Makalah Ushul
Makalah Ushul
Dibuat Untuk Melengkapi Tugas Dari Bapak Dosen Dr. Taufik Mukmin, M. Ed.
USHUL FIQH
DISUSUN
OLEH
&
Jonadi ( 2216.0004 )
Dasar-Dasar PMI
Semester 2
Dalam penyusunan makalah ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Bapak
Dr. Taufik Mukmin, M. Ed sebagai dosen mata kuliah Pengembangan Masyarakat Islam,
kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan, kasih,
dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga
semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi. Teman-teman yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini baik itu
bantuan tenaga, pikiran, dan waktunya. Serta pihak-pihak lain yang belum penulis sebutkan
terima kasih atas bantuannya.
Penulis tahu bahwa makalah ini banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik
lagi. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II Pembahasan
Bab III
Kesimpulan ........................................................................................................ 13
Saran ................................................................................................................... 14
Dalam tataran teoritis, Imam Syafi’i merupakan pencetus teori Nasakh.1 Namun
eksistensi nasakh, sesungguhnya telah ada pada zaman sahabat. Banyak ahli literatur-
literatur klasik yang menunjukkan digunakannya teori ini, namun masih belum sempurna
seperti tafsir ibnu abbas, yang mana didalamnya terdapat proses penasakhan antar ayat.
Pada perkembangan lebih lanjut, muncul mujaddid ( tokoh pembaharuan) tentang
mengemukkan pendapatnya, bahwa nasakh dalam al-Quran perlu di tinjau lagi. Karena al
Quran sendiri sudah” memproklamirkan” diri bahwa di dalam al-Quran tidak terdapat satu
pun ayat yang batil.3 Bahkan apabila al-Qur’an bukan dari Allah, Niscaya akan terdapat
banyak perselisihan didalamnya.4 Lebih jelas lagi, ketika Syekh Muhammad Hundari Beik
memaparkan jumlah ayat yang bermasalah (baca: kontradiksi) beserta takwilannya, bahkan
lebih “nakal” lagi kawan-kawan di JIL (Jaringan Islan Liberal) bahwa adanya nasakh
mansukh merupakan bukti ke gagalan Ulama’ tempo dulu dalam menyikapi ayat. Terlepas
dari pro dan kontra di atas timbulah pertanyaan apakah al-Quran terjadi nasakh ?
Dimanakah letak yang dianggap kontradiksi ? Apa alternatif dari nasakh ?.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh
karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh
dalam Al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
1 Dalam kitab monumentalnya “al-Risalah”, al-Syafi’i secara sistematis menjelaskan teori nasakh
dengan cerdas, beliau berargumentasi tentang keabsahan nasakh. Walaupun masih menimbulkan problem-
setidaknya menurut penulis sendiri dan juga, beliau menjelaskan teori nasikh mansukh baik dalam al-Qur’an
dengan al-Qur’an atau hadits dengan hadits. Al-Syafi’i, al-Risalah, dan al- , Beirut hlm: 106-117
3. Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh ?
4. Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansukh ?
5. Bagaimana pendapat ulama tantang nāsikh dan mansūkh ?
6. Bagaimanakah pedoman untuk mengetahui Naskh?
C. Tujuan
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza>latu al shay’I wa i’da>muhu”
(menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al shay’i” (memindahkan
dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan).
Sedangkan naskh secara istilah adalah: Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan
dalil/khith{ab syara’ yang lain.
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang
menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus
ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang
diangkat atau yang dihapus.2
Menurut bahasa artinya sama dengan Nasakh, hanya saja bedanya Naskh itu
kata Masdar sedangkan Nasikh adalah isim fa’il yang berarti pelakunya. Sedangkan menurut
istilah, ada dua macam3(1) Nasikh adalah hukum Syara’ atau dalil syara’ yang
menghapuskan/mengubah hukum/dalil syara’ yang terdahulu dan menggantinya dengan
ketentuan hukum yang baru yang di bawahnya. Nasikh itu ialah Allah SWT. Artinya, bahwa
sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syara’ itu adalah Allah.
Adapun Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah
atau disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah, Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil
dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan
hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian4.
B. Syarat-Syarat Naskh
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan
sepuluh hari.
