Anda di halaman 1dari 64

Populasi

Pasien dan pengunjung di puskemas Kesamben


pada tanggal 05 Februari 2021

Tahap I
Gambaran
Penelitian Reaksi
deskriptif Masyarakat
observasinal Mengenai
dengan metode survei Vaksinasi Covid-19 Pada

Masyarakat Umum Wilayah Kerja Puskesmas Kesamben


Sampel

Sampel diambil dengan purposive sampling menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi

Sampel seluruh pengunjung


puskesmas Kesamben

Memberikan kuisioner pertanyaan tertutup dan terbuka mengenai vaksin Covid-19

Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa secara univariat

Pembahasan pada penelitian ini disesuaikan dengan hasil analisis data

Pengambilan kesimpulan oleh peneliti berdasarkan tujuan dan hasil penelitian

Disusun Oleh :
Hilda Adina Eriawan

Pembimbing :

Dr. Rofiq Ahmad

Program Internship Dokter Indonesia

Puskesmas Kesamben

Provinsi Jawa Timur

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronavirus Disease 19 (Covid-19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Novel Coronavirus (2019-nCov) yang diketahui merupakan virus jenis baru yang belum

diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Pertama kali dilaporkan di Tiongkok pada

tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia

yang tidak diketahui etiologinya di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Pada tanggal 7

Januari 2020, China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru coronavirus. Pada

tanggal 30 Januari 2020 WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai Kedaruratan

Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of

International Concern (PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah

menetapkan sebagai pandemic (Kemenkes, 2020).

Saat ini di Indonesia, angka kejadian infeksi virus covid-19 terus meningkat.

Perkembangan harian per 22 Januari 2021 total kasus terkonfirmasi berjumlah 965.283,

dengan pertambahan kasus positif per hari tanggal 22 Januari 2021 sebanyak 13.632

kasus, angka kematian sebanyak 250 kasus, atau setara dengan 2,8% dari total

konfirmasi. Sementara di Jawa Timur masih menduduki peringkat ketiga penambahan

kasus covid 19, yaitu 794 kasus, khususnya di Kabupaten Blitar, angka kejadian sebesar

…. Kecamatan kesamben merupakan kecamatan dengan jumlah penderita covid tertinggi

dan angka kematian tertinggi di Kabupaten Blitar

Salah satu cara untuk menurunkan angka tersebut adalah dengan menurunkan laju

penularan infeksi covid-19. Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk menurunkan laju
penularan infeksi covid-19. Vaksinasi bekerja dengan cara merangsang imunitas pada

tubuh, Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka kejadian covid-19 tertinggi di

dunia akan melalukan program imunisasi dengan melaksanakan vaksinasi secara masal ke

seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut WHO, vaksin terbukti dapat mencegah lebih dari 2,5 juta kematian

anak, vaksin juga mempunyai jangkauan yang luas karena vaksin dapat melindungi

individu, masyarakat dan seluruh populasi yang divaksinasi. Selain itu, vaksin

mempunyai dampak cepat dan menghemat biaya pengobatan dan perawatan sehingga

para ahli ekonomi terkemuka menempatkan program imunisasi di urutan ke empat dari 30

program kesehatan masyarakat yang paling cost-effective.

Vaksinasi covid-19 di Indonesia ini akan dilaksanakan secara gratis dan bertahap

sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan pemerintah. Pelaksanaan program vaksinasi

di Indonesia membutuhkan dukungan dari berbagai unsur. Salah satu unsur yang penting

adalah penerima vaksin itu sendiri yaitu masyarakat umum di Indonesia. Pengetahuan

masyarakat tentang penyakit dan vaksin dapat mendukung keberhasilan program suatu

penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh oleh Triana (2016) tentang faktor yang

berhubungan dengan pemberian vaksinasi memberikan hasil bahwa cakupan vaksinasi

akan dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat yang kurang terhadap vaksinasi.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu usia,

pendidikan, media massa/informasi, lingkungan, sosial budaya dan ekonomi, serta

pengalaman (Budiman, 2013). Berdasarkan data diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui gambaran reaksi masyarakat mengenai vaksinasi COVID-19 pada

masyarakat umum di wilayah kerja Puskesmas Kesamben, sehingga dapat dijadikan dasar
dalam menyusun program pemberian vaksinasi oleh pemerintah kabupaten atau desa

setempat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas maka rumusan masalah untuk mini-project ini yaitu

“Bagaimana gambaran reaksi masyarakat mengenai vaksinasi COVID-19 pada

masyarakat umum di wilayah kerja Puskesmas Kesamben?”

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui reaksi masyarakat mengenai vaksinasi COVID-19 pada masyarakat

umum di wilayah kerja Puskesmas Kesamben.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi puskesmas dan masyarakat

Mengidentifikasi dan menganalisa gambaran reaksi masyarakat umum terhadap

vaksinasi covid 19 yang akan dilakukan.

Memberikan saran terhadap penalaksanaan program vaksinasi yang akan dilakukan.

1.4.2 Manfaat bagi peneliti

Menerapkan metodologi penelitian ilmiah dalam lingkup Puskesmas sebagai

sarana pembelajaran dan melatih kemampuan peneliti dalam mengidentifikasi dan

menganalisa suatu masalah.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Covid 19

2.1.1 Definisi Covid 19

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 merupakan

coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada

setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat

menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute

Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala

gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6

hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat

menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.

2.1.2 Epidemiologi Covid 19

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh Corona virus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus pneumonia yang

tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 (Li et al, 2020).

Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus tersebut diduga berhubungan dengan Pasar

Seafood di Wuhan. Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan

bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama

SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal dari famili

yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal dari famili yang sama,
namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC

China, 2020). Proses penularan yang cepat membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai

KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar bervariasi tergantung

negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh, perkembangan wabahnya di suatu

negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium. Thailand merupakan negara pertama di luar

China yang melaporkan adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang

melaporkan kasus pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian

berkembang ke negara-negara lain. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan

10.185.374 kasus konfirmasi dengan 503.862 kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%). Negara

yang paling banyak melaporkan kasus konfirmasi adalah Amerika Serikat, Brazil, Rusia, India,

dan United Kingdom. Sementara, negara dengan angka kematian paling tinggi adalah Amerika

Serikat, United Kingdom, Italia, Perancis, dan Spanyol.

Gambar 2.1 Gambaran Peta Penyebaran Covid 19 di Dunia (WHO,2020)

Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020 dan

jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020 Kementerian

Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 2.875 kasus meninggal (CFR
5,1%) yang tersebar di 34 provinsi. Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki. Kasus paling

banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun.

Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien dengan usia 55-64 tahun. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus paling banyak terjadi pada

pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun

(1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan

McGoogan JM, 2020). Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui

lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan

dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80

tahun adalah 14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan

pada penelitian di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR

keseluruhan adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020). Tingkat kematian juga

dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien

dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan

penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan

kanker.

2.1.3 Etiologi Covid 19

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Corona

virusmerupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4

struktur protein utama pada Corona virus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M

(membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Corona virus tergolong ordo

Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirusini dapat menyebabkan penyakit pada hewan

atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus,dan


deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis corona virusyang dapat menginfeksi

manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63

(alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan MERS-

CoV (betacoronavirus).

Gambar 2.2 Struktur Coronavirus (Sumber: Shereen, et al. (2020) Journal of Advanced
Research 24)

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus,

umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil

analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan

coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas

dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV)memberikan nama penyebab

COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.


Gambar 1. 3. Gambaran mikroskopis SARS-CoV-2 (CDC, 2020)

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas permukaan,

tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus

bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau

kelembapan lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2

dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada

tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-COV-2 sensitif

terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid

solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam

peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin).

2.1.4 Manifestasi Klinis Covid 19

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap.

Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala

COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien

mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis,

sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Menurut data dari

negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan mengalami penyakit ringan,

40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami

penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan
dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory

Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal

atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan

kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan

paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.

2.1.5 Patogenesis Covid-19

Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV2 atau 2019-nCoV, merupakan genus β corona

virus. Virus Covid-19 dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring,

kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius. Selanjutnya, virus akan menyerang

organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-

paru, jantung, sistem renal dan traktus gastrointestinal (Gennaro dkk., 2020).

Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target.

Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2 (Gambar 2.4),

yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel. Protein S pada SARS-

CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang hampir identik pada domain

receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2

pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki pengenalan

yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia dibandingkan dengan SARS-CoV. (Zhang dkk.,

2020).
Gambar 2.4. Interaksi SARS-CoV2 dengan RAA pada permukaan reseptor ACE2
(Mcmurray et al., 2020)

Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi. Setelah

itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran

napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah

penyembuhan (PDPI, 2020). Periode inkubasi untuk COVID- 19 antara 3-14 hari. Ditandai

dengan kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta pasien belum

merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah, terutama menuju ke

organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan gejala ringan. Empat sampai

tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk dengan ditandai oleh timbulnya

sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi

Acute Respiratory Distress Syndrome(ARSD), sepsis, dan komplikasi lain. Tingkat keparahan

klinis berhubungan dengan usia (di atas 70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru

obstruktif kronis (PPOK), hipertensi, dan obesitas (Gennaro dkk., 2020; Susilo dkk., 2020).
2.1.6 Terapi Covid-19

o Pasien tanpa gejala

a) Isolasi dan Pemantauan

1. Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis

konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang

dipersiapkan pemerintah.

2. Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

(FKTP)

3. Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina untuk pemantauan klinis

(PAPDI., 2020)

b.) Non Farmakologis

1. Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota

keluarga

2. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.

3. Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)

4. Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah

5. Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)

6. Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun


7. Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan

setelah jam 3 sore).

8. Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik / wadah tertutup

yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera

dimasukkan mesin cuci

9. Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)

10. Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan

suhu tubuh > 38oC

c.) Farmakologis

1. Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap melanjutkan

pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat

antihipertensi dengan golongan obat ACE- inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker

perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung.

2. Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ; Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam

oral (untuk 14 hari)

3. Pedoman Tatalaksana COVID-19 9

4. Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

5. Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),

6. Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E, Zink


7. Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli Indonesia

(OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan namun

dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.

8. Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.

o Derajat Ringan

a.) Isolasi dan Pemantauan

1. Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama maksimal 10 hari sejak

muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan.

Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang

dipersiapkan pemerintah.

2. Petugas FKTP diharapkan proaktif melakukan pemantauan kondisi pasien.

3. Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.

b.) Non Farmakologis

Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa

gejala).

c.) Farmakologis
Vitamin C dengan pilihan:

1. Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

2. Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),

3. Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari Salah satu dari antivirus berikut

ini: Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari Atau Kombinasi

Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama 10 hari Atau Favipiravir

(Avigan) 600 mg/12 jam/oral selama 5 hari

4. Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU Hidroksiklorokuin

(sediaan yang ada 200 mg) dosis 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat

dipertimbangkan apabila pasien dirawat inap di RS dan tidak ada kontraindikasi.

5. Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam.

Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli

Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk

diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis

pasien.

6. Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

o Derajat Sedang

a.) Isolasi dan Pemantauan


1. Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/ Rumah Sakit Darurat

COVID-19

2. Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/ Rumah Sakit Darurat

COVID-19

b.) Non Farmakologis

1. Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit, status hidrasi/terapi

cairan, oksigen

2. Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap berikut dengan hitung jenis,

bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto

toraks secara berkala.

c.) Farmakologis

1. Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam

diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan

2. Diberikan terapi farmakologis berikut: Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral

(untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 ml/ hari pertama 400

mg/12 jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari)

3. Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai

alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis

750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). Ditambah Salah satu
antivirus berikut : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau

Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama10hari Atau

Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg). Atau Remdesivir 200 mg IV drip/3jam

dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari.

4. Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP.

o Derajat Berat atau Kritis

a.) Isolasi dan Pemantauan

1. Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting

2. Pengambilan swab untuk PCR

b.) Non Farmakologis

1. Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku dengan hitung jenis,

bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati,

Hemostasis, LDH, D-dimer.

2. Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan

3. Monitor tanda-tanda sebagai berikut;

a. Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,

b. Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di jari),

c. PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,


d. Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area paru-paru pada

pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,

e. Limfopenia progresif, Peningkatan CRP progresif, Asidosis laktat

progresif.

d.) Farmakologis

1) Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam

diberikan secara drips Intravena (IV) selama perawatan

2) Diberikan terapi farmakologis berikut: Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral

(untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 ml/ hari pertama 400

mg/12 jam/oral, selanjutnya 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari)

3) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai

alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis

750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). Ditambah Salah satu

antivirus berikut : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau

Kombinasi Lopinavir + Ritonavir (Aluvia) 2 x 400/100mg selama10hari Atau

Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg). Atau Remdesivir 200 mg IV drip/3jam

dilanjutkan 1x100 mg IV drip/3 jam selama 9 – 13 hari.

4) Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP.


5) Deksametason dengan dosis 6 mg/ 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain

yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen

atau kasus berat dengan ventilator.

6) Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

7) Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok

yang sudah ada

2.2 Vaksin Covid 19

2.2.1 Definisi Vaksinasi dan Imunisasi

Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin melalui disuntikkan maupun diteteskan ke

dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.

Sedangkan, Imunisasi merupakan proses dalam tubuh agar seseorang memiliki kekebalan tubuh

terhadap suatu penyakit. Imunisasi terbagi menjadi imunisasi aktif dan pasif. Vaksinasi termasuk

dalam imunisasi aktif sebagai upaya memicu tubuh mengeluarkan antiboditerhadap penyakit

tertentu. Berbeda dengan imunisasi pasif yang berarti tubuh diberikan antibodi dan bukan

dipancing untuk menghasilkan ketahanan tubuh, misalnya suntikan imunoglobulin. Imunisasi

aktif dapat bertahan lebih lama untuk jangka panjang hingga seumur hidup, sedangkan imunisasi

pasif hanya bertahan dalam hitungan minggu hingga bulan.

Vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui vaksinasi, umumnya mengandung virus

atau bakteri yang telah dilemahkan, serta protein mirip bakteri yang diperoleh dari

pengembangan di laboratorium. Kandungan vaksin menimbulkan reaksi imunitas tubuh, yang

dapat mempersiapkan tubuh untuk melawan serangan infeksi di kemudian hari. Proses ini

merupakan proses imunisasi dalam tubuh (Bhandari, S. Web MD., 2018)


2.2.2 Tujuan Imunisasi dan Vaksinasi

Berdasarkan terminologi vaksinasi dan imunisasi diatas maka tujuan dari vaksinasi adalah

untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila

suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan

dan tidak menjadi sumber penularan. Sementara tujuan imunisasi adalah untuk menurunkan

angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi

(Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 84, 2020).

Dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19 tidak hanya dilaksanakan dari sisi

penerapan protokol kesehatan, namun juga intervensi dengan vaksinasi sebagai bagian dari

upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Berdasarkan rekomendasi dari Komite Penasihat

Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technology Advisory Group on Immunization) tahun

2020, untuk dapat mengendalikan pandemi COVID-19 di masyarakat secara cepat yaitu dengan

meningkatkan kekebalan individu dan kelompok sehingga dapat menurunkan angka

kesakitan dan kematian, serta mendukung produktifitas ekonomi dan sosial dengan pemberian

vaksinasi COVID-19 yang dilakukan dengan strategi tepat sadaran pada kelompok prioritas

(Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 84, 2020).

Sehingga secara umum tujuan vaksinasi Covid 19 adalah untuk mengurangi

transmisi/penularan COVID-19, menurunkan angka kesakitan dan kamatian akibat COVID-19,

mencapai kekebalan kelompok di masyarakat (herd imunity) serta melindungi masyarakat dari

COVID-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi (Komite Penanganan Covid 19 dan

Pemulihan Ekonomi Nasional, 2021).


2.2.3 Penyelenggaraan Pelayanan Imunisasi

Vaksinasi COVID-19 dilaksanakan secara bertahap setelah vaksin mendapatkan izin dari

BPOM berupa Emergency Use of Authorization (EUA). Calon penerima vaksin COVID-19 akan

mendapatkan SMS-Blast untuk melakukan registrasi ulang dan memilih tempat dan waktu

pelayanan vaksinasi COVID-19. Vaksinasi COVID-19 dilaksanakan dalam 4 tahapan

mempertimbangkan ketersediaan, waktu kedatangan dan profil keamanan vaksin.

Kelompok prioritas penerima vaksin adalah penduduk yang berdomisili di Indonesia

yang berusia ≥ 18 tahun. Kelompok penduduk berusia di bawah 18 tahun dapat diberikan

vaksinasi apabila telah tersedia data keamanan vaksin yang memadai dan persetujuan

penggunaan pada masa darurat (emergency use authorization) atau penerbitan nomor izin edar

(NIE) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Tahapan pelaksanaan vaksinasi COVID 19 dilaksanakan sebagai berikut:

1. Tahap pertama dengan waktu pelaksanaan Januari-April 2021

Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 1 adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan,

tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang

bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

2. Tahap kedua dengan waktu pelaksanaan Januari-April 2021

Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 2 adalah:

a. Petugas pelayanan publik yaitu Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara

Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas

di bandara/pelabuhan/stasiun/terminal, perbankan, perusahaan listrik negara, dan perusahaan


daerah air minum, serta petugas lain yang terlibat secara langsung memberikan pelayanan

kepada masyarakat.

b. Kelompok usia lanjut (≥ 60 tahun).

3. Tahap ketiga dengan waktu pelaksanaan April 2021-Maret 2022

Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 3 adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial,

sosial, dan ekonomi.

4. Tahap keempat dengan waktu pelaksanaan April 2021-Maret 2022

Sasaran vaksinasi tahap 4 adalah masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan

pendekatan kluster sesuai dengan ketersediaan vaksin.

Pentahapan dan penetapan kelompok prioritas penerima vaksin dilakukan

dengan memperhatikan Roadmap WHO Strategic Advisory Group of Experts on Immunization

(SAGE) serta kajian dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical

Advisory Group). Pemberian vaksinasi COVID-19 dilakukan oleh dokter, perawat atau bidan

yang memiliki kompetensi dan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah

Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau milik masyarakat/

swasta yang memenuhi persyaratan, meliputi:

1. Puskesmas, Puskesmas Pembantu

2. Klinik

3. Rumah Sakit dan/ atau

4. Unit Pelayanan Kesehatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)


(Kemenkes FAQ seputar pelaksanaan Vaksin Cov-19, 2020)

2.2.4 Jenis-Jenis Vaksin Covid-19

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/12758/2020 tentang

Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19, jenis vaksin COVID-19 yang

dapat digunakan di Indonesia adalah:

• Vaksin yang diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero)

• AstraZeneca

• China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm)

• Moderna

• Novavax Inc

• Pfizer Inc. and BioNTech, dan

• Sinovac Life Sciences Co., Ltd.

