Anda di halaman 1dari 145

RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN

LINGKUNGAN HIDUP (RPPLH)

PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2019 - 2049

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR


DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
TAHUN 2019

i
RENCANA PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
(RPPLH) PROVINSI NTT 2019 – 2049

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR


DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
TAHUN 2019

ii
KATA PENGANTAR

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah, aspek lingkungan hidup termasuk salah satu urusan Pemerintahan yang
bersifat mandatori, meskipun tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Lingkungan
hidup merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana termuat dalam Lampiran huruf k Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014. Salah satu sub bidang yang dibagi pada Lampiran huruf
tersebut adalah sub bidang Perencanaan Lingkungan Hidup bahwa, Pemerintah
Provinsi memiliki kewenangan untuk menyusun RPPLH Provinsi. Ketentuan
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut terkait
dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui
tahapan : a) inventarisasi lingkungan hidup; b) penetapan wilayah ekoregion; dan c)
penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Rencana Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya
perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPLH disusun
secara hirarki yang terdiri atas RPPLH Nasional, RPPLH Provinsi dan RPPLH
Kabupaten/Kota. RPPLH Provinsi berdasarkan: a) RPPLH Nasional; b) inventarisasi
tingkat pulau/kepulauan; dan c) inventarisasi tingkat ekoregion.
Penyusunan RPPLH Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2019, merupakan
salah satu bentuk pelaksanaan kewajiban Pemerintah dalam menyediakan informasi
terkait lingkungan hidup sesuai dengan Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2009
tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Data tersebut
diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pengambil kebijakan serta
bermanfaat bagi publik dalam rangka pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Kupang, Desember 2019


Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Provinsi Nusa Tenggara Timur,

ttd

Ir. FERDY J. KAPITAN, M. Si.


NIP. 19660220 199203 1 007

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………… ii


Kata Pengantar ……………………………………………………………… iii
Daftar Isi …………………………………………………………………….. iv
Daftar Gambar………………………………………………………………. vi
Daftar Tabel…………………………………………………………………. vii
Daftar Lampiran ……………………………………………………………. viii

Bab 1. Pendahuluan ………………………………………………………. I-1


1.1. Latar belakang ………………………………………………. I-1
1.2. Peran dan Posisi RPPLH ……..……………………………… I-2
1.3. Tujuan dan Sasaran ………………………………………….. I-4
1.4. Dasar Hukum ………………………………………………… I-5
1.5. Prinsip RPPLH ……………………………………………….. I-14
Bab 2. Kondisi dan Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung ………. II-1
2.1. Kondisi Geografis …………………………………………… II-1
2.2. Kondisi Topografi ………………………………………….. II-5
2.3. Kondisi Hidrologi …………………………………………... II-10
2.4. Kondisi Klimatalogi ……………………………………….... II-12
2.5. Tanah dan Lahan …………………………………………… II-15
2.6. Sumber Daya Mineral ……………………………………… II-16
2.7. Kependudukan ……………………………………………… II-17
2.8. Potensi Bencana Alam ……………………………………… II-20
2.9. Potensi Sumber daya Alam ………………………………… II-22
2.10. Kondisi Jasa Lingkungan …………………………………… II-32
2.11. Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup …………. II-34
2.12. Perubahan Iklim …………………………………………….. II-41
2.13. Degradasi Ekosistem Wilayah Pesisir dan Laut ………….. II-42
2.14. Ekoregion, Jasa Lingkungan Hidup, Daya Dukung dan
Daya Tampung …………………………………………….. II-45
2.15. Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung ……………… II-49
2.16. Tantangan Lingkungan Hidup 30 Tahun ke Depan ……. II-65
Bab 3. Permasalahan, Indikator dan Target III-1
3.1. Isu Strategis Provinsi NTT …………………………………… III-1
3.2. Indikator Keberhasilan ……………………………………… III-1
3.3. Target RPPLH Provinsi NTT ………………………………... III-29

iv
Bab 4. Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Provinsi Nusa Tenggara Timur……………………………………. IV-1
4.1. Kebijakan Umum …………………………………………….. IV-2
4.2. Strategi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Provinsi NTT Tahun 2019 – 2049 ………………………… IV-3
4.3. Kebijakan Tingkat Pulau/Kepulauan ………………………. IV-17
Daftar Pustaka ……………………………………………………………… IV-19
Lampiran-lampiran ………………………………………………………….

v
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1.1. Keterkaitan RPPLH dengan RPJM ……………………….. I-4
Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi NTT ……………….. II-5
Gambar 2.2. Peta Bathimetri Provinsi Nusa Tenggara Timur ………… II-7
Gambar 2.3. Perkiraan perubahan pola hujan dan curah hujan di
NTT ………………………………………………………… II-13
Gambar 2.4. Grafik peningkatan suhu di Kupang dan sekitarnya
(1986 – 2010) ……………………………………………… II-42
Gambar 2.5. Peta ekoregion Provinsi Nusa Tenggara Timur ………… II-46
Gambar 2.6. Sumber daya air dan komponennya …………………… II-51
Gambar 2.7. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia
Air Bersih Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam…… II-56
Gambar 2.8. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia
Pangan Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam……… II-64
Gambar 3.1. Indeks kualitas udara tahun 2015 – 2018 ……………….. III-6
Gambar 3.2. Konsentrasi NO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT ………………………… III-10
Gambar 3.3. Konsentrasi SO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT ………………………… III-14
Gambar 3.4. Indeks kualitas air provinsi NTT dan Nasional 2015-
2018 ………………………………………………………… III-16
Gambar 3.5. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter TSS …………………………………………….. III-18
Gambar 3.6. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter DO …………………………………………….. III-19
Gambar 3.7. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter BOD …………………………………………... III-20
Gambar 3.8. Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan
parameter COD …………………………………………… III-21
Gambar 3.9. Indeks Kualitas Tutupan Hutan dan Lahan ……………… III-25
Gambar 3.10. Tingkat Kekritisan Lahan menurut Kabupaten/Kota Di III-28
NTT
Gambar 4.1. Gambaran Skenario Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup ………………………………………… IV-2

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Kabupaten/ Kota dan luas wilayah dalam Provinsi NTT.. II-4
Tabel 2.2. Tinggi beberapa kota di atas permukaan laut (m dpl)
menurut Kabupaten/Kota di Provinsi NTT, 2018 ……….. II-6
Tabel 2.3. Nilai kecepatan arus di beberapa lokasi perairan laut NTT II-9
Tabel 2.4. Nama dan panjang sungai di wilayah Provinsi NTT……... II-11
Tabel 2.5. Potensi Sumberdaya Mineral Logam Provinsi NTT ……… II-16
Tabel 2.6. Potensi Sumber Daya Mineral Industri Provinsi NTT……… II-16
Tabel 2.7. Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Nusa
Tenggara Timur per Kabupaten/Kota………………………. II-17
Tabel 2.8. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan
Golongan Umur di Provinsi NTT Tahun 2018 …………… II-19
Tabel 2.9. Keadaan Areal Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas
dan Produksi Komoditi Padi dan Palawija Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2018 ………………………………
II-24
Tabel 2.10. Luas Tanaman Jagung Tahun 2013 – 2018 ………………. II-24
Tabel 2.11.a. Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tanaman
Perkebunan (Kelapa, Kopi, Kako) di Provinsi NTT
Tahun 2018 ………………………………………………… II-25
Tabel 2.11.b. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Jambu
Mete, Kemiri, Kapuk Pinang) di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2018 ………………………………………….
II-26
Tabel 2.11.c. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Cengkeh,
Vanili, Lada) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2018 ………………………………………………………….
II-27
Tabel 2.11.d. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Pinang,
Asam, Jarak Pagar) di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2018 …………………………………………………
II-28
Tabel 2.11.e. Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan
(Tembakau Sirih, Lontar) di Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2018 ………………………………………….
II-29
Tabel 2.12.a. Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018…………………. II-30

vii
Tabel 2.12.b. Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018 ………………… II-31
Tabel 2.13. Definisi Operasional Layanan Jasa Ekosistem …………….. II-46
Tabel 2.14. Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih
Berdasarkan Bentang Alam ………………………………… II-53
Tabel 2.15. Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Pangan
Berdasarkan Bentang Alam ………………………………… II-61
Tabel 3.1. Indeks Kualitas Udara (IKU) di NTT Tahun 2018 & 2019 III-5
Tabel 3.2. Kadar Nitrogen dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota III-7
Provinsi NTT Tahun 2019
Tabel 3.3. Kadar NO2 Minimum. Maksimum dan Rata-Rata Tahun
2019 ………………………………………………………….. III-10
Tabel 3.4. Kadar Sulfur Dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota
Provinsi NTT Tahun 2019 ………………………………….. III-11
Tabel 3.5. Kadar SO2 Minimum, Maksimum dan Rata-Rata Tahun
2019 ………………………………………………………….. III-14
Tabel 3.6. Tutupan Hutan dan Nilai IKTL Provinsi NTT Tahun 2018 III-23
Tabel 3.7. Rencana Kawasan Lindung Provinsi NTT 2010-2030……. III-25
Tabel 3.8. Kawasan Hutan Lindung …………………………………… III-26
Tabel 3.9. Luas Kawasan Hutan per Fungsi di Provinsi NTT………… II-27

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.
Lampiran 2.

ix
PENDAHULUAN 2019

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah, lingkungan hidup merupakan salah satu urusan Pemerintahan yang
bersifat mandatori, meskipun tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Lingkungan hidup merupakan salah satu urusan pemerintahan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana termuat dalam Lampiran huruf k Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014. Salah satu sub bidang yang dibagi pada Lampiran
huruf tersebut adalah sub bidang Perencanaan Lingkungan Hidup bahwa Pemerintah
Provinsi memiliki kewenangan untuk menyusun RPPLH Provinsi. Ketentuan
sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut
terkait dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur bahwa
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
melalui beberapa tahapan meliputi inventarisasi lingkungan hidup, penetapan
wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH.

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009,


Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya
disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu. RPPLH disusun secara hirarki yang terdiri atas RPPLH Nasional,
RPPLH Provinsi dan RPPLH Kabupaten/Kota. RPPLH Provinsi disusun
berdasarkan RPPLH Nasional, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan, dan
inventarisasi tingkat ekoregion. RPPLH disusun oleh Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan RPPLH
memperhatikan beberapa aspek yang meliputi keragaman karakter dan fungsi

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 1


PENDAHULUAN 2019

ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal,
aspirasi masyarakat, dan perubahan iklim. RPPLH yang disusun Gubernur diatur
dengan Peraturan Daerah dan memuat rencana yang mencakup pemanfaatan
dan/atau pencadangan sumber daya alam; pemeliharaan dan perlindungan
kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; pengendalian, pemantauan,
pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan adaptasi serta mitigasi
terhadap perubahan iklim.

RPPLH yang telah diatur dalam bentuk Peraturan Daerah tersebut menjadi
dasar penyusunan dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). Hingga saat ini, Pemerintah Pusat sedang menyusun Rancangan
Peraturan Pemerintah tentang RPPLH Nasional dan Kementerian Lingkungan
Hidup mendorong setiap Pemerintah Daerah untuk menyusun RPPLH sesuai
kewenangannya. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur
memandang perlu untuk menyusun dokumen “RENCANA PERLINDUNGAN
DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RPPLH) PROVINSI NUSA
TENGGARA TIMUR”.

1.2 PERAN DAN POSISI RPPLH


Sesuai uraian di dalam draft dokumen RPPLH Nasional, maka peran dan
posisi RPPLH antara lain adalah:

1.2.1 PERAN RPPLH

a) Dari sisi perencanaan pembangunan, RPPLH merupakan rencana yang


bersifat umum dan lintas sektoral dari perencanaan sektor lainnya.

b) RPPLH terstruktur dari tingkat Nasional yang dijabarkan dalam tingkat


Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota.
c) RPPLH Nasional merupakan bagian dari kerangka perencanaan
pembangunan nasional, yang materi muatannya, harus menjadi acuan
dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 2


PENDAHULUAN 2019

Menengah (RPJP/M) dan merupakan bagian yang integral dalam


pembangunan ekonomi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
perencanaan K/L dan pemerintah daerah dalam menyusun RPPLH
Daerahnya.
d) RPPLH menjadi dasar dan dimuat dalam rencana pembangunan,
serta menjadi masukan utama dan bagian integral dari dokumen
perencanaan pembangunan nasional agar pelaksanaan pembangunan
dan pemanfaatan sumberdaya alam lebih terkontrol.
e) RPPLH menjadi acuan bagi dokumen-dokumen perencanaan
sumberdaya lainnya yang lebih spesifik, seperti pengelolaan
gambut, karst, mangrove, termasuk perencanaan pengembangan
pulau-pulau kecil.

1.2.2 POSISI RPPLH

a. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH)


adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, persoalan
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaanya
dalam kurun waktu tertentu.
b. Penyusunan RPPLH merupakan mandat UU No 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.
c. RPPLH Nasional merupakan perencanaan lingkungan hidup yang
berbasis ekoregion, yang diharapkan dapat mengatur upaya
penyelesaian masalah lingkungan hidup yang bervariasi pada setiap
ekoregion (seperti diketahui, daratan Indonesia dibagi kedalam 7
(tujuh) Ekoregion Pulau/Kepulauan). Ketujuh kawasan ekoregion
sa la h sa tu nya a da lah ekoregion kepulauan Bali Nusa Tenggara.
d. Perencanaan pada Kementerian/Lembaga yang telah diwarnai
oleh RPPLH, secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 1.1.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 3


PENDAHULUAN 2019

Gambar 1.1 Keterkaitan RPPLH dengan RPJM

1.3 TUJUAN DAN SASARAN


1.3.1 TUJUAN

RPPLH Provinsi NTT ini disusun dengan tujuan, antara lain untuk:

a. Mengharmonisasikan pembangunan di Provinsi NTT dengan


kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
b. Mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta
melindungi keberlanjutan fungsi lingkungan hidup di Provinsi NTT;
c. Mempertahankan dan/atau menguatkan tata kelola pemerintahan dan
kelembagaan masyarakat untuk pengendalian, pemantauan, dan
pendayagunaan lingkungan hidup; dan
d. Mempertahankan dan/atau meningkatkan ketahanan dan kesiapan dalam
menghadapi perubahan iklim di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.3.2 SASARAN

Sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan RPPLH Provinsi Nusa


Tenggara Timur dalam kurun waktu 2019 – 2049 adalah:

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 4


PENDAHULUAN 2019

a. Terjaminnya ketersediaan air untuk kehidupan dan pembangunan


secara berkelanjutan;
b. Terjaminnya dukungan lingkungan hidup bagi produksi pangan dan
energi bersih secara berkelanjutan;
c. Terjaminnya keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di perairan dan
daratan;
d. Minimnya risiko dan dampak lingkungan hidup negatif yang
ditanggung warga masyarakat; dan
e. Meratanya manfaat sumber daya alam bagi warga masyarakat.

1.4 DASAR HUKUM

Sebagai referensi hukum pada penyusunan RPPLH Provinsi Nusa Tenggara


Timur adalah sebagai berikut:

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958
Nomor 115);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 5


PENDAHULUAN 2019

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4401);
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3046);
8. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
9. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
10. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4739);
12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 6


PENDAHULUAN 2019

13. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral


dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
14. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan
Lembaran Negara Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
15. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025);
16. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 199,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052).
17. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
18. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan;
19. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234);
20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 7


PENDAHULUAN 2019

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan


Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan
Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3014);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);

23. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah


Aliran Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468);

24. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak


dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata cara Peran Serta Masyarakat dalam
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1996,
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3660);
25. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3747);
26. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3776);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127) ;

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 8


PENDAHULUAN 2019

28. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
29. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4490);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4663);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4664);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I- 9


PENDAHULUAN 2019

36. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi


Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4815);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4817);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4828);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4833);
40. Peraturan-Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4858);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4861);

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I - 10


PENDAHULUAN 2019

43. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pengelolaan Kawasan Perkotaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5004);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan Status
dan Fungsi Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia No 221
Tahun 2009);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2009 tentang perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5056 );
47. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara RI Tahun 2010 Nomor 21 Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomr 5103);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata
Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5160);
49. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2011 tentang
Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 2);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5279);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I - 11


PENDAHULUAN 2019

52. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara


Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis;

53. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;

54. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan


Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan;
55. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung;
56. Keputusan Presiden Nomor 62 tahun 2000 tentang Pedoman Koordinasi
Penataan Ruang Nasional;
57. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
58. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
59. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Peran serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah;
60. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis;
61. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan;
62. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan
Bencana;

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I - 12


PENDAHULUAN 2019

63. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21 Tahun 2007 tentang


Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan
Kawasan Rawan Gempa Bumi;
64. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor;
65. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata
Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
Daerah;
66. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten / Kota beserta Rencana Rincinya;
67. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten;
68. Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor
1457.K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan
di Bidang Pertambangan dan Energi;
69. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah;
70. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327
Tahun 2002 tentang Penentapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang;
71. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
72. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 5984 Tahun 2014
sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 2382 Tahun 2015 tentang Peta Arahan
Pemanfaatan Hutan Produksi Untuk Usaha Pemanfaatan Hutan;

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I - 13


PENDAHULUAN 2019

73. Keputusan Menteri LHK RI Nomor: SK.357/Menlhk/ Setjen/PLA.0/5/2016


tanggal 11 Mei 2016, tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 54.163 Hektar, Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan seluas ± 12.168 Hektar, dan Penunjukan Bukan Kawasan
Hutan Menjadi Kawasan Hutan Seluas ± 11.811 Hektar di Provinsi NTT;
74. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2008
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Nusa Tenggara
Timur Tahun 2008 – 2028;

75. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 1 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2010 – 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2011 Nomor 02);
76. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 14 Tahun 2016
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Provinsi
Nusa Tenggara Timur;

77. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 4 Tahun 2017
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi
Nusa Tenggara Timur; dan

78. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018-2023.

1.5 PRINSIP RPPLH


Prinsip RPPLH adalah sebagai berikut:
a. Pembangunan Berkelanjutan: Pembangunan Ekonomi dan
Sosial tidak mengorbankan Lingkungan Hidup dan mengintegrasikan
perlindungan lingkungan dari lingkungan paling kecil (lokal dan
regional);

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I - 14


PENDAHULUAN 2019

b. Pembangunan Rendah Karbon: Pelaksanaan pembangunan pada


Kabupaten/Kota yang rendah karbon dan hemat energi, serta
menciptakan harmonisasi antara pembangunan ekonomi dengan
perlindungan ekologi;
c. Partisipasi Publik: Melibatkan publik dalam seluruh proses,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. Kerjasama antar Daerah: Mengutamakan kerjasama antar daerah
dalam satu ekoregion dan antar ekoregion sebagai keniscayaan untuk
mendorong keberhasilan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan
Hidup.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 I - 15


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

BAB II
KONDISI DAN INDIKASI DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG

2.1 Kondisi Geografi


Nusa Tenggara Timur di awal kemerdekaan Indonesia, merupakan
bagian dari wilayah Provinsi Sunda Kecil yang beribukota di Singaraja - Bali.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 tanggal 11 Agustus 1958
tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur, NTT resmi menjadi sebuah provinsi yang terletak di bagian
tenggara Indonesia. Melalui proses geologi yang panjang akibat aktivitas
lempeng Indo-Australia dan lempang Eurasia pada 55 juta tahun yang lalu
(fase tektonis), telah membentuk gugusan kepulauan yang ada di Nusa
Tenggara Timur saat ini. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu
provinsi kepulauan dengan luas daratan + 47.350 Km2 dan luas perairan laut
+ 200.000 Km2 di luar Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, yang membentang
sepanjang 160 Km dari Utara (Pulau Palue di laut Flores) sampai Selatan
(Pulau Ndana) di Laut Timor dan sepanjang 400 km dari bagian barat di
Pulau Komodo yang berbatasan dengan Selat Sape, Nusa Tenggara Barat,
sampai Alor di bagian Timur, berbatasan dengan Timor Leste di Selat Ombai.
Terdapat 566 pulau, 44 pulau yang berpenghuni dan 508 pulau yang telah
bernama, dengan tiga pulau utama, yaitu Pulau Flores, Pulau Sumba dan
Pulau Timor.
Bentangan kepulauan yang terletak di antara 8° - 12° Lintang Selatan dan
118° – 125° Bujur Timur, mempunyai makna tersendiri terhadap kehidupan
banyak orang. Gugusan pulau-pulau tersebut disapa dengan berbagai sebutan,
antara lain "Sunda Kecil”, “Nusa Tenggara”, “Nusa Tenggara Timur" dan juga
"Flobamorata" yang bermakna adanya komitmen menyatukan berbagai etnik,
kultur, bahasa dan agama yang mencirikan pluralistik masyarakat di NTT.
Karena faktor geografinya tersebut, wilayah Nusa Tenggara Timur termasuk
dalam kawasan ekosistem Wallacea selain wilayah Sulawesi dan Maluku.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 1


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sebagai akibatnya, Nusa Tenggara Timur mempunyai keanekaragaman hayati


yang tinggi, unik dan endemik yang terpisah dari Asia maupun Australia.
Contoh keunikan flora dan fauna di Nusa Tenggara Timur, antara lain
terdapatnya kadal raksasa Komodo (Varanus komodoensis) yang telah
dinobatkan sebagai salah satu seven wonder in the word, kayu cendana
(Santalum album) hingga kekayaan jenis mikroba tanah (mikorizha dan
bakteri pelarut fosfat). Imajinasi sebagian besar masyarakat tentang Nusa
Tenggara Timur adalah gugusan kepulauan yang gersang, panas, dan miskin
sumber daya alam. Kondisi alam yang marjinal kerap menjadi stigma negatif
bagi daerah ini. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Nusa Tenggara
Timur adalah gugusan kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang luar
biasa. Tidak terbatas pada keunikan flora dan fauna saja, Nusa Tenggara
Timur juga kaya akan warisan budaya, arsitektur, bentang alam, dan ritual
keagamaan yang sangat beragam.
Provinsi Nusa Tenggara Timur terletak di bagian tenggara Indonesia,
dan berbatasan langsung dengan dua negara tetangga, Australia dan Timor
Leste. Dari sektor kemaritiman ini, Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai
potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, salah satunya potensi
perikanan 240.000 ton ikan/tahun (potensi lestari), di samping potensi
mutiara, rumput laut, garam dan ikan hias. Potensi alam Provinsi Nusa
Tenggara Timur lainnya adalah sumber daya lahan pertanian, dimana lahan
pertanian mencakup 34,96% dari luas wilayah daratan Nusa Tenggara Timur,
yang terdiri atas 2,69% pertanian lahan basah dan 32,28% pertanian lahan
kering. Dari luas lahan pertanian tersebut, terdapat 17 kawasan andalan yang
dapat dikembangkan berbasis sistem agribisnis dan agroindustri yang
menghasilkan komoditi unggulan seperti komoditi ternak di Timor dan
Sumba serta komoditi perkebunan di Flores dan Alor. Provinsi Nusa Tenggara
Timur didominasi oleh pulau-pulau kecil dengan topografi lahan dominan
berbukit dan bergunung yang menjulang langsung dari permukaan laut serta
sifat-sifat tanahnya yang berbahan induk batu kapur di atas endapan laut.
Akibat terpisah jauh dari pulau utama, menyebabkan pulau-pulau di Provinsi

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 2


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

ini bersifat insular (remote) dan tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut.
Kemampuan daya dukung pulau-pulaunya terbatas, terutama ketersediaan air
tawar, karena daerah tangkapan airnya (catchment area) yang kecil di samping
rentan terhadap perubahan lingkungan, dampak perubahan iklim dan bencana
alam, seperti tsunami, badai dan gelombang ekstrim, naiknya paras muka air
laut dan gempa bumi.
Saat ini, Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah
yang banyak dilirik oleh para investor asing maupun lokal, khususnya investor
di bidang usaha pertambangan mineral. Nusa Tenggara Timur kaya akan
tambang mangan, chromit, tembaga, marmer, pasir besi, dan beberapa bahan
galian tambang lainnya. Mineral logam mangan menjadi komoditi tambang
yang prospektif, karena mempunyai kadar mangan tinggi (lebih dari 45%).
Potensi mineral logam mangan tersebar di Kabupaten Belu, TTU, dan
Kupang. Sumber energi yang dihasilkan panas bumi cukup potensial
dikembangkan mengingat banyaknya gunung berapi di Nusa Tenggara Timur
selain sumber energi alternatif lainnya, seperti energi matahari, air, gelombang
laut maupun angin yang sangat melimpah di wilayah ini.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya telah diatur
dalam Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 4 Tahun 2017
tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K)
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pengaturan ini bertujuan agar pemanfaatan
sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memenuhi azas
keberlanjutan, yakni pemanfaatan sumber daya yang tidak melebihi
kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber
daya non hayati pesisir. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 20
Tahun 2008 pada Pasal 3 Ayat (1), secara tegas juga dinyatakan bahwa
pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk
salah satu atau lebih kepentingan, yaitu: a) konservasi, b) pendidikan dan
pelatihan, c) penelitian dan pengembangan, d) budidaya laut, e) pariwisata, f)
usaha dan industri perikanan secara lestari, g) pertanian organik dan h)
peternakan, sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 3


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Persoalan umum yang kerap terjadi di pulau-pulau kecil antara lain


adanya illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, erosi, hilangnya
keanekaragaman hayati, persoalan tata guna lahan dan hak ulayat. Persoalan
lingkungan lainnya adalah hilangnya tanah (soil loss) baik secara fisik maupun
kualitas, kekurangan air (water shortage), limbah padat, dan bahan kimia
beracun. Karena pulau-pulau kecil memiliki luas yang relatif sempit, maka
dampak pemanfaatan sumber daya alam yang melampaui daya dukung dan
daya tampungnya akan sangat terasa oleh masyarakat. Oleh karena itu,
pemanfaatan lahan pulau-pulau kecil tidak boleh melebihi daya dukung dan
daya tampungnya.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 dibutuhkan untuk
menjaga kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup suatu
daerah dalam jangka waktu tertentu.
Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri atas 21 Kabupaten dan 1 Kota
dengan luas wilayah administratif seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1. dan
Gambar 2.1.
Tabel 2.1.
Kabupaten/ Kota dan luas wilayah dalam Provinsi NTT
Kabupaten/Kota Luas Daerah (km2) Persentase
01. Sumba Barat 737,42 1,54
02. Sumba Timur 7.005,00 14,61
03. Kupang 5.525,83 11,53
04. Timor Tengah Selatan 3.947,00 8,23
05. Timor Tengah Utara 2.669,70 5,57
06. Belu 1.248,94 2,61
07. Alor 2.928,88 6,11
08. Lembata 1.266,39 2,64
09. Flores Timur 1.754,98 3,66
10. Sikka 1.731,91 3,61
11. Ende 2.068,00 4,31
12. Ngada 1.722,24 3,59
13. Manggarai 1.915,62 4,00
14. Rote Ndao 1.284,41 2,68
15. Manggarai Barat 3.141,47 6,55
16. Sumba Tengah 1.817,88 3,79
17. Sumba Barat Daya 1.445,32 3,02
18. Nagekeo 1.416,96 2,96

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 4


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

19. Manggarai Timur 2.502,24 5,22


20. Sabu Raijua 460,47 0,96
21. Malaka 1.160,61 2,42
22. Kota Kupang 180,27 0,38
Jumlah 47.931,54 100,00
Sumber: BPS NTT( 2019)

Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Provinsi NTT

2.2. Kondisi Topografi

Kondisi topografi Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagian besar


berbukit-bukit dan bergunung. Kawasan yang tergolong datar hingga landai
menyebar secara sporadis pada gugusan-gugusan yang sempit, di antara
lekukan perbukitan atau memanjang mengikuti garis pantai. Lahan dengan
kemiringan <40, yang cocok untuk kawasan budidaya mencapai 64,54%,
sebagian besar di antaranya (38,07% dari total luas lahan) memiliki
kemiringan 15 – 40 persen. Sisanya, 35,46% merupakan lahan dengan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 5


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

kemiringan > 40%, dan tidak dapat dikelola sebagai areal budidaya. Kondisi
geomorfologis/bentang alam yang demikian menimbulkan potensi erosi yang
sangat tinggi. Akibatnya, laju degradasi sumber daya lahan juga tinggi.

