Anda di halaman 1dari 92

IDENTITAS BUKU

Disclaimer. Buku ini disiapkan oleh Tim Penulis dalam


rangka pemenuhan tugas mata Pelajaran Bahasa
Indonesia sesuai dengan salah satu kompetensi dasar
pembelajaran Bahasa Indonesia yaitu menulis cerita atau
novel Sejarah. Buku ini disusun dan ditelaah oleh guru
mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Buku ini merupakan
dokumen hidup dari hasil proses berpikir kritis dan
kreatif tim penulis melalui beberapa tahap diskusi dan
masukan dari guru mata Pelajaran Bahasa Indonesia.
Masukan dari berbagai kalangan yang dialamatkan
kepada penulis atau melalui Alamat surel
reinersebastian05@gmail.com diharapkan dapat
meningkatkan kualitas tulisan tim penulis kedepannya.

Drestanta Tiyasa
Copyright © 2024, Tim Penulis
Azzahra, Maila Faiza
Gimin, Muhammad Rachmat Hisbulloh
Hutagaol, Reiner Sebastian
Putri, Davina Rosalia
Ramadhan, Hanan Faizah
Penelaah
Penyunting
Ilustrator
Daftar isi
BIOGRAFI BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
B.J Habibie lahir di Pare pada 25 Juni 1936 dari
pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini
Puspowardojo. Terlahir dengan nama Bachruddin Jusuf
Habibie dan merupakan anak keempat dari delapan
bersaudara. B.J Habibie mempunyai seorang istri yaitu
Ibu Hasri Ainun Besari menikah pada 12 Mei 1962 dan
telah dikaruniai dua orang anak yaitu Ilham Akbar
Habibie dan Thareq Kemal Habibie. B.J. Habibie dikenal
sebagai sosok yang kharismatik dan cerdas juga sebagai
sosok yang tegas, ramah, dan halus. Kecerdasan dan
segudang prestasi yang dimiliki beliau tidak hanya
menjadi kebanggaan keluarganya, namun juga menjadi
putra terbaik kebanggaan Indonesia. Habibie juga
dikenal sebagai Presiden ke -- 3 Republik Indonesia dan
insinyur ternama yang karya dan pencapaiannya
melambung hingga ke kancah dunia. Beliau juga
dipercaya sebagai Vice President sekaligus Direktor
Teknologi di MBB Jerman serta menjadi Penasihat
Senior Bidang Teknologi untuk Dewan Direktur MBB
tahun 1978. Pencapaian yang telah beliau perjuangkan
untuk bangsa Indonesia menjadi prasasti nyata bahwa
Indonesia sudah layaknya bangga memiliki tokoh seperti
B.J. Habibie.
Habibie adalah sosok yang tidak pernah menyerah dalam
menuntut ilmu, beliau mempunyai tekad dan kemauan
yang kuat untuk mewujudkan mimpinya tersebut, Bagi
Habibie, ilmu harus di perjuangkan, harus diperoleh
dengan pengorbanan, harus dipahami dengan ketelatenan
dan kesabaran. Tekad yang beliau pegang tersebut,
menjadikan Habibie lulus dengan predikat summa cum
laude dalam studinya.
Beliau selepas SMA kuliah di Teknik Mesin Institut
Teknologi Bandung (ITB) kemudian melanjutkan ke
Rhenisch Wesfalische Tehnisce Hochscule, Jerman pada
1955 dan memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan
spesialisasi Konstruksi Pesawat Terbang. Selama kuliah,
Habibie aktif dalam berorganisasi dan terpilih menjadi
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Aachen
dan sebagai pimpinan Ikatan Mahasiswa UNESCO.
Setahun kemudian, Habibie lulus sebagai insinyur
dengan predikat summa cum laude, dengan prestasinya
itu, pada tahun 1967, Habibie menjadi professor
kehomatan (Guru Besar) di ITB. Setelah meraih gelar
Insinyur mesin dan konstruksi pesawat terbang, Habibie
melanjutkan pendidikan lagi dengan biaya sendiri.
Hingga Hbibie menjadi asisten S-3 di usia 24 tahun, dan
menjadi S-3 di usia 28 tahun.
Sosok B.J. Habibie sebagai seorang ilmuwan ahli
aeronautika, sehingga banyak orang berpikir bahwa
dunia politik bukan kehidupan yang dekat dengan
sosoknya. Namun, Habibie sendiri mengenal politik pada
awal decade 1990 -- an.
Semua berawal saat beliau dipilih sebagai Ketua Umum
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). ICMI
memang ormas keagamaan tetapi, nuansa politiknya
cukup tinggi. Dalam niat awalnya yang ingin
mewujudkan di dunia politik, Habibie berhasil menjadi
Wakil Presiden RI bersama Presiden Soeharto Periode
1998 -- 2003. Namun, kemungkinan besar Presiden
Soeharto akan mengundurkan diri dan dengan tegas
Habibie mengatakan bahwa beliau siap menggantikan
posisi Presiden Soeharto. Pada 21 Mei 1998, Soeharto
menyatakan berhenti sebagai Presiden RI dan B.J.
Habibie resmi dilantik sebagai Presiden. Dalam masa
jabatannya, Habibie bertugas mengembangkan teknologi
di Indonesia dan sekaligus bersama dalam kemajuan
teknologi di Indonesia. Habibie kemudian membangun
industri pesawat terbang di Bandung dan sebuah
perusahaan pesawat terbang PT. Nurtanio mulai
beroperasi. Hingga akhirnya Habibie dan IPTN (Industri
Pesawat Terbang Nusantara) berhasil membuat pesawat
terbang pertama buatan Indonesia, yaitu CN-235 dan N-
250.
Kesuksesan B.J. Habibie tentu saja selalu didampingi
oleh Ibu Ainun. Ainun tak pernah mengeluh dan
menuntut Habibie. Ia tetap setia mendampingi dan
menjadi semangat Habibie untuk mewujudkan
mimpinya. Hingga pada 22 Mei 2010 Ainun wafat.
Habibie sangat merasa kehilangan dan kisah cinta
Habibie dan Ainun disebut sebagai cinta sejati.

MASA KECIL BJ. HABIBIE


Bacharuddin Jusuf Habibie. Ia dilahirkan di Pare-Pare,
Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau
merupakan anak keempat dari delapan bersaudara,
pasangan Alwi Abdul Jalil dan RA. Tuti Marini
Puspowardojo.
Habibie menceritakan kalau keluarganya merupakan
keluarga yang religius. Bahkan, ayah beliau terbiasa
membacakan ayat-ayat suci Alquran kepada Habibie
kecil.
Habibie mengungkapkan, ayat-ayat suci Alquran yang
dibacakan oleh ayahnya itu bisa menenangkan dirinya.
Tidak heran kalau ayahnya pun kerap membacakan
Alquran mulai dari satu hingga dua juz, sekadar untuk
menenangkannya.
Beliau pun mengakui kalau kebiasaan mendengarkan
Alquran sejak kecil ini memberikan dampak yang sangat
positif. Buktinya, pada usia tiga tahun, Habibie sudah
bisa membaca ayat-ayat suci Alquran dengan lancar.
Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya
di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang
pada prinsip telah ditunjukkannya sejak kanak-kanak.
Ia punya kegemaran menunggang kuda dan membaca ini
dikenal sangat cerdas ketika masih menduduki sekolah
dasar,
Namun ia harus kehilangan bapaknya yang meninggal
dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan
jantung saat ia sedang shalat Isya.
Tak lama setelah ayahnya meninggal, Ibunya kemudian
menjual rumah dan kendaraannya dan pindah ke
Bandung bersama anak-anaknya, sepeninggal ayahnya,
ibunya membanting tulang membiayai kehidupan anak-
anaknya
Sejak berusia 2-3 tahun, Rudy adalah anak yang selalu
ingin tahu dan menanyakan segala sesuatu yang ditemui
dan dilihat pada ayahnya.
Nama kecil BJ Habibie digambarkan sebagai anak yang
selalu cerewet, dan ingin tahu segala sesuatu.
Ayahnya memang menjabat landbouw consulent atau
setara dengan Kepala Dinas Pertanian di Pare Pare,
Sulawesi Selatan.
Ayahnya tidak kesel dengan pertanyaan Rudy tersebut,
tapi menjawabnya dengan serius.
Ia tak menjawab dengan jawaban yang sederhana, tetapi
menjawabnya dengan serius tapi dengan cara yang
sesederhana mungkin sehingga anak kecilpun tahu.
“Papi sedang melakukan eksperimen, jadi kita bisa
menemukan jawaban dari percobaan”.
“Nah, ini namanya setek”.
“Batang yang di bahwa itu adalah mangga yang ada di
tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa”.
Jadi, batang Mangga dari jawa, Papi gabungkan dengan
batang yang di bawah ini”, kata ayahnya.
Rudy kembali bertanya, “Mengapa Papi gabungkan?”
Jawaban ayahnya: “Agar kamu dan teman-teman bisa
makan Mangga yang enak”.
Lantas Rudy bertanya lagi: “Kalau gagal bagaimana?”.
Jawaban ayahnya: “Kita cari cara lain dan pohon
Mangga lain agar bisa tumbuh di sini”.
Rudy pun puas atas jawaban ayahnya itu.
Itulah yang selalu dilakukan ayahnya setiap kali Rudy
bertanya segala sesuatu, dijawab dengan cara
sesederhana mungkin agar bisa dipahami anak kecil.
Dengan cara itulah, keingin tahuan Rudy terus tumbuh
dan terasah sampai dewasa.
Cinta pertama Habibie buku. Namun, ayahnya tidak
setiap saat selalu ada saat Rudy ingin bertanya sesuatu.
Hasilnya, usia 4 tahun, Rudy sudah lancar membaca dan
rajin melahap buku-buku yang disediakan ayahnya.
Sejak usia empat tahun, buku menjadi cinta pertama
Rudy dan membaca menjadi bagian hidupnya.
Rudy membaca buku apa saja, mulai ensiklopedia
sampai buku cerita.
Buku-buku karya Leonardo Da Vinci dan buku fiksi
ilmiah karya Jules Verne menjadi buku-buku favorit
Rudy.
Rudy pun senang sekali membuka buku-buku dalam
bahasa Belanda.
Setiap menemukan kata-kata yang sulit dan tak
dipahami, Rudy tak segan bertanya pada orang tuanya
sehingga akhirnya orang tuanya membelikan kamus
Indonesia-Belanda sehingga bisa belajar sendiri.
Kegemarannya membaca ini rupanya berefek samping.
Rudy jadi terus mengurung diri di kamar dan harus
dipaksa untuk keluar.
Rudy juga menjadi anak yang gagap karena tidak
terbiasa berbicara dengan orang di luar rumah.

Literasi baca dan sains


Apa yang dilakukan Alwi pada Rudy merupakan salah
salah praktek penanaman kebiasaan membaca di rumah.
Yang lebih spesifik lagi, cara Alwi menjawab setiap
pertanyaan anaknya itu merupakan salah satu metode
penanaman literasi sains di keluarga.
Melalui cara Alwi tersebut, Rudy tumbuh menjadi
manusia yang gemar mencari setiap masalah dan
menemukan solusinya, termasuk dalam teknologi
kedirgataraan yang membuatnya menjadi pakar ilmu
penerbangan yang terkenal di dunia.
BJ Habibie mengatakan: "Saya dari lahir, cuma butuh
tidur empat jam, selebihnya yang dua puluh jam, panca
indera saya menyerap lingkungan sekitar dan bertanya-
tanya," kata Habibie.
Karena panca inderanya sangat aktif, lanjut Habibie, saat
kecil dirinya sudah mulai bertanya-tanya dan kalau tidak
bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia pun
menangis.

PERJALANAN BJ. HABIBIE

Selama Pendidikan Di Bandung


Otak jenius seorang Habibie semakin terasah ketika
memasuki bangku sekolah. Hanya saja, saat berusia 14
tahun, Habibie harus ditinggalkan ayahnya yang
meninggal dunia karena serangan jantung. Sebagai
gantinya, ibu Habibie berjuang ekstra keras untuk
menanggung seluruh biaya hidup anggota keluarga.
Ibunya pun kemudian memutuskan untuk menjual rumah
dan pindah ke Bandung Di sini, Habibie remaja
menempuh pendidikan di SMAK Dago. Di tahun 1954,
Habibie melanjutkan kuliah ke Jurusan Teknik Mesin di
Universitas Indonesia Bandung yang kini dikenal dengan
nama Institut Teknologi Bandung (ITB).
BJ. Habibie menempuh pendidikan S1 keilmuan teknik
mesin di Fakultas teknik Universitas Indonesia Bandung,
yang sekarang berubah menjadi Institut Teknologi
Bandung pada tahun 1954.
Semasa pendidikan nya di Bandung, beliau memimpikan
ingin berkuliah di luar negeri. Ia juga sempat putus asa
dan berfikir keinginannya tidak dapat terwujud. BJ.
Habibie semasa pendidikan di Bandung ia hanya dapat
menempuh kurang dari setahun. Sejak di bangku kuliah,
BJ Habibie sudah memiliki keinginan untuk melanjutkan
studinya ke luar negeri. Karena itu pula ia selalu tekun
belajar, meski pada awalnya sempat merasa pesimistis
akan keinginannya tersebut.
Cukup setahun di ITB, Habibie kemudian memilih untuk
kuliah ke Jerman, tepatnya di Rhein Westfalen Aachen
Technische Hochschule (RWTH) dan memilih jurusan
Teknik Penerbangan. Pada waktu itu beliau memperoleh
beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.BJ
Habibie adalah seorang tokoh yang terkenal dengan
kegigihannya dalam berbagai hal. Salah satu kegigihan
terbesarnya adalah dalam bidang teknologi dan industri.
Sebagai seorang insinyur, Habibie memiliki visi yang
kuat untuk memajukan industri Indonesia.
Selain itu, Habibie juga gigih dalam meningkatkan
pendidikan dan riset di Indonesia. Dia mendirikan
Institut Teknologi Bandung (ITB) dan melakukan
reformasi pendidikan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Kegigihannya tidak hanya terbatas pada bidang
teknologi dan industri, tapi juga dalam menghadapi
berbagai krisis dan tantangan politik. Habibie menjadi
Presiden Indonesia dalam situasi yang sulit setelah
jatuhnya rezim Soeharto. Meskipun mendapat banyak
kritik, dia tidak menyerah dalam memimpin dan
memperbaiki situasi negara.
Kegigihan BJ Habibie juga terlihat dalam kehidupan
pribadinya. Setelah kehilangan istrinya yang tercinta,
Ainun Habibie, dia tetap mempertahankan semangat dan
dedikasinya dalam berbagai bidang.
Secara keseluruhan, kegigihan BJ Habibie adalah
inspirasi bagi banyak orang. Dia telah menunjukkan
bahwa dengan tekad kuat, kerja keras, dan kesabaran,
kita dapat mencapai banyak hal dan menjalani kehidupan
yang bermakna.
Menimba Ilmu Di Jerman Dengan Biaya Sendiri
B.J. Habibie muda merupakan salah satu anak muda
Indonesia yang memiliki semangat juang tinggi dalam
ilmu pendidikan. Melanjutkan pendidikan di Jerman bisa
dibilang sebagai salah satu keputusan hidup yang
menantang dalam hidup beliau.
Sebelum melanjutkan pendidikan di Jerman, sebenarnya
B.J. Habibie sudah mengambil kuliah elektro di ITB
selama 6 bulan. Namun setelahnya, beliau memutuskan
untuk melanjutkan pendidikan S1 dan S2 nya di Jerman.
Beliau bertekad menjadi orang yang berguna bagi
bangsanya dan memiliki cita-cita untuk membuat
pesawat terbang yang bisa membawa rakyat Indonesia ke
titik-titik maritim luas di Indonesia. Tentunya beliau
ingin mimpi ini diwujudkan dengan keringat rakyat
bukannya biaya hasil ekspor sumber daya alam atau
utang luar negeri. Berawal dari cita-cita mulia inilah
beliau melanjutkan mimpinya di Jerman.
Dalam menempuh pendidikan di Jerman, beliau tidak
mendapatkan beasiswa melainkan dengan biaya sendiri
dari orang tuanya. Apakah jaman dulu belum ada
beasiswa, atau beliau tidak mampu mendapatkannya?
Faktanya, orang tua B.J. Habibie merasa bahwa
pendidikan anaknya tidak boleh dibiayai oleh orang lain.
Semua biaya ditanggung oleh kedua orang tuanya
meskipun mereka bukan berasal dari kalangan berada.
Ibu beliau memiliki usaha catering dan kos-kosan.
Selama kuliah di Jerman, Habibie pun bertekad untuk
belajar giat. Hal ini dilakukannya agar bisa memperoleh
kesuksesan. Terlebih, beliau selalu mengingat kerja keras
yang dilakukan oleh ibunya untuk menanggung biaya
hidup keluarga.
Tekad kuat tersebut pun secara nyata diperlihatkan oleh
Habibie. Buktinya, pada saat masa liburan, Habibie tidak
memanfaatkannya berjalan-jalan ke berbagai tempat
menarik di Jerman atau negara-negara Eropa lain.
Sebagai gantinya, Habibie memanfaatkan waktu liburan
tersebut untuk bekerja paruh waktu. Uangnya pun
dipakai untuk membeli berbagai buku.
Habibie menghabiskan waktu cukup lama saat
menempuh pendidikan di Jerman. Total sebanyak 10
tahun dijalani oleh seorang Habibie untuk meraih
diploma dan doktoral di Jerman. Di tengah-tengah masa
kuliahnya tersebut, tepatnya pada 12 Mei 1962, Habibie
memutuskan untuk menikahi Hasri Hainun Besari.
Kuliah sambil bekerja menjadi keseharian yang harus
dilakukan oleh seorang Habibie. Apalagi, beliau
memutuskan untuk memboyong istrinya agar tinggal
bersama di Jerman. Namun semua kerja keras tersebut
akhirnya terbayar lunas.
Pada tahun 1960, beliau lulus dengan predikat cumlaude
dan memperoleh gelar Diploma Teknik. Selanjutnya,
pada tahun 1965, Habibie mendapatkan gelar Doktor
Teknik dengan predikat summa cumlaude.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Habibie
memutuskan untuk tetap tinggal di Jerman. Bahkan, dia
pernah bekerja cukup lama di sebuah perusahaan
kedirgantaraan bernama Messerschmitt-Bölkow-Blohm.
Di sana, beliau pun sampai memperoleh jabatan sebagai
wakil presiden.

Jerih payah BJ. Habibie Selama Kuliah Di Jerman


Demi meringankan beban orang tua dalam membiayai
pendidikannya, B.J. Habibie memilih untuk tinggal jauh
dari pusat kota dengan tempat tinggal yang memiliki
fasilitas seadanya. Bahkan beliau juga rela untuk
berjalan kaki dari tempat tinggal ke kampus hanya demi
menghemat biaya transportasi. Selain itu, selama
menempuh S1 dan S2 di Jerman, beliau sempat dua kali
dikira telah meninggal di Jerman selama masa itu.
Namun jerih payah beliau akhirnya terbayar karena
meskipun menjalani pendidikan dengan biaya yang
terbatas, B.J. Habibie berhasil menyelesaikan pendidikan
S1 hingga S3 dengan luar biasa baik. Hanya hitungan
bulan di ITB, ia kemudian melanjutkan studi teknik
penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat terbang di
Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule Jerman.
Ia pun menerima gelar Diplom Ingenieur pada 1960 dan
gelar Doktor Ingenieur pada 1965 dengan predikat
summa cumlaude dari Technische Hochschule Die
Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.
Habibie memiliki rumus yang dinamakan "Faktor
Habibie" karena bisa menghitung keretakan atau krack
propagation on random sampai ke atom-atom pesawat
terbang.
Habibie pun dijuluki "Mr Crack" karena keahliannya itu.
Di Jerman, Habibie pernah menjadi Kepala Riset dan
Pengembangan Analisis Struktur pada perusahaan
Hamburger Flugzeugbau Gmbh.
Dia bahkan menjadi wakil presiden dan direktur
teknologi, serta penasehat senior perusahaan itu.
Habibie juga sempat bekerja di Messerschmitt-Bolkow-
Blohm, perusahaan penerbangan yang berpusat di
Jerman, sebelum kembali ke Indonesia pada 1973.
Setelah lulus S2 akhirnya beliau bertekad untuk bekerja
sebagai asisten professor hingga beliau mendapat
kesempatan untuk melanjutkan S3 dengan beasiswa.
Tepat saat usia 28 tahun, B.J. Habibie resmi memperoleh
gelar Doktor bidang teknologi pesawat terbang di
Jerman. Usia 28 tahun dengan gelar Doktor bisa dibilang
usia yang sangat belia. Bahkan banyak yang tidak
percaya beliau merupakan lulusan S3, mengingat wajah
beliau yang baby face.
Perjuangan Habibie untuk mencapai cita-citanya
dilaluinya dengan penuh rintangan dan kerja keras.
Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru
kesempatan emas yang harus diisi dengan ujian dan
mencari uang untuk membeli buku. Sehabis masa libur,
semua kegiatan disampingkan kecuali belajar.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, mereka;
lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas
untuk bekerja, mencari pengalaman dan uang tanpa
mengikuti ujian

Pengalaman Berkesan Di Jerman


Selama hidup di Jerman, B.J. Habibie menjadi terbiasa
untuk mengatasi segala permasalahan sendiri. Bahkan,
beliau juga masih menerapkan nilai-nilai yang sudah
diajarkan orang tuanya selama di Indonesia dulu saat
menjalani kehidupan di Jerman.
Salah satu hal yang beliau sukai di Jerman adalah
perpustakaannya. Menurut beliau, perpustakaan di
Jerman buka lebih lama dan lebih bebas untuk
dikunjungi. Hal ini membuat B.J. Habibie merasa
memiliki kesempatan yang lebih besar dalam hal
menambah wawasan dan pengetahuan selama di Jerman.
Lebih dari itu, ada satu cerita lucu yang dialami beliau
saat menempuh studi di Jerman. Kemampuan bahasa
Jerman B.J. Habibie yang di atas rata-rata untuk orang
asing membuat teman-teman beliau mempertanyakan
keturunan dan juga asal usul beliau. Bahkan pada
akhirnya beliau harus menjawab dengan candaan bahwa
ayahnya kanibal pernah makan daging orang Jerman
sehingga sejak saat itu beliau memiliki darah Jerman.
Komitmen dan tekad beliau untuk menjadi yang terbaik
dan melebihi orang-orang di Jerman dalam hal
pengetahuan berhasil membuat beliau diakui
kemampuannya oleh dunia. Bahkan hingga saat ini
beliau dikenal sebagai sosok yang jenius dan dikagumi
oleh dunia khususnya para penduduk asli Jerman.
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1955 di Aachean,
99% mahasiswa Indonesia yang belajar di sana diberikan
beasiswa penuh. Hanya beliaulah yang memiliki paspor
hijau atau swasta dari pada teman-temannya yang lain.

Habibie Saat Di Jerman 1959.


BJ Habibie, juga dikenal sebagai Bacharuddin Jusuf
Habibie, adalah seorang insinyur Indonesia yang
menjabat sebagai Presiden ketiga Indonesia dari tahun
1998 hingga 1999. Namun, ia terutama dikenal karena
kontribusinya di bidang teknik penerbangan dan
dirgantara. Selama bekerja di perusahaan dirgantara
Jerman Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), Habibie
berperan penting dalam pengembangan berbagai
pesawat, termasuk Airbus A-300. Ia berperan penting
dalam desain dan pengembangan struktur sayap pesawat,
yang menjadi komponen penting dalam kesuksesan
Airbus A-300. Selain itu, keahlian Habibie di bidang
teknik dirgantara membawanya menjadi ujung tombak
berdirinya industri dirgantara Indonesia. Pada tahun
1976, ia mendirikan perusahaan manufaktur pesawat
milik negara Indonesia, PT Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN), yang kemudian dikenal sebagai PT
Dirgantara Indonesia (PTDI). Di bawah
kepemimpinannya, PTDI berhasil mengembangkan dan
memproduksi pesawat CN-235 dan N-250. Kontribusi
Habibie terhadap industri penerbangan di Indonesia
mempunyai dampak jangka panjang. Upayanya
membantu mendorong perkembangan teknologi dan
swasembada manufaktur pesawat terbang, sehingga
menempatkan Indonesia sebagai pemain di pasar
kedirgantaraan global. Namun, penting untuk dicatat
bahwa meskipun Habibie memainkan peran penting
dalam pengembangan pesawat terbang, ia sendiri
bukanlah seorang pilot atau terlibat dalam pengoperasian
atau uji coba pesawat terbang. Persiapan ini perlu
mengungkapkan kembali ke peristiwa 15 tahun lalu dead
persiapan terbang perdana N- 25 gatotkaca gajah ini
sangat sudah cermat dilakukan. Jika persiapan terbang
pertanyaan diatas 50 ini melalui kerja keras yang
berdaun yang tidak mengenal waktu. Pengujian yang
profesional ini adalah standar yang lazim dilakukan
sendiri industri pesawat terbang. Sebelum melakukan
terbang perdana N- 250 melakukan serangkaian kegiatan
persiapan atau percobaan untuk terbang.
Dari percobaan tersebut bisa jadi merupakan upaya
untuk belajar yang meliputi belajar berjalan diatas
landasan (taxiing) berpacu di landasan dengan kecepatan
sedang atau (medium speed taxiing), uji sistem
pengereman, sistem reversi, sistem setir sistem
komunikasi, sistem kontrol listrik, berpacu dengan
kecepatan penuh sampai ke keadaan siap melesat terbang
(high speed taxiing). Pada pesawat ini melakukan
loncatan beberapa meter dari landasan pacu uji sistem
kontrol avionik dan mencoba terbang dengan ketinggian
10 meter.
Sebelum terbang N- 250 juga pernah diuji secara
mendalam di terowongan air selama 7.500 jam selain uji
terbang melalui simulasi ini cara ekstensif di dalam
simulator selama 500 jam dengan demikian tidak ada
alasan mendasar untuk tidak bisa terbang.
Tak hanya itu saja, juga di ruang kemudi pesawat ada
lima panel tabung foto dan di sana tersedia semua
informasi tentang keadaan terbang, navigasi, radar,
kondisi cuaca, bahan bakar, ketinggian, kecepatan, dan
informasi lain.
Dan menggunakan ta'ala dan elektronik yang begitu
sangat canggih, FBW N-250 mampu mengamankan
penerbangan nya dari berbagai manuver yang berbahaya
dan sekaligus bisa juga meringankan bebas tugas
seorang pilot untuk mengendalikan penerbangan sejak
dari dulu pas landas hingga mendarat.
Perintah-perintah pilot juga bisa disalurkan ke bagian
tubuh pesawat tidak ada lagi memakai perangkat
mekanis. Perintah pilot juga masuk ke komputer lalu
diteruskan ke sayap misalnya melalui kabel dengan
demikian keamanan tentunya lebih terjamin sana jika
pilot memberikan perintah yang salah komputer tidak
mau memproses perintah itu.
Untuk memantau uji terbang N- 250 PTN membangun
sarana prasarana jaringan informasi. Uji terbang itu di
pantau dengan menggunakan layar video dan peralatan
komputer berteknologi telemetri. Satelit palapa
digunakan sebagai wahana transportasi data informasi
dan pencitraan.
Karya B.J. Habibie dalam industri penerbangan
menjadikannya sosok yang dihormati dan diakui di dunia
internasional. Beliau adalah contoh nyata bahwa dengan
keahlian dan dedikasi yang tepat, Indonesia mampu
bersaing di pasar global dalam industri penerbangan.
Perjuangan Habibie untuk mencapai cita-citanya
dilaluinya dengan penuh rintangan dan kerja keras.
Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru
kesempatan emas yang harus diisi dengan ujian dan
mencari uang untuk membeli buku. Sehabis masa libur,
semua kegiatan disampingkan kecuali belajar.
Berbeda dengan teman-temannya yang lain, mereka;
lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas
untuk bekerja, mencari pengalaman dan uang tanpa
mengikuti ujian.
Dalam biografi BJ Habibie, diketahui Beliau mendapat
gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule, Jerman
tahun 1960 dengan predikat Cumlaude (Sempurna)
dengan nilai rata-rata 9,5, Dengan gelar insinyur, beliau
mendaftar diri untuk bekerja di Firma Talbot, sebuah
industri kereta api Jerman. Peran Habibie di Talbot
sebagai salah satu insinyur yang mendesain struktur atau
rangka kereta api.
Pada saat itu Firma Talbot membutuhkan sebuah wagon
yang bervolume besar untuk mengangkut barang-barang
yang ringan tapi volumenya besar. Talbot membutuhkan
1000 wagon. Mendapat persoalan seperti itu, Ia mencoba
mengaplikasikan cara-cara kontruksi membuat sayap
pesawat terbang yang ia terapkan pada wagon dan
akhirnya berhasil.
Setelah itu beliau kemudian melanjutkan studinya untuk
gelar Doktor di Technische Hochschule Die Facultaet
Fuer Maschinenwesen Aachen. Dan kemudian menikah
pada tahun 1962 dengan Hasri Ainun di Indonesia.
Setelah itu istrinya kemudian ia boyong ke Jerman.
Disana hidupnya semakin keras.
Di pagi-pagi sekali, Ia terkadang harus berjalan kaki
cepat ke tempat kerjanya yang jauh untuk menghemat
kebutuhan hidupnya kemudian pulang pada malam hari
dan belajar untuk kuliahnya.
Istrinya Nyonya Hasri Ainun harus mengantri di tempat
pencucian umum untuk mencuci baju untuk menghemat
kebutuhan hidup keluarga. Pada tahun 1965, Ia
mendapatkan gelar Dr. Ingenieur dengan penilaian
summa cumlaude (Sangat sempurna) dengan nilai rata-
rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer
Maschinenwesen Aachen.

Kembalinya BJ. Habibie Ke Indonesia


Ia memenuhi permintaan Presiden Soeharto untuk
mengabdikan ilmunya di Indonesia.
pada Februari 2017, Habibie menyatakan, tidak bisa
dibayangkan apabila Indonesia tidak memiliki pesawat
terbang.
Untungnya, Indonesia berhasil membuktikan
kemampuan untuk bisa membuat pesawat terbang
sendiri.
"Kita harus sangat sadari bahwa industri strategis dan
khususnya dirgantara, adalah produk sepanjang masa
yang dibutuhkan Indonesia," kata Habibie di sela-sela
Presidential Lecture di Bank Indonesia (BI)
Pada April 2015, Habibie memperkenalkan rancangan
pesawat baru yang digarap oleh Regio Aviasi Industri,
perusahaan yang didirikannya.

Pesawat itu dinamakan R80. Untuk membuat pesawat


ini, Habibie meminta bantuan kepada Presiden Joko
Widodo.
"Yang kami butuhkan adalah dukungan pemerintah
untuk financing bagian Indonesia.
Bagian swasta dan luar negeri, mereka akan ikut kalau
dari pemerintah ikut menyumbang dalam arti
mengatakan 'silakan' karena industri pesawat terbang
seperti Boeing dan Airbus dapat bantuan yang sama,"
ujar Habibie kepada Jokowi saat menunjukkan miniatur
R80.
Habibie memaparkan kehebatan dari R80.
Menurut dia, pesawat yang digerakkan oleh baling-
baling memiliki kelebihan seperti mampu mengangkut
penumpang dalam jumlah banyak, yakni antara 80-90
orang, waktu berputar yang singkat, hemat bahan bakar,
dan perawatan yang mudah.
Habibie menyebut bahwa pesawat ini nantinya tidak
kalah hebatnya dibandingkan Boeing 777.
Bagian swasta dan luar negeri, mereka akan ikut kalau
dari pemerintah ikut menyumbang dalam arti
mengatakan 'silakan' karena industri pesawat terbang
seperti Boeing dan Airbus dapat bantuan yang sama,"
ujar Habibie kepada Jokowi saat menunjukkan miniatur
R80.
Habibie memaparkan kehebatan dari R80.
Menurut dia, pesawat yang digerakkan oleh baling-
baling memiliki kelebihan seperti mampu mengangkut
penumpang dalam jumlah banyak, yakni antara 80-90
orang, waktu berputar yang singkat, hemat bahan bakar,
dan perawatan yang mudah.
Habibie menyebut bahwa pesawat ini nantinya tidak
kalah hebatnya dibandingkan Boeing 777.
Pesawat R80, lanjut dia, sangat tepat digunakan untuk
tipe bandara sedang yang banyak ada di Indonesia.
Targetnya, proyek ini dapat diproduksi massal pada
2024.

Rumus Faktor Habibie

Rumus yang di temukan olehnya dinamai “Faktor


Habibie” karena bisa menghitung keretakan atau krack
propagation on random sampai ke atom-atom pesawat
terbang sehingga ia di juluki sebagai “Mr. Crack”.
Rumus atau Formula tersebut merupakan salah satu
Prestasi Habibie yang paling terkenal. Pada tahun 1967,
ia menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada
Institut Teknologi Bandung.

Penghargaan BJ Habibie
Kejeniusan dan prestasi inilah yang mengantarkannya
diakui lembaga internasional di antaranya, Penghargaan
Habibie diantaranranya adalah Gesselschaft fuer Luft
und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa
Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London
(Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering
Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l’Air et
de l’Espace (Prancis) dan The US Academy of
Engineering (Amerika Serikat).
Sementara itu penghargaan bergensi yang pernah diraih
Habibie di antaranya, Edward Warner Award dan Award
von Karman yang hampir setara dengan Hadiah Nobel.
Di dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan
tertinggi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganesha
Praja Manggala Bhakti Kencana.
Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh
kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula
yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih
penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu
kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi
berita.
Dalam perjalanan Hidupnya, Habibie diketahui hanya
setahun kuliah di ITB Bandung. Ia 10 tahun kuliah
hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang
di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Ia lalu
bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB
Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden
Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

BJ. Habibie Dan Pesawat Terbang N250 Gatot Kaca.


Di Indonesia, Habibie menjabat selama 20 tahun sebagai
Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT. Ia juga memimpin
10 perusahaan BUMN Industri Strategis. Pada tahun
1995, Ia berhasil memimpin pembuatan pesawat N250
Gatot Kaca yang merupakan pesawat buatan Indonesia
yang pertama. Salah satu karya Habibie yang terkenal.
Pesawat N250 rancangan Habibie kala itu bukan sebuat
pesawat yang dibuat asal-asalan. Didesain sedemikian
rupa olehnya. Pesawat N250 ciptaannya sudah terbang
tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan
untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, teknologi
pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkannya untuk
30 tahun kedepan.
Ia memerlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain
awal. Pesawat N250 Gatot Kaca merupakan satu-satunya
pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan
teknologi ‘Fly by Wire’. Pesawat N250 Gatot Kaca
sudah terbang 900 jam menurutnya. Selangkah lagi
masuk program sertifikasi FAA (Federal Aviation
Administration).
PT IPTN bahkan membangun khusus pabrik pesawat
N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara
itu, meskipun pada waktu itu banyak yang memandang
remeh pesawat buatan Indonesia itu termasuk sebagian
kalangan di dalam negeri.B.J. Habibie bukanlah nama
yang asing di dunia industri dirgantara. Beliau adalah
seorang insinyur dan ahli dirgantara Indonesia yang
dikenal sebagai orang di balik perkembangan industri
penerbangan di Indonesia. Salah satu pencapaiannya
yang paling terkenal adalah pembuatan pesawat terbang
pertama buatan Indonesia, yaitu N-250 Gatotkoco.
Proyek pembuatan pesawat terbang ini dimulai pada
tahun 1990 dan melibatkan berbagai ahli dan tenaga ahli
di bidang penerbangan. B.J. Habibie berperan sebagai
pengarah utama proyek ini dan menunjukkan
keahliannya dalam merancang dan mengembangkan
pesawat terbang modern.
N-250 Gatotkoco sendiri adalah pesawat turboprop yang
dirancang untuk mengangkut penumpang dengan
kapasitas sekitar 50 orang. Pesawat ini menggunakan
teknologi canggih serta bahan-bahan ringan yang
membuatnya lebih hemat bahan bakar dan ramah
lingkungan. Proyek ini menghasilkan beberapa prototipe
yang berhasil menjalani uji coba dan penerbangan.
Sayangnya, N-250 Gatotkoco tidak pernah diproduksi
secara massal dikarenakan beberapa tantangan dan
keterbatasan yang dihadapi. Namun, proyek ini tidak
luput dari apresiasi dan pengakuan internasional. B.J.
Habibie dan timnya berhasil membuat Indonesia masuk
dalam daftar produsen pesawat terbang dunia.
Pembuatan pesawat terbang buatan dalam negeri ini
bukan hanya mencerminkan keahlian teknis B.J. Habibie
tetapi juga sejalan dengan visinya untuk
mengembangkan industri penerbangan di Indonesia.
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah berhasil
mengembangkan dan memproduksi pesawat terbang
seperti NC-212 Aviocar dan CN-235.
Karya B.J. Habibie dalam industri penerbangan
menjadikannya sosok yang dihormati dan diakui di dunia
internasional. Beliau adalah contoh nyata bahwa dengan
keahlian dan dedikasi yang tepat, Indonesia mampu
bersaing di pasar global dalam industri
penerbangan.Persiapan ini perlu mengungkapkan
kembali ke peristiwa 15 tahun lalu dead persiapan
terbang perdana N- 25 gatotkaca gajah ini sangat sudah
cermat dilakukan. Jika persiapan terbang pertanyaan
diatas 50 ini melalui kerja keras yang berdaun yang tidak
mengenal waktu. Pengujian yang profesional ini adalah
standar yang lazim dilakukan sendiri industri pesawat
terbang. Sebelum melakukan terbang perdana N- 250
melakukan serangkaian kegiatan persiapan atau
percobaan untuk terbang.
Dari percobaan tersebut bisa jadi merupakan upaya
untuk belajar yang meliputi belajar berjalan diatas
landasan (taxiing) berpacu di landasan dengan kecepatan
sedang atau (medium speed taxiing), uji sistem
pengereman, sistem reversi, sistem setir sistem
komunikasi, sistem kontrol listrik, berpacu dengan
kecepatan penuh sampai ke keadaan siap melesat terbang
(high speed taxiing). Pada pesawat ini melakukan
loncatan beberapa meter dari landasan pacu uji sistem
kontrol avionik dan mencoba terbang dengan ketinggian
10 meter.
Sebelum terbang N- 250 juga pernah diuji secara
mendalam di terowongan air selama 7.500 jam selain uji
terbang melalui simulasi ini cara ekstensif di dalam
simulator selama 500 jam dengan demikian tidak ada
alasan mendasar untuk tidak bisa terbang.
Tak hanya itu saja, juga di ruang kemudi pesawat ada
lima panel tabung foto dan di sana tersedia semua
informasi tentang keadaan terbang, navigasi, radar,
kondisi cuaca ,bahan bakar, ketinggian, kecepatan, dan
informasi lain.
Dan menggunakan ta'ala dan elektronik yang begitu
sangat canggih, FBW N-250 mampu mengamankan
penerbangan nya dari berbagai manuver yang berbahaya
dan sekaligus bisa juga meringankan bebas tugas
seorang pilot untuk mengendalikan penerbangan sejak
dari dulu pas landas hingga mendarat.
Perintah-perintah pilot juga bisa disalurkan ke bagian
tubuh pesawat tidak ada lagi memakai perangkat
mekanis. Perintah pilot juga masuk ke komputer lalu
diteruskan ke sayap misalnya melalui kabel dengan
demikian keamanan tentunya lebih terjamin sana jika
pilot memberikan perintah yang salah komputer tidak
mau memproses perintah itu.
Untuk memantau uji terbang N- 250 PTN membangun
sarana prasarana jaringan informasi. Uji terbang itu di
pantau dengan menggunakan layar video dan peralatan
komputer berteknologi telemetri. Satelit palapa
digunakan sebagai wahana transportasi data informasi
dan pencitraan.
Habibie menjadi salah satu tokoh paling berprestasi dan
berpengaruh di Indonesia. Meskipun ia dikenal karena
perannya sebagai Presiden ketiga Indonesia,
kontribusinya terhadap industri penerbanganlah yang
benar-benar membedakannya. Ketertarikan BJ Habibie
terhadap penerbangan dimulai sejak usia muda.
Kecintaannya pada bidang teknik dan teknologi
membawanya untuk melanjutkan studi di Jerman, di
mana ia memperoleh gelar di bidang teknik dirgantara.
Selama berada di Jerman, Habibie mengembangkan
minat dalam desain dan manufaktur pesawat terbang.
Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1970an, Habibie
memainkan peran penting dalam membangun industri
penerbangan negara. Ia awalnya bekerja di maskapai
penerbangan negara, Garuda Indonesia, dan bertanggung
jawab pada divisi teknik. Dengan keahlian teknis dan
pola pikir visioner yang dimilikinya, Habibie bertekad
untuk membawa kemampuan penerbangan bangsa ke
tingkat yang lebih tinggi. Pada tahun 1976, Habibie
mendirikan perusahaan manufaktur pesawat terbang
milik negara, PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara
(IPTN). Di bawah kepemimpinannya sebagai CEO,
IPTN berhasil merancang dan memproduksi beberapa
model pesawat, termasuk N-250, sebuah pesawat
komuter regional. N-250 adalah pesawat komersial
pertama yang sukses di Indonesia dan merupakan bukti
semangat dan komitmen Habibie yang gigih terhadap
kemajuan teknologi. Dedikasi Habibie yang tak
tergoyahkan terhadap industri penerbangan tidak hanya
terbatas pada pesawat komersial. Ia juga berupaya
memperluas kemampuan militer Indonesia melalui
pengembangan sistem pertahanan dalam negeri. Salah
satu pencapaiannya yang paling menonjol dalam hal ini
adalah penciptaan CN-235, sebuah pesawat angkut
militer serbaguna. CN-235 menjadi simbol kemandirian
teknologi pertahanan Indonesia dan bukti kehebatan
teknik Habibie. Selain itu, kontribusi Habibie terhadap
industri penerbangan melampaui batas wilayah
Indonesia. Dia secara aktif mempromosikan kolaborasi
internasional dan mencari kemitraan dengan perusahaan-
perusahaan dirgantara ternama. Upayanya menghasilkan
kerjasama yang sukses dengan perusahaan-perusahaan
seperti Airbus, Rolls-Royce, dan Boeing, yang
memungkinkan Indonesia memanfaatkan keahlian global
dan lebih meningkatkan kemampuan penerbangannya.
Warisan BJ Habibie di industri penerbangan merupakan
salah satu yang terus menginspirasi dan membentuk
masa depan Indonesia. Visi, tekad, dan keahlian
teknisnya mendorong sektor penerbangan nasional ke
tingkat yang belum pernah dipetakan, menempatkan
Indonesia di peta global sebagai pemain dirgantara yang
mumpuni. Saat kita merayakan pencapaian Habibie di
Hari Kemerdekaan ini, marilah kita mengingat
komitmen teguhnya terhadap kemajuan teknologi dan
peran pentingnya dalam mengembangkan industri
penerbangan Indonesia. Warisannya menjadi pengingat
bahwa dengan tekad, semangat, dan inovasi, hal-hal
besar dapat dicapai, dan impian dapat terwujud.
“Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta
Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat
yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer
dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara
manapun. Tapi keputusan telah diambil dan para
karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais
rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli
pesawat dari negara mereka!”. – BJ Habibie
IPTN dibawah komandonya sudah mulai berjaya dan
mempekerjakan 16.000 orang. Namun, tiba-tiba Presiden
Soeharto memutuskan agar IPTN ditutup. Begitu pula
dengan industri strategis lainnya. Hal ini dilakukan
ketika badai krisis moneter melanda indonesia antara
tahun 1996-1998.
Penyebab lain ditutupnya IPTN ketika itu adalah
Indonesia menerima bantuan keuangan dari IMF
(International Monetary Fund) dimana salah satu
syaratnya adalah menghentikan proyek pembuatan
pesawat N250. Dimana pesawat ini merupakan
kebanggaan dan hasil kerja rakyat Indonesia.
Semua tenaga ahli yang bekerja di IPTN dan industri
strategis lain terpaksa menyebar dan bekerja di luar
negeri, kebanyakan dari mereka bertebaran di berbagai
negara, khususnya pabrik pesawat di Brazil, Canada,
Amerika dan Eropa.

Presiden Republik Indonesia


Selama masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia,
Habibie gigih dalam memperjuangkan pembangunan
pesawat terbang nasional yaitu IPTN (Indonesia Aircraft
Industry). Meskipun menghadapi banyak tantangan dan
kritik, dia terus berjuang untuk mewujudkan visinya.
Bapak Bacharuddin Jusuf Habibie, atau lebih dikenal
dengan BJ Habibie, adalah salah satu tokoh penting
dalam sejarah Indonesia. Kegigihan BJ Habibie dapat
dilihat dari perjalanan hidupnya yang penuh dengan
tantangan dan rintangan.
Pertama, kegigihan BJ Habibie terlihat saat ia
memutuskan untuk melanjutkan studi di luar negeri.
Meskipun berasal dari keluarga yang sederhana, ia tetap
bertekad untuk belajar di Jerman dan memperoleh gelar
doktor dalam bidang teknik penerbangan di sana. Hal ini
menunjukkan keinginannya yang kuat untuk
mengembangkan diri dan berjuang secara mandiri.
Kegigihan BJ Habibie juga terlihat ketika ia
memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah
menyelesaikan studi di Jerman. Meskipun banyak
peluang baginya untuk tetap tinggal di Jerman atau
mencari kesempatan di negara lain, ia memilih untuk
kembali dan berkontribusi untuk bangsa Indonesia. Ia
percaya bahwa dia bisa memberikan kontribusi penting
di bidang teknologi dan industri.
Selain itu, kegigihan BJ Habibie juga terlihat dalam
kariernya di dunia politik. Setelah menjadi anggota
pemerintahan sebagai Menteri Riset dan Teknologi, ia
terus berjuang untuk memperbaiki sistem pendidikan dan
mengembangkan teknologi di Indonesia. Ia juga ikut
berperan dalam mendirikan perusahaan dirgantara seperti
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan PT Pindad.
Dalam masa kepemimpinannya sebagai Presiden
Indonesia, kegigihan BJ Habibie juga terlihat saat ia
berusaha mengatasi krisis ekonomi yang melanda
Indonesia pada tahun 1997. Meskipun dihadapkan pada
tekanan dan kritik keras, ia tetap berjuang untuk
memulihkan perekonomian Indonesia dengan kebijakan-
kebijakan yang kontroversial.
Kegigihan BJ Habibie tidak hanya terbatas pada karier
politiknya, tetapi juga dalam kehidupan pribadinya.
Setelah kehilangan istrinya, Ainun Habibie, ia tetap gigih
dalam menjaga dan meneruskan warisan serta cita-cita
istrinya dalam mendukung pendidikan di Indonesia.
Secara keseluruhan, kegigihan BJ Habibie terlihat dalam
semua fase kehidupannya, dari pendidikan, karier,
hingga kehidupan pribadinya. Ia adalah sosok yang tidak
pernah menyerah dan selalu berjuang untuk membuat
perubahan positif bagi bangsa dan negara.
Setelah ditutupnya IPTN, Habibie yang ketika itu masih
menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi
(Menristek) kemudian diangkat menjadi wakil presiden
Indonesia pada tanggal 14 maret 1998 mendampingi
Soeharto dalam kabinet Pembangunan VII. Ia menjabat
sebagai wakil presiden hanya beberapa bulan saja hingga
2 mei 1998.
Gejolak politik hebat serta reformasi yang dituntut oleh
masyarakat Indonesia mencapai puncaknya pada bulan
Mei 1998. Lengsernya Presiden Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 yang disertai pengumuman pengunduran
dirinya.
Hal itu membuat Habibie kemudian resmi
menggantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Beliau disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi
Presiden RI menggantikan Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia ke 3. Selanjutnya, Pria yang dikenal
sebagai Bapak Teknologi Indonesia ini menjabat sebagai
Presiden Indonesia ke III selama lebih dari satu tahun. Ia
memegang jabatan presiden Indonesia dari tanggal 21
mei 1998 hingga 20 Oktober 1999.
Pada waktu itu, Ia mewarisi kondisi dimana Indonesia
sangat kacau balau pasca lengsernya Soeharto dimana
banyak terjadi kerusuhan serta banyaknya wilayah yang
menyatakan ingin lepas dari Indonesia.
Dalam pemerintahannya sebagai Presiden, Ia membuat
banyak keputusan penting. Salah satunya adalah
melahirkan UU Otonomi daerah. Ia juga membebaskan
rakyat dalam beraspirasi sehingga membuat banyak
partai politik baru bermunculan.
Ia juga berhasil menekan nilai mata uang rupiah terhadap
dollar hingga dibawah 10 ribu padahal waktu itu nilainya
pernah mencapai 15 ribu per dollar, ia juga melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah.

Tak berniat jadi presiden


Begitu kembali ke Indonesia, selama 20 tahun, Habibie
menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT.
Setelah itu, ia dipilih MPR menjadi Wakil Presiden
menggantikan Try Sutrisno.
Baru pada Mei 1998, ia ditunjuk sebagai Presiden RI.
Habibie pernah melontarkan bahwa dirinya tak pernah
berniat menjadi presiden.
Saat itu, tiba-tiba ia ditunjuk menggantikan Presiden
Kedua RI Soeharto.
Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, tersebut
mengaku menjadi presiden karena ketidaksengajaan.
"Saya tidak pernah tertarik atau ingin menjadi presiden,
itu terjadi secara tidak sengaja. Saya harus mengambil
alih karena Presiden Soeharto mengundurkan diri," ujar
Habibie.
Habibie pernah melontarkan bahwa dirinya tak pernah
berniat menjadi presiden.
Saat itu, tiba-tiba ia ditunjuk menggantikan Presiden
Kedua RI Soeharto.
Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, tersebut
mengaku menjadi presiden karena ketidaksengajaan.
Selama 517 hari menjabat sebagai Presiden RI, Habibie
hanya fokus mengatasi permasalahan bangsa dan
mengembalikan kekuasaan kepada rakyat.
Saat itu, ia mengaku beban yang diembannya cukup
berat.
Latar pendidikan di Eropa, tiba-tiba harus memimpin
pemerintahan yang begitu banyak permasalahan.
"Saat itu, saya hanya berpikir mengatasi masalah dan
mengembalikan kekuasaan kepada rakyat," kata
Habibie.
Pada masa awal pemerintahannya, Habibie
membebaskan para tahanan politik, membuka keran
kebebasan pers, serta memberikan otonomi ke daerah-
daerah.
Habibie juga menelurkan hingga 113 undang-undang
baru per hari, di antaranya penyelenggaraan pemilu pada
tahun 1999.
Habibie juga menceritakan saat pertanggungjawabannya
sebagai presiden ditolak sebelum ia membacakannya.
"Sebelum saya membacakan, mereka mengatakan saya
ditolak, bagi saya tidak masalah, buat saya menjadi
presiden bukanlah segala-galanya," kata Habibie.
Habibie percaya bahwa kekuasaan berada di tangan
rakyat, dan ia menepati janjinya untuk mengembalikan
kekuasaan di tangan rakyat dalam pemilu pertama secara
demokratis di Indonesia pada tahun 1999 silam.
Sampai akhirnya Habibie terpaksa lengser akibat
refrendum Timor Timur yang memilih merdeka.
Pada masa pemerintahannya, Timor Timur lepas dari
NKRI dan menjadi negara terpisah yang berdaulat pada
tanggal 30 Agustus 1999.
Setelah tak lagi menjabat presiden, Habibie sempat
tinggal dan menetap kembali di Jerman.
Kemudian, di era kepresidenan Susilo Bambang
Yudhoyono, ia kembali aktif sebagai penasihat presiden
dan mendirikan Habibie Center.
Masa jabatan Habibie sebagai memang singkat, mulai 21
Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999.
Namun, penghargaan yang diberikan untuk dirinya
tak terhitung.
Di luar negeri, Habibie sudah memborong banyak
penghargaan terkait teknik mesin dan pesawat.
Ia juga menerima bintang penghargaan "Das Grosse
Verdenstkreuz Mit Stern und Schulterband" dan "Das
Grosse Verdienstkreuz" dari Pemerintah Republik
Federal Jerman.
Penghargaan itu diberikan kepada orang yang sangat
berjasa pada pemerintahan Jerman baik pada bidang
politik, sosial maupun teknologi.
Di Indonesia, Habibie mendapatkan penghargaan
"Lifetime Achievement Award" dari Komisi Pemilihan
Umum karena saat menjabat presiden pernah
mengeluarkan kebijakan untuk percepatan pelaksanaan
pemilu.
Berkat Habibie, pemilu digelar lebih cepat, yakni pada
1999.Pada era Habibie pula multipartai di Indonesia
dimulai pasca tumbangnya Orde Baru.

Habibie Melepas Jabatan Presiden


Sampai akhirnya ia dipaksa pula lengser dari jabatan
presiden Indonesia setelah sidang umum MPR tahun
1999, Pidato Pertanggungjawabannya sebagai presiden
ditolak oleh MPR. Ia mengatakan bahwa permasalahan
timor-timor adalah ‘menghambat stabilitas politik dan
ekonomi’. Sehingga konflik dari timor-timor dapat
mengganggu pelaksanaan Reformasi.
Jabatannya sebagai Presiden kemudian digantikan oleh
K.H Abdurrahman Wahid (Gusdur). Ia pun kembali
menjadi warga negara biasa dan kembali bermukim di
Jerman walaupun biasa juga pulang ke Indonesia.

Keteladanan BJ Habibie
Habibie juga merupakan sosok yang sangat mencintai
tanah airnya Indonesia. Ia rela kembali ke Indonesia
mewujudkan mimpinya membuat pesawat terbang bagi
tanah airnya untuk menghubungkan seluruh wilayah
kepulauan Indonesia. walaupun ketika itu posisinya di
Jerman juga sangat penting dan sangat dikenal disana.
Ia juga dikenal merupakan sosok yang sangat visioner
dan fokus dengan tujuannya. Ia membangun Indonesia
dengan teknologi melalui pesawat terbang. Salah satu
keberhasilannya adalah membuat pesawat N250 Gatot
Kaca. Ia juga terkenal dengan perannya yang
membangun berbagai industri strategis di Indonesia
ketika menjabat.
Bj Habibie dikenal sebagai salah satu tokoh penting
dalam sejarah Indonesia, terutama dalam bidang
teknologi dan industri. Kegigihan Bj Habibie tercermin
dalam berbagai hal, Pengembangan Teknologi Pesawat
Terbang: Salah satu keberhasilan utama Bj Habibie
adalah pengembangan pesawat terbang di Indonesia.
Sebagai seorang teknokrat yang berpengalaman dalam
bidang aeronautika, Bj Habibie berjuang untuk
mengembangkan industri pesawat terbang nasional.
Meskipun menghadapi banyak tantangan dan cemoohan,
kegigihan Habibie menghasilkan pencapaian penting
seperti produksi pesawat CN-235 dan N-250.Reformasi
Ekonomi: Pada akhir tahun 1990-an, Bj Habibie menjadi
Presiden Indonesia setelah Soeharto mengundurkan diri.
Selama masa pemerintahannya, Habibie menghadapi
banyak tekanan dan krisis ekonomi yang parah. Namun,
ia tidak putus asa dan berupaya menerapkan reformasi
ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas
dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun hasilnya belum
optimal, kegigihan dan upaya Habibie membuka jalan
bagi pemulihan ekonomi di masa depan. Pembangunan
Infrastruktur: Bj Habibie juga berdedikasi dalam
pengembangan infrastruktur Indonesia. Ia membantu
merancang dan melaksanakan proyek infrastruktur
penting seperti Jembatan Suramadu yang
menghubungkan Surabaya dan Madura. Kegigihan
Habibie dalam melaksanakan proyek ini memberikan
dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi dan
konektivitas di wilayah tersebut. Konsolidasi Demokrasi:
Selama masa jabatannya sebagai Presiden, Bj Habibie
juga menjadi pionir dalam konsolidasi demokrasi di
Indonesia pasca-Soeharto. Ia membuka ruang untuk
kebebasan berekspresi, membebaskan tahanan politik,
dan mengizinkan kegiatan partai politik. Meskipun
menghadapi banyak tekanan dan kritik, Habibie tetap
gigih untuk memperjuangkan demokrasi dan
mendengarkan aspirasi rakyat.
Kegigihan Bj Habibie dalam berbagai bidang telah
memberikan dampak yang besar bagi Indonesia. Ia
menjadi inspirasi bagi banyak orang melalui dedikasinya
untuk mengembangkan teknologi, ekonomi,
infrastruktur, dan demokrasi di negara ini.
Persahabatan Rudy dan Lim Keng Kie

