Anda di halaman 1dari 90

MODUL

PELATIHAN PEMBELAJARAN KLINIK PRECEPTORSHIP


MENTORSHIP DALAM IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN
BERBASIS EVIDENCE BASED PRACTICE (EBP) BAGI PEMBIMBING
KLINIK MAHASISWA PROGRAM STUDI PROFESI NERS

PENYUSUN :
KURNIATI PUJI LESTARI, SKp, MKes
SHOBIRUN, MN
Ns, IKE PUSPITANINGRUM, MKep
MUHAMMAD JAUHAR, Skep, Ns, MKep
MUGI HARTOYO, MN
IIS SRININGSIH, SST, MKes

PRODI PROFESI NERS – JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
2019

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 1


BUKU PEDOMAN
PELATIHAN PEMBELAJARAN KLINIK PRECEPTORSHIP
MENTORSHIP DALAM IMPLEMENTASI ASUHAN
KEPERAWATAN BERBASIS EVIDENCE BASED PRACTICE
(EBP) BAGI PEMBIMBING KLINIK MAHASISWA PROGRAM
STUDI PROFESI NERS

Tim Penyusun

KURNIATI PUJI LESTARI, SKp, MKes


SHOBIRUN, MN
IKE PUSPITANINGRUM, MKep
MUHAMMAD JAUHAR, MKep
MUGI HARTOYO, MN
IIS SRININGSIH, SST, MKes
PPNI
HARIYANTI (Editor)

Penerbit :
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang

ii
REPUBLIK INDONESIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATAN
CIPTAAN
Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00201979503, 1 November 2019

Pencipta
Kurniati Puji Lestari, SKp, MKes, Muhamad Jauhar, SKep, Ns,
Nama :
MKep, , dkk
Alamat : Mpu Sendok I RT 4 RW 8 Banyumanik, Semarang , Jawa Tengah,
50266
Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak Cipta


Nama : Kurniati Puji Lestari, SKp, Mkes, shobirun, MN, , dkk
Alamat : Mpu Sendok I RT 4 RW 8 Banyumanik, Semarang, 9, 50266
Kewarganegaraan : Indonesia
Jenis Ciptaan : Modul
Judul Ciptaan : MODUL PELATIHAN PEMBELAJARAN KLINIK PRECEPTORSHIP
MENTORSHIP DALAM IMPLEMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN
BERBASIS EVIDENCE BASED PRACTICE (EBP) BAGI
PEMBIMBING KLINIK MAHASISWA PROGRAM STUDI PROFESI
NERS
Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama : 30 Agustus 2019, di Semarang
kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah
Indonesia
Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70
(tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai
tanggal 1 Januari tahun berikutnya.
Nomor pencatatan : 000162623

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon.


Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.


NIP. 196611181994031001
LAMPIRAN PENCIPTA

No Nama Alamat

1 Kurniati Puji Lestari, SKp, MKes Mpu Sendok I RT 4 RW 8 Banyumanik

2 Muhamad Jauhar, SKep, Ns, MKep Tirto Agung, Pedalangan, Semarang

Ike Puspitaningrum, SKep, Ns,


3 Tirto Agung, Pedalangan, Semarang
MKep

4 Shobirun, MN Tirto Agung, Pedalangan

5 Iis Sriningsih, SST, MKes Tirto Agung, Pedalangan

6 Mugi Hartoyo, MN Tirto Agung, Pedalangan

LAMPIRAN PEMEGANG

No Nama Alamat

1 Kurniati Puji Lestari, SKp, Mkes Mpu Sendok I RT 4 RW 8 Banyumanik

2 shobirun, MN Tirto Agung, Pedalangan, Semarang

Muhamad Jauhar, SKep, Ners,


3 Tirto Agung, Pedalangan
MKep

Ike Puspitaningrum, SKep, Ns,


4 Tirto Agung, Pedalangan
MKep

5 Iis Sriningsih, SST, MKes Tirto Agung, Pedalangan

6 Mugi Hartoyo, MN Tirto Agung, Pedalangan

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)


BUKU PEDOMAN PELATIHAN PEMBELAJARAN KLINIK
PRECEPTORSHIP MENTORSHIP DALAM IMPLEMENTASI
SUHAN KEPERAWATAN BERBASIS EVIDENCE BASED
RACTICE (EBP) BAGI PEMBIMBING KLINIK MAHASISWA
PROGRAM STUDI PROFESI NERS

Tim Penyusun
KURNIATI PUJI LESTARI, SKp, MKes
SHOBIRUN, MN
IKE PUSPITANINGRUM, MKep
MUHAMMAD JAUHAR, MKep
MUGI HARTOYO, MN
IIS SRININGSIH, SST, MKes
PPNI
HARIYANTI (Editor)

Edisi I, Cetakan Pertama 2019

Diterbitkan Oleh :
Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang
Telp: (024)7477208

610
KUR Kurniati Puji Lestari,
b Buku Pedoman Pelatihan Pembelajaran Klinik Preceptorship Mentorship
Dalam Implementasi Suhan Keperawatan Berbasis Evidence Based Ractice
(Ebp) Bagi Pembimbing Klinik Mahasiswa Program Studi Profesi Ners/
Kurniati Puji Lestari, dkk.. Cetakan 1,Edisi Pertama. Semarang : Politeknik
Kesehatan Kemenkes Semarang, 2019.

88 p. Bibli.; Ilus. 18 cm.

ISBN : 978-602-6536-66-2

1. Keperawatan
I. Judul iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………….…… i


PENYUSUN ……………………………………………………………………………….……. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….……. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….…… v
LAMPIRAN – LAMPIRAN …………………………………………………………….……. vii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………….….. 1
A. LATAR BELAKANG ………………………………………………….….. 1
B. TUJUAN PELATIHAN ……………………………………………….…. 3
BAB II KONSEP ETIK PEMBELAJARAN KLINIK ……………………….…… 5
A. ETIKA KEPERAWATAN ………………………………………….….… 5
B. HUBUNGAN PERAWAT – PASIEN …………………………….…… 7
C. PRINSIP MORAL ………………………………………………………...10
D. HAK KLIEN/KLIEN/PASIEN DAN KEWAJIBAN PERAWAT…..12
BAB III DESAIN PEMBELAJARAN KLINIK PENDIDIKAN PROFESI NERS 19
A. PRECEPTORSHIP ………………………………………………………..19
B. MENTORSHIP …………………………………………………………….28
C. PENGEMBANGAN PROGRAM PRECEPTORSHIP DAN
MENTORSHIP …………………………………………………………….37
D. MANAJEMEN KONFLIK DALAM KEGIATAN
PRECEPTORSHIP…………………………………………………………51
BAB IV EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN PROGRAM PROFESI
NERS ……………………………………………………………………………….62
A. DEFINISI EVALUASI ……………………………………………………62
B. TUJUAN EVALUASI ……………………………………………………..62
C. PRINSIP DASAR EVALUASI ………………………………………….62
D. JENIS – JENIS PROSES EVALUASI ………………………………..63
E. CIRI – CIRI EVALUASI YANG BAIK ……………………………….63
F. METODE EVALUASI PEMBELAJARAN KLINIK …………….……64
BAB V EBP ……………………………………………………………………………….66
A. DEFINISI ……………………………………………………………………66
B. TUJUAN………………………………………………………………………66
C. TAHAPAN PELAKSANAAN EBP ……………………………………..67
D. HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI EBP ………………………67

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 5


E. APLIKASI EBP DALAM KEPERAWATAN DI LAYANAN
KESEHATAN ………………………………………………………………68
BAB VI PENUTUP ………………………………………………………………………73
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..74
LAMPIRAN ………………………………………………………………………………………76

6 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


LAMPIRAN :
1. Rencana Pembelajaran Semester
2. Jurnal Bimbingan
3. logbook
4. Format : Proses Mentorship Untuk Mentor Refleksi Diri Mentor
5. Format : Outcome Pelaksanaan Preceptorship
6. Format : Kompetensi Preceptorship
7. Format : Evaluasi Preceptee Terhadap Preceptor

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 7


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuntutan pasien terhadap kualitas pelayanan keperawatan semakin
meningkat, seiring dengan adanya sistem jaminan kesehatan nasional
(JKN). Pasien mulai kritis terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan.
Segala bentuk tindakan dalam asuhan keperawatan harus dapat diterima
secara logis oleh pasien. Situasi perkembangan inilah yang kemudian
menuntut perawat untuk menerapkan evidence based practice (EBP)
dalam praktik keperawatan. Perawat harus secara sistematis
menggunakan bukti-bukti terbaik yang aktual dalam membuat
keputusan mengenai cara memberikan pelayanan pada pasien.
Penerapan EBP dinilai menjadi cara yang terbaik dalam menjamin
keselamatan pasien, hal ini dikarenakan EBP merupakan kerangka kerja
praktik klinik yang dilakukan berdasarkan bukti ilmiah terbaik yang
didapat melalui penelitian, pengalaman klinik perawat serta pilihan
pasien dalam menentukan keputusan klinik dalam pelayanan kesehatan
(Carlson, 2010).
Evidence based practice menjadi trend issue pada instansi
pelayanan keperawatan dan pendidikan keperawatan karena EBP dinilai
dapat memberikan bukti klinis yang efektif untuk meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan (Zhang et.al, 2018). Implementasi EBP sebagai
jaminan kualitas pelayanan sangat bergantung pada kemampuan
perawat dalam memahami EBP. Studi sebelumnya telah mengakui
bahwa perawat dengan kualifikasi yang lebih tinggi lebih mampu
menerapkan EBP dan menghargai nilai EBP (Malik et al. 2015; Gerrish et
al. 2011). Pengembangan pengetahuan dan keterampilan hendaknya
dapat dipersiapkan sejak dalam pendidikan keperawatan. Mahasiswa
sarjana dan profesi keperawatan (Ners) merupakan pelaku utama untuk
mendukung implemetasi EBP di masa depan. Elysabeth et al (2015)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan keperawatan yang semakin tinggi
berdampak pada pencapaian kompetensi perawat dalam melakukan
EBP. Pendidikan dapat menuntun seseorang terampil dalam mencari

8 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


sumber penelitian, berorganisasi dan bersikap profesional dalam
bekerja, meningkatkan akses-akses untuk meningkatkan dan
menerapkan praktik berdasarkan bukti.
Mahasiswa Ners diharapkan merasa lebih percaya diri,
berpengetahuan, dan terampil untuk dapat terlibat dalam EBP di masa
depan. Tuntutan tersebut menjadi tantangan institusi pendidikan untuk
menyiapkan mahasiswa Ners yang mempunyai kompetensi mumpuni
dalam implemetasi EBP dalam praktik keperawatan. Perubahan yang
terjadi dalam pelayanan keperawatan ditatanan klinis berdampak pada
penyesuaian kurikulum pendidikan keperawatan. Belden, et.al (2012)
menjelaskan bahwa Evidence-based practice merupakan kompetensi
utama yang harus dimiliki oleh perawat untuk bisa meningkatkan
pelayanan kepada pasien sehingga harus diintegrasikan kedalam
kurikulum pendidikan keperawatan. Implementasi EBP di Indonesia
belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Institusi pendidikan tinggi keperawatan perlu pendekatan yang
efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa
keperawatan dalam implementasi EBP. Implementasi EBP merupakan
kompetensi vital dalam membangun profesi keperawatan. Penerapan
EBP sangat penting dimulai sejak di pendidikan tinggi keperawatan untuk
mempersiapkan perawat dalam implementasi asuhan keperawatan yang
aman untuk pasien.
Pembelajaran melalui role model antara lain metode pembelajaran
preceptorship dan mentorship. Mentor menjadi role model untuk
mahasiswa perawat dalam pembelajaran di klinik (Wilson, 2014). Unsur
hubungan mentoring yang efektif adalah pertukaran pengetahuan, yang
mendukung perkembangan antar mentee dan mentor (Eller et al. 2014).
Sedangkan, preceptorship klinis dalam penelitian Kimberly (2014) dinilai
dapat meningkatkan rasa percaya diri mahasiswa dalam memberikan
asuhan keperawatan. Tingkat pencapaian kompetensi secara positif
sangat terkait dengan tingkat interaksi antara preceptor dan preceptee
(mahasiswa).
Metode pembelajaran Preseptorship dan mentorship dalam
implementasi asuhan keperawatan berbasis EBP diterapkan berdasarkan
teori constructivism. Melalui pendekatan teori ini diharapkan mahasiswa
dapat mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri sehingga

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 9


pengetahuan baru yang didapatkan dapat lebih bermakna atau
meaningfull (Thomas et al., 2014). Teori constructivist akan menstimulus
mahasiswa untuk mencari informasi, menganalisa, dan menyimpulkan
pemecahan masalah sehingga dapat meningkatkan kemampuan berfikir
kritis mahasiswa dalam berdiskusi dengan menggunakan evidance based
yang relevan (Kibui, 2012). Berfikir kritis adalah proses berfikir untuk
mencapai tujuan yang akan memberikan alasan berdasarkan bukti,
konseptualisasi, konteks, metode, dan kriteria (Coneet al., 2016). Berfikir
kritis merupakan komponen yang harus dimiliki oleh mahasiswa dalam
mencari dan mengolah informasi secara mandiri. Sedangkan konsep EBP
merupakan strategi untuk mencari evidence atau bukti ilmiah, sehingga
kemampuan berfikir kritis dalam implementasi EBP dapat menjadi
penentu kualitas dari asuhan keperawatan yang diberikan.
Hasil luaran pembelajaran yang baik erat kaitannya dengan
pemilihan metode pembelajaran yang tepat. Pemilihan metode
pembelajaran klinik dapat menentukan kualitas dari kesiapan mahasiswa
dalam memulai praktik klinis berbasis bukti. Sehingga penting sekali bagi
institusi pendidikan mengetahui metode yang tepat untuk mengajarkan
asuhan keperawatan berbasis EBP kepada mahasiswa.

B. TUJUAN PELATIHAN
1. Tujuan Umum
Mampu menguasai dan melaksanakan implementasi metode
pembelajaran mentorship dan preseptorship dalam pemberian
asuhan keperawatan berbasis evidence based practice (EBP).
2. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti Pelatihan metode pembelajaran mentorship dan
preseptorship dalam pemberian asuhan keperawatan berbasis
evidence based practice (EBP), peserta pelatihan diharapkan mampu
:
a. Mendiskripsikan Konsep Etik Pembelajaran Klinik
b. Menguasai metode pembelajaran mentorship dan preseptorship
dalam pemberian asuhan keperawatan berbasis evidence based
practice (EBP) bagi mahasiswa profesi Ners
c. Mengimplementasikan penerapan metode pembelajaran
mentorship dan preseptorship dalam pemberian asuhan

10 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


keperawatan berbasis evidence based practice (EBP) bagi
mahasiswa profesi Ners
d. Melakukan evaluasi metode pembelajaran mentorship dan
preseptorship dalam pemberian asuhan keperawatan berbasis
evidence based practice (EBP) bagi mahasiswa profesi Ners
e. Mengidentifikasi kemampuan berfikir kritis mahasiswa ners
dalam pemberian asuhan keperawatan berbasis EBP

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 11


BAB II
KONSEP ETIK PEMBELAJARAN KLINIK

A. ETIKA KEPERAWATAN
Etika adalah ilmu pengetahuan yang terkait dengan nilai-nilai dan
moral, oleh karena itu Perawat perlu memahami pengertian tentang
etika, nilai serta moral. Bagi perawat etika adalah suatu pedoman yang
digunakan sebagai tuntunan dalam melaksanakan praktik keperawatan
secara benar serta untuk pengambilan keputusan, pemecahan masalah
etik, baik dalam area praktik, pendidikan, administrasi maupun
penelitian.
Etika keperawatan adalah suatu ungkapan tentang bagaimana
perawat wajib bertingkah laku. Etika keperawatan merujuk pada
standar etik yang menentukan dan menuntun perawat dalam praktik
sehari-hari seperti jujur terhadap klien/pasien, menghargai klien/pasien
atas hak-hak yang dirahasiakannya dan beradvokasi atas nama
klien/pasien ( Fry, 2004 ) Etika keperawatan digunakan untuk
mengidentifikasi, mengorganisasikan, memeriksa dan membenarkan
tindakan-tindakan kemanusiaan dengan menerapkan prinsip-prinsip
tertentu. Selain itu juga menegaskan tentang kewajiban-kewajiban
yang secara sukarela diemban oleh perawat dan mencari informasi
mengenai dampak dari keputusan-keputusan perawat yang
mempengaruhi kehidupan dari klien/pasien dan keluarganya, sejawat
serta sistim asuhan kesehatan secara keseluruhan.
Ciri seorang profesional yang menonjol adalah komitmen
terhadap kepedulian individu, khususnya kesehatan fisik, kesejahteraan
dan kebebasan pribadi, sehingga dalam praktik selalu melibatkan
hubungan yang bermakna antara seorang profesional dengan
klien/pasiennnya. Oleh karena itu seorang profesional harus memiliki
orientasi pelayanan, standar praktik dan kode etik untuk melindungi
masyarakat serta memajukan profesi.
1. Standar Profesi
Perkembangan setiap profesi tidak sama karena dipengaruhi
oleh adanya tingkat kesadaran, pencapaian intelektual dan komitmen
dari profesi itu sendiri. Penanganan masalah etik tergantung dari