Tabel 2.2.
Tinggi beberapa kota di atas permukaan laut (m dpl) menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2018

No. Kabupaten/Kota Nama Kota Tinggi (± m dpl)

1. Sumba Barat Waikabubak 445


2. Sumba Timur Waingapu 155
3. Kupang Oelamasi 30
4. Timor Tengah Selatan Soe 900
5. Timor Tengah Utara Kefamenanu 470
6. Belu Atambua 380
7. Alor Kalabahi 75
8. Lembata Lewoleba 10
9. Flores Timur Larantuka 25
10. Sikka Maumere 35
11. Ende Ende 100
12. Ngada Bajawa 1.547
13. Manggarai Ruteng 1.177
14. Rote Ndao Ba’a 30
15. Manggarai Barat Labuan Bajo 65
16. Sumba Tengah Waibakul 450
17. Sumba Barat Daya Tambolaka 45
18. Nagekeo Mbay 55
19. Manggarai Timur Borong 20
20. Sabu Raijua Seba 60
21. Malaka Betun 40
22. Kota Kupang Kupang 85
Sumber: BPS NTT (2019)

2.2.1. Topografi/Kedalaman Laut di Wilayah Provinsi NTT

Perairan pesisir NTT sampai batas 12 mil memiliki kedalaman yang


bervariasi, dari yang dangkal sampai perairan dalam sampai kedalaman lebih

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 6


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

dari 300 m seperti peraian di selatan Lembata dan tenggara Alor. Mengacu
kepada kriteria laut dalam (kedalaman lebih dari 200 m), maka pada jarak
sampai 4 mil diukur dari daratan, perairan yang berada di hadapan daratan
sebagian besar kabupaten/kota di NTT merupakan perairan dangkal sampai
perairan dalam. Kabupaten yang tidak memiliki perairan dalam pada jarak 4
mil dari darat adalah Sumba Barat Daya, Malaka, TTS, dan Kota Kupang.
Pada jarak antara 4 sampai 12 mil, kondisi batimetri perairan di NTT
umumnya akan makin dalam lagi, kecuali pada wilayah tertentu yang
berdekatan dengan pulau-pulau lainnya atau bukit bawah laut yang
umumnya terdapat di wilayah Flores. Perairan dangkal umumnya berada
pada perairan yang berada pada wilayah selat dan yang berdampingan
dengan daratan. Dari sudut lokasi, wilayah utara NTT seperti Flores sampai
Alor memiliki kondisi batimetri yang lebih dalam dibanding bagian selatan
NTT seperti dari Sumba sampai Timor.

Gambar 2.2. Peta Bathimetri Provinsi Nusa Tenggara Timur

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 7


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.2.2. Arus Laut di Wilayah Provinsi NTT


Pola arus laut NTT pada saat menuju surut menunjukkan pergerakan air
yang meninggalkan pantai dari daratan utama. Pada perairan lepas pantai,
umumnya arus bergerak menuju selatan dan barat daya perairan laut NTT.
Pada saat pasang, arus laut bergerak ke utara memasuki perairan Laut Sawu
dan melewati pulau-pulau di bagian selatan Laut Sawu. Meski demikian, tidak
semua lokasi menunjukkan pola yang sama, salah satu contohnya adalah arus
akibat pasut di perairan Selat Larantuka (Flores Timur), dimana pada saat
surut pola aliran arus ke arah utara sedangkan pada saat pasang pola aliran ke
arah selatan.
NTT terletak di bagian selatan khatulistiwa. Arus permukaan laut
dipengaruhi oleh angin tenggara (Mei-November) dan angin barat laut
(November-Maret). Selama angin musim tenggara, massa air Samudera Pasifik
mengalir melalui Halmahera dan Laut Seram ke Laut Banda dan Laut Flores,
dan seterusnya melalui Sulawesi dan Selat makasar menuju Laut Jawa. Pada
Laut Flores, saat musim barat, arus yang menuju bagian utara NTT seperti
Flores dan Alor berasal dari dua aliran massa air. Aliran pertama berasal dari
Laut Cina Selatan yang sangat kuat mengalir melewati Selat Karimata (selat
yang berada diantara Sumatera dan Kalimantan) kemudian melalui Laut Jawa
bergerak ke arah timur menuju bagian utara Flores. Aliran kedua berasal dari
massa air Samudera Pasifik Utara -yang berdekatan dengan Filipina yang
mengalir menuju Laut Sulawesi/Celebes kemudian melalui Selat Makasar (selat
yang terletak diantara Kalimantan dan Sulawesi) dan akhirnya bergabung
dengan aliran pertama melewati bagian utara Flores. Gabungan aliran kedua
massa air ini menyebabkan kecepatan arus pada musim barat sangat kuat.
Saat musim peralihan I, kekuatan arus melemah dan menjadi tidak stabil
meski umumnya masih bergerak ke arah timur. Pada musim timur, massa air
berasal dari Samudera Pasifik Utara yang berdekatan dengan Papua yang
mengalir melalui Laut Banda dan melewati bagian utara Flores dengan
intensitas yang lebih kecil dibandingkan pada musim barat (Wrytki, 1961).
Pada Laut Timor, arus bergerak ke arah barat daya sepanjang tahun, pusatnya

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 8


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

dekat dengan pesisir Pulau Timor. Kecepatan arus pada musim barat
umumnya lebih tinggi dibandingkan pada musim timur. Kondisi ini sesuai
dengan pola kecepatan angin, sehingga dapat disimpulkan pada lokasi ini
bahwa angin sangat mempengaruhi arah dan kecepatan arus permukaan
perairan. Kajian kecepatan arus laut disajikan dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3.
Nilai kecepatan arus di beberapa lokasi perairan laut NTT
Kecepatan Waktu
No Lokasi Sumber
arus (m/s) pengukuran
1 Oesapa (Kota Kupang), 0,035-0,167 April-Juni 2001 Anakota (2002)
Teluk Kupang
2 Oebelo (Kab.Kupang), Teluk 0,05-0,333 April-Juni 2001 Anakota (2002)
Kupang
3 Teluk Kupang 0,059-0,238 Mei 2006 Kangkan (2006)
(zona pemanfaatan umum)
4 Semau, Kab.Kupang 0,14-0,47 Apr s/d Jun Langga (2010)
2010
5 Selat Larantuka 0,004-3,676 20-6 s/d 13-7- Yuningsih dan
2009 Masduki (2011)
6 Pelabuhan Nangakeo, Ende 0,00-0,30 2012 Sofianto (2012)
7 Tujuhbelas Pulau, Riung, 0,01-0,2 31-8 s/d 12-9- Siregar (1997)
Ngada 1996
8 Pantai Nanganumba, 0,3-0,5 Jul. s/d Des. Lika (1998)
Kab.Ngada 1997
9 Laut Flores 0,15-0,40 - Vincentius
(2003)
10 Lembata 0,05-0,34 BRN-DKP Stanis (2005)
(2002)

2.2.3. Luas Tiap Jenis Suhu Air Laut di Provinsi NTT


Suhu permukaan laut (SPL) sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar
matahari, revolusi bumi, dan rotasi bumi terhadap matahari. Makin tinggi
intensitas cahaya matahari dan makin lama paparan radiasi mencapai kolom
air, maka suhu permukaan laut akan meningkat. Kajian berdasarkan analisis
citra Modis Aqua selama lima tahun dari tahun 2010 – 2014 menunjukkan
bahwa umumnya pada Bulan November, Desember, dan Januari, SPL
perairan NTT mencapai suhu yang lebih tinggi dibandingkan pada bulan-

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 9


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

bulan lainnya, dimana SPL tertinggi dicapai pada Bulan Desember. Pada tiga
bulan tersebut, matahari sedang berada di bagian selatan khatulistiwa,
akibatnya paparan radiasi menjadi tinggi di perairan NTT. SPL yang rendah
berada pada Bulan Juni, Juli, dan Agustus ketika matahari berada di bagian
utara khatulistiwa. Pada bulan-bulan lainnya, SPL tidak setinggi pada Bulan
November, Desember, dan Januari namun tidak serendah Bulan Juni, Juli,
dan Agustus. Namun demikian, SPL perairan NTT sepanjang tahun masih
sesuai dengan kondisi perairan tropis karena tidak ada cemaran suhu yang
bersifat antropogenik.

2.2.4. Garis Pantai


Garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan
pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Garis laut dapat berubah karena
adanya abrasi, yaitu pengikisan pantai oleh hantaman gelombang laut yang
menyebabkan berkurangnya areal daratan. Berdasarkan data NTT dalam
angka 2019, maka panjang garis pantai Provinsi NTT adalah 5.700 km.

2.3. Kondisi Hidrologi

2.3.1. Daerah Aliran Sungai

Gambaran kondisi Hidrologi wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur


dapat dilihat dari potensi air permukaan dan air tanah. Secara umum, potensi
hidrologi di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur terutama air permukaan
tergolong kecil. Kondisi ini mengakibatkan sulitnya eksploitasi sumber air
permukaan untuk kepentingan pembangunan. Daerah Aliran Sungai (DAS)
dibentuk dari beberapa sungai dan Danau. Di wilayah Provinsi Nusa Tenggara
Timur terdapat 27 DAS dengan luas keseluruhan 1.527.900 Ha. Sungai yang
terpanjang di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah Sungai Benanain (100
Km) yang mencakup Kabupaten TTS, TTU dan Belu. Nama dan panjang
sungai yang di wilayah Provinsi NTT disajikan pada Tabel 2.4.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 10


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.4.
Nama dan panjang sungai di wilayah Provinsi NTT
No. Kabupaten/Kota Nama Sungai Panjang Sungai (Km)
01. Sumba Barat - Wano Kaka 80
- Payeti 70
- Wangga 50
02. Sumba Timur - Kakaha 55
- Kambaniru 171
- Baing 301,4
- Oesao 30
- Batu Merah 40
- Noel Fail 38
- Siloto 40
03. Kupang
- Noel Nunkurus 31,2
- Noel Kapsali 40
- Noel Amabi 35
- Noel Oehani 28
- Tuasene 55
Timor Tengah
04. - Noelmina 100
Selatan
- Noelmuke 45
- Nain 30
- Powu 40
05. Timor Tengah Utara - Kaubele 40
- Haekto 30
- Mena 33
- Talau 50
- Benanain 132
06. Belu
- Nobelu 45
- Haekesak 30
- Waelombur 30
07. Alor
- Bukapiting 25
08. Lembata - Waikomo 41
- Flores Timur 30
09. Flores Timur - Bama 30
- Konga 46
- Mati 60
- Warlelau 70
10. Sikka - Ili Getang 70
- Mebe 80
- Kaliwajo 51
- Wolowona 60
11. Ende - Mautenda 60
- Nangapanda 60
12. Ngada - Pomondiwal 45

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 11


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

No. Kabupaten/Kota Nama Sungai Panjang Sungai (Km)


- Aisesa 65
- Dampek 60
- Waikaap 80
13. Manggarai
- Reo 55
- Wae Raho 211,6
14. Rote Ndao - Menggelama 32
15. Manggarai Barat - Waemese 48
- Bewi 8
16. Sumba Tengah
- Pamalar 6
- Pola Pare 18
- Wai Ha 9
- Wee Wagha 10
17. Sumba Barat Daya
- Wee Lambora 10
- Wee Kalowo 7
- Loko Kalada 16
18. Nagekeo - -
19. Manggarai Timur - -
20. Sabu Raijua - -
21. Malaka - -
22. Kota Kupang - Manikin 30
Sumber: Balai Wilayah Sungai NTT II

2.1.3.2 Debit
Curah hujan rata-rata di NTT adalah 1.200 mm, dengan baseflow
andalan dari 194 sungai 122,50 m3/det setara dengan 3,863 Milyar m3/tahun.
Kebutuhan air di NTT yang layak (standard WHO) dengan jumlah penduduk
tahun 2018 sebanyak 5.371.519 jiwa (BPS, 2019) adalah 5.371.519 jiwa x
1.000 m3/orang/tahun = 5,37 Milyar m3/tahun setara dengan 170,33 m3/det.
Jika potensi cekuangan air tanah (CAT) belum dimanfaatkan berarti NTT
mengalami devisit air sebesar 170,33 – 122,50 = 47,829 m3/det setara
dengan 1,51 Milyar m3/tahun.

2.4. Kondisi Klimatologi


Iklim dipengaruhi geografis wilayah yang letaknya di antara benua Asia
dan Australia serta antara samudra Hindia dan Pasifik. Secara umum beriklim
tropis, dengan variasi suhu dan penyinaran matahari efektif rata-rata 8 jam
per hari. Musim hujan berlangsung antara bulan November hingga Maret dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 12


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

musim kemarau antara bulan April hingga Oktober. Rata-rata curah hujan
tahunan berkisar 850 mm terjadi di Sabu, Maumere, dan Waingapu,
sementara curah hujan tahunan kisaran 2500 mm terjadi di Ruteng, Kuwus,
Mano, Pagal dan Lelogama. Fenomena iklim global (El Nino dan La Nina)
juga mempengaruhi kondisi iklim wilayah secara umum. Pada saat terjadinya
fenomena El Nino (1997/1998;2002/2003;2009/2010), awal musim hujan
umumnya mundur 1-3 dasarian, periode musim hujan semakin pendek dan
sifat hujan umumnya di bawah normal sehingga berdampak pada kekeringan.
Sebaliknya saat La Nina (1998/1999;2010/2012), awal musim hujan umumnya
maju 1-3 dasarian, periode musim hujan semakin panjang dan sifat hujan di
atas normal dan berpotensi menyebabkan banjir.
Berdasarkan analisis data series iklim (suhu udara dan curah hujan)
selama 30 tahun (1983-2012), suhu udara rata-rata bulanan mengalami
kecenderungan peningkatan 0.20C – 0.40C dan curah hujan bulanan
mengalami peningkatan sebesar 25-100 mm. Sementara itu awal terjadinya
musim hujan cenderung mundur 1 s/d 3 dasarian dari normalnya. Periode
musim hujan semakin pendek sebaliknya periode musim kemarau semakin
panjang. Perkiraan awal musim hujan (AMH) dan musim hujan (MH) hasil
kajian iklim NTT dan pemodelan iklim, SPARC project UNDP sebagaimana
Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Perkiraan perubahan pola hujan dan curah hujan di NTT

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 13


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.4.1. Tipe Iklim

Konfigurasi Geografis NTT sebagai provinsi Kepulauan dan letaknya pada


posisi silang di antara dua benua Asia dan Australia dan diantara dua samudera
yaitu Hindia dan Pasifik, menentukan karakteristik iklim di wilayah ini. Wilayah
provinsi NTT secara umum termasuk ke dalam tipe iklim tropis dengan variasi
suhu dan penyinaran matahari yang rendah rata-rata suhu minimum dan
maksimum masing-masing 24 oC dan 32 oC dengan panjang hari ±12 jam.
Pola umum iklim wilayah ini adalah pola musim hujan dan musim kemarau.
Musim hujan berlangsung antara bulan November sampai Maret dan musim
kemarau antara bulan April dan Oktober. Pola iklim demikian dikendalikan
oleh pola angin Moonsoon dari Tenggara yang relatif kering dan dari arah
Barat Laut yang membawa banyak uap air.
Konfigurasi kepulauan dan topografi wilayah juga merupakan pengendali
iklim lokal yang berpengaruh terhadap karakteristik iklim lokal. Akibatnya
keragaman iklim antar wilayah di daerah ini juga sangat besar. Dari aspek curah
hujan, rata-rata curah hujan tahunan bervariasi antara 850 mm di daerah-
daerah seperti Sabu, Maumere dan Waingapu, sedangkan curah hujan lebih
dari 2.500 mm di Ruteng, Kuwus dan Lelogama.

2.4.2. Kelembaban

Secara umum, iklim wilayah NTT termasuk ke dalam kategori iklim semi-
arid, dengan periode hujan yang hanya berlangsung 3-4 bulan dan periode
kering 8-9 bulan. Kondisi iklim demikian mendeterminasi pola pertanian
tradisional NTT yang hanya mengusahakan tanaman semusim, yang ditanam
dalam periode musim hujan. Keadaan demikian juga mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja pertanian yang tergolong sangat rendah (jumlah jam
kerja <5 jam/minggu), akibat dari waktu kerja bertani yang hanya berlangsung
3-4 bulan dalam setahun.
Persoalan curah hujan di NTT juga diperparah oleh pengaruh iklim
global, terutama fenomena El Nino dan La Nina serta fenomena perubahan
iklim global yang kurang menguntungkan. Dampak dari pengaruh iklim global

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 14


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

dimaksud antara lain adalah waktu on set dan off set musim hujan yang sulit
diprediksi dan fenomena kondisi musim kemarau dan musim hujan yang
ekstrim. Akibatnya adalah antara lain: kekeringan, gagal tanam, gagal panen,
banjir dan gangguan hama dan penyakit tanaman yang serius.
Kelembaban nisbi terendah terjadi pada Musim Timur Tenggara (63-
76%) yaitu bulan Juni sampai November dan kelembaban tertinggi pada
Musim Barat Daya (82-88%) yaitu bulan Desember sampai bulan Mei. Curah
hujan tertinggi di wilayah Flores bagian barat, Sumba bagian barat dan Timor
bagian tengah (2.000 - 3.000 mm/thn).
Kecepatan angin rata-rata pada Bulan November sampai April 03-05
Knot dan angin Musim Timur Tenggara terjadi pada bulan Mei sampai
dengan Oktober dengan kecepatan dapat mencapai 06-10 Knot (apabila
ditunjang angin permukaan).

2.5. Tanah dan Lahan

Iklim dan topografi merupakan dua di antara faktor pembentuk tanah


yang penting. Kondisi topografi wilayah yang berbukit dan bergunung-
gunung, dan iklim yang relatif kering menyebabkan jenis tanah dominan
adalah tanah-tanah muda, seperti dari ordo entisol, alfisol dan inceptisol.
Jenis-jenis tanah lain yang luas dan sebarannya cukup signifikan adalah
vertisol dan molisol. Secara umum, tanah-tanah ini memiliki kapasitas tukar
kation yang tinggi dan kandungan hara pada level rendah sampai sedang.
Tekstur tanah bervariasi dari berat, pada tanah-tanah vertisols, sampai ringan
pada tanah-tanah entisol dan alfisol.
Persoalan penting yang berhubungan dengan tanah adalah kedalaman
solum. Sebagian besar tanah di wilayah ini memiliki solum yang sangat
dangkal (<30 cm). Solum tanah yang dangkal menyebabkan kapasitas retensi
air tanah terbatas. Akibatnya tanaman yang tumbuh pada tanah semacam ini
sangat rentan terhadap kondisi kurang hujan. Dengan demikian, kendala
utama pengelolaan lahan untuk produksi pertanian adalah ketersediaan air.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 15


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.6. Sumber Daya Mineral

Sumber daya mineral logam yang telah diketahui potensinya antara lain:
tembaga, mangan dan besi, sedangkan timbal, emas, seng, perak, nikel dan
timah hanya merupakan indikasi dan sebagai mineral ikutan. Potensi sumber
daya yang telah diketahui dan terindikasi secara keseluruhan terlihat pada
Tabel 2.5 dan Tabel 2.6
Tabel 2.5.
Potensi Sumber daya Mineral Logam Provinsi NTT
Komoditi Sumber daya ( ton ) Keterangan
Besi 676.000 Mengandung Mangan
Pasir Besi 100.175.359 Placer
Tembaga 48.000 Kadar Cu = 4,7%.
Mangan 330.063 Placer dan singenetik
Timbal, emas Indikasi tipe urat
Nikel Indikasi Laterisasi
Timah Indikasi Placer
Sumber: NTT Dalam Angka Tahun 2014

Berdasarkan data pada tabel di atas, maka potensi tersebut perlu


ditindak lanjuti dengan penelitian dan pengembangan untuk kesejahteraan
masyarakat, seperti pemetaan dan digitasi serta peningkatan status indikasi
dengan penyedian sarana dan prasarana pertambangan.

Tabel 2.6.
Potensi Sumber Daya Mineral Industri Provinsi NTT
Komoditi Sumber daya ( ton ) Komoditi Sumber daya ( ton )
Batu Gamping 25.061.000.000 Tanah Urug 2.340.000
Toseki 29.120.000 Granit 284.297.000
Andesit 12.691.250.000 Zeolit 6.167.160
Sirtu 7.598.100 Batu Silika 210
Gipsum 2.006.250 Tras 4.637.725
Kaolin 26.150.000 Fosfat 165.600.000
Pasir Kwarsa 92.016.250 Marmer 1.464.100.000
Lempung 1.360.101.000 Dolomit 165.894.320
Batu Hias 20.000 Bentonit 27.582
Batuapung 383.000 Perlit 46.000.000
Sumber: NTT Dalam Angka Tahun 2014

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 16


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.7. Kependudukan
Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010
sebanyak 4.683.830 jiwa; hingga tahun 2018 jumlah penduduk bertambah
687.690 jiwa sehingga menjadi 5.371.519 jiwa. Kepadatan penduduk
meningkat dari 96 jiwa/km2 pada tahun 2010 menjadi 110 jiwa/km2 pada
tahun 2018. Kota Kupang memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi
dibandingkan dengan kabupaten lainnya yakni 16.188 jiwa/km2. Fenomena
ini dapat dipahami karena posisinya yang strategis baik sebagai ibu kota
provinsi juga menjadi pusat pelayanan pendidikan dan bisnis. Kabupaten lain
yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi adalah kabupaten Sumba
Barat Daya, disusul kabupaten Sabu Raijua dan kabupaten Sikka. Kabupaten
yang memiliki tingkat kepadatan paling rendah adalah Kabupaten Sumba
Tengah. Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Nusa Tenggara
Timur setiap kabupaten/ kota tahun 2010 dan 2018 dapat dilihat pada Tabel
2.7.
Tabel 2.7.
Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk Nusa Tenggara Timur
per Kabupaten/Kota
Jumlah Penduduk Laju pertumbuhan Kepadatan Kepadatan
(ribu jiwa) Penduduk (%) Tahun Tahun
No Kabupaten
2010 2018
2010 2018 2000-2010 2010-2018 (Jiwa/Km2) (Jiwa/Km2)
1 Sumba Barat 110,99 111,50 2,32 1,73 51 59
2 Sumba Timur 227,73 255,60 2,11 1,39 33 37
3 Kupang 304,55 387,48 2,53 3,02 56 71
4 Timor Tengah 441,16 465,97 1,25 0,63 112 118
Selatan
5 Timor Tengah 229,80 251,99 1,71 1,10 86 94
Utara
6 Belu 352,30 216,78 2,40 1,72 274 169
7 Alor 190,03 204,38 1,47 0,86 66 71
8 Lembata 117,83 140,39 2,74 2,15 93 111
9 Flores Timur 232,61 253,82 1,65 1,04 128 140
10 Sikka 300,33 318,92 1,31 0,70 173 184
11 Ende 260,61 272,99 1,15 0,53 127 133
12 Ngada 142,39 161,20 2,11 1,51 87 98
13 Manggarai 292,45 333,91 2,29 1,61 139 159
14 Rote Ndao 119,91 165,81 1,95 4,05 94 130
15 Manggarai Barat 221,70 269,03 3,07 2,38 92 112

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 17


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

16 Sumba Tengah 62,49 71,80 2,29 1,69 33 38


17 Sumba Barat 284,90 338,43 2,79 2,11 192 229
Daya
18 Nagekeo 130,12 144,41 1,85 1,26 92 102
19 Manggarai 252,74 283,31 1,99 1,38 96 107
Timur
20 Sabu Raijua 72,96 94,41 1,30 3,11 158 205
21 Malaka ... 189,22 … 1,74 … 163
22 Kota Kupang 336,24 423,80 3,52 2,86 12 843 16 188
Provinsi NTT 4 683,83 5 371,52 2,07 1,67 96 110
Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka, 2019

Pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor:


1) Migrasi, 2) Kelahiran, dan 3) Kematian. Rerata tingkat pertumbuhan
penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur antara tahun 2000 – 2010 adalah
2,07 % per tahun, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2011- –
2018 menjadi 1,67% per tahun. Kabupaten yang laju pertumbuhan
penduduknya melampaui angka laju pertumbuhan penduduk provinsi NTT
pada perioda tahun 2010-2018 berturut-turut adalah Kabupaten Rote Ndao,
Sabu Raijua, Kupang dan Kota Kupang disusul Kabupaten Manggarai Barat,
Lembata dan Sumba Barat Daya. Sebaliknya kabupaten yang laju
pertumbuhan penduduknya paling rendah adalah Kabupaten Ende, Timor
Tengah Selatan dan Sikka.
Struktur penduduk suatu wilayah menggambarkan komposisi penduduk
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur. Pengelompokkan penduduk
menurut umur dapat digunakan untuk mengetahui apakah penduduk di suatu
wilayah termasuk berstruktur umur muda atau tua. Penduduk suatu wilayah
dianggap penduduk muda apabila penduduk usia di bawah 15 tahun
mencapai sebesar 40 persen atau lebih dari jumlah seluruh penduduk.
Sebaliknya penduduk disebut penduduk tua apabila jumlah penduduk usia 65
tahun ke atas di atas 10 persen dari total penduduk. Dengan melihat proporsi
penduduk laki-laki dan perempuan dalam setiap kelompok umur, dapat
diperoleh gambaran mengenai sejarah perkembangan penduduk masa lalu
dan perkembangan penduduk masa yang akan datang. Struktur umur
penduduk saat ini merupakan hasil kelahiran, kematian dan migrasi masa lalu.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 18


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sebaliknya, struktur umur penduduk saat ini akan menentukan perkembangan


penduduk di masa yang akan datang.
Berdasarkan acuan tersebut, maka struktur penduduk Nusa Tenggara
Timur relatif masih dikategorikan sebagai penduduk muda, karena jumlah
penduduk 0 – 14 tahun masih cukup besar yakni 34,3% dari jumlah
penduduk secara keseluruhan. Kondisi kependudukan tersebut menunjukkan
investasi sosial untuk pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar bagi anak-anak
di bawah 15 tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih menjadi prioritas
utama untuk dilakukan. Fokus perhatian pemerintah adalah pada
pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar mulai dari perawatan
Ibu hamil dan kelahiran bayi, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, sarana
untuk tumbuh kembang anak termasuk penyediaan imunisasi, penyediaan
sarana pendidikan anak usia dini, sekolah dasar termasuk guru-guru dan
prasarana sekolah yang memadai dan merata. Struktur Penduduk tersebut
dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8.
Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan Golongan Umur
di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Kelompok Penduduk (orang) Jumlah
Umur Laki-laki Perempuan
0-4 324 837 313 531 638 368
5-9 309 064 301 460 610 524
10 -14 301 044 292 264 593 308
15-19 280 772 266 847 547 619
20-24 243 053 231 257 474 310
25-29 190 201 191 910 382 111
30-34 166 859 178 163 345 022
35-39 155 390 173 392 328 782
40-44 143 361 161 407 304 768
45-49 132 180 145 667 277 847
50-54 117 198 126 912 244 110
55-59 98 113 104 982 203 095
60-64 74 794 79 369 154 163
65-69 51 940 56 960 108 900
70-74 35 178 41 208 76 386

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 19


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

75+ 36 629 45 577 82 206


Jumlah 2 660 613 2 710 906 5 371 519
Sumber: Nusa Tenggara Timur Dalam Angka, 2019

2.8. Potensi Bencana Alam

Beberapa kawasan atau daerah di provinsi NTT memiliki tingkat


kerawanan bencana yang tinggi terutama bencana longsor dan gerakan
tanah, banjir, dan bencana geologi.
Penjelasan masing-masing kawasan tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Kawasan rawan longsor dan gerakan tanah terdapat di Kabupaten
Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah
Utara, Kabupaten Belu, Kabupaten Alor, Kabupaten Lembata, Kabupaten
Flores Timur, Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada,
Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Manggarai Timur, Kabupaten Manggarai,
dan Kabupaten Manggarai Barat.

(2) Kawasan rawan banjir terdapat di Takari dan Noelmina di Kabupaten


Kupang, Benanain di Kabupaten Belu, Dataran Bena dan Naemeto di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Ndona di Kabupaten Ende.

(3) Kawasan rawan bencana alam geologi, terdiri atas :


a. kawasan rawan bencana gempa terdapat di Kabupaten Ende,
Kabupaten Sikka, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Manggarai
Barat, Kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Timur, dan
Kabupaten Alor;
b. kawasan rawan bencana gelombang pasang dan tsunami terdapat di
Maumere Kabupaten Sikka, Daerah Atapupu/Pantai Utara Belu, Pantai
Selatan Pulau Sumba, Pantai Utara Ende, Pantai Utara Flores Timur,
Pantai Selatan Lembata, dan Pantai Selatan Pulau Timor, Pantai Selatan
Pulau Sabu dan Pantai Selatan Pulau Rote;

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 20


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

c. kawasan rawan bencana gunung berapi meliputi :


1. Kawasan Gunung Inelika, Gunung Illi Lewotolo, Gunung Illi
Boleng, Gunung Lereboleng, Gunung Lewotobi Laki-laki dan
Gunung Lewotobi Perempuan di Kabupaten Flores Timur;
2. Kawasan Gunung Anak Ranakah di Kabupaten Manggarai;
3. Kawasan Gunung Iya dan Gunung Kelimutu di Kabupaten Ende;
4. Kawasan Gunung Inerie di Kabupaten Ngada;
5. Kawasan Gunung Ebulobo di Kabupaten Nagekeo;
6. Kawasan Gunung Rokatenda dan Gunung Egon di Kabupaten
Sikka;
7. Kawasan Gunung Sirung di Kabupaten Alor; dan
8. Kawasan Gunung Batutara dan Gunung Ile Ape di Kabupaten
Lembata.
(4) Daerah rawan rawan pasang dan tsunami terdapat di Maumere
Kabupaten Sikka, Daerah Atapupu/Pantai Utara Belu, Pantai Selatan Pulau
Sumba, Pantai Utara Ende, Pantai Utara Flores Timur, Pantai Selatan
Lembata, dan Pantai Selatan Pulau Timor, Pantai Selatan Pulau Sabu dan
Pantai Selatan Pulau Rote.

(5) Pada kawasan rawan bencana, ditetapkan arahan penanganan kawasan


rawan bencana, terdiri atas :
a. Arahan penataan ruang kawasan rawan bencana longsor, terdiri atas :
1. pemeliharaan vegetasi di bagian gunung yang memiliki tingkat
ketinggian >2000 m dpl dan memiliki kelerengan >30%;
2. penanaman vegetasi seperti pepohonan untuk mengendalikan
kecepatan aliran air dan erosi tanah pada sempadan sungai;
3. prioritas kegiatan penanaman vegetasi yang berfungsi untuk
perlindungan kawasan tanah longsor;
4. penentuan ruang evakuasi dari permukiman penduduk;
5. penetapan ruang evakuasi bencana pada zona aman; dan
6. penyediaan sistem peringatan dini terkait jenis bencana.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 21


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

b. Arahan penataan ruang kawasan rawan bencana banjir, terdiri atas:


1. pembebasan kawasan terbangun pada kawasan rawan banjir
sebagai kawasan hijau;
2. penyediaan kelengkapan/sarana prasarana perlindungan bencana;
3. pengaturan intensitas, bentuk bangunan yang terkait zona
kerentanan;
4. penentuan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;
5. penetapan ruang evakuasi bencana pada zona aman;
6. penyediaan sistem peringatan dini terkait jenis bencana.

2.9. Potensi Sumber Daya Alam

Potensi sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi,


infrastruktur, prasarana sosial dan pelayanan dasar berada pada kawasan budi
daya dan kawasan hutan. Kawasan Areal penggunaan lain (APL) seluas
2.950.239 Ha atau 62,31 persen luas daratan dapat dimanfatkan untuk
kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan, kawasan peruntukan
pertanian hortikultura, kawasan peruntukan perkebunan, kawasan
peruntukan peternakan, lahan pertanian pangan berkelanjutan, pariwisata,
industri infratruktur dan permukiman.

2.9.1. Pertanian

Luas wilayah daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur 4.734.990 Ha,


terdiri dari 1.655.466 Ha atau 34,96% berpotensi untuk lahan pertanian.
Potensi ini terdiri dari 1.528.258 Ha atau 32,28% merupakan potensi usaha
pertanian lahan kering dan 127.208 Ha atau 2,69% adalah usaha pertanian
lahan basah (sawah). Walaupun kondisi iklim kering (semi arid) dengan
sumber daya lahan yang didominasi lahan kering dengan tingkat kesuburan
yang rendah namun upaya konservasi lahan dan penanganan budidaya yang
baik (Good Agriculture Practices /GAP) akan mendukung pengembangan
komoditi yang diharapkan.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 22


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.9.2. Tanaman Pangan dan Perkebunan


Pemanfaatan potensi lahan pertanian belum optimal. Luas lahan
potensial untuk produksi pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri
atas lahan kering seluas 1.528.308 ha dan potensi lahan basah seluas 284.103
ha. Dari total luas lahan kering, 202.810 ha tergolong sangat sesuai (S1),
478.930 ha termasuk kelas sedang (S2), dan seluas 846.568 ha lainnya
berkecocokan terbatas (S3). Pemanfaatan potensi lahan kering baru mencapai
40.37%. Penggunaan lahan lahan kering terdiri dari 483.165 ha untuk
budidaya tanaman pangan dan perkebunan, 30.089 ha untuk budidaya
sayur-sayuran, dan 102.892 ha untuk budidaya tanaman buah-buahan.
Potensi lahan basah seluas 284.103 ha yang tersebar di seluruh wilayah
kabupaten/kota, baru 128.632 ha yang sudah dikelola.
Tingkat produktivitas pertanian yang dicapai juga dinilai masih rendah,
dibanding angka-angka produktivitas nasional. Produktivitasl tanaman utama,
seperti padi, jagung, dan tanaman-tanaman perkebunan unggulan provinsi
secara rata-rata baru mencapai <50% dari angka rata-rata nasional.
Produksi beberapa komoditi penting tanaman pangan di Propinsi Nusa
Tenggara Timur tahun 2018 dapat dilihat pada Tabel 2.9. Produksi padi
mencapai 1.269.406 ton, yang terdiri atas padi sawah sebesar 1.067.121 ton
dan padi ladang sebesar 202.286 ton. Total produksi padi sawah jika dilihat
per zona mencakup Zona Timor (produksi 338.581 ton), Zona Flores
(produksi 596.671 ton) dan Zona Sumba (produksi 131.668 ton). Tiga
kabupaten yang produksi padi sawahnya mencapai lebih dari 100 ribu ton
adalah Kabupaten Manggarai Barat (236.292 ton), Kabupaten Manggarai
(112.310 ton) dan Kabupaten Rote Ndao (101.843 ton), sedangkan tiga
kabupaten/kota yang produksi padi sawah sangat rendah adalah Kabupaten
Lembata (295 ton), Kabupaten Alor (1.738 ton) dan Kota Kupang (1.881 ton).
Total produksi pada ladang sebesar 202.286 ton dimana penyebaran
produksinya berasal dari Zona Timor (produksi 38.799 ton), Zona Flores
(produksi 97.500 ton) dan Zona Sumba (produksi 65.987 ton).

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 23


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.9
Keadaan Areal Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Komoditi
Padi dan Palawija Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Luas Tanam Luas Panen Produktivitas Produksi
No. Komoditas
(ha) (ha) (Kw/ha) (Ton)
1. Padi 342.670 339.061 37,44 1.269.406
Padi Sawah 250.602 247.759 43,07 1.067.121
Padi Ladang 92.068 91.302 22,16 202.286
2. Jagung 347.760 336.208 25,25 848.998
3. Kedelai 30.132 17.993 11,72 21.085
4. Kacang Tanah 11.817 11.564 8,68 10.040
5. Kacang Hijau 12.523 12.236 6,51 7.966
6. Ubi Kayu 51.693 51.180 118,74 607.694
7. Ubi Jalar 6.544 6.229 73,63 45.865
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)

Jagung merupakan salah satu sumber pangan potensial yang dapat


dikembangkan dalam diversifikasi pangan untuk mendukung ketahanan
pangan lokal dan nasional. Perkembangan luas dan produksi jagung tahun
2013-2018 di Provinsi NTT disajikan pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10
Luas Tanaman Jagung Tahun 2013 – 2018
Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018

Luas Tanam (ha) 273.850 269.447 277.437 299.649 380.588 347.760


Luas Panen (ha) 270.394 257.025 273.194 265.318 313.150 336.208
Produksi (ton) 707.642 647.108 685.081 688.432 809.830 848.998
Produktivitas
2,62 2,52 2,51 2,59 2,59 2,52
(ton/ha)
Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)

Komoditas tanaman pangan lainnya yang dibudidayakan yaitu ubi kayu,


ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau dan kedele. Sedangkan hortikultura yang
dikembangkan dengan produksi yang menonjol dengan jumlah pohon yang
sudah panen mencapai 6.062.832 yaitu; (i) komoditas hortikulutra; alpukat,
jeruk keprok, mangga dan pisang; (ii) komoditas biofarmaka; jahe, dan (iii)

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 24


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

komoditas sayur-sayuran: bawang merah, bawang putih, cabe besar dan cabe
rawit.
Komoditas perkebunan yang bernilai ekonomis dan mempunyai peluang
pasar yang baik antara lain Kelapa, Jambu Mete, Kopi, Kakao, Cengkeh,
Vanili, Tembakau dan Kapas, namun komoditas perkebunan yang menonjol
adalah kelapa, kopi dan kakao. Hasil perkebunan umumnya dipasarkan
secara lokal, regional maupun ekspor. Produksi kelapa pada tahun 2017
mencapai 68.766 ton meningkat menjadi 69.597 ton pada tahun 2018,
produksi kopi sedikit menurun dari 21.364 ton (tahun 2017) menjadi 20.457
ton (tahun 2018), sementara produksi kakao meningkat dari 19.295 ton
menjadi 19.806 ton. Komoditas perkebunan sangat penting dalam kegiatan
ekspor dan perdagangan antar pulau dan mendukung peningkatan kapasitas
perdagangan keluar Nusa Tenggara Timur.

Tabel 2.11a.
Perkembangan Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan
(Kelapa, Kopi, Kako) di Provinsi NTT Tahun 2018
Kelapa Kopi Kakao
No. Kabupaten/Kota
Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Tanam (ha) (ton) Tanam (ha) (ton) Tanam (ha) (ton)
1 Sumba Barat 7.749 1.143 1.946 311 615 55
2 Sumba Timur 4.201 1.375 988 258 657 45
3 Kupang 11.356 4.497 921 138 248 51
4 Timor Tengah Selatan 8.903 1.486 686 81 464 55
5 Timor Tengah Utara 5.370 855 1.175 211 269 62
6 Belu 1.276 314 301 89 - -
7 Alor 5.299 1.379 1.727 151 1.296 63
8 Lembata 5.805 2.572 709 186 914 175
9 Flores Timur 12.246 9.668 2.919 1.434 5 500 2.338
10 Sikka 19.053 10.695 1.614 657 22.809 8.673
11 Ende 12.172 9.692 8.723 3.404 8.611 4.556
12 Ngada 4.298 1.286 6.630 1.418 955 205
13 Manggarai 3.222 582 7.398 991 2.860 571
14 Rote Ndao 4.739 3.412 - - - -
15 Manggarai Barat 3.335 727 8.564 2.816 3.047 661
16 Sumba Tengah 4.548 812 3.305 612 1.051 92
17 Sumba Barat Daya 8.309 3.961 5.421 2.210 3.201 1.090
18 Nagekeo 8.653 4.478 991 382 2.053 559
19 Manggarai Timur 2.080 627 18.281 5.090 2.438 486
20 Sabu Raijua 1.877 868 - - - -

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 25


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

21 Malaka 9.331 9.064 47 18 547 70


22 Kota Kupang 208 105 - - - -
NTT 144.030 69.597 72.346 20.457 57.535 19.806

Sumber : BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2019

Tabel 2.11.b.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Jambu Mete, Kemiri,
Kapuk Pinang) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Jambu Mete Kemiri Kapuk
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 975 465 1.125 292,4 85 19
2. Sumba Timur 5.174 3.414 1.653 940 293 90
3. Kupang 6.595 1.999 3.106 1.212 1.747 731
4. Timor Tengah Selatan 918 399 4.143 2.404 914 198
5. Timor Tengah Utara 4.932 1.649,4 4.398 1.849,7 851 163,5
6. Belu 853 435 635 491 96 32,6
7. Alor 4.801 2.020 5.235 3.317 44 15

8. Lembata 5.462 1.509 - - 112 24


9. Flores Timur 16.499 11.967,33 1.610 805 268 52,65

10. Sikka 10.563 8.993 415 215,1 287 74,5


11. Ende 4.971,76 3.944 5.815 5.325,2 198 68,3
12. Ngada 2.819 677 1.967 1.004 39 14
13. Manggarai 3.419,35 1.663,74 2.791 992,94 351,87 44,95
14. Rote Ndao 211 76,65 - - 335,1 36,21
15. Manggarai Barat 4.642 932 2.651 1.082 654 149
16. Sumba Tengah 781 526 853 380 34 9
17. Sumba Barat Daya 7.325 6.018,14 1.868 1.291 123 28,9
18. Nagekeo 2.314 1.381 1.871 1.381 45 11
19. Manggarai Timur 1.404,12 618,32 5.763,07 3.479,81 139,45 27,66
20. Sabu Raijua 779 273 - - 54 20
21. Malaka 413 208 1.140 1.077 139 34,38
22. Kota Kupang 49 23 23 10 - -

NTT 85.900,23 49.191,58 47.062,07 27.549,15 6.809,42 1.843,65


Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 26


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.11.c.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Cengkeh, Vanili,
Lada) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Cengkeh Vanili Lada
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 18 7,2 4 1,2 - -
2. Sumba Timur 64 32,4 - - - -

3. Kupang - - - - 39 15
4. Timor Tengah Selatan - - 5 2,2 7 3
5. Timor Tengah Utara 13 4,45 8 3,02 - -
6. Belu - - 6 2,4 - -

7. Alor 165 65,7 132 70,3 47 16,2


8. Lembata 5 2,3 - - 5 2

9. Flores Timur 344 174,3 96 43,66 230 83,78


10. Sikka 1.008 461,8 321 106 212 70,3

11. Ende 1.042 443,85 214 89,4 638,56 256,9


12. Ngada 386 176 244 132,5 38 17,9
13. Manggarai 351,87 44,95 2,1 1,02 - -
14. Rote Ndao - - - - - -
15. Manggarai Barat 763 392,2 111 46 - -

16. Sumba Tengah 47 17 1 0,4 - -


17. Sumba Barat Daya 407 132,98 69 25,4 - -
18. Nagekeo 516 223 2 1 115 40

19. Manggarai Timur 1.532,34 964,99 20,75 7,1 1,75 0,54


20. Sabu Raijua - - - - - -
21. Malaka - - 1 0,2 - -
22. Kota Kupang - - - - - -

NTT 6.662,21 3.143,12 1.236,85 531,8 1.333,31 505,62


Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 27


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.11.d.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Pinang, Asam,
Jarak Pagar) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Pinang Asam Jarak Pagar
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 944 331,8 122 42 18 1
2. Sumba Timur 1.401 692,3 14 10 79 4

3. Kupang 851 643 - - 161 10


4. Timor Tengah Selatan 244 138,6 1.377 965 19 -
5. Timor Tengah Utara 923 467,6 252 107 143 3
6. Belu 57 26 12 9 125 2

7. Alor 475 198,4 - - 169 -


8. Lembata 349 84 - - - -

9. Flores Timur 273 100,02 - - 65 1


10. Sikka 68 35,8 169 74 163 1,4

11. Ende 734 360,2 - - - -


12. Ngada 32 12 17 14 - -
13. Manggarai 407,25 65,41 16 4,85 - -
14. Rote Ndao 71,5 28,53 - - 83,40 5,24
15. Manggarai Barat 193 66,40 2 0,7 - -

16. Sumba Tengah 598 303 81 30 71 -


17. Sumba Barat Daya 5.358 1.690 - - 126 5
18. Nagekeo 32 11,1 19 9 - -

19. Manggarai Timur 176,65 107,23 5 1,9 2 -


20. Sabu Raijua 74 46,57 - - - -
21. Malaka 92 39,4 20 5,3 33 -
22. Kota Kupang 2 1 5 2,5 3 -

NTT 13.355,4 5.448,36 2.111 1.275,25 1.260,4 32,64


Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 28


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.11.e.
Produksi dan Luas Areal Tanaman Perkebunan (Tembakau
Sirih, Lontar) di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
Tembakau Sirih Lontar
No. Kecamatan Luas Produksi Luas Produksi Luas Produksi
Panen (ton) Panen (ton) Panen (ton)
(ha) (ha) (ha)
1. Sumba Barat 4 2,1 135 50,5 - -
2. Sumba Timur 72 24,8 419 227 2 1

3. Kupang 30 18 277 196 317 76


4. Timor Tengah Selatan 41 16 166 75,9 - -
5. Timor Tengah Utara 18,5 7,1 105 42,05 80 32
6. Belu 43 19,5 34 13,91 - -

7. Alor 68 29 - - - -
8. Lembata 15,5 7 - - - -

9. Flores Timur 225 188 - - - -


10. Sikka 236 113,96 40 7 456 117

11. Ende 35 17 - - 392 324


12. Ngada 18 8,27 15 6 55 14
13. Manggarai 344 198,5 - - 62,25 15,35
14. Rote Ndao 40 12 - - 4.849,65 1.001,89
15. Manggarai Barat 75 35,5 10 4,1 - -

16. Sumba Tengah - - 187 75,1 7 2


17. Sumba Barat Daya 68 54,8 156 100,8 555 157
18. Nagekeo 25 10,5 14 5 45 11,4

19. Manggarai Timur 28 13,8 - - 17,18 7,4


20. Sabu Raijua 16 8 7 4 634 259
21. Malaka 20 12 52 22,9 - -
22. Kota Kupang - - - - 18 7

NTT 1.422 795,83 1.617 830,26 7.490,08 2.025,04


Sumber: Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan NTT (2019)

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 29


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.9.3 Kehutanan
Hutan sangat diperlukan dalam pemeliharaan lingkungan hidup dan
daur hidrologi di daratan. Secara proporsi luasan hutan di Nusa Tenggara
Timur mencapai 38% dari total wilayah Nusa Tenggara Timur. Sebagian
besar areal hutan di Nusa Tenggara Timur diperuntukkan sebagai hutan
lindung, taman nasional dan suaka margasatwa. Luas hutan di Provinsi
NTT tahun 2018 berdasarkan Keputusan Menteri LHK RI Nomor:
SK.357/Menlhk/Setjen/PLA.0/5/2016 tanggal 11 Mei 2016 tentang Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan, Perubahan
Fungsi Kawasan Hutan dan Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan menjadi
Kawasan Hutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1.730.253,61 ha.
Kabupaten Kupang, Manggarai Barat, dan Sumba Timur memiliki kawasan
hutan lebih dari 200.000 hektar. Fungsi perlindungan dan peran kawasan
hutan ini dalam daur hidrologi semakin terancam dengan maraknya
perambahan dan pembakaran hutan, illegal logging, serta perladangan
berpindah. Kondisi ini terjadi baik di daratan maupun hutan bakau di
kawasan pantai. Untuk itu, diperlukan penanganan yang sistematis untuk
menghambat degradasi kawasan hutan tersebut.
Tabel 2.12.a
Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018
Luas Kawasan Hutan (ha)
No. Kota/Kabupaten Hutan Lindung Suaka alam dan Hutan Produksi
Pelestarian Alam Terbatas
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Sumba Barat 1.144,25 1.820,77 922,10
2. Sumba Timur 75.373,13 62.062,60 19.084,76
3. Kupang 104.949,53 69.878,19 43.478,21
4. Timor Tengah Selatan 35.243,32 15.320,52 2.923,41
5. Timor Tengah Utara 41.683,22 2.426,82 53.909,34
6. Belu 37.015,28 - -
7. Alor 51.347,62 7.705,69 26.699,70
8. Lembata 46.630,71 - -
9. Flores Timur 36.253,13 - 11.123,86
10. Sikka 33.647,82 73.705,82 734,53

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 30


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

11. Ende 24.089,00 7.128,69 177,75


12. Ngada 29.185,05 16.317,54 -
13. Manggarai 17.427,15 9.426,09 -
14. Rote Ndao 7.510,44 2.229,22 -
15. Manggarai Barat 54.345,93 180.722,42 -
16. Sumba Tengah 6.242,03 32.635,70 15.189,18
17. Sumba Barat Daya 11.041,24 - -
18. Nagekeo 9.626,49 - 9.176,56
19. Manggarai Timur 32.783,05 23.667,30 -
20. Sabu Raijua 9.966,24 - -
21. Malaka 3.855,17 7.729,55 2.984,45
22. Kota Kupang 1.127,76 - -
Jumlah 670.487,57 512.776,92 186.403,84
Sumber Data : BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2019

Tabel 2.12.b
Luas Hutan di Provinsi NTT Tahun 2018
Luas Kawasan Hutan (ha) Jumlah
No. Kota/Kabupaten Hutan Hutan Produksi Taman Luas Hutan
Produksi Tetap Dapat Dikonversi Buru
(6) (7) (8) (3)+(4)+(5)+(6)+(7)+(8)
1. Sumba Barat 4.787,65 - - 8.674,77
2. Sumba Timur 25.418,21 61.366,03 - 243.304,73
3. Kupang 60.863,45 531,73 - 279.701,10
Timor Tengah
4.
Selatan 40.566,57 - 1.807,23 95.861,04
5. Timor Tengah Utara 12.981,91 300,78 - 111.302,07
6. Belu 961,80 - - 37.977,08
7. Alor 19.341,02 - - 105.094,03
8. Lembata 605,12 - - 47.235,84
9. Flores Timur 4.410,55 521,03 - 52.308,57
10. Sikka 1.037,12 - - 109.125,29
11. Ende 29.653,86 932,88 - 61.982,18
12. Ngada 6.330,41 13.438,30 - 65.271,30
13. Manggarai - 1.136,25 - 27.989,49
14. Rote Ndao 9.352,55 - 1.418,35 20.510,56
15. Manggarai Barat 18.174,15 - - 253.242,50
16. Sumba Tengah 5.157,06 - - 59.223,97
17. Sumba Barat Daya 8.853,18 - - 19.894,42

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 31


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

18. Nagekeo 9.871,63 - - 28.674,68


19. Manggarai Timur 15.583,62 971,67 - 73.005,64
20. Sabu Raijua - - - 9.966,24
21. Malaka 2.547,40 - - 17.116,56
22. Kota Kupang 58,98 1.604,80 - 2.791,53
Jumlah 276.556,23 80.803,47 3.225,58 1.730.253,61
Sumber Data : BPS Provinsi NTT, NTT Dalam Angka 2019

2.10. Kondisi Jasa Lingkungan Hidup


Upaya untuk mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan akan
mendapatkan tantangan yang besar dari kondisi dan letak geografis
Indonesia umumnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya, karena
kondisi sumber daya alam yang terus berkurang dan laju deplesi kualitas
lingkungan hidup yang semakin meningkat. Salah satu indikasi penurunan
kualitas lingkungan hidup adalah semakin meningkatnya frekuensi dan
intensitas bencana, terutama bencana yang secara langsung maupun tidak
langsung terkait dengan menurunnya kualitas jasa ekosistem yang dihasilkan
oleh lingkungan. Menurut data BNPB, sejak Tahun 1815 telah terjadi lebih
dari 20.400 kejadian bencana di Indonesia. Dari jumlah kejadian tersebut,
84% kejadian merupakan bencana alam, sedangkan 79% diantaranya terkait
langsung dengan kerusakan lingkungan hidup. Data tersebut semakin
mengkhawatirkan mengingat tren bencana alam terus meningkat dalam
kurun waktu 30 tahun terakhir, khususnya di daerah-daerah rawan bencana.
Sejumlah bencana yang kerap terjadi, seperti banjir, gerakan
tanah/longsor, kebakaran lahan dan kekeringan, frekuensinya cenderung
semakin meningkat. Perubahan pola iklim dunia akibat pemanasan global
yang diantaranya menyebabkan terjadinya fenomena el nino dan la nina,
berdampak cukup besar di wilayah Indonesia. Akan tetapi, menurunnya
kualitas jasa lingkungan hidup saat ini diyakini merupakan faktor utama
yang memicu meningkatnya kejadian tersebut dan mendorong perluasan
dampak yang ditimbulkannya.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 32


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Jasa Lingkungan merupakan pendefinisian dari Jasa Ekosistem


dalam terminologi Millennium Ecosystem Assessment (MEA). Jasa lingkungan
hidup adalah manfaat dari ekosistem dan lingkungan hidup bagi manusia dan
keberlangsungan kehidupan yang diantaranya mencakup penyediaan sumber
daya alam, pengaturan alam dan lingkungan hidup, penyokong proses alam
dan pelestarian nilai budaya. Dengan kata lain, jasa lingkungan merupakan
produk yang dihasilkan oleh ekosistem untuk dapat dimanfaatkan oleh
manusia. Kinerja jasa lingkungan hidup dihitung menggunakan 3 (tiga)
parameter, yaitu karakteristik bentang alam, tipe vegetasi alami dan penutup
lahan.
Terdapat empat kelompok jasa lingkungan atau jasa ekosistem (MEA,
2005; SCBD 2004), yaitu: jasa ekosistem penyedia, pengaturan, kultural, dan
pendukung.
a. Jasa penyedia (provisioning services): Jasa/produk yang didapat dari
ekosistem, seperti sumber daya genetika, makanan, air, dll.
b. Jasa pengaturan (regulating services): Manfaat yang didapatkan dari
pengaturan ekosistem, seperti aturan tentang pengendalian banjir,
pengendalian erosi, pengendalian dampak perubahan iklim.
c. Jasa kultural (cultural services) Manfaat yang tidak bersifat material/
terukur dari ekosistem, seperti pengayaan spirit, tradisi, pengalaman
batin, nilai-nilai estetika dan pengetahuan.
d. Jasa pendukung (supporting services): Jasa ekosistem yang diperlukan
manusia, misalnya produksi biomassa, produksi oksigen, nutrisi, air, dll

Beberapa jasa lingkungan yang saat ini sedang mengalami tekanan


hebat adalah Jasa Regulator Air, Jasa Penyedia/Penyimpan Air, dan Jasa
Penyedia Pangan. Kegiatan pembangunan, khususnya dalam bidang
ekonomi, mendorong pemanfaatan sumber daya alam melewati batas
pemulihannya. Pembukaan kawasan hutan, pertambangan terbuka,
pengembangan infrastruktur, dan perluasan area permukiman hingga
wilayah-wilayah terpencil telah mereduksi secara besar-besaran daerah-
daerah dengan Jasa Lingkungan tinggi.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 33


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Beberapa kota di NTT, misalnya Kota Kupang dan Kota Labuan Bajo
merupakan daerah yang kondisi lingkungan hidupnya mendapat tekanan
paling besar. Pengembangan infrastruktur pariwisata yang makin meluas
dan pertambahan penduduk yang sangat cepat telah menghilangkan
sebagian besar daerah-daerah regulator air berkategori tinggi dan
mempersempit daerah penyedia pangan.
Meningkatnya kejadian banjir di beberapa daerah seperti Kabupaten
Malaka dan Kabupaten Manggarai Barat, merupakan dampak nyata dari
mulai menurunnya kualitas jasa regulator air akibat eksploitasi hutan,
rusaknya DAS, dan meningkatnya areal pertambangan, selama beberapa
tahun terakhir.

2.11. Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup

2.11.1 Pencemaran air

Secara umum, pencemaran air berasal dari limbah cair domestik dan
industri yang tidak dikelola, sampah domestik, pemakaian air berlebihan, dan
penataan fungsi lahan yang tidak baik. Hal tersebut kemudian diperparah
dengan masih banyaknya masyarakat yang masih buang air besar
sembarangan (BABS). Setiap hari ada tinja manusia belum dikelola dengan
benar sehingga berdampak pada menurunnya kualitas air. Selain hal tersebut,
kondisi ketersediaan air juga terganggu. Alih fungsi lahan pada daerah-
daerah resapan air meningkatkan aliran permukaan (run-off) di kawasan hilir,
yang menyebabkan meningkatnya potensi banjir.
Bentuk-bentuk kerusakan komponen sumber daya air di NTT adalah
sebagai berikut:
a. Kerusakan Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah (lahan) yang
menerima masukan hujan, menyimpan dan mengalirkan air melalui
jaringan sungai, sehingga menghasilkan luaran berupa debit sungai.
Hubungan hujan-limpasan/debit sungai menyatakan kondisi hidrologi
DAS, dan diharapkan bahwa DAS memiliki fungsi yang menjamin

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 34


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

keberlanjutan hubungan hujan-limpasan yang seimbang. Apabila


keberlanjutan fungsi-fungsi DAS ini terganggu akibat terjadinya perubahan
bio-geo-fisik lahan DAS, maka dikatakan telah terjadi kerusakan DAS atau
dikenal dengan DAS Kritis.
Tingkat kerusakan daerah aliran sungai dapat diketahui dari beberapa
indikator, antara lain adalah : rasio debit sungai maksimum/minimum,
koefisien limpasan (run-off), erosi dan sedimentasi, muka airtanah, dan
debit mata air. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat beberapa DAS
kritis diantaranya DAS Benanain, DAS Noelmina, DAS Aesesa, dan DAS
Kambaniru.

b. Pencemaran Air Permukaan dan Air Tanah


Pencemaran air adalah satu dari sekian kekhawatiran utama dunia
saat ini. Pemerintahan di berbagai negara telah berusaha mencari solusi untuk
mengurangi masalah ini. Banyak polutan mengancam suplai air, dan di
banyak tempat terutama di negara yang belum berkembang, hal ini
disebabkan pembuangan limbah secara langsung ke perairan alam.
Sampah, air limbah, dan bahkan polutan beracun dibuang ke perairan.
Meski limbah tersebut diolah terlebih dahulu, masalah tetap ada. Sisa
olahan limbah berbentuk lumpur mungkin akan ditempatkan di lahan
pembuangan sampah, dibakar di insinerator, atau dibuang ke laut.
Sumber polutan lainnya dapat berasal dari lahan pertanian melalui
penggunaan pupuk dan peptisida yang kurang bijaksana. Pencemaran dari
lahan pertanian walaupun jumlahnya relatif rendah sulit untuk
dikendalikan karena merupakan sumber pencemar yang sifatnya
menyebar atau sifat pencemarannya yang tidak terkonsentrasi pada suatu
tempat (non point source polution). Residu berbagai macam pupuk kimia
dan bahan organik tanaman pertanian selanjutnya dapat mengancam
ekosistem perairan, terutama jika bercampur dengan aliran air hujan di
perkotaan dan limbah kimia yang dibuang oleh industri.
Untuk mengevaluasi kualitas sumber air diperlukan analisis status
mutu air. Status mutu air adalah kondisi mutu air yang menunjukkan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 35


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan terhadap baku mutu air yang
ditetapkan. Banyak cara untuk melakukan penilaian status mutu air pada
suatu sumber air, yaitu diantaranya yang disajikan dalam KepMen LH No.
115/2003, tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, yaitu dengan
metoda Storet dan Metode Indeks Pencemaran. Namun dalam hal-hal yang
bersifat umum sering pula hanya dengan menggunakan kelas air yang
mengacu pada PP No. 82/ 2001.
Kerusakan air tanah akibat pencemaran yang berasal dari sumber
alamiah (natural) dan sumber antropogenik. Permasalahan yang sering
terjadi pada air tanah, khususnya untuk pemakaian rumah tangga dan
industri, di wilayah urban dan dataran rendah adalah kandungan besi atau
asam organic yang cenderung tinggi. Hal ini bisa diakibatkan dari kondisi
geologis Indonesia yang secara alami memiliki deposit Fe tinggi terutama
di daerah lereng gunung atau diakibatkan pula oleh aktivitas manusia
(antropogenik). Sedangkan air dengan kandungan asam organik tinggi bisa
disebabkan oleh adanya lahan gambut atau daerah bakau yang kaya akan
kandungan senyawa organik. Ciri-ciri air yang mengandung kadar besi
tinggi atau kandungan senyawa organik tinggi bisa dilihat sebagai berikut:

1) Air mengandung zat besi


Air dengan kandungan zat besi tinggi akan menyebabkan air berwarna
kuning. Pertama keluar dari kran, air nampak jernih namun setelah
beberapa saat air akan berubah warna menjadi kuning. Hal ini
dikarenakan air yang berasal dari sumber air sebelum keluar dari kran
berada dalam bentuk ion Fe2+, setelah keluar dari kran Fe2+ akan
teroksidasi menjadi Fe3+ yang berwarna kuning.

2) Air kuning permanen


Air kuning permanen biasanya terdapat di daerah bakau dan tanah
gambut yang kaya akan kandungan senyawa organik. Berbeda dengan
kuning akibat kadar besi tinggi, air kuning permanen ini sudah

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 36


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

berwarna kuning saat pertama keluar dari kran sampai beberapa saat
kemudian didiamkan akan tetap berwarna kuning.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,


Kemenkes RI, 2019 per 31 Desember 2018, di NTT dari 246.650
jumlah sarana air minum, terdapat sekitar 37,68% atau 92.931 jumlah
sarana air minum dengan risiko rendah dan sedang. Data ini
menunjukkan bahwa pemerintah perlu memberikan perhatian yan
cukup terhadap upaya pemenuhan kebutuhan air bersih yang
berkualitas bagi masyarakat.

c. Penurunan Muka Air Tanah (Water Table)


Penurunan muka air tanah merupakan salah satu akibat dari
minimnya jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah, sedangkan
pengambilan air tanah dilakukan dalam jumlah besar, khususnya di kota
besar.

2.11.2 Kerusakan Hutan dan Lahan


Dinamika deforestasi terkait dengan berbagai faktor, baik secara
langsung (agent) maupun tidak langsung (driving force) (Sunderlin &
Resosudarmo, 1996). Faktor penyebab ada dua: langsung dan tidak
langsung. Faktor langsung berarti pelaku dan penyebab secara langsung
mengubah tutupan hutan menjadi peruntukan lain, misalnya kebakaran
hutan, ekspansi lahan pertanian, perumahan dan pertambangan. Faktor
secara tidak langsung berupa kondisi sosial, ekonomi dan politik pada
skala nasional, regional maupun global.
Mencermati perubahan tutupan hutan di Indonesia selama kurun
waktu 2000 – 2011, sebenarnya sejak 2003 laju deforestasi semakin
mengecil. Laju deforestasi per tahun pada periode 2000–2003: 344.657
hektar (0,33 persen); 2003–2006: 808.754 hektar (0,78 persen); 2006 –
2009: 747.754 hektar (0,74 persen); dan 2009 – 2011: 401.253 hektar (0,41
persen).

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 37


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sebelum 2003 adalah masa transisi otonomi yang menyebabkan


ketidakpastian hukum dalam kasus penyerobotan kawasan hutan. Selama
transisi (1999-2001), terjadi 205 kasus penyerobotan kawasan hutan; pada
2002-2003 kasus menurun menjadi 66 (Wulan, dkk 2004). Prasetyo (2008)
juga menemukan kasus perambahan kawasan konservasi yang lebih luas pada
masa transisi itu dibandingkan periode sebelum otonomi. Analisis lebih
rinci menunjukkan tutupan hutan pada 2000 seluas 102 juta hektar,
31,33 persen diantaranya telah berubah menjadi lahan tidak produktif;
10,34 persen dibuka untuk pertanian; dan 2,69 persen untuk perkebunan.
Sedangkan hutan mangrove sebagian besar masih utuh, hanya
sebagian kecil dieksploitasi.
Rusaknya kawasan hutan di NTT disebabkan oleh pembalakan liar dan
sistem ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Akibatnya
adalah hutan sebagai kawasan resapan air menjadi rusak dan mengakibatkan
persediaan air tanah jauh berkurang padahal pemanfaatan terus dilakukan.
Menurut data BPDAS Benain Noelmina (2013) dalam BPS NTT (2019), Luas
lahan di luar kawasan hutan sebesar 2.914.491 Ha dengan rincian: (a)
kawasan yang tidak kritis hanya sebesar 713.207 Ha atau 24,4%, (b) lahan
yang potensial kritis seluas 304.115 Ha atau 10,4%, (c) lahan agak kritis seluas
1.024.667 Ha atau 35,0 %, (d) lahan kritis seluas 872.503 Ha atau 29,8%,
dan lahan sangat kritis seluas 11.725 Ha atau 0,4%.
Selanjutnya dari sumber daya yang sama disebutkan bahwa, luas lahan
dalam kawasan hutan sebesar 1.808.774 Ha Ha dengan rincian: (a) kawasan
yang tidak kritis hanya sebesar 116.983 Ha atau 6,5%, (b) lahan potensial
kritis sebesar 932.980 Ha atau 51,6%, (c) Lahan agak kritis seluas 676.702,8
Ha atau 37,4%, (d) Lahan kritis seluas 75.832,75 Ha atau 4,2% dan € lahan
sangat kritis seluas 6.275,34 Ha atau 0,3%

2.11.3. Alih Fungsi Lahan


Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan
struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 38


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih


fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di
suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan
di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian menyebabkan
terjadinya peningkatan luas permukaan kedap (impervious area) sehingga
memicu peningkatan aliran permukaan yang menjadi komponen terbesar
penyumbang banjir. Selain itu, peningkatan permukaan kedap akan
menyebabkan penurunan infiltrasi yang akan mendorong penurunan
cadangan air tanah. Akibatnya saat musim kemarau, terjadinya kelangkaan
ketersediaan air tanah.
Alih fungsi lahan hutan ke peruntukan lain di Provinsi Nusa Tenggara
Timur dari tahun 2003-2006 sampai 2014-2017 sebesar 282,775.92 Ha.
Pada tahun 2003-2006 sebesar 2.867,11 Ha, kemudian menurut pada dua
periode berikutnya. Tetapi pada tahun 2011-2014 terjadi lonjakan yang
sangat besar yakni sebesar 109.660,64 Ha, kemudian terjadi kenaikan yang
tinggi pula pada tahun 2014-2017, tetapi kenaikan tidak sebesar periode
sebelumnya. Alih fungsi lahan terbesar dari lahan hutan adalah semak
belukar sebesar 32,62%, pertanian lahan kering sebesar 28,17%, padang
pengembalaan (savana) sebesar 3,85%, sawah sebesar 5,47% dan
pemukiman penduduk sebesar 3,47%.

2.11.4. Persampahan dan Limbah


Persampahan dan limbah di NTT adalah sebagai berikut:
a) Limbah rumah sakit di NTT, rata-rata harian menghasilkan 21,87 kg
sampah, dengan nilai terendah 0,5 kg/hari dan tertinggi 96 kg/hari.
Diantaranya terdapat 24% yang memilah limbah dengan limbah
tajam.
b) Rerata timbulan sampah per kota/kabupaten sebesar 120,17 m3/hari,
dengan kisaran tertinggi di Kabupaten Timor Tengah Selatan sebesar
231,99 m3/hari, dan terendah di Sabu Raijua 45,76 m3/hari.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 39


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

c) Rumahtangga yang tidak memiliki akses pelayanan sampah di kota


mencapai 30%, sedangkan di desa sebesar 40%.

2.11.5 Pencemaran Udara


Pencemaran udara adalah hadirnya zat asing atau peristiwa fisik yang
menyebabkan perubahan susunan dan komposisi kimia penyusun udara yang
dapat mempengaruhi kenyamanan, kesehatan manusia, dan makhluk hidup
lainnya serta kerusakan material akibat adanya partikulat. Kualitas udara
ambien dipengaruhi oleh proses alamiah (natural) dan antropogenik.
Pada area sekitar kegiatan industri dan transportasi, kondisi kualitas
udara ambien lebih dominan dipengaruhi oleh aktivitas antropogenik.
Aktivitas antropogenik seperti kegiatan transportasi akan menghasilkan
polutan karbon dioksida, belerang dioksida, karbon monoksida, nitrogen
dioksida, dan debu. Sementara pada area yang tutupan lahan atau
vegetasinya masih tinggi, proses alamiah seperti proses fotosintesis yang
dilakukan oleh tumbuhan yang ada, dapat menyerap karbon dioksida (CO2)
dan membebaskan gas oksigen (O2). Selain itu, adanya tanaman/vegetasi
dapat menjadi penyerap pencemar udara lainnya seperti partikel debu,
karbon monoksida (CO), belerang dioksida (SO2), dan nitrogen dioksida
(NO2). Beberapa permasalahan terkait isu pencemaran udara adalah:
1) Timbulan sampah yang ada di beberapa sudut kota menimbulkan bau
yang tidak sedap;
2) Timbunan sampah pada penampungan yang tidak tertutup
menimbulkan bau yang tidak sedap di sekelilingnya; dan
3) Adanya peningkatan signifikan dari jumlah kendaraan bermotor
(truck, bus, roda empat dan roda dua) baik secara pribadi maupun
pelayanan publik. Kondisi ini secara tidak langsung berkontribusi
terhadap kualitas udara di lokasi tertentu, terutama pada jam-jam
sibuk.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 40


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.12. Perubahan iklim


Perubahan iklim dapat memberikan efek yang nyata terhadap sumber
daya air karena hubungan yang erat antara iklim dan daur hidrologi. Kenaikan
suhu akan meningkatkan penguapan dan memicu peningkatan presipitasi.
Banjir dan kekeringan akan terjadi lebih sering di beberapa wilayah dalam
waktu yang berbeda-beda. Suhu yang meningkat juga akan mempengaruhi
kualitas air melalui eutrofikasi, yaitu peningkatan populasi tumbuhan air
(algae, eceng gondok, dan lain-lain) secara cepat. Perubahan iklim juga akan
meningkatkan permintaan pasokan air untuk irigasi.
Perubahan iklim global yang ditunjukkan oleh gejala pemanasan global,
dengan kejadian ekstrim yang meningkat dibandingkan dengan pada kondisi
masa lampau, telah menjadi isu serius yang perlu dicermati dalam
perencanaan pembangunan ke depan. Kondisi demikian terjadi secara global
walaupun tanda-tandanya tidak mudah dideteksi karena perubahan yang
terjadi berlangsung dalam rentang waktu lama untuk suatu kawasan yang luas.
Akibat faktor alam dan antropogenik (akibat perbuatan manusia), cuaca dan
iklim berubah secara perlahan dari keseimbangan tertentu menuju kondisi
keseimbangan baru.
Watak hidrologi dari sungai-sungai yang ada di Indonesia saat ini telah
mengalami perubahan yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap
penyediaan air untuk kebutuhan penduduk, pertanian, perikanan, dan
lingkungan. Selain perubahan besar debit sungai per tahun, pola musim dan
watak hidrologi sungai juga berubah. Pada musim hujan terjadi
kecenderungan kenaikan debit sungai yang dipengaruhi dari adanya perubahan
watak hujan dengan panjang musim hujan yang lebih singkat, di mana hujan
dengan intensitas tinggi serta durasi pendek lebih sering terjadi, dan
sebaliknya hujan semakin berkurang selama musim kemarau yang menjadi lebih
panjang. Hal ini semakin diperparah dengan terjadi penurunan akumulasi total
hujan tahunan secara persisten hampir di seluruh wilayah Indonesia dalam
lima dasawarsa terakhir sehingga potensi air tercurah berkurang.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 41


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sektor sumber daya air Indonesia, khususnya di NTT, telah mengalami


banyak perubahan dengan degradasi lingkungan dan penurunan kualitas air,
dan sejumlah kajian telah menyatakan status kritis yang serius. Sebagai sistem yang
kompleks, perubahan yang terjadi di sektor sumber daya air dipengaruhi oleh
faktor alami dan antropogenik, seperti perubahan iklim, tekanan penduduk
dengan segala aktivitasnya, perubahan penggunaan lahan, eksploitasi sumber
daya air, termasuk air bumi, serta pembangunan infrastruktur fisik. Perubahan
iklim yang salah satu indikatornya ditandai dengan adanya perubahan
suhu di bumi, khususnya di NTT ditunjukkan pada gamb ar berikut.

Gambar 2.4 Grafik peningkatan suhu di Kupang dan sekitarnya (1986 – 2010)
(Sumber: Messakh, dkk. 2015)

Laju perubahan suhu rata-rata periode 1986-2000 (25 tahun) adalah 0,27°C
(Messakh, dkk. 2015) sedangkan perubahan suhu global dalam 100 tahun
yakni 0,7°C (IPCC, 2007).

2.13. Degradasi Ekosistem Wilayah Pesisir dan Laut


Degradasi ekosistem wilayah pesisir dan laut dapat terjadi akibat
aktivitas manusia (antropogenik) dan proses alamiah (natural), seperti
diuraikan berikut:
a. Aktivitas Antropogenik
Kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup sangat penting
bagi wilayah kepulauan yang perekonomiannya sangat bergantung
pada produksi komoditas primer. Dampak perubahan iklim akan
dirasakan paling besar di wilayah kepulauan, khususnya pulau-pulau

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 42


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

kecil. Ancaman terhadap kerusakan ekosistem laut masih juga terjadi


yang berakibat pada penurunan produksi ikan dan kerusakan
terumbung karang seperti pemboman ikan dan penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan yang masih dilakukan oleh
masyarakat di daerah pesisir pantai. Kebijakan Pengembangan
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) berupaya untuk mengeliminir
penurunan potensi sumber daya pesisir, lautan dan pulau-pulau kecil
serta mengendalikan pengambilan sumber daya ikan yang berlebihan
juga sangat bergantung terhadap keefektivan dari pengelolaan
kawasan konservasi tersebut. Secara spesifik isu degradasi ekosistem
pesisir dan laut akibat aktivitas antropogenik sebagai berikut :
(1) Pencemaran perairan yang disebabkan oleh aktivitas di wilayah
hulu, limbah industri seperti (asap pabrik, logam berat), limbah
pertanian (penggunaan macam pupuk TSP, Urea, sianida), limbah
sampah organi/anorganik yang dibuang diperairan dari kapal
penumpang, kargo serta limbah rumah tangga seperti sampah
plastik, kaleng bekas, deterjen dan limbah sisa makanan dari
hotel).
(2) Penangkapan Tidak Ramah Setasea (alat tangkap yang tidak sesuai
walaupun diijinkan seperti jaring insang dan rawai
(Uniconsufishent dan TNC, 2013).
(3) Penangkapan yang merusak seperti bom, potassium dan tuba, IUU
Fishing).
(4) Penangkapan yang tidak sesuai dengan perijinan (alat, armada dan
lokasi).
(5) Pemakaian bahan kimia untuk kegiatan industri dan budidaya.
(6) Pemakaian Sumber daya Pesisir kayu mangrove dan karang batu
untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar, arang, kapur untuk
bangunan, kapur untuk budaya makan siri).

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 43


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

(7) Budaya yang tidak ramah lingkungan seperti minimnya kesadaran


buang sampah pada tempatnya, kebun berpindah-pindah, budaya
bakar, dan penggunaan AC yang berlebihan).
(8) Pembangunan yang tidak ramah/berbasis lingkungan.
b. Proses Alamiah
Proses-proses alamiah seperti tsunami dan perubahan iklim sangat
berpengaruh terhadap kondisi ekosistem wilayah pesisir dan laut.
1) Tsunami
Di perairan NTT terdapat potensi gunung berapi tektonik yang
berada di berapa wilayah perairan seperti di perairan Maumere dan
perairan Larantuka. Pada tahun 1992 pernah mengalami tsunami di
perairan Maumere hingga Manggarai Barat dan bagian Timur Pulau
Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan ke arah Timur
hingga Timor Leste. Musibah tersebut berdampak hampir seribu
orang meninggal dunia serta miliayaran kerugian harta benda.
Potensi tsunami seperti itu memicu ketakutan masyarakat pesisir,
sehingga memerlukan arahan kebijakan tentang pengaturan dini
bahaya stunami.
2) Perubahan iklim
Permasalahan perubahan iklim perlu mendapat perhatian
pemerintah terhadap praktek-praktek yang memicu perubahan iklim
tersebut. Pembukaan hutan untuk kebun, pembakaran hutan, alih
fungsi hutan untuk industri, dan aktivitas penangkapan ikan yang
tidak ramah lingkungan dapat merusak tatanan ekosistem terumbu
karang sebagai penyokong karbon di perairan. Suatu bukti lokasi
penangkapan (fishing groung) semakin jauh, gagal panen, banjir
bandang serta menumpuknya material dari hilir ke hulu sehingga
membentuk sedimentasi di pesisir, abrasi pantai karena kerusakan
eksosistem mangrove dan terumbu karang dan pengambilan pasir
untuk bangunan serta curah hujan relatif rendah dan lainnya.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 44


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.14. Ekoregion, Jasa Lingkungan Hidup, Daya Dukung dan Daya


Tampung
Bentang alam merupakan suatu ekosistem yang didalamnya terdiri atas
unsur biotik dan abiotik serta proses aliran materi dan energi. Berdasarkan
Tansley (1935), sebuah ekosistem merupakan representasi dari hubungan
yang kompleks antara faktor biotik dan abiotik dari sebuah lingkungan.
Konsep ekoregion dapat dikatakan sebagai bentuk implementasi konsep
ekosistem. Ekoregion merupakan implementasi dari konsep ekosistem
dalam ruang kebumian (geospasial) dengan pola interaksi manusia dengan
alam yang menggambarkan integrasi sistem alam dan lingkungan hidup
pada suatu batasan wilayah geografis. Ekoregion sebagai ekosistem
merupakan habitat bagi berbagai organisme ataupun populasi makhluk
hidup, termasuk manusia, dengan kekhasan karakteristik wilayahnya.
Kekhasan karakteristik wilayah akan menghasilkan struktur dan proses
ekosistem yang berbeda untuk setiap wilayah. Kekhasan ini akan
menimbulkan keragaman organisme dalam ekoregion yang menciptakan
keanekaragaman hayati.
Struktur dan proses yang ada pada lingkungan hidup merupakan unit
fungsional yang menciptakan fungsi lingkungan hidup. Fungsi lingkungan
hidup yang berguna dan dimanfaatkan oleh manusia merupakan jasa
lingkungan hidup. Jasa Lingkungan Hidup adalah manfaat dari ekosistem dan
lingkungan hidup bagi manusia dan keberlangsungan kehidupan yang
diantaranya mencakup penyediaan sumber daya alam, pengaturan alam dan
lingkungan hidup, penyokong proses alam, dan pelestarian nilai budaya.
Klasifikasi fungsi dan jasa lingkungan hidup telah dilakukan oleh
beberapa peneliti yang kemudian diadopsi oleh dokumen Millenium
Ecosystem Assessment (MEA, 2003). Jasa ekosistem dikategorikan menjadi
empat, yaitu meliputi jasa penyediaan (provisioning), jasa pengaturan
(regulating), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting) (MEA,
2005). Berdasarkan empat kategori ini, De Groots (2002) mengklasifikasikan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 45


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

jasa lingkungan hidup dan definisi operasionalnya ke dalam 22 kelas seperti


ditunjukkan pada Tabel berikut:

Tabel 2.13.
Definisi Operasional Layanan Jasa Ekosistem
Klasifikasi Layanan Ekosistem Definisi Operasional

Fungsi Penyediaan (Provisioning)


1. Bahan Makanan Pangan Hasil laut, pangan dari hutan (tanaman dan
hewan), hasil pertanian & perkebunan untuk
pangan, hasil peternakan
2. Air bersih Penyediaan air dari tanah (termasuk kapasitas
penyimpanannya), penyediaan air dari
sumber permukaan
3. Serat (fiber) Hasil hutan, hasil laut, hasil pertanian &
perkebunan untuk material
4. Bahan bakar (fuel) Penyediaan kayu bakar dan bahan bakar dari
fosil
5. Sumber daya Genetik Penyediaan spesies dengan materi genetik
yang (berpotensi) bermanfaat, misalnya
untuk pengobatan dan spesies ornamental
Fungsi Pengaturan (Regulating)
6. Pengaturan iklim Pengaturan suhu, kelembaban dan hujan,
pengendalian gas rumah kaca & karbon
7. Pengaturan tata aliran air & Siklus hidrologi, serta infrastruktur alam
banjir untuk penyimpanan air, pengendalian banjir,
dan pemeliharaan air
8. Pencegahan dan Infrastruktur alam pencegahan dan
perlindungan dari bencana perlindungan dari kebakaran lahan, erosi,
abrasi, longsor, badai dan tsunami
9. Pemurnian air Kapasitas badan air dalam mengencerkan,
mengurai dan menyerap pencemar
10. Pengolahan dan penguraian Kapasitas lokasi dalam menetralisir, mengurai
limbah dan menyerap limbah dan sampah
11. Pemeliharaan kualitas udara Kapasitas mengatur sistem kimia udara
12. Pengaturan penyerbukan Distribusi habitat spesies pembantu proses
alami (pollination) penyerbukan alami
13. Pengendalian hama & Distribusi habitat spesies trigger dan
penyakit pengendalihama dan penyakit
Fungsi Budaya (Cultural)
14. Spiritual & warisan leluhur
Ruang & tempat suci, peninggalan sejarah,
peninggalan leluhur
15. Tempat tinggal & ruang Ruang untuk tinggal dan hidup sejahtera,
hidup (sense of place) jangkar “kampung halaman” yang punya
nilai sentimental

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 46


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Klasifikasi Layanan Ekosistem Definisi Operasional


16. Rekreasi dan ecotourism Fitur lansekap, keunikan alam, atau nilai
tertentu yang menjadi daya tarik wisata
17. Ikatan budaya, adat, pola Keterikatan komunitas dan hubungan sosial,
hidup pelestarian keragaman budaya (misalnya
komunitas nelayan, komunitas adat,
masyarakat pedalaman, dll.)
18. Estetika Keindahan alam yang memiliki nilai jual
19. Pendidikan dan Memiliki potensi untuk pengembangan
pengetahuan pendidikan dan pengetahuan

Fungsi Pendukung (Supporting)


20. Pembentukan lapisan tanah Kesuburan tanah
dan pemeliharaan kesuburan
21. Siklus hara (nutrient) Kesuburan tanah, tingkat produksi pertanian
22. Produksi primer Produksi oksigen, penyediaan habitat spesies
Sumber: De Groots (2002)

Produk materi dan jasa lingkungan menjadi daya dukung dan daya
tampung untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antar keduanya. Sedangkan daya tampung lingkungan hidup adalah
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Dapat diartikan
bahwa daya dukung dan daya tampung merupakan kapasitas fungsi dan jasa
lingkungan dalam mendukung perikehidupan manusia atau makhluk lainnya
yang berada pada suatu lokasi tertentu (ekoregion). Fungsi regulasi akan
dapat mendukung daya tampung, sedangkan ketiga fungsi lainnya akan
mendukung daya dukung.
Perbedaan kemampuan suatu wilayah ekoregion dalam
memproduksi materi dan jasa lingkungan serta populasi manusia yang
berbeda pada setiap wilayah mengakibatkan adanya aliran materi dan
energi antar-ekoregion, baik itu secara alami maupun dengan teknologi
manusia. Selain secara alami, adanya aliran energi dan materi antar-

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 47


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

ekoregion dikarenakan adanya fungsi lingkungan yang berbeda pada setiap


karakteristik ekoregion. Sedangkan aliran yang tidak alami lebih disebabkan
oleh adanya perbedaan produk dan populasi manusia dari setiap satuan
wilayah ekoregion sehingga dibutuhkan pemindahan energi atau materi
dari satu ekoregion ke ekoregion lainnya dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia.
Kebutuhan akan jasa lingkungan untuk mewujudkan kesejahteraan
manusia menjadi hal yang penting dan menjadi pertimbangan utama dalam
melakukan pengelolaan lingkungan hidup. Kesejahteraan manusia dapat
menjadi indikator kesehatan lingkungan hidup pada suatu wilayah.
Pemetaan jasa lingkungan yang berbasiskan pada data spasial akan
memberikan keuntungan karena dapat disintesiskan dengan peta ekoregion.
Jasa lingkungan dapat diketahui distribusi dan besarannya pada setiap
ekoregion.
Proses siklus materi dan energi dapat dibedakan menjadi
siklus materi dan energi yang alami dan aliran materi dan energi karena
manusia. Di luar proses siklus materi dan energi yang alami, keterbatasan
dari ekoregion mendorong terjadinya aliran materi dan energi antar
ekoregion oleh manusia, sehingga tercipta konektivitas antar ekoregion.
Konektivitas antar ekoregion dapat bersifat alami berupa siklus materi
dan bersifat tidak alami berupa aliran materi karena aktivitas
manusia. Konektivitas ini menyebabkan adanya ketergantungan antar
wilayah ekoregion dan keharusan integrasi antar wilayah administrasi.
Ketergantungan antar wilayah menciptakan fungsi lingkungan antara
penyedia jasa lingkungan dengan pemanfaat jasa lingkungan. Penyedia Jasa
Lingkungan Hidup adalah setiap orang, Pemerintah dan pemerintah daerah
yang menjaga dan/atau mengelola lingkungan hidup untuk
mempertahankan dan/atau meningkatkan kualitas jasa lingkungan hidup,
sedangkan Pemanfaat Jasa Lingkungan Hidup adalah setiap orang,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang menggunakan jasa lingkungan
hidup.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 48


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.15. Indikasi Daya Dukung dan Daya Tampung

2.15.1 Layanan Jasa Lingkungan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur memberikan jasa


penyimpan air yang sangat terbatas. Ekoregion Provinsi Nusa Tenggara Timur
memiliki karakter lahan yang beragam. Dengan kondisi iklim yang lebih
kering, pertanian lahan sawah di Nusa Tenggara Timur umumnya tidak
sebaik daerah sekitarnya seperti Bali. Di Nusa Tenggara Timur banyak
dijumpai ekoregion dengan karakteristik berbahan organik (karang) yang
ditumbuhi padang rumput savana dan bebatuan pada permukaan tanahnya,
yang banyak dimanfaatkan untuk pengembangan peternakan sapi.

Gambar 2.5. Peta ekoregion Provinsi Nusa Tenggara Timur

2.15.2. Penyimpan Air


Air bersih merupakan salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari
ekosistem. Ekosistem memberikan manfaat penyediaan air bersih yaitu

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 49


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

ketersediaan air bersih baik yang berasal dari air permukaan maupun air
tanah (termasuk kapasitas penyimpanannya), bahkan air hujan yang dapat
dipergunakan untuk kepentingan domestik, pertanian, industri maupun jasa.
Penyediaan jasa air bersih sangat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan dan
lapisan tanah atau batuan yang dapat menyimpan air (akuifer) serta faktor
yang dapat mempengaruhi sistem penyimpanan air tanah seperti tutupan
lahan.
Air, sumber air dan daya air yang terangkum dalam “Sumber daya air”
(SDA) telah menjadi salah satu komponen yang sangat penting bagi makhluk
hidup khususnya untuk manusia. Air merupakan kebutuhan utama bagi setiap
insan di bumi baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Air
digunakan sebagai kebutuhan vital untuk konsumsi dan sanitasi umat manusia,
untuk proses produksi berbagai barang industri, untuk produksi makanan dan
kebutuhan lainnya.
Beberapa batasan pengertian berkaitan dengan sumber daya air adalah
sebagai berikut:
a) Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung
di dalamnya.
b) Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air
tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.
c) Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan
tanah.
d) Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di
bawah permukaan tanah.
e) Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang
terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah.

Menurut Arwin (2009), sumber air adalah sumber daya alam yang
diperbaharui melalui siklus hidrologi, tergantung iklim dan tutupan
lahan membentuk rezim hidrologi (tercatat time series data) dimana

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 50


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

komponennya berkarakter acak dan stokastik, pembuangan air ke laut


pada kemiringan landai merupakan fenomena deterministik.

f) Daya air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada
sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi
kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya.

Gambar 2.6. Sumber daya air dan komponennya


(Sumber: Kodoatie dan Sjarief, 2010)

Kemampuan penyimpan air suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh tipe


atau jenis bentang alam yang terdapat di wilayah tersebut. Secara umum di
NTT, bentang alam yang mampu menyediakan air bersih dapat dibagi
menjadi lahan berpotensi sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat
tinggi. Bentang alam yang termasuk dalam kategori sangat tinggi dalam hal
daya dukung lingkungan jasa ekosistem penyediaan air bersih di Provinsi NTT

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 51


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

hanya terdapat pada Danau dengan total luasan 522,89 ha (0,01%), diiukuti
oleh 11 jenis bentang alam yang berkategori berpotensi tinggi, yaitu:
a. Dataran Fluvial Bermaterial Aluvium;
b. Dataran Fluviomarin Bermaterial Alluvium;
c. Dataran Fluviovulkanik Bermaterial Alluvium;
d. Dataran Struktural Lipatan Berombak-Bergelombang Bermaterial
Campuran Batuan Sedimen Karbonat dan Non Karbonat;
e. Dataran Vulkanik Bermaterial Piroklastik;
f. Lembah Sungai Bermaterial Aluvium;
g. Pegunungan Kerucut Vulkanik Lereng Atas Bermaterial Campuran
Batuan Beku Luar dan Piroklastik;
h. Pegunungan Vulkanik Lereng Bawah Bermaterial Piroklastik;
i. Perbukitan Kerucut Vulkanik Bermaterial Piroklastik;
j. Perbukitan Struktural Lipatan Bermaterial Campuran Batuan Sedimen
Karbonat dan Non Karbonat;
k. Perbukitan Vulkanik Bermaterial Campuran Batuan Beku Luar dan
Piroklastik
Total luas = 940.892,88 hektar atau 20,31% dari toal luasan lahan NTT.
Tabel berikut menunjukkan distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Air
Bersih berdasarkan Bentang Alam.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 52


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.14
Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih Berdasarkan Bentang Alam
Sangat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
No Ekoregion Tinggi
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
1. Danau 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 522.89 0.01
2. Dataran fluvial bermaterial aluvium 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 170606.89 3.68 0.00 0.00
Dataran fluviomarin bermaterial
3. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 27783.46 0.60 0.00 0.00
aluvium
Dataran fluviovulkanik bermaterial
4. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 39496.03 0.85 0.00 0.00
aluvium
Dataran marin berpasir bermaterial
5. 0.00 0.00 0.00 0.00 15240.83 0.33 0.00 0.00 0.00 0.00
aluvium
Dataran organik koralian bermaterial
6. 196731.54 4.25 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
batuan sedimen karbonat
Dataran organik koralian berombak-
7. bergelombang bermaterial batuan 418518.69 9.03 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat
Dataran solusional karst berombak-
8. bergelombang bermaterial batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 45454.88 0.98 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat
Dataran struktural lipatan
9. bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 15867.02 0.34 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat dan non karbonat
Dataran struktural lipatan berombak-
bergelombang bermaterial campuran
10. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30025.22 0.65 0.00 0.00
batuan sedimen karbonat non
karbonat
Dataran vulkanik bermaterial
11. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4033.94 0.09 0.00 0.00
piroklastik
Dataran vulkanik berombak-
12. bergelombang bermaterial batuan 0.00 0.00 14045.16 0.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
beku luar
13. Lembah sungai bermaterial aluvium 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 96768.56 2.09 0.00 0.00

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 53


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sangat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
No Ekoregion Tinggi
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Lereng bawah kerucut vulkanik 0.00
14. 0.00 23829.56 0.51 0.00 0.00 0.00
bermaterial batuan beku luar
Lereng tengah kerucut vulkanik
15. 0.00 0.00 0.00 0.00 14558.9 0.31 0.00 0.00 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Pegunungan denudasional
16. bermaterial batuan sedimen 0.00 0.00 462291.55 9.98 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Pegunungan denudasional
17. bermaterial batuan sedimen non 0.00 0.00 31095.39 0.67 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Pegunungan denudasional
18. bermaterial campuran batuan beku 0.00 0.00 1047874.22 22.62 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
luar dan piroklastik
Pegunungan denudasional
19. bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 98002.14 2.12 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat dan non karbonat
Pegunungan kerucut vulkanik
20. bermaterial campuran batuan beku 0.00 0.00 0.00 0.00 211028.91 4.55 0.00 0.00 0.00 0.00
luar dan piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik
21. 0.00 0.00 0.00 0.00 81.15 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik lereng
22. atas bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 2070.49 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00
beku luar dan piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik lereng
23. bawah bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 24235.53 0.52 0.00 0.00
beku luar dan piroklastik
Pegunungan kerucut vulkanik lereng
24. tengah bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 6484.27 0.14 0.00 0.00 0.00 0.00
beku luar dan piroklastik
Pegunungan vulkanik lereng bawah
25. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 30118.54 0.65 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Perbukitan denudasional bermaterial
26. 0.00 0.00 37657.63 0.81 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
batuan sedimen non karbonat

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 54


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sangat
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
No Ekoregion Tinggi
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
Perbukitan denudasional bermaterial
27. campuran batuan beku luar dan 0.00 0.00 66310.69 1.43 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
piroklastik
Perbukitan denudasional bermaterial
28. campuran batuan sedimen karbonat 0.00 0.00 233885.52 5.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
dan non karbonat
Perbukitan denudasional bermaterial
29. 0.00 0.00 32002.13 0.69 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
piroklastik
Perbukitan denudasional bermaterial
30. 0.00 0.00 225623.38 4.87 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
sedimen karbonat
Perbukitan kerucut vulkanik
31. 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3423.21 0.07 0.00 0.00
bermaterial piroklastik
Perbukitan solusional karst
32. bermaterial batuan sedimen 0.00 0.00 0.00 0.00 355032.30 7.66 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Perbukitan struktural lipatan
33. bermaterial batuan sedimen non 0.00 0.00 138065.88 2.98 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
karbonat
Perbukitan struktural lipatan
34. bermaterial campuran batuan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 301187.37 6.50 0.00 0.00
sedimen karbonat dan non karbonat
Perbukitan vulkanik bermaterial
35. campuran batuan beku luar dan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 213214.13 4.60 0.00 0.00
piroklastik
Total 615250.24 13.28 2312681.12 49.92 763820.91 16.49 940892.88 20.31 522.89 0.01

Sumber: DDDT Provinsi NTT, 2019

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 55


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sumber : DDDT Provinsi NTT, 2019

Gambar 2.7. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia Air Bersih Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 56


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Curah hujan rata-rata di NTT sekitar 1.200 mm/tahun, maka potensi


ketersediaan air sebesar 18.257 milyar m3 per-tahun, namun mengalami defisit air
disebabkan curah hujan yang melimpah tapi berdurasi relatif pendek dan belum
dipanen secara maksimal.
Potensi air di Nusa Tenggara Timur berasal dari air permukaan dan air tanah
sebagai berikut:

1) Air Permukaan
Potensi air permukaan berasal sungai/kali yang memiliki variabilitas debit
yang tinggi antara musim kemarau dan musim hujan. Selanjutnya berasal dari
embung dan waduk dan lain-lain. Persoalan terbesar keteresediaan air
permukaan di Provinsi NTT adalah sangat bergantung pada curah hujan
yang minim dan durasi waktu yang singkat.

Hingga tahun 2014 Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi NTT


telah membangun bangunan penampung air hujan berupa embung kecil 910
buah, embung irigasi 32 buah, dan bendungan/waduk.

Pada periode tahun 2015-2019, Kementerian PU-PR telah dan sedang


membangun tujuh bendungan di NTT. Ketujuh bendungan itu adalah:
Bendungan Raknamo di Kabupaten Kupang (telah selesai dan diresmikan),
Bendungan Rotiklot di Kabupaten Belu (telah selesai dan diresmikan),
Bendungan Napunggete di Kabupaten Sikka (sedang dikerjakan), Bendungan
Lambo di Kabupaten Nagekeo (sedang dikerjakan), Bendungan Temef di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (sedang dikerjakan), Bendungan Manikin
di Kabupaten Kupang (sedang dikerjakan), dan Bendungan Kolhua di Kota
Kupang (sedang direncanakan).

2) Air tanah
Menurut KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang CAT, CAT di Indonesia terdiri
atas: a) akuifer bebas (unconfined aquifer) dan, b) akuifer tertekan (confined
aquifer).

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 57


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Akuifer bebas merupakan akuifer jenuh air (saturated). Lapisan pembatasnya,


yang merupakan aquitard, hanya pada bagian bawahnya dan tidak ada
pembatas aquitard di lapisan atasnya, batas di lapisan atas berupa muka air
tanah. Dengan kata lain merupakan akuifer yang mempunyai muka air
tanah. Akuifer tertekan merupakan akuifer jenuh air yang dibatasi oleh
lapisan atas dan lapisan bawah yang kedap air (aquiclude) dan tekanan
airnya lebih besar dari tekanan atmosfir. Pada lapisan pembatasnya tidak ada
air yang mengalir. Potensi air tanah CAT di NTT berjumlah 39 buah, dengan
total luas 31.929 km2 potensi air tanah pada akuifer tertekan sebesar 200
Juta m3/tahun dan pada akuifer bebas: 6.229 juta m3/tahun.

Kebutuhan air di Provinsi NTT dibagi menjadi tiga yaitu: kebutuhan air baku
minum, kebutuhan air irigasi, dan kebutuhan air sektor perkotaan dan
industri. Total kebutuhan air untuk tiga aspek tersebut adalah: 10,083 milyar
m3/tahun dengan rincian sebagai berikut:

a. Kebutuhan air baku minum. Kebutuhan air baku diasumsikan 100


liter/orang/hari dengan jumlah penduduk sekitar 5.120.061 jiwa, maka
total kebutuhan air baku sebesar 192.986.523 m3/tahun.

b. Kebutuhan Air Irigasi. Kebutuhan air irigasi digunakan untuk mengairi


areal daerah irigasi di Provinsi NTT seluas 355.969 Ha, yang terdiri dari:
Daerah Irigasi (DI) kewenangan pusat sebanyak 26 DI dengan total areal
106.689 Ha, Daerah Irigasi kewenangan provinsi sebanyak 42 DI dengan
total areal 60.328 Ha, Daerah Irigasi kewenangan kabupaten/kota
sebanyak 3.069 DI dengan total areal 188.952 Ha. Berdasarkan asumsi
kebutuhan air irigasi 1,5 liter/detik/Ha maka total kebutuhan air irigasi
sebesar 9.401.158.779,84 m3.

c. Kebutuhan air non-domestik, perkotaan dan industri non Irigasi.


Digunakan untuk peternakan, kebutuhan air untuk perikanan, dan
kebutuhan air untuk pemeliharaan. Total kebutuhan air ini diperkirakan
sebesar 489.192.432,78 m3.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 58


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Kelebihan air pada bulan basah dapat dimanfaatkan dengan membangun


bangunan penampung-penampung air seperti bendungan/waduk, embung irigasi
dan embung kecil. Bangunan-bangunan air tersebut di samping untuk
menampung air dan digunakan pada bulan kering, berfungsi juga sebagai
pengendali banjir dan konservasi (menaikkan muka air tanah). Dengan defisit air
± 1,5 milyar m3, maka masih diperlukan banyak sarana bangunan penampung
air di Provinsi NTT.
Menurut Kore (2016) kebutuhan bangunan air untuk mengatasi defisit air
tersebut adalah waduk sebanyak 70 buah, embung irigasi sebanyak 100 buah,
embung kecil sebanyak 4000, dan sumur bor sebanyak 3000 buah. Estimasi total
tampungan adalah 1,59 milyar m3 (Tribunnews, 2016). Kondisi infrastruktur
sumber daya air yang menyebar di provinsi NTT hanya menampung 58 juta
kubik per tahun. Hal ini disebabkan olehw kondisi infrastruktur sumber daya air
di provinsi NTT masih terbatas karena kemampuan fiskal (anggaran) yang masih
mengandalkan dukungan dari pemerintah pusat.
Sesuai amanat UUD 1945 33 UUD 1945 dan 6 prinsip dasar Putusan MK
Tahun 2015, memberikan “hak penguasaan negara” dalam menguasai bumi, air
dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dimanfaatkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Meskipun demkian, implementasi di
lapangan, hak penguasan atas air dan sumber air terutama di beberapa daerah
perdesaan masih bergantung pada perorangan atau suku. Kondisi ini
membutuhkan penanganan yang baik dengan tetap menghormati hak suku/
ulayat, namun tidak mengabaikan hak orang lain untuk mendapatkan pelayanan
air bersih.

2.15.3. Produksi Pangan


Alam diciptakan terdiri dari berbagai ekosistem yang juga memberikan
bermacam-macam manfaat bagi makhluk hidup. Salah satu manfaat ini adalah
penyediaan bahan pangan, yakni segala sesuatu yang berasal dari sumber daya
hayati baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan bagi makhluk

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 59


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

hidup. Pangan merupakan kebutuhan utama bagi setiap makhluk hidup yang
harus dipenuhi setiap saat. Ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan hal
yang penting untuk dipenuhi. Daya dukung lingkungan jasa ekosistem
penyediaan pangan memiliki makna bahwa Ekosistem membrikan manfaat
penyediaan bahan pangan yaitu segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
(tanaman dan hewan) dan air (ikan), baik yang diolah maupun yang tidak
diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi
manusia.
Lahan yang berpotensi sangat tinggi dalam menyediakan bahan pangan
terdapat pada tiga kelas bentang alam yaitu danau, daratan fluvial bermaterial
aluvium dan daratan fluviovulkanik bermaterial aluvium. Dari ketiga jenis
bentang alam tersebut, yang dominan adalah bentang Alam daratan fluvial
bermaterial aluvium dengan luasan 170.606,90 Ha atau sekitar 3,68% dari
keseluruhan lahan yang terdapat di NTT. Bentang Alam tersebut mempunyai
relief yang relatif rata (flat), tersusun atas material aluvium dari hasil proses
deposisi fluviatil (aliran air permukaan), dataran fluviofulkanik bermaterial
aluvium yang tersusun atas material aluvium dari hasil proses fluvial dengan
material yang berasal dari produk vulkanik dan dapat disebut sebagai dataran
laharik karena dihasilkan oleh aliran lahar serta pada bentang alam danau yang
merupakan Genangan air permanen di permukaan lahan.
Bentang alam yang memiliki potensi sangat rendah dalam penyediaan
bahan pangan terdapat pada Dua jenis bentang alam yaitu dataran organik
koralian bermaterial batuan sedimen karbonat dengan luasan 196.731 Ha
(4,25%) dan dataran organik koralian berombak-bergelombang bermaterial
batuan sedimen karbonat dengan luas 418.518,70 Ha (9,03%).
Lahan yang mempunyai potensi jasa ekosistem penyedia pangan yang
sangat rendah didominasi oleh bentang alam dataran organik koralin
berombak-bergelombang bermaterial batuan sedimen karbonat dengan total
luasan 418.510,70 Ha atau 9.03% dari total lahan di NTT.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 60


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Tabel 2.15
Distribusi Luas Jasa Ekosistem Penyedia Pangan Berdasarkan Bentang Alam
SANGAT
SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
NO JENIS BENTANG ALAM TINGGI
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
1. Danau - - - - - - - - 522.89 0.01
2. Dataran fluvial bermaterial - - - - - - - - 170606.89 3.68
alluvium
3. Dataran fluviomarin - - - - - - 27783.46 0.60 - -
bermaterial alluvium
4. Dataran fluviovulkanik - - - - - - 0.00 39496.03 0.85
bermaterial alluvium
5. Dataran marin berpasir - - 15240.83 0.33 - - - - - -
bermaterial alluvium
6. Dataran organik koralian 196731.54 4.25 - - - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
karbonat
7. Dataran organik koralian 418518.69 9.03 - - - - - - - -
berombak-bergelombang
bermaterial batuan sedimen
karbonat
8. Dataran solusional karst - - - - 45454.88 0.98 - - - -
berombak-bergelombang
bermaterial batuan sedimen
karbonat
9. Dataran struktural lipatan - - - - 15867.02 0.34 - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
10. Dataran struktural lipatan - - - - 30025.22 0.65 - - - -
berombak-bergelombang
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat non
karbonat
11. Dataran vulkanik bermaterial - - - - - 0.00 4033.94 0.09 - -
piroklastik
12. Dataran vulkanik berombak- - - - - 14045.16 0.30 - 0.00 - -
bergelombang bermaterial
batuan beku luar

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 61


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

SANGAT
SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
NO JENIS BENTANG ALAM TINGGI
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
13. Lembah sungai bermaterial - - - - - - 96768.56 2.09 - -
alluvium
14. Lereng bawah kerucut - - - - 23829.56 0.51 - - - -
vulkanik bermaterial batuan
beku luar
15. Lereng tengah kerucut - - 14558.90 0.31 - - - - - -
vulkanik bermaterial
piroklastik
16. Pegunungan denudasional - - 462291.56 9.98 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
karbonat
17. Pegunungan denudasional - - - - 31095.39 0.67 - - -
bermaterial batuan sedimen
non karbonat
18. Pegunungan denudasional - - 1047874.22 22.62 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
19. Pegunungan denudasional - - 98002.14 2.12 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
20. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - 211028.92 4.55 - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
21. Pegunungan kerucut vulkanik - - 81.16 0.00 - - - - - -
bermaterial piroklastik
22. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - 2070.48 0.04 - - - -
lereng atas bermaterial
campuran batuan beku luar
dan piroklastik
23. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - - - 24235.53 0.52 - 0.00
lereng bawah bermaterial
campuran batuan beku luar
dan piroklastik
24. Pegunungan kerucut vulkanik - - - - 6484.27 0.14 - - - -
lereng tengah bermaterial
campuran batuan beku luar
dan piroklastik

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 62


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

SANGAT
SANGAT RENDAH RENDAH SEDANG TINGGI
NO JENIS BENTANG ALAM TINGGI
Ha % Ha % Ha % Ha % Ha %
25. Pegunungan vulkanik lereng - - - - 30118.54 0.65 - - - -
bawah bermaterial piroklastik
26. Perbukitan denudasional - - 37657.63 0.81 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
non karbonat
27. Perbukitan denudasional - - 66310.69 1.43 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
28. Perbukitan denudasional - - 233885.52 5.05 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
29. Perbukitan denudasional - - - - 32002.13 0.69 - - - -
bermaterial piroklastik
30. Perbukitan denudasional - - 225623.38 4.87 - - - - - -
bermaterial sedimen karbonat
31. Perbukitan kerucut vulkanik - - 3423.21 0.07 - - - - - -
bermaterial piroklastik
32. Perbukitan solusional karst - - 355032.29 7.66 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
karbonat
33. Perbukitan struktural lipatan - - 138065.88 2.98 - - - - - -
bermaterial batuan sedimen
non karbonat
34. Perbukitan struktural lipatan - - 301187.36 6.50 - - - - - -
bermaterial campuran batuan
sedimen karbonat dan non
karbonat
35. Perbukitan vulkanik - - 0.00 213214.13 4.60 - - - -
bermaterial campuran batuan
beku luar dan piroklastik
Total 615250.24 13.28 2999234.78 64.73 655235.72 14.14 152821.49 3.30 210625.81 4.55
Sumber : DDDT Provinsi NTT, 2019

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II - 63


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Sumber : DDDT Provinsi NTT, 2019

Gambar 2.8. Peta Daya Dukung Lingkungan Jasa Ekosistem Penyedia Pangan Provinsi NTT Berdasarkan Bentang Alam

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II- 64


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

2.15.4. Pengatur Tata Air

Pulau Flores memiliki ekoregion dengan karakteristik pegunungan


struktural yang merupakan ekosistem penting dalam jasa pengaturan air. Pulau
Sumba memiliki pegunungan structural dan perbukitan solusional merupakan
ekosistem penting dalam pengaturan air, air permukaan tersedia dengan baik,
namum pada saat kemarau menjadi sangat terbatas dan air tanah
terakumulasi pada sungai bawah tanah. Pulau Timor memiliki ekoregion
pegunungan denundasional sebagai ekosistem penting dalam pengaturan air.

2.15.5. Trend Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2003-2006 hingga 2014-2017

Alih fungsi lahan hutan ke peruntukan lain di Provinsi Nusa Tenggara Timur
dari tahun 2003-2006 sampai 2014-2017 sebesar 282,775.92 Ha. Pada tahun
2003-2006 sebesar 2.867,11 Ha, kemudian menurun pada dua periode
berikutnya. Tetapi pada tahun 2011-2014 terjadi lonjakan yang sangat besar
yakni sebesar 109.660,64 Ha, kemudian terjadi kenaikan yang tinggi pula pada
tahun 2014-2017, tetapi kenaikan tidak sebesar periode sebelumnya.

Alih fungsi lahan terbesar dari lahan hutan adalah semak belukar sebesar
32,62%, pertanian lahan kering sebesar 28,17%, padang pengembalaan (savana)
sebesar 3,85%, sawah sebesar 5,47% dan pemukiman penduduk sebesar 3,47%.

2.16. Tantangan Lingkungan Hidup 30 Tahun ke Depan

Pada tahun 2013, BAPPENAS bersama Badan Pusat Statistik telah


melakukan kajian terkait pertumbuhan penduduk Indonesia yang salah
satunya menghasilkan data proyeksi pertumbuhan dan jumlah penduduk
Indonesia sampai tahun 2035. Meskipun ada tren penurunan laju pertumbuhan,
akan tetapi jumlah penduduk Indonesia diperkirakan masih akan bertambah
sangat besar, yaitu sekitar 50 juta jiwa pada tahun 2035 dibandingkan jumlah
penduduk tahun 2015. Berdasarkan data yang sama, konsentrasi penduduk NTT
masih akan berpusat di kota, dengan pertambahan penduduk di Nusa Tenggara
Timur diproyeksikan akan bertambah antara 32% - 36% pada tahun 2035.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II-65


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Seperti halnya pembangunan di Indonesia, di samping pertumbuhan


penduduk, pembangunan secara nasional dan regional di Provinsi Nusa Tenggara
Timur untuk 20 – 30 tahun ke depan masih akan diwarnai oleh percepatan
pembangunan ekonomi yang salah satu tujuannya adalah pemerataan
pembangunan antar daerah melalui pendekatan sektoral dan regional,
membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, pembangunan konektivitas dan
pengembangan SDM melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta inovasi. Akan terjadi mobilisasi sumber daya alam untuk mendukung dan
memastikan keberhasilan program-program yang dicanangkan, terutama yang
berkaitan dengan sumber energi, bahan baku, dan lahan.
Tantangan terbesar dalam pembangunan lingkungan adalah bagaimana
agar lingkungan hidup mampu mempertahankan fungsi dan jasa lingkungan
alaminya untuk mendukung kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Setidaknya ada 3 (Tiga) Jasa Lingkungan yang bernilai sangat penting dan saling
terkait dalam mendukung kehidupan, yaitu Jasa Penyedia Pangan, Jasa
Penyimpan Air, dan Jasa Regulator Air.
Hal yang terkait langsung dengan meningkatnya jumlah penduduk adalah
kebutuhan akan pangan yang juga semakin meningkat. Kestabilan dan
keberlangsungan negara akan sangat bergantung pada ketahanan pangannya.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman. Berdasarkan Peta Indeks Ketahanan dan Kerawanan Pangan
Nasional Tahun 2015 dari Kementerian Pertanian, secara umum ketahan pangan
nasional masih dalam kondisi terjaga, kecuali di sebagian besar Papua, sebagian
Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II-66


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

Bappenas telah melakukan studi tentang pangan dan pertanian yang


komperhensif. Studi ini telah membahas isu penting pembangunan pertanian
yang mencakup: harga komoditas pertanian yang berfluktuasi dan terus
meningkat, defisit beberapa jenis komoditas terutama kedelai dan daging sapi,
hambatan peningkatan produksi, pembiayaan pertanian, pembibitan dan
pembenihan, konsumsi pangan dan isu kesejahteraan petani. Studi ini
membuat analisis mendalam tentang: padi/beras, jagung, kedelai, gula,
daging sapi, cabai, bawang merah dan kelapa sawit. Permasalahan lingkungan
tidak dibahas secara khusus tetapi, tetapi eksplisit dalam pembahasan
komoditi pertanian. Ada tiga permasalahan yang diungkapkan yaitu: alih
fungsi lahan pertanian yang mendapat tekanan urbanisasi, kerusakan sistem
irigasi karena kelemahan dalam pengelolaan sumber daya air, dan variabilitas
iklim. Namun demikian, alih fungsi lahan pertanian pertanian berkembang terus
karena beberapa hal sebagai berikut:
a) Permintaan lahan untuk permukiman, perkembangan industri, dan
pembangunan infrastruktur (jalan raya, bandara, dll. );
b) Kebijakan alih fungsi lahan tidak tegas dan tidak konsisten (kontradiktif,
cakupan terbatas dan perencanaan tataguna tanah tidak konsisten),
peraturan perundangan masih mengandung kelemahan, pandangan
Pemda tentang alih fungsi lahan berbeda-beda, target konkrit masing-
masing lembaga tidak tegas, dan otonomi daerah;
c) Efek domino pembangunan jala raya;
d) Fragmentasi pemilikan lahan; dan
e) Keuntungan relatif dan risiko usahatani.
Selain tekanan tersebut, produk pertanian utama nasional masih sangat
mengandalkan padi yang cenderung fluktuatif pasokannya dengan sebaran
daerah penghasil produk yang tidak merata, memerlukan teknologi dan
inovasi yang makin beragam di masa yang akan datang. Produsen pertanian
tidak mampu merespon permintaan pasar karena adanya keterbatasan
infrastruktur yang menghubungkan kota dengan sentra produksi, lemahnya
kelembagaan petani dan kecenderungan petani bekerja secara individualistik

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II-67


KONDISI DAN INDIKASI DDDT 2019

(kepercayaan kepada orang lain rendah), buruknya kelembagaan pasar (sistem


mafia) dan tingginya biaya transaksi; dan rendahnya aktivitas penciptaan nilai
tambah dan pengolahan produk primer di pedesaan. Disamping itu, sebagian
besar padi diproduksi oleh petani yang berstatus sebagai petani penggarap
dengan luas garapan lahannya yang kecil-kecil (< 0,50 Ha). Bagi petani kecil,
peranan sawah sebagai sumber pendapatan kurang memadai, sehingga
mereka menjadikan pertanian sawah sebagai usaha sambilan. Karena sebagai
usaha sambilan, maka intensitas pemeliharaan menjadi kurang, dan mereka
banyak bekerja di luar usaha tani padi sebagai buruh tani, tukang/kuli
bangunan, dan pekerjaan kasar lainnya dengan upah rendah. Teknologi baru
yang diintroduksi tidak diadopsi secara penuh karena kondisi diatas.
UNEP pada tahun 2012 menyatakan bahwa trend perubahan iklim global
yang terjadi harus menjadi bahan evaluasi dalam persiapan dan kesiapan sektor
pertanian untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Peningkatan suhu laut
dan fenomena El-nino dan La-nina menyebabkan terjadinya perubahan kondisi
lingkungan yang mempengaruhi curah hujan bulanan sehingga mengganggu
pola dan produksi hasil pertanian.
Selain pangan, kondisi ketersediaan air Provinsi Nusa Tenggara Timur juga
mengalami ancaman dari berkurangnya daerah-daerah resapan air dan berubah
fungsinya daerah-daerah penyimpan air. Hal tersebut dapat dilihat secara jelas
bahwa daya dukung air jauh menurun yang diindikasikan dengan debit yang
cenderung terus menurun.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tantangan lingkungan hidup untuk
dapat tetap mempertahankan daya dukung dan daya tampungnya dengan
baik sangatlah besar. Di samping itu, dorongan dan komitmen bangsa-bangsa di
dunia dan secara nasional terkait upaya-upaya mengatasi perubahan iklim yang
bergulir sangat cepat, menjadikan usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi lebih berat lagi.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 II-68


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

BAB III
PERMASALAHAN, INDIKATOR, DAN TARGET

3.1 Isu Strategis Provinsi NTT


Isu strategis adalah kondisi, keadaan atau hal yang harus diperhatikan
atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan karena dampaknya
yang signifikan bagi entitas (masyarakat/daerah) di masa datang bahkan jika
tidak diantisipasi/ditanggulangi dapat menghambat pencapaian tujuan
pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan pasal 22 Draft RPPLH Nasional,
ayat (1) Isu strategis RPPLH Provinsi dan Kabupaten/Kota mengacu pada
Isu strategis RPPLH Nasional; ayat (2) Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat
menambah isu strategis sesuai dengan karakter dan permasalahan masing-
masing daerah.
Secara Nasional, dalam kerangka pembangunan berkelanjutan terdapat
2 (dua) hal utama yang dihadapi sebagai isu strategis yang berkaitan dengan
menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan hidup, yaitu:

1. Menurunnya kemampuan ekosistem untuk menjaga keseimbangan siklus


air

Uraian dan data-data sebelumnya menunjukkan bahwa siklus hidrologi,


sudah sangat terganggu. Bencana alam yang sering terjadi merupakan
salah satu indikasi yang dapat dirujuk. Ekosistem tidak lagi mampu
menampung dan menyalurkan air dengan semestinya. Oleh karena itu,
pengelolaan lingkungan hidup ke depan harus dapat menjamin
pulihnya kemampuan ekosistem untuk menyerap, menahan, menyimpan
dan mengatur distribusi air. Daerah-daerah yang menjadi resapan air
harus dilindungi ekosistemnya, dipulihkan kerusakannya, dan
ditingkatkan kualitas tutupan hutannya. Sedangkan daerah-daerah
yang merupakan penyimpan air alami harus dipulihkan dan
dibebaskan dari area terbangun.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-1


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

2. Berkurangnya luasan lahan pangan kualitas tinggi di daerah-daerah


lumbung pangan tradisional

Berdasarkan perhitungan BPS, Indonesia diproyeksikan akan dihuni oleh


± 305,6 juta jiwa pada tahun 2035. Diperlukan produksi pangan yang
besar untuk dapat mendukung jumlah penduduk tersebut, yang selama
ini dipasok dari lahan-lahan sawah tradisional.

Untuk mendorong penyelesaian isu tersebut, pengelolaan lingkungan


hidup ke depan harus mampu melindungi lahan-lahan pangan
produktif, mencegah alih fungsi lahan pertanian, dan memperketat
penggunaan lahan yang potensial untuk pangan menjadi daerah-daerah
terbangun. Di samping itu, perlu dikembangkan sumber-sumber pangan
baru yang mempunyai kemampuan adaptasi tinggi.

3.1.1 Isu Pokok Provinsi NTT

Kedua isu strategis nasional tersebut di atas yang juga menjadi isu
strategis bagi Provinsi NTT, belum ada alternatif lain untuk pemenuhan
kebutuhan air selain bersumber dari jasa lingkungan penyedia air dan
pengatur tata aliran air dan banjir. Demikian pula terkait pangan, belum ada
alternatif lain untuk pemenuhan kebutuhan pangan selain bersumber dari jasa
lingkungan penyedia pangan. Oleh karena itu, keberlangsungan kedua jasa
lingkungan penyedia tersebut ditetapkan sebagai isu pokok Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi NTT 2019 - 2049.

3.2 Indikator Keberhasilan

3.2.1 Indikator Kualitas Lingkungan Hidup Provinsi NTT

Sejak tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan


mengembangkan suatu indeks lingkungan berbasis provinsi yang memberikan
kesimpulan cepat dari suatu kondisi lingkungan hidup pada periode
tertentu. Indeks kualitas lingkungan ini merupakan dasar bagi para pemangku
kepentingan untuk melakukan aksi nyata dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Indeks kualitas lingkungan hidup atau

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-2


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

disingkat IKLH sendiri disusun untuk memenuhi kebutuhan sasaran


pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam Rencana Pembangunan
Nasional sesuai dengan Peraturan Presiden No.43 Tahun 2014, Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) Tahun 2015 yang memuat sasaran dan arah kebijakan
yang terkait Isu Strategis berupa Peningkatan Keekonomian Keanekaragaman
Hayati dan Kualitas Lingkungan Hidup.
Tujuan disusunnya IKLH adalah untuk memberikan informasi kepada
para pengambil keputusan di tingkat pusat dan daerah tentang kondisi
lingkungan di tingkat nasional dan daerah khususnya tingkat provinsi
sebagai bahan evaluasi kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan. Dalam fungsinya sebagai pendukung kebijakan,
IKLH dapat menentukan derajat permasalahan lingkungan dan sumber
permasalahan dalam pengelolaan lingkungan hidup. IKLH disusun
menggunakan kualitas air sungai, kualitas air udara, dan tutupan hutan
sebagai indikator.
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan Indeks kualitas Lingkungan
Hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari tiga indikator yaitu
kualitas udara, kualitas air, dan kualitas tutupan lahan dapat diuraikan sebagai
berikut:

3.2.1.1 Indeks Kualitas Udara

Kondisi kualitas udara di Provinsi NTT salah satunya dapat dilihat dari
Indeks Kualitas Udara (IKU) yang perhitungannya mengadopsi Program
European Union melalui European Regional Development Fund tahun 2006.
Penyusunan dan penghitungan indeks kualitas udara ditujukan:
1. Sebagai pelaporan kualitas udara yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan informasi yang mudah dipahami kepada masyarakat tentang
kondisi kualitas udara.
2. Sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kualitas udara
yang tujuannya melindungi manusia dan ekosistem.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-3


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Indeks kualitas udara pada umumnya dihitung berdasarkan lima


pencemar utama yaitu oksidan/ozon (O3), bahan partikel (PM2,5 dan PM10),
karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2).
Namun saat ini, penghitungan indeks kualitas udara menggunakan dua
parameter yaitu NO2 dan SO2. Parameter NO2 mewakili emisi dari kendaraan
bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin, sementara SO2 mewakili
emisi dari industri dan kendaraan diesel yang menggunakan bahan bakar solar
serta bahan bakar yang mengandung sulfur lainnya.

IKU provinsi dihitung dari IKU masing - masing kabupaten di NTT


setelah data konsentrasi rata-rata tahunan parameter pencemar udara berupa
SO2 dan NO2 dari hasil pengukuran kualitas udara ambien kabupaten/kota.
Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan SO2 dan NO2 menggunakan
metode passive sampler pada lokasi-lokasi yang mewakili daerah
permukiman, industri dan lokasi padat lalulintas kendaraan bermotor.
Pengukuran kualitas udara dilakukan empat kali per tahun dan nilai
konsentrasi tahunan setiap parameter adalah rata-rata dari nilai konsentrasi
triwulan. Nilai rata-rata tersebut dikonversi menjadi nilai indeks kualitas udara
(IKU) dalam skala 0 – 100, semakin tinggi nilai IKU berarti kualitas udara
semakin baik khususnya terkait parameter NO2 dan SO2. IKU dihitung melalui
5 (lima) tahap sebagai berikut:

1) Menghitung rata-rata kadar NO2 dan SO2 dari tiap periode pemantauan
untuk masing-masing lokasi (titik) sehingga didapat data rerata untuk
area transportasi (A), industri (B), Perkantoran (C) dan Perumahan (D).
2) Menghitung rata-rata kadar NO2 dan SO2 untuk masing-masing
kabupaten/kota yang merupakan perhitungan rerata dari keempat titik
pemantauan.
3) Menghitung rata-rata kadar NO2 dan SO2 untuk provinsi yang
merupakan perhitungan rerata dari kabupaten/kota.
4) Angka rata-rata kadar NO2 dan SO2 provinsi dibandingkan dengan
referensi EU (European United) untuk mendapatkan Index Udara model
EU (Ieu).

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-4


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Rata − rata NO2 Rata − rata SO2


Ieu = ( + )/2
40 20
5) Mengkonversi Indeks Udara model EU menjadi Indeks Kualitas Udara
(IKU) menggunakan persamaan berikut:
50
IKU = 100 – [ x ( I EU − 0,1)]
0,9

Pemantauan terhadap kualitas udara di NTT hanya dilakukan pada 17


kabupaten/kota dari 22 kabupaten/kota yaitu Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor,
Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada, Manggarai, Sumba Timur, Sumba Barat,
Manggarai Barat, Nagekeo, Sumba Barat Daya, Malaka dan Kota Kupang.
Hasil perhitungan indeks kualitas udara (IKU) pada 17 kabupaten/kota di NTT
ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 3.1.
Indeks Kualitas Udara (IKU) di NTT Tahun 2018 dan 2019
Peningkatan/
IKU
No. Kabupaten/Kota Penurunan IKU
2018 2019 2019 thd 2018
1. TTS 99,51 94,90 -4,61
2. TTU 87,63 92,44 4,81
3. Kupang 89,32 94,57 5,25
4. Belu 94,12 95,54 1,42
5. Alor 82,18 81,93 -0,25
6. Flotim 79,56 81,09 1,53
7. Sikka 90,15 88,82 -1,22
8. Ende 87,16 91,77 4,61
9. Ngada 85,07 85,22 0,15
10. Manggarai 88,45 87,20 -1,25
11. Sumba Timur 85,48 84,49 -0,99
12. Sumba Barat 87,04 86,92 -0,12
13. Manggarai Barat 80,90 80,64 -0,26
14. Nagekeo 88,02 91,28 3,26
15. Sumba Barat Daya 80,86 82,56 1,7
16. Malaka 82,31 86,15 3,84
17. Kota Kupang 92,03 93,61 1,58
IKU NTT 87,05 88,18 1,13
Sumber: Hasil Analisis

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-5


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Berdasarkan data (tabel 3.1) dapat dilihat bahwa indeks kualitas udara
(IKU) di NTT mengalami peningkatan dari 87,05 (tahun 2018) menjadi 88,18
(tahun 2019). Tiga kabupaten yang berkontribusi signifikan terhadap
peningkatan IKU NTT adalah Kabupaten Belu, TTS, dan Kupang dengan nilai
IKU berturut-turut 95,54, 94,90 dan 94,57, sedangkan kabupaten yang
memiliki nilai IKU terendah adalah Kabupaten Manggarai Barat, Flores Timur
dan Alor dengan nilai IKU masing-masing adalah 80,64; 81,09 dan 81,93.
Secara umum, indeks kualitas udara di NTT cenderung berfluktuatif
akibat perubahan faktor-faktor meterologis (angin, suhu, hujan, cahaya
matahari) dan perubahan interaksi antar berbagai polutan yang dilepas ke
udara ambien. Pada tahun 2015 nilai IKU NTT sebesar 77,13 (kategori cukup
baik), tahun 2016 nilai IKU meningkat menjadi 82,70 (baik), pada tahun
2017 meningkat lagi menjadi 91,18 (baik), tahun 2018 mengalami penurunan
menjadi 87,05 dan pada tahun 2019 mengalami sedikit peningkatan kembali
menjadi 88,18. Nilai IKU NTT tersebut lebih baik jika dibandingan dengan
nilai IKU NTB maupun IKU nasional. Perbandingan nilai IKU provinsi NTT,
NTB, Bali dan nilai IKU Nasional selama tahun 2015 sampai tahun 2018
ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Indeks kualitas udara tahun 2015 - 2018

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-6


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Kualitas udara dibagi menjadi dua, yaitu udara emisi dan udara ambien.
Kualitas udara ambien selalu dipengaruhi oleh jumlah emisi yang di buang ke
atmosfer dari sumbernya. Untuk mengetahui tingkat kualitas udara ambien,
maka Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT melakukan pemantauan secara
periodik dua kali per tahun pada lokasi-lokasi yang mewakili daerah
permukiman, industri, lokasi padat lalilintas kendaraan bermotor, dan
perkantoran/komersial pada 17 kabupaten/kota. Pemantauan kualitas udara
ambien ini penting dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran udara
yang telah terjadi pada suatu wilayah. Hasil pemantauan kadar nitrogen
dioksida (NO2) tahun 2019 ditunjukkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2.
Kadar Nitrogen dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota Provinsi NTT
Tahun 2019
Nitrogen Dioksida (NO2, µg/Nm3)
Kabupaten/
No. Lokasi Sampling Periode Pemantauan
Kota Rata-Rata
I II
1. TTS Transportasi 3,80 5,70 4,75
Industri 0,31 3,40 1,86
Pemukiman 0,31 3,00 1,66
Perkantoran 1,60 0,40 1,00
Rata-rata 1,51 3,13 2,32
2. TTU Transportasi 8,40 8,53 8,47
Industri 3,64 2,80 3,22
Pemukiman 1,75 2,40 2,08
Perkantoran 4,53 5,10 4,82
Rata-rata 4,58 4,71 4,65
3. Kupang Transportasi 6,20 7,80 7,00
Industri 0,70 2,80 1,75
Pemukiman 0,70 2,80 1,75
Perkantoran 0,31 1,70 1,01
Rata-rata 1,98 3,78 2,88
4. Belu Transportasi 1,45 1,09 1,27
Industri 6,85 7,35 7,10
Pemukiman 4,10 6,20 5,15
Perkantoran - 2,50 2,50
Rata-rata 4,13 4,29 4,01
5. Alor Transportasi - - -
Industri 8,90 7,70 8,30

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-7


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Kabupaten/ Nitrogen Dioksida (NO2, µg/Nm3)


No. Lokasi Sampling
Kota Periode Pemantauan Rata-Rata
Pemukiman 5,97 6,80 6,39
Perkantoran 5,40 3,90 4,65
Rata-rata 6,76 6,13 6,45
6. Flotim Transportasi 23,70 19,75 21,73
Industri 18,30 19,40 18,85
Pemukiman 5,75 5,90 5,83
Perkantoran 12,80 12,40 12,60
Rata-rata 15,14 14,36 14,75
7. Sikka Transportasi 3,75 4,80 4,28
Industri 7,10 6,60 6,85
Pemukiman 6,40 5,30 5,85
Perkantoran 3,15 2,90 3,03
Rata-rata 5,10 4,90 5,00
8. Ende Transportasi 11,38 10,20 10,79
Industri 5,22 5,55 5,39
Pemukiman 3,06 3,85 3,46
Perkantoran 8,50 9,70 9,10
Rata-rata 7,04 7,33 7,19
9. Ngada Transportasi 6,60 8,90 7,75
Industri 7,40 10,50 8,95
Pemukiman 12,90 12,60 12,75
Perkantoran 15,65 18,80 17,23
Rata-rata 10,64 12,70 11,67
10. Manggarai Transportasi 8,80 5,20 7,00
Industri 4,00 3,80 3,90
Pemukiman 6,60 6,10 6,35
Perkantoran 5,30 8,10 6,70
Rata-rata 6,18 5,80 5,99
11. Sumba Timur Transportasi 13,00 12,90 12,95
Industri 10,00 8,70 9,35
Pemukiman 3,07 3,30 3,19
Perkantoran 8,80 10,20 9,50
Rata-rata 8,72 8,78 8,75
12. Sumba Barat Transportasi 17,20 14,30 15,75
Industri 13,95 13,36 13,66
Pemukiman 6,30 5,90 6,10
Perkantoran - 6,80 6,80
Rata-rata 12,48 10,09 10,58
13. Manggarai Transportasi 12,85 15,60 14,23
Barat Industri 9,50 9,40 9,45

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-8


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Kabupaten/ Nitrogen Dioksida (NO2, µg/Nm3)


No. Lokasi Sampling
Kota Periode Pemantauan Rata-Rata
Pemukiman 6,70 8,70 7,70
Perkantoran 7,20 7,10 7,15
Rata-rata 9,06 10,20 9,63
14. Nagekeo Transportasi 3,20 4,50 3,85
Industri 4,37 5,68 5,03
Pemukiman 4,70 2,40 3,55
Perkantoran 5,10 5,60 5,35
Rata-rata 4,34 4,55 4,45
15. Sumba Barat Transportasi 12,90 14,20 13,55
Daya Industri 16,30 15,22 15,82
Pemukiman 12,20 11,47 11,84
Perkantoran 2,40 2,60 2,50
Rata-rata 10,95 10,87 10,93
16. Malaka Transportasi 6,67 9,10 7,89
Industri 9,90 11,20 10,55
Pemukiman 2,95 2,25 2,60
Perkantoran 3,63 5,80 4,72
Rata-rata 5,79 7,09 6,44
17. Kota Kupang Transportasi 11,40 7,80 9,60
Industri 5,00 3,40 4,20
Pemukiman 9,20 8,80 9,00
Perkantoran 4,50 4,60 4,55
Rata-rata 7,53 6,15 6,84
Rata-Rata Provinsi NTT 7,17 7,34 7,20
Sumber: DLHK Provinsi NTT (2019)

Hasil pemantauan kadar nitrogen dioksida (NO2) udara ambien pada


lokasi-lokasi yang mewakili daerah permukiman, industri, lokasi padat
lalilintas kendaraan bermotor, dan perkantoran/komersial menunjukkan
bahwa selama periode pemantauan 1 dan 2 kadar NO2 rata-rata tertinggi
berada di lokasi padat lalu lintas kendaraan bermotor (sektor transportasi)
dengan kadar NO2 terukur rata-rata 8,87 µg/Nm3, kemudian disusul sektor
industri dengan kadar NO2 rata-rata sebesar 7,65 µg/Nm3. Keseluruhan nilai
konsentrasi NO2 terukur pada semua tahap dan titik pengukuran belum
melebihi ambang batas/standar kualitas udara, yaitu 150 µg/Nm3 (rata-rata
waktu pengukuran 24 jam). Nilai indeks kualitas udara (IKU) berdasarkan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-9


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

parameter NO2 ini adalah 95,56 dan berkategori sangat baik. Ditinjau per
lokasi sampling, kadar NO2 minimum, maksimum dan rata-rata di NTT
ditunjukkan pada Tabel 3.3, sedangkan konsentraasi rata-rata NO2 setiap
tahap pemantauan dan setiap lokasi sampling ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Tabel 3.3.
Kadar NO2 Minimum. Maksimum dan Rata-Rata Tahun 2019
Kadar NO2 (µg/Nm3)
No. Lokasi Sampling
Minimum Maksimum Rata-rata
1. Transportasi 1,27 21,73 8,87
2. Industri 1,75 18.85 7,90
3. Pemukiman 1,66 12,75 5,60
4. Perkantoran 1,00 17,23 6,07

Gambar 3.2 Konsentrasi NO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT

Gas SO2 (sulfur dioksida) merupakan salah satu komponen polutan di


atmosfir yang dihasilkan dari proses pembakaran minyak bumi dan batubara
serta proses lain yang mengandung sulfat. Gas SO2 sangat berbahaya bagi
mahluk hidup karena berperan penting pada akumulasi zat-zat asam di udara

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-10


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

yang menyebabkan terjadinya hujan asam. Dalam konsentrasi tertentu gas


SO2 dapat mengakibatkan penyakit paru-paru dan kesulitan bernafas
terutama bagi penderita asma, bronchitis, dan penyakit pernafasan lainnya.

Tabel 3.4.
Kadar Sulfur Dioksida di Beberapa Kabupaten/Kota Provinsi NTT
Tahun 2019
Sulfur Dioksida (SO2, µg/Nm3)
Kabupaten/
No. Lokasi Sampling Periode Pemantauan
Kota Rata-Rata
I II
1. TTS Transportasi 2,47 3,54 3,01
Industri 4,53 4,67 4,60
Pemukiman 14,50 15,10 14,80
Perkantoran 4,82 2,47 3,65
Rata-rata 6,58 6,45 6,51
2. TTU Transportasi 5,85 5,35 5,60
Industri 13,50 10,78 12,14
Pemukiman 5,25 6,47 5,86
Perkantoran 4,84 4,91 4,88
Rata-rata 7,36 6,88 7,12
3. Kupang Transportasi 2,47 2,47 2,47
Industri 7,42 6,48 6,95
Pemukiman 10,32 10,80 10,56
Perkantoran 6,32 5,52 5,92
Rata-rata 6,63 6,32 6,48
4. Belu Transportasi 6,25 5,73 5,99
Industri 5,24 5,25 5,25
Pemukiman 3,95 2,47 3,21
Perkantoran - 6,38 3,19
Rata-rata 5,15 4,96 5,05
5. Alor Transportasi - - 0,00
Industri 15,80 11,49 13,65
Pemukiman 12,84 16,32 14,58
Perkantoran 13,20 13,06 13,13
Rata-rata 13,95 13,62 10,34
6. Flotim Transportasi 5,64 6,01 5,83
Industri 9,78 8,34 9,06
Pemukiman 14,56 15,12 14,84
Perkantoran 12,39 10,06 11,23
Rata-rata 10,59 9,88 10,24
7. Sikka Transportasi 5,56 6,18 5,87
Industri 12,56 10,76 11,66

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-11


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Kabupaten/ Sulfur Dioksida (SO2, µg/Nm3)


No. Lokasi Sampling
Kota Periode Pemantauan Rata-Rata
Pemukiman 12,07 12,85 12,46
Perkantoran 8,14 8,28 8,21
Rata-rata 9,58 9,52 9,55
8. Ende Transportasi 3,18 3,11 3,15
Industri 6,91 5,47 6,19
Pemukiman 8,73 7,37 8,05
Perkantoran 9,00 6,92 7,96
Rata-rata 6,96 5,72 6,34
9. Ngada Transportasi 15,34 16,13 15,74
Industri 5,12 4,82 4,97
Pemukiman 6,68 8,04 7,36
Perkantoran 7,05 7,30 7,18
Rata-rata 8,55 9,07 8,81
10. Manggarai Transportasi 8,22 7,08 7,65
Industri 9,55 10,39 9,97
Pemukiman 18,38 19,44 18,91
Perkantoran 3,54 5,09 4,32
Rata-rata 9,92 10,50 10,21
11. Sumba Timur Transportasi 7,56 6,82 7,19
Industri 14,91 12,84 13,88
Pemukiman 10,64 10,32 10,48
Perkantoran 12,84 10,42 11,63
Rata-rata 11,49 10,10 10,79
12. Sumba Barat Transportasi 6,70 5,86 6,28
Industri 14,00 9,56 11,78
Pemukiman 2,47 3,29 2,88
Perkantoran - 11,59 5,80
Rata-rata 7,72 7,58 6,68
13. Manggarai Transportasi 20,41 21,18 20,80
Barat Industri 11,14 12,06 11,60
Pemukiman 9,10 7,22 8,16
Perkantoran 12,74 11,15 11,95
Rata-rata 13,35 12,90 13,13
14. Nagekeo Transportasi 6,72 6,87 6,80
Industri 8,11 9,30 8,71
Pemukiman 4,75 3,22 3,99
Perkantoran 11,28 14,12 12,70
Rata-rata 7,72 8,38 8,05
15. Sumba Barat Transportasi 5,73 6,07 5,90
Daya Industri 14,98 14,89 14,94

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-12


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Kabupaten/ Sulfur Dioksida (SO2, µg/Nm3)


No. Lokasi Sampling
Kota Periode Pemantauan Rata-Rata
Pemukiman 13,22 11,48 12,35
Perkantoran 11,53 10,88 11,21
Rata-rata 11,37 10,83 11,10
16. Malaka Transportasi 15,64 15,02 15,33
Industri 8,84 7,23 8,04
Pemukiman 11,13 11,46 11,30
Perkantoran 9,29 7,40 8,35
Rata-rata 11,23 10,28 10,75
17. Kota Kupang Transportasi 5,42 5,85 5,64
Industri 2,47 2,47 2,47
Pemukiman 5,57 7,16 6,37
Perkantoran 6,53 5,97 6,25
Rata-rata 5,00 5,36 5,18
Rata-Rata Provinsi NTT 9,01 8,73 8,61
Sumber: DLHK Provinsi NTT (2019)

Berdasarkan Gambar 3.4, tampak bahwa konsentrasi SO2 terukur pada


lokasi lalulintas kendaraan bermotor berada pada kisaran 2,46 – 20,8 µg/Nm3
dengan rata-rata 7,70 µg/Nm3. Keseluruhan nilai konsentrasi SO2 terukur
pada lokasi padat lalulintas kendaraan bermotor (transportasi) pada semua
tahap dan titik pengukuran masih jauh di bawah ambang batas baku mutu
kualitas udara berdasarkan Peraturan Pemerintah 41 tahun 1999, yaitu 365
µg/Nm3 (waktu pengukuran 24 jam).
Konsentrasi SO2 terukur pada lokasi industri masih relatif kecil yang
berada pada kisaran 2,47 – 14,94 µg/Nm3 dengan rata-rata 9,17 µg/Nm3.
Konsentrasi SO2 terukur pada titik sampling lokasi permukiman lebih tinggi
dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Pada lokasi permukiman,
konsentrasi SO2 berkisar 2,88 – 18,91 µg/Nm3 dengan rata-rata 9,77 µg/Nm3.
Pada lokasi perkantoran konsentrasi SO2 terukur berada pada kisaran 3,19 –
13,13 µg/Nm3 dengan rata-rata 8,09 µg/Nm3. Ditinjau per lokasi sampling,
kadar SO2 minimum, maksimum dan rata-rata ditunjukkan pada tabel berikut.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-13


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Tabel 3.5.
Kadar SO2 Minimum. Maksimum dan Rata-Rata Tahun 2019
Kadar SO2 (µg/Nm3)
No. Lokasi Sampling
Minimum Maksimum Rata-rata
1. Transportasi 2,47 20,8 7,70
2. Industri 2,47 14,94 9,17
3. Pemukiman 2,88 18,91 9,77
4. Perkantoran 3,19 13,13 8,09

Secara keseluruhan, kondisi kualitas udara di Provinsi NTT ditinjau dari


parameter NO2 dan SO2 pada tahun 2019 ini dalam kondisi baik. Parameter
NO2 dan SO2 terukur pada dua periode pengukuran dan 4 (empat) lokasi
sampling pada 17 kabupaten/kota di NTT secara keseluruhan memenuhi baku
mutu NO2 dan SO2 sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

Gambar 3.3 Konsentrasi SO2 pada setiap tahap dan lokasi sampling
pada 17 kabupaten/kota di NTT

Konsentrasi SO2 terukur pada titik sampling lokasi permukiman lebih


tinggi dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya (Gambar 3.3), dengan
konsentrasi rata-rata terukur 9,77 µg/Nm3. Konsentrasi rata-rata SO2 dari

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-14


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

empat lokasi sampel (trsnportasi, industri, permukiman dan perkantoran)


yang terendah adalah Kabupaten Belu (rata-rata 5,05 µg/Nm3), diikuti Kota
Kupang (5,28 µg/Nm3), dan Kabupaten Ende (6,34 µg/Nm3), sedangkan rata-
rata konsentrasi SO2 tertinggi berada di Kabupaten Manggarai Barat (13,13
µg/Nm3), selanjutnya Kabupaten Sumba Barat Daya (11,10 µg/Nm3), dan
Kabupaten Sumba Timur (10,79 µg/Nm3).

3.2.1.2 Indeks kualitas Air


Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu
dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan (PP
82/2001). Kondisi kualitas air di Provinsi NTT salah satunya dapat dilihat dari
Indeks Pencemaran Air (IPA) atau Indeks Kualitas Air (IKA) yang ditentukan
berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003
tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Secara nasional, parameter
utama yang digunakan untuk menentukan Indeks Kualitas Air adalah TSS, DO
dan COD, sejak tahun 2017 perhitungan IKA menggunakan 7 parameter
kualitas air yaitu parameter TSS, DO, BOD,COD, total fosfat, fecal koliform,
dan total coliform, kemudian mulai tahun 2018 perhitungan IKA
menggunakan 10 parameter kualitas air yaitu TSS, TDS, pH, DO, BOD, COD,
NH3-N, total fosfat, NO3-N dan fecal koliform.
Secara umum, indeks kualitas air di Provinsi NTT dari tahun 2015 hingga
tahun 2018 berada dalam rentang 35,18 – 58,09 dan masuk dalam kategori
buruk hingga kurang. Nilai tersebut masih di bawah indeks kualitas air
nasional yang berkisar antara 53,15 – 72,77. Perbandingan indeks kualitas air
provinsi NTT dan Nasional selama tahun 2015 sampai tahun 2018
ditunjukkan pada Gambar 3.4.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-15


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Gambar 3.4 Indeks kualitas air provinsi NTT dan Nasional 2015-2018

Pada tahun 2018, nilai IKA NTT sedikit mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan nilai IKA tahun-tahun sebelumnya, namun nilai IKA
NTT selama tahun 2015 – 2018 masih berada di bawah IKA nasional.
Peningkatan/penurunan nilai IKA dipengaruhi oleh berbagai variabel antara
lain: (a) penurunan beban pencemaran serta upaya pemulihan (restorasi)
pada beberapa sumber air; (b) ketersedian dan fuktuasi debit air yang
dipengaruhi oleh perubahan fungsi lahan serta faktor cuaca lokal, iklim
regional dan nasional; (c) penggunaan air; dan (d) tingkat erosi dan
sedimentasi.
Kondisi kualitas air yang diuraikan berikut merupakan kondisi kualitas
air sungai mengingat keterbatasan data terkait kualitas air laut dan pesisir serta
sumberdaya air lainnya seperti waduk, embung, maupun danau.
Perairan sungai di NTT umumnya menerima sejumlah besar aliran
sedimen baik secara alamiah, buangan limbah rumah tangga, buangan
industri, aliran air permukaan, daerah urban, dan pertanian. Terkadang
sebuah sungai mengalami pencemaran yang berat sehingga air mengandung
bahan pencemar yang sangat besar. Menurut Sunaryo et al. (2007), di
kawasan perkotaan pencemaran air pada sungai dan badan air lain terutama
disebabkan oleh sektor domestik, berupa limbah cair dari rumah tangga dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-16


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

industri rumah tangga. Tiga penyebab utama tercemarnya sungai atau badan
air adalah:
a. Peningkatan konsumsi atau penggunaan air sehubungan dengan
peningkatan ekonomi dan taraf masyarakat dengan konsekuensi
meningkatnya air limbah yang mengandung berbagai senyawa tertentu.
b. Terjadinya pemusatan penduduk dan industri diikuti dengan
peningkatan buangan yang tertampung di perairan sehingga daya
purifikasi perairan terlampaui, akibatnya perairan menjadi tercemar
dengan tingkat yang semakin berat.
c. Kurangnya atau rendahnya investasi sosial ekonomi budaya untuk
memperbaiki lingkungan, seperti investasi untuk sistem sanitasi dan
perlakuan lainnya.

Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah kecil bahan
pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran
menjadi sangat rendah. Hal tersebut menyebabkan konsumsi oksigen terlarut
yang diperlukan oleh kehidupan air dan biodegradasi akan cepat
diperbaharui, namun proses pengenceran, degradasi dan non degradasi pada
arus sungai yang lambat tidak dapat menghilangkan polusi limbah oleh proses
penjernihan alamiah. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen
terlarut yang pada batas tertentu dapat menimbulkan persoalan lingkungan
yang lebih luas.
Kondisi eksisting kualitas air sungai di NTT dievaluasi dengan cara
membandingkan hasil analisis parameter fisik dan kimia dari contoh air
dengan kriteria mutu kualitas air yang berlaku, yaitu mengacu pada Peraturan
Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.

a. Total Padatan Tersuspensi (TSS)

Padatan tersuspensi terdiri atas partikel-partikel tersuspensi berupa lumpur


dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh
kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Padatan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-17


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

tersuspensi mengandung bahan organik dan anorganik. Hasil pemantauan


kualitas air di 3 sungai besar di NTT pada tahun 2017 yang dilakukan oleh
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi NTT menunjukkan bahwa lebih
dari 94 persen titik pantau, kadar TSS sudah tidak memenuhi kriteria mutu
air (KMA) kelas II, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan


parameter TSS

b. Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) merupakan parameter kualitas air


kunci yang menggambarkan kondisi kesegaran air. Menurut Raja et al.
(2008), kadar DO menunjukkan jumlah oksigen terlarut dalam air atau
mengindikasikan status oksigen dalam badan air. Kadar DO dalam perairan
alami biasanya kurang dari 10 mg/l. Kandungan DO merupakan hal
penting bagi kelangsungan organisme perairan, sehingga penentuan kadar
oksigen terlarut dalam air dapat dijadikan ukuran untuk menentukan mutu
air. Hasil pemantauan tahun 2018 menunjukkan bahwa kadar DO pada
seluruh titik pantau memenuhi kriteria mutu air (KMA) kelas II, dengan
nilai baku mutu ≥ 4 mg/L.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-18


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Gambar 3.6 Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan parameter DO

Kadar DO berfluktuasi antara periode dan titik pengamatan (Gambar 3.6).


Fluktuasi tersebut diduga akibat proses pencampuran (mixing) dan
pergerakan massa air (turbulence), aktivitas fotosintesis, respirasi dan
pengaruh limbah (effluent) yang masuk ke dalam badan air. Penurunan
kadar DO dapat terjadi karena adanya penambahan beban pencemaran
organik dalam jumlah besar, yang disebabkan oleh buangan limbah cair
yang melebihi kemampuan self purifikasi sungai dan adanya bahan kimia
yang dapat teroksidasi oleh oksigen. Selain itu, peristiwa resuspensi akibat
penambahan debit air secara tiba-tiba mengakibatkan larutan-larutan racun
di dasar sungai dapat terangkat dan tersuspensi dalam air sehingga
meningkatkan kekeruhan.

c. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)

BOD adalah kebutuhan oksigen untuk mendegradasi bahan organik


menjadi anorganik tidak stabil kemudian menjadi senyawa lebih stabil.
Besaran BOD digunakan sebagai cara untuk mengindikasikan pencemaran
organik di perairan. Semakin banyak bahan organik yang terdapat dalam
perairan, maka makin besar jumlah oksigen yang dibutuhkan, sehingga
harga BOD semakin besar yang mengindikasikan tingginya tingkat

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-19


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

pencemaran. Hasil pemantauan memperlihatkan, bahwa nilai BOD antar


titik pengamatan dan periode pengamatan sangat beragam (Gambar 3.7).

Gambar 3.7 Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan parameter


BOD

Berdasarkan kandungan BOD, sebanyak 22% titik sampling pada 3 sungai


di NTT tidak memenuhi kriteria mutu air (KMA) kelas II, yang
mensyaratkan kandungan BOD maksimal 3 mg/L.

d. Kebutuhan Oksigen Kimia (COD)

Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) menunjukkan jumlah oksigen total yang


dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan secara kimiawi, baik yang dapat
didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar
dibiodegradasi secara biologis (non-biodegradable). Nilai COD dapat
digunakan sebagai ukuran bagi pencemaran air oleh bahan-bahan organik
yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui proses mikrobiologis dan
mengakibatkan berkurangnya kadar DO di dalam air. Hasil pemantauan
kualitas air sungai yang dilakukan oleh DLH Provinsi NTT pada bulan
November 2018 ditunjukkan pada Gambar 3.8.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-20


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Gambar 3.8 Kualitas air 3 Sungai besar di NTT berdasarkan parameter


COD

Hasil pemantauan di atas memperlihatkan bahwa kadar COD pada tiga


sungai besar di NTT pada enam titik pengamatan rata-rata berkisar 4,63 –
93,10 mg/l, dengan nilai rata-rata keseluruhan 52,38 mg/l. Secara
keseluruhan, berdasarkan kadar COD di 6 titik pengamatan ternyata
tingkat pemenuhan baku mutu air kelas II hanya 22 persen artinya hanya 4
titik dari 18 titik pengamatan yang kadar COD-nya masih di bawah
ambang batas KMA kelas II yang mensyaratkan nilai COD maksimum 25
mg/l. Secara rinci, berdasarkan parameter COD maka dari 6 titik
pengamatan yang memenuhi baku mutu air kelas II untuk: Sungai
Noelmina 0 persen, Sungai Aesesa 50 persen, dan Sungai Benanain 17
persen.

Hasil pemantauan di atas memberikan gambaran kualitas air sungai di NTT


tahun 2018. Secara keseluruhan, berdasarkan kandungan TSS, hanya 6
persen dari keseluruhan sampel yang diambil yang memenuhi kriteria mutu
kelas II, sedangkan parameter DO 100 persen, BOD 78 persen dan COD
juga 78 persen. Sementara, jika menggunakan kriteria mutu air kelas II,
tingkat pemenuhan baku mutu parameter TSS 6 persen, DO 67 persen,
BOD 17 persen dan COD hanya 11 persen.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-21


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

3.2.1.3 Indek Kualitas Tutupan Lahan

Berbagai tekanan terhadap sumberdaya hutan dan lahan, membawa


perubahan bagi ketersediaan air, menurunkan kualitas lahan dan
menimbulkan erosi dan banjir di berbagai tempat. Selain itu, kombinasi
penggunaan bahan kimia pertanian dalam proses pembersihan lahan untuk
mempersingkat waktu kerja, sistem pembakaran terhadap hasil tebasan
maupun rumput yang sudah kering akibat penggunaan herbisida membawa
tekanan tersendiri terhadap sumberdaya lahan, mematikan berbagai unsur
mikroorganisme tanah, yang pada akhirnya menurunkan kualitas kesuburan
tanah. Pemanfaatan lahan dimana kualitas kesuburannya berkurang, akan
memberikan hasil yang tidak optimal.
Tutupan lahan merupakan kenampakan biofisik permukaan bumi.
Penghitungan indeks kualitas tutupan lahan (IKTL) mengacu pada Klasifikasi
Penutup Lahan (SNI 7645-2010). Tutupan lahan merupakan garis yang
menggambarkan batas penampakan area tutupan di atas permukaan bumi
yang terdiri atas bentang alam dan/atau bentang buatan (UU No. 4, 2011).
Berdasarkan SNI 7645-2010, tutupan lahan didefinisikan sebagai tutupan
biofisik pada permukaan bumi yang dapat diamati merupakan suatu hasil
pengaturan, aktivitas, dan perlakukan manusia yang dilakukan pada jenis
penutup lahan tertentu untuk melakukan kegiatan produksi, perubahan,
ataupun perawatan pada penutupan tersebut. penyempurnaan metode
perhitungan IKTL yang mengelaborasikan beberapa parameter kunci yang
menggambarkan adanya aspek konservasi, aspek rehabilitasi dan karateristik
wilayah secara spasial, namun dapat disajikan secara sederhana dan mudah
dipahami.
IKTL dihitung dengan nilai Indeks Tutupan Hutan (ITH) yang telah
diberikan bobot. Parameter yang dinilai selain tutupan hutan juga
menambahkan tutupan belukar dan belukar rawa pada kawasan hutan, dan
kawasan yang memiliki fungsi lindung (lereng dengan kemiringan >25% dan
sempadan sungai, danau dan pantai), ruang terbuka hijau, kebun raya dan
taman kenekaragaman hayati. Penghitungan IKTL dilakukan dengan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-22


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

membandingkan luas hutan dengan luas wilayah administratif. Berdasarkan


Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa kabupaten/kota minimal
memiliki kawasan hutan sekitar 30 persen dari luasan wilayah. Asumsi yang
digunakan dalam perhitungan IKTL bahwa daerah-daerah yang memiliki
kawasan hutan 30 persen dari luas wilayah administrasinya diberi nilai 50,
sedangkan nilai IKTL tertinggi (100) adalah daerah yang memiliki kawasan
hutan 84,3 persen dari luas wilayah administrasinya. Berdasarkan data luas
kawasan hutan dari BPKH Wilayah XIV Kupang, diperoleh nilai IKTL sebagai
berikut:
Tabel 3.6
Tutupan Hutan dan Nilai IKTL Provinsi NTT Tahun 2018
Luas Luas Belukar Luas
No. Kabupaten/kota Hutan/lahan dan Belukar Wilayah IKTL
(Ha) Rawa (Ha) (Ha)
1. Kota Kupang 2.053,50 862,22 16.751,63 36,51

2. Kupang 230.542,96 74.301,41 500.813,55 72,96

3. TTS 131.369,96 55.327,96 389.670,87 61,26

4. TTU 81.191,46 43.072,47 259.307,89 60,38

5. Malaka 26.438,83 10.899,60 109.882,31 50,01

6. Belu 29.030,44 31.428,22 110.547,43 62,26

7. Rote Ndao 29.854,69 37.652,50 126.075,19 60,68

8. Sabu Raijua 523,49 27,37 45.569,40 23,47

9. Sumba Barat 23.473,72 4.986,64 72.285,17 56,09

10. Sumba Barat 63.881,54 7.055,05 181.210,35 56,99


Daya
11. Sumba Tengah 64.038,17 7.065,20 181.901,17 56,94

12. Sumba Timur 206.813,81 10.704,14 697.796,08 50,51

13. Manggarai 142.344,08 27.606,27 313.824,45 69,00


Barat
14. Manggarai 58.727,70 9.817,69 134.089,56 66,75

15. Manggarai 128.288,37 11.784,43 240.303,83 74,24


Timur

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-23


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Luas Luas Belukar Luas


No. Kabupaten/kota Hutan/lahan dan Belukar Wilayah IKTL
(Ha) Rawa (Ha) (Ha)
16. Ngada 61.048,07 11.735,18 169.192,88 59,43

17. Nagekeo 42.114,55 8.583,71 143.608,45 52,68

18. Ende 159.435,62 7.528,51 210.349,19 94,15

19. Sikka 77.363,35 2.927,03 165.209,10 66,47

20. Flores Timur 70.159,24 8.923,08 174.319,60 62,26

21. Lembata 51.269,32 17.673,37 126.204,16 67,52

22. Alor 147.799,22 37.121,95 292.237,04 75,96

NTT 1.827.762,09 427.084,00 4.661.149,30 60,75


Sumber: BPKH Wilayah XIV Kupang (2019)

Berdasarkan Tabel 3.6, dapat dilihat bahwa pada tahun 2018 nilai IKTL
provinsi NTT sebesar 60,75. Kabupaten Ende memiliki nilai IKTL tertinggi
(94,15) diikuti Kabupaten Alor (IKTL 75,96) dan Kabupaten Manggarai Timur
(IKTL 74,24), sedangkan Kabupaten Sabu Raijua memiliki nilai IKTL terendah
(23,47) diikuti Kota Kupang (IKTL 36,51) dan Kabupaten Malaka (IKTL
50,01). Oleh karena itu, untuk meningkatkan nilai IKTL NTT diperlukan
upaya perbaikan dan peningkatan kualitas tutupan lahan (terutama bagi
kabupaten/kota yang IKTL-nya masih berkategori kurang baik) melalui
penyediaan ruang terbuka hijau, penghijauan ekosistem daratan, dan
rehabilitasi ekosistem pesisir.

IKTL Nusa Tenggara Timur pada tahun 2018 tidak mengalami


perubahan yang signifikan dibandingkan nilai IKTL selama tahun 2015-2017.
Nilai IKTL berada pada kisaran rata-rata IKTL nasional, namun lebih baik jika
dibandingkan dengan IKTL Provinsi Bali. IKTL provinsi NTT dibandingkan
dengan IKTL provinsi tetangga dan IKTL nasional selama kurun waktu 2015 –
2018 ditunjukkan pada Gambar 3.9.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-24


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Gambar 3.9. Indeks Kualitas Tutupan Hutan dan Lahan

Gambaran kondisi kualitas tataguna lahan dan kualitas kerusakan lahan


pada Provinsi Nusa Tenggara Timur diuraikan sebagai berikut:

a) Luas Kawasan Lindung Berdasarkan RTRW

Kawasan Hutan Lindung berdasarkan RTRW dengan fungsi utama


melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya
alam dan sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna
pembangunan berkelanjutan. Memberikan perlindungan kawasan sekitar
dan bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah erosi dan banjir
yang mutlak fungsinya sebagai penyangga. Kawasan Hutan Lindung
Provinsi NTT memiliki luasan kurang lebih 652,915.78 Ha dari luas lahan
total.
Tabel 3.7.
Rencana Kawasan Lindung Provinsi NTT 2010-2030
No. Peruntukan Luasan (Ha)
1. Provinsi NTT 4.646.359,10
2. Minimal 29,03 % Luas Lahan Wilayah Darat 1.420.497
3. Luas Wilayah Laut 19.148.400
Sumber: RTRW Provinsi NTT 2010-2030

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-25


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

Tabel 3.8.
Kawasan Hutan Lindung
No. Kabupaten/Kota Persentase Luasan (Ha)
1. Sumba Barat 0,48 3.130,00
2. Sumba Timur 12,24 79.904,45
3. Kupang 17,11 111.685,73
4. Timor Tengah Selatan 5,27 34.392,17
5. Timor Tengah Utara 6,70 43.759,77
6. Belu 5,66 36.961,09
7. Alor 7,23 47.228,16
8. Lembata 6,24 40.714,43
9. Flores Timur 5,95 38.877,28
10. Sikka 6,61 43.136,55
11. Ende 2,52 16.460,02
12. Ngada 4,73 30.855,08
13. Manggarai 3,66 23.904,37
14. Rote Ndao 2,29 14.967,78
15. Manggarai Barat 3,67 23.960,65
16. Sumba Barat Daya 2,12 13.824,86
17. Sumba Tengah 0,98 6.381,11
18. Nagekeo 1,31 8.570,03
19. Manggarai Timur 3,89 25.368,41
20. Kota Kupang 0,21 1.352,25
21. Sabu Raijua 1,15 7.481,59
NTT 100 652.915,78
Sumber: RTRW Provinsi NTT 2010-2030

Luas kawasan hutan menurut fungsinya berdasarkan data Provinsi Nusa


Tenggara Timur dalam angka 2018, hutan lindung memiliki luas
687.826,30 Ha, suaka alam dan pelestarian alam luas 508.093,90 Ha,
hutan produksi terbatas 189.561,06 Ha, hutan produksi tetap 280.993,19
Ha, kawasan hutan dengan tujuan khusus luas 3.569,18 Ha, hutan
produksi yang dapat dikonversi luas 114.707,41 Ha, jumlah luas hutan
dan perairan 1.784.751,04 Ha. Berdasarkan data dinas Kehutanan tahun

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-26


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

2013, luas kawasan hutan per fungsi di Provinsi NTT, dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3.9.
Luas Kawasan Hutan per Fungsi di Provinsi NTT
Fungsi Kawasan SK.432 SK.3911 SK.357
No.
Hutan Luas % Luas % Luas %
1. Kawasan Suaka Alam 350.330 19,37 516.701 28,95 521.412 29,93
(KSA) dan
a. Daratan 260.219 14,58
b. Perairan 256.482 14,37
Cagar Alam (CA) 66.650 3,68
Suaka Margasatwa 18.920 1,05
(SM)
Taman Wisata Alam 159.155 8,80
(darat, perairan)
Taman Nasional 59.060 3,26
Hutan Bakau 40.695 2,25
Taman Buru 5.850 0,32
2. Hutan Lindung (HL) 731.220 40,42 684.403 38,35 684.572 39,29
3. Hutan Produksi 197.250 10,90 173.979 9,75 169.707 9,74
Terbatas (HPT)
4. Hutan Produksi Tetap 428.360 23,68 296.064 16,59 288.155 16,54
(HP)
5. Hutan Produksi yang 101.830 5,63 113.604 6,37 78.494 4,51
dapat dikonversi
JUMLAH 1.808.990 100,00 1.784,751 100,00 1.742.340 100,00
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi NTT, 2013

b) Luas Lahan Kritis di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan

Lahan kritis dapat didefinisikan sebagai lahan yang telah mengalami


kerusakan sehingga berkurang fungsinya sampai pada batas yang
ditentukan atau diharapkan. Fungsi yang dimaksud pada defenisi tersebut
adalah fungsi produksi dan fungsi tata airnya. Fungsi produksi berkaitan
dengan fungsi tanah sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dan
fungsi tata air berkaitan dengan fungsi tanah sebagai tempat
berjangkarnya akar dan menyimpan air tanah. Beberapa faktor-faktor
penyebab terjadinya lahan kritis diantaranya: terjadinya longsor dan
letusan gunung berapi, penebangan liar, kebakaran hutan, pemanfaatan
sumber daya hutan yang tidak berasaskan kelestarian, penataan zonasi

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-27


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

kawasan yang belum berjalan, pola pengelolaan lahan yang tidak


konservatif dan pengalihan status lahan.

Penetapan lahan kritis mengacu pada lahan yang telah rusak karena
kehilangan penutupan vegetasinya sehingga kehilangan atau berkurang
fungsinya sebagai penahan air, pengendali erosi, siklus hara, pengatur
iklim mikro dan retensi karbon. Berdasarkan kondisi vegetasinya,
kondisi lahan dapat diklasifikasi sebagai sangat kritis, kritis, agak kritis,
potensial kritis dan kondisi normal. Berikut ini adalah deskripsi lahan
kritis di Provinsi NTT berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi
NTT.

Gambar 3.10. Tingkat Kekritisan Lahan menurut Kabupaten/Kota Di NTT


Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi NTT, 2018

Sebagian besar kabupaten yang ada di NTT memiliki tingkat kekritisan


lahan mencapai level kritis lebih dari 10% dari luas lahan di kabupaten
tersebut. Bahkan beberapa kabupaten seperti Alor, Ende, Lembata, Sikka,
dan kabupaten di wilayah Flores bagian Barat mencapai lebih dari 30%
luas wilayahnya adalah lahan kritis. Hal ini menunjukan bahwa perlu
adanya penanganan secara terpadu dalam upaya penatagunaan lahan,

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-28


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

sehingga dapat meminimalkan tingkat kekritisan lahan di NTT secara


umum.

Di wilayah Pulau Timor dan kepulauan, ada beberapa kabupaten yang


memiliki wilayah potensial kritis lebih dari 40%, yakni Timor Tengah
Utara, Kupang, Rote Ndao dan Sabu Raijua. Wilayah-wilayah ini perlu
mendapat perhatian dalam tindakan preventif agar tidak mencapai agak
kritis atau bahkan kritis.

Luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan menurut


kabupaten/kota di Provinsi NTT 2013, SWP DAS luas, dalam kawasan
hutan (tidak kritis) luas 116.983,74, potensial kritis 932.980,00 ha, dan
Agak Kritis seluas 676.702,80 ha.

3.3. Target RPPLH Provinsi NTT

3.3.1 Target Capaian 30 Tahun

Guna mencapai kondisi lingkungan hidup yang ideal diperlukan


perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang tidak
hanya mengatur kondisi lingkungan hidup namun juga pengelolaan sumber
daya alam secara efektif dan efisien. Kondisi lingkungan hidup yang akan
dicapai melalui penerapan dokumen RPPLH Provinsi Nusa Tenggara Timur
2019-2049, antara lain:

a. Pembangunan yang sejalan dan diselenggarakan berdasarkan


pertimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup

Selama ini pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih


menitikberatkan pada pemanfaatan sumber daya alam dan
pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, terutama di wilayah
terisolir. Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum
mempertimbangkan kondisi daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup di wilayah tersebut. Selain kawasan lindung yang
dilarang untuk dibangun, pada kawasan budidaya tidak ada pembatasan
pembangunan sama sekali. Padahal hampir seluruh masyarakat bermukim

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-29


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

di kawasan budidaya, sehingga membutuhkan keseimbangan kondisi jasa


lingkungan.

Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran tentunya tidak dapat


dihentikan mengingat jumlah penduduk yang terus bertambah sehingga
permintaan (demand) terhadap sumber daya alam untuk pembangunan
semakin tinggi. Untuk mengharmonisasikan antara demand yang tinggi
dengan kondisi lingkungan perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi agar
kondisi lingkungan tidak semakin parah, salah satu caranya adalah
pengembangan green cities atau kota hijau di wilayah-wilayah yang
berjasa lingkungan tinggi dengan salah satu programnya adalah
infrastruktur hijau.

Selain penerapan program kota hijau, pengendalian tata ruang, terutama


di perkotaan untuk menjaga kondisi daya dukung dan daya tampungnya
perlu diintensifkan, dengan cara membatasi perubahan penggunaan
lahan di kawasan jasa lingkungan tinggi dan memperbanyak RTH.
Kemudian untuk menjaga cadangan sumber daya alam dan
kelestarian lingkungan hidup, maka harus ada upaya untuk
mengganti sumber energi fosil menjadi non-fosil sebagai sumber
energi baru terbarukan.

Untuk menjalankan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup sebagaimana yang diharapkan, maka pembagian dan
perimbangan anggaran antara pembangunan infrastruktur dengan
pemulihan dan pelestarian kondisi lingkungan hidup harus dapat lebih
proporsional.

Terkait hal ini, sebelum tahun 2025 P r o v i n s i N u s a T e n g g a r a


T i m u r d a n seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur
diharapkan telah memiliki Perda RPPLH yang terverifikasi dan
tersinkronisasi, dan diimplementasikan/diintegrasikan dalam RPJMD
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten/Kota selama periode 30
berikutnya.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-30


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

b. Kualitas dan fungsi lingkungan hidup berada pada kondisi yang


optimum dalam mendukung kehidupan bermasyarakat yang sejahtera

Kondisi lingkungan hidup dikatakan layak dan dapat memenuhi


kebutuhan masyarakat apabila: kondisi sungai-sungai tidak melebihi
ambang batas baku pencemaran, kawasan hutan dapat
dipertahankan dan ditingkatkan luasannya, perbaikan sistem tata
kelola perindustrian untuk menghindari terjadinya pencemaran air,
udara dan tanah, serta kawasan-kawasan rentan dan bernilai penting
(karst, gambut, dan mangrove) tetap terjaga, serta berkurangnya
kejadian bencana alam, penyakit, dan bencana lain yang disebabkan
oleh rusaknya kondisi lingkungan.

Dalam 30 tahun ke depan diharapkan terjadi:

1) Peningkatan kualitas air sebesar 5% tiap 10 tahun terutama pada


sungai-sungai utama di Kabupaten/ Kota dalam Provinsi Nusa
Tenggara Timur dari kondisi saat ini;

2) Peningkatan kualitas udara, di kota-kota Kabupaten/Kota sebesar


7% tiap 10 tahun dan menjaga penurunan kualitas udara di kota-
kota baru sampai tingkat di bawah 5% dari kondisi saat ini;

3) Peningkatan luas Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung sebanyak


20% dari luasan tahun 2015 dengan seluruh Kabupaten/Kota
memiliki Taman Hutan Raya yang dikelola secara baik; dan

4) Berkurangnya laju perubahan lahan pertanian ke non pertanian


hingga di bawah 2% dalam 30 tahun serta bertambahnya
lahan pertanian baru pada daerah-daerah dengan jasa lingkungan
penyedia pangan tinggi, terutama di Manggarai Barat, Manggarai,
Nagekeo, Malaka, dan Kabupaten Kupang.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-31


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

c. Kerja sama pengelolaan lingkungan hidup antar daerah dalam


mewujudkan kelestarian lingkungan

Sebagai sebuah kesatuan ekoregion, kerjasama antar daerah dalam


pengelolaan lingkungan hidup, pemanfaatan sumber daya alam, maupun
kegiatan lain yang berbasis lahan merupakan sebuah keharusan.
Hubungan sebab akibat dan pengaruh mempengaruhi dari perubahan
pada suatu bentang lahan, dapat menimbulkan konflik kepentingan,
baik horizontal maupun vertikal, yang menyebabkan inefisiensi
pemanfaatan sumber daya yang berujung pada rusaknya lingkungan
hidup.

d. Kepedulian dan kewaspadaan negara dan masyarakat dalam menjaga


kondisi dan kualitas lingkungan hidup harus menjadi gaya hidup/
kebiasaan/ budaya

Kearifan lokal masyarakat yang memperhatikan kelestarian dalam


mengelola sumber daya alam merupakan budaya yang selama ini
mengakar dalam kehidupan masyarakat di nusantara. Masuknya
kepentingan ekonomi yang besar banyak menggerus budaya ramah
lingkungan ini pada beberapa kelompok masyarakat, sehingga pada
beberapa dekade terakhir nilai-nilai kearifan lokal ini hampir tidak
dipedulikan. Ke depan, budaya ini harus dimunculkan kembali, dibina
dan dihargai sehingga menjadi gaya hidup generasi muda. Pendidikan,
penyuluhan dan pelatihan dari mulai tingkat paling dasar pada
pendidikan formal maupun non formal serta pengembangan organisasi
kemasyarakatan, paguyuban, dan atau kelompok masyarakat peduli
lingkungan lainnya harus menjadi prioritas dalam upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup nasional.

Meningkatnya keterlibatan negara, swasta, dan masyarakat dalam


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang antara lain
ditandai dengan meningkatnya anggaran lingkungan hidup minimal 5%

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-32


PERMASALAHAN-INDIKATOR-TARGET 2019

dari APBD/APBN, 80% produk-produk industri bersertifikat ramah


lingkungan, serta meningkatnya kelompok masyarakat peduli
lingkungan sampai pada tingkat RT/RW.

3.3.2 Target Capaian 10 Tahun

Selain menetapkan target 30 tahun, RPPLH Nusa Tenggara Timur juga


menetapkan target antara sesuai dengan skenario 10 tahunan. Target
tersebut ditetapkan sebagai acuan sekaligus pertimbangan dalam
penyesuaian/perbaikan kebijakan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai hasil monitoring dan evaluasi pelaksanaan
kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Target capaian 10 tahunan, ditetapkan sesuai dengan
Fokus Kinerja pada Skenario perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur 2019-2049.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 III-33


KEBIJAKAN PPLH 2019

BAB IV
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi


Nusa Tenggara Timur tentunya mengacu pada Kebijakan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup nasional selama 30 tahun ke depan, yang
diskenariokan sebagai penjabaran dari tindakan menyeluruh dan terkoodinasi
oleh seluruh elemen negara, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat,
sebagai respon terhadap kondisi lingkungan hidup di Provinsi Nu sa
Tengga ra Timur yang diperkirakan akan dihadapi akibat proses
pembangunan di NTT. Dalam beberapa tahun ke depan, penggunaan
sumber daya alam sebagai modal pembangunan masih akan terjadi.
Percepatan pembangunan infrastruktur, pengembangan kawasan-kawasan
pertumbuhan baru dan ekspolitasi energi yang bersumber dari fosil, yang
kemudian diikuti dengan meluasnya perkotaan, meningkatnya kepadatan
penduduk, dan menurunnya kualitas air dan udara, tetap menjadi
sumber pendorong utama penurunan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup di Provinsi Nusa Tenggara Timur, terutama terhadap jasa
penyediaan air dan pangan di beberapa Kabupaten/Kota dalam Provinsi
Nusa Tenggara Timur.
Skema skenario kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur juga mencakup strategi untuk menahan
laju penurunan daya dukung dan daya tampung, memperbaiki kualitas jasa
dari lingkungan, pengembangan dan penerapan teknologi ramah lingkungan
dalam segala aspek pembangunan, meningkatkan ketahanan lingkungan
terhadap perubahan iklim, sekaligus mendorong efisiensi konsumsi dan
pemanfaatan sumber daya alam. Dengan pola dan penekanan perencanaan
yang tepat dan memadai, diharapkan akan tercapai keseimbangan baru dari
konsumsi jasa dan sumber daya dengan daya dukung lingkungannya (Gambar
4.1).

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 1


KEBIJAKAN PPLH 2019

Gambar 4.1 Gambaran Skenario Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Untuk memungkinkan kondisi ideal tersebut dapat dicapai, maka


Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Nusa
Tenggara Timur 2019 - 2049 dijabarkan sebagai berikut:

4.1 Kebijakan Umum

4.1.1. Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi NTT


2019 -2049

Tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi NTT


2019 - 2049 adalah sebagai berikut:

a. Menyelaraskan pembangunan di Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nusa


Tenggara Timur dengan kemampuan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup;

b. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan melindungi


keberlanjutan fungsi lingkungan hidup;

c. Menguatkan tata kelola pemerintahan dan kelembagaan masyarakat


untuk pengendalian, pemantauan, dan pendayagunaan lingkungan
hidup; dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 2


KEBIJAKAN PPLH 2019

d. Meningkatkan ketahanan dan kesiapan dalam menghadapi perubahan


iklim

4.1.2. Sasaran dan dampak yang diinginkan dari perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup Provinsi NTT 2019 – 2049

Sasaran dan dampak yang diinginkan dari perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur 2019 – 2049
adalah sebagai berikut:

a. Terjaminnya ketersediaan air untuk kehidupan dan pembangunan


secara berkelanjutan;

b. Terjaminnya dukungan lingkungan hidup bagi produksi pangan dan


energi bersih secara berkelanjutan;

c. Terjaminnya keberlangsungan kehidupan makhluk hidup di perairan


dan daratan;

d. Minimnya risiko dan dampak lingkungan hidup negatif yang


ditanggung warga masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Timur; dan

e. Meratanya manfaat sumber daya alam bagi warga masyarakat Provinsi


Nusa Tenggara Timur.

4.2. Strategi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Nusa


Tenggara Timur Tahun 2019 – 2049

4.2.1 Strategi pengendalian dampak lingkungan hidup;

a. Harmonisasi perencanaan dan pengendalian pemanfaatan


ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup

1) Penerapan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan


Hidup dalam pemanfaatan dan pencadangan sumber daya alam

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 3


KEBIJAKAN PPLH 2019

Arahan Prioritas:

a) Memantapkan konsep dan perangkat pengukuran Daya


Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup;

b) Mempercepat penyusunan RPPLH berbasis Daya Dukung


Lingkungan Hidup di seluruh Kabupaten/Kota dalam Provinsi
Nusa Tenggara Timur; dan

c) Menerapkan perangkat DDDTLH dalam seluruh perencanaan


pembangunan di seluruh Kabupaten/Kota dalam Provinsi
Nusa Tenggara Timur.

2) Sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah dengan Rencana


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di seluruh
wilayah Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Arahan Prioritas:

a) Sinkronisasi pola ruang RTRW dengan zonasi RPPLH;


dan

b) Meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang pada


zona-zona rentan penurunan kualitas lingkungan hidup.

3) Melindungi dan membatasi pemanfaatan wilayah yang


memiliki Daya Dukung tinggi.

Arahan Prioritas:

a) Mencadangkan kawasan yang secara kumulatif memiliki


Daya Dukung Lingkungan tinggi sebagai kawasan penyangga
kehidupan; dan

b) Mengarahkan pembangunan infrastruktur, terutama akibat


pengembangan perkotaan dan pengembangan kawasan
industri, ke daerah-daerah dengan Daya Dukung Sedang
sampai rendah.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 4


KEBIJAKAN PPLH 2019

4) Membatasi alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian


dan membatasi pengembangan non pangan pada wilayah
dengan jasa lingkungan penyedia pangan tinggi.

Arahan Prioritas:

a) Memperketat mekanisme alih fungsi lahan pertanian


menjadi non pertanian;

b) Melindungi penggunaan lahan pertanian produktif untuk


perumahan dan kawasan industri; dan

c) Menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam


pembangunan infrastruktur strategis yang melewati lahan-
lahan pertanian produktif.

b. Penerapan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;

1) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan air dan mengembangkan


infrastruktur sistem penampung dan distribusi air

Arahan Prioritas:

a) Membangun, meningkatkan, dan/atau memperbaiki


infrastruktur penampung dan pengendali air skala besar di
daerah rawan kelangkaan air dan daerah-daerah lumbung
pangan;

b) Meningkatkan dan atau memperbaiki infrastruktur distribusi


air untuk keperluan rumah tangga, pertanian, dan
industri; dan

c) Meningkatkan upaya-upaya pemanenan, penanaman dan


pemanfaatan air hujan dalam skala rumah tangga seperti
pembuatan Penampungan Air Hujan (PAH), pembuatan
embung, sumur resepan, dan lubang biopori.

2) Mengendalikan tata ruang kawasan perkotaan secara


komprehensif.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 5


KEBIJAKAN PPLH 2019

Arahan Prioritas:

a) Mewujudkan Ruang Terbuka Hijau wilayah perkotaan


minimal 30% di seluruh wilayah Kabupaten/Kota dalam
Provinsi Nusa Tenggara Timur.

b) Rancang ulang dan perbaikan infrastruktur yang berpengaruh


terhadap berkurangnya pengendalian atas kelancaran aliran
air permukaan;

c) Mengembangkan sistem pengelolaan sampah dan limbah


dalam skala komunal dan rumah tangga; dan

d) Membatasi kawasan industri di perkotaan.

3) Mengembangkan sistem transportasi masal yang ramah


lingkungan.

Arahan Prioritas:

a) Mengembangkan transportasi masal ramah lingkungan antar


daerah.

b) Mengusahakan menerapkan bahan bakar nabati ramah


lingkungan dalam moda transportasi umum, dan

c) Penerapan insentif pajak moda transportasi umum, moda


transportasi ramah energi dan ramah lingkungan serta
penerapan disinsentif pajak untuk kendaraan bermotor
pribadi.

4) Mengembangkan sumber non fosil sebagai energi baru dan


terbarukan.

Arahan Prioritas:

a) Meneliti dan mengembangkan bahan bakar nabati sebagai


substistusi bahan bakar fosil;

b) Menerapkan insentif pemanfaatan bahan bakar non fosil;


dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 6


KEBIJAKAN PPLH 2019

c) Mengembangkan listrik tenaga surya, geotermal, tenaga bayu,


dan tenaga air.

5) Mengembangkan green cities untuk perkotaan dan kota


tangguh untuk kota-kota yang rentan terhadap bencana alam
antara lain Maumere, Ende, Larantuka, Lewoleba, Kalabahi,
Mbay, Kota Kupang, Ba’a, Labuan Bajo. Waingapu, dll.

Arahan Prioritas :

a) Menyusun Master Plan Kota Hijau yang memuat


target pencapaian 8 atribut kota hijau (green planning dan
design, green open space, green waste, green transportation,
green energi , green water, green building, and green
community);
b) Meningkatkan alokasi lahan peruntukan ruang terbuka
hijau;

c) Merevitalisasi setiap ruang terbuka yang ada untuk


dijadikan ruang terbuka hijau public (greening) baik pada
lahan swasta maupun pemerintah; dan

d) Meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya green cities.

6) Pembatasan reklamasi daerah pesisir dengan mempertimbangkan


secara ketat aspek lingkungan

Arahan Prioritas:

a) Membatasi reklamasi hanya untuk tujuan strategi yang


berdampak besar bagi kepentingan nasional; dan

b) Melarang reklamasi pada daerah yang rentan secara


ekologis dan atau pada ekosistem yang secara alami
sangat penting dalam menyokong ekosistem lainnya

7) Pembangunan Infrastruktur hijau sesuai kerentanan daerah

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 7


KEBIJAKAN PPLH 2019

Arahan Prioritas:

a) Mengembangkan teknologi infrastruktur ramah lingkungan.

b) Mengembangkan konsep pembangunan dengan konservasi


(development conservation) pada kabupaten/kota yang
masih didominasi oleh jasa lingkungan tinggi, dan

c) Menyusun sistem rekayasa infrastruktur yang memperhatikan


siklus harmonis dengan alam.

8) Meningkatkan pengetahuan bencana terhadap masyarakat yang


berada di daerah rawan bencana

Arahan Prioritas:

a) Integrasi muatan tanggap bencana dalam kurikulum di


sekolah-sekolah;

b) Simulasi tanggap bencana di daerah-daerah rawan


bencana secara berkala;

c) Menyusun peta rawan bencana di seluruh jenjang


pemerintahan; dan

d) Menyebarluaskan informasi tanggap bencana kepada


masyarakat.

9) Perlindungan daerah pesisir dari abrasi dan intrusi air laut

Arahan Prioritas :

a) Membuat tanggul penahan gelombang di daerah pesisir


padat penduduk;

b) Membatasi penggunaan lahan pesisir sebagai untuk kawasan


pemukiman, perkantoran, dan atau industri; dan

c) Menerapkan konsep wisata ramah lingkungan dalam


pembangunan infrastruktur wisata di kawasan pesisir.

10) Pengurangan eksploitasi air tanah

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 8


KEBIJAKAN PPLH 2019

Arahan Prioritas:

a) Membatasi penggunaan air tanah dalam untuk industri


dan perhotelan;

b) Membatasi penggunaan air tanah dalam di wilayah


perkotaan pesisir; dan

c) Mengembangkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle beserta


instrumen dan teknologinya dalam efisiensi pemanfaatan
air.

11) Meningkatkan diversifikasi pangan dalam rangka mendukung


ketahanan pangan nasional

Arahan Prioritas:

a) Mengembangkan sumber pangan lokal non beras sebagai


pangan pokok; dan

b) Mengembangkan dan meningkatkan promosi penggunaan


bahan pangan lokal non beras sebagai bahan substitusi
produk makanan.

12) Rehabilitasi ekosistem mangrove sebagai pelindung daratan


dari abrasi

Arahan Prioritas:

a) Memutakhirkan data dan informasi mangrove nasional;

b) Mengembangkan teknik-teknik rehabilitasi mangrove;

c) Mengembangkan ekowisata untuk mendukung eksistensi


kawasan mangrove;

d) Rehabilitasi ekosistem mangrove di daerah rawan abrasi;


dan

e) Meningkatkan seluruh hutan mangrove tersisa dan


mangrove yang dipulihkan sebagai kawasan lindung.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 9


KEBIJAKAN PPLH 2019

c. Penguatan tata kelola pemerintahan dan kelembagaan dalam


pengendalian pembangunan, serta perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup

1) Mengembangkan sistem pemantauan Kualitas Lingkungan


Hidup yang terintegrasi, Provinsi dan Kabupaten/Kota

Arahan Prioritas :

a) Membangun sistem dan infrastruktur pemantauan Kualitas


Lingkungan hidup di seluruh Wilayah Kabupaten/Kota dalam
Provinsi Nusa Tenggara Timur; dan

b) Mengembangkan metode pengukuran kualitas lingkungan


hidup yang komprehensif, terstandar, dan terpercaya.

2) Memperbaiki sistem penganggaran lingkungan hidup

Arahan Prioritas :

a) Meningkatkan alokasi dan distribusi penganggaran


pengelolaan Lingkungan Hidup secara bertahap di
pemerintah daerah minimal 5% dari APBD hingga tahun
2049; dan

b) Meningkatkan koordinasi, transparansi, dan efisiensi


pengelolaan dana-dana lingkungan hidup non APBN.

3) Memperbaiki peraturan dan sistem perijinan lingkungan


hidup

Arahan Prioritas :

a) Memperbaiki aturan-aturan terkait perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup yang berpotensi saling
melemahkan; dan

b) Mengendalikan dan mengawasi penerapan aturan secara


konsisten di seluruh jenjang dan tahapan.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 10


KEBIJAKAN PPLH 2019

4) Memantapkan koordinasi antar pemerintah daerah dalam


perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

Arahan Prioritas :

a) Meningkatkan koordinasi perencanaan, dan pengelolaan


Lingkungan Hidup secara berkala di tingkat Kabupaten/Kota
dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur.

b) Koordinasi penerapan instrumen ekonomi lingkungan antar


daerah.

5) Meningkatkan peran masyarakat dan swasta dalam perlindungan


dan pengelolaan lingkungan hidup

Arahan Prioritas :

a) Membentuk dan membina komunitas pencinta lingkungan;

b) Meningkatkan dan mengembangkan sistem ”penghargaan”


atas peran serta masyarakat dalam perlindungan lingkungan;

c) Mengembangkan pola perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup berbasis kearifan lokal; dan

d) Meningkatkan penyebaran luasan informasi perlindungan


dan pengelolaan lingkungan hidup.

6) Penerapan instrumen insentif dan disinsentif dalam pengelolaan


lingkungan hidup

Arahan Prioritas :

a) Mempercepat penetapan peraturan tentang instrumen


ekonomi Lingkungan Hidup dan seluruh ketentuan
turunannya;

b) Menginisiasi penerapan instrumen ekonomi lingkungan


dalam beberapa kegiatan berdampak besar, seperti
kehutanan, pertanian, perkebunan, dan pertambangan; dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 11


KEBIJAKAN PPLH 2019

c) Menerapkan instrumen ekonomi dalam proses kerjasama


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antar
daerah.

7) Penerapan dan pengembangan kabupaten konservasi

Arahan Prioritas :

a) Mengembangkan perangkat pendukung penerapan


konsep kabupaten konservasi; dan

b) Menginisiasi penerapan konsep kabupaten konservasi


melalui pengembangan model kabupaten konservasi.

4.2.2 Strategi pengelolaan kualitas lingkungan hidup

a. Pemeliharaan dan perlindungan wilayah-wilayah penyedia jasa


lingkungan hidup

1) Melindungi dan memulihkan fungsi kawasan-kawasan dengan


jasa lingkungan regulator dan penyimpan air tinggi

Arahan Prioritas:

a) Memulihkan lahan-lahan kritis dan sangat kritis


diluar kawasan hutan;

b) Meningkatkan status lahan di luar kawasan yang


memiliki jasa regulator air tinggi menjadi Hutan Lindung;

c) Membatasi pembangunan infrastruktur pada lahan


dengan jasa penyimpan air tinggi; dan

d) Meninjau kembali penggunaan ruang pada lahan dengan


jasa penyimpan air tinggi

2) Mempertahankan luas dan fungsi wilayah dengan jasa


lingkungan sumber daya genetik dan habitat spesies tinggi

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 12


KEBIJAKAN PPLH 2019

Arahan Prioritas:

a) Meningkatkan kualitas pengelolaan Kawasan-Kawasan


Konservasi dan Hutan Lindung;

b) Mengembangkan manfaat sumber daya genetik melalui


penelitian dan penerapannya; dan

c) Menyebarluaskan informasi potensi dan manfaat sumber


daya genetik kepada masyarakat.

b. Pemulihan dan peningkatan kualitas air, udara, dan tanah

1) Pemulihan DAS-DAS prioritas lintas Kabupaten dan


Ekosistemnya

Arahan Prioritas:

a) Melakukan koordinasi Perencanaan Pengelolaan DAS yang


integratif, lintas sektor, dan lintas adminitrasi;

b) Merevitalisasi dan menormalisasi sungai-sungai vital yang


berada, melintasi, atau bermuara di perkotaan;

c) Merehabilitasi kawasan hulu Daerah Aliran Sungai; dan

d) Mengendalikan pencemaran sungai melalui pengetatan ijin


lokasi dan pengawasan pengelolaan limbah industri.

2) Pemulihan kawasan bekas tambang, lahan kritis, bekas


kebakaran lahan dan hutan dan kawasan tercemar limbah

Arahan Prioritas:

a) Meningkatkan pengawasan restorasi lahan bekas tambang;

b) Memulihkan lahan kritis melalui penghijauan dan penerapan


teknologi pengolah tanah yang ramah lingkungan;

c) Merehabilitasi bekas kebakaran lahan dan hutan;

d) Mengembangkan teknologi untuk mempercepat pemulihan


lahan-lahan terbuka; dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 13


KEBIJAKAN PPLH 2019

e) Pemetaan dan pemulihan kawasan tercemar limbah.

3) Mengembangkan perangkat pengawasan sumber dan bahan


pencemar lingkungan

Arahan Prioritas:

a) Menguatkan kualitas SDM pengawas lapangan pencemaran


lingkungan;

b) Memperbaharui data dan informasi produksi, distribusi,


dan pemanfaatan dan penggunaan bahan-bahan pencemar
lingkungan hidup; dan

c) Meningkatkan pengawasan, mengendalikan, dan menindak


kepatuhan penerapan sistem pengamanan penanganan
bahan pencemar lingkungan hidup.

4.2.3 Strategi pengelolaan ekosistem

a. Perlindungan dan pemantapan kawasan hutan

1) Mempertahankan fungsi hutan sebagai wilayah pengatur air dan


iklim dengan luasan yang cukup dan proporsional di setiap
Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur

Arahan Prioritas:

a) Mewujudkan minimal 30% kawasan hutan di


setiap Kabupaten dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur;

b) Meningkatkan luasan kawasan berfungsi konservasi dan


lindung pada kawasan hutan, terutama pada kawasan hutan
yang rentan kritis dan sulit dipulihkan;

c) Merehabilitasi kawasan hutan-hutan yang terdegradasi;

d) Mengelola hutan secara terintegrasi dan berkelanjutan melalui


pengelolaan berbasis tapak dan pemberdayaan komunitas
lokal; dan

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 14


KEBIJAKAN PPLH 2019

e) Melarang total tambang-tambang terbuka di lahan berhutan.

b. Perlindungan dan pengelolaan ekosistem penting dan esensial

1) Perbaikan sistem pengelolaan dan pemulihan Ekosistem khas


bernilai penting (karst, mangrove, pulau-pulau kecil, terumbu
karang dan padang lamun)

Arahan Prioritas :

a) Menginventarisasi, menyusun dan menyebarluaskan


informasi ekosistem khas bernilai penting;

b) Membatasi pemanfaatan pada ekosistem khas bernilai


penting, terutama pada gambut sedang sampai dalam dan
kawasan karst yang menjadi sumber air penting bagi
kehidupan masyarakat;

c) Menyusun rencana p engelolaan ekosistem khas bernilai


penting, terutama karst dan pulau-pulau kecil yang
strategi; dan

d) Memulihkan terumbu karang dan melindungi dari alat


dan/atau bahan dan/atau teknik pemanfaatan sumber daya
laut yang berpotensi merusak terumbu karang dan
ekosistemnya.

4.2.4 Skenario perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup NTT


2019 – 2049

1. Skenario penurunan laju penyusutan sumber daya alam


dan laju penurunan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup pada periode 10 tahun pertama, dengan Fokus
Kinerja sebagai berikut:

a. Penyelesaian RPPLH di seluruh Kabupaten/Kota dalam Provinsi


Nusa Tenggara Timur;

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 15


KEBIJAKAN PPLH 2019

b. Penyelesaian instrumen turunan (tematik) dari Rencana


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup K a b u p a t e n
/ K o t a d a l a m Provinsi Nusa Tenggara Timur, sesuai dengan
bidangnya;

c. Penyusunan peta rawan bencana dan peningkatan pengetahuan


masyarakat terkait bencana dan antisipasinya;

d. Pembenahan sistem penganggaran lingkungan hidup;

e. Pembenahan tata kelola perijinan lingkungan hidup ;

f. Sinkronisasi tata ruang dengan kebijakan perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur;

g. Pemulihan lahan kritis di kawasan jasa regulator air tinggi;

h. Perbaikan alur dan fisik sungai pada DAS-DAS yang bermuara


di perkotaan rawan banjir;

i. Perbaikan infrastruktur penampung air hujan/air permukaan;

j. Penerapan instrumen ekonomi lingkungan; dan

k. Perlindungan daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi.

2. Skenario pemulihan sumber daya alam dan peningkatan daya


dukung dan daya tampung lingkungan hidup pada periode 10
tahun kedua, dengan Fokus Kinerja sebagai berikut:

a. Peningkatan kualitas tutupan lahan pada kawasan regulator air;

b. Perbaikan pemanfaatan ruang melalui penegakan hukum


dan pengawasan;

c. Revitalisasi bantaran sungai di perkotaan dan daerah


padat penduduk;

d. Peningkatan pengawasan dan perbaikan sistem pengelolaan


limbah industri;

e. Penerapan konsep green city pada kota-kota dan kota


tangguh pada kota-kota rawan bencana;

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 16


KEBIJAKAN PPLH 2019

f. Pengembangan potensi ekonomi jasa lingkungan sebagai aspek


utama pemanfaatan lingkungan hidup;

g. Pengurangan konsumsi bahan bakar fosil pada alat transportasi


umum;

h. Pengurangan penggunaan bahan tidak ramah lingkungan di


rumah tangga dan pertanian;

i. Pengembangan teknologi ramah lingkungan yang mempu


mengurangi konsumsi energi; dan

j. Perlindungan spesies flora dan fauna kunci yang berperan


penting dalam ekosistem.

3. Skenario perubahan pola produksi dan konsumsi serta penerapan


teknologi pada periode 10 tahun ketiga, dengan Fokus Kinerja
sebagai berikut:

a. Mempertahankan kondisi tutupan lahan pada daerah-daerah


regulator air;

b. Pengembangan teknologi pengolahan air bekas pakai;

c. Melanjutkan penerapan konsep green city pada seluruh


daerah pemukiman;

d. Peningkatan pengembangan dan penerapan teknologi ramah


lingkungan dalam infrastruktutr, industri, dan transportasi; dan

e. Pengembangan sumber-sumber pangan baru.

4.3 Kebijakan Tingkat Pulau/Kepulauan

Kebijakan tingkat Pulau/Kepulauan merupakan arahan kebijakan spesifik


sesuai dengan kondisi dan karakteristik masing-masing ekoregion.
Kebijakan yang lebih spesifik ekoregion diperlukan mengingat adanya
perbedaan yang mendasar pada karakteristik beberapa ekoregion dan
tantangan pengelolaan lingkungan hidup yang sedang dan berpotensi
dihadapi di masa yang akan datang. Strategi implementasi harus

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 17


KEBIJAKAN PPLH 2019

menjadi bagian yang terintegrasi dalam penyusunan perencanaan


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup daerah, maupun
kebijakan-kebijakan pembangunan sektoral pusat pada setiap
ekoregion.

Arahan kebijakan tingkat pulau /kepulauan dijabarkan sebagai berikut:

Arahan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kepulauan


Provinsi Nusa Tenggara Timur:

a. Mempertahankan dan meningkatkan luas wilayah berfungsi lindung,


khususnya wilayah yang berfungsi memberikan jasa pengatur dan
penyimpan air;

b. Mengelola dampak dan mengendalikan perkembangan perkotaan


dan infrastruktur, terutama pada wilayah-wilayah ekosistem sensitif
seperti karst, kawasan pesisir/mangrove dan pulau-pulau kecil;

c. Membatasi pengembangan perumahan dan infrastruktur pada


wilayah-wilayah lumbung pangan dan pesisir;

d. Meningkatkan pengelolaan limbah pada kawasan pariwisata;

e. Meningkatkan kuantitas air permukaan dengan melindungi mata air


serta merehabilitasi daerah resapan air;

f. Menjaga dan memulihkan DAS, khususnya DAS yang aliran sungainya


menjadi sumber air bersih dan melintasi wilayah perkotaan;

g. Melindungi dan memulihkan wilayah-wilayah pesisir; dan

h. Mencegah pembuangan limbah di laut dan mengelola dampaknya


terutama di selat-selat antar pulau kecil dan memulihkan kualitas
teluk terutama teluk Kupang, 3 teluk di Labuan Bajo dan teluk
besar lainnya.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 18


KEBIJAKAN PPLH 2019

DAFTAR PUSTAKA

Arwin (2009): Perubahan Iklim, Konversi Lahan dan Ancaman Banjir dan Kekeringan di
Kawasan Terbangun - Pidato Guru Besar di Majelis Guru Besar ITB Bandung,
disampaikan pada rapat majelis guru besar ITB Bandung pada tanggal 27 Februari
2009.
BPS NTT (2019): NTT Dalam Angka 2018, BPS Prov. NTT.
BAPPENAS, BPS dan UN Population Fund (2013): Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 –
2035.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/15/p2lf9h368-ntt-perlu-bangun-
70-bendungan-untuk-atasi-defisit-air di unduh 12 November 2019.
IPCC (2007): Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working
Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. Edited by Alley, R. et al. IPCC Secretariat. Switzerland.
Kemenkes (2018): Profil Kesehatan Indonesia Taun 2017. Kemenkes RI. Jakarta
Kementrian ESDM, 2017. Potensi Air Tanah di Indonesia. KemenESDM. Jakarta
KepPres No. 26 Tahun 2011 Tentang Cekungan Air Tanah.
Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (DAS), Nomor 52/Kpts-II/2001 Tanggal 23 Pebruari 2001.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 Tahun 2010 tentang
Persyaratan Kualitas Air.
Kodoatie, R.J., dan Sjarief, R. (2010): Tata Ruang Air, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kore, A. (2016): Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Air di NTT. Artikel pada
https://kupang.tribunnews.com/2016/12/07/tantangan-pengelolaan-sumber-daya-air-
di-ntt?page=all, di unduh 12 November 2019.
Messakh, J. J.; Arwin; Hadihardadja, I. K; Duppe, Z. (2013): Impact of Climate Change on
Hydrology Regime and Sustainability of Water Availability in Semi-Arid Region, West
Timor. (International Proceeding)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2015 Tentang Sistem
Penyediaan Air Minum.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2010 tentang Bendungan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 19


KEBIJAKAN PPLH 2019

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

RPPLH PROVINSI NTT 2019 IV - 20

Anda mungkin juga menyukai