0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan19 halaman
CAPD merupakan alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien. Metode ini memanfaatkan proses difusi dan ultrafiltrasi melalui membran peritoneum untuk mengeluarkan limbah melalui cairan dialisat. Walaupun memiliki beberapa kelemahan seperti risiko infeksi, CAPD dapat mempertahankan fungsi ginjal sisa dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
CAPD merupakan alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien. Metode ini memanfaatkan proses difusi dan ultrafiltrasi melalui membran peritoneum untuk mengeluarkan limbah melalui cairan dialisat. Walaupun memiliki beberapa kelemahan seperti risiko infeksi, CAPD dapat mempertahankan fungsi ginjal sisa dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
CAPD merupakan alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien. Metode ini memanfaatkan proses difusi dan ultrafiltrasi melalui membran peritoneum untuk mengeluarkan limbah melalui cairan dialisat. Walaupun memiliki beberapa kelemahan seperti risiko infeksi, CAPD dapat mempertahankan fungsi ginjal sisa dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Peran Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis dalam
Pemerataan Layanan Pengganti Ginjal di Indonesia
Pembimbing : dr. Hijrah Saputra W.S., Sp.PD
Disusun oleh : Diinar Syifaa Najdiifah
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAEAH SEKARWANGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2022 PENDAHULUAN • Di Indonesia, berdasarkan data Indonesian renal registry (IRR) pada tahun 2018, jumlah pasien aktif yang mendapatkan terapi pengganti ginjal (TPG) adalah sebanyak 499 per juta penduduk dengan pertambahan pasien yang mendapatkan TPG sebesar 251 per juta penduduk. Meningkat hampir 2x lipat dibanding tahun sebelumnya. • TPG yang dapat dipilih oleh pasien PGTA : hemodialisis (HD), peritoneal dialysis (PD), dan transplantasi ginjal. • Dari dua jenis Peritoneal Dialysis yang tersedia : (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD dan automatic peritoneal dialysis), hanya CAPD yang telah tersedia di Indonesia. • Tujuan : CAPD sebagai suatu alternatif TPG yang dapat dilakukan pasien secara mandiri dengan harapan dapat meningkatkan peran dan pengetahuan klinisi dalam pemerataan layanan pasien PGTA di Indonesia khususnya dengan CAPD DEFINISI Peritoneal dialysis adalah proses difusi dan ultrafiltrasi dari kompartemen darah yang banyak mengandung toksin uremik ke dalam cairan dialisat peritoneal yang bersifat hiperosmolar melalui membran peritoneum. ANATOMI RONGGA PERINEUM
• Peritoneum merupakan membran serosa yang
meliputi rongga abdomen dan terdiri dari peritoneum parietal dan peritoneum visceral. • Membran peritoneum memiliki luas permukaan yang sama dengan luas permukaan tubuh yaitu sekitar 1-2 m2 pada dewasa. • Total aliran darah peritoneum berkisar ~50-100 ml/menit, atau 1% dari total cardiac output. • rongga peritoneum, yang pada orang normal didapatkan cairan kurang dari 100 mL dan pada proses CAPD dapat dimasukkan hingga 3 liter dialisat tanpa menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien. FISIOLOGI PERITONEAL DIALYSIS 1. Difusi 2. Ultrafiltrasi 3. Absorpsi Partikel terlarut yang • Pada CAPD, proses ini tercapai Cairan Absorpsi cairan dari mengandung toksin uremik dengan menambahkan larutan rongga peritoneal terjadi osmotik pada cairan dialisis melalui drainase aliran limfatik (ureum, kreatinin, kalium, seperti dextrose, asam amino, dll.) berdifusi dari pembuluh dextran, sehingga dijumpai dengan laju absorpsi yang kapiler peritoneum menuju perbedaan gradien osmotik konstan. Laju absorpsi cairan peritoneal (dialisat). antara kapiler peritoneal dan peritoneal sekitar 1-2 ml/min. cairan peritoneum. Faktor yang memengaruhi laju Sedangkan, glukosa atau absorpsi cairan pada bikarbonat pada cairan • Pada CAPD, proses ultrafiltrasi peritoneal antara lain tekanan dialisat berdifusi dari arah akan terus berlangsung hingga hidrostatik intraperitoneal dan sebaliknya. cairan dialisis berubah menjadi isotonik. efektivitas saluran limfatik. PERITONEAL EQUILIBRATION TEST (PET) protokol standar untuk melakukan PET. Core Curriculum tahun 2003 oleh Teitelbaum, dkk: 1. Dilakukan pagi hari setelah proses penggantian cairan dialisat CAPD (biasanya >8 jam jika menggunakan CAPD). 