12 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


karakter, persepsi peran, sumber- sumber pribadi, maupun performa
sejawatnya yang dapat menciptakan kebaikan atau merusak profesi
itu sendiri.
Sebagai anggota profesi diwajibkan untuk bekerja sesuai
dengan standar yang telah ditentukan. Selain itu juga perlu
memahami falsafah yang dianut serta dapat membangun kerjasama
yang baik dengan semua disiplin ilmu yang ada. Kewajiban lain yang
harus dilakukan adalah memelihara/mempertahankan standar profesi
agar tetap konsisten dalam praktiknya.
2. Implikasi Komitmen Keperawatan
Praktik keperawatan melibatkan interaksi yang kompleks
antara nilai sosial dan nilai politis serta hubungannya dengan
masyarakat tertentu. Meskipun demikian perawat tetap terikat pada
kewajiban-kewajiban sebagai insan manusiawi, karyawan, pimpinan,
majikan dan sebagainya. Dengan demikian perlu adanya
akontabilitas etis dan perlindungan hukum terhadap kegiatan-
kegiatan yang dilakukan serta keputusan-keputusan yang diambil.
3. Advokasi
Pengertian advokat adalah seseorang yang membela,
mempertahankan atau mendukung suatu kasus dengan jalan
berargumentasi, bersikap ramah terhadap seorang penegak maupun
pembela hukum serta bertindak sebagai pembela perdamaian dan
membantu mereka yang tertindas. Advokasi dalam keperawatan
sangat penting, karena perawat bertindak sebagai pembela,
mempertahankan/mendukung, ramah serta membantu klien/pasien
untuk memperoleh kembali hak-haknya dalam menerima pelayanan
kesehatan.
4. Kesejawatan
Tidak ada profesi yang dapat bertahan tanpa dukungan luas
dari masyarakat atau dukungan dan bimbingan dari sejawat. Untuk
itu profesi perlu mengidentifikasi nilai-nilai dan komitmennya secara
jelas untuk menentukan prioritas dan pilihan-pilihan perilaku
profesionalnya dimasa yang akan datang.
Hubungan kesejawatan harus bermakna untuk secara terus
menerus meningkatkan standar mutu pelayanan keperawatan
dengan saling memberi masukan melalui pertemuan sebaya ( peer

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 13


review ) serta peningkatan kompetensi anggota profesi secara terus
menerus dan berkelanjutan. Perawat adalah bagian dari profesi
keperawatan secara utuh, apapun yang merusak atau
menghancurkan praktisi, hal itu juga dapat merusak dan
menghancurkan profesi.
5. Janji-janji (promise)
Istilah profesi berasal dari kata latin “ pro fitere” yang dalam
tata bahasa berarti mengikrarkan kepada publik, dengan demikian
dapat dikatakan bahwa seorang profesional adalah seorang penjanji
yang mengikrarkan kepada publik bahwa akan melakukan sesuatu.
6. Dapat dipercaya
Hubungan intra profesional merupakan landasan bagi
kehidupan profesi, walaupun bukan sebagai inti dari kegiatan
profesional, tetapi pengaruhnya cukup besar untuk mengajarkan
seseorang bagaimana berperilaku, sehingga akan terjadi pertukaran
karakter dengan sejawat yang sering berhubungan. Prinsip-prinsip
yang melandasi hubungan-hubungan tersebut diturunkan dari tiga
sumber yaitu :
a. Prinsip tentang hak kemanusiaan
b. Komitmen yang kuat terhadap jani-janji profesi untuk mencapai
tujuan bersama dengan ikatan interdependensi yang rasional dan
mantap.
c. Adanya ikatan professional karena adanya ikatan keanggotan
dalam profesi yang sama. Untuk dapat mencapai hubungan
kesejawatan yang baik diperlukan adanya kesetiaan terhadap
janji-janji profesi, respek terhadap kemanusiaan dan memperoleh
hak yang seharusnya serta memiliki integritas kejujuran dan
intelektual.

B. HUBUNGAN PERAWAT – PASIEN


1. Hubungan interpersonal
Hubungan interpersonal atau interaksi antar manusia
mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan dasar
manusia. Hubungan perawat – klien/pasien merupakan hubungan
pemberian bantuan dimana interaksi dilakukan dengan sengaja dan
dengan suatu tujuan, antara perawat sebagai seorang yang

14 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


mempunyai kewenangan dengan seseorang atau kelompok yang
mempunyai kebutuhan pelayanan kesehatan. Hubungan didasari
pada kontrak soaial, masing-masing pihak saling mengetahui hak dan
kewajiban.
2. Tujuan hubungan perawat dan klien
Tujuan hubungan terapeutik perawat – klien/pasien akan
tercapai apabila perawat mampu menciptakan hubungan bantuan
(helping relationship) yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Berorientasi pada kebutuhan klien/pasien
b.Selalu diarahkan pada pencapaian tujuan
c. Bertanggung jawab terhadap penyelesaian masalah klien/pasien
yang sulit
d.Menerima kondisi klien/pasien dengan segala keterbatasannya
e. Berkewajiban memberi bantuan pada klien/pasien untuk
menolong dirinya
f. Berkewajiban untuk membina hubungan berdasarkan rasa
percaya
g. Bekerja sesuai kaidah etik untuk menjaga kerahasiaan
klien/pasien dan hanya menggunakan informasi untuk
kepentingan dan persetujuan klien/pasien
h. Berkewajiban menggunakan komunikasi efektif untuk
memenuhi kebutuhan klien/pasien.
Hubungan perawat klien menjadi inti pada pemberian
asuhan keperawatan, yang memiliki konsep hubungan saling
percaya, empati, caring, otonomi dan mutualitas :
a. Hubungan saling percaya
Hubungan saling percaya ditumbuhkan melalui sikap
tulus dari perawat (genuineness) sehingga klien akan
merasakan keikhlasan dan akhirnya klien percaya. Perhatian
yang tepat ( careful attention ) terhadap setiap permintaan
klien sangat berpengaruh dalam menumbuhkan hubungan
saling percaya ( Potter and Perry, 1997 )
b. Empati
Empati berarti kemampuan untuk masuk kedalam
kehidupan orang lain, sehingga dapat mempersepsikan secara
akurat perasaan orang tersebut dan memahami arti perasaan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 15


tersebut bagi orang yang bersangkutan. Pada hubungan
perawat – klien empati menambah suatu dimensi lain bagi
adanya saling pengertian diantara perawat – klien. Sikap
empati dapat membantu klien memgerti dan mengeksplorasi
perasaannya sehingga dapat mengatasi masalahnya ( Potter
and Perry, 1997 ).
c. Caring (Pengasuhan)
Caring berarti mengandung tiga hal yang tidak dapat
dipisahkan yaitu perhatian, tanggung jawab dan dilakukan
dengan tulus. Perilaku caring seorang perawat terhadap
klien/pasien, antara lain menjadi pendengar yang baik. Bila
perawat mendengarkan dengan baik akan memberi arti kepada
klien/pasien. Tanpa menjadi pendengar yang baik, klien tidak
akan terbuka, merasa tidak dihargai dan merasa tidak puas.
Dengan demikian, sikap caring perawat saat berkomunikasi
ialah :
1) Berhenti berbicara atau paling tidak berbicara apabila klien
tidak berbicara dan jangan menginterupsi pembicaraan
klien.
2) Jauhkan distraksi.
3) Lihat klien pada saat berbicara.
4) Perhatikan hal – hal yang utama.
5) Evaluasi bagaimana pesan yang sudah diberikan.
6) Kaji apa yang diabaikan dalam komunikasi tersebut.
7) Evaluasi intensitas emosi yang ditunjukkan.
d. Otonomi dan mutualitas
Otonomi adalah kemampuan untuk menentukan sendiri
atau kemampuan untuk mengatur diri sendiri. Hal ini berarti
bahwa otonomi menghargai manusia sebagai individu yang
mampu menentukan sendiri apa yang baik bagi dirinya.
Mutualitas berarti kerjasama dengan orang lain . Konsep
tersebut sangat penting dalam hubungan perawat – klien
karena mereka akan bekerja sebagai satu tim. Pada saat klien
kontrak dengan perawat, klien bergantung pada perawat dan
perawat menginginkan klien kooperatif, yaitu mengikuti
anjuran tanpa bertanya. Pada sisi lain klien mengharapkan

16 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


perawat mengatasi masalahnya secepat mungkin.

C. PRINSIP MORAL
Pada praktek keperawatan terdapat prinsip – prinsip moral yang
merupakan fokus bagi praktek keperawatan. Prinsip-prinsip tersebut
bermuara pada interaksi profesional dengan klien/pasien serta
menunjukkan kepedulian perawat terhadap hubungan yang telah
dilakukannya. Menurut Beauchamp & Childress ( 1994 ) , terdapat tujuh
prinsip moral yang meliputi : autonomy, beneficence, non-
maleficence,Veracity, confidentiality, fidelity dan justice.
1. Autonomy (otonomi)
Otonomi berkaitan dengan hak seseorang untuk memilih bagi
diri sendiri, apa yang menurut pemikiran dan pertimbangannya
merupakan hal yang terbaik. Menghormati otonomi klien/pasien
ditunjukkan melalui perilaku perawat yang menghormati atau
menghargai klien/pasien dan keluarganya. Penerapan ” informed-
consent” secara tidak langsung menyatakan suatu trilogi hak
klien/pasien yaitu hak untuk dihargai, hak untuk menerima dan
menolak terapi.
2. Beneficence (kebaikan)
Prinsip beneficence atau melakukan tindakan untuk kebaikan
klien/pasien merupakan dasar dalam melakukan pelayanan
kesehatan yang baik. Perawat, dokter dan semua tenaga kesehatan
bekerja untuk meningkatkan kesehatan klien/pasien secara optimal.
Perawat melakukan tindakan untuk kebaikan klien/pasien ketika
memberikan suntikan, mengganti balutan dan memberikan
dukungan emosional bila klien/pasien cemas
3. Nonmaleficence (tidak membahayakan)
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak
membahayakan dan tidak menimbulkan kerugian atau cedera pada
klien/pasien. Kerugian atau cidera dapat diartikan adanya kerusakan
fisik seperti nyeri, kecacatan. kematian atau adanya gangguan emosi
antara lain adalah perasaan tidak berdaya , merasa terisolasi dan
adanya kekesalan. Kerugian juga dapat berkaitan dengan ketidak
adilan , pelanggaran atau berbuat kesalahan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 17


4. Veracity ( kejujuran )
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk
mengatakan suatu kebenaran, tidak berbohong atau menipu orang
lain. Kejujuran adalah landasan untuk ” informed consent ” yang baik
. Perawat harus dapat memberikan semua informasi yang diperlukan
oleh klien/pasien maupun keluarganya sebelum mereka membuat
keputusan.
5. Confidentiality ( kerahasiaan )
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap
semua informasi tentang klien/pasien yang dirawatnya. klien/pasien
harus diyakinkan bahwa informasi yang diberikan kepada tenaga
profesional kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan kepada
pihak lain secara tidak tepat. Perlu dipahami bahwa menjelaskan
informasi tentang klien/pasien dengan anggota kesehatan lain yang
ikut merawat klien/pasien dapat dilakukan ” selama informasi
tersebut relevan dengan kasus yang ditangani ”
6. Fidelity ( kesetiaan )
Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia atau
loyal pada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat.
Kewajiban ini meliputi menepati janji dan menyimpan rahasia serta
perhatian terhadap klien/pasien. Perawat berkewajiban untuk
berperilaku caring/perhatian dalam memberikan asuhan
keperawatan antara lain dengan memberikan perhatian kepada
klien/pasien, memberi pengharapan dan membuat klien/pasien
sejahtera.
7. Justice ( keadilan )
Keadilan bekenaan dengan kewajiban untuk berlaku adil
kepada semua orang. Perkataan adil sendiri berarti tidak memihak
atau tidak berat sebelah . Azas ini bertujuan untuk melaksanakan
keadilan dalam memberikan asuhan keperawatan, berarti setiap
orang harus mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan
kebutuhannya

18 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


D. Hak Klien/Klien/pasien dan Kewajiban Perawat
Hak klien/pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai
klien/pasien
1. Klien/pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit
2. Klien/pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur.
3. Klien/pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu
sesuai standar tanpa diskriminasi
4. Klien/pasien berhak memperoleh asuhan keperawatan sesuai standar
profesi keperawatan
5. Klien/pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai
dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit
6. Klien/pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas
menentukan pendapat klinis dan pendapat etisnya tanpa campur
tangan dari pihak luar.
7. Klien/pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang
terdaftar di rumah sakit tersebut ( second opinion ) terhadap penyakit
yang dideritanya dengan sepengetahuan dari dokter yang
merawatnya .
8. Klien/pasien berhak atas keleluasaan pribadi ” privacy ” dan
kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya
9. Klien/pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi : penyakit
yang diderita, tindakan medik yang hendak dilakukan, kemungkinan
penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk
mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosa dan perkiraan biaya
pengobatan.
10. Klien/pasien berhak menyetujui / memberikan ijin atas tindakan yang
akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang
dideritanya.
11. Klien/pasien berhak menolak tindakan yaang hendak dilakukan
terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas
tanggung jawabnya sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas
tentang penyakitnya.
12. Klien/pasien yang dalam keadaan kritis berhak didampingi oleh
keluarganya.
13. Klien/pasien berhak menjalankan ibadah sesuai dengan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 19


agama/kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak
mengganggu klien/pasien lainnya.
14. Klien/pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di rumah sakit.
15. Klien/pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas
perlakuan rumah sakit terhadap dirinya.
16. Klien/pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril
maupun spiritual.

E. Kewajiban Perawat
1. Perawat wajib mematuhi semua peraturan rumah sakit yang syah
menurut hukum antara perawat dengan pihak rumah sakit
2. Perawat wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah
sakit
3. Perawat wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati/perjanjian
yang telah dibuatnya
4. Perawat wajib memberikan pelayanan/asuhan keperawatan sesuai
standar profesi dan batas kewenangannya
5. Perawat wajib menghormati hak-hak klien/pasien
6. Perawat wajib merujuk klien/pasien kepada perawat lain/tenaga
kesehatan lain yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih
baik
7. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada klien/pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarganya dan dapat
menjalankan ibadah sesuai dengan agama/keyakinannya sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan pelayanan kesehatan
8. Perawat wajib bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain yang
terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien/pasien
9. Perawat wajib memberikan informasi yang adekuat tentang tindakan
keperwatan kepada klien/pasien dan atau keluarganya sesuai dengan
batas kewenangannya
10. Perawat wajib mendokumentasikan asuhan keperawatan secara
akurat dan berkesinambungan
11. Perawat wajib meningkatkan mutu pelayanan keperawatan sesuai
dengan standar profesi keperawatan dan kepuasan klien/pasien
12. Perawat wajib mengikuti perkembangan IPTEK keperawatan secara

20 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


terus menerus
13. Perawat wajib melakukan pertolongan darurat sebagai tugas
kemanusiaan sesuai dengan batas kewenangannya
14. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang klien/pasien bahkan juga setelah klien/pasien meninggal
kecuali jika diminta keterangannya oleh yang berwenang

