Oleh
Marihot Nasution
Rosalina Tinneke Kusumawadhani
Analis APBN Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian,
Sekretariat Jenderal DPR RI
Dalam rangka peningkatan produktivitas dan kualitas hasil pertanian, ketersediaan pupuk menjadi
salah satu faktor penentu. Untuk itu, pemerintah berupaya menjamin ketersediaan pupuk tersebut melalui
kebijakan subsidi pupuk. Subsidi pupuk merupakan komponen tertinggi dalam kebijakan subsidi non-energi
di APBN. Dalam kurun waktu tahun 2018 - 2021, realisasi subsidi pupuk berfluktuasi dari semula sebesar
Rp33.612,7 miliar pada tahun 2018 menjadi Rp27.155,3 miliar pada tahun 2021 (BPK, berbagai tahun).
Subsidi pupuk diberikan agar petani dapat melakukan usaha tani dengan biaya terjangkau sehingga dapat
meningkatkan produksi komoditas pertanian dan mewujudkan ketahanan pangan nasional serta
meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam perkembangannya, terdapat banyak laporan atas pelaksanaan
subsidi pupuk yang tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan sebelumnya. Kajian ini akan
memaparkan berbagai masalah dalam pelaksanaan subsidi pupuk dengan mengambil sumber informasi
dari hasil audit BPK. Diharapkan kajian ini dapat menjadi ukuran akuntabilitas pelaksanaan subsidi pupuk
yang telah berjalan sejak lama.
Perkembangan Subsidi Pupuk Periode 2016-2017
Alokasi Anggaran (miliar 30.063,2 33.153,4 36.454.4 39.276,4 35.477,4 29.057,8 25.276,6 25.276,6
Rp)
Alokasi Jumlah (juta 9,55 9,55 9,55 9,55 9,04 9.04 dan
ton-untuk pupuk padat) 1,5 juta
liter
Pupuk
Organik
Cair
(POC)
Pelaksana Public Service PT Pupuk Indonesia (Persero) dengan anak perusahaannya yaitu PT Pupuk Iskandar
Obligation (PSO). Muda (PT PIM), PT Pupuk Sriwijaya (PT PUSRI), PT Pupuk Kujang (PT PK), PT
Petrokimia Gresik (PT PKG) dan PT Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT).
Jumlah Rekomendasi 6 13 13 2 10 10 - -
BPK Atas Temuan Hasil
Audit
2
e-RDKK adalah bentuk lain dari RDKK yang berupa web base dengan tambahan atribut antara lain berupa Nomor
Induk Kependudukan (NIK).
2
● perhitungan alokasi kebutuhan pupuk dalam e-RDKK yang tidak sesuai dengan satuan kemasan
pupuk subsidi;
● e-RDKK belum mengakomodasi kebutuhan pupuk organik cair (POC);
● data luas lahan dan luas tanam yang ditetapkan dalam RDKK belum didukung bukti/ referensi yang
valid;
● formula perhitungan kebutuhan pupuk sesuai komoditas atas rencana luas tanam belum dapat
didukung referensi atas komposisi pemupukan berimbang; dan
● kesalahan sistem e-RDKK yang melampaui kebutuhan petani sesuai luas tanamnya.
e-RDKK juga menjadi dasar alokasi pupuk bersubsidi ditetapkan dengan mempertimbangkan:
● Luas baku lahan sawah yang dilindungi dan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan
(LP2B);
● Usulan kebutuhan pupuk dari pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang disampaikan secara
berjenjang;
● Penyerapan pupuk bersubsidi tahun sebelumnya.
Penghitungan tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian No. 49/2020 sebagaimana
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 36 Tahun 2021, namun dalam LHP No.
15/LHP/XVII/05/2022 ditemukan bahwa perhitungan alokasi dan realokasi pupuk bersubsidi tidak
berdasarkan data yang memadai. Dalam penghitungan alokasi pupuk bersubsidi, volume kebutuhan pupuk
ditetapkan sebesar 9.041.475 ton (tidak termasuk kebutuhan POC sebanyak 1.500.000 liter):
- ditentukan faktor pengurang persentase dari e-RDKK 2020 tanpa perhitungan yang memadai
dengan mempergunakan faktor pengurang persentase dari e-RDKK tahun 2020 yaitu 77%, 55%,
40% dan 30% serta pengurang 10.842 ton. Hal yang sama juga terjadi di penghitungan volume
pupuk NPK formula khusus, organik granul dan organik cair;
- penyesuaian kebutuhan alokasi pupuk per masing-masing provinsi, juga tidak didukung dokumen
dan perhitungan yang memadai;
- perhitungan alokasi pupuk bersubsidi per masing-masing provinsi belum mempertimbangkan luas
baku lahan sawah yang dilindungi dan penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B);
dan
- Dalam hal realokasi pupuk bersubsidi yang dilakukan apabila terjadi kekurangan atau kelebihan
pupuk pada salah satu wilayah dengan memperhatikan alokasi yang tersedia dan usulan kebutuhan
pupuk diketahui bahwa proses penghitungan realokasi belum memadai yaitu provinsi yang
mendapatkan tambahan alokasi pupuk (realokasi) namun realisasi penyaluran masih lebih rendah
dibandingkan alokasi awal.
Gambar 1. Perbedaan Luas Tanam Padi dalam RDKK dengan Luas Tanam Daftar Sebaran Padi
3
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa data petani dalam e-RDKK belum sesuai dengan
sasaran lahan yang akan memperoleh pupuk bersubsidi; perencanaan kebutuhan pupuk bersubsidi belum
sepenuhnya tepat sasaran, tepat jumlah, tepat jenis untuk pupuk organik cair, dan tepat tempat/lokasi;
kebutuhan volume pupuk bersubsidi dalam RDKK belum menggambarkan kondisi yang riil; dan petani di
daerah lain kehilangan kesempatan untuk memperoleh alokasi pupuk bersubsidi.
Atas temuan tersebut, BPK merekomendasikan agar Menteri Pertanian untuk:
● merumuskan langkah pemutakhiran data Simluhtan yang akan diintegrasikan dengan e-RDKK;
● melakukan pengujian pemadanan atas validitas data e-RDKK dengan data kependudukan milik
Ditjen Dukcapil; dan
● menyusun suatu formulasi alokasi pupuk bersubsidi yang baku sesuai ketentuan
(mempertimbangkan luas baku lahan sawah dan LP2B, usulan kebutuhan dari pemerintah provinsi,
serapan pupuk tahun sebelumnya, dan alokasi anggaran).
5
ketepatan sasaran penggunaan Kartu Tani pun masih ditemui di tahun 2021. Hasil pemeriksaan atas
penebusan pupuk bersubsidi menggunakan Kartu Tani menunjukkan temuan sebagai berikut:
● tim verval kecamatan, dan tim verval pusat tidak melakukan verifikasi dan validasi transaksi Kartu
Tani sesuai ketentuan, verval hanya dilakukan dengan membandingkan dashboard Kartu Tani
dengan tagihan;
● masih terdapat kendala atas transaksi dengan Kartu Tani karena error saat transaksi dan Kartu Tani
yang belum ter-inject kuota;
● transaksi Kartu Tani sesuai database dashboard Himbara dan hasil verifikasi tim verval tidak dapat
direkonsiliasi;
● terdapat penebusan pupuk dengan Kartu Tani oleh petani yang tidak terdaftar dalam e-RDKK;
● realisasi penebusan melalui Kartu Tani melebihi kuota e-RDKK;
● penebusan pupuk melalui Kartu Tani sekaligus aplikasi T-Pubers melebihi kuota e-RDKK; dan
● terjadi pembayaran atas transaksi berulang.
Gambar 2. Sebaran Kartu Tani Tahun 2021 di Pulau Jawa
6
Bagaimana Tindak Lanjut Temuannya?
Temuan tahun-tahun sebelumnya yang kembali berulang di tahun 2021 menunjukkan lemahnya
penegakan Kementan dalam menjalankan prosedur demi terlaksananya subsidi pupuk yang tepat sasaran.
Sejak 2017, masih terdapat beberapa temuan BPK yang tindak lanjutnya belum sesuai rekomendasi BPK
dan bahkan masih terdapat temuan yang belum ditindaklanjuti. Hal ini mencerminkan kinerja pelaksanaan
subsidi pupuk tidak sesuai dengan harapan bahkan tidak sesuai azas yang ditetapkan di awal yaitu, 6
tepat/6T (tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat tempat, dan tepat waktu).
Untuk temuan tahun 2021 sendiri, seperti terlihat di Gambar 3 bahwa dari 10 rekomendasi yang
diberikan BPK, baru ditindaklanjuti 3 tindak lanjut. Enam tindak lanjut yang lain masih belum sesuai
rekomendasi BPK dan satu rekomendasi belum ditindaklanjuti. Rekomendasi yang telah ditindaklanjuti
berupa penertiban verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi. Sementara itu, rekomendasi yang
sedang dalam proses ditindaklanjuti berupa: perlunya revisi regulasi penyaluran pupuk bersubsidi untuk
petani yang menggunakan Kartu Tani; pelaporan dan pemutakhiran data di Kementan perihal data
persediaan pupuk bersubsidi di distributor dan pengecer; penguatan koordinasi dengan Himbara dalam
pemanfaatan dashboard Kartu Tani secara periodik sebagai alat verifikasi; dan penetapan berbagai
alternatif mekanisme pembayaran penebusan pupuk bersubsidi oleh petani dan mengintegrasikan
transaksi pembayaran dengan e-RDKK.
Gambar 3. Hasil Pemantauan Tindak Lanjut Temuan dan Rekomendasi Hasil Audit BPK