan 8 MST, tetapi tidak berbeda nyata pada umur dua MST (Tabel 5). Jumlah daun tanaman pada intensitas 100% lebih banyak dibanding-kan dengan di tempat intensitas cahaya 50%. Di tempat intensitas cayaha 50%, saat tanaman berumur delapan MST jumlah daun ratarata berkurang sebanyak 11 daun. Luas daun per tanaman di dua tingkat intensitas cahaya berbeda nyata, menunjukkan genotipe mempunyai

Tabel 2. Analisis Varian dan Panjang Buku 15 Genotipe Kedelai.


Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Rata-rata Panjang Buku (cm) pada Umur Pengamatan (MST) Empat Enam Delapan Dua 4,73 4,66 4,90 4,23 4,60 6,70 6,87 7,59 18,83 14,16 18,90 20,39 tn ** ** ** * ** tn tn tn tn tn tn

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 3. Analisis Varian dan Jumlah Buku Per Tanaman dari 15 Genotipe Kedelai.
Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Rata-rata Jumlah Buku pada Umur Pengamatan (MST) Dua Empat Enam Delapan 6 12 20 23 7 11 16 20 14,79 17,53 16,95 14,62 ** * ** ** * tn ** ** tn tn * *

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

462

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

respon yang berbeda terhadap perubahan intensitas cahaya. Perlakuan intensitas cahaya 50% mengakibatkan pengurangan terhadap luas daun per tanaman terhadap sebagian besar genotipe yang diuji. Pada umur delapan MST luas daun sebesar 1227,1 cm 2 sedangkan pada intensitas cahaya 50% menjadi 793,8 cm2 (Tabel 6). Tingkat kehijauan daun ditentukan dari hasil pembacaan alat klorofilmeter. Semakin tinggi nilai pembacaan klorofilmeter suatu daun, warna daun semakin hijau. Tingkat kehijauan daun tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya di semua tingkatan umur tetapi pada intensitas 50% daun berwarna relatif

lebih muda dibandingkan pada intensitas cahaya 100%, dengan perbedaan nilai tingkat kehijauan daun sebesar 3,15 (Tabel 7). Perbedaan berat kering polong, jumlah polong isi, jumlah polong hampa dan hasil biji per tanaman diakibatkan oleh pengaruh intensitas cahaya (Tabel 8). Perlakuan intensitas cahaya 50% menyebabkan berkurangnya berat kering polong, jumlah polong isi dan hasil biji per tanaman. Perlakukan intensitas cahaya 50% menyebabkan berat kering polong menurun rata-rata sebesar 3,32 g maupun menurunnya jumlah polong berkisar 12 polong isi yang diikuti oleh jumlah polong hampanya (Table 8).

Tabel 4. Analisis Varian dan Diameter Batang dari 15 Genotipe Kedelai.


Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Rata-rata Diameter Batang (mm) pada Umur Pengamatan (MST) Empat Enam Delapan Dua 1,78 2,18 5,40 5,23 1,68 2,13 5,01 4,29 19,52 17,26 13,42 15,28 * tn ** ** ** tn ** ** * tn * tn

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 5. Analisis Varian dan Jumlah Daun per Tanaman dari 15 Genotipe Kedelai.
Parameter - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Intensitas cahaya Rata-rata Jumlah Daun per Tanaman pada Umur Pengamatan (MST) Empat Enam Delapan Dua 15 29 54 47 17 25 43 33 17,37 14,31 17,62 10,69 ** ** ** ** tn ** ** ** tn ** ** **

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

463

Susanto & Sundari

Hasil biji per tanaman masingmasing genotipe menunjukkan perbedaan di dua perlakuan intensitas cahaya (Tabel 9). Hasil biji tertinggi pada perlakuan intensitas cahaya 100% dicapai genotipe MLGG 0059 dan terendah dicapai Seulawah. Pada perlakuan intensitas cahaya 50%, hasil biji per tanaman tertinggi dicapai genotipe IAC 100/Brr1 dan terendah dicapai genotipe 9837/ KAWI-D-6-185. Interaksi intensitas cahaya dan genotipe berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji. Bobot 100 biji juga menggambarkan ukuran biji. Ukuran biji masing-masing genotipe memberikan respon berbeda akibat perlakuan perbedaan intensitas cahaya (Tabel 9).

