Anda di halaman 1dari 67

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

HUBUNGAN LETAK TUMOR NASOFARING TERHADAP


DERAJAT TULI KONDUKSI
DI RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister


Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama : Ilmu Biomedik

oleh :
ARNE LAKSMIASANTI
S 59206001

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
2012to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, peneliti :

Nama : Arne Laksmiasanti

NIM : S 59206001

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa judul tesis yang berjudul “Hubungan

Letak Tumor Nasofaring Terhadap Derajat Tuli Konduksi di RSUD. Dr.

Moewardi Surakarta” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan

karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar

pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya

peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Februari 2012

Yang Membuat Pernyataan

Arne Laksmiasanti

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS
Nama : Dr. ARNE LAKSMIASANTI
NIM : S 59206001
Tempat/ Tanggal lahir : Surakarta, 2 Februari 1972
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
1. TK BHAYANGKARI – Surakarta : Tahun 1977 - 1978
2. SDN 15 – Surakarta : Tahun 1978 - 1984
3. SMPN 1 – Surakarta : Tahun 1984 - 1987
4. SMAN 4 – Surakarta : Tahun 1987 - 1990
5. FK UNS – Surakarta : Tahun 1991 - 1998
6. PPDS I IK THT-KL FK UNS Surakarta : Juli 2006 - sekarang
7. Magister Kedokteran Keluarga Minat Biomedik
Pascasarjana UNS : Juli 2006 -sekarang
C. RIWAYAT PEKERJAAN
1. Dokter PTT Puskesmas Bojong Kabupaten Pekalongan
2. Dokter PTT Puskesmas Nusukan Kotamadya Surakarta
D. RIWAYAT KELUARGA
1. NAMA ORANG TUA : Dr.H. RUSTAM SUNARYO, SpOG
Hj. AMBAR LUKITOWATI
2. NAMA SUAMI : Dr. SUPANJI RAHARJA, SpOG
3. NAMA ANAK : SHAFIRA MARELIA ARIFA
MIRANDA AZAHRA
RAFI RADITYA PRAMANA

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT Yang

Maha Kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis

dapat menjalani pendidikan sampai selesainya tesis ini, sebagai salah satu

persyaratan dalam memperoleh gelar sebagai peserta Program Pendidikan Dokter

Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD dr. Moewardi Surakarta dan

mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs., MS,

selaku rektor UNS, Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus M.S, selaku Direktur Program

Studi Pascasarjana UNS dan Dr. Hari Wujoso, dr., SpF., M.M, selaku Ketua

Program Studi Kedokteran Keluarga, Afiono Agung Prasetyo, dr., Ph.D., selaku

Ketua Minat Ilmu Biomedik Program Pascasarjana, dan Ari Natalia Probandari,

dr., MPH. PhD., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Program Pascasarjana yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk

mengikuti pendidikan mencapai derajat Magister Kedokteran Keluarga di

Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua

staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak

akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima

kasih yang tidak terhingga kepada Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Soetardjo, MMR dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Maret Surakarta

Prof. Dr. Zaenal Arifin Adnan, dr., SpPD KR-FINASIM.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Harsono

Salimo, dr. SpA (K) dan dr. Sudarman, SpTHT-KL (K) selaku pembimbing, yang

telah memberikan banyak nasihat, dukungan dan bimbingan pada penyusunan

tesis ini serta dr. Sarwastuti Hendradewi Sp THT-KL M.Kes, selaku Ketua

Program Studi PPDS I Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret yang telah banyak memberi nasihat, dukungan pada penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. Vicky Eko

Nurcahyo H, Sp. THT-KL, M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi PPDS I Ilmu

Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang telah

banyak memberi nasihat, dukungan pada penelitian ini.

Kepada dr. Made Setiamika Sp THT-KL (K) penulis mengucapkan terima

kasih sebesar-besarnya atas bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan

spesialisasi di bidang Ilmu Kesehatan THT-KL dan program Magister Kedokteran

Keluarga.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Bhisma Murti, dr. MPH,

MSc, PhD atas bimbingan, perhatian dan kesediaannya meluangkan waktu serta

masukan yang diberikan selama membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis

ini.

Kepada seluruh staf pengajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNS:

1. Prof. EM. Dr. Muhardjo, dr., DHA, Sp.THT-KL(K)

2. dr. Djoko SS. Sp THT-KL(K), MBA, MARS, Msi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. dr. Sutomo Sudono, SpTHT-KL(K)

4. Almarhum dr. Chairul Hamzah, SpTHT-KL(K)

5. dr. Sudargo, Sp THT-KL

6. dr. Bambang Suratman, SpTHT-KL(K)

7. dr. Hadi Sudrajad, Sp.THT-KL, Msi.Med

8. dr. Imam Prabowo, Sp.THT-KL

9. dr. Putu Wijaya Kandhi, Sp.THT-KL

10. dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala

bimbingan dan arahan selama proses pendidikan dan penyelesaian penelitian ini.

Terima kasih kepada teman sejawat residen THT-KL dan seluruh

paramedis RSUD Dr. Moewardi dan semua pihak yang telah membantu baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Kepada kedua orang tua dr. H. Rustam Sunaryo, SpOG dan Hj. Ambar

Lukitowati yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan, semangat serta

biaya kepada penulis, dengan penuh rasa hormat, cinta dan kasih sayang, gelar ini

nanti akan ananda persembahkan. Tak lupa kepada kedua mertua, kakak dan adik

yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.

Khusus untuk suami tercinta dr. Supanji Raharja, SpOG terima kasih yang

tidak terhingga atas segala keikhlasan, kesabaran, pengertian, dorongan semangat,

cinta, kasih sayang dan doa yang tulus sehingga penelitian ini dapat saya

selesaikan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Anak – anak tercinta Shafira Marelia Arifa (11tahun), Miranda Azahra (9

tahun) dan Rafi Raditya Pramana (3 tahun) yang selalu mendoakan supaya cepat

menyelesaikan sekolah.

Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulus-

tulusnya kepada semua guru, teman sejawat, paramedis dan karyawan di

lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan

Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret atas semua kesalahan dan

kekhilafan selama menempuh pendidikan dokter spesialis, dan magister

kedokteran keluarga.

Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien.

Surakarta, Februari 2012

Penulis

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman judul ............................................................................. i
Lembar pengesahan .................................................................... ii
Lembar pernyataan ..................................................................... iii
Daftar riwayat hidup ................................................................... iv
Kata pengantar ............................................................................ v
Daftar isi ..................................................................................... ix
Daftar tabel ................................................................................. xii
Daftar gambar ............................................................................. xiii
Daftar lampiran ........................................................................... xiv
Daftar singkatan .......................................................................... xv
Abstrak ........................................................................................ xvi
Abstract ....................................................................................... xvii
I. PENDAHULUAN ....................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................. 2
C. Tujuan Penelitian ................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................. 4
A. Karsinoma Nasofaring ........................................... 4
1. Definisi ............................................................ 4
2. Epidemiologi ................................................... 4
3. Etiologi ............................................................ 5
4. Anatomi ........................................................... 5
5. Penyebaran ....................................................... 6
6. Gejala Klinis .................................................... 7
7. Patologi ............................................................ 8
8. Histopatologi ................................................... 9
commit to
9. Letak Tumor Nasofaring user
................................. 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10. Stadium ............................................................ 11


11. Diagnosis ......................................................... 12
B. Tuba Eustachius ..................................................... 14
1. Definisi ............................................................ 14
2. Anatomi ........................................................... 14
3. Fungsi .............................................................. 16
C. Gangguan Fungsi Tuba Eustachius ....................... 16
1. Gangguan karena infeksi ................................. 16
2. Gangguan karena obstruksi tuba ...................... 17
D. Evaluasi Fungsi Tuba Eustachius .......................... 18
E. Penurunan Pendengaran (Ketulian) ....................... 18
1. Tipe Penurunan Pendengaran .......................... 18
2. Derajat Ketulian menurut ISO ......................... 19
F. Audiometri ............................................................. 20
1. Definisi ............................................................ 20
2. Audiometri Nada Murni .................................. 20
3. Audiometer Hantaran Udara ........................... 21
4. Audiogram Hantaran Tulang .......................... 21
5. Konfigurasi Audiometri................................... 22
G. Hubungan Letak Tumor Nasofaring dengan CHL 22
1. Patogenesis ..................................................... 23
2. Penelitian Terdahulu ...................................... 24
H. Kerangka Teori ..................................................... 28
I. Hipotesis ............................................................... 29
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................... 30
A. Jenis Penelitian ..................................................... 30
B. Tempat dan Waktu Penelitian .............................. 30
C. Populasi ................................................................. 30
D. Sampel ................................................................... 30
E. Kriteria Inklusi ....................................................... 31
commit to user
F. Kriteria Eksklusi .................................................... 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

G. Besar Sampel ......................................................... 31


H. Cara Pengambilan Sampel .................................... 32
I. Variabel Penelitian ................................................ 32
J. Definisi Operasional .............................................. 32
K. Alat Penelitian ....................................................... 34
L. Jalannya Penelitian ................................................ 35
M. Analisis Data .......................................................... 35
N. Etika Penelitian ...................................................... 36
IV. HASIL PENELITIAN.................................................... 37
A. Hasil Penelitian....................................................... 37
V. PEMBAHASAN ........................................................... 43
VI. SIMPULAN DAN SARAN ......................................... 51
DAFTAR PUSTAKA............................................................. 52
LAMPIRAN 57

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi subyek penelitian penderita KNF menurut 37


kelompok umur.