Jenis-jenis vaksin tersebut merupakan vaksin yang masih dalam tahap pelaksanaan uji

klinik tahap 3 atau telah selesai uji klinik tahap 3. Penggunaan vaksin tersebut hanya dapat

dilakukan setelah mendapatkan izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat dari

BPOM. Berikut Profilnya :


Gambar 2.5 Profil Vaksin Covid 19 (Pengganis, 2021)
2.2.5 Efektivitas Vaksin Covid 19
Efektivitas vaksin sering dibingungkan dengan Efikasi vaksin (pada kenyataannya, salah

satu sebutan sebelumnya untuk itu adalah "Efikasi Lapangan") tetapi harus dilihat sebagai

konsep yang sangat berbeda, meskipun terkait. Pada dasarnya, keefektifan vaksin adalah

pandangan “dunia nyata” tentang bagaimana vaksin (yang mungkin telah terbukti memiliki

khasiat vaksin yang tinggi) mengurangi penyakit dalam suatu populasi. Tindakan ini dapat

menilai keseimbangan manfaat dan efek merugikan dari program vaksinasi, tidak hanya vaksin

itu sendiri, dalam kondisi lapangan yang lebih alami daripada dalam uji klinis terkontrol.

Efektivitas vaksin sebanding dengan potensi vaksin (yaitu, kemanjuran vaksin) tetapi juga

dipengaruhi oleh seberapa baik kelompok sasaran dalam populasi diimunisasi (yang dengan

sendirinya dapat mencerminkan kesulitan dalam menjaga kondisi penyimpanan vaksin yang

tepat, seperti rantai dingin, akses ke perawatan kesehatan, dan biaya vaksin), serta faktor lain

yang tidak terkait dengan vaksin yang memengaruhi hasil rawat inap, kunjungan rawat jalan,

atau biaya di dunia nyata.


Beberapa desain studi dapat digunakan untuk mengukur efektivitas vaksin. Mungkin

yang paling dikenal adalah analisis pengendalian kasus retrospektif, di mana tingkat vaksinasi di

antara satu set kasus yang terinfeksi dan kontrol yang sesuai dibandingkan. Data hasil

(efektivitas vaksin) dinyatakan sebagai perbedaan tingkat, dengan menggunakan rasio odds (OR)

untuk mengembangkan infeksi meskipun telah divaksinasi.

Efektivitas = (1 - OR) x 100.

Jenis desain penelitian yang kurang terkenal untuk mengukur efektivitas vaksin adalah

penelitian “kohort tidak langsung” atau “kuasi-kohort”, di mana tanggapan yang berbeda pada

populasi yang divaksinasi sama diperiksa. Misalnya, analisis efektivitas vaksin dari vaksin

polisakarida pneumokokus memeriksa semua penyakit pneumokokus invasif dalam kohort

populasi dan membandingkan tingkat infeksi vaksin-serotipe dan infeksi serotipe non-vaksin

(dengan asumsi bahwa tidak ada perlindungan terhadap serotipe nonvaksin yang diberikan

melalui vaksinasi), memberikan perkiraan tidak langsung dari efektivitas vaksin [8]. Jenis studi

efektivitas vaksin lain yang tidak umum adalah metode "cakupan kasus" atau "kelompok kasus",

di mana tingkat vaksinasi di antara kasus dibandingkan dengan yang ada dalam kelompok serupa

(yang mungkin termasuk individu yang mengembangkan kasus) selama periode tertentu

waktu. Jenis studi efektivitas vaksin keempat, yang digunakan oleh Curns et al untuk menilai

dampak vaksin rotavirus, bersifat ekologis atau observasional, memeriksa perubahan beban

penyakit dari waktu ke waktu (misalnya, sebelum dan sesudah pengenalan vaksinasi rutin). Jenis

studi umum ini dapat menggunakan diagnostik berbasis laboratorium atau database skala besar

yang berisi kode tagihan atau International Classification of Diseases, Edisi ke-9, kode pelepasan

Modifikasi Klinis (ICD-9-CM).


Pandangan "dunia nyata" yang diberikan oleh data keefektifan vaksin diinginkan dalam

merencanakan prakarsa kesehatan masyarakat, suatu keuntungan (bersama dengan rancangan

penelitian yang lebih sederhana dan lebih murah) yang membuat penelitian ini menarik. Namun,

banyak bias (beberapa di antaranya sulit dideteksi) dapat mempengaruhi studi efektivitas vaksin,

seperti perbedaan penentuan kasus pada kelompok yang divaksinasi dan tidak, perbedaan dalam

kerentanan atau keterpaparan beberapa kelompok dalam populasi terhadap infeksi, perbedaan

dalam pemanfaatan layanan kesehatan ( tidak terkait dengan vaksinasi) antara populasi yang

divaksinasi dan yang tidak divaksinasi, mangkir yang tidak terdeteksi untuk tindak lanjut dari

migrasi, dan asumsi yang dibuat selama analisis statistik. Dengan demikian, studi efektivitas

vaksin memiliki keuntungan menggunakan hasil dunia nyata tetapi juga memiliki tantangan

dalam membedakan efek terkait vaksin dari pembaur potensial lain yang dapat mempengaruhi

hasil yang sama.

2.2.6 Penyakit- Penyakit yang Dapat di Berikan Vaksin

Secara teori, penyakit menular apa pun dapat dicegah dengan vaksin. Tetapi pemahaman

yang terbatas tentang mekanisme kekebalan yang terlibat, dan sifat tanggapan kekebalan yang

sangat bervariasi terhadap setiap organisme penyebab penyakit tertentu, berarti bahwa

pengembangan vaksin sejauh ini terbatas pada sejumlah penyakit virus dan bakteri. Untuk

beberapa penyakit, seperti AIDS, pengembangan vaksin sangat menantang karena virus HIV

lolos dari respons kekebalan alami tubuh. Untuk penyakit parasit, siklus hidup yang kompleks,

atau ukurannya yang relatif besar, dapat membatasi kemampuan vaksin untuk bekerja secara

efektif. Vaksin yang sangat aman dan efektif telah dikembangkan untuk melawan beberapa

penyakit selama 120 tahun terakhir.


Gambar 2.6 Penyakit-Penyakit yang dapat Di Vaksin

2.2.7 Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Karena Vaksin


Ketika mikroorganisme penyebab penyakit yang tidak aktif atau lemah memasuki tubuh,

mereka memulai respon imun. Respon ini meniru respon alami tubuh terhadap infeksi. Tetapi

tidak seperti organisme penyebab penyakit, vaksin dibuat dari komponen yang memiliki

kemampuan terbatas, atau sama sekali tidak dapat menyebabkan penyakit.


Gambar 2.7 Gambaran Kekebalan Tubuh Manusia Krena Vaksin

Komponen organisme penyebab penyakit atau komponen vaksin yang memicu respon

imun dikenal sebagai “antigen”. Antigen ini memicu produksi “antibodi” oleh sistem

kekebalan. Antibodi mengikat antigen yang sesuai dan menyebabkan kehancurannya oleh sel

kekebalan lain.
Gambar 2.8 Komponen Organisme untuk Vaksin

Respon imun yang diinduksi terhadap organisme penyebab penyakit atau vaksin

mengonfigurasikan sel-sel kekebalan tubuh agar mampu dengan cepat mengenali, bereaksi,

dan menundukkan organisme penyebab penyakit yang relevan. Ketika sistem kekebalan tubuh

selanjutnya terkena organisme penyebab penyakit yang sama , sistem kekebalan akan

menahan dan menghilangkan infeksi sebelum dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh.
Gambar 2.9 Respon Tubuh Terhadap Antigen

Keefektifan dan lamanya efek perlindungan dari suatu vaksin bergantung pada sifat

konstituen vaksin dan pada cara mereka diproses oleh sistem kekebalan . Beberapa organisme

penyebab penyakit, seperti flu, berubah dari tahun ke tahun, membutuhkan imunisasi tahunan

untuk melawan strain baru yang beredar. Pada anak-anak yang masih sangat kecil, sistem

kekebalannya belum matang dan kurang mampu mengembangkan daya ingat. Dalam kelompok

usia ini, durasi perlindungan bisa sangat singkat untuk antigen polisakarida .
2.2.8 Hubungan Vaksin, Imunisasi dan Herd Immunity (Kekebalan Kelompok)

Imunisasi adalah upaya pembentukan kekebalan tubuh seseorang terhadap suatu

penyakit, seingga apabila suatu saat terkena dengan penyakitr yang sama tidak akan sakit atau

hanya mengalami sakit yang ringan. Sedangkan vaksin sendiri adalah produk biologi yang berisi

antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh

atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau

protein rekombinan, yang di tambahkan dengan zat lainnya, yang apabila diberikan kepada

seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.

Vaksinasi merupakan pemberian vaksin yang khusus di berikan dalam rangka menimbulkan atau

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu

saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan

tidak menjadi sumber penularan (Kemenkes RI, 2021).

Herd Immunity (kekebalan kelompok) adalah konsep epidemiologis yang

menggambarkan keadaan dimana populasi, biasanya orang cukup kebal terhadap penyakit

sehingga infeksi tidak akan menyebar dalam kelompok itu dan orang-orang yang rentan

dilindungi. Herd immunity adalah konsep yang terkait dengan program vaksinasi. Kekebalan

dapat diperoleh dengan infeksi, atau dengan vaksinasi. Terkait erat dengan konsep herd immunity

yaitu angka reproduksi atau RO. Proporsi yang diperlukan orang dalam suatu populasi yang

perlu kebal untuk menginduksi kekebalan kelompok (H) terkait dengan RO dan dihitung dengan

rumus H = 1-(1/RO). Strategi pengendalian penyakit kesehatan masyarakat seperti vaksinasi,

pelarangan sosial atau larangan bepergian bertujuan untuk mengurangi nialai R dibawah satu,

sehingga menghentikan epidemik. R yang dimodifikasi oleh langkah-langkah tersebut

dimanifestasikan sebagai "perataan kurva" yang meredam lintasan alami epidemi yang jika tidak
akan terjadi, jadi kunci utama untuk mengurangi penyebaran epidemi ini adalah dengan

meratakan kurva epidemi yang terletak pada RO (angka reproduksi dasar). RO adalah jumlah

kasus sekunder yang timbul dari satu kasus indeks dalam populasi yang benar-benar rentan.

Ambang batas epidemi didefinisikan secara matematis seperti ketika RO melebihi 1, yang

menciptakan kondisi untuk epidemi, meskipun epidemi mungkin tidak selalu terjadi. Jika RO

kurang dari satu, epidemi tidak dapat dipertahankan karena rata-rata satu kasus infeksi

menginfeksi kurang dari satu orang, dan infeksi akan hilang (Basbeth, 2020).

Sebagai contoh penyakit Mumps atau gondong. Gondong adalah penyakit yang sangat

menular yang meskipun relative jinak, sangat tidak nyaman dan kadang-kadang menyebabkan

komplikasi seumur hidup yang tidak diinginkan seperti prostitis. Ini juga dapat dicegah dengan

vaksin, dengan vaksin yang sangat efektif yang membuat penyakit ini sangat langka di zaman

modern. Gondong memiliki tingkat reproduksi dasar (RO) 10-12, yang berarti bahwa dalam

populasi yang sepenuhnya rentan yang berarti tidak ada yang kebal terhadap virus setiap orang

yang terinfeksi akan menularkan penyakit kepada 10-12 orang. Ini berarti bahwa tanpa vaksinasi,

kira-kira 95% populasi terinfeksi dari waktu ke waktu, tetapi dengan sesuatu yang menular ini,

masih ada beberapa orang 5% dari populasi yang tidak jatuh sakit, karena begitu semua orang

kebal dan tidak ada orang yang dapat terkena penyakit itu. Contoh lain adalah penyakit campak

satu penderita campak misalnya, dapat menginfeksi hingga 18 orang lain dalam populasi yang

rentan , bahkan dahulu banyak orang tua yang sengaja memaparkan anak-anak mereka terhadap

“Penyakit cacar air" yang umumnya tidak berbahaya di masa kanak-kanak dari pada di masa

dewasa. Kekebalan kelompok juga bukan sesuatu yang dapat bekerja untuk penyakit apa

pun.Untuk mendapatkan tingkat penularan hingga mencapai kurang dari satu, hampir semua

orang dalam populasi perlu bertindak sebagai penyangga antara orang yang terinfeksi dan host
potensial baru. Itulah sebabnya campak membutuhkan kekebalan kelompok yang tinggi sekitar

95%. Contoh lainnya bakteri meningococcus dan pneumococcus dapat menyebabkan septikemia

dan meningitis. Pada orang sehat, bakteri ini hidup normal dan tidak berbahaya di tenggorokan

dan tidak menyebabkan penyakit, tetapi kadang-kadang mereka dapat masuk ke aliran darah

yang menyebabkan infeksi parah. Mereka dapat hidup tanpa bahaya di tenggorokan seseorang

tetapi jika mereka menyebar ke seseorang yang sangat rentan (seperti bayi) mereka dapat

menyebabkan penyakit parah. Dengan divaksinasi, seseorang tidak hanya terlindungi dari infeksi

diri mereka sendiri tetapi mereka juga tidak dapat menularkan infeksi ini kepada orang lain, yang

dapat menyebabkan penyakit parah. Namun, agar kekebalan kelompok ini bekerja, sebagian

besar populasi perlu divaksinasi (Basbeth, 2020).

Kekebalan kelompok juga bukan sesuatu yang dapat bekerja untuk penyakit apa saja.

Misalnya pada tetanus, banyak orang yang divaksinasi terhadap tetanus, tetapi jika ada orang

yang tidak divaksinasi menginjak paku yang berkarat, dia masih dapat terinfeksi, karena tetanus

tinggal di reservoir di luar tubuh manusia. Herd immunity juga tidak selalu bertahan untuk jagka

waktu yang lama. HIV bermutasi sangat cepat sehingga benar-benar berkembang dalam satu

orang, kata Jessie Abbate, pakar penyakit menular di Research Institute for Development di

Prancis. Flu yang bermutasi dengan cepat juga merupakan target yang bergerak untuk kekebalan

dan vaksin, itulah sebabnya setiap vaksin musim flu perlu mengantisipasi strain yang akan

beredar luas, ia menjelaskan. Intinya, herd immunity tidak bekerja pada semua penyakit. Herd

immunity hanya bekerja untuk penyakit yang tersebar langsung di antara orang-orang (yaitu

'menular'), seperti campak, polio, meningitis, hepatitis dan lain sebagainya (Basbeth, 2020).

Covid-19 untungnya jauh lebih tidak menular dibanding gondong dan campak, dengan

perkiraan RO sekitar 3. Para pakar lainnya telah mengestimasi nilai RO coronavirus Wuhan
berada di antara 1,4 hingga 5, meski WHO yakin nilai RO hanya di antara 1,4 hingga 2,5.

Dengan jumlah ini, proporsi orang yang perlu terinfeksi lebih rendah tetapi masih tinggi, yaitu di

sekitar 70% dari seluruh populasi. Harus dipikirkan mengapa herd immunity ini tidak pernah bisa

dianggap sebagai tindakan pencegahan jika 70% populasi suatu negara harus terinfeksi penyakit,

itu menurut definisi bukan merupakan pencegahan, karena sebagian besar orang di suatu negara

sedang sakit. Dan tidak mungkin kemudian dikatakan penuh harapan bahwa sudah mencapai

angka 70% anak-anak mudah terinfeksi. Jika hanya anak muda yang kebal, anda akan memiliki

kelompok orang yang lebih tua tanpa kekebalan sama sekali atau orang dengan underlying

disease yang sangat berisiko (Basbeth, 2020).

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) 16-21% orang yang terkena virus ini di Cina

mengalami penyakit parah dan 2-3% di antaranya telah meninggal. Faktor kunci yang

mempenganuhi penularan adalah apakah virus ini dapat menyebar tanpa adanya gejala, baik

selama masa inkubasi (masa seseorang sebelum tampak sakit) maupun pada orang yang tidak

pernah sakit. Influenza memberi gambaran umum bagaimana virus dapat menyebar ketika

seseorang belum menunjukkan gejala sama sekali. Di sisi lain, seseorang dengan penyakit SARS

hanya dapat menyebarkan virus ketika ia telah memperlihatkan gejala penyakit. Belum ada data

penelitian yang telah dipublikasikan yang mendukung pernyataan pemerintah Cina mengenai

penyebaran coronavirus Wuhan yang terjadi pada masa inkubasi. Kendati demikian, sebuah studi

yang dipublikasikan di jurnal medis Lancet menunjukkan anak-anak mungkin memularkan virus

meski tidak menunjukkan gejala apa pun. Para peneliti menemukan seorang anak yang berada

pada satu keluarga terinfeksi tidak menunjukkan gejala, tapi CT Scan dada menunjukkan bahwa

ia memiliki pneumonia dan bahkan hasil tes virus juga positif. Ini berbeda dengan penyebaran

virus pada masa inkubasi, karena anak tersebut tidak sakit, tapi riset ini menuanjukkan balıwa
kemungkinan anak-anak dan remaja terinfeksi tanpa menjukkan gejala sama sekali. Hal ini

mengkhawatirkan karena jika seseorang sakit, kita ingin dapat mengidentifikasi mereka dan

menelusuri kontak fisik yang telah terjadi pada orang tersebut. Jika seseorang menularkan virus

tapi tidak terkena sakit, ia mungkin saja tidak terdeteksi sama sekali. Hal ini juga membuat

screening di bandara kurang berguna karena orang-orang yang terinfeksi tapi tidak

memperlihatkan gejala sama sekali akan tidak terdeteksi. Data Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) menegaskan usia muda tetap berisiko mengalami infeksi virus corona. Dalam

data yang diperoleh 12-16 Maret 2020, sekitar 20% dari 508 pasien Covid-19 yang dirawat di

rumah sakit berusia 20-44 tahun, artinya tidak ada yang bebas dari risiko Covid-19 dan

kemungkinan terburuknya (Basbeth, 2020).

Sebagai gambaran kasus virus corona hingga saat ini telah menginfeksi lebih dari 950

ribu orang di seluruh dunia. Eropa menjadi wilayah dengan negara-negara yang terkena dampak

paling parah dibandingkan benua lain. Kendati kasus total kasus penyebaran corona tertinggi

berasal dari Amerika Serikat, namun Italia menjadi negara dengan angka kematian terbesar.

Selain Italia, kasus corona terbanyak di Eropa juga berasal dari Spanyol, Jerman, Prancis, dan

Inggris. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus corona.

Selain mengambil kebijakan lockdown, sejumlah negara juga menginisiasi pembentukan

kekebalan kelompok (herd immunity) untuk menghentikan penyebaran infeksi. Dilansir dari

Foreign Policy mulanya pemerintah Inggris masih membiarkan sekolah, restoran, teater dan club

juga tempat olahraga dalam kondisi terbuka untuk umum. Hanya warga di atas usia 70 tahun

dengan kondisi flu atau gejala-gelaja serupa Covid-19 yang harus menetap di rumah. Respon

Inggris yang lambat kemarin didorong oleh teori kontroversial yang dianut petinggi ilmuwan

pemerintah Inggris. Mereka meyakini bahwa cara terbaik untuk meringankan konsekuensi
jangka panjang dari wabah adalah membiarkan virus menyebar secara alami untuk menular ke

seluruh populasi dan menciptakan populasi menjadi kebal sesudahnya. Namun, pada Senin

malam (16/03/2020), teori itu bertabrakan dengan fakta. Sebuah analisis baru oleh ahli imunologi

di Imperial College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine tentang

dampak virus corona di Italia menunjukkan bahwa sebanyak 30% pasien yang dirawat di rumah

sakit dengan virus itu memerlukan perawatan intensif. Angka-angka penelitian itu jika terjadi di

Inggris, akan cepat membuat Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) kewalahan. Boris

Johnson banjir kecaman, walau pada akhirnya membatalkan penerapan herd immunity, eks Wali

Kota London tersebut telanjur banjir kecaman, termasuk dari luar negeri. Pemimpin Partai Buruh

Jeremy Corbyn mengecam pemerintah karena 'berpuas diri' dan jauh di belakang kurva' dalam

penanganan wabah virus corona. Menteri pembangunan Nasional Singapura Lawrence Wong

mengatakan, Inggris dan Swiss telah meninggalkan tindakan apa pun untuk menahan virus.

Beberapa dokter Inggris terkemuka juga mempertanyakan alasan ilmiah di balik kebijakan herd

immunity ala Johnson. Akhirnya Boris Johnson mengubah aturan resminya dalam waktu hanya

tiga jam. Ahli epidemologi Imperial College Azra Ghani menjelaskan bahwa timnya yang

tadinya berharap strategi go-it-alone dengan herd immunity dapat membangun namun ternyata

mereka menyadari hal itu tidak mungkin.

Inggris menjadi negara yang pertama kali mengenalkan secara tidak resmi konsep herd

immunity untuk menghentikan penyebaran pandemi corona. Media Inggris melaporkan bahwa

"pemerintah Inggris membiarkan virus menjangkau seluruh populasi sehingga dapat memperoleh

kekebalan kelompok" dan meminimalkan dampak Covid-19. Dikutip dari Conversation,

diperkirakan 47 juta penduduk Inggris harus terinfeksi terlebih dulu untuk mencapai herd

immunity. Dengan estimasi tingkat kematian 2,3% dan 19% kasus dengan gejala berat, ini berarti
lebih dari satu juta warga Inggris diperkirakan akan meninggal dan delapan juta lainnya

mengalami gejala berat dan harus dirawat di rumah sakit, jika herd immunity diterapkan.

Jika risiko Covid-19 tidak terlalu tinggi, secara teknis mungkin untuk membuat

kekebalan kelompok dengan membiarkan penyakit merajalela melalui populasi. Namun, bukti

menunjukkan bahwa skenario akan mengarah pada tingginya tingkat rawat inap dan kebutuhan

untuk perawatan kritis, menekan kapasitas layanan kesehatan melewati titik puncaknya. Pada

akhirnya Pemerintah Inggris memilih lockdown dari pada herd immunity. Sejauh ini Inggris

melaporkan 33.718 kasus virus corona. Sebanyak 2.921 di antaranya meninggal, dan lebih dari

100 orang sudah dinyatakan sembuh. Sempat merencanakan mengadopsi langkah Inggris,

Belanda kemudian membatalkan strategi herd immunity untuk menyetop corona di negaranya.

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pun mengonfirmasi perpanjangan kebijakan lockdown

hingga akhir April. Mengingat bahwa jumlah kematian di Belanda tampaknya relatif tinggi untuk

populasi 17,2 juta. sedangkan di negara tetangga, Belgia yang memiliki populasi lebih kecil dan

penguncian yang lebih ketat, angka kematian jumlahnya juga tinggi. Sebelumnya, Rutte

mengusulkan untuk membiarkan virus corona menyebar di kalangan populasi dengan kecepatan

yang lebih lama, sehingga dapat 'membangun kekebalan kelompok'. Semakin besar kelompok

yang memperoleh kekebalan, semakin kecil kemungkinan virus tersebut dapat membuat

lompatan ke orang tua yang rentan atau orang-orang dengan masalah kesehatan yang

mendasarinya. Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, 16 Maret 2020 namun karena mendapat

banyak kritik, membiarkan virus mematikan menyebar ke masyarakat untuk menciptakan tingkat

kekebalan secara implisit berarti menerima orang akan mati. Akhirnya ia meralat pernyataan

tersebut. Rutte kemudian menegaskan, program herd immunity bukanlah tujuan utama
pemerintah dalam menyetop wabah. Namun, la menyebut kekebalan semacam itu akan

terbangun dengan sendirinya jika persebaran virus semakin meluas (Basbeth, 2020).

Sehingga dapat disimpulkan vaksin akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri

atau virus penyebab penyakit tertentu, sehingga bila terpapar bakteri atau virus tersebut akan

menjadi lebih kebal. Cakupan imunisasi yang tinggi dan merata akan membentuk kekebalan

kelompok (herd immunity) sehingga dapat mecegah penularan maupun keparahan suatu penyakit

(Kemenkes RI, 2020).

Gambar 2.10 kekebalan kelompok (herd immunity) pada Covid 19 (Buku Saku Info
Vaksin, 2020).

2.2.9 Efek Samping Vaksin dan KIPI

Efek samping vaksin covid 19 yang sering ditemukan yaitu efek samping local contohnya

kemerahan, nyeri tempat suntikan, bengkak. Sedangkan efeksamping sitemik contohnya sakit

kepala, myalgia, fatig, ada juga yang suhu nya naik namun tidak tinggi, efek samping ini umum
nya membaik sendiri. Sedangkan KIPI merupakan kejadian yang terjadi setelah 28 hari pasca

vaksinasi. Kejadian tersebut dapat berhubungan atau tidak ada hubungannya dengan vaksin, jadi

cakupan KIPI lebih luas daripada efek samping (PAPDI, 2021).

Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi atau biasa disebut KIPI merupakan kejadian medik yang

diduga berhubungan dengan vaksinasi. Kejadian ini dapat berupa reaksi vaksin, kesalahan

prosedur, koinsiden, reaksi kecemasan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. KIPI

diklasifikasikan serius apabila kejadian medik akibat setiap dosis vaksinasi yang diberikan

menimbulkan kematian, kebutuhan untuk rawat inap, dan gejala sisa yang menetap serta

mengancam jiwa. Klasifikasi serius KIPI tidak berhubungan dengan tingkat keparahan (berat

atau ringan) dari reaksi KIPI yang terjadi. Vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi

Covid-19 ini masih termasuk vaksin baru sehingga untuk menilai keamanannnya perlu dilakukan

surveilans pasif Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dan surveilans aktif Kejadian Ikutan

dengan Perhatian Khusus (KIPK). Mekanisme surveilans aktif KIPK dituangkan dalam Petunjuk

Teknis tersendiri, terpisah dari Petunjuk Teknis ini.

Secara umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya

menimbulkan reaksi ringan. Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem

kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin. Reaksi lokal

dan sistemik seperti nyeri pada tempat suntikan atau demam dapat terjadi sebagai bagian dari

respon imun. Komponen vaksin lainnya (misalnya bahan pembantu, penstabil, dan pengawet)

juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang berkualitas adalah vaksin yang menimbulkan reaksi

ringan seminimal mungkin namun tetap memicu respon imun terbaik. Frekuensi terjadinya reaksi

ringan vaksinasi ditentukan oleh jenis vaksin. Reaksi yang mungkin terjadi setelah vaksinasi

Covid-19 hampir sama dengan vaksin yang lain. Beberapa gejala tersebut antara lain:
1. Reaksi lokal, seperti:

 nyeri, kemerahan, bengkak pada tempat suntikan,

 reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis.

2. Reaksi sistemik seperti:

 demam,

 nyeri otot seluruh tubuh (myalgia),

 nyeri sendi (atralgia),

 badan lemah,

 sakit kepala

3. Reaksi lain, seperti:

 reaksi alergi misalnya urtikaria, oedem,

 reaksi anafilaksis,

 syncope (pingsan)

Untuk reaksi ringan lokal seperti nyeri, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,

petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima vaksin untuk melakukan kompres dingin pada

lokasi tersebut dan meminum obat paracetamol sesuai dosis. Untuk reaksi ringan sistemik seperti

demam dan malaise, petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima vaksin untuk minum lebih

banyak, menggunakan pakaian yang nyaman, kompres atau mandi air hangat, dan meminum

obat paracetamol sesuai dosis. KIPI yang terkait kesalahan prosedur dapat terjadi, untuk itu

persiapan sistem pelayanan vaksinasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten

(memiliki pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan vaksinasi dan memiliki sikap

profesional sebagai tenaga kesehatan), peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas,
harus disiapkan dengan maksimal. Kepada semua jajaran pemerintahan yang masuk dalam

sistem ini harus memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan

vaksin atau koinsiden harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan sasaran yang akan

divaksinasi harus dilakukan seoptimal mungkin (Kemenkes RI, 2021).


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Desain penelitian ini definisikan

sebagai suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu

fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dengan tujuan untuk membuat gambaran tentang

suatu keadaan objektif. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

survei. Metode survei merupakan proses pengambilan sampel dari suatu populasi serta

digunakannya kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2021 di Puskesmas Kesamben Kab.

Blitar Jawa Timur.

3.3 Populasi Penelitian

3.3.1 Populasi Target

Populasi target penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili di wilayah kerja

Puskesmas Kesamben, Kab. Blitar Jawa Timur.

3.3.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien dan masyarakat yang berkunjung

ke Puskesmas Kesamben.

3.4 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai

kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya. Populasi bukan sekedar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang

dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh objek atau subjek

tersebut (Andhira et all, 2020).

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat pengunjung di puskesmas kesamben.

Sampel adalah bagian dari populasi. Perhitungan besar sampel menurut hasil penelitian

dari Gay, LR dan Diehl, PL (1992), dengan judul penelitian “Research Methods for Business and

Management” yaitu menyebutkan bahwa ukuran sampel penelitian haruslah sebesar-besarnya.

Meskipun demikian pengambilan sampel harus berdasarkan terhadap jenis penelitian yang akan

didilakukan.

1. Penelitian deskriptif, maka ukuran sampel sekurang-kurangnya adalah sebesar 10%

dari total elemen populasi.

2. Penelitian bersifat korelasi atau berhubungan, maka ukuran sampel

sekurang-kurangnya adalah sebesar 30 subjek (unit sampel).

3. Penelitian bersifat perbandingan, maka ukuran sampel penelitian yang

direkomendasikan adalah sebesar 30 subjek.

4. Penelitian yang dikerjakan merupakan eksperimental berkelompok, maka ukuran

sampel yang direkomendasikan adalah sebesar 15 sampel per kelompok

(Andhira et all, 2020)


Pada penelitian ini kami menggunakan jumlah sampel minimal 10% dari total populasi.

3.4.1 Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik

pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu.”Alasan menggunakan teknik

Purposive Sampling adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan

fenomena yang diteliti. Oleh karena itu,penulis memilih teknik Purposive Sampling yang

menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh

sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini.Sumber data yang digunakan merupakan

data primer yang didapatkan dari:

● Data primer: Penyebaran kuesioner pada pasien dan pengunjung di Puskesmas Kesamben yang

berdomisili di Kec. Kesamben, Kab. Blitar

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi:

● Pasien atau pengunjung usia 18-59 tahun keatas yang datang ke Puskesmas Kesamben

● Pasien atau pengunjung yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas Kesamben

● Pasien atau pengunjung yang setuju menjadi responden.

Kriteria Eksklusi:

● Pasien atau pengunjung dengan gangguan jiwa


● Pasien dan atau pengunjung yang tidak setuju menjadi responden

3.6 Variabel Penelitian dan Definisi operasional

Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan penyintas mengenai manfaat

vaksinaai Covid-19. Suatu variabel perlu untuk dijelaskan dalam definisi operasional yang

menguraikan bagaimana pengukuran dan penjelasan mengenai sebuah variabel tersebut.

Tabel 3.6 Definisi Operasional Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenai Vaksin Covid-19

Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Operasional Ukur

Pengetahuan Pengetahuan Menggunakan 1. Jawaban “Ya” dinilai 2 Ordinal

masyarakat masyarakat kuisioner yang 2. Jawaban“Ragu-ragu” dinilai 1

mengenai mengenai berisi tentang 3. Jawaban “Tidak” dinilai 0

vaksinasi vaksinasi vaksinasi covid- 4. Jawaban Setuju dinilai 1

Covid-19 Covid-19 19 berdasarkan 5. Jawaban tidak setuju 0

berdasarkan Komite

Komite Penanganan

Penanganan Covid-19 dan

Covid-19 dan Pemulihan

Pemulihan Ekonomi

Ekonomi Nasional.

Nasional

3.7 Instrumen Penelitian


Instrumen pada penelitian ini berupa kuisioner yang berisi tentang vaksin Covid-19

berdasarkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Kuisioner ini di

adopsi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh pusat penelitian dan pengembangan

bimbingan masyarakat (Puslitbang Bimas ) mengenai respon umat beragama atas rencana

vaksinasi Covid-19 (Puslitbang Bimas, 2021).

3.8 Uji Validitas

Uji validitas menunjukkan sejauh mana tingkat ketepatan dan kecermatan suatu alat dalam

pengukuran dan uji reliabilitas menunjukkan kestabilan jawaban walaupun digunakan berkali-

kali. Kuesioner yang digunakan telah melalui uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan

reliabilitas dilakukan pada kuesioner reaksi masyarakat mengenai vaksin Covid-19. Peneliti

melakukan uji validitas dan reliabilitas pada pasien dan pengunjung di Puskesmas Kesamben.

Pada uji validitas dan reliabilitas diperoleh dari semua pertanyaan yang terdapat didalam

kuesioner valid dengan nilai r hitung > dari r tabel, dan nilai cronbach alpha lebih besar dari yang

diinginkan yaitu 0,60 (Riyanto and Budiman 2013).

Hasil uji validitas dari kuesioner reaksi masyarakat mengenai vaksinasi Covid 19 pada tabel 3.8

Sedangkan untuk hasil uji reliabilitas untuk kuisioner reaksi adalah reliabel karena nilai

cronbach’s alpha > 0.6.

Tabel 3.8 hasil uji validitas dan reliable kuisoner reaksi masyarakat terhadap vaksin covid-19

Uji validitas Uji reliabel

0,747 0,694
3.9 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan cara

menanyakan kuisioner yang berisi pendapat masyarakat mengenai vaksinasi Covid-19 dengan

piliham Jawaban “Ya” , “Ragu-ragu” dan “Tidak”. Setiap jawaban “Ya” diberi nilai 2, “Ragu-

ragu” diberi nilai 1. “Tidak” diberi nilai 0. “Setuju” dan “Tidak Setuju”. Lalu jawaban dari

pertanyaan tersebut dikelompokkan untuk menilai prosentase reaksi masyarakat terhadap

program vaksinasi covid-19.

4.0 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan diubah menjadi variabel. Data yang

diolah kemudian dianalisis menggunakan analisis Excel dan Spss.

4.1 Alur Penelitian


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Demografi Responden


Penelitian dilaksanakan pada tanggal 5 Febuari - 12 febuari 2021 di Puskesmas Kesamben. Jumlah subjek

yang mengikuti penelitian adalah 200 responden.

Jenis kelamin Keseluruhan

Laki-laki 127 (63,5 %)

perempuan 73 (36,5 %)

Usia Keseluruhan

<18 tahun 5 (2,5 %)

18-59 tahun 179 (89,5%)

>59 tahun 16 (8 %)

Pekerjaan keseluruhan

Tidak bekerja 41 (20,5%)

PNS/ pegawai BUMN 32 (16%)

Pegawai swasta 9 (4,5%)

Wiraswasta/pedagang 84 (42%)

Pensiunan 7 (3,5%)

Ibu rumah tangga 22 (11%)

pelajar 5 (2,5%)
Pendidikan terakhir Keseluruhan

SD/MI 11 (5,5 %)

SMP/MTS 51 (25,5%)

SMA/MA 93 (46,5%)

D1/D2/D3 29 (14,5%)

D4/S1/S2 16 (8%)

4.2 Distribusi Jawaban Kuisoner Reaksi

Pertanyaan Jawaban Keseluruhan

Bagaimana pendapat anda Setuju 172 (86 %)

mengenai program vaksin


Tidak setuju 28 (14%)
covid-19 untuk masyarakat

Indonesia ?

Pertanyaan Jawaban Keseluruhan

Apakah anda bersedia Ya 149 (74,5%)


untuk dilakukan vaksin

covid-19 ?
Ragu-ragu 38 (19%)

Tidak 13 (6,5%)

4.3 Hasil Keseluruhan Puskesmas Kesamben

4.3.1 Profil Demografi Responden

Analisa dilakukan pada data yang berasal dari 200 responden yang terdiri dari 127 laki-laki dan

73 perempuan. Mayoritas responden berasal dari kelompok usia 18-59 (N=179), berprofesi

sebagai wiraswasta/pedagang (N=84), dan berpendidikan terakhir SMA/MA (N=93).

4.3.2 Hasil

Setelah dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuisoner diperoleh respon

dan opini masyarakat terhadap vaksin covid-19 di Puskesmas Kesamben sebanyak 200

responden didapatkan sebanyak 172 (86%) orang setuju dengan program vaksin covid-19, dan

sebanyak 28 (14%) orang tidak setuju dengan program vaksin covid1-19. Pada masyarakat yang

setuju dengan program vaksin covid-19 menyebutkan mereka setuju dengan alasan ingin

memutus rantai penularan covid-19 dan mengikuti anjuran dari pemerintah. Sementara itu, hasil

survey juga menunjukkan ada beberapa kelompok yang bersedia divaksin sebanyak 149 orang

(74,5%), kelompok ragu-ragu sebanyak 38 orang (19%), dan yang tidak bersedia divaksin

sebanyak 13 orang (6,5%). Pada kelompok masyarakat dengan informasi yang lebih banyak

seputar vaksin misalnya, mereka cenderung akan menerima pemberian vaksin COVID-19.
Sementara itu, hasil survei juga menunjukkan adanya kelompok yang ragu dan sebagian kecil

yang menolak. Dari enam persen responden yang menolak, menyebutkan karena faktor

keamanan, efektivitas, serta kehalalan vaksin sebagai faktor pertimbangan mereka.

Responden mengungkapkan kekhawatiran terhadap keamanan dan keefektifan vaksin,

menyatakan ketidakpercayaan terhadap vaksin, dan mempersoalkan kehalalan vaksin. Alasan

penolakan vaksin COVID-19 paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30%),

keraguan terhadap efektifitas vaksin (22%), ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%),

kekhawatiran adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%), dan alasan keagamaan (8%).

Keraguan muncul dari responden yang takut jarum suntik dan yang pernah mengalami efek

samping setelah diimunisasi. Beberapa responden mempertanyakan proses uji klinis vaksin dan

keamanannya. Keandalan penyedia vaksin dinilai penting dan banyak yang menyatakan bersedia

menerima vaksin jika Indonesia yang memproduksinya. Responden juga berharap pemimpin

politik menjadi teladan, misalnya, dengan menjadi yang pertama divaksin sebelum vaksinasi

massal dilakukan. Banyak responden yang tidak percaya bahwa COVID-19 (SARS-CoV-2)

nyata ataupun kemungkinannya untuk menular dan mengancam kesehatan masyarakat. Beberapa

responden menyatakan bahwa pandemi adalah produk propaganda, konspirasi, hoaks, dan/atau

upaya sengaja untuk menebar ketakutan melalui media untuk dapat keuntungan. Beberapa

responden berpendapat bahwa anjuran memakai masker, mencuci tangan, dan menerapkan

pembatasan sosial (3M) sudah cukup. Responden yang giat mengikuti anjuran 3M tersebut

merasa sudah merasakan manfaatnya dan mempertanyakan rasio risiko terhadap manfaat

penggunaan vaksin.

4.3.3 Pembahasan
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi pandemi

COVID-19, termasuk rencana penyediaan vaksin COVID-19. Sebagai bagian dari upaya

tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional

(ITAGI), dengan dukungan UNICEF dan WHO, melakukan survei daring untuk memahami

pandangan, persepsi, dan perhatian masyarakat terkait vaksinasi COVID-19. Survei daring

tersebut berlangsung dari tanggal 19 hingga 30 September 2020. Lebih dari 115.000 responden

dari 34 provinsi dan 508 dari 514 Kabupaten/Kota mengikuti survei ini.

Tiga perempat responden mengatakan bahwa mereka telah mendengar tentang vaksin

COVID-19 dan sekitar dua pertiga mengatakan bersedia menerimanya, dengan tingkat

penerimaan yang berbeda-beda berdasarkan provinsi, status ekonomi, agama/kepercayaan, dan

status pendidikan. Di seluruh negeri, responden yang memiliki informasi lebih baik tentang

vaksin, cenderung lebih menerimanya, dan begitu pula pada mereka yang memiliki asuransi

kesehatan, juga lebih mungkin menerima vaksin COVID-19. Di antara responden yang menolak,

kekhawatiran utama mereka adalah pada keamanan dan efektifitas vaksin, serta apakah vaksin

tersebut akan dinilai halal.

Sekitar 74% responden mengaku sedikit banyak tahu rencana Pemerintah untuk

melaksanakan vaksinasi COVID-19 secara nasional. Persentasenya bervariasi antar provinsi.

Sekitar 61% responden di Aceh menjawab tahu rencana Pemerintah terkait distribusi vaksin

COVID-19; sedangkan di beberapa provinsi di Sumatera, Sulawesi, dan Kepulauan Nusa

Tenggara ada 65–70% responden yang mengetahui informasi tersebut. Jumlah responden di

provinsi Jawa, Maluku, Kalimantan, Papua, dan sejumlah provinsi lain yang mengetahui
informasi tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 70%. Survei ini tidak mengungkap faktor-faktor

adanya variasi dan penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor tersebut.

Responden berpenghasilan rendah tingkat pengetahuannya terkait vaksin paling

rendah. Tingkat pengetahuan tentang informasi tersebut cenderung naik sesuai dengan tingkatan

status ekonomi responden. Mungkin lebih disebabkan oleh tingginya akses ke informasi yang

dimiliki responden dengan status ekonomi tinggi. Meskipun demikian, ada sedikit perbedaan

antara pengetahuan responden laki-laki dan perempuan mengenai adanya vaksin COVID-19 dan

rencana pendistribusiannya oleh Pemerintah.

Survei Penerimaan Vaksin COVID-19 di Indonesia Sekitar 65% responden

menyatakan bersedia menerima vaksin COVID-19 jika disediakan Pemerintah, sedangkan

delapan persen di antaranya menolak. 27% sisanya menyatakan ragu dengan rencana Pemerintah

untuk mendistribusikan vaksin COVID-19. Kelompok ini penting untuk mendorong keberhasilan

program vaksinasi. Situasi ini perlu dipahami dengan hati-hati; masyarakat mungkin mempunyai

tingkat kepercayaan yang berbeda-beda terhadap vaksin COVID-19 karena keterbatasan

informasi mengenai jenis vaksin, kapan vaksin akan tersedia dan profil keamanannya, lebih

lanjut karena survei ini didukung ITAGI, UNICEF, WHO, dan Kementerian Kesehatan.

Berdasarkan survei, tingkat penerimaan vaksin paling tinggi tampak di provinsi-provinsi di Pulau

Papua, Jawa, dan Kalimantan. Tingkat penerimaan di beberapa provinsi di Sumatera, Sulawesi,

dan Maluku lebih rendah. Provinsi Papua Barat paling tinggi tingkat penerimaannya (74%)

dibandingkan dengan seluruh provinsi lainnya, sedangkan Provinsi Aceh paling rendah (46%).

vaksin menjadi sangat penting untuk segera mengakhiri pandemi ini karena vaksin

telah terbukti dapat memusnahkan banyak wabah, misalnya polio (Larson and Ghinai, 2011).
Terdapat 3 fase uji klinis utama yang harus dilewati vaksin agar dapat diproduksi massal untuk

masyarakat, yaitu fase 1, 2, dan 3. Keseluruhan tahap pengembangan vaksin seringkali memakan

waktu hingga tahunan (Hanney dkk.., 2020). Sayangnya, umat manusia saat ini tidak bisa

menunggu lama sehingga percepatan pengembangan vaksin harus dilakukan. Percepatan itu

menimbulkan keraguan akan keamanan dari vaksin yang kini sedang dikembangkan. Keraguan

akan keamanan vaksin dapat menurunkan tingkat kerelaan masyarakat untuk diimunisasi

(Harapan dkk.., 2020). Ini akan menghambat tercapainya herd immunity yang penting untuk

penanganan pandemi. Herd immunity adalah kondisi dimana penularan penyakit dalam suatu

populasi terhambat akibat tidak adanya inang yang dapat diinfeksi. Keberadaan herd immunity

juga akan melindungi masyarakat yang belum memperoleh akses ke vaksin karena tingkat

penularan dalam populasi yang rendah (Mallory, Lindesmith and Baric, 2018). Dengan

demikian, tinjauan ini ditulis untuk menjawab keraguan masyarakat akan keamanan vaksin,

terutama pada vaksin yang sedang dalam fase 3 pengembangan.

VAKSIN COVID-19 DALAM UJI KLINIS FASE 3

Saat ini terdapat 10 vaksin dalam uji klinis fase 3. Secara garis besar, vaksin dalam

fase ini dapat dibagi menjadi beberapa jenis menurut komponen dasarnya yaitu virus yang

diinaktivasi, vektor viral yang tidak bereplikasi, subunit protein, dan asam nukleat. Terdapat 3

vaksin yang menggunakan virus yang diinaktivasi, 4 vektor viral yang tidak bereplikasi, 1

subunit protein, dan 2 asam nukleat (WHO, 2020).

Vaksin menggunakan virus yang diinaktivasi tidak akan menimbulkan penyakit karena virus

tersebut telah dilumpuhkan permanen secara kimia atau radiasi. Vaksin dari Sinovac, misalnya,

menginaktivasi virus menggunakan senyawa β-propiolactone (Gao dkk.., 2020). Senyawa ini
diketahui merupakan alkylating agent yang dapat memodifikasi asam nukleat, sekaligus protein

virus (Delrue dkk.., 2012). Vaksin Sinovac melakukan uji klinis fase 1 dan 2 secara simultan

(WHO, 2020). vaksin menggunakan vektor viral yang tidak bereplikasi akan membawa gen

antigen virus target ke dalam sel resipien tanpa berintegrasi dengan genom. Tanpa integrasi

dengan genom, sel resipien tidak akan mengalami mutasi apapun (Stephen dkk.., 2010). Gen

virus dalam sel akan ditranslasikan menjadi antigen yang nantinya akan dipresentasikan dan

dikenali dan sistem imun. Antigen yang digunakan tidak memiliki virulensi, misalnya vaksin dari

Oxford University, ChAdOx1-S. Vaksin ChAdOx1-S menggunakan vektor adenovirus yang

tidak berbahaya untuk menghantarkan gen antigen spike protein SARS-COV2 (Folegatti dkk..,

2020). Vaksin ini melakukan uji klinis 1 dan 2 secara simultan (WHO, 2020). Vaksin subunit

protein adalah vaksin yang menggunakan komponen dari antigen virus yang konsisten, non-

infeksius, dan dapat dikenali oleh sistem imun. Satu-satunya vaksin dalam kategori ini adalah

vaksin dari Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical. Mereka mengembangkan receptor

binding domain (RBD) milik SARS-COV2 sebagai vaksin (WHO, 2020). RBD merupakan salah

satu bagian dari spike protein SARS-COV2 yang penting dalam internalisasi virus ke dalam sel

(Chen, Hotez and Bottazzi, 2020). Vaksin ini melakukan uji klinis 1 dan 2 secara simultan

(WHO, 2020). Vaksin menggunakan asam nukleat RNA/DNA untuk menginduksi ekspresi

antigen target yang akan dikenali dan direspon oleh sistem imun. Antigen yang digunakan tidak

bersifat infeksius, misalnya vaksin yang dikembangkan Moderna. Vaksin ini menggunakan

mRNA yang diinkorporasikan ke dalam lipid nanoparticle. RNA dalam sel akan ditranslasikan

menjadi spike protein virus SARS-COV2 (Anderson dkk.., 2020).

Keamanan dan Efikasi Vaksin Covid-19


Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis hasil evaluasi dari laporan uji klinis

sementara atau interim tahap III Vaksin Virus Corona buatan perusahaan asal China, Sinovac,

pada Jumat (8/1) hari ini. Laporan itu menunjukkan efikasi atau tingkat keampuhan vaksin

corona Sinovac sebesar 65,3 persen. Angka tersebut sudah sesuai dengan standar atau ambang

batas efikasi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni minimal 50 persen.

Merespons hal itu, BPOM juga telah mengevaluasi untuk kemudian mengeluarkan izin darurat

penggunaan atau Emergency Use authorization (EUA) atas vaksin covid-19 Sinovac. Adapun

data laporan itu merupakan hasil evaluasi dari data keamanan subjek uji klinis yang diamati

setelah dua kali kali penyuntikan; data imunogenisitas atau kemampuan vaksin membentuk

antibodi; dan data efikasi vaksin atau kemampuan vaksin melindungi orang yang terpapar virus

menjadi tidak sakit. Dari total 1.620 relawan yang menjadi sampel penelitian Tim FK Unpad

Bandung, sebanyak 540 relawan saja yang dibutuhkan untuk merampungkan penelitian

kebutuhan EUA itu. Lebih dari seribu relawan yang dilibatkan tersebut berusia antara 18 hingga

59 tahun. selain efikasi, Bio Farma mengklaim tidak ada laporan mengenai Kejadian Ikutan

Pasca Imunisasi (KIPI) yang serius atau kejadian serius yang tidak diinginkan.

Berdasarkan studi klinik fase 3 di Indonesia, didukung dengan data Turki dan Brazil

keamanan vaksin a. Reaksi lokal : bersifat ringan hingga sedang, (nyeri, indurasi, iritasi,

kemerahandan pembengkakan) b. Efek sistemik : myalgia(nyeri otot), fatigue, dan demam. c.

Secara keseluruhan kejadian efek samping ini juga dialami pada subjek yang mendapat placebo.

Evaluasi berdasarkan data uji klinik fase III di Indonesia, didukung dengan data Turki dan Brazil

efikasi dari vaksin : a.Data Imunogenisitas : Hasil uji seropositif : 99.74% (14 hari setelah

penyuntikan ) dan 99,23% (3 bulan setelah penyuntikan)b. Data efikasi : Indonesia : 65,3% Turki

: 91,25% Brazil : 78% (Persyaratan WHO : 50%)


Kehalalan Vaksin Covid-19

Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi menetapkan fatwa halal untuk vaksin Covid-19 yang

diproduksi perusahaan asal China, Sinovac. Vaksin tersebut kini boleh digunakan oleh umat

Islam. Dalam Fatwa MUI Nomor: 02 Tahun 2021 Tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac

Life Science Co. LTD China dan PT Bio Farma (Persero), MUI menyatakan bahwa vaksin

tersebut hukumnya suci dan halal.

BAB V

KESIMPULAN
Setelah dilakukan survey dengan menggunakan kuisoner diperoleh respon dan opini

masyarakat terhadap vaksin covid-19 di Puskesmas Kesamben sebanyak 200 responden

didapatkan sebanyak 172 (86%) orang setuju dengan program vaksin covid-19, dan sebanyak 28

(14%) orang tidak setuju dengan program vaksin covid1-19. Pada masyarakat yang setuju

dengan program vaksin covid-19 menyebutkan mereka setuju dengan alasan ingin memutus

rantai penularan covid-19 dan mengikuti anjuran dari pemerintah. Sementara itu, hasil survey

juga menunjukkan ada beberapa kelompok yang bersedia divaksin sebanyak 149 orang (74,5%),

kelompok ragu-ragu sebanyak 38 orang (19%), dan yang tidak bersedia divaksin sebanyak 13

orang (6,5%). Pada kelompok masyarakat dengan informasi yang lebih banyak seputar vaksin

misalnya, mereka cenderung akan menerima pemberian vaksin COVID-19. Sementara itu, hasil

survei juga menunjukkan adanya kelompok yang ragu dan sebagian kecil yang menolak. Dari

enam persen responden yang menolak, menyebutkan karena faktor keamanan, efektivitas, serta

kehalalan vaksin sebagai faktor pertimbangan mereka.

Daftar Pustaka

1. Anderson, E. J., Rouphael, N. G., Widge, A. T., Jackson, L. A., Roberts, P. C., Makhene,

M., Chappell, J. D., Denison, M. R., Stevens, L. J., Pruijssers, A. J., McDermott, A. B.,

Flach, B., Lin, B. C., Doria-Rose, N. A., O’Dell, S., Schmidt, S. D., Corbett, K. S.,

Swanson, P. A., Padilla, M., Neuzil, K. M., Bennett, H., Leav, B., Makowski, M., Albert,

J., Cross, K., Edara, V. V., Floyd, K., Suthar, M. S., Martinez, D. R., Baric, R.,

Buchanan, W., Luke, C. J., Phadke, V. K., Rostad, C. A., Ledgerwood, J. E., Graham, B.

S. dan Beigel, J. H. 2020. Safety and Immunogenicity of SARS-CoV-2 mRNA-1273


Vaccine in Older Adults. New England Journal of Medicine: hal. NEJMoa2028436. doi:

10.1056/NEJMoa2028436.

2. BPOM. 2020a. Komitmen Badan POM Mengawal Vaksin COVID-19.

https://www.pom.go.id/new/view/ more/berita/19151/Komitmen-Badan-POM-

Mengawal-Vaksin-COVID-19.html. Diakses pada tanggal 30 September 2020.

3. BPOM. 2020b. Peran Aktif Badan POM dalam Pengembangan Vaksin COVID-19.

https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/19391/Peran-Aktif-Badan-POM-dalam-

Pengembangan-Vaksin-COVID-19.html. Diakses pada tanggal 30 September 2020.

4. BPOM. 2020c. Uji Klinik Fase III Vaksin COVID-19 di Indonesia.

https://www.pom.go.id/new/view /more/pers/556/Uji-Klinik-Fase-III-Vaksin-COVID-19-

di-Indonesia.html. Diakses pada tanggal 30 September 2020.

5. MUI. 2020. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2021 Tentang

PRODUK VAKSIN COVID-19 DARI SINOVAC LIFE SCIENCES CO. LTD.

CHINADAN PT. BIO FARMA

(Persero).https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/2021/Januari/Fatwa%20MUI

%20Nomor%202%20Tahun%202021%20tentang%20produk%20vaksin%20covid

%2019%20dari%20Sinovac%20-%20Bio%20Farma.pdf

6. KEMENKES. 2020. Survei penerimaan vaksin covid-19 di Indonesia.

https://covid19.go.id/storage/app/media/Hasil%20Kajian/2020/November/vaccine-

acceptance-survey-id-12-11-2020final.pdf

7. WHO. 2001. WHO GUIDELINES ON CLINICAL EVALUATION OF VACCINES:

REGULATORY EXPECTATIONS.
https://www.who.int/biologicals/publications/clinical_guidelines_ecbs_2001.pdf?ua=1.

Diakses pada tanggal 2 Oktober 2020.

8. WHO. 2020. Draft landscape of COVID-19 candidate vaccines 30 September 2020.

https://www.who.int/publications/m/item/draft-landscape-of-covid-19-candidate-

vaccines. Diakses pada tanggal 30 September 2020.

Anda mungkin juga menyukai