I. KETERANGAN UMUM
.
2. PROGRAM TEMATIK : Keanekaragaman Hayati
4. NAMA PROYEK :
1
II. DATA KEGIATAN
6. PERSONALIA
7. BIAYA KEGIATAN :
RUGAYAH
NIP. 19560830198202201
2
JUDUL KEGIATAN: EKOLOGI DAN STUDI TAKSONOMI BEBERAPA JENIS
DAN KULTIVAR LOKAL UMBI-UMBIAN
(Taccaceae, Dioschoreaceae, dan Araceae) DI INDONESIA
A. ABSTRAK
3
B. PENDAHULUAN
Konferensi Tingkat Tinggi PBB yang dilakukan pada tahun 2008 dilakukan untuk
membahas kelaparan dan kerusuhan di beberapa Negara yang dipicu oleh naiknya harga
pangan dunia. Hal ini pun perlu mendapatkan perhatian oleh pemerintah Indonesia.
Kemampuan pemerintah Indonesia untuk memberikan alternative pangan dirasakan
sangat mendesak untuk mempertahankan kondisi ketahanan pangan nasional. Penelitian
mengenai umbi-umbian ini dapat memberikan masukan mengenai bahan pangan baru
yang dapat menjadi salah satu solusi bagi ketahanan pangan masa depan.
Umbi-umbian telah dikenal lama oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai
bahan makanan pokok pengganti berat atau jagung, selain sebagai bahan makanan
tambahan, berpotensi untuk tanaman obat dan memiliki nilai tambah sebagai tanaman
hias. Beberapa jenis umbi-umbian tersebut yang terdapat di Indonesia adalah Alocasia
macrorrhizos, Amorphophallus paeoniifolius, A. prainii, A. konjac, Cyrtosperma
merkusii, Tacca lancaefolia, T. leontopetaloides, T. macrantha, T. palmata, dan
Dioscorea alata, D. esculenta, D. bulbifera, D. hispida, D. pentaphylla dan D.
numularia.
Secara umum, tanaman umbi-umbian dapat ditemukan tersebar di Afrika tropic,
Asia, Australia, Oceania, seluruh Asia Tenggara dan Pasifik. Di Indonesia, umbi-umbian
dapat ditemukan tersebar luas di seluruh kawasan Nusantara. Pulau-pulau kecil
diperkirakan memiliki keragaman yang lebih tinggi. Penyebarannya ke pulau-pulau kecil
tersebut diperkirakan sangat berkaitan dengan penyebaran etnis penduduknya. Umbi-
umbian dipakai sebagai bahan pangan dimasa paceklik akibat musim kering
berkepanjangan maupun adanya gelombang tinggi atau terputusnya lalulintas ke kota
yang menyebabkan pasokan bahan pengan ke pulau sulit dilakukan.
Alocasia macrorrhizos (L.) Schott. dicirikan oleh ukurannya yang sangat besar
sehingga dinamakan “giant taro”. Di Indonesia, jenis ini tersebar di Sumatra (Sibolangit),
Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), Kalimantan (Samarinda) dan Sulawesi
4
(Menado). Sebagai tanaman budidaya, jenis ini memiliki banyak variasi, sehingga masih
memerlukan kajian taksonomi lebih lanjut.
Amorphophallus paeoniifolius terdapat di daerah Indonesia Timur yaitu Rimba Jaya
dan Merauke, sedangkan A. prainii terdapat di daerah Kalimantan (Kutai, Kalimantan
Timur). Umbi dari A. paeoniifolius dapat mencapai berat hingga 10 kg dan dapat
dimakan setelah dibakar atau direbus, seperti kentang. A. prainii juga dapat dimakan
setelah dimasak tetapi harus direndam terlebih dahulu di dalam air sebelum dimasak.
Jenis ini terdapat di tumpukan humus, di tempat-tempat buangan atau disekitar tempat
tinggal manusia. Banyak orang menyebut Amorphophallus paeoniifolius sebagai sinonim
dari A. campanulatus tetapi ada yang menganggap keduanya sebagai jenis yang berbeda.
Cyrtosperma merkusii sedikit berbeda jika dibandingkan dengan jenis lainnya
yang sudah disebutkan diatas, jenis ini terdapat di rawa sehingga dinamakan “swamp
taro”. Selain terdapat di rawa, C. merkusii terdapat juga di kolam-kolam dan tempat-
tempat yang basah. Di Indonesia C. merkusii terdapat di Sumatra, Jawa (Jawa Barat) dan
Kalimantan.
Tacca leontopetaloides (gadung tikus, kecondang) merupakan terna dengan umbi
yang berukuran cukup besar, dan umbinya enak dimakan serta dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan pengganti karbohidrat. Pada umumnya persebaran jenis-jenis
tersebut di seluruh Jawa dan Madura kecuali T. lancaefolia (hanya ditemukan di Jawa
Barat). Kecondang banyak ditemukan di daerah-daerah dekat pantai, bahkan di pulau-
pulau terpencil (Karimunjawa) umbinya pernah dimanfaatkan untuk pengganti
karbohidrat bila kondisi gelombang laut sedang besar dan lalu lintas menuju kota sedang
terputus. Pengolahan umbi tersebut masih sangat sederhana, hanya terbatas untuk
konsusmsi keluarga seperti misalnya untuk bubur, kue-kue kecil dan lain-lain
(Djarwaningsih dkk, 2003 & 2006). Menurut Jukema & Paisooksantivatana (1996), T.
leontopetaloides ditemukan secara liar dan kadang-kadang dibudidayakan di seluruh
Afrika tropic, Asia, Australia, Oceania, seluruh Asia Tenggara dan Pasifik. Patinya
digunakan untuk membuat roti, pasta, pudding dan lain-lain. Buah dan daunnya juga bisa
dimakan sebagai sayuran. Serabut dari tangkai daun dan perbungaannya dapat
dimanfaatkan untuk membuat topi dan alat memancing.
5
Tacca palmata adalah jenis tumbuhan liar, banyak tumbuh di daerah pesisir dan
belum banyak dibudidayakan serta diketahui potensinya, kecuali keberadaannya sebagai
tanaman yang menghasilkan umbi.
Dioscorea alata merupakan jenis yang paling banyak diteliti karena keutamaan
umbinya yang berukuran relatif besar, kurang berserat dan enak rasanya. Sedangkan lima
jenis lainnya (D. esculenta, D. bulbifera, D. hispida, D. pentaphylla dan D. numularia)
masih kurang mendapat perhatian walaupun telah banyak dikenali kultivar-kultivarnya.
Seperti Dioscorea esculenta telah ditanam, di Ambon dikenal gembili bulu, gembili
tansuri, gembili merah, gembili cempedak. Di Jakarta dikenal: uwi aug, uwi jae, uwi
kamyung, Di Bandung dikenal: betul dan huwi lada menyerupai D. hispida.. Jenis
tersebut memiliki 2 varietas taksonomi ( var.spinosa (Roxb.)Prain & Burk dan var.
faciculata (Roxb.)Prain & Burk.. nama daerah keduanya dalam bahasa Malay dan Sunda
sering kali saling tumpang tindih dengan D. alata. (Burkill, 1951).
Dioscorea bulbifera L, D. pentaphylla dan D. nummularia lamk L merupakan
jenis-jenis liar yang belum mendapat perhatian. Sampai saat ini belum banyak forma
maupun kultivar yang dikenal dilaporkan adanya. Burkill (1954) melaporkan ada 4
varietas taksonomi D. bulbifera yaitu var. bulbifera, var. heterophylla, var. sativa, dan
var. Suaveor. Dioscorea pentaphylla L. mempunyai 5 varietas yaitu var. javanica, var.
malaica, var. palmata, var. papuana, dan var. sacerdotalis. Lain halnya dengan
Dioscorea hispida Dennst. Jenis ini walaupun merupakan tumbuhan liar, namun telah
banyak ditanam. Jenis ini berasal dari India. Di Jawa dikenal beberapa kultivar a.l.”
gadung betul”, ”gadung kuning”, ”gadung ketan” dan ”gadung padi”. Burkill (1954)
mengenal beberapa varietas taksonomi yaitu var. hispida, var. mollisima dan var.
scaphoides.
Berkaitan dengan tanaman budidaya, upaya meningkatkan kwalitas merupakan
sasaran utamanya. Pengumpulan material plasma nutfah merupakan pekerjaan awal,
kemudian karakterisasi (morfologi, anatomi, kimia, molekuler), menyeleksi individu
yang berpotensi yang akhirnya berupaya meningkatkan kwalitasnya disesuaikan dengan
selera masyarakat. Bidang taksonomi maupun ekologi merupakan bidang penting dalam
menyiapkan data dasar untuk mengupayakan peningkatan keanekaragaman maupun
kwalitasnya.
