Anda di halaman 1dari 46

SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Standar Nasional Indonesia

Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah


perkotaan

ICS 27.180 Badan Standardisasi Nasional


SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Gambar 1
Diagram Teknik Operasional Pengelolaan Persampahan

Catatan - Pengelolaan sampah B3 rumah tangga dikelola secara khusus sesuai aturan yang berlaku.
− Kegiatan pemilahan dapat pula dilakukan pada kegiatan pengumpulan pemindahan
− Kegiatan pemilahan dan daur ulang diutamakan di sumber sampah

4 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah perkotaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah perkotaan yaitu:
1) kepadatan dan penyebaran penduduk;
2) karakteristik fisik lingkungan dan sosial ekonorni;
3) timbulan dan karakteristik sampah;
4) budaya sikap dan perilaku masyarakat;
5) jarak dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir sampah;
6) rencana tata ruang dan pengembangan kota;
7) sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah;
8) biaya yang tersedia;
9) peraturan daerah setempat;

4.3 Daerah pelayanan


4.3.1 Penentuan Daerah Pelayanan
1) penentuan skala kepentingan daerah pelayanan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Contoh
penentuan daerah prioritas pelayanan pada larnpiran C.
Tabel 1
Skala Kepentingan Daerah Pelayanan

5 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Sumber : hasil konsensus, 1990
Catatan : angka total tertinggi (bobot x nilai) merupakan pelayan tingkat pertana, angka-angka berikut
dibawahnya merupakan pelayanan selanjutnya.
2) pengembangan daerah pelayanan dilakukan berdasarkan pengembangan tata ruang kota.

4.3.2 Perencanaan kegiatan operasi daerah pelayanan


Hasil perencanaan daerah pelayanan berupa identifikasi masalah dan potensi yang tergambar
dalam peta-peta sebagai berikut:
1) peta kerawanan sampah minimal menggambarkan
(1) besaran timbulan sampah
(2) jumlah penduduk, kepadatan rumah/bangunan
2) peta pemecahan masalah menggambarkan pola yang digunakan, kapasitas perencanaan
(meliputi alat dan personil), jenis sarana dan prasarana, potensi pendapatan jasa pelayanan
serta rute dan penugasan.

4.4 Tingkat pelayanan

Tingkat pelayanan didasarkan jumlah penduduk yang terlayani dan luas daerah yang terlayani
dan jumlah sampah yang terangkat ke TPA.

6 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
4.5.1 Frekuensi pelayanan
Berdasarkan hasil penentuan skala kepentingan daerah pelayanan, frekuensi pelayanan
dapat dibagi dalam beberapa kondisi sebagai berikut:
1) pelayanan intensif antara lain untuk jalan protokol, pusat kola, dan daerah komersial;
2) pelayanan menengah antara lain untuk kawasan permukiman taratur;
3) pelayanan rendah antara lain untuk daerah pinggiran kota.

4.5.2 Faktor penentu kualitas operasional pelayanan


Faktor penentu operasional pelayanan adalah sebagai berikut:
1) tipe kota;
2) sampah terangkut dari lingkungan;
3) frekuensi pelayanan;
4) jenis dan jumlah peralatan;
5) peran aktif masyarakat;
6) retribusi;
7) timbunan sampah;

5 Teknik Operasional

5. 1 Pewadahan sampah

5.1.1 Pola pewadahan


Melakukan pewadahan sampah sesuai dengan jenis sampah yang telah terpilah, yaitu :
1) sampah organik seperti daun sisa, sayuran, kulit buah lunak, sisa makanan dengan wadah
warna gelap;
2) sampah an organik seperti gelas, plastik, logam, dan lainnya, dengan wadah warna terang;
3) sampah bahan barbahaya beracun rumah tangga (jenis sampah B3 seperti dalam lampiran
B), dengan warna merah yang diberi lambang khusus atau semua ketentuan yang berlaku;
Pola pewadahan sampah dapat dibagi dalarn individual dan komunal .Pewadahan dimulai
dengan pemilahan baik untuk pewadahan individual maupun komunal sesuai dengan
pengelompokan pengelolaan sampah.

5.1.2 Kriteria Lokasi dan Penempatan Wadah


Lokasi penempatan wadah adalah sebagai berikut :
1) Wadah individual ditempatkan :
(1) di halarnan muka ;
(2) di halaman belakang untuk sumber sampah dari hotel restoran;
2) Wadah komunal ditempatkan :

7 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(1) sedekat mungkin dengan sumber sampah,
(2) tidak mengganggu pemakai jalan atau sarana umum lainnya,
(3) di luar jalur lalu lintas , pada suatu lokasi yang rnudah untuk pengoperasiannya;
(4) di ujung gang kecil;
(5) di sekitar taman dan pusat keramaian (untuk wadah sampah pejalan kaki); untuk
pejalan kaki minimal 100 m
(6) Jarak antar wadah sampah.

5.1.3 Persyaratan bahan wadah


Persyaratan bahan adalah sebagai berikut:
1) tidak mudah rusak dan kedap air;
2) ekonomis, mudah diperoleh dibuat oleh masyarakat;
3) mudah dikosongkan;
Persyaratan untuk bahan dengan pola individual dan komunal seperti pada tabel 2

Tabel 2
Karakteristik Wadah Sampah

Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat PLP

5.1.4 Penentuan ukuran wadah.


Penentuan ukuran volume ditentukan berdasarkan:
1) jumlah peaghuni tiap rumah;
2) timbulan sampah;
3) frekuensi pengambilan sampah;

8 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
4) cara pemindahan sampah;
5) sistern pelayanan (individual atau komunal);
Contoh wadah dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 3.

5.1.5 Pengadaan wadah sampah


Pengadaan wadah sampah untuk
1) wadah untuk sampah individual oleh pribadi atau Instansi atau pengelola;
2) wadah sampah komunal oleh Instansi pengelola.

Tabel 3
Contoh Wadah dan penggunaannya

Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karp, Direktorat PLP.

5.2 Pengumpulan Sampah

5.2.1 Pola Pengumpulan


Diagram pola pengumpulan sampah seperti pada gambar 2 dan 3

9 dari 27
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”

10 dari 27
SNI 19-2454-2002
“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
SNI 19-2454-2002

Konsepsi Ruang Masing-Masing Pula Operasional Persampahan


Gambar 3

11 dari 27
Keterangan :
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Pola pengumpulan sampah terdiri dari :
1) pola individual langsung dengan persyaratan sebagai berikut
(1) kondisi topografi bergelombang (> 15-40%) , hanya alat pengumpul mesin yang dapat
beroperasi;
(2) kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya;
(3) kondisi dan jumlah alat memadai;
(4) jumlah timbunan sampah > 0,3 m3 / hari;
(5) bagi penghuni yang berlokasi di jalan protokol.
2) pola individual tidak langsung dengan persyaratan sebagai berikut
(1) bagi daerah yang partisipasi masyarakatnya pasif;
(2) lahan untuk lokasi pemindahan tersedia;
(3) bagi kondisi topografi relatif datar (rata-rata < 5%) dapat menggunakan alat pengumpul
non mesin (gerobak, becak);
(4) alat pengumpul masih dapat menjangkau secara langsung;
(5) kondisi lebar gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan
lainnya; rate
(6) harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.
3) pola komunal langsung dengan persyaratan sebagai berikut :
(1) bila alat angkut terbatas;
(2) bila kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah;
(3) alat pengumpul sulit menjangkau sumber-surnber sampah individual (kondisi daerah
berbukit, gang /jalan sempit);
(4) peran serta masyarakat tinggi;
(5) wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang mudah
dijangkau oleh alat pengangkut (truk);
(6) untuk permukiman tidak teratur,
4) pola komunal tidak langsung dengan persyaratan berikut :
(1) peran serta masyarakat tinggi;
(2) wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan lokasi yang mudah
dijangkau alat pengumpul;
(3) lahan untuk lokasi pemindahan tersedia;
(4) bagai kondisi topografi relatif datar (rata-rata <5%), dapat mengunakan alat.
pengumpul non mesin (gerobak, becak) bagi kondisi topografi > 5% dapat
menggunakan cara lain seperti pikulan, kontainer kecil beroda dan karung;
(5) lebar jalan/gang dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan
lainnya;
(6) harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah.
5) pola penyapuan jalan dengan persyaratan sebagai berikut :
(1) juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan

12 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(diperkeras, tanah, lapangan rumput dll.);
(2) penanganan penyapuan jalan untu'.: setiap daerah berbe.da tergantung pada fungsi
dan nilai daerah yang dilayani,
(3) pengumpulan, sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi pemindahan untuk
kemudian diangkut keTPA;
(4) pengendalian personel dan peralatan harus baik.

5.2.2 Perencanaan Operasional Pengumpulan


Perencanaan operasional pengumpulan sebagai berikut :
1) rotasi antara 1— 4 /hari;
2) periodisasi : I hari, 2 hari atau maksimal 3 hari sekali, tergantung dari kondisi komposisi
sampah ,yaitu .
(1) semakin besar prosentasi sampah organik ,periodisasi pelayanan maksimal sehari 1
kali,
(2) untuk sampah kering, periode pengumpulannya di sesuaikan dengan jadv,al yang telah
ditentukan, dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1 kali;
(3) untuk sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku;
(4) mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap;
(5) mempunyai petugas pelaksana yang tetap dan dipindahkan secara periodik;
(6) pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut,
jarak tempuh dan kondisi daerah.

5.2.3 Pelaksana Pengumpulan Sampah


1) Pelaksana
Pengumpulan sampah dapat dilaksanakan oleh :
(1) Institusi kebersihan kota
(2) lembaga swadaya masyarakat
(3) Swasta
(4) Masyarakat (oleh RT/RW).

2) Pelaksanaan pengumpulan
Jenis sampah yang terpilah dan bernilai ekonomi dapat dikumpulkan oleh pihak yang
berwenang pada waktu yang telah disepakati bersama antara petugas pengumpul dan
masyarakat penghasil sampah.

5.3 Pemindahan Sampah

5.3.1 Tipe Pemindahan


Tipe pemindahan sampah dapat dilihat pada Tabel 4.

13 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Tabel 4
Tipe Pemindahan (Transfer)

5.3.2 Lokasi Pemindahan


Lokasi pemindahan adalah sebagai berikut
1) harus mudah keluar masuk bagi sarana pengumpul dan pengangkut sampah ;
2) tidak jauh dari sumber sampah;
3) berdasarkan tipe, lokasi pemindahan terdiri dari :
(1) terpusat ( transfer depo tipe I)
(2) tersebar ( transfer depo tipe II atau III )
4) jarak antara transfer depo untuk tipe T dan II adalah (1,0 -- 1,5 ) km.

5.3.3 Pemilahan
Pemilahan di lokasi pemindahan dapat dilakukan dengan cara manual oleh petugas kebersihan
dan atau masyarakat yang berminat, sebelum dipindahkan ke alat pengangkut sampah.

5.3.4 Cara Pemindahan


Cara pemindahan dapat dilakukan sebagai berikut :
1) manual;
2) mekanis;

14 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
3) gabungan manual dan mekanis, pangisian kontainer dilakukan secara manual oleh petugas
pengumpul, sedangkan pcngangkutan kontainer ke atas truk dilakukan secara mekanis (load
haul).

5.4 Pengangkutan Sampah

5.4.1 Pola Pengangkutan


1) Pengangkutan sampah dengai sistem pengumpulan individual langsung (door to door)
seperti pada gambar 4

Gambar 4 Pola pengangkutan sampah sistem individual langsung

a) truk pengangkut sampah dari pool menuju titik sumber sampah pertama untuk mengambil
sampah;
b) selanjutnya mengambil sampah pada titik-titik sumber sampah berikutnya sampai truk
penuh sesuai dengan kapasitasnya;
c) selanjutnya diangkut ke TPA sampah ;
d) setelah pengosongan di TPA , truk menuju ke lokasi surnber sampah berikutnya, sampai
terpenuhi ritasi yang tclah ditetapkan.
2) pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di transfer depo type I dan II , pola
pengangkutan dapat dilihat pada gambar 5, dan dilakukan dengan Cara sebagai berikut :

Gambar 5 Pola Pengangkutan Sistem Transfer Depo tipe I dan II

15 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
(1) kendaraan pengangkut sampah keluar dari pool langsung menuju lokasi pemindahan di
transfer depo untuk mengangkut sampah ke TPA;
(2) dari TPA kendaraan tersebut kembali ke transfer depo untuk pengambilan pada rit
berikutnya;
1) untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer (transfer tipe III), pola
pengangkutan adalah sebagai berikut
(1) pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 1 dapat dilihat
pada Gambar 6, dengan proses :

Gambar 6
Pola Pengangkutan dengan Sistem Pengosongan Kontainer Cara I

Keterangan angka 1, 2, 3,..10 adalah rute alat angkut.


a) kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke TPA;
b) kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula;
c) menuju ke kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke TPA;
d) kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula;
e) demikian seterusnya sampai rit terakhir.

(2) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 2 dapat dilihat pada
Gambar 7

16 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
Gambar 7
Pola pengangkutan sampah dengan Sistem Pengosoagan Kontainer Cara 2

Keterangan sistem ini


a) kendaraan dari pool menuju container isi pertama untuk mengangkat sampah ke TPA;
b) dari TPA kendaraan tersebut dengan kontainer kosong menuju lokasi ke dua untuk
menurunkan kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke TPA;
c) demikian seterusnya sampai pada rit terakhir,
d) pada rit terakhir dcngan kontainer kosong, dari TPA menuju ke lokasi kontainer pertama,
kemudian truk kembali ke Pool tanpa Kontainer.
c) sistem ini diberlakukan pada kondisi tertentu (mis. : pengambilan pada jam tertentu, atau
mengurangi kemacetan lalu lintas)

(3) Pola pengangkutan sampah dengan sistem pengosongan kontainer cara 3 (dapat dilihat
pada Gambar 8. dengan proses :

Gambar 8
Pola Pengangkutan Sampah Dengan Sistem Pengosongan Kontainer Cara 3

17 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
a) kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kososng menuju ke Iokasi kontainer isi
untuk mengganti /mengambil dan langsung rnembawanya ke TPA:,
b) kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA menuju ke ,kontainer isi
berikutnya;
c) demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir.

(3) Pola pengangkutan sampah dengan sistem kontainer tetap biasanya untuk kontainer
kecil serta alat angkut berupa truk pemadat atau dump truk atau trek biasa dapat dilihat
pada Gambar 9, dengan proses

ISI KONTAINER
DIKOSONGKAN
KONTAINER

Gambar 9
Pola pengangkutan sampan dengan Sistem Kontainer Tetap

a) kendaran dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan ke dalam truk
compactor dan meletakkan kembali kontainer yang kosong;
b) kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk penuh, untuk kemudian
langsung ke TPA;
c) demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir,

5.4.2 Pengangkutan Sampah Hasil Pemilahan


Pengangkutan sampah kering yang bernilai ekonomi dilakukan sesuai dengan jadwal yang
telah disepakati.

5.4.3 Peralatan Pengangkut Alat pengangkut sampah adalah:


1) persyaratan alat pengangkut yaitu :

(1) alat pengangkut sampah harus dilengkapi :dengan penutup sampah, minimal dengan
jaring;
(2) tinggi bak maksimum 1,6 rn:
(3) sebaiknya ada alat ungkit;
(4) kapasitas disesuaikan dengan kelas jalan yang akan dilalui;
(5) bak truk/dasar kontainer sebaiknya dilengkapi pengaman air sampah.

18 dari 27
SNI 19-2454-2002

“Hak Cipta Badan Standardisasi Nasional, Copy standar ini dibuat untuk penayangan di website dan tidak untuk dikomersialkan”
2) jenis peralatan dapat berupa :
(1) truk (ukuran besar atau kecil)
(2) dump truk/tipper truk;
(3) armroll truk;
(4) truk pemadat;
(5) truck dengan crane;
(6) mobil penyapu jalan;
(7) truk gandengan.

5.5 Pengolahan
Teknik-teknik pengolahan sampah dapat berupa :
1) pengomposan :
a) berdasarkan kapasitas ( individual, komunal, skala lingkungan) ;
b) berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikro organisme,
tambahan ).
2) Insinerasi yang berwawasan lingkungan
3) daur ulang
a) sampah an organik disesuaikan dengan jenis sampah
b) menggunakan kembali sampah organik sebagai makanan ternak;
4) pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan;
5) biogasifikasi (pemanfaatan energi hasil pengolahan sampah).
Rincian masing-masing Teknik Pengolahan Sampah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5.6 Pembuangan Akhir

5.6.1 Persyaratan
Persyaratan Umum dan teknis lokasi pembuangan akhir sampah sesuai dengan SNI 03 3241
1994 mengenai Tata Cara Pemilihan lokasi TPA.

5.6.2 Metode Pembuangan Akhir Sampah Kota


Metode pembuangan akhir sampah kota dapat dlakukan sebagai berikut :
1) penimbunan terkendali termasuk pengolahan lindi dan gas;
2) lahan urug saniter termasuk pengolahan lindi dan gas;
3) metode penimbunan sampah untuk daerah pasang surut dengan sistem kolam (an acrob,
fakultatif, maturasi).
Rincian masing-masing metode pembuangan akhir sampah kota sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;

19 dari 27
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No.470, 2013 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM.
Penanganan. Sampah Rumah Tangga.
Prasarana. Sarana.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 03/PRT/M/2013
TENTANG
PENYELENGGARAAN PRASARANA DAN SARANA PERSAMPAHAN DALAM
PENANGANAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS
SAMPAH RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5),


Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 25 ayat (3),
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga, perlu menetapkan Peraturan
Menteri tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana
Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4490);

www.djpp.kemenkumham.go.id
11 2013, No.470

Bagian Kesatu
Pemilahan
Pasal 15
(1) Pemilahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan
melalui kegiatan pengelompokan sampah menjadi paling sedikit 5
(lima) jenis sampah yang terdiri atas:
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta
limbah bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mudah terurai;
c. sampah yang dapat digunakan kembali;
d. sampah yang dapat didaur ulang; dan
e. sampah lainnya.
(2) Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta
limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a antara lain kemasan obat serangga, kemasan oli,
kemasan obat-obatan, obat-obatan kadaluarsa, peralatan listrik, dan
peralatan elektronik rumah tangga.
(3) Sampah yang mudah terurai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b antara lain sampah yang berasal dari tumbuhan, hewan,
dan/atau bagian-bagiannya yang dapat terurai oleh makhluk hidup
lainnya dan/atau mikroorganisme seperti sampah makanan dan
serasah.
(4) Sampah yang dapat digunakan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c merupakan sampah yang dapat dimanfaatkan kembali
tanpa melalui proses pengolahan antara lain kertas kardus, botol
minuman, dan kaleng.
(5) Sampah yang dapat didaur ulang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d merupakan sampah yang dapat dimanfaatkan kembali
setelah melalui proses pengolahan antara lain sisa kain, plastik,
kertas, dan kaca.
(6) Sampah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
merupakan residu.
Pasal 16
(1) Pemilahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a
dilakukan oleh:
a. setiap orang pada sumbernya;
b. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya; dan
c. pemerintah kabupaten/kota.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.470 12

(2) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan


industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya dalam melakukan pemilahan sampah wajib
menyediakan sarana pemilahan dan pewadahan sampah skala
kawasan.
(3) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan sarana pemilahan dan
pewadahan sampah skala kabupaten/kota.
Pasal 17
(1) Persyaratan sarana pemilahan dan pewadahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) didasarkan pada:
a. volume sampah;
b. jenis sampah;
c. penempatan;
d. jadwal pengumpulan; dan
e. jenis sarana pengumpulan dan pengangkutan.
(2) Sarana pemilahan dan pewadahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus:
a. diberi label atau tanda;
b. dibedakan bahan, bentuk dan/atau warna wadah; dan
c. menggunakan wadah yang tertutup.
Pasal 18
(1) Jenis sarana pewadahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
berupa pewadahan:
a. individual; dan
b. komunal.
(2) Pewadahan individual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat berupa bin atau wadah lain yang memenuhi persyaratan.
(3) Pewadahan komunal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dapat berupa TPS.
Bagian Kedua
Pengumpulan
Pasal 19
(1) Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b
tidak boleh dicampur kembali setelah dilakukan pemilahan dan
pewadahan.
(2) Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pola:
a. individual langsung;
b. individual tidak langsung;

www.djpp.kemenkumham.go.id
13 2013, No.470

c. komunal langsung;
d. komunal tidak langsung; dan
e. penyapuan jalan.
(3) Pengumpulan atas jenis sampah yang dipilah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengaturan jadwal pengumpulan sesuai dengan jenis sampah
terpilah dan sumber sampah; dan
b. penyediaan sarana pengumpul sampah terpilah.
(4) Jenis sarana pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) huruf b dapat berupa:
a. motor sampah;
b. gerobak sampah; dan/atau
c. sepeda sampah.
Pasal 20
(1) Pengumpulan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
dilakukan oleh:
a. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya; dan
b. pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan
fasilitas lainnya dalam melakukan pengumpulan sampah wajib
menyediakan:
a. TPS;
b. TPS 3R; dan/atau
c. alat pengumpul untuk sampah terpilah.
(3) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan TPS dan/atau TPS 3R pada
wilayah permukiman.
(4) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi kriteria
teknis:
a. luas TPS sampai dengan 200 m2;
b. tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling
sedikit 5 (lima) jenis sampah;
c. jenis pembangunan penampung sampah sementara bukan
merupakan wadah permanen;
d. luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan;
e. lokasinya mudah diakses;
f. tidak mencemari lingkungan;
g. penempatan tidak mengganggu estetika dan lalu lintas; dan
h. memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.470 14

Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pengumpulan sampah
dan penyediaan TPS dan/atau TPS 3R tercantum dalam Lampiran II yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Ketiga
Pengangkutan Sampah
Pasal 22
(1) Pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA atau TPST
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c tidak boleh dicampur
kembali setelah dilakukan pemilahan dan pewadahan.
(2) Dalam hal terdapat sampah yang mengandung bahan berbahaya dan
beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun, pengangkutan
sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun serta
limbah bahan berbahaya dan beracun mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
(1) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. memaksimalkan kapasitas kendaraan angkut yang digunakan;
b. rute pengangkutan sependek mungkin dan dengan hambatan
sekecil mungkin;
c. frekuensi pengangkutan dari TPS dan/atau TPS 3R ke TPA atau
TPST dilakukan sesuai dengan jumlah sampah yang ada; dan
d. ritasi dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi dan
efektifitas pengangkutan.
(2) Operasional pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperhatikan:
a. pola pengangkutan;
b. sarana pengangkutan; dan
c. rute pengangkutan.
Pasal 24
Pola pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf a terdiri atas:
a. pengangkutan sampah dengan sistem pengumpulan langsung dari
sumber menuju TPA dengan syarat sumber sampah lebih besar dari
300 liter/unit serta topografi daerah pelayanan yang tidak
memungkinkan penggunaan gerobak; dan
b. pengumpulan sampah melalui sistem pemindahan di TPS dan/atau
TPS 3R.

www.djpp.kemenkumham.go.id
15 2013, No.470

Pasal 25
(1) Sarana pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (2) huruf b dapat berupa:
a. dump truck/tipper truck;
b. armroll truck;
c. compactor truck;
d. street sweeper vehicle; dan
e. trailer.
(2) Pemilihan sarana pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mempertimbangkan:
a. umur teknis peralatan;
b. kondisi jalan daerah operasi;
c. jarak tempuh;
d. karakteristik sampah; dan
e. daya dukung fasilitas pemeliharaan.
Pasal 26
Rute pengangkutan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf c harus memperhatikan:
a. peraturan lalu lintas;
b. kondisi lalu lintas;
c. pekerja, ukuran dan tipe alat angkut;
d. timbulan sampah yang diangkut; dan
e. pola pengangkutan.
Pasal 27
(1) Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan oleh
pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pengangkutan sampah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. menyediakan alat angkut sampah termasuk untuk sampah
terpilah yang tidak mencemari lingkungan; dan
b. melakukan pengangkutan sampah dari TPS dan/atau TPS 3R ke
TPA atau TPST.
(3) Dalam pengangkutan sampah, pemerintah kabupaten/kota dapat
menyediakan stasiun peralihan antara.
(4) Dalam hal dua atau lebih kabupaten/kota melakukan pengolahan
sampah bersama dan memerlukan pengangkutan sampah lintas
kabupaten/kota, pemerintah kabupaten/kota dapat mengusulkan
kepada pemerintah provinsi untuk menyediakan stasiun peralihan
antara dan alat angkutnya.
(5) Alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah alat angkut
besar dengan spesifikasi tertentu.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.470 16

Bagian Keempat
Pengolahan Sampah
Pasal 28
(1) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d
meliputi kegiatan:
a. pemadatan;
b. pengomposan;
c. daur ulang materi; dan
d. mengubah sampah menjadi sumber energi.
(2) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan:
a. karakteristik sampah;
b. teknologi pengolahan yang ramah lingkungan;
c. keselamatan kerja; dan
d. kondisi sosial masyarakat.
(3) Teknologi pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. teknologi pengolahan secara fisik berupa pengurangan ukuran
sampah, pemadatan, pemisahan secara magnetis, masa-jenis,
dan optik;
b. teknologi pengolahan secara kimia berupa pembubuhan bahan
kimia atau bahan lain agar memudahkan proses pengolahan
selanjutnya;
c. teknologi pengolahan secara biologi berupa pengolahan secara
aerobik dan/atau secara anaerobik seperti proses pengomposan
dan/atau biogasifikasi;
d. teknologi pengolahan secara termal berupa insinerasi, pirolisis
dan/atau gasifikasi; dan
e. pengolahan sampah dapat pula dilakukan dengan menggunakan
teknologi lain sehingga dihasilkan bahan bakar yaitu Refused
Derifed Fuel (RDF);
(4) Penerapan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hendaknya
mengedepankan perolehan kembali bahan dan energi dari proses
tersebut.
(5) Penerapan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
setelah melalui tahap studi kelayakan dan dioperasikan secara
profesional.
Pasal 29
(1) Pengolahan sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dilakukan oleh:

www.djpp.kemenkumham.go.id
17 2013, No.470

a. setiap orang pada sumbernya;


b. pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial dan
fasilitas lainnya; dan
c. pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan
industri, kawasan khusus, fasilitas umum, dan fasilitas lainnya, wajib
menyediakan fasilitas pengolahan skala kawasan yang berupa TPS 3R.
(3) Pemerintah kabupaten/kota menyediakan fasilitas pengolahan
sampah di lokasi:
a. TPS 3R;
b. SPA;
c. TPA; dan/atau
d. TPST.
Pasal 30
(1) Persyaratan TPS 3R sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dan ayat (3) huruf a harus memenuhi persyaratan teknis seperti:
a. luas TPS 3R, lebih besar dari 200 m2;
b. tersedia sarana untuk mengelompokkan sampah menjadi paling
sedikit 5 (lima) jenis sampah;
c. TPS 3R dilengkapi dengan ruang pemilahan, pengomposan
sampah organik, dan/atau unit penghasil gas bio, gudang, zona
penyangga, dan tidak mengganggu estetika serta lalu lintas.
d. jenis pembangunan penampung sisa pengolahan sampah di TPS
3R bukan merupakan wadah permanen;
e. penempatan lokasi TPS 3R sedekat mungkin dengan daerah
pelayanan dalam radius tidak lebih dari 1 km;
f. luas lokasi dan kapasitas sesuai kebutuhan;
g. lokasinya mudah diakses;
h. tidak mencemari lingkungan; dan
i. memiliki jadwal pengumpulan dan pengangkutan.
(2) TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk skala
lingkungan hunian dilaksanakan dengan metode berbasis
masyarakat.
(3) Keberadaan TPS 3R sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat
diintegrasikan dengan sistem pengelolaan sampah berbasis
masyarakat seperti bank sampah.
Pasal 31
(1) SPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b terdiri
dari SPA skala kota dan SPA skala lingkungan hunian.

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.470 18

(2) SPA skala kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan teknis seperti:
a. luas SPA lebih besar dari 20.000 m2;
b. produksi timbulan sampah lebih besar dari 500 ton/hari
c. penempatan lokasi SPA dapat di dalam kota;
d. fasilitas SPA skala kota dilengkapi dengan ramp, sarana
pemadatan, sarana alat angkut khusus, dan penampungan lindi;
e. pengolahan lindi dapat dilakukan di SPA atau TPA; dan
f. lokasi penempatan SPA ke permukiman terdekat paling sedikit 1
km.
(3) SPA skala lingkungan hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi persyaratan teknis seperti:
a. luas SPA paling sedikit 600 m2;
b. produksi timbulan sampah 20 – 30 ton/hari;
c. lokasi penempatan di titik pusat area lingkungan hunian;
d. fasilitas SPA skala kota dilengkapi dengan ramp dan sarana
pemadatan dan penampungan lindi; dan
e. pengolahan lindi dapat dilakukan di SPA atau TPA.
Pasal 32
Persyaratan TPST sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf d
harus memenuhi persyaratan teknis seperti:
a. luas TPST, lebih besar dari 20.000 m2;
b. penempatan lokasi TPST dapat di dalam kota dan atau di TPA;
c. jarak TPST ke permukiman terdekat paling sedikit 500 m;
d. pengolahan sampah di TPST dapat menggunakan teknologi
sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3); dan
e. fasilitas TPST dilengkapi dengan ruang pemilah, instalasi pengolahan
sampah, pengendalian pencemaran lingkungan, penanganan residu,
dan fasilitas penunjang serta zona penyangga.
Bagian Kelima
Pemrosesan Akhir Sampah
Pasal 33
(1) Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf e dilakukan dengan menggunakan:
a. metode lahan urug terkendali;
b. metode lahan urug saniter; dan/atau
c. teknologi ramah lingkungan.
(2) Pemrosesan akhir sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di TPA, meliputi kegiatan:
a. penimbunan/pemadatan;
b. penutupan tanah;

www.djpp.kemenkumham.go.id
19 2013, No.470

c. pengolahan lindi; dan


d. penanganan gas.
Pasal 34
Pemrosesan akhir sampah di TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
harus memperhatikan :
a. Sampah yang boleh masuk ke TPA adalah sampah rumah tangga,
sampah sejenis sampah rumah tangga, dan residu;
b. Limbah yang dilarang diurug di TPA meliputi:
1). limbah cair yang berasal dari kegiatan rumah tangga;
2). limbah yang berkatagori bahan berbahaya dan beracun sesuai
peraturan perundang-undangan; dan
3). limbah medis dari pelayanan kesehatan.
c. Residu sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak berkategori bahan
berbahaya dan beracun atau mengandung limbah bahan berbahaya
dan beracun;
d. Dalam hal terdapat sampah yang berkategori bahan berbahaya dan
beracun atau mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun di
TPA harus disimpan di tempat penyimpanan sementara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan mengenai pengelolaan limbah
bahan berbahaya dan beracun; dan
e. Dilarang melakukan kegiatan peternakan di TPA.
Pasal 35
(1) Persyaratan TPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
huruf c meliputi penyediaan dan pengoperasian, harus
memperhatikan pemilihan lokasi, kondisi fisik, kemudahan operasi,
aspek lingkungan, dan sosial.
(2) Pemilihan lokasi TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memenuhi kriteria aspek:
a. geologi, yaitu tidak berada di daerah sesar atau patahan yang
masih aktif, tidak berada di zona bahaya geologi misalnya daerah
gunung berapi, tidak berada di daerah karst, tidak berada di
daerah berlahan gambut, dan dianjurkan berada di daerah
lapisan tanah kedap air atau lempung;
b. hidrogeologi, antara lain berupa kondisi muka air tanah yang
tidak kurang dari tiga meter, kondisi kelulusan tanah tidak lebih
besar dari 10-6 cm/detik, dan jarak terhadap sumber air minum
lebih besar dari 100 m (seratus meter) di hilir aliran.
c. kemiringan zona, yaitu berada pada kemiringan kurang dari 20%
(dua puluh perseratus).
d. jarak dari lapangan terbang, yaitu berjarak lebih dari 3000 m (tiga
ribu meter) untuk lapangan terbang yang didarati pesawat turbo

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.470 20

jet dan berjarak lebih dari 1500 m (seribu lima ratus meter) untuk
lapangan terbang yang didarati pesawat jenis lain;
e. jarak dari permukiman, yaitu lebih dari 1 km (satu kilometer)
dengan mempertimbangkan pencemaran lindi, kebauan,
penyebaran vektor penyakit, dan aspek sosial;
f. tidak berada di kawasan lindung/cagar alam; dan/atau
g. bukan merupakan daerah banjir periode ulang 25 (dua puluh
lima) tahun.
(3) Dalam hal penempatan TPA pada lokasi lahan gambut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak dapat dihindari TPA direkayasa
secara teknologi sehingga berada di atas lapisan kedap air dengan
menggunakan lapisan kedap alamiah dan/atau lapisan kedap
artifisial seperti geosintetis dan/atau bahan lain yang memenuhi
persyaratan hidrogeologi serta pondasi dan lantai kerja TPA diperkuat
dengan konstruksi perbaikan tanah bawah.
(4) Dalam hal penempatan TPA pada lokasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b tidak dapat dihindari TPA tersebut harus direkayasa
secara teknologi sehingga berada di atas lapisan kedap air dengan
menggunakan lapisan kedap alamiah dan/atau lapisan kedap
artifisial seperti geosintetis dan/atau bahan lain yang memenuhi
persyaratan kelulusan hidrogeologi tidak lebih besar dari 10-6
cm/detik.
(5) Dalam hal lokasi TPA lama yang sudah beroperasi tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e TPA
tersebut harus dioperasikan dengan metode lahan urug terkendali
atau lahan urug saniter meliputi:
a. melakukan penutupan timbunan sampah dengan tanah penutup
secara periodik;
b. mengolah lindi yang dihasilkan sehingga efluen yang keluar
sesuai baku mutu;
c. mengelola gas bio yang dihasilkan sesuai persyaratan teknis yang
berlaku; dan
d. membangun area tanaman penyangga di sekeliling lokasi TPA
tersebut.
Pasal 36
(1) Penentuan luas lahan dan kapasitas TPA harus mempertimbangkan
timbulan sampah, tingkat pelayanan, dan kegiatan yang akan
dilakukan di dalam TPA.
(2) Umur teknis TPA paling sedikit 10 (sepuluh) tahun.
Pasal 37
(1) Prasarana dan sarana TPA meliputi:
a. fasilitas dasar;

www.djpp.kemenkumham.go.id
21 2013, No.470

b. fasilitas perlindungan lingkungan;


c. fasilitas operasional; dan
d. fasilitas penunjang.
(2) Fasilitas dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. jalan masuk;
b. jalan operasional;
c. listrik atau genset;
d. drainase;
e. air bersih;
f. pagar; dan
g. kantor.
(3) Fasilitas perlindungan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. lapisan kedap air;
b. saluran pengumpul lindi;
c. instalasi pengolahan lindi;
d. zona penyangga;
e. sumur uji atau pantau; dan
f. penanganan gas.
(4) Fasilitas operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. alat berat;
b. truk pengangkut tanah; dan
c. tanah.
(5) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. bengkel;
b. garasi;
c. tempat pencucian alat angkut dan alat berat;
d. alat pertolongan pertama pada kecelakaan;
e. jembatan timbang;
f. laboratorium; dan
g. tempat parkir.
(6) TPA dapat dilengkapi dengan fasilitas pendauran ulang,
pengomposan, dan atau gas bio.
Pasal 38
(1) Dalam melakukan pemrosesan akhir sampah pemerintah
kabupaten/kota wajib menyediakan dan mengoperasikan TPA.
(2) Dalam hal kondisi khusus atau terdapat kerjasama penanganan
sampah lintas kabupaten/kota pemerintah provinsi dapat
menyediakan dan mengoperasikan TPA.
(3) Dalam menyediakan TPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pemerintah kabupaten/kota:

www.djpp.kemenkumham.go.id
2013, No.470 22

a. melakukan pemilihan lokasi sesuai dengan rencana tata ruang


wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota;
b. mengacu pada SNI tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA
Sampah;
c. menyusun analisis biaya dan teknologi; dan
d. menyusun rancangan teknis.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis penyediaan,
pengoperasian, penutupan atau rehabilitasi TPA tercantum dalam
Lampiran III yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB IV
PENYEDIAAN FASILITAS PENGOLAHAN
DAN PEMROSESAN AKHIR SAMPAH
Pasal 40
Penyediaan fasilitas pengolahan dan pemrosesan akhir sampah melalui
tahapan :
a. perencanaan teknik;
b. pelaksanaan pembangunan;
c. pengoperasian dan pemeliharaan; dan
d. pemantauan dan evaluasi.
Bagian Kesatu
Perencanaan Teknik
Pasal 41
(1) Perencanaan teknik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a
disusun berdasarkan rencana induk, hasil studi kelayakan atau
PTMP, dan persyaratan teknis yang ditetapkan.
(2) Perencanaan teknik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. gambar teknis;
b. spesifikasi teknis;
c. memo disain;
d. volume pekerjaan;
e. standar operasi dan prosedur;
f. rencana anggaran biaya; dan
g. jadwal pelaksanaan.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Pembangunan
Pasal 42
(1) Kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf
b dilaksanakan berdasarkan dokumen perencanaan teknik.

www.djpp.kemenkumham.go.id
33 2013, No.470

melakukan koordinasi antar lembaga litbang lainnya, perguruan


tinggi, badan usaha dan/atau LSM yang bergerak di bidang
penanganan sampah.
BAB VIII
PERAN MASYARAKAT DAN SWASTA
Bagian Kesatu
Peran Masyarakat
Pasal 75
(1) Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan,
penyelenggaraan, dan pengawasan penyelenggaraan PSP yang
dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. pemberian laporan, usul, pertimbangan, dan/atau saran kepada
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
b. pemberian saran dan pendapat dalam perumusan kebijakan dan
strategi;
c. pelaksanaan kegiatan penanganan sampah yang dilakukan
secara mandiri dan/atau bermitra dengan pemerintah
kabupaten/kota; dan/atau
d. pemberian pendidikan dan pelatihan, kampanye, dan
pendampingan oleh kelompok masyarakat kepada anggota
masyarakat dalam penanganan sampah untuk mengubah
perilaku anggota masyarakat.
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b disampaikan melalui forum yang keanggotaannya terdiri atas
pihak-pihak terkait.
Bagian Kedua
Peran Swasta
Pasal 76
(1) Pemerintah kabupaten/kota secara sendiri-sendiri atau bersama-
sama dapat bermitra dengan swasta/badan usaha dalam
penyelenggaraan PSP.
(2) Kemitraan dapat dilakukan pada tahap pengangkutan, pengolahan,
dan pemrosesan akhir sampah pada sebagian atau seluruh wilayah
pelayanan.
(3) Tata cara pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

www.djpp.kemenkumham.go.id
SATINAN

PRESIDEN
REPUBLIK INOONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 97 TAHUN 2017

TENTANG

KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN SAMPAH

RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan


Pemerintah Nomor 81 Tahun 2Ol2 tenteng Pengeiolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang
Kebijalan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;

Mengingat 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945; dan

2. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 terrtang


Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga (kmbaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 188, Tambahan lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5347);

MEMUTUSKAN:

MenetapKan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG KEBIJAKAN DAN


STRATEGI NASIONAL PENGEI'I.AAN SAMPAH RUMAH
TANGGA DAN SAMPAH SE.]ENIS SAMPAH RUMAH TANGGA.

BAB I
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:


1. Sampah Rumah Tangga adalah sampah yang berasal dari
kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga yang tidak
termasuk tinja dan sampah spesifik.
2. Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga adalah Sampah
Rurrah Tangga yang berasal dari kawasan komersial,
kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial,
fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.
3. Sumber Sampah adalah asal timbutran sampah.
4. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adatah kepala daerah sebaga.i unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
6. Keb{akan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampatr Rumah
Tangga yang selanjutnya disebut Jakstranas adalah arah
kebljakan dan strategi dalam pengurangan dan
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga tingkat nasional yang Grpadu dan
berkelanjutan.
7. Kebijakan dan Strategi Daerah Pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga yang selanjutnya disebut Jakstrada adalah arah
kebijakan dan strategi dalam pengurangan dan
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga tingkat daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota yang terpadu dan berkelanjutan.
8. Menteri adalah menGri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelol,aan
lingkungan hidup.

BABII ,..
q,D
PRESIDEN
REPUBLIK IN DON ESIA
-3-

BAB II

ARAH JAKSTRANAS

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2

(1) Jakstranas memuat:


a. arah kebijakan pengurangan dan penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga; dan
b. strategi, program, dan target pengurangan dan
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga.
(21 Jakstranas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam periode waktu tahun 2017 sampai
dengan tahun 2025.

Bagtaq Kedua
Arah Kebijakan Pengurangan dan Penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga

Pasal 3

(1) Arah kebijakan pengurangan dan penanganan Sampah


Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (11
huruf a meliputi peningkatan kinerja di bidang:
a. pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan
b. penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga.
(21 Pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana dimaksud
pada ayat (l) huruf a dilakukan melalui:
a. pembatasan iimbulan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
b. pendauran ulang Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga; dan/atau
c. pemanfaatan kembali Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
(3) Penalganan
PRESIDEN
REPUBLIK IN DON ES IA
-4-

(3) Penanganan Sampah Rumah Tansga dan Sampah Sejenis


Sampah Rumah Tangga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan melalui:
a. pemilahan;
b. pengumpulan;
c. pengangkutan;
d. pengolahan; dan
e. pemrosesan akhir.

Bagian Ketiga
Strategi, Target, dan Program Pengurangan dan
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis
Sampah Rumah Tangga

Pasal 4

(l) Strategi pengurangan Sampah Rumah Tangga dan


Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (l) huruf b meliputi:
a. penyusunan nortna, standar, prosedur, dan kriteria
dalam pengurangan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
b. penguatan koordinasi dan keq'a sa la antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
c. penguatan komitrnen lembaga eksekutif dan legislatif
di pusat dan daerah dalam penyediaan anggaran
pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga;
d. peningkatan kapasitas kepemimpinan, kelembagaan,
dan sumber daya manusia dalam upaya pengurangan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga;
e. pembentukan sistem informasi;
f. penguatan keterlibatan masyarakat melalui
komunikasi, informasi, dan edukasi;
g. penerapan dan pengembangan sistem insentif dan
disinsentif dalam pengurangan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
dan
h. penguatan komitmen dunia usaha melalui penerapan
kewajiban produsen dalam pengurangan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga.

(2) Strategi
PRESIDEN
. REPUBLIK INDONESIA
-5-

(21 Strategi penanganan Sampah Rumah Tangga dan


Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayatlll huruf b meliputi:
a. penyusunan norna, standar, prosedur, dan kriteria;
b. penguatan koordinasi dan kerja sama antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
c. penguatan komitmen lembaga eksekutif dan legislatif
di pusat dan daerah dalam penyediaan anggaran
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga;
d. peningkatan kapasitas kepemimpinan, kelembagaan,
dan sumber daya manusia dalam penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga;
e. pembentukan sistem informasi;
f. penguatan keterlibatan masyarakat melalui
komunikasi, informasi, dan edukasi;
c. penerapan dan pengembangan skema investasi,
operasional, dan pemeliharaan;
h. penguatan penegakan hukum;
i. penguatan keterlibatan dunia usaha melalui
kemitraan dengan Pemerintah Pusat;
j. penerapan teknologi penanganan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
yang ramah lingkungan dan tepat guna; dan
k. penerapan dan pengembangan sistem insentif dan
disinsentif dalam penanganan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Pasal 5

(1) Targetpengurangan dan penanganan Sampah Rumah


Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b
metputi:
a. pengurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga sebesar 30olo (tiga
puluh persen) dari angka timbulan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebelum adanya kebijakan da-n strategi nasional
F,engurangan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangsa di tahun 2O25; darr

b. penanganan .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-

b. penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah


Sejenis Sampah Rumah Tangga sebesar 70% (tujuh
puluh persen) dari angka timbulan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebelum adanya kebiiakan dan strategi nasional
penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga di tahun 2025.
(2) Target pengurangan dan penanganan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
sebagaig14114 dimaksud pada ayat (l) tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Presiden ini.

Pasal 6

Jakstranas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai


dengan Pasal 5 dilaksanakan melalui program sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Presiden ini'

BAB III

PENYELENGGARAAN JAKSTRANAS

Bagran Kesatu
Umum

Pasal 7

(1) Jakstranas sejalan dengan rencana pembangunan jangka


panjang nasional dan rencana pembangunan jangka
menengah nasional.
{2) Jakstranas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
pedoman bagi:
a. menteri dan/ atau kepala lembaga pemerintah
nonkementerian daiam menetapkan kebiiakan
sektoral yang terkait dengan pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga;
b. gubirnur dalam menyusun dan menetapkan
Jakstrada provinsi ; dan

c. bupati . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7 -

c. bupati/wali kota dalam menyusun dan menetapkan


Jakstrada kabupaten/ kota.
(3) Jakstrada provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b ditetapkan dengan peraturan gubemur.
(4) Penyusunan Jakstrada provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus dilakukan dengan pendampingan
oleh Menteri dan/atau menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Jakstrada kabupaten / kota sebagaimana dimaksud pada
ayat {2]rhuruf c ditetapkan dengan peraturan bupati/wali
kota.
(6) Penyusunan Jakstrada kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) selain berpedoman kepada
Jakstranas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
juga berpedoman kepada Jakstrada provinsi.
(71 Penyusunan Jakstrada kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) harus dilakukan dengan
pendampingan oleh Menteri, menteri/kepala lembaga
pemerintah nonkementerian, dan/atau gubernur sesuai
dengan kewenangannya.

Bagian Kedua
Jakstranas

Pasal 8

Dalam penyelenggaraan Jakstranas, menteri dan/atau kepala


lembag4 pemerintah nonkementerian sesuai dengan
kewenangannya bertugas untuk:
a. meliaksanakan Jakstranas;
b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
Jakstranas;
c. menyampaikan hasil pelaksanaan Jakstranas kePada
Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam I (satu) tahun;
dan
d. memberikan pendampingan kepada gubernur dalam
penyusunan Jakstrada provinsi dan kepada bupati/
wali kota dalam penyusunan Jakstrada kabupaten/ kota.

Pasal 9
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-

Pasaf 9

Dalam penyelenggaraan Jakstranas, Menteri bertugas untuk:


a. melaksanakan Jakstranas;
b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan
Jakstranas;
c. mengoordinasikan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
Jakstranas oleh menteri dan/atau kepala lembaga
pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf b;
d. menyusun dan melaporkan pelaksanaan Jakstranas yang
terintegrasi kepada Presiden paling sedikit I (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun; dan
e. memberikan pendampingan kepada gubernur dalam
penyusunan Jakstrada provinsi dan kepada bupati/
wali kota dalam penyusunan Jakstrada kabupaten/kota.

Pasal 10

(l) Pemantauan selagaimana dimaksud dalam Pasal 8


huruf b dan Pasal t huruf b dan huruf c dilakukan untuk
mendapatJ<an informasi mengenai capa.ian pengurangan
dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga secara nasional.
(21 Capaian pengurangEm Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaim6l2
dirnaksud pada ayat (f) diukur dengan indikator:
a. besaran penurunan jumlah timbulan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
per kapita;
b. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terdaur ulang di Sumber SamPah; dan
c. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
termanfaatkan kembali di Sumber Sampah.
(3) Capaian penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (l) diukur dengan indikator:
a. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terpilah di Sumber SamPah;
b. besaran . . .
PRESIOEN
REPUBLIK INDONESIA
-9 -

b. besaran penurunnn jumlah Sampah Rumah Tangga


dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
diangkut ke tempat pemrosesan akhir;
c. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangqa
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
diangkut ke pusat pengolahan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
untuk menjadi bahan baku dan/atau sumber energi;
d. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terclah menjadi bahaa baku;
e. besaran peningkatan jumlah Sa-p& Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
termanfaatkan menjadi sumber energi; dan
f, besaran penurunan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terproses di tempat pemrosesan akhir.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (21
dan ayat (3) disusun dalam bentuk laporan Jakstranas.
(s) Terhadap laporan Jakstranas sebagaimana dimaksud
pada ayat (a) dilakukan evaluasi yang dikoordinasikan
oleh Menteri melalui:
a. pembandingan antara capaian dengan target
perencanaan; dan
b. hambatan pelaksanaan.
(6) Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar perbaikan
Jakstranas.

Bagian Ketiga
Jakstrada Provinsi

Pasal 11

(1) Dalam penyelenggaraan Jakstrada provinsi, Subernur


bertugas:
a. menyusun, melaksanakan, dan mengoordinasikan
penyelenggaraan Jal<strada provinsi;
b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi
penyelenggaraan Jakstrada provinsi;
c. mengoordinasikan pemantauan dan evaluasi
Jakstrada provinsi;
d.menyusun...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_ l0_

d. menyusun dan melaporkan pelaksanaan Jakstrada


provinsi kepada Menteri paling sedikit I (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun dan ditembuskan kepada
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri dan menteri yang
menyelenggarakan urusar pemerintahan di bidang
perencanaan pembangunan nasional; dan
e. memberikan pendampingan kepada bupati/wali kota
dalam menyusun Jakstrada kabupaten/kota.
(21 Gubernur bertanggung jawab dalam pengadaan tanah,
sarana, dan prasarana pengelolaan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga di
tingkat provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 12

(1) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


ayat (1) huruf b dan huruf c dilal<ukan untuk
mendapatkan informasi mengenai capaian pengurangan
dan penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah
Sejenis Sampah Rumah Tangga di daerah provinsi.
(2t Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri.
(3) Capaian pengurangan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diukur dengan indikator:
a. besaran penurunan jumtah timbulan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
per kapita;
b. besaran peningkatan jumfah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terdaur ulang di Sumber Sampah; dan
c. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
termanfaatlan kembali di Sumber Sampah'
(4) Capaian penanganan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diukur dengan indikator:

a.besaran...
PRES IDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11-

a. besamn peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga


dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terpilah di Sumber Sampah;
b. besaran penurunan jumlah Sampah Rumah Tanega
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
diangkut ke tempat pemrosesan akJ:ir;
c. besaran peningkatan jumtah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
diangkut ke pusat pengolahaa Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
untuk mer{adi bahan baku dan/atau sumber energi;
d. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terolah menjadi bahan baku;
e. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
termanfaatkan menjadi sumber energi; dan
f. besaran penurunan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terproses di tempat pemrosesan akhir.
(s) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) disusun dalam bentuk laporan Jakstrada
provinsi.
(6) Terhadap Laporan Jakstrada provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan evaluasi oleh gubemur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1l ayat (1) huruf b
dan huruf c.
(71 Evaluasi s6lagaimana dimaksud pada ayat (6)
dikoordinasikan oleh Menteri mela]ui:
a. pembandingan antara capaian dengan target
perencanaan; dan
b. identilikasi dan penyelesaian hambatan pelaksanaan.
(8) Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar perbaikan
Jakstrada provinsi.

Bagran Keempat
Jakstrada Kabupaten/ Kota
Pasal 13
(1) Dalam penyelenggaraan Jakstrada kabupaten kota,
bupati/wali kota bertuga.s:

a. menyusun . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
_72_

a. menyusun dan melaksanakan Jakstrada


kabupa.ten/kota;
b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
Jakstrada kabupaten/ kota; dan
c. menyampaikan hasil pelaksanaan Jakstrada
kabupaten/kota kepada gubernur paling sedikit 1

(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.


l2l Bupati/wali kota bertanggung jawab dalam pengadaan
tanah, sarana, dan prasarana pengelolaan Sampah
Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga di daerah kabupaten/kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14

(U Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13


ayat (1) huruf b dilakukan untuk mendapatkan informasi
mengenai capaian penguftmgan dan penanganan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah
Rumah Tangga di daerah kabupaten/kota.
(2t Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh gubernur.
(3) Capaian pengurangan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diukur dengan indikator:
a. besaran penurunan jumlah timbulan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
per kapita;
b. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga terdaur
ulang di Sumber Sampah; dan
c. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
termanfaatkan kembali di Sumber Sampah-

(a) Capaian . . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-13-

(4) Capaian penanganan Sampah Rumah Tangga dan


Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diukur dengan indikator:
a. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tanega
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terpilah di Sumber Sampah;
b. besaran penurunan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
diangkut ke tempat pemrosesan akhir;
c. besaxan pening[atan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
diangkut ke pusat pengolahan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
untuk menjadi bahan baku dan/atau sumber energi;
d. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terolah menjadi bahan baku;
e. besaran peningkatan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
termanfaatkan menjadi sumber energi; dan
f. besaran penurunan jumlah Sampah Rumah Tangga
dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang
terproses di tempat pemrosesan alhir.
(s) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) disusun dalam bentuk laporan Jakstrada
kabupaten/kota.
(6) Terhadap laporan Jakstrada kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan evaluasi
oleh bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam
(l) hurufb.
Pasal 13 ayat
(71 Evaluasi sebagaimana dirnaksud pada ayat (6)
dikoordinasikan oleh gubernur melalui:
a. pembandingan antara capaian dengan target
perencanaan; dan
b. identifrkasi dan penyelesaian hambatan pelaksanaan.
(8) Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar perbaikan
Jakstrada kabupaten / kota.

BAB IV. . .
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-14-

BAB IV

PENDANAAN

Pasal 15

Pendanaan penyelenggaraan Jakstranas, Jakstrada provinsi,


dan Jakstrada kabupaten/kota dapat berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, dan sumber dana lainnya yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16

Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini:


a. gubernur wajib menyusun dan menetapkan Jakstrada
provinsi paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan
Presiden ini berlaku; dan
b. bupati/wali kota wajib menyusun dan menetapkan
Jakstrada kabupaten/kota pding lama I (satu) tahun
sejak Peraturan Presiden ini berlaku.

Pasal 17

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan.

Agar.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15-

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan Peraturan Pnesiden ini dengan penempatannya
dalam kmbaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 2Ol7
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Ol*ober 2Ol7
MENTERI HUKUM DAN HAKASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 223

Salinan sesuai dengan aslinya


KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Deputi Bidang Perekonomian,
ukum dan Perundang-undangan,

Djamarr

Anda mungkin juga menyukai