Sinar matahari menyinari jalanan dan bangunan yang


dibangun dengan gaya gotik dan suara kicauan burung
merdu yang menambah rasa nyaman. Aachen, Jerman
Barat adalah tempat dimana Rudy bertemu kembali
dengan Keng kie. Sebenarnya mereka pertama kali
bertemu di SMA Kristen Dago Bandung, sayangnya
mereka sempat berpisah ketika lulus SMA di tahun 1954.
Nama lengkapnya adalah Lim Keng Kie, keturunan
Tionghoa, lahir dan besar di tanah Pasundan, Jawa Barat,
dia lebih fasih berbahasa Sunda daripada Mandarin.
Tubuhnya yang tinggi gagah, berkulit putih, bermata
sipit, dengan senyumnya yang selalu ia tampakkan
membuatnya menjadi seseorang yang khas.
Lulus SMA Rudy masuk Departemen Elektro, Fakultas
Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut
Teknologi Bandung). Saat Rudy menjadi mahasiswa ITB
di tahun pertama dan sedang berlibur di Jakarta, dia
bertemu dengan Keng kie yang sedang mengurus
dokumen untuk melanjutkan studinya ke Jerman dengan
beasiswa full dari pemerintah, melihat hal itu Rudy
termotivasi untuk melanjutkan studinya ke luar negeri.
Pada Oktober 1954, Rudy melihat Keng Kie sedang
berjalan pulang,
“Hey! Keng Kie, dari mana kamu?”
Keng Kie menengok melihat tubuh kecil berlari
mendekatinya dengan rambut botak karena baru selesai
dipelonco.
“Saya baru mengambil visum di kedutaan Jerman, Rud.”
Kata Keng Kie sambil mengambil dan menunjukkan
sebuah buku kecil berwarna biru kepada
Rudy. Mata besar Rudy langsung semakin membulat
tanda dia bingung,
“Untuk apa visum?”
“Saya akan sekolah teknik penerbangan di Jerman!”
Mendengar hal itu mata Rudy menjadi berapi-api.
Dengan bersemangat dia berteriak, “Saya ikut dengan
kamu!”
Keng Kie geleng-geleng kepala sendiri. Antusiasme
Rudy memang luar biasa kalau sudah ada maunya.
Mereka lalu berjalan beriringan sembari Keng Kie
bercerita bahwa dia mendapat beasiswa untuk belajar ke
Jerman dan sudah membuat kontrak dengan dinas P & K
(Pendidikan dan Kebudayaan) untuk membuat pesawat
terbang setibanya di Tanah Air.
“Mau kuliah kemana kamu bilang tadi?”
“Ke RWTH-Aachen, Rud. Jerman!”
“Aku juga mau ke sana!”
“Sudah telat, Rud. Pendaftarannya sudah tutup. Kamu
coba lagi tahun depan. Nilai rapormu memang bagus tapi
memangnya kamu bisa?” kata Keng Kie sembari
tertawa.
Rudy menggeleng. Kekerasan hatinya muncul,
“Pokoknya kamu tunggu saja di sana! Kita bertemu di
Jerman!” Rudy lalu berlari meninggalkan Keng Kie
sendirian.
Rudy lalu mencari cari informasi tentang beasiswa ini
kepada senior-seniornya yang ada di indekos tempat
Rudy. Mereka menyarankan Rudy agar mengikuti ujian
P-1 agar mendapat beasiswa, tetapi anak-anak yang
mengikuti ujian biasanya sudah menjalani kuliah
minimal 2 tahun. Saat itu Rudy memang baru kuliah
selama tiga bulan di ITB. Namun, waktu menjadi tak
penting ketika kecerdasannya sudah melebihi anak yang
kuliah selama tiga tahun. Rudy pun mengikuti ujian pada
bulan Desember, bersaing dengan senior-seniornya.
Ternyata, Rudy lulus dengan angka paling tinggi.
Setelah mendapat surat rekomendasi dari
pembimbingnya di ITB, Habibie pergi ke Jakarta untuk
menemui Direktur di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Pada awalnya Habibie memilih jurusan
Nuklir namun akhirnya dia memilih jurusan Konstruksi
Pesawat Terbang dikarenakan keinginannya untuk
mendapatkan beasiswa, pasalnya saat itu beasiswa ke
luar negeri diperuntukan bagi yang akan belajar
konstruksi pesawat terbang atau belajar konstruksi kapal
laut.
Ketika telah disetujui, Direktur mengatakan bahwa
beasiswa yang didapatkan Habibie harus menunggu
hingga tahun depan, dikarenakan beasiswa pemerintah
sudah ditutup pada saat itu. Karena enggan menunggu,
Habibie pada usia 18 tahun berangkat naik kapal terbang
pada tahun 1955 ke Jerman dengan biaya sandiri dari
ibunya tanpa beasiswa.
Ibu Rudy merasa bahwa pendidikan anaknya tidak boleh
dibiayai oleh orang lain. Semua biaya ditanggung oleh
sang ibu meskipun mereka bukan berasal dari kalangan
orang berada. Ibu Rudy memiliki usaha catering dan
kos-kosan.
Oleh karena itu, Rudy harus berulang kali memutar otak
agar bisa berkuliah sekaligus bertahan hidup. Rudy
adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak dibiayai
beasiswa. Sehingga pada periode awal ketika memulai
perkuliahan di Jerman membuat hidupnya begitu sulit.
Teman-teman Rudy selalu dapat uang setiap tanggal 1
dari kedutaan, sedangkan Rudy harus menunggu dari
Deutche Bank. Saat itu belum ada faks, belum ada
internet, bulan-bulan pertam sangat, berat untuk Rudy,
saking sulit ekonominya semasa baru memulai kuliah di
Jerman, Rudy bahkan sampai terpaksa menggadai
kalung emas pemberian ibunya. Namun, Rudy tak serta
merta menghabiskan uang hasil gadai kalung emas
pemberian ibunya begitu saja. Dengan uang yang pas-
pasan tersebut, Rudy mencari kos-kosan untuk tinggal.
Rudy harus cari tempat di mana dia bisa tinggal ditempat
yang paling murah. Itu di pinggir kota, jauh dari kampus,
kalau di kampus mahal, Rudy tidak kuat bayar. Ada uang
ada barang, begitu pula dengan nasib Rudy saat harus
tinggal di pinggir kota yang memiliki fasilitas seadanya.
Rudy boleh tinggal disitu, tapi tidak boleh masak. Rudy
hanya boleh tinggal di kamar yang tak ada pemanasnya,
agar bisa mandi, Rudy terpaksa ke kamar mandi umum,
mengantre bersama warga yang tak memiliki kamar
mandi.
•••
Ketika Rudi selesai salat di bawah tangga kampusnya
dan keluar dari dalam bangunan tersebut, tiba-tiba ada
yang mendekatinya.
“Rudy!”
Ketika Rudy menengok melihat orang tersebut ternyata
dia adalah Keng Kie. Tidak disangka mereka bisa
dengan cepat bertemu, mereka pun saling berpelukan.
“Kamu teh bukannya baru 4 bulan yah sekolah di
Bandung”
“Sayakan sengaja lompat tingkat ingin nyusul kamu”
“Gelo ih keren, tinggal dimana sekarang?”
“Saya 1 setengah jam kesini, tinggal bersama keluarga
belanda jerman.”
“Hayu atuh kita makan bareng!” ajak Keng Kie,
kemudian Rudy menyetujui ajakan tersebut.
•••
Mensa adalah kantin universitas, di mana para
mahasiswa yang mendapat beasiswa sedang berkumpul
di sana. Mereka yang terpilih untuk mendapatkan
beasiswa juga bukan cuma para pemuda yang baru lulus
SMA, tetapi juga para mantan tentara pelajar yang
berumur jauh di atas rata-rata para mahasiswa. Tidak
hanya berbeda umur satu sampai lima tahun, tetapi bisa
mencapai sepuluh hingga dua puluh tahun. Oleh karena
itu, para mahasiswa yang lebih muda memanggil mereka
dengan sebutan “Mas”, “Mbak”, atau “Kakak” sebagai
tanda hormat.
Saat mereka tahu keadaan Rudy yang memiliki paspor
hijau, para mahasiswa Indonesia yang berumur lebih
senior langsung menyimpulkan kalau Rudy bukan anak
yang pintar, sebab itu dia tak mendapat beasiswa. Keng
Kie yang membawa Rudy ke Mensa untuk mengenalkan
dia ke teman-teman yang lain, merasa tak enak hati.
“Paspor kamu warna hijau, kok bisa kamu ke Aachen”
kata seorang mahasiswa senior.
“Dibiayai Mami saya, memangnya kenapa?” jawab Rudy
“Anak Mami rupanya” Ucap senior tersebut hingga
semua senior di sana ikut tertawa.
Sementara Lim Keng Kie cuma tertawa canggung.
Orang-orang ini belum tahu kemampuan Rudy
sebenarnya.
“Rudy ini genius, dia lompat tingkat dari Universitas
Teknik Indonesia di Bandung” Timpal Keng Kie.
“Genius kamu bilang, orang genius itu paspornya biru,
ini artinya dibiayai oleh negara” ucap senior tadi.
“Maksudnya gimana mas?” Tanya Rudy.
“Maksudnya kamu itu bodoh” jawab senior lain sembari
diikuti suara tawa senior-senior di dalam mensa.
“Saya baru tau kalo kecerdasan seseorang dilihat dari
paspornya”
“Kalo kamu itu cerdas, sana ambilkan makanan.”
“Apa saja yang harus diambil, Mas?” tanya Rudy.
Mereka lalu menyebutkan satu per satu makanan dan
minuman yang mau diambil. Rudy mengangguk-angguk
saja. Mata bulatnya memperhatikan satu per satu dari
belasan orang-orang itu.
“Tidak mau kau catat?” tanya salah seorang dari mereka.
“Tak perlulah!”
Kemampuan Rudy untuk mengingat memang luar biasa,
Rudy mengingat sesuatu dengan cara
membayangkannya. Rudy lalu melenggang untuk
mengambil makanan dan membelikan susu. Seperti saat
di pengungsian atau saat dia diejek waktu kecil dulu,
Rudy tak pernah benar-benar peduli tentang anggapan
orang kepadanya.
“Mau diambilkan apa lagi?” tanya Rudy setiap habis
menaruh nampan berisi pesanan mereka.
Mereka kesal karena Rudy tak menunjukkan tanda-tanda
takut. Mata bulatnya malah semakin memelotot. Orang
yang baru mengenalnya jadi kesal karena Rudy dianggap
tak sopan, sedangkan Rudy, sebenarnya bersemangat
karena suruhan itu dia anggap tantangan saja.
Akan tetapi, tantangan Rudy sebenarnya adalah ujian
Studienkollegs. Rudy memberanikan diri mengikuti
ujian Studienkollegs sebab jika langsung lulus pada ujian
ini, dia bisa menghemat waktu, tidak perlu lagi
menjalani satu tahun masa persiapan di Studienkollegs.
Persoalannya, waktu ujian persiapan itu dilaksanakan
hanya tinggal seminggu lagi dan ada 2.000 orang yang
bersaing agar bisa masuk ke universitas RWTH-Aachen.
Saat dia menghadap ke panitia ujian, orang Jerman yang
menjadi penyeleksi mahasiswa baru pun tak yakin.
Petugas itu terus bertanya kepada Rudy, apakah dirinya
yakin? Dia menjelaskan berbagai risiko yang harus
ditanggungnya jika nekat mengikuti ujian ini. Karena,
sekali Rudy gagal, tinggal sekali kesempatannya. Bila
pada kesempatan kedua dia gagal lagi, Rudy harus
pulang ke Indonesia dan melupakan cita-citanya untuk
kuliah di Jerman.
Pilihan nekat Rudy membawanya menjadi satu-satunya
mahasiswa Indonesia yang mengikuti ujian
Studienkollegs di aula besar itu. Namun, seluruh
keberanian dan rasa percaya diri itu luntur juga saat
Rudy melihat hasil ujian Studienkollegs. Saat itu dia
kesulitan mencari namanya. Tubuh kecilnya berjingkat-
jingkat mencari lagi namanya dari bawah, tetapi tidak
ada. Rudy ketakutan, di dahinya turun keringat dingin,
matanya sudah ingin menangis. Rudy memilih mundur
dari kerumunan. Tak didengarnya lagi suara teriakan
keberhasilan dan suara kekecewaan yang berseliweran di
sampingnya. Di kepalanya hanya ada Mami, Mami, dan
Mami. Mami mengeluarkan biaya sebesar itu hanya
untuk sebuah kegagalan. Belum pernah Rudy merasa
setakberguna ini.
“Kenapa kamu Rud?” Tanya Keng Kie.
“Aku gagal ujian Kie” jawab Rudy pasrah. Suaranya
serak.
“Kamu lihatnya udah bener belum?”. Keng Kie langsung
berinisiatif mencari nama Rudy, tetapi dari atas. Lalu dia
kembali lagi menemui Rudy. Melihat Rudy yang
menjauh, dia segera berlari dan menarik tangannya.
Tangan itu diguncang dengan antusias seolah dia akan
memutarbalikkan Rudy dengan tubuhnya yang besar.
“Selamat Rud”. Rudy kebingungan mendengar kata yang
keluar dari mulut Keng Kie.
Hinaan macam apa ini, jelas-jelas namaku tidak ada di
sana, pikir Rudy. Keng Kie lalu menyeret Rudy melihat
kembali ke papan pengumuman yang sudah mulai sepi.
Jari Keng Kie menunjuk ke angka di deretan atas.
Meski sedikit malu, Rudy memberanikan diri bertanya.
“Benar namaku ada di sana?” Rudy hampir-hampir tak
percaya.
Keng Kie mengangguk dengan senang dan kembali
membacakan namanya.
“Bener Rud, tuh lihat Baharuddin Jusuf Habibie” ucap
Keng kie sambil menunjuk nama di papan paling atas.
Rasa-rasanya tak ada dua Habibie di kampus ini. “Nama
kamu masuk deretan teratas Rud, kamu hebat, kamu
lolos!” Keng Kie menepuk pundaknya dengan tulus.
Rudy ternganga karena ternyata dia mendapatkan nilai
hampir 10. Rudy ternganga sendiri, sementara orang-
orang menepuk bahu dan menyalaminya.
Saat teman-teman Indonesia-nya yang baru pulang
liburan mendengar kabar itu, mereka juga ikut merasa
senang. Pasti ujiannya gampang, anak bukan penerima
beasiswa saja bisa lulus tiga besar apalagi kita, pikir
mereka. Akibatnya, mereka menyepelekan ujian itu.
Mereka ikut ujian dan ternyata nilai mereka pas-pasan,
malah ada yang gagal. Mulai saat itulah, asumsi mereka
terhadap Rudy sebagai anak yang kurang pintar berubah.
•••
Rezeki dari Tuhan tak selalu berupa uang. Adakalanya,
dia hadir dalam bentuk sahabat. Bagi Rudy, yang hadir
adalah sosok Lim Keng Kie. Awalnya, Keng Kie selalu
curiga karena Rudy jarang makan ketika di Mensa.
“Rudy, hayu kita makan!” ajak Keng kie.
“Tidak kie, saya sedang puasa.”
“Puasa apa kamu rud?”
“Seperti biasa, puasa Senin Kamis” kata Rudy.
“Ah, sekarang kan Rabu, kamu ada-ada saja kamu rud.”
jawab Keng Kie.
Rudy tertawa, “kamu harus ikut puasa denganku, itu
bagus untukmu!”
Tiba-tiba suara perut Rudy bergemuruh, hal itu terdengar
jelas oleh Keng kie.
“Tuh kan lapar, hayu kita makan biar saya yang bayar
nanti kamu bisa ganti kapan aja.”
Sebenarnya Rudy tak punya uang sama sekali.
Makannya selama ini adalah apel jatuh atau apel yang
tak dimakan kuda yang dia temukan pada saat berjalan
melewati istal kuda menuju kampus. Keng Kie tak tega.
Dia memaksa Rudy untuk meminjam uangnya. Rudy
berkeras menolak, tetapi untuk urusan membantu kawan,
Keng Kie lebih keras kepala.
Lim Keng Kie, meskipun punya nama Tionghoa, Keng
Kie merasa dirinya bukan Tionghoa. Dia hampir tidak
dapat bercakap-cakap dalam bahasa Mandarin atau
dialek Tiongkok lainnya.
Ayah Keng Kie sempat menjadi bawahan almarhum Papi
Rudy. Namun, berbeda dengan keadaan keluarga Rudy,
keluarga Keng Kie adalah keluarga miskin. Saat Keng
Kie mendapat kesempatan kuliah di RWTH-Aachen,
Jerman Barat, ayahnya mengatakan kepada anak-
anaknya berulang kali bahwa kesempatan itu merupakan
“mimpi yang jadi kenyataan”.
Ketika SMA Keng Kie termasuk orang yang
menganggap Rudy sebagai “Londo Ireng” karena dia
fasih berbahasa Belanda. Bahkan, saat mereka semakin
akrab di Aachen, Keng Kie baru tahu kalau nama Rudy
itu berasal dari Bacharuddin. Sebelumnya Keng Kie
selalu mengira Rudy berasal dari nama Rudolph.
Sepanjang 1955–1956 adalah masa-masa krusial yang
membentuk fondasi persahabatan mereka berdua. Dua
orang yang kontras ini menjadi sahabat dekat. Rudy
yang keras kepala, berapi-api, dan sering manja, berbeda
sekali dengan Keng Kie yang lebih kalem, tenang, dan
mandiri.
Dalam soal keuangan, pada masa-masa sulit, Rudy
sering mendapat bantuan dari Lim Keng Kie, padahal
uang Keng Kie juga pas-pasan. Keng Kie tak suka bila
Rudy menolak bantuannya. Dia kerap mentraktir Rudy
makan. Di sisi lain, Rudy tak pernah ragu untuk
membantu Keng Kie dalam pelajaran.
Berkat persahabatan ini, Rudy tak pernah punya masalah
dengan isu pribumi-nonpribumi ataupun masalah
perbedaan agama. Rudy mengalami sendiri betapa Keng
Kie, yang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen,
adalah juga Keng Kie yang baik hati. Rudy merasa
bahwa dia dan Keng Kie sama saja, sangat setara.
Manusia adalah manusia. Jabatan, bangsa, suku, agama,
ras, kelamin, hanyalah bungkus belaka. Memang, lebih
mudah melihat orang dari “bungkus”-nya saja karena
memahami manusia pada dasarnya memang melelahkan.
Namun, semuanya tinggal masalah kemauan.
Diam-diam, Keng Kie dan para teman dekatnya dari
Indonesia sadar kalau Rudy memang punya sifat yang
menjadi penghalangnya dalam mencari sahabat. Perangai
Rudy yang suka tak sabaran saat berada di situasi yang
dia anggap konyol serta sikapnya yang sangat berpegang
pada fakta, membuatnya sangat terganggu kalau ada
orang yang terlalu keras kepala hanya karena mau
dianggap benar. Kebiasaan menyebut orang “bodoh” di
depan mukanya menunjukkan tak terpikir baginya kalau
itu bisa membuat orang itu malu. Sikap itu mempersulit
situasi Rudy. Dia adik terkecil yang paling pintar dan
punya visi lebih besar dibanding kawan-kawannya.
Meski semenjak dia lulus ujian Studienkollegs tak ada
lagi mahasiswa senior yang mengerjainya, hal itu tak
cukup untuk membuat semua orang bisa langsung
menerima idenya.
Kemampuan berbasa-basi yang buruk serta kesabaran
yang rendah, saat itu membuatnya makin sulit mencari
teman dekat yang mau menerima dirinya selain Keng
Kie. Itu sebabnya, semasa kuliah hanya ada beberapa
sahabat yang benar-benar dekat dengannya walau tak
semua sama jurusan, angkatan, dan usianya. Dari yang
sama jurusan ada Lim Keng Kie dan Arief Marzuki,
sementara yang berbeda adalah Rachmantio dari jurusan
Pertambangan, Leila dari jurusan Arsitektur, dan Bayek
dari jurusan Kimia.
Rudy tak segan membetulkan dan mengkritik yang salah.
Namun, di sisi lain, dia senang berbagi ilmu. Rudy justru
bingung melihat mereka yang pelit ilmu dan informasi,
atau yang terlalu minder untuk bertanya. Ini sering dia
tanyakan kepada teman-teman dekatnya, seperti Keng
Kie atau Arief Marzuki.
“Kenapa teman-teman sesama Indonesia jarang yang
bertanya kepada saya?”
“Kamu kan genius rud! Bikin minder yang mau bertanya
tau!” kata Keng Kie,
“Semua yang susah jadi tampak mudah kalau kamu
kerjakan.” lanjut Keng Kie,
“Aku? Ya, tidak dong!” Mata Rudy melebar.
“Ini soal metode belajar, Keng Kie! Kita sendiri yang
harus merekayasa cara belajar yang efektif. Agar mudah
masuknya dari sini, lalu ke sini!” Rudy menunjuk buku
lalu ke kepalanya,
“Kalau begitu kamu harus lebih sabar menerangkannya!
apalagi kalau menjelaskan kepada orang yang lebih tua!”
balas Keng kie.
“Oh, begitu, ya? Memang aku kurang sabar?” tanya
Rudy.
“Kamu terlalu berapi-api kalau sudah asyik menjelaskan
Rud,” jawab Keng Kie.
Rudy hanya mengangkat bahunya. Sejujurnya dia suka
tak sadar hal-hal kecil seperti itu.
•••
Sepuluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia adalah
masa-masa kritis bagi pergerakan bangsa Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, Indonesia mengalami beberapa
kali krisis akibat inflasi. Kas keuangan negara juga
semakin menipis karena masih minimnya tingkat
produktivitas yang bisa mengisi kas negara. Hal ini,
salah satunya, diakibatkan oleh ketidaksiapan sumber
daya manusia Indonesia sebagai tenaga kerja.
Karena itulah, pemerintah lantas memberi prioritas
utama untuk meningkatkan jumlah lembaga pendidikan.
Pemerintah lewat Kementerian P & K memberikan
beasiswa kuliah ke luar negeri kepada siswa berprestasi
yang baru lulus SMA serta beasiswa sebagai
penghargaan kepada para mantan Tentara Pelajar
Brigade 1758 yang selama berjuang studinya
terbengkalai.
Rudy mempunyai masalah dengan beberapa mahasiswa
tentara pelajar. Beberapa dari merekalah yang sempat
memperlakukan dirinya seperti anak kecil dan
menganggapnya tak pintar sebab dia bukan mahasiswa
beasiswa. Namun, Rudy memang malas membahas hal-
hal yang dia anggap tak menarik, termasuk untuk marah-
marah kepada orang yang meremehkannya. Dia
menunjukkan kalau dia hormat kepada mereka, tetapi
tidak berlebihan. Syukurlah, ada kegiatan mahasiswa
yang bisa mencairkan hubungan antara para mahasiswa
yang berbeda latar belakang dan jarak usia itu, yaitu
Malam Indonesia yang diadakan setahun sekali. Pada
Malam Indonesia, semua mahasiswa Indonesia di
Aachen harus ikut serta. . Ada yang tugasnya menjadi
pengisi acara, panitia, konsumsi, dokumentasi, dan
lainnya. Kalau ada yang sama sekali tak dapat bagian,
akan dibuatkan tugas tambahan, misalnya memegang
peniti di ruang rias. Pokoknya, semua harus ambil
bagian.
Rudy memang tipe yang mau saja disuruh-suruh tampil,
tetapi dia suka membuat ulah. Rudy mengiyakan saat
menari piring, walau dia tak bisa sama sekali dan malah
merusak koreografi. Bahkan, sepanjang menari pun dia
jarang senyum, matanya memelotot, dan bergerak ke
sana kemari mengikuti tarian yang lain. Keng kie bahkan
tertawa melihat tingkah Rudy.
Rudy yang merasa jago menyanyi paling senang
menyanyikan lagu keroncong “Sepasang Mata Bola” dan
“Awan Lembayung”. Suara Rudy memang bagus, tetapi
kebiasaannya untuk “maunya sendiri” merusak
penampilan band-nya. Kalau Rudy bernyanyi, temponya
selalu tak kompak dengan band pengiringnya. Satu-
satunya yang paling lumayan adalah saat Rudy menjadi
MC (pembawa acara) dadakan. Saat itu dia berhasil
membuat semua orang tertawa ketika mengucapkan
candaannya di panggung.
“Und nun meine Damen un Herren etwas internationales,
und swar zhen minuten pause. ‘Tuan dan Nyonya,
sekarang kami mempersembahkan sajian yang sangat
internasional sekali, yaitu istirahat selama sepuluh
menit.’ Ucap Rudy.
Akan tetapi, seluruh kekurangan itu tak membuat orang
kehilangan semangat dan sukacita. Semua mahasiswa,
termasuk orang-orang Jerman pun ikut bersuka ria.
Puncaknya adalah saat mereka menyanyikan lagu
“Indonesia Raya”. Rudy dan para mahasiswa Indonesia
tak bisa menahan tangis kerinduan mereka.
Malam Indonesia ini lama-kelamaan makin dikenal.
Pernah ada pertunjukkan wayang kulit di ruang kuliah
yang disebut Auditorium Gruner Horsaal. Profesor-
profesor Jerman beserta keluarga, orang- orang Jerman,
dan mahasiswa Jerman sering diundang untuk
menyaksikan Malam Indonesia. Bahkan, Malam
Indonesia ini juga diundang keliling Jerman.
Akan tetapi, Rudy dan kawan-kawan tak bisa terus-
menerus berurusan dengan kuliah dan keriaan saja.
Dengan posisi mahasiswa sebagai kelompok elite dan
kelompok yang memiliki kekuatan politik, mau tak mau
persoalan politik menghampiri.
Rudy mendapat kabar yang tak mengenakkan saat dia
dan Keng Kie bersama teman-teman yang lain, datang ke
acara di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bonn.
Pada saat itu, kabar dan efek ketidakpuasan atas hasil
Pemilu 1955 mulai terasa hingga ke mahasiswa-
mahasiwa Indonesia di Eropa. Kesulitan ekonomi
membuat sentimen-sentimen kesukuan menjadi lebih
jelas. Kesulitan Ekonomi ini cenderung ditimpakan
kepada para pengusaha Tionghoa yang dianggap
mengambil alih usaha pribumi, padahal usaha tersebut
dijual oleh pengusaha pribumi yang tak mengerti cara
menjalankan bisnis. Sentimen kesukuan lain, misalnya
suku Sunda di Jawa Barat dan suku-suku lainnya merasa
suku Jawa mendominasi banyak aspek kehidupan
nasional. Sementara itu, di Sumatra Timur, terutama
orang Batak Toba, menjadi sasaran permusuhan hingga
ada korban jiwa. Daerah sudah mencapai puncak
kekesalan mereka atas kelalaian pemerintah pusat dan
nilai uang rupiah yang diberi nilai lebih tinggi oleh
pemerintah. Rudy tentu merasa gelisah. Hari ketika
seharusnya dia bersantai dan makan makanan Indonesia
tapi pikirannya teralihkan dengan kondisi di Tanah Air.
“kita ini adalah generasi pembangunan, kita harus tahu
tanggung jawabnya” kata Rudy kepada Keng Kie dalam
perjalanan pulang naik kereta dari Bonn ke Aachen.
Rudy memang butuh kawan bicara dan Keng Kie adalah
sahabat yang bisa mengimbanginya. Jika Rudy adalah
kembang api yang selalu berpijar dan bisa berubah
menjadi roket bila sedang bersemangat, Keng Kie adalah
air yang tenang, tetapi ternyata sangat dalam. Keng Kie
menyebut dirinya “tembok pantul bola pikiran” alias
kawan berpikir Rudy, tempat Rudy mengeluarkan dan
melatih ide-idenya. Butuh orang yang sabar dan tak
gampang tersinggung untuk bisa menangani Rudy.
Kegelisahan Rudy makin menjadi karena setahun yang
akan datang, pada 1957, dia akan menyelesaikan studi S-
1 dan akan lanjut ke studi S-2-nya untuk mendapat gelar
Dipl. Ing. Namun, dengan situasi pemerintahan yang tak
menentu, Rudy butuh proyeksi atas langkah yang harus
dia ambil agar bisa membuat industri pesawat di
Indonesia saat dia pulang nanti. Rudy berusaha mencari
ide dari mana saja. Dia membaca, mengajak kawan-
kawan berdiskusi hingga bertanya kepada pejabat-
pejabat pendidikan di Bonn, tetapi mereka sedang lebih
fokus pada permasalahan politik di Indonesia.
•••
Rudy berusaha mencari ide dari mana saja, ia lalu
mencoba bertanya kepada para kawan mahasiswa
Jerman-nya, tetapi teman-temannya ini tak ambil pusing
soal keadaan di negara Rudy. Justru seorang temannya
yang keturunan keluarga pengusaha di Jerman Barat
malah balik bertanya, “Kalau kamu pikir keadaan
bangsamu luktuatif, sedangkan kamu ingin membuat
pesawat, mengapa kamu tak terus menetap di sini saja?
Kau bisa melakukan apa saja di sini, Rud.”
“Ya, tak bisa begitu, dong! Aku harus kembali ke
Indonesia,” Rudy langsung memelotot.
“Lho, kenapa? Kan, kamu cerita kalau kamu tak terikat
kontrak beasiswa dengan pemerintah,” balas kawan
Jerman-nya.
“Tetapi, aku mau jadi ‘mata air’. Jadi orang yang
berguna.”
“Memang kau tak akan berguna di sini?” tanya dia lagi.
Rudy menggeleng. “Berguna untuk Indonesia. Bukan
untuk Jerman.”
Temannya tertawa. “Rudy, dulu Newton membuat
teorinya di Inggris sana, kan? Tetapi, tetap saja bisa
sampai ke desa lahirmu di Indonesia. Ilmu yang berguna,
sih, panjang jalannya. Ilmu selalu bisa melampaui
batasan wilayah.”
Pembicaraan mereka sempat berhenti karena mereka
memasuki ruangan kuliah. Persis sebelum dosen mulai
mengajar, kawannya berbisik lagi kepada
Rudy, “Satu lagi, Rud. Kujamin, kami, orang Jerman, tak
akan menyia-nyiakan kegeniusanmu!”
Rudy tak bisa melupakan pembicaraan dengan temannya
itu. Sorenya, dia tak jadi kembali ke latnya, tetapi pergi
ke lat Keng Kie. “Ini persoalan serius, Keng Kie. Kita
butuh mempererat jaringan dan makin memfokuskan
tujuan kita kuliah di sini,” kata Rudy.
“Rud, aku dan yang lain ke sini itu karena beasiswa.
Kami ada kontrak kerja dengan pemerintah. Mungkin
saat kembali nanti aku akan menjadi dosen. Mengajar.”
Keng Kie mengingatkan.
Rudy menggelengkan kepalanya dengan kencang.
“Bukan itu saja maksudku. Kita harus punya visi besar
untuk pembangunan ini.”
“Kalau begitu, kita berdua saja tak cukup, Rud!”
“Itu dia maksudku! Kita harus lebih sering berkumpul
dan membicarakan strategi ini. Bukan berkumpul untuk
belajar kelompok atau makan-makan,” kata Rudy.
“Bolehlah. Nanti kita cari cara untuk mewujudkan itu.”
“Sekarang saja kita bahas!” jawab Rudy berapi-api.
“Sabar dululah, Rud.” Keng Kie menunjuk tumpukan
buku di meja belajarnya. “Ada tugasku yang belum
selesai kukerjakan.”
•••
Pada tahun 1958 Rudy ditunjuk menjadi Ketua
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Aachen bersama
Keng kie yang menjadi bendahara. Di bawah
kepemimpinannya PPI menyelenggarakan Seminar
Pembangunan yang mengundang semua mahasiwa
Indonesia yang tinggal di Eropa.
Terdengar “gila” karena acara semacam itu belum pernah
ada sebelumnya di kalangan PPI, apalagi mahasiswa
Indonesia sebagai penyelenggara. Ada pula usaha
memecah dengan fitnah kalau yang direncanakan oleh
Rudy hanya bualan besar. Ini juga dengan mudah
ditangkis oleh usaha nyata Rudy dan teman-teman.
Namun, satu cara yang terakhir terbukti efektif. Mereka
berusaha membuat para PPI di negara Eropa yang lain,
selain PPI Jerman, memutuskan untuk tidak menghadiri
Seminar Pembangunan. Rudy meradang. Baginya, alasan
mereka dibuat-buat. Apalagi, Rudy dan PPI Aachen
sudah mendapat surat mandat untuk melaksanakan
Seminar Pembangunan. Rudy tetap bersikeras dengan
rencananya. Dia bagai pesawat yang sudah terbang dan
haram turun bila belum sampai tujuan. Semakin Rudy
bekerja, semakin dia menomorsekiankan kesehatannya.
Batuknya semakin keras dan bunyinya menggema di
ruangan.Rudy masih tak terlalu peduli dengan sakitnya.
Batuknya semakin sering dan keras hingga dia dipanggil
“Tuan Batuk” oleh ibu pemilik tempat indekosnya. Dia
masih sibuk ke sana kemari mengurus Seminar
Pembangunan. Saat dia merasa lemas, dia minta dipijat
oleh Keng Kie. Keng Kie langsung kesal dan
memarahinya karena mereka saat itu memang sedang
sibuk-sibuknya bekerja.
Pada Mei 1959, menjelang akhir persiapan, akhirnya
diputuskan kalau seminar akan diadakan di kota PPI
Barsbuttel, Hamburg, bekerja sama dengan PPI di sana.
Suatu malam, Rudy bekerja keras sampai tak tidur.
Hampir tiga hari Rudy tak tidur sama sekali. Pagi itu, dia
pulang menggunakan kereta dan ketiduran di bangku.
Pada hari itu, Rudy masih bersikeras pergi kampus dan
mengurus persiapan seminar, tetapi batuknya semakin
keras. Ibu pemilik tempat indekosnya memaksa Rudy
untuk pergi ke rumah sakit. Sampai di sana, Rudy
dinyatakan harus dirawat.
Mendengar Rudy sakit, semua panitia panik dan gugup.
Atas saran Pak Zairin Zain, Rudy dirawat di rumah sakit
Universitas Bonn, semacam klinik milik kampus. Dia
dirawat inap di dalam kamar yang penuh dengan salib.
Pasien di sebelahnya adalah seorang anak kecil yang
menderita leukemia. Sebelum ke rumah sakit, Rudy
menunjuk Sjafaril menjadi ketua pengganti karena
Sjafaril adalah notulen pada setiap rapat. Dia yang akan
membacakan pidato yang Rudy tuliskan.
Seminar berlangsung dengan sukses di Hamburg-
Barsbuttel selama lima hari dari tanggal 20–25 Juli 1959.
Seminar Pembangunan berjalan dengan lancar dan
hasilnya dituangkan dalam sebuah buku. Keuangan
bahkan surplus dan bisa untuk membiayai Seminar
Pembangunan yang rencananya akan dijadikan tradisi
dan diadakan dua tahun sekali. Seminar Pembangunan
kedua akan diadakan pada 1961.
Akan tetapi, pada saat teman-teman Rudy sedang
merayakan keberhasilan mereka, Rudy sedang meregang
nyawa di rumah sakit. Dokter-dokter telah menemukan
sumber penyakit Rudy, yaitu TBC Tulang. Namun, untuk
menemukan sumber penyakitnya, mereka harus
membelah betis kaki kiri Rudy. Luka itu mengalami
infeksi dan bakterinya sampai ke jantung sehingga ada
selaput jantung yang bengkak.
Ingatan Rudy kabur pada saat itu, antara sadar dan tak
sadar. Dia ingat mendengar doa-doa para pastor yang
dipanggil oleh pihak rumah sakit. Lalu, dia melihat
cahaya putih kemudian gelap.Rudy tak ingat sisanya.
Malam itu, di tengah terselenggaranya Seminar
Pembangunan, Rudy diantar ke kamar jenazah oleh
perawat. Mereka membicarakan betapa malangnya anak
Indonesia ini, yang mati sendiri jauh dari tanah airnya.
Saat mengetahui dia terbangun, para perawat
mengembalikannya ke ruang inap kritis. Di sana,
kesadaran Rudy hilang-timbul. Setiap kali dia sadar, rasa
sakit luar biasa menjalar dari kaki dan dadanya. Di
antara rasa sakit yang amat sangat itu, tangan Rudy
berhasil meraih pulpen dan selembar kertas di meja
sebelah tempat tidurnya. Dia lawan rasa sakit itu. Jika
dia harus mati sekarang, ada yang perlu dia keluarkan
dari dadanya. Sebuah sumpah.
Sumpahku!
Terlentang!!!
Djatuh! Perih! Kesal!
Ibu Pertiwi
Engkau Pegangan
Dalam perdjalanan
Djanji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan sutji!!!
Hantjur badan
Tetap berdjalan
Djiwa besar dan sutji
Membawa aku, padamu!!!
Di akhir kalimat itu, kesadaran Rudy kembali hilang. Dia
merasa bertemu kembali dengan ayahnya, dengan Ali,
kembali ke pelukan maminya. Di pelukan itu, dia
merasakan sakitnya diganti oleh kehangatan. Rudy
merasakan dirinya mulai tenggelam dalam kehangatan
itu.
•••
Kabar buruk itu tiba pada pukul dua siang. Keng Kie
berlari masuk ke klubraum karena dia mendapat
telegram bahwa Rudy dalam keadaan kritis dan teman-
temannya disuruh menjenguk. Dia, Bayek dan Kumhal
yang memiliki mobil, segera naik menuju rumah sakit.
Pada akhir Juli 1959, Rudy sudah dipindahkan ke RS
Bad Krotzingen dekat Freiburg dan Schwartzwald.
Rumah sakit ini terletak di daerah yang hanya disinari
matahari selama beberapa jam tiap hari. Selebihnya
gelap. Mereka berangkat dengan cemas sekitar pukul
16.00 dan tiba pukul 22.00. Setelah diterima dokter,
rombongan langsung menuju kamar Rudy. Rudy sedang
tidak sadarkan diri. Keadaan Rudy sangat
mengkhawatirkan, hampir tidak ada harapan karena
jantungnya terus melemah. Pada saat itu, Rudy sudah
dimasukkan ke ruangan yang biasa digunakan untuk
jenazah. Didampingi seorang rohaniwan, selama 24 Jam,
Rudy tidak sadarkan diri. Teman-temannya dicekam rasa
khawatir yang luar biasa. Mereka ngeri membayangkan
harus kehilangan seseorang seperti Rudy. Pagi harinya
sebuah keajaiban terjadi. Rudy sadar. Rudy terkejut saat
membuka mata karena yang pertama dilihatnya adalah
rohaniwan.
Rombongan yang sudah datang dari semalam langsung
masuk. Rudy berusaha untuk tetap ramah dan berbasa-
basi, walaupun suasana terasa canggung. Mereka sangat
terkejut mendapati kaki kanan Rudy bengkak dan
membiru s. Juga ada kemungkinan kaki itu harus
diamputasi. Teman-teman merasa sedih melihat keadaan
Rudy. Mereka ingin mengurangi beban Rudy, tetapi tak
mampu berbuat apa-apa.
“Rud, lebih baik kita mempunyai orang yang hanya
memiliki satu kaki, tetapi berharga bagi negaranya
daripada orang yang sehat lengkap tubuhnyatetapi tidak
ada pengabdiannya,” kata Keng Kie mencoba
membesarkan hati Rudy.
Rudy berada di RS Bad Krotzingen sampai kondisinya
lebih baik. Untungnya, keadaan kakinya membaik
sehingga tak perlu dioperasi. Kawan-kawan Rudy selalu
datang menjenguknya, paling ramai pada Sabtu dan
Minggu.
Pada saat kunjungan itu, teman-temannya tak pernah
melihat Rudy bersedih. Sesakit apa pun tubuhnya, dia
selalu berusaha gembira kalau teman-temannya datang.
Malah sesekali dia menjelaskan tentang penyakitnya
sambil menunjuk buku kedokteran di atas meja. “Jantung
saya itu ototnya membengkak, ada infeksi antara kulit
jantung dan otot jantung. Ada cairan, dan cairan itulah
yang menyebabkan infeksi karena masuk melalui darah.
Gara-gara cairan itu makanya membesar. Nah, itu dia
setiap saya batuk keluar darah. Dikiranya TBC sehingga
waktu seminar dilaksanakan saya tidak bisa ikut,” kata
Rudy.
Tidak lama di RS Bad Krotzingen, Rudy lalu
dipindahkan ke sanatorium di Kleinwalzertal yang
berada di Austria, tetapi hanya bisa diakses dari Jerman.
Rudy berada di sana dari Agustus 1959 hingga Januari
1960, demi penyembuhan total penyakit TBC tulangnya.
Selama itu pula, nyaris tak ada temannya yang
menjenguk karena sangat jauh dan mahalnya perjalanan
ke sana. Ini adalah keputusan berat untuk Rudy karena
harus menunda studinya. Namun, pilihan dari dokter
jelas, menyelamatkan studi atau nyawa? Rudy memilih
yang kedua.
Sebetulnya, Rudy menderita. Jauh dari kegiatan kampus,
buku-buku, dan kesibukan bersama teman-teman, tentu
saja membuat Rudy kesepian. Kesehariannya pun selalu
sama. Seringnya di dalam kamar dan pada siang hari
ditaruh di luar bersama pasien lain untuk menghirup
udara pegunungan yang bersih. Teman mengobrol pun
hanya pasien di sebelahnya, itu pun sesekali. Rudy lebih
banyak diam. Kadang-kadang, kalau pasien lain
dijenguk, Rudy juga mendapat bagian oleh-oleh. Rudy
hanya bisa mengucap terima kasih.
Selama sakit itu, Rudy tak pernah mengabari Mami.
Biarlah Mami tahu kalau anak laki-lakinya baik-baik
saja. Namun, suatu hari kabar itu sampai juga ke Mami
melalui Ny. Zein Muhammad, pada akhir 1959. Kabar
itu mengatakan bahwa Rudy sudah masuk ruang isolasi.
Zein mengabarkan berita itu kepada Titi, kakak tertua
Rudy. Titi kemudian menyampaikan berita ini kepada
Mami dengan mencari cara agar Mami tak terguncang
jiwanya dan tetap tenang.
Mendengar berita itu, Mami segera mengurus surat-surat
untuk berangkat ke Jerman. Namun, butuh beberapa
bulan untuk mengurusnya. Pada saat yang sama, Mami
mendapat kiriman surat dari teman-teman Rudy di
Jerman yang diprakarsai oleh Bayek. Isi surat itu
mengatakan bahwa Rudy harus segera disuruh pulang,
kalau tidak, dia akan terikat dengan noni-noni Belanda
dan itu berbahaya buat keluarga, bahkan untuk
Indonesia. Mami semakin ingin secepatnya ke Jerman.
Selain menengok anaknya, dia juga ingin bertemu
dengan perempuan yang diceritakan teman-teman Rudy.
Pada saat itu, mengurus visa ke Jerman tidaklah mudah.
Namun, berkat kedekatan menantunya—Letnan Kolonel
Subono Mantofani—dengan Brigadir Jenderal Soeharto,
hal itu bisa diatasi. Meski demikian, karena lamanya
proses pengurusan surat-surat itu, saat Mami sampai di
Aachen, Rudy sudah keluar rumah sakit. Rudy keluar
pada Januari 1960, sementara Mami sampai di Aachen
pada musim panas 1960. Rudy, yang pada waktu itu
telah sembuh dan sudah pulang ke rumah indekosnya,
tentu saja kaget dan tak menyangka kalau Mami bisa
datang. Mereka pergi jalan-jalan dan berbahagia. Mami
sangat menyukai barang-barang antik sehingga senang
sekali diajak berjalan-jalan di daerah yang menjual
barang antik di Aachen. Namun, begitu melihat
harganya, dia tak jadi membelinya. Mami tetap irit walau
punya uang.Di tengah perjalanan itu, langkah Mami tiba-
tiba terhenti.Rudy ikut menghentikan langkahnya,
melihat ke arah Mami.
“Rud. Mamimu ini akan jauh lebih tenang kalau kamu di
Jerman ada yang mengurusi.”
Rudy tertawa. “Mami mau pindah ke sini? Wah, bisa
gemuk lagi aku dimasakin Mami.”
Mami menatap jengkel. “Nikah, Rud, nikah. Hati itu
kalau sudah berdua akan membuat hidup jadi lengkap.
Ada tujuan. Ada arahan. Ada yang mengisi. Ada yang
mengimbangi.”
“Mam, tujuanku jelas, aku mau buat pesawat di
Indonesia.”
“Rud. Membuat pesawat itu cara, bukan tujuan. Memang
masalah satu Indonesia bisa selesai dengan satu
pesawat?”
“Ya tidak, dong, Mam.”
“Ya, itulah! Jadi, apa tujuan hidupmu, Rud? Keluarga itu
yang akan menjagamu dengan visi besarmu. Sekarang
itu, di Indonesia, isi pemerintahannya itu, ya, orang-
orang yang tujuannya cuma dirinya sendiri. Keluarganya
juga tak menjaga mereka. Malah ikut senang pada
korupsi.” Rudy diam.
Mami pindah ke toko yang lain. Rudy hanya mengikuti.
“Kamu mau nanti punya keluarga yang malah bikin
hidupmu menyusahkan orang banyak?”.
“Nanti juga ada, Mam.”
“Cari perempuan itu yang bisa membuat dirimu diam
dan berpikir. Otakmu sekali-sekali butuh ditaklukkan,
Rud.”
Sekakmat. Rudy diam tak berkutik. Selama ini, dia tak
mencari perempuan yang bisa menaklukkannya.
Mami kembali pulang ke Indonesia tanpa pernah
menceritakan soal pertemuannya dengan perempuan
yang menjadi pacarnya Rudy yaitu Ilona.
•••
Lim Keng Kie lulus paling duluan dari RWTH-Aachen,
kemudian mengajar di Teknik Mesin ITB pada tahun
1961 serta mendirikan Fakultas Teknik Penerbangan di
ITB bersama Oetarjo Diran pada tahun 1962.
Rudy kembali ke Indonesia pada Maret 1962. Udara
Jerman yang dingin langsung berganti menjadi udara
panas dengan suhu sekitar 27° Celcius. Pemandangan
mata pun berubah. Masyarakat yang mapan menjadi
masyarakat yang melarat. Ketika berhenti di lampu
merah, mobil yang menjemput Rudy langsung diserbu
pengemis yang berkeliaran di pinggir jalan. Mereka
mengetuk-ngetuk jendela mobil untuk meminta uang.
Pada 1962, keadaan ekonomi Indonesia masih dalam
keadaan kacau-kacaunya, membuat banyak warga
Jakarta turun ke jalan untuk sekadar mengisi perut.
Rudy membuka jendela dan memberikan beberapa
keping recehan. Setelah itu, dia menutup jendela lagi
karena udara Jakarta terlalu panas buatnya. Rudy tak
berhenti mengalihkan matanya dari para pengemis itu.
Rudy kembali ingat saat dia datang ke Jakarta kali
pertama, pada 1950. Hatinya miris karena dua belas
tahun kemudian keadaan masih sama saja.
Jakarta sebenarnya sudah lebih maju. Pada tahun ini,
Jakarta baru saja diubah dari status Daerah Tingkat I
menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI). Jakarta dipimpin
oleh Sumarno dan wakil gubernurnya Henk Ngantung,
seorang seniman pelukis yang disenangi Bung Karno.
Henk sendiri adalah anggota Lekra. Namun, kepulangan
Rudy bertepatan dengan keadaan politik Indonesia yang
sedang kacau balau. Di Jakarta, dia menginap di rumah
Mbak Titi dan Mas Subono Mantofani dalam keadaan
demam akibat perubahan cuaca.
Rudy beristirahat. Hiburannya adalah koran dan radio di
kamar. Dari radio itu, Rudy bisa mendengar berita-berita
baru mengenai keadaan Tanah Air. Salah satu beritanya
adalah Presiden Sukarno yang selamat dari percobaan
pembunuhan. Percobaan pembunuhan ini telah terjadi
beberapa kali. Kejadian pertama di Cikini, kedua di
Maukar, ketiga di dalam perjalanan
antara Mandai dan Makassar, dan yang keempat pada 7
Januari pada 20.05 ketika Presiden sedang menuju ke
ruang olahraga dari Gedung Gubernuran Makassar untuk
berceramah di muka mahasiswa.
Siaran radio juga mengabarkan topik mengenai pesawat
dan industri penerbangan yang sedang heboh
dibicarakan. Ada berita tentang penerbangan Indonesia
yang mengalami kemajuan. Dalam penerbangan sipil,
PN Garuda sudah memakai pesawat tipe Dakota (DC3),
Convair (240-340-440), dan Lockheed Electra dalam
lalu lintas perjalanan jauh seperti Jakarta–Manila,
Jakarta–Hongkong, dan yang akan dibuka adalah
Jakarta–Tokyo. Rudy berpikir, lumayan, ada kemajuan
untuk industri dirgantara Indonesia.
Selama berada di Tanah Air, Rudy langsung diminta
mengisi berbagai seminar di kampus. Salah satunya
adalah kampus ITB, tempat Keng Kie, sahabatnya,
mengajar dan membangun Subjurusan Teknik
Penerbangan yang mulai diberikan di Jurusan Mesin, di
bawah Departemen Mesin-Elektro ITB.
Setelah acara seminar selesai, Rudy berbincang dengan
Keng Kie di kantin ITB. Menurut Rudy, permasalahan
yang sedang muncul di Indonesia, permasalahan ras,
perebutan Irian Barat, industri pesawat terbang, semua
adalah elemen-elemen kecil dari sebuah objek yang
besar. Lalu, pembicaraan mereka berpindah ke masalah
pesawat.
“Saya belum yakin mimpi kita untuk membuat industri
pesawat di Indonesia, Rud.”
“Kenapa?”
“Kamu lihat situasi di Indonesia saat ini. Orang butuh
makan, butuh pendidikan, butuh hidup. Bukan butuh
pesawat.”
“Tetapi, dalam jangka panjang, semua masalah yang
kamu sebutkan itu tadi, akan terbantu dengan adanya
pesawat.”
“Iya, jangka panjang. Nanti, kan? Terus, memangnya
realistis kalau saat ini negara mengeluarkan uang untuk
pesawat kita, sementara di sisi lain negara kita lagi
miskin-miskinnya. Realistis sajalah, Rud!”
“Bedakanlah realistis dengan pemakluman sementara,
Ki!”
“Sudahlah, Rud, yang bisa kita lakukan sekarang adalah
menyiapkan tenaga untuk membuat pesawat saja,
mendidik. Tinggalkan dulu mimpi membuat pesawat itu
di Jerman. Setidaknya, kita sudah melakukan sesuatu,
kan?”
“Iya, tetapi aku tak ingin berhenti dengan hanya
menyiapkan orang yang bisa bikin pesawat. Pesawat itu
harus sampai benar-benar bisa terbang di Indonesia.”
Keng Kie dan Rudy diam, mimpi-mimpi mereka mulai
berjalan ke arah yang berbeda meski mungkin dengan
tujuan yang sama, melakukan sesuatu yang bisa
mengubah Indonesia.
“Nanti malam ada konser pembebasan Irian Barat di
gedung olahraga, kamu mau ke sana nggak, Rud?” Keng
Kie mencoba mengalihkan pembicaraan. Rudy tak
menjawab. Kepalanya tetap memikirkan pesawatnya.
Karena tak merasa menemukan titik terang lewat
pembicaraannya dengan Keng Kie, Rudy memilih
pulang dan mengobrol dengan Mami. Namun, baru
sampai di depan pintu dan melihat wajah Mami, Rudy
tahu ada sesuatu yang tak beres di rumah. Rudy yang
sedang capek bertambah kesal.
“Rudy ingin mempercepat kepulangan ke Jerman, Mi,”
kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibir Rudy. Mami
yang masih kesal semakin emosi melihat sikap Rudy.
“Kamu ini pasti memikirkan soal pekerjaan terus.
Makanya, Mami, kan, sudah bilang, kamu harus cari
perempuan Indonesia biar ingat terus Indonesia.”
“Bukan, Mi. Ini bukan cuma masalah perempuan. Rudy
ingin
menyelesaikan S-3 secepatnya biar bisa bekerja.”
“Bekerja di sana dan tidak pulang ke Indonesia?”
“Indonesia tidak butuh Rudy.”
“Kata siapa?”
Rudy tak bisa menjawab. Dia malah beranjak ke kamar
dan kembali dengan sebuah kalung emas di tangan.
“Rudy sudah tak butuh ini, Mi! Rudy bisa cari uang di
Jerman.”
“Lalu, apa kabar keinginanmu untuk bikin pesawat buat
Indonesia?”
“Mungkin benar kata Keng Kie, mimpi itu harus
ditinggalkan di Jerman.”
“Mimpi? Mungkin karena kamu sebut itu mimpi
makanya tidak terwujud, Rud. Mimpi bisa berubah jadi
mimpi buruk. Ini lebih besar dari mimpi. Lalu, kamu
mau buat apa di Jerman? Sudah banyak orang pintar di
sana.”
Rudy semakin merasa bersalah. Merasa bersalah
terhadap cita-citanya, terhadap Indonesia, dan sekarang
terhadap Mami.
“Jangan sebut cita-cita itu mimpi. Cita-cita besar itu
harus menjadi bagian dari jiwa. Cita-cita almarhum Papi
dan Mami, ya, kalian berarti buat bangsa ini.”
Rudy merasa ditampar mendengar kalimat Mami.
“Kamu boleh kembali ke Jerman, tetapi harus janji kamu
akan pulang lagi ke Indonesia. Dan kalung ini bawa saja
bersamamu.”
Rudy mulai luluh.
“Dan ingat, Rud, kamu harus memilih pasangan hidup
yang bisa mengimbangi kamu,” Mami diam sebentar.
“Misalnya Ainun.”
Rudy yang sudah mulai tenang merasa diusik lagi.
“Mami kenapa, sih, harus membahas jodoh terus?”
“Karena Mami tak bisa terus-terusan berada di samping