Bobot 100 biji terbesar pada perlakuan intensitas cahaya 100% dicapai oleh MLGG 0383-1 (11,08 g/100 biji) dan terkecil oleh Seulawah (4,35 g/100 biji). Sedangkan pada intensitas cahaya 50%, bobot 100 biji terbesar dicapai MLGG 0383-1 (8,69 g/100 biji) dan terkecil oleh Wilis (3,55 g/100 biji). Perlakuan intensitas cahaya 50% menyebabkan menurunnya bobot 100 biji, dimana paling besar pada varietas Kaba yaitu 2,25 g, sebaliknya 9837/KAWI,D-6-185 justru mengalami peningkatan terbesar yaitu 1,09 g. Tanaman yang mendapat intensitas cahaya 50% menyebabkan perubahan umur berbunga dan umur panen sebagian

Tabel 6. Analisis Varian dan Luas Daun (cm2/tanaman) dari 15 Genotipe Kedelai.
Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Rata-rata Luas daun (cm2/tanaman) pada Umur Pengamatan (MST) Empat Enam Delapan Dua 233,8 502,7 1646,1 1227,1 384,5 460,1 1254,7 793,8 8,90 14,04 13,36 6,63 ** * ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Tabel 7. Analisis Varian dan Tingkat Kehijauan Daun dari 15 Genotipe Kedelai.
Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Rata-rata Tingkat Kehijauan Daun pada Umur (MST) Dua Empat Enam Delapan 30,40 29,29 40,84 39,31 29,14 26,82 40,96 36,46 15,75 19,79 13,07 10,76 tn tn tn * tn tn tn * tn tn tn tn

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

464

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

Tabel 8. Analisis Varian dan Rata-rata Bobot Kering Polong (g/tanaman), Jumlah Polong Isi dan Hampa dari 15 Genotipe Kedelai.
Parameter Intensitas cahaya - 100% - 50% Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G Berat Kering Polong Isi (g/tan) Panen 7,52 4,84 12,06 ** ** ** Jumlah Polong Isi 43 31 8,75 ** ** ** Jumlah Polong Hampa 17 13 15,21 ** ** **

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Tabel 9. Hasil Kering Biji (g/tanaman) dan Bobot 100 Biji (g/100 biji) dari 15 Genotip Kedelai.
Hasil Biji (g/tanaman) Bobot Biji (g/100 biji) Intensitas Cahaya (%) 100 50 Selisih 100 100 Selisih 3.85 1.32 -2.53 4.62 3.55 -1.07 2.80 1.59 -1.21 7.16 5.57 -1.59 2.50 1.76 -0.74 10.44 8.19 -2.25 1.35 2.20 0.85 4.35 4.47 0.12 6.35 1.44 -4.91 6.08 5.86 -0.22 2.85 2.21 -0.64 4.39 4.28 -0.11 3.25 1.07 -2.18 7.65 8.00 0.35 2.35 3.14 0.79 4.87 3.86 -1.01 3.45 4.61 1.16 6.85 6.62 -0.23 4.16 0.88 -3.28 7.25 8.34 1.09 1.45 3.56 2.11 6.23 5.42 -0.81 4.20 4.58 0.38 11.08 8.69 -2.39 3.65 2.98 -0.67 7.62 8.17 0.55 2.95 0.73 -2.22 7.12 6.70 -0.42 2.90 2.62 -0.28 8.09 7.02 -1.07 3,20 2,31 6,92 6,31 21.32 ** ** ** 4.87 ** ** **

Genotipe WILIS D,3578,3/3072-11 KABA SEULAWAH MLGG 0059 MLGG 0120 MLGG 0081 AOCHI/W-62 IAC 100/BRR-1 9837/KAWI,D-6-185 IAC 100 MLGG 0383-1 PANGRANGO MLGG 0122 MLGG 0069 Rata-rata Koefisien keragaman (%) Intensitas cahaya (I) Genotipe (G) Interaksi I x G

Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Nilai selisih diperoleh dari nilai intensitas cahaya 50% dikurangi intensitas cahaya 100%.

465

Susanto & Sundari

genotipe kedelai (Tabel 10). Pengurangan intensitas cahaya sebesar 50% menyebabkan empat genotipe mengalami kelambatan berbunga, tujuh genotipe mengalami percepatan berbunga dan empat genotipe tidak mengalami perubahan umur berbunga. MLGG 0120 mengalami keterlambatan berbunga hingga sembilan hari sebaliknya IAC 100/ Brr-1 berbunga lebih cepat tujuh hari. Umur panen menunjukkan keragaman yaitu berkatagori dalam (85-90 hst) hingga sangat dalam (> 90 hst), demikian pula pada perlakuan intensitas cahaya 50%. Terdapat enam genotipe pada perlakuan intensitas cahaya 50% berumur lebih pendek. Hasil biji setiap genotipe menunjukkan keragaman. Pada perlakuan intensitas cahaya 100%, hasil biji tertinggi dicapai genotipe D,3578,3/3072-11 dan terendah dicapai AOCHI/W-62. Pada cekaman intensitas cahaya 50%, perolehan hasil biji tertinggi dicapai MLGG 0383-1 dan terendah dicapai AOCHI/W62. Genotipe MLGG 0059 mengalami penurunan hasil biji terbesar yaitu 989,5 g sedangkan IAC 100 justru mengalami peningkatan hasil biji sebesar 1178,3 g. PEMMBAHASAN Suhu udara di sekitar tanaman merupakan salah satu faktor penting dalam pertumbuhan tanaman. Suhu udara selama penelitian pada intensitas 50% lebih rendah antara 1o hingga 2o C. Penelitian dilakukan di hamparan sawah bekas tanaman padi yang diberi naungan buatan terbuat dari paranet plastik berwarna hitam dengan tingkat intensitas 466

cahaya 50%. Di sekitar tempat pengujian tidak terdapat halangan, sehingga menyebabkan aliran udara tidak terhalang, diduga kuat kondisi demikian yang menyebabkan suhu udara di bawah naungan di tempat penelitian menjadi lebih rendah. Hal ini berbeda kondisi naungan yang terdapat pada hutan-hutan yang dikelilingi oleh tanaman-tanaman yang rimbun, dimana aliran udara di bagian bawah tanaman tahunan dapat terhalang oleh tanaman tersebut. Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zaman (2003), bahwa suhu udara pada kondisi intensitas cahaya rendah (ternaungi) akan mengalami peningkatan, walaupun jumlah radiasi yang diterima lebih sedikit. Selanjutnya Schau et al. (1978) mengemukakan bahwa terjadi peningkatan suhu uadara di dalam naungan (intensitas cahaya rendah) pada siang hari. Kemungkinan besar perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi penelitian yang berbeda. Perbedaan suhu udara pada umur dua hingga delapan MST kedua perlakuan semakin besar, hal ini berkaitan dengan kondisi lingkungan di dalam naungan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada intensitas cahaya 50%, saat tanaman Wilis berumur enam MST mengalami penurunan tinggi tanaman sebesar 15,9 cm, sebaliknya AOCHI/W62 justru mengalami peningkatan tinggi tanaman sebesar 29,6 cm. Peningkatan tinggi tanaman merupakan respon tanaman karena kekurangan cahaya. Intensitas cahaya 50% mengakibatkan sebagian besar genotipe mengalami etiolasi, karena terjadi redistribusi

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

Tabel 10. Umur Berbunga dan Panen serta Hasil Biji (g/18 m2) dari 15 Genotipe Kedelai.
Genotipe Umur Berbunga (hr) Umur Panen (hr) Hasil Biji Plot (g/18 m2)

