Psikiatri
Pasien “Amuk”
dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ. MARS
Latar Belakang
● Gangguan Jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya
distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.
● Seseorang yang mengalami gangguan jiwa merupakan orang yang beresiko tinggi melakukan
tindakan kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya.
● Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku amuk. Amuk merupakan suatu episode
disosiatif ditandai dengan periode berpikir sedih diikuti ledakan perilaku ingin membunuh,
agresif atau melakukan kekerasan yang ditujukan pada orang atau objek.
● Respon ini dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal.
Tinjauan
Pustaka
Definis
•
i
Amuk merupakan suatu episode disosiatif yang ditandai dengan periode berpikir
sedih diikuti ledakan perilaku ingin membunuh, agresif atau melakukan kekerasan
yang ditujukan pada orang atau objek.
• Amuk atau perilaku kekerasan merupakan respon marah terhadap adanya stress,
cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan.
• Secara internal dapat berperilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan
secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Faktor Biologis
Hal yang dikaji meliputi adanya faktor herediter yaitu adanya anggota keluarga yang
sering memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan, yang mengalami
gangguan jiwa, adanya riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
NAPZA
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Faktor Neurobiologis
Teori dorongan naluri (Instinctual Drive Theory)
Perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
Penelitian neurobiologi mendapatkan adanya pemberian stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Faktor Neurobiologis
Teori Psikosomatik (Psycosomatic Theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon psikologi terhadap stimulus
eskternal maupun internal. Sehingga sistem limbik memiliki peran sebagai pusat
untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
Faktor Psikologi
Frustation Aggrresion Theory
Keadaan frustasi dapat mendorong individu untuk berperilaku agresif karena
perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
Teori Perilaku (Behavioral Theory)
Reinforcement yang diterima saat melakukan kesalahan sering menimbulkan
kekerasan di dalam maupun di luar rumah.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Teori Eksistensi (Existential Theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai perilaku. Apabila
kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui perilaku konstruktif, maka individu akan
memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
01 Faktor Predisposisi
• Faktor Sosial Budaya
Norma budaya dapat mendukung individu untuk berespon asertif atau agresif. Agresi
dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
02 Faktor Prespitasi
Faktor ini berhubungan dengan pengaruh stresor yang mencetuskan perilaku
kekerasan bagi setiap individu. Stresor tersebut dapat merupakan penyebab yang
berasal dari dalam maupun dari luar individu.
Perilaku
Kekerasan
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan
antara lain:
• Menyerang atau menghindar (Flight or Fight)
• Menyatakan secara asertif (assertiveness)
• Memberontak (acting out)
• Perilaku Kekerasan
Patofisiologi
Mekanisme Koping
Secara umum mekanisme koping yang sering digunakan antara lain mekanisme pertahanan ego
Sublima 1 2 Proyeksi
si
Reaksi
Represi 3 4
Formasi
5
Displaceme
nt
Rentang Respon
Marah
Personal space Orang lain dapat Menjaga jarak yang Memasuki teritorial
masuk teritorial menyenangkan orang lain
pribadinya. Mempertahankan hak
tempat atau teritorial
●Pengobatan yang menggunakan pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas
bangkitan kejang diperkenalkan bagi kepala (verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks.
pengidap skizofrenia dan penderita 2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik
epilepsi yang disertai gangguan jiwa. yang dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik (arus
transversal). Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.
Sejarah Perkembangan ECT
●Pada tahun 1951 digunakan secara luas untuk ●Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American
memodifikasi penggunaan dari ECT dengan Psychiatric Association (APA) bahwa pengobatan
bantuan anaesthesi ringan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan
dalam tahun 1990 sampai tahun 2001.
Indikasi
ECT
Indikasi Primer ECT
1.
2.
Gangguan Depresi Mayor
Gangguan bipolar, mania
3. Skizofrenia
• Kejang yang >60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang
supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya.
Stimulus Listrik dan Kejang
• Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi
berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi.
• Pada kejang <25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal ini
menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus
ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk
menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis terhadap Farmakoterapi pada Pasien Amuk.
Diharapkan agar dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh ini dalam kegiatan klinik dan
dapat diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.
BAB II
DEFINISI
Definisi perilaku kekerasan biasanya mencakup beberapa kombinasi dari elemen berikut: ekspresi
energi yang mungkin diarahkan pada tujuan; perilaku tidak bermoral, menjijikkan dan tidak pantas;
niat untuk menyakiti, merusak atau menyakiti orang lain secara fisik atau psikologis; niat untuk
mendominasi orang lain; pengalaman dan ekspresi kemarahan; perilaku defensif dan protektif;
pelecehan verbal, pembicaraan menghina, ancaman atau gerakan non-verbal yang mengungkapkan
hal yang sama; penggunaan instrumental.
DEFINISI
merusak benda atau lingkungan, dari perusakan hingga pecahnya jendela, furnitur dan sebagainya;
mencoba untuk melukai secara fisik atau membunuh orang lain dengan atau tanpa menggunakan
senjata, atau memaksa orang lain untuk menyerah atau menyetujui tindakan atau situasi yang tidak
diinginkan melalui penggunaan kekerasan; dan tampilan atau kontak seksual yang tidak pantas,
tidak diinginkan atau ditolak.
EPIDEMIOLOGI
studi melaporkan tingkat yang tinggi untuk terjadinya perilaku kekerasan (17% - 50%). Di
antara pasien rawat jalan dengan penyakit mental berat, 2% -13% telah melakukan kekerasan
dalam 6 bulan hingga 3 tahun terakhir, dibandingkan dengan 20% - 34% yang pernah menjadi
korban kekerasan dalam rentang waktu yang sama.
EPIDEMIOLOGI
Studi yang menggabungkan pasien rawat jalan dan rawat inap melaporkan bahwa 12% hingga
22% telah melakukan kekerasan dalam 6 hingga 18 bulan terakhir dibandingkan 35% yang
pernah menjadi korban kekerasan dalam setahun terakhir.
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
1. Defensive Violance
2. Dominance-Defining Violence
3. Impulsive Violance
4. Calculated Violance
PATOGENESIS
● Amigdala dan hipotalamus berinteraksi dalam emosi amigdala dan ketakutan. Pasien dengan
kerusakan pada amigdala menunjukkan penurunan pengenalan ekspresi wajah menakutkan
dan amigdala aktif dalam sejumlah pengkondisian sosial dan paradigma ketakutan manusia.
PATOGENESIS
● Beberapa teori mengusulkan bahwa (a) itu adalah jaringan yang saling berhubungan antara
daerah limbik (amigdala), OFC, dan DLPFC yang terutama melayani pemrosesan emosi dan
perilaku yang didorong oleh tujuan (misalnya, fungsi "hedonis"), dan (b) kerusakan atau
disfungsi di salah satu area ini atau jaringan ini menghasilkan masalah dengan regulasi emosi
dan kesulitan selanjutnya dengan perilaku agresif.
PATOGENESIS
● Terdapat bukti yang cukup bahwa jaringan OFC dan DLPFC memfasilitasi aktivasi dan
penghambatan perilaku agresif. Pasien dengan lesi otak di OFC memiliki skor agresi /
kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol normal dan pasien dengan lesi
di daerah otak lain.
PATOGENESIS
● Penderita demensia atau delirium memiliki peningkatan risiko efek samping yang
parah bila diberikan antipsikotik atau benzodiazepin. Jika perlu, dosis yang lebih
rendah harus digunakan dengan rekomendasi 25% sampai 50% dari dosis standar
orang dewasa. Antipsikotik tertentu, seperti olanzapine atau ziprasidone, harus
dihindari pada pasien dengan riwayat demensia karena peningkatan risiko stroke dan
kematian.
TATALAKSANA
TATALAKSANA
● Benzodiazepine
Peningkatan dosis spektrum menghasilkan benzodiazepin secara efek progresif sebagai anxiolysis
dan antikonvulsan, efek amnesia, sedasi dan akhirnya hipnosis dan anestesi.
Benzodiazepin pada dasarnya adalah obat yang aman, bila diberikan kepada pasien dengan
hipovolemia atau fisiologis kompromi lainnya yang signifikan, mereka mungkin berkontribusi
depresi kardiovaskular dan pernapasan.
TATALAKSANA
● Anti psikotik
Olanzapine adalah 'antipsikotik atipikal' yang dapat diberikan secara oral atau sebagai injeksi
intramuskular. Olanzapin memiliki onset yang cepat dengan waktu paruh sekitar 30 jam. Dalam uji
klinis dosis dari 5–10 mg telah efektif.
Haloperidol dapat diberikan sebagai suntikan intramuskular. Memiliki onset kerja yang cepat
dengan efek yang berlangsung selama dua hingga empat jam.
BAB III
KESIMPULAN
● Pasien amuk atau pasien dengan perilaku kekerasan merupakan bentuk dari perilaku agresif,
Perilaku agresif adalah bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik
maupun psikologis. Perilaku kekerasan muncul dari interaksi yang kompleks seperti faktor
pribadi dan lingkungan namun, pengobatan dari perilaku kekerasan atau agresif sering terjadi
tanpa pertimbangan yang memadai dari sumber pasien dengan perilaku mengancam atau
kekerasan.
KESIMPULAN
● Beberapa teknik dasar verbal de-eskalasi bisa digunakan. Seringkali lebih aman untuk
meminta bantuan lebih awal dan untuk tetap berada pada jarak yang aman sampai dukungan,
seperti polisi dan ambulans, tiba. Jika ada gejala yang berpotensi serius mungkin perlu untuk
memberikan pengobatan tanpa penjadwalan segera dari pasien yang tidak kooperatif. Restraint
dan obat penenang paksa harus dianggap sebagai pilihan terakhir.
KESIMPULAN
● Pada pasien dengan psikosis akut, antipsikotik dianggap lini pertama. Benzodiazepin juga
dapat digunakan secara independen atau sebagai tambahan antipsikotik sedangkan pada
penderita demensia atau delirium memiliki peningkatan risiko efek samping yang parah bila
diberikan antipsikotik atau benzodiazepin. Jika perlu, dosis yang lebih rendah harus digunakan
dengan rekomendasi 25% sampai 50% dari dosis standar orang dewasa. Antipsikotik tertentu,
seperti olanzapine atau ziprasidone, harus dihindari pada pasien dengan riwayat demensia
karena peningkatan risiko stroke dan kematian .
TERIMAKASIH