Anda di halaman 1dari 47

KARYA TULIS ILMIAH

IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA


USUS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI
PANTI ASUHAN NURFADILA
KOTA MAKASSAR

Diajukan sebagai syarat dalam meraih Ahli Madya


Kesehatan pada Program Studi Diploma III Teknologi
Laboratorium Medis
Fakultas Teknologi Kesehatan Universitas Megarezky

WA ODE SITRA
183145453135

PROGRAM STUDI DIII TEKNOLOGI


LABORATORIUM MEDIS
FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2021​
1 LEMBAR PERSETUJUAN
2 Karya Tulis Ilmiah dengan judul
3 IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA
USUS PADAANAK SEKOLAH DASAR DI
PANTI ASUHAN NURFADILLA
4 KOTA MAKASSAR
Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan
Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah
Fakulktas Teknologi Kesehatan
Universitas Megarezky
Pada Hari Sabtu, 09 Desember 2021

Pembimbing I ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​Pembimbing II

(Zakia Bakri, S.Si.,M.Kes) ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​(Sulfiani,


S.Si.,M.Pd) ​ ​
NIDN : 0915038901 ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ N
​ IDN :
0927048003

Mengetahui,
Ketua Program Studi DIII Teknologi Laboratorium
Medis
Universitas Megarezky

(Resi Agestia Waji, S.Si., M. Si)


NIDN : 09020883 03

5 HALAMAN PENGESAHAN
Pada hari Sabtu tanggal 09 bulan Oktober tahun 2021
Secara Virtual dantelah dilaksanakan Ujian karya tulis
ilmiah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Diploma Teknologi Laboratorium Medis
terhadap mahasiswa atas nama:
Nama ​ ​ ​ ​ ​ ​: Wa Ode Sitra
Nim ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​: 183145453135
Program Studi ​: Teknologi Laboratorium Medis
Jenjang ​ ​ ​ ​ ​: Diploma 3 (DIII)
Judul Karya Tulis Ilmiah ​: Identifikasi Telur Cacing
Nematoda Usus Pada Anak Sekolah Dasar di Panti
Asuhan Nurfadila Kota Makassar

Yang Telah Disetujui oleh Tim Penguji sebagai


berikut:
Tim Penguji ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​TandaTangan

1. Zakia Bakri, S.Si.,M.Kes ​ ​ ​ ​ ​ ​(………………………..…)


2. Sulfani, S.Si.,M.Pd ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​(…………………………..)

3. Hartati, S.Si., M.Kes ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​(…………………………..)

Mengetahui

Dekan ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Dra.apt.Hj. Asnah Marzuki, M.Si.) ​ ​ ​ ​ ​ ​(Resi


Agestia Waji, S.Si., M.Si)
NUPN: 8879223419 ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​NIDN:
0902088303
6 CURRICULUM VITAE
A. Biodata Pribadi
1. Nama ​ : Wa Ode Sitra
2. Nim ​ : 183145453135
3. Jenis Kelamin ​ : Perempuan
4. Tempat, Tanggal Lahir ​ : Sampuabalo,
13 Agustus 1998
5. Agama : Islam
6. Program Studi ​ : DIII Teknologi
Laboratorium Medis
7. Fakultas ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ : Teknologi Kesehatan
8. Alamat ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ : Jl. Antang Raya
9. Email ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ :
waodesitra40@gmail.com
B. Riwayat Pendidikan
1. SD ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ : SDN 2 Sampuabalo
2. SMP ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ : SMPN Satap
Siotapina
3. SMA ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ : SMAN 2 Fak-Fak
4. Perguruan Tinggi ​ ​ ​ ​ : Universitas
Megarezky Makassar, Fakultas
Teknologi Kesehatan, Program Studi D-
III Teknologi Laboratorium Medis (2018-
sekarang)
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi


Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT, Karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nyah, Karya tulis ilmiah ini dapat
diselesaikan dengan baik. penyusunan ​Karya Tulis
Ilmiah berjudul “Identifikasi Telur Cacing
Nematoda Usus Pada Anak Sekolah Dasar Di Panti
Asuhan Nurfadila Kota Makassar“ yang merupakan
salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Ahli
Madya pada Program Studi D-III Teknologi
Laboratorium Medis Fakultas Teknologi Kesehatan
Universitas Megarezky.
Peneliti menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini
masih banyak kekurangan atau kelemahan baik dari
segi penyusunan maupun dari pandangan pengetahuan,
dan mungkin ​masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu peneliti mengharap adanya masukan, saran,
dan kritik yang sifatnya membangun merupakan input
dalam penyempurnaan selanjutnya. Semoga dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dimasa yang akan datang dan masyarakat pada
umumnya.
Terimakasih saya ucapkan kepada semua pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung. Karya tulis ilmiah ini saya
persebahkan untuk kedua orang tua tercinta yaitu
Ayahanda La Ode Ewa dan Ibunda tercinta Wa
Ode Nuru serta saudara-saudara saya sebagai salah
satu wujud rasa cinta dan terimakasih peneliti atas
segalah pengorbanan dalam mengasuh dan mendidik
dengan penuh kasih sayang serta senantiasa
mendoakan kesehatan dan keberhasilan peneliti serta
teman-teman yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada peneliti untuk segera menyelesaikan
pendidikan ini.
Dan terimakasih Ibu Zakia Bakri, S.Si.,M.Kes
selaku Pembimbing I, Ibu Sulfiani, S.Si.,M.Pd selaku
Pembimbing II, dan Ibu Hartati S.Si.,M.Kes sebagai
penguji dengan penuh keikhlasan, memberikan
sumbangsih saran untuk kesempurnaan penyusunan
karya tulis ilmiah.
Tak lupa pula peneliti mengucapkan rasa hormat,
serta terimakasih yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr.H.Alimuddin, SH,.MH.,M.Kn. Selaku
Pembina Yayasan Pendidikan Islam Megarezky
Makassar.
2. Ibu Hj. Suryani, S.H., MH. Selaku Ketua Yayasan
Pendidikan Islam Megarezky Makassar
DiamatiAnalisis
dibawahdatamikroskop
3. Bapak Prof. DR. dr. Ali Aspar Mappahya,
Sp.PD., Sp.JP (K). Selaku Rektor Universitas
Dilakukan skrinning subjek
Megarezky Makassar.
penelitian dan menandatangani
4. Ibu Prof Dr. Dra. apt. Asnah Marzuki., M.Si.
informed consent
Selaku Dekan Fakultas Teknologi Kesehatan
Dilakukan
Universitas
pengumpulan
Megarezky Makassar.
spesimen
5. Ibukemudian
Resi Agestia
dibawa Waji
ke S.Si.,M.Si. Selaku Ketua
laboratorium
Prodi untuk DIIIdiperiksa
Teknologi Laboratorium Medis
Universitas
Dibuatkan Megarezky
larutan eosin Makassa
6. sebanyak
Ibu Zakia 2 gramBakri, S.Si., M. Kes. Selaku
Pembimbing I dalam penyusunan karya tulis ilmiah.
7. Ibu ​Sulfiani,
Diteteskan S.Si.,M.Pd.
larutan eosin 2% Selaku pembimbing II
dalam
pada penyusunan
objek glass karya tulis ilmiah.
8. Ibu Hartati,S.Si.,M.Kes. Selaku penguji utama.
9. Seluruh Dosen Pengajar dan Staf Program Studi
DIII Teknologi Laboratorium Medis Universitas
Megarezky Makassar.
10. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi D-III
Teknologi Laboratorium Medis Fakultas Teknologi
Kesehatan Universitas Megarezky Makassar
Angkatan 2018, terkhusus buat kelas 18 D teman
seperjuangan peneliti yang tidak dapat disebutkan
satu persatu yang telah memberikan doa dan
dukungannya selama perkuliahan dan akhir
perkuliahan peneliti mengucapkan terimaksih.
Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.

Makassar, 30
November 2021
Peneliti

ABSTRAK
Wa Ode Sitra, Identifikasi Telur Cacing Nematoda
Usus Pada Anak Sekolah
Dasar Di Panti Asuhan Nurfadila Kota Makassar.
Dibimbing oleh Zakia Bakri, Sulfiani.

Jenis cacing golongan nematoda usus yang menginfeksi


manusia yaitu Ascaris lumbricoides (cacing gelang),
Trichuris trichiura (cacing cambuk), dan Ancylostoma
duodenale, Necator americanus, (cacing tambang).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi telur cacing nematoda usus pada
feses anak sekolah dasar di Panti Asuhan Nurfadila,
untuk mengetahui jenis telur cacing nematoda usus
pada anak sekolah dasar di Panti Asuhan Nurfadila
Kota Makassar. Sampel penelitian ini adalah feses
anak panti asuhan Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa dari 15
sampel yang diperiksa di Panti Asuhan Nurfadila
terdapat 7 jenis telur cacing yang terindentifikasi
Nematoda usus yang terdiri dari Ascaris lumbricoides
(85,7%), dan Trichuris trichura (14,2%).

