Inkompatibilitas obat
Kelompok 1
• Inkompatibilitas atau Obat Tak Tercampurkan (OTT) adalah
pencampuran obat yang tidak diinginkan terjadi demikian
menyebabkan interaksi langsung secara fisik dan kimiawi, dapat
muncul dengan akibat hilangnya potensi, meningkatknya toksisitas
atau efek samping lainnya, yang hasilnya mingkin terlihat sebagai
pembentukan serbuk menjadi lembab, pembentukan endapan,
perubahan warna, dan lain-lain atau mungkin juga tidak terlihat.
Reaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat.
• Jenis-jenis inkompatibilitas obat:
• Reaksi karena pengaruh zat-zat yang bereaksi asam dan basa dapat
mengakibatkan pembentukan gas.
• Reaksi oksidase-reduksi, seperti halnya adrenalin jika terkena cahaya
menjadi adrenokrom (berwarna merah) sehingga ampul adrenalin
harus kedap cahaya/dibungkus kertas karbon
• Terjadi perubahan warna coklat dan lembab, pengatasannya vitamin C
dibuat serbuk tersendiri.
Inkompatibilitas terapeutik
Dibagi menjadi 2, yaitu:
• Inkompatibilitas farmakokinetik: interaksi antar 2 obat atau lebih obat yang
diberikan bersamaan dan saling mempengaruhi dalam proses ADME (Absorbsi,
Distribusi, Metabolisme, dan Eliminasi) sehingga dapat meningkatkan atau
menurunkan salah satu kadar obat dalam darah. Contoh interaksi tetrasiklin
dengan antasida > mengurangi absorbsi tetrasiklin
• Inkompatibilitas farmakodinamik: interaksi antar obat (yang diberikan
bersamaan) yang bekerja pada reseptor yang sama sehinggamenimbulkan efek
sinergis (menguatkan) atau antagonis (mentiadakan). Contoh interaksi antagonis
Obat yang dipengaruhi Obat yang berinteraksi Hasil interaksi
Antikoagulan Vitamin K Efek antikoagulan dihambat
Karbenoksolon Spironolakton Efek penyembuhan tukak
dihambat
ABSORPSI
Gastrointestinal
Media litbang Kesehatan Volume XVIII No. 4 Tahun 2008, Retno Gitawati. Interaksi Obat dan beberapa Implikasinya
https://media.neliti.com/media/publications/160648-ID-none.pdf
ABSORPSI
Gastrointestinal
Distribusi terjadi karena pergeseran ikatan protein plasma. Interaksi obat yang melibatkan proses
distribusi akan bermakna klinik jika:
• Obat memiliki ikatan yang kuat dengan protein plasma (minimal 85%) & volume distribusi yang kecil
(≤0,15 L/kg) sehingga pergeseran sedikit saja akan menimbulkan kadar obat bebas secara bermakna
• Mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga peningkatan kadar obat bebas tersebut dapat
mencapai kadar toksik
• Efek toksik yang serius telah terjadi sebelum kompensasi tersebut misalnya terjadi perdarahan pada
antikoagulan oral, hipoglikemia pada antidiabetic oral
• Eliminasinya mengalami kejenuhan misalnya pada fenitoin, salisilat dan dikumarol sehingga
peningkatan kadar tidak obat bebas tidak segera disertai dengan peningkatan kecepatan eliminasinya
Interaksi dalam Ikatan Protein Plasma
Obat yang bersifat asam terikat Obat yang bersifat basa terikat
pada albumin pada asam alfa1-glikoprotein
Sumber :
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.2008.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Katzung, B.G, dkk. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik. Ed. 12. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Fase I
• Reaksi fase I : mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar,
yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada
bentuk aslinya sehingga mudah dieksresikan.
• Enzim yang berperan dalam biotransformasi dibedakan berdasarkan
letaknya :
• Mikrosom halus : kaya akan enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme
obat oksidatif. Mengandung kelas enzim penting yang dikenal sebagai mixed
function oxidase (MFO) atau monooxygenases.
• Sitokrom P450 (CYP) : berfungsi sebagai terminal oksidase.
Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku
terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati sitokrom
P450 (CYP). Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam metabolisme obat, antara lain:
CYP2D6 yang dikenal juga sebagai debrisoquin hidroksilase dan merupakan isoenzim
CYP pertama yang diketahui,
aktivitasnya dihambat oleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine, terbinafine;
CYP3A merupakan enzim yang memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang
banyak digunakan dan terdapat selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain
dihambat oleh ketokonazol, itrakonazol, eritromisin, klaritromisin, diltiazem, nefazodon;
CYP1A2 merupakan ezim pemetabolis penting di hati untuk teofilin, kofein, klozapin
dan R-warfarin, dihambat oleh obat-obat seperti siprofloksasin, fluvoksamin.
Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan peningkatan
kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga memungkinkan aktivitas
substrat meningkat sampai terjadinya efek samping yang tidak dikehendaki
Contohnya : Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5)
dengan ketokonazol, itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten
CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar substrat, yang menyebabkan toksisitas
berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia ventrikel
(torsades de pointes) yang fatal (cardiac infarct).
Induktor enzim pemetabolis (CYP) akan meningkatkan sistensis enzim tersebut.
Interaksi induktor CYP dengan substratnya menyebabkan laju kecepatan
metabolisme obat (substrat) meningkat sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat
akan menurun; atau sebaliknya, induksi CYP menyebabkan meningkatnya
pembentukan metabolit yang bersifat reaktif sehingga memungkinkan timbulnya
risiko toksik
Contohnya : Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor
enzim seperti rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar estradiol menurun
sehingga efikasi kontraseptik oral menurun
Fase II
• Reaksi fase ll (reaksi sintetik) : konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat
endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, atau asam amino.
• Metabolit – metabolit fase I yang mengandung gugus kimia tertentu sering mengalami reaksi
penyatuan atau konjungsi dengan bahan endogen untuk menghasilkan konjugat obat.
• Pembentukan konjugat memerlukan zat-zat antara berenergi tinggi dan enzim transfer spesifik (enzim
mikrosom) yang mengatalisis penggabungan suatu bahan endogen aktif (misalnya turunan UDP dari
asam glukuronat) dengan suatu obat (atau senyawa endogen seperti bilirubin, produk akhir
metabolisme hem).
• Glutation transferase (GST) sitosol dan mikrosom juga terlibat dalam metabolisme obat dan
xenobiotika, serta masing-masing metabolisme leukotrien dan prostaglandin.
• Terakhir, epoksida endobiotik, obat, dan xenobiotik yang dihasilkan melalui oksidasi yang dikatalisis
P450 juga dapat dihidrolisis oleh epoksida hidrolase (EHs) sitosol atau mikrosom.
• Reaksi fase II relatif lebih cepat dari reaksi katalisasi oleh P450, sehingga lebih efektif dalam
mempercepat biotransformasi obat.
Interaksi pada proses metabolisme
Peran metabolisme obat pada dasarnya obat aktif yang larut dalam lemak diubah
menjadi tidak aktif sehingga mudah dikeluarkan dari tubuh.
Pegang peran : enzym cytochrome P-450.
Obat atau makanan/substansi lain :
- memacu kerja enzym ( enzym inducer )
- menghambat kerja enzym ( enzym inhibitor )
Makanan yang masuk golongan
Enzym inducer :
- Charbroiled food ( cyp 1A2 )
- Cigarette smoke ( cyp 1A2 )
- Ethanol ( cyp 2C9 ; cyp 2E1 )
Enzym inhibitor :
- Grape fruit juice ( cyp 1A2 ; cyp 3A4 )
Beberapa contoh interaksi pada proses metabolisme
Enzym inducer :
• Asetaminofen (parasetamol)+ charbroiled food kadar asiteminofen dalam
darah rendah
• Demikian juga pada perokok
Enzym inhibitor :
• Nifedipin + grapefruit juice kadar nifedipin dalam darah tetap tinggi dan
efeknya jauh lebih lama
Interaksi Farmakokinetik :
Interaksi Obat Dalam Eksresi di Ginjal
Perubahan pH urin
Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
Contoh :
Add Text
Simple PowerPoint
Presentation
Add Text
Simple PowerPoint
Presentation
Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI
FARMAKODINAMIK
• Adalah interaksi antara obat yang bekerja pada system reseptor, tempat
kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek aditif, sinergistik
atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma
• Jenis interaksi farmakodinamik :
Interaksi pada reseptor
Interaksi fisiologik
Perubahan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit
Gangguan mekanisme ambilan amin di ujung saraf adrenergic
Interaksi dengan menghambat monoamine oksidase
• Usahakan memberikan jumlah obat sesedikit mungkin pada tiap-tiap penderita, termasuk
pemberian obat-obat OTC (obat bebas) dan herbal.
• Menghindarkan kombinasi obat yang memiliki resiko tinggi interaksi obat.
• Dalam memberikan obat, perhatian terutama pada pasien usia lanjut, pasien dengan
penyakit yang sangat berat, pasien dengan adanya disfungsi hati atau ginjal
• Sangat berhati-hati jika menggunakan obat-obat dengan batas keamanan sempit
(antikoagulan, digitalis, antidiabetik, antiaritmia, antikonvulsan, antipsikotik, antidepresan,
imunosupresan, sitostatika) dan obat-obat inhibitor kuat (ketokonazol, itrakonazol,
eritomisin, klaritromisin).
• Melakukan monitoring terhadap kejadian interaksi (misal: terhadap tanda, gejala, uji
laboratorium) sehingga dapat cepat terdeteksi dan diambil tindakan yang memadai, seperti
menyesuaikan dosis atau menghentikan salah satu atau semua obat yang digunakan
• Minum obat dengan air tawar dan tidak dengan sari buah/jus, teh ataupun susu.
• Menyesuaikan dosis obat yang diberikan kepada pasien untuk dua atau lebih
obat yang berinteraksi.
• Memberikan jeda 2 jam sebelum atau 4 jam sesudah obat pencetus interaksi
diberikan bila berinteraksi pada fase absorbsi.
• Memberikan informasi kepada pasien tentang efek yang merugikan dari interaksi
obat.
• Meningkatkan sistem komputerisasi skrining obat sebelum diberikan kepada
pasien.
• Menimimalkan adanya kombinasi obat yang berlebihan. Perlunya monitoring
untuk obat – obat yang berinteraksi dengan inhibitor enzim.
Sumber:
- Media Litbang Kesehatan volume XVII Nomor 4 2008
- journal.umbjm.ac.id/index.php/jcps