Mahasiswa
Hukum Wajib Punya 5 Modal Ini
Mulai dari perspektif bisnis, kemampuan komunikasi dan negosiasi, hingga update dengan
isu hukum teraktual.
Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Akan tetapi, in-house counsel bisa dibilang profesi yang cukup unik. Sebab, karena in-house
counsel bekerja secara full time di sebuah perusahaan, hal itu nyatanya membawa
konsekuensi terhadap karakteristik yang khas dan menjadi pembeda dengan profesi advokat
pada umumnya.
Dalam suatu diskusi yang digelar hukumonline, Kamis (17/3) di hotel Atlet Century Park
Jakarta, Director of Legal Affairs Microsoft Indonesia, Reza P Topobroto dan Certified
Instructor of Behaviour Intelligence and Power Communication, Sudimin Mina dalam
pemaparannya mengungkap kiat-kiat yang mesti dimiliki oleh setiap sarjana hukum.
Sarjana hukum yang berniat menjadi in-house counsel tak cuma wajib memiliki pengetahuan
hukum, khususnya hukum korporasi yang mumpuni. Namun, ada ‘segudang’ modal yang
mesti dikantongi setiap sarjana hukum sebelum terjun sebagai ‘internal lawyer’ di perusahaan
ini. Berikut, sejumlah kiat yang berhasil dihimpun hukumonline sebagai modal bagi
mahasiswa hukum:
Dikatakan Reza, in-house counsel bukan sekedar sarjana hukum yang punya kualifikasi
memberikan saran, opini atau pendapat di bidang hukum. Akan tetapi, in-house counsel
selain berperan sebagai legal advisor di suatu perusahaan, profesi ini juga sebagai partner
bisnis bagi perusahaan yang punya kapasitas di bidang hukum.
Di satu sisi, seorang in-house counsel mesti mengedepankan aspek kepatuhan perusahaan
terhadap regulasi. Namun, di sisi lainnya, in-house counsel juga mesti memikirkan
kelangsungan bisnis suatu perusahaan. Makanya, in-house counsel mutlak dituntut punya
perpsektif bisnis. “In-house counsel itu sarjana hukum yang punya perspektif bisnis,” ujar
Reza.
Pertama, potensi risiko itu tak cuma yang berkaitan dengan aspek hukum. Kedua, kecil
kemungkinan bagi in-house counsel untuk memahami teknis di lapangan secara mendalam.
Padahal, Reza berpendapat bahwa yang pertama mesti digali adalah potensi risiko yang akan
dihadapi. Lantas, bagaimana cara analisa resiko dan mencari jalan keluarnya?
Dalam praktik, Reza biasanya menggali dan mencari tahu potensi risiko dengan menjalin
hubungan dengan divisi-divisi lain di internal perusahaan yang tahu detail dan teknis
mengenai bisnis prosesnya. Dari sana, in-house counsel akan lebih mudah ketika nantinya
mengukur bentuk, dampak, hingga potensi kerugian yang mungkin dialami perusahaan.
“Mesti tahu dulu risiko apa yang akan dihadapi. Jika kita tau teknis, maka kita akan bisa
prediksi dan ukur apa bentuk, dampak, hingga kerugian yang mungkin muncul nantinya.
Sehingga, kita bisa berikan pendapat hukum yang terbaik bagi otoritas pemegang keputusan
di suatu perusahaan,” jelas mantan Ketua Umum Indonesia Corporate Counsel Association
(ICCA) itu.
Selain itu, mesti diingat oleh karena in-house counsel dituntut punya perspektif bisnis, maka
dalam memberikan rekomendasi paling tidak mesti mempertimbangkan tiga aspek utama,
yakni sesuaikan dengan tujuan perusahaan dalam 5-10 tahun mendatang, lalu rencana
perusahaan per periode, sekaligus risiko jangka panjangnya. “In-house counsel yang next
generation (bukan traditional) akan lakukan ‘smart risk’ yang tadi itu,” imbuhnya.
Tak cukup hanya itu, Reza menilai in-house counsel mesti melakukan monitoring terhadap
perubahan regulasi baik yang terkait dan juga yang tidak terkait secara langsung dengan core
business perusahaan. Pasalnya, dinamika hukum cukup cepat berubah. Dan terlepas dari hal
itu, in-house counsel mesti cukup jeli melihat arah kebijakan di tahun-tahun mendatang yang
akan dibuat oleh pemerintah atau legislator.
“Hukum itu berevolusi dan peraturan terkait dan tidak terkait langsung itu
tersebar. Engage ke regulator untuk tahu isu ke depan. Bisa jadi akan ada perubahan regulasi
karena dipengaruhi aspek ekonomi dan yang cukup sering karena aspek politik,” jelas alumni
Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu.
“Meski kita orang hukum, tapi di hadapan petinggi perusahaan jangan banyak bahas terlalu
regulasi. Mereka orang-orang bisnis lebih suka melihat angkat dan targetnya,” ujar Reza yang
memperoleh gelar LL.M dari Monash University, Melbourne Australia.
Sementara itu, Sudimin mengatakan, bahwa kesalahan yang sering dilakukan saat
berkomunikasi, antara lain seringkali menginterupsi, tidak melakukan respon yang tepat, dan
acapkali tidak mendengarkan lawan bicara dengan baik. Makanya, ia menyarankan agar
komunikasi mesti dilakukan secara baik khususnya ketika membicarakan masalah penting
terkait dengan pengambilan keputusan untuk perusahaan.
Dalam catatan Sudimin, paling tidak ada 7C yang mesti diingat oleh in-house counsel, antara
lain jelas (clarity), to the point (concise), konkret (concrete), benar (correct), berkaitan
(coherent), lengkap (complete), dan sopan (courteous). Sementara, untuk negosiasi dengan
pihak luar, Sudiman menilai bahwa kunci keberhasilan negosiasi terletak pada persiapan yang
matang.
Selebihnya, yang mesti diperhatikan adalah pada titik menyamakan tujuan, kepentingan, serta
pandangan dari kedua belah pihak. “Intinya kedua belah pihak mesti win-win dan mereka
melihat setiap pandangan sudah masuk sebagai pertimbangan,” jelas Director Microsoft
Indonesia itu.
Dengan terlibat dengan asosiasi atau organisasi lain, in-house counsel akan banyak mendapat
kesempatan untuk belajar langsung dari para pelaku bisnis terkait dengan teknis di sektor
bisnis tertentu. Manfaat lainnya, dalam setiap pertemuan di masing-masing asosiasi atau
organisasi biasanya akan ada banyak diskusi terkait dengan kebijakan yang berkaitan
langsung dengan perusahaan tempat in-house counsel bekerja.
“Di sini akan banyak bicara soal policy. Kalau jadi anggota asosiasi, itu jadi kesempatan yang
baik untuk terlibat langsung. Kadangkala jika diperlukan, asosiasi bisa menjadi engine untuk
mengubah kebijakan. Jangan terlalu internal focus, biar kita jadi tahu tren politik ke depan
seperti apa,” pungkasnya.