Anda di halaman 1dari 5

MENCOBA PULL UP BERUJUNG PETAKA

Pada siang hari, sekitar pukul 14:00 WIB, Rachel dan Domi datang ke rumahku. Mereka
mengajakku ke salah satu asrama yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Dengan tujuan
untuk menemui saudara Rachel sekaligus jalan-jalan.

“Febby!” sapa Rachel girang.

“Iya, ada apa kalian kesini?” ucapku heran.

“Ke asrama, yuk!” ucap Rachel.

“Hah?Gila kalian, enggaklah. Aku gak mau ikut!” tegasku.

Rachel mengerutkan keningnya dan diam sejenak, lalu ia mencoba membujukku agar
ikut dengan mereka ke tempat itu.

“Ayolah, temani kami menemui saudara disana,” bujuk Rachel.

“Iya, dari pada kau di rumah terus,” sambung Domi.

Karena tak ingin menegcewakan mereka yang sudah capek-capek datang ke rumahku,
akhirnya aku ikut bersama mereka. Untungnya, orang tua dan saudaraku sedang tidak berada di
rumah, sehingga aku dapat keluar bersama mereka.

Kami bertiga pun pergi. Di perjalanan kami bertiga bercanda ria seperti tidak merasakan
akan terjadi sesuatu. Panas teriknya matahari disertai jalan berbukit kami lewati hanya untuk
menemani Rachel menemui saudaranya. Belum sampai di tempat tujuan, kami menghentikan
perjalanan sejenak ketika melihat sebuah patung besar yang terpampang. Patung tersebut
dikelilingi rantai yang diikat. Mungkin sebagai penanda agar orang tidak melewati rantai
tersebut untuk menyentuh patung. Tetapi, kami memilih menerobos. Kami masuk melewati
rantai tersebut.

Tiba-tiba, terdengar suara orang seperti sedang marah dengan nada tinggi dan berlari ke
arah kami.

“Woi, kalian. Ngapain disitu? Pergi!” perintahnya sembari menunjuk kami.

“Lari!” teriak kami serentak.

Kami bertiga lari terbirit-birit ke arah belakang gereja meninggalkan area patung itu.
Setelah ngos-ngosan berlari, aku, Rachel, dan Domi langsung duduk untuk menetralkan napas.
“Dom, Hel, kita pulang sajalah,” ajakku.

“Gak maulah. Aku mau temui saudara, loh!” rengek Rachel.

Tak lama kemudian, sebuah bangku yang terletak tak jauh dari tempat kami duduk
terjatuh hingga membuat kami terkejut. Padahal tampak jelas di bangju itu tidak ada siapa-
siapa selain kami bertiga. Bangku tersebut juga masih tampak baru.

“Aduh! Udahlah, ayo pulang!” kataku sambil ketakutan.

“Ngapain takut, mungkin ada kucing yang lewat, jadi bangkunya jatuh,” ucap Domi
menenagkan.

“Betul!” jawab Rachel sambil mengacungkan jempolnya.

Tak merasa ketakutan sedikit pun, tiba-tiba terdengar suara seseorang seperti sedang
mengigau, dan akhirnya barulah kedua temanku ini merasa ketakutan. Aku dan mereka berdua
hanya terdiam dan saling menatap. Kami mencoba agar terlihat takut, tetapi suara itu semakin
nyaring terdengar.

“Ayo, mending kita pulang!” bisikku.

“Lari ke asrama ajalah, please,” pinta Rachel.

“Satu, dua, tiga, lari!” ucap Domi sembari berteriak.

Dengan jantung berdebar dan rasa ketakutan yang tak karuan, akhirnya untuk kedua
kalinya kami berlari seperti orang yang dikejar-kejar setan. Rachel berada paling depan,
sedangkan aku berada di belakangnya, dan Domi berda pada barisan terakhir. Akhirnya, kami
tiba di asrama. Rasa takut dan lelah yang kami rasakan setelah berlari perlahan hilang. Di
asrama itu, aku, dan kedua temanku melihat seorang suster yang berjalan ke arah kami.

“Hai!” sapa suster dengan senyum.

“Nah, ini dia saudara kami,” ucap Rachel.

Aku dan Domi hanya memanang suster sembari senyum. Kemudian suster itu
memberikan sebuah paper bag kepada Rachel yang berisi beberap jenis jajan-jananan.

“Nah, bagi dengan teman-temanmu juga, ya!” kata suster sambil memberikan paper
bag tersebut kepada Rachel.

“Oh, jadi gitu. Kita capek datang kesini hanya mengambil jajan. Astaga!” keluhku
sembari menatap sinis Rachel.
“Hahaha, kalian mau langsung pulang?” tanya suster heran.

“Gaklah, istirahat dulu,” jawab Domi.

“Ya sudah, kalian jangan ribut ya, jangan bikin rusuh juga. Suster mau masuk dulu ke
dalam,” ucap suster lalu ia berlalu meninggalkan kami.

Untungnya tempatnya asri dan sejuk, aku jadi bisa lama-lama bersantai disana. Belum
sampai lima menit aku duduk, Rachel mengajakku bermain.

“Eh, feb, ayo kesini!” perintah Rachel dengan nada sedikit besar.

“Iya, iya!” jawabku saambil menggerutu dalam hati.

Akhirnya kami bermain-main di dekat tiang pull up. Seketika ku alihkan pandanganku ke
salah satu tempat. Tampak ada tiang pull up yang lumayan tinggi. Aku langsung memberitahu
Rachel dan Domi bahwa terdapat tiang pull up disini.

“Eh, ternyata ada tiang pull up juga disini, ya!” seruku sembari menunjuk ke arah tiang
tersebut.

“Ayo ke sana, kita coba pull up!” ajak Domi dengan semangat.

“Jangan, takutnya kita jatuh. Ingat kata suster tadi, jangan bikin rusuh!” ucapku
mencoba melarang.

Mereka tak menghiraukan perkataanku. Kemudian dengan bergembira mereka berdua


lari ke arah tiang pull up tersebut dan langsung naik untuk bergelantungan di tiang itu. Aku
hanya melihat mereka dan tidak ikutan. Tetapi, lagi-lagi Rachel mengajakku. Ku tolak pun
percuma, karena ia akan terus-terusan memaksaku.

“Dasar Rachel!” ucapku singkat.

Dengan rasa terpaksa, aku ikutan dengan mereka. Setelah ku rasa membosankan, aku
menjauhi mereka dan segera duduk. Disusul doleh Rachel yang kelihatan lelah setelah bermain
pull up. Di sisi lain Domi masih asyik bergelantungan di tiang pull up tersebut. Ku coba
menegurnya agar berhenti.

“Dom, sudahlah woi. Apa kau gak capek bergelantungan? Sumpah, persis kek monyet!”
ucapku menegur sembari mengejeknya.

“Suka-sukakulah!” balas Domi dengan singkat.

“Febby sewot banget, sih,” kata Rachel sambil melirikku.


“Hmm, ya sudah. Aku diam saja.” balasku.

Tiba-tiba. Terjadi gempa. Semua keluar dari asrama, termasuk suster yang kemi temui
tadi. Aku, Rachel pun langsung beranjak dari tempat duduk. Sungguh kejadian yang
mengejutkan juga menegangkan. Terdengan suara orang nangis kesakitan. Ternyata sumber
suara itu dai Domi, ia jatuh dari tiang pull up. Aku dan bebrapa orang di tempat itu langsung
menghampirinya. Seorang pastor dengan sigap memeriksa keadaannya.

“Waduh! Tulang siku tangan kanannya bergeser!” ucap pastor memberitahu.

Aku yang mendengar langsung syok. Aku takut jika orang tuanya akan marah dan tangan
Domi tak bisa disembuhkan seperti semula. Pastor itu mencoba mengurut tangannya, namun
tak berhasil. Justru membuat Domi meringis kesakitan.

“Rumah kalian dimana? Biar saya antar sekarang!” ucap pastor dengan serius.

Aku langsung memberitahukan alamat rumah kami kepadanya, dan pastor tersebut
langsung cepat mengambil kunci motornya. Selanjutnya, ia membonceng aku dan Domi.
Anehnya Rachel malah lari meninggalkan kami tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Sesampainya di rumah, rasa takutku semakin menjadi-jadi ketika melihat kedua orang
tuaku sudah berada di rumah. Pastor langsung memasuki rumah kami dan menjelaskan
kejadiannya. Sedangkan Domi pulang ke rumah sambil menangis. Orang tuaku naik pitam, dan
langsung memukulku sembari memarahiku.

Saat hari itu, aku hanya mengurung diri di kamar dan tak bermain lagi dengan Rachel
dan Domi. Terlintas dibenakku untuk meminta maaf kepada Domi sekaligus melihat kondisinya,
dan ingin juga aku menghampiri Rachel dan memarahinya karena saat Domi terjatuh, ia malah
lari tanpa rasa iba dan rasa bersalah sedikit pun. Tapi ku urungkan niat itu. Aku sudah merasa
malas keluar dari kamar. Karena pasti orang tuaku akan memarahiku lagi.

Beberapa menit berlalu, ternyata Rachel menghampiriku. Ia mencoba membuatku


tenang sembari menepuk pundakku. Namun, hal itu semakin membuatku terisak. Saat
melihatnya, rasanya aku ingin membentak dan memarahinya sepuasku, tapi tenagaku sudah
tak ada lagi. Saat itu, ia menuntunku untuk keluar kamar.

“Febby, maaf, ya! Ini semua salahku. Aku yang mengajak kalian kesana,” ucap Rachel
dengan wajah sedih.

Akhirnya, kata maaf yang ku tunggu-tunggu ternyata diucapkannya juga. Aku sedikit
lega. Aku hanya diam tak berkata sedikit pun. Setelah itu, Domi datang ke rumah ditemani
abangnya. Saat melihatnya, aku berharap agar Domi atau abangnya tidak memarahiku.
“Febby!” sapa Domi dan abangnya serentak.

“Iya! Maaf Dom!” ucapku sambil menunduk.

“Sudahlah, aku yang salah. Kan aku yang gak mendengar teguranmu, makanya aku yang
jatuh,” jawabnya sambil tersenyum.

Lalu, aku dan kedua temanku saling maaf-maafan, berbincang-bincang dan bercanda
agar kejadian tadi tidak teringat lagi. Domi juga meminta maaf kepada orang tuaku. Ia
menjelaskan bahwa petaka yang dialaminya bukan salahku melainkan kelalaiannya sendiri.
Sejak saat itu pula, kami berjanji agar tidak akan pernah kesana lagi untuk seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai