Anda di halaman 1dari 75

Gawat Darurat

Psikiatri
Pasien “Amuk”
dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ. MARS
Latar Belakang
● Gangguan Jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya
distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.
● Seseorang yang mengalami gangguan jiwa merupakan orang yang beresiko tinggi melakukan
tindakan kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya.
● Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku amuk. Amuk merupakan suatu episode
disosiatif ditandai dengan periode berpikir sedih diikuti ledakan perilaku ingin membunuh,
agresif atau melakukan kekerasan yang ditujukan pada orang atau objek.
● Respon ini dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal.
Tinjauan
Pustaka
Definis

i
Amuk merupakan suatu episode disosiatif yang ditandai dengan periode berpikir
sedih diikuti ledakan perilaku ingin membunuh, agresif atau melakukan kekerasan
yang ditujukan pada orang atau objek.
• Amuk atau perilaku kekerasan merupakan respon marah terhadap adanya stress,
cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan.
• Secara internal dapat berperilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan
secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Faktor Biologis
Hal yang dikaji meliputi adanya faktor herediter yaitu adanya anggota keluarga yang
sering memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan, yang mengalami
gangguan jiwa, adanya riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan
NAPZA
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Faktor Neurobiologis
Teori dorongan naluri (Instinctual Drive Theory)
Perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
Penelitian neurobiologi mendapatkan adanya pemberian stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem limbik) ternyata menimbulkan
perilaku agresif.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Faktor Neurobiologis
Teori Psikosomatik (Psycosomatic Theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon psikologi terhadap stimulus
eskternal maupun internal. Sehingga sistem limbik memiliki peran sebagai pusat
untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
Faktor Psikologi
Frustation Aggrresion Theory
Keadaan frustasi dapat mendorong individu untuk berperilaku agresif karena
perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
Teori Perilaku (Behavioral Theory)
Reinforcement yang diterima saat melakukan kesalahan sering menimbulkan
kekerasan di dalam maupun di luar rumah.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
Faktor
01 Predisposisi
• Teori Eksistensi (Existential Theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai perilaku. Apabila
kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui perilaku konstruktif, maka individu akan
memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
01 Faktor Predisposisi
• Faktor Sosial Budaya
Norma budaya dapat mendukung individu untuk berespon asertif atau agresif. Agresi
dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan
penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi
Faktor Terjadinya Perilaku Amuk
(Kekerasan)
02 Faktor Prespitasi
Faktor ini berhubungan dengan pengaruh stresor yang mencetuskan perilaku
kekerasan bagi setiap individu. Stresor tersebut dapat merupakan penyebab yang
berasal dari dalam maupun dari luar individu.
 
Perilaku
Kekerasan
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan
antara lain:
• Menyerang atau menghindar (Flight or Fight)
• Menyatakan secara asertif (assertiveness)
• Memberontak (acting out)
• Perilaku Kekerasan
Patofisiologi
Mekanisme Koping
Secara umum mekanisme koping yang sering digunakan antara lain mekanisme pertahanan ego

Sublima 1 2 Proyeksi
si

Reaksi
Represi 3 4
Formasi
5
Displaceme
nt
Rentang Respon
Marah

● Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain


● Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/ terhambat
● Pasif : Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan perasaannya
● Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
● Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol
Hierarki
Perilaku
Kekerasan
Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif,
Agresif
  Pasif Asertif Agresif
Isi bicara  Negatif  Positif  Berlebihan
 Menghina  Menghargai diri sendiri  Menghina orang lain
 Dapatkah saya  Saya dapat atau akan  Anda selalu atau tidak
lakukan lakukan pernah
 Dapatkah ia
lakukan
Nada suara  Diam  Diatur  Tinggi
 Lemah  Menuntut
 Merengek
Postur/sikap tubuh  Melotot  Tegak  Tenang
 Menundukan  Rileks  Bersandar ke depan
kepala
Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif,
Agresif
Pasif Asertif Agresif

Personal space  Orang lain dapat  Menjaga jarak yang  Memasuki teritorial
masuk teritorial menyenangkan orang lain
pribadinya.  Mempertahankan hak
tempat atau teritorial

Gerakan  Minimal  Memperlihatkan gerakan  Mengancam


 Lemah yang sesuai  Ekspansi gerakan
 Resah
Kontak mata  Sedikit atau tidak  Sekali-sekali sesuai  Melotot
dengan kebutuhan
interaksi
Tanda dan
Gejala
Data Subyektif Data Obyektif
• Ungkapan berupa ancaman • Wajah memerah dan tegang
• Ungkapan kata-kata kasar • Pandangan tajam
• Ungkapan ingin memukul.melukai • Mengatupkan rahang kuat
• Mengepalkan tangan
• Bicara kasar, suara tinggi (menjerit)
• Mondar mandir
• Melempar atau memukul benda/orang
Evaluasi dan

Terapi
Klinisi harus menganggap selalu mungkin terjadi kekerasan dan tidak boleh terkejut
karena tindakan kekerasan tiba-tiba.
• Jika ditemukan senjata, senjata tersebut harus selalu diserahkan kepada penjaga
keamanan.
• Pasien yang berpotensi melakukan kekerasan sebaiknya tidak diwawancarai sendirian
atau didalam ruangan dengan pintu tertutup.
• Klinisi harus mewaspadai tanda-tanda akan terjadinya kekerasan, seperti
menggemertakan gigi dan mengepalkan tangan, ancaman verbal (mengancam).
Evaluasi dan
Terapi
• Waspadai ketersediaan senjata atau objek yang berpotensi digunakan sebagai senjata,
agitasi psikomotor, dan halusinasi perintah.
• Petugas yang cukup harus siap untuk mengikat pasien dengan aman jika diperlukan.
• Pengawasan yang konstan mungkin perlu untuk menahan pasien yang melakukan
kekerasan dan perawatan rumah sakit secara involuntar untuk menstabilkan pasien
adalah akibat yang lazim
Kesimpulan
1. Amuk merupakan suatu episode disosiatif yang ditandai periode berpikir sedih diikuti
ledakan perilaku ingin membunuh, agresif atau melakukan kekerasan yang ditujukan pada
orang atau objek
2. Penyebab terjadinya perilaku kekerasan dapat dijelaskan dengan menggunakan konsep
stres meliputi faktor predisposisi dan faktor presipitasi
3. Amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stresor dengan gerakan motorik
yang tidak terkontrol (desktruktif). Marah yang dialami setiap individu memiliki rentang
dimulai dari respon adaptif sampai maladaptif.
Kesimpulan
4. Rentang respon kekerasan pada pasien amuk yaitu dari asertif, frustasi, pasif, agresif dan
amuk.
5. Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan didukung
dengan hasil observasi menurut data subyektif dan data obyektif.
6. Mekanisme koping secara umum sering digunakan antara lain mekanisme pertahanan ego
seperti displacement, sublimasi, proyeksi, depresi, denial, dan reaksi formasi.
Electroconvulsiv
e
Therapy (ECT)
dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS
Latar Belakang
● Gangguan jiwa merupakan masalah gangguan pada otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi.
● Electro convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non
farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik
tertentu yang berat.
● ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum SSP.
● Pada saat ini, ECT tidak begitu menyakitkan dan lebih manusiawi. Pasien mulanya diberi obat
bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik sangat lemah dialirkan
ke otak melalui kedua pelipis atau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak
dominan.
Tinjauan
Pustaka
Definisi
Electro convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah
suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam
pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik
tertentu yang berat.
ECT menggunakan arus listrik singkat melalui otak yang
menginduksi kejang umum sistem saraf pusat.
Respons ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan
dalam suatu periode dalam beberapa minggu.
Sejarah Perkembangan ECT
Tahun 1940

●Untuk mengurangi gangguan ingatan dan kebingungan setelah


terapi kejang diperkenalkan 2 cara modifikasi dari ECT, yaitu:
Tahun 1934 1. Mempergunakan elektrode yang unilateral satu pada sisi

●Pengobatan yang menggunakan pelipis/temporal yang dominan/kiri dan satu elektrode di atas

bangkitan kejang diperkenalkan bagi kepala (verteks); untuk yang kidal temporal kanan dan verteks.

pengidap skizofrenia dan penderita 2. Arus kejut listrik yang searah arus sinusoidal, sedangkan listrik

epilepsi yang disertai gangguan jiwa. yang dipakai pada pertama kali adalah arus bolak balik (arus
transversal). Aliran arus dibuat searah yang sinusoidal.
Sejarah Perkembangan ECT

Tahun 1951 Tahun 1970

●Pada tahun 1951 digunakan secara luas untuk ●Pada tahun 1970 dilaporkan oleh American
memodifikasi penggunaan dari ECT dengan Psychiatric Association (APA) bahwa pengobatan
bantuan anaesthesi ringan depresi dipakai ECT dan selanjutnya diikuti laporan
dalam tahun 1990 sampai tahun 2001.
Indikasi
ECT
Indikasi Primer ECT
1.
2.
Gangguan Depresi Mayor
Gangguan bipolar, mania
3. Skizofrenia

Indikasi Sekunder ECT


1. Katatonia
2. Penyakit Parkinson
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
4. Delirium
Kontraindikasi
ECT
• Penyakit kardiovaskuler yang berat dan tidak stabil, seperti infark
miokard, unstable angina, gagal jantung, penyakit katup jantung yang
berat termasuk stenosis aorta yang berat.
• Malformasi vaskuler dan aneurisma yang dapat rupture dengan
peningkatan tekanan darah
• Peningkatan tekanan intracranial karena adanya tumor otak atau lesi
desak ruang pada cerebri.
• Gangguan pernapasan seperti, penyakit paru obstruksi kronik, asma,
dan pneumonia.
• Osteoporosis
Prosedur ECT
01 Informed Consent A
Persiapan Pasien 02
B
03 Persiapan Alat
C Pelaksanaan 04
05 Pengawasan Pasca ECT D
Penempatan
ECT Bilateral
Elektrode
• Pusat elektroda harus 4 cm di atas, dan tegak lurus, titik tengah
dari garis antara sudut lateral mata dan meatus auditori eksternal.
• Satu elektroda diletakkan untuk setiap sisi kepala, dan posisi ini
disebut sebagai ECT temporal. (Beberapa penulis menyebut ECT
frontotemporal.)
• Ada eksperimen lain untuk posisi elektroda di ECT bilateral yaitu
ECT frontal, di mana jarak elektroda hanya sekitar 5 cm (2 inci)
dan masing-masing sekitar 5 cm di atas jembatan hidung
Penempatan
ECT Unilateral
Elektrode
• Posisi Elia, di mana salah satu elektroda dalam posisi yang sama
seperti dalam ECT bilateral tradisional dan lainnya diaplikasikan di
atas permukaan parietal dari kulit kepala.
• Tujuannya untuk memaksimalkan jarak antara elektroda untuk
mengurangi arus listrik dan memilih situs di mana busur
elektroda dapat diterapkan dengan tegas dan datar terhadap kulit
kepala.
• ECT unilateral biasanya diaplikasikan di atas belahan non-
dominan, yang merupakan sisi kanan kepala di kebanyakan
Penempatan
Elektrode

Posisi elektroda temporal (A) atau posisi temporopariental/elia’s positioning (B)


Stimulus Listrik dan Kejang
• Stimulus listrik harus cukup kuat untuk mencapai ambang kejang (tingkat
intensitas yang dibutuhkan untuk menghasilkan kejang).

• Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan


kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang
anatar 25-60 detik dengan menggunakan jumlah energi listrik terkecil.

• Kejang yang >60 detik sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang
supra dan harus dikurangi pada saat pengobatan berikutnya.
Stimulus Listrik dan Kejang
• Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera diikuti dengan stimulasi
berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi.

• Pada kejang <25 detik, stimulus harus diulang sekali lagi. Jika hal ini
menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus
ditingkatkan, dan harus diberikan stimulus ketiga. Jika stimulasi gagal untuk
menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri.

