Tahap I
Gambaran
Penelitian Reaksi
deskriptif Masyarakat
observasinal Mengenai
dengan metode survei Vaksinasi Covid-19 Pada
Sampel diambil dengan purposive sampling menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi
Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa secara univariat
Disusun Oleh :
Hilda Adina Eriawan
Pembimbing :
Puskesmas Kesamben
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
Novel Coronavirus (2019-nCov) yang diketahui merupakan virus jenis baru yang belum
tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia
yang tidak diketahui etiologinya di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Pada tanggal 7
Januari 2020, China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru coronavirus. Pada
International Concern (PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah
Saat ini di Indonesia, angka kejadian infeksi virus covid-19 terus meningkat.
Perkembangan harian per 22 Januari 2021 total kasus terkonfirmasi berjumlah 965.283,
dengan pertambahan kasus positif per hari tanggal 22 Januari 2021 sebanyak 13.632
kasus, angka kematian sebanyak 250 kasus, atau setara dengan 2,8% dari total
kasus covid 19, yaitu 794 kasus, khususnya di Kabupaten Blitar, angka kejadian sebesar
Salah satu cara untuk menurunkan angka tersebut adalah dengan menurunkan laju
penularan infeksi covid-19. Vaksinasi merupakan salah satu cara untuk menurunkan laju
penularan infeksi covid-19. Vaksinasi bekerja dengan cara merangsang imunitas pada
tubuh, Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka kejadian covid-19 tertinggi di
dunia akan melalukan program imunisasi dengan melaksanakan vaksinasi secara masal ke
Menurut WHO, vaksin terbukti dapat mencegah lebih dari 2,5 juta kematian
anak, vaksin juga mempunyai jangkauan yang luas karena vaksin dapat melindungi
individu, masyarakat dan seluruh populasi yang divaksinasi. Selain itu, vaksin
mempunyai dampak cepat dan menghemat biaya pengobatan dan perawatan sehingga
para ahli ekonomi terkemuka menempatkan program imunisasi di urutan ke empat dari 30
Vaksinasi covid-19 di Indonesia ini akan dilaksanakan secara gratis dan bertahap
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan pemerintah. Pelaksanaan program vaksinasi
di Indonesia membutuhkan dukungan dari berbagai unsur. Salah satu unsur yang penting
adalah penerima vaksin itu sendiri yaitu masyarakat umum di Indonesia. Pengetahuan
masyarakat tentang penyakit dan vaksin dapat mendukung keberhasilan program suatu
penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh oleh Triana (2016) tentang faktor yang
pengalaman (Budiman, 2013). Berdasarkan data diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk
masyarakat umum di wilayah kerja Puskesmas Kesamben, sehingga dapat dijadikan dasar
dalam menyusun program pemberian vaksinasi oleh pemerintah kabupaten atau desa
setempat.
Berdasarkan masalah diatas maka rumusan masalah untuk mini-project ini yaitu
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Covid 19
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Ada
setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat
menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute
Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala
gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6
hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat
menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.
oleh Corona virus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus pneumonia yang
tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019 (Li et al, 2020).
Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus tersebut diduga berhubungan dengan Pasar
Seafood di Wuhan. Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan
bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama
SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal dari famili
yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal dari famili yang sama,
namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC
China, 2020). Proses penularan yang cepat membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai
KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar bervariasi tergantung
negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh, perkembangan wabahnya di suatu
negara, dan ketersediaan pemeriksaan laboratorium. Thailand merupakan negara pertama di luar
China yang melaporkan adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang
melaporkan kasus pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian
berkembang ke negara-negara lain. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan
10.185.374 kasus konfirmasi dengan 503.862 kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%). Negara
yang paling banyak melaporkan kasus konfirmasi adalah Amerika Serikat, Brazil, Rusia, India,
dan United Kingdom. Sementara, negara dengan angka kematian paling tinggi adalah Amerika
Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020 dan
jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020 Kementerian
Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfirmasi COVID-19 dengan 2.875 kasus meninggal (CFR
5,1%) yang tersebar di 34 provinsi. Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki. Kasus paling
banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun.
Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien dengan usia 55-64 tahun. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa kasus paling banyak terjadi pada
pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun
(1%). Sebanyak 81% kasus merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan
McGoogan JM, 2020). Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui
lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga diduga berhubungan
dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80
tahun adalah 14,8%, sementara CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan
pada penelitian di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR
keseluruhan adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020). Tingkat kematian juga
dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien
dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan
penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan
kanker.
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus. Corona
virusmerupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4
struktur protein utama pada Corona virus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M
(membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Corona virus tergolong ordo
CoV (betacoronavirus).
Gambar 2.2 Struktur Coronavirus (Sumber: Shereen, et al. (2020) Journal of Advanced
Research 24)
umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan berdiameter 60-140 nm. Hasil
analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan
coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas
Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas permukaan,
tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus
bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau
dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada
tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARS-COV-2 sensitif
terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid
solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam
Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara bertahap.
Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan tetap merasa sehat. Gejala
COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien
mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis,
sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit. Menurut data dari
negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40% kasus akan mengalami penyakit ringan,
40% akan mengalami penyakit sedang termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami
penyakit parah, dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan
dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal ginjal
atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan
kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan
virus. Virus Covid-19 dapat melewati membran mukosa, terutama mukosa nasal dan laring,
kemudian memasuki paru-paru melalui traktus respiratorius. Selanjutnya, virus akan menyerang
organ target yang mengekspresikan Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2), seperti paru-
paru, jantung, sistem renal dan traktus gastrointestinal (Gennaro dkk., 2020).
Protein S pada SARS-CoV-2 memfasilitasi masuknya virus corona ke dalam sel target.
Masuknya virus bergantung pada kemampuan virus untuk berikatan dengan ACE2 (Gambar 2.4),
yaitu reseptor membran ekstraselular yang diekspresikan pada sel epitel. Protein S pada SARS-
CoV-2 dan SARS-CoV memiliki struktur tiga dimensi yang hampir identik pada domain
receptor-binding. Protein S pada SARS-CoV memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan ACE2
pada manusia. Pada analisis lebih lanjut, ditemukan bahwa SARS-CoV-2 memiliki pengenalan
yang lebih baik terhadap ACE2 pada manusia dibandingkan dengan SARS-CoV. (Zhang dkk.,
2020).
Gambar 2.4. Interaksi SARS-CoV2 dengan RAA pada permukaan reseptor ACE2
(Mcmurray et al., 2020)
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi. Setelah
itu menyebar ke saluran napas bawah. Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran
napas dan virus dapat berlanjut meluruh beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah
penyembuhan (PDPI, 2020). Periode inkubasi untuk COVID- 19 antara 3-14 hari. Ditandai
dengan kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun, serta pasien belum
merasakan gejala. Selanjutnya, virus mulai menyebar melalui aliran darah, terutama menuju ke
organ yang mengekspresikan ACE2 dan pasien mulai merasakan gejala ringan. Empat sampai
tujuh hari dari gejala awal, kondisi pasien mulai memburuk dengan ditandai oleh timbulnya
sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru. Jika fase ini tidak teratasi, dapat terjadi
Acute Respiratory Distress Syndrome(ARSD), sepsis, dan komplikasi lain. Tingkat keparahan
klinis berhubungan dengan usia (di atas 70 tahun), komorbiditas seperti diabetes, penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), hipertensi, dan obesitas (Gennaro dkk., 2020; Susilo dkk., 2020).