6
Bidang taksonomi bertugas mengungkapkan keanekaragamannya, menentukan
status taksonominya, mengetahui kekerabatannya. Sedangkan bidang ekologi, bertugas
menerapkan dasar-dasar ekologi seperti melalukan penelitian ekologi populasi.
Perbedaan kondisi lingkungan, dalam hal ini unsur hara dalam tanah dan asosiasi dengan
tumbuhan lain, memungkinkan untuk menciptakan kondisi iklim mikro yang berbeda.
Pada akhirnya perbedaan ini akan memicu perbedaan jenis-jenis yang mampu beradaptasi
pada kondisi lingkungan tersebut.
Kegiatan lapangan dengan eksplorasi maupun inventarisasi serta kegiatan
laboratorium seperti pengamatan secara morfologi, anatomi, sitologi dan molekuler
merupakan rangkaian penelitian yang akan dilakukan.
Pulau Jawa (P. Karimunjawa, Jawa Barat: Sukabumi dan sekitarnya), dipilih
sebagai lokasi pengumpulan materialnya, pengamatan morfologi, anatomi dan sitologi
menjadi prioritas yang akan dilakukan pada tahun pertama penelitian ini.
2. Perumusan masalah
7
jenis yang belum pernah terekam di Jawa serta yang diduga langka, sehingga bisa
diketahui jumlah jenisnya secara pasti di Indonesia.
Permasalah utama yang berkaitan dengan tanaman budidaya di Indonesia adalah
minimnya informasi sejarah penanganan tanaman dari awal sampai saat ini atau disebut
juga dengan proses domestikasi. Pasport data merupakan hal perting yang harus
disediakan. Minimnya buku ”descriptor” tanaman budidaya juga menjadi salah satu hal
yang perlu mendapat perhatian..
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan eksplorasi dan inventarisasi
jenis umbi-umbian liar di alam dan kultivar-kultivar lokal yang dapat ditemukan beserta
status taksonomi, kelangkaan dan distribusinya di Indonesia.. Pada penelitian ini juga
diharapkan dapat mengungkap kondisi lingkungan mikro yang mempengaruhi
pertumbuhan dan pembentukan kultivar lokal.
Sasaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengungkapkan jenis umbi-
umbian lokal dengan status taksonomi yang tepat, mengetahui daerah distribusi dan status
kelangkaannya, mengetahui iklim mikro yang tepat untuk pertumbuhannya. Semua
informasi dasar tersebut akhirnya dapat dipakai sebagai dasar penelitian lanjutan dalam
rangka berupaya meningkatkan keragaman umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai
bahan pangan alternatif
Jenis umbi-umbian merupakan salah satu bahan alternatif pangan yang masih
perlu dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian secara terpadu. Langkah
pertama yang penting untuk dilakukan adalah mengungkapkan keanekaragaman jenis liar
dan variasi lokal yang telah berkembang di masyarakat. Takson yang menjadi prioritas
dalam penelitian ini adalah beberapa jenis dari suku Araceae, Dioschoreaceae, dan
Taccaceae. Beberapa jenis yang termasuk dalam suku-suku tersebut, diketahui memiliki
8
permasalahan taksonomi, sehingga pendekatan secara morfologi, anatomi, sitologi dan
genetic/ molekuler perlu dilakukan.
Kemampuan reproduksi tanaman umbi-umbian baik secara generatif maupun
vegetatif akan mempengaruhi keanekaragaman genetik inter- dan intra-species. Dalam
penelitian ini, inter-simple sequence repeat (ISSR) akan digunakan untuk mengetahui
keragaman genetik dalam kelompok kultivar (populasi) dari jenis-jenis yang
diprioritaskan. ISSR telah dilaporkan dapat digunakan sebagai metoda yang cukup
sensitif, efisien dan cukup ekonomis untuk mengetahui struktur dan keragaman genetik
antar populasi tumbuhan liar maupun budidaya. Selain itu, kondisi lingkungan mikro
(tanah dan udara) dari habitat hidup jenis umbi-umbian tersebut belum banyak diteliti.
Penelitian mengenai jenis-jenis Tacca di Indonesia masih jarang dilakukan, baik
secara taksonomi, fisiologi, pembudidayaan ataupun aspek-aspek biologi lainnya. Backer
& Bakhuizen van den Brink (1968) merekam 4 jenis Tacca di Jawa: T.lancaefolia, T.
leontopetaloides, T. macrantha dan T. palmata. Diantaranya ada yang berpotensi sebagai
tanaman hias (T. macrantha dan T. palmata). Pada umumnya persebaran jenis-jenis
tersebut di seluruh Jawa dan Madura kecuali T.lancaefolia (hanya ditemukan di Jawa
Barat).
T. leontopetaloides (gadung tikus, kecondang) merupakan terna dengan umbi
yang berukuran cukup besar, dan umbinya enak dimakan serta dapat dimanfaatkan
sebagai bahan pangan pengganti karbohidrat. Menurut Jukema & Paisooksantivatana
(1996), T. leontopetaloides ditemukan secara liar dan kadang-kadang dibudidayakan di
seluruh Afrika tropic, Asia, Australia, Oceania, seluruh Asia Tenggara dan Pasifik.
Patinya digunakan untuk membuat roti, pasta, pudding dan lain-lain. Buah dan daunnya
juga bisa dimakan sebagai sayuran. Serabut dari tangkai daun dan perbungaannya dapat
dimanfaatkan untuk membuat topi dan alat memancing. Lemmens (2003),
mengungkapkan bahwa marga Tacca didunia mewadahi 11 jenis, 8 jenisnya ditemukan di
Asia Tenggara; Australia 2 jenis; Afrika, Madagaskar dan Amerika Selatan 1 jenis. Jenis-
jenis Tacca tersebut pada umumnya bermanfaat sebagai bahan makanan tambahan,
sayuran dan obat-obatan. Kecondang banyak ditemukan di daerah-daerah dekat pantai,
bahkan di pulau-pulau terpencil (Karimunjawa) umbinya pernah dimanfaatkan untuk
pengganti karbohidrat bila kondisi gelombang laut sedang besar dan lalu lintas menuju
9
kota sedang terputus. Pengolahan umbi tersebut masih sangat sederhana, hanya terbatas
untuk konsusmsi keluarga seperti misalnya untuk bubur, kue-kue kecil dan lain-lain
(Djarwaningsih dkk, 2003 & 2006).
Jenis-jenis Tacca di Malesia (T. bibracteata dari Borneo dan T. celebica dari
Sulawesi) diketahui hanya dari koleksi yang sangat minim, sehingga diduga merupakan
jenis-jenis yang langka. Menurut Lemmens (2003), T. integrifolia mempunyai sinonim –
sinonim: T. cristata dan T. laevis. Jenis tersebut belum pernah dilaporkan keberadaannya
di Jawa (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1968), sedangkan Lemmens (2003)
menyebutkan bahwa jenis tersebut tersebar di India, Bangladesh, Burma, Indo-China,
China Selatan, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa Barat, Borneo dan
kadang-kadang ditanam sebagai tanaman hias. T. leontopetaloides secara vegetatif
kadang-kadang sulit dibedakan dengan jenis-jenis Amorphophallus.
Keanekaragaman jenis Dioscorea di dunia diperkirakan terdapat sekitar 600 jenis
tersebar di daerah tropik dan subtropik, 59 jenis ada di kawasan Malesiana (30 jenis
diantaranya terdapat di Indonesia). Dioscorea alata, D. esculenta, D. bulbifera, D.
hispida dan D. pentaphylla telah lama dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat di
Indonesia meskipun masih memerlukan perlakukan sebelum mengonsumsinya. Bahkan
D. alata, D. esculenta merupakan jenis-jenis yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat
dunia sebagai penghasil ”yam” (Burkill, 1951). Dioscorea alata merupakan jenis yang
telah banyak mendapat perhatian karena keunggulan umbinya, sehingga banyak
penelitian yang telah dilakukan, dibandingkan kelima jenis lainnya. Doscorea alata L.
Berasal dari Asia Tenggara , telah dibudidayakan namun tidak diketahui bentuk liarnya.
Jenis telah tersebar luas di daerah tropik lainnya seperti di Karibea, merupakan tanaman
penghasil umbi penting, demikian pula di Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea,
Philippines dan Vietnam. Di Filipina jenis ini telah dibudidayakan secara luas.
