Suaraaisyiyah Id Epistemologi Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan Dari Spiritualisme Al Ghazali Hingga Reformisme Abduh
Suaraaisyiyah Id Epistemologi Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan Dari Spiritualisme Al Ghazali Hingga Reformisme Abduh
Home Berita Kajian Keluarga Sakinah Wawasan Gaya Hidup Inspirasi Muda
SOSIAL BUDAYA
Pengukuhan
Pimpinan Pusat
IPM 2023 – 2025,
Haedar Nashir:
Manusia Bukan
Budak dari
Kemajuan IPTEK
September 27, 2023
Memajukan
Sekolah
Muhammadiyah,
Kepala SD/MI
Muhammadiyah
se-Sleman Ikuti
Baitul Arqam
Advance
September 27, 2023
Kedatangan
Rasulullah ke
Kota Yatsrib
September 27, 2023
Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kauman, Yogyakarta. Muhammad Darwisy, nama
kecil Ahmad Dahlan, lahir dari pasangan Abu Bakar bin Sulaiman dan Siti Aminah binti Ibrahim.
Ia merupakan keturunan ke-11 Maulana Malik Ibrahim.
Ahmad Dahlan dididik dengan pendidikan agama yang kuat. Mulanya ia didik oleh ayahnya,
kemudian secara bertahap ia berguru ke berbagai ulama. Di antara gurunya adalah Kiai Saleh
Darat, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khatib Al-Minangkabawi, dan
lain-lain.
Ahmad Dahlan berkawan baik dengan ulama asal Jawa Timur, Kiai Hasyim Asyari. Dua ulama
ini nantinya mendirikan dua organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah menggunakan simbol matahari, sedangkan Nahdlatul Ulama
menggunakan simbol bumi.
Perjalanan intelektual Ahmad Dahlan tidak berhenti dengan berguru ke ulama Nusantara.
Light Dark
Beliau juga beririsan dengan pemikiran ulama Timur Tengah, misalnya Muhammad Abduh (w.
1905), ibn Taimiyah (w. 1328), hingga al-Ghazali (w. 1111). Melalui pergumulan intelektual
itu, meminjam bahasa Munir Mulkhan, Ahmad Dahlan berhasil melakukan rasionalisasi
Selain itu, meski kurang populer, Ahmad Dahlan juga melakukan praktik penafsiran terhadap
ayat-ayat al-Quran. Beliau memang tidak menulis sebuah kitab tafsir, tetapi penafsirannya
terhimpun di dalam tujuh belas kelompok ayat yang dicatat KRH Hadjid. Kelompok ayat itulah
yang mendapat perhatian lebih Ahmad Dahlan dan sering diajarkan kepada murid-muridnya.
Penafsiran Kiai Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti di makna tekstual al-Quran. Lebih dari itu,
beliau menghubungkan ayat al-Quran dengan kondisi atau permasalahan yang terjadi di
masyarakat sekitarnya, lalu mencari solusi atas permasalahan tersebut. Menurut Hadjid,
penafsiran gurunya itu berada di bawah tema besar sosialisme Islam (isytirakiyyah Islamiyah)
dan menitikberatkan pada etos amali.
Penelitian tentang penafsiran Kiai Ahmad Dahlan dilakukan oleh Alfandi Ilham Safarsyah
dengan judul “Epistemologi Penafsiran KH Ahmad Dahlan (Telaah 17 Kelompok Ayat Al-
Quran dalam Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan)”. Menggunakan sumber primer catatan KRH
Hadjid, ia lantas menggali epistemologi penafsiran Kiai Dahlan. Penelitiannya menghasilkan
tiga kesimpulan, yakni sumber, metode, dan relevansi penafsiran yang dilakukan Kiai Dahlan.
Pertama, ditinjau dari sumbernya, Kiai Dahlan menafsirkan ayat al-Quran dengan al-Quran,
dengan hadits, lalu dengan pendapat para mufasir/ulama. Menariknya, penafsiran Kiai Dahlan
tidak hanya bersinggungan dengan reformisme Muhammad Abduh, tetapi juga dengan
spiritualisme al-Ghazali.
Baca Juga: Profil Kiai Ahmad Dahlan: Pikiran dan Gerakan yang Melampaui Zaman
Kedua, ditinjau dari metode, Kiai Dahlan menggunakan metode maudhu’i (tematik). Sementara
ditinjau dari corak, penafsiran Kiai Dahlan bercorak ‘adaby wa ijtima’i (sastra dan budaya
kemasyarakatan). Dalam tujuh belas kelompok ayat itu dapat diamati bahwa tema-tema yang
dibahas Kiai Dahlan berpusat pada pembersihan diri (tazkiyatun nafs ), iman/kepercayaan,
amal saleh, saling menasihati, dan sosialisme Islam.
Ketiga, ditinjau dari relevansi, selain konsisten dalam berpikir dan bersikap, penafsiran Kiai
Dahlan juga sejalan dengan pandangan mufasir sebelumnya. Kelebihannya, penafsiran Kiai
Dahlan punya nilai pragmatis yang besar. Nilai pragmatis itu terwujud dalam amal-amal sosial
dan lahirnya persyarikatan Muhammadiyah.
Kaitannya dengan pembaruan Islam dan pergerakan, Kiai Dahlan memang terinspirasi dari
Muhammad Abduh. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan perkara hati, Kiai Dahlan banyak
sependapat dengan al-Ghazali. Selain membaca kitab Tafsir Al-Manar-nya Muhammad Abduh,
Kiai Dahlan juga tercatat membaca kitab Ihya’ Ulumiddin-nya al-Ghazali.
Sebagai contoh, ketika menafsirkan Q.S. al-Jatsiyah: 23 tentang membersihkan diri, Kiai
Dahlan menjelaskan tiga jalan yang dapat ditempuh agar seorang hamba terbebas dari hawa
nafsu, yakni ingat kepada Allah, salat, dan memikirkan akhirat. Pandangan Kiai Dahlan itu
sejalan dengan pendapat al-Ghazali dalam kitab Minhajul ‘Abidin dan Ihya’ Ulumiddin tentang
banyaknya manusia yang akan terjebak ke dalam rayuan iblis.
Hadjid merekam dengan baik pelajaran Kiai Dahlan. Ia menjelaskan, “setelah beliau tafakkur
(berpikir-pikir) seraya muhasabah (meneliti) amal-amal umat Islam dan muraqabah (mengawasi
hawa nafsu sendiri), maka beliau berpendapat sebagaimana pendapat para ahli tasawuf
seperti Imam Ghazali dan lain-lain” (Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan, hlm. 65).
Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali mengutip riwayat Muadz bin Jabal yang mengatakan,
“tidaklah ahli surga meratapi sesuatu kecuali waktu yang dilewatinya tanpa mengingat Allah”.
Keutamaan dan ajakan mengingat Allah inilah salah satu poin yang mempertemukan
pandangan Kiai Dahlan dengan al-Ghazali.
Dalam catatan KRH Hadjid, Kiai Dahlan juga memberikan tuntunan doa kepada murid-
muridnya. Kiai Dahlan mengatakan, “tuntunan ulama sufiyah yang menganjurkan untuk
mementingkan mengajak ingat kepada Allah, memperbanyak ingat kepada Allah, supaya hati
manusia tawajjud atau menghadap kepada Allah (suatu perantara yang baik)” (Pelajaran Kiai
Light Dark
Haji Ahmad Dahlan, hlm. 77-78).
Alfandi menjelaskan, ada benang merah antara penyucian diri dengan langkah praksis amal
saleh yang dilakukan dan diajarkan Kiai Dahlan. Tujuan penyucian diri adalah untuk
memperkokoh dan meningkatkan iman seseorang. Setelah iman kuat, ia mesti dimanifestasikan
dalam bentuk amal saleh.
Pandangan ini sejalan dengan penjelasan Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma ketika menjelaskan
Q.S. al-Ashr. Keimanan yang kuat akan berbuah kehendak untuk beramal saleh. Setelah amal
saleh termanifestasikan dan menghasilkan buah kemanfaatan bagi banyak orang, barulah
sosialisme Islam terwujud.
Hadjid pun mengakui bahwa Abduh punya pengaruh besar terhadap langkah Kiai Dahlan untuk
membangun peradaban Islam dengan kembali kepada al-Quran dan sunnah. Jika merujuk pada
pandangan keagamaan Kiai Dahlan, langkah itu harus dimulai dari diri sendiri: membersihkan
diri, menguatkan iman, lalu melakukan amal saleh.
Dalam menggali ilmu pengetahuan, Kiai Dahlan berpijak pada aliran ilmu. Artinya, beliau tidak
membatasi pencari ilmu untuk berguru kepada siapapun. Selanjutnya, Kiai Dahlan juga dapat
mempertautkan pemikiran tasawuf dengan gerakan sosial. “Kiai Dahlan mampu
mengkombinasikan pemikiran tasawuf dan gerakan sosial tanpa mempertentangkan
keduanya,” tulis Alfandi dalam kesimpulannya. (bariqi)
Previous
Next
Related posts
BERITA
AKSARA
SEJARAH
Tinggalkan Balasan
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Name*
Email*
Website
Simpan nama, email, dan situs web saya pada peramban ini untuk komentar saya
berikutnya.
Post comment
Suara Aisyiyah adalah majalah Tentang Info Berlangganan Jl. Kauman Gm I/17A Yogyakarta 55122
perempuan tertua di Indonesia. Terbit
Redaksi Suara ‘Aisyiyah Suara ‘Aisyiyah Digital
sejak tahun 1926 sampai sekarang, suaraaisyiyah@aisyiyah.or.id
Agen
Light Dark