i
RENCANA PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
(RPPLH) PROVINSI NTT 2019 – 2049
ii
KATA PENGANTAR
ttd
iii
DAFTAR ISI
iv
Bab 4. Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Provinsi Nusa Tenggara Timur……………………………………. IV-1
4.1. Kebijakan Umum …………………………………………….. IV-2
4.2. Strategi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Provinsi NTT Tahun 2019 – 2049 ………………………… IV-3
4.3. Kebijakan Tingkat Pulau/Kepulauan ………………………. IV-17
Daftar Pustaka ……………………………………………………………… IV-19
Lampiran-lampiran ………………………………………………………….
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1. Keterkaitan RPPLH dengan RPJM ……………………….. I-4
Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi NTT ……………….. II-5
Gambar 2.2. Peta Bathimetri Provinsi Nusa Tenggara Timur ………… II-7
Gambar 2.3. Perkiraan perubahan pola hujan dan curah hujan di
NTT ………………………………………………………… II-13
Gambar 2.4. Grafik peningkatan suhu di Kupang dan sekitarnya
(1986 – 2010) ……………………………………………… II-42
Gambar 2.5. Peta ekoregion Provinsi Nusa Tenggara Timur ………… II-46
Gambar 2.6. Sumber daya air dan komponennya …………………… II-51
Gambar 2.7. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia
Air Bersih Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam…… II-56
Gambar 2.8. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia
Pangan Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam……… II-64
Gambar 3.1. Indeks kualitas udara tahun 2015 – 2018 ……………….. III-6
Gambar 3.2. Konsentrasi NO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT ………………………… III-10
Gambar 3.3. Konsentrasi SO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT ………………………… III-14
Gambar 3.4. Indeks kualitas air provinsi NTT dan Nasional 2015-
2018 ………………………………………………………… III-16
Gambar 3.5. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter TSS …………………………………………….. III-18
Gambar 3.6. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter DO …………………………………………….. III-19
Gambar 3.7. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter BOD …………………………………………... III-20
Gambar 3.8. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter COD …………………………………………… III-21
Gambar 3.9. Indeks Kualitas Tutupan Hutan dan Lahan ……………… III-25
Gambar 3.10. Tingkat Kekritisan Lahan menurut Kabupaten/Kota Di III-28
NTT
Gambar 4.1. Gambaran Skenario Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ………………………………………… IV-2
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Kabupaten/ Kota dan luas wilayah dalam Provinsi NTT.. II-4
Tabel 2.2. Tinggi beberapa kota di atas permukaan laut (m dpl)
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2018 ……….. II-6
Tabel 2.3. Nilai kecepatan arus di beberapa lokasi perairan laut NTT II-9
Tabel 2.4. Nama dan panjang sungai di wilayah Provinsi NTT……... II-11
Tabel 2.5. Potensi Sumberdaya Mineral Logam Provinsi NTT ……… II-16
Tabel 2.6. Potensi Sumber Daya Mineral Industri Provinsi NTT……… II-16
Tabel 2.7. Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Nusa
Tenggara Timur per Kabupaten/Kota………………………. II-17
Tabel 2.8. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan
Golongan Umur di Provinsi NTT Tahun 2018 …………… II-19
Tabel 2.9. Keadaan Areal Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas
dan Produksi Komoditi Padi dan Palawija Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2018 ………………………………
II-24
Tabel 2.10. Luas Tanaman Jagung Tahun 2013 – 2018 ………………. II-24
Tabel 2.11.a. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tanaman
Perkebunan (Kelapa, Kopi, Kako) di Provinsi NTT
Tahun 2018 ………………………………………………… II-25
Tabel 2.11.b. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Jambu
Mete, Kemiri, Kapuk Pinang) di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2018 ………………………………………….
II-26
Tabel 2.11.c. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Cengkeh,
Vanili, Lada) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2018 ………………………………………………………….
II-27
Tabel 2.11.d. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Pinang,
Asam, Jarak Pagar) di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2018 …………………………………………………
II-28
Tabel 2.11.e. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan
(Tembakau Sirih, Lontar) di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2018 ………………………………………….
II-29
Tabel 2.12.a. Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018…………………. II-30
vii
Tabel 2.12.b. Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018 ………………… II-31
Tabel 2.13. Definisi Operasional Layanan Jasa Ekosistem …………….. II-46
Tabel 2.14. Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih
Berdasarkan Bentang Alam ………………………………… II-53
Tabel 2.15. Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Pangan
Berdasarkan Bentang Alam ………………………………… II-61
Tabel 3.1. Indeks Kualitas Udara (IKU) di NTT Tahun 2018 & 2019 III-5
Tabel 3.2. Kadar Nitrogen dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota III-7
Provinsi NTT Tahun 2019
Tabel 3.3. Kadar NO2 Minimum. Maksimum dan Rata-Rata Tahun
2019 ………………………………………………………….. III-10
Tabel 3.4. Kadar Sulfur Dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota
Provinsi NTT Tahun 2019 ………………………………….. III-11
Tabel 3.5. Kadar SO2 Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Tahun
2019 ………………………………………………………….. III-14
Tabel 3.6. Tutupan Hutan dan Nilai IKTL Provinsi NTT Tahun 2018 III-23
Tabel 3.7. Rencana Kawasan Lindung Provinsi NTT 2010-2030……. III-25
Tabel 3.8. Kawasan Hutan Lindung …………………………………… III-26
Tabel 3.9. Luas Kawasan Hutan per Fungsi di Provinsi NTT………… II-27
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.
Lampiran 2.
ix
PENDAHULUAN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal,
aspirasi masyarakat, dan perubahan iklim. RPPLH yang disusun Gubernur diatur
dengan Peraturan Daerah dan memuat rencana yang mencakup pemanfaatan
dan/atau pencadangan sumber daya alam; pemeliharaan dan perlindungan
kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; pengendalian, pemantauan,
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan adaptasi serta mitigasi
terhadap perubahan iklim.
RPPLH yang telah diatur dalam bentuk Peraturan Daerah tersebut menjadi
dasar penyusunan dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). Hingga saat ini, Pemerintah Pusat sedang menyusun Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang RPPLH Nasional dan Kementerian Lingkungan
Hidup mendorong setiap Pemerintah Daerah untuk menyusun RPPLH sesuai
kewenangannya. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
memandang perlu untuk menyusun dokumen “RENCANA PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RPPLH) PROVINSI NUSA
TENGGARA TIMUR”.
RPPLH Provinsi NTT ini disusun dengan tujuan, antara lain untuk:
1.3.2 SASARAN
75. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2010 – 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2011 Nomor 02);
76. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 14 Tahun 2016
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Provinsi
Nusa Tenggara Timur;
77. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 4 Tahun 2017
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi
Nusa Tenggara Timur; dan
BAB II
KONDISI DAN INDIKASI DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG
ini bersifat insular (remote) dan tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut.
Kemampuan daya dukung pulau-pulaunya terbatas, terutama ketersediaan air
tawar, karena daerah tangkapan airnya (catchment area) yang kecil di samping
rentan terhadap perubahan lingkungan, dampak perubahan iklim dan bencana
alam, seperti tsunami, badai dan gelombang ekstrim, naiknya paras muka air
laut dan gempa bumi.
Saat ini, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah
yang banyak dilirik oleh para investor asing maupun lokal, khususnya investor
di bidang usaha pertambangan mineral. Nusa Tenggara Timur kaya akan
tambang mangan, chromit, tembaga, marmer, pasir besi, dan beberapa bahan
galian tambang lainnya. Mineral logam mangan menjadi komoditi tambang
yang prospektif, karena mempunyai kadar mangan tinggi (lebih dari 45%).
Potensi mineral logam mangan tersebar di Kabupaten Belu, TTU, dan
Kupang. Sumber energi yang dihasilkan panas bumi cukup potensial
dikembangkan mengingat banyaknya gunung berapi di Nusa Tenggara Timur
selain sumber energi alternatif lainnya, seperti energi matahari, air, gelombang
laut maupun angin yang sangat melimpah di wilayah ini.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya telah diatur
dalam Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 4 Tahun 2017
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pengaturan ini bertujuan agar pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memenuhi azas
keberlanjutan, yakni pemanfaatan sumber daya yang tidak melebihi
kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber
daya non hayati pesisir. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 20
Tahun 2008 pada Pasal 3 Ayat (1), secara tegas juga dinyatakan bahwa
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk
salah satu atau lebih kepentingan, yaitu: a) konservasi, b) pendidikan dan
pelatihan, c) penelitian dan pengembangan, d) budidaya laut, e) pariwisata, f)
usaha dan industri perikanan secara lestari, g) pertanian organik dan h)
peternakan, sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan.
kemiringan > 40%, dan tidak dapat dikelola sebagai areal budidaya. Kondisi
geomorfologis/bentang alam yang demikian menimbulkan potensi erosi yang
sangat tinggi. Akibatnya, laju degradasi sumber daya lahan juga tinggi.
Tabel 2.2.
Tinggi beberapa kota di atas permukaan laut (m dpl) menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2018
dari 300 m seperti peraian di selatan Lembata dan tenggara Alor. Mengacu
kepada kriteria laut dalam (kedalaman lebih dari 200 m), maka pada jarak
sampai 4 mil diukur dari daratan, perairan yang berada di hadapan daratan
sebagian besar kabupaten/kota di NTT merupakan perairan dangkal sampai
perairan dalam. Kabupaten yang tidak memiliki perairan dalam pada jarak 4
mil dari darat adalah Sumba Barat Daya, Malaka, TTS, dan Kota Kupang.
Pada jarak antara 4 sampai 12 mil, kondisi batimetri perairan di NTT
umumnya akan makin dalam lagi, kecuali pada wilayah tertentu yang
berdekatan dengan pulau-pulau lainnya atau bukit bawah laut yang
umumnya terdapat di wilayah Flores. Perairan dangkal umumnya berada
pada perairan yang berada pada wilayah selat dan yang berdampingan
dengan daratan. Dari sudut lokasi, wilayah utara NTT seperti Flores sampai
Alor memiliki kondisi batimetri yang lebih dalam dibanding bagian selatan
NTT seperti dari Sumba sampai Timor.
dekat dengan pesisir Pulau Timor. Kecepatan arus pada musim barat
umumnya lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Kondisi ini sesuai
dengan pola kecepatan angin, sehingga dapat disimpulkan pada lokasi ini
bahwa angin sangat mempengaruhi arah dan kecepatan arus permukaan
perairan. Kajian kecepatan arus laut disajikan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3.
Nilai kecepatan arus di beberapa lokasi perairan laut NTT
Kecepatan Waktu
No Lokasi Sumber
arus (m/s) pengukuran
1 Oesapa (Kota Kupang), 0,035-0,167 April-Juni 2001 Anakota (2002)
Teluk Kupang
2 Oebelo (Kab.Kupang), Teluk 0,05-0,333 April-Juni 2001 Anakota (2002)
Kupang
3 Teluk Kupang 0,059-0,238 Mei 2006 Kangkan (2006)
(zona pemanfaatan umum)
4 Semau, Kab.Kupang 0,14-0,47 Apr s/d Jun Langga (2010)
2010
5 Selat Larantuka 0,004-3,676 20-6 s/d 13-7- Yuningsih dan
2009 Masduki (2011)
6 Pelabuhan Nangakeo, Ende 0,00-0,30 2012 Sofianto (2012)
7 Tujuhbelas Pulau, Riung, 0,01-0,2 31-8 s/d 12-9- Siregar (1997)
Ngada 1996
8 Pantai Nanganumba, 0,3-0,5 Jul. s/d Des. Lika (1998)
Kab.Ngada 1997
9 Laut Flores 0,15-0,40 - Vincentius
(2003)
10 Lembata 0,05-0,34 BRN-DKP Stanis (2005)
(2002)
bulan lainnya, dimana SPL tertinggi dicapai pada Bulan Desember. Pada tiga
bulan tersebut, matahari sedang berada di bagian selatan khatulistiwa,
akibatnya paparan radiasi menjadi tinggi di perairan NTT. SPL yang rendah
berada pada Bulan Juni, Juli, dan Agustus ketika matahari berada di bagian
utara khatulistiwa. Pada bulan-bulan lainnya, SPL tidak setinggi pada Bulan
November, Desember, dan Januari namun tidak serendah Bulan Juni, Juli,
dan Agustus. Namun demikian, SPL perairan NTT sepanjang tahun masih
sesuai dengan kondisi perairan tropis karena tidak ada cemaran suhu yang
bersifat antropogenik.
Tabel 2.4.
Nama dan panjang sungai di wilayah Provinsi NTT
No. Kabupaten/Kota Nama Sungai Panjang Sungai (Km)
01. Sumba Barat - Wano Kaka 80
- Payeti 70
- Wangga 50
02. Sumba Timur - Kakaha 55
- Kambaniru 171
- Baing 301,4
- Oesao 30
- Batu Merah 40
- Noel Fail 38
- Siloto 40
03. Kupang
- Noel Nunkurus 31,2
- Noel Kapsali 40
- Noel Amabi 35
- Noel Oehani 28
- Tuasene 55
Timor Tengah
04. - Noelmina 100
Selatan
- Noelmuke 45
- Nain 30
- Powu 40
05. Timor Tengah Utara - Kaubele 40
- Haekto 30
- Mena 33
- Talau 50
- Benanain 132
06. Belu
- Nobelu 45
- Haekesak 30
- Waelombur 30
07. Alor
- Bukapiting 25
08. Lembata - Waikomo 41
- Flores Timur 30
09. Flores Timur - Bama 30
- Konga 46
- Mati 60
- Warlelau 70
10. Sikka - Ili Getang 70
- Mebe 80
- Kaliwajo 51
- Wolowona 60
11. Ende - Mautenda 60
- Nangapanda 60
12. Ngada - Pomondiwal 45
2.1.3.2 Debit
Curah hujan rata-rata di NTT adalah 1.200 mm, dengan baseflow
andalan dari 194 sungai 122,50 m3/det setara dengan 3,863 Milyar m3/tahun.
Kebutuhan air di NTT yang layak (standard WHO) dengan jumlah penduduk
tahun 2018 sebanyak 5.371.519 jiwa (BPS, 2019) adalah 5.371.519 jiwa x
1.000 m3/orang/tahun = 5,37 Milyar m3/tahun setara dengan 170,33 m3/det.
Jika potensi cekuangan air tanah (CAT) belum dimanfaatkan berarti NTT
mengalami devisit air sebesar 170,33 – 122,50 = 47,829 m3/det setara
dengan 1,51 Milyar m3/tahun.
musim kemarau antara bulan April hingga Oktober. Rata-rata curah hujan
tahunan berkisar 850 mm terjadi di Sabu, Maumere, dan Waingapu,
sementara curah hujan tahunan kisaran 2500 mm terjadi di Ruteng, Kuwus,
Mano, Pagal dan Lelogama. Fenomena iklim global (El Nino dan La Nina)
juga mempengaruhi kondisi iklim wilayah secara umum. Pada saat terjadinya
fenomena El Nino (1997/1998;2002/2003;2009/2010), awal musim hujan
umumnya mundur 1-3 dasarian, periode musim hujan semakin pendek dan
sifat hujan umumnya di bawah normal sehingga berdampak pada kekeringan.
Sebaliknya saat La Nina (1998/1999;2010/2012), awal musim hujan umumnya
maju 1-3 dasarian, periode musim hujan semakin panjang dan sifat hujan di
atas normal dan berpotensi menyebabkan banjir.
Berdasarkan analisis data series iklim (suhu udara dan curah hujan)
selama 30 tahun (1983-2012), suhu udara rata-rata bulanan mengalami
kecenderungan peningkatan 0.20C – 0.40C dan curah hujan bulanan
mengalami peningkatan sebesar 25-100 mm. Sementara itu awal terjadinya
musim hujan cenderung mundur 1 s/d 3 dasarian dari normalnya. Periode
musim hujan semakin pendek sebaliknya periode musim kemarau semakin
panjang. Perkiraan awal musim hujan (AMH) dan musim hujan (MH) hasil
kajian iklim NTT dan pemodelan iklim, SPARC project UNDP sebagaimana
Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Perkiraan perubahan pola hujan dan curah hujan di NTT
2.4.2. Kelembaban
Secara umum, iklim wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semi-
arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan dan periode
kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian
tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim, yang ditanam
dalam periode musim hujan. Keadaan demikian juga mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja pertanian yang tergolong sangat rendah (jumlah jam
kerja <5 jam/minggu), akibat dari waktu kerja bertani yang hanya berlangsung
3-4 bulan dalam setahun.
Persoalan curah hujan di NTT juga diperparah oleh pengaruh iklim
global, terutama fenomena El Nino dan La Nina serta fenomena perubahan
iklim global yang kurang menguntungkan. Dampak dari pengaruh iklim global
dimaksud antara lain adalah waktu on set dan off set musim hujan yang sulit
diprediksi dan fenomena kondisi musim kemarau dan musim hujan yang
ekstrim. Akibatnya adalah antara lain: kekeringan, gagal tanam, gagal panen,
banjir dan gangguan hama dan penyakit tanaman yang serius.
Kelembaban nisbi terendah terjadi pada Musim Timur Tenggara (63-
76%) yaitu bulan Juni sampai November dan kelembaban tertinggi pada
Musim Barat Daya (82-88%) yaitu bulan Desember sampai bulan Mei. Curah
hujan tertinggi di wilayah Flores bagian barat, Sumba bagian barat dan Timor
bagian tengah (2.000 - 3.000 mm/thn).
Kecepatan angin rata-rata pada Bulan November sampai April 03-05
Knot dan angin Musim Timur Tenggara terjadi pada bulan Mei sampai
dengan Oktober dengan kecepatan dapat mencapai 06-10 Knot (apabila
ditunjang angin permukaan).
Sumber daya mineral logam yang telah diketahui potensinya antara lain:
tembaga, mangan dan besi, sedangkan timbal, emas, seng, perak, nikel dan
timah hanya merupakan indikasi dan sebagai mineral ikutan. Potensi sumber
daya yang telah diketahui dan terindikasi secara keseluruhan terlihat pada
Tabel 2.5 dan Tabel 2.6
Tabel 2.5.
Potensi Sumber daya Mineral Logam Provinsi NTT
Komoditi Sumber daya ( ton ) Keterangan
Besi 676.000 Mengandung Mangan
Pasir Besi 100.175.359 Placer
Tembaga 48.000 Kadar Cu = 4,7%.
Mangan 330.063 Placer dan singenetik
Timbal, emas Indikasi tipe urat
Nikel Indikasi Laterisasi
Timah Indikasi Placer
Sumber: NTT Dalam Angka Tahun 2014
Tabel 2.6.
Potensi Sumber Daya Mineral Industri Provinsi NTT
Komoditi Sumber daya ( ton ) Komoditi Sumber daya ( ton )
Batu Gamping 25.061.000.000 Tanah Urug 2.340.000
Toseki 29.120.000 Granit 284.297.000
Andesit 12.691.250.000 Zeolit 6.167.160
Sirtu 7.598.100 Batu Silika 210
Gipsum 2.006.250 Tras 4.637.725
Kaolin 26.150.000 Fosfat 165.600.000
Pasir Kwarsa 92.016.250 Marmer 1.464.100.000
Lempung 1.360.101.000 Dolomit 165.894.320
Batu Hias 20.000 Bentonit 27.582
Batuapung 383.000 Perlit 46.000.000
Sumber: NTT Dalam Angka Tahun 2014
2.7. Kependudukan
Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010
sebanyak 4.683.830 jiwa; hingga tahun 2018 jumlah penduduk bertambah
687.690 jiwa sehingga menjadi 5.371.519 jiwa. Kepadatan penduduk
meningkat dari 96 jiwa/km2 pada tahun 2010 menjadi 110 jiwa/km2 pada
tahun 2018. Kota Kupang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi
dibandingkan dengan kabupaten lainnya yakni 16.188 jiwa/km2. Fenomena
ini dapat dipahami karena posisinya yang strategis baik sebagai ibu kota
provinsi juga menjadi pusat pelayanan pendidikan dan bisnis. Kabupaten lain
yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi adalah kabupaten Sumba
Barat Daya, disusul kabupaten Sabu Raijua dan kabupaten Sikka. Kabupaten
yang memiliki tingkat kepadatan paling rendah adalah Kabupaten Sumba
Tengah. Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Nusa Tenggara
Timur setiap kabupaten/ kota tahun 2010 dan 2018 dapat dilihat pada Tabel
2.7.
Tabel 2.7.
Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Nusa Tenggara Timur
per Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan Kepadatan Kepadatan
(ribu jiwa) Penduduk (%) Tahun Tahun
No Kabupaten
2010 2018
2010 2018 2000-2010 2010-2018 (Jiwa/Km2) (Jiwa/Km2)
1 Sumba Barat 110,99 111,50 2,32 1,73 51 59
2 Sumba Timur 227,73 255,60 2,11 1,39 33 37
3 Kupang 304,55 387,48 2,53 3,02 56 71
4 Timor Tengah 441,16 465,97 1,25 0,63 112 118
Selatan
5 Timor Tengah 229,80 251,99 1,71 1,10 86 94
Utara
6 Belu 352,30 216,78 2,40 1,72 274 169
7 Alor 190,03 204,38 1,47 0,86 66 71
8 Lembata 117,83 140,39 2,74 2,15 93 111
9 Flores Timur 232,61 253,82 1,65 1,04 128 140
10 Sikka 300,33 318,92 1,31 0,70 173 184
11 Ende 260,61 272,99 1,15 0,53 127 133
12 Ngada 142,39 161,20 2,11 1,51 87 98
13 Manggarai 292,45 333,91 2,29 1,61 139 159
14 Rote Ndao 119,91 165,81 1,95 4,05 94 130
15 Manggarai Barat 221,70 269,03 3,07 2,38 92 112
2.9.1. Pertanian
Tabel 2.9
Keadaan Areal Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Komoditi
Padi dan Palawija Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Luas Tanam Luas Panen Produktivitas Produksi
No. Komoditas
(ha) (ha) (Kw/ha) (Ton)
1. Padi 342.670 339.061 37,44 1.269.406
Padi Sawah 250.602 247.759 43,07 1.067.121
Padi Ladang 92.068 91.302 22,16 202.286
2. Jagung 347.760 336.208 25,25 848.998
3. Kedelai 30.132 17.993 11,72 21.085
4. Kacang Tanah 11.817 11.564 8,68 10.040
5. Kacang Hijau 12.523 12.236 6,51 7.966
6. Ubi Kayu 51.693 51.180 118,74 607.694
7. Ubi Jalar 6.544 6.229 73,63 45.865
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)
komoditas sayur-sayuran: bawang merah, bawang putih, cabe besar dan cabe
rawit.
Komoditas perkebunan yang bernilai ekonomis dan mempunyai peluang
pasar yang baik antara lain Kelapa, Jambu Mete, Kopi, Kakao, Cengkeh,
Vanili, Tembakau dan Kapas, namun komoditas perkebunan yang menonjol
adalah kelapa, kopi dan kakao. Hasil perkebunan umumnya dipasarkan
secara lokal, regional maupun ekspor. Produksi kelapa pada tahun 2017
mencapai 68.766 ton meningkat menjadi 69.597 ton pada tahun 2018,
produksi kopi sedikit menurun dari 21.364 ton (tahun 2017) menjadi 20.457
ton (tahun 2018), sementara produksi kakao meningkat dari 19.295 ton
menjadi 19.806 ton. Komoditas perkebunan sangat penting dalam kegiatan
ekspor dan perdagangan antar pulau dan mendukung peningkatan kapasitas
perdagangan keluar Nusa Tenggara Timur.
Tabel 2.11a.
Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan
(Kelapa, Kopi, Kako) di Provinsi NTT Tahun 2018
Kelapa Kopi Kakao
No. Kabupaten/Kota
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Tanam (ha) (ton) Tanam (ha) (ton) Tanam (ha) (ton)
1 Sumba Barat 7.749 1.143 1.946 311 615 55
2 Sumba Timur 4.201 1.375 988 258 657 45
3 Kupang 11.356 4.497 921 138 248 51
4 Timor Tengah Selatan 8.903 1.486 686 81 464 55
5 Timor Tengah Utara 5.370 855 1.175 211 269 62
6 Belu 1.276 314 301 89 - -
7 Alor 5.299 1.379 1.727 151 1.296 63
8 Lembata 5.805 2.572 709 186 914 175
9 Flores Timur 12.246 9.668 2.919 1.434 5 500 2.338
10 Sikka 19.053 10.695 1.614 657 22.809 8.673
11 Ende 12.172 9.692 8.723 3.404 8.611 4.556
12 Ngada 4.298 1.286 6.630 1.418 955 205
13 Manggarai 3.222 582 7.398 991 2.860 571
14 Rote Ndao 4.739 3.412 - - - -
15 Manggarai Barat 3.335 727 8.564 2.816 3.047 661
16 Sumba Tengah 4.548 812 3.305 612 1.051 92
17 Sumba Barat Daya 8.309 3.961 5.421 2.210 3.201 1.090
18 Nagekeo 8.653 4.478 991 382 2.053 559
19 Manggarai Timur 2.080 627 18.281 5.090 2.438 486
20 Sabu Raijua 1.877 868 - - - -
Tabel 2.11.b.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Jambu Mete, Kemiri,
Kapuk Pinang) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Jambu Mete Kemiri Kapuk
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 975 465 1.125 292,4 85 19
2. Sumba Timur 5.174 3.414 1.653 940 293 90
3. Kupang 6.595 1.999 3.106 1.212 1.747 731
4. Timor Tengah Selatan 918 399 4.143 2.404 914 198
5. Timor Tengah Utara 4.932 1.649,4 4.398 1.849,7 851 163,5
6. Belu 853 435 635 491 96 32,6
7. Alor 4.801 2.020 5.235 3.317 44 15
Tabel 2.11.c.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Cengkeh, Vanili,
Lada) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Cengkeh Vanili Lada
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 18 7,2 4 1,2 - -
2. Sumba Timur 64 32,4 - - - -
3. Kupang - - - - 39 15
4. Timor Tengah Selatan - - 5 2,2 7 3
5. Timor Tengah Utara 13 4,45 8 3,02 - -
6. Belu - - 6 2,4 - -
Tabel 2.11.d.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Pinang, Asam,
Jarak Pagar) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Pinang Asam Jarak Pagar
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 944 331,8 122 42 18 1
2. Sumba Timur 1.401 692,3 14 10 79 4
Tabel 2.11.e.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Tembakau
Sirih, Lontar) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Tembakau Sirih Lontar
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 4 2,1 135 50,5 - -
2. Sumba Timur 72 24,8 419 227 2 1
7. Alor 68 29 - - - -
8. Lembata 15,5 7 - - - -
2.9.3 Kehutanan
Hutan sangat diperlukan dalam pemeliharaan lingkungan hidup dan
daur hidrologi di daratan. Secara proporsi luasan hutan di Nusa Tenggara
Timur mencapai 38% dari total wilayah Nusa Tenggara Timur. Sebagian
besar areal hutan di Nusa Tenggara Timur diperuntukkan sebagai hutan
lindung, taman nasional dan suaka margasatwa. Luas hutan di Provinsi
NTT tahun 2018 berdasarkan Keputusan Menteri LHK RI Nomor:
SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016 tanggal 11 Mei 2016 tentang Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan menjadi
Kawasan Hutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1.730.253,61 ha.
Kabupaten Kupang, Manggarai Barat, dan Sumba Timur memiliki kawasan
hutan lebih dari 200.000 hektar. Fungsi perlindungan dan peran kawasan
hutan ini dalam daur hidrologi semakin terancam dengan maraknya
perambahan dan pembakaran hutan, illegal logging, serta perladangan
berpindah. Kondisi ini terjadi baik di daratan maupun hutan bakau di
kawasan pantai. Untuk itu, diperlukan penanganan yang sistematis untuk
menghambat degradasi kawasan hutan tersebut.
Tabel 2.12.a
Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018
Luas Kawasan Hutan (ha)
No. Kota/Kabupaten Hutan Lindung Suaka alam dan Hutan Produksi
Pelestarian Alam Terbatas
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Sumba Barat 1.144,25 1.820,77 922,10
2. Sumba Timur 75.373,13 62.062,60 19.084,76
3. Kupang 104.949,53 69.878,19 43.478,21
4. Timor Tengah Selatan 35.243,32 15.320,52 2.923,41
5. Timor Tengah Utara 41.683,22 2.426,82 53.909,34
6. Belu 37.015,28 - -
7. Alor 51.347,62 7.705,69 26.699,70
8. Lembata 46.630,71 - -
9. Flores Timur 36.253,13 - 11.123,86
10. Sikka 33.647,82 73.705,82 734,53
Tabel 2.12.b
Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018
Luas Kawasan Hutan (ha) Jumlah
No. Kota/Kabupaten Hutan Hutan Produksi Taman Luas Hutan
Produksi Tetap Dapat Dikonversi Buru
(6) (7) (8) (3)+(4)+(5)+(6)+(7)+(8)
1. Sumba Barat 4.787,65 - - 8.674,77
2. Sumba Timur 25.418,21 61.366,03 - 243.304,73
3. Kupang 60.863,45 531,73 - 279.701,10
Timor Tengah
4.
Selatan 40.566,57 - 1.807,23 95.861,04
5. Timor Tengah Utara 12.981,91 300,78 - 111.302,07
6. Belu 961,80 - - 37.977,08
7. Alor 19.341,02 - - 105.094,03
8. Lembata 605,12 - - 47.235,84
9. Flores Timur 4.410,55 521,03 - 52.308,57
10. Sikka 1.037,12 - - 109.125,29
11. Ende 29.653,86 932,88 - 61.982,18
12. Ngada 6.330,41 13.438,30 - 65.271,30
13. Manggarai - 1.136,25 - 27.989,49
14. Rote Ndao 9.352,55 - 1.418,35 20.510,56
15. Manggarai Barat 18.174,15 - - 253.242,50
16. Sumba Tengah 5.157,06 - - 59.223,97
17. Sumba Barat Daya 8.853,18 - - 19.894,42
Beberapa kota di NTT, misalnya Kota Kupang dan Kota Labuan Bajo
merupakan daerah yang kondisi lingkungan hidupnya mendapat tekanan
paling besar. Pengembangan infrastruktur pariwisata yang makin meluas
dan pertambahan penduduk yang sangat cepat telah menghilangkan
sebagian besar daerah-daerah regulator air berkategori tinggi dan
mempersempit daerah penyedia pangan.
Meningkatnya kejadian banjir di beberapa daerah seperti Kabupaten
Malaka dan Kabupaten Manggarai Barat, merupakan dampak nyata dari
mulai menurunnya kualitas jasa regulator air akibat eksploitasi hutan,
rusaknya DAS, dan meningkatnya areal pertambangan, selama beberapa
tahun terakhir.
Secara umum, pencemaran air berasal dari limbah cair domestik dan
industri yang tidak dikelola, sampah domestik, pemakaian air berlebihan, dan
penataan fungsi lahan yang tidak baik. Hal tersebut kemudian diperparah
dengan masih banyaknya masyarakat yang masih buang air besar
sembarangan (BABS). Setiap hari ada tinja manusia belum dikelola dengan
benar sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air. Selain hal tersebut,
kondisi ketersediaan air juga terganggu. Alih fungsi lahan pada daerah-
daerah resapan air meningkatkan aliran permukaan (run-off) di kawasan hilir,
yang menyebabkan meningkatnya potensi banjir.
Bentuk-bentuk kerusakan komponen sumber daya air di NTT adalah
sebagai berikut:
a. Kerusakan Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah (lahan) yang
menerima masukan hujan, menyimpan dan mengalirkan air melalui
jaringan sungai, sehingga menghasilkan luaran berupa debit sungai.
Hubungan hujan-limpasan/debit sungai menyatakan kondisi hidrologi
DAS, dan diharapkan bahwa DAS memiliki fungsi yang menjamin
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan terhadap baku mutu air yang
ditetapkan. Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada
suatu sumber air, yaitu diantaranya yang disajikan dalam KepMen LH No.
115/2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, yaitu dengan
metoda Storet dan Metode Indeks Pencemaran. Namun dalam hal-hal yang
bersifat umum sering pula hanya dengan menggunakan kelas air yang
mengacu pada PP No. 82/ 2001.
Kerusakan air tanah akibat pencemaran yang berasal dari sumber
alamiah (natural) dan sumber antropogenik. Permasalahan yang sering
terjadi pada air tanah, khususnya untuk pemakaian rumah tangga dan
industri, di wilayah urban dan dataran rendah adalah kandungan besi atau
asam organic yang cenderung tinggi. Hal ini bisa diakibatkan dari kondisi
geologis Indonesia yang secara alami memiliki deposit Fe tinggi terutama
di daerah lereng gunung atau diakibatkan pula oleh aktivitas manusia
(antropogenik). Sedangkan air dengan kandungan asam organik tinggi bisa
disebabkan oleh adanya lahan gambut atau daerah bakau yang kaya akan
kandungan senyawa organik. Ciri-ciri air yang mengandung kadar besi
tinggi atau kandungan senyawa organik tinggi bisa dilihat sebagai berikut:
berwarna kuning saat pertama keluar dari kran sampai beberapa saat
kemudian didiamkan akan tetap berwarna kuning.
Gambar 2.4 Grafik peningkatan suhu di Kupang dan sekitarnya (1986 – 2010)
(Sumber: Messakh, dkk. 2015)
Laju perubahan suhu rata-rata periode 1986-2000 (25 tahun) adalah 0,27°C
(Messakh, dkk. 2015) sedangkan perubahan suhu global dalam 100 tahun
yakni 0,7°C (IPCC, 2007).