2 Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni 2014, 205-206.
3 A. Abdul Djalal, 2008: 120-121
4 Djalal, 120-121
َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َو ِص َّيًة َأِلْز َو اِج ِهْم َم َتاًعا ِإَلى اْلَح ْو ِل َغْيَر
ِإْخ َر اٍج َفِإْن َخ َر ْج َن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفي َم ا َفَع ْلَن ِفي َأْنُفِس ِهَّن ِم ْن َم ْعُروٍف َو ُهَّللا َع ِزيٌز
[ ٢٤٠ : َح ِكيٌم ]البقرة
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri,
hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak
ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 240)5
َو اَّلِذ يَن ُيَتَو َّفْو َن ِم ْنُك ْم َو َيَذ ُروَن َأْز َو اًجا َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُفِس ِهَّن َأْر َبَع َة َأْش ُهٍر َو َع ْش ًرا
َفِإَذ ا َبَلْغ َن َأَج َلُهَّن َفاَل ُج َناَح َع َلْيُك ْم ِفيَم ا َفَع ْلَن ِفي َأْنُفِس ِهَّن ِباْلَم ْعُروِف َو ُهَّللا ِبَم ا
[ ٢٣٤ : َتْع َم ُلوَن َخ ِبيٌر] البقرة
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)6
2. Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh
hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:
ُكْنُت َنَهْيُتُك ْم َع ِن اَّدَخ اِر لُح ُو ِم ْاَألَض اِح يِ َألْج ِل الَّد ا َفِة َفاَّد ِخ ُرْو َها
Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan
yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.
3. Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an
َقْد َنَر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفي الَّس َم اِء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَها َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد
اْلَح َر اِم َو َح ْيُث َم ا ُكْنُتْم َفَو ُّلوا ُو ُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه َو ِإَّن اَّلِذ يَن ُأوُت وا اْلِكَت اَب َلَيْع َلُم وَن َأَّن ُه
]١٤٤: اْلَح ُّق ِم ْن َر ِّبِهْم َو َم ا ُهَّللا ِبَغ اِفٍل َع َّم ا َيْع َم ُلوَن [البقرة
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan
Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-
Baqarah [2]: 144)7
1. Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak
dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukha>ri dan Muslim,
yaitu hadits ‘A<isyah ra.
.َك اَن ِفْيَم ا ُأْنِزَل َع َش ُر َر َض َع اٍت َم ْع ُلْو َم اِت ُيَح ِّر ْم َن َفُنِس ْخ َن ِبَخ ْم ٍس َم ْع ُلْو َم اٍت
) َفُتُو ِّفَي َر ُسْو ُل ِهللا صلى هللا عليه وسلم (َو ُهَّن ِمَّم ا ُيْقَر ُأ ِم َن اْلُقْر َأِن.
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu
yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Seteah
Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila
salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka
sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi lima isapan.
Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya maupun
hukumnya telah dināsikh.8
2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat
tentang mendahulukan sedekah:
َيَاُّيَها اْلِذ ْيَن َاَم ُنْو آ ِإَذ ا َنَج ْيُتْم الَّر ُسْو َل َفَثِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد َّي َنْج َو ُك ْم َص َد َقًة َذ ِلَك َخ ْيُر َلُك ْم
]۱۲: [المجادلة. َو َاْطَهُر َفِإْن َلْم َتِج ُد ْو ا َفِإَّن َهللا َغ ُفْو ُر َّر ِح ْيٌم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan
7 Q. S. al-Baqarah (2) : 144
8 Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.
itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tidak
memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 12) 9
Ayat ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
َأَاْش َفْقُتْم َاْن ُتَقِّد ُم ْو ا َبْيَن َيَد َّي َنْج َو اُك ْم َص َد َقاٍت َفِاْذ َلْم َتْفَع ُلْو ا َو َتاَب ُهللا َع َلْيُك ْم َفَاِقْيُم ْو ا
الَّص َلوَة وَاُتْو ا الَّز َك وَة َو َاِط ْيُعْو ا َهللا َو َر ُسْو َلُه َو ُهللا َخ ِبْيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن.
[۱۳: ]المجادلة
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan
Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Muja>dalah
[58]: 13).10
3. Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh
ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin
Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang
dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan
kami membaca ayat rajam:
الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة َفاْر ُج ُم ْو ُهَم ا الَبَتَة ِبَم ا َقَض َيا ِم َن اَّلَّذ ِة.
“Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka
perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”11
E. Dasar-Dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat
dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus).
1. Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya,
seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang
berziarahlah.
2. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan
yang shahih, tidak juga penadapat para ahli tafsir atau karena ayat-ayat kontrakdiktif
secara lahirin, terlambatnya keislaman salah seorang dari dua periwayat. Yang di pegang
dalam masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan tahun
1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata olehnya
bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.12
Contoh :
َو ِهَّلِل اْلَم ْش ِر ُق َو اْلَم ْغ ِرُۚب َفَأْيَنَم ا ُتَو ُّلوْا َفَثَّم َو ْج ُه ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل َو اِس ٌع َع ِليٌم
] ۱۱۵ :[البقرة
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.13
12 Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011),
182.
13 Q. S. al-Baqarah (2) : 115
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas,
dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
] ١٥٠ : [البقرة....ۚ َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّلوْا ُو ُجوَهُك ْم َش ْطَر ُه
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. 14
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan kerisian
Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau mengadu
kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia
hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat
al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa
perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang
hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan pengikut
Rasulullah.15
Ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an sejak dulu menjadi perdebatan para
Ulama, di mana sumber dari pada perdebatan tersebut berawal dari pemahaman mereka
tentang QS. An-Nisaa’ 82:
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Kesimpulan dari ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap
muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat al-Qur’an yang secara
zahir menunjukkan kontradiktif (Abu Anwar, 2002: 54).
Dalam hal ini terbagi dalam empat golongan:
1. Orang Syi’ah Rafidah, Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan
meluaskannya, mereka mandang konsep al-bada’ yakni suatu yang nampak jelas
setelah kabur (tidak jelas) adalah sebagai suatu hal yang sangat mungkin terjadi bagi
Allah SWT. Mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi yang tidak mengakui
keberadaan nasakh. Kelompok Syi’ah Rafidah berargumentasi dengan firman Allah
SWT dalam ar-Ra’d [13]:39:
Artinya: “ Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang
ia kehendaki).”
2. Abu Muslim al-Asfahani seorang mufassir Mu’tazilah, tidak setuju adanya naskh,
baik secara garis besar maupun secara terperinci, karena apabila ada ayat yang secara
sepintas dinilai kontradiktif tidak diselesaikan secara naskh tetapi dengan
jalan takhsis, sebab al- Qur,an adalah syari’at yang muhkam tidak ada yang Mansukh.
Al-Qur’an menyatakan dalam QS Fushshilat: 42:
Artinya :”Tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur,an baik dari depan atau belakang yang
diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji
Ayat di atas yang dijadikan landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan bahwa nasakh
Mansukh tidak ada dalam al-Qur,an, yang ada hanya ‘am- takhshis. Hal ini menghindari
pembatalan hukum yang telah diturunkan
oleh Allah karena hal itu mustahil. Jika ada pembatalan hukum maka akan memunculkan
adanya pemahaman, Allah tidak tahu kejadian yang akan datang, sehungga Dia perlu
mengganti/membatalkan suatu hukum dengan hukum yang lain. Jika pembatalan hukum itu
dilakukan oleh Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka.
3. Pendapat Jumhur Ulama, kelompok ini mengakui adanya nasikh dan mansukh dalam
al-Qur’an dan tetap berlaku, (Mereka berpendapat bahwa Naskh adalah suatu yang
dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum Syara’ berdasarkan
dalili-dalil, baik naqli ataupun aqli (Anwar,..54), Firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 106:
Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”
4. Menurut pendapat segolongan Ulama’ bahwa Allah berbuat secara mutlak, artinya
bahwa Allah SWT. dapat berbuat sesuatu dalam waktu tertentu dan dapat
melarangnya dalam waktu tertentu pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari
kamudharatan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh terdiri
dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus
ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.
Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih
dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.
Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan
quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa
pendapat mengenai ayat yang mansūkh.
Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat
jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat,
sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.
Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera
AntarNusa, 2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.
Hermawan, Acep. Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2011.