2. Masukkan dialisat dengan 2,5% dextrose. 3. Segera ambil sampel dialisat, pada jam ke-2, dan jam ke-4 untuk menentukan kreatinin, urea, dan konsentrasi glukosa. 4. Ambil sampel darah 2 jam setelah infus dialisat untuk menentukan kreatinin, urea, dan kadar glukosa. 5. Keluarkan dialisat pada jam ke-4 dan catat volume pengeluaran. 6. Kalkulasi dialisat/plasma rasio (D/P ratio) untuk urea dan kreatinin pada jam ke-2 dan ke-4. Kalkulasi dialisat/glukosa dan bandingkan dengan konsentrasi inisial (D/Do) pada jam ke-2 dan ke-4. 7. Plot hasil tersebut pada grafik standar PET untuk menentukan tipe membran peritoneal pasien PERITONEAL EQUILIBRATION TEST (PET) Klasifikasi transpor membran peritoneal berdasarkan tes PET : • High transporters, mencapai keseimbangan equilibrasi kreatinin dan urea yang paling cepat karena memiliki luas permukaan peritoneal yang besar dan/atau memiliki permeabilitas membran yang tinggi. (D/P Cr, D/P Ur, dan D/P Na yang tinggi, tetapi ultrafiltrasi yang rendah, protein loss yang tinggi sehingga kadar albumin cenderung lebih rendah) • Low transporters, mencapai keseimbangan equilibrasi urea dan kreatinin lebih lambat dari high transporters, menunjukkan permeabilitas membran dan/atau luas permukaan peritoneal yang lebih kecil (Hilangnya protein lebih rendah, serum albumin lebih tinggi. Low transporters membutuhkan waktu pergantian lebih lama, dan volume pergantian yang lebih besar). • High-average dan low-average transporters, memiliki nilai diantara high dan RESIDUAL KIDNEY FUNCTION • Menjaga (residual kidney function/ RKF) sangat penting karena berperan dalam meningkatkan adekuasi dialisis, kualitas hidup, dan mortalitas pada pasien dialysis. • Laju penurunan RKF merupakan faktor prognosis yang lebih kuat daripada baseline RKF pada all-cause mortality pasien CAPD. Banyak bukti klinis menunjukkan bahwa CAPD dapat mempertahankan RKF lebih baik dibanding HD, kemungkinan karena pada CAPD risiko deplesi volume intravaskular lebih rendah dibanding HD. • Berkurangnya RKF akan mengurangi klirens toksin dengan berat molekul kecil- sedang, sintesis eritropoietin sangat berkurang, dan retensi natrium, fosfor, dan air lebih tinggi. • Sebuah studi menunjukkan CAPD memiliki 65% risiko penurunan RKF lebih rendah daripada HD pada 1 tahun pertama. • Pemilihan cairan dialisat peritoneal konsentrasi rendah dan pemberian ACE inhibitor merupakan upaya untuk menjaga RKF CAIRAN DIALISAT UNTUK CAPD • Cairan dialisat yang digunakan selalu berada di rongga peritoneum, dan diganti hingga 3-4 kali sehari. Drainase dialisat yang terpakai dan dialisat baru menggunakan gravitasi dari dalam dan keluar rongga peritoneal. • Komposisi cairan CAPD dibedakan berdasarkan agen osmotik, buffer, dan elektrolit. Konsentrasi cairan dialisat CAPD berbasis dextrose tersedia dalam 1,5%, 2,5%, dan 4,25%. Pada CAPD konvensional, digunakan laktat sebagai buffer dan memiliki pH ~5.5. Pada keadaan pH cairan dialisat yang rendah memiliki efek pada leukosit dan mengganggu fungsi fagosit. Sehingga, untuk mengurangi produksi glucose degradation product (GDP), dibuat dua kompartemen cairan dialisat yang bertujuan menghasilkan GDP yang rendah pada cairan CAPD dengan pH normal. glucose-sparing solutions dengan pH netral dan rendah GDP. Tersedia dua macam cairan CAPD dengan komposisi tersebut :
1.Icodextrin 2. Amino-acid base
Merupakan cairan poliglukosa dan bersifat Digunakan sebagai suplemen isoosmolar. nutrisi pada pasien dengan Absorpsi poligukosa melalui sistem limfatik gangguan nutrisi karena diserap lebih lambat dibanding glukosa. pada akhir 4-6 jam proses dialisis. indikasi utama digunakan pada pasien dengan kegagalan ultrafiltrasi. Namun pada penggunaan cairan ini, ada risiko meningkatkan Penggunaan icodextrin meningkatkan asidosis ultrafiltrasi dan status volume pasien, memperbaiki kontrol glikemik, menurunkan berat badan, dan menjaga fungsi membran peritoneal jangka panjang. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN CAPD Pendekatan yang dapat dilakukan sebelum memulai CAPD pada pasien
1.Identifikasi kandidat potensial untuk CAPD
Pasien yang termasuk dalam kandidat CAPD antara lain semua pasien terdiagnosis PGTA, pasien dengan graft failure yang membutuhkan dialisis, pasien selama 30 hari dialisis dependen, walaupun dengan diagnosis gagal ginjal akut. 2.Menilai eligibilitas untuk CAPD Tim akan menilai terlebih dahulu apakah kandidat pasien CAPD mampu untuk melakukan CAPD, dan apakah terdapat kontraindikasi/halangan untuk melakukan CAPD 3.Menawarkan pilihan CAPD pada pasien 4.Pasien menentukan pilihan 5.Pemasangan kateter CAPD pemasangan kateter Tenchoff sebagai akses peritoneal yang bersifat permanen untuk mengalirkan cairan dialisat ke dalam rongga peritoneum. 6.Inisiasi CAPD Idealnya, inisiasi CAPD dilakukan setelah 10 hari sampai dengan 2 minggu pasca pemasangan kateter CAPD, namun dapat pula segera dimulai bila keadaan mendesak KOMPLIKASI CAPD • Peritonitis Diagnosis peritonitis dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi seperti nyeri abdomen, demam, cairan dialisat yang keruh, hitung leukosit pada cairan dialisat lebih dari 100 leukosit/mm3 dan hasil kultur cairan dialisat yang positif. Sumber infeksi pada peritonitis dapat disebabkan oleh kontaminasi akibat sentuhan (touch contamination), infeksi yang berhubungan dengan kateter (exite site/ tunnel infection), enteric, dan iatrogenic (bakteremia dan ginekologis). KOMPLIKASI CAPD Komplikasi Non Infeksi CAPD 1.Komplikasi Mekanik Adanya cairan dialisat pada rongga peritoneum meningkatkan tekanan intra abdomen. Peningkatan tekanan intraperitoneal berisiko menimbulkan hernia, kebocoran perikateter, kebocoran diafragma, dan nyeri. 2.Komplikasi Metabolik Absorpsi glukosa dari cairan dialisat CAPD sebanyak 500-800 kkal/hari, menyebabkan risiko hiperglikemia. Komplikasi metabolik lain, seperti hiperlipidemia, hiponatremia, hipokalemia, hiperkalsemia, hipermagnesemia, dan hipoalbuminemia juga dapat timbul pada pasien yang menjalani CAPD. 3.Encapsulating Peritoneal Sclerosis Pada kondisi ini, terjadi sklerosis masif pada membran peritoneal, sehingga terjadi enkapsulasi jaringan intestinal. Hal ini mengganggu fungsi saluran cerna, gangguan motilitas, gangguan absorpsi nutrisi, ileus obstruktif, anoreksia, dan perburukkan klinis secara progresif. KEGAGALAN MODALITAS Pada beberapa kondisi, perlu dilakukan perubahan modalitas dari CAPD ke HD. Kondisi yang menyebabkan perubahan modalitas antara lain bila dijumpai CAPD tidak adekuat, kegagalan ultrafiltrasi, hipertrigliseridemia berat, peritonitis berulang, dan gangguan teknis/mekanik berulang SIMPULAN Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) sebagai salah satu pilihan modalitas terapi pengganti ginjal yang mempunyai kelebihan, yaitu dapat dilakukan secara mandiri, biaya yang lebih ekonomis, dan preservasi RKF yang lebih baik, diharapkan dapat meningkatkan layanan pengganti ginjal yang merata. Layanan CAPD sebagai terapi pengganti ginjal membutuhkan pendekatan yang terintegrasi. Pemahaman yang komprehensif tentang CAPD hanya bisa dicapai dengan memberikan edukasi dan komunikasi yang optimal dari tenaga kesehatan kepada pasien dan keluarga yang dapat menjadi kunci untuk meningkatkan utilitas CAPD pada pasien PGTA. Edukasi sebaiknya dimulai sejak awal pada PGK stadium 4 oleh internis maupun nefrologis sehingga cukup waktu untuk menentukan pilihan. Pertimbangan lainnya seperti keinginan pasien dan aspek psikososial pun tidak kalah penting untuk mencapai keberhasilan CAPD. TERIMAKASIH