2.1.6 Terapi Covid-19
dipersiapkan pemerintah.
2. Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP)
(PAPDI., 2020)
1. Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan saat berinteraksi dengan anggota
keluarga
2. Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand sanitizer sesering mungkin.
8. Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam kantong plastik / wadah tertutup
yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci dan segera
9. Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan malam hari)
10. Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau keluarga jika terjadi peningkatan
c.) Farmakologis
pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat
antihipertensi dengan golongan obat ACE- inhibitor dan Angiotensin Reseptor Blocker
perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung.
2. Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ; Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam
5. Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),
o Derajat Ringan
muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan.
dipersiapkan pemerintah.
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan edukasi tanpa
gejala).
c.) Farmakologis
Vitamin C dengan pilihan:
2. Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet /24 jam (selama 30 hari),
3. Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari Salah satu dari antivirus berikut
ini: Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama 5-7 hari Atau Kombinasi
4. Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral (untuk 5-7 hari) ATAU Hidroksiklorokuin
(sediaan yang ada 200 mg) dosis 400 mg/24 jam/oral (untuk 5-7 hari) dapat
pasien.
o Derajat Sedang
COVID-19
COVID-19
cairan, oksigen
bila memungkinkan ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan foto
c.) Farmakologis
1. Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
2. Diberikan terapi farmakologis berikut: Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral
(untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 ml/ hari pertama 400
3. Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai
alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis
750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). Ditambah Salah satu
antivirus berikut : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
1. Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat secara kohorting
progresif.
d.) Farmakologis
1) Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1 jam
2) Diberikan terapi farmakologis berikut: Klorokuin fosfat 500 mg/12 jam oral
(untuk 5-7 hari) atau Hidroksiklorokuin (sediaan yg ada 200 ml/ hari pertama 400
3) Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari) atau sebagai
alternatif Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis
750 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-7 hari). Ditambah Salah satu
antivirus berikut : Oseltamivir 75 mg/12 jam oral selama 5-7 hari Atau
yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen
7) Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana syok
dalam mulut untuk meningkatkan produksi antibodi guna menangkal penyakit tertentu.
Sedangkan, Imunisasi merupakan proses dalam tubuh agar seseorang memiliki kekebalan tubuh
terhadap suatu penyakit. Imunisasi terbagi menjadi imunisasi aktif dan pasif. Vaksinasi termasuk
dalam imunisasi aktif sebagai upaya memicu tubuh mengeluarkan antiboditerhadap penyakit
tertentu. Berbeda dengan imunisasi pasif yang berarti tubuh diberikan antibodi dan bukan
aktif dapat bertahan lebih lama untuk jangka panjang hingga seumur hidup, sedangkan imunisasi
Vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui vaksinasi, umumnya mengandung virus
atau bakteri yang telah dilemahkan, serta protein mirip bakteri yang diperoleh dari
dapat mempersiapkan tubuh untuk melawan serangan infeksi di kemudian hari. Proses ini
Berdasarkan terminologi vaksinasi dan imunisasi diatas maka tujuan dari vaksinasi adalah
untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan
dan tidak menjadi sumber penularan. Sementara tujuan imunisasi adalah untuk menurunkan
angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi
Dalam rangka penanggulangan pandemi COVID-19 tidak hanya dilaksanakan dari sisi
penerapan protokol kesehatan, namun juga intervensi dengan vaksinasi sebagai bagian dari
upaya pencegahan dan pengendalian penyakit. Berdasarkan rekomendasi dari Komite Penasihat
2020, untuk dapat mengendalikan pandemi COVID-19 di masyarakat secara cepat yaitu dengan
kesakitan dan kematian, serta mendukung produktifitas ekonomi dan sosial dengan pemberian
vaksinasi COVID-19 yang dilakukan dengan strategi tepat sadaran pada kelompok prioritas
mencapai kekebalan kelompok di masyarakat (herd imunity) serta melindungi masyarakat dari
COVID-19 agar tetap produktif secara sosial dan ekonomi (Komite Penanganan Covid 19 dan
Vaksinasi COVID-19 dilaksanakan secara bertahap setelah vaksin mendapatkan izin dari
BPOM berupa Emergency Use of Authorization (EUA). Calon penerima vaksin COVID-19 akan
mendapatkan SMS-Blast untuk melakukan registrasi ulang dan memilih tempat dan waktu
yang berusia ≥ 18 tahun. Kelompok penduduk berusia di bawah 18 tahun dapat diberikan
vaksinasi apabila telah tersedia data keamanan vaksin yang memadai dan persetujuan
penggunaan pada masa darurat (emergency use authorization) atau penerbitan nomor izin edar
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 1 adalah tenaga kesehatan, asisten tenaga kesehatan,
tenaga penunjang serta mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan profesi kedokteran yang
Republik Indonesia, aparat hukum, dan petugas pelayanan publik lainnya yang meliputi petugas
kepada masyarakat.
Sasaran vaksinasi COVID-19 tahap 3 adalah masyarakat rentan dari aspek geospasial,
Sasaran vaksinasi tahap 4 adalah masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya dengan
(SAGE) serta kajian dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical
Advisory Group). Pemberian vaksinasi COVID-19 dilakukan oleh dokter, perawat atau bidan
yang memiliki kompetensi dan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau milik masyarakat/
2. Klinik
Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19, jenis vaksin COVID-19 yang
• AstraZeneca
• Moderna
• Novavax Inc
Jenis-jenis vaksin tersebut merupakan vaksin yang masih dalam tahap pelaksanaan uji
klinik tahap 3 atau telah selesai uji klinik tahap 3. Penggunaan vaksin tersebut hanya dapat
dilakukan setelah mendapatkan izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat dari
satu sebutan sebelumnya untuk itu adalah "Efikasi Lapangan") tetapi harus dilihat sebagai
konsep yang sangat berbeda, meskipun terkait. Pada dasarnya, keefektifan vaksin adalah
pandangan “dunia nyata” tentang bagaimana vaksin (yang mungkin telah terbukti memiliki
khasiat vaksin yang tinggi) mengurangi penyakit dalam suatu populasi. Tindakan ini dapat
menilai keseimbangan manfaat dan efek merugikan dari program vaksinasi, tidak hanya vaksin
itu sendiri, dalam kondisi lapangan yang lebih alami daripada dalam uji klinis terkontrol.
Efektivitas vaksin sebanding dengan potensi vaksin (yaitu, kemanjuran vaksin) tetapi juga
dipengaruhi oleh seberapa baik kelompok sasaran dalam populasi diimunisasi (yang dengan
sendirinya dapat mencerminkan kesulitan dalam menjaga kondisi penyimpanan vaksin yang
tepat, seperti rantai dingin, akses ke perawatan kesehatan, dan biaya vaksin), serta faktor lain
yang tidak terkait dengan vaksin yang memengaruhi hasil rawat inap, kunjungan rawat jalan,
yang paling dikenal adalah analisis pengendalian kasus retrospektif, di mana tingkat vaksinasi di
antara satu set kasus yang terinfeksi dan kontrol yang sesuai dibandingkan. Data hasil
(efektivitas vaksin) dinyatakan sebagai perbedaan tingkat, dengan menggunakan rasio odds (OR)
Jenis desain penelitian yang kurang terkenal untuk mengukur efektivitas vaksin adalah
penelitian “kohort tidak langsung” atau “kuasi-kohort”, di mana tanggapan yang berbeda pada
populasi yang divaksinasi sama diperiksa. Misalnya, analisis efektivitas vaksin dari vaksin
populasi dan membandingkan tingkat infeksi vaksin-serotipe dan infeksi serotipe non-vaksin
(dengan asumsi bahwa tidak ada perlindungan terhadap serotipe nonvaksin yang diberikan
melalui vaksinasi), memberikan perkiraan tidak langsung dari efektivitas vaksin [8]. Jenis studi
efektivitas vaksin lain yang tidak umum adalah metode "cakupan kasus" atau "kelompok kasus",
di mana tingkat vaksinasi di antara kasus dibandingkan dengan yang ada dalam kelompok serupa
(yang mungkin termasuk individu yang mengembangkan kasus) selama periode tertentu
waktu. Jenis studi efektivitas vaksin keempat, yang digunakan oleh Curns et al untuk menilai
dampak vaksin rotavirus, bersifat ekologis atau observasional, memeriksa perubahan beban
penyakit dari waktu ke waktu (misalnya, sebelum dan sesudah pengenalan vaksinasi rutin). Jenis
studi umum ini dapat menggunakan diagnostik berbasis laboratorium atau database skala besar
yang berisi kode tagihan atau International Classification of Diseases, Edisi ke-9, kode pelepasan
penelitian yang lebih sederhana dan lebih murah) yang membuat penelitian ini menarik. Namun,
banyak bias (beberapa di antaranya sulit dideteksi) dapat mempengaruhi studi efektivitas vaksin,
seperti perbedaan penentuan kasus pada kelompok yang divaksinasi dan tidak, perbedaan dalam
kerentanan atau keterpaparan beberapa kelompok dalam populasi terhadap infeksi, perbedaan
dalam pemanfaatan layanan kesehatan ( tidak terkait dengan vaksinasi) antara populasi yang
divaksinasi dan yang tidak divaksinasi, mangkir yang tidak terdeteksi untuk tindak lanjut dari
migrasi, dan asumsi yang dibuat selama analisis statistik. Dengan demikian, studi efektivitas
vaksin memiliki keuntungan menggunakan hasil dunia nyata tetapi juga memiliki tantangan
dalam membedakan efek terkait vaksin dari pembaur potensial lain yang dapat mempengaruhi
Secara teori, penyakit menular apa pun dapat dicegah dengan vaksin. Tetapi pemahaman
yang terbatas tentang mekanisme kekebalan yang terlibat, dan sifat tanggapan kekebalan yang
sangat bervariasi terhadap setiap organisme penyebab penyakit tertentu, berarti bahwa
pengembangan vaksin sejauh ini terbatas pada sejumlah penyakit virus dan bakteri. Untuk
beberapa penyakit, seperti AIDS, pengembangan vaksin sangat menantang karena virus HIV
lolos dari respons kekebalan alami tubuh. Untuk penyakit parasit, siklus hidup yang kompleks,
atau ukurannya yang relatif besar, dapat membatasi kemampuan vaksin untuk bekerja secara
efektif. Vaksin yang sangat aman dan efektif telah dikembangkan untuk melawan beberapa
mereka memulai respon imun. Respon ini meniru respon alami tubuh terhadap infeksi. Tetapi
tidak seperti organisme penyebab penyakit, vaksin dibuat dari komponen yang memiliki
Komponen organisme penyebab penyakit atau komponen vaksin yang memicu respon
imun dikenal sebagai “antigen”. Antigen ini memicu produksi “antibodi” oleh sistem
kekebalan. Antibodi mengikat antigen yang sesuai dan menyebabkan kehancurannya oleh sel
kekebalan lain.
Gambar 2.8 Komponen Organisme untuk Vaksin
Respon imun yang diinduksi terhadap organisme penyebab penyakit atau vaksin
mengonfigurasikan sel-sel kekebalan tubuh agar mampu dengan cepat mengenali, bereaksi,
dan menundukkan organisme penyebab penyakit yang relevan. Ketika sistem kekebalan tubuh
selanjutnya terkena organisme penyebab penyakit yang sama , sistem kekebalan akan
menahan dan menghilangkan infeksi sebelum dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh.
Gambar 2.9 Respon Tubuh Terhadap Antigen
Keefektifan dan lamanya efek perlindungan dari suatu vaksin bergantung pada sifat
konstituen vaksin dan pada cara mereka diproses oleh sistem kekebalan . Beberapa organisme
penyebab penyakit, seperti flu, berubah dari tahun ke tahun, membutuhkan imunisasi tahunan
untuk melawan strain baru yang beredar. Pada anak-anak yang masih sangat kecil, sistem
kekebalannya belum matang dan kurang mampu mengembangkan daya ingat. Dalam kelompok
usia ini, durasi perlindungan bisa sangat singkat untuk antigen polisakarida .
2.2.8 Hubungan Vaksin, Imunisasi dan Herd Immunity (Kekebalan Kelompok)
penyakit, seingga apabila suatu saat terkena dengan penyakitr yang sama tidak akan sakit atau
hanya mengalami sakit yang ringan. Sedangkan vaksin sendiri adalah produk biologi yang berisi
antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih utuh
atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah menjadi toksoid atau
protein rekombinan, yang di tambahkan dengan zat lainnya, yang apabila diberikan kepada
seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan pemberian vaksin yang khusus di berikan dalam rangka menimbulkan atau
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu
saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan
menggambarkan keadaan dimana populasi, biasanya orang cukup kebal terhadap penyakit
sehingga infeksi tidak akan menyebar dalam kelompok itu dan orang-orang yang rentan
dilindungi. Herd immunity adalah konsep yang terkait dengan program vaksinasi. Kekebalan
dapat diperoleh dengan infeksi, atau dengan vaksinasi. Terkait erat dengan konsep herd immunity
yaitu angka reproduksi atau RO. Proporsi yang diperlukan orang dalam suatu populasi yang
perlu kebal untuk menginduksi kekebalan kelompok (H) terkait dengan RO dan dihitung dengan
pelarangan sosial atau larangan bepergian bertujuan untuk mengurangi nialai R dibawah satu,
dimanifestasikan sebagai "perataan kurva" yang meredam lintasan alami epidemi yang jika tidak
akan terjadi, jadi kunci utama untuk mengurangi penyebaran epidemi ini adalah dengan
meratakan kurva epidemi yang terletak pada RO (angka reproduksi dasar). RO adalah jumlah
kasus sekunder yang timbul dari satu kasus indeks dalam populasi yang benar-benar rentan.
Ambang batas epidemi didefinisikan secara matematis seperti ketika RO melebihi 1, yang
menciptakan kondisi untuk epidemi, meskipun epidemi mungkin tidak selalu terjadi. Jika RO
kurang dari satu, epidemi tidak dapat dipertahankan karena rata-rata satu kasus infeksi
menginfeksi kurang dari satu orang, dan infeksi akan hilang (Basbeth, 2020).
Sebagai contoh penyakit Mumps atau gondong. Gondong adalah penyakit yang sangat
menular yang meskipun relative jinak, sangat tidak nyaman dan kadang-kadang menyebabkan
komplikasi seumur hidup yang tidak diinginkan seperti prostitis. Ini juga dapat dicegah dengan
vaksin, dengan vaksin yang sangat efektif yang membuat penyakit ini sangat langka di zaman
modern. Gondong memiliki tingkat reproduksi dasar (RO) 10-12, yang berarti bahwa dalam
populasi yang sepenuhnya rentan yang berarti tidak ada yang kebal terhadap virus setiap orang
yang terinfeksi akan menularkan penyakit kepada 10-12 orang. Ini berarti bahwa tanpa vaksinasi,
kira-kira 95% populasi terinfeksi dari waktu ke waktu, tetapi dengan sesuatu yang menular ini,
masih ada beberapa orang 5% dari populasi yang tidak jatuh sakit, karena begitu semua orang
kebal dan tidak ada orang yang dapat terkena penyakit itu. Contoh lain adalah penyakit campak
satu penderita campak misalnya, dapat menginfeksi hingga 18 orang lain dalam populasi yang
rentan , bahkan dahulu banyak orang tua yang sengaja memaparkan anak-anak mereka terhadap
“Penyakit cacar air" yang umumnya tidak berbahaya di masa kanak-kanak dari pada di masa
dewasa. Kekebalan kelompok juga bukan sesuatu yang dapat bekerja untuk penyakit apa
pun.Untuk mendapatkan tingkat penularan hingga mencapai kurang dari satu, hampir semua
orang dalam populasi perlu bertindak sebagai penyangga antara orang yang terinfeksi dan host
potensial baru. Itulah sebabnya campak membutuhkan kekebalan kelompok yang tinggi sekitar
95%. Contoh lainnya bakteri meningococcus dan pneumococcus dapat menyebabkan septikemia
dan meningitis. Pada orang sehat, bakteri ini hidup normal dan tidak berbahaya di tenggorokan
dan tidak menyebabkan penyakit, tetapi kadang-kadang mereka dapat masuk ke aliran darah
yang menyebabkan infeksi parah. Mereka dapat hidup tanpa bahaya di tenggorokan seseorang
tetapi jika mereka menyebar ke seseorang yang sangat rentan (seperti bayi) mereka dapat
menyebabkan penyakit parah. Dengan divaksinasi, seseorang tidak hanya terlindungi dari infeksi
diri mereka sendiri tetapi mereka juga tidak dapat menularkan infeksi ini kepada orang lain, yang
dapat menyebabkan penyakit parah. Namun, agar kekebalan kelompok ini bekerja, sebagian
Kekebalan kelompok juga bukan sesuatu yang dapat bekerja untuk penyakit apa saja.
Misalnya pada tetanus, banyak orang yang divaksinasi terhadap tetanus, tetapi jika ada orang
yang tidak divaksinasi menginjak paku yang berkarat, dia masih dapat terinfeksi, karena tetanus
tinggal di reservoir di luar tubuh manusia. Herd immunity juga tidak selalu bertahan untuk jagka
waktu yang lama. HIV bermutasi sangat cepat sehingga benar-benar berkembang dalam satu
orang, kata Jessie Abbate, pakar penyakit menular di Research Institute for Development di
Prancis. Flu yang bermutasi dengan cepat juga merupakan target yang bergerak untuk kekebalan
dan vaksin, itulah sebabnya setiap vaksin musim flu perlu mengantisipasi strain yang akan
beredar luas, ia menjelaskan. Intinya, herd immunity tidak bekerja pada semua penyakit. Herd
immunity hanya bekerja untuk penyakit yang tersebar langsung di antara orang-orang (yaitu
'menular'), seperti campak, polio, meningitis, hepatitis dan lain sebagainya (Basbeth, 2020).
Covid-19 untungnya jauh lebih tidak menular dibanding gondong dan campak, dengan
perkiraan RO sekitar 3. Para pakar lainnya telah mengestimasi nilai RO coronavirus Wuhan
berada di antara 1,4 hingga 5, meski WHO yakin nilai RO hanya di antara 1,4 hingga 2,5.
Dengan jumlah ini, proporsi orang yang perlu terinfeksi lebih rendah tetapi masih tinggi, yaitu di
sekitar 70% dari seluruh populasi. Harus dipikirkan mengapa herd immunity ini tidak pernah bisa
dianggap sebagai tindakan pencegahan jika 70% populasi suatu negara harus terinfeksi penyakit,
itu menurut definisi bukan merupakan pencegahan, karena sebagian besar orang di suatu negara
sedang sakit. Dan tidak mungkin kemudian dikatakan penuh harapan bahwa sudah mencapai
angka 70% anak-anak mudah terinfeksi. Jika hanya anak muda yang kebal, anda akan memiliki
kelompok orang yang lebih tua tanpa kekebalan sama sekali atau orang dengan underlying
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) 16-21% orang yang terkena virus ini di Cina
mengalami penyakit parah dan 2-3% di antaranya telah meninggal. Faktor kunci yang
mempenganuhi penularan adalah apakah virus ini dapat menyebar tanpa adanya gejala, baik
selama masa inkubasi (masa seseorang sebelum tampak sakit) maupun pada orang yang tidak
pernah sakit. Influenza memberi gambaran umum bagaimana virus dapat menyebar ketika
seseorang belum menunjukkan gejala sama sekali. Di sisi lain, seseorang dengan penyakit SARS
hanya dapat menyebarkan virus ketika ia telah memperlihatkan gejala penyakit. Belum ada data
penelitian yang telah dipublikasikan yang mendukung pernyataan pemerintah Cina mengenai
penyebaran coronavirus Wuhan yang terjadi pada masa inkubasi. Kendati demikian, sebuah studi
yang dipublikasikan di jurnal medis Lancet menunjukkan anak-anak mungkin memularkan virus
meski tidak menunjukkan gejala apa pun. Para peneliti menemukan seorang anak yang berada
pada satu keluarga terinfeksi tidak menunjukkan gejala, tapi CT Scan dada menunjukkan bahwa
ia memiliki pneumonia dan bahkan hasil tes virus juga positif. Ini berbeda dengan penyebaran
virus pada masa inkubasi, karena anak tersebut tidak sakit, tapi riset ini menuanjukkan balıwa
kemungkinan anak-anak dan remaja terinfeksi tanpa menjukkan gejala sama sekali. Hal ini
mengkhawatirkan karena jika seseorang sakit, kita ingin dapat mengidentifikasi mereka dan
menelusuri kontak fisik yang telah terjadi pada orang tersebut. Jika seseorang menularkan virus
tapi tidak terkena sakit, ia mungkin saja tidak terdeteksi sama sekali. Hal ini juga membuat
screening di bandara kurang berguna karena orang-orang yang terinfeksi tapi tidak
memperlihatkan gejala sama sekali akan tidak terdeteksi. Data Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menegaskan usia muda tetap berisiko mengalami infeksi virus corona. Dalam
data yang diperoleh 12-16 Maret 2020, sekitar 20% dari 508 pasien Covid-19 yang dirawat di
rumah sakit berusia 20-44 tahun, artinya tidak ada yang bebas dari risiko Covid-19 dan
Sebagai gambaran kasus virus corona hingga saat ini telah menginfeksi lebih dari 950
ribu orang di seluruh dunia. Eropa menjadi wilayah dengan negara-negara yang terkena dampak
paling parah dibandingkan benua lain. Kendati kasus total kasus penyebaran corona tertinggi
berasal dari Amerika Serikat, namun Italia menjadi negara dengan angka kematian terbesar.
Selain Italia, kasus corona terbanyak di Eropa juga berasal dari Spanyol, Jerman, Prancis, dan
Inggris. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus corona.
kekebalan kelompok (herd immunity) untuk menghentikan penyebaran infeksi. Dilansir dari
Foreign Policy mulanya pemerintah Inggris masih membiarkan sekolah, restoran, teater dan club
juga tempat olahraga dalam kondisi terbuka untuk umum. Hanya warga di atas usia 70 tahun
dengan kondisi flu atau gejala-gelaja serupa Covid-19 yang harus menetap di rumah. Respon
Inggris yang lambat kemarin didorong oleh teori kontroversial yang dianut petinggi ilmuwan
pemerintah Inggris. Mereka meyakini bahwa cara terbaik untuk meringankan konsekuensi
jangka panjang dari wabah adalah membiarkan virus menyebar secara alami untuk menular ke
seluruh populasi dan menciptakan populasi menjadi kebal sesudahnya. Namun, pada Senin
malam (16/03/2020), teori itu bertabrakan dengan fakta. Sebuah analisis baru oleh ahli imunologi
di Imperial College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine tentang
dampak virus corona di Italia menunjukkan bahwa sebanyak 30% pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan virus itu memerlukan perawatan intensif. Angka-angka penelitian itu jika terjadi di
Inggris, akan cepat membuat Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) kewalahan. Boris
Johnson banjir kecaman, walau pada akhirnya membatalkan penerapan herd immunity, eks Wali
Kota London tersebut telanjur banjir kecaman, termasuk dari luar negeri. Pemimpin Partai Buruh
Jeremy Corbyn mengecam pemerintah karena 'berpuas diri' dan jauh di belakang kurva' dalam
penanganan wabah virus corona. Menteri pembangunan Nasional Singapura Lawrence Wong
mengatakan, Inggris dan Swiss telah meninggalkan tindakan apa pun untuk menahan virus.
Beberapa dokter Inggris terkemuka juga mempertanyakan alasan ilmiah di balik kebijakan herd
immunity ala Johnson. Akhirnya Boris Johnson mengubah aturan resminya dalam waktu hanya
tiga jam. Ahli epidemologi Imperial College Azra Ghani menjelaskan bahwa timnya yang
tadinya berharap strategi go-it-alone dengan herd immunity dapat membangun namun ternyata
Inggris menjadi negara yang pertama kali mengenalkan secara tidak resmi konsep herd
immunity untuk menghentikan penyebaran pandemi corona. Media Inggris melaporkan bahwa
"pemerintah Inggris membiarkan virus menjangkau seluruh populasi sehingga dapat memperoleh
diperkirakan 47 juta penduduk Inggris harus terinfeksi terlebih dulu untuk mencapai herd
immunity. Dengan estimasi tingkat kematian 2,3% dan 19% kasus dengan gejala berat, ini berarti
lebih dari satu juta warga Inggris diperkirakan akan meninggal dan delapan juta lainnya
mengalami gejala berat dan harus dirawat di rumah sakit, jika herd immunity diterapkan.
Jika risiko Covid-19 tidak terlalu tinggi, secara teknis mungkin untuk membuat
kekebalan kelompok dengan membiarkan penyakit merajalela melalui populasi. Namun, bukti
menunjukkan bahwa skenario akan mengarah pada tingginya tingkat rawat inap dan kebutuhan
untuk perawatan kritis, menekan kapasitas layanan kesehatan melewati titik puncaknya. Pada
akhirnya Pemerintah Inggris memilih lockdown dari pada herd immunity. Sejauh ini Inggris
melaporkan 33.718 kasus virus corona. Sebanyak 2.921 di antaranya meninggal, dan lebih dari
100 orang sudah dinyatakan sembuh. Sempat merencanakan mengadopsi langkah Inggris,
Belanda kemudian membatalkan strategi herd immunity untuk menyetop corona di negaranya.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pun mengonfirmasi perpanjangan kebijakan lockdown
hingga akhir April. Mengingat bahwa jumlah kematian di Belanda tampaknya relatif tinggi untuk
populasi 17,2 juta. sedangkan di negara tetangga, Belgia yang memiliki populasi lebih kecil dan
penguncian yang lebih ketat, angka kematian jumlahnya juga tinggi. Sebelumnya, Rutte
mengusulkan untuk membiarkan virus corona menyebar di kalangan populasi dengan kecepatan
yang lebih lama, sehingga dapat 'membangun kekebalan kelompok'. Semakin besar kelompok
yang memperoleh kekebalan, semakin kecil kemungkinan virus tersebut dapat membuat
lompatan ke orang tua yang rentan atau orang-orang dengan masalah kesehatan yang
mendasarinya. Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda, 16 Maret 2020 namun karena mendapat
banyak kritik, membiarkan virus mematikan menyebar ke masyarakat untuk menciptakan tingkat
kekebalan secara implisit berarti menerima orang akan mati. Akhirnya ia meralat pernyataan
tersebut. Rutte kemudian menegaskan, program herd immunity bukanlah tujuan utama
pemerintah dalam menyetop wabah. Namun, la menyebut kekebalan semacam itu akan
terbangun dengan sendirinya jika persebaran virus semakin meluas (Basbeth, 2020).
Sehingga dapat disimpulkan vaksin akan membuat tubuh seseorang mengenali bakteri
atau virus penyebab penyakit tertentu, sehingga bila terpapar bakteri atau virus tersebut akan
menjadi lebih kebal. Cakupan imunisasi yang tinggi dan merata akan membentuk kekebalan
kelompok (herd immunity) sehingga dapat mecegah penularan maupun keparahan suatu penyakit
Gambar 2.10 kekebalan kelompok (herd immunity) pada Covid 19 (Buku Saku Info
Vaksin, 2020).
Efek samping vaksin covid 19 yang sering ditemukan yaitu efek samping local contohnya
kemerahan, nyeri tempat suntikan, bengkak. Sedangkan efeksamping sitemik contohnya sakit
kepala, myalgia, fatig, ada juga yang suhu nya naik namun tidak tinggi, efek samping ini umum
nya membaik sendiri. Sedangkan KIPI merupakan kejadian yang terjadi setelah 28 hari pasca
vaksinasi. Kejadian tersebut dapat berhubungan atau tidak ada hubungannya dengan vaksin, jadi
Kejadian Ikutan Pasca Vaksinasi atau biasa disebut KIPI merupakan kejadian medik yang
diduga berhubungan dengan vaksinasi. Kejadian ini dapat berupa reaksi vaksin, kesalahan
prosedur, koinsiden, reaksi kecemasan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. KIPI
diklasifikasikan serius apabila kejadian medik akibat setiap dosis vaksinasi yang diberikan
menimbulkan kematian, kebutuhan untuk rawat inap, dan gejala sisa yang menetap serta
mengancam jiwa. Klasifikasi serius KIPI tidak berhubungan dengan tingkat keparahan (berat
atau ringan) dari reaksi KIPI yang terjadi. Vaksin yang digunakan dalam program vaksinasi
Covid-19 ini masih termasuk vaksin baru sehingga untuk menilai keamanannnya perlu dilakukan
surveilans pasif Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dan surveilans aktif Kejadian Ikutan
dengan Perhatian Khusus (KIPK). Mekanisme surveilans aktif KIPK dituangkan dalam Petunjuk
Secara umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi pada tubuh, atau apabila terjadi, hanya
menimbulkan reaksi ringan. Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan menyebabkan sistem
kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung dalam vaksin. Reaksi lokal
dan sistemik seperti nyeri pada tempat suntikan atau demam dapat terjadi sebagai bagian dari
respon imun. Komponen vaksin lainnya (misalnya bahan pembantu, penstabil, dan pengawet)
juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang berkualitas adalah vaksin yang menimbulkan reaksi
ringan seminimal mungkin namun tetap memicu respon imun terbaik. Frekuensi terjadinya reaksi
ringan vaksinasi ditentukan oleh jenis vaksin. Reaksi yang mungkin terjadi setelah vaksinasi
Covid-19 hampir sama dengan vaksin yang lain. Beberapa gejala tersebut antara lain:
1. Reaksi lokal, seperti:
demam,
badan lemah,
sakit kepala
reaksi anafilaksis,
syncope (pingsan)
Untuk reaksi ringan lokal seperti nyeri, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima vaksin untuk melakukan kompres dingin pada
lokasi tersebut dan meminum obat paracetamol sesuai dosis. Untuk reaksi ringan sistemik seperti
demam dan malaise, petugas kesehatan dapat menganjurkan penerima vaksin untuk minum lebih
banyak, menggunakan pakaian yang nyaman, kompres atau mandi air hangat, dan meminum
obat paracetamol sesuai dosis. KIPI yang terkait kesalahan prosedur dapat terjadi, untuk itu
persiapan sistem pelayanan vaksinasi yang terdiri dari petugas pelaksana yang kompeten
(memiliki pengetahuan cukup, terampil dalam melaksanakan vaksinasi dan memiliki sikap
profesional sebagai tenaga kesehatan), peralatan yang lengkap dan petunjuk teknis yang jelas,
harus disiapkan dengan maksimal. Kepada semua jajaran pemerintahan yang masuk dalam
sistem ini harus memahami petunjuk teknis yang diberikan. KIPI yang tidak terkait dengan
vaksin atau koinsiden harus diwaspadai. Untuk itu penapisan status kesehatan sasaran yang akan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Desain penelitian ini definisikan
sebagai suatu penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu
fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dengan tujuan untuk membuat gambaran tentang
suatu keadaan objektif. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survei. Metode survei merupakan proses pengambilan sampel dari suatu populasi serta
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2021 di Puskesmas Kesamben Kab.
Populasi target penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili di wilayah kerja
Populasi terjangkau penelitian ini adalah pasien dan masyarakat yang berkunjung
ke Puskesmas Kesamben.
kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Populasi bukan sekedar jumlah yang ada pada objek atau subjek yang
dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh objek atau subjek
Sampel adalah bagian dari populasi. Perhitungan besar sampel menurut hasil penelitian
dari Gay, LR dan Diehl, PL (1992), dengan judul penelitian “Research Methods for Business and
Meskipun demikian pengambilan sampel harus berdasarkan terhadap jenis penelitian yang akan
didilakukan.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik
Purposive Sampling adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan
fenomena yang diteliti. Oleh karena itu,penulis memilih teknik Purposive Sampling yang
sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini.Sumber data yang digunakan merupakan
● Data primer: Penyebaran kuesioner pada pasien dan pengunjung di Puskesmas Kesamben yang
Kriteria Inklusi:
● Pasien atau pengunjung usia 18-59 tahun keatas yang datang ke Puskesmas Kesamben
Kriteria Eksklusi:
vaksinaai Covid-19. Suatu variabel perlu untuk dijelaskan dalam definisi operasional yang
Tabel 3.6 Definisi Operasional Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenai Vaksin Covid-19
Operasional Ukur
berdasarkan Komite
Komite Penanganan
Pemulihan Ekonomi
Ekonomi Nasional.
Nasional
berdasarkan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Kuisioner ini di
adopsi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh pusat penelitian dan pengembangan
bimbingan masyarakat (Puslitbang Bimas ) mengenai respon umat beragama atas rencana
Uji validitas menunjukkan sejauh mana tingkat ketepatan dan kecermatan suatu alat dalam
pengukuran dan uji reliabilitas menunjukkan kestabilan jawaban walaupun digunakan berkali-
kali. Kuesioner yang digunakan telah melalui uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan
reliabilitas dilakukan pada kuesioner reaksi masyarakat mengenai vaksin Covid-19. Peneliti
melakukan uji validitas dan reliabilitas pada pasien dan pengunjung di Puskesmas Kesamben.
Pada uji validitas dan reliabilitas diperoleh dari semua pertanyaan yang terdapat didalam
kuesioner valid dengan nilai r hitung > dari r tabel, dan nilai cronbach alpha lebih besar dari yang
Hasil uji validitas dari kuesioner reaksi masyarakat mengenai vaksinasi Covid 19 pada tabel 3.8
Sedangkan untuk hasil uji reliabilitas untuk kuisioner reaksi adalah reliabel karena nilai
Tabel 3.8 hasil uji validitas dan reliable kuisoner reaksi masyarakat terhadap vaksin covid-19
0,747 0,694
3.9 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengambilan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan cara
menanyakan kuisioner yang berisi pendapat masyarakat mengenai vaksinasi Covid-19 dengan
piliham Jawaban “Ya” , “Ragu-ragu” dan “Tidak”. Setiap jawaban “Ya” diberi nilai 2, “Ragu-
ragu” diberi nilai 1. “Tidak” diberi nilai 0. “Setuju” dan “Tidak Setuju”. Lalu jawaban dari
Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan diubah menjadi variabel. Data yang
perempuan 73 (36,5 %)
Usia Keseluruhan
>59 tahun 16 (8 %)
Pekerjaan keseluruhan
Wiraswasta/pedagang 84 (42%)
Pensiunan 7 (3,5%)
pelajar 5 (2,5%)
Pendidikan terakhir Keseluruhan
SD/MI 11 (5,5 %)
SMP/MTS 51 (25,5%)
SMA/MA 93 (46,5%)
D1/D2/D3 29 (14,5%)
D4/S1/S2 16 (8%)
Indonesia ?
covid-19 ?
Ragu-ragu 38 (19%)
Tidak 13 (6,5%)
Analisa dilakukan pada data yang berasal dari 200 responden yang terdiri dari 127 laki-laki dan
73 perempuan. Mayoritas responden berasal dari kelompok usia 18-59 (N=179), berprofesi
4.3.2 Hasil
dan opini masyarakat terhadap vaksin covid-19 di Puskesmas Kesamben sebanyak 200
responden didapatkan sebanyak 172 (86%) orang setuju dengan program vaksin covid-19, dan
sebanyak 28 (14%) orang tidak setuju dengan program vaksin covid1-19. Pada masyarakat yang
setuju dengan program vaksin covid-19 menyebutkan mereka setuju dengan alasan ingin
memutus rantai penularan covid-19 dan mengikuti anjuran dari pemerintah. Sementara itu, hasil
survey juga menunjukkan ada beberapa kelompok yang bersedia divaksin sebanyak 149 orang
(74,5%), kelompok ragu-ragu sebanyak 38 orang (19%), dan yang tidak bersedia divaksin
sebanyak 13 orang (6,5%). Pada kelompok masyarakat dengan informasi yang lebih banyak
seputar vaksin misalnya, mereka cenderung akan menerima pemberian vaksin COVID-19.
Sementara itu, hasil survei juga menunjukkan adanya kelompok yang ragu dan sebagian kecil
yang menolak. Dari enam persen responden yang menolak, menyebutkan karena faktor
penolakan vaksin COVID-19 paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30%),
kekhawatiran adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%), dan alasan keagamaan (8%).
Keraguan muncul dari responden yang takut jarum suntik dan yang pernah mengalami efek
samping setelah diimunisasi. Beberapa responden mempertanyakan proses uji klinis vaksin dan
keamanannya. Keandalan penyedia vaksin dinilai penting dan banyak yang menyatakan bersedia
menerima vaksin jika Indonesia yang memproduksinya. Responden juga berharap pemimpin
politik menjadi teladan, misalnya, dengan menjadi yang pertama divaksin sebelum vaksinasi
massal dilakukan. Banyak responden yang tidak percaya bahwa COVID-19 (SARS-CoV-2)
nyata ataupun kemungkinannya untuk menular dan mengancam kesehatan masyarakat. Beberapa
responden menyatakan bahwa pandemi adalah produk propaganda, konspirasi, hoaks, dan/atau
upaya sengaja untuk menebar ketakutan melalui media untuk dapat keuntungan. Beberapa
responden berpendapat bahwa anjuran memakai masker, mencuci tangan, dan menerapkan
pembatasan sosial (3M) sudah cukup. Responden yang giat mengikuti anjuran 3M tersebut
merasa sudah merasakan manfaatnya dan mempertanyakan rasio risiko terhadap manfaat
penggunaan vaksin.
4.3.3 Pembahasan
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi pandemi
COVID-19, termasuk rencana penyediaan vaksin COVID-19. Sebagai bagian dari upaya
tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional
(ITAGI), dengan dukungan UNICEF dan WHO, melakukan survei daring untuk memahami
pandangan, persepsi, dan perhatian masyarakat terkait vaksinasi COVID-19. Survei daring
tersebut berlangsung dari tanggal 19 hingga 30 September 2020. Lebih dari 115.000 responden
dari 34 provinsi dan 508 dari 514 Kabupaten/Kota mengikuti survei ini.
Tiga perempat responden mengatakan bahwa mereka telah mendengar tentang vaksin
COVID-19 dan sekitar dua pertiga mengatakan bersedia menerimanya, dengan tingkat
status pendidikan. Di seluruh negeri, responden yang memiliki informasi lebih baik tentang
vaksin, cenderung lebih menerimanya, dan begitu pula pada mereka yang memiliki asuransi
kesehatan, juga lebih mungkin menerima vaksin COVID-19. Di antara responden yang menolak,
kekhawatiran utama mereka adalah pada keamanan dan efektifitas vaksin, serta apakah vaksin
Sekitar 74% responden mengaku sedikit banyak tahu rencana Pemerintah untuk
Sekitar 61% responden di Aceh menjawab tahu rencana Pemerintah terkait distribusi vaksin
Tenggara ada 65–70% responden yang mengetahui informasi tersebut. Jumlah responden di
provinsi Jawa, Maluku, Kalimantan, Papua, dan sejumlah provinsi lain yang mengetahui
informasi tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 70%. Survei ini tidak mengungkap faktor-faktor
adanya variasi dan penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor tersebut.
rendah. Tingkat pengetahuan tentang informasi tersebut cenderung naik sesuai dengan tingkatan
status ekonomi responden. Mungkin lebih disebabkan oleh tingginya akses ke informasi yang
dimiliki responden dengan status ekonomi tinggi. Meskipun demikian, ada sedikit perbedaan
antara pengetahuan responden laki-laki dan perempuan mengenai adanya vaksin COVID-19 dan
delapan persen di antaranya menolak. 27% sisanya menyatakan ragu dengan rencana Pemerintah
untuk mendistribusikan vaksin COVID-19. Kelompok ini penting untuk mendorong keberhasilan
program vaksinasi. Situasi ini perlu dipahami dengan hati-hati; masyarakat mungkin mempunyai
informasi mengenai jenis vaksin, kapan vaksin akan tersedia dan profil keamanannya, lebih
lanjut karena survei ini didukung ITAGI, UNICEF, WHO, dan Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan survei, tingkat penerimaan vaksin paling tinggi tampak di provinsi-provinsi di Pulau
Papua, Jawa, dan Kalimantan. Tingkat penerimaan di beberapa provinsi di Sumatera, Sulawesi,
dan Maluku lebih rendah. Provinsi Papua Barat paling tinggi tingkat penerimaannya (74%)
dibandingkan dengan seluruh provinsi lainnya, sedangkan Provinsi Aceh paling rendah (46%).
vaksin menjadi sangat penting untuk segera mengakhiri pandemi ini karena vaksin
telah terbukti dapat memusnahkan banyak wabah, misalnya polio (Larson and Ghinai, 2011).
Terdapat 3 fase uji klinis utama yang harus dilewati vaksin agar dapat diproduksi massal untuk
masyarakat, yaitu fase 1, 2, dan 3. Keseluruhan tahap pengembangan vaksin seringkali memakan
waktu hingga tahunan (Hanney dkk.., 2020). Sayangnya, umat manusia saat ini tidak bisa
menunggu lama sehingga percepatan pengembangan vaksin harus dilakukan. Percepatan itu
menimbulkan keraguan akan keamanan dari vaksin yang kini sedang dikembangkan. Keraguan
akan keamanan vaksin dapat menurunkan tingkat kerelaan masyarakat untuk diimunisasi
(Harapan dkk.., 2020). Ini akan menghambat tercapainya herd immunity yang penting untuk
penanganan pandemi. Herd immunity adalah kondisi dimana penularan penyakit dalam suatu
populasi terhambat akibat tidak adanya inang yang dapat diinfeksi. Keberadaan herd immunity
juga akan melindungi masyarakat yang belum memperoleh akses ke vaksin karena tingkat
penularan dalam populasi yang rendah (Mallory, Lindesmith and Baric, 2018). Dengan
demikian, tinjauan ini ditulis untuk menjawab keraguan masyarakat akan keamanan vaksin,
Saat ini terdapat 10 vaksin dalam uji klinis fase 3. Secara garis besar, vaksin dalam
fase ini dapat dibagi menjadi beberapa jenis menurut komponen dasarnya yaitu virus yang
diinaktivasi, vektor viral yang tidak bereplikasi, subunit protein, dan asam nukleat. Terdapat 3
vaksin yang menggunakan virus yang diinaktivasi, 4 vektor viral yang tidak bereplikasi, 1
Vaksin menggunakan virus yang diinaktivasi tidak akan menimbulkan penyakit karena virus
tersebut telah dilumpuhkan permanen secara kimia atau radiasi. Vaksin dari Sinovac, misalnya,
menginaktivasi virus menggunakan senyawa β-propiolactone (Gao dkk.., 2020). Senyawa ini
diketahui merupakan alkylating agent yang dapat memodifikasi asam nukleat, sekaligus protein
virus (Delrue dkk.., 2012). Vaksin Sinovac melakukan uji klinis fase 1 dan 2 secara simultan
(WHO, 2020). vaksin menggunakan vektor viral yang tidak bereplikasi akan membawa gen
antigen virus target ke dalam sel resipien tanpa berintegrasi dengan genom. Tanpa integrasi
dengan genom, sel resipien tidak akan mengalami mutasi apapun (Stephen dkk.., 2010). Gen
virus dalam sel akan ditranslasikan menjadi antigen yang nantinya akan dipresentasikan dan
dikenali dan sistem imun. Antigen yang digunakan tidak memiliki virulensi, misalnya vaksin dari
tidak berbahaya untuk menghantarkan gen antigen spike protein SARS-COV2 (Folegatti dkk..,
2020). Vaksin ini melakukan uji klinis 1 dan 2 secara simultan (WHO, 2020). Vaksin subunit
protein adalah vaksin yang menggunakan komponen dari antigen virus yang konsisten, non-
infeksius, dan dapat dikenali oleh sistem imun. Satu-satunya vaksin dalam kategori ini adalah
binding domain (RBD) milik SARS-COV2 sebagai vaksin (WHO, 2020). RBD merupakan salah
satu bagian dari spike protein SARS-COV2 yang penting dalam internalisasi virus ke dalam sel
(Chen, Hotez and Bottazzi, 2020). Vaksin ini melakukan uji klinis 1 dan 2 secara simultan
(WHO, 2020). Vaksin menggunakan asam nukleat RNA/DNA untuk menginduksi ekspresi
antigen target yang akan dikenali dan direspon oleh sistem imun. Antigen yang digunakan tidak
bersifat infeksius, misalnya vaksin yang dikembangkan Moderna. Vaksin ini menggunakan
mRNA yang diinkorporasikan ke dalam lipid nanoparticle. RNA dalam sel akan ditranslasikan
sementara atau interim tahap III Vaksin Virus Corona buatan perusahaan asal China, Sinovac,
pada Jumat (8/1) hari ini. Laporan itu menunjukkan efikasi atau tingkat keampuhan vaksin
corona Sinovac sebesar 65,3 persen. Angka tersebut sudah sesuai dengan standar atau ambang
batas efikasi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni minimal 50 persen.
Merespons hal itu, BPOM juga telah mengevaluasi untuk kemudian mengeluarkan izin darurat
penggunaan atau Emergency Use authorization (EUA) atas vaksin covid-19 Sinovac. Adapun
data laporan itu merupakan hasil evaluasi dari data keamanan subjek uji klinis yang diamati
setelah dua kali kali penyuntikan; data imunogenisitas atau kemampuan vaksin membentuk
antibodi; dan data efikasi vaksin atau kemampuan vaksin melindungi orang yang terpapar virus
menjadi tidak sakit. Dari total 1.620 relawan yang menjadi sampel penelitian Tim FK Unpad
Bandung, sebanyak 540 relawan saja yang dibutuhkan untuk merampungkan penelitian
kebutuhan EUA itu. Lebih dari seribu relawan yang dilibatkan tersebut berusia antara 18 hingga
59 tahun. selain efikasi, Bio Farma mengklaim tidak ada laporan mengenai Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi (KIPI) yang serius atau kejadian serius yang tidak diinginkan.
Berdasarkan studi klinik fase 3 di Indonesia, didukung dengan data Turki dan Brazil
keamanan vaksin a. Reaksi lokal : bersifat ringan hingga sedang, (nyeri, indurasi, iritasi,
Secara keseluruhan kejadian efek samping ini juga dialami pada subjek yang mendapat placebo.
Evaluasi berdasarkan data uji klinik fase III di Indonesia, didukung dengan data Turki dan Brazil
efikasi dari vaksin : a.Data Imunogenisitas : Hasil uji seropositif : 99.74% (14 hari setelah
penyuntikan ) dan 99,23% (3 bulan setelah penyuntikan)b. Data efikasi : Indonesia : 65,3% Turki
Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi menetapkan fatwa halal untuk vaksin Covid-19 yang
diproduksi perusahaan asal China, Sinovac. Vaksin tersebut kini boleh digunakan oleh umat
Islam. Dalam Fatwa MUI Nomor: 02 Tahun 2021 Tentang Produk Vaksin Covid-19 dari Sinovac
Life Science Co. LTD China dan PT Bio Farma (Persero), MUI menyatakan bahwa vaksin
BAB V
KESIMPULAN
Setelah dilakukan survey dengan menggunakan kuisoner diperoleh respon dan opini
didapatkan sebanyak 172 (86%) orang setuju dengan program vaksin covid-19, dan sebanyak 28
(14%) orang tidak setuju dengan program vaksin covid1-19. Pada masyarakat yang setuju
dengan program vaksin covid-19 menyebutkan mereka setuju dengan alasan ingin memutus
rantai penularan covid-19 dan mengikuti anjuran dari pemerintah. Sementara itu, hasil survey
juga menunjukkan ada beberapa kelompok yang bersedia divaksin sebanyak 149 orang (74,5%),
kelompok ragu-ragu sebanyak 38 orang (19%), dan yang tidak bersedia divaksin sebanyak 13
orang (6,5%). Pada kelompok masyarakat dengan informasi yang lebih banyak seputar vaksin
misalnya, mereka cenderung akan menerima pemberian vaksin COVID-19. Sementara itu, hasil
survei juga menunjukkan adanya kelompok yang ragu dan sebagian kecil yang menolak. Dari
enam persen responden yang menolak, menyebutkan karena faktor keamanan, efektivitas, serta
Daftar Pustaka
1. Anderson, E. J., Rouphael, N. G., Widge, A. T., Jackson, L. A., Roberts, P. C., Makhene,
M., Chappell, J. D., Denison, M. R., Stevens, L. J., Pruijssers, A. J., McDermott, A. B.,
Flach, B., Lin, B. C., Doria-Rose, N. A., O’Dell, S., Schmidt, S. D., Corbett, K. S.,
Swanson, P. A., Padilla, M., Neuzil, K. M., Bennett, H., Leav, B., Makowski, M., Albert,
J., Cross, K., Edara, V. V., Floyd, K., Suthar, M. S., Martinez, D. R., Baric, R.,
Buchanan, W., Luke, C. J., Phadke, V. K., Rostad, C. A., Ledgerwood, J. E., Graham, B.
10.1056/NEJMoa2028436.
https://www.pom.go.id/new/view/ more/berita/19151/Komitmen-Badan-POM-
3. BPOM. 2020b. Peran Aktif Badan POM dalam Pengembangan Vaksin COVID-19.
https://www.pom.go.id/new/view/more/berita/19391/Peran-Aktif-Badan-POM-dalam-
https://www.pom.go.id/new/view /more/pers/556/Uji-Klinik-Fase-III-Vaksin-COVID-19-
5. MUI. 2020. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 02 Tahun 2021 Tentang
(Persero).https://covid19.go.id/storage/app/media/Regulasi/2021/Januari/Fatwa%20MUI
%20Nomor%202%20Tahun%202021%20tentang%20produk%20vaksin%20covid
%2019%20dari%20Sinovac%20-%20Bio%20Farma.pdf
https://covid19.go.id/storage/app/media/Hasil%20Kajian/2020/November/vaccine-
acceptance-survey-id-12-11-2020final.pdf
REGULATORY EXPECTATIONS.
https://www.who.int/biologicals/publications/clinical_guidelines_ecbs_2001.pdf?ua=1.
https://www.who.int/publications/m/item/draft-landscape-of-covid-19-candidate-