Kata Kunci : Nematoda usus, panti asuhan, anak


sekolah dasar.
DAFTAR ISI

SAMPUL ​ ​i
HALAMAN PERSETUJUAN ​ ​ii
LEMBARPENGESAHAN ​ ​iii
KATA PENGANTAR ​ ​iv
ABSTRACK ​……v
DAFTAR ISI ​ …….vi
BAB I PENDAHULUAN ​ ​1
A. L ​ atar Belakang ​ 1​
​ umusan Masalah ​ 6​
B. R
C. T​ ujuan penelitian ​ 6​
D. M ​ anfaat Penelitian ​ 7​
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ​ ​8
A. K ​ ecacingan ​ 8​
B. N ​ ematoda Usus ​ 8​
C. S ​ pesies NematodaUsus ​ 1​ 0
D. Metode Pemeriksaan Nematoda Usus ​ ​34

E. Pemeriksaan Makroskopis Feses ​ ​31

F. Tinjauan Umum Tentang Panti Asuhan Nurfadilla ​ ​38

G. Kerangka Teori ​ ​41
​ ​42
H.Kerangka Konsep
BAB III METODE PENELITIAN ​ ​44
A. ​Jenis Penelitian ​ 4​ 4
​ okasi dan waktu Penelitian ​ 4​ 4
B. L
C. P​ opulasi dan sampel ​ 4​ 4
D. K ​ riteria Subjek Penelitian ​ 4​ 4
E. Variabel Penelitian ​ ​45

F. Alat Dan Bahan ​ 4​ 5

G. Prosedur Kerja ​ 4​ 5
H. Pengelolah Dan Analisis Data ​ ​46
I. Alur Penelitian ​ ​47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ​ ​47
A.Hasil Penelitian ​ ​47
B. Pembahasan ​ ​47
BAB V PENUTUP ​ ​47
A.Kesimpulan ​ ​47
​ ​47
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA ​ ​48

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecacingan merupakan penyakit endemik
menahun yang disebabkan oleh cacing parasit yang
tersebar luas tidak menyebabkan kematian, tetapi
dapat mempengaruhi kesehatan tubuh manusia
sehingga memperburuk kesehatan dan gizi
masyarakat. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh
cacing disebabkan oleh parasit berupa cacing. Infeksi
ini biasanya tidak menyebabkan kondisi medis yang
serius, sehingga sering diabaikan bahkan ketika
menyebabkan masalah kesehatan. Dengan infeksi
ringan atau berat, cacing lebih cenderung
memberikan analisis penyakit lain dan dapat
berbahaya (Muin, 2016).
​Infeksi kecacingan adalah penyakit yang ditularkan
melalui makanan, minuman, atau melalui kulit
dengan sumber penularannya adalah tanah. Penularan
telur cacing yang dikeluarkan oleh feses penderita
tidak hanya terkait dengan iklim, seperti kelembaban,
hujan dan suhu, serta tingkat ekonomi masyarakat,
tetapi juga dengan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat tentang kesehatan. Penggunaan kotoran
manusia yang biasa digunakan untuk pupuk tanaman
dapat semakin merusak tanah, sumber air rumah
tangga, dan unsur hara seperti sayuran sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah orang yang
terinfeksi cacing (Sumanto & Wartomo, 2016).
​` Salah satu kelompok cacing yang dapat
menyebabkan infeksi cacing adalah nematoda usus.
Nematoda usus adalah sekelompok cacing yang
hidup di usus manusia. Ada beberapa jenis nematoda
usus yang dapat ditularkan ke cacing melalui tanah
yang terkontaminasi. Infeksi cacing gelang
menyerang semua kelompok umur terutama anak-
anak dan remaja, serta dapat mempengaruhi tumbuh
kembang anak (Sodarto, 2011).
Jenis nematoda usus yang menginfeksi manusia
antara lain: Ascaris lumbricoides (cacing gelang),
Trichuris trichiura (cacing cambuk), Ancylostoma
duodenale, Necator americanus (cacing tambang).
Akibat cacing ini dapat memengaruhi kesehatan,
nutrisi, kecerdasan, dan produktivitas pasien. Infeksi
cacing dapat mengakibatkan kehilangan karbohidrat
dan protein, kehilangan darah, dan penurunan
kualitas denyut jantung (Kemenkes RI, 2017).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, kejadian
infeksi cacing masih relatif tinggi di seluruh dunia,
dengan sekitar 1 miliar orang terinfeksi Ascaris
lubricoids, 795 juta dengan Trichuritrichura dan 740
juta dengan cacing tambang. . Secara umum
prevalensi infeksi kecacingan juga sangat tinggi di
Indonesia, pada masyarakat dari golongan ekonomi
lemah risiko tertular penyakit ini sekitar 40 sampai
60% (Asdar et al., 2019).
Diperkirakan 819 juta orang di seluruh dunia
terinfeksi cacing Ascarislumbricoides, sekitar 464,6
juta dengan dan 438,9 juta dengan cacing tambang.
Di Asia, kejadian cacing yang diinduksi STH adalah
sekitar 67% (Polan et al., 2014). Menurut Organisasi
Kesehatan Dunia, pada tahun 2013, infeksi STH
paling sering terjadi pada kelompok usia 6 hingga 12
tahun atau sekolah dasar, yang mencakup 189 juta
anak.
Di Indonesia, kecacingan masih diyakini sebagai
penyebab diare kronis pada anak-anak, menyebabkan
kekurangan gizi pada anak-anak, yang dapat
menyebabkan melemahnya sistem kekebalan tubuh,
yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan yang
buruk. Dan perkembangan anak, terutama pada usia
sekolah. Hal ini mengganggu kemampuan mereka
untuk memantau belajar anaknya di sekolah (Kahar et
al., 2020)
Penularan kecacingan di pulau-pulau Indonesia
disebabkan oleh beberapa faktor yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan parasit. Salah
satunya adalah kebiasaan buruk masyarakat dan
kesehatan lingkungan masyarakat. Infeksi dapat
disebabkan oleh beberapa jenis cacing secara
bersamaan. Diperkirakan lebih dari 60% anak
Indonesia terinfeksi kecacingan sehingga
menyebabkan kurangnya pengetahuan dan
kemampuan belajar pada anak serta penurunan
produktivitas tenaga kerja pada orang dewasa. Hal ini
akan menurunkan kualitas sumber daya manusia
dalam jangka panjang (Sihombing & Gultom, 2018).
Di banyak daerah di Indonesia, prevalensi
kecacingan umumnya tinggi, sekitar 60-90%,
terutama pada anak sekolah dasar dan kelompok
masyarakat miskin. Pada kelompok usia yang paling
umum, 5-14 tahun, 21% di antaranya menyerang
anak-anak usia sekolah dasar, peningkatan ini
disebabkan oleh kondisi iklim di Indonesia yang
beriklim tropis dan cuaca yang tinggi. Kelembaban
dan kondisi sanitasi dan sanitasi yang buruk. Baik
(Notoatmojo S, 2017)..
Prevalensi kecacingan di Sulawesi Selatan masih
tergolong tinggi, terutama di daerah dengan sanitasi
yang buruk seperti Makassar. Jumlah penduduk
Makassar meningkat sebesar 9,24% atau 1.3346.464
jiwa dari tahun 2009 hingga 2013. Dari jumlah
penduduk yang besar tersebut, prevalensi kecacingan
di Makassar tahun 2013-2013 sebesar 43,65 per
1.387.302 penduduk di wilayah Mariso, dan jumlah
penderita kecacingan sebanyak 182 orang. Kesehatan
Perorangan (Dinas Kesehatan Makassar 2013).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan, angka infeksi kecacingan di Sulawesi
Selatan masih sangat tinggi, sekitar 10.700 pada
tahun 2017, dengan wilayah Makasar memiliki
jumlah tertinggi sebanyak 1.928. Kelompok usia 6
sampai 15 tahun dengan total 3943 kasus pada tahun
2017. Penyakit kecacingan berhubungan erat
dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik,
kebersihan diri sendiri yang tidak terjaga,
mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi
dengan telur cacing, tingkat pengetahuan dan
kemampuan yang masih minim serta aspek sosial
ekonomi yang masih rendah maupun kontak dengan
tanah yang diduga telah terkontaminasi dengan telur
cacing (Astuti, 2017).
Penelitian Desmayasari (2013) pada anak
jalanan dari Lembaga Pendidikan An-Nor,
Kecamatan Rappokalling, Kabupaten Tallow,
Makassar menemukan bahwa 22 anak dinyatakan
positif cacingan (Desmayasari, 2013). Penelitian lain
oleh Viola (2019) pada sampel tinja anak usia 7-9
tahun di SDN 31 Batang Barus Kabupaten Solok
menunjukkan bahwa 7 anak (23,33%) terinfeksi
cacing usus dan 23 anak (76,67%) yang tidak
terinfeksi cacing nematoda usus.
Hasil penelitian Mardiana (2014) juga
menunjukkan bahwa dua anak didiagnosis dengan
dua spesies cacing, Ascarislumbricoides dan
Hookorms. Telur cacing diproduksi pada anak usia 6
sampai 9 tahun yang tinggal di sekitar TPA karena
anak tidak sadar akan kesehatan. Terutama pada
kelompok umur mulai dari anak-anak yang
mengumpulkan sampah setiap hari hingga orang tua
yang memiliki kebiasaan sehari-hari yang tidak sehat,
seperti tidak memperhatikan kebersihan saat mencuci
makanan dan tidak menggunakan deterjen saat
mencuci tangan, telur cacing di tepi tangan dan
tertinggal di kuku,. Anak-anak juga dapat masuk dan
berpartisipasi dalam proses pencernaan saat makan.

Panti asuhan Nurfadilah Yayasan Darul Istiqlal


Makassar berdiri pada tahun 2012 di Jalan Panara
Kota Makassar, kemudian pada tahun 2014 berpindah
lokasi di kompleks Kodam jalan ujung bori
kecamatan manggala kota makassar. Anak-anak yang
hidup di Panti Asuhan Nurfadilah biasa bermain
dengan tidak menggunakan alas kaki, dan
menjadikan tanah sebagai alat bermain menggunakan
tangan menyebabkan terjadinya kontak secara
langsung dengan tanah. Tanah mengandung humus,
terlindung dari adanya sinar matahari yang
merupakan tempat hidup yang baik untuk
pertumbuhan telur cacing utamanya telur cacing
tambang.
Skrining telur cacing gelang dapat dilakukan
dengan pemeriksaan feses untuk mengetahui ada
tidaknya telur atau larva cacing gelang yang
terinfeksi, dan tingkat infeksi cacing usus dapat
dideteksi pada individu yang fesesnya diperiksa
(Kahar et al., 2020).
Berdasarakan latar belakang diatas peneliti
tertarik melakukan penelitian“ Identifikasi Telur
Cacing Nematoda Usus Pada Feses anak SD di Panti
Asuhan Nurfadila Kota Makassar”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan
masalah dalam penelitian ini apakah terdapat telur
cacing nematoda usus pada feses anak SD Panti
Asuhan Nurfadila ?
C. Tujuan penelitian
1. Untuk megidentifikasi telur cacing nematoda
usus pada feses anak SD di Panti Asuhan
Nurfadila.
2. Untuk mengetahui jenis telur cacing nematoda
usus pada anak SD di Panti Asuhan Nurfadilah
D. Manfaat
1. Teoritis
Manfaat teoritis yaitu untuk memberikan
landasan bagi para peneliti lain dalam melakukan
penelitian yang sejenis dalam meningkatkan
pengetahuan tentang Nematoda Usus.
2. Praktisi
Memberikan sumbangan pemikiran bagi panti
asuhan Nurfadillah dalam rangka perbaikan proses
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar anak SD. Selain itu, dapat meningkatkan
terjalinnya kerjasama dalam lingkungan Panti
Asuhan Nurfadilla.