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi penderita KNF menurut jenis 38


kelamin

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi penderita KNF menurut stadium 38

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi penderita KNF menurut keluhan 39

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi penderita KNF menurut letak 39


tumor

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi penderita KNF menurut lokasi 40


telinga yang tuli konduksi

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi penderita KNF menurut sisi tuli 40

Tabel 4.8 Hubungan letak tumor nasofaring terhadap tuli 40


konduksi telinga kanan

Tabel 4.9 Hubungan letak tumor nasofaring terhadap tuli 41


konduksi telinga kiri

Tabel 4.10 Hubungan letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli 42


konduksi telinga kanan

Tabel 4.11 Hubungan letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli 42


konduksi telinga kiri

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Halaman

Gambar 2.1: Anatomi nasofaring ( dikutip dari Text Book Sobotta ) 6

Gambar 2.2 : Anatomi tuba Eustachius ( dikutip dari Text Book Sobotta ) 15

Gambar 2.3: Fotomikrograf Sumbatan fungsional m. Tensor Veli Palatini 26

Gambar 2.4: Skema kerangka teori 28

Gambar 2.5: Audiogram tuli konduksi 34

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Ethical Clearance 57

Lampiran 2 Formulir Persetujuan 58

Lampiran 3 Data Catatan Pasien 59

Lampiran 4 Data Dasar Hasil Penelitian 62

Lampiran 5 Analisis Data 63

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR SINGKATAN

AJCC AMERICAN JOINT COMMITTEE ON CANCER


CHL CONDUCTIVE HEARING LOSS
CT COMPUTERIZED TOMOGRAPHIC
Db DECIBEL
EBV EPSTEIN BARR VIRUS
FR FOSSA ROSENMULLER
HZ HERTZ
KNF KARSINOMA NASOFARING
ISO INTERNATIONAL STANDART ORGANIZATION
MRI MAGNETIC RESONANCE IMAGING
N NERVUS
OME OTITIS MEDIA EFUSI
TE TUBA EUSTACHIUS
THT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
TNM TUMOUR NODUL METASTASE
TVP TENSOR ELI PALATINI
UICC UNION INTERNATIONAL CONTRE CANCER
USA UNITED SOUTH OF AMERICA
WHO WORLD HEALTH ORGANIZATION

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Arne Laksmiasanti, S 59206001. 2012. HUBUNGAN LETAK TUMOR


NASOFARING TERHADAP DERAJAT TULI KONDUKSI DI RSUD DR.
MOEWARDI SURAKARTA. Pembimbing I : Prof. DR. Harsono Salimo, dr.
SpA (K), Pembimbing II : Dr. Sudarman, SpTHT-KL (K). Tesis: Program
Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pascasarjana, Universitas
Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang: Letak tumor nasofaring berada di daerah tersembunyi (terutama


di Fossa Rosenmulleri) yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius. Sehingga
keluhan yang sering muncul adalah gangguan pendengaran pada satu sisi atau
unilateral dan bersifat konduktif. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan letak
tumor nasofaring terhadap derajat tuli konduksi.

Bahan dan Cara: Penelitian dilakukan dengan studi cross sectional di


Departemen THT-KL FK UNS/ RSUD. Dr. Moewardi Surakarta, secara
consecutive sampling mulai April 2011 sampai Oktober 2011. Terhadap pasien
KNF dilakukan pemeriksaan nasofaringoskopi rigid serta pemeriksaan audiometri
nada murni. Data dianalisis dengan uji korelasi Pearson Chi Square dengan batas
kebermaknaan p < 0.05.

Hasil: Dari 35 sampel yang terdiri dari 27 pasien laki-laki dan 8 pasien wanita,
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara letak tumor
nasofaring dengan derajat tuli konduksi telinga kanan dan telinga kiri. Uji korelasi
Pearson Chi Square telinga kanan menunjukkan p = 0.033 dan telinga kiri p =
0.015. Letak tumor nasofaring yang menutup tuba Eustachius akan memiliki
risiko 14 kali lebih besar mengalami tuli konduksi telinga kanan dan 20 kali lebih
besar mengalami tuli konduksi telinga kiri.

Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara letak tumor nasofaring


dengan derajat tuli konduksi telinga kanan dan telinga kiri.

Kata kunci: Letak tumor, Karsinoma Nasofaring, Derajat Tuli Konduksi,


Audiometri.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Arne Laksmiasanti, S 59206001. 2012. CORRELATION BETWEEN THE


SITE OF NASOPHARYNGEAL CARCINOMA AND CONDUCTIVE
HEARING LOSS DEGREE IN Dr. MOEWARDI HOSPITAL
SURAKARTA. Advisor I : Prof. Dr. Harsono Salimo, dr. SpA (K), co-
Advisor : Dr. Sudarman, SpTHT-KL (K). Thesis: Master Program in Family
Medicine, Post Graduate Program of Sebelas Maret University, Surakarta

Background: The site of nasopharyngeal tumour is at the hidden area (especially


at fossa Rossenmulleri) that is near to tuba Eustachius end. The chief complaint
that usually arise is hearing loss in one side or unilateral dan conductive type. The
aim of this study is to know the correlation between the site of nasopharyngeal
tumour and conductive hearing loss degree at Moewardi Hospital Surakarta.

Material and Methods: Research done in cross sectional study in Ear Nose and
Throath-Head and Neck Surgery Department Medical Faculty University of
SebelasMaret/ Dr. Moewardi Hospital Surakarta, with consecutive sampling
methods, start from April 2011 until Oktober 2011. The nasopharyngeal
carcinoma patient examined for rigid nasopharyngoscopy and pure tone
audiometry. Data has analyzed using Pearson Chi Square correlation test with p <
0.05.

Result: From thirty five (35) samples those were twenty seven (27) males and
eight (8) females patients was found correlation between the site of
nasopharyngeal tumour with conductive right ear and left ear hearing loss degree.
Pearson Chi Square correlation test at the right ear, p = 0.033 and the left ear, p =
0.015. The site of nasopharyngeal tumour that blocked Eustachius tube will have
14 times greater risk to have conductive hearing loss in the right ear and 20 times
greater risk to have conductive hearing loss in the left ear.

Conclusions: There were correlation between the site of nasopharyngeal tumour


and conductive hearing loss degree in the right ear and left ear.

Keywords: The site of Nasopharyngeal Tumour, Hearing Loss Degree,


Audiometry.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tumor Nasofaring yang selanjutnya disebut sebagai karsinoma nasofaring

(KNF) merupakan tumor kepala leher yang sering ditemukan di lndonesia, dan

menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas di seluruh tubuh. Sedangkan di

bagian penyakit THT (Telinga Hidung Tenggorok), tumor ganas nasofaring

menempati urutan pertama (Punagi, 2007).

Prevalensi karsinoma nasofaring tertinggi di China Selatan, terutama di

propinsi Guangdong dan GuangXi, yaitu 40-50 kasus per 100.000 penduduk

pertahun dan di daerah yang banyak ditempati oleh imigran China di Asia

Tenggara, California, Hongkong dan Taiwan (Aziza et al., 2005).

Kanker ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Angka 5 tahun

harapan hidup pada stadium dini, yaitu stadium I adalah 67.6%, stadium II 38 %,

sedangkan separuh stadium III dan IV biasanya akan meninggal dalam tahun

pertama selesai radioterapi (Wei et al., 2005).

Tumor ini menyebar secara cepat ke kelenjar limfe leher dan bermetastasis

jauh seperti ke organ-organ: paru, hati dan tulang. Faktor penyakitnya sendiri

seringkali tidak menimbulkan keluhan yang mengganggu, misalnya adanya rasa

nyeri. Secara anatomis letak tumor sulit untuk diperiksa dan kecenderungan tumor

tumbuh di mukosa, sehingga secara klinis sukar di deteksi (Roezin, 2007).

Penemuan karsinoma nasofaring pada stadium dini masih sulit didapatkan.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Umumnya terjadi karena letak tumor primer karsinoma nasofaring berada di

daerah tersembunyi (terutama di daerah Fossa Rosenmulleri) yang sulit dilihat

oleh pasien maupun dokter. Gejala dini bersifat ringan dan tidak khas. Keluhan

yang timbul berhubungan erat dengan letak tumor di nasofaring. Oleh karena letak

tumor nasofaring berdekatan dengan muara tuba Eustachius, sehingga akan

menimbulkan gangguan fungsi tuba Eustachius. Dan keluhan pada telinga yang

paling sering adalah keluhan gangguan pendengaran satu sisi telinga dan bersifat

konduktif. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan obyektif, salah satunya dengan

pemeriksaan audiometri nada murni untuk menilai derajat tuli konduksi

(Mulyarjo, 2002).

Selain itu penelitian yang dilakukan Karya dkk. di Makasar (2007)

membuktikan hubungan yang bermakna antara letak tumor dengan gambaran

timpanometri pada penderita karsinoma nasofaring serta penelitian yang

dilakukan Hidayat B, di Medan (2009), membuktikan hubungan bermakna antara

gambaran timpanometri dengan letak tumor pada penderita karsinoma nasofaring.

Maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan letak tumor nasofaring terhadap

derajat tuli konduksi di THT-KL FK UNS/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut; ”Adakah hubungan antara letak tumor nasofaring

terhadap derajat tuli konduksi ?”

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Menganalisis hubungan letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli konduksi

berdasarkan pemeriksaan nasofaringoskopi dan pemeriksaan audiometri nada

murni pada penderita KNF.

2. Tujuan khusus

Mendeteksi secara dini bahwa gangguan pendengaran tipe konduksi pada satu

telinga merupakan salah satu gejala dari KNF.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bidang Akademik : sebagai data dasar gambaran audiometri pada

penderita karsinoma nasofaring.

2. Manfaat bidang Pelayanan : sebagai bahan pertimbangan dan deteksi

dini karsinoma nasofaring yang mengalami gangguan pendengaran tuli

konduksi unilateral.