Jenis ini merupakan penghasil umbi penting di Indonesia, paling ekonomis untuk
dikunsumsi, umbinya berukuran relatif besar dan enak dimakan, dapat dipakai sebagai
pengganti nasi. Umbinya sangat bervariasi bentuknya, sehingga banyak forma atau
kultivar yang dikenal. Heyne (1987), melaporkan Rhumphius membedakan forma besar
dan forma kecil, termasuk didalamnya: uwi menjangan (forma besar), uwi heleya, uwi
tangan (forma minus), ubi ular, ubi buaya.
10
Hasil pengamatan morfologi terhadap tanaman uwi yang ada di daerah Istimewa
Yogyakarta yang dilakukan oleh Purnomo dan Susandarini (2009), merekam 11 plasma
nutfah (sumber daya genetik) berdasarkan karakter morfologi organ vegetatif, (bentuk
umbi, warna umbi dan batang). Plasma nutfah tersebut oleh penduduk telah diberi nama
lokal, antara lain uwi beras, uwi legi, uwi kendil, uwi ulo, uwi ungu, uwi bangkulit, uwi
butun, uwi kuning, uwiluyung putih (uwi jengking), uwi luyung senggani dan uwi luyung
kuning.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk jenis ini dengan menggunakan
berbagai pendekatan seperti morfologi, anatomi, sitologi, kimia maupun molekuler.
Karakter amilum, sel parenkim, batas korteks dan stele, kalsium oksalat, dan tekstur umbi
dapat digunakan sebagai penanda spesies-spesies Dioscorea (Ayensu, 1972). Bahkan
menurut Brunnschweiler (2004) amilum, parenkim, warna, dan tekstur umbi dapat
mengenali plasma nutfah tanaman uwi.
Jumlah kromosom dasar D. alata adalah n = 10. Toyohara et al. (2002)
menemukan kromosom D. alata di Jepang berjumlah 50, 60, 70, 80, 90, 100, 120, dan
140, sedangkan tingkat ploidi dapat dikenali dari ukuran stomata dan morfometri daun,
meliputi panjang daun, panjang helaian, lebar maksimal, dalamnya toreh pangkal, dan
jarak toreh pangkal daun. Gamiette et al. (1999) melaporkan jumlah kromosom D. alata
L. ”Tahiti M” di West Indies, Nigeria, pantai Ivory, dan New Caledonia adalah 40, 60,
80, dan dijumpai rumusan kromosom dalam sel pada metafase 2n + n.
Penelitian keragaman genetik tanaman uwi (Dioscorea alata) dengan bukti
molekular dengan penanda RAPD telah banyak dilakukan oleh para ahli sebelumnya.
Shiwaki et al. (2000) meneliti keragaman D. alata, D. opposite, dan D. japonica di Asia
berdasarkan karakter morfologi dan penanda RAPD. Hasil penelitiannya menunjukan
bahwa D. oposita dan D. japonica secara morfologi sukar dibedakan, namun dapat
dibedakan berdasarkan RAPD, dan dendrogam berdasarkan morfologi serta molekular
(RAPD) antar spesies berkorespondensi. Berdasarkan karakter morfologi D. alata dapat
digolongkan menjadi 3 kelompok strain, sedangkan berdasarkan molekular (RAPD)
dapat digolongkan menjadi 5 kelompok strain
Hasan et al. (2006) melakukan penelitian tentang variabilitas genetik tanaman uwi
(D. alata L.) di Malaysia berdasarkan karakter morfologi dan molekuler dengan penanda
11
RAPD. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa assesi tanaman uwi dapat digolongkan
menjadi tiga kelompok yaitu assesi: a) umbi berbentuk bulat berwarna putih, berdaun
hijau, b) umbi lonjong berwarna putih berdaun hijau, dan c) umbi berbentuk bulat sampai
lonjong, daun berwarna merah keunguan.
Dioscorea esculenta dilaporkan oleh Rhumphius telah ditanam dalam skala besar
di Sulawesi melalui P. Buton sampai ke Maluku, Ambon dan Banda. Di Ambon dapat
dikelompokkan Rhumphius mengenal 3 forma: forma 1, memiliki umbi berwarna kuning
telur, 2. forma 2 (: gembili bulu, gembibli tansuri memiliki umbi panjang , tidak berserat,
enak rasanya), forma 3 (: gembili merah, gembili cempedak) memiliki umbi bulat, bagian
dalamnya berwarna merah).
Di Jakarta dikenal: uwi aug, uwi jae, uwi kamyung (forma 1), di Bandung
dikenal: betul dan huwi lada (forma 3) yang menyerupai D. hispida. Di Jawa, Bali dan
Bima jenis ini juga dibudidayakan namun masih dalam skala kecil. Jenis tersebut
memiliki 2 varietas ( var.spinosa (Roxb.)Prain & Burk dan var. faciculata (Roxb.) Prain
& Burk. Varietas pertama memiliki duri kemungkinan merupakan bentuk liar, sedang
verietas yang kedua merupakan bentuk budidaya sehingga umbinya tidak lagi berduri.
nama daerah keduanya dalam bahasa Malay dan Sunda sering kali saling tumpang tindih
dengan D. alata. (Burkill, 1951).
Dioscorea bulbifera L merupakan jenis liar yang berasal dari Asia. Di ambon dan
di Jawa jenis ini selain dijumpai di hutan juga ditanam di pekarangan meskipun umbinya
berukuran kecil, kadang-kadang pahit rasanya. Jenis ini memiliki umbi gantung/umbi
ketiak/ bulbil banyak dan berukuran sebesar kentang atau jeruk nipis. Sampai saat ini
belum pernah dilaporkan adanya forma maupun kultivar yang dikenal. Burkill (1954)
melaporkan ada 4 varietas taksonomi yaitu var. bulbifera, var. heterophylla, var. sativa,
dan var. suaveor .
Dioscorea hispida Dennst. Merupakan tumbuhan liar, namun telah banyak
dibudidayakan. Jenis ini berasal dari India. Di Jawa dikenal beberapa kultivar a.l.”
gadung betul”, ”gadung kuning”, ”gadung ketan” dan ”gadung padi”. Burkill (1954)
mengenal beberapa varietas taksonomi yaitu var. hispida, var. mollisima dan var.
scaphoides.
12
Dioscorea pentaphylla L. Merupakan tumbuhan liar, berasal dari Asia Tenggara
dan di Jawa banyak ditanama di pekarangan rumah. Umbinya berukuran relatif besar,
berserat kasar. Di P. Buru dikenal dengan nama ”wakat”, umbi kulitnya berwarna merah
dan di Bima berkulit coklat. Burkill (1954) mengenal beberapa varietas taksonomivar.
Javanica, var. malaica, var. palmata, var. papuana, var. sacerdotalis.
Dioscorea nummularia lamk. Merupakan tumbuhan liar, memiliki variasi
morfologi yang sangat tinggi, umbinya dapat dimakan namun tidak enak rasanya, cepat
mengayu, tumbuh di semak belukar ditepian sungai, umbinya berukuran kecil, memiliki
batang sangat liat dan di Minahasa dipakai sebagai bahan anyaman. Di Sulawesi utara,
dikenal uwi tuwa.
Informasi di atas menunjukkan bahwa masih banyak peluang penelitian yang
berkaiatan dengan bidang taksonomi maupun ekologi. Dengan melalukan penelitian
dengan pendekatan kedua bidang tersebut dapat diharapkan dapat mengungkapkan status
taksonomi, hubungan kekerabatan antar jenis, pilihan tipe habitat, distribusi dan
kelangkaannya di alam terhadap jenis ubi-ubian yang ada di Indonesia.. Pada akhirnya
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan
kearah pemuliaan dan pengembangannya dalam rangka mendapatkan kultivar-kultivar
unggulan.
13
C. METODOLOGI
14
unsur mikro tanah, tipe tanah, kandungan air dan keasaman/pH tanah. Sedangkan
data curah hujan akan diperoleh dari stasiun cuaca terdekat.
Untuk mengetahui asosiasi antara umbi-umbian dengan jenis tumbuhan lain
disekitarnya, maka identifikasi dilakukan juga untuk tumbuhan yang ditemukan di
dalam plot.
2. Laboratorium
a. Karakterisasi jenis yang berhasil dikoleksi berdasarkan ciri-ciri morfologi,
anatomi dan sitologi.