1

7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecacingan
Cacingan hampir selalu disebabkan oleh cacing,
yang tidak selalu menyebabkan penyakit serius, tetapi
bisa menjadi tidak sehat. (Moin, 1395). Penularan
cacing melalui kontak langsung dengan tangan
terutama kuku yang terkontaminasi tanah yang
mengandung ekstra telur cacing menyebabkan
gangguan pada tubuh dan anemia. Infeksi sering
terjadi tanpa gejala sehingga penyakit ini kurang
mendapatkan perhatian( Inayati, 2015)
B. Nematoda Usus
1. Pengertian Nematoda
Nematoda, yang dapat diartikan sebagai Nema,
berarti benang dari bahasa Yunani. Nematoda
memiliki berbagai bentuk, beberapa beberapa
milimeter panjang dan beberapa lebih dari satu meter.
Cacing ini memiliki kepala, ekor, dinding dan rongga
tubuh.
Nematoda yang menginfeksi manusia memiliki
dua jenis kelamin yang berbeda, dan yang jantan
biasanya lebih kecil dari betina. Produksi telur
bervariasi dari spesies ke spesies tetapi biasanya
disesuaikan dengan kelompok tertentu. Jumlah telur
yang dihasilkan dapat bervariasi dari beberapa telur
per hari hingga lebih dari 200.000 telur per hari.
Manusia adalah inang utama dari banyak
nematoda usus (cacing perut) yang dapat
menyebabkan masalah kesehatan umum. Pada
nematoda yang membutuhkan manusia tertentu dan
bukan inang perantara, telur yang dikeluarkan dari
tubuh manusia harus tumbuh dan terinfeksi untuk
menginfeksi inang spesifik atau inang lainnya.
Infeksi parasit nematoda dapat terjadi secara oral
melalui konsumsi telur bersama embrio dengan
makanan atau minuman, misalnya penularan dengan
cacing Ascarislumbricoides Trichuristrichiura
(Soedarto, 2011).
Sifat-Sifat Umum Nematoda
Menurut Oemijati (2012) dalam (Muin, 2016)
sifat-sifat nematode sebagai berikut :
Tubuhnya ditutupi dengan lapisan kulit yang
dibuat oleh kulit berlebih jika terjadi perubahan kulit
(terkelupas) dan kemudian epidermis terlepas. Warna
kulit yang terbentuk adalah putih, kuning hingga
coklat. Di bawah kutikula terdapat jaringan subkutan
berupa jaringan sensorik. Di bawah lapisan ini adalah
serat memanjang. Jaringan saraf terletak di ektoderm.
Saluran ususnya terdiri dari usus awal, tengah,
dan akhir. Usus awal dan akhir dilapisi oleh kutikula
yang juga tinggal/lepas pada waktu pertukaran kulit.
Alat kelamin Cacing betina berpasangan, masing-
masing terdiri dari ovarium, ovidnot dan uterus.
Kedua uterus bersatu menjadi vagina. Cacing jantan
tidak berpasangan terdiri dari testio dan
vasedeferentia, juga mempunyai specula yang
biasanya dua buah.
Sel telur yang dibuahi membentuk membran
kuning yang jadi kulit pertama, sedangkan kulit
kedua dihasilkan oleh uterus. entuk telurnya lonjong
dan mudah dikenali (Muin, 2016).
Spesies Nematoda Usus
Spesies ​ Nematoda usus banyak ditemukan
didaerah tropis termasuk Indonesia dan tersebar di
seluruh dunia. Manusia merupakan hospes beberapa
Nematoda ​usus. Sebagian besar Nematoda ini
menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat
Indonesia. Diantaranya Nematoda usus terdapat
sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang
tercemar oleh cacing.
Infeksi cacing gelang mempengaruhi semua
kelompok umur, terutama anak-anak dan dewasa
muda. Bila infeksi kecacingan terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan anak, sedangkan infeksi pada
orang dewasa dapat menurunkan produktivitas .
Cacing usus yang menimbulkan masalah kesehatan
antara lain kelompok cacing yang ditularkan melalui
tanah (soil-transmitted helminth) atau cacing yang
ditularkan melalui tanah seperti Ascarislumbricoides,
Trichuristrichiura dan Safar (Sumanto & Wartomo,
2016).
1. Ascarislumbricoides
Ascarislumbricoides termasuk dalam kelas
nematoda usus yang panjang, silindris dan tidak
memiliki segmen. Cacing betina dapat menghasilkan
hingga 200.000 telur per hari, dan cacing dewasa
hidup di usus halus, dan pertumbuhan telur di luar
inang cukup di bawah pengaruh suhu, kelembaban,
dan oksigen (Sumanto & Wartomo, 2016).
Ascarislumbricoides adalah salah satu parasit
pada manusia yang paling umum dan terbesar. Cacing
betina dewasa dari spesies ini dapat tumbuh hingga
18 cm, jantan biasanya lebih kecil dan diperkirakan
25% populasi dunia terinfeksi nematoda ini.. Cacing
dewasa tinggal diusus halus dan telur keluar bersama
feses. Sekitar dua minggu setelah berada didalam
tinja yang telur berisi suatu infective larva, dan
manusia terkena infeksi/tersebar ketika mereka
menelan infective telur tersebut.
Kebanyakan cacing yang menginfeksi manusia
adalah cacing panjang. Beberapa di antaranya penting
sebagai penyakit manusia. Nematoda adalah cacing
yang tidak memiliki segmen, bila teralsimetris,
mempunyai saluran cerna yang berfungsi penuh,
biasanya berbentuk silinder sehingga lebih dari satu
meter. Setiap penderita mempunyai jumlah dan
ukuran cacing yang bervariasi.
a. Klasifikasi
Klasifikasi Ascarislumbricoides
Phylum ​ ​ ​: Nemathelminthes
Class ​ ​ ​ ​ : Nematoda
Subclass ​ ​ ​: Secernemtea
Ordo ​ ​ ​ ​ ​: Oscoridida
Super Famili ​: Ascarididae
Genus ​ ​ ​ ​: Ascaris
Spesies ​ ​ ​ : Ascaris lunbricoides
(Irianto,2013).
b. Morfologi
1) Cacing Dewasa
Gambar2.1. Cacing Ascaris lumbricoidesJantan dan Betina
Jurnal Kedokteran Diponegoro ( Regina dkk, 2018 )
Cacing dewasa berbentuk mirip cacing tanah,
cacing yang merupakan Nematoda usus terbesar pada
manusia. Ukuran cacing betina biasanya lebih besar
dibandingkan dengan yang jantan, panjang cacing
betina antara 22 cm sampai 35 cm, sedangkan yang
jantan antara 10cm–31cm.Cacing yang berwarna
tubuh kuning kecoklatan ini mempunyai kutikulum
yang rata dan bergaris halus. Kedua ujung badan
cacing membulat, mulut cacing mempunyai bibir
sebanyak 3 buah, satu dibagian dorsal yang lain sub
ventral.
2) Telur

Gambar2.2 Telur Ascarislumbricoides


Jurnal Kedokteran Diponegoro ( Regina dkk, 2018 )
Telur yang dihasilkan oleh cacing betina
dikeluarkan bersama-sama tinja. Type telur sudah ada
yang dibuahi (fertil) dan yang tidak dibuahi
(infertile). Apabila semua telur tidak berarti didalam
usus ada cacing betina saja.Telur Ascarislumbricoides
dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
a) Telur yang dibuahi (fertil) mempunyai ukuran ± 45 x 60 mikron,
berbentuk oval berdinding tebal dengan 3 lapisan dan berisi embrio,
berwarna kuning kecoklatan. Dibagian luar ada lapisan albuminoid yang
berbenjol-benjol dan mempunyai fungsi sebagai penambah rintangan
dalam hal permibilitasnya. Telurnya sendiri mempunyai hialin yang
tebal, jernih dengan lapisan luar yang relative tebal.
b) Telur yang dibuahi tanpa lapisan protein (Dekortikasi) yaitu Kulit
tunggal, halus, tebal, dan tidak berwarna. Suatu mosa tunggal bulat,
berganda, tidak berwarna terletak ditengah.
c) Telur yang tidak dibuahi (infertile) memiliki ciri-ciri berbentuk bulat atau
oval memanjang dengan kedua ujungnya agak datar. Mempunyai
dinding dua lapis yaitu albumin dan hialin dimana lapisan albumin
berkelok-kelok sangat kasar atau tidak teratur.Telur ini berisi
protoplasma yang mati. Dari kedua jenis telur (fertile dan infertile
)tersebut terkadang dijumpai tanpa lapisan albumin yang disebut telur
dekortikasi sedangkan telur yang utuh disebut kortikasi.
c. SiklusHidup
Gambar 2.3 Siklus Hidup Ascarislumbricoides
Dikutip : Buku Medical Parasitology
(Satoskar, 2009)
Telur Ascarislumbricoides keluar bersama feses
dalam wujud non infektif. Dalam area yang cocok,
telur yang dibuahi tumbuh jadi wujud infektif dalam
kurung waktu kurang lebih 3 pekan.
Pengidap batuk sebab rangsangan ini serta larva
hendak terisap kedalam eosofagus, kemudian
mengarah keusus halus. Diusus halus larva berganti
jadi cacing berusia. Semenjak telur matang terisap
hingga cacing berusia bertelur dibutuhkan waktu
kurang lebih 2 bulan.
Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva
akan tertelan kedalam eosofagus, lalu menuju keusus
halus. Diusus halus larva berubah menjadi cacing
dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing
dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2
bulan.
d. Diagnosis
Indikasi klinis yang diakibatkan oleh
Ascarislumbricoides didalam usus tidak dapat
dibedakan dengan tanda- tanda yang diakibatkan oleh
peradangan cacing lain didalam usus. Metode
menegakkan penaksiran penyakit ini merupakan
dengan tata cara langsung bersumber pada temuan
telur Ascarislumbricoides dalam tinja. Kadang-
kadang pengidap memiliki cacing berusia yang keluar
bersama tinja ataupun keluar dari anus ataupun
hidung anak yang sakit.
Adakalanya cacing berusia bisa dilihat didalam usus
pada pengecekan radiologi dengan barium. Pada
pengecekan cacing umumnya telur yang dibuahi
gampang luput dari pengamatan sipemeriksa.
e. Patologi Klinik
Peradangan Ascarislumbricoides diucap Ascariasis
ataupun peradangan ascaris. Indikasi klinik
bergantung dari sebagian perihal, antara lain beratnya
peradangan, kondisi universal pengidap, energi tahan
serta kerentanan pengidap terhadap peradangan
cacing. Pada peradangan biasa, pengidap memiliki
10- 20 ekor cacing, kerap tidak terdapat indikasi yang
dialami oleh hospes, baru dikenal sehabis pengecekan
tinja teratur ataupun sebab cacing berusia keluar
bersama tinja.
Kelainan serta indikasi klinis bisa diakibatkan oleh
larva serta cacing berusia. Migrasi larva didalam paru
menimbulkan sindromloellfler dengan tanda- tanda
demam, batuk sesak napas, artikariadaneosinofilia.
Pada peradangan ringan oleh cacing berusia
menimbulkan indikasi gastrointestinal ringan
semacam kurang nafsu makan, mual, diare, obstipasi,
serta sakit perut.
Sebaliknya pada peradangan berat bisa pengaruhi
faal usus sehingga terjalin malabsorbsi( paling utama
pada kanak- kanak). Cacing bisa menggumpal dalam
usus sehingga terjalin obstruksi usus(
ileusobstruktiva). Pada kondisi tertentu cacing
berusia mengembara kesaluran empedu, appendiks
ataupun bronkus sehingga kondisi ini diucap ektopik.
f. Pencegahan
Buat menghindari penularan penyakit yang
diakibatkan oleh Ascarislumbricoides bisa dicoba
dengan menyesuikan berdefakasi dijamban, saat
sebelum melaksanakan persiapan santapan serta
hendak makan, tangan dicuci terlebih dulu dengan
baik serta benar, serta metode cuci bahan santapan
yang benar, untuk yang komsumsi sayur- mayur
fresh( mentah) selaku lalapan, hendaklah dicuci
bersih serta disiram lagi dengan air hangat.
Pemakaian feses manusia buat penyubur tanah
ataupun selaku pupuk tumbuhan wajib dihindari.
Melaksanakan pembelajaran kesehatan kepada warga,
revisi kondisi social ekonomi. Terdapatnya
pembelajaran kesehatan pada segala anggota keluarga
hendak tingkatkan keberhasilan pemberantasan
Ascariasis
g. Pengobatan
Penyembuhan buat pengidap Ascariasis bisa
dicoba secara perorangan ataupun secara massal pada
warga. Ada beberapa antelmintikmutakhir yang
mewakili kemajuan yang pesat tehadap bermacam
obat lama, serta tidak satupun obat yang disarankan
tersebut memerlukan pencahar ataupun puasa saat
sebelum ataupun sehabis penyembuhan.
Beragam obat misalnya piperasin, pirantelpamoat,
mebendiazol serta albendiazol. Sebaliknya buat
penyembuhan massal butuh sebagian ketentuan,
ialah: obat gampang diterima warga, ketentuan
konsumsi simpel. Memiliki dampak samping yang
sedikit, bertabiat polivalen, sehingga bisa efektif
terhadap sebagian tipe cacing, serta biayanya murah.
h. Epidemiologi
Parasit ini ditemui kosmopolit survei yang
dicoba diIndonesia antara tahun 1970- 1980
menunjukkan pada biasanya prevalensi 70% ataupun
lebih dibeberapa wilayah tropik, derajat infeksinya
bisa menggapai 100% dari derajat penduduk.
Permasalahan Ascariasis ditemui pada kanak- kanak
umur 5- 9 tahun. Dimana kanak- kanak kalangan usia
tersebut kerap berhubungan dengan tanah yang sudah
terkontaminasi oleh telur cacing Ascarislumbricoides
Sebaliknya pada orang berusia frekuensinya
rendah. Perihal ini diakibatkan oleh sebab
pemahaman kanak- kanak hendak kebersihan serta
kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak
berpikir sampai ketahap itu. Sama halnya orang
berusia sebab aspek pemahaman hendak kebersihan
serta kesehatan yang diabaikan hingga tidak tertutup
mungkin terinfeksi Ascariasis. Sehingga kanak-
kanak serta kalangan umur berusia yang disebutkan
diatas lebih gampang terinfeksi larva
Ascarislumbricoides misalnya lewat santapan,
maupun peradangan lewat kulit akibat kontak
langsung dengan tanah yang memiliki telur Ascaris
lumbricoides.
Aspek host ialah salah satu perihal berarti sebab
manusia selaku sumber peradangan bisa kurangi
kontaminasi maupun pencemaran tanah oleh telur
serta larva cacing, tidak hanya itu manusia malah
hendak menaikkan polusi area sekitarnya( Irianto,
2013)
Dipedesaan permasalahan ini lebih besar
prevalensinya, perihal ini terjalin sebab buruknya
system sanitasi area dipedesaan, tidak terdapatnya
jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi
sehingga larva cacing gampang menyebar. Perihal ini
pula terjalin pada kalangan warga yang mempunyai
tingkatan sosial ekonomi yang rendah, sehingga
mempunyai Kerutinan membuang hajat( defakasi)
ditanah, yang setelah itu tanah hendak terkontaminasi
dengan telur cacing yang infektif serta larva cacing
yang seterusnya hendak terjalin rinfeksi secara terus
menerus pada wilayah endemik.
Pertumbuhan telur serta larva cacing sangat
sesuai pada hawa tropis dengan temperatur maksimal
merupakan 23oC hingga 30oC. Tipe tanah liat ialah
tanah yang sangat sesuai buat pertumbuhan telur
cacing, sedangkan dengan dorongan angin telur
cacing yang infektif bersama dengan debu bisa
menyebar kelingkungan (Sumanto & Wartomo,
2016).
1. TrichurisTrichiura
Trichuristrichiura tercantum pula kelas
Nematoda usus yang wujudnya semacam cambuk
ataupun biasa pula diucap cacing cambuk.
Peradangan cacing ini lebih kerap terjalin didaerah
panas, lembab serta kerap nampak bersama- sama
dengan peradangan Ascaris. Jumlah cacing bisa
bermacam- macam apabila jumlahnya sedikit,
penderita umumnya tidak terbawa- bawa dengan
terdapatnya cacing ini. Penyakit yang diakibatkan
oleh cacing ini diucap Trikhuriasis.
Trikhuriasis memiliki prevalensi yang nyaris
sama dengan peradangan oleh cacing tambang,
ataupun diperkirakan lebih dari 500 juta
permasalahan didunia, namun peradangan ini kerap
asimtomatik sebab mayoritas permasalahan cerminan
klinisnya ringan.
Infeksi terjadi dengan cara menelan telur
embrional melalui makanan yang terkontaminasi.
Telur kemudian menetap dibagian atas usus halus,dan
melepaskan larva yang akan menembus usus halus,
dimana larva yang dilepaskan tersebut akan
menembus villi. Tidak seperti larva ascaris, maka
larva trikhuris tidak bermigrasi tetapi menetas diusus
halus selama kurang lebih 1 minggu, kemudian turun
kedalam sekum dan kolon. Disini larva tersebut akan
menjadi matang dan bercokol dalam mukosa kolon.
Menetapnya infeksi Trikhuris didalam
masyarakat akibat tanah yang terkontaminasi yang
terus -menerus oleh tinja manusia.
a. Klasifikasi
Klasifikasi Trichuristrichiura
Phylum ​ ​ ​: Nemathelminthes
Class ​ ​ ​ ​: Nematoda
Subclass ​ ​ ​: Adenophorea
Ordo ​ ​ ​ ​ : Enoplida
SuperFamili ​ : Trichinelloidea
Genus ​ ​ ​ ​: Trichuris
Species ​:Trichuris trichiura(Irianto,2013)
b. Morfologi
1) Cacing dewasa
Cacing dewasa menyerupai cambuk sehingga
disebut cacing cambuk. Tiga per-lima bagian anterior
tubuh halus seperti benang, pada ujungnya terdapat
kepala (trix=rambut,aura=ekor,cephalus= kepala),
esophagus sempit berdinding tipis terdiri dari satu
lapis sel, tidak memiliki bulbus esophagus. Bagian
anterior yang halus ini akan menancapkan dirinya
pada mukosa usus 2/5 bagian posterior lebih tebal,
berisi usus, dan perangkat alat kelamin.
Cacing jantan memiliki panjang 30-45 mm,
bagian posterior melengkung kedepan, sehingga
membentuk satu lingkaran penuh. Pada bagian
posterior ini terdapat satu spikulum yang menonjol
keluar melalui selaput retraksi.
Cacing betina panjangnya 30-50 mm, ujung
posterior tubuhnya membulat tumpul. Organ kelamin
tidak berpasangan (simpleks) dan berakhir divulva
yang terletak pada tempat tubuhnya mulai menebal.
2) Telur

Gambar 2.1 Telur Trichuris trichiura


(Centers for Disease Control and Prevention,
2013)
Bentuk telur dari Nematoda ini sangat khas,
mirip tempayan kayu atau mirip biji melon. Berwarna
coklat, mempunyai dua kutub yang jernih menonjol
dan berukuran sekitar 50 x 25 mikron. Telur-telur
menetas di usus kecil dan akhirnya melekat pada
mukosa usus besar. Telur dikeluarkan dalam stadium
belum membelah dan membutuhkan 10 sampai 14
hari untuk menjadi matang pada tanah yang lembab.
Distorsi telur menjadi jauh lebih besar dari telur
normal, dilaporkan terjadi setelh pengobatan dengan
mebenda zole dan dengan obat yang lain
(Soedarto,2011)
Telur ini cenderung lebih besar (70 – 80 µm x 30
– 42 µm) dan mempunyai tombol yang lebih
menonjol tetapi lebih kecil dibanding Trichuris
trichiura.
c. Siklus Hidup