3. Manfaat bidang Kedokteran Keluarga : sebagai bahan penyuluhan kepada

masyarakat bahwa gangguan pendengaran pada satu telinga perlu

dipertimbangkan kemungkinan adanya keganasan di nasofaring.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Karsinoma Nasofaring

1. Definisi

Karsinoma nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel – sel epitel yang

menutupi permukaan nasofaring. Pertama kali dijabarkan oleh Regand dan

Schmincke pada tahun 1921. Karsinoma ini dikenal sebagai tumor yang

berpotensi tinggi untuk metastase regional maupun jauh (Roezin, 2007).

2. Epidemiologi

Beberapa studi epidemiologi telah melaporkan tingginya prevalensi KNF

yang disebabkan infeksi Epstein Barr Virus (EBV) di Asia, tepatnya di propinsi

Guang Dong China Selatan, didapatkan 2.500 kasus baru per tahun atau dengan

prevalensi 39,84/100.000 penduduk. Angka tersebut jauh lebih tinggi bila

dibandingkan dengan yang terjadi di Negara Eropa atau Amerika Utara dengan

prevalensi 1 per 100.000 penduduk per tahun (Brennan, 2006; Hirusantit, 2003).

Karsinoma nasofaring adalah tumor yang jarang dijumpai di USA dan

Eropa Barat, dengan insiden 0,5 sampai 2 per 100.000 jumlah penduduk. Tapi

KNF banyak didapatkan di China bagian Selatan dengan insiden rata-rata 25 – 50

per 100.000 tiap tahunnya (Chien et al., 2003).

Di Indonesia frekuensi KNF hampir merata di setiap daerah. Di Rumah

Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun.

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus dan 11 kasus di Padang dan

Bukittinggi (Roezin, 2007).

Sedangkan insiden KNF di Rumah Sakit Dr. Karyadi Semarang pada

tahun 2007 didapatkan 45 kasus dengan jenis kelamin 30 laki-laki dan 15

perempuan (Yazid, 2008). Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi

Surakarta pada tahun 2008 didapatkan 56 kasus KNF (Purnomo S, 2009).

3. Etiologi

Karsinoma nasofaring merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial.

Data epidemiologi menunjukkan keterlibatan virus, faktor genetik dan

lingkungan. Faktor makanan terutama konsumsi ikan asin dan makanan diawetkan

yang mengandung nitrosamine, merupakan mediator penting yang menginduksi

terjadinya karsinoma (Huang et al., 1999).

4. Anatomi

Nasofaring adalah suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus mulai dari

dasar tengkorak sampai palatum molle. Nasofaring merupakan bagian dari faring

yang sebenarnya merupakan daerah transisi antara rongga hidung dan orofaring

sehingga sering disebut epifaring atau ruang belakang rongga hidung. Pada orang

dewasa, nasofaring memiliki tinggi 3-4 cm dan diameter anteroposterior 2-3 cm

yang berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan ruang telinga tengah

melalui tuba Eustachius. (Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 1 : Anatomi Nasofaring (dikutip dari Text Book Sobotta).

5. Penyebaran

Salah satu sifat terpenting kanker adalah kemampuan untuk tumbuh

infiltratif ke dalam jaringan sekitarnya. Karena kemampuan ini sel-sel kanker

dapat menembus ke dalam saluran limfe dan dibawa ke kelenjar limfe atau ke

dalam saluran darah dan selanjutnya dibawa ke organ-organ lain. Pertumbuhan

dalam kelenjar limfe dan organ-organ lain disebut pembentukan metastasis

(limfogen atau hematogen). Kemampuan pertumbuhan infiltratif dapat juga

menyebabkan pertumbuhan ke dalam organ di dekatnya (pertumbuhan

perkontinuitatum), atau ke dalam rongga tubuh dan dalam bagian tubuh (Wei,

2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Gejala klinis

Gejala di bagi dalam lima kelompok:

a. Gejala telinga.

Gangguan pada telinga biasanya merupakan gejala dini, oleh karena

asal tumor nasofaring dekat dengan muara tuba Eustachius. Keluhan

pertama yang timbul karena sumbatan tuba Eustachius berupa tinitus,

telinga tersumbat, pendengaran berkurang. Karsinoma nasofaring

dapat menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif di satu sisi

telinga, jika massa tumor menekan atau menutupi tuba Eustachius.

b. Gejala hidung.

Gejala hidung berupa epistaksis yang timbul berulang, kadang

bercampur ingus dan sumbatan hidung yang bertambah berat akibat

massa tumor yang makin membesar dan menutupi koana.

c. Gejala saraf.

Gejala syaraf berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia

daerah pipi, neuralgia trigeminal, paresis atau paralisis arkus faring.

d. Gejala di leher.

Gejala yang terjadi di leher adalah penyebab tersering penderita datang

berobat. Lokasi khas penyebaran KNF ke kelenjar getah bening leher

adalah daerah yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot

sternokleidomastoideus, pada perabaan keras, tidak ada nyeri tekan

dan tidak mudah digerakkan jika sel tumor telah menembus kelenjar

dan mengenai jaringan otot dibawahnya.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

e. Gejala akibat metastasis jauh.

Sel-sel tumor dapat mengalami metastasis secara hematogen (aliran

darah) ataupun secara limfogen (aliran limfe), dan mengenai organ

tubuh yang letaknya jauh. Metastasis jauh bisa ke tulang, hati, dan paru

dengan gejala khas nyeri pada tulang, batuk-batuk dan gangguan

fungsi hati (Roezin, 2007).

7. Patologi

Secara makroskopik, pertumbuhan KNF dapat dibedakan menjadi 2

bentuk yaitu : endofitik dan eksofitik. Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu

sisi nasofaring, tidak ada ulseratif, kadang bertangkai dan permukaannya licin.

Tumor ini tumbuh dari atap dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor

ini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan

masuk ke kavum nasi. Tumor bentuk ini cepat tumbuh mencapai sinus maksila

dan rongga orbita, sehingga menyebabkan eksoftalmus unilateral atau menonjol

keluar ke nares anterior.

Bentuk yang endofitik paling sering dijumpai pada dinding posterior atau

di daerah fossa Rosenmuller. Kadang-kadang terdapat di dinding lateral di depan

tuba Eustachius dan di atap nasofaring. Lesi ini biasanya kecil disertai jaringan

nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya.

Penjalaran ke intrakranial sangat mudah terjadi melalui foramen laserum dan

ovale. Penjalaran secara petrosfenoid ini akan mengenai ganglion Gaseri dan sinus

kavernosus beserta saraf-saraf kranial di sekitarnya. Tumor cepat membesar,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

meluas dan merusak foramen-foramen di basis kranii dan masuk kedalam fossa

kranii media. (Armiyanto,1993).

Pada penelitian ini yang akan diteliti adalah bentuk eksofitik, untuk

memudahkan proses identifikasi letak tumor nasofaring.

8. Histopatologi

Menurut WHO tahun 1987 (dikutip Soetjipto, 1989), KNF dibagi

berdasarkan gambaran histopatologi menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ).

Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa

nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan

menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma

maupun di luar sel.

b. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ).

Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel

yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau

berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional.

c. Karsinoma tanpa diferensiasi yang disebut juga undifferentiated ( WHO tipe

III ).

Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas

berbentuk synctitial dengan batas sel yang tidak jelas, dan beberapa sel

mempunyai nukleus (inti) yang hiperkromatik, sering bersifat dominan, dan

tidak memproduksi musin.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9. Letak Tumor Nasofaring

Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba Eustachius dimana

orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga

penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba

Eustakius dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus

tubarius terdapat fossa Rosenmuller merupakan daerah transisional dimana epitel

kuboid berubah menjadi epitel skuamosa yang merupakan lokasi tersering

karsinoma nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa

yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding

postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena

adanya jaringan adenoid ( Ballenger,1997).

Pada penelitian ini, letak tumor berdasarkan hasil pemeriksaan

nasofaringoskopi kaku, dibedakan atas :

- menutup tuba Eustachius

- tidak menutup tuba Eustachius

10. Stadium

Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan dengan

menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas

kesepakatan antara UICC (Union International Contre Cancer) dan AJCC

(American Joint Committee on Cancer) pada tahun 1986. Pada saat ini telah

diterbitkan edisi V klasifikasi TNM oleh UICC.

commit to user
Berdasarkan system TNM stadium dapat ditentukan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium IIA : T2a N0 M0

Stadium IIB : T1 N1 M0

T2a N1 M0

T2b N0,N1 M0

Stadium III : T1 N2 M0

T2a,T2b N2 M0

T3 N0,N1,N2 M0

Stadium IV A : T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IV B : T1,2,3,4 N3 M0

Stadium IV C : T1,2,3,4 N0,N1,N2 M1

11. Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis didapatkan dari keluhan penderita KNF. Pembesaran kelenjar

pada leher bagian atas merupakan keluhan yang paling sering yang menyebabkan

penderita KNF berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologi juga sering

dikeluhkan penderita KNF (Ahmad, 2002).

b. Pemeriksaan Fisik

1. Nasofaringoskopi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada kasus yang dicurigai KNF, perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh

daerah kepala dan leher, terutama di nasofaring. Pemeriksaan menggunakan

nasofaringoskop kaku, lebih dianjurkan agar dapat melakukan inspeksi langsung

sehingga tumor kecil dapat tampak lebih jelas (Soetjipto, 1993).

a). Nasofaringoskop kaku (Rigid nasopharyngoscopy).

Alat yang digunakan terdiri dari :

i. Teleskop dengan sudut bervariasi, yaitu sudut 0, 30 dan 70 derajat dan

forsep biopsi. Nasofaringoskopi dapat dilakukan dengan cara:

- Transnasal, teleskop dimasukkan melalui hidung.

- Transoral, teleskop dimasukkan melalui rongga mulut.

ii. sumber cahaya (light source).

iii. kabel yang menghubungkan teleskop ke sumber cahaya. (Wei, 2006).

b). Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy).

Alat ini bersifat lentur dengan ujung yang dilengkapi alat biopsi.

Nasofaringoskopi lentur memungkinkan pemeriksaan yang lebih

menyeluruh terhadap nasofaring meskipun masuknya hanya melalui satu

sisi kavum nasi. Ujungnya dapat digunakan sampai di belakang septum

sehingga mencapai sisi yang berlawanan. Alat ini mempunyai saluran

khusus untuk suction, sehingga biopsi dapat dilakukan dengan pandangan

langsung sasaran. Meskipun mempunyai banyak keunggulan, kualitas

gambar yang didapat dengan nasofaringoskopi lentur masih di bawah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kualitas gambar nasofaringoskopi kaku. Selain itu, ukuran biopsi yang

didapat lebih kecil dan lebih superfisial (Wei, 2006).

2). Biopsi nasofaring.

a). Dengan anestesi lokal.

Biopsi dilakukan dengan tuntunan nasofaringoskop. Caranya sebagai

berikut; pasien posisi duduk, diberi anestesi lokal, kemudian

nasofaringoskop dimasukkan ke dalam kavum nasi sisi yang berlawanan

dengan perkiraan sisi tumor atau tampak daerah yang mencurigakan.

Cunam biopsi yang agak besar dimasukkan melalui kavum nasi sisi

lainnya, dan dibawah tuntunan nasofaringoskop cunam mengambil

jaringan biopsi yang cukup besar dan representatif pada tumor atau daerah

yang mencurigakan (Kentjono, 2003 ).

b). Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum.

Cara ini dapat dilakukan pada hal-hal tertentu, yaitu :

- Jika biopsi dengan anestesi lokal tidak mendapatkan hasil yang positif

sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri KNF.

- Keadaan umum penderita kurang baik, tidak kooperatif, dan trismus.

B. Tuba Eustachius

1. Definisi tuba Eustachius

Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga

tengah dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri atas tulang rawan pada dua

pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang. Muara tuba di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

nasofaring disebut juga Ostium Faringeum Tuba Auditiva Eustachius sedangkan

muara di cabang timpani disebut Ostium Timpanikum Tuba Auditiva Eustachius.

Pada anak, tuba lebih pendek, lebih lebar dan lebih horizontal dari tuba orang

dewasa (Djaafar, 2008).

2. Anatomi tuba Eustachius

Lapisan mukosa tuba Eustachius berlanjut sebagai mukosa nasofaring dan

mukosa kavum timpani, yang merupakan bagian dari epitel traktus respiratorius.

Kelenjar mukosa dominan di orifisium nasofaring. Mukosa dekat kavum timpani

merupakan peralihan antara sel goblet, kolumnar, silindris, serta sub mukosa yang

berisi jaringan limfoid (Bluestone, 2006).

Pada bagian inferior lateral tuba terdapat lapisan lemak yang disebut

lemak Ostmann, yang membantu proses menutupnya tuba. Selain itu lemak

Ostmann juga membantu melindungi tuba Eustachius dan telinga tengah terhadap

sekret nasofaring. Terdapat empat buah otot pada tuba yaitu M.tensor veli

palatini, M. levator veli palatini, M. salpingofaringeal, dan M. tensor timpani.

Diantara keempat otot tersebut yang berperan pada proses dilatasi aktif adalah M.

tensor veli palatini (Bluestone, 2006).

Tuba biasanya dalam keadaan tertutup, dan baru terbuka apabila oksigen

diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan, dan

menguap. Proses membukanya tuba dibantu oleh otot tensor veli palatini apabila

terjadi perbedaan tekanan antara 20-40 mmHg (Djaafar, 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 2: Anatomi tuba Eustachius (dikutip dari Text Book


Sobotta).

3. Fungsi tuba Eustachius

Tuba Eustachius memiliki tiga fungsi fisiologis terhadap telinga tengah,

yaitu fungsi ventilasi, drainase, dan proteksi. Fungsi ventilasi mengatur agar

tekanan udara telinga tengah sama dengan tekanan udara luar. Fungsi drainase

untuk mengalirkan sekret yang diproduksi mukosa telinga tengah kearah

nasofaring dan dilakukan oleh gerakan silia dalam kavum timpani. Fungsi proteksi

adalah melindungi tekanan telinga tengah terhadap tekanan suara dan sekret

nasofaring. Fungsi tuba sebagai pengatur tekanan telinga tengah adalah yang

paling penting dibandingkan fungsi lainnya (Bluestone, 2006).

C. Gangguan Fungsi Tuba Eustachius

Gangguan fungsi tuba Eustachius bersifat multifaktorial, diantaranya infeksi

virus atau bakteri, barotrauma, gangguan imunologi serta alergi. Faktor lain yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

juga berperan sebagai penyebab adalah hipertrofi adenoid, sumbing palatum,

tumor di nasofaring, sinusitis, rhinitis. Fungsi tuba abnormal dapat terjadi oleh

faktor obstruksi atau patensi tuba abnormal. Obstruksi tuba dapat terjadi baik

secara fungsional maupun mekanis.

1. Gangguan karena infeksi

Gangguan pada muara tuba dapat berupa inflamasi maupun infeksi.

Edema yang terjadi pada muara tuba akan menyebabkan otot-otot pada muara

tuba gagal membuka. Hal ini selanjutnya dapat menimbulkan gangguan pada

telinga tengah.

Kongesti mukosa tuba yang disebabkan infeksi dapat menyebabkan

obstruksi tuba terutama pada bagian tersempit dari tuba yaitu isthmus. Saat terjadi

tekanan negatif pada telinga tengah, mengakibatkan sekret dari nasofaring

bermigrasi ke telinga tengah sehingga terjadi otitis media bakterial akut. Obstruksi

ini menimbulkan tekanan negatif yang menghasilkan otitis media efusi. Kuman

penyebab tersering adalah Stafilococus pneumonia, Haemofilus influenza,

Moxarela catarrhalis. Ventilasi tidak terjadi maka tuba yang obstruksi dapat

persisten sehingga terjadi otitis media efusi yang steril (Bluestone, 2006).

2. Gangguan fungsi tuba karena obstruksi

Obstruksi tuba dapat terjadi secara :

a. Fungsional

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Obstruksi tuba Eustachius secara fungsional disebabkan karena sifat

destruksi tumor yang menghancurkan kartilago tuba Eustachius sehingga fungsi

tuba Eustachius secara keseluruhan menjadi terganggu.

b. Mekanik

Obstruksi tuba Eustachius secara mekanik disebabkan karena tumor

nasofaring yang menutup muara tuba Eustachius, sehingga tekanan udara dalam

rongga telinga tengah menjadi negatif sehingga terjadi retraksi membran timpani

(Ballenger, 1997).

D. Evaluasi Fungsi Tuba Eustachius

Untuk menilai fungsi tuba Eustachius dilakukan dengan tindakan inflasi

yaitu memasukkan udara ke telinga tengah. Maksud inflasi ini adalah untuk

mengembalikan atau menyamakan tekanan udara di kedua sisi membran timpani.

Ada beberapa cara yang sering digunakan untuk inflasi telinga tengah, yaitu :

1. Perasat Valsava

Metode inflasi telinga ini sangat bermanfaat karena dapat dilakukan pasien

setiap saat dengan berulang-ulang sampai fungsi tuba normal. Caranya adalah

dengan meniup dengan keras sambil lubang hidung dipencet serta mulut ditutup.

2. Perasat Toynbee

Metode inflasi ini dilakukan dengan cara menelan ludah sambil hidung

dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membran timpani

tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis (Ballenger, 1997).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

E. Penurunan Pendengaran (Ketulian)

Ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam penurunan pendengaran, yaitu :

tipe penurunan pendengaran dan derajat penurunan pendengaran (Soetirto et al.,

2007; Hain, 2008).

1. Tipe Penurunan Pendengaran :

a. Tuli konduktif

Tuli konduktif adalah tuli yang disebabkan gangguan pada aparat konduksi

telinga luar dan telinga tengah. Tuli konduktif terjadi bila suara yang

masuk terdapat hambatan dari liang telinga luar sampai membran timpani,

tulang tulang pendengaran, dan telinga tengah. Kondisi yang

menyebabkan tuli konduktif: serumen, otitis eksterna, benda asing,

penyakit telinga tengah seperti otitis media, perforasi membran timpani,

tumor, gangguan fungsi tuba.

b. Tuli sensorineural

Tuli sensorineural adalah tuli yang disebabkan gangguan pada telinga

dalam, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea. Tuli sensorineural

adalah tuli permanen, tidak dapat diterapi baik dengan medikamentosa

maupun dengan operasi.

c. Tuli campur

Kelainan tuli campur terjadi di telinga luar, telinga tengah dan di telinga

dalam, dan dapat disebabkan radang telinga tengah dengan komplikasi

telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berbeda seperti tumor

dan infeksi (Soetirto et al., 2007; Hain, 2008).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Derajat ketulian menurut ISO (International Standard Organization) :

0 - 25 dB : normal

>25 - 40 dB : tuli ringan

>40 - 55 dB : tuli sedang

>55 - 70 dB : tuli sedang berat

>70 - 90 dB : tuli berat

>90 dB : tuli sangat berat (Soetirto et al., 2007)

F. Audiometri

1. Definisi

Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar

dan mengukur (test pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk

mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk

menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan

pendengaran (Katz, 1994).

Bentuk yang umum dipakai untuk menggambarkan hasil uji pendengaran

disebut audiogram. Tujuan audiogram adalah untuk memperoleh grafik gangguan

pendengaran dalam ambang sensitivitasnya pada tiap frekuensi yang diuji. Pada

sumbu vertikal, intensitas dari yang paling tinggi ke bawah sampai nol merupakan

tingkat tekanan bunyi yang sesuai dengan rata-rata pendengaran normal pada tiap

frekuensinya. Jajaran frekuensi yang diuji adalah antara 250 sampai 8000 Hz

(Ballenger, 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Audiometer Nada Murni

Suatu sistem uji pendengaran dengan mempergunakan alat listrik yang

dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250 - 500 -

1000 - 2000 - 4000 - 8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB).

Masing-masing untuk mengukur ketajaman pendengaran melalui hantaran udara

dan hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan

didapatkan kurva hantaran tulang dan hantaran udara (lihat gambar). Dengan

membaca audiogram ini kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang

pendengaran seseorang (Ballenger, 1997).

3. Audiogram Hantaran Udara

Kegunaan audiogram hantaran udara adalah untuk mengukur kepekaan

seluruh mekanisme pendengaran, telinga luar dan tengah serta mekanisme

sensorineural koklea dan nervus auditori. Audiogram hantaran udara diperoleh

dengan memperdengarkan nada murni pendek-pendek melalui earphone ke

telinga. Pada tiap frekuensi yang diuji, pemeriksa mengubah-ubah intensitasnya

secara sistematik untuk menemukan tingkat ambang dengar pasien yang diuji.

Pemeriksa memulai pengujian pada 1000 Hz karena ambang pada

frekuensi ini lebih stabil daripada frekuensi yang lain. Dan setiap kali didapat

ambang dengar, langsung dicatat pada formulir audiogram. Tanda O merah untuk

telinga kanan, dan X biru untuk telinga kiri. Tanda-tanda ini kemudian

dihubungkan oleh garis pendek-pendek (Greenfield, 1996).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Audiogram Hantaran Tulang

Ambang hantaran tulang diperoleh dengan memberikan bunyi penguji

langsung ke prosesus mastoid menggunakan vibrator hantaran tulang. Cara yang

dipakai untuk menentukan tiap ambang dengar sama dengan yang dilakukan

audiometri hantaran udara. Begitu ambang dengar hantaran tulang ditentukan,

langsung dicatat pada formulir audiogram (Ballenger, 1997).

5. Konfigurasi Audiometri Nada Murni

Penggunaan alat audiometri nada murni yang dikalibrasi menyebabkan

data audiometri dibakukan secara luas. Pemeriksaan standar ini memungkinkan

audiologist dapat mengidentifikasi bentuk audiogram tertentu yang khas

berhubungan dengan macam-macam ketulian (Greenfield, 1996).

G. Hubungan Letak Tumor Nasofaring dengan Tuli Konduksi

Hubungan yang erat antara KNF dengan telinga telah lama diketahui. Pada

penelitian awal yang dilakukan Jackson (2001), dilaporkan gejala telinga pada

KNF didapatkan kurang lebih 43% kasus. Penelitian yang serupa juga dilakukan

Skinner et al., 2001 di Hongkong. Meskipun pada kebanyakan kasus keluhan

telinga berkaitan dengan adanya tumor nasofaring itu sendiri, namun dapat

dijumpai pengaruh lain misalnya dari terapi radiasi dan kemoterapi (Hasselt et al.,

2001).

Penurunan pendengaran biasanya bersifat ringan, unilateral dengan tipe

konduksi dan sering disertai tinnitus merupakan keluhan telinga yang paling
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sering dijumpai pada stadium dini. Oleh karena itu, penurunan pendengaran pada

KNF secara diagnostik dianggap cukup signifikan. Hal itu dibuktikan, sejak tahun

2003, Trotter sudah fokus mengamati pentingnya penurunan penurunan “tipe tuba

Eustachius” sebagai gejala awal KNF. Para ilmuwan setuju dengan pernyataan

Trotter yang menggarisbawahi pentingnya pemeriksaan yang seksama di

nasofaring pada semua kasus pasien dewasa dengan keluhan penurunan

pendengaran yang tidak jelas penyebabnya. Jika hasilnya pemeriksaan negatif,

pemeriksaan harus diulang dan di monitor sampai diagnosis pasti ditemukan

(Wang, 2003).

Hal yang menarik perhatian, beberapa pasien KNF dijumpai Otitis media

Efusi (OME) disertai keluhan penurunan pendengaran dengan derajat tuli yang

ringan. Penurunan pendengaran biasanya berasal dari disfungsi tuba Eustachius

yang menyebabkan Otitis Media Efusi. Hal ini didukung dengan penelitian yang

dilakukan di RS Prince of Wales Hongkong, pada pemeriksaan timpanometri rutin

ditemukan 36% pasien dengan OME yang tidak mengeluh adanya penurunan

pendengaran ketika periksa ke dokter (Hasselt et al., 2001).

Keluhan telinga lain yang didapatkan pada KNF seperti otore dan otalgi

secara diagnostik dianggap kurang penting, karena berhubungan dengan proses

perluasan tumor.

1. Patogenesis

Penurunan pendengaran yang timbul bersifat konduksi yang disebabkan

proses pertumbuhan tumor yang menimbulkan gangguan fungsi tuba Eustachius.

commit
Sejumlah penelitian telah dilakukan to mendapatkan
untuk user proses mekanisme yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tepat. Meskipun hasilnya masih belum pasti, pada kebanyakan kasus penyebab

sumbatan fungsional tuba Eustachius lebih banyak daripada sumbatan mekanik.

(Bluestone, 2006).

2. Penelitian Terdahulu

Su dan Juan (1985) melaporkan pada 75% kasus KNF, proses

membukanya tuba Eustachius secara aktif dipengaruhi Otitis Media Efusi, dan

tekanan proses membukanya tuba secara pasif diukur dengan pompa udara dengan

tekanan normal (< 400 mmH2O). Penyebabnya diduga berasal dari tekanan dari

luar tuba Eustachius atau pertumbuhan tumor kedalam lumen. Perhatian

difokuskan pada kerja muskulus tensor veli palatini yang berpengaruh dalam

membukanya tuba. Su et al., 1985 memaparkan teori bahwa disfungsi tuba dapat

disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya berupa perubahan compliance

kartilago tuba karena proses erosi tuba. Pendapat ini didukung oleh Low et. al,

1999 yang mempertimbangkan proses erosi yang melibatkan bagian luar lamina

kartilago tuba hanya cukup untuk mengubah compliance (Hasselt et al., 2001).

Honjo (2001) melaporkan studi penelitian yang didukung oleh patogenesis

multifaktor menunjukkan tiga mekanisme mendasar yang menimbulkan

gangguan tuba pada KNF, yaitu (a) perubahan fungsi dinamis yang disebabkan

gangguan pada muskulus tensor veli palatina, (b) pengurangan clearance siliar

karena perubahan proses inflamasi pada mukosa telinga tengah, dan (c)

pergeseran ke lateral kartilago tuba Eustachius oleh karena tumor yang membesar.

Honjo (2001) menilai bahwa tekanan atau invasi pada lumen tuba jarang terjadi

dan hanya terjadi pada tumor besar. Hal tersebut telah dibuktikan di RS Prince
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Wales, Hongkong dengan teori muskulus dan teori pergeseran dari Honjo lewat

media Resolusi tinggi yaitu MRI. Teori pengurangan clearance siliar tidak dapat

dikonfirmasi dengan MRI, tapi tetap tidak mengecilkan validitas dan pentingnya

teori ini (Hasselt et al., 2001).

Gangguan dinamis oleh karena disfungsi muskulus tensor veli palatini,

tampaknya menjadi faktor yang paling penting pada semua kasus. Hal ini

disebabkan karena invasi langsung dari muskulus tensor veli palatini atau

infiltrasi syaraf melintasi ruang parafaringeal. Invasi di daerah ini biasanya

langsung berada di dekat fossa Rosenmuller, yang berakibat timbulnya gangguan

dan pasien berobat ke dokter (Hasselt et al., 2001).

Honjo (2001) menemukan hubungan langsung antara kejadian efusi

dengan ukuran dan perluasan tumor serta telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan

MRI. Kejadian efusi yang sering timbul sesuai dengan perluasan tumor ke ruang

parafaringeal, dimana rata-rata efusi terjadi sebesar 95%. Pada beberapa kasus,

infiltrasi tumor tidak hanya disebabkan inaktivasi, atau paralisis muskulus tensor

veli palatini saja, tapi juga pergeseran tuba dan invasi kartilago dengan perubahan

compliance tuba (Hasselt et al., 2001).

Penjelasan tentang timbulnya otitis media pada tumor basis kranii,

terutama jika tumor berada di tuba Eustachius, disebabkan tumor secara anatomis

(secara mekanik) menyumbat lumen tuba. Schuknecht dan Kerr (2001) telah

membuktikan hasil pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien dengan

Karsinoma Sel Skuamosa yang menginvasi tuba Eustachius (Miura et al., 2001).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Cundy dkk juga melaporkan hasil histopatologi tulang temporal pasien KNF

yang telah menginvasi tuba Eustachius dan di telinga tengahnya mengalami

otitis media (Cundy, 2006).

Gambar 3. karsinoma yang menginvasi tuba Eustachius, akan menimbulkan


sumbatan mekanik di tuba dan menyebabkan penyakit di telinga
tengah.(Ijin dari Takahara, 2000).
Ket gambar :
Hasil fotomikrograf pemeriksaan histopatologi menunjukkan sumbatan fungsional
dari m. tensor veli palatini; lumen kurang mengalami inflamasi, tapi telinga
tengah mengalami inflamasi. Otot tensor veli palatini secara komplit dirusak oleh
sel tumor (T). Otot Levator veli palatini (LVP) tertekan oleh tumor di bagian
medialnya, tapi lumen tuba (L) tetap terbuka. Hanya tendon otot tensor veli
palatina dan jaringan pengikat sekitarnya (panah) tetap intak.

Tumor yang sangat besar secara luas dapat menginfiltrasi dan berpengaruh

pada tuba Eustachius yang menyebabkan penurunan pendengaran bilateral.

Penurunan pendengaran terutama di satu telinga, dengan tipe konduksi,

merupakan tanda awal yang penting dari KNF. Penurunan pendengaran biasanya

berasal dari disfungsi tuba Eustachius yang menimbulkan otitis media efusi

(Cundy, 2006).

Keluhan kedua terbanyak yang dijumpai pada KNF adalah penurunan


commit to user
pendengaran unilateral. Jonathan ST Sham et al., 2009 mengemukakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

otitis media efusi sebagai salah satu gejala awal pada pasien dengan KNF. Dalam

penelitiannya sebanyak 271 pasien, didapatkan 98 pasien dengan OME, yang

terdiri dari 7 pasien dengan OME bilateral dan sisanya unilateral. Ditemukan 77

pasien dengan keluhan tinitus dan tuli. R Indudharan 1997, melaporkan 22 pasien

(18%) dengan keluhan telinga terutama penurunan pendengaran dan 15 pasien

(12,3%) mengeluh tinitus. Pada penelitian yang dilakukan Imad et al., 2005

dengan 20 pasien, 40% mengeluh tuli konduksi unilateral, semua pasien disertai

OME, dan tidak ditemukan tuli yang bilateral. Didapatkan juga 5 pasien (10%)

disertai otalgia dan 3% dengan tinitus. (Imad et al., 2005; Sham, 2009).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

H. Kerangka Teori

Karsinoma
Nasofaring

Nasofaringoskopi - Menutup tuba


Lokasi tumor - Tidak menutup
tuba

Anamnesis Obstruksi tuba


Gangguan Timpanometri
Pendengaran

Tidak Terganggu Mekanik Fungsional


Terganggu

Audiometri nada
murni

Derajat tuli
Konduksi

Keterangan:

: yang diteliti

Pasien KNF dilakukan pemeriksaan nasofaringoskopi untuk mengetahui letak


commit to user
tumor. Tumor diidentifikasi berdasar 2 lokasi tumor nasofaring, yaitu menutup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tuba Eustachius dan tidak menutup tuba Eustachius. Kemudian dilakukan

anamnesis tentang keluhan di telinga terutama gangguan pendengaran pada satu

telinga yang merupakan gejala dini karsinoma nasofaring. Jika ada keluhan di

telinga yang berupa gangguan pendengaran, lalu dilakukan pemeriksaan

audiometri nada murni untuk mengetahui derajat ketulian.

I. HIPOTESIS

Ada hubungan antara letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli

konduksi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Desain penelitian adalah observasional analitik. Observasi dilakukan

dengan pendekatan studi potong lintang (cross sectional study).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMF THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Waktu penelitian antara bulan Januari 2011 sampai Oktober 2011.

C. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang datang berobat ke

Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi dengan hasil pemeriksaan biopsi nasofaring

menunjukkan karsinoma nasofaring, yang sebelumnya sudah dilakukan

pemeriksaan nasofaringoskopi untuk menentukan letak tumor nasofaring. Setelah

itu dilakukan anamnesis tentang keluhan di telinga yang merupakan gejala dini

karsinoma nasofaring. Jika ada keluhan di telinga terutama gangguan

pendengaran, maka selanjutnya dilakukan pemeriksaan audiometri untuk

mengetahui derajat tuli konduksi.

D. Sampel

Sampel penelitian adalah penderita KNF di SMF THT-KL RSUD Dr.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Moewardi Surakarta, antara bulan Januari 2011 sampai Oktober 2011 yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

E. Kriteria Inklusi (penerimaan) :

1. Pasien baru dengan hasil histopatologi biopsi jaringan nasofaring adalah

KNF.

2. Membran timpani telinga kanan dan kiri utuh.

3. Usia 15 sampai 60 tahun.

4. Tumor eksofitik.

5. Ada keluhan pendengaran berkurang tanpa disertai sakit pada telinga

F. Kriteria Ekslusi (penolakan) :

1. Ada riwayat alergi.

2. Pernah menderita penyakit telinga.

3. Tidak bersedia mengikuti penelitian

G. Besar Sampel

Penentuan jumlah besar sampel berdasarkan pengamatan pendahuluan

dengan menggunakan rumus :

n = Z α². p. q

Keterangan:

p : Proporsi audiogram abnormal pada penderita KNF = 90%

(Karya et al., 2007). commit to user


perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

q : 1 – P = 1 – 0,85 = 0,1

Zα : tingkat kemaknaan 95%, maka berarti α = 0,05 sehingga Zα = 1,96

d : tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0,1

n =(1.96)² x 0,89 x 0,1


(0,1)²
= 34,56 = 35

H. Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik consecutive sampling.

I. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah letak tumor.

b. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah derajat tuli konduksi.

J. Definisi Operasional

1. Letak tumor yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan nasofaringoskopi kaku,

meliputi:

- Menutup tuba Eustachius

- Tidak menutup tuba Eustachius

Skala pengukuran : nominal.

Pemeriksaan nasofaringoskopi dilakukan oleh peneliti, dan hasilnya direkam

di layar monitor dan didokumentasikan lewat media kamera digital dan di

pemeriksa serta dianalisis oleh peneliti.

2. Derajat tuli konduksi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Derajat tuli konduksi didapatkan dari hasil pemeriksaan audiometri nada

murni merk Rion AA-72A pada frekuensi 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, 8000

Hz. Pasien dimasukkan kedalam ruang khusus untuk pemeriksaan audiometri, lalu

pasien duduk di dalam box untuk pemeriksaan, pasien diberi petunjuk bila

mendengar suara diharapkan mengangkat tangan sesuai dengan telinga yang

mendengar. Bila sudah tidak mendengar tangan diturunkan. Pasien dilakukan

pemeriksaan hantaran udara dan hantaran tulangnya. Lalu hasil pemeriksaan

dicatat dalam kertas audiogram nada murni untuk ditentukan kelainan penurunan

pendengarannya, serta derajat penurunan pendengaran.

Derajat tuli konduksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

0 : normal <25 dB

1 : tuli konduksi ringan >25 - 40 dB.

2 : tuli konduksi sedang >40 - 55 dB

3 : tuli konduksi sedang berat >55 - 70 dB

Skala pengukuran : ordinal.

Selanjutnya dibedakan menjadi :

0 : tidak tuli konduksi

1,2,3 : tuli konduksi

Skala pengukuran : nominal.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Gambar 4. audiogram tuli konduksi:

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz


4
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran

udara (AC) saja (Soetirto et al., 2007).

K. Alat Penelitian

1. Alat pemeriksaan THT rutin.

2. Otoskop merek Heine mini 2000

3. Audiometer nada murni merk Rion audiometer AA-72A.

4. Nasofaringoskop kaku 00, 4 mm merk STORZ.

5. Blakesley nasal forcep lurus.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

L. Jalannya Penelitian

Penderita baru dengan dugaan diagnosis KNF berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan rutin THT. Setelah sebelumnya dilakukan pemeriksaan rutin THT

dan otoskopi untuk memastikan membran timpani intak, dilanjutkan pemeriksaan

nasofaringoskop kaku 00 pada tumor di nasofaring yang dicurigai KNF,

diidentifikasi letak tumornya kemudian dilakukan biopsi dan pemeriksaan

histopatologi. Setelah hasil histopatologi menunjukkan KNF positif, dilanjutkan

pemeriksaan audiometri nada murni untuk mengetahui derajat tuli konduksinya.

Usia yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 sampai 60 tahun. Usia

dibatasi mulai dari 15 tahun, untuk menyingkirkan kemungkinan hipertrofi

adenoid dan fungsi ventilasi tuba Eustachius pada anak-anak kurang efektif

dibandingkan dewasa. Tuba Eustachius anak-anak lebih pendek dan lebih lebar

serta posisinya lebih horisontal dibanding dewasa sehingga infeksi saluran nafas

berulang dan pembesaran adenoid akan memudahkan infeksi telinga tengah pada

anak-anak (Hanis et al., 2010)

Sedangkan usia dibatasi sampai dengan 60 tahun, untuk menyingkirkan

kemungkinan gangguan pendengaran presbiakusis yang terjadi pada usia lanjut.

M. Analisis Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel. Data yang

diperoleh dianalisa secara statistik dengan menggunakan program Pearson Chi

Square.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

N. Etika Penelitian

Sebelum pelaksanaan penelitian, terlebih dahulu diminta persetujuan

Panitia Tetap Etika Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak Januari sampai dengan Oktober 2011 di

poliklinik THT RSUD dr. Moewardi Surakarta. Jumlah sampel pada penelitian ini

adalah 35. Hasil penelitian yang diperoleh seperti dibawah ini.

Data dasar dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, stadium

tumor, keluhan, letak tumor, derajat tuli konduksi, lokasi telinga yang tuli

konduksi, sisi telinga yang tuli, letak tumor KNF dihubungkan dengan lokasi

telinga yang mengalami tuli konduksi, dan letak tumor KNF dihubungkan dengan

ada tidaknya tuli konduksi.

Selanjutnya sesuai dengan tujuan penelitian, di lakukan analisis hubungan

letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli konduksi.

Tabel 4.1 Distribusi subyek penelitian penderita KNF menurut kelompok


umur.

Umur (tahun) n %

10-20 0 0

21-30 4 11.4

31-40 5 14.3

41-50 12 34.3

>50 14 40.0

Jumlah 35 100.0
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dari tabel 4.1 didapatkan bahwa sebaran umur terbanyak penderita KNF

adalah dekade 5 yaitu 14 sampel (40%), diikuti kelompok umur 41-50 tahun, yaitu

12 sampel (34.3%). Penderita KNF termuda berusia 25 tahun dan yang paling tua

berusia 60 tahun. Umur rerata yaitu 47.4 tahun.

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut jenis kelamin.

Jenis Kelamin n (%)


Laki-laki 27 77.1
Perempuan 8 22.9
Jumlah 35 100.0

Dari tabel 4.2 didapatkan jenis kelamin terbanyak untuk penderita KNF

adalah laki-laki sebanyak 27 sampel (77.1%) dibandingkan dengan perempuan

8 sampel (22.9%). Perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3.4 : 1 .

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut stadium

Stadium n %
I 0 0
II 1 2.9
III 9 25.7
IV 25 71.4
Jumlah 35 100.0

Dari tabel 4.3. dijumpai bahwa sebagian besar penderita KNF datang

berobat pada stadium lanjut (stadium III dan IV) yaitu sebanyak 34 kasus

(97.1%), dimana stadium IV paling banyak


commit to dijumpai,
user yaitu sebesar 25 kasus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(71.4%). Stadium dini (stadium I dan II) hanya dijumpai 1 kasus (2.9%), dan

seluruhnya pada stadium II. Tidak ada penderita KNF yang datang pada stadium I.

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut keluhan.

Keluhan n %
Telinga berdenging 26 74.3
Penglihatan dobel 14 40.0
Mimisan 19 54.3
Pembesaran KGB 32 91.4

Dari tabel 4.4. didapatkan bahwa pembesaran kelenjar getah bening

merupakan keluhan yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar 32 pasien , disusul

telinga berdenging, mimisan dan penglihatan dobel.

Tabel 4.5. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut letak tumor

Letak Tumor n %
Tidak Menutup Tuba Eustachius 11 31.4
Menutup Tuba Eustachius 24 68.6
Jumlah 35 100.0

Dari tabel 4.5. didapatkan bahwa letak tumor KNF yang terbanyak menutup

tuba Eustachius yaitu sebesar 24 pasien (68.6%).

Dari tabel 4.6. didapatkan bahwa tuli konduksi di telinga kiri merupakan

lokasi telinga yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar 17 pasien ( 48.57%),

yang berasal dari penjumlahan tuli konduksi di telinga kiri ditambah dengan tuli
commit to user
konduksi di telinga kiri dan kanan (kedua telinga).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut lokasi telinga yang
tuli konduksi

Lokasi Tuli Konduksi n %

Telinga Kiri 10 28.6


Telinga Kanan 8 22.8
Kiri & Kanan 7 20.0
Tidak ada 10 28.6
Jumlah 35 100.0

Dari tabel 4.7. dibawah ini menunjukkan bahwa gangguan pendengaran satu

telinga (unilateral) merupakan sisi tuli yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar

18 pasien (51.4%).

Tabel 4.7. Distribusi frekuensi penderita KNF menurut sisi tuli

Sisi Tuli Konduksi n %


Unilateral 18 51.4
Bilateral 7 20.0
Tidak Ada 10 28.6
Jumlah 35 100.0

Tabel 4.8. Hubungan Letak Tumor Nasofaring terhadap Tuli Konduksi


Telinga Kanan

Tuli Konduksi
Letak Tumor Tidak % Ya % Total % O X2 p
R
Tidak Menutup 10 90.9 1 9.1 11 10 14 7.4 0.006
TE 0 7
10 41.7 14 58.3 24 10
Menutup TE 0
20 15 35 10
Total 0

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dari tabel di atas, didapatkan nilai OR (Odds Ratio) sebesar 14. Nilai ini

menunjukkan bahwa letak tumor nasofaring yang menutup tuba Eustachius akan

memiliki risiko 14 kali lebih besar mengalami tuli konduksi telinga kanan, dan

nilai p = 0.006. Terdapat hubungan yang bermakna antara letak tumor nasofaring

terhadap tuli konduksi telinga kanan.

Tabel 4.9. Hubungan Letak Tumor Nasofaring terhadap Tuli Konduksi


Telinga Kiri

Tuli Konduksi
Letak Tumor Tidak % Ya % Total % OR X2 p
Tidak Menutup 10 90.9 1 9.1 11 100 20 10.01 0.002
TE
Menutup TE 8 33.3 16 66.7 24 100
Total 18 17 35 100

Dari tabel di atas didapatkan nilai OR (Odds Ratio) sebesar 20. Nilai ini

menunjukkan bahwa letak tumor nasofaring yang menutup tuba Eustachius akan

memiliki risiko 20 kali lebih besar mengalami tuli konduksi telinga kiri, dan nilai

p = 0.002. Terdapat hubungan yang bermakna antara letak tumor nasofaring

terhadap tuli konduksi telinga kiri.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 4.10. Hubungan Letak Tumor Nasofaring terhadap Derajat Tuli


Konduksi Telinga Kanan

Derajat Tuli Konduksi Kanan


Letak Normal % Ringan % Sedang % Sdg % Total % X2 p
Tumor Berat
Tidak 10 90.9 0 0 1 9.1 0 0 11 100 8.7 0.033

Menutup
TE
Menutup 10 41.7 2 8.3 2 8.3 10 41.7 24 100
TE
Total 20 2 3 10 35 100

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai p = 0,033. Terdapat hubungan yang

bermakna antara letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli konduksi telinga

kanan.

Tabel 4.11. Hubungan Letak Tumor Nasofaring terhadap Derajat Tuli


Konduksi Telinga Kiri

Derajat Tuli Konduksi Kiri


Letak Tumor Normal % Ringan % Sedang % Sedang % Total % X2 p
Berat
Tidak 10 90.9 0 0 1 9.1 0 0 11 100 10.40 0.015
Menutup TE
Menutup TE 8 33.3 2 8.4 6 25 8 33.3 24 100
Total 18 2 7 8 35

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai p = 0,015. Terdapat hubungan yang

bermakna antara letak tumor nasofaring terhadap derajat tuli konduksi telinga kiri.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada 35 orang penderita baru Karsinoma

Nasofaring (KNF) yang datang berobat Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Surakarta antara bulan Januari 2011 sampai dengan Oktober 2011 yang memenuhi

kriteria inklusi maupun eksklusi. Berdasarkan Tabel 4.1, penderita KNF terbanyak

pada penelitian ini adalah pada kelompok umur lebih dari 50 tahun, yaitu 40%.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Aliandri (2007) yaitu

pada kelompok umur 51-60 tahun sebesar 30,4% dari 79 kasus, Delfitri (2007)

mendapatkan insiden penderita KNF tertinggi pada kelompok umur 50-59 tahun

sebesar 29,09% dari 55 kasus, Sihotang (2007) mendapatkan insiden penderita

KNF tertinggi pada kelompok umur 50-59 tahun sebesar 36,4%, Zahara (2007)

mendapatkan insiden penderita KNF tertinggi pada kelompok umur lebih dari 50

tahun sebesar 45,8%, Hadi dan Kusuma (1997) di RSUD dr. Soetomo Surabaya

mendapatkan insiden penderita KNF tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun

sebesar 30,23% dari 129 kasus.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian lain di RSUP H. Adam

Malik Medan, yaitu Lutan (2003) mendapakan insiden penderita KNF tertinggi

pada kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 40% dari 130 kasus, Henny (2006)

pada kelompok umur 41-50 sebesar 44,1% dari 34 kasus.

Hasil yang berbeda didapat oleh Punagi (2007) di RS dr. Wahidin

Sudirohusodo Makasar dengan insiden penderita KNF tertinggi pada kelompok


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

umur 37-46 tahun sebesar 26.67% dan Karya et al., 2007 di Makasar

mendapatkan insiden penderita KNF tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun

sebesar 30% dari 40 kasus.

Menurut kepustakaan, disebutkan umur penderita bervariasi mulai kurang

dari 10 tahun hingga lebih 80 tahun dengan puncak insiden pada usia 40-60 tahun

(Thompson, 2005). Pada daerah endemik insiden meningkat sejak usia 20 tahun

dan mencapai puncak pada dekade V dan VI (Cottril & Nutting, 2003).

Keganasan didapat pada usia tua (lebih dari 40 tahun) karena sistem imunitas dan

mekanisme perbaikan DNA yang normal yang mengalami transformasi menjadi

ganas, karena adanya mutasi spontan atau induksi karsinogen. Dari adanya kontak

dengan karsinogen sampai timbulnya sel kanker diperlukan waktu induksi yang

cukup lama, dapat sampai 15-30 tahun (Sukardja,2000).

Berdasarkan Tabel 4.2, dapat dilihat bahwa dari 35 orang penderita KNF

didapatkan 27 orang (77.2%) berjenis kelamin laki-laki dan 8 orang (22.8%)

berjenis kelamin perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan 3.4 :

1. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Sihotang (2007)

dengan perbandingan 3.4 : 1. Hasil yang berbeda didapat oleh Muyassaroh et al.,

1999 di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang mendapatkan perbandingan 3 : 1,

Lutan (2003) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2.3 : 1, Henny

(2006) dengan perbandingan 2.4 : 1, Aliandri (2007) dengan perbandingan 1.63 :

1, Zahara (2007) dengan perbandingan 1,4 : 1 serta Delfitri M (2007)

perbandingan 3 : 2.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian lain di Indonesia,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

seperti oleh Hutagalung dkk (1996) di Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta

mendapatkan perbandingan 2.47 : 1. Hadi dan Kusuma (1997) di RSUD dr.

Soetomo Surabaya mendapatkan perbandingan 2.1 : 1. Soehartono et al., 2007 di

RSU dr. Syaiful Anwar Malang mendapatkan perbandingan laki-laki dan

perempuan 2.5 : 1. Hasil yang berbeda didapat di RSCM oleh Roezin (1996)

mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 1.8 : 1. Karya dkk (2007) di

Makasar mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 1.85 : 1 dan Punagi

(2007) mendapatkan perbandingan 5.43 : 1.

Perbandingan antara laki-laki dan perempuan hampir sama untuk seluruh

Indonesia, berkisar antara 2-3 berbanding 1 (Roezin, 1996). Pada kepustakaan

disebutkan bahwa KNF lebih sering dijumpai pada pria, dengan perbandingan pria

dan wanita 3 : 1 (Chew, 1997; Cottril & Nutting, 2003). Keadaan tersebut

kemungkinan disebabkan perbedaan kebiasaan hidup serta pekerjaan yang

menyebabkan laki-laki lebih sering kontak dengan karsinogen penyebab KNF.

Berdasarkan Tabel 4.3, dapat dilihat bahwa sebagian besar penderita KNF

pada penelitian ini datang pada stadium lanjut (stadium III dan IV), yaitu

sebanyak 34 penderita (97.1%), dimana pada stadium IV paling banyak dijumpai,

yaitu sebanyak 25 penderita (71.4%) dan stadium III sebanyak 9 penderita

(25.7%). Sedangkan penderita KNF yang datang pada stadium dini (stadium I dan

II) dijumpai hanya 1 kasus (2.9%) pada stadium II. Hasil penelitian ini hampir

sama dengan penelitian yang dilakukan Henny (2006) yaitu seluruh penderita

KNF pada stadium lanjut (stadium III dan IV) masing-masing sebesar 50%,

Aliandri (2007) juga mendapatkan seluruh penderita KNF dalam stadium lanjut,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dimana stadium III 70.9% dan stadium IV 29.1%, Zahara (2007) mendapatkan

penderita KNF stadium lanjut sebesar 70.8%, yaitu stadium III 41.7% dan

stadium IV 29.1%, stadium dini dijumpai 29.2% yaitu stadium I 4.2% dan

stadium II 25%, Delfitri M (2007) mendapatkan penderita KNF stadium lanjut

sebesar 92.72% dan stadium dini 7.27%.

Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian lain, seperti yang

dilakukan Hadi dan Kusuma (1997) di Rumah Sakit dr. Soetomo Surabaya yang

mendapatkan penderita KNF stadium lanjut 95.29%, yaitu stadium III 10.85% dan

stadium IV 84.44%, sementara stadium dini hanya 4.66%, yaitu stadium I 0.78%

dan stadium II 3.88%. Hutagalung et al., 1996 di Rumah Sakit dr Sardjito

Yogyakarta mendapatkan penderita KNF stadium lanjut sebesar 74.44%, yaitu

stadium III 37.66% dan stadium IV 36.78%. Stadium dini sebesar 25.54%, yaitu

stadium I 2.66% dan stadium II 22.66%. Soehartono et al., 2007 di Rumah Sakit

dr. Syaiful Anwar Malang mendapatkan penderita KNF stadium lanjut sebesar

91.44%, yaitu stadium III 17.14% dan stadium IV 73.3%, sedangkan stadium dini

sebesar 8.56%, yaitu semua stadium II 6.56%. Punagi (2007) mendapatkan

penderita KNF stadium lanjut sebesar 73.33%, yaitu stadium III 42.22% dan

stadium IV 31.11%. Sementara stadium dini sebesar 26.66%, yaitu stadium I

4.44% dan stadium II 22.22%. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Sudyartono

dan Wiratno (1996) di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang mendapatkan penderita

KNF stadium lanjut sebesar 50%, yaitu stadium III 46.9% dan stadium IV 3.1%.

Sementara stadium dini 50%, yaitu stadium I 20.3% dan stadium II 29.7%.

Dalam kepustakaan disebutkan kasus dini (stadium I dan II) hanya


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ditemukan antara 3.8-13.9% dibandingkan dengan stadium lanjut (stadium III dan

IV) sekitar 68.1-96.2% (Soetjipto, 1993). Karena lokasinya yang tersembunyi,

KNF relatif sulit didiagnosis secara dini (Soehartono et al., 2007). Letaknya tidak

mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli sehingga seringkali ditemukan

sudah terlambat sehingga metastase leher seringkali ditemukan sebagai gejala

pertama ( Lutzky et al., 2008; Chew, 1997; Roezin, 1996).

Pada Tabel 4.4, distribusi frekuensi penderita KNF menurut keluhan yang

terbanyak adalah pembesaran KGB sebanyak 32 kasus (91.4%), telinga

berdenging 26 kasus (74.3%), mimisan 19 kasus (54.3%), dan penglihatan dobel

14 kasus (40%).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ahmad (2002), yaitu

adanya tumor di leher yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita

untuk datang berobat.

Pada Tabel 4.5, distribusi letak tumor di nasofaring yang terbanyak pada

penelitian ini adalah yang menutupi muara tuba Eustachius, yaitu sebanyak 24

pasien (68.6%). Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan Hidayat (2008),

yaitu sebanyak 21 kasus (38.2%).

Penelitian ini berbeda dengan penelitian Karya et al., 2007 di Makasar,

yang mendapatkan penderita KNF terbanyak letak tumor di seluruh rongga

nasofaring, yaitu 11 penderita KNF (27.5%) diikuti 7 penderita KNF (17.5%)

dengan letak tumor di fossa Rosenmuller yang meluas ke tuba Eustachius

unilateral.

Letak dan ukuran tumor pada nasofaring erat kaitannya dengan gangguan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

fungsi tuba Eustachius. Gangguan fungsi tuba Eustachius dapat menimbulkan

ganggan pendengaran. Pemeriksaan timpanometri bermanfaat dalam menilai

fungsi telinga tengah dan tuba Eustachius. Karya dkk. di Makasar (2007) telah

menemukan hubungan yang bermakna antara letak dan ukuran tumor dengan

gambaran timpanometri pada penderita KNF. Sebaiknya penelitian ini

menggunakan pemeriksaan timpanometri untuk menilai fungsi telinga tengah dan

tuba Eustachius.

Dari Tabel 4.6. didapatkan bahwa gangguan pendengaran tuli konduksi

pada telinga kiri merupakan sisi tuli yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar 17

pasien (48.57%), Pada Tabel 4.7. didapatkan bahwa gangguan pendengaran satu

telinga (unilateral) merupakan sisi tuli yang paling banyak dijumpai yaitu sebesar

18 pasien (51.4%). Hasil penelitian ini juga hampir sama dengan penelitian lain,

seperti yang dilakukan Lee et al., 1997 yaitu keluhan pada satu telinga pada

penderita KNF sebesar 20%. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa gangguan

tuli konduksi pada satu sisi (unilateral), merupakan gejala dini didapatkannya

karsinoma nasofaring.

Pada Tabel 4.8, didapatkan letak tumor nasofaring yang menutup tuba

Eustachius akan memiliki risiko 14 kali lebih besar mengalami tuli konduksi

telinga kanan, dan nilai p = 0.006. Terdapat hubungan yang bermakna antara

letak tumor nasofaring dengan tuli konduksi telinga kanan.

Berdasarkan kepustakaan, asal tumor nasofaring (fossa Rosenmuller) dekat

dengan muara tuba Eustachius. Bila terjadi sumbatan pada tuba Eustachius oleh

tumor nasofaring akan menyebabkan gangguan pendengaran tuli konduksi.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada Tabel 4.9, didapatkan letak tumor nasofaring yang menutup tuba

Eustachius akan memiliki risiko 20 kali lebih besar mengalami tuli konduksi

telinga kiri, dan nilai p = 0.002. Terdapat hubungan yang bermakna antara letak

tumor nasofaring terhadap tuli konduksi telinga kiri.

Hasil penelitian yang berbeda dilakukan oleh Hidayat (2008) yang

menyebutkan bahwa gambaran timpanogram abnormal unilateral yang terbanyak

dijumpai pada penderita KNF dengan letak tumor di fossa Rosenmuller yang

meluas ke atap/ dinding posterior nasofaring dan menutupi muara tuba Eustachius,

yaitu pada 21 orang penderita KNF (38.2%).

Pada Tabel 4.10, didapatkan hubungan yang bermakna antara letak tumor

nasofaring dengan derajat tuli konduksi telinga kanan. Pada uji korelasi Pearson

Chi Square menunjukkan nilai koefisien korelasi (X2) = 8.71, p = 0.033.

Pada Tabel 4.11, didapatkan hubungan yang bermakna antara letak tumor

nasofaring dengan derajat tuli konduksi telinga kiri. Pada uji korelasi Pearson Chi

Square menunjukkan nilai koefisien korelasi (X2) = 10.4, p = 0.015.

Berdasarkan kepustakaan, gejala dini KNF sangat bervariasi, ringan dan

tidak khas. Keluhan tergantung posisi dan perluasan tumor nasofaring, apakah

tumbuh kearah muara tuba Eustachius atau ke koana. Keluhan telinga yang

terbanyak pada penderita KNF berupa gangguan pendengaran yang unilateral. Hal

ini harus menjadi perhatian, apabila keluhan tersebut menetap dan timbul tanpa

sebab yang jelas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara letak tumor

nasofaring dengan derajat tuli konduksi telinga kanan dan kiri.

2. Letak tumor nasofaring yang menutup tuba Eustachius akan memiliki

risiko 14 kali lebih besar mengalami tuli konduksi telinga kanan dan

20 kali lebih besar mengalami tuli konduksi telinga kiri.

B. Saran

1. Perlunya dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni untuk

mendiagnosis penderita yang dicurigai KNF yang disertai gangguan

pendengaran pada satu telinga.

2. Didapatkannya keterbatasan pemeriksaan penunjang yang seharusnya

dapat dilakukan pada penelitian ini, yaitu pemeriksaan timpanometri.

Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui

gambaran audiometri nada murni dan timpanometri pada penderita

KNF sebelum dan sesudah mendapatkan terapi.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai