Anda di halaman 1dari 30

1.

2.

3.

Pengertian Adanya batu (kalkuli) pada saluran perkemihan dalam ginjal, ureter, atau kandung kemih yang terdiri dari; yang membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium urat, asam urat dan magnesium. Batu dapat menyebabkan obstruksi, infeksi atau oedema pada saluran perkemihan, kira-kira 75% dari semua batu yang terbentuk terdiri atas; kalsium Faktor resiko batu ginjal meliputi; stasis perkemihan, infeksi saluran perkemihan, hiperparatiroidismem penyakit infeksi usus, gout, intake kalsium dan vit D berlebih, immobilitas lama dan dehidrasi. Faktor faktor yang mempengaruhi pembentukan batu; a. Faktor Endogen Faktor genetik, familial pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria b. Faktor Eksogen Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum. Faktor lain; a. Infeksi Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentukan batu saluran kencing. Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali. b. Stasis dan Obstruksi urine Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah infeksi saluran kencing. c. Jenis kelamin Pria lebih banyak dar ipada wanita d. Ras Batu saluran kencing lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia. e. Keturunan Annggota keluarga batu saluran kencing lebih banyak mempunyai kesempatan. f. Air minum Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat g. Pekerjaan Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk. h. Suhu Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat i. Makanan Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditas BSk berkurang .Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur lebih sering menderita Batu Saluran Kencing (buli-buli dan Urethra) Patogenesis Sebagian besar batu saluran kencing adalah idiopatik, bersifat simptomatik ataupun asimptomatik. Teori terbentuknya batu Teori Intimatriks Terbentuknya Batu Saluran Kencing memerlukan adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoproptein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu. b. Teori Supersaturasi a.

4. 5.

Terjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti; sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu. c. Teori Presipitasi-Kristaliasi Perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substasi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap sistin, santin, asam dan garam urat, urine alkali akan mengendap garamgaram fosfat. d. Teori Berkurangnya faktor penghambat Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya Batu Saluran Kencing. 6. a. Pemeriksaan Diagnostik. Urinalisa; warna mungkin kuning ,coklat gelap,berdarah,secara umum menunjukan Sel Darah Merah, Sel Darah Putih, kristal (sistin, asam urat, kalsium oksalat), ph asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali (meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam :kreatinin, asam urat kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukan Infeksi Saluran Kencing, BUN/kreatinin serum dan urine; abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis. Darah lengkap: Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH. Merangsang reabsobsi kalsiumm dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine. Foto Rontgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter. IVP.: memberukan konfirmasi cepat urolithiasis seperti penyebab nyeri, abdominal atau panggul.Menunjukan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter). Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu atau efek obstruksi. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.

b. c. d. e. f. g. 7. a. b. c. d.

8.

1.

Penatalaksanaan; Menghilangkan obstruksi Mengobati infeksi Menghilangkan rasa nyeri. Mencegah terjadinya gagal ginjal dan mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi. Komplikasi: a. Infeksi b. Obstruksi c. Hidronephrosis. Pendahuluan Trauma bedah yang direncanakan, menimbulkan rentang respon fisiologis dan psikologis pada klien, tergantung pada individu dan pengalaman masa lalu yang unik, pola koping, kekuatan dan keterbatasan. Kebanyakan klien dan keluarganya memandang setiap tindakan bedah merupakan peristiwa besar dan mereka bereaksi dengan takut dan ansietas pada tingkat tertentu. Pengertian Pyeloneprolithotomi Pyeloneprolithotomi adalah tindakan pembedahan untuk mengeluarkan batu dari ginjal dan pyelum. Pengertian Keperawatan Perioperatif Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab

2. 3.

keperawatan yang berhubungan dengan fase-fase preoperatif, intraoperatif, pemulihan pascaanestesi dan pascabedah. Sepanjang periode perioperatif, perawat menerapkan proses keperawatan untuk mengidentifikasi fungsi positip, perubahan fungsi, dan potensial perubahan fungsi pada klien. Adapun tanggung jawab keperawatan untuk masing-masing fase berfokus pada masalah kesehatan spesifik aktual atau resiko. 4. 1. Fokus Asuhan Keperawatan Pada periode Perioperatif Fase Preoperatif a. Pengkajian Preoperatif b. Penyuluhan Preoperatif c. Persiapan untuk pindah ke ruang operasi d. Dukungan orang terdekat Fase Intraoperatif a. Keamanan lingkungan b. Kontrol Asepsis c. Pemantauan fisiologis d. Dukungan psikologis (prainduksi) e. Pemindahan ke ruang pemulihan pascaanestesi Fase Pemulihan Pascaanestesi a. Pemantauan fisiologis (jantung, pernafasan, sirkulasi, ginjal dan neurologis ) b. Dukungan psikologis c. Keamanan lingkungan d. Tindakan kenyamanan e. Stabilitas untuk pindah ke unit atau bangsal Fase Pascaoperatif a. Pemantauan fisiologis b. Dukungan psikologis Tindakan kenyamanan c. Dukungan orang terdekat d. Keseimbangan fisiologis (nutrisi, cairan dan eliminasi) e. Mobilisasi f. Penyembuhan luka g. Penyuluhan pulang.

2.

3.

4.

Pengkajian Preoperatif Pyelonephrolithotomi Meliputi : data umum, data dasar dan data fokus, yaitu ; Pemahaman klien tentang kejadian Ahli bedah bertanggung jawab, untuk menjelaskan sifat operasi, semua pilihan alternatif, hasil yang diperkirakan dan kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi. Ahli bedah mendapatkan dua consent (ijin) satu untuk prosedur bedah dan satu untuk anestesi. Perawat bertanggung jawab untuk menentukan pemahaman klien tentang informasi, lalu memberitahu ahli bedah apakah diperlukan informasi lebih banyak (informed consent). Kondisi akut dan kronis : Untuk mengkompensasi pengaruh trauma bedah dan anestesi, tubuh manusia membutuhkan fungsi pernafasan, sirkulasi, jantung, ginjal, hepar dan hematopoetik yang optimal. Setiap kondisi yang mengganggu fungsi sistem ini (misalnya: DM, gagal jantung kongestif, PPOM. Anemia, sirosuis, gagal ginjal) dapat mempengaruhi pemulihan. Disamping itu faktor lain, misalnya usia lanjut, kegemukan dan penyalahgunaan obat / alkohol membuat klien lebih rentan terhadap komplikasi.

Pengalaman bedah sebelumnya Perawat mengajukan pertanyaan spesifik pada klien tentang pengalaman pembedahan masa lalu. Informasi yang didapatkandigunakan untuk meningkatkan kenyamanan (fisik dan psikologis) untuk mencegah komplikasi serius. Status Nutrisi Status nutrisi klien praoperatif secara langsung mempengaruhi responnya pada trauma pembedahan dan anestesi. Setelah terjadi luka besar, baik karena trauma atau bedah, tubuh harus membentuk dan memperbaiki jaringan serta melindungi diri dari infeksi. Untuk membantu proses ini, klien harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat dengan cukup untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatif, hipoalbuminemia, dan penurunan berat badan. Status nutrisi merupakan akibat masukan tidak adekuat, mempengaruhi metabolik atau meningkatkan kebutuhan metabolik. Status cairan dan elektrolit Klien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektolit cenderung mengalami shock, hipotensi, hipoksia, dan disritmia, baik pada intraoperatif dan pascaoperatif. Fluktuasi valume cairan merupakan akibat dari penurunan masukan cairan atau kehilangan cairan abnormal. Status emosi. Respon klien, keluarga dan orang terdekat pada tindakan pembedahan yang direncanakan tergantung pada pengalaman masa lalu, strategi koping, signifikan pembedahan dan sistem pendukung. Kebanyakan klien dengan pembedahan mengalami ancietas dan ketakutan yang disebabkan penatalaksanaan tindakan operasi, nyeri, dan immobilitas. Diagnosa Keperawatan Preoperatif (persiapan untuk pindah ke ruang operasi) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang regimen penatalaksanaan tindakan operasi. Rencana Keperawatan Diagnosa Ansietas/takut berhubungan dengan situasi/lingkungan ruang premedikasi dan operasi Tanda- tanda : Subyektif :-Klien mengatakan semalam tidak bisa tidur/sering terbangun membayangkan operasi. Klien menanyakan berapa lama saya dioperasi. Klien bertanya dimana ruang operasinya. Obyektif :-Ekspresi wajah tegang, nadi meningkat, tekanan darah meningkat/turun, keluar keringat dingin, jantung berdebar-debar. Kreteria hasil : Ekspresi Wajah rileks. Berpartisipasi pada prosedur keperawatan. Mampu mengungkapkan perasaannya. Menyatakan penurunan ansietas/takut. Intervensi Mandiri : 1. Kaji tingkat kecemasan klien Rasional Tingkat kecemasan sebagai dasar perencanaan perawatan

2. a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.

Berikan penentraman hati dan tindakan kenyamanan: Temani klien selama di ruang premedikasi Berikan kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya Kenalkan kembali pada kenyataan yang ada Kurangi stimulus sensori Ajak klien untuk mengadakan pendekatan spritual sesuai dengan kemampuan dan situasi Perjelas informasi dokter tentang rencana tindakan operasi dan kemungkinan-kemungkinannya. Orientasikan klien pada ruang operasi dan peralatannya. Minimalkan keributan/lalu lalang Tinggal dengan pasien selama induksi Tunjukan perhatian /sikap mendukung Tetap matikan lampu sampai pasien tertidur Lanjutkan pemantauan psikologis Catat respon yang tak terduga Lepaskan gigi palsu/kaca mata/alat bantu dengar di ruang operasi. Kolaborasi, pemberian anti ansietas

Mengurangi rasa takut Mengurangi kecemasan Eksplorasi perasaan dapat mengurangi ketegangan Suport untuk koping yang positip Mengurangi ketegangan Menenangkan jiwa Meyakinkan klien sekaligus menerima secara realistis Mengurangi ketakutan/kecemasan. Mengurangi kecemasan Mengurangi kecemasan. Menjaga keamanan Memberi kepercayaan kepada klien. Memberi ketenangan Antisipasi terhadap perubahan psikologis Menjaga keamanan Mengurangi kecemasan

Fase Intra Operatif Pengelolaan Keamanan: a. Jaminan penghitungan kasa, jarum, instrumen dan alat lain, cocok untuk pemakaian. b. Mengatur posisi pasien Posisi fungsional Membuka daerah untuk operasi Mempertahankan posisi selama prosedur. c. d. Memasang alat grounding Menyiapkan bantuan fisik

Pemantauan fisiologis a. Mengkalkulasi pengaruh terhadap pasien akibat kekurangan cairan b. Membandingkan data normal dan abnormal dari cardiopulmonal. c. Melaporkan perubahan-perubahan tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah dan RR.) Pemantauan psikologi sebelum induksi dan bila pasien sadar a. Menyiapkan bantuan emosional

b. c.

Melanjutkan observasi status emosional Mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim.

Manajemen Keperawatan a. Menyelamatkan keselamatan fisik pasien. b. Mempertahankan aseptis pada lingkungan yang terkendali c. Mengelola dengan efektif sumber daya manusia. Anggota Tim Fase intraoperatif a. Tim bedah utama steril Ahli bedah utama Asisten ahli bedah Perawat instrumentator. b. Tim anestesi: Ahli anestesi atau pelaksana anestesi Circulating nurse Lain-lain (tehnisi, ahli aptologi dll.)

Tugas perawat instrumentator a. Persiapan pengadaan bahan-bahan dan alat steril yang diperlukan untuk operasi. b. Membantu ahli bedah dan asisten bedah waktu melakukan prosedur c. Pendidikan bagi staf baru yang berkualifikasi bedah d. Membantu jumlah kebutuhan jarum, pisau bedah, kasa atau instrumen yang diperlukan untuk prosedur, menurut jumlah yang biasa digunakan. Untuk pelaksanaan kegiatan yang efektif perawat instrumen harus memiliki pengetahuan tehnik aseptik yang baik, ketrampilan tangan dan ketangkasan, stamina fisik, tahan terhadap berbagai desakan, sangat menghayati kecermatan dan memperhitungkan prilaku yang menuntaskan asuhan pasien yang optimal. Tugas Perawat Circulating Perawat keliling memegang peranan dalam keseluruhan pengelolaan ruang operasi, perawat ini dipercaya untuk koordinasi semua aktivitas di dalam ruangan dan harus mengelola asuhan keperawatan yang diperluikan pasien. Periode Pemulihan Pasca Anestesi Trauma bedah dan anestesi mengganggu semua fungsi utama sistem tubuh, tetapi kebanyakan klien mempunyai kemampuan kompensasi untuk memulihkan homeostasis. Namun klien tertentu berisiko lebih tinggi untuk mengalami kompensasi tak efektif terhadap efek merugikan dari pembedahan dan anestesi pada jantung, sirkulasi, pernafasan dan fungsi lain. Secara Umum Diagnosa Keperawatan yang muncul pada fase /periode pemulihan pasca anrestesi adalah : a. Resiko terhadap aspirasi yang berhubungan dengan samnolen dan peningkatan sekresi sekunder terhadap intubasi. b. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri sekunder terhadap trauma pada jaringan dan syaraf. c. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan samnolen sekunder terhadap anestesia d. Resiko terhadap hipotermia yang berhubungan dengan pemaparan pada suhu ruang operasi yang dingin. Kriteria umum syarat pasien dipindahkan dari ruang pemulihan pasca anestesi ke unit perawatan adalah

sbb. : a. b. c. d. e. f. g. h.

Kemampuan memutar kepala Ekstubasi dengan jalan nafas bersih. Sadar, mudah terbangun. Tanda-tanda vital stabil Balutan kering dan utuh Haluaran urine sedikitnya 30 ml/jam. Drain, selang , jalur intravena paten dan berfungsi. Persetujuan ahli anestesi untuk pindah ke ruangan

Asuhan keperawatan perioperatif


PENGERTIAN Perawatan pre operatif merupakan tahap pertama dari perawatan perioperatif yang dimulai sejak pasien diterima masuk di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke meja operasi u

ntuk dilakukan tindakan pembedahan. Perawatan intra operatif dimulai sejak pasien ditransfer ke meja bedah dan berakhir bila pasien di transfer ke wilayah ruang pemulihan. Perawatan post operasi merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre dan intra operatif yang dimulai saat klien diterima di ruang pemulihan / pasca anaestesi dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya II. PRE OPERATIF Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang meliputi persiapan psikologi baik pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien). A. Persiapan Psikologi Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi emosinya tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan karena : 1. Takut akan perasaan sakit, narcosa atau hasilnya. 2. Keadaan sosial ekonomi dari keluarga. Penyuluhan merupakan fungsi penting dari perawat pada fase pra bedah dan dapat mengurangi cemas pasien. Hal-hal dibawah ini penyuluhan yang dapat diberikan kepada pasien pra bedah. 1. Penjelasan tentang peristiwa Informasi yang dapat membantu pasien dan keluarganya sebelum operasi : - Pemeriksaan-pemeriksaan sebelum operasi (alasan persiapan). - Hal-hal yang rutin sebelum operasi. - Alat-alat khusus yang diperlukan - Pengiriman ke ruang bedah.

- Ruang pemulihan. - Kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi :


Perlu peningkatan mobilitas sedini mungkin. Perlu kebebasan saluran nafas. Antisipasi pengobatan. Bernafas dalam dan latihan batuk Latihan kaki Mobilitas Membantu kenyamanan

1. 2. 3. 4.

B. Persiapan Fisiologi 1. Diet 8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak diperbolehkan minum, (puasa) pada operasi dengan anaesthesi umum. Pada pasien dengan anaesthesi lokal atau spinal anaesthesi makanan ringan diperbolehkan. Bahaya yang sering terjadi akibat makan/minum sebelum pembedahan antara lain : - Aspirasi pada saat pembedahan - Mengotori meja operasi. - Mengganggu jalannya operasi. 1. Persiapan Perut. Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan pada bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah periferal. Untuk pembedahan pada saluran pencernaan dilakukan 2 kali yaitu pada waktu sore dan pagi hari menjelang operasi. Maksud dari pemberian lavement antara lain : - Mencegah cidera kolon - Memungkinkan visualisasi yang lebih baik pada daerah yang akan dioperasi. - Mencegah konstipasi. - Mencegah infeksi. 1. Persiapan Kulit Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut. Pencukuran dilakukan pada waktu malam menjelang operasi. Rambut pubis dicukur bila perlu saja, lemak dan kotoran harus terbebas dari daerah kulit yang akan dioperasi. Luas daerah yang dicukur sekurang-kurangnya 10-20 cm2. 1. Hasil Pemeriksaan Meliputi hasil laboratorium, foto roentgen, ECG, USG dan lain-lain. 1. Persetujuan Operasi / Informed Consent Izin tertulis dari pasien / keluarga harus tersedia. Persetujuan bisa didapat dari keluarga dekat yaitu suami / istri, anak tertua, orang tua dan kelurga terdekat. Pada kasus gawat darurat ahli bedah mempunyai wewenang untuk melaksanakan operasi tanpa surat izin tertulis dari pasien atau keluarga, setelah dilakukan berbagai usaha untuk mendapat kontak dengan

anggota keluarga pada sisa waktu yang masih mungkin. C. Persiapan Akhir Sebelum Operasi Di Kamar Operasi (Serah terima dengan perawat OK) 1. Mencegah Cidera Untuk melindungi pasien dari kesalahan identifikasi atau cidera perlu dilakukan hal tersebut di bawah ini : 1. Cek daerah kulit / persiapan kulit dan persiapan perut (lavement). 2. Cek gelang identitas / identifikasi pasien. 3. Lepas tusuk konde dan wig dan tutup kepala / peci. 4. Lepas perhiasan 5. Bersihkan cat kuku. 6. Kontak lensa harus dilepas dan diamankan. 7. Protesa (gigi palsu, mata palsu) harus dilepas. 8. Alat pendengaran boleh terpasang bila pasien kurang / ada gangguan pendengaran. 9. Kaus kaki anti emboli perlu dipasang pada pasien yang beresiko terhadap tromboplebitis. 10.Kandung kencing harus sudah kosong. 11.Status pasien beserta hasil-hasil pemeriksaan harus dicek meliputi ; - Catatan tentang persiapan kulit. - Tanda-tanda vital (suhu, nadi, respirasi, TN). - Pemberian premedikasi. - Pengobatan rutin. - Data antropometri (BB, TB) - Informed Consent - Pemeriksan laboratorium. 2. Pemberian Obat premedikasi Obat-obat pra anaesthesi diberikan untuk mengurangi kecemasan, memperlancar induksi dan untuk pengelolaan anaesthesi. Sedative biasanya diberikan pada malam menjelang operasi agar pasien tidur banyak dan mencegah terjadinya cemas. i. Pengkajian Keperawatan Pra Bedah A. Data Subyektif 1. Pengetahuan dan Pengalaman Terdahulu. 1. Tempat 2. Bentuk operasi yang harus dilakukan. 3. Informasi dari ahli bedah lamanya dirawat dirumah sakit, keterbatasan setelah di bedah. 4. Kegiatan rutin sebelum operasi. 5. Kegiatan rutin sesudah operasi. 6. Pemeriksaan-pemeriksaan sebelum operasi. 2. Bentuk, sifat, roentgen 3. Jangka waktu 1. Pengertian tentang bedah yang duanjurkan 1. Pengalaman bedah terdahulu

1. Kesiapan Psikologis Menghadapi Bedah 1. 2. 3. 4. 5. Penghayatan-penghayatan dan ketakutan-ketakutan menghadapi bedah yang dianjurkan. Metode-metode penyesuaian yang lazim. Agama dan artinya bagi pasien. Kepercayaan dan praktek budaya terhadap bedah. Keluarga dan sahabat dekat

- Dapat dijangkau (jarak) - Persepsi keluarga dan sahabat sebagai sumber yang memberi bantuan. 1. Perubahan pola tidur 2. Peningkatan seringnya berkemih. 1. Status Fisiologi 1. Obat-obat yang dapat mempengaruhi anaesthesi atau yang mendorong komplikasi-komplikasi pascabedah. 2. Berbagai alergi medikasi, sabun, plester. 3. Penginderaan : kesukaran visi dan pendengaran. 4. Nutrisi : intake gizi yang sempurna (makanan, cairan) mual, anoreksia. 5. Motor : kesukaran ambulatori, gerakan tangan dan kaki, arthritis, bedah orthopedi yang terdahulu (penggantian sendi, fusi spinal). 6. Alat prothesa : gigi, mata palsu, dan ekstremitas. 7. Kesantaian : bisa tidur, terdapat nyeri atau tidak nyaman, harapan mengenai terbebas dari nyeri setelah operasi. B. Data Obyektif 1. Pola berbicara : mengulang-ulang tema, perubahan topik tentang perasaan (cemas), kemampuan berbahasa Inggris. 2. Tingkat interaksi dengan orang lain. 3. Perilaku : gerakan tangan yang hebat, gelisah, mundur dari aktifitas yang sibuk (cemas). 4. Tinggi dan berat badan. 5. Gejala vital. 6. Penginderaan : kemampuan penglihatan dan pendengaran. 7. Kulit : turgor, terdapat lesi, merah atau bintik-bintik. 8. Mulut : gigi palsu, kondisi gigi dan selaput lendir. 9. Thorak : bunyi nafas (terdapat, sisanya) pemekaran dada, kemampuan bernafas dengan diafragma, bunyi jantung (garis dasar untuk perbandingan pada pasca bedah). 10.Ekstremitas : kekuatan otot (terutama) kaki, karakteristik nadi perifer sebelum bedah vaskuler atau tubuh. 11.Kemampuan motor : adalah keterbatasan berjalan, duduk, atau bergerak di tempat duduk, koordinasi waktu berjalan. ii. Masalah Keperawatan Yang Lazim Muncul 1. 2. 3. 4. 5. Takut Cemas Resiko infeksi Resiko injury Kurang pengetahuan

III. INTRA OPERATIF

i. Anggota Tim Asuhan Keperawatan Intra Operatif Anggota tim asuhan pasien intra operatif biasanya di bagi dalam dua bagian. Berdasarkan kategori kecil terdiri dari anggota steril dan tidak steril : 1. Anggota steril 1. Ahli bedah utama / operator 2. Asisten ahli bedah. 3. Scrub Nurse / Perawat Instrumen 4. Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari : 1. Ahli atau pelaksana anaesthesi. 2. Perawat sirkulasi 3. Anggota lain (teknisi yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit). ii. Prinsip Tindakan Keperawatan Selama Pelaksanaan Operasi. A. Persiapan Psikologis Pasien B. Pengaturan Posisi Posisi diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis pasien. Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien adalah : 1. 2. 3. 4. Letak bagian tubuh yang akan dioperasi. Umur dan ukuran tubuh pasien. Tipe anaesthesia yang digunakan. Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada pergerakan (arthritis).

Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien : 1. Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman. 2. Sedapat mungkin jaga privasi pasien, buka area yang akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk. 3. Amankan pasien diatas meja operasi dengan lilitan sabuk yang baik yang biasanya dililitkan diatas lutut. Saraf, otot dan tulang dilindungi untuk menjaga kerusakan saraf dan jaringan. 4. Jaga pernafasan dan sirkulasi vaskuler pasien tetap adekuat, untuk meyakinkan terjadinya pertukaran udara. 5. Hindari tekanan pada dada atau bagain tubuh tertentu, karena tekanan dapat menyebabkan perlambatan sirkulasi darah yang merupakan faktor predisposisi terjadinya thrombus. 6. Jangan ijinkan ekstremitas pasien terayun diluar meja operasi karena hal ini dapat melemahkan sirkulasi dan menyebabkan terjadinya kerusakan otot. 7. Hindari penggunaan ikatan yang berlebihan pada otot pasien. 8. Yakinkan bahwa sirkulasi pasien tidak berhenti ditangan atau di lengan. 9. Untuk posisi litotomi, naikkan dan turunkan kedua ekstremitas bawah secara bersamaan untuk menjaga agar lutut tidak mengalami dislokasi. 10.Pengkajian psikososial 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Membersihkan dan Menyiapkan Kulit. Penutupan Daerah Steril Mempertahankan Surgical Asepsis Menjaga Suhu Tubuh Pasien dari Kehilangan Panas Tubuh Monitor dari Malignant Hyperthermia Penutupan luka pembedahan Perawatan Drainase

8. Pengangkatan Pasien Ke Ruang Pemulihan, ICU atau PACU.

iii. Pengkajian
1. Sebelum dilakukan operasi - Perasaan takut / cemas - Keadaan emosi pasien 1. Pengkajian Fisisk - Tanda vital : TN, N, R, Suhu. - Sistem integumentum

Pucat Sianosis Adakah penyakit kulit di area badan. Apakah ada gangguan pada sisitem cardio ? Validasi apakah pasien menderita penyakit jantung ? Kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi. Kebiasaan merokok, minum alcohol Oedema Irama dan frekuensi jantung. Pucat Apakah pasien bernafas teratur ? Batuk secara tiba-tiba di kamar operasi. Apakah pasien diare ?

- Sistem Kardiovaskuler

- Sistem pernafasan

- Sistem gastrointestinal

- Sistem reproduksi Apakah pasien wanita mengalami menstruasi ? - Sistem saraf

Kesadaran ?

- Validasi persiapan fisik pasien Apakah pasien puasa ? Lavement ? Kapter ? Perhiasan ? Make up ? Scheren / cukur bulu pubis ? Pakaian pasien / perlengkapan operasi ?

Validasi apakah pasien alaergi terhadap obat ? 1. Selama dilaksanakannya operasi Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah dengan pengkajian psikososial. Secara garis besar hal-hal yang perlu dikaji adalah : 1. Pengkajian mental Bila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih sadar / terjaga maka sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien tidak cemas/takut menghadapi prosedur tersebut. 1. Pengkajian fisik - Tanda-tanda vital (Bila terjadi ketidaknormalan tanda-tanda vital dari pasien maka perawat harus memberitahukan ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah). - Transfusi (Monitor flabot transfusi sudah habis apa belum. Bila hampir habis segera diganti dan juga dilakukan observasi jalannya aliran transfusi). - Infus (Monitor flabot infuse sudah habis apa belum. Bila hampir habis harus segera diganti dan juga dilakukan observasi jalannya aliran infuse). - Pengeluaran urin Normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam.

MASALAH KEPERAWATAN YANG LAZIM MUNCUL


Diagnosa keperawatan yang mungkin sering muncul pada pasien selama pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut : 1. Cemas 1. Resiko perlukaan/injury 2. Resiko penurunan volume cairan tubuh 3. Resiko infeksi 4. Kerusakan integritas kulit iv. Fase Pasca Anaesthesi Periode segera sesudah anaesthesi adalah gawat. Pasien harus diamati dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anaesthesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil. Banyaknya asuhan keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anaesthesi tergantung kepada prosedur bedah yang dilakukan. Hal-hal yang harus diperhatikan meliputi :

1. Mempertahankan ventilasi pulmonari 1. Berikan posisi miring atau setengah telungkup dengan kepala tengadah kebelakang dan rahang didorong ke depan pada pasien sampai reflek-reflek pelindung pulih. 2. Saluran nafas buatan. Saluran nafas pada orofaring biasanya terpasang terus setelah pemberian anaesthesi umum untuk mempertahankan saluran tetap terbuka dan lidah kedepan sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak dan lendir harus dibantu dengan suction. 1. Terapi oksigen O2 sering diberikan pada pasca operasi, karena obat anaesthesi dapat menyebabkan lyphokhemia. Selain pemberian O2 harus diberikan latihan nafas dalam setelah pasien sadar. 1. Mempertahankan sirkulasi. Hipotensi dan aritmia adalah merupakan komplikasi kardiovaskuler yang paling sering terjadi pada pasien post anaesthesi. Pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di ruang pemulihan. 1. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan per infus sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah kelebihan cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor. 1. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan Pasien post operasi atau post anaesthesi sebaiknya pada tempat tidurnya dipasang pengaman sampai pasien sadar betul. Posisi pasien sering diubah untuk mencegah kerusakan saraf akibat tekanan kepada saraf otot dan persendian. Obat analgesik dapat diberikan pada pasien yang kesakitan dan gelisah sesuai dengan program dokter. Pada pasien yang mulai sadar, memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar tidak merasa sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi sudah selesai dan diberitahu apa yang sedang dilakukan. v. Perawatan Pasien Di Ruang Pemulihan/Recovery Room Uraian diatas telah membahas tentang hal yang diperhatikan pada pasien post anaesthesi. Untuk lebih jelasnya maka dibawah ini adalah petunjuk perawatan / observasi diruang pemulihan : 1. Posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan pada pasien dengan pembiusan umum, sedang pada pasein dengan anaesthesi regional posisi semi fowler. 2. Pasang pengaman pada tempat tidur. 3. Monitor tanda vital : TN, Nadi, respirasi / 15 menit. 4. Penghisapan lendir daerah mulut dan trakhea. 5. Beri O2 2,3 liter sesuai program. 6. Observasi adanya muntah. 7. Catat intake dan out put cairan. Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan terjadinya situasi krisis - Tekanan sistolik < 90 100 mmHg atau > 150 160 mmH, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg.

- HR kurang dari 60 x menit > 10 x/menit - Suhu > 38,3 o C atau kurang dari 35 o C. - Meningkatnya kegelisahan pasien - Tidak BAK + 8 jam post operasi. Pengeluaran dari ruang pemulihan / Recovery Room Kriteria umum yang digunakan dalam mengevaluasi pasien : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pasien harus pulih dari efek anaesthesi. Tanda-tanda vital harus stabil. Tidak ada drainage yang berlebihan dari tubuh. Efek fisiologis dari obat bius harus stabil. Pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat kesadaran pasien telah sempurna. Urine yang keluar harus adekuat ( 1cc/ Kg/jam). Jumlahnya harus dicatat dan dilaporkan. Semua pesan harus ditulis dan dibawa ke bangsal masing-masing. Jika keadaan pasien membaik, pernyataan persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan. 9. Staf dari unit dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan menerima pasien tersebut. Pengangkutan Pasien keruangan Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan antara lain : - Keadaan penderita serta order dokter. - Usahakan pasien jangan sampai kedinginan. - Kepala pasien sedapat mungkin harus dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus terlihat sehingga bila ada perubahan sewaktu-waktu terlihat.

KRISIS TIROID ( Thyrotoxic Storm )


9 November 2011 Tinggalkan Komentar Latar belakang Krisis tiroid merupakan komplikasi hypertiroidisme yang jarang terjadi tetapi berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani berdasarkan manifestasi klinis karena konfirmasi laboratoris sering kali tidak dapat dilakukan dalam rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan keadaan hypermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi, tachycardi, mual, muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam keadaan stupor atau komatus yang disertai dengan hypotensi.1 Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu hanya terjadi sekitar 1-2% pasien hypertiroidisme. Sedangkan insidensi keseluruhan hipertiroidisme sendiri hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana kebanyakannya bersifat subklinis. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan tidak ditangani dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang dewasa pada krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang dirawat inap.1 Dengan tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%.2 Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme terbanyak dan merupakan penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ lain, melakukan anamnesis yang tepat sangat penting untuk menegakkan diagnosis.3 Hal ini penting karena diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris.2,11,16 Hal lain yang penting diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.4 Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.1 Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang tepat tentang krisis tiroid, terutama mengenai diagnosis dan penatalaksaannya. Definisi beberapa definisi : Krisis tiroid adalah suatu keadaan dimana gejala-gejala dari tirotoksikosis dengan sekonyong-konyong menjadi hebat dan disertai oleh hyperpireksia, takikardia dan kadang-kadang vomitus yang terus menerus.11 Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna.5 Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis.1 Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut.6 Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau trauma.1 Etiologi Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik).7

Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat menyebabkan kematian.8 Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat. Seorang kasus wanita berusia 30 tahun dengan krisis tiroid dan gangguan fungsi ginjal menunjukkan adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada kasus tersebut telah ada saat kreatinin serumnya masih normal. Kadar serum normal fragmen ujung asam amino hormon paratiroid dalam keadaan hipokalsemia pada kasus tersebut menunjukkan adanya gangguan fungsi paratiroid. Karena kadar serum magnesiumnya normal dan tidak memiliki riwayat operasi tiroid ataupun terapi radio-iodium, hipoparatiroidisme yang terjadi dianggap idiopatik. Kasus ini adalah kasus ketujuh yang disebutkan di literatur tentang penyakit Grave yang disertai hipoparatiroidisme idiopatik.9 Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritis interstisial. Kasus seorang pria berusia 54 tahun yang telah diterapi dengan tiamazol (5 mg/hari) menunjukkan kadar hormon tiroid yang meningkat tajam setelah dilakukan eksodontia. Meskipun dosis tiamazol yang diresepkan dinaikkan setelah eksodontia pada hari keempat, pria ini mengalami krisis tiroid pada hari ke-52 pasca eksodontia. Temuan laboratoris juga menunjukkan disfungsi ginjal (kreatinin 1,8 mg/dL pada hari ke 37 pasca eksodontia). Kadar hormon tiroid kembali dalam batas normal setelah tiroidektomi subtotal. Namun, kadar serum kreatinin masih tetap tinggi. Pria ini kemudia didiagnosis dengan nefritis interstisial berdasarkan hasil biopsi ginjal dan diterapi dengan prednisolon 30 mg/hari. Kasus ini mewakilit kejadian krisis tiroid yang terjadi meskipun tiamazol ditingkatkan dosisnya setelah eksodontia. Tampak bahwa nefritis interstisial sebagaimana pula eksodontia merupakan faktor yang dapat meningkatkan fungsi tiroid. Setelah buruknya respon terhadap obat anti-tiroid, penting untuk mencegah krisis tiroid dengan menentukan faktor-faktor ini dan pengobatan yang sesuai.10 Patofisiologi Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.1 Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.3 Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin

menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian.2 Diduga bahwa hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.7 Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul. Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.2 Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.2 Gambaran klinis Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat banyak, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice. Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.2 Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan goiter.2 Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan kasus seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan normotensif) yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel, seperti asidosis laktat dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan komplikasi yang sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan bahwa kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk mengenali gambaran atipik ini pada kasus-kasus krisis tiroid yang dihadapi.12

Gambaran laboratoris Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake resin T3, penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.2 Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah, pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor penanganan jangka pendek.2 Penatalaksanaan Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah. Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif untuk mencegah kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.4 Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU) dan methimazole (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid. PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut.4 PTU diindikasikan untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan kasus yang jarang ditemui.4 Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan uji kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan edukasi pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejalagejala berikut: kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya mata maupun kulit pasien.4 Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium

iodida dapat digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang digunakan secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan iodium dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis.4 Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan infus pelan per 812 jam) telah ditarik dari pasaran.4 Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon tiroid. Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi T4 menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar. Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama jantung pasien.4 Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk kasus-kasus ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.4 Penatalaksanaan: penanganan suportif Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per hari. Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut usia dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat. Berikan pulan cairan intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi melalui aksi sentral dan perifer. Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid. Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.4 Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan peningkatan angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien mungkin mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptake iodium dan titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki

efek menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan.4 Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi jantung juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium. Obat-obat antikoagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan jika tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif muncul sebagai akibat gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan dengan kateter Swan-Ganz.4 Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien hipertiroid. Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia miokardial transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram (EKG) dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut. Blokade saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal.13 Penatalaksanaan: efek samping Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas, peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif, vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama enam bulan pertama terapi.3 Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan obat anti-tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas dan mengancam jiwa pasien yang menggunakan obatobat ini. Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%) dan sakit tenggorokan (85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah positif untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Capnocytophaga species. Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ yang multipel. Basil Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan patogen yang paling sering ditemui pada isolat klinis. Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas anti-pseudomonas harus diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat anti-tiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.14 Komplikasi Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga 6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting

pula untuk menerapkan prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.15 Prognosis Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20% tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.1 Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau betaadrenergik. Krisis tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat antitiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).2 Kesimpulan Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat. Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%. Namun, dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik. Daftar pustaka 1. Schraga ED. Hyperthyroidism , thyroid storm , and Graves disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/324556-print. 2. Misra M, Singhal A, Campbell D. Thyroid storm. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/394932-print. 3. Yeung SJ, Habra M, Chiu C. Graves disease. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/234233-print. 4. Kuwajerwala NK, Goswami G, Abbarah T, Kanthimathinathan V, Chaturvedi P. Thyroid , thyrotoxic storm following thyroidectomy. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/213213-print. 5. Thyroid crisis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Mesh/database. php?key=thyroid_crisis. 6. Kanbay M, Sengul A, Gilvener N. Trauma induced thyroid storm complicated by multiple organ

failure. Chin Med J. 2005;118(11):963-5. 7. Duggal J, Singh S, Kuchinic P, Butler P, Arora R. Utility of esmolol in thyroid crisis. Can J Clin Pharmacol. 2006;13(3):e292-5. 8. Sharma PK, Barr L, Rubin A. Complications of thyroid surgery. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/946738-print. 9. Yamaji Y, Hayashi M, Suzuki Y, Noya K, Yamamoto O. Thyroid crisis associated with severe hypocalcemia. Jpn J Med. 1991;30(2):179-81. 10. Kahara T, Yoshizawa M, Nakaya I, et al. Thyroid crisis following interstitial nephritis. Intern Med. 2008;47(13):1237-40. 11. Prof.Dr.M.W.Haznam, Endokrinologi, 1991 12. Jiang Y, Hutchinson KA, Bartelloni P, Manthous A. Thyroid storm presenting as multiple organ dysfunction syndrome. Chest. 2000;118:877-9. 13. Emdin M, Pratali L, Iervasi G. Abolished vagal tone associated with thyrotoxicosis triggers prinzmetal variant angina and paroxysmal atrial fibrillation. Ann Intern Med. 2000;132(8):679. 14. Sheng W, Hung C, Chen Y, et al. Antithyroid-drug-induced agranulocytosis complicated by lifethreatening infections. Q J Med. 1999;92:455-61. 15. Izumi K, Kondo S, Okada T. A case of atypical thyroid storm with hypoglycemia and lactic acidosis. Endocr J. 2009;56(6):747-52. 16.

Asuhan Keperawatan Krisis Tiroid


Posted: 10 November 2011 in Kumpulan Askep Tag:asuhan keperawatan, kelenjar, tiroid, yodium

0 KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS

2.1.1 Definisi Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran cerna.Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan, terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis.Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis tersebut.Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan , infeksi, atau trauma. Krisis tiroid/thyrotoxic crisis/thyroid storm adalah kedaruratan medis yang disebabkan oleh eksaserbasi akut dari gejala-gejala hipertiroid. Hal ini dapat berakibat fatal dan mematikan. Namun jarang terjadi apabila deteksi dini dilaksanakan dan pengobatan diberikan secepatnya (Hannafi,2011). 2.1.2 Etiologi Krisis Tiroid Etiologi krisis tiroid sampai saat ini belum banyak diketahui. Namun ada tiga mekanisme fisiologis yang diketahui dapat mengakibatkan krisis tiroid, yaitu : 1. Pelepasan seketika hormone tiroid dalam jumlah yang besar. Pelepasan tiba-tiba hormon tiroid diduga dapat menyebabkan manifestasi hipermetabolik yang terjadi selama krisis tiroid, namun analisis laboratorium T3 & T4 mungkin tidak nyata dalam fenomena ini. 1. Hiperaktivitas adrenegik. Telah banyak diketahui bahwa hormon tiroid dan katekolamin saling mempengaruhi satu sama lain. Walaupun masih belum pasti apakah efek hipersekresi hormon tiroid atau peningkatan kadar katekolamin menyebabkan peningkatan sensitivitas dan fungsi organ efektor. Namun interaksi tiroid katekolamin dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan reaksi kimia, meningkatkan konsumsi nutrien dan oksigen, meningkatkan produksi panas, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan status katabolik. 1. 3. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan. Lipolisis berlebihan, peningkatan jumlah asam lemak mengoksidasi dan menghasilkan energi panas yang berlebih yang sulit untuk dihilangkan melalui jalan vasodilatasi. Energi ini bukan berbentuk adenosin trifosfat pada tingkat molekuler, dan juga tidak dapat digunakan oleh sel. Walaupun etiologinya belum jelas, namun terdapat beberapa faktor yang disinyalir memicu krisis tiroid, diantaranya : infeksi, trauma, pembedahan non tiroid, tiroidectomi, reaksi insulin, kehamilan, pemberhentian terapi anti tiroid mendadak, hipertiroid yang tidak terdiagnosa, factor psikologis. Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves.Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah operasi. Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat menyebabkan kematian. 2.1.3 Patofisiologi Krisis Tiroid Patogenesis krisis tiroid belum sepenuhnya diketahui. Yang jelas bahwa kadar hormon tiroid di sirkulasi lebih tinggi daripada yang terlihat pada tirotoksikosis tanpa komplikasi, yang memperburuk keadaan tirotoksik. Tampaknya kecepatan peningkatan hormon tiroid di sirkulasi lebih penting daripada kadar absolut. Perubahan yang mendadak dan kadar hormon tiroid akan diikuti perubahan kadar protein pengikat. Hal ini terlihat pada pasca bedah atau penyakit nontiroid sistemik. Pada penyakit nontiroid

sistemik juga ditemukan produksi penghambat ikatan hormon bebas akan meningkat. Kemungkinan lain adalah pelepasan hormon tiroid yang cepat ke dalam aliran darah, seperti halnya setelah pemberian yodium radioaktif, pembedahan tiroid, atau dosis berlebih hormon tiroid. Meningkatnya hormon bebas menyebabkan peningkatan ambilan selular hormon tiroid. Di pihak lain, kemungkinan juga terjadi intoleransi jaringan terhadap T3 dan T4 sehingga berkembang menjadi krisis tiroid. Aktivasi sistem saraf adrenergik tampaknya berperan juga, mengingat pemberian penghambat adrenergik memberikan respons yang dramatik pada krisis tiroid. Faktor pencetus krisis tiroid yang sering ditemukan adalah: infeksi, pembedahan (tiroid atau nontiroid), terapi radioaktif, pewarna kontras yang mengandung yodium, penghentian obat antitiroid, amiodaron, minum hormon tiroid, ketoasidosis diabetik, gagal jantung kongestif, hipoglikemia, toksemia gravidarum, partus, stres emosi berat, emboli paru, cerebral vascular accident, infark usus, trauma, ekstraksi gigi, palpasi kelenjar tiroid yang berlebihan. KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS 2.1.4 Manifestasi Krisis Tiroid Penderita umumnya menunjukkan semua gejala tirotoksikosis tetapi biasanya jauh lebih berat. 1. 2. 3. 4. Demam > 370 C Takikardi > 130 x/menit Gangguan sistem gastrointestinal seperti diare berat Gangguan sistem neurologik seperti keringat yang berlebihan sampai dehidrasi,gangguan kesadaran sampai koma

2.1.5 Penatalakasanaan Krisis Tiroid 1. Koreksi Hipertiroidisme 1. Menghambat Sintesis Hormon Tirid Obat yang dipilih adalah metimasol. Metimasol diberikan dengan dosis 20 mg tiap 4 jam (dosis total 120 mg/hari), bisa diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100 mg 1. Menghambat Sekresi Hormon Yang telah Terbentuk Obat pilihan adalah larutan kalium yodida pekat (SSKI) dengan dosis 5 tetes setiap 6 jam atau larutan Lugol 30 tetes perhari dengan dosis terbagi 4. 1. Menghambat Konversi T4 menjadi T3 di perifer, termasuk: PTU, Ipodate atau Ioponoat, penyekat (propanolol), kortikosteroid. 2. Menurunkan Kadar Hormon Secara Langsung. Dengan plasmaferesis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi tukar, dan charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila dengan pengobatan konvensional tidak berhasil. 1. Terapi Definitif. Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau total). 1. 2. Menormalkan Dekompensasi Hemeostasis 1. Terapi Suportif 1. Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati dengan cairan intravena 2. Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen 3. Multivitamin, terutama vitamin B 4. Obat aritmia, gagal jantung kongestif 5. Lakukan pantauan invasif bila diperlukan Suplemen Oksigen

6. Obati hipertermia (asetaminofen, kompres dingin). 7. Glukokortikoid (hidrokortison 100 mg setiap 8 jam atau deksametason 2 mg setiap 6 jam) 8. Sedasi jika perlu 9. Obat Antiadrenergik Yang tergolong obat ini adalah: penyekat B, reserpin, dan guanetidin. Reserpin dan guanetidin kini praktis tidak dipakai lagi, diganti dengan penyekat B. Penyekat B yang paling banyak dipakai adalah propanolol. Dosis propanolol adalah 20-40 mg po atau 1-5 mg iv setiap 6 jam, bila diperlukan dapat dinaikkan sampai 240-480 mg/ hari/po. Pada penderita dengan kontraindikasi terhadap penyekat B, dapat diberikan guanetidin dengan dosis 1-2 mg/kg/hari dosis terbagi atau reserpin 2.5-5 mg setiap 4-6 jam. 1. 3. Terapi Untuk Faktor Pencetus Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui. Terutama mencari fokus infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine dan sputum, juga foto dada.Walaupun telah dilakukan pengenalan dan pengobatan dini hipertiroidisme, krisis tiroid masih merupakan kegawatan medik yang dapat mengancam jiwa. Pengenalan segera dan pengobatan agresif dengan pendekatan menyeluruh akan membantu memperbaiki dekompensasi hemeostasis yang merupakan masalah besar pada krisis tiroid. Diperlukan penelitian lanjutan untuk memahami kerja hormon tiroid pada tingkat sel, yang mungkin menambah modalitas pengobatan yang lebih efektif di masa mendatang. KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS Diagnosa Keperawatan 1. 2. 3. 4. Pola nafas tidaseharik efektif berhubungan dengan hiperventilasi Penurunan curah jantung berhubungan dengan Hipermetabolisme. Diare berhubungan dengan meningkatnya peristaltik usus Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan akibat hipermetabolisme 5. Hipertermi berhubungan dengan hipermetabolisme 3.1.6 Intervensi Keperawatan 1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi Tujuan : pola napas kembali efektif dalam waktu 2x 24 jam Kriteria hasil : RR normal 16-20x/ menit Tidak ada retraksi otot bantu pernapasan Napas pendek tidak ada Intervensi Mandiri 1. Posisikan pasien untuk semi fowler Kolaborasi 1. Meminimalkan kebutuhan 1. Penggunaan alat bantu Rasional 1. Memaksimalkan pernapasan 1. Membantu pernapasan klien untuk memenuhi kebutuhan oksigen

pernapasan seperti nasal kanul HE 1. Anjurkan klien untuk bed rest Evaluasi 1. Pantau pola napas pasien

oksigen 1. Mengetahui keefektifan tindakan yang telah diberikan 2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipermetabolisme.

Tujuan: menunjukan curah jantung yang optimal Kriteria Hasil: HR normal 60-100x/mennit Menunjukkan perbaikan perfusi jaringan dikitunjukkan dengan CRT < 3 detik Tekanan darah dalam batas normal 120/80 mmHg Intervensi Kolaborasi 1. Berikan cairan melalui IV sesuai indikasi 2. Berikan obat sesuai indikasi (digoksin, propanol) 3. Berikan oksigen sesuai indikasi 1. Lakukan pemantauan terhadap EKG secara teratur Mandiri 1. Pantau tekanan darah secara teratur 2. Auskultasi bunyi jantung, perhatikan adanya bunyi jantung tambahan, adanya irama gallop dan murmur sistolik Rasional 1. Untuk memperbaiki volume sirkulasi 1. Pemberian propanolol menghambat konfersi T4 menjadi T3 di perifer. 2. Mendukung peningkatan kebutuhan metabolisme 3. Dapat menunjukan ketidakseimbangan elektrolit atau iskemi 1. Mengetahui kerja jantung 1. S1 dan murmur yang menonjol berhubungan dengan curah jantung meningkat pada keadaan hipermetabolik. Adanya S3 sebagai tanda kemungkinan adanya gagal jantung 2. Dehidrasi yang cepat dapat terjadi yang akan menurunkan volume sirkulasi dan akan

3. Observasi tanda dan gejala haus yang hebat, mukosa membran kering, nadi lemah, pengisian kapiler lambat, penururnan produksi urine dan HE 1. Sarankan klien untuk tirah baring dan batasi aktivitas yang tidak perlu

menurunkan curah jantung 1. Aktivitas akan meningkatkan kebutuhan metabolik/ sirkulasi yang berpotensi menimbulkan gagal jantung

3. Diare berhubungan dengan meningkatnya peristaltik usus Tujuan : diare dapat dikendalikan / dihilangkan dalam waktu 3x 24 jam Kriteria hasil : Frekuensi defekasi normal 1-2 x sehari Konsentrasi defekasi normal (tidak terlalu keras dan tidak cair) Mempertahankan cairan dan elektrolit (tidak ada tanda mukosa kering, turgor kulit baik) Intervensi Kolaborasi 1. Berikan obat sesuai indikasi : Antikolinergik. Mandiri 1. Tingkatkan tirah baring 2. Berikan pemasukan cairan intravena sesuai derajat dehidrasi. 3. Buang feses secara cepat. Berikan pengharum ruangan 4. Pantau tanda tanda dehidrasi. 5. Pantau frekuensi dan konsentrasi feses 1. Istirahat akan menurunkan motilitas usus 2. Mengistirahatkan kolon dan menghindari atau menurunkan rangsangan makanan. 3. Menghilangkan bau tak sedap untuk mengurangi rasa malu pasien 4. Sebagai indikasi timbulnya dehidrasi 5. Mengetahui keefektifan intervensi yang telah diberikan Rasional 1. Menurunkan motilitas/ peristaltik Gidan menurunkan sekresi digestif untuk menghilangkan kram dan diare

setelah diberikan intervensi

6. Hipertermi berhubungan dengan hipermetabolisme

Tujuan : suhu akan kembali normal dalam waktu 1x 24 jam Kriteria hasil : suhu normal 36,50 37,5 0C Nadi dan pernapasan dalam rentan normal Intervensi Mandiri 1. Berikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher dan lipatan paha. 1. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan pakaian yang tipis 2. Berikan asupan cairan intravena. Kolaborasi 1. Berikan obat anti piretik sesuai kebutuhan 2. Berikan selimut dingin Evaluasi 1. Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali, sesuai kebutuhan 2. Pantau adanya aktivitas kejang 1. Pantau hidrasi secara teratur (turgor kulit dan kelembapan membran mukosa) Rasional 1. Dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan alkohol akan menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu secara aktual. Selain itu, alkohol dapat mengeringkan kulit. 2. Mempermudah pengeluaran panas 1. Untuk menyeimbangkan antara pemasukan cairan dengan pengeluarannya 1. Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus. 2. Digunakan untuk mengurangi demam yang umumnya lebih besar dari 39,50-400C 1. Mengetahui kemungkinan adanya kenaikan suhu secara mendadak 2. Kenaikan suhu yang tinggi dapat menimbulkan kejang 3. Hipertermi akan meningkatkan kebutuhan cairan dalam tubuh (N= 60-100x/menit, RR= 16-20x/menit) Perubahan warna kulit tidak ada Keletihan tidak tampak KLIK DISINI BISNIS MUDAH DAN PRAKTIS

Anda mungkin juga menyukai