Tabel 2.13.
Definisi Operasional Layanan Jasa Ekosistem
Klasifikasi Layanan Ekosistem Definisi Operasional
Produk materi dan jasa lingkungan menjadi daya dukung dan daya
tampung untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antar keduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Dapat diartikan
bahwa daya dukung dan daya tampung merupakan kapasitas fungsi dan jasa
lingkungan dalam mendukung perikehidupan manusia atau makhluk lainnya
yang berada pada suatu lokasi tertentu (ekoregion). Fungsi regulasi akan
dapat mendukung daya tampung, sedangkan ketiga fungsi lainnya akan
mendukung daya dukung.
Perbedaan kemampuan suatu wilayah ekoregion dalam
memproduksi materi dan jasa lingkungan serta populasi manusia yang
berbeda pada setiap wilayah mengakibatkan adanya aliran materi dan
energi antar-ekoregion, baik itu secara alami maupun dengan teknologi
manusia. Selain secara alami, adanya aliran energi dan materi antar-
ketersediaan air bersih baik yang berasal dari air permukaan maupun air
tanah (termasuk kapasitas penyimpanannya), bahkan air hujan yang dapat
dipergunakan untuk kepentingan domestik, pertanian, industri maupun jasa.
Penyediaan jasa air bersih sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan dan
lapisan tanah atau batuan yang dapat menyimpan air (akuifer) serta faktor
yang dapat mempengaruhi sistem penyimpanan air tanah seperti tutupan
lahan.
Air, sumber air dan daya air yang terangkum dalam “Sumber daya air”
(SDA) telah menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi makhluk
hidup khususnya untuk manusia. Air merupakan kebutuhan utama bagi setiap
insan di bumi baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Air
digunakan sebagai kebutuhan vital untuk konsumsi dan sanitasi umat manusia,
untuk proses produksi berbagai barang industri, untuk produksi makanan dan
kebutuhan lainnya.
Beberapa batasan pengertian berkaitan dengan sumber daya air adalah
sebagai berikut:
a) Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung
di dalamnya.
b) Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air
tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
c) Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan
tanah.
d) Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di
bawah permukaan tanah.
e) Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.
Menurut Arwin (2009), sumber air adalah sumber daya alam yang
diperbaharui melalui siklus hidrologi, tergantung iklim dan tutupan
lahan membentuk rezim hidrologi (tercatat time series data) dimana
f) Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada
sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi
kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.
hanya terdapat pada Danau dengan total luasan 522,89 ha (0,01%), diiukuti
oleh 11 jenis bentang alam yang berkategori berpotensi tinggi, yaitu:
a. Dataran Fluvial Bermaterial Aluvium;
b. Dataran Fluviomarin Bermaterial Alluvium;
c. Dataran Fluviovulkanik Bermaterial Alluvium;
d. Dataran Struktural Lipatan Berombak-Bergelombang Bermaterial
Campuran Batuan Sedimen Karbonat dan Non Karbonat;
e. Dataran Vulkanik Bermaterial Piroklastik;
f. Lembah Sungai Bermaterial Aluvium;
g. Pegunungan Kerucut Vulkanik Lereng Atas Bermaterial Campuran
Batuan Beku Luar dan Piroklastik;
h. Pegunungan Vulkanik Lereng Bawah Bermaterial Piroklastik;
i. Perbukitan Kerucut Vulkanik Bermaterial Piroklastik;
j. Perbukitan Struktural Lipatan Bermaterial Campuran Batuan Sedimen
Karbonat dan Non Karbonat;
k. Perbukitan Vulkanik Bermaterial Campuran Batuan Beku Luar dan
Piroklastik
Total luas = 940.892,88 hektar atau 20,31% dari toal luasan lahan NTT.
Tabel berikut menunjukkan distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Air
Bersih berdasarkan Bentang Alam.
Tabel 2.14
Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih Berdasarkan Bentang Alam
Sangat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
No Ekoregion Tinggi
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
1. Danau 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 522.89 0.01
2. Dataran fluvial bermaterial aluvium 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 170606.89 3.68 0.00 0.00
Dataran fluviomarin bermaterial
3. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27783.46 0.60 0.00 0.00
aluvium
Dataran fluviovulkanik bermaterial
4. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 39496.03 0.85 0.00 0.00
aluvium
Dataran marin berpasir bermaterial
5. 0.00 0.00 0.00 0.00 15240.83 0.33 0.00 0.00 0.00 0.00
aluvium
Dataran organik koralian bermaterial
6. 196731.54 4.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
batuan sedimen karbonat
Dataran organik koralian berombak-
7. bergelombang bermaterial batuan 418518.69 9.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat
Dataran solusional karst berombak-
8. bergelombang bermaterial batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 45454.88 0.98 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat
Dataran struktural lipatan
9. bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 15867.02 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat dan non karbonat
Dataran struktural lipatan berombak-
bergelombang bermaterial campuran
10. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30025.22 0.65 0.00 0.00
batuan sedimen karbonat non
karbonat
Dataran vulkanik bermaterial
11. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4033.94 0.09 0.00 0.00
piroklastik
Dataran vulkanik berombak-
12. bergelombang bermaterial batuan 0.00 0.00 14045.16 0.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
beku luar
13. Lembah sungai bermaterial aluvium 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 96768.56 2.09 0.00 0.00
Sangat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
No Ekoregion Tinggi
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Lereng bawah kerucut vulkanik 0.00
14. 0.00 23829.56 0.51 0.00 0.00 0.00
bermaterial batuan beku luar
Lereng tengah kerucut vulkanik
15. 0.00 0.00 0.00 0.00 14558.9 0.31 0.00 0.00 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Pegunungan denudasional
16. bermaterial batuan sedimen 0.00 0.00 462291.55 9.98 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Pegunungan denudasional
17. bermaterial batuan sedimen non 0.00 0.00 31095.39 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Pegunungan denudasional
18. bermaterial campuran batuan beku 0.00 0.00 1047874.22 22.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
luar dan piroklastik
Pegunungan denudasional
19. bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 98002.14 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat dan non karbonat
Pegunungan kerucut vulkanik
20. bermaterial campuran batuan beku 0.00 0.00 0.00 0.00 211028.91 4.55 0.00 0.00 0.00 0.00
luar dan piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik
21. 0.00 0.00 0.00 0.00 81.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik lereng
22. atas bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 2070.49 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00
beku luar dan piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik lereng
23. bawah bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 24235.53 0.52 0.00 0.00
beku luar dan piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik lereng
24. tengah bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 6484.27 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00
beku luar dan piroklastik
Pegunungan vulkanik lereng bawah
25. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30118.54 0.65 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Perbukitan denudasional bermaterial
26. 0.00 0.00 37657.63 0.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
batuan sedimen non karbonat
Sangat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
No Ekoregion Tinggi
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Perbukitan denudasional bermaterial
27. campuran batuan beku luar dan 0.00 0.00 66310.69 1.43 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
piroklastik
Perbukitan denudasional bermaterial
28. campuran batuan sedimen karbonat 0.00 0.00 233885.52 5.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dan non karbonat
Perbukitan denudasional bermaterial
29. 0.00 0.00 32002.13 0.69 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
piroklastik
Perbukitan denudasional bermaterial
30. 0.00 0.00 225623.38 4.87 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat
Perbukitan kerucut vulkanik
31. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3423.21 0.07 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Perbukitan solusional karst
32. bermaterial batuan sedimen 0.00 0.00 0.00 0.00 355032.30 7.66 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Perbukitan struktural lipatan
33. bermaterial batuan sedimen non 0.00 0.00 138065.88 2.98 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Perbukitan struktural lipatan
34. bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 301187.37 6.50 0.00 0.00
sedimen karbonat dan non karbonat
Perbukitan vulkanik bermaterial
35. campuran batuan beku luar dan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 213214.13 4.60 0.00 0.00
piroklastik
Total 615250.24 13.28 2312681.12 49.92 763820.91 16.49 940892.88 20.31 522.89 0.01
Gambar 2.7. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam
1) Air Permukaan
Potensi air permukaan berasal sungai/kali yang memiliki variabilitas debit
yang tinggi antara musim kemarau dan musim hujan. Selanjutnya berasal dari
embung dan waduk dan lain-lain. Persoalan terbesar keteresediaan air
permukaan di Provinsi NTT adalah sangat bergantung pada curah hujan
yang minim dan durasi waktu yang singkat.
2) Air tanah
Menurut KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang CAT, CAT di Indonesia terdiri
atas: a) akuifer bebas (unconfined aquifer) dan, b) akuifer tertekan (confined
aquifer).
Kebutuhan air di Provinsi NTT dibagi menjadi tiga yaitu: kebutuhan air baku
minum, kebutuhan air irigasi, dan kebutuhan air sektor perkotaan dan
industri. Total kebutuhan air untuk tiga aspek tersebut adalah: 10,083 milyar
m3/tahun dengan rincian sebagai berikut:
hidup. Pangan merupakan kebutuhan utama bagi setiap makhluk hidup yang
harus dipenuhi setiap saat. Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan hal
yang penting untuk dipenuhi. Daya dukung lingkungan jasa ekosistem
penyediaan pangan memiliki makna bahwa Ekosistem membrikan manfaat
penyediaan bahan pangan yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
(tanaman dan hewan) dan air (ikan), baik yang diolah maupun yang tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia.
Lahan yang berpotensi sangat tinggi dalam menyediakan bahan pangan
terdapat pada tiga kelas bentang alam yaitu danau, daratan fluvial bermaterial
aluvium dan daratan fluviovulkanik bermaterial aluvium. Dari ketiga jenis
bentang alam tersebut, yang dominan adalah bentang Alam daratan fluvial
bermaterial aluvium dengan luasan 170.606,90 Ha atau sekitar 3,68% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di NTT. Bentang Alam tersebut mempunyai
relief yang relatif rata (flat), tersusun atas material aluvium dari hasil proses
deposisi fluviatil (aliran air permukaan), dataran fluviofulkanik bermaterial
aluvium yang tersusun atas material aluvium dari hasil proses fluvial dengan
material yang berasal dari produk vulkanik dan dapat disebut sebagai dataran
laharik karena dihasilkan oleh aliran lahar serta pada bentang alam danau yang
merupakan Genangan air permanen di permukaan lahan.
Bentang alam yang memiliki potensi sangat rendah dalam penyediaan
bahan pangan terdapat pada Dua jenis bentang alam yaitu dataran organik
koralian bermaterial batuan sedimen karbonat dengan luasan 196.731 Ha
(4,25%) dan dataran organik koralian berombak-bergelombang bermaterial
batuan sedimen karbonat dengan luas 418.518,70 Ha (9,03%).
Lahan yang mempunyai potensi jasa ekosistem penyedia pangan yang
sangat rendah didominasi oleh bentang alam dataran organik koralin
berombak-bergelombang bermaterial batuan sedimen karbonat dengan total
luasan 418.510,70 Ha atau 9.03% dari total lahan di NTT.
Tabel 2.15
Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Pangan Berdasarkan Bentang Alam
SANGAT
SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
NO JENIS BENTANG ALAM TINGGI
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
1. Danau - - - - - - - - 522.89 0.01
2. Dataran fluvial bermaterial - - - - - - - - 170606.89 3.68
alluvium
3. Dataran fluviomarin - - - - - - 27783.46 0.60 - -
bermaterial alluvium
4. Dataran fluviovulkanik - - - - - - 0.00 39496.03 0.85
bermaterial alluvium
5. Dataran marin berpasir - - 15240.83 0.33 - - - - - -
bermaterial alluvium
6. Dataran organik koralian 196731.54 4.25 - - - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
karbonat
7. Dataran organik koralian 418518.69 9.03 - - - - - - - -
berombak-bergelombang
bermaterial batuan sedimen
karbonat
8. Dataran solusional karst - - - - 45454.88 0.98 - - - -
berombak-bergelombang
bermaterial batuan sedimen
karbonat
9. Dataran struktural lipatan - - - - 15867.02 0.34 - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
10. Dataran struktural lipatan - - - - 30025.22 0.65 - - - -
berombak-bergelombang
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat non
karbonat
11. Dataran vulkanik bermaterial - - - - - 0.00 4033.94 0.09 - -
piroklastik
12. Dataran vulkanik berombak- - - - - 14045.16 0.30 - 0.00 - -
bergelombang bermaterial
batuan beku luar
SANGAT
SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
NO JENIS BENTANG ALAM TINGGI
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
13. Lembah sungai bermaterial - - - - - - 96768.56 2.09 - -
alluvium
14. Lereng bawah kerucut - - - - 23829.56 0.51 - - - -
vulkanik bermaterial batuan
beku luar
15. Lereng tengah kerucut - - 14558.90 0.31 - - - - - -
vulkanik bermaterial
piroklastik
16. Pegunungan denudasional - - 462291.56 9.98 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
karbonat
17. Pegunungan denudasional - - - - 31095.39 0.67 - - -
bermaterial batuan sedimen
non karbonat
18. Pegunungan denudasional - - 1047874.22 22.62 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
19. Pegunungan denudasional - - 98002.14 2.12 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
20. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - 211028.92 4.55 - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
21. Pegunungan kerucut vulkanik - - 81.16 0.00 - - - - - -
bermaterial piroklastik
22. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - 2070.48 0.04 - - - -
lereng atas bermaterial
campuran batuan beku luar
dan piroklastik
23. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - - - 24235.53 0.52 - 0.00
lereng bawah bermaterial
campuran batuan beku luar
dan piroklastik
24. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - 6484.27 0.14 - - - -
lereng tengah bermaterial
campuran batuan beku luar
dan piroklastik
SANGAT
SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
NO JENIS BENTANG ALAM TINGGI
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
25. Pegunungan vulkanik lereng - - - - 30118.54 0.65 - - - -
bawah bermaterial piroklastik
26. Perbukitan denudasional - - 37657.63 0.81 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
non karbonat
27. Perbukitan denudasional - - 66310.69 1.43 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
28. Perbukitan denudasional - - 233885.52 5.05 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
29. Perbukitan denudasional - - - - 32002.13 0.69 - - - -
bermaterial piroklastik
30. Perbukitan denudasional - - 225623.38 4.87 - - - - - -
bermaterial sedimen karbonat
31. Perbukitan kerucut vulkanik - - 3423.21 0.07 - - - - - -
bermaterial piroklastik
32. Perbukitan solusional karst - - 355032.29 7.66 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
karbonat
33. Perbukitan struktural lipatan - - 138065.88 2.98 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
non karbonat
34. Perbukitan struktural lipatan - - 301187.36 6.50 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
35. Perbukitan vulkanik - - 0.00 213214.13 4.60 - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
Total 615250.24 13.28 2999234.78 64.73 655235.72 14.14 152821.49 3.30 210625.81 4.55
Sumber : DDDT Provinsi NTT, 2019
Gambar 2.8. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia Pangan Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam
Alih fungsi lahan hutan ke peruntukan lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur
dari tahun 2003-2006 sampai 2014-2017 sebesar 282,775.92 Ha. Pada tahun
2003-2006 sebesar 2.867,11 Ha, kemudian menurun pada dua periode
berikutnya. Tetapi pada tahun 2011-2014 terjadi lonjakan yang sangat besar
yakni sebesar 109.660,64 Ha, kemudian terjadi kenaikan yang tinggi pula pada
tahun 2014-2017, tetapi kenaikan tidak sebesar periode sebelumnya.
Alih fungsi lahan terbesar dari lahan hutan adalah semak belukar sebesar
32,62%, pertanian lahan kering sebesar 28,17%, padang pengembalaan (savana)
sebesar 3,85%, sawah sebesar 5,47% dan pemukiman penduduk sebesar 3,47%.
BAB III
PERMASALAHAN, INDIKATOR, DAN TARGET
Kedua isu strategis nasional tersebut di atas yang juga menjadi isu
strategis bagi Provinsi NTT, belum ada alternatif lain untuk pemenuhan
kebutuhan air selain bersumber dari jasa lingkungan penyedia air dan
pengatur tata aliran air dan banjir. Demikian pula terkait pangan, belum ada
alternatif lain untuk pemenuhan kebutuhan pangan selain bersumber dari jasa
lingkungan penyedia pangan. Oleh karena itu, keberlangsungan kedua jasa
lingkungan penyedia tersebut ditetapkan sebagai isu pokok Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi NTT 2019 - 2049.
Kondisi kualitas udara di Provinsi NTT salah satunya dapat dilihat dari
Indeks Kualitas Udara (IKU) yang perhitungannya mengadopsi Program
European Union melalui European Regional Development Fund tahun 2006.
Penyusunan dan penghitungan indeks kualitas udara ditujukan:
1. Sebagai pelaporan kualitas udara yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan informasi yang mudah dipahami kepada masyarakat tentang
kondisi kualitas udara.
2. Sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kualitas udara
yang tujuannya melindungi manusia dan ekosistem.
1) Menghitung rata-rata kadar NO2 dan SO2 dari tiap periode pemantauan
untuk masing-masing lokasi (titik) sehingga didapat data rerata untuk
area transportasi (A), industri (B), Perkantoran (C) dan Perumahan (D).
2) Menghitung rata-rata kadar NO2 dan SO2 untuk masing-masing
kabupaten/kota yang merupakan perhitungan rerata dari keempat titik
pemantauan.
3) Menghitung rata-rata kadar NO2 dan SO2 untuk provinsi yang
merupakan perhitungan rerata dari kabupaten/kota.
4) Angka rata-rata kadar NO2 dan SO2 provinsi dibandingkan dengan
referensi EU (European United) untuk mendapatkan Index Udara model
EU (Ieu).
Tabel 3.1.
Indeks Kualitas Udara (IKU) di NTT Tahun 2018 dan 2019
Peningkatan/
IKU
No. Kabupaten/Kota Penurunan IKU
2018 2019 2019 thd 2018
1. TTS 99,51 94,90 -4,61
2. TTU 87,63 92,44 4,81
3. Kupang 89,32 94,57 5,25
4. Belu 94,12 95,54 1,42
5. Alor 82,18 81,93 -0,25
6. Flotim 79,56 81,09 1,53
7. Sikka 90,15 88,82 -1,22
8. Ende 87,16 91,77 4,61
9. Ngada 85,07 85,22 0,15
10. Manggarai 88,45 87,20 -1,25
11. Sumba Timur 85,48 84,49 -0,99
12. Sumba Barat 87,04 86,92 -0,12
13. Manggarai Barat 80,90 80,64 -0,26
14. Nagekeo 88,02 91,28 3,26
15. Sumba Barat Daya 80,86 82,56 1,7
16. Malaka 82,31 86,15 3,84
17. Kota Kupang 92,03 93,61 1,58
IKU NTT 87,05 88,18 1,13
Sumber: Hasil Analisis
Berdasarkan data (tabel 3.1) dapat dilihat bahwa indeks kualitas udara
(IKU) di NTT mengalami peningkatan dari 87,05 (tahun 2018) menjadi 88,18
(tahun 2019). Tiga kabupaten yang berkontribusi signifikan terhadap
peningkatan IKU NTT adalah Kabupaten Belu, TTS, dan Kupang dengan nilai
IKU berturut-turut 95,54, 94,90 dan 94,57, sedangkan kabupaten yang
memiliki nilai IKU terendah adalah Kabupaten Manggarai Barat, Flores Timur
dan Alor dengan nilai IKU masing-masing adalah 80,64; 81,09 dan 81,93.
Secara umum, indeks kualitas udara di NTT cenderung berfluktuatif
akibat perubahan faktor-faktor meterologis (angin, suhu, hujan, cahaya
matahari) dan perubahan interaksi antar berbagai polutan yang dilepas ke
udara ambien. Pada tahun 2015 nilai IKU NTT sebesar 77,13 (kategori cukup
baik), tahun 2016 nilai IKU meningkat menjadi 82,70 (baik), pada tahun
2017 meningkat lagi menjadi 91,18 (baik), tahun 2018 mengalami penurunan
menjadi 87,05 dan pada tahun 2019 mengalami sedikit peningkatan kembali
menjadi 88,18. Nilai IKU NTT tersebut lebih baik jika dibandingan dengan
nilai IKU NTB maupun IKU nasional. Perbandingan nilai IKU provinsi NTT,
NTB, Bali dan nilai IKU Nasional selama tahun 2015 sampai tahun 2018
ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Kualitas udara dibagi menjadi dua, yaitu udara emisi dan udara ambien.
Kualitas udara ambien selalu dipengaruhi oleh jumlah emisi yang di buang ke
atmosfer dari sumbernya. Untuk mengetahui tingkat kualitas udara ambien,
maka Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT melakukan pemantauan secara
periodik dua kali per tahun pada lokasi-lokasi yang mewakili daerah
permukiman, industri, lokasi padat lalilintas kendaraan bermotor, dan
perkantoran/komersial pada 17 kabupaten/kota. Pemantauan kualitas udara
ambien ini penting dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran udara
yang telah terjadi pada suatu wilayah. Hasil pemantauan kadar nitrogen
dioksida (NO2) tahun 2019 ditunjukkan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2.
Kadar Nitrogen dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota Provinsi NTT
Tahun 2019
Nitrogen Dioksida (NO2, µg/Nm3)
Kabupaten/
No. Lokasi Sampling Periode Pemantauan
Kota Rata-Rata
I II
1. TTS Transportasi 3,80 5,70 4,75
Industri 0,31 3,40 1,86
Pemukiman 0,31 3,00 1,66
Perkantoran 1,60 0,40 1,00
Rata-rata 1,51 3,13 2,32
2. TTU Transportasi 8,40 8,53 8,47
Industri 3,64 2,80 3,22
Pemukiman 1,75 2,40 2,08
Perkantoran 4,53 5,10 4,82
Rata-rata 4,58 4,71 4,65
3. Kupang Transportasi 6,20 7,80 7,00
Industri 0,70 2,80 1,75
Pemukiman 0,70 2,80 1,75
Perkantoran 0,31 1,70 1,01
Rata-rata 1,98 3,78 2,88
4. Belu Transportasi 1,45 1,09 1,27
Industri 6,85 7,35 7,10
Pemukiman 4,10 6,20 5,15
Perkantoran - 2,50 2,50
Rata-rata 4,13 4,29 4,01
5. Alor Transportasi - - -
Industri 8,90 7,70 8,30
parameter NO2 ini adalah 95,56 dan berkategori sangat baik. Ditinjau per
lokasi sampling, kadar NO2 minimum, maksimum dan rata-rata di NTT
ditunjukkan pada Tabel 3.3, sedangkan konsentraasi rata-rata NO2 setiap
tahap pemantauan dan setiap lokasi sampling ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Tabel 3.3.
Kadar NO2 Minimum. Maksimum dan Rata-Rata Tahun 2019
Kadar NO2 (µg/Nm3)
No. Lokasi Sampling
Minimum Maksimum Rata-rata
1. Transportasi 1,27 21,73 8,87
2. Industri 1,75 18.85 7,90
3. Pemukiman 1,66 12,75 5,60
4. Perkantoran 1,00 17,23 6,07
Gambar 3.2 Konsentrasi NO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT
Tabel 3.4.
Kadar Sulfur Dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota Provinsi NTT
Tahun 2019
Sulfur Dioksida (SO2, µg/Nm3)
Kabupaten/
No. Lokasi Sampling Periode Pemantauan
Kota Rata-Rata
I II
1. TTS Transportasi 2,47 3,54 3,01
Industri 4,53 4,67 4,60
Pemukiman 14,50 15,10 14,80
Perkantoran 4,82 2,47 3,65
Rata-rata 6,58 6,45 6,51
2. TTU Transportasi 5,85 5,35 5,60
Industri 13,50 10,78 12,14
Pemukiman 5,25 6,47 5,86
Perkantoran 4,84 4,91 4,88
Rata-rata 7,36 6,88 7,12
3. Kupang Transportasi 2,47 2,47 2,47
Industri 7,42 6,48 6,95
Pemukiman 10,32 10,80 10,56
Perkantoran 6,32 5,52 5,92
Rata-rata 6,63 6,32 6,48
4. Belu Transportasi 6,25 5,73 5,99
Industri 5,24 5,25 5,25
Pemukiman 3,95 2,47 3,21
Perkantoran - 6,38 3,19
Rata-rata 5,15 4,96 5,05
5. Alor Transportasi - - 0,00
Industri 15,80 11,49 13,65
Pemukiman 12,84 16,32 14,58
Perkantoran 13,20 13,06 13,13
Rata-rata 13,95 13,62 10,34
6. Flotim Transportasi 5,64 6,01 5,83
Industri 9,78 8,34 9,06
Pemukiman 14,56 15,12 14,84
Perkantoran 12,39 10,06 11,23
Rata-rata 10,59 9,88 10,24
7. Sikka Transportasi 5,56 6,18 5,87
Industri 12,56 10,76 11,66
Tabel 3.5.