Intensitas Cahaya (%) 100 50 Selisih 100 50 Selisih 100 50 Selisih 50 48 -2 99 94 -5 287,5 233,5 -54,0 WILIS 39 39 0 88 88 0 1679,6 932,3 -747,3 D,3578,3/3072-11 39 39 0 101 94 -7 743,1 434,2 -308,9 KABA 41 41 0 94 94 0 744,8 204,2 -540,6 SEULAWAH 41 41 0 94 94 0 1433,0 443,5 -989,5 MLGG 0059 41 50 9 88 94 6 265,0 207,5 -57,5 MLGG 0120 41 46 5 88 90 2 509,2 599,2 90,0 MLGG 0081 40 37 -3 94 94 0 112,9 175,4 62,5 AOCHI/W-62 43 36 -7 94 88 -6 964,0 1169,0 205,0 IAC 100/BRR-1 41 40 -1 94 94 0 988,5 339,2 -649,3 9837/KAWI,D-6-185 50 49 -1 94 94 0 416,6 1594,9 1178,3 IAC 100 42 39 -3 94 88 -6 1448,6 1604,2 155,6 MLGG 0383-1 43 46 3 94 92 -2 1390,3 434,6 -955,7 PANGRANGO 39 43 4 94 94 0 566,5 408,8 -157,7 MLGG 0122 39 37 -2 94 88 -6 1638,0 902,0 -736,1 MLGG 0069 42 42 94 93 879,2 629,9 Rata-rata Koefisien keragaman (%) 9,6 3,5 18,73 Intensitas cahaya (I) * * * Genotipe (G) * * * Interaksi I x G * * * Keterangan: * dan ** : berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%, tn : tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

pertumbuhan maristem di bagian pucuk akibat maristem mengalami kesulitan dalam mendapatkan suplai makanan dari pembuluh, produksi dan distribusi auksin yang tinggi, sehingga merangsang pemanjangan sel yang mendorong meningkatnya tinggi tanaman (Garnerd et al . 1985; Sugito 1999). Tanaman mengalami pemanjangan di buku batang (jarak antar ruas pada batang) akibat kekurangan cahaya. Tanaman yang mendapat intensitas cahaya rendah cenderung sedikit bercabang, tanaman lebih banyak untuk menaikkan aspek batangnya menuju ke puncak kanopi (Uchimiya 2001), hal tersebut berhubungan dengan tanaman yang mengalami

etiolasi maupun kandungan auksin pada tanaman (Garner et al. 1985). Timbulnya interaksi menunjukkan bahwa genotipe memberikan respon berbeda terhadap perbedaan perlakuan intensitas cahaya, untuk karakter jumlah buku cenderung lebih sedikit dan diameter batang lebih kecil pada intensitas cahaya 50%. Perkembangan batang membutuhkan akumulasi bahan kering lebih besar dibandingkan daun. Oleh karena itu berkurangnya sinar matahari yang diterima tanaman selama fase vegetatif mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis, yang berakibat pada berkurangnya fotosintat yang dialokasikan untuk perkembangan 467

Susanto & Sundari

batang. Tanaman yang menerima intensitas cahaya rendah (ternaungi) mengakibatkan batang tanaman cenderung kecil dibanding kondisi intensitas cahaya penuh, disebabkan oleh xilem kurang berkembang karena pembesaran sel-sel pada batang terhambat (Wirnas 2005). Jumlah daun umur enam dan delapan MST menunjukkan perubahan peringkat jumlah daun dari setiap genotipe, artinya genotipe yang memiliki jumlah daun terbanyak pada intensitas 50% pada waktu umur sebelumnya tidak selalu menunjukkan jumlah daun terbanyak pada umur berikutnya, begitu pula pada jumlah daun pada intensitas cahaya penuh. Tanaman yang kekurangan intensitas cahaya mengakibatkan jumlah daun per tanaman berkurang (Squire 1990). Berkurangnya jumlah daun yang terbentuk berhubungan erat dengan pengurangan luas daun. Pola tersebut serupa dengan pelitian lain yang menyatakan bahwa tanaman kedelai yang dinaungi sejak tanam akan mengalami penurunan luas daun (Hariani 2002; Squire 1990). Luas daun tanaman umur dua MST di tempat intensias cahaya 50%, sebagian besar genotipe merespon dengan memperlebar daunnya, tetapi mulai umur empat hingga delapan MST berangsur-angsur luas daunnya menjadi menyusut. Diantara genotipe yang diuji tidak menunjukkan konsistensinya menempati peringkat yang sama pada pengamatan umur berbeda, terdapat genotipe yang memperlebar luas daunnya dan mempersempit luas daunya pada intensias cahaya 50%. AOCHI/W-62 merupakan genotipe yang menun-jukkan 468