Perhitungan jumlah kromosom dilakukan pada tingkat awal metafase dengan
metode pencet (acetocarmin squash method) yang dikembangkan oleh Manton
(1950). Ujung akar muda tanaman diinkubasi dalam 0,002 mol larutan 8-
Hydroxyquinoline selama 3-6 jam pada suhu 16-19 oC. Kemudian difiksasi
dengan 45% asam asetat selama 15 menit pada suhu sekitar 5 oC. Akar yang telah
difiksasi kemudian dimaserasi dengan campuran 45% asam asetat dan 1 N HCl
(1:3) selama 15-20 detik pada suhu 60 oC, kemudian diwarnai dengan meneteskan
larutan 1,5-2% acet-orcein selama 10-15 menit. Setelah itu dibuat sediaan
mikroskop dengan mengambil 1 potongan ujung akar, lalu diletakkan pada gelas
objek, ditutup dengan gelas penutup, kemudian ditekan perlahan-lahan dengan ibu
jari hingga tersebar merata dan jumlah kromosom langsung diamati dibawah
mikroskop.
b. Variasi intra-species
Inter-simple Sequence Repeat (ISSR) adalah metoda yang dipilih untuk
mengetahui variasi intra-species atau variasi antar kultivar yang ditemukan.
Sample daun dari beberapa populasi di alam dan kultivar yang ditemukan
dikoleksi secara acak kemudian dibersihkan dan disimpan dalam silica gel sampai
dengan proses selanjutnya. Total genom DNA diekstraksi dengan menggunakan
DNA-extraction kit. Amplifikasi dengan menggunakan primer ISSR dilakukan
dengan menggunakan thermal cycle (PCR), kemudian fragmen ISSR yang
berhasil di amplifikasi dipisahkan dengan menggunakan elektroforesis pada gel
15
agarosa. Gel kemudian diwarnai dengan menggunakan etidium bromide dan profil
ISSR difoto dibawah sinar UV. Marker digunakan sebagai kontrol untuk
mengetahui ukuran fragmen DNA. Pita DNA yang diperoleh kemudian
diidentifikasi untuk mengetahui polanya. Pada akhirnya hanya pita yang jelas
tampak yang akan dihitung. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
“Jaccard’s similarity index”.
c. Kunci identifikasi
Penyusunan kunci identifikasi untuk taksa yang sudah jelas batasan jenisnya
dilakukan berdasarkan data-data yang mendukung.
d. Pembuatan pertelaan dan ilustrasi (bisa berupa gambar digital) untuk taksa yang
sudah jelas berikut analisa potensi/manfaat apabila ada.
e. Pembuatan peta persebaran jenis
f. Penyusunan hasil untuk persiapan publikasi ilmah.
3. Rumah kaca
Penelitian dalam rumah kaca dimaksudkan untuk pengamatan karakterisasi morfologi,
sebagai tahap awal untuk upaya budidaya jenis-jenis potensial bahan pangan alternatif.
Karakter morfologi umbi, batang, daun, bunga, buah, biji tanaman umbi-umbian. Yang
akan diamati
16
c. Daun 17. Ukuran tangkai daun
18. Ukuran pulva bawah
19. Warna pulva
20. Ukuran pulva atas
21. Warna pulva
22. Susunan tulang daun
23. Susunan urat daun
24. Jumlah cabang tulang daun
25. Warna tulang daun
26. Dalam lobus pangkal
27. Jarak lobus pangkal
28. Lebar maksimal
29. Panjang helaian
30. Panjang daun
31. Ujung daun
32. Kuku ujung daun
33. Warna tepi daun
17
D. FAKTOR RESIKO KEBERHASILAN
E. HASIL PENELITIAN
18
F. ASPEK STRATEGIS
G. PELAKSANA PENELITIAN
Penelitian ini didukung oleh peneliti taksonomi, ekologi dan teknisi taksonomi sebagai
berikut: 4 orang staf peneliti taksonomi tumbuhan, 1 orang staf peneliti ekologi populasi,
dan 2 orang teknisi taksonomi tumbuhan.
PUSTAKA ACUAN
Backer, C.A. & Bakhuizen van den Brink Jr. 1968. Flora of Java III. Wolter-Noordhoff
N.V.- Groningen – The Netherlands. pp. 154-157.
Bressan E., E. A. Veasey, N. Peroni, A. Felipim, K.M. Pacheco dan Santos. 2007.