F. KODE ETIK
1. Kode Etik Keperawatan
a. Pengertian Kode Etik
Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan
komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi
anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan. dan
juga merupakan kepedulian moral profesi keperawatan kepada
masyarakat
b. Fungsi Kode Etik Keperawatan, Kode etik perawat berfungsi
untuk:
1) Menunjukan kepada masyarakat bahwa perawat memahami
dan menerima kepercayaan dan tanggung jawab yang
diberikan oleh masyarakat kepadanya
2) Menjadi pedoman bagi perawat untuk berperilaku dan
menjalin hubungan keprofesian sebagai landasan dalam
melakukan praktek
3) Mengatur hubungan perawat dengan klien/pasien, dengan
sesama perawat, masyarakat dan dengan profesi keperawatan
4) Memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi
2. Kode Etik International Council of Nursing ( ICN)
Tanggung jawab utama perawat meliputi empat aspek , yaitu
meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memperbaiki
kesehatan dan mengatasi penderitaan. Kebutuhan tentang
keperawatan bersifat universal. Pada keperawatan terkandung
makna menghargai kehidupan, martabat dan hak –hak manusia,
tanpa membeda – bedakan manusia berdasarkan kebangsaan, suku,
ras, warna, umur, jenis kelamin, politik dan status sosial. Perawat
menyediakan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan
masyarakat serta mengkoordinasikan pelayanan tersebut dengan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 21


orang-orang yang terlibat.
a. Perawat dan Manusia
1) Tanggung jawab utama perawat adalah terhadap mereka
yang memerlukan asuhan keperawatan
2) Perawat dalam memberikan asuhan , menciptakan lingkungan
yang menghargai nilai-nilai, kebiasaan, keyakinan spiritual
individu
3) Perawat menjaga kerahasiaan informasi pribadi dan
mempertimbangkan secara tepat bila informasi tersebut perlu
diberikan kepada orang lain
b. Perawat dan Praktek
1) Perawat bertanggung jawab secara individu pada praktek
keperawatan dan untuk mempertahankan kompetensi dengan
belajar secara terus menerus. Perawat mempertahankan
standar asuhan keperawatan sesuai dengan standar yang
paling tinggi yang mungkin dapat dicapai dengan kondisi yang
ada
2) Perawat akan mempertimbangkan kompetensi individu bila
menerima dan mendelegasikan tanggung jawab
3) Perawat saat berperan atas nama profesi selalu
mempertahankan standar perilaku individu yang mendukung
kepercayaan pada profesi
c. Perawat dan Masyarakat
Perawat bersama –sama dengan warga/orang lain bertanggung
jawab untuk memikirkan dan mendukung kegiatan yang dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan dan kebutuhan sosial di
masyarakat
d. Perawat dan Teman Sejawat
Perawat memelihara hubungan kerjasama dengan teman
sejawat dalam bidang keperwatan dan dalam bidang lainnya.
Perawat melakukan tindakan yang tepat untuk melindungi
klien/pasien bila asuhan yang diberikan oleh teman sejawat atau
orang lain membahayakan klien/pasien
e. Perawat dan Profesi
1) Perawat berperan utama dalam menentukan dan
mengimplementasikan standar praktek keperawatan dan

22 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


pendidikan keperawataan
2) Perawat berperan aktif dalam pengembangan pengetahuan
keprofesian utama
3) Perawat bertindak atas nama organisasi profesi, berpartisipasi
dalam mengembangkan dan mempertahankan kondisi kerja
dalam keperawatan sesuai kebutuhan sosial dan ekonomi
3. Kode Etik PPNI
Kode Etik PPNI pertama kali dirumuskan pada tahun 1976 dan
beberapa kali mengalami perbaikan. Kode etik ini merupakan hasil
atau keputusan Munas VI PPNI tahun 2000.
a. PERAWAT DAN KLIEN
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
menghargai harkat dan martabat manusia, keunikan klien dan
tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan,
warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang
dianut serta kedudukan sosial
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari
klien/pasien
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya
kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku
b. PERAWAT DAN PRAKIK
1) Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang
keperawatan melalui belajar terus menerus
2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan
yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan
pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan klien/pasien
3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada
informasi yang adekuat dan mempertimbangkan kemampuan
serta kualifikasi seseorang bila melakukan konsultasi ,

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 23


menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang
lain
4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku profesional
c. PERAWAT DAN MASYARAKAT
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat
untuk memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam
memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat
d. PERAWAT DAN TEMAN SEJAWAT
1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya , dan dalam
memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun
dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh
2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenagaa kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten,
tidak etis dan tidak legal
e. PERAWAT DAN PROFESI
1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya
dalam kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan
pengembangan profesi keperawatan
3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk
membangun dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi
terwujudnya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.

24 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 25
BAB III
DESAIN PEMBELAJARAN KLINIK PENDIDIKAN PROGRAM
PROFESI NERS

Keberhasilan pembelajaran di klinik bagi mahasiswa keperawatan tahap


profesi sangat penting untuk mencapai tingkat performa yang optimum
dalam membentuk profesionalisme seorang calon perawat. Bimbingan yang
diberikan bertujuan untuk mengembangkan dan melatih mahasiswa ners
menjadi lebih cakap dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien. Bimbingan merupakan suatu alat terpenting untuk mencapai
kompetensi, mengubah perilaku, dan membentuk soft skill. Bimbingan
dapat bersifat jangka panjang atau jangka pendek. Bimbingan jangka
pendek sering disebut sebagai perceptorship sedangkan jangka panjang
disebut dengan mentorship atau mentoring . Selain itu terdapat juga model
bimbingan yang lain yaitu coaching, intership, learnership, apprenticeship
dan cooperative programs. Pada Modul ini akan dijelaskan mengenai desain
pembelajaran preceptorship dan mentorship.

A. PRECEPTORSHIP
a. Definisi
Preceptorship telah menjadi pendekatan yang sangat efektif
dalam pengajaran klinik dan suatu bagian integral dari orientasi
perawat baru (Hardiman & Hickey, 2001). Metode pengajaran dan
pembelajaran dalam preceptorship menggunakan perawat sebagai
role model. Sebuah role model dapat membentuk perilaku
seseorang yang sedang belajar.
Preceptorship bersifat formal, disampaikan secara perseorangan
dan individual dalam waktu yang sudah ditentukan sebelumnya
antara perawat yang berpengalaman ( preceptor) dengan
mahasiswa (preceptee) yang didesain untuk membantu preceptee
menyesuaikan diri dengan baik, mengembangkan kemampuan
praktik dan menjalankan tugas yang baru (CNA, 2004; NMC, 2009).
Pelaksanaan preceptorship melibatkan seorang preceptor dan
preceptee. Seorang preceptor merupakan seorang profesional yang
berpengalaman di bidang keperawatan dalam mengajar,

26 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


mengawasi, dan berfungsi sebagai panutan bagi siswa atau lulusan
perawat, untuk jangka waktu yang sudah diatur sebelumnya, dalam
program formal. Preceptor adalah perawat berpengalaman yang
memberikan dukungan emosional dan merupakan model peran
klinis yang kuat bagi perawat baru dalam proses adaptasi terhadap
peran (Marquis & Huston, 2010, Cooper & Palmer, 2000). Rose
(2007) mempunyai pendapat yang sama bahwa preceptors adalah
orang yang ahli yang memberikan pengalaman praktik, pelatihan,
konsultasi, dapat menginspirasi, menjadi role model dan
mendukung pertumbuhan dan perkembangan seorang individu
(preceptee).
Seorang preceptor adalah orang yang mampu melakukan dan
telah mendapatkan kompetensi dasar yang dibutuhkan bagi
seorang preceptee. Peran utama dari preceptor adalah untuk
memastikan membangun kepercayaan diri dalam peran baru sesuai
dengan standar dan pedoman. Preceptorship dilaksanakan untuk
membantu meningkatkan keterampilan keperawatan dan penilaian
klinis yang diperlukan agar dapat melakukan praktik yang efektif
dalam lingkungan praktik.
b. Tujuan Preceptorship
Program preceptorship dalam pembelajaran bertujuan untuk
membentuk peran dan tanggungjawab untuk menjadi perawat yang
profesional dan berpengetahuan tinggi, dengan menunjukan
sebuah pencapaian berupa memberikan perawatan yang aman,
menunjukan akuntabilitas kerja, dapat dipercaya, menunjukan
kemampuan dalam mengorganisasi perawatan pasien dan mampu
berkomunikasi dengan baik terhadap pasien dan staf lainnya (CNA,
2004). Preceptorship dapat menyediakan mekanisme dukungan
terstruktur untuk preceptee dalam rangka untuk membangun
kepercayaan diri dan meningkatkan kompetensi.
c. Waktu Pelaksanaan
Lama waktunya tergantung ciri-ciri dari pada peserta program,
kebutuhan sekelompok pasien, dan juga jenis setting dari institusi.
Menurut Beecroft, Dorey, dan Wentern (2008) bahwa program
pembimbingan preceptorship dapat berlangsung selama 22
minggu.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 27


d. Manfaat
Manfaat program Preceptorship dirasakan memberikan
keuntungan terhadap Preceptee, Preceptor, dan Instansi tempat
bekerja (Penprase, 2012; Watkins, 2013). Preceptorship bagi
preceptee dapat memberikan kepuasan kerja, stress berkurang,
pengembangan diri yang signifikan, rasa percaya diri meningkat,
mencapai sikap, pengetahuan, dan keterampilan baru yang lebih
baik. Sedangkan untuk preceptor, akan meningkatkan harga diri
dan rasa percaya diri, menjadi sarana dalam mengembangkan diri
dan aktualisasi diri serta adanya kesadaran diri sebagai role model
yang semakin meningkat. Selain berdampak positif terhadap
individu yang terlibat langsung dalam program, preceptorship juga
memberikan keuntungan kepada instansi. Nilai tambah yang
didapatkan institusi antara lain peningkatan mutu dalam pelayanan
yang diberikan, menurunkan tingginya biaya perawatan,
meningkatkan produktivitas, meningkatkan kepuasan pasien dan
perawat serta loyalitas yang baik perawat maupun pasien kepada
institusi/rumah sakit.
Preceptorship menurut CNA (2004) juga memberikan manfaat
untuk profesi keperawatan, yaitu: meningkatkan dukungan
terhadap lulusan baru, membantu perawat untuk menjaga dan
memperoleh kompetensi baru, meningkatkan jumlah perawat yang
cakap dalam kepemimpinan dan terampil mengajar, meningkatkan
kualitas kerja bagi perawat yang sudah bekerja, mengurangi
kebutuhan perekrutan perawat dan edukasi perawat. Myrick, Yonge
& Haase (2002) menambahkan bahwa keuntungan untuk profesi
adalah perawat mempunyai ketrampilan berfikir kritis yang semakin
meningkat.
e. Kompetensi Preceptor
Seorang preceptor harus memiliki kompetensi yang sesuai agar
perannya sebagai seorang preceptor akan lebih diakui dan akan
mendukung profesionalitas kerja yang dilakukannya. Canadian
Nurses Association menjelaskan ada lima kompetensi yang harus
dimiliki seorang preceptor, yaitu kolaborasi, atribut personal,
fasilitasi belajar, praktik profesional dan pengetahuan tatanan klinik.

28 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


1) Kolaborasi.
a) Berkolaborasi dengan preceptee pada semua tahapan
preceptorship.
b) Menyusun dan menjaga kerjasama dengan institusi
pendidikan, profesi pelayanan kesehatan, dan klien.
c) Membuat jaringan dengan preceptor lain untuk
mendiskusikan peningkatan praktik.
d) Membantu menginterpretasikan peran preceptee kepada
individu, keluarga, dan komunitas.

2) Atribut Personal
a) Menunjukan antusias dan tertarik pada preceptor.
b) Menunjukan ketertarikan dalam kebutuhan dan
perkembangan pembelajaran preceptee.
c) Membantu perkembangan pembelajaran lingkungan yang
positif.
d) Beradaptasi untuk berubah.
e) Menunjukan kemampuan komunikasi yang efektif dengan
klien dan institusi pendidikan.
f) Menunjukan kemampuan pemecahan masalah yang efektif.
g) Menunjukan kesiapan dan keterbukaan untuk belajar dengan
preceptor.
h) Menunjukan tanggung jawab atas perbedaan preceptee (latar
belakang pendidikan, ras, kulturdll)
i) Menggabungkan preceptee kedalam budaya sosial.
j) Memiliki kepercayaan diri dan kesabaran.
k) Mengakui keterbatasan diri dan berkonsultasi dengan
oranglain.

3) Fasilitasi belajar
a) Menilai kebutuhan pembelajaran klinik preceptee dalam
bekerjasama dengan preceptee dan institusi
pendidikan/koordinator program dengan cara:
(1) Meninjau kompetensi dasar sesuai dengan bidang ilmu
(praktik, pendidikan), standar praktik, tempat (rumah
sakit, klinik spesialis).

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 29


(2) Membicarakan harapan hasil pembelajaran berdasarkan
atas data pada kompetensi dasar.
(3) Mengkaji pengalaman preceptee sebelumnya dengan
tanggung jawab pengetahuan dan keahlian untuk menjaga
pemahaman, perkembangan, dan kebutuhan
pembelajaranyang spesifik pada tempat praktek.
(4) Mengidentifikasi potensi belajar pada tempat praktek yang
akan menyesuaikan perkembangan dan kebutuhan belajar
preceptee.
(5) Membantu preceptee untuk mengembangkan hasil
pembelajaran individu, peran saat praktek sesuai dengan
panduan Specific (spesifik), Measurable and observable
(dapat diukur dan diobservasi), Achievable (dapat dicapai
dengan sumber yang memadai selama preceptorship),
Relevant (relevan), Time(waktu).
b) Merencanakan aktivitas pembelajaran klinik dalam
bekerjasama dengan preceptee dan institusi
pendidikan/koordinator program, dengan cara:
(1) Membantu preceptee untuk mencari tempat kegiatan
pembelajaran untuk mendapatkan hasil pembelajaran dan
untuk membuat waktu preceptee supaya optimal.
(2) Ketika memungkinkan, pilihlah tugas klinik / aktivitas
pembelajaran sesuai dengan yang teridentifikasi pada hasil
pembelajaran dan cara belajar preceptee.
(3) Ketika memungkinkan urutkan tugas klinik / aktivitas
pembelajaran selama preceptorship dari hal yang kecil
sampai yang kompleks guna meningkatkan pengetahuan.
c) Mengimplementasikan pembelajaran klinik dalam tempat
praktek dengan bekerjasama dengan preceptee dan institusi
pendidikan/koordinator program dengan cara:
(1) Menyusun strategi pembelajaran klinik dengan tepat.
(2) Membantu preceptee dalam menyiapkan fasilitas
pembelajaran.
(3) Jika memungkinkan, kaji aktivitas preceptee. Ini bertujuan
untuk mengetahui kemajuan dan mengatur aktivitas
tersebut.

30 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


(4) Berdiskusi dengan preceptee terkait kendala-kendala
dalam praktek.
(5) Mengklarifikasi peran preceptor dan preceptee untuk
merencanakan kegiatan.
(6) Memberikan umpan balik secara konstruktif (contohnya
pelatihan, dukungan, dorongan dan pujian).
(7) Melakukan intervensi secara cepat dalam hal-hal yang
tidak diinginkan.
(8) Penyesuaian level supervisi guna membantu
perkembangan diri.
d) Mengevaluasi hasil pembelajaran klinik dalam kerjasama
dengan preceptee dan institusi pendidikan/koordinator
program, dengan cara:
(1) Memberikan umpan balik secara konstruktif menggunakan
lembar evaluasi (contohnya evaluasi formatif harian /
mingguan)
(2) Menanyakan pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan
preceptee yang telah dipelajari.
(3) Menjelaskan penilaian preceptor terhadap kegiatannya.
(4) Mendiskusikan ketidakcocokan antara preceptor dan
preceptee
(5) Berpartisipasi dengan mahasiswa dalam melengkapi
lembar evaluasi struktur yang menekankan pentingnya
evaluasi diri, dan untuk mengetahui kemajuan hasil
pembelajaran dan potensi berikutnya (contohya, evaluasi
sumatif yang dilakukan saat tengah dan akhir
pembelajaran klinik).
(6) Memberikan pujian dan dukungan pembelajaran
lingkungan dengan memfokuskan pada potensi
mahasiswa, pencapaian dan kemajuan menjelang
pertemuan melalui proses evaluasi.
(7) Memberikan umpan balik yang positif tentang peningkatan
atau kesalahan untuk mendapatkan fundamental,
profesional atau sasaran diri.
(8) Melakukan langkah yang tepat jika perkembangan hasil
pembelajaran kurang memuaskan (contohnya

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 31


berkonsultasi dengan pembimbing institusi
pendidikan/koordinator program).
(9) Menanyakan pertanyaan terbuka kepada mahasiswa untuk
menentukan pemahaman keefektifan intervensi preceptor
untuk memfasilitasi pembelajaran klinik.

4) Praktik Profesional
a) Berperilaku otonomi dan konsisten sesuai dengan standar
keperawatan yang diakui oleh peraturan dan kode etik
keperawatan.
b) Membantu mahasiswa untuk mendapatkan ilmu, keahlian dan
keputusan peraturan provinsi dan kode etik keperawatan.
c) Mengklarifikasi peran, hak dan tanggungjawab yang
berhubungan dengan pembelajaran klinik.

5) Pengetahuan Tatanan Klinik


a) Isi dasar pengetahuan: Misi dan filosofi, Kebijaksanaan dan
prosedur, Lingkungan fisik, Peran dan fungsi interdisiplin,
Format, dokumentasi dan mekanisme pelaporan dan sumber
pembelajaran.
b) Menunjukkan peran perawat dengan kelompok mutidisiplin.
c) Mengkaji tujuan institusi pendidikan bagi mahasiswa dan
preceptor (contohnya; harapan dari pelaksanaan
pembelajaran klinik, dan apa yang dilakukan mahasiswa
selama pembelajaran klinik.
f. Tugas Preceptors
Menurut Minnesota Department of Health (2005), seorang
preceptor mempunyai 3 peran yaitu sebagai pengasuh, pendidik,
dan sebagai panutan. Tugas atau peran seorang preceptor adalah
menjembatani kesenjangan antara apa yang preceptee pelajari
ketika di kampus dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Preceptor membantu preceptee untuk menumbuhkan kepercayaan
diri dan mendapatkan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan
ketika melakukan peran barunya sebagai perawat di klinik (Oerman
& Heinrich, 2003).

32 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Preceptor memfasilitasi pembelajaran melalui pengembangan
sikap saling percaya dalam pelaksanaan preceptorship. Seorang
preceptor harus melihat preceptee sebagai seseorang yang
mempunyai kemampuan dan ketertarikan untuk menjadi perawat
yang berkompeten dengan segala kerentanannya selama proses
pembelajaran (Ohrling, 2001). Seorang preceptor harus memiliki
tanggungjawab sebagai:
1) Role Modelling (panutan)
a) Menunjukan praktik keperawatan profesional yang
kompeten, mendorong preceptee untuk mengintegrasikan
praktik klinikal yang profesional.
b) Menunjukan kemampuan berkomunikasi yang efektif
dengan anggota tim dan pasien.
c) Mengetahui pengetahuan pasien tentang tempat,
kebutuhan klinikal umum dan frekuensi penggunaan
kemampuan klinikal.
d) Mengetahui kebutuhan utama pasien.

2) Skill Building (Pembangun kemampuan)


a) Mengembangkan sebuah pembelajaran kontrak atau
menggabungkan keinginan preceptee tentang akuisisi
kemampuan yang dimiliki untuk difungsikan di level yang
diharapkan dari area kerja.
b) Memastikan preceptee menjadi tidak asing lagi dengan
kompetensi utama dari areakerja.
c) Menyesuaikan gaya pengajaran agar cocok dengan gaya
pembelajaran dari preceptee.
d) Menciptakan kesempatan pembelajaran, mengijinkan untuk
praktik, pengulangan dan evaluasi diri.

3) Critical Thinking (Pemikir yang kritis)


a) Mengidentifikasi kemampuan dan pengetahuan yang sudah
dimiliki preceptee dan menggunakan pengetahuan serta
kemampuan tersebut sebagai dasar untuk pencapaian
tujuan.
b) Memberdayakan preceptee untuk berpikir melalui masalah.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 33


c) Mendorong preceptee untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan.
d) Menawarkan umpan balik yang konstruktif yang bersifat
reguler.
e) Mempunyai kemampuan untuk mengartikulasikan rasional
untuk praktik preceptee.
f) Menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengambilan
resiko dan pembelajaran, mengijinkan preceptee untuk
belajar dari kesalahan.

4) Socialization (Sosialisasi)
a) Bekerja dengan tim untuk menyambut anggota baru atau
praktikan ditempat kerja.
b) Memastikan pemahaman tentang aspek sosial dari suatu
ruang, peraturan yang tidak dikatakan, pemfungsian unit,
rantai perintah dan sumber daya.
c) Mengorientasikan preceptee terhadap tempatkerja,
pengenalan, komunitas di dalam praktik dan budaya tim.
g. Langkah-langkah Preceptors dalam bimbingan klinik
Ada 3 langkah yang diperlukan preceptors dalam
pembelajaran klinik yaitu:
1) Persiapan awal pertemuan : Hal yang perlu dilakukan oleh
perceptors adalah : 1) Mencari tahu tentang kebutuhan
preceptee dalam bimbingan klinik; 2) Membantu preceptee
menentukan tujuan bimbingan yang ingin dicapai; 3)
Menanyakan kepada preceptee tentang tugas yang
dibebankan; 4) Memperkenalkan tentang sikap preceptors dan
kesempatan bimbingan; 5) Menjajaki psikologis preceptee
tentang kesiapan bimbingan, serta memberi dukungan
preceptee untuk self – assessment setiap tahap bimbingan.
2) Tahap Pelaksanaan : Hal yang perlu dilakukan oleh perceptors
adalah : 1) Mendukung preceptee untuk mengetahui
kelemahan dan kelebihan diri sendiri; 2) Mengklarifikasi setiap
ide preceptee. 3) Memberikan saran kepada preceptee untuk
perbaikan; 4) Mencatat point-point penting yang disampaikan
oleh preceptee 5) Mengevaluasi kembali perkembangan

34 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


pengetahuan preceptee setelah akhir pembelajaran; 6)
Mendorong preceptee untuk menjawab pertanyaan perceptors.
3) Tahap Evaluasi: Hal yang perlu dilakukan perceptors adalah:
1)Mendiskusikan dengan preceptee tentang hal- hal yang
dianggap penting; 3) Menilai kemajuan dan kemampuan
preceptee dalam proses pembelajaran tentang topik yang
sudah disepakati.
h. Pertimbangan-pertimbangan Keberhasilan Program
Preceptorship
Banyak faktor yang harus dipertimbangkan dalam
mengembangkan program preceptorship, termasuk tingkat
kecemasan pada preceptee, beban kerja preceptor, konflik dan
kemitraan. Pengalaman dalam program preceptorship dapat
menyebabkan stress yang signifikan terhadap preceptee (Yonge,
Myrick, & Haase, 2002) dan dapat menimbulkan kekecewaan
terhadap profesi keperawatan. Keterbukaan dalam berbagi
informasi antara preceptee dan preceptor maupun dengan
koordinator program ners adalah satu hal yang sangat penting
untuk dilakukan dan harus tetap dipertahankan. Seorang preceptor
harus mengetahui tentang bagaimana mengenali stress pada
preceptee, bagaimana cara membantu mereka mengatasi stress
atau bagaimana cara memberikan bantuan lebih lanjut, misalnya
konseling ketika itu memang dibutuhkan.
Penting untuk mengenali bahwa konflik bisa saja timbul antara
preceptor dan preceptee (Mamchur &Myrick, 2003). Program-
program orientasi harus memberikan wawasan dan pendekatan
bagi preceptor dan preceptee tentang bagaimana mengenali dan
menyelesaikan masalah.

B. MENTORSHIP
Penerapan mentoring di Keperawatan dapat meningkatkan
kerjasama interprofesional perawat dalam memberikan pelayanan
keperawatan. Mentoring yang efektif dapat meningkatkan kualitas
pelayanan keperawatan di rumah sakit (Grossman, 2014; Anatole, et.al,
2013). Mentoring di keperawatan banyak dilakukan untuk memfasilitasi
masa transisi perawat baru, selain itu juga dilakukan mentoring oleh

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 35


perawat yang mempunyai level jenjang karir yang lebih tinggi kepada
perawat dengan jenjang karir dibawahnya, dengan tujuan untuk
meningkatkan kompetensi ketrampilan klinis serta mendukung untuk
pencapaian jenjang karir selanjutnya. Individu yang memiliki mentor
pada umumnya lebih puas dengan pekerjaan dan karir, dan juga lebih
sering menerima promosi dan kompensasi (Kim & Zabelina, 2011).
a. Definisi
Mentoring merupakan salah satu sarana yang didalamnya
terdapat proses belajar. Orientasi dari mentoring adalah
pembentukan karakter dan kepribadian seseorang sebagai mentee
(peserta mentoring). Kegiatan mentoring menciptakan suasana
saling belajar yang akan memberikan perubahan ke titik yang lebih
baik. Dari tidak tahu menjadi tahu bahkan masing-masing menjadi
ahli dan lebih berpengalaman. Tujuan mentoring adalah untuk
mendorong, mendukung dan membimbing perawat sehingga
perawat akan terus tumbuh secara pribadi dan profesional (Flynn &
Stack, 2006). Mentoring bisa menjadi suatu alat efektif yang akan
menghasilkan motivasi tinggi dan mencapai tujuan organisasi.
Hill & Sawatzky (2011) mendefinisikan mentoring sebagai
hubungan yang unik antara mentor dan mentee dengan tujuan
menyampaikan pengetahuan dan keterampilan dari mentor kepada
mentee, memberikan kesempatan untuk berdiskusi yang
menghasilkan refleksi, melakukan kegiatan/tugas dan pembelajaran
untuk keduanya (Rolfe-Flett, 2002). Dalam hubungan mentoring ini,
mentor memandu mentee sekaligus menciptakan lingkungan yang
mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan
mentee. Mentor adalah profesional yang kompeten dan
berpengalaman yang membina hubungan dengan junior dengan
tujuan memberikan saran, dukungan, informasi dan umpan balik
untuk mendorong perkembangan individu. Mentoring juga
merupakan hubungan yang memberikan umpan balik antara mentor
dan mentee secara terus menerus dan dinamis untuk meningkatkan
pertumbuhan personal dan profesional, baik mentor maupun mentee
(Kim & Zabelina, 2011; Olivero, 2014). Mentoring merupakan suatu
hubungan antara dua orang ( mentor dan mentee ) yang

36 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


b. Tugas Mentoring
Tugas utama dalam mentoring meliputi membangun hubungan
pribadi yang positif, membantu dalam mengembangkan keterampilan
hidup, membantu dalam manajemen kasus, meningkatkan kesadaran
dan kemampuan untuk berinteraksi dengan kelompok-kelompok sosial
dan budaya lainnya.

c. Karakteristik Mentoring
Karakteristik mentoring yaitu sifat hubungan yang menguatkan
dan memberdayakan, menawarkan serangkaian metode untuk
memfasilitasi pembinaan dan memberikan dukungan. Mentoring
memberikan kebebasan untuk memilih baik mentee maupun mentor,
hal ini akan memberikan kenyamanan bagi mentor maupun mentee
dalam membangun hubungan dan bagi pengembangan diri.
Hubungan dalam mentoring dilakukan secara berkelanjutan selama
waktu yang tidak terbatas atau disesuaikan dengan pencapaian.
Hubungan mentoring berlangsung lebih lama yaitu beberapa bulan
sampai beberapa tahun. Kegiatan mentoring dapat dilakukan di
tempat kerja atau secara formal, di kelas ataupun di tempat
pertemuan mentor dan mentee yang telah disepakati bersama.
Konten pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan
mentee. Mentor membantu cara bersosialisasi, komunikasi, tujuan
karir dan pemecahan masalah. Melalui pengalaman dan keahlian
mentee sendiri, mentor dapat membantu mentee menentukan
langkah yang harus diambil. Keberhasilan program mentoring dapat
dievaluasi dengan memantau kinerja mentee di tempat kerja (Flynn
& Stack, 2006).

d. Karakteristik Mentor
1. Mentor memiliki keterampilan dan atribut tertentu. Kemampuan
dan kompetensi yang sesuai untuk menjadi role model yang
relevan, seperti keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai
kinerja yang baik di lingkungan kerja,
2. Mentor dan mentee sebaiknya memiliki jenis kelamin yang sama.
3. Berusia 8-14 tahun lebih tua.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 37


4. Memiliki posisi kewenangan dalam organisasi. Mentor biasa
memilih mentee karena kualitas kepemimpinan atau
manajerialnya.
5. Tidak bekerja di unit kerja yang baru.
6. Perawat yang berpengalaman, perawat praktik lanjut, pimpinan
administratif, dan perawat pendidik.
7. Mentor dipilih oleh mentee melalui daftar yang diberikan
koordinator mentor kepada mentee.
8. Mempunyai sifat Caring
9. Pendengar yang baik
10. Emosi yang stabil.
11. Menunjukkan sikap kepemimpinan
12. Mempunyai komitmen
13. Tidak menghakimi
14. Menjaga rahasia atau informasi yang disampaikan oleh mentee
15. Sabar
16. Mempunyai selera humor yang baik dan tepat
17. Mempunyai toleransi yang tinggi

Tabel 3.4 Karakteristik yang diperlukan untuk mentor dan mentee


meliputi:
Sikap Kemampuan
Asertif kepemimpinan
Komitmen Kemampuan untuk bekerja dengan opini yang
beragam
Kerahasiaan kemampuan untuk menimbulkan antusiasme
Kebijaksanaan Kemampuan mendengarkan
Kejujuran Komunikasi efektif
Loyalitas Kemampuan mengidentifikasi kesempatan dan
peluang
Motivasi Kemampuan untuk melihat yang terbaik / potensi
dalam diri orang lain
Keterbukaan Kemampuan untuk bertindak sebagai role model
Kesabaran Kemampuan untuk menerima perubahan
menghadapi
situasi sulit
38 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019
sikap positif Kemampuan memecahkan masalah
dalam bekerja
Realisme Kemampuan investigasi
Menghormati Kemampuan untuk memberikan umpan balik yang
konstruktif
Kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi
Kemampuan untuk melihat masalah secara berbeda
pada setiap mentee (Murray & Owen, 1991

e. Keuntungan mentoring
Mentoring memberikan keuntungan baik bagi mentor , mentee
dan juga institusi (CNA, 2004).
1) Keuntungan bagi mentee
Keuntungan untuk mentee adalah terjadinya peningkatan
kompetensi, percaya diri dan rasa aman, kepuasan kerja,
penurunan tingkat stres, jaringan kerja meluas, kemajuan karir,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan, pengembangan
bakat yang diketahui dan yang belum ditemukan, pengembangan
etika pribadi, dan pembentukan persahabatan. Peran dan
dukungan Mentor pada diri mentee , mengekspresikan ide-ide
secara bebas, dan menjunjung tinggi harapan dapat
meningkatkan harga diri, konsep diri, dan kepercayaan diri
mentee dan dapat menginspirasi perawat pemula untuk
mencapai potensi penuh dalam karir profesional keperawatan
(Gerhart, 2012). Hubungan mentoring yang baik juga dapat
menciptakan lingkungan kerja yang positif yang mendorong
pembelajaran, memberikan manfaat bagi perkembangan karir
dan psikososial mentee , berkurangnya stres dan konflik kerja
pada perawat, meningkatnya kepuasan kerja dan karir sehingga
dapat menurunkan turnover (Kim & Zabelina, 2011).
2) Keuntungan bagi mentor
Keuntungan bagi mentor adalah mencapai kepercayaan diri,
peningkatan kepuasan kerja dan perasaan berharga, peningkatan
ketrampilan, perkembangan diri dan pembelajaran, motivasi akan
ide baru, potensial untuk meningkatkan karir. Pengalaman
mentoring memberi mentor kesempatan untuk mengajar dan
Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 39
belajar. Mentor juga merasa terdorong untuk tetap up to date
pada keterampilan klinis dan pengetahuan untuk memastikan
bahwa kinerja yang dilakukan berdasarkan evidence base practice
karena mentor menawarkan dukungan klinis untuk para mentee
(Hill & Sawatzky, 2011). Proses mentoring juga memberikan
mentor energi baru yang segar dan rasa ingin tahu, dan memiliki
cara baru dalam memandang sesuatu serta dapat meningkatkan
produktivitas kerja mentor (Kim & Zabelina, 2011).
3) Keuntungan bagi institusi
Keuntungan yang diperoleh institusi adalah peningkatan
kemampuan untuk rekruitment dan komitmen pada organisasi,
perbaikan kualitas perawatan, penurunan turn over , dan
pengembangan kerja sama. Mentoring dapat berdampak pada
kepuasan kerja perawat dan dapat mendorong lingkungan kerja
yang positif dengan menghasilkan perawat yang puas dengan
karir. Hill & Sawatzky (2011) dan Gerhart (2012) menyebutkan
mentoring dapat menciptakan kerja sama tim yang baik serta
menciptakan lingkungan belajar untuk pendidikan berkelanjutan
yang dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan personal dan
institusi tempat bekerja. Institusi juga dapat memanfaatkan
program mentoring untuk membuat sikap kerja yang positif dan
menurunkan turn over.

f. Peran dan tanggung jawab mentor


Greene dan peutzer dalam CNA, (2004) menggambarkan tiga
peran dari mentor , yaitu:
1) Role model yang mendampingi melalui contoh dan teladan.
2) Socializer, yaitu menolong dan memfasilitasi untuk
mengintegrasikan mentee dan budaya sosial.
3) Educator, mengidentifikasi kebutuhan belajar dan merencanakan
pengalaman kepada mentee .
Tanggungjawab mentor adalah bertindak sebagai role model
yang profesional, percaya diri dalam praktek kompetensi,
berkolaborasi dengan dan melindungi mentee, berkomitmen untuk
belajar sendiri dan dari orang lain, simpatik, mendukung dan
menghargai, emmpunyai harapan dan pendekatan ayng konsisten

40 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


dan memfasilitasi pengenalan mentee akan organisai, memberikan
penguatan dan pendampingan bagi mentee , berkomunikasi dengan
koordinator bila perlu (CNA, 2004).
Peran sebagai mentor manajer keperawatan adalah sebagai
berikut (Darling, 1984 dikutip oleh Marquis dan Huston, 1998).
1) Model: seseorang yang perilakunya menjadi contoh dan panutan.
2) Envisioner: seseorang yang dapat melihat dan berkomunikasi arti
keperawatan profesional dan keterkaitannya dalam praktik
keperawatan.
3) Energizer: seseorang yang selalu dinamis dan memberikan
stimulasi kepada staf untuk berpartisipasi terhadap program
kerjanya.
4) Investor: seseorang yang mengivestasikan waktu dan tenaga
dalam perkembangan profesi dan organisasi.
5) Supporter: seseorang yang memberikan dukungan emosional dan
menumbuhkan rasa percaya diri.
6) Standard procedure: seseorang selalu berpegang pada standar
yang ada dan menolak aktivitas yang kurang atau tidak
memenuhi kriteria standar.
7) Teacher-coach: seseorang yang mengajarkan kepada Anda
tentang kemampuan skill interpersonal, dan politik yang penting
dalam pengembangan.
8) Feedback giver: seseorang yang memberikan umpan balik, baik
secara tulus positif atau positif dalam perkembangan.
9) Eye-opener: seseorang yang selalu memberikan
wawasan/pandangan yang luas tentang situasi terbaru yang
terjadi.
10) Door-opener: seseorang yang selalu membuka diri dan
memberikan kesempatan kepada staf untuk berkonsultasi.
11) Idea bouncer: seseorang yang akan selalu berdiskusi dan
mendengar pendapat Anda.
12) Problem solver: seseorang yang akan membantu dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah.
13) Career counselor: seseorang yang membantu dalam
pengembangan karier (cepat ataupun lambat).

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 41


14) Challenger: seseorang yang mendorong untuk menghadapi
perubahan/tantangan secara kritis dan pantang menyerah.

g. Tahapan mentoring
Tahap proses mentoring terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahap
invitasi, tahap keraguan dan tahap transisi. Pertama tahap invitasi,
pada tahap ini mentor menggunakan waktu dan energi untuk
mengasuh individu yang bertujuan untuk belajar dan mempercayai
mentor dengan rasa hormat. Perawat mentor memulai tahapan
invasi dengan melakukan pertemuan dengan perawat mentee untuk
berbagi pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman personal
mengenai pertumbuhan profesional.
Kedua, tahap keraguan, pada tahap ini perawat baru/ mentee
mengalami keraguan dan takut tidak mampu mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Mentor membantu mentee mengklarifikasi tujuan
dan strategi untuk mencapainya, membagi pengalaman personal dan
berperan sebagai penasehat dan sumber dukungan selama masa
keraguan. Tahap selanjutnya adalah tahap transisi, mentor
membantu mentee untuk menyadari kelebihan/kekuatan dan
keunikan dari mentee tersebut. Mentee tersebut pada tahap ini
mampu membina orang lain.
Keberhasilan dari kegiatan mentoring tidak lepas dari hubungan
yang intens antara mentor dan mentee dalam menggali pengalaman
atau keterampilan sehingga mencapai suatu tujuan yang
komprehensif. Selama proses tahapan mentoring berlangsung
terdapat fase hubungan yang terjadi antara mentor dan mentee .
Fase hubungan dalam mentoring menurut Norwood (2010) terdiri
atas tiga fase, antara lain: fase inisiasi, fase kerja (pelaksanaan), dan
fase terminasi. Fase inisiasi berfokus pada identifikasi kesamaan
karakteristik antara individu mentor dan mentee , kemampuan atau
pengakuan nilai-nilai yang dianut. Fase inisiasi bertujuan untuk
menyamakan persepsi antara mentor dan mentee serta untuk
mengidentifikasi kemampuan mentee. Mentor dan mentee pada
fase inisiasi harus berkomitmen untuk melaksanakan program
mentoring sampai selesai. Hal yang perlu diperhatikan dalam fase ini
adalah keterbatasan mentor dan kemampuan mentee .

42 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Fase kedua adalah fase kerja (pelaksanaan), fase ini berfokus
pada pertumbuhan dan perkembangan dalam pencapaian program
mentoring. Fase kerja terdiri dari beberapa sesi pertemuan
mentoring. Hubungan saling percaya antara mentor dan mentee
mulai terbentuk sejalan dengan perkembangan fase ini. Mentee
secara bertahap menjadi lebih mandiri dan terkadang tidak
mengharapkan bantuan. Selanjutnya, mentee dengan segala
pemahaman barunya menjadi seorang yang ingin mencoba dan
mengambil resiko yang terus dipantau serta didukung. Kegiatan pada
fase kerja meliputi kegiatan berlatih dan simulasi dari mentee serta
penerapan langsung dari apa yang telah dipelajari selama program
mentoring . Akhir dari fase kerja ini, kepercayaan diri mentee terus
meningkat.
Fase yang ketiga adalah fase terminasi, pada fase terminasi,
mentee bekerja dan bertindak atas inisiatif sendiri dan pada posisi
ini mentee telah bekerja secara mandiri. Fase terminasi juga
melakukan evaluasi dari apa yang telah dilakukan mentee dan
hambatan yang dirasakan serta pemecahan masalahnya. Jika selama
proses dirasakan bermanfaat oleh kedua pihak, maka keduanya
dapat mempertahankan hubungan pertemanan. Masalah potensial
dalam hubungan mentoring dapat berupa mentor yang over
protektif atau terlalu mengontrol sehingga membekukan kreatifitas
dan inovasi mentee . Eksploitasi dapat terjadi jika mentor memiliki
tujuan untuk pelayanan pribadi mentor .
Hubungan yang terjalin dengan baik antara mentor dan mentee
selama kegiatan mentoring akan berdampak pada pencapaian tujuan
yang telah ditetapkan. Proses mentoring yang terencana dapat
meningkatkan kemampuan secara hard skill dan soft skill.
Kemampuan hard skill yang dapat ditingkatkan adalah pencapaian
target kompetensi ketrampilan perawat. Hal tersebut dapat
ditingkatkan dengan adanya dukungan yang diberikan dalam proses
mentoring dan penggunaan sumber belajar yang maksimal.
Pencapaian kompetensi soft skill yang dapat dilihat adalah adanya
peningkatan rasa percaya diri mentee dalam bekerja dan
beradaptasi di lingkungan yang baru. Selain itu keberhasilan
mentoring dalam peningkatan soft skill dapat dilihat dari adanya

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 43


kemampuan dalam manajemen diri dan problem solving serta koping
yang digunakan saat menghadapi masalah. Mentoring dapat
memfasilitasi keberhasilan mentee dalam menghadapi masa transisi
dan membantu adaptasi dengan koping yang adaptif.

C. PENGEMBANGAN PROGRAM PRECEPTORSHIP DAN


MENTORSHIP

1. Preceptorship dan mentoring serta program role modeling yang


lainnya akan mencapai tujuan dan hasil yang efektif ketika program
tersebut menjadi bagian dari strategi institusi untuk menciptakan
lingkungan belajar. Terdapat enam tahapan untuk mengembangkan
program dengan sukses, yaitu mengkaji kebutuhan, identifikasi
filosofi, menyusun perencanaan, pengorganisasian, implementasi
dan evaluasi.
Tahap pertama, mengkaji kebutuhan. Pengkajian kebutuhan
harus dilakukan sebelum mengembangkan program. Pengkajian
dapat dilakukan dengan cara: 1) melakukan diskusi/konsultasi
dengan kelompok dan individu yang berkaitan (pengelola, organisasi
profesi, bidang regulasi), 2) sumber daya yang dimiliki oleh
organisasi dan departemen yang mendukung; 3) mengidentifikasi
tujuan eksplisit, untuk siapa program tersebut direncanakan dan
peran peserta dipersiapkan; 4) Mengidentifikasi kompetensi yang
dibutuhkan untuk dilatih; 5) Menjelaskan karakteristik peserta yang
akan mempengaruhi kebutuhan dan gaya belajar mereka (misal,
usia, budaya, peran sosial); 6) Menjelaskan kompetensi yang
dibutuhkan oleh role model; 7) Mengidentifikasi kompetensi peserta
dan instruksional dalam menggunakan teknologi yang tepat.
Tahap kedua, identifikasi filosofi. Filosofi program memberikan
dasar untuk mengembangkan dan mengimplementasikan program
yang diperlukan. Organisasi harus mengidentifikasi filosofi secara
tertulis untuk mengurangi kemungkinan kesalahpahaman yang
mungkin timbul dari kurangnya kejelasan tentang program atau
pesertanya. Organisasi harus memastikan hal berikut: 1) Filosofi
mengidentifikasi kriteria yang relevan dan hubungan antara kriteria
termasuk keyakinan tentang klien, perawat (pelajar dewasa),

44 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


kesehatan dan pendidikan. 2) Filosofinya ditulis dengan jelas dan
dijelaskan kepada peserta, dan semua personil yang terlibat dengan
program; 3) Filosofi yang dikembangkan sesuai dengan filosofi
Organisasi, Kode Etik Perawat, Pemerintah dan standar praktik
khusus yang relevan.
Tahap ketiga, menyusun rencana. Rencana disusun
berdasarkan pengkajian kebutuhan dan filosofi. Sebuah perencanaan
hendaknya dapat menjelaskan peran dan tanggung jawab peserta,
berisi tujuan program yang dapat terukur, serta menjelaskan apa
yang akan dicapai, kapan dan dengan sumber daya apa (material,
Manusia dan fisik), serta bagaimana hal itu akan terlaksana.
Tahap keempat, yaitu pengorganisasian program.
Penyelenggara program menyediakan struktur organisasi serta
menjelaskan hubungan antar departemen dengan garis wewenang
dan tanggung jawab dalam organisasi. Penyelenggara juga
mempunyai kebijakan untuk seleksi, penerimaan, dan
penyelesesaian program bagi yang berhasil. Pada tahap ini dilakukan
validasi dan prioritas kompetensi yang dibutuhkan.
Pengorganisasiaan juga memastikan pemilihan dan persiapan role
model yang tepat serta adanya penghargaan yang memadai untuk
role model.
Tahap kelima adalah implementasi program. Penyelenggara
program harus menerapkan dan memelihara komponen berikut: 1)
memastikan jumlah SDM dan beban kerja yang memadai untuk role
model. 2) menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan program, 3) menetapkan kontrak tertulis 4)
mengalokasikan role model dengan cermat, 5) menggunakan
panduan dalam supervisi dan memberikan arahan, 6) adanya umpan
balik untuk meningkatkan program.
Tahap keenam adalah evaluasi program. Evaluasi program
sebaiknya dilakukan secara berkala. Evaluasi mencakup: metode
penilaian kinerja peserta, kriteria dan metode penilaian mentor dan
preseptor, strategi dan kriteria logis untuk evaluasi formatif dan
sumatif terhadap program terkait dengan tujuan, yang harus
mencakup umpan balik dari semua pemangku kepentingan.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 45


2. Metode Bimbingan
a. Preceptorship
Preceptorship adalah metode pembelajaran mahasiswa
menggunakan seorang perawat sebagai model perannya.
Preseptorship bersifat formal, disampaikan secara perseorangan
dan individual dalam waktu yang sudah ditentukan sebelumnya
antara preceptor dengan preceptee. Preceptorship didesain
untuk membantu mahasiswa dalam mengembangkan
kemampuan praktikdan meningkatkan kompetensi dalam ranah
pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Seorang preceptor
merupakan seorang professional yang berpengalaman di bidang
keperawatan dalam mengajar, mengawasi, memberi dukungan
emosional dan merupakan role model yang memberikan
pengalaman praktik, pelatihan, konsultasi dan dapat
menginspirasi.
b. Diskusi Refleksi Kasus
Diskusi Refleksi Kasus (DRK) merupakan suatu motode
pembelajaran dalam bentuk kelompok diskusi untuk berbagi
pengalaman klinik tentang kasus penyakit pasien, masalah
keperawatan pasien dan masalah-masalah dalam manajemen
pelayanan yang mengacu pada pemahaman terhadap standar.
Langkah-langkah kegiatan (DRK) adalah :
1) Memilih / menetapkan kasus yang akan didiskusikan
2) Menyusun jadwal kegiatan
3) Waktu pelaksanaan
4) Peran masing-masing personal dalam DRK
5) Penulisan laporan
Persyaratan :
1) Kelompok terdiri dari 5-8 orang
2) Salah satu anggota kelompok berperan sebagai fasilitator, satu
orang lagi sebagai penyaji dan lainnya sebagai peserta
3) Posisi fasilitator, penyaji dan peserta dalam diskusi setara
(equal)
4) Kasus yang disajikan
5) Posisi duduk sebaiknya melingkar tanpa dibatasi meja, setiap
peserta bisa bertatapan dan berkomunikasi dengan bebas

46 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


6) Tidak boleh ada interupsi dan hanya satu orang yang bicara
dalam satu saat, peserta lainnya memperhatikan proses diskusi
7) Tidak diperkanankan ada dominasi, kritik yang dapat
memojokkan peserta lainnya
c. Studi Kasus Asuhan Keperawatan
Metode studi kasus menggunakan kasus (masalah) pasien
yang nyata dalam melakukan proses analisis kasus dalam
memecahkan masalah atau mengambil keputusan melalui
pengkajian secara mendalam dan menyeluruh mengenai masalah
klinik yang mendasari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
terhadap tindakan yang dilakukan. Hasil analisa kasus oleh
mahasiswa dikonsultasikan kepada pembimbing akademik dan
preceptor.
d. Self Directed Learning
Metode belajar yang dilakukan atas inisiatif individu
mahasiswa sendiri, dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian
terhadap pengalaman belajar yang telah dijalani. Dilakukan oleh
mahasiswa dan pembimbing bertindak sebagai fasilitator, yang
memberi arahan, bimbingan dan konfirmasi terhadap kemajuan
belajar yang telah dilakukan individu mahasiswa tersebut.
e. Discovery learning
Discovery learning merupakan bentuk pembelajaran
mandiri, mahasiswa melakukan aktifitas untuk mengumpulkan/
menghimpun berbagai informasi, membandingkan,
mengkategorikan, dan menganalisis untuk membangun suatu
konsep pemahaman ataupun kesimpulan terhadap topic
tertentu.
f. Pre dan post conference
Pre Conference (pertemuan pra praktek klinik) adalah
pertemuan pembimbing lahan praktik klinik dengan mahasiswa
setiap hari ketika akan dimulainya shift praktik. Pertemuan pre
conference membicarakan antara lain :
1) Tujuan pembelajaran untuk hari yang bersangkutan
2) Setiap perubahan jadwal yang mungkin perlu
3) Peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk hari yang
bersangkutan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 47


4) Tugas-tugas khusus yang harus diselesaikan pada hari-hari
yang bersangkutan
5) Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kegiatan untuk
hari yang bersangkutan atau dari hari sebelumnya.
Post conference (pertemuan pasca praktek klinik) adalah
pertemuan preceptor dengan preceptee setiap hari ketika shift
praktik berakhir, bertujuan mengevaluasi mahasiswa dalam
melakukan kegiatan pengelolaan pasien. Post conference
membicarakan :
1) Kaji ulang tujuan pembelajaran untuk hari yang bersangkutan
dan evaluasi kemajuan proses pembelajaran
2) Presentasikan kasus-kasus yang disaksikan pada hari yang
bersangkutan, khususnya kasus yang sulit
3) Buatkan rencana untuk sesi selanjutnya membuat perubahan
dalam jadwal bila perlu
4) Kaji ulang dan diskusikan studi kasus atau tugas-tugas yang
sudah di persiapkan sebelumnya.
g. Project Based Learning – Proyek Desain Inovatif dan Presentasi
Kasus EBNP
Metode pembelajaran Project Based Learning mencakup
lima prinsip yaitu : problem orientation (orientasi masalah),
project organization (perencanaan proyek/kegiatan),
interdisciplinary consideration (menganalisis masalah dari
berbagai sudut pandang), participant’s control (mahasiswa
melaksanakan control pada proyek yang dipilih), dan exemplary
function (menghubungkan antara teori dengan proyek yang
dipilih). Mahasiswa merancang suatu proyek Desain Inovatif
untuk menyelesaikan masalah tertentu sesuai evidence based
practice yang up to date.
h. Bed Side Teaching
Merupakan metode dimana praktikan akan dibimbing untuk
melakukan askep secara langsung disamping pasien yangmeliputi
pengkajian, prosedur keperawatan, penerapan berpikir kritis,
etika dan komunikasi pada pasien.

i. Panel Expert
48 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019
Adalah metode bimbingan dimana praktikan diberi
kesempatan secara kelompok untuk berdiskusi tentang satu tema
penanganan pasien gadar dan alternative problem solving dengan
berdasar jurnal riset sesuai dengan kasus yang didiskusikan
dibawah kendali narasumber /expert.

j. Direct Observation Procedural Stase (DOPS) – Bimbingan


pencapaian target kompetensi
Observasi secara langsung terhadap pencapaian target
kompetensi oleh pembimbing klinik yang disyahkan melalui
pemberian paraf / tandatangan pada buku target kompetensi.
Evaluasi dilakukan sekali dalam stase gadar dan sekali dalam
stase kritis.

k. Meet The Expert (MTE)


Merupakan metode bimbingan secara kelompok untuk
membahas permasalahan pasien secara keseluruhan pada
ruangan tersebut dengan melakukan review dan observasi secara
langsung pada pasien dibawah bimbingan ahli / expert dalam
bidang atau topic tertentu. MTE dilakukan sekali dalam satu stase.

Tabel 3.5 Perbedaan preseptorship dan mentoring

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 49


Preceptorship Mentoring
Tujuan - Memperoleh - Menumbuhkan
kompetensi baru perkembangan
- Mengembangkan profesional dan pribadi
kompetensi - Memperoleh
dalam pelayanan kompetensi tertentu
untuk setting baru
atau peran baru
- Mengembangkan
networking dan karir
Tipe - Terdiri dari 1 - Terdiri dari satu mentor
hubungan preceptor 1 satu mentee , tapi bisa
preceptee juga dalam kelompok
- Hubungan kecil
profesional - Informal dan tidak
- Formal dan terstruktur; Bisa lebih
terstruktur formal pada bentuk
- Instruksi mentoring terstruktur.
langsung dan - Bersifat membimbing,
supervisi melalui memberi nasihat
berbagi beban daripada mengawasi.
kerja untuk - Hubungan timbal balik
belajar yang diarahkan oleh
- Berdasarkan kebutuhan mentee
persyaratan
program dari
pendidikan atau
rumah sakit
Waktu - Jangka pendek - Jangka menengah
sampai sampai panjang
menengah (bulan-tahun)
(minggu) - Jumlah waktu
- Waktu ditentukan ditentukan sesuai
oleh institusi kebutuhan dalam
pendidikan atau kaitannya dengan
tujuan

50 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Preceptorship Mentoring
penyelenggara
program
Karakteristik - Seorang - Seorang mentor sering
role model pembimbing dikenal sebagai ahli di
telah menguasai lapangan, Setidaknya
setidaknya sebagai profesional
kompetensi dasar yang mahir.
yang dibutuhkan - Mentor biasanya lebih
oleh peserta. tua dan lebih senior
dari pada Mentee .

Karakteristik - Peserta adalah - Peserta bukan pemula


partisipan pemula, perawat untuk profesinya tapi
baru atau mungkin seorang
perawat yang pemula dalam
praktik di area kaitannya dengan
yang baru. peran atau keahlian.
Penilaian - Penilaian dan - Informal; bentuk yang
dan evaluasi evaluasi secara lebih formal pada
formal model program
mentoring terstruktur.

D. MANAJEMEN KONFLIK DALAM KEGIATAN PRECEPTORSHIP


Preseptor adalah seseorang yang telah memiliki pengalaman pada
pelayanan kesehatan, bekerja bersama mahasiswa pada seting klinik,
berperan sebagai pendidik klinis sekaligus sebagai seorang perawat
profesional. Preseptor bertugas untuk membimbing mahasiswa
keperawatan atau perawat baru untuk belajar menerapkan teori dan
pengetahuan yang dimiliki (Mingpun, Srisa-ard & Jumpamool, 2015).
Preseptor keperawatan merupakan kunci proses pelaksanaan
pembelajaran klinis. Preseptor harus dapat menjadi teladan dalam
pelaksanaan evidence base practice (Reghuram & Caroline, 2010).
Seorang preseptor diharapkan memiliki karakteristik mampu

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 51


mendemonstrasikan keterampilan, memberikan solusi, berpikir kritis,
berdasarkan kondisi klinis, dan memiliki keterampilan memgambil
keputusan pada area praktik (Gardner & Suplee, 2010).
Preseptor dalam melaksanakan aktifitasnya sebagai pendidik klinis
banyak berinteraksi dengan tim kesehatan, mahasiswa, dosen
pembimbing klinik yang terlibat dalam bimbingan klinik. Dalam
menjalankan pekerjaannya, perseptor akan saling berinteraksi dengan
tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini memandang suatu masalah
atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka dapat terjadi sebuah
konflik (CNO, 2009). Perseptor seringkali mengambil tindakan
menghindar dalam menyelesaikan permasalahan atau konflik yang
terjadi dengan tujuan mempertahankan status nyaman dan mencegah
perpecahan dalam kelompok (Hudson, 2005). Ironisnya, strategi
tersebut memberikan dampak destruktif terhadap perkembangan
individu dan organisasi.
Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan
tujuan meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau
organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan
datang (Shetach, 2012). Menurut Rahim (2002), gaya kepemimpinan
(demokratis, autokratis, dan Laissez faire) sangat mempengaruhi
pemilihan strategi penyelesaian konflik ( integrating (problem solving),
obliging, compromising, dominating (forcing), avoiding ), dimana setiap
strategi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing
tergantung pada batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang ingin
dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota ( concern for
others) atau berorientasi pada diri sendiri ( concern for self). Oleh
karena itu seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup
tentang pengaruh gaya kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik
individu ataupun organisasi.

3. Defenisi konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari
perbedaan ide, nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih
(Marquis & Huston, 1996 dalam Hendel dkk, 2005). Menurut
Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi
ketika tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu

52 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


atau kelompok.

4. Sumber konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan
karena: (1) perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur,
jenis kelamin, ras, pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman,
tingkah laku, pendapat, budaya, kebangsaan, keyakinan, dll, (2)
perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena
perbedaan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
a. Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat,
dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi
yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi
anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian
yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah
kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat
ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa
ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel
yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
c. Variable pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi,
yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki
keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 53


menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang
potensial.

5. Jenis konflik
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada
individu sendiri. Keadaan ini merupakan masalah internal untuk
mengklasifikasinilai dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini
sering dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran.
Misalnya seorang manajer mungkin merasa konflik intrapersonal
dengan loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas terhadap
pekerjaan, dan loyalitas kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih,
dimana nilai, tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering
terjadi karena seseorang secara konstan berinteraksi dengan
orang lain sehingga ditemukan perbedaan-perbedaan. Sebagai
contoh seorang manajer sering mengalami konflik dengan teman
sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok
melakukan kerja berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang
perawat tidak mendokumentasikan rencana tindakan perawatan
pasien sehingga akan mempengaruhi kinerja perawat lainnya
dalam satu tim untuk mencapai tujuan perawatan di ruangan
tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok
bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik
jenis ini adalah hambatan dalam mencapai kekuasaan dan
otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan prasarana.

6. Manajemen konflik
a. Definisi Manajemen Konflik
Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang
diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka

54 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


mengarahkan perselisihan ke arah penyelesaian yang konstruktif
atau destruktif (Ross, 1993).

b. Gaya Penyelesaian Konflik


Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam
keberhasilan penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya
konflik dan gaya penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang
dimaksud dengan besarnya konflik terkait dengan jumlah
individu yang terlibat, apakah konflik mengarah pada
intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima
gaya penanganan konflik ( Five Conflict Handling Styles). Model
ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam
organisasi. Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang
berorientasi pada orang lain (concern for others) dan pemecahan
masalah yang berorientasi pada diri sendiri ( concern for self).
Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya
penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging,
dominating, avoiding, dan compromising .
1) Integrating (Problem Solving)5
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme
pemecahan masalah (problem solving), seperti dalam
menentukan diagnosis dan intervensi yang tepat dalam suatu
masalah. Dalam gaya ini pihak- pihak yang berkepentingan
secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang
dihadapi, bertukar informasi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan
masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks
yang disebabkan oleh salah paham ( misunderstanding),
tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi
karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya
adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian
masalah (Rahim, 2002).
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan
perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 55


diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing
(melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-
perbedaan dan menekankan pada persamaan atau
kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan
strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya
kerjasama.
3) Dominating (Forcing)
Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan
masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak
populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah,
masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus
mengambil keputusan dalam waktu yang cepat. Kekuatan
utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik. Kelemahannya,
sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
4) Avoiding
Teknik menghindar ( avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya
yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar
daripada keuntungan yang akan diperoleh. Teknik ini kurang
tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan
adanya tuntutan tanggung jawab untuk menyelesaikan
masalah secara tuntas (Rahim, 2002). Kekuatan dari strategi
penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua ( ambiguous situations).
Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya
bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat,
yang secara seimbang memadukan antara kepentingan
sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima ( give and take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok
digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-

56 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan
yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada
prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat
sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam
penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang
paling banyak dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan
konflik yang terjadi.
7. Proses manajemen konflik
Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis,
intervensi, dan evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan
dasar dari keberhasilan suatu intervensi. Berikut adalah skema proses
manajemen konflik menurut Rahim (2002):

Diagnosis Intervention Conflic


Learning & effectivenes

Measurement Leadership Amount of Individual


Analysis Culture conflict Group
Design Organization
styles

FEEDBACK

Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah


pengumpulan data-data antara lain identifikasi batasan konflik,
besarnya konflik, sumber konflik, kemudian mengkaji sumber daya
yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat dioptimalkan untuk
membantu Penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses
identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis
terhadap data- data yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk
menentukan strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan
berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan
dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan
Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 57
compromising).
Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-
macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi,
konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force. Intervensi ditentukan
berdasarkan dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses yang
dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus mampu
memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi, seperti misalnya
intervensi mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang
berkonflik, dan juga penggunaan gaya penyelesaian konflik
diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan meningkatkan
proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach,
2012).

Setelah intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap


tindakan yang dilakukan, sekaligus hal ini sebagai feedback proses
diagnosing pada konflik yang sudah ada ataupun konflik yang baru.

1. Strategi penyelesaian konflik


Langkah-langkah yang dilakukan sebagai bentuk strategi
penyelesaian konflik. MENURUT Wahyudi (2006), untuk
menyelesaikan konflik ada beberapa cara yang harus dilakukan
Antara lain :
a. Disiplin,
mempertahankan disiplin dapat digunakan untuk mengelola dan
mencegah konflik.
b. Pertimbangan pengalaman dalam tahapan kehidupan,
Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk
mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan
hidupnya.
c. Komunikasi,
Upaya yang dapat dilakukan manajer untuk menghindari konflik
adalah dengan menerapkan komunikasi efektif .
d. Mendengarkan secara aktif,
Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk
mengelola konflik.

58 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Penanganan konflik ada lima tindakan yang dapat dilakukan :
a. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika mencoba memkskan kepentingan
sendiri diatas kepentingan pihak lain.
b. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari
situasi tersebut secara fisik ataupun psikologis, hanyalah
menunda konflik yang terjadi.
c. Akomodasi
Langkah mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan
sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik
atau self scarifying behavior. Langkah ini diambil karena
kepentingan pihak lain lebih utama dan untuk membina
hubungan baik
d. Kompromi
e. Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak mempunyai
kpentingan yang sama dan hubungan baik mengjadi yang utama.
Semua pihak mengorbankan kepentingannya untuk mendapatkan
stuasi win-win solution.
f. Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama.
Langkah-langkah dalam melakukan manajemen konflik :
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
1) Identifikasi batasan konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara
lain konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra
kelompok dan konflik antar kelompok. Berdasarkan kasus di
atas, terdapat 2 jenis konflik yang terjadi antara lain konflik
interpersonal dan konflik antar kelompok. Konflik kedua adalah
konflik antar kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-
masing kelompok bekerja untuk mencapai tujuan kelompoknya
masing- masing, dalam kasus ini kelompok yang dimaksud
adalah kelompok perawat yang bekerja di unit perawatan
neuroscience dan perawat yang bekerja di unit perawatan
bedah ortopedi yang sama-sama menuntut adanya renovasi di
unit perawatan masing-masing.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 59


2) Identifikasi penyebab konflik
Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya ( antecedent conditions). Kondisi tersebut,
yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari
tiga ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi
(Robbins, 2008). Menurut Shetach (2012) konflik juga dapat
disebabkan oleh perbedaan interpersonal dan perbedaan
kepentingan. Kemudian untuk perbedaan kepentingan dapat
dilihat dari adanya dua kelompok perawat yang memiliki tujuan
dan kepentingan yang berbeda (terkait posisi, peran, status,
dan tingkat hirarki).
3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang
dapat menjadi penghalang untuk manajemen konflik
Sumber daya manusia yang dimaksud adalah pemimpin
terkait kemampuan, peran dan fungsi kepemimpinan, serta
gaya kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi
pilihan strategi manajemen konflik yang dihadapi.
4) Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif
tergantung dari cara menyelesaikan atau memanajemen
konflik. Kondisi konstruktif dapat dirasakan ketika solusi yang
diambil memuaskan dan menguntungkan pihak-pihak yang
mengalami konflik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Brewer (2002), penentuan gaya penyelesaian konflik
ditentukan dari gender, yaitu feminine group cenderung
memilih gaya avoiding, masculine group memilih dominating,
dan androgynous group (transgender) cenderung memilih
strategi integrating. Sedangkan menurut Hassan (2011)
pemilihan strategi penyelesaian konflik adalah berdasarkan
suasana komunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik,
strategi yang bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan
compromising. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada
prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Outcome resolusi konflik yang diharapkan dari
kasus di atas adalah win-win solution.

60 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 61
BAB IV
EVALUASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN PROGRAM PROFESI
NERS

A. DEFINISI EVALUASI
Evaluasi merupakan penilaian yang menunjukkan kondisi akhir
saat ini (Brown & Knight, 1994). Materi evaluasi disusun berdasarkan
tujuan belajar dan kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik.
Evaluasi klinik merupakan proses mendapatkan informasi untuk
membuat penilaian terhadap kinerja peserta didik dalam lingkungan
klinik. Evaluasi hasil pendidikan adalah proses sistematis untuk mencapai
tingat pencapaian tujuan pendidikan yang terdiri atas kegiatan
mengukur dan menilai (Nursalam dan Efendi, 2008)

B. TUJUAN EVALUASI
Tujuan dari evaluasi hasil pembelajaran adalah :
1. Sebagai umpan balik peserta didik dalam meningkatkan prestasi
belajar
2. Sebagai umpan balik bagi dosen akan perkualian yang diberikannya
3. Menjamin akuntabilitas proses pembelajaran
4. Memotivasi peserta didik
5. Mendiagnosis kekuatan dan kekurangan peserta didik.

C. PRINSIP DASAR EVALUASI


Berikut beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam evaluasi
pembelajaran klinik (Nursalam dan Efendi, 2008)
1. Dapat mengukur dengan jelas hasil pembelajaran yang telah
ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional
2. Mengukur sampel yang representatif dari hasil dan bahan
pembelajaran yang telah diajarkan
3. Memiliki bermacam-macam bentuk kasus yang cocok untuk mengukur
hasil belajar yang diinginkan
4. Disusun sesuai dengan kegunaan untuk memeproleh hasil yang
diinginkan
5. Dapat diintepretasikan dengan mudah dan baik

62 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


6. Digunakan untuk memperbaiki cara belajar peserta didik dan cara
mengajar dosen.

D. JENIS – JENIS PROSES EVALUASI


Terdapat dua jenis proses evaluasi utama dalam proses pembelajaran
klinik (Nursalam dan Efendi, 2008) yaitu
1. Evaluasi normatif
Memberikan umpan balik kepada peserta didik tentang kemajuan
dalam memenuhi tujuan pembelajaran. Fokus pada proses evaluasi ini
membantu peserta didik untuk memenuhi objektif klinis dan
mengidentifikasi kekurangan selama pembelajaran klinik
2. Evaluasi formatif
Menentukan derajat keberhasilan (nilai) peserta didik dan dilakukan
pada akhir proses pembalajaran klinik atau stase.

E. CIRI – CIRI EVALUASI YANG BAIK


Nursalam dan Effendi (2008) menjelaskan bahwa ciri-ciri evaluasi
pembelajaran klinik yang baik yaitu :
1. Validitas yaitu mampu mengukur apa yag hendak diukur artinya
terdapat kesesuaian evaluasi dan tujuan belajar
2. Reliabilitas yaitu dapat dipercaya dan menujukkan ketetapan
3. Objektivitas yaitu tidak terpengaruh oleh faktor eksternal dan
konsisten
4. Praktis yaitu mudah dilaksanakan dan terdapat prosedur teknis yang
jelas
5. Ekonomis yaitu tidak membutuhkan biaya, sumber daya manusia yang
mahal dam waktu yang lama.

Model Penilaian
Beberapa model penilaian pencapaian pembelajaran yang dapat digunakan
antara lain model miller’s pyramid
Skor Pencapaian Deskripsi
1 Mengetahui dan Memiliki pengetahuan teoritis tentang
menjelaskan keterampilan, konsep, teori, prinsip, indikasi,
prosedur, komplikasi dan sebagainya

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 63


2 Melihat dan Memiliki pengetahuan teoritis tentang
mendemonstrasikan keterampilan dan pernah melihat
demonstrasinya
3 Melakukan di bawah Memiliki pengetahuan teoritis tentang
supervisi keterampilan dan pernah melakukan
keterampilan di bawah supervisi
4 Melakukan secara Memiliki pengetahuan teoritis tentang
mandiri keterampilan dan pernah melakukan
keterampilan secara mandiri.

