Anda di halaman 1dari 13

Hadits Dakwah

Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Dari Bapak Dosen Solimin S.Kom,i., M.I.Kom
Hadits Dakwah

DISUSUN

OLEH
Fajar Suwarsono ( 2216.0005 )

DISUSUN

OLEH

Ahmad Padri ( 2216.0006 )

PROGRAM STUDI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
BUMI SILAMPARI
Pendahuluan

Nabi Muhammad adalah seorang nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah
untuk menyampaikan pesan-pesan ilahiyyah kepada manusia. Setelah beliau wafat,
tidak ada lagi rasul yang ditugaskan setelahnya. Di sisi lain, Islam juga merupakan
agama terakhir yang diturunkan Allah kepada manusia, namun tidak berarti dengan
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Maka eksistensi Agama Islam demikian
pentingnya dakwah sehingga menjadikan tugas ini sebagai pedoman dalam
kehidupan.

Seperti kata-kata an-nida, tabligh, nasihat, tarbiyah, ta’lim, I’lan, amar ma’ruf, nahi
munkar, tabsyir dan tanzhir. Agaknya penggunaan kata yang relatif banyak dalam
penyebutan dakwah ini sebagai salahsatu indikasi kesempurnaan dan kemukjizatan
Al-Qur’an dan kekayaan khazanah Bahasa Arab serta pentingnya dakwah dalam
pandangan Al-Qur’an. Berdasarkan uraian di atas, peneliti berpandangan bahwa
masalah ini penting ditulis dan diteliti dengan beberapa alasan. Pertama, untuk
menemukan sekaligus mengelaborasi pandangan al-Qur`an dan al-hadits terhadap
dakwah, kedua, untuk memperkaya khazanah tulisan terkait dakwah sehingga dapat
dijadikan sebagai referensi terutama oleh mahasiswa Fakultas Dakwah. Tulisan
singkat ini akan dibahas dalam satu karya yang berjudul Dakwah dalam Perspektif
al-Qur`an dan al-Hadits.

Berdasarkan masalah yang dibahas, maka penelitian ini tergolong pada penelitian
kepustakaan (Library Research). Dikatakan penelitian kepustakaan karena semua
data primer merupakan data tertulis khususnya ayat-ayat yang terdapat dalam al-
Qur`an dan alhadits.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berpandangan bahwa masalah ini penting ditulis
dan diteliti dengan beberapa alasan. Pertama, untuk menemukan sekaligus
mengelaborasi pandangan al-Qur`an dan al-hadits terhadap dakwah, kedua, untuk
memperkaya khazanah tulisan terkait dakwah sehingga dapat dijadikan sebagai
referensi terutama oleh mahasiswa Fakultas Dakwah. Tulisan singkat ini akan
dibahas dalam satu karya yang berjudul Dakwah dalam Perspektif al-Qur`an dan al-
Hadits.

Studi teks dalam makna studi pustaka setidaknya dapat dibedakan: Pertama: studi
pustaka yang memerlukan olahan uji kebermaknaan empiris di lapangan; Kedua,
studi pustaka yang lebih memerlukan olahan filosofis dan teoritik dari pada uji
empirik. Studi pustaka yang pertama mempunya kegunaan untuk membangun konsep
teoritik yang pada waktunya tentu memerlukan uji kebermaknaan empirik di
lapangan. Dengan demikian studi teks mencakup: pertama studi pustaka sebagai
telaah teoritik suatu disiplin ilmu, yang perlu dilanjutkan dengan uji empirik, untuk
memperoleh bukti kebenaran empirik. Studi pustaka yang kedua adalah studi teks
yang berupaya mempelajari teori linguistik atau studi kebahasaan atau studi
perkembangan bahasa yang biasa disebut sebagai studi sosiolinguistics.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits

a. Pengertian Dakwah Secara Bahasa.


Dakwah dalam bahasa Arab berasal dari kata (da'a, yad'u, da'watan), berarti
menyeru, memanggil, mengajak, menjamu (Mahmud yunus, 1989 : 127). Atau kata da'a,
yad'u, duaan, da'wahu, berarti menyeru akan dia (Luis Ma’luf, 1997: 216).

Asal kata dakwah dalam berbagai bentuknya (fi’il dan isim), terulang dalam Al-
Qur'an sebanyak 211 kali (Muhammad Fu’ad abdu albaqi, 1992: 326), dengan rincian,
dalam masdar terulang 10 kali, fi'il Madhi 30 kali, Fi'iI Mudhari' 112 Isim Fa'il 7 kali dan
sedangkan dengan kata dua sebanyak 20 kali, Dakwah dan yang seakar dengan kata
Da’wah dalam bentuk Masdar 10 kali dan dalam AIQur'an, yaitu dalam surat alBaqarah:
186, Al-a’raf: 5, Yunus: 10, 89, al-Rad : 14, Ibrahim : 44, AI-Anbiya': 15, ar-Rum 25, al-
Ghafir: 43 Dalam bentuk fi’il Madhi diulang 30 kali, antara lain dalam surat 186, ali-
Imran: 38, al-Anfal: 24, Yunus: 12, al-Rum: 25, alzumar 8,49, Fushilat: 33, ad-Dukhan:
22, al-Qamar: 10 dan lain-lain. Sedangkan kata da’wah dalam bentuk fi’il mudhari’
diulang sebanyak 112 kali, antara lain dalam surat al-baqarah :271, ali-imran :104,
annisa’117 (dua kali ), al-an’am :52, 108, yunus 66, Hud :101, al-rad :14, an-nahl : 20, al-
isra’:67, Al-kahfi : 28, al-Hajj: 62, al-furqan :68, al-Qasash :41, al-ankabut :42 dan lain
sebagainya. Dalam bentuk fi’il amar diulang sebanyak 32 kali, antara lain : surat al-
baqarah :61, 68, 70, al-a’raf :134, dan an-nahl:125, al-hajj :67, al-qashash: 87 asy-syura :
15, ad-zukhruf :49 dan lain-lain. Dalam bentuk Isim Fa'il diulang 7 kali, yaitu dalam surat
al-Baqarah: 186, Thaha :108, al-Ahzab : 46, al-Ahqaf. 31,32 dan al-Qamar: 6,7
Berdasarkan uraian di atas ternyata kata dakwah dalam al-Quran dari berbagai bentuknya
terdapat 211 kali, ini menggambarkan bahwa dakwah itu sangat penting dan harus di
lakukan oleh umat Islam, baik secara individu ataupun secara kelompok, dengan
terencana dan propesional sesuai dengan tujuan dakwah itu sendiri. 1 Berdasarkan
penelusuran terhadap ayat-ayat di atas ternyata tidak semua kata Da'wah yang berarti
ajakan dan seruan, bahkan ada yang berarti do’a dan permohonan. Namun menurut hemat
penulis dakwah juga dapat di artikan menerangkan atau menjelaskan, hal ini dapat kita
lihat dalan surat al-Baqarah ayat 256.

‫َّٰط‬
‫ٓاَل ِإْك َر اَه ِفى ٱلِّديِن ۖ َقد َّتَبَّيَن ٱلُّر ْش ُد ِم َن ٱْلَغ ِّى ۚ َفَم ن َيْكُفْر ِبٱل ُغ وِت َو ُيْؤ ِم ۢن ِبٱِهَّلل َفَقِد ٱْسَتْمَس َك ِبٱْلُعْر َوِة ٱْلُو ْثَقٰى‬
‫اَل ٱنِفَص اَم َلَهاۗ َو ٱُهَّلل َسِم يٌع َع ِليٌم‬

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.

Jadi ayat ini menerangkan bahwa dakwah itu cukup dengan menjelaskan atau
menerangkan dan tidak boleh dengan paksa. Dakwah berarti permohonan.
Dari pengertian dakwah yang terdapat dalam ayat-ayat di atas dapat penulis ambil
suatu kesimpulan bahwa dakwah yang berarti menyeru, memohon ataupun mengajak
dalam ayat tersebut bermaksud membawa manusia kepada jalan dan situasi yang baik
atau dengan kata lain, dakwah dalam arti permohonan atau doa kepada Tuhan dan Allah
menjanjikan akan mengabulkannya, dengan syarat melakukan semua perintah Allah dan
beriman padanya. Kemudian dakwah yang berarti mengajak kepada ma’ruf yang diredhai
allah SWT dan melarang berbuat mungkar, perbuatan yang dibenci oleh Allah.2

B. Dakwah Ditinjau dari Segi Istilah

1
Abdul Karim Zaidan. (alih bahasa M.asywadi syukur) dasar-dasar ilmu dakwah, Jakarta : madiun dakwah

2
Abdul Munir Mulkan, ideologi gerakan dakwah, episode kehidupan M. Natsir dan azhar basyir, yogyakarta :
press, 1996.
Secara istilah pengertian Dakwah sangat beragam, hal ini bergantung pada sudut
pandang dan pemahaman para pakar dalam memberi pengertian dakwah itu, sehingga
yang diberikan para pakar yang satu dengan yang lain sering terdapat persamaan. Untuk
lebih jelasnya beberapa defenisi dakwah menurut para ahli.
1. Syekh Ali MahFudz. Di dalam kitabnya Hidayahtul Mursyidin, mengintrodusir
pengertian dakwah sebagaimana dikutib oleh Salmadanis dalam bukunya filsafat Dakwah
dan A. Rasyad Shaleh dalam bukunya Manajemen Dakwah Islam, yaitu: Artinva:
"Mendorong manusia agar berbuat kebajikan dan petunjuk, menyuruh berbuat yang
ma'ruf dan melarang yang mungkar agar mereka dapat kebahagiaan di Dunia dan di
akhirat Jadi yang dimaksud oleh Syeh Ali Mahjudz ini adalah sangat umum, yaitu
mendorong manusia agar berbuat kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar.
1. Abu Bakar Aceh Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh Totok Jurnantorc dalam
bukunya Psikologi Dakwah, menulis defenisi dakwah, adalab perintah mengadakan
seruan kepada manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar,
dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik. Jadi Abu bakar Aceh
mendepenisikan dakwah, di awali dengan kata-kata perintah mengadakan seruan kepada
manusia.
2. Khadir Khatib Bandaro. Dalam bukunya yang berjudul Suatu Studi tentang ilmu
Dakwah, Tabligh, Menuju Para Da'i Profesional mensinyalir pengertian dakwah sebagai
aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan senagaja dalam upaya meningkatkan taraf
hidup manusia yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul oleh seseorang sekelompok
orang secara sadar dan dalam upaya menimbulkan pengertian, kesadaran dan pengalaman
terhadap ajaran agama Islam Jadi khaidir katib bandaro mendepenisikan dakwah, di awali
-an kata-kata aktivitas yang di lakukan dengan sadar dan di segaja.
3. M. Arifin. Memberikan batasan dakwah dalam pengertian suatu ajakan dalam bentuk,
tulisan, tingkah laku dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan berencana dalam
usaha mempengaruhi orang lain baik secara Individual maupun secara kelompok supaya
timbul dalam dirinya satu pengertian, kesadaran, sikap, penghayatan, serta penghayatan
terhadap ajakan agama sebagai masage yang disampaikan kepadanya dengan tanpa
adanya unsur-unsur pelaksanaan (Arifin, 1994: 6).3
Jadi pada hakikatnya Arifin berusaha memberikan batasan dakwah dalam
pengertian yang sangat luas, dimana segala sesuatu upaya menyebar luaskan dalam
segala lapangan hidup manusia, tentu arikel-artikel kegarnaan di media elektronik
termasuk aktivitas dakwah. Defenisi-defenisi tersebut di atas, meskipun terdapat
perbedaan perumusan, tetapi apabila dibandingkan satu sama lain dapat dirumuskan
bahwa dakwah adalah segala upaya untuk menyebar luaskan Islam kepada orang lain
dalam segala lapangan kehidupan manusia untuk kebahagian hidup di dunia dan di
akhirat, dengan kata lain segala aktivitas yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh
manusia beragama Islam dengan baik dan tanggung jawab disertai akhlak yang mulia
agar mereka memperoleh sa'adah masa kini dan masa mendatang. Jadi menurut hemat
penulis yang yang dimaksud dengan defenisi-defenisi di atas adalah mengembalikan
manusia kepada fitrahnya, yang di maksud dengan fitrah di sini bukan sekedar
pengabdian yang berupa ibadah, tetapi adalah sangat mendetail, seperti mata, telinga,
tenaga, akal, hati, di manfaatkan masing-masing yang di motori denan al-qur’an dan
hadits.
b. Subjek dakwah Subjek adalah pelaku, atau orang yang melakukan. Dalam bahasa
Arab, subjek dakwali dikenal dengan istilah da'i (orang yang berdakwah), seimbangan
dengan Isim fa'il (orang yang melakukan pekerjaan). Di dalam Al-Qur'an yang
membicarakan masalah dakwah yang tersebar dalam beberapa surat seperti yang telah
diuraikan di atas, diperoleh gambaran berkenaan dengan subjek/pelaku dakwah, di
antaranya:
1. dalam surat Al-baqarah ayat 186:

‫َو ِإَذ ا َس َأَلَك ِعَباِد ى َع ِّنى َفِإِّنى َقِر يٌب ۖ ُأِج يُب َد ْع َو َة ٱلَّد اِع ِإَذ ا َدَعاِن ۖ َفْلَيْسَتِج يُبو۟ا ِلى َو ْلُيْؤ ِم ُنو۟ا ِبى َلَع َّلُهْم‬
‫َيْر ُش ُد وَن‬

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka


(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang

3
Abdul munir mulkan, dakwah perspektif al-qur'an, Jakarta : TMF, 2002.
berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. Diartikan dalam "permohonan" atau "do'a", maka Subjek Dakwah
dalam ayat ini adalah seorang hamba (siapa saja) yang berdo'a kepada Allah. Dan ini
digolongkan kepada subjek dakwah Fardiyah (individu).
2. Surah Yunus ayat 25
‫َو ٱُهَّلل َيْدُع ٓو ۟ا ِإَلٰى َداِر ٱلَّس َٰل ِم َو َيْهِد ى َم ن َيَش ٓاُء ِإَلٰى ِص َٰر ٍط ُّم ْسَتِقيٍم‬

Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang


dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam) Dalam ayat ini kata Dakwah Fi'il
Mudhari', yang diartikan dengan "menyeru" maka yang menjadi subjek Dakwah dalam
ayat ini adalah Allah yang mengajak manusia kepada Sorga (kesenagan akhirat).

B. Tujuan Dakwah Qur’an


Dalam pandangan Muhammad Husain Fadh Allâh, sejak permulaannya, al-Qur’an
diturunkan Allah SWT. sebagai kitab dakwah, yakni kitab yang memuat ajakan untuk
menuju Allah SWT. dan mengikuti jejak Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena al-
Qur’an berada dalam atmosfir dan realitas dakwah, maka ia mendorong terlaksananya
dakwah. Selain itu, al-Qur’an juga menawarkan metode dan teknik pelaksanaannya,
demikian pula menegaskan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai tambahan, al-Qur’an
juga menunjukkan jalan pembinaan dai dalam mengemban tugasnya. Menurut Sayyid
Quthb, sebagai sebuah kitab dakwah, al-Qur’an berfungsi sebagai pembangkit,
pendorong dan pengawas dalam pelaksanaan dakwah. Lebih dari itu, al-Qur’an juga
menjadi rujukan para penyeru dakwah dalam menyusun konsep gerakan dakwah dan
melakukan kegiatan dakwah.
Sebagai kitab dakwah, al-Qur’an tidak hanya menetapkan dakwah sebagai
kewajiban, memberikan tuntunan pelaksanaannya, tetapi juga telah menggariskan arah
dan tujuan dakwah yang akan dicapai. Dakwah bagaimanapun bentuknya, demikian pula
metodenya dan siapapun pelaksananya, seharusnya diarahkan pada tujuan dakwah yang
telah digariskan al-Qur’an. Hal ini dimaksudkan untuk mempertajam fokus dan orientasi
dakwah dan menghindarkan bias-bias yang dapat mengaburkan hakikat tujuan dakwah itu
sendiri. Sejauh pengamatan penulis, tujuan dakwah Qur’ani antara lain dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Tujuan
ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 257, “Allah Pelindung
orang-orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan,
yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu
adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Pada ayat sebelumnya
disebutkan bahwa seseorang yang ingkar pada Thagut dan beriman kepada Allah,
maka ia berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus, tujuan dakwah
tersebut sangat sejalan dengan pengertian dakwah yang dikemukakan oleh Bakhyul
Khûlî dalam karyanya Tadzkirat al-Du’ât, yaitu dakwah adalah memindahkan
manusia dari suatu situasi kesituasi yang lain. Tentunya dari situasi negatif ke situasi
positif atau dari yang positif kepada yang lebih positif lagi. Menurut al-Raghib al-
Ishfahânî, istilah zhulumât dalam ayat ini mengandung dua makna, yaitu pertama
kegelapan, dan kedua kebodohan, kemusyrikan dan kefasikan. Makna kedua
menurutnya dapat dilihat dalam Q.S. Ibrâhîm/14:5. Muhammad ‘Alî al-Shabunî
melihat bahwa lafazhzhulumât yang terdapat pada ayat 1 dan 5 surah Ibrâhîm
bermakna kebodohan, kesesatan dan kekafiran. Penafsiran yang lebih elaboratif
berasal dari Sayyid Quthb, dia menafsirkan lafalzhulumât pada ayat 1 surah Ibrahim
dengan “kegelapan akibat angan-angan, kegelapan yang berpangkal pada tradisi,
kegelapan akibat politeistis, kegelapan akibat kerancuan tata nilai dan pertimbangan-
pertimbangan.

Dalam ayat lain disebutkan bahwa pengutusan Rasul untuk mengemban tugas
yang sama yaitu mengeluarkan manusia dari belenggu kegelapan kepada cahaya
Allah. Allah berfirman dalam Q.S. Thalâq/65: 11“ (Dan mengutus) seorang Rasul
yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam
hukum) supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-
amal yang saleh dari kegelapan kepada cahaya...” 4 Selanjutnya, di ayat lain
4
Bkhyul khuli tadzkirat ad-duat (Beirut Dar al-Kutub al-Arabiyyah), hlm. 17
Lihat Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, vol. IV (Kairo: Dar al-Syuruq, 1992), hlm. 2085
diinformasikan tentang Allah memberikan kitab kepada nabi-Nya, dengan kitab ini
manusia akan dikeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Firman Allah dalam Q.S. al-Mâidah/5: 16, “Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab
itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang
terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.
”Sebagai tambahan, Allah berfirman dalam Q.S. al-Hadîd/57: 9 “Dia-lah yang
menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (al-Qur’an) supaya Dia
mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya...
Mengeluarkan manusia dari situasi kekafiran kepada cahaya ketuhanan menandai
terutusnya Rasul-rasul Allah. Di saat syariat agama yang dibawa oleh seorang Rasul,
karena perjalanan waktu, mulai redup dan umat mulai terperosok ke dalam kegelapan,
maka Allah mengutus Rasul yang baru untuk membawa mereka kepada cahaya
ketuhanan. Kemunculan agama Yahudi tidak lepas dari upaya ilahi menunjuki
manusia ke arah kehidupan sesuai dengan hidayah Allah setelah ajaran yang dianut
masyarakat telah dirasuki dengan berbagai paham-paham yang mengaburkan prinsip-
prinsip agama yang benar. Dalam kasus yang sama, kemunculan agama Nasrani
sesungguhnya dimaksudkan untuk menolong manusia yang telah menyimpang jauh
dari syariat yang tedapat dalam agama Yahudi. Dalam pentas sejarah, Nabi Isa as.
telah memainkan peran penting dalam membimbing masyarakat dalam kehidupan
yang penuh cinta kasih. Sebagai tambahan, kasus serupa, kedatangan agama Islam,
pada hakekatnya untuk menyelamatkan manusia yang hanyut dalam arus jahiliyah.
Dalam konteks historisnya, Nabi Muhammad SAW. telah menunjukkan usaha keras
dan tidak mengenal lelah melepaskan manusia dari cengkeraman jahiliah menuju
kehidupan yang penuh rahmat dalam genggaman Islam.

2. Menegakkan fitrah insaniyah


Landasan teologis tujuan ini adalah Q.S. al-Rûm/30: 30 “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Menurut
Muhammad Asad, termafithrah berarti kecondongan alami, melukiskan kemampuan
intuitif untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang haq dengan yang
bathil, hingga makna keesaan dan eksistensi Tuhan. Dalam hadis riwayat Bukhari
Muslim disebutkan “Setiap anak yang lahir dilahirkan menurut fitrahnya, orang
tuanya lah yang menyebabkan. ia menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. ”Dalam
pandangan Muhammad Asad, ketiga formulasi agama ini, sangat dikenal pada zaman
Nabi, adalah mereka yang dikontraskan dengan “disposisi alami” yang terdapat dalam
kognisi instinktif pada Tuhan dan penyerahan diri (Islam) kepada-Nya. Terma “orang
tua” di sini memiliki makna yang lebih luas yaitu pengaruh sosial (social influence)
atau lingkungan (environment).

3. Memotivasi untuk beriman


Dakwah bertujuan untuk mengantarkan obyek dakwah (mad’û) untuk beriman
kepada Allah dan mengesakan-Nya. Dalam bingkai akidah islamiyah dikenal dua
pengesaan kepada Allah. Pertama, pengesaan Allah dalam arti meyakini bahwa
penciptaalam semesta dan segala isinya adalah Allah SWT. Pengesaan seperti ini
disebut tauhîd rububiyah. Kedua, pengesaan Allah dalam arti hanya tunduk, taat dan
pasrah kepada-Nya. Pengesaan ini disebut tauhid uluhiyah atau tauhid ilahiyah.
Dasar tujuan dakwah ini adalah firman Allah dalam Q.S. al-Fath/48: 8-9
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan, supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang.” Nilai dan aspek dakwah dalam ayat ini terwakilkan dalam fungsi rasul
sebagai pembawa berita gembira (mubasysysiran) dan pemberi peringatan (nazîran).
Sementara ungkapan “litu’minu billahi wa rasulih” yang mencerminkan tujuan
dakwah yang akan dicapai, yaitu agar manusia mempercayai Tuhan dan Rasul-Nya
dengan iman yang baik, keimanan yang tegak di atas keyakinan, tidak mengandung
persangkaan dan keraguan. Dakwah mendorong orang agar beriman dengan sebenar-
benarnya. Ciri-ciri orang beriman seperti ini antara lain apabila disebut nama Allah
hatinya gemetar, jika dibacakan ayat-ayat Allah imannya bertambah, dan bertawakkal
kepada Allah. Disamping itu, mereka mendirikan salat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang diberikan Allah (Q.S. al-Anfâl/8: 2-3). Orang-orang yang beriman
sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain, mereka menyuruh
mengerjakan yang ma’rûf dan mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan
zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya (Q.S. al-Tawbah/9: 71). Orang-
orang yang beriman dengan sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah (Q.S. al-Hujurât/49: 15).5
Dakwah diarahkan pada upaya pembinaan keimanan yang berbasis pada tauhid.
Menurut Osman Bakar, kesadaran beragama orang Islam pada dasarnya adalah
kesadaran akan keesaan Tuhan. Memiliki kesadaran akan keesaan Tuhan berarti
meneguhkan kebenaran bahwa Tuhan adalah satu dalam Esensi-Nya, Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya, dan dalam Perbuatan-Nya. Satu konsekuensi penting dari pengukuhan
kebenaran sentral ini adalah bahwa orang harus menerima realitas obyektif kesatuan
alam semesta. Kosmos terdiriatas berbagai realitas yang membentuk suatu kesatuan,
karena ia mesti memanifestasikan ketunggalan sumber dan asal-usul metafisiknya
yang dalam agama disebut Tuhan. Pada kenyatannya, al-Qur’an dengan tegas
menekankan bahwa kesatuan kosmis merupakan bukti yang jelas akan keesaan Tuhan
(Q.S. al-Anbiyâ’/21: 22). Agar lebih fungsional, dakwah diarahkan pada upaya
mewujudkan keimanan yang dapat memotivasi kehidupan. Menurut Syahrin Harahap,
ada empat ciri keimanan yang berfungsi sebagai motivasi ke arah dinamika dan
kreativitas.
Kesimpulan
Dakwah dalam perspektif Al-Qur’an dan hadits sudah dapat menjelaskan unsur-
unsur dakwah baik dari segi da’I, mad’u, media, metode dan tujuan dakwah sehingga
dapat digunakan dalam tantanan praktis dalam pelaksanaan dakwah.
Dalam pelaksanaan dakwah harus merujuk pada sumber yang kuat, salah satunya
al-Qur’an dan hadits. Sebenarnya persoalan dakwah sudah ada sejak zaman dahulu
sekaligus dengan penyelesaiannya tetapi perlu dilihat lagi secara kontekstual, sesuai
dengan tantangan zaman sekarang ini.

5
STT Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997) hlm. 28
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Zaidan. (alih bahasa M.asywadi syukur) dasar-dasar ilmu dakwah, Jakarta :
madiun dakwah
Abdul Munir Mulkan, ideologi gerakan dakwah, episode kehidupan M. Natsir dan azhar
basyir, yogyakarta : press, 1996.
Abdul munir mulkan, dakwah perspektif al-qur'an, Jakarta : TMF, 2002.
Arifin, psikologi dakwah, suatu pengantar, Jakarta, bumi aksara, 1994.
Asep Muhiddin, dakwah dalam perspektif al-qur'an, Bandung : Pustaka Setia, 2002
Mahmud yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan penyelenggara penterjemah/penafsir qur'an,
Jakarta : PT. Hidakarya Agung ; 1989
Luis Ma'luf, almunjid fi al-lughat, Dar al masyriq, Beirut, 1997
Muhammad Fu'ad 'abdu al-baqi, Al mu'jam, Almufahras li alfazsh al-qur'an Dar al-ma'rifah,
Beirut, 1992.
Departemen Agama RI, al-qur'an dan terjemahnya, semarang : CV Toha Putra : 1990.
Bkhyul khuli tadzkirat ad-duat (Beirut Dar al-Kutub al-Arabiyyah).
Lihat Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, vol. IV (Kairo: Dar al-Syuruq, 1992).
Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
https://tafsirweb.com/693-quran-surat-al-baqarah-ayat-186.html
https://tafsirweb.com/1022-quran-surat-al-baqarah-ayat-256.html
https://tafsirweb.com/3299-quran-surat-yunus-ayat-25.html

Anda mungkin juga menyukai