kamu, jadi pengingat kamu. Kamu butuh teman hidup,
Rud!”
Rudy berjalan pergi. Dia tak mau membahas masalah ini.
Namun, suara tegas Mami kembali terdengar.
“Mami sudah suruh Fanny untuk menemani kamu ke
rumah Ainun besok.”
Rudy mau protes, tetapi Mami pura-pura sibuk dengan
majalah di meja.
Ternyata Mami tak main-main dengan ucapannya. Pada
malam takbiran, Fanny benar-benar mengantar Rudy ke
rumah Ainun di Ranggamalela. Rupanya, Mami dan
orangtua Ainun sudah membicarakan masalah
perjodohan itu dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum
kepulangan Rudy ke Tanah Air. Ketika sampai di rumah
keluarga Besari, Rudy tak mau masuk karena ingat
pernah menghina Ainun. Rudy memang tidak yakin
Ainun ada di rumah, tetapi kalau benar-benar ada, dia
tidak bisa membayangkan harus bersikap bagaimana.
Fanny meminta Rudy masuk berkali-kali, tetapi dia tetap
menggeleng.
Fanny tahu kalau kakaknya ini keras kepala sekali, “Ya,
sudah, terserah Mas Rudy saja. Tetapi, apa susahnya, sih,
menyenangkan Mami?” Rudy diam saja. Fanny
meninggalkan dia. Namun, sudah 30 menit Fanny tak
juga keluar, Rudy bosan dan memilih untuk masuk
mencari Fanny. Saat itu, Rudy baru kali pertama masuk
ke rumah itu karena kali terakhir dia datang ke rumah
Ainun yang ada di Ciumbuleuit. Rudy masuk,
mengucapkan salam, tetapi tak ada yang menjawab. Tak
terdengar juga suara Fanny mengobrol dengan keluarga
Ainun. Rudy terus masuk. Di dinding dia menemukan
foto-foto keluarga Ainun tersebar. Langkah Rudy
terhenti ketika mendengar suara batuk seorang
perempuan. Rudy lantas menoleh ke arah datangnya
suara itu. Terlihat punggung Ainun yang sedang duduk di
kursi, memakai celana jin, sedang menjahit dengan
tangan.
Ainun berbalik dan menampakkan wajahnya. “Ainun?
Gula Jawa sudah berubah menjadi gula pasir,” ucap
Rudy tanpa sadar Ainun hanya tersenyum manis
mendengar pujian itu. Pujian yang biasa Ainun dengar.
Memang, sejak kuliah makin banyak yang mengagumi
Ainun.
Malam itu, segala kecanggungan mereka lenyap.
Obrolan bermula di meja makan lalu berlanjut hingga ke
teras. Rudy yang semula ogah-ogahan diajak ke rumah
Ainun, kini malah mengabaikan Fanny. Obrolan santai
mereka pun bergulir menjadi pertanyaan kritis dari
Ainun.
“Rud, kamu dari tadi menyebut bahwa mahasiswa-
mahasiswa Indonesia di Jerman sedang berjuang keras
untuk melakukan perubahan di Tanah Air. Memangnya,
apa yang sudah kalian kerjakan untuk menciptakan
perubahan itu?”
Rudy mengambil napas, berpikir bagian mana yang
harus dia ceritakan. Belum pernah ada perempuan yang
menanyakan ini padanya.
“Jadi, pada 1959 kami sudah melaksanakan Seminar
Pembangunan yang mengumpulkan seluruh mahasiswa
Indonesia yang sedang belajar di Jerman. Seminar
Pembangunan ini berlangsung selama lima hari dengan
menghadirkan pembicara yang ahli di bidangnya. Kami
mengundang Mr. Sunarjo, Ruslim Rahim, selain itu Dr.
Hatta juga datang memberikan amanat.”
“Apa isi seminar pembangunan itu?”
“Ada dua tahap yang kita bahas. Fase pertama, kami
membahas hal-hal umum yang perlu diketahui para
kader, misalnya permodalan, ekonomi keuangan,
transmigrasi, koperasi, perburuhan, kekayaan alam,
perindustrian. Fase kedua, kami berdiskusi berdasarkan
golongan keahlian, kesukaran yang dialami setiap
kelompok. Dari situ, kami membentuk kelompok studi.
Nantinya, kami bisa bertukar persoalan dan hasil
diskusi.”
Mendengar penjelasan Rudy, Ainun bertanya lebih lanjut
tentang seminar itu. Tak disangka Rudy, Ainun ternyata
benar-benar punya perhatian pada peran mahasiswa di
pembangunan Indonesia. Obrolan itu berlangsung sangat
seru sampai akhirnya mereka menyadari hari sudah
malam. “Besok Ainun ke mana?” tanya Rudy saat
bersiap-siap pulang. Ainun menggeleng. Dia belum ada
rencana juga. “Mau jalan?” tanya Rudy percaya diri.
Ainun tersenyum.
Keesokan harinya, Rudy mendatangi rumah Ainun untuk
mengajaknya jalan-jalan. Saat itu, Rudy melihat banyak
sekali laki-laki yang bertamu di rumah Ainun. Namun,
Pak Besari memberi kode agar mereka berdua pergi saja
tanpa mengacuhkan pandangan para tamu laki-laki di
rumah Ainun. Mereka jalan-jalan ke ITB. Sepulang dari
ITB, di depan SMA Kristen, Rudy yang penasaran soal
laki-laki di rumah Ainun pun bertanya. “Ainun, tadi
cowok-cowok itu siapa?”
“Kenapa?”
“Saya mau tahu. Apa ada yang dekat dengan kamu?”
“Kok, mau tahu?”
“Saya mau tahu. Kalau ada yang dekat, saya nggak mau
ganggu. Ngapain nyakitin kamu, menghabiskan waktu
saya, bikin gondok lagi.”
“Mereka bukan siapa-siapaku,” komentar Ainun sambil
tersenyum. Rudy paham maksud kalimat itu dan meraih
tangan Ainun, memegangnya erat.
Ainun tak menolak.
Rudy mulai merasa kalau Ainun adalah rekan bicara
yang mampu mengimbanginya. Mereka sangat cocok
mengobrol. Ainun tertarik ketika Rudy bercerita tentang
pendidikan S-3-nya dan proyek-proyek yang sedang
dijalaninya. Pertanyaan Ainun selalu kritis dan
berhubungan dengan hal-hal yang universal. Bahkan,
termasuk budaya dan agama.
Pertanyaan Ainun berlanjut lagi. “Rud, kamu mau
membangun apa?”
“Saya ingin membangun bangsa ini supaya kualitas
hidupnya meningkat, bukan hanya pangan dan rumah,
melainkan pendidikan. Rakyat bisa punya wawasan”.
Ainun tersenyum.
“Saya mau menciptakan lapangan pekerjaan,” Rudy
melanjutkan cerita tentang cita-citanya.
Ainun membalas. “Saya mau menyehatkan rakyat sebab
hanya orang sehat yang bisa bekerja di tempat kamu.
Saya sehatkan SDM biar bisa kamu pakai.”
Setelah seharian berjalan-jalan, Rudy mengantar Ainun
pulang dan Ainun mengatakan bahwa cutinya sudah
habis. Besok, dia sudah harus kembali bekerja di Jakarta.
Saat itu, Ainun sedang melakoni tahap magang di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Rudy juga
mengatakan bahwa dua bulan lagi dia harus kembali ke
Jerman.
Begitulah obrolan mereka saat bertemu. Masalah
perempuan, Ainun tak pernah mempertanyakan. Ainun
mungkin sudah memahami, seorang lelaki tinggal di
Jerman selama tujuh tahun, tak mungkin sekalipun tidak
terlibat dengan urusan perempuan. Justru Rudy yang
merasa tak percaya kalau Ainun tak punya pacar.
“Kamu cantik, dokter, nggak mungkin nggak ada yang
deketin,” ucap Rudy “Ada,” jawab Ainun. “Orang
Jerman. Dia bekerja di kedutaan Jerman, sudah punya
istri. Tiap hari kirim anggrek. Tetapi, kan, sekarang saya
pilih jalan sama kamu.” Rudy tertawa.
•••
Setelah pertunangan dilangsungkan, Ainun dan Rudy
jadi semakin sering bertemu.
“Nanti kalau pesawat itu sudah jadi, Nun, kamu bisa
berkeliling Indonesia dengan cepat. Apa yang bisa
diakses oleh anak-anak Jakarta bisa juga diakses oleh
anak-anak di pedalaman Kalimantan.”
Pak Besari yang muncul di pintu berdehem. Rudy
melepaskan tangan Ainun.
“Kalian itu setiap ketemu bahasnya pesawat terus, kapan
kalian ngomongin pernikahan kalian?”
Ainun dan Rudy tersipu malu.
“Bagaimana karier Ainun kalau kalian tinggal di
Jerman?” tanya Pak Besari serius.
“Di Jerman nanti, Ainun masih bisa bekerja, kok. Ilmu
yang dia cari dengan susah payah tak akan hilang begitu
saja.”
Pak Besari cukup puas dengan jawaban Rudy. Namun,
begitu Rudy siap-siap pamit pulang, Ainun memegang
lengan Rudy dan berkata serius.
“Terima kasih karena kamu sudah menjanjikan itu
kepada orangtuaku, setidaknya itu menenangkan
mereka.”
“Nun, hidup bersamaku itu adalah hidup yang selalu
diremehkan dan dianggap gila. Apa kamu siap? Ainun
itu biasa dipuja banyak orang, apa kamu siap mengalami
perubahan itu? Ainun masih punya waktu untuk berpikir
ulang.”
Ainun tertawa.
“Aku dan penghulu akan menunggu kamu di rumahku.”
“Pada 12 Mei nanti masa lalu kita adalah milik masing-
masing, sedangkan masa depan adalah milik kita
bersama,” ujar Rudy
•••
Pada hari pernikahan itu, Keng Kie yang tak habis-
habisnya menggoda Rudy pada saat resepsi mereka,
“Gila, Rud, kamu kasih racun apa Ainun sampai dia
tahan sama orang gila kayak kamu?”
“Racun cinta dan belum ada penawarnya.” Mereka
tertawa terbahak.
“Bulan depan langsung balik ke Jerman, Rud?”
“Iya, aku akan kembali ke Jerman. Kamu harus siapkan
orang yang bisa dipakai di sini!”
“Iya, kamu belajar yang bener buat bikin pabrik pesawat.
Jangan malu-maluin.”
Setelah panjang lebar mengobrol Rudy baru sadar kalau
Keng Kie datang ke pesta pernikahan itu tidak sendirian.
Ada seorang gadis manis di belakangnya.
“Ingat, Keng Kie, hidup itu butuh partner.”
Kemudian, kata Rudy pada Hilda, gadis yang dibawa
Keng Kie, “Tetapi, alangkah baiknya kalau keputusan
diambil saat mata kamu sedang sehat.”
Keng Kie memukul bahu Rudy. “Tetapi, orang buta juga
diberi pemahaman untuk melihat, Rud. Kayak kamu
sama Ainun-lah.”
“Gelo! Pokoknya tunggu aku dan Ainun di Indonesia,
ya.”
Mereka tertawa lagi. Rudy memeluk Keng Kie erat.
Setelah perjalanan panjang dirinya dan Keng Kie,
mereka kini berada pada situasi yang menggembirakan.
Tak ada yang perlu mereka khawatirkan. Mereka
menatap masa depan dengan berani.
•••
Keng kie sama sekali tidak tertarik dengan politik, dan
beliau sama sekali bukan anggota partai apa pun. Beliau
hanya tertarik dalam pendidikan. Namun, politik
Indonesia pada pertengahan 60-an mulai kacau balau.
Ketidakpastian politik disebabkan juga oleh kesehatan
Bung Karno terus memburuk. Gerakan pro dan anti
Sukarno ada di mana-mana, dan ada kabar angin bahwa
Bung Karno akan digulingkan. Puncak dari kekacauan
politik terjadi pada 30 September 1965. Itu merupakan
awal mula pembunuhan berdarah tujuh perwira TNI.
Ketakutan akan jaminan keamanan untuk tetap berada di
Indonesia sangat beralasan. Seiring dengan aksi
penumpasan G 30/S maka lahir pula kampanye Anti-
Cina (Sinophobia) yang diarahkan kepada Pemerintah
RRT maupun warga etnis Tionghoa di Indonesia. Mereka
dijadikan “kambing hitam” , tanpa memandang apakah
mereka masih berkewarganegaraan asing atau sudah
menjadi warganegara Indonesia. Selain menangkap para
pimpinan maupun kader PKI, orang-orang Tionghoa
yang disinyalir terlibat dalam gerakan makar tersebut
juga turut menjadi sasaran pengejaran dan penangkapan.
Puluhan ribu warga Tionghoa yang menjadi pemimpin
maupun kader PKI, Pemuda Rakyat, Baperki, Chung
Hua Tsung Hui dan organisasi lainnya akan segera
diciduk apabila dicurigai ikut terlibat.
Sayangnya, Keng kie tidak menyadari bahwa institusi
tempat dia mengajar (sekolah transisi untuk siswa
Tionghoa dan Universitas Trisakti) didanai oleh Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia atau
Baperki. Baperki dituduh sebagai anak organisasi Partai
Komunis Indonesia oleh pemerintahan orde baru.
Sangat jelas dalam ingatan bahwa pada satu senja pukul
enam, kolega Keng kie dari ITB bernama Mas
Kamaludin datang ke rumah. Kamaludin adalah dosen
yang lugas, dan beliau jelas-jelas tidak suka dengan
gerakan anti-Sukarno. Beliau mengatakan kepada Keng
kie bahwa beliau diinterogasi dan harus menyebutkan
bahwa Keng kie mengajar di dua institusi yang didanai
Baperki. Beberapa waktukemudian, Keng kie
mengetahui bahwa Mas Kamaludin ditangkap dan
dibuang ke pulau Buru di Maluku.
Karena khawatir dengan keselamatan keluarga, Ken
segera menghubungi teman dekatnya, Rudy, yang saat
itu masih bekerja di Jerman Barat. Ken meminta bantuan
Rudy untuk dicarikan pekerjaan di sana. Rudy berhasil
mendapatkan dua tahun kontrak untuk Keng kie di
Hamburger Flugzeugbau (kemudian berubah nama
menjadi Messerschmitt Bölkow Blohm), tempat Rudy
bekerja.
Dengan surat kontrak yang dikirimkan Rudy itu, Ken
pergi ke Kementerian Pendidikan di Jakarta (dulu
namanya P & K), dan dapat surat persetujuan. Namun,
Ken masih harus mendapat surat persetujuan dari ITB.
Kemudian, ketahuan bahwa di ITB, surat Ken ditolak
dengan dua suara. Jika seandainya Keng kie diizinkan
terbang ke Jerman dan bekerja dengan Rudy saat itu,
saya yakin Ken akan kembali pulang ke Indonesia
bersama Rudy pada 1974 untuk mendirikan industri
penerbangan.
Namun, keberuntungan masih belum berpihak kepada
Keng kie. Setelah gagal pergi ke Jerman dan kenyataan
bahwa keluarga kami berada dalam situasi bahaya, Ken
mencari kemungkinan lain, yaitu imigrasi ke Amerika
Serikat. Ken mengatakan kepada kami bahwa
meninggalkan ITB dan negerinya adalah saat paling
menyedihkan dalam hidupnya. Namun, itu semua karena
keadaan politik yang tidak menentu dan kekhawatiran
akan keselamatan keluarganya.
•••
Rudy punya kawan-kawan yang yang pintar-pintar,
namun tidak ada yang peduli padanya. Tapi Keng Kie,
dia datang melihat Rudy, dia perhatikan karena Rudy
kurang makan sampai kena tuberculosis. Waktu Rudy
akan jadi Presiden, Rudy terus mengingat
kesetiakawanan Keng Kie kepada dirinya. Keng Kie
adalah orang pertama yang dia undang secara resmi ke
istana kepresidenan saat dia menjabat menjadi Presiden
Republik Indonesia Ketiga. Rudy percaya bahwa
perbedaan agama, suku, ras, bahkan status warga negara
tak akan cukup untuk memisahkan persahabatan mereka.
Orang pertama yang Rudy telepon adalah Keng Kie. Dia
ada di Utah, Amerika Serikat. Dia doktor, insinyur, ahli
roket. Istrinya Hilda saya kenal baik.
"Kie, saya hadapi banyak masalah.” Ucap Rudy yang
sedang bertelepon dengan Keng kie.
"Rudi,” Keng Kie menjawab dalam bahasa Belanda,
"Saya yakin kamu bisa. Saya sudah bilang dari muda
kalau kamu akan jadi presiden. Itu benar. Kamu jadi
presiden. Kamu akan beresin Indonesia.”
Begitu Rudy resmi dilantik menjadi presiden dari tangan
Soeharto, Rudy langsung mengontak Keng Kie lagi.
Keng Kie dari Amerika Serikat menjawab, "Saya lihat di
CNN, pusing kamu ya?”
“ Hahaha” tawa Rudy.
Rudy mengundang Keng Kie dan Hilda untuk datang ke
Istana. Bahkan Habibie tidak mau menerima tamu
siapapun juga sebelum Keng Kie. Rudy bahkan berkata
kepada menteri luar negeri, bahwa ia tidak mau terima
tamu kalau bukan Keng Kie. “Tiketnya saya yang bayar
sendiri.”
Keng Kie bertanya, "Bagaimana dengan visa karena
sudah Warga Negara Amerika?"
Rudy pun mengontak Dubes Indonesia di Amerika
Serikat, Dorodjatun Kuntjorojakti agar diatur. "Dia
VVIP. Saya terima Keng Kie, itu pribadi, semua urusan
saya pause. Tiket dan semua fasilitas saya kasih sama
dia, bukan uang negara."

Ketika mereka bertemu di Istana Negara, mereka saling


berpelukan satu sama lain melepas kerinduan bertemu
sahabat yang sudah lama tidak bertatap muka. Setelah itu
mereka berbincang-bincang santai membicarakan hal-hal
yang di alami satu sama lain. Setelah itu Rudy beberapa
kali mengajak Keng Kie kembali ke Indonesia.

“Kie, tinggal-lah di Indonesia, Mari kita bangun


Indonesia seperti yang kita harapkan!” Ajak Rudy.

Dengan berat hati Keng kie menjawab “Maaf Rudy, aku


tidak bisa, aku takut latar belakangku itu akan menodai
kariermu Rud.”

Anda mungkin juga menyukai