Collecting Yam (Dioscorea spp) and Sweet Potato Ipomoea batatas) Germplasm
In Traditional Agriculture Small-Holdings In The Vale do Ribeira, Sao Paulo,
Brazil. No. 144. pp:8-13.
Burkil, I.H. 1951. Dioscoreaceae. In Steenis, van (ed.) Flora Malesiana I, 4 (3): 293-336.
19
Djarwaningsih, T; Yusuf, R.; Keim, A.P.; Erniwati; Fanani, Z.; Wardi & Supritana. 2003.
Eksplorasi Flora, Serangga dan Studi Pendahuluan Ekologi Jenis Vegetasi di
Taman Nasional Karimunjawa, Jawa Tengah. Laporan Perjalanan “Herbarium
Bogoriense” Bidang Botani, Puslit Biologi – LIPI.
Djarwaningsih, T; Yusuf, R.; Erniwati; Amir, M. & Supritana. 2006. Eksplorasi Flora,
Serangga dan Studi Vegetasi Hutan di Beberapa Pulau Kecil Kawasan Kepulauan
Karimunjawa, Taman Nasional Karimunjawa-Jawa Tengah (P. Parang, P.
Kembar, P. Kumbang, P. Nyamuk, P. Bengkoang, P. Genting, P. Sambangan).
Laporan Perjalanan “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani, Puslit Biologi –
LIPI.
Gamiette F., F. Bakry, and G. Ano, 1999. Ploidy Determination of Some Yams Species
(Dioscorea spp.) by Flow Cytometry and Conventional Chromosomes Counting.
Gen. Res. & Crop Evol. 46: 19-27.
Hamrick, J.L. & Godt M.J.W. 1996. Effect of life history traits on genetic diversity on
plant species. Philosophical transactions in plant life histories: Ecological
correlates and phylogenetic constraints. Biological sciences. 351: 1291-1298.
Hay A. 1998. The Genus Alocasia (Araceae-Colocasieae) in West Malesia and Sulawesi.
Garden’s Bulletin Singapore;50:221-234.
Hay A, Bogner J, Boyce PC, Hetterscheid, Jacobsen N & Murata J. 1995. Checklist and
Botanical Bibliography of the Aroids of Malesia, Australia and the Tropical
Western Pacific. Blumea. Suppl.8.
Hay A & Wise R. 1991. The Genus Alocasia (Araceae) in Australasia. Blumea;35:499-
545.
20
Heyne, K., 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jakarta. p. 543-550.
Hu, Y., Y. Zu, Q.-Y. Zhang, H.-L. Pin, B.-R. Lu, K. Rahman, & H.-C. Zheng. 2008.
Population genetic structure of the medical plant Vitex rotundifolia in China:
Implications for its use and conservation. J. Integr. Plant Biol. 50: 1118–1129.
Judd W.S., C.S. Campbell, E.A. Kellogg, and P.F. Stevens, 1999. Plant Systematics A
Phyllogenetic Approach. Sinauer Assosiates, Inc. Publishers. Sunderland.
Massachussets. USA. pp. 27-106, 195-197.
Lemmens, R.H.M.J. 2003. Tacca J.R. Forster & J.G. Forster. In: R.H.M.J. Lemmens &
N. Bunyapraphatsara (Eds.). Medicinal and poisonous plants 3. PROSEA No.12
(3). Backhuys Publishers, Leiden.
Mayo SJ, Bogner J & Boyce PC. 1997. The Genera of Araceae. The Trustees, Royal
Botanic Garden, Kew. hlm 53-54.
Shiwaki H., M. Onjo, and M. Hayashi, 2000. Classification of Yams (Dioscorea spp.)
Based on Morphological Characters and RAPD Method. Jap. J. Trop. Agric. Vol.
44, No 4: 229-237.
Watanabe, N.M., J. Miyamoto & E. Suzuki. 2006. Growth Strategy of the stoloniferous
rattan Calamus javensis in Mt. Halimun, Java. Ecol. Res. 21: 238-245.
21
H. JADWAL KEGIATAN LIMA TAHUN
RENCANA PEMBIAYAAN
22
Rincian Biaya Tahun Anggaran yang Diusulkan
GAJI UPAH
BAHAN
PERJALANAN
LAIN-LAIN
23
Biaya analisis 2 paket
4 3,500,000 7,000,000
sample
5 Perawatan kebun 12 bulan 800,000 5,800,000
JUMLAH 13,800,000
Personalia
24