responnya terhadap intensitas cahaya 50% dengan memperlebar ukuran daunnya mulai pengukuran umur dua hingga delapan MST. Adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dilakukan dengan meningkatkan luas daun per unit yang merupakan upaya tanaman dalam mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis secara normal pada kondisi intensitas cahaya rendah (Levitt 1980; Djukri & Purwoko 2003). Pada umur delapan MST perbedaan kehijauan daun hanya karena keragaman genotipe, hal ini kemungkian besar karena umur panen yang berbeda sehingga umur panen tanaman yang lambat, daun masih hijau sedangkan pengamatan dilakukan diwaktu umur tanaman sama. Tingkat kehijauan daun berkaitan dengan kandungan pigmen daun yang berwarna hijau (klorofil) (Lakitan 1993), dimana terdapat dua jenis klorofil, yaitu klorofil a (C55H72o5N4Mg) yang mengendalikan warna hijau tua dan klorofil b (C55H70O6N4Mg) yang mengendalikan warna hijau terang (hijau muda) (Miller 1959 cit Sundari 2006). Daun tanaman dikotil yang ternaungi lebih banyak mengandung klorofil, terutama klorofil b (Lakitan 1993), seperti dalam penelitian yang menunjukkan tingkat kehijauan daun tanaman kedelai lebih terang pada kondisi intensitas 50%. Interaksi nyata terjadi antara intensitas cayaha dengan berat kering polong. Semakin sedikit energi matahari yang diterima oleh tanaman, proses fotosintesis yang terjadi juga akan berkurang, yang berakibat pada berkurangnya akumulasi bahan kering ke

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

organ tersebut. (Katayama et al. 1998). Namun demikian, fotosintat yang terbentuk tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar kemampuan penghasil fotosintat akan tetapi juga ditentukan oleh pengguna fotosintat baik dalam ukuran maupun jumlah (Katayama et al.1998). Penurunan jumlah polong dapat disebabkan oleh kekurangan cahaya untuk fotosntesis sehingga tanaman yang sedang berbunga dan masa pembentukan polong akan mudah gugur (Jiang & Egli 1993). Jumlah polong hampa yang terbentuk pada cekaman cahaya hingga 50% menjadi lebih sedikit, kemungkinan juga berkaitan dengan jumlah polong yang terbentuk, hanya MLGG 0059 yang tidak berpengaruh adanya cekaman tersebut (Tabel 8). MLGG 0058 jika ditanam pada intensitas cahaya 50% bobot biji per tanaman menjadi menurun sebesar 4,91 g (dari 6,35 g menjadi 1,44 g) tertinngi daripada genotipe lainnya, sedangkan IAC 100 mengalami peningkatan hasil biji per tanaman tertinggi yaitu sebesar 2,11 g (dari 1,45 g menjadi 3,56 g). Cahaya terserap merupakan faktor penting dalam proses fotosintesis, pertumbuhan dan hasil biji tanaman (Board & Harville 1996; Zhao & Oosterhius 1998). Intensitas cahaya 50% menyebabkan penurunan hasil biji dari sebagian besar genotipe yang diuji. Pengurangan cahaya terserap mengakibatkan pengurangan aktifitas fotosintesis, sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi berkurang (Osumi et al . 1998) dan sebagai akibatnya hasil biji menurun. Intensitas cahaya 50% berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji. Tanaman yang mendapat intensitas cahaya 50%

akan terjadi penurunan aktifitas fotosintesis, sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi menjadi berkurang (Osumi et al . 1998) maka akan menyebabkan bobot biji menjadi lebih ringan. Berkaitan perubahan umur panen, rata-rata suhu udara harian di lingkungan intensitas cahaya 50% lebih rendah daripada intensitas cahaya 100%, hal itu seharusnya tanaman yang mendapat suhu udara lebih tinggi akan cepat berbunga walaupun jumlah radiasi yang diterima tanaman lebih sedikit (Zaman 2003), dan kemungkian terdapat faktor lain dalam penelitian ini tidak diprediksikan. Umur tanaman kedelai pada intensitas cahaya 50% menunjukkan keragaman. Pada intensitas cahaya rendah kondisi suhu udara lebih rendah, tetapi memiliki umur panen yang lebih cepat, tetapi Zaman (2003) mengungkapkan bahwa kondisi lingkungan naungan cenderung memiliki suhu udara yang lebih tinggi sehingga umur panen lebih cepat jika dibandingkan dengan intensitas cahaya penuh. Dalam penelitian terjadi kondisi lain dimana suhu lingkungan di naungan lebih rendah, hal ini kemungkinan besar naungan yang dibuat mendapat aliran udara yang cukup sehingga lingkungan di naungan tidak seperti kondisi sebenarnya, hal inilah yang merupakan salah satu kelemahan dalam pengijuan tanaman dalam naungan buatan. Cekaman intensitas cahaya sebesar 50% menyebabkan penurunan hasil biji per plot. Faktor penting yang dapat mempengaruhi hasil kedelai adalah cahaya yang diterima oleh tanaman (Jomol et al. 2000) dan apabila tanaman 469

Susanto & Sundari

kedelai ternaungi dengan intensitas naungan 30% dapat menurunkan hasil sebesar 30-50% (Ashadi et al. 1997). KESIMPULAN Intensitas cahaya 50% mengakibatkan perubahan karakter tanaman kedelai meliputi batang lebih tinggi, jarak antar buku lebih panjang, jumlah buku berkurang, diameter batang mengecil, jumlah daun berkurang, luas daun mengecil, jumlah polong berkurang, bobot biji berkurang, bobot 100 biji mengecil, tingkat kehijauan daun rendah, mempercepat umur berbunga dan panen. Genotipe IAC 100, MLGG 0383-1 dan IAC 100/BRR-1 memiliki hasil biji lebih tinggi pada kondisi intensitas cahaya 50%. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih diperuntukan kepada koordinator teknis KP. Kendalpayak Malang (Pak Slamet) yang membantu dalam penelitian. DAFTAR PUSTAKA Ashadi, DM. Arsyad, H. Zahara, & Darmiyati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran naungan dan tumpangsari. Buletin Agro Biop. 1:15-20. Badrun. 1986. Tumpangsari jagung dengan beberapa jenis sayuran. Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Balitan Bogor. Padi.1: 95105.

Blum, A. 1982. Evidence for genetic variability in drought resistance and its applications in plant breeding. In: Drought Resistance in Crops With Emphasis on Rice . IRRI. Philipina. 56-68. Board, JE. & BG. Harville. 1996. Growth dynamic during the vegetatif periode affect yield of narrow-row, late planted soybean. Agron. J. 88: 567-572. Djukri & Purwoko, B. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas. J. Ilmu Pertanian. 10: 17-25. Garnerd, FP., RB. Pearce, & RL. Mitchel. 1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press. Hariani, K. 2002. http://digilib.itb.ac.id/ gdl.php?mod=browse&op=read&id= jiptumm-gdl-s1-2002-hariani-4918bradyrhizo. Jiang, H. & DB. Egli. 1993. Shade induced changes in flower and pod number and flower and fruit abscission in soybean. Agron. J. 85: 221-225. Jomol, PM., SJ. Herbert, S. Zhang, AAF. Rautenkranz, & GV. Litchfield. 2000. Diffrential renponse of soybean yield components to the timing of light enrichment. Agron. J. 92: 1156-1161. Katayama, K., LU. de la Cruz, S. Sakurai, & K. Osumi. 1998. Effect of shelter trees on growth and yield of pechai (Brassica chinensis L.), mungbean (Vigna radiate L.) and maize ( Zea mays L.). JARQ . 32(2):139-144.

