Anda di halaman 1dari 15

Nasikh dan Mansukh

Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Dari Bapak Dosen Dr. Taufik Mukmin, M. Ed.

USHUL FIQH

DISUSUN

OLEH

Ahmad Padri ( 2216.0006 )

&

Jonadi ( 2216.0004 )

Dasar-Dasar PMI

Dr. Taufik Mukmin, M. Ed.

Semester 2

PROGRAM STUDI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI SAGAMA ISLAM
BUMI SILAMPARI
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali


yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala
berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul ”Nasakh & Mankush” untuk memenuhi tugas
individu mata Ushul Fiqh.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak
Dr. Taufik Mukmin, M. Ed sebagai dosen mata kuliah Pengembangan Masyarakat Islam,
kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih,
dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga
semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi. Teman-teman yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini baik itu
bantuan tenaga, pikiran, dan waktunya. Serta pihak-pihak lain yang belum penulis sebutkan
terima kasih atas bantuannya.

Penulis tahu bahwa makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik
lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Lubuklinggau, 13 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan Makalah ..................................................................... 4

BAB II Pembahasan

A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh ............................................................ 6


B. Syarat-syarat Nasikh ............................................................................... 6
C. Pembagian Nasaks ................................................................................. 8
D. Macam-Macam Nasakh Dalam Al-Qur’an ............................................ 9
E. Dasar-Dasar Penetapan Nasakh Dan Mansukh ...................................... 10
F. Pedoman Untuk Mengetahui Nasakh & Mansuks ................................. 10
G. Pendapat Mengenai Ayat Yang Dianggap Mansuks .............................. 10
H. Pendapat Ulama tentang Nasikh dan Mansukh...................................... 11

Bab III

Kesimpulan ........................................................................................................ 13

Saran ................................................................................................................... 14

Daftar Pustaka .................................................................................................... 15


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam tataran teoritis, Imam Syafi’i merupakan pencetus teori Nasakh.1 Namun
eksistensi nasakh, sesungguhnya telah ada pada zaman sahabat. Banyak ahli literatur-
literatur klasik yang menunjukkan digunakannya teori ini, namun masih belum sempurna
seperti tafsir ibnu abbas, yang mana didalamnya terdapat proses penasakhan antar ayat.
Pada perkembangan lebih lanjut, muncul mujaddid ( tokoh pembaharuan) tentang
mengemukkan pendapatnya, bahwa nasakh dalam al-Quran perlu di tinjau lagi. Karena al
Quran sendiri sudah” memproklamirkan” diri bahwa di dalam al-Quran tidak terdapat satu
pun ayat yang batil.3 Bahkan apabila al-Qur’an bukan dari Allah, Niscaya akan terdapat
banyak perselisihan didalamnya.4 Lebih jelas lagi, ketika Syekh Muhammad Hundari Beik
memaparkan jumlah ayat yang bermasalah (baca: kontradiksi) beserta takwilannya, bahkan
lebih “nakal” lagi kawan-kawan di JIL (Jaringan Islan Liberal) bahwa adanya nasakh
mansukh merupakan bukti ke gagalan Ulama’ tempo dulu dalam menyikapi ayat. Terlepas
dari pro dan kontra di atas timbulah pertanyaan apakah al-Quran terjadi nasakh ?
Dimanakah letak yang dianggap kontradiksi ? Apa alternatif dari nasakh ?.

Allah Menurunkan shari’at di dalam Al-Qur’an Kepada Nabi Muhammad untuk


memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah
dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak
dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti
dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan
manusia.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh
karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh
dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian nāsikh dan mansūkh ?


2. Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh ?

1 Dalam kitab monumentalnya “al-Risalah”, al-Syafi’i secara sistematis menjelaskan teori nasakh
dengan cerdas, beliau berargumentasi tentang keabsahan nasakh. Walaupun masih menimbulkan problem-
setidaknya menurut penulis sendiri dan juga, beliau menjelaskan teori nasikh mansukh baik dalam al-Qur’an
dengan al-Qur’an atau hadits dengan hadits. Al-Syafi’i, al-Risalah, dan al- , Beirut hlm: 106-117
3. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh ?
4. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansukh ?
5. Bagaimana pendapat ulama tantang nāsikh dan mansūkh ?
6. Bagaimanakah pedoman untuk mengetahui Naskh?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.


2. Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh.
3. Untuk mengetahui bentuk dan jenis nāsikh dan mansūkh.
4. Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.
5. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang nāsikh dan mansūkh.
6. Untuk mengetahui pedoman untuk mengetahui Naskh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nāsikh dan Mansūkh

Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza>latu al shay’I wa i’da>muhu”
(menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al shay’i” (memindahkan
dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan).
Sedangkan naskh secara istilah adalah: Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan
dalil/khith{ab syara’ yang lain.

Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang
menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus
ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang
diangkat atau yang dihapus.2

Adapun Pengertian Lain Dari Nāsikh dan Mansūkh

Menurut bahasa artinya sama dengan Nasakh, hanya saja bedanya Naskh itu
kata Masdar sedangkan Nasikh adalah isim fa’il yang berarti pelakunya. Sedangkan menurut
istilah, ada dua macam3(1) Nasikh adalah hukum Syara’ atau dalil syara’ yang
menghapuskan/mengubah hukum/dalil syara’ yang terdahulu dan menggantinya dengan
ketentuan hukum yang baru yang di bawahnya. Nasikh itu ialah Allah SWT. Artinya, bahwa
sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syara’ itu adalah Allah.
Adapun Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah
atau disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah, Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil
dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan
hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian4.

B. Syarat-Syarat Naskh

1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.


2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.
C. Pembagian Naskh

Naskh dibagi menjadi tiga ;

1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan
sepuluh hari.

2 Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni 2014, 205-206.
3 A. Abdul Djalal, 2008: 120-121
4 Djalal, 120-121
‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َو ِص َّيًة َأِلْز َو اِج ِهْم َم َتاًعا ِإَلى اْلَح ْو ِل َغْيَر‬
‫ِإْخ َر اٍج َفِإْن َخ َر ْج َن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفي َم ا َفَع ْلَن ِفي َأْنُفِس ِهَّن ِم ْن َم ْعُروٍف َو ُهَّللا َع ِزيٌز‬
[ ٢٤٠ : ‫َح ِكيٌم ]البقرة‬
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 240)5

‫َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا‬
‫َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفي َأْنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْعُروِف َو ُهَّللا ِبَم ا‬
[ ٢٣٤ : ‫َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر] البقرة‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)6
2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh
hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:

‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِزَياَر ِة اْلُقُبْو ِر َأَال َفُز ْو ُرْو َها‬


“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”

‫َفِإْن ُش ْر َب الَّراِبَعِة َفاْقُتُلْو ُه‬


“Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadith:

‫َأَّنُه ُح ِمَل ِإَلْيِه َم ْن َش ِرَبَها الَّراِبَع َة َفَلْم َيْقُتْلُه‬


Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat
kalinya, tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

‫ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ِن اَّدَخ اِر لُح ُو ِم ْاَألَض اِح يِ َألْج ِل الَّد ا َفِة َفاَّد ِخ ُرْو َها‬
Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan
yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.
3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an

5 Q. S. al-Baqarah (2) : 240.


6 Q. S. al-Baqarah (2) : 234
Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:

‫َقْد َنَر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفي الَّس َم اِء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَها َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد‬
‫اْلَح َر اِم َو َح ْيُث َم ا ُكْنُتْم َفَو ُّلوا ُو ُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه َو ِإَّن اَّلِذ يَن ُأوُت وا اْلِكَت اَب َلَيْع َلُم وَن َأَّن ُه‬
]١٤٤: ‫اْلَح ُّق ِم ْن َر ِّبِهْم َو َم ا ُهَّللا ِبَغ اِفٍل َع َّم ا َيْع َم ُلوَن [البقرة‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 144)7

D. Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an

Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:

1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukha>ri dan Muslim,
yaitu hadits ‘A<isyah ra.

.‫َك اَن ِفْيَم ا ُأْنِزَل َع َش ُر َر َض َع اٍت َم ْع ُلْو َم اِت ُيَح ِّر ْم َن َفُنِس ْخ َن ِبَخ ْم ٍس َم ْع ُلْو َم اٍت‬
) ‫َفُتُو ِّفَي َر ُسْو ُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم (َو ُهَّن ِمَّم ا ُيْقَر ُأ ِم َن اْلُقْر َأِن‬.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu
yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Seteah
Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila
salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka
sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi lima isapan.
Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya maupun
hukumnya telah dināsikh.8

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah:

‫َيَاُّيَها اْلِذ ْيَن َاَم ُنْو آ ِإَذ ا َنَج ْيُتْم الَّر ُسْو َل َفَثِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد َّي َنْج َو ُك ْم َص َد َقًة َذ ِلَك َخ ْيُر َلُك ْم‬
]۱۲: ‫ [المجادلة‬. ‫َو َاْطَهُر َفِإْن َلْم َتِج ُد ْو ا َفِإَّن َهللا َغ ُفْو ُر َّر ِح ْيٌم‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
7 Q. S. al-Baqarah (2) : 144
8 Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.
itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tidak
memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 12) 9

Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:

‫َأَاْش َفْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد َّي َنْج َو اُك ْم َص َد َقاٍت َفِاْذ َلْم َتْفَع ُلْو ا َو َتاَب ُهللا َع َلْيُك ْم َفَاِقْيُم ْو ا‬
‫الَّص َلوَة وَاُتْو ا الَّز َك وَة َو َاِط ْيُعْو ا َهللا َو َر ُسْو َلُه َو ُهللا َخ ِبْيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن‬.
[۱۳: ‫]المجادلة‬
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan
Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Muja>dalah
[58]: 13).10
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh
ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:

‫ِإَذ ا َز َنا الَّش ْيُخ الَّش ْيَخ ُة َفاْر ُج ُم ْو َهَم ا‬


“Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.

Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin
Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang
dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan
kami membaca ayat rajam:

‫الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة َفاْر ُج ُم ْو ُهَم ا الَبَتَة ِبَم ا َقَض َيا ِم َن اَّلَّذ ِة‬.
“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka
perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”11
E. Dasar-Dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh

Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus).

Ketiga dasar adalah:

1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh

9 Q. S. al-Mujaādalah (58) : 12.


10 Ibid.,176.
11 Ibid.,177.
3. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh,
dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat}t}an menambahkan
bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena
adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya
keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
F. Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh
ada beberapa cara berikut :

1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW;


2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh;
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan histori.

Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang shahih, tidak juga penadapat para ahli tafsir atau karena ayat-ayat kontrakdiktif
secara lahirin, terlambatnya keislaman salah seorang dari dua periwayat. Yang di pegang
dalam masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah.

G. Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh

Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap mansūkh di


antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100
buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya.
Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama
setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain
berasal dari provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang
telah batal hukumnya itu. Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang
dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20 ayat yang
terpaksa dinyatakan mansūkh.

Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan tahun
1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata olehnya
bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.12

Contoh :
‫َو ِهَّلِل اْلَم ْش ِر ُق َو اْلَم ْغ ِرُۚب َفَأْيَنَم ا ُتَو ُّلوْا َفَثَّم َو ْج ُه ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َو اِس ٌع َع ِليٌم‬
] ۱۱۵ :‫[البقرة‬
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.13

12 Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),
182.
13 Q. S. al-Baqarah (2) : 115
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
] ١٥٠ : ‫ [البقرة‬....‫ۚ َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّلوْا ُو ُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه‬
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. 14

Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al Nisaburiy


dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali
Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai
Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan
Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah
Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.

Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan kerisian
Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau mengadu
kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia
hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat
al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa
perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang
hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan pengikut
Rasulullah.15

H. Pendapat Ulama tentang Nasakh/Nasikh dan Mansukh

Ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an sejak dulu menjadi perdebatan para
Ulama, di mana sumber dari pada perdebatan tersebut berawal dari pemahaman mereka
tentang QS. An-Nisaa’ 82:
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Kesimpulan dari ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap
muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat al-Qur’an yang secara
zahir menunjukkan kontradiktif (Abu Anwar, 2002: 54).
Dalam hal ini terbagi dalam empat golongan:

1. Orang Syi’ah Rafidah, Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan
meluaskannya, mereka mandang konsep al-bada’ yakni suatu yang nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas) adalah sebagai suatu hal yang sangat mungkin terjadi bagi
Allah SWT. Mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi yang tidak mengakui
keberadaan nasakh. Kelompok Syi’ah Rafidah berargumentasi dengan firman Allah
SWT dalam ar-Ra’d [13]:39:

Artinya: “ Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang
ia kehendaki).”

14 Q. S. al-Baqarah (2) : 150.


15 Hermawan, Ulūmul Quran, 185
Menurut al-Qattan yang dikutip oleh Anwar, bahwa pendapat ini kurang tepat, Allah
menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika
penetapannya mengandung maslahat.

2. Abu Muslim al-Asfahani seorang mufassir Mu’tazilah, tidak setuju adanya naskh,
baik secara garis besar maupun secara terperinci, karena apabila ada ayat yang secara
sepintas dinilai kontradiktif tidak diselesaikan secara naskh tetapi dengan
jalan takhsis, sebab al- Qur,an adalah syari’at yang muhkam tidak ada yang Mansukh.
Al-Qur’an menyatakan dalam QS Fushshilat: 42:

Artinya :”Tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur,an baik dari depan atau belakang yang
diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji
Ayat di atas yang dijadikan landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan bahwa nasakh
Mansukh tidak ada dalam al-Qur,an, yang ada hanya ‘am- takhshis. Hal ini menghindari
pembatalan hukum yang telah diturunkan
oleh Allah karena hal itu mustahil. Jika ada pembatalan hukum maka akan memunculkan
adanya pemahaman, Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehungga Dia perlu
mengganti/membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Jika pembatalan hukum itu
dilakukan oleh Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka.

3. Pendapat Jumhur Ulama, kelompok ini mengakui adanya nasikh dan mansukh dalam
al-Qur’an dan tetap berlaku, (Mereka berpendapat bahwa Naskh adalah suatu yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum Syara’ berdasarkan
dalili-dalil, baik naqli ataupun aqli (Anwar,..54), Firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 106:

Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”

4. Menurut pendapat segolongan Ulama’ bahwa Allah berbuat secara mutlak, artinya
bahwa Allah SWT. dapat berbuat sesuatu dalam waktu tertentu dan dapat
melarangnya dalam waktu tertentu pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari
kamudharatan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh terdiri
dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus
ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.

Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih
dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan
quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa
pendapat mengenai ayat yang mansūkh.

Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat
jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat,
sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.

Dalam khazanah penafsiran al-Qur’an, Ilm al-Nasikh wa al-Mansukh dalam persfektif


para pakar ilmu-ilmu al-Qur’an adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh
orang yang ingin menafsirkan al-Qur’an. Penguasaan terhadap ilmu ini dan ilmu-ilmu bantu
lainnya.
Tidak ada data yang menjelaskan mengapa muncul pembahasan soal Nasikh Mansukh.
Namun tampaknya hal itu berkaitan erat dengan soal kebutuhan adanya kepastian
pemahaman, ajaran, atau hukum mana yang akan dijadikan pegangan atau pedoman.
Manakala masih tidak ada kepastian, penerapan hukum tidak dapat dilaksanakan.
Pembahasan subjek itu bertujuan untuk mengetahui evolusi penerapan hukum Islam.
Sebagai bagian dalam kajian ilmu-ilmu al-Qur’an, nasikh dan mansukh adalah salah satu
cabang yang menjadi suatu persoalan di antara ulama tentang eksistenya, bahkan antar agama
samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) pun kajian ini tidak lepas perbincangan. Karena hal itu
menyangkut agama tersebut, apakah agama sebelumnya dihapus oleh agama sesudahnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa keberadaan nasikh dan mansukh adalah suatu yang
niscaya baik secara dalil naqli ataupun dalil aqli, namun bagi yang menolak pun, mereka
memiliki landasan yang dikutip dari al-Qur’an dan argumentasi logis yang sulit dibantah.
Menurut kelompok yang kedua adanya pertentangan di antara teks-teks al-Qur’an, adalah
sesuatu hal yang tidak mungkin, bahkan mereka beranggapan bahwa Nasikh Mansukh
adalah problematika yang berasal dari luar Islam .
Munculnya pemikiran naskh pada dasarnya adalah sebagai respons terhadap adanya teks-
teks dalam al-Qur’an yang secara lahiriyah tampak adanya pertentangan di antara teks-teks
tersebut. Sehingga teori naskh dioperasikan dengan menilai ayat-ayat al-Qur’an yang
diwahyukan terdahulu sebagi dihapuskan oleh ayat-ayat yang diwahyukan kemudian.
Kontroversi teori naskh tidak hanya terjadi antara yang menerima dan menolak naskh,
tetapi juga di kalangan para penerima naskh. Mereka berpolemik tentang apakah ayat-ayat al-
Qur’an bisa di-naskh dengan selain al-Qur’an. Apakah as-Sunnah bisa me-nasakh al-Qur’an.
Imam Syafi’i menolak otoritas as-Sunnah sebagai Nasikh atas al-Qur’an ( Asy-Syafi’I, 1992:
6).
Menyikapi adanya kontroversi ulama terhadap eksistensi nasikh dan mansukh dalam al-
Qur’an, maka menurut hemat penulis, bahwa nasikh dan mansukh hanya berlaku pada nas
yang ketentuannya saja (hukum) dihapus, sementara ungkapannya (tilawah) tetap
dipertahankan. Contohnya perubahan masa iddah satu tahun (Q.S. Al-Baqarah: 240),
perubahan arah kiblat, dari baitul maqdis ke Makkah (Q.S. Al-Baqarah: 142). Pendapat yang
diajukan oleh penulis dengan argumentasi; (1) apabila Nasikh -Mansukh itu belaku pada
penghapusan ayat al-Qur’an maka menunjukkan adanya pertentangan antar ayat-ayat al-
Qur’an dan hal itu adalah suatu yang mustahil, karena al-Qur’an adalah kitab yang memuat
ayat-ayat yang saling memiliki keterkatiatan (munasabah) (2) berlandaskan definisi nasakh
sendiri bahwa “nasakh adalah menghapuskan hukum syara’ dengan memakai dalil syara’
dengan adamya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak ada nasakh itu
tentulah hukum yang pertama itu tetap berlaku” (3) bertentangan dengan Q.S. al-Qiyamah:
16-18 dan Q.S. al-A’la: 6.
Adapun Q.S. Al-Baqarah, ayat 106, yang dijadikan sebagai justifikasi oleh jumhur ulama
tentang adanya nasikh dan mansukh, perlu adanya reinterpretasi terhadap ayat tersebut.
Dalam hal ini penulis sepakat terhadap tafsir yang diajukan oleh Muhammad Amin Huma
bahwa tafsir ayat tersebut adalah :
“Apapun yang Kami hapuskan atau kami lupakan dari ayat (taurat) dan atas ayat (Injil) ,
itu pasti akan Kami hadirkan (gantikan) dengan (ayat lain) yang lebih baik dari padanya
(Taurat dan atau Injil) atau minimal ayat lain itu sepadan/setara dengannya. Tidakakkah
kalian ketahui bahwa Allah SWT itu Maha Kuasa atas segala sesuatau, termasuk
kemahakuasaan-Nya untuk menggantikan Taurat dan Injil dengan al-Qur’an. Pada hakikatnya
al-Qur’an itu lebih baik dari pada Taurat dan atau Injil, atau minimal sama dengan keduanya”
(Amin Huma, 2005).
Mengacu kepada tafsir di atas, menunjukkan bahwa kata âyatin dalam Q.S. Al-Baqarah,
ayat 106 adalah kitab taurat atau Injil yang diganti/dinasakh dengan al-Qur’an yang memiliki
kualitas yang lebih baik atau paling tidak sama dengan kedua kitab yang terdahulu tersebut.
Dari itu pula ayat ini lebih tepatnya menjadi dalil bahwa nasakh dan mansukh juga berlaku
dalam lingkup eksternal Islam. Artinya agama/kitab yang dibawa oleh rasul terdahulu
dihapus (di-nasakh)atau diganti oleh rasul sesudahnya, dalam hal ini adalah Islam/al-Qur’an.
Dengan mengetahui dan memahami pengertian nasikh dan mansukh, serta memahami
pendapat para ulama’ tentang keduanya, maka kita dapat mengetahui hikmah dari
adanya nasikh dan mansukh sehingga tidak ada kesalahfahaman dalam mengartikan,
memahami dan mengamalkan Al Qur’an sebagai sumber ajaran Islam.
Saran
Semoga Malakah Ini Dapat Menjadi Sarana Bertambahnya Ilmu Tentang
Pemberdayaan Pendidikan (Islam) dan Menjadi Bermafaat Dikemudian Hari Untuk Saran
Semoga Penulis Lebih Baik Lagi Dalam Membuat Karya-Karya llmiah Lainnya. Aamiin
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa, 2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.
Hermawan, Acep. Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011.

Anda mungkin juga menyukai