F. METODE EVALUASI PEMBELAJARAN KLINIK


Beberapa model evaluasi yang dapat digunakan terdiri dari :
1. Log book berisi tentang aktivitas harian berdasarkan kompetensi
Ketrampilan Klinik yang tertuang dalam kontrak belajar. Aktivitas
lebih menekankan pada proses keperawatan.
2. Direct Observational of Prosedure Skill (DOPS) adalah
penilaian kemampuan klinik praktikan dalam melakukan suatu
tindakan keperawatan pada klien. DOPS mudah dilakukan secara
rutin oleh pembimbing klinik yang bertugas di berbagai situasi,
seperti poliklinik, ruang rawat inap, maupun IGD. Metode ini dapat
mengevaluasi kemampuan praktikan dalam melakukan tindakan
keperawatan secara komprehensif, dan kemudian diikuti umpan
balik. DOPS telah terbukti merupakan alat yang valid untuk dapat
menilai kemampuan praktikan dalam melakukan tindakan
keperawatan.
3. Student Oral Case Analysis (SOCA) merupakan suatu metode
untuk menilai clinical reasoning/know-how. Penilaian dilakukan terhadap
praktikan dalam menganalisis suatu kasus kemudian
mempresentasikan dan menjelaskan hasil analisis dari kasus
tersebut. Metode dengan presentasi ini untuk melatih praktikan
dalam menjelaskan suatu kasus kepada pasien maupun keluarga
pasien.
4. Critical Insidence Report yaitu laporan temuan praktikan tentang
proses asuhan keperawatan yang memiliki perbedaan antara konsep
atau teori dengan teknis di lapangan.

64 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


5. Objective Structured Clinical Examination (OSCE) yaitu suatu
metode untuk menguji kompetensi klinik secara obyektif dan
terstruktur dalam bentuk rotasi station dengan alokasi waktu tertentu
(PPNI, 2016). Metode ini merupakan alat untuk menilai atau
mengecaluasi komponen kompetensi klinik seperti pengkajian
riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, keterampilan prosedural,
keterampilan komunikasi dan perilaku professional yang diuji
menggunakan check list dan telah disiapkan untuk meningkatkan
objektifitas penilaian.
6. Problem solving skill yaitu kemampuan praktikan dalam
menyelesaikan masalah yang ditemukan dalam klien kelolaan.
7. Kasus lengkap atau singkat yaitu laporan kasus kelolaan atau resume
praktikan berisi tentang asuhan keperawatan secara komprehensif
didukung pembahasan dengan pendekatan keilmuan keperawatan.
8. Portofolio yaitu kumpulan hasil karya praktikan sebagai hasil
pelaksanaan tugas kompetensi, yang ditentukan oleh praktikan
bersama dosen, sebagai bagian dari usaha mencapai tujuan
pembelajaran klinik, atau mencapai kompetensi yang ditentukan
dalam kurikulum.
Fokus penekanan penugasan capaian pembelajaran merupakan
pendelegasian kewenangan. Selain itu, ada beberapa capaian
pembelajaran tambahan yang perlu diperhatian peserta didik yaitu
komunikasi, pengembangan diri, mempertahankan lingkungan
bekerja yang sehat, aman dan selamat, meningkatkan layanan,
kemampuan yang berkualitas, ekualitas, dan perbedaan. Evaluasi
pencapaian pembelajaran dilakukan dalam bentuk uji kompetensi.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 65


BAB V
EVIDENCE BASED PRACTICE

A. Definisi
Istilah evidence based practice (EBP) secara harfiah bermakna
evidence = bukti, based = berdasarkan, practice= praktik. EBP adalah
suatu proses pelaksanaan sesuatu yang didasarkan pada bukti. Menurut
Melnyk et al. (2010) Dalam bidang kesehatan EBP dikenal dengan istilah
evidence based health care (EBHC) yang berarti penentuan tindakan
perawatan kesehatan berdasarkan bukti penelitian terbaik (Lindayani,
Darmawati, Purnama, 2018). EBHC dikembangkan pada masing-masing
keilmuan kesehatan, salah satunya di bidang keperawatan yang dikenal
dengan evidence based practice in nursing (EBPN). Komponen utama
dalam EBP yaitu hasil penelitian terbaik, pendapat ahli, dan pilihan klien.
Hasil penelitian terbaik adalah intervensi keperawatan yang diberikan
kepada klien didasarkan pada sumber ilmiah yang valid dan reliabel.
Pendapat pakar atau ahli dibutuhkan untuk mempertimbangkan etik
dalam pelaksanaan intervensi keperawatan. Apakah intervensi
keperawatan yang diberikan bermanfaat ( beneficence ) dan tidak
membahayakan (non-maleficence). Selain itu juga pendapat ahli dapat
digunakan untuk mengidentifikasi intervensi keperawatan yang akan
dilakukan perlu disesuaikan dengan keadaan klien dan lingkungan atau
tidak. Pilihan klien terhadap intervensi keperawatan yang akan diberikan
menjadi hal yang perlu dipertimbangkan. Perawat harus menghargai
hak, nilai, kepercayaan, budaya, dan kemampuan klien. Saat ini, klien
dapat mengakses dengan mudah segala informasi kesehatan sehingga
klien lebih cerdas dalam memutuskan alternatif intervensi keperawatan
yang diberikan (Lindayani, Darmawati, Purnama, 2018).

B. Tujuan
EBP bertujuan untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan
berbasis bukti penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi tidak
ada lagi istilah “kata perawat, biasanya seperti itu, dll”. Hasil EBP juga
dapat digunakan untuk update standar operasional prosedur yang sudah
out of date. Hal tersebut akan berimbas pada pemberian pelayanan

66 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


keperawatan yang terkini dan relevan serta meningkatkan kepercayaan
diri perawat dalam pengambilan keputusan dan meningkatkan keilmuan
(Lindayani, Darmawati, Purnama, 2018).

C. Tahapan Pelaksanaan EBP


Menurut Melnyk et al. (2010) terdapat 7 tahapan implementasi EBP
yang saling berkesinambungan di layanan kesehatan terdiri dari
(Lindayani, Darmawati, Purnama, 2018):
Tahap 0 : Menumbuhkan semangat berpikir kritis (bertanya dan
menyelidiki)
Tahap 1 : Menanyakan pertanyaan klinik dengan menggunakan
PICO/PICOT format
Tahap 2 : Mengumpulkan bukti-bukti (artikel penelitian) yang paling
relevan dengan PICO/PICOT
Tahap 3 : Melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti (artikel
penelitian)
Tahap 4 : Mengintegrasikan hasil penelitian terbaik dengan pandangan
ahli serta memperhatikan keinginan dan manfaatnya bagi
klien dalam membuat keputusan
Tahap 5 : Mengevaluasi luaran dari perubahan yang telah diputuskan
berdasarkan bukti
Tahap 6 : Menyebarluaskan hasil implementasi EBP

D. Hambatan dalam impelementasi EBP


Berikut ini beberapa hambatan yang ditemui dalam implementasi EBP :
1. Minimnya budget
2. Waktu pelaksanaan terbatas
3. Budaya kerja tidak mendukung
4. Kurangnya kemampuan bahasa
5. Akses terhadap artikel dan jurnal
6. Nilai, keyakinan, dan harapan pasien
7. Keterampilan mencari artikel dan jurnal
8. Keterampilan dalam melakukan kritis riset
9. Kurangnya kemampuan pemahaman individu
10. Kesalahan dalam memahami proses intervensi
11. Kurang pengalaman pelaksanaan EBP di klinik

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 67


12. Kurangnya kemampuan klinik tenaga keseahatan.

E. Aplikasi EBP dalam Keperawatan di Layanan Kesehatan


EBP merupakan upaya untuk mengimplementasikan hasil penelitian
ke dalam tindakan keperawatan dengan luaran akhir peningkatan
kualitas layanan keperawatan. Saat ini, fenomena tindakan keperawatan
masih berasaskan turun-temurun dengan istilah yang sering didengar
“katanya, biasanya”. Hal tersebut jelas tidak didasarkan pada bukti
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Harapannya EBP ini dapat
menjadi panduan bagi perawat dalam mengambil keputusan klinis dalam
penentuan intervensi keperawatan yang akan dilakukan. Terdapat 7
tahapan dalam implementasi EBP di layanan kesehatan sebagai berikut
:
1. Tahap 0 : Menumbuhkan semangat berpikir kritis
Berpikir kritis merupakan pondasi seorang perawat dalam
implementasi EBP. Keinginan untuk mengidentifikasi fenomena dan
mencari solusi alternatif harus diimplementasikan dalam pemberian
asuhan keperawatan. Implementasi EBP dalam pemberian asuhan
keperawatan harus diintegrasikan ke dalam visi dan misi layanan
kesehatan. Hal tersebut perlu menjadi perhatian bagi pemangku
kebijakan ( stakeholder). Kemampuan berpikir kritis dalam pemberian
asuhan keperawatan dapat diasah dengan berbagai cara yaitu
mentoring dan monitoring EBP. Mentor akan membantu perawat
dalam mengimplementasikan EBP dalam pemberian asuhan
keperawatan. Monitoring impelementasi EBP dapat dilakukan dengan
cara dikusi rutin, berbagi pengetahuan terkini dan mempertahankan
konsistenasi implementasi EBP.
2. Tahap 1 : merumuskan PICOT
Merumuskan pertanyaan klinis harus tepat karena berpengaruh
terhadap keberhasilan dalam mencari solusi alternatif. Terdapat dua
jenis pertanyaan yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah.
1) Background question , pertanyaan mendasar yang digunakan
untuk mendapatkan informasi tentang masalah klinis, berkaitan
dengan aspek biologis, psikologis, dan sosial. Pertanyaan ini dapat
dijawab dari textbook misalnya bagaimana efek ranitidin terahadap
penurunan mual? Apakah penyebab dari TBC paru?. 2) Foreground

68 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


question, pertanyaan yang dapat dijawab melalui pencarian bukti
ilmiah (evidence based practcie) yang dirangkut dalam format PICOT.
P (populasi/pasien/problem), I (intervensi/eksposure/issue of
interest), C (intervensi pembanding/kelompok pembanding), O
(outcomes/hasil yang diharapkan), T (time frame/batas waktu/jenis
penelitian). Contoh pertanyaan penelitian : Apakah terdapat pengaruh
program manajemen diri terhadap kepatuhan pengobatan klien TBC
paru? Dari pertanyaan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :
P : klien TBC paru
I : program manajemen diri
C : edukasi kesehatan
O : kepatuhan pengobatan
T : selama enam bulan
3. Tahap 2 : mencari dan mengumpulkan bukti ilmiah
Mengumpulkan bukti ilmiah merupakan tahapan yang
membutuhkan kemampuan dalam analisis hasil penelitian. Perlu
adanya strategi pencarian bukti ilmiah agar mendapatkan artikel
penelitian yang dibutuhkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
proses pencarian bukti ilmiah yaitu :
a) Kata kunci
Kata kunci yang digunakan dalam proses pencarian harus
mencakup semua aspek dari PICO. Kata kunci dapat menggunakan
padanan kata (sinonim) dari istilah yang tertulis di PICO. Misalnya
penggunaaan istilah hypertension = high blood pressure, ACE
inhibitor = anti hypertension = medication, exercise = physical
activity, dll. Pencarian sinonim dapat menggunakan MeSH
database di PubMed.
b) Database jurnal
Database jurnal yang dapat digunakan antara lain PubMed,
Clinical Queries, MeSH dataabase, EBSCO CINAHL, proquest,
science direct. Penggunaan database jurnal google scholar tidak
direkomendasikan dalam proses literature searching karena
beberapa artikel yang dipublikasikan dari jurnal tidak bereputasi
dan memiliki kemampuan filter yang kurang baik sehingga tidak
efektif dan efisien.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 69


c) Penentuan kriteria pencarian
Penentuan kriteria inklusi dan eksklusi akan membantu
perawat dalam menemukan artikel penelitian yang dibutuhkan.
Kriteria inklusi adalah kriteria yang sebagian besar dibutuhkan
sebagai dasar dalam memutuskan apakah artikel yang didapatkan
sesuai dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Kriteria
inklusi terdiri dari klien, metode, dan hasil penelitian. Kriteria
eksklusi merupakan kriteria yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan yang dicari.
Contoh kriteria inklusi : klien diabetes mellitus usia dewasa, bentuk
intervensi senam kaki diaetik, hasil yang diharapkan pencegahan
ulkus diabetikum, desain penelitian randomized controlled trial
(RCT), dalam lima tahun terakhir, menggunakan bahasa inggris,
free full text.
d) Strategi pencarian
Dilakukan untuk mempermudah pencarian artikel penelitian
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Hal yang perlu
diperhatikan antara lain :
1) Memastikan kata kunci yang digunakan sudah tepat
2) Menggunakan simbol yang dapat digunakan untuk penjaringan
istilah seperti $’or’*’ (unlimites), organi$ (organising,
organizing, organised, organitation), ’?N’ (up to N characters),
dog$2 (will find dogma, two letters after dog ), ‘?’ (zero or more
chacters col?r, result = colour/color), ‘#’ (a wildcard character),
randomi?ed results (randomized/randomised)
3) Menggunakan boolean operator OR atau AND
4) Jangan terlalu banyak menggunakan istilah-istilah
5) Jangan mencari di seluruh database jurnal utama sekaligus
secara bersamaan misalnya CINAHL dan medline atau PubMed
6) Jika tidak menemukan sesuai yang diharapkan, segera mencari
strategi lain dalam pencarian sumber ilmiah.
4. Tahap 3 : analisis jurnal
Tahapan ini merupakan proses sistematis untuk menguji
validitas, hasil dan relevansi artikel penelitian yang digunakan sebagai
referensi pendukung dalam impelementasi EBP. Komponen utama
penilaian adalah validitas, urgensi, dan dapat diaplikasikan sehingga

70 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


artikel penelitian yang didapatkan layak menjadi data dukung dalam
implementasi EBP. Kelebihan analisis jurnal yaitu lebih sistematis,
meminimalisir ketidaksetaraan antara penelitian dan praktik, penilaian
secara obyektif terhadap informasi ilmiah, mudah dan dapat
dikembangkan, serta menudukung perkembangan EBP. Kekurangan
analisis jurnal terdiri dari membutuhkan waktu, tidak selalu
memberikan jawaban yang mudah, menurunkan semangat khususnya
jika akses literature searching terbatas.
5. Tahap 4 : tahap inetgrasi
Tahapan pengintegrasian hasil penelitian sebelumnya dengan
pendapat ahli. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan
kebermanfaatan dan meminimalisir risiko dari intervensi keperawatan
yang diputuskan oleh perawat. Tahapan ini dilakukan dengan cara
menyatukan hasil penelitian terbaik, pendapat ahli, dan klien dalam
memutuskan tindakan keperawatan. Hasil penelitian terbaik
memastikan bahwa intervensi keperawatan yang diberikan kepada
klien dapat dipertanggungjawabkan karena didasarkan pada bukti
ilmiah yang sudah terbukti kebenarannya. Hasil penelitian terbaik
harus memperhatikan aspek kekinian dan pendekatan metodologi
ilmiah. Meskipun hasil penelitian dikatakan terbaik, perlu adanya
padangan dari ahli dan klien sebelum memutuskan tindakan
keperawatan. Pendapat ahli menjadi panduan dalam mengaplikasikan
aturan dan panduan yang ada dalam memberikan asuhan
keperawatan. Pendapat ahli merupakan kombinadi dari latar belakang
pendidikan, pengalaman, dan kemampuan klinik.
6. Tahap 5 : mengevaluasi luaran
Mengevaluasi luaran menjadi bagian penting untuk
mengidentifikasi apakah intervensi keperawatan yang sudah dilakukan
sesuai dengan luaran yang diharapkan. Ciri-ciri intervensi
keperawatan yang efektif yaitu sesuai kebutuhan dan harapan pasien,
minimnya risiko, layak untuk dilakukan, dan cost effective. Intervensi
keperawatan yang dilakukan harus memiliki kebermanfaatan klien
dalam meningkatkan status kesehatan klien. Hasil evaluasi dapat
dilihat dari data subyektif dan obyektif yang relevan dan akurat dari
hasil dokumentasi asuhan keperawatan. Adanya keamanan bagi
tenaga kesehatan yang memberikan interevensi dan adanya kepuasan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 71


bagi penetima intervensi yaitu klien. Intervensi keperawatan yang
diberikan harus sesuai dengan SPO, dapat meningkatkan kompetensi
perawat dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor. Dari segi biaya
dapat terjangkau, adanya fasilitas bagi perawat dalam literature
searchingi, dan kemampuan dalam menyediakan alat dan bahan yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan intervensi keperawatan.
7. Tahap 6 : menyebarluaskan hasil EBP
Hasil implementasi EBP dapat disosialisasikan melalui diseminasi
di tatanan klinik, pendidikan, atau publikasi ilmiah. Hasil EBP
diharapkan dapat diterima klien dan masyarakat yang memiliki
masalah yang sama. Keuntungan lain dari penyebarluasan hasil EBP
yaitu modifikasi-modifikasi baru dalam menangani masalah dan
terciptanya intervensi keperawatan yang efektif dan efisien sehingga
mampu meningkatkan kualitas layanan keperawatan.