Gambar 2.2 Siklus Hidup Cacing TrichurisTrichiura


(Centers for Disease Control and
Prevention, 2013)

Cacing dewasa hidup di usus besar dengan


bagian anteriornya yang halus masuk ke dalam
mukosa usus. Cacing betina mengeluarkan 3.000-
10.000 butir telur perhari. Telur-telur tersebut keluar
bersama tinja penderita. Dalam lingkungan yang
sesuai (tanah lembab, tempat teduh, suhu 25-30 C. O

Dalam lingkungan yang sesuai (tanah lembab,tempat


teduh, suhu 25-30 C). Telur berkembang menjadi
o

telur matang (terbentuk infektif) dalam waktu 3-6


minggu. Telur matang bila tertelan oleh manusia,
menetas di usus halus mengeluarkan larva lalu
menjadi cacing dewasa, cacing menuju ke sekum dan
kolonasendens.
Waktu yang diperlukan mulai tertelannya telur
matang sampai cacing betina mengeluarkan telur 30-
90 hari (1-3 bulan). Cacing dewasa dapat hidup
beberapa tahun, makanannya adalah zat-zat makanan
yang terdapat pada mukosa usus.
d. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pasti dilakukan
pemeriksaan tinja penderita untuk menemukan telur
cacing yang khas bentuknya. Cacing dewasa dapat
dilihat jika terjadi prolap susrectum atau bila
dilakukan pemeriksaan mukosa rektum (Helmintologi
Kedokteran,1999), dapat juga diagnosis ditegakkan
baik dengan sediaan langsung maupun pada
konsentrasi tertentu.
Telur trichochepalus dalam tinja yang diawetkan
dengan polivinil alkohol( PVA) tidak terkonsentrasi
secara baik semacam apabila diawetkan dengan
formalin. Namun jumlah telur yang sangat sedikit
bisa jadi bisa terlewatkan dengan PVA, secara klinik
tidak bermakna.
Patologi Klinik
Walaupun disentri yang diakibatkan oleh
Trichuristrichiura sangat mirip dengan peradangan
cacing yang lain, disentri cacing cambuk umumnya
lebih kronik, berhubungan dengan malnutrisi serta
bisa menimbulkan prolapsrektal. Identifikasi serta
ditemuinya telur serta/ ataupun trofozoit protozoa
hendak membedakan kedua peradangan ini. Pada
kanak- kanak dengan peradangan cacing cambuk
yang berat bisa pula diiringi dengan peradangan
Entamoebahistoytica serta kuman enteropatogen.
Pada peradangan berat, cacing berusia umumnya
nampak pada mukosa rektal.
Beberapa kurang dari 100 cacing yang
menginfeksi orang tidak memunculkan indikasi yang
nyata. Namun apabila peradangan berat terjalin, bisa
menimbulkan keadaan yang beragam kadangkala bisa
memunculkan kematian. Bagian anterior cacing
masuk kedalam mukosa usus, dimana cacing tersebut
memakan sel darah merah. Perihal tersebut
menimbulkan trauma dari sel epitel usus serta
mukosa, sehingga bisa menimbulkan perdarahan
kronis yang menimbulkan anemia. Setelah itu bisa
menimbulkan peradangan sekunder oleh kuman serta
respon alergi yang menimbulkan colitis, proctitis
yang berat sehingga bisa menimbulkan prolapsus
rectum( Kurniawan. A,. 2010)
e. Pencegahan
Untuk mengadakan penangkalan Trikhuriasis
dicoba penyembuhan terhadap pengidap ataupun
penyembuhan massal, revisi hygiene sanitasi
perorangan, mengadakan pembuangan kotoran
manusia yang baik dengan mendirikan jamban di
masing- masing keluarga dan memasak dengan baik
santapan serta minuman.
Pembuangan tinja yang penuhi ketentuan hendak
kurangi jumlah peradangan serta jumlah cacing.
Perihal ini berarti dicermati paling utama apabila
berhubungan dengan kanak- kanak yang
melaksanakan defekasi ditanah.
f. Pengobatan
Obat cacing yang baru dengan spectrum
antelmintik luas dapat digunakan untuk mengobati
Trikhuriasis, meskipun hasilnya kurag memuaskan
dibandingkan jika digunakan untuk mengobati
ascariasis, infeksi cacing tambang atau infeksi cacing
enterobius vermicularis. Obat antelmintik yang
digunakan adalah Befeniumhidroksinafloat,
levamisol, mebendazol, pirantelpamoat dan
Oksantelpamoat.
f. Epidemiologi
Penyebaran geografik dari Trichuristrichiura
sama dengan Ascarislumbricoides dan sering kali
kedua infeksi ini ditemukan bersama-sama dalam
satu hospes. Angka infeksi tertinggi terdapat pada
anak-anak, mereka mengkontaminasi tanah
tempatnya bermain dan kemudian dapat terjadi
reinfeksi pada mereka melalui telur dari tanah ke
mulut. Telur tidak dapat bertahan dalam suasana
kering atau dingin sekali.
Distribusi cacing ini hampir paralel dengan
Ascaris. Telur yang terdapat dalam tanah menjadi
infektif dalam waktu kira-kira satu bulan dan tetap
infektif sampai beberapa bulan. Telur ini akan
matidengan temperatur yang lebih dari 40 C selama
o

pemanasan 1 jam.Temperatur beku di bawah–8 C o

(Soedarto, 2011)
2. Cacing tambang (Ancylostomaduodenale dan
Necatoramericanus)
Kedua parasit ini diberi nama “cacing tambang”
karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan
di Eropa pada pekerja pertambangan yang belum
mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai.
Hospes parasit ini adalah manusia.
​Necatoramericanus menyebabkan Necatoriasis
dan Ancylostoma duodenale menyebabkan
Ancylostomiasis.
a. Klasifikasi
1) Klasifikasi Ancylostomaduodenale
Phylum : Nemathelminthe
Class ​ ​ ​ ​: Nematoda
Subclass ​ ​ ​ : Secernentea
Ordo ​ ​ ​ ​ ​: Rhabditida
Super Famili :Strongyloidea
Genus ​ ​ ​ ​ ​: Ancylostoma
Spesies ​ ​:
Ancylostomaduodenale(Irianto,2013)
2) Klasifikasi Necator americanus
​ ​ ​ ​: Nematoda
Class
Subclass ​ ​: Secernentea
Ordo ​ ​ ​ :​ Strongiloidea
Familia ​ ​: Ancylostomatidae
Genus ​ ​ ​: Necator
Spesies ​ ​: Necatoramericanus(Irianto,
2013)
a. Morfologi
Cacing dewasa hidup dirongga usus halus, dengan
mulut yang besar melekat pada mukosa dinding
usus. Cacing betina Necatoramericanus tiap hari
mengelurkan telur kira-kira 9000 butir sedangkan
Ancylostomaduodenale kira-kira 10.000 butir.
Cacing betina berukurang panjang kurang lebih
1cm, cacing jantan kurang lebih 0,8cm. Bentuk
badan Necatoramericanus menyerupai huruf C.
Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar.
Necatoramericanus mempunyai benda kitin,
sedangkan pada Ancylostoma duodenale ada dua
pasang gigi. Cacing jantan mempunyai
Bursakopulatriks.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 x
40 mikron berbentuk bujur danmempunyai dinding
tipis, didalamnya terdapat beberapa sel. Panjang larva
rabditiform kira-kira 250 mikron, sedangkan larva
filariform panjangnya kira-kira 600 mikron (Sofia.,
R.(2017).
c. Siklus Hidup

Gambar 2.1 Siklus Hidup Cacing Tambang


(CDC, 2019)
Jumlah telur per hari dihasilkan seekor cacing
betina Necatoramericanus sekitar 9.000-10.000,
sedangkan pada Ancylostomaduodenale 10.000-
20.000. Telur keluar bersama tinja pada tanah
yangcukup baik, suhu optimal 23-33 C, dalam 24-48 O

jam akan menetas, keluar larva rhabditiform. Larva


ini mulutnya terbuka dan aktif makan sampah organic
atau bakteri pada tanah sekitar tinja. Pada hari ke
lima, berubah menjadi larva yang lebih kurus dan
panjang disebut larva filariform yang infektif. Larva
ini tidak makan, mulutnya tertutup, esophagus
panjang, ekor tajam, dapat hidup pada tanah yang
baik selama dua minggu.
Cacing dewasa dapat hidup selama kurang lebih
10 tahun. Infeksi per oral jarang terjadi, tapi larva
juga dapat masuk ke dalam badan
melalui air minum atau makanan yang
terkontaminasi. Siklus hidup, berlaku bagi kedua
spesies cacing tambang.
b. Aspek Klinis
Tanda-tanda awal infeksi larva tergantung pada
jumlah larva. Jika lesi melepuh dan terbuka karena
garukan, gatal ringan hingga berat dapat terjadi
dengan kemungkinan infeksi sekunder. Pneumonia
migrasi larva tergantung pada jumlah larva yang ada.
Larva ini tidak sehalus Ascaris atau asparagus. Dalam
kasus yang jarang terjadi, jumlah telur adalah 5 per
mg feses sendi, lebih dari 20 per mg dikaitkan dengan
timbulnya gejala, dan 50 per mg atau lebih adalah
infeksi cacing yang parah.
c. Gejala Penyakit
Larva yang menyerang dikatakan menembus
kulit dan menyebabkan gatal. Selain itu, larva yang
memasuki kantung membuat luka yang menyebabkan
pendarahan ringan tetapi sering tidak menunjukkan
tanda-tanda pneumonia. Cacing dewasa hidup di usus
dan memakan darah. Hal ini menyebabkan anemia,
yang terutama disebabkan oleh pendarahan dari
gigitan cacing karena cacing mengeluarkan
antikoagulan saat menghisap darah. Tanda dan gejala
klinis yang terjadi bervariasi tergantung dari beratnya
infeksi.
Tanda dan gejala umum termasuk kelemahan,
lesu, pucat, sesak napas karena kerja keras, kembung,
kembung, anemia, dan pola makan yang buruk.
Anemia yang disebabkan oleh Ancylostoma
duodenale dan Necator americanus biasanya parah.
Hemoglobin biasanya kurang dari sepuluh gram per
100 sentimeter kubik darah, dan jumlah sel darah
merah adalah 1 juta per milimeter kubik dan jenis
anemia Hypochromicmicrocytic (Gandahusada,2014)
d. Diagnosis
Diagnosis kecacingan didasarkan pada diagnosis
larva atau telur dalam tinja, terutama bila ada tanda
dan gejala malnutrisi. Telur cacing dapat dilihat pada
sediaan langsung atau endapan. Jika sampel tinja
disimpan pada suhu kamar (tanpa bahan pengawet)
selama lebih dari 24 jam, telur akan menetas dan
larva akan menetas
e. Pencegahan
Hal ini dapat dicegah dengan mengubah cara
pembuangan sampah agar tidak mencemari tanah.
Penting untuk memakai sepatu di luar ruangan atau di
area dengan tanah yang terkontaminasi (Etjang,
2011). Memperhatikan sanitasi tempat pembuangan
tinja adalah cara pencegahan infeksi yang utama.
f. Pengobatan
Pemberian Pirantel pamoatmem dapat
memberikan hasil cukup baik, jika digunakan
beberapa hari berturut-turut.
g. Epidemiologi
Persentase yang tinggi ditemukan di antara
penduduk Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
terutama di daerah pertanian; Pekerja pertanian yang
kontak langsung dengan tanah sering kali terkena
lebih dari 70% infeksi. Kebiasaan buang air besar di
tanah dan penggunaan tinja sebagai pupuk kebun (di
daerah tertentu) penting dalam penyebaran infeksi.
Tanah yang cocok untuk pertumbuhan cacing adalah
tanah gambut (pasir, humus) dengan suhu
optimum ​untuk Necatoramericanus 28 25 C,
o o

sedangkan untuk Ancylostomaduodenale lebih rendah


23 -25 C. Pada umumnya Ancylostomaduodenale
o o

lebih kuat (GandahusadaS.dkk,2014).


Banyak faktor seperti kontaminasi manusia,
kotoran tanah, kondisi lingkungan yang sesuai, dan
kontak manusia dengan larva infektif di tanah efektif
dalam menyebarkan cacing tambang. Kondisi
lingkungan termasuk suhu, curah hujan dan
keberadaan tanah terbuka dan berpasir(Sumanto &
Wartomo, 2016)
C. Metode Pemeriksaan NematodaUsus
1. Metode Natif
Pemeriksaan secara langsung (Sediaan Basah)
merupakan pemeriksaan dengan metode natif.
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara
cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk
infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya.
Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl
fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaan eosin
2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan
telur-telur cacing dimaksudkan untuk menemukan
telur cacing parasit pada feses yang diperiksa. Dalam
pemeriksaan feses langsung dapat ditemukan telur
cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, Kristal, makrofag
dan sel ragi. Dari semua pemeriksaan ini yang
terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan
telur cacing(Soedarto, 2011).
2. Metode Sedimentasi
Pada metode sedimentasi merupakan metode
yang menggunakan prinsip gravitasi untuk
memisahkan endapan dan supernatan. Metode ini
cocok untuk pemriksaan tinja yang telah diambil
beberapa hari sebelumnya, misalnya kiriman dari
daerah yang jauh dan tidak memiliki sarana
laboratorium. Prinsip metode ini adalah gaya
sentrifugal dapat memisahkan supernatan dan
suspensi sehingga telur cacing terendapkan.
Metode sedimentasi kurang efisien dalam
mencari macam telur cacing bila dibandingkan
dengan metode flotasi (Pratami, 2019).
3. Metode Flotasi
Metode flotasi (pengapungan) adalah metode
yang menggunakan larutan NaCl jenuh yang
didasarkan atas berat jenis telur sehingga akan
mengapung ke permukaan tabung dan ditutup dengan
cover gelas sehingga telur cacing naik ke permukaan
larutan (Pratami, 2019).
Cover gelas tersebut dipindahkan ke objek glass
yang bersih dan kering di bawah mikroskop. Dalam
metode ini telur cacing tidak langsung dibuat sediaan
tetapisebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan
sedemikian rupa sehingga telur cacing diharapkan
dapat terkumpul. Pengamatan pada pemeriksaan ini
diawali dengan pengamatan makroskopik lalu
dilanjutkan dengan pengamatan mikroskopik,
pengamatan mikroskopik dilakukan pada seluruh
lapangan pandang dari sediaan yang dibuat. Hasil
pembacaan sediaan telur cacing ini juga hanya dapat
dilaporkan secara kualitatif saja, apabila ditemukan
telur cacing dilaporkan positif dan sebaliknya apabila
tidak ditemukan telur cacing dilaporkan negatif
(Muin, 2016).
Ketetapan waktu flotasi merupakan syarat
mutlak yang harus dipenuhi sebab didasarkan atas
berbagai penelitian, pembacaan sediaan dengan
waktu flotasi yang terlalu lama akan menyebabkan
telur cacing mengendap kembali sehingga hasil yang
terbaca kurang maksimal atau dapat terjadi hasil
false.
D. Pemeriksaan Makroskopis Feses (Sofia.,
2017).
Feses adalah adalah produk buangan saluran
pencernaan yang dikeluarkan melalui anus. Pada
manusia, proses pembuangan kotoran dapat terjadi
antara sekali dua atau dua hari hingga beberapa kali
dalam sehari. Dalam keadaan normal dua pertiga
feses terdiri dari air dan sisa makanan zat hasil
sekresi saluran pencernaan, epitel usus, bakteri
apatogen, asam lemak, urobilin, debris, celulosa gas
indol, skatol, sterkobilinogen dan bahan patologis.
Bau khas dari feses disebabkan oleh aktivitas
bakteri(Sihombing & Gultom, 2018).
Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang berasal
dari defekasi spontan, jika sangat diperlukan, boleh
juga sampel tinja diambil dengan jari bersarung dari
rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai feses
sewaktu, jarang diperlukan feses 24 jam untuk
pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya diperiksa
dalam keadaan segar, kalau dibiarkan mungkin sekali
unsur – unsur dalam tinja itu menjadi rusak(Soedarto,
2011). Pemeriksaan makroskopis feses antara lain:
a. Warna
Ketika tinja dibiarkan pada udara terbuka
maka warna tinja kan berubah menjadi hitam
karena lebih banyak terbentuk urobilin dari
urobilinogen yang dieksresikan lewat usus.
Urobilinogen tidak berwarna, sedangkan urobilin
berwarna coklat tua. Selain urobilin yang normal
ada, warna tinja dipengaruhi oleh jenis makanan,
oleh kelainan dalam saluran pencernaan usus dan
oleh obat – obatan.
b. Bau
Bau normal tinja disebabkan oleh indol, skatol
dan asam butirat. Bau itu menjadi bau busuk jika
dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu
protein yang dicernakan dan dirombak oleh
kuman – kuman.
c. Konsistensi
Konsistensi tinja normal agak lunak dan
berbentuk. Sedangkan pada saat diare komsistensi
tinja sangat lunak atau encer. Peragian
karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang
lunak dan bercampur gas. Apabila konsistensi
tinja dapat ditemukan (padat, setengah padat,
lunak, atau cair), maka dapat diperkirakan jenis
organisme yang ada. Trofozoit (bentuk motil) dari
protozoa usus biasanya ditemukan dalam
spesimen setengah padat atau padat.
d. Lendir
Adanya lendir berarti rangsangan atau
radang dinding usus. Jika lendir itu hanya didapat
di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin
usus besar, kalau bercampur – baur dengan tinja
mungkin sekali usus kecil. Pada infeksi parasit
tertentu, dapat ditemukan darah dan lendir. Bila
tinjanya lunak atau encer, kemungkinan besar hal
ini disebabkan oleh infeksi amebik, bagian darah
yang berlendir harus diperiksa secara seksama
untuk mencari adanya amoeba bentuk trofozoit.
e. Darah
Memerhatikan warna darah pada dan apakah
bercampur – baur atau hanya di bagian luar tinja.
Terdapat darah samar pada tinja dapat ditandai
adanya infeksi parasit atau tidak, dan dapat juga
disebabkan oleh berbagai sebab lainnya.
Mengonsumsi berbagai bahan makanan dapat
mempengaruhi warna tinja.
E. Tinjauan Umum Tentang Panti Asuhan
Nurfadilla
Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha
kesejahteraan sosial yang memiliki tanggung jawab
untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial
kepada anak terlantar dengan melaksanakan
penyantunan dan penyetasan anak terlantar,
memberikan pelayanan mengganti fisik, mental, dan
sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh
kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi
perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang
diharapkan sebagai bagian dari generasi cita-cita
bangsa.
Panti asuhan Nurfadilah Yayasan Darul Istiqlal
Makassar berdiri pada tahun 2012 di Jalan Panara
Kota Makassar, kemudian pada tahun 2014 berpindah
lokasi di kompleks Kodam jalan ujung bori
kecamatan manggala kota makassar.
Pada usia anak-anak yang tinggal di Panti
Asuhan Nurfdilah biasa bermain dengan tidak
menggunakan alas kaki, yang secara langsung sering
terjadi kontak dengan tanah yang merupakan media
transefer telur cacing sehingga meningkatkan resiko
tumbuh dan berkembang biaknya telur cacing.
Keadaan panti asuhan yang kurang diperhatikan
baik dari halaman, higine dan sanitasi lingkungan
yang masih dalam kelommpok buruk. Anak asuh
yang selalu kontak dengan tanah tanpa menggunakan
alas kaki, jarang mencuci kaki dan tangan
menggunkan saabun. Kemudian kondisi tempat tidur
anak asuh yang masih dengan lantai plester semen
dan menggunakan Kasur lipat yang dapat terjadi
memungkinkan resiko penularan penyakit, oleh sebab
itu anak panti asuhan dijadikan sebagai subjek untuk
dilakukannya pemeriksaan feses sebagai deteksi
kecacingan (Wikandari dkk, 2019).

F. Kerangka Teori

Usus

Bagan 2.1 Kerangka Teori


G. Kerangka Konsep

​ ​ ​ ​ ​Variabel Variabel Independen


Variabel Dependen

Bagan 2.2 Kerangka Konsep


1

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasi
yaitu dengan melakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui ada atau tidak ada telur cacing
nematoda usus pada anak SD di Panti Asuhan
Nurfadilla.
B. Lokasi dan waktu Penelitian
1. Lokasi
Lokasi pengambilan sampel dilakukan panti
asuhan Nurfadilah Yayasan Darul Istiqlal Makassar,
lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Infeksi
Tropis Universitas Megarezky Makassar.
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada bulan November
2021.
C. Populasi dan sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu anak SD
yang tinggal di panti Asuhan
Nurfadilah Makassar
2. Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 15 feses anak SD yang tinggal di Panti
Asuhan Nurfadilah Makassar
D. Kriteria Subjek Penelitian
1. Kriteria inklusi
a. Laki-laki dan Perempuan
b. Anak -anak usia 7-12 tahun
2. Kriteria eksklusi :Meminum obat cacing
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sanitasi
dan hygine.
2. Variabel Terikat (Dependen)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah infeksi
telur cacing nematoda usus pada anak SD di Panti
Asuhan Nurfadilla.
F. Alat Dan Bahan
1. Alat
Mikroskop, Pipet Tetes, Beaker Glass, Neraca
Analitik,Botol Reagen, Gelas Arloji.
2. Bahan
Feses, larutan eosin 2%, Aquadest 100 ml, Kaca
Objek, Kaca Penutup, Lidi.
G. Prosedur Kerja
1. Pengumpulanspesimen feses
a. Dilakukan skrinning subjek penelitian yang
sesuai kriteria dan menandatangani informed
consent sebagai tanda persetujuan menjadi
subjek penelitian.
b. Diberikan penjelasan mengenai cara
pengambilan sampel feses yang baik dan benar.
c. Diberikan pot sampel yang telah berlabel data
pasien pada subjek penelitian yang telah
memenuhi kriteria.
b. Dikumpulkan spesimen yang diperoleh.
c. Dilakukan pemeriksaan spesimen di
laboratorium.
2. Cara kerja pemeriksaan feses secara langsung
dengan Eosin 2%
a. Diteteskan Eosin 2 % diletakkan diatas kaca
objek yang kering
b. Diambil sedikit feses (1-2mm) dengan
menggunakan lidi.
c. Diletakkan kedalam tetesan larutan yang
ditetes pada kaca objek, aduk dengan lidi
hingga menjadi suspensi, homogenkan, bahan
yang kasar dikeluarkan.
d. Ditutup suspensi feses sehingga cairan merata
dibawah kaca penutup, ditutup tanpa ada
gelembung udara.
e. Diperiksa dengan Mikroskop dengan
pembesaran lemah (10x10), bila sudah
ditemukan, periksa dengan pembesaran sedang
(10x45).
f. Didapatkan hasil positif (+) jika ditemukan
telur cacing dan negatif (-) jika tidak ditemukan
NematodaUsus
telur cacing. Anak SDPanti
H. Pengelolah Dan Analisis Data Asuhan
Nurfadila
Dari hasil pemeriksaan telur cacing dapat diolah
KotaMakassar
Ascari
secara manual dan dapatAncylostom
Trichuris disajikan dalam
Necator
bentuk
lumbricoid
table dan narasi.
trichiura a americanu
es duodenale s
Identifikasi

Metode Metode BAB IV Metode Langsung


Flotasi Sedimentasi
HASIL (sediaanBasah)
DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Nacl
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada tanggal 24 0,9%/Eosin2
November 2021
%
Dilaboratorium Infeksi Trofis Universitas Megarezky
dengan judul Identifikasi Telur Cacing Nematode
Usus Pada Anak Sekolah Dasar di Panti Asuhan
Nurfadila Kota Makassar maka di dapatkan hasil
sebagai berikut. Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan feses
menggunakan eosin 2%
No. Kode sampel Umur Hasil Hasil Analisa
Pengamatan
1. (1) 9 tahun Telur cacing (+)
Ascaris
lumbricoides
2. (2) 11 tahun Telur cacing (+)
Ascaris
lumbrocides Infeksi Telur Cacing
3. Sanitasi
(3) dan
11 tahun -
Nematoda Usus Pada
4. (4) 8 tahun Telur cacing (+)
hygine Trichuris Anak Sekolah Dasar
trichuira Di Pantih Asuhan
5. (5) 10 tahun Telur cacing (+)
Ascaris Nurfadilah Kota
lumbricoides Makassar
6. (6) 8 tahun -
7. (7) 9 tahun -
8. (8). 11 tahun -
9. (9) 9 tahun telur cacing (+)
Ascaris
lumbricoides
10. (10) 11 tahun Telur cacing (+)
Ascaris
lumbricoides
11. (11) 10 tahun -
12. (12) 9 tahun -
13. (13) 9 tahun -
14. (14) 8 tahun -
15. (15) 8 tahun Telur cacing (+)
Ascaris
lumbricoides
(Sumber data primer November 2021).
Dari tabel 4.1 menunjukan 15 sampel feses yang
diperiksa menggunakan eosin 2%, 7 sampel
menunjukan teridentifikasi adanya telur cacing jenis
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichuira.
B. Pembahasan
Penelitian yang dilakukan yaitu suatu penelitian
observasi untuk melihat ada tidaknya telur cacing
nematode usus pada anak-anak Sekolah Dasar di
panti asuhan Nurfadila. Pemeriksaan ini dilakukan di
Laboratorium Infeksi Trofis DIII Teknologi
Laboratorium Medis Universitas Megarezky. Sampel
yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 15
sampel.
Metode yang digunakan pada peneltian ini
adalah metode direct slideatau metode secara
langsung, yang mana feses diamati dengan
mencampurkan eosin 2%, komposisi reagen bersifat
asam dan berwarna merah jingga. Menggunakan
eosin 2% ​berfungsi sebagai pembedah anatara telur
cacing dan menjadikan latar belakang menjadi
berwarna merah sehingga telur cacing dapat
dibedakan dengan kotoran yang ada disekitarnya,
antara telur cacing dengan latar belakang berwarna
merah terhadap telur cacing yang kekuning-kuningan.
hanya spesifik untuk pemeriksaan telur cacing pada
feses saja(Kartini dan eny, 2021).
Pada peneltian yang diperoleh dari 15 sampel
yang diperiksa terdapat 7 sampel positif terinfeksi
adanya telur cacing nematode usus. Jenis infeksi
nematoda usus yaitu didapatkan jenis telur cacing
Ascaris lumbricoides (85,7%) dengan ciri memiliki 3
lapisan yaitu pada lapisan luar terdapat albumin,
lapisan tengah terdapat hialin, serta lapisan dalam
terdapat vitelin. Sedangkan pada jenis telur cacing
Trichuris trichuira (14,2%) memiliki ciri-ciri terdapat
2 lapisan yaitu lapisan luar berwarna kekuningan
sedangkan lapisan dalam transparan. Serta terdapat
mukoid plug pada kedua ujung telur cacing.
Jenis nematoda usus yang paling banyak
ditemukan pada penelitian ini yaitu jenis Ascaris
lumbricoides dan jenis telur cacing lainnya yaitu
Trichuris trichuira. Telur cacing Ascaris
lumbricoides merupakan jenis cacing yang
penularannya memerlukan media tanah untuk
perkembangan bentuk infekstifnya. Berdasarkan
observasi tempat penelitian yang menunjukan tempat
tersebut memiliki sanitasi lingkungan yang masih
kurang, serta anak asuhan yang berada pada panti
tersebut tidak terbiasa mencuci tangan sebelum
makan dan jarang menggunakan alas kaki, serta tidak
memotong kuku sehingga menyebabkan rentannya
terkena infeksi kecacingan, penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan
charles, (2015). yang menjelaskan bahwa faktor
terinfeksinya manusia oleh Soil Transmitted Helminth
(STH) salah satunya adalah kebiasaan masyarakat
pada saat membuang feses sembarang yang dapat
mencemari lingkungan, gaya hidup dan sanitasi
lingkungan yang kurang diperhatikan juga kurangnya
air bersih.
Hasil penelitian ini diperkuat juga dengan
penelitian yang dilakukan Finca dkk, (2016) yang
menjelaskan bahwa teinfeksinya telur cacing
berdasarkan usia anak sekolah dasar (SD)
merupakan kelompok umur yang paling rentan
terinfeksi oleh parasit usus, hal ini disebabkan karena
anak SD paling sering berkontak dengan tanah
sebagai sumber infeksi. Defakasi di halaman rumah
atau digot dapat menyebabkan tanah tercemar telur
cacing. Selain itu berdasarkan hasil penelitian juga
ditemukan adanya telur cacing Trichuris trichuira
pada anak usia SD ini dapat mengganggu tumbuh
kembangnya anak, hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Evita ,(2017) yang
menjelaskan resiko anak terkena infeksi cacing
Trichuris trichuira lebih meningkat pada anak yang
memiliki kebiasaan bermain ditanah dan jarang
mencuci tangan. Hasil penelitian ini juga didukung
juga dengan penelitian Endang, (2014) menjelaskan
infeksi cacing Trichuris trichuira dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang meliputi kebersihan rumah
yang kurang terjaga sehingga dapat menjadi transmisi
telur cacing berkembang biak dan juga kurangnya
frekuensi mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan.
Berdasarkan pada penelitian ini ditemukan 7
sampel teridentifikasi Nematoda usus jenis telur
cacing Ascaris lumbricuides dan 1 sampel dengan
jenis telur cacing Trichuris trichuira.

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh
maka dapat disimpulkan bahwa dari 15 sampel yang
diperiksa di Panti Asuhan Nurfadila terdapat 7 jenis
telur cacing yang terindentifikasi Nematoda usus
yang terdiri dari Ascaris lumbricoides (85,7%), dan
Trichuris trichura (14,2%).
B. Saran
Diharapakan kepada peneliti selanjutnya untuk
melanjutkan dan mengembangkan penelitian, bukan
hanya mengenai nematode usus namun pada
pemeriksaan protozoa yang dapat menginfeksi anak
panti asuhan.

​Alur Penelitian
Bagan 3.1 Alur Penelitian


39

DAFTAR PUSTAKA
Asdar, W., Puasa, R., & Husen, S. H. (2019).
Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminth Pada
Feces Anak- Anak Menggunakan Metode Flotasi Di
Desa Nusliko Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera
Tengah. Jurnal Kesehatan, 12(2), 199–204.
https://doi.org/10.24252/kesehatan.v7i2.54
Astuti, Y. (2017). Studi Nematoda Usus Golongan Soil
Transmitted Helminths (Sth) Pada Feces Balita Di
Dusun Jerneng Kecamatan Labuapi Kabupaten
Lombok Barat. 1(2), 80–87.
Centers for Disease Control and Prevention. DPD x-
Laboratory Identification of Parasitic Disease of
Public Health.
Desmayasari. A.C,. (2013). Hubungan Sanitasi
Lingkungan dan Personal Hygiene Pada Anak
Jalanan Di Lembaga Pendidikan An-Nur
Kelurahan Rappokalling Kecamatan Tallo Kota
Makassar. Fakultas Kesehatan UIN Alaudin
Makassar. Makassar.
Dinas Kesehatan Kota Makassar. (2013). Situasi Kasus
Kecacingan Perkecamatan Kota Makassar.
Makassar.
Endang,. (2014). Trichuris Trichiura. Jurnal Balaba
7;21-22
Evita, J. (2017). Gambaran Infeksi Di SD Negri 01 PG
Jakarta Barat. Jurnal Kedokteran Medikt. 23(61).
Etjang,.(2011). Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk
Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga
Kesehatan yang Sederajatnya. PT Citra Aditia
Bakti. Jakarta.
Gandahusada,. (2014). Parasitologi Kedoketeran.
KFUI Jakarta.
Idris, S. A., & Fusvita, A. (2017). Identifikasi telur
Nematoda Usus (Soil Transmitted Helminth) pada
anak di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Puluwatu.Biowallacea, 4(1), 566–571.
Inayati. N., Tantotos Ertin Yustin., Fihirudin. (2015).
Infeksi Cacing Soil Transmitted Helmint Pada
Penjual Tanaman Hias di Bintaro Kota Mataram.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram.
Mataram.
Irianto dan Koes,. (2013). Mikrobiologi Medis
(Medical Microbiology). pp.77-3. Penerbit
Alfabeta. Bandung.
Kahar, F., Efendi, Q., & Hadipranoto, I. (2020).
Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus Pada
Feses Anak Usia 5-10 Tahun Identification. Jurnal
LaboratoriumMedis, 02(01), 12–17.
Kemenkes RI. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 15 Tahun 2017 Tentang
Penanggulangan Cacingan. Kementrian Kesehatan
RI.
Kemenkes RI. (2020). Permen Kesehatan RI No 2
Tahun 2020 Tentang Antropometri Anak (Vol. 68).
Kementrian Kesehatan RI.


47
Kurniawan. A,. (2010). Infeksi Parasit : Dulu dan
Masa Kini. Majalah Kedokteran Indonesia.
Mardiana. (2014). Kasus Kecacingan Pada Murid
Sekolah Dasar Di Kecamatan Mentewe, Kabupaten
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan.
Muin, P. A. U. D. (2016). Identifikasi Telur Cacing
Nematoda Usus Pada Kuku Murid Sekolah Dasar
Negeri 11 Ranomeeto. In KTI (Vol. 147, pp. 11–40).
Poltekes Kendari.
Notoatmodjo, S.(2017). Metedologi Penelitian
Kesehatan . PT Rineka Cipta. Jakarta.
Pullan. RL. (2014). Global numbers of infection and
disease burden of soil transmitted helminth
infections. Bio Med Central.
Pratami, A. A. (2019). Identifikasi Telur Cacing
Nematoda Usus Pada Semua Anggota Keluarga di
Kenagarian Inderapura. In KTI. Stikes Perintis
Padang.
Regina, Marieta., P, dkk,. (2018). Perbandingan Tinja
Antara Metode Sedimentasi Biasa dengan Metode
Sedimentasi Formol-Ether dalam Mendeteksi Soilt
Transmitted Helmith dalam Jurnal Kedokteran
Dipononegoro. Universitas Diponegoro. Semarang.
Satoskar. AR,. (2010). Medical Parasitology. Landes
Bioscience.
Sihombing, J. R., & Gultom, E. (2018). Analisa Telur
Cacing Ascaris Lumbricoides Pada Faeces Anak
Usia 4-6 Tahun Di Tk Nurul Hasanah Walbarokah
(Nhw) Marelan. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Dan Lingkungan Hidup, 3(1), 1–7.
Siregar dan Charles.D,. (2015). Pengaruh Infeksi
Cacing Usus yang Di Tularkan Melalui Tanah
pada Pertumbuhan Fisik Anak Sekolah Dasar. Sari
Pediatri. 8(2)..
Soedarto. (2011). Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Sagung Seto.
Sofia., R.(2017). Perbandingan Akurasi Pemeriksaan
Metode Direct Slide dengan Metode Katokatz pada
Infeksi Kecacingan.
Sumanto, D., & Wartomo, H. H. (2016). Parasitologi
Kesehatan Masyrakat. Yoga Pratama Semarang.
Viola. (2019). Pemeiksaan Telur Cacing Nematoda
Usus Pada Murid SDN 31 Batang Barus Kabupaten
Solok.
Yuliastati, & Arnis, A. (2016). Modul Bahan Ajar
Keperawatan Anak (Suparmi & N. Suwarno (eds.);
Cetakan Pe).

63

LAMPIRAN 1
SURAT PERSETUJUAN
RESPONDEN(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama:
Umur:
Jenis Kelamin :
Saya memahami bahwa data ini bersifat rahasia. Oleh
karena itu saya tidak keberatanuntuk menjadi
responden dalam penelitian yang akan dilakukan oleh
mahasiswa Universitas Megarezky Makassar Jurusan
Teknologi Laboratorium Medis dengan judul :
“Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus Pada Anak
Sekolah Dasar di Panti AsuhanNurfadilla Kota
Makassar”. Demikianlah surat persetujuan ini dengan
sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun semoga
dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, Oktober2021

Responden

8 LAMPIRAN 2
Lampiran 2.Kuensioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN

“IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA


USUS PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI
PANTI ASUHAN NURFADILA KOTA
MAKASSAR”

Saya Wa Ode Sitra mahasiswi Universitas Mega


Rezky, Jurusan Teknologi Laboratorium Medis, saya
sedang menyusun Karya Tulis Ilmiah untuk
memperoleh gelar Diploma III dari Universitas
Megarezky yang sedang melakukan penelitian yang
berjudul “Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus
Pada Anak Sekolah Dasar Di Panti Asuhan Nurfadila
Kota Makassar” ​saya sangat mengharapkan kesediaan
anda untuk dapat mengisi kuesioner ini dengan
sejujur-jujurnya dan sesuai keadaan yang sebenarnya,
dengan ini saya mengucapkan terima kasih.

Identitas Responden
Nama ​ ​: s15
Umur ​ ​: 8 tahun
Jenis kelamin ​: laki-laki

Petunjuk pengisian
Jawablah Pertanyaan berikut dengan mengisi jawaban
dengan memberikan tanda silang (X)
1. Apakah anda mengkonsumsi obat atau obat cacing selama 6 bulan terakhir?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​
b. Tidak
2. Apakah anda setiap mau makan mencuci tangan terlebih dahulu?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​
b. Tidak
3. Apakah anda mencuci tangan, menggunakan sabun?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​b. Tidak
4. Apakah anda pada saat beraktifitas di luar rumah selalu manggunakan alas
kaki?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​
b. Tidak
5. Apakah anda mandi 2 kali atau lebih setiap harinya?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​
b. Tidak
6. Apakah anda mencuci tangan menggunakan sabun setelah buang air besar?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​b. Tidak
7. Apakah anda selalu menjaga kebersihan kuku dengan memotong kuku satu
kali seminggu?
a. Ya ​ ​ ​ ​ ​b. Tidak
8. Apakah anda selalu kontak dengan tanah?
​ ​ ​ ​ ​b. Tidak
a. Ya

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Ditutup menggunakan cover


Hasil
glass
Gambar 1. Pembagian kuesioner dan pot sampel ke pada anak panti asuhan

Pembahasan

Kesimpulan

Gambar 2. Dimasukan sampel kedalam box sampel

Gambar 3. Alat dan Bahan yang akan Digunakan

Gambar 4. Pemberian label pada kaca preparat sesuai kode sampel


Gamabar 5. Diteteskan larutan eosin pada kaca preparat

Gambar 6.Pengambilan sampel feses dan diletakan pada kaca preparat yang sudah diteteskan
dengan larutan eosin dan dihomogenkan

Gambar 7. Preparat ditutup menggunakan cover glass

Gambar 8. Pengamatan dibawah mikroskop

Gambar 9. Dicocokan hasil yang diperoleh dengan atlas parasit


Lampiran 4. Hasil Penelitian
No
Kode Sampel Hasil Penelitian
Gambar
Jenis Telur Cacing
Positf /Negatif

1S1 Positif
Ascaris lumbricoides

2S2 Ascaris lumbricoides


Positif

3 S3 Ascaris lumbricoides
Positif

4 S4 Trichuris trichiura
Positif

5 S5 Ascaris lumbricoides
Positif

6 S6 - Negatif

7 S7 - Negatif
8 S8 - Negatif

9 S9 Ascaris lumbricoides
Positif

10 S10 Ascaris lumbricoides


Positif

11 S11 Negatif

12 S12 - Negatif

13 S13 - Negatif
44

14 S14 - Negatif

15 S15 Ascaris lumbricoides


Positif
Lampiran 5. Rekomendasi Izin Penelitian dari LPPM

​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​ ​

Lampiran 6. Surat izin penelitian dari Dinas


Penanaman Modal
Lampiran 7. Hasil Penelitian

Lampiran 8.Surat Keterangan Bebas Penelitian


51

Anda mungkin juga menyukai