Kadar SO2 Minimum. Maksimum dan Rata-Rata Tahun 2019
Kadar SO2 (µg/Nm3)
No. Lokasi Sampling
Minimum Maksimum Rata-rata
1. Transportasi 2,47 20,8 7,70
2. Industri 2,47 14,94 9,17
3. Pemukiman 2,88 18,91 9,77
4. Perkantoran 3,19 13,13 8,09
Gambar 3.3 Konsentrasi SO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT
Gambar 3.4 Indeks kualitas air provinsi NTT dan Nasional 2015-2018
Pada tahun 2018, nilai IKA NTT sedikit mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan nilai IKA tahun-tahun sebelumnya, namun nilai IKA
NTT selama tahun 2015 – 2018 masih berada di bawah IKA nasional.
Peningkatan/penurunan nilai IKA dipengaruhi oleh berbagai variabel antara
lain: (a) penurunan beban pencemaran serta upaya pemulihan (restorasi)
pada beberapa sumber air; (b) ketersedian dan fuktuasi debit air yang
dipengaruhi oleh perubahan fungsi lahan serta faktor cuaca lokal, iklim
regional dan nasional; (c) penggunaan air; dan (d) tingkat erosi dan
sedimentasi.
Kondisi kualitas air yang diuraikan berikut merupakan kondisi kualitas
air sungai mengingat keterbatasan data terkait kualitas air laut dan pesisir serta
sumberdaya air lainnya seperti waduk, embung, maupun danau.
Perairan sungai di NTT umumnya menerima sejumlah besar aliran
sedimen baik secara alamiah, buangan limbah rumah tangga, buangan
industri, aliran air permukaan, daerah urban, dan pertanian. Terkadang
sebuah sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung
bahan pencemar yang sangat besar. Menurut Sunaryo et al. (2007), di
kawasan perkotaan pencemaran air pada sungai dan badan air lain terutama
disebabkan oleh sektor domestik, berupa limbah cair dari rumah tangga dan
industri rumah tangga. Tiga penyebab utama tercemarnya sungai atau badan
air adalah:
a. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan
peningkatan ekonomi dan taraf masyarakat dengan konsekuensi
meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa tertentu.
b. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan
peningkatan buangan yang tertampung di perairan sehingga daya
purifikasi perairan terlampaui, akibatnya perairan menjadi tercemar
dengan tingkat yang semakin berat.
c. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial ekonomi budaya untuk
memperbaiki lingkungan, seperti investasi untuk sistem sanitasi dan
perlakuan lainnya.
Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil bahan
pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran
menjadi sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut
yang diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat
diperbaharui, namun proses pengenceran, degradasi dan non degradasi pada
arus sungai yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses
penjernihan alamiah. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen
terlarut yang pada batas tertentu dapat menimbulkan persoalan lingkungan
yang lebih luas.
Kondisi eksisting kualitas air sungai di NTT dievaluasi dengan cara
membandingkan hasil analisis parameter fisik dan kimia dari contoh air
dengan kriteria mutu kualitas air yang berlaku, yaitu mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
Berdasarkan Tabel 3.6, dapat dilihat bahwa pada tahun 2018 nilai IKTL
provinsi NTT sebesar 60,75. Kabupaten Ende memiliki nilai IKTL tertinggi
(94,15) diikuti Kabupaten Alor (IKTL 75,96) dan Kabupaten Manggarai Timur
(IKTL 74,24), sedangkan Kabupaten Sabu Raijua memiliki nilai IKTL terendah
(23,47) diikuti Kota Kupang (IKTL 36,51) dan Kabupaten Malaka (IKTL
50,01). Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai IKTL NTT diperlukan
upaya perbaikan dan peningkatan kualitas tutupan lahan (terutama bagi
kabupaten/kota yang IKTL-nya masih berkategori kurang baik) melalui
penyediaan ruang terbuka hijau, penghijauan ekosistem daratan, dan
rehabilitasi ekosistem pesisir.
Tabel 3.8.
Kawasan Hutan Lindung
No. Kabupaten/Kota Persentase Luasan (Ha)
1. Sumba Barat 0,48 3.130,00
2. Sumba Timur 12,24 79.904,45
3. Kupang 17,11 111.685,73
4. Timor Tengah Selatan 5,27 34.392,17
5. Timor Tengah Utara 6,70 43.759,77
6. Belu 5,66 36.961,09
7. Alor 7,23 47.228,16
8. Lembata 6,24 40.714,43
9. Flores Timur 5,95 38.877,28
10. Sikka 6,61 43.136,55
11. Ende 2,52 16.460,02
12. Ngada 4,73 30.855,08
13. Manggarai 3,66 23.904,37
14. Rote Ndao 2,29 14.967,78
15. Manggarai Barat 3,67 23.960,65
16. Sumba Barat Daya 2,12 13.824,86
17. Sumba Tengah 0,98 6.381,11
18. Nagekeo 1,31 8.570,03
19. Manggarai Timur 3,89 25.368,41
20. Kota Kupang 0,21 1.352,25
21. Sabu Raijua 1,15 7.481,59
NTT 100 652.915,78
Sumber: RTRW Provinsi NTT 2010-2030
2013, luas kawasan hutan per fungsi di Provinsi NTT, dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3.9.
Luas Kawasan Hutan per Fungsi di Provinsi NTT
Fungsi Kawasan SK.432 SK.3911 SK.357
No.
Hutan Luas % Luas % Luas %
1. Kawasan Suaka Alam 350.330 19,37 516.701 28,95 521.412 29,93
(KSA) dan
a. Daratan 260.219 14,58
b. Perairan 256.482 14,37
Cagar Alam (CA) 66.650 3,68
Suaka Margasatwa 18.920 1,05
(SM)
Taman Wisata Alam 159.155 8,80
(darat, perairan)
Taman Nasional 59.060 3,26
Hutan Bakau 40.695 2,25
Taman Buru 5.850 0,32
2. Hutan Lindung (HL) 731.220 40,42 684.403 38,35 684.572 39,29
3. Hutan Produksi 197.250 10,90 173.979 9,75 169.707 9,74
Terbatas (HPT)
4. Hutan Produksi Tetap 428.360 23,68 296.064 16,59 288.155 16,54
(HP)
5. Hutan Produksi yang 101.830 5,63 113.604 6,37 78.494 4,51
dapat dikonversi
JUMLAH 1.808.990 100,00 1.784,751 100,00 1.742.340 100,00
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi NTT, 2013
Penetapan lahan kritis mengacu pada lahan yang telah rusak karena
kehilangan penutupan vegetasinya sehingga kehilangan atau berkurang
fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur
iklim mikro dan retensi karbon. Berdasarkan kondisi vegetasinya,
kondisi lahan dapat diklasifikasi sebagai sangat kritis, kritis, agak kritis,
potensial kritis dan kondisi normal. Berikut ini adalah deskripsi lahan
kritis di Provinsi NTT berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi
NTT.
BAB IV
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas :
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas:
Arahan Prioritas :
DAFTAR PUSTAKA
Arwin (2009): Perubahan Iklim, Konversi Lahan dan Ancaman Banjir dan Kekeringan di
Kawasan Terbangun - Pidato Guru Besar di Majelis Guru Besar ITB Bandung,
disampaikan pada rapat majelis guru besar ITB Bandung pada tanggal 27 Februari
2009.
BPS NTT (2019): NTT Dalam Angka 2018, BPS Prov. NTT.
BAPPENAS, BPS dan UN Population Fund (2013): Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 –
2035.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/15/p2lf9h368-ntt-perlu-bangun-
70-bendungan-untuk-atasi-defisit-air di unduh 12 November 2019.
IPCC (2007): Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. Edited by Alley, R. et al. IPCC Secretariat. Switzerland.
Kemenkes (2018): Profil Kesehatan Indonesia Taun 2017. Kemenkes RI. Jakarta
Kementrian ESDM, 2017. Potensi Air Tanah di Indonesia. KemenESDM. Jakarta
KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang Cekungan Air Tanah.
Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS), Nomor 52/Kpts-II/2001 Tanggal 23 Pebruari 2001.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 Tahun 2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air.
Kodoatie, R.J., dan Sjarief, R. (2010): Tata Ruang Air, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kore, A. (2016): Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air di NTT. Artikel pada
https://kupang.tribunnews.com/2016/12/07/tantangan-pengelolaan-sumber-daya-air-
di-ntt?page=all, di unduh 12 November 2019.
Messakh, J. J.; Arwin; Hadihardadja, I. K; Duppe, Z. (2013): Impact of Climate Change on
Hydrology Regime and Sustainability of Water Availability in Semi-Arid Region, West
Timor. (International Proceeding)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2015 Tentang Sistem
Penyediaan Air Minum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.