• Stimulus harus dibiarkan berlalu hingga 60 hingga 90 detik sebelum


mengulangi stimulasi, selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.
Obat-obatan dalam proses
ECT
Antikolinergik Muskarinik
• Prinsipnya: menurunkan efek dari stimulasi vagal
karena ECT.
• Obat antikolinergik yang biasa digunakan adalah
atropin (0,4-0,8 mg iv atau 0,3-0,6 mg im) dan
glycopyrrolate (0,2-0,4 mg iv atau im).
Obat-obatan dalam proses
ECT
Anasthesia.
• Agen induksi yang ideal untuk ECT bertujuan untuk
ketidaksadaran yang cepat, injeksi tanpa nyeri, tanpa
efek hemodinamik, tanpa properti antikonvulsan,
memberikan pemulihan cepat, dan tidak mahal.
• Belum ada obat yang memenuhi semua karakter
tersebut. Namun, methohexital memenuhi banyak
kriteria yang telah disebutkan di atas, thiopental,
ketamin, propofol, dan etomidate juga telah berhasil
digunakan pada terapi ECT.
Obat-obatan dalam proses
ECT
Muscle Relaxant
• Bertujuan untuk mencegah cedera pada sistem
muskuloskeletal dan meningkatkan manajemen jalan nafas.
Prinsipnya adalah menyediakan relaksasi otot.
• Umumnya, dosis succinylcholine adalah 0,5-1 mg/kg.
• Atracurirum 0,3-0,5 mg/kg, miyacurim 0,1-0,2 mg/kg,
rocuronium 0,4-0,6 mg/kg, dan rapacuronium 1-2 mg/kg,
merupakan obat-obat alternative untuk succynilcholine.
Efek Samping ECT
Efek Terhadap Memory
● Kematian
Pasien mengalami gangguan
memori seperti kehilangan
ingatan

● Efek Terhadap SSP Efek Samping Lain


●Sakit kepala, kebingungan, dan ●Fraktur, Nyeri, mual,
delirium setelah kejang muntah, dan sakit kepala
Kesimpulan
1. ECT adalah suatu intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam
pengobatan pasien dengan gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat.
2. Indikasi dilakukannya ECT terbagi menjadi indikasi primer dan sekunder.
3. Kontraindikasi dilakukannya ECT yaitu penyakit kardiovaskuler yang berat dan
tidak stabil, malformasi vaskuler dan aneurisma yang dapat rupture dengan
peningkatan tekanan darah, peningkatan tekanan intracranial karena adanya
tumor otak atau lesi desak ruang pada cerebri, gangguan pernapasan seperti,
penyakit paru obstruksi kronik, asma, dan pneumonia, osteoporosis.
Kesimpulan

4. Penempatan ECT terbagi menjai ECT bilateral dan unilateral.


5. Prosedur dari ECT terdiri dari informed consent, persiapan pasien, persiapan alat,
pelaksanaan dan pengawasan pasca ECT.
6. Beberapa efek samping dari ECT yaitu kematian, efek pada SSP, efek terhadap
memori, dan beberapa efek samping lainnya seperti mual, muntah, sakit kepala
hingga fraktur.
Terima
Kasih
FARMAKOLOGI PADA PASIEN
AMUK

dr. Abdullah Shahab, Sp.KJ, MARS.


LATAR BELAKANG

Jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta dan diperkirakan sekitar 60%
diantaranya mengalami risiko perilaku kekerasan. Tanda gejala yang umum perilaku
kekerasan adalah ada ide melukai, merencanakan tindakan kekerasan, mengancam,
penyalahgunaan obat, depresi berat, marah, sikap bermusuhan/panik, bicara ketus,
mengucapkan kata-kata kotor, serta adanya riwayat perilaku kekerasan.
LATAR BELAKANG

Pasien dengan perilaku kekerasan merupakan keadaan darurat akut di fasilitas kesehatan
mental. Penyedia perawatan dapat dihadapkan dengan ancaman langsung terhadap
keselamatan diri mereka sendiri, komunitas dan pasien. Dokter perlu menangani keadaan
darurat akut sementara pada saat yang sama menangani kebutuhan pasien dengan sebaik
mungkin perawatan kesehatan mental yang berkelanjutan. De-eskalasi verbal dan manajemen
farmakologis adalah landasan dari perilaku kekerasan.
LATAR BELAKANG

Pasien amuk atau pasien dengan perilaku kekerasan merupakan bentuk dari perilaku agresif,
Perilaku agresif adalah bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik
maupun psikologis. Pasien amuk perlu penanganan lebih khusus dibanding dengan pasien
gangguan jiwa yang keadaanya tenang.
TUJUAN

1. Diharapkan dapat memahami Farmakoterapi pada Pasien Amuk.

2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis terhadap Farmakoterapi pada Pasien Amuk.

3. Diharapkan dapat mengaplikasikan pemahaman yang didapat mengenai Farmakoterapi pada


Pasien Amuk.
MANFAAT TEORITIS

● Bagi Institusi
Diharapkan ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan sebagai tambahan referensi
tentang Farmakoterapi pada Pasien Amuk.
● Bagi Akademik
Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan karya ilmiah.
MANFAAT PRAKTIS

Diharapkan agar dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh ini dalam kegiatan klinik dan
dapat diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.
BAB II

DEFINISI

Definisi perilaku kekerasan biasanya mencakup beberapa kombinasi dari elemen berikut: ekspresi
energi yang mungkin diarahkan pada tujuan; perilaku tidak bermoral, menjijikkan dan tidak pantas;
niat untuk menyakiti, merusak atau menyakiti orang lain secara fisik atau psikologis; niat untuk
mendominasi orang lain; pengalaman dan ekspresi kemarahan; perilaku defensif dan protektif;
pelecehan verbal, pembicaraan menghina, ancaman atau gerakan non-verbal yang mengungkapkan
hal yang sama; penggunaan instrumental.
DEFINISI

merusak benda atau lingkungan, dari perusakan hingga pecahnya jendela, furnitur dan sebagainya;
mencoba untuk melukai secara fisik atau membunuh orang lain dengan atau tanpa menggunakan
senjata, atau memaksa orang lain untuk menyerah atau menyetujui tindakan atau situasi yang tidak
diinginkan melalui penggunaan kekerasan; dan tampilan atau kontak seksual yang tidak pantas,
tidak diinginkan atau ditolak.
EPIDEMIOLOGI

studi melaporkan tingkat yang tinggi untuk terjadinya perilaku kekerasan (17% - 50%). Di
antara pasien rawat jalan dengan penyakit mental berat, 2% -13% telah melakukan kekerasan
dalam 6 bulan hingga 3 tahun terakhir, dibandingkan dengan 20% - 34% yang pernah menjadi
korban kekerasan dalam rentang waktu yang sama.
EPIDEMIOLOGI

Studi yang menggabungkan pasien rawat jalan dan rawat inap melaporkan bahwa 12% hingga
22% telah melakukan kekerasan dalam 6 hingga 18 bulan terakhir dibandingkan 35% yang
pernah menjadi korban kekerasan dalam setahun terakhir.
ETIOLOGI

KLASIFIKASI

1. Defensive Violance
2. Dominance-Defining Violence
3. Impulsive Violance
4. Calculated Violance
PATOGENESIS

● Amigdala dan hipotalamus berinteraksi dalam emosi amigdala dan ketakutan. Pasien dengan
kerusakan pada amigdala menunjukkan penurunan pengenalan ekspresi wajah menakutkan
dan amigdala aktif dalam sejumlah pengkondisian sosial dan paradigma ketakutan manusia.
PATOGENESIS

● Beberapa teori mengusulkan bahwa (a) itu adalah jaringan yang saling berhubungan antara
daerah limbik (amigdala), OFC, dan DLPFC yang terutama melayani pemrosesan emosi dan
perilaku yang didorong oleh tujuan (misalnya, fungsi "hedonis"), dan (b) kerusakan atau
disfungsi di salah satu area ini atau jaringan ini menghasilkan masalah dengan regulasi emosi
dan kesulitan selanjutnya dengan perilaku agresif.
PATOGENESIS

● Terdapat bukti yang cukup bahwa jaringan OFC dan DLPFC memfasilitasi aktivasi dan
penghambatan perilaku agresif. Pasien dengan lesi otak di OFC memiliki skor agresi /
kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol normal dan pasien dengan lesi
di daerah otak lain.
PATOGENESIS

● Pasien Alzheimer yang mengalami masalah dengan disinhibisi perilaku menunjukkan


penurunan aktivitas metabolik OFC, DLPFC, dan cingulate anterior yang tidak ada pada
pasien demensia Alzheimer tanpa perilaku kekerasan.
PATOGENESIS

● Pada pasien dengan sindrom mental organik dan perilaku kekerasan, lesi di daerah amigdala-
hipokampus ditemukan pada pemindaian pencitraan otak yang tidak ada pada pasien organik
tanpa kekerasan. Studi ini menyimpulkan bahwa kerusakan luas pada amigdala (sebagai lawan
dari lesi bedah yang tepat) menghasilkan disinhibisi perilaku dan perilaku kekerasan.
TATALAKSANA

NON-FARMAKOLOGI
TATALAKSANA

FARMAKOLOGI
● American College of Emergency Physicians (ACEP) merekomendasikan penggunaan
antipsikotik khas (haloperidol 2 hingga 5 mg secara oral, intramuskular, atau intravena [PO /
IM / IV] dan droperidol 5 mg IM) atau benzodiazepin (lorazepam 2 mg PO / IM / IV atau
midazolam 2 sampai 5 mg IM) untuk pasien kekerasan yang membutuhkan penanganan cepat.
Obat-obatan ini dapat diberikan secara intranasal, intramuskular, atau intravena.
TATALAKSANA

● Jika pasien segera mengalami kekerasan, obat-obatan dengan kadar plasma puncak yang
lebih cepat seperti olanzapine (5 hingga 10 mg IM) atau ziprasidone (10 hingga 20 mg
IM) dapat disuntikkan secara intramuskular tetapi kemungkinan akan membutuhkan
dosis yang lebih berulang dibandingkan dengan alternatif lain.
TATALAKSANA


Pada pasien dengan psikosis akut, antipsikotik dianggap lini pertama. Benzodiazepin
juga dapat digunakan secara independen atau sebagai tambahan antipsikotik.

● Penderita demensia atau delirium memiliki peningkatan risiko efek samping yang
parah bila diberikan antipsikotik atau benzodiazepin. Jika perlu, dosis yang lebih
rendah harus digunakan dengan rekomendasi 25% sampai 50% dari dosis standar
orang dewasa. Antipsikotik tertentu, seperti olanzapine atau ziprasidone, harus
dihindari pada pasien dengan riwayat demensia karena peningkatan risiko stroke dan
kematian.
TATALAKSANA


TATALAKSANA

● Benzodiazepine
Peningkatan dosis spektrum menghasilkan benzodiazepin secara efek progresif sebagai anxiolysis
dan antikonvulsan, efek amnesia, sedasi dan akhirnya hipnosis dan anestesi.
Benzodiazepin pada dasarnya adalah obat yang aman, bila diberikan kepada pasien dengan
hipovolemia atau fisiologis kompromi lainnya yang signifikan, mereka mungkin berkontribusi
depresi kardiovaskular dan pernapasan.
TATALAKSANA

● Anti psikotik
Olanzapine adalah 'antipsikotik atipikal' yang dapat diberikan secara oral atau sebagai injeksi
intramuskular. Olanzapin memiliki onset yang cepat dengan waktu paruh sekitar 30 jam. Dalam uji
klinis dosis dari 5–10 mg telah efektif.
Haloperidol dapat diberikan sebagai suntikan intramuskular. Memiliki onset kerja yang cepat
dengan efek yang berlangsung selama dua hingga empat jam.
BAB III

KESIMPULAN

● Pasien amuk atau pasien dengan perilaku kekerasan merupakan bentuk dari perilaku agresif,
Perilaku agresif adalah bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik
maupun psikologis. Perilaku kekerasan muncul dari interaksi yang kompleks seperti faktor
pribadi dan lingkungan namun, pengobatan dari perilaku kekerasan atau agresif sering terjadi
tanpa pertimbangan yang memadai dari sumber pasien dengan perilaku mengancam atau
kekerasan.
KESIMPULAN

● Beberapa teknik dasar verbal de-eskalasi bisa digunakan. Seringkali lebih aman untuk
meminta bantuan lebih awal dan untuk tetap berada pada jarak yang aman sampai dukungan,
seperti polisi dan ambulans, tiba. Jika ada gejala yang berpotensi serius mungkin perlu untuk
memberikan pengobatan tanpa penjadwalan segera dari pasien yang tidak kooperatif. Restraint
dan obat penenang paksa harus dianggap sebagai pilihan terakhir.
KESIMPULAN

● Pada pasien dengan psikosis akut, antipsikotik dianggap lini pertama. Benzodiazepin juga
dapat digunakan secara independen atau sebagai tambahan antipsikotik sedangkan pada
penderita demensia atau delirium memiliki peningkatan risiko efek samping yang parah bila
diberikan antipsikotik atau benzodiazepin. Jika perlu, dosis yang lebih rendah harus digunakan
dengan rekomendasi 25% sampai 50% dari dosis standar orang dewasa. Antipsikotik tertentu,
seperti olanzapine atau ziprasidone, harus dihindari pada pasien dengan riwayat demensia
karena peningkatan risiko stroke dan kematian .
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai