Jejak Berbahaya
Jejak Berbahaya
Pada siang hari, sekitar pukul 14:00 WIB, Rachel dan Domi datang ke rumahku. Mereka
mengajakku ke salah satu asrama yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Dengan tujuan
untuk menemui saudara Rachel sekaligus jalan-jalan.
Rachel mengerutkan keningnya dan diam sejenak, lalu ia mencoba membujukku agar
ikut dengan mereka ke tempat itu.
Karena tak ingin menegcewakan mereka yang sudah capek-capek datang ke rumahku,
akhirnya aku ikut bersama mereka. Untungnya, orang tua dan saudaraku sedang tidak berada di
rumah, sehingga aku dapat keluar bersama mereka.
Kami bertiga pun pergi. Di perjalanan kami bertiga bercanda ria seperti tidak merasakan
akan terjadi sesuatu. Panas teriknya matahari disertai jalan berbukit kami lewati hanya untuk
menemani Rachel menemui saudaranya. Belum sampai di tempat tujuan, kami menghentikan
perjalanan sejenak ketika melihat sebuah patung besar yang terpampang. Patung tersebut
dikelilingi rantai yang diikat. Mungkin sebagai penanda agar orang tidak melewati rantai
tersebut untuk menyentuh patung. Tetapi, kami memilih menerobos. Kami masuk melewati
rantai tersebut.
Tiba-tiba, terdengar suara orang seperti sedang marah dengan nada tinggi dan berlari ke
arah kami.
Kami bertiga lari terbirit-birit ke arah belakang gereja meninggalkan area patung itu.
Setelah ngos-ngosan berlari, aku, Rachel, dan Domi langsung duduk untuk menetralkan napas.
“Dom, Hel, kita pulang sajalah,” ajakku.
Tak lama kemudian, sebuah bangku yang terletak tak jauh dari tempat kami duduk
terjatuh hingga membuat kami terkejut. Padahal tampak jelas di bangju itu tidak ada siapa-
siapa selain kami bertiga. Bangku tersebut juga masih tampak baru.
“Ngapain takut, mungkin ada kucing yang lewat, jadi bangkunya jatuh,” ucap Domi
menenagkan.
Tak merasa ketakutan sedikit pun, tiba-tiba terdengar suara seseorang seperti sedang
mengigau, dan akhirnya barulah kedua temanku ini merasa ketakutan. Aku dan mereka berdua
hanya terdiam dan saling menatap. Kami mencoba agar terlihat takut, tetapi suara itu semakin
nyaring terdengar.
Dengan jantung berdebar dan rasa ketakutan yang tak karuan, akhirnya untuk kedua
kalinya kami berlari seperti orang yang dikejar-kejar setan. Rachel berada paling depan,
sedangkan aku berada di belakangnya, dan Domi berda pada barisan terakhir. Akhirnya, kami
tiba di asrama. Rasa takut dan lelah yang kami rasakan setelah berlari perlahan hilang. Di
asrama itu, aku, dan kedua temanku melihat seorang suster yang berjalan ke arah kami.
Aku dan Domi hanya memanang suster sembari senyum. Kemudian suster itu
memberikan sebuah paper bag kepada Rachel yang berisi beberap jenis jajan-jananan.
“Nah, bagi dengan teman-temanmu juga, ya!” kata suster sambil memberikan paper
bag tersebut kepada Rachel.
“Oh, jadi gitu. Kita capek datang kesini hanya mengambil jajan. Astaga!” keluhku
sembari menatap sinis Rachel.
“Hahaha, kalian mau langsung pulang?” tanya suster heran.
“Ya sudah, kalian jangan ribut ya, jangan bikin rusuh juga. Suster mau masuk dulu ke
dalam,” ucap suster lalu ia berlalu meninggalkan kami.
Untungnya tempatnya asri dan sejuk, aku jadi bisa lama-lama bersantai disana. Belum
sampai lima menit aku duduk, Rachel mengajakku bermain.
“Eh, feb, ayo kesini!” perintah Rachel dengan nada sedikit besar.
Akhirnya kami bermain-main di dekat tiang pull up. Seketika ku alihkan pandanganku ke
salah satu tempat. Tampak ada tiang pull up yang lumayan tinggi. Aku langsung memberitahu
Rachel dan Domi bahwa terdapat tiang pull up disini.
“Eh, ternyata ada tiang pull up juga disini, ya!” seruku sembari menunjuk ke arah tiang
tersebut.
“Ayo ke sana, kita coba pull up!” ajak Domi dengan semangat.
“Jangan, takutnya kita jatuh. Ingat kata suster tadi, jangan bikin rusuh!” ucapku
mencoba melarang.
Dengan rasa terpaksa, aku ikutan dengan mereka. Setelah ku rasa membosankan, aku
menjauhi mereka dan segera duduk. Disusul doleh Rachel yang kelihatan lelah setelah bermain
pull up. Di sisi lain Domi masih asyik bergelantungan di tiang pull up tersebut. Ku coba
menegurnya agar berhenti.
“Dom, sudahlah woi. Apa kau gak capek bergelantungan? Sumpah, persis kek monyet!”
ucapku menegur sembari mengejeknya.
Tiba-tiba. Terjadi gempa. Semua keluar dari asrama, termasuk suster yang kemi temui
tadi. Aku, Rachel pun langsung beranjak dari tempat duduk. Sungguh kejadian yang
mengejutkan juga menegangkan. Terdengan suara orang nangis kesakitan. Ternyata sumber
suara itu dai Domi, ia jatuh dari tiang pull up. Aku dan bebrapa orang di tempat itu langsung
menghampirinya. Seorang pastor dengan sigap memeriksa keadaannya.
Aku yang mendengar langsung syok. Aku takut jika orang tuanya akan marah dan tangan
Domi tak bisa disembuhkan seperti semula. Pastor itu mencoba mengurut tangannya, namun
tak berhasil. Justru membuat Domi meringis kesakitan.
“Rumah kalian dimana? Biar saya antar sekarang!” ucap pastor dengan serius.
Aku langsung memberitahukan alamat rumah kami kepadanya, dan pastor tersebut
langsung cepat mengambil kunci motornya. Selanjutnya, ia membonceng aku dan Domi.
Anehnya Rachel malah lari meninggalkan kami tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Sesampainya di rumah, rasa takutku semakin menjadi-jadi ketika melihat kedua orang
tuaku sudah berada di rumah. Pastor langsung memasuki rumah kami dan menjelaskan
kejadiannya. Sedangkan Domi pulang ke rumah sambil menangis. Orang tuaku naik pitam, dan
langsung memukulku sembari memarahiku.
Saat hari itu, aku hanya mengurung diri di kamar dan tak bermain lagi dengan Rachel
dan Domi. Terlintas dibenakku untuk meminta maaf kepada Domi sekaligus melihat kondisinya,
dan ingin juga aku menghampiri Rachel dan memarahinya karena saat Domi terjatuh, ia malah
lari tanpa rasa iba dan rasa bersalah sedikit pun. Tapi ku urungkan niat itu. Aku sudah merasa
malas keluar dari kamar. Karena pasti orang tuaku akan memarahiku lagi.
“Febby, maaf, ya! Ini semua salahku. Aku yang mengajak kalian kesana,” ucap Rachel
dengan wajah sedih.
Akhirnya, kata maaf yang ku tunggu-tunggu ternyata diucapkannya juga. Aku sedikit
lega. Aku hanya diam tak berkata sedikit pun. Setelah itu, Domi datang ke rumah ditemani
abangnya. Saat melihatnya, aku berharap agar Domi atau abangnya tidak memarahiku.
“Febby!” sapa Domi dan abangnya serentak.
“Sudahlah, aku yang salah. Kan aku yang gak mendengar teguranmu, makanya aku yang
jatuh,” jawabnya sambil tersenyum.
Lalu, aku dan kedua temanku saling maaf-maafan, berbincang-bincang dan bercanda
agar kejadian tadi tidak teringat lagi. Domi juga meminta maaf kepada orang tuaku. Ia
menjelaskan bahwa petaka yang dialaminya bukan salahku melainkan kelalaiannya sendiri.
Sejak saat itu pula, kami berjanji agar tidak akan pernah kesana lagi untuk seterusnya.