Kajian Kitab Muamalah
Kajian Kitab Muamalah
Disusun Oleh
2112130153
Alhamdulillah kami haturkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat taufik serta hidayahnya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “SYARAT SYARAT SAHNYA JUAL BELI RIBAWI”. Sholawat serta
salam juga tak lupa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW
yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran islam yang sempurna
dan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.
Makalah ini tentunya masih sangat jauh dari kata sempurna, masih banyak terdapat
kekurangan dalam penulisannya mengingatkan kemampuan penulis yang sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk kesempurnaan makalah ini serta sebagai acuan dalam pembuatan karya ilmiah
selanjutnya supaya lebih baik lagi. Mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………….…………….………ii
DAFTAR ISI…………………………………..….…………………………iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………..………..……1
A.Latar Belakang….…………………………………………………1
B.Rumusan Masalah…………...…………………………………….2
C.Tujuan Penulisan……………………………………………....…..2
D.Metode Penulisan……………………………………………...…..2
BAB II PEMBAHASAN……………………...……………………………...3
A.Kesimpulan……………………………………………………...…9
B Saran……………………………………………………..………..10
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Oleh karena itu, pembahasan mengenai syarat-syarat sahnya jual beli ribawi
menjadi relevan dan penting untuk dipahami dalam konteks kehidupan ekonomi
umat Muslim saat ini. Dengan pemahaman yang mendalam dan kesadaran akan
nilai-nilai Islam dalam bertransaksi, diharapkan umat Muslim dapat menjadi
1
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalah. Amzah, Jakarta, 2010, Cet Ke-1, hlm., 173
1
agen perubahan yang memberikan kontribusi positif bagi kemajuan ekonomi
dan kesejahteraan umat secara keseluruhan. 2
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Penulisan
D.Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu dengan metode
telaah kepustakaan dengan menggunakan jurnal sebagai referensi. Dimana
penulis mencari literatur yang berkaitan dengan makalah yang penulis susun,
selain itu mencari.
2
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, Hlm., 97
2
BAB II
PEMBAHASAN
Semua transaksi jual emas dan perak dan transaksi jual beli bahan makanan,
apa pun jenisnya, merupakan transaksi barang ribawi. Baik jual beli bahan
makanan pokok, seperti beras, jagung, ketela pohon, maupun barang konsumsi
tambahan/pelengkap, seperti buah-buahan, susu, daging ikan dan lain
sebagainya, bahkan air dan krupuk, hukum riba dapat berlaku kepadanya. Hal
ini berbeda bila materi bahan jual belinya adalah berupa bahan bangunan,
seperti semen, paku, dan lain-lain. Mengapa hanya dua emas dan perak serta
bahan makanan yang masuk kategori barang ribawi? Tidak lain adalah
disebabkan karena keberadaan emas dan perak saat itu menjadi alat transaksi
untuk semua barang. Sebagai alat transaksi, maka ia menjadi alat ukur dan
menjadi neraca nilai bagi barang. Posisi emas dan perak saat ini digantikan
dengan uang tunai. Oleh karena itu, transaksi mata uang dalam kurs, sejatinya
juga masuk kategori transaksi ribawi disebabkan peran pengganti emas dan
perak tersebut. Seandainya suatu saat ada alat transaksi lain yang
menggantikan peran uang emas dan perak, atau mata uang, misalnya dalam
bentuk mata uang virtual, bitcoin atau sejenisnya, maka ia juga bisa
digolongkan sebagai transaksi barang ribawi karena peran yang dimilikinya
sebagai alat tukar dan alat ukur nilai barang. Dan sebagai alat transaksi barang
ribawi, maka ia bisa terkenal pasal riba apabila tidak memperhatikan berbagai
3
pedoman yang sudah diatur oleh syara’. Semua macam transaksi riba,
hukumnya adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’. Dengan
demikian, penting kiranya kita mengenali transaksi riba dalam jual beli. 3
Dalam praktik jual beli, ada tiga praktik transaksi riba yang terkenal, yaitu
riba al-fadl, riba al-yad dan riba al-nasa’. Karena butuh ruang khusus untuk
membahas riba al-nasa’ (riba yang terjadi akibat jual beli tempo), dalam
kesempatan ini hanya akan dijelaskan dua riba jual beli, yaitu riba al-fadl dan
riba al-yad.
Pertama, riba al-fadl, yaitu: transaksi jual beli harta ribawi (emas, perak dan
bahan makanan) yang disertai dengan sesama jenisnya, dan disertai adanya
melebihkan di salah satu barang yang dipertukarkan. Karena adanya unsur
melebihkan (fudlul) ini maka riba ini diberi nama sebagai riba al-fadl (riba
kelebihan). Suatu misal Bu Eko memiliki beras bagus seberat 1 kilogram. Bu
Hasan memiliki beras jelek seberat 2 kilogram. Bu Eko bermaksud memiliki
beras kualitas jelek milik Bu Hasan tersebut untuk campuran pakan ternaknya.
Sementara itu Bu Hasan membutuhkan beras bagus untuk konsumsi
keluarganya. Akhirnya, terjadilah transaksi keduanya untuk saling menukarkan
beras tersebut. Bu Eko membawa beras bagus seberat 1 kilogram dan Bu Hasan
membawa beras kualitas buruk seberat 2 kilogram. Transaksi terjadi dengan
penukaran beras 1 kg ditukar dengan beras 2 kg. Transaksi sebagaimana
dimaksud dalam contoh ini adalah termasuk transaksi riba, disebabkan ada
kelebihan timbangan dari beras miliknya Bu Hasan, dengan selisih 1 kilogram.
Pasal yang dilanggar dalam hal ini adalah karena ketiadaan sama timbangannya,
sebagaimana syarat sah transaksi barang ribawi, yaitu harus kontan, saling
menyerahkan, dan sama timbangannya. Sebagai solusinya, agar terhindar dari
transaksi riba, yaitu seharusnya Bu Eko membeli beras yang dimiliki Bu Hasan
dengan tunai. Demikian pula, Bu Hasan membeli berasnya Bu Eko dengan
tunai. Selanjutnya, dari uang yang diterima, dibelikan beras yang dikehendaki
oleh masing-masing. Uang Bu Eko dibelikan beras milik Bu Hasan. Demikian
pula, uang yang didapat Bu Hasan dibelikan beras milik Bu Eko.4
3
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid II, Gema Insani, Jakarta 2001, hlm., 342
4
Dapatemen Agama RI,,, Op. Cit. hlm., 553
4
Kedua, transaksi riba al-yad, yaitu riba yang terjadi akibat jual beli barang
ribawi (emas, perak dan bahan makanan) yang disertai penundaan serah terima
kedua barang yang ditukarkan, atau penundaan terhadap penerimaan salah
satunya. Karena ada unsur penundaan inilah, maka riba ini disebut sebagai riba
al-yad (riba kontan). Demikian logikanya: Emas, perak dan bahan makanan
merupakan bahan yang cenderung mengalami perubahan (fluktuasi) harga.
Harga emas saat ini bisa jadi berbeda dengan harga emas untuk esok hari. Harga
cabe hari ini juga memungkinkan berbeda dengan harga cabe esok hari. Karena
kondisi inilah, maka diperlukan syarat mutlak “penetapan harga” yang
disepakati oleh kedua belah pihak apabila terjadi transaksi barang ribawi.
Ambil contoh, misalnya transaksi jual beli barang ribawi antara Pak Ahmad
(pedagang jagung) dengan Pak Hasan (pedagang beras). Pak Ahmad hendak
membeli beras milik Pak Hasan dengan standart 1 kg beras untuk 4 kg jagung.
Standart ini dibangun, karena kebetulan harga beras saat itu adalah 10 ribu
rupiah per kilogram. Sementara jagung memiliki harga 2.500 rupiah per
kilogram. Keduanya sudah sama-sama sepakat. Setelah Pak Ahmad menerima
beras milik Pak Ahmad, ternyata Pak Ahmad tidak segera menyerahkan jagung
yang dimilikinya kepada Pak Hasan di majelis akad dan saat itu juga. Transaksi
inilah yang disebut sebagai riba al-yad disebabkan ada kemungkinan harga 1 kg
beras di kemudian hari berbeda dengan harga 4 kg jagung. Bahkan adakalanya
harga 1 kg beras sama dengan harga 5 kg jagung.5
5
Muhammad Abdullah Abu Al imam Al Bukhori. Kitab Shahih Bukhori. Dahlan Bandung. Hlm.,
1223
5
harga yang sudah disepakati, yaitu 1 juta rupiah untuk 4 kuintal jagung. Dalam
kondisi sudah ada ketetapan harga sebagaimana dimaksud di atas, maka boleh
dilakukan penundaan penyerahan barang salah satu yang hendak dipertukarkan
oleh masing-masing pihak disebabkan ada nilai uang yang menjembatani di
antara keduanya. Bila terjadi penundaan penyerahan barang, maka pada
dasarnya salah satu pihak yang bertransaksi adalah sama dengan sedang hutang
uang, dan bukan hutang komoditas. Oleh karena itu pendapat yang melemahkan
akan kebolehan dari transaksi ini adalah unsur taqabudl-nya, yaitu saling
menerima barang saat transaksi di majelis transaksi. Bila ternyata harga beras
atau harga jagung di satu bulan kemudian mengalami kenaikan, maka akad
dikembalikan pada asalnya, yaitu bahwa pada dasarnya akad tersebut bukan
akad jual beli. Keberadaan uang yang menjadi alat ukur nilai komoditas berubah
haluan menjadi uang yang dihutang. Dengan demikian, pihak yang menunda
dihukumi sebagai pihak yang berhutang uang sebesar 1 juta rupiah, dan bukan
hutang komoditas beras seberat 1 kuintal atau hutang jagung seberat 4 kuintal.
Karena adanya unsur taqabudl yang melemahkan kekuatan dari pendapat ini,
maka diperlukan unsur saling ridha/saling menyadari di antara kedua pihak
yang saling berakad, bahwa akad terjadi dengan standart uang sehingga yang
wajib dikembalikan adalah dalam bentuk uang.
Lemahnya pendapat ini, kadang disebabkan timbul rasa tidak enak di dalam
hati kedua orang yang berakad. Misalnya, timbul pemikiran dari Pak Ahmad:
“1 bulan yang lalu, harga beras masih 10 ribu rupiah. Uang 1 juta yang aku
serahkan, saat itu bisa mendapatkan beras 1 kuintal. Namun, karena saat ini
beras naik menjadi 10.500 rupiah per kilogram, uang sebesar 1 juta rupiah itu
tidak lagi mendapat 1 kuintal beras. Ia hanya mendapatkan 95,2 kg beras.”
Timbulnya rasa ini merupakan hal yang manusiawi dan bisa terjadi kapan
saja dan bisa menyasar siapa saja yang melakukan transaksi ribawi sebagaimana
di atas. Itulah sebabnya, agar muncul kehati-hatian, maka ditetapkan dalam teks
fiqih bahwa riba al yad, merupakan riba jual beli barang ribawi, akibat
“pertukaran” barang sejenis atau tidak sejenis, namun salah satu dari kedua
belah pihak ada yang melakukan penundaan penyerahan barang.” Frasa
6
“pertukaran” ini merupakan batas fiqih yang harus dipatuhi. “Pertukaran antara
jagung dengan beras”, akan sangat berbeda pengertiannya dengan “menjual
jagung, kemudian uang yang didapat digunakan untuk membeli beras.” Untuk
kasus terakhir, ada uang yang menjadi timbangan harga di antara komoditas
yang ditawarkan oleh dua orang yang bertransaksi. 6
Syarat-syarat sahnya jual beli ribawi merupakan bagian integral dari ekonomi
Islam yang diatur oleh syariat. Dengan memahami dan mengimplementasikan
prinsip-prinsip ini dengan baik, umat Muslim dapat menjalankan aktivitas
ekonomi mereka dengan penuh kesadaran akan aturan yang ditetapkan dalam
ajaran agama Islam, sehingga setiap transaksi yang dilakukan dapat menjadi
amal yang diberkahi oleh Allah SWT.Jual beli ribawi merujuk pada transaksi
yang melibatkan barang-barang tertentu yang telah diatur secara khusus dalam
syariat Islam, seperti emas, perak, gandum, kurma, dan garam. Transaksi ini
memiliki peraturan yang telah ditetapkan dalam ajaran agama Islam untuk
menjaga keadilan, kesetaraan, dan keberkahan.
Syarat sahnya jual beli barang ribawi (naqdain dan math’umaat) yaitu:
2.Hulul (tunai), tidak boleh ada yang tertunda. Kalau terjadi penundaan,
maka tidaklah sah dan terjatuh dalam riba an-nasaa’.
1.Barter daging dan hewan, baik dari sejenis (misal daging kambing dan
kambing) atau beda jenis tetapi sama-sama ma’kul (dimakan), seperti
jual beli daging sapi dan satu kambing.
6
Rachat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, Cet. Ke-4, hlm., 76
7
2.Menjual yang telah dibeli sebelum diterima, baik ia mau menjualnya
lagi pada penjual atau pada yang lain.
3.Jual beli gharar, seperti menjual budak dari beberapa budak atau
menjual burung yang masih di udara.
1.Menukar emas dan emas, juga perak dan perak, harus: (1)
mutamatsilan (sama) dan (2) naqdan (tunai, tidak ada yang terlambat).
7
Nasrun Haroen, Fiqih muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta 2000, hlm., 115
8
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai jual beli ribawi, dapat disimpulkan bahwa transaksi
ini memiliki aturan khusus yang telah ditetapkan dalam syariat Islam untuk
menjaga keadilan, kesetaraan, dan keberkahan dalam ekonomi umat Muslim.
Jual beli ribawi melibatkan barang-barang tertentu yang telah diatur secara
khusus dalam ajaran agama Islam, seperti emas, perak, gandum, kurma, dan
garam.
Dengan menjalankan transaksi jual beli ribawi sesuai dengan syariat Islam,
umat Muslim dapat menjalankan aktivitas ekonomi mereka dengan penuh
kesadaran akan aturan yang ditetapkan dalam ajaran agama Islam, sehingga
setiap transaksi yang dilakukan dapat menjadi amal yang diberkahi oleh Allah
SWT.
9
B.Saran
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya
Mengandalkan buku referensi. Maka dari itu saya menyarankan agar para
pembaca Yang ingin mendalami masalah Kajian Kitab Muamalah, agar setelah
membaca makalah ini, Membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak
hanya sebatas membaca Makalah ini saja.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Wardi Muslich, Fikih Muamalah. Amzah, Jakarta, 2010, Cet Ke-1, hlm., 173
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, Hlm., 978
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid II, Gema Insani, Jakarta 2001, hlm., 342
Muhammad Abdullah Abu Al imam Al Bukhori. Kitab Shahih Bukhori. Dahlan Bandung.Hlm.,
1223
Rachat Syafei, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, Cet. Ke-4, hlm., 76
Nasrun Haroen, Fiqih muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta 2000, hlm., 115
11