72 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


BAB VI
PENUTUP

Kemampuan mahasiswa dalam implementasi EBP pada asuhan


keperawatan menjadi prioritas kompetensi klinis mahasiswa. Mahasiswa
diharapkan mempunyai kemampuan dalam menganalisa masalah
keperawatan pada pasien dan memberikan intervensi berdasarkan EBP.
Kemampuan mahasiswa dalam menguasi EBP dalam praktik keperawatan
perlu ditingkatkan melalui metode pembelajran klinis yang tepat. Institusi
pendidikan perlu mengidentifikasi strategi dan metode pembelajaran yang
tepat untuk mencapai kompetensi mahasiwa dalam implementasi EBP.
Institusi pendidikan harus menentukan dan memilih metode terbaik untuk
mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk EBP,
sehingga akan meningkatkan rasa percaya diri dalam pengambilan
keputusan klinis berbasis bukti.
Hasil luaran pembelajaran yang baik erat kaitannya dengan pemilihan
metode pembelajaran yang tepat. Pemilihan metode pembelajaran klinik
dapat menentukan kualitas dari kesiapan mahasiswa dalam memulai praktik
klinis berbasis bukti. Sehingga penting sekali bagi institusi pendidikan
mengetahui metode yang tepat untuk mengajarkan asuhan keperawatan
berbasis EBP kepada mahasiswa.
Demikian penyusunan Modul Pelatihan Pembelajaran Klinik
Preceptorship Mentorship Dalam Implementasi Asuhan Keperawatan
Berbasis Evidence Based Practice (EBP) Bagi Pembimbing Klinik Mahasiswa
Program Studi Profesi Ners. Semoga Modul ini dapat digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan pelatihan preceptorship dan mentorship dalam
rangka menghasilkan Pembimbing Klinik Rumah Sakit sebagai Preseptor dan
mentorship yang kompeten dan kompetitif dibidang kerjanya masing-
masing.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 73


DAFTAR PUSTAKA

Asrul, Ananda Rusydi, Rosnita, Evaluasi Pembelajaran, (2015), Cita mustika


Medika, Medan
Belden, C. V., Leafman, J., Nehrenz, G., & Miller, P. (2012). The effect of
evidence based practice on workplace empowerment of rural
registered nurses. Online Journal of Rural Nursing and Health Care,
12(2), 64–76.
Bertens K. ( 1990 ), Bioetika, Refleksi atas masalah Etika Biomedis,
Gramedia, Jakarta
Brown CE, Wickline MA, Ecoff L, Glaser D. (2009). Nursing practice,
knowledge, attitudes and perceived barriers to evidence‐based
practice at an academic medical center. J Adv Nurs. 65(2):371‐381.
Carlson, E. A. (2010). Evidence-Based Practice for Nurses: Appraisal and
Application of Research. Orthopaedic Nursing, 29(4), 283–284.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management.
Retrieved from:
http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan panduan
melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian. Jakarta : Trans Info
Media
Elysabeth, D., Libranty, G., Natalia, S. (2015). Hubungan tingkat pendidikan
perawat dengan kompetensi aplikasi evidence-based practice. Jurnal
Skolastik Keperawatan, 1 ( 1), 14-20. ISSN: 2443 – 0935 E-ISSN:
2443 – 1699
Gaberson, K. H., & Oerman, M. H. (2010). Clinical teaching strategies in
nursing. New York : Spring Publishing.
Gardner, M. R., & Suplee, P. D. (2010). Handbook of clinical teaching .
Sudbury: MA:Jones and Bartlett.
Hart, P., Eaton, L., Buckner, M., Morrow, B. N., Barret, D. T., Fraser, D. D.,
… Sharrer, R. L. (2008). Effectiveness of a Computer-Based
Educational Program on Nurses’ Knowledge, Attitude, and Skill Level
Related to Evidence-Based Practice. Wiley Online Library, 5(2), 75–
84. https://doi. org/10.1111/j.1741-6787.2008.00123.x
Hassan, B., Maqsood, A., & Muhammad, N. R. (2011). Relationship
74 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019
between organizational communication climate and interpersonal
conflict management style . Pakistan Journal of Physicology, 42(2),
23-41.
Hendel, T., Fish, M..,Galon, V. (2005). Leadership style and choice of
strategy in conflict management among Israeli nurse managers in
general hospitals. Journal of Nursing Management, 13, 137-146.
Huber, D. L. (2010). Leaderhip and Nursing Care Management ed. 4.
Maryland Heights: Saunders/Elsevier.
Hudson, K., Grisham, T. Srinivasan, P. (2005). Conflict management,
negotiation, and effective communication: esential skill for project
managers. Retrieved from:
http://thomasgrisham.com/file/Conflict_Management_AIPM_Austra
lia.pdf.
Hsu, L. L., Hsieh, S. I., Chiu, H. W., & Chen, Y. L. (2014). Clinical teaching
competence inventory for nursing preceptors: Instrument
development and testing. Contemporary Nurs , 46 (2) 214224.
ICN (2000). Code of Ethics for Nurses.
In Thai Clinical Nursing. Academic Journals , 01 (20) 2653-2660
Kreitner & Angelo Kinicki. (2005). Organizational Behaviour. Chicago: Irwin.
Konorti. (2008). The 3D Transformational leadership model. The Journal of
American Academy of Business, 14, 10-20.
Kurniati, Mei Fitria. 2017. Perbedaan tingkat kemampuan berfikir kritis dan
kemampuan leadership pada mahasiswa dengan metode
preceptorship. Yogyakarta : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kyriakoulis K, Patelarou A, Laliotis A, et al. (2016). Educational strategies
for teaching evidence‐based practice to undergraduate health
students: systematic review. J Educ Eval Health Prof. p.13:34.
Lindayani, L., Darmawati, I., Purnama, H. (2018). Modul 1 Evidence Based
Practice (EBP) dalam kKperawatan Bridging the Theory-Practice.
Bandung : STIKep PPNI Jawa Barat
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan
Manajemen Keperawatan: Teori dan Aplikasi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mingpun, R., Srisa-ard, B., & Jumpamool, A. (2015). Strengthening
Preceptor’s Competency
Mulyadi, dkk. (2013). Analisis Peran Kepemimpinan terhadap Motivasi Kerja
Pegawai pada Departemen Fasilitas Umum dan Penataan

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 75


Lingkungan Perum Peruri. Jurnal Managemen. 10 (3), 1305-1318
PPNI (2000). Kode Etik Keperawatan Indonesia, Keputusan Munas VI

PP PPNI (2010), Konsep Dasar Etika Keperawatan, Buku I


Rahim, M. Afzalur. (2002). Toward a theory of managing organizational
conflict. The International Journal of Conflict Management , 13 (3),
206-235.
Riggio, R.E. (2003). Introduction to Industrial/ Organizational Psychology.
(4th Ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2014). Dasar-dasar metodologi penelitian
klinis edisi 5. Jakarta : Sagung Seto
Shetach, A. (2012). Conflict leadership: Navigating toward effective and
efficient team outcomes. The Journal for Quality and
Participation, 35(2), 25-30.
Zelenikova R, Gurkova E, Ziakova K, Tomagova M, Jarosova D, Fineout‐
Overholt E. (2016). Psychometric properties of the Slovak and Czech
versions of the evidence‐based practice beliefs and implementation
scales. Worldviews Evid Based Nurs. 13(2):139‐152
Zhang Y‐P, Liu W‐H, Yan Y‐T, Zhang Y, Wei H‐H, Porr C. (2108). Developing
Student Evidence‐Based Practice Questionnaire (S‐EBPQ) for
undergraduate nursing students: Reliability and validity of a Chinese
adaptation. J Eval Clin Pract. P.1–7.
https://doi.org/10.1111/jep.12897

76 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


LAMPIRAN

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 77


EVALUASI PRECEPTEE TERHADAP PRECEPTOR

1 2 3 4 5
1 Mempertimbangkan latar belakang dan tingkat
kompetensi mahasiswa.
2 Memungkinkan mahasiswa menyarankan pendekatan
alternatif dalam pemecahan masalah.
3 Mendorong mahasiswa untuk bertanggungjawab dan
akuntabilitas sepanjang pengalaman klinis.
4 Membahas tujuan pembelajaran dari akademik
(kampus) terkait dengan peran mahasiswa.
5 Berfungsi sebagai model peran yang efektif untuk
perilaku keperawatan profesional.
6 Mengevaluasi kinerja klinis mahasiswa.
7 Pengalaman yang direncanakan untuk memenuhi
kebutuhan belajar mahasiswa.
8 Berkolaborasi untuk mengembangkan rencana
pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar individu
mahasiswa.
9 Memberikan kesempatan belajar yang dijadwalkan.
10 Bertemu secara teratur untuk mengevaluasi /
mendiskusikan tujuan dan hasil rencana pembelajaran.
11 Mendorong pengembangan keterampilan berpikir kritis
pada mahasiswa melalui diskusi tentang tindakan /
prioritas alternatif.
12 Keterampilan / teknik mengajar yang efektif.
13 Menyediakan lingkungan yang kondusif untuk
pembelajaran.
14 Menyediakan sumber daya dan bantuan dengan tepat.
15 Memberikan umpan balik yang tepat waktu, sensitif,
dan penuh hormat; di tempat yang tenang dan pribadi.
16 Mendorong, melatih, dan memotivasi mahasiswa.
17 Bersedia secara konsisten untuk memberikan
dukungan dan bantuan.

78 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


KOMPETENSI PRECEPTORSHIP

1 = Kurang
2 = Memerlukan peningkatan
3 = Kompeten
4 = Terampil
5 = Unggul
No Kompetensi preceptorship 1 2 3 4 5
Role Modelling
1 Menunjukan praktik keperawatan profesional yang
kompeten.
2 Mendorong preceptee untuk mengintegrasikan praktik
klinikal yang profesional.
3 Menunjukan kemampuan berkomunikasi yang efektif
dengan anggota tim.
4 Menjadi model peran yang efektif dan inspiratif dan
menunjukkan nilai-nilai profesional, sikap dan perilaku
5 Menunjukkan manajemen waktu dan keterampilan
kepemimpinan yang baik
6 Menunjukkan praktek pengambilan keputusan dan
berdasarkan bukti yang tepat
7 Mengakui keterbatasan mereka sendiri dan orang lain.

Critical Thinking
8 Memberdayakan preceptee untuk berpikir melalui
masalah.
9 Mendorong preceptee untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan.
10 Menawarkan umpan balik yang konstruktif yang bersifat
reguler.
11 Menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pengambilan
resiko dan pembelajaran, mengijinkan preceptee untuk
belajar dari kesalahan.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 79


Socialization(Sosialisasi)
12 Mengorientasikan preceptee terhadap tempat kerja,
pengenalan, komunitas di dalam praktik dan budaya tim.
13 Berkolaborasi dengan preceptee pada semua tahapan
preceptorship

Karakter Personal
14 Menunjukan antusias dan tertarik pada preceptor
15 Menunjukan ketertarikan dalam kebutuhan dan
perkembangan pembelajaran preceptee
16 Membantu perkembangan pembelajaran lingkungan
yang positif.
17 Beradaptasi untuk berubah.
18 Menunjukan kemampuan komunikasi yang efektif dan
therapeutik
19 Menunjukkan kemampuan mendengarkan aktif
20 Menunjukan kemampuan pemecahan masalah yang
efektif.
21 Menunjukan kesiapan dan keterbukaan untuk belajar
dengan preceptor.
22 Memiliki kepercayaan diri dan kesabaran.
23 Mengakui keterbatasan diri dan berkonsultasi dengan
orang lain.
24 Caring terhadap pasien dan peserta didik.
25 Bersikap humor dalam kontex yang sesuai.
26 Berorientasi dengan lingkungan dengan sikap percaya
diri.
27 Penampilan rapi dan bersih dan menarik.
28 Menunjukan sikap respect kepada seluruh ketenagaan di
lapangan.
29 Mempunyai motivasi tinggi dalam membantu karyawan
yang baru/preceptee.
30 Mampu mendorong karyawan baru/preceptee untuk
berkembang

80 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


Memfasilitasi belajar
31 Menilai kebutuhan pembelajaran klinik preceptee dalam
bekerjasama dengan preceptee
32 Menetapkan tujuan dan menilai kompetensi
33 Membantu preceptee untuk mencari tempat kegiatan
pembelajaran untuk mendapatkan hasil pembelajaran
dan untuk membuat waktu preceptee supaya optimal.
34 Membantu preceptee dalam menyiapkan fasilitas
pembelajaran
35 Mengklarifikasi peran preceptor dan preceptee untuk
merencenakan kegiatan.
36 Menciptakan iklim yang condusif untuk belajar
37 Memberikan umpan balik secara konstruktif (contohnya
pelatihan, dukungan, dorongan dan pujian)
38 Menanyakan pertanyaan untuk mengetahui
pengetahuan preceptee yang telah dipelajari.
39 Mendiskusikan ketidakcocokan antara preceptor dan
preceptee
40 Keterampilan mengajar yang baik
41 Memberikan umpan balik yang efektif
42 Memberikan evaluasi
43 Menjembatani kesenjangan teori-praktek
44 Mengembangkan penilaian, supervisi, mentoring dan
keterampilan pendukung.
45 Mengenali komitmen terhadap profesi dan peraturan-
peraturan yang dibutuhkan.
46 Mendukung pembelajaran sepanjang hayat.
47 Menunjukkan dan membuktikan kemampuan reflektif -
praktek di lingkungan kerja

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 81


OUTCOME PELAKSANAAN PRECEPTORSHIP

Check list refleksi Preceptee dalam proses dan hasil Preceptorship


No Proses Preceptorship Ya Tidak
1 Mengidentifikasi atau mencari bimbingan dalam
mengidentifikasi kebutuhan belajar sendiri
2 Menghadiri pertemuan
3 Tanya Jawab
4 Praktek reflektif
5 Mengamati orang lain
6 Mendengarkan pandangan orang lain
7 Keterampilan klinis
8 Diskusi
9 Meminta Umpan Balik
10 Pertemuan tim dan Keterampilan Updating
11 Penilaian kompetensi
12 Mengunjungi wilayah kerja dan departemen
13 Keterlibatan dalam proses kerja preceptor

Hasil Preceptorship
14 Adanya peningkatan kepuasan belajar
15 Adanya penurunan tingkat stress bagi mahamahasiswa
16 Adanya perkembangan diri yang signifikan
17 Adanya peningkatkan kepercayaan diri.
18 Adanya penciptaan sikap, pengetahuan, dan kemampuan
yang lebih baik
19 Adanya sosialisasi yang profesional ke dalam lingkungan
kerja
20 Adanya tanggung jawab pribadi untuk meningkatkan
pengetahuan
21 Merasa dihargai dan dihormati oleh organisasi pekerja.
22 Merasa diinvestasikan dan meningkatkan karir masa
depan.

82 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


23 Mengembangkan pemahaman tentang komitmen dalam
bekerja didalam profesi

PROSES MENTORSHIP UNTUK MENTOR REFLEKSI DIRI MENTOR

1 = Kurang
2 = Memerlukan peningkatan
3 = Kompeten
4 = Terampil
5 = Unggul

No Indicator 1 2 3 4 5
1 Kemampuan listening
2 Memberikan motivasi
3 Caring
4 Emosi stabil
5 Mempunyai komitmen
6 Tidak menghakimi
7 Menjaga rahasia atau informasi yang
disampaikan oleh mentee
8 Sabar
9 Mempunyai selera humor yang baik dan tepat
10 Mempunyai toleransi yang tinggi

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 83


JURNAL BIMBINGAN

Nama Preceptor : ________________________________


Rumah Sakit : ________________________________
Stase : ________________________________
Kelompok : ________________________________

Hari/
No Tanggal/ Tema / Topik Rencana Tindak Lanjut Presensi Mahasiswa
Waktu
1.
2.
3.
4.
5.

1.
2.
3.
4.
5.

84 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


1.
2.
3.
4.
5.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 85


RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)

1. Identitas Mata Kuliah

Program Studi :
Mata Kuliah :
Kode Mata Kuliah :
Semester :
SKS :
Nama Dosen Pengampu

2. Capaian Pembelajaran
a. Capaian Pembelajaran Lulusan
b. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

3. Diskripsi Singkat MK
……................................................................................................

4. Rencana Pertemuan
Minggu Kemampuan Bahan Metode Pengalaman Kriteria Bobot
Ke Akhir yang Kajian Pembelajaran Belajar Penilaian Nilai
diharapkan (materi dan Waktu Mahasiswa dan
(Sub CP MK) ajar) Indikator

86 Modul Pelatihan Preceptorship, 2019


5. Daftar Referensi
.....................................
.....................................

Disiapkan oleh Diperiksa oleh Disahkan oleh


Penanggung Jawab Ketua Program Studi Ketua Jurusan/ Ketua
Mata Kuliah /Sesjur /Sesprodi Perwakilan Jurusan

__________________ __________________ _________________


NIP. NIP. NIP.

Modul Pelatihan Preceptorship, 2019 87

Anda mungkin juga menyukai