470

Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya

Lakitan, B. 1993. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan . PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stresses. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Vol II. Academic Press, Inc. London, Ltd. Osumi, K., K. Katayama, LU. de la Cruz, & AC. Luna. 1998. Fruit bearing behavior of 4 legumes cultivated under shaded conditions. JARQ. 32: 145-151. Schou, JB., DL. Jeffer, & JG. Streeter. 1978. Effects of reflector, black boards, or shades applied at different stages of plant development on yield of soybeans. Crop Sci. 18: 29-34. Squire, GR. 1990. The Physiology of Tropical Crop Production. C.A.B. International, Wallingford. OxonOX108DE.UK. Stepphun, H., MT. Van Genuchten, & CM. Grieve. 2005. Root-zone salinity: I. Selecting aproduct-yield indekx and response function for crop tolerance. Crop Sci. 45:209220. Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. Sundari, T. 2006. Respon, mekanisme dan seleksi ketahanan kacang hijau terhadap naungan. [Disertasi]. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Uchimiya, H. 2001. Genetic engineering for abiotic stress tolerance in plants. SCOPAS. http://www.google.com/ search?:abioticstress.

Whigham, DK. & HC. Minor. 1978. Agronomic characteristics and environment strees. 5. In. Geoffrey. A. Norman (eds.) Soybean, Physiology, Agronomy and Utilization. Geoffrey. New York, San Francisco, London. Academic Press. Inc. 77-10. Wirnas, D. 2005. Analisa kuantitatif dan molekuler dalam rangka mempercepat perakitan varietas baru kedelai toleran terhadap intensitas cahaya rendah. http:// www. tomotou. Net/pps702_9145/ desta_wirnapdf. Zaman, MZ. 2003. Respon pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai (Glycine max (L) Merrill) terhadap intensitas penaungan. [Skripsi]. Malang: Universitas Brawijaya. Malang. Zhao, D. & D. Oosterhius. 1998. Cotton response to shade at different growth stages: Nonstructural carbohydrate composition. Crop Sci. 38:1196-1203.

Memasukkan: Juli 2010 Diterima: September 2010 471

J. Biol. Indon. Vol 6, No.3 (2010)


PANDUAN PENULIS

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masingmasing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol , , , dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisan pustaka acuan sebagai berikut : Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/ lorCp.1.html.

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 3 (2010)

Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) di Perairan Pesisir Jawa Barat Yunizar Ernawati & Mohammad Mukhlis Kamal Keragaman Genetik Amfibia Kodok (Rana nicobariensis) di Ecology Park, Cibinong Berdasarkan Sekuen DNA dari Mitokondria d-loop Dwi Astuti & Hellen Kurniati Model Pemanfaatan Lahan Pulau Moti, Kota Ternate, Maluku: Suatu Analisis Tata Ruang Berbasis Vegetasi Roemantyo Komunitas Serangga pada Bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di Luar Habitat Aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor Provinsi Jawa Barat Indonesia Sih Kahono, Sofi Mursidawati & Erniwati Kajian Hubungan Tutupan Vegetasi dan Sebaran Burung di Pulau Moti, Ternate, Maluku Utara Hetty I.P. Utaminingrum & Eko Sulistyadi Pengujian 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya 50% dan Penilaian Karakter Tanaman Berdasarkan Fenotipnya Gatut Wahyu Anggoro Susanto & Titik Sundari

393

405

415

429

443

459

Anda mungkin juga menyukai